Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur...
Transcript of Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur...
Memahami Teks dan Konteks dengan Teori Tadhâfur al-Qarâ’in
(Studi Pemikiran Linguistik Tammâm Hassân)
Oleh Muhbib Abdul Wahab
Abstract
The Arabic language is very rich and can not be released from indicators (al-
Qarâ’in). The existance of al-Qarâ’in always accompany sentences, paragraphs, and
discourse. In short, al-Qarâ’in can not be separated from the text, and all the
indicators that need to be interpreted in an integrated way in understanding the text
or in expressing an idea or ideas with the Arabic language.
Theory tadhâfur al-Qarâ’in (coherence and synerfy of multi-indicator),
according to Hassan Tammâm, is not separated from the concept that language is a
system that has various components that are interconnected between aspects of
meaning and mabna (contruction). Meanwhile, the function of language is as a
means of communication among the native speakers and others. The purpose of
language is to convey the message clearly to the recipient of the message (listener or
reader). Clarity of message or amn al-labs (free of bias) is the purpose of
communicating through the language. If a message in the form of a sentence,
paragraph or discourse is free from ambiguity, then its makes function that so-called
al-ma'na qarâ'in al-nahwî (indicators of grammatical meaning).
Arabic text comprehension are functionally and contextually, according to
linguistic thought of Tammâm, must be based on the theory of tadhâfur al-Qarâ’in .
Because tadhâfur al-Qarâ’in is can not be separated from the text and context. This
theory gives a positive contribution in the development of learning nahwu and
interpretation of verses of the holy Qur‘an. Because the theory is suitable to be used
as "entrance" or approach to the world of texts and in order to understanding texts
comprehensively and contextually.
Abstrak
Bahasa Arab sangat kaya dengan dan tidak mungkin dilepaskan dari al-qarâin.
Keberadaan al-qarâin selalu menyertai kalimat, paragraf, dan wacana. Singkatnya,
al-qarâin merupakan bagian takterpisahkan dari teks, dan semua indikator itu perlu
dimaknai secara terpadu dalam memahami teks atau dalam mengekspresikan ide atau
gagasan dengan bahasa Arab.
Teori tadhâfur al-qarâin, menurut Tammâm Hassân, tidak lepas dari konsep
bahwa bahasa merupakan sistem yang mempunyai berbagai komponen yang saling
berhubungan antara aspek makna dan mabna. Sementara itu, fungsi bahasa adalah
sebagai alat komunikasi di antara para warga masyarakat penggunaanya. Tujuan
berbahasa adalah untuk menyampaikan pesan (amanat) secara jelas kepada
penerima pesan (pendengar atau pembaca). Kejelasan pesan amn al-labs (bebas
kerancuan) adalah tujuan berkomunikasi melalui bahasa. Jika sebuah pesan dalam
bentuk kalimat, paragraf atau wacana sudah terbebas dari kerancuan, maka
berfungsilah apa yang disebut dengan qarâ’in al-ma’na al-nahwî (penyerta/indikator
makna gramatikal).
Pemahaman teks bahasa Arab secara fungsional dan kontekstual, menurut
pemikiran linguistik Tammâm, harus berbasis teori tadhâfur al-qarâin. Karena
tadhâfur al-qarâin tidak dapat dipisahkan dari teks dan konteks. Teori ini memberi
kontribusi positif dalam pengembangan pembelajaran nahwu maupun penafsiran
ayat-ayat al-Qur‘an. Karena teori dapat difungsikan sebagai ―pintu masuk‖ menuju
dunia teks secara komprehensif dan kontekstual.
ملخص البحثبالقرائن وال ميكن الفصل منها. والقرائن تصاحب اجلملة والفقرة إن اللغة العربية غنية وثرية
إتيان يف فهم النص فإن القرائن جزء ال يتجزأ من النص، وىي تتطلب . باختصار،دائما واخلطاب ، شأنو شأن التعبري عن الفكرة أو اآلراء باللغة العربية.داللتو بشكل متكامل
فكرة مؤداىا أن اللغة نظام لو عناصره افر القرائن عند متام حسان ال ينفصل من نظرية تض ، يف حني أن وظيفة اللغة األساسية ىي وسيلة لالتصال بنيادلرتابطة وادلتماسكة من ادلعىن وادلبىن
ستمعني إىل ادلستقبلني )م. واذلدف من استعمال اللغة ىو إيصال الرسالة أو ادلعىن الناطقني بـها وغريىم تفإذا كان اذلدف من االتصال باستخدام اللغة.كانوا أو قارئني( بشكل واضح. وأمن اللبس ىو نفسو
قد جتردت من أمن اللبس، فإن قرائن اليت تنص عليها اجلملة أوالفقرة أو اخلطاب (أو ادلعىن)الرسالة ادلعىن النحوي قد أدت وظيفتها.
وسياقيا، عند فكر متام حسان اللغوي، ال بد من أن فهما وظيفيا وإن فهم النصوص العربيةيبىن على نظرية تضافر القرائن، ألن ىذه النظرية ال ميكن فصلها من النص والسياق. وىذه النظرية
تطوير تعليم النحو من ناحية، ومن ناحية أخرى يف تفسري اآليات القرآنية. تسهم إسهاما إجيابيا يف لتوظيفها كمدخل إىل فهم عامل النص فهما شامال وسياقيا.وذلك ألن ىذه النظرية صاحلة
Keyword: Text, Context, Tadhâfur al-Qarâ’in, contextualization of meaning,
interpretation of the Holy Qur‘an
A. Pendahuluan
Di antara kekayaan dunia Islam adalah warisan khazanah intelektual Muslim
berupa teks, termasuk manuskrip. Karena itu, Nashr Hâmid Abû Zayd (1943-2010),
menyatakan bahwa "jika peradaban Mesir kuna merupakan cermin peradaban "pasca
kematian"; sementara peradaban Yunani merupakan peradaban "intelektualitas"
(filsafat), maka peradaban Islam identik dengan peradaban "teks".1 Jadi, warisan
peradaban Islam yang paling kaya dan otentik adalah aneka teks, manuskrip, dan
karya-karya ilmiah yang membahas berbagai disiplin ilmu, termasuk bahasa Arab.
1 Nashr Hâmid Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: al-Hai‘ah
al-Mishriyyah al-‗Âmmah li al-Kitâb, 1993), h. 11.
Teks merupakan representasi dari pemikiran kreatif atau produk intelektual
yang dapat diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya melalui bahasa.
Barangkali yang dimaksudkan oleh Abû Zayd tersebut adalah bahwa peradaban teks
merupakan peradaban hasil ―olah pikir dan kreativitas‖ manusia yang diekspresikan
dan dilestarikan melalui tulisan (karya), dan sekaligus menandai adanya pergeseran
tradisi bangsa Arab yang semula cenderung menekankan tradisi lisan menjadi tradisi
tulisan (teks). Hal ini juga tidak berarti bahwa ―tradisi lisan‖ (musyâfahah) di
kalangan masyarakat Arab pada masa Jahiliyyah dan awal Islam itu jelek, melainkan
menunjukkan betapa pentingnya pendokumetasian yang diriwayatkan dan
ditransmisikan dari satu generasi kepada generasi berikutnya itu, sehingga terjaga
kelestariannya.
Teks bahasa Arab merupakan objek kajian yang sangat menarik. Teks Arab,
terutama teks kitab suci (al-Qur‘an), merupakan ‖lahan subur‖ yang mengispirasi
munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban. Bahkan salah satu
motivasi kuat yang mendorong para ulama salaf memformulasikan nahwu adalah
untuk menjaga otentisitas teks al-Qur‘an dari deviasi (penyimpangan) dan kesalahan
pelafalan.2 Dengan demikian, teks kitab suci merupakan fokus utama atau poros
kajian Islam dan bahasa Arab. Munculnya fenomen lahn (kesalahan berbahasa) di
kalangan non-Arab semakin meneguhkan semangat protektif terhadap otentisitas dan
orisinalitas teks kitab suci dengan mengembangkan kaidah-kaidah bahasa (nahwu).
Sebab, jika dibiarkan, fenomena ini dapat merusak pembacaan dan pemahaman al-
Qur‘an dan pada gilirannya umat Islam tidak mengaplikasikan ajaran Islam dengan
baik dan benar.
Menurut Tammâm Hassân, kajian teks dan nahwu merupakan kajian yang tidak
mengenal ‖kata selesai‖: dinamis dan perlu terus dikembangkan. Selama ini sebagian
ahli nahwu cenderung berkutat pada salah satu qarînah, yaitu qarînah al-i’râb, yang
dinilainya tidak memberikan perspektif yang lebih luas dan kontekstual dalam
memahami teks. Kajian nahwu cenderung tahlîlî (analitis, parsial), terjebak pada
teori ’amil (faktor, peubah), daripada tarkibi (konstruktif, strukturalis) yang
menekankan pada konteks teks (siyâq al-nashsh). Pendekatan tahlîlî dalam
2 Tammâm Hassân, al-Ushûl, Dirâsah Epistimûlujiyyah li al-Fikr al-Lughawî ‘inda al-‘Arab:
al-Nahwu – Fiqh al-Lughah – al-Balâghah, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2000), h. 24.
memahami teks cenderung memfokuskan pada bagian-bagian dari konstruksi teks,
dan tidak melihat teks sebagai sebuah sistem, padahal bahasa –termasuk di dalamnya
teks—merupakan sebuah sistem sinergis antara makna dan mabna (bentuk,
konstruksi),3 bahkan sistem bahasa Arab ini memiliki karakteristik yang elastis dan
ekonomis (al-thâba’ al-marin wa al-iqtishâdi), termasuk sistem qara’in (indikator
pemaknaan) yang membuat bahasa Arab itu fungsional sebagai media komunikasi
yang memberi arti sekaligus memiliki generalisasi dalam bentuk kaidah.4
Tammâm Hassân kemudian mengenalkan dan menganggap penting sinergi
atau pemaduan berbagai qarâin (al-binyah, al-shîghah, al-rutbah, al-tadhâmm, al-
i’râb, al-rabth, al-siyâq, al-naghmah atau al-tanghîm) dan qarâin ma’nawiyyah
dalam pemaknaan kalimat dan teks. I’râb saja tidak cukup untuk memahami kalimat,
karena tidak semua kata dalam kalimat itu memperlihatkan i’râb yang semestinya.
Selain itu, ia juga mencermati keterkungkungan para ahli nahwu klasik terhadap
konsep kala yang hanya terbatas pada al-zaman al-sharfî. Menurutnya, konsep tenses
(al-zaman al-nahwî) dapat dikembangkan sesuai dengan konteks kalimat, karena
nahwu merupakan jaringan relasi kontekstual (syabakah min al-‘alâqât al-
siyâqiyyah) yang setiap relasi itu menempati posisinya dalam konteks kalimat dalam
memperjelas makna teks.5 Makna teks dikonstruksi dari relasi kata, klausa, kalimat,
dan paragraf secara terpadu dan sistemik.
Dengan mengambil inspirasi dan ide dari ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî (w. 474 H)
tentang teori al-Nazham dan al-Ta’lîq (koherensi) yang kemudian dipadukan dengan
strukturalisme dan deskriptifisme Ferdinand de Saussure dan teori konteks J.R. Firth,
Tammâm Hassân mengembangkan teori tadhâfur al-Qara’in. Tulisan ini berupaya
menjelaskan bagaimana teks dan konteks dalam bahasa Arab dipahami dalam
perspektif teori ini; dan bagaimana teori ini diaplikasikan dalam memaknai teks,
terutama teks kita suci. Tulisan ini dimulai dengan mengenalkan profil tokoh ini.
Melalui kajian ini pembacaan teks, terutama kitab suci, dapat lebih
3 Tammâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ, (Kairo: al-Haiah al-
Mishriyyah al-‗Âmmah li al-Kitâb, 1985), Cet. III, h.16. 4 Tammâm Hassân, al-Khulâshah al-Nahwiyyah, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2000), Cet. I, h. 7
dan 15. 5 Tammâm Hassân, Ijtihâdât Lughawiyyah, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2007), Cet. I, h. 90; dan
Tammâm, al-Lughah al-‘Arabiyyah …, h. 242-247.
dikontekstualisasikan, baik dengan pendekatan linguistik teks (Lughawiyyat al-
nashsh) atau ‗ilm al-lughat al-Nashshî melalu analisis intertekual (al-tanâshsh).
B. Profil Tammâm Hassân
Tammâm Hassân ibn Omar ibn Muhammad Dâwûd, begitu nama lengkapnya,
lahir di desa Karnak, propinsi Qinâ, Mesir pada 27 Januari 1918. Ia belajar membaca
Alquran kepada ayahnya, Omar Muhammad Dâwûd, seorang ulama terkenal di
kampung halamannya. Kecerdasannya mulai terlihat pada usia 11 tahun, ketika ia
telah mampu meyelesaikan hafalan Alquran dengan qirâ’ah Hafsh.6
Setelah itu, ia melanjutkan studinya di Ma’had al-Qâhirah al-Dînî al-Azharî,
berafiliasi kepada Universitas al-Azhar, di Kairo pada 1930. Di lembaga ini, ia
memperoleh ijazah Ibtidâiyyah Azhariyyah pada 1934; lalu menyelesaikan
pendidikan menengah (MTs dan MA.) pada 1939. Setelah itu, ia melanjutkan ke
Madrasah Dâr al-‗Ulûm al-Ulyâ (kini bernama Kulliyat Dâr al-‘Ulûm Universitas
Kairo). Di madrasah ini ia memperoleh ijazah Diploma Bahasa Arab pada 1943.
Pada 1945 ia meraih ranking pertama ijâzah tadrîs (Setingkat S1) di bidang
pendidikan dan psikologi dari Fakultas Dâr al-‘Ulûm. Setamat dari universitas ini, ia
langsung diangkat oleh Departemen Pendidikan Mesir untuk menjadi guru pada
Madrasah Model ―al-Niqrâsyî‖, namun ia tidak lama mengemban tugas ini karena
segera diangkat menjadi asisten dosen pada Fakultas Dâr al-‘Ulûm. Pada Pebruari
1946, ia terpilih menjadi salah satu utusan pemerintah Mesir untuk melanjutkan studi
program Magister ke Universitas London di Inggris untuk mendalami linguistik.
Pada 1949 ia menyelesaikan program Masternya (MA.) dalam bidang
linguistik, konsentrasi fonologi (‗ilm al-ashwât), dengan tesis: ―The Phonetics of el-
Karnak Dialect Upper Egypt‖. Ia langsung melanjutkan studinya pada Program
Doktor (S3) di Universitas yang sama. Tiga tahun kemudian, 1952, ia meraih gelar
doktor di bidang yang sama, dengan disertasi: The Phonetics and Phonology of an
Aden of Arabic (South Arabia).7
Sebulan setelah meraih doktor, pada Agustus 1952, Tammâm kembali ke
Mesir, lalu diangkat menjadi Asisten Dosen pada Fakultas Dâr al-‘Ulûm Jurusan
6‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân Râ’idan Lughawiyyan, (Kairo: ‗Âlam
al-Kutub, 2002), Cet. I, h. 13. 7 ‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 14.
Fiqh al-Lughah (sekarang: Jurusan Linguistik dan Studi Semitik dan Orientalistik)
Universitas Cairo (Jâmi’ah al-Qâhirah).
Pada 1959, ia memperoleh kenaikan pangkat akademik sebagai asisten
profesor (ustâdz musâ’id). Ia kemudian bertugas menjadi konsultan kebudayaan pada
Kedutaan Besar Mesir di Lagos, Nigeria, pada 1961. Selama lima tahun (1961-1965)
menjabat sebagai konsultan, ia memfasilitasi hubungan kebudayaan antara lembaga-
lembaga pendidikan Islam swasta di Negeria dengan lembaga pendidikan dan
kebudayaan di Mesir.8
Pada 1965, ia kembali ke Mesir dan diangkat menjadi Ketua Jurusan Nahwu
dan Sharaf merangkap wakil Dekan Fakultas Dâr al-Ulûm. Ia mengabdi pada kedua
jabatan itu selama dua tahun. Setelah itu, ia ―dikontrak‖ oleh Universitas al-
Khourtoum, Sudan, pada 1967, dan ditugasi mendirikan Jurusan Studi Linguistik
sekaligus menjadi ketuanya.9
Pada 1970 ia kembali ke Fakultas Dâr al-‘Ulûm, dan memangku kedua
jataban yang sebelumnya pernah diemban. Dua tahun kemudian, 1972-1973, ia
diangkat menjadi Dekan Fakultas yang sama, sekaligus dipercaya menjadi Komisi
Tetap Bahasa Arab untuk Penetapan Guru Besar (al-Lajnah al-Dâimah li al-Lughah
al-‘Arabiyyah: Lajnah Tarqiyah al-Asâtidzah) selama tiga tahun (1970-1973).
Pada 1972, ia juga turut membidani pendirian Organisasi Linguistik Mesir
(al-Jam’iyyah al-Lughawiyyah al-Mishriyyah) sekaligus menjadi ketua pertamanya
sampai 1973. Pada tahun ini, ia kembali menjadi dosen ‖kontrak‖ di Universitas
Muhammad V di Rabâth Marokko, dan ditugaskan menjadi profesor tamu pada
Fakultas Sastra dan Humaniora (Kulliyat al-Âdab wa al-‘Ulûm al-Insâniyyah).10
Selain gigih mengembangkan kajian linguistik dan bahasa Arab, ia juga banyak
memberi andil dalam perkembangan jurnal kajian bahasa Arab, al-Lisân al-‘Arabî.
Sekembalinya di Mesir, ia dipilih sebagai anggota Lembaga Bahasa Arab
(Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah) di Kairo. Ia bekerja pada lembaga ini selama
kurang lebih 8 tahun, dan turut menyukseskan misi lembaga dalam merealisasikan
8 ‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 14. 9 ‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 15. 10 ‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 14.
program-programnya, antara lain penyusunan al-Mu’jam al-Kabîr, sebagai
kelanjutan dari al-Mu’jam al-Wasîth.11
Tammâm kemudian menjadi dosen pada Universitas Umm al-Qurâ, yang
waktu itu merupakan cabang dari Universitas al-Malik ‗Abd al-‗Azîz di Riyâdh. Ia
ditugasi secara khusus mengelola Ma’had al-Lughah al-‘Arabiyyah li Ghair al-
Nâthiqîn bihâ (Lembaga Pendidikan Bahasa Arab untuk non-Arab). Selama bekerja
di lembaga ini, ia berhasil mendirikan jurusan baru, yaitu jurusan linguistik dan
pendidikan (al-takhashshush al-lughawî wa al-tarbawî). Ia juga diangkat menjadi
ketuanya hingga tahun 1994. Lembaga ini bertujuan mencetak calon pendidik
profesional di bidang bahasa Arab bagi non-Arab.12
Setelah mengabdi 16 tahun di
Mekkah, ia kembali ke Mesir dan masih dipercaya menjadi profesor/dosen tidak
tetap pada Fakultas Dâr al-Ulûm hingga sekarang.13
Selama berdedikasi di Mekkah, ia juga aktif dalam Râbithah al-‘Âlam al-
Islâmi. Di lembaga ini ia turut serta dalam komite penerjemahan al-Qur‘an ke
beberapa bahasa dunia. Ia juga menjadi konsultan dan kontributor dalam penerbitan
Qâimah Makkah li al-Alfâzh al-Syâ’iah (Daftar Lafazh yang populer versi Mekkah).
Ia juga berpartisipasi dalam penyusunan ―al-Mu’jam al-‘Arabi al-Asâsî‘ (Kamus
Arab Dasar) yang diterbitkan oleh Isesco pada 1989.14
Penguasaannya yang cukup memadai terhadap bahasa Inggris
memungkinkannya dapat mengakses dan mendalami berbagai literatur linguistik
yang berbahasa Inggris. Ia tidak hanya akrab dengan pendapat Ferdinand de Saussure
(1857-1913) dan Leonard Bloomfield (1887-1949) yang merupakan representasi dari
strukturalisme, tetapi juga memahami teori-teori gramatika transformasi (al-nahwu
al-tahwîlî) Noam Chomsky (1928 – sekarang). Bahkan dari segi usia, ia lebih tua 10
tahun dibandingkan Chomsky, sehingga ia mengetahui betul pandangan-
pandangannya. Dalam salah satu artikelnya, Tammâm menyatakan bahwa ia
mengikuti perkembangan pendapat Chomsky sejak penerbitan karya pertamanya,
Syntactic Structure (1957) lalu beberapa pendapat direvisi dalam karyanya yang
11 ‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 15. 12 ‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 16. 13 ‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 16. 14 Nâyif Karîrî, ―Jâmi‘at Umm al-Qurâ Tukarrim al-Duktûr Tammâm Hassân Taqdîran li
Juhûdihi al-‗Ilmiyyah‖, diakses dari www.almadinahpapers.com., 24 Maret 2007.
kedua, Aspect of the Teory of Syntax (1965). Selain itu, Tammâm juga berusaha
―memetik pelajaran linguistik‖ dari Chomsky dan mengaplikasikannya dalam kajian
linguistik dan sistem bahasa Arab, khususnya nahwu.15
Dalam mengkaji pemikiran
tokoh modern seperti Noam Chomsky, ia juga berusaha untuk tidak kehilangan
konteks historisnya dari khazanah pemikiran linguistik Arab klasik, seperti al-Jurjânî.
Dalam sebuah tulisannya, ia bahkan mencoba membandingkan antara
pemikiran ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî dan Noam Chomsky mengenai teori nazham dan
binyah ‘amîqah (deep structure). Nazham adalah sebuah teori yang dirumuskan oleh
al-Jurjânî tentang keteraturan makna nahwu dalam diri mutakallim (penutur bahasa).
Dengan kalimat lain, nazham adalah ekspresi makna yang berkaitan dengan tujuan
penutur bahasa sesuai dengan yang ada dalam pikirannya dengan melakukan
pengaturan kata, susunan kalimat, dan ta’lîq (koherensi, perelasian satu kata atau
ungkapan dengan lainnya dengan menggunakan partikel koneksi atau konjungsi
tertentu). Sedangkan deep structure, menurut Chomsky, adalah bagian dari
kompetensi dasar yang dimiliki oleh penutur bahasa. Kompetensi ini merupakan
salîqah (kemampuan fitri, bawaan), bersifat logis yang tidak dapat dikaidahkan,
tetapi dapat ditransformasikan ke dalam sejumlah kaidah transformasi
(transformation rules). Ia berkesimpulan bahwa pendapat Chomsky sebenarnya
mirip, bahkan terpengaruh, dengan pendapat al-Jurjânî, meskipun tidak harus
dikatakan bahwa Chomsky menyalin pendapat al-Jurjânî. Untuk menguatkan
argumentasinya itu, Tammâm menjelaskan bahwa orang tua Chomsky adalah
seorang Yahudi yang memahami dengan baik bahasa Arab dan Hebro (Ibrani).
Sementara, gramatika Hebro pertama kali dirumuskan di Andalusia (Spanyol) pada
masa Islam, berdasarkan gramatika Arab. Karena itu, orang tuanya pasti memahami
buku-buku nahwu (gramatika) Arab.16
Oleh karena mengalami masa-masa perkembangan linguistik modern yang
cukup panjang mulai dari strukturalisme de Saussure dan Bloomfield, aliran London
yang diprakarsai gurunya, J.R. Firth, hingga Chomsky dengan generative-
trasformatif-nya, Tammâm dinilai mampu memadukan antara warisan (khazanah)
15 Tammâm Hassân, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2006), Jilid I,
Edisi Revisi, h. 213-218. 16 Tammâm, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2006), Jilid II, h. 343.
linguistik Arab klasik dan linguistik modern (al-turâts wa al-hadâtsah). Orisinalitas
pemikiran linguistiknya tetap berakar pada warisan linguistik Arab, dan pada saat
yang sama ia mampu memberikan nuansa analisis linguistik modern pada sistem
bahasa Arab. Ia juga dipandang mampu ―membangun jembatan‖ antara kajian
linguistik di dunia Arab dan linguistik modern di dunia Barat.17
Tammâm Hassân tergolong penulis produktif. Setidak-tidaknya ia telah
menulis 10 buah buku monumental, 5 karya terjemahan buku dari bahasa Inggris ke
dalam bahasa Arab, lebih dari 40 artikel dan hasil penelitian yang dipublikasikan di
berbagai jurnal internasional seperti: al-Lisân al-‘Arabî, Journal of Qur’anic Studies,
Majallah Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Majallah Kulliyat Dâr al-‘Ulûm, dan
Majallah Kulliyat al-Âdâb wa al-‘Ulûm al-Insâniyyah Jâmi’ah Muhammad ibn
‘Abdillah. Selain itu, ia juga cukup banyak memberi ―Kata Pengantar‖ (taqdîm)
dalam beberapa buku karya murid-muridnya yang semula berasal dari tesis atau
disertasi doktornya. Di antara buku-buku yang dikata-pengantari oleh Tammâm
adalah Aqsâm al-Kalâm al-‘Arabî min Haitsu al-Syakl wa al-Wadhîfah karya al-Sâqî,
Zhâhirah al-Tamâtsul ‘inda al-Tawâli al-Ashwâth al-‘Arabiyyah al-Shâmitah dan
Ittijâhat al-Dirâsât al-Lughawiyyah al-Mu’âshirah fi Mishr keduanya karya Hasan
al-‗Ârif.
Berikut ini adalah judul buku karyanya:
1. Manâhij al-Bahts fi al-Lughah (1955)
2. al-Lughah Baina al-Mi’yâriyyah wa al-Washfiyyah (1958)
3. al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ (1973)
4. al-Ushûl: Dirâsah Epistemûlûjiyyah li al-Fikr al-Lughawi ‘Inda al-‘Arab (al-
Nahwu – Fiqh al-Lughah – al-Balâghah) (1981 dan 2000).
5. al-Tamhîd fi Iktisâb al-Lughah al-‘Arabiyyah li Ghair al-Nâthiqîn bihâ
(1984).
6. Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab (dua Jilid) (1985 dan 2005)
7. al-Bayân fi Rawâ’i al-Qur’ân (dua jilid) (1993 dan 2000)
8. al-Khulâshah al-Nahwiyyah (2000)
9. Khawâthir min Ta’ammul Lughat al-Qur’ân (2006)
17 Hasan al-‗Ârif, Tammâm Hassân.., h. 7-8.
10. Ijtihâdât Lughawiyyah (2007)18
Selain itu, Tammâm setidak-tidaknya menerjemahkan lima karya penting
mengenai linguistik, sejarah, dan filsafat dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Arab.
Karya-karya dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Masâlik al-Tsaqâfah al-Ighrîqiyyah ila al-‘Arab (Perjalanan Fislafat Yunani
ke Dunia Arab) karya De Lacy O‘leary (1957)
2. Atsar al-‘Ilm fi al-Mujtama’ (Pengaruh Ilmu dalam Masyarakat) karya filosof
Bertand Russel (1958).
3. al-Lughah fi al-Mujtama’ (Bahasa dalam Masyarakat) karyaMaurice Michael
Lewis (1959).
4. al-Fikr al-‘Arabî wa Makânatuhi fi al-Târîkh (Pemikiran Arab dan Posisinya
dalam Sejarah) karya De Lacy O‘leary (1961).
5. al-Nashsh wa al-Khithâb wa al-Ijrâ’ (Teks, Wacana, dan Prosedur) karya R.D.
Beaugrande (1998).
Selain itu, artikel Tammâm juga dibukukan dalam sejumlah bunga rampai. Di
antaranya adalah Mustaqbal al-Lughah al-‘Arabiyyah (2005) yang diterbitkan oleh
Isesco dan diedit oleh ‗Abd al-Azîz ibn Utsmân al-Tuwaijirî dan al-‘Arabiyyah Lisân
al-Bayân wa al-Qur’ân (2003) yang diterbitkan oleh Muntadâ al-Mutsaqqaf al-
‘Arabî (Perhimpunan Cendekiawan Arab), dan al-Nizhâm al-Sharfî fi al-Lughah al-
‘Arabiyyah dalam buku al-Mu’jam al-‘Arabî al-Asâsî yang diterbitkan oleh Isesco
pada 1989. Bersama Tim Penulis (Rusydî Ahmad Thu‘aimah, Mahmûd Kâmil al-
Nâqah, Abdullah Sulaimân al-Jarbû‘, ‗Abdullah ‗Abd al-Karîm al-‗Abbâdi dan ‗Alî
Muhammad al-Fiqî) dari Universitas Umm al-Qura, ia juga menulis Ta’lîm al-
‘Arabiyyah li al-Nâthiqîna bi Ghairiha: al-Kitâb al-Asâsî (2008).
Beberapa prestasi akademik juga telah diraihnya. Ia pernah meraih Juara I
dalam sebuah lomba karya ilmiah yang diselenggarakan oleh Dewan Koordinasi
Arabisasi di Rabâth Marokko dengan judul: ―al-Qarâ’in al-Nahwiyyah wa Iththirâh
al-‘Âmil wa al-I’râbain al-Taqdîrî wa al-Mahallî‖ (1972). Dengan karyanya, al-
Ushul, ia meraih penghargaan internasional di bidang karya sastra dan linguistik dari
18 Ulasan ringkas (resensi) mengenai karya-karya tersebut, lihat Muhbib Abdul Wahab,
Pengikiran Linguistik Tammâm Hassân dalam Pembelajaran Bahasa Arab, (Jakarta: UIN Press,
2009), h. 88-98.
‗Âli Bashîr untuk Dedikasi Islam, Sastra Arab dan Sains (1984). Pada 1987, ia juga
meraih hadiah dari Saddâm Hussein di bidang kajian linguistik, dan pada 2005 ia
meraih hadiah dan penghargaan dari King Faisal International Prize (Jâizah al-
Malik Faisal al-‘Alamiyyah) di bidang yang sama dengan tema ―al-Lughah al-
‘Arabiyyah fi al-Dirâsât al-Lughawiyyah al-Hadîtsah‖ (Bahasa Arab dalam Kajian
Linguistik Modern).19
Karena itu, Husâm Tammâm, menggelarinya sebagai
Mujaddid al-Lughah al-’Arabiyyah (pembaharu bahasa Arab) masa kini.
C. Teori Tadhâfur al-Qarâin
Kata ―al-qarâin‖ merupakan bentuk jamak dari qarînah yang secara bahasa
berarti yang menyertai, penyerta, relasi penyerta, atau penunjuk (indikator). Disebut
demikian karena keberadaannya selalu menyertai struktur kalimat dan memberi
penunjukan makna kalimat sesuai dengan relasi dan konteknya. Qarînah biasanya
digunakan dalam kajian ilmu balaghah, terutama dalam konteks menjelaskan
perubahan makna dari makna hakiki menjadi makna majazi.
Teori tadhâfur al-qarâ’in, menurut Tammâm, tidak lepas dari konsep bahwa
bahasa merupakan sistem yang mempunyai berbagai komponen atau unsur yang
saling berelasi, bersinergi, dan menunjang fungsi bahasa itu sendiri. Sedangkan
fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi di antara para warga masyarakat
penggunaanya. Sementara itu, tujuan berbahasa adalah untuk menyampaikan pesan
secara jelas, baik pesan itu berupa berita, kondisi, permintaan, pertanyaan, ekspresi
perasaan jiwa kepada penerima pesan (pendengar atau pembaca).20
Kejelasan pesan, amanat, atau makna adalah tujuan berkomunikasi melalui
bahasa. Kejelasan pesan ini dalam istilah linguistik Arab disebut amn al-labs (bebas
kerancuan). Jika sebuah pesan dalam bentuk kalimat, paragraf atau wacana sudah
terbebas dari kerancuan, maka berfungsilah apa yang disebut dengan qarâ’in al-
ma’na al-nahwî (penyerta makna gramatikal).
Teori ini sesungguhnya merupakan pengembangan dari teori nazham dan
ta’lîq yang pernah dimajukan oleh ‘Abd al-Qahir al-Jurjani dalam Dalâ’il al-I’jâz.
19 al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 21. 20 Tammâm, al-Khulâshah ..., h. 17.
Teori nazham21
berporos pada keteraturan dan keterpaduan makna gramatikal, bukan
makna leksikal suatu kalimat. Sedangkan konsep ta’lîq (perelasian, keherensi)
mengandaikan adanya keterpaduan unsur-unsur kalimat, paragraf, dan wacana yang
kemudian memberikan kejelasan makna. Dari adanya relasi antarkata dan
antarkalimat inilah kemudian dipandang perlu diformulasikannya qarâ’in, karena
terbukti bahwa relasi-relasi kata dan kalimat itu bersifat sinergis dan tidak dapat
dipisahkan, sehingga membentuk apa yang disebut dengan al-’alaqat al-Siyaqiyyah
(syntagmatic relations).22
Karena relasi tersebut harus sinergi dan terpadu, antara
relasi sintagmatik dan relasi semantik-kontekstual, maka pemaduan keduanya
membentuk apa yang disebut dengan teori tadhâfur al-qarâ’in (keterpaduan, sinergi
multi-indikator).
Sebagian ahli memfokuskan kajian nahwu atau sistem sintaksis pada masalah
kedudukan/jabatan kata (mawâqi’ al-i’râb) dalam kalimat. Penekanan pada i’râb
(infleksi) sesungguhnya tidak menyentuh substansi nahwu secara komprehensif.
Sebab, tidak semua kata mengalami perubahan bunyi akhirnya karena ada kata yang
mabnî. Dengan demikian, banyak persoalan yang sesungguhnya terkait dengan
nahwu, seperti itsbât (afirmasi), nafy (pengingkaran), tawkîd (penguatan, pemastian),
rutbah (urutan kata dalam kalimat) seperti: taqdîm (peletakan urutan/posisi kata
didahulukan dari yang semestinya), ta’khîr (peletakan urutan/posisi kata di bagian
akhir dari yang semestinya), jumlah taqrîriyyah (kalimat informatif), jumlah
istifhâmiyyah (kalimat tanya), jumlah syarthiyyah (kalimat kondisional), dan
sebagainya menjadi tidak terjelaskan melalui definisi bahwa nahwu itu adalah ilmu
tentang i’râb. Selain itu, kajian nahwu menjadi terfokus pada aspek lahiriyah (mabnâ,
21 Menurut ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî (w. 471 H) ruang lingkup bahasan nahwu harus lebih luas
dari sekedar mengkaji tentang i’râb dan penentuan bunyi akhir kata. Nahwu harus mencakup bahasan
mengenai nazham. Ketahuilah bahwa tidak disebut nazham (keteraturan) kecuali jika engkau
memosisikan pembicaraanmu pada posisi yang dikehendaki ilmu nahwu. Engkau mendasarkan
pembacaraan itu pada kaidah-kaidah dan prinsip-prinsipnya, dan engkau mengetahui metode yang
mendasarinya, sehingga engkau tidak menyimpang darinya, dan engkau menjaga ancangan
pembicaraan yang telah engkau tetapkan, sehingga tidak mengandung kecacatan sedikitpun.‖ Unsur-unsur pembicaraan (dalam kalimat) harus memiliki relasi; yang satu menjadi penyebab yang lain,
sehingga memberi makna. Nazham itu tidak mengacu pada lafazh semata, tetapi ketaraturan lafazh itu
harus sesuai dengan makna, karena pembicaraan itu dapat tersusun secara baik karena keteraturan
maknanya dalam diri pembicaranya. Lihat ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî, Dalâil al-I’jâz, Tahqîq Mahmûd
Muhammad Syâkir, (Jeddah: Dâr al-Madanî, 1992), Cet. III, h. 55-56 dan 80-81. 22 Tammâm, al-‘Lughah al-‘Arabiyyah..., h. 188-189.
lafzhi, bentuk) semata, tidak menyentuh aspek-aspek substansial (makna) yang
berkaitan dengan kategori dan relasi antarkata dalam sebuah struktur kalimat.
Menurut Tammam, qarâ’in dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
qarâ’in maddiyah (matterial indicators), qarâ’in ’aqliyyah (rational indicators), dan
qarâ’in ta’lîq (coherence indicators). Qarâ’in ’aqliyyah dibagi menjadi dua, yaitu
‗ahdiyyah dzihniyyah dan qarâ’in manthiqiyyah . Sedangkan qarâ’in al-ta’liq dibagi
lagi menjadi qarâ’in maqâliyyah dan qarâ’in haliyyah. Teori tadhâfur al-qarâ’in
berkaitan langsung dengan qarâ’in maqaliyyah. Qara‘in yang terakhir ini
diklasfikasikan menjadi dua, yaitu: qarâ’in ma’nawiyyah dan qarâ’in lafzhiyyah.
Qarâ’in lafzhiyyah meliputi: isnâd, takhshish, nisbah, taba’iyyah, dan mukhâlafah.
Sedangkan qarâ’in lafzhiyyah mencakup i’râb, rutbah, shîghah, muthâbaqah, rabth,
tadhâmm (kolokasi), adât (partikel), dan tanghîm (intonasi).23
Tujuh qarînah dari
qarâ’in lafzhiyyah merupakan indikator makna pada teks tertulis. Sedangkan qarinah
tanghîm (intonasi) merupakan indikator yang dapat menentukan makna dalam bahasa
atau wacana lisan.
Jika kita menyatakan: ذهب أحمد إلى بيته, maka dapat diketahui bahwa subjek
(fâ’il) dalam kalimat ini adalah Ahmad. Kedudukan kata ―Ahmad‖ sebagai fâ’il
dapat dipahami dari beberapa al-qarâin berikut:
أحمد
Ism (kata benda) Qarînah al-binyah (konstruksi
kata)
Marfû’ (dibaca rafa’) Qarînah al-i’râb (infleksi)
Didahului fi’l Qarînah al-rutbah wa al-binyah
(urutan kata dan konstruksi)
Fi’l tersebut mabni li al-ma’lum Qarînah al-binyah (konstruksi)
Menunjukkan orang yang
melakukan pekerjaan (pergi)
Qarînah al-isnâd (relasi subjek
dan prediket)
إلى بيته
Relasi jâr + majrûr mempunyai
ta’alluq dengan fi’l. Keduanya
membentuk makna
Qarînah al-Tadhâmm (sanding
kata, kolokasi)
23 Tammâm, al-Lughah al-‘Arabiyyah...., h. 190.
Dhamîr pada ―rumahnya‖
menghubungkan rumah dengan
pemiliknya, Ahmad
Qarînah al-Rabth (pengait,
penghubung antarkata)
Qarâ’in nahwu, menurut Tammâm, mempunyai lima sumber, yaitu: sistem
fonologi (al-nizhâm al-shawtî), sistem morfologi (al-nizhâm al-sharfî), sistem
sintaksis (al-nizhâm al-nahwî), makna konteks (dalâlah al-siyâq), dan pragmatik (al-
dalâlah al-hâliyyah).24
Oleh karena posisi al-qarâ’in sangat penting dalam
pemaknaan kalimat dan teks pada umumnya, maka pembelajaran nahwu perlu
diorientasikan kepada pengenalan ragam al-qarâ’in berikut penggunaan dalam
struktur kalimat. Pembelajaran nahwu tidak bisa lagi hanya memperhatikan posisi
atau kedudukan kata (mawqi’ al-i’râb) sebagai penentu bacaan dan pemaknaan
kalimat dan wacana.
Teori tadhâfur al-Qarâ’in meniscayakan makna gramatikal dan fungsional
sebuah kalimat. Jika gramatika (secara umum) membahas makna sampai batas
mu’jam (kamus), dan kamus berperan dalam menentukan makna kosakata (mufradât)
hingga batas-batas semantik pada level sosial, maka makna yang dikaji oleh nahwu
adalah makna fungsional (al-ma’nâ al-wazhîfî). Makna fungsional yang dimaksud
adalah makna yang menentukan fungsi bunyi, huruf, suku kata, intonasi, morfem,
bentuk kata, hingga fungsi kategori. Fungsi-fungsi itu pula yang dipelajari oleh
gramatika yang mencakup empat cabang kajian tersebut.25
Dengan kata lain,
penelitian nahwu mengkaji fungsi kosakata (mufradât) dalam struktur kalimat.26
Berikut ini ilustrasi relasi makna kata dalam struktur kalimat sesuai dengan
fungsinya:
يقرأ مدرس ال الجريدة صباحا قراءة حبا هلل جالسا على الكرسي
مفعول جار مجرور حال جار مجرور له
مفعول مطلق
مفعول فيه
مفعول به
فعل فاعل مضارع
24 Tammâm, al-Khulâshah …, h. 22-23. 25 Tammâm, Manâhij al-Bahts ..., h. 229. 26 Tammâm, al-Ushuûl ..., h. 343.
التخصيص
احلالية
التخصيص
السببية
التوكيد
الظرفية
ادلفعولية
الفاعلية
Makna bahasa, menurut Tammâm, tidak hanya ditunjukkan oleh kata atau
lafazh, melainkan juga ditentukan oleh peristiwa, situasi, kesan, dan proses abstraksi
yang dilakukan oleh pikiran ketika memahami sebuah pesan. Oleh karena itu, makna
dapat diklasifikasikan menjadi tiga: makna konvensi (al-ma’nâ al-‘urfî), makna
kognisi (al-ma’nâ al-dzihnî), dan makna impresi (al-ma’na al-inthibâ’î). 27
Makna
konvensi atau kebiasaan merupakan makna yang disepekati bersama oleh komunitas
penutur suatu bahasa. Makna ini bisa dinilai benar atau salah. Sementara itu, makna
kognisi atau persepsi dan makna impresi terkait dengan subyektivitas individu yang
mempersepsi dan menangkap kesan. Keduanya terkait dengan gaya bahasa (uslûb),
bukan gramatika.
Pemikiran tersebut, menurut Tammâm, dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Makna
Konvensi Kognisi Impresi
(Makna yang menjadi
kesepakatan komunitas;
dapat dinilai benar dan salah) Makna pemersepsi Makna pemilik kesan
Keduanya berkaitan dengan gaya, bukan tata bahasa
Makna konvensi, menurut Tammâm, dapat dibagi lagi menjadi makna
fungsional, leksikal, dan kontekstual. Lalu makna fungsional dapat dibagi menjadi
makna analitikal dan struktural. Sedangkan makna kognisi dapat dikelompokkan
27 Tammâm, Khawâthir min Ta’ammul Lughat al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Âlam al-Kutub,
2006), Cet. I, h. 83.
menjadi makna logis dan makna asosiatif. Makna logis dapat diturunkan menjadi
makna deduktif. Sedangkan makna impresi dapat dibagi menjadi makna emosi dan
makna inderawi. Makna inderawi dapat dikembangkan menjadi makna pragmatik.28
Lebih lanjut Tammâm menjelaskan bahwa makna konvensi adalah makna
yang ditunjukkan oleh unsur-unsur bahasa seperti: partikel, bentuk-bentuk kata, kata
benda, verba, kosakata dalam kamus, dan berbagai bentuk kalimat. Jika makna
konvensi dalam pemaknaannya didasarkan pada analogi (qiyâs), maka makna
kognisi didasarkan pada induksi, sedangkan makna impresi didasarkan pada reaksi
(irtidâd, radd fi’l).29
Makna, menurut Ledwig Wittgenstein (1889-1951), dianggap
sebagai salah satu jenis penggunaan bahasa.30
Setiap studi bahasa memang harus dapat mengungkap makna, dan setiap
aktivitas studi bahasa harus diorientasikan kepada pemeriksaan dan pengungkapan
makna secara jelas. Kajian mengenai makna ternyata tidak hanya melibatkan para
linguis, melainkan juga para filosof dan psikolog. Para filosof membahas makna
ketika mereka membicarakan epistemologi (teori pengetahuan) sebagai salah satu
cabang filsafat. Mereka kemudian membahas masalah makna dari ―pintu masuk‖
hubungan antara penunjuk (makna) dan yang ditunjuk. Kajian makna dalam
perspektif filosofis seperti ini antara lain terlihat dalam The Meaning of Meaning
karya Odgan dan Richard. Kajian makna dikategorikan sebagai salah satu kajian
logika positivistik.31
Namun demikian, persoalan makna merupakan area dan
sekaligus muara kajian linguistik, baik pada level fonologi, morfologi, sintaksis,
maupun leksikologi. Makna adalah inti komunikasi, baik komunikasi linguistik
maupun nonlinguistik.
Selain mengklasifikasikan makna ke dalam tiga kategori tersebut, Tammâm
juga membuat kategori makna menjadi: al-ma’nâ al-wazhîfî (makna fungsional) dan
al-ma’nâ al-mu’jamî (makna leksikal). Para nuhât mengakui tiga macam makna,
yang terbesar disebut al-ma’nâ al-mufîd (makna informatif), yaitu makna kalimat,
kemudian al-ma’nâ al-mufrad (makna tunggal), yaitu makna kata, dan ma’nâ âmm
28 Tammâm, Maqâlât ..., Jilid II, h. 297. 29 Tammâm, Khawâthir ..., h. 84. 30 Robert de Beugrande, al-Nashsh wa al-Khithâb wa al-Ijrâ, terjemahan Tammâm Hassân dari
Text, Discourse, and Process toward a Multidiciplinary Science of Texts, (Kairo: Âlam al-Kutub,
1998), Cet. I, h. 180. 31 Tammâm, Maqâlât ..., Jilid I, h. 329.
haqquhu an yu’adda bi al-harf (makna umum yang semestinya diwujudkan oleh
huruf) atau dikenal dengan al-ma’nâ al-wazhîfî. Makna yang terakhir ini difungsikan
oleh mabâni fi al-siyâq (bentuk kata dalam konteks). Makna peringatan, penegasan,
masa mendatang, tuntutan, negasi, pertanyaan, dan sebagainya merupakan makna
fungsional yang diwujudkan oleh bentuk-bentuk kata, baik dalam bentuk simple
(sederhana, tunggal) maupun terstruktur dalam kalimat.32
Sementara itu, menurut Tammâm, makna leksikal (al-ma’nâ al-mu’jamî)
adalah makna tunggal suatu kata di luar konteks atau makna kata menurut kamus.
Makna ini dianggap sebagai buah banyaknya derivasi dan formula sharaf. Jika
shîghat sharaf merupakan salah satu pilar makna leksikal, maka makna fungsional
yang dinisbahkan kepada shîghat merupakan salah satu unsur makna tunggal suatu
kata. Sebagai contoh, makna leksikal atau makna yang sesuai dengan yang ada dalam
kamus ―قاِتل‖ adalah juga makna fungsional yang dinisbahkan kepada formula fâ’il
sebagai salah satu unsur makna fungsional kata ―قاِتل‖; sedangkan unsur lain dari kata
tersebut adalah akar kata yang berupa tiga huruf: qâf, tâ’, dan lâm. Tiga huruf ini
merupakan unsur yang sama (akar kata) pada semua derivasinya yang formula
sharafnya bervariasi (musytaqqât). Derivasi dalam bahasa Arab memang sangat
variatif, sehingga salah satu karakteristik bahasa ini adalah lughat al-isytiqâq
Kategori makna tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Sumber Makna Leksikal Kata ―قاِتل‖
Dari Segi formulasi kata: Fâ’il Dari segi akar dan derivasi: ل-ت-ق
Penunjukan makna formula Sebuah struktur huruf yang
terhadap yang disifati dengan menunjukkan peristiwa (pembunuhan)
formula fâ’iliyyah
Selain itu, Tammâm juga membuat kategori makna kontekstual (al-ma’nâ al-
dalâli), yaitu makna kalimat dalam konteks penggunaan dan dalam lingkup berbagai
32 Tammâm, al-Bayân...., h. 9.
qarâ’in (relasi penyerta sebuah kalimat) serta situasi yang menyertainya.33
Makna
kontekstual ini, menurut Tammâm, dibagi menjadi dua: al-ma’nâ al-maqâlî (makna
redaksional) dan al-ma’nâ al-maqâmî (makna situasional, sosial-kultural, atau makna
kontekstual). Yang pertama merupakan perpaduan antara makna fungsional dan
leksikal, serta mencakup berbagai indikator (penunjuk makna) dalam pernyataan
yang ada. Sedangkan yang kedua merupakan makna yang dibentuk oleh situasi dan
kondisi penyampaian pernyataan. Klasifikasi tersebut dapat diilustrasikan sebagai
berikut:
al-Ma’nâ al-Dalâlî
al-Ma’nâ al-Maqâlî al-Ma’nâ al-Maqâmî
(Makna fungsional+leksikal+indikator) (Makna sesuai dengan situasi)
Pada mulanya kajian nahwu maupun balâghah sangat erat dengan aspek
bentuk luar (syakliyyah) dari kalâm ‘Arabî, sehingga kajian nahwu atau balâghah
terkadang dinilai sebagai ―fisik tanpa ruh‖ (jasadan bilâ rûh). Dengan kata lain,
aspek dalam dari sebuah struktur, yaitu makna, kurang mendapat perhatian yang
semestinya. Adalah para ahli balâghah yang kemudian mempertegas bahwa kajian
balâghah sangat sarat dengan konteks. Mereka memosisikan bahasa sebagai
fenomena sosial (zhâhirah ijtimâ’iyyah) yang terkait erat dengan budaya suatu
bangsa. Budaya ini sebagai representasi dari sebuah pemaknaan dapat dianalisis
dengan menentukan berbagai kemungkinan situasi sosial yang melingkupi
pembicaraan atau pernyataan. Situasi pujian tentu berbeda dengan situasi ratapan,
pembanggaan, celaan, permohonan, angan-angan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa setiap situasi terdapat pernyataan
yang sesuai dengannya (li kulli maqâm maqâl)34
; dan bisa juga sebaliknya (wa li kulli
maqâl maqâm). Menurut JR. Firth (1890-1960), sebagaimana dikutip Ahmad
Mukhtâr ‗Umar, makna bahasa hanya dapat diungkap (diketahui) melalui konstruksi
33 Tammâm, al-Bayân ..., h. 289. 34 Tammâm, al-Lughah al-‘Arabiyyah...., h. 338.
dan peredaksian kata-kata dalam satu kesatuan dan konteks bahasa yang bervariasi
dan sesuai dengan konteks kebahasaan maupun sosial kulturalnya.35
D. Teks
Teks dalam bahasa Arab disebut nashsh. Kata نص dalam dunia bahasa Arab
menunjukkan sejumlah makna yang dapat dilihat dari empat segi, yaitu: (a)
mengangkat, meninggikan, dan memperlihatkan (al-raf’u wa al-Izhhâr), (b)
konsistensi dan reliabilitas (al-istiqâmah wa al-tsabât), (c) berakhir pada sesuatu (al-
intihâ’ fi al-syai’), dan (d) konstruksi dan gerakan (al-tarkîb wa al-harakah).36
Menurut Ibn Manzhur, nashsh (teks) mengandung arti mengangkat, meninggikan,
atau menjadikan tampak atau terlihat, sehingga dari kata ini muncul kata minashshah
(panggung, mimbar, podium) yang umumnya menonjol, berada dalam posisi yang
lebih tinggi agar dapat dilihat. Nashsh juga berarti target atau tujuan akhir sesuatu.37
Karena itu, al-Jurjani mendefinisikan teks (nashsh) sesuatu yang membuat makna
semakin jelas terhadap yang tampak pada mutakallim; teks mengantarkan
pembicaraan pada (kejelasan) makna.38
Dalam perspektif ilm al-‘ushul, teks (nashsh)
dipahami sebagai lafazh yang terdapat dalam al-Qur‘an dan as-Sunnah yang
dijadikan sebagai dalil untuk penetapan hukum suatu masalah.39
Teks itu adalah
zhahir (aspek luar) dari redaksi ayat atau hadits Nabi Saw.
Dalam linguistik modern, teks dipahami sebagai serangkaian kalimat yang
saling berkaitan; atau setiap kalimat yang saling bertautan dan unsur-unsurnya
memiliki relasi satu sama lain.40
Teks mengandung arti wacana atau alenia tertulis
maupun verbal (diucapkan) –seberapapun panjangnya— dengan ketentuan
35 Ahmad Mukhtâr ‗Umar, ‗Ilm al-Dalâlah, (al-Kuwait: Dâr al-‗Urûbah, 1982), h. 68. 36 Mahmud Hasan al-Jâsim, Ta’wîl al-Nashsh al-Qur’ani wa Qadhâya al-Nahwi, (Damaskus:
Dâr al-Fikr al-Mu‘âshir, 2010), h. 40 37 Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, entri nashaha; lihat juga Raddat Allah, Dalâlah al-Siyâq,
(Mekkah: Jâmi‘ah Umm al-Qura, 2003), h. 251-252. 38 Al-Jurjânî, Kitâb al-Ta’rîfât, Tahqiq Ibrâhîm al-Ibyâri, (Kairo: Dâr al-Bayân li al-Turâts, tt.),
h. 309. 39 Ibn Hazm, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, 1400 H), Jilid I, h.
42. 40 Raddat Allah, Dalâlah al-Siyâq …, h. 255.
merupakan satu kesatuan yang utuh.41
Wacana adalah organisasi bahasa di atas
kalimat atau di atas klausa. Wacana merupakan seperangkat preposisi yang saling
berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau
pembaca. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku,
ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat
yang lengkap.42
Teks memang mengemban ‖tugas komunikatif‖ (wazhîfah tawâshulillah).
Karena itu, teks juga dimaksudkan sebagai ‖bangunan kebahasaan yang terstruktur
sedemikian rupa yang menjalankan fungsi komunikatif, baik mengandung makna
(penunjukan) yang jelas maupun masih mengadung ta’wil.43
Dalam hal ini, Tammâm menegaskan bahwa teks bahasa Arab merupakan
konstruksi kata dan kalimat yang mengandung pesan atau makna. Makna itu
dipahami dari relasi antarkata, antarkalimat, dan antarparagraf sebagai sebuah sistem
terpadu. Menurutnya, penggunaan bahasa, lisan maupun tulis, yang kemudian
membentuk teks, pada akhirnya bermuara kepada dua hal: sistem (al-nizhâm) dan
ekstensifikasi (tawassu’). Sebagai sistem, penggunaan bahasa Arab potensial
memiliki multimakna bagi satu konstruksi (mabna), baik pada tataran morfologis
maupun leksikal. Misalnya saja, kata ما dapat berarti nafiyah (negasi), istifhâmiyyah
(kata tanya), syarthiyyah (kondisi), ta’ajjubiyyah (eksklamasi), dan seterusnya sesuai
dengan keberadaannya dalam sistem kalimat (teks). Demikian pula kata ""ضرب dapat
berarti memukul seperti dalam kalimat: ضرب اخلادم كلبا; dapat juga berarti membuat
seperti: ضرب اهلل مثال atau berarti bepergian seperti: وإذا ضربتم يف األرض فليس عليكم
41 Ahmad ‗Afifi, Nahwu al-Nashsh: Ittijâh Jadîd fi al-Dars al-Nahwi, (Kairo: Maktabah Zahra‘
al-Syarq, 2001), h. 23. 42 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 208; dan Henry
Guntur Tarigan, Pengajaran Wacana, (Bandung: Angkasa, 2009), Edisi Revisi, h.24. 43 Mahmûd Hasan al-Jâsim, Ta’wîl al-Nashsh …, hlm. 44.
(101أن تقصروا من الصالة... )سورة النساء: جناح dan dapat pula berarti ‖kali‖ (bilangan)
seperti: ضرب مخسة يف ستة... dan seterusnya.44
Sementara itu, penggunaan bahasa yang bermuara pada ekstensifikasi adalah
berupa mutasi (al-naql) konstruksi kata atau kalimat dari makna yang populer kepada
makna yang lain, baik pada tataran sintaksis maupun tataran leksikal. Para ahli
nahwu dalam hal ini, antara lain, memberikan contoh mutasi kalimat informatif
(jumlah khabariyyah) beralih makna do‘a seperti: بارك اهلل فيك; kalimat tanya beralih
makna kalimat pengingkaran seperti: أتنكر نعمة اهلل عليك؟; sementara mutasi pada
tataran leksikal dapat dijumpai pada sejumlah fenomena penggunaan lafazh yang
berubah dari makna hakiki menjadi makna majazi (alegoris). Hal ini menjadi
bahasan utama ‗Ilm al-Bayân.45
Sebagai peristiwa komunikasi, menurut Tammâm mengutip pendapat
Beaugrande, teks harus memenuhi tujuh kriteria berikut: (1) kohesi (al-sabk), (2)
koherensi (al-ta’lîq), (3) intensionalitas (al-qashd), (4) aseptabilitas (al-qabûl), (5)
informativitas (al-ma’lûmiyyah, al-I’lâmiyyah), (6) situasionalitas (al-mawqif), dan
intertektualitas (al-tanâshsh). Semua itu bergantung pada pengguna teks. Ketujuh
kriteria ini menjalankan prinsip-prinsip formatif (pembentukan) dan prinsip-prinsip
regulatif yang menentukan dan menciptakan komunikasi. Prinsip-prinsip regulatif
yang dimaksud adalah (1) efisiensi (al-kafâ’ah), (2) efektivitas (al-ta’tsîr), dan (3)
relevansi (al-munasabah).46
Di manapun dan kapanpun, teks bahasa dikendalikan oleh relasi linguistik
(kebahasaan) yang mempunyai dua aspek: lafzhi dan maknawi. Relasi ini bekerja
untuk mengoherensikan dan menyatupadukan semua yang menjadi bagian atau unsur
pembentuk teks. Dari relasi sub-sub teks inilah, interpretasi dan pemaknaan
dilakukan.47
44 Tammâm Hassân, Maqâlat fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid I, h. 475-6. 45 Tammâm Hassân, Maqâlat fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid I, h. 476. 46 Tammâm Hassân, Ijtihâdât Lughawiyyah, h. 365. 47 Mahmûd Hasan al-Jâsim, Ta’wîl al-Nashsh …, hlm. 131.
Eksistensi teks pada dasarnya meniscayakan makna yang progresif. Karena
teks selalu terbuka untuk dimaknai. Teks itu bermakna dinamis, karena relasi antara
teks dengan makna bukan hubungan statis, dan pasti. Menurut Heideger, dan
Gadamer teks bahasa tidak memiliki dalâlah (penunjukan makna) tunggal, karena
bahasa tidak mesti menunjuk sesuatu.48
Karena itu, teks-teks, tidak mesti menunjuk
sesuatu, dan makna tertentu.
Memahami teks-teks agama (al-Qur‘an dan hadits Nabi Saw.), pada dasarnya
tidak jauh berbeda dengan memahami teks-teks lain sebagai sistem simbol (tanda).
Secara sederhana, al-Qur‘an berisi pelbagai tanda (al-âyah). Jika simbol-simbol
bahasa tidak menunjuk secara langsung pada realitas objektif-eksternal (al-wâqi‘ al-
khârijî al-mawdlû‘î), tetapi, simbol bahasa tersebut menunjuk pada pandangan,
pemahaman, dan pikiran dalam komunitas tertentu, maka bahasa tersebut berada
dalam ranah ―budaya‖ karena bahasa merupakan subsistem budaya.49
E. Konteks
Konteks dalam bahasa Arab disebut siyâq, berasal dari s-w-q, yang
mengandung arti: keberturutan, keberlanjutan (al-tawâli) atau kehadiran (al-
tawarud). Dengan kata lain, konteks meniscayakan kehadiran unsur-unsur bahasa
yang dilihat secara berlanjut dan menyeluruh. Menurut Tammâm, konteks dapat
dilihat dari dua aspek. Pertama, keberlanjutan unsur-unsur yang menjadikan struktur
dan kohesi itu terjadi. Inilah yang disebut dengan konteks teks (siyaq al-nashsh).
Kedua, keberlanjutan dan kehadiran peristiwa yang menyertai penggunaan bahasa
dan mempunyai relasi dengan komunikasi. Inilah yang disebut dengan konteks
situasi (sosial) atau siyaq al-mawqif. Kedua konteks tersebut mempunyai relasi
seperti relasi umum dan khusus, yang disebut dalâlah al-nashsh (penunjukan atau
makna teks) atau qarînah al-nashsh (indikator teks).50
48 Nashr Hâmid Abû-Zayd, Isykâliyât Al-Qirâ’ah Wa Âliyyât Al-Ta’wîl, (Beirut: Al-Markaz al-
Tsaqâfî Al-‗Arabî, 1999), Cet. V, h. 42. 49 ‗Azmî Islâm, Mafhûm al-Ma‘nâ: Dirâsah Tahlîliyah, (Kuwait: Fakultas Adab, Universitas
Kuwait, 1986), h. 18. 50 Tammâm Hassân, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid II, h. 65.
Konteks teks atau konteks bahasa itu sendiri merupakan objek kajian nahwu
(al-nahwu mawdhû’uhu al-siyâq).51
Karena, menurut Tammâm, nahwu mengkaji
relasi antarkata dalam struktur kalimat sebagai sebuah sistem. Karena itu,
pemahaman terhadap kehadiran unsur-unsur yang membentuk kalimat, paragraf dan
wacana sangat menentukan makna. Konteks hadir dalam spektrum bahasa yang luas
dan menyeluruh, meliputi konstruksi morfologis, semantik, dan kosakata, serta
mencakup aneka makna bahasa: makna konvensional, makna rasional, dan makna
natural. Dengan kata lain, qarînah al-Siyâq (indikator konteks) merupakan qarînah
paling menentukan makna gramatikal maupun makna kontekstual teks itu sendiri.52
Konteks mempunyai signifikansi yang strategis dalam menentukan makna
teks yang dikehendaki. Karena itu, ulama bahasa Arab di masa lalu merumuskan
signifikansi teks dengan pernyataan: ‖لكل مقام مقال‖ (Setiap konteks mempunyai teks
atau ungkapannya tersendiri). Hal ini mengandung arti bahwa pemahaman terhadap
konteks, baik konteks kebahasaan (al-siyâq al-Lughawi) maupun konteks non-
kebahasaan (al-siyâq ghair al-lughawi) seperti asbâb al-nuzûl dalam penafsiran
suatu ayat menjadi suatu kemestian. Tammâm misalnya memberikan contoh
bagaimana makna leksikal الإ tidak selamanya berarti ―kecuali‖ (istitsnâ’), misalnya:
تذكرة دلن خيشى إالما أنزلنا عليك القرآن لتشقى. . Dalam ayat ini, konteks (keseluruhan dan
keterpaduan unsur-unsur bahasa dalam ayat ini) menghendaki makna istitsnâ’
tersebut ditransformasi menjadi makna istidrâk (لكن, tetapi) karena frase pada ayat
setelah إال itu merupakan frase penetapian dari ayat sebelumnya53
: ―Tidaklah Kami
menurunkan al-Qur‘an kepadamu (Muhammad) agar kamu menderita, tetapi (bukan
kecuali) agar menjadi peringatan bagi orang mau mendekatkan diri dengan hati
penuh takwa.‖ (QS. Thaha: 2-3).
51 Tammâm Hassân, al-Ushûl…, h. 245. 52 Tammâm Hassân, al-Bayân fi Rawâ’i al-Qur’an : Dirâsah Lughawiyyah wa Uslubiyyah li
al-Nash al-Qur’ani, (Kairo: ‗Alam al-Kutub, 2000), Jilid I, h. 173. 53 Tammâm Hassân, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid II, h. 66.
Konteks (siyâq) tidak dapat dipisahkan dari struktur bahasa. Struktur
linguistik al-Qur‘an pada umumnya mengandung multi-interpretasi. Namun
demikian, pemahaman terhadap konteks redaksi ayat memungkin kita menyingkap
makna yang lebih mendekati kebenaran. Dengan kata lain, pemahaman konteks
membuat interpretasi ayat-ayat al-Qur‘an tidak terkungkung oleh arti leksikal (ma’na
mu’jami) suatu lafazh atau ungkapan. Pengalihan arti leksikal ke arah makna
kontekstual mutlak dipengaruhi oleh pemahaman pembaca teks al-Qur‘an.
Transformasi makna sedemikian sangat penting karena al-Qur‘an memang
diturunkan dan ditransmisikan dengan makna dan lafazh sekaligus dari satu generasi
ke generasi berikutnya.
Dalam kaitan itu, Tammam Hassan misalnya memberi contoh pemaknaan
ayat berikut dengan pemahaman yang sangat logis dan menarik: وال متوتن إال وأنتم(102مسلمون )سورة آل عمران: Jika diartikan secara leksikal, maka redaksi
terjemahannya adalah: ―Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Muslim.‖
Secara sepintas, penerjemahan tersebut seolah tidak ―bermasalah‖. Tetapi jika
dipahami secara rasional, maka seharusnya: ―mati itu tidak perlu dilarang‖ (semua
manusia pada akhirnya pasti mati, tanpa harus dilarang). Karena itu, konteks redaksi
ayat tersebut bukan melarang ―mati‖, melainkan ―memerintahkan umat Muslim
untuk berpegang teguh kepada Islam hingga mati‖.54
Jadi, makna kontekstual ayat
yang hampir selalu dibaca khatib pada setiap Jum‘at tersebut adalah: ―Kalian harus
memiliki komitmen dan sikap istiqamah dalam beriman dan berislam hingga
meninggal dunia‖.
Oleh karena itu, konteks mempunyai banyak fungsi, antara lain adalah (a)
mengukuhkan kepastian suatu penunjukan makna yang masih mengandung
kemungkinan, (b) menjelaskan yang bersifat global, rujukan prenomina dan bacaan
yang tepat suatu kata dalam struktur kalimat, dan (c) merevisi penafsiran yang
kurang atau tidak tepat, dan (d) menolak praduga adanya ayat-ayat yang saling
bertentangan.55
54 Tammâm Hassân, al-Bayân fi Rawâ’i’ al-Qur’an... h. 164. 55 Abdullah, Zaid ‘Umar, ‖al-Siyaq al-Qur‘ani wa Atsaruhi fi al-Kasyfi ‘an al-Manâ‘ni‖,
diakses dari http://alukah.net/Articles/Article.aspx?, 20 April 2010.
Dalam kajian linguistik modern, pemahaman terhadap konteks dilandasi oleh
sebuah asumsi bahwa sistem bahasa itu saling berkaitan satu sama lain di antara
unsur atau unit-unitnya, dan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Karena
itu, dalam menentukan makna, diperlukan adanya penentuan berbagai konteks yang
melingkupinya. Teori yang dikembangkan oleh Wittgenstein maupun K. Ammer ini
menegaskan bahwa makna suatu kata dipengaruhi oleh empat konteks, yaitu: (a)
konteks kebahasaan, (b) konteks emosional, (c) konteks situasi dan kondisi, dan (d)
konteks sosio-kultural.56
Konteks kebahasaan terkait erat dengan konstruksi bahasa itu sendiri. Kata
mempengaruhi makna kalimat. Akan tetapi, kalimat (keseluruhan rangkaian kata)
mempengaruhi makna kata tertentu dalam kalimat itu. Artinya, makna kontekstual
diperoleh dan dipahami dari keseluruhan konstruksi kata yang membentuk kalimat.57
Kata "الفصـل" dalam enam kalimat berikut maknanya pasti berbeda, meskipun akar
katanya sama. Perhatikan dan pahami konteks enam kalimat berikut:
الفصل اخلامس من كتاب "العربية بني يديك". ناقرأ -1 ل فصل من فصول السنة.مجأ إن الربيع ىو -2 م الدراسيإننا اآلن يف الفصل األول من ىذا العا -3 شاىدنا الفصل الثاين من ادلسرحية. -4 يستلم قرار الفصل من العمل. -5 إنو لقول فصل. -6
Konteks kebahasaan berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat yang dapat
menentukan makna yang berbeda, seperti taqdîm (posisi didahulukan) dan ta’khîr
(diakhirkan), seperti: أمحد أمت قراءة الكتاب"" berbeda dengan: "قراءة الكتـاب أمتهـا أمحـد". Konteks
emosional dapat menentukan makna bentuk kata dan strukturnya dari segi kuat dan
lemahnya muatan emosional, seperti dua kata yang berarti "membunuh", yaitu: " "اغتـال"تـلو"ق ; yang pertama digunakan dalam pengertian membunuh orang yang mempunyai
kedudukan sosial yang tinggi dan dengan motif politis, sedangkan yang kedua
berarti membunuh secara membabi buta dan ditujukan kepada orang yang tidak
56 Farîd ‗Iwadh Haidar, ‘Ilm al-Dalâlah: Dirâsah Nazhariyyah wa Tathbîqiyyah, (Kairo:
Maktabah al-Adab, 2005), h. 158. 57 Muhammad ‗Ali al-Khûli, ‘Ilm al-Dalâlah (‘Ilm al-Ma’na), (‗Amman: Dâr al-Falah, 2001),
h. 69.
memiliki kedudukan sosial yang tinggi. Konteks situasi adalah situasi eksternal yang
membuat suatu kata berubah maknanya karena adanya perubahan situasi. Sedangkan
konteks kultural adalah nilai-nilai sosial dan kultural yang mengitari kata yang
menjadikannya mempunyai makna yang berbeda dari makna leksikalnya. Makna
yang demikian dapat dijumpai dalam peribahasa, seperti: بلــا الســيل الزبــا maknanya
adalah "Nasi telah menjadi bubur", bukan "Air bah telah mencapai tempat yang
tinggi".
Menurut J.R. Firth, teori konteks sejalan dengan teori relativisme dalam
pendekatan semantik bandingan antarbahasa. Makna sebuah kata terikat oleh
lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu. Teori ini juga
mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol tidak mempunyai makna jika ia
terlepas dari konteks. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa setiap kata
mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kata baru
mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Singkatnya, hubungan
makna itu, bagi Firth, baru dapat ditentukan setelah masing-masing kata berada
dalam konteks pemakaian melalui beberapa tataran analisis, seperti leksikal,
gramatikal, dan sosio-kultural.58
F. Tadhâfur al-Qarâin sebagai “Pintu Masuk” dalam Memahami Teks
Perhatian Tammâm dalam kajian linguistik tidak berhenti sebatas
rekonstruksi sistem bahasa Arab sebagai ilmu, melainkan juga berusaha
mengaplikasikannya dalam kajian al-Qur‘an. Alasannya sederhana dan logis, bahwa
bahasa Arab tidak dapat dipisahkan dari al-Qur‘an dan untuk memahami dan
menafsirkan al-Qur‘an secara baik dan benar, seseorang mustahil tanpa memahami
dan menggunakan bahasa Arab sebagai medinya. al-Qur‘an merupakan teks yang
dikonstruksi dengan menggunakan sistem bahasa Arab yang terpadu.
Oleh karena itu, setelah lebih dari setengah abad mengabdi di bidang kajian
linguistik murni, Tammâm merasa terpanggil untuk memformulasikan ide-idenya
mengenai tadhâfur al-Qarâ’in dan mengaplikasikannya dalam memahami dan
mengungkap makna berikut keindahan gaya bahasa al-Qur‘an. Pada tahapan ini,
fokus kajian Tammâm mulai beralih dari struktur menuju uslûb (gaya bahasa)
Alquran.59
Karya Tammâm, al-Bayân fi Rawâ’i’ al-Qur’ân, dua jilid, merupakan
58 Farîd ‗Iwadh Haidar, ‘ilm al-Dalâlah..., h. 157. 59 Husâm Tammâm, ―Tammâm Hassân…, h. 1.
representasi dari penerapan teori tadhâfur al-qarâ’in dalam dalam memahami dan
menjelaskan teks-teks al-Qur‘an.
Gagasan aplikasi teori tersebut, antara lain, dilandasi oleh fakta sejarah
bahwa perkembangan ilmu-ilmu bahasa Arab berikut penelitian dan kajian bahasa
Arab pada mulanya lebih banyak difokuskan pada upaya pemahaman kalâm (fahm
al-kalâm) daripada memproduksi wacana pemikiran (intâj al-kalâm wa al-khithab).
Hal ini, menurut Tammâm, dibuktikan oleh terlambatnya kemunculan ilmu balâghah
daripada ilmu nahwu. Demikian pula kajian morfologi, tatakata (‘ilm al-sharf) dan
sintaksis, tatakalimat (‘ilm al-nahwi) dalam linguistik modern, menurut Tammâm,
jauh lebih dini dikembangkan daripada kajian semantik (‗ilm al-dalâlah).60
Dengan
kalimat lain, kajian nahwu berbasis teori tadhâfur al-qarâ’in idealnya tidak berhenti
pada tataran analisis struktur teks, melainkan juga dapat dijadikan sebagai media
untuk memahami dan mengembangkan makna teks dalam bentuk pemikiran yang
lebih aplikatif dan kontekstual.
Memahami teks agama dengan metodologi ilmiah, antara lain linguistik teks
(‘ilm al-lughah al-Nashshi) atau tekstologi (‘ilm al-nashsh), dengan demikian
menjadi sangat penting. Metodologi ini dapat membantu memahami teks secara
objektif, epistemologis dan dalam lingkup rasionalitas manusia, bukan ‗rasio‘ Tuhan
yang diyakini sebagai hulu teks tersebut. Metodologi tersebut dalam tradisi Islam
disebut tafsir (al-tafsîr) dan takwil (al-ta’wîl). Keduanya tidak bisa dipisahkan,
saling berkaitan. Menurut Imam Ali bin Abi Thalib, teks tidak bisa berbicara, dan
memberi makna (arti) sendiri. Namun, ia membutuhkan manusia. ―Al-Qur’ân, bayna
dafftay al-Mushhaf lâ yanthiq, wa inamâ yatakallamu bihi al-rijâl‖. (al-Qur‘an
dalam mushaf ini, tidak berbicara, dan hanya dengan [perantara] manusia ia
berbicara). Kalimat Imam Ali tersebut ditujukan pada kaum Khawarij yang
memahami otoritas dalil pada teks an sich, bukan pada otoritas interpretasi. Seolah-
olah, al-Qur‘an berbicara sendiri dan memberi makna, padahal interpretasi manusia-
lah yang memberi makna dan menentukan pesan yang dikandungnya. Namun
demikian, keterlibatan manusia dalam memahami teks juga dibantu oleh
pemahamannya terhadap konteks teks itu sendiri dan konteks sosialnya melalui teori
60 Tammâm, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid II, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2006), Cet. I,
h. 210.
tadhâfur al-qarâ’in tersebut. Dalam analisis intertekstual, dikenal ungkapan: ―al-
Nashshu yufassiru ba’dhuhu ba’dhan‖ (teks itu saling memberi tafsir/penjelasan satu
sama lain). Dalam konteks inilah, teori tadhâfur al-qara’in memberi kontribusi
positif sebagai ―pintu masuk‖ dalam memahami teks sekaligus memantapkan hasil
analisis intertekstual menjadi penafsiran dan pemaknaan yang lebih kontekstual.
Jika diaplikasikan dalam pembelajaran, maka pembelajaran nahwu berbasis
teori tadhâfur al-qarâin itu idealnya bertitik tolak dari teks sederhana, dilanjutkan
dengan pamahaman atau pemaknaan pesan teks, analisis kata baik dari segi makna
leksikal maupun gramatikalnya, dan kemudian analisis kaidah, lalu penyimpulan
kaidah. Nahwu diposisikan menjadi bagian dari teks, karena nahwu itu hanya ada
dalam struktur kalimat, sedangkan kalimat itu merupakan bagian dari teks (lisan
maupun tulisan). Jadi, teori ini cenderung sesuai dengan metode teks terpadu dalam
pembelajaran nahwu.
Aplikasi teori tersebut pada akhirnya menuntut adanya pemaduan semua
unsur dan disiplin keilmuan kebahasaaraban, karena teks dalam bahasa Arab,
menurut Tammâm, harus dilihat sebagai al-tasyâbuk al-lughawi (jaringan
kebahasaan) yang memiliki kesatuan dan sinergi organis (al-tasyâbuk al-‘udhwi).
Selain melibatkan sistem fonologis, morfologis, sintaksis, semantik, leksikon, dalam
memahami juga diperlukan pemahaman uslûb (gaya bahasa) dan balâghah, karena
dapat mengungkan sisi keindahan dan kekayaan makna dari teks itu sendiri. Dengan
demikian, teori tadhâfur al-Qarâ’in hanyalah salah satu ―pisau analisis‖ yang
diharapkan dapat membantu menjembatani dan menyelami dunia teks, sehingga
diperoleh pemaknaan yang lebih tepat, akurat, dan kontekstual. Dunia teks adalah
dunia makna. Makna teks dapat diolah dan ditentukan melalui pemahaman konteks.
Pemahaman konteks bahasa sangat ditentukan oleh pemahaman tadhâfur al-Qarâ’in.
G. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pintu masuk dalam memahami
teks Arab dapat dilakukan melalui pendekatan teori tadhâfur al-Qarâ’in. Meskipun
teori ini bergerak pada ranah sintakasis (nahwu), akan tetapi ―pisau analisis‖,
terutama pendekatan tanâshsh (intertektualitas) yang dihasilkan dari teori ini cukup
tajam untuk membedah dimensi linguistik dari teks-teks yang ada. Melalui teori ini,
keterpaduan, koherensi, dan kontekstualitas makna teks dapat ditentukan, sehingga
dapat mengurangi bias dan deviasi makna teks.
Teori ini menekankan signifikansi relasi antarkata dan antarkalimat dalam
sebuah teks sebagai wacana. Kehadiran semua unsur-unsur kebahasaan yang ada
harus diposisikan dan dipahami sebagai konteks linguistik yang dapat membantu
mengungkap dan menjelaskan maksud dan tujuan pesan kebahasaan itu disampaikan
melalui teks. Hanya saja, pemahaman teks melalui teori ini perlu didukung oleh
pemahaman terhadap konteks yang lebih luas, bukan sekedar konteks kebahasaan,
melainkan juga konteks di luar bahasa, termasuk konteks sosial kultural.
Memahami teks dan konteks berbasis teori tadhâfur al-Qarâ’in dapat
mengantarkan pengkaji teks kepada pemaknaan dan penafsiran secara lebih
kontekstual, dan tidak parsial. Aplikasi teori ini dalam pemahaman teks tetap perlu
dipadukan dengan pemahaman makna leksikal kata, konteks sosial dan balâghah,
dan ilmu-ilmu sosial lainnya yang relevan dengan isi atau kandungan teks, karena
dunia teks adalah dunia multi-dimensi dan multi-disiplin keilmuan. Karena itu,
munculnya tektologi (‘ilm al-nashsh) dipandang sebagai ilmu yang melibatkan dan
mensinergikan multi-disiplin keilmuan (mutadâkhil al-ikhtishâshât)61
. Dengan
demikian, tadhâfur al-Qarâ’in yang bertitik tolak dari kajian nahwu dalam bahasa
Arab memang harus diposisikan sebagai pintu masuk menuju dunia luar dan dunia
dalam teks itu sendiri.
Daftar Pustaka
‗Afifi, Ahmad, Nahwu al-Nashsh: Ittijâh Jadîd fi al-Dars al-Nahwi, Kairo:
Maktabah Zahra‘ al-Syarq, 2001.
‗Umar, Ahmad Mukhtâr, ‗Ilm al-Dalâlah, al-Kuwait: Dâr al-‗Urûbah, 1982.
Abdul Wahab, Muhbib, Pemikiran Linguistik Tammâm Hassân dalam Pembelajaran
Bahasa Arab, Jakarta: UIN Press, 2009.
Abdullah, Zaid ‘Umar, ‖al-Siyaq al-Qur‘ani wa Atsaruhi fi al-Kasyfi ‘an al-Manâ‘ni‖,
diakses dari http://alukah.net/Articles/Article.aspx?, 20 April 2010.
Abû Zayd, Nashr Hâmid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Kairo: al-
Hai‘ah al-Mishriyyah al-‗Âmmah li al-Kitâb, 1993.
Abû-Zayd, Nashr Hâmid, Isykâliyât Al-Qirâ’ah Wa Âliyyât Al-Ta’wîl, Beirut: Al-
Markaz al-Tsaqâfî Al-‗Arabî, 1999.
61 Lihat Teun A. van Dijk, ‘Ilm al-Nashsh: Madkhal mutadâkhil al-ikhtishâshât, Diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab dari Textwissenschft, ein interdisziplinare Einfuhrung oleh Sa‘id Hasan
Buhairi, (Kairo: Dâr al-Qâhirah, 2001).
al-‗Ârif, ‗Abd al-Rahmân Hasan (Ed.), Tammâm Hassân Râ’idan Lughawiyyan,
Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2002.
de Beugrande, Robert, al-Nashsh wa al-Khithâb wa al-Ijrâ, terjemahan Tammâm
Hassân dari Text, Discourse, and Process toward a Multidiciplinary Science of
Texts, Kairo: Âlam al-Kutub, 1998.
Haidar, Farid ‗Iwadh, ‘Ilm al-Dalâlah: Dirasah Nazhariyyah wa Tathbîqiyyah,
Kairo: Maktabah al-Adab, 2005.
Hassân, Tammâm, al-Bayân fi Rawâ’i al-Qur’an: Dirâsah Lughawiyyah wa
Uslubiyyah li al-Nash al-Qur’ani, Kairo: ‗Alam al-Kutub, 2000.
Hassân, Tammâm, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ, Kairo: al-
Hai‘ah al-Mishriyyah al-‗Âmmah li al-Kitâb, 1985.
Hassân, Tammâm, al-Ushûl, Dirâsah Epistimûlujiyyah li al-Fikr al-Lughawî ‘inda
al-‘Arab: al-Nahwu – Fiqh al-Lughah – al-Balâghah, Kairo: ‗Âlam al-Kutub,
2000.
Hassân, Tammâm,, al-Khulâshah al-Nahwiyyah, Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2000.
Hassân, Tammâm, Ijtihâdât Lughawiyyah, Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2007.
Hassân, Tammâm, Khawâthir min Ta’ammul Lughat al-Qur’ân al-Karîm, Kairo:
Âlam al-Kutub, 2006.
Hassân, Tammâm, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2006.
Ibn Hazm, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, 1400 H.
Islâm, ‗Azmî, Mafhûm Al-Ma‘nâ: Dirâsah Tahlîliyah, Kuwait: Fakultas Adab,
Universitas Kuwait, 1986.
al-Jâsim, Hasan Mahmud, Ta’wîl al-Nashsh al-Qur’ani wa Qadhâya al-Nahwi,
Damaskus: Dâr al-Fikr al-Mu‘âshir, 2010.
al-Jurjânî, ‗Abd al-Qâhir, Dalâil al-I’jâz, Tahqîq Mahmûd Muhammad Syâkir,
Jeddah: Dâr al-Madanî, 1992.
al-Jurjânî, al-Syarîf, Kitâb al-Ta’rîfât, Tahqiq Ibrâhîm al-Ibyâri, Kairo: Dâr al-Bayân
li al-Turâts, tt.
Karîrî, Nâyif, ―Jâmi‘at Umm al-Qurâ Tukarrim al-Duktûr Tammâm Hassân
Taqdîran li Juhûdihi al-‗Ilmiyyah‖, diakses dari www.almadinahpapers.com.,
24 Maret 2007.
al-Khûli, Muhammad ‗Ali, ‘Ilm al-Dalâlah (‘Ilm al-Ma’na), ‗Amman: Dâr al-Falah,
2001.
Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia, 1984.
Raddat Allah, Dalâlah al-Siyâq, Mekkah: Jâmi‘ah Umm al-Qura, 2003.
Tarigan, Henry Guntur, Pengajaran Wacana, Bandung: Angkasa, 2009.
van Dijk, Teun A. ‘Ilm al-Nashsh: Madkah mutâdakhil al-ikhtishâshât,
Diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dari Textwissenschft, ein
interdisziplinare Einfuhrung oleh Sa‘id Hasan Buhairi, Kairo: Dâr al-Qâhirah,
2001.