penanganan jalan nafas
-
Upload
fahmi-nurzaman -
Category
Documents
-
view
156 -
download
0
description
Transcript of penanganan jalan nafas
PENANGANAN KESULITAN PENGUASAAN JALAN NAFAS
Agata Novitasari*, Donni Indra Kusuma**
ABSTRACT
Airway management was a crucial case both in handling critical patients
or in anesthesia. Airway management could be done by using non-invasive or
invasive techniques. The biggest difficulty for a competent medician if the airway
could not be controlled due to several factors. The best way to manage patients
with difficult airways was to recognize the difficulty of the airway. Accurate
prediction was essential to plan and carry out control measures of difficult
airway. A competent medician should had more than one option for handling in
the difficult airway situation, when the first action was failed, so they have
already prepared alternative measurement.
Keywords: airway management, difficult airway, invasive, non-invasive
techniques
ABSTRAK
Penguasaan jalan nafas merupakan hal yang sangat penting baik dalam
penanganan pasien kritis maupun dalam tindakan anestesi. Penguasaan jalan nafas
dapat dilakukan dengan teknik non-invasive atau teknik invasive. Kesulitan
terbesar bagi seorang tenaga medis yang berkompeten apabila jalan nafas tidak
dapat dikuasai karena beberapa faktor. Cara terbaik untuk menangani pasien
dengan jalan nafas sulit adalah dengan mengenali kesulitan jalan nafas tersebut.
Prediksi yang tepat adalah hal yang penting untuk merencanakan dan melakukan
tindakan penguasaan jalan nafas sulit. Seorang tenaga medis yang berkompeten
harus memiliki lebih dari satu pilihan penanganan pada jalan nafas sulit, apabila
pada tindakan pertama gagal sehingga sudah mempersiapkan tindakan alternatif .
Kata kunci: penanganan jalan nafas, jalan nafas sulit, teknik non-invasive,
invasive
*Coass FK Universitas Trisakti Periode 12 November s/d 15 Desember 2012
**Dokter Spesialis Anestesiologi BLUD RSUD Semarang
1
PENDAHULUAN
Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam
suatu tindakan anestesi. Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah
dengan melakukan tindakan intubasi endotrakeal, yakni dengan memasukkan
suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang
harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan nafas selalu
bebas dan nafas dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Tahap akhir dari
pelaksanaan intubasi adalah ekstubasi. Dimana tindakan intubasi endotrakeal dan
tindakan ekstubasi merupakan penanganan jalan nafas dengn teknik non-invasive,
selain itu terdapat teknik invasive yaitu berupa operasi atau pembedahan yang
merupakan alternatif terakhir dalam penanganan jalan nafas.(1)
Kesulitan terbesar dari seorang tenaga kesehatan terutama dokter dan
dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat diamankan. Penatalaksanaan
pasien dengan jalas nafas yang normal adalah kunci penting dalam pelatihan
penanganan pasien. Dan pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit
penting untuk dilakukan penanganan. Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1-
18% pasien memiliki anatomi jalan nafas yang sulit. Dari jumlah ini 0,05-0,35%
pasien tidak dapat diintubasi dengan baik, bahkan sejumlah lainnya sulit untuk
diventilasi dengan sungkup. Jika kondisi ini ditempatkan pada seorang dokter
yang memiliki pasien sedang sampai banyak maka dokter tersebut akan menemui
1:10 pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit untuk diintubasi. Dan
efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam bentuknya, dari kerusakan otak
sebagian sampai kematian.(1)
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kesulitan jalan
nafas, bisa disebabkan karena adanya kelainan anatomi jalan napas, penyakit atau
sindroma, dan trauma. Dan pembahasan mengenai anatomi jalan nafas, kesulitan
jalan nafas, serta penatalaksanaannya sangat penting dan akan diuraian
selanjutnya.(1)
ANATOMI JALAN NAFAS
2
Sistem pernafasan terdiri dari jalan nafas atas, jalan nafas bawah dan
paru. Setiap bagian dari sistem ini memainkan peranan penting dalam proses
pernafasan, yaitu dimana oksigen dapat masuk ke aliran darah dan karbon
dioksida dapat dilepaskan.(2)
1. Jalan Nafas Atas
Jalan nafas atas merupakan suatu saluran terbuka yang memungkinkan
udara atmosfer masuk melalui hidung/ mulut, faring, laring, trakea, bronkus,
bronkeolus, hingga ke alveoli. Jalan nafas atas terdiri dari hidung dan rongga
hidung, mulut dan rongga mulut, faring, laring, trakea sampai percabangan
bronkus. Udara yang masuk melalui rongga hidung akan mengalami proses
penghangatan, pelembaban, dan penyaringan dari segala kotoran. Setelah
rongga hidung, dapat dijumpai daerah faring mulai dari bagian belakang
palatum mole sampai ujung bagian atas dari esofagus. Faring terbagi menjadi
tiga yaitu: (2)
1. Nasofaring (bagian atas), di belakang hidung;
2. Orofaring (bagian tengah), dapat dilihat saat membuka mulut;
3. Hipofaring (bagian akhir), sebelum menjadi laring.
Dibawah faring terletak esofagus dan laring yang merupakan
permulaan jalan nafas bawah. Di dalam laring ada pita suara dan otot – otot
yang dapat membuatnya bekerja, serta terdiri dari tulang rawan yang kuat. Pita
suara (plika vokalis) merupakan suatu lipatan jaringan yang mendekati di garis
tengah.(2)
3
Tepat di atas laring, terdapat struktur yang berbentuk daun yang
disebut epiglotis. Epiglotis ini berfungsi sebagai pintu gerbang yang akan
menghantarkan
udara yang menuju
trakea, sedangkan benda
padat dan cairan akan
dihantarkan
menuju esofagus. Dibawah
laring, jalan nafas akan
menjadi trakea, yang terdiri
dari cincin– cincin
tulang rawan. Dan untuk
penanganan
penguasaan jalan
nafas, anatomi rongga mulut juga sangat penting. Yang penting dilihat adalah
posisi gigi, palatum durum, palatum mole, lidah, uvula, serta pilar tonsil
anterior dan posterior. (2)
Gambar 1 : Anatomi jalan nafas atas (dikutip dari daftar pustaka no 2)
2. Jalan Nafas Bagian Bawah
Jalan nafas bawah terdiri dari bronkus dan percabangannya serta paru-
paru. Pada saat inspirasi, udara masuk melalui jalan nafas atas menuju jalan
nafas bawah sebelum mencapai paru-paru. Trakea terbagi dua cabang, yaitu
bronkus utama kanan dan bronkus utama kiri. Masing– masing bronkus utama
4
terbagi lagi menjadi beberapa bronkus primer dan kemudian terbagi lagi
menjadi bronkeolus, dan sampai dengan alveolus.(2)
Gambar 2 : Anatomi jalan nafas bawah (dikutip dari daftar pustaka no 2)
Gambar 3 : Anatomi rongga mulut dan plika vokalis (dikutip dari daftar pustaka no 2)
KESULITAN JALAN NAFAS
Kesulitan Jalan Napas (Difficult airway) menurut The American Society
of Anesthesiologists adalah adanya faktor-faktor klinis yang menyulitkan pada
usaha penanganan penguasaan jalan nafas baik pada ventilasi dengan masker atau
intubasi yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan yang mempunyai
kompetensi, berpengalaman dan terampil. Istilah “jalan nafas sulit” tidak hanya
menggambarkan pada satu kondisi saja, tetapi kesulitan dapat ditemui pada
kondisi yang berbeda-beda. Perhimpunan ASA membagi “jalan nafas sulit”
menjadi beberapa kategori, yaitu: (3,4)
5
1. Kesulitan ventilasi dengan sungkup muka (difficult face mask ventilation)
2. Kesulitan laringoskopi (difficult laryngoscopy)
3. Kesulitan intubasi trakeal (difficult tracheal intubation)
4. Gagal intubasi (failed intubation)
Kesulitan ventilasi dengan sungkup muka merupakan kondisi tidak
sempurnanya memberikan ventilasi dengan sungkup muka oleh karena tidak
eratnya sungkup muka menempel pada muka pasien sehingga terjadi kebocoran
gas yang berlebihan. Kondisi ini bisa disebabkan oleh beberapa hal. Menurut
ASA difficult ventilation adalah ketidakmampuan dari ahli anestesi yang
berpengalaman untuk menjaga SaO2 > 90 % saat ventilasi dengan menggunakan
masker wajah, dan O2 inspirasi 100%, dengan ketentuan bahwa tingkat saturasi
oksigen ventilasi pra tindakan masih dalam batas normal. Terdapat penilaiaan
tersendiri untuk kesulitan ventilasi dengan sungkup muka. Dimana kriteria
penilaian DMV (Difficult Mask Ventilation) adalah: (3,4)
1. Over weight (body mass index > 26 kg/m2)
2. Beard (berjenggot tebal)
3. Elderly (> 55 tahun)
4. Snoring (terdapat riwayat mengorok)
5. Edentulous (gigi ompong)
Dua faktor positif (+) merupakan kemungkinan tinggi Difficult Mask
Ventilation (DMV) atau ada sumber lain yang mengatakan bahwa mendekati
positf 5 (+5) maka terdapat kemungkinan yang besar adanya Difficult Mask
Ventilation (DMV).
Kesulitan laringoskopi adalah kondisi tidak mampunya memvisualisasi
setiap bagian dari pita suara setelah beberapa kali melakukan tindakan
laringoskopi. Beberapa peneliti menggunakan skoring Cornack-Lehane dalam
menilai adanya kesulitan laringoskopi. Skoring Cormack-Lehane adalah sebagai
berikut: (3,4)
Derajat I : tampak seluruh bagian glotis
Derajat II : tampak sebagian glotis atau aritenoid
6
Derajat III : tampak epiglotis
Derajat IV : glotis maupun epiglotis tidak tampak.
Dimana pada derajat III dan IV merupakan kondisi kesulitan laringoskopi.
Penanganan jalan nafas dengan menggunakan teknik intubasi orotrakeal
adalah salah satu skill basic dalam penanganan kondisi kritis. Dan teknik yang
digunakan untuk menilai jalan nafas atas termasuk didalamnya adalah visualisasi/
penglihatan glotis adalah menggunakan laringoskop, memasukkan ETT langsung
ke trakea dengan pandangan langsung tanpa menggunakan alat bantu. Tetapi
kadang terjadi kesulitan laringoskopi dan intubasi yang tidak diprediksi
sebelumnya.(4,5)
Kesulitan intubasi trakea adalah intubasi trakea yang dilakuka berkali-
kali dengan atau tanpa kelainan patologi trakea. Kesulitan melakukan intubasi
trakea merupakan akibat dari kesulitan melakukan laringoskopi. Menurut The
American Society of Anesthesiologists kesulitan intubasi adalah dibutuhkannya >
3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang terakhir dilakukan selama > 10
menit. Untuk penilaian kesulitan intubasi terdapat skoring tersendiri, yaitu
menggunakan MAGBOUL 4 (M & Ms): (3,4)
1. Mallampati
2. Measurement 3-3-2-1 OR 1-2-3-3 Fingers
3. Movement of the neck (pergerakan leher)
4. Malformation of the Skull (S), Teeth (T), Obstruction (O), Pathology (P)
Pemeriksaan Mallampati dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
faring yang tertutup oleh lidah. Terdapat 4 kelas penilaian untuk skoring
Mallampati, yaitu:
Kelas I = tampak palatum mole, palatum durum, uvula, pilar anterior dan
posterior.
Kelas II = tampak palatum mole, palatum durum, dan uvula
Kelas III = tampak palatum mole dan dasar uvula
Kelas IV = tidak tampak palatum mole
7
Pemeriksaan dengan jari tangan (Measurements 3-3-2-1 or 1-2-3-3
Fingers) terdapat 4 kelas penilaian, yaitu:
3 – jari membuka mulut
3 - Fingers Hypomental Distance (3 jari diantara ujung dagu sampai awal
permulaan leher)
2 – jari diantara puncak tiroid sampai dengan dasar mandibula (bagian atas
leher)
1 - Finger Lower Jaw Anterior subluxation
Pemeriksaan gerak leher (Movement of the neck) adalah sudut di antara
tegak dan memanjang pada ektensi leher "normal" yang pada keadaan normal
didapatkan nilai 25-350 (The atlanto-oksipital/ A-O joint). Dimana bisa terdapat
keterbatasan ektensi sendi seperti pada spondylosis, rheumatoid arthritis, trauma
leher, pasien dengan gejala yang menunjukkan kompresi saraf dengan ekstensi
servikal.
Penilaian ke empat adalah ada tidaknya kelainan-kelainan pada pasien
(Malformation of the skull, teeth, obstruction, and pathology), termasuk
didalamnya adalah penilaian:
S = Skull (hidro atau mikrosefalus)
T = Teeth (gigi tonggos, pemakaian gigi palsu, gigi ompong, serta makro dan
mikro mandibula)
O = Obstruction (obesitas, leher pendek, pembengkakan atau massa disekitar
kepala and leher, makroglosia, tumor leher, dan trauma)
P = Pathology (kelainan pada kraniofasial & Sindrom seperti: Treacher
Collins, Goldenhar’s, Pierre Robin, Waardenburg syndromes)
8
Tabel 1 : Skor MAGBOUL 4 (dikutip dari daftar pustaka no 4)
Pada tabel di atas, apabila didapatkan skor 8 atau lebih, maka terdapat
kemungkinan kesulitan intubasi.
Gagal intubasi (failed intubation) adalah ketidakmampuan dalam
memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea dengan usaha lebih dari kali.(3,4)
PENANGANAN JALAN NAFAS SULIT
Bahwa tindakan pengelolaan jalan nafas tidak terbatas pada intubasi saja,
tetapi juga mencakup mempertahankan patensi jalan nafas dan persiapan alat-alat
intubasi. Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah
mungkin jatuh kebelakang dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti
ini dapat segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu atau dengan mendorong
rahang bawah ke arah depan. Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan
airway orofaringeal atau nasofaringeal. Tindakan-tindakan yang digunakan untuk
membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Prosedur-
prosedur ini harus dilakukan immobilisasi segaris, yaitu: (4-6)
1. Chin lift manuever
Jari-jemari salah satu tangan diletakkan di bawah rahang, yang
kemudian secara hati- hati diangkat keatas untuk membawa dagu ke arah
depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah utuk
membuka mulut. Ibu jari juga dapat diletakkan di belakang gigi seri bawah dan
secara bersamaan, dagu dengan hati- hati diangkat. Chin lift manuever tidak
boleh menyebabkan hiperektensi leher. Manuver ini berguna pada korban
trauma karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas
tulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah
tulang dengan cedera spinal.
2. Jaw thrust manuever
Manuver mendorong rahang di lakukan dengan cara memegang sudut
rahang bawah kiri dan kanan, dan mendorong rahang bawah kedepan. Bila
9
cara ini dilakukan sambil memegang masker dari alat bag-valve, dapat
dicapai kerapatan yang baik dan ventilasi yang adekuat.
3. Airway orofaringeal
Pipa orotrakeal disisipkan kedalam mulut dibalik lidah. Teknik yang
dipilih adalah dengan menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah dan
menyisipkan pipa tersebut kebelakang. Alat ini tidak boleh mendorong lidah ke
belakang yang justru akan membuntukan jalan nafas. Teknik lain adalah
dengan menyisipkan pipa orotrakeal secara terbalik, sehingga bagian yang
cekung mengarah ke kranial sampai didaerah palatum mole. Pada titik ini alat
diputar 180°, bagian cekung mengarah ke kaudal, alat diselipkan ketempatnya
di atas lidah. Cara ini tidak boleh dilakukan pada anak-anak, karena rotasi alat
ini dapat mencederai mulut dan faring.
4. Airway nasofaringeal
Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan
dilewatkan dengan hati-hati ke orofaring posterior. Pada penderita yang masih
memberikan respon airway nasofaringeal lebih disukai dibandingkan airway
orofaringeal karena lebih bisa diterima dan lebih kecil kemungkinannya
merangsang muntah. Alat tersebut sebaiknya di lumasi baik-baik, kemudian
disisipkan ke lubang hidung yang tampak tidak tertutup. Bila hambatan
dirasakan selama pemasangan airway, hentikan dan coba melalui lubang
hidung satunya. Bila ujung dari pipa nasofaring bisa tampak di orofaring
posterior, alat ini dapat menjadi sarana yang aman untuk pemasangan pipa
nasogastrik pada penderita dengan patah tulang wajah.
5. Multi-lumen esophageal airway device
Alat ini dipakai oleh paramedik di rumah sakit sebagai alternatif untuk
pemasangan airway definitif. Satu cabang akan berhubungan dengan esofagus,
satu cabang lainnya akan berhubungan dengan jalan nafas. Petugas yang
memasang alat ini sudah terlatih untuk menentukan cabang yang mana akan
berhubungan dengan trakea dan yang mana dengan esofagus. Cabang yang
berhubungan dengan esofagus akan ditutup, dan cabang yang berhubungan
dengan trakhea akan dilakukan ventilasi. Pemakaian detektor CO2 akan
10
meningkatkan akurasi pemasangan alat ini. Bila penderita terpasang alat ini,
maka setelah penilaian penderita, alat ini harus dibuka dan diganti dengan
airway definitif.
6. Laryngeal mask airway (LMA)
LMA bukan airway definitif. Pemasangan alat ini cukup sulit dan
memerlukan latihan yang cukup. Peran alat ini dalam resusitasi penderita
belum jelas. Bila penderita terpasang alat ini, maka setelah penilaian penderita,
harus dipertimbangkan untuk membuka dan diganti dengan airway definitif,
atau membiarkan alat ini di tempatnya.
Pada airway definitif terdapat pipa di dalam trakea dengan balon (cuff)
yang dikembangkan, pipa tersebut dihubungkan dengan suatu alat bantu
pernapasan yang diperkaya dengan oksigen, dan airway tersebut dipertahankan
ditempatnya dengan plaster. Terdapat 3 macam airway definitif, yaitu: pipa
orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi/
trakeostomi ).
Persiapan-persiapan yang diperlukan dalam penanganan jalan nafas sulit
antara lain: (4,5)
1. Inform consent
2. Siapkan satu set alat khusus pengelolaan jalan nafas ( intubation set, pipa
nasofaringeal, LMA)
3. Siapkan asisten untuk membantu pelaksanaan ventilasi dan intubasi
4. Preoksigenasi dengan masker oksigen
Yang termasuk intubation set adalah laringoskop, endotracheal tube,
orotracheal tube (guedel), plester, stilet/ mandren, connector (pipa
penyambung ET dengan mesin anestesi), suction, termasuk juga handscon,
pelumas, sungkup, dan AMBU Bag. Laringoskop sendiri terdiri dari blade dan
handle. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus,
pemilihan dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien
11
Gambar 4 : Jenis blade pada laringoskop (dikutip dari daftar pustaka no 5)
sendiri. Ada beberapa jenis laringoskop khusus, seperti laringokop Bullard dan
Wu untuk membantu dokter anestesi menjamin jalan nafas pada pasien dengan
jalan nafas yang sulit.(5,7)
Gambar 5 : Laringoscope Bullard and Wu (dikutip dari daftar pustaka no 7)
Persiapan yang adekuat untuk menangani pasien dengan jalan nafas sulit
membutuhkan pengetahuan dan juga perlengkapan yang tepat. Pengetahuan yang
dibutuhkan ialah pengetahuan lanjutan yang sama untuk penatalaksanaan semua
pasien, kecuali adanya beberapa tambahan tertentu. Menurut The American
Society of Anesthesiologists (ASA) terdapat algoritma untuk penatalaksanaan
jalan nafas sulit. Algoritma tersebut adalah: (8)
1. Menentukan gejala dan manifestasi klinik dari penatalaksanaan yang akan
dilakukan berdasarkan dari masalahnya, yaitu:
a. Ventilasi sulit
b. Intubasi sulit
c. Kesulitan dengan pasien yang tidak kooperatif
d. Kesulitan trakeostomi
2. Secara aktif mencari kesempatan untuk menangani kasus-kasus
penatalaksanaan jalan nafas sulit.
3. Mempertimbangkan kegunaan dan hal-hal dasar yang mungkin dilakukan
sebagai pilihan penatalaksanaan:
a. Intubasi sadar versus intubasi setelah induksi GA
b. Pendekatan teknik intubasi non-invasive versus pendekatan teknik intubasi
invasive
c. Pemeliharaan ventilasi spontan versus ablasi ventilasi spontan12
4. Membuat strategi utama dan alternatifnya.
A. Intubasi Sadar
Terdapat dua pilihan tindakan yaitu pendekatan jalan nafas dengan
teknik intubasi non-invasive atau pendekatan jalan nafas dengan akses
invasive. Teknik intubasi non-invasive sendiri mempunyai dua
kemungkinan, yaitu berhasil atau gagal. Apabila gagal dapat
dipertimbangkan tiga hal, yaitu membatalkan pilihan tindakan sebelumnya,
mempertimbangkan pilihan tindakan lain, atau membuat akses jalan nafas
invasive.
B. Intubasi setelah induksi GA
Pada tindakan intubasi setelah pemberian GA (General Anesthesi)
terdapat dua kemungkinan yaitu upaya intubasi sukses atau upaya intubasi
gagal dan selanjutnya harus mempertimbangkan, yaitu: mencari bantuan,
mengembalikan pada nafas spontan, dan membangunkan pasien kembali.
Setelah itu barulah melakukan tindakan selanjutnya, yaitu melakukan
ventilasi sungkup muka. Terdapat dua kemungkinan dari tindakan ini, yaitu
ventilasi dengan sungkup muka adekuat atau tidak adekuat. Bila pemberian
ventilasi sungkup muka tidak adekuat, tindakan yang dipertimbangkan
selanjutnya adalah LMA (Laryngeal Mask Airway).
Bila tindakan dengan LMA adekuat atau apabila pemberian
ventilasi dengan sungkup muka adekuat maka selanjutnya masuk pada Non-
emergency Pathway (ventilasi adekuat, gagal intubasi), dimana selanjutnya
melakukan pendekatan jalan dengan cara intubasi yang sama atau dengan
cara lain. Usaha intubasi ini bisa berhasil atau gagal. Bila gagal,
pertimbangkan untuk melakukan tindakan ventilasi jalan nafas invasive,
pertimbangkan pilihan intubasi cara lain, atau bangunkan pasien kembali.
Tindakan dengan LMA sendiri bisa berhasil juga bisa gagal. Bila
berhasil, maka tahap selanjunya adalah masuk pada Non-emergency
Pathway dan bila tidak berhasil maka masuk pada Emergency Pathway
(ventilasi tidak adekuat, intubasi gagal), yang selanjutnya dilakukan adalah
mencari bantuan, kemudian lakukan ventilasi jalan nafas non-invasive
emergency. Bila tindakan ini sukses bisa dipertimbangkan tindakan
13
selanjutnya, yaitu dengan: ventilasi jalan nafas invasive, pertimbangkan cara
intubasi lain, atau bangunkan pasien kembali. Tetapi apabila tindakan
ventilasi jalan nafas non-invasive emergency tersebut gagal, yang dilakukan
selanjutnya adalah membuat akses jalan nafas invasive emergency.
Tabel 2 : Algoritma penanganan jalan nafas sulit (dikutip dari daftar pustaka no 8)
14
Pada penanganan “jalan nafas sulit” ada dua hal yang penting untuk diperhatikan dan dipertimbangkan, yaitu: (6-8)
1. Teknik Pengelolaan Kesulitan Ventilasi, dipertimbangkan tindakan- tindakan
untuk menangani kesulitan ventilasi sebagai berikut:
a. Optimalisasi posisi pasien (untuk mempertahankan jalan nafas)
b. Pasang sekaligus orofaringeal dan nasofaringeal untuk membuka jalan nafas
c. Teknik dua tangan dengan dua orang penolong
d. Angkat kepala dari bantal untuk membuka jalan nafas
e. Hasilkan sebanyak mungkin tekanan positif tanpa mengembungkan
lambung
f. LMA
g. Invasive technique
2. Teknik Pengelolaan Kesulitan Intubasi, dipertimbangkan tindakan tambahan
pada intubasi atau alternatif cara-cara intubasi lain sebagai berikut:
a. Pemilihan blade laringoskop yang lebih sesuai
b. Posisi “sniffing” atau ekstensi kepala bila tidak ada masalah pada vertebra
servikal
c. Intubasi sadar
d. Intubasi dengan stilet
e. Fiberoptic intubation
f. Retrograde intubation
g. LMA
h. Blind intubation
i. Invasive (operasi/ trakeostomi/ krikotirotomi)
Intubasi dengan laringoskopi adalah tindakan intubasi dengan bantuan
laringoskop untuk membuka visualisasi jalan nafas terutama plika vokalis.
Dimana selanjutnya ET dimasukkan ke dalam trakea melalui celah plika
vokalis tersebut sampai kedalaman tertentu, kemudian difiksasi dengan plester,
dan ET dihubungkan dengan connector. Selanjutnya pada rongga mulut
dipasangkan guedel.(5,7)
15
Intubasi sadar (awake intubation) adalah intubasi endotrakeal dalam
keadaan pasien sadar dengan anastesi topikal, merupakan pilihan teknik untuk
mencegah bahaya aspirasi pada kasus trauma berat pada muka, leher,
perdarahan usus, dll. Bisa juga diterapkan pada intubasi bayi. Intubasi sadar
dilakukan dengan pertolongan obat penenang dan analgetik seperti Diazepam,
Fentanyl® atau Pethidine® untuk mempermudah kooperasi pasien tanpa harus
menghilangkan refleks jalan napas atas (yang harus mencegah aspirasi).
Pemilihan intubasi sadar itu sendiri dapat dilakukan dengan cara: (5,7)
Laringoscope direct
Blind intubation orotrakeal atau nasotrakeal
Retrograde intubation
Fiberoptic intubation
Fiberoptic Bronchoscopic Intubation (FBI) merupakan teknik intubasi
dengan bantuan bronkoskop fleksibel. Dimana pipa dari fiberoptic scope
dimasukkan kedalam endotracheal tube, yang selanjutnya ETT dimasukkan ke
dalam trakea dengan panduan fiberoptic scope, tidak terbatas pada ukuran
besar pasien karena scope memiliki berbagai macam ukuran. Cara ini
digunakan pada pasien dengan kesulitan intubasi seperti ada massa pada
rongga mulut atau leher, rongga mulut tidak membuka sempurna, atau ada
trauma pada daerah muka atau leher. Cara ini dapat dilakukan dengan pasien
dalam keadaan sadar, tetapi sebaiknya pasien diberi Sulfas Atropine® dan
analgetik kuat seperti Fentanyl® atau Pethidine®. (7,8)
Retrograde intubation merupakan jalan masuk dari endotracheal tube
yang dibantu oleh guide wire melalui membran krikotiroid menuju jalan nafas
atas dengan cara retrograde. Teknik ini dapat dipergunakan dengan
menggunakan alat bantu yang sudah disediakan dalam kotak perlengkapan
yang tersedia. Dengan latihan, teknik ini dapat dilakukan dengan jangka waktu
yang tidak lama.(7,8)
LMA (Laryngeal Mask Airway) merupakan pipa yang ujungnya
berbentuk sungkup dengan balon yang bisa dikembangkan. LMA dimasukkan
ke dalam faring tanpa laringoskopi sampai terasa ada tahanan. Adanya tahanan
16
ini menunjukkan bahwa ujung distal pipa sampai pada hipofaring dan balon
segera dikembangkan sehingga mendorong sungkup menutupi pembukaan
trakea, dan menjadikan tidak ada kebocoran. Pemberian ventilasi dilakukan
melalui lubang yang ada pada bagian tengah sungkup LMA. Indikasi
pemasangan LMA adalah ketidakmampuan penolong memberikan ventilasi
dengan alat kantong nafas-sungkup muka, pada kegagalan tindakan intubasi
dengan pipa endotrakeal sehingga saturasi O2 menurun, dan untuk
memventilasi pasien pada saat akan dilakukan teknik penanganan jalan nafas
lain seperti: trakeostomi dan retrograde intubation.(5,8)
Blind intubation merupakan teknik intubasi dimana memasukkan pipa
endotrakeal tanpa melihat glotis. Teknik ini dapat dilakukan dengan bantuan
laringoskopi atau dengan teknik LMA. Dimana cara ini biasa dilakukan pada
pasien dengan skor pada Cormack-Lehane pada derajat III dan IV.(7,8)
Teknik invasive yang biasa dilakukan pada penanganan jalan nafas
sulit adalah tindakan trakeostomi dan krikotirotomi. Tindakan ini merupakan
tindakan akhir pada pemilihan penanganan jalan nafas sulit atau dilakukan bila
terdapat massa/ pembengkakan, infeksi berat atau trauma pada saluran nafas
atas. Pada tindakan trakeostomi dimana jalan nafas dapat melewati membran
krikotiroid dengan membuat insisi pada membran tersebut atau dengan
menusukan jarum dan guide wire. Endotracheal tube kemudian dapat masuk
ke trakea dan kemudian pasien dapat diventilasi. Beberapa set alat
perlengkapan ini sudah tersedia untuk mempermudah tehnik ini dilakukan.
Pada beberapa pasien trakeostomi harus dilakukan sebagai jalan nafas
alternatif, kadang juga dilakukan pada pasien yang sadar. Pendekatan
pembedahan ini merupakan salah satu cara agar pasien dapat diventilasi.(8)
KESIMPULAN
Penatalaksanaan yang baik pada pasien dengan anatomi jalan nafas
abnormal bergantung pada prediksi, persiapan, dan tindakan yang dipilih. Cara
terbaik untuk memastikan penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas sulit adalah
dengan mengenali kesulitan-kesulitan jalan nafas tersebut. Prediksi yang tepat
17
adalah hal yang penting untuk dapat melakukan dan merencanakan teknik intubasi
yang aman. Persiapan termasuk mempunyai dan menggunakan rencana alternatif
pada penanganan pasien jika pada rencana penanganan yang pertama gagal,
sehingga dokter anestesi harus memiliki lebih dari satu pilihan penatalaksanaan
pada jalan nafas sulit . Ini adalah keuntungan jika berlatih menggunakan penuntun
seperti algoritma jalan nafas sulit dari ASA (The American Society of
Anesthesiologists). Persiapan untuk pasien dengan jalan nafas yang sulit adalah
termasuk memiliki semua perlengkapan yang dibutuhkan pada lokasi yang mudah
dijangkau. Persiapan juga termasuk latihan. Saran praktis adalah penanganan
pasien akan lebih mudah jika pasien masih dapat dioksigenasi, prediksi yang tepat
membuat lebih banyak pilihan penanganan, dan harus memiliki lebih dari satu
pilihan penanganan. Dan terakhir jangan takut untuk meminta bantuan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi. In: Petunjuk Praktis Anestesiologi. 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8
2. Ellis H, Fieldman S. The Respiratory Pathway. In : Anatomy for Aenesthetist. 5th ed. Oxford: Blackwell scientific; 1993; 3-56
3. Stoelting RK, Miller RD. Airway Management. In: Basics of Anesthesia. 5th ed. Philadelphia: Churchill Livingstones; 2007; 207-39
4. Barash P, Cullen BF, Stoelting RK. Airway Management. In: Clinical Anesthesia. 4th ed. Philadelpia: Lippincott Wiliams and Wilkins; 2001; 441-66
5. Shoelting RK. Endotracheal Intubation. In: Anesthesia. New York: Churchill Livingstones; 1990; 523-45
6. Fundamental and Critical Care Support. USA: Society of Critical Care Medicine; 1996; 3-12
7. Atkinson et al. Tracheal Intubation. In: A synopsis of Anesthesia. 11th ed. NBristol: P G Limited; 1990
8. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway Management. In: Morgan GE. ed. Clinical Anesthesiology. 4th ed. Philadelphia: McGraw-Hill Companies; 2006
18