PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN...
Transcript of PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN...
111
PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN
KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN
I Made Sukma Wijaya
Ahsan
Kumboyono
Program Studi Magister Keperawatan Peminatan Gawat Darurat Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya
Email: [email protected]
Abstract: The Experience Of Nurses Implement The Nursing Process And
Documentation. The aims of this study is to explore the experiences of nurses
perform nursing emergency assessment in the triage room. This study used a
qualitative research design with interpretive phenomenological approach.
Participant of this study as many as eigth people who work at triage room emergency
Sanglah Hospital Denpasar. All participants have been work more than three years
in the emergency room that conducted indepth interviews to explore their
experiences. Data from interviews were transcripts and analyzed using Dikelman
which resulted three major themes in the experience of nurses perform nursing
assessment that is material (initial and further assessment), data sources (primer and
secondary data) and limitations (health provider and patient aspects).
Abstrak: Pengalaman Perawat Melaksanakan Pengkajian Keperawatan
Kegawatdaruratan. Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi pengalaman
perawat melaksanakan pengkajian keperawatan kegawatdaruratan di ruang Triage.
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi interpretif. Partisipan penelitian ini sebanyak delapan orang perawat di
ruang triage Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP Sanglah Denpasar. Partisipan
memiliki pengalaman kerja lebih dari tiga tahun di IGD yang dilakukan wawancara
mendalam untuk mengeksplorasi pengalamannya. Data hasil wawancara di transkrip
dan di analisis menggunakan Dikelman yang menghasilkan 3 tema utama dalam
pengalaman perawat melakukan pengkajian keperawatan, yaitu; materi (pengkajian
awal dan lanjutan), sumber data (primer dan sekunder) dan keterbatasan aspek tenaga
kesehatan dan aspek pasien).
Kata Kunci: Pengalaman Perawat, Pengkajian Keperawatan, Kegawatdaruratan
Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah
lingkungan kerja yang kompleks dengan
adanya berbagai interaksi multidisiplin
tenaga kesehatan profesional dalam
penangananan pasien dengan kasus
kegawatdaruratan (Bruce dan Suserud,
2005). Beban kerja berat, keramaian,
bencana kematian dan perawatan pasien
dengan kondisi kritis menjadi beberapa
faktor yang membuat lingkungan IGD
kompleks dan penuh stress (Ross-Adjie et
al, 2007; Healy dan Tyrell, 2011). Kondisi
lingkungan IGD yang kompleks tersebut
akan mempengaruhi kualitas dalam
memberikan perawatan, akses pelayanan
kesehatan, keselamatan pasien, kepuasan
pasien termasuk proses keperawatan (Baer,
Pasternack, dan Zwemer, 2001; Hoot dan
Aronsky, 2008; Kolb, Peck, Schoening, dan
Lee, 2008; Powell dkk, 2012)
Pelayanan keperawatan yang diberikan
di IGD akan menggunakan proses dan
dokumentasi keperawatan. Fenomena yang
ditemukan dalam lingkup kegawatdaruratan
bahwa proses keperawatan di IGD belum
berjalan dengan baik. Alves, Lopes dan
112
Jorge (2008) menyatakan bahwa proses
keperawatan sulit diaplikasikan dalam
praktik keperawatan. Hasil studi Renfroe,
O’Sullivan dan McGee (1990) menemukan
bahwa 15% aktivitas perawat tidak
didokumentasikan dengan baik yang berarti
proses keperawatan tidak berjalan baik.
Menurut studi pendahuluan pada salah satu
rumah sakit di Bali ditemukan bahwa proses
keperawatan di IGD belum terlaksana secara
optimal. Lebih lanjut disampaikan kembali
dari studi oleh McKerras (2002)
menemukan bahwa belum ada investigasi
untuk mencari alasan masalah proses
keperawatan yang tidak berjalan baik itu
terjadi.
Proses keperawatan memiliki lima
tahapan yaitu; pengkajian, diagnosis kepe
rawatan, rencana perawatan, implementasi
dan evaluasi. Tahap pengkajian merupakan
tahapan pertama yang vital yang bertujuan
untuk mencari data-data abnormalitas dari
pasien yang masuk ke IGD. Proses
keperawatan termasuk pengkajian kepe-
rawatan memiliki kendala dalam aplikasinya
termasuk dalam lingkup IGD. Fenomena
tersebut cenderung banyak terjadi akibat
lingkungan IGD yang kompleks dengan
beban kerja tinggi, rasio perawat dan pasien
rendah (Geyer, 2005; Eeden, 2009; Powell
dkk, 2012). Dengan demikian, peneliti
tertarik melakukan studi kualitatif terkait
dengan pengalaman perawat melaksanakan
salah satu tahapan proses keperawatan di
IGD yaitu pengkajian keperawatan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi
pengalaman perawat melaksanakan
pengkajian keperawatan kegawatdaruratan
di Ruang Triage IGD RSUP Sanglah
Denpasar.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi interpretif. Penelitian ini
dilaksa-nakan di ruang Triage IGD RSUP
Sanglah Denpasar Bali selama tiga bulan
(Mei-Juli 2014). Partisipan adalah perawat
yang bekerja di ruang triage IGD.
Partisipan dalam penelitian ini berjumlah
delapan orang untuk dapat mencapai saturasi
data. Partisipan dipilih menggunakan teknik
purposive sampling yang sesuai kriteria
inklusi; (1) pengalaman minimal tiga tahun
berdasarkan Benner (2001) yang
menyatakan sudah memenuhi syarat menge
tahui dan mengerti secara holistik kondisi
tempat kerja, (2) memiliki sertifikat minimal
basic life support, (3) sehat jasmani dan
rohani, (4) bersedia, (5) komunikasi baik.
Wawancara mendalam secara semi-
struktural telah dilakukan dengan partisipan.
Wawancara direkam menggunakan program
voice recorder. Hasil wawancara di
transkrip kemudian dianalisis menggunakan
Dikelmann Hermeneutic Analyzis untuk
mendapatkan tema-tema sebagai hasil
penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengkajian keperawatan merupakan
tahap awal dari proses keperawatan yang
memiliki peran penting dalam tahap proses
keperawatan berikutnya. Penelitian ini
mendapatkan ada 3 tema besar dari
pengalaman perawat melaksanakan peng
kajian keperawatan kegawatdaruratan yaitu
materi, sumber data, dan keterbatasan
pengkajian. Berikut pemaparan tema yang
didapatkan dalam pengalaman perawat
melaksanakan pengkajian keperawatan
gawat darurat di IGD. Tema menggunakan
font bold, sub tema bold italic, sub-sub tema
italic, kategori dan kata kunci indent dan
italic.
Materi Pengkajian
Pasien yang masuk ke IGD pertama kali
akan dilakukan pengkajian keperawatan
dengan materi pengkajian, yaitu; pengkajian
awal dan pengkajian lanjutan. Pengkajian
awal perawat melakukan pengkajian berupa
pengkajian primer dengan menanyakan
keluhan utama dan survei primer. Hal
tersebut diungkapkan partisipan berikut.
"…pengkajiannya dari data awalnya itu
hanya keluhan utama saja, tidak bisa
kita lebar gitu… "(P1)
113
"Primer kayak eee apa ya, ABC, airway
gimana, breathing nya gimana,
sirkulasinya, kemudian ada ee kayak
GCSnya" (P8)
Berdasarkan pernyataan di atas
partisipan menunjukkan bahwa pengkajian
awal adalah pengkajian primer menanyakan
keluhan utama dan survei primer (airway,
breathing, circulation, disability atau
ABCD). Hasil pengkajian awal akan
menentukan tingkat kegawatdaruratan
pasien kemudian dipilah ke ruangan sesuai
kondisi kegawatdaruratannya untuk
melanjutkan pengkajian.
Pengkajian lanjutan dilakukan dengan
pengkajian sekunder di ruang masing-
masing sesuai kondisi kegawatdaruratannya
(triage bedah, medik, fast track, dan anak).
Pengkajian sekunder, meliputi; pengkajian
sekunder dilakukan dan tidak dilakukan.
Pengkajian sekunder yang dilakukan akan
dikaji pemeriksaan tanda vital, riwayat
kesehatan, dan riwayat cedera. Hal ini
disampaikan oleh partisipan sebagai berikut.
"Untuk tensi, nadi itukan sudah cukup
sekali…untuk riwayat penyakitnya
mungkin kita bisa…ada riwayat alergi
gitu kita bisa sih" (P3)
"…kemudian kayak eee bagaimana
peristiwa MOI-nya (Mechanism of
Injury/Mekanisme dari cedera), bagai-
mana, kenapa bisa terjadi, misalkan
kecelakaan, kenapa, ada alkohol atau
dia ngantuk …"(P8)
Sedangkan pengkajian sekunder yang tidak
dilakukan adalah pemeriksaan fisik, seperti
yang disampaikan partisipan berikut ini.
"…biasanya sih lebih sering dilakukan
sama dokternya kalau pemeriksaan
fisik" (P7).
Pengkajian awal dan lanjutan yang
dilakukan perawat akan dikelompokkan
kembali sesuai dengan sumber data
pengkajian.
Sumber Data Pengkajian
Data-data yang terkumpul dari
pengkajian akan dibagi menjadi dua data
berdasarkan sumber data pengkajian, yaitu;
data primer dan data sekunder. Data-data
tersebut akan berguna pada tahap proses
keperawatan selanjutnya.
Data primer adalah data yang langsung
didapatkan perawat dari pasien. Berdasarkan
hasil wawancara data primer didapatkan dari
pengkajian mandiri perawat dan pengkajian
bersama multidisplin. Hal tersebut
dinyatakan partisipan berikut.
"…keluhan utama kita kaji,
permasalahannya apa, itu yang paling
sering kita lakukan terlebih dahulu…"
(P5)
"Bisa, terus ada juga dapat kita lihat,
misalnya oh ada luka, ada ada jejas
misalnya" (P8)
Pernyataan partisipan di atas menunjukkan
bahwa perawat mendapatkan data primer
dari pengkajian mandiri berupa masalah
utama dan penunjang masalah utama seperti
pemeriksaan lokasi luka dalam exposure.
Sedangkan data primer dari pengkajian
bersama multidisiplin berupa survei primer
(ABCD). Berikut pernyataan partisipan
ketika ditanyakan tentang pengkajian primer
khususnya survei primer.
"Ya dilakukan lagi tapi kan biasanya itu
kan bersama-sama dengan dokter dan
sebagainya…" (P1)
Sumber data berikutnya yaitu data
sekunder. Data yang didapatkan bukan
langsung dari pasien disebut data sekunder.
Data sekunder didapatkan dari pengkajian
dari pengantar pasien dan data
multidisiplin, seperti pernyataan partisipan
berikut.
"...nah kalau yang ada keluarganya, kita
tanya keluarganya, bagaimana
kejadiannya... nah yang tidak ada
keluarga, ya sebatas kita tanya sama
114
yang nganter misalnya dari ambulan
siapa di bagian kecelakan…" (P8)
"Kalau untuk pengkajian, kita kadang
kebanyakan eee melihat di pengkajian
dokter ya..." (P3)
Berdasarkan pernyataan partisipan di atas
menunjukkan bahwa data sekunder
didapatkan dari perawat dengan mengkaji ke
keluarga atau pengantar pasien jika tidak
sadar dan melihat ke pengkajian petugas
kesehatan lainnya.
Berdasarkan hasil wawancara sebagian
besar data pengkajian bersumber dari data
sekunder yaitu dari tenaga kesehatan
lainnya. Hal tersebut disebabkan adanya
keterbatasan perawat dalam melakukan
pengkajian.
Keterbatasan Pengkajian Keterbatasan perawat dalam melakukan
pengkajian keperawatan di IGD, meliputi;
aspek tenaga kesehatan dan aspek pasien.
Aspek tenaga kesehatan yang dialami
perawat seperti; ketidakseimbangan jumlah
perawat dan pasien, ketidakseimbangan
jumlah antara tenaga kesehatan, dan
pengetahuan perawat. Berikut ini
pernyataan partisipan.
"…kita tidak mengkaji itu …tenaganya
kan berapa orang itu, dikit ya…" (P2)
"Perawatnya satu, dokternya lima,
kadang-kadang eee belum sempat kita
ambil sudah dokternya yang
mengkaji…” (P7)
“…sekunder… mungkin karena lupa
atau ngga bisa, ngga pernah
terbayang…"(P2)
Pernyataan partisipan di atas menunjukkan
bahwa tenaga perawat yang kurang daripada
pasien ataupun dokter, serta pengetahuan
yang kurang menjadikan perawat terbatas
melaksanakan pengkajian keperawatan di
IGD.
Keterbatasan pengkajian juga didapat
dari aspek pasien. Partisipan menyatakan
bahwa kuantitas dan kualitas pasien
menyebabkan pengkajian terbatas. Berikut
ini pernyataan partisipan.
"Iya, karena banyaknya pasien
juga"(P3)
"…mengkaji mungkin tidak sedetail itu
loh, kita lihat sepintas…nanti buru-buru
marah-marah pasiennya…"(P2)
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa
pasien yang berlebihan sebagai kuantitas
dan kondisi pasien yang mudah marah
sebagai kualitas menjadi keterbatasan dalam
pengkajian. Tahap pengkajian merupakan
tahapan awal yang penting dalam proses
keperawatan sehingga data yang ditemukan
harus akurat.
Proses keperawatan merupakan metode
ilmiah dan sistematis yang digunakan
perawat dalam memberikan pelayanan
keperawatan yang terdiri dari lima tahapan
yaitu; pengkajian, diagnosis keperawatan,
rencana perawatan, implementasi dan
evaluasi. Proses keperawatan ini digunakan
sebagai kerangka kerja pemecahan masalah
kesehatan yang ditemukan (Adeyomo dan
Olaogun, 2013). Tahapan awal dari proses
keperawatan adalah pengkajian keperawatan
yang bertujuan untuk menemukan data-data
pengkajian dari hasil wawancara, observasi
dan pemeriksaan fisik
Pengalaman perawat dalam pengkajian
menemukan tema materi, sumber dan
keterbatasan pengkajian. Dalam materi
pengkajian terdapat pengkajian awal berupa
pengkajian primer dan lanjutan berupa
pengkajian sekunder. Hal ini sesuai dengan
konsep yang disampaikan Emergency
Nurses Association (2000) bahwa
pengkajian keperawatan gawat darurat
meliputi pengkajian primer berupa
pemeriksaan ABCD. Lebih lanjut Depkes
(2005) juga menyampaikan pengkajian
keperawatan di IGD untuk pengkajian
sekunder dilakukan dengan mengkaji
subjektif riwayat penyakit sekarang,
terdahulu, pengobatan dan keluarga
sedangkan secara objektif dikaji singkat
115
eksposure, tanda vital, pemeriksaan fisik dan
inspeksi permukaan bagian punggung.
Pada kenyataannya banyak pengkajian
yang dilakukan oleh perawat hanya keluhan
utama, riwayat kesehatan dan riwayat
cedera. Survei primer lebih banyak dikaji
bersama-sama dengan tenaga kesehatan
lainnya dan pemeriksaan fisik pada
pengkajian sekunder jarang dilakukan oleh
perawat dan lebih banyak dilakukan dokter.
Data pengkajian juga lebih banyak berupa
data sekunder yang diambil dari pengkajian
dokter. Hal tersebut akibat keterbatasan
dalam pengkajian seperti tenaga perawat
terbatas, jumlah tenaga dokter yang lebih
banyak, pengetahuan perawat, jumlah pasien
banyak dan kondisi pasien yang mudah
marah akibat situasi kegawatannya.
Menurut Domres, Koch, Manager dan
Becker (2001) menyatakan bahwa jumlah
tenaga kesehatan sebagai sumber daya
manusia di IGD terbatas tidak dapat
memenuhi kebutuhan pasien gawat atau
kritis yang berlebihan. Jumlah pasien yang
banyak dan berlebihan disebut overcrowding
merupakan masalah paling umum di IGD
yang memberikan beban tinggi perawat dan
mempengaruhi kualitas perawatannya (Baer,
Pasternack, dan Zwemer, 2001; Hoot dan
Aronsky, 2008; Kolb, Peck, Schoening, dan
Lee, 2008; Powell dkk, 2012). Wolf (2007)
juga menyatakan bahwa perawat yang
bekerja di IGD harus memiliki keterampilan
memprioritaskan dan melakukan pengkajian
dengan cepat tetapi akurat serta dilakukan
berdasarkan pengkajian primer dan
sekunder. Berdasarkan penelitian Adeyemo
dan Olagon (2013) menemukan bahwa
faktor pengetahuan perawat memiliki
pengaruh lebih besar daripada faktor lainnya
dalam aplikasi proses keperawatan yang
termasuk pengkajian keperawatan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan
keperawatan.
SIMPULAN
Penelitian pengalaman perawat dalam
melaksanakan pengkajian keperawatan
gawat darurat menghasilkan 3 tema besar,
yaitu materi, sumber data dan keterbatasan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
meningkatkan kualitas pelayanan
keperawatan khususnya dalam melakukan
pengkajian keperawatan kegawatdaruratan
sehingga data-data ditemu-kan akurat dan
tepat sebagai dasar intervensi kritis untuk
menurunkan angka kecacatan dan kematian.
DAFTAR RUJUKAN Adeyemo, F.O., dan Olaogun, A.A.A.E.
2013. Factors Affecting The Use of Nursing Process in Health Institutions in Ogbomoso Town, Oyo State. International Journal of Medicine and Pharmaceutical Sciences, 3(1): 91-98.
Alves, A.R., Lopes, C.H., dan Jorge, M.S.
2008. The Meaning of The Nursing Process for Nurses of Intensive Theraphy Units: an Interactionist Approach. Rev Esc Enferm USP, 42 (4): 649-655.
Baer, R.B., Pasternack, J.S., dan Zwemer,
F.L. 2001. Recently Discharge Inpatients as A Source of Emergency Departement Overcrowding. Academic Emergency Medicine, 8(11): 1091-1094
Bruce, K., dan Suserud, B.O. 2005. The
Handover Process and Triage of Ambulance-Borne Patients: The Experiences of Emergency Nurses. British Association of Critical Care Nurses, Nursing in Critical Care, 10(4): 201-209.
Depkes. 2005. Pedoman Pelayanan
Keperawatan Gawat Darurat di Rumah Sakit. Direktoral Keperawatan dan Pelayanan Medik, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.Jakarta
Domres, B., Koch, M., Manger, A., Becker,
H.D. 2001. Ethics and triage. Prehospital Disaster Med, 16:53-8
Eeden, I.E. 2009. Development of A
Nursing Record Tool for Critically Ill or Injuried Patients in An Accident and Emergency (A&E) Units. Dissertation. University of Pretoria.
Emergency Nurses Association. 2000.
Emergency Nursing Core
116
Curriculum. Fifth Edition. WB. Saunders Company. Philadelphia
Geyer, N. (2005). Record Keeping:
Professional Nurse Practitioners Series. Juta .CapeTown.
Healy, S., dan Tyrrell, M. 2011. Stress in
Emergency Departments: Experiences of Nurses and Doctors. Emergency Nurse, 19(4): 31-36.
Kolb, E.M.W., Peck, J., Schoening, S., dan
Lee, T. 2008. Reducing Emergency Departemen Overcrowding-Five Patient Buffer Concepts in Comparasion. Proceeding. Winter Simulation Conference
McKerras, R. 2002. Emergency Nurses and
Documentation. Emergency Nurse New Zealand, 1(3): 5-11
Muller, M. 2001. Nursing Dynamics. Third
Edition. Heinemann.Cape Town. Powell, E.S., Khare, R.K., Venkatesh, A.K.,
Roo, B.D., Adams, J.G., dan Reinhardt, G. (2012). The Relationship Between Inpatient Discharge Timing and Emergency Departement Boarding. The Journal of Emergency Medicine, 42(2): 186-196.
Renfroe, D.H., O’Sullivan, P.S., dan
McGee, G.W. 1990. The Relationship of Attitude, Subjective Norm and Behavioural Intent to The Documentation Behaviour of Nurses. Scholarly Inquiry for Nursing Practice: an International Journal, 4(1): 47-60.
Ross-Adjie, G., Leslie, G., Gillman, L.
2007. Occupational Stress in The ED: What Matters to Nurses?. Australasian Emergency Nursing Journal, 10(3): 117-123.
Wolf, L. 2007. Teaching Critical Thinking:
Lesson from An Emergency Departemen Educator. Paper Presented at Conference The 39
th
Bienial Convention, Massachusetts, USA, 3-7 November 2007.https://stti.confex.com /stti/bc39/techprogram /paper_35514.htm. Diakses pada tanggal 22 Mei 2013.
117
PENGALAMAN PERAWAT MELAKUKAN TRIASE LIMA
LEVEL PADA PASIEN DENGAN NYERI DADA
Zulmah Astuti
Indah Winarni
Ali Haedar
Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Email: [email protected]
Abstract: The experience of nurses implement the five level of triage to the patient
with chest pain. This aims of this Study is to explore the experience of nurses doing
the five-level of triage process to patients with chest pain in the emergency
department. This Study used a qualitative design with an interpretive
phenomenological approach . Data were collected through interviewed to the six
nurses who worked recently in triage room in emergency department of Sanglah
Hospital. Data were transcripts and analyzed using Miles & Huberman method. The
results showed seven themes, their were the initial assessment of patients, the Act of
first aid in patient, the assessment of hemodynamic, the further of examination, the
assessment of chest pain, the consideration used in determining the level of urgency of
the patient and the duration of triage process for each patient.
Abstrak: Pengalaman perawat melakukan triase lima level pada pasien dengan
nyeri dada. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman perawat
melakukan triase lima level pada pasien dengan keluhan nyeri dada di instalasi rawat
darurat. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi interpretif. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara yang
dilakukan kepada enam perawat yang bertugas di ruang triage di Instalasi Rawat
Darurat RSUP Sanglah Denpasar.Data yang diperoleh dianalisis menggunakan
metode Miles & Huberman. Penelitian menghasilkan tujuh tema yaitu pengkajian
awal pasien, tindakan pertolongan pertama pada pasien, penilaian hemodinamik,
pemeriksaan lanjutan, pengkajian keluhan nyeri dada, pertimbangan yang digunakan
dalam penetapan level urgensi pasien serta lama waktu proses triase pada masing
masing pasien
Kata kunci : pengalaman perawat, triase, nyeri dada
Instalasi gawat darurat (IGD) yang
merupakan salah satu akses masuk pasien ke
rumah sakit selalu dihadapkan pada
tantangan yaitu jumlah pasien yang
cenderung melebihi kapasitas serta dengan
kondisi yang tidak dapat diprediksi
sebelumnya. Sistem triase hadir untuk
menjawab tantangan tersebut yang
merupakan suatu proses pengumpulan
informasi dari klien serta mengkategorikan
dan memprioritaskan kebutuhan masing-
masing klien (Schellein, et al, 2008;
Emergency Nurses Association (ENA),
2011). Dengan sistem triase ini akan dapat
memastikan bahwa pasien yang memerlukan
tindakan segera akan ditangani terlebih
dahulu dan pasien dengan prioritas
dibawahnya dapat dengan aman menunggu
tindakan (Fitzgerald et al, 2009).
Sistem triase mengalami banyak
perkembangan dalam kurun waktu 20 tahun
mulai dari sistem triase dengan 2 kategori
pasien sampai dengan saat ini telah
diterapkan triase dengan 5 level kategori
pasien. Jenis triase ini menempatkan pasien
dalam 5 kategori yaitu Resuscitation,
Emergent, Urgent, Nonurgent dan Reffered
(Gilboy, et al, 2005).
118
Evaluasi terhadap penerapan sistem
triase lima level ini khususnya di Indonesia
belum banyak dilakukan. Salah satu Rumah
sakit di Indonesia yang saat ini menerapkan
triase lima level adalah Rumah sakit Umum
Pusat (RSUP) Sanglah Bali yang
berpedoman pada The Australian Triage
Scale (ATS) yang sebelumnya menerapkan
sistem triase dengan 3 level kategori.
Perubahan sistem triase ini tentu berdampak
pada performa petugas kesehatan khususnya
perawat dalam menetapkan level kegawatan
pasien. Sistem triase ini memiliki rentang
waktu tunggu untuk pengkajian dan
pemberian tindakan bagi pasien pada masing
masing kategori, sehingga jika terjadi
ketidaktepatan seperti menempatkan pasien
pada kategori terendah (undertriage) dalam
keakutannya, maka akan menambah waktu
tunggu bagi pasien yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya efek yang
tidak baik pada kondisi pasien (Considine, et
al 2000).
Berdasarkan hasil penelitian salah satu
keluhan pasien yang sering mengalami di
ketidaktepatan triase yang berupa
undertriage di instalasi gawat darurat adalah
keluhan nyeri dada yaitu lebih dari 15%
kasus pasien (Boris, et al, 2004; Pits, et al,
2006; Sanchis, et al, 2010) Pasien nyeri dada
antara 2% sampai dengan 6% dipulangkan
dari instalasi gawat darurat yang pada
akhirnya terbukti mengarah pada sindrom
koroner akut (pope, et al, 2000; Pines, et al,
2010).
Kondisi ini menjadi bermakna saat
petugas menerapkan triase lima level pada
pasien dengan nyeri dada, agar dapat
meminimalkan kemungkinan terjadinya
undertriage pada pasien. Ketepatan petugas
dalam melakukan triase dipengaruhi oleh
pengetahuan serta pengalaman petugas
sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut
peneliti tertarik melakukan penelitian
kualitatif untuk menggali pengalaman
perawat dalam melakukan triase lima level
khususnya pada pasien dengan nyeri dada.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi
interpretif. Penelitian dilakukan di Instalasi
rawat darurat RSUP Sanglah Bali. Partisipan
yang dipilih dari penelitian ini adalah
perawat triase yang mempunyai pengalaman
dalam melakukan triase pada pasien nyeri
dada dan bersedia untuk menjadi partisipan.
Data dikumpulkan melalui wawancara
mendalam dengan pertanyaan bersifat
semistruktur. Saturasi diperoleh jika dari
partisipan tidak ada lagi muncul tema yang
baru. Saturasi data didapatkan dari 6 orang
partisipan. Hasil penelitian di analisa
menggunakan metode Miles and Huberman
(1994). Sebelum melakukan penelitian
peneliti mengajukan uji kelaikan etik di
institusi setempat dan dinyatakan laik etik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perawat di instalasi rawat darurat
melaksanakan tugas yang kompleks salah
satunya adalah menerima pasien yang
datang dan melakukan pengkajian untuk
menilai kondisi kegawatannya melalui
proses triase. Peneliti menggali pengalaman
dan pemahaman perawat saat melakukan
proses triase pada pasien dengan nyeri dada
didapatkan hasil wawancara bahwa proses
triase yang dilakukan adalah pengkajian
awal pasien, tindakan pertolongan pertama,
penilaian hemodinamik, pemeriksaan
lanjutan, pengkajian keluhan nyeri dada,
pertimbangan yang digunakan dalam
penetapan level urgensi pasien serta lama
waktu triase
Pengkajian awal pasien
Berdasarkan penjelasan partisipan
memiliki jawaban yang beragam, namun
secara garis besar penilaian tersebut adalah
menilai kondisi kegawatan pasien yang
terdiri dari penilaian terhadap kondisi umum
pasien, dan survey primer. Dalam
melakukan penilaian kondisi umum pasien,
satu partisipan menjelaskan bahwa pertama
yang perlu dinilai adalah cara jalan pasien
dimana dari sini bisa digambarkan kondisi
umum pasien apakah mengalami kelemahan
119
atau tidak, kutipan pernyataannya di bawah
ini :
"...pertama kita liat adalah tentunya
kondisi umum pasien kalo pasiennya
masih bisa jalan…" (p6:….)
Setelah melakukan penilaian kondisi
umum dengan cara inspeksi atau visual
triase maka penilaian dilanjutkan untuk
melakukan survey primer. Dari pernyataan 3
dari 6 partisipan menggambarkan bahwa
penilaian yang dilakukan adalah untuk
melihat apakah airway (jalan nafas),
breathing (pernafasan), circulation
(sirkulasi) terdapat gangguan atau tidak,
seperti yang dikutip dari salah satu
pernyataan partisipan berikut :
"….nah itu dah airwaynya itukan ya
sambil lah liat kalo misalkan udah bebas
jalan nafasnya maksudnya langsung ke
breathing…" (p2:.)
Berdasarkan pedoman dari ATS bahwa
seluruh pasien yang datang ke IGD
dilakukan penilaian umum baik status
fisiologis maupun psikologisnya. Observasi
(Visual triage) dilalukan terkait mobilisasi
pasien saat pertama kali masuk ruang IGD
yaitu apakah terlihat sesuatu yang abnormal.
Tahap selanjutnya adalah melakukan
pengkajian primer (Primary Survey) yang
mengkaji kepatenan airway (jalan nafas),
breathing (Pernapasan) dan Circulation dan
Disability (Australian Goverment
Departement of Health and Ageing, 2007).
Tindakan pertolongan pertama.
Kondisi pasien yang menunjukkan
kondisi kegawatan akan segera direspon
oleh petugas kesehatan khususnya oleh
perawat diantaranya jika terdapat keluhan
sesak yaitu kondisi sukar bernafas yang
dirasakan pasien, maka pernyataan dari 4
partisipan mengungkapkan bahwa tindakan
awal dan segera adalah memberikan oksigen
kepada pasien, seperti pernyataan berikut :
"itu ada keluhan sesek kalau ada
seseknya kasih oksigen" (p1)
Pemberian suplemen oksigen sering
diberikan pada pasien dengan penyakit
jantung, distress pulmonal dan stroke,
pemberiannya untuk mempertahankan Spo2
≥ 94% (American Heart Association, 2012).
Penilaian kondisi hemodinamik
Setelah melakukan pengkajian pada
kondisi umum, kepatenan ABC sebagai
penilaian awal kondisi kegawatan pasien
maka penilaian dilanjutkan untuk mengkaji
kondisi hemodinamik pasien dengan dengan
menilai gangguan hemodinamik. Kondisi
adanya gangguan hemodinamik pada pasien
dengan nyeri dada dapat dilihat dari data
subyektif dan obyektif yang mengikuti
keluhan nyeri dada pasien yaitu adanya
keluhan sesak nafas dan keringat dingin,
seperti pernyataan berikut :
"….nyeri dada itu ada keluhan
sesak….." (p1:…)
"...biasanya bisa kita liat mereka
megang dada keringat dingin.." (p4:.)
Tanda-tanda vital pasien yang diukur
adalah tekanan darah dan nadi, seperti
pernyataan berikut ini :
"Penilaian saya sih vital sign sih seperti
biasa ….." (p1)
"...dia nyeri dada tensi, vital sign lah
dulu biasa…" (p2)
Pemeriksaan hemodinamik didasarkan
pada pengukuran tanda vital untuk
memperkirakan keakutan pasien.
Pemeriksaan ini dilakukan jika waktu
memungkinkan bagi pasien sebelum
intervensi awal diberikan (Australian
College for Emergency Medicine, 2013).
Pemeriksaan lanjutan
Pasien dengan keluhan nyeri dada
dilakukan pemeriksaan lanjutan yaitu
perekaman EKG yang dilakukan setelah
menunggu instruksi dari dokter. pernyataan
ini diungkapkan oleh seluruh partisipan,
sebagai berikut:
120
"...tunggu instruksi dokter…..nanti
penunjangnya ya ekg…."(p3)
Pemeriksaan penunjang selain EKG
adalah x-ray dan pemeriksaan laboratorium
darah lengkap. Berdasarkan keterangan
beberapa partisipan untuk pemeriksaan
enzim jantung seperti troponin dan CKMB
akan dilakukan berdasarkan instruksi dokter
dan pasien nyeri dada juga telah terbukti
mengarah pada gangguan organ jantung
yang dapat dilihat dari hasil EKG pasien
yang abnormal. Pernyataan dari partisipan
sebagai berikut :
“…Kalau EKGnya normal ini di
Rongthen biasanya kemungkinan sih
kardiomegali atau udem paru atau
apa…”(p1)
“…nunggu instruksi dokter pemeriksaan
lab, nanti penunjangnya ya ekg,
mungkin ada cek lab…. kalo sudah
datang dari sana dari kardio, oh ini cek
DL lengkap…”(p3)
“…tapi untuk triple kardiak marker kita
ngga contreng kardionya datang ”ya
dok ini labnya, mau cek triple
kardiomarker gitu” ”oh iya, ya bli” cek
lah..”(p4)
Pemeriksaan penunjang yang sangat
penting adalah perekaman EKG sebagai
salah satu faktor dalam menentukan kondisi
klinis pasien. pada taraf kognitif partisipan
menyadari pentingnya pemeriksaan EKG
pada pasien dengan nyeri dada namun pada
kenyataannya jika nyeri dada tidak spesifik
perekaman EKG belum dipertimbangkan
untuk dilakukan. Penelitian menyatakan
bahwa keterlambatan dilakukannya
perekaman EKG adalah karena kesalahan
dalam penempatan kategori pasien di awal,
selain itu dapat juga terjadi pada kasus
pasien dengan masalah jantung namun tanpa
keluhan nyeri dada atau nyeri dada yang
tidak spesifik (Sammons, 2012).
Pengkajian keluhan nyeri dada
Proses pengkajian keluhan nyeri
diantaranya proses pengkajian keluhan nyeri
diantaranya pengkajian keluhan subyektif
pasien, pengkajian obyektif pasien, menilai
penyebab nyeri dada, mengkaji riwayat
penyakit
Pada pengkajian tentang subyektif
pasien dua partisipan menjelaskan bahwa
pasien dengan jelas mengatakan bahwa ia
mengalami nyeri dada, seperti pernyataan
dibawah ini :
"….dia bilang nyeri dada kiri …."(p2)
Seluruh partisipan juga menjelaskan
bahwa nyeri dada yang mengarah pada
kemungkinan gangguan organ jantung yaitu
nyeri menjalar ke lengan kiri dan tembus ke
belakang, seperti pernyataan berikut :
"….dia bilang nyeri dada kiri sampe
menjalar ke tangan yang sebelumnya
nda pernah…" (p2)
Karakteristik nyeri atau gambaran nyeri
oleh pasien nyeri dada yaitu seperti tertekan
benda berat, tertimpa barang berat, seperti
pernyataan berikuti ini :
"….menjalar ke tangan dia berat ke
bahu trus kebelakang kayak ketekan
ketindih beban berat..."(p2)
Penelitian kuantitatif dilakukan oleh
Rohacek et al. (2012) untuk menemukan
cara yang sederhana melalui evaluasi awal
dalam memprediksi kemungkinan
persentase pasien nyeri dada disertai sesak
mengarah pada sindrom koroner akut yaitu
jika keluhan nyeri dada disertai sesak
menjalar ke leher dan lengan. Persentase
pasien mengarah pada kondisi sindrom
koroner akut akan semakin tinggi jika usia
pasien tersebut diatas 50 tahun yaitu menjadi
91%.
Pengkajian pada pasien nyeri dada juga
memperhatikan gestur tangan pasien yang
merupakan obyektif pasien saat
menggambarkan nyeri dada yang dialaminya
121
seperti memegang dada kiri dengan telapak
tangan, menunjuk dada dengan satu jari,
mengepalkan tangan di depan dada, seperti
pernyataan berikut ini:
“…kalo pasiennya nyeri dada datang
memegang dada kiri" (p2)
"...biasanya pasiennya duduk sudah
kayak gini dia(mengepalkan tangan di
depan dada kiri)…" (p3)
"mereka megang dada seperti ini loh
(Melebarkan tangan di depan
dada)…"(p4)
"...dia masih bisa menunjukkan satu jari
seperti ini (menunjuk dengan satu jari
kebagian tengah dada), disini
sakitnya…"(p5)
Pengkajian keluhan utama pasien nyeri
dada juga memperhatikan gestur tangan
pasien yaitu berupa kepalan tangan di depan
dada, memegang dada dengan telapak
tangan, dan menunjuk area nyeri di dada
dengan satu jari. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Marcus et al.(2007)
pasien cenderung menunjukkan gestur yang
berbeda-beda saat mengungkapkan nyerinya
yang digunakan sebagai salah satu faktor
prediksi penyebab nyeri dadanya
Partisipan juga mengidentifikasi keluhan
nyeri dada yang tidak khas gangguan organ
jantung seperti nyeri dirasakan di ulu hati,
rasanya menusuk, seperti pernyataan
berikut:
"...Biasanya sih dia ngeluh nyeri dada di
semuanya… kadang di ulu hatinya"(p1)
“.....ada yang nyeri dada kiri menjalar
ke kanan…….rasanya menusuk apa
rasanya panas…."(p4)
Setelah melakukan pengkajian maka
partisipan mulai melakukan penilaian untuk
kasus pasien dengan nyeri dada yang tidak
spesifik mengarah pada gangguan organ
jantung yang ditandai dengan EKG normal,
kemungkinan nyeri dada sebagian besar
disebabkan oleh adanya peradangan pada
lambung dimana dua partisipan
mengungkapkan hal tersebut, seperti
pernyataan di bawah ini:
"…..Melakukan penilaian di EKG sih
juga hasilnya normal, kayaknya sih
maag lambungnya sih…"(p1)
"...pokoknya kalo ekgnya normal pasti
dia ini pasti punya riwayat
gastritis…."(p2)
Pengkajian juga dilengkapi dengan
pengkajian terhadap riwayat pasien seperti
riwayat penyakit jantung, riwayat penyakit
diabetes, seperti pernyataan di bawah ini:
"….ada riwayat jantungnya ngga kalau
misalnya ada riwayat jantung EKGnya
ini langsung dibawa ke PJT gitu
sih…."(p1)
"Riwayat penyakitnya apa? Punya
diabetes…."(p2)
Penetapan level triase
Setelah melakukan pengkajian pasien,
maka tahapan selanjutnya adalah penetapan
level urgensi pasien dalam kategori yang
sesuai. Dari hasil wawancara partisipan
didapatkan bahwa dalam penetapan level
pasien mempertimbangkan dari hasil
penilaian hemodinamik pasien, penilaian
ABC, pemeriksaan penunjang maupun
pengkajian faktor resiko.
“..…nyeri dada truss sesek keringat
dingin truss tensinya udah ini .kayaknya
curiga ke syok gitu langsung dah masuk
ke ATS 1.."(p1)
Penjelasan partisipan bahwa pada
penilaian kepatenan jalan nafas, pernapasan
dan sirkulasi akan mempengaruhi penetapan
level pasien dimana jika terdapat gangguan
pada ketiga hal ini maka pasien akan
ditempatkan minimal di level 3 dan dapat
122
menjadi penyebab kenaikan level pada triase
sekunder seperti pernyataan berikut ini:
"...masih bisa ngomong pasti airway
breathing sama sirkulasinya normal
pastinya tensinya bagus pasti
sirkulasinya baguskan clearkan pasti
tiga aja…”(p2)
“….gangguan di ABC nya umpama ada
gangguan di breathingnya itu langsung
kita naikan levelnya jadi level
dua…."(p5)
Berdasarkan American International
Health Alliance (AIHA) tahun 2011 dan
petunjuk dari New South Wales
Departement of Health pada tahun yang
sama mengenai standar minimum untuk
evaluasi nyeri dada menyatakan bahwa
semua pasien yang datang ke ruang gawat
darurat dengan nyeri dada dan dengan gejala
iskemik miokard yaitu berkeringat, ortopnoe
tiba-tiba, sesak, pingsan, ketidaknyamanan
epigatrik, nyeri pada rahang dan nyeri pada
lengan dalam waktu 48 jam, harus
ditetapkan dalam triase kategori 2 dan dalam
waktu 10 menit perekaman EKG 12 lead
harus dilakukan dan di interpretasikan oleh
petugas yang berkompeten. Tujuan dari
penempatan pasien nyeri dada dengan
kategori dua adalah agar pasien
mendapatkan pemantauan lebih intensif dan
dapat segera di konsultasikan kepada dokter
Lama waktu triase
Triase lima level memiliki waktu
maksimal dalam pelaksanaan triase pada
masing-masing pasien sampai dengan
penetapan level ATS. Partisipan juga
mengungkapkan lama waktu yang
digunakan selama pelaksanaan triase pada
pasien dengan nyeri dada yang rata-rata
kurang dari 5 menit, seperti pernyataan
berikut ini :
"...dilakukan pengkajian yang secara
singkat cepat langsung mungkin kurang
dari semenit kurang dari semenit untuk
pasien-pasien yang dengan kesadaran
menurun untuk pasien ini apakah ada
gangguan nafas atau obstruksi trus eh
hemodinamiknya gimana biasanya udah
langsung..."(p3)
SIMPULAN
Pelaksanaan triase pada pasien nyeri
dada berdasarkan pengalaman perawat
berdasarkan pedoman dari triase lima level
ATS. Pemeriksaan penunjang seperti
perekaman EKG dilakukan berdasarkan
order dari dokter yang bertugas. Pasien
dengan nyeri dada yang datang ke IGD
belum tentu ditempatkan pada level 2 namun
penetapan level dipertimbangkan
berdasarkan hasil triase. lama waktu
pelaksaaan triase kurang dari 5 menit.
DAFTAR RUJUKAN Australian Goverment Departement of
Health and Ageing, 2007. Emergency Triage Education Kit, Triage Workbook. Canberra
Australian College for Emergency Medicine
(ACEM), (2013) Policy On The Australian Triage Scale. Mealbourne
American International Health Alliance
(AIHA), 2011. Clinical Practice Guideline for Primary Health Care Physicians. USAID
American Heart Association,. 2012. ACLS
Provider Manual Suplemmentary Material; 3
Bhuiya, F.A., Pitts, S.R., McCaig., L.F,
2010. Emergency Department Visits for Chest Pain and Abdominal Pain: United States, 1999–2008. Division of Health Care Statistics (NCHS); 43
Boris E. Coronado, B, Hector Pope, Griffith,
J.,L., Beshansky, J.,R., Selker, H.P, (2004) Clinical Features, Triage, And Outcome Of Patients Presenting To The Ed With Suspected Acute Coronary Syndromes But Without Pain: A Multicenter Study; American Journal Of Emergency Medicine; 22(7)
Considine J, Ung L, Thomas S. (2000).
Triage Nurses' Decisions Using The National Triage Scale For Australian Emergency Departments. Accident and Emergency Nursing
123
Emergency Nurses Associaton, 2011. Triage Qualifications; emergency Nurses Association
Fitzgerald, Gerald and Jelinek, George and
Scott, Deborah A. and Gerdtz, Marie F. 2009. Emergency Department Triage Revisited. Emergency Medicine Journal; Quensland, Australia
Gilboy,N. Tanabe, P. Travers, D.A.
Rosenau, A.M. Eitel, D.R. 2005. Emergency Severity Index,: Implementation Handbook. AHRQ; 4(5).
Karnath, B. Holden, M.D. Hussain. N. 2004.
Chest Pain : Differentiating cardiac from Non cardiac Causes. Review of clinical sign. Hospital physician; University of Texas Medical Branch, Galveston
Marcus, G.M., Cohen, J., Varosy, P.D.,
Vessey, J., Rose, E., Massie, B.M., et al ,2007. The utility of gesture in patient with chest discomfort. Clinical research study. The American journal of medicine;120;83-89
Miles, M.B., & Huberman, A.M., 1994.
Qualitative Data Analysis, 2nd
. Ed, Sage Publications.
Pitts, S.R. Niska,. R.W. Xu, J. Burt, C.W.
2006. National Hospital Ambulatory Medical Care Survey. Emergency Departement Summary. Natl Health Stat Report
Pines, J.M, Joshua A. Isserman, J.A,
Demian Szyld, D., Dean, A.J, McCusker, C.M, Hollander, J.E, 2010.The Effect Of Physician Risk Tolerance And The Presence Of An Observation Unit On Decision Making For ED Patients With Chest
Pain. American Journal of Emergency Medicine; 28; 771–779
Pope, J.H. Aufderheide, T.P, Ruthazer, R.
Woolard R.D. Feldmen, J.A. Beshansky J.R. et al. 2000. Missed Diagnoses Of Acute Cardiac Ischemia In The Emergency Departement. N engl J Med
Rohacek, M, Berolotti, A, Gr’’utzm’’uller,
N., Simmen, U., Marty, H., Zimmermann, H., Exadatylos, A., Spyridon, 2012. Clinical Study: The Challenge of Triaging Chest Pain Patients: The Bernese University Hospital Experience. Hindawi Publishing Corporation Emergency Medicine International; 7
Sammons, S.S., 2012. Accuracy of
Emergency Department Nurse Triage Level Designation and Delay in Care of Patients with Symptoms Suggestive of Acute Myocardial Infarction; Nursing Dissertations. Georgia State University; 27
Sanchis, J, Bodí,V, Núñez, J, Núñez,E,
Bosch, E, Pellicer, M, Heras, M, Bardají, A, Marrugat, J, Llácer, A, 2010. Identification of very low risk chest pain using clinical data in the Emergency department. IJCA-12584; 4
Schellein, O. Ludwig-Pistor, F. Bremerich,
D.H. 2008. Manchester triage system: Process optimization in the interdisciplinary Emergency department. Anaesthesist
124
TERAPI OKUPASI AKTIVITAS MENGGAMBAR TERHADAP
PERUBAHAN HALUSINASI PADA PASIEN SKIZOFRENIA
I Wayan Candra
Ni Kadek Rikayanti
I Ketut Sudiantara
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Email: [email protected]
Abstract. The drawing activity occupation therapy with changed hallucinations sign
in schizophrenia patiens. The aims of this research is to know the influence of drawing
activity occupation therapy with changed hallucinations sign in schizophrenia patiens.
Kind of the research is quasy experiment, one group pretest-posttest design.The
sampling teqnique with non probability sampling quota sampling. The sample 30
respondents. After observing research get the most hallucination symptoms in
schizophrenia patients before having drawing activity occupation therapy is in medium
category that is 15 patients (50%), after having drawing activity occupation therapy
the most is in low category that is 21 patiens (70%). The result of wilcoxon sign rank
test get p = 0,000 p< 0,010 that′s mean there is significant influence in drawing
activity occupation therapy with changed hallucinations sign in schizophrenia patients.
Abstrak: Terapi okupasi aktivitas menggambar terhadap perubahan halusinasi
pada pasien skizofrenia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi
okupasi aktivitas menggambar terhadap perubahan halusinasi pada pasien skizofrenia.
Jenis penelitian ini adalah Quasy eksperiment pendekatan One-group Pretest-posttest
Design.Teknik sampling dengan non probability sampling Quota Sampling. Jumlah
sampel 30 orang. Setelah dilakukan pengamatan didapatkan hasil gejala halusinasi
yang dialami pasien skizofrenia sebelum diberikan terapi okupasi aktivitas
menggambar terbanyak dalam katagori sedang yaitu 15 orang (50%). Setelah diberikan
terapi okupasi aktivitas menggambar terbanyak dalam katagori ringan yaitu 21 orang
(70%). Hasil uji Wilcoxon Sign Rank Test didapatkan p = 0,000 p< 0,010 yang berarti
ada pengaruh yang sangat signifikan pemberian terapi okupasi aktivitas menggambar
terhadap perubahan gejala halusinasi pada pasien skizofrenia.
Kata Kunci : Terapi okupasi aktivitas menggambar, halusinasi, skizofrenia
Gangguan kesehatan jiwa yang terjadi di
era modernisasi, globalisasi dan persaingan
bebas ini cenderung semakin meningkat
jumlahnya. Peristiwa kehidupan yang penuh
dengan tekanan seperti kehilangan orang
yang dicintai, putusnya hubungan sosial,
pengangguran, masalah dalam pernikahan,
krisis ekonomi, tekanan dalam pekerjaan
dan diskriminasi meningkatkan risiko
terjadinya gangguan jiwa (Suliswati dkk,
2005). Jenis dan karakteristik gangguan jiwa
beragam, satu diantaranya gangguan jiwa
yang sering ditemukan dan dirawat adalah
skizofrenia (Maramis, 2008). Skizofrenia
merupakan satu diantaranya bentuk psikosis
yang sering dijumpai. Diperkirakan lebih
dari 90% pasien skizofrenia mengalami
halusinasi, yaitu suatu gangguan persepsi
pasien yang mempersepsikan sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi (Maramis, 2008).
Data American Psychological
Association (APA) tahun 2010
menyebutkan, satu persen populasi
penduduk dunia (rata-rata 0.85%) menderita
skizofrenia (Joys, 2011), sedangkan Benhard
(2010) menjelaskan prevalensi skizofrenia
di dunia adalah 1 per 10.000 orang per
tahun. Prevalensi skizofrenia di Indonesia
125
adalah 0.3 sampai 1 persen, terjadi pada usia
18 sampai 45 tahun, tetapi ada juga berusia
11 sampai 12 tahun. (Prabowo, 2010).
Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar
(Riskesdas 2013) prevalensi pasien
gangguan jiwa berat (skizofrenia) Propinsi
Bali berada pada urutan ke empat setelah
Propinsi DI Yogyakarta, Aceh dan Sulawesi
Selatan yaitu 3 orang dari 1000 penduduk
mengalami skizofrenia (Depkes RI, 2013).
Laporan tahunan 2013 Rumah Sakit
Jiwa Propinsi Bali menunjukkan rata-rata
jumlah pasien di rawat inap setiap bulannya
sebanyak 445 orang, 90% (400 orang)
diantaranya skizofrenia dan dari 400 orang
tersebut, 144 orang (36%) dengan
halusinasi, sebanyak 80 orang (20%)
dengan menarik diri, 56 orang (14%) dengan
harga diri rendah dan sebanyak 40 orang
(10%) dengan riwayat perilaku kemarahan
(Rekam medik RSJP Bali,2013)
Gejala skizofrenia satu diantaranya
adalah halusinasi. Halusinasi merupakan
gangguan pencerapan (persepsi) panca
indera tanpa adanya rangsangan dari luar
yang dapat meliputi semua sistem
penginderaan yang terjadi pada saat
kesadaran individu itu penuh/baik (Stuart &
Sundeen, 2007). Respons terhadap
halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung,
perilaku merusak diri, kurang perhatian,
tidak mampu mengambil keputusan serta
tidak dapat membedakan keadaan nyata dan
tidak nyata. Pasien skizofrenia mengalami
halusinasi disebabkan karena
ketidakmampuan pasien dalam menghadapi
stresor dan kurangnya kemampuan dalam
mengenal dan cara mengontrol halusinasi
sehingga menimbulkan suatu gejala.
Seseorang yang mengalami halusinasi bicara
sendiri, senyum sendiri, tertawa sendiri,
menarik diri dari orang lain, tidak dapat
membedakan yang nyata dan tidak nyata
(Maramis, 2008).
Penanganan pasien skizofrenia dengan
masalah halusinasi dapat dilakukan dengan
kombinasi psikofarmakologi dan intervensi
psikososial seperti psikoterapi, terapi
keluarga, dan terapi okupasi yang
menampakkan hasil yang lebih baik (Tirta &
Putra, 2008). Tindakan keperawatan pada
pasien dengan halusinasi difokuskan pada
aspek fisik, intelektual, emosional dan sosio
spiritual. Satu diantaranya penanganan
pasien skizofrenia dengan halusinasi adalah
terapi okupasi aktivitas menggambar.
Wahyuni (2010) meneliti pengaruh terapi
okupasi aktivitas menggambar terhadap
frekuensi halusinasi pasien skizofrenia
diruang Model Praktek Keperawatan
Profesional (MPKP) Rumah Sakit Jiwa
Tampan Pekanbaru. Hasil penelitian
menunjukkan p=0,018. Hasil penelitian
tersebut menemukan adanya pengaruh terapi
okupasi aktivitas menggambar terhadap
frekuensi halusinasi pasien skizofrenia.
Aktivitas menggambar yang dilakukan
bertujuan untuk meminimalisasi interaksi
pasien dengan dunianya sendiri,
mengeluarkan pikiran, perasaan, atau emosi
yang selama ini mempengaruhi perilaku
yang tidak disadarinya, memberi motivasi
dan memberikan kegembiraan, hiburan,
serta mengalihkan perhatian pasien dari
halusinasi yang dialami sehingga pikiran
pasien tidak terfokus dengan halusinasinya
(Susana dan Hendarsih, 2011). Pasien
skizofrenia dengan halusinasi, memiliki
tingkat frekuensi halusinasi yang berbeda-
beda pada tiap individu pasien, semakin
lebih awal pasien ditangani dapat mencegah
pasien mengalami fase yang lebih berat
sehingga risiko kekerasan dengan sendirinya
dapat dicegah (Megayanthi, 2009).
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh Terapi Okupasi
Aktivitas Menggambar Terhadap Perubahan
Halusinasi Pada Pasien Skizofrenia di
Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali.
METODE
Jenis penelitian ini adalah Quasy
experiment dengan rancangan One group
Pretest-posttest Design. Populasi dalam
penelitian ini adalah semua pasien
skizofrenia dengan masalah keperawatan
halusinasi yang dirawat di ruang Kunti dan
Drupadi Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali.
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien
126
skizofrenia dengan masalah keperawatan
halusinasi yang di rawat di Ruang Kunti dan
Drupadi Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali
sebanyak 30 orang. Teknik pengambilan
sampel dilakukan dengan non probability
sampling jenis Quota Sampling. Langkah-
langkah pelaksanaan penelitian diawali
dengan melakukan pendekatan kepada
pasien yang dijadikan responden dengan
cara membina hubungan saling percaya
dengan pasien skizofrenia yang mengalami
halusinasi yang memenuhi kriteria inklusi.
Selanjutnya dilakukan pengumpulan data
berupa pre test dengan teknik observasi
kepada responden berkaitan dengan
halusinasi yang dialami terdiri dari isi
halusinasi, frekuensi halusinasi, situasi
pencetus, dan respon pasien. Setelah
melakukan observasi kepada responden
berkaitan dengan gejala halusinasi, peneliti
melakukan terapi okupasi kepada responden
penelitian.
Setelah melakukan observasi dan
wawancara kepada responden penelitian
berkaitan dengan gejala halusinasi, peneliti
melakukan terapi okupasi kepada responden
penelitian. Pelaksanaan terapi okupasi terdiri
dari empat tahap yaitu tahap persiapan,
tahap orientasi, tahap kerja, dan tahap
terminasi. Jenis terapi okupasi yang
diberikan adalah aktivitas menggambar.
Waktu untuk melakukan tiap aktivitas
menggambar adalah 45 menit, dilakukan
sehari 1-2 kali selama 7 hari. Setelah
dilaksanakan terapi okupasi aktivitas
menggambar selama 7 hari, pada hari ke-8
dilakukan kembali wawancara dan
observasi (pos-test) untuk mengukur gejala
halusinasi pada pasien skizofrenia.
Instrumen pengumpulan data yang
digunakan pada tahap pre test dan post test
berupa lembar wawancara dan observasi
untuk mengukur gejala halusinasi pada
pasien skizofrenia berdasarkan instrumen
lembar observasi halusinasi yang sudah
baku. Instrumen ini terdiri dari isi halusinasi,
frekuensi halusinasi, situasi pencetus, dan
respon pasien. Teknik analisa data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah uji
Wilcoxon Sign Rank Test.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik subyek penelitian terdiri
dari usia, pendidikan dan status perkawinan.
Berikut ini diuraikan secara rinci.
Tabel 1.Karakteristik subyek penelitian
berdasarkan umur
Tabel 1 di atas menunjukkan usia
termuda responden 20 tahun, usia tertua 48
tahun dan usia rata-rata adalah 36 tahun.
Tabel 2.Distribusi frekuensi subyek
penelitian berdasarkan pendidikan
No Pendidikan f %
1 Tidak Sekolah 15 50,0
2 Sekolah Dasar 10 33,0
3 SMP 2 7,0
4 SMA 2 7,0
5 Perguruan Tinggi 1 3,0
Total 30 100
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa
pendidikan responden yang terbanyak
adalah tidak sekolah 15 orang (50%)
Tabel 3.Distribusi frekuensi subyek
penelitian berdasarkan status
perkawinan
No Status perkawinan f %
1 Kawin 9 30,0
2 Tidak kawin 18 60,0
3 Janda 3 10,0
Total 30 100
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa
staus perkawinan responden yang terbanyak
adalah tidak kawin 18 orang (60%).
Tabel 4.Distribusi frekuensi gejala
halusinasi pre-test
No Gejala halusinasi pre-test f %
1 Berat 13 43,0
2 Sedang 15 50,0
3 Ringan 2 7,0
Total 30 100
No Umur Usia (tahun)
1 Minimum 20
2 Maksimum 48
3 Mean 36
4 Modus 42
127
Tabel 4 di atas menunjukkan Gejala
halusinasi yang dialami responden penelitian
sebelum diberikan terapi okupasi aktivitas
menggambar paling banyak dalam kategori
sedang yaitu 15 orang (50 %). Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wahyuni (2010) yang
meneliti tentang pengaruh terapi okupasi
aktivitas menggambar terhadap frekuensi
halusinasi pasien skizofrenia di Ruang
Model Praktek Keperawatan Profesional
(MPKP) Rumah Sakit Jiwa Tampan
Pekanbaru. Hasil penelitian menemukan
bahwa sebelum diberikan terapi okupasi
aktivitas menggambar sebagian besar yaitu
17 orang (85%) mengalami halusinasi
tingkat sedang.
Hasil penelitian yang didapat
menunjukkan sebelum diberikan terapi
okupasi aktivitas menggambar gejala
halusinasi yang dialami pasien skizofrenia
sebagian besar berada dalam kategori
sedang. Hal ini disebabkan karena halusinasi
telah menyebabkan pasien mengalami
ketidakmampuan atau kerusakan dalam
hubungan sosialnya sehingga pasien hidup
dialamnya sendiri, berinteraksi dengan
pikiran yang diciptakannya sendiri, perasaan
yang dibuatnya sendiri, seolah-olah
semuanya menjadi sesuatu yang nyata
sehingga responden tidak dapat mengalihkan
dan mengontrol halusinasi yang dialaminya.
Pasien yang sehat mampu
mengidentifikasi dan menginterpretasikan
stimulus berdasarkan informasi yang
diterima melalui panca indera, pasien
dengan halusinasi mempersepsikan suatu
stimulus dengan panca indera yang
sebenarnya stimulus tersebut tidak ada.
Halusinasi yang dialami pasien skizofrenia
disebabkan karena ketidakmampuan
responden dalam menghadapi stresor dan
kurangnya kemampuan dalam mengenal dan
cara mengontrol halusinasi sehingga
responden mempersepsikan sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi. Responden tidak
mampu membedakan rangsang internal dan
eksternal, tidak dapat membedakan lamunan
dan kenyataan, dan tidak mampu memberi
respon secara tepat.
Maramis (2008) mengemukakan bahwa
pasien Skizofrenia mengalami halusinasi
disebabkan ketidakmampuan pasien dalam
menghadapi stresor dan kurangnya
kemampuan dalam mengenal dan cara
mengontrol halusinasi. Tanda dan gejala
halusinasi yaitu bicara sendiri, senyum
sendiri, tertawa sendiri, menarik diri dari
orang lain, tidak dapat membedakan yang
nyata dan tidak nyata.
Stuart dan Sundeen (2007)
mengemukakan halusinasi yang dialami oleh
pasien bisa berbeda intensitas dan
keparahannya tergantung dari fase halusinasi
yang dialami. Fase halusinasi terdiri dari
empat berdasarkan tingkat ansietas yang
dialami dan frekuensi halusinasi pasien,
semakin berat fase halusinasi pasien
semakin berat mengalami ansietas dan
makin dikendalikan oleh halusinasinya.
Tabel 5.Distribusi frekuensi gejala
halusinasi post-test
No Gejala halusinasi
post-test f %
1 Berat 0 0,0
2 Sedang 9 30,0
3 Ringan 21 70,0
Total 30 100
Tabel 5. Distribusi frekuensi gejala
halusinasi yang dialami pasien skizofrenia
setelah diberikan terapi okupasi aktivitas
mengambar paling banyak dalam kategori
ringan yaitu 21 orang (70%). Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wahyuni (2010) yang
meneliti pengaruh terapi okupasi aktivitas
menggambar terhadap frekuensi halusinasi
pasien skizofrenia diruang Model Praktek
Keperawatan Profesional (MPKP) Rumah
Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru. Hasil
penelitian menemukan bahwa setelah
diberikan terapi okupasi aktivitas
menggambar sebagian besar yaitu 15 orang
(75%) mengalami penurunan frekuensi
halusinasi
Hasil penelitian dari uji hipotesis
didapatkan z=4,725, p=0,000, p<0,010
artinya ada pengaruh yang sangat signifikan
128
pemberian terapi okupasi aktivitas
menggambar terhadap perubahan halusinasi
pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
Propinsi Bali. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Wahyuni (2010) yang meneliti pengaruh
terapi okupasi aktivitas menggambar
terhadap frekuensi halusinasi pasien
skizofrenia diruang Model Praktek
Keperawatan Profesional (MPKP) Rumah
Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru. Hasil
penelitiannya adalah p= 0,018 yang berarti
ada pengaruh terapi okupasi aktivitas
menggambar terhadap frekuensi halusinasi
pasien skizofrenia. Hasil penelitian lainnya
Febrianto (2009) meneliti tentang pengaruh
terapi menggambar terhadap skor sistem
kategori gangguan jiwa pada pasien dengan
gejala halusinasi di ruang Sakura RSUD
Banyumas menemukan adanya pengaruh
terapi menggambar terhadap skor sistem
kategori gangguan jiwa pada pasien dengan
gejala halusinasi dengan p=0,014
Hasil penelitian yang menunjukkan
sebagian besar gejala halusinasi yang
dialami responden setelah diberikan terapi
okupasi aktivitas menggambar dalam
kategori ringan, dan 28 responden
mengalami penurunan gejala halusinasi.
Terjadinya penurunan gejala halusinasi
setelah diberikan terapi okupasi aktivitas
menggambar karena pada saat pelaksanaan
terapi okupasi aktivitas menggambar pasien
dapat meminimalisasi interaksi pasien
dengan dunianya sendiri yaitu dengan
mengeluarkan pikiran, perasaan, atau emosi
yang selama ini mempengaruhi perilaku
yang tidak disadarinya, memberi motivasi
dan memberikan kegembiraan, hiburan,
serta mengalihkan perhatian pasien dari
halusinasi yang dialami sehingga pikiran
pasien tidak terfokus dengan halusinasinya.
Pasien dengan halusinasi dituntun untuk
fokus dan berespons pada stimulus yang
diberikan dengan positif.
Terjadinya suatu penurunan gejala
halusinasi pada pasien skizofrenia yang
mengalami halusinasi setelah diberikan
terapi okupasi aktivitas menggambar,
karena pasien mampu melakukan aktivitas
dengan baik pada saat pelaksanaan terapi.
Keadaan yang demikian mempengaruhi
pasien lain tetap fokus dan menikmati
aktivitas yang diberikan untuk mengikuti
teman sekelompoknya sehingga halusinasi
dapat dialihkan. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Keliat dan Akemat
(2005) bahwa satu diantaranya peran
kelompok adalah sebagai pendorong
(encourager) yang berfungsi sebagai
pemberi pengaruh positif pada anggota
kelompok yang lain.
Diamati dan dicermati satu persatu dari
seluruh responden penelitian ditemukan ada
2 responden yang gejala halusinasinya tetap
sebelum dan setelah diberikan terapi okupasi
aktivitas menggambar. Keadaan ini dapat
terjadi karena pasien belum mampu
mengalihkan dan mengontrol halusinasi
yang dialaminya. Disamping itu pasien
belum mampu mengubah perilaku dan
pikiran negatif menjadi pikiran dan perilaku
positif, perasan yang timbul dari cara
berpikir negatif akan membuat pasien
berperilaku destruktif sehingga pada saat
pasien terkena stresor, pasien akan berpikir
negatif tentang dirinya. Penilaian negatif
pasien tentang dirinya menyebabkan pasien
cenderung memendam masalahnya sendiri,
dan berusaha mencari solusi dengan caranya
sendiri yaitu berperilaku menarik diri dan
akan mulai memikirkan hal-hal yang
menyenangkan bagi dirinya. Keadaan
demikian yang terus menerus berlangsung
menyebabkan pasien akan mengalami
gangguan dalam mempersepsikan stimulus
yang dialami.
Peneliti berpendapat bahwa terapi
okupasi aktivitas menggambar memberikan
pengaruh yang bermakna terhadap gejala
halusinasi dan terapi okupasi aktivitas
menggambar adalah suatu hal yang tepat
jika diberikan pada pasien skizofrenia yang
mengalami halusinasi.Pemberian terapi
okupasi aktivitas menggambar secara rutin
dan ter jadwal dalam kegiatan harian pasien
skizofrenia yang mengalami halusinasi
membuatnya tidak akan terfokus pada
halusinasi yang dialami sehingga gejala
halusinasi dapat berkurang dan terkontrol.
129
SIMPULAN
Gejala halusinasi yang dialami pasien
skizofrenia sebelum diberikan terapi okupasi
aktivitas menggambar terbanyak dalam
kategori sedang yaitu 15 orang (50%).Gejala
halusinasi yang dialami pasien skizofrenia
setelah diberikan terapi okupasi aktivitas
menggambar terbanyak dalam kategori
ringan yaitu 21 orang (70%).
Hasil penelitian menunjukkan ada
pengaruh yang sangat signifikan pemberian
terapi okupasi aktivitas menggambar
terhadap perubahan halusinasi pada pasien
skizofrenia (z=4,725,p=0,000). Pemberian
terapi okupasi aktivitas menggambar dapat
menurunkan gejala halusinasi pada pasien
skizofrenia.
DAFTAR RUJUKAN American Psychological Association, 2010,
Publication manual of the American Psychological Association, Washington: DC. American Psychological Association.
Benhard, 2010, Hubungan Lama Hari Rawat
dengan Kemampuan Pasien Skizofrenia Mengontrol Halusinasi di Ruang MPKP RSJ Magelang, (online), available http://www.skripsistikes.com, (10 Desember 2013).
Departemen Kesehatan RI, 2013, Pravalensi
Gangguan Jiwa Berat, (online), available : http://www.litbang.depkes.go.id , (2 Januari 2014).
Febrianto, S.S, 2009, Pengaruh Terapi
Menggambar Terhadap Skor Sistem Kategori Gangguan Jiwa Pada Pasien Dengan Gejala Halusinasi Di Ruang Sakura RSUD Banyumas, Skripsi. Tidak dipublikasikan.
Joys, 2011, Deskripsi Peruhahan
Kemampuan Mengontrol Halusinasi Pada Klien Dengan Terapi Individu di Ruang MPKP RSJ Magelang, (online), available, http://www.skripsistikes.com, (10 Desember 2013)
Keliat, B.A. dan Akemat, 2005,
Keperawatan Jiwa: Terapi Akitivitas Kelompok, Jakarta: EGC.
Maramis,W.F., 2008, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Surabaya: Airlangga University Press.
Megayanthi, 2009, Deskripsi Perubahan
Kemampuan Mengontrol Halusinasi Pada Klien Dengan Terapi Individu di Ruang MPKP RSJ Magelang, Semarang: Skripsi. Tidak dipublikasikan.
Prabowo, 2010, Pengaruh Family
Psychoeducation terhadap Beban dan Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien dengan Halusinasi di Kabupaten Bantul Yogyakarta, Jakarta: Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Rekam Medik Rumah Sakit Jiwa Propinsi
Bali, 2013, Laporan Tahunan Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali, Bangli.
Stuart dan Sundeen, 2007, Principles and
practice of psychiatric nursing, St Louis Missouri: Mosby year book.
Suliswati., Tjie Anita Payapo., Sianturi
Yeny.,Sumijatun., Maruhawa Jeremia, 2005, Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta : EGC.
Susana dan Hendarsih, 2011, Terapi
Modalitas Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta : EGC.
Tirta I Gusti Rai & Putra Risdianto Eka,
2008, Terapi Okupasi Pada Pasien Skizofreniadi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Makalah Disampaikan pada Kongres Nasional Skizofrenia V, Mataram, Nusa Tenggara Barat, 24 – 26 Oktober 2008.
Wahyuni, 2010, Pengaruh Terapi Okupasi
Aktivitas Mengambar Terhadap Frekuensi Halusinasi Pasien Skizofrenia Diruang Model Praktek Keperawatan Profesional (MPKP) Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru, Medan : Skripsi. Tidak dipublikasikan.
130
GAMBARAN FAKTOR DOMINAN PENYEBAB RENDAHNYA
AKSEPTOR IUD PADA PASANGAN USIA SUBUR (PUS)
I Dewa Ayu Ketut Surinati
I Gusti Agung Oka Mayuni
Ketut Agus Paramartha
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Email : [email protected]
Abstract : The Illustration Dominant Factors Cause Low IUD Acceptors at PUS .
The purpose of this research was to know The Illustration Dominant Factors Cause
Low Iud Acceptors . The methode of this research was discriptif with cross sectional
design. The samples were consisted of 40 respondents selected with Consecutive
sampling technique. These results indicate that, of the 40 respondents, 45% of
respondents did not choose the contraceptive IUD as an option because of fear due to
the lack of knowledge acceptors
Abstrak : Gambaran Faktor Dominan Penyebab Rendahnya Akseptor IUD
pada PUS. Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran faktor dominan
penyebab rendahnya akseptor IUD pada pasangan usia subur. Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan subjek penelitian adalah
cross sectional . Tehnik sampling yang digunakan adalah Consecutive sampling
dengan jumlah sampel 40 orang. Analisis data dengan analisa deskriptif.Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa dari 40 responden sebanyak 45% responden tidak
memilih kontrasepsi IUD sebagai pilihan karena takut akibat pengetahuan akseptor
yang kurang,
Kata Kunci : Faktor dominan, akseptor IUD, PUS
Keluarga berencana adalah tindakan
yang membantu individu atau pasangan
suami istri untuk menghindari kelahiran
yang tidak diinginkan atau mengatur interval
diantara kehamilan (Bobak,2005 dan
Hartanto,2004).
Salah satu strategi dalam upaya
menurunkan tingkat fertilitas adalah melalui
penggunaan kontrasepsi guna mencegah
terjadinya kehamilan. Salah satu Alat
kontrasepsi yang tepat mencegah kehamilan
terutama untuk jangka panjang adalah IUD,
IUD merupakan metode kontrasepsi jangka
panjang (Metode Kontrasepsi Jangka
Panjang/MKJP). Tahun 2010 yang
merupakan tahun pertama dalam rencana
pembangunan jangka panjang menengah
nasional (RPJMN) 2010-2014, BKKBN
(2011) sebagai institusi yang memiliki tugas
dan tanggung jawab menyukseskan program
KB di Indonesia telah merevitalisasi visi dan
misinya dalam rangka lebih mendukung
pencapaian hasil yang optimal. Visi dan misi
BKKBN sekarang adalah “Penduduk
Berkualitas tahun 2015” yang merupakan
hasil revitalisasi visi misi sebelumnya yakni
dengan “Mewujudkan keluarga kecil
bahagia sejahtera (Handayani S., 2010 dan
Sarwono,2005).
Kontrasepsi IUD adalah alat kontrasepsi
yang terbuat dari plastik disertai barium
sulfat dan mengandung tembaga,
progesterone. Alat ini dimasukkan ke dalam
ruang endometrium, melalui kanalis
servikalis, serta memiliki ujung
monofilament nilon yang membentang dari
serviks ke vagina Sarwono (2005) dan
Pinem Saroha, 2009)., IUD mampu
mengurangi risiko kanker endometrium
hingga 40 persen. IUD dapat efektif segera
setelah pemasangan. IUD juga memiliki
metode jangka panjang (10 tahun proteksi
131
dari CuT-380A dan tidak perlu diganti), dan
juga tidak mempengaruhi hormonal
sehingga untuk kedepannya IUD sangat
efektif dan efisien penggunaannya.
Salah satu masalah utama yang dihadapi
saat ini adalah masih rendahnya pengguna
KB Intra Uterine Device (IUD), Sedangkan
kecendrungan penggunaan jenis KB lainnya
meningkat. Angka penggunaan IUD yang
masih rendah dapat disebabkan oleh
berbagai faktor. Menurut Suparyanto, (2012)
dalam artikelnya menyebutkan ada beberapa
faktor yang menyebabkan rendahnya
penggunaan metode kontrasepsi IUD ini,
antara lain: Faktor internal: Pengalaman,
takut, pengetahuan/pemahaman yang salah
tentang IUD, pendidikan Pasangan Usia
Subur (PUS) yang rendah, Malu dan risih,
Adanya penyakit. persepsi tentang IUD,
Faktor eksternal: prosedur pemasangan IUD
yang rumit, pengaruh dan pengalaman
akseptor IUD lainnya, sosial budaya dan
ekonomi dan pekerjaan.
Berdasarkan studi pendahuluan di
Puskesmas IV Denpasar Selatan diperoleh
data Jumlah akseptor KB baru pada tahun
2010 sampai dengan 2012, data sebagai
berikut: jumlah akseptor KB pada tahun
2010; IUD: 93 peserta, Suntik: 514 peserta,
Pil 231 peserta, 2011; IUD: 133 peserta,
Suntik: 683 peserta, Pil 209 peserta,
sedangkan pada tahun 2012; IUD: 125
peserta, Suntik 912 peserta, dan Pil 166
peserta. Berdasarkan data tersebut terlihat
untuk KB IUD mengalami penurunan 6%
pada tahun 2011-2012 sedangkan untuk KB
suntik mengalami peningkatan sebesar 24%
pada tahun 2010-2011 dan mengalami
peningkatan sebesar 33% pada tahun 2011-
2012.
Berdasarkan data uraian diatas bahwa
peningkatan penduduk di Indonesia setiap
tahunnya semakin meningkat padahal angka
pengguna KB meningkat, hanya saja
pengguna kontrasepsi IUD masih rendah
maka peneliti tertarik untuk meneliti
“Gambaran Faktor dominan penyebab
rendahnya pengguna kontrasepsi IUD pada
PUS”. Tujuan dari peneitian ini adalah
untuk mengetahui Faktor Dominan
Penyebab Rendahnya Akseptor IUD Pada
PUS Di Wilayah Puskesmas IV Denpasar
Selatan Tahun 2013.
METODE
Jenis penelitian ini deskriptif dengan
pendekatan terhadap subjek penelitian
adalah cross sectional . Subyek penelitian
adalah Ibu akseptor yang tidak
menggunakan kontrasepsi IUD yang
memenuhi kiteria inklusi di Puskesmas IV
Denpasar Selatan Tahun 2013. Tehnik
sampling yang digunakan adalah consekutif
sampling dengan jumlah sampel 40 orang.
Data didapatkan langsung dari responden
dengan menggunakan pedoman wawancara .
Analisis data yang digunakan analisa
deskriptif
HASIL DAN PEMBAHASAN.
Penelitian ini dilakukan mulai tanggal
15 Mei 3013 - 15 Juni 2013 di Puskesmas
IV Denpasar Selatan . Sebelum hasil
penelitian disajikan, akan disajikan terlebih
dahulu karakteristik subyek penelitian
berdasarkan umur, pendidikan dan pekerjaan
pada tabel berikut :
Tabel 1.Distribusi karakteristik responden
berdasarkan golongan umur
No GolonganUmur f %
1
2
3
<20 tahun
20-30 tahun
30-49tahun
0
22
18
0
55
45
40 100
Tabel 1 menunjukkan ibu PUS pada
golongan umur 20-30 tahun yaitu sebanyak
22 orang (55.%).
Tabel 2. Distribusi karakteristik responden
berdasarkan pendidikan
No Pendidikan f %
1
2
3
4
SD
SMP
SMA
PT
6
14
18
2
15
35
45.
5
40 100
132
Tabel 2 menunjukkan bahwa ibu PUS
dominan berpendidikan SMA yaitu 18 orang
(45%).
Tabel 3. Distribusi karakteristik responden
Sesuai pekerjaan
No Pekerjaan n %
1
2
3
4
5
IRT
Pegawai negeri
Pegawai swasta
Petani
Wiraswasta
26
0
12
0
2
65
0
30
0
5
40 100
Tabel 3 menunjukkan lebih banyak bekerja
sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak
26 orang (65%).
Selanjutnya diuraikan hasil
penelitian secara rinci yang terdiri dari hasil
wawancara dengan ibu PUS tentang faktor
yang menyebabkan tidak memilih alat
kontrasepsi IUD yang diuraikan sebagai
berikut :
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan
Faktor penyebab tidak memakai
IUD
No Faktor penyebab f %
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengalaman
Malu dan risih
Adanya penyakit
Kurangnya
pengetahuan
Persepsi yang salah
tentang IU D
Prosedur
pemasangan IUD
yang rumit.
Pengaruh akseptor
IUD lainnya
Sosial budaya dan
ekonomi
Pekerjaan
3
11
1
18
3
2
1
1
0
7.5
27.5
2.5
45
7.5
5
2.5
2.5
0
40 100
Tabel 4 menunjukkan bahwa faktor
terbanyak yang menyebabkan PUS tidak
menggunakan alat kontrasepsi IUD adalah
pengetahuan ibu yang kurang (45%)
Berdasarkan hasil ini, dapat dilihat
bahwa memang benar adanya faktor – faktor
yang menyebabkan akseptor tidak
menggunakan kontrasepsi IUD di
Puskesmas IV Denpasar Selatan. Faktor
kurangnya pengetahuan merupakan faktor
yang paling besar risikonya terhadap
akseptor tidak memakai kontrasepsi IUD
yaitu sebesar 45%. Faktor dominan yang
menyebabkan rendahnya akseptor
menggunakan alat kontrasepsi IUD setelah
dianalisa adalah faktor kurangnya
pengetahuan dengan alasan akseptor takut
untuk menggunakan kontrasepsi IUD karena
kurangnya informasi yang di dapat. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian
Juliasti Dewi dalam Angraeni dan Martini
(2012) yang menyatakan bahwa rendahnya
penggunaan kontrasepsi IUD disibebkan
karena kurangnya akseptor memperoleh
informasi tentang penggunaan kontrasepsi
IUD yaitu sebanyak 18% yang merupakan
faktor tertinggi yang menyebabkan
rendahnya penggunaan kontrasepsi IUD.
Karakteristik yang didapat bahwa umur,
pendidikan dan pekerjaan sangat
berpengaruh . dan berhubungan dengan
pemilihan alat kontrasepsi karena pada
umumnya pada usia 20 - 30 tahun
dianjurkan untuk mengatur jarak kehamilan,
cara kontrasepsi yang dianjurkan adalah
AKDR, susuk, kontrasepsi suntikan, Pil
mini, Pil KB dan kondom. Sesudah usia 30
tahun atau fase mengakhiri kesuburan,
dianjurkan menggunakan kontrasepsi
tubektomi, AKDR, susuk, kontrasepsi
suntikan, Pil KB dan kondom
(Sarwono,2005 dan Saifudin A B., (2006).
Pendidikan adalah salah satu faktor penentu
pada gaya hidup dan status kehidupan
seseorang dalam masyarakat. Tingkat
pendidikan yang dimiliki mempunyai
pengaruh yang kuat pada prilaku reproduksi
dan penggunaan alat kontrasepsi.
Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan
Indonesia (2002-2003) pemakaian alat
kontrasepsi meningkat sejalan dengan
tingkat pendidikan. Wanita yang tidak
sekolah menggunakan cara kontrasepsi
modern sebesar 45%, sedangkan wanita
133
berpendidikan menengah atau lebih tinggi
yang menggunakan cara kontrasepsi modern
sebanyak 58%. Semakin tinggi tingkat
pendidikan wanita, semakin besar
kemungkinannya memakai alat atau cara KB
modern. IUD atau AKDR banyak digunakan
pada wanita dengan tingkat pendidikan
tinggi (SMA, Perguruan Tinggi)
dibandingkan dengan tingkat pendidikan
rendah (SD, SLTP). Yang kedua pendidikan
dimana sangat berpengaruh apa bila PUS
memiliki pendidikan yang rendah akan
menyulitkan dalam proses pemberian
informasi, sehingga pengetahuan IUD
terbatas. Yang ketiga pekerjaan dimana
sangat berpengaruh karena pekerjaan yang
melibatkan aktivitas fisik yang tinggi,
akseptor merasa takut lepas, khawatir
mengganggu pekerjaan atau mengganggu
saat bekerja
SIMPULAN
Sesuai dengan hasil penelitian dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa
karakteristik umur menunjukkan ibu PUS
pada golongan umur 20-30 tahun yaitu
sebanyak 22 orang (55.%). Karakteristik
pendidikan bahwa PUS dominan
berpendidikan SMA yaitu 18 orang (45%).
Karakteristik pekerjaan lebih banyak bekerja
sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak
26 orang (65%). Faktor dominan penyebab
rendahnya akseptor IUD pada PUS di
Wilayah Puskesmas IV Denpasar Selatan
adalah pengetahuan yang kurang 45% yaitu
akseptor takut untuk menggunakan
kontrasepsi IUD karena kurangnya
informasi yang di dapat.
DAFTAR RUJUKAN Anggraini, Martini, 2012, Pelayanan
Keluarga Berencana, Yogyakarta: Rohima Press
BKKBN, 2011, Kajian Implementasi
Kebijakan Penggunaan Kontrasepsi IUD.
Bobak , 2005, Buku Ajar Keperawatan
Maternitas. Jakarta : EGC Hartanto, H, 2004, Keluarga Berencana dan
Kontrasepsi. Jakarta : Sinar Harapan.
Handayani Sri, 2010, Buku Ajar Pelayanan Keluarga berencana, Yogyakarta: Pustaka Riharna.
Pinem Saroha, 2009, Kesehatan Reproduksi
Dan Kontrasepsi, Jakarta: CV Trans Info Media.
Suparyanto, 2012, Konsep IUD (Intra
Uterine Device), (online), From http://www konsep-iud.html (7 Juni 2012)
Sarwono, 2005, Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Saifudin A B., (2006). Buku acuan Panduan
Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta.
134
SIKAP REMAJA SEHUBUNGAN MEDIA PORNOGRAFI
DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA
I Dewa Made Ruspawan
I Putu Dewi Citra Adnyana
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Email: [email protected]
Abstract: Attitude Teenagers in relation Media Pornography with Premarital
Teenagers Sexual Behavior. The purpose of this study was to determine the
relationship of the media in relation teenagers attitude pornography with teenagers
premarital sexual behavior in SMA Negeri 2 Banjar. This research is an
observational analytic cross sectional approach. Sampling technique using a
stratified random sampling with sample of 216 respondents. Data were taken using a
questionnaire scores sexual attitudes and behavior. The results of the analysis get
attitude teenagers in relation media pornography with premarital teenagers sexual
behavior of 42.5% is attitude and attitude is quite less. Sexual behavior by 36% is
moderate sexual behavior. Results of Spearman's rho test scores (r) = 0.754 and
p = 0.000 (<0.05), so that there is a significant correlation attitude teenagers in
relation media pornography with premarital teenagers sexual behavior in SMA
Negeri 2 Banjar.
Abstrak: Sikap Remaja Sehubungan Media Pornografi Dengan Perilaku
Seksual Pranikah Remaja. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan sikap
remaja sehubungan media pornografi dengan perilaku seksual pranikah remaja di
SMA Negeri 2 Banjar. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan
pendekatan cross sectional. Teknik sampling menggunakan stratified random
sampling dengan jumlah sampel 216 responden. Data yang diambil berupa skor
menggunakan kuesioner sikap dan perilaku seksual. Hasil analisis penelitian
mendapatkan sikap remaja sehubungan media pornografi masing-masing sebesar
42,5% adalah sikap cukup dan sikap kurang. Perilaku seksual sebesar 36% adalah
perilaku seksual sedang. Hasil uji spearman rho mendapatkan nilai (r)= 0,754 dan
p= 0,000 (<0,05), ada hubungan yang signifikan antara sikap remaja sehubungan
media pornografi dengan perilaku seksual pranikah remaja di SMA Negeri 2 Banjar.
Kata kunci : sikap remaja, media pornografi, perilaku seksual pranikah
Masa remaja merupakan suatu fase
perkembangan yang dinamis dalam
kehidupan seorang individu, dimana masa
ini terdapat periode transisi dari masa anak-
anak ke masa dewasa (Pardede dalam
Soetjiningsih, 2008). Siswa SMA dalam
perkembangannya berada pada kategori
remaja menengah dan baru memasuki
remaja akhir (15-19 tahun). Pada usia ini
perkembangan individu ditandai dengan
pencarian identitas diri, adanya pengaruh
dari lingkungan, dan pengembangan
terhadap satu pekerjaan atau tugas yang
ditekuni secara mendalam (Kusmiran,
2011).
Data demografi menunjukkan bahwa
remaja merupakan populasi yang besar dari
penduduk dunia. Sekitar 900 juta berada di
negara sedang berkembang. Data demografi
di Amerika Serikat (1990) menunjukkan
jumlah remaja berumur 10-19 tahun sekitar
15% dari populasi. Jumlah penduduk di Asia
Pasifik adalah 60% dari penduduk dunia,
seperlimanya merupakan remaja umur 10-19
135
tahun. Berdasarkan hasil sensus penduduk
Indonesia tahun 2010 jumlah remaja sangat
besar yaitu sekitar 64 juta atau 27,6% dari
jumlah total penduduk Indonesia 237,6 juta
jiwa.
Remaja kerap kali mengalami kesulitan
dalam mengikuti proses perkembangan, baik
itu dari segi perubahan fisik, emosi, mental
dan sosial. Pengaruh dari lingkungan sangat
berperan dalam pembentukan sikap dan
perilaku remaja. Perilaku seksual pranikah
dikalangan remaja sudah menjadi fenomena
yang umum di masyarakat. Perilaku seksual
pranikah yang dimaksud adalah hubungan
seksual yang dilakukan oleh dua orang yang
tidak ingin hidup bersama dalam
perkawinan atau keluarga (Mutadin, 2002).
Salah satu faktor yang mendorong
remaja untuk melakukan hubungan seksual
pranikah karena perubahan-perubahan
hormonal dalam tubuh remaja yang
membuat hasrat seksual (libido seksual)
menjadi meningkat. Peningkatan hasrat
seksual ini membutuhkan penyaluran dalam
bentuk tingkah laku tertentu. Penyaluran itu
tidak dapat segera dilakukan karena adanya
penundaan usia perkawinan dan norma-
norma yang ada di masyarakat. Selanjutnya
remaja akan berkembang lebih jauh terhadap
hasrat seksualnya kepada tingkah laku yang
lain seperti berciuman dan masturbasi atau
onani. Kecenderungan semakin meningkat
oleh karena adanya penyebaran informasi
dan rangsangan seksual melalui media
massa yang sangat mudah diakses oleh para
remaja. Media yang sering digunakan oleh
remaja seperti situs porno (internet), majalah
porno, video, film porno, serta smartphone
(Sarwono, 2012).
Survey internasional yang dilakukan
oleh Bayer Healthcare Pharmaceutical
terhadap 6.000 remaja di 26 negara
mengungkapkan, ada peningkatan jumlah
remaja yang melakukan seks tidak aman
seperti di Perancis yang mencapai angka
111%, di Amerika Serikat menembus angka
39% dan 19% di Inggris pada tahun 2011.
Penelitian yang dilakukan oleh Susanto
(2012) tentang hubungan antara sikap media
pornografi dengan perilaku seksual pranikah
pada remaja menunjukkan bahwa sikap
terhadap media pornografi sebesar 80,8%
termasuk kategori sikap positif dan 19,2%
termasuk sikap negatif. Perilaku seksual
pranikah pada subjek penelitian sebesar
44,2% dalam kategori tinggi, 32,7% kategori
sedang dan 23,1% kategori rendah. Ini
dikuatkan juga dengan hasil penelitian dari
Pawestri, dkk (2013) yang menunjukkan
bahwa sikap siswa sebagian besar negatif
(54,4%) dan perilaku seks pranikah sebagian
besar kurang baik (48,1%).
Hasil dari studi pendahuluan yang
dilakukan di SMA Negeri 2 Banjar pada
tanggal 3 April 2014 didapatkan data bahwa
sekolah ini merupakan salah satu sekolah
dengan siswa terbanyak di Kecamatan. Hasil
wawancara dengan Kepala SMA
mendapatkan data bahwa setiap semesternya
(enam bulan) rata-rata terdapat satu sampai
dua siswa yang keluar atau dikeluarkan oleh
sekolah karena hamil di luar nikah. Selain
itu, dari sepuluh siswa yang diberikan
kuesioner perilaku seksual terdapat lima
siswa termasuk dalam kategori perilaku
seksual tinggi, tiga diantaranya termasuk
dalam kategori perilaku seksual sedang dan
dua siswa lagi termasuk dalam kategori
perilaku seksual rendah.
Beranjak dari data tersebut peneliti
tertarik melakukan penelitian ini karena di
jaman yang serba teknologi ini, remaja
sangat mudah mengakses internet yang bisa
dilakukan dimana saja, untuk itu siswa
sangat rentan terhadap paparan dari media
pornografi, sehingga peneliti ingin
mengetahui hubungan sikap remaja
sehubungan media pornografi dengan
perilaku seksual pranikah pada remaja di
SMA Negeri 2 Banjar.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui sikap remaja sehubungan media
pornografi, untuk mengetahui perilaku
seksual pranikah remaja dan untuk
menganalisa hubungan sikap remaja
sehubungan media pornografi dengan
perilaku seksual pranikah remaja di SMA
Negeri 2 Banjar.
136
METODE
Desain penelitian merupakan rancangan
penelitian yang disusun sedemikian rupa
sehingga dapat menuntun peneliti untuk
memperoleh jawaban terhadap pertanyaan
penelitian. Dalam penelitian ini
menggunakan jenis penelitian analitik
observasional. Penelitian analitik ialah
penelitian yang berupaya mencari hubungan
antara variabel yang satu dengan variabel
yang lainnya dengan melakukan analisis
data. Studi observasional dilakukan pada
penelitian tanpa intervensi dan hanya akan
melaksanakan pengamatan pada subjek
penelitian. Penelitian ini menggunakan
pendekatan studi cross sectional, yaitu
peneliti melakukan observasi atau
pengukuran variabel pada satu saat yang
sama, tetapi tiap subjek hanya diobservasi
satu kali dan pengukuran variabel subjek
dilakukan pada saat pemeriksaan tersebut.
Populasi dalam penelitian adalah subjek
(misalnya manusia;klien) yang memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan, yaitu seluruh
remaja kelas X dan XI di SMA Negeri 2
Banjar sebanyak 471 responden. Sedangkan
sampel terdiri dari bagian populasi yang
dapat dipergunakan sebagai subjek
penelitian melalui sampling. Teknik
sampling itu sendiri merupakan cara-cara
yang ditempuh dalam pengambilan sampel,
agar memperoleh sampel yang benar-benar
sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian.
Teknik sampling pada penelitian ini
menggunakan Probability Sampling yaitu
metode pengambilan sampel dengan prinsip
utama bahwa setiap subjek dalam populasi
harus mempunyai kesempatan yang sama
untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai
sampel. Dengan jenis Stratified Random
Sampling yaitu jenis sampling yang
digunakan peneliti untuk mengetahui
beberapa variabel pada populasi yang
merupakan hal yang penting untuk mencapai
sampel yang representatif, dari teknik
sampling tersebut maka diperoleh jumlah
sampel sebanyak 216 responden.
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri
2 Banjar Desa Banjar Tegeha, Kecamatan
Banjar, Kabupaten Buleleng dari bulan
Maret sampai dengan Agustus 2014 dan
pengumpulan data dilakukan dari tanggal 2
sampai dengan 6 Juni 2014.
Variabel adalah karakteristik subjek
penelitian yang berubah dari satu subjek ke
subjek lain. Berdasarkan fungsinya dalam
konteks penelitian khususnya dalam
hubungan antar variabel, terdapat variabel
bebas (independen), yaitu variabel yang
apabila ia berubah akan mengakibatkan
perubahan pada variabel lain dan variabel
tergantung (dependen), yaitu variabel yang
berubah akibat perubahan variabel bebas.
Dalam penelitian ini, variabel
independennya adalah sikap remaja
sehubungan media pornografi, sedangkan
variabel dependennya ialah perilaku seksual
pranikah remaja.
Instrumen yang digunakan pada
penelitian ini adalah lembar kuesioner yang
terdiri dari tiga bagian yaitu bagian pertama
membahas mengenai identitas responden
yang mencangkup umur, kelas dan jenis
kelamin. Selanjutnya pada bagian kedua,
kuesioner menggunakan skala likert yang
diukur dengan kuesioner sikap remaja
sehubungan media pornografi yang
didapatkan dari majalah porno, situs porno
(internet), video, film porno, serta
smartphone. Bagian ketiga menggunakan
kuesioner perilaku seksual untuk
mengetahui tingkat perilaku seksual remaja.
Dalam pengisian kuesioner sudah
terdapat lembar informed consent untuk
responden menyetujui berpartisipasi dalam
penelitian ini. Setelah kuesioner disebar dan
diisi oleh responden kemudian dilakukan
pengolahan data yang meliputi editing,
coding, entry dan tabulating. Data yang
telah diolah sesuai dengan tahapan tersebut
selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
uji spearman rho untuk mendapatkan hasil
akhir dan ditampilkan pada penyajian hasil.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan terhadap objek
penelitian mendapatkan sikap remaja
sehubungan media pornografi dari 216
responden yang memiliki sikap baik
sebanyak 32 orang (15%), sikap cukup dan
137
sikap kurang masing-masing sebanyak 92
orang (42,5%) (lihat tabel. 1).
Tabel. 1 Distribusi sikap remaja sehubungan
media pornografi (n= 216)
Kategori Frekuensi (f) Total Persentase
(%) Laki
-laki
Perem
puan
Baik 24 8 32 15
Cukup 49 43 92 42,5
Kurang 43 49 92 42,5
Untuk perilaku seksual pranikah remaja
didapatkan dari 216 responden yang
memiliki perilaku seksual tinggi sebanyak
67 orang (31%), perilaku seksual sedang
sebanyak 78 orang (36%) dan perilaku
seksual rendah sebanyak 71 orang (33%)
(lihat tabel. 2).
Tabel. 2 Distribusi perilaku seksual pranikah
remaja (n= 216)
Kategori Frekuensi (f) Total Persentase
(%) Laki-
laki
Peremp
uan
Tinggi 48 19 67 31
Sedang 41 37 78 36
Rendah 27 44 71 33
Untuk hubungan sikap remaja
sehubungan media pornografi dengan
perilaku seksual pranikah remaja didapatkan
dari 216 responden yang memiliki sikap
kurang dengan perilaku seksual rendah
sebanyak 66 orang (31%) dan tidak ada
sikap kurang dengan perilaku seksual tinggi
serta sikap baik dengan perilaku seksual
rendah (lihat tabel. 3).
Tabel. 3 Tabel silang sikap remaja
sehubungan media pornografi
dengan perilaku seksual
pranikah remaja
Kategori
Sikap
Kategori Perilaku
Seksual
Total Persenta
se (%) Rendah Sedang Tinggi
Kurang 66 26 0 92 42,5
Cukup 5 44 43 92 42,5
Baik 0 8 24 32 15
Total 71 78 67 216 100
Sesuai dengan tujuan penelitian untuk
menjawab hipotesis yaitu apakah ada
hubungan sikap remaja sehubungan media
pornografi dengan perilaku seksual pranikah
remaja di SMA Negeri 2 Banjar, maka
digunakan uji spearman rho untuk
mendapatkan korelasi antara kedua variabel.
Uji ini dipilih karena kedua variabel dalam
penelitian ini memiliki skala data ordinal.
Penelitian ini menggunakan sampel (n)
sebanyak 216 responden sehingga
tidak dapat dicari dengan menggunakan
rumus secara manual karena nilai pada
terbatas hanya sampai (n)= 30, untuk itu
hubungan antara variabel pada penelitian ini
ditentukan dengan arah korelasi yaitu
dengan melihat hasil uji spearman rho pada
level signifikansi (= 0,05) maka diperoleh
(r)= 0,754 dengan nilai p= 0,000. Nilai ini
berada antara 0,60 - 0,799 yang berarti
korelasi memiliki tingkat hubungan yang
kuat (Sugiyono, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
sikap remaja sehubungan media pornografi
di SMA Negeri 2 Banjar, dengan hasil sikap
baik sebesar 15% dimana laki-laki sebesar
11% dan perempuan sebesar 4%. Sikap
cukup dari penelitian ini sebesar 42,5%
dimana laki-laki sebesar 22,5% dan
perempuan sebesar 20% serta sikap kurang
sebesar 42,5% dimana laki-laki sebesar 20%
dan perempuan sebesar 22,5%.
Hasil ini menunjukkan bahwa kaum
laki-laki lebih mendominasi daripada
perempuan, dalam hal memperoleh paparan
media pornografi. Ini disebabkan karena
laki-laki lebih berani mengekspresikan nilai-
nilai yang dimilikinya, memiliki rasa ingin
tahu yang besar, ingin mengerti dan ingin
lebih mendapatkan pengalaman serta
pengetahuan. Selain itu, pergaulan yang
semakin bebas dikalangan remaja menjadi
faktor yang penting dalam remaja bersikap,
sebab sikap itu sendiri diambil oleh remaja
untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya (Atkinson, dkk dalam
Sunaryo, 2013) .
Sikap terhadap objek tertentu dapat
merupakan sikap pandangan atau sikap
138
perasaan, namun sikap tersebut disertai
dengan kecenderungan untuk bertindak
sesuai dengan objek tadi (Gerungan dalam
Sunaryo, 2013). Kecenderungan yang
dimaksud menurut Thurston dalam Sunaryo
(2013), berupa sikap positif atau negatif.
Sikap positif terhadap objek sikap berupa
media pornografi akan membuat remaja
lebih menyukai atau lebih senang saat
menggunakan media tersebut, sebaliknya
sikap negatif akan menghindari atau rasa
tidak senang terhadap media pornografi
tersebut.
Teori ini didukung oleh hasil penelitian
dari Anggriyani & Trisnawati (2011), pada
penelitian mengenai hubungan antara seks
pranikah dengan perilaku seks remaja pada
SMK Kerabat Kita Bumiayu Kabupaten
Brebes yang menyatakan bahwa sikap
terhadap seks pranikah pada 89 siswa
kurang baik yaitu sebesar 34,8% sedangkan
peneliti mendapatkan sikap remaja
sehubungan media pornografi sebesar
42,5%. Sama-sama berada pada kategori
kurang baik.
Peneliti menekankan bahwa hasil yang
didapat oleh Anggriyani & Trisnawati yaitu
kurang baik yang lebih kecil dibandingkan
hasil yang didapat peneliti, ini dikarenakan
peneliti menggunakan jumlah sampel yang
lebih banyak yaitu 216 responden. Jumlah
inilah yang mempengaruhi hasil dari
penelitian sehingga peneliti mendapatkan
jumlah persentase yang lebih besar pada
sikap remaja sehubungan media pornografi
dengan perilaku seksual pranikah.
Perilaku seksual pranikah remaja pada
penelitian ini mendapatkan hasil, remaja
yang memiliki perilaku seksual tinggi
sebesar 31% dimana laki-laki sebesar 22%
dan perempuan sebesar 9%, perilaku seksual
sedang sebesar 36% dimana laki-laki
sebesar 19% dan perempuan sebesar 17%
serta perilaku seksual rendah pada penelitian
ini sebesar 33% dimana laki-laki sebesar
13% dan perempuan sebesar 20%.
Hasil ini menginformasikan bahwa
perilaku seksual tinggi dan sedang lebih
banyak laki-laki dibanding perempuan, serta
perilaku seksual rendah lebih banyak
perempuan. Ini berkaitan dengan sikap laki-
laki yang lebih mendominasi perempuan
dalam memperoleh paparan media
pornografi.
Paparan tersebut menjadi salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap sikap
dengan perilaku seksual remaja. Ini dapat
dilihat dari koefisien korelasi yang
dikuadratkan ( ) sebesar 0,57 yang berarti
bahwa sikap remaja sehubungan media
pornografi secara umum memberi pengaruh
terhadap perilaku seksual pranikah sebesar
0,57 dan sisanya 0,43 perilaku seksual
pranikah dipengaruhi oleh faktor lainnya
seperti meningkatnya libido seksual remaja,
terjadinya penundaan usia perkawinan di
masyarakat, masih adanya istilah tabu atau
larangan mengenai seksualitas, kurangnya
informasi seksual yang diterima oleh remaja
secara tepat dan maraknya pergaulan bebas
dikalangan remaja (Sarwono, 2012).
Hasil penelitian ini sejalan dengan
pendapat Pangkahila dalam Soetjiningsih
(2010), yang menyatakan bahwa remaja
menginginkan kebebasan lebih banyak
terhadap aktifitas seksualnya. Aspek seksual
remaja yang memiliki kekhususan
pengalaman berfantasi dan mimpi basah
sebesar 93% untuk remaja laki-laki dan
remaja perempuan sebesar 89% melakukan
fantasi pada saat mansturbasi.
Pernyataan ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Widajati, dkk
(2009) di SMK PGRI 3 Walikukun
mengenai faktor yang mempengaruhi
perilaku seksual remaja pada 125 responden,
mendapatkan perilaku seksual berupa deep
kissing pada laki-laki sebesar 60% dan
perempuan sebesar 3%, genital stimulation
pada laki-laki sebesar 48% dan perempuan
sebesar 8%, petting pada laki-laki sebesar
28% dan perempuan sebesar 1%, serta
sexual intercourse pada laki-laki sebesar
28% dan perempuan sebesar 1%. Selain itu,
penelitian dari Anggriyani & Trisnawati
(2011), mendapatkan perilaku seksual
berisiko sebesar 53,9% pada 89 siswa dalam
penelitian hubungan antara seks pranikah
dengan perilaku seks remaja pada SMK
Kerabat Kita Bumiayu Kabupaten Brebes.
139
Hasil tersebut menguatkan hasil yang
didapat peneliti yaitu perilaku seksual
remaja sebesar 31% pada kategori tinggi
sehingga dapat digaris bawahi sasaran yang
sama yaitu siswa SMA yang berada pada
rentang umur 15-19 tahun merupakan
remaja yang mempunyai aktifitas seksual
yang tinggi dan intens. Kemudian lebih
ditekankan pada remaja laki-laki karena dari
hasil penelitian didapatkan persentase untuk
perilaku seksual laki-laki lebih tinggi
dibandingkan perempuan.
Ini disebabkan selain karena faktor
libido seksual yang meningkat karena
pertumbuhan hormonal pada remaja juga
karena dorongan seksual akibat banyaknya
paparan media pornografi yang diterima
remaja.
Dari hasil analisis hubungan sikap
remaja sehubungan media pornografi
dengan perilaku seksual pranikah remaja di
SMA Negeri 2 Banjar, didapatkan dari 216
responden yang memiliki sikap kurang
dengan perilaku seksual rendah sebesar
31%, sikap kurang dengan perilaku seksual
sedang sebesar 12%, sikap cukup dengan
perilaku seksual rendah sebesar 2%, sikap
cukup dengan perilaku seksual sedang
sebesar 20%, sikap cukup dengan perilaku
seksual tinggi sebesar 20%, sikap baik
dengan perilaku seksual sedang sebesar 4%
dan sikap baik dengan perilaku seksual
tinggi sebesar 11% serta tidak ada sikap
kurang dengan perilaku seksual tinggi dan
sikap baik dengan perilaku seksual rendah.
Berdasarkan hasil analisis ini, hipotesis
yang dirancang dalam penelitian dapat
diterima dengan nilai (r)= 0,754 dan p=
0,000 karena p < maka dapat disimpulkan
ada hubungan yang signifikan antara sikap
remaja sehubungan media pornografi
dengan perilaku seksual pranikah remaja di
SMA Negeri 2 Banjar.
Dilihat dari nilai (r) yang positif maka
terdapat hubungan positif atau searah antar
dua variabel. Hubungan positif ini
menunjukkan bahwa kenaikan nilai variabel
yang satu yaitu variabel bebas yang berupa
sikap remaja sehubungan media pornografi
akan diikuti dengan naiknya variabel yang
lain, dalam hal ini variabel terikat yaitu
perilaku seksual pranikah remaja, artinya
semakin banyak paparan media pornografi
yang diterima semakin baik sikap remaja
dan semakin tinggi perilaku seksual
pranikah remaja, begitu pula sebaliknya
semakin sedikit paparan media pornografi
yang diterima semakin kurang sikap remaja
dan semakin rendah perilaku seksual
pranikah pada remaja.
Hasil penelitian ini membuktikan teori
Rosenberg dalam Wawan & Dewi (2010),
bahwa sikap merupakan predisposisi untuk
berespon sejumlah stimulus dimana respon
tersebut berupa afektif, kognitif dan
behavioral atau konasi yang saling
berhubungan dalam ikatan antara akibat
(effect) dan penyebab (cause) dari suatu
peristiwa. Hal yang sama juga disampaikan
oleh Saifuddin dalam Sunaryo (2013),
bahwa sikap mengandung aspek penilaian
atau evaluatif yang terdiri dari tiga
komponen yang berpengaruh terhadap
pengambilan penilaian terhadap objek sikap.
Tiga komponen tersebut adalah komponen
kognitif, afektif dan konatif.
Sejalan dengan teori di atas, penelitian
yang dilakukan oleh Anggriyani &
Trisnawati (2011) pada penelitian Cross
Sectional yang berjudul hubungan antara
seks pranikah dengan perilaku seks remaja
pada SMK Kerabat Kita Bumiayu
Kabupaten Brebes dengan jumlah sampel 89
orang, mendapatkan hubungan yang
signifikan antara sikap remaja terhadap seks
pranikah dengan perilaku seks remaja
dengan nilai Chi-Square 47,299 dan p=
0,000.
Dengan hasil analisis yang sama-sama
memperoleh hubungan yang signifikan
antara sikap dengan perilaku seksual,
peneliti menekankan bahwa remaja yang
masih dalam masa perkembangan yaitu
umur 15-19 tahun sangat rentan terhadap
media pornografi. Remaja dapat mengakses
media tersebut dengan leluasa tanpa
pengawasan dan mendorong hasrat seksual
remaja sehingga perilaku seksual pranikah
menjadi meningkat.
140
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan di atas, maka dapat
disimpulkan sikap remaja sehubungan media
pornografi di SMA Negeri 2 Banjar adalah
sikap cukup dan sikap kurang masing-
masing sebesar 42,5%. Sedangkan untuk
perilaku seksual pranikah remaja sebesar
36% adalah perilaku seksual sedang dan dari
hasil uji spearman rho didapatkan nilai (r)=
0,754 dan nilai p= 0,000 (<0,05) maka ada
hubungan yang signifikan antara sikap
remaja sehubungan media pornografi
dengan perilaku seksual pranikah remaja di
SMA Negeri 2 Banjar.
DAFTAR RUJUKAN Anggriyani, N dan Trisnawati, Y. 2011.
Hubungan antara Seks Pranikah dengan Perilaku Seks Remaja pada SMK Kerabat Kita Bumiayu Kabupaten Brebes. Jurnal Ilmiah Kebidanan Vol. 2: Akademi Kebidanan YLPP Purwokerto.
Kusmiran, E. 2011. Kesehatan Reproduksi
Remaja dan Wanita. Jakarta : Salemba Medika.
Pawestri. 2013. Pengetahuan, Sikap dan
Perilaku Remaja Tentang Seks Pranikah. Jurnal Keperawatan Maternitas, Vol. 1 : Fikkes Universitas Muhammadiyah Semarang.
Sarwono, S. 2012. Psikologi Remaja.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Soetjiningsih. 2008. Tumbuh Kembang Anak
dan Remaja. Jakarta : Sagung Seto. Soetjiningsih. 2010. Tumbuh Kembang
Remaja dan Permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian
Administrasi. Bandung : Alfabeta. Sunaryo. 2013. Psikologi untuk
Keperawatan Edisi 2. Jakarta : EGC. Susanto. 2012. Hubungan antara Sikap
Terhadap Media Pornografi dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja. Jurnal Psikologi : Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.
Wawan. A dan Dewi, M. 2010. Teori & Pengukuran Pengetahuan Sikap dan Perilaku Manusia. Yogyakarta : Nuha Medika.
Widajati, 2009. Faktor yang Mempengaruhi
Perilaku Seksual Remaja Di SMK Kabupaten Ngawi. Jurnal Kebidanan Vol. VII No. 3 : Poltekkes Depkes Surabaya.
141
STRES DENGAN SIKLUS MENSTRUASI MAHASISWI
ANGKATAN EMPAT STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI
A.A.Ayu Sintha Pramita Dewi
I Dewa Made Ruspawan
Tri Rahayuning Lestari
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Medika PPNI Bali
Email: [email protected]
Abstract: Stress With Menstruation Cycle At The Fourth Generation Women
Student of Stikes Wira Medika PPNI Bali. This study aims to find out the correlation
between stress level with menstruation cycle at the fourth generation women student
of STIKES WIRA MEDIKA PPNI Bali. This study was used 66 respondents by using
simple random technique and stratified random sampling. This study was used
enquette, questioner, processed in coding and scoring. This study was processed by
computer. By bivariate analys with Lambda test. The result showed that most of them
experience stress with unregular menstruation cycle was 50 respondents (75,8%) and
little of them was stress with regular menstruation cycle was 16 respondents (24,25).
There is significant correlation with stress level with menstruation cycle (r=0,294,
p=0,001).
Abstrak: Stres Dengan Siklus Menstruasi Mahasiswi Angkatan Empat Stikes
Wira Medika PPNI Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
Hubungan Tingkat Stres dengan Siklus Menstruasi Mahasiswi Angkatan-4 STIKes
Wira Medika PPNI Bali. Penelitian ini dilakukan pada 66 responden dengan
menggunakan tehnik simple random sampling dan stratified random sampling
pengumpulan data penelitian dengan metode angket, melalui kuesioner, diolah secara
coding dan scoring. Penelitian ini diolah dengan menggunakan komputer. Dengan
analisa bivariat dengan uji Lambda. Dengan hasil penelitian sebagian besar
responden mengalami stres dengan siklus menstruasi tidak teratur sebanyak 50
responden (75,8%) dan sebagian kecil mengalami stres dengan siklus menstruasi
teratur sebanyak 16 responden (24,2%). Terdapat hubungan tingkat stres dengan
siklus menstruasi (r = 0,294, p = 0,001).
Kata kunci: stres, siklus menstruasi
Salah satu periode dalam rentang
kehidupan individu yaitu masa (fase)
remaja. Dimana pada masa ini segmen
kehidupan akan terasa lebih penting dalam
proses perkembangan individu dan
merupakan masa transisi yang dapat
diarahkan menuju masa dewasa yang sehat.
Tahap remaja merupakan masa transisi
antara masa anak dan dewasa, dimana
terjadi pacu tumbuh (growth spurt), dan
terjadi perubahan-perubahan psikologis dan
kognitif, serta ciri-ciri seks sekunder seperti
menstruasi. (Mansur, 2012).
Pada remaja yang sudah mengalami
menstruasi, sering mengalami gangguan
terkait dengan menstruasi. Dimana remaja
akan merasa terganggua bila hidupnya
mengalami perubahan, terutama bila
menatruasi menjadi lebih lama atau banyak ,
tidak teratur, lebih sering atau tidak haid
sama sekali (Dwi Sogi, 2011). Menstruasi
dikatakan sebagai proses alamiah yang akan
terjadi pada setiap remaja, dimana terjadinya
proses pengeluaran darah yang menandakan
bahwa organ dalam kandungan telah
berfungsi dengan matang (Kusmiran, E
2011)
142
Panjang siklus mestruasi normalnya
22-35 hari dan lamanya menstruasi yaitu 3-8
hari. Dalam hal ini banyak yang
menyebabkan terjadinya gangguan siklus
menstruasi. Dimana, siklus menstruasi
menjadi panjang atau pendek. Pada dasarnya
pada panjang atau pendeknya sebuah siklus
menstruasi, melainkan berdasarkan pada
kelainan yang di jumpai. Namun, panjang
siklus yang biasa dan kira-kira 97% wanita
yang berovulasi siklus menstruasinya
berkisar 18-42 hari (Wiknjosastro, 2006).
Menurut WHO dan American of Pediatrics,
Commite on Adolescence Health Care
(2006), panjang siklus menstruasi setelah
menarch adalah 3IV hari dengan 38%
wanita mempunyai siklus menstruasi
melebihi 40 hari. Hasil yang didapatkan
bervariasi yaitu 10% wanita mempunyai
siklus menstruasi melebihi 60 hari antara
siklus menstruasi yang pertama dengan
berikutnya, dan 7% mempunyai panjang
siklus 20 hari. Jika siklusnya kurang dari 18
hari atau lebih dari 42 hari dean tidak
teratur, biasanya siklus tersebut tidak
berovulasi (Wiknjosastro, 2006).
Pada tahun-tahun awal menstruasi
merupakan periode yang rentan terhadap
terjadinya gangguan menstruasi. Dimana
sebanyak 75% wanita pada tahap remaja
akhir sering mengalami gangguan terkait
dengan menstruasi. Menstruasi yang
tertunda, tidak teratur, nyeri, pendarahan
yang banyak pada waktu menstruasi
merupakan hal yang sering, yang dapat
menyebabkan remaja menemui dokter. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Cakir M et
al. Beliau menemukan bahwa prevalensi
ketidakteraturan menstruasi sebesar
(31,2%). Mengenai gangguan lainnya,
BieniasZ J et al. Didapatkan prevalensi
amenorea primer sebanyak 5,3%, amenorea
sekunder 18,4%, oligomenorea 50%,
polimenorea 10,5%, dan gangguan
campuran sebanyak 15,8%. Sedangkan
sindrom pramenstruasi diapatkan IV0%
terjadi pada wanita dengan gejala berat
2-10% penderita.
Penyebab terjadinya perubahan ataupun
gangguan yang terkait dengan siklus
mestruasi, dapat disebakan karena adanya
faktor atau kelainan biologik (organik atau
disfungsional) atau dapat pula karena
psikologik seperti keadaan-keadaan stres
dan gangguan emosi atau gabungan dari
biologik dan psiklogik (Dwi Sogi, 2011).
Stres merupakan kondisi yang dapat dialami
oleh setiap orang. Stres dapat diartikan
sebagai situasi dimana tuntutan yang tidak
spesifik mengharuskan individu untuk
berespon atau melakukan suatu tindakan
baik fisiologis maupun psikologis untuk
dapat mempertahankan keadaan yang
seimbang. Stres merupakan situasi yang
positif dan bahkan diperlukan, namun jika
stres terjadi secara berlebihan akan
menyebabkan hal yang negatif misalnya
penyesuaian yang buruk, penyakit fisik, dan
ketidakmampuan untuk mengatasi masalah
(Potter, 2005)
Stres yang terjadi di karena oleh situasi
lingkungan misalnya bahaya, ancaman, atau
tantangan dengan melakukan suatu
perubahan pada fisiologis, emosi, kognitif,
dan behavioral. Stres dapat terjadi melalui
proses, dimana ketika tubuh seseorang
terkena stres akan memanfaatkan gizi yang
lebih dibandingkan ketika seseorang tersebut
dalam kondisi normal (Taylor, 2009)
Stress yang terjadi pada seseorang
disebabkan karena faktor kemampuan
individu mempersepsikan stressor, dimana
apabila stressor yang di persepsikan akan
berakibat buruk maka stress yang dirasakan
akan sangat berat begitu juga sebalikanya
apabila stressor yang di persepsikan tidak
mengancam dan individu mampu mengatasi
maka stress yang dirasakan akan lebih
ringan. Pada angkatan-V di dapatkan bahwa
sebanyak 35% mahasiswi mengalami stress
yang diakibatkan karena individu tersebut
belum dapat mempersepsikan stressor yang
mereka alami. (Rasmun, 2005)
Berdasarkan hasil studi pendahuluan
yang dilakukan pada bulan maret 2014, pada
20 orang mahasiswi angkatan-IV program
studi ilmu keperawatan STIKes Wira
Medika PPNI Bali, penulis menemukan
bahwa sebanyak 16 orang (80%) mahasiswi
angkatan-IV mengalami stres akibat beban
143
perkuliahan, 5 orang (21%) mahasiswi
angkatan-IV mengalami stres karena
memiliki masalah pribadi, dan 3 orang
(15%) mahasiswi angkatan-IV tidak
mengalami stres. Sebanyak 7 orang (35%)
mahasiswi angkatan-IV mengalami siklus
menstruasi panjang (oligomenorea),
sebanyak 6 orang (30%) mahasiswi
angkatan-IV mengalami ketidakteratuan
menstruasi, sebanyak 4 orang (20%)
mahasiswi angkatan-IV mengalami siklus
menstruasi pendek (polimenorea), dan
sebanyak 3 orang (15%) mengalami siklus
mentruasi yang tetap. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
Hubungan Tingkat Stres dengan Siklus
Menstruasi Mahasiswi Angkatan-4 STIKes
Wira Medika PPNI Bali.
METODE
Desain penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif korelasional.
Penelitian ini menggunakan pendekatan
cross sectional yaitu pendekatan yang
menggunakan observasi atau pengumpulan
data sekali saja dan pengukuran terhadap
variabel subyek pada saat pemeriksaan.
Populasi pada penelitian adalah seluruh
mahasiswi angkatan-4 di STIKes Wira
Medika PPNI Bali sebanyak 214 orang
dengan jumlah sampel penelitian sebanyak
66 responden. Penelitian ini dilaksanakan di
Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes
Wira Medika PPNI Bali selama satu bulan
yaitu dari bulan Juni sampai dengan Juli
2014.
Teknik pengolahan data dan analis data
adalah sebagai berikut: (1) Editing, (2)
Coding, (3) Entry, (4) Tabulasi. Teknik
analisa yang dipakai dalam penelitian ini
adalah teknik statistik yaitu teknik
pengolahan data dengan menggunakan
analisis statistik. Analisis yang digunakan
untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan uji statistik
non parametrik. Teknik analisa data yang
digunakan adalah analisa korelasi bivariat
yaitu melihat apakah ada hubungan antara
dua variabel. Uji statistik yang digunakan
Lamda.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Karakteristik Responden
Berdasarkan Umur
Umur Frekuensi (f) Presentase (%)
20 8 12,3%
21 32 48,4%
22
total
26
66
39,3%
100%
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan
bahwa sebagian besar mahasiswi angkatan 4
progam studi ilmu keperawatan adalah
berusian 21 tahun sebanyak 32 responden
(48,4 %), dan mahasiswi angkatan-4
program studi ilmu keperawatan yang
berusia 20 tahun sebanyak 8 responden
(12,3%).
Tabel 2. Karakteristik Tingkat Stres
Mahasiswi Angkatan-4
STIKes Wira Medika PPNI
Kategori Stres Frekuensi Presentase
Stres ringan 0 0
Stres sedang 52 78,8%
Stres berat 14 21,2%
Stres sangat berat
Total
0
66
0
100%
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat
karakteristik tingkat stres responden yaitu
sebagian besar mahasiswi angkatan-4
program studi ilmu keperawatan STIKes
Wira Medika PPNI Bali mengalami tingkat
stres sedang yaitu sebanyak 52 responden
(78,8%), sisanya adalah mahasiswi yang
mengalami tingkat stres berat yaitu 14
responden (21,2%)
Tabel 3. Karakteristik Siklus Menstruasi
Mahasiswi Angkatan-4 STIKes
Wira Medika
Kategori
Siklus
Frekuensi Presentase
Teratur 16 24,2%
Tidak teratur
Total
50
66
75,8%
100%
144
Berdasarkan tabel diatas dapat
digambarkan karakteristik siklus
menstruasi yang dialami oleh mahasiswi
angkatan-4 program studi ilmu
keperawatan STIKes Wira Medika PPNI
Bali mengalami siklus menstruasi yang
tidak teratur yaitu 50 responden (75,8%),
sisannya adalah mahasiswi mengalami
siklus menstruasi yang teratur yaitu 16
responden (24,2%).
Tabel 4. Hasil Lambda Test Hubungan
Tingkat Stres Dengan Siklus
Menstruasi Mahasiswi
Angkatan-4 STIKes Wira
Medika PPNI Bali
Kategori
Stres
Siklus
Menstruasi
Total r p
Teratur Tidak
Teratur
Ringan - - - 0,294 0,001
Sedang 5 48 53
Berat 11 2 13
Sangat
Berat
- - -
Total 16 50 66
Tabel di atas menunjukkan nilai
korelasinya adalah 0,294 dengan nilai p =
0.001 dimana P < α yaitu 0,001 < 0,05 maka
arah korelasi pada penelitian ini yaitu arah
korelasi positif yang berarti semakin tinggi
tingkat stress maka semakin tinggi
ketidakteraturan siklus mesntruasi.
Berdasarkan 66 responden hanya 52
responden (78,8%) mengalami tingkat stres
sedang dan sebanyak 14 responden (21,3%)
mengalami tingkat stres berat
Hasil penelitian ini di perkuat oleh Ardi
(2009) dengan jumlah sampel 47 responden
didapatkan sebanyak 22 reponden (47%)
mahasiswa mengalami tingkat stress sedang,
sebanyak 13 responden (28%) mahasiswa
mengalami stress berat dan sebanyak 12
(25%) mahasiswa mengalami stress ringan.
Banyak hal yang dapat mempengaruhi
tingkat stress menurut Rasmun (2005)
faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang
mengalami stres, seperti : kehilangan,
konflik keluarga, masalah prestasi atau
kegagalan, kemampuan seorang individu
dalam mempersepsikan stress, rendahnya
intensitas terhadap stimulus, dan
pengalaman masa lalu. Oleh karena itu
dampak yang terjadi pada seseorang yang
mengalami stres dapat terjadi produksi
keringat yang meningkat, aktivitas
metabolik meningkat, ketegangan otot
meningkat selain itu, menurut Kusmiran
(2011) mengatakan bahwa stres dapat
menyebabkan perubahan pada sistemik
tubuh. Khususnya sistem persarafan dalam
hipotalamus melalui perubahan prolaktin
atau endogen opiat yang dapat
mempengaruhi elevasi kortisol dan
menurinkan hormone lutein (LH) yang
menyebabkan gangguan pada siklus
menstruasi.
Berdasarkan uraian diatas peneliti dapat
menggaris bawahi, stres yang terjadi pada
mahasiswi pada masa perkuliahan
disebabkan karenya adanya permasalahan
akademik maupun non akademik. Stres yang
terjadi pada mahasiswi dapat menyebabkan
terjadinya perubahan perilaku pada
mahasiswi seperti penurunan minat dan
efektivitas penurunan energi cenderung
mengekspresikan pandangan pada orang
lain, perasaan marah, kecewa, frustasi,
bingung, putus asa, serta melemahkan
tanggung jawab.
Berdasarkan 66 responden hanya 16
responden (24,2%) sedangkan mahasiswi
yang mengalami siklus menstruasi yang
tidak teratur sebanyak 50 responden
(75,8%).
Penelitian ini di perkuat oleh Ryanthi
(2007) dengan jumlah sampel sebanyak 73
responden didapatkan bahwa sebanyak
71,9% mahasiswi mengalami siklus
menstruasi yang tidak teratur.
Menurut Kusmiran (2011) faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi terjadinya
ketidakteraturan siklus menstruasi yaitu
berat badan yang tidak stabil dalam 1 bulan,
aktivitas fisik yang berlebihan, stress, dan
diet. Siklus menstruasi merupakan waktu
sejak hari pertama menstruasi sampai
datangnya menstruasi berikutnya, sedangkan
145
panjang siklus menstruasi adalah jarak
antara tanggal mulainya menstruasi pada
wanita normal antara 21-35 hari dengan
lamanya menstruasi 3-5 hari (Isnaeni,2011).
Berdasarkan uraian diatas peneliti dapat
menekankan bahwa, terjadinya
ketidakteraturan siklus mesntruasi
disebabkan karena adanya beban psikis yang
terjadi pada setiap wanita, dimana beban
tersebut dapat menyebabkan terjadinya
perubahan iskemik dalam tubuh, yang dapat
mempengaruhi elevasi kortisol basal dan
hormon LH pada tubuh.
Berdasarkan hasil analisa hubungan
tingkat stres dengan siklus menstruasi
mahasiswi angkatan-4 dapat dilihat bahwa
responden yang mengalami tingkat stres
sedang sebanyak 78,8% dimana sebanyak
72,8% mengalami siklus menstruasi yang
tidak teratur dan sebanyak 7,5% mengalami
siklus menstruasi yang teratur. Sedangkan
responden yang mengalami tingkat stres
berat sebanyak 21,2% dimana sebayak
16,6% mengalami siklus menstruasi yang
teratur dan sebanyak 3% mengalami siklus
menstruasi yang tidak teratur. Dari hasil uji
statistik Lambda menggunakan program
komputer dengan tingkat kemaknaan 5%
atau α = 0,05 didapatkan nilai korelasi yaitu
0,294. Berdasarkan perhitungan korelasi
0,294 di dapatkan hubungan positif, dimana
semakin tinggi tingkat stress maka semakin
tinggi ketidakteraturan siklus menstruasi.
Hasil nilai signifikan yaitu P = 0.001 dimana
P<α yaitu 0,001<0,05 sehingga H0 ditolak
dan Ha diterima, artinya ada hubungan
antara tingkat stres dengan siklus menstruasi
mahasiswi angkatan-4.
Hasil penelitian ini diperkuat oleh Dwi
Sogi (2011) dengan judul faktor-faktor yang
berhubungan dengan siklus menstruasi pada
Mahasiswa Akbid Sari Mulia Banjarmasin
dengan jumlah responden sebanyak 49
(80,32%) mengalami kondisi psiklologis
yang tidak baik (stres) sangat besar
pengaruhnya terhadap kejadian
ketidakteraturan siklus menstruasi. Adapaun
faktor-faktor yang berperan dal siklus
menstruasi yaitu, faktor enzim, faktor
vaskuler dan faktor prostgladin. Selain itu,
Perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi
selama siklus ini berlangsung tergantung
dari hormone-hormone tersebut. Ovarium
memiliki dua unit endokrin yang terkait,
yaitu folikel penghasil esterogen selama
siklus pertama, dan korpus luteum, yang
mengeluarkan progesteron dan esterogen
siklus terakhir (Prawirohardjo, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, penelitian
ini menunjukkan bahwa terdapat kaitan
antara tingkat stres dengan siklus
menstruasi, dimana tidak semua mahasiswi
memiliki siklus menstruasi yang sama.
Dimana siklus menstruasi yang tidak teratur
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Diantaranya adalah perubahan kadar
hormone akibat stres dalam keadaan emosi
yang kurang stabil.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan tentang hubungan tingkat stres
dengan siklus menstruasi mahasisiwi
angkatan-4 STIKes Wira Medika PPNI Bali
yang telah diuraikan sebelumnya, dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1)
Sebanyak 52 responden (78,8%) mengalami
tigkat stres sedang, (2) sebanyak 50
responden (75,8%) mengalami
ketidakteraturan siklus menstruasi (3) hasil
uji statistik korelasi Lambda di dapatkan
hasil koefisien korelasi 0.294 dan P = 0,001,
dimana P<0,05, maka H0 ditolak dan Ha
diterima yang berarti ada hubungan antara
tingkat stres dengan siklus menstruasi
mahasiswi angkatan-4 STIKes Wira Medika
PPNI Bali. Korelasi yang didapat berpola
positif yang berarti semakin tinggi tingkat
stress maka sekain tinggi ketidakteraturan
siklus menstruasi.
DAFTAR RUJUKAN Ardi, Tyas. (2009). Hubungan Antara
Tingkat Stres Dengan Mekanisme Koping Pada Mahasiswa Keperawatan Menghadapi Praktek Belajar Lapangan Di Rumah Sakit. (online), (http:// publikasiilmiah.ums.ac.id/pdf/TYAS%20, diakses pada 17 Agustus 2014)
146
Dwi Sogi & Harliyanti. 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Siklus Menstruasi Pada Mahasiswa AKBID Sari Mulia Banjarmasin,(online), (http:// Dwi Sogi-Faktor-Faktor Yang Berhubungan(1).pdf, diakses pada 9 Mei 2014)
Kusmiran, E. (2011). Menarche.
Yogyakarta: Muha Medika. Mansur, H. (2012). Psikologi Ibu dan Anak
untuk Kebidanan. Jakarta: Selemba Medika.
Meliana dan Isnei (2011).Hubungan Antara
Stres Dengan Kejadian Disminore pada Program Studi D-IV Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, (online), (http:// eprints.uns.ac.id//16524010920101058/pdf, diakses 12 Juli 2014)
Potter, P. d. (2005). Fundamental
Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik Volume 1 Edisi 4. Jakarta: EGC.
Prawirohardjo, S. (2007). Ilmu Kandungan.
Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Rasmun. (2005). Stres, Koping dan Adaptasi
Teori dan Pohon Masalah Keperawatan. Jakarta: CV Sagung Seto.
Ryanti. (2007). Hubungan Antara Tingkat
Kecemasan Dengan Siklus Menstruasi pada Program Studi D-IV Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, (online), (http:// eprints.uns.ac.id//16524010920101058/pdf, diakses 12 Juli 2014)
Taylor, S. (2009). Psikologi Sosial Edisi 12.
Jakarta: Kencana. Wiknjosastro, D. (2006). Ilmu Kebidanan .
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
147
HUBUNGAN PENERAPAN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN
DENGAN SUPERVISI PELAYANAN KEPERAWATAN OLEH
PERAWAT PELAKSANA
IGA Ari Rasdini
Ni MadeWedri
IGA Mega
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Email: [email protected]
Abstract. The relationship between supervision of nursing care with the
implementation of patient safety culture. This study aimed to explore the
relationship between supervision of nursing care with the implementation of patient
safety culture by associate nurses in Sanglah Hospital inpatient room. This study is a
correlative study with cross sectional method, performed one month in February
2014. The sample consisted of 223 nurses were taken using proportionate stratified
random sampling technique in sub populations and then members of the
subpopulation samples were taken using simple random sampling technique. The
data was collected using a questionnaire survey method to determine the
characteristic data of the respondents, supervision of nursing services, and data of
patient safety culture implementation by associate nurses. The results showed no
significant relationship between supervision and medium strength nursing care with
patient safety culture implementation by nurses ( p = 0.000 ).
Abstrak: Hubungan penerapan budaya keselamatan pasien dengan supervisi
pelayanan keperawatan oleh perawat pelaksana. Penelitian ini bertujuan untuk
mencari hubungan antara supervisi pelayanan keperawatan dengan penerapan budaya
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUP Sanglah
Denpasar. Penelitian ini merupakan studi korelatif dengan metode pendekatan cross
sectional. Sampel terdiri dari 223 perawat pelaksana yang diambil dengan
menggunakan teknik proportionate stratified random sampling pada sub populasi dan
kemudian anggota sampel dari subpopulasi diambil menggunakan teknik simple
random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey menggunakan
kuesioner untuk mengetahui data karakteristik responden, supervisi pelayanan
keperawatan, dan data penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan dan berkekuatan sedang
antara supervisi pelayanan keperawatan dengan penerapan budaya keselamatan
pasien oleh perawat pelaksana (p = 0,000).
Kata kunci: penerapan budaya keselamatan pasien, supervisi, pelayanan
keperawatan, perawat pelaksana
Insiden keselamatan pasien merupakan
bentuk kejadian yang berpotensi
mengakibatkan cedera yang dapat dicegah
ketika sistem pemberian asuhan yang aman
tidak dikelola dengan baik oleh Rumah
sakit. Insiden keselamatan pasien dapat
berupa kejadian tidak diharapkan (KTD),
kejadian nyaris cedera (KNC), dan kejadian
sentinel (mengakibatkan cedera serius atau
kematian pada pasien) (Depkes RI, 2006).
Laporan pertama mengenai insiden
diterbitkan oleh Institute Of Medicine (IOM)
berjudul To Err is Human: Building a Safer
Health System pada tahun 2000
menunjukkan sebanyak 58% dari 98.000
kesalahan terkait kematian terjadi setiap
148
tahunnya akibat kesalahan yang mungkin
dapat dicegah (Depkes RI, 2006). Laporan
mengenai KTD di berbagai negara
menunjukkan angka yang bervariasi. Data
tentang keselamatan pasien yang dilaporkan
oleh Clinical Excelence Commission, New
South Wales, Australia sepanjang Januari
hingga Juni 2010 menunjukkan telah terjadi
64.225 KTD di seluruh fasilitas kesehatan
yang ada. Kejadian tidak diharapkan yang
paling sering terjadi antara lain pasien jatuh
(12.670 kasus), kejadian yang terkait dengan
obat-obatan dan cairan intravena (11,171
kasus) dan manajemen klinis (9915 kasus)
(Clinical Excellence Commission, 2013).
Data tentang KTD dan KNC di
Indonesia dikategorikan masih langka untuk
ditemukan karena standar pelayanan
kesehatan di Indonesia masih kurang
optimal (Depkes RI, 2006). Penerapan
budaya keselamatan pasien oleh perawat
pelaksana adalah tindakan yang dilakukan
oleh perawat pelaksana yang mencerminkan
dimensi budaya keselamatan pasien yaitu
keterbukaan dan melaporkan ketika terjadi
insiden keselamatan pasien, keadilan antar
perawat ketika terjadi insiden keselamatan
pasien, serta pembelajaran terhadap suatu
kesalahan atau insiden keselamatan
pasien(KBBI, 2013; NPSA, 2004; Reiling,
2006). Penelitian empiris telah menemukan
bahwa insiden keselamatan pasien
cenderung lebih sedikit terjadi pada rumah
sakit yang merangkul budaya keselamatan,
memiliki organisasi kelompok yang
berorientasi budaya, keselamatan pasien
(Tucker, 2004). Budaya keselamatan pasien
merupakan suatu cara untuk membangun
program keselamatan pasien secara
keseluruhan (Kizer, 1999 dalam Fleming,
2012) dan penerapan budaya keselamatan
pasien membantu perawat bekerja dengan
aman (Agnew, 2013). Penelitian tahun 2012
yang meneliti 723 perawat dari 29 unit
perawatan sebuah rumah sakit di USA
menemukan terjadinya cedera perawat dan
KTD (ulkus dekubitus) terhadap pasien
berkaitan dengan faktor budaya
keselamatan. Penelitian oleh Zohar et al
terhadap 995 perawat di rumah sakit di
Israel menunjukkan bahwa prediktor dari
perilaku para perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan yang aman adalah
mutu rumah sakit itu sendiri (Zohar et al,
2007). Penerapan budaya keselamatan
pasien dapat ditingkatkan melalui kegiatan
supervisi pelayanan keperawatan yang
dilakukan oleh supervisor keperawatan.
Supervisi pelayanan keperawatan
merupakan interaksi dan komunikasi
professional antara supervisor keperawatan
dan perawat pelaksana yakni dalam interaksi
komunikasi tersebut perawat pelaksana
menerima bimbingan, dukungan, bantuan,
dan dipercaya, sehingga perawat pelaksana
dapat memberikan asuhan yang aman
kepada pasien (Halpern & McKimm 2006;
Suyanto, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Gershon
et al (2000) terhadap 789 pekerja rumah
sakit di USA menunjukkan bahwa ketika
supervisor memberikan dukungan untuk
keamanaan para pekerja akan memberikan
umpan balik positif terhadap keselamatan
serta mengurangi insiden terpapar cairan
tubuh dari pasien dan sebaliknya (Gershon
et al, 2000). Efek supervisi pada kualitas
pelayanan, merupakan aspek utama dalam
peningkatan kualitas dan hal tersebut
didefinisikan sebagai area target oleh WHO
(Hyrkas & Lethi, 2003).
Penelitian yang dilakukan Wibowo
(2013) menunjukkan bahwa pelaksanaan
supervisi yang kurang baik mengakibatkan
53,2% perawat memiliki kinerja tidak baik
dan supervisi yang dilakukan dengan baik
mengakibatkan 73,6% perawat memiliki
kinerja baik. Penelitian dilakukan oleh
Nurmalia (2012) mengenai pengaruh
mentoring terhadap penerapan budaya
keselamatan pasien menunjukkan bahwa
program mentoring keperawatan
mempunyai pengaruh dalam meningkatkan
penerapan budaya keselamatan pasien
sebesar 20%. Hasil penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa kelompok yang tidak
mendapatkan program mentoring
keperawatan akan berisiko mengalami
penurunan dalam penerapan budaya
keselamatan pasien sebesar 2,5 kali lebih
149
besar dibandingkan dengan kelompok yag
mendapatkan program mentoring
keperawatan. Masalah dalam penelitian
adalah apakah ada hubungan antara
supervisi dengan budaya keselamatan
pasien oleh perawat pelaksana di Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh supervisi terhadap
budaya keselamatan pasien oleh perawat
pelaksana di RSUP.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah
analitik observasional dengan rancangan
studi korelasional . Model pendekatan dalam
rancangan penelitian ini adalah pendekatan
cross sectional karena menekankan pada
waktu pengukuran atau Penelitian ini
menggunakan observasi data variabel
independen dan dependen hanya satu kali
dan tidak ada tindak lanjutnya (Nurslam,
2008). Penelitian dilaksanakan di ruang
rawat RSUP Sanglah Denpasar, Jalan
Kesehatan No. 1 Denpasar, Bali. Populasi
penelitian ini termasuk populasi finite
(terbatas) artinya diketahui jumlahnya
(Wasis, 2008). Adapun populasi yang
digunakan adalah perawat pelaksana yang
bekerja di ruang rawat inap RSUP Sanglah
Denpasar sejumlah 533 perawat pelaksana.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi
(Sugiyono, 2010). Sampel penelitian ini
adalah perawat pelaksana yang bekerja di
ruang rawat RSUP Sanglah Denpasar
sebanyak 223 perawat pelaksana. Data yang
dikumpulkan adalah data primer tentang
supervisi keperawatan dan penerapan
budaya keselamatan pasien oleh perawat
pelaksana yang diperoleh melalui pengisian
kuesioner oleh , yaitu The Manchester
Clinical Supervision Scale dan The Hospital
Survey of Patient Safety Culture. Analisis
data dalam penelitian in menggunakan:
analisis univariat yang ditampilkan dalam
tabel distribusi frekuensi dan analisis
bivariat dilakukan dengan uji korelasi
Pearson Product Moment.
HASIL DAN PEMBAHASAN Responden dalam penelitian ini adalah
perawat pelaksana di ruang rawat inap
RSUP Sanglah Denpasar yang berjumlah
223 responden. Karakteristik responden
digambarkan berdasarkan usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pelatihan
terkait keselamatan pasien yang pernah
diikuti, dan masa kerja.
Tabel 1. Karakteristik Responden
Berdasarkan Usia
Karakteristik
Responden
Frekuensi
(n)
Persentase
(%)
Usia (tahun)
21-28
29-36
37-44
45-52
102
71
36
14
45,8
31,9
16,1
6,2
Berdasarkan tabel 1. dapat disimpulkan dari
223 responden, sebagian besar responden
berusia antara 21-28 tahun (45,8%) .
Tabel 2. Karakteristik Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin
Karakteristik
Responden
Frekuensi
(n)
Persentase
(%)
Jenis Kelamin
a. Perempuan
b. Laki-laki
181
42
81,2
18,8
Berdasarkan tabel 2. dapat disimpulkan dari
223 responden, sebagian besar responden
berjenis kelamin perempuan (81,2%).
Tabel 3. Karakteristik Responden
Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Karakteristik
Responden
(n) Persentase
(%)
Tingkat
Pendidikan
a. SPK
b. DIII
Keperawatan
c. S1 Keperawatan
1
201
21
4
90,1
9,4
150
Berdasarkan tabel 3. dapat disimpulkan dari
223 respoden sebagian besar responden
merupakan lulusan DIII keperawatan
(90,1%).
Karakteristik responden berdasarkan
pelatihan terkait keselamatan pasien yang
pernah diikuti ditampilkan dalam tabel.
Tabel 4. Karakteristik Responden
Berdasarkan Pelatihan Terkait
Keselamatan Pasien
Karakteristik
Responden
Frekuensi
(n)
Persentase
(%)
Pelatihan
a. Tidak Pernah
b. Pernah
11
212
4,9
95,1
Berdasarkan tabel 4. dapat disimpulkan
dari 223 responden sebagian besar pernah
mengikuti pelatihan terkait keselamatan
pasien (95,1).
Tabel 5. Karakteristik Responden
Berdasarkan Masa Kerja
Karakteristik
Responden
Frekuensi
(n)
Persentase
(%)
Masa kerja
(tahun)
1-8
9-16
17-24
25-32
135
59
28
1
60,6
26,4
12,6
0,4
Berdasarkan tabel 5. dapat disimpulkan
sebagian besar responden memiliki masa
kerja selama 1-8 tahun di masing-masing
ruang rawat inap RSUP Sanglah Denpasar
(60,6%).
Tabel 6. menggambarkan distribusi
frekuensi penilaian supervisi pelayanan
keperawatan oleh responden di ruang rawat
inap RSUP Sanglah Denpasar tahun 2014.
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Supervisi
Pelayanan Keperawatan
Berdasarkan tabel 6. dapat disimpulkan
supervisi pelayanan keperawatan di ruang
rawat inap RSUP Sanglah Denpasar
sebagian besar dinilai baik oleh responden
(62,8%) dengan komponen normatif sebagai
komponen yang dinilai baik oleh sebagian
besar responden (63,2%). Komponen
restoratif merupakan komponen yang paling
sedikit mendapat penilaian baik dari
responden (29,1%).
Tabel 7. menggambarkan distribusi
frekuensi penerapan budaya keselamatan
pasien oleh perawat pelaksana di ruang
rawat inap RSUP Sanglah Denpasar tahun
2014.
Variabel Frekuensi
(n)
Persentase
(%)
Supervisi
pelayanan
keperawatan
Baik
Sedang
Buruk
140
83
0
62,8
37,2
0
Komponen
normatif
Baik
Sedang
Buruk
141
82
0
63,2
36,8
0
Komponen
formatif
Baik
Sedang
Buruk
81
140
2
36,3
62,8
9
Komponen
restoratif
Baik
Sedang
Buruk
65
155
3
29,1
69,5
1,3
151
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Penerapan
Budaya Keselamatan Pasien oleh
Perawat Pelaksana
Berdasarkan tabel 7. dapat disimpulkan
penerapan budaya keselamatan pasien oleh
perawat pelaksana di RSUP Sanglah
Denpasar sebagian besar mendapat nilai
baik (71,3%). Dimensi budaya pelaporan
merupakan dimensi budaya keselamatan
pasien oleh perawat pelaksana yang paling baik diterapkan (77,1%).
Analisis hubungan supervisi pelayanan
keperawatan dengan penerapan budaya
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana
di ruang rawat inap RSUP Sanglah
Denpasar tahun 2014 disajikan dalam tabel
Tabel 10. Hasil Analisis Hubungan
Supervisi Pelayanan Keperawatan
dengan Penerapan Budaya
Keselamatan Pasien oleh Perawat
Pelaksana
Tabel 10 menunjukkan nilai r = 0,406
dan nilai p value = 0,000. Kesimpulan hasil
tersebut adalah ada hubungan signifikan
antara supervisi pelayanan keperawatan
dengan penerapan budaya keselamatan
pasien oleh perawat pelaksana di ruang
rawat inap RSUP Sanglah Denpasar tahun
2014 (p < 0,05). Kekuatan korelasi
menunjukkan korelasi yang sedang (0,400 <
r < 0,599) dan berpola positif (Dahlan,
2011).
Berdasarkan hasil penelitian, supervisi
pelayanan keperawatan di ruang rawat inap
RSUP Sanglah Denpasar dinilai baik oleh
sebagian besar responden (62,8%).
Supervisi pelayanan keperawatan di RSUP
Sanglah Denpasar yang dilaksanakan oleh
supervisor keperawatan berjalan cukup
optimal dengan kegiatan berupa
pengawasan, bimbingan, serta motivasi
sesuai dengan komponen supervisi
pelayanan keperawatan yakni normatif
(manajerial), formatif (edukatif), serta
restoratif (dukungan). Hal tersebut sesuai
dengan prinsip bahwa supervisi memerlukan
pengetahuan dasar. manajemen, hubungan
antar manusia, kemampuan menerapkan
prinsip manajemen dan kepemimpinan
(Keliat 1999, dalam Supratman &
Sudaryanto, 2008). Masing-masing
komponen supervisi pelayanan keperawatan
mendapat penilaian yang bervariasi dari
responden. Komponen yang pertama adalah
normatif atau manajerial. Berdasarkan hasil
penelitian, komponen normatif merupakan
komponen supervisi pelayanan keperawatan
Variabel Frekuensi
(n)
Persentase
(%)
Penerapan
budaya
keselamatan
pasien oleh
perawat
pelaksana
Baik
Sedang
Buruk
159
64
0
71,3
28,7
0
Dimensi budaya
keterbukaan
Baik
Sedang
Buruk
83
123
17
37,2
55,2
7,6
Dimensi budaya
pelaporan
Baik
Sedang
Buruk
172
51
0
77,1
22,9
0
Dimensi budaya
keadilan
Baik
Sedang
Buruk
117
102
4
52,5
45,7
1,3
Dimensi budaya
pembelajaran
Baik
Sedang
Buruk
158
65
0
70,9
29,1
0
Variabel Penerapan Budaya
Keselamatan
Pasien oleh
Perawat Pelaksana
r p value
Supervisi Pelayanan
Keperawatan
0,406 0,000
152
di ruang rawat inap RSUP Sanglah
Denpasar yang sebagian besar mendapat
nilai baik dari responden (63,2%). Penilaian
yang baik pada komponen ini
mengindikasikan bahwa perawat pelaksana
merasakan adanya interaksi yang baik dalam
supervisi pelayanan keperawatan dalam
usaha meningkatkan profesionalisme
perawat. Hal tersebut sejalan dengan
pernyataan Winstanley & White (2011)
bahwa komponen normatif akan dianggap
baik dalam supervisi pelayanan keperawatan
ketika supervisor keperawatan yang mampu
memberikan kontribusi ke unit klinis dalam
mempromosikan kebijakan dan prosedur
serta pengembangan standar rumah sakit.
Berdasarkan hasil penelitian, penerapan
budaya keselamatan pasien oleh perawat
pelaksana di ruang rawat inap RSUP
Sanglah Denpasar sebagian besar berada
pada kategori baik (71,3%). Masing-masing
dimensi penerapan budaya keselamatan
pasien oleh perawat pelaksana berada pada
kategori bervarisi. Penerapan dimensi
budaya keterbukaan sebagian besar berada
dalam kategori sedang (55,2%).
Keterbukaan berarti adanya komunikasi dua
arah yang aktif antar perawat pelaksana,
atasan, bahkan pasien. Fokus dari
keterbukaan adalah pembelajaran dan bukan
untuk mencari kesalahan (NPSA, 2004).
Perawat pelaksana di ruang rawat inap yang
sebagian besar dalam usia produktif untuk
berkomunikasi. Hasil penelitian juga
memaparkan bahwa usia secara signifikan
berhubungan dengan persepsi terhadap
penerapan budaya keselamatan pasien
(Setiowati, 2010). Namun selama ini
perawat pelaksana tidak sepenuhnya terbuka
dalam membicarakan masalah seputar
keselamatan pasien diakibatkan karena ada
perasaan takut dan tidak mendapat umpan
balik dari atasan atas upaya yang telah
dilakukan perawat terkait mengurangi
insiden keselamatan pasien (Nurmalia,
2012).
Hubungan yang baik dan terbuka antara
supervisor keperawatan dan perawat
pelaksana akan meningkatkan pencapaian
standar pelayanan, sehingga sangat memberi
manfaat yang potensial baik bagi supervisor
keperawatan, perawat, dan pasien. Standar
pelayanan berfungsi sebagai acuan perawat
pelaksana dalam memberikan asuhan yang
bermutu. Supervisi pelayanan keperawatan
memegang peranan penting dalam
mendukung pelayanan yang bermutu
melalui jaminan kualitas, manajemen risiko,
dan manajemen kinerja.
Hubungan supervisi pelayanan
keperawatan dengan penerapan budaya
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana
di ruang rawat inap RSUP Sanglah
Denpasar tahun 2014 berkekuatan sedang
(r = 0,406). Hal tersebut mengindikasikan
bahwa supervisi pelayanan keperawatan
merupakan faktor yang tidak bisa dijadikan
sebagai faktor tunggal karena masih ada
faktor lain seperti karakteristik responden
maupun konsep sistem dalam penerapan
budaya keselamatan pasien. Sama halnya
dengan pernyataan yang menyebutkan
bahwa kesalahan medis sangat jarang
disebabkan oleh faktor kesalahan manusia
secara tunggal namun lebih banyak
disebabkan karena kesalahan sistem rumah
sakit yang mengakibatkan rantai-rantai
dalam sistem terputus (Cahyono, 2008).
Karakteristik individu merupakan faktor
karakteristik demografi yang tidak dapat
diubah namun sangat diperlukan dalam
pengelolaan SDM yang tepat. Hasil
penelitian oleh Setiowati (2010)
memberikan jawaban bahwa karakteristik
individu merupakan komponen yang
berdampak langsung dengan penerapan
budaya keselamatan. Usia, masa kerja,
tingkat pendidikan berhubungan positif dan
berkekuatan lemah dengan penerapan
budaya keselamatan pasien (p < 0,05). Usia
dikaitkan dengan pola pikir dan daya
tangkap sesuatu. Semakin bertambahnya
usia menuju dewasa akan mempengaruhi
seseorang dalam menciptaan, merenovasi,
atau memelihara kebudayaan yang akan
diturunkan pada generasi selanjutnya (Potter
& Perry, 2005).
Masa kerja merupakan cerminan dari
pengalaman kerja dan dapat meningkatkan
pengetahuan terhadap sesuatu. Masa kerja
153
memberikan gambaran positif dalam isu
ketenagaan perawat (Marquis & Houston,
2010). Namun berbeda dengan hasil
penelitian oleh Nurmalia (2012)
menyebutkan pengalaman kerja antara
kelompok intervensi yang jauh dibawah
kelompok kontrol memiliki kemampuan
yang lebih dalam menerima perubahan
dalam upaya meningkatkan budaya
keselamatan pasien. Hal tersebut dikaitkan
dengan karyawan yang memiliki masa kerja
yang lebih panjang cenderung merasa
nyaman dan resisten terhadap perubahan
(Awang, 2004 dalam Nurmalia, 2012).
Pembentukan budaya keselamatan
pasien bukanlah merupakan hal yang mudah
dan cepat. Budaya merupakan karakteristik
yang abadi yang dapat dilihat dari luar
organisasi yang terefleksikan dari perilaku
dalam organisasi. Iklim organisasi positif
yang terus-menerus dipupuk akan
bermanifestasi menjadi budaya yang positif.
Hasil yang signifikan antara hubungan
supervisi pelayanan keperawatan perlu
mendapat perhatian karena berhubungan
dengan penerapan budaya keselamatan
pasien oleh perawat pelaksana.
SIMPULAN
Supervisi pelayanan keperawatan di
ruang rawat inap RSUP Sanglah Denpasar
tahun 2014 mendapatkan penilaian yang
baik dari sebagian besar responden (62,8%)
dengan komponen normatif atau manajerial
sebagai komponen supervisi pelayanan
keperawatan yang mendapat penilaian baik
dari sebagian besar responden (63,2%).
Komponen formatif (edukatif) dan restoratif
(dukungan) perlu ditingkatkan kembali
karena masih ada responden yang
memberikan penilaian buruk, masing
masing 9% dan 1,3%.
Sebagian besar responden berada pada
kategori baik (71,3%) dalam penerapan
budaya keselamatan pasien di ruang rawat
inap RSUP Sanglah tahun 2014. Dimensi
budaya pelaporan merupakan dimensi dari
budaya keselamatan pasien yang diterapkan
paling baik diantara dimensi yang lain oleh
perawat pelaksana di ruang rawat inap
RSUP Sanglah Denpasar tahun 2014, yakni
77,1%. Penerapan dimensi budaya
keterbukaan masih perlu ditingkatkan oleh
perawat pelaksana di RSUP Sanglah
Denpasar karena hanya 37,2% responden
yang memberikan penilaian baik dan 7,6%
responden masih memberikan penilaian
buruk.
Ada hubungan signifikan antara
supervisi pelayanan keperawatan dengan
penerapan budaya keselamatan pasien oleh
perawat pelaksana di ruang rawat inap
RSUP Sanglah Denpasar tahun 2014 (p =
0,000). Kekuatan korelasi menunjukkan
kekuatan sedang dengan arah positif (r =
0,406). Kesimpulan yang dapat ditarik
adalah supervisi pelayanan keperawatan
yang dilaksanakan sesuai komponennya
masing-masing (normatif, formatif, dan
restoratif) akan berdampak pada perawat
pelaksana dalam meningkatkan penerapan
budaya keselamatan pasien. Supervisor
keperawatan berperan penting dalam
membawa cita-cita rumah sakit dalam
meningkatkan mutu asuhan keperawatan
dengan melaksanakan supervisi pelayanan
keperawatan secara rutin.
DAFTAR RUJUKAN Agnew et al. 2013. Patient Safety Climate
and Worker Safety Behaviours in Acute Hospitals in Scotland, Journal of Safety Research,(online),(http://www.sciencedirect.com, diakses 31 Juli 2013).
Cahyono. 2008. Membangun Budaya
Keselaman Pasien. Yogyakarta: Kanisius.
Depkes RI. 2006. Panduan Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety): Utamakan Keselamatan Pasien. Jakarta: Depkes RI.
Gershon et al. 2000. Hospital Safety
Climate and Its Relationship With Safe Work Practices and Workplace Exposure Incidents, American Journal of Infection Control, (online), Volume 3, No.28, (www.ncibi.nlm.nih.gov, diakses 1 Agustus 2013).
154
Marquis, B. L. & Huston, C. J. 2010. Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan. Edisi 4. Terjemahan oleh Widyawati dkk. 2003. Jakarta: EGC.
National Patient Safety Agency (NPSA).
2004. Seven Step to Patient Safety: Full Reference Guide, (online), (http://www.npsa.nhs.uk/health/reporting/7step, diakses 20 Agustus 2013).
Nurmalia, D. 2012. Pengaruh Mentoring
terhadap Penerapan Budaya Keselamatan Pasien di Ruang Rawat Inap RS Islam Sultan Agung Semarang, (online), (http://www.lontarui.ac.id, diakses 30 Juli 2013).
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Potter & Perry. 2005. Fundamental
Keperawatan. Jakarta: EGC. Sugiyono. 2010a. Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2010b. Statistika untuk
Penelitian. Bandung: Alfabeta. Supratman & Sudaryanto. 2008. Model-
Model Supervisi Keperawatan Klinik, (online), (http://publikasiilmiah.ums.ac.id, diakses 2 Maret 2014).
Marquis, B. L. & Huston, C. J. 2010.
Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan. Edisi 4. Terjemahan oleh Widyawati dkk. 2003. Jakarta: EGC.
National Patient Safety Agency (NPSA).
2004. Seven Step to Patient Safety: Full Reference Guide, (online), (http://www.npsa.nhs.uk/health/reporting/7step, diakses 20 Agustus 2013).
Nurmalia, D. 2012. Pengaruh Mentoring
terhadap Penerapan Budaya
Keselamatan Pasien di Ruang Rawat Inap RS Islam Sultan Agung Semarang, (online), (http://www.lontarui.ac.id, diakses 30 Juli 2013).
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Permenkes RI. 2011. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011, (online), (http://www.hukor.depkes.go.id, diakses 20 September 2013).
Potter & Perry. 2005. Fundamental
Keperawatan. Jakarta: EGC. Tucker, A.L. 2004. The Impact Operational
Failures on Hospital Nurses and Their Patients. Journal of Operations Management (online), No.22, (http://www.hbs.edu, diakses 31 Juli 2013).
Wasis. 2008. Pedoman Riset Praktis untuk
Profesi Perawat. Jakarta: EGC. Wibowo, dkk. 2013. Hubungan
Pelaksanaan Supervisi Kepala Ruang dengan Kinerja Perawat dalam Pendokumentasian Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit Tentara Wijayakusuma Purwokerto, (online), (http://keperawatan.unsoed.ac.id, diakses 10 September 2013).
Winstanley, J. & White, E. 2003. Clinical
Supervision: Models, Measures and Best Practice. Journal of Nurse Researcher, (online), Volume 10, No. 4, (http://rcnpublishing.com, diakses 8 Agustus 2013).
Zohar et al. 2007. Healthcare Climate: A
Framework For Measuring and Improving Patient Safety. Journal of Critical Care Medicine, (online), Volume 5, No. 35, (http://www.ncbi.nlm.nih.gov, diakses 31 Juli 2013).
155
PELAKSANAAN TUGAS KELUARGA BIDANG KESEHATAN
PADA LANSIA UMUR (70-79 ) TAHUN
I Ketut Gama
Komang Suardana
I Gede Widjanegara Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Email: [email protected]
Abstract: The task of family health in older age (70-79). The purpose of research to
determine the task execution family health in the elderly age (70-79) in the village of
Nyangglan. This type of research is a survey research on the subject of research by
using the approach, cross-sectional. The sampling technique in this study with a total
sampling, a total of 50 respondents elderly age (70-79) who meet the inclusion and
exclusion criteria. The results showed from 50 respondents who researched most of
27 (54%) of the 50 respondents were in the age range 75-79 years, belonging to
these 29 (58%), secondary school education, 20 (40%), farmers work 24 (48% ), the
implementation of the tasks less 35 family health (70%).
Abstrak: Pelaksanaan tugas keluarga bidang kesehatan pada lansia umur
(70-79) tahun. Tujuan penelitian untuk mengetahui pelaksanaan tugas keluarga
bidang kesehatan pada lansia usia (70-79) di Desa Nyangglan. Jenis penelitian ini
merupakan penelitian survei dengan menggunakan pendekatan, cross-sectional.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan total sampling, sebanyak 50
orang responden lansia usia (70-79) yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil penelitian menunjukkan dari 50 orang responden yang diteliti sebagian besar 27
(54%) dari 50 responden berada di rentang usia 75-79 tahun, peremuan 29 (58%),
pendidikan SMP, 20(40%), pekerjaan petani 24 (48%), pelaksanaan tugas keluarga
bidang kesehatan kurang 35(70%).
Kata kunci: pelaksanaan tugas keluarga, bidang kesehatan, lansia
Kemajuan teknologi terus mengalami
peningkatan yang berimbas pada
keberhasilan pemerintah dalam
pembangunan nasional, hasil yang positif di
berbagai bidang, yaitu perbaikan lingkungan
hidup, adanya kemajuan ekonomi, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di
bidang ilmu kedokteran yang dapat
meningkatkan kualitas kesehatan penduduk
serta meningkatkan umur harapan hidup
(Nugroho, 2000).
Indonesia akan mengalami ledakan
penduduk lanjut usia pada 2010 hingga
2020. Jumlah lansia diperkirakan naik
mencapai 11,34% dari jumlah penduduk di
Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) jumlah lansia di Indonesia
pada tahun 2009 (20.547.541 orang). Dari
jumlah tersebut, 14% di antaranya berada di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, atau
yang merupakan daerah paling tinggi jumlah
lansianya. Disusul Provinsi Jawa Tengah
sebanyak 11,16%, Jawa Timur sebanyak
11,14%, dan Bali sebanyak 11,02%. Badan
Pusat Statistik tahun 2009 menyebutkan
jumlah lansia di Bali laki-laki 164.900 jiwa
dan perempuan 184.100 jiwa. Diperkirakan
tahun 2012 jumlah lansia mencapai laki-laki
181.100 jiwa dan perempuan mencapai
204.700 jiwa (Soelistiono, 2009). Prevalensi
depresi pada lansia di dunia berkisar 8-15
persen dan hasil meta analisis dari laporan
negara-negara di dunia mendapatkan
prevalensi rata-rata depresi pada lansia
adalah 13,5 persen dengan perbandingan
wanita-pria 14,1: 8,6, akibat tidak mendapat
156
pendampingan secara maksimal oleh
keluarga, (Soelistiono, 2009).
Lanjut usia adalah tahap akhir siklus
hidup manusia, merupakan bagian dari
proses kehidupan yang tidak dapat
dihindarkan dan akan dialami oleh setiap
individu. Pada tahap ini individu mengalami
banyak perubahan baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam
berbagai fungsi dan kemampuan yang
pernah dimilikinya. Perubahan penampilan
fisik sebagian dari proses penuaan normal,
seperti rambut yang mulai memutih, kerut-
kerut ketuaan di wajah, berkurangnya
ketajaman panca indera, serta kemunduran
daya tahan tubuh, merupakan acaman bagi
integritas lanjut usia. Belum lagi mereka
harus berhadapan dengan kehilangan-
kehilangan peran diri, kedudukan sosial,
serta perpisahan dengan orang-orang yang
dicintai. Kondisi di atas menyebabkan lanjut
usia menjadi lebih rentan untuk mengalami
problem mental, salah satunya adalah
depresi (Erawati, 2001).
Tugas keluarga merupakan dukungan
yang penting bagi lanjut usia terutama bila
terjadi ketergantungan dalam memenuhi
kebutuhan, keluarga harus berperan sebagai
pemberi perawatan primer. Tugas keluarga
memegang suatu peranan yang signifikan
dalam kehidupan pada hampir semua orang
lanjut usia (lansia). Ketika keluarga tidak
menjadi bagian kehidupan seorang lansia,
umumnya menyebabkan lansia tersebut
merasa terabaikan (Pratt, 1993 dalam
Erawati, 2001). Tugas keluarga sangat
berpengaruh terhadap besar kecilnya tingkat
depresi. Lanjut usia yang mengalami
hipertensi membutuhkan dukungan dari
keluarganya berupa tugas keluarga
(Yundini, 2006). Adapun lima tugas
keluarga yang berpengaruh yaitu mengenali
masalah kesehatan, mengambil keputusan
masalah kesehatan terhadap keluarganya
yang sakit, merawat keluarganya yang sakit,
memodifikasi lingkungan dalam dan luar
rumah yang berdampak terhadap kesehatan
keluarga, memanfaatkan fasilitas pelayanan
kesehatan apabila ada anggota keluarganya
yang sakit ( Achjar, 2010).
Jumlah penduduk lanjut usia di atas
(70-79) tahun di Kabupaten Bangli tahun
2011 sebanyak 17.704 orang, tahun 2012,
sebanyak 19.078, dan tahun 2013 mencapi
19.527.orang,( Dinkes Kab.Bangli, 2013).
Sedangkan jumlah lansia umur 60 tahun ke
atas di wilayah kerja Puskesmas Tembuku,
dalam tiga tahun terakhir yakni tahun 2011,
sebanyak 2.236.orang, tahun 2012, sebanyak
4.429.orang, sedangkan tahun 2013
mencapai 4.447 orang, (Puskesmas
Tembuku, 2013).
Prevalensi peningkatan jumlah lanjut
usia di wilayah kerja Puskesmas Tembuku
akan memberikan dampak terhadap masalah
kesehatan pada lanjut usia itu sendiri seperti
depresi, penyakit rematik, gangguan panca
indra, penyakit hipertensi dll. Masalah ini
bisa diperparah bila keluarga tidak mampu
melaksanakan tugas kepada anggota
keluarganya, (Soelistiono, 2009).
Populasi lanjut usia umur (70-79)
tahun,di Banjar Nyangglan Kaja mencapai
50 orang, makin panjangnya umur harapan
hidup tersebut, disamping sebagai suatu
kebanggaan tetapi dipihak lain juga
merupakan tantangan yang sangat berat,
mengingat tidak sedikitnya masalah yang
bisa timbul akibat dampak penuaan. Lebih
ironis adalah keadaan ini belum didukung
oleh adanya peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan bagi lanjut usia. Pengetahuan
perawatan lanjut usia baik oleh keluarga,
maupun lembaga social lainnya masih
sangat kurang, ( Mubarak,2006).
Penelitian yang dilakukan Persatuan
Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa
menunjukkan, sebagian besar masyarakat
Indonesia mengidap depresi dan hipertensi
dari tingkat yang ringan sampai berat. Hasil
penelitian dokter kesehatan jiwa
menunjukkan, 94 % masyarakat saat ini
mengidap depresi dan hipertensi (Idris,
2008 dalam Aryani 2008). Hipertensi paling
sering terjadi pada lanjut usia, 15%
penduduk Indonesia yang berusia 60 tahun
atau lebih mengalami Hipertensi, (Suteja,
2008).
Studi pendahuluan yang dilakukan
peneliti pada tanggal 3 Mei 2014, dengan
157
cara observasi, terhadap 10 lanjut usia di
Banjar Nyangglan Kaja, Wilayah Kerja
Puskesmas Tembuku, didapatkan 60%
lanjut usia tidak mendapat pendampingan
dari keluarga. Peneliti juga melakukan
wawancara dengan 10 lanjut usia di Banjar
Nyangglan Kaja, mengatakan bahwa cemas
yang terjadi pada dirinya disebabkan oleh
faktor keluarganya sendiri seperti kurangnya
dukungan karena kesibukan dari masing-
masing anggota keluarga sehingga lanjut
usia merasa tidak diperhatikan. Petugas
kesehatan yang ada di Puskesmas Pembantu
Desa Bambang, belum pernah memberikan
penyuluhan pada keluarga, tentang
pentingnya tugas-tugas keluarga pada lanjut
usia. Aktifitas sehari-hari lanjut usia di
Banjar Nyangglan Kaja sebagian besar tanpa
aktifitas.
Berdasarkan uraian permasalahan di
atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pelaksanaan tugas
keluarga bidang kesehatan pada lanjut usia
umur ( 70-79 ) di Banjar Nyangglan Kaja,
Wilayah Kerja Puskesmas Tembuku.
Secara umum tujuan penelitian ini
untuk mengetahui pelaksanaan tugas
keluarga bidang kesehatan pada lanjut usia
umur ( 70-79 ) di Banjar Nyangglan Kaja
Wilayah Kerja Puskesmas Tembuku, tahun
2014.
METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian
Survey. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif, dengan rancangan pendekatan
cross sectional. Teknik sampling yang
digunakan dalam penelitian ini adalah non
probability sampling, dengan jumlah sampel
dalam penelitian ini, sebanyak 50 orang
responden lanjut usia umur ( 70-79 ) yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
sebagai berikut :
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah,
keluarga dengan lanjut usia umur ( 70-79 )
yang bersedia menjadi responden, lanjut usia
yang tidak mengalami gangguan
pendengaran. Kriteria eksklusi dalam
penelitian ini adalah ,lanjut usia yang
menderita penyakit kronis, lanjut usia yang
tidak tinggal serumah dengan keluarganya.
Data didapat langsung dari responden
dengan menggunakan Instrumen
pengumpulan data yang digunakan untuk
mengukur besarnya pelaksanaan tugas
keluarga bidang kesehatan adalah kuesioner
pelaksanaan tugas keluarga yang
dimodifikasi. Kuesioner pelaksanaan tugas
keluarga bidang kesehatan terdiri dari 22
item pertanyaan yang mencakup lima
pelaksanaan tugas keluarga bidang
kesehatan.
Masing-masing pertanyaan pada masing-
masing item mempunyai skor 1 untuk
jawaban “ya” dan skor 0 untuk jawaban
“tidak”. Skor setiap pelaksanaan tugas
keluarga bidang kesehatan adalah 0-1
kurang, 2-3 cukup, 4-5 baik. Skor total tugas
keluarga 0-8 adalah tugas keluarga kurang,
9-17 adalah tugas keluarga sedang, 18-22
adalah tugas keluarga baik. Analisa data
hasil pelaksanaan tugas keluarga pada
lanjut usia dilakukan analisis univariat
dengan menggunakan statistik deskriptif
yang digambarkan dengan distribusi
frekuensi meliputi: menggambarkan
jumlah, frekuensi, persentase.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan pada bulan Mei
2014 di Banjar Nyangglan Kaja dengan
jumlah lanjut usia umur ( 70-79 ) tahun
sebanyak 50 orang responden , yaitu jumlah
lanjut usia laki-laki sebanyak 21 orang
responden dan jumlah lanjut usia
perempuan sebanyak 29 orang responden.
Terlebih dahulu dikemukakan karakteristik
subyek penelitian sebagai berikut.
Tabel 1.Karakteristik responden
berdasarkan golongan Usia
USIA (TAHUN) f %
70-74 23 46
75-79 27 54
Total 50 100
Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa dari
50 orang responden yang diteliti yang
158
terbanyak adalah pada golongan usia 75-79
tahun yaitu 27 orang responden(54%).
Tabel 2.Karakteristik responden
berdasarkan jenis kelamin
JENIS KELAMIN f %
Laki-Laki 21 42
Perempuan 29 58
Total 50 100
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa dari
50 orang responden yang diteliti yang
terbanyak adalah berjenis kelamin
perempuan yaitu 29 orang responden(58%).
Tabel 3.Karakteristik responden
berdasarkan pendidikan
PENDIDIKAN f %
Tidak Sekolah 3 6
SD 5 10
SMP 20 40
SMA 17 34
PT 5 10
Total 50 100
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa dari
50 orang responden yang diteliti yang
terbanyak adalah berpendidikan SMP yaitu
20 orang responden(40%).
Tabel 4.Karakteristik responden
berdasarkan pekerjaan
PEKERJAAN f %
Petani 24 48
Buruh 11 22
Swasta 9 18
PNS 6 12
Total 50 100
Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa dari
50 orang responden yang diteliti yang
terbanyak adalah memiliki pekerjaan
sebagai petani yaitu 24 orang
responden(48%).
Tabel 5.Karakteristik Responden
Berdasarkan Pelaksanaan
Tugas Keluarga Bidang
Kesehatan
Pelaksanaan Tugas
Keluarga Bidang Kesehatan
pada lanjut usia.
f %
Baik 5 10
Cukup 10 20
Kurang 35 70
Total 50 100
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa dari
50 orang responden yang diteliti yang
terbanyak adalah pelaksanaan tugas keluarga
bidang kesehatan pada lanjut usia kurang
yaitu 35 orang responden(70%).
Tabel 6.Karakteristik Pelaksanaan Tugas
Keluarga bidang Kesehatan pada
Lanjut Usia Berdasarkan Usia
Analisa data deskriftip menurut tabel 6,
13 orang responden(26%), dari 23 orang
responden yang berusia antara 70-74 tahun,
pelaksanaan tugas keluarga bidang
kesehatan pada lanjut usia dengan katagori
kurang. Sedangkan 22 orang
responden(44%), dari 27 orang responden
yang berusia antara 75-79 tahun,
pelaksanaan tugas keluarga bidang
kesehatan pada lanjut usia dengan katagori
kurang.
F
USIA
PELAKSANAAN
TUGAS KELUARGA
BIDANG KESEHATAN
%
Baik Cukup Kurang
F % F % F %
70-74 23 3 6 7 14 13 26 46
75-79 27 2 4 3 6 22 44 54
Total 50 5 10 10 20 35 70 100
159
Tabel 7. Karakteristik Pelaksanaan Tugas
Keluarga bidang Kesehatan pada
Lanjut Usia Berdasarkan Jenis
Kelamin
Analisa data deskriftip menurut tabel 7,
14 orang responden(28%), dari 21orang
responden yang berjenis kelamin laki-laki,
pelaksanaan tugas keluarga bidang
kesehatan pada lanjut usia dengan katagori
kurang. sedangkan 21 orang
responden(42%), dari 29 orang responden
yang berjenis kelamin perempuan,
pelaksanaan tugas keluarga bidang
kesehatan pada lanjut usia dengan katagori
kurang
Tabel 8.Karakteristik Pelaksanaan Tugas
Keluarga bidang Kesehatan pada
Lanjut Usia Berdasarkan
Pendidikan
Analisa data deskriftip menurut tabel 8,
8 orang responden(16%), dari 8 responden
pendidikan tidak sekolah, pelaksanaan tugas
keluarga bidang kesehatan pada lanjut usia
dengan katagori kurang. Sedangkan 2 orang
responden(4%). dari 5 orang responden
yang berpendidikan SD, pelaksanaan tugas
keluarga bidang kesehatan pada lanjut usia
katagori kurang. Sedangkan 9 orang
responden(18%), dari 17 orang responden
yang berpendidikan SMA, pelaksanaan
tugas keluarga bidang kesehatan pada lanjut
usia katagori kurang.
Tabel 9.Karakteristik Pelaksanaan Tugas
Keluarga bidang Kesehatan pada
Lanjut Usia Berdasarkan Pekerjaan
F
PEKER
JAAN
PELAKSANAAN
TUGAS KELUARGA
BIDANG KESEHATAN
PADA LANSIA
%
Baik Cukup Kurang
F % F % F %
Petani 24 3 6 6 12 15 30 48
Buruh 11 1 2 0 0 10 20 22
Swasta 9 0 0 1 2 8 16 18
PNS 6 1 2 3 6 2 4 12
Total 50 5 10 10 20 35 70 100
Analisa data deskriftip menurut tabel 9,
15 orang responden(30%), dari 24 orang
responden pekerjaan sebagai petani,
pelaksanaan tugas keluarga bidang
kesehatan pada lanjut usia dengan katagori
kurang. Sedangkan 10 orang
responden(20%), dari 11 orang responden
pekerjaan buruh, pelaksanaan tugas keluarga
bidang kesehatan pada lanjut usia dengan
katagori kurang. Sedangkan 8 orang
responden(16%), dari 9 orang responden
pekerjaan swasta, pelaksanaan tugas
keluarga bidang kesehatan pada lanjut usia
dengan katagori kurang. Sedangkan 2 orang
responden (4%). dari 6 orang responden
pekerjaan PNS, pelaksanaan tugas keluarga
bidang kesehatan pada lanjut usia dengan
katagori kurang.
Berdasarkan analisa data deskriftip,
sesuai karakteristik usia, ditemukan dari 23
F
JK
PELAKSANAAN
TUGAS KELUARGA
BIDANG
KESEHATAN PADA
LANSIA
%
Baik Cukup Kurang
F % F % F %
Laki-laki 21 2 4 5 10 14 28 42
Perempua
n
29 3 6 5 10 21 42 58
Total 50 5 10 10 20 35 70 100
F
PENDI
DIKAN
PELAKSANAAN
TUGAS KELUARGA
BIDANG KESEHATAN
PADA LANSIA
%
Baik Cukup Kurang
F % F % F %
TS 8 0 0 0 0 8 16 16
SD 5 1 2 2 4 2 4 10
SMP 20 2 4 2 4 16 32 40
SMA 17 2 4 6 12 9 18 34
Total 50 5 10 10 20 35 70 100
160
orang responden yang berusia antara 70-74
tahun, pelaksanaan tugas keluarga bidang
kesehatan pada lanjut usia dengan katagori
kurang 13 orang responden(26%),
sedangkan dari 27 orang responden yang
berusia antara 75-79 tahun, pelaksanaan
tugas keluarga bidang kesehatan pada lanjut
usia dengan katagori kurang 22 orang
responden(44%). Menurut Mubarak (2006)
dengan bertambahnya usia seseorang akan
terjadi perubahan pada aspek fisik,
psikologis atau mental. Usia sangat
berpengaruh pada penurunan fungsi
kognitif, mental dan emosional, sehingga
seseorang cepat lupa dengan apa yang sudah
pernah diberikan oleh keluarga dan
berpengaruh lambat dalam mengambil
keputusan untuk menanggulangi masalah
kesehatan. Menurut Nugroho (2000),
hilangnya kemampuan daya pendengaran
pada telinga dalam trutama terhadap bunyi
suara atau nada-nada yang tinggi,suara yang
tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50%
terjadi pada usia di atas usia 65 tahun,
sehingga sangat mendukung pelaksanaan
tugas keluarga bidang kesehatan pada lajut
usia kurang.
Berdasarkan Analisa data deskriftip,
sesuai karakteristik jenis kelamin
ditemukan, dari 21 orang responden yang
berjenis kelamin laki-laki, pelaksanaan tugas
keluarga bidang kesehatan pada lanjut usia
dengan katagori kurang 14 orang responden
(28%), sedangkan dari 29 orang responden
yang berjenis kelamin perempuan,
pelaksanaan tugas keluarga bidang
kesehatan pada lanjut usia dengan katagori
kurang 21 orang responden (42%). Menurut
Nugroho (2008), pada umumnya perempuan
dan laki-laki di Indonesia kecenderungan
sangat gengsi dalam menerima bantuan
apapun apalagi lanjut usia tersebut masih
menganggap dirinya mampu untuk mandiri
dalam melaksanakan seluruh kegiatannya
dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari, sehingga pelaksanaan tugas keluarga
tidak begitu diperhatikan atau dibutuhkan.
Berdasarkan analisa data deskriftip
ditemukan, 8 orang responden pendidikan
tidak sekolah, pelaksanaan tugas keluarga
bidang kesehatan pada lanjut usia dengan
katagori kurang 8 orang
responden(16%),sedangkan dari 5 orang
responden yang berpendidikan SD,
pelaksanaan tugas keluarga bidang
kesehatan pada lanjut usia katagori kurang
16 orang responden(32%). sedangkan dari
17 orang responden yang berpendidikan
SMA, pelaksanaan tugas keluarga bidang
kesehatan pada lanjut usia katagori kurang 9
orang responden(18%). Menurut
Notoatmodjo (2005), hal ini menunjukkan
responden yang ikut serta dalam penelitian
sebagian besar belum mendapatkan
pendidikan yang ideal untuk ikut serta
memberikan pendapatnya terkait rendahnya
pelaksanaan tugas keluarga bidang
kesehatan pada lanjut usia. Berbekal
pendidikan yang belum memadai,
diharapkan para lanjut usia mencari
informasi dan diskusi dalam meningkatkan
kesehatan bagi para lanjut usia, masalah
diatas didukung oleh pendapat Mubarak
(2006) dengan bertambahnya usia seseorang
akan terjadi perubahan pada aspek fisik,
psikologis atau mental dan kognitif. Usia
sangat berpengaruh pada penurunan fungsi
kognitif, mental dan emosional, sehingga
seseorang cepat lupa dengan apa yang sudah
pernah diberikan oleh keluarga dan
berpengaruh lambat dalam mengambil
keputusan untuk menanggulangi masalah
kesehatan, Didukung oleh pernyataan
Notoatmodjo (2005) salah satu faktor yang
mempengaruhi pengetahuan dan perilaku
seseorang adalah sosial ekonomi. Sehingga
dapat dikatakan semakin tinggi tingkat
sosial ekonomi seseorang maka akan
cenderung berperilaku dan persepsi sesuai
yang diinginkan, termasuk dalam
pelaksanaan tugas keluarga pada lanjut usia.
Berdasarkan analisa data deskriftip, dari
24 orang responden pekerjaan sebagai
petani, pelaksanaan tugas keluarga bidang
kesehatan pada lanjut usia dengan katagori
kurang 15 orang responden (30%),
sedangkan dari 11 orang responden
pekerjaan buruh, pelaksanaan tugas keluarga
bidang kesehatan pada lanjut usia dengan
katagori kurang 10 orang responden (20%),
161
sedangkan dari 9 orang responden
pekerjaan swasta, pelaksanaan tugas
keluarga bidang kesehatan pada lanjut usia
dengan katagori kurang 8 orang responden
(16%), sedangkan dari 6 orang responden
pekerjaan PNS, pelaksanaan tugas keluarga
bidang kesehatan pada lanjut usia dengan
katagori kurang 2 orang responden (4%).
Menurut Mubarak (2006) jenis pekerjaan
seseorang sangat berpengaruh terhadap
pelaksanaan tugas keluarga pada lanjut usia,
70 % keluarga berada diluar rumah untuk
mencari pendapatan atau ekonomi keluarga
yang akan mempunyai dampak pola hidup
sehari-hari diantaranya pemeliharaan
kesehatan. Pemberdayakan anggota keluarga
yang lain termasuk lanjut usia di rumah
untuk ikut bekerja sesuai dengan
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Didukung oleh pernyataan
Notoatmodjo (2005), sosial ekonomi, sangat
berpengaruh dalam pelaksanaan tugas
keluarga bidang kesehatan pada lanjut usia.
Fasilitas pelayanan kesehatan khusus
program untuk lanjut usia, di Banjar
Nyangglan Kaja tidak ada, sehingga
aktivitas khusus lanjut usia tidak ada.
Perawat yang bertugas di Puskesmas
Pembantu Desa Bangbang, seharusnya tiap
bulan melakukan kunjungan kepada
keluarga yang punya lanjut usia, Hasil
wawancara peneliti dengan 10 kepala
keluarga yang punya lanjut usia
mengatakan petugas kesehatan datang ke
Banjar kami dua sampai tiga bulan sekali
melakukan kunjungan untuk memberikan
informasi/melakukan penyuluhan
pelaksanaan tugas keluarga bidang
kesehatan pada lanjut usia yang harus
dilakukan keluarga, karena kurangnya
tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas
Pembantu di Desa Bangbang, sehingga
berdampak kurangnya pengetahuan
pelaksanaan tugas keluarga bidang
kesehatan pada lanjut usia, yang dimiliki
keluarga.
Hasil observasi peneliti terhadap
keluarga yang mempunyai lanjut usia
hampir 98%, melaksanakan kegiatan untuk
memenuhi biaya hidup sehari-hari di luar
rumah, sehingga perhatian dan
pendampingan sangat kurang, dan
berdampak terhadap kurangnya pelaksanaan
tugas keluarga bidang kesehatan pada lanjut
usia. Pelaksanaan tugas keluarga pada lanjut
usia sebagian besar memperoleh dukungan
keluarga kurang sebanyak 35 responden
(70 %). Hal ini menunjukkan tugas keluarga
yang diterima lanjut usia kurang
mendukung dalam mengatasi masalah
kesehatan pada lanjut usia. Menurut
Suprajitno (2004) tugas keluarga merupakan
pemeliharaan kesehatan keluarga yang perlu
dipahami dan dilakukan. Pelaksanaan tugas
keluarga yang baik akan memberikan
kenyamanan kepada lanjut usia. Pelaksanaan
tugas keluarga merupakan dukungan yang
penting bagi lanjut usia terutama bila terjadi
ketergantungan dalam memenuhi kebutuhan,
keluarga harus berperan sebagai pemberi
perawatan primer. Ketika keluarga tidak
menjadi bagian kehidupan seorang lanjut
usia, umumnya menyebabkan lanjut usia
tersebut merasa terabaikan (Pratt 1993
dalam Erawati, 2001).
Pelaksanaan tugas keluarga merupakan
kemampuan keluarga dalam menghadapi
masalah kesehatan (Achjar, 2010).
Pelaksanaan tugas keluarga yang diberikan
pada lansia berupa lima tugas keluarga
menurut Friedman dalam (Effendi,1998)
yaitu mengenal gangguan perkembangan
kesehatan setiap anggotanya, mengambil
keputusan untuk melakukan tindakan yang
tepat, memberikan perawatan kepada
anggota keluarganya yang sakit,
mempertahankan suasana rumah
yang menguntungkan kesehatan,
mempertahankan hubungan timbal balik
antara keluarga dan lembaga-lembaga
kesehatan. Hal ini menunjukkan kurangnya
pelaksanaan tugas keluarga yang ada di
Banjar Nyangglan Kaja dapat dilihat dari
pendidikan keluarga didapat 20 orang
responden (40%) dari 50 orang responden
ditemukan sebagian besar pendidikan SMP.
Dari segi pekerjaan didapat 24 orang
responden (48%) dari 50 orang responden
sebagian besar memiliki pekerjaan petani.
162
Keluarga bisa dijadikan sistem
pendukung utama bagi lanjut usia, tempat
mengeluh dan berbagi rasa apabila terjadi
kesulitan yang sedang dihadapi dan
diharapkan bisa membantu menyelesaikan
masalah. Pelaksanaan tugas keluarga sangat
dibutuhkan karena lanjut usia tergantung
pada keluarganya dan anggota keluarga
diharapkan dapat memberikan dukungan
psikologis dan dukungan dalam menjalani
kehidupannya sehari-hari (Yundini, 2006).
Hasil penelitian ini serupa dengan
penelitian yang dilakukan oleh Anik
Supriani (2010) dengan judul tingkat depresi
pada lanjut usia ditinjau dari type
kepribadian dan dukungan sosial di UPT
panti werdha mojopahit mojokerto. Hasil
penelitian ini tipe kepribadian introvert
dengan dukungan sosial kurang
menyebabkan nilai depresi tinggi dengan
tingkat depresi berat. Demikian pula dengan
hasil penelitian Yundini (2006) dengan judul
pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap
tingkat depresi pada lanjut usia. Hasil
penelitian ini terdapat perbedaan bermakna
antara tingkat depresi sebelum dan sesudah
diberikan dukungan sosial oleh keluarga.
Pelaksanaan tugas keluarga yang masih
kurang kemungkinan diakibatkan oleh,
keluarga sibuk dengan pekerjaannya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, tingkat
pendidikan yang rendah juga sebagai
pemicu belum pahamnya keluarga tentang
pentingnya pelaksanaan tugas keluarganya
untuk mencegah masalah kesehatan yang
bisa terjadi pada lanjut usia, disamping itu
kurang berperannya petugas puskesmas
untuk melakukan penyuluhan kepada
keluarga yang memiliki lanjut usia,
sehingga menyebabkan kurangnya
pengetahuan keluarga dalam melaksanakan
tugasnya merawat lanjut usia yang ada di
rumahnya. Sebagai kepala keluarga atau
kepala rumah tangga, seseorang diharapkan
mampu menyediakan kebutuhan
keluarganya dengan baik. Anggota keluarga
yang tidak lepas keberadaannya pada masa
sekarang ini adalah para lanjut usia. Di
Indonesia kebanyakan lanjut usia tinggal
bersama keluarganya (anak). Peran serta
perhatian keluarga dalam menunjang
kesehatan lanjut usia sangat diperlukan,
salah satunya adalah dukungan keluarga
dalam memeriksakan kesehatan secara rutin
ke posyandu lanjut usia.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan pelaksanaan tugas keluarga
bidang kesehatan pada lansia umur 70-79
tahun dapat dibuat simpulan sebagai berikut
: Dari 50 orang responden terbanyak
berada pada rentang usia 75-79 tahun,
(54%), berjenis kelamin perempuan,(58%),
pendidikan SMP, (40%), memiliki pekerjaan
petani, (48%). Pelaksanaan tugas keluarga
bidang kesehatan pada lanjut usia, sebagian
besar berada pada katagori kurang (70%).
DAFTAR RUJUKAN Achjar, K.A.H., 2010, Aplikasi Praktis
Asuhan Keperawatan Keluarga, Jakarta : Sagung Seto.
Aryani, A., 2008, Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Depresi pada Lansia di Desa Mandong Trucuk Klaten, ( online ), available: http://etd.eprints.ums.ac.id/3985/1/J210040065.pdf, (23 Desember2011).
Dinas Kesehatan Kabupaten Bangli, 2013,
Propil Dinas Kesehatan Kab.Bangli. Effendi, N., 1998, Dasar-Dasar
Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Edisi 2, Jakarta : EGC.
Erawati, N.K., 2001, Pengaruh Dukungan
Keluarga Terhadap Pencegahan Depresi Pada Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Denpasar Selatan I Kotamadya Denpasar-Bali, Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Mubarak, W.I., 2006, Ilmu Keperawatan
Komunitas Konsep Dan Aplikasi, Jakarta: Salemba Medika.
Notoatmodjo,2005, Pendidikan dan
Perilaku Kesehatan,Jakarta,Rineka Cipta.
Nugroho, W., 2000, Keperawatan
Gerontik, Edisi 2. Jakarta : EGC.
163
Nugroho, W., 2008, Keperawatan Gerontik & geriatrik, Edisi 3. Jakarta : EGC.
Puskesmas Tembuku, 2013, Profil Tahunan
Puskesmas Tembuku. Soelistiono, 2009, Jumlah lansia di
Indonesia Meninggi, Available: http://www.mediaindonesia.com/read/2009, (21 Desember 2011).
Suteja, 2008, Hubungan Dukungan
Keluarga dengan Tingkat Depresi pada Lansia di Penyantunan Lanjut Usia Wana Sraya Singraja Bali, Skripsi tidak diterbitkan. Denpasar: Jurusan Keperawatan Poltekes Denpasar.
Suprayitno,2004,Asuhan Keperawatan
Keluarga Aplikasi dalam Praktik,Salemba Medika
Yundini, 2006, Orang Tua yang Depresi
Butuh Dukungan Keluarga, Available : http://www.mailarchive.com.(21 Desember 2011).
164
FAKTOR PENYEBAB KETIDAKPATUHAN KONTROL
PENDERITA HIPERTENSI
I Ketut Gama
I Wayan Sarmadi
IGA Harini Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Email : [email protected]
Abstract: Factors causing disobedience to control patients hipertensi. The purpose
of this study was to determine the factors that lead to non-compliance control
hypertension. This research is a survey research with cross sectional approach. The
sampling technique used in this study is a probability sampling, namely the simple
random sampling technique. The results showed that of 64 respondents surveyed, a
majority of respondents with more than 60 years as many as 30 respondents (47%), a
total of 48 respondents (75%) most likely to be male, the majority of respondents 27
school education (42% ), whereas 40 (63%) mostly worked as a farmer. Of the 64
respondents surveyed, most of the 40 people (63%) of respondents offense for
controlling factor comprehension instruction.
Abstrak: Faktor penyebab ketidak patuhan kontrol penderita hipertensi. Tujuan
dari penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan
kontrol penderita hipertensi. Jenis penelitian ini adalah penelitian survei, dengan
pendekatan cross sectional. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini
adalah probability sampling, yaitu teknik simple random sampling. Hasil penelitian
menunjukkan, dari 64 orang responden yang diteliti, mayoritas responden berusia
lebih dari 60 tahun sebanyak 30 orang responden (47%), sebanyak 48 orang
responden (75%) sebagian besar berjenis kelamin pria, responden pendidikan
sebagian besar 27 orang responden tidak sekolah (42%), sedangkan 40 orang
responden (63%) sebagian besar bekerja sebagai petani. sebagian besar dari 40 orang
responden (63%) faktor penyebab ketidakpatuhan kontrol karena faktor pemahaman
instruksi.
Kata kunci: faktor penyebab, ketidak patuhan, kontrol, hipertensi
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu, terintregasi dan
berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
dalam bentuk pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh
pemerintah dan/atau masyarakat. Dalam hal
ini terlihat jelas bahwa pentingnya
pemeliharaan dan peningkatan derajat
kesehatan masyarakat, dimana setiap hal
yang menyebabkan terjadinya gangguan
kesehatan pada masyarakat Indonesia akan
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar
bagi negara, dan setiap upaya peningkatan
derajat kesehatan masyarakat juga berarti
investasi bagi pembangunan negara (Depkes
RI, 2009).
Setiap kegiatan dalam upaya untuk
memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya ini, dilaksanakan berdasarkan
prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan
berkelanjutan dalam rangka pembentukan
sumber daya manusia Indonesia, serta
peningkatan ketahanan dan daya saing
bangsa bagi pembangunan nasional. Maka
daripada itu, setiap upaya pembangunan
harus dilandasi dengan wawasan kesehatan
165
dalam arti pembangunan nasional harus
memperhatikan kesehatan masyarakat dan
merupakan tanggung jawab semua pihak
baik pemerintah maupun masyarakat
(Depkes RI, 2009).
Hipertensi adalah keadaan peningkatan
tekanan darah yang memberi gejala, yang
akan berkelanjutan pada organ target, seperti
stroke (untuk otak) (Depkes RI, 2009).
Makin tinggi tekanan darah, maka makin
keras jantung harus bekerja untuk tetap
memompa melawan hambatan. Karena
beban berlebihan yang diletakannya pada
arteri, tekanan darah tinggi dapat
mempercepat pelapukan dan kerusakannya,
terutama pada organ-organ yang dituju,
yakni otak. Oleh karena itu, hipertensi yang
tidak di obati sering mengakibatkan stroke
yang berbahaya. Stroke yang fatal
mempunyai peluang dua kali lebih besar
pada orang yang menderita hipertensi yang
tidak diobati dibandingkan pada mereka
yang memiliki tekanan darah normal di usia
yang sama. Beberapa penyebab hipertensi
dikarenakan asupan makanan yang tinggi
sodium, stress psikilogi, kegelisahan dan
hiperaktivitas. Sekitar 20% dari semua orang
dewasa menderita hipertensi dan menurut
statistik angka ini terus meningkat. Sekitar
40% dari semua kematian dibawah usia 65
tahun adalah akibat hipertensi (Wiwik,
2011).
Tingkat kepatuhan penderita hipertensi
di Indonesia untuk berobat dan kontrol
cukup rendah. Tingkat kepatuhan penderita
hipertensi tidak sampai 50 persen. Semakin
lama seseorang menderita hipertensi maka
tingkat kepatuhannya makin rendah.
Tekanan darah sangat berpengaruh terhadap
kejadian Stroke sebagai akibat dari
peningkatan tekanan darah yang tidak
terkontrol. Penelitian ekologi menyatakan
bahwa garam dan tekanan darah merupakan
dua hal yang sangat berhubungan. Selain itu,
dari penelitian observasional, berat badan
dan tekanan darah juga sangat berpengaruh
terhadap tingkat kejadian Stroke, khususnya
akibat dari peningkatan tekanan darah. Hal
ini dapat dijelaskan, dimana dimulai dengan
atherosclerosis, gangguan struktur anatomi
pembuluh darah perifer yang berlanjut
dengan kekakuan pembuluh darah.
Kekakuan pembuluh darah disertai dengan
penyempitan dan kemungkinan pembesaran
plaque yang menghambat gangguan
peredaran darah perifer. Kekakuan dan
kelambanan aliran darah menyebabakan
beban jantung bertambah berat yang
akhirnya dikompensasi dengan peningkatan
upaya pemompaan jantung yang
memberikan gambaran peningkatan tekanan
darah dalam sirkulasi (Wiwik, 2011).
Hipertensi adalah faktor resiko Stroke
yang utama disamping merokok dan riwayat
penyakit jantung, sebanyak 70% dari pasien
stroke memiliki hipertensi (Depkes RI,
2009). Dengan demikian kontrol dalam
penyakit hipertensi ini dapat dikatakan
sebagai pengobatan seumur hidup bilamana
ingin dihindari terjadinya komplikasi yang
tidak baik, (Depkes RI, 2009).
Data Global Status Report on
Noncommunicbel Disesases menyebutkan,
40% Negara ekonomi berkembang memiliki
penderita hipertensi, sedangkan Negara
maju hanya 35%. Kawasan Afrika
memegang posisi puncakpenderita
hipertensi sebanyak 46 %. Sementara
kawasan Amerika menempati posisi dengan
35%. Kawasan Asia Tenggara, 36% orang
dewasa menderita hipertensi. Untuk
kawasan Asia penyakit ini telah membunuh
1,5 juta orang setiap tahunnya. Hal ini
menandakan satu dari tiga orang menderita
hipertensi, (WHO, 2010).
Data yang diperoleh di Dinas Kesehatan
Provinsi Bali, pada tahun 2011 penderita
Hipertensi sebanyak 17.095 orang atau 39%
yang kontrol, tahun 2012 sebanyak 18.624
orang atau 37 % yang kontrol . Sedangkan
penderita tahun 2013 sebanyak 20.505
orang atau 40% yang kontrol, ( Dinkes Prov
Bali, 2013).
Sedangkan data yang diperoleh di Dinas
Kesehatan Kabupaten Gianyar, pada tahun
2011 penderita Hipertensi sebanyak 13.102
orang atau 38% yang kontrol, tahun 2012
sebanyak 16.845 orang atau 32 % yang
kontrol, Sedangkan penderita tahun 2013
sebanyak 18.023 orang atau 30% yang
166
kontrol, (Dinkes Kab.Gianyar, 2013).
Berdasarkan laporan tiga tahun terakhir
Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar untuk
ketidakpatuhan kontrol penderita hipertensi
dari 13 Puskesmas hanya Puskesmas
Payangan yang memiliki tingkat
ketidakpatuhan kontrol yang cukup tinggi,
bila dibandingkan 12 Puskesmas lainnya
yang ada di Kabupaten Gianyar. Sedangkan
data yang diperoleh di Puskesmas Payangan,
kunjungan penderita Hipertensi selama tiga
tahun terakhir, yaitu tahun 2011 sebanyak
742 orang atau 3,37 % yang kontrol, tahun
2012 sebanyak 679 orang atau 32,84% yang
kontrol, sedangkan tahun 2013, sebanyak
638 orang hipertensi atau 28,99% yang
kontrol, (Puskesmas Payangan, 2013).
Uraian data tersebut di atas memperlihatkan
dimana terjadi penurunan kunjungan
penderita hipertensi ke Puskesmas.
Hasil observasi peneliti terhadap
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Payangan 55 % yang memiliki gaya hidup
seperti merokok, minum minuman
beralkohol disamping sebagai alasan
keakraban hubungan sosial, juga sebagai
penyaluran akan emosional dan
mengilangkan kelelahan akibat pekerjaan.
Pola hidup demikian merupakan faktor
pencetus terjadinya hipertensi,(Depkes RI,
2009).
Program Puskesmas terkait dengan
himbauan/penyuluhan kunjungan kembali
penderita hipertensi untuk memeriksakan
diri dalam bentuk penyuluhan baru bisa
terlaksana 6 x/tahun dari 12 x/tahun,
dilakukan oleh petugas kesehatan. Studi
pendahuluan yang dilakukan peneliti
berdasarkan observasi melalui register
kunjungan Puskesmas kurun waktu tiga
bulan terakhir hanya tercatat jumlah
kunjungan baru penderita hipertensi.
Dampak dari ketidakpatuhan kontrol akan
memberikan berbagai komplikasi akibat dari
hipertensi seperti gagal ginjal, stroke dan
sebagainya,(Depkes RI, 2009). Tujuan
Penelitian ini untuk mengetahui faktor
faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan
kontrol penderita hipertensi di wilayah kerja
Puskesmas Payangan tahun 2014.
METODE
Jenis penelitaian ini adalah penelitian
survey, dengan model pendekatan
subyeknya adalah cross sectional. Waktu
penelitian dilakukan dua bulan yaitu bulan
Mei sampai bulan Juni 2014. Teknik
sampling yang digunakan adalah probability
sampling, yaitu teknik simple random
sampling. Instrumen pengumpulan data
yang digunakan berupa kuesioner yang
dirancang sendiri oleh peneliti. Lembar
kuesioner terdiri dari dua bagian yaitu
karakteristik responden yang meliputi usia,
jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan
penderita hipertensi, dan lembar kuesioner
tentang ketidakpatuhan kontrol penderita
hipertensi.
Lembar kuesioner ketidakpatuhan
kontrol penderita hipertensi terdiri dari 30
pernyataan, setiap item pernyataan
kuesioner menggunakan pertanyaan tertutup
dengan skala Guttman yaitu memberikan
pernyataan mengenai ya atau tidak
dilakukan terhadap suatu hal. Apabila
pertanyaan dijawab ya, akan mendapat skor
1, dan apabila dijawab tidak, akan
mendapat skor 0. Untuk menentukan faktor
dominan penyebab ketidakpatuhan kontrol
penderita hipertensi, adalah prosentase
terbesar dari hasil olahan data ke tiga faktor
yaitu, pemahaman tentang instruksi, kualitas
instruksi dan isolasi sosial dan keluarga.
Penelitian ini menggunakan analisis
univariate, hasil akhir data akan
disampaikan dengan distribusi tabel
frekuensi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan bulan Mei 2014
di Wilayah Kerja Puskesmas Payangan.
Terlebih dahulu dikemukakan karakteristik
subyek penelitian sebagai berikut.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Usia
No. Usia f %
1.
2.
3.
21- 40 tahun
41- 60 tahun
> 60 tahun
13
21
30
20
33
47
Total 64 100
167
Tabel 1, di atas menunjukkan bahwa dari
64 orang responden sebagian besar
ketidakpatuhan kontrol penderita hipertensi
berusia lebih dari 60 tahun yaitu 30 orang
responden (47%).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Jenis Kelamin f %
1.
2.
Laki-laki
Perempuan
48
16
75
25
Total 64 100
Tabel 2, di atas menunjukkan bahwa dari
64 orang responden sebagian besar
ketidakpatuhan kontrol penderita hipertensi
berjenis kelamin laki-laki yaitu 48 orang
responden (75%).
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Pendidikan
No. Pendidikan f %
1.
2.
3.
4.
5.
Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
27
26
3
7
1
42
41
5
10
2
Total 64 100
Tabel 3, di atas menunjukkan bahwa dari
64 orang responden sebagian besar
ketidakpatuhan kontrol penderita hipertensi
tidak sekolah yaitu 27 orang responden
(42%).
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Pekerjaan
No. Pekerjaan F %
1.
2.
3.
4.
Petani
PNS
Swasta
Wirausaha
40
7
5
12
63
11
8
19
Total 64 100
Tabel 4, di atas menunjukkan bahwa dari
64 orang responden sebagian besar
ketidakpatuhan kontrol penderita hipertensi
dengan pekerjaan sebagai petani yaitu 40
orang responden (63%).
Tabel 5. Distribusi Responden Faktor
Faktor Penyebab
Ketidakpatuhan Kontrol
Penderita Hipertensi
No. Penyebab
ketidakpatuhan
kontrol
F %
1.
2.
3.
Pemahaman tentang
instruksi
Kualitas instruksi
Isolasi sosial dan
keluarga
40
13
11
63
20
18
Total 64 100
Tabel 5, di atas menunjukkan bahwa dari
64 orang responden sebagian besar
ketidakpatuhan kontrol penderita hipertensi
karena pemahaman instruksi yaitu 40 orang
responden (63%).
Hasil penelitian yang dilakukan di
Wilayah Kerja Puskesmas Payangan
diperoleh data yaitu dari 64 orang
responden, sebagian besar atau sebanyak 40
orang responden (63%) berusia > 60 tahun.
Hal ini disebabkan semakin bertambahnya
umur, elastisitas pembuluh darah semakin
menurun dan terjadi kekakuan dan
perapuhan pembuluh darah sehingga aliran
darah terutama ke otak menjadi terganggu,
semakin bertambahnya usia dapat
meningkatkan kejadian hipertensi dan mulai
menurunnya aktifitas fisik sehingga
menghambat untuk mencari pelayanan
kesehatan. Hal ini disebabkan semakin
bertambahnya umur, elastisitas pembuluh
darah semakin menurun dan terjadi
kekakuan dan perapuhan pembuluh darah
sehingga aliran darah terutama ke otak
menjadi terganggu (Wiwik, 2011).
Dari 64 orang responden yang diambil
diketahui sebagian besar atau sebanyak 48
orang responden (75%) berjenis kelamin
laki-laki, ini menunjukkan bahwa laki-laki
lebih berisiko terkena hipertensi dari pada
perempuan, dikarenakan laki-laki memiliki
gaya hidup yang cenderung meningkatkan
tekanan darah, dan kurang peduli terhadap
masalah kesehatan yang sedang dihadapi,
disamping itu adanya perbedaan konsep
168
sehat sakit dimasyarakat,(Depkes RI, 2009).
Laki-laki memiliki resiko lebih tinggi untuk
menderita hipertensi lebih awal dan laki-laki
juga mempunyai resiko lebih besar terhadap
morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
seperti stroke akibat dari ketidakpatuhan
kontrol penderita hipertensi.
Sedangkan dari karakteristik pendidikan,
dari 64 orang responden sebagian besar
tidak sekolah sebanyak 27 orang responden
(42%). Sebagian besar responden belum
terlalu banyak mengetahui pemahaman
tentang instruksi yang berkait dengan
ketidakpatuhan kontrol keunit pelayanan
kesehatan. Pendidikan akan menentukan
tingkat pengetahuan seseorang. Secara
teoritis pengetahuan seseorang akan sangat
menentukan apakah dia akan patuh atau
ketidakpatuhan kontrol terhadap
pengobatan, akan menimbulkan
keyakinan/perilaku pada dirinya untuk
mematuhinya (Mubarak, dkk., 2006).
Kemudian dari karakteristik pekerjaan,
hasil penelitian dari 64 orang responden
diketahui sebagian besar atau sebanyak 40
orang responden (63%) petani. Pekerjaan
dapat mempengaruhi ketidakpatuhan kontrol
penderita hipertensi karena sibuk dengan
pekerjaan masing-masing sehingga lupa
dengan saran pesan dari tenaga medis untuk
kontrol kembali. Pekerjaan seseorang,
tingkat pendidikan dan pengetahuan
seseorang, dimana hal ini berkaitan dengan
ketidakpatuhan kontrol seseorang, dari
karakteristik usia dimana usia responden
yang lebih dari 60 tahun terjadinya
perubahan pada seseorang yaitu mulai
menurunnya aktifitas fisik sehingga
merupakan faktor penghambat untuk
mencari pelayanan kesehatan. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang berjudul
analisis pengaruh faktor nilai hidup,
ketidakpatuhan kontrol terhadap perilaku
sehat penderita hipertensi, yaitu semakin tua
seorang kemampuan ingatan dan motivasi
berperilaku sehat juga menurun
(Notoatmodjo, 2005).
Dilihat dari jenis kelamin sebagian
besar berjenis kelamin laki-laki 48 orang
responden (70%), kurang peduli terhadap
masalah kesehatan yang sedang dihadapi,
disamping itu adanya perbedaan konsep
sehat sakit dimasyarakat, (Depkes RI, 2009).
Dilihat dari karakteristik responden
pendidikan ditemukan sebagian besar 27
orang responden(42%) tidak sekolah dapat
mengakibatkan pemahaman seseorang
terhadap suatu objek menjadi kurang atau
rendah, ini bisa sebagai salah satu penyebab
ketidakpatuhan kontrol penderita hipertensi,
karena sebagian besar responden belum
terlalu banyak mengetahui pemahaman
tentang instruksi yang berkait dengan
ketidakpatuhan kontrol keunit pelayanan
kesehatan. Dari karakteristik pekerjaan
ditemukan sebagian besar 40 orang
responden(63%) pekerjaan sebagai petani.
Pekerjaan dapat mempengaruhi
ketidakpatuhan kontrol penderita hipertensi
karena sibuk dengan pekerjaan masing-
masing sehingga lupa dengan saran pesan
dari tenaga medis untuk kontrol kembali.
Pekerjaan seseorang, tingkat pendidikan dan
pengetahuan seseorang, dimana hal ini
berkaitan dengan ketidakpatuhan kontrol
penderita hipertensi. Pentingnya pemberian
penyuluhan kesehatan sebelum dan sesudah
diberikan pelayanan kesehatan minimal
sebulan sekali, oleh petugas kesehatan di
pelayanan kesehatan tempat penderita
hipertensi melakukan kontrol dapat
meningkatkan kepatuhan kontrol penderita
hipertensi itu sendiri. Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang (overt behavior) dan dikatakan
pula bahwa perilaku yang didasari
pengetahuan. Dengan pendidikan tinggi
maka seseorang cenderung untuk mendapat
informasi baik dari responden lain maupun
media masa, semakin banyak info yang
masuk semakin banyak pula pengetahuan
seseorang tentang kesehatan(Notoatmodjo,
2005). Hal ini dipengaruhi oleh tingkat
kesibukan yang dilakukan perempuan pada
umumnya untuk memenuhi keperluan rumah
tangga sehingga masalah kesehatannya
sering terabaikan. Begitu juga dengan laki-
laki jarang memiliki waktu senggang
sehingga tidak dapat melakukan kontrol ke
169
unit pelayanan kesehatan. Hasil ini sesuai
dengan penelitian mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi ketidakpatuhan kontrol
yaitu kemampuan finansial dimana laki-laki
dan perempuan pada umumnya sibuk
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari sehingga tidak dapat bebas dalam
merencanakan sesuatu (Mubarak,dkk, 2006).
Berdasarkan standar operasional
prosedur di Puskesmas, setiap pasien setelah
mendapat pelayanan kesehatan harus
diberikan penyuluhan tentang bahaya
ketidakpatuhan kontrol, namun petugas di
bagian poliklinik pemeriksaan kesehatan
pelaksanaan penyuluhan tidak dilakukan,
karena tingginya jumlah pasien yang ingin
berobat. Untuk mengatasi ketidakpatuhan
kontrol pada penderita hipertensi perlu
memberikan penyuluhan manpaat
pentingnya kontrol kembali. Pendidikan
akan menentukan tingkat pengetahuan
seseorang. Secara teoritis pengetahuan
seseorang akan sangat menentukan apakah
dia akan patuh atau ketidakpatuhan kontrol
terhadap pengobatan, akan menimbulkan
keyakinan/perilaku pada dirinya untuk
mematuhinya (Mubarak, dkk., 2006). Hasil
penelitian (Widiarta Yasa,2012), tersebut
bahwa responden yang ketidakpatuhan
kontrol mempunyai risiko yang lebih besar
kemungkinan terkena serangan stroke
dibandingkan dengan responden yang patuh
kontrol yang akan menurunkan risiko
kemungkinan terkena serangan stroke.
Dilihat dari hasil penelitian di atas, ada
kecenderungan responden yang
ketidakpatuhan kontrol memiliki risiko
tinggi terkena serangan stroke. Hal ini
dikarenakan penyakit hipertensi adalah
penyakit seumur hidup, dimana pentingnya
deteksi dan penatalaksanaan hipertensi
untuk menurunkan risiko terjadinya
komplikasi seperti stroke, serta menurunkan
angka mortalitas dan morbiditas yang
berkaitan. Adapun tujuan kontrol disini, baik
itu observasi tekanan darah maupun
pengobatan adalah mencapai dan
mempertahankan tekanan sistolik di bawah
140 mmHg dan tekanan diastolik di bawah
90 mmHg dan mengontrol faktor risiko.
Berdasarkan hasil penelitian faktor
faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan
kontrol penderita hipertensi, yang
disebabkan oleh pemahaman tentang
instruksi didapatkan hasil (63%), Kualitas
instruksi (20%),sedangkan Isolasi sosial dan
Keluarga (18%), sedangkan teori yang
diungkapkan oleh Niven (2002),
menemukan bahwa lebih dari 60% yang
diwawancarai setelah bertemu dokter salah
mengerti tentang instruksi yang diberikan
kepada mereka. Hal ini disebabkan
kegagalan petugas kesehatan dalam
memberikan informasi yang lengkap dan
banyaknya instruksi yang harus diingat dan
penggunaan istilah medis. Tidak seorangpun
dapat mematuhi instruksi jika ia salah
paham tentang instruksi yang diterima. Hal
ini didukung juga belum dilaksanakan
standar opersional prosedur tentang
pemberian penyuluhan sebelum dan sesudah
pelayanan kesehatan di wilayah kerja
Puskesmas Payangan. Jadi hasil penelitian
ketidakpatuhan kontrol pada penderita
hipertensi yang dilakukan di wilayah kerja
Puskesmas Payangan sesuai dengan teori
yang diungkapkan oleh Niven,(2002).
Kualitas instruksi antara petugas
kesehatan dan klien merupakan bagian yang
penting dalam menemukan derajat
kepatuhan. Ada beberapa keluhan antara lain
kurangnya minat yang diperlihatkan oleh
dokter, penggunaan istilah medis secara
berlebihan, kurangnya empati, tidak
memperoleh kejelasan mengenai
penyakitnya. Pentingnya keterampilan
interpersonal dalam memacu kepatuhan
terhadap pengobatan. Keluarga dapat
menjadi faktor yang sangat mempengaruhi
dalam menentukan keyakinan dan nilai
kesehatan individu serta dapat menentukan
tentang pengobatan yang dapat mereka
terima. Ketidakpatuhan adalah suatu
keadaan dimana seseorang mau mengikuti
petunjuk atau perintah yang diberikan
kepadanya (Notoatmodjo, 2005). Menurut
Arif Mansjoer (2001), tujuan deteksi dan
penatalaksanaan hipertensi adalah
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular
170
dan mortalitas serta morbiditas yang
berkaitan, yaitu salah satunya adalah stroke.
Dengan demikian kontrol dalam
penyakit hipertensi ini dapat dikatakan
sebagai pengobatan seumur hidup bilamana
ingin dihindari terjadinya komplikasi yang
tidak baik. Maka, kepatuhan kontrol
penderita hipertensi, baik dalam hal
observasi tekanan darah maupun pengobatan
merupakan salah satu faktor untuk
mencegah terjadinya komplikasi hipertensi,
yaitu stroke. Hal ini didukung juga belum
dilaksanakan standar opersional prosedur
tentang pemberian penyuluhan sebelum dan
sesudah pelayanan kesehatan di wilayah
kerja Puskesmas Payangan. Jadi hasil
penelitian ketidakpatuhan kontrol pada
penderita hipertensi yang dilakukan di
wilayah kerja Puskesmas Payangan sesuai
dengan teori yang diungkapkan oleh Niven,
(2002).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan factor-faktor yang
menyebabkan ketidakpatuhan control
penderita hipertensi di wilayah kerja
Puskesmas Payangan tahun 2014 dapat
disimpulkan bahwa, dari 64 orang
responden yang diteliti, diperoleh hasil
sebagian besar responden dengan usia lebih
dari 60 tahun yaitu sebanyak 30 orang
responden (47%) , berjenis kelamin laki-
laki, 48 orang responden (75%), tidak
sekolah 27 orang responden (42%),
pekerjaan sebagai petani 40 orang responden
(63%), sebagian besar 40 orang responden
(63%) ketidakpatuhan kontrol disebabkan
faktor pemahaman tentang instruksi.
DAFTAR RUJUKAN Depkes RI, 2009. Pedoman Umum
Keperawatan Dasar di Rumah Sakit dan Puskesmas, Jakarta : Depkes.
Dinas Kesehatan Prov.Bali, 2013. Laporan
Tahunan Dinkes Prop Bali. Dinkes Kab Gianyar, 2013. Laporan
Tahunan dinkes Kab.Gianyar. Mansjoer,Suprohaita,Setiowulan,wardhani,
2001. Kapita Selekta Kedokteran,
Jilid 1, Edisi Ketiga, Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mubarak, Patonah, Santosa, Rozikin, 2006.
Keperawatan Komunitas 2, Jakarta : CV. Sagung Seto.
Niven, N., 2002. Psikologi Kesehatan,
Jakarta : EGC. Notoatmodjo, 2005. Metodologi Penelitian
Kesehatan, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Nursalam, 2003. Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian, Edisi Pertama, Jakarta : Salemba Medika.
Puskesmas Payangan, 2013. Laporan
Tahunan Puskesmas Payangan. WHO, 2010. Definisi Stroke, (online),
available : http://irh4mgokilz.wordpress.com/2001/05/20/stroke/ (28 Desember 2011)
Wiwik, 2001. Pendahuluan : Latar
Belakang Hipertensi, (online), available : http://wiwik21.wordpress.com/2011/05/26 (28 Desember 2011)
Yasa Widiarta, 2012. Hubungan Antara
Kepatuhan Kontrol Penderita Hipertensi
dengan Kejadian Stroke, Skripsi , di Wilayah Kerja Puskesmas Abian
semal II.
171
STRES BERPENGARUH TERHADAP GULA DARAH
PASIEN YANG MENGALAMI KEGAWATAN DIABETES
MELITUS
I Made Sukarja
I Wayan Sukawana
Oka Suyasa
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Abstract. Stress affecting the blood suger when the patient in diabetes mellitus
emergency. This study aimed to determine the correlation between stress and blood
sugar while in patients with diabetes mellitus gravity. The study design was a
descriptive observational, with the approach of using a cross sectional study. The
study was conducted in the Emergency General Hospital Sanjiwani Gianyar, in April
to May 2013. The number of respondents 32 people. Data collection instruments by
using Psychometric Properties of the Depression Anxiety Stress Scale 42 and blood
sugar testing equipment. The results showed that the level of stress in patients with
diabetes mellitus crisis, as many as 20 people (62.5%) categorized mild stress. Blood
sugar is obtained when as many as 22 people (69%) were categorized as blood sugar
levels are low. Concluded that there is a significant relationship between the level of
stress when blood sugar levels in patients with diabetes mellitus severity (p = 0.000).
Abstrak. Stres berpengaruh terhadap gula darah pada pasien yang mengalami
kegawatan diabetes melitus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
tingkat stres dengan Gula darah sewaktu pada pasien yang mengalami kegawatan
diabetes mellitus. Rancangan penelitian adalah deskriptif observasional, dengan
pendekatan dengan menggunakan studi cross sectional. Penelitian dilakukan di
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar, pada bulan
April sampai dengan Mei 2013. Jumlah responden sebanyak 32 orang. Instrumen
pengumpulan data dengan menggunakan Psychometric Properties of theDepression
Anxiety Stress Scale 42 dan alat test gula darah. Hasil penelitian didapatkan bahwa
tingkat stres pada pasien yang mengalami kegawatan diabetes mellitus, sebanyak 20
orang (62,5%) dikatagorikan stres ringan. Gula darah sewaktu didapatkan sebanyak
22 orang (69%) dikategorikan kadar gula darah sewaktu yang rendah. Disimpulkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat stres dengan kadar gula darah
sewaktu pada pasien yang mengalami kegawatan diabetes mellitus (p= 0,000).
Kata kunci: stres, gula darah, diabetes mellitus
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu
penyakit dimana kadar glukosa (gula
sederhana) di dalam darah tinggi karena
tubuh tidak dapat melepaskan atau
menggunakan insulin secara cukup.
Kelebihan gula yang kronis di dalam darah
(hiperglikemia) ini menjadi racun bagi
tubuh. Sebagian glukosa yang tertahan di
dalam darah melimpah ke sistem
perkemihan untuk dibuang melalui urine.
Air kencing pasien Diabetes Melitus yang
mengandung gula dalam kadar tinggi
tersebut menarik bagi semut, karena itulah
gejala ini disebut juga gejala Diabetes
Melitus (Yunia, 2007).
Jumlah penderita Diabetes Melitus di
dunia diperkirakan akan meningkat.
Menurut Grehenson (2011), jumlah
penderita Diabetes Melitus pada tahun 2010
sebanyak 211 juta orang penduduk dunia.
172
Indonesia menempati urutan keempat
terbesar dalam jumlah penderita Diabetes
Melitus di dunia. Pada tahun 2006 jumlah
penderita Diabetes Melitus di Indonesia
meningkat tajam menjadi 14 juta orang,
dimana baru 50% yang sadar mengidapnya
dan diantara mereka baru 30% yang datang
berobat (WHO, 2007).
Perkembangan kasus Diabetes Melitus,
khususnya di bagian rawat inap Interna
Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani
Gianyar, dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Berdasarkan data yang di dapat
dari catatan rekam medik menunjukkan
tahun 2010 jumlah kasus Diabetes Melitus
517 orang, terdiri dari laki-laki sebanyak
248 orang, perempuan 269 orang dan
meninggal sebanyak 15 orang. Tahun 2011
ditemukan 652 orang, laki-laki sebanyak
469 orang, perempuan 183 orang dan 7
orang meninggal dunia. Tahun 2012
ditemukan 721 orang terdiri dari laki-laki
sebanyak 429 orang, perempuan 292 orang
dan meninggal dunia tercatat 10 orang. Dari
keseluruhan data yang diperoleh sekitar
60,9% adalah kasus lama dan 39,1%
merupakan kasus baru.
Menurut Direktur Gizi Masyarakat
Dirjen BKM Depkes RI (2007), jika kadar
gula darah pada pasien Diabetes Melitus
terus menerus tinggi dan tidak terkontrol,
lama kelamaan akan timbul penyulit
(komplikasi) yang pada dasarnya terjadi
pada semua pembuluh darah misalnya:
pembuluh darah otak (stroke), pembuluh
darah mata (dapat terjadi kebutaan),
pembuluh darah ginjal (Gagal Ginjal
Kronik) dan lain-lain. Jika sudah terjadi
penyulit, usaha untuk menyembuhkan
keadaan tersebut kearah normal sangat sulit.
Oleh karena itu, usaha pencegahan dini
untuk penyulit tersebut diperlukan dan
diharapkan sangat bermanfaat untuk
menghindari terjadinya berbagai hal yang
tidak menguntungkan.
Dampak psikologis dari Diabetes
Melitus mulai dirasakan oleh pasien sejak
terdiagnosis Diabetes Melitus dan
penyakitnya telah berlangsung selama
beberapa bulan. Pasien mulai mengalami
gangguan psikis diantaranya stres pada
dirinya sendiri berkaitan dengan pengobatan
yang dijalani (Tjokroprawiro, dalam
Jamaluddin, 2011). Menurut Surwir (2002)
dan Discovery Health (2007) bahwa stres
telah menjadi salah satu faktor yang muncul
pada penderita Diabetes Melitus. Stres
sangat berpengaruh terhadap penyakit
Diabetes Melitus karena hal itu berpengaruh
terhadap pengendalian dan tingkat kadar
glukosa darah.
Stres dan Diabetes Melitus memiliki
hubungan sangat erat terutama pada
penduduk perkotaan. Tekanan kehidupan
dan gaya hidup yang tidak sehat disertai
kemajuan teknologi yang semakin pesat dan
berbagai penyakit yang sedang diderita
menyebabkan penurunan kondisi seseorang
sehingga memicu timbulnya stres. Pasien
Diabetes Melitus yang mengalami stres
dapat mengakibatkan gangguan pada
pengontrolan glukosa darah. Pada keadaan
stres terjadi peningkatan ekskresi hormon
katekolamin, glucagon, glukokortikoid,
endorphin dan hormon pertumbuhan
(Suherman, 2009). Hal ini menarik untuk
diketahui hubungan tingkat stres dengan
Gula darah sewaktu pada pasien yang
mengalami kegawatan Diabetes Melitus di
Instlasi Gawat Darurat RSUD Sanjiwani
Gianyar.
METODE
Jenis penelitian yang dilakukan adalah
penelitian deskriptif dengan rancangan yang
digunakan adalah deskriptif observasional,
menggunakan studi cross sectional.
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Gawat
Darurat Rumah Sakit Umum Daerah
Sanjiwani Gianyar, pada bulan April sampai
dengan Mei 2013. Jumlah responden pada
penelitian ini adalah sebanyak 32 orang.
Instrumen pengumpulan data dengan
menggunakan Psychometric Properties of
the Depression Anxiety Stress Scale 42 dan
alat test gula darah.
173
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyajian data diawali dengan hasil
analisis univariat yang meliputi meliputi :
umur, jenis kelamin, pendidikan dan
pekerjaan, selengkapnya pada uraian
berikut:
Karakteristik responden berdasarkan
umur dikategorikan menjadi usia 20-30
tahun, 31-40 tahun, 41-50 tahun dan >50
tahun, seperti pada tabel berikut:
Tabel 1. Karakteristik Responden
Berdasarkan Umur Pada Pasien
Yang Mengalami Kegawatan
Diabetes Melitus
No Umur Frekuensi Presentase (%)
1 20- 30 4 12,5
2 31- 40 4 12,5
3 41- 50 17 21,9
>50 7 53,1
Jumlah 32 100
Berdasarkan tabel 1, jumlah penderita
DM yang terbanyak pada kelompok umur di atas 50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tua umur seseorang maka semakin
berisiko mengalami kencing manis. Karakteristik responden berdasarkan jenis
kelamin seperti pada tabel berikut:
Tabel 2.Karakteristik Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin
Pada Pasien Yang Mengalami
Kegawatan Diabetes Melitus
No Jenis
Kelamin
Frekuensi Presentase
(%)
1 Laki 17 53.1
2 Perempuan 15 46.9
Jumlah 32 100
Berdasarkan tabel 2, penderita DM lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Karakteristik pasien berdasarkan
pendidikan, dikatagorikan menjadi tidak
sekolah, SD, SMP, SMA dan Perguruan
tinggi, seperti pada gambar berikut:
Tabel 3. Karakteristik Responden
Berdasarkan Pendidikan Pada
Pasien Yang Mengalami Kegawatan
Diabetes Melitus
No Pendidikan frekuensi Presentase
(%)
1 Tidak
sekolah
3 9.4
2 SD 8 25
3 SMP 3 9.4
4 SMA 11 34.4
5 PT 7 21.8
Jumlah 32 100
Berdasarkan tabel 3, bahwa sebagian
besar memiliki tingkat pendidikan SMA.
Tetapi sebaran responden tidak mengikuti
tingkat pendidikan.
Karakteristik responden berdasarkan
pekerjaan, dikategorikan menjadi tidak
bekerja, buruh, swasta, PNS, seperti pada
gambar berikut ini :
Tabel 4. Karakteristik Responden
Berdasarkan Pekerjaan Pada Pasien
Yang Mengalami Kegawatan
Diabetes Melitus
No Pekerjaan Frekuensi Presentase
(%)
1 Tidak
bekerja
2 6.2
2 Buruh 11 34.4
3 Swasta 7 37.5
4 PNS 12 21.9
Jumlah 32 100
Berdasarkan tabel 4, bahwa jenis
pekerjaan responden tidak memiliki pola
tertentu. Sebaran terbanyak ada pada
responden yang bekerja sebagai buruh dan
PNS.
Hasil pengamatan terhadap tingkat stres
dan gula darah sewaktu pada pasien yang
mengalami kegawatan Diabetes Melitus
seperti pada uraian berikut.
Tingkat stres pada pasien yang
mengalami kegawatan Diabetes Melitus,
dikategorikan menjadi Normal, Stres ringan,
174
Stres sedang, Stres berat, Stres sangat berat,
seperti pada Tabel berikut ini:
Tabel 5. Tingkat Stres Pada Pasien Yang
Mengalami Kegawatan Diabetes
Melitus
No Tingkat Stres Frekuensi
(f)
Persentase
(%)
1 Normal 1 3,13
2 Stres ringan 20 62,50
3 Stres sedang 1 3,13
4 Stres berat 8 25,00
5 Stres sangat
berat
2 6, 25
Total 32 100 %
Gula darah sewaktu pada pasien yang
mengalami kegawatan Diabetes MelituS,
seperti pada Tabel berikut:
Tabel 6. Gula Darah Sewaktu Pada Pasien
Yang Mengalami Kegawatan
Diabetes Melitus
No Gula
darah
sewaktu
Frekuensi
(R)
Persentase
(%)
1 < 60 mg 22 68,75
2 > 200 mg 10 31,25
Total 32 100 %
Hasil analisa data untuk menganalisa
hubungan tingkat stres pasien Diabetes
Melitus dengan gula darah sewaktu pada
pasien yang mengalami kedaruratan
Diabetes Melitus, menggunakan uji
Spearman rho.
Berdasarkan hasil uji Spearman Rho
untuk menganalisa hubungan tingkat stres
dengan kadar gula darah sewaktu pada
pasien yang mengalami kegawatan Diabetes
Melitus diperoleh nilai p= 0,000 (p< 0,05)
yang berarti H0 ditolak dan Ha diterima, jadi
ada hubungan yang signifikan antara stres
dengan kadar gula darah sewaktu pada
pasien yang mengalami kegawatan Diabetes
Melitus. Berdasarkan kekuatan hubungan
nilai r : 0,636 dengan arah positif ini berarti
semakin rendah tingkat stres responden
maka gula darah sewaktunya semakin
mendekati normal. Hal ini menunjukan
diantara faktor –faktor yang terkait dengan
gula darah yang tidak diteliti dalam
penelitian ini, faktor stres merupakan salah
satu faktor yang cukup dominan
mempengaruhi kadar gula darah sewaktu.
Dampak psikologis dari Diabetes
Melitus mulai dirasakan oleh pasien sejak
terdiagnosis Diabetes Melitus dan
penyakitnya telah berlangsung selama
beberapa bulan atau lebih dari satu tahun.
Pasien mulai mengalami gangguan psikis
diantaranya stres pada dirinya sendiri
berkaitan dengan pengobatan yang dijalani
(Tjokroprawiro, dalam Jamaluddin, 2011),
sedangkan menurut Fisher dalam
Jamaluddin, (2011) Diabetes Melitus dan
stres merupakan dua hal yang saling
mempengaruhi baik secara langsung
maupun tidak langsung. Kontrol yang
kurang pada glukosa darah menimbulkan
perasaan stres dan begitu pula sebaliknya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Hawari
(2001) dan Nailufar (2010) bahwa stres
telah menjadi salah satu faktor yang muncul
pada penderita Diabetes Melitus. Stres
sangat berpengaruh terhadap penyakit
Diabetes Melitus karena hal itu akan
berpengaruh terhadap pengendalian dan
tingkat kadar glukosa darah. Situasi yang
menimbulkan stres maka respon stres dapat
berupa peningkatan hormone adrenalin yang
akhirnya dapat mengubah cadangan
glikogen dalam hati menjadi glukosa. Kadar
glukosa darah yang tinggi secara terus
menerus dapat menyebabkan komplikasi
Diabetes Melitus, sedangkan komplikasi
akut yang paling berbahaya pada pasien
Diabetes Melitus adalah terjadinya
hipoglikemia (kadar gula darah sangat
rendah), karena dapat mengakibatkan koma
(tidak sadar) bahkan kematian bila tidak
cepat ditolong.
Stres dan Diabetes Melitus memiliki
hubungan sangat erat terutama pada
penduduk perkotaan. Tekanan kehidupan
dan gaya hidup yang tidak sehat disertai
kemajuan teknologi yang semakin pesat dan
berbagai penyakit yang sedang diderita
175
menyebabkan penurunan kondisi seseorang
sehingga memicu timbulnya stres. Pasien
Diabetes Melitus yang mengalami stres
dapat mengakibatkan gangguan pada
pengontrolan kadar glukosa darah. Pada
keadaan stres akan terjadi peningkatan
ekskresi hormon katekolamin, glucagon,
glukokortikoid, endorphin dan hormon
pertumbuhan (Suherman, 2009).
Hasil penelitian yang didapat didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Wilda
(2011), yang mengungkapkan ada hubungan
tingkat stres dengan penyembuhan pasien
Diabetes Melitus (p=0,014), sedangkan
penelitian yang berbeda didapatkan oleh
Nailufar (2010).
Adanya hubungan yang signifikan antara
tingkat stres dengan kadar gula darah
sewaktu menandakan perlunya perhatian
yang serius dalam memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien. Perawat perlu
memperhatikan aspek psikologis pasien
Diabetes Melitus dalam memberikan asuhan
keperawatan selain pemberian terapi yang
diterima pasien
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
ditarik kesimpulan yaitu: Tingkat stres pada
pasien yang mengalami kegawatan Diabetes
Melitus, didapatkan sebagian besar atau
sebanyak 20 orang (62,5%) dikatagorikan
stres ringan. Gula darah sewaktu pada
pasien yang mengalami kegawatan Diabetes
Melitus didapatkan sebagian besar atau
sebanyak 22 orang (69%) dikategorikan
dengan kadar gula darah sewaktu yang
rendah. Ada hubungan yang signifikan
antara tingkat stres dengan kadar gula darah
sewaktu pada pasien yang mengalami
kegawatan Diabetes Melitus (p= 0,000,
r=0,636). DAFTAR RUJUKAN Depkes RI., 2007. Peranan Diit Dalam
Penanggulangan Diabetes. (Online), available: http://www.gizi.net/makalah/Makalah%20Pekan%20Diabetes Melitus.PDF,
Grehenson, G. 2001. Hubungan antara Penyuluhan Diit Diabetes Melitus dengan Kepatuhan Menjalankan Diit Diabetes Melitus Terkendalinya Kadar Gula Darah Penderita Diabetes Melitus di Klinik Gizi RSUD Kraton Kabupaten. Available: http://www.fkm.undip.ac.id/ (18 Nopember 2012).
Hawari, D. 2001. Manajemen Stres Cemas
Dan Depresi. Jakarta: FKUI. Jamaluddin, M., 2011. Strategi Coping Stres
Penderita Diabetes Mellitus Dengan Self Monitoring Sebagai Variabel Mediasi.
Nailufar, S. L., 2010. Hubungan Tingkat
Stres, Pola Makan, Olahraga Dan Dukungan Keluarga Dengan Kadar Gula Darah Pada Penderita Diabetes Mellitus. Surabaya: Airlangga University Library Surabaya.
Soegondo, S, 2007. Penatalaksanaan
Diabetes Terpadu: Sebagai Panduan Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Bagi Dokter dan Edukator. Jakarta: FKUI.
WHO. 2007. Pelayanan Kesehatan. Jakarta:
Media Aesclapius Press.
Yunia, I. (2007) Mau Tahu Lebih Jauh Tentang Diabetes. (online), available: http://www.promosikesehatan.com/?act=article&id=306
176
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PREOPERATIF
PTERIGIUM
I Made Widastra
I Made Mertha
I Made Oka Bagiarta
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Email: [email protected]
Abstract: Nursing Care for Patient with Preoperative Pterygium. The aim of this
study is to describe preoperative nursing care for patient with pterygium in Indera
Hospital Denpasar. This study uses a descriptive research design with cross sectional
approach. The method used to determine the sample is non-probability sampling is
purposive sampling with a sample obtained by 45 patients. This study was conducted
in May-June 2013 at Indera Hospital Denpasar. The results of this study is that the
assessment of patient with pterygium in preoperative nursing care majority is Good
(77.5%). At diagnosis, the majority value is Enough (60%). In the intervention, the
majority value is Good (80%), as well as the implementation and evaluation of the
majority value is Good (100%), and the majority value for nursing care for patient
with pterygium is Good (83,5%)
Abstrak: Asuhan Keperawatan Pasien Preoperatif Pterigium. Tujan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada pasien
perioperatif pterigium di RS Indera Denpasar. Penelitian ini menggunakan rancangan
penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Metode yang digunakan
untuk menentukan sampel penelitian adalah non probability sampling yaitu purposive
sampling dengan jumlah sampel yang didapat sebanyak 45 pasien. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Mei – Juni tahun 2013 di RS Indera Denpasar. Berdasarkan
hasil penelitian, didapatkan bahwa pada pengkajian, nilai yang diperoleh pada asuhan
keperawatan pasien perioperatif pterigium sebagian besar adalah baik (77,5%). Pada
diagnosa, nilai yang diperoleh adalah cukup (60%). Pada intervensi, nilai yang
diperoleh adalah baik (80%), pada implementasi dan evaluasi nilai yang diperoleh
adalah baik (100%), serta pada asuhan keperawatan nilainya adalah baik (83,5%).
Kata kunci : asuhan keperawatan, preoperatif, pterigium
Permukaan mata secara reguler terpajan
lingkungan luar dan mudah mengalami
trauma, infeksi dan reaksi alergi yang
merupakan sebagian besar penyakit pada
jaringan ini. Sebagian kecil disebabkan oleh
abnormalitas degenerasi dan struktural.
Salah satu penyakit degenerasi pada
konjungtiva adalah pterygium (Jerome P,
2011).
Pterygium merupakan suatu
pertumbuhan jaringan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan
invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak
pada celah kelopak bagian nasal ataupun
temporal konjugtiva yang meluas secara
lambat ke daerah kornea. Pterygium
berbentuk segitiga dengan puncak di bagian
sentral atau di daerah kornea. Pterygium
mudah meradang dan bila terjadi iritasi,
maka bagian pterygium akan berwarna
merah (Ilyas, 2010), dan umumnya bilateral
di sisi nasal. Pterygium dianggap sebagai
fenomena iritatif yang disebabkan oleh sinar
ultraviolet dan sering dijumpai diantara
petani dan penggembala yang sehari-harinya
berada diluar rumah, dibawah teriknya sinar
matahari, di daerah berdebu atau berpasir,
dan angin selalu bertiup (Ilyas, 2010) .
177
Beberapa daerah di dunia yang memiliki
kondisi sinar matahari yang terik, angin
selalu bertiup, serta berdebu seperti
contohnya di daratan Amerika,
prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk
daerah di atas 40° lintang utara sampai 5-
15% untuk daerah garis lintang 28°-36°.
Hubungan ini terjadi untuk tempat tempat
yang prevalensinya penyakitnya meningkat
dan daerah-daerah elevasi yang terkena
penyinaran ultraviolet untuk daerah di
bawah garis lintang utara ini. Di dunia,
hubungan antara menurunnya insidensi pada
daerah atas lintang utara dan relatif terjadi
peningkatan untuk daerah di bawah garis
balik lintang utara (Jerome P, 2011).
Beberapa dari survey yang dilakukan
memperlihatkan bahwa negara yang lebih
dekat dengan equator mempunyai angka
kejadian pterygium lebih tinggi dari pada
daerah lain, hal itu bisa disebabkan karena
garis lintang yang rendah dan pancaran sinar
ultraviolet yang lebih kuat. Berdasarkan
letak Indonesia sebagai bagian Negara yang
beriklim tropis dan dengan paparan sinar
ultraviolet yang tinggi, maka angka kejadian
pterygium cukup tinggi (Gazzard et al.,
2002).
Pemicu pterygium tidak hanya dari
etiologinya saja tetapi terdapat faktor risiko
yang mempengaruhinya antara lain faktor
usia, jenis kelamin, jenis pterygium, jenis
pekerjaan (outdoor atau indoor ) (Gazzard et
al., 2002). Dimana jarang terdapat kejadian
pterygium pada usia dibawah usia 20 tahun.
Angka prevalensi pterygium paling tinggi
terjadi pada usia lebih dari 40 tahun dan
angka insiden pterygium paling tinggi terjadi
antara umur 20-40 tahun (Jerome, 2011).
Hal tersebut di atas dapat dibuktikan pada
studi yang dilakukan Gazzard di Indonesia
(Kepulauan Riau) yang menyebutkan
kejadian pterygium pada usia dibawah 21
tahun sebesar 10 % dan diatas 40 tahun
sebesar 16,8%, pada wanita 17,6 % dan laki-
laki 16,1% (Gazzard et al., 2002).
Berdasarkan data dari studi pendahulan
di RS Indera Denpasar selama 2 hari pada
tanggal 7-8 Februari 2013 diperoleh jumlah
pasien pterigium pada tahun 2010 sebanyak
192 pasien, pada tahun 2011 jumlah pasien
pterigium sebanyak 210 pasien, dan pada
tahun 2012 jumlah pasien pterigium
sebanyak 220 pasien. Jumlah pasien
pterigium meningkat setiap tahunnya. Dari
beberapa dokumen keperawatan pasien
dengan pterigium, kadang ada masalah yang
belum dikaji seperti masalah kurang
pengetahuan padahal pasien baru pertama
kali berkunjung. Hal yang telah dilakukan
dari pihak instansi terkait dengan pemberian
asuhan keperawatan berupa pemberian
Health Education pada pasien dan
keluarganya setiap kali melakukan
kunjungan meski diagnosa kurang
pengetahuan tidak ada. Peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian terhadap kasus
pterigium karena selama ini belum ada
penelitian dalam hal asuhan keperawatan
tentang pterigium.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah
mengetahui gambaran asuhan keperawatan
pada pasien preoperatif pterigium di RS
Indera Denpasar.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif yang bertujuan untuk memaparkan
asuhan keperawatan pada pasien
preoperative pterigium. Peneliti tidak
memberikan rencana tindakan, hanya
mengumpulkan informasi tentang gambaran
asuhan keperawatan pada pasien dengan
pterigium di RS Indera Denpasar. Model
pendekatan subjek yang digunakan adalah
cross sectional . Peneliti menggunakan
metode non probability sampling yaitu
Purposive sampling, yaitu suatu teknik
penetapan sampel dengan cara memilih
sampel di antara populasi sesuai dengan
yang dikehendaki peneliti.
Data mengenai gambaran asuhan
keperawatan dengan pterigium pada pasien
ini dikumpulkan dengan menggunakan
lembar observasi yang diisi oleh peneliti.
Sebelum mengumpulkan data, beberapa
langkah yang harus dilalui adalah
melakukan pendekatan terhadap pihak yang
terkait untuk mengurus ijin penelitian,
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian,
178
melihat dokumen asuhan keperawatan untuk
satu kali kunjungan, menilai kelengkapan
dokumen asuhan keperawatan, serta
menganalisis data dari seluruh sampel yang
diambil.
Data yang diperlukan dikumpulkan
dalam suatu format yang diisi oleh peneliti.
Format pengumpulan datanya berupa lembar
observasi asuhan keperawatan. Lembar
observasi yang digunakan tersebut terdiri
dari data pengkajian keperawatan, diagnosa
keperawatan, rencana tindakan,
implementasi keperawatan, serta evaluasi
keperawatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Gambaran Pengkajian pada Pasien
Preoperatif Pterigium
No Pengkajian Nilai (%)
1 Baik 77,5
2 Cukup 22,5
3 Kurang -
Total 100
Pengkajian adalah tahap awal dari proses
keperawatan dan merupakan suatu proses
yang sistematis dalam pengumpulan data
dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan klien (Nursalam, 2008). Tahap
ini mencakup tiga kegiatan,yaitu
pengumpulan data,analisis data,dan
penentuan masalah kesehatan serta
keperawatan (Depkes RI, 2008). Dari hasil
pengamatan yang dilakukan pada asuhan
keperawatan pasien preoperatif pterigium
nilai pengkajian keperawatan yang diperoleh
adalah 77,5% (baik). Pengkajian yang
dilakukan oleh perawat di RS Indera
Denpasar sudah melalui proses
pengumpulan data, analisis data, dan
penentuan masalah keperawatan. Pada
pengkajian, setiap pasien pterigium
memiliki 4 atau lebih manifestasi klinis
seperti terdapat jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjungtiva, mata merah, mata
berair, tajam penglihatan menurun, dan
tanda gejala lainnya.
Tabel 2. Gambaran Diagnosa Keperawatan
pada Pasien Preoperatif Pterigium
No Diagnosa Keperawatan Nilai (%)
1 Baik 40
2 Cukup 60
3 Kurang -
Total 100
Diagnosa keperawatan adalah suatu
pernyataan yang menjelaskan respon
manusia (status kesehatan atau risiko
perubahan pola) dari individu atau
kelompok dimana perawat secara
akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan
memberikan rencana tindakan secara pasti
untuk menjaga status kesehatan,
menurunkan, membatasi, mencegah dan
mengubah (Carpenito, 2007). Menurut
Depkes RI (2008) pada diagnosa terdiri dari
identifikasi masalah klien dan perumusan
diagnosa, komponen diagnosa yang disusun
terdiri dari masalah (P), penyebab (E), tanda
gejala (S) atau terdiri dari masalah dengan
penyebab (PE). Pada diagnosa keperawatan
diagnosa yang muncul 3 diagnosa atau lebih
dan setiap pasien berbeda-beda tergantung
dari keluhan pasien itu sendiri. 3 diagnosa
keperawatan pasien preoperatif pterigium
yang sering muncul, yaitu gangguan
persepsi sensori perseptual, risiko cidera,
dan ansietas. Jumlah diagnosa pada paling
banyak adalah 4 diagnosa dan jumlah paling
sedikit adalah 1 diagnosa. Dari hasil
pengamatan yang dilakukan pada asuhan
keperawatan pasien preoperatif pterigium
nilai diagnosa keperawatan yang diperoleh
adalah 60%. Hal ini berkaitan dengan
minimnya lulusan S1, mengingat kualifikasi
pendidikan minimal untuk menetapkan
diagnosa adalah S1 keperawatan. Pada
penyusunan diagnosa pasien preoperatif
pterigium dilaksanakan sesuai standar
prosedur operasional yang berlaku di RS
Indera Denpasar yang terdiri dari
identifikasi masalah klien dan perumusan
diagnosa, tetapi komponen diagnosa yang
disusun hanya terdiri dari masalah (P) dan
179
penyebab (E), tanpa tanda gejala (S). Hal ini
berbeda dengan teori Depkes RI (2008)
tentang perumusan diagnosa keperawatan.
Tabel 3. Gambaran Rencana Tindakan pada
Pasien Preoperatif Pterigium
No Rencana Tindakan Nilai (%)
1 Baik 80
2 Cukup 20
3 Kurang -
Total 100
Rencana tindakan meliputi
perkembangan strategi design untuk
mencegah, mengurangi, atau mengoreksi
masalah yang telah diidentifikasi (Nursalam,
2008). Dari hasil pengamatan yang
dilakukan pada asuhan keperawatan pasien
preoperatif pterigium nilai diagnosa
keperawatan yang diperoleh adalah 80%.
Pada perencanaan, perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan sesuai
dengan standar prosedur operasional yang
berlaku di Rumah Sakit Indera Denpasar.
Perencanaan yang disusun pada asuhan
keperawatan di Rumah Sakit Indera sedikit
berbeda dengan instrumen studi
dokumentasi penerapan asuhan keperawatan
menurut Depkes (2008) karena pada
perencanaan asuhan keperawatan yang
disusun tidak terdiri dari prioritas masalah
yang akan diatasi tetapi perencanaan yang
dibuat sudah berdasarkan diagnosa
keperawatan, sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan klien, rencana tindakan sudah
mengacu pada tujuan, menggambarkan
keterlibatan pasien dan kerjasama dengan
tim kesehatan, serta rencana tindakannya
sudah didokumentasikan. Menurut Asmadi
(2008) rumusan tujuan keperawatan dalam
asuhan keperawatan harus SMART yaitu
specific (rumusan tujuan jelas), measurable
(dapat diukur), achievable (dapat dicapai),
realistic (dapat tercapai dan nyata), dan
timing (harus ada target waktu). Rumusan
tujuan asuhan keperawatan pasien
preoperatif pterigium sudah SMART
sehingga diperoleh nilai baik.
Dari hasil analisa data diperoleh seluruh
nilai implementasi keperawatan adalah baik
(100%). Tahap implementasi dimulai setelah
rencana keperawatan disusun dan ditujukan
pada nursing orders untuk membantu klien
mencapai tujuan yang diharapkan
(Nursalam, 2008). Implementasi disusun
sesuai dengan rencana tindakan yang telah
disusun sebelumnya, tindakan keperawatan
yang dilakukan bertujuan untuk mengatasi
masalah klien (Depkes RI, 2008). Pada
implementasi, asuhan keperawatan yang
diberikan sesuai dengan standar prosedur
operasional yang berlaku di Rumah Sakit
Indera Denpasar. Dari hasil pengamatan
yang dilakukan pada asuhan keperawatan
pasien preoperatif pterigium nilai diagnosa
keperawatan yang diperoleh adalah 100%.
Implementasi asuhan keperawatan pasien
preoperatif sudah disusun sesuai dengan
rencana tindakan yang telah disusun
sebelumnya, tindakan keperawatan yang
dilakukan sudah bertujuan untuk mengatasi
masalah klien serta implementasi sudah
didokumentasikan sehingga nilai
implementasi yang diperoleh adalah baik.
Dari hasil analisa data diperoleh seluruh
nilai implementasi keperawatan adalah baik
(100%). Evaluasi merupakan tahap akhir
dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan sistematis dan terencana
antara hasil akhir yang teramati dan tujuan
atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan (Asmadi, 2008). Tahap
penyusunan evaluasi dimulai dari menyusun
rencana evaluasi hasil dari rencana tindakan
secara komprehensif, tepat waktu dan terus
menerus, mengevaluasi kemajuan klien
terhadap tindakan dalam pencapaian tujuan,
dan merevisi data dasar dan perencanaan,
serta mendokumentasikan hasil evaluasi.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada
asuhan keperawatan pasien preoperatif
pterigium nilai evaluasi keperawatan yang
diperoleh adalah 100%. Evaluasi
keperawatan yang dilaksanakan oleh
perawat di RS Indera Denpasar sudah
dilaksanakan sesuai dengan tujuan rencana
180
tindakan atau kriteria hasil yang dibuat
(SOAP) serta hasilnya sudah
didokumentasikan.
Tabel 4. Gambaran Asuhan Keperawatan
Pasien Preoperatif Pterigium
No Asuhan Keperawatan Nilai (%)
1 Baik 83,5
2 Cukup 16,5
3 Kurang -
Total 100
Menurut Potter and Perry (2005) asuhan
keperawatan adalah proses mengidentifikasi
dan menggabungkan unsur – unsur dari kiat
keperawatan yang paling diperlukan dengan
unsur – unsur teori sistem yang relevan,
dengan menggunakan metode ilmiah,
American Nurse Association (ANA)
mengembangkan proses keperawatan
menjadi lima tahap yaitu tahap pengkajian,
diagnosa keperawatan, rencana tindakan,
implementasi, serta evalasi keperawatan.
Asuhan keperawatan yang diberikan oleh
perawat pada pasien preoperatif pterigium
sudah baik karena sudah terdiri dari 5
komponen asuhan keperawatan yaitu
pengkajian, diagnosa, rencana tindakan,
implementasi, serta evaluasi dan semua
komponen tersebut telah didokumentasikan
dalam asuhan keperawatan.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah ditulis
pada bab sebelumnya, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa, pada pengkajian, nilai
yang diperoleh pada asuhan keperawatan
pasien preoperatif pterigium adalah dominan
baik sebesar 77,5% dan sisanya adalah
cukup. Pada diagnosa keperawatan, nilai
yang diperoleh adalah dominan cukup
sebesar 60% dan sisanya adalah baik. Pada
rencana tindakan, nilai yang diperoleh
adalah dominan baik sebesar 80% dan
sisanya adalah cukup. Pada implementasi,
nilai yang diperoleh adalah baik yaitu
sebesar 100%. Pada evaluasi asuhan
keperawatan nilai yang diperoleh adalah
baik sebesar 100%. Simpulan bahwa asuhan
keperawatan pada pasien preoperatif
pterigium yang diberikan oleh perawat
dalam katagori baik (83,5%).
DAFTAR RUJUKAN Asmadi, 2008, Konsep Dasar Keperawatan,
Jakarta : EGC Carpenito LJ, 2007, Buku Saku Diagnosis
Keperawatan, Edisi 10, Jakarta: EGC
Depkes RI, 2008, Intrumen Evaluasi
Penerapan Standar Asuhan Keperawatan Di Rumah Sakit, (online), available: http://www.depkes.go.id/index.php (10 Februari 2013)
Gazzard,et all, 2002, Pterigium in
Indonesia; Prevalence, Severity and Risk Factors, (online), available: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/ (19 Desember 2012)
Ilyas S, 2010, Ilmu Penyakit Mata, Edisi 6,
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jerome P, 2011, Pterygium, (online),
available: http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview (20 Desember 2012)
Nursalam, 2008, Konsep Dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Surabaya: Salemba Medika
Nursalam, 2008, Proses Dan Dokumentasi
Keperawatan, Surabaya: Salemba Medika
Potter and Perry. 2005. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan Volume 1. Jakarta: EGC
181
DUKUNGAN KELUARGA DAN KUALITAS HIDUP LANSIA
HIPERTENSI
I Wayan Suardana Ni Luh Gede Intan Saraswati
Made Wiratni
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Email: [email protected]
Abstract: Family support and quality of life of elderly that suffered hypertension.
This research has purpose to know about the correlation between family support and
quality of life of elderly that suffered hypertension. This research is descriptive
correlational research with use cross sectional approach. It has 59 samples using
non probability technique with purposive sampling. To test the hypotesis, data is
analyzed with Rank Spearman Test (p≤0,05). The result showed almost all of the
elderlies have good family support in total of 27 elderlies (45,8%) and almost all of
the elderlies have good quality of life in total 31 elderlies (52,5%). P value is 0,000
that means p≤0,05 thus Ho is rejected and correlation coefficient value is 0,583 and
that means there is correlation between family support and quality of life of elderly
that suffered hypertension.
Abstrak: Dukungan keluarga dan kualitas hidup lansia hipertensi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup
lansia yang mengalami hipertensi. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif
korelasional dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel adalah
59 lansia dengan teknik sampel non probability dengan purposive sampling. Teknik
analisa data yang digunakan untuk menguji hipotesis yaitu korelasi Rank Spearman
(p≤0,05). Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar lansia memiliki dukungan
keluarga baik sebanyak 27 lansia (45,8%) dan sebagian besar lansia memiliki kualitas
hidup baik sebanyak 31 lansia (52,5%). Nilai p sebesar 0,000 yang berarti p≤0,05
sehingga Ho ditolak dan nilai correlation coefficient 0,583 yang artinya terdapat
hubungan antara dukungan keluarga dengan kualitas hidup lansia yang mengalami
hipertensi.
Kata kunci : dukungan keluarga, kualitas hidup, lansia, hipertensi
Keberhasilan pemerintah dalam
Pembangunan Nasional, telah mewujudkan
hasil yang positif di berbagai bidang, yaitu
adanya kemajuan ekonomi, perbaikan
lingkungan hidup, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi terutama
dibidang medis atau ilmu kedokteran
sehingga dapat meningkatkan kualitas
kesehatan penduduk serta meningkatkan
umur harapan hidup manusia. Akibatnya
jumlah penduduk yang berusia lanjut
meningkat dan bertambah cenderung lebih
cepat. (Bandiyah, 2009). Lansia menurut
WHO adalah orang yang berumur 60-74
tahun. Pernyataan ini sesuai dengan UU
Nomor 13 tahun 1998, tentang kesejahteraan
lanjut usia di Indonesia yang menyatakan
bahwa lansia adalah orang yang berusia 60
tahun keatas (Bandiyah, 2009).
Saat ini diseluruh dunia jumlah orang
lanjut usia diperkirakan ada 500 juta dengan
usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan
pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar
(Bandiyah, 2009). Menurut Badan Pusat
Statistik Indonesia Tahun 2010, jumlah
lansia tahun 2009 sejumlah 18.425.000 jiwa
dan tahun 2010 sejumlah 19.036.600 jiwa,
dilihat dari jumlah tersebut terjadi
182
peningkatan lansia di Indonesia. Di Bali
menurut data BPS Provinsi Bali jumlah
lansia di Bali pada tahun 2011 sebanyak
371.900 jiwa, pada tahun 2012 sebanyak
680.114 jiwa dan pada tahun 2013 sebanyak
988.329 jiwa (BPS Provinsi Bali, 2013).
Salah satu Kabupaten di Provinsi Bali yang
mengalami peningkatan jumlah lansia
adalah Kabupaten Gianyar dengan jumlah
lansia pada tahun 2012 sebanyak 47.647
jiwa dan pada tahun 2013 sebanyak 49.172
jiwa (Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar,
2013). Kecamatan Tampaksiring merupakan
salah satu wilayah dengan jumlah lansia
yang cukup besar, yaitu mencapai 2939
jiwa, dengan jumlah lansia laki-laki
sebanyak 1412 jiwa dan lansia perempuan
sebanyak 1527 jiwa (Dinas Kesehatan
Kabupaten Gianyar, 2013). Desa
Tampaksiring merupakan salah satu wilayah
yang tergabung dalam Kecamatan
Tampaksiring. Desa ini memiliki jumlah
lansia sebanyak 1.222 jiwa, dengan jumlah
lansia laki-laki sebanyak 549 jiwa dan
perempuan sebanyak 673 jiwa.
Akibat dari jumlahnya yang semakin
meningkat, berbagai permasalahan karena
proses menua pun semakin banyak, salah
satunya adalah hipertensi (Nugroho, 2006).
Hipertensi merupakan gangguan sistem
peredaran darah yang menyebabkan
kenaikan tekanan darah diatas nilai normal.
Pada lansia hipertensi didefinisikan sebagai
tekanan sistoliknya di atas 160 mmHg dan
tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg
(Smeltzer & Bare, 2005).
Lebih dari 50 juta orang dewasa di USA
menderita hipertensi dan sebagian termasuk
orang yang berusia lebih dari 70 tahun yaitu
kaum lansia (Ferdinand, 2008 dalam
Saputri, 2009). Prevalensi penderita
hipertensi di Indonesia sendiri menurut
Depkes RI (2007) cukup tinggi, yaitu 83 per
1.000 anggota rumah tangga dan 65% nya
merupakan orang yang telah berusia 55
tahun ke atas. Diperkirakan sekitar 80%
kenaikan kasus hipertensi di negara
berkembang, dari sejumlah 639 juta kasus di
tahun 2000 menjadi 1.15 milyar kasus di
tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada
angka penderita hipertensi saat ini dan
pertambahan penduduk saat ini
(Armilawaty, 2007), sedangkan di Provinsi
Bali berdasarkan data Dinas Kesehatan
Provinsi Bali tentang penyakit tidak menular
(PTM), tercatat jumlah kasus hipertensi pada
lansia yang terdeteksi pada tahun 2011
sebanyak 15.843 kasus, pada tahun 2012
sebanyak 22.837 kasus dan pada tahun 2013
sebanyak 29.867 kasus, sedangkan di
Kabupaten Gianyar jumlah kasus hipertensi
pada lansia pada tahun 2011 sebanyak 952
kasus, pada tahun 2012 sebanyak 1826
kasus dan pada tahun 2013 sebanyak 2407
kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar,
2013). Berdasarkan data yang didapatkan
oleh peneliti di Puskesmas 1 Tampaksiring
pada bulan Maret 2014, jumlah lansia yang
mengalami hipertensi di Desa Tampaksiring
Gianyar pada tahun 2011 sebanyak 45
orang, pada tahun 2012 sebanyak 54 orang
dan pada tahun 2013 sebanyak 68 orang
(Data Puskesmas 1 Tampaksiring, 2013).
Lansia yang mengalami hipertensi yang
terus menerus dan tidak mendapatkan
pengobatan dan pengontrolan secara tepat,
menyebabkan jantung bekerja ekstra keras,
akhirnya kondisi ini berakibat terjadinya
kerusakan pada pembuluh darah jantung,
ginjal, otak dan mata. Kerusakan jantung ini
menimbulkan gejala seperti sakit kepala,
kelelahan, nyeri dada, serta kesemutan pada
kaki dan tangan sehingga menyebabkan
kualitas hidup lansia menurun (Veronica,
2005).
Menurut Akhmadi (2009) dalam Yenni
(2011) fungsi sistem tubuh lansia yang
mengalami hipertensi dapat berdampak
buruk terhadap kualitas hidup lansia, baik
dalam skala ringan, sedang, maupun berat.
Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian
Kao (2008) yang mengatakan status
kesehatan seperti hipertensi dapat
mempengaruhi kualitas hidup lansia.
Kualitas hidup berhubungan dengan
kesehatan, dimana suatu kepuasan atau
kebahagiaan individu sepanjang dalam
kehidupannya mempengaruhi mereka atau
183
dipengaruhi oleh kesehatan (American
Thoracic Society, 2004). Pernyatan ini
didukung oleh hasil penelitian Ibrahim
(2009) yang menunjukkan bahwa dari 51
lansia yang mengalami hipertensi 40 orang
(78,4%) lansia mempersepsikan kualitas
hidupnya pada tingkat rendah dan 11 orang
(21,6%) pada tingkat tinggi. Kualitas hidup
lansia yang rendah dihubungkan dengan
kesehatan fisik, kondisi psikologis,
hubungan sosial dan hubungan lansia
dengan lingkungan.
Kualitas hidup lansia dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah
dukungan keluarga. Dukungan keluarga
adalah suatu bentuk perilaku melayani yang
dilakukan oleh keluarga baik dalam bentuk
dukunganemosional, penghargaan/penilaian,
informasional dan instrumental (Friedman,
2010 dalam Yenni 2011). Beberapa studi
telah membuktikan bahwa ketersediaan
keluarga terutama untuk meningkatkan
kepatuhan pengobatan pada lansia yang
mengalami hipertensi mengakibatkan
penurunan tekanan darah yang signifikan.
Faktor dalam upaya pengendalian hipertensi
pada lansia adalah pengawasan dari pihak
keluarga. Menurut Green & Kreuter (dalam
Yenni, 2011), dukungan keluarga termasuk
dalam faktor pendukung (supporting
factors) yang dapat mempengaruhi perilaku
dan gaya hidup seseorang sehingga
berdampak pada status kesehatan dan
kualitas hidupnya. Seperti halnya penelitian
yang dilakukan oleh Githa (2011) yang
dilakukan pada tanggal 18 Desember 2011
di Banjar Wangaya Kaja yang merupakan
Wilayah Kerja Puskesmas III Denpasar
Utara terdapat 24 orang lansia yang
mengalami hipertensi dari 54 orang yang
melakukan pemeriksaan tekanan darah. Dari
hasil wawancara dengan 10 orang lansia dari
24 lansia yang mengalami hipertensi,
didapatkan bahwa 60% dukungan keluarga
di bidang kesehatan masih rendah.
Hal ini terlihat dari ketidakmampuan
keluarga dalam mengenal masalah kesehatan
yang dialami lansia, misalnya tercermin dari
keluarga tidak menyadari perubahan yang
dialami lansia yang mengalami hipertensi
seperti sakit kepala, gelisah dan gangguan
pengelihatan. Selain itu peneliti juga
mendapatkan perawatan terhadap lansia
yang mengalami hipertensi seperti
pengaturan pola hidup juga kurang diawasi
misalnya pada pengaturan diet lansia.
Rendahnya dukungan keluarga akan
mempengaruhi perilaku lansia dalam
pemeliharaan kesehatannya dan akan
berdampak pada penurunan kualitas hidup
lansia dengan hipertensi (Githa, 2011). Hal
ini juga didukung oleh Yenni (2011) bila
lansia hipertensi mendapat dukungan yang
cukup dari keluarga, maka lansia akan
termotivasi untuk merubah perilaku untuk
menjalani gaya hidup sehat secara optimal
sehingga dapat meningkatkan status
kesehatan dan kualitas hidupnya (Yenni,
2011).
Berdasarkan studi pendahuluan yang
peneliti lakukan di Desa Tampaksiring
Gianyar dengan menggunakan kuisioner
kualitas hidup didapatkan bahwa dari 10
lansia yang mengalami hipertensi sebanyak
7 orang lansia (70%) memiliki kualitas
hidup dalam kategori rendah dan 3 orang
lansia (30%) memiliki kualitas hidup dalam
kategori baik. Sebagian besar lansia
mengatakan sering merasa putus asa,
kesepian dan cemas, merasa hidupnya tidak
berarti dan sedikitnya ketersediaan informasi
dalam kehidupan sehari-harinya, serta tidak
puas dengan hubungan personal/sosialnya.
Sedangkan hasil pengukuran dengan
kuisioner dukungan keluarga didapatkan
hasil bahwa dari 10 orang lansia yang
diwawancarai, sebanyak 8 orang (80%)
memiliki dukungan keluarga yang kurang
dan 2 orang lansia (20%) memiliki
dukungan keluarga baik. Sebagian besar
lansia mengatakan dirinya tidak diperhatikan
saat sakit, keluarganya tidak menyediakan
waktu untuk mengantarkan lansia berobat,
keluarga tidak pernah mengingatkan lansia
untuk minum obat dan kontrol ke puskesmas
serta keluarga tidak mendengarkan keluhan-
keluhan yang dikatakan oleh lansia tentang
penyakitnya.
184
Tujuan umum dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui hubungan dukungan
keluarga dengan kualitas hidup lansia yang
mengalami hipertensi di Desa Tampaksiring
wilayah kerja Puskesmas I Tampaksiring
Gianyar. Tujuan khususnya yaitu
mengidentifikasi dukungan keluarga pada
lansia yang mengalami hipertensi di Desa
Tampaksiring Gianyar, mengidentifikasi
kualitas hidup pada lansia yang mengalami
hipertensi di Desa Tampaksiring Gianyar
dan menganalisis hubungan dukungan
keluarga dengan kualitas hidup lansia yang
mengalami hipertensi di Desa Tampaksiring
Gianyar.
METODE
Jenis penelitian ini adalah deskriptif
korelasional dengan rancangan penelitian
cross sectional. Populasi dalam penelitian
ini adalah semua lansia yang mengalami
hipertensi di Desa Tampaksiring Wilayah
Kerja Puskesmas 1 Tampaksiring Gianyar
yang berjumlah 68 orang yang didapatkan
dari data Puskesmas I Tampaksiring Gianyar
tahun 2013. Sampel dalam penelitian ini
adalah lansia yang mengalami hipertensi di
Desa Tampaksiring Wilayah Kerja
Puskesmas 1 Tampaksiring Gianyar yang
memenuhi kriteria inklusi sebanyak 59
orang. Penelitian ini dilakukan di Desa
Tampaksiring Wilayah Kerja Puskesmas 1
Tampaksiring Gianyar pada Bulan Mei-Juni
2014.
Instrument pengumpulan data yang
digunakan pada penelitian ini adalah lembar
pedoman wawancara dukungan keluarga dan
pedoman wawancara kualitas hidup yang
telah dirancang berdasarkan indikator yang
nantinya akan dijabarkan menjadi butir-butir
pertanyaan. Pedoman wawancara yang
digunakan merupakan pedoman wawancara
yang terstruktur sehingga memudahkan
responden dapat menjawab semua
pertanyaan.
Setelah mendapatkan ijin untuk
melakukan penelitian dari Kepala Desa
Tampaksiring Gianyar, peneliti melakukan
pengumpulan data sebagai berikut:
pengumpulan data dilakukan oleh peneliti
dan 2 orang enumerator. Responden yang
memenuhi kriteria inklusi diberikan
penjelasan tentang manfaat dan tujuan
penelitian. Pengambilan data dilakukan
dengan cara membacakan isi dari pertanyaan
pedoman wawancara dukungan keluarga dan
kualitas hidup.
Setelah data terkumpul maka data
dideskripsikan dan diberikan skor sesuai
tingkat dukungan keluarga dan tingkat
kualitas hidup lansia, yaitu kategori
dukungan keluarga baik mempunyai skor
(25-36), kategori dukungan keluarga sedang
mempunyai skor (13-24) dan kategori
dukungan keluarga kurang mempunyai skor
(0-12), begitu juga dengan tingkat kualitas
hidup, dikatakan kualitas hidup baik yaitu
dengan skor (96-130), dikatakan kualitas
hidup cukup yaitu dengan skor (61-95) dan
kualitas hidup kurang yaitu dengan skor (26-
60). Selanjutnya data ditabulasikan dan di
analisa dengan menggunakan uji korelasi
Rank Spearman dengan tingkat kesalahan
5% (α = 0,05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah diberikan pedoman wawancara
berupa pedoman wawancara tingkat
dukungan keluarga dan tingkat kualitas
hidup, adapun hasil dari wawancara
menggunakan pedoman wawancara dapat
dilihat pada tabel 1 dan tabel 2:
Tabel 1. Distribusi frekuensi dukungan
keluarga pada lansia yang
mengalami hipertensi
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa
responden mempunyai kecenderungan
mendapatkan dukungan keluarga baik, yaitu
sebanyak 27 orang (45,8%).
Kategori Frekuensi
(n)
Presentase
(%)
Dukungan
keluarga baik
27 45,8%
Dukungan
keluarga sedang
23 39,0%
Dukungan keluarga kurang
9 15,3%
Total 59 100 %
185
Tabel 2. Distribusi frekuensi kualitas hidup
pada lansia yang mengalami
hipertensi
Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa
responden mempunyai kecenderungan
memiliki kualitas hidup baik, yaitu sebanyak
31 orang (52,5%).
Tabel 3. Hubungan dukungan keluarga
dengan kualitas hidup lansia
yang mengalami hipertensi
Dukungan
Keluarga
Kualitas Hidup Total Hasil
Analisa
Spearme
n Rank
Bai
k
Cuku
p
Kurang
Baik f
%
19 8 0 27
Pvalue
0,000
Correlati
on
coefficie
nt
0.583
32.2 13.6 .0 45.8
Sedang f 12 2 9 23
% 20.3 3.4 15.3 39.0
Kurang f 0 0 9 9
% .0 .0 15.3 15.3
Total f 31 10 18 59
% 52.5 16.9 30.5 100
Pada analisa Spearman Rank diperoleh
nilai sig 0,000 (p<0,05) yang artinya Ho
ditolak atau ada hubungan yang signifikan
antara dukungan keluarga dengan kualitas
hidup lansia yang mengalami hipertensi di
Desa Tampaksiring Gianyar. Selain nilai
signifikansi analisa Spearman Rank, juga
diperoleh correlation coefficient 0,583 yang
artinya terdapat hubungan sedang dan arah
hubungan positif yaitu memiliki arti
semakin baik dukungan keluarga maka
semakin baik tingkat kualitas hidup lansia
yang mengalami hipertensi. Nilai
correlation coefficient 0,583 pada tingkat
kepercayaan 95 % menunjukan bahwa
dukungan keluarga berpengaruh terhadap
kualitas hidup lansia yang mengalami
hipertensi sebesar 58,3 % dan sisanya
dipengaruhi oleh faktor lain.
Dari hasil analisa data dukungan
keluarga pada lansia yang mengalami
hipertensi di Desa Tampaksiring Gianyar
terhadap 59 responden, didapatkan bahwa
27 orang (45,8 %) mendapat dukungan baik
dari keluarganya, 23 orang (39,0 %)
mendapatkan dukungan dalam kategori
sedang dan 9 orang (15,3 %) mendapat
dukungan dalam kategori kurang.
Beberapa teori perubahan perilaku
kesehatan menunjukkan bahwa keluarga
adalah pengaruh utama, baik pada status
kesehatan maupun pada perilaku kesehatan
anggota keluarga. Keluarga memegang
peranan penting dalam konsep sehat sakit
anggota keluarganya, dimana keluarga
merupakan sistem pendukung yang
memberikan perawatan langsung terhadap
anggota keluarganya yang sakit. Individu
yang mempunyai dukungan keluarga yang
kuat lebih cenderung untuk mengadopsi dan
mempertahankan perilaku kesehatan yang
baru daripada individu yang tidak memiliki
dukungan keluarga untuk mengubah
perilaku kesehatannya (Friedman, Bowden
& Jones, 2003 dalam Yenni 2011),
disamping itu dukungan keluarga yang
tinggi ternyata menunjukkan penyesuaian
yang lebih baik terhadap kondisi kesehatan
anggota keluarganya (Chandra, 2009).
Hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Permana (2011) dimana dari
75 responden yang mengalami hipertensi
didapatkan sebagian besar responden
mendapatkan dukungan keluarga baik
sebesar 60% atau 45 orang, dukungan
keluarga sedang sebesar 33,3% atau 25
orang dan dukungan keluarga kurang
sebesar 6,7% atau 5 orang.
Hasil analisa data kualitas hidup pada
lansia yang mengalami hipertensi di Desa
Tampaksiring Gianyar terhadap 59
responden, didapatkan bahwa 31 orang (52,5
Kategori Frekuensi
(n)
Presentase
(%)
Kualitas hidup
baik
31 52,5%
Kualitas hidup
cukup
10 16,9%
Kualitas hidup
kurang
18 30,5%
Total 59 100 %
186
%) dalam kategori kualitas hidup baik, 10
orang (16,9 %) dalam kategori kualitas
hidup cukup dan 18 orang (30,5 %) dalam
kategori kualitas hidup kurang.
Menurut Akhmadi (2009) dalam Yenni
(2011) fungsi sistem tubuh lansia yang
mengalami hipertensi dapat berdampak
negatif terhadap kualitas hidup lansia, baik
dalam skala ringan, sedang, maupun berat.
Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian
Kao (2008) yang mengatakan status
kesehatan seperti hipertensi mempengaruhi
kualitas hidup lansia. Kualitas hidup
berhubungan dengan kesehatan, dimana
suatu kepuasan atau kebahagiaan individu
sepanjang dalam kehidupannya
mempengaruhi mereka atau dipengaruhi
oleh kesehatan (American Thoracic Society,
2004). Kualitas hidup lansia dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang menyebabkan
seorang lansia untuk tetap bisa berguna
dimasa tuanya, yakni kemampuan
menyesuaikan diri, menerima segala
perubahan dan kemunduran yang dialami
serta adanya perlakuan yang wajar dari
lingkungan lansia tersebut (Kuntjoro, 2005).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Prasetya (2012) dimana
dari 42 responden yang menjalani
hemodialisa didapatkan sebagian besar
responden memiliki kategori kualitas hidup
baik yaitu sebanyak 27 orang (64,3%) dan
kategori kualitas hidup buruk sebanyak 15
orang (35,7 %).
Berdasarkan hasil uji dengan Spearman
Rank Correlation diperoleh nilai sig 0,000
(p<0,05) yang artinya Ho ditolak atau ada
hubungan yang signifikan antara dukungan
keluarga dengan kualitas hidup lansia yang
mengalami hipertensi di Desa Tampaksiring
Gianyar. Selain nilai signifikansi analisa
Spearman Rank juga diperoleh correlation
coefficient 0,583 yang artinya terdapat
hubungan sedang dan arah hubungan positif
yaitu semakin baik dukungan keluarga maka
semakin baik pula kualitas hidup lansia yang
mengalami hipertensi.
Keluarga merupakan satu-satunya
tempat yang sangat penting untuk
memberikan dukungan, pelayanan serta
kenyamanan bagi lansia dan anggota
keluarga juga merupakan sumber dukungan
dan bantuan paling bermakna dalam
membantu anggota keluarga yang lain dalam
mengubah gaya hidupnya (Friedman,
Bowden & Jones, 2003 dalam Yenni 2011).
Menurut Green & Kreuter (dalam Yenni,
2011), dukungan keluarga termasuk dalam
faktor pendukung (supporting factors) yang
dapat mempengaruhi perilaku dan gaya
hidup seseorang sehingga berdampak pada
status kesehatan dan kualitas hidupnya. Bila
lansia hipertensi mendapat dukungan yang
cukup dari keluarga, maka lansia akan
termotivasi untuk merubah perilaku untuk
menjalani gaya hidup sehat secara optimal
sehingga dapat meningkatkan status
kesehatan dan kualitas hidupnya (Yenni,
2011).
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Antari
(2012) dimana didapatkan bahwa terdapat
hubungan yang sangat kuat antara dukungan
sosial dengan kualitas hidup dan didapatkan
pula dukungan sosial keluarga berkontribusi
sebanyak 95,5% terhadap kualitas hidup.
Penelitian ini juga didukung oleh Shusil
(2010), dalam penelitiannya diketahui
bahwa kepuasan terhadap dukungan sosial
memiliki hubungan dengan kualitas hidup,
dimana diperoleh nilai r = 0,296 pada
dimensi fungsi fisik dari kualitas hidup, r =
0,243 pada dimensi psikologi, r = 0,152
pada dimensi hubungan sosial dan r = 0,398
pada dimensi lingkungan dengan p < 0,05.
Jadi berdasarkan penelitian tersebut
diketahui dukungan sosial secara signifikan
berkorelasi dengan semua domain dalam
kualitas hidup.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan, maka dapat dibuat kesimpulan
sebagai berikut : Dari variabel dukungan
keluarga pada 59 responden yang diteliti,
didapatkan lansia yang memiliki dukungan
keluarga baik yaitu sebanyak 27 orang
(45,8%), dukungan keluarga sedang
sebanyak 23 orang (39,0%) dan dukungan
keluarga kurang sebanyak 9 orang (15,3%).
187
Dari variabel kualitas hidup pada 59
responden yang diteliti, didapatkan lansia
yang memiliki kualitas hidup baik yaitu
sebanyak 31 orang (52,5%), kualitas hidup
cukup sebanyak 10 orang (16,9%) dan
kualitas hidup kurang sebanyak 18 orang
(30,5%). Hasil analisa Rank Spearman
didapatkan Ho ditolak yang berarti ada
hubungan yang signifikan antara dukungan
keluarga dengan kualitas hidup lansia yang
mengalami hipertensi di Desa Tampaksiring
Wilayah Kerja Puskesmas 1 Tampaksiring
Gianyar dengan nilai p = 0,000 (α = 0,05)
dan juga diperoleh nilai correlation
coefficient 0,583 yang mana hal itu berarti
dukungan keluarga berkontribusi sebesar
58,3 % terhadap kualitas hidup lansia, yang
artinya semakin baik dukungan keluarga
maka semakin baik kualitas hidup lansia
yang mengalami hipertensi.
DAFTAR RUJUKAN Aboloje, E. (2010). Hypertension and the
family. Diakses pada tanggal 15 Februari 2014 dari http://ezinearticles.com/?Hypertension-and-the-Family&id=3547296.
American Thoracic Society. (2002). Quality
Of Life Resource. Diakses tanggal 22 Maret 2014 dari downloads.tswj.com/2003/325251.pdf.
Arif Mansjoer, dkk., 2009. Kapita Selekta
Kedokteran,Jakarta : Media Aesculapius.
Armilawaty. (2007). Hipertensi dan Faktor
Resikonya Dalam Kajian Epidemiologi. Makasar : Bagian Epidemiologi FKM UNHAS.
Bandiyah Siti. (2009). Lanjut Usia dan
Keperawatan Gerontik. Yogyakarta : Muha Medika.
BPS. 2013. Bali Dalam Angka 2013.
Denpasar : BPS Provinsi Bali. Corwin J. Elizabeth. 2009. Buku Saku
Patofisiologi. Jakarta: EGC. Darmojo, B., 2006, Buku Ajar Geriatri :
Ilmu Kesehatan Lanjut Usia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Departemen Kesehatan. (2007). Jumlah Penduduk Lanjut Usia Meningkat. Diakses pada tanggal 17 Juni 2012 dari http://www.depkes.go.id.
Dinkes Kabupaten Gianyar. (2013). Profil
kesehatan Kabupaten Gianyar Tahun 2013.Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar.
Donald, A. (2009). What in Quality of Life?.
UK : Hayward Group Ltd. Diakses tanggal 16 Maret 2014 dari http://www.medicine.ox.ac.uk/bandolier/painres/download/whatis/WhatisQoL.pdf
Friedman, dkk. 2010. Buku Ajar
Keperawatan Keluarga: Riset, Teori dan Praktik. Jakarta: EGC.
Githa, Wayan. (2011). Hubungan Dukungan
Keluarga dan Perilaku Pencegahan Komplikasi Hipertensi Pada Lansia. Skripsi: Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar.
Hidayat, H.A. 2009. Metode Penelitian
Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika.
Kao, CC. (2008). Social Support, Exercise
Behavior, and Quality of Life in Older Adults, Proquest Disertation and Thesis. Diakses tanggal 24 Maret 2014 dari http://search.proquest.com/health/docview/304457538/1383FC79D65BE2E213/1?accountid=50268.
Kowalski, Robert E. (2010). Terapi
Hipertensi. Bandung : Qanita. Kuswardhani, T. 2007. Penatalaksanaan
Hipertensi Pada Lanjut Usia. (online), available: http//www.scribd.com/doc/60640456, (21 Maret 2014).
Martuti, A. (2009). Merawat &
menyembuhkan hipertensi: Penyakit tekanan darah tinggi. Bantul: Kreasi Wacana.
Maryam. 2008. Mengenal usia Lanjut dan
Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.
Mayasanti. 2010. Hubungan Antara
Dukungan Keluarga dengan Tingkat Depresi Pada Lansia Di Puskesmas 1 Denpasar Timur. Skripsi: Program
188
Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Mubarak. 2006. Buku Ajar Ilmu
Keperawatan Komunitas 2 : Teori & Aplikasi dalam Praktik. Jakarta: CV.Sagung Seto.
Nugroho. (2008). Keperawatan Gerontik
dan Geriatrik. Jakarta : EGC. Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik, Edisi 4, Volume 1, Jakarta: EGC.
Potter dan Perry. 2006. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik, Edisi 4, Volume 2, Jakarta: EGC.
Proverawati. 2010. Menopause dan
sindrome premenopause. Yogyakarta: Nuha Medika.
Putra. 2012. Hubungan Dukungan Keluarga
Dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Di Ruang Hemodialisa RSUD Sanjiwani Gianyar. Skripsi : Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes Wira Medika PPNI Bali.
Saputri. (2009). Pengaruh Keaktifan Senam
Jantung Sehat Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia Hipertensi Di Klub Senam Jantung Sehat Mertoyudan Magelang. Tesis: Fakultas Ilmu Keperawatan Program Pasca Sarjana UniversitasIndonesia.
Setiadi. (2008). Konsep & Proses:
Keperawatan keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Signori, M.A. (2009). Perawatan hipertensi.
http://armiyadisignori.com. diperoleh tanggal 18 April 2014.
Smeltzer and Bare. 2005. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 2, Jakarta: EGC.
Stanley, M., Blair, K.A., & Beare, P.G.
(2005). Gerontological nursing: Promoting successful aging with
older adults. Third edition. Philadelphia: F.A Davis Company.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sutikno, Ekawati. (2011). Hubungan Fungsi
Keluarga dengan Kualitas Hidup Lansia. Tesis: Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Veronica dan Robert. 2005. Pencegahan
Hipertensi,(online),(http://www.univmed.org/wpcontent/uploads/2011/02/Vol.20_no.2_6.pdf, diakses tanggal 25 Februari 2012.
WHO. (2008). Quality of Life-BREF
(WHOQoL-BREF). www.who.int/substanceabuse /.../whoqolbref/ diakses pada tanggal 14 Maret 2014.
Yenni. (2011). Hubungan Dukungan
Keluarga dan Karakteristik Lansia dengan Kejadian Stroke Pada Lansia Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Perkotaan Bukittinggi. Tesis: Fakultas Ilmu Keperawatan Program Pasca Sarjana Ilmu Keperawatan Depok.
Yolandari. 2012. Hubungan Pelaksanaan
Tugas Keluarga tentang Hipertensi Terhadap Kualitas Hidup Lansia dengan Hipertensi di Posyandu Lansia Kelurahan Surau Gadang Kecamatan Nanggalo Padang. Skripsi: Fakultas Ilmu Keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan Depok.
Zulfitri, R. (2006). Hubungan dukungan
keluarga dengan perilaku lanjut usia hipertensi dalam mengontrol kesehatannya di wilayah kerja puskesmas Melur Pekanbaru. Tesis FIK UI Jakarta.
189
PERTOLONGAN PERTAMA DENGAN KEJADIAN
KEJANG DEMAM PADA ANAK
Ketut Labir
N.L.K Sulisnadewi
Silvana Mamuaya
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Email: [email protected]
Abstract : First Aid and incidence of febrile seizures in children at the Children's. The purpose of this study was to determine the relationship of first aid with the
incidence of febrile convultion in children at the Children's Room Triage Sanglah
Hospital Denpasar. The research method used analytic correlation with cross
sectional design. The research sample amounted to 30 parents of children with febrile
convultion who treated in Children's Room Triage Sanglah Hospital Denpasar with
consecutive sampling technique. Data were collected by questionnaire. The results
obtained from 30 respondents the majority of parents who perform first aid by either
having a child with simple febrile convultion incidence of 40.0% and there is
significant relationship between the incidence of first aid in children with febrile
convultion with a p value of 0.016. Spearmans rank obtained (0.636), indicating the
frequency between the two variables, the correlation coefficient (0.636) showed a
strong correlation between the two variables (0.5 to 0.75).
Abstrak : Pertolongan Pertama dan Kejadian Kejang Demam Pada Anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pertolongan pertama
dengan kejadian kejang demam pada anak di Ruang Triage Anak RSUP Sanglah
Denpasar. Metode penelitian yang digunakan adalah analitik korelasi dengan
rancangan cross sectional. Sampel penelitian berjumlah 30 orang tua anak dengan
kejang demam yang berobat di Triage Anak RSUP Sanglah Denpasar dengan tehnik
consecutive sampling. Data dikumpulkan dengan kuesioner. Hasil penelitian
didapatkan dari 30 responden sebagian besar sebagian besar orang tua yang
melakukan pertolongan pertama dengan baik memiliki anak dengan kejadian kejang
demam sederhana sebesar 75,0% dan ada hubungan bermakna antara pertolongan
pertama dengan kejadian kejang pada anak dengan demam dengan p value sebesar
0,016. didapatkan rank spearmans hitung (0,636), menunjukkan kekerapan antara
kedua variable, koefisien korelasi (0,636) menunjukkan korelasi yang kuat antar
kedua variabel (0,5-0,75).
Kata kunci: pertolongan pertama, kejang demam, anak
Negara yang sedang berkembang,
termasuk Indonesia terdapat dua faktor yaitu
gizi dan infeksi yang mempunyai pengaruh
yang besar terhadap pertumbuhan anak
(Hasan, 2007). Saat ini 70% kematian balita
disebabkan karena pneumonia, campak,
diare, malaria, dan malnutrisi. Ini
berarti bahwa penyakit infeksi masih
menjadi penyebab kematian balita (Hasan,
2007). Terjadinya proses infeksi dalam
tubuh menyebabkan kenaikan suhu tubuh
yang biasa disebut dengan demam. Demam
merupakan faktor resiko utama terjadinya
kejang demam (Selamihardja, 2008).
Insiden dan prevalensi kejang demam di
Eropa pada tahun 2006 berkisar 2-5%, di
Asia prevalensi kejang demam meningkat
dua kali lipat bila dibandingkan dengan
Eropa sebesar 8,3%-9,9% pada tahun yang
sama (Hasan 2007). Berdasarkan hasil
190
Survey Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2007, di Indonesia tahun
2005 kejang demam termasuk sebagai
lima penyakit anak terpenting yaitu sebesar
17,4%, meningkat pada tahun 2007 dengan
kejadian kejang sebesar 22,2% (Hasan,
2007). Selanjutnya tingginya kasus kejang
demam di Bali khususnya di RSUP Sanglah
Denpasar Sepanjang tahun 2011, terdapat
1.178 kunjungan ke Triage anak, dengan
berbagai permasalahan seperti panas,
kejang, sesak dan tidak sadar. Tahun 2010
terdapat 342 kasus anak dengan kejang
demam dan meningkat menjadi 386 kasus
pada tahun 2011. Rata-rata kunjungan anak
dengan kejang demam per bulan pada 2011
sebesar 32 kasus (RSUP Sanglah, 2010).
Kejang demam adalah bangkitan kejang
yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal diatas 38°C) yang disebabkan oleh
suatu proses ekstrakranium (Budiman,
2006). Kejang demam merupakan kelainan
neurologis yang paling sering dijumpai pada
anak-anak, terutama pada golongan umur 6
bulan sampai 5 tahun. Menurut Candra
(2009), kejang demam merupakan kejang
yang terjadi pada saat seorang bayi atau
anak mengalami demam tanpa infeksi sistem
saraf pusat. Kejang terjadi apabila demam
disebabkan oleh infeksi virus saluran
pernapasan atas, roseola atau infeksi telinga.
Namun pada beberapa kasus tertentu, kejang
demam terjadi sebagai gejala dari penyakit
meningitis atau masalah serius lainnya.
Selain demam yang tinggi, kejang-kejang
juga bisa terjadi akibat penyakit radang
selaput otak, tumor, trauma atau benjolan di
kepala serta gangguan elektrolit dalam tubuh
(Candra, 2009).
Kejang demam biasanya terjadi pada
awal demam dimana anak akan terlihat aneh
untuk beberapa saat, kemudian kaku,
kelojotan dan memutar matanya. Anak tidak
responsif untuk beberapa waktu, napas akan
terganggu, dan kulit akan tampak lebih
gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak
akan segera normal kembali. Kejang
biasanya berakhir kurang dari 1 menit.
Kejang sendiri terjadi akibat adanya
kontraksi otot yang berlebihan dalam waktu
tertentu tanpa bisa dikendalikan. Timbulnya
kejang yang disertai demam ini diistilahkan
sebagai kejang demam (convalsio febrillis)
atau stuip/step (Selamihardja, 2008).
Kejang demam anak perlu diwaspadai,
karena kejang yang lama (lebih dari 15
menit) dapat menyebabkan kecacatan otak
bahkan kematian. Dalam 24 jam pertama
walaupun belum bisa dipastikan terjadi
kejang, bila anak mengalami demam, hal
yang terpenting dilakukan adalah
menurunkan suhu tubuh (Candra, 2009).
Kejang demam merupakan kedaruratan
medis yang memerlukan pertolongan segera,
pengelolaan yang tepat sangat diperlukan
untuk menghindari cacat yang lebih parah,
yang diakibatkan bangkitan kejang yang
sering. Sehingga pertolongan pertama untuk
menangani korban segera dilakukan untuk
mencegah cedera dan komplikasi yang
serius pada anak (Candra, 2009).
Langkah awal yang dapat dilakukan
dalam melakukan pertolongan pertama
untuk mencagah terjadinya kejang pada
anak demam adalah segera memberi obat
penurun panas, kompres air biasa atau
hangat yang diletakkan di dahi, ketiak, dan
lipatan paha. Beri anak banyak minum dan
makan makanan berkuah atau buah-buahan
yang banyak mengandung air, bisa berupa
jus, susu, teh, dan minuman lainnya. Jangan
selimuti anak dengan selimut tebal, selimut
dan pakaian tebal dan tertutup justru akan
meningkatkan suhu tubuh dan menghalangi
penguapan. (Candra, 2009). Ketika terjadi
kejang dan tidak berhenti setelah lima menit,
sebaiknya anak segera dibawa ke fasilitas
kesehatan terdekat. Jika anak pernah
mengalami kejang demam di usia pertama
kehidupannya, maka ada kemungkinan ia
akan mengalami kembali kejang meskipun
temperatur demamnya lebih rendah (Candra,
2009).
Pertolongan pertama dalam upaya
mencegah kejang demam sangat penting,
namun yang menjadi permasalahan adalah
banyak ibu atau keluarga yang kurang tahu
tentang pertolongan pertama. Berdasarkan
hasil studi pendahuluan yang peneliti
lakukan di ruang Triage anak RSUP Sanglah
191
didapatkan dari 5 orang anak yang
dikeluhkan kejang, berdasarkan hasil
wawancara kepada ibu dan keluarga
semuanya tidak ada yang tahu tentang
pertolongan kejang, mereka juga tidak tahu
apa penyebab kejang. Anggapan mereka
bahwa kalau anak sakit langsung dbawa
kerumah sakit (Candra, 2009). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara pertololongan pertama pada anak
dengan kejadian kejang demam di Ruang
Triage Anak RSUP Sanglah Denpasar
METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian analitik korelasi yang bertujuan
untuk melihat ada atau tidaknya hubungan
dan sejauh mana hubungan antara dua
variabel dalam penelitian. Pendekatan yang
digunakan yaitu cross sectional dimana
peneliti hanya sekali melakukan pengukuran
terhadap subyek penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di Ruang
Triage Anak RSUP Sanglah Denpasar.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua
orang tua anak dengan kejang demam yang
berobat di Triage Anak RSUP Sanglah.
Yang menjadi sampel pada penelitian ini
adalah orang tua anak dengan kejang demam
yang berobat di Triage Anak RSUP Sanglah
yang memenuhi kriteria inklusi dan eklusi.
Pengambilan sampel menggunakan teknik
consecutive sampling.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan
responden didapatkan distribusi pertolongan
pertama pada anak dengan kejang demam
dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Pertolongan
Pertama Pada Anak Dengan
Kejang Demam
No Pertolongan
Pertama
Frekuensi
(f)
Persentase
(%)
1 Baik 16 53,3
2 Cukup 9 30,0
3 Kurang 5 16,7
Jumlah 30 100,0
Berdasarkan tabel di atas didapatkan
bahwa dari 30 responden pertolongan
pertama yang dilakukan oleh orang tua yang
terbanyak adalah baik yaitu sebesar 53,3%
dan yang terkecil adalah kurang sebesar
16,7%.
Kejadian kejang pada anak dengan
demam di Ruang Triage Anak RSUP
Sanglah Denpasar dapat dilihat pada tabel 2
sebagai berikut:
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Kejadian Kejang
Pada Anak Dengan Demam
NO Kejadian
Kejang Demam
Frekuensi
(f)
Persentase
(%)
1 Kejang
Sederhana
18 60,0
2 Kejang
Komplek
10 33,3
3 Kejang Tonik
Klonik
2 6,7
JUMLAH 30 100,0
Berdasarkan tabel di atas didapatkan
bahwa dari 30 responden kejadian kejang
deman pada anak yang terbanyak adalah
kejang demam sederhana yaitu sebesar
60,0% dan yang terkecil adalah kejang tonik
klonik sebesar 6,7%.
Analisis menggunakan uji statistik
Spearman Rank dengan α sebesar 0,05,
perhitungan menggunakan komputer
(perhitungan terlampir) didapatkan hasil
sebagai berikut:
Tabel 3. Hubungan Pertolongan Pertama
dengan Kejadian Kejang Pada
Anak Dengan Demam
Pertolon
gan
Pertama
Kejadian Kejang
Demam Jumlah
p rs Sederha
na
Kom
plek
Tonik
Klonik
f % f % f % f %
Baik 12 40,0 4 13,3 0 0,0 16 53,3 0,016 0,636*
Cukup 5 16,7 4 13,3 0 0,0 9 30,0
Kurang 1 3,3 2 6,7 2 6,7 5 16,7
Jumlah 18 60,0 10 33,3 2 6,7 30 100,0
192
Berdasarkan data pada tebel di atas dapat
dikatakan bahwa sebagian besar orang tua
yang melakukan pertolongan pertama
dengan baik memiliki anak dengan kejadian
kejang demam sederhana sebesar 40,0%
dibandingkan dengan orang tua yang
melakukan pertolongan pertama cukup dan
kurang. Berdasarkan hasil analisis tersebut
juga didapat p value sebesar 0,016 yang
artinya bahwa nilai p< α 0,05, maka secara
statistik ada hubungan bermakna antara
pertolongan pertama dengan kejadian kejang
pada anak dengan demam. Hasil rank
spearman hitung (0,636), menunjukkan
kekerapan antara kedua variabel dan
koefisien korelasi (0,636) menunjukkan
korelasi yang kuat antar kedua variable
(0,5-0,75).
Pertolongan pertama dirumah pada anak
dengan kejang demam dapat dikatakan
bahwa dari 30 responden sebagian besar
orang tua melakukan pertolongan pertama
baik yaitu sebesar 53,3% dibandingkan
dengan orang tua yang memberikan
pertolongan cukup dan kurang. Hal ini
terkait dengan pengalaman sebelumnya,
pengalaman pribadi, apa yang telah dan
sedang kita alami ikut membentuk dan
mempengaruhi penghayatan kita terhadap
stimulus. Orang tua yang memiliki anak
dengan kejang sebelumnya tentu akan lebih
tahu dan mengerti bagaimana cara yang
tepat untuk memberikan pertolongan
pertama dalam mengatasi dan mencegah
terjadinya kejang berulang sebelum akhirnya
anak dibawa ke rumah sakit (Yusuf, 2005).
Menurut Berzonsky dalam Yusuf (2005),
menyatakan bahwa kemampuan seseorang
dipengaruhi oleh pengalaman, membaca
literatur, hubungan interpersonal, sikap serta
keinginan atau motivasi untuk mengakses
informasi. Pengetahuan merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang.
Langkah awal yang dapat dilakukan
dalam melakukan pertolongan pertama
untuk mencagah terjadinya kejang pada
anak demam adalah segera memberi obat
penurun panas, kompres air biasa atau
hangat yang diletakkan di dahi, ketiak, dan
lipatan paha. Beri anak banyak minum dan
makan makanan berkuah atau buah-buahan
yang banyak mengandung air, bisa berupa
jus, susu, teh, dan minuman lainnya. Jangan
selimuti anak dengan selimut tebal, selimut
dan pakaian tebal dan tertutup justru akan
meningkatkan suhu tubuh dan menghalangi
penguapan. (Candra, 2009).
Kemampuan orang tua dalam pemberian
pertolongan pertama pada anak dengan
kejang demam dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti umur, pendidikan dan
pekerjaan. Dilihat dari umur terkait dengan
masa produktif dan semakin dewasa
seseorang pengalaman hidup juga semakin
bertambah serta dimungkinkan kemampuan
analisis dari seseorang akan bertambah
sehingga pengetahuan juga semakin
bertambah (Elizabet dalam Mubarak, 2006).
Faktor lain yang dapat mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam melakukan
tindakan seperti minat, pengalaman,
kebudayaan, informasi dari media massa
seperti TV, radio dan penyuluhan dari
petugas kesehatan tentang penatalaksanaan
kejang demam pada anak (Notoatmojo,
2003).
Kejadian kejang pada anak dengan
demam di Ruang Triage Anak RSUP
Sanglah Denpasar dari 30 responden
sebagian besar anak mengalami kejang
demam sederhana yaitu sebesar 60,0%.
Kejang demam adalah bangkitan kejang
yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal diatas 38°C) yang disebabkan oleh
suatu proses ekstrakranium (Rani, 2009).
Kejang demam merupakan kelainan
neurologis yang paling sering dijumpai pada
anak-anak, terutama pada golongan umur 6
bulan sampai 5 tahun. Menurut Candra
(2009), kejang demam merupakan kejang
yang terjadi pada saat seorang bayi atau
anak mengalami demam tanpa infeksi sistem
saraf pusat. Kejang terjadi apabila demam
disebabkan oleh infeksi virus saluran
pernapasan atas, roseola atau infeksi telinga.
Namun pada beberapa kasus tertentu, kejang
demam terjadi sebagai gejala dari penyakit
meningitis atau masalah serius lainnya.
Selain demam yang tinggi, kejang-kejang
193
juga bisa terjadi akibat penyakit radang
selaput otak, tumor, trauma atau benjolan di
kepala serta gangguan elektrolit dalam
tubuh.
Kejang demam biasanya terjadi pada
awal demam dimana anak akan terlihat aneh
untuk beberapa saat, kemudian kaku,
kelojotan dan memutar matanya. Anak tidak
responsif untuk beberapa waktu, napas akan
terganggu, dan kulit akan tampak lebih
gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak
akan segera normal kembali. Kejang
biasanya berakhir kurang dari 1 menit.
Kejang sendiri terjadi akibat adanya
kontraksi otot yang berlebihan dalam waktu
tertentu tanpa bisa dikendalikan. Timbulnya
kejang yang disertai demam ini diistilahkan
sebagai kejang demam (convalsio febrillis)
atau stuip/step (Selamihardja, 2008).
Faktor risiko berulangnya kejang demam
adalah riwayat kejang demam dalam
keluarga, usia anak kurang dari 18 bulan,
temperatur tubuh saat kejang (makin rendah
temperatur saat kejang makin sering
berulang) dan lamanya demam (IDAI,2009).
Kejang demam anak perlu diwaspadai,
karena kejang yang lama (lebih dari 15
menit) dapat menyebabkan kecacatan otak
bahkan kematian. Dalam 24 jam pertama
walaupun belum bisa dipastikan terjadi
kejang, bila anak mengalami demam, hal
yang terpenting dilakukan adalah
menurunkan suhu tubuh (Candra, 2009).
Kejang demam merupakan kedaruratan
medis yang memerlukan pertolongan segera,
pengelolaan yang tepat sangat diperlukan
untuk menghindari cacat yang lebih parah,
yang diakibatkan bangkitan kejang yang
sering. Sehingga pertolongan pertama untuk
menangani korban segera dilakukan untuk
mencegah cedera dan komplikasi yang
serius pada anak (Candra, 2009).
Hasil penelitian tentang hubungan umur
dan suhu tubuh dengan kejang demam pada
balita di ruang Melati RSUD dr. M.Yunus
Bengkulu tahun 2009. didapatkan ada
hubungan yang bermakna umur dan suhu
tubuh dengan demam kejang. Hasil
penelitian Nurul (2008) didapatkan sebesar
80% orangtua mempunyai fobia demam.
Orang tua mengira bahwa bila tidak diobati,
demam anaknya akan semakin tinggi.
Kepercayaan tersebut tidak terbukti
berdasarkan fakta. Karena konsep yang
salah ini banyak orang tua mengobati
demam ringan yang sebetulnya tidak perlu
diobati. Demam < 390 C pada anak yang
sebelumnya sehat pada umumnya tidak
memerlukan pengobatan. Bila suhu naik >
39 0 C, anak cenderung tidak nyaman dan
pemberian obat-obatan penurun panas sering
membuat anak merasa lebih baik. Pada
dasarnya menurunkan demam pada anak
dapat dilakukan secara fisik, obat obatan
maupun kombinasi keduanya. Pengetahuan
dan pengalaman ibu tentang penanganan
anak demam sangat menentukan terjadinya
kejang sehingga diharapkan petugas
kesehatan dapat memberikan penyuluhan
kepada orang tua tentang penanganan kejang
demam karena pada anak sangat rentan
untuk terjadi kejang demam (Rani, 2009).
Analisis hubungan pertolongan pertama
dengan kejadian kejang pada anak dengan
demam didapatkan hasil bahwa ada
hubungan bermakna antara pertolongan
pertama dengan kejadian kejang pada anak
dengan demam (nilai P< 0,05). Hasil rank
spearman hitung (0,636), menunjukkan
kekerapan antara kedua variabel dan
koefisien korelasi (0,636) menunjukkan
korelasi yang kuat antar kedua variabel (0,5-
0,75) sehingga dapat diartikan semakin baik
tindakan pertolongan pertama yang
diberikan maka kejadian kejang demam
semakin menurun atau tidak terjadi kejang
lanjutan. Demam pada anak merupakan hal
yang paling sering dikeluhkan oleh orang
tua di unit gawat darurat (UGD). Demam
membuat orang tua atau pengasuh menjadi
risau. Sebagian besar anak-anak mengalami
demam sebagai respon terhadap infeksi
virus yang bersifat self limited dan
berlangsung tidak lebih dari 3 hari atau
infeksi bakteri yang tidak memerlukan
perawatan di rumah sakit. Akan tetapi
sebagian kecil demam tersebut merupakan
tanda infeksi yang serius dan mengancam
jiwa seperti pneumonia, meningitis, artritis
septik dan sepsis (Rani, 2009).
194
Ketika anak mengalami demam yang
tinggi seringkali disertai dengan munculnya
kejang-kejang atau dikenal dengan istilah
step. Kejang-kejang ini bisa terjadi dalam
beberapa detik hingga satu menit, tapi pada
kasus tertentu kejang bisa muncul sangat
lama hingga 15 menit. Pada sebagian besar
kasus, kejang demam yang terjadi beberapa
detik umumnya tidak berbahaya. Tapi jika
berlangsung lama, berulang dan tidak segera
dilakukan pertolongan akan menimbulkan
bahaya seperti kerusakan otak atau sebagai
gejala awal dari penyakit serius (Candra,
2009). Pendekatan penatalaksanaan demam
pada anak bersifat age dependent karena
infeksi yang terjadi tergantung dengan
maturitas sistem imun di kelompok usia
tertentu. Pertolongan pertama saat anak
kejang sebelum dibawa ke rumah sakit akan
membantu menentukan beratnya penyakit
anak dan urgensi pengobatannya.
Orangtua harus tetap waspada terhadap
anak yang mengalami kejang-kejang,
terutama jika terjadi berkali-kali. Kejang
demam umumnya terjadi pada anak-anak
yang mengalami demam lebih dari 39
derajat celsius, meskipun bisa juga terjadi
pada temperatur yang lebih rendah (Candra,
2009). Orang tua memiliki peran yang
penting dalam pencegahan kejang demam
sehingga diharapkan orang tua mampu
mencari banyak informasi, mengikuti
penyuluhan tentang penatalaksanaan anak
demam dan dapat mencegah terjadinya
kejang yang berulang
.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan diatas dari 45 keluarga pasien
yang menjadi responden dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Pertolongan pertama pada anak dengan
kejang demam dari 30 responden sebagian
besar orang tua melakukan pertolongan
pertama baik yaitu sebesar 53,3% . Kejadian
kejang pada anak dengan demam dari 30
responden sebagian besar anak mengalami
kejang demam sederhana yaitu sebesar
60,0%. Analisis hubungan didapatkan rank
spearman hitung (0,636), menunjukkan
kekerapan antara kedua variable, koefisien
korelasi (0,636) menunjukkan korelasi yang
kuat antar kedua variabel (0,5-0,75) dan ada
hubungan bermakna antara pertolongan
pertama dengan kejadian kejang pada anak
dengan demam dengan p value sebesar
0,016.
DAFTAR RUJUKAN Budiman, 2006, Faktor Risiko Kejang
Demam Berulang, Jakarta: EGC Candra, 2009, Kejang Demam. Available:
http://www.scribd.com/doc/15689407, 29 Desember 2011
Hasan, 2007, Cermin Dunia Kedokteran,
Available: http://www.scribd.com/doc/15689407, 29 Januari 2012
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Buku
Ajar Neonatologi. Edisi Pertama Mubarak, dkk. (2006). Keperawatan
Komunitas 2. Jakarta: CV Sagung Seto
Notoatmodjo, S., 2005, Metodologi
Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta
Nurul, 2008. Karakteristik Orang Tua
Dengan Anak Kejang Demam. http://www.glorinet.org/demam.html. (10 Mei 2012)
Rani, 2009, Penatalaksanaan Kejang Pada
Anak. Diakses tanggal 22 Mei 2012 dari : http://www.ran.int /facts/world_figure/en/index5.html
RSUP Sanglah, 2010, Rekam Medik,
Denpasar: RSUP Sanglah Selamiharja, 2008, Karakteristik Kejang dan
Penangannya, online, (Available) Http://www.infosehat.com (2 Januari 2012)
Yusuf. 2007. Perilaku Kesehatan. 27
November 2011 http://www.rsipaids.com.
195
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN
KASUS TB PARU
Ketut Sudiantara
Ni Putu Sastik Wahyuni
IGA Harini
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Email : [email protected]
Abstract : Influence factors of increased incident of lung tuberculosis. The aim of
this studi to identity of factors influence that increase of Lung TB case. Design of
study is descriptive design with cross sectional approach. Study was loceted at public
health center I of Sukawati on Jun 2014. Lung Tuberculosis patients who have look
at the public healt center I of Sukawati as sample. Number of sampel was 34 lung
tuberculosis patinents, was taken by using purposive sampling. Mask usinfluence
factor as data primier was collected by using questioner. Result of study was showed
dominant factor is predisposing factor (15 respondents, 44%). From the result
showed height risk for spereted lung tuberculosis infection relatted knowledge and
atitude patients and family speretted prevention behaviour.
Abstrak : Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kasus TB paru.
Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan kasus TB Paru. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian deskriftif. Model pendekatan subjek yang digunakan adalah “cross
sectional”. Penelitian dilaksanakan di UPT Kesmas Sukawati I pada bulan Juni
2014. Sampel penelitian ini adalah pasien TB Paru yang tinggal di UPT Kesmas
Sukawati I. Pada Bulan Juni dengan jumlah pasien TB Paru sebanyak 34 orang.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah jenis nonprobability sampling
yaitu purposive sampling. Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data
primer yaitu dengan menggunakan lembar kuisioner. Berdasarkan hasil penelitian
ditemukan bahwa sebagaian besar faktor yang mempengaruhi tingginya kasus TB
paru yaitu faktor predisposisi sebanyak 15 responden (44%).. Hal ini menunjukkan
tingginya risiko penularan TB paru berkaitan dengan usaha pencegahan penularan
yang terbentuk dalam pengetahuan dan sikap pasien dan keluarga. .
Kata kunci : faktor, Tuberculosis paru
Indonesia sebagai negara yang ikut
menanda tangani deklarasi MDGs, menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dengan
program pembangunan nasional.Deklarasi
ini merupakan kesepakatan anggota PBB
mengenai paket arah pembangunan global
yang dirumuskan dalam 8 tujuan. Salah satu
tujuan pembangunan di bidang kesehatan
yaitu memerangi HIV/AIDs, malaria dan
penyakit menular lainnya salah satunya
Tuberkulosis(TB). (Depkes RI, 2011).
WHO dalam Global Tuberculosis Report
2012 menyatakan terdapat 22 negara
dikategorikan sebagai high burden countries
terhadap TB Paru, termasuk Indonesia.
Indonesia adalah peringkat ke-4 di dunia
yang memiliki penderita TB terbesar setelah
India, Cina, dan Afrika Selatan. Pada tahun
2011 jumlah penderita TB di seluruh dunia
diperkirakan sekitar 8,7 juta. Pada tahun
2011 di Indonesia jumlah kasus TB sekitar
400.000 sampai 500.000 kasus (Depkes RI,
2008).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan
Provinsi Bali tahun 2012, tercatat angka
kasus TB di Provinsi Bali yakni sebesar
196
2.275 pasien baru. Dari jumlah tersebut,
pasien TB yang telah terdeteksi dengan BTA
positif sebesar 1.169 orang. Penyebaran
jumlah pasien TB di masing-masing
kabupaten di Provinsi Bali yakni Denpasar
862 kasus, Buleleng 481 kasus, Badung 242
kasus, Karangasem 177 kasus, Gianyar 164
kasus, Tabanan 120 kasus, Jembrana 98
kasus, Klungkung 89 kasus, dan Bangli 42
kasus. Dari sebaran kasus, Kabupaten
Gianyar termasuk urutan ke 5 dari 8
kabupaten dan 1 kota di Bali
Berdasarkan data Dinas Kesehatan
Kabupaten Gianyar, tahun 2011 dengan
rincian kasus suspek sebanyak 1.405 kasus,
BTA (+) 125 kasus, tahun 2012 dengan
rincian kasus suspek sebanyak 1.130 kasus,
BTA (+) 135 kasus, tahun 2013 dengan
rincian kasus suspek sebanyak 1.472 kasus,
BTA (+) 167 kasus. Sedangkan jumlah
kasus TB di masing – masing Puskesmas di
Kabupaten Gianyar Tahun 2013 yaitu :
Puskesmas Gianyar I 9 kasus, Puskesmas
Gianyar II 2 kasus, Puskesmas
Tampaksiring I 0 kasus, Puskesmas
Tampaksiring II 2 kasus, Puskesmas Ubud I
0 Kasus, Puskesmas Ubud II 4 kasus,
Puskesmas Blahbatuh I 9 kasus, Puskesmas
Blahbatuh II 7 kasus, Puskesmas Payangan
4 kasus, Puskesmas Tegalalang I 5 kasus,
Puskesmas Tegalalang II 2 kasus,
Puskesmas Sukawati I 34 kasus dan
Puskesmas Sukawati II 12 kasus. Dari data
tersebut Puskesmas Sukawati I
menunjukkan peringkat pertama penemuan
kasus yang terbanyak dari semua Puskesmas
yang ada di Kabupaten Gianyar.
Hal ini disebabkan karena penularan
kuman TB terjadi melalui percikan ludah
atau saat pasien TB berbicara. Hal tersebut
terkait dengan perilaku pasien TB dalam
melakukan tindakan pencegahan penularan.
Penularan yang cepat inilah yang menjadi
pemicu tingginya angka kejadian TB paru.
Keluarga memiliki peranan yang sangat vital
dalam keberhasilan penyembuhan pasien
TB. Menurut Lawrence Green (1980,
dalam Notoatmodjo, 2003) bahwa perilaku
seseorang tentang kesehatan ditentukan oleh
pengetahuan, sikap, kepercayaan dan tradisi
sebagai faktor predisposisi disamping faktor
pendukung seperti lingkungan fisik,
prasarana dan faktor pendorong yaitu sikap
dan perilaku petugas kesehatan.
Strategi penanggulangan TB yang
dikenal dengan strategi DOTS (Directly
Obseserved Treatment Short-course) telah
terbukti sebagai strategi penanggulangan
yang secara ekonomis paling efektif. Fokus
utama DOTS adalah penemuan dan
penyembuhan pasien, prioritas diberikan
kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini
akan memutuskan penularan TB dan dengan
demikian menurunkan insiden TB di
masyarakat. Menemukan dan
menyembuhkan pasien merupakan cara
terbaik dalam upaya pencegahan penularan
TB (Depkes RI, 2008). Namun pada
kenyataannya kasus TB meningkat setiap
tahunnya.
TB paru merupakan salah satu penyakit
epidemi terbanyak di Indonesia dan
pemerintah sudah menggalakkan berbagai
program untuk menanggulangi penyakit ini,
namun angka kejadian TB paru di Indonesia
masih saja tetap tinggi. Salah satu faktor
penyebabnya adalah karena rendahnya
tingkat pengtehauan pasien dan keluarga
tentang penyakit TB paru.. Berdasarkan
hasil studi pendahuluan yang peneliti
lakukan di Puskesmas Sukawati I, terjadi
peningkatan kasus TB paru yang cukup
tinggi pada tahun 2011 sebanyak 10 orang,
meningkat menjadi 24 orang pada tahun
2012 dan meningkat lagi menjadi 34 orang
pada tahun 2013. Peningkatan ini terkait
dengan tindakan pencegahan penularan
termasuk didalamnya minum obat secara
teratur. Dari 10 orang responden,
didapatkan 40% disebabkan faktor
predisposisi (pengetahuan, sikap) seperti
belum dapat mengungkapkan masalah
kesehatannya dan melakukan pencegahan
penularan dengan benar, 30% disebabkan
karena faktor pendukung (lingkungan fisik,
prasarana dan transportasi) seperti masih
ada keluarga tidak membuka jendela serta
30% disebabkan oleh faktor pendorong
(sikap dan perilaku petugas kesehatan)
seperti masih banyaknya pasien yang
197
tergantung pada petugas kesehatan karena
tidak mampu merawat anggota kelurganya
yang mengalami TB. kurangnya informasi
tentang penyebab dan cara penularan TB
dari satu orang ke orang lain. (Depkes RI,
2008)
Berdasarkan uraian dan permsalahan
diatas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut: ”Faktor apakah yang
mempengaruhi peningkatan kasus TB Paru
di UPT Kesmas Sukawati I tahun 2014”
METODE
Jenis penelitian ini adalah termasuk
penelitian deskriftif yaitu suatu metode
penelitian yang dilakukan dengan tujuan
utama untuk membuat gambaran tentang
suatu keadaan secara lebih objektif.
Model pendekatan subjek yang
digunakan adalah “cross sectional” yaitu
rancangan penelitian berupa pengamatan
dan pengukuran yang dilakukan dalam
sekali waktu saja.
Penelitian dilakukan di UPT Kesmas
Sukawati I pada bulan Juni tahun 2014.
Populasi penelitian ini adalah pasien TB di
UPT Kesmas Sukawati I. Sampel sebanyak
34 orang, yang dipilih dengan teknik non
probability sampling yaitu purposive
sampling yaitu teknik penentuan sampel
dengan pertimbangan tertentu sesuai yang
dikehendaki peneliti.
Besar sampel dalam peneltian adalah 35
orang (total sampling), Alat ukur dalam
penelitian ini menggunakan lembar
kuisioner. Data primer adalah data yang
diperoleh sendiri oleh peneliti dari hasil
pengukuran, pengamatan, survey dan lain-
lain. Instrumen pengumpulan data yang
digunakan adalah pedoman. Dalam
pedoman tersebut berisikan tentang data
demografi yang meliputi usia, jenis kelamin,
dan pekerjaan serta faktor-faktor yang
mempengaruhi peningkatan kasus TB paru.
Tehnik analisa yang dipakai dengan
menggambarkan dan meringkas data dengan
cara ilmiah dalam bentuk tabel atau grafik.
Data karakteristik pasien dan data kepatuhan
menggunakan masker pada pasien TB Paru
disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini terdapat sebanyak 34
responden. Semua responden yang
menderita TB paru yang bertempat tinggal
di Wilayah Kerja UPT Kesmas Sukawati I.
Berdasarkan hasil penelitian, dari 34
responden dan sudah memenuhi criteria
inklusi penelitian. Adapun karakteristik
responden yang diteliti yaitu karakteristik
berdasarkan usia, jenis kelamin, dan
pekerjaan . Lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 1. Distribusi Karakteristik responden
berdasarkan usia
No Usia f %
1 40-50 tahun 10 29
2 51-60 tahun 18 53
3 > 60 tahun 6 18
Jumlah 34 100
Berdasarkan tabel 1 di atas dari 34
responden yang diteliti, sebagian besar
responden berada dalam rentang usia 51-60
tahun yaitu sebanyak 18 orang (59 %).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
didapatkan hasil sebagian besar responden
berada dalam rentang usia 51-60 tahun yaitu
sebanyak 18 orang (53%). Kemudian yang
berusia 40-50 tahun sebanyak 10 responden
(29%), dan berusia >60 tahun sebanyak
6 responden (18%). Hal ini menunjukan
bahwa responden sebagian besar responden
pada rentang usia dewasa tua. Bertambahnya
usia seseorang akan terjadi perubahan pada
aspek fisik, psikologis atau mental dan
semakin dewasa seseorang pengalaman
hidup juga semakin bertambah. Usia sangat
berpengaruh pada kecakapan mental dan
emosional kearah peningkatan yang lebih
tinggi. Hal ini terkait dengan
pengelompokkan umur lansia dipengaruhi
oleh faktor politik dan umur harapan hidup
Surini &Utomo (2003) dalam Azizah
(2011).
198
Tabel 2.Karakteristik responden
berdasarkan jenis kelamin
No Jenis Kelamin f %
1 Laki-laki 19 56
2 Perempuan 15 44
Jumlah 34 100
Berdasarkan tabel 2 di atas, dari 34
responden yang diteliti, sebagian besar
berjenis kelamin laki-laki yaitu 19 orang
56%).
Berdasarkan tabel distribusi jenis
kelamin responden kebanyakan berjenis
kelamin laki-laki yaitu 19 orang (56%),
sisanya perempuan sebanyak 15 orang
(44%). Hal ini menunjukan bahwa
responden laki-laki lebih banyak dari pada
perempuan. Hal ini sesuai dengan Depkes
RI (2007) yang mengatakan bahwa
penderita TB paru laki-laki lebih banyak
dari pada perempuan. Hal teresebut
berkaitan dengan pola hidup dan pola
aktifitas laki-laki lebih aktif dari pada
perempuan
Tabel 3.Karakteristik responden berdasarkan
pekerjaan
No Pekerjaan f %
1 Bekerja 13 38
2 Tidak bekerja 21 62
Jumlah 34 100
Berdasarkan tabel 3 di atas, dari 34
responden yang diteliti, kebanyakan tidak
bekerja 21 orang (62%).
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan
sebagian besar responden tidak bekerja yaitu
sebanyak 21 responden (62%) dan sisanya
bekerja yaitu sebanyak 13 orang (38%).
Hasil ini sesuai dengan usia dari responden
yang kebanyakan dalam usia dewasa tua dan
dalam keadaan sakit, sehingga responden
lebih memilih istirahat dan berhenti bekerja.
Disamping hal tersebut pekerjaan juga
merupaka factor risiko terjadinya penyakit
TB paru. Hal tersebut sesuai dengan Suyo
(2010), yang mengatakan bahwa factor
pekerjaan dan lingkungan tempat kerja dapat
menjadi media penularan TB paru seperti
kelembaban udara, ventilasi dan
pencahayaan tempat kerja.
Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan kasus TB paru
No Faktor-Faktor f %
1 Fakto Predisposisi 15 44
2 Fakto Pendukung 11 32
3 FaktorP Pendorong 8 24
34 100
Berdasarkan tabel 6 di atas dari 34 orang
responden didapatkan bahwa sebagian besar
faktor yang mempengaruhi tingginya kasus
TB paru yaitu faktor predisposisi sebanyak
15 responden (44%). faktor pendukung
sebanyak 11 responden ( 32%), faktor
pendorong sebanyak 8 responden (24%).
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan
bahwa sebagaian besar faktor yang
mempengaruhi tingginya kasus TB paru
yaitu faktor predisposisi sebanyak 15
responden (44%). faktor pendukung
sebanyak 11 responden ( 32%), faktor
pendorong sebanyak 8 responden (24%).
Tingginya risiko penularan TB paru
berkaitan dengan usaha pencegahan
penularan yang terbentuk dalam perilaku
pasien dan keluarga.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu,
dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui pancaindera
manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.
Pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt
behaviour). Perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada
perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
Orang dengan pendidikan formal yang
lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan
yang lebih tinggi dibanding orang dengan
tingkat pendidikan formal yang lebih
rendah, karena akan lebih mampu dan
mudah memahami arti dan pentingnya
199
kesehatan serta pemanfaatan pelayanan
kesehatan (Fatimah, 2008).
Pengetahuan pasien tentang penyakit TB
paru, penyebab TB Paru, Gejala/Tanda
penyakit TB paru, pencegahan penyakit TB
paru, perawatan penyakit TB paru dan
Pengobatan TB paru. (Notoatmodjo, 2007).
Sikap pasien tentang pencegahan
penularan penyakit TB paru, dalam hal ini
seperti : pasien pada waktu batuk atau bersin
untuk menutup mulut dan hidung, pasien
tidak berludah dan membuang dahak
sembarangan tapi menampung dengan
ember berisi cairan membunuh kuman TBC,
alat makan dan pakaian setelah
dipergunakan direndam dengan desinfektan,
pasien dapat minum obat dengan tepat
waktu, jenis dan dosis. (Depkes RI, 2011)
Perilaku dapat terdiri atas pengetahuan,
sikap dan tindakan. Pengetahuan pasien TB
paru yang kurang tentang cara penularan,
bahaya dan cara pengobatan akan
berpengaruh terhadap sikap dan perilaku
sebagai oarng sakit dan akhirnya berakibat
menjadi sumber penularan bagi orang di
sekelilingnya. Menurut Green (dalam
Mubarak, 2006) perilaku itu dibentuk dari
tiga faktor: Faktor predisposisi
(predisposising factors) yang terwujud
dalam pengetahuan, sikap, dan sebagainya.
Faktor pendukung (enabling factors), yang
terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia
atau tidak tersedianya fasilitas kesehatan
atau sarana kesehatan, misalnya puskesmas,
obat – obatan, alat, transportasi, uang dan
sebagainya. Faktor – faktor pendorong
(reinforcing factors), yang terwujud dalam
sikap dan perilaku petugas kesehatan yang
merupakan refrensi dari perilaku
masyarakat).
Hasil tersebut diperkuat oleh Laban.Y.,
(2008) yang mengatakan bahwa usaha
pencegahan penularan TB dapat dilakukan
dengan cara memutus rantai penularan yaitu
mengobati pasien TB sampai benar-benar
sembuh serta melaksanakan pola hidup
bersih dan sehat. Pada anak balita
pencegahan diberikan dengan dengan
memberikan isoniazin selama 6 bulan. Bila
belum mendapat vaksin BCG, maka
diberikan vaksinasi BCG setelah pemberian
isoniazid selesai.
Pencegahan penularan TB terkait dengan
perilaku pasien TB itu sendiri dalam
mengendalikan pola hidupnya termasuk
minum obat. Upaya tersebut tertuang dalam
kebijakan pemerintah meliputi penemuan
pasien dan pengobatan yang dikelola dengan
menggunakan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short-course) (Depkes
RI, 2008). Disamping hal tersebut juga
dilakukan upaya mengendalikan faktor
risiko terjadi nya TB paru.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut : Karakteristik responden
dengan TB Paru pada penelitian ini
terbanyak berusia pada rentang 51-60 tahun
yaitu sebanyak 18 orang (53%), berjenis
kelamin laki-laki yaitu 19 orang (56 %).
berstatus tidak bekerja yaitu sebanyak 21
orang (62%) dari 34 responden. Sebagian
besar faktor-faktor yang mempengaruhi
tingginya kasus TB paru yaitu faktor
predisposisi sebanyak 15 responden (44%).
Faktor predisposisi berdasarkan
karakteristik usia terbanyak pada usia 51-60
tahun (29%), berdasarkan karakteristik jenis
kelamin terbanyak pada jenis kelamin laki-
laki (32%) dan berdasarkan karakteristik
pekerjaan terbanyak pada tidak bekerja
( 35%.).
DAFTAR RUJUKAN Azixah, 2011, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Edisi V, Jakarta : FKUI Badan Pusat Statistik, tt, MDGs Millennium
Development Goals, (online), available: http://mdgs-dev.bps.go.id
Depkes RI, 2006, Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 279/MENKES/SK/IV/2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Upaya Keperawatan Kesehatan Masyarakat di Puskesmas, (online), available :http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/.pdf, (29 Januari 2013)
200
Depkes RI, 2008, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis; edisi 2 cetakan pertama, Jakarta: Depkes RI.
Depkes RI, 2011,Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta:Depkes RI
Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar,
2011, ProfilKesehatan Kabupaten Jembrana Tahun 2011, Kota Gianyar
Dinas Kesehatan Propinsi Bali, 2012,
Profil Kesehatan Propinsi Bali Tahun 2012, Kota Denpasar
Fatimah, S., 2008, Faktor Kesehatan
Lingkungan Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di kabupaten Cilacap (KecamatanSidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan,Gandrungmangu, BantasariTahun 2008, (online), available : http://eprints.undip.ac.id/24695/1/siti_fatimah.pdf, (22Desember 20012)
Friedman, M., Vicky R.B., Elaine G.J.,
2010, Keperawatan Keluarga, Riset, Teori&Praktik, Jakarta : EGC
Hidayat, A.A., 2011,Metode Penelitian
Keperawatan danTeknik Analisis Data, Jakarta:SalembaMedika
Hidayati,R.N., 2011, Hubungan Tugas
Kesehatan Keluarga, Karakteristik Keluargandan Anakdengan Status GiziBalita di Wilayah Pancoran Mas Kota Depok, (online) ,available :http://www.digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak...pdf,(22Desember 2012)
Laban, Y., 2012, Penyakit TBC & Cara
Pencegahannya, Yogyakarta: Kanisius
Notoatmodjo, S., 2003, Metodologi
Penelitian Kesehatan, Jakarta : RinekaCipta
Notoatmodjo, S., 2007, Promosi Kesehatan
dan Ilmu Keperawatan, Jakarta: Rineka Cipta
Suyo, J, .2010, Herbal Penyembuhan
Gangguan Sistem Pernafasan., Yogyakarta: B First.
201
MOTIVASI IBU DALAM PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF
Nyoman Ribek
Ni Made Yanti Kumalasari
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Email : [email protected]
Abstract : Preview Motivation Mother In Exclusive Breastfeeding. The purpose of
this study was to determine the maternal motivation in exclusive breastfeeding in the
Community Health Center I of North Denpasar. The method used was a descriptive
study with cross sectional approach. Sample was 38 mothers of infants aged 0-6
months I came to the health center with the North Denpasar purposive sampling
technique. Data was collected using a questionnaire. The results showed a large
majority of the 38 respondents mostly maternal motivation in exclusive breastfeeding
is strong that is equal to 68 %.
Abstrak: Motivasi ibu dalam pemberian ASI Eksklusif. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui motivasi ibu dalam pemberian ASI eksklusif di Puskesmas I
Denpasar Utara. Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian deskriptif dengan
pendekatan cross sectional. Sampel penelitian berjumlah 38 ibu yang memiliki bayi
usia 0-6 bulan yang datang ke Puskesmas I Denpasar Utara dengan tehnik Purposive
sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian
didapatkan dari 38 responden sebagian besar motivasi ibu dalam pemberian ASI
eksklusif adalah kuat yaitu sebesar 68 %.
Kata Kunci: motivasi ibu, ASI eksklusif
Modal dasar pembentukan manusia
berkualitas dimulai sejak janin dalam
kandungan dengan memberi nutrisi pada ibu
hamil dilanjutkan pemberian air susu ibu
(ASI) eksklusif. Menyusui secara eksklusif
adalah memberikan ASI kepada bayi selama
enam bulan penuh dan bayi tidak mendapat
makanan lain selain ASI (Soetjiningsih,
2007). Hasil studi dari 42 negara
menunjukkan bahwa ASI eksklusif memiliki
dampak terbesar terhadap penurunan angka
kematian Balita yaitu 13%, dibanding
intervensi kesehatan masyarakat lainnya
(Roesli, 2008).
ASI merupakan makanan terbaik bagi
bayi, tidak dapat diganti dengan makanan
lainnya dan tidak ada satupun makanan yang
dapat menyamai ASI baik dalam kandungan
gizinya, enzim, hormon, maupun kandungan
zat imunologik dan anti infeksi (Depkes RI,
2005). Pemberian ASI sangat penting bagi
tumbuh kembang bayi yang optimal baik
secara fisik maupun mental serta
kecerdasan, oleh karena itu pemberian ASI
perlu mendapat perhatian para ibu dan
tenaga kesehatan agar proses menyusui
dapat terlaksana dengan benar (Lestari,
2009). Menyusui bayi di Indonesia sudah
menjadi budaya namun praktik pemberian
(ASI) masih jauh dari yang diharapkan.
Banyak aspek yang mempengaruhi
pelaksanaan pemberian ASI eksklusif
diantaranya yang berhubungan dengan
pelayanan yang diperoleh di tempat bersalin,
dukungan yang diberikan oleh anggota
keluarga di rumah, banyak ibu yang belum
dibekali pengetahuan yang cukup tentang
tehnik menyusui yang benar dan manajemen
laktasi. Banyak alasan ibu tidak menyusui
bayinya karena merasa air susunya tidak
cukup, encer atau tidak keluar sama sekali
serta nyeri saat menyusui pasca salin. Ada
juga ibu yang tidak memberikan air susunya
karena kurang memahami mengenai laktasi
dan kurangnya motivasi, baik dari ibu
sendiri ataupun keluarga, khususnya suami
202
(Lestari, 2009). Berdasarkan laporan
bulanan LB3 Gizi, pemberian ASI
Eksklusif di Bali terlihat adanya penurunan
yang signifikan. Pada tahun 2009 jumlah
ibu-ibu yang memberikan ASI eksklusif
77,1 %, jumlah tersebut mengalami
penurunan pada Tahun 2011 menjadi 50,3 %
bahkan Tahun 2012 menjadi 45,7 %
(Retayasa, 2012).
Permasalahan pada penelitian ini adalah
bagaimanakah gambaran motivasi ibu dalam
pemberian ASI eksklusif di Puskesmas I
Denpasar Utara Tahun 2014. Adapun
tujuannya untuk mengidentifikasi
karakteristik ibu berdasarkan umur,
pendidikan, pekerjaan dan jumlah anak,
mengidentifikasi motivasi ibu dalam
pemberian ASI eksklusif berdasarkan
karakteristik ibu.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian deskriptif yaitu suatu metode
penelitian yang bertujuan untuk
memaparkan peristiwa-peristiwa urgen yang
terjadi dimasa kini, deskripsi peristiwa
disajikan secara apa adanya tanpa
memanipulasi dan peneliti tidak mencoba
menganalisis bagaimana dan mengapa
fenomena tersebut bisa terjadi, sehingga
tidak perlu adanya hipotesis. Pendekatan
yang digunakan yaitu cross sectional
dimana peneliti hanya sekali melakukan
pengukuran terhadap subyek penelitian.
Penelitian dilaksanakan di Puskesmas I
Denpasar Utara. Pengumpulan data
dilaksanakan mulai pada minggu pertama
bulan Mei sampai minggu keempat bulan
Juni 2014.
Populasi dalam penelitian ini adalah
semua ibu yang memiliki bayi usia 0-6
bulan yang datang ke Puskesmas I Denpasar
Utara. Sampel dipilih dengan metoda
purposive sampling yang disebut juga
disebut juga dengan Judgement sampling
yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan
cara memilih sampel diantara populasi
sesuai dengan yang dikehendaki peneliti
(tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga
sampel tersebut dapat mewakili karakteristik
populasi yang telah dikenal sebelumnya.
Pengambilan sampel selama dua bulan di
dapatkan sebanyak 38 orang. Data
dikumpulkan dengan lembar kuesioner
untuk mengetahui motivasi ibu dalam
pemberian ASI eksklusif. Data yang sudah
diolah kemudian dianalisis dengan analisis
statistik deskriptif yaitu statistik yang
digunakan untuk menganalisis data dengan
cara mendeskripsikan/ menggambarkan data
yang telah terkumpul sebagaimana adanya
tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang
bersifat umum dan dituangkan dalam bentuk
narasi dan tabel untuk mengetahui frekuensi
kejadian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini akan membahas
Motivasi ibu dalam pemberian ASI eksklusif
berdasarkan umur, pendidikan, pekerjaan
dan jumlah anak, seperti uraian berikut ini:
Tabel 1. Motivasi ibu dalam pemberian ASI
eksklusif
No Motivasi Ibu Jumlah
f %
1 Kuat 26 68
2 Cukup 6 16
3 Lemah 6 16
JUMLAH 38 100,0
Berdasarkan tabel 1 dari 38 responden
dapat dijelaskan 68 % responden memiliki
motivasi yang kuat dalam pemberian ASI
eksklusif dan 16 % responden memiliki
motivasi yang cukup dan kurang. Motivasi
ibu dalam pemberian ASI eksklusif dari 38
responden didapatkan sebagian besar ibu
memiliki motivasi yang kuat dalam
pemberian ASI eksklusif yaitu sebanyak 26
orang (68 %). Motivasi sangat diperlukan
oleh setiap orang sebagai pendorong untuk
mencapai tujuan tertentu. Motivasi adalah
perubahan energy dalam diri seseorang yang
ditandai dengan munculnya “Feeling” dan
didahului dengan tanggapan terhadap
adanya tujuan. Hasil penelitian ini didapat
menunjukkan bahwa setiap ibu harus
mempunyai dorongan, keingninan atau
kemauan dalam memberikan ASI secara
203
eksklusif, dimana menurut peneliti
keberhasilan dalam memberikan ASI
eksklusif sangat dipengaruhi oleh motivasi
dari ibu sendiri.
Tabel 2. Distribusi Motivasi Ibu Dalam Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Umur
No Motivasi Ibu
Umur Jumlah
< 20 Tahun 20-35 Tahun >35 Tahun
f % f % f % f %
1 Kuat 3 7,9 20 52,6 3 7,9 26 68,4
2 Cukup 0 0,0 6 15,8 0 0,0 6 15,8
3 Lemah 0 0,0 5 13,2 1 2,6 6 15,8
JUMLAH 3 7,9 31 81,6 4 10,5 38 100,0
Berdasarkan karakteristik umur dari 38
responden dapat dijelaskan bahwa 20
(52,6%) motivasi ibu dalam pemberian ASI
eksklusif adalah kuat ada pada ibu yang
berumur 20-35 tahun. Motivasi seseorang
dalam mencapai tujuan dipengaruhi oleh
umur, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan
dan peran tenaga kesehatan. Hasil penelitian
ini menunjukkan berdasarkan karakteristik
umur dari 38 responden dapat diketahui
bahwa motivasi ibu dalam pemberian ASI
eksklusif terbanyak adalah kuat ada pada ibu
yang berumur 20-35 tahun yaitu sebanyak
20 orang atau 52,6%. Hal ini terkait dengan
masa produktif dan semakin dewasa
seseorang pengalaman hidup juga semakin
bertambah serta dimungkinkan kemampuan
analisis dari seseorang akan bertambah
sehingga pengetahuan serta motivasi juga
semakin bertambah.
Tabel 3. Distribusi Motivasi Ibu Dalam Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Pendidikan
No Motivasi Ibu
Pendidikan Jumlah
SD SMP SMA PT
f % f % f % f % f %
1 Kuat 2 5,3 3 7,9 10 26,3 11 28,9 26 68,4
2 Cukup 0 0,0 3 7,9 3 7,9 0 0,0 6 15,8
3 Lemah 2 5,3 2 5,3 2 5,3 0 0,0 6 15,8
JUMLAH 4 10,4 8 21,1 15 39,5 11 28,9 38 100,0
Berdasarkan karakteristik pendidikan
dari 38 responden dapat dijelaskan bahwa 11
(28,9%) motivasi ibu dalam pemberian ASI
eksklusif adalah kuat ada pada ibu yang
memiliki pendidikan tinggi (PT). Motivasi
juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
seseorang, dimana hasil penelitian ini
menunjukkan dari 38 responden dapat
diketahui bahwa motivasi ibu dalam
pemberian ASI eksklusif terbanyak adalah
kuat ada pada ibu yang memiliki pendidikan
tinggi yaitu sebanyak 11 orang atau 28,9%.
Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan
tinggi akan berpengaruh pada tingkat
motivasinya. Tingkat pendidikan tinggi,
maka tingkat motivasi juga akan tinggi.
Pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi
tingkat pengetahuan ibu dan selanjutnya
mempengaruhi motivasi yang dimilikinya.
Selama menempuh pendidikan formal akan
terjalin hubungan baik secara sosial atau
interpersonal yang akan berpengaruh
terhadap wawasannya, dengan pendidikan
yang tinggi, otomatis pengetahuan yang
dimiliki juga banyak, maka informasi yang
diperoleh akan mudah diterima dengan baik
204
sehingga motivasi dari dalam diri ibu juga
tinggi. Penelitian ini menunjukkan bahwa
sebagian besar ibu memiliki tingkat
pengetahuan baik (63,0%) dan memiliki
motivasi yang kuat dalam pemberian ASI
eksklusif (51,1%). Pada analisis korelasi
didapatkan adanya hubungan yang
bermakna antara tingkat pengetahuan
dengan motivasi ibu dalam pemberian ASI
eksklusif (p=0,003).
Tabel 4. Distribusi Motivasi Ibu Dalam Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Pekerjaan
No Motivasi Ibu
Pekerjaan Jumlah
Tidak Bekerja Swasta Wiraswasta PNS/ABRI
f % f % f % f % f %
1 Kuat 9 23,7 7 18,4 4 10,5 6 15,8 26 68,4
2 Cukup 2 5,3 0 0,0 2 5,3 2 5,3 6 15,8
3 Lemah 5 13,2 0 20,0 0 0,0 1 2,6 6 15,8
JUMLAH 16 42,1 7 18,4 6 15,8 9 23,7 38 100,0
Berdasarkan karakteristik pekerjaan dari
38 responden dapat dijelaskan bahwa 9
(23,7%) motivasi ibu dalam pemberian ASI
eksklusif adalah kuat ada pada ibu yang
tidak bekerja
Tabel 5. Motivasi Ibu Dalam Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Jumlah Anak
No Motivasi Ibu
Jumlah Anak Jumlah
1 Orang 2 Orang 3 Orang 4 Orang
f % f % f % f % f %
1 Kuat 9 23,7 8 21,1 7 18,4 2 5,3 26 68,4
2 Cukup 5 13,2 1 2,6 0 0,0 0 0,0 6 15,8
3 Lemah 1 2,6 2 5,3 3 7,9 0 0,0 6 15,8
JUMLAH 15 39,5 11 28,9 10 26,3 2 5,3 38 100,0
Berdasarkan karakteristik pekerjaan
dari 38 responden dapat dijelaskan bahwa 9
(23,7%) motivasi ibu dalam pemberian ASI
eksklusif adalah kuat ada pada ibu yang
memiliki satu orang anak. Selain umur dan
tingkat pendidikan, motivasi ibu dalam
pemberian ASI eksklusif berkaitan erat
dengan pekerjaan atau pengalaman
sebelumnya (jumlah anak yang dimiliki).
Bila dilihat dari segi pekerjaan hasil
penelitian menunjukkan dari 38 responden
dapat diketahui bahwa motivasi ibu dalam
pemberian ASI eksklusif terbanyak adalah
kuat ada pada ibu yang tidak bekerja yaitu
sebanyak 9 orang atau 23,7% dan motivasi
kuat ada pada ibu yang memiliki satu orang
anak yaitu sebanyak 9 orang atau 23,7%.
Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang tidak
bekerja dan memiliki satu orang anak
memiliki banyak kesempatan untuk
memberikan ASI kepada bayinya.
205
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa dari 38 responden
sebagian besar motivasi ibu dalam
pemberian ASI eksklusif adalah kuat yaitu
sebesar 68,0 %. Motivasi ibu berdasarkan
karakteristiknya didapatkan berdasarkan
umur motivasi kuat ada pada ibu yang
berumur 20-35 tahun (52,6%), berdasarkan
pendidikan motivasi kuat ada pada ibu yang
memiliki pendidikan tinggi (28,9%),
berdasarkan pekerjaan motivasi kuat ada
pada ibu yang tidak bekerja (23,7%) dan
motivasi kuat ada pada ibu yang memiliki
satu orang anak (23,7%).
DAFTAR RUJUKAN Departemen Kesehatan R.I. 2005. Petunjuk
Pelaksanaan Peningkatan ASI Eksklusif Bagi Petugas Puskesmas. Jakarta. Depkes R.I.
Lestari, Z. 2009. Faktoryang Berhubungan
dengan Motivasi Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu yang Melahirkan di RS UNHAS : http://ridwanamiruddin.wordpress.com, (5 Maret 2014).
Retayasa. 2005. Menurun, Ibu – Ibu Beri
ASI Bayinya. 28 November 2005. http://www.balipost.com, (5 Maret
2014). Roesli,T. 2008. Inisiasi Menyusu Dini,
Jakarta: EGC Soetjiningsih. 2007. ASI Petunjuk untuk
Tenaga Kesehatan. Jakarta : EGC
206
MOTIVASI WANITA USIA SUBUR UNTUK MELAKUKAN
PEMERIKSAAN INSPEKSI VISUAL ASAM ASETAT
Ni Nyoman Hartati
Nengah Runiari
Anak Agung Ketut Parwati
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
E-Mail : [email protected]
Abstract : Motivation Women Eligible To Perform Inspection Visual Inspection
Acetic Acid. This study aims to identify the description of the motivation of women of
childbearing age to do a visual inspection of acetic acid in Banjar Tangguntiti
Puskesmas II East Denpasar. This study is a descriptive study using a cross sectional
design. This study was conducted in June 2014 using simple random sampling
technique to sample as many as 55 people, and a questionnaire for data collection.
The results showed that women of childbearing age in Banjar Tangguntiti as many as
29 people (52.7%) had a level of motivation was, as many as 20 people (36.4%) had
a high level of motivation, and as many as 6 people (10.9%) had levels low
motivation to do avisual inspection of acetic acid
Abstrak : Motivasi Wanita Usia Subur Untuk Melakukan Pemeriksaan Inspeksi
Visual Asam Asetat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran
motivasi wanita usia subur untuk melakukan pemeriksaan inspeksi visual asam asetat
di Banjar Tangguntiti wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Timur. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan cross sectional.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2014 menggunakan teknik Simple Random
Sampling dengan sampel sebanyak 55 orang, dan menggunakan kuesioner untuk
pengumpulan data. Hasil penelitian menunjukan bahwa wanita usia subur di Banjar
Tangguntiti sebanyak 29 orang (52,7%) memiliki tingkat motivasi sedang, sebanyak
20 orang (36,4%) memiliki tingkat motivasi tinggi, dan sebanyak 6 orang (10,9%)
memiliki tingkat motivasi rendah untuk melakukan pemeriksaan IVA.
Kata kunci : Motivasi, Wanita Usia Subur, pemeriksaan IVA
Kanker serviks (karsinoma serviks
uterus) di Indonesia lebih dikenal dengan
sebutan kanker leher rahim. Kanker serviks
merupakan tumor ganas yang tumbuh di
dalam leher rahim (serviks), yaitu bagian
terendah dari rahim yang menempel pada
puncak vagina. Kanker serviks merupakan
masalah kesehatan yang penting bagi wanita
di seluruh dunia. Kanker ini adalah kanker
kedua yang paling umum pada perempuan
yang dialami oleh lebih dari 1,4 juta
perempuan diseluruh dunia. Setiap tahun
lebih dari 460.000 kasus terjadi dan sekitar
231.000 perempuan meninggal karena
penyakit tersebut (Kemenkes, 2013).
Di Indonesia sendiri, diperkirakan ada
15.000 kasus baru kanker serviks terjadi
setiap tahunnya, dengan angka kematiannya
diperkirakan 7.500 kasus pertahun. Selain
itu, setiap harinya diperkirakan terjadi 41
kasus baru kanker serviks dan 20 perempuan
meninggal dunia karena penyakit tersebut
(Manuaba, 2001). Berdasarkan data yang
diperoleh kanker leher rahim menempati
urutan kedua dari kanker pada wanita.
Angka estimasi insiden rate kanker leher
rahim di beberapa kota di Indonesia antara
lain Jakarta sebanyak 100/100.000, Bali
sebanyak 152/100.000, Tasikmalaya
360/100.000 dan Sidoarjo 49/100.000
(Kemenkes, 2013).
207
Kanker serviks merupakan penyakit
yang perkembangannya terjadi secara
bertahap dan lambat, namun bersifat
progresif. Pada tahap awal
perkembangannya, sering kali wanita tidak
mengalami gejala atau tanda yang khas. Hal
inilah yang menyebabkan kebanyakan
wanita baru akan menyadari keadaan
penyakitnya ketika penyakit telah memasuki
stadium lanjut (Sukaca, 2009).
Sesuai dengan perkembangan
penyakitnya yang bersifat lambat, jika
wanita dapat mendeteksi kanker serviks
sejak dini, maka perkembangan sel-sel
kanker ke arah yang progresif pun dapat
dicegah (Wijaya,2010). Salah satu metode
pendeteksian kanker serviks adalah dengan
pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat
(IVA). IVA merupakan salah satu cara
melakukan tes kanker leher rahim.
Kelebihan dari tes yang menggunakan asam
asetat ini adalah kesederhanaan teknik
dengan tingkat sensitifitas yang tinggi dan
kemampuan untuk memberikan hasil segera
kepada ibu (Kemenkes, 2013).
Upaya penanggulangan penyakit kanker
serviks telah dilakukan yaitu dengan
melakukan program skrining kanker serviks,
namun hasil-hasil penelitian di beberapa
negara masih menunjukkan kurangnya
partisipasi wanita untuk mengikuti program
skrining. Sebagian besar penderita kanker
datang sudah dalam stadium lanjut sehingga
prosesnya sulit atau tak mungkin lagi
disembuhkan (Rasjidi, 2008).
Tindakan wanita usia subur (WUS)
untuk melaksanakan pemeriksaan IVA
untuk deteksi dini kanker serviks dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
faktor internal (dari dalam dirinya sendiri),
yaitu : pengetahuan dan motivasi. Setiap
tindakan yang dilakukan oleh manusia selalu
di mulai dengan motivasi. Motivasi dapat
diartikan sebagai suatu keinginan yang
terdapat pada diri seorang individu yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-
perbuatan, tindakan, tingkah laku atau
perilaku (Notoatmojo, 2009).
Saat ini pemeriksaan IVA dapat
dilakukan di pusat-pusat pelayanan
kesehatan seperti Rumah Sakit dan
Puskesmas. Dengan mudahnya akses untuk
melakukan pemeriksaan IVA, diharapkan
partisipasi wanita usia subur untuk
melakukan pemeriksaan ini semakin
meningkat.Selain kemudahan akses untuk
mendapatkan pelayanan pemeriksaan IVA
upaya lain yang juga dilakukan untuk
meningkatkan motivasi WUS untuk deteksi
dini kanker serviks diantaranya melalui
penyebarluasan informasi dan edukasi
kepada semua pihak baik kepada WUS, dan
juga keluarga.
Hasil penelitian sejenis yang dilakukan
oleh Pasaribu (2013), yang meneliti tentang
gambaran pengetahuan Ibu usia 25-40
tentang pemeriksaan Inspeksi Visual Asam
Asetat (IVA) di Lingkungan XIII Kelurahan
Tegal Sari Mandala II Kecamatan Medan
Denai, diperoleh bahwa : berdasarkan
pengetahuan cukup paling banyak 38 orang
51,36%, berdasarkan umur 25-30 tahun
sebanyak 39 orang dengan pengetahuan
cukup sebanyak 19 orang (48,71%),
berdasarkan pendidikan SMA sebanyak 41
orang dengan berpengetahuan cukup
sebanyak 22 orang (53,66%), berdasarkan
pekerjaan ibu rumah tangga sebanyak 67
orang dengan pengetahuan cukup sebanyak
35 orang (52,23%), berdasarkan paritas
multipara sebanyak 35 responden dengan
berpengetahuan cukup sebanyak 20 orang
(57,14%), dan berdasarkan sumber
informasi dari tenaga kesehatan sebanyak 33
orang dengan berpengetahuan cukup
sebanyak 16 orang (48,48%).
Berdasarkan data yang peneliti dapat di
Dinas kesehatan Kota Denpasar, pada tahun
2013 pemeriksaan IVA yang dilakukan di
pusat-pusat pelayanan kesehatan yang ada di
Denpasar sebanyak 4.485 orang dan
sebanyak 71 orang hasil positif yang
dikonsulkan dan dikrioterapi. Dan dari data
yang ada di Puskesmas II Denpasar Timur,
pada bulan Pebruari 2013 dilaksanakan
pemeriksaan IVA gratis terhadap 200 orang
dan didapatkan sebanyak delapan orang
hasilnya positif. Wilayah kerja Puskesmas II
Denpasar Timur meliputi 60 banjar dengan
jumlah WUS yang sudah menikah sebanyak
208
12.251 orang. Banjar Tanguntiti salah satu
banjar di wilayah kerja Puskesmas II
Denpasar Timur dengan jumlah WUS yang
telah menikah di wilayah ini sebanyak 125
orang dan jumlah WUS yang telah
melakukan pemeriksaan IVA hanya lima
orang. Dari studi pendahuluan yang peneliti
lakukan di Banjar Tanguntiti wilayah kerja
Puskesmas II Denpasar Timur dengan
wawancara secara langsung kepada 10 orang
WUS diperoleh hasil sebagai berikut :
sebanyak dua orang sudah melakukan tes
IVA, sebanyak lima orang WUS
berkeinginan untuk melakukan pemeriksaan
IVA tetapi belum sempat dan tiga orang
merasa takut untuk melakukan pemeriksaan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran motivasi wanita usia
subur untuk melakukan pemeriksaan
inspeksi visual asam asetat.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan menggunakan rancangan
cross sectional. Penelitian ini dilakukan di
Banjar Tangguntiti wilayah kerja
Puskesmas II Denpasar Timur, Sampel
dalam penelitian ini adalah wanita usia
subur yang telah menikah dan memenuhi
kriteria sebanyak 55 orang yang didapat
menggunakan propability sampling dengan
teknik Simple Random Sampling dan
menggunakan kuesioner untuk pengumpulan
data. Data yang sudah diolah dianalisa
dengan analisis deskriptif yaitu analisa yang
digunakan dengan menggambarkan keadaan
dari variabel yang diteliti, disajikan dalam
bentuk distribusi frekuensi dan tabulasi
silang dilengkapi dengan persentasenya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilaksanakan di Banjar
Tangguntiti wilayah kerja Puskesmas II
Denpasar Timur. Banjar Tangguntiti bagian
dari wilayah Desa Kesiman Kertalangu,
Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar
dengan jumlah penduduk di Banjar
Tangguntiti sebanyak 726 jiwa terdiri dari
365 orang laki-laki, 361 orang perempuan,
dan terbagi dalam 152 KK.
Karkarakteristik responden yang
meliputi umur, pendidikan, pekerjaan dan
paritas yang telah diteliti dapat dilihat pada
tabel distribusi frekuensi sebagai berikut :
Tabel 1.Distribusi Wanita Usia Subur Untuk
Melalukan Pemeriksaan IVA
Berdasarkan Umur
No. Umur
WUS
Frekuensi
(f)
Persentase
(%)
1. < 20 Th 1 1,8
2. 20–35Th 34 61,8
3. > 35 Th 20 36,4
TOTAL 55 100
Berdasarkan tabel 1 di atas dari 55
responden didapatkan umur wanita usia
subur terbanyak pada rentang umur 20 - 35
tahun sebanyak 34 orang (61,8%), dan
hanya ada 1 orang (1,8%) pada umur kurang
dari 20 tahun
Tabel 2.Distribusi Wanita Usia Subur
Untuk Melakukan Pemeriksaan
IVA Berdasarkan Pendidikan
Berdasarkan tabel 2 di atas dari 55
responden didapatkan tingkat pendidikan
terbanyak adalah tingkat pendidikan SMA
sebanyak 28 orang (50,9%), sedangkan
pendidikan Perguruan Tinggi hanya 5 orang
(9,1%).
Tabel 3.Distribusi Wanita Usia Subur Untuk
Melakukan Pemeriksaan IVA
Berdasarkan Pekerjaan
No. Tingkat
Pendidikan
Frekuensi
(f)
Persentase
(%)
1. SD 14 25,5
2. SLTP 8 14,5
3. SMA 28 50,9
4. Perguruan Tinggi 5 9,1
TOTAL 55 100
No. Pekerjaan Frekuensi
(f)
Persentase
(%)
1. Tidak Bekerja 12 21,8
2. Bekerja 43 78,2
TOTAL 55 100
209
Berdasarkan tabel 3 di atas dari 55
responden sebagian besar yaitu sebanyak 43
orang (78,2 %) bekerja dan 12 orang (21,8
%) yang hanya sebagai ibu rumah tangga.
Tabel 4.Distribusi Wanita Usia Subur untuk
Melakukan pemeriksaan IVA
Berdasarkan Paritas
Berdasarkan tabel 4 di atas dari 55
responden sebagian besar sudah melakukan
persalinan lebih dari satu kali yaitu sebanyak
38 orang (69,1%), dan ada 1 orang (1,8%)
sudah melahirkan lima kali.
Hasil pengamatan terhadap subyek
penelitian berdasarkan variabel penelitian
dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 5.Distribusi Wanita Usia Subur
Berdasarkan Motivasi Untuk
Melakukan Pemeriksaan IVA
No. Tingkat
Motivasi
Frekuensi
(f)
Persentase
(%)
1. Tinggi 20 36,4
2. Sedang 29 52,7
3. Rendah 6 10,9
Total 55 100
Berdasarkan tabel 5 di atas dapat
diketahui bahwa sebagian besar responden
yaitu sebanyak 29 orang (52,7%) memiliki
tingkat motivasi sedang, dan sebanyak 20
orang (36,4%) memiliki motivasi tinggi, dan
ada sebanyak 6 orang (10,9%) yang
memiliki motivasi rendah.
Analisis data bertujuan untuk melihat
gambaran motivasi wanita usia subur untuk
melakukan pemeriksaan IVA berdasarkan
karakteristik responden, sebagai berikut :
Tabel 6.Distribusi Tingkat Motivasi WUS
Untuk Melakukan Pemeriksaan
IVA Berdasarkan Umur
No,
Umur
Tingkat Motivasi Total
Tinggi Sedang Rendah
f % f % f % f %
1. <20
Th 0 0 1 100 0 0 1 100
2. 20–35
Th 14 41,2 17 50,0 3 8,8 34 100
3. > 35
Th 6 30,0 11 55,0 3 15,0 20 100
Total 20 36,4 29 52,7 6 10,9 55 100
Berdasarkan tabel 6 di atas dapat
diketahui bahwa tingkat motivasi tinggi
pada rentang umur 20 – 35 tahun sebanyak
14 orang (41,2%) persentasenya lebih tinggi
dari pada umur > 35 tahun sebanyak 6 orang
(30,0%), sedangkan untuk tingkat motivasi
sedang pada umur > 35 tahun sebanyak 11
orang (55,0%) persentasenya lebih tinggi
dari pada rentang umur 20 – 35 tahun
sebanyak 17 orang (50,0%).
Tabel 7.Distribusi Tingkat Motivasi WUS
untuk Melakukan Pemeriksaan
IVA Berdasarkan Pendidikan
No
.
Pdd
k
Tingkat Motivasi Total
Tinggi Sedang Rendah
f % f % f % f %
1. SD 2 14,
3
8 57,
1
4 28,
6
1
4
10
0
2. SLTP 2 25,
0
5 62,
5
1 12,
5
8 10
0
3. SMA 1
2
42,
9
1
5
53,
6
1 3,6 2
8
10
0
4.
PT 4 80,
0
1 20,
0
0 0 5 10
0
TOTAL 2
0
36,
4
2
9
52,
7
6 10,
9
5
5
10
0
Berdasarkan tabel 7 di atas dapat
diketahui bahwa tingkat motivasi tinggi
persentasenya meningkat dari pendidikan
SD sebanyak 2 orang (14,3%), pendidikan
No. Paritas Frekuensi
(f)
Persentase
(%)
1. Belum pernah
melahirkan 6 10,9
2. Primipara (1 kali) 10 18,2
3. Multipara (> 1
kali) 38 69,1
4. Grandemultipara
(>5 kali) 1 1,8
Total 55 100
210
SLTP sebanyak 2 orang (25,0%),
pendidikan SMA sebanyak 12 orang
(42,9%), dan berpendidikan Perguruan
Tinggi sebanyak 4 orang (80,0%).
Sedangkan persentase tingkat pendidikan
rendah sebaliknya yaitu tingkat pendidikan
SD sebanyak 4 orang (28,6%), pendidikan
SLTP sebanyak 1 orang (12,5%),
pendidikan SMA sebanyak 1 orang (3,6%),
dan untuk yang Perguruan Tinggi tidak ada.
Tabel 8.Distribusi Tingkat Motivasi WUS
untuk Melakukan Pemeriksaan IVA
Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan tabel 8 di atas dapat
diketahui bahwa tingkat motivasi tinggi
persentasenya lebih tinggi pada responden
yang bekerja sebanyak 19 orang (44,2%)
dan yang tidak bekerja sebanyak 1 orang
(8,3%), sedangkan untuk tingkat motivasi
sedang persentasenya lebih tinggi pada
responden tidak bekerja sebanyak 7 orang
(58,3%) dan yang bekerja sebanyak 22
orang (51,2%).
Tabel 9.Distribusi Tingkat Motivasi WUS
untuk Melakukan Pemeriksaan IVA
Berdasarkan Paritas
No.
Paritas
Tingkat Motivasi Total
Tinggi Sedang Rendah
f % f % f % f %
1. 0 kali 2 33,4 3 50,0 1 16,7 6 100
2. 1 kali 6 60,0 4 40,0 0 0 10 100
3. >1kl 12 31,6 22 57,9 4 10,5 38 100
4. > 5 kl 0 0 0 0 1 10,0 1 100
TOTAL 20 36,4 29 52,7 6 10,9 55 100
Berdasarkan tabel 9 diatas dapat
diketahui bahwa tingkat motivasi tinggi
persentasenya lebih tinggi pada responden
primipara sebanyak 6 orang (60,0%) dan
responden yang belum pernah melahirkan
sebanyak 2 orang (33,4%),
Berdasarkan penelitian, Motivasi wanita
usia subur untuk melakukan pemeriksaan
IVA berdasarkan umur dapat diketahui
bahwa tingkat motivasi tinggi pada rentang
umur 20 – 35 tahun persentasenya lebih
tinggi dari pada yang umur > 35 tahun,
sedangkan untuk tingkat motivasi sedang
pada rentang umur 20 – 35 tahun
persentasenya lebih rendah dari pada yang
umur > 35 tahun
Menurut Hardiwinoto (2012), umur atau
usia adalah satuan waktu yang mengukur
waktu keberadaan suatu benda atau
makhluk. Umur manusia diukur sejak dia
lahir hingga waktu umur itu dihitung.
Semakin bertambah umur seseorang
pengalaman hidup juga semakin bertambah
serta pengetahuan dan wawasan akan lebih
luas.
Menurut asumsi peneliti lebih tingginya
tingkat motivasi tinggi wanita usia subur
untuk melakukan pemeriksaan IVA pada
rentang umur 20 – 35 tahun dibanding umur
> 35 tahun disebabkan karena semakin
bertambah umur belum tentu semakin
bertambah pengalaman maupun
pengetahuan wanita usia subur, karena
pengalaman dan pengetahuan seseorang
tentang pemeriksaan IVA tergantung dari
informasi yang didapat sesorang.
Tetapi hal ini berbeda dengan penelitian
Pasaribu (2013), tentang gambaran
pengetahuan Ibu usia 25-40 tentang
pemeriksaan IVA berdasarkan umur dimana
responden pengetahuan baik dan cukup
meningkat dari umur 25-30 tahun, umur 31-
35 tahun dan umur 36-40 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian, Motivasi
wanita usia subur untuk melakukan
pemeriksaan IVA berdasarkan pendidikan
dapat diketahui bahwa tingkat motivasi
tinggi meningkat dari pendidikan SD
sebanyak 2 orang (14,3%), pendidikan
SLTP sebanyak 2 orang (25,0%),
pendidikan SMA sebanyak 12 orang
(42,9%), dan berpendidikan Perguruan
Tinggi sebanyak 4 orang (80,0%).
No
.
Pekerja
Tingkat Motivasi Total
Tinggi Sedang Rendah
f % f % f % f %
1. Tidak
Bekerja 1 8,3 7 58,3 4 33,3 12 100
2. Bekerja 19 44,2 22 51,2 2 4,7 43 100
Total 20 36,4 29 52,7 6 10,9 55 100
211
Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat motivasi seseorang
adalah pendidikan hal ini diungkap oleh
Ferlian (2011), semakin tinggi pendidikan
seseorang menjadikan seseorang akan
memiliki pengetahuan yang luas dan pola
pikirnya terbangun dengan baik. Pendidikan
merupakan salah satu faktor penting yang
mendorong seseorang untuk lebih perduli
dan termotivasi untuk meningkatkan derajat
kesehatan dirinya termasuk dalam hal
melakukan pemeriksaan IVA sebagai salah
satu metode deteksi dini kanker serviks.
Seperti juga penelitian Pasaribu (2013),
tentang tentang gambaran pengetahuan Ibu
usia 25-40 tentang pemeriksaan Inspeksi
Visual Asam Asetat berdasarkan pendidikan
dimana semakin tinggi tingkat pendidikan
semakin baik pengetahuan responden
tentang pemeriksaan IVA.
Menurut asumsi peneliti, bahwa
meningkatnya persentase tingkat motivasi
tinggi dari tingkat pendidikan SD sampai
Perguruan Tinggi, disebabkan karena tingkat
pendidikan sangat mempengaruhi seseorang
untuk mendapatkan informasi. Semakin
tinggi pendidikan seseorang kemampuan
untuk menerima informasi semakin baik dan
mengadaptasi informasi semakin mudah
sehingga motivasi untuk melakukan
pemeriksan IVA tinggi.
Motivasi Wanita Usia Subur untuk
melakukan pemeriksaan IVA berdasarkan
pekerjaan dapat ketahui bahwa tingkat
motivasi tinggi pada wanita usia subur yang
bekerja lebih tinggi dari wanita usia subur
yang tidak bekerja, sedangkan untuk tingkat
motivasi sedang pada responden tidak
bekerja lebih tinggi dari responden yang
bekerja.
Motivasi untuk melakukan pemeriksaan
IVA, dapat muncul dalam diri seseorang
akibat adanya keinginan terbebas dari
masalah dan adanya interaksi dengan orang
lain dan lingkungan sekitar. Hal ini sesuai
dengan teori motivasi menurut Mc Clelland
(Notoatmojo, 2009), bahwa motif primer
secara alamiah akan timbul pada setiap
individu, sedangkan motif skunder
merupakan motif yang timbul pada diri
individu akibat interaksi dengan orang lain.
Seseorang yang melakukan pekerjaan
keluar rumah akan berinteraksi dengan
orang lain dan lingkungan disekitar yang
dapat memberikan informasi yang
menambah wawasan dan pengetahuan
sehingga dapat memotivasi seseorang untuk
melakukan pemeriksaan IVA.
Bekerja selain dapat berinteraksi dengan
orang lain dan lingkungan disekitar juga
dengan bekerja dapat memberikan
penghasilan, sehingga penghasilan tersebut
dapat dipergunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan kebutuhan lain
termasuk biaya untuk melakukan
pemeriksaan IVA.
Hasil penelitian Pasaribu (2013) juga
menunjukan responden yang hanya sebagai
ibu rumah tangga memiliki pengetahuan
baik dan cukup yang persentase lebih tinggi
dari yang berpengetahuan kurang.
Tingginya tingkat motivasi sedang pada
wanita usia subur yang hanya sebagai ibu
rumah tangga juga dapat disebabkan karena
ibu rumah tangga yang tidak bekerja walau
lebih banyak waktunya di rumah namun
banyak informasi yang bisa didapat dari
media cetak, media elektronik, tenaga
kesehatan dan keluarga atau teman.
Motivasi Wanita Usia Subur untuk
melakukan pemeriksaan IVA berdasarkan
paritas dapat ketahui bahwa tingkat motivasi
tinggi pada responden yang melahirkan anak
baru satu kali sebanyak 6 orang (60,0%)
persentasenya lebih tinggi dari responden
yang belum pernah melahirkan sebanyak 2
orang (33,4%) dan responden yang
melahirkan anak lebih dari satu kali
sebanyak 12 orang (31,6%).
Perempuan yang melahirkan lebih
banyak anak akan memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk terkena kanker serviks, hal ini
dapat terjadi karena perlukaan dan terauma
akibat proses melahirkan. (Kemenkes,
2010).
Adanya penyuluhan dan banyaknya
informasi tentang kesehatan termasuk
informasi mengenai bahaya kanker serviks
dan manfaat pemeriksaan IVA sebagai salah
212
satu metode deteksi dini yang dapat
mencegah terjadinya kanker serviks, akan
meningkatkan motivasi wanita usia subur
yang telah melakukan persalinan lebih dari
satu kali untuk melakukan pemeriksaan
IVA.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian gambaran
motivasi wanita usia subur untuk melakukan
pemeriksaan inspeksi visual asam asetat
(IVA) di Banjar Tangguntiti wilayah kerja
Puskesmas II Denpasar Timur tahun 2014
dapat disimpulkan sebagai berikut :
Karakteristik responden dari 55 wanita
usia subur didapatkan hasil bahwa umur
responden terbanyak adalah rentang umur
20 – 35 tahun sebanyak 34 orang (61,8%),
berdasarkan pendidikan didapatkan
pendidikan wanita usia subur terbanyak
adalah SMA sebanyak 28 orang (50,9%),
dan berdasarkan pekerjaan wanita usia subur
didapatkan yang bekerja sebanyak 43 orang
(78,2%), serta berdasarkan paritas
didapatkan sebagian besar sudah melakukan
persalinan lebih dari satu kali yaitu sebanyak
38 orang (69,1%).
Motivasi wanita usia subur untuk
melakukan pemeriksaan IVA sebagai
metode deteksi dini kanker serviks sebagian
besar memiliki tingkat motivasi sedang,
yaitu sebanyak 29 orang (52,7%).
Gambaran motivasi wanita usia subur
untuk melakukan pemeriksaan IVA
berdasarkan umur tingkat motivasi tinggi
tertinggi pada rentang umur 20 – 35 th, yaitu
: 41,2%, berdasarkan pendidikan tingkat
motivasi tinggi tertinggi pada pendidikan
Perguruan Tinggi, yaitu : 80,0%,
berdasarkan pekerjaan tingkat motivasi
tinggi tertinggi pada responden yang
bekerja, yaitu : 44,2%, dan berdasarkan
Paritas tingkat motivasi tinggi tertinggi pada
responden yang melahirkan baru satu kali. DAFTAR RUJUKAN Ferilian, Prasetya, 2011, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Motivasi (online), available: http://prasetyaferilian.blogspot.com/2011/11/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html (14 April 2014)
Hardiwinoto, 2012, Kategori Umur,
(online), available: http://ilmu-kesehatan-masyarakat.blogspot.com/2012/05/kategori-umur.html (14 April 2014)
Kemenkes, 2010, Pedoman Teknis
Pengendalian Kanker Payudara & Kanker Leher Rahim, Jakarta: Ditjen PP&PL.
Kemenkes, 2013, Pencegahan Kanker
Payudara dan Kanker Leher Rahim, Jakarta: Ditjen PP&PL.
Manuaba, 2001, Kapita Selekta
Penatalaksanaan Rutin Obstetri Gynekologi dan KB, Jakarta: EGC.
Notoatmodjo, S., 2009, Metodologi
Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta
Rasjidi, Imam, 2008, Manual Prakanker
Serviks, Jakarta: CV Sangung Seto Pasaribu, Risani, 2013, Gambaran
Pengetahuan Ibu Usia 25-40 Tahun Tentang Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (Iva) Di Lingkungan XIII Kelurahan Tegal Sari Mandala II Kecamatan Medan Denai Tahun 2013, (online), available: http://balitbang.pemkomedan.go.id/tinymcpuk/gambar/ file/Risani.pdf (17 Maret 2014)
Sukaca, B., 2009, Cara Cerdas Menghadapi
Kanker Serviks (Leher Rahim). Yogyakarta: Genius Publisher
Sugiyono, 2010, Statistika Untuk Penelitian.
Bandung : Alfabeta Wijaya, D., 2010, Pembunuh Ganas itu
Bernama Kanker Serviks,Yogyakarta: PT. Niaga Swadaya
213
PERILAKU IBU DALAM PEMBERIAN MAKANAN DENGAN
OBESITAS PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR
Putu Susy Natha Astini
I Ketut Labir
Made Bayu Oka Widiarta
Jurusan Keperawatan Politehnik Kesehatan Denpasar
Email: [email protected]
Abstract: The Mothers in Feeding Behavior With Obesity Of Children School Age. This study aimed the relationship of mothers in feeding behavior with the occurrence
of obesity in children of school age in elementary school No. 5Th
Sanur Denpasar.
This Study was on Correlational research using cross-sectional approach. The
samples was taken by total sampling. Number of samples taken were 50 respondents.
The data analyzed with correlation of Rank Spearman test. The results showed 33
mothers (66 %) most of mothers have enough knowledge level, most of the mother
have as much as 32 mothers (64%) enough attitude, and the mother have as much as
27 mothers (54%) enough action. The results of anthropometric measurements, most
of the students 33 person (66%) were obese at level 1. The Correlation Rank
Spearman test r = 0,467 with p value <0,005 showed the strong enough of
correlation. That means is strong enough relationship between mothers in feeding
behavior with the occurrence of obesity in children of school age in Elementary
School No.5Th
Sanur Denpasar.
Abstrak : Perilaku Ibu Dalam Pemberian Makanan Dengan Obesitas Pada
Anak Usia Sekolah Dasar. Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui
Hubungan perilaku ibu dalam pemberian makanan dengan terjadinya obesitas pada
anak usia Sekolah Dasar di SD Negeri 5 Sanur Denpasar. Penelitian ini merupakan
penelitian korelasional dengan pendekatan cross sectional. Tehnik sampling dengan
total sampling dengan jumlah sampel 50 orang. Data dianalisis dengan Korelasi Rank
Spearmen test. Hasil penelitian menunjukkan, 33 orang ibu (66%) memiliki tingkat
pengetahuan cukup, 32 orang ibu (64%) memiliki sikap cukup, 27 orang ibu (54%)
memiliki tindakan cukup. Berdasarkan pengukuran antropometri berat badan dan
tinggi badan siswa di SD Negeri 5 Sanur Denpasar, sebagian besar 66 % (33 orang)
siswa mengalami obesitas tingkat 1. Hasil Uji statistik korelasi Rank Spearmen r =
0,467 dengan p value < 0,005 menunjukkan korelasi yang cukup kuat. Artinya
terdapat hubungan yang cukup kuat antara perilaku ibu dalam pemberian makanan
dengan terjadinya obesitas pada anak Sekolah Dasar di SD Negeri 5 Sanur Denpasar.
Kata kunci : prilaku ibu, obesitas, usia sekolah dasar
Peningkatan kemakmuran di Indonesia
juga diikuti oleh perubahan gaya hidup dan
kebiasaan makan. Perubahan gaya hidup
yang menuju kebaratan
(westernisasi) dan pola hidup yang kurang
gerak (sedentary life style). Perubahan pola
hidup ini mengakibatkan terjadinya
perubahan pola makan yang menuju pada
pola makan tinggi kalori, lemak dan
kolesterol, terutama makanan siap saji yang
berdampak pada obesitas (Hidayati, dkk,
2005). Obesitas adalah kelebihan berat
badan sebagai akibat dari penimbunan
lemak berlebih dengan ambang batas. IMT >
27 Kg/m2,
(Depkes, 2010). Perubahan
Pola makan, terutama di kota besar, bergeser
dari pola makan tradisional ke pola makan
barat yang dapat menimbulkan mutu gizi
214
yang tidak seimbang, secara potensial
mudah menyebabkan kelebihan masukan
kalori jika dikonsumsi secara berlebih.
Sampai saat ini masih ada anggapan di
masyarakat bahwa anak yang gemuk adalah
anak yang sehat. Seringkali ibu-ibu merasa
bangga kalau anaknya gemuk.
Menurut data Riset kesehatan dasar,
(Depkes, 2010), secara nasional masalah
kegemukan pada Sekolah Dasar (SD) usia 6-
12 tahun masih tinggi; 9,2 % atau lebih dari
5,0 %, untuk anak laki-laki 10,7 % dan anak
perempuan 7,7 %. Studi empiris yang
dilakukan peneliti ke sekolah-sekolah dasar
terkemuka di kota Denpasar, prevalensi
obesitas siswa-siswi di salah satu SD di
Denpasar tinggi diatas 5 % yaitu sampai
6,3%. Penelitian ini betujuan untuk
mengetahui hubungan antara perilaku ibu
dalam pemberian makanan dengan
terjadinya obesitas pada anak usia Sekolah
Dasar di SD Negeri 5 Sanur Denpasar Tahun 2012.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
korelational yaitu: suatu penelitian yang
dilakukan untuk mengetahui bagaimana
hubungan antara perilaku ibu dalam
pemberian makanan dengan terjadinya
obesitas pada anak usia Sekolah Dasar.
Metode pendekatan yang digunakan dengan
pendekatan cross sectional.
Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri
5 Sanur Denpasar, pada bulan April sampai
Mei 2012. Populasi dalam penelitian ini
adalah setiap subyek yang memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan yaitu: semua
ibu yang memiliki anak dengan obesitas di
kelas IV,V,VI yang bersekolah di SD Negeri
5 Sanur Denpasar, dari hasil studi
pendahuluan diperoleh jumlah ibu yang
memiliki anak dengan obesitas sebanyak 50
orang.
Tehnik sampling yang digunakan
“total sampling” yaitu pengambilan sampel
dengan mengambil semua anggota populasi
menjadi sampel penelitian. Subyek
penelitian adalah ibu-ibu siswa dan siswa
kelas IV,V dan VI SD sebanyak 50 orang.
Tehnik pengumpulan data yang digunakan
dengan cara mengisi kuesioner
pengetahuan, sikap, dan psikomotor, jenis
data yang dikumpulkan meliputi data primer
dan sekunder.
Data obesitas pada anak usia Sekolah
Dasar didapat dari hasil penimbangan berat
badan dibandingkan dengan pengukuran
tinggi badan dengan menggunakan meteran
tinggi badan. Selanjutnya Indeks Massa
Tubuh anak dihitung dengan rumus Berat
(kg) per Tinggi (m)2.
Analisa data digunakan untuk
mengetahui hubungan Prilaku ibu dalam
pemberian makanan dengan terjadinya
obesitas digunakan uji statistik korelasi
Rank Spearmen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Responden dalam penelitian ini adalah
ibu-ibu dari anak SD Negeri 5 Sanur
Denpasar dengan jumlah sampel 50 orang.
Perilaku ibu; terdiri dari pengetahuan, sikap
dan tindakan dalam pemberian makanan
dengan terjadinya obesitas pada anak usia
Sekolah Dasar di SD Negeri 5 Sanur
Denpasar 2012 disajikan dalam tabel
sebagai berikut :
Tabel 1.Tabel Silang Hubungan antara
Pengetahuan Ibu dalam Pemberian
Makanan dengan Obesitas pada
Anak Usia Sekolah Dasar
No Tingkat
Pengetahuan
Ibu dalam
Pemberian
Makanan
Pengukuran
Antropometri
BB/TB
Jumlah
Obesitas
Tingkat 1
(25-29,9)
Kg/m2
Obesitas
Tingkat 2
(> 30)
Kg/m2
f % f % f %
1 Baik 7 14 8 16 15 30
2 Cukup 25 50 9 18 34 68
3 Kurang 1 2 0 0 1 2
Jumlah 33 66 17 34 50 100
215
215
Pada tabel 1, di atas, sebagian besar 68
% ibu (34 orang) memiliki tingkat
pengetahuan yang cukup, dari ibu-ibu yang
memiliki tingkat pengetahuan cukup, 50 %
anaknya mempunyai obesitas tingkat satu
dan obesitas tungkat dua 18 %,
sedangkan yang mempunyai tingkat
pengetahuan yang baik 30 %, mempunyai
obesitas tingkat satu 14 % dan tingkat dua
16 %.
Data tersebut menunjukkan sebagian
besar ibu memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai pemberian makanan pada anak
usia Sekolah Dasar, pernyataan diatas juga
sesuai dengan hasil penelitian tentang
karakteristik ibu tentang pendidikan
responden, 30 orang ibu (60%) memiliki
latar belakang pendidikan tamat SMA yang
artinya pegetahuan ibu pada jenjang tersebut
sudah dianggap berpendidikan karena di
Indonesia batas minimal program wajib
belajar 9 tahun (Depdiknas, 2011).
Menurut Sukmadinata (2003), faktor-
faktor yang mempengaruhi tingkat
pengetahuan adalah tingkat pendidikannya.
Tingkat pendidikan seseorang akan
berpengaruh dalam memberi respon
rangsang dari luar, seseorang yang
berpendidikan tinggi akan memberi respon
yang lebih rasional terhadap informasi yang
datang.
Hal ini sesuai dengan teori dari
Notoatmodjo, (2007) menyatakan
pendidikan merupakan salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi pengetahuan,
karena semakin tinggi pendidikan seseorang
semakin mudah untuk menerima dan
mengolah informasi, dengan pengetahuan
yang tinggi maka seseorang cenderung
mendapatkan informasi yang lebih baik,
sebaliknya pengetahuan yang kurang akan
menghambat perilaku seseorang.
Ada hubungan yang signifikan antara
pengetahuan ibu dalam pemberian makanan
dengan terjadinya obesitas pada anak usia
sekolah dasar, dengan p value = 0,038
artinya p < 0,05.
Tabel 2. Tabel Silang Hubungan antara
Sikap Ibu dalam Pemberian
Makanan dengan Obesitas pada
Anak Usia Sekolah Dasar
Pada tabel 2, di atas dapat dilihat, 32
orang ibu, sebagian besar (64%) memiliki
sikap cukup dalam pemberian makanan pada
anak usia Sekolah Dasar. Dari 64 % ibu-ibu
memiliki sikap cukup 44 % anaknya
mempunyai obesitas tingkat satu dan 20 %
dengan anak obesitas tingkat dua,
sedamgkan dari 36 % ibu-ibu yang dengan
sikap baik, mempunyai anak obesitas
tingkat satu 22 % dan tingkat dua 14 %.
Sikap terbentuk dari reaksi yang bersifat
emosional terhadap stimulus sosial, stimulus
sosial merupakan rangsangan yang didapat
dari suatu objek yang dilihat. Hal ini sesuai
dengan pendapat dari Notoatmodjo, (2007),
salah satu faktor yang mempengaruhi sikap
adalah pengetahuan yang dimiliki. Menurut
Sukmadinata, (2003), sikap dapat dibentuk
dari pengalaman pribadi seseorang di masa
lalu. Sehingga jika memiliki pengalaman
buruk dalam hal kebutuhan gizi (makanan)
di masa yang lalu maka kemungkinan ia
akan menurunkan ke anaknya akan semakin
besar.
Sikap responden dapat berubah-ubah,
karena sikap dapat dipelajari sehingga sikap
dapat berubah, bila terdapat keadaan dan
syarat-syarat tertentu yang mempermudah
sikap pada responden, dengan kata lain
sikap itu terbentuk, dipelajari atau berubah
senantiasa berkenaan dengan suatu obyek
tertentu. (Sukmadinata, 2003). Ada
hubungan yang signifikan antara sikap ibu
No Sikap Ibu
dalam
Pemberi-
an
Makanan
Pengukuran
antropometri BB/TB
Jumlah
Obesitas
Tingkat 1
(25-29,9)
Kg/m2
Obesitas
Tingkat 2
(> 30)
Kg/m2
f % F % f %
1 Baik 11 22 7 14 18 36
2 Cukup 22 44 10 20 32 64
3 Kurang 0 0 0 0 0 0
Jumlah 33 66 17 34 50 100
61
216
dalam pemberian makanan dengan
terjadinya obesitas pada anak usia sekolah
dasar, dengan p value = 0,027 p < 0,05).
Tabel 3. Tabel Silang Hubungan antara
Tindakan Ibu dalam Pemberian
Makanan dengan Obesitas pada
Anak Usia Sekolah Dasar
Dari hasil penelitian pada ibu dari siswa
di SD Negeri 5 Sanur Denpasar, 27 orang
ibu, sebagian 54% memiliki tindakan cukup,
dari 54 % memiliki tindakan cukup, 36 %
memiliki anak dengan obesitas tingkat satu
dan 27 % memiliki anak dengan obesitas
tingkat dua, sedangkan ibu-ibu dengan
tindakan yang kurang (30 %) memiliki anak
dengan obesitas tingkat satu 20 % dan
tingkat dua 10 %, demikian dengan ibu-ibu
dengan tindakan yang baik yaitu 16 %
memiliki anak dengan obesitas tingkat satu
10 % dan tingkat dua 6 %.
Ada hubungan yang signifikan antara
tindakan ibu dalam pemberian makanan
dengan terjadinya obesitas pada anak usia
sekolah dasar, dengan p value = 0,023 p
< 0,05).
Tabel 4.Tabel Silang Hubungan antara
Perilaku Ibu dalam Pemberian
Makanan dengan Obesitas pada
Anak Usia Sekolah Dasar
Pada tabel 4 di atas, sebagian besar
ibu-ibu 90 % (45 orang) dengan prilaku
yang cukup, memiliki anak dengan obesitas
tingkat satu 60 % dan obesitas tingkat dua
30 %, sedangkan 5 orang ibu (10%)
memiliki perilaku baik, yang memiliki anak
obesitas tingkat satu 6% dan memiliki
anak obesitas tingkat dua 4%
Perilaku terdiri dari 3 domain yaitu
pengetahuan, sikap, tindakan. Menurut
Sukmadinata (2003), tingkat pendidikan,
tingkat pengetahuan juga berbanding lurus
dengan kemampuan mengakses informasi,
jenis pekerjaan dan status ekonominya.
Menurut hasil penelitian Yueniwati dan
Rahmawati (2001), terdapat hubungan
antara pendidikan terkhir ibu dengan
pengetahuan ibu mengenai obesitas.
Tindakan dapat terjadi setelah individu
mengadakan penilaian terhadap apa yang
diketahui dan memberikan respon batin
dalam bentuk sikap. Suatu sikap belum tentu
terwujud dalam tindakan. Keadaan
mendukung lainnya adalah fasilitas yang
tersedia (Notoatmodjo, 2007).
Hasil uji analisis Korelasi Rank
Spearman menunjukkan p value = 0,025. P
value <α (0,025< 0,05) artinya ada
hubungan yang signifikan antara perilaku
ibu dalam pemberian makanan dengan
terjadinya obesitas pada anak usia sekolah
dasar di SD Negeri 5 Sanur Denpasar,
dengan koefisien korelasi = -0467, artinya
ada hubungan yang cukup kuat antara
perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan)
ibu dengan terjadinya obesitas pada anak
usia Sekolah Dasar. Koefisien korelasi,
menunjukkan arah yang negatif, artinya
hubungan yang berpola tidak searah/ variasi
satu variabel berbanding terbalik dengan
variabel lainnya. Jika perilaku (pengetahuan,
sikap, tindakan) ibu kurang dalam
pemberian makanan pada anak usia sekolah,
maka anak akan mengalami obesitas dan
jika perilaku ibu baik maka anak tidak akan
mengalami obesitas.
Pada saat ini masih adanya anggapan
yang menyatakan anak yang sehat adalah
anak yang gemuk (Hidayati, dkk. 2005)
menyebabkan perilaku ibu hanya sekedar
No Tindakan
Ibu dalam
Pembe-
rian
Makanan
Pengukuran
Antropometri BB/TB
Jumlah
Obesitas
Tingkat 1
(25-29,9)
Kg/m2
Obesitas
Tingkat 2
(> 30)
Kg/m2
F % F % F %
1 Baik 5 10 3 6 8 16
2 Cukup 18 36 9 18 27 54
3 Kurang 10 20 5 10 15 30
Jumlah 33 66 17 34 50 100
No Perilaku
Ibu dalam
Pemberian
Makanan
Pengukuran Antropometri
BB/TB
Jumlah
Obesitas
Tingkat 1 (25-
29,9) Kg/m2
Obesitas
Tingkat 2 (>
30) Kg/m2
F % F % f %
1 Baik 3 6 2 4 5 10
2 Cukup 30 60 15 30 45 90
3 Kurang 0 0 0 0 0 0
Jumlah 33 66 17 34 50 100
217
217
memberi banyak makan pada anaknya tanpa
memperhatikan dampaknya terhadap
tumbuh kembang anaknya, keadaan lain
yang mendukung ibu tidak terlalu
memperhatikan kualitas dan kuantitas
makanan anaknya sehari-sehari yang
idealnya 60 kkal/kg.BB/harinya diberikan
untuk anaknya yaitu ketersediaan fasilitas,
seperti beberapa restoran cepat saji antara
lain KFC, Mc Donald, PizzaHut, Dunkin
Donnuts dan Jacko yang dekat + 200 meter
dengan SD Negeri 5 Sanur Denpasar
memberikan peluang yang lebih besar
kepada ibu-ibu untuk mengajak atau
memberikan makanan tinggi lemak dan
tinggi kalori yang mempunyai peluang
besar menyebabkan obesitas.
Dilihat dari pekerjaan sebagian besar,
66 % (33 orang) ibu bekerja sebagai
wiraswasta yang menyebabkan ibu terlalu
sibuk dengan pekerjaannya, sehingga tidak
ada waktu untuk mempersiapkan makanan
yang bergizi seimbang untuk keluarga
khususnya anak-anaknya, akibatnya ibu
cenderung membeli makanan yang cepat saji
atau hanya memberi bekal kepada anaknya
untuk membeli makanan sesuka hatinya.
Pekerjaan juga mencerminkan status
ekonomi keluarga. Status ini berbanding
lurus dengan kemampuan untuk
memperoleh makanan yang diinginkan
(Soekirman, 2000). Dihubungkan dengan
tingkat pengetahuan ibu sebagian besar, 33
orang ibu (66%) memiliki tingkat
pengetahuan yang cukup, hal ini mendukung
ibu menerapkan perilaku pemberian
makanan tinggi lemak dan tinggi kalori yang
berakibat terjadinya obesitas (Yanti,
2004).
Sesuai pernyataan di atas perilaku ibu
dalam pemberian makanan berhubungan
cukup kuat dengan terjadinya obesitas pada
anak usia sekolah dasar di SD Negeri 5
Sanur Denpasar. (dengan koefisien korelasi
= -0467)
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan maka dapat disimpulkan;
Adanya hubungan antara perilaku ibu
dengan terjadinya obesitas pada anak usia
Sekolah Dasar, Artinya terdapat hubungan
yang cukup kuat antara perilaku ibu dalam
pemberian makanan dengan terjadinya
obesitas pada anak Sekolah Dasar di SD
Negeri 5 Sanur Denpasar.
DAFTAR RUJUKAN Depdiknas, 2011. Pencapaian Program
Wajib Belajar 9 tahun (online), available:html// edukasikompasiana. com.2011 ( 1 januari 2012)
Depkes RI, 2010. Riset Kesehatan dasar,
(online), available: http//www.riskesdas litbang.go.id. (2Januari 2012).
Hidayati, dkk, 2005. Obesitas pada anak.
(online),available:hhtp://www: tempo.co.id (5 Januari 2012)
Notoatmodjo, 2007. Promosi Kesehatan dan
ilmu Prilaku, Jakarta: PT.Rineka Cipta.
Soekirman, 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya
untuk Keluarga dan Masyarakat, Jakarta: FKUI
Sukmadinata,2003. Landasan Psikologi
Proses Pendidikan. Jakarta :Balai Pustaka.
Yueniwati dan Rahmawati, 2001. Hubungan
Karakteristik Sosial Ibu dengan Pengetahuan Tentang Obesitas pada Anak
Yanti, E. 2004. Perilaku Ibu terhadap
Pemberian Multivitamin pada Anak Balita. FKM-USU, Medan.
218
PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL: BERMAIN PERAN
TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN BERSOSIALISASI
PASIEN SKIZOFRENIA
I Nengah Sumirta
I Wayan Githa
Ni Wayan Ekayanti
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Email : [email protected]
Abstract.: Sosial Skills Training : Role Playing Against Increasing Sosializing
Patients Schizophrenia. Social skills training aims to teach the ability to interact
with others to individuals who are not skilled at being skilled at interacting with
people around them, whether in the formal or informal relationship. This study aims
to determine the effect of sosial skills training : playing the role of the increase in
sosial skills in patients with schizophrenia. The kind of research this is Quazy
Experiment, with delightful preposttest with control group design. The sampling
technique used was purposive sampling. The total sample of 16 people consisting of 8
treatment groups and the control group 8.The results showed sosial skills in
schizopheria patients after given sosial skills training: playing a role, as many 8
people (100%) are able to be categorized.Concluded that there is an effect of sosial
skills training: playing the role of the increase in sosial skills in schizophrenic
patients (p = 0.005).
Abstrak: Pelatihan keterampilan sosial : bermain peran terhadap peningkatan
kemampuan bersosialisasi Pasien skizofrenia. Pelatihan keterampilan sosial
bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain kepada
individu-individu yang tidak terampil menjadi terampil berinteraksi dengan orang-
orang disekitarnya, baik dalam hubungan formal maupun informal. Jenis penelitian
ini adalah eksperimen semu, dengan rancangan preposttest with control group design.
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Jumlah sampel
sebanyak 16 orang yang terdiri dari delapan orang kelompok perlakuan dan delapan
orang kelompok kontrol. Hasil penelitian didapatkan kemampuan bersosialisasi pada
pasien skizofrenia sesudah diberikan pelatihan keterampilan sosial: bermain peran
sebanyak delapan orang (100%) dikatagorikan mampu. Disimpulkan bahwa ada
pengaruh pelatihan keterampilan sosial: bermain peran terhadap peningkatan
kemampuan bersosialisasi pada pasien skizofrenia (p=0,005)
Kata kunci : pelatihan keterampilan social, kemampuan bersosialisasi, skizofrenia
WHO (2009) menyebutkan sebanyak
450 juta orang di seluruh dunia mengalami
gangguan mental, termasuk skizofrenia
dimana terdapat 10% orang dewasa
mengalami skizofrenia saat ini dan 25%
penduduk diperkirakan akan mengalami
gangguan jiwa pada usia tertentu (Wakhid,
2013). Prevalensi skizofrenia diperkirakan
sekitar 1% dari seluruh penduduk. Di
Amerika Serikat angka tersebut
menggambarkan bahwa hampir tiga juta
penduduk yang sedang, telah, atau akan
terkena skizofrenia. Insiden dan prevalensi
seumur hidup secara kasar sama di seluruh
dunia (Videbeck, 2008).
Angka penderita skizofrenia di Indonesia
25 tahun yang lalu (1984) sebanyak 1/1000
penduduk dan diperkirakan 25 tahun lagi
(2034) mendatang mencapai 3/1000
penduduk (Hawari, 2009). Pasien gangguan
219
219
jiwa berat, termasuk skizofrenia di Bali
diperkirakan 7.000 orang penduduk
(Sucipta, 2009). Jumlah kejadian skizofrenia
yang di rawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Bali di Bangli, pada tahun 2011, terdapat
3.288 orang dan sebesar 97% (3.192 orang)
dengan skizofrenia, pada tahun 2012,
terdapat 3.469 orang dan sebesar 98%
(3.401 orang) dengan skizofrenia, sedangkan
pada tahun 2013, terdapat 3.487 orang dan
sebesar 98% (3.417 orang) dengan
skizofrenia. Berdasarkan data Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Bali, pada bulan Januari 2014,
rata-rata pasien yang mengalami rawat inap
sebanyak 266 orang, 92% (245 orang)
diantaranya skizofrenia dan dari 245 orang
tersebut, 86 orang (32%) dengan halusinasi,
sebanyak 52 orang (20%) dengan kerusakan
interaksi sosial : menarik diri dan 38 orang
(14%) dengan harga diri rendah.
Gejala negatif yang paling sering
ditemukan pada pasien skizofrenia yaitu
kerusakan interaksi sosial: menarik diri.
Kerusakan interaksi sosial merupakan upaya
menghindari suatu hubungan komunikasi
dengan orang lain karena merasa kehilangan
hubungan akrab dan tidak mempunyai
kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran dan
kegagalan. Pasien mengalami kesulitan
dalan berhubungan secara spontan dengan
orang lain yang dimanifestasikan dengan
mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan
tidak sanggup berbagi pengalaman (Direja,
2011). Menurut Kuntjoro (dalam, Purba,
2009) ketidakmampuan bersosialisasi
merupakan ketidakmampuan seseorang
untuk bersikap dan bertingkah laku yang
dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.
Berbagai upaya perbaikan terhadap tingkah
laku yang dialami pasien skizofrenia dengan
ketidakmampuan bersosialisasi di rumah
sakit jiwa, diantaranya dengan pengobatan
skizofrenia secara medik tanpa
ditindaklanjuti oleh usaha rehabilitasi akan
membuat pasien mengalami kekambuhan,
bahkan pasien menahun sehingga
menyebabkan semakin bertambah buruknya
ketidakmampuan bersosialisasi yang dialami
pasien. Menurut penelitian Wakhid (2013)
di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi pada
pasien kerusakan interaksi sosial didapatkan
sebanyak 22,2% yang jarang terlibat dalam
kegiatan so sosial dan dengan respon sosial
kurang sebesar 19,61%.
Pelatihan keterampilan sosial terbukti
efektif untuk pasien skizofrenia untuk
memperbaiki defisit perilaku sosial.
Program pelatihan keterampilan sosial untuk
pasien skizofrenia meliputi keterampilan
bercakap-cakap, keterampilan manajemen
konflik, keterampilan keasertifan,
keterampilan hidup di dalam komunitas,
keterampilan berteman dan berkencan,
keterampilan bekerja dan kejujuran, serta
keterampilan manajemen pengobatan
(Sadock, 2013). Pelatihan keterampilan
sosial merupakan salah satu teknik
modifikasi perilaku yang mulai banyak
digunakan, terutama untuk membantu
penderita kesulitan bergaul. Pelatihan
keterampilan sosial bertujuan untuk
mengajarkan kemampuan berinteraksi
dengan orang lain kepada individu-individu
yang tidak terampil menjadi terampil
berinteraksi dengan orang-orang
disekitarnya, baik dalam hubungan formal
maupun informal. Salah satu teknik yang
dapat digunakan dalam pelatihan
keterampilan sosial yaitu dengan bermain
peran yang dilakukan dengan cara
mendengarkan petunjuk yang disajikan
model atau terapis terlebih dahulu
dilanjutkan dengan latihan dari pasien
(Ramdhani, 2012).
Hadisepoetro (2013) mengatakan bahwa
pelatihan keterampilan sosial berpengaruh
terhadap peningkatan keterampilan sosial
pada klien isolasi sosial di Desa Paringan
Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo
(p=0,028), sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Wakhid (2013) menunjukkan
bahwa latihan keterampilan sosial dapat
meningkatkan kemampuan sosialisasi pada
klien isolasi sosial dan harga diri rendah
(p=0,000). Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh pelatihan
keterampilan sosial : bermain peran terhadap
220
peningkatan kemampuan bersosialisasi pada
pasien skizofrenia
METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian
Quasy experiment atau eksperimen semu,
dengan rancangan pre-posttest with control
group design. Populasinya adalah semua
pasien skizofrenia dengan gejala negatif,
sampelnya adalah pasien skizofrenia
dengan gejala negatif (pasien perempuan)
dengan kriteria inklusi pasien skizofrenia
dengan masalah kerusakan interaksi sosial
dan harga diri rendah yang bersedia menjadi
responden, pasien yang kooperatif dan dapat
membina hubungan saling percaya dan
kriteria eksklusinya adalah pasien dengan
keluhan fisik, seperti panas, diare dan
keluhan lainnya yang dapat menganggu
proses pelatihan.
Teknik sampling menggunakan non
probability sampling yaitu purposive
sampling. Jumlah sampel sebanyak 16 orang
(8 orang sebagai kelompok perlakuan dan 8
orang sebagai kelompok control). Pada
desain ini observasi dilakukan sebanyak dua
kali yaitu sebelum dan sesudah eksperimen.
Pada kelompok perlakuan diberikan
pelatihan keterampilan sosial selama 15 hari
yang dilakukan selama ± 45 menit setiap
pertemuan, sebanyak 5 sesi dengan
perincian setiap sesi diberikan selama 3 kali
(3 hari), sedangkan pada kelompok kontrol
tidak diberikan pelatihan keterampilan
sosial.
Analisis data dilakukan secara univariat
dan bivariat. Analisis univariat dilakukan
untuk mencari distribusi frekuensi dari data
demografi (umur, status perkawinandan
tingkat pendidikan) dan analisis bivariat
menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank
Test Program SPSS for Windows (Tingkat
Kepercayaan 95% p ≤ 0,05), untuk
menganalisa pengaruh pelatihan
keterampilan sosial: bermain peran terhadap
peningkatan kemampuan bersosialisasi pada
pasien skizofrenia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik responden pada penelitian
ini meliputi: umur, status perkawinan dan
tingkat pendidikan, disajikan dalam tabel 1,
2, dan 3.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Umur
Kelompok Umur
Kelompok
Perlakuan
Kelompok
Kontrol
f % f %
Masa dewasa
awal (21-40
tahun)
1 12 2 25
Masa setengah
baya (41-60
tahun)
7 88 6 75
Jumlah 8 100 8 100
Berdasarkan tabel 1, didapatkan bahwa
pada kelompok perlakuan sebagian besar
responden berada pada masa setengah baya
(41-60 tahun), yaitu sebanyak 7 orang (88%)
dan juga pada kelompok kontrol sebagian
besar responden berada pada masa setengah
baya (41-60 tahun), yaitu sebanyak 6 orang
(75%).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Status Perkawinan
Status
Perkawinan
Kelompok
Perlakuan
Kelompok
Kontrol
f % f %
Belum
kawin
2 25 5 63
Menikah 6 75 3 37
Jumlah 8 100 8 100
Berdasarkan tabel 2, didapatkan bahwa
pada kelompok perlakuan sebagian besar
responden sudah menikah, yaitu sebanyak 6
orang (75%), sedangkan pada kelompok
kontrol sebagian besar belum kawin, yaitu
sebanyak 5 orang (63%).
221
221
Tabel 3. Distribusi Frekuensi
Responden Berdasarkan
Tingkat Pendidikan
Tingkat
Pendidikan
Kelompok
Perlakuan
Kelompok
Kontrol
f % f %
Tidak sekolah 1 12 3 38
Dasar (SD dan
SLTP)
7 88 4 50
Menengah
(SLTA)
0 0 0 0
Tinggi
(Diploma/PT)
0 0 1 12
Jumlah 8 100 8 100
Berdasarkan tabel 3 didapatkan bahwa
pada kelompok perlakuan sebagian besar
responden dengan tingkat pendidikan dasar,
yaitu sebanyak 7 orang (88%) dan juga pada
kelompok kontrol sebagian besar responden
dengan tingkat pendidikan dasar, yaitu
masing-masing sebanyak 4 orang (50%).
Kemampuan melakukan bersosialisasi
pada pasien skizofrenia sebelum diberikan
pelatihan keterampilan sosial: bermain peran
pada kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol,disajikan pada tabel 4 dan 5
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kemampuan
Bersosialisasi Pasien Skizofrenia
Sebelum Diberikan Pelatihan
Keterampilan Sosial: Bermain
Peran.
Kemampuan
Bersosialisasi
Kelompok
Perlakuan
Kelompok
Kontrol
f % f %
Belum mampu 8 100 8 100
Mampu
sebagian
0 0 0 0
Mampu 0 0 0 0
Jumlah 8 100 8 100
Berdasarkan tabel 4, didapatkan bahwa
kemampuan bersosialisasi pada pasien skizofrenia sebelum diberikan pelatihan
keterampilan sosial: bermain peranpada
kelompok perlakuan seluruhnya
dikatagorikan dengan belum mampu, yaitu
sebanyak 8 orang (100%), dan juga pada
kelompok kontrol seluruhnya dikatagorikan
belum mampu, yaitu sebanyak 8 orang
(100%).
Kemampuan bersosialisasi pada pasien
skizofrenia sesudah diberikan pelatihan
keterampilan sosial: bermain peran pada
kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol,disajikan pada tabel 5.
Tabel 5. Distribusi Frekuensi
Kemampuan Bersosialisasi
Pasien Skizofrenia Sesudah
Diberikan Pelatihan
Keterampilan Sosial : Bermain
Peran
Kemampuan
Bersosialisasi
Kelompok
Perlakuan
Kelompok
Kontrol
f % f %
Belum mampu 0 0 7 88
Mampu
sebagian
0 0 1 12
Mampu 8 100 0 0
Jumlah 8 100 8 100
Berdasarkan tabel 5, didapatkan bahwa
kemampuan bersosialisasi pada pasien
skizofrenia sesudah diberikan pelatihan
keterapilan sosial: bermain peran pada
kelompok perlakuan seluruhnya
dikatagorikan mampu, yaitu sebanyak 8
orang (100%), sedangkan pada kelompok
kontrol sebagian besar dikatagorikan belum
mampu, yaitu sebanyak 7 orang (88%).
Hasil analisis dengan uji Wilcoxon
Signed Rank test disajikan dalam tabel 6.
Tabel 6 Hasil Analisis Data Pengaruh
Pelatihan Keterampilan Sosial:
Bermain Peran Terhadap
Peningkatan Kemampuan
Bersosialisasi Pasien
Skizofrenia
Pre test klp
perlakuan
Post test klp
perlakuan
Pre test klp
kontrol
Post test klp
kontrol
Z -2.828 -1.000
P value 0,005 0,317
222
Berdasarkan tabel 6, didapatkan hasil
bahwa pengaruh pelatihan keterampilan
sosial: bermain peran terhadap peningkatan
kemampuan bersosialisasi pada pasien
skizofreniapada kelompok perlakuan
didapatkan nilai p=0,005 (p<0,05) yang
berarti ada pengaruh pelatihan keterampilan
sosial: bermain peran terhadap peningkatan
kemampuan bersosialisasi pada pasien
skizofreniapada kelompok perlakuan,
sedangkan kemampuan bersosialisasipre test
dengan post test pada kelompok kontrol
didapatkan nilai p=0,317 (p>0,05) yang
berarti tidak ada perbedaan nilai pre test dan
post test pada kelompok kontrol, sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
pelatihan keterampilan social : bermain
peran terhadap peningkatan kemampuan
bersosialisasi pada pasien skizofrenia.
Kemampuan bersosialisasi pada pasien
skizofrenia sebelum diberikan pelatihan
keterampilan social : bermain peran pada
kelompok perlakuan didapatkan delapan
orang (100%) yang belum mampu. Pada
kelompok kontrol juga didapatkan sebanyak
delapan orang (100%) yang belum mampu.
Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol
kemampuan bersosialisasi pada pasien
skizofrenia sebelum diberikan pelatihan
keterampilan sosial: bermain peran
dikatagorikan belum mampu. Menurut
Direja (2011), menyatakan gejala negatif
yang paling sering ditemukan pada pasien
skizofrenia yaitu kerusakan interaksi sosial:
menarik diri. Kerusakan interaksi sosial
merupakan upaya menghindari suatu
hubungan komunikasi dengan orang lain
karena merasa kehilangan hubungan akrab
dan tidak mempunyai kesempatan untuk
berbagi rasa, pikiran dan kegagalan. Pasien
mengalami kesulitan dalan berhubungan
secara spontan dengan orang lain yang
dimanifestasikan dengan mengisolasi diri,
tidak ada perhatian, dan tidak sanggup
berbagi pengalaman. Menurut Kuntjoro
(dalam, Purba, 2009) ketidakmampuan
bersosialisasi merupakan ketidakmampuan
seseorang untuk bersikap dan bertingkah
laku yang dapat diterima oleh lingkungan
sosialnya. Berbagai upaya perbaikan
terhadap tingkah laku yang dialami pasien
skizofrenia dengan ketidakmampuan
bersosialisasi di rumah sakit jiwa,
diantaranya dengan pengobatan skizofrenia
secara medik tanpa ditindaklanjuti oleh
usaha rehabilitasi akan membuat pasien
mengalami kekambuhan, bahkan pasien
menahun sehingga menyebabkan semakin
bertambah buruknya ketidakmampuan
bersosialisasi yang dialami pasien.
Kemampuan bersosialisasi pada pasien
skizofrenia sesudah diberikan pelatihan
keterampilan sosial pada kelompok
perlakuan, seluruhnya atau sebanyak
delapan orang (100%) dikatagorikan
mampu. Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan bersosialisasi pada pasien
skizofrenia sesudah diberikan pelatihan
keterampilan sosial : bermain peran
seluruhnya dikatagorikan mampu.
Kemampuan bersosialisasi pada kelompok
kontrol sebanyak tujuh orang (88%)
dikatagorikan belum mampu dan sebanyak 1
orang (12%) dikatagorikan mampu
sebagian. Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan kemampuan bersosialisasipost
test pada kelompok kontrol sebagian besar
dikatagorikan belum mampu.
Pelatihan keterampilan sosial merupakan
salah satu teknik modifikasi perilaku untuk
membantu penderita kesulitan bergaul.
Bermain peran adalah alat yang digunakan
untuk mengkaji kompetensi sosial pasien
praterapi dan untuk melatih kelebihan atau
defisit perilaku yang ditargetkan selama
terapi. Pelatihan keterampilan sosial:
bermain peran mempunyai manfaat yang
sangat baik bagi pasien skizofrenia dengan
gejala negatif, terutama pada pasien
kerusakan interaksi sosial, sehingga perlu
diberikan kepada pasien yang menjalani fase
rehabilitasi selain pemberian terapi
farmakologi yang sudah diberikan kepada
pasien semenjak masuk rumah sakit.
Pemberian pelatihan keterampilan sosial:
bermain peran akan mempunyai manfaat
bagi pasien, terutama mengembalikan
kemampuan pasien skizofrenia untuk
bersosialisasi (Ramdhani, 2012).
223
223
Hasil penelitian yang didapat sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Wakhid (2013) dimana keterampilan
sosialisasi pasien harga diri rendah dan
isolasi sosial sebelum diberikan terapi
latihan ketrampilan sosial, dari 18 orang
responden sebanyak 14 orang (78%) dengan
keterampilan sosialisasi kurang (belum
mampu) dan setelah diberikan terapi latihan
ketrampilan sosial, dari 18 orang responden
seluruhnya atau sebanyak 18 orang (100%)
dengan keterampilan sosialisasi mampu.
Berdasarkan hasil uji Wilcoxon Sign test
untuk menganalisa pengaruh pelatihan
keterampilan sosial : bermain peran terhadap
peningkatan kemampuan bersosialisasi pada
pasien skizofrenia pada kelompok perlakuan
didapatkan nilai p=0,005 (p<0,05) yang
berarti ada pengaruh pelatihan keterampilan
sosial : bermain peran terhadap peningkatan
kemampuan bersosialisasi pada pasien
skizofrenia pada kelompok perlakuan,
sedangkan kemampuan bersosialisasi pre
test dengan post test pada kelompok kontrol
didapatkan nilai p=0,317 (p>0,05) yang
berarti tidak ada perbedaan nilai pre test dan
post test pada kelompok kontrol, sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
pelatihan keterampilan sosial: bermain peran
terhadap peningkatan kemampuan
bersosialisasi pada pasien skizofrenia. Hasil
penelitian ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Hadisepoetro (2013) bahwa
pelatihan keterampilan sosial berpengaruh
terhadap peningkatan keterampilan sosial
pada klien isolasi sosial di Desa Paringan
Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo
(p=0,028), sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Wakhid (2013) menunjukkan
bahwa latihan keterampilan sosial dapat
meningkatan kemampuan sosialisasi pada
klien isolasi sosial dan harga diri rendah
(p=0,000).
Penelitian Klerman menggambarkan
bahwa timbulnya sosial functioning
impairment diakibatkan oleh tingkah laku
simptomatik yang dialami oleh penderita
skozofrenia tersebut. Weissman dan
Bothwell pada tahun 1976 melanjutkan
penelitian tersebut dan menambahkan bahwa
semakin buruk simptomatik psikiatriknya
akan semakin buruk juga sosial functioning
(Purba, 2009). Sedangkan menurut
Direktorat Kesehatan Jiwa (1997, dalam
Purba, 2009) menyatakan bahwa kadang-
kadang pasien skizofrenia tidak dapat
diterima dengan baik oleh lingkungan
keluarga dan masyarakat yang dapat
menimbulkan dan memperparah
ketidakmampuan bersosialisasi yang diderita
oleh penderita skizofrenia.
Pelatihan keterampilan sosial diberikan
kepada individu yang mengalami kelemahan
dalam beberapa keterampilan sosial.
Pelatihan keterampilan sosial merupakan
salah satu teknik modifikasi perilaku yang
mulai banyak digunakan, terutama untuk
membantu penderita kesulitan bergaul.
Salah satu teknik yang dapat digunakan
dalam pelatihan keterampilan sosial yaitu
dengan bermain peran yang dilakukan
dengan cara mendengarkan petunjuk yang
disajikan model atau terapis terlebih dahulu
dilanjutkan dengan latihan dari
pasien.Setelah itu biasanya dilanjutkan
dengan diskusi mengenai aktivitas yang
dimodelkan. Latihan verbalisasi sangat
diperlukan di sini melalui diskusi mengenai
kejadian-kejadian yang sering membuat
peserta berada dalam kesulitan.Bermain
peran bagi pelatih, latihan ini dapat
dilakukan dengan cara menyajikan situasi
atau model dan menanyakan pada klien
mengenai apa yang akan dilakukannya
apabila berada dalam situasi seperti itu.
Setelah diskusi selesai, latihan bermain
peran dapat dilakukan (Ramdhani, 2012).
Menurut Sadock (2013), manfaat dan tujuan
dari pelatihan keterampilan sosial meliputi:
meningkatkan keterampilan sosial,
memperoleh atau mempelajari kembali
keterampilan sosial atau percakapan dan
mengurangi ansietas sosial, terutama pada
pasien dengan kerusakan interaksi sosial.
Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk
mengambangkan penelitian ini dengan
menambah sampel dan vaiabel yang diteliti.
Kepada petugas kesehatan khususnya
perawat agar mengaplikasikan penelitian ini
dalam meningkatkan perilaku klien.
224
SIMPULAN
Kemampuan bersosialisasi pada pasien
skizofrenia sebelum diberikan pelatihan
keterampilan sosial : bermain peran pada
kelompok perlakuan delapan orang (100%)
dikatagorikan belum mampu dan juga pada
kelompok kontrol seluruhnya atau sebanyak
delapan orang (100%) dikatagorikan belum
mampu. Kemampuan bersosialisasi pada
pasien skizofrenia sesudah diberikan
pelatihan keterampilan sosial: bermain peran
pada kelompok perlakuan seluruhnya atau
sebanyak delapan orang (100%)
dikatagorikan mampu dan juga pada
kelompok kontrol sebanyak tujuh orang
(88%) dikatagorikan belum mampu dan
sebanyak satu orang (12%) dikatagorikan
mampu sebagian. Ada pengaruh pelatihan
keterampilan sosial : bermain peran terhadap
peningkatan kemampuan bersosialisasi pada
pasien skizofrenia pada kelompok perlakuan
(p=0,005) dan tidak ada perbedaan nilai pre
test dan post test pada kelompok kontrol
(p=0,317).
DAFTAR RUJUKAN Direja, A. H. S., 2011. Buku Ajar Asuhan
Keperawatan Jiwa, Yogyakarta: Nuha Medika.
Hadisepoetro, R., 2013. Pengaruh Terapi
Sosial Skill Training (SST) Terhadap Peningkatan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Di Desa Paringan Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. Available: (online). http://old.fk.ub.ac.id/artikel/id/filedownload/keperawatan, (Diunduh tanggal: 28 November 2013).
Hawari, D., 2009.Pendekatan Holistik Pada
Gangguan Jiwa Skizofrenia, Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Purba, J. E., 2009.Pengaruh Intervensi
Rehabilitasi Terhadap Ketidakmampuan Bersosialisasi Pada Penderita Skizofrenia Yang Dirawat Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.Skripsi. Medan: USU.
Ramdhani, N., 2012. Pelatihan Ketrampilan
Sosial Untuk Terapi Kesulitan Bergaul. Available: (online),
http://neila.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2012/02/ketrampilan-sosial.pdf,(Diunduh tanggal: 28 November 2013).
Sucipta, W., 2009.Dalam Bayangan
Gangguan Jiwa. Available: (online), http://saradbali.com/edisi106/lipsus1.htm,(Diunduh tanggal: 17 Januari 2014).
Sadock, B.J., 2013, Sinopsis Psikiatri,
Jakarta: EGC. Videbeck, S. L., 2008.Buku Ajar
Keperawatan Jiwa, Jakarta: EGC. Wakhid, A., 2013. Penerapan Terapi Latihan
Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan Pendekatan Model Hubungan Interpresonal Peplau Di RS DR Marzoeki Mahdi Bogor. Available: (online), http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/view/911/965,(Diunduh tanggal: 14 Februari 2014).
225
EFIKASI DIRI PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
I Gusti Ketut GedeNgurah
Made Sukmayanti
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Email: [email protected]
Abstrack : Self efficacy in patient with type 2 diabetes mellitus. This study aimed to
identify descriptive of self efficacy in patient with type 2 diabetes mellitus. This
research is descriptive with cross-sectional approach on April to May with 57
respondentswas selected by using Purposive Sampling and collected by using
questionnaires from DMSES (The Diabetes Management Self-Efficacy Scale). The
result of this study are 35 respondents (61,40%) have good self efficacy, 19
respondents (33,33%) have enough self efficacy, and 3 respondents (5,27%) have bad
self efficacy. This result showed us most respondents has good self efficacy.
Abstrak : Efikasi diri pada pasien Diabetes Melitus tipe 2. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui gambaran efikasi diri pada pasien diabetes mellitus tipe 2.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional pada bulan Aprl
sampai dengan Mei sebanyak 57 responden yang dipilih dengan menggunakan
kuesioner DMSES (The Diabetes Management Self-Efficacy Scale). Dari penelitian
ini terdapat adalah 35 responden (61,40 %) memiliki efikasi diri yang baik, 19
responden (33,33%) memiliki efikasi yang cukup , dan 3 responden (5,27%) efikasi
diri yang buruk. Dengan demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar responden memiliki efikasi diri yang baik.
Kata kunci : efikasi diri, pasien, diabetes melitus tipe 2
Diabetes melitus adalah suatu kumpulan
gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan
kadar glukosa darah akibat penurunan
sekresi insulin yang progresif (Soegondo,
2013). Diabetes melitus dilatarbelakangi
oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Manifestasi
klinis:1.Diabetes mellitus dikaitkan dengan
konsekuensi metabolik insulin, meliputi
peningkatan pengeluaran urin (poliuria),
timbul rasa haus (polidipsia), dan rasa lapar
yang semakin meningkat (polifagia) (Price
& Wilson, 2006).
Secara klinis terdapat 4 tipe diabetes,
yaitu : Tipe 1 (diabetes melitus tergantung
insulin/Insulin Dependent Diabetes Melitus,
Tipe 2 (diabetes melitus tidak tergantung
insulin) insulin/. 2.Non-Insulin Diabetes
Melitus, 3. Diabetes melitus yang
berhubungan dengan keadaan atau sindrom
lainnya, dan 4. Diabetes melitus gestasional
(Gestational Diabetes Melitus). Untuk
diabetes tipe 2, umumnya terjadi pada orang
dewasa (kadang-kadang dapat terjadi pada
anak-anak dan remaja. Umumnya terjadi
secara perlahan-lahan dan tanpa gejala serta
secara bertahap akan bertambah berat dan
kurang lebih 90-95 % penderita mengalami
diabetes melitus tipe 2 (Smeltzer &
Bare,2002)
Diantara penyakit degeneratif, diabetes
adalah salah satu diantara penyakit tidak
menular yang akan meningkat jumlahnya di
masa datang. Diabetes merupakan salah satu
ancaman utama bagi kesehatan umat
manusia pada abad 21(Suyono, 2010). WHO
memprediksi adanya kecenderungan
peningkatan jumlah penyandang diabetes
melitus yang cukup besar pada tahun-tahun
mendatang (PERKENI, 2011).
Diabetes melitus telah menjadi salah
satu ancaman kesehatan bagi umat manusia.
Menurut data dari International Diabetes
226
Federation pada tahun 2012 diperkirakan
sebanyak 371 juta orang di dunia menderita
diabetes melitus. Indonesia menduduki
peringkat ke-7 terbanyak kasus diabetes
melitus dengan perkiraan jumlah sekitar 7,6
juta kasus (Sindonews, 2013). Prevalensi
diabetes melitus di Indonesia sebanyak 1,1
% (Riskesdas, 2007). Berdasarkan pola
pertambahan penduduk seperti saat ini,
diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada
sejumlah 178 juta penduduk berusia 20
tahun dan dengan asumsi prevalensi diabetes
melitus sebesar 4,6 % akan didapatkan 8,2
juta pasien diabetes (Soegondo, 2013).
Sementara itu, Provinsi Bali memiliki
prevalensi diabetes melitus sebanyak 3%
(Riskesdas, 2007). Pada tahun 2011,
penderita diabetes melitus di Bali tercatat
sekitar 4023 orang dengan rincian diabetes
melitus tergantung insulin 804 orang,
Diabetes melitus tidak tergantung insulin
795 orang, diabetes melitus yang
diakibatkan malnutrisi 103 orang, diabetes
melitus yang tidak diketahui lainnya 153
orang, dan diabetes melitusyang tidak
terdeteksi 2163 orang (Bali Post, 2012).
Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan di Puskesmas I Denpasar Selatan
tercatat jumlah penderita diabetes melitus
pada tahun 2012 sebanyak 468 kasus dengan
proporsi kasus diabetes melitus yang rawat
jalan mengalami peningkatan dari tahun
2008-2012. Di Puskesmas I Denpasar
Selatan proporsi kasus diabetes melitus
tahun 2008 sebesar 0,3 % menjadi 2,1 % di
tahun 2012 (Trisnawati, 2013).
Meningkatnya prevalensi diabetes
melitus akibat peningkatan kemakmuran di
negara bersangkutan. Peningkatan
pendapatan per kapita dan perubahan gaya
hidup terutama di kota-kota besar,
menyebabkan peningkatan prevalensi
penyakit degeneratif (Suyono, 2010). Maka
dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang
akan datang kekerapan diabetes melitus tipe
2 di Indonesia akan meningkat dengan
drastis (Soegondo, 2013).
Diabetes melitus jika tidak dikelola
dengan baik akan dapat mengakibatkan
terjadinya berbagai komplikasi secara fisik,
yaitu: akut dan kronis. Komplikasi akut,
meliputi: hipoglikemia, hiperglikemia,
hiperglikemik non-ketotik. Sedangkan
komplikasi kronis dibagi menjadi 2, yaitu :
mikrovaskuler dan makrovaskuler
(Baradero, 2009). Diabetes melitus
merupakan penyakit kronis, selain
menyebabkan komplikasi secara fisik, juga
menimbulkan dampak psikologis bagi
penderitanya. Adapun dampak psikologis
yang timbul adalah kecemasan, frustasi,
depresi, ketakutan, ketegangan,
ketergantungan, stres, dan lain-lain (Potter
& Perry, 2005).
Menurut Suyono (2010), mengingat
jumlah penderita diabetes yang terus
meningkat dan besarnya biaya perawatan
pasien diabetes yang terutama disebabkan
oleh karena komplikasinya, maka upaya
yang paling baik adalah melakukan
pencegahan. Menurut WHO (1994 dalam
Suyono, 2010), upaya pencegahan dapat
dilakukan dengan tiga tahap yaitu
pencegahan primer, sekunder dan tersier.
Pencegahan primer merupakan semua
aktivitas yang ditujukan untuk mencegah
timbulnya hiperglikemia pada populasi
umum. Pencegahan sekunder, yaitu upaya
mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita
diabetes melitus dengan pemberian
pengobatan dan tindakan deteksi dini
penyulit. Pencegahan tersier adalah semua
upaya untuk mencegah komplikasi atau
kecacatan melalui penyuluhan dan
pendidikan kesehatan.
Upaya pencegahan tentu saja diperlukan
suatu pemantauan yang berkesinambungan.
Puskesmas merupakan ujung tombak
pelayanan kesehatan tingkat pertama,
mempunyai peranan penting dalam
menunjang program pencegahan primer
diabetes melitus. Tidak hanya melalui
puskesmas saja, namun diperlukan
keikutsertaan yang mantap dari para
penyandang diabetes melitus serta kerjasama
yang erat antara pasien dan petugas
kesehatan. Perawat sebagai edukator sangat
berperan untuk memberikaninformasi yang
tepat pada penderita diabetes melitus tentang
227
penyakit, pencegahan, komplikasi,
pengobatan, dan pengelolaan diabetes
melitus termasuk didalamnya memberi
motivasi dan meningkatkan efikasi diri
(Soegondo, 2013).
Keberhasilan pengelolaan diabetes
melitus tergantung pada informasi tentang
diabetes melitus tipe 2, motivasi, dan efikasi
diri pasien untuk melakukan perawatan diri
yang dirancang untuk mengontrol gejala
psikologis maupun komplikasi (Wu et al.,
2006 dalam Ariani, 2011). Perawat wajib
memberikan informasi yang benar mengenai
diabetes melitus dan mendampingi pasien
menuju perubahan prilaku. Selain itu, peran
perawat tentu saja diperlukan untuk
meningkatkan motivasi pasien secara
internal berkaitan dengan efikasi diri pada
pasien diabetes melitus tipe 2 (Butler, 2002
dalam Ariani, 2011).
Efikasi diri adalah adalah sebuah teori
kognitif yang dikembangkan Albert
Bandura. Efikasi diri didefinisikan sebagai
keyakinan individu akan kemampuannya
untuk mengatur dan melakukan tugas-tugas
tertentu yang dibutuhkan untuk
mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan.
Efikasi diri membantu seseorang dalam
menentukan pilihan, usaha untuk maju, serta
kegigihan dan ketekunan dalam
mempertahankan tugas-tugas yang
mencakup kehidupan mereka (Bandura,
1997). Efikasi diri mendorong proses
kontrol diri untuk mempertahankan prilaku
yang dibutuhkan dalam mengelola
perawatan diri pada pasien. Efikasi diri pada
pasien diabetes melitus tipe 2 berfokus pada
keyakinan pasien untuk mampu melakukan
prilaku yang dapat mendukung perbaikan
penyakitnya dan meningkatkan manajemen
perawatan dirinya seperti diet, latihan fisik,
medikasi, kontrol glukosa dan perawatan
diabetes melitus secara umum. Dampak
psikologis yang sering muncul pada pasien
dengan penyakit kronis termasuk diabetes
melitus dapat menimbulkan masalah pada
efikasi diri pasien (Wu et al., 2006 dalam
Ariani, 2011).
Studi pendahuluan yang dilakukan pada
bulan Desember 2013 jumlah populasi
pasien diabetes melitus tipe 2 adalah 102
orang. Diperkirakan akan terus terjadi
peningkatan angka diabetes melitus tipe 2.
Dari hasil wawancara pada pasien yang
berkunjung ke Puskesmas I Denpasar
Selatan, didapatkan keluhan psikologis yang
banyak dirasakan pasien, yaitu pasien
mengeluh cemas atas penyembuhan
penyakit, pasien mengatakan mengalami
ketergantungan perawatan diri, dan pasien
mengatakan ketakutan dengan dirinya
(Puskesmas I Denpasar Selatan Tahun
2013).
Dengan adanya peningkatan kasus
diabetes melitus tipe 2 dan munculnya
keluhan psikologis seperti uraian diatas,
maka peningkatan keyakinan diri dan
pemahaman pasien perlu ditingkatkan.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas,
maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian gambaran efikasi diri pada pasien
diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas I
Denpasar Selatan mengingat masih
tingginya kasus diabetes melitus tipe 2 yang
terjadi.
Berdasarkan latar belakang diatas dapat
dirumuskan tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui Gambaran Efikasi Diri
pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di
Puskesmas I Denpasar Selatan Bali.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah rancangan penelitian
desktiptif, yaitu suatu metode penelitian
yang dilakukan dengan tujuan untuk
mendeskripsikan (memaparkan) peristiwa-
peristiwa penting yang terjadi pada masa
kini. Penelitian ini menggunakan
pendekatan cross-sectional, yaitu jenis
penelitian yang menekankan waktu
pengukuran/ observasi data variabel
independen dan dependen hanya satu kali
pada satu saat.
Penelitian ini telah dilakukan di
Puskesmas I Denpasar Selatan. Adapun
waktu dari penelitian ini adalah bulan
228
April - Mei 2014. Populasi dalam penelitian
adalah subjek yang memenuhi kriteria yang
telah ditetapkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik responden berdasarkan
usia:
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan
Kelompok Usia
No.
Usia Frekuensi
(N)
Persentase
(%)
1.
2.
3.
36-45 tahun
46-55 tahun
56-65 tahun
9
26
22
15,79
45,61
38,60
Jumlah 57 100,00
Berdasarkan tabel 1, responden
terbanyak adalah usia 46-55 tahunsebanyak
26 responden (45,61%).
Karakteristik responden berdasarkan
jenis kelamin:
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan
Jenis Kelamin
No. Jenis
Kelamin
Frekuensi
(N)
Persentase
(%)
1.
2.
Laki-laki
Perempuan
21
36
36,84
63,16
Jumlah 57 100,00
Berdasarkan tabel 2 responden yang
paling banyak adalah perempuan sebanyak
36 responden (63,16%).
Karakteristik responden berdasarkan
pendidikan:
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan
Pendidikan
No Pendidikan Frekuensi
(N)
Persentase
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
Diploma/Pergu
ruan Tinggi
1
17
10
21
8
1,75
29,82
17,54
36,84
14,04
Jumlah 57 100,00
Berdasarkan tabel 3 diatas, responden
yang paling banyak adalah pendidikan SMA
sebanyak 21 responden (36,84%).
Karakteristik responden berdasarkan
pekerjaan:
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan
Pekerjaan
No. Pekerjaan Frekuensi
(N)
Persentase
(%)
1.
2.
3.
4.
Tidak
Bekerja
Swasta
PNS
Wiraswasta
26
20
4
7
45,61
35,09
7,02
12,28
Jumlah 57 100,00
Berdasarkan tabel 4 diatas, responden
yang paling adalah tidak bekerja sebanyak
26 responden (45,61%)
Karakteristik responden berdasarkan
lama menderita DM tipe 2: responden
berdasarkan lama menderita
Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan
Lama Menderita DM tipe 2
No. Lama
menderita
DM tipe 2
Frekuensi
(N)
Persentase
(%)
1.
2.
< 5 tahun
≥ 5 tahun 39
18
68,42
31,58
Jumlah 57 100,00
Berdasarkan table 5 diatas, dapat dilihat
bahwa lama responden yang paling banyak
adalah < 5 tahun sebanyak 39 responden
(68,42%).
Hasil pengamatan obyek penelitian
berdasarkan variabel penelitian Efikasi diri
berdasarkan karakteristik pasien DM tipe 2.
Efikasi diri pasien DM tipe 2
berdasarkan karakteristik usia responden
dapat dilihat pada tabel 6.
229
Tabel 6. Efikasi Diri Berdasarkan
Karakteristik Usia Responden
Karateristik
Responden
Berdasarkan
Usia (Tahun)
Efikasi Diri pada pasien DM
tipe 2 Total
Baik Cukup Kurang
n % n % n % n %
36-45 3 5,26 6 10,54 0 0.00 9 15,80
45-55 14 26,32 9 15,79 3 5,26 26 44,38
56-65 17 29,82 5 7,02 0 0,00 22 36,85
Jumlah 34 61,40 20 33,34 3 5,26 57 100,00
Berdasarkan tabel 6 di atas, responden
yang paling banyak memiliki efikasi diri
baik berada pada rentang umur 56-65 tahun
yaitu sebanyak 17 responden (29,82%).
Efikasi diri berdasarkan karakteristik
jenis kelamin responden dapat dilihat pada
tabel 7.
Tabel 7.Gambaran Efikasi Diri Karakteristik
Jenis Kelamin Responden
Karakteristik
responden
berdasarkan
jenis kelamin
Efikasi diri pada pasien DM
tipe 2 Total
Baik Cukup Kurang
n % n % n % n %
Laki-laki 13 22,81 5 8,77 3 5,26 21 36,84
Perempuan 22 38,60 14 24,56 0 0,00 36 63,16
Jumlah 35 61,41 19 33,33 3 5,26 57 100,00
Berdasarkan tabel 7 di atas, responden
yang paling banyak memiliki efikasi diri
baik berada pada jenis kelamin perempuan
yaitu sebanyak 22 responden (38,60%).
Efikasi diri berdasarkan karakteristik
pendidikan responden dapat dilihat pada
tabel. 8
Tabel 8. Gambaran Efikasi Diri berdasarkan
Karakteristik Pendidikan Responden
Karateristik
Responden
Berdasarkan
Pendidikan
Efikasi diri pada pasien DM
tipe 2 Total
Baik Cukup Kurang
n % n % n % n %
Tidak
sekolah 0 0,00 0 0,00 1 1,75 1 1,75
SD 1 1,75 14 24,56 2 3,51 17 29,82
SMP 7 12,28 3 5,26 0 0,00 10 17,54
SMA 19 33,33 2 3,51 0 0,00 21 36,84
Diploma/PT 8 14,04 0 0,00 0 0,00 8 14,04
Jumlah 35 61,40 19 33,33 3 5,26 57 100,00
Berdasarkan tabel 8 di atas, responden
yang paling banyak memiliki efikasi diri
baik berada pada tingkat pendidikan SMA
yaitu sebanyak 19 responden (33,33%).
Efikasi diri berdasarkan karakteristik
pekerjaan responden dapat dilihat pada tabel
9
Tabel 9. Gambaran Efikasi Diri Berdasarkan
Karakteristik Pekerjaan Responden
Karakteristik
Responden
Berdasarkan
Pekerjaan
Efikasi diri pada pasien DM
tipe 2 Total
Baik Cukup Kurang
n % n % n % n %
Tidak bekerja 13 22,81 12 21,52 1 1,75 26 45,61
PNS 4 7,02 0 0,00 0 0,00 4 7,02
Swasta 14 24,56 5 8,77 1 1,75 20 35,09
Wiraswasta 4 7,02 2 3,51 1 1,75 7 12,28
Jumlah 35 64,01 19 33,80 3 5,25 57 100,00
Berdasarkan tabel 9 di atas, responden
yang paling banyak memiliki efikasi diri
baik adalah pekerja swasta yaitu sebanyak
14 responden (24,56%).
Efikasi diri berdasarkan karakteristik
lama menderita DM tipe 2
Dari 57 responden yang diteliti di
Puskesmas I Denpasar Selatan, efikasi diri
pasien DM tipe 2 berdasarkan karakteristik
lama menderita DM tipe 2 responden dapat
dilihat pada tabel 10
Tabel 10. Gambaran Efikasi Diri Pada
Pasien DM Tipe 2 Berdasarkan
Karakteristik Lama Menderita
DM Tipe 2
Karakteristik
Responden
Berdasarkan
Pekerjaan
Efikasi diri pada pasien DM
tipe 2 Total
Baik Cukup Kurang
n % n % n % n %
< 5 tahun 17 29,82 19 33,33 3 5,26 39 68,42
≥ 5 tahun 18 31,58 0 0,00 0 0,00 18 31,58
Jumlah 35 61,40 10 33.33 3 5,26 57 100,00
Berdasarkan tabel 10 di atas, responden
yang paling banyak memiliki efikasi diri
baik berada pada lama menderita DM tipe 2
≥ 5 tahun yaitu sebanyak 18 responden
(31,58%).
Dari 57 responden yang diteliti di
Puskesmas I Denpasar Selatan, didapatkan
230
data skor efikasi diri terendah adalah 16 dan
skor tertinggi adalah 30 dengan rata-rata
skor adalah 23,12. Secara lebih rinci
gambaran skor efikasi diri pada pasien DM
tipe 2 dalam penelitian ini hasilnya disajikan
Hasil distribusi frekuensi kategori efikasi
diri pada pasien diabetes melitus tipe 2 di
Puskesmas I Denpasar Selatan dapat
dijelaskan seperti tabel 11.
Tabel 11. Gambaran Efikasi Diri pada
pasien Diabetes Melitus Tipe 2
No. Efikasi
Diri
Frekuen
si (N)
Presentase
(%)
1.
2.
3.
Baik
Cukup
Kurang
35
19
3
61,40
33,33
5,27
Jumlah 57 100,00
Berdasarkan tabel 11 , peneliti
mendapatkan efikasi diri yang dimiliki
pasien Diabetes Melitus tipe 2 sebagian
besar yakni 35 responden (61,40%)
memiliki efikasi diri yang baik.
Dalam penelitian ini yang menjadi
sampel adalah pasien Diabetes Melitus tipe
2 yang melakukan rawat jalan di Puskesmas
I Denpasar Selatan. Jumlah total respoden
adalah sebanyak 57 orang. Dilihat dari
tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui
karakteristik responden pasien Diabetes
Melitus tipe 2 dan gambaran efikasi diri
pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 di
Puskesmas I Denpasar Selatan dapat
diuraikan sebagai berikut :
Berdasarkan hasil penelitian dilihat dari
karakteristik usia yang terbanyak menderita
Diabetes Melitus tipe 2 dari 57 responden
adalah usia 46-55 tahun dengan jumlah
responden 26 responden (45,61%). Hal ini
sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh
Smeltzer& Bare, (2002) bahwa biasanya
diabetes mellitus terjadi pada usia diatas 30
tahun dan banyak dialami oleh dewasa
diatas 40 tahun karena resistensi insulin
pada penderita diabetes mellitus meningkat
pada usia 40-60 tahun. Usia sangat erat
kaitannya dengan kenaikan kadar gula
dalam darah, sehingga semakin meningkat
usia maka prevalensi DM dan gangguan
toleransi glukosa semakin tinggi. Proses
menua yang berlangsung setelah usia 30
tahun mengakibatkan perubahan anatomis,
fisiologis dan biokimia. Menurut WHO
setelah usia 30 tahun, maka kadar glukosa
darah akan naik 5,6-13 mg/dL pada 2 jam
setelah makan (Sudoyo, 2006). Ini berbeda
dengan hasil penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh YesiAriani (2011) tentang
hubungan motivasi dengan efikasi diri pada
pasien diabetes melitus tipe 2 menyatakan
responden terbanyak dengan umur 59,32
tahun dengan median 58 tahun dan modus
58 tahun.
Sesuai dengan hasil penelitian di atas
dapat dikatakan bahwa umur merupakan
salah satu faktor yang mempertinggi risiko
terjadinya DM tipe 2 ditambah lagi manusia
akan mengalami perubahan fisiologis tubuh
setelah umur 40 tahun, maka peluang
seseorang yang telah mengalami proses
penuaan untuk terkena DM tipe 2 akan
meningkat apalagi dibarengi dengan pola
hidup yang tidak baik.
Berdasarkan hasil penelitian dilihat dari
karakteristik jenis kelamin didapatkan data
bahwa yang terbanyak menderita diabetes
melitus tipe 2 dari 57 responden adalah jenis
kelamin perempuan yaitu 36 responden
(63,16%). Diabetes melitus merupakan salah
satu penyakit dengan angka kejadian
tertinggi di Indonesia dan tingginya angka
tersebut menjadikan Indonesia peringkat
keempat jumlah penderita DM terbanyak di
dunia setelah India, China, dan Amerika
Serikat (Suyono, 2006). Tingginya kejadian
DM tipe 2 pada perempuan dipengaruhi oleh
beberapa faktor risiko, seperti obesitas,
kurang aktivitas/latihan fisik, usia, dan
riwayat DM saat hamil Radi (2007 dalam
Ariani 2011). Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian YesiAriani (2011) mengenai
hubungan motivasi dengan efikasi diri pada
pasien Diabetes Melitus tipe 2, sebagian
besar responden (60%) berjenis kelamin
perempuan.
Dari data diatas dapat disimpulkan
bahwa perempuan berisiko lebih tinggi
mengalami diabetes melitus tipe 2 daripada
231
laki-laki. Ini dikarenakan beberapa faktor
risiko diatas lebih sering dialami wanita,
terlebih lagi pada wanita yang sulit untuk
mengatur gaya hidupnya.
Berdasarkan hasil penelitian dilihat dari
karakteristik pendidikan terbanyak
menderita Diabetes Melitus tipe 2 dari 57
responden adalah pendidikan SMA yaitu
sebanyak 21 responden (36,84%). Menurut
Notoatmodjo (2005), tingkat pendidikan
merupakan indikator bahwa seseorang telah
menempuh jenjang pendidikan formal di
bidang tertentu, namun bukan indikator
bahwa seseorang telah menguasai beberapa
bidang ilmu. Seseorang dengan pendidikan
yang baik, lebih matang terhadap proses
perubahan pada dirinya, sehingga lebih
mudah menerima pengaruh luar yang positif,
objektif dan terbuka terhadap berbagai
informasi termasuk informasi tentang
kesehatan. Hal ini sesuai dengan penelitian
YesiAriani (2011) yang menyatakan
sebagian besar responden di RSUP H. Adam
Malik, Medan berada pada kategori tinggi,
yaitu SMA dan perguruan tinggi/akademik
(68,2%).
Dari data diatas dapat disimpulkan
bahwa penderita DM yang memiliki
pendidikan tinggi lebih mudah untuk
mengakses berbagai informasi mengenai
penyakit dan penatalaksanaannya untuk
mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut
yang dapat disebabkan oleh DM tipe 2.
Berdasarkan data tabel karakteristik
pekerjaan, peneliti mendapatkan bahwa
yang terbanyak menderita Diabetes Melitus
tipe 2 dari 57 responden adalah tidak bekerja
sebanyak 26 responden (45,61%). Salah satu
faktor penyebab terjadinya DM tipe 2 adalah
stres. Tingkat gula darah tergantung pada
kegiatan hormon yang dikeluarkan oleh
kelenjar adrenal, yaitu adrenalin dan
kortikosteroid. Kedua hormon tersebut
mengatur kebutuhan ekstra energi tubuh
dalam menghadapi keadaan darurat.
Adrenalin akan memacu kenaikan
kebutuhan gula darah dan kortikosteroid
akan menurunkannya kembali. Adrenalin
yang terus menerus dipacu akan
mengakibatkan insulin kewalahan mengatur
kadar gula darah yang ideal dan naik secara
drastis (Vitahealth, 2005). Kondisi pekerjaan
merupakan salah satu stressor bagi penderita
DM tipe 2, yang dapat menurunkan
kemampuan seseorang untuk menyelesaikan
masalah. Kondisi ini kemungkinan dapat
memperberat kondisi pasien DM tipe 2 yang
berdampak pada penurunan efikasi diri dan
manajemen perawatan diri. Hasil penelitian
ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh YesiAriani (2011) yang menyatakan
bahwa sebagian besar responden di RSUP
H. Adam Malik, Medan adalah tidak
bekerja, baik tidak bekerja dalam arti
sesungguhnya atau pensiun.
Dari data diatas dapat disimpulkan
bahwa seseorang yang tidak memiliki
pekerjaan berisiko terkena DM tipe 2.
Seseorang yang bekerja dengan yang tidak
bekerja tentu akan memiliki tingkat stres dan
penyelesaian masalah yang berbeda.
Terlebih lagi tuntutan ekonomi yang
semakin meningkat setiap harinya akan
menuntut seseorang untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hal ini akan memicu
stress, terlebih lagi tidak memiliki
pekerjaan, sehingga secara tidak langsung
stres menjadi penyebab diabetes mellitus
tipe 2, ditambah lagi dengan pola hidup
yang tidak teratur setiap harinya.
Berdasarkan data tabel karakteristik
lama menderita DM tipe 2, peneliti
mendapatkan bahwa yang lama menderita
DM tipe 2 terbanyak adalah < 5 tahun
sebanyak 39 responden (68,42%). Diabetes
Melitus tipe 2 merupakan penyakit yang
baru terdiagnosa saat telah timbulnya
komplikasi yang terjadi selama bertahun-
tahun. Akibat intoleransi glukosa yang
berlangsung lambat (selama bertahun-tahun)
dan progresif, maka awitan diabetes tipe 2
dapat berjalan tanpa deteksi (Smeltzer&
Bare, 2002). Ini berbeda dengan hasil
penelitian YesiAriani (2011) yang
menyatakan bahwa lama pasien terdiagnosa
DM tipe 2 yang didapatkan dari responden
rata-rata telah menderita DM tipe 2 selama 6
tahun.
Dari data diatas dapat disimpulkan
bahwa DM tipe 2 akan terdeteksi tanpa
232
disengaja setelah bertahun-tahun, dan
biasanya akan dibarengi oleh timbulnya
komplikasi. DM tipe 2 biasanya disebabkan
oleh pola hidup yang tidak teratur. Seperti
yang kita ketahui masyarakat yang memiliki
pola hidup yang tidak sehat dari segi
makanan yang lebih menyukai makanan
cepat saji dan kurangnya aktivitas fisik
tentunya akan meningkatkan angka kejadian
DM tipe 2 yang baru akan terdeteksi setelah
bertahun-tahun.
Berdasarkan hasil penelitian efikasi diri
pada pasien DM tipe 2 berdasarkan
karakteristik usia yang memiliki efikasi diri
baik adalah pada rentang umur 56-65 tahun
yaitu sebanyak 17 responden (29,82%). Usia
> 55 tahun dapat dikatakan memiliki efikasi
diri yang baiik, semakin matang akan
meningkatkan efikasi diri seseorang. Ini
didukung oleh teori Potter dan Perry (2005),
usia 40-65 tahun disebut juga tahap
keberhasilan, yaitu waktu untuk pengaruh
maksimal, membimbing diri sendiri dan
menilai diri sendiri, sehingga pasien
memiliki efikasi diri yang baik. Ini didukung
oleh enelitianWantiyah, Sitorus dan Gayatri
2010 dalam Ariani, 2011) mengindikasikan
bahwa pasien yang lebih tua lebih yakin
akan kemampuannya untuk mengelola dan
melakukan perawatan penyakitnya.
Semakin bertambahnya usia seseorang
maka akan memulai untuk membimbing diri
sendiri dan menilai diri sendiri, serta lebih
fokus terhadap penerimaan penyakit yang
dialaminya sehingga pasien akan memiliki
efikasi diri yang baik.
Berdasarkan hasil penelitian, responden
yang paling banyak memiliki efikasi diri
baik berada pada jenis kelamin perempuan
yaitu sebanyak 22 responden (38,60%).
Hasil penelitian ini berbeda dengan
penelitian oleh Mystakidou et al., (2010
dalam Ariani, 2011) pada pasien kanker
yang menyimpulkan bahwa efikasi diri
dipengaruhi oleh komponen kecemasan,
usia, kondisi fisik dan jenis kelamin.
Berdasarkan penelitian tersebut, laki-laki
memiliki efikasi diri lebih tinggi
dibandingkan perempuan.
Dilihat dari jenis kelamin, perempuan
memiliki efikasi diri yang lebih baik dari
laki-laki. Perempuan dianggap lebih patuh
dalam menjalani pengobatan dan perawatan
diri dibandingkan laki-laki. Selain itu
perempuan memiliki mekanisme koping
yang lebih baik daripada laki-laki dalam
menghadapi sebuah masalah.
Berdasarkan hasil penelitian, responden
yang paling banyak memiliki efikasi diri
baik, yaitu SMA sebanyak 19 responden
(33,33%). Menurut Notoatmodjo (2005),
tingkat pendidikan merupakan indikator
bahwa seseorang telah menempuh jenjang
pendidikan formal di bidang tertentu, namun
bukan indikator bahwa seseorang telah
menguasai beberapa bidang ilmu. Seseorang
dengan pendidikan yang baik, lebih matang
terhadap proses perubahan pada dirinya,
sehingga lebih mudah menerima pengaruh
luar yang positif, objektif dan terbuka
terhadap berbagai informasi termasuk
informasi tentang kesehatan. Menurut Wu et
al. (2006 dalam Ariani, 2011), juga
mengatakan bahwa pasien dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi dilaporkan
memiliki efikasi diri dan prilaku perawatan
diri yang baik.
Pasien dengan tingkat pendidikan yang
lebih tinggi memiliki efikasi diri dan prilaku
perawatan diri yang baik. Namun,
pengalaman peneliti mendapatkan bahwa
beberapa responden dengan pendidikan
tinggi mengerti tentang penyakit dan
penatalaksanaannya namun belum bisa
melaksakan dengan benar.
Berdasarkan hasil penelitian, responden
yang paling banyak memiliki efikasi diri
baik adalah pekerja swasta yaitu sebanyak
14 responden (24,56%). Pekerjaan juga
dapat mempengaruhi tingkat kesehatan klien
dengan cara meningkatkan risiko terjadinya
penyakit dan mempengaruhi cara bagaimana
atau dimana klien masuk ke dalam sistem
pelayanan kesehatan sehingga seseorang
yang bekerja memiliki kepercayaan diri
yang lebih tinggi untuk mengatasi
masalahnya (Potter & Perry, 2005). Hal ini
didukung oleh penelitian Lau-Walker (2007
dalam Wantiyah, Sitorus&Gayatri, 2010
233
dalam Ariani, 2011) menunjukkan bahwa
pekerjaan secara signifikan sebagai
prediktorefikasi diri secara umum, atau
dengan kata lain seseorang yang bekerja
memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi
untuk mengatasi masalahnya.
Dapat disimpulkan bahwa pekerjaan
seseorang dapat meningkatkan efikasi diri
pada pasien DM tipe 2.
Berdasarkan hasil penelitian, responden
yang paling banyak memiliki efikasi diri
baik berada pada lama menderita DM tipe 2
≥ 5 tahun yaitu sebanyak 18 responden
(31,58%). Sepanjang waktu seiring dengan
lamanya penyakit yang dialami, pasien dapat
belajar bagaimana seharusnya melakukan
pengelolaan penyakitnya. Pengalaman
langsung pasien merupakan sumber utama
terbentuknya efikasi diri (Bandura, 1997).
Hal ini didukung oleh penelitian Wu et al.
(2006 dalam Ariani, 2011), menemukan
bahwa pasien yang telah menderita diabetes
melitus ≥ 11 tahun memiliki efikasi diri
yang baik daripada pasien yang menderita
diabetes melitus<10 tahun. Hal ini
disebabkan karena pasien telah
berpengalaman mengelola penyakitnya dan
memiliki koping yang baik.
Semakin lama seseorang terdiagnosa
penyakit, maka semakin baik mekanisme
koping dan banyak pengalaman yang
dimiliki dalam menghadapi penyakitnya
sehingga akan memiliki efikasi diri yang
jauh lebih baik.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
sebagian besar responden Diabetes Melitus
tipe 2 di Puskesmas I Denpasar Selatan
memiliki efikasi diri yang baik yaitu 35
responden (61,40%). Efikasi diri
berhubungan dengan situasi yang spesifik,
yang tidak berlaku untuk konsep-konsep
terkait seperti harga diri, kepercayaan diri
dan locus of control (Maibach & Murphy,
1995 dalam Shortridge-Bagget & Lens,
2002). Dengan kata lain, untuk setiap
individu berhak menentukan, apakah dia
harus percaya diri atau tidak,tetapi bukan
apakah individu ini umumnya memiliki
ukuranefikasi diri yang tinggi atau rendah.
Dengan demikian keberhasilan bukanlah ciri
kepribadian, tetapi mudah untuk
mempengaruhi karakteristik yang ketat
situasi dan tugas yang terkait.Efikasi diri
mendorong proses kontrol diri untuk
mempertahankan prilaku yang dibutuhkan
dalam mengelola perawatan diri pada pasien
diabetes melitus. (Shortridge-Bagget &
Lens, 2002). Keberhasilan pengelolaan
diabetes melitus tergantung pada informasi
tentang diabetes melitus tipe 2, motivasi,
dan efikasi diri pasien untuk melakukan
perawatan diri yang dirancang untuk
mengontrol gejala psikologis maupun
komplikasi (Wu et al., 2006 dalam Ariani,
2011). Efikasi diri yang kurang tentu saja
akan menimbulkan dampak psikologis yang
akan muncul akibat penyakit DM tipe 2
karena seperti yang kita ketahui DM tipe 2
merupakan salah satu penyakit kronis.
Efikasi diri dapat ditingkatkan dengan
pemberian informasi mengenai diabetes
melitus tipe 2 itu sendiri, sehingga tingkat
pengetahuan pasein akan bertambah
mengenai manajemen kontrol diabetes. Hal
ini didukung oleh hasil penelitian
YesiAriani (2011) yang menyatakan bahwa
lebih dari setengah jumlah responden
(52,7%) memiliki efikasi diri yang baik
dalam perawatan DM tipe 2. Dari data diatas
dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
dari jumlah responden memiliki efikasi diri
yang baik sehingga dampak psikologis tidak
akan timbul pada pasien DM tipe 2 tersebut.
Hasil efikasi diri yang baik pada pasien
DM tipe 2 di Puskesmas I Denpasar Selatan
ini tidak lepas dari beberapa faktor
pendukungnya. Salah satu faktor pendukung
dari dalam puskesmas itu sendiri, yaitu
program atau kegiatan-kegiatan yang telah
dilakukan puskesmas dalam rangka
menurunkan angka kejadian DM dan
komplikasi baik fisik dan psikologis beserta
penatalaksanaannya. Seperti pengadaan
penyuluhan tentang diabetes melitus tipe 2
pada pasien baik secara lisan maupun
melalui media yang telah disediakan oleh
puskesmas.
234
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan, maka
didapat kesimpulan bahwa : Dari 57
responden yang terbanyak menderita
Diabetes Melitus tipe 2 usia 46-55 tahun
sebanyak 26 responden (45,61%), jenis
kelamin perempuan yaitu sebanyak 37
responden (64,91%), tingkat pendidikan
SMA sebanyak 20 responden (35,09%),
tidak bekerja sebanyak 25 responden
(45,61%), dan lama menderita DM tipe 2
adalah < 5 tahun sebanyak 40 responden
(70,18%). Dari 57 responden responden
didapatkan efikasi diri baik pada pasien DM
tipe 2 ada pada rentang usia 56-65 tahun
sebanyak 17 responden (29,82%), pasda
jenis kelamin perempuan sebanyak 22
responden (38,60%), pada tingkat
pendidikan SMA sebanyak 19 responden
(33,33%), dengan pekerjaan swasta
sebanyak 14 responden (24,56%), dan lama
menderita DM tipe 2 ≥ 5 tahun sebanyak 18
responden (31,58%). Efikasi diri pada
pasien Diabetes Melitus tipe 2 pada 57
responden didapatkan bahwa sebagian besar
efikasi diri pada pasien Diabetes Melitus
tipe 2 baik sebanyak 35 responden
(61,40%).
DAFTAR RUJUKAN Ariani, Y., 2011, Hubungan Motivasi
dengan Efikasi Diri Pasien DM Tipe 2 Dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSUP. H. Adam Malik Medan, (online), lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20282755 T%20 esi%20Ariani . pdf ,(18 Februari, 2014).
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia, 2008, Riskesdas 2007, (online), available on: www.k4health.org/sites/.../laporanNasional%20Riskesdas%202007.pdf , (20 februari 2014).
Bali Post, 2012, Penderita Diabetes di Bali Lampaui Rata-rata Nasional, (online). avilable: http://www.balipost.co.id., (18 Februari, 2014).
Bandura, A, 1997, Self-Efficacy:The Exercise of Control, New York: Springer Publishing Company.
Baradero, dkk. 2009. Klien dengan Gangguan Endokrin. Jakarta: EGC.
Lenz, E.R. &Shortridge-Bagget, L.,M.,2002, Self-efficacy in Nursing Research and Measurement Perspective, New York: Springer Publishing Company.
Notoatmodjo, S., 2005, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta: Rineka Cipta.
PERKENI, 2011, Konsesus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia, Jakarta: PB.PERKENI.
Potter. P. A. &Perry,A.G., (2005), Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktek, Jakarta: EGC
Sindonews, 2013, Jumlah penderita diabetes di Indonesia masuk 7 dunia, (online), available on: http://nasional.sindonews.com, (27 Februari).
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner andSuddarth. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC.
Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I., 2013, Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu, Jakarta: FKUI.
Suyono, S., 2010, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V, Jilid III, Jakarta: Interna Publishing.
Tomey, A.M. &Alligood, M.R. (2006). Nursing Theories and Their Work. 6th ed.USA: Mosby Elsevier
Trisnawati, S., Widarsa T., Suastika, K., 2013, Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe II Pasien Rawat Jalan Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Denpasar Selatan Tahun 2013, (online), available on: ojs.unud.ac.id/index.php/phpma/ article/download/6636/5069 (20 Februari, 2014).
235
TERAPI TERTAWA TERHADAP PASIEN GANGGUAN JIWA
DENGAN DEPRESI
I Gede Widjanegara
I GNP Putra
Putu Richa Paryl Mailand
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar
Email: wijanegara_ i_ [email protected]
Abstrac : The laugther therapi on patients with depresive disorder. The purpose of
research to determine the effec of laugther therapi on patients with depresive
disorder. Design research used is quasy experiment one-group - pre-post-test without
the control group. Research instrument used namely beck depression inventory (BDI )
to measure the depression.Value pre tests showed mostly respondents be in a state of
depression heavy ( 80 % ) and depression being ( 20 % ).While based on post test
almost all respondents are in good range score mild depression ( 90 % ) and 10 %
decreased value but are in range score depression heavy. The data analysis using test
wilcoxon test shown p = 0,006 ( less than 0,005 ) and value z = -2.739.The result
showed absence of difference value pre tests and post test a significant on a level
depression mental disorder patients with depression after the intervention therapy
laughing during seven days.
Abstrak : Terapi Tertawa Terhadap Pasien Gangguan Jiwa Dengan Depresi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh terapi tertawa terhadap pasien
gangguan jiwa dengan depresi.Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi
eksperimen dalam satu kelompok pre tes dan pos tes tanpa kelompok kontrol. Alat
ukur yang digunakan adalah Beck Depression Inventory (BDI). Nilai pre tes
menunjukkan sebagian besar responden mengalami depresi berat (80%) dan 20 %
mengalami depresi ringan. Hasil pos tes menunjukkan skor depresi ringan (90%) dan
10 % mengalami penurunan tetapi masih pada taraf depresi berat. Analisa data
dilakukan dengan uji Wilcoxon diperoleh nilap p= 0,006 lebih kecil dari 0,05 nilai
z = -2.739 ini berarti ada pengaruh signifikan terapi tertawa terhadap penurunan
tingkat depresi pada pasien gangguan jiwa.
Kata Kunci : terapi tertawa, gangguan jiwa, depresi
Gangguan jiwa merupakan salah satu
dari empat masalah kesehatan utama di
Negara maju, modern dan industri. Ke
empat masalah kesehatan utama tersebut
meliputi cancer, penyakit degenerative,
gangguan jiwa dan kecelakaan. Gangguan
jiwa tersebut tidak dianggap sebagai
gangguan yang menyebabkan kematian
secara langsung namun beratnya gangguan
tersebut dalam arti ketidakmampuan secara
individu maupun kelompok yang akan
menghambat pembangunan karena tidak
produktif dan tidak efisien (Hawari, 2003).
Data dari WHO (2009) memperkirakan
450 juta orang diseluruh dunia mengalami
gangguan mental, sekitar 10% orang dewasa
mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25%
penduduk diperkirakan akan mengalami
gangguan jiwa pada usia tertentu selama
hidupnya. Gangguan ini biasanya terjadi
pada dewasa muda antara usia 18-21 tahun
(WHO, 2009). Menurut National Institute of
Mental Health, gangguan jiwa mencapai
13% dari penyakit secara keseluruhan dan
diperkirakan akan berkembang menjadi 25%
di tahun 2030. Kejadian tersebut akan
236
memberikan andil meningkatnya prevalensi
gangguan jiwa dari tahun ke tahun di
berbagai negara.
Data dari Departemen Kesehatan RI
(2008) menyatakan prevalensi gangguan
jiwa di Indonesia tertinggi terdapat di
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (24,3%),
lalu Nangroe Aceh Darusalam (18,5%),
Sumatera Barat (17,7%), NTB (10,9%),
Sumatera Selatan (9,2%), dan Jawa Tengah
(6,8%).
Berdasarkan laporan tahunan Rumah
Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Bali tahun 2013
bulan April total pasien 396 orang menjalani
rawat inap dengan diagnose depresi 9 orang,
rawat jalan sebanyak 1854 orang dengan
diagnose depresi 56 orang, Bulan Mei rawat
inap 444 orang dengan diagnose depresi 7
orang, rawat jalan 1938 dengan diagnose
depresi 76 orang, Bulan Juni 438 orang
rawat inap dengan diagnose depresi 8 orang,
rawat jalan 1941 orang dengan diagnose
depresi 72 orang, Bulan Juli rawat inap 451
orang dengan diagnose depresi 15 orang,
rawat jalan 2018 orang dengan diagnose
depresi 93 orang dengan BOR : 104,19 %.
Ini memperlihatkan bahwa setiap bulannya
terjadi peningkatan jumlah pasien dengan
gangguan jiwa yang dilayani Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Bali. Sepuluh besar gangguan
jiwa yang dirawat di Rumah Sakit jiwa
Bangli adalah Skizofrenia, gangguan mental
organik, depresi, epilepsy, skizo afektif tipe
manik, psikotik lir skz akut, skizoafektif tipe
depresif, psikotik akut, gangguan mental dan
perilaku, dan gangguan afektif bipolar.
Stres dan tekanan kehidupan modern
menimbulkan dampak buruk terhadap
pikiran dan tubuh manusia. Penyakit yang
menyebabkan gangguan pikiran seperti
kecemasan, depresi, gangguan syaraf dan
insomnia mengalami peningkatan. Tertawa
banyak membantu orang yang menggunakan
obat anti depresi, dan obat penenang . Pasien
lebih mudah tidur dan mengalami penurunan
tingkat depresi. Pasien depresi tidak
mungkin bisa membangkitkan energinya
untuk menghadapi masalah karena dalam
kondisi depresi tersebut kondisi fisik dan
mental sedang down. Maka untuk
membangkitkan energi itu disini tertawa
bisa membantu. Tertawa bisa membuat
seseorang bisa tenang dan terhibur sehingga
ia bisa melepaskan diri dari kungkungan
depresi (Khansa 2013).
Depresi dapat diartikan sebagai salah
satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam
perasaan yang ditandai dengan kemurungan,
kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan
tidak berguna, putus asa, dan sebagainya.
Individu yang menderita suasana perasaan
(mood) yang depresi biasanya akan
kehilangan minat dan kegembiraan dan
berkurangnya energy yang menuju keadaan
mudah lelah dan berkurangnya aktifitas
(Katona 2012).
Tarigan (2009) menguraikan bahwa
terapi tertawa bermanfaat menguatkan
system kekebalan tubuh, sebagai latihan
aerobic terbaik, dapat mengatasi gangguan
kejiwaan, kecemasan dan depresi, mengatasi
tekanan darah tinggi, sebagai penghilang
rasa sakit alami, sebagai jogging internal,
dan membantu terlihat lebih muda dari usia
sebenarnya. Penelitian Emawati C. (2012)
menunjukan hasil signifikan pemberian
terapi tertawa pada tingkat kemarahan klien
dengan resiko perilaku kekerasan dengan
intervensi selama tujuh hari.
Ruangan terpadu adalah satu ruang
rawat inap dengan kapasitas 78 tempat tidur
yang melayani klas perawatan asing, utama,
klas I, klas II dan klas III pada pasien
gangguan jiwa dengan berbagai diagnose
medis. Tidak semua pasien yang sudah
terkontrol dengan obat yang melaksanakan
kegiatan ke ruang rehabilitasi. Sebagian
pasien yang sudah stabil ini memerlukan
kegiatan lain. Terapi tertawa merupakan
salah satu terapi komplementer yang bisa
diterapkan bagi pasien yang sudah terkontrol
dengan terapis yang berfungsi untuk lebih
menenangkan pasien. Terapi tertawa ini
mempengaruhi system hormone yang ada di
dalam tubuh sehingga dapat menenangkan
pasien. Untuk melengkapi terapi yang telah
dilaksanakan perlu dikembangkan model
terapi komplementer yang lainnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh terapi tertawa
237
terhadap pasien gangguan jiwa dengan
depresi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali
Tahun 2014.
METODE
Jenis penelitian ini adalah Quasi
Eksperimen tanpa pembanding atau
eksperimen semu. Disebut demikian karena
eksperimen jenis ini belum memenuhi
persyaratan seperti cara dapat dikatakan
ilmiah mengikuti peraturan-peraturan
tertentu.
Rancangan penelitian ini adalah one
group pre test and post test design tanpa
menggunakan kelompok pembanding
(kontrol), tetapi pada penelitian ini
pengujian pertama (pre test) yang
memungkinkan peneliti dapat menguji
perubahan-perubahan yang terjadi setelah
adanya eksperimen. Pada penelitian ini,
peneliti melakukan treatment yaitu terapi
tertawa terhadap subjek penelitian kemudian
dinilai pengaruhnya pada pengujian kedua
(post test). Penelitian ini dilaksanakan di
Ruang Terpadu Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Bali selama 7 hari. Sampel dalam penelitian
ini adalah pasien gangguan jiwa yang
mengalami depresi. Sampel diambil dengan
menggunakan teknik non probability
sampling dengan purposive sampling yang
memenuhi kriteria inklusi sebanyak 10
orang pasien laki-laki. Alat ukur yang
dipakai dalam penelitian ini adalah alat ukur
baku yaitu BDI. Teknik analisa data yang
digunakan adalah analisa bivariat
menggunakan uji Wilcoxon signed rank test.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini jumlah responden 10
orang, semua responden adalah pasien
gangguan jiwa yang mengalami depresi.
Data tingkat depresi responden sebelum
diberikan terapi tertawa ditentukan dengan
menggunakan kuesioner Beck Depression
Inventory (BDI) dengan cara menjumlah
skor dari setiap jawaban yang diberikan
responden. Adapun distribusi frekuensi
tingkat depresi responden adalah 2 orang
dengan depresi sedang dan 8 orang dengan
depresi berat.
Identifikasi tingkat depresi responden
setelah diberikan terapi tertawa adalah 7
orang responden mengalami penurunan
tingkat depresi ke depresi ringan, 2 orang
responden mengalami penurunan tingkat
depresi ke depresi sedang dan 1 orang
responden mengalami penurunan nilai
depresi tetapi tetap dalam rentang skor
depresi berat.
Analisa pengaruh pemberian terapi
tertawa pada pasien gangguan jiwa dengan
depresi dilakukan dengan cara analisis data
hasil penelitian dengan menggunakan Uji
Wilcoxox signed rank test dengan bantuan
Program SPSS. Uji Wilcoxoxn signed rank
test dipilih karena melakukan uji sampel
berpasangan yaitu sebelum dan sesudah
perlakuan dan skala data adalah ordinal
untuk mengetahui apakah ada pengaruh,
maka digunakan p. value yang
dibandingkan dengan Ho dengan (α) 5 %
atau 0,05. Bila p. value ≤ 0,05 maka Ho
ditolak yang berarti ada pengaruh signifikan
terapi tertawa terhadap pasien gangguan
jiwa dengan depresi. Hasil penelitian didapat
nilai p.value 0,006 ini berarti ada pengaruh
signifikan terapi tertawa terhadap penurunan
tingkat depresi pada pasien gangguan jiwa
dengan depresi.
Hasil analisa pengaruh terapi tertawa
terhadap pasien gangguan jiwa dengan
depresi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali
tahun 2014 adalah seperti pada Tabel :
Tabel 1. Analisis Pengaruh Terapi Tertawa
Terhadap Pasien Gangguan Jiwa
Dengan Depresi
Tingkat Depresi
Setelah Perlakuan Total
Ringan Sedang Berat
n % n % n % n %
Sebelum
Perlakuan
Berat 5 50 2 20 1 10 8 80
Sedang 2 20 - - - - 2 20
Total 7 70 2 20 1 10 10 100
p.value 0,006
238
Dari hasil uji Wilcoxon signed rank test
dengan p.value 0,006 maka hipotesis
diterima yang berarti ada pengaruh
signifikan terapi tertawa terhadap pasien
gangguan jiwa dengan depresi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Emawati,C.
(2012) dengan judul Pengaruh Terapi
Tertawa Terhadap Tingkat Kemarahan Klien
Skizofrenia dengan resiko Perilaku
Kekerasandi Ruang Rawat Inap Rumah
Sakit Grhasia Yogyakarta.
Hasil perhitungan dengan uji Wilcoxon
signed rank test dengan p.value = 0,006 atau
p≤ 0,05 dan nilai Z ═ - 2.739, hal ini
menunjukkan bahwa hipotesis penelitian
diterima dan berarti ada pengaruh signifikan
terapi tertawa terhadap pasien gangguan
jiwa dengan depresi yaitu terjadi penurunan
tingkat depresi. Data penelitian
menunjukkan 90% responden mengalami
penurunan tingkat depresi, 10 % mengalami
penurunan nilai namun masih dalam rentang
skor depresi berat.
SIMPULAN
Pemberian Terapi Tertawa selama tujuh
hari terhadap pasien gangguan jiwa dengan
depresi berpengaruh secara signifikan
terhadap penurunan tingkat depresi pada
pasien gangguan jiwa.
DAFTAR RUJUKAN Departemen Kesehatan RI, 2008. Prevalensi
gangguan jiwa di Indonesia Emawati, C. 2012. Pengaruh Terapi
Tertawa Terhadap Tingkat Kemarahan Klien Skizofrenia Dengan Risiko Perilaku Kekerasan Di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia PROVINSI D.I Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiah on line. (http://publikasi.umy.ac.id/index.php/psik/article/ viewile/5093/4381 diakses tanggal 20 Nopember 2013).
Hawari, D. 2003, Pendekatan Holistik Pada
Gangguan Jiwa Skizofrenia, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Katona, Cornelius, Cooper Claudin,
Robertson Mary, 2012. At a Glance psikiatri. Edisi 4. Jakarta: Erlangga.
Khanza V,2013.THE MIRACLE OF SMILE:Second Hope
Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali, 2013.
Laporan Tahunan RSJ Propinsi Bali Tarigan, I. 2009, Sehat dengan Terapi
Tertawa, On line (http://www.media Indonesia.com, diakses tanggal 15 Nopember 2013).
WHO, 2009, Improving Health System and
Service for Mental Health, WHO Library.
239
240
241