PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR ...

8
87 PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR BARANG KENA PAJAK (Studi Kasus PT Astra Honda Motor yang Melakukan Impor Kendaraan Toyota Dari Jepang) Retno Bunga Widowati [email protected] Mahasiswa S-2 Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract This artcle aims to determine the effectiveness of policies or tax laws that exist in preventing and combating the transfer pricing practices of multinational companies on a case by PT Astra Honda Motor and tax privileges granted to importers to increase acceptance of import value-added tax (VAT) taxable goods. In conducting this study, the authors use the method of normative juridical approach. Toyota suspected of ‹playing› with a related party transaction prices and adds to costs through royalty payments are not fair. Thousands of car production Toyota Motor Manufacturing Indonesia exported overseas with reasonable prices. This mode is thought to be the transfer pricing strategy. Therefore diadakanlah Advance Pricing Agreement (APA), which is useful for reducing the practice of transfer pricing by multinational companies. Facilities that are likely to be enjoyed by employers taxable imports taxable goods is the tax payable is free and exempt from value- added tax (VAT). Keywords : transfer pricing , value-added tax , import Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas kebijakan atau peraturan perpajakan yang ada dalam mencegah dan menanggulangi praktik transfer pricing pada perusahaan multinasional berdasarkan kasus PT Astra Honda Motor serta fasilitas perpajakan yang diberikan kepada importir untuk meningkatkan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor Barang Kena Pajak. Dalam melakukan penulisan ini penulis menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif. Toyota diduga ‘memainkan’ harga transaksi dengan pihak terafiliasi dan menambah beban biaya lewat pembayaran royalti secara tidak wajar. Ribuan mobil produksi Toyota Motor Manufacturing Indonesia diekspor ke luar negeri dengan harga yang tidak wajar. Modus ini diduga merupakan strategi transfer pricing. Maka dari itu diadakanlah Advance Pricing Agreement (APA) yang berguna untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Fasilitas yang kemungkinan dapat dinikmati oleh pengusaha kena pajak yang mengimpor Barang Kena Pajak adalah pajak terutang yang tidak dipungut dan dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kata kunci: transfer pricing, pajak pertambahan nilai, impor A. Pendahuluan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai diperkenalkan di Indonesia sejak 1 April 1985 untuk menggantikan Pajak Penjualan (PPn). Mekanisme pemungutan PPn tahun 1951 dalam pelaksanaannya menimbulkan dampak kumulatif atau pajak berganda. Hal ini dapat mendorong Wajib Pajak untuk melakukan penghindaran pajak atau penyelundupan pajak sehingga tidak netral terhadap perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional. Sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi dan politik yang berlangsung secara cepat, peraturan pajak senantiasa selalu diperbaruhi secara terus menerus agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Sebagaimana dalam Undang-undang PPN yang baru terdapat pengkreditan untuk menghindari adanya pengenaan pajak berganda. PPN merupakan pajak tidak langsung, yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dialihkan kepada orang lain atau pihak ketiga. PPN di Indonesia mewajibkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk memungut PPN ketika melakukan penjualan atau penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Adapun PPN yang harus disetor ke negara adalah selisih antara PPN yang dipungut pada saat penyerahan (Pajak Keluaran) dan

Transcript of PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR ...

Page 1: PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR ...

87

PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR BARANG KENA PAJAK (Studi Kasus PT Astra Honda Motor yang

Melakukan Impor Kendaraan Toyota Dari Jepang)

Retno Bunga [email protected]

Mahasiswa S-2 Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

AbstractThis artcle aims to determine the effectiveness of policies or tax laws that exist in preventing and combating the transfer pricing practices of multinational companies on a case by PT Astra Honda Motor and tax privileges granted to importers to increase acceptance of import value-added tax (VAT) taxable goods. In conducting this study, the authors use the method of normative juridical approach. Toyota suspected of ‹playing› with a related party transaction prices and adds to costs through royalty payments are not fair. Thousands of car production Toyota Motor Manufacturing Indonesia exported overseas with reasonable prices. This mode is thought to be the transfer pricing strategy. Therefore diadakanlah Advance Pricing Agreement (APA), which is useful for reducing the practice of transfer pricing by multinational companies. Facilities that are likely to be enjoyed by employers taxable imports taxable goods is the tax payable is free and exempt from value-added tax (VAT).Keywords : transfer pricing , value-added tax , import

AbstrakArtikel ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas kebijakan atau peraturan perpajakan yang ada dalam mencegah dan menanggulangi praktik transfer pricing pada perusahaan multinasional berdasarkan kasus PT Astra Honda Motor serta fasilitas perpajakan yang diberikan kepada importir untuk meningkatkan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor Barang Kena Pajak. Dalam melakukan penulisan ini penulis menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif. Toyota diduga ‘memainkan’ harga transaksi dengan pihak terafiliasi dan menambah beban biaya lewat pembayaran royalti secara tidak wajar. Ribuan mobil produksi Toyota Motor Manufacturing Indonesia diekspor ke luar negeri dengan harga yang tidak wajar. Modus ini diduga merupakan strategi transfer pricing. Maka dari itu diadakanlah Advance Pricing Agreement (APA) yang berguna untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Fasilitas yang kemungkinan dapat dinikmati oleh pengusaha kena pajak yang mengimpor Barang Kena Pajak adalah pajak terutang yang tidak dipungut dan dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).Kata kunci: transfer pricing, pajak pertambahan nilai, impor

A. Pendahuluan

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai diperkenalkan di Indonesia sejak 1 April 1985 untuk menggantikan Pajak Penjualan (PPn). Mekanisme pemungutan PPn tahun 1951 dalam pelaksanaannya menimbulkan dampak kumulatif atau pajak berganda. Hal ini dapat mendorong Wajib Pajak untuk melakukan penghindaran pajak atau penyelundupan pajak sehingga tidak netral terhadap perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional. Sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi dan politik yang berlangsung secara cepat, peraturan pajak senantiasa selalu diperbaruhi secara

terus menerus agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Sebagaimana dalam Undang-undang PPN yang baru terdapat pengkreditan untuk menghindari adanya pengenaan pajak berganda. PPN merupakan pajak tidak langsung, yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dialihkan kepada orang lain atau pihak ketiga. PPN di Indonesia mewajibkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk memungut PPN ketika melakukan penjualan atau penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Adapun PPN yang harus disetor ke negara adalah selisih antara PPN yang dipungut pada saat penyerahan (Pajak Keluaran) dan

Page 2: PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR ...

Jurnal Repertorium Volume IV No. 2 Juli - Desember 2017

88

PPN yang dibayar atas perolehan atau pembelian BKP atau JKP.

Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan objek PPN, akan tetapi karena adanya berbagai pertimbangan seperti perekonomian, sosial dan budaya, pemerintah mengatur sendiri Undang-undang PPN bahwa ada barang dan jasa tertentu yang tidak dipungut serta dikecualikan dari pengenaan PPN bahkan dibebaskan dari pungutan PPN. Menurut jenisnya, objek PPN dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu:1. Barang Kena Pajak merupakan barang berwujud

yang menurut sifatnya dapat berupa barang yang bergerak atau tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan PPN.

2. Jasa Kena Pajak merupakan setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan PPN.

PPN dikenakan atas pertambahan nilai yang terjadi karena kegiatan-kegiatan tertentu sebagimana yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN) Pasal 4, Pasal 16 C, dan Pasal 16 D.

Ada empat sektor industri di Indonesia yang ditengarai rawan melakukan penghindaran pajak lewat transfer pricing. Keempat sektor itu adalah pertambangan, perkebunan, elektronik dan otomotif. Kasus Toyota hanya salah satu dari sekian kasus yang ditangani. Toyota pada tahun 2005 itu, petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada tahun 2004 misalnya, laba bruto Toyota menurun lebih dari 30 persen, dari Rp 1,5 triliun (2003) menjadi Rp 950 miliar. Selain itu, rasio gross margin atau perimbangan antara laba kotor dengan tingkat penjualan juga menurun. Dari sebelumnya 14,59 persen (2003) menjadi hanya 6,58 persen setahun kemudian. Ternyata yang memicu penurunan pendapatan perusahaan multinasional ini adalah pada tahun itu, Toyota melakukan restrukturisasi mendasar. Sebelumnya, semua lini bisnis produksi dan distribusi mereka dilakukan di bawah satu bendera PT Toyota Astra Motor. Pemilik sahamnya

ada dua, yaitu PT Astra International Tbk (51 persen) dan Toyota Motor Corporation Jepang (49 persen).

Pada pertengahan tahun 2003, Astra menjual sebagian besar sahamnya dari Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang. Alasannya, Astra punya utang jatuh tempo yang tak bisa ditangguhkan lagi. Alhasil, Toyota Jepang kini menguasai 95 persen saham Toyota Astra Motor. Nama perusahaan berubah menjadi Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan Toyota Motor Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang merek dengan nama lama, yaitu Toyota Astra Motor (TAM). Pada perusahaan ini, Astra menjadi pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51 persen saham. Sisanya milik Toyota Motor Corporation Jepang. Setelah restrukturisasi itulah, laba gabungan kedua perusahaan Toyota menurun. Menurunnya keuntungan Toyota membuat setoran pajaknya pada pemerintah juga berkurang. Sebelumnya, perusahaan ini bisa membayar pajak sampai setengah triliun rupiah. Pada tahun 2004, pasca-restrukturisasi, dua perusahaan Toyota (TMMIN dan TAM) hanya membayar pajak Rp 168 miliar. Yang janggal, meski laba turun, omzet produksi dan penjualan mereka pada tahun itu justru naik 40 persen.

Pemeriksa pajak menemukan jawabannya ketika memeriksa struktur harga penjualan dan biaya Toyota dengan lebih seksama. Di sinilah jejak transfer pricing perseroan ini mulai tercium. Toyota diduga ‘memainkan’ harga transaksi dengan pihak terafiliasi dan menambah beban biaya lewat pembayaran royalti secara tidak wajar. Ribuan mobil produksi Toyota Motor Manufacturing Indonesia diekspor ke luar negeri dari pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara yang tidak banyak diketahui orang, nilai ekspor itu di bawah biaya penjualan. Modus ini diduga merupakan strategi transfer pricing. Di sinilah masalahnya. Merujuk pada dokumen persidangan sengketa pajak ini, ada sejumlah temuan yang mengindikasikan bahwa Toyota Indonesia menjual mobil-mobil produksi mereka ke Singapura dengan harga tidak wajar.

Misalnya, pada dokumen laporan pajak Toyota pada tahun 2007. Sepanjang tahun itu, Toyota Motor Manufacturing di Indonesia tercatat mengekspor 17.181 unit Fortuner ke Singapura. Dari pemeriksaan atas laporan keuangan Toyota sendiri, petugas pajak

Page 3: PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR ...

89

menemukan bahwa harga pokok penjualan atau cost of goods sold (COGS) Fortuner itu adalah Rp 161 juta per unit. Anehnya, dokumen internal Toyota menunjukkan bahwa semua Fortuner itu dijual 3,49 persen lebih murah dibandingkan nilai tersebut. Artinya, Toyota Indonesia menanggung kerugian dari penjualan mobil-mobil itu ke Singapura. Temuan yang sama juga terlacak pada penjualan mobil Innova diesel dan Innova bensin, yang masing-masing dijual lebih murah 1,73 persen dan 5,14 persen dari ongkos produksinya per unit. Pada ekspor Rush dan Terios, Toyota Motor Manufacturing memang meraup untung, tapi tipis sekali yakni hanya 1,15 persen dan 2,69 persen dari ongkos produksi per unit.

Temuan ini jadi menyolok karena Toyota Manufacturing menjual produk-produk serupa kepada pembeli lokal di Indonesia dengan harga berbeda. Ketika dijual di dalam negeri, mobil yang persis sama dilepas ke pasar dengan nilai keuntungan bruto sebesar 3,43 - 7,67 persen. Tapi temuan itu saja belum cukup untuk menyimpulkan Toyota melakukan penghindaran pajak. Untuk itu, petugas pajak harus memeriksa nilai kewajaran dari semua transaksi Toyota Manufacturing ke Singapura. Caranya adalah Sesuai aturan penanganan transaksi hubungan istimewa yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak, otoritas pajak berhak menentukan kewajaran harga penjualan suatu perusahaan dengan cara membandingkan harga itu dengan traksaksi perusahaan sejenis di luar negeri. Aturan ini merujuk pada Transfer Pricing Guideline yang disusun Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).

Dokumen pemeriksaan di pengadilan pajak yang diperoleh, menunjukkan bahwa petugas pajak kemudian menggunakan lima perusahaan otomotif yang dianggap memiliki karakteristik serupa sebagai pembanding untuk Toyota. Kelima perusahaan itu adalah Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina). Dari penelaahan atas transaksi afiliasi kelima perusahaan itu, pemeriksa menetapkan bahwa kisaran keuntungan bruto yang dapat dinilai wajar untuk perusahaan otomotif yang melakukan ekspor adalah 3,22 - 13,58 persen. Berdasarkan hal tersebut, pemeriksa pajak lalu mengkoreksi harga pada transaksi Toyota Motor Manufacturing Indonesia kepada Toyota Motor Asia Pacific di Singapura. Hasilnya fantastis, yaitu omzet penjualan Toyota Motor Manufacturing pada tahun 2007 jadi melonjak hampir setengah triliun

dari laporan awal perusahaan itu. Nilainya sekarang menjadi Rp 27,5 triliun. Petugas pajak kemudian memeriksa laporan keuangan Toyota Manufacturing pada tahun 2008. Modus ekspor dengan nilai tidak wajar juga berulang pada tahun itu. Koreksi serupa dilakukan dan nilai omzet Toyota tahun itu melonjak 1,7 triliun menjadi Rp 34,5 triliun.

Dengan kombinasi ‘permainan’ harga dalam transaksi terafiliasi dan pembayaran royalti yang dinilai tidak wajar, Toyota Motor Manufacturing Indonesia melaporkan penghasilan kena pajak sebesar Rp 426,9 miliar (tahun 2007) dan Rp 60,6 miliar (tahun 2008). Karena merasa sudah membayar lebih dari nilai itu, lima tahun lalu Toyota menuntut negara mengembalikan kelebihan pajak sebesar Rp 412 miliar. Direktorat Jenderal Pajak tidak terima. Mereka bersikukuh kalau penghasilan Toyota yang harus dikenai pajak adalah Rp 975 miliar (tahun 2007) dan Rp 2,45 triliun (tahun 2008). Oleh karena itu, pemerintah meminta Toyota membayar kekurangan pajaknya senilai Rp 1,22 triliun. Perbedaan penghitungan inilah yang kemudian menjadi sengketa di pengadilan pajak. Yang mencurigakan, sejak diadili pada tahun 2007 sampai sekarang, kasus ini tak kunjung diputus (Anonim, 2016). Hal inilah yang akan dibahas lebih dalam pada artikel ini.

B. EfektifitasKebijakanDalamMencegahdan Menanggulangi Transfer Pricing Pada Perusahaan Multinasional

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Adrian Sutedi, 2013: 5). Dari definisi tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pajak adalah iuran wajib rakyar kepada negara yang bertujuan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dalam rangka meningkatan pembangunan. Jadi kemajuan negara dapat dilihat dari penerimaan sector pajaknya. Saat ini, pajak semakin tidak dapat dipisahkan dari manusia. Dimana gerak langkah manusia pasti berkaitan dengan pajak. Hal ini dapat dikatakan demikian, karena setiap orang selalu bersinggungan dengan hal-hal yang baik secara langsung berhubungan dengan pajak. Misalnya seseorang yang membeli suatu barang maka orang tersebut harus membayar pajak (PPN).

Retno Bunga Widowati. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor/Impor Barang Kena Pajak ...

Page 4: PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR ...

Jurnal Repertorium Volume IV No. 2 Juli - Desember 2017

90

Pajak Pertambahan Nilai (atau yang disebut dengan PPN) sebagai penyumbang penerimaan pajak terbesar dikenakan hanya terhadap pertambahan nilainya saja dan dipungut beberapa kali pada berbagai mata rantai jalur perusahaan. Pertambahan nilai itu sendiri timbul karena digunakan faktor-faktor produsi pada setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. Semua biaya untuk mendapatan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa, tanah, upah kerja, dan laba perusahaan merupakan unsur pertambahan nilai yang menjadi dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (Mulyo Agung, 2009: 12).

Sesuai dengan legal karaternya sebagai pajak objektif maka PPN tidak membedakan tingkat kemampuan konsumennya. Konsumen yang memiliki kemampuan tinggi dengan konsumen yang memiliki kemampuan rendah diperlakukan sama. Dengan demikian, PPN mengandung unsur regresif, yaitu semakin tinggi kemampuan konsumen semakin ringan beban pajak yang dipikul, semakin rendah kemampuan konsumen semakin berat beban pajak yang dipikul. Sehingga dalam upaya mencapai keseimbangan pembebanan pajak dan dalam upaya mengendalikan pola konsumsi yang tidak produktif dari masyarakat, maka atas penyerahan atau atas impor barang-barang berwujud yang tergolong mewah, selain dikenakan PPN juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 yang antara lain menegaskan bahwa atas konsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah selain dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM sebagai upaya nyata untuk mencapai keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi.

PPnBM tidak dapat dienakan tersendiri tanpa adanya PPN dan dipungut satu kali pada sumbernya yaitu pada tingkat pabrikan, atau pada waktu barang impor (yuniarwati, 2000: 20). Pengenaan PPN dilaksanaan berdasarkan sistem faktur sehingga atas penayerahan barang dan/atau penyerahan jasa wajib dibuat Faktur Pajak sebagai bukti transaksi penyerahan barang dan/atau penyerahan jasa yang terutang pajak.

Perkembangan ekonomi yang terjadi pada saat ini, memberikan suatu pengaruh yang besar bagi pola bisnis dan sikap para pelaku bisnis. Investasi

yang semakin aktif dilakukan oleh para investor, terlebih-lebih oleh para investor asing yang telah mengakibatkan terjadinya transaksi-transaksi yang bersifat internasional (cross border transaction). Awalnya transfer pricing dikenal dalam akuntansi manajemen sebagai kebijakan harga yang diterapkan atas penyerahan barang atau jasa antar divisi/departemen di dalam suatu perusahaan dengan tujuan untuk mengukur kinerja dari masing-masing divisi/departemen tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, perusahaan multinasional yang biasanya menerapkan desentralisasi operasi dengan cara membagi perusahaannya atas pusat-pusat pertanggungjawaban baik itu pusat biaya maupun pusat penghasilan, telah memanfaatkan transfer pricing sebagai alat untuk menghindari atau menggelapkan pajak dengan cara meminimalkan beban pajak yang harus ditanggung perusahaan. Dalam kasus ini, Toyota melakukan penghindaran pajak atau transfer pricing. Untuk itu, petugas pajak harus memeriksa nilai kewajaran dari semua transaksi Toyota Manufacturing ke Singapura. Caranya adalah Sesuai aturan penanganan transaksi hubungan istimewa yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak, otoritas pajak berhak menentukan kewajaran harga penjualan suatu perusahaan dengan cara membandingkan harga itu dengan traksaksi perusahaan sejenis di luar negeri. Aturan ini merujuk pada Transfer Pricing Guideline yang disusun Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).

Melalui praktik transfer pricing, upaya meminimalkan beban pajak dilakukan dengan cara mengalihkan penghasilan serta biaya suatu perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dari suatu negara kepada perusahaan di negara lain yang tarif pajaknya berbeda. Masalah pengalokasian penghasilan dan biaya perusahaan multinasional ini harus diatur dengan baik dan jelas oleh masing-masing negara yang terlibat dalam transaksi internasional. Pengaturan yang baik dan jelas diharapkan dapat mencegah dan mendeteksi tindakan-tindakan manipulasi pajak melalui transfer pricing yang sering dilakukan perusahaan multinasional untuk melakukan penghindaran/penggelapan pajak. Penelitian dilakukan untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan/peraturan-peraturan perpajakan mengenai pencegahan dan penanggulangan praktek transfer pricing yang menyebabkan penghindaran/penggelapan pajak di Indonesia (Indah Dewi Nurhayati, 2013: 32).

Page 5: PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR ...

91

Untuk mencegah penghindaran pajak yang telah dilakuan oleh Toyota Manufacturing karena penentuan harga tidak wajar (non arm’s length price), maka dengan adanya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tanggal 11 Nopember 2011. Peraturan ini membahas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) terkait transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Dalam PER-32/PJ/2011 Wajib Pajak diharuskan untuk menggunakan nilai pasar wajar dalam bertransaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties). Penentuan harga transaksi wajar (arm’s length price) bisa melalui metode perbandingan harga antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa, resale price dan metode lainnya. Syarat utama analisis ini adalah ketersediaan data pembanding eksternal dan internal. Apabila Wajib Pajak tidak bisa menunjukkan bukti pendukung kewajaran harga transaksi, maka Ditjen Pajak akan menetapkan harga transaksi yang wajar antara pihak-pihak yang terafiliasi.

Pada Pasal 2 Peraturan Dirjen Pajak ini, dinyatakan terdapat dua pihak yang harus tunduk pada ketentuan tersebut. Pertama, pedoman transfer pricing ini berlaku untuk penentuan transfer pricing atas transaksi yang dilakukan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dengan Wajib Pajak Luar Negeri di luar Indonesia. Ini sebenarnya yang dimaksud dengan Cross Border Transfer Pricing. Hal inilah sebenarnya yang menjadi alasan utama mengapa perlu ada pedoman transfer pricing. Perbedaan pedoman transfer pricing PER-43/PJ/2010 dengan PER-32/PJ/2011 adalah bahwa pada PER-43/PJ/2010 tidak membedakan transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa, apakah Cross Border Transfer Pricing atau Transfer Pricing di dalam negeri. Dengan demikian, sifat dari perubahan yang dilakukan PER-32/PJ/2011 adalah mempersempit ruang lingkup kondisi yang harus tunduk pada pedoman transfer pricing. Kedua, dalam Pasal 2 ayat 2 dijelaskan bahwa pedoman transfer pricing ini bisa diterapkan untuk transaksi antara Wajib Pajak yang berhubungan istimewa di Indonesia yang dapat memanfaatkan perbedaan tarif karena perlakuan pengenaan pajak penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha tertentu, perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.

Untuk mengatur dan memberikan kepastian dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 terutama dalam hal mengatur tentang kesepakatan transfer pricing, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-69/PJ/2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang Kesepakatan Transfers Pricing (Advance Pricing Agreement/APA). Walaupun penerapan APA memberikan manfaat yang banyak, Wajib Pajak dan Ditjen Pajak juga perlu mempertimbangkan potensi kerugian yang mungkin saja timbul dalam pelaksanaannya. Potensi kerugian tersebut diantaranya (Indah Dewi Nurhayati, 2013: 36) :1. Pengorbanan waktu dan biaya yang dikeluarkan

untuk penyelenggaraan APA. Program APA tidak dapat diterapkan kepada semua Wajib Pajak multinasional karena proses negosiasi yang cukup menyita waktu dan biaya.

2. Wajib Pajak harus mengungkapkan informasi yang mungkin merupakan rahasia perusahaan kepada otoritas pajak. Pada tahap pengajuan APA, Ditj

3. en Pajak membutuhkan berbagai informasi yang berhubungan dengan transaksi yang akan dilakukan. Informasi tersebut umumnya bersifat rahasia bagi perusahaan, yang cenderung ditutup-tutupi oleh Wajib Pajak, karena dikhawatirkan data tersebut dapat digunakan oleh Ditjen Pajak dalam rangka pemeriksaan.

Agar APA dapat berjalan sebagaimana mestinya maka dalam pelaksanaannya masing-masing pihak yaitu Wajib Pajak dan Ditjen Pajak harus melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik. Adapun tanggung jawab Wajib Pajak dalam pelaksanaan APA adalah konsisten dengan tujuan awal diselenggarakannya APA, memberikan bukti-bukti dan informasi yang dapat dipercaya, dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam perjanjian APA.

C. Fasilitas Perpajakan yang DapatDiberikan kepada Importir untuk Meningkatkan Penerimaan PPN Impor BarangKenaPajak

Fasilitas yang kemungkinan dapat dinikmati oleh pengusaha kena pajak yang mengimpor Barang Kena Pajak adalah:

Retno Bunga Widowati. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor/Impor Barang Kena Pajak ...

Page 6: PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR ...

Jurnal Repertorium Volume IV No. 2 Juli - Desember 2017

92

1. Pajak terutang yang tidak dipungut 2. Dibebaskan dari pengenaan PPN

Fasilitas tersebut diberikan kepada pengusaha yang berkenaan antara lain dengan maksud untuk mendorong pertumbuhan bidang usaha yang bersangkutan, untuk membantu likuiditas perusahaan atau untuk menunjang program pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Perlakuan atas pajak masukan yang berkaitan dengan kedua fasilitas tersebut adalah : 1. Pajak masukan atas perolehan BKP / JKP untuk

menghasilkan penyerahan yang mendapat fasilitas PPN yang terutang tidak dipungut yang dapat dikreditkan.

2. Pajak masukan atas perolehan BKP / JKP untuk menghasilkan penyerahan yang mendapat fasilitas dibebaskan dari PPN yang tidak dapat dikreditkan.

Fasilitas yang dibebaskan dari pengenaan PPN / PPnBM (Diyah Ika Sari, 2010: 63) :1. Impor BKP tertentu yang dibebaskan PPN :

a. Senjata, amunisi, alat angkutan, kendaraan lapis baja, kendaraan angkutan khusus, dan bahan lain yang iperlukan dalam pembuatan senjata / amunisi untuk keperluan TNI / POLRI yang belum dibuat dalam negeri.

b. Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program PIN.

c. Buku pelajaran, kitab suci, dan buku agama.

d. Kapal laut, kapal angkutan sungai, danau, dan lain-lain serta alat keselamatan pelayaran manusia yang digunakan oleh perusahaan pelayaran niaga atau penangkapan ikan.

e. Pesawat udara dan suku cadangnya untuk perbaikan yang digunakan oleh perusahaan angkutan niaga nasional.

f. Kereta api dan suku cadangnya yang digunakan oleh perusahaan PT Kereta Api nasional.

g. Pera la tan yang d igunakan untuk menyediakan data base dan photo udara wilayah RI.

2. Fasilitas PPN atas impor BKP di kawasan berikat diberikan atas transaksi:a. Impor barang modal / peralatan pabrik /

peralatan perkantoran yang semata-mata dipakai oleh PKB.

b. Impor barang modal dan peralatan pabrik yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PKB yang semata-mata dipakai oleh PKB.

c. Impor barang/bahan yang akan diolah di PKB.d. Penyerahan BKP dari kawasan berikat

kepada pihak yang memperoleh fasilitas pembebasan / penangguhan bea masuk, cukai, dan pajak dalam rangka impor.

3. Fasilitas PPN bagi pengusaha EPTE (Entrepot Produksi Tujuan Ekspor)

PKP EPTE diberikan fasilitas PPN yang terutang tidak dipungut / penangguhan / diperlakukan sama dengan ekspor, yaitu atas transaksi:a. Impor barang modal dan peralatan pabrikan

yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi serta impor barang atau bahan untuk diolah lebih lanjut oleh PKP EPTE.

4. KMK No. 47 / KMK. 01 / 1981 jo KMK No. 548 / KMK. 04 / 1994 yang intinya mengatur bahwa PPN tidak dipungut atas pemasukan BKP / JKP ke kawasan berikat Pulau Batam, baik impor maupun panyerahan dari dalam wilayah RI.

Tata cara pemberian fasilitas PPN tidak dipungut : Fasilitas PPN tidak dipungut atas penyerahan BKP / JKP kepada PKP di kawasan berikat Pulau Batam atau impor BKP oleh PKP di kawasan berikat Pulau Batam diberikan apabila PKP di kawasan tersebut menunjukkan Surat Keterangan PPN tidak dipungut yang diterbitkan oleh KPP Batam. Faktur Pajak atau dokumen PIB dan SSP PPN Impor atau SSP PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud / JKP dari luar daerah pabean tetap harus dibuat dengan dibubuhi cap “PPN tidak dipungut eks PPN Nomor 39 Tahun 1998”.

5. PPN tidak dipungut atas impor BKP tertentu :

Dalam KMK No. 132 / KMK.04 / 1999 jo SE-05 / PJ.52 / 1999 diatur tentang pemberian fasilitas PPN tidak dipungut atas kegiatan impor barang-barang tertentu.

6. PPN yang dibebaskan atas BKP tertentu yang bersifat strategis :

Pada tanggal 2 April 2001 telat dikeluarkan KMK No. KMK- 155 / KMK.04 / 2001 yang merupakan aturan pelaksanaan dari PP No. 12

Page 7: PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR ...

93

Tahun 2001 tentang impor dan penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Peraturan tersebut berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001.

Pemberian fasilitas perpajakan berupa pembeba-san dari pengeluaran PPN yang diutamakan untuk impor dan atau penyerahan BKP serta penyerahan JKP untuk :1. Mendukung pertahanan nasional.2. Mencerdaskan kehidupan bangsa.3. Mensejahterakan kehidupan bangsa.4. Meningkatkan kesehatan masyarakat.5. Mempertahankan pembangunan nasional.Sedangkan fasilitas tidak dikenakan PPN untuk:1. Mendorong ekspor.2. Meningkatkan daya saing barang di pasar

internasional.3. Mengembangkan wilayah / daerah tertentu agar

dapat menjadi sentra-sentra kegiatan ekonomi.4. Mendorong pertumbuhan ekonomi.5. Meningkatkan kerja sama dengan negara-negara

lain.

D. Penutup

Praktik transfer pricing sering digunakan oleh banyak perusahaan sebagai alat untuk menghindari atau menggelapkan pajak dengan cara meminimalkan beban pajak yang harus dibayar oleh perusahaan. Dalam kasus tersebut diatas, Toyota Manufacturing diduga ‘memainkan’ harga transaksi dengan pihak terafiliasi dan menambah beban biaya lewat pembayaran royalti secara tidak wajar. Ribuan mobil produksi Toyota Motor Manufacturing Indonesia diekspor ke luar negeri dengan nilai ekspor dibawah biaya penjualan. Modus ini diduga merupakan strategi transfer pricing. Transaksi yang terjadi antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa biasanya sering memakai harga yang tidak wajar, yang tidak sama dengan harga yang terjadi dalam transaksi antar pihak yang independen. Tujuan diadakannya Advance Pricing Agreement (APA) adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. PER-32/PJ/2011 tidak membedakan transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa, baik Cross Border Transfer Pricing atau Transfer Pricing di dalam negeri. Sifat dari perubahan yang dilakukan PER-32/

PJ/2011 adalah mempersempit ruang lingkup kondisi yang harus tunduk pada pedoman transfer pricing.

Fasilitas yang kemungkinan dapat dinikmati oleh pengusaha kena pajak yang mengimpor Barang Kena Pajak adalah pajak terutang yang tidak dipungut dan dibebaskan dari pengenaan PPN. Fasilitas tersebut diberikan kepada pengusaha yang berkenaan antara lain dengan maksud untuk mendorong pertumbuhan bidang usaha yang bersangkutan, untuk membantu likuiditas perusahaan atau untuk menunjang program pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemberian fasilitas perpajakan berupa pembebasan dari pengeluaran PPN yang diutamakan untuk impor dan atau penyerahan BKP serta penyerahan JKP adalah untuk mendukung pertahanan nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, mensejahterakan kehidupan bangsa, meningkatkan kesehatan masyarakat, dan mempertahankan pembangunan nasional. Sedangkan fasilitas tidak dikenakan PPN adalah untuk mendorong ekspor, meningkatkan daya saing barang di pasar internasional, mengembangkan wilayah/daerah tertentu agar dapat menjadi sentra-sentra kegiatan ekonomi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kerja sama dengan negara-negara lain.

E. Daftar Pustaka

Buku

Adrian Sutedi. 2013. Hukum Pajak, ctk. Kedua. Jakarta: Sinar Grafika

Mulyo Agung. 2009. Perpajakan Indonesia Seri PPN, PPnBM, dan PPh Badan, Teori dan Aplikasi. Edisi Kedua. Bogor: Mitra Wacana Media

Jurnal dan Artikel

Diyah Ika Sari. 2010. “Evaluasi Penerimaan Negara Dari Pemungutan Ppn Atas Impor Barang Kena Pajak Di Kantor Pengawasan Dan Pelayanan Bea Dan Cukai Tipe Madya Pabean Surakarta”. Tugas Akhir, Program Studi Diploma III Perpajakan. Surakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret

Retno Bunga Widowati. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor/Impor Barang Kena Pajak ...

Page 8: PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR ...

Jurnal Repertorium Volume IV No. 2 Juli - Desember 2017

94

Indah Dewi Nurhayati. 2013. “Evaluasi Atas Perlakuan Perpajakan Terhadap Transaksi Trans fe r P r i c ing Pada Perusahaan Multinasional Di Indonesia”. artikel pada Jurnal Manajemen dan Akuntansi. edisi No 1. Vol 1, April 2013

Yuniarwati. 2000. “Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa”. Jurnal Perpajakan. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara

Internet:

Anonim, Prahara Pajak Raja Otomotif, https://investigasi.tempo.co/toyota/, 24 Juli 2016, 10.00

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, http://www.pajak.go.id/content/seri-ppn-dan-ppnbm-cara-menghitung-ppn-dan-ppnbm, 24 Juli 2016, 11.00