Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

21
Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam Konteks Critical Discourse Analysis 1 Dwi Wulandari, S.S, M.A & Mytha Candria, S.S., M.A., M.A (Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro) Abstract Panca Dharma Wanita (Women Five Roles) is one of the texts that is always recited by the member of PKK (Empowerment of Family Welfare) every time they hold meetings. This text contains the concepts underlined their position and roles in the family and in the society. This concept is embraced without much resistance for more than three decades. This research is aimed at figuring out the power domination revealed in the text through Critical discourse Analysis approach. The research subjects are the women of the members of PKK in RW 1 Bangetayu Wetan village, Genuk Semarang. Purposive sampling is chosen by considering the different background of the respondents, which include their and their husband’s education background, jobs, and the size of their family. Data are collected by using interview method. The research shows that all of the women in the study know exactly their role and function in their family life. However, they are not aware that their role and fuctions are the subordinates ones, as their freedom and rights are constraint by the existence of their husband. One of the reasons of this unawareness is that women consider their husband (men) as having higher position, roles, and function than women. Within the frame of CDA, Panca Dharma Wanita contains the ideas of power domination, in other words, Panca Dharma puts the women within their domestic roles only by focusing on housewifization and ‘motherism’. Those two areas are not negotiable or like it or not, the women must fulfil those functions unless they preferred to be judged as not being wowen. Once the women are allowed to involve themselves in public domain, they are not proudly supported because there are some norms that may ‘constraints’ women’s role, such as they must get their husbands’ permition, and if they are proven to be more successful then their husbands, they must be humble and respect their husband as always. Furthermore, Panca Dharma Wanita suggests women that they may involve themselves in public arena only when they have finished handling their domestic business. Key words: Panca Dharma Wanita, PKK, dominasi power, hegemoni 1 Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Budaya di Pantai Utara Jawa. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Diponegoro. 2012

Transcript of Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

Page 1: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita

dalam Konteks Critical Discourse Analysis1

Dwi Wulandari, S.S, M.A & Mytha Candria, S.S., M.A., M.A (Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro)

Abstract

Panca Dharma Wanita (Women Five Roles) is one of the texts that is always recited by the member of PKK (Empowerment of Family Welfare) every time they hold meetings. This text contains the concepts underlined their position and roles in the family and in the society. This concept is embraced without much resistance for more than three decades. This research is aimed at figuring out the power domination revealed in the text through Critical discourse Analysis approach. The research subjects are the women of the members of PKK in RW 1 Bangetayu Wetan village, Genuk Semarang. Purposive sampling is chosen by considering the different background of the respondents, which include their and their husband’s education background, jobs, and the size of their family. Data are collected by using interview method.

The research shows that all of the women in the study know exactly their role and function in their family life. However, they are not aware that their role and fuctions are the subordinates ones, as their freedom and rights are constraint by the existence of their husband. One of the reasons of this unawareness is that women consider their husband (men) as having higher position, roles, and function than women.

Within the frame of CDA, Panca Dharma Wanita contains the ideas of power domination, in other words, Panca Dharma puts the women within their domestic roles only by focusing on housewifization and ‘motherism’. Those two areas are not negotiable or like it or not, the women must fulfil those functions unless they preferred to be judged as not being wowen. Once the women are allowed to involve themselves in public domain, they are not proudly supported because there are some norms that may ‘constraints’ women’s role, such as they must get their husbands’ permition, and if they are proven to be more successful then their husbands, they must be humble and respect their husband as always. Furthermore, Panca Dharma Wanita suggests women that they may involve themselves in public arena only when they have finished handling their domestic business. Key words: Panca Dharma Wanita, PKK, dominasi power, hegemoni

1 Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Budaya di Pantai Utara Jawa. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Diponegoro. 2012

Page 2: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Panca Dharma Wanita adalah salah satu text yang senantiasa dilafadzkan

oleh kader penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) pada setiap

pertemuan, disamping Mars PKK dan Mars KB yang senantiasa dilagukan. Secara

literal, Panca Dharma Wanita berarti lima pengabdian perempuan yang isinya

sebagai berikut:

1. Wanita sebagai istri pendamping suami

2. Wanita sebagai ibu penerus keturunan

3. Wanita sebagai pengurus rumah tangga

4. Wanita sebagai pencari nafkah tambahan

5. Wanita sebagai anggota warga negara

Kelima dharma tersebut menjadi suatu bentuk doktrin yang

keberlangsungannya senantiasa dijaga dalam organisasi kewanitaan yang bersifat

pendukung suami, seperti Dharma Wanita ataupun PKK(Rahayu, 2004). Menurut

Rahayu(2004), Panca Dharma Wanita dirancang dan dijadikan landasan filosofi

bagi organisasi-organisasi perempuan pendukung karir suami, seperti Dharma

Pertiwi (organisasi istri TNI) dan Dharma Wanita (organisasi istri pegawai

pemerintah). Kedua organisasi tersebut memang mendasarkan kegiatannya pada

tiga prinsip utama, yaitu pengabdian sebagai istri, sebagai ibu rumah tangga, dan

sebagai ibu bangsa.

Tahun 1984, PKK dibentuk untuk mewadahi, memobilisasi, dan

mengendalikan kaum perempuan yang bukan menjadi istri ABRI atau pegawai

pemerintah.Ketika Panca Dharma Wanita dijadikan sebagai landasan filosofi

PKK, maka sebenarnya PKK dijadikan sebagai organisasi yang sama dengan

Dharma Pertiwi dan Dharma Wanita. Padahal, secara kontekstual ada sekian

banyak perbedaan yang melatarbelakanginya – misalnya para wanita ini belum

tentu bersuamikan laki-laki yang bekerja tetap – sehingga Panca Dharma wanita

menjadi doktrin yang belum tentu sesuai untuk dijadikan landasan filosofinya.

Page 3: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

Dengan demikian, penulis berniat untuk melakukan kajian mengenai Panca

Dharma Wanita dengan menggunakan Critical Discourse Analysis sebagai

pendekatan.

Lebih jauh lagi, satu hal yang juga penting adalah bagaimana para kader

PKK memahami konsep Panca Dharma Wanita tersebut. Selama lebih dari tiga

dekade Panca Dharma ini menjadi landasan kegiatan mereka tanpa adanya

resistansi yang berarti. Asumsinya adalah konsep ini dipahami selaras dengan

kehidupan para kader dan oleh karenanya bisa diterima dengan baik. Dengan

demikian, perlu kiranya untuk melihat apakah asumsi tersebut benar adanya

melalui penelitian yang akan penulis lakukan ini.

1.2. Perumusan Masalah

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan berikut:

1. Apakah konsep Panca Dharma Wanita merupakan alat dominansi ‘power’

dalam konteks Critical Discourse Analysis?

2. Bagaimana pemahaman para kader penggerak PKK terhadap konsep

Panca Dharma Wanita?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. untuk mengetahui apakah konsep Panca Dharma Wanita merupakan alat

dominansi ‘power’ dalam konteks Critical Discourse Analysis;

2. untuk mengetahui bagaimana pemahaman para kader penggerak PKK

terhadap konsep Panca Dharma Wanita.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan menghasilkan dua hal penting, yakni mengetahui

bagaimana dominasi kekuasaan tercermin dalam Panca Dharma Wanita, dan

mengetahui pemahaman kader penggerak PKK terhadap konsep Panca Dharma

Wanita. Dua hasil utama dari penelitian ini akan memberi tambahan wawasan

mengenai isu persamaan derajat laki-laki dan perempuan di Indonesia. Tidak

Page 4: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

hanya dengan melihat bagaimana makna sejati dari suatu konsep yang sudah

melembaga, penelitian ini juga akan melihat pemaknaan konsep tersebut oleh para

pelakunya sendiri, dalam hal ini adalah para kader PKK yang secara aktif

mengikuti kegiatan PKK dan memobilisasi warga untuk ikut terlibat dalam

gerakan PKK.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Critical Discourse Analysis(CDA), yang merupakan kajian multidisipliner

terhadap dominasi kekuasaan dalam wacana (discourse), banyak digunakan dalam

berbagai jenis penelitian. Ekomadyo (2006) meneliti media arsitektur—seperti

majalah, iklan real estat, dan lain-lain—dengan metode analisis isi (content

analysis). Studi ini bertujuan mendapatkan struktur makna teks-teks media

arsitektur tersebut.Namun, penelitian ini tidak menunjukkan apahasil analisis

terhadap media arsitektur tersebut,dan lebih banyak mengulas tentang apa yang

diharapkan bisa dilakukan dan dihasilkan dari penelitian yang menggunakan

metode analisis isi.

Penelitian lain dilakukan oleh Wodak (1991) yang mengkajianti-semitisme

pasca perang Austria. Dengan tujuan mengetahui mekanisme pelembagaan konsep

anti Yahudi di Austria,Wodak meneliti beberapa faktor yang terkait dengan

diskursus anti Yahudi, termasuk seting, peserta tutur, topik, dan emosi. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa melalui ekspresi-ekspresi syak wasangka, wacana

privat dan publik di Austria memang menunjukkan adanya anti-Yahudi. Namun

demikian, seberapa langsung dan eksplisitnya ekspresi tersebut berbeda

berdasarkan konteksnya.

Kajian CDA terhadap ketidaksetaraan gender (gender inequality) antara lain

terdapat dalam Feminist critical discourse analysis: Gender, power and ideology

in discourse, yang merupakan kumpulan tulisan para feminis terhadap

ketidaksetaraan sosial yang sengaja dipertahankan dalam pemakaian bahasa.

Page 5: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

Ketidaksetaraan sosial yang disajikan dalam buku ini sangat beragam, bukan saja

yang terjadi di Amerika Serikat dan Inggris, tetapi juga yang terjadi di Singapura,

Selandia Baru, Spanyol, serta Hungaria (dalam Cameron, 2007).

2.2. Critical Discourse Analysis(CDA)

Critical Discourse Analysis atau CDA, menurut van Dijk (1998), memiliki

sejarah cukup panjang. Beberapa prinsip dasar CDAdapat ditemukan dalam Teori

Kritis Aliran Frankfurt (the Critical Theory of the Frankfurt School) sebelum

perang Dunia Kedua. Sementara itu, fokus CDA pada bahasa serta wacana

diinisiasi oleh linguistik kritis ‘critical linguistics’, yang muncul pada akhir tahun

1970-an di Inggris dan Australia. CDA, lanjut van Dijk (1998, hal. 1), merupakan

reaksi kritis terhadap paradigma keilmuan tahun 1960-1970-an yang cenderung

bersifat formal, asosial, dan tidak kritis.

Critical Discourse Analysis (CDA) merupakan kajian multidispliner yang

berfokus pada hubungan antara bahasa, masyarakat, kekuasaan, identitas, politik,

dan budaya(Rahimi & Riasati, 2011). CDA mengkaji bagaimana penyalahgunaan

kekuasaan sosial, dominasi, dan ketidaksetaraan dilakukan, direproduksi,

atauditentang dalam teks serta percakapan/ perbincangan dalam konteks sosial

politik(van Dijk, 1998). CDA, selain bertujuan meneliti, menelaah dan

mengkritisi agenda tersembunyi (hidden agenda) dalam bahasa, teks dan wacana,

juga bertujuan menunjukkan serta menolak ketimpangan sosial yang terjadi dalam

masyarakat: “ With such dissident research, critical discourse analysts take

explicit position, and thus want to understand, expose and ultimately to resist

social inequality”(van Dijk, 1998, hal. 1).

Karena konsepnya yang sedemikian luas, maka kajian dengan CDA bisa

dilakukan pada banyak teks dari berbagai cabang ilmu. Sebagai bagian dari kajian

linguistics, CDA memberi keleluasaan bagi ahli bahasa untuk melihat data secara

lebih komprehensif. Data yang dikaji bisa berupa wawancara, fokus group,

dokumen dan catatan, percakapan yang terjadi secara natural, pidato politis,

artikel koran, kartun, juga novel(Philips & Hardy, 2002). Lebih jauh lagi

Fairclough (1995)menyatakan bahwa teks atau discourse – yang secara general

Page 6: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

diartikan sebagai segala bentuk data – tidak hanya memiliki makna literal, tetapi

merupakan sebuah konteks sosial dimana terdapat dua proses sosial yang

mendasar yakni ...”cognition and representation of the world, and social

interaction”(Fairclough, 1995, hal. 6). Dengan demikian, teks bisa memiliki

banyak makna yang bisa dikaji dalam bermacam konteks.

Salah satu presuposisi dalam CDA adalah pemahaman tentang sifat

kekuasaan sosial (social power)dan dominasi (van Dijk, 1993). Dalam dimensi

sosial, kekuasaan sosial bisa bermaksud kemampuan seseorang untuk

mendapatkan sumber-sumber kemudahan, seperti kemakmuran, pendidikan, dan

lain sebagainya. Secara langsung kekuasaan sosial terkait dengan kontrol sosial,

karena mereka yang memiliki kekuasaan sosial dapat men-dominasi (memegang

kontrol sosial). Oleh sebab itu, CDA juga perlu untuk memfokuskan diri pada

strategi pelegitimasian kontrol yang biasanya terlembagakan (van Dijk, 1993).

Penelitian yang menggunakan kerangka teoretis Critical Discourse

Analysis, tulis Fairclough (2001, hal. 21-22, 90), mesti melalui tiga tahap analisis

yang melibatkan tiga elemen wacana (teks, interaksi, dan konteks). Ketiga tahap

analisis ini mencakup (1) mendeskripsikan“teks” (describingformal properties of

the text), (2) menafsirkan (interpreting)hubungan “teks” dengan “interaksi”, serta

(3) menjelaskan (explanation) relasi antara “interaksi” dengan “konteks sosial”.

Dalam hal ini, Fairclough (2001) membedakan antara “teks” dan “wacana”.

“Teks” merupakan hasil akhir proses produksi, sedangkan “wacana” (discourse)

adalah keseluruhan proses interaksi sosial itu sendiri. Salah satu hasil proses

interaksi sosial ini adalah “teks”.

“Interaksi” berkaitan dengan proses, yang terdiri dariproses produksi dan

proses interpretasi. Dalam kedua proses ini, teks memegang peranan yang sama

pentingnya. Dalam proses produksi, teksmerupakan hasil akhir proses itu sendiri.

Sementara itu, dalam proses interpretasi, teks berfungsi sebagai sumber. Unsur-

unsur formal sebuah teks merupakan jejak (traces) proses produksi sekaligus

kunci (cues) dalam proses interpretasi.

Page 7: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

Proses produksi dan interpretasi, jelas Faiclough (2001),melibatkan teks dan

MR (member’s resources)2. MR, yang secara literal berarti “sumber daya

anggota”, mengacu pada pengetahuan seseorang seputar realitas hidupnya, yang

mencakup pengetahuan tentang bahasa, alam, serta kehidupan sosial (termasuk

norma dan nilai sosial, kepercayaan, dsb.)

Elemen wacana ketiga, yaitu “konteks”, lebih diarahkan pada konteks sosial,

seperti yang dinyatakan Fairclough (2001), bahwa proses produksi dan

interpretasi tidak dapat dijelaskan secara komprehensif dengan mengabaikan

faktor-faktor sosial yang mempengaruhinya. Jadi, wacana (discourse) mencakup

kondisi sosial (social conditions) yang terdiri dari kondisi sosial produksi (social

conditions of production)dan kondisi sosial interpretasi (social conditions of

interpretation).Kondisi sosial ini kemudian terkait dengan tiga tingkat organisasi

sosial (Fairclough, 2001, hal. 20-21):

a) The level of the social situation, atau lingkungan sosial terjadinya wacana b) The level of the social institution, yang merupakan matriks lebih luas yang

mempengaruhi sebuah wacana c) The level of the society¸atau tingkat masyarakat secara keseluruhan

2.3. Perempuan Indonesia Dalam Distribusi Kekuasaan

Pembahasan seputar ketimpangan peran dan posisi perempuan Indonesia di

berbagai bidang serta upaya menyetarakannya memang bukanlah hal baru

(Hatley, 2002, 2008; Marcoes, 2002; Oey-Gardiner, 2002).Penolakan terhadap

ketidakadilan yang dihadapi perempuan Indonesia sebenarnya telah mulai

dilakukan oleh Kartini (1879-1904) pada abad ke-19.Pemikiran serta perjuangan

Kartini, yang tergolong sangat progresif pada masa itu, diterbitkan oleh sahabat

penanya, Abendanon, dalam kumpulan korespondensi Kartini Habis gelap

terbitlah terang.

2Member resources(MR), yang digunakan untuk memproduksi atau menafsirkan teks, bersifat kognitif, karena MR tersimpan dalam otak (kepala) seseorang. Namun, MR juga bersifat sosial, sebab MR berasal dari realitas serta relasi sosial yang dialami anggota-anggota masyarakat (Fairclough, 2001).

Page 8: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

Sayangnya, meski semangat menyejajarkan kedudukan perempuan telah

disemai Kartini sejak abad ke-19, dan gerakan penyetaraan perempuan sudah

mulai dilakukan secara terarah sejak awal tahun 1980-an melalui berbagai

organisasi perempuan dengan tujuan yang beragam—mulaidari penghilangan

kekerasan dalam rumah tangga sampai penyetaraan peran dan fungsi perempuan

(Rahayu, 2004)—perempuan Indonesia masih terus terdiskriminasi di berbagai

sektor. Diskriminasi terhadap perempuan Indonesia nampak jelas antara lain

dalam karya sastra Indonesia modern (Hatley, 2002, 2008). Sampai setelah

tumbangnya pemerintah Orde Baru pada tahun 1998, novel-novel Indonesia

secara umum diwarnai oleh “tokoh-tokoh perempuan yang pemalu, halus dan

tergantung pada lelaki dan sebaliknya mengecam perempuan yang seksual,

teremansipasi dan terpolitisasi” (Hatley, 2008, p. 177). Pandangan semacam ini

sangat erat kaitannya dengan ideologi Orde Baru yang menanamkan bahwa

perempuan yang baik adalah perempuan yang tinggal di rumah, bukan perempuan

yang bergerak atau bekerja di sektor publik. Perempuan Indonesia, dalam

perspektif ideologis pemerintah Soeharto, adalah istri (pendamping suami) dan

ibu (penerus keturunan dan pengurus rumahtangga):

Within the state ideology, there was no room for women as individuals. Instead, they were continually reminded of their kodrat (inherent nature), and particularly of their household and reproductive responsibility – to clean, cook, and bear children. ... Women were expected to be happy in the role of pendamping suami, ‘standing at the side of their husbands’(Oey-Gardiner, 2002, p. 102).

Untuk menanamkan ideologi housewifization serta ibuisme3 tersebut,

pemerintah kemudian membentuk “Dharma Wanita”, yang merupakan organisasi

istri pegawai negeri sipil (PNS), dan “Dharma Pertiwi”, atau organisasi istri

Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selain itu, untuk perempuan di tingkat akar

3Housewifization adalah pandangan yang melihat perempuan sebagai istri dan berperan hanya sebagai pendukung suami (Mies, 1986), sedangkan “ibuisme”—suatu konsep yang diperkenalkan oleh Djayadininrat (dalam Blackburn, 2004)—adalah ideologi yang mendefinisikan perempuan sebagai ibu serta mendorong perilaku untuk berperan dan berfungsi hanya sebagai ibu. Dua konsep ini dianggap yang memenjarakan kaum wanita untuk tetap membatasi diri untuk berkiprah hanya di sektor domestik dan memfungsikan dirinya sebagai orang ke dua dalam tatanan masyarakat.

Page 9: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

rumput serta untuk istri aparat pemerintah di semua level, pemerintah Orde Baru

membentuk PKK (Marcoes, 2002; Oey-Gardiner, 2002).

Namun, seiring dengan semakin beratnya tekanan di sektor ekonomi dan

sosial politik, ideologi pemerintah yang sepenuhnya mendomestikasi perempuan

mulai bergeser, dan konsep “peran ganda perempuan” pun digaungkan.Ide peran

ganda perempuan ini dituangkan pemerintah dalam GBHN 1983 dan 1988, yang

menyatakan bahwa perempuan berperan sebagai istri dan ibu dalam rumahtangga

serta sebagai pencari nafkah tambahan (Oey-Gardiner, 2002).

Dalam perkembangan berikutnya, yaitu dalam GBHN 1993, perempuan

Indonesia diletakkan dalam posisi “mitra sejajar pria dalam

pembangunan”.Namun, meski telah didudukkan sebagai mitra sejajar pria,

perempuan tetap tidak lepas dari peran yang berkaitan dengan kodrat, harkat, serta

martabat perempuan.Ini berarti bahwa pemerintah masih tetap berusaha

mempertahankan pandangannya yang bersifat patriarkis, yang memposisikan

perempuan sebagai istri (pendamping suami) serta ibu (mengasuh anak dan

mengurus rumahtangga).

Perempuan Indonesia kembali menjadi pihak yang sangat menderita dalam

detik-detik menjelang tumbangnya pemerintah Orde Baru.Ratusan perempuan

etnis Tionghoa menjadi korban kekerasan seksual saat terjadi gelombang

demonstrasi akibat krisis ekonomi berkepanjangan, yang kemudian berakibat pada

turunnya Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998. Selain itu, krisis ekonomi total

ini melambungkan harga barang-barang kebutuhan pokok. Lagi-lagi perempuan

Indonesia, sebagai pengurus rumahtangga, yang menanggung dampak paling

besar. Sejumlah ibu rumahtangga, misalnya, kemudian mengorganisir diri

memprotes harga susu yang kian tak terjangkau, padahal susu merupakan salah

satu kebutuhan utama anak-anak mereka (Oey-Gardiner, 2002).

Runtuhnya rezim Soeharto menandai lahirnya era reformasi, era baru

kehidupan sosial politik Indonesia. Reformasi memang—sampai pada batas

tertentu—memberikan angin segar kepada perempuan Indonesia untuk memiliki

posisi yang lebih sejajar dengan laki-laki dalam berbagai sektor dan untuk

berperan secara lebih aktif di ranah publik. Misalnya, untuk pertama kali dalam

Page 10: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

sejarah Indonesia modern, seorang presiden perempuan, Megawati Soekarnoputri,

dipercaya memegang tampuk pimpinan.Meski sempat menuai banyak kecaman

dan tentangan, Megawati akhirnya bisa menduduki kursi kepresidenan.Upaya

menyetarakan kedudukan perempuan juga dilakukan di tingkat legislatif dengan

mengalokasikan lebih banyak kursi di Dewan Perwakilan Rakyat untuk

perempuan.

Namun, hal ini bukan berarti bahwa ketidaksetaraan gender sudah

sepenuhnya hilang dari bumi Indonesia. Panca Dharma Wanita, misalnya, masih

terus dikumandangkan hingga kini meski teks tersebut mengandung pernyataan

yang mensubordinasi perempuan Indonesia.

3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif qualitatif yang bertujuan untuk

mendeskripsikan data secara eksplisit. Ada dua metode yang akan digunakan

sebagai pendekatan dalam penelitian ini karena data bersumber pada dua hal yang

berbeda. Data yang pertama diperoleh dari teks Panca Dharma Wanita, yang

merupakan populasi sekaligus sampelnya. Data ini akan dianalisis dengan

menggunakan teori Critical Discourse Analysis, dengan fokus untuk mengetahui

ada atau tidaknya dominasi kekuasaan pada teks tersebut.

Data yang kedua adalah data pemahaman kader PKK terhadap teks Panca

Dharma Wanita. Data ini akan diperoleh melalui wawancara yang dilakukan

terhadap kader PKK. Responden penelitian ini adalah para kader PKK di

Kelurahan Bangetayu Wetan, Kecamatan Genuk Semarang.

Sampel untuk pengumpulan data kedua adalah 15 responden yang mewakili

20% dari populasinya. Tekhnik pengambilan sampel yang digunakan adalah

purposive sampling, dengan mempertimbangkan kader PKK yang memiliki latar

belakang berbeda-beda.Misalnya, responden akan dipilih berdasarkan pekerjaan

yangberbeda, latar belakang pendidikan yang berbeda, atau pekerjaan suami yang

berbeda. Data akan diperoleh melalui in-depth interview dengan tehnik guided-

Page 11: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

conversation sehingga responden tidak akan merasa sedang diwawancarai.

Denngan demikian, hasil percakapan yang lebih alami bisa diperoleh sebagai

wujud data yang akurat.

4. HASIL PENELITIAN

4.1. Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita

1. Wanita Sebagai Istri Pendamping Suami

Wanita sebagai istri pendamping suami adalah dharma pertama yang

tercantum dalam Panca Dharma Wanita.Penekanan kalimat ini adalah peran

utama wanita sebagai istri dengan penambahan makna sebagai pendamping suami

yang dikaitkan dengan hubungan relasi mereka sebagai suami-istri.

Mengenai dharma yang pertama ini, semua kader setuju dengan maksud

kalimat tersebut dengan alasan terutama yaitu “mendampingi suami adalah

kewajiban istri”, “perempuan memang diciptakan untuk mendampingi suami”,

dan “istri adalah bagian atau tulang rusuk suami”. Hanya ada dua orang kader –

dari 15 kader – yang memiliki alasan yang lebih netral, yaitu dengan

mengasosiasikan istri sebagai rekan dan teman bagi suami.

Sementara itu para kader PKK mengartikan kata “pendamping” dengan

makna “menemani, siap sedia, membantu, mengurus rumah tangga, dan

pelengkap”. Hanya dua kader memaknai kata “pendamping” sebagai “teman”

serta “mitra”, sedangkan empat orang kader menyatakan bahwa kata

“pendamping” bisa diganti dengan kata “pasangan” atau “partner”. Sedangkan 11

kader lainnya menyatakan bahwa kata ‘pendamping’ lah kata yang paling tepat

untuk memaknai fungsi wanita sebagai istri. Lebih jauh lagi, tidak ada kader yang

setuju bila kalimat dharma pertama ini diubah menjadi “laki-laki sebagai suami

pendamping istri”, dengan alasan utama: laki-laki adalah pemimpin keluarga.

2. Wanita Sebagai Ibu Penerus Keturunan

Dharma kedua dari Panca Dharma Wanita menempatkan perempuan

Page 12: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

sebagai ibu dengan tambahan fungsi sebagai penerus keturunan.Mengenai dharma

ini, hanya satu kader merasa tidak setuju dengan pernyataan bahwa perempuan

adalah penerus keturunan, karena penerus keturunan, menurutnya, adalah suami

dan istri. Sementara itu, kader-kader PKK yang lain menyetujui pernyataan

dharma kedua ini; sebagian besar beralasan bahwa secara kodrat, meneruskan

keturunan merupakan kewajiban perempuan.

Para kader PKK memaknai frasa ‘penerus keturunan’ dengan makna

“melahirkan, mendidik, suatu kebanggaan”, serta “memberi keturunan bagi

suami”.Sedangkan kata ‘ibu’ dimaknai dengan penempatan perempuan pada

kodratnya, yaitu perempuan sebagai panutan anak, mengasuh anak, serta melayani

kebutuhan suami dan anak.Selain itu, sebagian besar kader menyatakan bahwa

peran perempuan sebagai ibu bukanlah sebuah pilihan melainkan suatu keharusan.

Oleh sebab itu, para kader ini menyatakan bahwa bila seorang perempuan tidak

bisa mengandung dan melahirkan anak, maka ia dapat melakukan adopsi. Dengan

kata lain, mereka harus tetap berfungsi mengasuh anak, meskipun mungkin tidak

dari rahimnya sendiri. Sebagian besar kader juga berkomentar negatif terhadap

perempuan yang tidak bersedia mengandung dan melahirkan anak.Salah seorang

kader, misalnya, mengatakan bahwa perempuan yang tidak bersedia memiliki

anak merupakan “korban globalisasi negatif”.

3. Wanita Sebagai Pengurus Rumah Tangga

Dharma ketiga dari Panca Dharma Wanita menempatkan wanita sebagai

pengurus rumah tangga.Mengenai dharma ketiga ini semua kader PKK setuju

bahwa perempuan-lah yang bertugas mengurus rumah tangga, dan suami hanya

diposisikan untuk membantu. Bahkan jika istri bekerja sekalipun, istri tetap wajib

mengurus rumah tangga, dan suami tetap diposisikan untuk membantu saja, tidak

bias berlaku sebaliknya.

“Mengurus rumah tangga” di sini dipahami oleh kader PKK sebagai

“mengurus keuangan, memasak, mengasuh dan mendidik anak, menata rumah,

melayani suami, serta “mencari nafkah tambahan”.

Page 13: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

4. Wanita Sebagai Pencari Nafkah Tambahan

Dharma keempat dari Panca Dharma Wanita menempatkan wanita sebagai

pencari nafkah tambahan, dengan penegasan makna pada kata ‘tambahan’ –

sehingga bernegasi dengan kata ‘utama”. Mengenai Panca Dharma keempat ini,

para kader PKK memiliki pendapat yang relatif tidak seragam.Salah seorang

kader tidak sepakat dengan ide “wanita sebagai pencari nafkah

tambahan”.Menurut pendapatnya, seorang istri bisa saja memiliki penghasilan

yang lebih besar daripada penghasilan suami, sehingga frase “pencari nafkah

tambahan” menjadi kurang tepat. Sebaliknya, seorang kader menolak dharma

keempat ini sebab seorang istri tidak perlu mencari nafkah, dan kewajiban

mencari nafkah sepenuhnya tanggung-jawab suami (laki-laki).

Namun demikian, sebagian besar menyetujui dharma keempat ini, dengan

penekanan bahwa seorang perempuan mesti mendapat izin suami untuk bekerja di

luar rumah, dan memiliki keahlian atau kemampuan untuk menyelesaikan

tanggung-jawab pekerjaan tersebut.

“Pencari nafkah tambahan” diartikan oleh para kader PKK dengan makna

“membantu suami”, bukan sebagai pencari nafkah utama.Namun, pada konteks

penghasilan suami kurang atau tidak memadai, maka sebagian kader PKK

berpendapat bahwa istri wajib membantu suami, dan sebagian lagi berpandangan

bahwa istri tidak wajib membantu suami karena mencari nafkah bukanlah

tanggung-jawab utama seorang istri.

Sementara itu, dalam konteks seorang perempuan bekerja untuk eksistensi

diri, para kader PKK berpendapat bahwa istri tetap harus mendapat izin suami

untuk bekerja.Apabila penghasilan istri lebih besar daripada pendapatan suami,

maka istri tetap wajib menghormati suami, tidak boleh sombong atau merasa lebih

tinggi daripada suaminya. Meskipun penghasilan istri lebih besar, semua kader

PKK menolak bila kemudian suami disebut sebagai pencari nafkah tambahan.

5. Wanita Sebagai Anggota Warga Negara

Dharma terakhir dari Panca Dharma Wanita adalah wanita sebagai anggota

warga negara. Mengenai dharma ini, semua kader menyetujui pernyataan bahwa

Page 14: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

perempuan merupakan bagian dari warga negara, meskipun pemaknaan anggota

warga negara ini difahami dalam konteks yang sedikit lebih sempit yakni dalam

kaitannya sebagai WNI (Warga Negara Indonesia), yang berhak mendapat kartu

identitas warga negara seperti KTP dan KK, dan yang bisa memberikan suaranya,

baik dalam pemilu maupun sebagai saksi.

Pemaknaan anggota warga negara juga dikaitkan dengan adanya hak dan

kewajiban sebagai warga negara, dengan penekanan pada kepatuhan terhadap

negara dan peraturan yang dibuat oleh negara. Dalam kaitannya dengan peran

yang sama antara laki-laki dan wanita, tiga orang kader secara eksplisit

menyatakan bahwa dalam dharma kelima ini terkandung persamaan hak dan

kewajiban antara laki-laki serta wanita Indonesia sebagai anggota warga negara,

dan sebagian besar kader PKK juga menyatakan hal senada meskipun tidak secara

eksplisit.

4.2. Pemahaman terhadap Urutan Panca Dharma Wanita

Hampir semua kader PKK sepakat dengan urutan Panca dharma wanita

tersebut dengan alasan utama: “mulai dari lingkup yang paling kecil”, “sesuai

dengan kodrat penciptaan wanita”, “sesuai dengan urutan kewajiban utama”, “di

Indonesia, derajat wanita lebih rendah dari pria”, dan “kondisinya sudah demikian

dari dulu sampai sekarang”.

Namun, ada salah satu kader yang memiliki pandangan berbeda.Kader ini

berpendapat bahwa “wanita sebagai anggota warga negara” seharusnya diletakkan

dalam urutan pertama.

4.3. Pembahasan Pemahaman Kader PKK dalam CDA

1. Analisis Umum

Secara umum ada tiga hal yang menarik yang dapat di telaah dari konsep

Panca Dharma Wanita ini, yaitu penggunaan kata “Dharma”, penerapan panca

dharma Wanita sebagai ideology PKK, dan penggunaan kata Pemberdayaan

Kesejahteraan Keluarga sebagai ‘nama’ untuk organisasi PKK

Yang pertama adalah pemaknaan kata ‘dharma’.Secara makna kata

Page 15: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

“dharma” memiliki makna yang terhormat karena kata tersebut mengandung

makna pengabdian yang agung secara symbolic. Dengan demikian kata dharma

bermakna mengabdi tetapi tidak pada konteks sebagai abdi tetapi lebih pada

konteks untuk memberi sehingga akan membuahkan kebaikan. Dengan kata lain,

dengan berdharma berarti si pendharma memberikan sesuatu yang dia miliki

dengan penuh keikhlasan dan hasil dari apa yang dia lakukan tersebut akan

memberi kebaikan baik bagi orang lain maupun untuk si pendharma itu sendiri.

Penggunaan kata dharma dengan konotasi makna yang positive tersebut lebih

dipilih dibandingkan dengan kata peran atau fungsi yang semata-mata hanya

memberi makna tugas terkait posisi.Karena makna kata dharma yang positive

tersebut, maka penggunaanya juga dapat diterima dengan lebih baik, karena

mengisyaratkan posisi kader PKK yang justru lebih positive.

Yang kedua adalah penerapan Panca Dharma Wanita sebagai ideologi

dasar PKK.Secara historis, PKK terbentuk sebagai sebuah wadah kegiatan wanita

yang ide dasarnya berasal dari organisasi dharma wanita/dharma

pertiwi.Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dharma wanita dan dharma

pertiwi adalah organisasi wanita pendukung karir suami; dharma wanita adalah

organisasi istri pegawai negeri, dan dharma pertiwi adalah organisasi istri

TNI.Dua organisasi tersebut mendasarkan fungsi dan peran anggotanya terutama

pada sektor domestik; untuk memastikan bahwa para suami tidak perlu

memikirkan apalagi menangani urusan domestik.Hal ini tercermin dari kegiatan-

kegiatan mereka yang berbasis kepentingan domestic seperti misalnya kursus

memasak, atau merangkai bunga.Secara ideologis, selama masa Orde Baru, dua

organisasi tersebut cukup berpengaruh dalam mengendalikan PNS dan TNI

beserta keluarganya untuk senantiasa mendukung ideologi dan pemikiran Orde

Baru.

Pada tahun 1984, pemerintah Orde Baru membentuk PKK sebagai

organisasi yang bersifat memobilisasi masa karena PKK dimaksudkan sebagai

organisasi yang beranggotakan setiap istri dari setiap keluarga.PKK terbentuk

mulai dari tingkat Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Kelurahan,

Kecamatan, Kabupaten, Propinsi, hingga tingkat nasional. Dengan demikian,

Page 16: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

semua istri akan menjadi anggota PKK, paling tidak pada tingkat RT – ada

semacam seruan untuk memastikan bahwa setiap istri aktif mengikuti kegiatan

PKK tingkat RT. Kegiatan utama dalam PKK bersifat senada dengan kegiatan

pada dharma wanita atau dharma pertiwi; dan oleh karenanya ideology yang

dijadikan dasar kegiatan PKK adalah Panca Dharma Wanita, dengan

memfokuskan fungsi dan peran wanita pada sektor domestik, yakni sebagai istri,

ibu, dan pengurus rumah tangga – dengan kata lain mempertahankan dominansi

kekuasaan suami. Satu hal yang berbeda hanyalah PKK sebenarnya bukan

organisasi istri pendukung karir suami sehingga penggunaan Panca Dharma

Wanita sebagai landasan ideologinya menjadi seperti dipaksakan karena

kehidupan yang dialami para wanita anggota PKK ini tentunya tidak sama dengan

kehidupan yang dijalani oleh para istri PNS atau TNI. Tentunya penggunaan

Panca Dharma sebagai ideologi PKK bukanlah tanpa alasan; mengingat

keberhasilan dharma wanita dan dharma pertiwi dalam mendukung Orde baru,

maka PKK pun juga diarahkan untuk tujuan serupa. Karena keanggotaan PKK

jauh lebih luas, maka pengaruh yang diharapkan tentunya juga akan jauh lebih

luas.

Yang ketiga, PKK adalah Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga.Dari

namanya, PKK diyakini bukanlah merupakan sebuah organisasi.Ia di maknakan

sebagai suatu wadah kegiatan para wanita dengan suatu tujuan untuk

pemberdayaan kesejahtaraan keluarga. Dengan demikian, segala kegiatan yang

dilakukan dimaksudkan untuk dua hal yakni pemberdayaan dan kesejahteraan;

bahwa apapun bentuk kegiatannya, itu merupakan wujud pemberdayaan

perempuan.Ide dasarnya yaitu pemberdayaan wanita, sebenarnya adalah ide yang

bagus, dengan kata lain, bahwa dengan PKK ada kesadaran bahwa wanita

dianggap belumlah berdaya dan ada kesadaran untuk membuat mereka lebih

berdaya.Hanya saja pemberdayaan yang dimaksudkan adalah demi kesejahteraan

wanita pada batas keluarga.Dengan demikian, tetap saja ruang gerak

pemberdayaan itu diarahkan ke ranah domestik. Selain itu, penggunaan kata

kesejahteraan juga mengimplikasikan bahwa pemberdayaan tersebut ditujukan

untuk kesejahteraan keluarga, dan hanya dengan pemberdayaan wanita pada ranah

Page 17: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

keluarga lah bias diraih kesejahteraan tersebut. Dengan pemikiran tersebut, maka

Panca Dharma Wanita dijadikan landasan kegiatannya.

2. Domestifikasi Perempuan Indonesia

Penggunaan Panca Dharma Wanita sebagai landasan gerak PKK merupakan

bukti terdomestifikasikannya perempuan Indonesia yang diperjelas dengan

penguatan butir butir dharma yang ‘mengharuskan’ wanita untuk berperan secara

domestic terlebih dahulu, barulah ‘diperbolehkan’ untuk berperan di masyarakat.

Hal ini tercermin dari dharma yang secara berturut-turut menyebut peran wanita

sebagai istri, ibu, pengurus rumah tangga, pencari nafkah tambahan, dan yang

terakhir adalah sebagai warga masyarakat.Padahal, sebagai manusia seharusnya

wanita dikenal terlebih dulu sebagai warga masyarakat, bahkan hak dan kewajiban

wanita sebagai anggota warga negara sudah ada sebelum wanita menjadi istri.

Pengurutan yang demikian tersebut mengandung makna bahwa begitu wanita

berumah tangga, maka peran terutama mereka bukan lagi sebagai anggota

masyarakat melainkan sebagai istri, ibu (jika sudah memiliki anak – dan

‘dinormakan’ untuk punya anak), dan pengurus rumah tangga; dengan kata lain

ideology Housewifization (Mies, 1986) dan Ibuism (Djayadiningrat, 2004)

ditanamkan. Sementara itu peran lain yang terkait dengan eksistensi diri wanita

sebagai manusia di akui hanya selama ketiga peran yang sebelumnya telah

dilakukan dengan baik – itu pun juga dengan catatan, harus seijin suami dan tetap

menghormati suami. Bahkan, wanita yang mandiri dan kritis memandang peran

dan posisinya justru dipertanyakan (Hatley, 2002: 130) karena hal tersebut

bertentangan dengan ideology gender yang konservatif dan family-centered yang

menjadi dasar ideology PKK.

3. Dominasi Power dalam Kata Kunci Panca Dharma Wanita

Ada beberapa kata kunci yang menunjukkan dominasi power laki-laki

dalam Panca Dharma Wanita, yang menunjukkan tingginya budaya patriarkhi

dalam masyarakat Indonesia.Kata – kata tersebut diantaranya adalah penggunaan

kata wanita dan bukannya perempuan.Kata wanita diadopsi dari Bahasa Jawa

Page 18: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

yang seringkali di artikan dari susunan kata wani di tata yang berarti berani atau

harus mau untuk diatur.

Kata kunci yang kedua adalah penggunaan kata pendamping dalam

Dharma pertama; wanita sebagai istri pendamping suami.Secara harfiah, kata

pendamping berarti menemani, atau menyertai dekat-dekat. Kata pendamping

juga mengimplikasikan suatu maksud tambahan; bahwa seorang pendamping

bukanlah pemegang peranan sentral; ia bukanlah yang menjadi pelaku utamanya;

ia hanya ada manakala yang dia damping ada. Dengan demikian, sebagai seorang

pendamping, istri bukanlah pelaku utama dalam suatu keluarga.Keberadaannya

dianggap bergantung pada keberadaan suami, istri bukanlah penentu peran, dia

hanyalah mendampingi suami menentukan kebijakan keluarga. Dengan kata lain

posisi seorang istri – wanita – diletakkan dibawah posisi suami, dan

keberadaannya hanya akan diakui dalam kaitannya denngan keberadaan suami.

Kata kunci berikutnya adalah kata ibu dan frasa penerus keturunan dalam

dharma wanita adalah ibu penerus keturunan.Kata ibu sebenarnya bermakna luas;

setiap wanita dewasa bisa disebut dengan ibu, tetapi dengan menambahkan frasa

penerus keturunan, maka kata ibu disempitkan maknanya hanya sebagai ibu

secara biologis, yakni ibu yang mengandung dan melahirkan anaknya. Padahal,

pada konteks biologis tidak semua wanita bias menjadi ibu. Menjadi Ibu

sebenarnya adalah gelar pilihan dari sekian banyak gelar yang bias dimiliki

wanita. Frasa penerus keturunan yang dibebankan pada kata ibu juga mengandung

makna pembebanan fungsi meneruskan keturunan pada wanita, padahal jelas

diketahui bahwa seorang wanita tidaklah mungkin bisa meneruskan keturunan

tanpa peran laki-laki. Sehingga jika pasangan suami istri belum dikaruniai putra

maka wanita yang akan secara psikologis terbebani. Mereka lah yang akan

mendapat stigma tidak bisa memberikan keturunan pada suami, meskipun secara

medis wanita tersebut terbukti tidak memiliki gangguan reproduksi.

Kata kunci yang lain adalah pada kata pengurus dalam dharma ketiga;

wanita sebagai pengurus rumah tangga. Kata pengurus memberikan makna

pemberian tanggung jawab.Pada dharma sebelumnya wanita tidak dimaknai

sebagai seseorang yang bisa diberi beban tanggung jawab. Dengan kata lain,

Page 19: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

wanita tidak dianggap mampu untuk diberi beban tanggung jawab. Pada dharma

ketiga ini wanita diberi beban tanggung jawab, tetapi perlu dicatat bahwa beban

yang diberikan dibatasi pada sector domestic, dengan mempertegas bahwa yang

diurusnya adalah urusan rumah tangga.

Kata kunci yang terakhir adalah kata tambahan pada dharma keempat;

wanita sebagai pencari nafkah tambahan. Penambahan kata tambahan pada

kalimat itu menunjuk peran wanita yang ter-subordinate, bahwa apa yang

dilakukan wanita untuk menafkahi keluarga adalah bersifat pelengkap saja.

Implikasi lain dari kata tambahan itu adalah, jika memang sudah mencukupi maka

tidak perlu ada tambahan lagi. Hal ini yang kemudian menjadi legitimasi untuk

menafikkan kemauan wanita untuk bekerja disektor publik, baik dibutuhkan atau

tidak, karena memang existensi wanita disektor itu tidak diakui.

5. KESIMPULAN

Panca Dharma Wanita merupakan salah satu text yang senantiasa

dilafazkan oleh para kader PKK dalam hamper setiap kegiatan mereka. Teks

Panca Dharma ini berisikan semacam pedoman mengenai peran yang seharusnya

dijalani wanita dengan mengurutkannya dari dharma yang bersifat domestic ke

dharma yang bersifat publik. Dharma – dharma tersebut menunjukkan bahwa

peran perempuan merupakan peran penunjang dari peran suami, dengan kata lain,

laki-laki lah yang menjadi tokoh utama dalam sebuah rumah tangga dan wanita

‘hanyalah’ menjadi pendamping saja.

Konsep bahwa wanita hanyalah pendamping dan bukan pelaku utama

dalam keluarga, dan oleh karenanya menjadikan posisi mereka tersubordinasi

sepertinya tidak disadari oleh kader PKK dalam penelitian ini, meskipun mereka

tahu persis posisi, peran, dan fungsi mereka dalam keluarga. Posisi, peran, dan

fungsi yang tersubordinasi tersebut dianggap sebagai hal yang memang sudah

seharusnya karena memang mereka menganggap laki-laki memiliki kedudukan

yang lebih tinggi. Dengan dimasukkannnya Panca dharma wanita sebagai ideologi

Page 20: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

kegiatan massa mereka, maka anggapan laki-laki memiliki kedudukan yang lebih

tinggi itu menjadi semakin kuat, karena penggunaan kata dharma tersebut member

konotasi yang positif.

Disamping itu, ada beberapa kata kunci yang menunjukkan peran wanita

yang tersubordinasi dalam Panca Dharma wanita yaitu kata pendamping, penerus

keturunan, pengurus rumah tangga, dan pencari nafkah tambahan

DAFTAR PUSTAKA

Blackburn, S. (2004). Women and the State in Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.

Cameron, D. (2007). Book Review: Feminist critical discourse analysis. Language in Society, 36(1), 111-115.

Ekomadyo, A. S. (2006). Prospek Penerapan Metode Analisis Isi (Content Analysis) dalam Penelitian Media Arsitektur. Jurnal Itenas, 2(10), 51-57.

Fairclough, N. (1995). Critical Discourse Analysis: the Critical Study of Language. Singapore: Longman.

Fairclough, N. (2001). Language and Power (2nd ed.). Harlow, England: Pearson Education Limited.

Hatley, B. (2002). Literature, Mythology and Regime Change: Some Observations on Recent Indonesian Women's Writing. In K. Robinson & S. Bessel (Eds.), Women in Indonesia: Equity and Development (pp. 130-143). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS).

Hatley, B. (2008). Postkolonialitas dan Perempuan Indonesia dalam Sastra Indonesia Modern (K. Soebagyo & M. Soesman, Trans.). In K. Foulcher & T. Day (Eds.), Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial (pp. 175-225). Jakarta: KITLV Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia.

Marcoes, L. (2002). Women's Grassroots Movements in Indonesia: A Case Study of the PKK and Islamic Women's Organisations. In K. Robinson & S. Bessel (Eds.), Women in Indonesia: Equity and Development (pp. 187-197). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS).

Mies, M. (1986). Patriarchy and Capital Accumulation on a World Scale: Women in the International Division of Labour. London: Zed Books.

Page 21: Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam ...

Oey-Gardiner, M. (2002). And the winner is ... Indonesian Women in Public Life. In K. Robinson & S. Bessel (Eds.), Women in Indonesia: Equity and Development (pp. 100-112). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS).

Philips, N., & Hardy, C. (2002). Discourse Analysis: Investigating Processes of Social Construction (Vol. 50). Thousand Oaks, CA: Sage.

Rahayu, P. R. (2004). Militerisme dan Ideologi Konco Wingking. Retrieved from http://www.kalyanamitra.or.id/kalyanamedia/1/2/opini.htm

Rahimi, F., & Riasati, M. J. (2011). Critical Discourse Analysis: Scrutinizing Ideologically - Driven Discourses. International Journal of Humanities and Social Science, 1(16), 107-112.

van Dijk, T. A. (1993). Principles of Critical Discourse Analysis. Discourse and Society, 4(2), 249-283.

van Dijk, T. A. (1998). Critical Discourse Analysis. Retrieved from http://www.hum.uva.nl/~teun/cda.htm

Wodak, R. (1991). Turning the Tables: Anti-Semitic Discourse in Post War Austria. Discourse and Society, 2(1), 63-83.