PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN...

131
111 PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN I Made Sukma Wijaya Ahsan Kumboyono Program Studi Magister Keperawatan Peminatan Gawat Darurat Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Email: [email protected] Abstract: The Experience Of Nurses Implement The Nursing Process And Documentation. The aims of this study is to explore the experiences of nurses perform nursing emergency assessment in the triage room. This study used a qualitative research design with interpretive phenomenological approach. Participant of this study as many as eigth people who work at triage room emergency Sanglah Hospital Denpasar. All participants have been work more than three years in the emergency room that conducted indepth interviews to explore their experiences. Data from interviews were transcripts and analyzed using Dikelman which resulted three major themes in the experience of nurses perform nursing assessment that is material (initial and further assessment), data sources (primer and secondary data) and limitations (health provider and patient aspects). Abstrak: Pengalaman Perawat Melaksanakan Pengkajian Keperawatan Kegawatdaruratan. Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi pengalaman perawat melaksanakan pengkajian keperawatan kegawatdaruratan di ruang Triage. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi interpretif. Partisipan penelitian ini sebanyak delapan orang perawat di ruang triage Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP Sanglah Denpasar. Partisipan memiliki pengalaman kerja lebih dari tiga tahun di IGD yang dilakukan wawancara mendalam untuk mengeksplorasi pengalamannya. Data hasil wawancara di transkrip dan di analisis menggunakan Dikelman yang menghasilkan 3 tema utama dalam pengalaman perawat melakukan pengkajian keperawatan, yaitu; materi (pengkajian awal dan lanjutan), sumber data (primer dan sekunder) dan keterbatasan aspek tenaga kesehatan dan aspek pasien). Kata Kunci: Pengalaman Perawat, Pengkajian Keperawatan, Kegawatdaruratan Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah lingkungan kerja yang kompleks dengan adanya berbagai interaksi multidisiplin tenaga kesehatan profesional dalam penangananan pasien dengan kasus kegawatdaruratan (Bruce dan Suserud, 2005). Beban kerja berat, keramaian, bencana kematian dan perawatan pasien dengan kondisi kritis menjadi beberapa faktor yang membuat lingkungan IGD kompleks dan penuh stress (Ross-Adjie et al, 2007; Healy dan Tyrell, 2011). Kondisi lingkungan IGD yang kompleks tersebut akan mempengaruhi kualitas dalam memberikan perawatan, akses pelayanan kesehatan, keselamatan pasien, kepuasan pasien termasuk proses keperawatan (Baer, Pasternack, dan Zwemer, 2001; Hoot dan Aronsky, 2008; Kolb, Peck, Schoening, dan Lee, 2008; Powell dkk, 2012) Pelayanan keperawatan yang diberikan di IGD akan menggunakan proses dan dokumentasi keperawatan. Fenomena yang ditemukan dalam lingkup kegawatdaruratan bahwa proses keperawatan di IGD belum berjalan dengan baik. Alves, Lopes dan

Transcript of PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN...

Page 1: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

111

PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN

KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

I Made Sukma Wijaya

Ahsan

Kumboyono

Program Studi Magister Keperawatan Peminatan Gawat Darurat Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya

Email: [email protected]

Abstract: The Experience Of Nurses Implement The Nursing Process And

Documentation. The aims of this study is to explore the experiences of nurses

perform nursing emergency assessment in the triage room. This study used a

qualitative research design with interpretive phenomenological approach.

Participant of this study as many as eigth people who work at triage room emergency

Sanglah Hospital Denpasar. All participants have been work more than three years

in the emergency room that conducted indepth interviews to explore their

experiences. Data from interviews were transcripts and analyzed using Dikelman

which resulted three major themes in the experience of nurses perform nursing

assessment that is material (initial and further assessment), data sources (primer and

secondary data) and limitations (health provider and patient aspects).

Abstrak: Pengalaman Perawat Melaksanakan Pengkajian Keperawatan

Kegawatdaruratan. Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi pengalaman

perawat melaksanakan pengkajian keperawatan kegawatdaruratan di ruang Triage.

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan pendekatan

fenomenologi interpretif. Partisipan penelitian ini sebanyak delapan orang perawat di

ruang triage Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP Sanglah Denpasar. Partisipan

memiliki pengalaman kerja lebih dari tiga tahun di IGD yang dilakukan wawancara

mendalam untuk mengeksplorasi pengalamannya. Data hasil wawancara di transkrip

dan di analisis menggunakan Dikelman yang menghasilkan 3 tema utama dalam

pengalaman perawat melakukan pengkajian keperawatan, yaitu; materi (pengkajian

awal dan lanjutan), sumber data (primer dan sekunder) dan keterbatasan aspek tenaga

kesehatan dan aspek pasien).

Kata Kunci: Pengalaman Perawat, Pengkajian Keperawatan, Kegawatdaruratan

Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah

lingkungan kerja yang kompleks dengan

adanya berbagai interaksi multidisiplin

tenaga kesehatan profesional dalam

penangananan pasien dengan kasus

kegawatdaruratan (Bruce dan Suserud,

2005). Beban kerja berat, keramaian,

bencana kematian dan perawatan pasien

dengan kondisi kritis menjadi beberapa

faktor yang membuat lingkungan IGD

kompleks dan penuh stress (Ross-Adjie et

al, 2007; Healy dan Tyrell, 2011). Kondisi

lingkungan IGD yang kompleks tersebut

akan mempengaruhi kualitas dalam

memberikan perawatan, akses pelayanan

kesehatan, keselamatan pasien, kepuasan

pasien termasuk proses keperawatan (Baer,

Pasternack, dan Zwemer, 2001; Hoot dan

Aronsky, 2008; Kolb, Peck, Schoening, dan

Lee, 2008; Powell dkk, 2012)

Pelayanan keperawatan yang diberikan

di IGD akan menggunakan proses dan

dokumentasi keperawatan. Fenomena yang

ditemukan dalam lingkup kegawatdaruratan

bahwa proses keperawatan di IGD belum

berjalan dengan baik. Alves, Lopes dan

Page 2: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

112

Jorge (2008) menyatakan bahwa proses

keperawatan sulit diaplikasikan dalam

praktik keperawatan. Hasil studi Renfroe,

O’Sullivan dan McGee (1990) menemukan

bahwa 15% aktivitas perawat tidak

didokumentasikan dengan baik yang berarti

proses keperawatan tidak berjalan baik.

Menurut studi pendahuluan pada salah satu

rumah sakit di Bali ditemukan bahwa proses

keperawatan di IGD belum terlaksana secara

optimal. Lebih lanjut disampaikan kembali

dari studi oleh McKerras (2002)

menemukan bahwa belum ada investigasi

untuk mencari alasan masalah proses

keperawatan yang tidak berjalan baik itu

terjadi.

Proses keperawatan memiliki lima

tahapan yaitu; pengkajian, diagnosis kepe

rawatan, rencana perawatan, implementasi

dan evaluasi. Tahap pengkajian merupakan

tahapan pertama yang vital yang bertujuan

untuk mencari data-data abnormalitas dari

pasien yang masuk ke IGD. Proses

keperawatan termasuk pengkajian kepe-

rawatan memiliki kendala dalam aplikasinya

termasuk dalam lingkup IGD. Fenomena

tersebut cenderung banyak terjadi akibat

lingkungan IGD yang kompleks dengan

beban kerja tinggi, rasio perawat dan pasien

rendah (Geyer, 2005; Eeden, 2009; Powell

dkk, 2012). Dengan demikian, peneliti

tertarik melakukan studi kualitatif terkait

dengan pengalaman perawat melaksanakan

salah satu tahapan proses keperawatan di

IGD yaitu pengkajian keperawatan. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi

pengalaman perawat melaksanakan

pengkajian keperawatan kegawatdaruratan

di Ruang Triage IGD RSUP Sanglah

Denpasar.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode

penelitian kualitatif dengan pendekatan

fenomenologi interpretif. Penelitian ini

dilaksa-nakan di ruang Triage IGD RSUP

Sanglah Denpasar Bali selama tiga bulan

(Mei-Juli 2014). Partisipan adalah perawat

yang bekerja di ruang triage IGD.

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah

delapan orang untuk dapat mencapai saturasi

data. Partisipan dipilih menggunakan teknik

purposive sampling yang sesuai kriteria

inklusi; (1) pengalaman minimal tiga tahun

berdasarkan Benner (2001) yang

menyatakan sudah memenuhi syarat menge

tahui dan mengerti secara holistik kondisi

tempat kerja, (2) memiliki sertifikat minimal

basic life support, (3) sehat jasmani dan

rohani, (4) bersedia, (5) komunikasi baik.

Wawancara mendalam secara semi-

struktural telah dilakukan dengan partisipan.

Wawancara direkam menggunakan program

voice recorder. Hasil wawancara di

transkrip kemudian dianalisis menggunakan

Dikelmann Hermeneutic Analyzis untuk

mendapatkan tema-tema sebagai hasil

penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengkajian keperawatan merupakan

tahap awal dari proses keperawatan yang

memiliki peran penting dalam tahap proses

keperawatan berikutnya. Penelitian ini

mendapatkan ada 3 tema besar dari

pengalaman perawat melaksanakan peng

kajian keperawatan kegawatdaruratan yaitu

materi, sumber data, dan keterbatasan

pengkajian. Berikut pemaparan tema yang

didapatkan dalam pengalaman perawat

melaksanakan pengkajian keperawatan

gawat darurat di IGD. Tema menggunakan

font bold, sub tema bold italic, sub-sub tema

italic, kategori dan kata kunci indent dan

italic.

Materi Pengkajian

Pasien yang masuk ke IGD pertama kali

akan dilakukan pengkajian keperawatan

dengan materi pengkajian, yaitu; pengkajian

awal dan pengkajian lanjutan. Pengkajian

awal perawat melakukan pengkajian berupa

pengkajian primer dengan menanyakan

keluhan utama dan survei primer. Hal

tersebut diungkapkan partisipan berikut.

"…pengkajiannya dari data awalnya itu

hanya keluhan utama saja, tidak bisa

kita lebar gitu… "(P1)

Page 3: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

113

"Primer kayak eee apa ya, ABC, airway

gimana, breathing nya gimana,

sirkulasinya, kemudian ada ee kayak

GCSnya" (P8)

Berdasarkan pernyataan di atas

partisipan menunjukkan bahwa pengkajian

awal adalah pengkajian primer menanyakan

keluhan utama dan survei primer (airway,

breathing, circulation, disability atau

ABCD). Hasil pengkajian awal akan

menentukan tingkat kegawatdaruratan

pasien kemudian dipilah ke ruangan sesuai

kondisi kegawatdaruratannya untuk

melanjutkan pengkajian.

Pengkajian lanjutan dilakukan dengan

pengkajian sekunder di ruang masing-

masing sesuai kondisi kegawatdaruratannya

(triage bedah, medik, fast track, dan anak).

Pengkajian sekunder, meliputi; pengkajian

sekunder dilakukan dan tidak dilakukan.

Pengkajian sekunder yang dilakukan akan

dikaji pemeriksaan tanda vital, riwayat

kesehatan, dan riwayat cedera. Hal ini

disampaikan oleh partisipan sebagai berikut.

"Untuk tensi, nadi itukan sudah cukup

sekali…untuk riwayat penyakitnya

mungkin kita bisa…ada riwayat alergi

gitu kita bisa sih" (P3)

"…kemudian kayak eee bagaimana

peristiwa MOI-nya (Mechanism of

Injury/Mekanisme dari cedera), bagai-

mana, kenapa bisa terjadi, misalkan

kecelakaan, kenapa, ada alkohol atau

dia ngantuk …"(P8)

Sedangkan pengkajian sekunder yang tidak

dilakukan adalah pemeriksaan fisik, seperti

yang disampaikan partisipan berikut ini.

"…biasanya sih lebih sering dilakukan

sama dokternya kalau pemeriksaan

fisik" (P7).

Pengkajian awal dan lanjutan yang

dilakukan perawat akan dikelompokkan

kembali sesuai dengan sumber data

pengkajian.

Sumber Data Pengkajian

Data-data yang terkumpul dari

pengkajian akan dibagi menjadi dua data

berdasarkan sumber data pengkajian, yaitu;

data primer dan data sekunder. Data-data

tersebut akan berguna pada tahap proses

keperawatan selanjutnya.

Data primer adalah data yang langsung

didapatkan perawat dari pasien. Berdasarkan

hasil wawancara data primer didapatkan dari

pengkajian mandiri perawat dan pengkajian

bersama multidisplin. Hal tersebut

dinyatakan partisipan berikut.

"…keluhan utama kita kaji,

permasalahannya apa, itu yang paling

sering kita lakukan terlebih dahulu…"

(P5)

"Bisa, terus ada juga dapat kita lihat,

misalnya oh ada luka, ada ada jejas

misalnya" (P8)

Pernyataan partisipan di atas menunjukkan

bahwa perawat mendapatkan data primer

dari pengkajian mandiri berupa masalah

utama dan penunjang masalah utama seperti

pemeriksaan lokasi luka dalam exposure.

Sedangkan data primer dari pengkajian

bersama multidisiplin berupa survei primer

(ABCD). Berikut pernyataan partisipan

ketika ditanyakan tentang pengkajian primer

khususnya survei primer.

"Ya dilakukan lagi tapi kan biasanya itu

kan bersama-sama dengan dokter dan

sebagainya…" (P1)

Sumber data berikutnya yaitu data

sekunder. Data yang didapatkan bukan

langsung dari pasien disebut data sekunder.

Data sekunder didapatkan dari pengkajian

dari pengantar pasien dan data

multidisiplin, seperti pernyataan partisipan

berikut.

"...nah kalau yang ada keluarganya, kita

tanya keluarganya, bagaimana

kejadiannya... nah yang tidak ada

keluarga, ya sebatas kita tanya sama

Page 4: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

114

yang nganter misalnya dari ambulan

siapa di bagian kecelakan…" (P8)

"Kalau untuk pengkajian, kita kadang

kebanyakan eee melihat di pengkajian

dokter ya..." (P3)

Berdasarkan pernyataan partisipan di atas

menunjukkan bahwa data sekunder

didapatkan dari perawat dengan mengkaji ke

keluarga atau pengantar pasien jika tidak

sadar dan melihat ke pengkajian petugas

kesehatan lainnya.

Berdasarkan hasil wawancara sebagian

besar data pengkajian bersumber dari data

sekunder yaitu dari tenaga kesehatan

lainnya. Hal tersebut disebabkan adanya

keterbatasan perawat dalam melakukan

pengkajian.

Keterbatasan Pengkajian Keterbatasan perawat dalam melakukan

pengkajian keperawatan di IGD, meliputi;

aspek tenaga kesehatan dan aspek pasien.

Aspek tenaga kesehatan yang dialami

perawat seperti; ketidakseimbangan jumlah

perawat dan pasien, ketidakseimbangan

jumlah antara tenaga kesehatan, dan

pengetahuan perawat. Berikut ini

pernyataan partisipan.

"…kita tidak mengkaji itu …tenaganya

kan berapa orang itu, dikit ya…" (P2)

"Perawatnya satu, dokternya lima,

kadang-kadang eee belum sempat kita

ambil sudah dokternya yang

mengkaji…” (P7)

“…sekunder… mungkin karena lupa

atau ngga bisa, ngga pernah

terbayang…"(P2)

Pernyataan partisipan di atas menunjukkan

bahwa tenaga perawat yang kurang daripada

pasien ataupun dokter, serta pengetahuan

yang kurang menjadikan perawat terbatas

melaksanakan pengkajian keperawatan di

IGD.

Keterbatasan pengkajian juga didapat

dari aspek pasien. Partisipan menyatakan

bahwa kuantitas dan kualitas pasien

menyebabkan pengkajian terbatas. Berikut

ini pernyataan partisipan.

"Iya, karena banyaknya pasien

juga"(P3)

"…mengkaji mungkin tidak sedetail itu

loh, kita lihat sepintas…nanti buru-buru

marah-marah pasiennya…"(P2)

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa

pasien yang berlebihan sebagai kuantitas

dan kondisi pasien yang mudah marah

sebagai kualitas menjadi keterbatasan dalam

pengkajian. Tahap pengkajian merupakan

tahapan awal yang penting dalam proses

keperawatan sehingga data yang ditemukan

harus akurat.

Proses keperawatan merupakan metode

ilmiah dan sistematis yang digunakan

perawat dalam memberikan pelayanan

keperawatan yang terdiri dari lima tahapan

yaitu; pengkajian, diagnosis keperawatan,

rencana perawatan, implementasi dan

evaluasi. Proses keperawatan ini digunakan

sebagai kerangka kerja pemecahan masalah

kesehatan yang ditemukan (Adeyomo dan

Olaogun, 2013). Tahapan awal dari proses

keperawatan adalah pengkajian keperawatan

yang bertujuan untuk menemukan data-data

pengkajian dari hasil wawancara, observasi

dan pemeriksaan fisik

Pengalaman perawat dalam pengkajian

menemukan tema materi, sumber dan

keterbatasan pengkajian. Dalam materi

pengkajian terdapat pengkajian awal berupa

pengkajian primer dan lanjutan berupa

pengkajian sekunder. Hal ini sesuai dengan

konsep yang disampaikan Emergency

Nurses Association (2000) bahwa

pengkajian keperawatan gawat darurat

meliputi pengkajian primer berupa

pemeriksaan ABCD. Lebih lanjut Depkes

(2005) juga menyampaikan pengkajian

keperawatan di IGD untuk pengkajian

sekunder dilakukan dengan mengkaji

subjektif riwayat penyakit sekarang,

terdahulu, pengobatan dan keluarga

sedangkan secara objektif dikaji singkat

Page 5: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

115

eksposure, tanda vital, pemeriksaan fisik dan

inspeksi permukaan bagian punggung.

Pada kenyataannya banyak pengkajian

yang dilakukan oleh perawat hanya keluhan

utama, riwayat kesehatan dan riwayat

cedera. Survei primer lebih banyak dikaji

bersama-sama dengan tenaga kesehatan

lainnya dan pemeriksaan fisik pada

pengkajian sekunder jarang dilakukan oleh

perawat dan lebih banyak dilakukan dokter.

Data pengkajian juga lebih banyak berupa

data sekunder yang diambil dari pengkajian

dokter. Hal tersebut akibat keterbatasan

dalam pengkajian seperti tenaga perawat

terbatas, jumlah tenaga dokter yang lebih

banyak, pengetahuan perawat, jumlah pasien

banyak dan kondisi pasien yang mudah

marah akibat situasi kegawatannya.

Menurut Domres, Koch, Manager dan

Becker (2001) menyatakan bahwa jumlah

tenaga kesehatan sebagai sumber daya

manusia di IGD terbatas tidak dapat

memenuhi kebutuhan pasien gawat atau

kritis yang berlebihan. Jumlah pasien yang

banyak dan berlebihan disebut overcrowding

merupakan masalah paling umum di IGD

yang memberikan beban tinggi perawat dan

mempengaruhi kualitas perawatannya (Baer,

Pasternack, dan Zwemer, 2001; Hoot dan

Aronsky, 2008; Kolb, Peck, Schoening, dan

Lee, 2008; Powell dkk, 2012). Wolf (2007)

juga menyatakan bahwa perawat yang

bekerja di IGD harus memiliki keterampilan

memprioritaskan dan melakukan pengkajian

dengan cepat tetapi akurat serta dilakukan

berdasarkan pengkajian primer dan

sekunder. Berdasarkan penelitian Adeyemo

dan Olagon (2013) menemukan bahwa

faktor pengetahuan perawat memiliki

pengaruh lebih besar daripada faktor lainnya

dalam aplikasi proses keperawatan yang

termasuk pengkajian keperawatan untuk

meningkatkan kualitas pelayanan

keperawatan.

SIMPULAN

Penelitian pengalaman perawat dalam

melaksanakan pengkajian keperawatan

gawat darurat menghasilkan 3 tema besar,

yaitu materi, sumber data dan keterbatasan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat

meningkatkan kualitas pelayanan

keperawatan khususnya dalam melakukan

pengkajian keperawatan kegawatdaruratan

sehingga data-data ditemu-kan akurat dan

tepat sebagai dasar intervensi kritis untuk

menurunkan angka kecacatan dan kematian.

DAFTAR RUJUKAN Adeyemo, F.O., dan Olaogun, A.A.A.E.

2013. Factors Affecting The Use of Nursing Process in Health Institutions in Ogbomoso Town, Oyo State. International Journal of Medicine and Pharmaceutical Sciences, 3(1): 91-98.

Alves, A.R., Lopes, C.H., dan Jorge, M.S.

2008. The Meaning of The Nursing Process for Nurses of Intensive Theraphy Units: an Interactionist Approach. Rev Esc Enferm USP, 42 (4): 649-655.

Baer, R.B., Pasternack, J.S., dan Zwemer,

F.L. 2001. Recently Discharge Inpatients as A Source of Emergency Departement Overcrowding. Academic Emergency Medicine, 8(11): 1091-1094

Bruce, K., dan Suserud, B.O. 2005. The

Handover Process and Triage of Ambulance-Borne Patients: The Experiences of Emergency Nurses. British Association of Critical Care Nurses, Nursing in Critical Care, 10(4): 201-209.

Depkes. 2005. Pedoman Pelayanan

Keperawatan Gawat Darurat di Rumah Sakit. Direktoral Keperawatan dan Pelayanan Medik, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.Jakarta

Domres, B., Koch, M., Manger, A., Becker,

H.D. 2001. Ethics and triage. Prehospital Disaster Med, 16:53-8

Eeden, I.E. 2009. Development of A

Nursing Record Tool for Critically Ill or Injuried Patients in An Accident and Emergency (A&E) Units. Dissertation. University of Pretoria.

Emergency Nurses Association. 2000.

Emergency Nursing Core

Page 6: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

116

Curriculum. Fifth Edition. WB. Saunders Company. Philadelphia

Geyer, N. (2005). Record Keeping:

Professional Nurse Practitioners Series. Juta .CapeTown.

Healy, S., dan Tyrrell, M. 2011. Stress in

Emergency Departments: Experiences of Nurses and Doctors. Emergency Nurse, 19(4): 31-36.

Kolb, E.M.W., Peck, J., Schoening, S., dan

Lee, T. 2008. Reducing Emergency Departemen Overcrowding-Five Patient Buffer Concepts in Comparasion. Proceeding. Winter Simulation Conference

McKerras, R. 2002. Emergency Nurses and

Documentation. Emergency Nurse New Zealand, 1(3): 5-11

Muller, M. 2001. Nursing Dynamics. Third

Edition. Heinemann.Cape Town. Powell, E.S., Khare, R.K., Venkatesh, A.K.,

Roo, B.D., Adams, J.G., dan Reinhardt, G. (2012). The Relationship Between Inpatient Discharge Timing and Emergency Departement Boarding. The Journal of Emergency Medicine, 42(2): 186-196.

Renfroe, D.H., O’Sullivan, P.S., dan

McGee, G.W. 1990. The Relationship of Attitude, Subjective Norm and Behavioural Intent to The Documentation Behaviour of Nurses. Scholarly Inquiry for Nursing Practice: an International Journal, 4(1): 47-60.

Ross-Adjie, G., Leslie, G., Gillman, L.

2007. Occupational Stress in The ED: What Matters to Nurses?. Australasian Emergency Nursing Journal, 10(3): 117-123.

Wolf, L. 2007. Teaching Critical Thinking:

Lesson from An Emergency Departemen Educator. Paper Presented at Conference The 39

th

Bienial Convention, Massachusetts, USA, 3-7 November 2007.https://stti.confex.com /stti/bc39/techprogram /paper_35514.htm. Diakses pada tanggal 22 Mei 2013.

Page 7: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

117

PENGALAMAN PERAWAT MELAKUKAN TRIASE LIMA

LEVEL PADA PASIEN DENGAN NYERI DADA

Zulmah Astuti

Indah Winarni

Ali Haedar

Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Email: [email protected]

Abstract: The experience of nurses implement the five level of triage to the patient

with chest pain. This aims of this Study is to explore the experience of nurses doing

the five-level of triage process to patients with chest pain in the emergency

department. This Study used a qualitative design with an interpretive

phenomenological approach . Data were collected through interviewed to the six

nurses who worked recently in triage room in emergency department of Sanglah

Hospital. Data were transcripts and analyzed using Miles & Huberman method. The

results showed seven themes, their were the initial assessment of patients, the Act of

first aid in patient, the assessment of hemodynamic, the further of examination, the

assessment of chest pain, the consideration used in determining the level of urgency of

the patient and the duration of triage process for each patient.

Abstrak: Pengalaman perawat melakukan triase lima level pada pasien dengan

nyeri dada. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman perawat

melakukan triase lima level pada pasien dengan keluhan nyeri dada di instalasi rawat

darurat. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan

fenomenologi interpretif. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara yang

dilakukan kepada enam perawat yang bertugas di ruang triage di Instalasi Rawat

Darurat RSUP Sanglah Denpasar.Data yang diperoleh dianalisis menggunakan

metode Miles & Huberman. Penelitian menghasilkan tujuh tema yaitu pengkajian

awal pasien, tindakan pertolongan pertama pada pasien, penilaian hemodinamik,

pemeriksaan lanjutan, pengkajian keluhan nyeri dada, pertimbangan yang digunakan

dalam penetapan level urgensi pasien serta lama waktu proses triase pada masing

masing pasien

Kata kunci : pengalaman perawat, triase, nyeri dada

Instalasi gawat darurat (IGD) yang

merupakan salah satu akses masuk pasien ke

rumah sakit selalu dihadapkan pada

tantangan yaitu jumlah pasien yang

cenderung melebihi kapasitas serta dengan

kondisi yang tidak dapat diprediksi

sebelumnya. Sistem triase hadir untuk

menjawab tantangan tersebut yang

merupakan suatu proses pengumpulan

informasi dari klien serta mengkategorikan

dan memprioritaskan kebutuhan masing-

masing klien (Schellein, et al, 2008;

Emergency Nurses Association (ENA),

2011). Dengan sistem triase ini akan dapat

memastikan bahwa pasien yang memerlukan

tindakan segera akan ditangani terlebih

dahulu dan pasien dengan prioritas

dibawahnya dapat dengan aman menunggu

tindakan (Fitzgerald et al, 2009).

Sistem triase mengalami banyak

perkembangan dalam kurun waktu 20 tahun

mulai dari sistem triase dengan 2 kategori

pasien sampai dengan saat ini telah

diterapkan triase dengan 5 level kategori

pasien. Jenis triase ini menempatkan pasien

dalam 5 kategori yaitu Resuscitation,

Emergent, Urgent, Nonurgent dan Reffered

(Gilboy, et al, 2005).

Page 8: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

118

Evaluasi terhadap penerapan sistem

triase lima level ini khususnya di Indonesia

belum banyak dilakukan. Salah satu Rumah

sakit di Indonesia yang saat ini menerapkan

triase lima level adalah Rumah sakit Umum

Pusat (RSUP) Sanglah Bali yang

berpedoman pada The Australian Triage

Scale (ATS) yang sebelumnya menerapkan

sistem triase dengan 3 level kategori.

Perubahan sistem triase ini tentu berdampak

pada performa petugas kesehatan khususnya

perawat dalam menetapkan level kegawatan

pasien. Sistem triase ini memiliki rentang

waktu tunggu untuk pengkajian dan

pemberian tindakan bagi pasien pada masing

masing kategori, sehingga jika terjadi

ketidaktepatan seperti menempatkan pasien

pada kategori terendah (undertriage) dalam

keakutannya, maka akan menambah waktu

tunggu bagi pasien yang dapat

meningkatkan resiko terjadinya efek yang

tidak baik pada kondisi pasien (Considine, et

al 2000).

Berdasarkan hasil penelitian salah satu

keluhan pasien yang sering mengalami di

ketidaktepatan triase yang berupa

undertriage di instalasi gawat darurat adalah

keluhan nyeri dada yaitu lebih dari 15%

kasus pasien (Boris, et al, 2004; Pits, et al,

2006; Sanchis, et al, 2010) Pasien nyeri dada

antara 2% sampai dengan 6% dipulangkan

dari instalasi gawat darurat yang pada

akhirnya terbukti mengarah pada sindrom

koroner akut (pope, et al, 2000; Pines, et al,

2010).

Kondisi ini menjadi bermakna saat

petugas menerapkan triase lima level pada

pasien dengan nyeri dada, agar dapat

meminimalkan kemungkinan terjadinya

undertriage pada pasien. Ketepatan petugas

dalam melakukan triase dipengaruhi oleh

pengetahuan serta pengalaman petugas

sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut

peneliti tertarik melakukan penelitian

kualitatif untuk menggali pengalaman

perawat dalam melakukan triase lima level

khususnya pada pasien dengan nyeri dada.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif dengan pendekatan fenomenologi

interpretif. Penelitian dilakukan di Instalasi

rawat darurat RSUP Sanglah Bali. Partisipan

yang dipilih dari penelitian ini adalah

perawat triase yang mempunyai pengalaman

dalam melakukan triase pada pasien nyeri

dada dan bersedia untuk menjadi partisipan.

Data dikumpulkan melalui wawancara

mendalam dengan pertanyaan bersifat

semistruktur. Saturasi diperoleh jika dari

partisipan tidak ada lagi muncul tema yang

baru. Saturasi data didapatkan dari 6 orang

partisipan. Hasil penelitian di analisa

menggunakan metode Miles and Huberman

(1994). Sebelum melakukan penelitian

peneliti mengajukan uji kelaikan etik di

institusi setempat dan dinyatakan laik etik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perawat di instalasi rawat darurat

melaksanakan tugas yang kompleks salah

satunya adalah menerima pasien yang

datang dan melakukan pengkajian untuk

menilai kondisi kegawatannya melalui

proses triase. Peneliti menggali pengalaman

dan pemahaman perawat saat melakukan

proses triase pada pasien dengan nyeri dada

didapatkan hasil wawancara bahwa proses

triase yang dilakukan adalah pengkajian

awal pasien, tindakan pertolongan pertama,

penilaian hemodinamik, pemeriksaan

lanjutan, pengkajian keluhan nyeri dada,

pertimbangan yang digunakan dalam

penetapan level urgensi pasien serta lama

waktu triase

Pengkajian awal pasien

Berdasarkan penjelasan partisipan

memiliki jawaban yang beragam, namun

secara garis besar penilaian tersebut adalah

menilai kondisi kegawatan pasien yang

terdiri dari penilaian terhadap kondisi umum

pasien, dan survey primer. Dalam

melakukan penilaian kondisi umum pasien,

satu partisipan menjelaskan bahwa pertama

yang perlu dinilai adalah cara jalan pasien

dimana dari sini bisa digambarkan kondisi

umum pasien apakah mengalami kelemahan

Page 9: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

119

atau tidak, kutipan pernyataannya di bawah

ini :

"...pertama kita liat adalah tentunya

kondisi umum pasien kalo pasiennya

masih bisa jalan…" (p6:….)

Setelah melakukan penilaian kondisi

umum dengan cara inspeksi atau visual

triase maka penilaian dilanjutkan untuk

melakukan survey primer. Dari pernyataan 3

dari 6 partisipan menggambarkan bahwa

penilaian yang dilakukan adalah untuk

melihat apakah airway (jalan nafas),

breathing (pernafasan), circulation

(sirkulasi) terdapat gangguan atau tidak,

seperti yang dikutip dari salah satu

pernyataan partisipan berikut :

"….nah itu dah airwaynya itukan ya

sambil lah liat kalo misalkan udah bebas

jalan nafasnya maksudnya langsung ke

breathing…" (p2:.)

Berdasarkan pedoman dari ATS bahwa

seluruh pasien yang datang ke IGD

dilakukan penilaian umum baik status

fisiologis maupun psikologisnya. Observasi

(Visual triage) dilalukan terkait mobilisasi

pasien saat pertama kali masuk ruang IGD

yaitu apakah terlihat sesuatu yang abnormal.

Tahap selanjutnya adalah melakukan

pengkajian primer (Primary Survey) yang

mengkaji kepatenan airway (jalan nafas),

breathing (Pernapasan) dan Circulation dan

Disability (Australian Goverment

Departement of Health and Ageing, 2007).

Tindakan pertolongan pertama.

Kondisi pasien yang menunjukkan

kondisi kegawatan akan segera direspon

oleh petugas kesehatan khususnya oleh

perawat diantaranya jika terdapat keluhan

sesak yaitu kondisi sukar bernafas yang

dirasakan pasien, maka pernyataan dari 4

partisipan mengungkapkan bahwa tindakan

awal dan segera adalah memberikan oksigen

kepada pasien, seperti pernyataan berikut :

"itu ada keluhan sesek kalau ada

seseknya kasih oksigen" (p1)

Pemberian suplemen oksigen sering

diberikan pada pasien dengan penyakit

jantung, distress pulmonal dan stroke,

pemberiannya untuk mempertahankan Spo2

≥ 94% (American Heart Association, 2012).

Penilaian kondisi hemodinamik

Setelah melakukan pengkajian pada

kondisi umum, kepatenan ABC sebagai

penilaian awal kondisi kegawatan pasien

maka penilaian dilanjutkan untuk mengkaji

kondisi hemodinamik pasien dengan dengan

menilai gangguan hemodinamik. Kondisi

adanya gangguan hemodinamik pada pasien

dengan nyeri dada dapat dilihat dari data

subyektif dan obyektif yang mengikuti

keluhan nyeri dada pasien yaitu adanya

keluhan sesak nafas dan keringat dingin,

seperti pernyataan berikut :

"….nyeri dada itu ada keluhan

sesak….." (p1:…)

"...biasanya bisa kita liat mereka

megang dada keringat dingin.." (p4:.)

Tanda-tanda vital pasien yang diukur

adalah tekanan darah dan nadi, seperti

pernyataan berikut ini :

"Penilaian saya sih vital sign sih seperti

biasa ….." (p1)

"...dia nyeri dada tensi, vital sign lah

dulu biasa…" (p2)

Pemeriksaan hemodinamik didasarkan

pada pengukuran tanda vital untuk

memperkirakan keakutan pasien.

Pemeriksaan ini dilakukan jika waktu

memungkinkan bagi pasien sebelum

intervensi awal diberikan (Australian

College for Emergency Medicine, 2013).

Pemeriksaan lanjutan

Pasien dengan keluhan nyeri dada

dilakukan pemeriksaan lanjutan yaitu

perekaman EKG yang dilakukan setelah

menunggu instruksi dari dokter. pernyataan

ini diungkapkan oleh seluruh partisipan,

sebagai berikut:

Page 10: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

120

"...tunggu instruksi dokter…..nanti

penunjangnya ya ekg…."(p3)

Pemeriksaan penunjang selain EKG

adalah x-ray dan pemeriksaan laboratorium

darah lengkap. Berdasarkan keterangan

beberapa partisipan untuk pemeriksaan

enzim jantung seperti troponin dan CKMB

akan dilakukan berdasarkan instruksi dokter

dan pasien nyeri dada juga telah terbukti

mengarah pada gangguan organ jantung

yang dapat dilihat dari hasil EKG pasien

yang abnormal. Pernyataan dari partisipan

sebagai berikut :

“…Kalau EKGnya normal ini di

Rongthen biasanya kemungkinan sih

kardiomegali atau udem paru atau

apa…”(p1)

“…nunggu instruksi dokter pemeriksaan

lab, nanti penunjangnya ya ekg,

mungkin ada cek lab…. kalo sudah

datang dari sana dari kardio, oh ini cek

DL lengkap…”(p3)

“…tapi untuk triple kardiak marker kita

ngga contreng kardionya datang ”ya

dok ini labnya, mau cek triple

kardiomarker gitu” ”oh iya, ya bli” cek

lah..”(p4)

Pemeriksaan penunjang yang sangat

penting adalah perekaman EKG sebagai

salah satu faktor dalam menentukan kondisi

klinis pasien. pada taraf kognitif partisipan

menyadari pentingnya pemeriksaan EKG

pada pasien dengan nyeri dada namun pada

kenyataannya jika nyeri dada tidak spesifik

perekaman EKG belum dipertimbangkan

untuk dilakukan. Penelitian menyatakan

bahwa keterlambatan dilakukannya

perekaman EKG adalah karena kesalahan

dalam penempatan kategori pasien di awal,

selain itu dapat juga terjadi pada kasus

pasien dengan masalah jantung namun tanpa

keluhan nyeri dada atau nyeri dada yang

tidak spesifik (Sammons, 2012).

Pengkajian keluhan nyeri dada

Proses pengkajian keluhan nyeri

diantaranya proses pengkajian keluhan nyeri

diantaranya pengkajian keluhan subyektif

pasien, pengkajian obyektif pasien, menilai

penyebab nyeri dada, mengkaji riwayat

penyakit

Pada pengkajian tentang subyektif

pasien dua partisipan menjelaskan bahwa

pasien dengan jelas mengatakan bahwa ia

mengalami nyeri dada, seperti pernyataan

dibawah ini :

"….dia bilang nyeri dada kiri …."(p2)

Seluruh partisipan juga menjelaskan

bahwa nyeri dada yang mengarah pada

kemungkinan gangguan organ jantung yaitu

nyeri menjalar ke lengan kiri dan tembus ke

belakang, seperti pernyataan berikut :

"….dia bilang nyeri dada kiri sampe

menjalar ke tangan yang sebelumnya

nda pernah…" (p2)

Karakteristik nyeri atau gambaran nyeri

oleh pasien nyeri dada yaitu seperti tertekan

benda berat, tertimpa barang berat, seperti

pernyataan berikuti ini :

"….menjalar ke tangan dia berat ke

bahu trus kebelakang kayak ketekan

ketindih beban berat..."(p2)

Penelitian kuantitatif dilakukan oleh

Rohacek et al. (2012) untuk menemukan

cara yang sederhana melalui evaluasi awal

dalam memprediksi kemungkinan

persentase pasien nyeri dada disertai sesak

mengarah pada sindrom koroner akut yaitu

jika keluhan nyeri dada disertai sesak

menjalar ke leher dan lengan. Persentase

pasien mengarah pada kondisi sindrom

koroner akut akan semakin tinggi jika usia

pasien tersebut diatas 50 tahun yaitu menjadi

91%.

Pengkajian pada pasien nyeri dada juga

memperhatikan gestur tangan pasien yang

merupakan obyektif pasien saat

menggambarkan nyeri dada yang dialaminya

Page 11: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

121

seperti memegang dada kiri dengan telapak

tangan, menunjuk dada dengan satu jari,

mengepalkan tangan di depan dada, seperti

pernyataan berikut ini:

“…kalo pasiennya nyeri dada datang

memegang dada kiri" (p2)

"...biasanya pasiennya duduk sudah

kayak gini dia(mengepalkan tangan di

depan dada kiri)…" (p3)

"mereka megang dada seperti ini loh

(Melebarkan tangan di depan

dada)…"(p4)

"...dia masih bisa menunjukkan satu jari

seperti ini (menunjuk dengan satu jari

kebagian tengah dada), disini

sakitnya…"(p5)

Pengkajian keluhan utama pasien nyeri

dada juga memperhatikan gestur tangan

pasien yaitu berupa kepalan tangan di depan

dada, memegang dada dengan telapak

tangan, dan menunjuk area nyeri di dada

dengan satu jari. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Marcus et al.(2007)

pasien cenderung menunjukkan gestur yang

berbeda-beda saat mengungkapkan nyerinya

yang digunakan sebagai salah satu faktor

prediksi penyebab nyeri dadanya

Partisipan juga mengidentifikasi keluhan

nyeri dada yang tidak khas gangguan organ

jantung seperti nyeri dirasakan di ulu hati,

rasanya menusuk, seperti pernyataan

berikut:

"...Biasanya sih dia ngeluh nyeri dada di

semuanya… kadang di ulu hatinya"(p1)

“.....ada yang nyeri dada kiri menjalar

ke kanan…….rasanya menusuk apa

rasanya panas…."(p4)

Setelah melakukan pengkajian maka

partisipan mulai melakukan penilaian untuk

kasus pasien dengan nyeri dada yang tidak

spesifik mengarah pada gangguan organ

jantung yang ditandai dengan EKG normal,

kemungkinan nyeri dada sebagian besar

disebabkan oleh adanya peradangan pada

lambung dimana dua partisipan

mengungkapkan hal tersebut, seperti

pernyataan di bawah ini:

"…..Melakukan penilaian di EKG sih

juga hasilnya normal, kayaknya sih

maag lambungnya sih…"(p1)

"...pokoknya kalo ekgnya normal pasti

dia ini pasti punya riwayat

gastritis…."(p2)

Pengkajian juga dilengkapi dengan

pengkajian terhadap riwayat pasien seperti

riwayat penyakit jantung, riwayat penyakit

diabetes, seperti pernyataan di bawah ini:

"….ada riwayat jantungnya ngga kalau

misalnya ada riwayat jantung EKGnya

ini langsung dibawa ke PJT gitu

sih…."(p1)

"Riwayat penyakitnya apa? Punya

diabetes…."(p2)

Penetapan level triase

Setelah melakukan pengkajian pasien,

maka tahapan selanjutnya adalah penetapan

level urgensi pasien dalam kategori yang

sesuai. Dari hasil wawancara partisipan

didapatkan bahwa dalam penetapan level

pasien mempertimbangkan dari hasil

penilaian hemodinamik pasien, penilaian

ABC, pemeriksaan penunjang maupun

pengkajian faktor resiko.

“..…nyeri dada truss sesek keringat

dingin truss tensinya udah ini .kayaknya

curiga ke syok gitu langsung dah masuk

ke ATS 1.."(p1)

Penjelasan partisipan bahwa pada

penilaian kepatenan jalan nafas, pernapasan

dan sirkulasi akan mempengaruhi penetapan

level pasien dimana jika terdapat gangguan

pada ketiga hal ini maka pasien akan

ditempatkan minimal di level 3 dan dapat

Page 12: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

122

menjadi penyebab kenaikan level pada triase

sekunder seperti pernyataan berikut ini:

"...masih bisa ngomong pasti airway

breathing sama sirkulasinya normal

pastinya tensinya bagus pasti

sirkulasinya baguskan clearkan pasti

tiga aja…”(p2)

“….gangguan di ABC nya umpama ada

gangguan di breathingnya itu langsung

kita naikan levelnya jadi level

dua…."(p5)

Berdasarkan American International

Health Alliance (AIHA) tahun 2011 dan

petunjuk dari New South Wales

Departement of Health pada tahun yang

sama mengenai standar minimum untuk

evaluasi nyeri dada menyatakan bahwa

semua pasien yang datang ke ruang gawat

darurat dengan nyeri dada dan dengan gejala

iskemik miokard yaitu berkeringat, ortopnoe

tiba-tiba, sesak, pingsan, ketidaknyamanan

epigatrik, nyeri pada rahang dan nyeri pada

lengan dalam waktu 48 jam, harus

ditetapkan dalam triase kategori 2 dan dalam

waktu 10 menit perekaman EKG 12 lead

harus dilakukan dan di interpretasikan oleh

petugas yang berkompeten. Tujuan dari

penempatan pasien nyeri dada dengan

kategori dua adalah agar pasien

mendapatkan pemantauan lebih intensif dan

dapat segera di konsultasikan kepada dokter

Lama waktu triase

Triase lima level memiliki waktu

maksimal dalam pelaksanaan triase pada

masing-masing pasien sampai dengan

penetapan level ATS. Partisipan juga

mengungkapkan lama waktu yang

digunakan selama pelaksanaan triase pada

pasien dengan nyeri dada yang rata-rata

kurang dari 5 menit, seperti pernyataan

berikut ini :

"...dilakukan pengkajian yang secara

singkat cepat langsung mungkin kurang

dari semenit kurang dari semenit untuk

pasien-pasien yang dengan kesadaran

menurun untuk pasien ini apakah ada

gangguan nafas atau obstruksi trus eh

hemodinamiknya gimana biasanya udah

langsung..."(p3)

SIMPULAN

Pelaksanaan triase pada pasien nyeri

dada berdasarkan pengalaman perawat

berdasarkan pedoman dari triase lima level

ATS. Pemeriksaan penunjang seperti

perekaman EKG dilakukan berdasarkan

order dari dokter yang bertugas. Pasien

dengan nyeri dada yang datang ke IGD

belum tentu ditempatkan pada level 2 namun

penetapan level dipertimbangkan

berdasarkan hasil triase. lama waktu

pelaksaaan triase kurang dari 5 menit.

DAFTAR RUJUKAN Australian Goverment Departement of

Health and Ageing, 2007. Emergency Triage Education Kit, Triage Workbook. Canberra

Australian College for Emergency Medicine

(ACEM), (2013) Policy On The Australian Triage Scale. Mealbourne

American International Health Alliance

(AIHA), 2011. Clinical Practice Guideline for Primary Health Care Physicians. USAID

American Heart Association,. 2012. ACLS

Provider Manual Suplemmentary Material; 3

Bhuiya, F.A., Pitts, S.R., McCaig., L.F,

2010. Emergency Department Visits for Chest Pain and Abdominal Pain: United States, 1999–2008. Division of Health Care Statistics (NCHS); 43

Boris E. Coronado, B, Hector Pope, Griffith,

J.,L., Beshansky, J.,R., Selker, H.P, (2004) Clinical Features, Triage, And Outcome Of Patients Presenting To The Ed With Suspected Acute Coronary Syndromes But Without Pain: A Multicenter Study; American Journal Of Emergency Medicine; 22(7)

Considine J, Ung L, Thomas S. (2000).

Triage Nurses' Decisions Using The National Triage Scale For Australian Emergency Departments. Accident and Emergency Nursing

Page 13: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

123

Emergency Nurses Associaton, 2011. Triage Qualifications; emergency Nurses Association

Fitzgerald, Gerald and Jelinek, George and

Scott, Deborah A. and Gerdtz, Marie F. 2009. Emergency Department Triage Revisited. Emergency Medicine Journal; Quensland, Australia

Gilboy,N. Tanabe, P. Travers, D.A.

Rosenau, A.M. Eitel, D.R. 2005. Emergency Severity Index,: Implementation Handbook. AHRQ; 4(5).

Karnath, B. Holden, M.D. Hussain. N. 2004.

Chest Pain : Differentiating cardiac from Non cardiac Causes. Review of clinical sign. Hospital physician; University of Texas Medical Branch, Galveston

Marcus, G.M., Cohen, J., Varosy, P.D.,

Vessey, J., Rose, E., Massie, B.M., et al ,2007. The utility of gesture in patient with chest discomfort. Clinical research study. The American journal of medicine;120;83-89

Miles, M.B., & Huberman, A.M., 1994.

Qualitative Data Analysis, 2nd

. Ed, Sage Publications.

Pitts, S.R. Niska,. R.W. Xu, J. Burt, C.W.

2006. National Hospital Ambulatory Medical Care Survey. Emergency Departement Summary. Natl Health Stat Report

Pines, J.M, Joshua A. Isserman, J.A,

Demian Szyld, D., Dean, A.J, McCusker, C.M, Hollander, J.E, 2010.The Effect Of Physician Risk Tolerance And The Presence Of An Observation Unit On Decision Making For ED Patients With Chest

Pain. American Journal of Emergency Medicine; 28; 771–779

Pope, J.H. Aufderheide, T.P, Ruthazer, R.

Woolard R.D. Feldmen, J.A. Beshansky J.R. et al. 2000. Missed Diagnoses Of Acute Cardiac Ischemia In The Emergency Departement. N engl J Med

Rohacek, M, Berolotti, A, Gr’’utzm’’uller,

N., Simmen, U., Marty, H., Zimmermann, H., Exadatylos, A., Spyridon, 2012. Clinical Study: The Challenge of Triaging Chest Pain Patients: The Bernese University Hospital Experience. Hindawi Publishing Corporation Emergency Medicine International; 7

Sammons, S.S., 2012. Accuracy of

Emergency Department Nurse Triage Level Designation and Delay in Care of Patients with Symptoms Suggestive of Acute Myocardial Infarction; Nursing Dissertations. Georgia State University; 27

Sanchis, J, Bodí,V, Núñez, J, Núñez,E,

Bosch, E, Pellicer, M, Heras, M, Bardají, A, Marrugat, J, Llácer, A, 2010. Identification of very low risk chest pain using clinical data in the Emergency department. IJCA-12584; 4

Schellein, O. Ludwig-Pistor, F. Bremerich,

D.H. 2008. Manchester triage system: Process optimization in the interdisciplinary Emergency department. Anaesthesist

Page 14: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

124

TERAPI OKUPASI AKTIVITAS MENGGAMBAR TERHADAP

PERUBAHAN HALUSINASI PADA PASIEN SKIZOFRENIA

I Wayan Candra

Ni Kadek Rikayanti

I Ketut Sudiantara

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

Email: [email protected]

Abstract. The drawing activity occupation therapy with changed hallucinations sign

in schizophrenia patiens. The aims of this research is to know the influence of drawing

activity occupation therapy with changed hallucinations sign in schizophrenia patiens.

Kind of the research is quasy experiment, one group pretest-posttest design.The

sampling teqnique with non probability sampling quota sampling. The sample 30

respondents. After observing research get the most hallucination symptoms in

schizophrenia patients before having drawing activity occupation therapy is in medium

category that is 15 patients (50%), after having drawing activity occupation therapy

the most is in low category that is 21 patiens (70%). The result of wilcoxon sign rank

test get p = 0,000 p< 0,010 that′s mean there is significant influence in drawing

activity occupation therapy with changed hallucinations sign in schizophrenia patients.

Abstrak: Terapi okupasi aktivitas menggambar terhadap perubahan halusinasi

pada pasien skizofrenia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi

okupasi aktivitas menggambar terhadap perubahan halusinasi pada pasien skizofrenia.

Jenis penelitian ini adalah Quasy eksperiment pendekatan One-group Pretest-posttest

Design.Teknik sampling dengan non probability sampling Quota Sampling. Jumlah

sampel 30 orang. Setelah dilakukan pengamatan didapatkan hasil gejala halusinasi

yang dialami pasien skizofrenia sebelum diberikan terapi okupasi aktivitas

menggambar terbanyak dalam katagori sedang yaitu 15 orang (50%). Setelah diberikan

terapi okupasi aktivitas menggambar terbanyak dalam katagori ringan yaitu 21 orang

(70%). Hasil uji Wilcoxon Sign Rank Test didapatkan p = 0,000 p< 0,010 yang berarti

ada pengaruh yang sangat signifikan pemberian terapi okupasi aktivitas menggambar

terhadap perubahan gejala halusinasi pada pasien skizofrenia.

Kata Kunci : Terapi okupasi aktivitas menggambar, halusinasi, skizofrenia

Gangguan kesehatan jiwa yang terjadi di

era modernisasi, globalisasi dan persaingan

bebas ini cenderung semakin meningkat

jumlahnya. Peristiwa kehidupan yang penuh

dengan tekanan seperti kehilangan orang

yang dicintai, putusnya hubungan sosial,

pengangguran, masalah dalam pernikahan,

krisis ekonomi, tekanan dalam pekerjaan

dan diskriminasi meningkatkan risiko

terjadinya gangguan jiwa (Suliswati dkk,

2005). Jenis dan karakteristik gangguan jiwa

beragam, satu diantaranya gangguan jiwa

yang sering ditemukan dan dirawat adalah

skizofrenia (Maramis, 2008). Skizofrenia

merupakan satu diantaranya bentuk psikosis

yang sering dijumpai. Diperkirakan lebih

dari 90% pasien skizofrenia mengalami

halusinasi, yaitu suatu gangguan persepsi

pasien yang mempersepsikan sesuatu yang

sebenarnya tidak terjadi (Maramis, 2008).

Data American Psychological

Association (APA) tahun 2010

menyebutkan, satu persen populasi

penduduk dunia (rata-rata 0.85%) menderita

skizofrenia (Joys, 2011), sedangkan Benhard

(2010) menjelaskan prevalensi skizofrenia

di dunia adalah 1 per 10.000 orang per

tahun. Prevalensi skizofrenia di Indonesia

Page 15: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

125

adalah 0.3 sampai 1 persen, terjadi pada usia

18 sampai 45 tahun, tetapi ada juga berusia

11 sampai 12 tahun. (Prabowo, 2010).

Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar

(Riskesdas 2013) prevalensi pasien

gangguan jiwa berat (skizofrenia) Propinsi

Bali berada pada urutan ke empat setelah

Propinsi DI Yogyakarta, Aceh dan Sulawesi

Selatan yaitu 3 orang dari 1000 penduduk

mengalami skizofrenia (Depkes RI, 2013).

Laporan tahunan 2013 Rumah Sakit

Jiwa Propinsi Bali menunjukkan rata-rata

jumlah pasien di rawat inap setiap bulannya

sebanyak 445 orang, 90% (400 orang)

diantaranya skizofrenia dan dari 400 orang

tersebut, 144 orang (36%) dengan

halusinasi, sebanyak 80 orang (20%)

dengan menarik diri, 56 orang (14%) dengan

harga diri rendah dan sebanyak 40 orang

(10%) dengan riwayat perilaku kemarahan

(Rekam medik RSJP Bali,2013)

Gejala skizofrenia satu diantaranya

adalah halusinasi. Halusinasi merupakan

gangguan pencerapan (persepsi) panca

indera tanpa adanya rangsangan dari luar

yang dapat meliputi semua sistem

penginderaan yang terjadi pada saat

kesadaran individu itu penuh/baik (Stuart &

Sundeen, 2007). Respons terhadap

halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,

perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung,

perilaku merusak diri, kurang perhatian,

tidak mampu mengambil keputusan serta

tidak dapat membedakan keadaan nyata dan

tidak nyata. Pasien skizofrenia mengalami

halusinasi disebabkan karena

ketidakmampuan pasien dalam menghadapi

stresor dan kurangnya kemampuan dalam

mengenal dan cara mengontrol halusinasi

sehingga menimbulkan suatu gejala.

Seseorang yang mengalami halusinasi bicara

sendiri, senyum sendiri, tertawa sendiri,

menarik diri dari orang lain, tidak dapat

membedakan yang nyata dan tidak nyata

(Maramis, 2008).

Penanganan pasien skizofrenia dengan

masalah halusinasi dapat dilakukan dengan

kombinasi psikofarmakologi dan intervensi

psikososial seperti psikoterapi, terapi

keluarga, dan terapi okupasi yang

menampakkan hasil yang lebih baik (Tirta &

Putra, 2008). Tindakan keperawatan pada

pasien dengan halusinasi difokuskan pada

aspek fisik, intelektual, emosional dan sosio

spiritual. Satu diantaranya penanganan

pasien skizofrenia dengan halusinasi adalah

terapi okupasi aktivitas menggambar.

Wahyuni (2010) meneliti pengaruh terapi

okupasi aktivitas menggambar terhadap

frekuensi halusinasi pasien skizofrenia

diruang Model Praktek Keperawatan

Profesional (MPKP) Rumah Sakit Jiwa

Tampan Pekanbaru. Hasil penelitian

menunjukkan p=0,018. Hasil penelitian

tersebut menemukan adanya pengaruh terapi

okupasi aktivitas menggambar terhadap

frekuensi halusinasi pasien skizofrenia.

Aktivitas menggambar yang dilakukan

bertujuan untuk meminimalisasi interaksi

pasien dengan dunianya sendiri,

mengeluarkan pikiran, perasaan, atau emosi

yang selama ini mempengaruhi perilaku

yang tidak disadarinya, memberi motivasi

dan memberikan kegembiraan, hiburan,

serta mengalihkan perhatian pasien dari

halusinasi yang dialami sehingga pikiran

pasien tidak terfokus dengan halusinasinya

(Susana dan Hendarsih, 2011). Pasien

skizofrenia dengan halusinasi, memiliki

tingkat frekuensi halusinasi yang berbeda-

beda pada tiap individu pasien, semakin

lebih awal pasien ditangani dapat mencegah

pasien mengalami fase yang lebih berat

sehingga risiko kekerasan dengan sendirinya

dapat dicegah (Megayanthi, 2009).

Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui pengaruh Terapi Okupasi

Aktivitas Menggambar Terhadap Perubahan

Halusinasi Pada Pasien Skizofrenia di

Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali.

METODE

Jenis penelitian ini adalah Quasy

experiment dengan rancangan One group

Pretest-posttest Design. Populasi dalam

penelitian ini adalah semua pasien

skizofrenia dengan masalah keperawatan

halusinasi yang dirawat di ruang Kunti dan

Drupadi Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali.

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien

Page 16: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

126

skizofrenia dengan masalah keperawatan

halusinasi yang di rawat di Ruang Kunti dan

Drupadi Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali

sebanyak 30 orang. Teknik pengambilan

sampel dilakukan dengan non probability

sampling jenis Quota Sampling. Langkah-

langkah pelaksanaan penelitian diawali

dengan melakukan pendekatan kepada

pasien yang dijadikan responden dengan

cara membina hubungan saling percaya

dengan pasien skizofrenia yang mengalami

halusinasi yang memenuhi kriteria inklusi.

Selanjutnya dilakukan pengumpulan data

berupa pre test dengan teknik observasi

kepada responden berkaitan dengan

halusinasi yang dialami terdiri dari isi

halusinasi, frekuensi halusinasi, situasi

pencetus, dan respon pasien. Setelah

melakukan observasi kepada responden

berkaitan dengan gejala halusinasi, peneliti

melakukan terapi okupasi kepada responden

penelitian.

Setelah melakukan observasi dan

wawancara kepada responden penelitian

berkaitan dengan gejala halusinasi, peneliti

melakukan terapi okupasi kepada responden

penelitian. Pelaksanaan terapi okupasi terdiri

dari empat tahap yaitu tahap persiapan,

tahap orientasi, tahap kerja, dan tahap

terminasi. Jenis terapi okupasi yang

diberikan adalah aktivitas menggambar.

Waktu untuk melakukan tiap aktivitas

menggambar adalah 45 menit, dilakukan

sehari 1-2 kali selama 7 hari. Setelah

dilaksanakan terapi okupasi aktivitas

menggambar selama 7 hari, pada hari ke-8

dilakukan kembali wawancara dan

observasi (pos-test) untuk mengukur gejala

halusinasi pada pasien skizofrenia.

Instrumen pengumpulan data yang

digunakan pada tahap pre test dan post test

berupa lembar wawancara dan observasi

untuk mengukur gejala halusinasi pada

pasien skizofrenia berdasarkan instrumen

lembar observasi halusinasi yang sudah

baku. Instrumen ini terdiri dari isi halusinasi,

frekuensi halusinasi, situasi pencetus, dan

respon pasien. Teknik analisa data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah uji

Wilcoxon Sign Rank Test.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik subyek penelitian terdiri

dari usia, pendidikan dan status perkawinan.

Berikut ini diuraikan secara rinci.

Tabel 1.Karakteristik subyek penelitian

berdasarkan umur

Tabel 1 di atas menunjukkan usia

termuda responden 20 tahun, usia tertua 48

tahun dan usia rata-rata adalah 36 tahun.

Tabel 2.Distribusi frekuensi subyek

penelitian berdasarkan pendidikan

No Pendidikan f %

1 Tidak Sekolah 15 50,0

2 Sekolah Dasar 10 33,0

3 SMP 2 7,0

4 SMA 2 7,0

5 Perguruan Tinggi 1 3,0

Total 30 100

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa

pendidikan responden yang terbanyak

adalah tidak sekolah 15 orang (50%)

Tabel 3.Distribusi frekuensi subyek

penelitian berdasarkan status

perkawinan

No Status perkawinan f %

1 Kawin 9 30,0

2 Tidak kawin 18 60,0

3 Janda 3 10,0

Total 30 100

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa

staus perkawinan responden yang terbanyak

adalah tidak kawin 18 orang (60%).

Tabel 4.Distribusi frekuensi gejala

halusinasi pre-test

No Gejala halusinasi pre-test f %

1 Berat 13 43,0

2 Sedang 15 50,0

3 Ringan 2 7,0

Total 30 100

No Umur Usia (tahun)

1 Minimum 20

2 Maksimum 48

3 Mean 36

4 Modus 42

Page 17: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

127

Tabel 4 di atas menunjukkan Gejala

halusinasi yang dialami responden penelitian

sebelum diberikan terapi okupasi aktivitas

menggambar paling banyak dalam kategori

sedang yaitu 15 orang (50 %). Hasil

penelitian ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Wahyuni (2010) yang

meneliti tentang pengaruh terapi okupasi

aktivitas menggambar terhadap frekuensi

halusinasi pasien skizofrenia di Ruang

Model Praktek Keperawatan Profesional

(MPKP) Rumah Sakit Jiwa Tampan

Pekanbaru. Hasil penelitian menemukan

bahwa sebelum diberikan terapi okupasi

aktivitas menggambar sebagian besar yaitu

17 orang (85%) mengalami halusinasi

tingkat sedang.

Hasil penelitian yang didapat

menunjukkan sebelum diberikan terapi

okupasi aktivitas menggambar gejala

halusinasi yang dialami pasien skizofrenia

sebagian besar berada dalam kategori

sedang. Hal ini disebabkan karena halusinasi

telah menyebabkan pasien mengalami

ketidakmampuan atau kerusakan dalam

hubungan sosialnya sehingga pasien hidup

dialamnya sendiri, berinteraksi dengan

pikiran yang diciptakannya sendiri, perasaan

yang dibuatnya sendiri, seolah-olah

semuanya menjadi sesuatu yang nyata

sehingga responden tidak dapat mengalihkan

dan mengontrol halusinasi yang dialaminya.

Pasien yang sehat mampu

mengidentifikasi dan menginterpretasikan

stimulus berdasarkan informasi yang

diterima melalui panca indera, pasien

dengan halusinasi mempersepsikan suatu

stimulus dengan panca indera yang

sebenarnya stimulus tersebut tidak ada.

Halusinasi yang dialami pasien skizofrenia

disebabkan karena ketidakmampuan

responden dalam menghadapi stresor dan

kurangnya kemampuan dalam mengenal dan

cara mengontrol halusinasi sehingga

responden mempersepsikan sesuatu yang

sebenarnya tidak terjadi. Responden tidak

mampu membedakan rangsang internal dan

eksternal, tidak dapat membedakan lamunan

dan kenyataan, dan tidak mampu memberi

respon secara tepat.

Maramis (2008) mengemukakan bahwa

pasien Skizofrenia mengalami halusinasi

disebabkan ketidakmampuan pasien dalam

menghadapi stresor dan kurangnya

kemampuan dalam mengenal dan cara

mengontrol halusinasi. Tanda dan gejala

halusinasi yaitu bicara sendiri, senyum

sendiri, tertawa sendiri, menarik diri dari

orang lain, tidak dapat membedakan yang

nyata dan tidak nyata.

Stuart dan Sundeen (2007)

mengemukakan halusinasi yang dialami oleh

pasien bisa berbeda intensitas dan

keparahannya tergantung dari fase halusinasi

yang dialami. Fase halusinasi terdiri dari

empat berdasarkan tingkat ansietas yang

dialami dan frekuensi halusinasi pasien,

semakin berat fase halusinasi pasien

semakin berat mengalami ansietas dan

makin dikendalikan oleh halusinasinya.

Tabel 5.Distribusi frekuensi gejala

halusinasi post-test

No Gejala halusinasi

post-test f %

1 Berat 0 0,0

2 Sedang 9 30,0

3 Ringan 21 70,0

Total 30 100

Tabel 5. Distribusi frekuensi gejala

halusinasi yang dialami pasien skizofrenia

setelah diberikan terapi okupasi aktivitas

mengambar paling banyak dalam kategori

ringan yaitu 21 orang (70%). Hasil

penelitian ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Wahyuni (2010) yang

meneliti pengaruh terapi okupasi aktivitas

menggambar terhadap frekuensi halusinasi

pasien skizofrenia diruang Model Praktek

Keperawatan Profesional (MPKP) Rumah

Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru. Hasil

penelitian menemukan bahwa setelah

diberikan terapi okupasi aktivitas

menggambar sebagian besar yaitu 15 orang

(75%) mengalami penurunan frekuensi

halusinasi

Hasil penelitian dari uji hipotesis

didapatkan z=4,725, p=0,000, p<0,010

artinya ada pengaruh yang sangat signifikan

Page 18: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

128

pemberian terapi okupasi aktivitas

menggambar terhadap perubahan halusinasi

pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa

Propinsi Bali. Hasil penelitian ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh

Wahyuni (2010) yang meneliti pengaruh

terapi okupasi aktivitas menggambar

terhadap frekuensi halusinasi pasien

skizofrenia diruang Model Praktek

Keperawatan Profesional (MPKP) Rumah

Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru. Hasil

penelitiannya adalah p= 0,018 yang berarti

ada pengaruh terapi okupasi aktivitas

menggambar terhadap frekuensi halusinasi

pasien skizofrenia. Hasil penelitian lainnya

Febrianto (2009) meneliti tentang pengaruh

terapi menggambar terhadap skor sistem

kategori gangguan jiwa pada pasien dengan

gejala halusinasi di ruang Sakura RSUD

Banyumas menemukan adanya pengaruh

terapi menggambar terhadap skor sistem

kategori gangguan jiwa pada pasien dengan

gejala halusinasi dengan p=0,014

Hasil penelitian yang menunjukkan

sebagian besar gejala halusinasi yang

dialami responden setelah diberikan terapi

okupasi aktivitas menggambar dalam

kategori ringan, dan 28 responden

mengalami penurunan gejala halusinasi.

Terjadinya penurunan gejala halusinasi

setelah diberikan terapi okupasi aktivitas

menggambar karena pada saat pelaksanaan

terapi okupasi aktivitas menggambar pasien

dapat meminimalisasi interaksi pasien

dengan dunianya sendiri yaitu dengan

mengeluarkan pikiran, perasaan, atau emosi

yang selama ini mempengaruhi perilaku

yang tidak disadarinya, memberi motivasi

dan memberikan kegembiraan, hiburan,

serta mengalihkan perhatian pasien dari

halusinasi yang dialami sehingga pikiran

pasien tidak terfokus dengan halusinasinya.

Pasien dengan halusinasi dituntun untuk

fokus dan berespons pada stimulus yang

diberikan dengan positif.

Terjadinya suatu penurunan gejala

halusinasi pada pasien skizofrenia yang

mengalami halusinasi setelah diberikan

terapi okupasi aktivitas menggambar,

karena pasien mampu melakukan aktivitas

dengan baik pada saat pelaksanaan terapi.

Keadaan yang demikian mempengaruhi

pasien lain tetap fokus dan menikmati

aktivitas yang diberikan untuk mengikuti

teman sekelompoknya sehingga halusinasi

dapat dialihkan. Hal ini sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Keliat dan Akemat

(2005) bahwa satu diantaranya peran

kelompok adalah sebagai pendorong

(encourager) yang berfungsi sebagai

pemberi pengaruh positif pada anggota

kelompok yang lain.

Diamati dan dicermati satu persatu dari

seluruh responden penelitian ditemukan ada

2 responden yang gejala halusinasinya tetap

sebelum dan setelah diberikan terapi okupasi

aktivitas menggambar. Keadaan ini dapat

terjadi karena pasien belum mampu

mengalihkan dan mengontrol halusinasi

yang dialaminya. Disamping itu pasien

belum mampu mengubah perilaku dan

pikiran negatif menjadi pikiran dan perilaku

positif, perasan yang timbul dari cara

berpikir negatif akan membuat pasien

berperilaku destruktif sehingga pada saat

pasien terkena stresor, pasien akan berpikir

negatif tentang dirinya. Penilaian negatif

pasien tentang dirinya menyebabkan pasien

cenderung memendam masalahnya sendiri,

dan berusaha mencari solusi dengan caranya

sendiri yaitu berperilaku menarik diri dan

akan mulai memikirkan hal-hal yang

menyenangkan bagi dirinya. Keadaan

demikian yang terus menerus berlangsung

menyebabkan pasien akan mengalami

gangguan dalam mempersepsikan stimulus

yang dialami.

Peneliti berpendapat bahwa terapi

okupasi aktivitas menggambar memberikan

pengaruh yang bermakna terhadap gejala

halusinasi dan terapi okupasi aktivitas

menggambar adalah suatu hal yang tepat

jika diberikan pada pasien skizofrenia yang

mengalami halusinasi.Pemberian terapi

okupasi aktivitas menggambar secara rutin

dan ter jadwal dalam kegiatan harian pasien

skizofrenia yang mengalami halusinasi

membuatnya tidak akan terfokus pada

halusinasi yang dialami sehingga gejala

halusinasi dapat berkurang dan terkontrol.

Page 19: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

129

SIMPULAN

Gejala halusinasi yang dialami pasien

skizofrenia sebelum diberikan terapi okupasi

aktivitas menggambar terbanyak dalam

kategori sedang yaitu 15 orang (50%).Gejala

halusinasi yang dialami pasien skizofrenia

setelah diberikan terapi okupasi aktivitas

menggambar terbanyak dalam kategori

ringan yaitu 21 orang (70%).

Hasil penelitian menunjukkan ada

pengaruh yang sangat signifikan pemberian

terapi okupasi aktivitas menggambar

terhadap perubahan halusinasi pada pasien

skizofrenia (z=4,725,p=0,000). Pemberian

terapi okupasi aktivitas menggambar dapat

menurunkan gejala halusinasi pada pasien

skizofrenia.

DAFTAR RUJUKAN American Psychological Association, 2010,

Publication manual of the American Psychological Association, Washington: DC. American Psychological Association.

Benhard, 2010, Hubungan Lama Hari Rawat

dengan Kemampuan Pasien Skizofrenia Mengontrol Halusinasi di Ruang MPKP RSJ Magelang, (online), available http://www.skripsistikes.com, (10 Desember 2013).

Departemen Kesehatan RI, 2013, Pravalensi

Gangguan Jiwa Berat, (online), available : http://www.litbang.depkes.go.id , (2 Januari 2014).

Febrianto, S.S, 2009, Pengaruh Terapi

Menggambar Terhadap Skor Sistem Kategori Gangguan Jiwa Pada Pasien Dengan Gejala Halusinasi Di Ruang Sakura RSUD Banyumas, Skripsi. Tidak dipublikasikan.

Joys, 2011, Deskripsi Peruhahan

Kemampuan Mengontrol Halusinasi Pada Klien Dengan Terapi Individu di Ruang MPKP RSJ Magelang, (online), available, http://www.skripsistikes.com, (10 Desember 2013)

Keliat, B.A. dan Akemat, 2005,

Keperawatan Jiwa: Terapi Akitivitas Kelompok, Jakarta: EGC.

Maramis,W.F., 2008, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Surabaya: Airlangga University Press.

Megayanthi, 2009, Deskripsi Perubahan

Kemampuan Mengontrol Halusinasi Pada Klien Dengan Terapi Individu di Ruang MPKP RSJ Magelang, Semarang: Skripsi. Tidak dipublikasikan.

Prabowo, 2010, Pengaruh Family

Psychoeducation terhadap Beban dan Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien dengan Halusinasi di Kabupaten Bantul Yogyakarta, Jakarta: Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Rekam Medik Rumah Sakit Jiwa Propinsi

Bali, 2013, Laporan Tahunan Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali, Bangli.

Stuart dan Sundeen, 2007, Principles and

practice of psychiatric nursing, St Louis Missouri: Mosby year book.

Suliswati., Tjie Anita Payapo., Sianturi

Yeny.,Sumijatun., Maruhawa Jeremia, 2005, Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta : EGC.

Susana dan Hendarsih, 2011, Terapi

Modalitas Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta : EGC.

Tirta I Gusti Rai & Putra Risdianto Eka,

2008, Terapi Okupasi Pada Pasien Skizofreniadi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Makalah Disampaikan pada Kongres Nasional Skizofrenia V, Mataram, Nusa Tenggara Barat, 24 – 26 Oktober 2008.

Wahyuni, 2010, Pengaruh Terapi Okupasi

Aktivitas Mengambar Terhadap Frekuensi Halusinasi Pasien Skizofrenia Diruang Model Praktek Keperawatan Profesional (MPKP) Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru, Medan : Skripsi. Tidak dipublikasikan.

Page 20: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

130

GAMBARAN FAKTOR DOMINAN PENYEBAB RENDAHNYA

AKSEPTOR IUD PADA PASANGAN USIA SUBUR (PUS)

I Dewa Ayu Ketut Surinati

I Gusti Agung Oka Mayuni

Ketut Agus Paramartha

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

Email : [email protected]

Abstract : The Illustration Dominant Factors Cause Low IUD Acceptors at PUS .

The purpose of this research was to know The Illustration Dominant Factors Cause

Low Iud Acceptors . The methode of this research was discriptif with cross sectional

design. The samples were consisted of 40 respondents selected with Consecutive

sampling technique. These results indicate that, of the 40 respondents, 45% of

respondents did not choose the contraceptive IUD as an option because of fear due to

the lack of knowledge acceptors

Abstrak : Gambaran Faktor Dominan Penyebab Rendahnya Akseptor IUD

pada PUS. Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran faktor dominan

penyebab rendahnya akseptor IUD pada pasangan usia subur. Jenis penelitian yang

digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan subjek penelitian adalah

cross sectional . Tehnik sampling yang digunakan adalah Consecutive sampling

dengan jumlah sampel 40 orang. Analisis data dengan analisa deskriptif.Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa dari 40 responden sebanyak 45% responden tidak

memilih kontrasepsi IUD sebagai pilihan karena takut akibat pengetahuan akseptor

yang kurang,

Kata Kunci : Faktor dominan, akseptor IUD, PUS

Keluarga berencana adalah tindakan

yang membantu individu atau pasangan

suami istri untuk menghindari kelahiran

yang tidak diinginkan atau mengatur interval

diantara kehamilan (Bobak,2005 dan

Hartanto,2004).

Salah satu strategi dalam upaya

menurunkan tingkat fertilitas adalah melalui

penggunaan kontrasepsi guna mencegah

terjadinya kehamilan. Salah satu Alat

kontrasepsi yang tepat mencegah kehamilan

terutama untuk jangka panjang adalah IUD,

IUD merupakan metode kontrasepsi jangka

panjang (Metode Kontrasepsi Jangka

Panjang/MKJP). Tahun 2010 yang

merupakan tahun pertama dalam rencana

pembangunan jangka panjang menengah

nasional (RPJMN) 2010-2014, BKKBN

(2011) sebagai institusi yang memiliki tugas

dan tanggung jawab menyukseskan program

KB di Indonesia telah merevitalisasi visi dan

misinya dalam rangka lebih mendukung

pencapaian hasil yang optimal. Visi dan misi

BKKBN sekarang adalah “Penduduk

Berkualitas tahun 2015” yang merupakan

hasil revitalisasi visi misi sebelumnya yakni

dengan “Mewujudkan keluarga kecil

bahagia sejahtera (Handayani S., 2010 dan

Sarwono,2005).

Kontrasepsi IUD adalah alat kontrasepsi

yang terbuat dari plastik disertai barium

sulfat dan mengandung tembaga,

progesterone. Alat ini dimasukkan ke dalam

ruang endometrium, melalui kanalis

servikalis, serta memiliki ujung

monofilament nilon yang membentang dari

serviks ke vagina Sarwono (2005) dan

Pinem Saroha, 2009)., IUD mampu

mengurangi risiko kanker endometrium

hingga 40 persen. IUD dapat efektif segera

setelah pemasangan. IUD juga memiliki

metode jangka panjang (10 tahun proteksi

Page 21: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

131

dari CuT-380A dan tidak perlu diganti), dan

juga tidak mempengaruhi hormonal

sehingga untuk kedepannya IUD sangat

efektif dan efisien penggunaannya.

Salah satu masalah utama yang dihadapi

saat ini adalah masih rendahnya pengguna

KB Intra Uterine Device (IUD), Sedangkan

kecendrungan penggunaan jenis KB lainnya

meningkat. Angka penggunaan IUD yang

masih rendah dapat disebabkan oleh

berbagai faktor. Menurut Suparyanto, (2012)

dalam artikelnya menyebutkan ada beberapa

faktor yang menyebabkan rendahnya

penggunaan metode kontrasepsi IUD ini,

antara lain: Faktor internal: Pengalaman,

takut, pengetahuan/pemahaman yang salah

tentang IUD, pendidikan Pasangan Usia

Subur (PUS) yang rendah, Malu dan risih,

Adanya penyakit. persepsi tentang IUD,

Faktor eksternal: prosedur pemasangan IUD

yang rumit, pengaruh dan pengalaman

akseptor IUD lainnya, sosial budaya dan

ekonomi dan pekerjaan.

Berdasarkan studi pendahuluan di

Puskesmas IV Denpasar Selatan diperoleh

data Jumlah akseptor KB baru pada tahun

2010 sampai dengan 2012, data sebagai

berikut: jumlah akseptor KB pada tahun

2010; IUD: 93 peserta, Suntik: 514 peserta,

Pil 231 peserta, 2011; IUD: 133 peserta,

Suntik: 683 peserta, Pil 209 peserta,

sedangkan pada tahun 2012; IUD: 125

peserta, Suntik 912 peserta, dan Pil 166

peserta. Berdasarkan data tersebut terlihat

untuk KB IUD mengalami penurunan 6%

pada tahun 2011-2012 sedangkan untuk KB

suntik mengalami peningkatan sebesar 24%

pada tahun 2010-2011 dan mengalami

peningkatan sebesar 33% pada tahun 2011-

2012.

Berdasarkan data uraian diatas bahwa

peningkatan penduduk di Indonesia setiap

tahunnya semakin meningkat padahal angka

pengguna KB meningkat, hanya saja

pengguna kontrasepsi IUD masih rendah

maka peneliti tertarik untuk meneliti

“Gambaran Faktor dominan penyebab

rendahnya pengguna kontrasepsi IUD pada

PUS”. Tujuan dari peneitian ini adalah

untuk mengetahui Faktor Dominan

Penyebab Rendahnya Akseptor IUD Pada

PUS Di Wilayah Puskesmas IV Denpasar

Selatan Tahun 2013.

METODE

Jenis penelitian ini deskriptif dengan

pendekatan terhadap subjek penelitian

adalah cross sectional . Subyek penelitian

adalah Ibu akseptor yang tidak

menggunakan kontrasepsi IUD yang

memenuhi kiteria inklusi di Puskesmas IV

Denpasar Selatan Tahun 2013. Tehnik

sampling yang digunakan adalah consekutif

sampling dengan jumlah sampel 40 orang.

Data didapatkan langsung dari responden

dengan menggunakan pedoman wawancara .

Analisis data yang digunakan analisa

deskriptif

HASIL DAN PEMBAHASAN.

Penelitian ini dilakukan mulai tanggal

15 Mei 3013 - 15 Juni 2013 di Puskesmas

IV Denpasar Selatan . Sebelum hasil

penelitian disajikan, akan disajikan terlebih

dahulu karakteristik subyek penelitian

berdasarkan umur, pendidikan dan pekerjaan

pada tabel berikut :

Tabel 1.Distribusi karakteristik responden

berdasarkan golongan umur

No GolonganUmur f %

1

2

3

<20 tahun

20-30 tahun

30-49tahun

0

22

18

0

55

45

40 100

Tabel 1 menunjukkan ibu PUS pada

golongan umur 20-30 tahun yaitu sebanyak

22 orang (55.%).

Tabel 2. Distribusi karakteristik responden

berdasarkan pendidikan

No Pendidikan f %

1

2

3

4

SD

SMP

SMA

PT

6

14

18

2

15

35

45.

5

40 100

Page 22: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

132

Tabel 2 menunjukkan bahwa ibu PUS

dominan berpendidikan SMA yaitu 18 orang

(45%).

Tabel 3. Distribusi karakteristik responden

Sesuai pekerjaan

No Pekerjaan n %

1

2

3

4

5

IRT

Pegawai negeri

Pegawai swasta

Petani

Wiraswasta

26

0

12

0

2

65

0

30

0

5

40 100

Tabel 3 menunjukkan lebih banyak bekerja

sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak

26 orang (65%).

Selanjutnya diuraikan hasil

penelitian secara rinci yang terdiri dari hasil

wawancara dengan ibu PUS tentang faktor

yang menyebabkan tidak memilih alat

kontrasepsi IUD yang diuraikan sebagai

berikut :

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan

Faktor penyebab tidak memakai

IUD

No Faktor penyebab f %

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Pengalaman

Malu dan risih

Adanya penyakit

Kurangnya

pengetahuan

Persepsi yang salah

tentang IU D

Prosedur

pemasangan IUD

yang rumit.

Pengaruh akseptor

IUD lainnya

Sosial budaya dan

ekonomi

Pekerjaan

3

11

1

18

3

2

1

1

0

7.5

27.5

2.5

45

7.5

5

2.5

2.5

0

40 100

Tabel 4 menunjukkan bahwa faktor

terbanyak yang menyebabkan PUS tidak

menggunakan alat kontrasepsi IUD adalah

pengetahuan ibu yang kurang (45%)

Berdasarkan hasil ini, dapat dilihat

bahwa memang benar adanya faktor – faktor

yang menyebabkan akseptor tidak

menggunakan kontrasepsi IUD di

Puskesmas IV Denpasar Selatan. Faktor

kurangnya pengetahuan merupakan faktor

yang paling besar risikonya terhadap

akseptor tidak memakai kontrasepsi IUD

yaitu sebesar 45%. Faktor dominan yang

menyebabkan rendahnya akseptor

menggunakan alat kontrasepsi IUD setelah

dianalisa adalah faktor kurangnya

pengetahuan dengan alasan akseptor takut

untuk menggunakan kontrasepsi IUD karena

kurangnya informasi yang di dapat. Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian

Juliasti Dewi dalam Angraeni dan Martini

(2012) yang menyatakan bahwa rendahnya

penggunaan kontrasepsi IUD disibebkan

karena kurangnya akseptor memperoleh

informasi tentang penggunaan kontrasepsi

IUD yaitu sebanyak 18% yang merupakan

faktor tertinggi yang menyebabkan

rendahnya penggunaan kontrasepsi IUD.

Karakteristik yang didapat bahwa umur,

pendidikan dan pekerjaan sangat

berpengaruh . dan berhubungan dengan

pemilihan alat kontrasepsi karena pada

umumnya pada usia 20 - 30 tahun

dianjurkan untuk mengatur jarak kehamilan,

cara kontrasepsi yang dianjurkan adalah

AKDR, susuk, kontrasepsi suntikan, Pil

mini, Pil KB dan kondom. Sesudah usia 30

tahun atau fase mengakhiri kesuburan,

dianjurkan menggunakan kontrasepsi

tubektomi, AKDR, susuk, kontrasepsi

suntikan, Pil KB dan kondom

(Sarwono,2005 dan Saifudin A B., (2006).

Pendidikan adalah salah satu faktor penentu

pada gaya hidup dan status kehidupan

seseorang dalam masyarakat. Tingkat

pendidikan yang dimiliki mempunyai

pengaruh yang kuat pada prilaku reproduksi

dan penggunaan alat kontrasepsi.

Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan

Indonesia (2002-2003) pemakaian alat

kontrasepsi meningkat sejalan dengan

tingkat pendidikan. Wanita yang tidak

sekolah menggunakan cara kontrasepsi

modern sebesar 45%, sedangkan wanita

Page 23: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

133

berpendidikan menengah atau lebih tinggi

yang menggunakan cara kontrasepsi modern

sebanyak 58%. Semakin tinggi tingkat

pendidikan wanita, semakin besar

kemungkinannya memakai alat atau cara KB

modern. IUD atau AKDR banyak digunakan

pada wanita dengan tingkat pendidikan

tinggi (SMA, Perguruan Tinggi)

dibandingkan dengan tingkat pendidikan

rendah (SD, SLTP). Yang kedua pendidikan

dimana sangat berpengaruh apa bila PUS

memiliki pendidikan yang rendah akan

menyulitkan dalam proses pemberian

informasi, sehingga pengetahuan IUD

terbatas. Yang ketiga pekerjaan dimana

sangat berpengaruh karena pekerjaan yang

melibatkan aktivitas fisik yang tinggi,

akseptor merasa takut lepas, khawatir

mengganggu pekerjaan atau mengganggu

saat bekerja

SIMPULAN

Sesuai dengan hasil penelitian dan

pembahasan dapat disimpulkan bahwa

karakteristik umur menunjukkan ibu PUS

pada golongan umur 20-30 tahun yaitu

sebanyak 22 orang (55.%). Karakteristik

pendidikan bahwa PUS dominan

berpendidikan SMA yaitu 18 orang (45%).

Karakteristik pekerjaan lebih banyak bekerja

sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak

26 orang (65%). Faktor dominan penyebab

rendahnya akseptor IUD pada PUS di

Wilayah Puskesmas IV Denpasar Selatan

adalah pengetahuan yang kurang 45% yaitu

akseptor takut untuk menggunakan

kontrasepsi IUD karena kurangnya

informasi yang di dapat.

DAFTAR RUJUKAN Anggraini, Martini, 2012, Pelayanan

Keluarga Berencana, Yogyakarta: Rohima Press

BKKBN, 2011, Kajian Implementasi

Kebijakan Penggunaan Kontrasepsi IUD.

Bobak , 2005, Buku Ajar Keperawatan

Maternitas. Jakarta : EGC Hartanto, H, 2004, Keluarga Berencana dan

Kontrasepsi. Jakarta : Sinar Harapan.

Handayani Sri, 2010, Buku Ajar Pelayanan Keluarga berencana, Yogyakarta: Pustaka Riharna.

Pinem Saroha, 2009, Kesehatan Reproduksi

Dan Kontrasepsi, Jakarta: CV Trans Info Media.

Suparyanto, 2012, Konsep IUD (Intra

Uterine Device), (online), From http://www konsep-iud.html (7 Juni 2012)

Sarwono, 2005, Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Saifudin A B., (2006). Buku acuan Panduan

Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta.

Page 24: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

134

SIKAP REMAJA SEHUBUNGAN MEDIA PORNOGRAFI

DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA

I Dewa Made Ruspawan

I Putu Dewi Citra Adnyana

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

Email: [email protected]

Abstract: Attitude Teenagers in relation Media Pornography with Premarital

Teenagers Sexual Behavior. The purpose of this study was to determine the

relationship of the media in relation teenagers attitude pornography with teenagers

premarital sexual behavior in SMA Negeri 2 Banjar. This research is an

observational analytic cross sectional approach. Sampling technique using a

stratified random sampling with sample of 216 respondents. Data were taken using a

questionnaire scores sexual attitudes and behavior. The results of the analysis get

attitude teenagers in relation media pornography with premarital teenagers sexual

behavior of 42.5% is attitude and attitude is quite less. Sexual behavior by 36% is

moderate sexual behavior. Results of Spearman's rho test scores (r) = 0.754 and

p = 0.000 (<0.05), so that there is a significant correlation attitude teenagers in

relation media pornography with premarital teenagers sexual behavior in SMA

Negeri 2 Banjar.

Abstrak: Sikap Remaja Sehubungan Media Pornografi Dengan Perilaku

Seksual Pranikah Remaja. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan sikap

remaja sehubungan media pornografi dengan perilaku seksual pranikah remaja di

SMA Negeri 2 Banjar. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan

pendekatan cross sectional. Teknik sampling menggunakan stratified random

sampling dengan jumlah sampel 216 responden. Data yang diambil berupa skor

menggunakan kuesioner sikap dan perilaku seksual. Hasil analisis penelitian

mendapatkan sikap remaja sehubungan media pornografi masing-masing sebesar

42,5% adalah sikap cukup dan sikap kurang. Perilaku seksual sebesar 36% adalah

perilaku seksual sedang. Hasil uji spearman rho mendapatkan nilai (r)= 0,754 dan

p= 0,000 (<0,05), ada hubungan yang signifikan antara sikap remaja sehubungan

media pornografi dengan perilaku seksual pranikah remaja di SMA Negeri 2 Banjar.

Kata kunci : sikap remaja, media pornografi, perilaku seksual pranikah

Masa remaja merupakan suatu fase

perkembangan yang dinamis dalam

kehidupan seorang individu, dimana masa

ini terdapat periode transisi dari masa anak-

anak ke masa dewasa (Pardede dalam

Soetjiningsih, 2008). Siswa SMA dalam

perkembangannya berada pada kategori

remaja menengah dan baru memasuki

remaja akhir (15-19 tahun). Pada usia ini

perkembangan individu ditandai dengan

pencarian identitas diri, adanya pengaruh

dari lingkungan, dan pengembangan

terhadap satu pekerjaan atau tugas yang

ditekuni secara mendalam (Kusmiran,

2011).

Data demografi menunjukkan bahwa

remaja merupakan populasi yang besar dari

penduduk dunia. Sekitar 900 juta berada di

negara sedang berkembang. Data demografi

di Amerika Serikat (1990) menunjukkan

jumlah remaja berumur 10-19 tahun sekitar

15% dari populasi. Jumlah penduduk di Asia

Pasifik adalah 60% dari penduduk dunia,

seperlimanya merupakan remaja umur 10-19

Page 25: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

135

tahun. Berdasarkan hasil sensus penduduk

Indonesia tahun 2010 jumlah remaja sangat

besar yaitu sekitar 64 juta atau 27,6% dari

jumlah total penduduk Indonesia 237,6 juta

jiwa.

Remaja kerap kali mengalami kesulitan

dalam mengikuti proses perkembangan, baik

itu dari segi perubahan fisik, emosi, mental

dan sosial. Pengaruh dari lingkungan sangat

berperan dalam pembentukan sikap dan

perilaku remaja. Perilaku seksual pranikah

dikalangan remaja sudah menjadi fenomena

yang umum di masyarakat. Perilaku seksual

pranikah yang dimaksud adalah hubungan

seksual yang dilakukan oleh dua orang yang

tidak ingin hidup bersama dalam

perkawinan atau keluarga (Mutadin, 2002).

Salah satu faktor yang mendorong

remaja untuk melakukan hubungan seksual

pranikah karena perubahan-perubahan

hormonal dalam tubuh remaja yang

membuat hasrat seksual (libido seksual)

menjadi meningkat. Peningkatan hasrat

seksual ini membutuhkan penyaluran dalam

bentuk tingkah laku tertentu. Penyaluran itu

tidak dapat segera dilakukan karena adanya

penundaan usia perkawinan dan norma-

norma yang ada di masyarakat. Selanjutnya

remaja akan berkembang lebih jauh terhadap

hasrat seksualnya kepada tingkah laku yang

lain seperti berciuman dan masturbasi atau

onani. Kecenderungan semakin meningkat

oleh karena adanya penyebaran informasi

dan rangsangan seksual melalui media

massa yang sangat mudah diakses oleh para

remaja. Media yang sering digunakan oleh

remaja seperti situs porno (internet), majalah

porno, video, film porno, serta smartphone

(Sarwono, 2012).

Survey internasional yang dilakukan

oleh Bayer Healthcare Pharmaceutical

terhadap 6.000 remaja di 26 negara

mengungkapkan, ada peningkatan jumlah

remaja yang melakukan seks tidak aman

seperti di Perancis yang mencapai angka

111%, di Amerika Serikat menembus angka

39% dan 19% di Inggris pada tahun 2011.

Penelitian yang dilakukan oleh Susanto

(2012) tentang hubungan antara sikap media

pornografi dengan perilaku seksual pranikah

pada remaja menunjukkan bahwa sikap

terhadap media pornografi sebesar 80,8%

termasuk kategori sikap positif dan 19,2%

termasuk sikap negatif. Perilaku seksual

pranikah pada subjek penelitian sebesar

44,2% dalam kategori tinggi, 32,7% kategori

sedang dan 23,1% kategori rendah. Ini

dikuatkan juga dengan hasil penelitian dari

Pawestri, dkk (2013) yang menunjukkan

bahwa sikap siswa sebagian besar negatif

(54,4%) dan perilaku seks pranikah sebagian

besar kurang baik (48,1%).

Hasil dari studi pendahuluan yang

dilakukan di SMA Negeri 2 Banjar pada

tanggal 3 April 2014 didapatkan data bahwa

sekolah ini merupakan salah satu sekolah

dengan siswa terbanyak di Kecamatan. Hasil

wawancara dengan Kepala SMA

mendapatkan data bahwa setiap semesternya

(enam bulan) rata-rata terdapat satu sampai

dua siswa yang keluar atau dikeluarkan oleh

sekolah karena hamil di luar nikah. Selain

itu, dari sepuluh siswa yang diberikan

kuesioner perilaku seksual terdapat lima

siswa termasuk dalam kategori perilaku

seksual tinggi, tiga diantaranya termasuk

dalam kategori perilaku seksual sedang dan

dua siswa lagi termasuk dalam kategori

perilaku seksual rendah.

Beranjak dari data tersebut peneliti

tertarik melakukan penelitian ini karena di

jaman yang serba teknologi ini, remaja

sangat mudah mengakses internet yang bisa

dilakukan dimana saja, untuk itu siswa

sangat rentan terhadap paparan dari media

pornografi, sehingga peneliti ingin

mengetahui hubungan sikap remaja

sehubungan media pornografi dengan

perilaku seksual pranikah pada remaja di

SMA Negeri 2 Banjar.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui sikap remaja sehubungan media

pornografi, untuk mengetahui perilaku

seksual pranikah remaja dan untuk

menganalisa hubungan sikap remaja

sehubungan media pornografi dengan

perilaku seksual pranikah remaja di SMA

Negeri 2 Banjar.

Page 26: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

136

METODE

Desain penelitian merupakan rancangan

penelitian yang disusun sedemikian rupa

sehingga dapat menuntun peneliti untuk

memperoleh jawaban terhadap pertanyaan

penelitian. Dalam penelitian ini

menggunakan jenis penelitian analitik

observasional. Penelitian analitik ialah

penelitian yang berupaya mencari hubungan

antara variabel yang satu dengan variabel

yang lainnya dengan melakukan analisis

data. Studi observasional dilakukan pada

penelitian tanpa intervensi dan hanya akan

melaksanakan pengamatan pada subjek

penelitian. Penelitian ini menggunakan

pendekatan studi cross sectional, yaitu

peneliti melakukan observasi atau

pengukuran variabel pada satu saat yang

sama, tetapi tiap subjek hanya diobservasi

satu kali dan pengukuran variabel subjek

dilakukan pada saat pemeriksaan tersebut.

Populasi dalam penelitian adalah subjek

(misalnya manusia;klien) yang memenuhi

kriteria yang telah ditetapkan, yaitu seluruh

remaja kelas X dan XI di SMA Negeri 2

Banjar sebanyak 471 responden. Sedangkan

sampel terdiri dari bagian populasi yang

dapat dipergunakan sebagai subjek

penelitian melalui sampling. Teknik

sampling itu sendiri merupakan cara-cara

yang ditempuh dalam pengambilan sampel,

agar memperoleh sampel yang benar-benar

sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian.

Teknik sampling pada penelitian ini

menggunakan Probability Sampling yaitu

metode pengambilan sampel dengan prinsip

utama bahwa setiap subjek dalam populasi

harus mempunyai kesempatan yang sama

untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai

sampel. Dengan jenis Stratified Random

Sampling yaitu jenis sampling yang

digunakan peneliti untuk mengetahui

beberapa variabel pada populasi yang

merupakan hal yang penting untuk mencapai

sampel yang representatif, dari teknik

sampling tersebut maka diperoleh jumlah

sampel sebanyak 216 responden.

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri

2 Banjar Desa Banjar Tegeha, Kecamatan

Banjar, Kabupaten Buleleng dari bulan

Maret sampai dengan Agustus 2014 dan

pengumpulan data dilakukan dari tanggal 2

sampai dengan 6 Juni 2014.

Variabel adalah karakteristik subjek

penelitian yang berubah dari satu subjek ke

subjek lain. Berdasarkan fungsinya dalam

konteks penelitian khususnya dalam

hubungan antar variabel, terdapat variabel

bebas (independen), yaitu variabel yang

apabila ia berubah akan mengakibatkan

perubahan pada variabel lain dan variabel

tergantung (dependen), yaitu variabel yang

berubah akibat perubahan variabel bebas.

Dalam penelitian ini, variabel

independennya adalah sikap remaja

sehubungan media pornografi, sedangkan

variabel dependennya ialah perilaku seksual

pranikah remaja.

Instrumen yang digunakan pada

penelitian ini adalah lembar kuesioner yang

terdiri dari tiga bagian yaitu bagian pertama

membahas mengenai identitas responden

yang mencangkup umur, kelas dan jenis

kelamin. Selanjutnya pada bagian kedua,

kuesioner menggunakan skala likert yang

diukur dengan kuesioner sikap remaja

sehubungan media pornografi yang

didapatkan dari majalah porno, situs porno

(internet), video, film porno, serta

smartphone. Bagian ketiga menggunakan

kuesioner perilaku seksual untuk

mengetahui tingkat perilaku seksual remaja.

Dalam pengisian kuesioner sudah

terdapat lembar informed consent untuk

responden menyetujui berpartisipasi dalam

penelitian ini. Setelah kuesioner disebar dan

diisi oleh responden kemudian dilakukan

pengolahan data yang meliputi editing,

coding, entry dan tabulating. Data yang

telah diolah sesuai dengan tahapan tersebut

selanjutnya dianalisis dengan menggunakan

uji spearman rho untuk mendapatkan hasil

akhir dan ditampilkan pada penyajian hasil.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan terhadap objek

penelitian mendapatkan sikap remaja

sehubungan media pornografi dari 216

responden yang memiliki sikap baik

sebanyak 32 orang (15%), sikap cukup dan

Page 27: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

137

sikap kurang masing-masing sebanyak 92

orang (42,5%) (lihat tabel. 1).

Tabel. 1 Distribusi sikap remaja sehubungan

media pornografi (n= 216)

Kategori Frekuensi (f) Total Persentase

(%) Laki

-laki

Perem

puan

Baik 24 8 32 15

Cukup 49 43 92 42,5

Kurang 43 49 92 42,5

Untuk perilaku seksual pranikah remaja

didapatkan dari 216 responden yang

memiliki perilaku seksual tinggi sebanyak

67 orang (31%), perilaku seksual sedang

sebanyak 78 orang (36%) dan perilaku

seksual rendah sebanyak 71 orang (33%)

(lihat tabel. 2).

Tabel. 2 Distribusi perilaku seksual pranikah

remaja (n= 216)

Kategori Frekuensi (f) Total Persentase

(%) Laki-

laki

Peremp

uan

Tinggi 48 19 67 31

Sedang 41 37 78 36

Rendah 27 44 71 33

Untuk hubungan sikap remaja

sehubungan media pornografi dengan

perilaku seksual pranikah remaja didapatkan

dari 216 responden yang memiliki sikap

kurang dengan perilaku seksual rendah

sebanyak 66 orang (31%) dan tidak ada

sikap kurang dengan perilaku seksual tinggi

serta sikap baik dengan perilaku seksual

rendah (lihat tabel. 3).

Tabel. 3 Tabel silang sikap remaja

sehubungan media pornografi

dengan perilaku seksual

pranikah remaja

Kategori

Sikap

Kategori Perilaku

Seksual

Total Persenta

se (%) Rendah Sedang Tinggi

Kurang 66 26 0 92 42,5

Cukup 5 44 43 92 42,5

Baik 0 8 24 32 15

Total 71 78 67 216 100

Sesuai dengan tujuan penelitian untuk

menjawab hipotesis yaitu apakah ada

hubungan sikap remaja sehubungan media

pornografi dengan perilaku seksual pranikah

remaja di SMA Negeri 2 Banjar, maka

digunakan uji spearman rho untuk

mendapatkan korelasi antara kedua variabel.

Uji ini dipilih karena kedua variabel dalam

penelitian ini memiliki skala data ordinal.

Penelitian ini menggunakan sampel (n)

sebanyak 216 responden sehingga

tidak dapat dicari dengan menggunakan

rumus secara manual karena nilai pada

terbatas hanya sampai (n)= 30, untuk itu

hubungan antara variabel pada penelitian ini

ditentukan dengan arah korelasi yaitu

dengan melihat hasil uji spearman rho pada

level signifikansi (= 0,05) maka diperoleh

(r)= 0,754 dengan nilai p= 0,000. Nilai ini

berada antara 0,60 - 0,799 yang berarti

korelasi memiliki tingkat hubungan yang

kuat (Sugiyono, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh

sikap remaja sehubungan media pornografi

di SMA Negeri 2 Banjar, dengan hasil sikap

baik sebesar 15% dimana laki-laki sebesar

11% dan perempuan sebesar 4%. Sikap

cukup dari penelitian ini sebesar 42,5%

dimana laki-laki sebesar 22,5% dan

perempuan sebesar 20% serta sikap kurang

sebesar 42,5% dimana laki-laki sebesar 20%

dan perempuan sebesar 22,5%.

Hasil ini menunjukkan bahwa kaum

laki-laki lebih mendominasi daripada

perempuan, dalam hal memperoleh paparan

media pornografi. Ini disebabkan karena

laki-laki lebih berani mengekspresikan nilai-

nilai yang dimilikinya, memiliki rasa ingin

tahu yang besar, ingin mengerti dan ingin

lebih mendapatkan pengalaman serta

pengetahuan. Selain itu, pergaulan yang

semakin bebas dikalangan remaja menjadi

faktor yang penting dalam remaja bersikap,

sebab sikap itu sendiri diambil oleh remaja

untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungannya (Atkinson, dkk dalam

Sunaryo, 2013) .

Sikap terhadap objek tertentu dapat

merupakan sikap pandangan atau sikap

Page 28: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

138

perasaan, namun sikap tersebut disertai

dengan kecenderungan untuk bertindak

sesuai dengan objek tadi (Gerungan dalam

Sunaryo, 2013). Kecenderungan yang

dimaksud menurut Thurston dalam Sunaryo

(2013), berupa sikap positif atau negatif.

Sikap positif terhadap objek sikap berupa

media pornografi akan membuat remaja

lebih menyukai atau lebih senang saat

menggunakan media tersebut, sebaliknya

sikap negatif akan menghindari atau rasa

tidak senang terhadap media pornografi

tersebut.

Teori ini didukung oleh hasil penelitian

dari Anggriyani & Trisnawati (2011), pada

penelitian mengenai hubungan antara seks

pranikah dengan perilaku seks remaja pada

SMK Kerabat Kita Bumiayu Kabupaten

Brebes yang menyatakan bahwa sikap

terhadap seks pranikah pada 89 siswa

kurang baik yaitu sebesar 34,8% sedangkan

peneliti mendapatkan sikap remaja

sehubungan media pornografi sebesar

42,5%. Sama-sama berada pada kategori

kurang baik.

Peneliti menekankan bahwa hasil yang

didapat oleh Anggriyani & Trisnawati yaitu

kurang baik yang lebih kecil dibandingkan

hasil yang didapat peneliti, ini dikarenakan

peneliti menggunakan jumlah sampel yang

lebih banyak yaitu 216 responden. Jumlah

inilah yang mempengaruhi hasil dari

penelitian sehingga peneliti mendapatkan

jumlah persentase yang lebih besar pada

sikap remaja sehubungan media pornografi

dengan perilaku seksual pranikah.

Perilaku seksual pranikah remaja pada

penelitian ini mendapatkan hasil, remaja

yang memiliki perilaku seksual tinggi

sebesar 31% dimana laki-laki sebesar 22%

dan perempuan sebesar 9%, perilaku seksual

sedang sebesar 36% dimana laki-laki

sebesar 19% dan perempuan sebesar 17%

serta perilaku seksual rendah pada penelitian

ini sebesar 33% dimana laki-laki sebesar

13% dan perempuan sebesar 20%.

Hasil ini menginformasikan bahwa

perilaku seksual tinggi dan sedang lebih

banyak laki-laki dibanding perempuan, serta

perilaku seksual rendah lebih banyak

perempuan. Ini berkaitan dengan sikap laki-

laki yang lebih mendominasi perempuan

dalam memperoleh paparan media

pornografi.

Paparan tersebut menjadi salah satu

faktor yang berpengaruh terhadap sikap

dengan perilaku seksual remaja. Ini dapat

dilihat dari koefisien korelasi yang

dikuadratkan ( ) sebesar 0,57 yang berarti

bahwa sikap remaja sehubungan media

pornografi secara umum memberi pengaruh

terhadap perilaku seksual pranikah sebesar

0,57 dan sisanya 0,43 perilaku seksual

pranikah dipengaruhi oleh faktor lainnya

seperti meningkatnya libido seksual remaja,

terjadinya penundaan usia perkawinan di

masyarakat, masih adanya istilah tabu atau

larangan mengenai seksualitas, kurangnya

informasi seksual yang diterima oleh remaja

secara tepat dan maraknya pergaulan bebas

dikalangan remaja (Sarwono, 2012).

Hasil penelitian ini sejalan dengan

pendapat Pangkahila dalam Soetjiningsih

(2010), yang menyatakan bahwa remaja

menginginkan kebebasan lebih banyak

terhadap aktifitas seksualnya. Aspek seksual

remaja yang memiliki kekhususan

pengalaman berfantasi dan mimpi basah

sebesar 93% untuk remaja laki-laki dan

remaja perempuan sebesar 89% melakukan

fantasi pada saat mansturbasi.

Pernyataan ini sejalan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Widajati, dkk

(2009) di SMK PGRI 3 Walikukun

mengenai faktor yang mempengaruhi

perilaku seksual remaja pada 125 responden,

mendapatkan perilaku seksual berupa deep

kissing pada laki-laki sebesar 60% dan

perempuan sebesar 3%, genital stimulation

pada laki-laki sebesar 48% dan perempuan

sebesar 8%, petting pada laki-laki sebesar

28% dan perempuan sebesar 1%, serta

sexual intercourse pada laki-laki sebesar

28% dan perempuan sebesar 1%. Selain itu,

penelitian dari Anggriyani & Trisnawati

(2011), mendapatkan perilaku seksual

berisiko sebesar 53,9% pada 89 siswa dalam

penelitian hubungan antara seks pranikah

dengan perilaku seks remaja pada SMK

Kerabat Kita Bumiayu Kabupaten Brebes.

Page 29: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

139

Hasil tersebut menguatkan hasil yang

didapat peneliti yaitu perilaku seksual

remaja sebesar 31% pada kategori tinggi

sehingga dapat digaris bawahi sasaran yang

sama yaitu siswa SMA yang berada pada

rentang umur 15-19 tahun merupakan

remaja yang mempunyai aktifitas seksual

yang tinggi dan intens. Kemudian lebih

ditekankan pada remaja laki-laki karena dari

hasil penelitian didapatkan persentase untuk

perilaku seksual laki-laki lebih tinggi

dibandingkan perempuan.

Ini disebabkan selain karena faktor

libido seksual yang meningkat karena

pertumbuhan hormonal pada remaja juga

karena dorongan seksual akibat banyaknya

paparan media pornografi yang diterima

remaja.

Dari hasil analisis hubungan sikap

remaja sehubungan media pornografi

dengan perilaku seksual pranikah remaja di

SMA Negeri 2 Banjar, didapatkan dari 216

responden yang memiliki sikap kurang

dengan perilaku seksual rendah sebesar

31%, sikap kurang dengan perilaku seksual

sedang sebesar 12%, sikap cukup dengan

perilaku seksual rendah sebesar 2%, sikap

cukup dengan perilaku seksual sedang

sebesar 20%, sikap cukup dengan perilaku

seksual tinggi sebesar 20%, sikap baik

dengan perilaku seksual sedang sebesar 4%

dan sikap baik dengan perilaku seksual

tinggi sebesar 11% serta tidak ada sikap

kurang dengan perilaku seksual tinggi dan

sikap baik dengan perilaku seksual rendah.

Berdasarkan hasil analisis ini, hipotesis

yang dirancang dalam penelitian dapat

diterima dengan nilai (r)= 0,754 dan p=

0,000 karena p < maka dapat disimpulkan

ada hubungan yang signifikan antara sikap

remaja sehubungan media pornografi

dengan perilaku seksual pranikah remaja di

SMA Negeri 2 Banjar.

Dilihat dari nilai (r) yang positif maka

terdapat hubungan positif atau searah antar

dua variabel. Hubungan positif ini

menunjukkan bahwa kenaikan nilai variabel

yang satu yaitu variabel bebas yang berupa

sikap remaja sehubungan media pornografi

akan diikuti dengan naiknya variabel yang

lain, dalam hal ini variabel terikat yaitu

perilaku seksual pranikah remaja, artinya

semakin banyak paparan media pornografi

yang diterima semakin baik sikap remaja

dan semakin tinggi perilaku seksual

pranikah remaja, begitu pula sebaliknya

semakin sedikit paparan media pornografi

yang diterima semakin kurang sikap remaja

dan semakin rendah perilaku seksual

pranikah pada remaja.

Hasil penelitian ini membuktikan teori

Rosenberg dalam Wawan & Dewi (2010),

bahwa sikap merupakan predisposisi untuk

berespon sejumlah stimulus dimana respon

tersebut berupa afektif, kognitif dan

behavioral atau konasi yang saling

berhubungan dalam ikatan antara akibat

(effect) dan penyebab (cause) dari suatu

peristiwa. Hal yang sama juga disampaikan

oleh Saifuddin dalam Sunaryo (2013),

bahwa sikap mengandung aspek penilaian

atau evaluatif yang terdiri dari tiga

komponen yang berpengaruh terhadap

pengambilan penilaian terhadap objek sikap.

Tiga komponen tersebut adalah komponen

kognitif, afektif dan konatif.

Sejalan dengan teori di atas, penelitian

yang dilakukan oleh Anggriyani &

Trisnawati (2011) pada penelitian Cross

Sectional yang berjudul hubungan antara

seks pranikah dengan perilaku seks remaja

pada SMK Kerabat Kita Bumiayu

Kabupaten Brebes dengan jumlah sampel 89

orang, mendapatkan hubungan yang

signifikan antara sikap remaja terhadap seks

pranikah dengan perilaku seks remaja

dengan nilai Chi-Square 47,299 dan p=

0,000.

Dengan hasil analisis yang sama-sama

memperoleh hubungan yang signifikan

antara sikap dengan perilaku seksual,

peneliti menekankan bahwa remaja yang

masih dalam masa perkembangan yaitu

umur 15-19 tahun sangat rentan terhadap

media pornografi. Remaja dapat mengakses

media tersebut dengan leluasa tanpa

pengawasan dan mendorong hasrat seksual

remaja sehingga perilaku seksual pranikah

menjadi meningkat.

Page 30: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

140

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan di atas, maka dapat

disimpulkan sikap remaja sehubungan media

pornografi di SMA Negeri 2 Banjar adalah

sikap cukup dan sikap kurang masing-

masing sebesar 42,5%. Sedangkan untuk

perilaku seksual pranikah remaja sebesar

36% adalah perilaku seksual sedang dan dari

hasil uji spearman rho didapatkan nilai (r)=

0,754 dan nilai p= 0,000 (<0,05) maka ada

hubungan yang signifikan antara sikap

remaja sehubungan media pornografi

dengan perilaku seksual pranikah remaja di

SMA Negeri 2 Banjar.

DAFTAR RUJUKAN Anggriyani, N dan Trisnawati, Y. 2011.

Hubungan antara Seks Pranikah dengan Perilaku Seks Remaja pada SMK Kerabat Kita Bumiayu Kabupaten Brebes. Jurnal Ilmiah Kebidanan Vol. 2: Akademi Kebidanan YLPP Purwokerto.

Kusmiran, E. 2011. Kesehatan Reproduksi

Remaja dan Wanita. Jakarta : Salemba Medika.

Pawestri. 2013. Pengetahuan, Sikap dan

Perilaku Remaja Tentang Seks Pranikah. Jurnal Keperawatan Maternitas, Vol. 1 : Fikkes Universitas Muhammadiyah Semarang.

Sarwono, S. 2012. Psikologi Remaja.

Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Soetjiningsih. 2008. Tumbuh Kembang Anak

dan Remaja. Jakarta : Sagung Seto. Soetjiningsih. 2010. Tumbuh Kembang

Remaja dan Permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian

Administrasi. Bandung : Alfabeta. Sunaryo. 2013. Psikologi untuk

Keperawatan Edisi 2. Jakarta : EGC. Susanto. 2012. Hubungan antara Sikap

Terhadap Media Pornografi dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja. Jurnal Psikologi : Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.

Wawan. A dan Dewi, M. 2010. Teori & Pengukuran Pengetahuan Sikap dan Perilaku Manusia. Yogyakarta : Nuha Medika.

Widajati, 2009. Faktor yang Mempengaruhi

Perilaku Seksual Remaja Di SMK Kabupaten Ngawi. Jurnal Kebidanan Vol. VII No. 3 : Poltekkes Depkes Surabaya.

Page 31: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

141

STRES DENGAN SIKLUS MENSTRUASI MAHASISWI

ANGKATAN EMPAT STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI

A.A.Ayu Sintha Pramita Dewi

I Dewa Made Ruspawan

Tri Rahayuning Lestari

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Medika PPNI Bali

Email: [email protected]

Abstract: Stress With Menstruation Cycle At The Fourth Generation Women

Student of Stikes Wira Medika PPNI Bali. This study aims to find out the correlation

between stress level with menstruation cycle at the fourth generation women student

of STIKES WIRA MEDIKA PPNI Bali. This study was used 66 respondents by using

simple random technique and stratified random sampling. This study was used

enquette, questioner, processed in coding and scoring. This study was processed by

computer. By bivariate analys with Lambda test. The result showed that most of them

experience stress with unregular menstruation cycle was 50 respondents (75,8%) and

little of them was stress with regular menstruation cycle was 16 respondents (24,25).

There is significant correlation with stress level with menstruation cycle (r=0,294,

p=0,001).

Abstrak: Stres Dengan Siklus Menstruasi Mahasiswi Angkatan Empat Stikes

Wira Medika PPNI Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya

Hubungan Tingkat Stres dengan Siklus Menstruasi Mahasiswi Angkatan-4 STIKes

Wira Medika PPNI Bali. Penelitian ini dilakukan pada 66 responden dengan

menggunakan tehnik simple random sampling dan stratified random sampling

pengumpulan data penelitian dengan metode angket, melalui kuesioner, diolah secara

coding dan scoring. Penelitian ini diolah dengan menggunakan komputer. Dengan

analisa bivariat dengan uji Lambda. Dengan hasil penelitian sebagian besar

responden mengalami stres dengan siklus menstruasi tidak teratur sebanyak 50

responden (75,8%) dan sebagian kecil mengalami stres dengan siklus menstruasi

teratur sebanyak 16 responden (24,2%). Terdapat hubungan tingkat stres dengan

siklus menstruasi (r = 0,294, p = 0,001).

Kata kunci: stres, siklus menstruasi

Salah satu periode dalam rentang

kehidupan individu yaitu masa (fase)

remaja. Dimana pada masa ini segmen

kehidupan akan terasa lebih penting dalam

proses perkembangan individu dan

merupakan masa transisi yang dapat

diarahkan menuju masa dewasa yang sehat.

Tahap remaja merupakan masa transisi

antara masa anak dan dewasa, dimana

terjadi pacu tumbuh (growth spurt), dan

terjadi perubahan-perubahan psikologis dan

kognitif, serta ciri-ciri seks sekunder seperti

menstruasi. (Mansur, 2012).

Pada remaja yang sudah mengalami

menstruasi, sering mengalami gangguan

terkait dengan menstruasi. Dimana remaja

akan merasa terganggua bila hidupnya

mengalami perubahan, terutama bila

menatruasi menjadi lebih lama atau banyak ,

tidak teratur, lebih sering atau tidak haid

sama sekali (Dwi Sogi, 2011). Menstruasi

dikatakan sebagai proses alamiah yang akan

terjadi pada setiap remaja, dimana terjadinya

proses pengeluaran darah yang menandakan

bahwa organ dalam kandungan telah

berfungsi dengan matang (Kusmiran, E

2011)

Page 32: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

142

Panjang siklus mestruasi normalnya

22-35 hari dan lamanya menstruasi yaitu 3-8

hari. Dalam hal ini banyak yang

menyebabkan terjadinya gangguan siklus

menstruasi. Dimana, siklus menstruasi

menjadi panjang atau pendek. Pada dasarnya

pada panjang atau pendeknya sebuah siklus

menstruasi, melainkan berdasarkan pada

kelainan yang di jumpai. Namun, panjang

siklus yang biasa dan kira-kira 97% wanita

yang berovulasi siklus menstruasinya

berkisar 18-42 hari (Wiknjosastro, 2006).

Menurut WHO dan American of Pediatrics,

Commite on Adolescence Health Care

(2006), panjang siklus menstruasi setelah

menarch adalah 3IV hari dengan 38%

wanita mempunyai siklus menstruasi

melebihi 40 hari. Hasil yang didapatkan

bervariasi yaitu 10% wanita mempunyai

siklus menstruasi melebihi 60 hari antara

siklus menstruasi yang pertama dengan

berikutnya, dan 7% mempunyai panjang

siklus 20 hari. Jika siklusnya kurang dari 18

hari atau lebih dari 42 hari dean tidak

teratur, biasanya siklus tersebut tidak

berovulasi (Wiknjosastro, 2006).

Pada tahun-tahun awal menstruasi

merupakan periode yang rentan terhadap

terjadinya gangguan menstruasi. Dimana

sebanyak 75% wanita pada tahap remaja

akhir sering mengalami gangguan terkait

dengan menstruasi. Menstruasi yang

tertunda, tidak teratur, nyeri, pendarahan

yang banyak pada waktu menstruasi

merupakan hal yang sering, yang dapat

menyebabkan remaja menemui dokter. Pada

penelitian yang dilakukan oleh Cakir M et

al. Beliau menemukan bahwa prevalensi

ketidakteraturan menstruasi sebesar

(31,2%). Mengenai gangguan lainnya,

BieniasZ J et al. Didapatkan prevalensi

amenorea primer sebanyak 5,3%, amenorea

sekunder 18,4%, oligomenorea 50%,

polimenorea 10,5%, dan gangguan

campuran sebanyak 15,8%. Sedangkan

sindrom pramenstruasi diapatkan IV0%

terjadi pada wanita dengan gejala berat

2-10% penderita.

Penyebab terjadinya perubahan ataupun

gangguan yang terkait dengan siklus

mestruasi, dapat disebakan karena adanya

faktor atau kelainan biologik (organik atau

disfungsional) atau dapat pula karena

psikologik seperti keadaan-keadaan stres

dan gangguan emosi atau gabungan dari

biologik dan psiklogik (Dwi Sogi, 2011).

Stres merupakan kondisi yang dapat dialami

oleh setiap orang. Stres dapat diartikan

sebagai situasi dimana tuntutan yang tidak

spesifik mengharuskan individu untuk

berespon atau melakukan suatu tindakan

baik fisiologis maupun psikologis untuk

dapat mempertahankan keadaan yang

seimbang. Stres merupakan situasi yang

positif dan bahkan diperlukan, namun jika

stres terjadi secara berlebihan akan

menyebabkan hal yang negatif misalnya

penyesuaian yang buruk, penyakit fisik, dan

ketidakmampuan untuk mengatasi masalah

(Potter, 2005)

Stres yang terjadi di karena oleh situasi

lingkungan misalnya bahaya, ancaman, atau

tantangan dengan melakukan suatu

perubahan pada fisiologis, emosi, kognitif,

dan behavioral. Stres dapat terjadi melalui

proses, dimana ketika tubuh seseorang

terkena stres akan memanfaatkan gizi yang

lebih dibandingkan ketika seseorang tersebut

dalam kondisi normal (Taylor, 2009)

Stress yang terjadi pada seseorang

disebabkan karena faktor kemampuan

individu mempersepsikan stressor, dimana

apabila stressor yang di persepsikan akan

berakibat buruk maka stress yang dirasakan

akan sangat berat begitu juga sebalikanya

apabila stressor yang di persepsikan tidak

mengancam dan individu mampu mengatasi

maka stress yang dirasakan akan lebih

ringan. Pada angkatan-V di dapatkan bahwa

sebanyak 35% mahasiswi mengalami stress

yang diakibatkan karena individu tersebut

belum dapat mempersepsikan stressor yang

mereka alami. (Rasmun, 2005)

Berdasarkan hasil studi pendahuluan

yang dilakukan pada bulan maret 2014, pada

20 orang mahasiswi angkatan-IV program

studi ilmu keperawatan STIKes Wira

Medika PPNI Bali, penulis menemukan

bahwa sebanyak 16 orang (80%) mahasiswi

angkatan-IV mengalami stres akibat beban

Page 33: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

143

perkuliahan, 5 orang (21%) mahasiswi

angkatan-IV mengalami stres karena

memiliki masalah pribadi, dan 3 orang

(15%) mahasiswi angkatan-IV tidak

mengalami stres. Sebanyak 7 orang (35%)

mahasiswi angkatan-IV mengalami siklus

menstruasi panjang (oligomenorea),

sebanyak 6 orang (30%) mahasiswi

angkatan-IV mengalami ketidakteratuan

menstruasi, sebanyak 4 orang (20%)

mahasiswi angkatan-IV mengalami siklus

menstruasi pendek (polimenorea), dan

sebanyak 3 orang (15%) mengalami siklus

mentruasi yang tetap. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya

Hubungan Tingkat Stres dengan Siklus

Menstruasi Mahasiswi Angkatan-4 STIKes

Wira Medika PPNI Bali.

METODE

Desain penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah deskriptif korelasional.

Penelitian ini menggunakan pendekatan

cross sectional yaitu pendekatan yang

menggunakan observasi atau pengumpulan

data sekali saja dan pengukuran terhadap

variabel subyek pada saat pemeriksaan.

Populasi pada penelitian adalah seluruh

mahasiswi angkatan-4 di STIKes Wira

Medika PPNI Bali sebanyak 214 orang

dengan jumlah sampel penelitian sebanyak

66 responden. Penelitian ini dilaksanakan di

Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes

Wira Medika PPNI Bali selama satu bulan

yaitu dari bulan Juni sampai dengan Juli

2014.

Teknik pengolahan data dan analis data

adalah sebagai berikut: (1) Editing, (2)

Coding, (3) Entry, (4) Tabulasi. Teknik

analisa yang dipakai dalam penelitian ini

adalah teknik statistik yaitu teknik

pengolahan data dengan menggunakan

analisis statistik. Analisis yang digunakan

untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini

adalah dengan menggunakan uji statistik

non parametrik. Teknik analisa data yang

digunakan adalah analisa korelasi bivariat

yaitu melihat apakah ada hubungan antara

dua variabel. Uji statistik yang digunakan

Lamda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Karakteristik Responden

Berdasarkan Umur

Umur Frekuensi (f) Presentase (%)

20 8 12,3%

21 32 48,4%

22

total

26

66

39,3%

100%

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan

bahwa sebagian besar mahasiswi angkatan 4

progam studi ilmu keperawatan adalah

berusian 21 tahun sebanyak 32 responden

(48,4 %), dan mahasiswi angkatan-4

program studi ilmu keperawatan yang

berusia 20 tahun sebanyak 8 responden

(12,3%).

Tabel 2. Karakteristik Tingkat Stres

Mahasiswi Angkatan-4

STIKes Wira Medika PPNI

Kategori Stres Frekuensi Presentase

Stres ringan 0 0

Stres sedang 52 78,8%

Stres berat 14 21,2%

Stres sangat berat

Total

0

66

0

100%

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat

karakteristik tingkat stres responden yaitu

sebagian besar mahasiswi angkatan-4

program studi ilmu keperawatan STIKes

Wira Medika PPNI Bali mengalami tingkat

stres sedang yaitu sebanyak 52 responden

(78,8%), sisanya adalah mahasiswi yang

mengalami tingkat stres berat yaitu 14

responden (21,2%)

Tabel 3. Karakteristik Siklus Menstruasi

Mahasiswi Angkatan-4 STIKes

Wira Medika

Kategori

Siklus

Frekuensi Presentase

Teratur 16 24,2%

Tidak teratur

Total

50

66

75,8%

100%

Page 34: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

144

Berdasarkan tabel diatas dapat

digambarkan karakteristik siklus

menstruasi yang dialami oleh mahasiswi

angkatan-4 program studi ilmu

keperawatan STIKes Wira Medika PPNI

Bali mengalami siklus menstruasi yang

tidak teratur yaitu 50 responden (75,8%),

sisannya adalah mahasiswi mengalami

siklus menstruasi yang teratur yaitu 16

responden (24,2%).

Tabel 4. Hasil Lambda Test Hubungan

Tingkat Stres Dengan Siklus

Menstruasi Mahasiswi

Angkatan-4 STIKes Wira

Medika PPNI Bali

Kategori

Stres

Siklus

Menstruasi

Total r p

Teratur Tidak

Teratur

Ringan - - - 0,294 0,001

Sedang 5 48 53

Berat 11 2 13

Sangat

Berat

- - -

Total 16 50 66

Tabel di atas menunjukkan nilai

korelasinya adalah 0,294 dengan nilai p =

0.001 dimana P < α yaitu 0,001 < 0,05 maka

arah korelasi pada penelitian ini yaitu arah

korelasi positif yang berarti semakin tinggi

tingkat stress maka semakin tinggi

ketidakteraturan siklus mesntruasi.

Berdasarkan 66 responden hanya 52

responden (78,8%) mengalami tingkat stres

sedang dan sebanyak 14 responden (21,3%)

mengalami tingkat stres berat

Hasil penelitian ini di perkuat oleh Ardi

(2009) dengan jumlah sampel 47 responden

didapatkan sebanyak 22 reponden (47%)

mahasiswa mengalami tingkat stress sedang,

sebanyak 13 responden (28%) mahasiswa

mengalami stress berat dan sebanyak 12

(25%) mahasiswa mengalami stress ringan.

Banyak hal yang dapat mempengaruhi

tingkat stress menurut Rasmun (2005)

faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang

mengalami stres, seperti : kehilangan,

konflik keluarga, masalah prestasi atau

kegagalan, kemampuan seorang individu

dalam mempersepsikan stress, rendahnya

intensitas terhadap stimulus, dan

pengalaman masa lalu. Oleh karena itu

dampak yang terjadi pada seseorang yang

mengalami stres dapat terjadi produksi

keringat yang meningkat, aktivitas

metabolik meningkat, ketegangan otot

meningkat selain itu, menurut Kusmiran

(2011) mengatakan bahwa stres dapat

menyebabkan perubahan pada sistemik

tubuh. Khususnya sistem persarafan dalam

hipotalamus melalui perubahan prolaktin

atau endogen opiat yang dapat

mempengaruhi elevasi kortisol dan

menurinkan hormone lutein (LH) yang

menyebabkan gangguan pada siklus

menstruasi.

Berdasarkan uraian diatas peneliti dapat

menggaris bawahi, stres yang terjadi pada

mahasiswi pada masa perkuliahan

disebabkan karenya adanya permasalahan

akademik maupun non akademik. Stres yang

terjadi pada mahasiswi dapat menyebabkan

terjadinya perubahan perilaku pada

mahasiswi seperti penurunan minat dan

efektivitas penurunan energi cenderung

mengekspresikan pandangan pada orang

lain, perasaan marah, kecewa, frustasi,

bingung, putus asa, serta melemahkan

tanggung jawab.

Berdasarkan 66 responden hanya 16

responden (24,2%) sedangkan mahasiswi

yang mengalami siklus menstruasi yang

tidak teratur sebanyak 50 responden

(75,8%).

Penelitian ini di perkuat oleh Ryanthi

(2007) dengan jumlah sampel sebanyak 73

responden didapatkan bahwa sebanyak

71,9% mahasiswi mengalami siklus

menstruasi yang tidak teratur.

Menurut Kusmiran (2011) faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi terjadinya

ketidakteraturan siklus menstruasi yaitu

berat badan yang tidak stabil dalam 1 bulan,

aktivitas fisik yang berlebihan, stress, dan

diet. Siklus menstruasi merupakan waktu

sejak hari pertama menstruasi sampai

datangnya menstruasi berikutnya, sedangkan

Page 35: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

145

panjang siklus menstruasi adalah jarak

antara tanggal mulainya menstruasi pada

wanita normal antara 21-35 hari dengan

lamanya menstruasi 3-5 hari (Isnaeni,2011).

Berdasarkan uraian diatas peneliti dapat

menekankan bahwa, terjadinya

ketidakteraturan siklus mesntruasi

disebabkan karena adanya beban psikis yang

terjadi pada setiap wanita, dimana beban

tersebut dapat menyebabkan terjadinya

perubahan iskemik dalam tubuh, yang dapat

mempengaruhi elevasi kortisol basal dan

hormon LH pada tubuh.

Berdasarkan hasil analisa hubungan

tingkat stres dengan siklus menstruasi

mahasiswi angkatan-4 dapat dilihat bahwa

responden yang mengalami tingkat stres

sedang sebanyak 78,8% dimana sebanyak

72,8% mengalami siklus menstruasi yang

tidak teratur dan sebanyak 7,5% mengalami

siklus menstruasi yang teratur. Sedangkan

responden yang mengalami tingkat stres

berat sebanyak 21,2% dimana sebayak

16,6% mengalami siklus menstruasi yang

teratur dan sebanyak 3% mengalami siklus

menstruasi yang tidak teratur. Dari hasil uji

statistik Lambda menggunakan program

komputer dengan tingkat kemaknaan 5%

atau α = 0,05 didapatkan nilai korelasi yaitu

0,294. Berdasarkan perhitungan korelasi

0,294 di dapatkan hubungan positif, dimana

semakin tinggi tingkat stress maka semakin

tinggi ketidakteraturan siklus menstruasi.

Hasil nilai signifikan yaitu P = 0.001 dimana

P<α yaitu 0,001<0,05 sehingga H0 ditolak

dan Ha diterima, artinya ada hubungan

antara tingkat stres dengan siklus menstruasi

mahasiswi angkatan-4.

Hasil penelitian ini diperkuat oleh Dwi

Sogi (2011) dengan judul faktor-faktor yang

berhubungan dengan siklus menstruasi pada

Mahasiswa Akbid Sari Mulia Banjarmasin

dengan jumlah responden sebanyak 49

(80,32%) mengalami kondisi psiklologis

yang tidak baik (stres) sangat besar

pengaruhnya terhadap kejadian

ketidakteraturan siklus menstruasi. Adapaun

faktor-faktor yang berperan dal siklus

menstruasi yaitu, faktor enzim, faktor

vaskuler dan faktor prostgladin. Selain itu,

Perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi

selama siklus ini berlangsung tergantung

dari hormone-hormone tersebut. Ovarium

memiliki dua unit endokrin yang terkait,

yaitu folikel penghasil esterogen selama

siklus pertama, dan korpus luteum, yang

mengeluarkan progesteron dan esterogen

siklus terakhir (Prawirohardjo, 2007).

Berdasarkan uraian di atas, penelitian

ini menunjukkan bahwa terdapat kaitan

antara tingkat stres dengan siklus

menstruasi, dimana tidak semua mahasiswi

memiliki siklus menstruasi yang sama.

Dimana siklus menstruasi yang tidak teratur

ini dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Diantaranya adalah perubahan kadar

hormone akibat stres dalam keadaan emosi

yang kurang stabil.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan tentang hubungan tingkat stres

dengan siklus menstruasi mahasisiwi

angkatan-4 STIKes Wira Medika PPNI Bali

yang telah diuraikan sebelumnya, dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1)

Sebanyak 52 responden (78,8%) mengalami

tigkat stres sedang, (2) sebanyak 50

responden (75,8%) mengalami

ketidakteraturan siklus menstruasi (3) hasil

uji statistik korelasi Lambda di dapatkan

hasil koefisien korelasi 0.294 dan P = 0,001,

dimana P<0,05, maka H0 ditolak dan Ha

diterima yang berarti ada hubungan antara

tingkat stres dengan siklus menstruasi

mahasiswi angkatan-4 STIKes Wira Medika

PPNI Bali. Korelasi yang didapat berpola

positif yang berarti semakin tinggi tingkat

stress maka sekain tinggi ketidakteraturan

siklus menstruasi.

DAFTAR RUJUKAN Ardi, Tyas. (2009). Hubungan Antara

Tingkat Stres Dengan Mekanisme Koping Pada Mahasiswa Keperawatan Menghadapi Praktek Belajar Lapangan Di Rumah Sakit. (online), (http:// publikasiilmiah.ums.ac.id/pdf/TYAS%20, diakses pada 17 Agustus 2014)

Page 36: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

146

Dwi Sogi & Harliyanti. 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Siklus Menstruasi Pada Mahasiswa AKBID Sari Mulia Banjarmasin,(online), (http:// Dwi Sogi-Faktor-Faktor Yang Berhubungan(1).pdf, diakses pada 9 Mei 2014)

Kusmiran, E. (2011). Menarche.

Yogyakarta: Muha Medika. Mansur, H. (2012). Psikologi Ibu dan Anak

untuk Kebidanan. Jakarta: Selemba Medika.

Meliana dan Isnei (2011).Hubungan Antara

Stres Dengan Kejadian Disminore pada Program Studi D-IV Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, (online), (http:// eprints.uns.ac.id//16524010920101058/pdf, diakses 12 Juli 2014)

Potter, P. d. (2005). Fundamental

Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik Volume 1 Edisi 4. Jakarta: EGC.

Prawirohardjo, S. (2007). Ilmu Kandungan.

Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Rasmun. (2005). Stres, Koping dan Adaptasi

Teori dan Pohon Masalah Keperawatan. Jakarta: CV Sagung Seto.

Ryanti. (2007). Hubungan Antara Tingkat

Kecemasan Dengan Siklus Menstruasi pada Program Studi D-IV Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, (online), (http:// eprints.uns.ac.id//16524010920101058/pdf, diakses 12 Juli 2014)

Taylor, S. (2009). Psikologi Sosial Edisi 12.

Jakarta: Kencana. Wiknjosastro, D. (2006). Ilmu Kebidanan .

Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

Page 37: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

147

HUBUNGAN PENERAPAN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN

DENGAN SUPERVISI PELAYANAN KEPERAWATAN OLEH

PERAWAT PELAKSANA

IGA Ari Rasdini

Ni MadeWedri

IGA Mega

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

Email: [email protected]

Abstract. The relationship between supervision of nursing care with the

implementation of patient safety culture. This study aimed to explore the

relationship between supervision of nursing care with the implementation of patient

safety culture by associate nurses in Sanglah Hospital inpatient room. This study is a

correlative study with cross sectional method, performed one month in February

2014. The sample consisted of 223 nurses were taken using proportionate stratified

random sampling technique in sub populations and then members of the

subpopulation samples were taken using simple random sampling technique. The

data was collected using a questionnaire survey method to determine the

characteristic data of the respondents, supervision of nursing services, and data of

patient safety culture implementation by associate nurses. The results showed no

significant relationship between supervision and medium strength nursing care with

patient safety culture implementation by nurses ( p = 0.000 ).

Abstrak: Hubungan penerapan budaya keselamatan pasien dengan supervisi

pelayanan keperawatan oleh perawat pelaksana. Penelitian ini bertujuan untuk

mencari hubungan antara supervisi pelayanan keperawatan dengan penerapan budaya

keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUP Sanglah

Denpasar. Penelitian ini merupakan studi korelatif dengan metode pendekatan cross

sectional. Sampel terdiri dari 223 perawat pelaksana yang diambil dengan

menggunakan teknik proportionate stratified random sampling pada sub populasi dan

kemudian anggota sampel dari subpopulasi diambil menggunakan teknik simple

random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey menggunakan

kuesioner untuk mengetahui data karakteristik responden, supervisi pelayanan

keperawatan, dan data penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan dan berkekuatan sedang

antara supervisi pelayanan keperawatan dengan penerapan budaya keselamatan

pasien oleh perawat pelaksana (p = 0,000).

Kata kunci: penerapan budaya keselamatan pasien, supervisi, pelayanan

keperawatan, perawat pelaksana

Insiden keselamatan pasien merupakan

bentuk kejadian yang berpotensi

mengakibatkan cedera yang dapat dicegah

ketika sistem pemberian asuhan yang aman

tidak dikelola dengan baik oleh Rumah

sakit. Insiden keselamatan pasien dapat

berupa kejadian tidak diharapkan (KTD),

kejadian nyaris cedera (KNC), dan kejadian

sentinel (mengakibatkan cedera serius atau

kematian pada pasien) (Depkes RI, 2006).

Laporan pertama mengenai insiden

diterbitkan oleh Institute Of Medicine (IOM)

berjudul To Err is Human: Building a Safer

Health System pada tahun 2000

menunjukkan sebanyak 58% dari 98.000

kesalahan terkait kematian terjadi setiap

Page 38: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

148

tahunnya akibat kesalahan yang mungkin

dapat dicegah (Depkes RI, 2006). Laporan

mengenai KTD di berbagai negara

menunjukkan angka yang bervariasi. Data

tentang keselamatan pasien yang dilaporkan

oleh Clinical Excelence Commission, New

South Wales, Australia sepanjang Januari

hingga Juni 2010 menunjukkan telah terjadi

64.225 KTD di seluruh fasilitas kesehatan

yang ada. Kejadian tidak diharapkan yang

paling sering terjadi antara lain pasien jatuh

(12.670 kasus), kejadian yang terkait dengan

obat-obatan dan cairan intravena (11,171

kasus) dan manajemen klinis (9915 kasus)

(Clinical Excellence Commission, 2013).

Data tentang KTD dan KNC di

Indonesia dikategorikan masih langka untuk

ditemukan karena standar pelayanan

kesehatan di Indonesia masih kurang

optimal (Depkes RI, 2006). Penerapan

budaya keselamatan pasien oleh perawat

pelaksana adalah tindakan yang dilakukan

oleh perawat pelaksana yang mencerminkan

dimensi budaya keselamatan pasien yaitu

keterbukaan dan melaporkan ketika terjadi

insiden keselamatan pasien, keadilan antar

perawat ketika terjadi insiden keselamatan

pasien, serta pembelajaran terhadap suatu

kesalahan atau insiden keselamatan

pasien(KBBI, 2013; NPSA, 2004; Reiling,

2006). Penelitian empiris telah menemukan

bahwa insiden keselamatan pasien

cenderung lebih sedikit terjadi pada rumah

sakit yang merangkul budaya keselamatan,

memiliki organisasi kelompok yang

berorientasi budaya, keselamatan pasien

(Tucker, 2004). Budaya keselamatan pasien

merupakan suatu cara untuk membangun

program keselamatan pasien secara

keseluruhan (Kizer, 1999 dalam Fleming,

2012) dan penerapan budaya keselamatan

pasien membantu perawat bekerja dengan

aman (Agnew, 2013). Penelitian tahun 2012

yang meneliti 723 perawat dari 29 unit

perawatan sebuah rumah sakit di USA

menemukan terjadinya cedera perawat dan

KTD (ulkus dekubitus) terhadap pasien

berkaitan dengan faktor budaya

keselamatan. Penelitian oleh Zohar et al

terhadap 995 perawat di rumah sakit di

Israel menunjukkan bahwa prediktor dari

perilaku para perawat dalam memberikan

asuhan keperawatan yang aman adalah

mutu rumah sakit itu sendiri (Zohar et al,

2007). Penerapan budaya keselamatan

pasien dapat ditingkatkan melalui kegiatan

supervisi pelayanan keperawatan yang

dilakukan oleh supervisor keperawatan.

Supervisi pelayanan keperawatan

merupakan interaksi dan komunikasi

professional antara supervisor keperawatan

dan perawat pelaksana yakni dalam interaksi

komunikasi tersebut perawat pelaksana

menerima bimbingan, dukungan, bantuan,

dan dipercaya, sehingga perawat pelaksana

dapat memberikan asuhan yang aman

kepada pasien (Halpern & McKimm 2006;

Suyanto, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Gershon

et al (2000) terhadap 789 pekerja rumah

sakit di USA menunjukkan bahwa ketika

supervisor memberikan dukungan untuk

keamanaan para pekerja akan memberikan

umpan balik positif terhadap keselamatan

serta mengurangi insiden terpapar cairan

tubuh dari pasien dan sebaliknya (Gershon

et al, 2000). Efek supervisi pada kualitas

pelayanan, merupakan aspek utama dalam

peningkatan kualitas dan hal tersebut

didefinisikan sebagai area target oleh WHO

(Hyrkas & Lethi, 2003).

Penelitian yang dilakukan Wibowo

(2013) menunjukkan bahwa pelaksanaan

supervisi yang kurang baik mengakibatkan

53,2% perawat memiliki kinerja tidak baik

dan supervisi yang dilakukan dengan baik

mengakibatkan 73,6% perawat memiliki

kinerja baik. Penelitian dilakukan oleh

Nurmalia (2012) mengenai pengaruh

mentoring terhadap penerapan budaya

keselamatan pasien menunjukkan bahwa

program mentoring keperawatan

mempunyai pengaruh dalam meningkatkan

penerapan budaya keselamatan pasien

sebesar 20%. Hasil penelitian tersebut juga

menunjukkan bahwa kelompok yang tidak

mendapatkan program mentoring

keperawatan akan berisiko mengalami

penurunan dalam penerapan budaya

keselamatan pasien sebesar 2,5 kali lebih

Page 39: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

149

besar dibandingkan dengan kelompok yag

mendapatkan program mentoring

keperawatan. Masalah dalam penelitian

adalah apakah ada hubungan antara

supervisi dengan budaya keselamatan

pasien oleh perawat pelaksana di Rumah

Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh supervisi terhadap

budaya keselamatan pasien oleh perawat

pelaksana di RSUP.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan adalah

analitik observasional dengan rancangan

studi korelasional . Model pendekatan dalam

rancangan penelitian ini adalah pendekatan

cross sectional karena menekankan pada

waktu pengukuran atau Penelitian ini

menggunakan observasi data variabel

independen dan dependen hanya satu kali

dan tidak ada tindak lanjutnya (Nurslam,

2008). Penelitian dilaksanakan di ruang

rawat RSUP Sanglah Denpasar, Jalan

Kesehatan No. 1 Denpasar, Bali. Populasi

penelitian ini termasuk populasi finite

(terbatas) artinya diketahui jumlahnya

(Wasis, 2008). Adapun populasi yang

digunakan adalah perawat pelaksana yang

bekerja di ruang rawat inap RSUP Sanglah

Denpasar sejumlah 533 perawat pelaksana.

Sampel adalah bagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi

(Sugiyono, 2010). Sampel penelitian ini

adalah perawat pelaksana yang bekerja di

ruang rawat RSUP Sanglah Denpasar

sebanyak 223 perawat pelaksana. Data yang

dikumpulkan adalah data primer tentang

supervisi keperawatan dan penerapan

budaya keselamatan pasien oleh perawat

pelaksana yang diperoleh melalui pengisian

kuesioner oleh , yaitu The Manchester

Clinical Supervision Scale dan The Hospital

Survey of Patient Safety Culture. Analisis

data dalam penelitian in menggunakan:

analisis univariat yang ditampilkan dalam

tabel distribusi frekuensi dan analisis

bivariat dilakukan dengan uji korelasi

Pearson Product Moment.

HASIL DAN PEMBAHASAN Responden dalam penelitian ini adalah

perawat pelaksana di ruang rawat inap

RSUP Sanglah Denpasar yang berjumlah

223 responden. Karakteristik responden

digambarkan berdasarkan usia, jenis

kelamin, tingkat pendidikan, pelatihan

terkait keselamatan pasien yang pernah

diikuti, dan masa kerja.

Tabel 1. Karakteristik Responden

Berdasarkan Usia

Karakteristik

Responden

Frekuensi

(n)

Persentase

(%)

Usia (tahun)

21-28

29-36

37-44

45-52

102

71

36

14

45,8

31,9

16,1

6,2

Berdasarkan tabel 1. dapat disimpulkan dari

223 responden, sebagian besar responden

berusia antara 21-28 tahun (45,8%) .

Tabel 2. Karakteristik Responden

Berdasarkan Jenis Kelamin

Karakteristik

Responden

Frekuensi

(n)

Persentase

(%)

Jenis Kelamin

a. Perempuan

b. Laki-laki

181

42

81,2

18,8

Berdasarkan tabel 2. dapat disimpulkan dari

223 responden, sebagian besar responden

berjenis kelamin perempuan (81,2%).

Tabel 3. Karakteristik Responden

Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Karakteristik

Responden

(n) Persentase

(%)

Tingkat

Pendidikan

a. SPK

b. DIII

Keperawatan

c. S1 Keperawatan

1

201

21

4

90,1

9,4

Page 40: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

150

Berdasarkan tabel 3. dapat disimpulkan dari

223 respoden sebagian besar responden

merupakan lulusan DIII keperawatan

(90,1%).

Karakteristik responden berdasarkan

pelatihan terkait keselamatan pasien yang

pernah diikuti ditampilkan dalam tabel.

Tabel 4. Karakteristik Responden

Berdasarkan Pelatihan Terkait

Keselamatan Pasien

Karakteristik

Responden

Frekuensi

(n)

Persentase

(%)

Pelatihan

a. Tidak Pernah

b. Pernah

11

212

4,9

95,1

Berdasarkan tabel 4. dapat disimpulkan

dari 223 responden sebagian besar pernah

mengikuti pelatihan terkait keselamatan

pasien (95,1).

Tabel 5. Karakteristik Responden

Berdasarkan Masa Kerja

Karakteristik

Responden

Frekuensi

(n)

Persentase

(%)

Masa kerja

(tahun)

1-8

9-16

17-24

25-32

135

59

28

1

60,6

26,4

12,6

0,4

Berdasarkan tabel 5. dapat disimpulkan

sebagian besar responden memiliki masa

kerja selama 1-8 tahun di masing-masing

ruang rawat inap RSUP Sanglah Denpasar

(60,6%).

Tabel 6. menggambarkan distribusi

frekuensi penilaian supervisi pelayanan

keperawatan oleh responden di ruang rawat

inap RSUP Sanglah Denpasar tahun 2014.

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Supervisi

Pelayanan Keperawatan

Berdasarkan tabel 6. dapat disimpulkan

supervisi pelayanan keperawatan di ruang

rawat inap RSUP Sanglah Denpasar

sebagian besar dinilai baik oleh responden

(62,8%) dengan komponen normatif sebagai

komponen yang dinilai baik oleh sebagian

besar responden (63,2%). Komponen

restoratif merupakan komponen yang paling

sedikit mendapat penilaian baik dari

responden (29,1%).

Tabel 7. menggambarkan distribusi

frekuensi penerapan budaya keselamatan

pasien oleh perawat pelaksana di ruang

rawat inap RSUP Sanglah Denpasar tahun

2014.

Variabel Frekuensi

(n)

Persentase

(%)

Supervisi

pelayanan

keperawatan

Baik

Sedang

Buruk

140

83

0

62,8

37,2

0

Komponen

normatif

Baik

Sedang

Buruk

141

82

0

63,2

36,8

0

Komponen

formatif

Baik

Sedang

Buruk

81

140

2

36,3

62,8

9

Komponen

restoratif

Baik

Sedang

Buruk

65

155

3

29,1

69,5

1,3

Page 41: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

151

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Penerapan

Budaya Keselamatan Pasien oleh

Perawat Pelaksana

Berdasarkan tabel 7. dapat disimpulkan

penerapan budaya keselamatan pasien oleh

perawat pelaksana di RSUP Sanglah

Denpasar sebagian besar mendapat nilai

baik (71,3%). Dimensi budaya pelaporan

merupakan dimensi budaya keselamatan

pasien oleh perawat pelaksana yang paling baik diterapkan (77,1%).

Analisis hubungan supervisi pelayanan

keperawatan dengan penerapan budaya

keselamatan pasien oleh perawat pelaksana

di ruang rawat inap RSUP Sanglah

Denpasar tahun 2014 disajikan dalam tabel

Tabel 10. Hasil Analisis Hubungan

Supervisi Pelayanan Keperawatan

dengan Penerapan Budaya

Keselamatan Pasien oleh Perawat

Pelaksana

Tabel 10 menunjukkan nilai r = 0,406

dan nilai p value = 0,000. Kesimpulan hasil

tersebut adalah ada hubungan signifikan

antara supervisi pelayanan keperawatan

dengan penerapan budaya keselamatan

pasien oleh perawat pelaksana di ruang

rawat inap RSUP Sanglah Denpasar tahun

2014 (p < 0,05). Kekuatan korelasi

menunjukkan korelasi yang sedang (0,400 <

r < 0,599) dan berpola positif (Dahlan,

2011).

Berdasarkan hasil penelitian, supervisi

pelayanan keperawatan di ruang rawat inap

RSUP Sanglah Denpasar dinilai baik oleh

sebagian besar responden (62,8%).

Supervisi pelayanan keperawatan di RSUP

Sanglah Denpasar yang dilaksanakan oleh

supervisor keperawatan berjalan cukup

optimal dengan kegiatan berupa

pengawasan, bimbingan, serta motivasi

sesuai dengan komponen supervisi

pelayanan keperawatan yakni normatif

(manajerial), formatif (edukatif), serta

restoratif (dukungan). Hal tersebut sesuai

dengan prinsip bahwa supervisi memerlukan

pengetahuan dasar. manajemen, hubungan

antar manusia, kemampuan menerapkan

prinsip manajemen dan kepemimpinan

(Keliat 1999, dalam Supratman &

Sudaryanto, 2008). Masing-masing

komponen supervisi pelayanan keperawatan

mendapat penilaian yang bervariasi dari

responden. Komponen yang pertama adalah

normatif atau manajerial. Berdasarkan hasil

penelitian, komponen normatif merupakan

komponen supervisi pelayanan keperawatan

Variabel Frekuensi

(n)

Persentase

(%)

Penerapan

budaya

keselamatan

pasien oleh

perawat

pelaksana

Baik

Sedang

Buruk

159

64

0

71,3

28,7

0

Dimensi budaya

keterbukaan

Baik

Sedang

Buruk

83

123

17

37,2

55,2

7,6

Dimensi budaya

pelaporan

Baik

Sedang

Buruk

172

51

0

77,1

22,9

0

Dimensi budaya

keadilan

Baik

Sedang

Buruk

117

102

4

52,5

45,7

1,3

Dimensi budaya

pembelajaran

Baik

Sedang

Buruk

158

65

0

70,9

29,1

0

Variabel Penerapan Budaya

Keselamatan

Pasien oleh

Perawat Pelaksana

r p value

Supervisi Pelayanan

Keperawatan

0,406 0,000

Page 42: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

152

di ruang rawat inap RSUP Sanglah

Denpasar yang sebagian besar mendapat

nilai baik dari responden (63,2%). Penilaian

yang baik pada komponen ini

mengindikasikan bahwa perawat pelaksana

merasakan adanya interaksi yang baik dalam

supervisi pelayanan keperawatan dalam

usaha meningkatkan profesionalisme

perawat. Hal tersebut sejalan dengan

pernyataan Winstanley & White (2011)

bahwa komponen normatif akan dianggap

baik dalam supervisi pelayanan keperawatan

ketika supervisor keperawatan yang mampu

memberikan kontribusi ke unit klinis dalam

mempromosikan kebijakan dan prosedur

serta pengembangan standar rumah sakit.

Berdasarkan hasil penelitian, penerapan

budaya keselamatan pasien oleh perawat

pelaksana di ruang rawat inap RSUP

Sanglah Denpasar sebagian besar berada

pada kategori baik (71,3%). Masing-masing

dimensi penerapan budaya keselamatan

pasien oleh perawat pelaksana berada pada

kategori bervarisi. Penerapan dimensi

budaya keterbukaan sebagian besar berada

dalam kategori sedang (55,2%).

Keterbukaan berarti adanya komunikasi dua

arah yang aktif antar perawat pelaksana,

atasan, bahkan pasien. Fokus dari

keterbukaan adalah pembelajaran dan bukan

untuk mencari kesalahan (NPSA, 2004).

Perawat pelaksana di ruang rawat inap yang

sebagian besar dalam usia produktif untuk

berkomunikasi. Hasil penelitian juga

memaparkan bahwa usia secara signifikan

berhubungan dengan persepsi terhadap

penerapan budaya keselamatan pasien

(Setiowati, 2010). Namun selama ini

perawat pelaksana tidak sepenuhnya terbuka

dalam membicarakan masalah seputar

keselamatan pasien diakibatkan karena ada

perasaan takut dan tidak mendapat umpan

balik dari atasan atas upaya yang telah

dilakukan perawat terkait mengurangi

insiden keselamatan pasien (Nurmalia,

2012).

Hubungan yang baik dan terbuka antara

supervisor keperawatan dan perawat

pelaksana akan meningkatkan pencapaian

standar pelayanan, sehingga sangat memberi

manfaat yang potensial baik bagi supervisor

keperawatan, perawat, dan pasien. Standar

pelayanan berfungsi sebagai acuan perawat

pelaksana dalam memberikan asuhan yang

bermutu. Supervisi pelayanan keperawatan

memegang peranan penting dalam

mendukung pelayanan yang bermutu

melalui jaminan kualitas, manajemen risiko,

dan manajemen kinerja.

Hubungan supervisi pelayanan

keperawatan dengan penerapan budaya

keselamatan pasien oleh perawat pelaksana

di ruang rawat inap RSUP Sanglah

Denpasar tahun 2014 berkekuatan sedang

(r = 0,406). Hal tersebut mengindikasikan

bahwa supervisi pelayanan keperawatan

merupakan faktor yang tidak bisa dijadikan

sebagai faktor tunggal karena masih ada

faktor lain seperti karakteristik responden

maupun konsep sistem dalam penerapan

budaya keselamatan pasien. Sama halnya

dengan pernyataan yang menyebutkan

bahwa kesalahan medis sangat jarang

disebabkan oleh faktor kesalahan manusia

secara tunggal namun lebih banyak

disebabkan karena kesalahan sistem rumah

sakit yang mengakibatkan rantai-rantai

dalam sistem terputus (Cahyono, 2008).

Karakteristik individu merupakan faktor

karakteristik demografi yang tidak dapat

diubah namun sangat diperlukan dalam

pengelolaan SDM yang tepat. Hasil

penelitian oleh Setiowati (2010)

memberikan jawaban bahwa karakteristik

individu merupakan komponen yang

berdampak langsung dengan penerapan

budaya keselamatan. Usia, masa kerja,

tingkat pendidikan berhubungan positif dan

berkekuatan lemah dengan penerapan

budaya keselamatan pasien (p < 0,05). Usia

dikaitkan dengan pola pikir dan daya

tangkap sesuatu. Semakin bertambahnya

usia menuju dewasa akan mempengaruhi

seseorang dalam menciptaan, merenovasi,

atau memelihara kebudayaan yang akan

diturunkan pada generasi selanjutnya (Potter

& Perry, 2005).

Masa kerja merupakan cerminan dari

pengalaman kerja dan dapat meningkatkan

pengetahuan terhadap sesuatu. Masa kerja

Page 43: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

153

memberikan gambaran positif dalam isu

ketenagaan perawat (Marquis & Houston,

2010). Namun berbeda dengan hasil

penelitian oleh Nurmalia (2012)

menyebutkan pengalaman kerja antara

kelompok intervensi yang jauh dibawah

kelompok kontrol memiliki kemampuan

yang lebih dalam menerima perubahan

dalam upaya meningkatkan budaya

keselamatan pasien. Hal tersebut dikaitkan

dengan karyawan yang memiliki masa kerja

yang lebih panjang cenderung merasa

nyaman dan resisten terhadap perubahan

(Awang, 2004 dalam Nurmalia, 2012).

Pembentukan budaya keselamatan

pasien bukanlah merupakan hal yang mudah

dan cepat. Budaya merupakan karakteristik

yang abadi yang dapat dilihat dari luar

organisasi yang terefleksikan dari perilaku

dalam organisasi. Iklim organisasi positif

yang terus-menerus dipupuk akan

bermanifestasi menjadi budaya yang positif.

Hasil yang signifikan antara hubungan

supervisi pelayanan keperawatan perlu

mendapat perhatian karena berhubungan

dengan penerapan budaya keselamatan

pasien oleh perawat pelaksana.

SIMPULAN

Supervisi pelayanan keperawatan di

ruang rawat inap RSUP Sanglah Denpasar

tahun 2014 mendapatkan penilaian yang

baik dari sebagian besar responden (62,8%)

dengan komponen normatif atau manajerial

sebagai komponen supervisi pelayanan

keperawatan yang mendapat penilaian baik

dari sebagian besar responden (63,2%).

Komponen formatif (edukatif) dan restoratif

(dukungan) perlu ditingkatkan kembali

karena masih ada responden yang

memberikan penilaian buruk, masing

masing 9% dan 1,3%.

Sebagian besar responden berada pada

kategori baik (71,3%) dalam penerapan

budaya keselamatan pasien di ruang rawat

inap RSUP Sanglah tahun 2014. Dimensi

budaya pelaporan merupakan dimensi dari

budaya keselamatan pasien yang diterapkan

paling baik diantara dimensi yang lain oleh

perawat pelaksana di ruang rawat inap

RSUP Sanglah Denpasar tahun 2014, yakni

77,1%. Penerapan dimensi budaya

keterbukaan masih perlu ditingkatkan oleh

perawat pelaksana di RSUP Sanglah

Denpasar karena hanya 37,2% responden

yang memberikan penilaian baik dan 7,6%

responden masih memberikan penilaian

buruk.

Ada hubungan signifikan antara

supervisi pelayanan keperawatan dengan

penerapan budaya keselamatan pasien oleh

perawat pelaksana di ruang rawat inap

RSUP Sanglah Denpasar tahun 2014 (p =

0,000). Kekuatan korelasi menunjukkan

kekuatan sedang dengan arah positif (r =

0,406). Kesimpulan yang dapat ditarik

adalah supervisi pelayanan keperawatan

yang dilaksanakan sesuai komponennya

masing-masing (normatif, formatif, dan

restoratif) akan berdampak pada perawat

pelaksana dalam meningkatkan penerapan

budaya keselamatan pasien. Supervisor

keperawatan berperan penting dalam

membawa cita-cita rumah sakit dalam

meningkatkan mutu asuhan keperawatan

dengan melaksanakan supervisi pelayanan

keperawatan secara rutin.

DAFTAR RUJUKAN Agnew et al. 2013. Patient Safety Climate

and Worker Safety Behaviours in Acute Hospitals in Scotland, Journal of Safety Research,(online),(http://www.sciencedirect.com, diakses 31 Juli 2013).

Cahyono. 2008. Membangun Budaya

Keselaman Pasien. Yogyakarta: Kanisius.

Depkes RI. 2006. Panduan Nasional

Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety): Utamakan Keselamatan Pasien. Jakarta: Depkes RI.

Gershon et al. 2000. Hospital Safety

Climate and Its Relationship With Safe Work Practices and Workplace Exposure Incidents, American Journal of Infection Control, (online), Volume 3, No.28, (www.ncibi.nlm.nih.gov, diakses 1 Agustus 2013).

Page 44: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

154

Marquis, B. L. & Huston, C. J. 2010. Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan. Edisi 4. Terjemahan oleh Widyawati dkk. 2003. Jakarta: EGC.

National Patient Safety Agency (NPSA).

2004. Seven Step to Patient Safety: Full Reference Guide, (online), (http://www.npsa.nhs.uk/health/reporting/7step, diakses 20 Agustus 2013).

Nurmalia, D. 2012. Pengaruh Mentoring

terhadap Penerapan Budaya Keselamatan Pasien di Ruang Rawat Inap RS Islam Sultan Agung Semarang, (online), (http://www.lontarui.ac.id, diakses 30 Juli 2013).

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan

Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Potter & Perry. 2005. Fundamental

Keperawatan. Jakarta: EGC. Sugiyono. 2010a. Metode Penelitian

Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2010b. Statistika untuk

Penelitian. Bandung: Alfabeta. Supratman & Sudaryanto. 2008. Model-

Model Supervisi Keperawatan Klinik, (online), (http://publikasiilmiah.ums.ac.id, diakses 2 Maret 2014).

Marquis, B. L. & Huston, C. J. 2010.

Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan. Edisi 4. Terjemahan oleh Widyawati dkk. 2003. Jakarta: EGC.

National Patient Safety Agency (NPSA).

2004. Seven Step to Patient Safety: Full Reference Guide, (online), (http://www.npsa.nhs.uk/health/reporting/7step, diakses 20 Agustus 2013).

Nurmalia, D. 2012. Pengaruh Mentoring

terhadap Penerapan Budaya

Keselamatan Pasien di Ruang Rawat Inap RS Islam Sultan Agung Semarang, (online), (http://www.lontarui.ac.id, diakses 30 Juli 2013).

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan

Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Permenkes RI. 2011. Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011, (online), (http://www.hukor.depkes.go.id, diakses 20 September 2013).

Potter & Perry. 2005. Fundamental

Keperawatan. Jakarta: EGC. Tucker, A.L. 2004. The Impact Operational

Failures on Hospital Nurses and Their Patients. Journal of Operations Management (online), No.22, (http://www.hbs.edu, diakses 31 Juli 2013).

Wasis. 2008. Pedoman Riset Praktis untuk

Profesi Perawat. Jakarta: EGC. Wibowo, dkk. 2013. Hubungan

Pelaksanaan Supervisi Kepala Ruang dengan Kinerja Perawat dalam Pendokumentasian Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit Tentara Wijayakusuma Purwokerto, (online), (http://keperawatan.unsoed.ac.id, diakses 10 September 2013).

Winstanley, J. & White, E. 2003. Clinical

Supervision: Models, Measures and Best Practice. Journal of Nurse Researcher, (online), Volume 10, No. 4, (http://rcnpublishing.com, diakses 8 Agustus 2013).

Zohar et al. 2007. Healthcare Climate: A

Framework For Measuring and Improving Patient Safety. Journal of Critical Care Medicine, (online), Volume 5, No. 35, (http://www.ncbi.nlm.nih.gov, diakses 31 Juli 2013).

Page 45: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

155

PELAKSANAAN TUGAS KELUARGA BIDANG KESEHATAN

PADA LANSIA UMUR (70-79 ) TAHUN

I Ketut Gama

Komang Suardana

I Gede Widjanegara Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

Email: [email protected]

Abstract: The task of family health in older age (70-79). The purpose of research to

determine the task execution family health in the elderly age (70-79) in the village of

Nyangglan. This type of research is a survey research on the subject of research by

using the approach, cross-sectional. The sampling technique in this study with a total

sampling, a total of 50 respondents elderly age (70-79) who meet the inclusion and

exclusion criteria. The results showed from 50 respondents who researched most of

27 (54%) of the 50 respondents were in the age range 75-79 years, belonging to

these 29 (58%), secondary school education, 20 (40%), farmers work 24 (48% ), the

implementation of the tasks less 35 family health (70%).

Abstrak: Pelaksanaan tugas keluarga bidang kesehatan pada lansia umur

(70-79) tahun. Tujuan penelitian untuk mengetahui pelaksanaan tugas keluarga

bidang kesehatan pada lansia usia (70-79) di Desa Nyangglan. Jenis penelitian ini

merupakan penelitian survei dengan menggunakan pendekatan, cross-sectional.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan total sampling, sebanyak 50

orang responden lansia usia (70-79) yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Hasil penelitian menunjukkan dari 50 orang responden yang diteliti sebagian besar 27

(54%) dari 50 responden berada di rentang usia 75-79 tahun, peremuan 29 (58%),

pendidikan SMP, 20(40%), pekerjaan petani 24 (48%), pelaksanaan tugas keluarga

bidang kesehatan kurang 35(70%).

Kata kunci: pelaksanaan tugas keluarga, bidang kesehatan, lansia

Kemajuan teknologi terus mengalami

peningkatan yang berimbas pada

keberhasilan pemerintah dalam

pembangunan nasional, hasil yang positif di

berbagai bidang, yaitu perbaikan lingkungan

hidup, adanya kemajuan ekonomi, kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di

bidang ilmu kedokteran yang dapat

meningkatkan kualitas kesehatan penduduk

serta meningkatkan umur harapan hidup

(Nugroho, 2000).

Indonesia akan mengalami ledakan

penduduk lanjut usia pada 2010 hingga

2020. Jumlah lansia diperkirakan naik

mencapai 11,34% dari jumlah penduduk di

Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat

Statistik (BPS) jumlah lansia di Indonesia

pada tahun 2009 (20.547.541 orang). Dari

jumlah tersebut, 14% di antaranya berada di

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, atau

yang merupakan daerah paling tinggi jumlah

lansianya. Disusul Provinsi Jawa Tengah

sebanyak 11,16%, Jawa Timur sebanyak

11,14%, dan Bali sebanyak 11,02%. Badan

Pusat Statistik tahun 2009 menyebutkan

jumlah lansia di Bali laki-laki 164.900 jiwa

dan perempuan 184.100 jiwa. Diperkirakan

tahun 2012 jumlah lansia mencapai laki-laki

181.100 jiwa dan perempuan mencapai

204.700 jiwa (Soelistiono, 2009). Prevalensi

depresi pada lansia di dunia berkisar 8-15

persen dan hasil meta analisis dari laporan

negara-negara di dunia mendapatkan

prevalensi rata-rata depresi pada lansia

adalah 13,5 persen dengan perbandingan

wanita-pria 14,1: 8,6, akibat tidak mendapat

Page 46: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

156

pendampingan secara maksimal oleh

keluarga, (Soelistiono, 2009).

Lanjut usia adalah tahap akhir siklus

hidup manusia, merupakan bagian dari

proses kehidupan yang tidak dapat

dihindarkan dan akan dialami oleh setiap

individu. Pada tahap ini individu mengalami

banyak perubahan baik secara fisik maupun

mental, khususnya kemunduran dalam

berbagai fungsi dan kemampuan yang

pernah dimilikinya. Perubahan penampilan

fisik sebagian dari proses penuaan normal,

seperti rambut yang mulai memutih, kerut-

kerut ketuaan di wajah, berkurangnya

ketajaman panca indera, serta kemunduran

daya tahan tubuh, merupakan acaman bagi

integritas lanjut usia. Belum lagi mereka

harus berhadapan dengan kehilangan-

kehilangan peran diri, kedudukan sosial,

serta perpisahan dengan orang-orang yang

dicintai. Kondisi di atas menyebabkan lanjut

usia menjadi lebih rentan untuk mengalami

problem mental, salah satunya adalah

depresi (Erawati, 2001).

Tugas keluarga merupakan dukungan

yang penting bagi lanjut usia terutama bila

terjadi ketergantungan dalam memenuhi

kebutuhan, keluarga harus berperan sebagai

pemberi perawatan primer. Tugas keluarga

memegang suatu peranan yang signifikan

dalam kehidupan pada hampir semua orang

lanjut usia (lansia). Ketika keluarga tidak

menjadi bagian kehidupan seorang lansia,

umumnya menyebabkan lansia tersebut

merasa terabaikan (Pratt, 1993 dalam

Erawati, 2001). Tugas keluarga sangat

berpengaruh terhadap besar kecilnya tingkat

depresi. Lanjut usia yang mengalami

hipertensi membutuhkan dukungan dari

keluarganya berupa tugas keluarga

(Yundini, 2006). Adapun lima tugas

keluarga yang berpengaruh yaitu mengenali

masalah kesehatan, mengambil keputusan

masalah kesehatan terhadap keluarganya

yang sakit, merawat keluarganya yang sakit,

memodifikasi lingkungan dalam dan luar

rumah yang berdampak terhadap kesehatan

keluarga, memanfaatkan fasilitas pelayanan

kesehatan apabila ada anggota keluarganya

yang sakit ( Achjar, 2010).

Jumlah penduduk lanjut usia di atas

(70-79) tahun di Kabupaten Bangli tahun

2011 sebanyak 17.704 orang, tahun 2012,

sebanyak 19.078, dan tahun 2013 mencapi

19.527.orang,( Dinkes Kab.Bangli, 2013).

Sedangkan jumlah lansia umur 60 tahun ke

atas di wilayah kerja Puskesmas Tembuku,

dalam tiga tahun terakhir yakni tahun 2011,

sebanyak 2.236.orang, tahun 2012, sebanyak

4.429.orang, sedangkan tahun 2013

mencapai 4.447 orang, (Puskesmas

Tembuku, 2013).

Prevalensi peningkatan jumlah lanjut

usia di wilayah kerja Puskesmas Tembuku

akan memberikan dampak terhadap masalah

kesehatan pada lanjut usia itu sendiri seperti

depresi, penyakit rematik, gangguan panca

indra, penyakit hipertensi dll. Masalah ini

bisa diperparah bila keluarga tidak mampu

melaksanakan tugas kepada anggota

keluarganya, (Soelistiono, 2009).

Populasi lanjut usia umur (70-79)

tahun,di Banjar Nyangglan Kaja mencapai

50 orang, makin panjangnya umur harapan

hidup tersebut, disamping sebagai suatu

kebanggaan tetapi dipihak lain juga

merupakan tantangan yang sangat berat,

mengingat tidak sedikitnya masalah yang

bisa timbul akibat dampak penuaan. Lebih

ironis adalah keadaan ini belum didukung

oleh adanya peningkatan kualitas pelayanan

kesehatan bagi lanjut usia. Pengetahuan

perawatan lanjut usia baik oleh keluarga,

maupun lembaga social lainnya masih

sangat kurang, ( Mubarak,2006).

Penelitian yang dilakukan Persatuan

Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa

menunjukkan, sebagian besar masyarakat

Indonesia mengidap depresi dan hipertensi

dari tingkat yang ringan sampai berat. Hasil

penelitian dokter kesehatan jiwa

menunjukkan, 94 % masyarakat saat ini

mengidap depresi dan hipertensi (Idris,

2008 dalam Aryani 2008). Hipertensi paling

sering terjadi pada lanjut usia, 15%

penduduk Indonesia yang berusia 60 tahun

atau lebih mengalami Hipertensi, (Suteja,

2008).

Studi pendahuluan yang dilakukan

peneliti pada tanggal 3 Mei 2014, dengan

Page 47: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

157

cara observasi, terhadap 10 lanjut usia di

Banjar Nyangglan Kaja, Wilayah Kerja

Puskesmas Tembuku, didapatkan 60%

lanjut usia tidak mendapat pendampingan

dari keluarga. Peneliti juga melakukan

wawancara dengan 10 lanjut usia di Banjar

Nyangglan Kaja, mengatakan bahwa cemas

yang terjadi pada dirinya disebabkan oleh

faktor keluarganya sendiri seperti kurangnya

dukungan karena kesibukan dari masing-

masing anggota keluarga sehingga lanjut

usia merasa tidak diperhatikan. Petugas

kesehatan yang ada di Puskesmas Pembantu

Desa Bambang, belum pernah memberikan

penyuluhan pada keluarga, tentang

pentingnya tugas-tugas keluarga pada lanjut

usia. Aktifitas sehari-hari lanjut usia di

Banjar Nyangglan Kaja sebagian besar tanpa

aktifitas.

Berdasarkan uraian permasalahan di

atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang pelaksanaan tugas

keluarga bidang kesehatan pada lanjut usia

umur ( 70-79 ) di Banjar Nyangglan Kaja,

Wilayah Kerja Puskesmas Tembuku.

Secara umum tujuan penelitian ini

untuk mengetahui pelaksanaan tugas

keluarga bidang kesehatan pada lanjut usia

umur ( 70-79 ) di Banjar Nyangglan Kaja

Wilayah Kerja Puskesmas Tembuku, tahun

2014.

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian

Survey. Penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif, dengan rancangan pendekatan

cross sectional. Teknik sampling yang

digunakan dalam penelitian ini adalah non

probability sampling, dengan jumlah sampel

dalam penelitian ini, sebanyak 50 orang

responden lanjut usia umur ( 70-79 ) yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

sebagai berikut :

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah,

keluarga dengan lanjut usia umur ( 70-79 )

yang bersedia menjadi responden, lanjut usia

yang tidak mengalami gangguan

pendengaran. Kriteria eksklusi dalam

penelitian ini adalah ,lanjut usia yang

menderita penyakit kronis, lanjut usia yang

tidak tinggal serumah dengan keluarganya.

Data didapat langsung dari responden

dengan menggunakan Instrumen

pengumpulan data yang digunakan untuk

mengukur besarnya pelaksanaan tugas

keluarga bidang kesehatan adalah kuesioner

pelaksanaan tugas keluarga yang

dimodifikasi. Kuesioner pelaksanaan tugas

keluarga bidang kesehatan terdiri dari 22

item pertanyaan yang mencakup lima

pelaksanaan tugas keluarga bidang

kesehatan.

Masing-masing pertanyaan pada masing-

masing item mempunyai skor 1 untuk

jawaban “ya” dan skor 0 untuk jawaban

“tidak”. Skor setiap pelaksanaan tugas

keluarga bidang kesehatan adalah 0-1

kurang, 2-3 cukup, 4-5 baik. Skor total tugas

keluarga 0-8 adalah tugas keluarga kurang,

9-17 adalah tugas keluarga sedang, 18-22

adalah tugas keluarga baik. Analisa data

hasil pelaksanaan tugas keluarga pada

lanjut usia dilakukan analisis univariat

dengan menggunakan statistik deskriptif

yang digambarkan dengan distribusi

frekuensi meliputi: menggambarkan

jumlah, frekuensi, persentase.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan pada bulan Mei

2014 di Banjar Nyangglan Kaja dengan

jumlah lanjut usia umur ( 70-79 ) tahun

sebanyak 50 orang responden , yaitu jumlah

lanjut usia laki-laki sebanyak 21 orang

responden dan jumlah lanjut usia

perempuan sebanyak 29 orang responden.

Terlebih dahulu dikemukakan karakteristik

subyek penelitian sebagai berikut.

Tabel 1.Karakteristik responden

berdasarkan golongan Usia

USIA (TAHUN) f %

70-74 23 46

75-79 27 54

Total 50 100

Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa dari

50 orang responden yang diteliti yang

Page 48: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

158

terbanyak adalah pada golongan usia 75-79

tahun yaitu 27 orang responden(54%).

Tabel 2.Karakteristik responden

berdasarkan jenis kelamin

JENIS KELAMIN f %

Laki-Laki 21 42

Perempuan 29 58

Total 50 100

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa dari

50 orang responden yang diteliti yang

terbanyak adalah berjenis kelamin

perempuan yaitu 29 orang responden(58%).

Tabel 3.Karakteristik responden

berdasarkan pendidikan

PENDIDIKAN f %

Tidak Sekolah 3 6

SD 5 10

SMP 20 40

SMA 17 34

PT 5 10

Total 50 100

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa dari

50 orang responden yang diteliti yang

terbanyak adalah berpendidikan SMP yaitu

20 orang responden(40%).

Tabel 4.Karakteristik responden

berdasarkan pekerjaan

PEKERJAAN f %

Petani 24 48

Buruh 11 22

Swasta 9 18

PNS 6 12

Total 50 100

Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa dari

50 orang responden yang diteliti yang

terbanyak adalah memiliki pekerjaan

sebagai petani yaitu 24 orang

responden(48%).

Tabel 5.Karakteristik Responden

Berdasarkan Pelaksanaan

Tugas Keluarga Bidang

Kesehatan

Pelaksanaan Tugas

Keluarga Bidang Kesehatan

pada lanjut usia.

f %

Baik 5 10

Cukup 10 20

Kurang 35 70

Total 50 100

Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa dari

50 orang responden yang diteliti yang

terbanyak adalah pelaksanaan tugas keluarga

bidang kesehatan pada lanjut usia kurang

yaitu 35 orang responden(70%).

Tabel 6.Karakteristik Pelaksanaan Tugas

Keluarga bidang Kesehatan pada

Lanjut Usia Berdasarkan Usia

Analisa data deskriftip menurut tabel 6,

13 orang responden(26%), dari 23 orang

responden yang berusia antara 70-74 tahun,

pelaksanaan tugas keluarga bidang

kesehatan pada lanjut usia dengan katagori

kurang. Sedangkan 22 orang

responden(44%), dari 27 orang responden

yang berusia antara 75-79 tahun,

pelaksanaan tugas keluarga bidang

kesehatan pada lanjut usia dengan katagori

kurang.

F

USIA

PELAKSANAAN

TUGAS KELUARGA

BIDANG KESEHATAN

%

Baik Cukup Kurang

F % F % F %

70-74 23 3 6 7 14 13 26 46

75-79 27 2 4 3 6 22 44 54

Total 50 5 10 10 20 35 70 100

Page 49: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

159

Tabel 7. Karakteristik Pelaksanaan Tugas

Keluarga bidang Kesehatan pada

Lanjut Usia Berdasarkan Jenis

Kelamin

Analisa data deskriftip menurut tabel 7,

14 orang responden(28%), dari 21orang

responden yang berjenis kelamin laki-laki,

pelaksanaan tugas keluarga bidang

kesehatan pada lanjut usia dengan katagori

kurang. sedangkan 21 orang

responden(42%), dari 29 orang responden

yang berjenis kelamin perempuan,

pelaksanaan tugas keluarga bidang

kesehatan pada lanjut usia dengan katagori

kurang

Tabel 8.Karakteristik Pelaksanaan Tugas

Keluarga bidang Kesehatan pada

Lanjut Usia Berdasarkan

Pendidikan

Analisa data deskriftip menurut tabel 8,

8 orang responden(16%), dari 8 responden

pendidikan tidak sekolah, pelaksanaan tugas

keluarga bidang kesehatan pada lanjut usia

dengan katagori kurang. Sedangkan 2 orang

responden(4%). dari 5 orang responden

yang berpendidikan SD, pelaksanaan tugas

keluarga bidang kesehatan pada lanjut usia

katagori kurang. Sedangkan 9 orang

responden(18%), dari 17 orang responden

yang berpendidikan SMA, pelaksanaan

tugas keluarga bidang kesehatan pada lanjut

usia katagori kurang.

Tabel 9.Karakteristik Pelaksanaan Tugas

Keluarga bidang Kesehatan pada

Lanjut Usia Berdasarkan Pekerjaan

F

PEKER

JAAN

PELAKSANAAN

TUGAS KELUARGA

BIDANG KESEHATAN

PADA LANSIA

%

Baik Cukup Kurang

F % F % F %

Petani 24 3 6 6 12 15 30 48

Buruh 11 1 2 0 0 10 20 22

Swasta 9 0 0 1 2 8 16 18

PNS 6 1 2 3 6 2 4 12

Total 50 5 10 10 20 35 70 100

Analisa data deskriftip menurut tabel 9,

15 orang responden(30%), dari 24 orang

responden pekerjaan sebagai petani,

pelaksanaan tugas keluarga bidang

kesehatan pada lanjut usia dengan katagori

kurang. Sedangkan 10 orang

responden(20%), dari 11 orang responden

pekerjaan buruh, pelaksanaan tugas keluarga

bidang kesehatan pada lanjut usia dengan

katagori kurang. Sedangkan 8 orang

responden(16%), dari 9 orang responden

pekerjaan swasta, pelaksanaan tugas

keluarga bidang kesehatan pada lanjut usia

dengan katagori kurang. Sedangkan 2 orang

responden (4%). dari 6 orang responden

pekerjaan PNS, pelaksanaan tugas keluarga

bidang kesehatan pada lanjut usia dengan

katagori kurang.

Berdasarkan analisa data deskriftip,

sesuai karakteristik usia, ditemukan dari 23

F

JK

PELAKSANAAN

TUGAS KELUARGA

BIDANG

KESEHATAN PADA

LANSIA

%

Baik Cukup Kurang

F % F % F %

Laki-laki 21 2 4 5 10 14 28 42

Perempua

n

29 3 6 5 10 21 42 58

Total 50 5 10 10 20 35 70 100

F

PENDI

DIKAN

PELAKSANAAN

TUGAS KELUARGA

BIDANG KESEHATAN

PADA LANSIA

%

Baik Cukup Kurang

F % F % F %

TS 8 0 0 0 0 8 16 16

SD 5 1 2 2 4 2 4 10

SMP 20 2 4 2 4 16 32 40

SMA 17 2 4 6 12 9 18 34

Total 50 5 10 10 20 35 70 100

Page 50: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

160

orang responden yang berusia antara 70-74

tahun, pelaksanaan tugas keluarga bidang

kesehatan pada lanjut usia dengan katagori

kurang 13 orang responden(26%),

sedangkan dari 27 orang responden yang

berusia antara 75-79 tahun, pelaksanaan

tugas keluarga bidang kesehatan pada lanjut

usia dengan katagori kurang 22 orang

responden(44%). Menurut Mubarak (2006)

dengan bertambahnya usia seseorang akan

terjadi perubahan pada aspek fisik,

psikologis atau mental. Usia sangat

berpengaruh pada penurunan fungsi

kognitif, mental dan emosional, sehingga

seseorang cepat lupa dengan apa yang sudah

pernah diberikan oleh keluarga dan

berpengaruh lambat dalam mengambil

keputusan untuk menanggulangi masalah

kesehatan. Menurut Nugroho (2000),

hilangnya kemampuan daya pendengaran

pada telinga dalam trutama terhadap bunyi

suara atau nada-nada yang tinggi,suara yang

tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50%

terjadi pada usia di atas usia 65 tahun,

sehingga sangat mendukung pelaksanaan

tugas keluarga bidang kesehatan pada lajut

usia kurang.

Berdasarkan Analisa data deskriftip,

sesuai karakteristik jenis kelamin

ditemukan, dari 21 orang responden yang

berjenis kelamin laki-laki, pelaksanaan tugas

keluarga bidang kesehatan pada lanjut usia

dengan katagori kurang 14 orang responden

(28%), sedangkan dari 29 orang responden

yang berjenis kelamin perempuan,

pelaksanaan tugas keluarga bidang

kesehatan pada lanjut usia dengan katagori

kurang 21 orang responden (42%). Menurut

Nugroho (2008), pada umumnya perempuan

dan laki-laki di Indonesia kecenderungan

sangat gengsi dalam menerima bantuan

apapun apalagi lanjut usia tersebut masih

menganggap dirinya mampu untuk mandiri

dalam melaksanakan seluruh kegiatannya

dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-

hari, sehingga pelaksanaan tugas keluarga

tidak begitu diperhatikan atau dibutuhkan.

Berdasarkan analisa data deskriftip

ditemukan, 8 orang responden pendidikan

tidak sekolah, pelaksanaan tugas keluarga

bidang kesehatan pada lanjut usia dengan

katagori kurang 8 orang

responden(16%),sedangkan dari 5 orang

responden yang berpendidikan SD,

pelaksanaan tugas keluarga bidang

kesehatan pada lanjut usia katagori kurang

16 orang responden(32%). sedangkan dari

17 orang responden yang berpendidikan

SMA, pelaksanaan tugas keluarga bidang

kesehatan pada lanjut usia katagori kurang 9

orang responden(18%). Menurut

Notoatmodjo (2005), hal ini menunjukkan

responden yang ikut serta dalam penelitian

sebagian besar belum mendapatkan

pendidikan yang ideal untuk ikut serta

memberikan pendapatnya terkait rendahnya

pelaksanaan tugas keluarga bidang

kesehatan pada lanjut usia. Berbekal

pendidikan yang belum memadai,

diharapkan para lanjut usia mencari

informasi dan diskusi dalam meningkatkan

kesehatan bagi para lanjut usia, masalah

diatas didukung oleh pendapat Mubarak

(2006) dengan bertambahnya usia seseorang

akan terjadi perubahan pada aspek fisik,

psikologis atau mental dan kognitif. Usia

sangat berpengaruh pada penurunan fungsi

kognitif, mental dan emosional, sehingga

seseorang cepat lupa dengan apa yang sudah

pernah diberikan oleh keluarga dan

berpengaruh lambat dalam mengambil

keputusan untuk menanggulangi masalah

kesehatan, Didukung oleh pernyataan

Notoatmodjo (2005) salah satu faktor yang

mempengaruhi pengetahuan dan perilaku

seseorang adalah sosial ekonomi. Sehingga

dapat dikatakan semakin tinggi tingkat

sosial ekonomi seseorang maka akan

cenderung berperilaku dan persepsi sesuai

yang diinginkan, termasuk dalam

pelaksanaan tugas keluarga pada lanjut usia.

Berdasarkan analisa data deskriftip, dari

24 orang responden pekerjaan sebagai

petani, pelaksanaan tugas keluarga bidang

kesehatan pada lanjut usia dengan katagori

kurang 15 orang responden (30%),

sedangkan dari 11 orang responden

pekerjaan buruh, pelaksanaan tugas keluarga

bidang kesehatan pada lanjut usia dengan

katagori kurang 10 orang responden (20%),

Page 51: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

161

sedangkan dari 9 orang responden

pekerjaan swasta, pelaksanaan tugas

keluarga bidang kesehatan pada lanjut usia

dengan katagori kurang 8 orang responden

(16%), sedangkan dari 6 orang responden

pekerjaan PNS, pelaksanaan tugas keluarga

bidang kesehatan pada lanjut usia dengan

katagori kurang 2 orang responden (4%).

Menurut Mubarak (2006) jenis pekerjaan

seseorang sangat berpengaruh terhadap

pelaksanaan tugas keluarga pada lanjut usia,

70 % keluarga berada diluar rumah untuk

mencari pendapatan atau ekonomi keluarga

yang akan mempunyai dampak pola hidup

sehari-hari diantaranya pemeliharaan

kesehatan. Pemberdayakan anggota keluarga

yang lain termasuk lanjut usia di rumah

untuk ikut bekerja sesuai dengan

kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari. Didukung oleh pernyataan

Notoatmodjo (2005), sosial ekonomi, sangat

berpengaruh dalam pelaksanaan tugas

keluarga bidang kesehatan pada lanjut usia.

Fasilitas pelayanan kesehatan khusus

program untuk lanjut usia, di Banjar

Nyangglan Kaja tidak ada, sehingga

aktivitas khusus lanjut usia tidak ada.

Perawat yang bertugas di Puskesmas

Pembantu Desa Bangbang, seharusnya tiap

bulan melakukan kunjungan kepada

keluarga yang punya lanjut usia, Hasil

wawancara peneliti dengan 10 kepala

keluarga yang punya lanjut usia

mengatakan petugas kesehatan datang ke

Banjar kami dua sampai tiga bulan sekali

melakukan kunjungan untuk memberikan

informasi/melakukan penyuluhan

pelaksanaan tugas keluarga bidang

kesehatan pada lanjut usia yang harus

dilakukan keluarga, karena kurangnya

tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas

Pembantu di Desa Bangbang, sehingga

berdampak kurangnya pengetahuan

pelaksanaan tugas keluarga bidang

kesehatan pada lanjut usia, yang dimiliki

keluarga.

Hasil observasi peneliti terhadap

keluarga yang mempunyai lanjut usia

hampir 98%, melaksanakan kegiatan untuk

memenuhi biaya hidup sehari-hari di luar

rumah, sehingga perhatian dan

pendampingan sangat kurang, dan

berdampak terhadap kurangnya pelaksanaan

tugas keluarga bidang kesehatan pada lanjut

usia. Pelaksanaan tugas keluarga pada lanjut

usia sebagian besar memperoleh dukungan

keluarga kurang sebanyak 35 responden

(70 %). Hal ini menunjukkan tugas keluarga

yang diterima lanjut usia kurang

mendukung dalam mengatasi masalah

kesehatan pada lanjut usia. Menurut

Suprajitno (2004) tugas keluarga merupakan

pemeliharaan kesehatan keluarga yang perlu

dipahami dan dilakukan. Pelaksanaan tugas

keluarga yang baik akan memberikan

kenyamanan kepada lanjut usia. Pelaksanaan

tugas keluarga merupakan dukungan yang

penting bagi lanjut usia terutama bila terjadi

ketergantungan dalam memenuhi kebutuhan,

keluarga harus berperan sebagai pemberi

perawatan primer. Ketika keluarga tidak

menjadi bagian kehidupan seorang lanjut

usia, umumnya menyebabkan lanjut usia

tersebut merasa terabaikan (Pratt 1993

dalam Erawati, 2001).

Pelaksanaan tugas keluarga merupakan

kemampuan keluarga dalam menghadapi

masalah kesehatan (Achjar, 2010).

Pelaksanaan tugas keluarga yang diberikan

pada lansia berupa lima tugas keluarga

menurut Friedman dalam (Effendi,1998)

yaitu mengenal gangguan perkembangan

kesehatan setiap anggotanya, mengambil

keputusan untuk melakukan tindakan yang

tepat, memberikan perawatan kepada

anggota keluarganya yang sakit,

mempertahankan suasana rumah

yang menguntungkan kesehatan,

mempertahankan hubungan timbal balik

antara keluarga dan lembaga-lembaga

kesehatan. Hal ini menunjukkan kurangnya

pelaksanaan tugas keluarga yang ada di

Banjar Nyangglan Kaja dapat dilihat dari

pendidikan keluarga didapat 20 orang

responden (40%) dari 50 orang responden

ditemukan sebagian besar pendidikan SMP.

Dari segi pekerjaan didapat 24 orang

responden (48%) dari 50 orang responden

sebagian besar memiliki pekerjaan petani.

Page 52: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

162

Keluarga bisa dijadikan sistem

pendukung utama bagi lanjut usia, tempat

mengeluh dan berbagi rasa apabila terjadi

kesulitan yang sedang dihadapi dan

diharapkan bisa membantu menyelesaikan

masalah. Pelaksanaan tugas keluarga sangat

dibutuhkan karena lanjut usia tergantung

pada keluarganya dan anggota keluarga

diharapkan dapat memberikan dukungan

psikologis dan dukungan dalam menjalani

kehidupannya sehari-hari (Yundini, 2006).

Hasil penelitian ini serupa dengan

penelitian yang dilakukan oleh Anik

Supriani (2010) dengan judul tingkat depresi

pada lanjut usia ditinjau dari type

kepribadian dan dukungan sosial di UPT

panti werdha mojopahit mojokerto. Hasil

penelitian ini tipe kepribadian introvert

dengan dukungan sosial kurang

menyebabkan nilai depresi tinggi dengan

tingkat depresi berat. Demikian pula dengan

hasil penelitian Yundini (2006) dengan judul

pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap

tingkat depresi pada lanjut usia. Hasil

penelitian ini terdapat perbedaan bermakna

antara tingkat depresi sebelum dan sesudah

diberikan dukungan sosial oleh keluarga.

Pelaksanaan tugas keluarga yang masih

kurang kemungkinan diakibatkan oleh,

keluarga sibuk dengan pekerjaannya untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari, tingkat

pendidikan yang rendah juga sebagai

pemicu belum pahamnya keluarga tentang

pentingnya pelaksanaan tugas keluarganya

untuk mencegah masalah kesehatan yang

bisa terjadi pada lanjut usia, disamping itu

kurang berperannya petugas puskesmas

untuk melakukan penyuluhan kepada

keluarga yang memiliki lanjut usia,

sehingga menyebabkan kurangnya

pengetahuan keluarga dalam melaksanakan

tugasnya merawat lanjut usia yang ada di

rumahnya. Sebagai kepala keluarga atau

kepala rumah tangga, seseorang diharapkan

mampu menyediakan kebutuhan

keluarganya dengan baik. Anggota keluarga

yang tidak lepas keberadaannya pada masa

sekarang ini adalah para lanjut usia. Di

Indonesia kebanyakan lanjut usia tinggal

bersama keluarganya (anak). Peran serta

perhatian keluarga dalam menunjang

kesehatan lanjut usia sangat diperlukan,

salah satunya adalah dukungan keluarga

dalam memeriksakan kesehatan secara rutin

ke posyandu lanjut usia.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan pelaksanaan tugas keluarga

bidang kesehatan pada lansia umur 70-79

tahun dapat dibuat simpulan sebagai berikut

: Dari 50 orang responden terbanyak

berada pada rentang usia 75-79 tahun,

(54%), berjenis kelamin perempuan,(58%),

pendidikan SMP, (40%), memiliki pekerjaan

petani, (48%). Pelaksanaan tugas keluarga

bidang kesehatan pada lanjut usia, sebagian

besar berada pada katagori kurang (70%).

DAFTAR RUJUKAN Achjar, K.A.H., 2010, Aplikasi Praktis

Asuhan Keperawatan Keluarga, Jakarta : Sagung Seto.

Aryani, A., 2008, Faktor-faktor yang

Berhubungan dengan Depresi pada Lansia di Desa Mandong Trucuk Klaten, ( online ), available: http://etd.eprints.ums.ac.id/3985/1/J210040065.pdf, (23 Desember2011).

Dinas Kesehatan Kabupaten Bangli, 2013,

Propil Dinas Kesehatan Kab.Bangli. Effendi, N., 1998, Dasar-Dasar

Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Edisi 2, Jakarta : EGC.

Erawati, N.K., 2001, Pengaruh Dukungan

Keluarga Terhadap Pencegahan Depresi Pada Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Denpasar Selatan I Kotamadya Denpasar-Bali, Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Mubarak, W.I., 2006, Ilmu Keperawatan

Komunitas Konsep Dan Aplikasi, Jakarta: Salemba Medika.

Notoatmodjo,2005, Pendidikan dan

Perilaku Kesehatan,Jakarta,Rineka Cipta.

Nugroho, W., 2000, Keperawatan

Gerontik, Edisi 2. Jakarta : EGC.

Page 53: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

163

Nugroho, W., 2008, Keperawatan Gerontik & geriatrik, Edisi 3. Jakarta : EGC.

Puskesmas Tembuku, 2013, Profil Tahunan

Puskesmas Tembuku. Soelistiono, 2009, Jumlah lansia di

Indonesia Meninggi, Available: http://www.mediaindonesia.com/read/2009, (21 Desember 2011).

Suteja, 2008, Hubungan Dukungan

Keluarga dengan Tingkat Depresi pada Lansia di Penyantunan Lanjut Usia Wana Sraya Singraja Bali, Skripsi tidak diterbitkan. Denpasar: Jurusan Keperawatan Poltekes Denpasar.

Suprayitno,2004,Asuhan Keperawatan

Keluarga Aplikasi dalam Praktik,Salemba Medika

Yundini, 2006, Orang Tua yang Depresi

Butuh Dukungan Keluarga, Available : http://www.mailarchive.com.(21 Desember 2011).

Page 54: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

164

FAKTOR PENYEBAB KETIDAKPATUHAN KONTROL

PENDERITA HIPERTENSI

I Ketut Gama

I Wayan Sarmadi

IGA Harini Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

Email : [email protected]

Abstract: Factors causing disobedience to control patients hipertensi. The purpose

of this study was to determine the factors that lead to non-compliance control

hypertension. This research is a survey research with cross sectional approach. The

sampling technique used in this study is a probability sampling, namely the simple

random sampling technique. The results showed that of 64 respondents surveyed, a

majority of respondents with more than 60 years as many as 30 respondents (47%), a

total of 48 respondents (75%) most likely to be male, the majority of respondents 27

school education (42% ), whereas 40 (63%) mostly worked as a farmer. Of the 64

respondents surveyed, most of the 40 people (63%) of respondents offense for

controlling factor comprehension instruction.

Abstrak: Faktor penyebab ketidak patuhan kontrol penderita hipertensi. Tujuan

dari penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan

kontrol penderita hipertensi. Jenis penelitian ini adalah penelitian survei, dengan

pendekatan cross sectional. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini

adalah probability sampling, yaitu teknik simple random sampling. Hasil penelitian

menunjukkan, dari 64 orang responden yang diteliti, mayoritas responden berusia

lebih dari 60 tahun sebanyak 30 orang responden (47%), sebanyak 48 orang

responden (75%) sebagian besar berjenis kelamin pria, responden pendidikan

sebagian besar 27 orang responden tidak sekolah (42%), sedangkan 40 orang

responden (63%) sebagian besar bekerja sebagai petani. sebagian besar dari 40 orang

responden (63%) faktor penyebab ketidakpatuhan kontrol karena faktor pemahaman

instruksi.

Kata kunci: faktor penyebab, ketidak patuhan, kontrol, hipertensi

Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan

dan/atau serangkaian kegiatan yang

dilakukan secara terpadu, terintregasi dan

berkesinambungan untuk memelihara dan

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

dalam bentuk pencegahan penyakit,

peningkatan kesehatan, pengobatan

penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh

pemerintah dan/atau masyarakat. Dalam hal

ini terlihat jelas bahwa pentingnya

pemeliharaan dan peningkatan derajat

kesehatan masyarakat, dimana setiap hal

yang menyebabkan terjadinya gangguan

kesehatan pada masyarakat Indonesia akan

menimbulkan kerugian ekonomi yang besar

bagi negara, dan setiap upaya peningkatan

derajat kesehatan masyarakat juga berarti

investasi bagi pembangunan negara (Depkes

RI, 2009).

Setiap kegiatan dalam upaya untuk

memelihara dan meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-

tingginya ini, dilaksanakan berdasarkan

prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan

berkelanjutan dalam rangka pembentukan

sumber daya manusia Indonesia, serta

peningkatan ketahanan dan daya saing

bangsa bagi pembangunan nasional. Maka

daripada itu, setiap upaya pembangunan

harus dilandasi dengan wawasan kesehatan

Page 55: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

165

dalam arti pembangunan nasional harus

memperhatikan kesehatan masyarakat dan

merupakan tanggung jawab semua pihak

baik pemerintah maupun masyarakat

(Depkes RI, 2009).

Hipertensi adalah keadaan peningkatan

tekanan darah yang memberi gejala, yang

akan berkelanjutan pada organ target, seperti

stroke (untuk otak) (Depkes RI, 2009).

Makin tinggi tekanan darah, maka makin

keras jantung harus bekerja untuk tetap

memompa melawan hambatan. Karena

beban berlebihan yang diletakannya pada

arteri, tekanan darah tinggi dapat

mempercepat pelapukan dan kerusakannya,

terutama pada organ-organ yang dituju,

yakni otak. Oleh karena itu, hipertensi yang

tidak di obati sering mengakibatkan stroke

yang berbahaya. Stroke yang fatal

mempunyai peluang dua kali lebih besar

pada orang yang menderita hipertensi yang

tidak diobati dibandingkan pada mereka

yang memiliki tekanan darah normal di usia

yang sama. Beberapa penyebab hipertensi

dikarenakan asupan makanan yang tinggi

sodium, stress psikilogi, kegelisahan dan

hiperaktivitas. Sekitar 20% dari semua orang

dewasa menderita hipertensi dan menurut

statistik angka ini terus meningkat. Sekitar

40% dari semua kematian dibawah usia 65

tahun adalah akibat hipertensi (Wiwik,

2011).

Tingkat kepatuhan penderita hipertensi

di Indonesia untuk berobat dan kontrol

cukup rendah. Tingkat kepatuhan penderita

hipertensi tidak sampai 50 persen. Semakin

lama seseorang menderita hipertensi maka

tingkat kepatuhannya makin rendah.

Tekanan darah sangat berpengaruh terhadap

kejadian Stroke sebagai akibat dari

peningkatan tekanan darah yang tidak

terkontrol. Penelitian ekologi menyatakan

bahwa garam dan tekanan darah merupakan

dua hal yang sangat berhubungan. Selain itu,

dari penelitian observasional, berat badan

dan tekanan darah juga sangat berpengaruh

terhadap tingkat kejadian Stroke, khususnya

akibat dari peningkatan tekanan darah. Hal

ini dapat dijelaskan, dimana dimulai dengan

atherosclerosis, gangguan struktur anatomi

pembuluh darah perifer yang berlanjut

dengan kekakuan pembuluh darah.

Kekakuan pembuluh darah disertai dengan

penyempitan dan kemungkinan pembesaran

plaque yang menghambat gangguan

peredaran darah perifer. Kekakuan dan

kelambanan aliran darah menyebabakan

beban jantung bertambah berat yang

akhirnya dikompensasi dengan peningkatan

upaya pemompaan jantung yang

memberikan gambaran peningkatan tekanan

darah dalam sirkulasi (Wiwik, 2011).

Hipertensi adalah faktor resiko Stroke

yang utama disamping merokok dan riwayat

penyakit jantung, sebanyak 70% dari pasien

stroke memiliki hipertensi (Depkes RI,

2009). Dengan demikian kontrol dalam

penyakit hipertensi ini dapat dikatakan

sebagai pengobatan seumur hidup bilamana

ingin dihindari terjadinya komplikasi yang

tidak baik, (Depkes RI, 2009).

Data Global Status Report on

Noncommunicbel Disesases menyebutkan,

40% Negara ekonomi berkembang memiliki

penderita hipertensi, sedangkan Negara

maju hanya 35%. Kawasan Afrika

memegang posisi puncakpenderita

hipertensi sebanyak 46 %. Sementara

kawasan Amerika menempati posisi dengan

35%. Kawasan Asia Tenggara, 36% orang

dewasa menderita hipertensi. Untuk

kawasan Asia penyakit ini telah membunuh

1,5 juta orang setiap tahunnya. Hal ini

menandakan satu dari tiga orang menderita

hipertensi, (WHO, 2010).

Data yang diperoleh di Dinas Kesehatan

Provinsi Bali, pada tahun 2011 penderita

Hipertensi sebanyak 17.095 orang atau 39%

yang kontrol, tahun 2012 sebanyak 18.624

orang atau 37 % yang kontrol . Sedangkan

penderita tahun 2013 sebanyak 20.505

orang atau 40% yang kontrol, ( Dinkes Prov

Bali, 2013).

Sedangkan data yang diperoleh di Dinas

Kesehatan Kabupaten Gianyar, pada tahun

2011 penderita Hipertensi sebanyak 13.102

orang atau 38% yang kontrol, tahun 2012

sebanyak 16.845 orang atau 32 % yang

kontrol, Sedangkan penderita tahun 2013

sebanyak 18.023 orang atau 30% yang

Page 56: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

166

kontrol, (Dinkes Kab.Gianyar, 2013).

Berdasarkan laporan tiga tahun terakhir

Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar untuk

ketidakpatuhan kontrol penderita hipertensi

dari 13 Puskesmas hanya Puskesmas

Payangan yang memiliki tingkat

ketidakpatuhan kontrol yang cukup tinggi,

bila dibandingkan 12 Puskesmas lainnya

yang ada di Kabupaten Gianyar. Sedangkan

data yang diperoleh di Puskesmas Payangan,

kunjungan penderita Hipertensi selama tiga

tahun terakhir, yaitu tahun 2011 sebanyak

742 orang atau 3,37 % yang kontrol, tahun

2012 sebanyak 679 orang atau 32,84% yang

kontrol, sedangkan tahun 2013, sebanyak

638 orang hipertensi atau 28,99% yang

kontrol, (Puskesmas Payangan, 2013).

Uraian data tersebut di atas memperlihatkan

dimana terjadi penurunan kunjungan

penderita hipertensi ke Puskesmas.

Hasil observasi peneliti terhadap

masyarakat di wilayah kerja Puskesmas

Payangan 55 % yang memiliki gaya hidup

seperti merokok, minum minuman

beralkohol disamping sebagai alasan

keakraban hubungan sosial, juga sebagai

penyaluran akan emosional dan

mengilangkan kelelahan akibat pekerjaan.

Pola hidup demikian merupakan faktor

pencetus terjadinya hipertensi,(Depkes RI,

2009).

Program Puskesmas terkait dengan

himbauan/penyuluhan kunjungan kembali

penderita hipertensi untuk memeriksakan

diri dalam bentuk penyuluhan baru bisa

terlaksana 6 x/tahun dari 12 x/tahun,

dilakukan oleh petugas kesehatan. Studi

pendahuluan yang dilakukan peneliti

berdasarkan observasi melalui register

kunjungan Puskesmas kurun waktu tiga

bulan terakhir hanya tercatat jumlah

kunjungan baru penderita hipertensi.

Dampak dari ketidakpatuhan kontrol akan

memberikan berbagai komplikasi akibat dari

hipertensi seperti gagal ginjal, stroke dan

sebagainya,(Depkes RI, 2009). Tujuan

Penelitian ini untuk mengetahui faktor

faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan

kontrol penderita hipertensi di wilayah kerja

Puskesmas Payangan tahun 2014.

METODE

Jenis penelitaian ini adalah penelitian

survey, dengan model pendekatan

subyeknya adalah cross sectional. Waktu

penelitian dilakukan dua bulan yaitu bulan

Mei sampai bulan Juni 2014. Teknik

sampling yang digunakan adalah probability

sampling, yaitu teknik simple random

sampling. Instrumen pengumpulan data

yang digunakan berupa kuesioner yang

dirancang sendiri oleh peneliti. Lembar

kuesioner terdiri dari dua bagian yaitu

karakteristik responden yang meliputi usia,

jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan

penderita hipertensi, dan lembar kuesioner

tentang ketidakpatuhan kontrol penderita

hipertensi.

Lembar kuesioner ketidakpatuhan

kontrol penderita hipertensi terdiri dari 30

pernyataan, setiap item pernyataan

kuesioner menggunakan pertanyaan tertutup

dengan skala Guttman yaitu memberikan

pernyataan mengenai ya atau tidak

dilakukan terhadap suatu hal. Apabila

pertanyaan dijawab ya, akan mendapat skor

1, dan apabila dijawab tidak, akan

mendapat skor 0. Untuk menentukan faktor

dominan penyebab ketidakpatuhan kontrol

penderita hipertensi, adalah prosentase

terbesar dari hasil olahan data ke tiga faktor

yaitu, pemahaman tentang instruksi, kualitas

instruksi dan isolasi sosial dan keluarga.

Penelitian ini menggunakan analisis

univariate, hasil akhir data akan

disampaikan dengan distribusi tabel

frekuensi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan bulan Mei 2014

di Wilayah Kerja Puskesmas Payangan.

Terlebih dahulu dikemukakan karakteristik

subyek penelitian sebagai berikut.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden

Berdasarkan Usia

No. Usia f %

1.

2.

3.

21- 40 tahun

41- 60 tahun

> 60 tahun

13

21

30

20

33

47

Total 64 100

Page 57: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

167

Tabel 1, di atas menunjukkan bahwa dari

64 orang responden sebagian besar

ketidakpatuhan kontrol penderita hipertensi

berusia lebih dari 60 tahun yaitu 30 orang

responden (47%).

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden

Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin f %

1.

2.

Laki-laki

Perempuan

48

16

75

25

Total 64 100

Tabel 2, di atas menunjukkan bahwa dari

64 orang responden sebagian besar

ketidakpatuhan kontrol penderita hipertensi

berjenis kelamin laki-laki yaitu 48 orang

responden (75%).

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden

Berdasarkan Pendidikan

No. Pendidikan f %

1.

2.

3.

4.

5.

Tidak sekolah

SD

SMP

SMA

Perguruan Tinggi

27

26

3

7

1

42

41

5

10

2

Total 64 100

Tabel 3, di atas menunjukkan bahwa dari

64 orang responden sebagian besar

ketidakpatuhan kontrol penderita hipertensi

tidak sekolah yaitu 27 orang responden

(42%).

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden

Berdasarkan Pekerjaan

No. Pekerjaan F %

1.

2.

3.

4.

Petani

PNS

Swasta

Wirausaha

40

7

5

12

63

11

8

19

Total 64 100

Tabel 4, di atas menunjukkan bahwa dari

64 orang responden sebagian besar

ketidakpatuhan kontrol penderita hipertensi

dengan pekerjaan sebagai petani yaitu 40

orang responden (63%).

Tabel 5. Distribusi Responden Faktor

Faktor Penyebab

Ketidakpatuhan Kontrol

Penderita Hipertensi

No. Penyebab

ketidakpatuhan

kontrol

F %

1.

2.

3.

Pemahaman tentang

instruksi

Kualitas instruksi

Isolasi sosial dan

keluarga

40

13

11

63

20

18

Total 64 100

Tabel 5, di atas menunjukkan bahwa dari

64 orang responden sebagian besar

ketidakpatuhan kontrol penderita hipertensi

karena pemahaman instruksi yaitu 40 orang

responden (63%).

Hasil penelitian yang dilakukan di

Wilayah Kerja Puskesmas Payangan

diperoleh data yaitu dari 64 orang

responden, sebagian besar atau sebanyak 40

orang responden (63%) berusia > 60 tahun.

Hal ini disebabkan semakin bertambahnya

umur, elastisitas pembuluh darah semakin

menurun dan terjadi kekakuan dan

perapuhan pembuluh darah sehingga aliran

darah terutama ke otak menjadi terganggu,

semakin bertambahnya usia dapat

meningkatkan kejadian hipertensi dan mulai

menurunnya aktifitas fisik sehingga

menghambat untuk mencari pelayanan

kesehatan. Hal ini disebabkan semakin

bertambahnya umur, elastisitas pembuluh

darah semakin menurun dan terjadi

kekakuan dan perapuhan pembuluh darah

sehingga aliran darah terutama ke otak

menjadi terganggu (Wiwik, 2011).

Dari 64 orang responden yang diambil

diketahui sebagian besar atau sebanyak 48

orang responden (75%) berjenis kelamin

laki-laki, ini menunjukkan bahwa laki-laki

lebih berisiko terkena hipertensi dari pada

perempuan, dikarenakan laki-laki memiliki

gaya hidup yang cenderung meningkatkan

tekanan darah, dan kurang peduli terhadap

masalah kesehatan yang sedang dihadapi,

disamping itu adanya perbedaan konsep

Page 58: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

168

sehat sakit dimasyarakat,(Depkes RI, 2009).

Laki-laki memiliki resiko lebih tinggi untuk

menderita hipertensi lebih awal dan laki-laki

juga mempunyai resiko lebih besar terhadap

morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler

seperti stroke akibat dari ketidakpatuhan

kontrol penderita hipertensi.

Sedangkan dari karakteristik pendidikan,

dari 64 orang responden sebagian besar

tidak sekolah sebanyak 27 orang responden

(42%). Sebagian besar responden belum

terlalu banyak mengetahui pemahaman

tentang instruksi yang berkait dengan

ketidakpatuhan kontrol keunit pelayanan

kesehatan. Pendidikan akan menentukan

tingkat pengetahuan seseorang. Secara

teoritis pengetahuan seseorang akan sangat

menentukan apakah dia akan patuh atau

ketidakpatuhan kontrol terhadap

pengobatan, akan menimbulkan

keyakinan/perilaku pada dirinya untuk

mematuhinya (Mubarak, dkk., 2006).

Kemudian dari karakteristik pekerjaan,

hasil penelitian dari 64 orang responden

diketahui sebagian besar atau sebanyak 40

orang responden (63%) petani. Pekerjaan

dapat mempengaruhi ketidakpatuhan kontrol

penderita hipertensi karena sibuk dengan

pekerjaan masing-masing sehingga lupa

dengan saran pesan dari tenaga medis untuk

kontrol kembali. Pekerjaan seseorang,

tingkat pendidikan dan pengetahuan

seseorang, dimana hal ini berkaitan dengan

ketidakpatuhan kontrol seseorang, dari

karakteristik usia dimana usia responden

yang lebih dari 60 tahun terjadinya

perubahan pada seseorang yaitu mulai

menurunnya aktifitas fisik sehingga

merupakan faktor penghambat untuk

mencari pelayanan kesehatan. Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian yang berjudul

analisis pengaruh faktor nilai hidup,

ketidakpatuhan kontrol terhadap perilaku

sehat penderita hipertensi, yaitu semakin tua

seorang kemampuan ingatan dan motivasi

berperilaku sehat juga menurun

(Notoatmodjo, 2005).

Dilihat dari jenis kelamin sebagian

besar berjenis kelamin laki-laki 48 orang

responden (70%), kurang peduli terhadap

masalah kesehatan yang sedang dihadapi,

disamping itu adanya perbedaan konsep

sehat sakit dimasyarakat, (Depkes RI, 2009).

Dilihat dari karakteristik responden

pendidikan ditemukan sebagian besar 27

orang responden(42%) tidak sekolah dapat

mengakibatkan pemahaman seseorang

terhadap suatu objek menjadi kurang atau

rendah, ini bisa sebagai salah satu penyebab

ketidakpatuhan kontrol penderita hipertensi,

karena sebagian besar responden belum

terlalu banyak mengetahui pemahaman

tentang instruksi yang berkait dengan

ketidakpatuhan kontrol keunit pelayanan

kesehatan. Dari karakteristik pekerjaan

ditemukan sebagian besar 40 orang

responden(63%) pekerjaan sebagai petani.

Pekerjaan dapat mempengaruhi

ketidakpatuhan kontrol penderita hipertensi

karena sibuk dengan pekerjaan masing-

masing sehingga lupa dengan saran pesan

dari tenaga medis untuk kontrol kembali.

Pekerjaan seseorang, tingkat pendidikan dan

pengetahuan seseorang, dimana hal ini

berkaitan dengan ketidakpatuhan kontrol

penderita hipertensi. Pentingnya pemberian

penyuluhan kesehatan sebelum dan sesudah

diberikan pelayanan kesehatan minimal

sebulan sekali, oleh petugas kesehatan di

pelayanan kesehatan tempat penderita

hipertensi melakukan kontrol dapat

meningkatkan kepatuhan kontrol penderita

hipertensi itu sendiri. Pengetahuan atau

kognitif merupakan domain yang sangat

penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang (overt behavior) dan dikatakan

pula bahwa perilaku yang didasari

pengetahuan. Dengan pendidikan tinggi

maka seseorang cenderung untuk mendapat

informasi baik dari responden lain maupun

media masa, semakin banyak info yang

masuk semakin banyak pula pengetahuan

seseorang tentang kesehatan(Notoatmodjo,

2005). Hal ini dipengaruhi oleh tingkat

kesibukan yang dilakukan perempuan pada

umumnya untuk memenuhi keperluan rumah

tangga sehingga masalah kesehatannya

sering terabaikan. Begitu juga dengan laki-

laki jarang memiliki waktu senggang

sehingga tidak dapat melakukan kontrol ke

Page 59: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

169

unit pelayanan kesehatan. Hasil ini sesuai

dengan penelitian mengenai faktor-faktor

yang mempengaruhi ketidakpatuhan kontrol

yaitu kemampuan finansial dimana laki-laki

dan perempuan pada umumnya sibuk

bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari sehingga tidak dapat bebas dalam

merencanakan sesuatu (Mubarak,dkk, 2006).

Berdasarkan standar operasional

prosedur di Puskesmas, setiap pasien setelah

mendapat pelayanan kesehatan harus

diberikan penyuluhan tentang bahaya

ketidakpatuhan kontrol, namun petugas di

bagian poliklinik pemeriksaan kesehatan

pelaksanaan penyuluhan tidak dilakukan,

karena tingginya jumlah pasien yang ingin

berobat. Untuk mengatasi ketidakpatuhan

kontrol pada penderita hipertensi perlu

memberikan penyuluhan manpaat

pentingnya kontrol kembali. Pendidikan

akan menentukan tingkat pengetahuan

seseorang. Secara teoritis pengetahuan

seseorang akan sangat menentukan apakah

dia akan patuh atau ketidakpatuhan kontrol

terhadap pengobatan, akan menimbulkan

keyakinan/perilaku pada dirinya untuk

mematuhinya (Mubarak, dkk., 2006). Hasil

penelitian (Widiarta Yasa,2012), tersebut

bahwa responden yang ketidakpatuhan

kontrol mempunyai risiko yang lebih besar

kemungkinan terkena serangan stroke

dibandingkan dengan responden yang patuh

kontrol yang akan menurunkan risiko

kemungkinan terkena serangan stroke.

Dilihat dari hasil penelitian di atas, ada

kecenderungan responden yang

ketidakpatuhan kontrol memiliki risiko

tinggi terkena serangan stroke. Hal ini

dikarenakan penyakit hipertensi adalah

penyakit seumur hidup, dimana pentingnya

deteksi dan penatalaksanaan hipertensi

untuk menurunkan risiko terjadinya

komplikasi seperti stroke, serta menurunkan

angka mortalitas dan morbiditas yang

berkaitan. Adapun tujuan kontrol disini, baik

itu observasi tekanan darah maupun

pengobatan adalah mencapai dan

mempertahankan tekanan sistolik di bawah

140 mmHg dan tekanan diastolik di bawah

90 mmHg dan mengontrol faktor risiko.

Berdasarkan hasil penelitian faktor

faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan

kontrol penderita hipertensi, yang

disebabkan oleh pemahaman tentang

instruksi didapatkan hasil (63%), Kualitas

instruksi (20%),sedangkan Isolasi sosial dan

Keluarga (18%), sedangkan teori yang

diungkapkan oleh Niven (2002),

menemukan bahwa lebih dari 60% yang

diwawancarai setelah bertemu dokter salah

mengerti tentang instruksi yang diberikan

kepada mereka. Hal ini disebabkan

kegagalan petugas kesehatan dalam

memberikan informasi yang lengkap dan

banyaknya instruksi yang harus diingat dan

penggunaan istilah medis. Tidak seorangpun

dapat mematuhi instruksi jika ia salah

paham tentang instruksi yang diterima. Hal

ini didukung juga belum dilaksanakan

standar opersional prosedur tentang

pemberian penyuluhan sebelum dan sesudah

pelayanan kesehatan di wilayah kerja

Puskesmas Payangan. Jadi hasil penelitian

ketidakpatuhan kontrol pada penderita

hipertensi yang dilakukan di wilayah kerja

Puskesmas Payangan sesuai dengan teori

yang diungkapkan oleh Niven,(2002).

Kualitas instruksi antara petugas

kesehatan dan klien merupakan bagian yang

penting dalam menemukan derajat

kepatuhan. Ada beberapa keluhan antara lain

kurangnya minat yang diperlihatkan oleh

dokter, penggunaan istilah medis secara

berlebihan, kurangnya empati, tidak

memperoleh kejelasan mengenai

penyakitnya. Pentingnya keterampilan

interpersonal dalam memacu kepatuhan

terhadap pengobatan. Keluarga dapat

menjadi faktor yang sangat mempengaruhi

dalam menentukan keyakinan dan nilai

kesehatan individu serta dapat menentukan

tentang pengobatan yang dapat mereka

terima. Ketidakpatuhan adalah suatu

keadaan dimana seseorang mau mengikuti

petunjuk atau perintah yang diberikan

kepadanya (Notoatmodjo, 2005). Menurut

Arif Mansjoer (2001), tujuan deteksi dan

penatalaksanaan hipertensi adalah

menurunkan risiko penyakit kardiovaskular

Page 60: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

170

dan mortalitas serta morbiditas yang

berkaitan, yaitu salah satunya adalah stroke.

Dengan demikian kontrol dalam

penyakit hipertensi ini dapat dikatakan

sebagai pengobatan seumur hidup bilamana

ingin dihindari terjadinya komplikasi yang

tidak baik. Maka, kepatuhan kontrol

penderita hipertensi, baik dalam hal

observasi tekanan darah maupun pengobatan

merupakan salah satu faktor untuk

mencegah terjadinya komplikasi hipertensi,

yaitu stroke. Hal ini didukung juga belum

dilaksanakan standar opersional prosedur

tentang pemberian penyuluhan sebelum dan

sesudah pelayanan kesehatan di wilayah

kerja Puskesmas Payangan. Jadi hasil

penelitian ketidakpatuhan kontrol pada

penderita hipertensi yang dilakukan di

wilayah kerja Puskesmas Payangan sesuai

dengan teori yang diungkapkan oleh Niven,

(2002).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan factor-faktor yang

menyebabkan ketidakpatuhan control

penderita hipertensi di wilayah kerja

Puskesmas Payangan tahun 2014 dapat

disimpulkan bahwa, dari 64 orang

responden yang diteliti, diperoleh hasil

sebagian besar responden dengan usia lebih

dari 60 tahun yaitu sebanyak 30 orang

responden (47%) , berjenis kelamin laki-

laki, 48 orang responden (75%), tidak

sekolah 27 orang responden (42%),

pekerjaan sebagai petani 40 orang responden

(63%), sebagian besar 40 orang responden

(63%) ketidakpatuhan kontrol disebabkan

faktor pemahaman tentang instruksi.

DAFTAR RUJUKAN Depkes RI, 2009. Pedoman Umum

Keperawatan Dasar di Rumah Sakit dan Puskesmas, Jakarta : Depkes.

Dinas Kesehatan Prov.Bali, 2013. Laporan

Tahunan Dinkes Prop Bali. Dinkes Kab Gianyar, 2013. Laporan

Tahunan dinkes Kab.Gianyar. Mansjoer,Suprohaita,Setiowulan,wardhani,

2001. Kapita Selekta Kedokteran,

Jilid 1, Edisi Ketiga, Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Mubarak, Patonah, Santosa, Rozikin, 2006.

Keperawatan Komunitas 2, Jakarta : CV. Sagung Seto.

Niven, N., 2002. Psikologi Kesehatan,

Jakarta : EGC. Notoatmodjo, 2005. Metodologi Penelitian

Kesehatan, Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Nursalam, 2003. Konsep dan Penerapan

Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian, Edisi Pertama, Jakarta : Salemba Medika.

Puskesmas Payangan, 2013. Laporan

Tahunan Puskesmas Payangan. WHO, 2010. Definisi Stroke, (online),

available : http://irh4mgokilz.wordpress.com/2001/05/20/stroke/ (28 Desember 2011)

Wiwik, 2001. Pendahuluan : Latar

Belakang Hipertensi, (online), available : http://wiwik21.wordpress.com/2011/05/26 (28 Desember 2011)

Yasa Widiarta, 2012. Hubungan Antara

Kepatuhan Kontrol Penderita Hipertensi

dengan Kejadian Stroke, Skripsi , di Wilayah Kerja Puskesmas Abian

semal II.

Page 61: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

171

STRES BERPENGARUH TERHADAP GULA DARAH

PASIEN YANG MENGALAMI KEGAWATAN DIABETES

MELITUS

I Made Sukarja

I Wayan Sukawana

Oka Suyasa

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

[email protected]

Abstract. Stress affecting the blood suger when the patient in diabetes mellitus

emergency. This study aimed to determine the correlation between stress and blood

sugar while in patients with diabetes mellitus gravity. The study design was a

descriptive observational, with the approach of using a cross sectional study. The

study was conducted in the Emergency General Hospital Sanjiwani Gianyar, in April

to May 2013. The number of respondents 32 people. Data collection instruments by

using Psychometric Properties of the Depression Anxiety Stress Scale 42 and blood

sugar testing equipment. The results showed that the level of stress in patients with

diabetes mellitus crisis, as many as 20 people (62.5%) categorized mild stress. Blood

sugar is obtained when as many as 22 people (69%) were categorized as blood sugar

levels are low. Concluded that there is a significant relationship between the level of

stress when blood sugar levels in patients with diabetes mellitus severity (p = 0.000).

Abstrak. Stres berpengaruh terhadap gula darah pada pasien yang mengalami

kegawatan diabetes melitus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan

tingkat stres dengan Gula darah sewaktu pada pasien yang mengalami kegawatan

diabetes mellitus. Rancangan penelitian adalah deskriptif observasional, dengan

pendekatan dengan menggunakan studi cross sectional. Penelitian dilakukan di

Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar, pada bulan

April sampai dengan Mei 2013. Jumlah responden sebanyak 32 orang. Instrumen

pengumpulan data dengan menggunakan Psychometric Properties of theDepression

Anxiety Stress Scale 42 dan alat test gula darah. Hasil penelitian didapatkan bahwa

tingkat stres pada pasien yang mengalami kegawatan diabetes mellitus, sebanyak 20

orang (62,5%) dikatagorikan stres ringan. Gula darah sewaktu didapatkan sebanyak

22 orang (69%) dikategorikan kadar gula darah sewaktu yang rendah. Disimpulkan

bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat stres dengan kadar gula darah

sewaktu pada pasien yang mengalami kegawatan diabetes mellitus (p= 0,000).

Kata kunci: stres, gula darah, diabetes mellitus

Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu

penyakit dimana kadar glukosa (gula

sederhana) di dalam darah tinggi karena

tubuh tidak dapat melepaskan atau

menggunakan insulin secara cukup.

Kelebihan gula yang kronis di dalam darah

(hiperglikemia) ini menjadi racun bagi

tubuh. Sebagian glukosa yang tertahan di

dalam darah melimpah ke sistem

perkemihan untuk dibuang melalui urine.

Air kencing pasien Diabetes Melitus yang

mengandung gula dalam kadar tinggi

tersebut menarik bagi semut, karena itulah

gejala ini disebut juga gejala Diabetes

Melitus (Yunia, 2007).

Jumlah penderita Diabetes Melitus di

dunia diperkirakan akan meningkat.

Menurut Grehenson (2011), jumlah

penderita Diabetes Melitus pada tahun 2010

sebanyak 211 juta orang penduduk dunia.

Page 62: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

172

Indonesia menempati urutan keempat

terbesar dalam jumlah penderita Diabetes

Melitus di dunia. Pada tahun 2006 jumlah

penderita Diabetes Melitus di Indonesia

meningkat tajam menjadi 14 juta orang,

dimana baru 50% yang sadar mengidapnya

dan diantara mereka baru 30% yang datang

berobat (WHO, 2007).

Perkembangan kasus Diabetes Melitus,

khususnya di bagian rawat inap Interna

Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani

Gianyar, dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan. Berdasarkan data yang di dapat

dari catatan rekam medik menunjukkan

tahun 2010 jumlah kasus Diabetes Melitus

517 orang, terdiri dari laki-laki sebanyak

248 orang, perempuan 269 orang dan

meninggal sebanyak 15 orang. Tahun 2011

ditemukan 652 orang, laki-laki sebanyak

469 orang, perempuan 183 orang dan 7

orang meninggal dunia. Tahun 2012

ditemukan 721 orang terdiri dari laki-laki

sebanyak 429 orang, perempuan 292 orang

dan meninggal dunia tercatat 10 orang. Dari

keseluruhan data yang diperoleh sekitar

60,9% adalah kasus lama dan 39,1%

merupakan kasus baru.

Menurut Direktur Gizi Masyarakat

Dirjen BKM Depkes RI (2007), jika kadar

gula darah pada pasien Diabetes Melitus

terus menerus tinggi dan tidak terkontrol,

lama kelamaan akan timbul penyulit

(komplikasi) yang pada dasarnya terjadi

pada semua pembuluh darah misalnya:

pembuluh darah otak (stroke), pembuluh

darah mata (dapat terjadi kebutaan),

pembuluh darah ginjal (Gagal Ginjal

Kronik) dan lain-lain. Jika sudah terjadi

penyulit, usaha untuk menyembuhkan

keadaan tersebut kearah normal sangat sulit.

Oleh karena itu, usaha pencegahan dini

untuk penyulit tersebut diperlukan dan

diharapkan sangat bermanfaat untuk

menghindari terjadinya berbagai hal yang

tidak menguntungkan.

Dampak psikologis dari Diabetes

Melitus mulai dirasakan oleh pasien sejak

terdiagnosis Diabetes Melitus dan

penyakitnya telah berlangsung selama

beberapa bulan. Pasien mulai mengalami

gangguan psikis diantaranya stres pada

dirinya sendiri berkaitan dengan pengobatan

yang dijalani (Tjokroprawiro, dalam

Jamaluddin, 2011). Menurut Surwir (2002)

dan Discovery Health (2007) bahwa stres

telah menjadi salah satu faktor yang muncul

pada penderita Diabetes Melitus. Stres

sangat berpengaruh terhadap penyakit

Diabetes Melitus karena hal itu berpengaruh

terhadap pengendalian dan tingkat kadar

glukosa darah.

Stres dan Diabetes Melitus memiliki

hubungan sangat erat terutama pada

penduduk perkotaan. Tekanan kehidupan

dan gaya hidup yang tidak sehat disertai

kemajuan teknologi yang semakin pesat dan

berbagai penyakit yang sedang diderita

menyebabkan penurunan kondisi seseorang

sehingga memicu timbulnya stres. Pasien

Diabetes Melitus yang mengalami stres

dapat mengakibatkan gangguan pada

pengontrolan glukosa darah. Pada keadaan

stres terjadi peningkatan ekskresi hormon

katekolamin, glucagon, glukokortikoid,

endorphin dan hormon pertumbuhan

(Suherman, 2009). Hal ini menarik untuk

diketahui hubungan tingkat stres dengan

Gula darah sewaktu pada pasien yang

mengalami kegawatan Diabetes Melitus di

Instlasi Gawat Darurat RSUD Sanjiwani

Gianyar.

METODE

Jenis penelitian yang dilakukan adalah

penelitian deskriptif dengan rancangan yang

digunakan adalah deskriptif observasional,

menggunakan studi cross sectional.

Penelitian ini dilakukan di Instalasi Gawat

Darurat Rumah Sakit Umum Daerah

Sanjiwani Gianyar, pada bulan April sampai

dengan Mei 2013. Jumlah responden pada

penelitian ini adalah sebanyak 32 orang.

Instrumen pengumpulan data dengan

menggunakan Psychometric Properties of

the Depression Anxiety Stress Scale 42 dan

alat test gula darah.

Page 63: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

173

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyajian data diawali dengan hasil

analisis univariat yang meliputi meliputi :

umur, jenis kelamin, pendidikan dan

pekerjaan, selengkapnya pada uraian

berikut:

Karakteristik responden berdasarkan

umur dikategorikan menjadi usia 20-30

tahun, 31-40 tahun, 41-50 tahun dan >50

tahun, seperti pada tabel berikut:

Tabel 1. Karakteristik Responden

Berdasarkan Umur Pada Pasien

Yang Mengalami Kegawatan

Diabetes Melitus

No Umur Frekuensi Presentase (%)

1 20- 30 4 12,5

2 31- 40 4 12,5

3 41- 50 17 21,9

>50 7 53,1

Jumlah 32 100

Berdasarkan tabel 1, jumlah penderita

DM yang terbanyak pada kelompok umur di atas 50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa

semakin tua umur seseorang maka semakin

berisiko mengalami kencing manis. Karakteristik responden berdasarkan jenis

kelamin seperti pada tabel berikut:

Tabel 2.Karakteristik Responden

Berdasarkan Jenis Kelamin

Pada Pasien Yang Mengalami

Kegawatan Diabetes Melitus

No Jenis

Kelamin

Frekuensi Presentase

(%)

1 Laki 17 53.1

2 Perempuan 15 46.9

Jumlah 32 100

Berdasarkan tabel 2, penderita DM lebih

banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Karakteristik pasien berdasarkan

pendidikan, dikatagorikan menjadi tidak

sekolah, SD, SMP, SMA dan Perguruan

tinggi, seperti pada gambar berikut:

Tabel 3. Karakteristik Responden

Berdasarkan Pendidikan Pada

Pasien Yang Mengalami Kegawatan

Diabetes Melitus

No Pendidikan frekuensi Presentase

(%)

1 Tidak

sekolah

3 9.4

2 SD 8 25

3 SMP 3 9.4

4 SMA 11 34.4

5 PT 7 21.8

Jumlah 32 100

Berdasarkan tabel 3, bahwa sebagian

besar memiliki tingkat pendidikan SMA.

Tetapi sebaran responden tidak mengikuti

tingkat pendidikan.

Karakteristik responden berdasarkan

pekerjaan, dikategorikan menjadi tidak

bekerja, buruh, swasta, PNS, seperti pada

gambar berikut ini :

Tabel 4. Karakteristik Responden

Berdasarkan Pekerjaan Pada Pasien

Yang Mengalami Kegawatan

Diabetes Melitus

No Pekerjaan Frekuensi Presentase

(%)

1 Tidak

bekerja

2 6.2

2 Buruh 11 34.4

3 Swasta 7 37.5

4 PNS 12 21.9

Jumlah 32 100

Berdasarkan tabel 4, bahwa jenis

pekerjaan responden tidak memiliki pola

tertentu. Sebaran terbanyak ada pada

responden yang bekerja sebagai buruh dan

PNS.

Hasil pengamatan terhadap tingkat stres

dan gula darah sewaktu pada pasien yang

mengalami kegawatan Diabetes Melitus

seperti pada uraian berikut.

Tingkat stres pada pasien yang

mengalami kegawatan Diabetes Melitus,

dikategorikan menjadi Normal, Stres ringan,

Page 64: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

174

Stres sedang, Stres berat, Stres sangat berat,

seperti pada Tabel berikut ini:

Tabel 5. Tingkat Stres Pada Pasien Yang

Mengalami Kegawatan Diabetes

Melitus

No Tingkat Stres Frekuensi

(f)

Persentase

(%)

1 Normal 1 3,13

2 Stres ringan 20 62,50

3 Stres sedang 1 3,13

4 Stres berat 8 25,00

5 Stres sangat

berat

2 6, 25

Total 32 100 %

Gula darah sewaktu pada pasien yang

mengalami kegawatan Diabetes MelituS,

seperti pada Tabel berikut:

Tabel 6. Gula Darah Sewaktu Pada Pasien

Yang Mengalami Kegawatan

Diabetes Melitus

No Gula

darah

sewaktu

Frekuensi

(R)

Persentase

(%)

1 < 60 mg 22 68,75

2 > 200 mg 10 31,25

Total 32 100 %

Hasil analisa data untuk menganalisa

hubungan tingkat stres pasien Diabetes

Melitus dengan gula darah sewaktu pada

pasien yang mengalami kedaruratan

Diabetes Melitus, menggunakan uji

Spearman rho.

Berdasarkan hasil uji Spearman Rho

untuk menganalisa hubungan tingkat stres

dengan kadar gula darah sewaktu pada

pasien yang mengalami kegawatan Diabetes

Melitus diperoleh nilai p= 0,000 (p< 0,05)

yang berarti H0 ditolak dan Ha diterima, jadi

ada hubungan yang signifikan antara stres

dengan kadar gula darah sewaktu pada

pasien yang mengalami kegawatan Diabetes

Melitus. Berdasarkan kekuatan hubungan

nilai r : 0,636 dengan arah positif ini berarti

semakin rendah tingkat stres responden

maka gula darah sewaktunya semakin

mendekati normal. Hal ini menunjukan

diantara faktor –faktor yang terkait dengan

gula darah yang tidak diteliti dalam

penelitian ini, faktor stres merupakan salah

satu faktor yang cukup dominan

mempengaruhi kadar gula darah sewaktu.

Dampak psikologis dari Diabetes

Melitus mulai dirasakan oleh pasien sejak

terdiagnosis Diabetes Melitus dan

penyakitnya telah berlangsung selama

beberapa bulan atau lebih dari satu tahun.

Pasien mulai mengalami gangguan psikis

diantaranya stres pada dirinya sendiri

berkaitan dengan pengobatan yang dijalani

(Tjokroprawiro, dalam Jamaluddin, 2011),

sedangkan menurut Fisher dalam

Jamaluddin, (2011) Diabetes Melitus dan

stres merupakan dua hal yang saling

mempengaruhi baik secara langsung

maupun tidak langsung. Kontrol yang

kurang pada glukosa darah menimbulkan

perasaan stres dan begitu pula sebaliknya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Hawari

(2001) dan Nailufar (2010) bahwa stres

telah menjadi salah satu faktor yang muncul

pada penderita Diabetes Melitus. Stres

sangat berpengaruh terhadap penyakit

Diabetes Melitus karena hal itu akan

berpengaruh terhadap pengendalian dan

tingkat kadar glukosa darah. Situasi yang

menimbulkan stres maka respon stres dapat

berupa peningkatan hormone adrenalin yang

akhirnya dapat mengubah cadangan

glikogen dalam hati menjadi glukosa. Kadar

glukosa darah yang tinggi secara terus

menerus dapat menyebabkan komplikasi

Diabetes Melitus, sedangkan komplikasi

akut yang paling berbahaya pada pasien

Diabetes Melitus adalah terjadinya

hipoglikemia (kadar gula darah sangat

rendah), karena dapat mengakibatkan koma

(tidak sadar) bahkan kematian bila tidak

cepat ditolong.

Stres dan Diabetes Melitus memiliki

hubungan sangat erat terutama pada

penduduk perkotaan. Tekanan kehidupan

dan gaya hidup yang tidak sehat disertai

kemajuan teknologi yang semakin pesat dan

berbagai penyakit yang sedang diderita

Page 65: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

175

menyebabkan penurunan kondisi seseorang

sehingga memicu timbulnya stres. Pasien

Diabetes Melitus yang mengalami stres

dapat mengakibatkan gangguan pada

pengontrolan kadar glukosa darah. Pada

keadaan stres akan terjadi peningkatan

ekskresi hormon katekolamin, glucagon,

glukokortikoid, endorphin dan hormon

pertumbuhan (Suherman, 2009).

Hasil penelitian yang didapat didukung

oleh penelitian yang dilakukan oleh Wilda

(2011), yang mengungkapkan ada hubungan

tingkat stres dengan penyembuhan pasien

Diabetes Melitus (p=0,014), sedangkan

penelitian yang berbeda didapatkan oleh

Nailufar (2010).

Adanya hubungan yang signifikan antara

tingkat stres dengan kadar gula darah

sewaktu menandakan perlunya perhatian

yang serius dalam memberikan asuhan

keperawatan kepada pasien. Perawat perlu

memperhatikan aspek psikologis pasien

Diabetes Melitus dalam memberikan asuhan

keperawatan selain pemberian terapi yang

diterima pasien

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat

ditarik kesimpulan yaitu: Tingkat stres pada

pasien yang mengalami kegawatan Diabetes

Melitus, didapatkan sebagian besar atau

sebanyak 20 orang (62,5%) dikatagorikan

stres ringan. Gula darah sewaktu pada

pasien yang mengalami kegawatan Diabetes

Melitus didapatkan sebagian besar atau

sebanyak 22 orang (69%) dikategorikan

dengan kadar gula darah sewaktu yang

rendah. Ada hubungan yang signifikan

antara tingkat stres dengan kadar gula darah

sewaktu pada pasien yang mengalami

kegawatan Diabetes Melitus (p= 0,000,

r=0,636). DAFTAR RUJUKAN Depkes RI., 2007. Peranan Diit Dalam

Penanggulangan Diabetes. (Online), available: http://www.gizi.net/makalah/Makalah%20Pekan%20Diabetes Melitus.PDF,

Grehenson, G. 2001. Hubungan antara Penyuluhan Diit Diabetes Melitus dengan Kepatuhan Menjalankan Diit Diabetes Melitus Terkendalinya Kadar Gula Darah Penderita Diabetes Melitus di Klinik Gizi RSUD Kraton Kabupaten. Available: http://www.fkm.undip.ac.id/ (18 Nopember 2012).

Hawari, D. 2001. Manajemen Stres Cemas

Dan Depresi. Jakarta: FKUI. Jamaluddin, M., 2011. Strategi Coping Stres

Penderita Diabetes Mellitus Dengan Self Monitoring Sebagai Variabel Mediasi.

Nailufar, S. L., 2010. Hubungan Tingkat

Stres, Pola Makan, Olahraga Dan Dukungan Keluarga Dengan Kadar Gula Darah Pada Penderita Diabetes Mellitus. Surabaya: Airlangga University Library Surabaya.

Soegondo, S, 2007. Penatalaksanaan

Diabetes Terpadu: Sebagai Panduan Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Bagi Dokter dan Edukator. Jakarta: FKUI.

WHO. 2007. Pelayanan Kesehatan. Jakarta:

Media Aesclapius Press.

Yunia, I. (2007) Mau Tahu Lebih Jauh Tentang Diabetes. (online), available: http://www.promosikesehatan.com/?act=article&id=306

Page 66: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

176

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PREOPERATIF

PTERIGIUM

I Made Widastra

I Made Mertha

I Made Oka Bagiarta

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

Email: [email protected]

Abstract: Nursing Care for Patient with Preoperative Pterygium. The aim of this

study is to describe preoperative nursing care for patient with pterygium in Indera

Hospital Denpasar. This study uses a descriptive research design with cross sectional

approach. The method used to determine the sample is non-probability sampling is

purposive sampling with a sample obtained by 45 patients. This study was conducted

in May-June 2013 at Indera Hospital Denpasar. The results of this study is that the

assessment of patient with pterygium in preoperative nursing care majority is Good

(77.5%). At diagnosis, the majority value is Enough (60%). In the intervention, the

majority value is Good (80%), as well as the implementation and evaluation of the

majority value is Good (100%), and the majority value for nursing care for patient

with pterygium is Good (83,5%)

Abstrak: Asuhan Keperawatan Pasien Preoperatif Pterigium. Tujan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada pasien

perioperatif pterigium di RS Indera Denpasar. Penelitian ini menggunakan rancangan

penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Metode yang digunakan

untuk menentukan sampel penelitian adalah non probability sampling yaitu purposive

sampling dengan jumlah sampel yang didapat sebanyak 45 pasien. Penelitian ini

dilaksanakan pada bulan Mei – Juni tahun 2013 di RS Indera Denpasar. Berdasarkan

hasil penelitian, didapatkan bahwa pada pengkajian, nilai yang diperoleh pada asuhan

keperawatan pasien perioperatif pterigium sebagian besar adalah baik (77,5%). Pada

diagnosa, nilai yang diperoleh adalah cukup (60%). Pada intervensi, nilai yang

diperoleh adalah baik (80%), pada implementasi dan evaluasi nilai yang diperoleh

adalah baik (100%), serta pada asuhan keperawatan nilainya adalah baik (83,5%).

Kata kunci : asuhan keperawatan, preoperatif, pterigium

Permukaan mata secara reguler terpajan

lingkungan luar dan mudah mengalami

trauma, infeksi dan reaksi alergi yang

merupakan sebagian besar penyakit pada

jaringan ini. Sebagian kecil disebabkan oleh

abnormalitas degenerasi dan struktural.

Salah satu penyakit degenerasi pada

konjungtiva adalah pterygium (Jerome P,

2011).

Pterygium merupakan suatu

pertumbuhan jaringan fibrovaskular

konjungtiva yang bersifat degeneratif dan

invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak

pada celah kelopak bagian nasal ataupun

temporal konjugtiva yang meluas secara

lambat ke daerah kornea. Pterygium

berbentuk segitiga dengan puncak di bagian

sentral atau di daerah kornea. Pterygium

mudah meradang dan bila terjadi iritasi,

maka bagian pterygium akan berwarna

merah (Ilyas, 2010), dan umumnya bilateral

di sisi nasal. Pterygium dianggap sebagai

fenomena iritatif yang disebabkan oleh sinar

ultraviolet dan sering dijumpai diantara

petani dan penggembala yang sehari-harinya

berada diluar rumah, dibawah teriknya sinar

matahari, di daerah berdebu atau berpasir,

dan angin selalu bertiup (Ilyas, 2010) .

Page 67: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

177

Beberapa daerah di dunia yang memiliki

kondisi sinar matahari yang terik, angin

selalu bertiup, serta berdebu seperti

contohnya di daratan Amerika,

prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk

daerah di atas 40° lintang utara sampai 5-

15% untuk daerah garis lintang 28°-36°.

Hubungan ini terjadi untuk tempat tempat

yang prevalensinya penyakitnya meningkat

dan daerah-daerah elevasi yang terkena

penyinaran ultraviolet untuk daerah di

bawah garis lintang utara ini. Di dunia,

hubungan antara menurunnya insidensi pada

daerah atas lintang utara dan relatif terjadi

peningkatan untuk daerah di bawah garis

balik lintang utara (Jerome P, 2011).

Beberapa dari survey yang dilakukan

memperlihatkan bahwa negara yang lebih

dekat dengan equator mempunyai angka

kejadian pterygium lebih tinggi dari pada

daerah lain, hal itu bisa disebabkan karena

garis lintang yang rendah dan pancaran sinar

ultraviolet yang lebih kuat. Berdasarkan

letak Indonesia sebagai bagian Negara yang

beriklim tropis dan dengan paparan sinar

ultraviolet yang tinggi, maka angka kejadian

pterygium cukup tinggi (Gazzard et al.,

2002).

Pemicu pterygium tidak hanya dari

etiologinya saja tetapi terdapat faktor risiko

yang mempengaruhinya antara lain faktor

usia, jenis kelamin, jenis pterygium, jenis

pekerjaan (outdoor atau indoor ) (Gazzard et

al., 2002). Dimana jarang terdapat kejadian

pterygium pada usia dibawah usia 20 tahun.

Angka prevalensi pterygium paling tinggi

terjadi pada usia lebih dari 40 tahun dan

angka insiden pterygium paling tinggi terjadi

antara umur 20-40 tahun (Jerome, 2011).

Hal tersebut di atas dapat dibuktikan pada

studi yang dilakukan Gazzard di Indonesia

(Kepulauan Riau) yang menyebutkan

kejadian pterygium pada usia dibawah 21

tahun sebesar 10 % dan diatas 40 tahun

sebesar 16,8%, pada wanita 17,6 % dan laki-

laki 16,1% (Gazzard et al., 2002).

Berdasarkan data dari studi pendahulan

di RS Indera Denpasar selama 2 hari pada

tanggal 7-8 Februari 2013 diperoleh jumlah

pasien pterigium pada tahun 2010 sebanyak

192 pasien, pada tahun 2011 jumlah pasien

pterigium sebanyak 210 pasien, dan pada

tahun 2012 jumlah pasien pterigium

sebanyak 220 pasien. Jumlah pasien

pterigium meningkat setiap tahunnya. Dari

beberapa dokumen keperawatan pasien

dengan pterigium, kadang ada masalah yang

belum dikaji seperti masalah kurang

pengetahuan padahal pasien baru pertama

kali berkunjung. Hal yang telah dilakukan

dari pihak instansi terkait dengan pemberian

asuhan keperawatan berupa pemberian

Health Education pada pasien dan

keluarganya setiap kali melakukan

kunjungan meski diagnosa kurang

pengetahuan tidak ada. Peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian terhadap kasus

pterigium karena selama ini belum ada

penelitian dalam hal asuhan keperawatan

tentang pterigium.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah

mengetahui gambaran asuhan keperawatan

pada pasien preoperatif pterigium di RS

Indera Denpasar.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan

deskriptif yang bertujuan untuk memaparkan

asuhan keperawatan pada pasien

preoperative pterigium. Peneliti tidak

memberikan rencana tindakan, hanya

mengumpulkan informasi tentang gambaran

asuhan keperawatan pada pasien dengan

pterigium di RS Indera Denpasar. Model

pendekatan subjek yang digunakan adalah

cross sectional . Peneliti menggunakan

metode non probability sampling yaitu

Purposive sampling, yaitu suatu teknik

penetapan sampel dengan cara memilih

sampel di antara populasi sesuai dengan

yang dikehendaki peneliti.

Data mengenai gambaran asuhan

keperawatan dengan pterigium pada pasien

ini dikumpulkan dengan menggunakan

lembar observasi yang diisi oleh peneliti.

Sebelum mengumpulkan data, beberapa

langkah yang harus dilalui adalah

melakukan pendekatan terhadap pihak yang

terkait untuk mengurus ijin penelitian,

menjelaskan maksud dan tujuan penelitian,

Page 68: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

178

melihat dokumen asuhan keperawatan untuk

satu kali kunjungan, menilai kelengkapan

dokumen asuhan keperawatan, serta

menganalisis data dari seluruh sampel yang

diambil.

Data yang diperlukan dikumpulkan

dalam suatu format yang diisi oleh peneliti.

Format pengumpulan datanya berupa lembar

observasi asuhan keperawatan. Lembar

observasi yang digunakan tersebut terdiri

dari data pengkajian keperawatan, diagnosa

keperawatan, rencana tindakan,

implementasi keperawatan, serta evaluasi

keperawatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Gambaran Pengkajian pada Pasien

Preoperatif Pterigium

No Pengkajian Nilai (%)

1 Baik 77,5

2 Cukup 22,5

3 Kurang -

Total 100

Pengkajian adalah tahap awal dari proses

keperawatan dan merupakan suatu proses

yang sistematis dalam pengumpulan data

dari berbagai sumber data untuk

mengevaluasi dan mengidentifikasi status

kesehatan klien (Nursalam, 2008). Tahap

ini mencakup tiga kegiatan,yaitu

pengumpulan data,analisis data,dan

penentuan masalah kesehatan serta

keperawatan (Depkes RI, 2008). Dari hasil

pengamatan yang dilakukan pada asuhan

keperawatan pasien preoperatif pterigium

nilai pengkajian keperawatan yang diperoleh

adalah 77,5% (baik). Pengkajian yang

dilakukan oleh perawat di RS Indera

Denpasar sudah melalui proses

pengumpulan data, analisis data, dan

penentuan masalah keperawatan. Pada

pengkajian, setiap pasien pterigium

memiliki 4 atau lebih manifestasi klinis

seperti terdapat jaringan fibrovaskular pada

permukaan konjungtiva, mata merah, mata

berair, tajam penglihatan menurun, dan

tanda gejala lainnya.

Tabel 2. Gambaran Diagnosa Keperawatan

pada Pasien Preoperatif Pterigium

No Diagnosa Keperawatan Nilai (%)

1 Baik 40

2 Cukup 60

3 Kurang -

Total 100

Diagnosa keperawatan adalah suatu

pernyataan yang menjelaskan respon

manusia (status kesehatan atau risiko

perubahan pola) dari individu atau

kelompok dimana perawat secara

akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan

memberikan rencana tindakan secara pasti

untuk menjaga status kesehatan,

menurunkan, membatasi, mencegah dan

mengubah (Carpenito, 2007). Menurut

Depkes RI (2008) pada diagnosa terdiri dari

identifikasi masalah klien dan perumusan

diagnosa, komponen diagnosa yang disusun

terdiri dari masalah (P), penyebab (E), tanda

gejala (S) atau terdiri dari masalah dengan

penyebab (PE). Pada diagnosa keperawatan

diagnosa yang muncul 3 diagnosa atau lebih

dan setiap pasien berbeda-beda tergantung

dari keluhan pasien itu sendiri. 3 diagnosa

keperawatan pasien preoperatif pterigium

yang sering muncul, yaitu gangguan

persepsi sensori perseptual, risiko cidera,

dan ansietas. Jumlah diagnosa pada paling

banyak adalah 4 diagnosa dan jumlah paling

sedikit adalah 1 diagnosa. Dari hasil

pengamatan yang dilakukan pada asuhan

keperawatan pasien preoperatif pterigium

nilai diagnosa keperawatan yang diperoleh

adalah 60%. Hal ini berkaitan dengan

minimnya lulusan S1, mengingat kualifikasi

pendidikan minimal untuk menetapkan

diagnosa adalah S1 keperawatan. Pada

penyusunan diagnosa pasien preoperatif

pterigium dilaksanakan sesuai standar

prosedur operasional yang berlaku di RS

Indera Denpasar yang terdiri dari

identifikasi masalah klien dan perumusan

diagnosa, tetapi komponen diagnosa yang

disusun hanya terdiri dari masalah (P) dan

Page 69: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

179

penyebab (E), tanpa tanda gejala (S). Hal ini

berbeda dengan teori Depkes RI (2008)

tentang perumusan diagnosa keperawatan.

Tabel 3. Gambaran Rencana Tindakan pada

Pasien Preoperatif Pterigium

No Rencana Tindakan Nilai (%)

1 Baik 80

2 Cukup 20

3 Kurang -

Total 100

Rencana tindakan meliputi

perkembangan strategi design untuk

mencegah, mengurangi, atau mengoreksi

masalah yang telah diidentifikasi (Nursalam,

2008). Dari hasil pengamatan yang

dilakukan pada asuhan keperawatan pasien

preoperatif pterigium nilai diagnosa

keperawatan yang diperoleh adalah 80%.

Pada perencanaan, perawat dalam

memberikan asuhan keperawatan sesuai

dengan standar prosedur operasional yang

berlaku di Rumah Sakit Indera Denpasar.

Perencanaan yang disusun pada asuhan

keperawatan di Rumah Sakit Indera sedikit

berbeda dengan instrumen studi

dokumentasi penerapan asuhan keperawatan

menurut Depkes (2008) karena pada

perencanaan asuhan keperawatan yang

disusun tidak terdiri dari prioritas masalah

yang akan diatasi tetapi perencanaan yang

dibuat sudah berdasarkan diagnosa

keperawatan, sesuai dengan kondisi dan

kebutuhan klien, rencana tindakan sudah

mengacu pada tujuan, menggambarkan

keterlibatan pasien dan kerjasama dengan

tim kesehatan, serta rencana tindakannya

sudah didokumentasikan. Menurut Asmadi

(2008) rumusan tujuan keperawatan dalam

asuhan keperawatan harus SMART yaitu

specific (rumusan tujuan jelas), measurable

(dapat diukur), achievable (dapat dicapai),

realistic (dapat tercapai dan nyata), dan

timing (harus ada target waktu). Rumusan

tujuan asuhan keperawatan pasien

preoperatif pterigium sudah SMART

sehingga diperoleh nilai baik.

Dari hasil analisa data diperoleh seluruh

nilai implementasi keperawatan adalah baik

(100%). Tahap implementasi dimulai setelah

rencana keperawatan disusun dan ditujukan

pada nursing orders untuk membantu klien

mencapai tujuan yang diharapkan

(Nursalam, 2008). Implementasi disusun

sesuai dengan rencana tindakan yang telah

disusun sebelumnya, tindakan keperawatan

yang dilakukan bertujuan untuk mengatasi

masalah klien (Depkes RI, 2008). Pada

implementasi, asuhan keperawatan yang

diberikan sesuai dengan standar prosedur

operasional yang berlaku di Rumah Sakit

Indera Denpasar. Dari hasil pengamatan

yang dilakukan pada asuhan keperawatan

pasien preoperatif pterigium nilai diagnosa

keperawatan yang diperoleh adalah 100%.

Implementasi asuhan keperawatan pasien

preoperatif sudah disusun sesuai dengan

rencana tindakan yang telah disusun

sebelumnya, tindakan keperawatan yang

dilakukan sudah bertujuan untuk mengatasi

masalah klien serta implementasi sudah

didokumentasikan sehingga nilai

implementasi yang diperoleh adalah baik.

Dari hasil analisa data diperoleh seluruh

nilai implementasi keperawatan adalah baik

(100%). Evaluasi merupakan tahap akhir

dari proses keperawatan yang merupakan

perbandingan sistematis dan terencana

antara hasil akhir yang teramati dan tujuan

atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap

perencanaan (Asmadi, 2008). Tahap

penyusunan evaluasi dimulai dari menyusun

rencana evaluasi hasil dari rencana tindakan

secara komprehensif, tepat waktu dan terus

menerus, mengevaluasi kemajuan klien

terhadap tindakan dalam pencapaian tujuan,

dan merevisi data dasar dan perencanaan,

serta mendokumentasikan hasil evaluasi.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada

asuhan keperawatan pasien preoperatif

pterigium nilai evaluasi keperawatan yang

diperoleh adalah 100%. Evaluasi

keperawatan yang dilaksanakan oleh

perawat di RS Indera Denpasar sudah

dilaksanakan sesuai dengan tujuan rencana

Page 70: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

180

tindakan atau kriteria hasil yang dibuat

(SOAP) serta hasilnya sudah

didokumentasikan.

Tabel 4. Gambaran Asuhan Keperawatan

Pasien Preoperatif Pterigium

No Asuhan Keperawatan Nilai (%)

1 Baik 83,5

2 Cukup 16,5

3 Kurang -

Total 100

Menurut Potter and Perry (2005) asuhan

keperawatan adalah proses mengidentifikasi

dan menggabungkan unsur – unsur dari kiat

keperawatan yang paling diperlukan dengan

unsur – unsur teori sistem yang relevan,

dengan menggunakan metode ilmiah,

American Nurse Association (ANA)

mengembangkan proses keperawatan

menjadi lima tahap yaitu tahap pengkajian,

diagnosa keperawatan, rencana tindakan,

implementasi, serta evalasi keperawatan.

Asuhan keperawatan yang diberikan oleh

perawat pada pasien preoperatif pterigium

sudah baik karena sudah terdiri dari 5

komponen asuhan keperawatan yaitu

pengkajian, diagnosa, rencana tindakan,

implementasi, serta evaluasi dan semua

komponen tersebut telah didokumentasikan

dalam asuhan keperawatan.

SIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah ditulis

pada bab sebelumnya, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa, pada pengkajian, nilai

yang diperoleh pada asuhan keperawatan

pasien preoperatif pterigium adalah dominan

baik sebesar 77,5% dan sisanya adalah

cukup. Pada diagnosa keperawatan, nilai

yang diperoleh adalah dominan cukup

sebesar 60% dan sisanya adalah baik. Pada

rencana tindakan, nilai yang diperoleh

adalah dominan baik sebesar 80% dan

sisanya adalah cukup. Pada implementasi,

nilai yang diperoleh adalah baik yaitu

sebesar 100%. Pada evaluasi asuhan

keperawatan nilai yang diperoleh adalah

baik sebesar 100%. Simpulan bahwa asuhan

keperawatan pada pasien preoperatif

pterigium yang diberikan oleh perawat

dalam katagori baik (83,5%).

DAFTAR RUJUKAN Asmadi, 2008, Konsep Dasar Keperawatan,

Jakarta : EGC Carpenito LJ, 2007, Buku Saku Diagnosis

Keperawatan, Edisi 10, Jakarta: EGC

Depkes RI, 2008, Intrumen Evaluasi

Penerapan Standar Asuhan Keperawatan Di Rumah Sakit, (online), available: http://www.depkes.go.id/index.php (10 Februari 2013)

Gazzard,et all, 2002, Pterigium in

Indonesia; Prevalence, Severity and Risk Factors, (online), available: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/ (19 Desember 2012)

Ilyas S, 2010, Ilmu Penyakit Mata, Edisi 6,

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Jerome P, 2011, Pterygium, (online),

available: http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview (20 Desember 2012)

Nursalam, 2008, Konsep Dan Penerapan

Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Surabaya: Salemba Medika

Nursalam, 2008, Proses Dan Dokumentasi

Keperawatan, Surabaya: Salemba Medika

Potter and Perry. 2005. Buku Ajar

Fundamental Keperawatan Volume 1. Jakarta: EGC

Page 71: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

181

DUKUNGAN KELUARGA DAN KUALITAS HIDUP LANSIA

HIPERTENSI

I Wayan Suardana Ni Luh Gede Intan Saraswati

Made Wiratni

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

Email: [email protected]

Abstract: Family support and quality of life of elderly that suffered hypertension.

This research has purpose to know about the correlation between family support and

quality of life of elderly that suffered hypertension. This research is descriptive

correlational research with use cross sectional approach. It has 59 samples using

non probability technique with purposive sampling. To test the hypotesis, data is

analyzed with Rank Spearman Test (p≤0,05). The result showed almost all of the

elderlies have good family support in total of 27 elderlies (45,8%) and almost all of

the elderlies have good quality of life in total 31 elderlies (52,5%). P value is 0,000

that means p≤0,05 thus Ho is rejected and correlation coefficient value is 0,583 and

that means there is correlation between family support and quality of life of elderly

that suffered hypertension.

Abstrak: Dukungan keluarga dan kualitas hidup lansia hipertensi. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup

lansia yang mengalami hipertensi. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif

korelasional dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel adalah

59 lansia dengan teknik sampel non probability dengan purposive sampling. Teknik

analisa data yang digunakan untuk menguji hipotesis yaitu korelasi Rank Spearman

(p≤0,05). Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar lansia memiliki dukungan

keluarga baik sebanyak 27 lansia (45,8%) dan sebagian besar lansia memiliki kualitas

hidup baik sebanyak 31 lansia (52,5%). Nilai p sebesar 0,000 yang berarti p≤0,05

sehingga Ho ditolak dan nilai correlation coefficient 0,583 yang artinya terdapat

hubungan antara dukungan keluarga dengan kualitas hidup lansia yang mengalami

hipertensi.

Kata kunci : dukungan keluarga, kualitas hidup, lansia, hipertensi

Keberhasilan pemerintah dalam

Pembangunan Nasional, telah mewujudkan

hasil yang positif di berbagai bidang, yaitu

adanya kemajuan ekonomi, perbaikan

lingkungan hidup, kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi terutama

dibidang medis atau ilmu kedokteran

sehingga dapat meningkatkan kualitas

kesehatan penduduk serta meningkatkan

umur harapan hidup manusia. Akibatnya

jumlah penduduk yang berusia lanjut

meningkat dan bertambah cenderung lebih

cepat. (Bandiyah, 2009). Lansia menurut

WHO adalah orang yang berumur 60-74

tahun. Pernyataan ini sesuai dengan UU

Nomor 13 tahun 1998, tentang kesejahteraan

lanjut usia di Indonesia yang menyatakan

bahwa lansia adalah orang yang berusia 60

tahun keatas (Bandiyah, 2009).

Saat ini diseluruh dunia jumlah orang

lanjut usia diperkirakan ada 500 juta dengan

usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan

pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar

(Bandiyah, 2009). Menurut Badan Pusat

Statistik Indonesia Tahun 2010, jumlah

lansia tahun 2009 sejumlah 18.425.000 jiwa

dan tahun 2010 sejumlah 19.036.600 jiwa,

dilihat dari jumlah tersebut terjadi

Page 72: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

182

peningkatan lansia di Indonesia. Di Bali

menurut data BPS Provinsi Bali jumlah

lansia di Bali pada tahun 2011 sebanyak

371.900 jiwa, pada tahun 2012 sebanyak

680.114 jiwa dan pada tahun 2013 sebanyak

988.329 jiwa (BPS Provinsi Bali, 2013).

Salah satu Kabupaten di Provinsi Bali yang

mengalami peningkatan jumlah lansia

adalah Kabupaten Gianyar dengan jumlah

lansia pada tahun 2012 sebanyak 47.647

jiwa dan pada tahun 2013 sebanyak 49.172

jiwa (Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar,

2013). Kecamatan Tampaksiring merupakan

salah satu wilayah dengan jumlah lansia

yang cukup besar, yaitu mencapai 2939

jiwa, dengan jumlah lansia laki-laki

sebanyak 1412 jiwa dan lansia perempuan

sebanyak 1527 jiwa (Dinas Kesehatan

Kabupaten Gianyar, 2013). Desa

Tampaksiring merupakan salah satu wilayah

yang tergabung dalam Kecamatan

Tampaksiring. Desa ini memiliki jumlah

lansia sebanyak 1.222 jiwa, dengan jumlah

lansia laki-laki sebanyak 549 jiwa dan

perempuan sebanyak 673 jiwa.

Akibat dari jumlahnya yang semakin

meningkat, berbagai permasalahan karena

proses menua pun semakin banyak, salah

satunya adalah hipertensi (Nugroho, 2006).

Hipertensi merupakan gangguan sistem

peredaran darah yang menyebabkan

kenaikan tekanan darah diatas nilai normal.

Pada lansia hipertensi didefinisikan sebagai

tekanan sistoliknya di atas 160 mmHg dan

tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg

(Smeltzer & Bare, 2005).

Lebih dari 50 juta orang dewasa di USA

menderita hipertensi dan sebagian termasuk

orang yang berusia lebih dari 70 tahun yaitu

kaum lansia (Ferdinand, 2008 dalam

Saputri, 2009). Prevalensi penderita

hipertensi di Indonesia sendiri menurut

Depkes RI (2007) cukup tinggi, yaitu 83 per

1.000 anggota rumah tangga dan 65% nya

merupakan orang yang telah berusia 55

tahun ke atas. Diperkirakan sekitar 80%

kenaikan kasus hipertensi di negara

berkembang, dari sejumlah 639 juta kasus di

tahun 2000 menjadi 1.15 milyar kasus di

tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada

angka penderita hipertensi saat ini dan

pertambahan penduduk saat ini

(Armilawaty, 2007), sedangkan di Provinsi

Bali berdasarkan data Dinas Kesehatan

Provinsi Bali tentang penyakit tidak menular

(PTM), tercatat jumlah kasus hipertensi pada

lansia yang terdeteksi pada tahun 2011

sebanyak 15.843 kasus, pada tahun 2012

sebanyak 22.837 kasus dan pada tahun 2013

sebanyak 29.867 kasus, sedangkan di

Kabupaten Gianyar jumlah kasus hipertensi

pada lansia pada tahun 2011 sebanyak 952

kasus, pada tahun 2012 sebanyak 1826

kasus dan pada tahun 2013 sebanyak 2407

kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar,

2013). Berdasarkan data yang didapatkan

oleh peneliti di Puskesmas 1 Tampaksiring

pada bulan Maret 2014, jumlah lansia yang

mengalami hipertensi di Desa Tampaksiring

Gianyar pada tahun 2011 sebanyak 45

orang, pada tahun 2012 sebanyak 54 orang

dan pada tahun 2013 sebanyak 68 orang

(Data Puskesmas 1 Tampaksiring, 2013).

Lansia yang mengalami hipertensi yang

terus menerus dan tidak mendapatkan

pengobatan dan pengontrolan secara tepat,

menyebabkan jantung bekerja ekstra keras,

akhirnya kondisi ini berakibat terjadinya

kerusakan pada pembuluh darah jantung,

ginjal, otak dan mata. Kerusakan jantung ini

menimbulkan gejala seperti sakit kepala,

kelelahan, nyeri dada, serta kesemutan pada

kaki dan tangan sehingga menyebabkan

kualitas hidup lansia menurun (Veronica,

2005).

Menurut Akhmadi (2009) dalam Yenni

(2011) fungsi sistem tubuh lansia yang

mengalami hipertensi dapat berdampak

buruk terhadap kualitas hidup lansia, baik

dalam skala ringan, sedang, maupun berat.

Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian

Kao (2008) yang mengatakan status

kesehatan seperti hipertensi dapat

mempengaruhi kualitas hidup lansia.

Kualitas hidup berhubungan dengan

kesehatan, dimana suatu kepuasan atau

kebahagiaan individu sepanjang dalam

kehidupannya mempengaruhi mereka atau

Page 73: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

183

dipengaruhi oleh kesehatan (American

Thoracic Society, 2004). Pernyatan ini

didukung oleh hasil penelitian Ibrahim

(2009) yang menunjukkan bahwa dari 51

lansia yang mengalami hipertensi 40 orang

(78,4%) lansia mempersepsikan kualitas

hidupnya pada tingkat rendah dan 11 orang

(21,6%) pada tingkat tinggi. Kualitas hidup

lansia yang rendah dihubungkan dengan

kesehatan fisik, kondisi psikologis,

hubungan sosial dan hubungan lansia

dengan lingkungan.

Kualitas hidup lansia dipengaruhi oleh

beberapa faktor, salah satunya adalah

dukungan keluarga. Dukungan keluarga

adalah suatu bentuk perilaku melayani yang

dilakukan oleh keluarga baik dalam bentuk

dukunganemosional, penghargaan/penilaian,

informasional dan instrumental (Friedman,

2010 dalam Yenni 2011). Beberapa studi

telah membuktikan bahwa ketersediaan

keluarga terutama untuk meningkatkan

kepatuhan pengobatan pada lansia yang

mengalami hipertensi mengakibatkan

penurunan tekanan darah yang signifikan.

Faktor dalam upaya pengendalian hipertensi

pada lansia adalah pengawasan dari pihak

keluarga. Menurut Green & Kreuter (dalam

Yenni, 2011), dukungan keluarga termasuk

dalam faktor pendukung (supporting

factors) yang dapat mempengaruhi perilaku

dan gaya hidup seseorang sehingga

berdampak pada status kesehatan dan

kualitas hidupnya. Seperti halnya penelitian

yang dilakukan oleh Githa (2011) yang

dilakukan pada tanggal 18 Desember 2011

di Banjar Wangaya Kaja yang merupakan

Wilayah Kerja Puskesmas III Denpasar

Utara terdapat 24 orang lansia yang

mengalami hipertensi dari 54 orang yang

melakukan pemeriksaan tekanan darah. Dari

hasil wawancara dengan 10 orang lansia dari

24 lansia yang mengalami hipertensi,

didapatkan bahwa 60% dukungan keluarga

di bidang kesehatan masih rendah.

Hal ini terlihat dari ketidakmampuan

keluarga dalam mengenal masalah kesehatan

yang dialami lansia, misalnya tercermin dari

keluarga tidak menyadari perubahan yang

dialami lansia yang mengalami hipertensi

seperti sakit kepala, gelisah dan gangguan

pengelihatan. Selain itu peneliti juga

mendapatkan perawatan terhadap lansia

yang mengalami hipertensi seperti

pengaturan pola hidup juga kurang diawasi

misalnya pada pengaturan diet lansia.

Rendahnya dukungan keluarga akan

mempengaruhi perilaku lansia dalam

pemeliharaan kesehatannya dan akan

berdampak pada penurunan kualitas hidup

lansia dengan hipertensi (Githa, 2011). Hal

ini juga didukung oleh Yenni (2011) bila

lansia hipertensi mendapat dukungan yang

cukup dari keluarga, maka lansia akan

termotivasi untuk merubah perilaku untuk

menjalani gaya hidup sehat secara optimal

sehingga dapat meningkatkan status

kesehatan dan kualitas hidupnya (Yenni,

2011).

Berdasarkan studi pendahuluan yang

peneliti lakukan di Desa Tampaksiring

Gianyar dengan menggunakan kuisioner

kualitas hidup didapatkan bahwa dari 10

lansia yang mengalami hipertensi sebanyak

7 orang lansia (70%) memiliki kualitas

hidup dalam kategori rendah dan 3 orang

lansia (30%) memiliki kualitas hidup dalam

kategori baik. Sebagian besar lansia

mengatakan sering merasa putus asa,

kesepian dan cemas, merasa hidupnya tidak

berarti dan sedikitnya ketersediaan informasi

dalam kehidupan sehari-harinya, serta tidak

puas dengan hubungan personal/sosialnya.

Sedangkan hasil pengukuran dengan

kuisioner dukungan keluarga didapatkan

hasil bahwa dari 10 orang lansia yang

diwawancarai, sebanyak 8 orang (80%)

memiliki dukungan keluarga yang kurang

dan 2 orang lansia (20%) memiliki

dukungan keluarga baik. Sebagian besar

lansia mengatakan dirinya tidak diperhatikan

saat sakit, keluarganya tidak menyediakan

waktu untuk mengantarkan lansia berobat,

keluarga tidak pernah mengingatkan lansia

untuk minum obat dan kontrol ke puskesmas

serta keluarga tidak mendengarkan keluhan-

keluhan yang dikatakan oleh lansia tentang

penyakitnya.

Page 74: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

184

Tujuan umum dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui hubungan dukungan

keluarga dengan kualitas hidup lansia yang

mengalami hipertensi di Desa Tampaksiring

wilayah kerja Puskesmas I Tampaksiring

Gianyar. Tujuan khususnya yaitu

mengidentifikasi dukungan keluarga pada

lansia yang mengalami hipertensi di Desa

Tampaksiring Gianyar, mengidentifikasi

kualitas hidup pada lansia yang mengalami

hipertensi di Desa Tampaksiring Gianyar

dan menganalisis hubungan dukungan

keluarga dengan kualitas hidup lansia yang

mengalami hipertensi di Desa Tampaksiring

Gianyar.

METODE

Jenis penelitian ini adalah deskriptif

korelasional dengan rancangan penelitian

cross sectional. Populasi dalam penelitian

ini adalah semua lansia yang mengalami

hipertensi di Desa Tampaksiring Wilayah

Kerja Puskesmas 1 Tampaksiring Gianyar

yang berjumlah 68 orang yang didapatkan

dari data Puskesmas I Tampaksiring Gianyar

tahun 2013. Sampel dalam penelitian ini

adalah lansia yang mengalami hipertensi di

Desa Tampaksiring Wilayah Kerja

Puskesmas 1 Tampaksiring Gianyar yang

memenuhi kriteria inklusi sebanyak 59

orang. Penelitian ini dilakukan di Desa

Tampaksiring Wilayah Kerja Puskesmas 1

Tampaksiring Gianyar pada Bulan Mei-Juni

2014.

Instrument pengumpulan data yang

digunakan pada penelitian ini adalah lembar

pedoman wawancara dukungan keluarga dan

pedoman wawancara kualitas hidup yang

telah dirancang berdasarkan indikator yang

nantinya akan dijabarkan menjadi butir-butir

pertanyaan. Pedoman wawancara yang

digunakan merupakan pedoman wawancara

yang terstruktur sehingga memudahkan

responden dapat menjawab semua

pertanyaan.

Setelah mendapatkan ijin untuk

melakukan penelitian dari Kepala Desa

Tampaksiring Gianyar, peneliti melakukan

pengumpulan data sebagai berikut:

pengumpulan data dilakukan oleh peneliti

dan 2 orang enumerator. Responden yang

memenuhi kriteria inklusi diberikan

penjelasan tentang manfaat dan tujuan

penelitian. Pengambilan data dilakukan

dengan cara membacakan isi dari pertanyaan

pedoman wawancara dukungan keluarga dan

kualitas hidup.

Setelah data terkumpul maka data

dideskripsikan dan diberikan skor sesuai

tingkat dukungan keluarga dan tingkat

kualitas hidup lansia, yaitu kategori

dukungan keluarga baik mempunyai skor

(25-36), kategori dukungan keluarga sedang

mempunyai skor (13-24) dan kategori

dukungan keluarga kurang mempunyai skor

(0-12), begitu juga dengan tingkat kualitas

hidup, dikatakan kualitas hidup baik yaitu

dengan skor (96-130), dikatakan kualitas

hidup cukup yaitu dengan skor (61-95) dan

kualitas hidup kurang yaitu dengan skor (26-

60). Selanjutnya data ditabulasikan dan di

analisa dengan menggunakan uji korelasi

Rank Spearman dengan tingkat kesalahan

5% (α = 0,05).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah diberikan pedoman wawancara

berupa pedoman wawancara tingkat

dukungan keluarga dan tingkat kualitas

hidup, adapun hasil dari wawancara

menggunakan pedoman wawancara dapat

dilihat pada tabel 1 dan tabel 2:

Tabel 1. Distribusi frekuensi dukungan

keluarga pada lansia yang

mengalami hipertensi

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa

responden mempunyai kecenderungan

mendapatkan dukungan keluarga baik, yaitu

sebanyak 27 orang (45,8%).

Kategori Frekuensi

(n)

Presentase

(%)

Dukungan

keluarga baik

27 45,8%

Dukungan

keluarga sedang

23 39,0%

Dukungan keluarga kurang

9 15,3%

Total 59 100 %

Page 75: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

185

Tabel 2. Distribusi frekuensi kualitas hidup

pada lansia yang mengalami

hipertensi

Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa

responden mempunyai kecenderungan

memiliki kualitas hidup baik, yaitu sebanyak

31 orang (52,5%).

Tabel 3. Hubungan dukungan keluarga

dengan kualitas hidup lansia

yang mengalami hipertensi

Dukungan

Keluarga

Kualitas Hidup Total Hasil

Analisa

Spearme

n Rank

Bai

k

Cuku

p

Kurang

Baik f

%

19 8 0 27

Pvalue

0,000

Correlati

on

coefficie

nt

0.583

32.2 13.6 .0 45.8

Sedang f 12 2 9 23

% 20.3 3.4 15.3 39.0

Kurang f 0 0 9 9

% .0 .0 15.3 15.3

Total f 31 10 18 59

% 52.5 16.9 30.5 100

Pada analisa Spearman Rank diperoleh

nilai sig 0,000 (p<0,05) yang artinya Ho

ditolak atau ada hubungan yang signifikan

antara dukungan keluarga dengan kualitas

hidup lansia yang mengalami hipertensi di

Desa Tampaksiring Gianyar. Selain nilai

signifikansi analisa Spearman Rank, juga

diperoleh correlation coefficient 0,583 yang

artinya terdapat hubungan sedang dan arah

hubungan positif yaitu memiliki arti

semakin baik dukungan keluarga maka

semakin baik tingkat kualitas hidup lansia

yang mengalami hipertensi. Nilai

correlation coefficient 0,583 pada tingkat

kepercayaan 95 % menunjukan bahwa

dukungan keluarga berpengaruh terhadap

kualitas hidup lansia yang mengalami

hipertensi sebesar 58,3 % dan sisanya

dipengaruhi oleh faktor lain.

Dari hasil analisa data dukungan

keluarga pada lansia yang mengalami

hipertensi di Desa Tampaksiring Gianyar

terhadap 59 responden, didapatkan bahwa

27 orang (45,8 %) mendapat dukungan baik

dari keluarganya, 23 orang (39,0 %)

mendapatkan dukungan dalam kategori

sedang dan 9 orang (15,3 %) mendapat

dukungan dalam kategori kurang.

Beberapa teori perubahan perilaku

kesehatan menunjukkan bahwa keluarga

adalah pengaruh utama, baik pada status

kesehatan maupun pada perilaku kesehatan

anggota keluarga. Keluarga memegang

peranan penting dalam konsep sehat sakit

anggota keluarganya, dimana keluarga

merupakan sistem pendukung yang

memberikan perawatan langsung terhadap

anggota keluarganya yang sakit. Individu

yang mempunyai dukungan keluarga yang

kuat lebih cenderung untuk mengadopsi dan

mempertahankan perilaku kesehatan yang

baru daripada individu yang tidak memiliki

dukungan keluarga untuk mengubah

perilaku kesehatannya (Friedman, Bowden

& Jones, 2003 dalam Yenni 2011),

disamping itu dukungan keluarga yang

tinggi ternyata menunjukkan penyesuaian

yang lebih baik terhadap kondisi kesehatan

anggota keluarganya (Chandra, 2009).

Hal ini didukung oleh penelitian yang

dilakukan oleh Permana (2011) dimana dari

75 responden yang mengalami hipertensi

didapatkan sebagian besar responden

mendapatkan dukungan keluarga baik

sebesar 60% atau 45 orang, dukungan

keluarga sedang sebesar 33,3% atau 25

orang dan dukungan keluarga kurang

sebesar 6,7% atau 5 orang.

Hasil analisa data kualitas hidup pada

lansia yang mengalami hipertensi di Desa

Tampaksiring Gianyar terhadap 59

responden, didapatkan bahwa 31 orang (52,5

Kategori Frekuensi

(n)

Presentase

(%)

Kualitas hidup

baik

31 52,5%

Kualitas hidup

cukup

10 16,9%

Kualitas hidup

kurang

18 30,5%

Total 59 100 %

Page 76: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

186

%) dalam kategori kualitas hidup baik, 10

orang (16,9 %) dalam kategori kualitas

hidup cukup dan 18 orang (30,5 %) dalam

kategori kualitas hidup kurang.

Menurut Akhmadi (2009) dalam Yenni

(2011) fungsi sistem tubuh lansia yang

mengalami hipertensi dapat berdampak

negatif terhadap kualitas hidup lansia, baik

dalam skala ringan, sedang, maupun berat.

Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian

Kao (2008) yang mengatakan status

kesehatan seperti hipertensi mempengaruhi

kualitas hidup lansia. Kualitas hidup

berhubungan dengan kesehatan, dimana

suatu kepuasan atau kebahagiaan individu

sepanjang dalam kehidupannya

mempengaruhi mereka atau dipengaruhi

oleh kesehatan (American Thoracic Society,

2004). Kualitas hidup lansia dipengaruhi

oleh beberapa faktor yang menyebabkan

seorang lansia untuk tetap bisa berguna

dimasa tuanya, yakni kemampuan

menyesuaikan diri, menerima segala

perubahan dan kemunduran yang dialami

serta adanya perlakuan yang wajar dari

lingkungan lansia tersebut (Kuntjoro, 2005).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Prasetya (2012) dimana

dari 42 responden yang menjalani

hemodialisa didapatkan sebagian besar

responden memiliki kategori kualitas hidup

baik yaitu sebanyak 27 orang (64,3%) dan

kategori kualitas hidup buruk sebanyak 15

orang (35,7 %).

Berdasarkan hasil uji dengan Spearman

Rank Correlation diperoleh nilai sig 0,000

(p<0,05) yang artinya Ho ditolak atau ada

hubungan yang signifikan antara dukungan

keluarga dengan kualitas hidup lansia yang

mengalami hipertensi di Desa Tampaksiring

Gianyar. Selain nilai signifikansi analisa

Spearman Rank juga diperoleh correlation

coefficient 0,583 yang artinya terdapat

hubungan sedang dan arah hubungan positif

yaitu semakin baik dukungan keluarga maka

semakin baik pula kualitas hidup lansia yang

mengalami hipertensi.

Keluarga merupakan satu-satunya

tempat yang sangat penting untuk

memberikan dukungan, pelayanan serta

kenyamanan bagi lansia dan anggota

keluarga juga merupakan sumber dukungan

dan bantuan paling bermakna dalam

membantu anggota keluarga yang lain dalam

mengubah gaya hidupnya (Friedman,

Bowden & Jones, 2003 dalam Yenni 2011).

Menurut Green & Kreuter (dalam Yenni,

2011), dukungan keluarga termasuk dalam

faktor pendukung (supporting factors) yang

dapat mempengaruhi perilaku dan gaya

hidup seseorang sehingga berdampak pada

status kesehatan dan kualitas hidupnya. Bila

lansia hipertensi mendapat dukungan yang

cukup dari keluarga, maka lansia akan

termotivasi untuk merubah perilaku untuk

menjalani gaya hidup sehat secara optimal

sehingga dapat meningkatkan status

kesehatan dan kualitas hidupnya (Yenni,

2011).

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Antari

(2012) dimana didapatkan bahwa terdapat

hubungan yang sangat kuat antara dukungan

sosial dengan kualitas hidup dan didapatkan

pula dukungan sosial keluarga berkontribusi

sebanyak 95,5% terhadap kualitas hidup.

Penelitian ini juga didukung oleh Shusil

(2010), dalam penelitiannya diketahui

bahwa kepuasan terhadap dukungan sosial

memiliki hubungan dengan kualitas hidup,

dimana diperoleh nilai r = 0,296 pada

dimensi fungsi fisik dari kualitas hidup, r =

0,243 pada dimensi psikologi, r = 0,152

pada dimensi hubungan sosial dan r = 0,398

pada dimensi lingkungan dengan p < 0,05.

Jadi berdasarkan penelitian tersebut

diketahui dukungan sosial secara signifikan

berkorelasi dengan semua domain dalam

kualitas hidup.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah

dilakukan, maka dapat dibuat kesimpulan

sebagai berikut : Dari variabel dukungan

keluarga pada 59 responden yang diteliti,

didapatkan lansia yang memiliki dukungan

keluarga baik yaitu sebanyak 27 orang

(45,8%), dukungan keluarga sedang

sebanyak 23 orang (39,0%) dan dukungan

keluarga kurang sebanyak 9 orang (15,3%).

Page 77: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

187

Dari variabel kualitas hidup pada 59

responden yang diteliti, didapatkan lansia

yang memiliki kualitas hidup baik yaitu

sebanyak 31 orang (52,5%), kualitas hidup

cukup sebanyak 10 orang (16,9%) dan

kualitas hidup kurang sebanyak 18 orang

(30,5%). Hasil analisa Rank Spearman

didapatkan Ho ditolak yang berarti ada

hubungan yang signifikan antara dukungan

keluarga dengan kualitas hidup lansia yang

mengalami hipertensi di Desa Tampaksiring

Wilayah Kerja Puskesmas 1 Tampaksiring

Gianyar dengan nilai p = 0,000 (α = 0,05)

dan juga diperoleh nilai correlation

coefficient 0,583 yang mana hal itu berarti

dukungan keluarga berkontribusi sebesar

58,3 % terhadap kualitas hidup lansia, yang

artinya semakin baik dukungan keluarga

maka semakin baik kualitas hidup lansia

yang mengalami hipertensi.

DAFTAR RUJUKAN Aboloje, E. (2010). Hypertension and the

family. Diakses pada tanggal 15 Februari 2014 dari http://ezinearticles.com/?Hypertension-and-the-Family&id=3547296.

American Thoracic Society. (2002). Quality

Of Life Resource. Diakses tanggal 22 Maret 2014 dari downloads.tswj.com/2003/325251.pdf.

Arif Mansjoer, dkk., 2009. Kapita Selekta

Kedokteran,Jakarta : Media Aesculapius.

Armilawaty. (2007). Hipertensi dan Faktor

Resikonya Dalam Kajian Epidemiologi. Makasar : Bagian Epidemiologi FKM UNHAS.

Bandiyah Siti. (2009). Lanjut Usia dan

Keperawatan Gerontik. Yogyakarta : Muha Medika.

BPS. 2013. Bali Dalam Angka 2013.

Denpasar : BPS Provinsi Bali. Corwin J. Elizabeth. 2009. Buku Saku

Patofisiologi. Jakarta: EGC. Darmojo, B., 2006, Buku Ajar Geriatri :

Ilmu Kesehatan Lanjut Usia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Departemen Kesehatan. (2007). Jumlah Penduduk Lanjut Usia Meningkat. Diakses pada tanggal 17 Juni 2012 dari http://www.depkes.go.id.

Dinkes Kabupaten Gianyar. (2013). Profil

kesehatan Kabupaten Gianyar Tahun 2013.Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar.

Donald, A. (2009). What in Quality of Life?.

UK : Hayward Group Ltd. Diakses tanggal 16 Maret 2014 dari http://www.medicine.ox.ac.uk/bandolier/painres/download/whatis/WhatisQoL.pdf

Friedman, dkk. 2010. Buku Ajar

Keperawatan Keluarga: Riset, Teori dan Praktik. Jakarta: EGC.

Githa, Wayan. (2011). Hubungan Dukungan

Keluarga dan Perilaku Pencegahan Komplikasi Hipertensi Pada Lansia. Skripsi: Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar.

Hidayat, H.A. 2009. Metode Penelitian

Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika.

Kao, CC. (2008). Social Support, Exercise

Behavior, and Quality of Life in Older Adults, Proquest Disertation and Thesis. Diakses tanggal 24 Maret 2014 dari http://search.proquest.com/health/docview/304457538/1383FC79D65BE2E213/1?accountid=50268.

Kowalski, Robert E. (2010). Terapi

Hipertensi. Bandung : Qanita. Kuswardhani, T. 2007. Penatalaksanaan

Hipertensi Pada Lanjut Usia. (online), available: http//www.scribd.com/doc/60640456, (21 Maret 2014).

Martuti, A. (2009). Merawat &

menyembuhkan hipertensi: Penyakit tekanan darah tinggi. Bantul: Kreasi Wacana.

Maryam. 2008. Mengenal usia Lanjut dan

Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.

Mayasanti. 2010. Hubungan Antara

Dukungan Keluarga dengan Tingkat Depresi Pada Lansia Di Puskesmas 1 Denpasar Timur. Skripsi: Program

Page 78: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

188

Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Mubarak. 2006. Buku Ajar Ilmu

Keperawatan Komunitas 2 : Teori & Aplikasi dalam Praktik. Jakarta: CV.Sagung Seto.

Nugroho. (2008). Keperawatan Gerontik

dan Geriatrik. Jakarta : EGC. Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan

Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar

Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik, Edisi 4, Volume 1, Jakarta: EGC.

Potter dan Perry. 2006. Buku Ajar

Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik, Edisi 4, Volume 2, Jakarta: EGC.

Proverawati. 2010. Menopause dan

sindrome premenopause. Yogyakarta: Nuha Medika.

Putra. 2012. Hubungan Dukungan Keluarga

Dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Di Ruang Hemodialisa RSUD Sanjiwani Gianyar. Skripsi : Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes Wira Medika PPNI Bali.

Saputri. (2009). Pengaruh Keaktifan Senam

Jantung Sehat Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia Hipertensi Di Klub Senam Jantung Sehat Mertoyudan Magelang. Tesis: Fakultas Ilmu Keperawatan Program Pasca Sarjana UniversitasIndonesia.

Setiadi. (2008). Konsep & Proses:

Keperawatan keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Signori, M.A. (2009). Perawatan hipertensi.

http://armiyadisignori.com. diperoleh tanggal 18 April 2014.

Smeltzer and Bare. 2005. Buku Ajar

Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 2, Jakarta: EGC.

Stanley, M., Blair, K.A., & Beare, P.G.

(2005). Gerontological nursing: Promoting successful aging with

older adults. Third edition. Philadelphia: F.A Davis Company.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sutikno, Ekawati. (2011). Hubungan Fungsi

Keluarga dengan Kualitas Hidup Lansia. Tesis: Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Veronica dan Robert. 2005. Pencegahan

Hipertensi,(online),(http://www.univmed.org/wpcontent/uploads/2011/02/Vol.20_no.2_6.pdf, diakses tanggal 25 Februari 2012.

WHO. (2008). Quality of Life-BREF

(WHOQoL-BREF). www.who.int/substanceabuse /.../whoqolbref/ diakses pada tanggal 14 Maret 2014.

Yenni. (2011). Hubungan Dukungan

Keluarga dan Karakteristik Lansia dengan Kejadian Stroke Pada Lansia Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Perkotaan Bukittinggi. Tesis: Fakultas Ilmu Keperawatan Program Pasca Sarjana Ilmu Keperawatan Depok.

Yolandari. 2012. Hubungan Pelaksanaan

Tugas Keluarga tentang Hipertensi Terhadap Kualitas Hidup Lansia dengan Hipertensi di Posyandu Lansia Kelurahan Surau Gadang Kecamatan Nanggalo Padang. Skripsi: Fakultas Ilmu Keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan Depok.

Zulfitri, R. (2006). Hubungan dukungan

keluarga dengan perilaku lanjut usia hipertensi dalam mengontrol kesehatannya di wilayah kerja puskesmas Melur Pekanbaru. Tesis FIK UI Jakarta.

Page 79: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

189

PERTOLONGAN PERTAMA DENGAN KEJADIAN

KEJANG DEMAM PADA ANAK

Ketut Labir

N.L.K Sulisnadewi

Silvana Mamuaya

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

Email: [email protected]

Abstract : First Aid and incidence of febrile seizures in children at the Children's. The purpose of this study was to determine the relationship of first aid with the

incidence of febrile convultion in children at the Children's Room Triage Sanglah

Hospital Denpasar. The research method used analytic correlation with cross

sectional design. The research sample amounted to 30 parents of children with febrile

convultion who treated in Children's Room Triage Sanglah Hospital Denpasar with

consecutive sampling technique. Data were collected by questionnaire. The results

obtained from 30 respondents the majority of parents who perform first aid by either

having a child with simple febrile convultion incidence of 40.0% and there is

significant relationship between the incidence of first aid in children with febrile

convultion with a p value of 0.016. Spearmans rank obtained (0.636), indicating the

frequency between the two variables, the correlation coefficient (0.636) showed a

strong correlation between the two variables (0.5 to 0.75).

Abstrak : Pertolongan Pertama dan Kejadian Kejang Demam Pada Anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pertolongan pertama

dengan kejadian kejang demam pada anak di Ruang Triage Anak RSUP Sanglah

Denpasar. Metode penelitian yang digunakan adalah analitik korelasi dengan

rancangan cross sectional. Sampel penelitian berjumlah 30 orang tua anak dengan

kejang demam yang berobat di Triage Anak RSUP Sanglah Denpasar dengan tehnik

consecutive sampling. Data dikumpulkan dengan kuesioner. Hasil penelitian

didapatkan dari 30 responden sebagian besar sebagian besar orang tua yang

melakukan pertolongan pertama dengan baik memiliki anak dengan kejadian kejang

demam sederhana sebesar 75,0% dan ada hubungan bermakna antara pertolongan

pertama dengan kejadian kejang pada anak dengan demam dengan p value sebesar

0,016. didapatkan rank spearmans hitung (0,636), menunjukkan kekerapan antara

kedua variable, koefisien korelasi (0,636) menunjukkan korelasi yang kuat antar

kedua variabel (0,5-0,75).

Kata kunci: pertolongan pertama, kejang demam, anak

Negara yang sedang berkembang,

termasuk Indonesia terdapat dua faktor yaitu

gizi dan infeksi yang mempunyai pengaruh

yang besar terhadap pertumbuhan anak

(Hasan, 2007). Saat ini 70% kematian balita

disebabkan karena pneumonia, campak,

diare, malaria, dan malnutrisi. Ini

berarti bahwa penyakit infeksi masih

menjadi penyebab kematian balita (Hasan,

2007). Terjadinya proses infeksi dalam

tubuh menyebabkan kenaikan suhu tubuh

yang biasa disebut dengan demam. Demam

merupakan faktor resiko utama terjadinya

kejang demam (Selamihardja, 2008).

Insiden dan prevalensi kejang demam di

Eropa pada tahun 2006 berkisar 2-5%, di

Asia prevalensi kejang demam meningkat

dua kali lipat bila dibandingkan dengan

Eropa sebesar 8,3%-9,9% pada tahun yang

sama (Hasan 2007). Berdasarkan hasil

Page 80: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

190

Survey Demografi Kesehatan Indonesia

(SDKI) tahun 2007, di Indonesia tahun

2005 kejang demam termasuk sebagai

lima penyakit anak terpenting yaitu sebesar

17,4%, meningkat pada tahun 2007 dengan

kejadian kejang sebesar 22,2% (Hasan,

2007). Selanjutnya tingginya kasus kejang

demam di Bali khususnya di RSUP Sanglah

Denpasar Sepanjang tahun 2011, terdapat

1.178 kunjungan ke Triage anak, dengan

berbagai permasalahan seperti panas,

kejang, sesak dan tidak sadar. Tahun 2010

terdapat 342 kasus anak dengan kejang

demam dan meningkat menjadi 386 kasus

pada tahun 2011. Rata-rata kunjungan anak

dengan kejang demam per bulan pada 2011

sebesar 32 kasus (RSUP Sanglah, 2010).

Kejang demam adalah bangkitan kejang

yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu

rektal diatas 38°C) yang disebabkan oleh

suatu proses ekstrakranium (Budiman,

2006). Kejang demam merupakan kelainan

neurologis yang paling sering dijumpai pada

anak-anak, terutama pada golongan umur 6

bulan sampai 5 tahun. Menurut Candra

(2009), kejang demam merupakan kejang

yang terjadi pada saat seorang bayi atau

anak mengalami demam tanpa infeksi sistem

saraf pusat. Kejang terjadi apabila demam

disebabkan oleh infeksi virus saluran

pernapasan atas, roseola atau infeksi telinga.

Namun pada beberapa kasus tertentu, kejang

demam terjadi sebagai gejala dari penyakit

meningitis atau masalah serius lainnya.

Selain demam yang tinggi, kejang-kejang

juga bisa terjadi akibat penyakit radang

selaput otak, tumor, trauma atau benjolan di

kepala serta gangguan elektrolit dalam tubuh

(Candra, 2009).

Kejang demam biasanya terjadi pada

awal demam dimana anak akan terlihat aneh

untuk beberapa saat, kemudian kaku,

kelojotan dan memutar matanya. Anak tidak

responsif untuk beberapa waktu, napas akan

terganggu, dan kulit akan tampak lebih

gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak

akan segera normal kembali. Kejang

biasanya berakhir kurang dari 1 menit.

Kejang sendiri terjadi akibat adanya

kontraksi otot yang berlebihan dalam waktu

tertentu tanpa bisa dikendalikan. Timbulnya

kejang yang disertai demam ini diistilahkan

sebagai kejang demam (convalsio febrillis)

atau stuip/step (Selamihardja, 2008).

Kejang demam anak perlu diwaspadai,

karena kejang yang lama (lebih dari 15

menit) dapat menyebabkan kecacatan otak

bahkan kematian. Dalam 24 jam pertama

walaupun belum bisa dipastikan terjadi

kejang, bila anak mengalami demam, hal

yang terpenting dilakukan adalah

menurunkan suhu tubuh (Candra, 2009).

Kejang demam merupakan kedaruratan

medis yang memerlukan pertolongan segera,

pengelolaan yang tepat sangat diperlukan

untuk menghindari cacat yang lebih parah,

yang diakibatkan bangkitan kejang yang

sering. Sehingga pertolongan pertama untuk

menangani korban segera dilakukan untuk

mencegah cedera dan komplikasi yang

serius pada anak (Candra, 2009).

Langkah awal yang dapat dilakukan

dalam melakukan pertolongan pertama

untuk mencagah terjadinya kejang pada

anak demam adalah segera memberi obat

penurun panas, kompres air biasa atau

hangat yang diletakkan di dahi, ketiak, dan

lipatan paha. Beri anak banyak minum dan

makan makanan berkuah atau buah-buahan

yang banyak mengandung air, bisa berupa

jus, susu, teh, dan minuman lainnya. Jangan

selimuti anak dengan selimut tebal, selimut

dan pakaian tebal dan tertutup justru akan

meningkatkan suhu tubuh dan menghalangi

penguapan. (Candra, 2009). Ketika terjadi

kejang dan tidak berhenti setelah lima menit,

sebaiknya anak segera dibawa ke fasilitas

kesehatan terdekat. Jika anak pernah

mengalami kejang demam di usia pertama

kehidupannya, maka ada kemungkinan ia

akan mengalami kembali kejang meskipun

temperatur demamnya lebih rendah (Candra,

2009).

Pertolongan pertama dalam upaya

mencegah kejang demam sangat penting,

namun yang menjadi permasalahan adalah

banyak ibu atau keluarga yang kurang tahu

tentang pertolongan pertama. Berdasarkan

hasil studi pendahuluan yang peneliti

lakukan di ruang Triage anak RSUP Sanglah

Page 81: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

191

didapatkan dari 5 orang anak yang

dikeluhkan kejang, berdasarkan hasil

wawancara kepada ibu dan keluarga

semuanya tidak ada yang tahu tentang

pertolongan kejang, mereka juga tidak tahu

apa penyebab kejang. Anggapan mereka

bahwa kalau anak sakit langsung dbawa

kerumah sakit (Candra, 2009). Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui hubungan

antara pertololongan pertama pada anak

dengan kejadian kejang demam di Ruang

Triage Anak RSUP Sanglah Denpasar

METODE

Jenis penelitian yang digunakan adalah

penelitian analitik korelasi yang bertujuan

untuk melihat ada atau tidaknya hubungan

dan sejauh mana hubungan antara dua

variabel dalam penelitian. Pendekatan yang

digunakan yaitu cross sectional dimana

peneliti hanya sekali melakukan pengukuran

terhadap subyek penelitian.

Penelitian ini dilaksanakan di Ruang

Triage Anak RSUP Sanglah Denpasar.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua

orang tua anak dengan kejang demam yang

berobat di Triage Anak RSUP Sanglah.

Yang menjadi sampel pada penelitian ini

adalah orang tua anak dengan kejang demam

yang berobat di Triage Anak RSUP Sanglah

yang memenuhi kriteria inklusi dan eklusi.

Pengambilan sampel menggunakan teknik

consecutive sampling.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan

responden didapatkan distribusi pertolongan

pertama pada anak dengan kejang demam

dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden

Berdasarkan Pertolongan

Pertama Pada Anak Dengan

Kejang Demam

No Pertolongan

Pertama

Frekuensi

(f)

Persentase

(%)

1 Baik 16 53,3

2 Cukup 9 30,0

3 Kurang 5 16,7

Jumlah 30 100,0

Berdasarkan tabel di atas didapatkan

bahwa dari 30 responden pertolongan

pertama yang dilakukan oleh orang tua yang

terbanyak adalah baik yaitu sebesar 53,3%

dan yang terkecil adalah kurang sebesar

16,7%.

Kejadian kejang pada anak dengan

demam di Ruang Triage Anak RSUP

Sanglah Denpasar dapat dilihat pada tabel 2

sebagai berikut:

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden

Berdasarkan Kejadian Kejang

Pada Anak Dengan Demam

NO Kejadian

Kejang Demam

Frekuensi

(f)

Persentase

(%)

1 Kejang

Sederhana

18 60,0

2 Kejang

Komplek

10 33,3

3 Kejang Tonik

Klonik

2 6,7

JUMLAH 30 100,0

Berdasarkan tabel di atas didapatkan

bahwa dari 30 responden kejadian kejang

deman pada anak yang terbanyak adalah

kejang demam sederhana yaitu sebesar

60,0% dan yang terkecil adalah kejang tonik

klonik sebesar 6,7%.

Analisis menggunakan uji statistik

Spearman Rank dengan α sebesar 0,05,

perhitungan menggunakan komputer

(perhitungan terlampir) didapatkan hasil

sebagai berikut:

Tabel 3. Hubungan Pertolongan Pertama

dengan Kejadian Kejang Pada

Anak Dengan Demam

Pertolon

gan

Pertama

Kejadian Kejang

Demam Jumlah

p rs Sederha

na

Kom

plek

Tonik

Klonik

f % f % f % f %

Baik 12 40,0 4 13,3 0 0,0 16 53,3 0,016 0,636*

Cukup 5 16,7 4 13,3 0 0,0 9 30,0

Kurang 1 3,3 2 6,7 2 6,7 5 16,7

Jumlah 18 60,0 10 33,3 2 6,7 30 100,0

Page 82: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

192

Berdasarkan data pada tebel di atas dapat

dikatakan bahwa sebagian besar orang tua

yang melakukan pertolongan pertama

dengan baik memiliki anak dengan kejadian

kejang demam sederhana sebesar 40,0%

dibandingkan dengan orang tua yang

melakukan pertolongan pertama cukup dan

kurang. Berdasarkan hasil analisis tersebut

juga didapat p value sebesar 0,016 yang

artinya bahwa nilai p< α 0,05, maka secara

statistik ada hubungan bermakna antara

pertolongan pertama dengan kejadian kejang

pada anak dengan demam. Hasil rank

spearman hitung (0,636), menunjukkan

kekerapan antara kedua variabel dan

koefisien korelasi (0,636) menunjukkan

korelasi yang kuat antar kedua variable

(0,5-0,75).

Pertolongan pertama dirumah pada anak

dengan kejang demam dapat dikatakan

bahwa dari 30 responden sebagian besar

orang tua melakukan pertolongan pertama

baik yaitu sebesar 53,3% dibandingkan

dengan orang tua yang memberikan

pertolongan cukup dan kurang. Hal ini

terkait dengan pengalaman sebelumnya,

pengalaman pribadi, apa yang telah dan

sedang kita alami ikut membentuk dan

mempengaruhi penghayatan kita terhadap

stimulus. Orang tua yang memiliki anak

dengan kejang sebelumnya tentu akan lebih

tahu dan mengerti bagaimana cara yang

tepat untuk memberikan pertolongan

pertama dalam mengatasi dan mencegah

terjadinya kejang berulang sebelum akhirnya

anak dibawa ke rumah sakit (Yusuf, 2005).

Menurut Berzonsky dalam Yusuf (2005),

menyatakan bahwa kemampuan seseorang

dipengaruhi oleh pengalaman, membaca

literatur, hubungan interpersonal, sikap serta

keinginan atau motivasi untuk mengakses

informasi. Pengetahuan merupakan domain

yang sangat penting untuk terbentuknya

tindakan seseorang.

Langkah awal yang dapat dilakukan

dalam melakukan pertolongan pertama

untuk mencagah terjadinya kejang pada

anak demam adalah segera memberi obat

penurun panas, kompres air biasa atau

hangat yang diletakkan di dahi, ketiak, dan

lipatan paha. Beri anak banyak minum dan

makan makanan berkuah atau buah-buahan

yang banyak mengandung air, bisa berupa

jus, susu, teh, dan minuman lainnya. Jangan

selimuti anak dengan selimut tebal, selimut

dan pakaian tebal dan tertutup justru akan

meningkatkan suhu tubuh dan menghalangi

penguapan. (Candra, 2009).

Kemampuan orang tua dalam pemberian

pertolongan pertama pada anak dengan

kejang demam dipengaruhi oleh banyak

faktor seperti umur, pendidikan dan

pekerjaan. Dilihat dari umur terkait dengan

masa produktif dan semakin dewasa

seseorang pengalaman hidup juga semakin

bertambah serta dimungkinkan kemampuan

analisis dari seseorang akan bertambah

sehingga pengetahuan juga semakin

bertambah (Elizabet dalam Mubarak, 2006).

Faktor lain yang dapat mempengaruhi

kemampuan seseorang dalam melakukan

tindakan seperti minat, pengalaman,

kebudayaan, informasi dari media massa

seperti TV, radio dan penyuluhan dari

petugas kesehatan tentang penatalaksanaan

kejang demam pada anak (Notoatmojo,

2003).

Kejadian kejang pada anak dengan

demam di Ruang Triage Anak RSUP

Sanglah Denpasar dari 30 responden

sebagian besar anak mengalami kejang

demam sederhana yaitu sebesar 60,0%.

Kejang demam adalah bangkitan kejang

yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu

rektal diatas 38°C) yang disebabkan oleh

suatu proses ekstrakranium (Rani, 2009).

Kejang demam merupakan kelainan

neurologis yang paling sering dijumpai pada

anak-anak, terutama pada golongan umur 6

bulan sampai 5 tahun. Menurut Candra

(2009), kejang demam merupakan kejang

yang terjadi pada saat seorang bayi atau

anak mengalami demam tanpa infeksi sistem

saraf pusat. Kejang terjadi apabila demam

disebabkan oleh infeksi virus saluran

pernapasan atas, roseola atau infeksi telinga.

Namun pada beberapa kasus tertentu, kejang

demam terjadi sebagai gejala dari penyakit

meningitis atau masalah serius lainnya.

Selain demam yang tinggi, kejang-kejang

Page 83: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

193

juga bisa terjadi akibat penyakit radang

selaput otak, tumor, trauma atau benjolan di

kepala serta gangguan elektrolit dalam

tubuh.

Kejang demam biasanya terjadi pada

awal demam dimana anak akan terlihat aneh

untuk beberapa saat, kemudian kaku,

kelojotan dan memutar matanya. Anak tidak

responsif untuk beberapa waktu, napas akan

terganggu, dan kulit akan tampak lebih

gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak

akan segera normal kembali. Kejang

biasanya berakhir kurang dari 1 menit.

Kejang sendiri terjadi akibat adanya

kontraksi otot yang berlebihan dalam waktu

tertentu tanpa bisa dikendalikan. Timbulnya

kejang yang disertai demam ini diistilahkan

sebagai kejang demam (convalsio febrillis)

atau stuip/step (Selamihardja, 2008).

Faktor risiko berulangnya kejang demam

adalah riwayat kejang demam dalam

keluarga, usia anak kurang dari 18 bulan,

temperatur tubuh saat kejang (makin rendah

temperatur saat kejang makin sering

berulang) dan lamanya demam (IDAI,2009).

Kejang demam anak perlu diwaspadai,

karena kejang yang lama (lebih dari 15

menit) dapat menyebabkan kecacatan otak

bahkan kematian. Dalam 24 jam pertama

walaupun belum bisa dipastikan terjadi

kejang, bila anak mengalami demam, hal

yang terpenting dilakukan adalah

menurunkan suhu tubuh (Candra, 2009).

Kejang demam merupakan kedaruratan

medis yang memerlukan pertolongan segera,

pengelolaan yang tepat sangat diperlukan

untuk menghindari cacat yang lebih parah,

yang diakibatkan bangkitan kejang yang

sering. Sehingga pertolongan pertama untuk

menangani korban segera dilakukan untuk

mencegah cedera dan komplikasi yang

serius pada anak (Candra, 2009).

Hasil penelitian tentang hubungan umur

dan suhu tubuh dengan kejang demam pada

balita di ruang Melati RSUD dr. M.Yunus

Bengkulu tahun 2009. didapatkan ada

hubungan yang bermakna umur dan suhu

tubuh dengan demam kejang. Hasil

penelitian Nurul (2008) didapatkan sebesar

80% orangtua mempunyai fobia demam.

Orang tua mengira bahwa bila tidak diobati,

demam anaknya akan semakin tinggi.

Kepercayaan tersebut tidak terbukti

berdasarkan fakta. Karena konsep yang

salah ini banyak orang tua mengobati

demam ringan yang sebetulnya tidak perlu

diobati. Demam < 390 C pada anak yang

sebelumnya sehat pada umumnya tidak

memerlukan pengobatan. Bila suhu naik >

39 0 C, anak cenderung tidak nyaman dan

pemberian obat-obatan penurun panas sering

membuat anak merasa lebih baik. Pada

dasarnya menurunkan demam pada anak

dapat dilakukan secara fisik, obat obatan

maupun kombinasi keduanya. Pengetahuan

dan pengalaman ibu tentang penanganan

anak demam sangat menentukan terjadinya

kejang sehingga diharapkan petugas

kesehatan dapat memberikan penyuluhan

kepada orang tua tentang penanganan kejang

demam karena pada anak sangat rentan

untuk terjadi kejang demam (Rani, 2009).

Analisis hubungan pertolongan pertama

dengan kejadian kejang pada anak dengan

demam didapatkan hasil bahwa ada

hubungan bermakna antara pertolongan

pertama dengan kejadian kejang pada anak

dengan demam (nilai P< 0,05). Hasil rank

spearman hitung (0,636), menunjukkan

kekerapan antara kedua variabel dan

koefisien korelasi (0,636) menunjukkan

korelasi yang kuat antar kedua variabel (0,5-

0,75) sehingga dapat diartikan semakin baik

tindakan pertolongan pertama yang

diberikan maka kejadian kejang demam

semakin menurun atau tidak terjadi kejang

lanjutan. Demam pada anak merupakan hal

yang paling sering dikeluhkan oleh orang

tua di unit gawat darurat (UGD). Demam

membuat orang tua atau pengasuh menjadi

risau. Sebagian besar anak-anak mengalami

demam sebagai respon terhadap infeksi

virus yang bersifat self limited dan

berlangsung tidak lebih dari 3 hari atau

infeksi bakteri yang tidak memerlukan

perawatan di rumah sakit. Akan tetapi

sebagian kecil demam tersebut merupakan

tanda infeksi yang serius dan mengancam

jiwa seperti pneumonia, meningitis, artritis

septik dan sepsis (Rani, 2009).

Page 84: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

194

Ketika anak mengalami demam yang

tinggi seringkali disertai dengan munculnya

kejang-kejang atau dikenal dengan istilah

step. Kejang-kejang ini bisa terjadi dalam

beberapa detik hingga satu menit, tapi pada

kasus tertentu kejang bisa muncul sangat

lama hingga 15 menit. Pada sebagian besar

kasus, kejang demam yang terjadi beberapa

detik umumnya tidak berbahaya. Tapi jika

berlangsung lama, berulang dan tidak segera

dilakukan pertolongan akan menimbulkan

bahaya seperti kerusakan otak atau sebagai

gejala awal dari penyakit serius (Candra,

2009). Pendekatan penatalaksanaan demam

pada anak bersifat age dependent karena

infeksi yang terjadi tergantung dengan

maturitas sistem imun di kelompok usia

tertentu. Pertolongan pertama saat anak

kejang sebelum dibawa ke rumah sakit akan

membantu menentukan beratnya penyakit

anak dan urgensi pengobatannya.

Orangtua harus tetap waspada terhadap

anak yang mengalami kejang-kejang,

terutama jika terjadi berkali-kali. Kejang

demam umumnya terjadi pada anak-anak

yang mengalami demam lebih dari 39

derajat celsius, meskipun bisa juga terjadi

pada temperatur yang lebih rendah (Candra,

2009). Orang tua memiliki peran yang

penting dalam pencegahan kejang demam

sehingga diharapkan orang tua mampu

mencari banyak informasi, mengikuti

penyuluhan tentang penatalaksanaan anak

demam dan dapat mencegah terjadinya

kejang yang berulang

.

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan diatas dari 45 keluarga pasien

yang menjadi responden dapat disimpulkan

sebagai berikut:

Pertolongan pertama pada anak dengan

kejang demam dari 30 responden sebagian

besar orang tua melakukan pertolongan

pertama baik yaitu sebesar 53,3% . Kejadian

kejang pada anak dengan demam dari 30

responden sebagian besar anak mengalami

kejang demam sederhana yaitu sebesar

60,0%. Analisis hubungan didapatkan rank

spearman hitung (0,636), menunjukkan

kekerapan antara kedua variable, koefisien

korelasi (0,636) menunjukkan korelasi yang

kuat antar kedua variabel (0,5-0,75) dan ada

hubungan bermakna antara pertolongan

pertama dengan kejadian kejang pada anak

dengan demam dengan p value sebesar

0,016.

DAFTAR RUJUKAN Budiman, 2006, Faktor Risiko Kejang

Demam Berulang, Jakarta: EGC Candra, 2009, Kejang Demam. Available:

http://www.scribd.com/doc/15689407, 29 Desember 2011

Hasan, 2007, Cermin Dunia Kedokteran,

Available: http://www.scribd.com/doc/15689407, 29 Januari 2012

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Buku

Ajar Neonatologi. Edisi Pertama Mubarak, dkk. (2006). Keperawatan

Komunitas 2. Jakarta: CV Sagung Seto

Notoatmodjo, S., 2005, Metodologi

Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta

Nurul, 2008. Karakteristik Orang Tua

Dengan Anak Kejang Demam. http://www.glorinet.org/demam.html. (10 Mei 2012)

Rani, 2009, Penatalaksanaan Kejang Pada

Anak. Diakses tanggal 22 Mei 2012 dari : http://www.ran.int /facts/world_figure/en/index5.html

RSUP Sanglah, 2010, Rekam Medik,

Denpasar: RSUP Sanglah Selamiharja, 2008, Karakteristik Kejang dan

Penangannya, online, (Available) Http://www.infosehat.com (2 Januari 2012)

Yusuf. 2007. Perilaku Kesehatan. 27

November 2011 http://www.rsipaids.com.

Page 85: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

195

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN

KASUS TB PARU

Ketut Sudiantara

Ni Putu Sastik Wahyuni

IGA Harini

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

Email : [email protected]

Abstract : Influence factors of increased incident of lung tuberculosis. The aim of

this studi to identity of factors influence that increase of Lung TB case. Design of

study is descriptive design with cross sectional approach. Study was loceted at public

health center I of Sukawati on Jun 2014. Lung Tuberculosis patients who have look

at the public healt center I of Sukawati as sample. Number of sampel was 34 lung

tuberculosis patinents, was taken by using purposive sampling. Mask usinfluence

factor as data primier was collected by using questioner. Result of study was showed

dominant factor is predisposing factor (15 respondents, 44%). From the result

showed height risk for spereted lung tuberculosis infection relatted knowledge and

atitude patients and family speretted prevention behaviour.

Abstrak : Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kasus TB paru.

Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi

peningkatan kasus TB Paru. Metode penelitian yang digunakan adalah metode

penelitian deskriftif. Model pendekatan subjek yang digunakan adalah “cross

sectional”. Penelitian dilaksanakan di UPT Kesmas Sukawati I pada bulan Juni

2014. Sampel penelitian ini adalah pasien TB Paru yang tinggal di UPT Kesmas

Sukawati I. Pada Bulan Juni dengan jumlah pasien TB Paru sebanyak 34 orang.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah jenis nonprobability sampling

yaitu purposive sampling. Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data

primer yaitu dengan menggunakan lembar kuisioner. Berdasarkan hasil penelitian

ditemukan bahwa sebagaian besar faktor yang mempengaruhi tingginya kasus TB

paru yaitu faktor predisposisi sebanyak 15 responden (44%).. Hal ini menunjukkan

tingginya risiko penularan TB paru berkaitan dengan usaha pencegahan penularan

yang terbentuk dalam pengetahuan dan sikap pasien dan keluarga. .

Kata kunci : faktor, Tuberculosis paru

Indonesia sebagai negara yang ikut

menanda tangani deklarasi MDGs, menjadi

bagian yang tidak terpisahkan dengan

program pembangunan nasional.Deklarasi

ini merupakan kesepakatan anggota PBB

mengenai paket arah pembangunan global

yang dirumuskan dalam 8 tujuan. Salah satu

tujuan pembangunan di bidang kesehatan

yaitu memerangi HIV/AIDs, malaria dan

penyakit menular lainnya salah satunya

Tuberkulosis(TB). (Depkes RI, 2011).

WHO dalam Global Tuberculosis Report

2012 menyatakan terdapat 22 negara

dikategorikan sebagai high burden countries

terhadap TB Paru, termasuk Indonesia.

Indonesia adalah peringkat ke-4 di dunia

yang memiliki penderita TB terbesar setelah

India, Cina, dan Afrika Selatan. Pada tahun

2011 jumlah penderita TB di seluruh dunia

diperkirakan sekitar 8,7 juta. Pada tahun

2011 di Indonesia jumlah kasus TB sekitar

400.000 sampai 500.000 kasus (Depkes RI,

2008).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan

Provinsi Bali tahun 2012, tercatat angka

kasus TB di Provinsi Bali yakni sebesar

Page 86: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

196

2.275 pasien baru. Dari jumlah tersebut,

pasien TB yang telah terdeteksi dengan BTA

positif sebesar 1.169 orang. Penyebaran

jumlah pasien TB di masing-masing

kabupaten di Provinsi Bali yakni Denpasar

862 kasus, Buleleng 481 kasus, Badung 242

kasus, Karangasem 177 kasus, Gianyar 164

kasus, Tabanan 120 kasus, Jembrana 98

kasus, Klungkung 89 kasus, dan Bangli 42

kasus. Dari sebaran kasus, Kabupaten

Gianyar termasuk urutan ke 5 dari 8

kabupaten dan 1 kota di Bali

Berdasarkan data Dinas Kesehatan

Kabupaten Gianyar, tahun 2011 dengan

rincian kasus suspek sebanyak 1.405 kasus,

BTA (+) 125 kasus, tahun 2012 dengan

rincian kasus suspek sebanyak 1.130 kasus,

BTA (+) 135 kasus, tahun 2013 dengan

rincian kasus suspek sebanyak 1.472 kasus,

BTA (+) 167 kasus. Sedangkan jumlah

kasus TB di masing – masing Puskesmas di

Kabupaten Gianyar Tahun 2013 yaitu :

Puskesmas Gianyar I 9 kasus, Puskesmas

Gianyar II 2 kasus, Puskesmas

Tampaksiring I 0 kasus, Puskesmas

Tampaksiring II 2 kasus, Puskesmas Ubud I

0 Kasus, Puskesmas Ubud II 4 kasus,

Puskesmas Blahbatuh I 9 kasus, Puskesmas

Blahbatuh II 7 kasus, Puskesmas Payangan

4 kasus, Puskesmas Tegalalang I 5 kasus,

Puskesmas Tegalalang II 2 kasus,

Puskesmas Sukawati I 34 kasus dan

Puskesmas Sukawati II 12 kasus. Dari data

tersebut Puskesmas Sukawati I

menunjukkan peringkat pertama penemuan

kasus yang terbanyak dari semua Puskesmas

yang ada di Kabupaten Gianyar.

Hal ini disebabkan karena penularan

kuman TB terjadi melalui percikan ludah

atau saat pasien TB berbicara. Hal tersebut

terkait dengan perilaku pasien TB dalam

melakukan tindakan pencegahan penularan.

Penularan yang cepat inilah yang menjadi

pemicu tingginya angka kejadian TB paru.

Keluarga memiliki peranan yang sangat vital

dalam keberhasilan penyembuhan pasien

TB. Menurut Lawrence Green (1980,

dalam Notoatmodjo, 2003) bahwa perilaku

seseorang tentang kesehatan ditentukan oleh

pengetahuan, sikap, kepercayaan dan tradisi

sebagai faktor predisposisi disamping faktor

pendukung seperti lingkungan fisik,

prasarana dan faktor pendorong yaitu sikap

dan perilaku petugas kesehatan.

Strategi penanggulangan TB yang

dikenal dengan strategi DOTS (Directly

Obseserved Treatment Short-course) telah

terbukti sebagai strategi penanggulangan

yang secara ekonomis paling efektif. Fokus

utama DOTS adalah penemuan dan

penyembuhan pasien, prioritas diberikan

kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini

akan memutuskan penularan TB dan dengan

demikian menurunkan insiden TB di

masyarakat. Menemukan dan

menyembuhkan pasien merupakan cara

terbaik dalam upaya pencegahan penularan

TB (Depkes RI, 2008). Namun pada

kenyataannya kasus TB meningkat setiap

tahunnya.

TB paru merupakan salah satu penyakit

epidemi terbanyak di Indonesia dan

pemerintah sudah menggalakkan berbagai

program untuk menanggulangi penyakit ini,

namun angka kejadian TB paru di Indonesia

masih saja tetap tinggi. Salah satu faktor

penyebabnya adalah karena rendahnya

tingkat pengtehauan pasien dan keluarga

tentang penyakit TB paru.. Berdasarkan

hasil studi pendahuluan yang peneliti

lakukan di Puskesmas Sukawati I, terjadi

peningkatan kasus TB paru yang cukup

tinggi pada tahun 2011 sebanyak 10 orang,

meningkat menjadi 24 orang pada tahun

2012 dan meningkat lagi menjadi 34 orang

pada tahun 2013. Peningkatan ini terkait

dengan tindakan pencegahan penularan

termasuk didalamnya minum obat secara

teratur. Dari 10 orang responden,

didapatkan 40% disebabkan faktor

predisposisi (pengetahuan, sikap) seperti

belum dapat mengungkapkan masalah

kesehatannya dan melakukan pencegahan

penularan dengan benar, 30% disebabkan

karena faktor pendukung (lingkungan fisik,

prasarana dan transportasi) seperti masih

ada keluarga tidak membuka jendela serta

30% disebabkan oleh faktor pendorong

(sikap dan perilaku petugas kesehatan)

seperti masih banyaknya pasien yang

Page 87: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

197

tergantung pada petugas kesehatan karena

tidak mampu merawat anggota kelurganya

yang mengalami TB. kurangnya informasi

tentang penyebab dan cara penularan TB

dari satu orang ke orang lain. (Depkes RI,

2008)

Berdasarkan uraian dan permsalahan

diatas, maka dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut: ”Faktor apakah yang

mempengaruhi peningkatan kasus TB Paru

di UPT Kesmas Sukawati I tahun 2014”

METODE

Jenis penelitian ini adalah termasuk

penelitian deskriftif yaitu suatu metode

penelitian yang dilakukan dengan tujuan

utama untuk membuat gambaran tentang

suatu keadaan secara lebih objektif.

Model pendekatan subjek yang

digunakan adalah “cross sectional” yaitu

rancangan penelitian berupa pengamatan

dan pengukuran yang dilakukan dalam

sekali waktu saja.

Penelitian dilakukan di UPT Kesmas

Sukawati I pada bulan Juni tahun 2014.

Populasi penelitian ini adalah pasien TB di

UPT Kesmas Sukawati I. Sampel sebanyak

34 orang, yang dipilih dengan teknik non

probability sampling yaitu purposive

sampling yaitu teknik penentuan sampel

dengan pertimbangan tertentu sesuai yang

dikehendaki peneliti.

Besar sampel dalam peneltian adalah 35

orang (total sampling), Alat ukur dalam

penelitian ini menggunakan lembar

kuisioner. Data primer adalah data yang

diperoleh sendiri oleh peneliti dari hasil

pengukuran, pengamatan, survey dan lain-

lain. Instrumen pengumpulan data yang

digunakan adalah pedoman. Dalam

pedoman tersebut berisikan tentang data

demografi yang meliputi usia, jenis kelamin,

dan pekerjaan serta faktor-faktor yang

mempengaruhi peningkatan kasus TB paru.

Tehnik analisa yang dipakai dengan

menggambarkan dan meringkas data dengan

cara ilmiah dalam bentuk tabel atau grafik.

Data karakteristik pasien dan data kepatuhan

menggunakan masker pada pasien TB Paru

disajikan dalam bentuk tabel distribusi

frekuensi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini terdapat sebanyak 34

responden. Semua responden yang

menderita TB paru yang bertempat tinggal

di Wilayah Kerja UPT Kesmas Sukawati I.

Berdasarkan hasil penelitian, dari 34

responden dan sudah memenuhi criteria

inklusi penelitian. Adapun karakteristik

responden yang diteliti yaitu karakteristik

berdasarkan usia, jenis kelamin, dan

pekerjaan . Lebih jelasnya dapat dilihat pada

tabel berikut :

Tabel 1. Distribusi Karakteristik responden

berdasarkan usia

No Usia f %

1 40-50 tahun 10 29

2 51-60 tahun 18 53

3 > 60 tahun 6 18

Jumlah 34 100

Berdasarkan tabel 1 di atas dari 34

responden yang diteliti, sebagian besar

responden berada dalam rentang usia 51-60

tahun yaitu sebanyak 18 orang (59 %).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan

didapatkan hasil sebagian besar responden

berada dalam rentang usia 51-60 tahun yaitu

sebanyak 18 orang (53%). Kemudian yang

berusia 40-50 tahun sebanyak 10 responden

(29%), dan berusia >60 tahun sebanyak

6 responden (18%). Hal ini menunjukan

bahwa responden sebagian besar responden

pada rentang usia dewasa tua. Bertambahnya

usia seseorang akan terjadi perubahan pada

aspek fisik, psikologis atau mental dan

semakin dewasa seseorang pengalaman

hidup juga semakin bertambah. Usia sangat

berpengaruh pada kecakapan mental dan

emosional kearah peningkatan yang lebih

tinggi. Hal ini terkait dengan

pengelompokkan umur lansia dipengaruhi

oleh faktor politik dan umur harapan hidup

Surini &Utomo (2003) dalam Azizah

(2011).

Page 88: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

198

Tabel 2.Karakteristik responden

berdasarkan jenis kelamin

No Jenis Kelamin f %

1 Laki-laki 19 56

2 Perempuan 15 44

Jumlah 34 100

Berdasarkan tabel 2 di atas, dari 34

responden yang diteliti, sebagian besar

berjenis kelamin laki-laki yaitu 19 orang

56%).

Berdasarkan tabel distribusi jenis

kelamin responden kebanyakan berjenis

kelamin laki-laki yaitu 19 orang (56%),

sisanya perempuan sebanyak 15 orang

(44%). Hal ini menunjukan bahwa

responden laki-laki lebih banyak dari pada

perempuan. Hal ini sesuai dengan Depkes

RI (2007) yang mengatakan bahwa

penderita TB paru laki-laki lebih banyak

dari pada perempuan. Hal teresebut

berkaitan dengan pola hidup dan pola

aktifitas laki-laki lebih aktif dari pada

perempuan

Tabel 3.Karakteristik responden berdasarkan

pekerjaan

No Pekerjaan f %

1 Bekerja 13 38

2 Tidak bekerja 21 62

Jumlah 34 100

Berdasarkan tabel 3 di atas, dari 34

responden yang diteliti, kebanyakan tidak

bekerja 21 orang (62%).

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan

sebagian besar responden tidak bekerja yaitu

sebanyak 21 responden (62%) dan sisanya

bekerja yaitu sebanyak 13 orang (38%).

Hasil ini sesuai dengan usia dari responden

yang kebanyakan dalam usia dewasa tua dan

dalam keadaan sakit, sehingga responden

lebih memilih istirahat dan berhenti bekerja.

Disamping hal tersebut pekerjaan juga

merupaka factor risiko terjadinya penyakit

TB paru. Hal tersebut sesuai dengan Suyo

(2010), yang mengatakan bahwa factor

pekerjaan dan lingkungan tempat kerja dapat

menjadi media penularan TB paru seperti

kelembaban udara, ventilasi dan

pencahayaan tempat kerja.

Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi

peningkatan kasus TB paru

No Faktor-Faktor f %

1 Fakto Predisposisi 15 44

2 Fakto Pendukung 11 32

3 FaktorP Pendorong 8 24

34 100

Berdasarkan tabel 6 di atas dari 34 orang

responden didapatkan bahwa sebagian besar

faktor yang mempengaruhi tingginya kasus

TB paru yaitu faktor predisposisi sebanyak

15 responden (44%). faktor pendukung

sebanyak 11 responden ( 32%), faktor

pendorong sebanyak 8 responden (24%).

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan

bahwa sebagaian besar faktor yang

mempengaruhi tingginya kasus TB paru

yaitu faktor predisposisi sebanyak 15

responden (44%). faktor pendukung

sebanyak 11 responden ( 32%), faktor

pendorong sebanyak 8 responden (24%).

Tingginya risiko penularan TB paru

berkaitan dengan usaha pencegahan

penularan yang terbentuk dalam perilaku

pasien dan keluarga.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu,

dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui pancaindera

manusia, yakni indera penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.

Pengetahuan atau kognitif merupakan

domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (overt

behaviour). Perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng daripada

perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

Orang dengan pendidikan formal yang

lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan

yang lebih tinggi dibanding orang dengan

tingkat pendidikan formal yang lebih

rendah, karena akan lebih mampu dan

mudah memahami arti dan pentingnya

Page 89: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

199

kesehatan serta pemanfaatan pelayanan

kesehatan (Fatimah, 2008).

Pengetahuan pasien tentang penyakit TB

paru, penyebab TB Paru, Gejala/Tanda

penyakit TB paru, pencegahan penyakit TB

paru, perawatan penyakit TB paru dan

Pengobatan TB paru. (Notoatmodjo, 2007).

Sikap pasien tentang pencegahan

penularan penyakit TB paru, dalam hal ini

seperti : pasien pada waktu batuk atau bersin

untuk menutup mulut dan hidung, pasien

tidak berludah dan membuang dahak

sembarangan tapi menampung dengan

ember berisi cairan membunuh kuman TBC,

alat makan dan pakaian setelah

dipergunakan direndam dengan desinfektan,

pasien dapat minum obat dengan tepat

waktu, jenis dan dosis. (Depkes RI, 2011)

Perilaku dapat terdiri atas pengetahuan,

sikap dan tindakan. Pengetahuan pasien TB

paru yang kurang tentang cara penularan,

bahaya dan cara pengobatan akan

berpengaruh terhadap sikap dan perilaku

sebagai oarng sakit dan akhirnya berakibat

menjadi sumber penularan bagi orang di

sekelilingnya. Menurut Green (dalam

Mubarak, 2006) perilaku itu dibentuk dari

tiga faktor: Faktor predisposisi

(predisposising factors) yang terwujud

dalam pengetahuan, sikap, dan sebagainya.

Faktor pendukung (enabling factors), yang

terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia

atau tidak tersedianya fasilitas kesehatan

atau sarana kesehatan, misalnya puskesmas,

obat – obatan, alat, transportasi, uang dan

sebagainya. Faktor – faktor pendorong

(reinforcing factors), yang terwujud dalam

sikap dan perilaku petugas kesehatan yang

merupakan refrensi dari perilaku

masyarakat).

Hasil tersebut diperkuat oleh Laban.Y.,

(2008) yang mengatakan bahwa usaha

pencegahan penularan TB dapat dilakukan

dengan cara memutus rantai penularan yaitu

mengobati pasien TB sampai benar-benar

sembuh serta melaksanakan pola hidup

bersih dan sehat. Pada anak balita

pencegahan diberikan dengan dengan

memberikan isoniazin selama 6 bulan. Bila

belum mendapat vaksin BCG, maka

diberikan vaksinasi BCG setelah pemberian

isoniazid selesai.

Pencegahan penularan TB terkait dengan

perilaku pasien TB itu sendiri dalam

mengendalikan pola hidupnya termasuk

minum obat. Upaya tersebut tertuang dalam

kebijakan pemerintah meliputi penemuan

pasien dan pengobatan yang dikelola dengan

menggunakan strategi DOTS (Directly

Observed Treatment Short-course) (Depkes

RI, 2008). Disamping hal tersebut juga

dilakukan upaya mengendalikan faktor

risiko terjadi nya TB paru.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan, maka dapat disimpulkan

sebagai berikut : Karakteristik responden

dengan TB Paru pada penelitian ini

terbanyak berusia pada rentang 51-60 tahun

yaitu sebanyak 18 orang (53%), berjenis

kelamin laki-laki yaitu 19 orang (56 %).

berstatus tidak bekerja yaitu sebanyak 21

orang (62%) dari 34 responden. Sebagian

besar faktor-faktor yang mempengaruhi

tingginya kasus TB paru yaitu faktor

predisposisi sebanyak 15 responden (44%).

Faktor predisposisi berdasarkan

karakteristik usia terbanyak pada usia 51-60

tahun (29%), berdasarkan karakteristik jenis

kelamin terbanyak pada jenis kelamin laki-

laki (32%) dan berdasarkan karakteristik

pekerjaan terbanyak pada tidak bekerja

( 35%.).

DAFTAR RUJUKAN Azixah, 2011, Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam, Edisi V, Jakarta : FKUI Badan Pusat Statistik, tt, MDGs Millennium

Development Goals, (online), available: http://mdgs-dev.bps.go.id

Depkes RI, 2006, Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 279/MENKES/SK/IV/2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Upaya Keperawatan Kesehatan Masyarakat di Puskesmas, (online), available :http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/.pdf, (29 Januari 2013)

Page 90: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

200

Depkes RI, 2008, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis; edisi 2 cetakan pertama, Jakarta: Depkes RI.

Depkes RI, 2011,Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta:Depkes RI

Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar,

2011, ProfilKesehatan Kabupaten Jembrana Tahun 2011, Kota Gianyar

Dinas Kesehatan Propinsi Bali, 2012,

Profil Kesehatan Propinsi Bali Tahun 2012, Kota Denpasar

Fatimah, S., 2008, Faktor Kesehatan

Lingkungan Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di kabupaten Cilacap (KecamatanSidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan,Gandrungmangu, BantasariTahun 2008, (online), available : http://eprints.undip.ac.id/24695/1/siti_fatimah.pdf, (22Desember 20012)

Friedman, M., Vicky R.B., Elaine G.J.,

2010, Keperawatan Keluarga, Riset, Teori&Praktik, Jakarta : EGC

Hidayat, A.A., 2011,Metode Penelitian

Keperawatan danTeknik Analisis Data, Jakarta:SalembaMedika

Hidayati,R.N., 2011, Hubungan Tugas

Kesehatan Keluarga, Karakteristik Keluargandan Anakdengan Status GiziBalita di Wilayah Pancoran Mas Kota Depok, (online) ,available :http://www.digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak...pdf,(22Desember 2012)

Laban, Y., 2012, Penyakit TBC & Cara

Pencegahannya, Yogyakarta: Kanisius

Notoatmodjo, S., 2003, Metodologi

Penelitian Kesehatan, Jakarta : RinekaCipta

Notoatmodjo, S., 2007, Promosi Kesehatan

dan Ilmu Keperawatan, Jakarta: Rineka Cipta

Suyo, J, .2010, Herbal Penyembuhan

Gangguan Sistem Pernafasan., Yogyakarta: B First.

Page 91: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

201

MOTIVASI IBU DALAM PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF

Nyoman Ribek

Ni Made Yanti Kumalasari

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

Email : [email protected]

Abstract : Preview Motivation Mother In Exclusive Breastfeeding. The purpose of

this study was to determine the maternal motivation in exclusive breastfeeding in the

Community Health Center I of North Denpasar. The method used was a descriptive

study with cross sectional approach. Sample was 38 mothers of infants aged 0-6

months I came to the health center with the North Denpasar purposive sampling

technique. Data was collected using a questionnaire. The results showed a large

majority of the 38 respondents mostly maternal motivation in exclusive breastfeeding

is strong that is equal to 68 %.

Abstrak: Motivasi ibu dalam pemberian ASI Eksklusif. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui motivasi ibu dalam pemberian ASI eksklusif di Puskesmas I

Denpasar Utara. Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian deskriptif dengan

pendekatan cross sectional. Sampel penelitian berjumlah 38 ibu yang memiliki bayi

usia 0-6 bulan yang datang ke Puskesmas I Denpasar Utara dengan tehnik Purposive

sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian

didapatkan dari 38 responden sebagian besar motivasi ibu dalam pemberian ASI

eksklusif adalah kuat yaitu sebesar 68 %.

Kata Kunci: motivasi ibu, ASI eksklusif

Modal dasar pembentukan manusia

berkualitas dimulai sejak janin dalam

kandungan dengan memberi nutrisi pada ibu

hamil dilanjutkan pemberian air susu ibu

(ASI) eksklusif. Menyusui secara eksklusif

adalah memberikan ASI kepada bayi selama

enam bulan penuh dan bayi tidak mendapat

makanan lain selain ASI (Soetjiningsih,

2007). Hasil studi dari 42 negara

menunjukkan bahwa ASI eksklusif memiliki

dampak terbesar terhadap penurunan angka

kematian Balita yaitu 13%, dibanding

intervensi kesehatan masyarakat lainnya

(Roesli, 2008).

ASI merupakan makanan terbaik bagi

bayi, tidak dapat diganti dengan makanan

lainnya dan tidak ada satupun makanan yang

dapat menyamai ASI baik dalam kandungan

gizinya, enzim, hormon, maupun kandungan

zat imunologik dan anti infeksi (Depkes RI,

2005). Pemberian ASI sangat penting bagi

tumbuh kembang bayi yang optimal baik

secara fisik maupun mental serta

kecerdasan, oleh karena itu pemberian ASI

perlu mendapat perhatian para ibu dan

tenaga kesehatan agar proses menyusui

dapat terlaksana dengan benar (Lestari,

2009). Menyusui bayi di Indonesia sudah

menjadi budaya namun praktik pemberian

(ASI) masih jauh dari yang diharapkan.

Banyak aspek yang mempengaruhi

pelaksanaan pemberian ASI eksklusif

diantaranya yang berhubungan dengan

pelayanan yang diperoleh di tempat bersalin,

dukungan yang diberikan oleh anggota

keluarga di rumah, banyak ibu yang belum

dibekali pengetahuan yang cukup tentang

tehnik menyusui yang benar dan manajemen

laktasi. Banyak alasan ibu tidak menyusui

bayinya karena merasa air susunya tidak

cukup, encer atau tidak keluar sama sekali

serta nyeri saat menyusui pasca salin. Ada

juga ibu yang tidak memberikan air susunya

karena kurang memahami mengenai laktasi

dan kurangnya motivasi, baik dari ibu

sendiri ataupun keluarga, khususnya suami

Page 92: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

202

(Lestari, 2009). Berdasarkan laporan

bulanan LB3 Gizi, pemberian ASI

Eksklusif di Bali terlihat adanya penurunan

yang signifikan. Pada tahun 2009 jumlah

ibu-ibu yang memberikan ASI eksklusif

77,1 %, jumlah tersebut mengalami

penurunan pada Tahun 2011 menjadi 50,3 %

bahkan Tahun 2012 menjadi 45,7 %

(Retayasa, 2012).

Permasalahan pada penelitian ini adalah

bagaimanakah gambaran motivasi ibu dalam

pemberian ASI eksklusif di Puskesmas I

Denpasar Utara Tahun 2014. Adapun

tujuannya untuk mengidentifikasi

karakteristik ibu berdasarkan umur,

pendidikan, pekerjaan dan jumlah anak,

mengidentifikasi motivasi ibu dalam

pemberian ASI eksklusif berdasarkan

karakteristik ibu.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan adalah

penelitian deskriptif yaitu suatu metode

penelitian yang bertujuan untuk

memaparkan peristiwa-peristiwa urgen yang

terjadi dimasa kini, deskripsi peristiwa

disajikan secara apa adanya tanpa

memanipulasi dan peneliti tidak mencoba

menganalisis bagaimana dan mengapa

fenomena tersebut bisa terjadi, sehingga

tidak perlu adanya hipotesis. Pendekatan

yang digunakan yaitu cross sectional

dimana peneliti hanya sekali melakukan

pengukuran terhadap subyek penelitian.

Penelitian dilaksanakan di Puskesmas I

Denpasar Utara. Pengumpulan data

dilaksanakan mulai pada minggu pertama

bulan Mei sampai minggu keempat bulan

Juni 2014.

Populasi dalam penelitian ini adalah

semua ibu yang memiliki bayi usia 0-6

bulan yang datang ke Puskesmas I Denpasar

Utara. Sampel dipilih dengan metoda

purposive sampling yang disebut juga

disebut juga dengan Judgement sampling

yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan

cara memilih sampel diantara populasi

sesuai dengan yang dikehendaki peneliti

(tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga

sampel tersebut dapat mewakili karakteristik

populasi yang telah dikenal sebelumnya.

Pengambilan sampel selama dua bulan di

dapatkan sebanyak 38 orang. Data

dikumpulkan dengan lembar kuesioner

untuk mengetahui motivasi ibu dalam

pemberian ASI eksklusif. Data yang sudah

diolah kemudian dianalisis dengan analisis

statistik deskriptif yaitu statistik yang

digunakan untuk menganalisis data dengan

cara mendeskripsikan/ menggambarkan data

yang telah terkumpul sebagaimana adanya

tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang

bersifat umum dan dituangkan dalam bentuk

narasi dan tabel untuk mengetahui frekuensi

kejadian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini akan membahas

Motivasi ibu dalam pemberian ASI eksklusif

berdasarkan umur, pendidikan, pekerjaan

dan jumlah anak, seperti uraian berikut ini:

Tabel 1. Motivasi ibu dalam pemberian ASI

eksklusif

No Motivasi Ibu Jumlah

f %

1 Kuat 26 68

2 Cukup 6 16

3 Lemah 6 16

JUMLAH 38 100,0

Berdasarkan tabel 1 dari 38 responden

dapat dijelaskan 68 % responden memiliki

motivasi yang kuat dalam pemberian ASI

eksklusif dan 16 % responden memiliki

motivasi yang cukup dan kurang. Motivasi

ibu dalam pemberian ASI eksklusif dari 38

responden didapatkan sebagian besar ibu

memiliki motivasi yang kuat dalam

pemberian ASI eksklusif yaitu sebanyak 26

orang (68 %). Motivasi sangat diperlukan

oleh setiap orang sebagai pendorong untuk

mencapai tujuan tertentu. Motivasi adalah

perubahan energy dalam diri seseorang yang

ditandai dengan munculnya “Feeling” dan

didahului dengan tanggapan terhadap

adanya tujuan. Hasil penelitian ini didapat

menunjukkan bahwa setiap ibu harus

mempunyai dorongan, keingninan atau

kemauan dalam memberikan ASI secara

Page 93: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

203

eksklusif, dimana menurut peneliti

keberhasilan dalam memberikan ASI

eksklusif sangat dipengaruhi oleh motivasi

dari ibu sendiri.

Tabel 2. Distribusi Motivasi Ibu Dalam Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Umur

No Motivasi Ibu

Umur Jumlah

< 20 Tahun 20-35 Tahun >35 Tahun

f % f % f % f %

1 Kuat 3 7,9 20 52,6 3 7,9 26 68,4

2 Cukup 0 0,0 6 15,8 0 0,0 6 15,8

3 Lemah 0 0,0 5 13,2 1 2,6 6 15,8

JUMLAH 3 7,9 31 81,6 4 10,5 38 100,0

Berdasarkan karakteristik umur dari 38

responden dapat dijelaskan bahwa 20

(52,6%) motivasi ibu dalam pemberian ASI

eksklusif adalah kuat ada pada ibu yang

berumur 20-35 tahun. Motivasi seseorang

dalam mencapai tujuan dipengaruhi oleh

umur, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan

dan peran tenaga kesehatan. Hasil penelitian

ini menunjukkan berdasarkan karakteristik

umur dari 38 responden dapat diketahui

bahwa motivasi ibu dalam pemberian ASI

eksklusif terbanyak adalah kuat ada pada ibu

yang berumur 20-35 tahun yaitu sebanyak

20 orang atau 52,6%. Hal ini terkait dengan

masa produktif dan semakin dewasa

seseorang pengalaman hidup juga semakin

bertambah serta dimungkinkan kemampuan

analisis dari seseorang akan bertambah

sehingga pengetahuan serta motivasi juga

semakin bertambah.

Tabel 3. Distribusi Motivasi Ibu Dalam Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Pendidikan

No Motivasi Ibu

Pendidikan Jumlah

SD SMP SMA PT

f % f % f % f % f %

1 Kuat 2 5,3 3 7,9 10 26,3 11 28,9 26 68,4

2 Cukup 0 0,0 3 7,9 3 7,9 0 0,0 6 15,8

3 Lemah 2 5,3 2 5,3 2 5,3 0 0,0 6 15,8

JUMLAH 4 10,4 8 21,1 15 39,5 11 28,9 38 100,0

Berdasarkan karakteristik pendidikan

dari 38 responden dapat dijelaskan bahwa 11

(28,9%) motivasi ibu dalam pemberian ASI

eksklusif adalah kuat ada pada ibu yang

memiliki pendidikan tinggi (PT). Motivasi

juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan

seseorang, dimana hasil penelitian ini

menunjukkan dari 38 responden dapat

diketahui bahwa motivasi ibu dalam

pemberian ASI eksklusif terbanyak adalah

kuat ada pada ibu yang memiliki pendidikan

tinggi yaitu sebanyak 11 orang atau 28,9%.

Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan

tinggi akan berpengaruh pada tingkat

motivasinya. Tingkat pendidikan tinggi,

maka tingkat motivasi juga akan tinggi.

Pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi

tingkat pengetahuan ibu dan selanjutnya

mempengaruhi motivasi yang dimilikinya.

Selama menempuh pendidikan formal akan

terjalin hubungan baik secara sosial atau

interpersonal yang akan berpengaruh

terhadap wawasannya, dengan pendidikan

yang tinggi, otomatis pengetahuan yang

dimiliki juga banyak, maka informasi yang

diperoleh akan mudah diterima dengan baik

Page 94: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

204

sehingga motivasi dari dalam diri ibu juga

tinggi. Penelitian ini menunjukkan bahwa

sebagian besar ibu memiliki tingkat

pengetahuan baik (63,0%) dan memiliki

motivasi yang kuat dalam pemberian ASI

eksklusif (51,1%). Pada analisis korelasi

didapatkan adanya hubungan yang

bermakna antara tingkat pengetahuan

dengan motivasi ibu dalam pemberian ASI

eksklusif (p=0,003).

Tabel 4. Distribusi Motivasi Ibu Dalam Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Pekerjaan

No Motivasi Ibu

Pekerjaan Jumlah

Tidak Bekerja Swasta Wiraswasta PNS/ABRI

f % f % f % f % f %

1 Kuat 9 23,7 7 18,4 4 10,5 6 15,8 26 68,4

2 Cukup 2 5,3 0 0,0 2 5,3 2 5,3 6 15,8

3 Lemah 5 13,2 0 20,0 0 0,0 1 2,6 6 15,8

JUMLAH 16 42,1 7 18,4 6 15,8 9 23,7 38 100,0

Berdasarkan karakteristik pekerjaan dari

38 responden dapat dijelaskan bahwa 9

(23,7%) motivasi ibu dalam pemberian ASI

eksklusif adalah kuat ada pada ibu yang

tidak bekerja

Tabel 5. Motivasi Ibu Dalam Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Jumlah Anak

No Motivasi Ibu

Jumlah Anak Jumlah

1 Orang 2 Orang 3 Orang 4 Orang

f % f % f % f % f %

1 Kuat 9 23,7 8 21,1 7 18,4 2 5,3 26 68,4

2 Cukup 5 13,2 1 2,6 0 0,0 0 0,0 6 15,8

3 Lemah 1 2,6 2 5,3 3 7,9 0 0,0 6 15,8

JUMLAH 15 39,5 11 28,9 10 26,3 2 5,3 38 100,0

Berdasarkan karakteristik pekerjaan

dari 38 responden dapat dijelaskan bahwa 9

(23,7%) motivasi ibu dalam pemberian ASI

eksklusif adalah kuat ada pada ibu yang

memiliki satu orang anak. Selain umur dan

tingkat pendidikan, motivasi ibu dalam

pemberian ASI eksklusif berkaitan erat

dengan pekerjaan atau pengalaman

sebelumnya (jumlah anak yang dimiliki).

Bila dilihat dari segi pekerjaan hasil

penelitian menunjukkan dari 38 responden

dapat diketahui bahwa motivasi ibu dalam

pemberian ASI eksklusif terbanyak adalah

kuat ada pada ibu yang tidak bekerja yaitu

sebanyak 9 orang atau 23,7% dan motivasi

kuat ada pada ibu yang memiliki satu orang

anak yaitu sebanyak 9 orang atau 23,7%.

Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang tidak

bekerja dan memiliki satu orang anak

memiliki banyak kesempatan untuk

memberikan ASI kepada bayinya.

Page 95: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

205

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa dari 38 responden

sebagian besar motivasi ibu dalam

pemberian ASI eksklusif adalah kuat yaitu

sebesar 68,0 %. Motivasi ibu berdasarkan

karakteristiknya didapatkan berdasarkan

umur motivasi kuat ada pada ibu yang

berumur 20-35 tahun (52,6%), berdasarkan

pendidikan motivasi kuat ada pada ibu yang

memiliki pendidikan tinggi (28,9%),

berdasarkan pekerjaan motivasi kuat ada

pada ibu yang tidak bekerja (23,7%) dan

motivasi kuat ada pada ibu yang memiliki

satu orang anak (23,7%).

DAFTAR RUJUKAN Departemen Kesehatan R.I. 2005. Petunjuk

Pelaksanaan Peningkatan ASI Eksklusif Bagi Petugas Puskesmas. Jakarta. Depkes R.I.

Lestari, Z. 2009. Faktoryang Berhubungan

dengan Motivasi Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu yang Melahirkan di RS UNHAS : http://ridwanamiruddin.wordpress.com, (5 Maret 2014).

Retayasa. 2005. Menurun, Ibu – Ibu Beri

ASI Bayinya. 28 November 2005. http://www.balipost.com, (5 Maret

2014). Roesli,T. 2008. Inisiasi Menyusu Dini,

Jakarta: EGC Soetjiningsih. 2007. ASI Petunjuk untuk

Tenaga Kesehatan. Jakarta : EGC

Page 96: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

206

MOTIVASI WANITA USIA SUBUR UNTUK MELAKUKAN

PEMERIKSAAN INSPEKSI VISUAL ASAM ASETAT

Ni Nyoman Hartati

Nengah Runiari

Anak Agung Ketut Parwati

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

E-Mail : [email protected]

Abstract : Motivation Women Eligible To Perform Inspection Visual Inspection

Acetic Acid. This study aims to identify the description of the motivation of women of

childbearing age to do a visual inspection of acetic acid in Banjar Tangguntiti

Puskesmas II East Denpasar. This study is a descriptive study using a cross sectional

design. This study was conducted in June 2014 using simple random sampling

technique to sample as many as 55 people, and a questionnaire for data collection.

The results showed that women of childbearing age in Banjar Tangguntiti as many as

29 people (52.7%) had a level of motivation was, as many as 20 people (36.4%) had

a high level of motivation, and as many as 6 people (10.9%) had levels low

motivation to do avisual inspection of acetic acid

Abstrak : Motivasi Wanita Usia Subur Untuk Melakukan Pemeriksaan Inspeksi

Visual Asam Asetat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran

motivasi wanita usia subur untuk melakukan pemeriksaan inspeksi visual asam asetat

di Banjar Tangguntiti wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Timur. Penelitian ini

merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan cross sectional.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2014 menggunakan teknik Simple Random

Sampling dengan sampel sebanyak 55 orang, dan menggunakan kuesioner untuk

pengumpulan data. Hasil penelitian menunjukan bahwa wanita usia subur di Banjar

Tangguntiti sebanyak 29 orang (52,7%) memiliki tingkat motivasi sedang, sebanyak

20 orang (36,4%) memiliki tingkat motivasi tinggi, dan sebanyak 6 orang (10,9%)

memiliki tingkat motivasi rendah untuk melakukan pemeriksaan IVA.

Kata kunci : Motivasi, Wanita Usia Subur, pemeriksaan IVA

Kanker serviks (karsinoma serviks

uterus) di Indonesia lebih dikenal dengan

sebutan kanker leher rahim. Kanker serviks

merupakan tumor ganas yang tumbuh di

dalam leher rahim (serviks), yaitu bagian

terendah dari rahim yang menempel pada

puncak vagina. Kanker serviks merupakan

masalah kesehatan yang penting bagi wanita

di seluruh dunia. Kanker ini adalah kanker

kedua yang paling umum pada perempuan

yang dialami oleh lebih dari 1,4 juta

perempuan diseluruh dunia. Setiap tahun

lebih dari 460.000 kasus terjadi dan sekitar

231.000 perempuan meninggal karena

penyakit tersebut (Kemenkes, 2013).

Di Indonesia sendiri, diperkirakan ada

15.000 kasus baru kanker serviks terjadi

setiap tahunnya, dengan angka kematiannya

diperkirakan 7.500 kasus pertahun. Selain

itu, setiap harinya diperkirakan terjadi 41

kasus baru kanker serviks dan 20 perempuan

meninggal dunia karena penyakit tersebut

(Manuaba, 2001). Berdasarkan data yang

diperoleh kanker leher rahim menempati

urutan kedua dari kanker pada wanita.

Angka estimasi insiden rate kanker leher

rahim di beberapa kota di Indonesia antara

lain Jakarta sebanyak 100/100.000, Bali

sebanyak 152/100.000, Tasikmalaya

360/100.000 dan Sidoarjo 49/100.000

(Kemenkes, 2013).

Page 97: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

207

Kanker serviks merupakan penyakit

yang perkembangannya terjadi secara

bertahap dan lambat, namun bersifat

progresif. Pada tahap awal

perkembangannya, sering kali wanita tidak

mengalami gejala atau tanda yang khas. Hal

inilah yang menyebabkan kebanyakan

wanita baru akan menyadari keadaan

penyakitnya ketika penyakit telah memasuki

stadium lanjut (Sukaca, 2009).

Sesuai dengan perkembangan

penyakitnya yang bersifat lambat, jika

wanita dapat mendeteksi kanker serviks

sejak dini, maka perkembangan sel-sel

kanker ke arah yang progresif pun dapat

dicegah (Wijaya,2010). Salah satu metode

pendeteksian kanker serviks adalah dengan

pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat

(IVA). IVA merupakan salah satu cara

melakukan tes kanker leher rahim.

Kelebihan dari tes yang menggunakan asam

asetat ini adalah kesederhanaan teknik

dengan tingkat sensitifitas yang tinggi dan

kemampuan untuk memberikan hasil segera

kepada ibu (Kemenkes, 2013).

Upaya penanggulangan penyakit kanker

serviks telah dilakukan yaitu dengan

melakukan program skrining kanker serviks,

namun hasil-hasil penelitian di beberapa

negara masih menunjukkan kurangnya

partisipasi wanita untuk mengikuti program

skrining. Sebagian besar penderita kanker

datang sudah dalam stadium lanjut sehingga

prosesnya sulit atau tak mungkin lagi

disembuhkan (Rasjidi, 2008).

Tindakan wanita usia subur (WUS)

untuk melaksanakan pemeriksaan IVA

untuk deteksi dini kanker serviks dapat

dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti

faktor internal (dari dalam dirinya sendiri),

yaitu : pengetahuan dan motivasi. Setiap

tindakan yang dilakukan oleh manusia selalu

di mulai dengan motivasi. Motivasi dapat

diartikan sebagai suatu keinginan yang

terdapat pada diri seorang individu yang

mendorongnya untuk melakukan perbuatan-

perbuatan, tindakan, tingkah laku atau

perilaku (Notoatmojo, 2009).

Saat ini pemeriksaan IVA dapat

dilakukan di pusat-pusat pelayanan

kesehatan seperti Rumah Sakit dan

Puskesmas. Dengan mudahnya akses untuk

melakukan pemeriksaan IVA, diharapkan

partisipasi wanita usia subur untuk

melakukan pemeriksaan ini semakin

meningkat.Selain kemudahan akses untuk

mendapatkan pelayanan pemeriksaan IVA

upaya lain yang juga dilakukan untuk

meningkatkan motivasi WUS untuk deteksi

dini kanker serviks diantaranya melalui

penyebarluasan informasi dan edukasi

kepada semua pihak baik kepada WUS, dan

juga keluarga.

Hasil penelitian sejenis yang dilakukan

oleh Pasaribu (2013), yang meneliti tentang

gambaran pengetahuan Ibu usia 25-40

tentang pemeriksaan Inspeksi Visual Asam

Asetat (IVA) di Lingkungan XIII Kelurahan

Tegal Sari Mandala II Kecamatan Medan

Denai, diperoleh bahwa : berdasarkan

pengetahuan cukup paling banyak 38 orang

51,36%, berdasarkan umur 25-30 tahun

sebanyak 39 orang dengan pengetahuan

cukup sebanyak 19 orang (48,71%),

berdasarkan pendidikan SMA sebanyak 41

orang dengan berpengetahuan cukup

sebanyak 22 orang (53,66%), berdasarkan

pekerjaan ibu rumah tangga sebanyak 67

orang dengan pengetahuan cukup sebanyak

35 orang (52,23%), berdasarkan paritas

multipara sebanyak 35 responden dengan

berpengetahuan cukup sebanyak 20 orang

(57,14%), dan berdasarkan sumber

informasi dari tenaga kesehatan sebanyak 33

orang dengan berpengetahuan cukup

sebanyak 16 orang (48,48%).

Berdasarkan data yang peneliti dapat di

Dinas kesehatan Kota Denpasar, pada tahun

2013 pemeriksaan IVA yang dilakukan di

pusat-pusat pelayanan kesehatan yang ada di

Denpasar sebanyak 4.485 orang dan

sebanyak 71 orang hasil positif yang

dikonsulkan dan dikrioterapi. Dan dari data

yang ada di Puskesmas II Denpasar Timur,

pada bulan Pebruari 2013 dilaksanakan

pemeriksaan IVA gratis terhadap 200 orang

dan didapatkan sebanyak delapan orang

hasilnya positif. Wilayah kerja Puskesmas II

Denpasar Timur meliputi 60 banjar dengan

jumlah WUS yang sudah menikah sebanyak

Page 98: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

208

12.251 orang. Banjar Tanguntiti salah satu

banjar di wilayah kerja Puskesmas II

Denpasar Timur dengan jumlah WUS yang

telah menikah di wilayah ini sebanyak 125

orang dan jumlah WUS yang telah

melakukan pemeriksaan IVA hanya lima

orang. Dari studi pendahuluan yang peneliti

lakukan di Banjar Tanguntiti wilayah kerja

Puskesmas II Denpasar Timur dengan

wawancara secara langsung kepada 10 orang

WUS diperoleh hasil sebagai berikut :

sebanyak dua orang sudah melakukan tes

IVA, sebanyak lima orang WUS

berkeinginan untuk melakukan pemeriksaan

IVA tetapi belum sempat dan tiga orang

merasa takut untuk melakukan pemeriksaan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui gambaran motivasi wanita usia

subur untuk melakukan pemeriksaan

inspeksi visual asam asetat.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif dengan menggunakan rancangan

cross sectional. Penelitian ini dilakukan di

Banjar Tangguntiti wilayah kerja

Puskesmas II Denpasar Timur, Sampel

dalam penelitian ini adalah wanita usia

subur yang telah menikah dan memenuhi

kriteria sebanyak 55 orang yang didapat

menggunakan propability sampling dengan

teknik Simple Random Sampling dan

menggunakan kuesioner untuk pengumpulan

data. Data yang sudah diolah dianalisa

dengan analisis deskriptif yaitu analisa yang

digunakan dengan menggambarkan keadaan

dari variabel yang diteliti, disajikan dalam

bentuk distribusi frekuensi dan tabulasi

silang dilengkapi dengan persentasenya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian dilaksanakan di Banjar

Tangguntiti wilayah kerja Puskesmas II

Denpasar Timur. Banjar Tangguntiti bagian

dari wilayah Desa Kesiman Kertalangu,

Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar

dengan jumlah penduduk di Banjar

Tangguntiti sebanyak 726 jiwa terdiri dari

365 orang laki-laki, 361 orang perempuan,

dan terbagi dalam 152 KK.

Karkarakteristik responden yang

meliputi umur, pendidikan, pekerjaan dan

paritas yang telah diteliti dapat dilihat pada

tabel distribusi frekuensi sebagai berikut :

Tabel 1.Distribusi Wanita Usia Subur Untuk

Melalukan Pemeriksaan IVA

Berdasarkan Umur

No. Umur

WUS

Frekuensi

(f)

Persentase

(%)

1. < 20 Th 1 1,8

2. 20–35Th 34 61,8

3. > 35 Th 20 36,4

TOTAL 55 100

Berdasarkan tabel 1 di atas dari 55

responden didapatkan umur wanita usia

subur terbanyak pada rentang umur 20 - 35

tahun sebanyak 34 orang (61,8%), dan

hanya ada 1 orang (1,8%) pada umur kurang

dari 20 tahun

Tabel 2.Distribusi Wanita Usia Subur

Untuk Melakukan Pemeriksaan

IVA Berdasarkan Pendidikan

Berdasarkan tabel 2 di atas dari 55

responden didapatkan tingkat pendidikan

terbanyak adalah tingkat pendidikan SMA

sebanyak 28 orang (50,9%), sedangkan

pendidikan Perguruan Tinggi hanya 5 orang

(9,1%).

Tabel 3.Distribusi Wanita Usia Subur Untuk

Melakukan Pemeriksaan IVA

Berdasarkan Pekerjaan

No. Tingkat

Pendidikan

Frekuensi

(f)

Persentase

(%)

1. SD 14 25,5

2. SLTP 8 14,5

3. SMA 28 50,9

4. Perguruan Tinggi 5 9,1

TOTAL 55 100

No. Pekerjaan Frekuensi

(f)

Persentase

(%)

1. Tidak Bekerja 12 21,8

2. Bekerja 43 78,2

TOTAL 55 100

Page 99: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

209

Berdasarkan tabel 3 di atas dari 55

responden sebagian besar yaitu sebanyak 43

orang (78,2 %) bekerja dan 12 orang (21,8

%) yang hanya sebagai ibu rumah tangga.

Tabel 4.Distribusi Wanita Usia Subur untuk

Melakukan pemeriksaan IVA

Berdasarkan Paritas

Berdasarkan tabel 4 di atas dari 55

responden sebagian besar sudah melakukan

persalinan lebih dari satu kali yaitu sebanyak

38 orang (69,1%), dan ada 1 orang (1,8%)

sudah melahirkan lima kali.

Hasil pengamatan terhadap subyek

penelitian berdasarkan variabel penelitian

dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 5.Distribusi Wanita Usia Subur

Berdasarkan Motivasi Untuk

Melakukan Pemeriksaan IVA

No. Tingkat

Motivasi

Frekuensi

(f)

Persentase

(%)

1. Tinggi 20 36,4

2. Sedang 29 52,7

3. Rendah 6 10,9

Total 55 100

Berdasarkan tabel 5 di atas dapat

diketahui bahwa sebagian besar responden

yaitu sebanyak 29 orang (52,7%) memiliki

tingkat motivasi sedang, dan sebanyak 20

orang (36,4%) memiliki motivasi tinggi, dan

ada sebanyak 6 orang (10,9%) yang

memiliki motivasi rendah.

Analisis data bertujuan untuk melihat

gambaran motivasi wanita usia subur untuk

melakukan pemeriksaan IVA berdasarkan

karakteristik responden, sebagai berikut :

Tabel 6.Distribusi Tingkat Motivasi WUS

Untuk Melakukan Pemeriksaan

IVA Berdasarkan Umur

No,

Umur

Tingkat Motivasi Total

Tinggi Sedang Rendah

f % f % f % f %

1. <20

Th 0 0 1 100 0 0 1 100

2. 20–35

Th 14 41,2 17 50,0 3 8,8 34 100

3. > 35

Th 6 30,0 11 55,0 3 15,0 20 100

Total 20 36,4 29 52,7 6 10,9 55 100

Berdasarkan tabel 6 di atas dapat

diketahui bahwa tingkat motivasi tinggi

pada rentang umur 20 – 35 tahun sebanyak

14 orang (41,2%) persentasenya lebih tinggi

dari pada umur > 35 tahun sebanyak 6 orang

(30,0%), sedangkan untuk tingkat motivasi

sedang pada umur > 35 tahun sebanyak 11

orang (55,0%) persentasenya lebih tinggi

dari pada rentang umur 20 – 35 tahun

sebanyak 17 orang (50,0%).

Tabel 7.Distribusi Tingkat Motivasi WUS

untuk Melakukan Pemeriksaan

IVA Berdasarkan Pendidikan

No

.

Pdd

k

Tingkat Motivasi Total

Tinggi Sedang Rendah

f % f % f % f %

1. SD 2 14,

3

8 57,

1

4 28,

6

1

4

10

0

2. SLTP 2 25,

0

5 62,

5

1 12,

5

8 10

0

3. SMA 1

2

42,

9

1

5

53,

6

1 3,6 2

8

10

0

4.

PT 4 80,

0

1 20,

0

0 0 5 10

0

TOTAL 2

0

36,

4

2

9

52,

7

6 10,

9

5

5

10

0

Berdasarkan tabel 7 di atas dapat

diketahui bahwa tingkat motivasi tinggi

persentasenya meningkat dari pendidikan

SD sebanyak 2 orang (14,3%), pendidikan

No. Paritas Frekuensi

(f)

Persentase

(%)

1. Belum pernah

melahirkan 6 10,9

2. Primipara (1 kali) 10 18,2

3. Multipara (> 1

kali) 38 69,1

4. Grandemultipara

(>5 kali) 1 1,8

Total 55 100

Page 100: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

210

SLTP sebanyak 2 orang (25,0%),

pendidikan SMA sebanyak 12 orang

(42,9%), dan berpendidikan Perguruan

Tinggi sebanyak 4 orang (80,0%).

Sedangkan persentase tingkat pendidikan

rendah sebaliknya yaitu tingkat pendidikan

SD sebanyak 4 orang (28,6%), pendidikan

SLTP sebanyak 1 orang (12,5%),

pendidikan SMA sebanyak 1 orang (3,6%),

dan untuk yang Perguruan Tinggi tidak ada.

Tabel 8.Distribusi Tingkat Motivasi WUS

untuk Melakukan Pemeriksaan IVA

Berdasarkan Pekerjaan

Berdasarkan tabel 8 di atas dapat

diketahui bahwa tingkat motivasi tinggi

persentasenya lebih tinggi pada responden

yang bekerja sebanyak 19 orang (44,2%)

dan yang tidak bekerja sebanyak 1 orang

(8,3%), sedangkan untuk tingkat motivasi

sedang persentasenya lebih tinggi pada

responden tidak bekerja sebanyak 7 orang

(58,3%) dan yang bekerja sebanyak 22

orang (51,2%).

Tabel 9.Distribusi Tingkat Motivasi WUS

untuk Melakukan Pemeriksaan IVA

Berdasarkan Paritas

No.

Paritas

Tingkat Motivasi Total

Tinggi Sedang Rendah

f % f % f % f %

1. 0 kali 2 33,4 3 50,0 1 16,7 6 100

2. 1 kali 6 60,0 4 40,0 0 0 10 100

3. >1kl 12 31,6 22 57,9 4 10,5 38 100

4. > 5 kl 0 0 0 0 1 10,0 1 100

TOTAL 20 36,4 29 52,7 6 10,9 55 100

Berdasarkan tabel 9 diatas dapat

diketahui bahwa tingkat motivasi tinggi

persentasenya lebih tinggi pada responden

primipara sebanyak 6 orang (60,0%) dan

responden yang belum pernah melahirkan

sebanyak 2 orang (33,4%),

Berdasarkan penelitian, Motivasi wanita

usia subur untuk melakukan pemeriksaan

IVA berdasarkan umur dapat diketahui

bahwa tingkat motivasi tinggi pada rentang

umur 20 – 35 tahun persentasenya lebih

tinggi dari pada yang umur > 35 tahun,

sedangkan untuk tingkat motivasi sedang

pada rentang umur 20 – 35 tahun

persentasenya lebih rendah dari pada yang

umur > 35 tahun

Menurut Hardiwinoto (2012), umur atau

usia adalah satuan waktu yang mengukur

waktu keberadaan suatu benda atau

makhluk. Umur manusia diukur sejak dia

lahir hingga waktu umur itu dihitung.

Semakin bertambah umur seseorang

pengalaman hidup juga semakin bertambah

serta pengetahuan dan wawasan akan lebih

luas.

Menurut asumsi peneliti lebih tingginya

tingkat motivasi tinggi wanita usia subur

untuk melakukan pemeriksaan IVA pada

rentang umur 20 – 35 tahun dibanding umur

> 35 tahun disebabkan karena semakin

bertambah umur belum tentu semakin

bertambah pengalaman maupun

pengetahuan wanita usia subur, karena

pengalaman dan pengetahuan seseorang

tentang pemeriksaan IVA tergantung dari

informasi yang didapat sesorang.

Tetapi hal ini berbeda dengan penelitian

Pasaribu (2013), tentang gambaran

pengetahuan Ibu usia 25-40 tentang

pemeriksaan IVA berdasarkan umur dimana

responden pengetahuan baik dan cukup

meningkat dari umur 25-30 tahun, umur 31-

35 tahun dan umur 36-40 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian, Motivasi

wanita usia subur untuk melakukan

pemeriksaan IVA berdasarkan pendidikan

dapat diketahui bahwa tingkat motivasi

tinggi meningkat dari pendidikan SD

sebanyak 2 orang (14,3%), pendidikan

SLTP sebanyak 2 orang (25,0%),

pendidikan SMA sebanyak 12 orang

(42,9%), dan berpendidikan Perguruan

Tinggi sebanyak 4 orang (80,0%).

No

.

Pekerja

Tingkat Motivasi Total

Tinggi Sedang Rendah

f % f % f % f %

1. Tidak

Bekerja 1 8,3 7 58,3 4 33,3 12 100

2. Bekerja 19 44,2 22 51,2 2 4,7 43 100

Total 20 36,4 29 52,7 6 10,9 55 100

Page 101: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

211

Salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi tingkat motivasi seseorang

adalah pendidikan hal ini diungkap oleh

Ferlian (2011), semakin tinggi pendidikan

seseorang menjadikan seseorang akan

memiliki pengetahuan yang luas dan pola

pikirnya terbangun dengan baik. Pendidikan

merupakan salah satu faktor penting yang

mendorong seseorang untuk lebih perduli

dan termotivasi untuk meningkatkan derajat

kesehatan dirinya termasuk dalam hal

melakukan pemeriksaan IVA sebagai salah

satu metode deteksi dini kanker serviks.

Seperti juga penelitian Pasaribu (2013),

tentang tentang gambaran pengetahuan Ibu

usia 25-40 tentang pemeriksaan Inspeksi

Visual Asam Asetat berdasarkan pendidikan

dimana semakin tinggi tingkat pendidikan

semakin baik pengetahuan responden

tentang pemeriksaan IVA.

Menurut asumsi peneliti, bahwa

meningkatnya persentase tingkat motivasi

tinggi dari tingkat pendidikan SD sampai

Perguruan Tinggi, disebabkan karena tingkat

pendidikan sangat mempengaruhi seseorang

untuk mendapatkan informasi. Semakin

tinggi pendidikan seseorang kemampuan

untuk menerima informasi semakin baik dan

mengadaptasi informasi semakin mudah

sehingga motivasi untuk melakukan

pemeriksan IVA tinggi.

Motivasi Wanita Usia Subur untuk

melakukan pemeriksaan IVA berdasarkan

pekerjaan dapat ketahui bahwa tingkat

motivasi tinggi pada wanita usia subur yang

bekerja lebih tinggi dari wanita usia subur

yang tidak bekerja, sedangkan untuk tingkat

motivasi sedang pada responden tidak

bekerja lebih tinggi dari responden yang

bekerja.

Motivasi untuk melakukan pemeriksaan

IVA, dapat muncul dalam diri seseorang

akibat adanya keinginan terbebas dari

masalah dan adanya interaksi dengan orang

lain dan lingkungan sekitar. Hal ini sesuai

dengan teori motivasi menurut Mc Clelland

(Notoatmojo, 2009), bahwa motif primer

secara alamiah akan timbul pada setiap

individu, sedangkan motif skunder

merupakan motif yang timbul pada diri

individu akibat interaksi dengan orang lain.

Seseorang yang melakukan pekerjaan

keluar rumah akan berinteraksi dengan

orang lain dan lingkungan disekitar yang

dapat memberikan informasi yang

menambah wawasan dan pengetahuan

sehingga dapat memotivasi seseorang untuk

melakukan pemeriksaan IVA.

Bekerja selain dapat berinteraksi dengan

orang lain dan lingkungan disekitar juga

dengan bekerja dapat memberikan

penghasilan, sehingga penghasilan tersebut

dapat dipergunakan untuk memenuhi

kebutuhan hidup dan kebutuhan lain

termasuk biaya untuk melakukan

pemeriksaan IVA.

Hasil penelitian Pasaribu (2013) juga

menunjukan responden yang hanya sebagai

ibu rumah tangga memiliki pengetahuan

baik dan cukup yang persentase lebih tinggi

dari yang berpengetahuan kurang.

Tingginya tingkat motivasi sedang pada

wanita usia subur yang hanya sebagai ibu

rumah tangga juga dapat disebabkan karena

ibu rumah tangga yang tidak bekerja walau

lebih banyak waktunya di rumah namun

banyak informasi yang bisa didapat dari

media cetak, media elektronik, tenaga

kesehatan dan keluarga atau teman.

Motivasi Wanita Usia Subur untuk

melakukan pemeriksaan IVA berdasarkan

paritas dapat ketahui bahwa tingkat motivasi

tinggi pada responden yang melahirkan anak

baru satu kali sebanyak 6 orang (60,0%)

persentasenya lebih tinggi dari responden

yang belum pernah melahirkan sebanyak 2

orang (33,4%) dan responden yang

melahirkan anak lebih dari satu kali

sebanyak 12 orang (31,6%).

Perempuan yang melahirkan lebih

banyak anak akan memiliki risiko yang lebih

tinggi untuk terkena kanker serviks, hal ini

dapat terjadi karena perlukaan dan terauma

akibat proses melahirkan. (Kemenkes,

2010).

Adanya penyuluhan dan banyaknya

informasi tentang kesehatan termasuk

informasi mengenai bahaya kanker serviks

dan manfaat pemeriksaan IVA sebagai salah

Page 102: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

212

satu metode deteksi dini yang dapat

mencegah terjadinya kanker serviks, akan

meningkatkan motivasi wanita usia subur

yang telah melakukan persalinan lebih dari

satu kali untuk melakukan pemeriksaan

IVA.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian gambaran

motivasi wanita usia subur untuk melakukan

pemeriksaan inspeksi visual asam asetat

(IVA) di Banjar Tangguntiti wilayah kerja

Puskesmas II Denpasar Timur tahun 2014

dapat disimpulkan sebagai berikut :

Karakteristik responden dari 55 wanita

usia subur didapatkan hasil bahwa umur

responden terbanyak adalah rentang umur

20 – 35 tahun sebanyak 34 orang (61,8%),

berdasarkan pendidikan didapatkan

pendidikan wanita usia subur terbanyak

adalah SMA sebanyak 28 orang (50,9%),

dan berdasarkan pekerjaan wanita usia subur

didapatkan yang bekerja sebanyak 43 orang

(78,2%), serta berdasarkan paritas

didapatkan sebagian besar sudah melakukan

persalinan lebih dari satu kali yaitu sebanyak

38 orang (69,1%).

Motivasi wanita usia subur untuk

melakukan pemeriksaan IVA sebagai

metode deteksi dini kanker serviks sebagian

besar memiliki tingkat motivasi sedang,

yaitu sebanyak 29 orang (52,7%).

Gambaran motivasi wanita usia subur

untuk melakukan pemeriksaan IVA

berdasarkan umur tingkat motivasi tinggi

tertinggi pada rentang umur 20 – 35 th, yaitu

: 41,2%, berdasarkan pendidikan tingkat

motivasi tinggi tertinggi pada pendidikan

Perguruan Tinggi, yaitu : 80,0%,

berdasarkan pekerjaan tingkat motivasi

tinggi tertinggi pada responden yang

bekerja, yaitu : 44,2%, dan berdasarkan

Paritas tingkat motivasi tinggi tertinggi pada

responden yang melahirkan baru satu kali. DAFTAR RUJUKAN Ferilian, Prasetya, 2011, Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Motivasi (online), available: http://prasetyaferilian.blogspot.com/2011/11/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html (14 April 2014)

Hardiwinoto, 2012, Kategori Umur,

(online), available: http://ilmu-kesehatan-masyarakat.blogspot.com/2012/05/kategori-umur.html (14 April 2014)

Kemenkes, 2010, Pedoman Teknis

Pengendalian Kanker Payudara & Kanker Leher Rahim, Jakarta: Ditjen PP&PL.

Kemenkes, 2013, Pencegahan Kanker

Payudara dan Kanker Leher Rahim, Jakarta: Ditjen PP&PL.

Manuaba, 2001, Kapita Selekta

Penatalaksanaan Rutin Obstetri Gynekologi dan KB, Jakarta: EGC.

Notoatmodjo, S., 2009, Metodologi

Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta

Rasjidi, Imam, 2008, Manual Prakanker

Serviks, Jakarta: CV Sangung Seto Pasaribu, Risani, 2013, Gambaran

Pengetahuan Ibu Usia 25-40 Tahun Tentang Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (Iva) Di Lingkungan XIII Kelurahan Tegal Sari Mandala II Kecamatan Medan Denai Tahun 2013, (online), available: http://balitbang.pemkomedan.go.id/tinymcpuk/gambar/ file/Risani.pdf (17 Maret 2014)

Sukaca, B., 2009, Cara Cerdas Menghadapi

Kanker Serviks (Leher Rahim). Yogyakarta: Genius Publisher

Sugiyono, 2010, Statistika Untuk Penelitian.

Bandung : Alfabeta Wijaya, D., 2010, Pembunuh Ganas itu

Bernama Kanker Serviks,Yogyakarta: PT. Niaga Swadaya

Page 103: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

213

PERILAKU IBU DALAM PEMBERIAN MAKANAN DENGAN

OBESITAS PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR

Putu Susy Natha Astini

I Ketut Labir

Made Bayu Oka Widiarta

Jurusan Keperawatan Politehnik Kesehatan Denpasar

Email: [email protected]

Abstract: The Mothers in Feeding Behavior With Obesity Of Children School Age. This study aimed the relationship of mothers in feeding behavior with the occurrence

of obesity in children of school age in elementary school No. 5Th

Sanur Denpasar.

This Study was on Correlational research using cross-sectional approach. The

samples was taken by total sampling. Number of samples taken were 50 respondents.

The data analyzed with correlation of Rank Spearman test. The results showed 33

mothers (66 %) most of mothers have enough knowledge level, most of the mother

have as much as 32 mothers (64%) enough attitude, and the mother have as much as

27 mothers (54%) enough action. The results of anthropometric measurements, most

of the students 33 person (66%) were obese at level 1. The Correlation Rank

Spearman test r = 0,467 with p value <0,005 showed the strong enough of

correlation. That means is strong enough relationship between mothers in feeding

behavior with the occurrence of obesity in children of school age in Elementary

School No.5Th

Sanur Denpasar.

Abstrak : Perilaku Ibu Dalam Pemberian Makanan Dengan Obesitas Pada

Anak Usia Sekolah Dasar. Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui

Hubungan perilaku ibu dalam pemberian makanan dengan terjadinya obesitas pada

anak usia Sekolah Dasar di SD Negeri 5 Sanur Denpasar. Penelitian ini merupakan

penelitian korelasional dengan pendekatan cross sectional. Tehnik sampling dengan

total sampling dengan jumlah sampel 50 orang. Data dianalisis dengan Korelasi Rank

Spearmen test. Hasil penelitian menunjukkan, 33 orang ibu (66%) memiliki tingkat

pengetahuan cukup, 32 orang ibu (64%) memiliki sikap cukup, 27 orang ibu (54%)

memiliki tindakan cukup. Berdasarkan pengukuran antropometri berat badan dan

tinggi badan siswa di SD Negeri 5 Sanur Denpasar, sebagian besar 66 % (33 orang)

siswa mengalami obesitas tingkat 1. Hasil Uji statistik korelasi Rank Spearmen r =

0,467 dengan p value < 0,005 menunjukkan korelasi yang cukup kuat. Artinya

terdapat hubungan yang cukup kuat antara perilaku ibu dalam pemberian makanan

dengan terjadinya obesitas pada anak Sekolah Dasar di SD Negeri 5 Sanur Denpasar.

Kata kunci : prilaku ibu, obesitas, usia sekolah dasar

Peningkatan kemakmuran di Indonesia

juga diikuti oleh perubahan gaya hidup dan

kebiasaan makan. Perubahan gaya hidup

yang menuju kebaratan

(westernisasi) dan pola hidup yang kurang

gerak (sedentary life style). Perubahan pola

hidup ini mengakibatkan terjadinya

perubahan pola makan yang menuju pada

pola makan tinggi kalori, lemak dan

kolesterol, terutama makanan siap saji yang

berdampak pada obesitas (Hidayati, dkk,

2005). Obesitas adalah kelebihan berat

badan sebagai akibat dari penimbunan

lemak berlebih dengan ambang batas. IMT >

27 Kg/m2,

(Depkes, 2010). Perubahan

Pola makan, terutama di kota besar, bergeser

dari pola makan tradisional ke pola makan

barat yang dapat menimbulkan mutu gizi

Page 104: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

214

yang tidak seimbang, secara potensial

mudah menyebabkan kelebihan masukan

kalori jika dikonsumsi secara berlebih.

Sampai saat ini masih ada anggapan di

masyarakat bahwa anak yang gemuk adalah

anak yang sehat. Seringkali ibu-ibu merasa

bangga kalau anaknya gemuk.

Menurut data Riset kesehatan dasar,

(Depkes, 2010), secara nasional masalah

kegemukan pada Sekolah Dasar (SD) usia 6-

12 tahun masih tinggi; 9,2 % atau lebih dari

5,0 %, untuk anak laki-laki 10,7 % dan anak

perempuan 7,7 %. Studi empiris yang

dilakukan peneliti ke sekolah-sekolah dasar

terkemuka di kota Denpasar, prevalensi

obesitas siswa-siswi di salah satu SD di

Denpasar tinggi diatas 5 % yaitu sampai

6,3%. Penelitian ini betujuan untuk

mengetahui hubungan antara perilaku ibu

dalam pemberian makanan dengan

terjadinya obesitas pada anak usia Sekolah

Dasar di SD Negeri 5 Sanur Denpasar Tahun 2012.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian

korelational yaitu: suatu penelitian yang

dilakukan untuk mengetahui bagaimana

hubungan antara perilaku ibu dalam

pemberian makanan dengan terjadinya

obesitas pada anak usia Sekolah Dasar.

Metode pendekatan yang digunakan dengan

pendekatan cross sectional.

Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri

5 Sanur Denpasar, pada bulan April sampai

Mei 2012. Populasi dalam penelitian ini

adalah setiap subyek yang memenuhi

kriteria yang telah ditetapkan yaitu: semua

ibu yang memiliki anak dengan obesitas di

kelas IV,V,VI yang bersekolah di SD Negeri

5 Sanur Denpasar, dari hasil studi

pendahuluan diperoleh jumlah ibu yang

memiliki anak dengan obesitas sebanyak 50

orang.

Tehnik sampling yang digunakan

“total sampling” yaitu pengambilan sampel

dengan mengambil semua anggota populasi

menjadi sampel penelitian. Subyek

penelitian adalah ibu-ibu siswa dan siswa

kelas IV,V dan VI SD sebanyak 50 orang.

Tehnik pengumpulan data yang digunakan

dengan cara mengisi kuesioner

pengetahuan, sikap, dan psikomotor, jenis

data yang dikumpulkan meliputi data primer

dan sekunder.

Data obesitas pada anak usia Sekolah

Dasar didapat dari hasil penimbangan berat

badan dibandingkan dengan pengukuran

tinggi badan dengan menggunakan meteran

tinggi badan. Selanjutnya Indeks Massa

Tubuh anak dihitung dengan rumus Berat

(kg) per Tinggi (m)2.

Analisa data digunakan untuk

mengetahui hubungan Prilaku ibu dalam

pemberian makanan dengan terjadinya

obesitas digunakan uji statistik korelasi

Rank Spearmen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Responden dalam penelitian ini adalah

ibu-ibu dari anak SD Negeri 5 Sanur

Denpasar dengan jumlah sampel 50 orang.

Perilaku ibu; terdiri dari pengetahuan, sikap

dan tindakan dalam pemberian makanan

dengan terjadinya obesitas pada anak usia

Sekolah Dasar di SD Negeri 5 Sanur

Denpasar 2012 disajikan dalam tabel

sebagai berikut :

Tabel 1.Tabel Silang Hubungan antara

Pengetahuan Ibu dalam Pemberian

Makanan dengan Obesitas pada

Anak Usia Sekolah Dasar

No Tingkat

Pengetahuan

Ibu dalam

Pemberian

Makanan

Pengukuran

Antropometri

BB/TB

Jumlah

Obesitas

Tingkat 1

(25-29,9)

Kg/m2

Obesitas

Tingkat 2

(> 30)

Kg/m2

f % f % f %

1 Baik 7 14 8 16 15 30

2 Cukup 25 50 9 18 34 68

3 Kurang 1 2 0 0 1 2

Jumlah 33 66 17 34 50 100

Page 105: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

215

215

Pada tabel 1, di atas, sebagian besar 68

% ibu (34 orang) memiliki tingkat

pengetahuan yang cukup, dari ibu-ibu yang

memiliki tingkat pengetahuan cukup, 50 %

anaknya mempunyai obesitas tingkat satu

dan obesitas tungkat dua 18 %,

sedangkan yang mempunyai tingkat

pengetahuan yang baik 30 %, mempunyai

obesitas tingkat satu 14 % dan tingkat dua

16 %.

Data tersebut menunjukkan sebagian

besar ibu memiliki pengetahuan yang cukup

mengenai pemberian makanan pada anak

usia Sekolah Dasar, pernyataan diatas juga

sesuai dengan hasil penelitian tentang

karakteristik ibu tentang pendidikan

responden, 30 orang ibu (60%) memiliki

latar belakang pendidikan tamat SMA yang

artinya pegetahuan ibu pada jenjang tersebut

sudah dianggap berpendidikan karena di

Indonesia batas minimal program wajib

belajar 9 tahun (Depdiknas, 2011).

Menurut Sukmadinata (2003), faktor-

faktor yang mempengaruhi tingkat

pengetahuan adalah tingkat pendidikannya.

Tingkat pendidikan seseorang akan

berpengaruh dalam memberi respon

rangsang dari luar, seseorang yang

berpendidikan tinggi akan memberi respon

yang lebih rasional terhadap informasi yang

datang.

Hal ini sesuai dengan teori dari

Notoatmodjo, (2007) menyatakan

pendidikan merupakan salah satu faktor

yang dapat mempengaruhi pengetahuan,

karena semakin tinggi pendidikan seseorang

semakin mudah untuk menerima dan

mengolah informasi, dengan pengetahuan

yang tinggi maka seseorang cenderung

mendapatkan informasi yang lebih baik,

sebaliknya pengetahuan yang kurang akan

menghambat perilaku seseorang.

Ada hubungan yang signifikan antara

pengetahuan ibu dalam pemberian makanan

dengan terjadinya obesitas pada anak usia

sekolah dasar, dengan p value = 0,038

artinya p < 0,05.

Tabel 2. Tabel Silang Hubungan antara

Sikap Ibu dalam Pemberian

Makanan dengan Obesitas pada

Anak Usia Sekolah Dasar

Pada tabel 2, di atas dapat dilihat, 32

orang ibu, sebagian besar (64%) memiliki

sikap cukup dalam pemberian makanan pada

anak usia Sekolah Dasar. Dari 64 % ibu-ibu

memiliki sikap cukup 44 % anaknya

mempunyai obesitas tingkat satu dan 20 %

dengan anak obesitas tingkat dua,

sedamgkan dari 36 % ibu-ibu yang dengan

sikap baik, mempunyai anak obesitas

tingkat satu 22 % dan tingkat dua 14 %.

Sikap terbentuk dari reaksi yang bersifat

emosional terhadap stimulus sosial, stimulus

sosial merupakan rangsangan yang didapat

dari suatu objek yang dilihat. Hal ini sesuai

dengan pendapat dari Notoatmodjo, (2007),

salah satu faktor yang mempengaruhi sikap

adalah pengetahuan yang dimiliki. Menurut

Sukmadinata, (2003), sikap dapat dibentuk

dari pengalaman pribadi seseorang di masa

lalu. Sehingga jika memiliki pengalaman

buruk dalam hal kebutuhan gizi (makanan)

di masa yang lalu maka kemungkinan ia

akan menurunkan ke anaknya akan semakin

besar.

Sikap responden dapat berubah-ubah,

karena sikap dapat dipelajari sehingga sikap

dapat berubah, bila terdapat keadaan dan

syarat-syarat tertentu yang mempermudah

sikap pada responden, dengan kata lain

sikap itu terbentuk, dipelajari atau berubah

senantiasa berkenaan dengan suatu obyek

tertentu. (Sukmadinata, 2003). Ada

hubungan yang signifikan antara sikap ibu

No Sikap Ibu

dalam

Pemberi-

an

Makanan

Pengukuran

antropometri BB/TB

Jumlah

Obesitas

Tingkat 1

(25-29,9)

Kg/m2

Obesitas

Tingkat 2

(> 30)

Kg/m2

f % F % f %

1 Baik 11 22 7 14 18 36

2 Cukup 22 44 10 20 32 64

3 Kurang 0 0 0 0 0 0

Jumlah 33 66 17 34 50 100

61

Page 106: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

216

dalam pemberian makanan dengan

terjadinya obesitas pada anak usia sekolah

dasar, dengan p value = 0,027 p < 0,05).

Tabel 3. Tabel Silang Hubungan antara

Tindakan Ibu dalam Pemberian

Makanan dengan Obesitas pada

Anak Usia Sekolah Dasar

Dari hasil penelitian pada ibu dari siswa

di SD Negeri 5 Sanur Denpasar, 27 orang

ibu, sebagian 54% memiliki tindakan cukup,

dari 54 % memiliki tindakan cukup, 36 %

memiliki anak dengan obesitas tingkat satu

dan 27 % memiliki anak dengan obesitas

tingkat dua, sedangkan ibu-ibu dengan

tindakan yang kurang (30 %) memiliki anak

dengan obesitas tingkat satu 20 % dan

tingkat dua 10 %, demikian dengan ibu-ibu

dengan tindakan yang baik yaitu 16 %

memiliki anak dengan obesitas tingkat satu

10 % dan tingkat dua 6 %.

Ada hubungan yang signifikan antara

tindakan ibu dalam pemberian makanan

dengan terjadinya obesitas pada anak usia

sekolah dasar, dengan p value = 0,023 p

< 0,05).

Tabel 4.Tabel Silang Hubungan antara

Perilaku Ibu dalam Pemberian

Makanan dengan Obesitas pada

Anak Usia Sekolah Dasar

Pada tabel 4 di atas, sebagian besar

ibu-ibu 90 % (45 orang) dengan prilaku

yang cukup, memiliki anak dengan obesitas

tingkat satu 60 % dan obesitas tingkat dua

30 %, sedangkan 5 orang ibu (10%)

memiliki perilaku baik, yang memiliki anak

obesitas tingkat satu 6% dan memiliki

anak obesitas tingkat dua 4%

Perilaku terdiri dari 3 domain yaitu

pengetahuan, sikap, tindakan. Menurut

Sukmadinata (2003), tingkat pendidikan,

tingkat pengetahuan juga berbanding lurus

dengan kemampuan mengakses informasi,

jenis pekerjaan dan status ekonominya.

Menurut hasil penelitian Yueniwati dan

Rahmawati (2001), terdapat hubungan

antara pendidikan terkhir ibu dengan

pengetahuan ibu mengenai obesitas.

Tindakan dapat terjadi setelah individu

mengadakan penilaian terhadap apa yang

diketahui dan memberikan respon batin

dalam bentuk sikap. Suatu sikap belum tentu

terwujud dalam tindakan. Keadaan

mendukung lainnya adalah fasilitas yang

tersedia (Notoatmodjo, 2007).

Hasil uji analisis Korelasi Rank

Spearman menunjukkan p value = 0,025. P

value <α (0,025< 0,05) artinya ada

hubungan yang signifikan antara perilaku

ibu dalam pemberian makanan dengan

terjadinya obesitas pada anak usia sekolah

dasar di SD Negeri 5 Sanur Denpasar,

dengan koefisien korelasi = -0467, artinya

ada hubungan yang cukup kuat antara

perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan)

ibu dengan terjadinya obesitas pada anak

usia Sekolah Dasar. Koefisien korelasi,

menunjukkan arah yang negatif, artinya

hubungan yang berpola tidak searah/ variasi

satu variabel berbanding terbalik dengan

variabel lainnya. Jika perilaku (pengetahuan,

sikap, tindakan) ibu kurang dalam

pemberian makanan pada anak usia sekolah,

maka anak akan mengalami obesitas dan

jika perilaku ibu baik maka anak tidak akan

mengalami obesitas.

Pada saat ini masih adanya anggapan

yang menyatakan anak yang sehat adalah

anak yang gemuk (Hidayati, dkk. 2005)

menyebabkan perilaku ibu hanya sekedar

No Tindakan

Ibu dalam

Pembe-

rian

Makanan

Pengukuran

Antropometri BB/TB

Jumlah

Obesitas

Tingkat 1

(25-29,9)

Kg/m2

Obesitas

Tingkat 2

(> 30)

Kg/m2

F % F % F %

1 Baik 5 10 3 6 8 16

2 Cukup 18 36 9 18 27 54

3 Kurang 10 20 5 10 15 30

Jumlah 33 66 17 34 50 100

No Perilaku

Ibu dalam

Pemberian

Makanan

Pengukuran Antropometri

BB/TB

Jumlah

Obesitas

Tingkat 1 (25-

29,9) Kg/m2

Obesitas

Tingkat 2 (>

30) Kg/m2

F % F % f %

1 Baik 3 6 2 4 5 10

2 Cukup 30 60 15 30 45 90

3 Kurang 0 0 0 0 0 0

Jumlah 33 66 17 34 50 100

Page 107: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

217

217

memberi banyak makan pada anaknya tanpa

memperhatikan dampaknya terhadap

tumbuh kembang anaknya, keadaan lain

yang mendukung ibu tidak terlalu

memperhatikan kualitas dan kuantitas

makanan anaknya sehari-sehari yang

idealnya 60 kkal/kg.BB/harinya diberikan

untuk anaknya yaitu ketersediaan fasilitas,

seperti beberapa restoran cepat saji antara

lain KFC, Mc Donald, PizzaHut, Dunkin

Donnuts dan Jacko yang dekat + 200 meter

dengan SD Negeri 5 Sanur Denpasar

memberikan peluang yang lebih besar

kepada ibu-ibu untuk mengajak atau

memberikan makanan tinggi lemak dan

tinggi kalori yang mempunyai peluang

besar menyebabkan obesitas.

Dilihat dari pekerjaan sebagian besar,

66 % (33 orang) ibu bekerja sebagai

wiraswasta yang menyebabkan ibu terlalu

sibuk dengan pekerjaannya, sehingga tidak

ada waktu untuk mempersiapkan makanan

yang bergizi seimbang untuk keluarga

khususnya anak-anaknya, akibatnya ibu

cenderung membeli makanan yang cepat saji

atau hanya memberi bekal kepada anaknya

untuk membeli makanan sesuka hatinya.

Pekerjaan juga mencerminkan status

ekonomi keluarga. Status ini berbanding

lurus dengan kemampuan untuk

memperoleh makanan yang diinginkan

(Soekirman, 2000). Dihubungkan dengan

tingkat pengetahuan ibu sebagian besar, 33

orang ibu (66%) memiliki tingkat

pengetahuan yang cukup, hal ini mendukung

ibu menerapkan perilaku pemberian

makanan tinggi lemak dan tinggi kalori yang

berakibat terjadinya obesitas (Yanti,

2004).

Sesuai pernyataan di atas perilaku ibu

dalam pemberian makanan berhubungan

cukup kuat dengan terjadinya obesitas pada

anak usia sekolah dasar di SD Negeri 5

Sanur Denpasar. (dengan koefisien korelasi

= -0467)

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan maka dapat disimpulkan;

Adanya hubungan antara perilaku ibu

dengan terjadinya obesitas pada anak usia

Sekolah Dasar, Artinya terdapat hubungan

yang cukup kuat antara perilaku ibu dalam

pemberian makanan dengan terjadinya

obesitas pada anak Sekolah Dasar di SD

Negeri 5 Sanur Denpasar.

DAFTAR RUJUKAN Depdiknas, 2011. Pencapaian Program

Wajib Belajar 9 tahun (online), available:html// edukasikompasiana. com.2011 ( 1 januari 2012)

Depkes RI, 2010. Riset Kesehatan dasar,

(online), available: http//www.riskesdas litbang.go.id. (2Januari 2012).

Hidayati, dkk, 2005. Obesitas pada anak.

(online),available:hhtp://www: tempo.co.id (5 Januari 2012)

Notoatmodjo, 2007. Promosi Kesehatan dan

ilmu Prilaku, Jakarta: PT.Rineka Cipta.

Soekirman, 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya

untuk Keluarga dan Masyarakat, Jakarta: FKUI

Sukmadinata,2003. Landasan Psikologi

Proses Pendidikan. Jakarta :Balai Pustaka.

Yueniwati dan Rahmawati, 2001. Hubungan

Karakteristik Sosial Ibu dengan Pengetahuan Tentang Obesitas pada Anak

Yanti, E. 2004. Perilaku Ibu terhadap

Pemberian Multivitamin pada Anak Balita. FKM-USU, Medan.

Page 108: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

218

PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL: BERMAIN PERAN

TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN BERSOSIALISASI

PASIEN SKIZOFRENIA

I Nengah Sumirta

I Wayan Githa

Ni Wayan Ekayanti

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

Email : [email protected]

Abstract.: Sosial Skills Training : Role Playing Against Increasing Sosializing

Patients Schizophrenia. Social skills training aims to teach the ability to interact

with others to individuals who are not skilled at being skilled at interacting with

people around them, whether in the formal or informal relationship. This study aims

to determine the effect of sosial skills training : playing the role of the increase in

sosial skills in patients with schizophrenia. The kind of research this is Quazy

Experiment, with delightful preposttest with control group design. The sampling

technique used was purposive sampling. The total sample of 16 people consisting of 8

treatment groups and the control group 8.The results showed sosial skills in

schizopheria patients after given sosial skills training: playing a role, as many 8

people (100%) are able to be categorized.Concluded that there is an effect of sosial

skills training: playing the role of the increase in sosial skills in schizophrenic

patients (p = 0.005).

Abstrak: Pelatihan keterampilan sosial : bermain peran terhadap peningkatan

kemampuan bersosialisasi Pasien skizofrenia. Pelatihan keterampilan sosial

bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain kepada

individu-individu yang tidak terampil menjadi terampil berinteraksi dengan orang-

orang disekitarnya, baik dalam hubungan formal maupun informal. Jenis penelitian

ini adalah eksperimen semu, dengan rancangan preposttest with control group design.

Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Jumlah sampel

sebanyak 16 orang yang terdiri dari delapan orang kelompok perlakuan dan delapan

orang kelompok kontrol. Hasil penelitian didapatkan kemampuan bersosialisasi pada

pasien skizofrenia sesudah diberikan pelatihan keterampilan sosial: bermain peran

sebanyak delapan orang (100%) dikatagorikan mampu. Disimpulkan bahwa ada

pengaruh pelatihan keterampilan sosial: bermain peran terhadap peningkatan

kemampuan bersosialisasi pada pasien skizofrenia (p=0,005)

Kata kunci : pelatihan keterampilan social, kemampuan bersosialisasi, skizofrenia

WHO (2009) menyebutkan sebanyak

450 juta orang di seluruh dunia mengalami

gangguan mental, termasuk skizofrenia

dimana terdapat 10% orang dewasa

mengalami skizofrenia saat ini dan 25%

penduduk diperkirakan akan mengalami

gangguan jiwa pada usia tertentu (Wakhid,

2013). Prevalensi skizofrenia diperkirakan

sekitar 1% dari seluruh penduduk. Di

Amerika Serikat angka tersebut

menggambarkan bahwa hampir tiga juta

penduduk yang sedang, telah, atau akan

terkena skizofrenia. Insiden dan prevalensi

seumur hidup secara kasar sama di seluruh

dunia (Videbeck, 2008).

Angka penderita skizofrenia di Indonesia

25 tahun yang lalu (1984) sebanyak 1/1000

penduduk dan diperkirakan 25 tahun lagi

(2034) mendatang mencapai 3/1000

penduduk (Hawari, 2009). Pasien gangguan

Page 109: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

219

219

jiwa berat, termasuk skizofrenia di Bali

diperkirakan 7.000 orang penduduk

(Sucipta, 2009). Jumlah kejadian skizofrenia

yang di rawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Bali di Bangli, pada tahun 2011, terdapat

3.288 orang dan sebesar 97% (3.192 orang)

dengan skizofrenia, pada tahun 2012,

terdapat 3.469 orang dan sebesar 98%

(3.401 orang) dengan skizofrenia, sedangkan

pada tahun 2013, terdapat 3.487 orang dan

sebesar 98% (3.417 orang) dengan

skizofrenia. Berdasarkan data Rumah Sakit

Jiwa Provinsi Bali, pada bulan Januari 2014,

rata-rata pasien yang mengalami rawat inap

sebanyak 266 orang, 92% (245 orang)

diantaranya skizofrenia dan dari 245 orang

tersebut, 86 orang (32%) dengan halusinasi,

sebanyak 52 orang (20%) dengan kerusakan

interaksi sosial : menarik diri dan 38 orang

(14%) dengan harga diri rendah.

Gejala negatif yang paling sering

ditemukan pada pasien skizofrenia yaitu

kerusakan interaksi sosial: menarik diri.

Kerusakan interaksi sosial merupakan upaya

menghindari suatu hubungan komunikasi

dengan orang lain karena merasa kehilangan

hubungan akrab dan tidak mempunyai

kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran dan

kegagalan. Pasien mengalami kesulitan

dalan berhubungan secara spontan dengan

orang lain yang dimanifestasikan dengan

mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan

tidak sanggup berbagi pengalaman (Direja,

2011). Menurut Kuntjoro (dalam, Purba,

2009) ketidakmampuan bersosialisasi

merupakan ketidakmampuan seseorang

untuk bersikap dan bertingkah laku yang

dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.

Berbagai upaya perbaikan terhadap tingkah

laku yang dialami pasien skizofrenia dengan

ketidakmampuan bersosialisasi di rumah

sakit jiwa, diantaranya dengan pengobatan

skizofrenia secara medik tanpa

ditindaklanjuti oleh usaha rehabilitasi akan

membuat pasien mengalami kekambuhan,

bahkan pasien menahun sehingga

menyebabkan semakin bertambah buruknya

ketidakmampuan bersosialisasi yang dialami

pasien. Menurut penelitian Wakhid (2013)

di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi pada

pasien kerusakan interaksi sosial didapatkan

sebanyak 22,2% yang jarang terlibat dalam

kegiatan so sosial dan dengan respon sosial

kurang sebesar 19,61%.

Pelatihan keterampilan sosial terbukti

efektif untuk pasien skizofrenia untuk

memperbaiki defisit perilaku sosial.

Program pelatihan keterampilan sosial untuk

pasien skizofrenia meliputi keterampilan

bercakap-cakap, keterampilan manajemen

konflik, keterampilan keasertifan,

keterampilan hidup di dalam komunitas,

keterampilan berteman dan berkencan,

keterampilan bekerja dan kejujuran, serta

keterampilan manajemen pengobatan

(Sadock, 2013). Pelatihan keterampilan

sosial merupakan salah satu teknik

modifikasi perilaku yang mulai banyak

digunakan, terutama untuk membantu

penderita kesulitan bergaul. Pelatihan

keterampilan sosial bertujuan untuk

mengajarkan kemampuan berinteraksi

dengan orang lain kepada individu-individu

yang tidak terampil menjadi terampil

berinteraksi dengan orang-orang

disekitarnya, baik dalam hubungan formal

maupun informal. Salah satu teknik yang

dapat digunakan dalam pelatihan

keterampilan sosial yaitu dengan bermain

peran yang dilakukan dengan cara

mendengarkan petunjuk yang disajikan

model atau terapis terlebih dahulu

dilanjutkan dengan latihan dari pasien

(Ramdhani, 2012).

Hadisepoetro (2013) mengatakan bahwa

pelatihan keterampilan sosial berpengaruh

terhadap peningkatan keterampilan sosial

pada klien isolasi sosial di Desa Paringan

Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo

(p=0,028), sedangkan penelitian yang

dilakukan oleh Wakhid (2013) menunjukkan

bahwa latihan keterampilan sosial dapat

meningkatkan kemampuan sosialisasi pada

klien isolasi sosial dan harga diri rendah

(p=0,000). Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui pengaruh pelatihan

keterampilan sosial : bermain peran terhadap

Page 110: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

220

peningkatan kemampuan bersosialisasi pada

pasien skizofrenia

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian

Quasy experiment atau eksperimen semu,

dengan rancangan pre-posttest with control

group design. Populasinya adalah semua

pasien skizofrenia dengan gejala negatif,

sampelnya adalah pasien skizofrenia

dengan gejala negatif (pasien perempuan)

dengan kriteria inklusi pasien skizofrenia

dengan masalah kerusakan interaksi sosial

dan harga diri rendah yang bersedia menjadi

responden, pasien yang kooperatif dan dapat

membina hubungan saling percaya dan

kriteria eksklusinya adalah pasien dengan

keluhan fisik, seperti panas, diare dan

keluhan lainnya yang dapat menganggu

proses pelatihan.

Teknik sampling menggunakan non

probability sampling yaitu purposive

sampling. Jumlah sampel sebanyak 16 orang

(8 orang sebagai kelompok perlakuan dan 8

orang sebagai kelompok control). Pada

desain ini observasi dilakukan sebanyak dua

kali yaitu sebelum dan sesudah eksperimen.

Pada kelompok perlakuan diberikan

pelatihan keterampilan sosial selama 15 hari

yang dilakukan selama ± 45 menit setiap

pertemuan, sebanyak 5 sesi dengan

perincian setiap sesi diberikan selama 3 kali

(3 hari), sedangkan pada kelompok kontrol

tidak diberikan pelatihan keterampilan

sosial.

Analisis data dilakukan secara univariat

dan bivariat. Analisis univariat dilakukan

untuk mencari distribusi frekuensi dari data

demografi (umur, status perkawinandan

tingkat pendidikan) dan analisis bivariat

menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank

Test Program SPSS for Windows (Tingkat

Kepercayaan 95% p ≤ 0,05), untuk

menganalisa pengaruh pelatihan

keterampilan sosial: bermain peran terhadap

peningkatan kemampuan bersosialisasi pada

pasien skizofrenia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik responden pada penelitian

ini meliputi: umur, status perkawinan dan

tingkat pendidikan, disajikan dalam tabel 1,

2, dan 3.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden

Berdasarkan Umur

Kelompok Umur

Kelompok

Perlakuan

Kelompok

Kontrol

f % f %

Masa dewasa

awal (21-40

tahun)

1 12 2 25

Masa setengah

baya (41-60

tahun)

7 88 6 75

Jumlah 8 100 8 100

Berdasarkan tabel 1, didapatkan bahwa

pada kelompok perlakuan sebagian besar

responden berada pada masa setengah baya

(41-60 tahun), yaitu sebanyak 7 orang (88%)

dan juga pada kelompok kontrol sebagian

besar responden berada pada masa setengah

baya (41-60 tahun), yaitu sebanyak 6 orang

(75%).

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden

Berdasarkan Status Perkawinan

Status

Perkawinan

Kelompok

Perlakuan

Kelompok

Kontrol

f % f %

Belum

kawin

2 25 5 63

Menikah 6 75 3 37

Jumlah 8 100 8 100

Berdasarkan tabel 2, didapatkan bahwa

pada kelompok perlakuan sebagian besar

responden sudah menikah, yaitu sebanyak 6

orang (75%), sedangkan pada kelompok

kontrol sebagian besar belum kawin, yaitu

sebanyak 5 orang (63%).

Page 111: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

221

221

Tabel 3. Distribusi Frekuensi

Responden Berdasarkan

Tingkat Pendidikan

Tingkat

Pendidikan

Kelompok

Perlakuan

Kelompok

Kontrol

f % f %

Tidak sekolah 1 12 3 38

Dasar (SD dan

SLTP)

7 88 4 50

Menengah

(SLTA)

0 0 0 0

Tinggi

(Diploma/PT)

0 0 1 12

Jumlah 8 100 8 100

Berdasarkan tabel 3 didapatkan bahwa

pada kelompok perlakuan sebagian besar

responden dengan tingkat pendidikan dasar,

yaitu sebanyak 7 orang (88%) dan juga pada

kelompok kontrol sebagian besar responden

dengan tingkat pendidikan dasar, yaitu

masing-masing sebanyak 4 orang (50%).

Kemampuan melakukan bersosialisasi

pada pasien skizofrenia sebelum diberikan

pelatihan keterampilan sosial: bermain peran

pada kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol,disajikan pada tabel 4 dan 5

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kemampuan

Bersosialisasi Pasien Skizofrenia

Sebelum Diberikan Pelatihan

Keterampilan Sosial: Bermain

Peran.

Kemampuan

Bersosialisasi

Kelompok

Perlakuan

Kelompok

Kontrol

f % f %

Belum mampu 8 100 8 100

Mampu

sebagian

0 0 0 0

Mampu 0 0 0 0

Jumlah 8 100 8 100

Berdasarkan tabel 4, didapatkan bahwa

kemampuan bersosialisasi pada pasien skizofrenia sebelum diberikan pelatihan

keterampilan sosial: bermain peranpada

kelompok perlakuan seluruhnya

dikatagorikan dengan belum mampu, yaitu

sebanyak 8 orang (100%), dan juga pada

kelompok kontrol seluruhnya dikatagorikan

belum mampu, yaitu sebanyak 8 orang

(100%).

Kemampuan bersosialisasi pada pasien

skizofrenia sesudah diberikan pelatihan

keterampilan sosial: bermain peran pada

kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol,disajikan pada tabel 5.

Tabel 5. Distribusi Frekuensi

Kemampuan Bersosialisasi

Pasien Skizofrenia Sesudah

Diberikan Pelatihan

Keterampilan Sosial : Bermain

Peran

Kemampuan

Bersosialisasi

Kelompok

Perlakuan

Kelompok

Kontrol

f % f %

Belum mampu 0 0 7 88

Mampu

sebagian

0 0 1 12

Mampu 8 100 0 0

Jumlah 8 100 8 100

Berdasarkan tabel 5, didapatkan bahwa

kemampuan bersosialisasi pada pasien

skizofrenia sesudah diberikan pelatihan

keterapilan sosial: bermain peran pada

kelompok perlakuan seluruhnya

dikatagorikan mampu, yaitu sebanyak 8

orang (100%), sedangkan pada kelompok

kontrol sebagian besar dikatagorikan belum

mampu, yaitu sebanyak 7 orang (88%).

Hasil analisis dengan uji Wilcoxon

Signed Rank test disajikan dalam tabel 6.

Tabel 6 Hasil Analisis Data Pengaruh

Pelatihan Keterampilan Sosial:

Bermain Peran Terhadap

Peningkatan Kemampuan

Bersosialisasi Pasien

Skizofrenia

Pre test klp

perlakuan

Post test klp

perlakuan

Pre test klp

kontrol

Post test klp

kontrol

Z -2.828 -1.000

P value 0,005 0,317

Page 112: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

222

Berdasarkan tabel 6, didapatkan hasil

bahwa pengaruh pelatihan keterampilan

sosial: bermain peran terhadap peningkatan

kemampuan bersosialisasi pada pasien

skizofreniapada kelompok perlakuan

didapatkan nilai p=0,005 (p<0,05) yang

berarti ada pengaruh pelatihan keterampilan

sosial: bermain peran terhadap peningkatan

kemampuan bersosialisasi pada pasien

skizofreniapada kelompok perlakuan,

sedangkan kemampuan bersosialisasipre test

dengan post test pada kelompok kontrol

didapatkan nilai p=0,317 (p>0,05) yang

berarti tidak ada perbedaan nilai pre test dan

post test pada kelompok kontrol, sehingga

dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh

pelatihan keterampilan social : bermain

peran terhadap peningkatan kemampuan

bersosialisasi pada pasien skizofrenia.

Kemampuan bersosialisasi pada pasien

skizofrenia sebelum diberikan pelatihan

keterampilan social : bermain peran pada

kelompok perlakuan didapatkan delapan

orang (100%) yang belum mampu. Pada

kelompok kontrol juga didapatkan sebanyak

delapan orang (100%) yang belum mampu.

Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol

kemampuan bersosialisasi pada pasien

skizofrenia sebelum diberikan pelatihan

keterampilan sosial: bermain peran

dikatagorikan belum mampu. Menurut

Direja (2011), menyatakan gejala negatif

yang paling sering ditemukan pada pasien

skizofrenia yaitu kerusakan interaksi sosial:

menarik diri. Kerusakan interaksi sosial

merupakan upaya menghindari suatu

hubungan komunikasi dengan orang lain

karena merasa kehilangan hubungan akrab

dan tidak mempunyai kesempatan untuk

berbagi rasa, pikiran dan kegagalan. Pasien

mengalami kesulitan dalan berhubungan

secara spontan dengan orang lain yang

dimanifestasikan dengan mengisolasi diri,

tidak ada perhatian, dan tidak sanggup

berbagi pengalaman. Menurut Kuntjoro

(dalam, Purba, 2009) ketidakmampuan

bersosialisasi merupakan ketidakmampuan

seseorang untuk bersikap dan bertingkah

laku yang dapat diterima oleh lingkungan

sosialnya. Berbagai upaya perbaikan

terhadap tingkah laku yang dialami pasien

skizofrenia dengan ketidakmampuan

bersosialisasi di rumah sakit jiwa,

diantaranya dengan pengobatan skizofrenia

secara medik tanpa ditindaklanjuti oleh

usaha rehabilitasi akan membuat pasien

mengalami kekambuhan, bahkan pasien

menahun sehingga menyebabkan semakin

bertambah buruknya ketidakmampuan

bersosialisasi yang dialami pasien.

Kemampuan bersosialisasi pada pasien

skizofrenia sesudah diberikan pelatihan

keterampilan sosial pada kelompok

perlakuan, seluruhnya atau sebanyak

delapan orang (100%) dikatagorikan

mampu. Hal ini menunjukkan bahwa

kemampuan bersosialisasi pada pasien

skizofrenia sesudah diberikan pelatihan

keterampilan sosial : bermain peran

seluruhnya dikatagorikan mampu.

Kemampuan bersosialisasi pada kelompok

kontrol sebanyak tujuh orang (88%)

dikatagorikan belum mampu dan sebanyak 1

orang (12%) dikatagorikan mampu

sebagian. Hal ini menunjukkan bahwa

kemampuan kemampuan bersosialisasipost

test pada kelompok kontrol sebagian besar

dikatagorikan belum mampu.

Pelatihan keterampilan sosial merupakan

salah satu teknik modifikasi perilaku untuk

membantu penderita kesulitan bergaul.

Bermain peran adalah alat yang digunakan

untuk mengkaji kompetensi sosial pasien

praterapi dan untuk melatih kelebihan atau

defisit perilaku yang ditargetkan selama

terapi. Pelatihan keterampilan sosial:

bermain peran mempunyai manfaat yang

sangat baik bagi pasien skizofrenia dengan

gejala negatif, terutama pada pasien

kerusakan interaksi sosial, sehingga perlu

diberikan kepada pasien yang menjalani fase

rehabilitasi selain pemberian terapi

farmakologi yang sudah diberikan kepada

pasien semenjak masuk rumah sakit.

Pemberian pelatihan keterampilan sosial:

bermain peran akan mempunyai manfaat

bagi pasien, terutama mengembalikan

kemampuan pasien skizofrenia untuk

bersosialisasi (Ramdhani, 2012).

Page 113: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

223

223

Hasil penelitian yang didapat sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh

Wakhid (2013) dimana keterampilan

sosialisasi pasien harga diri rendah dan

isolasi sosial sebelum diberikan terapi

latihan ketrampilan sosial, dari 18 orang

responden sebanyak 14 orang (78%) dengan

keterampilan sosialisasi kurang (belum

mampu) dan setelah diberikan terapi latihan

ketrampilan sosial, dari 18 orang responden

seluruhnya atau sebanyak 18 orang (100%)

dengan keterampilan sosialisasi mampu.

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon Sign test

untuk menganalisa pengaruh pelatihan

keterampilan sosial : bermain peran terhadap

peningkatan kemampuan bersosialisasi pada

pasien skizofrenia pada kelompok perlakuan

didapatkan nilai p=0,005 (p<0,05) yang

berarti ada pengaruh pelatihan keterampilan

sosial : bermain peran terhadap peningkatan

kemampuan bersosialisasi pada pasien

skizofrenia pada kelompok perlakuan,

sedangkan kemampuan bersosialisasi pre

test dengan post test pada kelompok kontrol

didapatkan nilai p=0,317 (p>0,05) yang

berarti tidak ada perbedaan nilai pre test dan

post test pada kelompok kontrol, sehingga

dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh

pelatihan keterampilan sosial: bermain peran

terhadap peningkatan kemampuan

bersosialisasi pada pasien skizofrenia. Hasil

penelitian ini didukung oleh penelitian yang

dilakukan oleh Hadisepoetro (2013) bahwa

pelatihan keterampilan sosial berpengaruh

terhadap peningkatan keterampilan sosial

pada klien isolasi sosial di Desa Paringan

Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo

(p=0,028), sedangkan penelitian yang

dilakukan oleh Wakhid (2013) menunjukkan

bahwa latihan keterampilan sosial dapat

meningkatan kemampuan sosialisasi pada

klien isolasi sosial dan harga diri rendah

(p=0,000).

Penelitian Klerman menggambarkan

bahwa timbulnya sosial functioning

impairment diakibatkan oleh tingkah laku

simptomatik yang dialami oleh penderita

skozofrenia tersebut. Weissman dan

Bothwell pada tahun 1976 melanjutkan

penelitian tersebut dan menambahkan bahwa

semakin buruk simptomatik psikiatriknya

akan semakin buruk juga sosial functioning

(Purba, 2009). Sedangkan menurut

Direktorat Kesehatan Jiwa (1997, dalam

Purba, 2009) menyatakan bahwa kadang-

kadang pasien skizofrenia tidak dapat

diterima dengan baik oleh lingkungan

keluarga dan masyarakat yang dapat

menimbulkan dan memperparah

ketidakmampuan bersosialisasi yang diderita

oleh penderita skizofrenia.

Pelatihan keterampilan sosial diberikan

kepada individu yang mengalami kelemahan

dalam beberapa keterampilan sosial.

Pelatihan keterampilan sosial merupakan

salah satu teknik modifikasi perilaku yang

mulai banyak digunakan, terutama untuk

membantu penderita kesulitan bergaul.

Salah satu teknik yang dapat digunakan

dalam pelatihan keterampilan sosial yaitu

dengan bermain peran yang dilakukan

dengan cara mendengarkan petunjuk yang

disajikan model atau terapis terlebih dahulu

dilanjutkan dengan latihan dari

pasien.Setelah itu biasanya dilanjutkan

dengan diskusi mengenai aktivitas yang

dimodelkan. Latihan verbalisasi sangat

diperlukan di sini melalui diskusi mengenai

kejadian-kejadian yang sering membuat

peserta berada dalam kesulitan.Bermain

peran bagi pelatih, latihan ini dapat

dilakukan dengan cara menyajikan situasi

atau model dan menanyakan pada klien

mengenai apa yang akan dilakukannya

apabila berada dalam situasi seperti itu.

Setelah diskusi selesai, latihan bermain

peran dapat dilakukan (Ramdhani, 2012).

Menurut Sadock (2013), manfaat dan tujuan

dari pelatihan keterampilan sosial meliputi:

meningkatkan keterampilan sosial,

memperoleh atau mempelajari kembali

keterampilan sosial atau percakapan dan

mengurangi ansietas sosial, terutama pada

pasien dengan kerusakan interaksi sosial.

Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk

mengambangkan penelitian ini dengan

menambah sampel dan vaiabel yang diteliti.

Kepada petugas kesehatan khususnya

perawat agar mengaplikasikan penelitian ini

dalam meningkatkan perilaku klien.

Page 114: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

224

SIMPULAN

Kemampuan bersosialisasi pada pasien

skizofrenia sebelum diberikan pelatihan

keterampilan sosial : bermain peran pada

kelompok perlakuan delapan orang (100%)

dikatagorikan belum mampu dan juga pada

kelompok kontrol seluruhnya atau sebanyak

delapan orang (100%) dikatagorikan belum

mampu. Kemampuan bersosialisasi pada

pasien skizofrenia sesudah diberikan

pelatihan keterampilan sosial: bermain peran

pada kelompok perlakuan seluruhnya atau

sebanyak delapan orang (100%)

dikatagorikan mampu dan juga pada

kelompok kontrol sebanyak tujuh orang

(88%) dikatagorikan belum mampu dan

sebanyak satu orang (12%) dikatagorikan

mampu sebagian. Ada pengaruh pelatihan

keterampilan sosial : bermain peran terhadap

peningkatan kemampuan bersosialisasi pada

pasien skizofrenia pada kelompok perlakuan

(p=0,005) dan tidak ada perbedaan nilai pre

test dan post test pada kelompok kontrol

(p=0,317).

DAFTAR RUJUKAN Direja, A. H. S., 2011. Buku Ajar Asuhan

Keperawatan Jiwa, Yogyakarta: Nuha Medika.

Hadisepoetro, R., 2013. Pengaruh Terapi

Sosial Skill Training (SST) Terhadap Peningkatan Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Di Desa Paringan Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. Available: (online). http://old.fk.ub.ac.id/artikel/id/filedownload/keperawatan, (Diunduh tanggal: 28 November 2013).

Hawari, D., 2009.Pendekatan Holistik Pada

Gangguan Jiwa Skizofrenia, Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Purba, J. E., 2009.Pengaruh Intervensi

Rehabilitasi Terhadap Ketidakmampuan Bersosialisasi Pada Penderita Skizofrenia Yang Dirawat Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.Skripsi. Medan: USU.

Ramdhani, N., 2012. Pelatihan Ketrampilan

Sosial Untuk Terapi Kesulitan Bergaul. Available: (online),

http://neila.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2012/02/ketrampilan-sosial.pdf,(Diunduh tanggal: 28 November 2013).

Sucipta, W., 2009.Dalam Bayangan

Gangguan Jiwa. Available: (online), http://saradbali.com/edisi106/lipsus1.htm,(Diunduh tanggal: 17 Januari 2014).

Sadock, B.J., 2013, Sinopsis Psikiatri,

Jakarta: EGC. Videbeck, S. L., 2008.Buku Ajar

Keperawatan Jiwa, Jakarta: EGC. Wakhid, A., 2013. Penerapan Terapi Latihan

Ketrampilan Sosial Pada Klien Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Dengan Pendekatan Model Hubungan Interpresonal Peplau Di RS DR Marzoeki Mahdi Bogor. Available: (online), http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/view/911/965,(Diunduh tanggal: 14 Februari 2014).

Page 115: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

225

EFIKASI DIRI PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2

I Gusti Ketut GedeNgurah

Made Sukmayanti

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

Email: [email protected]

Abstrack : Self efficacy in patient with type 2 diabetes mellitus. This study aimed to

identify descriptive of self efficacy in patient with type 2 diabetes mellitus. This

research is descriptive with cross-sectional approach on April to May with 57

respondentswas selected by using Purposive Sampling and collected by using

questionnaires from DMSES (The Diabetes Management Self-Efficacy Scale). The

result of this study are 35 respondents (61,40%) have good self efficacy, 19

respondents (33,33%) have enough self efficacy, and 3 respondents (5,27%) have bad

self efficacy. This result showed us most respondents has good self efficacy.

Abstrak : Efikasi diri pada pasien Diabetes Melitus tipe 2. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui gambaran efikasi diri pada pasien diabetes mellitus tipe 2.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional pada bulan Aprl

sampai dengan Mei sebanyak 57 responden yang dipilih dengan menggunakan

kuesioner DMSES (The Diabetes Management Self-Efficacy Scale). Dari penelitian

ini terdapat adalah 35 responden (61,40 %) memiliki efikasi diri yang baik, 19

responden (33,33%) memiliki efikasi yang cukup , dan 3 responden (5,27%) efikasi

diri yang buruk. Dengan demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian

besar responden memiliki efikasi diri yang baik.

Kata kunci : efikasi diri, pasien, diabetes melitus tipe 2

Diabetes melitus adalah suatu kumpulan

gejala yang timbul pada seseorang yang

disebabkan oleh karena adanya peningkatan

kadar glukosa darah akibat penurunan

sekresi insulin yang progresif (Soegondo,

2013). Diabetes melitus dilatarbelakangi

oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin

atau kedua-duanya. Manifestasi

klinis:1.Diabetes mellitus dikaitkan dengan

konsekuensi metabolik insulin, meliputi

peningkatan pengeluaran urin (poliuria),

timbul rasa haus (polidipsia), dan rasa lapar

yang semakin meningkat (polifagia) (Price

& Wilson, 2006).

Secara klinis terdapat 4 tipe diabetes,

yaitu : Tipe 1 (diabetes melitus tergantung

insulin/Insulin Dependent Diabetes Melitus,

Tipe 2 (diabetes melitus tidak tergantung

insulin) insulin/. 2.Non-Insulin Diabetes

Melitus, 3. Diabetes melitus yang

berhubungan dengan keadaan atau sindrom

lainnya, dan 4. Diabetes melitus gestasional

(Gestational Diabetes Melitus). Untuk

diabetes tipe 2, umumnya terjadi pada orang

dewasa (kadang-kadang dapat terjadi pada

anak-anak dan remaja. Umumnya terjadi

secara perlahan-lahan dan tanpa gejala serta

secara bertahap akan bertambah berat dan

kurang lebih 90-95 % penderita mengalami

diabetes melitus tipe 2 (Smeltzer &

Bare,2002)

Diantara penyakit degeneratif, diabetes

adalah salah satu diantara penyakit tidak

menular yang akan meningkat jumlahnya di

masa datang. Diabetes merupakan salah satu

ancaman utama bagi kesehatan umat

manusia pada abad 21(Suyono, 2010). WHO

memprediksi adanya kecenderungan

peningkatan jumlah penyandang diabetes

melitus yang cukup besar pada tahun-tahun

mendatang (PERKENI, 2011).

Diabetes melitus telah menjadi salah

satu ancaman kesehatan bagi umat manusia.

Menurut data dari International Diabetes

Page 116: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

226

Federation pada tahun 2012 diperkirakan

sebanyak 371 juta orang di dunia menderita

diabetes melitus. Indonesia menduduki

peringkat ke-7 terbanyak kasus diabetes

melitus dengan perkiraan jumlah sekitar 7,6

juta kasus (Sindonews, 2013). Prevalensi

diabetes melitus di Indonesia sebanyak 1,1

% (Riskesdas, 2007). Berdasarkan pola

pertambahan penduduk seperti saat ini,

diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada

sejumlah 178 juta penduduk berusia 20

tahun dan dengan asumsi prevalensi diabetes

melitus sebesar 4,6 % akan didapatkan 8,2

juta pasien diabetes (Soegondo, 2013).

Sementara itu, Provinsi Bali memiliki

prevalensi diabetes melitus sebanyak 3%

(Riskesdas, 2007). Pada tahun 2011,

penderita diabetes melitus di Bali tercatat

sekitar 4023 orang dengan rincian diabetes

melitus tergantung insulin 804 orang,

Diabetes melitus tidak tergantung insulin

795 orang, diabetes melitus yang

diakibatkan malnutrisi 103 orang, diabetes

melitus yang tidak diketahui lainnya 153

orang, dan diabetes melitusyang tidak

terdeteksi 2163 orang (Bali Post, 2012).

Berdasarkan studi pendahuluan yang

dilakukan di Puskesmas I Denpasar Selatan

tercatat jumlah penderita diabetes melitus

pada tahun 2012 sebanyak 468 kasus dengan

proporsi kasus diabetes melitus yang rawat

jalan mengalami peningkatan dari tahun

2008-2012. Di Puskesmas I Denpasar

Selatan proporsi kasus diabetes melitus

tahun 2008 sebesar 0,3 % menjadi 2,1 % di

tahun 2012 (Trisnawati, 2013).

Meningkatnya prevalensi diabetes

melitus akibat peningkatan kemakmuran di

negara bersangkutan. Peningkatan

pendapatan per kapita dan perubahan gaya

hidup terutama di kota-kota besar,

menyebabkan peningkatan prevalensi

penyakit degeneratif (Suyono, 2010). Maka

dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang

akan datang kekerapan diabetes melitus tipe

2 di Indonesia akan meningkat dengan

drastis (Soegondo, 2013).

Diabetes melitus jika tidak dikelola

dengan baik akan dapat mengakibatkan

terjadinya berbagai komplikasi secara fisik,

yaitu: akut dan kronis. Komplikasi akut,

meliputi: hipoglikemia, hiperglikemia,

hiperglikemik non-ketotik. Sedangkan

komplikasi kronis dibagi menjadi 2, yaitu :

mikrovaskuler dan makrovaskuler

(Baradero, 2009). Diabetes melitus

merupakan penyakit kronis, selain

menyebabkan komplikasi secara fisik, juga

menimbulkan dampak psikologis bagi

penderitanya. Adapun dampak psikologis

yang timbul adalah kecemasan, frustasi,

depresi, ketakutan, ketegangan,

ketergantungan, stres, dan lain-lain (Potter

& Perry, 2005).

Menurut Suyono (2010), mengingat

jumlah penderita diabetes yang terus

meningkat dan besarnya biaya perawatan

pasien diabetes yang terutama disebabkan

oleh karena komplikasinya, maka upaya

yang paling baik adalah melakukan

pencegahan. Menurut WHO (1994 dalam

Suyono, 2010), upaya pencegahan dapat

dilakukan dengan tiga tahap yaitu

pencegahan primer, sekunder dan tersier.

Pencegahan primer merupakan semua

aktivitas yang ditujukan untuk mencegah

timbulnya hiperglikemia pada populasi

umum. Pencegahan sekunder, yaitu upaya

mencegah atau menghambat timbulnya

penyulit pada pasien yang telah menderita

diabetes melitus dengan pemberian

pengobatan dan tindakan deteksi dini

penyulit. Pencegahan tersier adalah semua

upaya untuk mencegah komplikasi atau

kecacatan melalui penyuluhan dan

pendidikan kesehatan.

Upaya pencegahan tentu saja diperlukan

suatu pemantauan yang berkesinambungan.

Puskesmas merupakan ujung tombak

pelayanan kesehatan tingkat pertama,

mempunyai peranan penting dalam

menunjang program pencegahan primer

diabetes melitus. Tidak hanya melalui

puskesmas saja, namun diperlukan

keikutsertaan yang mantap dari para

penyandang diabetes melitus serta kerjasama

yang erat antara pasien dan petugas

kesehatan. Perawat sebagai edukator sangat

berperan untuk memberikaninformasi yang

tepat pada penderita diabetes melitus tentang

Page 117: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

227

penyakit, pencegahan, komplikasi,

pengobatan, dan pengelolaan diabetes

melitus termasuk didalamnya memberi

motivasi dan meningkatkan efikasi diri

(Soegondo, 2013).

Keberhasilan pengelolaan diabetes

melitus tergantung pada informasi tentang

diabetes melitus tipe 2, motivasi, dan efikasi

diri pasien untuk melakukan perawatan diri

yang dirancang untuk mengontrol gejala

psikologis maupun komplikasi (Wu et al.,

2006 dalam Ariani, 2011). Perawat wajib

memberikan informasi yang benar mengenai

diabetes melitus dan mendampingi pasien

menuju perubahan prilaku. Selain itu, peran

perawat tentu saja diperlukan untuk

meningkatkan motivasi pasien secara

internal berkaitan dengan efikasi diri pada

pasien diabetes melitus tipe 2 (Butler, 2002

dalam Ariani, 2011).

Efikasi diri adalah adalah sebuah teori

kognitif yang dikembangkan Albert

Bandura. Efikasi diri didefinisikan sebagai

keyakinan individu akan kemampuannya

untuk mengatur dan melakukan tugas-tugas

tertentu yang dibutuhkan untuk

mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan.

Efikasi diri membantu seseorang dalam

menentukan pilihan, usaha untuk maju, serta

kegigihan dan ketekunan dalam

mempertahankan tugas-tugas yang

mencakup kehidupan mereka (Bandura,

1997). Efikasi diri mendorong proses

kontrol diri untuk mempertahankan prilaku

yang dibutuhkan dalam mengelola

perawatan diri pada pasien. Efikasi diri pada

pasien diabetes melitus tipe 2 berfokus pada

keyakinan pasien untuk mampu melakukan

prilaku yang dapat mendukung perbaikan

penyakitnya dan meningkatkan manajemen

perawatan dirinya seperti diet, latihan fisik,

medikasi, kontrol glukosa dan perawatan

diabetes melitus secara umum. Dampak

psikologis yang sering muncul pada pasien

dengan penyakit kronis termasuk diabetes

melitus dapat menimbulkan masalah pada

efikasi diri pasien (Wu et al., 2006 dalam

Ariani, 2011).

Studi pendahuluan yang dilakukan pada

bulan Desember 2013 jumlah populasi

pasien diabetes melitus tipe 2 adalah 102

orang. Diperkirakan akan terus terjadi

peningkatan angka diabetes melitus tipe 2.

Dari hasil wawancara pada pasien yang

berkunjung ke Puskesmas I Denpasar

Selatan, didapatkan keluhan psikologis yang

banyak dirasakan pasien, yaitu pasien

mengeluh cemas atas penyembuhan

penyakit, pasien mengatakan mengalami

ketergantungan perawatan diri, dan pasien

mengatakan ketakutan dengan dirinya

(Puskesmas I Denpasar Selatan Tahun

2013).

Dengan adanya peningkatan kasus

diabetes melitus tipe 2 dan munculnya

keluhan psikologis seperti uraian diatas,

maka peningkatan keyakinan diri dan

pemahaman pasien perlu ditingkatkan.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas,

maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian gambaran efikasi diri pada pasien

diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas I

Denpasar Selatan mengingat masih

tingginya kasus diabetes melitus tipe 2 yang

terjadi.

Berdasarkan latar belakang diatas dapat

dirumuskan tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui Gambaran Efikasi Diri

pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di

Puskesmas I Denpasar Selatan Bali.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah rancangan penelitian

desktiptif, yaitu suatu metode penelitian

yang dilakukan dengan tujuan untuk

mendeskripsikan (memaparkan) peristiwa-

peristiwa penting yang terjadi pada masa

kini. Penelitian ini menggunakan

pendekatan cross-sectional, yaitu jenis

penelitian yang menekankan waktu

pengukuran/ observasi data variabel

independen dan dependen hanya satu kali

pada satu saat.

Penelitian ini telah dilakukan di

Puskesmas I Denpasar Selatan. Adapun

waktu dari penelitian ini adalah bulan

Page 118: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

228

April - Mei 2014. Populasi dalam penelitian

adalah subjek yang memenuhi kriteria yang

telah ditetapkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik responden berdasarkan

usia:

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan

Kelompok Usia

No.

Usia Frekuensi

(N)

Persentase

(%)

1.

2.

3.

36-45 tahun

46-55 tahun

56-65 tahun

9

26

22

15,79

45,61

38,60

Jumlah 57 100,00

Berdasarkan tabel 1, responden

terbanyak adalah usia 46-55 tahunsebanyak

26 responden (45,61%).

Karakteristik responden berdasarkan

jenis kelamin:

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan

Jenis Kelamin

No. Jenis

Kelamin

Frekuensi

(N)

Persentase

(%)

1.

2.

Laki-laki

Perempuan

21

36

36,84

63,16

Jumlah 57 100,00

Berdasarkan tabel 2 responden yang

paling banyak adalah perempuan sebanyak

36 responden (63,16%).

Karakteristik responden berdasarkan

pendidikan:

Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan

Pendidikan

No Pendidikan Frekuensi

(N)

Persentase

(%)

1.

2.

3.

4.

5.

Tidak Sekolah

SD

SMP

SMA

Diploma/Pergu

ruan Tinggi

1

17

10

21

8

1,75

29,82

17,54

36,84

14,04

Jumlah 57 100,00

Berdasarkan tabel 3 diatas, responden

yang paling banyak adalah pendidikan SMA

sebanyak 21 responden (36,84%).

Karakteristik responden berdasarkan

pekerjaan:

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan

Pekerjaan

No. Pekerjaan Frekuensi

(N)

Persentase

(%)

1.

2.

3.

4.

Tidak

Bekerja

Swasta

PNS

Wiraswasta

26

20

4

7

45,61

35,09

7,02

12,28

Jumlah 57 100,00

Berdasarkan tabel 4 diatas, responden

yang paling adalah tidak bekerja sebanyak

26 responden (45,61%)

Karakteristik responden berdasarkan

lama menderita DM tipe 2: responden

berdasarkan lama menderita

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan

Lama Menderita DM tipe 2

No. Lama

menderita

DM tipe 2

Frekuensi

(N)

Persentase

(%)

1.

2.

< 5 tahun

≥ 5 tahun 39

18

68,42

31,58

Jumlah 57 100,00

Berdasarkan table 5 diatas, dapat dilihat

bahwa lama responden yang paling banyak

adalah < 5 tahun sebanyak 39 responden

(68,42%).

Hasil pengamatan obyek penelitian

berdasarkan variabel penelitian Efikasi diri

berdasarkan karakteristik pasien DM tipe 2.

Efikasi diri pasien DM tipe 2

berdasarkan karakteristik usia responden

dapat dilihat pada tabel 6.

Page 119: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

229

Tabel 6. Efikasi Diri Berdasarkan

Karakteristik Usia Responden

Karateristik

Responden

Berdasarkan

Usia (Tahun)

Efikasi Diri pada pasien DM

tipe 2 Total

Baik Cukup Kurang

n % n % n % n %

36-45 3 5,26 6 10,54 0 0.00 9 15,80

45-55 14 26,32 9 15,79 3 5,26 26 44,38

56-65 17 29,82 5 7,02 0 0,00 22 36,85

Jumlah 34 61,40 20 33,34 3 5,26 57 100,00

Berdasarkan tabel 6 di atas, responden

yang paling banyak memiliki efikasi diri

baik berada pada rentang umur 56-65 tahun

yaitu sebanyak 17 responden (29,82%).

Efikasi diri berdasarkan karakteristik

jenis kelamin responden dapat dilihat pada

tabel 7.

Tabel 7.Gambaran Efikasi Diri Karakteristik

Jenis Kelamin Responden

Karakteristik

responden

berdasarkan

jenis kelamin

Efikasi diri pada pasien DM

tipe 2 Total

Baik Cukup Kurang

n % n % n % n %

Laki-laki 13 22,81 5 8,77 3 5,26 21 36,84

Perempuan 22 38,60 14 24,56 0 0,00 36 63,16

Jumlah 35 61,41 19 33,33 3 5,26 57 100,00

Berdasarkan tabel 7 di atas, responden

yang paling banyak memiliki efikasi diri

baik berada pada jenis kelamin perempuan

yaitu sebanyak 22 responden (38,60%).

Efikasi diri berdasarkan karakteristik

pendidikan responden dapat dilihat pada

tabel. 8

Tabel 8. Gambaran Efikasi Diri berdasarkan

Karakteristik Pendidikan Responden

Karateristik

Responden

Berdasarkan

Pendidikan

Efikasi diri pada pasien DM

tipe 2 Total

Baik Cukup Kurang

n % n % n % n %

Tidak

sekolah 0 0,00 0 0,00 1 1,75 1 1,75

SD 1 1,75 14 24,56 2 3,51 17 29,82

SMP 7 12,28 3 5,26 0 0,00 10 17,54

SMA 19 33,33 2 3,51 0 0,00 21 36,84

Diploma/PT 8 14,04 0 0,00 0 0,00 8 14,04

Jumlah 35 61,40 19 33,33 3 5,26 57 100,00

Berdasarkan tabel 8 di atas, responden

yang paling banyak memiliki efikasi diri

baik berada pada tingkat pendidikan SMA

yaitu sebanyak 19 responden (33,33%).

Efikasi diri berdasarkan karakteristik

pekerjaan responden dapat dilihat pada tabel

9

Tabel 9. Gambaran Efikasi Diri Berdasarkan

Karakteristik Pekerjaan Responden

Karakteristik

Responden

Berdasarkan

Pekerjaan

Efikasi diri pada pasien DM

tipe 2 Total

Baik Cukup Kurang

n % n % n % n %

Tidak bekerja 13 22,81 12 21,52 1 1,75 26 45,61

PNS 4 7,02 0 0,00 0 0,00 4 7,02

Swasta 14 24,56 5 8,77 1 1,75 20 35,09

Wiraswasta 4 7,02 2 3,51 1 1,75 7 12,28

Jumlah 35 64,01 19 33,80 3 5,25 57 100,00

Berdasarkan tabel 9 di atas, responden

yang paling banyak memiliki efikasi diri

baik adalah pekerja swasta yaitu sebanyak

14 responden (24,56%).

Efikasi diri berdasarkan karakteristik

lama menderita DM tipe 2

Dari 57 responden yang diteliti di

Puskesmas I Denpasar Selatan, efikasi diri

pasien DM tipe 2 berdasarkan karakteristik

lama menderita DM tipe 2 responden dapat

dilihat pada tabel 10

Tabel 10. Gambaran Efikasi Diri Pada

Pasien DM Tipe 2 Berdasarkan

Karakteristik Lama Menderita

DM Tipe 2

Karakteristik

Responden

Berdasarkan

Pekerjaan

Efikasi diri pada pasien DM

tipe 2 Total

Baik Cukup Kurang

n % n % n % n %

< 5 tahun 17 29,82 19 33,33 3 5,26 39 68,42

≥ 5 tahun 18 31,58 0 0,00 0 0,00 18 31,58

Jumlah 35 61,40 10 33.33 3 5,26 57 100,00

Berdasarkan tabel 10 di atas, responden

yang paling banyak memiliki efikasi diri

baik berada pada lama menderita DM tipe 2

≥ 5 tahun yaitu sebanyak 18 responden

(31,58%).

Dari 57 responden yang diteliti di

Puskesmas I Denpasar Selatan, didapatkan

Page 120: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

230

data skor efikasi diri terendah adalah 16 dan

skor tertinggi adalah 30 dengan rata-rata

skor adalah 23,12. Secara lebih rinci

gambaran skor efikasi diri pada pasien DM

tipe 2 dalam penelitian ini hasilnya disajikan

Hasil distribusi frekuensi kategori efikasi

diri pada pasien diabetes melitus tipe 2 di

Puskesmas I Denpasar Selatan dapat

dijelaskan seperti tabel 11.

Tabel 11. Gambaran Efikasi Diri pada

pasien Diabetes Melitus Tipe 2

No. Efikasi

Diri

Frekuen

si (N)

Presentase

(%)

1.

2.

3.

Baik

Cukup

Kurang

35

19

3

61,40

33,33

5,27

Jumlah 57 100,00

Berdasarkan tabel 11 , peneliti

mendapatkan efikasi diri yang dimiliki

pasien Diabetes Melitus tipe 2 sebagian

besar yakni 35 responden (61,40%)

memiliki efikasi diri yang baik.

Dalam penelitian ini yang menjadi

sampel adalah pasien Diabetes Melitus tipe

2 yang melakukan rawat jalan di Puskesmas

I Denpasar Selatan. Jumlah total respoden

adalah sebanyak 57 orang. Dilihat dari

tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui

karakteristik responden pasien Diabetes

Melitus tipe 2 dan gambaran efikasi diri

pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 di

Puskesmas I Denpasar Selatan dapat

diuraikan sebagai berikut :

Berdasarkan hasil penelitian dilihat dari

karakteristik usia yang terbanyak menderita

Diabetes Melitus tipe 2 dari 57 responden

adalah usia 46-55 tahun dengan jumlah

responden 26 responden (45,61%). Hal ini

sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh

Smeltzer& Bare, (2002) bahwa biasanya

diabetes mellitus terjadi pada usia diatas 30

tahun dan banyak dialami oleh dewasa

diatas 40 tahun karena resistensi insulin

pada penderita diabetes mellitus meningkat

pada usia 40-60 tahun. Usia sangat erat

kaitannya dengan kenaikan kadar gula

dalam darah, sehingga semakin meningkat

usia maka prevalensi DM dan gangguan

toleransi glukosa semakin tinggi. Proses

menua yang berlangsung setelah usia 30

tahun mengakibatkan perubahan anatomis,

fisiologis dan biokimia. Menurut WHO

setelah usia 30 tahun, maka kadar glukosa

darah akan naik 5,6-13 mg/dL pada 2 jam

setelah makan (Sudoyo, 2006). Ini berbeda

dengan hasil penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh YesiAriani (2011) tentang

hubungan motivasi dengan efikasi diri pada

pasien diabetes melitus tipe 2 menyatakan

responden terbanyak dengan umur 59,32

tahun dengan median 58 tahun dan modus

58 tahun.

Sesuai dengan hasil penelitian di atas

dapat dikatakan bahwa umur merupakan

salah satu faktor yang mempertinggi risiko

terjadinya DM tipe 2 ditambah lagi manusia

akan mengalami perubahan fisiologis tubuh

setelah umur 40 tahun, maka peluang

seseorang yang telah mengalami proses

penuaan untuk terkena DM tipe 2 akan

meningkat apalagi dibarengi dengan pola

hidup yang tidak baik.

Berdasarkan hasil penelitian dilihat dari

karakteristik jenis kelamin didapatkan data

bahwa yang terbanyak menderita diabetes

melitus tipe 2 dari 57 responden adalah jenis

kelamin perempuan yaitu 36 responden

(63,16%). Diabetes melitus merupakan salah

satu penyakit dengan angka kejadian

tertinggi di Indonesia dan tingginya angka

tersebut menjadikan Indonesia peringkat

keempat jumlah penderita DM terbanyak di

dunia setelah India, China, dan Amerika

Serikat (Suyono, 2006). Tingginya kejadian

DM tipe 2 pada perempuan dipengaruhi oleh

beberapa faktor risiko, seperti obesitas,

kurang aktivitas/latihan fisik, usia, dan

riwayat DM saat hamil Radi (2007 dalam

Ariani 2011). Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian YesiAriani (2011) mengenai

hubungan motivasi dengan efikasi diri pada

pasien Diabetes Melitus tipe 2, sebagian

besar responden (60%) berjenis kelamin

perempuan.

Dari data diatas dapat disimpulkan

bahwa perempuan berisiko lebih tinggi

mengalami diabetes melitus tipe 2 daripada

Page 121: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

231

laki-laki. Ini dikarenakan beberapa faktor

risiko diatas lebih sering dialami wanita,

terlebih lagi pada wanita yang sulit untuk

mengatur gaya hidupnya.

Berdasarkan hasil penelitian dilihat dari

karakteristik pendidikan terbanyak

menderita Diabetes Melitus tipe 2 dari 57

responden adalah pendidikan SMA yaitu

sebanyak 21 responden (36,84%). Menurut

Notoatmodjo (2005), tingkat pendidikan

merupakan indikator bahwa seseorang telah

menempuh jenjang pendidikan formal di

bidang tertentu, namun bukan indikator

bahwa seseorang telah menguasai beberapa

bidang ilmu. Seseorang dengan pendidikan

yang baik, lebih matang terhadap proses

perubahan pada dirinya, sehingga lebih

mudah menerima pengaruh luar yang positif,

objektif dan terbuka terhadap berbagai

informasi termasuk informasi tentang

kesehatan. Hal ini sesuai dengan penelitian

YesiAriani (2011) yang menyatakan

sebagian besar responden di RSUP H. Adam

Malik, Medan berada pada kategori tinggi,

yaitu SMA dan perguruan tinggi/akademik

(68,2%).

Dari data diatas dapat disimpulkan

bahwa penderita DM yang memiliki

pendidikan tinggi lebih mudah untuk

mengakses berbagai informasi mengenai

penyakit dan penatalaksanaannya untuk

mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut

yang dapat disebabkan oleh DM tipe 2.

Berdasarkan data tabel karakteristik

pekerjaan, peneliti mendapatkan bahwa

yang terbanyak menderita Diabetes Melitus

tipe 2 dari 57 responden adalah tidak bekerja

sebanyak 26 responden (45,61%). Salah satu

faktor penyebab terjadinya DM tipe 2 adalah

stres. Tingkat gula darah tergantung pada

kegiatan hormon yang dikeluarkan oleh

kelenjar adrenal, yaitu adrenalin dan

kortikosteroid. Kedua hormon tersebut

mengatur kebutuhan ekstra energi tubuh

dalam menghadapi keadaan darurat.

Adrenalin akan memacu kenaikan

kebutuhan gula darah dan kortikosteroid

akan menurunkannya kembali. Adrenalin

yang terus menerus dipacu akan

mengakibatkan insulin kewalahan mengatur

kadar gula darah yang ideal dan naik secara

drastis (Vitahealth, 2005). Kondisi pekerjaan

merupakan salah satu stressor bagi penderita

DM tipe 2, yang dapat menurunkan

kemampuan seseorang untuk menyelesaikan

masalah. Kondisi ini kemungkinan dapat

memperberat kondisi pasien DM tipe 2 yang

berdampak pada penurunan efikasi diri dan

manajemen perawatan diri. Hasil penelitian

ini didukung oleh penelitian yang dilakukan

oleh YesiAriani (2011) yang menyatakan

bahwa sebagian besar responden di RSUP

H. Adam Malik, Medan adalah tidak

bekerja, baik tidak bekerja dalam arti

sesungguhnya atau pensiun.

Dari data diatas dapat disimpulkan

bahwa seseorang yang tidak memiliki

pekerjaan berisiko terkena DM tipe 2.

Seseorang yang bekerja dengan yang tidak

bekerja tentu akan memiliki tingkat stres dan

penyelesaian masalah yang berbeda.

Terlebih lagi tuntutan ekonomi yang

semakin meningkat setiap harinya akan

menuntut seseorang untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Hal ini akan memicu

stress, terlebih lagi tidak memiliki

pekerjaan, sehingga secara tidak langsung

stres menjadi penyebab diabetes mellitus

tipe 2, ditambah lagi dengan pola hidup

yang tidak teratur setiap harinya.

Berdasarkan data tabel karakteristik

lama menderita DM tipe 2, peneliti

mendapatkan bahwa yang lama menderita

DM tipe 2 terbanyak adalah < 5 tahun

sebanyak 39 responden (68,42%). Diabetes

Melitus tipe 2 merupakan penyakit yang

baru terdiagnosa saat telah timbulnya

komplikasi yang terjadi selama bertahun-

tahun. Akibat intoleransi glukosa yang

berlangsung lambat (selama bertahun-tahun)

dan progresif, maka awitan diabetes tipe 2

dapat berjalan tanpa deteksi (Smeltzer&

Bare, 2002). Ini berbeda dengan hasil

penelitian YesiAriani (2011) yang

menyatakan bahwa lama pasien terdiagnosa

DM tipe 2 yang didapatkan dari responden

rata-rata telah menderita DM tipe 2 selama 6

tahun.

Dari data diatas dapat disimpulkan

bahwa DM tipe 2 akan terdeteksi tanpa

Page 122: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

232

disengaja setelah bertahun-tahun, dan

biasanya akan dibarengi oleh timbulnya

komplikasi. DM tipe 2 biasanya disebabkan

oleh pola hidup yang tidak teratur. Seperti

yang kita ketahui masyarakat yang memiliki

pola hidup yang tidak sehat dari segi

makanan yang lebih menyukai makanan

cepat saji dan kurangnya aktivitas fisik

tentunya akan meningkatkan angka kejadian

DM tipe 2 yang baru akan terdeteksi setelah

bertahun-tahun.

Berdasarkan hasil penelitian efikasi diri

pada pasien DM tipe 2 berdasarkan

karakteristik usia yang memiliki efikasi diri

baik adalah pada rentang umur 56-65 tahun

yaitu sebanyak 17 responden (29,82%). Usia

> 55 tahun dapat dikatakan memiliki efikasi

diri yang baiik, semakin matang akan

meningkatkan efikasi diri seseorang. Ini

didukung oleh teori Potter dan Perry (2005),

usia 40-65 tahun disebut juga tahap

keberhasilan, yaitu waktu untuk pengaruh

maksimal, membimbing diri sendiri dan

menilai diri sendiri, sehingga pasien

memiliki efikasi diri yang baik. Ini didukung

oleh enelitianWantiyah, Sitorus dan Gayatri

2010 dalam Ariani, 2011) mengindikasikan

bahwa pasien yang lebih tua lebih yakin

akan kemampuannya untuk mengelola dan

melakukan perawatan penyakitnya.

Semakin bertambahnya usia seseorang

maka akan memulai untuk membimbing diri

sendiri dan menilai diri sendiri, serta lebih

fokus terhadap penerimaan penyakit yang

dialaminya sehingga pasien akan memiliki

efikasi diri yang baik.

Berdasarkan hasil penelitian, responden

yang paling banyak memiliki efikasi diri

baik berada pada jenis kelamin perempuan

yaitu sebanyak 22 responden (38,60%).

Hasil penelitian ini berbeda dengan

penelitian oleh Mystakidou et al., (2010

dalam Ariani, 2011) pada pasien kanker

yang menyimpulkan bahwa efikasi diri

dipengaruhi oleh komponen kecemasan,

usia, kondisi fisik dan jenis kelamin.

Berdasarkan penelitian tersebut, laki-laki

memiliki efikasi diri lebih tinggi

dibandingkan perempuan.

Dilihat dari jenis kelamin, perempuan

memiliki efikasi diri yang lebih baik dari

laki-laki. Perempuan dianggap lebih patuh

dalam menjalani pengobatan dan perawatan

diri dibandingkan laki-laki. Selain itu

perempuan memiliki mekanisme koping

yang lebih baik daripada laki-laki dalam

menghadapi sebuah masalah.

Berdasarkan hasil penelitian, responden

yang paling banyak memiliki efikasi diri

baik, yaitu SMA sebanyak 19 responden

(33,33%). Menurut Notoatmodjo (2005),

tingkat pendidikan merupakan indikator

bahwa seseorang telah menempuh jenjang

pendidikan formal di bidang tertentu, namun

bukan indikator bahwa seseorang telah

menguasai beberapa bidang ilmu. Seseorang

dengan pendidikan yang baik, lebih matang

terhadap proses perubahan pada dirinya,

sehingga lebih mudah menerima pengaruh

luar yang positif, objektif dan terbuka

terhadap berbagai informasi termasuk

informasi tentang kesehatan. Menurut Wu et

al. (2006 dalam Ariani, 2011), juga

mengatakan bahwa pasien dengan tingkat

pendidikan yang lebih tinggi dilaporkan

memiliki efikasi diri dan prilaku perawatan

diri yang baik.

Pasien dengan tingkat pendidikan yang

lebih tinggi memiliki efikasi diri dan prilaku

perawatan diri yang baik. Namun,

pengalaman peneliti mendapatkan bahwa

beberapa responden dengan pendidikan

tinggi mengerti tentang penyakit dan

penatalaksanaannya namun belum bisa

melaksakan dengan benar.

Berdasarkan hasil penelitian, responden

yang paling banyak memiliki efikasi diri

baik adalah pekerja swasta yaitu sebanyak

14 responden (24,56%). Pekerjaan juga

dapat mempengaruhi tingkat kesehatan klien

dengan cara meningkatkan risiko terjadinya

penyakit dan mempengaruhi cara bagaimana

atau dimana klien masuk ke dalam sistem

pelayanan kesehatan sehingga seseorang

yang bekerja memiliki kepercayaan diri

yang lebih tinggi untuk mengatasi

masalahnya (Potter & Perry, 2005). Hal ini

didukung oleh penelitian Lau-Walker (2007

dalam Wantiyah, Sitorus&Gayatri, 2010

Page 123: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

233

dalam Ariani, 2011) menunjukkan bahwa

pekerjaan secara signifikan sebagai

prediktorefikasi diri secara umum, atau

dengan kata lain seseorang yang bekerja

memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi

untuk mengatasi masalahnya.

Dapat disimpulkan bahwa pekerjaan

seseorang dapat meningkatkan efikasi diri

pada pasien DM tipe 2.

Berdasarkan hasil penelitian, responden

yang paling banyak memiliki efikasi diri

baik berada pada lama menderita DM tipe 2

≥ 5 tahun yaitu sebanyak 18 responden

(31,58%). Sepanjang waktu seiring dengan

lamanya penyakit yang dialami, pasien dapat

belajar bagaimana seharusnya melakukan

pengelolaan penyakitnya. Pengalaman

langsung pasien merupakan sumber utama

terbentuknya efikasi diri (Bandura, 1997).

Hal ini didukung oleh penelitian Wu et al.

(2006 dalam Ariani, 2011), menemukan

bahwa pasien yang telah menderita diabetes

melitus ≥ 11 tahun memiliki efikasi diri

yang baik daripada pasien yang menderita

diabetes melitus<10 tahun. Hal ini

disebabkan karena pasien telah

berpengalaman mengelola penyakitnya dan

memiliki koping yang baik.

Semakin lama seseorang terdiagnosa

penyakit, maka semakin baik mekanisme

koping dan banyak pengalaman yang

dimiliki dalam menghadapi penyakitnya

sehingga akan memiliki efikasi diri yang

jauh lebih baik.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh

sebagian besar responden Diabetes Melitus

tipe 2 di Puskesmas I Denpasar Selatan

memiliki efikasi diri yang baik yaitu 35

responden (61,40%). Efikasi diri

berhubungan dengan situasi yang spesifik,

yang tidak berlaku untuk konsep-konsep

terkait seperti harga diri, kepercayaan diri

dan locus of control (Maibach & Murphy,

1995 dalam Shortridge-Bagget & Lens,

2002). Dengan kata lain, untuk setiap

individu berhak menentukan, apakah dia

harus percaya diri atau tidak,tetapi bukan

apakah individu ini umumnya memiliki

ukuranefikasi diri yang tinggi atau rendah.

Dengan demikian keberhasilan bukanlah ciri

kepribadian, tetapi mudah untuk

mempengaruhi karakteristik yang ketat

situasi dan tugas yang terkait.Efikasi diri

mendorong proses kontrol diri untuk

mempertahankan prilaku yang dibutuhkan

dalam mengelola perawatan diri pada pasien

diabetes melitus. (Shortridge-Bagget &

Lens, 2002). Keberhasilan pengelolaan

diabetes melitus tergantung pada informasi

tentang diabetes melitus tipe 2, motivasi,

dan efikasi diri pasien untuk melakukan

perawatan diri yang dirancang untuk

mengontrol gejala psikologis maupun

komplikasi (Wu et al., 2006 dalam Ariani,

2011). Efikasi diri yang kurang tentu saja

akan menimbulkan dampak psikologis yang

akan muncul akibat penyakit DM tipe 2

karena seperti yang kita ketahui DM tipe 2

merupakan salah satu penyakit kronis.

Efikasi diri dapat ditingkatkan dengan

pemberian informasi mengenai diabetes

melitus tipe 2 itu sendiri, sehingga tingkat

pengetahuan pasein akan bertambah

mengenai manajemen kontrol diabetes. Hal

ini didukung oleh hasil penelitian

YesiAriani (2011) yang menyatakan bahwa

lebih dari setengah jumlah responden

(52,7%) memiliki efikasi diri yang baik

dalam perawatan DM tipe 2. Dari data diatas

dapat disimpulkan bahwa sebagian besar

dari jumlah responden memiliki efikasi diri

yang baik sehingga dampak psikologis tidak

akan timbul pada pasien DM tipe 2 tersebut.

Hasil efikasi diri yang baik pada pasien

DM tipe 2 di Puskesmas I Denpasar Selatan

ini tidak lepas dari beberapa faktor

pendukungnya. Salah satu faktor pendukung

dari dalam puskesmas itu sendiri, yaitu

program atau kegiatan-kegiatan yang telah

dilakukan puskesmas dalam rangka

menurunkan angka kejadian DM dan

komplikasi baik fisik dan psikologis beserta

penatalaksanaannya. Seperti pengadaan

penyuluhan tentang diabetes melitus tipe 2

pada pasien baik secara lisan maupun

melalui media yang telah disediakan oleh

puskesmas.

Page 124: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

234

SIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan, maka

didapat kesimpulan bahwa : Dari 57

responden yang terbanyak menderita

Diabetes Melitus tipe 2 usia 46-55 tahun

sebanyak 26 responden (45,61%), jenis

kelamin perempuan yaitu sebanyak 37

responden (64,91%), tingkat pendidikan

SMA sebanyak 20 responden (35,09%),

tidak bekerja sebanyak 25 responden

(45,61%), dan lama menderita DM tipe 2

adalah < 5 tahun sebanyak 40 responden

(70,18%). Dari 57 responden responden

didapatkan efikasi diri baik pada pasien DM

tipe 2 ada pada rentang usia 56-65 tahun

sebanyak 17 responden (29,82%), pasda

jenis kelamin perempuan sebanyak 22

responden (38,60%), pada tingkat

pendidikan SMA sebanyak 19 responden

(33,33%), dengan pekerjaan swasta

sebanyak 14 responden (24,56%), dan lama

menderita DM tipe 2 ≥ 5 tahun sebanyak 18

responden (31,58%). Efikasi diri pada

pasien Diabetes Melitus tipe 2 pada 57

responden didapatkan bahwa sebagian besar

efikasi diri pada pasien Diabetes Melitus

tipe 2 baik sebanyak 35 responden

(61,40%).

DAFTAR RUJUKAN Ariani, Y., 2011, Hubungan Motivasi

dengan Efikasi Diri Pasien DM Tipe 2 Dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSUP. H. Adam Malik Medan, (online), lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20282755 T%20 esi%20Ariani . pdf ,(18 Februari, 2014).

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia, 2008, Riskesdas 2007, (online), available on: www.k4health.org/sites/.../laporanNasional%20Riskesdas%202007.pdf , (20 februari 2014).

Bali Post, 2012, Penderita Diabetes di Bali Lampaui Rata-rata Nasional, (online). avilable: http://www.balipost.co.id., (18 Februari, 2014).

Bandura, A, 1997, Self-Efficacy:The Exercise of Control, New York: Springer Publishing Company.

Baradero, dkk. 2009. Klien dengan Gangguan Endokrin. Jakarta: EGC.

Lenz, E.R. &Shortridge-Bagget, L.,M.,2002, Self-efficacy in Nursing Research and Measurement Perspective, New York: Springer Publishing Company.

Notoatmodjo, S., 2005, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta: Rineka Cipta.

PERKENI, 2011, Konsesus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia, Jakarta: PB.PERKENI.

Potter. P. A. &Perry,A.G., (2005), Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktek, Jakarta: EGC

Sindonews, 2013, Jumlah penderita diabetes di Indonesia masuk 7 dunia, (online), available on: http://nasional.sindonews.com, (27 Februari).

Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner andSuddarth. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC.

Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I., 2013, Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu, Jakarta: FKUI.

Suyono, S., 2010, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V, Jilid III, Jakarta: Interna Publishing.

Tomey, A.M. &Alligood, M.R. (2006). Nursing Theories and Their Work. 6th ed.USA: Mosby Elsevier

Trisnawati, S., Widarsa T., Suastika, K., 2013, Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe II Pasien Rawat Jalan Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Denpasar Selatan Tahun 2013, (online), available on: ojs.unud.ac.id/index.php/phpma/ article/download/6636/5069 (20 Februari, 2014).

Page 125: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

235

TERAPI TERTAWA TERHADAP PASIEN GANGGUAN JIWA

DENGAN DEPRESI

I Gede Widjanegara

I GNP Putra

Putu Richa Paryl Mailand

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

Email: wijanegara_ i_ [email protected]

Abstrac : The laugther therapi on patients with depresive disorder. The purpose of

research to determine the effec of laugther therapi on patients with depresive

disorder. Design research used is quasy experiment one-group - pre-post-test without

the control group. Research instrument used namely beck depression inventory (BDI )

to measure the depression.Value pre tests showed mostly respondents be in a state of

depression heavy ( 80 % ) and depression being ( 20 % ).While based on post test

almost all respondents are in good range score mild depression ( 90 % ) and 10 %

decreased value but are in range score depression heavy. The data analysis using test

wilcoxon test shown p = 0,006 ( less than 0,005 ) and value z = -2.739.The result

showed absence of difference value pre tests and post test a significant on a level

depression mental disorder patients with depression after the intervention therapy

laughing during seven days.

Abstrak : Terapi Tertawa Terhadap Pasien Gangguan Jiwa Dengan Depresi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh terapi tertawa terhadap pasien

gangguan jiwa dengan depresi.Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi

eksperimen dalam satu kelompok pre tes dan pos tes tanpa kelompok kontrol. Alat

ukur yang digunakan adalah Beck Depression Inventory (BDI). Nilai pre tes

menunjukkan sebagian besar responden mengalami depresi berat (80%) dan 20 %

mengalami depresi ringan. Hasil pos tes menunjukkan skor depresi ringan (90%) dan

10 % mengalami penurunan tetapi masih pada taraf depresi berat. Analisa data

dilakukan dengan uji Wilcoxon diperoleh nilap p= 0,006 lebih kecil dari 0,05 nilai

z = -2.739 ini berarti ada pengaruh signifikan terapi tertawa terhadap penurunan

tingkat depresi pada pasien gangguan jiwa.

Kata Kunci : terapi tertawa, gangguan jiwa, depresi

Gangguan jiwa merupakan salah satu

dari empat masalah kesehatan utama di

Negara maju, modern dan industri. Ke

empat masalah kesehatan utama tersebut

meliputi cancer, penyakit degenerative,

gangguan jiwa dan kecelakaan. Gangguan

jiwa tersebut tidak dianggap sebagai

gangguan yang menyebabkan kematian

secara langsung namun beratnya gangguan

tersebut dalam arti ketidakmampuan secara

individu maupun kelompok yang akan

menghambat pembangunan karena tidak

produktif dan tidak efisien (Hawari, 2003).

Data dari WHO (2009) memperkirakan

450 juta orang diseluruh dunia mengalami

gangguan mental, sekitar 10% orang dewasa

mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25%

penduduk diperkirakan akan mengalami

gangguan jiwa pada usia tertentu selama

hidupnya. Gangguan ini biasanya terjadi

pada dewasa muda antara usia 18-21 tahun

(WHO, 2009). Menurut National Institute of

Mental Health, gangguan jiwa mencapai

13% dari penyakit secara keseluruhan dan

diperkirakan akan berkembang menjadi 25%

di tahun 2030. Kejadian tersebut akan

Page 126: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

236

memberikan andil meningkatnya prevalensi

gangguan jiwa dari tahun ke tahun di

berbagai negara.

Data dari Departemen Kesehatan RI

(2008) menyatakan prevalensi gangguan

jiwa di Indonesia tertinggi terdapat di

Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (24,3%),

lalu Nangroe Aceh Darusalam (18,5%),

Sumatera Barat (17,7%), NTB (10,9%),

Sumatera Selatan (9,2%), dan Jawa Tengah

(6,8%).

Berdasarkan laporan tahunan Rumah

Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Bali tahun 2013

bulan April total pasien 396 orang menjalani

rawat inap dengan diagnose depresi 9 orang,

rawat jalan sebanyak 1854 orang dengan

diagnose depresi 56 orang, Bulan Mei rawat

inap 444 orang dengan diagnose depresi 7

orang, rawat jalan 1938 dengan diagnose

depresi 76 orang, Bulan Juni 438 orang

rawat inap dengan diagnose depresi 8 orang,

rawat jalan 1941 orang dengan diagnose

depresi 72 orang, Bulan Juli rawat inap 451

orang dengan diagnose depresi 15 orang,

rawat jalan 2018 orang dengan diagnose

depresi 93 orang dengan BOR : 104,19 %.

Ini memperlihatkan bahwa setiap bulannya

terjadi peningkatan jumlah pasien dengan

gangguan jiwa yang dilayani Rumah Sakit

Jiwa Provinsi Bali. Sepuluh besar gangguan

jiwa yang dirawat di Rumah Sakit jiwa

Bangli adalah Skizofrenia, gangguan mental

organik, depresi, epilepsy, skizo afektif tipe

manik, psikotik lir skz akut, skizoafektif tipe

depresif, psikotik akut, gangguan mental dan

perilaku, dan gangguan afektif bipolar.

Stres dan tekanan kehidupan modern

menimbulkan dampak buruk terhadap

pikiran dan tubuh manusia. Penyakit yang

menyebabkan gangguan pikiran seperti

kecemasan, depresi, gangguan syaraf dan

insomnia mengalami peningkatan. Tertawa

banyak membantu orang yang menggunakan

obat anti depresi, dan obat penenang . Pasien

lebih mudah tidur dan mengalami penurunan

tingkat depresi. Pasien depresi tidak

mungkin bisa membangkitkan energinya

untuk menghadapi masalah karena dalam

kondisi depresi tersebut kondisi fisik dan

mental sedang down. Maka untuk

membangkitkan energi itu disini tertawa

bisa membantu. Tertawa bisa membuat

seseorang bisa tenang dan terhibur sehingga

ia bisa melepaskan diri dari kungkungan

depresi (Khansa 2013).

Depresi dapat diartikan sebagai salah

satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam

perasaan yang ditandai dengan kemurungan,

kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan

tidak berguna, putus asa, dan sebagainya.

Individu yang menderita suasana perasaan

(mood) yang depresi biasanya akan

kehilangan minat dan kegembiraan dan

berkurangnya energy yang menuju keadaan

mudah lelah dan berkurangnya aktifitas

(Katona 2012).

Tarigan (2009) menguraikan bahwa

terapi tertawa bermanfaat menguatkan

system kekebalan tubuh, sebagai latihan

aerobic terbaik, dapat mengatasi gangguan

kejiwaan, kecemasan dan depresi, mengatasi

tekanan darah tinggi, sebagai penghilang

rasa sakit alami, sebagai jogging internal,

dan membantu terlihat lebih muda dari usia

sebenarnya. Penelitian Emawati C. (2012)

menunjukan hasil signifikan pemberian

terapi tertawa pada tingkat kemarahan klien

dengan resiko perilaku kekerasan dengan

intervensi selama tujuh hari.

Ruangan terpadu adalah satu ruang

rawat inap dengan kapasitas 78 tempat tidur

yang melayani klas perawatan asing, utama,

klas I, klas II dan klas III pada pasien

gangguan jiwa dengan berbagai diagnose

medis. Tidak semua pasien yang sudah

terkontrol dengan obat yang melaksanakan

kegiatan ke ruang rehabilitasi. Sebagian

pasien yang sudah stabil ini memerlukan

kegiatan lain. Terapi tertawa merupakan

salah satu terapi komplementer yang bisa

diterapkan bagi pasien yang sudah terkontrol

dengan terapis yang berfungsi untuk lebih

menenangkan pasien. Terapi tertawa ini

mempengaruhi system hormone yang ada di

dalam tubuh sehingga dapat menenangkan

pasien. Untuk melengkapi terapi yang telah

dilaksanakan perlu dikembangkan model

terapi komplementer yang lainnya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui pengaruh terapi tertawa

Page 127: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

237

terhadap pasien gangguan jiwa dengan

depresi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali

Tahun 2014.

METODE

Jenis penelitian ini adalah Quasi

Eksperimen tanpa pembanding atau

eksperimen semu. Disebut demikian karena

eksperimen jenis ini belum memenuhi

persyaratan seperti cara dapat dikatakan

ilmiah mengikuti peraturan-peraturan

tertentu.

Rancangan penelitian ini adalah one

group pre test and post test design tanpa

menggunakan kelompok pembanding

(kontrol), tetapi pada penelitian ini

pengujian pertama (pre test) yang

memungkinkan peneliti dapat menguji

perubahan-perubahan yang terjadi setelah

adanya eksperimen. Pada penelitian ini,

peneliti melakukan treatment yaitu terapi

tertawa terhadap subjek penelitian kemudian

dinilai pengaruhnya pada pengujian kedua

(post test). Penelitian ini dilaksanakan di

Ruang Terpadu Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Bali selama 7 hari. Sampel dalam penelitian

ini adalah pasien gangguan jiwa yang

mengalami depresi. Sampel diambil dengan

menggunakan teknik non probability

sampling dengan purposive sampling yang

memenuhi kriteria inklusi sebanyak 10

orang pasien laki-laki. Alat ukur yang

dipakai dalam penelitian ini adalah alat ukur

baku yaitu BDI. Teknik analisa data yang

digunakan adalah analisa bivariat

menggunakan uji Wilcoxon signed rank test.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini jumlah responden 10

orang, semua responden adalah pasien

gangguan jiwa yang mengalami depresi.

Data tingkat depresi responden sebelum

diberikan terapi tertawa ditentukan dengan

menggunakan kuesioner Beck Depression

Inventory (BDI) dengan cara menjumlah

skor dari setiap jawaban yang diberikan

responden. Adapun distribusi frekuensi

tingkat depresi responden adalah 2 orang

dengan depresi sedang dan 8 orang dengan

depresi berat.

Identifikasi tingkat depresi responden

setelah diberikan terapi tertawa adalah 7

orang responden mengalami penurunan

tingkat depresi ke depresi ringan, 2 orang

responden mengalami penurunan tingkat

depresi ke depresi sedang dan 1 orang

responden mengalami penurunan nilai

depresi tetapi tetap dalam rentang skor

depresi berat.

Analisa pengaruh pemberian terapi

tertawa pada pasien gangguan jiwa dengan

depresi dilakukan dengan cara analisis data

hasil penelitian dengan menggunakan Uji

Wilcoxox signed rank test dengan bantuan

Program SPSS. Uji Wilcoxoxn signed rank

test dipilih karena melakukan uji sampel

berpasangan yaitu sebelum dan sesudah

perlakuan dan skala data adalah ordinal

untuk mengetahui apakah ada pengaruh,

maka digunakan p. value yang

dibandingkan dengan Ho dengan (α) 5 %

atau 0,05. Bila p. value ≤ 0,05 maka Ho

ditolak yang berarti ada pengaruh signifikan

terapi tertawa terhadap pasien gangguan

jiwa dengan depresi. Hasil penelitian didapat

nilai p.value 0,006 ini berarti ada pengaruh

signifikan terapi tertawa terhadap penurunan

tingkat depresi pada pasien gangguan jiwa

dengan depresi.

Hasil analisa pengaruh terapi tertawa

terhadap pasien gangguan jiwa dengan

depresi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali

tahun 2014 adalah seperti pada Tabel :

Tabel 1. Analisis Pengaruh Terapi Tertawa

Terhadap Pasien Gangguan Jiwa

Dengan Depresi

Tingkat Depresi

Setelah Perlakuan Total

Ringan Sedang Berat

n % n % n % n %

Sebelum

Perlakuan

Berat 5 50 2 20 1 10 8 80

Sedang 2 20 - - - - 2 20

Total 7 70 2 20 1 10 10 100

p.value 0,006

Page 128: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

238

Dari hasil uji Wilcoxon signed rank test

dengan p.value 0,006 maka hipotesis

diterima yang berarti ada pengaruh

signifikan terapi tertawa terhadap pasien

gangguan jiwa dengan depresi.

Hasil penelitian ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Emawati,C.

(2012) dengan judul Pengaruh Terapi

Tertawa Terhadap Tingkat Kemarahan Klien

Skizofrenia dengan resiko Perilaku

Kekerasandi Ruang Rawat Inap Rumah

Sakit Grhasia Yogyakarta.

Hasil perhitungan dengan uji Wilcoxon

signed rank test dengan p.value = 0,006 atau

p≤ 0,05 dan nilai Z ═ - 2.739, hal ini

menunjukkan bahwa hipotesis penelitian

diterima dan berarti ada pengaruh signifikan

terapi tertawa terhadap pasien gangguan

jiwa dengan depresi yaitu terjadi penurunan

tingkat depresi. Data penelitian

menunjukkan 90% responden mengalami

penurunan tingkat depresi, 10 % mengalami

penurunan nilai namun masih dalam rentang

skor depresi berat.

SIMPULAN

Pemberian Terapi Tertawa selama tujuh

hari terhadap pasien gangguan jiwa dengan

depresi berpengaruh secara signifikan

terhadap penurunan tingkat depresi pada

pasien gangguan jiwa.

DAFTAR RUJUKAN Departemen Kesehatan RI, 2008. Prevalensi

gangguan jiwa di Indonesia Emawati, C. 2012. Pengaruh Terapi

Tertawa Terhadap Tingkat Kemarahan Klien Skizofrenia Dengan Risiko Perilaku Kekerasan Di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia PROVINSI D.I Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiah on line. (http://publikasi.umy.ac.id/index.php/psik/article/ viewile/5093/4381 diakses tanggal 20 Nopember 2013).

Hawari, D. 2003, Pendekatan Holistik Pada

Gangguan Jiwa Skizofrenia, Balai Penerbit FKUI, Jakarta

Katona, Cornelius, Cooper Claudin,

Robertson Mary, 2012. At a Glance psikiatri. Edisi 4. Jakarta: Erlangga.

Khanza V,2013.THE MIRACLE OF SMILE:Second Hope

Rumah Sakit Jiwa Propinsi Bali, 2013.

Laporan Tahunan RSJ Propinsi Bali Tarigan, I. 2009, Sehat dengan Terapi

Tertawa, On line (http://www.media Indonesia.com, diakses tanggal 15 Nopember 2013).

WHO, 2009, Improving Health System and

Service for Mental Health, WHO Library.

Page 129: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

239

Page 130: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

240

Page 131: PENGALAMAN PERAWAT MELAKSANAKAN PENGKAJIAN …repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1444/3/GABUNGAN... · permasalahannya apa, itu yang paling sering kita lakukan terlebih dahulu…"

241