PENGARUH PENAMBAHAN RGD PADA SCAFFOLD MEMBRAN …

18
PENGARUH PENAMBAHAN RGD PADA SCAFFOLD MEMBRAN KITOSAN KULIT UDANG TERHADAP PROLIFERASI SEL PULPA MANUSIA Vania M Putri Department of Oral Biology, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya No.4, Jakarta Pusat, 10430, Indonesia Email : [email protected] Abstrak Latar belakang : Teknik rekayasa jaringan kini dikembangkan untuk perawatan kerusakan tulang yang besar. Pada kasus one wall defect dibutuhkan scaffold dalam bentuk membran yang dikombinasikan dengan RGD untuk memfasilitasi regenerasi jaringan. Tujuan : Mengetahui efek penambahan RGD kepada scaffold membran kitosan terhadap proliferasi sel pulpa manusia. Metode: Scaffold membran kitosan kulit udang RGD dipaparkan kepada sel pulpa manusia hasil primary culture dan diuji menggunakan MTT-assay. Hasil: Terdapat peningkatan proliferasi sel pulpa manusia yang bermakna pada kelompok scaffold membran kitosan kulit udang RGD dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kesimpulan: Scaffold membran kitosan kulit udang RGD mampu meningkatkan proliferasi sel pulpa manusia. Effect of RGD Addition to Shrimp Shells Chitosan Scaffold Membrane on Human Dental Pulp Cell Proliferation Abstract Background: Tissue engineering is now being developed to treat large bone defect. A membrane scaffold with addition of RGD is needed to treat one wall defect as it is capable to fasilitate tissue regeneration Objective: To analyze the effect of RGD addition to shrimp shells chitosan scaffold membrane on human dental pulp cell proliferation. Methods: Human dental pulp cell was exposed by shrimp shells chitosan membrane scaffold with RGD addition and was tested using MTT-assay. Result: Proliferation of human dental pulp cell exposed by shrimp shells chitosan membrane scaffold RGD shows a significant increase compared to control. Conclusion: Shrimp shells chitosan scaffold membrane RGD can increase human dental pulp cell proliferation. Keywords : Shrimp shell chitosan; RGD; Proliferation; Human Dental Pulp Cell Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

Transcript of PENGARUH PENAMBAHAN RGD PADA SCAFFOLD MEMBRAN …

PENGARUH PENAMBAHAN RGD PADA SCAFFOLD MEMBRAN KITOSAN KULIT UDANG TERHADAP PROLIFERASI SEL PULPA

MANUSIA

Vania M Putri

Department of Oral Biology, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya No.4, Jakarta Pusat, 10430, Indonesia

Email : [email protected]

Abstrak

Latar belakang : Teknik rekayasa jaringan kini dikembangkan untuk perawatan kerusakan tulang yang besar. Pada kasus one wall defect dibutuhkan scaffold dalam bentuk membran yang dikombinasikan dengan RGD untuk memfasilitasi regenerasi jaringan. Tujuan : Mengetahui efek penambahan RGD kepada scaffold membran kitosan terhadap proliferasi sel pulpa manusia. Metode: Scaffold membran kitosan kulit udang RGD dipaparkan kepada sel pulpa manusia hasil primary culture dan diuji menggunakan MTT-assay. Hasil: Terdapat peningkatan proliferasi sel pulpa manusia yang bermakna pada kelompok scaffold membran kitosan kulit udang RGD dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kesimpulan: Scaffold membran kitosan kulit udang RGD mampu meningkatkan proliferasi sel pulpa manusia.

Effect of RGD Addition to Shrimp Shells Chitosan Scaffold Membrane on Human Dental Pulp Cell Proliferation

Abstract

Background: Tissue engineering is now being developed to treat large bone defect. A membrane scaffold with addition of RGD is needed to treat one wall defect as it is capable to fasilitate tissue regeneration Objective: To analyze the effect of RGD addition to shrimp shells chitosan scaffold membrane on human dental pulp cell proliferation. Methods: Human dental pulp cell was exposed by shrimp shells chitosan membrane scaffold with RGD addition and was tested using MTT-assay. Result: Proliferation of human dental pulp cell exposed by shrimp shells chitosan membrane scaffold RGD shows a significant increase compared to control. Conclusion: Shrimp shells chitosan scaffold membrane RGD can increase human dental pulp cell proliferation. Keywords : Shrimp shell chitosan; RGD; Proliferation; Human Dental Pulp Cell

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

Pendahuluan

Defek tulang adalah kelainan yang terjadi akibat proses patologis dimana komponen

vital tulang mengalami kerusakan. Pada defek tulang dengan ukuran yang besar seperti one

wall defect biasanya dibutuhkan intervensi bedah mayor. Bone graft menjadi pilihan

perawatan untuk menangani kasus one wall defect yang dapat mendukung regenerasi

tulang.(Dragica Smrke, Primož Rožman, 2013),(Saravanan, Leena, & Selvamurugan, 2016)

Autograft menjadi material graft yang biasa dipilih untuk perawatan kasus kehilangan

tulang.(Bauer & Muschler, 2000) Namun metode ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi

dan memiliki risiko yang besar karena material graft yang akan digunakan diambil langsung

dari tulang pasien itu sendiri. Oleh karena itu, dewasa ini, rekayasa jaringan dikembangkan

sebagai alternaitf perawatan untuk defek tulang dengan ukuran yang besar. Rekayasa jaringan

bertujuan untuk mengembalikan struktur jaringan beserta fungsinya menggunakan sel-sel

hidup dengan komponen yang meliputi stem cells, growth factor, dan scaffold.

Stem cell memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi bermacam-macam

jaringan.(Chen et al., 2013) Sel pulpa gigi memiliki potensi klinis yang baik sebagai sumber

dari stem cell mesenkimal yang dapat dengan mudah dipanen dan menjadi sumber stem cell

yang biasa digunakan untuk rekayasa jaringan pada rongga mulut. Pada aplikasinya, growth

factor seperti bone morphogenetic proteins (BMP) akan bekerja untuk menstimulasi sel

mesenkim menjadi sel turunan osteogenik.(Amir, Suniarti, Utami, & Abbas, 2014)

Selain stem cell dan growth factor, dibutuhkan suatu struktur penyangga yang berperan

sebagai matriks ekstraseluler temporer yang mampu memfasilitasi perlekatan, proliferasi, dan

diferensiasi sel untuk membentuk jaringan yang diinginkan.(Dragica Smrke, Primož Rožman,

2013),(Amir et al., 2014) Struktur tersebut adalah scaffold. Material yang dipilih sebagai

scaffold dalam rekayasa jaringan adalah material yang memiliki sifat osteogenik,

osteokonduktif, biokompatibel, dan biodegradable. Kitosan yang merupakan bentuk

deasetilasi dari polimer kitin dan berasal dari eksoskeleton hewan crustacean seperti udang

kini sedang diteliti sebagai biopolimer natural yang menjanjikan sebagai material

scaffold.(Amir et al., 2014),(Dash, Chiellini, Ottenbrite, & Chiellini, 2011) Kitosan memiliki

potensi yang luas dalam penggunaannya di bidang medis oleh karena sifat-sifat yang

dimilikinya seperti anti-bakterial, biokompatibilitas yang baik, non-toksik, bioaktif,

biodegradable, dan memiliki permukaan yang hidrofilik.(Bauer & Muschler, 2000) Selain itu

Indonesia merupakan Negara yang dikenal akan hasil lautnya yang melimpah. Namun,

pengelolahan limbah sisa hidangan laut seperti kulit udang masih belum dimanfaatkan secara

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

optimal. Sebanyak 10 giga ton kitin per tahunnya terbuang secara percuma di alam.(Irawan,

2005) Padahal, kitin dapat diolah menjadi kitosan yang telah terbukti memiliki potensi untuk

dimanfaatkan dalam bidang rekayasa jaringan.

Kunci utama dalam merekonstruksi jaringan tulang pada kasus one wall defect adalah

dibutuhkannya suatu scaffold yang dapat melekat pada defek tulang dalam waktu yang cukup

bagi sel untuk meregenerasi jaringan tulang. Kini, scaffold telah difabrikasikan dalam bentuk

membran dan diharapkan oleh karena bentuknya yang berupa membran scaffold mampu

menyelimuti periodontal membran akar gigi yang terbuka akibat rusaknya jaringan tulang

sehingga dapat ditujukan untuk regenerasi jaringan pada kasus kerusakan dalam bentuk

horizontal atau one wall defect. Untuk meningkatkan perlekatan antara scaffold dengan sel

secara kimiawi, peptida RGD (Arginine-Glycine-Aspartate) dapat ditambahkan kedalam

scaffold. RGD (Arginine-Glycine-Aspartate) adalah tripeptida yang diidentifikasi sebagai

rangkaian dari fibronektin yang bertindak sebagai perantara dalam perlekatan sel melalui

interaksi dengan integrin yang dapat mengenali motif RGD sehingga RGD dapat menjadi

mediasi dalam interaksi antar sel.(Ruoslahti, 1996) Diharapkan dengan ditambahkannya RGD

kepada kitosan, perlekatan scaffold kitosan terhadap jaringan menjadi lebih baik namun tidak

menurunkan tingkat proliferasi sel pulpa manusia.

Pada penelitian sebelumnya kitosan kulit udang diketahui mampu berperan dalam

regenerasi jaringan tulang, namun efek penambahan RGD kepada scaffold membran kitosan

kulit udang dan pengaruhnya terhadap proliferasi sel pulpa manusia belum diketahui.(Amir et

al., 2014),(Rodríguez-vázquez, Vega-ruiz, Ramos-zúñiga, Saldaña-koppel, & Quiñones-

olvera, 2015) Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat proliferasi sel pulpa

manusia setelah dipaparkan dengan scaffold kitosan kulit udang dengan penambahan RGD

dalam bentuk membran yang diperoleh melalui kerjasama dengan Badan Tenaga Nuklir

Nasional (BATAN).

Tinjauan Teoritis

Strategi perawatan yang meliputi regenerasi atau perbaikan jaringan yang hilang

adalah dengan menginduksi proliferasi dan diferensiasi sel melalui metode rekayasa

jaringan.(Ikeda et al., 2014) Tujuan dari rekayasa jaringan adalah untuk merestorasi,

meregenerasi, mempertahankan atau meningkatkan fungsi dari jaringan yang cacat atau

hilang akibat kondisi tertentu, seperti tumor, kista, kelainan periodontal, fraktur non-union,

maupun kondisi patologis lainnya.(Rodríguez-vázquez et al., 2015) Tujuan ini dapat tercapai

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

dengan perkembangan subtitusi biologis atau dengan membuat scaffold yang mampu

menginduksi regenerasi jaringan.

Scaffold adalah biomaterial porus tiga dimensi yang didesain untuk mendukung

interaksi antar sel dengan biomaterial, berperan sebagai matriks ekstrasesluler sementara dan

adhesi sel dalam rekayasa jaringan. Syarat scaffold agar dapat digunakan untuk rekayasa

jaringan adalah harus dapat terdegradasi dalam waktu yang hampir sama dengan waktu

regenerasi jaringan serta tidak menimbulkan risiko inflamasi terhadap jaringan.(Rodríguez-

vázquez et al., 2015) Pada awalnya fabrikasi scaffold meliputi empat pendekatan mayor yaitu,

scaffold berpori, matriks ekstraseluler yang telah di deselularisasi, Cell sheets, dan

hydrogel.(Chan & Leong, 2008) Semakin berkembangnya ilmu penelitian dan meningkatnya

kebutuhan untuk memperbaiki jaringan tulang dengan kerusakan yang besar, scaffold kini

dikembangkan dalam bentuk membran. Pada aplikasinya, scaffold membran akan

menyelimuti area defek sehingga perbaikan jaringan akan terfokus pada daerah yang dituju

dan mengoptimalkan fungsi scaffold. Selain itu, oleh karena bentuknya yang berupa

membran, diharapkan scaffold dapat terimmobilisasi dengan baik pada jaringan yang ingin

diperbaiki.

Gambar 1. Scaffold Membran

Scaffold yang ideal untuk rekayasa jaringan harus memiliki karakteristik

biokompatibilitas yang baik, mikrostruktur atau porositas yang sesuai, kemampuan

biodegradabilitas yang dapat dikontrol, water retention, adsorpsi protein, dan sifat mekanis

yang baik.(Saravanan et al., 2016),(Ikeda et al., 2014) Karakteristik tersebut juga dipengaruhi

oleh material scaffold. Salah satu material yang sering digunakan dalam rekayasa jaringan

adalah polimer alami seperti kitosan.

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

Kitosan [2-amino-2-deoxy-D-glucon] adalah bentuk deasetilasi dari kitin yang

merupakan polimer alami dan biasa ditemukan pada eksoskeleton hewan krustasea (binatang

air berkulit keras) seperti udang, kepiting, dan lobster, maupun serangga dan

jamur.(Saravanan et al., 2016),(Irawan, 2005) Kitosan murni dapat digunakan dalam berbagai

macam bentuk seperti bubuk, hydrogel, fibers, membran, beads, dan scaffold tiga dimensi

dengan struktur pori yang beragam. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, kitosan dapat

berperan sebagai material scaffold atau sebagai matriks ekstraseluler yang bekerja sebagai

pendukung regenerasi dari jaringan yang rusak.(Rodríguez-vázquez et al., 2015) Ikatan kation

yang ditemukan pada kitosan memiliki kemampuan untuk membentuk kompleks dengan

makromolekul anionik seperti glycosaminoglicans (GAGs) yang dapat memodulasi aktivitas

sitokin dan growth factors yang berperan dalam rekayasa jaringan.(Saravanan et al., 2016)

Sifat-sifat kitosan dipengaruhi oleh kondisi cara material diproses, karena kondisi

proses manufaktur akan berpengaruh terhadap jumlah deasetilasi. Derajat deasetilasi kitosan

adalah kunci utama yang akan mendeterminasi karakteristik fisik, kimia, dan biologisnya.

Derajat deasetilasi ditentukan dari jumlah grup amino bebas di rantai polimer kitosan. Derajat

deasetilasi mewakili nilai D-glucosamine terhadap jumlah total N-acetyl-D-glucosamine yang

membentuk molekul kitosan karena unit ini ditemukan pada grup amino yang terbentuk dari

eliminasi grup asetil. Kitin dengan deasetilasi lebih dari 60% atau 70% sudah dapat dianggap

sebagai kitosan.(Rodríguez-vázquez et al., 2015)

Aktivitas biologis kitosan juga berkaitan erat dengan kelarutan, derajat deasetilasi dan

berat molekul. Derajat deasetilasi yang berkisar antara 84% - 90% dapat memperlambat

proses degradasi. Kitosan dengan derajat deasetilasi tinggi (lebih dari 85%) menunjukkan

indeks degradasi yang rendah di lingkungan encer dan akan terdegradasi setelah beberapa

bulan, namun kitosan dengan derajat deasetilasi yang lebih rendah (65%-82%) akan

mengalami degradasi lebih cepat. Derajat deasetilasi berperan pada adhesi dan proliferasi sel

namun tidak mempengaruhi sitokompatibilitas kitosan. Semakin rendah derajat deasetilasi

kitosan, maka semakin rendah adhesi sel pada film.(Rodríguez-vázquez et al., 2015)

Kitosan dengan berat molekul rendah adalah yang menjadi pilihan untuk aplikasi

biomedik maupun bioteknologi.(Ali, 2016) Asal dan preparasi kitosan akan mempengaruhi

berat molekulnya. Berat molekul dapat beragam dari 300kDa sampai lebih dari 1.000kDa,

dengan derajat deasetilasi antara 30%-95%. Semakin besar berat molekul kitosan maka

membran kitosan cenderung lebih baik sehingga memungkinkan untuk mengontrol cairan

yang mana merupakan hal penting dalam interaksi jaringan. Kitosan dengan derajat

deasetilasi rendah dapat menginduksi respon inflamasi akut sedangkan kitosan dengan derajat

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

deasetilasi tinggi mampu meminimalisir respon inflamasi karena laju degradasinya lebih

rendah.(Aranaz et al., 2009)

Kemampuan material untuk menyokong perlekatan sel bukan hanya penting untuk

menstimulasi perkembangan jaringan saja, namun juga penting untuk pengiriman sel-sel

reparatif menuju jaringan (carrier).(Saravanan et al., 2016) Perlekatan sel dengan biomaterial

scaffold adalah tahapan awal yang sangat penting dalam rekayasa jaringan in vitro. Oleh

karena itu, dibutuhkan penambahan material lain pada scaffold membran kitosan kulit udang

untuk mendukung perlekatan antara sel dengan scaffold. RGD adalah salah satu contoh

peptida adesif yang dapat digunakan pada interaksi molekular. RGD (arginine-glycine-

aspartate) adalah dasar dari domain integrin-binding yang ada pada protein matriks

ekstraseluler. Sekuens RGD berada pada protein adhesi matriks ekstraseluler yang bermacam-

macam seperti fibrinogen, fibronektin atau osteopontin, dan vitronektin. Sekuens ini

bertanggung jawab atas interaksi protein tersebut dengan kelompok reseptor pada permukaan

sel (integrin).(Vilaca, Ferreira, & Micaelo, 2014) Sekuens RGD dapat berikatan dengan

banyak spesies integrin, sehingga RGD peptida sintetik menyediakan bermacam-macan

keuntungan untuk aplikasi biomaterial.

Berdasarkan penelitian, peptida sintetik yang mengandung sekuens asam amino RGD

mampu bertindak sebagai perantara dalam perlekatan sel. Selain itu, penggunaan RGD dapat

meningkatkan kompatibilitas dari scaffold membran kitosan kulit udang dan meningkatkan

proliferasi sel.(Ho, Wang, Hou, & Hsieh, n.d.) Penambahan RGD pada proses fabrikasi

scaffold membran kitosan kulit udang dilakukan ketika kitosan masih dalam bentuk larutan

sebelum proses pengadukan dengan homogenizer.

Sebelum scaffold membran kitosan kulit udang dapat digunakan, tahap pertama yang

perlu dilakukan untuk mengetahui biokompatibilitas suatu material adalah dengan uji in vitro.

Uji ini dapat dilakukan dengan cara kultur sel. Kultur sel adalah salah satu sarana utama yang

digunakan dalam biologi selular dan molekular karena menyediakan model sistem yang baik

untuk mempelajari aspek fisiologis dan biokimiawi dari sel, melihat efek toksisitas suatu

material atau obat terhadap sel, dan melihat pertumbuhan sel kanker atau sel abnormal.

Definisi kultur sel adalah pemindahan sel dari makhluk hidup dan menumbuhkannya di

medium buatan yang sesuai.(Invitrogen, 2010)

Salah satu sel yang sering digunakan untuk kultur di bidang kedokteran gigi adalah sel

pulpa manusia. Pulpa gigi adalah bagian tengah dari gigi yang terdiri dari jaringan lunak

hidup dan sel yang disebut odontoblas. Region tengah dari pulpa bagian koronal dan radikular

mengandung banyak saraf, pembuluh darah. Pada kondisi tertentu, sel pulpa manusia dapat

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

berdiferensiasi menjadi odontoblas, adiposit, kondrosit, dan osteoblas.(Volponi, Pang, &

Sharpe, 2010) Sel pulpa manusia juga mengandung populasi stem cell dan memiliki kualitas

meliputi diferensiasi sel yang luas dan kemampuan memperbaharui diri.(Dannan,

2009),(Huang, Gronthos, & Shi, 2009)

Pertumbuhan dan perkembangan sel meliputi tiga tahap penting, yaitu tahap proliferasi,

diferensiasi, dan maturasi. Proliferasi sel adalah salah satu proses biologis yang fundamental,

sangat terorganisir dan kompleks. Jaringan tumbuh secara primer dengan meningkatkan

jumlah sel. Proses ini akan menghasilkan dua sel yang berasal dari satu sel. Contohnya pada

proliferasi stem cell, akan terbentuk dua sel dengan salah satu selnya berupa daughter cell

dimana sel tersebut akan tetap menjadi stem cell dan sel yang kedua akan berdiferensiasi.

Dalam kondisi fisiologis yang normal, proses proliferasi sel biasanya disertai dengan

meningkatnya biogenesis ribosom.(D & H, 2003),(Cooper, 2000)

Proliferasi sel dapat diketahui dengan cara membandingkan jumlah sel sebelum

dilakukan eksperimen dan sesudah dilakukan eksperimen. Terdapat beberapa metode yang

akurat untuk menghitung jumlah sel hidup antara lain adalah dengan menghitung sel pada

mikroskop dengan hemocytometer. Penghitungan sel dengan metode ini cukup akurat karena

dapat melihat sel dengan kasat mata sehingga dapat membedakan sel yang hidup dan sel yang

sudah mati. Namun metode tersebut memerlukan ketelitian yang tinggi serta membutuhkan

waktu yang tidak cepat sehingga sensitif terhadap kematian sel jika operator belum terbiasa

menghitung sel dengana hemocytometer.39

Selain dengan metode penghitungan sel, dapat juga dilakukan uji menggunakan

bromodeoxyuridine (BrdU). BrdU adalah nukleosida sintetik yang merupakan analog dari

thymidine yang biasa digunakan untuk mendeteksi proliferasi sel. Pada sel yang akan

berproliferasi, DNA harus bereplikasi terlebih dahulu sebelum sel dapat berdivisi. BrdU

bergabung ke dalam sel dengan cara mensubstitusi thymidine yang biasa ditemukan pada saat

sel sedang melewati proses replikasi DNA. Jumlah BrdU pada DNA sel dapat dideteksi

menggunakan antibodi BrdU spesifik yang dilanjutkan dengan flow cytometry. Namun

kelemahan dari BrdU adalah kemungkinan terjadinya mutasi akibat bergabungnya BrdU

dengan DNA yang dapat bermanifestasi sebagai perubahan dalam ekspresi gen. Selain itu,

untuk melakukan uji BrdU dibutuhkan keterampilan yang tinggi serta biaya yang cukup

besar.(Webster, Williams, Recio, & Yauk, 2014)

Metode lain yang dapat digunakan adalah dengan menguji viabilitas sel. Metode ini

sering digunakan karena mudah, cepat, dan cocok untuk menghitung sel dengan jumlah yang

banyak.(D & H, 2003) Viabilitas sel didefinisikan sebagai jumlah sel yang sehat dalam

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

sebuah sampel. Viabilitas sel dapat digunakan untuk menghubungkan antara jumlah sel

dengan tingkah laku sel, dan menunjukkan aktivitas anabolik sel. Viabilitas sel juga

menunjukkan respon yang bersifat segera seperti perubahan permeabilitas membran atau

gangguan pada jalur metabolisme tertentu.(Fallis, 2013) Uji viabilitas sering digunakan untuk

menentukan apakah molekul atau material yang dipaparkan memberikan efek terhadap

proliferasi sel atau menunjukkan efek sitotoksik yang akhirnya dapat menyebabkan

kematian.(Riss et al., 2013) Viabilitas sel dapat diketahui menggunakan MTT-assay dengan

melakukan analisis optical density sehingga dapat diketahui jumlah sel yang hidup.

MTT (3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide) secara luas

digunakan untuk melakukan uji viabilitas dan proliferasi sel dalam studi biologi sel. Prinsip

dari metode MTT adalah terbentuknya larutan berwarna kekuningan yang merupakan hasil

dari reduksi aktivitas dehydrogenase pada mitokondria sel yang hidup. Succinate

dehydrogenase akan mereduksi MTT dan membentuk kristal formazan yang jumlahnya

sebanding dengan jumlah sel hidup.(Riss et al., 2013),(Stockert, Blazquez-Castro, Canete,

Horobin, & Villanueva, 2012)

Sel yang mati akan kehilangan kemampuan untuk mengubah MTT menjadi formazan,

sehingga formasi warna menjadi penanda yang berguna untuk mengetahui sel-sel hidup.

Kristal formazan bersifat impermeabel terhadap sel dan tidak larut dalam air. Oleh karena itu

kristal formazan harus dilarutkan terlebih dahulu menggunakan beberapa metode, seperti

acidified isopropanol, dimethyl sulfoxide (DMSO), dimethylformamide, sodium dodecyl

sulfate (SDS), dan kombinasi dari detergen dengan larutan organik. Konversi MTT menjadi

formazan oleh sel pada kultur bergantung pada waktu. Waktu inkubasi yang lama akan

menghasilkan akumulasi warna dan meningkatkan sensitivitas, namun waktu inkubasi juga

terbatas dikarenakan adanya sifat sitotoksis dari reagen deteksi yang memanfaatkan energi

dari sel. Waktu inkubasi yang ideal adalah 1-4 jam. Toksisitas dari MTT berhubungan

dengan konsentrasi yang ditambahkan ke sel. Konsentrasi yang optimal akan menurunkan

risiko toksisitas.(Riss et al., 2013)

Kuantitas formazan diukur dengan melihat nilai absorbansi atau optical density (OD)

dari kristal formazan yang dilarutkan pada panjang gelombang antara 500 - 600 nm

menggunakan enzyme linked immunosorbent assay reader atau ELISA reader. ELISA reader

adalah instrumen yang digunakan untuk mendeteksi benda biologis, kimia, atau fisik pada

microtiter plates. Instrumen ini mampu membaca banyak sampel dalam waktu yang singkat

(1,5 menit per 96 well). ELISA reader dapat digunakan untuk mendeteksi absorbansi. Di

dalam ELISA reader terdapat sumber cahaya yang akan menyinari sampel dengan panjang

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

gelombang spesifik dan detektor cahaya yang berada di sisi yang berseberangan sehingga

dapat diketahui jumlah cahaya yang diteruskan melewati sampel. Jumlah cahaya yang

diteruskan oleh sampel berhubungan dengan konsentrasi molekul.(Ashour, Gee, & Hammock,

1987),(Mosmann, 1983) Peningkatan atau penurunan nilai OD merepresentasikan

peningkatan atau penurunan jumlah sel yang hidup.

Metode Penelitian

Proliferasi sel pulpa manusia diteliti dengan uji viabilitas sel dengan menggunakan

MTT-assay. Penelitian ini akan dilakukan secara in vitro dan hasil MTT-assay akan dilihat

menggunakan ELISA reader dengan hasil berupa nilai optical density (OD). Scaffold kitosan

kulit udang RGD dan tanpa RGD difabrikasi oleh BATAN dengan derajat deasetilasi 95%,

berat molekul 75.000 DA dan terdapat 4mg RGD / 50ml kitosan 2%. Pada penelitian ini

digunakan scaffold kitosan kulit udang RGD dan tanpa RGD dengan konsentrasi 1mg dan

2mg. Sedangkan sel pulpa manusia didapatkan hasil primary culture berasal dari gigi manusia

yang diekstraksi untuk tujuan perawatan orthodonti dengan kondisi baik dan tanpa karies dan

telah mendapatkan surat lolos etik dari dari komisi etik penelitian FKG UI dengan No.

Protokol: 010550616.

Sterilisasi alat dan bahan

Safety cabinet dibersihkan dan disterilkan dengan alkohol 70%. Semua alat yang akan

digunakan disterilisasi terlebih dahulu menggunakan autoclave dan selanjutnya dimasukkan

ke dalam safety cabinet untuk disterilisasi dengan sinar UV selama 5-10 menit sebelum

digunakan.

Pembuatan Medium Lengkap

Untuk membuat 50ml medium lengkap dibutuhkan 500ml penicillin, streptomycin,

fungizone, serta 5ml FBS yang ditambahkan ke 44,5ml medium α-MEM dan kemudian

disaring dengan sterile syringe filter. Jika tidak langsung digunakan, medium lengkap

disimpan di dalam lemari pendingin (4°C). Medium dihangatkan dalam waterbath 37°C

terlebih dahulu sebelum digunakan.

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

Subkultur Sel Pulpa Manusia

Sel pulpa manusia (3x106) dikultur pada flask dalam medium lengkap. Sel disimpan di

inkubator pada suhu 37°C dibawah 5% CO2 dan medium diganti setiap dua hari sekali.

Selanjutnya sel dilakukan subkultur ketika konfluensi mencapai 80%. Tripsin EDTA

sebanyak 2ml ditambahkan kepada sel untuk melepaskan sel dari dasar flask dan dilakukan

inkubasi selama 5-7 menit. Kemudian, perlekatan sel pada flask di dilihat menggunakan

mikroskop inverted. Jika sel sudah terlepas dari dasar flask, medium lengkap ditambahkan ke

dalam flask dengan perbandingan tiga kali lipat jumlah tripsin EDTA yang dimasukkan.

Kemudian campuran sel, tripsin EDTA, dan medium komplit pada flask dipindahkan ke

dalam tube 15ml dan dilakukan sentrifugasi untuk memisahkan cairan supernatant dan pellet.

Cairan supernatant dibuang hingga hanya tersisa pellet pada tube. Medium lengkap

ditambahkan ke dalam tube berisi pellet dan dilakukan resuspensi dengan cara repipeting.

Selanjutnya, sel dan medium pada tube dipindahkan ke flask lain dan diinkubasi pada

temperature 37°C dalam 5% CO2.

Uji Proliferasi Sel dengan MTT-assay

Tingkat proliferasi sel dianalisis menggunakan bubuk 3-(4,5-dimethylthiazole-2-yl)-

2,5-diphenyltetrazolium Bromide (MTT) biomatik dan dinyatakan dalam viabilitas sel.

Pertama, sel sebanyak 2x104 ditambahkan pada masing-masing well (96 wellplate) dengan

medium lengkap sebanyak 100µL. Kemudian, scaffold membran kitosan kulit udang dengan

dan tanpa penambahan RGD ditambahkan ke dalam well yang telah berisi sel dengan

konsentrasi 1mg dan 2mg sebagai kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol, scaffold

membran kitosan kulit udang tidak ditambahkan pada well yang telah berisi medium dan sel.

Selanjutnya sel diinkubasi selama 5 hari dan dilakukan uji MTT pada hari ke lima. Pada tahap

uji MTT, 15µL larutan MTT (5mg/ml; dicampur dengan NaCl 0.9% lalu di vortex)

ditambahkan ke dalam masing-masing well. Setelah itu, inkubasi selama 3 jam pada

temperatur 37°C dalam 5% CO2 agar MTT dapat bekerja. Pada prinsipnya, MTT akan

direduksi oleh succinate dehydrogenase sehingga terbentuk endapan kristal formazan yang

sifatnya tidak larut dalam air. Agar hasil uji MTT dapat dibaca menggunakan ELISA reader,

MTT perlu dilarutkan terlebih dahulu dengan cara menambahkan acidified isopropanol

sebanyak 150µL pada masing-masing well dan dilakukan pencampuran menggunakan shaker

selama 15 menit. Hasil uji MTT dinyatakan dalam optical density (OD) yang didapatkan dari

hasil pembacaan menggunakan mesin ELISA reader pada panjang gelombang 490nm.

Sampel diteliti quadruplicate dan eksperimen diulang sebanyak dua kali.

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

Analisis Statistik

Data penelitian dikalkulasikan menggunakan SPSS statistic dan data dipresentasikan

sebagai nilai rata-rata OD dan standar deviasi. Nilai rata-rata telah melewati uji normalitas

Shapiro-Wilk dan kemudian untuk menguji hipotesis digunakkan uji one-way ANOVA.

Analisis data dilakukan menggunakan Post-hoc Games Howell untuk mengetahui variabel

mana yang memiliki perbedaan signifikan.

Hasil Penelitian

Hasil uji one-way ANOVA menyatakan adanya perbedaan bermakna antara kelompok

kontrol dan kelompok perlakuan dengan nilai p≤0.05. Perbedaan antar masing-masing

kelompok perlakuan dengan kelompok control diketahui melalui uji post hoc games howell

dengan hasil berupa adanya perbedaan bermakna dengan nilai p  ≤0.05. Tingkat proliferasi

tertinggi ditemukan pada kelompok scaffold membran kitosan kulit udang tanpa RGD 2mg.

(Gambar 2).

Gambar 2. Perbandingan Tingkat Proliferasi Sel Pulpa Manusia Kelompok Kontrol dengan Kelompok Perlakuan

Scaffold Membran Kitosan Kulit Udang RGD dan tanpa RGD. ****p≤0.0001

 

Selanjutnya peneliti melakukan perbandingan tingkat proliferasi sel pulpa manusia pada

kelompok perlakuan scaffold membran kitosan kulit udang RGD dan tanpa RGD (gambar 3).

Terlihat pada perbandingan tingkat proliferasi sel pulpa manusia pada kelompok perlakuan

scaffold membran kitosan kulit udang RGD dan tanpa RGD 1mg bahwa tingkat proliferasi

yang lebih tinggi ada pada kelompok scaffold membran kitosan kulit udang RGD. Berbeda

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

dengan perbandingan tingkat proliferasi sel pulpa manusia pada kelompok perlakuan scaffold

membran kitosan kulit udang RGD dan tanpa RGD 2mg, tingkat proliferasi yang lebih tinggi

ditemukan pada kelompok perlakuan scaffold membran kitosan kulit udang tanpa RGD 2mg.

Kemudian peneliti juga membandingkan tingkat proliferasi sel pulpa manusia scaffold

membran kitosan kulit udang RGD dan tanpa RGD 1mg dan 2mg. Pada kelompok scaffold

membran kitosan kulit udang RGD didapatkan tingkat proliferasi yang lebih tinggi pada

konsentrasi 1mg (Gambar 3). Sedangkan pada kelompok scaffold membran kitosan kulit

udang tanpa RGD, tingkat proliferasi yang lebih tinggi terdapat pada konsentrasi 2mg

(Gambar 3). Namun menurut uji statistik perbedaan tingkat proliferasi tersebut tidak

menunjukkan perbedaan yang bermakna (p > 0.05).

Gambar 3. Perbandingan Tingkat Proliferasi Sel Pulpa Manusia antar Kelompok Perlakuan Scaffold

Membran Kitosan Kulit Udang RGD dan Tanpa RGD. NS = Not Significant (p > 0.05)

Pembahasan

Pada kasus defek tulang yang besar khususnya one wall defect, dibutuhkan bentuk

scaffold yang tepat agar scaffold dapat beradaptasi dengan baik. Selain itu, karena perbaikan

jaringan untuk defek tulang bersifat terlokalisir, maka scaffold harus terimmobilisasi dengan

baik agar perbaikan jaringan dapat terfokus pada daerah jaringan yang rusak. Maka,

dibutuhkan scaffold yang difabrikasikan dalam bentuk membran agar dapat melapisi

kerusakan tulang tanpa terjadinya perpindahan dan pergerakan scaffold yang tidak diinginkan.

Meskipun kitosan telah banyak diteliti sebagai material scaffold, kitosan juga masih memiliki

beberapa kekurangan. Kitosan tidak memiliki sinyal bioaktif pada matriks ekstraselulernya

yang berperan dalam perlekatan sel serta kemampuan mekanik yang kurang mencukupi dalam

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

aplikasi rekayasa jaringan tertentu. Oleh karena itu kekurangan kitosan dapat diatasi dengan

fabrikasi scaffold dalam bentuk membran dengan penambahan peptida RGD.(Tsai, Chen, Liu,

& Lai, 2011)

Penambahan RGD pada scaffold membran kitosan kulit udang ditujukan untuk

meningkatkan perlekatan scaffold dengan jaringan melalui adhesi sel dimana RGD berperan

sebagai perekat antara scaffold dengan jaringan yang terkena defek. Hal ini didukung oleh

penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa sel osteoblas yang dipaparkan scaffold

kitosan RGD menunjukkan perlekatan sel yang lebih baik dibandingkan scaffold kitosan

tanpa RGD dan efek penambahan RGD terhadap proliferasi sel sudah dapat terlihat sejak hari

pertama kultur.(Tsai et al., 2011) Dengan ditambahkannya RGD, proliferasi sel pada hari

pertama meningkat hingga dua kali lipat dibandingkan dengan kitosan yang tidak

ditambahkan RGD.

Melalui penelitian ini didapatkan peningkatan nilai proliferasi sel pulpa manusia pada

semua scaffold membran kitosan kulit udang baik dengan penambahan RGD maupun tanpa

RGD dibandingkan dengan kelompok kontrol (Gambar 2). Sehingga dapat disimpulkan

bahwa fabrikasi scaffold kitosan kulit udang dalam bentuk membran tidak menurunkan

proliferasi sel pulpa manusia dan mampu meningkatkan proliferasi sel pulpa manusia. Seperti

yang telah diteliti sebelumnya kitosan telah terbukti mampu meningkatkan proliferasi sel

meskipun digunakan dalam bentuk yang berbeda-beda. Hasil ini juga diperkuat oleh

penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa kitosan sebagai scaffold mampu

meningkatkan proliferasi DPSC makaka serta menginduksi diferensiasi osteogenik

awal.(Amir et al., 2014) Dalam penelitian tersebut digunakan scaffold kitosan dalam bentuk

bubuk yang di larutkan dengan asam asetat 1% dan diuji menggunakan uji yang sama dengan

penelitian ini yaitu MTT-assay.

Perlakuan scaffold membran kitosan kulit udang RGD 1mg menunjukkan tingkat

proliferasi yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan scaffold membran kitosan kulit udang

tanpa RGD 1mg (Gambar 3). Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan

bahwa RGD tidak hanya dapat mendukung perlekatan antar sel namun juga mampu

meningkatkan fungsi sel lainnya seperti proliferasi.(Schaffner & Dard, 2003),(Ho et al., n.d.)

Tingkat proliferasi yang lebih tinggi dapat terjadi karena sel dapat melekat pada scaffold lebih

baik setelah ditambahkan RGD sehingga sel pada scaffold dapat berproliferasi lebih baik.

Pada perbandingan yang sama menggunakan konsentrasi yang berbeda yaitu 2mg (Gambar 3)

terlihat proliferasi sel yang lebih tinggi pada kelompok scaffold membran kitosan tanpa RGD

2mg. Secara statistik, perbedaan proliferasi sel pulpa manusia pada perbandingan scaffold

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

membran kitosan kulit udang pada kedua konsentrasi tidak menunjukkan perbedaan yang

bermakna. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan RGD pada scaffold membran

kitosan kulit udang tidak mengganggu kemampuan scaffold kitosan membran dalam

meningkatkan proliferasi sel pulpa manusia.

Pada penelitian ini konsentrasi yang digunakan adalah 1mg dan 2mg. Pada saat

melakukan eksperimen, penimbangan scaffold membran kitosan kulit udang RGD dan tanpa

RGD untuk ukuran 0,5mg sangat sulit dilakukan karena bentuk potongannya terlalu kecil dan

tipis. Oleh karena itu digunakan konsentrasi 1mg dan 2mg. Secara statistika, tidak ditemukan

perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan scaffold membran kitosan kulit udang RGD

1mg dan 2mg (Gambar 3). Begitu pula pada kelompok perlakuan scaffold membran kitosan

kulit udang 1mg dan 2mg (Gambar 3) juga tidak ditemukan perbedaan yang bermakna. Hal

ini menunjukkan bahwa konsentrasi 1mg dan 2mg belum dapat menyatakan adanya dose

effect relationship antara tingkat proliferasi sel pulpa manusia dengan konsentrasi scaffold

membran kitosan kulit udang RGD dan tanpa RGD. Meskipun begitu, dapat disimpulkan

bahwa konsentrasi 1mg saja sudah dapat menimbulkan efek peningkatan proliferasi sel pulpa

manusia. Penelitian ini dilakukan pada 96 wellplate dimana setiap 1 well memiliki jumlah sel

maksimal adalah 105. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan dapat diketahui bahwa

konsentrasi terbaik untuk jumlah sel 105 adalah 1mg pada scaffold membran kitosan kulit

udang RGD dan 2mg pada scaffold membran kitosan kulit udang tanpa RGD. Meskipun

begitu dalam aplikasi secara klinis, scaffold membran kitosan kulit udang RGD lebih baik

dibandingkan dengan yang tidak ditambahkan RGD oleh karena keunggulannya dalam hal

perlekatan scaffold terhadap jaringan.

Pada aplikasi klinis, banyaknya scaffold membran yang akan digunakan untuk

perbaikan jaringan tulang bukan ditentukan berdasarkan konsentrasi dalam milligram

melainkan menyesuaikan dengan luasnya permukaan kerusakan tulang. Scaffold membran

harus melapisi seluruh permukaan tulang yang mengalami kerusakan agar sel-sel dan nutrisi

yang dibutuhkan untuk perbaikan dapat terfokus pada jaringan tersebut. Dengan

ditambahkannya RGD pada scaffold membran maka perlekatan scaffold dengan jaringan

tulang yang mengalami juga menjadi lebih baik dan berpengaruh terhadap peningkatan

proliferasi sel. Semakin baik perlekatan scaffold dengan jaringan maka akan semakin tinggi

pula tingkat proliferasi sel.

Selain MTT-assay, untuk melakukan uji proliferasi dapat digunakan metode

menghitung sel dengan hemocytometer dan BrdU. Kelemahan uji proliferasi menggunakan

metode hemocytometer adalah karena sifatnya yang sensitif terhadap kematian sel dan

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

kesulitan dalam membedakan antara sel yang mati dengan sel yang hidup.(D & H, 2003) Pada

uji proliferasi menggunakan BrdU, dapat diketahui secara spesifik sel-sel yang sedang

berproliferasi karena BrdU menggantikan posisi thymidine pada saat proses replikasi DNA

oleh sel. Selanjutnya jumlah sel yang mengandung BrdU dapat diketahui menggunakan

antibodi dan hanya sel yang mengalami proliferasi sajalah yang memiliki kandungan

BrdU.(Webster et al., 2014) Namun, keterbatasan pada metode ini adalah dibutuhkannya alat

dan bahan yang mahal serta keterampilan yang tinggi. Oleh karena itu, pada penelitian ini

digunakan uji MTT-assay untuk mengetahui tingkat proliferasi sel yang dinyatakan dengan

viabilitas sel karena lebih ekonomis, mudah, dan efisien terhadap waktu.

Berdasarkan hasil penjabaran diatas secara umum sudah dapat disimpulkan bahwa

aplikasi kitosan kulit udang dalam bentuk scaffold membran tidak menurunkan proliferasi sel

pulpa manusia dan memenuhi syarat sebagai material scaffold. Selain itu, penambahan RGD

pada scaffold membran kitosan kulit udang juga terbukti dapat meningkatkan proliferasi sel

pulpa manusia sehingga hipotesis penelitian diterima.

Kesimpulan

Penambahan RGD kepada scaffold membran kitosan kulit udang mampu meningkatkan

proliferasi sel pulpa manusia.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan konsentrasi yang lebih

beragam untuk menemukan konsentrasi scaffold kitosan kulit udang RGD yang optimal.

2. Dapat dilakukan penelitian sejenis menggunakan metode pengujian proliferasi sel yang

berbeda untuk membandingkan hasil penelitian.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai penelitian sejenis secara in vivo.

4. Hasil penelitian ini perlu disebarluaskan agar dapat digunakan sebagai sumber

informasi bagi peneliti lain agar penelitian mengenai penambahan RGD pada scaffold

membran kitosan kulit udang dapat dikembangkan.

Daftar Referensi

Ali, A. (2016). Bio-scaffolds produced from irradiated squid pen and crab chitosan with

hydroxyapatite/β-tricalcium phosphate for bone-tissue engineering. International

Journal of Biological Macromolecules. http://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2016.04.046

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

Amir, L. R., Suniarti, D. F., Utami, S., & Abbas, B. (2014). Chitosan as a potential osteogenic

factor compared with dexamethasone in cultured macaque dental pulp stromal cells. Cell

and Tissue Research, 358(2), 407–415. http://doi.org/10.1007/s00441-014-1938-1

Aranaz, I., Mengíbar, M., Harris, R., Paños, I., Miralles, B., Acosta, N., … Heras, A. (2009).

Functional characterization of chitin and chitosan. Current Chemical Biology, 3, 203–

230. http://doi.org/10.2174/187231309788166415

Ashour, M.-B. A., Gee, S. J., & Hammock, B. D. (1987). Use of a 96-well microplate reader

for measuring routine enzyme activities. Analytical Biochemistry, 166(2), 353–360.

http://doi.org/10.1016/0003-2697(87)90585-9

Bauer, T. W., & Muschler, G. F. (2000). Bone graft materials. An overview of the basic

science. Clinical Orthopaedics and Related Research, (371), 10–27.

Chan, B. P., & Leong, K. W. (2008). Scaffolding in tissue engineering: General approaches

and tissue-specific considerations. European Spine Journal, 17(SUPPL. 4).

http://doi.org/10.1007/s00586-008-0745-3

Chen, W., Zhou, H., Weir, M. D., Tang, M., Bao, C., & Xu, H. H. K. (2013). Human

embryonic stem cell-derived mesenchymal stem cell seeding on calcium phosphate

cement-chitosan-RGD scaffold for bone repair. Tissue Engineering. Part A, 19(7-8),

915–27. http://doi.org/10.1089/ten.TEA.2012.0172

Cooper, G. M. (2000). Cell Proliferation in Development and Differentiation.

D, H., & H, M. (2003). Cell Proliferation & Apoptosis. Oxford: BIOS Scientific Publishers

Ltd.

Dannan, A. (2009). Dental-derived Stem Cells and whole Tooth Regeneration: an Overview.

Journal of Clinical Medicine Research, 1(2), 63–71.

http://doi.org/10.4021/jocmr2009.03.1230

Dash, M., Chiellini, F., Ottenbrite, R. M., & Chiellini, E. (2011). Chitosan - A versatile semi-

synthetic polymer in biomedical applications. Progress in Polymer Science (Oxford),

36(8), 981–1014. http://doi.org/10.1016/j.progpolymsci.2011.02.001

Dragica Smrke, Primož Rožman, M. V. and B. G. (2013). Regenerative Medicine and Tissue

Engineering. (J. A. Andrades, Ed.). InTech. http://doi.org/10.5772/46192

Fallis, A. . (2013). Mammalian Cell Viability - Methods and Protocols. (M. J. Stoddart, Ed.),

Journal of Chemical Information and Modeling (Vol. 53). Switzerland: AO Research

Insitute Davos. http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Ho, M., Wang, D., Hou, L., & Hsieh, H. (n.d.). Immobilization of RGD to promote the

biocompatibility of porous chitosan membranes. Culture, 3–8.

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

Huang, G. T.-J., Gronthos, S., & Shi, S. (2009). Mesenchymal stem cells derived from dental

tissues vs. those from other sources: their biology and role in regenerative medicine.

Journal of Dental Research, 88(9), 792–806. http://doi.org/10.1177/0022034509340867

Ikeda, T., Ikeda, K., Yamamoto, K., Ishizaki, H., Yoshizawa, Y., Yanagiguchi, K., …

Hayashi, Y. (2014). Fabrication and characteristics of chitosan sponge as a tissue

engineering scaffold. BioMed Research International, 2014(Dd).

http://doi.org/10.1155/2014/786892

Invitrogen. (2010). Cell Culture Basics Handbook. ThermoFisher Scientific Inc., 1–61.

Irawan, B. (2005). Chitosan dan Aplikasi Klinisnya Sebagai Biomaterial, 12(3), 6.

Mosmann, T. (1983). Rapid colorimetric assay for cellular growth and survival: Application

to proliferation and cytotoxicity assays. Journal of Immunological Methods, 65(1-2), 55–

63. http://doi.org/10.1016/0022-1759(83)90303-4

Riss, T. L., Moravec, R. A., Niles, A. L., Benink, H. A., Worzella, T. J., & Minor, L. (2013).

Cell viability assays. Assay Guidance Manual.

Rodríguez-vázquez, M., Vega-ruiz, B., Ramos-zúñiga, R., Saldaña-koppel, D. A., &

Quiñones-olvera, L. F. (2015). Chitosan and Its Potential Use as a Scaffold for Tissue

Engineering in Regenerative Medicine, 2015.

Ruoslahti, E. (1996). RGD and other recognition sequences for integrins. Annual Review of

Cell and Developmental Biology, 12, 697–715.

http://doi.org/10.1146/annurev.cellbio.12.1.697

Saravanan, S., Leena, R. S., & Selvamurugan, N. (2016). Chitosan based biocomposite

scaffolds for bone tissue engineering. International Journal of Biological

Macromolecules, 1–12. http://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2016.01.112

Schaffner, P., & Dard, M. M. (2003). Structure and function of RGD peptides involved in

bone biology. Cellular and Molecular Life Sciences, 60(1), 119–132.

http://doi.org/10.1007/s000180300008

Stockert, J. C., Blazquez-Castro, A., Canete, M., Horobin, R. W., & Villanueva, A. (2012).

MTT assay for cell viability: Intracellular localization of the formazan product is in lipid

droplets. Acta Histochemica, 114(8), 785–796.

http://doi.org/10.1016/j.acthis.2012.01.006

Tsai, W. B., Chen, Y. R., Liu, H. L., & Lai, J. Y. (2011). Fabrication of UV-crosslinked

chitosan scaffolds with conjugation of RGD peptides for bone tissue engineering.

Carbohydrate Polymers, 85(1), 129–137. http://doi.org/10.1016/j.carbpol.2011.02.003

Vilaca, H., Ferreira, P. M. T., & Micaelo, N. M. (2014). New cyclic RGD peptides: Synthesis,

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016

characterization, and theoretical activity towards αvβ3 integrin. Tetrahedron, 70(35),

5420–5427. http://doi.org/10.1016/j.tet.2014.06.121

Volponi, A. A., Pang, Y., & Sharpe, P. T. (2010). Stem cell-based biological tooth repair and

regeneration. Trends in Cell Biology, 20(12), 715–722.

http://doi.org/10.1016/j.tcb.2010.09.012

Webster, A. F., Williams, A., Recio, L., & Yauk, C. L. (2014). Bromodeoxyuridine (BrdU)

treatment to measure hepatocellular proliferation does not mask furan-induced gene

expression changes in mouse liver. Toxicology, 323, 26–31.

http://doi.org/10.1016/j.tox.2014.06.002

Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016