PART SUSTAINING NERSHIP 2015kpsrb.bappenas.go.id/data/filemajalah/Majalah KPBU Edisi...Edisi Khusus...

28
ISSN 2088-9194 772088 919408 9 PA RT N E R SH IP SUSTAINING MEDIA INFORMASI KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA EDISI KHUSUS Kelembagaan 2015 Lintas Unit Kerja Tangani KPBU di Sektor Transportasi Penguatan Kelembagaan Kunci Keberhasilan KPBU LKPP Siap Menjadi Lembaga Pengadaan Mitra Usaha Pemerintah

Transcript of PART SUSTAINING NERSHIP 2015kpsrb.bappenas.go.id/data/filemajalah/Majalah KPBU Edisi...Edisi Khusus...

ISSN 2088-9194

7 7 2 0 8 8 9 1 9 4 0 89

PARTNERSHIPSUSTAINING

M E D I A I N F O R M A S I K E R J A S A M A P E M E R I N T A H D E N G A N B A D A N U S A H A

Edisi

Khusus

Kelembaga

an

2015

Lintas Unit Kerja Tangani KPBU di Sektor Transportasi

Penguatan Kelembagaan Kunci Keberhasilan KPBU

LKPP Siap Menjadi Lembaga Pengadaan

Mitra Usaha Pemerintah

2 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

PARTNERSHIPmedia

Editorial & redaksi

Infrastruktur memegang peran penting sebagai salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi untuk mempercepat pembangunan nasional. Upaya efektivitas pembiayaan dan penciptaan nilai tambah proyek menjadi landasan dalam mengoptimalkan ketersediaan pendanaan pembangunan

infrastruktur di Indonesia. Selain itu, beberapa kunci sukses pembangunan infrastruktur diantaranya terletak pada perencanaan pembangunan yang matang, manjemen kelembagaan yang tepat, dan kerjasama yang efektif.

Perencanaan proyek merupakan salah satu peran sentral dalam kesuksesan pembangunan infrastruktur untuk dapat menghasilkan manfaat yang optimal bagi pihak-pihak yang terlibat. Manfaat optimal diperoleh dalam bentuk keberhasilan pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam menyediakan infrastruktur publik, tidak terbebaninya masyarakat dalam mengakses infrastruktur, dan memberikan keuntungan bagi pihak swasta yang terlibat.

Dalam rangka pengembangan kerangka kelembagaan, Pemerintah telah berupaya melakukan berbagai langkah terobosan guna mendukung pelaksanaan kerjasama pemerintah dengan badan usaha. Salah satunya adalah Perpres baru pengganti Perpres 67, yaitu Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dalam Penyediaan Infrastruktur.

Terkait dengan implementasi Perpres tentang KPBU dalam penyediaan infrastruktur maka dibentuklah lembaga-lembaga yang dapat meningkatkan akselerasi KPBU, seperti Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) yang telah direvitalisasi dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2011. Kemudian diperbaharui melalui penetapan Perpres Nomor 75 Tahun 2014, menjadi Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). Sementara itu, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) juga telah beroperasi secara penuh masing-masing sebagai instrumen pembiayaan dan penjaminan pembangunan infrastruktur melalui skema KPBU.

Untuk menghindari ego sektoral, muncul pemikiran perlunya payung hukum setingkat undang-undang tentang KPBU sehingga optimalisasi KPBU bisa lebih ditingkatkan lagi. Di samping itu, realisasi proyek skema KPBU dalam penyediaan infrastrukur di Indonesia harus terus diperbaiki dengan meningkatkan kapasitas lembaga dan penguatan sumber daya manusia (SDM) yang menangani KPBU.

Pemerintah perlu terus berupaya mendorong pembentukan simpul-simpul KPBU atau unit kerja di kementerian/lembaga maupun di daerah. Diharapkan dengan tersedianya kelembagaan yang tepat dapat muncul sinergi dan memicu terjadinya akselerasi dalam pembangunan infrastruktur. Semoga percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia dapat terwujud. (*)

Editorial

SuSunan RedakSi

penanggung jawabPlt. Direktur Pengembangan Kerjasama Pemerintah dan Swasta, Bappenas

peMIMpIn ReDaKSIJusuf Arbi

Dewan ReDaKSIDelthy Sugriady SimatupangGunsairiRachmat MardianaNovie AndrianiDodi SulistioAhmad Yudistira Eka Masropah Christiaan R. Rudolph Ajeng P. AnggitaElisabeth Ria

ReDaKtuR pelaKSanaR Indra

ReDaKtuRThomas PKandi Agus S

RepoRteRElmy Diah LestariDewi SulistiawatyAndi Nur Azisa

FotogRaFeRPonco

DeSaIn gRaFISAfandi A, Dica H

alamat RedakSi

Kelembagaan untuk Akselerasi Infrastruktur

Infrastructure Reform Sector Development Program (IRSDP)BAPPENASJl. Jambu No.35, Jakarta 10310website: www.irsdp.orgTelp. (62-21) 31925392Fax. (62-21) 31926438

Edisi Khusus Kelembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 3

RepoRtase

22

Public and Private Infrastructure Investment Management Center (PIMAC) ialah lembaga dengan fungsi teknis yang melaksanakan Public Private Partnership (PPP) di Korea Selatan (Korsel). Melalui PIMAC, Korsel sukses menerapkan PPP.

sukses PPP di Korsel Bermula dari PiMAC

Daftar Isi

edukasi

sosok

24

26

Keberadaan kebijakan mengenai Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2015 telah membantu penyediaan infrastruktur bagi publik.

Peningkatan kapasitas sumber daya manusia menjadi kunci suksesnya pelaksanaan program Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha.

Butuh Kelembagaan untuk Pastikan Proyek KPBu dijalankan daerah

RepoRtase18

Tempat Pembuangan dan Pengolahan Akhir Sampah (TPPAS) Regional Nambo, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Jabar), merupakan salah satu dari tiga TPPAS yang ada di wilayah regional Jabar.

Kelembagaan TPPAs Nambo Pastikan sinergitas Empat Pemerintahan

Menyempurnakan sistem Pengadaan dalam skema KPBu

Mengingat pentingnya peran badan usaha dalam pembangunan infrastruktur, Pemerintah telah menyediakan sarana bagi badan usaha agar dapat ikut berperan serta dalam pembangunan infrastruktur melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).

Kelembagaan dalam Kerjasama Pemerintah dengan Badan usaha (KPBu)

LapoRan utama4

Skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) di sektor perhubungan bukanlah hal baru. Kementerian Perhubungan sejak 10 tahun lalu sudah mulai mencoba skema KPBU untuk pembangunan pelabuhan dan bandara.

Lintas unit Kerja urus KPBu di sektor Transportasi

LapoRan utama10

4 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Me n g i n g a t pen tingnya per-an Badan Usaha dalam pem bangun-

an infrastruktur, Pemerintah telah menyediakan sarana bagi Badan Usaha agar dapat ikut berperan serta dalam pembangunan infrastruktur melalui skema KPBU. KPBU menjadi pilihan alternatif pendanaan mengingat kebutuh-an dana investasi yang terus mening kat selaras dengan upaya Peme rintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah untuk mempercepat dan mendorong penyediaan infrastruktur me lalui skema KPBU adalah dengan melakukan penyempurnaan regulasi yaitu dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Dalam Perpres tersebut dijelaskan pengertian KPBU yaitu kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum yang me ngacu kepada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Menteri/Kepala Lembaga/ Kepala Daerah/BUMN/BUMD. Sebagian atau seluruh pelaksana-

Berita Utama

perundang-undangan. Menteri/Kepala Lembaga yang dimaksud adalah pimpinan kementerian/kepala lembaga atau pihak yang didelegasikan untuk bertindak mewakili kementerian/lembaga berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang ruang lingkup, tugas, dan tanggung jawabnya meliputi sektor infrastruktur yang diatur dalam Perpres 38 Tahun 2015. Kepala Daerah sebagai PJPK yaitu gubernur atau bupati/walikota atau pihak yang didelegasikan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk mewakili kepala daerah bersangkutan.

Apabila proyek KPBU merupakan gabungan dari dua atau lebih jenis Infrastruktur, Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah yang memiliki kewenangan pada sektor infrastruktur yang akan dikerjasamakan dapat bertindak bersama-sama sebagai PJPK dengan menandatangani nota kesepahaman mengenai PJPK. Sepanjang diatur dalam peraturan perundang-undangan sektor, BUMN atau BUMD dapat juga bertindak sebagai PJPK. Dalam hal ini KPBU dilaksanakan melalui perjanjian dengan Badan Usaha Pelaksana yaitu Perseroan Terbatas yang didirikan oleh

an KPBU menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko antara para pihak.

Salah satu aspek dalam mendukung keberhasilan pelaksanaan proyek KPBU secara keseluruhan yaitu terkait organisasi kelembagaan KPBU. Organisasi kelembagaan yang kuat akan tercapai jika para pihak telah melaksanakan peran dan kewajibannya. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa organisasi kelembagaan sebagai sebuah sistem seperangkat unsur-unsur yang saling berkaitan, saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam upaya untuk mencapai keberhasilan proyek KPBU. Organisasi kelembagaan dalam tahapan pelaksanaan KPBU terdiri dari Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK), Simpul KPBU, Tim KPBU dan Panitia Pengadaan. Masing-masing organisasi tersebut memiliki peran dan tanggungjawab yang saling berkaitan.

PJPK adalah Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah, atau BUMN/BUMD sebagai penyedia atau penyelenggara infrastruktur berdasarkan peraturan

Kelembagaan dalam Kerjasama Pemerintah dengan

Badan Usaha (KPBU)

Edisi Khusus Kelembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 5

Menteri/Kepala lembaga/KepalaDaerah

Organisasi Dalam Pelaksanaan Tahapan KPBU

PJPK

Simpul KPBU

TIM KPBU Panitia Pengadaan

Koordinasi Pembentukan

Tim KPBU mempunyai peran dan tanggung jawab:a. Melakukan kegiatan penyiapan kajian awal

Prastudi Kelayakan dan kajian akhir Prastudi Kelayakan

b. Memastikan kegiatan tahap penyiapan dan transaksi KPBU setelah penetapan Badan Usaha Peaksanaan hingga diperolehnya Pemenuhan Pembiayaan (Financial Close); dan

c. Menyampaikan pelaporan kepada PJPK secara berkala melalui Simpu KPBU; dan

d. Melakukan koordinasi dengan Sumpil KPBU dalam pelaksanaan tugasnya.

Panitia Pengadaan mempunyai peran dan tanggung jawab untuk mempersiapkan melaksanakan proses Pengadaan Badan Usaha setelah menyelesaikan Dokumen Prastudi Kelayakan, mulai dari proses prakualifikasi, pengadaan, penyiapan dan pemasukan penawaran, evaluasi dan penetapan pemenang, serta finalisasi pengadaan dengan ditandatanganinya perjanjian KPBU

Simpul KPBU bertugas melakukan perumusan kebijakan dan/atau sinkronisasi dan/atau koordinasi dan/atau pengawasan, dan/atau evaluasi terhadap kegiatan KPBU

Berita Utama

tertentu. Tarif ditetapkan berdasarkan tingkat kemampuan pengguna.Dalam hal pengembalian investasi dalam bentuk pembayaran atas ketersediaan layanan, PJPK menganggarkan dana pembayaran ketersediaan layanan untuk penyediaan infrastruktur yang dilakukan oleh Badan Usaha Pelaksana pada masa operasi selama jangka waktu yang diatur

Badan Usaha pemenang lelang atau yang ditunjuk langsung.

PJPK memiliki peran dalam hal pengembalian investasi badan usaha yaitu menetapkan bentuk pengembalian investasi yang meliputi penutupan biaya modal, biaya operasional, dan keuntungan Badan Usaha Pelaksana. Pengembalian

investasi tersebut dapat berbentuk tarif, pembayaran ketersediaan layanan atau bentuk lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal pengembalian investasi berbentuk tarif, PJPK berperan dalam menetapkan tarif awal atas penyediaan infrastruktur untuk memastikan pengembalian investasi dalam kurun waktu

dalam Perjanjian Kerja Sama. Pembayaran ketersediaan layanan dilakukan apabila infrastruktur yang dikerjasamakan telah dibangun dan dinyatakan siap beroperasi. Disamping itu juga, infrastruktur yang telah dibangun tersebut juga harus memenuhi kriteria yang disepakati dalam perjanjian kerjasama.Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah sebagai PJPK dalam melaksanakan kegiatan KPBU membentuk simpul KPBU yang melekat pada unit kerja yang sudah ada di lingkungan Kementerian/Lembaga/Daerah atau unit kerja baru yang dibentuk dalam lingkungan Kementerian/Lembaga/Daerah. Tujuan pembentukan simpul KPBU yaitu melakukan perumusan kebijakan, sinkronisasi, koordinasi pada tahap perencanaan dan penyiapan kegiatan KPBU, serta pengawasan dan evaluasi kegiatan KPBU pada tahap penyiapan dan tahap

6 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Berita Utama

transaksi, termasuk manajemen pelaksanaan KPBU.

Simpul KPBU berperan penting pada tahap manajemen Pelaksanaan Perjanjian KPBU. Simpul KPBU membantu PJPK untuk mengawasi jalannya pelaksanaan KPBU sesuai dengan hal hal yang disepakati dalam perjanjian KPBU. Manajemen pelaksanaan perjanjian KPBU dilakukan pada masa prakonstruksi, konstruksi, operasi komersial dan masa berakhirnya perjanjian KPBU. Pada masa prakonstruksi, simpul KPBU melaksanakan pengawasan pelaksanaan perjanjian KPBU dan pemenuhan pembiayaan (financial close). Pada masa konstruksi, simpul KPBU melaksanakan manajemen pelaksanaan rancangan fasilitas baru, maupun penggabungan fasilitas baru dengan fasilitas yang telah ada. Simpul KPBU dapat melaporkan kepada PJPK apabila terdapat permasalahan terkait dengan kegagalan dan ketidakmampuan Badan Usaha Pelaksana untuk memenuhi perjanjian KPBU, permasalahan mengenai tenaga kerja dan risiko yang ditanggung oleh PJPK. Simpul KPBU memantau jadwal konstruksi, variasi disain konstruksi, kesiapan pekerjaan, kesesuaian perencanaan teknik dengan pelaksanaan konstruksi. Pada masa operasi simpul KPBU melaksanakan manajemen pelaksanaan terhadap pelaksanaan perjanjian KPBU dan pemantauan standar kinerja

layanan sesuai dengan perjanjian KPBU. Menjelang masa berakhirnya perjanjian KPBU, jika bentuk KPBU menggunakan opsi pengalihan, simpul KPBU mempertimbangkan pengalihan kembali aset kepada PJPK. Simpul KPBU melakukan penilaian aset semua komponen sarana yang termasuk dalam perjanjian KPBU. Dalam pelaksanaan tugasnya, simpul KPBU dibantu oleh tim KPBU dan panitia pengadaan.

Tim KPBU dibentuk oleh PJPK untuk membantu Simpul KPBU dalam melaksanakan kegiatan pada tahap penyiapan dan tahap transaksi KPBU, termasuk setelah penetapan Badan Usaha Pelaksana hingga diperolehnya pemenuhan pembiayaan (financial close). Tim KPBU dalam pelaksanaan tugas-tugasnya memiliki peran dan tanggung jawab untuk melakukan koordinasi dan menyampaikan pelaporan kepada PJPK secara berkala melalui Simpul KPBU. Tim KPBU melakukan kegiatan pada tahap penyiapan KPBU yang meliputi kajian awal Prastudi Kelayakan dan kajian akhir Prastudi Kelayakan. Tim KPBU juga melakukan kegiatan tahap transaksi KPBU hingga tercapainya pemenuhan pembiayaan (financial close), kecuali kegiatan pengadaan Badan Usaha Pelaksana.

Panitia Pengadaan dibentuk oleh PJPK untuk membantu Simpul KPBU dalam melaksanakan

kegiatan pengadaan Badan Usaha Pelaksana. Panitia Pengadaan memiliki peran dan tanggung jawab untuk mempersiapkan dan melaksanakan proses Pengadaan Badan Usaha Pelaksana pada tahap transaksi KPBU, setelah menyelesaikan Dokumen Prastudi Kelayakan, mulai dari proses prakualifikasi, pengadaan, penyiapan dan pemasukan penawaran, evaluasi dan penetapan pemenang, serta finalisasi pengadaan dengan ditandatanganinya perjanjian KPBU.

Pada dasarnya, tanggungjawab pembangunan infrastruktur pada akhirnya tetap ditangan Pemerintah. Sistem kelembagaan dan mekanisme pengawasan yang efektif harus diterapkan untuk memastikan bahwa penyediaan layanan publik yang dibangun pihak swasta tersebut layak dengan kualitas yang dapat

Tim KPBU dalam pelaksanaan tugas-tugasnya memiliki

peran dan tanggung jawab untuk

melakukan koordinasi dan menyampaikan pelaporan kepada

PJPK secara berkala melalui Simpul KPBU.

Edisi Khusus Kelembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 7

Berita Utama

diterima, dan biaya yang efisien. Oleh karena itu, peran analisis kelembagaan sebagaimana tercantum pada bagan disamping sangatlah penting pada tahap penyiapan KPBU. Penyiapan KPBU sendiri bertujuan untuk mengkaji kelayakan KPBU. Analisis kelembagaan tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan kajian hukum dan kelembagaan pada tahap penyiapan kajian Prastudi Kelayakan. Diharapkan melalui analisis kelembagaan dapat memastikan kewenangan PJPK termasuk penentuan PJPK pada proyek multi infrastruktur. Selain itu, penentuan tanggung jawab lembaga-lembaga dalam pelaksanaan KPBU dan penyiapan perangkat regulasi kelembagaan juga merupakan bagian dari pelaksanaan analisis kelembagaan. (*)

Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK)

SUBYEK DALAM KPBU (PERPRES 38/2015)

Badan Usaha

Badan Usaha Milik Negara,

Badan hukum asing,

Badan Usaha MilikDaerah,

Koperasi

Badan usaha swasta berbentuk Perseroan

Terbatas (PT),

MENTERI/KEPALA LEMBAGA

KEPALADAERAH

BUMN/BUMD

Pimpinan kementerian/

kepala lembaga; atau

Gubernur/Bupati/Walikota; atau

Pihak yang didelegasikan

untuk bertindak mewakili

kementerian/lembaga

berdasarkan UU

Pihak yang didelegasikan berdsrkan UU

untuk mewakili kepala daerah

BUMN/D dapat bertindak

sebagai PJPK sepanjang diatur dalam peraturan

perundang- undangan sektor

ANALISIS KELEMBAGAAN

memastikan kewenangan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Direksi BUMN/BUMD sebagai PJPK dalam melaksanakan KPBU termasuk penentuan

PJPK dalam proyek multi infrastuktur;

melakukan pemetaan pemangku kepentingan (stakeholders mapping) dengan menentukan peran dan tanggung jawab lembaga-lembaga yang berkaitan

dalam pelaksanaan KPBU;

menentukan peran dan tanggung jawab Tim KPBU berkaitan dengan kegiatan penyiapan kajian awal Prastudi Kelayakan, dan penyelesaian kajian akhir Prastudi

Kelayakan, serta menentukan sistem pelaporan Tim KPBU kepada PJPK;

menentukan dan menyiapkan perangkat regulasi kelembagaan; dan

menentukan kerangka acuan pengambilan keputusan.

8 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Berita Utama

Penguatan Kelembagaan KPBU di Bidang Pekerjaan Umum

Kementerian Pekerjaan

Umum dan Perumahan

Rakyat (PUPR) selaku

instansi penyelenggara

urusan pemerintahan di bidang

PUPR menyadari pentingnya

unit kerja untuk mengefektifkan

skema KPBU sebagai alternatif

pembiayaan infrastruktur. Oleh

karena itu, Kementerian PUPR

berkomitmen segera membentuk

simpul KPBU untuk lebih

mendorong pelaksanaan KPBU di

bidang PUPR.

Direktur Bina Investasi

Infrastruktur, Direktorat Jenderal

Bina Konstruksi, Kementerian

PUPR, Dudi Suryobintoro,

mengatakan, saat ini simpul KPBU

di bidang PUPR masih dalam proses

pembentukan. Pihaknya akan

segera mengusulkan kepada Menteri

PUPR agar menunjuk Direktorat

Bina Investasi Infrastruktur (DBII)

sebagai simpul KPBU Kementerian

PUPR. “Usulan kami didasari pada

kenyataan bahwa tugas dan fungsi

masing-masing sub direktorat di

bawah DBII adalah cerminan dari

simpul KPBU yang termaktub

dalam Peraturan Presiden (Perpres)

Nomor 38/2015. Kami berharap

dengan terbentuknya simpul KPBU

Kementerian PUPR, dapat lebih

mendorong penyelenggaraan KPBU

di lingkungan Kementerian PUPR,”

ujar Dudi Suryobintoro kepada

Majalah Partnership, pertengahan

November 2015.

Menurut Dudi, pelaksana dan

penanggung jawab proyek KPBU

di bidang PUPR sebenarnya sudah

cukup jelas. Perpres Nomor 38/2015

telah mengamanatkan dengan

jelas mengenai siapa yang dapat

bertindak selaku Penanggung

Jawab Proyek Kerjasama (PJPK),

baik di tingkat pemerintah pusat

(Kementerian/Lembaga) maupun

pemerintah daerah. Hal yang perlu

ditingkatkan ke depan adalah

sinergi dan koordinasi dari setiap

kelembagaan KPBU.

Untuk memperkuat kelembagaan

KPBU di bidang PUPR, beberapa

hal yang diupayakan DBII antara

lain memperkuat koordinasi dengan

mitra kerja yang terkait KPBU, baik

instansi pemerintah maupun non

pemerintah dalam hal penyiapan

kebijakan investas iinfrastruktur.

Misalnya, dengan Kementerian

Keuangan, Kementerian PPN/

Bappenas, PT Sarana Multi

Infrastruktur (SMI), dan PT

Penjaminan Infrastruktur Indonesia

(PII). Selain itu, DBII menjalin

kerjasama dengan semua pemangku

kepentingan KPBU, khususnya di

penguatan kelembagaan merupakan salah satu tantangan yang perlu dibenahi agar skema kerjasama pemerintah dengan Badan usaha (kpBu) dalam penyediaan infrastrukur lebih efektif.

untuk itu, pemerintah terus mendorong pembentukan unit kerja sebagai simpul kpBu di kementerian/Lembaga maupun daerah.

8 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Edisi Khusus Kelembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 9

Berita Utama

tataran pemerintah pusat dalam hal

penyelenggaraan dan penyelesaian

permasalahan KPBU. Misalnya,

setiap ada isu strategis baru tentang

KPBU, DBII akan berkoordinasi

dengan instansi terkait untuk

dapat segera menyelesaikannya

bersama. Langkah selanjutnya

yang akan dilakukan DBII dalam

rangka memperkuat kelembagaan

KPBU adalah membangun sistem

informasi mitigasi risiko dengan

melibatkan semua pemangku

kepentingan dalam KPBU, termasuk

Badan Usaha Pelaksana (BUP).

Tiga Langkah Meningkatkan Kapasitas Aparatur

Dari sisi pemahaman terkait KPBU,

Dudi melihat, masih terdapat gap

yang sangat besar, khususnya antara

pemerintah pusat dan daerah.

Contohnya, pemerintah daerah

masih banyak yang mengandalkan

dana dekonsentrasi APBN atau

APBD dalam pembangunan

infrastruktur. Sementara di pusat,

banyak Kementerian/Lembaga yang

saat ini tidak lagi cenderung pada

proyek-proyek infrastruktur yang

dananya bersumber dari APBN, tapi

melalui creative financing. Padahal,

pemerintah daerah juga memiliki

kesempatan untuk mengembangkan

creative financing, seperti dengan

skema KPBU.

Langkah-langkah yang dapat

diupayakan dalam rangka

meningkatkan kapasitas aparatur

pemerintah terkait skema KPBU,

yakni, pertama, mengadakan

kegiatan pendidikan dan pelatihan

(training) termasuk bagi aparatur

pemerintah terkait penyelenggaraan

infrastruktur khususnya dengan

skema KPBU. Kedua, melakukan

pendampingan dan fasilitasi

penanganan permasalahan dalam

penyelenggaraan KPBU. Ketiga,

mengembangkan suatu sistem

informasi penyelenggaraan KPBU.

Misalnya terkait risiko kegagalan

proyek, maka mewajibkan setiap

pemangku kepentingan KPBU,

khususnya aparatur pemerintah,

untuk selalu mengisi dan

memperbarui (update) data dalam

sistem informasi tersebut.

Dudi menilai, skema KPBU sangat

mendukung target pemerintah

dalam penyediaan infrastruktur.

Melalui skema KPBU, selain

beban anggaran pemerintah

dalam penyediaan infrastruktur

dapat direduksi, partisipasi badan

usaha dalam pembangunan

di Indonesia juga dapat lebih

ditingkatkan. Akan tetapi, masih

ada sejumlah tantangan lain yang

perlu dibenahi agar skema KPBU

berjalan optimal. Tantangan

tersebut antara lain, penyusunan

dokumen perencanaan yang kurang

memadai; sistem evaluasi kinerja

investasi infrastruktur yang

belum dirumuskan; koordinasi

antarinstansi pemerintah pemangku

kepentingan KPBU masih kurang

optimal; dan KPBU bagi sebagian

pihak dianggap sebagai privatisasi.

“Penyelesaian permasalahan-

permasalahan tersebut akan kami

fasilitasi,” ujarnya.

Satu Unit KPBU di Tiap Provinsi

Keberhasilan skema KPBU tentu

tidak cukup hanya memperkuat

simpul di Kementerian/Lembaga.

Pembentukan simpul KPBU di

daerah juga tidak kalah penting

mengingat proyek-proyek

infrastruktur umumnya berada

di daerah. Oleh karena itu, sudah

seharusnya simpul KPBU juga

dibentuk di tiap daerah.

Menurut Asisten Deputi Perumahan,

Pertanahan dan Pembiayaan

Infrastruktur, Kementerian

Koordinator Perekonomian, Bastary

Pandji Indra, hingga kini simpul

KPBU baru terbentuk di beberapa

kementerian. Padahal, simpul

KPBU tidak hanya diperlukan di

tingkat pusat tetapi juga di daerah.

Pemerintah sudah mencanangkan

kelembagaan KPBU dalam lima

tahun ke depan paling tidak

terbentuk satu simpul di setiap

provinsi.

Keinginan pemerintah agar setiap

daerah membentuk simpul KPBU

mendapat respons positif dari

pemerintah daerah. Setidaknya,

Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung

sudah memiliki komitmen untuk

membentuk simpul KPBU di

daerahnya. Wali Kota Bandung,

Ridwan Kamil, sudah meminta

pembentukan satu unit kerja yang

khusus menangani KPBU. Unit kerja

KPBU yang ditargetkan terbentuk

mulai 2016 nantinya berada di

Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah (Bappeda) Kota Bandung.

“Kami sudah diminta oleh Pak Wali

Kota membentuk unit khusus KPBU

untuk menangani proyek-proyek

KPBU sehingga lebih fokus,” ujar

Kepala Bappeda Kota Bandung,

Kamalia Purbani, kepada Majalah

Partnerhsip, awal November 2015. (*)

10 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Simpul KPBU ini

dibentuk dengan dasar

hukum Peraturan

Menteri Perhubungan

(Permenhub) Nomor PM 90/2010

tentang Pembentukan Simpul

KPBU Kementerian Perhubungan.

Simpul KPBU Kementerian

Perhubungan merupakan unit kerja

fungsional yang bertanggung jawab

kepada Menteri. Simpul KPBU

ini merupakan pemberdayaan

organisasi unit kerja di lingkungan

Kementerian Perhubungan sesuai

tugas dan fungsinya masing-

masing dalam penyediaan dan

pembangunan infrastruktur. Simpul

KPBU Kementerian Perhubungan

mempunyai tugas untuk menyiapkan

perumusan kebijakan, sinkronisasi,

koordinasi, pengawasan dan evaluasi

pembangunan proyek-proyek

infrastruktur dengan skema KPBU.

Kepala Sub Bidang Kajian

Kemitraan Transportasi Laut

dan Manajemen Transportasi

Multimoda, Pusat Kajian Kemitraan

dan Pelayanan Jasa Transportasi

(PKKPJT), Kementerian

Perhubungan, Sandi Mahendra,

mengatakan, meskipun peraturan

tentang KPBU sudah mengalami

beberapa kali pembaharuan, hingga

kini simpul KPBU Kementerian

Perhubungan masih mengacu pada

Permenhub Nomor PM 90/2010.

Sesuai Permenhub Nomor PM

90/2010, simpul KPBU Kementerian

Perhubungan terdiri atas Pengarah

dan Pelaksana. Pengarah diketuai

oleh Menteri Perhubungan dengan

anggota para direktur jenderal teknis.

Pengarah memiliki tugas, yaitu:

pertama, memberikan petunjuk dan

pengarahan kebijakan yang terkait

langsung maupun tidak langsung

dengan substansi program dan

pelaksanaan pembangunan KPBU

sektor transportasi di lingkungan

Kementerian Perhubungan kepada

Pelaksana dalam rangka efektivitas

pelaksanaan tugas. Kedua,

memutuskan dan menetapkan

kebijakan dan isu-isu strategis

terkait pelaksanaan KPBU

sector transportasi di lingkungan

Kementerian Perhubungan yang

dirumuskan oleh Pelaksana.

Ketiga, memantau pelaksanaan

tugas pelaksana dan memberikan

petunjuk dalam mengatasi setiap

hambatan dan permasalahan

dalam pelaksanaan KPBU sector

transportasi di lingkungan Ke-

menterian Perhubungan. Keempat,

mengkoordinasikan pelaksanaan

KPBU infrastruktur sector trans-

portasi di lingkungan Kementerian

Perhubung an dengan Kementerian/

Lembaga maupun pihak lain yang

bersifat lintas bidang/sektoral.

Dalam melaksanakan tugasnya,

Pengarah dibantu oleh Pelaksana

dengan ketua harian Kepala

Pusat Kajian Kemitraan dan

Pelayanan Jasa Transportasi. Dalam

organisasi Pelaksana terdapat

koordinator proyek kerjasama,

koordinator prastudi kelayakan

proyek kerjasama, koordinator

transaksi proyek kerjasama,

dan koordinator manajemen

pelaksana. Dalam melaksanakan

tugasnya, Pelaksana mempunyai

tugas mengkoordinasikan dan

memonitor pelaksanaan KPBU

sektor transportasi di lingkungan

Kementerian Perhubungan;

menyiap kan perumusan kebijakan

pelaksanaan KPBU untuk ditetap-

kan oleh Pengarah; membantu Pen-

anggung Jawab Proyek Kerjasama

(PJPK) dalam penyiapan dan pelak-

sanaan kebijakan KPBU; serta mem-

bantu Pengarah dalam koordinasi

dengan Kementerian/Lembaga dan

pihak- pihak lain yang berkepenting-

an berkaitan dengan hal-hal yang si-

fatnya lintas sektoral/bidang.

Kepala PKKPJT yang bertindak

sebagai Ketua Harian Pelaksana

Lintas Unit Kerja Tangani KPBUdi Sektor Transportasiskema kerja sama pemerintah dengan Badan usaha (kpBu) di sektor transportasi bukanlah hal baru. kementerian perhubungan sejak 10 tahun lalu sudah mulai menerapkan skema kpBu untuk pembangunan pelabuhan dan bandara. agar pelaksanaan penyediaan infrastruktur di sector perhubungan dengan skema kpBu lebih terarah, menteri perhubungan sejak 2010 lalu telah membentuk simpul kpBu kementerian perhubungan.

Berita Utama

10 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Edisi Khusus Kelembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 11

dibantu oleh Kepala Biro

Perencanaan sebagai Wakil Ketua

I, dan Kepala Biro Hukum dan

Kerjasama Luar Negeri sebagai

Wakil Ketua II. Untuk membantu

tugas Pelaksana, terdapat empat

koordinator pada simpul KPBU

Kementerian Perhubungan.

Keempat koordinator tersebut,

yakni Kepala Biro Perencanaan

sebagai koordinator perencanaan

proyek kerjasama; Kepala

PKKPJT sebagai koordinator

penyiapan prastudi kelayakan

proyek kerjasama; koordinator

transaksi proyek kerjasama yang

terdiri atas transportasi darat,

laut, udara, perkeretaapian, dan

sarana/prasarana pengembangan

Sumber Daya Manusia (SDM) yang

dikoordinir oleh sekretaris masing-

masing direktorat; serta koordinator

manajemen pelaksanaan perjanjian

kerjasama yang terdapat pada

transportasi darat, laut, udara, per-

keretaapian, dan sarana/prasarana

pengembangan SDM yang dikoor-

dinir oleh masing-masing direktur.

Setiap pihak Pelaksana memiliki

tugas masing-masing tetapi

merupakan satu kesatuan yang tidak

dapat dipisahkan. Ketua Harian

misalnya, memiliki tugas memimpin

pelaksanaan koordinasi mekanisme

pelaksanaan KPBU, meliputi tahap

perencanaan, penyiapan prastudi

kelayakan, transaksi proyek dan

manajemen pelaksanaan perjanjian

proyek kerjasama. Wakil Ketua I

bertugas membantu Ketua Harian

mengkoordinasi proyek kerjasama

pada tahap perencanaan dan

manajemen pelaksanaan perjanjian.

Untuk urusan koordinasi proyek

kerjasama pada tahap transaksi,

Ketua Harian akan dibantu oleh

Wakil Ketua II.

Sementara itu, Koordinator Perenca-

naan Proyek Kerjasa, bertang gung

jawab menyusun proses pe rencanaan,

program dan anggaran, identifika-

si, pemilihan, serta penetapan pri-

oritas proyek kerjasama. Untuk

menyusun prastudi kelayak an, di-

tugaskan kepada Koordinator Peny-

iapan Prastudi Kelayakan Proyek

Kerjasama dengan menggandeng

masing masing direktorat teknis.

Adapun tugas melakukan kegiatan

transaksi proyek kerjasama, mulai

dari perencanaan pengadaan Badan

Usaha, pelaksanaan pengadaan

Badan Usaha, dan pengakhiran

perjanjian kerjasama, menjadi

tanggung jawab Koordinator

Transaksi Proyek Kerjasama.

Sedangkan Koordinator Manajemen

Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama,

bertugas menyiapkan prakonstruksi,

konstruksi, operasi komersial, dan

pengakhiran kerjasama, menjadi

tanggung jawab.

Dievaluasi Secara Berkala Sesuai Kebutuhan

Simpul KPBU di Kementerian

Perhubungan bukanlah unit

permanen. Simpul ini akan

dievaluasi secara berkala dan

disesuaikan dengan perkembangan

lingkungan strategis yang terjadi.

PKKPJT pada tahun 2013 lalu

sebenarnya sudah melakukan studi

terkait revisi Permenhub Nomor

PM 90/2010. Hasil studi tersebut

sudah diserahkan PKKPJT kepada

Biro Hukum. Namun sejauh ini

belum ada tindaklanjut, karena

pada tahun 2014 Indonesia

sedang menghadapi masa transisi

kepemimpinan nasional.

Setelah pemerintah baru

terbentuk dan terjadi sejumlah

perubahan struktur organisasi

dan penganggaran di Kementerian

Perhubungan, belum banyak yang

dapat dilakukan dalam rangka

memperkuat kelembagaan KPBU

di Kementerian Perhubungan. “Ada

kendala birokrasi penganggaran di

Kemenhub sehingga revisi terkait

aturan yang baru belum bisa kami

lakukan. Paling cepat itu baru dapat

dilakukan pada tahun 2016,” kata

Mahendra.

Mahendra menilai, dari sisi

kelembagaan KPBU sebenarnya

tidak banyak yang perlu dibenahi,

karena tidak ada perubahan yang

signifikan antara peraturan KPBU

yang lama dengan peraturan KPBU

yang baru, yakni Peraturan Presiden

(Perpres) Nomor 38/2015 tentang

Berita Utama

Edisi Khusus Kelembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 11

12 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

kelayakan itu harus konsultan atau

lembaga yang sudah punya reputasi

internasional. Tapikan itu mahal,

butuh anggaran besar,” ucapnya.

Untuk mengatasi kendala ini,

Kementerian Perhubungan kini

mendorong model unsolicited atau

prakarsa Badan Usaha. Dalam

proyek unsolicited studi kelayakan

sepenuhnya menjadi tanggung

jawab Badan Usaha pemrakarsa.

Mahendra mengatakan, salah satu

contoh proyek unsolicited di sektor

transportasi yang kini sedang

berjalan dan sudah penandatangan

konsesi, adalah pembangunan

Pelabuhan Kuala Tanjung di

Kabupaten Batubara, Sumatera

Utara, yang diusulkan PT Pelindo I.

Ke depan, agar skema KPBU semakin

kuat, Mahendra mengusulkan

perlunya payung hukum setingkat

undang-undang. Dengan adanya

undang-undang tentang KPBU, ego

sektoral diharapkan tidak terjadi

lagi. Tidak bisa dipungkiri, kurang

optimalnya KPBU di Indonesia

juga akibat banyaknya regulasi

di Kementerian/Lembaga yang

terkadang saling tumpang tindih.

Kini pemerintah sedang berupaya

melakukan harmonisasi regulasi-

regulasi yang tumpang tindih. Tapi

harmonisiasi akan sulit dilakukan

jika tidak ada payung hukum yang

kuat. “Menurut saya, ke depan

diperlukan undang-undang untuk

mengharmonisasikan aturan

KPBU. Dengan demikian, KPBU ini

bisa difasilitasi dengan lebih baik.

Tidak ada lagi peraturan-peraturan

tanding an di masing-masing Kemen-

terian/Lembaga,” pungkasnya. (*)

sosialisasi pemahaman KPBU

kepada UPT. Namun, karena terlalu

banyak jumlahnya, kami terkendala

dalam penganggaran. Belum lagi

rotasi SDM yang begitu cepat

sehingga menyebabkan sosialisasi

menjadi tidak efektif,” ujarnya.

PKKPJT juga masih dihadapkan

dengan persoalan anggaran untuk

melakukan studi kelayakan proyek

yang dilaksanakan melalui skema

KPBU. Sebab, saatini belum ada

payung hukum di Kementerian

Perhubungan yang mengatur pos

anggaran untuk pelaksanaan

studi kelayakan proyek KPBU.

Padahal, studi kelayakan proyek

sangat penting untuk memberi

kepastian investasi kepada investor.

Studi kelayakan tidak cukup jika

hanya dilakukan oleh unit KPBU

di Kementerian/Lembaga melalui

konsultan yang berstandar lokal.

Mahendra berpendapat, pihak

yang melakukan studi kelayakan

proyek idealnya konsultan atau

lembaga yang memiliki reputasi

internasional. Dengan begitu proyek

yang ditawarkan punya nilai jual

tinggi bagi investor, khususnya

investor asing.

“Investor selama ini hanya tertarik

pada proyek yang ditawarkan,tapi

tidak berani untuk bergerak jauh.

Menurut identifikasi kami, itu

kemungkinan dikarenakan studi

kelayakannya tidak berbunyi

atau mereka masih meragukan.

Walaupun ada lembaga yang

punya reputasi tinggi di Indonesia,

kan belum tentu di luar negeri itu

dikenal investor. Jadi, menurut saya,

mestinya yang melakukan studi

Kerjasama Pemerintah dengan

Badan Usaha dalam Penyediaan

Infrastruktur, maupun aturan

turunannya.

Demikian juga dari sisi regulasi,

sudah mulai dilakukan harmonisasi

di masing-masing Kementerian/

Lembaga. Hal yang perlu dibenahi

saat ini adalah kapasitas sumber

daya manusia (SDM), baik di

unit KPBU pusat maupun di unit

pelayanan teknis (UPT) sektor

perhubungan.

Menurut Mahendra, selama ini

fungsi kelembagaan KPBU di

sektor transportasi belum begitu

kuat karena masih ada perbedaan

persepsi terkait tugas dan fungsi

masing-masing unit kerja KPBU,

baik itu di lingkungan Kementerian

Perhubungan maupun Unit

Pelaksana Teknis (UPT). Misalnya,

Kepala PKKPJT sudah ditugaskan

sebagai koordinator penyiapan pra-

studi kelayakan proyek kerjasama,

pada kenyataannya masing-masing

unit kerja KPBU melakukan pra-

studi sendiri-sendiri. Selain itu,

masih banyak yang belum sepaham

dengan kebijakan KPBU. Di unit-unit

tertentu masih ada yang cenderung

mendorong proyek-proyek untuk

dilaksanakan dengan dana APBN.

Oleh karena itu, agar skema

KPBU dapat menjadi salah satu

sumber pembiayaan infrastruktur

transportasi, peningkatan kapasitas

SDM mutlak diperlukan. Akan

tetapi, PKKPJT hingga kini masih

dihadapkan dengan persoalan

keterbatasan anggaran. “Kami

sudah berusaha melakukan

Berita Utama

Edisi Khusus Kelembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 13

Untuk menjalankan

fungsinya sebagai

pelayan masyarakat,

sudah merupakan

kewajiban pemerintah untuk

menyediakan infrastruktur dengan

memanfaatkan dana Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) dan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD).

Namun sayangnya, dana dari

APBN dan APBD tidak mencukupi

untuk melakukan percepatan

pembangunan infrastruktur. Dalam

hal ini, pemerintah perlu melibatkan

partisipasi badan usaha.

Untuk mendukung percepatan

penyediaan infrastruktur

bagi masyarakat, Pemerintah

LKPP Siap Menjadi Lembaga Pengadaan Mitra Usaha Pemerintah

melalui perka Lkpp nomor 19/2015, Lembaga kebijakan pengadaan Barang/Jasa pemerintah (Lkpp) telah mengatur tata cara pemilihan badan usaha pelaksana proyek infrastrukfur kpBu dengan

terperinci. namun, hingga kini belum ada kementerian/lembaga (k/L) yang bertanggungjawab penuh memonitoring pelaksanaannya. Lkpp siap bertanggungjawab apabila diberi mandat oleh presiden.

telah memperbaharui regulasi

tentang Kerjasama Pemerintah

dengan Badan Usaha Dalam

Penyediaan Infrastruktur dengan

menerbitkan Peraturan Presiden

(Pepres) Nomor 38/2015 dan

Peraturan Menteri Perencanaan

Pembangunan Nasional/ Kepala

Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional (Permen PPN/Bappenas)

Nomor 4/2015 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah

Dengan Badan Usaha   Dalam

Penyediaan Infrastruktur.

Mengacu pada pasal 28 dan pasal

40 Perpres 38 tahun 2015, tugas

Lembaga Kebijakan Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)

adalah mengatur Tata Cara Seleksi

Badan Penyiapan dan Tata

Cara Pengadaan Badan

Usaha Pelaksana Proyek

KPBU. Untuk itu, LKPP

telah mengundangkan

Perka LKPP Nomor

19/2015 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pengadaan

Badan Usaha KPBU dalam

Penyediaan Infrastruktur

sejak Agustus 2015 lalu.

LKPP juga telah

mensosialisasikan Perka

19/2015 ke 5 Kota Besar di

Indonesia yaitu Jakarta, Surabaya,

Medan, Makasar dan Batam. Saat

ini, LKPP sedang melaksanakan

piloting project implementasi

Perka 19/2015 pada proyek KPBU

Pengelolaan Sampah Kota Batam

yang dalam waktu dekat akan

dilaksanakan proses pengadaan

Badan Usahanya.

Menurut Kepala LKPP, Dr.Ir. Agus

Prabowo, M.Eng, dalam penerapan

proyek Skema KPBU dalam

pembanguan infrastruktur ada 3

tahapan yang harus dilaksanakan

yaitu perencanaan, penyiapan

dan transaksi. Keputusan suatu

proyek menggunakan skema

KPBU atau pengadaan barang dan

jasa tradisional ada pada tahap

Edisi Khusus Kelembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 13

Berita Utama

14 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Berita Utama

penyiapannya yang dilakukan

dengan melakukan Feasibility

Study (FS). Apabila hasil FS

menunjukkan bahwa pelaksanaan

proyek lebih menguntungkan bagi

pemerintah dengan skema KPBU

maka proyek dilaksanakan sesuai

Perpres Nomor 38/2015. Prospek

keuntungan yang dimaksud sudah

mempertimbangkan alokasi resiko,

kemampuan teknis dan finansial.

Dalam Perka LKPP Nomor 19/2015

diatur mengenai dua metode

pemilihan badan usaha pelaksana

penyediaan infrastruktur, yaitu

Pelelangan dan Penunjukan

Langsung. Pelelangan secara

teknis akan melibatkan sebanyak-

banyaknya peserta lelang

selayaknya dalam proses pengadaan

barang/jasa pemerintah. Apabila

dalam proses prakualifikasi hanya

dihasilkan satu peserta, proses

pelelangan tetap dilakukan untuk

mempercepat proses pemilihan

badan usaha.

Proses pelelangan dapat dilakukan

satu tahap atau dua tahap

disesuaikan dengan karateristik

proyek KPBU. Pelelangan satu

tahap dilakukan apabila spesifikasi

penyediaan infrastruktur dapat

dirumuskan dengan jelas dan

tidak perlu melakukan diskusi

optimalisasi teknis. Pelelangan

dua tahap dilaksanakan apabila

karateristik spesifikasi penyediaan

infrastruktur dalam proyek KPBU

belum pasti karena adanya variasi

inovasi dan teknologi. Selain itu,

juga masih memerlukan diskusi

optimalisasi teknis untuk mencapai

output yang optimal.

Metode penunjukan langsung

merupakan metode baru yang

diterapkan dalam pemilihan badan

usaha pelaksana KPBU. Pemilihan

dengan penunjukan langsung

dapat dilakukan sepanjang tidak

bertentangan dengan undang-

undang dan peraturan pemerintah

sektor terkait.

Penunjukan langsung dapat

dilakukan apabila peserta yang lolos

dalam proses prakualifikasi hanya

satu peserta dan KPBU dengan

suatu kondisi tertentu. Maksud dari

kondidi tersebut adalah Pertama,

infrastruktur yang telah dibangun

dan atau dioperasikan sebelumnya

oleh badan usaha pelaksana yang

sama; Kedua, pekerjaan pelaksanaan

KPBU hanya dapat dilaksanakan

dengan penggunaan teknologi baru

dan penyedia jasa yang mampu

mengaplikasikan hanya satu-

satunya; Ketiga, badan usaha telah

menguasai sebagian besar atau

seluruh lahan yang diperlukan

untuk melaksanakan KPBU.

Selain mengatur tentang metode

pemilihan badan usaha pelaksana

KPBU, dalam Perka LKPP Nomor

19/2015 juga mengatur proses

pengadaan badan penyiapan

atau konsultan perencana proyek

infrastruktur. Lelang konsultan

ini dilakukan sebelum proyek

KPBU memasuki tahap penyiapan

dengan tujuan pengerjaan proyek

tidak terhambat atau terhenti di

tengah jalan. Selain Badan Usaha,

perencanaan proyek infrastruktur

dapat dilaksanakan oleh Lembaga/

Institusi/Organisasi nasional atau

internasional seperti JICA, ADB,

Dr. Ir. Agus Prabowo, M.Eng

Pendidikan S1 di Institut Teknologi Bandung (ITB), Jurusan Arsitektur

(1977 – 1984) S2 dan S3 di Hokkaido University, Jepang, Bidang Urban

and Regional Planning (1989-1995) Alumni Lemhannas PPRA-40 Tahun 2007

Pekerjaan/Jabatan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah (LKPP) Deputi Bidang Pengembangan dan Pembinaan Sumber

Daya Manusia LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)/ Deputy Chairman for Human Resources Development, National Public Procurement Agency of Republic of Indonesia. dan

Plt. Deputi Bidang Pengembangan Strategi dan Kebijakan LKPP

Riwayat PekerjaanDari 1984 s/d sekarang, antara lain:

BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi); Bappeda Provinsi Sulawesi Tenggara Direktur Utama PDAM Kabupaten Kendari Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia Kementerian PPN/Bappenas (Direktur Sumber Daya

Alam dan Lingkungan Hidup; Direktur Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah)

Deputi Bidang Pengembangan Strategi dan Kebijakan LKPP. (Deputy Chairman for Policies and Strategy Development)

Deputi Bidang Pengembangan dan Pembinaan Sumber Daya Manusia LKPP .

Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

14 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Edisi Khusus Kelembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 15

Berita Utama

IFC, Word Bank, PT. SMI, PT. IIF

atau lembaga perbankan. Tugasnya

adalah membantu Penanggung

Jawab Proyek Kerjasama (PJPK)

pada tahap penyiapan dan pada

tahap transaksi KPBU.

Agus mengatakan bahwa

pembangunan infrastruktur dengan

skema KPBU merupakan hal yang

mendesak, mengingat terbatasnya

dana yang dimiliki pemerintah

dalam membangun infrastruktur.

“Pengadaan Skema KPBU harus

segera diwujudkan mengingat

saat ini banyak infrastruktur yang

sudah dibutuhkan masyarakat

tetapi dana dari pemerintah belum

ada,”ujarnya

Namun sayangnya dalam

mengimplementasikan skema KPBU

masih ada beberapa hambatan.

Beberapa diantaranya adalah

lambatnya proses pembebasan

tanah, resiko politik dimana setiap

pergantian kepala negara atau

kepala daerah, maka berganti

pula kebijakan pembangunan,

masih rendahnya kapasitas PJPK

dalam pelaksanaan KPBU serta

masih adanya persepsi masyarakat

yang menganggap penerapan

skema KPBU merupakan bentuk

komersialisasi.

Menurutnya, mayoritas

masyarakat Indonesia selalu ingin

mendapatkan pelayanan gratis,

padahal untuk membangun dan

mengadakan pelayanan publik

memerlukan biaya. “Masyarakat

kita maunya serba gratis padahal

untuk mendapatkan pelayanan

yang bagus kita harus bersedia

membayar. Di dunia ini tidak ada

yang gratis. Bahkan oksigen yang

kita anggap gratis saja kalau kita

tidak mau menanam pohon dan

memlihara hutan maka akan habis,

begitu pula pelayanan yang tertib

dan bagus,”paparnya.

Hal lain yang kurang mendukung

pelaksanaan skema KPBU adalah

tidak adanya lembaga khusus

yang bertanggung jawab untuk

memonitoring pelaksanaannya.

“Siapa yang bertanggung jawab

dalam melaksanakan KPBU?,

jawabannya tidak ada. Silahkan ini

ditanyakan ke semua Kementerian

atau Lembaga (K/L) yang ada, pasti

diam semua,” kata alumni Institut

Teknologi Bandung ini.

Untuk mengisi kekosongan ini,

LKPP bersedia diberi tanggung

jawab untuk menjadi lembaga pelak-

sana yang menangani pengadaan

pembangunan infrastruktur dengan

skema KPBU. “Apabila diberi tanggu-

ng jawab oleh Presiden untuk me-

lakukan pengadaan pembangunan

infrastruktur dengan skema KPBU,

LKPP siap menjalankan. Amanat nya

harus dari presiden langsung sehing-

ga tidak terhambat dengan tatanan

birokrasi di K/L lain,” ujarnya.

Menurut Agus, LKPP siap menjadi

lembaga pelaksana yang menangani

pengadaan pembangunan

infrastruktur dengan skema

KPBU karena secara historis cita-

cita awal dibentuknya LKPP oleh

Kementerian PPN/Bappenas adalah

untuk melaksanakan pengadaan

barang dan jasa serta pengadaan

mitra pemerintah (swasta atau

badan usaha).

Setelah LKPP terbentuk, tugas

pengadaan mitra pemerintah

tersebut belum dapat diwujudkan

karena LKPP masih berkonsentrasi

membenahi sistem sistem pengadaan

barang dan jasa pemerintah. Kini

setelah sistem pengadaan barang

dan jasa pemerintah telah teratur

rapi, maka sudah saatnya bagi

LKPP untuk membenahi sistem

pengadaan mitra pemerintah untuk

melaksanakan pembangunan infra-

struktur dengann skema KPBU apa-

bila diberi mandat oleh Presiden. (*)

Edisi Khusus KElembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 15

16 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Penerapan skema PPP sebagai alternatif p e m b i a y a a n infrastruktur sudah

banyak diterapkan di berbagai negara termasuk di Indonesia dan Korea Selatan. Di Indonesia sendiri, skema ini sudah mulai diterapkan sejak tahun 1998 ketika krisis ekonomi melanda Indonesia. Saat itu, Bappenas sebagai lembaga perencanaan mencoba mencari solusi terkait pemenuhan kebutuhan penyediaan infrastruktur meskipun kondisi perekonomian dan kondisi fiskal sedang lesu. PPP dianggap sebagai salah satu solusi yang berpotensi untuk menarik minat swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur. Maka, pada tahun 1998, Pemerintah Indonesia menerbitkan Keputusan Presiden No 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur sebagai payung hukum awal untuk pelaksanaan PPP di Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu, regulasi PPP mengalami perubahan-perubahan. Hingga akhirnya pada tahun 2015 ini, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Perpres 38/2015 ini diharapkan mampu mempercepat pelaksanaan

Peran Bappenas dalam Pelaksanaan Public Private Partnership (PPP)

reportase

PPP di Indonesia. Selain regulasi, Pemerintah juga telah menyiapkan fasilitas-fasilitas lainnya untuk mempercepat pelaksanaan PPP seperti pemberian Viability Gap Fund (VGF), penjaminan pemerintah, pembayaran atas ketersediaan layanan dan insentif perpajakan. Namun pertanyaannya, dengan sekian banyak fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah mengapa hingga kini masih sedikit proyek infrastruktur yang menggunakan skema PPP. Meskipun ada proyek infrastruktur yang menggunakan skema PPP, perkembangannya cenderung lamban. Apa yang membuat pelaksanaan PPP di Indonesia tidak secemerlang dibandingkan negara lain? Korea Selatan contohnya.

Berkaca pada pengalaman Korea Selatan dalam membangun negaranya, Korea Selatan pun sebetulnya berawal dari kondisi

perekonomian yang serupa dengan Indonesia pada era 1960-an. Pada tahun 1960 Korea Selatan tergolong salah satu negara miskin dengan GDP per kapita US$80. Namun, lihatlah kondisi Korea Selatan saat ini, GDP per kapitanya lebih dari US$ 20.000. Sejak tahun 1995 hingga 2007, investasi swasta melalui skema PPP terus meningkat. Pelajaran menarik yang bisa kita tiru dari Korea Selatan dalam mengembangkan perekonomiannya adalah adanya “unified framework” dalam penentuan skema pendanaan untuk proyek-proyek infrastrukturnya, dimana semua proyek infrastruktur diusulkan kepada Ministry of Strategy and Finance (MOSF) melalui Public and Private Investment Management (PIMAC). PIMAC-lah yang kemudian akan melakukan penilaian terhadap studi kelayakan yang telah dilakukan oleh masing-masing Competent Authority (kementerian/

Novie Andriani, Perencana Muda

Edisi Khusus Kelembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 17

lembaga). Berdasarkan hasil penilaian PIMAC, selanjutnya ditentukan skema pendanaan yang tepat. Namun, apabila proyek tersebut diusulkan sebagai proyek PPP maka harus diuji satu tahap lagi dengan Value for Money Test. Berdasarkan hasil penilaian dan rekomendasi dari PIMAC inilah, suatu proyek infrastruktur dapat dilelangkan oleh Competent Authority. Melalui prosedur penentuan sumber pendanaan yang seperti ini, Pemerintah Korea Selatan terbukti efektif mempercepat pembangunan di Korea Selatan. Dengan adanya unified framework, maka skema pendanaan ditentukan berdasarkan hasil analisa yang teruji dan kredibel.

PIMAC merupakan lembaga yang bernaung dibawah Korea Development Institute (KDI) yang dibentuk oleh MOSF. KDI sendiri merupakan institusi pemerintah yang bertugas sebagai think

tank perencanaan pembangunan Korea Selatan. Sehingga apabila dianalogikan dengan Indonesia, fungsi KDI mirip dengan fungsi yang saat ini diemban Bappenas. Hasil studi dari KDI dijadikan sebagai rekomendasi MOSF ketika membuat perencanaan

pembangunan. MOSF sendiri merupakan kementerian yang tidak hanya memiliki fungsi perencanaan, namun juga fungsi penganggaran. MOSF merupakan hasil merger antara dua kementerian, yaitu Ministry of Finance and Economy dan Ministry of Planning and Budget. Apabila dianalogikan dengan Indonesia, Ministry of Finance and Economy adalah Kementerian Keuangan, sedangkan Ministry of Planning and Budget adalah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Sehingga, belajar dari pengalaman Korea Selatan, apabila kita ingin mempercepat pembangunan di Indonesia dengan skema PPP, maka fungsi perencanaan dan penganggaran harus berada pada satu institusi. Pertanyaannya adalah, siapkah kita dengan konsep unifikasi ini? (*)

reportase

Sumber: Hyeon Park, Training Program for Public Policy Development, 2015, South Korea.

Sumber: Korea Development Institute, 2015

18 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Tempat Pembuangan dan

Pengolahan Akhir Sampah

(TPPAS) Regional Nambo,

Kabupaten Bogor, Jawa

Barat, merupakan salah satu dari tiga

TPPAS yang ada di wilayah regional

Jabar. TPPAS yang sudah dirintis

sejak tahun 2002 ini mengantongi

Surat Persetujuan Menteri Kehutanan

untuk pinjam pakai kawasan hutan

Perum Perhutani tahun 2013.

Dalam surat persetujuan itu, TPPAS

Regional Nambo akan menempati

40 hektare lahan hutan Perhutani.

Selain itu, TPPAS ini juga akan

berada di area seluas 15 hektare milik

Pemerintah Kabupaten Bogor. TPPAS

Regional Nambo berlokasi di Desa

Nambo, Kecamatan Klapanunggal,

Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Surat persetujuan tersebut

merupakan salah satu izin yang

melegalkan keberadaan TPPAS

Regional Nambo sebagai lokasi

pengolahan sampah akhir bagi tiga

daerah yaitu Kabupaten Bogor, Kota

Bogor, dan Kota Depok.

Pemerintah Provinsi Jawa

Barat (Jabar) telah menetapkan

kelembagaan yang diberi tugas

menjalankan pengelolaan sampah

regional, termasuk TPPAS Regional

Nambo, adalah Balai Pengelolaan

Sampah Regional (BPSR) Jabar. BPSR

berfungsi sebagai Unit Pelaksana

teknis pada Dinas Permukiman

dan Perumahan Provinsi Jabar

sebagai pelayanan sampah lintas

kota/kabupaten,” kata Edi kepada

Majalah Partnership.

TPPAS Regional Nambo digarap

dengan skema Kerjasama Pemerintah

dengan Badan Usaha (KPBU). Saat

ini telah memasuki tahap evaluasi

proposal yang diajukan peserta lelang

setelah sebelumnya dilakukan tahap

prakualifikasi dan tahap pelelangan.

“Tantangan terbesar adalah menjalin

kerjasama antar daerah Provinsi

Jabar dengan ketiga wilayah itu,”

tutur Edi.

Untuk mengurai tantangan tersebut,

BPSR telah mengkoordinasi

pembagian hak dan kewajiban

masing-masing pemerintahan. Dalam

konteks kelembagaan, BPSR bertugas

dalam penyiapan pembangunan dan

memastikan pelaksanaan proyek

TPPAS Regional Nambo berjalan.

Sementara Kabupaten Bogor, Kota

Reportase

yang ditetapkan melalui Peraturan

Gubernur Nomor 113 Tahun 2009

tentang Organisasi dan Tata Kerja

Unit Pelaksana Teknis Dinas dan

Badan di Lingkungan Pemerintah

Provinsi Jawa Barat.

Kepala BPSR Jabar Edi Bahtiar

menjelaskan, penyelenggaranaan

pengelolaan sampah lintas kabupaten/

kota memang menjadi kewenangan

pemprov sesuai amanat Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah. Namun

dalam pelaksanaannya, kewenangan

Pemprov Jabar bersinggungan

dengan urusan pengelolaan sampah

di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan

Kota Depok yang akan menggunakan

pelayanan TPPAS Regional Nambo.

“BPSR merupakan bukti komitmen

Pemprov Jabar untuk konsisten

menyiapkan pembangunan dan

pengelolaan TPPAS Regional Nambo

Kolam B Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipayung, Depok, kini diurug tanah karena tak lagi mampu menampung volume sampah.

Kelembagaan TPPAS Nambo Pastikan Sinergitas Empat Pemerintahan

Edisi Khusus Kelembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 19

Bogor, dan Kota Depok berperan

sebagai pengguna layanan TPPAS

Regional Nambo.

Dari aspek teknologi, TPPAS Regional

Nambo akan menerapkan teknologi

pengelolaan untuk menjadikan

sampah sebagai sumber daya. Dalam

pelaksanaannya, sampah di TPPAS ini

akan dikelola semaksimal mungkin

dan ditimbun seminimal mungkin.

Untuk memenuhi realisasi konsep

tersebut, BPSR Jabar memastikan

kesiapan sumber daya manusia dan

pembiayaan yang memadai. BPSR

Jawa Barat telah mengumumkan

prakualifikasi proyek TPPAS

Nambo pada 5 Februari 2015.

Dalam pengumuman lelang TPPAS

Regional Nambo disebutkan,

Pemprov Jabar merencanakan

membangun infrastruktur yang

dapat mengolah minimal 1.500 ton

sampah per hari dengan teknologi

Mechanical Biological Treatment

(MBT). Teknologi ini ditargetkan

menghasilkan Refused Derived

Fuel (RDF) dengan nilai proyek

diperkirakan lebih dari Rp600 miliar.

“Sesuai ketentuan dalam kerjasama

antar daerah Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009

tentang Petunjuk Teknis dan Tata

Cara Kerjasama Daerah, bahwa

daerah yang menerima pelayanan

berkewajiban membayar kompensasi

jasa tertentu kepada daerah yang

memberikan pelayanan,” ujar Edi.

Pengaturan hak dan kewajiban setiap

daerah yang menggunakan pelayanan

TPPAS Regional Nambo, menurut

Edi, telah diatur dalam Perjanjian

Kerjasama (PKS) yang ditandatangani

bersama antara Pemprov Jabar,

Pemkot Bogor, Pemkab Bogor, dan

Pemkot Depok pada 18 Agustus 2014.

Dalam PKS itu disebutkan, Pemprov

Jabar berkewajiban dalam penyediaan

lahan TPPAS, perencanaan teknis,

pembangunan jalan akses menuju

TPPAS, pembangunan TPPAS, peng-

operasian dan pemeliharaan, serta

pengelolaan pasca operasi TPPAS.

“Atas kewajiban itu, Pemprov Jabar

berhak menerima pembayaran

Kompensasi Jasa Pelayanan

(KJP) dari Pemerintah Kabupaten

Bogor, Pemerintah Kota Bogor dan

Pemerintah Kota Depok, berdasarkan

tarif yang ditetapkan dalam

perjanjian kerjasama,” kata Edi.

Sementara itu, Pemerintah

Kabupaten Bogor, Pemerintah Kota

Bogor, dan Pemerintah Kota Depok

berkewajiban untuk mengangkut

sampah dari wilayah pelayanan

masing-masing ke TPPAS Regional

Nambo dan membayar KJP kepada

Pemprov Jabar.

“Ketiga pemerintah kabupaten/

kota itu juga diwajibkan membayar

Kompensasi Dampak Negatif (KDN)

kepada Pemerintah Kabupaten Bogor

sebagai daerah yang ketempatan

TPPAS Regional Nambo. Tarifnya

diatur dalam PKS,” Edi menjelaskan.

Terkait skema KPBU yang

digunakan dalam penggarapan

proyek pembangunan TPPAS

Regional Nambo, BPSR Jabar juga

telah menetapkan pola Build Own

Operation and Transfer (BOOT).

Dalam menjalankan pola ini,

dibentuk Badan Usaha Pelaksana

Proyek (BUPP) sebagai badan usaha

yang dibentuk dari konsorsium

pemenang dalam lelang.

BUPP berkewajiban melakukan

pembangunan dan melaksanakan

pengelolaan TPPAS Regional Nambo.

Sebagai kompensasinya akan

memperoleh pendapatan berupa

pembayaran jasa pengolahan sampah

(tipping fee) dari Pemprov Jabar

sesuai tarif yang ditentukan dalam

PKS. “BUPP juga berhak memperoleh

pendapatan dari hasil penjualan

produk olahan sampah,” ujar Edi.

Dalam hal ini, lanjut Edi, Pemprov Jabar

juga memiliki kewajiban memastikan

dan menjamin ketersediaan anggaran

untuk membayar tipping fee. Atas

kewajiban ini, Pemprov Jabar juga

berhak mendapat kepastian terkait

kelangsungan pelayanan pengelolaan

sampah di TPPAS yang ditargetkan

mulai beroperasi akhir tahun 2017

tersebut.

Untuk memastikan proyek ini

dilaksanakan, BPSR Jabar juga

bersinergi dengan Kementerian

Pekerjaan Umum dan Perumahan

Rakyat (PUPR), Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional (Bappenas),

Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan (KLHK), serta

Kementerian Dalam Negeri.

“Bentuk sinergitasnya berupa

pengikatan kesepakatan bersama

dan PKS sebagai bentuk komitmen

menjalankan kewajiban untuk

mewujudkan TPPAS Regional

Nambo. Sinergitas ini dilakukan

secara konsisten,” katanya. (*)

Reportase

20 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Untuk memacu pem-bangunan infrastruk-tur dengan skema KPBU, dibutuhkan

persiapan proyek yang memadai, struktur pendanaan yang sesuai dengan karakteristik investasi proyek infrastruktur, juga duku-ngan serta jaminan pemerintah. Sebagai informasi, hingga kini lembaga pembiayaan yang ada, seperti perbankan maupun lembaga keuang an bukan bank, belum maksimal memberikan kontribusinya ter hadap pen-danaan proyek-proyek infrastruk-tur.

Oleh karena itu dibutuhkan lembaga keuangan yang dapat

memfasilitasi pembiayaan infrastruktur dengan memberikan tenor pembiayaan jangka panjang serta suku bunga tetap. Hal ini dikarenakan proyek-proyek infrastruktur memerlukan tingkat pengembalian investasi dalam jangka waktu yang relatif panjang. Hingga kini, sumber-sumber dana jangka panjang seperti Reksa Dana, Asuransi serta Dana Pensiun masih diinvestasikan pada instrumen pasar modal yang tidak terkait langsung dengan pembiayaan infrastruktur.

Melalui lembaga pembiayaan yang khusus menangani pembiayaan infrastruktur, diharapkan akan menggiring

sumber dana jangka panjang untuk memacu investasi dalam proyek-proyek infrastruktur di Indonesia. Pada beberapa kesempatan, Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Emma Sri Martini mengatakan, peran lembaga pembiayaan infrastruktur sangat penting sebab akan menjadi katalis yang menghubungkan sumber dana jangka panjang dengan investasi dalam proyek-proyek infrastruktur di Indonesia.

Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT SMI yang didirikan pada 2009 memang memiliki tugas khusus, yakni memacu pembangunan infrastruktur di

Reportase

Inilah Peran Lembaga Pendukung Skema KPBU di Indonesia

seiring dengan good will pemerintah untuk mendorong kerjasama pemerintah dan Badan usaha (kpBu) dalam pembangunan infrastruktur, lembaga pembiayaan maupun jaminan pun dibentuk.

siapa dan apa saja peran dan misi mereka? majalah Partnership membagi informasi ini untuk anda.

Edisi Khusus Kelembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 21

Indonesia. Hal ini diperkuat dengan izin usaha seperti tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 396/KMK.010/2009 tanggal 12 Oktober 2009. Dalam keputusan tersebut, disebutkan PT SMI sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang fokus pada pembiayaan infrastruktur di Indonesia. PT SMI pun harus mempromosikan skema Public Private Partnership (PPP) atau KPBU.

Mengingat PT SMI adalah peru-sahaan pembiayaan infrastruk-tur, maka kegiatan operasional PT SMI tunduk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2009 yang diantara nya mengatur lingkup objek pem-biayaan yang terdiri dari infra-struktur pengairan, transporta-si, jalan, air minum, air limbah, kete nagalistrikan, minyak dan gas bumi, telekomunikasi juga infrastruktur lain atas persetu-juan Menteri Keuangan.

Selain PT SMI, Indonesia pun memiliki Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) lain yang fokus pada pembiayaan infra-struktur di Indonesia, khususnya dengan skema KPBU. PT Indone-sia Infrastructure Finance (IIF) merupakan LKBB yang didirikan atas prakarsa dan inisiatif Pemer-intah Republik Indonesia melalui Kementerian Keuangan Republik Indonesia bersama Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (ADB) dan lembaga multila-teral lainnya (termasuk PT SMI) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 100/PMK.010/2009 tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur. Ijin usaha PT IIF dikeluarkan oleh Menteri Keuang-an Republik Indonesia melalui KMK No.439/KM.10/2010 tanggal 6 Agustus 2010.

PT IIF mempunyai tugas layaknya PT SMI yang fokus pada pembiayaan infrastruktur. Perusahaan swasta nasional ini pun menyediakan jasa konsultan/advisory baik

kepada swasta maupun kepada pemerintah. Untuk jasa konsultan kepada pemerintah, PT IIF secara nyata sudah berperan dalam pengembangan skema KPBU di Indonesia, baik dari sisi penyiapan kebijakan maupun dari sisi pengembangan proyek-proyek KPBU itu sendiri.

Sementara itu, sebagai respon pemerintah terhadap kebutuhan akan adanya risiko politik yang melekat pada investasi di bidang infrastruktur, didirikanlah PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia persero (PT PII) sendiri dikenal pula sebagai Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI). Eksistensi PT PII sebagai BUPI diharapkan akan mendorong partisipasi badan usaha dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur melalui peningkatan kelayakan kredit (creditworthiness) proyek KPBU yang dapat berdampak pada penurunan cost of fund dari proyek-proyek infrastruktur. (*)

Reportase

Bandara Radin Inten II yang tercantum dalam PPP Book 2015 sebagai proyek potensial.

22 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Reportase

PIMAC merupakan penggabungan antara dua badan yang ada di Korea Development

Institute (KDI) yakni Public Investment Management Agency (PIMA) dengan Private Infrastructure Investment Center of Korea (PICKO) di Korea Research Institute for Human Settlements (KRIHS). Penggabungan ini dilaksanakan setelah Korsel mengamandemen Undang-Undang Public Private Partnership (UU PPP) pada Januari 2005.

PIMAC berfungsi sebagai lembaga pendukung profesional dan riset dalam proyek PPP. Lembaga ini terdiri dari berbagai kalangan ahli baik ekonomi, keuangan,

akuntansi, hukum, teknik, tata kota, dan lainnya. PIMAC melakukan beberapa kegiatan, diantaranya uji kelayakan dan tes Value For Money (VFM), menghitung RFP (Request for Proposal), mengevaluasi proposal, dan negosiasi. Disaat bersamaan juga bertugas sebagai duta yang mempromosikan PPP Korsel kepada dunia internasional.

Selain itu PIMAC juga memberikan saran kebijakan kepada MOSF (Ministry of Strategy and Finance). MOSF adalah kementerian yang tugasnya memberikan kebijakan terkait PPP di Korsel. Kementerian ini selalu bekerjasama dengan PIMAC untuk suksesnya PPP. Diantara tugas MOSF lainnya

ialah bertanggung jawab mempersiapkan rancangan anggaran yang baik untuk PPP. MOSF juga sangat disiplin dalam kebijakan fiskal terkait skema PPP. Bahkan, jika dirasa perlu, MOSF mampu menunda atau memblokir anggaran yang merupakan bagian dari pengeluaran program PPP.

Secara struktural, PIMAC memiliki tiga divisi. Divisi pertama ialah Divisi Evaluasi Investasi Publik yang melaksanakan eksekusi dan manajemen proyek infrastruktur yang dibiayai pemerintah. Divisi kedua ialah PPP, dimana divisi ini menyediakan dukungan admisnistratif dan teknis dalam persiapan proyek PPP serta implementasinya. Adapun

Sukses PPP di Korsel Bermula dari PIMAC Jalur Rel Kereta Cepat Honam yang

melayani bagian selatan Korsel dan diresmikan pada 2013.

22 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Public and Private Infrastructure Investment Management Center (PIMAC) ialah lembaga dengan fungsi teknis yang melaksanakan Public Private Partneship (PPP) di Korea Selatan (Korsel).

Melalui PIMAC, Korsel sukses menerapkan PPP.

Edisi Khusus Kelembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 23

Reportase

divisi terakhir ialah Penelitian dan Kebijakan. Tugasnya melakukan penelitian secara independen terkait pelaksanaan proyek yang hasilnya sebagai pedoman bagi pemerintah. Divisi ini pun bertanggung jawab untuk manajemen database, pembangunan kapasitas dan pelatihan serta kerjasama internasional.

Dengan tugas dan struktur seperti itu, proses screening PPP di Korsel lebih efisien. Skema kerjasamanya pun tersiapkan dengan baik, mulai dari proses birokrasi, perizinan hingga implementasinya. Dengan begitu, tak ada istilah proyek yang ditawarkan justru membebani pemerintah Korsel.

Meski dunia mengakui PIMAC sebagai lembaga PPP terkemuka

di Korsel, nyatanya PIMAC tetap terbuka terhadap pengalaman PPP negara lain. Seperti dikemukakan Direktur Eksekutif PIMAC, Kim Kangsoo, “Harapan saya, PIMAC terus belajar dan berbagi pengalaman dengan negara-negara dan organisasi-organisasi lainnya. Sebagai bagian dari upaya tersebut , PIMAC mempromosikan kerjasama internasional melalui seminar dan konferensi dengan organisasi internasional termasuk Bank Dunia dan Asian Development Bank.”

Selain PIMAC, lembaga yang berfungsi sebagai lembaga teknis dalam pelaksanaan PPP dan dibentuk berdasarkan UU PPP Korsel adalah Korean Infrastructure Credit Guarantee Fund (KICGF). KICGF berfungsi

sebagai lembaga penjamin pinjaman kepada pemegang izin proyek yang memperoleh pinjaman dari bank. Penjaminan juga diberikan kepada pemegang izin yang menerbitkan obligasi infrastruktur dalam proyek PPP. KICGF mulai beroperasi pada tahun 1995 berdasarkan Undang-Undang Private Participation Infrastructure (UU PPI). UU PPI berpatokan pada Korea Credit Guarantee Act (KCG Act) yang diundangkan pada 1974. KCG Act merupakan kebijakan yang dikeluarkan Korea Credit Guarantee Fund (KCGF). Bersama Korea Development Bank dan Korea Technology Credit Guarantee Fund, KCGF kemudian disebut KODIT. Nah, ketiga lembaga yang bernaung dalam KODIT inilah yang mengoperasikan KICGF. (*)

Harapan saya, PIMAC terus belajar dan berbagi

pengalaman dengan negara-negara dan

organisasi-organisasi lainnya. Sebagai bagian

dari upaya tersebut , PIMAC mempromosikan kerjasama internasional

melalui seminar dan konferensi dengan

organisasi internasional termasuk Bank Dunia dan Asian Development Bank.

Salah satu sisi Pelabuhan Gwangyang yang terletak di Teluk Gwangyang, Korsel.

Edisi Khusus KElembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 23

24 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Edukasi

Keberadaan kebijakan mengenai Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU)

yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2015 telah membantu penyediaan infrastruktur bagi publik. Skema yang saling menguntungkan bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat itu dianggap menjadi salah satu solusi dalam mendanai proyek-proyek infrastruktur yang membutuhkan anggaran ribuan triliun setiap tahun.

Dosen Teknik Sipil Universitas Andalas Yossyafra menyata-kan, KPBU telah berperan penting dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Yossyafra menyebutkan, kebu-tuhan pembiayaan infrastruktur berdasarkan minimum 5 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) tahun 2010-2014 mencapai Rp1.923,7 triliun, dengan kemam-puan pemerintah hanya sebesar Rp559,54 triliun sudah termasuk dana alokasi khusus (DAK).

“Potensi pendanaan lain yaitu

BUMN, swasta, dan APBD sebesar Rp1.040,59 triliun. Pada tahun 2014 saja, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi saat itu, terdapat gap pembiayaan yang sangat besar. Sehingga diharapkan peran pemerintah dan swasta perlu ditingkatkan,” tutur Yossyafra saat berbincang dengan Partnership pada pertengahan November 2015.

Menurut Yossyafra, ada empat hal yang harus dilakukan pemerintah untuk mendorong ketertarikan badan usaha swasta terlibat

Pelaksanaan Proyek KPBU di Daerah Butuh Kepastian Kelembagaan

Bappenas bersama Bappeda Kota Surakarta melakukan sosialisasi Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur fasilitas perkotaan di Kompleks Balaikota Surakarta, 28 September 2015.

Edisi Khusus Kelembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 25

Edukasi

dalam proyek infrastruktur. Keempat hal tersebut yaitu regulasi untuk kemudahan dan percepatan pelaksanaan proyek; kelembagaan yang jelas tidak hanya pada tingkat pusat tetapi juga hingga ke daerah; sumber daya manusia yang mampu membuat dokumen terkait proyek apa saja yang bisa dikerjasamakan; serta sosialisasi dan diseminasi proyek infrastruktur.

“Keterlibatan swasta akan mempercepat pembangunan dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bagi swasta, kepastian regulasi menjadi salah satu pertimbangan mereka sebelum terlibat,” kata Yossyafra. Perpres Nomor 38 tahun 2015 memang belum bisa dikatakan ideal sebagai payung hukum dalam menjalankan proyek infrastruktur dengan skema KPBU. Namun untuk saat ini, peraturan tersebut sudah cukup mengakomodir kebutuhan standar.

Peraih gelar doktor dari Universitas of New South Wales, Australia, ini menekankan pentingnya aspek kelembagaan di daerah. Pernyataan ini disampaikan karena Yossyafra menilai belum ada badan hukum yang jelas terkait pelaksanaan proyek infrastruktur berskema KPBU, mulai dari persiapan hingga tahap operasi. “Harus jelas badan hukumnya. Misal di pusat sudah ada PII (PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia) dan SMI (PT Sarana Multi Infrastruktur), tetapi di daerah belum tersedia. Kelembagaan di daerah harus sama. Karena belum ada kelembagaan yang firm, akan menyulitkan bagi swasta,” ujar Yossyafra.

Secara lebih teknis, Yossyafra yang juga menjadi pengamat infrastruktur transportasi ini menyebutkan, tantangan terbesar di daerah saat ini adalah, siapa yang harus dihubungi pihak swasta jika swasta tersebut tertarik menanamkan investasi

pada proyek infrastruktur. Bagi Yossyafra, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) belum bisa mengambil peran tersebut.

“Swasta harus menghubungi siapa di daerah untuk bekerja sama, ini belum jelas. Maka harus ada kelembagaan di daerah yang mengurus administrasi dan izin. Silakan badan itu yang mengurus. Jadi swasta tinggal mengurus ke lembaga itu. Bappeda hanya bicara pada tataran kebijakan, tidak bisa memutuskan bahwa perusahaan swasta itu boleh bekerja sama pada proyek infrastruktur tertentu,” jelas Yossyafra.

Yossyafra menyebut, kelembagaan yang dia maksud telah ada di Provinsi Jawa Barat namun belum ada di daerah lain, termasuk Sumatra Barat, yaitu Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu. “Yang pasti harus ada task force yang menciptakan dan menghubungkan swasta dengan pemerintah untuk membahas dan menyepakati proyek infrastruktur di daerah yang bisa dikerjasamakan,” ujarnya.

Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (BPMPT) Provinsi Jawa Barat pada Mei 2015 melansir, nilai investasi di provinsi itu paling besar di Indonesia mencapai Rp90 triliun hingga Rp96,3 triliun. Hal ini terjadi karena Jabar memperkuat empat gerai pelayanan perizinan di Bogor, Cirebon, Garut, dan Purwakarta. (*)

26 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Dorong Penggabungan Unit Kerja KPBU dan Unit PBJ

Sebagai sosok yang hampir

20 tahun menekuni bidang

Kerjasama Pemerintah

dengan Badan Usaha

(KPBU), Drs. Robin Asad Suryo

M.A, Ph.D sudah merasakan

banyak asam garam pelaksanaan

proyek pembangunan infrastruktur

dengan skema KPBU. Robin Asad

juga telah menghadiri berbagai

diskusi dan sosialisasi skala

nasional dan internasional tentang

KPBU, sehingga wawasannya

terkait KPBU tidak diragukan lagi.

Pria yang menjabat Deputi Bidang

Pengembangan dan Strategi

Kebijakan Khusus Lembaga

Kebijakan Pengadaan Barang

dan Jasa Pemerintah (LKPP) ini

mengaku masih prihatin dengan

perkembangan KPBU di Indonesia,

terutama terkait efektivitas

dari regulasi yang telah dibuat,

hasilnya belum maksimal. Meski

begitu, bukan berarti pelaksanaan

KPBU di Tanah Air stagnan. Dari

sisi penguatan kelembagaan dan

sistem misalnya, Robin Asad

melihat sudah ada kemauan yang

kuat dari sejumlah Kementerian/

Lembaga. Hal ini dibuktikan dengan

dibentuknya lembaga-lembaga

pendukung pelaksanaan KPBU

di bidang infrastruktur, seperti

Sarana Multi Infrastruktur (SMI)

dan Penjaminan Infrastruktur

Indonesia (PII).

Menurut Robin Asad, ada beberapa

alasan belum optimalnya proyek-

proyek KPBU di Indonesia. Pertama,

kerangka regulasi yang masih

banyak tumpang tindih sehingga

menyebabkan investor kurang

nyaman. ”Kelemahan kita regulasi

banyak yang tumpang tindih, tidak

hanya di KPBU. Tapi kita tidak

boleh menyerah. Artinya dengan

kondisi keterbatasan tersebut, kita

harus memaksimalkan regulasi

dan kelembagan yang ada untuk

membangun target infrastruktur,”

katanya.

Permasalahan kedua, kapasitas

Penanggung Jawab Proyek

Kerjasama (PJPK) di instansi

pemerintah terkait pembangunan

infrastruktur. Untuk menyiapkan

proyek yang akan dikerjasamakan

dengan skema KPBU, dibutuhkan

PJPK yang memiliki kemampuan

menyusun proyek yang layak secara

ekonomi dan finansial. Namun,

kemampuan PJPK di tiap instansi

pemerintah terkait pelaksanaan

KPBU dalam pembangunan infra-

struktur tidak seragam dan secara

umum masih kurang mumpuni.

Hal tersebut dapat dipahami

mengingat proses penyiapan

proyek KPBU memang sangat

kompleks. Berbeda dengan

perjanjian kontrak pengadaan

barang dan jasa (PBJ) biasa,

dimana setelah pembangunan

selesai dana diberikan kepada

kontraktor dan pengelolaannya

dikembalikan kepada pemerintah.

Sementara untuk proyek KPBU

umumnya berlangsung cukup

lama, bisa sampai 20-30 tahun,

tergantung model kontrak yang

diterapkan. Oleh karena itu, PJPK

harus melakukan sebuah pra

studi kelayakan (feasibility study/

FS). FS mencakup di antaranya

memprediksi tingkat pertumbuhan

penduduk, peningkatan pendapatan

masyarakat sampai pada kebijakan

pemerintah dapat mempengaruhi

tingkat kelayakan atau tingkat

profitabilitas dari proyek KPBU.

Selain itu, dalam FS juga harus

Sosok

Peningkatan kapasitas sumber daya manusia menjadi kunci suksesnya pelaksanaan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Untuk itu, diperlukan penggabungan antara unit kerja KPBU dengan unit pengadaan barang dan jasa dalam penyediaan infrastruktur.

Drs. Robin Asad Suryo M.A, Ph.D Deputi Bidang Pengembangan dan Strategi

Kebijakan Khusus Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP)

26 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Edisi Khusus Kelembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 27

mencamtumkan jumlah dan skema

penjaminan yang harus diberikan

pemerintah untuk menjamin resiko

yang mungkin muncul selama

kerjasama berlangsung.

Kendala ketiga adalah

kelembagaan di instansi yang

ditugaskan melakukan penyediaan

infrastruktur belum kuat atau

masih ada yang sama sekali

belum terbentuk. Lemahnya

kelembagaan ini menyebabkan

proses perencanaan, penyiapan, dan

pelaksanaan proyek KPBU menjadi

tidak terukur, sehingga sering tidak

berjalan secara mulus. Lemahnya

sistem kelembagaan tersebut juga

menyebabkan kapasitas SDM yang

berkecimpung di bidang KPBU

menjadi tidak berkembang.

Dalam rangka menguatkan

lembaga KPBU dan meningkatkan

kapasitas SDM, Robin mengusulkan

penggabungan (merger) unit kerja

KPBU yang ada di Kementerian/

Lembaga maupun pemerintahan

daerah, dengan unit Pengadaan

Barang dan Jasa (PBJ) yang sudah

ada. Alasannya, prinsip-prinsip

dasar dan metode yang digunakan

untuk pemilihan badan usaha

pelakasana KPBU, tidak jauh

berbeda dengan prinsip dasar dan

metode yang dipergunakan dalam

PBJ. Prinsip dasar pengadaan yang

digunakan adalah efektif, efisien

transparan, terbuka, bersaing, adil,

tidak diskriminatif dan accountable,

serta sesuai dengan koridor tata

kelola pemerintahan yang baik.

Dia menilai, dengan penggabungan

unit kerja KPBU dan unit PBJ

dalam unit kerja tetap di sebuah

intansi pemerintahan, maka tata

laksana kelembagaannya akan

lebih efektif dan efisien. Saat ini,

di daerah sudah terdapat Unit

Pelaksana Pengadaan (ULP) yang

bertanggung jawab melaksanakan

PBJ yang kompetensinya secara

umum hampir sama dengan

pengadaan infrastruktur dengan

skema KPBU. Di tingkat pusat

juga sudah ada Lembaga Kebijakan

Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah (LKPP) yang bertugas

melaksanakan PBJ. Selain itu, LKPP

juga menyelenggarakan fungsi

pemberian advokasi dan bimbingan

teknis kepada badan usaha maupun

lembaga penyelenggara KPBU.

“Selain lebih mengefisienkan

tata laksana kelembagaan di

bidang pengadaan, pengabungan

pengadaan infrastruktur dengan

skema KPBU dan lembaga PBJ

dalam satu unit, juga bermanfaat

untuk melakukan percepatan

peningkatan kompetensi SDM

penanggung jawab proyek

kerjasama KPBU,” katanya.

Mantan Kepala Sub Direktorat

Kelembagaan, Informasi dan

Kelembagaan Direktorat Pengem-

bangan Kerjasama Pemerintah

dan Swasta (PKPS), Kementeri-

an PPN/Bappenas ini lebih lanjut

menyebutkan, kompetensi SDM di

sebuah lembaga dapat meningkat

dengan cepat apabila ada interaksi

yang intens antar SDM yang ada di

dalamnya. Interaksi ini bisa terwu-

jud apabila personil-personil terse-

but berada dalam satu wadah atau

lembaga tetap yang menaunginya.

Selama ini, penugasan PJPK untuk

menyiapakan proyek KPBU di K/L

maupun daerah, keberadaannya

hanya bersifat temporer atau

sementara saat ada kegiatan atau

proyek. Bisa saja, setelah terlaksana

atau bahkan kegiatannya belum

terlaksana, SDM PJPK yang

ditugaskan sudah kembali ke

unit kerjanya semula. Akibatnya

muncul persoalan, karena ketika

ada PJPK baru yang ditugaskan

untuk menyiapkan proyek KPBU,

tidak ada proses transfer ilmu atau

pengalaman dari PJPK lama. Hal ini

dikarenakan tidak ada kewajiban

yang mengharuskan PJPK

membagi ilmu dan pengalamannya

kepada PJPK yang baru.

Atau ketika ada SDM yang sudah

dilatih untuk menyiapkan KPBU,

begitu selesai pelatihan tidak

dapat menularkan ilmu kepada

rekannya karena berbeda unit.

Kondisi ini juga dapat membuat

kompetensi SDM KPBU sulit

berkembang. Dengan adanya

lembaga atau unit tetap tersebut,

diharapkan transfer ilmu dapat

berjalan.

“Selama ini kompetensi SDM

yang paham mengenai KPBU

kurang banyak karena setelah

mendapatkan pengalaman atau

mengikuti pelatihan mengenai

KPBU, orang tersebut tidak bisa

menularkan ilmu kepada rekan-

rekannya karena lembaganya tidak

ada. Dengan adanya penggabungan

lembaga PBJ dan lembaga

pelaksana KPBU, diharapkan

transfer pengetahuan tersebut

dapat terwujud, “pungkasnya. (*)

Sosok

Edisi Khusus Kelembagaan | 2015 Sustaining Partnership | 27

28 | Sustaining Partnership Edisi Khusus Kelembagaan | 2015

Direktorat Pengembangan kerjasama Pemerintah Dan swasta

Bandar Udara Radin Inten II