Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur...

30
Memahami Teks dan Konteks dengan Teori Tadhâfur al-Qarâ’in (Studi Pemikiran Linguistik Tammâm Hassân) Oleh Muhbib Abdul Wahab Abstract The Arabic language is very rich and can not be released from indicators (al- Qarâin). The existance of al-Qarâ’in always accompany sentences, paragraphs, and discourse. In short, al-Qarâ’in can not be separated from the text, and all the indicators that need to be interpreted in an integrated way in understanding the text or in expressing an idea or ideas with the Arabic language. Theory tadhâfur al-Qarâ’in (coherence and synerfy of multi-indicator), according to Hassan Tammâm, is not separated from the concept that language is a system that has various components that are interconnected between aspects of meaning and mabna (contruction). Meanwhile, the function of language is as a means of communication among the native speakers and others. The purpose of language is to convey the message clearly to the recipient of the message (listener or reader). Clarity of message or amn al-labs (free of bias) is the purpose of communicating through the language. If a message in the form of a sentence, paragraph or discourse is free from ambiguity, then its makes function that so-called al-ma'na qarâ'in al-nahwî (indicators of grammatical meaning). Arabic text comprehension are functionally and contextually, according to linguistic thought of Tammâm, must be based on the theory of tadhâfur al-Qarâ’in . Because tadhâfur al-Qarâ’in is can not be separated from the text and context. This theory gives a positive contribution in the development of learning nahwu and interpretation of verses of the holy Qur‘an. Because the theory is suitable to be used as "entrance" or approach to the world of texts and in order to understanding texts comprehensively and contextually. Abstrak Bahasa Arab sangat kaya dengan dan tidak mungkin dilepaskan dari al-qarâin. Keberadaan al-qarâin selalu menyertai kalimat, paragraf, dan wacana. Singkatnya, al-qarâin merupakan bagian takterpisahkan dari teks, dan semua indikator itu perlu dimaknai secara terpadu dalam memahami teks atau dalam mengekspresikan ide atau gagasan dengan bahasa Arab. Teori tadhâfur al-qarâin, menurut Tammâm Hassân, tidak lepas dari konsep bahwa bahasa merupakan sistem yang mempunyai berbagai komponen yang saling berhubungan antara aspek makna dan mabna. Sementara itu, fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi di antara para warga masyarakat penggunaanya. Tujuan berbahasa adalah untuk menyampaikan pesan (amanat) secara jelas kepada penerima pesan (pendengar atau pembaca). Kejelasan pesan amn al-labs (bebas kerancuan) adalah tujuan berkomunikasi melalui bahasa. Jika sebuah pesan dalam bentuk kalimat, paragraf atau wacana sudah terbebas dari kerancuan, maka berfungsilah apa yang disebut dengan qarâin al-ma’na al-nahwî (penyerta/indikator makna gramatikal). Pemahaman teks bahasa Arab secara fungsional dan kontekstual, menurut pemikiran linguistik Tammâm, harus berbasis teori tadhâfur al-qarâin. Karena

Transcript of Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur...

Page 1: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

Memahami Teks dan Konteks dengan Teori Tadhâfur al-Qarâ’in

(Studi Pemikiran Linguistik Tammâm Hassân)

Oleh Muhbib Abdul Wahab

Abstract

The Arabic language is very rich and can not be released from indicators (al-

Qarâ’in). The existance of al-Qarâ’in always accompany sentences, paragraphs, and

discourse. In short, al-Qarâ’in can not be separated from the text, and all the

indicators that need to be interpreted in an integrated way in understanding the text

or in expressing an idea or ideas with the Arabic language.

Theory tadhâfur al-Qarâ’in (coherence and synerfy of multi-indicator),

according to Hassan Tammâm, is not separated from the concept that language is a

system that has various components that are interconnected between aspects of

meaning and mabna (contruction). Meanwhile, the function of language is as a

means of communication among the native speakers and others. The purpose of

language is to convey the message clearly to the recipient of the message (listener or

reader). Clarity of message or amn al-labs (free of bias) is the purpose of

communicating through the language. If a message in the form of a sentence,

paragraph or discourse is free from ambiguity, then its makes function that so-called

al-ma'na qarâ'in al-nahwî (indicators of grammatical meaning).

Arabic text comprehension are functionally and contextually, according to

linguistic thought of Tammâm, must be based on the theory of tadhâfur al-Qarâ’in .

Because tadhâfur al-Qarâ’in is can not be separated from the text and context. This

theory gives a positive contribution in the development of learning nahwu and

interpretation of verses of the holy Qur‘an. Because the theory is suitable to be used

as "entrance" or approach to the world of texts and in order to understanding texts

comprehensively and contextually.

Abstrak

Bahasa Arab sangat kaya dengan dan tidak mungkin dilepaskan dari al-qarâin.

Keberadaan al-qarâin selalu menyertai kalimat, paragraf, dan wacana. Singkatnya,

al-qarâin merupakan bagian takterpisahkan dari teks, dan semua indikator itu perlu

dimaknai secara terpadu dalam memahami teks atau dalam mengekspresikan ide atau

gagasan dengan bahasa Arab.

Teori tadhâfur al-qarâin, menurut Tammâm Hassân, tidak lepas dari konsep

bahwa bahasa merupakan sistem yang mempunyai berbagai komponen yang saling

berhubungan antara aspek makna dan mabna. Sementara itu, fungsi bahasa adalah

sebagai alat komunikasi di antara para warga masyarakat penggunaanya. Tujuan

berbahasa adalah untuk menyampaikan pesan (amanat) secara jelas kepada

penerima pesan (pendengar atau pembaca). Kejelasan pesan amn al-labs (bebas

kerancuan) adalah tujuan berkomunikasi melalui bahasa. Jika sebuah pesan dalam

bentuk kalimat, paragraf atau wacana sudah terbebas dari kerancuan, maka

berfungsilah apa yang disebut dengan qarâ’in al-ma’na al-nahwî (penyerta/indikator

makna gramatikal).

Pemahaman teks bahasa Arab secara fungsional dan kontekstual, menurut

pemikiran linguistik Tammâm, harus berbasis teori tadhâfur al-qarâin. Karena

Page 2: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

tadhâfur al-qarâin tidak dapat dipisahkan dari teks dan konteks. Teori ini memberi

kontribusi positif dalam pengembangan pembelajaran nahwu maupun penafsiran

ayat-ayat al-Qur‘an. Karena teori dapat difungsikan sebagai ―pintu masuk‖ menuju

dunia teks secara komprehensif dan kontekstual.

ملخص البحثبالقرائن وال ميكن الفصل منها. والقرائن تصاحب اجلملة والفقرة إن اللغة العربية غنية وثرية

إتيان يف فهم النص فإن القرائن جزء ال يتجزأ من النص، وىي تتطلب . باختصار،دائما واخلطاب ، شأنو شأن التعبري عن الفكرة أو اآلراء باللغة العربية.داللتو بشكل متكامل

فكرة مؤداىا أن اللغة نظام لو عناصره افر القرائن عند متام حسان ال ينفصل من نظرية تض ، يف حني أن وظيفة اللغة األساسية ىي وسيلة لالتصال بنيادلرتابطة وادلتماسكة من ادلعىن وادلبىن

ستمعني إىل ادلستقبلني )م. واذلدف من استعمال اللغة ىو إيصال الرسالة أو ادلعىن الناطقني بـها وغريىم تفإذا كان اذلدف من االتصال باستخدام اللغة.كانوا أو قارئني( بشكل واضح. وأمن اللبس ىو نفسو

قد جتردت من أمن اللبس، فإن قرائن اليت تنص عليها اجلملة أوالفقرة أو اخلطاب (أو ادلعىن)الرسالة ادلعىن النحوي قد أدت وظيفتها.

وسياقيا، عند فكر متام حسان اللغوي، ال بد من أن فهما وظيفيا وإن فهم النصوص العربيةيبىن على نظرية تضافر القرائن، ألن ىذه النظرية ال ميكن فصلها من النص والسياق. وىذه النظرية

تطوير تعليم النحو من ناحية، ومن ناحية أخرى يف تفسري اآليات القرآنية. تسهم إسهاما إجيابيا يف لتوظيفها كمدخل إىل فهم عامل النص فهما شامال وسياقيا.وذلك ألن ىذه النظرية صاحلة

Keyword: Text, Context, Tadhâfur al-Qarâ’in, contextualization of meaning,

interpretation of the Holy Qur‘an

A. Pendahuluan

Di antara kekayaan dunia Islam adalah warisan khazanah intelektual Muslim

berupa teks, termasuk manuskrip. Karena itu, Nashr Hâmid Abû Zayd (1943-2010),

menyatakan bahwa "jika peradaban Mesir kuna merupakan cermin peradaban "pasca

kematian"; sementara peradaban Yunani merupakan peradaban "intelektualitas"

(filsafat), maka peradaban Islam identik dengan peradaban "teks".1 Jadi, warisan

peradaban Islam yang paling kaya dan otentik adalah aneka teks, manuskrip, dan

karya-karya ilmiah yang membahas berbagai disiplin ilmu, termasuk bahasa Arab.

1 Nashr Hâmid Abû Zayd, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: al-Hai‘ah

al-Mishriyyah al-‗Âmmah li al-Kitâb, 1993), h. 11.

Page 3: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

Teks merupakan representasi dari pemikiran kreatif atau produk intelektual

yang dapat diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya melalui bahasa.

Barangkali yang dimaksudkan oleh Abû Zayd tersebut adalah bahwa peradaban teks

merupakan peradaban hasil ―olah pikir dan kreativitas‖ manusia yang diekspresikan

dan dilestarikan melalui tulisan (karya), dan sekaligus menandai adanya pergeseran

tradisi bangsa Arab yang semula cenderung menekankan tradisi lisan menjadi tradisi

tulisan (teks). Hal ini juga tidak berarti bahwa ―tradisi lisan‖ (musyâfahah) di

kalangan masyarakat Arab pada masa Jahiliyyah dan awal Islam itu jelek, melainkan

menunjukkan betapa pentingnya pendokumetasian yang diriwayatkan dan

ditransmisikan dari satu generasi kepada generasi berikutnya itu, sehingga terjaga

kelestariannya.

Teks bahasa Arab merupakan objek kajian yang sangat menarik. Teks Arab,

terutama teks kitab suci (al-Qur‘an), merupakan ‖lahan subur‖ yang mengispirasi

munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban. Bahkan salah satu

motivasi kuat yang mendorong para ulama salaf memformulasikan nahwu adalah

untuk menjaga otentisitas teks al-Qur‘an dari deviasi (penyimpangan) dan kesalahan

pelafalan.2 Dengan demikian, teks kitab suci merupakan fokus utama atau poros

kajian Islam dan bahasa Arab. Munculnya fenomen lahn (kesalahan berbahasa) di

kalangan non-Arab semakin meneguhkan semangat protektif terhadap otentisitas dan

orisinalitas teks kitab suci dengan mengembangkan kaidah-kaidah bahasa (nahwu).

Sebab, jika dibiarkan, fenomena ini dapat merusak pembacaan dan pemahaman al-

Qur‘an dan pada gilirannya umat Islam tidak mengaplikasikan ajaran Islam dengan

baik dan benar.

Menurut Tammâm Hassân, kajian teks dan nahwu merupakan kajian yang tidak

mengenal ‖kata selesai‖: dinamis dan perlu terus dikembangkan. Selama ini sebagian

ahli nahwu cenderung berkutat pada salah satu qarînah, yaitu qarînah al-i’râb, yang

dinilainya tidak memberikan perspektif yang lebih luas dan kontekstual dalam

memahami teks. Kajian nahwu cenderung tahlîlî (analitis, parsial), terjebak pada

teori ’amil (faktor, peubah), daripada tarkibi (konstruktif, strukturalis) yang

menekankan pada konteks teks (siyâq al-nashsh). Pendekatan tahlîlî dalam

2 Tammâm Hassân, al-Ushûl, Dirâsah Epistimûlujiyyah li al-Fikr al-Lughawî ‘inda al-‘Arab:

al-Nahwu – Fiqh al-Lughah – al-Balâghah, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2000), h. 24.

Page 4: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

memahami teks cenderung memfokuskan pada bagian-bagian dari konstruksi teks,

dan tidak melihat teks sebagai sebuah sistem, padahal bahasa –termasuk di dalamnya

teks—merupakan sebuah sistem sinergis antara makna dan mabna (bentuk,

konstruksi),3 bahkan sistem bahasa Arab ini memiliki karakteristik yang elastis dan

ekonomis (al-thâba’ al-marin wa al-iqtishâdi), termasuk sistem qara’in (indikator

pemaknaan) yang membuat bahasa Arab itu fungsional sebagai media komunikasi

yang memberi arti sekaligus memiliki generalisasi dalam bentuk kaidah.4

Tammâm Hassân kemudian mengenalkan dan menganggap penting sinergi

atau pemaduan berbagai qarâin (al-binyah, al-shîghah, al-rutbah, al-tadhâmm, al-

i’râb, al-rabth, al-siyâq, al-naghmah atau al-tanghîm) dan qarâin ma’nawiyyah

dalam pemaknaan kalimat dan teks. I’râb saja tidak cukup untuk memahami kalimat,

karena tidak semua kata dalam kalimat itu memperlihatkan i’râb yang semestinya.

Selain itu, ia juga mencermati keterkungkungan para ahli nahwu klasik terhadap

konsep kala yang hanya terbatas pada al-zaman al-sharfî. Menurutnya, konsep tenses

(al-zaman al-nahwî) dapat dikembangkan sesuai dengan konteks kalimat, karena

nahwu merupakan jaringan relasi kontekstual (syabakah min al-‘alâqât al-

siyâqiyyah) yang setiap relasi itu menempati posisinya dalam konteks kalimat dalam

memperjelas makna teks.5 Makna teks dikonstruksi dari relasi kata, klausa, kalimat,

dan paragraf secara terpadu dan sistemik.

Dengan mengambil inspirasi dan ide dari ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî (w. 474 H)

tentang teori al-Nazham dan al-Ta’lîq (koherensi) yang kemudian dipadukan dengan

strukturalisme dan deskriptifisme Ferdinand de Saussure dan teori konteks J.R. Firth,

Tammâm Hassân mengembangkan teori tadhâfur al-Qara’in. Tulisan ini berupaya

menjelaskan bagaimana teks dan konteks dalam bahasa Arab dipahami dalam

perspektif teori ini; dan bagaimana teori ini diaplikasikan dalam memaknai teks,

terutama teks kita suci. Tulisan ini dimulai dengan mengenalkan profil tokoh ini.

Melalui kajian ini pembacaan teks, terutama kitab suci, dapat lebih

3 Tammâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ, (Kairo: al-Haiah al-

Mishriyyah al-‗Âmmah li al-Kitâb, 1985), Cet. III, h.16. 4 Tammâm Hassân, al-Khulâshah al-Nahwiyyah, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2000), Cet. I, h. 7

dan 15. 5 Tammâm Hassân, Ijtihâdât Lughawiyyah, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2007), Cet. I, h. 90; dan

Tammâm, al-Lughah al-‘Arabiyyah …, h. 242-247.

Page 5: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

dikontekstualisasikan, baik dengan pendekatan linguistik teks (Lughawiyyat al-

nashsh) atau ‗ilm al-lughat al-Nashshî melalu analisis intertekual (al-tanâshsh).

B. Profil Tammâm Hassân

Tammâm Hassân ibn Omar ibn Muhammad Dâwûd, begitu nama lengkapnya,

lahir di desa Karnak, propinsi Qinâ, Mesir pada 27 Januari 1918. Ia belajar membaca

Alquran kepada ayahnya, Omar Muhammad Dâwûd, seorang ulama terkenal di

kampung halamannya. Kecerdasannya mulai terlihat pada usia 11 tahun, ketika ia

telah mampu meyelesaikan hafalan Alquran dengan qirâ’ah Hafsh.6

Setelah itu, ia melanjutkan studinya di Ma’had al-Qâhirah al-Dînî al-Azharî,

berafiliasi kepada Universitas al-Azhar, di Kairo pada 1930. Di lembaga ini, ia

memperoleh ijazah Ibtidâiyyah Azhariyyah pada 1934; lalu menyelesaikan

pendidikan menengah (MTs dan MA.) pada 1939. Setelah itu, ia melanjutkan ke

Madrasah Dâr al-‗Ulûm al-Ulyâ (kini bernama Kulliyat Dâr al-‘Ulûm Universitas

Kairo). Di madrasah ini ia memperoleh ijazah Diploma Bahasa Arab pada 1943.

Pada 1945 ia meraih ranking pertama ijâzah tadrîs (Setingkat S1) di bidang

pendidikan dan psikologi dari Fakultas Dâr al-‘Ulûm. Setamat dari universitas ini, ia

langsung diangkat oleh Departemen Pendidikan Mesir untuk menjadi guru pada

Madrasah Model ―al-Niqrâsyî‖, namun ia tidak lama mengemban tugas ini karena

segera diangkat menjadi asisten dosen pada Fakultas Dâr al-‘Ulûm. Pada Pebruari

1946, ia terpilih menjadi salah satu utusan pemerintah Mesir untuk melanjutkan studi

program Magister ke Universitas London di Inggris untuk mendalami linguistik.

Pada 1949 ia menyelesaikan program Masternya (MA.) dalam bidang

linguistik, konsentrasi fonologi (‗ilm al-ashwât), dengan tesis: ―The Phonetics of el-

Karnak Dialect Upper Egypt‖. Ia langsung melanjutkan studinya pada Program

Doktor (S3) di Universitas yang sama. Tiga tahun kemudian, 1952, ia meraih gelar

doktor di bidang yang sama, dengan disertasi: The Phonetics and Phonology of an

Aden of Arabic (South Arabia).7

Sebulan setelah meraih doktor, pada Agustus 1952, Tammâm kembali ke

Mesir, lalu diangkat menjadi Asisten Dosen pada Fakultas Dâr al-‘Ulûm Jurusan

6‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân Râ’idan Lughawiyyan, (Kairo: ‗Âlam

al-Kutub, 2002), Cet. I, h. 13. 7 ‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 14.

Page 6: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

Fiqh al-Lughah (sekarang: Jurusan Linguistik dan Studi Semitik dan Orientalistik)

Universitas Cairo (Jâmi’ah al-Qâhirah).

Pada 1959, ia memperoleh kenaikan pangkat akademik sebagai asisten

profesor (ustâdz musâ’id). Ia kemudian bertugas menjadi konsultan kebudayaan pada

Kedutaan Besar Mesir di Lagos, Nigeria, pada 1961. Selama lima tahun (1961-1965)

menjabat sebagai konsultan, ia memfasilitasi hubungan kebudayaan antara lembaga-

lembaga pendidikan Islam swasta di Negeria dengan lembaga pendidikan dan

kebudayaan di Mesir.8

Pada 1965, ia kembali ke Mesir dan diangkat menjadi Ketua Jurusan Nahwu

dan Sharaf merangkap wakil Dekan Fakultas Dâr al-Ulûm. Ia mengabdi pada kedua

jabatan itu selama dua tahun. Setelah itu, ia ―dikontrak‖ oleh Universitas al-

Khourtoum, Sudan, pada 1967, dan ditugasi mendirikan Jurusan Studi Linguistik

sekaligus menjadi ketuanya.9

Pada 1970 ia kembali ke Fakultas Dâr al-‘Ulûm, dan memangku kedua

jataban yang sebelumnya pernah diemban. Dua tahun kemudian, 1972-1973, ia

diangkat menjadi Dekan Fakultas yang sama, sekaligus dipercaya menjadi Komisi

Tetap Bahasa Arab untuk Penetapan Guru Besar (al-Lajnah al-Dâimah li al-Lughah

al-‘Arabiyyah: Lajnah Tarqiyah al-Asâtidzah) selama tiga tahun (1970-1973).

Pada 1972, ia juga turut membidani pendirian Organisasi Linguistik Mesir

(al-Jam’iyyah al-Lughawiyyah al-Mishriyyah) sekaligus menjadi ketua pertamanya

sampai 1973. Pada tahun ini, ia kembali menjadi dosen ‖kontrak‖ di Universitas

Muhammad V di Rabâth Marokko, dan ditugaskan menjadi profesor tamu pada

Fakultas Sastra dan Humaniora (Kulliyat al-Âdab wa al-‘Ulûm al-Insâniyyah).10

Selain gigih mengembangkan kajian linguistik dan bahasa Arab, ia juga banyak

memberi andil dalam perkembangan jurnal kajian bahasa Arab, al-Lisân al-‘Arabî.

Sekembalinya di Mesir, ia dipilih sebagai anggota Lembaga Bahasa Arab

(Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah) di Kairo. Ia bekerja pada lembaga ini selama

kurang lebih 8 tahun, dan turut menyukseskan misi lembaga dalam merealisasikan

8 ‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 14. 9 ‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 15. 10 ‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 14.

Page 7: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

program-programnya, antara lain penyusunan al-Mu’jam al-Kabîr, sebagai

kelanjutan dari al-Mu’jam al-Wasîth.11

Tammâm kemudian menjadi dosen pada Universitas Umm al-Qurâ, yang

waktu itu merupakan cabang dari Universitas al-Malik ‗Abd al-‗Azîz di Riyâdh. Ia

ditugasi secara khusus mengelola Ma’had al-Lughah al-‘Arabiyyah li Ghair al-

Nâthiqîn bihâ (Lembaga Pendidikan Bahasa Arab untuk non-Arab). Selama bekerja

di lembaga ini, ia berhasil mendirikan jurusan baru, yaitu jurusan linguistik dan

pendidikan (al-takhashshush al-lughawî wa al-tarbawî). Ia juga diangkat menjadi

ketuanya hingga tahun 1994. Lembaga ini bertujuan mencetak calon pendidik

profesional di bidang bahasa Arab bagi non-Arab.12

Setelah mengabdi 16 tahun di

Mekkah, ia kembali ke Mesir dan masih dipercaya menjadi profesor/dosen tidak

tetap pada Fakultas Dâr al-Ulûm hingga sekarang.13

Selama berdedikasi di Mekkah, ia juga aktif dalam Râbithah al-‘Âlam al-

Islâmi. Di lembaga ini ia turut serta dalam komite penerjemahan al-Qur‘an ke

beberapa bahasa dunia. Ia juga menjadi konsultan dan kontributor dalam penerbitan

Qâimah Makkah li al-Alfâzh al-Syâ’iah (Daftar Lafazh yang populer versi Mekkah).

Ia juga berpartisipasi dalam penyusunan ―al-Mu’jam al-‘Arabi al-Asâsî‘ (Kamus

Arab Dasar) yang diterbitkan oleh Isesco pada 1989.14

Penguasaannya yang cukup memadai terhadap bahasa Inggris

memungkinkannya dapat mengakses dan mendalami berbagai literatur linguistik

yang berbahasa Inggris. Ia tidak hanya akrab dengan pendapat Ferdinand de Saussure

(1857-1913) dan Leonard Bloomfield (1887-1949) yang merupakan representasi dari

strukturalisme, tetapi juga memahami teori-teori gramatika transformasi (al-nahwu

al-tahwîlî) Noam Chomsky (1928 – sekarang). Bahkan dari segi usia, ia lebih tua 10

tahun dibandingkan Chomsky, sehingga ia mengetahui betul pandangan-

pandangannya. Dalam salah satu artikelnya, Tammâm menyatakan bahwa ia

mengikuti perkembangan pendapat Chomsky sejak penerbitan karya pertamanya,

Syntactic Structure (1957) lalu beberapa pendapat direvisi dalam karyanya yang

11 ‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 15. 12 ‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 16. 13 ‗Abd al-Rahmân Hasan al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 16. 14 Nâyif Karîrî, ―Jâmi‘at Umm al-Qurâ Tukarrim al-Duktûr Tammâm Hassân Taqdîran li

Juhûdihi al-‗Ilmiyyah‖, diakses dari www.almadinahpapers.com., 24 Maret 2007.

Page 8: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

kedua, Aspect of the Teory of Syntax (1965). Selain itu, Tammâm juga berusaha

―memetik pelajaran linguistik‖ dari Chomsky dan mengaplikasikannya dalam kajian

linguistik dan sistem bahasa Arab, khususnya nahwu.15

Dalam mengkaji pemikiran

tokoh modern seperti Noam Chomsky, ia juga berusaha untuk tidak kehilangan

konteks historisnya dari khazanah pemikiran linguistik Arab klasik, seperti al-Jurjânî.

Dalam sebuah tulisannya, ia bahkan mencoba membandingkan antara

pemikiran ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî dan Noam Chomsky mengenai teori nazham dan

binyah ‘amîqah (deep structure). Nazham adalah sebuah teori yang dirumuskan oleh

al-Jurjânî tentang keteraturan makna nahwu dalam diri mutakallim (penutur bahasa).

Dengan kalimat lain, nazham adalah ekspresi makna yang berkaitan dengan tujuan

penutur bahasa sesuai dengan yang ada dalam pikirannya dengan melakukan

pengaturan kata, susunan kalimat, dan ta’lîq (koherensi, perelasian satu kata atau

ungkapan dengan lainnya dengan menggunakan partikel koneksi atau konjungsi

tertentu). Sedangkan deep structure, menurut Chomsky, adalah bagian dari

kompetensi dasar yang dimiliki oleh penutur bahasa. Kompetensi ini merupakan

salîqah (kemampuan fitri, bawaan), bersifat logis yang tidak dapat dikaidahkan,

tetapi dapat ditransformasikan ke dalam sejumlah kaidah transformasi

(transformation rules). Ia berkesimpulan bahwa pendapat Chomsky sebenarnya

mirip, bahkan terpengaruh, dengan pendapat al-Jurjânî, meskipun tidak harus

dikatakan bahwa Chomsky menyalin pendapat al-Jurjânî. Untuk menguatkan

argumentasinya itu, Tammâm menjelaskan bahwa orang tua Chomsky adalah

seorang Yahudi yang memahami dengan baik bahasa Arab dan Hebro (Ibrani).

Sementara, gramatika Hebro pertama kali dirumuskan di Andalusia (Spanyol) pada

masa Islam, berdasarkan gramatika Arab. Karena itu, orang tuanya pasti memahami

buku-buku nahwu (gramatika) Arab.16

Oleh karena mengalami masa-masa perkembangan linguistik modern yang

cukup panjang mulai dari strukturalisme de Saussure dan Bloomfield, aliran London

yang diprakarsai gurunya, J.R. Firth, hingga Chomsky dengan generative-

trasformatif-nya, Tammâm dinilai mampu memadukan antara warisan (khazanah)

15 Tammâm Hassân, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2006), Jilid I,

Edisi Revisi, h. 213-218. 16 Tammâm, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2006), Jilid II, h. 343.

Page 9: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

linguistik Arab klasik dan linguistik modern (al-turâts wa al-hadâtsah). Orisinalitas

pemikiran linguistiknya tetap berakar pada warisan linguistik Arab, dan pada saat

yang sama ia mampu memberikan nuansa analisis linguistik modern pada sistem

bahasa Arab. Ia juga dipandang mampu ―membangun jembatan‖ antara kajian

linguistik di dunia Arab dan linguistik modern di dunia Barat.17

Tammâm Hassân tergolong penulis produktif. Setidak-tidaknya ia telah

menulis 10 buah buku monumental, 5 karya terjemahan buku dari bahasa Inggris ke

dalam bahasa Arab, lebih dari 40 artikel dan hasil penelitian yang dipublikasikan di

berbagai jurnal internasional seperti: al-Lisân al-‘Arabî, Journal of Qur’anic Studies,

Majallah Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Majallah Kulliyat Dâr al-‘Ulûm, dan

Majallah Kulliyat al-Âdâb wa al-‘Ulûm al-Insâniyyah Jâmi’ah Muhammad ibn

‘Abdillah. Selain itu, ia juga cukup banyak memberi ―Kata Pengantar‖ (taqdîm)

dalam beberapa buku karya murid-muridnya yang semula berasal dari tesis atau

disertasi doktornya. Di antara buku-buku yang dikata-pengantari oleh Tammâm

adalah Aqsâm al-Kalâm al-‘Arabî min Haitsu al-Syakl wa al-Wadhîfah karya al-Sâqî,

Zhâhirah al-Tamâtsul ‘inda al-Tawâli al-Ashwâth al-‘Arabiyyah al-Shâmitah dan

Ittijâhat al-Dirâsât al-Lughawiyyah al-Mu’âshirah fi Mishr keduanya karya Hasan

al-‗Ârif.

Berikut ini adalah judul buku karyanya:

1. Manâhij al-Bahts fi al-Lughah (1955)

2. al-Lughah Baina al-Mi’yâriyyah wa al-Washfiyyah (1958)

3. al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ (1973)

4. al-Ushûl: Dirâsah Epistemûlûjiyyah li al-Fikr al-Lughawi ‘Inda al-‘Arab (al-

Nahwu – Fiqh al-Lughah – al-Balâghah) (1981 dan 2000).

5. al-Tamhîd fi Iktisâb al-Lughah al-‘Arabiyyah li Ghair al-Nâthiqîn bihâ

(1984).

6. Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab (dua Jilid) (1985 dan 2005)

7. al-Bayân fi Rawâ’i al-Qur’ân (dua jilid) (1993 dan 2000)

8. al-Khulâshah al-Nahwiyyah (2000)

9. Khawâthir min Ta’ammul Lughat al-Qur’ân (2006)

17 Hasan al-‗Ârif, Tammâm Hassân.., h. 7-8.

Page 10: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

10. Ijtihâdât Lughawiyyah (2007)18

Selain itu, Tammâm setidak-tidaknya menerjemahkan lima karya penting

mengenai linguistik, sejarah, dan filsafat dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Arab.

Karya-karya dimaksud adalah sebagai berikut.

1. Masâlik al-Tsaqâfah al-Ighrîqiyyah ila al-‘Arab (Perjalanan Fislafat Yunani

ke Dunia Arab) karya De Lacy O‘leary (1957)

2. Atsar al-‘Ilm fi al-Mujtama’ (Pengaruh Ilmu dalam Masyarakat) karya filosof

Bertand Russel (1958).

3. al-Lughah fi al-Mujtama’ (Bahasa dalam Masyarakat) karyaMaurice Michael

Lewis (1959).

4. al-Fikr al-‘Arabî wa Makânatuhi fi al-Târîkh (Pemikiran Arab dan Posisinya

dalam Sejarah) karya De Lacy O‘leary (1961).

5. al-Nashsh wa al-Khithâb wa al-Ijrâ’ (Teks, Wacana, dan Prosedur) karya R.D.

Beaugrande (1998).

Selain itu, artikel Tammâm juga dibukukan dalam sejumlah bunga rampai. Di

antaranya adalah Mustaqbal al-Lughah al-‘Arabiyyah (2005) yang diterbitkan oleh

Isesco dan diedit oleh ‗Abd al-Azîz ibn Utsmân al-Tuwaijirî dan al-‘Arabiyyah Lisân

al-Bayân wa al-Qur’ân (2003) yang diterbitkan oleh Muntadâ al-Mutsaqqaf al-

‘Arabî (Perhimpunan Cendekiawan Arab), dan al-Nizhâm al-Sharfî fi al-Lughah al-

‘Arabiyyah dalam buku al-Mu’jam al-‘Arabî al-Asâsî yang diterbitkan oleh Isesco

pada 1989. Bersama Tim Penulis (Rusydî Ahmad Thu‘aimah, Mahmûd Kâmil al-

Nâqah, Abdullah Sulaimân al-Jarbû‘, ‗Abdullah ‗Abd al-Karîm al-‗Abbâdi dan ‗Alî

Muhammad al-Fiqî) dari Universitas Umm al-Qura, ia juga menulis Ta’lîm al-

‘Arabiyyah li al-Nâthiqîna bi Ghairiha: al-Kitâb al-Asâsî (2008).

Beberapa prestasi akademik juga telah diraihnya. Ia pernah meraih Juara I

dalam sebuah lomba karya ilmiah yang diselenggarakan oleh Dewan Koordinasi

Arabisasi di Rabâth Marokko dengan judul: ―al-Qarâ’in al-Nahwiyyah wa Iththirâh

al-‘Âmil wa al-I’râbain al-Taqdîrî wa al-Mahallî‖ (1972). Dengan karyanya, al-

Ushul, ia meraih penghargaan internasional di bidang karya sastra dan linguistik dari

18 Ulasan ringkas (resensi) mengenai karya-karya tersebut, lihat Muhbib Abdul Wahab,

Pengikiran Linguistik Tammâm Hassân dalam Pembelajaran Bahasa Arab, (Jakarta: UIN Press,

2009), h. 88-98.

Page 11: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

‗Âli Bashîr untuk Dedikasi Islam, Sastra Arab dan Sains (1984). Pada 1987, ia juga

meraih hadiah dari Saddâm Hussein di bidang kajian linguistik, dan pada 2005 ia

meraih hadiah dan penghargaan dari King Faisal International Prize (Jâizah al-

Malik Faisal al-‘Alamiyyah) di bidang yang sama dengan tema ―al-Lughah al-

‘Arabiyyah fi al-Dirâsât al-Lughawiyyah al-Hadîtsah‖ (Bahasa Arab dalam Kajian

Linguistik Modern).19

Karena itu, Husâm Tammâm, menggelarinya sebagai

Mujaddid al-Lughah al-’Arabiyyah (pembaharu bahasa Arab) masa kini.

C. Teori Tadhâfur al-Qarâin

Kata ―al-qarâin‖ merupakan bentuk jamak dari qarînah yang secara bahasa

berarti yang menyertai, penyerta, relasi penyerta, atau penunjuk (indikator). Disebut

demikian karena keberadaannya selalu menyertai struktur kalimat dan memberi

penunjukan makna kalimat sesuai dengan relasi dan konteknya. Qarînah biasanya

digunakan dalam kajian ilmu balaghah, terutama dalam konteks menjelaskan

perubahan makna dari makna hakiki menjadi makna majazi.

Teori tadhâfur al-qarâ’in, menurut Tammâm, tidak lepas dari konsep bahwa

bahasa merupakan sistem yang mempunyai berbagai komponen atau unsur yang

saling berelasi, bersinergi, dan menunjang fungsi bahasa itu sendiri. Sedangkan

fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi di antara para warga masyarakat

penggunaanya. Sementara itu, tujuan berbahasa adalah untuk menyampaikan pesan

secara jelas, baik pesan itu berupa berita, kondisi, permintaan, pertanyaan, ekspresi

perasaan jiwa kepada penerima pesan (pendengar atau pembaca).20

Kejelasan pesan, amanat, atau makna adalah tujuan berkomunikasi melalui

bahasa. Kejelasan pesan ini dalam istilah linguistik Arab disebut amn al-labs (bebas

kerancuan). Jika sebuah pesan dalam bentuk kalimat, paragraf atau wacana sudah

terbebas dari kerancuan, maka berfungsilah apa yang disebut dengan qarâ’in al-

ma’na al-nahwî (penyerta makna gramatikal).

Teori ini sesungguhnya merupakan pengembangan dari teori nazham dan

ta’lîq yang pernah dimajukan oleh ‘Abd al-Qahir al-Jurjani dalam Dalâ’il al-I’jâz.

19 al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 21. 20 Tammâm, al-Khulâshah ..., h. 17.

Page 12: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

Teori nazham21

berporos pada keteraturan dan keterpaduan makna gramatikal, bukan

makna leksikal suatu kalimat. Sedangkan konsep ta’lîq (perelasian, keherensi)

mengandaikan adanya keterpaduan unsur-unsur kalimat, paragraf, dan wacana yang

kemudian memberikan kejelasan makna. Dari adanya relasi antarkata dan

antarkalimat inilah kemudian dipandang perlu diformulasikannya qarâ’in, karena

terbukti bahwa relasi-relasi kata dan kalimat itu bersifat sinergis dan tidak dapat

dipisahkan, sehingga membentuk apa yang disebut dengan al-’alaqat al-Siyaqiyyah

(syntagmatic relations).22

Karena relasi tersebut harus sinergi dan terpadu, antara

relasi sintagmatik dan relasi semantik-kontekstual, maka pemaduan keduanya

membentuk apa yang disebut dengan teori tadhâfur al-qarâ’in (keterpaduan, sinergi

multi-indikator).

Sebagian ahli memfokuskan kajian nahwu atau sistem sintaksis pada masalah

kedudukan/jabatan kata (mawâqi’ al-i’râb) dalam kalimat. Penekanan pada i’râb

(infleksi) sesungguhnya tidak menyentuh substansi nahwu secara komprehensif.

Sebab, tidak semua kata mengalami perubahan bunyi akhirnya karena ada kata yang

mabnî. Dengan demikian, banyak persoalan yang sesungguhnya terkait dengan

nahwu, seperti itsbât (afirmasi), nafy (pengingkaran), tawkîd (penguatan, pemastian),

rutbah (urutan kata dalam kalimat) seperti: taqdîm (peletakan urutan/posisi kata

didahulukan dari yang semestinya), ta’khîr (peletakan urutan/posisi kata di bagian

akhir dari yang semestinya), jumlah taqrîriyyah (kalimat informatif), jumlah

istifhâmiyyah (kalimat tanya), jumlah syarthiyyah (kalimat kondisional), dan

sebagainya menjadi tidak terjelaskan melalui definisi bahwa nahwu itu adalah ilmu

tentang i’râb. Selain itu, kajian nahwu menjadi terfokus pada aspek lahiriyah (mabnâ,

21 Menurut ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî (w. 471 H) ruang lingkup bahasan nahwu harus lebih luas

dari sekedar mengkaji tentang i’râb dan penentuan bunyi akhir kata. Nahwu harus mencakup bahasan

mengenai nazham. Ketahuilah bahwa tidak disebut nazham (keteraturan) kecuali jika engkau

memosisikan pembicaraanmu pada posisi yang dikehendaki ilmu nahwu. Engkau mendasarkan

pembacaraan itu pada kaidah-kaidah dan prinsip-prinsipnya, dan engkau mengetahui metode yang

mendasarinya, sehingga engkau tidak menyimpang darinya, dan engkau menjaga ancangan

pembicaraan yang telah engkau tetapkan, sehingga tidak mengandung kecacatan sedikitpun.‖ Unsur-unsur pembicaraan (dalam kalimat) harus memiliki relasi; yang satu menjadi penyebab yang lain,

sehingga memberi makna. Nazham itu tidak mengacu pada lafazh semata, tetapi ketaraturan lafazh itu

harus sesuai dengan makna, karena pembicaraan itu dapat tersusun secara baik karena keteraturan

maknanya dalam diri pembicaranya. Lihat ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî, Dalâil al-I’jâz, Tahqîq Mahmûd

Muhammad Syâkir, (Jeddah: Dâr al-Madanî, 1992), Cet. III, h. 55-56 dan 80-81. 22 Tammâm, al-‘Lughah al-‘Arabiyyah..., h. 188-189.

Page 13: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

lafzhi, bentuk) semata, tidak menyentuh aspek-aspek substansial (makna) yang

berkaitan dengan kategori dan relasi antarkata dalam sebuah struktur kalimat.

Menurut Tammam, qarâ’in dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:

qarâ’in maddiyah (matterial indicators), qarâ’in ’aqliyyah (rational indicators), dan

qarâ’in ta’lîq (coherence indicators). Qarâ’in ’aqliyyah dibagi menjadi dua, yaitu

‗ahdiyyah dzihniyyah dan qarâ’in manthiqiyyah . Sedangkan qarâ’in al-ta’liq dibagi

lagi menjadi qarâ’in maqâliyyah dan qarâ’in haliyyah. Teori tadhâfur al-qarâ’in

berkaitan langsung dengan qarâ’in maqaliyyah. Qara‘in yang terakhir ini

diklasfikasikan menjadi dua, yaitu: qarâ’in ma’nawiyyah dan qarâ’in lafzhiyyah.

Qarâ’in lafzhiyyah meliputi: isnâd, takhshish, nisbah, taba’iyyah, dan mukhâlafah.

Sedangkan qarâ’in lafzhiyyah mencakup i’râb, rutbah, shîghah, muthâbaqah, rabth,

tadhâmm (kolokasi), adât (partikel), dan tanghîm (intonasi).23

Tujuh qarînah dari

qarâ’in lafzhiyyah merupakan indikator makna pada teks tertulis. Sedangkan qarinah

tanghîm (intonasi) merupakan indikator yang dapat menentukan makna dalam bahasa

atau wacana lisan.

Jika kita menyatakan: ذهب أحمد إلى بيته, maka dapat diketahui bahwa subjek

(fâ’il) dalam kalimat ini adalah Ahmad. Kedudukan kata ―Ahmad‖ sebagai fâ’il

dapat dipahami dari beberapa al-qarâin berikut:

أحمد

Ism (kata benda) Qarînah al-binyah (konstruksi

kata)

Marfû’ (dibaca rafa’) Qarînah al-i’râb (infleksi)

Didahului fi’l Qarînah al-rutbah wa al-binyah

(urutan kata dan konstruksi)

Fi’l tersebut mabni li al-ma’lum Qarînah al-binyah (konstruksi)

Menunjukkan orang yang

melakukan pekerjaan (pergi)

Qarînah al-isnâd (relasi subjek

dan prediket)

إلى بيته

Relasi jâr + majrûr mempunyai

ta’alluq dengan fi’l. Keduanya

membentuk makna

Qarînah al-Tadhâmm (sanding

kata, kolokasi)

23 Tammâm, al-Lughah al-‘Arabiyyah...., h. 190.

Page 14: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

Dhamîr pada ―rumahnya‖

menghubungkan rumah dengan

pemiliknya, Ahmad

Qarînah al-Rabth (pengait,

penghubung antarkata)

Qarâ’in nahwu, menurut Tammâm, mempunyai lima sumber, yaitu: sistem

fonologi (al-nizhâm al-shawtî), sistem morfologi (al-nizhâm al-sharfî), sistem

sintaksis (al-nizhâm al-nahwî), makna konteks (dalâlah al-siyâq), dan pragmatik (al-

dalâlah al-hâliyyah).24

Oleh karena posisi al-qarâ’in sangat penting dalam

pemaknaan kalimat dan teks pada umumnya, maka pembelajaran nahwu perlu

diorientasikan kepada pengenalan ragam al-qarâ’in berikut penggunaan dalam

struktur kalimat. Pembelajaran nahwu tidak bisa lagi hanya memperhatikan posisi

atau kedudukan kata (mawqi’ al-i’râb) sebagai penentu bacaan dan pemaknaan

kalimat dan wacana.

Teori tadhâfur al-Qarâ’in meniscayakan makna gramatikal dan fungsional

sebuah kalimat. Jika gramatika (secara umum) membahas makna sampai batas

mu’jam (kamus), dan kamus berperan dalam menentukan makna kosakata (mufradât)

hingga batas-batas semantik pada level sosial, maka makna yang dikaji oleh nahwu

adalah makna fungsional (al-ma’nâ al-wazhîfî). Makna fungsional yang dimaksud

adalah makna yang menentukan fungsi bunyi, huruf, suku kata, intonasi, morfem,

bentuk kata, hingga fungsi kategori. Fungsi-fungsi itu pula yang dipelajari oleh

gramatika yang mencakup empat cabang kajian tersebut.25

Dengan kata lain,

penelitian nahwu mengkaji fungsi kosakata (mufradât) dalam struktur kalimat.26

Berikut ini ilustrasi relasi makna kata dalam struktur kalimat sesuai dengan

fungsinya:

يقرأ مدرس ال الجريدة صباحا قراءة حبا هلل جالسا على الكرسي

مفعول جار مجرور حال جار مجرور له

مفعول مطلق

مفعول فيه

مفعول به

فعل فاعل مضارع

24 Tammâm, al-Khulâshah …, h. 22-23. 25 Tammâm, Manâhij al-Bahts ..., h. 229. 26 Tammâm, al-Ushuûl ..., h. 343.

Page 15: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

التخصيص

احلالية

التخصيص

السببية

التوكيد

الظرفية

ادلفعولية

الفاعلية

Makna bahasa, menurut Tammâm, tidak hanya ditunjukkan oleh kata atau

lafazh, melainkan juga ditentukan oleh peristiwa, situasi, kesan, dan proses abstraksi

yang dilakukan oleh pikiran ketika memahami sebuah pesan. Oleh karena itu, makna

dapat diklasifikasikan menjadi tiga: makna konvensi (al-ma’nâ al-‘urfî), makna

kognisi (al-ma’nâ al-dzihnî), dan makna impresi (al-ma’na al-inthibâ’î). 27

Makna

konvensi atau kebiasaan merupakan makna yang disepekati bersama oleh komunitas

penutur suatu bahasa. Makna ini bisa dinilai benar atau salah. Sementara itu, makna

kognisi atau persepsi dan makna impresi terkait dengan subyektivitas individu yang

mempersepsi dan menangkap kesan. Keduanya terkait dengan gaya bahasa (uslûb),

bukan gramatika.

Pemikiran tersebut, menurut Tammâm, dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Makna

Konvensi Kognisi Impresi

(Makna yang menjadi

kesepakatan komunitas;

dapat dinilai benar dan salah) Makna pemersepsi Makna pemilik kesan

Keduanya berkaitan dengan gaya, bukan tata bahasa

Makna konvensi, menurut Tammâm, dapat dibagi lagi menjadi makna

fungsional, leksikal, dan kontekstual. Lalu makna fungsional dapat dibagi menjadi

makna analitikal dan struktural. Sedangkan makna kognisi dapat dikelompokkan

27 Tammâm, Khawâthir min Ta’ammul Lughat al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Âlam al-Kutub,

2006), Cet. I, h. 83.

Page 16: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

menjadi makna logis dan makna asosiatif. Makna logis dapat diturunkan menjadi

makna deduktif. Sedangkan makna impresi dapat dibagi menjadi makna emosi dan

makna inderawi. Makna inderawi dapat dikembangkan menjadi makna pragmatik.28

Lebih lanjut Tammâm menjelaskan bahwa makna konvensi adalah makna

yang ditunjukkan oleh unsur-unsur bahasa seperti: partikel, bentuk-bentuk kata, kata

benda, verba, kosakata dalam kamus, dan berbagai bentuk kalimat. Jika makna

konvensi dalam pemaknaannya didasarkan pada analogi (qiyâs), maka makna

kognisi didasarkan pada induksi, sedangkan makna impresi didasarkan pada reaksi

(irtidâd, radd fi’l).29

Makna, menurut Ledwig Wittgenstein (1889-1951), dianggap

sebagai salah satu jenis penggunaan bahasa.30

Setiap studi bahasa memang harus dapat mengungkap makna, dan setiap

aktivitas studi bahasa harus diorientasikan kepada pemeriksaan dan pengungkapan

makna secara jelas. Kajian mengenai makna ternyata tidak hanya melibatkan para

linguis, melainkan juga para filosof dan psikolog. Para filosof membahas makna

ketika mereka membicarakan epistemologi (teori pengetahuan) sebagai salah satu

cabang filsafat. Mereka kemudian membahas masalah makna dari ―pintu masuk‖

hubungan antara penunjuk (makna) dan yang ditunjuk. Kajian makna dalam

perspektif filosofis seperti ini antara lain terlihat dalam The Meaning of Meaning

karya Odgan dan Richard. Kajian makna dikategorikan sebagai salah satu kajian

logika positivistik.31

Namun demikian, persoalan makna merupakan area dan

sekaligus muara kajian linguistik, baik pada level fonologi, morfologi, sintaksis,

maupun leksikologi. Makna adalah inti komunikasi, baik komunikasi linguistik

maupun nonlinguistik.

Selain mengklasifikasikan makna ke dalam tiga kategori tersebut, Tammâm

juga membuat kategori makna menjadi: al-ma’nâ al-wazhîfî (makna fungsional) dan

al-ma’nâ al-mu’jamî (makna leksikal). Para nuhât mengakui tiga macam makna,

yang terbesar disebut al-ma’nâ al-mufîd (makna informatif), yaitu makna kalimat,

kemudian al-ma’nâ al-mufrad (makna tunggal), yaitu makna kata, dan ma’nâ âmm

28 Tammâm, Maqâlât ..., Jilid II, h. 297. 29 Tammâm, Khawâthir ..., h. 84. 30 Robert de Beugrande, al-Nashsh wa al-Khithâb wa al-Ijrâ, terjemahan Tammâm Hassân dari

Text, Discourse, and Process toward a Multidiciplinary Science of Texts, (Kairo: Âlam al-Kutub,

1998), Cet. I, h. 180. 31 Tammâm, Maqâlât ..., Jilid I, h. 329.

Page 17: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

haqquhu an yu’adda bi al-harf (makna umum yang semestinya diwujudkan oleh

huruf) atau dikenal dengan al-ma’nâ al-wazhîfî. Makna yang terakhir ini difungsikan

oleh mabâni fi al-siyâq (bentuk kata dalam konteks). Makna peringatan, penegasan,

masa mendatang, tuntutan, negasi, pertanyaan, dan sebagainya merupakan makna

fungsional yang diwujudkan oleh bentuk-bentuk kata, baik dalam bentuk simple

(sederhana, tunggal) maupun terstruktur dalam kalimat.32

Sementara itu, menurut Tammâm, makna leksikal (al-ma’nâ al-mu’jamî)

adalah makna tunggal suatu kata di luar konteks atau makna kata menurut kamus.

Makna ini dianggap sebagai buah banyaknya derivasi dan formula sharaf. Jika

shîghat sharaf merupakan salah satu pilar makna leksikal, maka makna fungsional

yang dinisbahkan kepada shîghat merupakan salah satu unsur makna tunggal suatu

kata. Sebagai contoh, makna leksikal atau makna yang sesuai dengan yang ada dalam

kamus ―قاِتل‖ adalah juga makna fungsional yang dinisbahkan kepada formula fâ’il

sebagai salah satu unsur makna fungsional kata ―قاِتل‖; sedangkan unsur lain dari kata

tersebut adalah akar kata yang berupa tiga huruf: qâf, tâ’, dan lâm. Tiga huruf ini

merupakan unsur yang sama (akar kata) pada semua derivasinya yang formula

sharafnya bervariasi (musytaqqât). Derivasi dalam bahasa Arab memang sangat

variatif, sehingga salah satu karakteristik bahasa ini adalah lughat al-isytiqâq

Kategori makna tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Sumber Makna Leksikal Kata ―قاِتل‖

Dari Segi formulasi kata: Fâ’il Dari segi akar dan derivasi: ل-ت-ق

Penunjukan makna formula Sebuah struktur huruf yang

terhadap yang disifati dengan menunjukkan peristiwa (pembunuhan)

formula fâ’iliyyah

Selain itu, Tammâm juga membuat kategori makna kontekstual (al-ma’nâ al-

dalâli), yaitu makna kalimat dalam konteks penggunaan dan dalam lingkup berbagai

32 Tammâm, al-Bayân...., h. 9.

Page 18: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

qarâ’in (relasi penyerta sebuah kalimat) serta situasi yang menyertainya.33

Makna

kontekstual ini, menurut Tammâm, dibagi menjadi dua: al-ma’nâ al-maqâlî (makna

redaksional) dan al-ma’nâ al-maqâmî (makna situasional, sosial-kultural, atau makna

kontekstual). Yang pertama merupakan perpaduan antara makna fungsional dan

leksikal, serta mencakup berbagai indikator (penunjuk makna) dalam pernyataan

yang ada. Sedangkan yang kedua merupakan makna yang dibentuk oleh situasi dan

kondisi penyampaian pernyataan. Klasifikasi tersebut dapat diilustrasikan sebagai

berikut:

al-Ma’nâ al-Dalâlî

al-Ma’nâ al-Maqâlî al-Ma’nâ al-Maqâmî

(Makna fungsional+leksikal+indikator) (Makna sesuai dengan situasi)

Pada mulanya kajian nahwu maupun balâghah sangat erat dengan aspek

bentuk luar (syakliyyah) dari kalâm ‘Arabî, sehingga kajian nahwu atau balâghah

terkadang dinilai sebagai ―fisik tanpa ruh‖ (jasadan bilâ rûh). Dengan kata lain,

aspek dalam dari sebuah struktur, yaitu makna, kurang mendapat perhatian yang

semestinya. Adalah para ahli balâghah yang kemudian mempertegas bahwa kajian

balâghah sangat sarat dengan konteks. Mereka memosisikan bahasa sebagai

fenomena sosial (zhâhirah ijtimâ’iyyah) yang terkait erat dengan budaya suatu

bangsa. Budaya ini sebagai representasi dari sebuah pemaknaan dapat dianalisis

dengan menentukan berbagai kemungkinan situasi sosial yang melingkupi

pembicaraan atau pernyataan. Situasi pujian tentu berbeda dengan situasi ratapan,

pembanggaan, celaan, permohonan, angan-angan, dan sebagainya.

Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa setiap situasi terdapat pernyataan

yang sesuai dengannya (li kulli maqâm maqâl)34

; dan bisa juga sebaliknya (wa li kulli

maqâl maqâm). Menurut JR. Firth (1890-1960), sebagaimana dikutip Ahmad

Mukhtâr ‗Umar, makna bahasa hanya dapat diungkap (diketahui) melalui konstruksi

33 Tammâm, al-Bayân ..., h. 289. 34 Tammâm, al-Lughah al-‘Arabiyyah...., h. 338.

Page 19: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

dan peredaksian kata-kata dalam satu kesatuan dan konteks bahasa yang bervariasi

dan sesuai dengan konteks kebahasaan maupun sosial kulturalnya.35

D. Teks

Teks dalam bahasa Arab disebut nashsh. Kata نص dalam dunia bahasa Arab

menunjukkan sejumlah makna yang dapat dilihat dari empat segi, yaitu: (a)

mengangkat, meninggikan, dan memperlihatkan (al-raf’u wa al-Izhhâr), (b)

konsistensi dan reliabilitas (al-istiqâmah wa al-tsabât), (c) berakhir pada sesuatu (al-

intihâ’ fi al-syai’), dan (d) konstruksi dan gerakan (al-tarkîb wa al-harakah).36

Menurut Ibn Manzhur, nashsh (teks) mengandung arti mengangkat, meninggikan,

atau menjadikan tampak atau terlihat, sehingga dari kata ini muncul kata minashshah

(panggung, mimbar, podium) yang umumnya menonjol, berada dalam posisi yang

lebih tinggi agar dapat dilihat. Nashsh juga berarti target atau tujuan akhir sesuatu.37

Karena itu, al-Jurjani mendefinisikan teks (nashsh) sesuatu yang membuat makna

semakin jelas terhadap yang tampak pada mutakallim; teks mengantarkan

pembicaraan pada (kejelasan) makna.38

Dalam perspektif ilm al-‘ushul, teks (nashsh)

dipahami sebagai lafazh yang terdapat dalam al-Qur‘an dan as-Sunnah yang

dijadikan sebagai dalil untuk penetapan hukum suatu masalah.39

Teks itu adalah

zhahir (aspek luar) dari redaksi ayat atau hadits Nabi Saw.

Dalam linguistik modern, teks dipahami sebagai serangkaian kalimat yang

saling berkaitan; atau setiap kalimat yang saling bertautan dan unsur-unsurnya

memiliki relasi satu sama lain.40

Teks mengandung arti wacana atau alenia tertulis

maupun verbal (diucapkan) –seberapapun panjangnya— dengan ketentuan

35 Ahmad Mukhtâr ‗Umar, ‗Ilm al-Dalâlah, (al-Kuwait: Dâr al-‗Urûbah, 1982), h. 68. 36 Mahmud Hasan al-Jâsim, Ta’wîl al-Nashsh al-Qur’ani wa Qadhâya al-Nahwi, (Damaskus:

Dâr al-Fikr al-Mu‘âshir, 2010), h. 40 37 Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, entri nashaha; lihat juga Raddat Allah, Dalâlah al-Siyâq,

(Mekkah: Jâmi‘ah Umm al-Qura, 2003), h. 251-252. 38 Al-Jurjânî, Kitâb al-Ta’rîfât, Tahqiq Ibrâhîm al-Ibyâri, (Kairo: Dâr al-Bayân li al-Turâts, tt.),

h. 309. 39 Ibn Hazm, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, 1400 H), Jilid I, h.

42. 40 Raddat Allah, Dalâlah al-Siyâq …, h. 255.

Page 20: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

merupakan satu kesatuan yang utuh.41

Wacana adalah organisasi bahasa di atas

kalimat atau di atas klausa. Wacana merupakan seperangkat preposisi yang saling

berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau

pembaca. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku,

ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat

yang lengkap.42

Teks memang mengemban ‖tugas komunikatif‖ (wazhîfah tawâshulillah).

Karena itu, teks juga dimaksudkan sebagai ‖bangunan kebahasaan yang terstruktur

sedemikian rupa yang menjalankan fungsi komunikatif, baik mengandung makna

(penunjukan) yang jelas maupun masih mengadung ta’wil.43

Dalam hal ini, Tammâm menegaskan bahwa teks bahasa Arab merupakan

konstruksi kata dan kalimat yang mengandung pesan atau makna. Makna itu

dipahami dari relasi antarkata, antarkalimat, dan antarparagraf sebagai sebuah sistem

terpadu. Menurutnya, penggunaan bahasa, lisan maupun tulis, yang kemudian

membentuk teks, pada akhirnya bermuara kepada dua hal: sistem (al-nizhâm) dan

ekstensifikasi (tawassu’). Sebagai sistem, penggunaan bahasa Arab potensial

memiliki multimakna bagi satu konstruksi (mabna), baik pada tataran morfologis

maupun leksikal. Misalnya saja, kata ما dapat berarti nafiyah (negasi), istifhâmiyyah

(kata tanya), syarthiyyah (kondisi), ta’ajjubiyyah (eksklamasi), dan seterusnya sesuai

dengan keberadaannya dalam sistem kalimat (teks). Demikian pula kata ""ضرب dapat

berarti memukul seperti dalam kalimat: ضرب اخلادم كلبا; dapat juga berarti membuat

seperti: ضرب اهلل مثال atau berarti bepergian seperti: وإذا ضربتم يف األرض فليس عليكم

41 Ahmad ‗Afifi, Nahwu al-Nashsh: Ittijâh Jadîd fi al-Dars al-Nahwi, (Kairo: Maktabah Zahra‘

al-Syarq, 2001), h. 23. 42 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 208; dan Henry

Guntur Tarigan, Pengajaran Wacana, (Bandung: Angkasa, 2009), Edisi Revisi, h.24. 43 Mahmûd Hasan al-Jâsim, Ta’wîl al-Nashsh …, hlm. 44.

Page 21: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

(101أن تقصروا من الصالة... )سورة النساء: جناح dan dapat pula berarti ‖kali‖ (bilangan)

seperti: ضرب مخسة يف ستة... dan seterusnya.44

Sementara itu, penggunaan bahasa yang bermuara pada ekstensifikasi adalah

berupa mutasi (al-naql) konstruksi kata atau kalimat dari makna yang populer kepada

makna yang lain, baik pada tataran sintaksis maupun tataran leksikal. Para ahli

nahwu dalam hal ini, antara lain, memberikan contoh mutasi kalimat informatif

(jumlah khabariyyah) beralih makna do‘a seperti: بارك اهلل فيك; kalimat tanya beralih

makna kalimat pengingkaran seperti: أتنكر نعمة اهلل عليك؟; sementara mutasi pada

tataran leksikal dapat dijumpai pada sejumlah fenomena penggunaan lafazh yang

berubah dari makna hakiki menjadi makna majazi (alegoris). Hal ini menjadi

bahasan utama ‗Ilm al-Bayân.45

Sebagai peristiwa komunikasi, menurut Tammâm mengutip pendapat

Beaugrande, teks harus memenuhi tujuh kriteria berikut: (1) kohesi (al-sabk), (2)

koherensi (al-ta’lîq), (3) intensionalitas (al-qashd), (4) aseptabilitas (al-qabûl), (5)

informativitas (al-ma’lûmiyyah, al-I’lâmiyyah), (6) situasionalitas (al-mawqif), dan

intertektualitas (al-tanâshsh). Semua itu bergantung pada pengguna teks. Ketujuh

kriteria ini menjalankan prinsip-prinsip formatif (pembentukan) dan prinsip-prinsip

regulatif yang menentukan dan menciptakan komunikasi. Prinsip-prinsip regulatif

yang dimaksud adalah (1) efisiensi (al-kafâ’ah), (2) efektivitas (al-ta’tsîr), dan (3)

relevansi (al-munasabah).46

Di manapun dan kapanpun, teks bahasa dikendalikan oleh relasi linguistik

(kebahasaan) yang mempunyai dua aspek: lafzhi dan maknawi. Relasi ini bekerja

untuk mengoherensikan dan menyatupadukan semua yang menjadi bagian atau unsur

pembentuk teks. Dari relasi sub-sub teks inilah, interpretasi dan pemaknaan

dilakukan.47

44 Tammâm Hassân, Maqâlat fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid I, h. 475-6. 45 Tammâm Hassân, Maqâlat fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid I, h. 476. 46 Tammâm Hassân, Ijtihâdât Lughawiyyah, h. 365. 47 Mahmûd Hasan al-Jâsim, Ta’wîl al-Nashsh …, hlm. 131.

Page 22: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

Eksistensi teks pada dasarnya meniscayakan makna yang progresif. Karena

teks selalu terbuka untuk dimaknai. Teks itu bermakna dinamis, karena relasi antara

teks dengan makna bukan hubungan statis, dan pasti. Menurut Heideger, dan

Gadamer teks bahasa tidak memiliki dalâlah (penunjukan makna) tunggal, karena

bahasa tidak mesti menunjuk sesuatu.48

Karena itu, teks-teks, tidak mesti menunjuk

sesuatu, dan makna tertentu.

Memahami teks-teks agama (al-Qur‘an dan hadits Nabi Saw.), pada dasarnya

tidak jauh berbeda dengan memahami teks-teks lain sebagai sistem simbol (tanda).

Secara sederhana, al-Qur‘an berisi pelbagai tanda (al-âyah). Jika simbol-simbol

bahasa tidak menunjuk secara langsung pada realitas objektif-eksternal (al-wâqi‘ al-

khârijî al-mawdlû‘î), tetapi, simbol bahasa tersebut menunjuk pada pandangan,

pemahaman, dan pikiran dalam komunitas tertentu, maka bahasa tersebut berada

dalam ranah ―budaya‖ karena bahasa merupakan subsistem budaya.49

E. Konteks

Konteks dalam bahasa Arab disebut siyâq, berasal dari s-w-q, yang

mengandung arti: keberturutan, keberlanjutan (al-tawâli) atau kehadiran (al-

tawarud). Dengan kata lain, konteks meniscayakan kehadiran unsur-unsur bahasa

yang dilihat secara berlanjut dan menyeluruh. Menurut Tammâm, konteks dapat

dilihat dari dua aspek. Pertama, keberlanjutan unsur-unsur yang menjadikan struktur

dan kohesi itu terjadi. Inilah yang disebut dengan konteks teks (siyaq al-nashsh).

Kedua, keberlanjutan dan kehadiran peristiwa yang menyertai penggunaan bahasa

dan mempunyai relasi dengan komunikasi. Inilah yang disebut dengan konteks

situasi (sosial) atau siyaq al-mawqif. Kedua konteks tersebut mempunyai relasi

seperti relasi umum dan khusus, yang disebut dalâlah al-nashsh (penunjukan atau

makna teks) atau qarînah al-nashsh (indikator teks).50

48 Nashr Hâmid Abû-Zayd, Isykâliyât Al-Qirâ’ah Wa Âliyyât Al-Ta’wîl, (Beirut: Al-Markaz al-

Tsaqâfî Al-‗Arabî, 1999), Cet. V, h. 42. 49 ‗Azmî Islâm, Mafhûm al-Ma‘nâ: Dirâsah Tahlîliyah, (Kuwait: Fakultas Adab, Universitas

Kuwait, 1986), h. 18. 50 Tammâm Hassân, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid II, h. 65.

Page 23: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

Konteks teks atau konteks bahasa itu sendiri merupakan objek kajian nahwu

(al-nahwu mawdhû’uhu al-siyâq).51

Karena, menurut Tammâm, nahwu mengkaji

relasi antarkata dalam struktur kalimat sebagai sebuah sistem. Karena itu,

pemahaman terhadap kehadiran unsur-unsur yang membentuk kalimat, paragraf dan

wacana sangat menentukan makna. Konteks hadir dalam spektrum bahasa yang luas

dan menyeluruh, meliputi konstruksi morfologis, semantik, dan kosakata, serta

mencakup aneka makna bahasa: makna konvensional, makna rasional, dan makna

natural. Dengan kata lain, qarînah al-Siyâq (indikator konteks) merupakan qarînah

paling menentukan makna gramatikal maupun makna kontekstual teks itu sendiri.52

Konteks mempunyai signifikansi yang strategis dalam menentukan makna

teks yang dikehendaki. Karena itu, ulama bahasa Arab di masa lalu merumuskan

signifikansi teks dengan pernyataan: ‖لكل مقام مقال‖ (Setiap konteks mempunyai teks

atau ungkapannya tersendiri). Hal ini mengandung arti bahwa pemahaman terhadap

konteks, baik konteks kebahasaan (al-siyâq al-Lughawi) maupun konteks non-

kebahasaan (al-siyâq ghair al-lughawi) seperti asbâb al-nuzûl dalam penafsiran

suatu ayat menjadi suatu kemestian. Tammâm misalnya memberikan contoh

bagaimana makna leksikal الإ tidak selamanya berarti ―kecuali‖ (istitsnâ’), misalnya:

تذكرة دلن خيشى إالما أنزلنا عليك القرآن لتشقى. . Dalam ayat ini, konteks (keseluruhan dan

keterpaduan unsur-unsur bahasa dalam ayat ini) menghendaki makna istitsnâ’

tersebut ditransformasi menjadi makna istidrâk (لكن, tetapi) karena frase pada ayat

setelah إال itu merupakan frase penetapian dari ayat sebelumnya53

: ―Tidaklah Kami

menurunkan al-Qur‘an kepadamu (Muhammad) agar kamu menderita, tetapi (bukan

kecuali) agar menjadi peringatan bagi orang mau mendekatkan diri dengan hati

penuh takwa.‖ (QS. Thaha: 2-3).

51 Tammâm Hassân, al-Ushûl…, h. 245. 52 Tammâm Hassân, al-Bayân fi Rawâ’i al-Qur’an : Dirâsah Lughawiyyah wa Uslubiyyah li

al-Nash al-Qur’ani, (Kairo: ‗Alam al-Kutub, 2000), Jilid I, h. 173. 53 Tammâm Hassân, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid II, h. 66.

Page 24: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

Konteks (siyâq) tidak dapat dipisahkan dari struktur bahasa. Struktur

linguistik al-Qur‘an pada umumnya mengandung multi-interpretasi. Namun

demikian, pemahaman terhadap konteks redaksi ayat memungkin kita menyingkap

makna yang lebih mendekati kebenaran. Dengan kata lain, pemahaman konteks

membuat interpretasi ayat-ayat al-Qur‘an tidak terkungkung oleh arti leksikal (ma’na

mu’jami) suatu lafazh atau ungkapan. Pengalihan arti leksikal ke arah makna

kontekstual mutlak dipengaruhi oleh pemahaman pembaca teks al-Qur‘an.

Transformasi makna sedemikian sangat penting karena al-Qur‘an memang

diturunkan dan ditransmisikan dengan makna dan lafazh sekaligus dari satu generasi

ke generasi berikutnya.

Dalam kaitan itu, Tammam Hassan misalnya memberi contoh pemaknaan

ayat berikut dengan pemahaman yang sangat logis dan menarik: وال متوتن إال وأنتم(102مسلمون )سورة آل عمران: Jika diartikan secara leksikal, maka redaksi

terjemahannya adalah: ―Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Muslim.‖

Secara sepintas, penerjemahan tersebut seolah tidak ―bermasalah‖. Tetapi jika

dipahami secara rasional, maka seharusnya: ―mati itu tidak perlu dilarang‖ (semua

manusia pada akhirnya pasti mati, tanpa harus dilarang). Karena itu, konteks redaksi

ayat tersebut bukan melarang ―mati‖, melainkan ―memerintahkan umat Muslim

untuk berpegang teguh kepada Islam hingga mati‖.54

Jadi, makna kontekstual ayat

yang hampir selalu dibaca khatib pada setiap Jum‘at tersebut adalah: ―Kalian harus

memiliki komitmen dan sikap istiqamah dalam beriman dan berislam hingga

meninggal dunia‖.

Oleh karena itu, konteks mempunyai banyak fungsi, antara lain adalah (a)

mengukuhkan kepastian suatu penunjukan makna yang masih mengandung

kemungkinan, (b) menjelaskan yang bersifat global, rujukan prenomina dan bacaan

yang tepat suatu kata dalam struktur kalimat, dan (c) merevisi penafsiran yang

kurang atau tidak tepat, dan (d) menolak praduga adanya ayat-ayat yang saling

bertentangan.55

54 Tammâm Hassân, al-Bayân fi Rawâ’i’ al-Qur’an... h. 164. 55 Abdullah, Zaid ‘Umar, ‖al-Siyaq al-Qur‘ani wa Atsaruhi fi al-Kasyfi ‘an al-Manâ‘ni‖,

diakses dari http://alukah.net/Articles/Article.aspx?, 20 April 2010.

Page 25: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

Dalam kajian linguistik modern, pemahaman terhadap konteks dilandasi oleh

sebuah asumsi bahwa sistem bahasa itu saling berkaitan satu sama lain di antara

unsur atau unit-unitnya, dan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Karena

itu, dalam menentukan makna, diperlukan adanya penentuan berbagai konteks yang

melingkupinya. Teori yang dikembangkan oleh Wittgenstein maupun K. Ammer ini

menegaskan bahwa makna suatu kata dipengaruhi oleh empat konteks, yaitu: (a)

konteks kebahasaan, (b) konteks emosional, (c) konteks situasi dan kondisi, dan (d)

konteks sosio-kultural.56

Konteks kebahasaan terkait erat dengan konstruksi bahasa itu sendiri. Kata

mempengaruhi makna kalimat. Akan tetapi, kalimat (keseluruhan rangkaian kata)

mempengaruhi makna kata tertentu dalam kalimat itu. Artinya, makna kontekstual

diperoleh dan dipahami dari keseluruhan konstruksi kata yang membentuk kalimat.57

Kata "الفصـل" dalam enam kalimat berikut maknanya pasti berbeda, meskipun akar

katanya sama. Perhatikan dan pahami konteks enam kalimat berikut:

الفصل اخلامس من كتاب "العربية بني يديك". ناقرأ -1 ل فصل من فصول السنة.مجأ إن الربيع ىو -2 م الدراسيإننا اآلن يف الفصل األول من ىذا العا -3 شاىدنا الفصل الثاين من ادلسرحية. -4 يستلم قرار الفصل من العمل. -5 إنو لقول فصل. -6

Konteks kebahasaan berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat yang dapat

menentukan makna yang berbeda, seperti taqdîm (posisi didahulukan) dan ta’khîr

(diakhirkan), seperti: أمحد أمت قراءة الكتاب"" berbeda dengan: "قراءة الكتـاب أمتهـا أمحـد". Konteks

emosional dapat menentukan makna bentuk kata dan strukturnya dari segi kuat dan

lemahnya muatan emosional, seperti dua kata yang berarti "membunuh", yaitu: " "اغتـال"تـلو"ق ; yang pertama digunakan dalam pengertian membunuh orang yang mempunyai

kedudukan sosial yang tinggi dan dengan motif politis, sedangkan yang kedua

berarti membunuh secara membabi buta dan ditujukan kepada orang yang tidak

56 Farîd ‗Iwadh Haidar, ‘Ilm al-Dalâlah: Dirâsah Nazhariyyah wa Tathbîqiyyah, (Kairo:

Maktabah al-Adab, 2005), h. 158. 57 Muhammad ‗Ali al-Khûli, ‘Ilm al-Dalâlah (‘Ilm al-Ma’na), (‗Amman: Dâr al-Falah, 2001),

h. 69.

Page 26: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

memiliki kedudukan sosial yang tinggi. Konteks situasi adalah situasi eksternal yang

membuat suatu kata berubah maknanya karena adanya perubahan situasi. Sedangkan

konteks kultural adalah nilai-nilai sosial dan kultural yang mengitari kata yang

menjadikannya mempunyai makna yang berbeda dari makna leksikalnya. Makna

yang demikian dapat dijumpai dalam peribahasa, seperti: بلــا الســيل الزبــا maknanya

adalah "Nasi telah menjadi bubur", bukan "Air bah telah mencapai tempat yang

tinggi".

Menurut J.R. Firth, teori konteks sejalan dengan teori relativisme dalam

pendekatan semantik bandingan antarbahasa. Makna sebuah kata terikat oleh

lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu. Teori ini juga

mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol tidak mempunyai makna jika ia

terlepas dari konteks. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa setiap kata

mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kata baru

mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Singkatnya, hubungan

makna itu, bagi Firth, baru dapat ditentukan setelah masing-masing kata berada

dalam konteks pemakaian melalui beberapa tataran analisis, seperti leksikal,

gramatikal, dan sosio-kultural.58

F. Tadhâfur al-Qarâin sebagai “Pintu Masuk” dalam Memahami Teks

Perhatian Tammâm dalam kajian linguistik tidak berhenti sebatas

rekonstruksi sistem bahasa Arab sebagai ilmu, melainkan juga berusaha

mengaplikasikannya dalam kajian al-Qur‘an. Alasannya sederhana dan logis, bahwa

bahasa Arab tidak dapat dipisahkan dari al-Qur‘an dan untuk memahami dan

menafsirkan al-Qur‘an secara baik dan benar, seseorang mustahil tanpa memahami

dan menggunakan bahasa Arab sebagai medinya. al-Qur‘an merupakan teks yang

dikonstruksi dengan menggunakan sistem bahasa Arab yang terpadu.

Oleh karena itu, setelah lebih dari setengah abad mengabdi di bidang kajian

linguistik murni, Tammâm merasa terpanggil untuk memformulasikan ide-idenya

mengenai tadhâfur al-Qarâ’in dan mengaplikasikannya dalam memahami dan

mengungkap makna berikut keindahan gaya bahasa al-Qur‘an. Pada tahapan ini,

fokus kajian Tammâm mulai beralih dari struktur menuju uslûb (gaya bahasa)

Alquran.59

Karya Tammâm, al-Bayân fi Rawâ’i’ al-Qur’ân, dua jilid, merupakan

58 Farîd ‗Iwadh Haidar, ‘ilm al-Dalâlah..., h. 157. 59 Husâm Tammâm, ―Tammâm Hassân…, h. 1.

Page 27: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

representasi dari penerapan teori tadhâfur al-qarâ’in dalam dalam memahami dan

menjelaskan teks-teks al-Qur‘an.

Gagasan aplikasi teori tersebut, antara lain, dilandasi oleh fakta sejarah

bahwa perkembangan ilmu-ilmu bahasa Arab berikut penelitian dan kajian bahasa

Arab pada mulanya lebih banyak difokuskan pada upaya pemahaman kalâm (fahm

al-kalâm) daripada memproduksi wacana pemikiran (intâj al-kalâm wa al-khithab).

Hal ini, menurut Tammâm, dibuktikan oleh terlambatnya kemunculan ilmu balâghah

daripada ilmu nahwu. Demikian pula kajian morfologi, tatakata (‘ilm al-sharf) dan

sintaksis, tatakalimat (‘ilm al-nahwi) dalam linguistik modern, menurut Tammâm,

jauh lebih dini dikembangkan daripada kajian semantik (‗ilm al-dalâlah).60

Dengan

kalimat lain, kajian nahwu berbasis teori tadhâfur al-qarâ’in idealnya tidak berhenti

pada tataran analisis struktur teks, melainkan juga dapat dijadikan sebagai media

untuk memahami dan mengembangkan makna teks dalam bentuk pemikiran yang

lebih aplikatif dan kontekstual.

Memahami teks agama dengan metodologi ilmiah, antara lain linguistik teks

(‘ilm al-lughah al-Nashshi) atau tekstologi (‘ilm al-nashsh), dengan demikian

menjadi sangat penting. Metodologi ini dapat membantu memahami teks secara

objektif, epistemologis dan dalam lingkup rasionalitas manusia, bukan ‗rasio‘ Tuhan

yang diyakini sebagai hulu teks tersebut. Metodologi tersebut dalam tradisi Islam

disebut tafsir (al-tafsîr) dan takwil (al-ta’wîl). Keduanya tidak bisa dipisahkan,

saling berkaitan. Menurut Imam Ali bin Abi Thalib, teks tidak bisa berbicara, dan

memberi makna (arti) sendiri. Namun, ia membutuhkan manusia. ―Al-Qur’ân, bayna

dafftay al-Mushhaf lâ yanthiq, wa inamâ yatakallamu bihi al-rijâl‖. (al-Qur‘an

dalam mushaf ini, tidak berbicara, dan hanya dengan [perantara] manusia ia

berbicara). Kalimat Imam Ali tersebut ditujukan pada kaum Khawarij yang

memahami otoritas dalil pada teks an sich, bukan pada otoritas interpretasi. Seolah-

olah, al-Qur‘an berbicara sendiri dan memberi makna, padahal interpretasi manusia-

lah yang memberi makna dan menentukan pesan yang dikandungnya. Namun

demikian, keterlibatan manusia dalam memahami teks juga dibantu oleh

pemahamannya terhadap konteks teks itu sendiri dan konteks sosialnya melalui teori

60 Tammâm, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid II, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2006), Cet. I,

h. 210.

Page 28: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

tadhâfur al-qarâ’in tersebut. Dalam analisis intertekstual, dikenal ungkapan: ―al-

Nashshu yufassiru ba’dhuhu ba’dhan‖ (teks itu saling memberi tafsir/penjelasan satu

sama lain). Dalam konteks inilah, teori tadhâfur al-qara’in memberi kontribusi

positif sebagai ―pintu masuk‖ dalam memahami teks sekaligus memantapkan hasil

analisis intertekstual menjadi penafsiran dan pemaknaan yang lebih kontekstual.

Jika diaplikasikan dalam pembelajaran, maka pembelajaran nahwu berbasis

teori tadhâfur al-qarâin itu idealnya bertitik tolak dari teks sederhana, dilanjutkan

dengan pamahaman atau pemaknaan pesan teks, analisis kata baik dari segi makna

leksikal maupun gramatikalnya, dan kemudian analisis kaidah, lalu penyimpulan

kaidah. Nahwu diposisikan menjadi bagian dari teks, karena nahwu itu hanya ada

dalam struktur kalimat, sedangkan kalimat itu merupakan bagian dari teks (lisan

maupun tulisan). Jadi, teori ini cenderung sesuai dengan metode teks terpadu dalam

pembelajaran nahwu.

Aplikasi teori tersebut pada akhirnya menuntut adanya pemaduan semua

unsur dan disiplin keilmuan kebahasaaraban, karena teks dalam bahasa Arab,

menurut Tammâm, harus dilihat sebagai al-tasyâbuk al-lughawi (jaringan

kebahasaan) yang memiliki kesatuan dan sinergi organis (al-tasyâbuk al-‘udhwi).

Selain melibatkan sistem fonologis, morfologis, sintaksis, semantik, leksikon, dalam

memahami juga diperlukan pemahaman uslûb (gaya bahasa) dan balâghah, karena

dapat mengungkan sisi keindahan dan kekayaan makna dari teks itu sendiri. Dengan

demikian, teori tadhâfur al-Qarâ’in hanyalah salah satu ―pisau analisis‖ yang

diharapkan dapat membantu menjembatani dan menyelami dunia teks, sehingga

diperoleh pemaknaan yang lebih tepat, akurat, dan kontekstual. Dunia teks adalah

dunia makna. Makna teks dapat diolah dan ditentukan melalui pemahaman konteks.

Pemahaman konteks bahasa sangat ditentukan oleh pemahaman tadhâfur al-Qarâ’in.

G. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pintu masuk dalam memahami

teks Arab dapat dilakukan melalui pendekatan teori tadhâfur al-Qarâ’in. Meskipun

teori ini bergerak pada ranah sintakasis (nahwu), akan tetapi ―pisau analisis‖,

terutama pendekatan tanâshsh (intertektualitas) yang dihasilkan dari teori ini cukup

tajam untuk membedah dimensi linguistik dari teks-teks yang ada. Melalui teori ini,

Page 29: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

keterpaduan, koherensi, dan kontekstualitas makna teks dapat ditentukan, sehingga

dapat mengurangi bias dan deviasi makna teks.

Teori ini menekankan signifikansi relasi antarkata dan antarkalimat dalam

sebuah teks sebagai wacana. Kehadiran semua unsur-unsur kebahasaan yang ada

harus diposisikan dan dipahami sebagai konteks linguistik yang dapat membantu

mengungkap dan menjelaskan maksud dan tujuan pesan kebahasaan itu disampaikan

melalui teks. Hanya saja, pemahaman teks melalui teori ini perlu didukung oleh

pemahaman terhadap konteks yang lebih luas, bukan sekedar konteks kebahasaan,

melainkan juga konteks di luar bahasa, termasuk konteks sosial kultural.

Memahami teks dan konteks berbasis teori tadhâfur al-Qarâ’in dapat

mengantarkan pengkaji teks kepada pemaknaan dan penafsiran secara lebih

kontekstual, dan tidak parsial. Aplikasi teori ini dalam pemahaman teks tetap perlu

dipadukan dengan pemahaman makna leksikal kata, konteks sosial dan balâghah,

dan ilmu-ilmu sosial lainnya yang relevan dengan isi atau kandungan teks, karena

dunia teks adalah dunia multi-dimensi dan multi-disiplin keilmuan. Karena itu,

munculnya tektologi (‘ilm al-nashsh) dipandang sebagai ilmu yang melibatkan dan

mensinergikan multi-disiplin keilmuan (mutadâkhil al-ikhtishâshât)61

. Dengan

demikian, tadhâfur al-Qarâ’in yang bertitik tolak dari kajian nahwu dalam bahasa

Arab memang harus diposisikan sebagai pintu masuk menuju dunia luar dan dunia

dalam teks itu sendiri.

Daftar Pustaka

‗Afifi, Ahmad, Nahwu al-Nashsh: Ittijâh Jadîd fi al-Dars al-Nahwi, Kairo:

Maktabah Zahra‘ al-Syarq, 2001.

‗Umar, Ahmad Mukhtâr, ‗Ilm al-Dalâlah, al-Kuwait: Dâr al-‗Urûbah, 1982.

Abdul Wahab, Muhbib, Pemikiran Linguistik Tammâm Hassân dalam Pembelajaran

Bahasa Arab, Jakarta: UIN Press, 2009.

Abdullah, Zaid ‘Umar, ‖al-Siyaq al-Qur‘ani wa Atsaruhi fi al-Kasyfi ‘an al-Manâ‘ni‖,

diakses dari http://alukah.net/Articles/Article.aspx?, 20 April 2010.

Abû Zayd, Nashr Hâmid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Kairo: al-

Hai‘ah al-Mishriyyah al-‗Âmmah li al-Kitâb, 1993.

Abû-Zayd, Nashr Hâmid, Isykâliyât Al-Qirâ’ah Wa Âliyyât Al-Ta’wîl, Beirut: Al-

Markaz al-Tsaqâfî Al-‗Arabî, 1999.

61 Lihat Teun A. van Dijk, ‘Ilm al-Nashsh: Madkhal mutadâkhil al-ikhtishâshât, Diterjemahkan

ke dalam bahasa Arab dari Textwissenschft, ein interdisziplinare Einfuhrung oleh Sa‘id Hasan

Buhairi, (Kairo: Dâr al-Qâhirah, 2001).

Page 30: Memahami Teks dan Konteks Berbasis Teori Tazhafur al-Qara’inrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29232/3/Muhbib... · munculnya berbagai ilmu-ilmu keislaman dan kebahasaaraban.

al-‗Ârif, ‗Abd al-Rahmân Hasan (Ed.), Tammâm Hassân Râ’idan Lughawiyyan,

Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2002.

de Beugrande, Robert, al-Nashsh wa al-Khithâb wa al-Ijrâ, terjemahan Tammâm

Hassân dari Text, Discourse, and Process toward a Multidiciplinary Science of

Texts, Kairo: Âlam al-Kutub, 1998.

Haidar, Farid ‗Iwadh, ‘Ilm al-Dalâlah: Dirasah Nazhariyyah wa Tathbîqiyyah,

Kairo: Maktabah al-Adab, 2005.

Hassân, Tammâm, al-Bayân fi Rawâ’i al-Qur’an: Dirâsah Lughawiyyah wa

Uslubiyyah li al-Nash al-Qur’ani, Kairo: ‗Alam al-Kutub, 2000.

Hassân, Tammâm, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ, Kairo: al-

Hai‘ah al-Mishriyyah al-‗Âmmah li al-Kitâb, 1985.

Hassân, Tammâm, al-Ushûl, Dirâsah Epistimûlujiyyah li al-Fikr al-Lughawî ‘inda

al-‘Arab: al-Nahwu – Fiqh al-Lughah – al-Balâghah, Kairo: ‗Âlam al-Kutub,

2000.

Hassân, Tammâm,, al-Khulâshah al-Nahwiyyah, Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2000.

Hassân, Tammâm, Ijtihâdât Lughawiyyah, Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2007.

Hassân, Tammâm, Khawâthir min Ta’ammul Lughat al-Qur’ân al-Karîm, Kairo:

Âlam al-Kutub, 2006.

Hassân, Tammâm, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2006.

Ibn Hazm, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, 1400 H.

Islâm, ‗Azmî, Mafhûm Al-Ma‘nâ: Dirâsah Tahlîliyah, Kuwait: Fakultas Adab,

Universitas Kuwait, 1986.

al-Jâsim, Hasan Mahmud, Ta’wîl al-Nashsh al-Qur’ani wa Qadhâya al-Nahwi,

Damaskus: Dâr al-Fikr al-Mu‘âshir, 2010.

al-Jurjânî, ‗Abd al-Qâhir, Dalâil al-I’jâz, Tahqîq Mahmûd Muhammad Syâkir,

Jeddah: Dâr al-Madanî, 1992.

al-Jurjânî, al-Syarîf, Kitâb al-Ta’rîfât, Tahqiq Ibrâhîm al-Ibyâri, Kairo: Dâr al-Bayân

li al-Turâts, tt.

Karîrî, Nâyif, ―Jâmi‘at Umm al-Qurâ Tukarrim al-Duktûr Tammâm Hassân

Taqdîran li Juhûdihi al-‗Ilmiyyah‖, diakses dari www.almadinahpapers.com.,

24 Maret 2007.

al-Khûli, Muhammad ‗Ali, ‘Ilm al-Dalâlah (‘Ilm al-Ma’na), ‗Amman: Dâr al-Falah,

2001.

Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia, 1984.

Raddat Allah, Dalâlah al-Siyâq, Mekkah: Jâmi‘ah Umm al-Qura, 2003.

Tarigan, Henry Guntur, Pengajaran Wacana, Bandung: Angkasa, 2009.

van Dijk, Teun A. ‘Ilm al-Nashsh: Madkah mutâdakhil al-ikhtishâshât,

Diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dari Textwissenschft, ein

interdisziplinare Einfuhrung oleh Sa‘id Hasan Buhairi, Kairo: Dâr al-Qâhirah,

2001.