PENGARUH DUKUNGAN MAKNA BELAJAR DARI DOSEN,...
Transcript of PENGARUH DUKUNGAN MAKNA BELAJAR DARI DOSEN,...
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH DUKUNGAN MAKNA BELAJAR DARI DOSEN,
MOTIVASI INTRINSIK, SELF-EFFICACY, DAN
PANDANGAN OTORITAS SUMBER INFORMASI
TERHADAP KETERLIBATAN BELAJAR MAHASISWA
UNIVERSITAS INDONESIA
THE CONTRIBUTION OF LECTURER’S MEANING SUPPORT IN LEARNING, INTRINSIC MOTIVATION, SELF-EFFICACY, AND
STUDENT’S PERCEIVED EPISTEMIC AUTHORITY, ON LEARNING ENGAGEMENT OF UNIVERSITAS INDONESIA’S STUDENTS
DISERTASI
LINDA PRIMANA 0906599331
FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA DEPOK
MARET 2015
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
i
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH DUKUNGAN MAKNA BELAJAR DARI DOSEN,
MOTIVASI INTRINSIK, SELF-EFFICACY, DAN
PANDANGAN OTORITAS SUMBER INFORMASI
TERHADAP KETERLIBATAN BELAJAR MAHASISWA
UNIVERSITAS INDONESIA
DISERTASI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Doktor di bidang Psikologi yang dipertahankan dalam Sidang Terbuka Senat Akademik
Universitas Indonesia di bawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. Ir.Muhammad Anis, M.Met.
Pada hari Kamis, 5 Maret 2015 pukul 13.00 WIB.
LINDA PRIMANA 0906599331
FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA DEPOK
MARET 2015
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena
hanya dengan perkenan-Nya penulis dapat menyelesaikan studi pada Program
Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Proses penulisan disertasi
ini tidak lepas dari perhatian, dukungan, dan keterlibatan dari berbagai pihak yang
telah mempermudah dan melancarkan penuntasan disertasi ini.
Pertama-tama penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada promotor penulis, Prof. Dr. Frieda Maryam Mangunsong
Siahaan, M.SpEd., Psi. Beliau selalu terbuka dan menyediakan waktu kapan pun
penulis butuhkan untuk berdiskusi. Penulis sangat beruntung memperoleh
kesempatan dibimbing oleh beliau.
Kepada Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, M.A., sebagai ko-promotor,
penulis haturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas dorongan, semangat
dan optimisme dalam membimbing penulis. Di sela-sela kesibukannya yang luar
biasa sebagai Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, tetap memberikan
komitmennya terhadap perkembangan penulisan disertasi penulis.
Kepada Tim Penguji: Prof. Hera Lestari Mikarsa, PhD, Prof. Sri Hartati R.
Suradijono, MA, Ph.D, Prof. Dr. Ali Nina Liche Seniati, M.Si., Dr. Lucia R.M.
Royanto, M.Si., M.SpEd., Dra. Clara R.P. Ajisuksmo, M.A.,Ph.D. (Unika
Atmajaya), dan Dr. Indun Lestari Setyono, M.Psi. (Universitas Padjadjaran),
penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih atas koreksi, masukan, serta
kritik yang konstruktif terhadap hasil penelitian ini.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Prof. Dr. Hamdi Muluk,
M.Si selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Psikologi UI periode 2009-
2014, yang telah memperluas wawasan penulis dengan kiriman buku-bukunya dan
jurnal-jurnalnya. Penulis juga berterima kasih kepada Prof. Dr. Guritnaningsih,
M.Si, selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Psikologi UI saat ini yang
telah memberikan dukungannya sampai terselenggaranya sidang terbuka ini.
Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada dra. Amarina
Ashar Ariyanto, M.Psi., Ph.D., sebagai pembimbing akademik dan para penguji
Ujian Proposal Penelitian, Prof. Dr. Hamdi Muluk, Prof. Dr. Frieda Maryam
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
v
Mangunsong Siahaan,M.Ed, Dr. Tjut Rifameutia, M.A., M.Ed., Dr. Lucia R.M.
Royanto, M.Si., M.SpEd, Psi., Dr. Bagus Takwin, Dra. Ike Anggraika, M.Si, dan
Prof. Dr. Bernadette N. Setiadi, Ph.D. (Unika Atmajaya), yang telah memberi
masukan yang sangat berarti dalam menentukan arah dan fokus penelitian.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Kementerian Pendidikan Tinggi
yang telah memberikan penulis bea siswa studi S3 dan kesempatan menjalani
sandwichlike programme selama tiga bulan di University of Queensland (UQ),
Brisbane, Australia. Secara khusus penulis menghaturkan terima kasih kepada
Prof. Peter Newcomb, Ph.D., selaku koordinator mahasiswa program doktor
psikologi di UQ, dan sangat berterima kasih kepada Stephanie Tobin, Ph.D., salah
satu peneliti dan pengajar psikologi sosial UQ, yang darinya penulis memperoleh
pencerahan mengenai ide topik penelitian penulis.
Penulis sangat menghargai dan berterima kasih kepada Drs. Gagan
Hartana, M.Psi.T., Pratiwi Widyasari, M.Psi, atas ketulusan hati turut serta
menyumbangkan tenaga dan pikiran dalam berdiskusi mengenai alat ukur,
merevisi dan membuat format alat ukur penelitian.
Kepada Dra. Miranda Diponegoro Zarfiel, M.Psi, selaku Direktur PMU
dan Wuri Prasetyowati, M.Psi., sebagai staf PMU, penulis menghaturkan terima
kasih yang tak terhingga atas kemudahan pemberian ijin penelitian untuk
pengambilan data di seluruh fakultas yang ada di UI. Begitu pula dengan para
koordinator dan pengajar P2KPT yang telah sangat membantu kelancaran
pengambilan data penelitian. Data-data penelitian ini tidak mungkin terkumpul
dan dapat diolah tanpa adanya kesediaan dari para mahasiswa baru fakultas
psikologi UI angkatan 2012 dan mahasiswa baru UI angkatan 2013 untuk
berpartisipasi dalam penelitian. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang
tak terhingga. Kepada Aisya Salsabila, S.Psi, penulis sampaikan terima kasih atas
keiklasannya dalam mengkoordinasi tim pengambilan data dengan rapi dan
lancar. Penulis juga berterima kasih kepada Fatmawati I. Purnamasari, S.Psi yang
telah membantu melakukan analisis kualitatif terhadap data wawancara kelompok
terfokus dan sangat berterima kasih kepada Shahnaz Safitri, S.Psi., serta Mia
Marissa, M.Si., yang telah banyak membantu dan mendampingi penulis di akhir
penyelesaian disertasi ini.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
vi
Penulis sangat berterima kasih kepada Drs. Umar Ruswandi, MSi yang
telah banyak membantu penulis dalam mengolah data dan selalu menyediakan
waktu membantu penulis untuk memahami LISREL. Kepada Drs. Gugah Bawono,
M.Si., yang selalu siap membantu bila terjadi masalah pada komputer penulis,
terima kasih atas perhatian dan kesigapannya dalam mengulurkan tangan untuk
membantu. Ucapan terima kasih dari hati yang paling dalam penulis sampaikan
kepada Prof. Dr. Guritnaningsih, M.Si., Dr. Rita Markus, dan Dr. Dewi Maulina,
M.Psi., karena pada waktu yang tepat dan sangat dibutuhkan oleh penulis telah
membantu penulis dalam memperjelas laporan hasil penelitian.
Kepada rekan-rekan penulis di bidang studi Psikologi Pendidikan UI, Prof.
Dr. Soetarlinah Soekadji, Dra. Evita E. Singgih, M.Psi., Dra. Miranda D. Zarfiel,
M.Psi., Prof. Dr. Lidya Freyani Akbar-Hawadi, M.Psi., Dra. Diennaryati
Tjokrosuprihatono, M.Psi., Dr. Rose Mini A.Prianto, M.Psi., Wuri Prasetyowati,
M.Psi., Stephanie Y., M.Psi., Airin Y.S., M.Psi., Patricia Adam, M.Psi., terima
kasih penulis haturkan atas perhatian, persahabatan, dorongan semangat, dan
segala kemudahan yang telah diberikan kepada penulis. Kepada Dr. Lucia R.M.
Royanto, M.Si., M.SpEd dan Dra. Farida Kurniawati, MSpEd., PhD, penulis
menghaturkan terima kasih atas perhatian, diskusi-diskusi yang mencerahkan dan
kesediaannya menjadi reviewer alat ukur yang penulis gunakan dalam penelitian
ini. Secara khusus penulis sampaikan ungkapan terima kasih dari lubuk hati yang
paling dalam kepada teman-teman yang juga sedang menyelesaikan studi
doktoralnya yaitu Dra. Puji Lestari, M.Psi., Dra. Wahyu Indianti, M.Si.yang juga
akan segera menjalani promosi doktornya, dan Dra. Eva S. Barlianto, M.Psi. yang
selalu memberi semangat dan dukungan di saat-saat yang dirasakan sulit bagi
penulis. Begitu pula penulis sampaikan terima kasih atas keikhlasan dan kesediaan
Ibu Helmi, Bapak Sarija, Mbak Nur, dan Mbak Yanti dalam membantu aktivitas
saya sehari-hari di bidang studi psikologi pendidikan.
Kepada teman-teman seangkatan saya, sungguh tidak akan terlupakan
masa-masa kebersamaan kita dalam susah dan senang. Semoga tetap sehat,
semangat, dan lancar penulisan disertasinya. Aamiin. Terima kasih banyak saya
sampaikan kepada pendamping saya pada saat promosi, yaitu dra. Wahyu Indianti,
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
vii
M.Si., Psi. dan Fivi Nurwianti, M.Si., Psi. yang telah menyediakan waktu khusus
sebagai paranim pada acara promosi saya.
Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ibu Iravati M. Sudiarso
selaku Direktur Utama Sekolah Musik Yayasan Pendidikan Musik dan Ibu Aisha
A. Pletscher selaku Direktur Bidang Akademik yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis sebagai salah seorang pengajar musik dan pemangku
kepentingan di SMYPM untuk berkonsentrasi menyelesaikan studi ini.
Penulis sangat bersyukur terlahir dari orang tua, Alm. Bapak Goesnar
Djalil dan Almh. Ibu Mutiarsih, karena berkat doa dan ketauladanan beliau
semasa hidupnya, penulis sampai pada keadaan seperti sekarang ini. Begitu pula
dukungan, pengertian dan doa dari keluarga besar penulis dan saudara-saudara
kandung penulis serta keluarga besar Soebekti Hardjodiwiryo, keluarga suami
tercinta, membuat penulis terus semangat menjalani studi S3 ini.
Penulis tidak akan pernah melupakan peran dan pengorbanan suami
penulis, Caesar Chaerul Rasyad, selama keseluruhan proses studi ini, dari awal
hingga penulis berhasil menyuguhkan hasil karya penelitian ini. Penulis bangga
dan bersyukur telah dipertemukan dengannya sebagai pasangan hidupnya. Untuk
putra dan putri penulis, Cecil Ananda Kalbuadi, Celine Ayunda Meirani, dan
Ceryl Adinda Primadara, perhatian, pengertian, dorongan, dukungan, kecerian dan
doa ananda bertiga menguatkan ibu untuk terus maju menuntaskan studi ini.
Ungkapan rasa terima kasih rasanya tidak cukup untuk mewakili segala
kebersamaan hidup yang sangat bermakna dalam keluarga.
Kepada semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, penulis sampaikan terima kasih. Kiranya Tuhan Yang
Maha Kuasa membalas semua kebaikan dengan yang lebih baik. Terima kasih
Yaa Rabb.
Depok, 5 Maret 2015
Linda Primana
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
ix Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Linda Primana Program Studi : Psikologi Judul : Pengaruh Dukungan Makna Belajar dari Dosen, Motivasi
Intrinsik, Self-efficacy, dan Pandangan Otoritas Sumber Informasi terhadap Keterlibatan Belajar Mahasiswa Universitas Indonesia Penelitian ini dilakukan terhadap mahasiswa baru Universitas Indonesia angkatan 2013 berjumlah 726 dan bertujuan untuk menjawab pertanyaan peneliti mengenai “Apakah dukungan makna belajar dari dosen, motivasi intrinsik, self-efficacy, dan pandangan mahasiswa terhadap dosen sebagai otoritas sumber informasi berpengaruh terhadap keterlibatan belajar mahasiswa dalam perkuliahan?”. Untuk meneliti dan mendapatkan pemahaman yang menyeluruh mengenai faktor-faktor yang memengaruhi keterlibatan belajar mahasiswa dalam aktivitas perkuliahannya, peneliti menggunakan sudut pandang antropologi untuk menjelaskan dinamika yang terjadi dalam diri mahasiswa dan sudut pandang epistemologi untuk menjelaskan proses pembentukan pengetahuan dalam belajar. Berdasarkan analisis literatur Perspektif Self Determination Theory dan Epistemological Beliefs Theory peneliti membangun Model Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar. Hipotesis penelitian ini adalah “Model persamaan struktural keterlibatan belajar sesuai dengan data penelitian”. Variabel-variabel penelitian dalam model persamaan struktural keterlibatan belajar yang diteliti dalam penelitian ini adalah dukungan makna belajar dari dosen, motivasi intrinsik, self-efficacy, pandangan otoritas sumber informasi, dan keterlibatan belajar. Pengujian hipotesis dilakukan dalam dua tahap penelitian. Pada tahap penelitian pendahuluan dilakukan penelusuran prioritas kebutuhan dasar psikologik dan pada penelitian utama dilakukan pengujian model persamaan struktural keterlibatan belajar. Hasil utama penelitian mengungkap bahwa dukungan makna belajar dari dosen dan pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai otoritas sumber informasi secara signifikan memengaruhi keterlibatan belajar melalui self-efficacy dan motivasi intrinsik. Artinya, dukungan makna belajar dari dosen dan pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai otoritas sumber informasi dapat meningkatkan kualitas keterlibatan belajar mahasiswa dalam perkuliahan. Peneliti memaparkan keterbatasan, implikasi dan saran penelitian sehubungan dengan hasil penelitian. Kata kunci: Keterlibatan belajar, self determination theory, kebutuhan dasar
psikologik, dukungan makna belajar, motivasi intrinsik, self-effcacy, pandangan otoritas sumber informasi/epistemic authority
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
x Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Linda Primana Study Program : Psychology Title : The Contribution of Lecturer’s Meaning Support in Learning,
Intrinsic Motivation, Self-efficacy, and Student’s Perceived Epistemic Authority, on Learning Engagement of Universitas Indonesia’s Students
The study is focused on University of Indonesia Freshman of 2013 to answer the research question “How students perceive this lectures and student’s engagement in class”. To get a complete understanding of the factors that influence students’ engagement, anthropological and epistemological views are used. Based on Self Determination Theory and Epistemological Beliefs Theory this study constructs a Structural Model of Student Engagement and suggests the hypothesis that “Student engagement structural model fits with the data”. Variables in this study are lecturer’s support in making learning meaningful, intrinsic motivation, self-efficacy, students’ perceived epistemic authority, and student engagement. The hypothesis is tested in 2 stages. In the first stage, a mixed methods study is used to discover priority of students’ basic psychological needs. In the second stage of the study, The Structural Equation Model is used to test the student engagement theoretical model. Overall, results of statistical testing accepted the hypothesized structural model, fitting with the observed data. The researcher also discusses the limitation of the study. Key words: Student engagement, self determination theory, basic psychological
needs, meaning support in learning, intrinsic motivation, self-efficacy, epistemic authority
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
xi Universitas Indonesia
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................ viii ABSTRAK ....................................................................................................... ix ABSTRACT ....................................................................................................... x DAFTAR ISI .................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvii BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2 Pertanyaan Penelitian ..................................................................... 15 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 16 1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 16
BAB 2 TELAAH LITERATUR .................................................................... 17 2.1 Keterlibatan Belajar ........................................................................ 17 2.2 Self-Determination Theory (SDT) .................................................. 21
2.3 Keterlibatan Belajar dalam Perspektif SDT ................................... 23 2.3.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Keterlibatan Belajar ......... 23 2.3.1.1 Motivasi Intrinsik ......................................................... 23 2.3.1.2 Kebutuhan Dasar Psikologik ........................................ 25 2.3.1.2.1 Kebutuhan Otonomi dan Motivasi Intrinsik . 26 2.3.1.2.2 Kebutuhan Kompeten dan Motivasi Intrinsik 27 2.3.1.2.3 Kebutuhan Hubungan dengan Orang Lain dan Motivasi Intrinsik ......................................... 28 2.3.1.3 Dukungan Otonomi ....................................................... 30 2.3.1.3.1 Iklim Pembelajaran di Perguruan Tinggi .......... 33 2.3.1.3.2 Peran Dosen dalam Keterlibatan Belajar ......... 34 Mahasiswa 2.3.1.4 Penelitian mengenai Prioritas Kebutuhan Dasar Psikologik ...................................................................... 34 2.3.1.5 Kebutuhan Spiritual/Makna, Kebutuhan Aktualisasi Diri, Kesenangan duniawi, dan Kebutuhan Harga Diri ................................................... 36 2.3.1.6 Penamaan Kebutuhan akan Makna ............................... 39 2.4 Self-efficacy .................................................................................... 41
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
xii Universitas Indonesia
2.5 Otoritas Sumber Informasi ............................................................ 45 2.5.1 Otoritas Sumber Informasi dan Fase Perkembangan .............. 47 2.5.2 Hirarki Otoritas Sumber Informasi ......................................... 48 2.5.3 Peran Diri sebagai Otoritas Sumber Informasi ....................... 48 2.6 Karakteristik Mahasiswa UI dan Pembelajaran di UI .................... 52 2.6.1 Karakteristik Mahasiswa UI .................................................. 52 2.6.2 Pembelajaran di UI ................................................................ 54 2.7 Kerangka Berpikir menuju Model Teoretik Keterlibatan Belajar .. 56
BAB 3 METODE PENELITIAN .................................................................. 62 3.1 Pendekatan Penelitian .................................................................... 62 3.2 Pertanyaan, Tujuan, dan Metode Penelitian ................................... 62 3.3 Hipotesis Penelitian ........................................................................ 65 3.4 Penelitian Pendahuluan .................................................................. 65 3.4.1 Pengumpulan Data Kuantitatif Mixed Methods .................... 65 3.4.1.1 Definisi Konseptual dan Operasional Dimensi Alat Ukur ................................................................... 66 3.4.1.2 Alat Ukur Penelitian Mixed Method .......................... 68 3.4.1.2.1 Pengalamanku Yang Tak Terlupakan ........ 69 3.4.1.2.2 Skala Pemuasan Kebutuhan Psikologik ..... 69 3.4.1.2.3 Skala PANAS (Positive Affect/Negative Affect Scale) ............................................... 70 3.4.1.3.4 Skala Persepsi Diri ..................................... 70
3.4.1.3 Persiapan Alat Ukur Penelitian Kuantitatif Mixed Methods ................................................................... 70
3.4.1.4 Partisipan dan Perijinan Pengambilan Data Penelitian ................................................................. 71
3.4.1.5 Pelaksanaan Penelitian .............................................. 71 3.4.1.6 Pengolahan Data Kebutuhan Dasar Psikologik ........ 71 3.4.1.7 Analisis Data Kuantitatif ........................................... 71
3.4.2 Pengumpulan Data Kualitatif ................................................. 72 3.4.2.1 Metode Pengambilan Data ......................................... 72 3.4.2.2 Partisipan Penelitian ................................................... 73
3.4.2.3 Persiapan Penelitian ................................................... 73 3.4.2.4 Analisis Data Kualitatif .............................................. 73 3.5 Penelitian Utama: Penelitian Kuantitatif ........................................ 74 3.5.1 Metode Penelitian .................................................................... 74 3.5.2 Variabel Penelitian, Definisi Konseptual dan Operasional ..... 74
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
xiii Universitas Indonesia
3.5.2.1 Variabel Kriterion ...................................................... 75 3.5.2.2 Variabel Prediktor ...................................................... 75 3.5.2.2.a Dukungan Makna Belajar Dosen ............................ 75 3.5.2.2.b Motivasi Intrinsik .................................................... 77 3.5.2.2.c Self-efficacy ............................................................. 77 3.5.2.2.d Otoritas Sumber Informasi ...................................... 77 3.5.3 Alat Ukur Penelitian Utama .................................................... 78 3.5.3.1 Alat Ukur Keterlibatan Belajar .................................. 78 3.5.3.2 Alat Ukur Dukungan Makna Belajar dari Dosen ....... 79 3.5.3.3 Alat Ukur Motivasi Intrinsik ...................................... 79 3.5.3.4 Alat Ukur Self-efficacy ............................................... 80 3.5.3.5 Alat Ukur Otoritas Sumber Informasi ........................ 80 3.5.4 Data Demografis ..................................................................... 80 3.6 Partisipan dan Prosedur Penelitian ................................................. 81 3.7 Teknik Pengambilan Sampel .......................................................... 81 3.8 Pengolahan Data ............................................................................. 81 BAB 4 HASIL PENELITIAN ....................................................................... 83 4.1 Penelitian Pendahuluan .................................................................. 83 4.1.1 Gambaran Partisipan Penelitian Pendahuluan ....................... 83
4.1.2 Pengembangan Alat Ukur Dukungan Makna Belajar dari Dosen ................................................................................... 84
4.1.2.1 Penelitian Kuantitatif ................................................ 84 4.1.2.1.1 Analisis Faktor Eksploratori ....................... 84 4.1.2.1.2 Hasil Penelitian Kuantitatif Mixed Methods85
4.1.2.1.2.a. Prioritas Kebutuhan Dasar Psikologik ... 85 4.1.2.1.2.b. Hubungan antar 11 Kebutuhan Dasar
Psikologik dan Emosi Terkait Pengalaman 86 4.1.2.1.2.c.Persepsi Diri (Minat, self-efficacy, otoritas sumber informasi) ...................................... 86
4.1.2.1.3 Hasil Penelitian Prioritas Kebutuhan Dasar Psikologik ................................................... 88
4.1.2.2 Penelitian Kualitatif .................................................. 88 4.1.2.3 Interpretasi Hasil Data Kuantitatif dan Kualitatif ..... 89 4.1.2.4 Hasil Perancangan dan Pengujian Skala Dukungan
Makna Belajar dari Dosen ....................................... 90 4.1.3 Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur Motivasi
Intrinsik ................................................................................ 91 4.1.4 Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur Self-efficacy . 92 4.1.5 Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur Pandangan
Otoritas Sumber Informasi .................................................. 92 4.1.6 Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur Keterlibatan
Belajar .................................................................................. 93
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
xiv Universitas Indonesia
4.2 Penelitian Utama ............................................................................ 94 4.2.1 Gambaran Data Demografis Mahasiswa UI .......................... 94
4.2.2 Gambaran Variabel Penelitian .............................................. 96 4.2.3 Korelasi antar Variabel Penelitian ........................................ 97 4.2.4 Hasil Uji Statistik Kecocokan Model Pengukuran ............... 98 4.2.5 Uji Model Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar Mahasiswa ............................................................................. 100 4.2.6 Hasil Uji Model Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar
Mahasiswa UI ....................................................................... 103 BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, IMPLIKASI DAN SARAN ................ 105 5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 105 5.2 Diskusi ............................................................................................ 106 5.2.1 Model Keterlibatan Belajar ................................................. 106
5.2.2 Konstruk dan Alat Ukur Dukungan Makna Belajar dari Dosen ................................................................................. 112
5.2.3 Metode Penelitian ................................................................. 113 5.3 Keterbatasan Penelitian .................................................................. 115 5.3.1 Keterbatasan Teoretik .......................................................... 115 5.3.2 Keterbatasan Metodologi Penelitian .................................... 115 5.4 Implikasi Hasil Penelitian .............................................................. 116 5.4.1 Implikasi Teoretik ................................................................ 116 5.4.2 Implikasi Praktis ................................................................... 117
5.5 Saran ............................................................................................... 118 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 118
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
xv Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Statistik Deskriptif 11 Kebutuhan Dasar Psikologik ....................... 85 Tabel 4.2 Hubungan antar 11 Kebutuhan Dasar Psikologik dan Emosi Terkait Pengalaman ......................................................................... 86 Tabel 4.3 Rerata Variabel Persepsi Diri ........................................................... 87 Tabel 4.4 Korelasi antar Variabel Persepsi Diri .............................................. 87 Tabel 4.5 Dimensi Dukungan Makna Belajar dari Dosen ............................... 91 Tabel 4.6 Dimensi Skala Keterlibatan Belajar ................................................. 93 Tabel 4.7 Gambaran Demografis Mahasiswa UI ............................................. 94 Tabel 4.8 Gambaran Variabel Penelitian ......................................................... 97 Tabel 4.9 Korelasi antar Variabel Penelitian ................................................... 98 Tabel 4.10 Hasil Uji Statistik Kecocokan Model Pengukuran ........................ 99 Tabel 4.11 Goodness Of Fit Index (GOFI) Model Persamaan Struktural
Keterlibatan Belajar Mahasiswa UI .............................................. 101
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
xvi Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Hubungan Resiprokal Triadik (Bandura, 1986) ......................... 42 Gambar 2.2 Model Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar ..................... 60 Gambar 3.1 Desain Paralel Konvergen (The Convergent Parallel Design) .. 63 Gambar 3.2 Model Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar ..................... 64 Gambar 4.1 Model Statistik Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar
Mahasiswa UI ............................................................................ 102 Gambar 4.2 Kesimpulan Model Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar
Mahasiswa UI ............................................................................ 102
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
xvii Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Alat Ukur Penelitian .................................................................... 133
1.1 Alat Ukur Keterlibatan Belajar (Booklet “Skala Keterlibatan Belajar”) 134 1.2 Alat Ukur Kebutuhan Dasar Psikologik (Booklet “Pengalamanku
yang Tak Terlupakan”) ....................................................................... 147 Lampiran 2. Hasil Wawancara Kelompok Terfokus ........................................ 154
2.1 Hasil Wawancara berdasarkan Kelompok .......................................... 154 2.2 Hasil Wawancara berdasarkan Tema ................................................. 162
Lampiran 3. Hasil Analisis Faktor ................................................................... 174 Lampiran 4. Hasil Uji Model Pengukuran ....................................................... 176
4.1 Hasil Uji Model Pengukuran Skala Keterlibatan Belajar (N=726) .... 176 4.2. Hasil Uji Model Pengukuran Skala Dukungan Makna Belajar (N=726)
........................................................................................................ 176 4.3. Hasil Uji Model Pengukuran Skala Motivasi Intrinsik (N=726) ....... 177 4.4. Hasil Uji Model Pengukuran Skala Self-efficacy (N=726) ................ 177 4.5. Hasil Uji Model Pengukuran Skala Otoritas Sumber Informasi (N=726)
........................................................................................................... 178 Lampiran 5. Hasil Uji Model Struktural Keterlibatan Belajar ......................... 179
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masa transisi dari pendidikan menengah ke pendidikan tinggi dialami
mahasiswa sebagai masa sulit atau masa-masa penuh tantangan serta membuat
mereka cemas karena adanya tuntutan kemandirian secara intelektual (Innis,
James & McNaught, 1995; Paulynice, 2013). Kegiatan belajar di perguruan tinggi
yang berbeda dengan pendidikan sebelumnya di sekolah menengah, seringkali
membuat mahasiswa menjadi bingung, canggung, bahkan stres dalam menjalani
pembelajaran di perguruan tinggi (Depdiknas Dirjen Dikti, 2003; Paulynice,
2013). Pada saat ini mahasiswa mengalami adanya perubahan kebutuhan dalam
belajar yang menyangkut minat, tujuan, dan pemenuhan akan aktualisasi
kemampuan akademiknya. Minat, tujuan, dan kebutuhan untuk aktualisasi diri ini
akan memengaruhi motivasi belajar mahasiswa.
Pada dasarnya, aktivitas belajar di perguruan tinggi tidak hanya terjadi di
dalam kelas. Banyaknya kegiatan ekstrakurikuler di kampus, yang mungkin belum
pernah ditemukan sebelumnya di sekolah menengah, juga membuat mahasiswa
tergoda untuk mengikuti kegiatan yang menarik minatnya. Presensi dan
penyelesaian tugas-tugas kuliah sering kali terganggu oleh kegiatan non
akademik/ekstrakurikuler kampus. Padahal, untuk berhasil menuntaskan
pendidikan tepat waktu dan memperoleh indeks prestasi yang baik, mahasiswa
perlu mengendalikan diri, fokus dan serius pada kegiatan akademiknya
Keterlibatan belajar (student engagement) mahasiswa dalam kegiatan
perkuliahannya, tidak hanya memberikan dampak kepada keberhasilan studi saja,
namun juga berdampak kepada perkembangan diri yang optimal, kesejahteraan
psikologiknya, bahkan dapat mencegah putus studi (Carini, Kuh, & Klein, 2006;
Ferguson, Kasser, & Jahng, 2010; Kuh, Cruce, Shoup, & Kinzie, 2008).
Keterlibatan belajar mahasiswa dalam perkuliahannya ada yang rendah
dan ada yang tinggi. Mahasiswa dengan keterlibatan belajar yang rendah tampak
kurang berminat mengikuti perkuliahan dan keterlibatannya sekadar memenuhi
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
2
Universitas Indonesia
presensi. Keterlibatan belajar yang rendah tidak akan memberikan hasil belajar
yang memuaskan, karena kegiatan belajar hanya untuk menerima informasi,
mengulang dan mengingat materi-materi yang diajarkan. Dalam hal ini, proses
belajar terjadi pada permukaan saja (surface learning) (Tagg, 2003). Tujuan
belajarnya hanya sebatas agar terhindar dari kegagalan, bukan untuk mengerti dan
memahami kaitan antar konsep dan penerapannya dalam situasi yang berbeda
(Bowden & Marton, 1998). Mahasiswa dengan keterlibatan belajar yang rendah
kurang mengembangkan kemampuan untuk dapat menerapkan pengetahuan yang
dimilikinya pada situasi yang lebih rumit (Haste, 2001, dalam Christenson,
Reschly, & Wylie, 2012).
Mahasiswa dengan keterlibatan belajar tinggi akan mengerahkan semua
kemampuannya dan memiliki komitmen dalam belajar. Belajar baginya dirasakan
sebagai sesuatu yang bermakna serta sesuai dengan tujuan hidupnya. Keterlibatan
belajar bukan didorong oleh tuntutan yang berasal dari luar diri, melainkan
keingintahuan dari dalam diri sendiri (Haste, 2001, dalam Christenson Reschly, &
Wylie, 2012). Keterlibatan belajar yang tinggi membawa mahasiswa kepada
pemahaman dan pengertian yang mendalam terhadap materi/pengetahuan (deep
learning). Tingkat kedalaman pemahaman dalam belajar (deep learning)
merupakan hal yang penting, karena dengan pendekatan belajar yang berorientasi
pada kedalaman pemahaman materi, maka mahasiswa akan memperoleh nilai
yang baik dan ia dapat menerapkan pengetahuannya ke dalam konteks atau
perspektif yang berbeda. Kedalaman pemahaman dalam belajar juga akan
membuat mahasiswa lebih menikmati pengalaman belajarnya (Tagg, 2003).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti berpendapat, keterlibatan belajar
mahasiswa dalam perkuliahan menjadi penting untuk diperhatikan dan
diupayakan, karena dengan keterlibatan belajar yang tinggi, mahasiswa lebih
memiliki pemahaman akan pengetahuan yang dibangunnya. Selain itu, terjadi
proses berpikir yang lebih tinggi karena mahasiswa mengintegrasikan dan
menyimpulkan informasi-informasi yang diterima berdasarkan pengetahuan
sebelumnya. Dampaknya, mahasiswa memperoleh hasil belajar yang memuaskan
dan dapat mengembangkan diri secara optimal.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
3
Universitas Indonesia
Pada tahun 1980-an, konsep keterlibatan belajar merupakan konstruk
psikologik yang digunakan untuk memahami keadaan dan sikap belajar peserta
didik di sekolah. Dalam hal ini dibahas mengenai kebosanan, kurangnya minat,
dan terjadi putus studi di kalangan peserta didik. Sekolah dipandang sebagai
faktor yang berperan dalam keterlibatan belajar peserta didiknya (Newmann,
1981; Wehlage, 1989). Satu dekade kemudian, keterlibatan belajar dipandang
sebagai dinamika dalam sistem intrapersonal (self-system process) peserta didik.
Dalam konsep ini, keterlibatan belajar didasarkan atas asumsi bahwa individu
memiliki kebutuhan untuk kompeten, otonomi, dan berhubungan dengan orang
lain (Connell, 1990; Connell & Wellborn, 1991). Proses intrapersonal ini terjadi
dalam diri individu sepanjang hidupnya dan dipengaruhi oleh faktor budaya serta
interaksi individu dengan orang lain. Setelah itu, berkembang Participation-
Identification Model yang menganggap keterlibatan belajar sebagai peran
interaksi perilaku dan afek terhadap keberhasilan akademik (Finn, 1989, dalam
Christenson, Reschly, & Wylie, 2012). Konsep keterlibatan belajar yang mengacu
kepada aspek perilaku dan afek ini, pada dekade terakhir merupakan dasar dari
komponen keterlibatan peserta didik di sekolah, yaitu keterlibatan akademik,
keterlibatan sosial, keterlibatan kognitif, dan keterlibatan afektif (Finn & Zimmer,
dalam Christenson, Reschly, & Wylie, 2012).
Dari perkembangan pemahaman mengenai keterlibatan belajar, peneliti
menyimpulkan bahwa, keterlibatan belajar merupakan suatu metakonstruk yang
meliputi berbagai dimensi terkait komitmen dalam belajar (Appleton, Christenson,
& Furlong, 2008; Fredricks, Blumenfeld, & Paris, 2004). Sekelompok peneliti,
seperti Fredricks, Blumenfeld, dan Paris (2004) serta Lam, Yang, dan Liu (2009)
menggunakan tipologi tiga dimensi, yakni dimensi afektif, perilaku, dan kognitif.
Sekelompok peneliti lain (Appleton, Christenson, Kim, & Reschly, 2006;
Christenson, Reschly, & Wylie, 2012) menggunakan tipologi empat dimensi
dengan menambahkan dimensi akademik yang mencakup tugas-tugas di rumah.
Dalam mengukur keterlibatan belajar, indikator dimensi akademik, seperti
mengerjakan pekerjaan rumah, bertumpang tindih dengan dimensi perilaku
(Appleton, et al., 2006). Dalam penelitian ini, keterlibatan belajar difokuskan
dalam aktivitas perkuliahan, dan digunakan pemahaman keterlibatan belajar
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
4
Universitas Indonesia
berdasarkan tipologi tiga dimensi. Keterlibatan afektif merujuk kepada perasaan
atau emosi peserta didik/mahasiswa dalam belajar (Connel & Wellborn, 1991).
Keterlibatan perilaku merujuk kepada partisipasi peserta didik/mahasiswa dalam
belajar (Birch & Ladd, 1997). Keterlibatan kognitif merujuk kepada strategi
berpikir yang digunakan oleh peserta didik/mahasiswa (Walker, Greene, &
Mansell, 2006).
Istilah keterlibatan belajar dan motivasi belajar seringkali digunakan
secara bergantian oleh beberapa peneliti (Martin, 2007). Sebagian peneliti
memandang motivasi sebagai bagian dari keterlibatan belajar (Fredricks,
Blumenfeld, & Paris, 2004), sedangkan peneliti lain memahami keterlibatan
belajar dan motivasi sebagai dua konsep yang berbeda. Menurut kelompok yang
terakhir, motivasi menggambarkan intensi/tujuan, sementara keterlibatan belajar
merupakan tindakan/aksi (Christenson, Reschly, & Wylie, 2012). Berdasarkan
adanya pemahaman yang berbeda tentang keterlibatan belajar dan motivasi, dalam
penelitian disertasi ini peneliti memandang motivasi belajar sebagai bagian dari
keterlibatan belajar dan merupakan faktor penting dalam menentukan keterlibatan
belajar mahasiswa.
Dalam meneliti keterlibatan belajar, peneliti menggunakan sudut pandang
antropologi dan epistemologi untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi
keterlibatan belajar (Crick, 2012 dalam Christenson, Reschly, & Wylie, 2012).
Dari sudut pandang antropologi, keterlibatan belajar merupakan proses interaksi,
hubungan dialektik antara faktor-faktor intrapersonal dan faktor
kontekstual/lingkungan belajar (Schunk & Mullen, dalam Christenson, Reschly,
& Wylie, 2012). Bagaimana mahasiswa menghayati pengalaman belajarnya dalam
aktivitas perkuliahan akan memengaruhi keterlibatannya dalam belajar. Selain itu,
keterlibatan belajar juga dipengaruhi oleh keyakinan mahasiswa dalam
memandang pengetahuan dan sumber informasi yang digunakan mahasiswa untuk
membangun pengetahuannya. Peran dosen dalam perkuliahan sangat penting
terhadap keterlibatan mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan (Kuh, et al., 2008).
Dosen perlu memahami bagaimana mahasiswa dapat termotivasi melakukan
kegiatannya dalam rangka membangun pengetahuannya.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
5
Universitas Indonesia
Agar dapat terlibat secara penuh dalam kegiatan perkuliahan, mahasiswa
membutuhkan dorongan atau motivasi untuk melakukan tugas-tugasnya.
Keterlibatan belajar merupakan indikator adanya motivasi dalam diri mahasiswa
sehingga ia mau terlibat dalam belajarnya dan pada akhirnya akan memberikan
sumbangan kepada hasil belajar dan perkembangan dirinya. Sebaliknya,
ketidakterlibatan mahasiswa memberikan dampak negatif, karena membuat
mereka pasif dan hanya mengandalkan kekuatan eksternal untuk mengontrol
dirinya (Trowler & Trowler, 2010). Dengan demikian, motivasi yang berasal dari
dalam diri atau sering disebut sebagai motivasi intrinsik berperan penting dalam
keterlibatan belajar.
Penelitian-penelitian mengenai keterlibatan belajar pada dua dekade
terakhir menaruh perhatian lebih pada hubungan interaksi antara konstruk diri
(self) dan lingkungan belajar di dalam kelas (Ryan & Patrick, 2001; Rifameutia,
2004; Wigfield, Zusho, & DeGroot, 2005). Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
keterlibatan belajar merupakan self-system process. Pandangan mahasiswa
terhadap lingkungan belajarnya berhubungan erat dengan motivasi dan
keterlibatannya dalam perkuliahan (Kuh, Kinzie, Buckley, Bridges, & Hayek,
2007). Keterlibatan mahasiswa di dalam perkuliahan akan meningkat bila
lingkungan belajar dapat memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan psikologiknya (Kuh
et. al., 2007; Okazaki, 2011; Ryan & Deci, 2000, 2002). Terpenuhinya kebutuhan
psikologik mahasiswa melalui lingkungan belajar dapat mendorong atau
memotivasi mereka untuk terlibat dalam belajar.
Teori yang dapat menjelaskan mengenai dinamika antara kebutuhan
psikologik, motivasi, dan keterlibatan belajar adalah Self Determination Theory
(SDT) dari Deci dan Ryan (2000). SDT merupakan teori motivasi yang banyak
meneliti tentang keterlibatan belajar dan telah berhasil diterapkan dalam
pembelajaran (Jang, 2008; Reeve, 2004, 2006). Menurut SDT, semua peserta
didik dari berbagai usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, kebangsaan, atau
latar belakang budaya, memiliki kecenderungan bawaan untuk berkembang dan
hal ini dapat menjadi pendorong bagi keterlibatan belajar dan keberhasilan
belajarnya (Reeve, 2012). Ketika teori motivasi lain menjelaskan bagaimana
ekspektasi peserta didik, beliefs, dan tujuan (goals) memengaruhi keterlibatan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
6
Universitas Indonesia
belajar, SDT secara unik menekankan peran pengajar dalam mendorong motivasi
dari dalam diri peserta didik sebagai hal penting untuk memfasilitasi keterlibatan
belajar yang prima (Reeve, 2012).
Menurut Deci dan Ryan (2000), ada tiga kebutuhan dasar psikologik yang
bersifat universal, yaitu kebutuhan otonomi (autonomy), kebutuhan kompeten
(competence), dan kebutuhan hubungan dengan orang lain (relatedness). Bila
kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi, motivasi dan kesejahteraan diri
seseorang akan meningkat, dan ketika kebutuhan-kebutuhan tersebut terhambat,
akan terjadi pengaruh yang negatif pada kesejahteraan/kepuasan hidup seseorang.
Deci dan Ryan (2000) mengungkapkan bahwa apabila peserta didik memandang
ketiga kebutuhan dasar psikologiknya terpenuhi dalam proses belajar, motivasi
intrinsiknya terbentuk dan ia akan menikmati kegiatan belajarnya. Di lain pihak,
bila pengajar cenderung mengontrol perilaku peserta didik, motivasi intrinsiknya
tidak akan muncul dan keterlibatan belajarnya cenderung rendah. Hal ini
disebabkan kegiatan belajar ditentukan oleh pengajar sehingga tidak membuat
peserta didik bebas mengekspresikan ide dan perasaannya dalam proses belajar
(Deci & Ryan, 2000).
Dari ketiga kebutuhan dasar yang diajukan Deci dan Ryan (2000),
kebutuhan kompeten dan hubungan dengan orang lain sudah teruji sebagai
kebutuhan dasar manusia melalui penelitian-penelitian. Kebutuhan kompeten dan
kebutuhan akan hubungan dengan orang lain dapat terpenuhi karena adanya
motivasi, baik yang bersifat otonom maupun yang dikontrol. Sebagai contoh,
seorang mahasiswa berkompetisi dalam lomba karya ilmiah karena ingin
memenangkannya, sementar mahasiswa lain mengikuti kegiatan pecinta alam agar
dapat diterima oleh teman-temannya. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa
perilaku berkompetisi dalam lomba karya ilmiah atau bergabung dalam kegiatan
pecinta alam dapat terdorong oleh sesuatu yang berasal dari dalam diri (otonom)
atau karena adanya kontrol dari luar diri mahasiswa.
Penelitian-penelitian dalam kerangka SDT menunjukkan bahwa hanya
perilaku yang didasari oleh adanya pemenuhan kebutuhan otonomi yang dapat
memberikan kepuasan psikologik dan mendorong individu mencapai
perkembangan diri yang optimal (Ryan, 1993). Dengan perkataan lain, bila
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
7
Universitas Indonesia
individu dapat memenuhi ketiga kebutuhan dasar psikologiknya, maka regulasi
perilakunya lebih ditentukan oleh pilihannya sendiri untuk melakukan kegiatan.
Dalam hal ini perilakunya terbebas dari tekanan, tuntutan, dan kontrol dari luar
diri. Kinerja individu akan lebih baik dan secara psikologik, ia akan lebih puas.
Masalahnya, kebutuhan otonomi secara empirik belum dapat dibuktikan sebagai
kebutuhan dasar psikologik yang sifatnya universal, sehingga postulasi SDT
tentang tiga kebutuhan dasar psikologik masih diperdebatkan dan menjadi topik
penelitian para peneliti dan filsuf, baik di negara Barat yang menganut sistem
masyarakat individualis, maupun di Timur yang menganut sistem kolektivis
(Chirkov, Ryan, & Sheldon, 2011).
Iyengar dan DeVoe (2003) menyatakan bahwa otonomi secara luas tidak
berlaku pada masyarakat Timur, termasuk di Indonesia. Bila pada budaya Barat
pemenuhan kebutuhan otonomi membuat individu berkembang optimal dan
meraih kesejahteraan psikologik, belum tentu hal yang sama terjadi pada budaya
Timur. Adanya dukungan otonomi bagi pemenuhan kebutuhan otonomi mungkin
tidak berdampak positif bagi individu yang berasal dari budaya Timur yang
menganut sistem kolektivis. Pada budaya Barat, kontrol eksternal dapat
menghambat perkembangan individu.
Pada penelitian yang melibatkan peserta didik Anglo-American dan Asian-
American, ditemukan fakta bahwa peserta didik Anglo-American kurang berminat
di dalam kelas bila mereka diberikan pilihan yang terbatas untuk melakukan
aktivitas, sedangkan peserta didik Asian-American justru termotivasi bila pilihan-
pilihan aktivitas sudah tersedia bagi mereka (Iyengar & Lepper, 1999). Studi lain
di Taiwan memperkuat adanya perbedaan budaya dalam pandangan otonomi
(d’Ailly, 2003, 2004). Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa tanpa adanya
dukungan dan mediasi dari pandangan peserta didik terhadap kontrol perilakunya,
dukungan otonomi menjadi faktor negatif bagi prestasi akademik peserta didik. Di
sisi lain, penelitian Flowerday dan Schrow (2003) terhadap mahasiswa Amerika
mengungkapkan bahwa diberikannya pilihan dalam belajar tidak membuat
mahasiswa menjadi senang belajar.
Hasil berbeda ditemukan pada penelitian di Jepang, ternyata otonomi
merupakan kebutuhan dasar psikologik karena otonomi berkorelasi positif dengan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
8
Universitas Indonesia
motivasi intrinsik (Tonks, 2006). Okazaki (2011) dalam studinya pada mahasiswa
Jepang yang belajar bahasa Inggris, menemukan bahwa mahasiswa yang
mendapatkan dukungan otonomi, performanya lebih baik dan lebih termotivasi
dibandingkan mahasiswa yang tidak menerima dukungan otonomi dalam
belajarnya. Pada penelitian Ratelle, Guay, Vallerand, La Rose, dan Senecal (2007)
terhadap mahasiswa sarjana strata satu di Canada, ditemukan bahwa kelompok
mahasiswa yang merasa senang dengan adanya pilihan dalam belajar (diberi
dukungan otonomi), berprestasi lebih baik dibandingkan kelompok mahasiswa
yang senang diatur (dikontrol).
Dari temuan-temuan penelitian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa
terdapat perbedaan mengenai peran lingkungan, dalam hal ini dukungan otonomi,
yang dipandang secara positif oleh peserta didik, dengan yang dianggap menekan
atau menimbulkan kecemasan dalam belajar. Keduanya berpengaruh terhadap
keterlibatan belajar dan keberhasilan belajar.
Mengingat temuan yang diperoleh menunjukkan bahwa pengaruh
kebutuhan otonomi terhadap motivasi dan keterlibatan belajar masih inkonsisten,
maka perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan pemenuhan kebutuhan dasar
psikologik dan keterlibatan belajar, khususnya implikasi SDT di Indonesia yang
sejauh ini belum ditemukan. “Apakah kebutuhan dasar psikologik SDT, yang
meliputi kebutuhan otonomi, kompeten, dan berhubungan dengan orang lain,
merupakan kebutuhan dasar yang diutamakan mahasiswa di Indonesia? Apakah
ada kebutuhan-kebutuhan dasar psikologik lain yang bila terpenuhi, akan
mendorong individu untuk melakukan kegiatannya secara intrinsik?”
Untuk menggali kebutuhan dasar psikologik yang khas diutamakan bagi
mahasiswa di Indonesia, peneliti mengacu pada penelitian Sheldon, Elliot, Kim
dan Kasser (2001), serta Grouzet, Kasser, Ahuvia, Dols, Kim, Lau, Ryan,
Saunders, Schmuck, dan Sheldon (2005). Kedua penelitian ini pada dasarnya
meneliti hal yang mendorong perilaku individu dalam latar belakang budaya yang
berbeda. Sheldon et al. (2001) dalam penelitiannya terhadap mahasiswa Amerika
dan Korea Selatan menemukan adanya kebutuhan dasar lain yang diutamakan
oleh mahasiswa Korea Selatan selain tiga kebutuhan dasar SDT, yaitu kebutuhan
harga diri dan kebutuhan kesenangan duniawi (pleasure stimulation). Di sisi lain,
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
9
Universitas Indonesia
Grouzet, et al. (2005) yang melakukan penelitian di negara yang memiliki kondisi
ekonomi lemah, dengan melibatkan responden dari berbagai budaya dan status
ekonomi, menemukan bahwa tujuan dan aspirasi spiritual (spiritual goals;
makna/tujuan hidup) adalah alasan yang mendorong seseorang melakukan
tindakannya.
Peneliti berpendapat bahwa mahasiswa yang berasal dari sistem budaya
kolektivis seperti Indonesia (Hofstede, 1980), tidak hanya memiliki kebutuhan
otonomi, kompeten, dan hubungan dengan orang lain (SDT), melainkan juga
kebutuhan-kebutuhan psikologik lainnya yang perlu dipenuhi. Adanya prioritas
terhadap kebutuhan harga diri dan kebutuhan kesenangan duniawi pada partisipan
Korea Selatan dalam penelitian Sheldon, et al. (2001) dan aspek spiritual yang
mendorong seseorang meraih tujuan hidup, yang ditemukan dalam penelitian
Grouzet, et al. (2005), memunculkan dugaan bahwa kebutuhan-kebutuhan
psikologik tersebut juga merupakan kebutuhan-kebutuhan dasar psikologik yang
diprioritaskan mahasiswa di Indonesia. Sejauh ini terdapat enam kebutuhan dasar
psikologik yang peneliti asumsikan merupakan kebutuhan dasar psikologik yang
diutamakan mahasiswa di Indonesia. Enam kebutuhan dasar psikologik tersebut
adalah (1) kebutuhan otonomi, (2) kompeten, (3) hubungan dengan orang lain, (4)
harga diri, (5) kebutuhan kesenangan duniawi, dan (6) kebutuhan spiritual.
Menurut dugaan peneliti, mahasiswa Indonesia memiliki kekhasan dalam
kebutuhan dasar psikologik yang diutamakannya, selain enam kebutuhan
psikologik yang ditemukan pada kedua hasil penelitian di atas. Dalam keterlibatan
belajar, mahasiswa membutuhkan kebebasan berpendapat, penerimaan dan
penghargaan atas pendapatnya, perasaan nyaman dengan keadaan lingkungan fisik
perkuliahan, dan menganggap apa yang dipelajarinya akan bermakna bagi
hidupnya. Selain itu, mahasiswa membutuhkan lingkungan belajar yang dapat
memenuhi kebutuhannya untuk mengembangkan potensi dirinya. Di pendidikan
tinggi, mahasiswa lebih memfokuskan diri untuk menggali potensi dirinya. Dalam
aktivitas perkuliahannya, mahasiswa mengembangkan kemandirian berpikir untuk
mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya (National Panel Report, 2002).
Kebutuhan aktualisasi diri menjadi kebutuhan yang juga diprioritaskan oleh
mahasiswa.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
10
Universitas Indonesia
Menurut teori kebutuhan Maslow, kebutuhan aktualisasi diri merupakan
kebutuhan yang berada di tingkat tertinggi pada hirarki kebutuhan manusia
(Maslow, 1943). Pada pengembangan teori hirarki kebutuhannya, Maslow (dalam
Tisdell, 2003) melengkapi kebutuhan aktualisasi diri di tingkat teratas dengan
kebutuhan transenden seperti yang digambarkan oleh literatur kontemporer
sebagai kebutuhan spiritual. Merujuk kepada hasil penelitian Goruzet et al.
(2005), bahwa kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan yang perlu dipenuhi di
masyarakat yang kolektivis seperti Indonesia, maka peneliti berkesimpulan bahwa
kebutuhan aktualisasi diri juga merupakan kebutuhan dasar psikologik yang
diprioritaskan, khususnya bagi mahasiswa di Indonesia.
Maslow tidak secara eksplisit membahas spiritualitas di dalam hirarki
kebutuhannya. Yang diistilahkannya sebagai kebutuhan transenden secara umum
merujuk kepada suatu pemaknaan hidup (Maslow, 1979). Jadi, dapat disimpulkan
bahwa kebutuhan spiritual yang tidak ada kaitannya dengan agama, dapat
dipahami sebagai kebutuhan akan pemaknaan hidup atau kebutuhan akan makna.
Dari pembahasan di atas, peneliti berasumsi bahwa kebutuhan yang
diprioritaskan oleh mahasiswa Indonesia tidak hanya (1) kebutuhan otonomi, (2)
kompeten, (3) hubungan dengan orang lain, namun juga (4) harga diri, (5)
kesenangan duniawi (Sheldon et al., 2001), dan (6) kebutuhan spiritual/kebutuhan
akan makna (Grouzet et al., 2005), serta (7) kebutuhan aktualisasi diri. Ketujuh
kebutuhan dasar psikologik ini perlu dipenuhi pemuasannya agar mahasiswa
terdorong untuk melakukan aktivitas belajarnya.
Sebagaimana hasil penelitian Grouzet et al. (2005), pada masyarakat
kolektivis termasuk Indonesia, kebutuhan spiritual yang diistilahkan peneliti
sebagai kebutuhan akan makna, merupakan kebutuhan yang penting untuk
dipenuhi. Dengan mengadaptasi cara berpikir Deci dan Ryan (2000) dalam konsep
kebutuhan otonominya, maka pada penelitian ini, kebutuhan akan makna memiliki
arti dan peran yang unik dalam posisinya sebagai salah satu dari tujuh kebutuhan
dasar psikologik. “Makna” yang dimiliki individu terhadap pengalamannya
berperan dalam meregulasi perilakunya. Memenuhi kebutuhan akan makna
merupakan hal yang penting untuk mencapai perilaku yang bermakna bagi
individu. Pemuasan ketujuh kebutuhan dasar tidak akan membawa perkembangan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
11
Universitas Indonesia
diri yang optimal bila pengalaman yang dirasakan individu tidak memberikan
makna. Peran kebutuhan akan makna dalam meregulasi perilaku dapat
memuaskan ketujuh kebutuhan dasar psikologik. Dengan adanya pemenuhan
kebutuhan akan makna, maka perilaku yang tampil karena adanya pemuasan
terhadap ketujuh kebutuhan dasar psikologik akan memberi kebermaknaan hidup
bagi individu.
Dalam aktivitas perkuliahan, hubungan dialektik antara dosen dan
mahasiswa memengaruhi keterlibatan belajar mahasiswa (Umbach &
Wawrzynski, 2005). Mahasiswa akan terdorong melakukan aktivitasnya bila ia
menganggap pengalaman belajarnya bernilai dan sesuai dengan apa yang menjadi
tujuan hidupnya, bukan sekadar memenuhi tuntutan belajar (Bereiter &
Scardamalla, 1989 dalam Resnick, 1989). Sebagai mahasiswa yang berasal dari
kebudayaan kolektivis, pengalaman belajar perlu dirasakan bermakna bagi
mahasiswa. Menurut peneliti, dari ketujuh kebutuhan dasar psikologik yang
diasumsikan oleh peneliti, kebutuhan akan makna merupakan kebutuhan dasar
psikologik yang terpenting bagi mahasiswa di Indonesia yang berbudaya
kolektivis (Hofstede, 1980). Dalam penelitian ini peneliti menjadikan tujuh
kebutuhan dasar psikologik tersebut sebagai dimensi dari variabel baru penelitian
yang peneliti namakan kebutuhan akan makna belajar.
Makna belajar merupakan hal yang esensial yang perlu dimiliki oleh
mahasiswa. Kebutuhan akan makna merupakan kebutuhan dasar psikologik yang
penting untuk dipenuhi dalam aktivitas belajar. Apabila mahasiswa merasa
nyaman dalam lingkungan belajarnya, mendapat penghargaan, memiliki
kesempatan untuk mengembangkan diri dan menjalin hubungan dengan orang
lain, namun semua hal itu tidak bermakna baginya, maka perilaku belajarnya tidak
akan berdampak pada kualitas belajar yang baik.
Dosen, sebagai salah satu komponen dalam lingkungan belajar mahasiswa,
diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap pemenuhan ketujuh kebutuhan
dasar psikologik mahasiswa tersebut, sehingga mahasiswa merasa kegiatan
belajarnya bermakna. Mahasiswa membutuhkan dukungan makna belajar dari
dosen yang dapat memenuhi kebutuhan otonomi, kompeten, hubungan dengan
orang lain, kebutuhan spiritual/kebutuhan akan makna, kebutuhan aktualisasi diri,
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
12
Universitas Indonesia
kebutuhan kesenangan duniawi, dan harga diri. Terpenuhinya pemuasan ketujuh
kebutuhan dasar psikologik membuat mahasiswa termotivasi secara intrinsik dan
terlibat dalam belajar. Mahasiswa akan belajar dengan senang hati, bebas
mengutarakan pendapatnya, bersemangat, tertantang, dan antusias, karena belajar
memiliki arti, bernilai, dan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan hidupnya, serta
memberi makna bagi hidupnya.
Kebutuhan-kebutuhan psikologik ini menjadi penting untuk diteliti, karena
sepengetahuan peneliti belum ditemukan penelitian di Indonesia mengenai peran
kebutuhan dasar psikologik terhadap keterlibatan belajar. Peneliti ingin
mengetahui apakah peserta didik (yang dalam penelitian ini adalah mahasiswa)
akan terlibat dalam perkuliahan jika motivasi intrinsik yang mendorongnya untuk
belajar berasal dari dukungan makna belajar dari dosennya.
Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar psikologik dalam belajar selain
memunculkan motivasi intrinsik, juga memengaruhi keyakinan seseorang akan
kemampuannya dalam menyelesaikan suatu tugas (self-efficacy, Bandura, 1997).
Melalui berbagai penelitian terbukti bahwa self-efficacy merupakan prediktor
yang baik untuk keberhasilan belajar (Ferla, Valcke & Cai, 2009) dan keterlibatan
belajar (Lizzio & Wilson, 2009). Self-efficacy berperan sangat penting dalam
proses belajar, termasuk dalam segala dimensi keterlibatan belajar. Peserta didik
yang memiliki self-efficacy yang baik dalam belajar, berkeyakinan bahwa ia dapat
meraih target belajarnya, tidak mudah menyerah, dan menilai bahwa kegiatan
belajarnya memberikan rasa bangga pada dirinya (Schunk & Mullen dalam
Christenson, Reschly, & Wylie, 2012).
Menurut Bandura (1997) dalam teori triadiknya, self-efficacy terbentuk
dari interaksi antara individu dengan lingkungan. Perilaku individu merupakan
fungsi interaksi “diri” individu dan lingkungannya. Keyakinan peserta didik
terhadap kemampuan dirinya juga diperoleh dari pengalaman-pengalamannya
(Bandura, 2007). Self-efficacy terbentuk dari informasi-informasi atau penilaian
tentang kapasitas kognitif yang diperoleh peserta didik dari lingkungannya. Dalam
perkuliahan, pemenuhan kebutuhan psikologik mahasiswa oleh dosen dapat
memengaruhi self-efficacy dan motivasi mahasiswa yang pada akhirnya
berdampak pada keterlibatan belajarnya. Bagaimana peran dosen dalam
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
13
Universitas Indonesia
meningkatkan self-efficacy mahasiswa sehingga dapat memperkuat keterlibatan
belajar mahasiswa?
Sudut pandang epistemologi melatarbelakangi penjelasan bahwa
mahasiswa membangun pengetahuannya melalui dosen yang menyampaikan
materi di dalam ruang kuliah (Crick, 2012 dalam Christenson, Reschly, & Wylie,
2012). Meskipun demikian, peran dosen dalam proses belajar mahasiswa tidak
sepenuhnya mampu memfasilitasi kebutuhan kognitif mahasiswa, mengingat
mahasiswa juga mengambil manfaat dari perkembangan teknologi yang pesat dan
informasi dari berbagai sumber. Oleh karena itu, bagaimana mahasiswa
memandang dosennya sebagai sumber informasi berperan penting bagi
pembentukan pengetahuannya dan self-efficacy-nya (Raviv, Bar-Tal, Raviv,
Biran, & Sela, 2003).
Dalam memperoleh informasi atau membentuk pengetahuannya, individu
memiliki keyakinan tentang pengetahuan itu sendiri (epistemological beliefs).
Individu akan mencari informasi/pengetahuan dari sumber yang dapat dipercaya
(nature of knowing) dan sifat dari pengetahuan itu sendiri (nature of knowledge),
apakah sifatnya terkait dengan hal-hal yang pasti atau bersifat interpretatif dan
sosial (Hofer, 2000; Perry, 1988). Dalam studi disertasi ini, penelitian berfokus
pada sumber informasi yang dapat dipercaya dalam mengkonstruk pengetahuan,
dalam hal ini dosen.
Mahasiswa memilih sumber informasi yang dapat ia percaya (epistemic
authorities) untuk mengkonstruk pengetahuannya. Dalam perkuliahan, dosen
diharapkan dapat berfungsi sebagai otoritas sumber informasi (epistemic
authorities) yang dapat dipercaya, terutama pada mata kuliah yang diajarkan
(Raviv et al., 2003). Di lain pihak, mahasiswa memiliki karakteristik masing-
masing dalam membangun pengetahuannya. Ada yang cenderung patuh dan
bergantung pada dosen dalam mengkonstruk pengetahuannya (high informational
dependence), sementara ada pula yang lebih kritis, sangat mandiri, dan tidak
terlalu tergantung pada sumber informasi atau disebut sebagai low informational
dependence (Parish & Rehbein, 2009; Raviv et al., 2003). Pada saat yang sama,
mahasiswa juga memiliki pandangan tentang dirinya sebagai sumber informasi
bagi dirinya sendiri atau disebut sebagai self-ascribed epistemic authority. Adanya
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
14
Universitas Indonesia
kesenjangan pandangan mahasiswa terhadap sumber informasi di luar dirinya dan
pandangan mengenai dirinya sebagai sumber informasi, menentukan
keterlibatannya dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan (Kruglanski,
Dechesne, Orehek, & Pierro, 2009). Bagaimanakah pandangan mahasiswa
terhadap dosen sebagai otoritas sumber informasi dalam memengaruhi self-
efficacy dan motivasinya dalam keterlibatan belajar?
Pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai otoritas sumber
informasi memengaruhi keyakinan akan kemampuan dirinya (self-efficacy) dalam
belajar dan dalam menguasai materi (Ellis & Kruglanski, 1992). Pada saat yang
bersamaan, keberhasilan peserta didik dalam belajar juga dipengaruhi oleh self-
efficacy nya dalam menguasai materi pelajaran tertentu (Bandura, 2007). Bagi
mahasiswa dengan self-efficacy rendah, ia cenderung tergantung pada dosennya
sebagai sumber informasi yang ia percaya. Sebaliknya, bagi mahasiswa dengan
self-efficacy tinggi, ia cenderung tidak terlalu tergantung kepada dosennya sebagai
sumber informasi dalam membentuk pengetahuannya.
Penelitian disertasi ini melibatkan populasi mahasiswa Universitas
Indonesia (UI) semester pertama angkatan 2013. Mahasiswa semester pertama
dipilih sebagai sampel penelitian ini karena awal perkuliahan merupakan masa
yang penting bagi mahasiswa dalam membentuk minat, motivasi, dan tujuan
menjalani tugas belajarnya di perguruan tinggi. Lingkungan belajar di perguruan
tinggi yang sangat berbeda dengan sekolah menengah atas sangat mungkin
membuat mahasiswa baru merasa stres, cemas, dan sulit menyesuaikan diri.
Mahasiswa tingkat awal, terlepas dari jurusan ilmu pengetahuan yang
dipelajarinya, memiliki pandangan terhadap dosennya sebagai otoritas sumber
informasi (Raviv et al., 2003). Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui
apakah keterlibatan belajar mahasiswa dipengaruhi self-efficacy yang terbentuk
dari pengetahuan yang diperolehnya dari dosen yang ia pandang sebagai otoritas
sumber informasi.
Penelitian-penelitian tentang keyakinan epistemologi (epistemological
beliefs) individu dalam mengkonstruk pengetahuan masih jarang ditemukan dalam
praktik-praktik pembelajaran (Hofer, 2010). Dari penelitian disertasi Rifameutia
(2004) terungkap bahwa mahasiswa Universitas Indonesia (UI) semester dua dan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
15
Universitas Indonesia
empat membutuhkan keterampilan intelek dari dosennya. Dengan perkataan lain,
mahasiswa berkeyakinan bahwa pengetahuan yang dibangunnya bersumber pada
dosennya sebagai otoritas sumber informasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan makna
belajar dari dosen, motivasi intrinsik, self-efficacy, dan pandangan otoritas sumber
informasi berperan penting dalam keterlibatan belajar mahasiswa. Interaksi
keempat variabel ini peneliti tuangkan ke dalam Model Teoretik Keterlibatan
Belajar yang diuji kecocokannya dengan data penelitian disertasi ini.
Untuk menguji model keterlibatan belajar ini, peneliti melakukannya
secara bertahap melalui dua tahap penelitian. Untuk menguji dugaan peneliti
terhadap tujuh kebutuhan dasar psikologik, peneliti menggunakan desain mixed
methods (concurrent mixed methods design) yang dilaksanakan pada penelitian
pendahuluan. Penelitian tahap kedua merupakan penelitian utama yang dilakukan
untuk menguji model teoretik keterlibatan belajar.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang secara umum ingin dijawab dalam penelitian
ini adalah: “Bagaimana pandangan mahasiswa terhadap dosen dalam memberikan
kuliah dan keterlibatan belajar mahasiswa di dalam perkuliahan?” Untuk
menjawab pertanyaan umum penelitian ini, peneliti mengajukan pertanyaan-
pertanyaan terkait dua tahap penelitian yang direncanakan.
Untuk penelitian mixed methods yang dilaksanakan pada penelitian
pendahuluan, pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Apakah kebutuhan dasar psikologik SDT merupakan kebutuhan dasar
yang diprioritaskan oleh mahasiswa?
2. Kebutuhan dasar psikologik apa saja yang diprioritaskan oleh mahasiswa?
3. Apakah kebutuhan akan makna merupakan kebutuhan psikologik yang
mendasari perilaku mahasiswa dalam belajar?
4. Bagaimana mahasiswa memandang dosennya sebagai sumber informasi
dalam belajar di perkuliahan?
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
16
Universitas Indonesia
Penelitian tahap kedua atau penelitian utama disertasi ini merupakan
kelanjutan dari penelitian tahap pendahuluan. Pada penelitian tahap kedua,
dirancang model teoretik keterlibatan belajar untuk menjelaskan bagaimana
hubungan variabel dukungan makna belajar dari dosen, motivasi intrinsik, self-
efficacy, dan pandangan otoritas sumber informasi terhadap keterlibatan belajar.
Pertanyaan penelitian utama disertasi ini adalah: “Apakah dukungan makna
belajar dari dosen, motivasi intrinsik, self-efficacy, dan pandangan otoritas sumber
informasi berpengaruh terhadap keterlibatan belajar mahasiswa?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian disertasi ini adalah menguji model teoretik
keterlibatan belajar mahasiswa UI di dalam kegiatan perkuliahan. Model teoretik
penelitian ini menjelaskan pengaruh dukungan makna belajar dari dosen, motivasi
intrinsik dan self-efficacy, serta pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai
otoritas sumber informasi, terhadap keterlibatan belajar mahasiswa dalam
kegiatan perkuliahan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan diperoleh temuan baru dan memberikan
manfaat teoretik terhadap khazanah penelitian dalam bidang psikologi pendidikan.
Temuan mengenai kebutuhan dasar psikologik yang diprioritaskan oleh partisipan
dan interaksi variabel penelitian yang khas untuk penelitian ini diharapkan dapat
memberi masukan bagi Model Teoretik Keterlibatan Belajar.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para
dosen mengenai perannya dalam aktivitas belajar dalam perkuliahan yang dapat
membuat mahasiswa terlibat dalam belajar. Model teoretik keterlibatan belajar
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk merancang program
pelatihan bagi para dosen sebagai bekalnya dalam menghadapi mahasiswa dalam
perkuliahan agar mahasiswa bersemangat, berminat, tertantang, antusias, dan
tekun dalam melakukan kegiatan belajarnya.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
17 Universitas Indonesia
BAB 2
TELAAH LITERATUR
Telaah literatur dalam Bab 2 ini diawali dengan pembahasan mengenai
Keterlibatan Belajar. Perspektif Self Determination Theory (SDT) digunakan
sebagai landasan berpikir dalam membahas interaksi variabel dukungan makna
belajar dari dosen, motivasi intrinsik, self-efficacy dan otoritas sumber informasi
terhadap keterlibatan belajar. Pemaparan dalam Bab 2 diakhiri dengan
pembahasan kerangka berpikir menuju pembentukan Model Persaman Struktural
Keterlibatan Belajar.
2.1 Keterlibatan Belajar
Dalam penelitian ini, keterlibatan belajar mengacu pada pengertian student
engagement. Secara umum dalam bidang pendidikan, pengertian keterlibatan
merujuk pada keterlibatan peserta didik (student engagement), keterlibatan
sekolah (school engagement), keterlibatan terhadap tugas (task engagement),
keterlibatan belajar (learning engagement), dan keterlibatan akademik (academic
engagement). Keterlibatan peserta didik dan keterlibatan sekolah dipahami
sebagai keterlibatan peserta didik terhadap sekolahnya secara umum, yakni
keterlibatan dalam belajar, keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan
sekolah/ekstrakurikuler. Istilah keterlibatan belajar, keterlibatan terhadap tugas,
dan keterlibatan akademik, sering kali digunakan para peneliti untuk mengetahui
keterlibatan peserta didik di dalam kelas (Christenson, Reschly, & Wylie, 2012).
Di lingkungan perguruan tinggi, keterlibatan belajar mahasiswa dipahami
sebagai seberapa jauh mahasiswa terlibat dalam aktivitas belajarnya yang dapat
berdampak positif pada kualitas hasil belajarnya (Hu & Kuh, 2001, dalam
Trowler, 2010). Pada penelitian disertasi ini, peneliti menggunakan istilah
keterlibatan belajar untuk diteliti dalam lingkungan belajar mahasiswa di dalam
kegiatan perkuliahannya.
Secara umum, pengertian keterlibatan (engagement) lebih dari sekadar
berada (involvement) atau berpartisipasi (participation) dalam suatu kegiatan.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
18
Universitas Indonesia
Keterlibatan di sini mencakup perasaan dan penghayatan terhadap kegiatan yang
sedang berlangsung (Harper & Quaye, 2009 dalam Trowler, 2010). Menurut
Reeve (2012), keterlibatan belajar merupakan konstruk psikologik
multidimensional yang mencakup empat dimensi berbeda namun sangat
berkorelasi satu sama lain (Reeve, 2012 dalam Christenson et al., 2012). Empat
dimensi keterlibatan tersebut adalah keterlibatan perilaku, keterlibatan emosi,
keterlibatan kognitif, dan keterlibatan agentik (agentic engagement).
Keterlibatan perilaku tampak ketika mahasiswa menunjukkan perhatian,
konsentrasi, dan usaha yang dilakukan dalam menghadapi tugas-tugas belajarnya.
Selain itu keterlibatan emosi ditunjukkan melalui antusiasme dan minat dalam
belajar sebagai reaksi dari adanya tugas/materi yang menarik. Penggunaan strategi
belajar yang berorientasi kepada pendalaman materi dan bukan menghindari
kegagalan merupakan karakteristik keterlibatan kognitif dalam belajar. Ketiga
dimensi keterlibatan belajar ini, yaitu keterlibatan perilaku, keterlibatan emosi,
dan keterlibatan kognitif, secara jelas dapat menggambarkan keterlibatan belajar
masing-masing mahasiswa sebagai reaksi terhadap aktivitas belajarnya. Peneliti
memfokuskan penelitian ini pada tiga dimensi keterlibatan belajar yaitu,
keterlibatan perilaku, keterlibatan emosi, dan keterlibatan kognitif, sebagaimana
yang juga digunakan dalam penelitian Fredricks, dkk. (2004).
Menurut Reeve (2012 dalam Christenson et al., 2012), ketiga dimensi
keterlibatan belajar, yaitu keterlibatan perilaku, emosi, dan kognitif, menunjukkan
adanya keterlibatan agentik dalam proses belajar. Pada aktivitas belajar yang
sebenarnya, mahasiswa tidak saja bereaksi terhadap aktivitas belajar tetapi mereka
memberikan reaksi “lebih” dari sekadar yang tampak pada ketiga dimensi
keterlibatan belajar tersebut. Hubungan antara mahasiswa–dosen–lingkungan
belajar bukan sekadar hubungan linier. Adanya hubungan antara mahasiswa–
dosen–lingkungan belajar, memperkaya proses belajar mahasiswa (Bandura,
2006). Keterlibatan agentik mahasiswa, reaksi proaktif mahasiswa selama
aktivitas belajar memberi masukan kepada dosen mengenai seberapa kuat
pengaruhnya dalam memotivasi mahasiswanya dalam belajar. Hal ini
menunjukkan adanya hubungan yang resiprokal antara mahasiswa–dosen-
lingkungan belajar (Reeve, 2012 dalam Christenson et al., 2012).
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
19
Universitas Indonesia
Selama aktivitas belajar berlangsung, mahasiswa dapat sangat berminat,
ingin tahu, dan aktif bertanya, namun ada juga yang pasif, pikirannya tidak
terfokus pada materi perkuliahan, dan kehadirannya hanya sekadar memenuhi
syarat presensi. Keterlibatan belajar mahasiswa terentang dari yang sekadar
mematuhi aturan-aturan (compliance) sampai kepada pengerahan segala upaya
dari aspek-aspek psikologik yang dimiliki mahasiswa untuk memahami materi
secara mendalam (deep engagement) (Crick, 2012 dalam Christenson et al.,
2012).
Definisi dan Pengukuran Keterlibatan Belajar
Dalam memahami keterlibatan belajar, terdapat dua sudut pandang penting
yang dapat dijadikan dasar dalam menjelaskan keterlibatan belajar, yaitu sudut
pandang antropologi dan epistemologi (Crick, 2012 dalam Christenson et al.,
2012). Antropologi berurusan dengan sifat dan karakteristik dari individu dalam
mengembangkan diri, mencapai tujuan hidup dalam konteks budaya yang
berbeda. Epistemologi berurusan dengan sifat pengetahuan yang akan dibangun
dan bagaimana individu membangun pengetahuannya. Pendekatan-pendekatan
yang digunakan dalam penelitian tentang keterlibatan belajar pada tahun-tahun
terakhir ini mengacu pada kedua sudut pandang tersebut (Crick, 2012 dalam
Christenson et al., 2012). Keterlibatan belajar merupakan konstruk
multidimensional, dipengaruhi oleh lingkungan dimana aktivitas belajar
berlangsung, konteks sosial budaya, dan juga faktor internal dari individu. Karena
sifatnya yang multidimensional, maka sangat penting untuk meneliti keterlibatan
belajar sebagai suatu konstruk yang kompleks dan memiliki hubungan dialektik
antara sistem internal dari dalam diri individu (seperti motivasi, self-efficacy,
pemaknaan) dan lingkungan belajar, seperti metode belajar, manajemen dalam
belajar, dan faktor budaya (Crick, 2012 dalam Christenson et al., 2012).
Dalam menentukan definisi dan pengukuran keterlibatan belajar, ada tiga
hal yang perlu diperhatikan, yakni (1) bagaimana posisi keterlibatan belajar di
dalam penelitian, apakah sebagai indikator atau fasilitator, (2) perbedaan antara
indikator keterlibatan belajar dengan outcomes dari keterlibatan belajar, dan (3)
keunikan dari dimensi keterlibatan belajar (Lam et al., 2009). Hal yang juga perlu
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
20
Universitas Indonesia
diperhatikan adalah perlu dibedakan antara indikator keterlibatan belajar dengan
outcomes dari keterlibatan belajar. Sama halnya dengan yang pertama, bahwa
outcomes seperti prestasi, tidak seharusnya ada dalam definisi keterlibatan belajar
(Lam et al., 2009).
Dalam penelitian disertasi ini, definisi konseptual keterlibatan belajar
adalah sejumlah waktu dan usaha mahasiswa terlibat dalam aktivitas belajarnya
sesuai dengan tujuan dan visi misi perguruan tinggi (Kuh, et al. 2008).
Keterlibatan belajar merupakan suatu metakonstruk yang terdiri dari tiga dimensi,
yaitu afeksi (emosi), perilaku, dan kognisi (Fredricks et al., 2004). Keterlibatan
emosi merujuk pada perasaan-perasaan peserta didik dalam belajar (Connell &
Wellborn, 1991; Skinner & Belmont, 1993). Perasaan-perasaan terkait kegiatan
belajar merupakan refleksi dari motivasi intrinsik. Peserta didik yang memiliki
keterlibatan afeksi tinggi akan senang pergi ke sekolah dan senang belajar.
Keterlibatan perilaku terkait dengan partisipasi peserta didik di dalam kelas,
seperti terlibat dalam tugas-tugas yang diberikan. Keterlibatan kognisi
berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai dan pengaturan diri dalam belajar
(Fredricks et al., 2004).
Dalam meneliti keterlibatan belajar yang merupakan konstruk
multidimensional, penting pula meneliti hubungan dialektik antara faktor personal
dan faktor kontekstual/lingkungan belajar sebagai faktor-faktor yang
memengaruhi keterlibatan belajar, serta bagaimana pengetahuan dibangun oleh
individu. Peneliti menggunakan perspektif Self-determination Theory (SDT) (Deci
& Ryan, 2000) untuk menjelaskan keterlibatan belajar sebagai hasil dari hubungan
dialektik antara faktor personal dan faktor lingkungan belajar. Konsep utama SDT
yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar psikologik melalui dukungan
otonomi dari pengajar akan mendorong keterlibatan belajar. Hal ini
mencerminkan adanya hubungan dialektik dan resiprokal antara lingkungan
belajar dan faktor personal (Reeve, 2012, dalam Christenson et al., 2012). Dalam
aktivitas perkuliahan, pandangan mahasiswa terhadap dosennya yang mendukung
otonomi belajarnya (Reeve, 2012, dalam Christenson et al., 2012) dan
pandangannya terhadap dosennya sebagai otoritas sumber informasi dapat
memengaruhi keterlibatan belajarnya (Bar-Tal, Raviv, Raviv, Brosh, 1991; Raviv,
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
21
Universitas Indonesia
Bar-Tal, Raviv, Biran, & Sela, 2003; Quiamzade, Mugny, & Falomir, 2009).
Motivasi intrinsik mahasiswa yang muncul karena terpenuhinya kebutuhan dasar
psikologik (Reeve, 2004) dan self-efficacy yang dimiliki mahasiswa (Schunk &
Mullen, 2012) merupakan faktor-faktor personal yang dapat memengaruhi
keterlibatan belajar. Dalam penelitian ini, peneliti menyertakan self-efficacy untuk
diteliti sebagai faktor personal yang memiliki peran penting dalam keterlibatan
belajar (Bandura, 1997).
Berikut ini dijelaskan mengenai Self-determination Theory yang peneliti
gunakan sebagai kerangka teori penelitian ini.
2.2 Self-Determination Theory (SDT)
SDT merupakan teori motivasi yang dibangun berdasarkan lima teori kecil
(minitheories), untuk menjelaskan fenomena motivasi yang berasal dari dalam diri
(motivasi intrinsik) dan motivasi yang berasal dari luar diri (motivasi ekstrinsik).
Lima teori tersebut adalah teori kebutuhan dasar (basic needs theory), teori
organismik (organismic integration theory), teori konten tujuan (goal contents
theory), teori kognitif (cognitive evaluation theory), dan teori orientasi kausalitas
atau causality orientation theory (Reeve, 2012, dalam Christenson et al., 2012).
Masing-masing teori ini berkontribusi bagi perspektif SDT dalam menjelaskan
motivasi yang ada di balik keterlibatan belajar peserta didik.
Basic needs theory menekankan tiga kebutuhan dasar psikologik sebagai
sumber motivasi yang secara terlahir ada dan berasal dari dalam diri individu.
Kebutuhan dasar psikologik ini berfungsi sebagai “bahan dasar” dan “gizi” bagi
motivasi peserta didik, keterlibatan belajar yang prima, pengendalian diri, dan
kesejahteraan psikologiknya (Reeve, 2012, dalam Christenson et al., 2012).
Organismic integration theory menjelaskan proses internalisasi yang terjadi dalam
diri peserta didik. Perilaku sosial yang pada mulanya muncul didorong oleh
motivasi ekstrinsik, melalui proses internalisasi dapat berubah menjadi perilaku
yang terdorong oleh motivasi intrinsik. Goal contents theory dalam SDT
menjelaskan motivasi yang dimiliki peserta didik, baik motivasi intrinsik atau
ekstrinsik, yang mendorongnya meraih tujuan belajar. Cognitive evaluation theory
menjelaskan bagaimana faktor-faktor eksternal (seperti umpan balik)
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
22
Universitas Indonesia
memengaruhi proses terjadinya motivasi intrinsik dalam diri peserta didik.
Lingkungan di luar peserta didik terkadang dapat mendukung, namun di lain
waktu dapat menghambat pemenuhan kebutuhan dasar psikologik peserta didik.
Causality orientations theory memberi pemahaman tentang perbedaan individual,
bagaimana peserta didik memotivasi dirinya.
Perspektif SDT (Ryan & Deci, 2002) memahami tingkah laku dan
pengalaman individu sebagai kejadian-kejadian yang bermakna bagi individu.
Pengalaman-pengalaman sosial yang bermakna bagi individu adalah pengalaman-
pengalaman yang dapat memenuhi kebutuhan dasar psikologiknya, yaitu
kebutuhan otonomi, kompeten, dan berhubungan dengan orang lain. Ketika ketiga
kebutuhan dasar psikologik ini terpenuhi, individu disebut “self-determined”
(Ryan & Deci, 2000).
Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa terdapat beragam jenis motivasi,
terentang dari tingkat determinasi diri yang tinggi (otonom, self-determined)
hingga tingkat yang rendah atau terkontrol (Tessier, Sarrazin, & Ntoumanis,
2010). Bentuk motivasi yang didasari determinasi diri yang tinggi dinamakan
motivasi intrinsik (Grouzet, Vallerand, Thill, & Provencher, 2004). Peserta didik
termotivasi secara intrinsik, ketika keterlibatan belajarnya disebabkan oleh
ketertarikan terhadap materi kuliah, atau termotivasi secara ekstrinsik ketika
keterlibatan belajarnya disebabkan alasan lain, misalnya karena diperintah, atau
untuk mendapat reward. Peserta didik dapat pula tidak memiliki motivasi dalam
belajar. Untuk memulai dan mempertahankan keterlibatan belajarnya, sebagian
peserta didik cocok dengan arahan yang sifatnya memberi kebebasan kepada
peserta didik untuk menentukan kegiatan belajarnya, namun sebagian peserta
didik lain tergantung dari kontrol dan aturan-aturan yang ada dalam kegiatan
belajar (Reeve, 2012 dalam Christenson et al., 2012). Dalam SDT, motivasi
intrinsik terjadi ketika faktor eksternal dipandang memenuhi ketiga kebutuhan
dasar psikologik, yaitu kebutuhan otonomi, kebutuhan kompeten, dan kebutuhan
hubungan dengan orang lain (Ryan & Deci, 2000).
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
23
Universitas Indonesia
2.3 Keterlibatan Belajar dalam Perspektif SDT
Keterlibatan belajar dalam perspektif SDT dimengerti sebagai proses
dialektik antara sumber-sumber motivasi yang dimiliki peserta didik dan
lingkungan belajar yang dapat memfasilitasi atau menghambat keterlibatan
belajarnya. Motivasi peserta didik dan lingkungan belajarnya saling memengaruhi
satu sama lain. Pengalaman belajar yang dijalani oleh peserta didik merupakan
cerminan dari pemuasan atau adanya hambatan terhadap pemenuhan kebutuhan
psikologik dari lingkungan belajar. Di sisi lain, pada saat yang sama lingkungan
belajar memberikan reaksi terhadap perilaku belajar yang ditampilkan peserta
didik. Proses resiprokal terjadi antara peserta didik dan lingkungan belajarnya,
khususnya dalam hubungan antara peserta didik dan pengajar. Peserta didik secara
berkesinambungan meregulasi motivasinya dalam keterlibatan belajarnya,
sebagaimana sifat keterlibatan belajar yang sangat mudah berubah (malleable)
(Fredericks et al., 2004; Reeve, 2012 dalam Christenson et al., 2012). Penelitian-
penelitian dalam kerangka SDT menganalisis keterlibatan belajar berdasarkan tiga
dimensi keterlibatan belajar, yang terdiri dari keterlibatan perilaku, keterlibatan
emosi, dan keterlibatan kognitif (Reeve et al, 2004; Skinner & Belmont, 1993).
2.3.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Keterlibatan Belajar
Penelitian-penelitian yang mengacu pada SDT menghasilkan temuan
bahwa motivasi dipengaruhi faktor lingkungan melalui dampaknya terhadap
persepsi individu mengenai kompetensi, otonomi, dan hubungannya dengan orang
lain (Grouzet, Vallerand, Thill, & Provencher, 2004). Pemaparan mengenai
faktor-faktor yang memengaruhi keterlibatan belajar dimulai dengan motivasi
intrinsik, kebutuhan dasar psikologik yang kemudian dalam penelitian ini peneliti
namakan sebagai kebutuhan akan makna, self-efficacy, dan otoritas sumber
informasi.
2.3.1.1 Motivasi Intrinsik
Penelitian mengenai keterlibatan belajar hampir selalu dikaitkan dengan
motivasi. Motivasi dan keterlibatan belajar sama-sama dipengaruhi lingkungan
belajar dan merupakan faktor yang berperan bagi keberhasilan belajar peserta
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
24
Universitas Indonesia
didik (Martin, 2006). Penelitian Skinner, dkk. (2009) menunjukkan bahwa
motivasi yang otonom memengaruhi keterlibatan perilaku dan keterlibatan emosi,
sedangkan penelitian Vansteenkiste, dkk. (2005) mengungkapkan bahwa motivasi
otonom membuat seseorang memiliki keterlibatan kognitif. Motivasi otonom
peserta didik memengaruhi strategi belajar pendalaman materi ketimbang strategi
belajar yang hanya mengandalkan hafalan.
Istilah motivasi dan keterlibatan belajar bagi sebagian peneliti seringkali
tidak dibedakan dan digunakan secara bergantian dalam menjelaskan aktivitas
belajar peserta didik (Martin, 2007). Bagi peneliti lain, motivasi dan keterlibatan
belajar dianggap dua konstruk yang berbeda. Motivasi mewakili sesuatu yang
sifatnya internal (tidak terlihat), sedangkan keterlibatan belajar merupakan
perilaku yang dapat diamati (Christenson et al., 2012). Motivasi merujuk pada
sumber kekuatan dalam diri individu yang memberi energi dan arah perilaku
individu (Reeve, 2009a). Energi dari motivasi membuat individu bersemangat,
membuat individu bertahan, dan tekun menghadapi tugas-tugasnya. Motivasi
memberi arah terhadap perilaku yang bertujuan. Keterlibatan belajar merupakan
partisipasi aktif dalam aktivitas belajar (Wellborn, 1991).
Pemahaman motivasi intrinsik berawal dari pandangan bahwa manusia
merupakan makhluk yang proaktif dan secara alamiah memiliki kecenderungan
untuk aktif mengembangkan diri (Deci & Ryan, 2000). Perilaku-perilaku yang
didasari oleh dorongan yang sifatnya intrinsik dialami individu sebagai
pengalaman yang menyenangkan dan dilakukan bukan karena adanya imbalan
yang sifatnya eksternal.
Adanya kebutuhan dari dalam diri untuk mewujudkan dan
mengembangkan potensi diri menggerakkan individu untuk melakukan
tindakannya dan membuktikan dirinya bahwa ia mampu dan bisa melakukan
tugas-tugasnya. Begitu juga dengan adanya kebutuhan dari individu untuk
menentukan sendiri apa yang ingin dilakukannya (self-determined), mendorong
individu untuk melakukan tindakan yang berasal dari dalam dirinya. Dengan
demikian, perilaku-perilaku yang didorong oleh motivasi yang sifatnya intrinsik,
didasari oleh kebutuhan-kebutuhan psikologik individu untuk merasa mampu dan
mencapai apa yang direncanakan untuk dirinya (Deci & Ryan, 2000, hal.233).
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
25
Universitas Indonesia
Motivasi intrinsik erat kaitannya dengan keterlibatan individu dalam tugas-
tugasnya yang dirasakan mengasyikkan dan hal ini mendorong perkembangan diri
yang positif.
Karena sifat motivasi intrinsik yang berasal dari dalam diri dan didasari
oleh kebutuhan-kebutuhan psikologik yang sifatnya juga sudah terberi dalam diri
individu (innate), maka individu membutuhkan "nutrisi" untuk mengisi
kebutuhan-kebutuhan psikologik tersebut. SDT memandang bahwa individu
membutuhkan pemuasan terhadap kebutuhan psikologiknya untuk dapat terlibat
aktif dalam aktivitas yang menyenangkan baginya (Deci & Ryan, 2000). Menurut
SDT, individu juga perlu merasa bebas, otonom, melakukan apa yang ingin
dilakukannya, bukan hanya sekadar memuaskan kebutuhan kompetensinya.
Menurut perspektif SDT, terpenuhinya kebutuhan dasar psikologik
menimbulkan motivasi intrinsik yang sangat penting bagi perkembangan
psikologik dalam jangka waktu yang panjang. Dengan demikian, kebutuhan dasar
psikologik berperan sebagai nutrisi bagi perkembangan diri yang optimal dan
terbentuknya integrasi diri yang positif (Deci & Ryan, 2000). Pemuasan dari
ketiga kebutuhan dasar psikologik memengaruhi kesejahteraan psikologik
(psychological well-being). Sebaliknya, tidak terpenuhinya ketiga kebutuhan dasar
psikologik dapat menghambat perkembangan diri yang positif dan kesejahteraan
psikologik. Dengan demikian, terbentuknya motivasi intrinsik menjadi penting
bagi individu bagi perkembangan diri yang positif dan optimal. Berikut ini
dibahas mengenai kebutuhan psikologik dan motivasi intrinsik menurut perspektif
SDT.
2.3.1.2 Kebutuhan Dasar Psikologik
Kebutuhan-kebutuhan dasar psikologik yang dipostulasikan SDT, yaitu
otonomi, kompeten, dan hubungan dengan orang lain merupakan temuan empiris
dari penelitian-penelitian dalam bidang motivasi. Pada sekitar tahun 1970 hanya
ada beberapa peneliti yang mulai meneliti mengenai motivasi intrinsik (Deci,
1971; Kruglanski, Friedman, & Zeevi, 1971; Lepper, Greene, & Nisbett, 1973).
Teori tingkah laku operan memberikan pengaruh kuat terhadap munculnya
penelitian terkait motivasi intrinsik.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
26
Universitas Indonesia
Bila dilihat dari perkembangan penelitian tentang motivasi intrinsik,
terdapat dua pengertian definisi motivasi intrinsik sebagai reaksi terhadap teori-
teori tingkah laku (behavioral theories). Berbeda dengan teori Skinner (1953)
yang menyatakan bahwa perilaku adalah fungsi dari reinforcement, perilaku yang
didasari motivasi intrinsik tidak dipicu oleh reinforcement, melainkan kepuasan
yang timbul dari melakukan kegiatan yang menarik dan menyenangkan.
Pengertian lain mengenai motivasi intrinsik sebagai respon terhadap teori Hull
(1943) yang mengatakan bahwa terbentuknya perilaku karena terpuaskannya
kebutuhan dasar fisiologik. Selain itu motivasi intrinsik juga menekankan adanya
pemuasan kebutuhan dasar psikologik dibalik perilaku individu. Dari kedua
pengertian teori motivasi tersirat bahwa manusia terkesan pasif dalam menjalani
hidupnya dan sangat tergantung dari keadaan fisiknya (Deci & Ryan, 2000).
Pengertian motivasi intrinsik sebenarnya berasal dari pemahaman bahwa
manusia adalah makhluk yang proaktif dan untuk dapat berfungsi secara efektif
dalam menghadapi lingkungan ada kecenderungan yang alamiah dari individu
dalam perkembangannya yang menuntut pemenuhan kebutuhan psikologiknya.
Bila seseorang termotivasi secara intrinsik, maka ia akan terlibat dan merasa
senang dalam kegiatan yang sedang dihadapinya dan dapat mendorong
perkembangan dirinya kearah yang positif. Pada saat yang sama, keterlibatan yang
aktif, komitmen pada kegiatan yang mengasyikkan membutuhkan pemenuhan dan
pemuasan kebutuhan, dan individu akan lebih terlibat atau kurang bersemangat
dalam beraktivitas merupakan fungsi dari seberapa kuat pengalamannya
memberikan pemuasan kebutuhan psikologik pada saat kegiatan berlangsung
(Deci & Ryan, 2000).
Di bawah ini dipaparkan temuan penelitian-penelitian tentang hubungan
antara ketiga kebutuhan dasar psikologik (otonomi, kompeten, dan hubugan
dengan orang lain) dan motivasi intrinsik.
2.3.1.2.1 Kebutuhan Otonomi dan Motivasi Intrinsik
Menurut SDT, otonomi merupakan kebutuhan dasar psikologik manusia
yang bersifat universal. Kebutuhan otonomi individu mendorong perilaku yang
otonom yang didasari oleh motivasi intrinsik, terbebas dari tekanan di luar
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
27
Universitas Indonesia
dirinya. Pengertian reward eksternal (hadiah) atau reinforcement (penguatan)
yang bertujuan untuk memperkuat munculnya perilaku yang diinginkan, justru
dapat menurunkan motivasi intrinsik.
Penelitian-penelitian tentang motivasi intrinsik memperlihatkan adanya
peran mediasi dari persepsi otonomi. Pada penelitian eksperimental yang
dilakukan Reeve dan Deci (1998) ditemukan bahwa untuk memenangi kompetisi
penyelesaian puzzle, bukan saja kondisi yang menekan yang dapat menurunkan
motivasi intrinsik atau kondisi yang bebas terlepas dari kontrol yang mendorong
kompetisi, tetapi adanya mediasi persepsi otonomi peserta yang memengaruhi
kemenangan yang diperoleh dalam kompetisi yang dirancang di dalam
eksperimen. Penelitian-penelitian yang banyak dilakukan di Amerika
menunjukkan bahwa ketika kebutuhan otonomi individu terpenuhi, maka prestasi
akademik dan keyakinan tentang kemampuan yang dimiliki akan meningkat
(Reeve, 2002). Melengkapi penelitian yang dilakukan secara eksperimental, dalam
penelitian yang dilakukan di lingkungan sekolah terbukti bahwa adanya dukungan
otonomi dan adanya kontrol perilaku dalam batas tertentu, berasosiasi dengan
dampak-dampak positif antara lain motivasi intrinsik, kepuasan yang meningkat,
dan meningkatkan well-being (Deci & Ryan, 2000).
2.3.1.2.2 Kebutuhan Kompeten dan Motivasi Intrinsik
Berbeda dengan pengaruh yang terjadi pada otonomi individu dan
motivasi intrinsiknya, adanya masukan yang positif, seperti reward berupa
positive feedback terhadap kinerja individu dapat meningkatkan motivasi intrinsik
(Boggiano & Ruble, 1979). Masukan yang negatif sebaliknya dapat menurunkan
kinerja individu (Deci & Cascio, 1972). Dalam SDT, dampak dari ada atau
tidaknya masukan terhadap kinerja individu memengaruhi pemuasan individu
terhadap kebutuhan kognitifnya atau kompetensinya (Deci & Ryan, 1980).
Dengan terpenuhinya kebutuhan kompeten karena adanya masukan yang positif,
maka motivasi intrinsik akan meningkat. Sebaliknya, tidak terpenuhinya
kebutuhan kompeten karena adanya masukan yang negatif menyebabkan
penurunan motivasi intrinsik.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
28
Universitas Indonesia
Masukan positif dapat secara signifikan berpengaruh terhadap motivasi
intrinsik hanya jika individu merasakan adanya tuntutan dan merasa bertanggung
jawab kepada kinerjanya (Fisher, 1978) dan jika individu memiliki keinginan
untuk otonom (Ryan, 1982). Dengan demikian, motivasi intrinsik yang optimal
dimiliki individu dapat dialami, apabila individu merasakan adanya kepuasan atas
terpenuhinya kebutuhan otonomi dan kompeten (Deci & Ryan, 1980). Dijelaskan
lebih lanjut, persepsi tentang kompetensi individu penting bagi setiap tipe
motivasi, sementara persepsi tentang otonomi diri adalah syarat untuk
terbentuknya motivasi intrinsik (Deci & Ryan, 2000).
Dari penjelasan di atas, peneliti berpendapat bahwa individu dapat
termotivasi secara intrinsik bila ia merasa bebas dalam melakukan kegiatan yang
dirasakannya mengasyikkan dan menarik, karena memberikannya tantangan dan
nilai positif bagi dirinya. Penelitian-penelitian tentang motivasi intrinsik
mengungkap bahwa reward yang dapat menggugah lokus kontrol eksternal
cenderung menurunkan motivasi intrinsik. Selain itu, pengalaman yang
memberikan masukan negatif memengaruhi persepsi tentang tidak kompetennya
individu yang bersangkutan dan berdampak pada menurunnya motivasi intrinsik.
Di sisi lain, masukan positif yang dialami individu dapat memengaruhi persepsi
tentang kompetensinya dan dapat meningkatkan motivasi intrinsik, dengan syarat
individu yang bersangkutan merasa bertanggung jawab terhadap kinerjanya (Deci
& Ryan, 2000). Terpenuhinya kebutuhan kompeten melalui masukan yang positif
dari lingkungan tidak cukup membuat individu termotivasi secara intrinsik, tetapi
juga diperlukan adanya tanggung jawab individu dalam menyelesaikan tugas atau
kegiatan yang sedang dilakukannya. Individu perlu merasa bahwa kegiatan yang
dilakukannya bermanfaat atau bernilai bagi dirinya, sehingga timbul tanggung
jawab terhadap hasil kinerjanya dan kepuasan terhadap terpenuhinya kebutuhan
kompetensi dirinya (Deci & Ryan, 2000).
2.3.1.2.3 Kebutuhan Hubungan dengan Orang lain dan Motivasi Intrinsik
Kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain juga berperan besar
terhadap motivasi intrinsik, walaupun pengaruhnya tidak langsung. Pada salah
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
29
Universitas Indonesia
satu contoh eksperimen terhadap anak-anak ditemukan bahwa motivasi intrinsik
yang ditampilkan anak pada saat ia asyik berkegiatan dengan ditemani
eksperimenter berbeda dengan ketika eksperimenter mengabaikan interaksi
dengan anak. Pada situasi kedua, anak menunjukkan motivasi intrinsik yang
rendah (Anderson, Manoogian, & Reznick, 1976). Secara implisit, pentingnya
kebutuhan berhubungan dengan orang lain bagi motivasi intrinsik banyak dibahas
dalam teori attachment/kedekatan emosi (Bowlby, 1979). Kedekatan emosi antara
orang tua dan bayinya berdampak kepada perilaku bayi dalam mengeksplorasi
lingkungannya.
Kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain merefleksikan
kebutuhan untuk memiliki ikatan hubungan yang kuat, stabil dan sehat dengan
orang lain (Baumeister & Leary, 1995). Kualitas kedekatan hubungan dengan
orang lain bukan sekadar membantu terpenuhinya kebutuhan dasar psikologik
untuk berhubungan dengan orang lain. Adanya perasaan sejahtera dapat
berhubungan dengan orang lain merupakan fungsi dari konteks dimana hubungan
antar individu berlangsung yang saling mendukung pemenuhan kebutuhan dasar
psikologiknya. Dalam berinteraksi, masing-masing individu termotivasi untuk
menciptakan hubungan yang baik yang didasarkan atas motivasi yang sifatnya
otonom/berasal dari dalam diri sendiri yang dapat memfasilitasi bagaimana
mereka memandang dan mengatasi ketidakcocokan dan konflik antar mereka
(Patrick, Knee, Canevello, & Lonsbary, 2007). Perspektif tentang kebutuhan dasar
psikologik juga penting karena kebutuhan-kebutuhan ini merupakan motivasi
yang mendasari kesejahteraan hubungan antar individu (La Guardia & Patrick,
2008). Dengan kata lain, alasan penting mengapa adanya ikatan yang nyaman dan
bergantung secara emosional dengan orang lain dapat memprediksi hubungan
baik, karena proses dalam hubungan antar individu memfasilitasi pemenuhan
kebutuhan dasar di dalam diri yang bersangkutan (Chirkov et al., 2011).
Maulana, Opdenakker, den Brok, dan Bosker (2011) melakukan penelitian
terhadap peserta didik Sekolah Menengah Pertama di Indonesia mengenai
hubungan interpersonal guru dan peserta didik dan motivasi peserta didik yang
masih jarang diteliti di Indonesia. Hasil utama penelitian menunjukkan adanya
hubungan antara persepsi peserta didik terhadap hubungan interpersonal guru dan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
30
Universitas Indonesia
motivasi peserta didik. Perilaku guru, baik yang mengontrol (influence) maupun
memberi pilihan (proximity), merupakan determinan penting motivasi peserta
didik, dan berhubungan dengan motivasi otonom yang lebih tinggi. Sementara itu,
perilaku guru yang mengontrol peserta didik juga berpengaruh kepada motivasi
peserta didik yang dikontrol oleh faktor eksternal. Secara umum hasil penelitian
ini memberi masukan bahwa untuk termotivasi dalam belajar, peserta didik lebih
senang dikontrol. Hal ini berbeda dengan apa yang ditemukan dalam sebagian
besar penelitian-penelitian SDT.
2.3.1.3 Dukungan Otonomi
Penelitian-penelitian mengenai dukungan otonomi (autonomy support)
dalam belajar, lebih banyak ditemukan di tingkat pendidikan sekolah menengah
bila dibandingkan di tingkat pendidikan tinggi (Young-Jones, et.al., 2014).
Namun demikian, dalam meneliti dukungan otonomi dalam lingkungan belajar,
terlepas dari partisipan yang diteliti, untuk melengkapi analisis literaturnya, para
peneliti merujuk hasil-hasil penelitian dari segala tingkat pendidikan.
Para peneliti SDT (Grolnick et al., 1997; Reeve, 2004) menemukan bahwa
perilaku pengajar memberikan dampak kepada emosi dan keterlibatan belajar
peserta didik di dalam kelas. Lingkungan belajar di dalam kelas terkadang
membuat peserta didik tertekan, bosan, tidak termotivasi mengikuti pelajaran,
disisi lain dapat membuat peserta didik aktif dan antusias dalam belajar.
Lingkungan belajar di ruang kuliah yang difasilitasi dosen dapat memengaruhi
kepada hubungan dosen dan mahasiswa, yang kemudian dapat menggugah
motivasi mahasiswa selama pembelajaran berlangsung (Reeve, 2006 ).
Menurut SDT, gaya mengajar guru atau dosen di dalam kelas berada di
dalam kontinum dari yang sangat mengontrol perilaku belajar sampai mendukung
otonomi belajar peserta didik. Guru yang mendukung otonomi peserta
didik/mahasiswa dapat memfasilitasi pemenuhan kebutuhan dasar psikologik,
minat peserta didik dan memberikan peluang dalam memilih kegiatan belajar di
dalam kelas (Reeve, 2006, hal.228). Di lain pihak, guru atau dosen yang
cenderung mengontrol perilaku peserta didiknya dapat menghambat motivasi
dalam belajar, karena peserta didik dituntut untuk mengikuti dan mematuhi
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
31
Universitas Indonesia
instruksi-instruksi dari guru atau dosennya dan dosen tidak menaruh perhatian
kepada motivasi yang ada di dalam diri peserta didik.
Deci dan Ryan (2000) mengungkapkan bahwa individu dapat terlibat di
berbagai perilaku yang bertujuan dalam usahanya untuk meraih kompetensi diri
dan berhubungan dengan orang lain. Perilaku yang ditampilkan individu dapat
berasal dari dalam diri secara otonom/mandiri, atau ada kontrol dari luar diri
individu. Misalnya diantara dua mahasiswa, yang satu tekun dan sangat berminat
menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya dan berhasrat mengikuti lomba karya
ilmiah, sedangkan mahasiswa lainnya sibuk berorganisasi agar diterima di dalam
kelompok teman-temannya. Perilaku yang ditampilkan kedua mahasiswa tersebut
dapat dikatakan sebagai perilaku otonom atau perilaku yang dikontrol oleh
sesuatu yang asalnya dari luar diri. Mahasiswa yang pertama merasa kompeten
dapat mengikuti lomba karya ilmiah karena adanya motivasi yang berasal dari
dalam diri maupun dari luar, sedangkan mahasiswa yang kedua, melakukan segala
kegiatan keorganisasiannya kemungkinannya atas dasar pertimbangan dari dalam
diri atau atas dasar adanya ajakan atau tekanan dari seniornya. Dengan demikian,
otonomi memiliki arti dan peran yang unik dalam posisinya sebagai salah satu
dari tiga kebutuhan dasar psikologik manusia, yakni otonomi dalam perannya
meregulasi perilaku (berlawanan dari kontrol perilaku) dan otonomi sebagai
kebutuhan dasar psikologik. Peran otonomi dalam meregulasi perilaku dapat
memuaskan kebutuhan dasar kompeten dan hubungan dengan orang lain. Namun
demikian, memenuhi kebutuhan otonomi merupakan hal yang esensial untuk
mencapai perilaku yang ditentukan oleh diri sendiri (self-determined) serta untuk
meraih sesuatu secara optimal.
Lingkungan belajar yang kondusif di dalam kelas merupakan tanggung
jawab guru di dalam kelas. Orientasi motivasional mengajar seorang guru yang
dipersepsikan oleh peserta didiknya sangat memengaruhi motivasinya dalam
belajar (Pierro, Presaghi, Higgins, & Kruglanski, 2009; Roth, Assor, Kanat-
Maymon, & Kaplan, 2007; Sierens, Vansteenkiste, Goosens, Soenens, & Dochy,
2009). Peserta didik yang memperoleh dukungan otonomi dari guru menjadi
sangat terlibat dalam belajar di kelas, lebih kreatif, lebih luwes dalam berpikir,
tidak merasa tertekan dan tegang dalam belajar, serta menunjukkan motivasi
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
32
Universitas Indonesia
intrinsik, minat yang besar, emosi positif, harga diri positif, kesehatan fisik dan
psikologik yang lebih baik, dan kepercayaan yang lebih baik terhadap orang lain
(Deci & Ryan, 1987). Penelitian-penelitian secara konsisten menemukan regulasi
diri yang otonom berkorelasi dengan keuletan, afek-afek positif yang lebih
dominan, peningkatan prestasi, dan kesejahteraan psikologik yang lebih baik
(Deci & Ryan, 2007). Untuk menampilkan perilaku yang otonom dibutuhkan
pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan, yang mendorong
tertanamkannya motivasi otonom yang secara intrinsik mendorong individu
meregulasi perilakunya. Dengan demikian, dibutuhkan suatu dukungan otonomi
(autonomy support) dari lingkungan terhadap otonomi dari individu. Orang-orang
di sekitar kehidupan individu memiliki peran terhadap perilaku yang otonom dari
individu.
Dukungan otonomi merupakan perilaku figur otoritas yang menghargai
dan memberi kebebasan kepada orang lain yang posisinya lebih rendah, untuk
memahami pemikiran-pemikirannya, mendorongnya agar berani melakukan
tindakan, dan mendukung keinginannya untuk menentukan pilihannya sendiri
(Deci & Ryan, 2007; 1987, dalam Tessier, Sarrazin, & Ntoumanis, 2010) serta
memberikan umpan balik dengan cara yang informatif ketimbang dengan cara
yang mendikte atau mengontrol perilaku (Chirkov, 2006). Dengan kata lain,
kualitas hubungan interaksi dengan orang lain yang signifikan, seperti guru,
atasan, orang tua, dapat memengaruhi derajat dimana inidividu merasa otonom,
kompeten, dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Dalam penelitian
ini dukungan otonomi dosen dapat didefinisikan sebagai kualitas hubungan
interaksi dosen dan mahasiswa yang dapat memenuhi pemuasan kebutuhan dasar
psikologik mahasiswa yakni kebutuhan otonomi, kompeten dan hubungan dengan
orang lain.
Dukungan otonomi terhadap keterlibatan belajar di perguruan tinggi dapat
berupa iklim pembelajaran dan peran dosen. Perguruan tinggi berperan penting
terhadap keterlibatan mahasiswa dalam perkuliahannya dengan memberikan
banyak kesempatan dan fasilitas, insentif, serta penghargaan-penghargaan untuk
perkembangan diri mahasiswa (Strange & Banning, 2001). Dosen, tenaga
kependidikan di bidang akademik, dan manajer pendidikan dapat memengaruhi
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
33
Universitas Indonesia
pandangan mahasiswa sejauh mana institusi dapat memberi kesempatan kepada
mahasiswa untuk berprestasi sebaik mungkin dan hal ini mendorong keterlibatan
belajar mahasiswa (Hu & Kuh, 2002). Berikut ini dijelaskan iklim pembelajaran
di perguruan tinggi yang dapat memengaruhi keterlibatan belajar mahasiswa dan
peran dosen dalam keterlibatan belajar mahasiswa.
2.3.1.3.1 Iklim Pembelajaran di Perguruan Tinggi
Di dalam lingkungan kampus, pembimbing akademik berperan penting
dalam keterlibatan mahasiswanya. Melalui pembimbing akademik, mahasiswa
didukung dan didorong untuk lebih terlibat bersama teman-temannya dalam
kegiatan kampus dan memberikan informasi tentang kegiatan-kegiatan akademik
yang dapat membantunya belajar dan berkembang (Kuh, et al., 2007).
Dalam aktivitas perkuliahan, dukungan dosen dapat memfasilitasi dan juga
menghambat keterlibatan belajar mahasiswa (Trowler, 2010). Dosen yang dapat
memberikan contoh konkret dari materi perkuliahan yang disampaikan ke dalam
realita kehidupan mahasiswa dapat membuat mahasiswa lebih terlibat dalam
belajar (Hu & Kuh, 2002). Dalam eksperimen yang dilakukan terhadap
mahasiswa baru di perguruan tinggi di Amerika, adanya sedikit perubahan dalam
bahasa yang digunakan oleh dosen dapat menciptakan lingkungan belajar yang
mendukung otonomi atau justru menekan/mengontrol perilaku belajar mahasiswa
(Young-Jones, Cara, & Levesque, 2014).
Hubungan baik dan kedekatan dengan dosen berperan penting dalam
keberhasilan belajar mahasiswa (Kuh et al., 2007). Studi eksperimental pada
mahasiswa yang bermotivasi belajar relatif tinggi, membuktikan bahwa perasaan
terisolasi secara signifikan menurunkan energi untuk berpikir dan hal ini secara
temporer menurunkan skor tes inteligensi (Baumeister, Twenge, & Nuss, 2002).
Perasaan terisolasi juga berpengaruh terhadap meningkatnya perilaku ceroboh
mahasiswa (Twenge, Catanese, & Baumesiter, 2002).
Pada metode belajar student-centered, mahasiswa dituntut untuk aktif
berperan dan bertanggung jawab dalam proses belajarnya. Melalui metode belajar
student-centered, mahasiswa diberi keleluasaan dalam memahami dan memilih
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
34
Universitas Indonesia
strategi belajarnya, dan kebutuhan mahasiswa dalam belajar dapat terpenuhi
(Cornelius & Gordon, 2008).
2.3.1.3.2 Peran Dosen dalam Keterlibatan Belajar Mahasiswa
Keterlibatan belajar dalam kegiatan perkuliahan ditandai dengan adanya
hubungan dialektik antara dosen dan mahasiswa. Pandangan mahasiswa terhadap
dosennya sebagai agen yang dapat memenuhi kebutuhan psikologiknya (Deci &
Ryan, 2000) dan merupakan otoritas sumber informasi dapat memengaruhi
kualitas keterlibatan belajarnya (Quiamzade, Mugny, & Falomir, 2009).
Pemuasan kebutuhan dasar psikologik mahasiswa melalui dukungan otonomi dari
dosen dapat menimbulkan motivasi intrinsiknya dalam belajar, dan pada saat yang
sama memengaruhi keterlibatan belajarnya (Reeve, 2006).
Konsep SDT tentang kebutuhan otonomi yang universal masih
diperdebatkan. Hasil penelitian masih inkonsisten dan menunjukkan bahwa
otonomi hanya berlaku di budaya Barat. Pada subbab di bawah ini disampaikan
dua penelitian yang mengungkap kebutuhan dasar psikologik yang dianggap
penting untuk dipenuhi di budaya Timur dan masyarakat yang kolektivis.
2.3.1.4 Penelitian mengenai Prioritas Kebutuhan Dasar Psikologik
Dalam penelitian disertasi ini peneliti mengacu dua penelitian yang
temuannya mengungkap kebutuhan dasar psikologik yang dianggap penting oleh
respondennya. Penelitian tersebut adalah penelitian dari Sheldon, Kim, dan Kasser
(2001) dan Grouzet, Kasser, Ahuvia, Hols, Kim, Lau, Ryan, Saunders, Schmuck,
& Sheldon (2005).
Sheldon, Kim, dan Kasser (2001) melalui penelitiannya terhadap
mahasiswa Amerika dan Korea Selatan menelusuri 10 kebutuhan dasar psikologik
yang menjadi prioritas bagi respondennya. Kebutuhan dasar psikologik tersebut
adalah kebutuhan otonomi, kompeten, hubungan dengan orang lain, kebugaran
fisik, rasa aman, harga diri, aktualisasi diri, kesenangan duniawi, uang-
kemewahan, dan popularitas-pengaruh. Kompeten merupakan konstruk psikologik
yang sudah banyak diteliti oleh peneliti lain seperti mastery dari White (1959,
dalam Sheldon et al., 2001), self-efficacy dari Bandura (1997), dan achievement
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
35
Universitas Indonesia
motivation dari Atkinson (1964, dalam Sheldon et al., 2001). Kebutuhan akan
hubungan dengan orang lain juga sudah banyak diteliti oleh para peneliti lain
(Baumeister & Leary, 1995; Reis & Patrick, 1996 dalam Sheldon et al., 2001).
Kebutuhan otonomi walaupun masih sering kali dipahami secara berbeda (Ryan &
Deci, 2000), namun konstruk ini banyak dibicarakan di berbagai teori kepribadian
(Erickson, 1963; Murray, 1938; Rogers, 1963 dalam Sheldon et al., 2001).
Teori kepribadian dari Maslow (1954, dalam Sheldon et al., 2001)
digunakan untuk menambah kandidat kebutuhan dasar psikologik. yaitu biologis,
rasa aman, harga diri (harga diri), dan aktualisasi diri. Selanjutnya Sheldon et al.
(2001) menyertakan satu kebutuhan dasar psikologik yaitu kesenangan duniawi
(pleasure stimulation) dari teori self dari Epstein (cognitive-experiential self
theory) (1990 dalam Sheldon et al., 2001). Dua kebutuhan dasar psikologik yang
terakhir adalah popularity-influence dan money-luxuries yang dikenal dengan
sebutan "American Dreams" (Derber, 1979 dalam Sheldon et al., 2001).
Walaupun kedua kebutuhan dasar psikologik ini melalui penelitian terdahulu
terbukti tidak terlalu penting bagi individu dan kemungkinannya berdampak
negatif terhadap well-being individu (Carver & Baird, 1998; Kasser & Ryan,
1993, 1996; King & Napa, 1998 dalam Sheldon et al., 2001), tetapi dua kebutuhan
dasar psikologik ini diikutsertakan sebagai kebutuhan dasar psikologik yang diuji
di budaya yang berbeda.
Hasil penelitian Sheldon et al. (2001) tersebut mendukung SDT bahwa
tiga kebutuhan dasar psikologik SDT; yaitu otonomi, kompeten, dan hubungan
dengan orang lain; harga diri (self-esteem), dan pleasure stimulation (kesenangan
duniawi) merupakan lima kebutuhan psikologik urutan tiga teratas yang menjadi
prioritas responden. Sementara kebutuhan psikologik yang lain, yaitu aktualisasi
diri, kebugaran fisik, popularitas-pengaruh, dan uang/kemewahan, bukan
merupakan kebutuhan yang diprioritaskan partisipan.
Temuan prioritas kebutuhan dasar psikologik dari penelitian Sheldon et.
al. (2001) mendorong penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Grouzet, Kasser,
Ahuvia, Hols, Kim, Lau, Ryan, Saunders, Schmuck, & Sheldon (2005, The
Structure of Goal Contents across 15 Cultures) tentang aspirasi respondennya dari
berbagai budaya dan keadaan ekonomi negara yang berbeda. Partisipan penelitian
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
36
Universitas Indonesia
ini adalah 1854 mahasiswa baru dari 15 budaya yang berbeda. Dari penelitian ini
antara lain ditemukan bahwa spiritualitas (salah satu dari 11 tipe aspirasi yang
diteliti - affiliation, community feeling, conformity, financial success, hedonism,
image, physical health, popularity, safety, self-acceptance, spirituality)
merupakan aspirasi atau tujuan individu untuk memenuhi baik kebutuhan intrinsik
maupun ekstrinsiknya (Ryan, Rigby, & King, 1993 dalam Grouzet et. al., 2005).
Kedua jurnal tersebut memberikan masukan bagi peneliti terhadap dugaan peneliti
mengenai kekhasan kebutuhan psikologik yang diutamakan bagi peserta didik di
Indonesia, khususnya mahasiswa.
2.3.1.5 Kebutuhan Spiritual/Makna, Kebutuhan Aktualisasi Diri,
Kesenangan duniawi, dan Kebutuhan Harga Diri
Empat kebutuhan dasar psikologik spiritual, aktualisasi diri, kesenangan
duniawi, dan harga diri, sebenarnya merupakan kebutuhan-kebutuhan dasar
psikologik yang dibahas Maslow (1964) di dalam teori hirarki kebutuhannya.
Awalnya hirarki kebutuhan dasar Maslow terdiri dari lima kebutuhan dasar, yaitu
kebutuhan fisiologik di paling dasar, kemudian kebutuhan akan rasa aman,
kebutuhan akan cinta, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri.
Namun kemudian Maslow memodifikasi teori hirarki kebutuhan dasarnya dengan
menambah tiga kebutuhan dasar ditempat teratas, yaitu kebutuhan kognitif,
kebutuhan estetik, dan kebutuhan transenden (Maslow, 1997), sehingga hirarki
kebutuhan dasarnya terdiri dari delapan kebutuhan dasar psikologik. Menurut
Maslow, bila kebutuhan-kebutuhan dasar manusia tersebut terpenuhi, maka
manusia menjadi lebih sehat secara psikologik, sebaliknya bila pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut terhambat, dapat muncul gangguan-gangguan
kepribadian.
Kebutuhan fisiologik merupakan kebutuhan akan sandang, pangan, papan,
seks, dan kebutuhan-kebutuhan lain yang menyangkut kebutuhan badani.
Terpenuhinya kebutuhan fisiologik akan membuat individu sehat, berenergi.
Sebaliknya, terhambatnya kebutuhan fisiologik, mengakibatkan badan akan
lemah, secara alamiah terjadi ketidakseimbangan kimiawi di dalam tubuh.
Individu akan kurang berenergi dan kurang bersemangat. Kebutuhan fisiologik ini
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
37
Universitas Indonesia
mirip dengan pleasure-stimulation yang dikemukakan Epstein dalam teori self-
nya (cognitive-experiential self theory) (1990, dalam Sheldon et.al.,2001) (yang
telah dibahas di subbab sebelumnya). Kebutuhan pleasure-stimulation
didefinisikan sebagai perasaan yang dimiliki individu bahwa individu ingin
mendapatkan banyak kenikmatan dan kesenangan bukan merasa bosan dan kurang
bersemangat dalam hidup (Sheldon et.al., 2001).
Kebutuhan akan harga diri, merupakan kebutuhan yang dimiliki oleh
semua individu. Individu membutuhkan penghargaan dari orang-orang di
lingkungannya dan juga menghargai orang-orang di lingkungannya. Individu
membutuhkan suatu kegiatan yang dapat memberikannya suatu penghargaan atas
dirinya, penerimaan diri, dan pengakuan terhadap apa yang telah dikerjakannya.
Definisi kebutuhan akan harga diri dalam penelitian ini adalah individu merasa
bahwa ia adalah orang yang layak dihargai dan sebagus orang lain, bukan merasa
seperti "pecundang" (Sheldon et.al., 2001).
Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan yang secara alamiah
dimiliki manusia untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan
yang dimilikinya. Bila kebutuhan aktualisasi diri terpenuhi, maka individu akan
merasakan suatu pengalaman yang luar biasa sebagai wujud dari pencapaian
dirinya (Maslow, 1979). Maslow menaruh perhatian khusus terhadap kebutuhan
aktualisasi diri. Dari penelitiannya terhadap pribadi-pribadi unggul, kebutuhan
aktualisasi diri muncul sebagai salah satu karakteristik mereka. Ciri-ciri mereka
antara lain, selalu berusaha untuk hidup sehat, hidupnya diarahkan kepada
pencarian identitas diri dan otonomi diri, serta memiliki dorongan yang kuat untuk
menjadi yang terbaik (Maslow, 1971). Di dalam penelitian ini, kebutuhan
aktualisasi diri disertakan sebagai dimensi kebutuhan dasar psikologik yang
membentuk kebutuhan akan makna. Berdasarkan hasil penelitian Grouzet
et.al.(2005), aspek spiritualitas termasuk kebutuhan yang diutamakan di negara
dengan masyarakat yang kolektivis. Berdasarkan teori hirarki kebutuhan Maslow
(1979), kebutuhan spiritual dibahas di tingkat kebutuhan aktualisasi diri dengan
istilah kebutuhan transenden.
Pada pengembangan teori hirarki kebutuhan, Maslow (1979) memodifikasi
kebutuhan aktualisasi diri dengan memasukkan kebutuhan kognitif, kebutuhan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
38
Universitas Indonesia
estetika, dan kebutuhan transenden. Kebutuhan transenden merupakan kebutuhan
yang sangat berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan dasar di dalam hirarki
kebutuhan. Individu-individu yang telah terpenuhi kebutuhan transendennya,
mencintai pekerjaannya, mengutamakan kebajikan, memandang segala
pengalaman hidupnya diatur oleh alam dan dapat lepas dari ke"ego"annya.
Menurut Maslow, nilai-nilai spiritual tidak serta merta berhubungan
langsung dengan agama. Individu-individu yang telah mencapai aktualisasi diri
pada umumnya menampilkan diri mereka sebagai individu yang religius tertampil
dari sikap-sikap, karakter, dan perilakunya.
Dari keempat kebutuhan dasar psikologik yang dibahas di atas, kebutuhan
spiritual merupakan kebutuhan dasar psikologik yang belum banyak diteliti. Hal
ini mungkin karena spiritualitas sulit untuk didefinisikan dan seringkali
spiritualitas dianggap sama dengan agama (Tisdell, 2001). Namun demikian, pada
dua dekade terakhir ini para peneliti mulai menunjukkan adanya perhatian pada
pentingnya peran spiritualitas, khususnya dalam bidang pendidikan.
Pembahasan tentang peran spiritualitas (pemaknaan) di dalam bidang
pendidikan (English & Gillen, 2000) dan khususnya dalam pembentukan
pengetahuan (Glazer, 1999) mulai banyak didiskusikan. Tema-tema yang biasa
menjadi fokus pembahasan adalah pemaknaan (meaning making) di dalam proses
belajar yang sangat kompleks terkait dengan perjalanan/pengalaman spiritual
individu (Hunt et al., 2001). Dengan melibatkan dimensi spiritual/pemaknaan
dalam belajar, terutama pada pembelajaran orang dewasa, peserta didik dihargai
sebagai "subyek", dan dengan demikian peserta didik menjadi pemeran utama di
dalam perjalanan hidupnya dalam misinya mencari pemaknaan hidup (Vella,
2000). Pembentukan pengetahuan bukan hanya merupakan refleksi dari adanya
olah pikir atau rasio, tetapi juga merupakan cerminan keterlibatan jiwa dan hati
individu (O'Sullivan, 1999).
Proses pembelajaran dalam membangun pengetahuan diperoleh peserta
didik dalam konteks atau lingkungan belajar tertentu yang tidak terlepas dari
budaya dan status sosial individu. Pembelajaran seyogianya mengajak peserta
didik untuk terlibat pada berbagai level ranah, kognitif atau rasio, afektif,
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
39
Universitas Indonesia
sosiokultural, dan level simbolik atau spiritual dan memberikan dampak yang
positif terhadap kehidupan peserta didik (Tisdell, 2003).
Dari pembahasan mengenai kebutuhan-kebutuhan dasar psikologik di atas,
peneliti menganggap bahwa bersama-sama dengan tiga kebutuhan dasar
psikologik SDT, empat kebutuhan dasar psikologik lainnya, yaitu kebutuhan
spiritual, kebutuhan aktualisasi diri, kesenangan duniawi, dan kebutuhan harga
diri dibutuhkan individu agar aktivitas atau perilakunya bermakna bagi
kehidupannya. Dosen perlu menciptakan lingkungan belajar yang mendukung
makna belajar mahasiswa.
2.3.1.6 Penamaan Kebutuhan akan Makna
Berdasarkan analisis artikel jurnal dari Sheldon et.al. (2001) dan Grouzet
et.al. (2005), peneliti berasumsi bahwa kebutuhan dasar psikologik yang
diutamakan individu Indonesia, kemungkinannya adalah kebutuhan-kebutuhan
dasar psikologik yang dapat memberikan pemuasan spiritual individu dan
memberi makna dalam hidupnya. Ditemukannya aspirasi/kebutuhan spiritual
menginspirasi peneliti akan dugaan kebutuhan akan makna dibalik setiap perilaku
individu. Perilaku akan muncul bila individu merasa bahwa apa yang
dilakukannya bermakna baginya. Individu terdorong melakukan tindakannya atas
dasar adanya penilaian bahwa tindakan tersebut dilakukan karena memiliki arti
bagi kehidupannya secara keseluruhan, bagi perkembangan dirinya yang optimal.
Bila dikaitkan ke dalam lingkungan belajar di perkuliahan, maka untuk
dapat mendorong mahasiswa terlibat belajar, kebutuhan akan makna menjadi
penting untuk dipenuhi oleh dosen. Merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu
mengenai keterlibatan belajar, terutama yang dirujuk dalam disertasi ini, dalam
kerangka perspektif SDT, adanya dukungan otonomi terhadap ketiga kebutuhan
dasar psikologik, yaitu kebutuhan otonomi, kebutuhan kompeten, dan kebutuhan
hubungan dengan orang lain, dapat memengaruhi keterlibatan belajar,
kesejahteraan psikologik, dan perkembangan peserta didik yang optimal.
Dalam penelitian disertasi ini peneliti berupaya untuk menguji kebutuhan
akan makna yang terdiri dari tujuh kebutuhan dasar psikologik yaitu, (1)
kebutuhan otonomi, (2) kebutuhan kompeten, (3) kebutuhan akan hubungan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
40
Universitas Indonesia
dengan orang lain, (4) kebutuhan spiritual, (5) kebutuhan aktualisasi diri, (6)
kebutuhan akan kesenangan duniawi, dan (7) kebutuhan akan harga diri. Lima
kebutuhan dasar psikologik, peneliti sertakan dari penelitian Sheldon et.al. (2001)
yaitu (1) kebutuhan otonomi, (2) kebutuhan kompeten, (3) kebutuhan akan
hubungan dengan orang lain, (4) kebutuhan akan harga diri, dan (5) kebutuhan
akan kesenangan duniawi. Satu kebutuhan dasar psikologik dari penelitian
Grouzet et.al. (2005), yaitu kebutuhan spiritual. Peneliti menyertakan kebutuhan
aktualisasi diri di dalam konsep kebutuhan akan makna karena berdasarkan
analisis literatur teori hirarki kebutuhan Maslow (1979), kebutuhan spiritual
merupakan perluasan dari kebutuhan aktualisasi diri.
Dalam disertasi ini peneliti berasumsi bahwa kebutuhan akan makna yang
terdiri dari tujuh kebutuhan dasar psikologik yang telah dibahas di atas, perlu
dipenuhi agar individu dapat mencapai perkembangan diri yang optimal. Untuk
melakukan kegiatan-kegiatannya individu perlu merasa bahwa apa yang
dilakukannya tersebut bernilai, memiliki makna dalam perjalanan hidupnya. Bila
SDT menekankan pentingnya dukungan otonomi bagi perkembangan diri yang
optimal bagi individu, maka berdasarkan analisis peneliti, bagi orang Indonesia,
dukungan akan makna yang dapat mendorong perkembangan diri yang optimal.
Dalam perspektif SDT, kebutuhan otonomi mendorong individu
menampilkan perilakunya yang berasal dari dalam diri, terbebas dari tekanan
orang lain, atau hal-hal di luar dirinya. Di dalam disertasi ini, peneliti berasumsi
bahwa individu terdorong melakukan sesuatu berasal dari dalam dirinya karena
menganggap bahwa apa yang dilakukannya memiliki nilai dan bermakna baginya.
Pemenuhan kebutuhan akan makna menjadi penting untuk mendorong sebuah
perilaku inidividu yang berasal dari dalam dirinya.
Pemuasan kebutuhan akan makna diperoleh dari interaksi individu dengan
lingkungannya. Dalam lingkungan belajar di perguruan tinggi, agar mahasiswa
dapat merasakan dan mengalami pembelajaran yang bermakna, maka dosen perlu
memenuhi kebutuhan akan makna dari mahasiswa. Oleh peneliti, dukungan akan
makna didefinisikan sebagai hubungan interpersonal individu yang memfasilitasi
atau menyediakan kesempatan bagi orang lain untuk menampilkan dan
mempertahankan tindakan atau perilakunya yang bermakna yang berasal dari
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
41
Universitas Indonesia
dalam dirinya dan memiliki kebebasan untuk melakukannya. Di dalam
perkuliahan, tujuh kebutuhan dasar psikologik mahasiswa yang membentuk
kebutuhan akan makna belajar, menjadi perhatian dosen untuk dipenuhi. Tujuh
kebutuhan dasar psikologik tersebut adalah (1) kebutuhan otonomi, (2) kebutuhan
kompeten, (3) kebutuhan akan hubungan dengan orang lain, (4) kebutuhan
spiritual, (5) kebutuhan aktualisasi diri, (6) kebutuhan akan kesenangan duniawi,
dan (7) kebutuhan akan harga diri.
Pandangan mahasiswa terhadap dukungan makna belajar yang diberikan
dosen dan pandangan mahasiswa terhadap dosen sebagai otoritas sumber
informasi dalam penelitian ini merupakan faktor lingkungan belajar yang dapat
memengaruhi keterlibatan belajarnya. Peran lingkungan yang memberikan
pemuasan kebutuhan psikologik melalui dukungan dari dosen juga dapat
memengaruhi self-efficacy mahasiswa (Bandura, 1997). Dalam pembahasan
berikut ini dipaparkan mengenai self-efficacy.
2.4 Self-efficacy
Dalam perspektif kognitif sosial, manusia dipandang sebagai individu
yang proaktif, yang dapat mengatur dan merefleksikan diri bukan sebagai individu
yang pasif, dan hanya bereaksi dan dibentuk oleh lingkungan tanpa adanya
dorongan dari dalam diri. Salah satu tokoh teori kognitif sosial, Bandura (1986)
mengungkapkan bahwa pikiran dan tindakan manusia adalah sebagai hasil
pengaruh interaksi yang dinamis dari aspek pribadi, perilaku, dan lingkungan.
Konsep Bandura mengenai reciprocal determinism menjelaskan bahwa
bagaimana individu bertingkah laku saat ini memberikan informasi tentang
bagaimana lingkungan dan aspek-aspek yang ada di dalam dirinya saling
berinteraksi. Interaksi antara aspek-aspek yang ada di dalam diri dan lingkungan
juga dapat memprediksi perilaku individu. Aspek-aspek atau faktor-faktor (a)
personal seperti kognisi, afeksi, dan keadaan fisik, (b) tingkah laku, dan (c)
lingkungan saling memengaruhi dan menciptakan suatu hubungan resiprokal
triadik (triadic reciprocality).
Hubungan timbal balik di dalam fungsi tingkah laku individu di teori
kognitif sosial dapat menjelaskan suatu sebab akibat dari munculnya tingkah laku
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
42
Universitas Indonesia
individu di lingkungan tertentu. Faktor-faktor personal, lingkungan, dan perilaku
individu menjadi perhatian para peneliti kognitif sosial. Misalnya, di konteks
pembelajaran di perguruan tinggi, dosen berupaya membentuk mahasiswa mandiri
secara intelektual. Dosen dapat melakukannya dengan membuat keadaan suasana
hati positif mahasiswa dalam belajar untuk mengubah pikiran-pikiran negatif
(faktor personal), mengembangkan dan melatih keterampilan akademik seperti
cara-cara mencari jurnal atau artikel dengan impact factor yang tinggi (faktor
perilaku), dan menciptakan metode atau struktur pembelajaran yang dapat
memberi keberhasilan pada mahasiswa (faktor lingkungan).
PERILAKU INDIVIDU
FAKTOR FAKTOR PERSONAL LINGKUNGAN
Gambar 2.1 Hubungan Resiprokal Triadik (Bandura, 1986)
Self-efficacy (Bandura, 1997) merupakan faktor personal yang utama
dalam teori kognitif sosial. Dalam konteks akademik, self-efficacy yang berperan
sebagai faktor personal bersama-sama dengan faktor lingkungan dan perilaku
belajar dapat memengaruhi motivasi dan keterlibatan belajar peserta didik.
Berdasarkan penelitian-penelitian tiga dekade terakhir, self-efficacy secara
konsisten ditemukan sebagai prediktor yang berperan penting dan memiliki
efektivitas paling tinggi terhadap motivasi dan proses belajar peserta didik.
Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan individu terhadap
kemampuan dirinya dalam melaksanakan dan menyelesaikan suatu tugas untuk
mencapai tujuan tertentu. Konstruk self-efficacy memiliki beberapa karakteristik
yang membedakannya dengan konstruk psikologik lainnya. Pertama, penilaian
self-efficacy terfokus kepada suatu keyakinan individu tentang apa yang dapat
dilakukannya dari pada penilaiannya tentang trait psikologik atau kepribadiannya.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
43
Universitas Indonesia
Self-efficacy disini merujuk kepada "seberapa mampukah saya dapat melakukan
tugas tertentu?" bukan "seperti apa saya?" Kedua, self-efficacy bersifat
multidimensional, tidak saja tergantung dari keyakinan individu terhadap
kemampuannya dalam ranah yang spesifik tetapi juga tergantung konteks yang
spesifik dimana tugas harus diselesaikan. Misalnya, belajar di dalam kelas dengan
keadaan ventilasi yang kurang baik, atau kemungkinannya bisa juga individu
merasa lebih mampu dalam menyelesaikan masalah yang sifatnya sosial
dibandingkan masalah-masalah ilmu pasti alam. Ketiga, self-efficacy tergantung
dari mastery performance/experiences bukan tergantung dari kriteria yang
normatif. Jadi seberapa yakin individu terhadap kemampuannya sendiri misalnya
dalam membuat makalah, bukan seberapa yakin ia mampu selesaikan tugas
dibandingkan dengan teman-temannya. Biasanya penilaian tentang self-efficacy
merujuk kepada kinerja yang akan datang (Zimmerman & Cleary, 2006). Dalam
penelitian ini, self-efficacy merujuk kepada keterlibatan belajar mahasiswa di
dalam ruang kuliah.
Self-efficacy secara konseptual dan psikometrik berbeda dengan konstruk-
konstruk yang mirip dengannya, seperti outcome expectations, self-concept
(konsep diri), dan perceived control (Zimmerman, 2000). Menurut Bandura
(1986) walaupun self-efficacy dan outcome expectations dihipotesiskan sebagai
motivasi yang mendorong individu dalam menyelesaikan tugas, namun self-
efficacy memiliki peran yang lebih besar terhadap hasil kinerjanya karena hasil
yang diantisipasi individu sangat tergantung dari evaluasinya terhadap seberapa
mampu ia dapat menyelesaikan tugas yang dihadapinya. Secara psikometrik pun
terbukti bahwa self-efficacy memiliki nilai pembanding yang signifikan
dibandingkan dengan outcome-expectations (Shell, Murphy & Bruning, 1989).
Konsep diri merupakan konstruk yang paling mirip dengan self-efficacy.
Konsep diri dipahami sebagai konstruk yang merujuk kepada gambaran diri yang
lebih umum mencakup berbagai bentuk pengetahuan/pengalaman individu dan
evaluasi perasaan individu. Dari hasil-hasil penelitian tentang konsep diri, konsep
diri yang dikonseptualisasikan secara umum ini, secara konsisten tidak ditemukan
berhubungan dengan prestasi akademik (Hattie, 1992: Marsh & Sahvelson, 1985
dalam Zimmerman, 2000). Pada perkembangan penelitian tentang konsep diri dan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
44
Universitas Indonesia
self-efficacy, ditemukan bahwa bila konsep diri dan self-efficacy bersama-sama
diteliti perannya dalam prestasi, maka self-efficacy menunjukkan daya prediksi
yang signifikan dan lebih baik dibandingkan konsep diri terhadap pencapaian
prestasi akademik (Pajares & Miller, 1994 dalam Zimmerman, 2000).
Self-efficacy juga mirip dengan perceived control (= locus of control,
Rotter, 1966 dalam Zimmerman, 2000). Perceived control merujuk kepada suatu
harapan tentang hasil kinerja individu yang dikontrol dari dalam diri atau oleh
faktor eksternal. Dari penelitian Smith (1989) ditemukan bahwa pengukuran locus
of control tidak dapat memprediksi adanya perkembangan dari prestasi akademik
atau mengurangi kecemasan pada anak yang memiliki kecemasan tinggi pada saat
mengerjakan tugas, namun self efficacy dapat memprediksi perkembangan dari
prestasi akademik.
Dimensi dan Sumber Pembentukan Self-efficacy
Self-efficacy dapat dikenali dari karakteristiknya yang tampil pada
berbagai dimensi, seperti level (tingkat kesulitan tugas), generality (generalisasi
dari self-efficacy ranah tertentu ke ranah lain), dan strength (kekuatan keyakinan
seseorang dalam menyelesaikan tugas) (Bandura, 1997).
Level dari self-efficacy merujuk kepada keyakinan individu dalam
menyelesaikan masalah dari tingkat kesulitan masalah yang dihadapinya, seperti
tingkat kesulitan dalam belajar berhitung, mulai dari penambahan, pengurangan,
perkalian dan pembagian. Generality (generalisasi) dari self-efficacy tampak pada
keyakinan individu dalam mentransfer efikasinya dari tugas yang telah dapat
dikuasainya ke hal lain yang ada hubungannya dengan tugas tersebut, seperti
efikasi dalam berhitung ke akunting. Strength dari self-efficacy berhubungan
dengan seberapa besar kekuatan keyakinan individu akan kepastiannya dapat
menyelesaikan tugas tertentu.
Self efficacy dibentuk dari empat sumber informasi (Bandura, 1999). Yang
paling utama adalah adanya pengalaman keberhasilan dalam menyelesaikan
masalah (mastery experiences). Kesuksesan yang diraih individu akan berdampak
kepada kuatnya keyakinan self-efficacy nya. Self-efficacy yang tinggi dan resilien
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
45
Universitas Indonesia
terbentuk dari pengalaman-pengalaman keberhasilan dalam memecahkan masalah
yang sulit melalui usaha yang keras.
Cara lain untuk membangun dan memperkuat self-efficacy adalah melalui
pengalaman mengamati orang lain yang memiliki banyak kesamaan dengan
individu (vicarious experiences). Self-efficacy akan meningkat bila individu
melihat orang lain yang memiliki banyak kesamaan dengannya mengalami
kesuksesan melalui usaha yang kuat dan mereka merasa bahwa mereka juga
memiliki kapasitas yang sama untuk berhasil. Sebaliknya, kegagalan orang lain
dapat menurunkan efikasi dari individu dan merasa ragu akan kemampuannya
untuk dapat menyelesaikan masalah yang serupa.
Untuk memperkuat self-efficacy juga dapat dilakukan melalui persuasi
sosial (social persuation). Bila individu diberikan masukan bahwa ia memiliki
potensi untuk sukses, ia akan menampilkan usaha yang lebih kuat dan bertahan
dalam tugas, tidak cepat menyerah. Sumber self-efficacy yang terakhir adalah
physical and emotional states (keadaan fisik dan emosi). Adanya ketegangan,
kecemasan, dan depresi yang dirasakan dan dialami individu, dianggap individu
sebagai tanda dari kelemahan diri. Jadi untuk meningkatkan self-efficacy yang
bersumber pada fisik dan emosi, adalah dengan mengurangi keadaan emosi
negatif dan mengoreksi interpretasi yang keliru dari gejala fisik yang muncul
(Bandura, 1999).
2.5 Otoritas Sumber Informasi
Para peneliti di bidang psikologi tiga dekade terakhir ini tertarik meneliti
tentang bagaimana individu memandang pengetahuan, bagaimana pengetahuan itu
diolah dan dengan kata lain bagaimana keyakinan individu terhadap pengetahuan
yang akan diperolehnya (keyakinan epistemologik) (Hofer, 2000; Perry, 1970;
Schommer, 1990). Penelitian-penelitian keyakinan epistemologik dalam bidang
psikologi mengungkap pengaruh keyakinan epistemologik individu terhadap
kemampuan nalar dan belajar individu (Hofer, 2000).
Kerangka teoretik yang secara luas digunakan untuk menjelaskan
keyakinan epistemologik dalam penelitian-penelitian di bidang psikologi
pendidikan (Buehl & Alexander, 2001; Hofer & Pintrich, 1997) merangkum
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
46
Universitas Indonesia
pengertian keyakinan epistemologik ke dalam empat dimensi yang tidak saling
berhubungan. Dua dimensi pertama menggambarkan "sifat dari pengetahuan",
yaitu (1) kepastian dari pengetahuan, yang dipersepsikan sebagai pengetahuan
yang ajeg, stabil dan didukung oleh fakta yang kuat, dan (2) struktur (structure)
atau kesederhanaan (simplicity) dari pengetahuan yang menggambarkan
hubungan-hubungan yang relatif dari pengetahuan. Dimensi ketiga dan keempat
menggambarkan sifat dari "tahu" (the nature of knowing), yaitu (3) jastifikasi dari
pengetahuan menjelaskan bagaimana individu memperoleh dan mengevaluasi
pengetahuannya, dan (4) sumber dari pengetahuan yang merujuk kepada dari
mana pengetahuan berasal, dari dalam (internal) atau dari luar (eksternal). Pada
disertasi ini peneliti memfokuskan diri pada dimensi ke empat, yaitu sumber
individu membangun "tahu"nya. Individu membangun pengatahuannya melalui
sumber yang dipercayanya sebagai otoritas sumber informasi atau epistemic
authority (Kruglanski, Raviv, Bar-Tal, Raviv, Sharvit, Ellis, 2005).
Dalam mengkonstruk pengetahuan, masing-masing individu memiliki
pandangan atau asumsi yang berbeda terhadap pengetahuan atau informasi yang
ingin diketahuinya. Misalnya, bagi seorang dokter ahli penyakit dalam, gejala
sakit kepala yang terus menerus merupakan tanda adanya penyakit serius yang
perlu ditangani, sementara bagi dokter umum yang belum melanjutkan pendidikan
spesialisnya, gejala sakit kepala hanya dapat dijelaskan mungkin karena sebagai
gejala flu dan dengan sedikit informasi. Dengan kata lain, asumsi terhadap suatu
kenyataan atau fenomena dapat sangat berbeda tergantung dari latar belakang
pengalaman dan pengetahuan individu yang bersangkutan. Karena individu
memiliki kecenderungan untuk memperoleh informasi dan membangun
pengetahuannya melebihi pengetahuan yang dimilikinya, maka individu akan
tergantung kepada individu lain sebagai sumber informasi yang ingin
diketahuinya (Kruglanski et. al., 2009, hal.175).
Otoritas sumber informasi adalah sumber informasi yang merujuk kepada
suatu keahlian dan sebagai sumber yang dapat dipercaya bagi individu yang
sedang mencari informasi atau membangun pengetahuannya (Kruglanski et. al.,
2009). Keunikan dari konstruk otoritas sumber informasi adalah memberi
pengertian yang sama atas sumber informasi yang dimiliki diri sendiri (self) dan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
47
Universitas Indonesia
yang berasal dari luar diri (external source) (Pierro & Mannetti, 2004 dalam
Kruglanski et. al., 2005). Individu dapat menjadi otoritas sumber informasi bagi
orang lain dan membangun pengetahuannya melalui otoritas sumber informasi
dari luar dirinya. Di dalam lingkungannya, individu memiliki berbagai otoritas
sumber informasi untuk berbagai aspek atau domain kehidupan dan otoritas
sumber informasi tergantung dari fase perkembangan individu. Otoritas sumber
informasi dapat dikenali secara umum melalui senioritas (misalnya orang tua),
peran seseorang di dalam masyarakat (misalnya ustad, guru, tokoh masyarakat),
tingkat pendidikan (doktor, profesor), dan penampilan dari sebuah buku atau
cetakan (seperti penerbit dari sebuah buku). Selain itu, otoritas sumber informasi
juga dapat dikenali secara spesifik melalui pencarian informasi dari sumber
otoritas informasi tertentu (misalnya ingin saran penataan ruangan mencari
informasi ke desain interior, atau dari majalah interior).
Dalam penelitian disertasi ini, otoritas sumber informasi peneliti posisikan
dalam pengertian yang umum, yaitu bagaimana mahasiswa baru UI
mempersepsikan dosennya sebagai otoritas sumber informasi.
2.5.1 Otoritas Sumber Informasi dan Fase Perkembangan
Dari penelitian yang dilakukan oleh Raviv, Bar-Tal, Raviv, dan Homminer
(1990) tentang atribusi otoritas sumber informasi anak-anak (usia empat sampai
tujuh tahun) kepada ibu, bapak dan guru mereka ditemukan bahwa persepsi anak
terhadap orang tuanya sebagai otoritas sumber informasi cenderung stabil walau
ada beberapa domain dari otoritas sumber informasi dipersepsikan menurun oleh
anak. Kemudian persepsi otoritas sumber informasi terhadap guru cenderung
stabil dan meningkat pada topik sains. Teman sebagai otoritas sumber informasi
meningkat dalam domain sosial. Lebih lanjut, peran persepsi otoritas sumber
informasi anak-anak terhadap guru dan teman-temannya lebih bervariasi dalam
memeroleh pengetahuan. Anak-anak memilih guru dan teman-temannya sebagai
otoritas sumber informasi dalam area pengetahuan tertentu.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
48
Universitas Indonesia
2.5.2 Hirarki Otoritas Sumber Informasi
Dalam mendapatkan informasi, individu akan mencari informasi dari
sumber informasi yang diangggap memiliki wawasan yang luas, yang dapat
memberikan informasi yang lengkap, dan menjadikan individu lebih percaya diri
atas pengetahuan yang dimilikinya (Bar, 1999 dalam Kruglanski et al., 2009).
Adanya hirarki otoritas sumber informasi menunjukkan fungsi otoritas
sumber informasi sebagai indikasi atau tanda adanya kekurangpercayaan diri.
Individu biasanya tergantung kepada otoritas sumber informasi bila individu
kurang memiliki sumber dari informasi yang ingin dicarinya atau motivasinya
dalam mencari informasi tidak kuat, sehingga ia dengan mudah tergantung dengan
otoritas sumber informasi tertentu (Kruglanski et al., 2009).
2.5.3 Peran Diri sebagai Otoritas Sumber Informasi
Di subbab sebelumnya telah dibahas bahwa individu dapat berperan baik
sebagai otoritas sumber informasi maupun sebagai individu yang mencari
informasi dari otoritas sumber informasi lain. Bila individu memiliki persepsi
terhadap dirinya sebagai individu yang memiliki pengetahuan yang cukup atau
menguasai pengetahuan tertentu, maka lebih sedikit informasi dari luar dirinya
yang akan dicarinya dan ingin diketahuinya (Kruglanski et al., 2009). Untuk
individu dengan persepsi otoritas epistemologi yang rendah, makin tinggi
kebutuhan untuk memenuhi apa yang ingin diketahuinya, makin kuat
kecenderungannya untuk mengandalkan informasinya dari pencarian informasi
dari luar dirinya. Sebaliknya, bagi individu dengan persepsi otoritas epistemic
yang tinggi, makin tinggi kebutuhan untuk memenuhi apa yang ingin
diketahuinya, makin rendah kecenderungannya untuk mengandalkan pencarian
informasi dari sumber di luar dirinya. Dengan demikian, bila individu berada
dalam tuntutan untuk memahami atau mengetahui sesuatu, individu dipaksa untuk
memilih dan memilah-milah dengan tepat otoritas sumber informasi mana yang
paling dapat dipercayanya untuk memenuhi kebutuhan informasi yang ingin
diketahuinya.
Dalam lingkungan belajar, telah dibahas bahwa cara mengajar yang
bersifat mendukung otonomi peserta didik memiliki pengaruh positif terhadap
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
49
Universitas Indonesia
keterlibatan belajar dan prestasi belajar dibandingkan dengan orientasi mengajar
yang sifatnya mengontrol perilaku peserta didik (Pierro, Presaghi, Higgins, &
Kruglanski, 2009). Selain itu persepsi peserta didik dalam memandang guru
sebagai sumber informasi terpercaya (epistemic authorities) juga memengaruhi
keterlibatan mereka dalam kegiatan-kegiatan di dalam kelas yang pada akhirnya
berdampak kepada hasil belajarnya (Bar-Tal, Raviv, Raviv, Brosh, 1991; Raviv,
Bar-Tal, Raviv, Biran, & Sela, 2003; Quiamzade, Mugny, & Falomir, 2009).
Pengaruh budaya juga memengaruhi bagaimana peserta didik
mengkonstruk pengetahuannya. Dalam mengkonstruk pengetahuan, sumber
pengetahuan (epistemic authorities) peserta didik dapat berasal dari dirinya sendiri
(self ascribed epistemic authority) dan dari luar dirinya (external epistemic
authorities) (Kruglanski, 1992). Guru di sekolah dasar, sekolah menengah dan
perguruan tinggi berfungsi sebagai sumber pengetahuan yang memberikan
informasi yang dapat dipercaya dan cara-cara bagaimana guru mentransfer
informasi dapat berbeda dari satu budaya dengan budaya yang lain (Alexander,
2000; Cairns, Lawton, & Gardner, 2001).
Dalam perkembangannya, sumber informasi bagi individu berubah sejalan
dengan usiannya. Dari studi Raviv et al. (1990a; 1990b) ditemukan bahwa pada
usia empat sampai sembilan tahun, orang tua dan guru dipersepsikan sebagai
otoritas sumber informasi yang sifatnya umum terkait dengan informasi
kehidupan sehari-hari dan teman sebagai sumber informasi yang penting untuk
informasi-informasi hubungan sosial. Pada usia sembilan sampai delapan belas
tahun, pada saat memasuki usia remaja, peran teman sebagai sumber pengetahuan
menetap bahkan meningkat, sementara peran orang tua dan guru sebagai sumber
informasi yang sifatnya umum menurun. Guru masih dianggap sebagai sumber
informasi namun hanya pada domain tertentu dalam mata pelajaran di sekolah,
tetapi tidak dalam bidang yang lain.
Dengan demikian anak-anak, dan khususnya remaja menyeleksi otoritas
sumber informasinya berdasarkan informasi yang ingin diketahuinya. Mereka
memilih otoritas sumber informasi yang berbeda dalam domain pengetahuan yang
berbeda pula. Bar-Tal et al. (1991) menginvestigasi alasan-alasan mengapa anak
dan remaja kelas empat SD, kelas dua SMP, dan kelas tigas SMA menentukan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
50
Universitas Indonesia
pilihan mereka terhadap sumber informasi tertentu. Selain pendidikan,
pengalaman, dan keahlian yang sering digunakan sebagai alasan dibalik pemilihan
sumber pengetahuan mereka, anak dan remaja juga mengutarakan alasan lain,
tergantung sumber yang akan dipilih sebagai sumber informasi. Alasan-alasannya
adalah antara lain familiarity, helpfulness, trustworthiness, admiration, dan
possesion of special virtues.
Dalam pembelajaran, guru sebagai otoritas sumber informasi akan
memberikan pengaruh yang lebih besar dalam mentransfer pengetahuannya
kepada peserta didik bila orientasi mengajarnya (otoritarian vs. demokratik) sesuai
dengan pandangan peserta didik terhadap hubungannya dengan otoritas
(ketergantungan informasi yang tinggi vs. rendah - high informational dependence
vs. low informational dependence) (Mugny, Chatard, & Quiamzade, 2006).
Peserta didik yang memandang dirinya rendah dalam ketergantungan
informasinya terhadap otoritas sumber informasi, pembentukan pengetahuannya
lebih dipengaruhi oleh gaya mengajar yang demokratik dari pada yang otoritarian.
Bagaimana pengetahuan dibangun oleh mahasiswa tergantung dari
bagaimana pandangannya terhadap dosennya sebagai otoritas sumber informasi
(domain khusus vs. umum) dan derajat ketergantungan informasi mahasiswa
kepada sumber informasi (Hornikx, 2011). Minat terhadap materi kuliah yang
disampaikan oleh doseon merupakan prediktor yang utama yang memengaruhi
pandangan mahasiswa terhadap otoritas sumber informasinya (Raviv, dkk., 2003).
Peserta didik membangun pengetahuannya dari sumber informasi yang memiliki
kesesuaian dengan pandangan yang dimilikinya terhadap sumber informasi yang
dituju. Bila peserta didik memiliki pandangan bahwa guru tertentu diyakini dapat
memberikan pengetahuan yang dicarinya, maka peserta didik akan mendapatkan
pengetahuan yang dicarinya. Namun, bila pandangan peserta didik terhadap guru
tertentu adalah sebagai otoritas sumber informasi yang sifatnya umum, tidak
terkait dengan domain tertentu yang ingin diketahuinya, maka peserta didik tidak
akan mendapatkan apa yang ingin diketahuinya. Jadi, bagaimana peserta didik
memandang gurunya sebagai otoritas sumber informasi domain tertentu atau
domain umum akan menentukan ketepatan informasi yang ingin diketahuinya dan
penguasaan atas pengetahuan yang ingin dibangunnya. Untuk mendapatkan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
51
Universitas Indonesia
informasi yang akurat, selain pandangan terhadap otoritas sumber informasi untuk
domain tertentu, pandangan peserta didik terhadap derajat ketergantungan
informasi yang dimilikinya juga dapat memengaruhi bagaimana ia membangun
pengetahuannya (Chatard, Mugny, & Quiamzade, 2006).
Masing-masing peserta didik memiliki pengetahuan (prior knowledge)
yang berbeda tentang informasi atau pengetahuan yang sudah diketahuinya terkait
dengan pengetahuan yang akan diperolehnya. Peserta didik yang merasa kurang
kompeten, memiliki keyakinan akan kemampuan diri yang rendah (self-efficacy
rendah, Bandura, 1997) dan belum menguasai materi dapat memperoleh
keuntungan dari gurunya sebagai otoritas sumber informasi yang memberikannya
informasi. Sebaliknya, peserta didik yang merasa lebih kompeten, memiliki
keyakinan akan kemampuan diri lebih baik (self-efficacy tinggi) dalam materi
yang diajarkan, dapat memanfaatkan pengaruh dari otoritas sumber informasi
yang memberi kesempatan untuk lebih mandiri atau otonom dalam memperoleh
pengetahuannya (Mugny, Chatard, & Quiamzade, 2006). Selain itu ada peserta
didik yang merasa memiliki pengetahuan yang luas, namun ada pula peserta didik
yang merasa sama sekali belum mengetahui atau memiliki sedikit informasi atau
pengetahuan terkait dengan materi yang akan dipelajari. Kondisi ini
menggambarkan derajat ketergantungan peserta didik terhadap sumber
informasinya. Peserta didik yang merasa sudah cukup memiliki pengetahuan dan
tidak merasa membutuhkan orang lain untuk membangun informasinya, akan
tidak terlalu tergantung kepada gurunya (derajat ketergantungan informasi rendah
- low informational dependence) sedangkan peserta didik yang merasa
pengetahuannya terbatas terkait dengan materi yang akan dibahas, akan sangat
tergantung (derajat ketergantungan informasi tinggi - high informational
dependence) kepada gurunya untuk membentuk pemahamannya atas materi yang
diajarkan.
Pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai otoritas sumber
informasi, akan berubah sejalan dengan lamanya belajar/semester yang dilaluinya
(Jehng, Johnson, & Anderson, 1993). Makin rendah semester yang dilalui
mahasiswa, mahasiswa makin membutuhkan kepastian akan pengetahuan yang
akan dibangunnya. Pandangan mahasiswa terhadap dosennya tidak serta merta
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
52
Universitas Indonesia
membuatnya terlibat dalam belajar. Adanya pandangan mahasiswa terhadap dosen
sebagai otoritas sumber informasi, mengindikasikan bahwa mahasiswa
membutuhkan pengetahuan dari dosen, dan dalam prosesnya, self-efficacy
mahasiswa meningkat karena bertambahnya wawasan. Bila self-efficacy
meningkat, mahasiswa merasa mampu dan akan terlibat lebih baik dalam belajar.
Bila mahasiswa menganggap apa yang ingin diketahuinya dapat ia peroleh dari
sumber lain selain dosen, maka dosen tidak dipandang sebagai otoritas sumber
informasi, dosen dipandang sebagai fasilitator, informasi yang disampaikan dosen
tidak terserap dengan baik, dan tidak ada pengaruh terhadap efikasi diri
mahasiswa, oleh karenanya keterlibatan belajar mahasiswa di perkuliahan dapat
melemah. Dengan demikian, secara hipotetis dapat disimpulkan bahwa pandangan
mahasiswa terhadap otoritas sumber informasinya (dosen) memengaruhi self-
efficacy dan kemudian self-efficacy akan memengaruhi keterlibatannya dalam
belajar.
Berdasarkan pembahasan teoretik di atas tentang peran pandangan
dukungan makna belajar melalui pemuasan kebutuhan psikologik, motivasi
intrinsik, self-efficacy dan pandangan otoritas sumber informasi terhadap
keterlibatan belajar, peneliti membangun model teoretik keterlibatan belajar yang
menjelaskan interaksi antar variabel dukungan makna belajar dari dosen, motivasi
intrinsic, self-efficacy, dan otoritas sumber informasi terhadap keterlibatan belajar.
2.6 Karakteristik Mahasiswa UI dan Pembelajaran di UI
2.6.1 Karakteristik Mahasiswa UI
Dalam menciptakan lingkungan belajar yang dapat menggugah motivasi
intrinsik mahasiswa agar terlibat dalam belajar, penting untuk mengetahui
karakteristik dari mahasiswa sebagai peserta didik. Salah satu karakteristik utama
mahasiswa adalah kemampuan metakognisinya yang meningkat dibandingkan
tingkat pendidikan sebelumnya. Hal ini membuat mahasiswa dapat memahami
materi-materi dalam kegiatan diskusi yang menuntut penalaran kognisi dan
metakognisi (Hofer, Shirley & Pintrich, 1998). Pembelajaran di perguruan tinggi
yang menuntut kemandirian dan berpikir kritis jauh berbeda dengan pembelajaran
yang peserta didik alami sebelumnya di sekolah menengah atas.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
53
Universitas Indonesia
Sejak tahun 2008 proses penerimaan mahasiswa baru UI dilaksanakan oleh
suatu Panitia Tetap, yang bernama Panitia Tetap Penerimaan Mahasiswa Baru
(PANTAP-PMB). Penerimaan mahasiswa baru UI untuk program pendidikan
Sarjana Reguler disediakan melalui berbagai jalur, yakni melalui seleksi nasional
yang diberi nama SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri),
kemudian melalui Seleksi Masuk Universitas Indonesia (SIMAK-UI), melalui
Jalur Pembinaan Prestasi yang terdiri dari Program PPKB, Jalur Pembinaan Bakat
Seni, Pembinaan Pemenang Olimpiade Sains dan Pembinaan Olahragawan
Berprestasi.
UI memberi kesempatan bagi siswa kurang beruntung secara ekonomi
namun memiliki potensi akademik yang baik, ataupun cacat fisik, untuk
mengikuti seleksi masuk UI. Untuk siswa yang tidak mampu secara ekonomi akan
diberikan bantuan melalui program BIDIK MISI atau program kebijakan UI
Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) Berkeadilan, khusus untuk S1 Reguler
saja yang melalui jalur masuk SNMPTN Undangan, SNMPTN Tulis, maupun
SIMAK. Sedangkan untuk siswa yang cacat fisik diperbolehkan mengikuti semua
seleksi untuk semua jenjang pendidikan.
Untuk masuk program pendidikan sarjana, UI juga memberi kesempatan
putra-putri daerah melalui Jalur Pembinaan Daerah yang disebut dengan Program
Kerjasama Daerah dan Industri (KSDI). Mahasiswa yang diterima melalui
program KSDI, setelah lulus harus kembali berkarya di daerah asal. Mulai tahun
2011 seleksi masuk jalur KSDI digabung ke dalam SIMAK.
Secara keseluruhan proses seleksi penerimaan mahasiswa baru didasarkan
pada kemampuan akademis dan tidak berdasar pada prinsip ekuitas (SARA-suku,
agama, ras, antar golongan, gender, status sosial, politik). Untuk mahasiswa
berkewarganegaraan asing (WNA) pendaftaran dilakukan melalui International
Office.
Untuk menjamin prinsip kesetaraan dan konsistensi dari penerapan prinsip
tersebut maka pada saat pendaftaran calon mahasiswa baru tidak diminta data
suku, agama, ras, golongan, kemampuan ekonomi, serta afiliasi politiknya.
Meskipun data gender dan foto yang bersangkutan ada, namun skor akhir siswa
yang digunakan dalam pemeringkatan diperoleh hanya dari nilai rapor siswa dan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
54
Universitas Indonesia
indeks sekolah (jalur undangan) serta hasil ujian (jalur ujian tulis) melalui
pemeringkatan skor hasil ujian. Dengan demikian, dalam proses penentuan hasil
seleksi, panitia seleksi hanya mengacu pada kemampuan akademik peserta dan
tidak mempertimbangkan asal muasal SARA peserta.
Meskipun demikian, jika penentuan kelulusan hanya berdasarkan skor,
maka dapat dipastikan bahwa mahasiswa baru UI program sarjana hanya akan
berasal dari propinsi di pulau Jawa dan beberapa dari Sumatera. Karena UI
memiliki kebijakan pemerataan maka akan ada minimal satu orang terbaik dari
setiap propinsi dari seluruh Indonesia berkesempatan untuk melanjutkan
pendidikan di UI. Dengan demikian, mahasiswa baru UI berasal dari 33 propinsi
di seluruh Indonesia.
2.6.2 Pembelajaran di UI
Dalam menyikapi tuntutan kualitas dan perkembangan jaman, UI setiap
kali mengevaluasi metode pembelajaran dan sudah lebih dari satu dekade ini UI
menerapkan pendekatan belajar yang terfokus pada peserta didik (student-
centered) berubah dari sebelumnya yang terfokus pada pengajar (teacher-
centered) (Buku Pedoman Pelaksanaan Orientasi Belajar Mahasiswa, 2002).
Struktur pembelajaran disesuaikan dengan mutu kurikulum yang dirancang demi
kemudahan mahasiswa untuk mengikuti perkuliahan secara lintas program,
departemen/bagian, dan fakultas (Pedoman Penjaminan Mutu Akademik
Universitas Indonesia, 2007).
UI memiliki visi "Menjadi Universitas Riset Kelas Dunia" dan misi (1)
menyelenggarakan Pendidikan Tinggi yang berbasis riset di Universitas untuk
pengembangan ilmu, Teknologi, Seni, dan Budaya; dan (2) menyelenggarakan
Pendidikan Tinggi yang berbasis riset di Universitas serta mengupayakan
penggunaannya untuk meningkatkan taraf dan kualitas kehidupan masyarakat
Indonesia dan kemanusiaan (Pedoman Penjaminan Mutu Akademik Universitas
Indonesia, 2007). Untuk mencapai visi dan misi yang dicanangkannya, salah satu
upaya yang dilakukan oleh UI adalah dengan menetapkan standar mutu kurikulum
yang dapat menjadi jembatan bagi lulusan yang berkarakter dan berkualitas.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
55
Universitas Indonesia
Mutu kurikulum dirancang dengan baik dan seksama agar memberi
kemudahan bagi mahasiswa untuk mengikuti perkuliahan secara lintas program,
departemen/bagian, dan fakultas (Pedoman Penjaminan Mutu Akademik
Universitas Indonesia, 2007). Kurikulum harus mengakomodasi karakteristik
mahasiswa, seperti kebiasaan/cara belajar, motivasi, pengalaman dan latar
belakang, sehingga mahasiswa dapat mengikuti kurikulum di UI, diarahkan
belajar aktif, bekerja dalam tim, mandiri, komunikasi dengan baik, berpikir
holistik, dan peduli lingkungan (Pedoman Penjaminan Mutu Akademik
Universitas Indonesia, 2007).
Terdapat sejumlah disiplin ilmu di UI yang tercakup dalam tiga rumpun
keilmuan yaitu sains dan teknologi (Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan
Alam, Teknik dan Fakultas Ilmu Komputer), ilmu sosial dan humaniora (Fakultas
Ekonomi, Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas
Psikologi dan Fakultas Ilmu Budaya) dan ilmu kesehatan (Fakultas Kedokteran,
Fakultas Kedokteran Gigi, Fakultas Ilmu Keperawatan, Fakultas Kesehatan
Masyarakat dan Fakultas Farmasi).
Untuk dapat mengikuti pembelajaran di pendidikan tinggi, dalam hal ini di
Universitas Indonesia, selama satu minggu di dalam masa Orientasi Belajar
Mahasiswa (OBM), mahasiswa mendapat pelatihan dan keterampilan belajar
(learning skills) dan berpikir kritis (critical thinking), bekerja dalam kelompok,
metode pembelajaran CL (Collaborative Learning) dan PBL (Problem Based
Learning), serta TI (Teknologi Informasi)-CML (Computer Mediated
Learning)/IL (Information Literacy).
Seluruh mahasiswa baru program S-1 di UI pada semester 1 dan semester
2 diwajibkan mengikuti program P2KPT (Program Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Tinggi). Program P2KPT mencakup Mata kuliah Pengembangan
Kepribadian Terintegrasi (MPKT), MPK Agama, MPK Bahasa Inggris dan MPK
Seni/Olahraga. Selain pembekalan keterampilan belajar melalui P2KPT, masing-
masing rumpun ilmu merancang mata-kuliah sesuai dengan kurikulum yang
ditetapkan sebagai upaya untuk mewujudkan visi dan misi UI.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
56
Universitas Indonesia
2.7 Kerangka Berpikir menuju Model Teoretik Keterlibatan Belajar
Latar belakang masalah penelitian disertasi ini berawal dari pengalaman
peneliti sebagai pengajar psikologi strata satu di UI. Mahasiswa UI yang diseleksi
dari berbagai jalur penerimaan masuk mahasiswa baru UI, terdiri dari mahasiswa
yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia dengan latar belakang budaya dan
status sosial ekonomi yang berbeda. Merupakan tantangan besar bagi dosen dalam
menghadapi mahasiswa, khususnya mahasiswa baru, dengan heterogenitas
karakteristik yang dimiliki mahasiswa.
Dalam kegiatan perkuliahan, terdapat mahasiswa yang kehadirannya
bukan sekadar memenuhi daftar presensi, namun mereka tertarik dan berminat
terhadap materi kuliah, memiliki keingintahuan terhadap materi, sehingga mereka
tampak antusias dan tekun mengikuti jalannya perkuliahan. Meskipun demikian,
peneliti tak jarang menemukan mahasiswa yang tampak kurang berminat belajar
di dalam kelas, mengantuk, mengerjakan hal lain yang tidak ada hubungannya
dengan topik perkuliahan. Membuat mahasiswa yang tadinya apatis dan tidak
bersemangat menjadi senang, berminat, antusias, tertantang dan terlibat dalam
belajar adalah tugas dan tanggung jawab dosen agar mahasiswa berhasil meraih
indeks prestasi yang baik.
Keterlibatan belajar mahasiswa dalam perkuliahannya menjadi sangat
penting untuk dijadikan tujuan mengajar bagi para dosen, karena keterlibatan
belajar bukan saja berhubungan langsung dengan prestasi, namun juga dapat
memengaruhi kesejahteraan psikologik, perkembangan diri yang optimal, dan
kesehatan mental mahasiswa. Bila mahasiswa terlibat dalam belajar, maka ia akan
berusaha dan tidak mudah menyerah, menata rencana untuk meraih tujuan,
berorientasi sukses, menyukai tantangan dan senang belajar (Klem & Connell,
2004 dalam Christenson, Reschly, & Wylie, 2012).
Dalam perspektif SDT, manusia secara universal memiliki tiga kebutuhan
dasar psikologik, yaitu kebutuhan akan otonomi, kebutuhan kompeten, dan
kebutuhan hubungan dengan orang lain. Menurut SDT, terpenuhinya kebutuhan
dasar psikologik menimbulkan motivasi intrinsik yang sangat penting bagi
keterlibatan belajar dan perkembangan psikologik dalam jangka waktu yang
panjang. Penelitian di Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan Rusia menunjukkan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
57
Universitas Indonesia
hasil yang berbeda terhadap tiga kebutuhan dasar psikologik SDT sebagai
kebutuhan yang diutamakan pemuasannya bagi individu (Chirkov et.al., 2011).
Merujuk pada penelitian Sheldon et.al. (2001) dan Grouzet et.al. (2005),
ternyata pada mahasiswa Korea Selatan, terdapat kebutuhan dasar psikologik lain
yaitu kebutuhan akan harga diri dan kebutuhan akan kesenangan duniawi
(pleasure stimulation) yang diutamakan pemenuhannya. Selain itu, dari penelitian
Grouzet et. al. (2005) ditemukan bahwa kebutuhan spiritual melandasi aspirasi
hidup partisipan penelitiannya.
Mengacu juga kepada hasil penelitian Sheldon et al. (2001) dan Grouzet et
al. (2005), dalam penelitian disertasi ini, peneliti berasumsi bahwa terdapat
kebutuhan dasar psikologik lain yang diprioritaskan individu. Peneliti menduga
bahwa selain kebutuhan otonomi, kompeten, dan hubungan dengan orang lain
yang diutamakan oleh individu, kebutuhan akan harga diri, kesenangan duniawi
(pleasure stimulation), serta kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar
psikologik yang diutamakan individu.
Dengan adanya temuan dari dua artikel jurnal tersebut, peneliti mencoba
untuk menganalisis lebih lanjut tentang kemungkinan untuk melakukan studi
lanjutan mengenai prioritas kebutuhan dasar psikologik di Indonesia, khususnya
dalam jenjang pendidikan tinggi di UI.
Kebutuhan kesenangan duniawi, harga diri dan spiritual, dapat dijelaskan
melalui teori hirarki kebutuhan Maslow (1954). Dalam pengembangan teori
hirarki kebutuhan di tahun-tahun selanjutnya, Maslow (1979) memodifikasi
kebutuhan aktualisasi diri dengan suatu kebutuhan yang sifatnya transenden dan
spiritual. Menurut Maslow, nilai-nilai spiritualitas bukan milik sebuah agama
atau kelompok spiritual tertentu. Individu yang sudah mencapai aktualisasi diri,
menunjukkan karakter, sikap-sikap, dan perilaku spiritual. Ada suatu penghayatan
yang sifatnya transenden dan pemaknaan terhadap pengalaman. Walaupun
Maslow jarang menggunakan kata "spiritualitas", pengertian yang terkandung di
dalam konsep kebutuhan aktualisasi diri banyak kesamaannya dengan pengertian
spiritualitas yang digunakan di literatur kontemporer. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa kebutuhan spiritual merupakan perluasan kebutuhan
aktualisasi diri. Berdasarkan analisis bahwa kebutuhan spiritual merupakan bagian
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
58
Universitas Indonesia
dari kebutuhan aktualisasi diri hirarki kebutuhan Maslow, maka peneliti
berasumsi bahwa kebutuhan aktkualisasi diri bersama-sama dengan kebutuhan
spiritual merupakan kebutuhan yang diprioritaskan oleh individu, selain
kebutuhan kesenangan duniawi, harga diri dan tiga kebutuhan dasar psikologik
SDT.
Dengan demikian, untuk terlibat dalam belajar, selain tiga kebutuhan dasar
psikologik SDT, kebutuhan dasar psikologik lain, yaitu kebutuhan spiritual,
kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan kesenangan duniawi, dan kebutuhan harga
diri, perlu dipenuhi pemuasannya agar mahasiswa merasa bahwa kegiatan
belajarnya bermakna dan dengan demikian ia dapat termotivasi secara intrinsik
melakukan tugas-tugas belajarnya. Motivasi intrinsik merupakan faktor personal
mahasiswa yang dapat menggerakkan keterlibatannya dalam aktivitas
perkuliahannya. Asumsi mengenai kebutuhan dasar psikologik yang diutamakan
mahasiswa diuji dalam penelitian pendahuluan.
Dalam kegiatan perkuliahan, lingkungan belajar sangat berpengaruh
terhadap keterlibatan belajar dan keberhasilan belajar mahasiswa (Bandura, 1997).
Interaksi/hubungan antara mahasiswa dan dosen sangat berperan dalam proses
terbentuknya keterlibatan belajar mahasiswa. Lingkungan belajar dalam hal ini
dukungan dari dosen memfasilitasi pemenuhan kebutuhan dasar psikologik
mahasiswa. Adanya pemuasan kebutuhan dasar psikologik membuat mahasiswa
termotivasi secara intrinsik dan pada saat yang sama mendorongnya untuk terlibat
dalam belajar.
Dukungan dosen dalam bentuk pemenuhan kebutuhan dasar psikologik,
selain dapat memunculkan motivasi intrinsik, juga dapat memengaruhi faktor
personal lain yang perannya besar dalam keterlibatan belajar yaitu self-efficacy.
Keyakinan mahasiswa terhadap kemampuannya (self-efficacy) untuk dapat
melakukan tugasnya berpengaruh terhadap keterlibatan belajar dan keberhasilan
belajarnya. Dosen berperan penting dalam membentuk self-eficacy mahasiswa.
Instruksi dan cara dosen menyampaikan materi perkuliahan dapat menguatkan
ataupun menurunkan keyakinan mahasiswa terhadap kemampuannya. Keyakinan
mahasiswa akan kemampuannya dalam memahami materi perkuliahan
memengaruhi keterlibatan belajarnya. Bila dukungan dosen dalam bentuk
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
59
Universitas Indonesia
pemenuhan kebutuhan dasar psikologik mahasiswa dapat dirasakan oleh
mahasiswa, maka mahasiswa dapat menjadi lebih yakin dan percaya diri akan
kemampuannya. Keyakinan mahasiswa akan kemampuannya ini dapat
memengaruhi motivasi intrinsiknya dan juga keterlibatannya dalam belajar.
Melalui belajar, peserta didik membangun pengetahuannya. Bagaimana
keyakinan (belief) tentang pengetahuan (epistemological belief = keyakinan
epistemologi) yang dimiliki peserta didik akan memengaruhi pembentukan
pengetahuannya (Kruglanski, 1989). Dalam mengkonstruk pengetahuannya,
individu memiliki keyakinan epistemologi dari mana ia dapat memperoleh
informasi (source) yang dapat dipercaya, kepastian terhadap informasi yang
ingin diketahui (certainty), struktur dari pengetahuan, apakah pengetahuan yang
akan diperolehnya sederhana atau kompleks dan bagaimana mengorganisasikan
informasi/pengetahuan (control and speed of knowledge acquisition) (Hofer,
2001; Schommer, 1994). Di dalam penelitian ini, mengacu kepada latar belakang
penelitian di awal tulisan ini, peneliti hendak menggali keyakinan epistemologi
mahasiswa melalui pandangan mereka terhadap otoritas sumber informasi yang
dapat dipercayanya (epistemic authority = otoritas sumber informasi) dalam
aktivitas perkuliahan, yaitu dosen. Pandangan mahasiswa terhadap dosennya
sebagai otoritas sumber informasi akan memengaruhi self-efficacy dan
keterlibatan belajarnya.
Dengan begitu pesatnya perkembangan teknologi, sumber informasi dapat
diperoleh dari berbagai sumber. Dengan demikian, pandangan mahasiswa
terhadap peran dosen sebagai otoritas sumber informasi dapat memengaruhi
pembentukan pengetahuan dan keyakinan mahasiswa akan kemampuannya (self-
efficacy) dan juga keterlibatan belajarnya. Bila mahasiswa memandang dosennya
sebagai otoritas sumber informasi, mahasiswa percaya bahwa pengetahuan yang
diperoleh dari dosennya dapat memperluas pengetahuan dan penguasaannya
terhadap materi perkuliahan dan oleh karenanya ia akan terlibat dalam belajar.
Namun sebaliknya, bila mahasiswa tidak menganggap dosennya sebagai otoritas
sumber informasi, ia merasa bahwa pengetahuan dapat diperoleh dari sumber lain
dan dosen hanya sebagai fasilitator. Mahasiswa merasa pengetahuan yang akan
dibangunnya dalam aktivitas perkuliahannya tidak tergantung dari dosen dan oleh
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
60
Universitas Indonesia
karenanya dosen baginya hanya fasilitator dan bukan sebagai otoritas sumber
informasi. Dengan demikian, pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai
otoritas sumber informasi memengaruhi self-efficacy mahasiswa dan berdampak
kepada keterlibatan belajarnya.
Berdasarkan pemaparan alur dinamika teoretik di atas, peneliti merancang
model teoretik keterlibatan belajar yang menjelaskan bagaimana hubungan antara
variabel dukungan makna belajar dari dosen, motivasi intrinsik, self-efficacy, dan
pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai otoritas sumber informasi
terhadap keterlibatan belajarnya. Gambar 2.1 adalah Model Persamaan Struktural
Keterlibatan Belajar yang diuji dalam penelitian utama disertasi ini.
Gambar 2.2 Model Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar
Penelitian ini dilakukan terhadap mahasiswa UI semester pertama dengan
dasar pemikiran bahwa mereka baru saja menginjak jenjang pendidikan tinggi,
dan mahasiswa membutuhkan penyesuaian diri dengan lingkungan kampus
dengan berbagai kegiatan yang ditawarkan, dan sistem pembelajaran yang
berbeda. Bila perkuliahan dirasakan mahasiswa bermakna, maka mahasiswa akan
terlibat dan dapat mengembangkan strategi belajar yang berfokus kepada
pemahaman yang mendalam (deep learning) mengenai materi. Semakin awal
keterlibatan mahasiswa diperhatikan, semakin terasah strategi berpikirnya dan
mahasiswa semakin dapat berprestasi di perguruan tinggi.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
61
Universitas Indonesia
Perkembangan keyakinan epistemologi mahasiswa sejalan dengan tingkat
pendidikan yang dilaluinya di perguruan tinggi (Perry, 1970). Bagi mahasiswa
tingkat awal (semester satu sampai dengan semester empat), terlepas dari jurusan
yang dipelajarinya, keyakinan mahasiswa terhadap pengetahuan mengacu kepada
kepastian atas pengetahuan yang akan dibangunnya. Mahasiswa memandang
bahwa pengetahuan yang akurat dapat diperoleh dari figur otoritas sumber
informasi (Jehng et. al., 1993; Perry, 1988). Dosen dipandang sebagai otoritas
sumber informasi bagi pembentukan pengetahuannya.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
62 Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
Untuk menjawab pertanyaan penelitian dan menguji Model Persamaan
Struktural Keterlibatan Belajar, dilakukan dua penelitian secara bertahap, yaitu
penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Di dalam bab ini dijelaskan tentang
pendekatan penelitian, pertanyaan penelitian, hipotesis penelitian, tahapan
penelitian, variabel penelitian, alat ukur penelitian serta pengolahan data.
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian dalam kerangka perspektif SDT masih jarang ditemukan di
Indonesia dan informasi tentang kebutuhan akan makna dalam konteks belajar
juga belum ditemukan. Untuk mengetahui kebutuhan dasar psikologik yang
diprioritaskan partisipan, pengumpulan data melalui survei (kuantitatif) tentang
konstruk-konstruk penelitian ini tidak cukup memberikan gambaran sebenarnya
mengenai keadaan partisipan. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian
kualitatif untuk memperkaya dan meyakinkan hasil penelitian dari data kuantitatif
(Creswell & Clark, 2011). Cara ini disebut sebagai mixed methods.
Mixed methods merupakan desain penelitian yang memiliki asumsi
filosofis dan sekaligus merupakan metode pengumpulan data. Secara filosofis,
penelitian mixed methods didasari oleh latar belakang teoritis yang mengarahkan
peneliti dalam mengumpulkan dan menganalisis data dengan menggabungkan
data kuantitatif dan kualitatif dalam satu studi atau beberapa studi (Creswell &
Clark, 2011).
Dalam penelitian pendahuluan, peneliti merancang dan mempersiapkan
alat ukur untuk penelitian utama. Penelitian utama merupakan penelitian
kuantitatif dengan tujuan menguji Model Persamaan Struktural Keterlibatan
Belajar.
3.2 Pertanyaan, Tujuan, dan Metode Penelitian
Seperti telah dipaparkan pada Bab 1, secara umum pertanyaan yang ingin
dijawab pada penelitian ini adalah “Bagaimana pandangan mahasiswa terhadap
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
63
Universitas Indonesia
dosen dalam memberikan kuliah dan keterlibatan belajar mahasiswa di dalam
perkuliahan?” Untuk menjawab pertanyaan umum penelitian tersebut, peneliti
merancang dua tahap penelitian, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian
utama, dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang lebih spesifik.
Untuk penelitian mixed methods pada penelitian pendahuluan, pertanyaan
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Apakah kebutuhan dasar psikologik SDT merupakan kebutuhan dasar
yang diprioritaskan oleh mahasiswa?
2. Kebutuhan dasar psikologik apa saja yang diprioritaskan oleh mahasiswa?
3. Apakah kebutuhan akan makna merupakan kebutuhan psikologik yang
mendasari perilaku mahasiswa dalam belajar?
4. Bagaimana mahasiswa memandang dosennya sebagai sumber informasi
dalam belajar di perkuliahan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, digunakan metode gabungan atau
mixed methods, yang oleh Creswell & Clark (2011) disebut sebagai desain paralel
konvergen (The Convergent Parallel Design). Desain Paralel Konvergen
merupakan desain mixed methods yang dahulu dinamakan desain triangulasi
(Creswell & Clark, 2011). Dalam desain paralel konvergen, penelitian kuantitatif
dan kualitatif dilakukan pada waktu bersamaan (Creswell & Clark, 2011).
Analisis masing-masing metode penelitian dilakukan secara independen dan
kemudian penelitian digabungkan untuk interpretasi (Gambar 3.1).
Gambar 3.1 Desain Paralel Konvergen (The Convergent Parallel Design) Sumber: Creswell dan Clark (2011)
Pengumpulan
data kuantitatif
dan analisis
Pengumpulan
data kualitatif dan
analisis
Bandingkan
atau kaitkanInterpretasi
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
64
Universitas Indonesia
Peneliti melakukan studi kuantitatif dan kualitatif secara bersamaan untuk
menguatkan dugaan peneliti terhadap variabel dukungan makna belajar yang
terdiri dari tujuh kebutuhan dasar psikologik, yakni kebutuhan otonomi,
kebutuhan kompeten, kebutuhan berhubungan dengan orang lain, kebutuhan
spiritual, kebutuhan aktualisasi diri, kesenangan duniawi, dan kebutuhan harga
diri, yang diprioritaskan oleh mahasiswa. Data kuantitatif diperoleh melalui survei
tentang prioritas kebutuhan psikologik dan data kualitatif diperoleh melalui
wawancara kelompok terfokus (focus group interviews) tentang dukungan
otonomi dalam belajar. Keduanya diinterpretasi untuk melihat sejauh mana hasil
penelitian mendukung atau berbeda satu sama lain. Dari temuan penelitian mixed
methods ini, peneliti merancang dan mempersiapkan alat ukur untuk penelitian
utama.
Pada penelitian utama, peneliti menguji Model Persamaan Struktural
Keterlibatan Belajar dengan menggunakan metode Structural Equation Model
(SEM). Pertanyaan penelitian utama adalah sebagai berikut, “Apakah model
persamaan struktural keterlibatan belajar cocok dengan data penelitian?” Model
persamaan struktural ini dijabarkan dalam Gambar 3.2 berikut ini.
Gambar 3.2 Model Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
65
Universitas Indonesia
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan telaah literatur yang dipaparkan dalam Bab 2, peneliti
mengajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: “Model persamaan struktural
keterlibatan belajar sesuai dengan data penelitian.”
3.4 Penelitian Pendahuluan
Pada tahap ini peneliti melakukan penelusuran prioritas kebutuhan dasar
psikologik dan pengembangan sejumlah alat ukur untuk digunakan dalam
penelitian utama. Selain menelusuri prioritas kebutuhan dasar psikologik,
penelitian ini menggali pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai otoritas
sumber informasi. Partisipan dalam penelitian adalah mahasiswa semester satu
Fakultas Psikologi UI angkatan 2012.
3.4.1 Pengumpulan Data Kuantitatif Mixed Methods
Tujuan dari studi pendahuluan ini adalah untuk mengetahui kebutuhan
dasar psikologik yang diprioritaskan partisipan penelitian, yaitu mahasiswa
semester satu fakultas psikologi UI angkatan 2012. Berdasarkan analisis terhadap
penelitian Sheldon, et al. (2001) dan Grouzet, et al. (2005), peneliti mengajukan
11 kebutuhan dasar psikologik untuk diseleksi, sebagai kebutuhan yang
diprioritaskan oleh partisipan. Sebelas kebutuhan dasar psikologik tersebut adalah
10 kebutuhan dasar psikologik dari penelitian Sheldon et al. (2001) dan satu
kebutuhan dasar psikologik dari penelitian Grouzet et al. (2005). Sepuluh
kebutuhan dasar tersebut, yakni (1) kebutuhan otonomi (autonomy), (2) kompeten
(competence), (3) hubungan dengan orang lain (relatedness), (4) fisik (physical
thriving), (5) rasa aman (security), (6) harga diri (self-esteem), (7) aktualisasi diri
(self-actualizing), (8) kesenangan duniawi (pleasure stimulation), (9) uang-
kemewahan (money-luxury), dan (10) popularitas-pengaruh (popularity-
influence). Satu kebutuhan dasar psikologik dari penelitian Grouzet et al. (2005)
adalah (11) kebutuhan spiritual.
Untuk mengetahui kebutuhan dasar psikologik yang diutamakan,
digunakan dua kriteria dasar. Kriteria pertama dengan mengajukan pertanyaan
“Kualitas pengalaman yang seperti apa yang dinilai paling penting dan berkesan
sebagai pengalaman yang paling memuaskan?” Terhadap kriteria pertama ini
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
66
Universitas Indonesia
partisipan diminta untuk menuliskan pengalamannya yang paling berkesan (pada
satu bulan lalu), kemudian mereka diminta untuk mengisi skala Likert dari 33
pernyataan yang mewakili 11 kebutuhan dasar psikologik (masing-masing
kebutuhan dasar psikologik diwakili oleh tiga pernyataan). Kriteria kedua untuk
menentukan kebutuhan dasar psikologik melalui pertanyaan “Kualitas
pengalaman yang seperti apa yang paling tepat dapat memprediksi emosi positif
atau negatif sehubungan dengan pengalaman yang diutarakan pada kriteria
pertama?” Kriteria kedua ini tidak secara langsung menentukan prioritas
kebutuhan dasar psikologik yang hendak diteliti, namun sebagai indikator adanya
pemuasan kebutuhan dasar psikologik. Dengan menggunakan afek/emosi sebagai
parameter pemuasan kebutuhan dasar psikologik, pengukuran kebutuhan dasar
psikologik secara relatif terbebas dari adanya kerancuan efek psikofisik (Ryff &
Singer, 1998 dalam Sheldon et al. 2001).
Adanya pemenuhan atau hambatan kebutuhan dasar psikologik tertentu
memberi dampak munculnya emosi positif atau negatif. Sebagai tambahan, diukur
pula affect-balance (skor afek positif dikurangi afek negatif) yang merupakan
indikator kepuasan psikologik (Bradburn, 1969, dalam Sheldon et al., 2001).
Kriteria kedua ini digunakan untuk mendukung penentuan prioritas kebutuhan
dasar psikologik, bahwa kebutuhan dasar yang terpuaskan berhubungan dengan
adanya emosi positif dan tidak adanya emosi negatif. Skala PANAS (Positive
Affect/Negative Affect Scale) dari Watson, Tellegen, dan Clark (1988) dipakai
sebagai pengukuran untuk kriteria kedua ini.
Peneliti menambahkan Skala Persepsi Diri yang mengukur minat, self-
efficacy, dan otoritas sumber informasi untuk mengetahui pandangan mahasiswa
terhadap dosennya sebagai sumber informasi. Data demografis dari partisipan
berupa Data Diri Partisipan dicantumkan untuk kelengkapan data (Lampiran 1).
3.4.1.1 Definisi Konseptual dan Operasional Dimensi Alat Ukur
Definisi konseptual dan operasional dari dimensi kebutuhan dasar
psikologik yang diteliti dipaparkan di bawah ini:
1. Kebutuhan otonomi (autonomy) adalah perasaan individu bahwa penyebab
tindakannya berasal dari dalam diri sendiri dan bukan dari kekuatan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
67
Universitas Indonesia
eksternal atau tekanan yang datangnya dari luar diri. Definisi operasional
otonomi adalah skor rata-rata yang diperoleh dari tiga aitem kebebasan-
otonomi.
2. Kebutuhan kompeten (competence) adalah perasaan bahwa individu
sangat mampu dan efektif dalam tindakannya dan bukan merasa tidak
kompeten atau tidak efektif. Definisi operasional kebutuhan kompeten
adalah skor rata-rata yang diperoleh dari tiga aitem kebutuhan kompeten.
3. Kebutuhan akan hubungan dengan orang lain (relatedness) adalah
perasaan bahwa individu memiliki hubungan kedekatan dengan orang-
orang yang peduli dengan dirinya, bukan merasa kesepian ataupun merasa
tidak dipedulikan. Definisi operasional kebutuhan akan hubungan dengan
orang lain adalah skor rata-rata yang diperoleh dari tiga aitem kebutuhan
akan hubungan dengan orang lain.
4. Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualizing-meaning) adalah perasaan
bahwa individu sedang mengembangkan potensi terbaiknya dan membuat
hidupnya bermakna, bukan merasa bahwa hidupnya stagnan (tanpa
kemajuan) atau tidak memiliki banyak arti. Definisi operasional kebutuhan
aktualisasi diri adalah skor rata-rata yang diperoleh dari tiga aitem
kebutuhan aktualisasi diri.
5. Kebutuhan rasa aman (security) adalah individu merasa aman dan dapat
mengendalikan hidupnya, bukan merasa tidak pasti dan terancam oleh
keadaan. Definisi operasional kebutuhan rasa aman adalah skor rata-rata
yang diperoleh dari tiga aitem kebutuhan rasa aman.
6. Kebutuhan akan kemewahan-uang (money-luxury) adalah perasaan bahwa
individu ingin memiliki banyak uang untuk membeli sebagian besar dari
apa yang ia inginkan, bukan perasaan seperti orang miskin yang tidak
memiliki barang-barang pribadi yang berharga. Definisi operasional
kebutuhan akan kemewahan-uang adalah skor rata-rata yang diperoleh dari
tiga aitem kebutuhan akan kemewahan-uang.
7. Kebutuhan akan popularitas-pengaruh (popularity-influence) adalah
perasaan bahwa individu disukai, dihormati, dan memiliki pengaruh
terhadap orang lain, bukan merasa bahwa saran atau pendapatnya tidak
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
68
Universitas Indonesia
diminati. Definisi operasional kebutuhan akan popularitas-pengaruh
adalah skor rata-rata yang diperoleh dari tiga aitem kebutuhan akan
popularitas-pengaruh.
8. Kebutuhan akan kebugaran fisik (physical thriving) adalah individu
merasa bahwa tubuhnya sehat dan dirawat dengan baik, bukan merasa
tidak sehat atau tidak memiliki tubuh yang bagus. Definisi operasional
kebutuhan akan kebugaran fisik adalah skor rata-rata yang diperoleh dari
tiga aitem kebutuhan akan kebugaran fisik.
9. Kebutuhan akan harga diri (self-esteem) adalah individu merasa bahwa ia
adalah orang yang layak untuk dihargai dan sebagus orang lain, bukan
merasa seperti "pecundang". Definisi operasional kebutuhan akan harga
diri adalah skor rata-rata yang diperoleh dari tiga aitem kebutuhan akan
harga diri.
10. Kesenangan duniawi (pleasure stimulation) adalah perasaan bahwa
individu ingin mendapatkan banyak kenikmatan dan kesenangan, bukan
merasa bosan ataupun kurang bersemangat dalam hidup. Definisi
operasional kesenangan duniawi adalah skor rata-rata yang diperoleh dari
tiga aitem kesenangan duniawi.
11. Kebutuhan spiritualitas-religiusitas (spirituality-religiousity) adalah
kebutuhan individu dalam usaha memahami hidup melalui pemaknaan di
balik pengalaman-pengalamannya yang terjadi di luar kekuasaan dirinya,
bukan sebagai sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Definisi operasional
kebutuhan spiritualitas-religiusitas adalah skor rata-rata yang diperoleh
dari tiga aitem kebutuhan spiritualitas-religiusitas.
3.4.1.2 Alat Ukur Penelitian Kuantitatif Mixed Methods
Peneliti menggunakan tiga alat ukur yaitu Skala Pemuasan Kebutuhan
Psikologik, Skala PANAS (Positive Affect/Negative Affect Scale) dan Skala
Persepsi Diri. Untuk mengisi Skala Pemuasan Kebutuhan Psikologik, partisipan
diminta untuk menuliskan pengalamannya yang tak terlupakan sebagai acuan
untuk menilai pemuasan kebutuhan dasar psikologiknya. Skala PANAS
digunakan untuk mengetahui hubungan antara adanya emosi positif dan tidak
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
69
Universitas Indonesia
adanya emosi negatif dan kebutuhan dasar yang terpuaskan. Skala Persepsi Diri
disusun untuk mengetahui minat, self-efficacy, dan pandangan mahasiswa
terhadap dosennya sebagai sumber informasi. Berikut ini adalah alat ukur
penelitian kuantitatif penelitian pendahuluan.
3.4.1.2.1 Pengalamanku yang Tak Terlupakan
Pengalaman yang sangat berkesan digunakan sebagai rujukan pengalaman
partisipan yang paling memuaskan, yang mewakili pemenuhan kebutuhan dasar
psikologiknya. Pada bagian ini partisipan diminta untuk mengingat-ingat dan
menuliskan pengalaman pribadi mereka sebulan yang lalu yang sangat memberi
kepuasan diri. Instruksi untuk melakukan pada sub bagian ini adalah sebagai
berikut:”Saat ini Anda diminta untuk mengingat-ingat pengalaman Anda sebulan
yang lalu. Pikirkan kembali kejadian yang paling penting selama satu bulan
terakhir. Apa yang saya inginkan dari Anda adalah mengingat kembali satu
kejadian atau pengalaman pribadi yang sangat memberi kepuasan pada diri Anda
selama satu bulan terakhir ini (pengalaman diri Anda sendiri yang sangat
berkesan). Saya tidak memiliki definisi tentang bagaimana “pengalaman atau
peristiwa yang membawa kepuasan (satisfying event)”, maka saya ingin Anda
menggunakan definisi Anda sendiri tentang pengalaman yang memuaskan.
Pikirkanlah tentang arti “kepuasan” terkait pengalaman-pengalaman Anda
dalam segala aspek kehidupan Anda. Ambil waktu sebentar untuk memikirkan
pengalaman yang sangat berarti memberi kepuasan hidup bagi Anda. Anda dapat
menuliskan pengalaman Anda tersebut pada halaman kosong yang telah
disediakan di bawah ini.”
3.4.1.3.2 Skala Pemuasan Kebutuhan Psikologik
Pada bagian ini, partisipan diminta untuk mengisi kuesioner dari 33 aitem
(tiga aitem untuk masing-masing 11 kebutuhan dasar psikologik) yang
menggambarkan kebutuhan-kebutuhan dasar psikologik yang dirasakan paling
kuat mengacu pada pengalaman yang telah ditulis oleh partisipan. Partisipan dapat
mengisi jawaban sesuai dengan keadaan dirinya antara angka 1 (sangat tidak
setuju) dan 5 (sangat setuju). Setiap pernyataan selalu diawali dengan “Pada saat
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
70
Universitas Indonesia
menjalani pengalaman tersebut saya merasa....”. Skor partisipan untuk masing-
masing kebutuhan dasar psikologik diperoleh dengan membagi tiga total skor
yang diperoleh dari masing-masing kebutuhan dasar psikologik.
3.4.1.3.3 Skala PANAS (Positive Affect/Negative Affect Scale)
Partisipan mengisi skala PANAS yang terdiri dari 20 kata yang mewakili
perasaan atau emosi (seperti takut, marah, terinspirasi, dan bangga). Daftar emosi
ini digunakan sebagai indikator dampak dari adanya pemuasan atau terhambatnya
pemenuhan kebutuhan dasar psikologik tertentu. Partisipan diminta untuk
merasakan emosi yang melatarbelakangi pengalaman yang telah dituliskannya
pada bagian sebelumnya dengan menentukan jawaban yang sesuai dengan
keadaannya, antara angka 1(sangat tidak setuju) dan 5 (sangat setuju). Alat ukur
ini diadaptasi dari skala Positive Affect/Negative Affect Scale (PANAS; Watson,
Clark, & Tellegen, 1988). Hasil uji reliabilitas Cronbach Alpha skala PANAS
untuk emosi positif sebesar 0,75 dan untuk emosi negatif sebesar 0,82.
3.4.1.3.4 Skala Persepsi Diri
Skala Persepsi Diri mengukur minat, self-efficacy, dan otoritas sumber
informasi untuk mengetahui pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai
sumber informasi. Terdiri dari delapan aitem, masing-masing satu aitem untuk
minat dan self-efficacy, dan enam aitem untuk otoritas sumber informasi.
3.4.1.3 Persiapan Alat Ukur Penelitian Kuantitatif Mixed Methods
Peneliti menerjemahkan instruksi bagi partisipan untuk menuliskan
pengalamannya yang paling mengesankan sebulan yang lalu dan mengadaptasi 30
aitem kebutuhan dasar psikologik dari penelitian Sheldon et al. (2001) dan
PANAS (Positive Affect Negative Affect Scale). Selain itu peneliti menambahkan
tiga aitem yang mewakili kebutuhan spiritual (Grouzet et al., 2005) untuk
digabung ke dalam skala kebutuhan dasar psikologik, sehingga jumlah aitem
keseluruhan adalah 33 aitem. Terhadap skala kebutuhan dasar psikologik dan
PANAS, peneliti melakukan back translation yang dilakukan oleh tiga orang
psikolog sekolah dan uji keterbacaan oleh promotor dan ko-promotor.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
71
Universitas Indonesia
3.4.1.4 Partisipan dan Perijinan Pengambilan Data Penelitian
Partisipan studi satu ini adalah mahasiswa baru (semester satu) Program
Reguler Fakultas Psikologi UI angkatan 2012 dari kelas MPKT A. Peneliti
mengajukan surat permohonan ijin penelitian melalui sekretariat Pascasarjana
Fakultas Psikologi yang ditandatangani oleh Manajer Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat untuk ditujukan kepada para pengajar kelas MPKT A Fakultas
Psikologi UI.
3.4.1.5 Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan data dilakukan dua kali, yaitu pada hari Selasa, 11 Desember
2012 dan pada hari Rabu, 12 Desember 2012 di kelas MPKT A Fakultas Psikologi
UI di akhir sesi kuliah. Partisipan diminta mengisi buklet “Kuesioner:
Pengalamanku yang Tak Terlupakan” berisi kebutuhan psikologik, skala PANAS
(Positive Affect Negative Affect Scale), Persepsi Diri (sebagai tambahan dari
peneliti) dan Data Diri Partisipan.
3.4.1.6 Pengolahan Data Kebutuhan Dasar Psikologik
Analisis faktor dilakukan terhadap data yang diperoleh dari pengisian
kuesioner “Pengalamanku yang Tak Terlupakan” untuk mengetahui sejauh mana
dimensi variabel kebutuhan dasar psikologik unidimensional mengukur dimensi
yang hendak diukur. Untuk mengetahui prioritas kebutuhan partisipan, dilakukan
perhitungan rerata dari skor setiap kebutuhan psikologik. Hasil tersebut kemudian
diurutkan berdasarkan rerata yang paling tinggi ke paling rendah. Perbedaan antar
rerata kebutuhan psikologik diuji dengan menggunakan paired samples t tests.
3.4.1.7 Analisis Data Kuantitatif
Terhadap 33 aitem tentang pemuasan kebutuhan psikologik dilakukan
analisis faktor menggunakan metode rotasi melalui analisis komponen prinsipal
(principal component analysis) yang dijalankan dengan program SPSS. Untuk
mengetahui peringkat kebutuhan dasar psikologik yang diseleksi responden dilihat
dari rerata (mean) skor jawaban partisipan terhadap setiap kelompok kebutuhan
dasar psikologik. Selain itu, dilakukan korelasi antara kebutuhan dasar psikologik
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
72
Universitas Indonesia
dan berbagai jawaban emosi/afek yang terkait dengan pengalaman yang memberi
kepuasan psikologik untuk memenuhi kriteria kedua sebagai pendukung dan
penentu prioritas kebutuhan dasar psikologik.
3.4.2 Pengumpulan Data Kualitatif
Peneliti melakukan wawancara kelompok terfokus terhadap enam
kelompok yang terdiri dari 8-10 orang mahasiswa. Pedoman wawancara disusun
berdasarkan studi tentang dukungan otonomi belajar dari Reeve (2004, 2006).
Pertanyaan-pertanyaan disusun mulai dari yang umum tentang otonomi menuju ke
yang lebih khusus di dalam konteks pembelajaran yaitu otonomi belajar dan
dukungan otonomi dalam belajar (lihat Lampiran). Melalui pertanyaan-pertanyaan
tentang otonomi dan dukungan otonomi dalam belajar, digali 11 kebutuhan dasar
psikologik yang ada di penelitian kuantitatif.
3.4.2.1 Metode Pengambilan Data
Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti ingin memeriksa apakah selain
ketiga kebutuhan dasar SDT; kebutuhan spiritual, kebutuhan aktualisasi diri,
kesenangan duniawi, dan kebutuhan harga diri juga muncul sebagai kebutuhan
dasar psikologik dalam belajar. Adapun pedoman wawancara dirancang
berdasarkan pengertian dukungan otonomi belajar dari Reeve (2004, 2006).
Menurut peneliti, dengan menanyakan dukungan otonomi dalam belajar, dapat
tergali informasi mengenai pemenuhan tujuh kebutuhan dasar psikologik. Peneliti
merancang 10 pertanyaan sehubungan dengan otonomi belajar sebagai berikut:
1. Apa pengertian kamu tentang otonomi secara umum?
2. Pentingkah otonomi dalam kehidupanmu? Mengapa penting?
3. Seberapa pentingkah otonomi untuk kamu?
4. Seberapa kuatnya otonomi mempengaruhi tindakan-tindakanmu?
5. Bagaimana proses terbentuknya otonomi diri dalam dirimu?
6. Apa pengertian kamu tentang otonomi dalam belajar?
7. Apa pengertian kamu tentang kontrol dalam belajar?
8. Apa pengertian kamu tentang dukungan otonomi dalam belajar?
9. Perlukah otonomi di dalam belajar? Dalam bentuk apa?
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
73
Universitas Indonesia
10. Apa saja yang perlu dilakukan oleh guru/dosen di dalam kelas untuk
dukung otonomi atau kontrol kamu dalam belajar?
Hasil wawancara kelompok terfokus ini dibandingkan dengan hasil penelitian
kuantitatif yang dilakukan secara bersamaan.
3.4.2.2 Partisipan Penelitian
Partisipan studi kualitatif adalah mahasiswa Fakultas Psikologi angkatan
2012, sama seperti partisipan dalam studi kuantitatif. Pemilihan partisipan
dilakukan dengan teknik non-probability sampling. Besarnya sampel studi
kualitatif ini sebanyak 56 partisipan, yang dimasukkan ke dalam enam kelompok
wawancara kelompok terfokus.
3.4.2.3 Persiapan Penelitian
Peneliti menyiapkan Pedoman Pelaksanaan Wawancara Kelompok
Terfokus. Peneliti meminta ijin melakukan penelitian di Fakultas Psikologi UI
pada tanggal 11 dan 12 Desember 2012 kepada Wakil Dekan Fakultas Psikologi
UI. Untuk pelaksanaan pengambilan data, peneliti dibantu oleh sekelompok
fasilitator (12 fasilitator untuk 6 kelompok) yang telah dilatih untuk memimpin
wawancara di dalam kelompok. Pembekalan materi diskusi dan pelatihan
pelaksanaan diskusi kelompok dilakukan dalam dua kali pertemuan, yaitu pada
hari Jumat tanggal 7 Desember 2012 dan hari Senin tanggal 10 Desember 2012.
Pada persiapan penelitian kualitatif ini, peneliti juga mempersiapkan dan
menguji coba kuesioner skala motivasi yang telah diadaptasi (Maulana et.al.,
2011) yang akan diikutsertakan di penelitian tahap kedua.
3.4.2.4 Analisis Data Kualitatif
Analisis data kualitatif dilakukan dengan proses pengkodean (coding
process) verbatim respon partisipan. Respon-respon jawaban partisipan atas
pertanyaan yang diajukan diberi kode dan dikelompokkan ke dalam kelompok
yang mewakili tema tertentu. Kemudian tema-tema yang ada dikelompokkan ke
dalam dimensi atau perspektif yang lebih luas, berdasarkan 11 dimensi kebutuhan
dasar psikologik pada penelitian kuantitatif. Hasil analisis data disampaikan dalam
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
74
Universitas Indonesia
bentuk pemaparan hasil wawancara kelompok terkait tema-tema yang muncul
(Creswell & Clark, 2011). Untuk melakukan interpretasi hasil analisis data,
peneliti merujuk pada tujuan penelitian mixed methods ini, yaitu untuk
mengetahui kebutuhan dasar psikologik yang dianggap penting bagi partisipan
untuk dipenuhi dalam belajar (mahasiswa semester satu Fakultas Psikologi UI
angkatan 2012). Selain itu, digali juga bagaimana pandangan mahasiswa terhadap
dosennya sebagai otoritas sumber informasi.
Validitas data kualitatif dilakukan dengan mengecek kembali jawaban-
jawaban dari para partisipan oleh pewawancara dan triangulasi data dengan cara
mewawancara beberapa mahasiswa dari angkatan yang sama mengenai
pertanyaan-pertanyaan di pedoman wawancara (Creswell & Clark, 2011).
Reliabilitas data kualitatif dilakukan dengan intercoder agreement yang
merupakan prosedur dasar dalam menganalisis data kualitatif, dan mencakup
pemberian kode dari beberapa coder terhadap transkrip data kualitatif, untuk
kemudian dibandingkan dan disimpulkan apakah mereka memiliki kode atau tema
yang sama atau berbeda (Miles & Huberman, 1994 dalam Creswell & Clark,
2011). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua coder termasuk peneliti
untuk menganalisis transkrip atau verbatim data hasil wawancara kelompok
terfokus. Koding yang dilakukan oleh masing-masing coder diperbandingkan
untuk kemudian diinterpretasi sebagai hasil dari penelitian kualitatif.
3.5 Penelitian Utama: Penelitian Kuantitatif
3.5.1 Metode Penelitian
Penelitian ini melibatkan beberapa variabel prediktor dan satu variabel
kriterion sehingga penelitian ini menggunakan desain multivariat korelasional
(Bordens & Abbot, 2011). Variabel kriterion penelitian tahap kedua ini adalah
keterlibatan belajar. Variabel prediktornya adalah dukungan makna belajar dari
dosen, motivasi intrinsik, self-efficacy, dan otoritas sumber informasi.
3.5.2 Variabel Penelitian, Definisi Konseptual dan Operasional
Berdasarkan kerangka teoretik yang diajukan dalam penelitian ini, maka
variabel-variabel penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
75
Universitas Indonesia
3.5.2.1 Variabel Kriterion
Variabel kriterion penelitian ini adalah keterlibatan belajar dengan definisi
konseptual yang diajukan oleh Kuh, et al. (2008) sebagai sejumlah waktu dan
usaha yang dicurahkan mahasiswa untuk terlibat dalam aktivitas belajarnya sesuai
dengan tujuan dan visi misi perguruan tinggi. Keterlibatan belajar diukur melalui
ketiga dimensinya, yaitu keterlibatan perilaku, emosi, dan kognisi dalam belajar
(Fredricks, Blumenfeld, & Paris, 2004). Pengukuran keterlibatan belajar
menggunakan skala keterlibatan belajar yang diadaptasi dari alat ukur keterlibatan
belajar School Engagement Measurement (SEM) McArthur yang dikembangkan
oleh Blumenfeld & Fredricks (2005, dalam Fredricks, Blumenfeld, Friedel, &
Paris, 2005). Keterlibatan belajar didefinisikan secara operasional sebagai
besarnya skor pada dimensi perilaku, emosi, dan kognisi yang diperoleh dari skala
Keterlibatan Belajar yang telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Makin
tinggi skor skala keterlibatan belajar, makin tinggi keterlibatan belajar responden.
3.5.2.2 Variabel Prediktor
Terdapat empat variabel prediktor penelitian ini, yaitu:
a. Dukungan Makna Belajar dari Dosen
Variabel dukungan makna belajar dari dosen terdiri dari tujuh dimensi
kebutuhan dasar psikologik yang diperoleh dari penelitian pendahuluan, yaitu
kebutuhan otonomi, kebutuhan kompeten, kebutuhan akan hubungan dengan
orang lain, kebutuhan spiritual/makna, kebutuhan aktualisasi diri, kesenangan
duniawi, dan kebutuhan akan harga diri. Definisi konseptual dukungan makna
belajar dosen adalah pandangan mahasiswa terhadap perilaku interpersonal dosen
yang memfasilitasi atau menyediakan kesempatan bagi mahasiswa untuk terlibat
dan dapat mempertahankan tindakan atau perilakunya yang bermakna yang
berasal dari dalam dirinya, karena merasa diterima pendapat-pendapatnya,
memiliki hubungan yang baik dengan dosen, merasa nyaman, dapat
mengembangkan potensi diri dan dihargai sebagai individu. Definisi operasional
dukungan makna belajar dari dosen adalah skor yang diperoleh dari dimensi skala
dukungan makna belajar dari dosen.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
76
Universitas Indonesia
Definisi konseptual dan operasional dari dimensi kebutuhan dasar
psikologik yang diteliti, dipaparkan di bawah ini:
1. Kebutuhan otonomi adalah kebutuhan untuk dapat menjadi otonom dalam
menentukan tindakan. Definisi operasional dari kebutuhan otonomi adalah
skor yang diperoleh dari aitem kebutuhan otonomi.
2. Kebutuhan kompeten adalah kebutuhan akan aktualisasi
kompetensi/kemampuan (Deci & Ryan, 2000). Definisi operasional dari
kebutuhan kompeten adalah skor yang diperoleh dari aitem kebutuhan
kompeten.
3. Kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain adalah kebutuhan untuk
memiliki hubungan yang baik dengan orang lain (Deci & Ryan, 2000).
Definisi operasional dari kebutuhan hubungan dengan orang lain adalah
skor yang diperoleh dari aitem kebutuhan berhubungan dengan orang lain.
4. Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan individu untuk memaknai hidup dan
memiliki hubungan transenden dengan kekuatan yang lebih “tinggi”.
Secara operasional kebutuhan spiritual adalah skor yang diperoleh dari
skala kebutuhan spiritual. Definisi operasional dari kebutuhan spiritual
adalah skor rata-rata yang diperoleh dari tiga aitem kebutuhan spiritual
yang dikonstruk berdasarkan definisi konseptual kebutuhan spiritual.
Makin tinggi skor skala kebutuhan psikologik spiritual, makin tinggi
pandangan responden terhadap pemuasan kebutuhan spiritualnya.
5. Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan individu untuk
mengembangkan potensi terbaiknya dan membuat hidup bermakna.
Definisi operasional kebutuhan aktualisasi diri adalah skor rata-rata yang
diperoleh dari tiga aitem kebutuhan aktualisasi diri.
6. Kesenangan duniawi adalah kebutuhan individu untuk mendapatkan
banyak kenikmatan dan kesenangan. Definisi operasional kesenangan
duniawi adalah skor rata-rata yang diperoleh dari dua aitem kesenangan
duniawi.
7. Kebutuhan harga diri adalah kebutuhan individu untuk dihargai oleh orang
lain. Definisi operasional kebutuhan akan harga diri adalah skor rata-rata
yang diperoleh dari dua aitem kebutuhan akan harga diri.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
77
Universitas Indonesia
Peneliti menyusun Skala Dukungan Makna Belajar dari Skala Learning
Climate Questionaire (Williams & Deci, 1996) yang telah diadaptasi untuk
kebutuhan otonomi, kompeten, dan hubungan dengan orang lain, serta
mengkonstruk masing-masing tiga aitem untuk kebutuhan aktualisasi diri dan
kebutuhan spiritual, dan masing-masing dua aitem untuk kebutuhan kesenangan
duniawi dan kebutuhan akan harga diri.
b. Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah motivasi yang telah terintegrasi dan
terinternalisasi menjadi self. Motivasi intrinsik merupakan transformasi motivasi
yang awalnya bersifat ekstrinsik menjadi motivasi ekstrinsik yang bertujuan (self
determined extrinsic motivation) serta mengandung nilai-nilai (values) dan minat
individu. Definisi operasional dari motivasi intrinsik adalah skor yang diperoleh
dari dimensi skala motivasi yang dikembangkan oleh Maulana et al. (2011).
c. Self-efficacy
Definisi konseptual dari self-efficacy adalah keyakinan seseorang terhadap
kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan suatu tugas (Bandura, 1997).
Dalam penelitian ini self-efficacy diikutsertakan dalam variabel penelitian sebagai
variabel perantara antara dukungan otonomi, otoritas sumber informasi, dan
keterlibatan belajar. Definisi operasional self-efficacy adalah skor yang diperoleh
dari skala self-efficacy yang diadaptasi dari skala Self-efficacy, Stress, and
Academic Success in College (Zajacova, Lynch, & Espenshade, 2005). Skala ini
terdiri dari dimensi self-efficacy akademik dan self-efficacy sosial. Hanya self-
efficacy akademik yang diikutsertakan dalam pengolahan statistik.
d. Otoritas Sumber Informasi
Otoritas sumber informasi adalah narasumber yang dipercaya sebagai
sumber pengetahuan yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan dalam
mengkonstruk pengetahuan. Definisi operasional otoritas sumber informasi adalah
skor total yang diperoleh dari skala Epistemic Authority Measurement (Raviv et
al., 2003) yang telah diadaptasi.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
78
Universitas Indonesia
3.5.3 Alat Ukur Penelitian Utama
Sejumlah skala alat ukur digunakan di dalam penelitian ini adalah Skala
Keterlibatan Belajar, Skala Dukungan Makna Belajar Dosen, Skala Motivasi
Intrinsik, Skala Self-efficacy, dan Skala Otoritas Sumber Informasi. Peneliti
menerjemahkan skala dari bahasa aslinya yaitu Bahasa Inggris ke dalam Bahasa
Indonesia dan melakukan penerjemahan kembali ke dalam Bahasa Inggris untuk
skala Keterlibatan Belajar, Skala Motivasi Intrinsik, Skala Self-efficacy, dan Skala
Otoritas Sumber Informasi.
Peneliti menyerahkan semua alat ukur yang telah diadaptasi dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kepada empat orang ahli dalam bidang
psikologi pendidikan dan psikologi sekolah untuk dinilai face dan content
validity-nya (Rossiter, 2011). Peneliti mempertimbangkan masukan dari para ahli
untuk menyesuaikan pernyataan aitem pada skala alat ukur. Alat ukur yang sudah
disesuaikan kemudian dikumpulkan menjadi sebuah buklet yang diberi judul
“Skala Keterlibatan Belajar”.
3.5.3.1 Alat Ukur Keterlibatan Belajar
Skala School Engagement Measurement (SEM) McArthur yang
dikembangkan oleh Blumenfeld, dan Fredricks (2005, dalam Fredricks,
Blumenfeld, Friedel, & Paris, 2005).), diadaptasi untuk mengukur keterlibatan
belajar. Pada awal penggunaannya, alat ukur ini ditujukan bagi peserta didik
Sekolah Dasar kelas tiga, empat dan lima. Nilai koefisien reliabilitas (Cronbach’s
Alpha) sebesar 0,77 untuk dimensi keterlibatan perilaku; 0,86 untuk dimensi
keterlibatan emosi; dan 0,82 untuk dimensi keterlibatan kognitif. Alat ukur ini
memiliki korelasi yang cukup tinggi dengan persepsi peserta didik terhadap aspek
akademik dan konteks sosial mereka, arti sekolah bagi mereka dan keterlibatan
mereka di sekolah. Goldschmidt (2008, dalam Fredricks, McColskey, Meli,
Montrosse, Mordica, & Mooney, 2011) juga menemukan bahwa alat ukur ini
memiliki korelasi yang positif dengan keterampilan sosial dan berkorelasi negatif
dengan perilaku agresif.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
79
Universitas Indonesia
3.5.3.2. Alat Ukur Dukungan Makna Belajar dari Dosen
Alat ukur Dukungan Makna Belajar Dosen dikonstruk berdasarkan hasil
penelitian mixed methods pada penelitian pendahuluan. Peneliti membuat Skala
Dukungan Makna Belajar Dosen dengan cara menggabungkan Skala Learning
Climate Questionaire (Williams & Deci, 1996) yang terdiri dari tiga kebutuhan
dasar psikologik SDT dan mengkonstruk empat kebutuhan psikologik temuan dari
penelitian pendahuluan.
Skala Dukungan Makna Belajar terdiri dari 25 aitem (lima aitem untuk
masing-masing kebutuhan otonomi, kebutuhan kompeten, dan kebutuhan akan
hubungan dengan orang lain; tiga aitem untuk kebutuhan spiritual dan kebutuhan
aktualisasi diri, dan dua aitem untuk kesenangan duniawi, dan kebutuhan harga
diri). Format jawaban dalam bentuk skala Likert dengan rentang poin 1 (Sangat
Tidak Setuju) hingga 5 (Sangat Setuju). Pernyataan-pernyataan kebutuhan dasar
SDT dalam alat ukur Skala Learning Climate Questionaire (Williams & Deci,
1996) yang asli ditujukan bagi mahasiswa kedokteran tingkat dua tentang persepsi
mahasiswa terhadap dukungan kemandirian dari instruktur/dosen. Alat ukur ini
memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,96 (Cronbach’s Alpha). Peneliti lain
(Black &Deci, 2000; Arnone, Reynolds, & Marshall, 2009) juga menggunakan
alat ukut ini dengan hasil uji reliabilitas yang tidak jauh berbeda.
Makin tinggi skor skala dukungan makna belajar dosen berarti makin
baik/positif pandangan mahasiswa terhadap perilaku interpersonal dosennya yang
memfasilitasi atau menyediakan kesempatan baginya untuk terlibat dan dapat
mempertahankan tindakan atau perilakunya yang bermakna yang berasal dari
dalam dirinya, karena merasa diterima pendapat-pendapatnya, memiliki hubungan
yang baik dengan dosen, nyaman, dapat mengembangkan potensi diri dan dihargai
sebagai individu.
3.5.3.3 Alat Ukur Motivasi Intrinsik
Skala Motivasi Belajar penelitian ini diadaptasi dari skala motivasi belajar
yang diciptakan oleh Maulana et.al (2011). Aitem pernyataan menggunakan
format jawaban dalam bentuk skala Likert dengan rentang poin 1 (Sangat Tidak
Setuju) hingga poin 5 (Sangat Setuju). Semakin tinggi skor motivasi intrinsik,
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
80
Universitas Indonesia
semakin kuat motivasi belajar yang berasal dari dalam diri yang didasari oleh
nilai-nilai (values) dan minat individu.
3.5.3.4 Alat Ukur Self-efficacy
Skala Self-efficacy, Stress, and Academic Success in College (Zajacova,
Lynch, & Espenshade, 2005) diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia untuk
mengukur persepsi self-efficacy responden. Skala ini mengukur keyakinan
responden terhadap penyesuaian dirinya di lingkungan kampus (social self-
efficacy) dan keyakinan kemampuan responden terhadap penyelesaian tugas dan
penguasaan materi dalam belajar (course self-efficacy). Skala ini terdiri dari tiga
aitem yang mewakili dimensi social self-efficacy dan 15 aitem yang mewakili
dimensi course self-efficacy dengan format jawaban yang memiliki rentang 1
(Sangat Tidak Yakin) sampai dengan 10 (Sangat Yakin). Pada penelitian ini yang
dipakai hanya aitem-aitem yang mengukur keyakinan responden terhadap
kemampuannya dalam menyelesaikan tugas (course self-efficacy). Makin tinggi
skor yang diperoleh dari skala self-efficacy makin tinggi keyakinan responden
terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan tugas-tugas belajarnya.
3.5.3.5 Alat Ukur Pandangan Otoritas Sumber Informasi
Untuk mengukur pandangan otoritas sumber informasi digunakan skala
Epistemic Authority Measurement yang diciptakan oleh Raviv et al. (2003). Skala
ini aslinya memiliki sembilan aitem dengan rentang respon jawaban enam poin
skala Likert (1 = sangat tidak setuju; 6 = sangat setuju). Makin tinggi skor skala
otoritas sumber informasi, makin tergantung responden terhadap otoritas sumber
informasi dalam membangun pengetahuannya.
3.5.4 Data Demografis
Untuk melengkapi inferensi hasil penelitian, peneliti mendata identitas
responden yakni jenis kelamin, usia, urutan kelahiran, program studi, fakultas,
asal lulusan sekolah menengah atas, keikutsertaan dalam organisasi, dan profil
orang tua (usia, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan keluarga).
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
81
Universitas Indonesia
3.6 Partisipan dan Prosedur Penelitian
Partisipan pada penelitian utama adalah mahasiswa baru (semester satu)
program Strata 1 (S1) Reguler Universitas Indonesia (UI) angkatan 2013. Dari 13
Fakultas yang terdapat di UI yang terdiri dari tiga rumpun ilmu (Rumpun Ilmu
Kesehatan, Rumpun Ilmu Sains dan Teknologi, dan Rumpun Ilmu Sosial
Humaniora), peneliti merencanakan dua kelas untuk masing-masing fakultas.
Peneliti dibantu oleh sekelompok instruktur dalam pengambilan data
penelitian. Instruktur membagikan kuesioner dan memberikan instruksi kepada
partisipan penelitian di dalam ruang kuliah. Pengambilan data dilakukan terhadap
kelompok mahasiswa baru angkatan 2013, masing-masing dua fakultas dari
rumpun ilmu kesehatan, rumpun ilmu sains dan teknologi, dan rumpun ilmu sosial
humaniora. Pelaksanaan pengisian kuesioner sekitar 30 menit.
3.7 Teknik Pengambilan Sampel
Penelitan ini merupakan penelitian lapangan dan partisipan dipilih
berdasarkan teknik pengambilan sampel convenience sampling (Groves, Kemmis,
Hardy, & Ponte, 2010). Dari setiap fakultas rumpun ilmu tertentu, direncanakan
akan diambil 1000 mahasiswa dari 13 fakultas di lingkungan Universitas
Indonesia.
3.8 Pengolahan Data
Data yang terkumpul dianalisis dengan bantuan program SPSS untuk
memperoleh gambaran distribusi karakteristik sampel (frekuensi, rerata, varians)
dan Linear Structural Relations (LISREL) untuk menguji model pengukuran dan
model persamaan struktural penelitian. Melalui metode model persamaan
struktural (Structural Equation Model) yang dijalankan oleh LISREL versi 8.80,
dapat dijelaskan hubungan kausal yang dibangun di dalam model teoretik
penelitian.
Setelah deskripsi tentang data penelitian diperoleh (frekuensi, rerata,
varians), pengolahan data dilanjutkan pada pengujian reliabilitas dan validitas dari
alat ukur. Nilai koefisien reliabilitas (Cronbach Alpha) aitem yang dapat diterima
(lebih besar sama dengan 0,70) menunjukkan bahwa alat ukur cukup reliabel dan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
82
Universitas Indonesia
data dapat diinterpretasi. Aitem-aitem yang tidak memiliki korelasi antar aitem
positif dan kurang dari 0,5, dihilangkan dan tidak diikutsertakan di dalam
penelitian (Kaplan & Saccuzzo, 2005). Skala alat ukur yang telah memiliki nilai
koefisien reliabilitas yang dapat diterima, dilanjutkan pengolahan datanya dengan
LISREL.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
83 Universitas Indonesia
BAB 4 HASIL PENELITIAN
Dalam bab empat ini disampaikan hasil penelitian pendahuluan dan
penelitian utama.
4.1 Penelitian Pendahuluan
Tujuan penelitian pendahuluan adalah mengembangkan alat ukur untuk
variabel-variabel dalam model persamaan struktural keterlibatan belajar yang
akan diuji dalam disertasi ini. Adapun alat ukur yang dikembangkan adalah:
1. Skala Dukungan Makna Belajar dari Dosen,
2. Skala Motivasi Intrinsik,
3. Skala Self-efficacy,
4. Skala Otoritas Sumber Informasi, dan
5. Skala Keterlibatan Belajar.
Melalui penelitian mixed methods, peneliti mengkonstruk skala dukungan
makna belajar dari dosen. Berikut disampaikan gambaran partisipan penelitian
pendahuluan dan pengembangan serta pengujian alat ukur penelitian.
4.1.1 Gambaran Partisipan Penelitian Pendahuluan
Partisipan untuk penelitian mixed methods terbagi dalam dua kelompok
yaitu partisipan untuk pengumpulan data kuantitatif dan pengumpulan data
kualitatif. Partisipan untuk pengumpulan data kuantitatif adalah mahasiswa baru
(semester satu) Program Reguler Fakultas Psikologi UI angkatan 2012 (N=203)
yang terdiri dari laki-laki 38 orang (18.72%) dan perempuan 165 orang (81.28%).
Partisipan untuk pengumpulan data kualitatif adalah mahasiswa Fakultas
Psikologi dari angkatan 2012 yang sama, dengan partisipan yang berbeda dengan
partisipan studi kuantitatif. Pemilihan partisipan dilakukan dengan teknik non-
probability sampling. Besarnya sampel studi kualitatif ini sebanyak 56 partisipan,
yang dimasukkan ke dalam enam kelompok wawancara kelompok terfokus.
Masing-masing kelompok terdiri dari 8-10 orang mahasiswa.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
84
Universitas Indonesia
4.1.2 Pengembangan Alat Ukur Dukungan Makna Belajar dari Dosen
Alat ukur dukungan makna belajar dari dosen dikonstruk berdasarkan hasil
penelitian mixed methods terhadap prioritas kebutuhan dasar psikologik
mahasiswa. Berdasarkan temuan penelitian, selain tiga kebutuhan dasar
psikologik SDT (kebutuhan otonomi, kompeten, dan hubungan dengan orang
lain), terdapat pula kebutuhan yang diutamakan partisipan, yaitu kebutuhan
spiritual/makna, aktualisasi diri (self-actualizing), kesenangan duniawi (pleasure
stimulation), dan kebutuhan harga diri. Berikut adalah hasil penelitian mixed
methods.
4.1.2.1 Penelitian Kuantitatif
Untuk mengetahui prioritas kebutuhan dasar psikologik mahasiswa yang
dijadikan dasar pembuatan skala dukungan makna belajar dari dosen, dilakukan
beberapa langkah penghitungan statistik terhadap alat ukur penelitian kuantitatif.
Analisis faktor eksploratori dilakukan untuk mengetahui unidimensionalitas dari
alat ukur “Pengalamanku yang Tak Terlupakan”. Selanjutnya, dilakukan analisis
hasil terkait dengan prioritas kebutuhan dasar psikologik, serta hubungan antar 11
kebutuhan dasar psikologik dan emosi. Sebagai tambahan, dalam penelitian
kuantitatif ini, peneliti mengecek pandangan partisipan terhadap minat, self-
efficacy, dan pandangannya terhadap dosen sebagai otoritas sumber informasi.
4.1.2.1.1 Analisis Faktor Eksploratori
Dengan menggunakan teknik varimax rotation pada program IBM SPSS
21, dilakukan analisis komponen prinsipal (principal-component analysis) dari
ke-33 variabel yang diamati sebagai pemuasan kebutuhan psikologik terhadap
pengalaman yang tak terlupakan yang dialami oleh partisipan. Pada Lampiran 3
peneliti tidak menampilkan seluruh muatan faktor antar variabel, melainkan hanya
menampilkan hasil muatan faktor variabel yang besarnya sama dengan atau lebih
besar dari 0,43. Dari hasil penghitungan, hanya terdapat 9 (sembilan) faktor yang
memiliki nilai eigenvalues ≥1,0, berarti dari 11 variabel yang diteliti, variabel-
variabel tersebut hanya mengukur sembilan faktor, bukan 11 faktor (lihat lampiran
3). Dua aitem aktualisasi diri, satu aitem kesenangan duniawi, dan dua aitem
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
85
Universitas Indonesia
harga diri terukur memiliki komponen yang sama. Di komponen tujuh, terukur
satu variabel kesenangan duniawi bersama-sama dengan variabel kebugaran fisik.
Pernyataan aitem yang kemungkinannya tidak menggali variabel yang dirancang
(misalnya “Bahwa saya menjadi diri saya yang sebenarnya”; “Bahwa saya
menemukan sumber-sumber dan berbagai cara untuk membuat diri saya
bersemangat”; “Cukup puas menjadi diri saya yang seperti ini”) menyebabkan
adanya tumpang tindih dari variabel kebutuhan dasar psikologik.
4.1.2.1.2 Hasil Penelitian Kuantitatif Mixed Methods
a. Prioritas Kebutuhan Dasar Psikologik
Tabel 4.1 menampilkan urutan peringkat 11 kebutuhan dasar psikologik.
Di urutan pertama teratas (dengan skor antara 4,02 sampai 4,13) terdapat lima
kebutuhan dasar psikologik, yaitu hubungan dengan orang lain (relatedness),
otonomi (autonomy), aktualisasi diri (self-actualizing), spiritual (spirituality), dan
kesenangan duniawi (pleasure-stimulation), yang menggambarkan kebutuhan
dasar psikologik yang dianggap paling penting bagi responden. Urutan kedua
terdapat harga diri (self-esteem) dan di urutan ketiga kebutuhan kompeten
(competence). Di urutan selanjutnya adalah kebutuhan popularitas (popularity-
influence) di urutan keempat. Pada urutan kelima adalah kebutuhan rasa aman
(security), kebutuhan kebugaran fisik (physical-thriving), dan kebutuhan akan
uang dan kemewahan (money-luxury).
Tabel 4.1 Statistik Deskriptif 11 Kebutuhan Dasar Psikologik
Prioritas Kebutuhan Psikologik Rerata SD I Hubungan dengan orang lain 4,13� 0,77 I Otonomi 4,10� 0,63 I Aktualisasi diri 4,07� 0,62 I Spiritual 4,03� 0,67 I Kesenangan duniawi 4,02� 0,60 II Harga diri 3,78b 0,59 III Kompeten 3,66c 0,74 IV Popularitas 3,43d 0,73 V Rasa aman 2,98� 0,68 V Kebugaran Fisik 2,89� 0,80 V Uang – kemewahan 2,78� 0,78
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
86
Universitas Indonesia
b. Hubungan antar 11 Kebutuhan Dasar Psikologik dan Emosi terkait
Pengalaman
Tabel 4.2 menampilkan korelasi dari setiap skor pemuasan 11 kebutuhan
psikologik dan skor afek positif, negatif serta skor keseimbangan afek (affect
balance). Dari kesebelas kebutuhan psikologik, hanya satu kebutuhan yang tidak
memiliki hubungan dengan emosi positif. Seluruh kebutuhan psikologik yang
diprioritaskan oleh partisipan, termasuk kebutuhan dasar psikologik SDT,
memiliki korelasi positif dan signifikan terhadap emosi positif. Hanya dua
kebutuhan psikologik yang diprioritaskan partisipan memiliki korelasi dengan
emosi negatif, yaitu kebutuhan otonomi dan kebutuhan akan harga diri. Hampir
seluruh kebutuhan psikologik memiliki korelasi dengan keseimbangan afek, hanya
kebutuhan kompetensi diri, rasa aman, dan kebutuhan akan uang dan kemewahan
yang tidak memiliki korelasi dengan keseimbangan afek. Sesuai dengan
pernyataan Bradburn (1969, dalam Sheldon et al., 2001), kebutuhan kompetensi
diri, rasa aman, dan kebutuhan akan uang dan kemewahan tidak berhubungan
dengan kepuasan psikologik.
Tabel 4.2 Hubungan antar 11 Kebutuhan Dasar Psikologik dan Emosi terkait Pengalaman
Kebutuhan Psikologik Afek Positif
Afek Negatif
Keseimbangan Afek
Hubungan dengan orang lain 0,27** -0,10 0,26** Otonomi 0,44** -0,16* 0,41** Aktualisasi diri 0,51** -0,05 0,37** Spiritual 0,32** -0,04 0,24** Kesenangan duniawi 0,47** -0,02 0,32** Harga diri 0,31** -0,16* 0,33** Kompeten 0,27** 0,12 0,10 Popularitas 0,34** -0,05 0,26** Rasa aman 0,04 -0,01 0,04 Fisik 0,44** -0,02 0,31** Uang – kemewahan 0,13 -0,06 0,13
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
87
Universitas Indonesia
c. Persepsi Diri (Minat, Self-efficacy, Otoritas sumber informasi)
Gambaran minat mahasiswa terhadap materi psikologi secara umum
tergolong cukup tinggi (rerata= 4,1). Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa baru
fakultas psikologi memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap materi psikologi
yang dipelajarinya. Pandangan mahasiswa terhadap self-efficacy-nya
menunjukkan bahwa mahasiswa merasa cukup yakin akan kemampuannya dalam
bidang psikologi (rerata=3,68). Dari Skala Persepsi Diri ini juga diketahui bahwa
pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai otoritas sumber informasi
cenderung netral (rerata = 3,1). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa peran dosen
di mata mahasiswa dapat berfungsi sebagai otoritas sumber informasi, dam juga
sebagai fasilitator.
Terdapat korelasi, walaupun kecil, yang negatif dan signifikan antara self-
efficacy dan ketergantungan informasi (r= -0,160, los 0,05). Artinya, ada
hubungan yang terbalik antara self-efficacy yang dimiliki oleh mahasiswa dan
pandangannya terhadap dosen sebagai otoritas sumber informasi. Bila mahasiswa
memiliki self-efficacy rendah, maka ketergantungannya akan tinggi kepada dosen
dalam membentuk pengetahuannya. Sebaliknya, bila mahasiswa memliki self-
efficacy yang tinggi, maka ketergantungannya kepada dosen akan rendah dalam
mencari informasi yang ingin diketahuinya. Tidak diperoleh adanya korelasi
antara minat dan ketergantungan informasi terhadap dosen sebagai otoritas
sumber informasi.
Tabel 4.3 Rerata Variabel Persepsi Diri
Rerata Std.Deviasi N Minat 4,01 0,79 203 Self-efficacy 3,68 0,76 203 Otoritas Sumber Informasi 3,11 0,70 203
Tabel 4.4 Korelasi antar Variabel Persepsi Diri
1 2 1. Minat 2. Self-efficacy 0,41** 3. Otoritas Sumber Informasi 0,01 -0,16** **Korelasi signifikan pada los 0,01 (2-tailed)
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
88
Universitas Indonesia
4.1.2.1.3 Hasil Penelitian Prioritas Kebutuhan Dasar Psikologik
Tujuan penelitian kuantitatif ini adalah untuk mengetahui kebutuhan dasar
psikologik yang diutamakan bagi partisipan penelitian. Dari penelitian kuantitatif
tahap pendahuluan dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Otonomi, kompeten, dan hubungan dengan orang lain merupakan kebutuhan
dasar psikologik yang dipersepsikan sebagai kebutuhan utama partisipan
mahasiswa baru Fakultas Psikologi UI angkatan tahun 2012. Partisipan juga
memprioritaskan kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan spiritual, kesenangan
duniawi, dan kebutuhan harga diri.
2. Dari korelasi antara kebutuhan dasar psikologik dan afek yang
ditimbulkannya, sesuai dengan penelitian Sheldon et.al. (2001), pemuasan
kebutuhan dasar psikologik lebih menentukan afek positif ketimbang
mengurangi munculnya afek negatif (Sheldon & Bettenscout, 2000 dalam
Sheldon et al., 1996). Hanya dua kebutuhan dasar psikologik, yaitu otonomi
dan harga diri, yang berkorelasi negatif dan signifikan dengan emosi/afek
negatif.
3. Sebagai data hasil tambahan, ditemukan adanya korelasi negatif yang
signifikan antara self-efficacy dan ketergantungan informasi mahasiswa
terhadap dosen sebagai otoritas sumber informasi, artinya makin tinggi self-
efficacy partisipan, makin rendah ketergantungan partisipan terhadap dosen
sebagai otoritas sumber informasi. Dengan perkataan lain, mahasiswa
memandang dosennya sebagai otoritas sumber informasi dalam
mengkonstruk pengetahuannya, bukan sebagai fasilitator sumber informasi
bagi pembentukan pengetahuannya.
4.1.2.2 Penelitian Kualitatif
Data hasil wawancara kelompok terfokus diperoleh dari pedoman
wawancara yang disusun berdasarkan studi tentang dukungan otonomi belajar dari
Reeve (2004, 2006). Untuk mengetahui atau menggali kebutuhan psikologik yang
partisipan butuhkan untuk dipenuhi dan didukung dalam belajar, dilakukan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
89
Universitas Indonesia
analisis verbatim partisipan melalui proses pengkategorian tema berdasarkan 11
kebutuhan dasar psikologik pada penelitian kuantitatif.
Analisis data kualitatif dilakukan dengan cara menganalisis verbatim
masing-masing kelompok dan analisis verbatim antar kelompok. Ringkasan hasil
wawancara antar kelompok dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari analisis verbatim
hasil wawancara, secara umum dapat disimpulkan bahwa selain dimensi
kebutuhan dasar psikologik otonomi, kompeten, dan hubungan dengan orang lain,
ditemukan pula adanya kebutuhan spiritual, aktualisasi diri, kesenangan duniawi,
kebutuhan harga diri, dan kebutuhan akan rasa aman, yang dibutuhkan oleh
partisipan. Dari pendapat-pendapat partisipan, ditemukan juga bahwa dosen di
mata mahasiswa dipandang sebagai otoritas sumber informasi untuk membangun
pengetahuannya. Hanya satu kelompok yang memandang bahwa dosen berperan
sebagai fasilitator pembentukan pengetahuan mahasiswa (kelompok 4).
4.1.2.3 Interpretasi Hasil Data Kuantitatif dan Kualitatif
Tujuan dilakukannya penelitian pendahuluan dengan desain mixed
methods adalah untuk menggali apakah kebutuhan dasar psikologik yang
ditemukan di penelitian kuantitatif juga muncul di penelitian yang dilakukan
secara kualitatif. Dari analisis data kuantitatif dan kualitatif, diperoleh hasil yang
saling mendukung satu sama lain. Tujuh kebutuhan dasar psikologik yang
diprioritaskan partisipan pada penelitian kuantitatif; yaitu (1) kebutuhan otonomi,
(2) kompeten, (3) hubungan dengan orang lain, (4) kebutuhan spiritual, (5)
aktualisasi diri, (6) kesenangan duniawi, dan (7) harga diri; tergali juga di
penelitian kualitatif. Selain itu, dari penelitian kualitatif ditemukan adanya
pandangan mahasiswa terhadap dosen yang menganggap dosen sebagai otortias
sumber informasi dan atau fasilitator dalam perkuliahan. Bagi mahasiswa, dosen
dapat berperan sebagai otoritas sumber informasi (epistemic authority) juga
sebagai fasilitator dalam pembentukan pengetahuannya.
Dengan demikian, hasil penelitian mixed methods ini mendukung asumsi
peneliti mengenai adanya tujuh kebutuhan dasar psikologik yang diutamakan
partisipan. Ketujuh kebutuhan dasar psikologik tersebut yakni tiga kebutuhan
dasar psikologik SDT (kebutuhan otonomi, kebutuhan kompeten, kebutuhan akan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
90
Universitas Indonesia
hubungan dengan orang lain) dan empat kebutuhan dasar psikologik lain yaitu (1)
kebutuhan spiritual, (2) kebutuhan aktualisasi diri, (3) kebutuhan kesenangan
duniawi, dan (4) kebutuhan harga diri.
4.1.2.4 Hasil Perancangan dan Pengujian Skala Dukungan Makna Belajar
dari Dosen
Skala dukungan makna belajar dari dosen terdiri dari tujuh kebutuhan
dasar psikologik yang diprioritaskan partisipan yaitu (1) kebutuhan otonomi, (2)
kompeten, (3) hubungan dengan orang lain, (4) kebutuhan spiritual, (5) aktualisasi
diri, (6) kesenangan duniawi, dan (7) harga diri. Ketujuh kebutuhan dasar
psikologik tersebut peneliti namakan sebagai kebutuhan akan makna (need for
meaning).
Dosen diharapkan dapat mendukung mahasiswa dalam belajar dengan cara
memenuhi pemuasan kebutuhan akan makna belajar mahasiswa. Pandangan
mahasiswa terhadap dukungan makna belajar dari dosen yang dapat memuaskan
ketujuh kebutuhan dasar psikologik dapat memunculkan motivasi intrinsik dan
self-efficacy mahasiswa dalam belajar. Variabel dukungan makna belajar dari
dosen, merupakan salah satu variabel prediktor yang akan diuji dalam Model
Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar di penelitian utama disertasi ini.
Peneliti menciptakan Skala Dukungan Makna Belajar Dosen dengan cara
menggabungkan Skala Learning Climate Questionaire (Williams & Deci, 1996)
yang terdiri dari tiga kebutuhan dasar psikologik SDT dan mengkonstruk empat
kebutuhan psikologik temuan dari penelitian pendahuluan.
Skala dukungan makna belajar dari dosen terdiri dari 25 aitem (lima aitem
untuk masing-masing kebutuhan otonomi, kebutuhan kompeten, dan kebutuhan
akan hubungan dengan orang lain; tiga aitem untuk kebutuhan spiritual dan
kebutuhan aktualisasi diri, dan dua aitem untuk kesenangan duniawi, dan
kebutuhan harga diri; Tabel 4.5). Format jawaban dibuat dalam bentuk skala
Likert dengan rentang poin 1 (Sangat Tidak Setuju) hingga 5 (Sangat Setuju).
Hasil uji reliabilitas setiap dimensi dukungan makna belajar dari dosen
dengan menggunakan metode Alpha Cronbach menunjukkan nilai yang
memuaskan. Pada setiap dimensi dukungan makna belajar seluruhnya memiliki
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
91
Universitas Indonesia
nilai Alpha di atas 0,70 (Tabel 4.5). Pada skala dukungan makna belajar dari
dosen diperoleh nilai alpha sebesar 0,89. Dengan demikian, dapat dinyatakan
bahwa alat ukur dukungan makna belajar dari dosen merupakan alat ukur yang
reliabel. Artinya, masing-masing dimensi dari alat ukur secara konsisten
mengukur satu konstruk.
Pengujian validitas alat ukur dukungan makna belajar dari dosen
menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan antara aitem dengan skor total di
dalam satu dimensi (corrected item-total correlation) yang menunjukkan nilai
korelasi lebih besar dari 0,03. Dengan demikian alat ukur dukungan makna belajar
dari dosen dan setiap dimensi kebutuhan psikologik dapat dinyatakan valid untuk
menggambarkan pandangan mahasiswa terhadap pemuasan kebutuhan akan
makna belajar dari dosennya.
Tabel 4.5 Dimensi Dukungan Makna Belajar dari Dosen
Dimensi yang diukur Nomor Aitem
Jumlah Cronbach Alpha
Kebutuhan Otonomi 1, 3, 5, 7, 13 5 0,70 Kebutuhan Kompeten 4, 6, 9, 10,
14 5 0,71
Kebutuhan Hubungan dengan Orang lain 2, 8, 11, 12, 15
5 0,78
Kebutuhan Spiritual/Makna 16, 17, 18 3 0,80 Kebutuhan Aktualisasi Diri 19, 20, 21 3 0,84 Kesenangan duniawi 22, 23
2 0,91
Kebutuhan Harga Diri Dukungan Makna Belajar dari Dosen
24, 25 1-25
2 25
0,70 0,89
4.1.3 Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur Motivasi Intrinsik
Dari pengujian reliabilitas pada aitem alat ukur motivasi intrinsik
diperoleh nilai alpha sebesar 0,85 (jumlah aitem= 4). Hal ini menunjukkan bahwa
setiap aitem dalam skala ini reliabel, artinya memiliki konsistensi internal yang
tinggi.
Hasil pengujian validitas menunjukkan korelasi yang signifikan antara
aitem dengan skor total (corrected item-total correlation) menunjukkan nilai
korelasi lebih besar dari 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa alat
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
92
Universitas Indonesia
ukur motivasi intrinsik valid dalam memberikan gambaran mengenai penilaian
mahasiswa terhadap motivasi intrinsiknya dalam belajar.
4.1.4 Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur Self-efficacy
Pada Skala Self-efficacy ini, peneliti memilih 15 aitem yang mengukur
keyakinan responden terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan tugas
(course self-efficacy). Hasil pengujian reliabilitas menunjukkan nilai alpha untuk
dimensi sebesar 0,85. Artinya, aitem-aitem dalam alat ukur ini memiliki
homogenitas yang baik, secara konsisten mengukur satu konstruk.
Berdasarkan pengujian validitas alat ukur, diperoleh korelasi yang
signifikan antara skor total motivasi intrinsik dengan aitem-aitemnya dan
menunjukkan korelasi lebih besar dari 0,3. Dengan demikian alat ukur self-
efficacy ini dapat dinyatakan valid dalam menggambarkan keyakinan mahasiswa
akan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya.
4.1.5 Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur Pandangan Otoritas
Sumber Informasi
Peneliti menambahkan tiga aitem ke dalam Skala Pandangan Otoritas
Sumber Informasi yang asli (Raviv et al., 2003), sehingga total aitem seluruhnya
adalah 12 aitem. Dari uji realibilitas diperoleh nilai alpha sebesar 0,57, terdapat
tiga aitem yang memiliki nilai korelasi yang negatif dan satu aitem yang memiliki
nilai korelasi dibawah 0,2. Setelah empat aitem tersebut dihilangkan, nilai alpha
meningkat menjadi 0,80. Dapat disimpulkan bahwa delapan aitem yang tersisa
dari alat ukur otoritas sumber informasi dinyatakan reliabel dan secara konsisten
mengukur satu konstruk.
Hasil pengujian validitas setiap aitem alat ukur otoritas sumber informasi
menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara skor total otoritas
sumber informasi dan aitem-aitemnya dengan skor korelasi lebih besar dari 0,4.
Dengan demikian alat ukur otoritas sumber informasi secara valid dinyatakan
dapat menggambarkan pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai otoritas
sumber informasi.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
93
Universitas Indonesia
4.1.6 Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur Keterlibatan Belajar
Skala Keterlibatan Belajar yang asli (Fredricks, Blumenfeld, Friedel, dan
Paris (2005) berjumlah 20 aitem. Peneliti menambahkan tiga aitem untuk dimensi
emosi, sehingga keseluruhan aitem adalah 23. Dari hasil uji reliabilitas diperoleh
nilai alpha 0,81 dengan tiga aitem emosi memiliki korelasi inter-aitem negatif dan
satu aitem perilaku dengan korelasi dibawah 0,2. Setelah empat aitem tersebut
dihilangkan nilai koefisien reliabilitas (Tabel 4.7) untuk 19 aitem diperoleh
sebesar 0,89. Setiap dimensi keterlibatan belajar dan skala ketelribatan belajar
secara keseluruhan memiliki nilai alpha di atas 0,70. Dengan demikian, dapat
dinyatakan bahwa alat ukur keterlibatan belajar merupakan alat ukur yang
reliabel. Artinya, masing-masing dimensi dari alat ukur secara konsisten
mengukur satu konstruk.
Pengujian validitas alat ukur menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang
signifikan antara skor total keterlibatan belajar dan aitem-aitem pada dimensi
keterlibatan belajar dengan korelasi lebih besar dari 0,03. Dengan demikian alat
ukur keterlibatan belajar dan setiap dimensinya dapat dinyatakan valid untuk
menggambarkan keterlibatan belajar mahasiswa dalam aktivitas belajarnya saat
perkuliahan.
Tabel 4.6 Dimensi Skala Keterlibatan Belajar
Dimensi yang diukur
Nomor Aitem Jumlah α Jumlah aitem yang
dipilih
α
Keterlibatan Belajar Keterlibatan Perilaku
1 - 23 1, 2, 3, 4, 5, 20,
21
23 7
0,81 0,73
19 6
0,89 0,73
Keterlibatan Emosi
6, 7, 8, 9, 10, 13,22,23
8 0,103 5 0,74
Keterlibatan Kognisi
11, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 19
8 0,82 8 0,82
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
94
Universitas Indonesia
4.2. Penelitian Utama
Berikut disampaikan mengenai hasil penelitian utama.
4.2.1 Gambaran Data Demografis Mahasiswa UI
Berikut ini adalah gambaran data demografis partisipan seluruh responden
penelitian (Tabel 4.7), rerata (Tabel 4.8) dan korelasi (Tabel 4.9) dari skala alat
ukur. Berdasarkan data demografis, tampak mayoritas partisipan penelitian adalah
perempuan (67%) dan usia mereka tersebar dari 15 sampai 21 tahun (18 tahun=
67%). Mahasiswa yang terjaring dalam penelitian cukup seimbang antar rumpun
ilmu. Dalam hal berorganisasi, sebagian besar dari mereka pernah tergabung
dalam suatu organisasi (69%). Biaya kuliah mahasiswa sebagian besar didanai
oleh orang tua (83%). Jumlah mahasiswa antara yang tinggal dengan orangtua dan
kost cukup seimbang. Pendidikan ayah maupun ibu terbanyak adalah level S1.
Tabel 4.7 Gambaran Demografis Mahasiswa UI
Karakteristik Partisipan N % Jenis Kelamin (missing=49) Laki-laki Perempuan
194 483
27% 67%
Usia (missing=10) 15 16 17 18 19 20 21
1 8
124 488 84 9 2
0% 1% 17% 67% 12% 1% 0%
Rumpun Ilmu Rumpun Humaniora Rumpun Kesehatan Rumpun Sains Total
251 267 208 726
34% 37% 29% 100%
Pilihan (missing=2) 1 2 3
539 112 73
74% 16%
10%
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
95
Universitas Indonesia
Tabel 4.7 (lanjutan) Gambaran Demografis Mahasiswa UI
Karakteristik Partisipan N % Organisasi (missing=3) Ya Tidak
499 224
69% 31%
Dana Kuliah (missing=2) Orangtua Beasiswa Lain-lain Orangtua dan beasiswa Orangtua, beasiswa, dan lain-lain
602 74 11 30 7
83% 10% 2% 4% 1%
Alamat Kos Orangtua Lain-lain
289 303 134
40% 42% 18%
Pendidikan Ayah (missing=10) SD SMP SMA D3 S1 S2 S3
20 24 179 62 288 117 26
3% 3% 25% 9% 40% 16% 4%
Pekerjaan Ayah Petani Wiraswasta / Wirausahawan Pegawai negeri Pegawai swasta TNI Lain-lain Almarhum Pensiun Tidak bekerja
21 224 202 223 21 26 4 3 2
2.89% 30.85% 27.82% 30.72% 2.89% 3.58% 0.55% 0.41% 0.28%
Pendidikan Ibu (missing=12) SD SMP SMA D3 S1 S2 S3
35 53 183 115 261 60 7 12
4.82% 7.30% 25.21% 15.84% 35.95% 8.26% 0.96% 1.65%
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
96
Universitas Indonesia
Tabel 4.7 (lanjutan) Gambaran Demografis Mahasiswa UI
4.2.2 Gambaran Variabel Penelitian
Tabel 4.8 menampilkan gambaran keadaan mahasiswa dalam variabel
penelitian. Mahasiswa menilai bahwa keterlibatan belajarnya dalam perkuliahan
cenderung netral (rerata= 3,36). Artinya, mahasiswa menilai dirinya cukup
terlibat dalam belajar dan cukup mencurahkan usaha dan waktunya dalam belajar.
Dari angka rerata skala Dukungan Makna Belajar Dosen (rerata= 3,41) dapat
dikatakan bahwa mahasiswa memandang dosennya cukup dapat memenuhi
kebutuhan akan maknanya dalam belajar. Mahasiswa memiliki pandangan yang
positif terhadap perilaku interpersonal dosennya yang memfasilitasi atau
menyediakan kesempatan baginya untuk terlibat sehingga dapat mempertahankan
tindakan atau perilakunya yang bermakna yang berasal dari dalam dirinya.
Mahasiswa merasa dosen dapat menerima pendapat-pendapatnya, memiliki
hubungan yang baik dengan dosen, nyaman, dapat mengembangkan potensi diri,
dan menghargainya sebagai individu.
Dalam menjalani perkuliahannya, mahasiswa menilai aktivitas belajarnya
didorong oleh motivasi intrinsik yang cukup kuat (rerata= 3,48). Aktivitas belajar
mahasiswa didorong oleh sesuatu yang berasal dari dalam diri dan didasari oleh
nilai-nilai (values) dan minatnya. Self-efficacy mahasiswa terlihat cukup tinggi
Karakteristik Partisipan N % Pekerjaan Ibu Ibu Rumah Tangga Petani Wiraswasta / Wirausahawan Pegawai negeri Pegawai swasta Lain-lain
385 4 77 126 106 28
53.03% 0.55% 10.61% 17.36% 14.60% 3.86%
Penghasilan Orangtua (missing=37) < Rp. 500.000,- Rp. 500.000 - Rp. 1.000.000 Rp. 1.000.000 - Rp. 2.000.000 Rp. 2.000.000 - Rp. 4.000.000 Rp. 4.000.000 - Rp. 6.000.000 Rp. 6.000.000 - Rp. 8.000.000 Rp. 8.000.000 - Rp. 10.000.000 > Rp. 10.000.000
9 28 59 119 114 90 73
197
1% 4% 8%
16% 16% 12% 10% 27%
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
97
Universitas Indonesia
(rerata= 7,08). Mahasiswa menilai dirinya memiliki kemampuan dan keyakinan
dapat menyelesaikan tugas-tugas belajarnya. Dalam belajar dan memperoleh
informasi, dosen dipandang mahasiswa sebagai sumber otoritas informasi bagi
pembentukan pengetahuannya (rerata= 4,05). Mahasiswa menganggap dosen
merupakan sumber informasi yang dapat dipercaya dalam menguasai dan
memahami materi perkuliahan.
Tabel 4.8 Gambaran Variabel Penelitian
Rerata Median Std.Deviasi Keterlibatan Belajar 3,36 3,0 0,36 Dukungan Makna Belajar dari Dosen 3,41 3,0 0,45 Pandangan Otoritas Sumber Informasi 4,05 3,5 0,46 Motivasi Intrinsik 3,48 3,0 0,45 Self-efficacy 7,08 5,5 1,15
4.2.3 Korelasi antar Variabel Penelitian
Dari Tabel 4.9 dapat diketahui bahwa koefisien korelasi positif yang besar
dan signifikan terdapat pada hubungan self-efficacy dan keterlibatan belajar
(r=0,58), hubungan dukungan makna belajar dosen dan keterlibatan belajar
(r=0,44), dan hubungan pandangan otoritas sumber informasi dan dukungan
makna belajar dosen (r= 0,46). Self-efficacy dan keterlibatan belajar memiliki
hubungan yang kuat, peningkatan pada self-efficacy yang dimiliki oleh mahasiswa
diikuti oleh peningkatan keterlibatan belajarnya. Makin tinggi self-efficacy yang
dimiliki mahasiswa, makin terlibat mahasiswa tersebut. Begitu pula pada
hubungan dukungan makna belajar dan keterlibatan belajar. Pandangan
mahasiswa terhadap pemuasan kebutuhan akan makna belajar dari dosen akan
memengaruhi keterlibatan belajarnya. Semakin mahasiswa merasa bahwa
dosennya dapat membuat aktivitas belajarnya bermakna baginya, semakin terlibat
mahasiswa tersebut dalam belajar. Pandangan mahasiswa terhadap dosennya
sebagai otoritas sumber informasi juga memiliki hubungan yang kuat dengan
keterlibatan belajarnya. Semakin mahasiswa menganggap informasi yang
dibutuhkannya dalam menguasai dan memahami materi perkuliahan dapat
diperoleh dari dosennya, semakin terlibat mahasiswa dalam aktivitas belajarnya.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
98
Universitas Indonesia
Dukungan makna belajar dari dosen memiliki korelasi yang cukup kuat
dengan self-efficacy (r= 0,35). Hal ini berarti semakin tinggi dan positif
mahasiswa memandang bahwa dosennya dapat memberikan makna kepada
aktivitas belajarnya, semakin tinggi self-efficacy mahasiswa terbentuk. Selain itu,
walaupun tidak terlalu besar, dukungan makna belajar juga memiliki korelasi yang
positif dan signifikan terhadap motivasi intrinsik. Bila mahasiswa memandang
dosennya dapat memfasilitasi aktivitas belajar yang bermakna bagi mahasiswa,
maka mahasiswa akan terdorong melakukan aktivitas perkuliahannya karena nilai-
nilai dan minat yang dimilikinya. Hasil korelasi antar variabel menunjukkan
bahwa pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai otoritas sumber
informasi memiliki korelasi positif dan signifikan dengan self-efficacy (r = 0,23,
l.o.s 0,01). Hal ini berarti, bila dosen dipandang mahasiswa sebagai sumber
informasi dalam pembentukan pengetahuannya, dan oleh karenanya mahasiswa
menjadi lebih memahami dan menguasai materi perkuliahan, maka self-efficacy
mahasiswa terhadap penyelesaian tugas-tugas perkuliahan dapat meningkat.
Tabel 4.9 Korelasi antar Variabel Penelitian
1 2 3 4 1. Keterlibatan Belajar 2. Dukungan Makna Belajar Dosen 0,44** 3. Otoritas Sumber Informasi 0,20** 0,46** 4. Motivasi Intrinsik 0,32** 0,17** 0,10** 5. Self-Efficacy 0,58** 0,35** 0,23** 0,28** **Korelasi signifikan pada los 0,01 (2-tailed)
4.2.4 Hasil Uji Statistik Kecocokan Model Pengukuran
Untuk menguji Model Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar,
dilakukan uji kecocokan model pengukuran dengan analisis faktor (Confirmatory
Factor Analysis) terhadap aitem-aitem alat ukur, sehingga dapat diketahui aitem-
aitem mana saja yang memiliki validitas dan realibilitas yang baik untuk
mengukur variabel penelitian. Untuk mengatakan model pengukuran dan model
persamaan struktural yang dikatakan fit, yaitu terdapat kecocokan antara model
dan data, dilihat dari nilai Chi-square (χ2) yang tidak signifikan (nilai p > 0,05).
Uji statistik Chi-square bukan satu-satunya dasar untuk menentukan kecocokan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
99
Universitas Indonesia
data dengan model (Kaplan, 2009, hal.109). Nilai Chi-square dengan p-value
<0.05 tidak serta merta menyatakan bahwa model pengukuran alat ukur tidak
memiliki kecocokan dengan data penelitian, karena nilai Chi-square sangat
dipengaruhi oleh besarnya sampel (Kaplan, 2009). Ketika sampel berjumlah 200
atau lebih, kemungkinan untuk menolak nilai Chi-square semakin besar (p<0,05).
Para peneliti mengembangkan berbagai alternatif ukuran dari kecocokan data
dengan model untuk memperbaiki bias dari data penelitian, antara lain dengan
melihat nilai GFI (Goodness of Fit Index) (Jöreskog & Sörbom, 1984 dalam
Wijanto, 2008) dan nilai RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation)
(Steiger & Lind, 1980 dalam Wijanto, 2008). Oleh karena itu digunakan sejumlah
fit indices lain, yaitu Goodness of Fit Index (GFI) yang memiliki rentang antara 0-
1, Root Mean Square of Approximation (RMSEA) yang lebih kecil dari 0,05, dan
Standardized Root Mean Square Residual (SRMR) yang lebih kecil dari 0,05.
Pengujian model pengukuran dan model persamaan struktural dilakukan dengan
metode Structural Equation Modeling (SEM) yang dijalankan dengan program
LISREL 8.80. Berikut ini disampaikan rangkuman hasil statistik uji kecocokan
model pengukuran alat ukur.
Tabel 4.10 Hasil Uji Statistik Kecocokan Model Pengukuran Skala GOFI Nilai Hasil Hitung Kesimpulan Keterlibatan Belajar p-value 0,10
RMSEA SRMR
0,02 0,02
Kecocokan baik
GFI 0,99 Dukungan Makna Belajar p-value 0,01
RMSEA SRMR
0,05 Kecocokan baik
GFI 0,99 Motivasi Intrinsik p-value 0,29
RMSEA SRMR
0,02 Kecocokan baik
GFI 0,99 Self-efficacy p-value 0,16
RMSEA SRMR
0,02 Kecocokan baik
GFI 0,99
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
100
Universitas Indonesia
Tabel 4.10 (lanjutan) Hasil Uji Statistik Kecocokan Model Pengukuran
Pengujian validitas dan reliabilitas model pengukuran dari alat ukur skala
Keterlibatan Belajar dan Dukungan Makna Belajar dari Dosen dilakukan melalui
first order confirmatory analysis dan second order confirmatory factor analysis.
Untuk skala Motivasi Intrinsik, Self-efficacy, dan Otoritas Sumber Informasi
hanya dilakukan pengujian first order confirmatory analysis. Hasil analisis data
statistik menunjukkan model pengukuran untuk semua skala cocok (good fit)
sebagaimana dirangkum pada Tabel 4.6.
Secara rinci uraian hasil confirmatory factor analysis terhadap alat ukur
disampaikan pada Lampiran 4. Masing-masing dimensi dan aitem yang
membentuk variabel laten memiliki factor loading berkisar antara 0.78 hingga
0.84 untuk skala Keterlibatan Belajar; 0.60 hingga 0.90 untuk skala Dukungan
Makna Belajar dari Dosen ; 0.53 hingga 0.95 untuk skala Motivasi Intrinsik; 0.49
hingga 0.78 untuk skala Self-efficacy; dan 0.34 hingga 0.73 untuk skala Otoritas
Sumber Informasi.
4.2.5 Uji Model Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar Mahasiswa UI
Untuk menganalisis dan menguji model penelitian, pada prinsipnya
terdapat dua tahap yang perlu dilakukan, yakni: (1) Analisis Model Pengukuran
(measurement model) untuk mengevaluasi validitas dan reliabilitas model
pengukuran; dan (2) Analisis Model Struktural (structural model), untuk
menganalisis hubungan antar semua variabel laten penelitian utama. Analisis
Model Pengukuran (measurement model) dilakukan untuk memastikan, (1)
indikator atau variabel teramati yang sudah ditentukan secara teoretis merupakan
indikator yang sahih pada kelompok masing-masing variabel laten di dalam model
penelitian dan (2) model pengukuran dari setiap variabel laten di dalam model
penelitian mempunyai reliabilitas yang baik. Analisis model pengukuran dari
setiap variabel laten dan analisis model pengukuran dari model penelitian
Otoritas Sumber Informasi p-value 0,09 RMSEA SRMR
0,03 Kecocokan baik
GFI 0,99
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
101
Universitas Indonesia
dilakukan pada setiap model pengukuran, dalam bentuk uji kecocokan
keseluruhan model (overall model fit), uji validitas dan uji reliabilitas (Wijanto,
2008).
Setelah dilakukan uji Goodness of Fit Index (GOFI) untuk keseluruhan
First Order Confirmatory Analysis dan Second Order Confirmatory Analysis, dan
memperoleh hasil yang valid dan reliabel untuk variabel bebas (dukungan makna
belajar), variabel mediator (self-efficacy dan motivasi intrinsik), variabel
moderator (otoritas sumber informasi), dan variabel terikat (keterlibatan belajar),
maka dilakukan tahap selanjutnya yakni menguji model persamaan struktural
penelitian. Pengujian model persamaan struktural penelitian dilakukan untuk
membuktikan hipotesis yang diajukan di dalam penelitian, diterima atau ditolak.
Hasil uji signifikansi Model Persamaan Struktural Proses Keterlibatan
Belajar Mahasiswa UI menunjukkan nilai-nilai statistik yang memenuhi kriteria
kecocokan model dengan data penelitian (fit), hal ini dapat dilihat dari besaran p-
value = 0.01 (kecocokan baik, dengan jumlah sampel lebih dari 200) dan RMSEA
= 0.037 (< 0.05, kecocokan baik) dan SRMR = 0,043. Hasil ini menegaskan
bahwa uji kecocokan keseluruhan model terbukti fit didukung oleh nilai Goodness
Of Fit Index sebagaimana tertera di Tabel 4.11. Dengan demikian hipotesis
penelitian yang berbunyi “Model persamaan struktural keterlibatan belajar sesuai
dengan data penelitian” diterima.
Tabel 4.11 Goodness Of Fit Index (GOFI) Model Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar Mahasiswa UI
GOFI Nilai Hasil Hitung Nilai Standar Kecocokan Kesimpulan
p-value RMSEA SRMR GFI
0,02 0,037 0,043 0,96
p-value ≤ 0,05 (sampel besar) RMSEA ≤ 0,05 SRMR ≤ 0,05
GFI ≥ 0,90
Kecocokan baik
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
102
Universitas Indonesia
Catatan: **p<0,01 seluruh koefisien adalah standardized path coef(�) Gambar 4.1 Model Statistik Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar Mahasiswa
UI
Catatan: Seluruh koefisien adalah standardized path coef(�) Gambar 4.2 Hasil Uji Model Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar
Mahasiswa UI
0.25
0.27
0.33
0.22
0.78 0.36
Pandangan Dukungan
Makna Belajar dari
Dosen
Motivasi Intrinsik
Keterlibatan Belajar
Self-efficacy
Pandangan Otoritas Sumber
Informasi
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
103
Universitas Indonesia
Dari gambar model statistik persamaan struktural di atas (Gambar 4.1),
diketahui bahwa hubungan antar variabel penelitian memiliki arah yang positif
dan signifikan. Dari data output reduced form equation diketahui koefisien
determinasi (R²) menunjukkan bahwa terdapat 22% varians total dari keterlibatan
belajar yang dapat dijelaskan oleh pandangan dukungan makna belajar dari dosen,
pandangan otoritas sumber informasi, motivasi intrinsik, dan self-efficacy. Selain
itu, terdapat 22% varians total dari motivasi intrinsik yang dapat dijelaskan oleh
pandangan dukungan makna belajar dari dosen dan pandangan otoritas sumber
informasi. Pandangan dukungan makna belajar dari dosen dan pandangan otoritas
sumber informasi secara bersama-sama memberikan sumbangan sebanyak 16%
kepada self-efficacy.
4.2.6 Hasil Uji Model Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar Mahasiswa
UI
Secara umum hasil uji model persamaan struktural keterlibatan belajar
menunjukkan hubungan antar seluruh variabel penelitian yang positif dan
signifikan. Dari hasil uji model penelitian, diketahui bahwa pandangan dukungan
makna belajar dari dosen secara tidak langsung memengaruhi keterlibatan belajar
melalui motivasi intrinsik dan self-efficacy. Keterlibatan belajar mahasiswa dalam
perkuliahan dipengaruhi oleh pandangan mahasiswa terhadap pemuasan
kebutuhan akan makna belajar dari dosen dalam aktivitas belajar. Pemuasan
kebutuhan akan makna dalam belajar akan mendorong mahasiswa secara intrinsik
untuk menekuni tugas-tugas kuliahnya karena mahasiswa merasa aktivitas
belajarnya bernilai dan sesuai dengan minatnya. Keterlibatan belajar mahasiswa
memiliki hubungan yang kuat dengan motivasi intrinsiknya dalam belajar.
Motivasi intrinsik mahasiswa diperkuat oleh self-efficacy yang terbentuk dari
adanya pengaruh pemuasan kebutuhan akan makna dalam belajar dari dosen.
Pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai otoritas sumber
informasi secara tidak langsung memengaruhi keterlibatan belajar melalui self-
efficacy. Kepercayaan mahasiswa terhadap dosennya akan pengetahuan yang akan
dibangunnya, membuat mahasiswa terlibat dalam belajar. Melalui pengetahuan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
104
Universitas Indonesia
yang diberikan dosennya mahasiswa menjadi lebih percaya diri dan yakin akan
kemampuannya dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliah.
Dari hasil penelitian ini diketahui terdapat 22% varians total keterlibatan
belajar yang dapat dijelaskan karena adanya pengaruh dari pandangan dukungan
makna belajar dosen, pandangan otoritas sumber informasi, self-efficacy, dan
motivasi intrinsik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keterlibatan belajar
mahasiswa dalam aktivitas belajarnya di dalam perkuliahan dipengaruhi oleh
pandangan mahasiswa terhadap pemuasan kebutuhan akan makna belajar dalam
bentuk dukungan makna belajar dari dosen, pandangan mahasiswa terhadap dosen
sebagai otoritas sumber informasi, self-efficacy, dan motivasi intrinsik mahasiswa.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
105
105 Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI, IMPLIKASI DAN SARAN
Pada bab ini peneliti memaparkan kesimpulan hasil penelitian yang terdiri
dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Selanjutnya dipaparkan diskusi
hasil penelitian, implikasi penelitian, dan diakhiri dengan beberapa saran untuk
penelitian lebih lanjut dan saran praktis untuk penerapan hasil penelitian dalam
aktivitas belajar di perkuliahan.
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian disertasi ini, menunjukkan bahwa dukungan makna belajar
dari dosen, pandangan otoritas sumber informasi, motivasi intrinsik, dan self-
efficacy berpengaruh terhadap keterlibatan belajar mahasiswa. Hal ini
membuktikan bahwa bagi mahasiswa baru UI angkatan 2013, dukungan makna
belajar dari dosen akan memengaruhi motivasi intrinsik dan self-efficacy
mahasiswa yang mendorongnya untuk terlibat dalam belajar. Selain itu, pada saat
yang sama pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai otoritas sumber
informasi memengaruhi self-efficacy mahasiswa dan secara tidak langsung
memengaruhi motivasi intrinsik dan keterlibatan belajarnya.
5.2 Diskusi
5.2.1 Model Keterlibatan Belajar
Kekhasan penelitian ini adalah peneliti menggabungkan berbagai
perspektif dalam satu model teoretik keterlibatan belajar. Penelitian disertasi ini
telah membuktikan bahwa penggunaan sudut pandang antropologi dan
epistemologi dapat menjelaskan variabel-variabel yang secara signifikan
memengaruhi keterlibatan belajar mahasiswa. Dari sudut pandang antropologi,
penjelasan keterlibatan belajar merujuk kepada individu dalam kegiatan
belajarnya. Keterlibatan belajar dipahami sebagai proses interaksi dan hubungan
yang dialektik antara faktor-faktor intrapersonal individu dan faktor lingkungan
belajar (Crick, 2012 dalam Christenson, Reschly, & Wylie, 2012). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dukungan makna belajar dari dosen terbukti secara
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
106
Universitas Indonesia
signifikan memengaruhi secara langsung motivasi intrinsik dan self-efficacy
mahasiswa, dan selanjutnya akan memengaruhi keterlibatan belajarnya.
Motivasi intrinsik memiliki pengaruh yang paling kuat terhadap
keterlibatan belajar. Hal ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya mengenai
pengaruh motivasi intrinsik dan self-efficacy terhadap keterlibatan belajar (Reeve,
2006; Schunk & Mullen, 2012). Akan tetapi, berbeda dengan penelitian
sebelumnya, yang menekankan pentingnya dukungan otonomi untuk
memunculkan motivasi intrinsik dalam belajar (Deci & Ryan, 2000; Guay,
Boggiano, & Vallerand (2001), motivasi intrinsik pada penelitian disertasi ini
muncul karena adanya dukungan makna belajar dari dosen. Dari sudut pandang
epistemologi, penelitian ini membuktikan bahwa keterlibatan belajar mahasiswa
juga dipengaruhi oleh keyakinan terhadap pengetahuan yang akan mereka bangun
dan bagaimana mereka memandang sumber pengetahuan atau dari siapa
pengetahuan tersebut dibangunnya. Hasil penelitian disertasi ini sesuai dengan
penelitian dari Raviv et al. (2003) bahwa pandangan mahasiswa terhadap dosen
sebagai otoritas sumber informasi memiliki peran dalam pembentukan self-
efficacy-nya dan self-efficacy yang terbentuk akan memengaruhi keterlibatan
belajarnya (Bandura, 1997).
Dukungan makna belajar dari dosen dalam penelitian pendahuluan
disertasi ini merupakan temuan peneliti terhadap kebutuhan dasar psikologik yang
diprioritaskan oleh mahasiswa. Dukungan makna belajar dosen terdiri dari tujuh
dimensi kebutuhan dasar psikologik, yaitu (1) kebutuhan otonomi, (2) kompeten,
(3) hubungan dengan orang lain, (4) kebutuhan spiritual/makna, (5) kebutuhan
aktualisasi diri, (6) kebutuhan kesenangan duniawi, dan (7) harga diri. Ternyata
pada mahasiswa baru UI angkatan 2013, tidak hanya tiga kebutuhan dasar SDT
(Deci & Ryan, 2000) yang perlu dipenuhi untuk terlibat dalam belajar. Seperti
kebutuhan otonomi dalam perspektif SDT, dalam penelitian ini kebutuhan akan
makna menjadi penting untuk dipenuhi, agar pengalaman belajar yang bermakna
dapat mendorong mahasiswa untuk meregulasi motivasi belajarnya, sehingga
tercapai kualitas belajar deep learning dari mahasiswa (Haste, 2001 dalam
Christenson, Reschly, & Wylie, 2012). Kedalaman pemahaman dalam belajar
dapat membuat mahasiswa lebih menikmati proses belajarnya (Tagg, 2003).
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
107
Universitas Indonesia
Bila dalam penelitian-penelitian perspektif SDT sebelumnya dukungan
otonomi belajar memiliki peran yang inkonsisten di berbagai budaya yang
berbeda (Chirkov et al., 2011; d’Ailly, 2003, 2004; Flowerday & Schrow, 2003;
Iyengar & DeVoe, 2003), hasil penelitian disertasi ini membuktikan bahwa
dukungan makna belajar berperan dalam keterlibatan belajar mahasiswa. Dalam
perspektif SDT, pemuasan kebutuhan otonomi menentukan regulasi diri individu,
sedangkan dalam penelitian ini, pemuasan kebutuhan akan makna berperan
penting dalam menyertai pemuasan kebutuhan dasar psikologik lainnya agar
individu dapat meregulasi perilakunya menjadi perilaku yang bermakna. Oleh
karenanya, dukungan makna belajar dari dosen penting untuk dipenuhi agar
proses belajar dapat dirasakan mahasiswa sebagai pengalaman yang bermakna dan
berpengaruh terhadap kualitas keterlibatan belajarnya. Dukungan makna belajar
dari dosen akan memengaruhi motivasi intrinsik dan self-efficacy mahasiswa
untuk terlibat dalam belajar. Semakin mahasiswa merasa aktivitas belajarnya
bermakna, ia semakin termotivasi secara intrinsik dan semakin merasa yakin akan
kemampuannya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dosen dalam
perkuliahan.
Dari hasil penelitian disertasi ini, diketahui pula bahwa self-efficacy
mahasiswa dipengaruhi oleh adanya dukungan makna belajar dari dosen dan
pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai otoritas sumber informasi. Bagi
mahasiswa baru UI angkatan 2013, untuk terlibat dalam belajar, mereka
membutuhkan dukungan makna belajar dari dosen. Dosen diharapkan dapat
berperan sebagai otoritas sumber informasi bagi pembentukan pengetahuan dan
pemahaman mahasiswa terhadap materi perkuliahan. Semakin mahasiswa merasa
dosen dapat membuat aktivitas belajarnya bermakna, semakin yakin dirinya akan
kemampuannya dan terlibat dalam belajar. Lingkungan belajar yang diciptakan
dosen dalam suasana nyaman yang memberikan kebebasan mengemukakan
pendapat, dosen yang memahami kesulitan mahasiswa, memberikan penjelasan
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mahasiswa, menghargai
kemampuan mahasiswa, serta memberikan materi perkuliahan yang dianggap
bernilai bagi mahasiswa, dapat membuat mahasiswa merasa yakin dan percaya
diri akan kemampuan yang dimilikinya (Reeve et al., 2004; 2006).
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
108
Universitas Indonesia
Sejalan dengan penelitian sebelumnya, hasil penelitian ini membuktikan
bahwa pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai otoritas sumber
informasi memengaruhi self-efficacy (Ellis & Kruglanski, 1992) dan kemudian
akan memengaruhi keterlibatan belajarnya (Bandura, 2007). Apabila mahasiswa
memandang dosennya sebagai sumber informasi bagi pengetahuan yang ingin
diketahuinya, dan oleh karenanya pengetahuan dan pemahamannya terhadap
materi kuliah bertambah, hal ini akan memengaruhi self-efficacy mahasiswa yang
bersangkutan. Mahasiswa menjadi lebih yakin akan kemampuannya dalam
menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. Bagi mahasiswa baru, dosen dipandang
sebagai otoritas sumber informasi (Raviv et al., 2003). Sejalan dengan
perkembangan studinya di perguruan tinggi, pandangan mahasiswa terhadap
dosennya sebagai otoritas sumber informasi berubah sesuai dengan keyakinannya
terhadap sifat pengetahuan yang multiinterpretatif (Paulsen & Wells, 1998; Perry,
1988). Hasil penelitian disertasi ini mungkin saja memberikan hasil yang berbeda
pada partisipan-partisipan dari semester-semester berikutnya.
Mahasiswa UI program reguler yang terseleksi melalui berbagai jalur
penerimaan masuk, terdiri dari mahasiswa dengan beragam karakteristik. Proses
seleksi didasarkan pada kemampuan akademis dan tidak berdasar pada prinsip
ekuitas (SARA-suku, agama, ras, antar golongan, gender, status sosial, politik).
Dengan demikian, mahasiswa UI yang terseleksi dengan kemampuan akademik
yang baik memiliki kebiasaan belajar, motivasi, pengalaman, dan latar belakang
kehidupan yang berbeda. Keberagaman karakteristik mahasiswa merupakan
tantangan bagi dosen dalam menghadapi mahasiswa-mahasiswanya dalam
aktivitas perkuliahan. Dosen diharapkan dapat membantu perkembangan diri yang
optimal dari mahasiswa menuju kesejahteraan psikologiknya (Ferguson, Kasser,
& Jahng, 2010).
Pada perkuliahan semester satu, mahasiswa baru UI angkatan 2013
mengikuti matakuliah wajib universitas yaitu Matakuliah Pengembangan
Kepribadian Terintegrasi sejumlah 6 satuan kredit semester (sks), yang disebut
MPKT A pada kelompok rumpun ilmu sosial humaniora dan MPKT B pada
kelompok rumpun ilmu kesehatan dan sains teknologi, MPK Agama, MPK
Bahasa Inggris, serta 1 sks Matakuliah seni/olah raga pada Program
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
109
Universitas Indonesia
Pengembangan Kepribadian Pendidikan Tinggi/PPKPT. Selain matakuliah wajib
dari universitas, mahasiswa mengikuti matakuliah wajib dari jurusan/fakultas
masing-masing sesuai kurikulum yang telah ditetapkan. Melalui PPKPT
mahasiswa dilatih berpikir kritis, bekerja dalam kelompok (collaborative
learning, disingkat CL), belajar melalui media elektronik, dan pembelajaran yang
berbasis masalah (problem based learning, disingkat PBL). Dari rancangan
PPKPT, tampak bahwa peran dosen dalam aktivitas belajar mahasiswa lebih
sebagai fasilitator dalam pengembangan pengetahuan dan pengembangan diri
mahasiswa.
Bobot 6 sks yang besar dari MPKT A/B secara tidak langsung mendorong
mahasiswa untuk tekun dan terlibat dalam aktivitas perkuliahan agar dapat
memperoleh nilai yang baik. Di lain pihak, menjadi tantangan tersendiri bagi
dosen MPKT dalam menghadapi mahasiswanya agar tujuan pembelajaran
tercapai. Berdasarkan pengamatan peneliti, terdapat penilaian yang berbeda dari
mahasiswa terhadap pengalaman-pengalamannya dalam menjalani MPKT A atau
MPKT B. Sebagian mahasiswa menilai pembelajaran dalam MPKT sangat
penting, karena sangat dibutuhkan bagi mahasiswa sebagai bekalnya untuk dapat
bersaing di dunia kerja nanti. Sebagian mahasiswa lainnya merasa matakuliah ini
sebagai matakuliah yang “mematikan” karena bobotnya yang 6 sks,
“membosankan”, dan “penilaiannya tidak jelas”. Menurut mereka, materi
perkuliahan kurang menarik karena topik bahasannya merupakan gabungan dari
pelajaran Kewarganegaraan dan Pendidikan Karakter. Bagi sekelompok
mahasiswa yang terakhir ini, peneliti menyimpulkan bahwa mahasiswa merasa
pengalaman belajarnya kurang bermakna. Selain itu, metode pembelajaran CL dan
PBL dirasakan kurang cocok bagi mahasiswa. Mahasiswa merasa masih
membutuhkan dosen secara langsung dalam memahami materi. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian disertasi ini yang mengungkap bahwa mahasiswa
memandang dosennya sebagai otoritas sumber informasi dari pengetahuan yang
akan dikuasainya.
Aktivitas pembelajaran dengan metode CL dan PBL dalam MPKT,
membuat peran dosen MPKT menjadi lebih berat. Di satu sisi, dosen harus
memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berkembang dan belajar dari
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
110
Universitas Indonesia
interaksi sosialnya dengan teman-temannya. Di sisi lain, mahasiswa masih
memerlukan dosen untuk mendukung kebermaknaannya dalam belajar dan
berperan sebagai satu-satunya sumber informasi bagi pembentukan
pengetahuannya. Dengan demikian, peran dosen sangat penting untuk terciptanya
kualitas keterlibatan belajar mahasiswa yang baik agar mahasiswa dapat
berprestasi dan dapat menerapkan pengetahuannya dalam kehidupannya sehari-
hari.
Dari gambaran pandangan mahasiswa UI angkatan 2013 terhadap motivasi
intrinsik dan self-efficacy-nya, dapat diketahui bahwa mahasiswa menilai
memiliki motivasi intrinsik yang cukup dalam aktivitas belajarnya dan menilai
self-efficacy mereka cukup tinggi. Akan tetapi pada kenyataannya, motivasi
belajar yang cukup terdorong oleh sesuatu yang berasal dari dalam diri dan
keyakinan akan kemampuan yang cukup tinggi ini tidak mencerminkan gambaran
keterlibatan belajar yang cukup tinggi dari mahasiswa. Model keterlibatan belajar
yang terbukti signifikan pada penelitian disertasi ini dapat dimanfaatkan para
dosen untuk mengupayakan keterlibatan belajar mahasiswa dalam aktivitas
belajarnya.
Hasil penelitian disertasi ini memperlihatkan bahwa dukungan makna
belajar dari dosen secara signifikan memengaruhi motivasi intrinsik dan self-
efficacy mahasiswa. Penelitian ini memberi masukan kepada dosen, bahwa untuk
meningkatkan keterlibatan belajar mahasiswa, dukungan dosen berupa
pemenuhan kebutuhan akan makna belajar bagi mahasiswa perlu dipenuhi.
Mahasiswa membutuhkan penghargaan dari dosennya atas pendapat-pendapat
atau ide-idenya pada saat perkuliahan berlangsung. Mahasiswa tidak saja
memerlukan kenyamanan dan terbebas dari rasa tertekan dalam mengutarakan
pendapatnya, tetapi juga penghargaan terhadap hasil belajanya. Pengalaman
aktivitas perkuliahan perlu dirasakan bermakna bagi mahasiswa dan bermanfaat
bagi kehidupannya. Berdasarkan model persamaan struktural keterlibatan belajar
penelitian disertasi ini, terpenuhinya pemuasan kebutuhan akan makna dari dosen
berpengaruh langsung terhadap motivasi intrinsik dan self-efficacy mahasiswa.
Selanjutnya, self-efficacy yang terbentuk memengaruhi motivasi intrinsik yang
secara kuat berpengaruh langsung terhadap keterlibatan belajar mahasiswa. Dosen
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
111
Universitas Indonesia
yang berperan dalam proses belajar mahasiswa dalam perkuliahan diharapkan
dapat memengaruhi motivasi intrinsik mahasiswa. Struktur pembelajaran yang
berkaitan dengan materi dan tugas-tugas perkuliahan seyogyanya dirancang agar
dapat membuat mahasiswa tertantang memahami materi dan bersemangat
menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang diberikan dosen.
Mahasiswa baru UI angkatan 2013 cenderung memandang dosennya
sebagai otoritas sumber informasi bagi pembentukan pengetahuannya. Sesuai
dengan penelitian terdahulu, bahwa makin rendah semester yang diikuti
mahasiswa, maka semakin mereka membutuhkan kepastian akan pengetahuan
yang dipelajarinya (Jehng, Johnson, & Anderson, 1993). Pembelajaran PPKPT
semester satu tampaknya belum cukup untuk mengubah pandangan mahasiswa
terhadap dosennya sebagai satu-satunya otoritas sumber informasi. Mahasiswa
masih bergantung kepada dosen sebagai sumber informasi dari pengetahuan yang
akan dibentuknya, bukan sebagai fasilitator.
Dari hasil penelitian, pandangan mahasiswa terhadap dosen sebagai
otoritas sumber informasi memengaruhi self-efficacy-nya. Dengan perkataan lain,
mahasiswa membutuhkan pengetahuan dari dosennya. Bertambahnya
pengetahuan dan berkembangnya cara berpikir mahasiswa sebagai hasil
interaksinya dengan dosen akan memengaruhi self-efficacy-nya. Dosen bukan
sebagai satu-satunya sumber, melainkan sebagai sumber informasi yang dapat
mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa dan
memfasilitasi peningkatan cara berpikir mahasiswa. Dosen diharapkan dapat
menjadi teman diskusi mahasiswa yang dapat menjadi contoh dalam mengasah
ketajaman berpikir dan strategi berpikir mahasiswa. Apapun metode
pembelajarannya, dosen diharapkan dapat menstimulasi kualitas berpikir
mahasiswa dan mendorong peningkatan kedalaman pemahaman mahasiswa dalam
belajar. Dengan demikian, kualitas keterlibatan belajar mahasiswa meningkat,
mahasiswa menjadi terbiasa untuk berpikir kritis, serta terjadi peningkatan proses
berpikir (Reeve, 2012 dalam Christenson, Reschly, & Wylie, 2012).
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
112
Universitas Indonesia
5.2.2 Konstruk dan Alat Ukur Dukungan Makna Belajar dari Dosen
Hasil penelitian ini diperoleh dari sampel penelitian mahasiswa UI dengan
jumlah partisipan sebanyak 726 mahasiswa baru angkatan 2013 dari 11 fakultas
yang ada di UI (tanpa Fakultas Kedokteran dan Fakultas Hukum). Pada penelitian
pendahuluan, peneliti mengambil sampel mahasiswa Fakultas Psikologi dari
Rumpun Ilmu Sosial dan Humaniora. Pengambilan sampel penelitian yang hanya
mewakili salah satu fakultas dari rumpun ilmu yang ada, tentu memberi dampak
terhadap hasil uji teroretik model penelitian.
Alat ukur dukungan makna belajar dosen memerlukan studi lanjutan untuk
menguatkan kesahihan dan keajegan dimensi-dimensi yang membentuk konstruk
kebutuhan akan makna. Analisis dan interpretasi terhadap adanya kebutuhan akan
makna dari penelitian pendahuluan menjadi dasar untuk penelitian penelitian
utama. Kebutuhan akan makna terdiri dari tujuh kebutuhan dasar psikologik, yaitu
(1) kebutuhan otonomi, (2) kebutuhan kompeten, (3) kebutuhan hubungan dengan
orang lain, (4) kebutuhan spiritual, (5) kebutuhan aktualisasi diri, (6) kebutuhan
akan kesenangan duniawi, dan (7) kebutuhan harga diri. Di dalam variabel
kebutuhan akan makna terkandung tiga kebutuhan dasar psikologik SDT, yaitu
kebutuhan otonomi, kebutuhan kompeten, dan kebutuhan akan hubungan dengan
orang lain. Alat ukur dukungan makna belajar dari dosen merupakan gabungan
Skala Learning Climate Questionaire (Williams & Deci, 1996) dan pernyataan-
pernyataan yang mewakili empat dimensi kebutuhan dasar psikologik lainnya,
yaitu kebutuhan spiritual, kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan akan kesenangan
duniawi, dan kebutuhan harga diri.
Peneliti menyadari bahwa dalam penelitian ini peneliti tidak menganalisis
secara mendalam tentang ketumpangtindihan antara kebutuhan psikologik yang
membentuk variabel dukungan akan makna pada penelitian utama. Peneliti tidak
melakukan analisis faktor eksploratori untuk uji unidimensionalitas aitem-aitem
alat ukur. Peneliti langsung melakukan uji psikometrik alat ukur melalui dua tahap
analisis konfirmatori. Untuk penelitian selanjutnya, dapat dilakukan penelaahan
analisis faktor yang lebih akurat terhadap dimensi atau komponen-komponen yang
membentuk kebutuhan akan makna. Dengan melibatkan partisipan yang berasal
dari beragam fakultas dan tingkat pendidikannya, dilakukan analisis faktor yang
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
113
Universitas Indonesia
mendalam terhadap kebutuhan dasar psikologik yang diutamakan partisipan,
sehingga diperoleh dimensi-dimensi kebutuhan psikologik yang benar-benar
secara sahih mewakili konstruk kebutuhan akan makna.
5.2.3 Metode Penelitian
Pengujian Model Persamaan Struktural Keterlibatan Belajar yang disusun
melalui dua tahapan penelitian dengan metode gabungan (mixed methods) pada
penelitian pendahuluan dan metode kuantitatif di penelitian utama, berhasil
menjawab dugaan peneliti mengenai hubungan dukungan makna belajar dari
dosen terhadap keterlibatan belajar mahasiswa UI. Penelitian metode gabungan
yang dilakukan secara bersamaan (desain paralel konvergen), memberikan
jawaban terhadap dugaan peneliti mengenai kebutuhan-kebutuhan dasar
psikologik yang diutamakan oleh partisipan, bahwa selain tiga kebutuhan dasar
psikologik SDT, terdapat pula kebutuhan spiritual, kebutuhan aktualisasi diri,
kebutuhan akan kesenangan duniawi, dan kebutuhan akan harga diri.
Pendekatan kuantitatif untuk mengetahui prioritas kebutuhan dasar
psikologik partisipan, berhasil memberikan gambaran peringkat kebutuhan dasar
psikologik sampel penelitian. Dua kriteria dalam menentukan kebutuhan dasar
psikologik yang digunakan dalam penelitian Sheldon et al. (2001), dapat
diterapkan pada sampel mahasiswa UI dan memberikan hasil sesuai dengan tujuan
penelitian, yaitu penelusuran kebutuhan dasar psikologik yang diutamakan oleh
partisipan.
5.3 Keterbatasan Penelitian
Dari diskusi yang telah disampaikan, terdapat beberapa keterbatasan
mengenai penelitian disertasi ini sehubungan dengan keterbatasan teoretik dan
metodologi penelitian.
5.3.1 Keterbatasan Teoretik
Model Teoretik Keterlibatan Belajar pada penelitian ini memfokuskan diri
pada motivasi yang melatarbelakangi aktivitas keterlibatan belajar. Keterlibatan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
114
Universitas Indonesia
belajar mahasiswa adalah interaksi antara faktor lingkungan yang dapat
memengaruhi motivasi peserta didik untuk terlibat dalam belajar.
Peneliti menggunakan perspektif Self-Determination Theory (SDT) (Deci
& Ryan, 2000) untuk menjelaskan keterlibatan belajar sebagai proses yang terjadi
di dalam diri mahasiswa yang dipengaruhi oleh lingkungan belajar. Hasil
penelitian ini hanya dapat dijelaskan sesuai dengan kerangka teori tersebut.
5.3.2 Keterbatasan Metodologi Penelitian
Berikut ini beberapa keterbatasan penelitian dari segi metodologi, antara
lain:
1. Penelitian ini terbatas pada mahasiswa semester satu di UI, sehingga hasil
penelitian tidak dapat diterapkan pada mahasiswa dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi di lingkungan UI.
2. Keterbatasan pengambilan sampel dengan teknik ketersediaan
(convenience) hanya pada mahasiswa UI, membuat hasil penelitian ini
belum dapat diterapkan di populasi mahasiswa semester satu di perguruan
tinggi lain.
3. Terdapat kemungkinan adanya aitem dimensi-dimensi kebutuhan dasar
psikologik yang saling tumpang tindih dalam membentuk konstruk
kebutuhan akan makna. Peneliti tidak melakukan analisis faktor
eksploratori atau memberi nama baru terhadap sekelompok aitem tersebut.
5.4 Implikasi Hasil Penelitian
Hasil penelitian disertasi ini memberikan beberapa implikasi teoretik dan
praktis. Berikut disampaikan implikasi teoretik, dan implikasi praktis.
5.4.1 Implikasi Teoretik
Penelitian disertasi ini menemukan tujuh kebutuhan dasar psikologik yang
perlu dipenuhi dalam keterlibatan belajar, yaitu (1) kebutuhan otonomi, (2)
kebutuhan kompeten, (3) kebutuhan hubungan dengan orang lain, (4) kebutuhan
spiritual, (5) kebutuhan aktualisasi diri, (6) kebutuhan kesenangan duniawi, dan
(7) kebutuhan harga diri.menggunakan kerangka teori SDT (Deci & Ryan, 2000).
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
115
Universitas Indonesia
Ketujuh kebutuhan dasar psikologik tersebut peneliti susun menjadi satu konstruk
bernama kebutuhan akan makna. Tiga dari tujuh dimensi kebutuhan akan makna
merupakan kebutuhan dasar psikologik dari perspektif SDT. Bila dalam perspektif
SDT dukungan otonomi memengaruhi motivasi intrinsik dalam belajar, dalam
penelitian ini, dukungan makna belajar dari dosen berpengaruh terhadap
munculnya motivasi intrinsik mahasiswa. Penelitian disertasi ini telah
memperkaya khazanah penelitian dalam perspektif SDT (Deci & Ryan, 2000).
Penelitian disertasi ini juga telah memperkaya penelitian-penelitian dalam
teori epistemological beliefs dengan disertakannya variabel otoritas sumber
informasi sebagai salah satu variabel prediktor penelitian. Pandangan otoritas
sumber informasi memperkuat self-efficacy yang terbentuk dari adanya dukungan
makna belajar dari dosen.
5.4.2 Implikasi Praktis
1) Pembelajaran di perguruan tinggi menuntut mahasiswa untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan mengasah strategi berpikir
yang berorientasi pada kedalaman pemahaman suatu permasalahan. Dari hasil
penelitian diperoleh masukan bahwa mahasiswa semester satu berharap
dosennya berperan sebagai otoritas sumber informasi bagi pemahaman dan
penguasaan mereka terhadap materi perkuliahan. Di mata mahasiswa,
penguasaan dosen terhadap materi perkuliahan dianggap penting, walaupun
mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan tersebut dari sumber lain. Adanya
umpan balik dan evaluasi dari dosen terhadap tugas-tugas yang dikerjakan
oleh mahasiswa akan memengaruhi perkembangan self-efficacy mereka. Peran
dosen sangat penting dalam meningkatkan self-efficacy mahasiswa sehingga
mahasiswa percaya diri dan yakin akan kemampuannya sehingga mereka
dapat menikmati dan melakukan tugas-tugasnya dengan antusias. Selain itu,
umpan balik dari dosen terhadap tugas-tugas yang dikerjakan mahasiswa juga
dapat berdampak kepada peningkatan strategi berpikir mahasiswa.
2) Pandangan mahasiswa terhadap dosennya sebagai otoritas sumber informasi,
menuntut dosen untuk selalu mengembangkan diri dan memperluas wawasan
dalam matakuliah yang diampunya.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
116
Universitas Indonesia
3) Kebutuhan akan makna belajar dari dosen dan peran dosen sebagai otoritas
sumber informasi dapat dijadikan fokus intervensi untuk meningkatkan
keterlibatan belajar mahasiswa. Intervensi dapat berupa “Persiapan dan
Pelatihan Dosen MPKT”. Modul pelatihan mencakup materi tentang
kebutuhan akan makna dalam belajar, motivasi intrinsik, self-efficacy,
pandangan otoritas sumber informasi dan keterlibatan belajar. Pelatihan
bertujuan membekali dosen dengan keterampilan mengajar agar dapat
membuat mahasiswa terdorong oleh motivasi intrinsik dalam melakukan
tugas-tugas belajarnya. Misalnya dengan memberikan tugas-tugas yang
menantang kepada mahasiwa yang dapat menggugah minat dan
keingintahuannya dalam belajar. Selain itu dosen diharapkan memberikan
umpan balik yang posistif terhadap hasil belajar mahasiswa agar mahasiswa
dapat lebih percaya diri dan berdampak kepada pengingkatan self-efficacynya.
4) Interaksi dosen dan mahasiswa dalam kegiatan belajar, tidak hanya memenuhi
pemuasan kebutuhan dasar psikologik, dimana mahasiswa merasakan adanya
hubungan interpersonal yang baik dengan dosen yang membuatnya merasa
nyaman, namun yang lebih penting adalah dosen dapat berperan sebagai agen
peningkatan strategi berpikir mahasiswa.
5.5 Saran
Dari hasil penelitian disertasi ini peneliti mengajukan beberapa saran
untuk penelitian lanjutan dan saran praktis:
1) Karena keterlibatan belajar merupakan proses yang berkesinambungan,
dan di perguruan tinggi membutuhkan waktu tujuh sampai delapan
semester, maka ada baiknya untuk penelitian lanjutan juga dilakukan
penelitian terhadap mahasiswa dari semester lainnya.
2) Untuk memperkuat hasil penelitian, penelusuran kebutuhan dasar
psikologik hendaknya mewakili seluruh rumpun ilmu yang ada di UI,
sehingga gambaran kebutuhan dasar psikologik yang diutamakan
mahasiswa benar-benar mencerminkan kebutuhan dasar psikologik
mahasiswa UI seluruh rumpun ilmu di UI.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
117
Universitas Indonesia
3) Bagi institusi pendidikan, dalam hal ini Universitas Indonesia, hasil
penelitian disertasi ini dapat dimanfaatkan untuk merancang pelatihan atau
program pengembangan diri bagi dosen. Dosen yang mengajar di semester
satu, juga ada baiknya bagi dosen untuk semester selanjutnya, diberikan
pelatihan mengenai bagaimana meningkatkan motivasi intrinsik dan self-
efficacy mahasiswa agar strategi belajar deep learning mahasiswa terasah
dalam keterlibatan belajarnya.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
118 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, R. (2000). Culture and pedagogy: International comparisons in primary
education. Malden, MA: Blackwell.
Anderson, R., Manoogian, S.T., & Reznick, J.S. (1976). The undermining and enhancing of
intrinsic motivation in preschool children. Journal of Personality and Social
Psychology, 34(5), 915-922. DOI: 10.1037/0022-3514.34.5.915
Appleton, J. J., Christenson, S. L., Kim, D., & Reschly, A. L. (2006). Measuring cognitive
and psychological engagement; Validation of the student engagement instrument.
Journal of School Psycology, 44, 427-445.
Appleton, J. J, Christenson, S. L., & Furlong, M.J. (2008). Student engagement with school:
Critical conceptual and methodological issues of the construct. Psychology in the
Schools, 45, 369-386.
Arnone, M. P., Reynolds, R., & Marshall, T. (2009). The effect of early adolescents’
psychological needs satisfaction upon their perceived competence in information skills
and intrinsic motivation for research. School Libraries Worldwide, 15(2), 115-134.
Bandura, A. (1983). Temporal dynamics and decomposition of reciprocal determinism.
Psychological Review, 90, 166-170.
Bandura, A. (1986). Social foundation of thought and action. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-
Hall.
Bandura, A. (1997). Self efficacy: The exercise of control. New York: W.H. Freeman.
Bandura, A. (1999). A social cognitive theory of personality. In L. Pervin & O. John (Ed),
Handbook of personality (2nd ed., hal. 154-196). New York: Guilford Publications.
Bandura, A. (2006). Toward a psychological of human agency. Perspectives on
Psychological Science, 1, 164-180.
Bandura, A. (2007). Self-efficacy in health functioning. Dalam S. Ayers, et al., (Eds.).
Cambridge handbook of psychology, health & medicine. 2nd Ed. New York: Cambridge
University Press.
Bar-Tal, D., Raviv, A., Raviv, A., & Brosh, M. (1991). Perception of epistemic authority and
attribution for its choice as a function of knowledge area and age. European Journal of
Social Psychology, 21, 477-492.
Baumeister, R.F., & Leary, M.R. (1995). The need to belong: Desire for interpersonal
attachments as a fundamental human motivation. Psychological Bulletin, 117(3), 497-
529. DOI: 10.1037/0033-2909.117.3.497
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
119
Universitas Indonesia
Baumeister, R.F., & Twenge, J. M. & Nuss, C. K. (2002). Effects of social
exclusion on cognitive processes: Anticipated aloneness reduces intelligent
thought. Journal of Personality and Social Psychology, 83, 817-827.
Bigger, S. (2003). Spirituality as a process within the school curriculum. Prospero: A
journal of new thinking for education, 9 (1), 12-18
Birch, S., & Ladd, G. (1997). The teacher-child relationship and children’s early
school adjustment. Journal of School Psychology, 35, 61-79.
Black, A. E., & Deci, E. L. (2000). The effects of instructors' autonomy support
and students' autonomous motivation on learning organic chemistry: A self-
determination theory perspective. Science Education, 84, 740–756.
Boggiano, A.K., & Ruble, D.N. (1979). Competence and the overjustification
effect: A developmental study. Journal of Personality and Social
Psychology, 37(9), 1462-1468. DOI: 10.1037/0022-3514.37.9.1462.
Bowden, J., & Marton, F. (1998). The university of learning. London, England:
Kogan Page.
Bowlby, John (1979), The making and breaking of affectional bonds, London:
Tavistock.
Buehl, M.M., & Alexander, P.A (2001). Belief about academic knowledge.
Educational Psychology Review, 13(4), 385-418.
Buku Pedoman Pelaksanaan Orientasi Belajar Mahasiswa. (2002). Depok: UI
Press.
Cairns, J., Lawton, D., & Gardner, R. (2001). Values, culture, and education
(Eds.). New York: Taylor & Francis Group.
Carini, R.M., Kuh, G.D., & Klein, S.P. (2006). Student Engagement and Student
Learning: Testing the Linkages. Research in Higher Education, 47(1), 1-32.
Chirkov, V. I. (in Press). Culture, personal autonomy, and individualism: their
relationships and implications for personal growth and well-being.
Chirkov, V. I. (2006). Multiculturalism and human nature: A psychological view.
In Dawn Zinga (Ed). Navigating Multiculturalism: Negotiating Change (hal.
33-57). Cambridge Scholar Press.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
120
Universitas Indonesia
Chirkov, V., Ryan, R. M., Sheldon, K.M., (2011). Human Autonomy in Cross-
Cultural Context. Perspectives on the Psychology of Agency, Freedon, and
Well-Being. New York: Springer
Christenson, S. L., Reschly, A. L., & Wylie, C. (2012). Handbook of Research on
Student Engagement.Springer Science. DOI 10.1007/978-1-4614-2018-
7_19.
Connell, J. P. (1990). Context, self, and action: A motivational analysis of self-
system processes across the life-span. Dalam D. Cicchetti & M. Beeghly
(Eds.), The self in transition: From infancy to childhood (pp. 61–97).
Chicago: University of Chicago Press.
Connell, J.P., & Wellborn, J.G. (1991). Competence, autonomy, and relatedness:
A motivational analysis of self-system processes. In Gunnar, M.R., &
Sroufe, L. A., (Ed). Self processes and development. The Minnesota
symposia on child psychology, 23, 43-77. New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates, Inc.
Cornelius, S., & Gordon, C. (2008). Providing a flexible, learner-centered
programme: Challenges for educators. Internet and Higher Education,
11(1), 33-41
d’Ailly, H. (2003). Children's autonomy and perceived control in learning: A
model of motivation and achievement in Taiwan. Journal of Educational
Psychology, 95(1), 84-96. DOI: 10.1037/0022-0663.95.1.84.
d’Ailly, H. (2004). The role of choice in children's learning: A distinctive cultural
and gender difference in efficacy, interest, and effort. Canadian Journal of
Behavioural Science/Revue, 36(1), 17-29. DOI: 10.1037/h0087212
Deci, E.L. (1971). Effects of externally mediated rewards on intrinsic motivations.
Journal of Personality and Social Psychology, 18, 105-115.
Deci E.L., & Cascio, W.F. (1972). Changes in intrinsic motivation as a function
of negative feedback and threats. Paper presented in Eastern Psychological
Association Meeting: Rochester University.
Deci, E.L., Koestner, R., & Ryan, R.M. (1999). A meta-analytic review of
experiments examining the effects of extrinsic rewards on intrinsic
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
121
Universitas Indonesia
motivation. Psychological Bulletin, 125(6), 627-668. DOI: 10.1037/0033-
2909.125.6.627.
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1980). The empirical exploration of intrinsic
motivational processes. In L. Berkowitz (Ed.), Advances in experimental
social psychology (pp. 39-80). New York: Academic Press.
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1987). The support of autonomy and the control of
behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 53, 1024–1037.
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The “what” and “why” of goal pursuits:
Human needs and the self-determination of behavior. Psychological Inquiry,
11, 227–268.
Deci, E. L. & Ryan, R. M. (2007). Self determination theory: An approach to
human motivation and personality. From
http://www.psych.rohester.edu/SDT/
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(Depdiknas Dirjen Dikti) (2003). Panduan umum pengenalan kehidupan
kampus bagi mahasiswa baru. Jakarta: Direktorat Pembinaan Akademik dan
Kemahasiswaan.
Ellis, S., & Kruglanski, A. W. (1992). Self as epistemic authority: Effects on
experiential and instructional learning. Social Cognition, 10, 357-375.
English, L., & Gillen, M. (2000). Addressing the spiritual dimensions of adult
learning, new directions for adult and continuing education (Eds., no. 85).
San Francisco: Jossey-Bass.
Ferguson, Y.L., Kasser, T., & Jahng, S. (2010). Differences in life satisfaction
and school satisfaction among adolescents from three nations: The role of
perceived autonomy support. Journal of Research on Adolescence, 21(3),
649-661. DOI:10.1111/j.1532-7795.2010.00698.
Ferla, J., Valcke, M., & Cai, Y. (2009). Academic self-efficacy and academic
self-concept: Reconsidering structural relationships. Learning and
Individual Differences, 19(4), 499-505.
Fisher, C.D. (1978). The effects of personal control, competence, and extrinsic
reward systems on intrinsic motivations. Organizational Behavior and
Human Performance, 21, 273-288.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
122
Universitas Indonesia
Flowerday, T., & Schraw, G. (2003). Effect of choice on cognitive and affective
engagement. The Journal of Educational Research, 96(4), 207-215. DOI:
10.1080/00220670309598810
Fredricks, J. A., Blumenfeld, P. C., Friedel, J., & Paris, A. (2005). School
engagement. In K. A. Moore & L. Lippman (Eds.), Conceptualizing and
measuring indicators of positive development: What do children need to
flourish? New York: Kluwer Academic/Plenum Press.
Fredricks, J.A., Blumenfeld, P.C., & Paris, A.H. (2004). School engagement:
Potential of the concept, state of the evidence. Review of Educational
Research, 74(1), 59–109. DOI: 10.3102/00346543074001059
Fredricks, J., McColskey, W., Meli, J., Montrosse, B., Mordica, J. & Mooney, K.
(2011). Measuring student engagement in upper elementary through high
school: a description of 21 instruments. (Issues and Answers Report, REL
2011-No. 098). Washington, DC: U.S. Department of Education, Institute of
Education Sciences, National Center for Education Evaluation and Regional
Assistance, Regional Educational Laboratory Southeast. Retrieved from
http://ies.ed.gov/ncee/edlabs.
Glazer, S. (1999). The heart of learning: Spirituality in education (Ed.). New
York: Putnam.
Grouzet, F. M. E., Vallerand, R. J., Thill, E. E., & Provencher, P. (2004). From
environmental factors to outcomes: A test of an integrated motivational sequence.
Motivation and Emotion, 28, 331-346.
Grouzet, F., Kasser, T., Ahuvia, A., Dols, J., Kim, Y., Lau, S., Ryan, R.,
Saunders, S., Schmuck, P., & Sheldon, K. (2005). The structure of goal
contents across 15 cultures. Journal of Personality and Social Psychology,
89, 800-816.
Groves, C.E., Kemmis, R.B., Hardy, I., & Ponte, P. (2010). Relational
architectures: recovering solidarity and agency as living practices in
education. Pedagogy, Culture & Society, 18(1), 43-54. DOI:
10.1080/14681360903556814
Guay, F., Boggiano A. K., & Vallerand R.J. (2001) Autonomy support, intrinsic
motivation, and perceived competence: Conceptual and empirical linkages.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
123
Universitas Indonesia
Personality and Social Psychology Bulletin, 27(6), 643-650. DOI:
10.1177/0146167201276001
Hofer, B. K. (2000). Dimensionality and disciplinary differences in personal
epistemology. Contemporary Educational Psychology, 25, 378–405.
Hofer, B. K. (2010). Personal epistemology, learning, and cultural context: Japan
and the U.S. In Baxter Magolda, E. G. Creamer, and P. S. Meszaros (Eds.)
Refining understanding of the development and assessment of self-
authorship. Stylus.
Hofer, B.K & Pintrich, P.R. (1997). The development of epistemological theories:
Beliefs about knowledge and knowing and their relation to learning. Review
Of Educational Research, 67(1), 88-140. doi: 10.3102/00346543067001088.
Hofer, B. K., Yu, Shirley L., & Pintrich, P. R. (1998). Teaching college students
to be self-regulated learners. In D.H. Schunk, & Zimmerman, B. J. (Eds.),
Self-regulated learning: From teaching to self-reflective practice
(pp.57−85). New York: The Guildford Press.
Hofstede, G.J. (1980). Culture’s consequences: International differences in work-
related values. Beverly Hills, CA: Sage Publications.
Hornikx, J. (2011). Epistemic authority of professors and researchers: Differential
perceptions by students from two cultural-educational systems. Social
Psychology and Education, 14, 169-183. DOI: 10.1007/s11218-010-9139-6
Hu, S., & Kuh, G. D. (2002). Being (dis)engaged in educationally purposeful
activities: The influences of student and institutional characteristics.
Research in Higher Education, 43, 555-575.
Hunt, C., et al. (2001). Is your journey really necessary?. Proceedings of the 31st
Annual Standing Conference On University Teaching and Research in The
Education of Adults (SCUTREA) (pp. 451-457). London: University of East
London.
Hull, C. L. (1943). Principles of behavior: An introduction to behavior theory.
New York: Appleton-Century-Crofts, Inc.
Innis, C., James, R., & McNaught, C. (1995). First year on the campus: Diversity
in the initial experiences of Australian undergraduates. Canberra: Australian
Government Publishing Service.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
124
Universitas Indonesia
Iyengar, S.S., & DeVoe, S.E. (2003). Rethinking the value of choice: Considering
cultural mediators of intrinsic motivations. In V. Murphy-Berman & J.J.
Berman (Eds). Cross cultural differences in perspectives on the self (49th
Volume). Nebraska: University of Nebraskan Press.
Iyengar, S.S., & Lepper, M.R. (1999). Rethinking the value of choice: A cultural
perspective on intrinsic motivation. Journal of Personality and Social
Psychology, 76(3), 349-366. DOI: 10.1037/0022-3514.76.3.349
Jang, H. (2008). Supporting students’ motivation, engagement, and learning
during an uninteresting activity. Journal of Educational Psychology, 100,
798-811.
Jehng, J. J., Johnson, S. D., & Anderson, R. C. (1993). Schooling and students’
epistemological beliefs about learning. Contemporary Educatonal
Psychology, 18, 23-35.
Kaplan, R.M. & Saccuzzo, D.P. (2005). Psychological testing: Principles,
applications, and issues, (6th ed.). Belmont, CA.: Thompson Wadsworth.
Kruglanski, A.W. (1989). Lay epistemics and human knowledge: Cognitive and
motivational bases. Perspectives in social psychology. New York: Plenum
Press.
Kruglanski, A. W. (1992). To carry the synthesis a little further. Psychological
Inquiry, 3, 334-336.
Kaplan, D. (2009). Structural equation modelling: Foundation and extensions (2nd
Ed.). Los Angeles, USA: Sage Publications, Inc.
Kruglanski, A. W., Dechesne, M., Orehek, E. & Pierro, A. (2009). Three decades
of lay epistemics: The why, how and who of knowledge formation. The
European Review of Social Psychology, 20, 146-199.
Kruglanski, A.W., Friedman, I., & Zeevi, G. (1971). The effects of extrinsic
incentive on some qualitative aspects of task performance. Journal of
Personality, 39(4), 606-617. DOI: 10.1111/j.1467-6494.1971.tb00066.x
Kruglanski, A. W., Raviv, A., Bar-Tal, D., Raviv, A., Sharvit, K., Ellis, S.,
(2005). Says who? Epistemic authority effects in social judgment. In M. P.
Zanna (Ed.), Advances in experimental social psychology (Vol. 37, pp 345-
392). New York: Academic Press.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
125
Universitas Indonesia
Kuh, G. D., Kinzie, J., Buckley, J., Bridges, B., & Hayek, J. C. (2007). Piecing
together the student success puzzle: Research, propositions, and
recommendations. ASHE Higher Education Report, 32(5). San Francisco:
Jossey-Bass.
Kuh, G.D., Cruce, Ty. M., Shoup, R., Kinzie, J. (2008). Unmasking the effects of
student engagement on first-year college grades and persistence. The
Journal of Higher Education, 79(5), 540-563. DOI: 10.1353/jhe.0.0019
LaGuardia, J.G., & Patrick, H. (2008). Self-determination theory as a
fundamental theory of close relationships. Canadian Psychology, 49(3),
201-209. DOI: 10.1037/a0012760.
Lam, S.-f., Yang, H., Liu, Y. (2009). Understanding student engagement with a
contextual model. On Christenson, S. L. et al. (eds) (2012). Handbook of
Research on Student Engagement.Springer Science. DOI 10.1007/978-1-
4614-2018-7_19.
Lepper, M.R., Greene, D., & Nisbett, R.E. (1973). Undermining children's
intrinsic interest with extrinsic reward: A test of the "overjustification"
hypothesis. Journal of Personality and Social Psychology, 28(1), 129-137.
DOI: 10.1037/h0035519
Lizzio, A. & Wilson, K. (2009). Student participation in university governance:
The role conceptions and sense of efficacy of student representatives on
departmental committees. Studies in Higher Education, 34(1), 69-84.
Martin, A. J. (2006). Personal bests (PBs): A proposed multidimensional model
and empirical analysis. British Journal of Educational Psychology, 76, 803-
825.
Martin, A. J. (2007). Examining a multidimensional model of student motivation
and engagement using a construct validation approach. British Journal of
Educational Psychology, 77, 413-440.
Martin, A. J. (2008). Enhancing student motivation and enagement: The effects of
a multidimensional dintervention. Contemporary Educational Psychology,
33, 239-269.
Maslow, A. H. (1943). The theory of human motivation. Psychological Review,
50(4), 370-96.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
126
Universitas Indonesia
Maslow, A. H. (1964). Religions, values, and peak-experiences. New York, NY:
The Viking Press.
Maslow, A. H. (1971). The Farther Reaches of Human Nature. New York: Viking
Press.
Maslow, A. H. (1979).The Journals of A. H. Maslow. Monterey, CA: Brooks/Cole
Publishing.
Maslow, A. H. (1997). Motivation and Personality (3rd ed.). New York: Harper
and Row.
Maulana, R., Opdenakker, M., den Brok, P., & Bosker, R. (2011). Teacher–
student interpersonal relationships in Indonesia: Profiles and importance to
student motivation. Asia Pacific Journal of Education, 31(1), 33-49. DOI:
10.1080/02188791.2011.544061.
Mugny, G., Chatard, A., & Quiamzade, A. (2006). The social transmission of
knowledge at the university: Teaching style and epistemic dependence.
European Journal of Psychology of Education, 21(4), 413-427.
National Panel Report (2002). Greater expectations: A New Vision for Learning
as a Nation Goes to College. Washington, D.C: Association of American
Colleges and Universities.
Newmann, F. M. (1981). Reducing alienation in high schools: Implications of
theory. Harvard Educational Review 51, 4: 546-564
Okazaki, M. (2011). An investigation into the relationship between learner
autonomy support and student motivation in the Japanese university setting.
Unpublished Dissertation: The University of Birmingham
O’Sullivan, T. (1999). Decision-making in social work. Palgrave, Basingstoke.
Parish, T.S., & Rehbein, G.C. (2009). Teaching strategies and student orientation:
match or mismatch?. International Journal of Reality Therapy, 29(1), 63-64.
Patrick, H., Knee, C.R., Canevello, A., & Lonsbary, C. (2007). The role of need
fulfillment in relationship functioning and well-being: A self-determination
theory perspective. Journal of Personality and Social Psychology, 92(3),
434-457. DOI: 10.1037/0022-3514.92.3.434.
Paulsen, M. B., & Wells, C. T. (1998). Domain differences in the epistemological
beliefs of college students. Research in Higher Education, 39, 365-384.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
127
Universitas Indonesia
Paulynice, R. (2013, Nov,26). What causes many college students to fail or drop
out (supplemental material). Hubpages Retrieved from
paulyniceroldes.hubpages.com/hub/What-Causes-College-Students-to-Fail-
or-Dropout.
Pedoman Penjaminan Mutu Akademik Universitas Indonesia. (2007). Depok: UI
Press.
Perry, W. G. (1970) Forms of intellectual and ethical development in the college
years: a scheme. New York: Holt, Reinhart & Winston.
Perry, W. G. (1988). Cognitive and ethical growth: The making of meaning. In A.
W. Chikering (Ed.), The modern American college (76-116). San Fransisco,
CA: Jossey-Bass Publishers.
Pierro, A., Presaghi, F., Higgins, T. E., & Kruglanski, A.W. (2009). Regulatory
mode preferences for autonomy-supporting vs. controlling instructional
styles. British Journal of Educational Psychology, 79, 599-615.
Quiamzade, A., Mugny, G., & Falomir, A. (2009). When teaching style matches
students’ epistemic (in)dependence: The moderating effect of perceived
epistemic gap. European Journal of Psychology of Education, 24, 361-371.
Ratelle, C.F., Guay, F., Vallerand, R.J., Larose, S., & Senecal, C. (2007).
Autonomous, controlled, and amotivated types of academic motivation: A
person-oriented analysis. Journal of Educational Psychology, 99(4), 734-
746. DOI: 10.1037/0022-0663.99.4.734.
Raviv, A., Bar-Tal, D., Raviv, A., Biran, B., & Sela, Z. (2003). Teachers'
epistemic authorities: Perceptions of students and teachers. Social
Psychology of Education, 6, 17-42.
Raviv, A., Bar-Tal, D., Raviv, A., & Houminer, D. (1990). Developmental in
children’s perception of epistemic authorities. British Journal of
Developmental Psychology, 8, 157-169.
Raviv, A., Bar-Tal, D. , Raviv, A., & Peleg, D. (1990). Perception of epistemic
authorities by children and adolescents. Journal of Youth and Adolescence,
19, 495-510.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
128
Universitas Indonesia
Reeve, J. (2002). Self-determination theory applied to educational settings. In E.
L. Deci & R. M. Ryan (Eds.), Handbook of self-determination research (pp.
183–203). Rochester, NY: University of Rochester Press.
Reeve, J. (2006). Teachers as facilitators: What autonomy-supportive teachers do
and why their students benefit. The Elementary School Journal, 106(3), 225-
236.
Reeve, J. (2009a). Understanding motivation and emotion (5th ed.). Hoboken: NJ:
Wiley.
Reeve, J., & Deci, E. L. (1996). Elements of the competitive situation that affect
intrinsic motivation. Personality and Social Psychology Bulletin, 22, 24-33.
Reeve, J. , Jang, H., Carrell, D., Jeon, S., & Barch, J. (2004). Enhancing students’
engagement by increasing teachers’ autonomy support. Motivation and
Emotion, 28, 147-169.
Resnick, L. (1989). Knowing, learning, and instruction.(Ed.). Hillsdale, NJ:
Lawrence Erlbaum Associates.
Rossiter, G. (2011). Some perspectives on contemporary youth spirituality: A
‘need to know’ for church school religious education. Religious Education
Journal of Australia, 27(1), 9-15 Rifameutia, T. (2004). Pengaruh karakterisitik mahasiswa, orientasi belajar, dan
lama belajar terhadap pendapat mahasiswa mengenai keterampilan utama
pengajar yang efektif (Suatu studi di Universitas Indonesia). Depok:
Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesi.
Roth, G., Assor, A., Kanat-Maymon, Y., & Kaplan, H. (2007). Autonomous
motivation for teaching: How self-determined teaching may lead to
selfdetermined learning. Journal of Educational Psychology, 99(4), 761–
774.
Ryan, R. M. (1993). Agency and organization: Intrinsic motivation, autonomy and
the self in psychological development. In J. Jacobs (Ed.). Nebraska
symposium on motivation: Developmental perspectives on motivation (pp. 1-
56). Lincoln: University of Nebraska Press.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
129
Universitas Indonesia
Ryan, R.M. (1982). Control and information in the interpersonal sphere: An
extension of cognitive evaluation theory. Journal of Personality and Social
Psychology, 43, 450-461.
Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Self-determination theory and the facilitation
of intrinsic motivation, social development, and well-being. American
Psychologist, 55, 68–78.
Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2002). An overview of self‐determination theory: An
organismic‐dialectical perspective. In E. L. Deci & R. M. Ryan (Eds.),
Handbook of self‐determination research (pp. 3–33). Rochester, NY:
University of Rochester Press.
Ryan, R. M., & Patrick, H. (2001). The classroom social environment and
changes in adolescents’ motivation and engagement during middle school.
American Educational Research Journal, 38(2), 437-460. DOI:
10.3102/00028312038002437.
Schommer, M (1990). Effects of beliefs about the nature of knowledge on
comprehension. Journal of Educational Psyhology, 82, 498-504
Sheldon, K.M., Elliot, A.J., Kim, Y., & Kasser, T. (2001). What is satisfying
about satisfying events? Testing 10 candidate psychological needs. Journal
of Personality and Social Psychology, 80(2), 325-339. DOI: 10.1037/0022-
3514.80.2.325.
Sheldon, K.M., Elliot, A.J., Kim, Y., & Kasser, T. (2001). What’s satisfying about
satisfying events? Comparing 10 candidate psychological needs. Journal of
Personality and Social Psychology, 80, 325–339.
Sheldon, K. M, Ryan, R. M., & Reis, H. (1996). What makes for a good day?
Competence and autonomy in the day, and in the person. Personality and
Social Psychology Bulletin, 22, 1270-1279.
Shell, D.F., Murphy,C. C., & Bruning, R.H. (1989). Self-efficacy and outcome
expectatncy mechanisms in reading and writing achievement. Journal of
Educational Psychology, 32, 531-538.
Sierens, E., Vansteenkiste, M., Goossens, L., Soenens, B., & Dochy, R. (2009).
The synergistic relationship of perceived autonomy support and structure in
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
130
Universitas Indonesia
the prediction of self-regulated learning. British Journal of Educational
Psychology, 79, 57-68.
Skinner, B. F. (1953). Science and human behavior. New York: The Macmillan
Company.
Skinner, E. A., & Belmont, M. J. (1993). Motivation in the classroom: Reciprocal
effects of teacher behavior and student engagement across the school year.
Journal of Educational Psychology, 85(4), 572.
Skinner, E. A., Kindermann, T. A., & Furrer, C. (2009b). A motivational
perspective on engagement and disaffection: conceptualization and
assessment on children’s behavioral and emotional participation in academic
activities in the classroom. Educational and Psychological Measurement,
69, 493-525.
Skinner, Kindermann, & Furrer. In press (2007). A motivational perspective on
engagement and disaffection: conceptualization and assessment on
children’s behavioral and emotional participation in academic activities in
the classroom. Educational and Psychological Measurement.
Smith, R.E. (1989). Effects of coping skills training on generalized self-efficacy
and locus of control. Journal of Personality and Social Psychology, 56, 228-
233.
Strange, C.C. & Banning, J.H. (2001). Educating by design: Creating campus
learning environments that work. San Francisco: Jossey-Bass.
Tagg, J. (2003). The learning paradigm college. Boston, MA: Anker.
Tessier, D., Sarrazin, P., & Ntoumanis, N. (2010). The effect of an intervention to
improve newly qualified teachers’ interpersonal style, students motivation
and psychological need satisfaction in sport-based physical education.
Contemporary Educational Psychology, 35, 242-253.
Tisdell, E.J. (2001). Spirituality in adult and higher education. ERIC
Clearinghouse on Adult Career and Vocational Education Columbus OH:
ERIC Digest.
Tisdell, E.J. (2003). Exploring spirituality and culture in adult and higher
education. San Francisco: Jossey-Bass.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
131
Universitas Indonesia
Tonks, S.J.M. (2006). A Mixed-Methods Study of Perceived Academic Autonomy
in Japanese Students and Its Relations to Their Motivation. Dissertation:
University of Maryland.
Trowler, V. & Trowler, P. (2010). Student engagement evidence summary.
Department of Educational Research University Lancaster, Heslington,
York: The Higher Education Academy
Twenge, J. M., Catanese, K. R., & Baumesiter, R. F. (2002). Social exclusion
causes self-defeating behavior. Journal of Personality and Social
Psychology, 83, 606-615.
Umbach, P. D., & Wawrznski, M. R. (2005). Faculty do matter: the role of college
faculty in student learning and engagement. Research in Higher Education,
46 (2), 153-185.
Vella, J. (2000). A spirited epistemology. In L. English & M. Gillen (Eds),
Addressing the spiritual dimensions of adult learning, new directions for
adult and continuing education (No. 85, pp. 7-16). San Francisco: Jossey-
Bass.
Walker, C., Greene, B. & Mansell, R. (2006). Identification with academics,
intrinsic/extrinsic motivation, and self-efficacy as predictors of cognitive
engagement. Learning and Individual Differences, 16(1), 1-12.
Watson, D., Clark, L. E., & Tellegen, A. (1988). Development and validation of
brief measures of positive and negative affect: PANAS scales. Journal of
Personality and Social Psychology, 54, 1063-1070.
Wehlage, G. G. (1989). Dropping out: Can school be expected to oprevent it? In
L. Weis, E. Farrar, & H. G. Petrie (Eds.), Dropouts from scholl: Issues,
dilemmas and solutions (hal. 1-19). Albany, NY: State University of New
York Press.Wellborn, J. G. (1991). Engaged and disaffected action: The
conceptualization and measurement of motivation in the academic domain.
Unpublished doctoral dissertation, University of Rochester, Rochester, NY.
Wigfield, A., Zusho, A., & DeGroot, E.V. (2005). Introduction: Paul R. Pintrich's
contributions to educational psychology: An enduring legacy. Educational
Psychologist, 40(2), 67-74. DOI: 10.1207/s15326985ep4002_1.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
132
Universitas Indonesia
Wijanto, S.H. (2008). Structural equation modeling dengan Lisrel 8.8: Konsep &
tutorial. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Williams, G.C., & Deci, E.L. (1996). Internalization of biopsychosocial values by
medical students: A test of self-determination theory. Journal of Personality
and Social Psychology, 70(4), 767-779. DOI: 10.1037/0022-3514.70.4.767.
Young-Jones. A., Cara, K.C., & Levesque, C. (2014). Verbal and behavioural
cues: creating an autonomy supportive classroom. Teaching in higher
education. DOI: 10.1080/13562517.2014.880684
Zajacova, A., Lynch, S.M., & Espenshade, T.J. (2005). Self-efficacy, stress, and
academic success in college. Research in Higher Education, 46(6), 677-706.
DOI: 10.1007/s11162-004-4139-z.
Zimmerman, B.J. (2000). Attainment of self-regulation: A social cognitive
perspective. In M. Boekaerts, P.R. Pintrich, & M. Zeidner (Eds.), Handbook
of self-regulation (pp. 13-39). San Diego, CA: Academic Press.
Zimmerman, B. J., & Cleary, T. J. (2006). Adolescents’ development of personal
agency: The role of self-efficacy beliefs and self-regulatory skill. In F.
Pajares & T. Urdan (Eds). Self-efficacy beliefs of adolescence (hal. 45-69).
Greenwich, CT; Information Age Publishing.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
133
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Alat Ukur Penelitian
1. Contoh Alat Ukur Keterlibatan Belajar (Booklet “Skala Keterlibatan Belajar”) Isi Booklet terdiri dari 5 subbagian, yaitu:
Subbagian 1 : Dukungan Makna Belajar
Subbagian 2 : Otoritas Sumber Informasi
Subbagian 3 : Keterlibatan Belajar
Subbagian 4 : Motivasi Intrinsik
Subbagian 5 : Self-efficacy
2. Contoh Alat Ukur Kebutuhan Dasar Psikologik (Booklet “Pengalamanku
yang Tak Terlupakan”)
Lampiran 1. Alat Ukur Penelitian
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
134
Universitas Indonesia
SKALA
KETERLIBATAN
BELAJAR
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
DESEMBER 2013
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
135
Universitas Indonesia
Selamat pagi / siang / sore,
Saya adalah mahasiswa Program Doktor Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia yang saat ini sedang melakukan penelitian mengenai keterlibatan belajar. Berkaitan dengan hal tersebut, saya memohon kesediaan Anda untuk berpartisipasi dengan mengisi kuesioner ini.
Kuesioner ini terdiri dari 2 bagian. Bagian pertama mencakup 6 subbagian berisi sejumlah pernyataan terkait pengalaman-pengalaman keterlibatan belajar. Bagian kedua berisi tentang data diri serta pernyataan mengenai persepsi diri.
Anda diharapkan mengisi kuesioner ini secara individual dan memberikan jawaban yang paling sesuai dengan keadaan Anda sesungguhnya. Tidak ada jawaban benar atau salah dalam kuesioner ini. Informasi yang Anda berikan akan dijamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk keperluan penelitian.
Sebelum mulai mengerjakan, bacalah petunjuk pengisian terlebih dahulu. Anda diharapkan menjawab dengan cermat dan teliti, jangan sampai ada pernyataan yang terlewat. Setelah pengisian kuesioner selesai, mohon Anda periksa kembali jawaban-jawaban Anda. Data yang Anda berikan hanya dapat diolah jika semua pernyataan terisi dengan lengkap.
Atas perhatian dan partisipasi Anda, saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya,
Peneliti
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
136
Universitas Indonesia
Pernyataan Kesediaan Menjadi Partisipan
Dengan ini, saya menyatakan bahwa saya telah membaca keterangan tentang
penelitian ini yang diberikan oleh peneliti. Oleh karena itu, saya bersedia/tidak
bersedia(*) menjadi partisipan penelitian ini.
Partisipasi saya dalam penelitian ini bersifat sukarela, tanpa adanya paksaan dari
pihak manapun.
(Anda TIDAK PERLU MENCANTUMKAN NAMA, hanya tanda tangan pada
kolom di bawah ini )
( )
Tanda Tangan (*) Coret yang tidak perlu.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
137
Universitas Indonesia
Subbagian 1
PETUNJUK PENGISIAN
Di bawah ini terdapat beberapa pernyataan seputar pendapat Anda mengenai
dosen-dosen yang mengajar Anda. Pada setiap pernyataan, Anda diminta untuk
memilih 1 dari 5 pilihan jawaban yang tersedia, mulai dari sangat tidak setuju hingga
sangat setuju, dengan memberi tanda silang (X) pada kolom yang mewakili jawaban
Anda, dengan ketentuan:
STS = jika pernyataan tersebut Sangat Tidak Setuju
TS = jika pernyataan tersebut Tidak Setuju
N = jika pernyataan tersebut Netral
S = jika pernyataan tersebut Setuju
SS = jika pernyataan tersebut Sangat Setuju
Contoh:
Dengan memberi tanda silang (X) pada pilihan “S”, berarti Anda berpendapat bahwa
dosen Anda cakep. Namun, bila Anda ingin mengganti jawaban, beri tanda ( — ) pada
jawaban sebelumnya, kemudian beri tanda silang pada jawaban baru yang Anda inginkan.
Contoh:
No Pernyataan STS TS N S SS
1. Dosen saya cakep X X
No Pernyataan STS TS N S SS
1. Dosen saya cakep X
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
138
Universitas Indonesia
Menurut Saya, ……...
No Pernyataan STS TS N S SS
1 Dosen saya memberi pilihan kepada saya untuk menggunakan berbagai cara dalam menyelesaikan tugas
2 Dosen saya dapat memahami saya
3 Dosen saya adalah orang yang menanggapi secara positif apapun pendapat saya
4 Dosen saya membuat saya yakin bahwa saya bisa berprestasi maksimal dalam mata kuliahnya
5 Saya tidak merasa diabaikan oleh dosen saya
6 Dosen saya memastikan bahwa saya benar-benar mengerti tujuan dari pembelajaran dan apa yang saya harus lakukan
7 Dosen saya mendorong saya untuk berani bertanya di dalam ruang kuliah
8 Dosen saya dapat saya percaya
9 Dosen saya menjawab pertanyaan saya secara lengkap dan cermat
10 Dosen saya mencermati langkah-langkah yang saya lakukan dalam mengerjakan tugas
11 Dosen saya dapat mempertahankan semangat saya untuk terlibat dalam perkuliahannya
12 Dosen saya tahu perkembangan diri saya dalam mata kuliahnya
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
139
Universitas Indonesia
Subbagian 2
PETUNJUK PENGISIAN
Di bawah ini terdapat beberapa pernyataan seputar bagaimana Anda membangun
pengetahuan Anda. Pilihlah angka yang paling menggambarkan diri Anda. Angka 1
(satu) menggambarkan bahwa Anda sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut
hingga angka 6 (enam) yang menggambarkan bahwa Anda sangat setuju dengan
pernyataan tersebut. Anda dapat memberi tanda silang (X) pada angka yang mewakili
pengalaman Anda sebenarnya.
Contoh:
Bila Anda ingin mengganti jawaban, beri tanda (—) pada jawaban sebelumnya, kemudian
beri tanda silang (X) pada jawaban baru yang Anda inginkan.
Contoh:
1. Saya menyukai kegiatan diskusi di kampus.
1 2 3 4 5 6
Sangat Sangat Setuju
1. Saya menyukai kegiatan diskusi di kampus.
1 2 3 4 5 6
Sangat Sangat Setuju
Tidak Setuju
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
140
Universitas Indonesia
1. Dosen saya memiliki pengetahuan yang luas tentang mata kuliah yang diajarkan
1 2 3 4 5 6
Sangat Sangat Setuju Tidak Setuju
2. Saya meragukan pengetahuan yang dimiliki dosen saya 1 2 3 4 5 6
Sangat Sangat Setuju Tidak Setuju
4. Dosen saya bukan seorang yang sangat ahli dalam bidang mata kuliah yang diajarkannya
1 2 3 4 5 6
Sangat Sangat Setuju Tidak Setuju
6. Argumentasi dosen saya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
1 2 3 4 5 6
Sangat Sangat Setuju
Tidak Setuju
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
141
Universitas Indonesia
Subbagian 3
PETUNJUK PENGISIAN
Di bawah ini terdapat beberapa pernyataan seputar aktivitas belajar Anda Pada
setiap pernyataan, Anda diminta untuk memilih 1 dari 5 pilihan jawaban yang tersedia,
mulai dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju dengan memberi tanda silang (X)
pada kolom yang mewakili jawaban Anda, dengan ketentuan:
STS = jika pernyataan tersebut Sangat Tidak Setuju
TS = jika pernyataan tersebut Tidak Setuju
N = jika pernyataan tersebut Netral
S = jika pernyataan tersebut Setuju
SS = jika pernyataan tersebut Sangat Setuju
Contoh:
No Pernyataan STS TS N S SS
1. Guru matematika saya cakep X
Dengan memberi tanda silang (X) pada pilihan “S”, berarti Anda berpendapat
bahwa guru matematika Anda cakep. Namun, bila Anda ingin mengganti jawaban, beri
tanda ( — ) pada jawaban sebelumnya, kemudian beri tanda silang pada jawaban baru
yang Anda inginkan.
Contoh:
No Pernyataan STS TS N S SS
1. Guru matematika saya cakep X X
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
142
Universitas Indonesia
No Pernyataan STS TS N S SS
1 Saya mematuhi peraturan-peraturan yang diberikan dosen saya
2 Saya memiliki masalah di kampus
3 Ketika saya di dalam ruang kuliah, saya berperilaku seolah-olah saya belajar
4 Saya memperhatikan dosen saya ketika ia memberikan kuliah di dalam ruang kuliah
5 Saya menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen saya tepat waktu
6 Saya merasa senang berada di kampus
7 Saya antusias dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah
8 Saya merasa nyaman berada di dalam ruang kuliah saat kuliah
9 Saya memiliki minat terhadap tugas-tugas di kampus
10 Saya belajar di rumah walaupun tidak ada kuis atau ujian
11 Saya menyediakan waktu untuk memeriksa kembali tugas-tugas saya
12 Saya merasa bosan di kampus
13 Saya menonton acara-acara TV yang ada kaitannya dengan materi perkuliahan
14 Jika saya tidak memahami materi perkuliahan yang saya baca, saya akan melakukan sesuatu (seperti bertanya, mencari sumber lain) agar dapat memahaminya
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
143
Universitas Indonesia
Subbagian 4
PETUNJUK PENGISIAN
Berikut ini terdapat sejumlah pernyataan tentang “Mengapa Saya
Belajar?” Pada setiap pernyataan di bawah ini, Anda diminta untuk memilih 1 dari
5 pilihan jawaban yang tersedia, mulai dari Sangat Tidak Setuju hingga Sangat
Setuju, dengan memberi tanda silang (X) pada kolom yang paling
menggambarkan Anda, dengan ketentuan:
STS = jika pernyataan tersebut Sangat Tidak Setuju
TS = jika pernyataan tersebut Tidak Setuju
N = jika pernyataan tersebut Netral
S = jika pernyataan tersebut Setuju
SS = jika pernyataan tersebut Sangat Setuju
Contoh:
No Pernyataan STS TS N S SS
1. Karena ingin sehat X
Dengan memberi tanda silang (X) pada pilihan “S”, berarti Anda berpendapat bahwa
Anda berolah raga karena ingin sehat. Namun, bila Anda ingin mengganti jawaban, beri
tanda ( — ) pada jawaban sebelumnya, kemudian beri tanda silang pada jawaban baru
yang Anda inginkan.
Contoh:
No Pernyataan STS TS N S SS
1. Karena ingin sehat
X X
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
144
Universitas Indonesia
Saya belajar….
No Pernyataan STS TS N S SS
1 karena memang saya harus melakukannya
2 karena orang-orang (orang tua, teman-teman dll.) memaksa saya untuk belajar
3 karena orang lain (orang tua, teman dll.) mengharuskan saya belajar
4 karena itulah yang diharapkan orang terhadap saya
5 karena saya ingin orang lain menganggap diri saya pintar
6 karena saya akan merasa bersalah bila saya tidak melakukannya (belajar)
7 karena saya akan merasa malu bila saya tidak melakukannya
8 karena saya ingin orang lain berpikir saya adalah mahasiswa yang baik
9 karena saya ingin belajar sesuatu yang baru
10 karena secara pribadi belajar penting buat saya
11 karena belajar merupakan pilihan aktivitas yang bermanfaat buat saya
12 karena belajar merupakan tujuan hidup yang penting buat saya
13 karena saya sangat tertarik untuk mempelajari sesuatu
14 karena saya senang melakukannya
15 karena belajar itu menyenangkan
16 karena belajar itu sesuatu yang mengasyikkan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
145
Universitas Indonesia
Subbagian 5
PETUNJUK PENGISIAN
Di bawah ini terdapat sejumlah pernyataan tentang keyakinan akan kemampuan
yang Anda miliki. Jawablah setiap pernyataan sejauh mana Anda yakin dapat
menyelesaikan dengan baik berkaitan dengan pernyataan yang Anda baca. Pilihlah angka
yang paling menggambarkan diri Anda. Angka 0 (nol) menggambarkan bahwa Anda
sangat tidak yakin dapat melakukan dengan baik terkait pernyataan tersebut, hingga
angka 10 (sepuluh) yang menggambarkan bahwa Anda sangat yakin dapat melakukan
dengan baik terkait pernyataan tersebut. Anda dapat memberi tanda silang (X) pada
angka yang mewakili jawaban Anda.
Contoh:
Bila Anda ingin mengganti jawaban, beri tanda (=) pada jawaban sebelumnya, kemudian
beri tanda silang (X) pada jawaban baru yang Anda inginkan.
Contoh:
1. Saya dapat meramalkan kehidupan orang lain
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sangat Sangat
Tidak Yakin Yakin
1. Saya dapat meramalkan kehidupan orang lain
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sangat Sangat
Tidak Yakin Yakin
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
146
Universitas Indonesia
2. Mengatur waktu secara efektif
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sangat Sangat
Tidak Yakin Yakin
3. Mengajukan pertanyaan di ruang kuliah
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sangat Sangat
Tidak Yakin Yakin
4. Berpartisipasi dalam diskusi di ruang kuliah
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sangat Sangat
Tidak Yakin Yakin
5. Mencari informasi tentang tugas makalah
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sangat Sangat
Tidak Yakin Yakin
Saya dapat…..
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
147
Universitas Indonesia
KUESIONER
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
Pengalamanku
yang tak Terlupakan
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
148
Universitas Indonesia
Subbagian 1
PENGALAMANKU YANG TAK TERLUPAKAN
Saat ini Anda diminta untuk mengingat-ingat pengalaman Anda sebulan
yang lalu. Pikirkan kembali kejadian yang paling penting selama satu bulan
terakhir. Apa yang saya inginkan dari Anda adalah mengingat kembali satu
kejadian atau pengalaman pribadi yang sangat memberi kepuasan pada diri Anda
selama satu bulan terakhir ini (pengalaman diri Anda sendiri yang sangat
berkesan). Saya tidak memiliki definisi tentang bagaimana “pengalaman atau
peristiwa yang membawa kepuasan (satisfying event)”, maka saya ingin Anda
menggunakan definisi Anda sendiri tentang pengalaman yang memuaskan.
Pikirkanlah tentang arti “kepuasan” terkait pengalaman-pengalaman Anda dalam
segala aspek kehidupan Anda. Ambil waktu sebentar untuk memikirkan
pengalaman yang sangat berarti dan memberi makna kepuasan hidup bagi Anda.
Anda dapat menuliskan pengalaman Anda tersebut pada lembar kosong yang telah
disediakan di bawah ini.
Pengalaman Saya
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
149
Universitas Indonesia
Subbagian 2
PETUNJUK PENGISIAN
Di bawah ini terdapat sejumlah pernyataan seputar pengalaman yang baru
saja Anda ceritakan. Pada setiap pernyataan, Anda diminta untuk memilih 1 dari 5
pilihan jawaban yang tersedia, mulai dari sangat tidak sesuai hingga sangat sesuai,
dengan memberi tanda silang (X) pada kolom yang mewakili jawaban Anda,
dengan ketentuan:
STS = jika pernyataan tersebut Sangat Tidak Sesuai dengan diri Anda
TS = jika pernyataan tersebut Tidak Sesuai dengan diri Anda
N = jika pernyataan tersebut Netral dengan diri Anda
S = jika pernyataan tersebut Sesuai dengan diri Anda
SS = jika pernyataan tersebut Sangat Sesuai dengan diri Anda
Contoh:
Pada saat menjalani pengalaman tersebut saya merasa...............
Dengan memberi tanda silang (X) pada pilihan “SS”, berarti Anda merasa sangat
ingin sekali berteriak sekuat-kuatnya saat menjalani pengalaman tersebut. Namun,
bila Anda ingin mengganti jawaban, beri tanda ( — ) pada jawaban sebelumnya,
kemudian beri tanda silang pada jawaban baru yang Anda inginkan.
Contoh:
No Pernyataan STS TS N S SS
1. Ingin berteriak sekuat-kuatnya X X
No Pernyataan STS TS N S SS
1. Ingin berteriak sekuat-kuatnya X
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
150
Universitas Indonesia
“Pada saat menjalani pengalaman tersebut saya merasa…”
No Pernyataan STS TS N S SS
1. pilihan saya dalam melakukan kegiatan saya pada pengalaman
tersebut betul-betul didasarkan atas minat dan nilai-nilai yang
saya miliki.
2. bebas untuk melakukan kegiatan pada pengalaman saya tersebut
menurut apa yang saya pikirkan dan inginkan.
3. pilihan-pilihan saya dalam pengalaman saya tersebut
mencerminkan diri saya apa adanya.
4. bahwa dari pengalaman tersebut saya berhasil menyelesaikan
tugas yang sulit dan berat.
5. bahwa dari pengalaman tersebut saya telah melakukan dan
menguasai tantangan-tantangan yang berat
6. saya sangat mampu menyelesaikan pekerjaan saya.
7. adanya hubungan kedekatan dengan orang yang memberi
perhatian kepada saya dan begitu pula saya terhadapnya.
8. dekat dan nyaman dengan orang-orang yang saya rasa penting
dalam hidup saya.
9. memiliki perasaan sangat dekat dengan orang-orang yang
menghabiskan waktu bersama-sama dengan saya.
10. bahwa saya “menjadi diri saya yang sebenarnya”
11. adanya suatu kebermaknaan dalam hidup.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
151
Universitas Indonesia
Subbagian 3
PETUNJUK PENGISIAN
Di lembar berikut terdapat sejumlah kata-kata yang menggambarkan berbagai
perasaan dan emosi. Bacalah setiap kata-kata tersebut dan berikanlah jawaban yang tepat
disamping kata-kata tersebut tentang bagaimana perasaan Anda selama sebulan yang lalu,
dikaitkan dengan peristiwa atau pengalaman yang tak terlupakan yang telah Anda
ceritakan sebelumnya Gunakan skala di bawah ini untuk mengisi jawaban Anda.
1 2 3 4 5
Pernah ada/
tidak ada sama
sekali
Sedikit Kadang-kadang Cukup Sering Sering Sekali
Contoh:
___5___ tertawa ___3___ menangis
___2___ cemberut ___1___ terkejut
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
152
Universitas Indonesia
________ Berminat ________ sensitif
________ Tertekan ________ Waspada
________ bersemangat ________ Malu
________ Kecewa ________ terinspirasi
________ kuat/sehat ________ cemas
________ Bersalah ________ bertujuan
________ Khawatir ________ peduli
________ Marah ________ resah/galau
________ Antusias ________ aktif
________ Bangga ________ takut
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
153
Universitas Indonesia
PERSEPSI DIRI
Pada setiap pernyataan berikut, Anda diminta untuk memilih 1 dari 5 pilihan
jawaban yang tersedia, mulai dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju, dengan
memberi tanda silang (X) pada kolom yang mewakili jawaban Anda, dengan
ketentuan:
STS = jika Anda Sangat Tidak Setuju dengan pernyataan tersebut
TS = jika Anda Tidak Setuju dengan pernyataan tersebut
N = jika Anda Netral dengan pernyataan tersebut
S = jika Anda Setuju dengan pernyataan tersebut
SS = jika Anda Sangat Setuju dengan pernyataan tersebut
No Pernyataan STS TS N S SS
1. Saya memiliki minat yang tinggi terhadap Psikologi
2. Saya yakin mampu menyelesaikan tugas-tugas saya di seluruh
mata kuliah
3. Menurut saya, keberadaan Dosen di dalam kelas hanya sebagai
fasilitator
4. Saya menganggap Dosen saya di dalam kelas sebagai orang
yang membantu membuka wawasan saya terkait
pengetahuan/materi yang diberikannya
5. Pengetahuan/penguasaan materi perkuliahan saya tergantung
dari Dosen
6. Pengetahuan yang saya miliki tentang materi perkuliahan saya
peroleh dari Dosen saya
7. Saya orang yang mandiri dalam mencari informasi
8. Dalam belajar/menguasai suatu materi perkuliahan, pada
umumnya saya tergantung kepada teman atau Dosen sebagai
sumber informasi
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
154
Universitas Indonesia
2.1 Hasil Wawancara berdasarkan Kelompok
Berikut ini adalah resume hasil wawancara keenam kelompok terfokus.
Kelompok 1
Di dalam kelompok terfokus 1, tergali delapan dari 11 kebutuhan dasar
psikologik selama diskusi berlangsung. Kebutuhan dasar psikologik tersebut
adalah kebutuhan otonomi, kebutuhan kompeten, kebutuhan hubungan
dengan orang lain, kebutuhan spiritualitas-religiusitas, kebutuhan
aktualisasi diri, kebutuhan akan kesenangan duniawi, kebutuhan harga diri,
dan kebutuhan rasa aman. Mahasiswa memandang dosennya sebagai otoritas
sumber informasi.
Contoh verbatim partisipan yang merupakan indikator kebutuhan
psikologik peneliti sampaikan berikut ini:
o Kebutuhan otonomi - …..misalnya saya belajar kalau ada kuis, nah itu
tuh menurut saya nggak terlalu efektif, beda kalau saya belajar karena
kemauan diri sendiri.
o Kebutuhan kompeten - .....menurut saya dosen yang baik itu yang bisa
menyalurkan ilmunya dan membuat muridnya mengerti gitu, .. maksudnya
muridnya nyambung dengan apa yang diomongin gitu, bukan karena
saking pinternya dia, muridnya jadi nggk ngerti gitu, hehe.
o Kebutuhan hubungan dengan orang lain - ……ya istilahnya gini, kan
setiap orang yang belajar kan nggk selalu berhasil, pasti ada kegagalan,
tapi ketika pengajar kita itu memotivasi kita, nggk malah membuat
statement-statement yang malah menjatuhkan kita, tapi terus secara
konstruktif terus mendorong kita untuk belajar.
o Kebutuhan spiritual - .....kewenangan kita dalam memilih terus sama
memilih strategi belajar kita. Jadi disesuaikan sama kondisi
dimana..maksudnya, pikiran itu akan lebih efektif menerima sesuatu kalau
kita ikhlas mengerjakannya.
o Kebutuhan aktualisasi diri - Kalo menurut saya selain memotivasi atau
tidak menjatuhkan itu, juga bisa mendorong otonomi kita untuk bisa
mencoba hal yang baru, bereksperimen, mencari jalan gimana kita
berkreasi.
Lampiran 2. Hasil Wawancara Kelompok Terfokus
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
155
Universitas Indonesia
o Kebutuhan akan kesenangan duniawi - …..kalau kita diberi kebebasan
untuk tidak kuliah lebih dari batas bolosnya, batas bolosnya kan kalo
cuma 3 kurang puas.
o kebutuhan akan harga diri - … Terus ya, dari dari situ, aku aku tekad
in dari diri sendiri, biar otonom buat diri sendiri, aku harus lebih giat
belajar, aku harus buktiin tahun depan aku ke sekolah, balik ke sekolah,
jadi alumni dengan jaket kuning.
o Dosen sebagai otoritas sumber informasi - Dosen yang pinter, tapi juga
bisa membuat muridnya pinter gitu, artinya dia itu pinter tapi bisa
membuat muridnya itu mengerti gitu, bukan hanya dirinya aja yang
pinter..maksudnya muridnya tu mengerti apa yang dia ucapkan.
Kelompok 2
Pada kelompok 2, tujuh dari 11 kebutuhan dasar psikologik muncul dalam
jawaban-jawaban partisipan, yaitu kebutuhan otonomi, kebutuhan kompeten,
kebutuhan hubungan dengan orang lain, kebutuhan spiritualitas-religiusitas,
kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan akan kesenangan duniawi, kebutuhan
harga diri. Berikut adalah contoh verbatim dari hasil diskusi:
o Kebutuhan otonomi - Pengaruhnya sih sebenernya.. engga begitu besar
karena kalau saya pribadi kalau dosen itu sendiri engga enak cara
pembawaannya, lebih baik saya belajar sendiri….
o Kebutuhan kompeten - Saya ya harus memilih dengan kemampuan saya
sendiri. Otonominya ya gimana saya bisa masuk psikologi ya, saya
tingkatin belajar saya.
o Kebutuhan hubungan dengan orang lain - Berpengaruh, soalnya
kadang aku pernah ada dosen yang ngomongnya itu brengsek.. dikit-dikit
kayak.. saya tuh orangnya gampang kepikiran kok dosen ngomongnya
brengsek sih. Kalau dosen gitu ngaruh loh ka kayak berkurang respeknya
ke dia.
o Kebutuhan spiritual - Misalkan aku.. mamah udah nyuruh aku ikut les
ini les itu. Intinya aku engga mau mengecewakan orang-orang yang udah
naro harapan ke aku.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
156
Universitas Indonesia
o Kebutuhan aktualisasi diri - kalau misalnya otonomi lo punya satu gol
atau target, nah lo gimana caranya untuk bisa mencapai itu, supaya lo
bisa memaksimalkan hasilnya.
o Kebutuhan akan kesenangan duniawi - kaya misalnya ngerjain tugas
dulu baru nonton video, nah itu aku agak-agak susah tuh nahannya.
o Kebutuhan harga diri - gitu.. jadi tergantung.. ya aku mah orangnya
engga enakkan, ah engga enak ah kalau mata pelajaran ini jelek…
o Dosen sebagai otoritas sumber informasi - Ya.. Hahahah.. ya yang
engga berkutat pada ngejelasin tapi juga ngasih contoh yang.. yang.. kita
semua pasti membayangkan sesuatu nah terus apalagi kadang tuh kan
dosen nerangin udah gitu selesai….
Kelompok 3
Jawaban-jawaban partisipan pada kelompok terfokus 3 merujuk kepada
tujuh dari 11 kebutuhan dasar psikologik, sama seperti yang muncul di kelompok
2. Dosen dipandang mahasiswa sebagai otoritas sumber informasi. Berikut adalah
contoh verbatim partisipan:
o Kebutuhan akan otonomi - …jadi kalau menurut saya, kontrol itu
memang penting tapi dibilang penting tuh enggak. Karena dari dalam diri
kita, kita juga harus bisa keluar dari diluar kontrol itu. Jadi kita harus
belajar iklim dari luar. Jadi kita harus belajar dari luar juga gak cuma
yang diberikan sama sistem itu. Harus cari sendiri. Otodidak lah
istilahnya.
o Kebutuhan akan kompeten - ... seberapa banyak faktor yang kita miliki,
seberapa berkembang pemikiran kita. Makin luas pengetahuan kita maka
kita makin mempunyai otonomi diri yang makin.. makin besar gitu kan.
o Kebutuhan hubungan orang lain - Kalo seandainya gurunya mau
membuka diri untuk pendapat-pendapat itu…
o Kebutuhan spiritual - Kita kan tau nih, kita mau belajar itu kan
keputusan kita sendiri. Jadi kita juga mempetimbangkan banyak hal.
Terutama karena kita udah dibiayai. Bagaimana perasaan mereka kalo
misalnya nilai kita jelek. Membahagiakan orang tua gitu deh..
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
157
Universitas Indonesia
o Kebutuhan aktualisasi diri - kalau menurut saya sendiri, kalau di kuliah
itu, ketika misalnya saya mencari bahan diluar dari yang diajarkan di
kelas…. diri kita itu akan meningkat.
o Kebutuhan akan kesenangan duniawi - Misalnya Penil, kita belajar
tentang. Emm... belajar tentang bla.bla.bla.. itu saya pusing. Itu kan faktor
dari luar, yaudah deh sekedar masuk aja deh, gak usah terlalu diresapi
gitu.
o Kebutuhan harga diri - …..dan kadang-kadang kan orang tuh kan
mikirnya “kamu lebih tau apa? Saya lebih tau dari kamu.”
o Dosen sebagai otoritas sumber informasi - kita gak mungkin pelajari
semuanya gitu kan makanya ada guru, kalo bisa sendiri ngapain ada
guru.
Kelompok 4
Dalam kelompok terfokus 4, kebutuhan dasar psikologik yang muncul
adalah kebutuhan otonomi, kebutuhan kompeten, kebutuhan hubungan
dengan orang lain, kebutuhan spiritualitas, kebutuhan aktualisasi diri,
kebutuhan kesenangan duniawi, dan kebutuhan harga diri (tujuh dari 11
kebutuhan dasar psikologik). Mahasiswa memandang dosennya bukan sebagai
otoritas sumber informasi, namun sebagai fasilitator. Berikut adalah contoh
jawaban partisipan:
o Kebutuhan akan otonomi - ... sebenarnya kalau guru sama dosen itu
mereka hanya faktor pendukung aja gitu. Semuanya kembali ke diri kita
juga sih
o Kebutuhan akan kompeten - kalo menurut aku sih salah satu faktor
yang terpenting itu soalnya kalo dosennya itu..apa.. menyampaikan
kuliahnya itu dengan menarik membuat aku tu lebih..apa ya…semangat
lebih tertarik sama mata kuliah yang diajarin kaya menambah dorongan
motivasi buat oh iya dosen ini bilang kaya gini, jadi pengen nyari lagi,
pengen tahu lebih dalam lagi.
o Kebutuhan hubungan dengan orang lain - ...peran dosen sendiri sih
harus lebih ini, harus lebih ini hm..maksudnya jangan kaku kalo mengajar
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
158
Universitas Indonesia
, saya yang kita mahasiswa juga nerimanya dengan senang hati gitu.
Soalnya kan kalo misalnya dosennya ga enak juga jadi malas ujung-
ujungnya ngedengerin pelajaran yang diajarin.
o Kebutuhan spiritual - apalagi dalam keadaan kita mau ujian biasanya
saya lebih ke orangtua sih misalnya minta doa, lebih kaya gitu aja sih.
Sebenarnya orangtua kan mendukung jadi alasan saya buat bertahan saya
sih bilangnya kaya gitu, jadi orangtua itu selalu jadi prioritas utama buat
saya.
o Kebutuhan aktualisasi diri - ...belajar adalah sesuatu yang menurut aku
pribadi, karena belajar itu mengembangkan otakku, mengembangkan
pikiranku.
o Kebutuhan kesenangan duniawi - Tergantung mood kita gimana,
misalnya mood kita lagi baik ya mood itu bisa jadi faktor pendorong. tapi
kalo misalnya mood kita lagi jelek, ya menghambat.
o Kebutuhan harga diri - saya disuruh masuk IPA tapi saya maunya IPS.
Lalu, saya sering ngalamun kayak gitu, ibu saya, ayah saya tuh pengennya
saya masuk IPA. Saya kekeuh mau masuk IPS, “pokoknya liat aja nanti”,
gitu. Udah, berarti kayak ee kasih ultimatum gitu, “pokoknya nanti liat aja
aku juga bisa kok sukses di sosial”.
o Dosen sebagai fasilitator - ...dosen memang penting, tapi dia hanya
sebagai fasilitator aja karena tetap aja kita ga bisa bergantung sama
orang satu sumber aja gitu, tapi kita juga harus belajar dari sumber-
sumber yang lain.
Kelompok 5
Delapan dari 11 kebutuhan dasar psikologik muncul di kelompok terfokus
5, yaitu kebutuhan otonomi, kebutuhan kompeten, kebutuhan hubungan
dengan orang lain, kebutuhan spiritualitas, kebutuhan aktualisasi diri,
kebutuhan kesenangan duniawi, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan rasa
aman. Dosen dipandang mahasiswa sebagai otoritas sumber informasi. Berikut
adalah contoh dari jawaban-jawaban partisipan.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
159
Universitas Indonesia
o Kebutuhan otonomi - kalau saya justru dari dalam diri saya sendiri,
kayak milih jurusan, atau milih fakultas, itu dari diri saya sendiri, sampe
saking kuatnya otonomi pada diri saya itu, sampe sering, sampe di rumah
itu sering berdebat dengan orangtua gitu, untuk masalah keinginan itu,
begitu….
o Kebutuhan kompeten - Itu biasanya dosennya asik. Kelas asistensi, jadi
benar-benar ada jadwalnya tuh ada, untuk pelajaran yang terkenal susah,
dikasih apa, kelas asistensi dua kali seminggu. Dan itu kayak membantu
banget gitu.
o Kebutuhan hubungan dengan orang lain - Kalau aku, dulu itu aku
orangnya agak pemalu gitu, terus apa ya, kalau sama orang lain itu aku
suka takut gitu, kayak nyapa mereka atau gimana, tapi sejak setahun yang
lalu itu aku ikut organisasi juga, terus aku disana ngerasa kayak, wah
enak ya punya banyak temen, terus kalau aku nyapa ternyata kalau kita
nyapa duluan, terus mereka kata temen-temen ngerasa kayak dihargai gitu
deh, trus pas aku masuk fakultas psikologi, aku mulai belajar supaya bisa
mengubah rasa malu aku.
o Kebutuhan spiritual - tujuan saya keduanya adalah ada apa ya,
menyenangkan orangtua lah, tapi nggak seperti … katakan bahwa
orangtua memaksakan, tidak, tapi lebih karena saya ingin menyenangkan
orangtua. Sudah sejauh ini saya dibiayai, dipelihara….
o Kebutuhan aktualisasi diri - Karena saya mikirnya kalau saya nggak
belajar, misalnya kayak, aduh, kalau gue gini-gini aja kapan majunya nih.
Kalau nggak belajar-belajar, mau sampai kapan kayak gini?Gitu. Kayak
takut, ini sih, takut bayangan akan gagal di masa depan itu aja sih yang
bikin saya untuk jadinya belajar.
o Kebutuhan kesenangan duniawi - Kalau saya mau main, dulu waktu
SMA, ujian saya nggak bisa kalau dekat-dekat ujian saya belajar,
seminggu sebelum ujian itu saya harus main dulu, olahraga, main apa,
main playstation tu, lancar otak saya.
o Kebutuhan harga diri - Nah, kebetulan itu aku dapat soal yang aku
nggak bisa. Terus gurunya bilang gini, “Gimana kamu bisa lulus ujian,
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
160
Universitas Indonesia
bisa sukses, kalau begini aja kamu nggak bisa?” Terus ya, dari dari situ,
aku aku tekad in dari diri sendiri, biar otonom buat diri sendiri, aku harus
lebih giat belajar, walaupun aku bukan IPA tapi mau ngambil IPS, aku
harus buktiin tahun depan aku ke sekolah, balik ke sekolah, jadi alumni
dengan jaket kuning.
o Kebutuhan rasa aman - Kalau kita nggak bisa ngerjain di depan, soal
UTS atau soal UAS kita nggak akan diperiksa, akan di nol in. Dan
ternyata benar-benar kejadian, akan di nol in. Jadi semua kita tuh,
akhirnya kita jadinya tuh selalu belajar gitu tanpa ada kuis, tanpa ada
peringatan untuk kuis atau apa.
o Dosen sebagai otoritas sumber informasi - Terus mungkin dalam
belajarnya itu diselipkan hal-hal yang berhubungan dengan realitas
sehari-hari, jadi kita akan apa, rasa penasaran kita akan muncul sehingga
kita jadi ingin mencari tahu lebih, ingin membaca pelajaran itu lebih
lanjut gitu. Sehingga memperkaya informasi kita juga.....
Kelompok 6
Wawancara terfokus di kelompok 6 memunculkan delapan dari 11
kebutuhan dasar psikologik dan adanya pandangan mahasiswa terhadap dosennya
sebagai otoritas sumber informasi. Berikut adalah contoh verbatim dari partisipan:
o Kebutuhan akan otonomi - mungkin kayak misalnya inisiatif buat
belajar gitu loh, kan udah dewasa gitu ga perlu lagi yang namanya
disuruh-suruh…. yang penting kita tau mau kemana, ga perlu lagi diatur-
atur, karena yang tau diri kita kan diri kita sendiri.
o Kebutuhan akan kompeten awalnya saya suka elektro karena di SMA
sempet bikin percobaan, ikut lomba juga..sampe orang tua saya itu bilang
masuk ITB aja..waduh itu susah banget bagi saya. Udah Elektro, ITB lagi
kan. Tapi saat itu saya bilang nggak harus di ITB juga karena saya suka
elektro gitu. Terus saya jelaskan saya di IPS dan basic saya juga
penelitian saya karya tulis saya juga udah menjurus ke IPS. Yaudah saya
ngambil jurusan IPS.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
161
Universitas Indonesia
o Kebutuhan hubungan dengan orang lain - ya menurut saya, dosen juga
seperti itu, ga cuma jadi dosen, ga cuma jadi guru, ga cuma jadi orangtua
tapi dia juga bisa jadi temen, jadi kita ngerasa nyaman, lebih terbuka sih,
kayak lebih enak aja sama-sama mengenal. kita juga ngerti kan kalau kita
anggap dosen seperti teman,kita juga tahu kalau dia lebih tua dari kita,
ngga bakal yang, kurang ajar lah gitu.
o Kebutuhan spiritual - Apa yang dikasih udah sama orangtua masa sama
kita mau disia-siain begitu aja. Jadi kita termotivasi buat belajar gitu.
o Kebutuhan aktualisasi diri - mungkin terbentuknya itu dari SMP atau
SMA kelas 1. Karena saya melanjutkan jenjang dari SMP ke SMA itu
butuh pilihan juga karena saya berada di Kalimantan dan menurut saya
SMP saya itu sangat kurang baik untuk pendidikan.makanya saya
menginginkan untuk keluar dari Kalimantan itu dan pindah ke tempat lain
yang lebih bagus untuk mendapatkan yang lebih baik.
o Kebutuhan kesenangan duniawi - Karena emang kalau belajarnya
sambil duduk itu bakal cepet bosennya, bakal pegel-pegel punggungnya.
Kalau misalnya di kasur, duduk terus abis itu bisa sambil tiduran terus
bisa sambil ya..belajarnya jadi ngga bener-bener serius cuma buat ngisi
waktu... Dulu asrama gue kasur depannya lemari ada kacanya kan. Kan
belajar di meja belajar bosen ni, terus ke kasur. Kalau ke kasur udah 10
menit lepas, ke kaca.
o Kebutuhan akan harga diri - kadang kala ada dosen yang “ya, masa
kayak gini ngga ngerti sih?” gitu kan…
o Kebutuhan akan rasa aman - …bener-bener yang saya rasaiin ya, saya
datang tuh emang karena absen, saya merasa dua setengah jam disana
tuh kayak (semua partisipan tertawa) kayak saya ngerti gitu tapi
sebenernya saya ngga dapet apa-apa.
o Dosen sebagai otortias sumber informasi - ehmmm..dosen juga harus
inget kalau kita banyak ngga taunya, jangan dianggap kita udah tau
gitu…
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
162
Universitas Indonesia
2.2 Hasil Wawancara berdasarkan Tema
Berikut ini adalah tabel resume hasil wawancara keenam kelompok terfokus
berdasarkan tema penelitian.
Tema Kelompok Wawancara Terfokus Kebutuhan otonomi Kelompok 1
Berdasarkan pengalaman aja sih, Misalnya saya belajar kalau ada kuis, nah itu tuh menurut saya nggak terlalu efektif, beda kalau saya belajar karena kemauan diri sendiri Kelompok 2 Tergantung.. tergantung seberapa besar dosen itu presure kita sih. Biasanya kan gini, kalau orang itu melakukan sesuatu hal yang lebih itu kan karena tekanan kan. Nah itu contohnya juga misalnya dosen.. sebanyak mungkin dia ngasih kuis sebanyak itulah kita belajar. Gitu ~ Kebutuhan kontrol (tidak otonom) Pengaruhnya sih sebenernya.. engga begitu besar karena kalau saya pribadi kalau dosen itu sendiri engga enak cara pembawaannya, lebih baik saya belajar sendiri. He’eh.. Jadi ya biarin aja dia ngomong di depan, saya tetep dengerin.. tapi kalau misalnya engga nyambung saya berenti saya diem terus saya baca sendiri Kelompok 3 Jadi kalau menurut saya, kontrol itu memang penting tapi dibilang penting tuh enggak. Karena dari dalam diri kita, kita juga harus bisa keluar dari diluar kontrol itu. Jadi kita harus belajar iklim dari luar. Jadi kita harus belajar dari luar juga gak cuma yang diberikan sama sistem itu. Harus cari sendiri. Otodidak lah istilahnya Kelompok 4 Saya kak kadang orangtua suka agak maksa kalo belajar. Ada beberapa pelajaran yang saya ga suka jadi malas kemudian dipaksa orangtua buat belajar. Saya jadi agak marah sih, malah semakin malas belajar ... menjadi malas juga kan ga enak kalo dipaksa Kelompok 5 Kalau saya justru dari dalam diri saya sendiri, kayak milih jurusan, atau milih fakultas, itu dari diri saya sendiri, sampe saking kuatnya otonomi pada diri saya itu, sampe sering, sampe di rumah itu sering berdebat dengan orangtua gitu, untuk masalah keinginan itu, begitu.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
163
Universitas Indonesia
Tema Kelompok Wawancara Terfokus Kebutuhan otonomi (lanjutan)
Kelompok 6 Mungkin kayak misalnya inisiatif buat belajar gitu loh, kan udah dewasa gitu ga perlu lagi yang namanya disuruh-suruh…. yang penting kita tau mau kemana, ga perlu lagi diatur-atur, karena yang tau diri kita kan diri kita sendiri
Kebutuhan kompeten
Kelompok 1 Menurut saya dosen yang baik itu yang bisa menyalurkan ilmunya dan membuat muridnya mengerti gitu, .. maksudnya muridnya nyambung dengan apa yang diomongin gitu, bukan karena saking pinternya dia, muridnya jadi nggk ngerti gitu, hehe
Kelompok 2 Saya ya harus memilih dengan kemampuan saya sendiri. Otonominya ya gimana saya bisa masuk psikologi ya, saya tingkatin belajar saya
Kelompok 3 Seberapa banyak faktor yang kita miliki, seberapa berkembang pemikiran kita. Makin luas pengetahuan kita maka kita makin mempunyai otonomi diri yang makin.. makin besar gitu kan.
Kelompok 4 Kalo menurut aku sih salah satu faktor yang terpenting itu soalnya kalo dosennya itu..apa.. menyampaikan kuliahnya itu dengan menarik membuat aku tu lebih..apa ya…semangat lebih tertarik sama mata kuliah yang diajarin kaya menambah dorongan motivasi buat oh iya dosen ini bilang kaya gini, jadi pengen nyari lagi, pengen tahu lebih dalam lagi Kelompok 5 Itu biasanya dosennya asik. Kelas asistensi, jadi benar-benar ada jadwalnya tuh ada, untuk pelajaran yang terkenal susah, dikasih apa, kelas asistensi dua kali seminggu. Dan itu kayak membantu banget gitu
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
164
Universitas Indonesia
Tema Kelompok Wawancara Terfokus Kebutuhan kompeten (lanjutan)
Kelompok 6 Awalnya saya suka elektro karena di SMA sempet bikin percobaan, ikut lomba juga..sampe orang tua saya itu bilang masuk ITB aja..waduh itu susah banget bagi saya. Udah Elektro, ITB lagi kan. Tapi saat itu saya bilang nggak harus di ITB juga karena saya suka elektro gitu. Terus saya jelaskan saya di IPS dan basic saya juga penelitian saya karya tulis saya juga udah menjurus ke IPS. Yaudah saya ngambil jurusan IPS
Kebutuhan akan hubungan dengan orang lain
Kelompok 1 Ya istilahnya gini, kan setiap orang yang belajar kan nggk selalu berhasil, pasti ada kegagalan, tapi ketika pengajar kita itu memotivasi kita, nggk malah membuat statement-statement yang malah menjatuhkan kita, tapi terus secara konstruktif terus mendorong kita untuk belajar
Kelompok 2 Berpengaruh, soalnya kadang aku pernah ada dosen yang ngomongnya itu brengsek.. dikit-dikit kayak.. saya tuh orangnya gampang kepikiran kok dosen ngomongnya brengsek sih. Kalau dosen gitu ngaruh loh ka kayak berkurang respeknya ke dia
Kelompok 3 Kalo seandainya gurunya mau membuka diri untuk pendapat-pendapat itu dan kadang-kadang kan orang tuh kan mikirnya “kamu lebih tau apa? Saya lebih tau dari kamu.”
Kelompok 4 Peran dosen sendiri sih harus lebih ini, harus lebih ini hm..maksudnya jangan kaku kalo mengajar , saya yang kita mahasiswa juga nerimanya dengan senang hati gitu. Soalnya kan kalo misalnya dosennya ga enak juga jadi malas ujung-ujungnya ngedengerin pelajaran yang diajarin
Kelompok 5 Kalau aku, dulu itu aku orangnya agak pemalu gitu, terus apa ya, kalau sama orang lain itu aku suka takut gitu, kayak nyapa mereka atau gimana, tapi sejak setahun yang lalu itu aku ikut organisasi juga, terus aku disana ngerasa kayak, wah enak ya punya banyak temen, terus kalau aku nyapa ternyata kalau kita nyapa duluan, terus mereka kata temen-temen ngerasa kayak dihargai gitu deh, trus pas aku masuk fakultas psikologi, aku mulai belajar supaya bisa mengubah rasa malu aku
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
165
Universitas Indonesia
Tema Kelompok Wawancara Terfokus Kebutuhan akan hubungan dengan orang lain (lanjutan)
Kelompok 6 Menerima apa yang masukan dari kita. Bukan masukan sih kayak pertanyaan dari kita juga..gini lho, kayak temen kan kalau temen kan juga ngga mungkin bilang ‘salah’..lebih ke ‘ngga, seharusnya kayak gini’. bukan yang seharusnya kayak gitu, bukan yang malah nge-judge, kayak istilahnya ada panah tuh pless gitu (mengibaratkan anak panah yang dilepas) .... kalau menurut saya sih jadi temen. Jadi temen itu penting. Tapi tidak, ya, ngga cuma dosen yang untuk jadi temen mahasiswa. Kayak orangtua juga dituntut untuk jadi temen anaknya kan. Kalau yang selalu saya denger, orangtua ya jangan cuma jadi orangtua doang tapi juga harus jadi temen buat si anak. Ya menurut saya, dosen juga seperti itu, ga cuma jadi dosen, ga cuma jadi guru, ga cuma jadi orangtua tapi dia juga bisa jadi temen, jadi kita ngerasa nyaman, lebih terbuka sih, kayak lebih enak aja sama-sama mengenal. kita juga ngerti kan kalau kita anggap dosen seperti teman,kita juga tahu kalau dia lebih tua dari kita, ngga bakal yang, kurang ajar lah gitu.
Kebutuhan spiritual Kelompok 1 Kewenangan kita dalam memilih terus sama memilih strategi belajar kita. Jadi disesuaikan sama kondisi dimana..maksudnya, pikiran itu akan lebih efektif menerima sesuatu kalau kita ikhlas mengerjakannya.
Kelompok 2 Misalkan aku.. mamah udah nyuruh aku ikut les ini les itu. Intinya aku engga mau mengecewakan orang-orang yang udah naro harapan ke aku Kelompok 3 Kita kan tau nih, kita mau belajar itu kan keputusan kita sendiri. Jadi kita juga mempetimbangkan banyak hal. Terutama karena kita udah dibiayai. Bagaimana perasaan mereka kalo misalnya nilai kita jelek. Membahagiakan orang tua gitu deh
Kelompok 4 Apalagi dalam keadaan kita mau ujian biasanya saya lebih ke orangtua sih misalnya minta doa, lebih kaya gitu aja sih. Sebenarnya orangtua kan mendukung jadi alasan saya buat bertahan saya sih bilangnya kaya gitu, jadi orangtua itu selalu jadi prioritas utama buat saya
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
166
Universitas Indonesia
Tema Kelompok Wawancara Terfokus Kebutuhan spiritual (lanjutan)
Kelompok 5 Tujuan saya keduanya adalah ada apa ya, menyenangkan orangtua lah, tapi nggak seperti Neti katakan bahwa orangtua memaksakan, tidak, tapi lebih karena saya ingin menyenangkan orangtua. Sudah sejauh ini saya dibiayai, dipelihara
Kebutuhan aktualisasi diri
Kelompok 1 Kalo menurut saya selain memotivasi atau tidak menjatuhkan itu, juga bisa mendorong otonomi kita untuk bisa mencoba hal yang baru, bereksperimen, mencari jalan gimana kita berkreasi
Kelompok 2 Kalau misalnya otonomi lo punya satu gol atau target, nah lo gimana caranya untuk bisa mencapai itu, supaya lo bisa memaksimalkan hasilnya
Kelompok 3 Kalau menurut saya sendiri, kalau di kuliah itu, ketika misalnya saya mencari bahan diluar dari yang diajarkan di kelas…. diri kita itu akan meningkat Kelompok 4 ...belajar adalah sesuatu yang menurut aku pribadi, karena belajar itu mengembangkan otakku, mengembangkan pikiranku. Kelompok 5 Karena saya mikirnya kalau saya nggak belajar, misalnya kayak, aduh, kalau gue gini-gini aja kapan majunya nih. Kalau nggak belajar-belajar, mau sampai kapan kayak gini? Gitu. Kayak takut, ini sih, takut bayangan akan gagal di masa depan itu aja sih yang bikin saya untuk jadinya belajar Kelompok 6 Mungkin terbentuknya itu dari SMP atau SMA kelas 1. Karena saya melanjutkan jenjang dari SMP ke SMA itu butuh pilihan juga karena saya berada di Kalimantan dan menurut saya SMP saya itu sangat kurang baik untuk pendidikan.makanya saya menginginkan untuk keluar dari Kalimantan itu dan pindah ke tempat lain yang lebih bagus untuk mendapatkan yang lebih baik
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
167
Universitas Indonesia
Tema Kelompok Wawancara Terfokus Kesenangan duniawi Kelompok 1
Kalau kita diberi kebebasan untuk tidak kuliah lebih dari batas bolosnya, batas bolosnya kan kalo cuma 3 kurang puas Kelompok 2 Kaya misalnya ngerjain tugas dulu baru nonton video, nah itu aku agak-agak susah tuh nahannya Kelompok 3 Misalnya Penil, kita belajar tentang. Emm... belajar tentang bla.bla.bla.. itu saya pusing. Itu kan faktor dari luar, yaudah deh sekedar masuk aja deh, gak usah terlalu diresapi gitu Kelompok 4 Tergantung mood kita gimana, misalnya mood kita lagi baik ya mood itu bisa jadi faktor pendorong. tapi kalo misalnya mood kita lagi jelek, ya menghambat Kelompok 5 Kalau saya mau main, dulu waktu SMA, ujian saya nggak bisa kalau dekat-dekat ujian saya belajar, seminggu sebelum ujian itu saya harus main dulu, olahraga, main apa, main playstation tu, lancar otak saya Kelompok 6 Karena emang kalau belajarnya sambil duduk itu bakal cepet bosennya, bakal pegel-pegel punggungnya. Kalau misalnya di kasur, duduk terus abis itu bisa sambil tiduran terus bisa sambil ya..belajarnya jadi ngga bener-bener serius cuma buat ngisi waktu Dulu asrama gue kasur depannya lemari ada kacanya kan. Kan belajar di meja belajar bosen ni, terus ke kasur. Kalau ke kasur udah 10 menit lepas, ke kaca.
Kebutuhan harga diri
Kelompok 1 Ya istilahnya gini, kan setiap orang yang belajar kan nggk selalu berhasil, pasti ada kegagalan, tapi ketika pengajar kita itu memotivasi kita, nggk malah membuat statement-statement yang malah menjatuhkan kita, tapi terus secara konstruktif terus mendorong kita untuk belajar
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
168
Universitas Indonesia
Tema Kelompok Wawancara Terfokus Kebutuhan harga diri (lanjutan)
Kelompok 3 Kalo seandainya gurunya mau membuka diri untuk pendapat-pendapat itu dan kadang-kadang kan orang tuh kan mikirnya “kamu lebih tau apa? Saya lebih tau dari kamu.”
Kelompok 4 Saya disuruh masuk IPA tapi saya maunya IPS. Lalu, saya sering ngalamun kayak gitu, ibu saya, ayah saya tuh pengennya saya masuk IPA. Saya kekeuh mau masuk IPS, “pokoknya liat aja nanti”, gitu. Udah, berarti kayak ee kasih ultimatum gitu, “pokoknya nanti liat aja aku juga bisa kok sukses di sosial”
Kelompok 5 Nah, kebetulan itu aku dapat soal yang aku nggak bisa. Terus gurunya bilang gini, “Gimana kamu bisa lulus ujian, bisa sukses, kalau begini aja kamu nggak bisa?” Terus ya, dari dari situ, aku aku tekad in dari diri sendiri, biar otonom buat diri sendiri, aku harus lebih giat belajar, walaupun aku bukan IPA tapi mau ngambil IPS, aku harus buktiin tahun depan aku ke sekolah, balik ke sekolah, jadi alumni dengan jaket kuning
Kebutuhan rasa aman
Kelompok 1 Misalnya dosennya itu nakutin, jadi kebebasan kita untuk bertanya itu nggak keluar Kelompok 2 Tergantung.. tergantung seberapa besar dosen itu pressure kita sih. Biasanya kan gini, kalau orang itu melakukan sesuatu hal yang lebih itu kan karena tekanan kan. Kelompok 3 Saya harus belajar karena kalo nggak, saya gak lulus. Kelompok 5 Kalau kita nggak bisa ngerjain di depan, soal UTS atau soal UAS kita nggak akan diperiksa, akan di nol in. Dan ternyata benar-benar kejadian, akan di nol in. Jadi semua kita tuh, akhirnya kita jadinya tuh selalu belajar gitu tanpa ada kuis, tanpa ada peringatan untuk kuis atau apa. Kelompok 6 Bener-bener yang saya rasaiin ya, saya datang tuh emang karena absen, saya merasa dua setengah jam disana tuh kayak (semua partisipan tertawa) kayak saya ngerti gitu tapi sebenernya saya ngga dapet apa-apa.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
169
Universitas Indonesia
Tema Kelompok Wawancara Terfokus Kebutuhan akan kemewahan-uang
Kelompok 2 Terus mikir kalau misalnya di (fakultas) Hukum, udah jadi lawyer itu kan uangnya pasti gede. Sedangkan kalau di Psikologi itu kan kerjanya gitu-gitu, terus gajinya kan pasti kecil
Dosen sebagai otoritas sumber informasi
Kelompok 1 Dosen yang pinter, tapi juga bisa membuat muridnya pinter gitu, artinya dia itu pinter tapi bisa membuat muridnya itu mengerti gitu, bukan hanya dirinya aja yang pinter..maksudnya muridnya tu mengerti apa yang dia ucapkan Kelompok 2 Ya.. Hahahah.. ya yang engga berkutat pada ngejelasin tapi juga ngasih contoh yang.. yang.. kita semua pasti membayangkan sesuatu nah terus apalagi kadang tuh kan dosen nerangin udah gitu selesai Kelompok 3 Kita gak mungkin pelajari semuanya gitu kan makanya ada guru, kalo bisa sendiri ngapain ada guru Kelompok 5 Terus mungkin dalam belajarnya itu diselipkan hal-hal yang berhubungan dengan realitas sehari-hari, jadi kita akan apa, rasa penasaran kita akan muncul sehingga kita jadi ingin mencari tahu lebih, ingin membaca pelajaran itu lebih lanjut gitu. Sehingga memperkaya informasi kita juga Kelompok 6 Ehmmm..dosen juga harus inget kalau kita banyak ngga taunya, jangan dianggap kita udah tau gitu Ya walaupun kita udah jadi apa namanya..kadang kala ada dosen yang “ya, masa kayak gini ngga ngerti sih?” gitu kan. Kayak mungkin harus lebih ini kayak ini kali ya, anggap aja dia ngga tahu dulu gitu kan. Mungkin kalau kayak gitu juga, kalau misalnya dosen nganggep kita emang ngga tau lebih gampang untuk ngasih materi daripada nganggap kalau kita udah sedikit tahu gitu
Dosen sebagai fasilitator
Kelompok 3 Kalau menurut saya sendiri, kalau di kuliah itu, ketika misalnya saya mencari bahan diluar dari yang diajarkan di kelas…. diri kita itu akan meningkat
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
170
Universitas Indonesia
Tema Kelompok Wawancara Terfokus Dosen sebagai fasilitator (lanjuta)
Kelompok 4 Dosen memang penting, tapi dia hanya sebagai fasilitator aja karena tetap aja kita ga bisa bergantung sama orang satu sumber aja gitu, tapi kita juga harus belajar dari sumber-sumber yang lain. Toh ga Cuma dosen kok yang bisa kita ambil ilmunya, kita bisa baca buku, atau kita bisa googling, kaya gitu. Jadi menurut saya sebenarnya kalau guru sama dosen itu mereka hanya faktor pendukung aja gitu. Semuanya kembali ke diri kita juga sih.
Secara umum, dari keenam kelompok wawancara terfokus muncul
sembilan dari 11 kebutuhan dasar psikologik yang ingin ditelusuri. Kesembilan
kebutuhan psikologik tersebut adalah (1) kebutuhan otonomi, (2) kebutuhan
kompeten, (3) kebutuhan akan hubungan dengan orang lain, (4) kebutuhan
spiritual, (5) kebutuhan aktualisasi diri, (6) kesenangan duniawi, (7) kebutuhan
harga diri, (8) rasa aman, dan (9) kebutuhan akan kemewahan – uang. Diterapkan
dalam kegiatan belajar, partisipan dalam keenam kelompok wawancara terfokus
menyatakan bahwa kebutuhan otonomi, kebutuhan kompeten, kebutuhan akan
hubungan dengan orang lain, kebutuhan spiritual, kebutuhan aktualisasi diri,
kebutuhan akan kenikmatan duniawi, kebutuhan harga diri, kebutuhan rasa aman,
serta kebutuhan akan kemewahan – uang adalah kebutuhan dasar psikologik yang
perlu dipenuhi demi tercapainya kegiatan belajar yang otonom yang termotivasi
dari dalam diri.
Kebutuhan otonomi pada kelompok terfokus 1 tampil dengan adanya
kebutuhan akan adanya kesempatan untuk melakukan belajar yang didorong dari
keinginan pribadi. Menurut kelompok, ketika belajar muncul sebagai salah satu
bentuk dari keinginan pribadi, maka pembelajaran akan menjadi efektif dan ilmu
yang didapat juga akan berkembang. Pada kelompok terfokus 2, kebutuhan
otonomi muncul pada waktu kelompok sedang berdiskusi tentang pemilihan
jurusan dan kaitannya dengan orang lain. Menurut kelompok, dalam menentukan
pilihan-pilihan karir dibutuhkan adanya kesempatan diri sendiri sebagai penentu
dan pengambil keputusannya. Hal ini sesuai dengan pendapat dari kelompok
terfokus 3 yang mengatakan bahwa dalam belajar perlu ada kesempatan untuk
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
171
Universitas Indonesia
menegakkan pendapat dan prinsip pribadi sehingga tidak terpengaruh dengan
orang lain.
Selain itu, dalam seluruh kelompok terfokus juga muncul adanya
kebutuhan kompeten dalam belajar. Seperti yang muncul dari kelompok terfokus
3, belajar diartikan sebagai suatu proses untuk mengembangkan diri agar lebih
mampu menjalankan tugas-tugas yang akan dihadapi. Dalam hal ini, kelompok
mengaku otonomi belajar perlu diberikan karena kelompok merasa mampu
mengelola otonomi yang diberikan secara efektif. Pada kelompok terfokus 4,
kelompok mengemukakan adanya unsur hak dan kewajiban di dalam belajar yang
berpengaruh pada pembelajaran yang efektif. Dengan kata lain, kelompok
membutuhkan adanya penanaman kepercayaan dari orang-orang disekitar bahwa
mereka sudah mampu menjalankan kewajiban untuk belajar.
Dalam membicarakan otonomi belajar, keenam kelompok juga
mengemukakan bahwa hal tersebut tidak terlepas dari adanya hubungan timbal
balik dengan orang-orang disekitar mereka. Adanya otonomi di dalam belajar
dipandang sebagai sesuatu yang diberikan oleh pihak-pihak yang memiliki
otoritas di dalam hidup mereka. Seperti dikemukakan oleh kelompok terfokus 4
bahwa pembelajaran yang efektif hanya akan terjadi jika ada dukungan yang
diberikan oleh teman. Dukungan ini dapat berupa ajakan untuk belajar bersama
atau sekedar dorongan untuk bisa bersaing dan mendapatkan prestasi seperti
temannya. Selain teman, kelompok terfokus 5 mengemukakan adanya keterkaitan
antara pembelajaran yang menyenangkan dengan dosen yang dekat dengan
mahasiswa. Dosen yang mampu membina hubungan interpersonal yang baik
dengan mahasiswa akan mendukung kesuksesan mahasiswanya. Di samping itu,
menurut kelompok terfokus 1, otonomi di dalam belajar tidak terlepas dari kontrol
dan umpan balik yang diberikan oleh orang tua. Adanya dukungan dari orang tua
mampu membuat mereka kembali pada tujuan awal yang ingin dicapai.
Kebutuhan aktualisasi diri juga muncul pada seluruh kelompok terfokus
saat diskusi tentang urgensi dari kegiatan belajar. Menurut kelompok terfokus 6,
belajar merupakan suatu proses menuju kedewasaan diri yang didalamnya
terdapat tahapan-tahapan yang harus dilalui. Adanya pengambilan keputusan
didalam proses belajar perlu disesuaikan dengan tujuan akhir yang ingin dicapai
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
172
Universitas Indonesia
atau hal yang dicita-citakan. Disamping itu, kelompok terfokus 5 mengemukakan
bahwa belajar dibutuhkan sebagai upaya perbaikan diri agar dapat menjadi pribadi
yang lebih baik lagi di masa depan. Sama halnya dengan kelompok terfokus 4
yang menyatakan bahwa belajar harus mampu membawa kesempatan untuk
pengembangan pengetahuan dan wawasan yang nantinya berguna di waktu yang
akan datang. Kelompok terfokus 2 juga mengemukakan bahwa diberikannya
otonomi di dalam belajar adalah suatu kesempatan yang sebaiknya digunakan
untuk dapat menjalankan tujuan atau target yang ingin dicapai serta meningkatkan
kapasitas personal.
Dari keenam kelompok terfokus juga muncul kebutuhan akan kesenangan
duniawi yang menurut kelompok perlu dipenuhi demi tercapainya pembelajaran
yang efektif. Menurut kelompok terfokus 1, kebutuhan akan kesenangan duniawi
ini muncul sebagai alternatif agar tidak bosan terhadap kegiatan belajar.
Kesempatan untuk bisa bolos pada beberapa pertemuan, tidak mendengarkan
kuliah saat dosennya membosankan, dan beberapa kebebasan lain akan mampu
membuat pembelajaran terasa tidak membosankan menurut kelompok terfokus 1.
Kelompok terfokus 2 juga mengemukakan bahwa kesempatan untuk bisa
mengerjakan tugas setelah melakukan hal-hal yang menyenangkan dapat
membuat kegiatan mengerjakan tugas terasa lebih menyenangkan. Secara lebih
eksplisit, kelompok terfokus 4 mengemukakan bahwa kegiatan belajar sebaiknya
tergantung dengan suasana hati, jadi pembelajaran yang menarik dan tidak
membosankan sebaiknya dijadikan alternatif untuk dapat membuat mahasiswa
belajar lebih efektif lagi.
Selain kelima kebutuhan dasar psikologis yang muncul pada keenam
kelompok terfokus, terdapat kebutuhan rasa aman yang muncul pada kelima
kelompok terfokus, tapi tidak muncul pada kelompok terfokus 3. Muncul pula
kebutuhan akan spiritualitas dan religiusitas yang muncul pada kelima kelompok
terfokus tapi tidak muncul pada kelompok terfokus 6. Kebutuhan rasa aman
muncul saat kelompok terfokus 1 mendiskusikan tentang karakteristik dosen yang
mendukung proses belajar yang efektif. Menurut kelompok terfokus 1, dosen yang
tidak menakutkan dan yang tidak melakukan intimidasi secara psikis akan mampu
membuat partisipasi mahasiswa tinggi di dalam belajar. Selain itu, menurut
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
173
Universitas Indonesia
kelompok 2 rasa aman dari tekanan yang diberikan dosen melalui tugas juga
dibutuhkan agar mahasiswa dapat merasa nyaman dalam belajar. Disamping itu,
keinginan mahasiswa untuk belajar juga disebabkan adanya kebutuhan rasa aman
untuk terlepas dari mengulang atau tidak lulus mata kuliah tersebut. Hal ini
dikemukakan oleh kelompok terfokus 4. Dalam hal kebutuhan akan spiritualitas-
religiusitas, muncul saat kelompok terfokus 4 membicarakan tentang peran orang
tua yang dirasa penting dalam hal memberikan dukungan moril serta doa agar
anaknya dapat berhasil dan sukses. Keinginan untuk bisa membalas kebaikan dan
menyenangkan hati orang tua dirasa cukup efektif oleh kelompok terfokus 5 untuk
menjadi dorongan penyemangat dalam belajar.
Kebutuhan akan harga diri hanya muncul pada kelompok terfokus 4 dan 5
yang menyatakan bahwa semangat dan dorongan untuk belajar terkadang muncul
dari adanya ejekan dari lingkungan sekitar. Adanya ejekan mampu menyulut
semangat untuk dapat membuktikan bahwa mereka mampu untuk menjadi lebih
baik dibandingkan sebelumnya. Selain itu, kebutuhan akan kemewahan uang dan
kebutuhan akan kesenangan fisik hanya muncul pada salah satu dari enam
kelompok terfokus. Dalam penelitian ini, tidak ditemui munculnya kebutuhan
akan popularitas-pengaruh pada keenam kelompok terfokus.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
174
Universitas Indonesia
Rotated Component Matrixa
Component 1 2 3 4 5 6 7
AUTONOMY1 .146 .193 .667 .091 .034 -.097 .129AUTONOMY2 .122 -.017 .679 .033 .093 .085 .008AUTONOMY3 -.019 .116 .712 .167 -.043 .113 .038
OMPETENCE1 .137 .109 .055 -.092 -.008 -.056 .071OMPETENCE2 .178 .084 .022 -.087 .030 -.013 .285OMPETENCE3 .007 .297 .150 .312 .146 .070 -.174
RELATEDNESS1 .218 .065 .096 .756 -.066 .144 .009RELATEDNESS2 .296 .047 .138 .802 .056 .122 .081RELATEDNESS3 .074 .040 .209 .814 .067 -.033 .073
SELF ACTUALIZING1 .007 .344 .647 .187 .069 .068 .083SELF ACTUALIZING2 .073 .657 .289 .072 -.051 .056 .089SELF ACTUALIZING3 .145 .693 .118 -.169 -.119 .159 .151
PHYSICAL THRIVING1 .011 .002 .165 .098 -.045 .036 .769PHYSICAL THRIVING2 .275 .236 .132 -.057 .247 .172 .597PHYSICAL THRIVING3 -.038 .150 .087 .046 .170 .055 .747
PLEASURE STIMULATION1
-.083 .299 -.304 .062 -.262 .048 .491
PLEASURE STIMULATION2
-.074 .602 .142 .235 .049 .008 .275
PLEASURE STIMULATION3
.126 .412 .434 .251 -.080 .109 .249
MONEY LUXURY1 .050 -.052 .225 -.013 .109 .734 .173MONEY LUXURY2 .197 .093 .014 .115 .058 .798 .051MONEY LUXURY3 .028 .089 -.020 .096 .122 .846 .001
SECURITY1 -.071 -.112 .097 .002 .615 .230 .032SECURITY2 .064 -.025 -.015 .051 .741 .141 .038SECURITY3 -.003 .016 -.016 -.025 .739 .074 .117
SELF ESTEEM1 .415 .531 .108 .000 .266 -.119 .103SELF ESTEEM2 .196 .194 .102 .021 .499 -.287 -.060SELF ESTEEM3 .345 .431 .092 .170 .363 -.113 -.182
POPULARITY INFLUENCE1
.787 .036 .112 .074 .150 .166 -.006
POPULARITY INFLUENCE2
.801 .089 .076 .229 .002 .083 .019
POPULARITY INFLUENCE3
.770 .104 .077 .253 -.064 .054 .066
SPIRITUALITY1 .153 .243 -.029 .260 .000 .044 .085SPIRITUALITY2 .071 .048 .064 .099 -.073 -.005 .073
SPIRITUALITY3 .169 .088 .058 .076 .333 .045 -.012
Lampiran 3. Hasil Analisis Faktor
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
175
Universitas Indonesia
Rotated Component Matrixa
Component 8 9
AUTONOMY1 .159 -.005AUTONOMY2 -.071 -.110AUTONOMY3 .185 .211OMPETENCE1 .845 .143OMPETENCE2 .806 .093OMPETENCE3 .607 -.122RELATEDNESS1 -.029 .186RELATEDNESS2 -.058 .114RELATEDNESS3 .037 .114SELF ACTUALIZING1 -.044 .098SELF ACTUALIZING2 .105 .250SELF ACTUALIZING3 .050 .232PHYSICAL THRIVING1 .126 .047PHYSICAL THRIVING2 -.088 .031PHYSICAL THRIVING3 .062 .123PLEASURE STIMULATION1
.154 -.097
PLEASURE STIMULATION2
.181 -.091
PLEASURE STIMULATION3
.051 .008
MONEY LUXURY1 -.085 .148MONEY LUXURY2 -.006 -.011MONEY LUXURY3 .040 -.029SECURITY1 .218 -.042SECURITY2 -.107 .032SECURITY3 .064 .010SELF ESTEEM1 .190 .100SELF ESTEEM2 -.081 .139SELF ESTEEM3 .152 .149POPULARITY INFLUENCE1
.026 .123
POPULARITY INFLUENCE2
.158 .070
POPULARITY INFLUENCE3
.106 .137
SPIRITUALITY1 -.117 .737SPIRITUALITY2 .112 .789SPIRITUALITY3 .160 .674
Extraction Method: Principal Component Analysis.
Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization.
a. Rotation converged in 7 iterations.
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
176
Universitas Indonesia
4.1. Hasil Uji Model Pengukuran Skala Keterlibatan Belajar (N=726)
4.2. Hasil Uji Model Pengukuran Skala Dukungan Makna Belajar (N=726)
Lampiran 4. Hasil Uji Model Pengukuran
Kebutuhan Otonomi
Kebutuhan Kompeten
Kebutuhan Hubungan
dengan orang lainDukungan
Makna Belajar
Kebutuhan Harga Diri
Kebutuhan Aktualisasi Diri
Kebutuhan Kesenangan
duniawi
Kebutuhan Spiritual
0,95 (33,44)
0,53 (14,89
)0,50 (14,09)
0,53 (14,90)
0,54 (15,41)
0,98 (35,61
0,88 (29,60)
Chi-Square=21,87; df=8; P-value=0,00517; RMSEA=0,050
Keterlibatan Belajar
Chi-Square=65,31; df=52; P-value=0,10163;
Keterlibatan Kognitif
Keterlibatan Emosi
Keterlibatan Perilaku
0,82 (9,43)
0,78 (12,70)
0,84 (6,80)
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
177
Universitas Indonesia
4.3. Hasil Uji Model Pengukuran Skala Motivasi Intrinsik (N=726)
4.4. Hasil Uji Model Pengukuran Skala Self-efficacy (N=726)
Motivasi Intrinsik 13
Motivasi Intrinsik 14
Motivasi Intrinsik 15
Motivasi Intrinsik
Motivasi Intrinsik 16
0,53 (15,09)
0,91 (30,68)
0,77 (24,22)
0,95 (33,22
)
Chi-Square=19,74; df=17; P-value=0,28799;
Self-efficacy 02
Self-efficacy 05
Self-efficacy 11
Self-efficacy
Self-efficacy 15
Self-efficacy 14
Self-efficacy 13
Self-efficacy 19
0,49 (13.06)
0,77 (22,28)
0,51 (13,47
0,67 (18,01)
0,50 (13,18)
0,66 (18,54
0,78 (22,88)
Chi-Square=16,62; df=12; P-value=0,16440;
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
178
Universitas Indonesia
4.5. Hasil Uji Model Pengukuran Skala Otoritas Sumber Informasi (N=726)
Chi-Square=16,33; df=10; P-value=0,09048;
Otoritas Sumber Informasi 01
Otoritas Sumber Informasi 02R
Otoritas Sumber Informasi 03
Otoritas Sumber
Informasi
Otoritas Sumber Informasi 07
Otoritas Sumber Informasi 06
Otoritas Sumber Informasi 05
Otoritas Sumber Informasi 09
0,58 (14,64)
0,50 (11,73)
0,71 (18,26
0,73 (19,00)
0,43 (10,41)
0,34 (8,04)
0,43 (10,52)
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
179
Universitas Indonesia
Nilai t-values model struktural keterlibatan belajar
Model Keterlibatan Belajar
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 54 Minimum Fit Function Chi-Square = 77.59 (P = 0.019) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 79.10 (P = 0.015) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 25.10 90 Percent Confidence Interval for NCP = (5.27 ; 52.92) Minimum Fit Function Value = 0.23 Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.076 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.016 ; 0.16) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.037 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.017 ; 0.054) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.88 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.46 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.40 ; 0.54)
ECVI for Saturated Model = 0.55 ECVI for Independence Model = 14.72 Chi-Square for Independence Model with 78 Degrees of Freedom = 4861.49 Independence AIC = 4887.49 Model AIC = 153.10 Saturated AIC = 182.00 Independence CAIC = 4950.00 Model CAIC = 331.00 Saturated CAIC = 619.54 Normed Fit Index (NFI) = 0.98 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.99 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.68 Comparative Fit Index (CFI) = 1.00 Incremental Fit Index (IFI) = 1.00 Relative Fit Index (RFI) = 0.98 Critical N (CN) = 747.91 Root Mean Square Residual (RMR) = 0.043 Standardized RMR = 0.047 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.96 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.94 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.57
Lampiran 5. Hasil Uji Model Struktural Keterlibatan Belajar
Dukungan Makna Belajar dari
Dosen
Motivasi Intrinsik
Keterlibatan Belajar
Self-efficacy
Otoritas Sumber Informasi
3,96
3,77
3,74
3,87
2,50
4,28
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.
Reduced Form Equations
KB = 0.40*DukMakBj + 0.13*OSInf, Errorvar.= 0.78, R² = 0.22 (0.062) (0.033) 6.42 3.91 MOT = 0.43*DukMakBj + 0.080*OSInf, Errorvar.= 0.78, R² = 0.22 (0.089) (0.029) 4.87 2.80 SEFF = 0.22*DukMakBj + 0.25*OSInf, Errorvar.= 0.84, R² = 0.16 (0.059) (0.058) 3.77 4.28
Pengaruh dukungan..., Linda Primana, FPSI UI, 2015.