Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

41
BAB I PHTHIRUS PUBIS Gambar 1.1 Defenisi & Morfologi Phthirus pubic adalah spesies dari famili pthiridae dan ordo anoplura yang mana sering disebut sebagai pubic louse dan tampakan seperti kepiting. Memiliki panjang tubuh 1,5 – 2,0 mm dengan warna yang putih ke abu-abuan (Faculty Of Medicine, 2014). 1.2 Epidemiologi Menyerang manusia dan hewan yang berambut, khususnya mamali. tersebar diseluruh dunia. Phthirus pubis umunya menyerang orang dewasa akibat hubungan seksual namun dapat pula menyerang jenggot dan kumis. Infeksi ini juga dapat terjadi pada anak-anak, yaitu diatas alis atau bulu maa dan pada tepi batas rambut kepala (Anonim, 2014). 1.3 Siklus Hidup 1 1 2 3 4 Keterangan : 1. Cephalic 2. Small Claw (1 st Legs) 3. Big Claw (2 nd & 3 th Legs)

description

jjjjj

Transcript of Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

Page 1: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

BAB IPHTHIRUS PUBIS

Gambar

1.1 Defenisi & Morfologi

Phthirus pubic adalah spesies dari famili pthiridae dan ordo anoplura yang mana sering disebut sebagai pubic louse dan tampakan seperti kepiting. Memiliki panjang tubuh 1,5 – 2,0 mm dengan warna yang putih ke abu-abuan (Faculty Of Medicine, 2014).

1.2 Epidemiologi

Menyerang manusia dan hewan yang berambut, khususnya mamali. tersebar diseluruh dunia. Phthirus pubis umunya menyerang orang dewasa akibat hubungan seksual namun dapat pula menyerang jenggot dan kumis. Infeksi ini juga dapat terjadi pada anak-anak, yaitu diatas alis atau bulu maa dan pada tepi batas rambut kepala (Anonim, 2014).

1.3 Siklus Hidup

Gambar 1. Siklus Hidup Phthirus Pubis.

1

1.

2.

3.4

.

Keterangan :

1. Cephalic2. Small Claw (1st Legs)3. Big Claw (2nd & 3 th

Legs)4. Spherical Body Shape

(Not Segmented

Page 2: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

1.4 Patofisiologi

Kutu kemaluan jauh lebih pendek. Kutu tidak bisa melompat atau terbang; oleh karena itu, transmisi membutuhkan kontak dekat siklus hidup. Serangga betina keras satu sampai tiga bulan, dan dia meletakkan hingga 300 telur di persatuan kulit - menetas rambut dan dewasa yang matang dalam 20 hari, berwarna kuning menjadi putih dalam warna, dan dapat ditemukan menempel pada pangkal rambut tubuh.

Orang dengan pediculosis biasanya hadir dengan pruritus. Pruritus berhubungan dengan kutu yang tertunda Reaksi hipersensitivitas. Mungkin diperlukan 2-6 minggu untuk berkembang setelah paparan pertama, dengan masa depan episode mengakibatkan pruritus dalam satu atau dua hari gatal exposure.3 Intens menyebabkan menggaruk, dengan excoriations berikutnya dan selulitis sekunder. Dalam infestasi lama, kulit dapat menjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi, terutama pada trunk. Menemukan kutu kemaluan harus segera evaluasi untuk infeksi menular seksual lainnya (Gunning et al, 2013).

1.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan berupa mikroskopis dan pemeriksaan PCR untuk mengidentifikasi jenis parasit dan juga untuk mengetahui stadium infeksi oleh beberapa tingkatan siklus hidupnya (Budiansyah, T. 2013).

1.6 Penatalaksanaan

1. Emulsi Benzil benzoat 25 %2. Krim Gameksan3. Bubuk melathion 2 % (Budiansyah, 2013)

1.7 Pencegahan

Menjaga dan hindari kontak dengan sumber infeksi, misalnya binatang peliharaan atau orang yang sudah di ketahui terkena infeksi pedunculosis. Menjaga daerah berambut agar tetap bersih dan kering untuk mencegah kesempatan parasit ini berkembang (Anonim, 2014).

2

Page 3: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

BAB IITRICINELLA SPIRALIS

Gambar

3.1 Definisi dan morfologi

Cacing ini hidup dalam mukosa duodenum sampai sekum manusia. Selain menginfeksi manusia, cacing ini juga menginfeksi mamalia lain seperti tikus, kucing, anjing, babi, beruang dll. Penyakit yang disebabkan parasit ini disebut trikinosis, trikinelosis dan trikiniasis (White RR,2011).

Cacing dewasa sangat halus menyerupai rambut, ujung anterior langsing, mulut kecil dan bulat tanpa papel. Cacing jantan panjangnya 1,4-1,6 mm, ujung posteriornya melengkung ke ventral dan mempunyai umbai berbentuk lobus, tidak mempunyai spikulum tepi. Dan tidak terdapat vas deferens yang bisa dikeluarkan sehingga dapat membantu kopulasi. Cacing betina panjangnya 3-4 mm, posteriornya membulat dan tumpul. Cacing betina tidak mengeluarkan telur, tetapi mengeluarkan larva (larvipar). Seekor cacing betina mengeluarkan larva sampai 1500 buah. Panjang larva yang baru dikeluarkan kurang lebih 80-120 mikron bagian anterior runcing dan ujungnya menyerupai tombak (White RR,2011).

3.2 Epidemiologi

Cacing ini tersebar diseluruh dunia (kosmopolit), kecuali di kepulauan pasifik dan australia. Frekuensi trikinosis pada manusia ditentukan oleh temuan larva dalam kista di mayat atau melalui tes intrakutan. Frekuensi ini banyak ditemukan di negara yang penduduknya gemar makan daging babi. Di daerah tropis dan subtropis frekuensi trikinosis sedikit. Infeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidak hilangnya penakit ini dari babi. Larva dapat dimatikan pada suhu 60-70 derajat celcius, larva tidak mati pada daging yang diasap dan diasin (White RR,2011).

3.3 Siklus hidup

Siklus hidup alami terjadi antara babi dan tikus -> babi mengandung kista yang infektif -> manusia terinfeksi oleh karena makan daging babi atau mamalia lain yang

3

Page 4: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

mengandung kista -> cacing dewasa hidup didalam dinding usus -> larva membentuk kista didalam otot bergaris (White RR,2011).

3.4 Patofisiologi

Trichinosis disebabkan oleh trichinella spiralis (disebut juga nematoda parasit, cacing usus, cacing gelang) yang awalnya masuk ke dalam tubuh ketika daging yang mengandung kista trichinella dimakan. Bagi manusia, matang atau daging babi dan produk daging babi mentah, seperti sosis babi, telah menjadi daging yang paling umum bertanggung jawab untuk transmisi parasit trichinella. Ini adalah infeksi yang ditularkan melalui makanan dan tidak menular dari manusia ke yang lain kecuali otot manusia yang terinfeksi dimakan. Namun, hampir semua karnivora atau omnivora bisa baik menjadi terinfeksi dan jika dimakan dapat menularkan penyakit kepada karnivora dan omnivora lainnya. Misalnya, matang atau daging beruang mentah bisa mengandung kista trichinella. Oleh karena itu, jika manusia, anjing, babi, tikus atau tikus makan daging, bisa jadi mereka terinfeksi. Dalam kasus yang jarang, larva yang secara tidak sengaja mencapai pakan ternak dapat menginfeksi ternak (Pozioet all, 2001).

3.5 Pemeriksaan penunjang

Tidak ada tes yang baik untuk tahap awal infeksi usus. Sejarah dari pasien memberitahu dokter bahwa ia memakan daging menah atau setengah matang bisa menjadi petunjuk pertama. Namun, kebanyakan pasien tidak mencari bantuan dokter selama fase usus yang relatif singkat. Selama fase otot penyakit, diagnosis klinis presumtif dapat dibuat pada pasien yang memiliki riwayat kelopak mata bengkak, nyeri dan bengkak pada otot, otot rangka dan terutama perdarahan kecil (perdarahan ke dalam jaringan) dibwah kuku dan konjungtiva dari mata yang menyerupai pecahan yang terjadi beberapa minggu setelah makan daging mentah atau setengah matang dari hewan babi atau liar. Temuan laboratorium lain ditinggikan, tapi tidak spesifik untuk cacingan adalah creatine kinase dan laktat dehidrogenase, dua enzim yang meningkatkan dalam darah ketika sel-sel otot yang rusak atau hancur. Juga jenis tertentu dari sel darah putih, eosinofil biasanya meningkat beberapa kali konsentrasi normal setelah fase otot dimulai, namun peningkatan eosinofil juga dapat terjadi pada infeksi parasit lainnya (Pozioet all, 2001).

Tes yang lebih spesifik (immunofluoresence tidak langsung, aglutinasi lateks, tes enzyme-linked immunosorbent) yang tersedia yang mendeteksi antibodi yang dikembangkan oleh respon kekebalan orang yang terinfeksi parasit. Namun, tes ini mungkin tidak positif sampai tiga minggu atau lebih setelah infeksi dan mungkin positif palsu pada pasien dengan infeksi parasit lain atau penyakit automiun. Tes terbaik untuk cacingan adalah biopsi otot yang menunjukkan larva dalam jaringan otot. Secara umum biopsi jarang dilakukan dan diagnosis berdasarkan temuan klinis , riwayat pasien, dan tes darah yang terkait. Selain itu, cacingan sering terjadi pada wabah. Untuk cacingan wabah terjadi ketika sejumlah orang makan daging yang terinfeksi dari sumber yang sama. Sebagai contoh pada tahun 2007 lebih dari 200 pasien didiagnosis dengan cacingan di polandia ketika sebuah pabrik pangolahan daging babi dijual terkontaminasi trichinella

4

Page 5: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

kepada pelanggan. Pengetahuan tentang sumber wabah dapat membantu tetapi juga dapat menungkinkan sumber infeksi harus disingkirkan (Pozioet all, 2001).

3.6 Penatalaksanaan

Menurut para ahli kebanyakan infeksi cacingan adalah subklinis atau memiliki gejala ringan dan tidak memerlukan pengobatan apapun karena mereka self-limited (semua gejala menyelesaikan tanpa pengibatan). Pada pasien dengan gajala yang intens, thiabendazole (mintezol) dapat digunakan untuk menghilangkan cacing dewasa disaluran pencernaan. Albendazole (albenza) adalah obat lain yang dapat digunakan dalam beberapa kasus. Bentuk larva invasif dan encysted spesies Trichinella diperlukan mebendazole (vermox). Peradangan jaringan yang terinfeksi biasanya diobati dengan prednison dan sering digunakan dalam kombinasi dengan mebendazole (Pozioet all, 2001).

3.7 Pencegahan

Pencegahan dilihat dari daur hidupnya, babi dan tikus dapat terinfeksi di alam. Infeksi pada babi terjadi karena babi tersebut makan tikus yang mengandung larva infektif dalam ototnya, atau babi makan sampah dapur atau sisa daging babi yang mengandung larva infektif. Sebaliknya, tikus mendapat infeksi karena memakan sisa daging babi dirumah pemotongan hewan atau rumah dan juga karena makan bangkai tikus. Oleh karena itu pencegahan penularan parasit ini sangat tergantung pada pengendalian populasi tikus dan konsumsi daging mentah (Pozioet all, 2001).

5

Page 6: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

BAB IIISARCOPTES SCABIEI

Gambar

3.1 Definisi dan morfologi

Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthopoda , kelas Arachnida, ordo Ackarina, superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis. Kecuali itu terdapat S. scabiei yang lainnya pada kambing dan babi (Djuanda A, 2010).

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi terhadap sarcoptes scabiei varian homonis dan produknya. Beberapa sinonim penyakit ini yaitu : Kudis, The Itch dan gudukan (Djuanda A, 2010).

3.2 Epidemiologi

Skabies merupakan penyakit epidemic pada banyak masyarakat, ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemik scabies. Penyakit ini banyak di jumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat juga mengenai semua umur, insidensi semua pada pria dan wanita (Djuanda A, 2010).

Insidensi skabies pada negara berkembang menunjukkan siklus fluktasi yang sampai saat ini belum dapat di jlaskan, interval dari akhir suatu  epidemik pada permulaan epidemik  berikutnya kurang lebih 10-15 tahun. Beberapa faktor yang dapat mempengaruh penyebarannya adalah kemiskinan, hygiene yang jelek, seksual promiskuitas, demogarfi , ekologi dan derajat sensitasi individual. Insidensi di indonesia masih cukup tinggi , terendah di sulawesi utara, dan tertinggi di jawa barat (Djuanda A, 2010).

3.3 Siklus Hidup

Siklus hidup Sarcoptes scabiei dari telur hingga dewasa berlangsung selama satu bulan. Sarcoptes scabei memiliki empat fase kehidupan yaitu telur, larva nimfa dan dewasa (Djuanda A, 2010)

6

Page 7: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

3.4 Patofisiologi

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman atau bergandengan sehingga terjadi kontak kulit yang kuat, menyebabkan kulit timbul pada pergelangan tangan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau (Aisah S, 2007). 

3.5 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Harahap (2000), diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya  tungau pada pemeriksaan mikroskopis yang dapat dilakukan dengan berbagai  cara, yaitu:

a) Kerokan kulit.Minyak mineral diteteskan di atas papul atau terowongan baru yang  masih

utuh, kemudian dikerok dengan menggunakan scalpel steril untuk  mengangkat atap papul atau terowongan, lalu diletakkan di atas gelas  objek, di tutup dengan gelas penutup, dan diperiksa di bawah mikroskop.  Hasil positif apabila tampak tungau, telur, larva, nimfa, atau skibala.  Pemeriksaan harus dilakukan dengan hati-hati pada  bayi dan anak-anak atau pasien yang tidak kooperatif

b) Mengambil tungau dengan jarum.Jarum dimasukkan ke dalam terowongan pada bagian yang gelap,

lalu  digerakkan secara tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan  dapat diangkat keluar.

7

Page 8: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

c) Epidermal shave biopsi.Mencari terowongan atau papul yang dicurigai pada sela jari antara ibu jari

dan jari telunjuk, lalu dengan hati-hati diiris pada puncak lesi dengan  scalpel no.16 yang dilakukan sejajar dengan permukaan kulit. Biopsi  dilakukan sangat superficial sehingga tidak terjadi perdarahan dan tidak memerlukan anestesi. Spesimen kemudian diletakkan pada gelas objek, lalu  ditetesi minyak mineral dan periksa di bawah mikroskop.

d) Tes tinta Burrow.Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, kemudian segera dihapus  dengan

alkohol. Jejak terowongan akan tampak sebagai garis yang  karakteristik berbelok-belok karena adanya tinta yang masuk. Tes ini  mudah sehingga dapat dikerjakan pada bayi/anak dan pasien nonkooperatif.

e) Kuretasi terowongan.Kuretasi superficial sepanjang sumbu terowongan atau pada puncak papul,

lalu kerokan diperiksa dibawah mikroskop setelah ditetesi minyak mineral. Cara ini dilakukan pada bayi, anak-anak dan pasien nonkooperatif.

3.6 Penatalaksanaan

Menurut Handoko (2008), obat-obat anti skabies yang tersedia dalam bentuk topikal antara lain:a. Belerang endap (sulfur presipitatum), dengan kadar 4-20%  dalam bentuk salep atau

krim.b. Emulsi benzil-benzoat (20-25%)c. Gama benzena heksa klorida (gameksan=gammexane ; Lindaned. Krotamiton 10%e. Permetrin dengan kadar 5%

3.7 Pencegahan

Untuk melakukan pencegahan terhadap penularan scabies, orang-orang yang kontak langsung atau dekat dengan penderita harus diterapi dengan topikal skabisid. Terapi pencegahan ini harus diberikan untuk mencegah penyebaran scabies karena seseorang mungkin saja telah mengandung tungau scabies yang masih dalam periode inkubasi asimptomatik. Selain itu untuk mencegah terjadinya reinfeksi melalui seprei, bantal, handuk dan pakaian yang digunakan dalam 5 hari terakhir, harus dicuci bersih dan dikeringkan dengan udara panas karena tungau scabies dapat hidup hingga 3 hari diluar kulit, karpet dan kain pelapis lainnya sehingga harus dibersihkan (Aisah S, 2007).

8

Page 9: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

BAB IVBRUGIA MALAYI

Gambar

4.1 Definisi dan Morfologi

Brugia malayi adalah nematoda (cacing gelang), salah satu dari tiga agen penyebab filariasis limfatik pada manusia. Filariasis limfatik, juga dikenal sebagai kaki gajah, adalah kondisi yang ditandai oleh pembengkakan pada tungkai bawah (Sutanto, 2011).

Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan pembuluh limfe, sedangkan mikrofilaria dijumpai didalam darah tepi hospes definitif. Bentuk cacing dewasa mirip bentuknya dengan W. bancrofti, sehingga sulit dibedakan. Panjang cacing betina Brugia malayi dapat mencapai 55 mm, dan cacing jantan 23 cm. Brugia timori betina panjang badannya sekitar 39 mm dan yang jantan panjangnya dapat mencapai 23 mm. Mikrofilaria Brugia mempunyai mempunyai selubung, panjangnya dapat mencapai 260 mikron pada B.malayi dan 310 mikron pada B.timori. Ciri khas mikrofilaria B. malayi adalah bentuk ekornya yangn mengecil, dan mempunyai dua inti terminal, sehingga mudah dibedakan dari mikrofilaria W. bancrofti. Brugia ada yang zoonotik, tetapi ada yang hanya hidup pada manusia. pada Brugia malayi bermacam-macam, ada yang nocturnal periodic, nocturnal subperiodic, atau non periodic. Brugia timori bersifat periodik nokturna. Nyamuk yang dapat menjadi vektor penularannya adalah Anopheles (vektor brugiasis non zoonotik) atau mansonia (vektor brugiasis zoonotik) (Sutanto, 2011).

4.2 Epidemiologi

Brugia timori merupakan spesies baru yang ditemukan di Indonesia sejak 1965, yang ditularkan oleh vektor yaitu Anopheles barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur (Sutanto, 2011).

9

Page 10: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

4.3 Siklus Hidup

4.4 Patofisiologi

Brugia timori / malayi ditularkan oleh An. barbirostris.  Didalam tubuh nyamuk betina, mikrofilaria yang terisap waktu menghisap darah akan melakukan penetrasi pada dinding lambung dan berkembang dalam otot thorax hingga menjadi larva filariform infektif, kemudian berpindah ke proboscis. Saat nyamuk menghisap darah, larva filariform infektif akan ikut terbawa dan masuk melalui lubang bekas tusukan nyamuk di kulit. Larva infektif tersebut akan bergerak mengikuti saluran limfa dimana kemudian akan mengalami perubahan bentuk sebanyak dua kali sebelum menjadi cacing dewasa (Sutanto, 2011).

4.5 Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis dilakukan dengan memeriksa adanya mikrofilaria di dalam darah dengan tetesan darah tebal atau tipis (Haryuningtyas, 2010).

4.6 Penatalaksanaan

Hingga sekarang DEC masih merupakan obat pilihan. Dosis yang dipakai di beberapa negara Asia berbeda-beda. Di Indonesia dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek samping DEC pada pengobatan filariasis brugia jauh lebih berat, bila dibandingkan dengan yang terdapat pada pengobatan filariasis bankrofti. Untuk pengobatan masal pemberian dosis standard dan dosis tunggal tidak dianjurkan. Yang dianjurkan adalah pemberian dosis rendah jangka panjang (100 mg/minggu selama 40 minggu) atau garam DEC 0,2 – 0,4 % selama 9 – 12 bulan. Pengobatan dengan iver

10

Page 11: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

mektin sama dengan pada filariasis bankrofti. Untuk mendapatkan hasil penyembuhan yang sempurna, pengobatan ini perlu diulang beberapa kali. Stadium mikrofilaremia, gejala peradangan dan limfedema dapat disembuhkan dengan pengobatan DEC. Kadang elefantiasis dini dan beberapa kasus elefantiasis lanjut dapat diobati dengan DEC (Sutanto, 2011).

4.7 Pencegahan

Tindakan pencegahan brugiasis sesuai dengan upaya pencegahan pada filariasis bancrofti, yaitu pengobatan penderita, pengobatan masal penduduk didaerah endemik, pencegahan pada pendatang dan pemberantasan vektor penular filariasis malayi (Sutanto, 2011).

11

Page 12: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

BAB VBRUGIA TIMORI

Gambar

5.1 Definisi dan MorfologiBrugia timori hanya terdapat pada manusia. Penyakit yang disebabkan oleh B. timori

disebut filariasis timori. Cacing dewasa jantan dan betina hidup di pembuluh limfe. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina berukuran 21 – 39 mm x 0,1 mm dan jantan berukuran 13 – 23 mm x 0,08 mm (Taniawati et al, 2011).

Mikrofilia timori mempunyai selubung, panjangnya dapat mencapai 310 mikron dan memiliki cephalic space yang panjangnya 3 kali dari lebarnya (Soedarto, 2008).

5.2 EpidemiologiBrugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor

dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur (Taniawati et al, 2011).

5.3 Siklus HidupParasit ini ada yang zoonotik, tetapi ada yang hanya hidup pada manusia. Pada brugia

yang zoonotik, selain manusia, berbagai hewan mamalia juga dapat bertindak selaku hospes definitifnya (reservoir host) (Soedarto, 2008).

Periodisitas mikrofilia brugia timori mempunyai sifat nokturna. Brugia timori ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris. Daur hidup parasit ini cukup panjang. Masa pertumbuhannya di dalam nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusia kurang lebih 3 bulan. Di dalam tubuh nyamuk parasit ini juga mengalami dua kali pergantian kulit, berkembang dari larva stadium I menjadi larva stadium II dan III (Taniawati et al, 2011).

5.4 PatofisiologiStadium akut ditandai dengan serangan demam dan peradangan saluran kelenjar

limfe, yang hilang timbul berulang kali. Limfadenitis biasanya mengenai kelenjar limfe inguinal disatu sisi dan peradangan ini sering timbul setelah penderita bekerja berat diladang atau sawah. Limfadenitis biasanya berlangsung 2 – 5 hari dan dapat sembuh tanpa pengobatan. Kadang – kadang peradangan pada kelenjar limfe ini menjalar kebawah,

12

Page 13: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

mengenai saluran limfe dan menimbulkan limfangitis retrograd yang bersifat khas untuk filariasis. Peradangan pada saluran limfe ini dapat terlihat sebagai garis merah yang menjalar kebawah dan peradangan ini dapat pula menjalar kejaringan sekitarnya, menimbulkan infiltrasi pada seluruh paha atas. Pada stadium ini tungkai bawah biasanya ikut membengkak dan menimbulkan gejala limfadema. Limfadenitis dapat pula berkembang menjadi bisul, pecah menjadi ulkus. Ulkus pada pangkal paha ini, bila sembuh meninggalkan bekas sebagai jaringan parut dan tanda ini merupakan salah satu gejala obyektif filariasis limfatik (Taniawati et al, 2011).

5.5 Pemeriksaan PenunjangDiagnosis dibuktikan dengan menemukan mikrofilaria didalam darah tepi.

Radiodiagnosis umumnya tidak dilakukan pada filariasis timori. Diagnosis imunologi dengan deteksi IgG4 (Taniawati et al, 2011).

5.6 PenatalaksanaanHingga sekarang DEC masih merupakan obat pilihan. Dosis yang dipakai di beberapa

negara Asia berbeda-beda. Di Indonesia dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/KgBB/hari selama 10 hari. Efek samping DEC pada pengobatan filariasis brugia lebih berat bila dibandingkan dengan yang terdapat pada pengobatan filariasis bancrofti. Efek samping pengobatan akan berkurang pada ulangan pengobatan. Untuk program pemberantasan filarisasis, pengobatan yang dianjurkan adalah kombinasi DEC 6 mg/KgBB/hari dengan abendazol 400 mg yang diberikan sekali setahun secara massal pada penduduk didaerah endemis selama minimal 5 tahun (Taniawati et al, 2011)

5.7 PencegahanTindakan pencegahan sesuai dengan upaya pencegahan pada filariasis bancrofti, yaitu

pengobatan penderita, pengobatan massal penduduk di daerah endemik, pengobatan pencegahan pada pendatang dan pemberantasan vektor penular filariasis timori (Soedarto, 2008).

13

Page 14: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

BAB VIPEDICULUS HUMANUS

Gambar

Gambar 1. Pediculus humanus capitis

6.1 Definisi dan Morfologi

Pediculus humanus capitis disebut juga kutu kepala yang merupakan ektoparasit yang menginfeksi manusia, termasuk dalam family pediculidae yang penularannya melalui kontak langsung dan dengan perantara barang-barang yang dipakai bersama-sama. Misalnya: sisir, sikat rambut, topi, syal, handuk, selimut dan lain-lain (Weems and Fasulo, 2013).

6.2 Epidemiologi

Kutu rambut merupakan parasit manusia saja dan tersebar di seluruh dunia. Tempat-tempat yang disukainya adalah rambut pada bagian belakang kepala. Kutu rambut kepala dapat bergerak dengan cepat dan mudah berpindah dari satu hospes ke hospes lain. Kutu rambut ini dapat bertahan 10 hari pada suhu 5oc tanpa makan, dapat menghisap darah untuk waktu yang lama, mati pada suhu 40oc. Panas yang lembang pada suhu 60oc memusnahkan telur dalam waktu 15-30 menit. Kutu rambut kepala mudah ditularkan melalui kontak langsung atau dengan perantara barang-barang yang dipakai bersama-sama. Misalnya sisir, sikat rambut, topi dan lain-lain.

Pada infeksi berat, helaian rambut akan melekat satu dengan yang lainnya dan mengeras, dapat ditemukan banyak kutu rambut dewasa, telur (nits) dan eksudat nanah yang berasal dari gigitan yang meradang. Infeksi mudah terjadi dengan kontak langsung. Pencegahan dilakukan dengan menjaga kebersihan kepala (Brown, 1983).

14

Keterangan Gambar:

(A).Antena,(B).Kuku tarsus,(C).Mata,(D).Forns,(E).Tibia(F).Thorax, (G).Spirakle, (H).Segmen Abdomen, (I).Lempeng pleural dengan

spirakle abdomen.

Page 15: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

6.3 Siklus Hidup

Lingkaran hidup kutu rambut merupakan metamorfosis tidak lengkap, yaitu telur-nimfa-dewasa. Telur akan menetas menjadi nimfa dalam waktu 5-10 hari sesudah dikeluarkan oleh induk kutu rambut. Sesudah mengalami 3 kali pergantian kulit, nimfa akan berubah menjadi kutu rambut dewasa dalam waktu 7-14 hari (Wijayanti, 2007).

Dalam keadaan cukup makanan kutu rambut dewasa dapat hidup 27 hari lamanya (Sutanto dkk, 2008).

6.4 Patofisiologi

Kelainan kulit yang timbul disebabkan oleh garukan untuk rmenghilangkan rasa gatal. Sepanjang siklus kehidupannya, larva dan kutu dewasa menyimpan kotorannya di kulit kepala, yang akan menyebabkan timbulnya rasa gatal. Selain itu gatal juga ditimbulkan oleh liur dan ekskreta dari kutu yang dimasukkan ke dalam kulit waktu menghisap darah. Garukan yang dilakukan untuk menghilangkan gatal akan menyebabkan terjadinya erosi dan ekskoriasi sehingga memudahkan terjadinya infeksi sekunder (Wijayanti, 2007).

6.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis :

- Pemeriksaan mikroskop dapat mengkonfirmasi diagnosis. Dengan pemeriksaan mikroskop dapat terlihat kutu dewasa dengan 6 kaki, yang tebalnya 1-4 mm, tidak bersayap, berwarna abu-abu berkilat sampai merah jika menghisap darah.

- Pemeriksaan dengan lampu wood pada daerah yang terinfestasi memperlihatkan fluoresensi kuning-hijau dari kutu dan telur (Wijayanti, 2007).

6.6 Penatalaksanaan

Macam-macam obat untuk Pediculus humanus capitis (Kutu rambut):

1)    Shampo Lindane 1%. Gamma benzene heksa klorid atau piretrin. 2)    Salep Lindane (BHC 10%); atau bedak DDT 10% atau BHC 1% dalam

pyrophylite; atau Benzaos benzylicus emulsion. 3)    Cair/Peditox/Hexachlorocyclohexane 0,5%.

6.7 Pencegahan

Pemberantasan kutu rambut kepala dapat dilakukan dengan menggunakan tangan, sisir serit atau dengan pemakaian insektisida golongan klorin (Benzen heksa klorida). Beberapa pengendalian yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut:

1) Hindari head-to -head (hair to hair) kontak selama bermain dan kegiatan lain di rumah, sekolah, dan di tempat lain (olahraga, taman bermain, pesta tidur, berkemah).

15

Page 16: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

BAB VIIWUCERHERIA BANCROFTI

Gambar

7.1 Definisi dan Morfologi

Filariasis Bancrofti adalah penyakit parasit (limfatik filariasis) yang disebabkan oleh

larva Wuchereria Bancrofti. Nyamuk Culex merupakan vector filariasis brancofti dan

merupakan vector dari larva Wuchereriabancrofti. Secara alamiah, nyamuk dewasa

cenderung lebih suka hidup di luar rumah, karena ketersediaan hospes utama berupa

manusia, maka nyamuk dewasa akan berusaha masuk kedalam rumah dan selanjutnya

akan menghisap darah untuk proses pematangan telurnya. Nyamuk jenis ini akan terbang

mengelilingi hospesnya sebelum menghisap darah, sambil mengeluarkan bunyi yang khas.

Culex quinquefasciatus memiliki ciri-ciri sebagai berikut nyamuk C.quinquefasciatus tidak

memiliki noda-noda pucat pada bagian proboscis dan kakinya, serta warna sayap yang

tidak gelap tanpa noda pucat (Fauziah, dkk, 2013).

7.2 Epidemiologi

Periodisitas, WHO (1967) telah menentukan periodisitas Wuchereria bancrofti

ke dalam periodik dan subperiodik. Umumnya, Wuchereria bancroftri periodisita

nokturna juga di Indonesia (Natadisastra&Agoes, 2009).

7.3 Siklus Hidup

16

Page 17: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

7.4 Patofisiologi

Efek patogen Wuchereria bancrofti tergantung beberapa faktor, antara lain toleransi

hospes terhadap parasit, jumlah larva infektif yang ditusukkan nyamuk, banyaknya gigitan

yang menyebarkan mikrofilaria infektif pada satu saat serta kemungkinan terjadinya

infeksi sekunder oleh Streptococcus, Staphylococcus atau jamur patogen. Perkembangan

dalam tubuh hospes dapat dibagi atas beberapa periode, yaitu (1) Masa inkubasi biologi,

(2) Periode tanpa gejala, (3) Stadium akut, (4) Stadium kronis (Natadisastra & Agoes,

2009).

Masa inkubasi biologi, yaitu waktu yang dibutuhkan sejak masuknya larva infektif

filarial menembus kulit sampai munculnya microfilaria untuk pertama kali di dalam darah

perifer, biasanya membutuhkan waktu 1 tahun atau lebih. Periode ini dilewati tanpa gejala

yang berarti, kecuali bagi mereka yang hipersensitif terhadap microfilaria akan tumbul

gejala alergi. Sering kali periode ini disebut sebagaia mikrofilaremik (Natadisastra &

Agoes, 2009).

Periode asimptomatik. Biasanya berlangsung bertahun-tahun tanpa adanya gejala

yang nyata walaupun microfilaria telah ditemukan di dalam darah perifer. Periode ini

banyak terdapat terutama di daerah endemic filariasis. Sering kali periode ini disebut

sebagai periode asimptomatik mikrofilaremik. Albuquerque dan Scaff, 1954, melaporkan

bahwa microfilaria dapat menembus filter plasenta sehingga bayi yang baru dilahirkan

dalam darah perifernya telah mengandung microfilaria (Natadisastra & Agoes, 2009).

17

Page 18: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

Stadium akut. Biasanya diawali suatu limfangitis terkadang bersama limfadenitis

terutama daerah inguinal, pada laki-laki funiculitis, orchitis dan epididymitis disertai

dengan demam filaria. Penyumbatan disebabkan oleh cacing dewasa yang banyak terdapat

pada pembuluh/kelenjar limf dan lesinya terdapat pada sebelah distal daerah penyumbatan

tersebut, daerah ini akan mengalami pembengkakan dan hiperemi. Keadaan ini berulang,

sebulan sekali, dapat juga lebih cepat, mungkin ini berhubungan dengan aktivitas fisik

seseorang, mungkin pula karena turunnya ambang pertahanan tubuh. Pada wanita mungkin

menyertai setiap waktu menstruasi. Tidak jarang ditemukan sindroma malaise, depresi

mental dan sakit kepala di daerah frontal atau disertai urtikaria yang berhubungan dengan

keadaan alergi. Makin lama keadaan makin bertambah parah, saluran limph terasa sakit

akibat adanya peradangan. Huntington dkk., 1944, menamakan reaksi ini sebagai acute

allerfic filarial lymphangitis. Periode ini disebut sebagai periode simptomatik

mikrofilaremik (Natadisastra & Agoes, 2009).

Stadium kronis. Ditandai dengan adanya pembengkakan organ bersangkutan dalam

suatu tipe elephantoid atau terjadinya perkembangan lymphocele kadang-kadang disertai

rupture atau terjadinya suatu fibrosis. Elephantoid ekstremitas atau skrotum dapat

mencapai ukuran besar yang merupakan beban bagi penderita. Jaringan elephantoid ini

biasanya berisi lymph dan lemak serta jaringan fibrosis, ditutupi oleh lapisan kulit yang

tebal dan tegang. Pembengkakan ini merupakan non pitting oedema. Cacing dewasa

dilokalisasi oleh proliferasi jaringan mati, diabsorpsi oleh tubuh atau terjadi kalsifikasi.

Pada bagian perifer diinfiltrasi limposit dan sel plasma atau giant cell, eosinophil

mononuclear, dan fibroblast. Dengan matinya cacing dewasa, mikrofilaria di daerah

perifer terus berkurang (Natadisastra & Agoes, 2009).

7.5 Pemeriksaan Penunjang

Gejala klinik kebanyakan tidak spesifik sehingga untuk menegakkan diagnosis harus

dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu harus dapat ditermukan mikrofilaria

Wuchereria bancrofti dalam darah perifer yang diambil pada malam hari antara jam 22.00-

02.00 dini hari karena periodesitasnya nokturna (Natadisastra & Agoes, 2009).

7.6 Penatalaksanaan

Pengobatan dalam waktu lama dengan preparat antimon dan arsen dapat membunuh

mikrofilaria dalam darah, tetapi tidak jelas dapat membunuh cacing dewasa, kecuali jika

dilakukan pengobatan dalam waktu lebih lama. Suramin (Naphuride sodium, Germanin,

18

Page 19: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

Bayer 205). Lebih spesifik, efeknya lebih cepat daripada preparat antimon atau arsen serta

toleransinya cukup baik, akan tetapi karena pemberian intravena, obat ini tidak

berkembang luas serta tidak diberikan pada pengobatan masal di daerah hiperendemik

(Natadisastra&Agoes, 2009).

7.7 Pencegahan

The Expert Committee on Filariasis (WHO, 1962). Telah menganjurkan suatu

program pencegahan yang menyeluruh sebagai berikut :pengobatan dengan

diethylcarbamazine (46 mg dalam bentuk garam citrate untuk 5-6 dosis) berturut-turut tiap

hari dalam beberapa minggu atau bulan. Pemberian bersama insektisida yaitu

penyemprotan di dalam dan di sekitar rumah dengan DDT, dieldrine atau organophosphate

Baytex, dan penggunaan larvasidal dengan penyemprotan pada tempat perindukan nyamuk

(Natadisastra & Agoes, 2009).

19

Page 20: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

BAB VIIIXENOPSYLLA CHEOPIS

Gambar

Xenopsylla cheopis (betina)

8.1 Definisi dan Morfologi

Xenopsylla cheopis merupakan pinjal yang secara taksonomi termasuk dalam Filum Arthropoda, Kelas Insekta, Ordo Siphonaptera, Family: Pulicidae. Secara umum, ciri-ciri pinjal yang termasuk Xenopsylla cheopis adalah (Ustiawan, 2008):

• Tidak bersayap • Kaki sangat kuat dan panjang, berguna untuk meloncat. • Mempunyai mata tunggal. • Tipe menusuk dan mengisap. • Segmentasi tubuh tidak jelas (batas antara kepala - dada tidak jelas) • Ektoparasit pada hewan berdarah panas (mamalia, burung,dll) • Ukuran ± 1,5-3,3mm • Metamorfosis sempurna, yaitu telur - larva - pupa –dewasa• Kepala membulat dan tidak ada comb pada bagian genal, pronatal maupun abdominal. • Terdapat Mesopleural rod. • Ocular bristle di depan oculi.

8.2 Epidemiologi

Xenopsylla cheopis sering dijumpai pada tikus hidup di daerah tropis dan dalam lingkungan yang hangat di seluruh dunia (Ustiawan, 2008).

8.3 Siklus Hidup

Pinjal bertelur 300-400 butir selama hidupnya. Pinjal betina meletakkan telur diantara rambut maupun di sarang tikus. Telur menetas dalam waktu 2 hari sampai beberapa minggu, tergantung suhu dan kelembaban. Telur menetas menjadi larva, kadang-kadang

20

Keterangan:

1. Genal & pronotal ctenidia absen.

2. Sensillium Spermatheca

12.

Page 21: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

larva terdapat dilantai, retak-retak pada dinding, permadani, sarang tikus, dll. Larva-larva hidup dari segala macam sisa-sisa organik dan mengalami 3 kali pergantian kulit, berubah menjadi pupa (dibungkus dengan kokon pasir dan sisa-sisa kotoran lain), lalu menjadi pinjal. Dalam waktu 24 jam pinjal sudah mulai menggigit dan mengisap darah (Ustiawan, 2008).

8.4 Patofisiologi

Penyakit sampar (PES) disebabkan oleh bakteri yang disebut Yersinia petis. Vektor penyakit pes adalah Xenopsylla cheopis, Stivalius cognatus dan Nospsyllus sondaica (Natadisastra & Agoes, 2009).

Gejala klinik. Pinjal menginfeksi manusia melalui gigitannya dan juga melalui tinja yang mengandung Yersinia pestis yang masuk melalui luka gigitannya (anterior inokulatif dan posterior kontaminatif). Bakteri yang masuk mula-mula menyebabkan terjadinya peradangan dan pembesaran kelenjar limfe dan menimbulkan terbentuknya benjolan atau bubo. Bubo ini dapat mencapai diameter 2-10 cm yang biasanya terdapat dekat glandula femoralis dan glandula aksilaris. Kelainan ini disebut pes bubo (bubonic plague) (Natadisastra & Agoes, 2009).

8.5 Pemeriksaan Penunjang

Ada dua pemeriksaan laboratorium untuk surveilans penyakit pes.Pemeriksaan yang pertama yaitu pemeriksaan serologi pada manusia, tikus, dan spesies pengerat lain. Pemeriksaan yang kedua yaitu pemeriksaan bakteriologi yang dilakukan pada manusia, tikus, dan pinjal. Pada manusia bagian yang diperiksa yaitu darah, bubo, dan sputum. Sedangkan pada organ tikus yang diperiksa yaitu limpa, paru, dan hati. Pada pinjal, dilakukan kultur ke mencit untuk mengetahui apa benar pinjal infektif pes (Rahmawati, 2013).

8.6 Penatalaksanaan

PES bubo dapat dibati dengan streptomycin. Obat lain yang dapat digunakan adalah gentamycin. Tetracyclin dan doxycyclin dapat digunakan sebagai profilaksis (Krug dan Elston, 2010).

8.7 Pencegahan

Upaya pemberantasan pinjal yang merupakan parasit tikus, dapat dilakukan pemberantasan dengan cara menangkap tikus dengan perangkap dan membunuhnya atau memberantas pinjal tikus dengan insektisida DDT dan BHC (benzena heksaklrida) (Natadisastra & Agoes, 2009).

21

Page 22: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

BAB IXCTENOCEPHALIDES CANIS

Gambar

9.1 Definisi dan morfologi

Definisi Ctenocephalides canis adalah parasit yang biasanya terdapat pada anjing. Morfologi dari Ctenocephalides canis adalah tidak bersayap, memiliki tungkai panjang, dan koksa-koksa sangat besar, Tubuh gepeng di sebelah lateral dilengkapi banyak duri yang mengarah ke belakang dan rambut keras, Sungut pendek dan terletak dalam lekuk-lekuk di dalam kepala, Bagian mulut tipe penghisap dengan 3 stilet penusuk, Metamorfosis sempurna (telur-larva-pupa-imago), Telur tidak berperekat, abdomen terdiri dari 10 ruas, Larva tidak bertungkai kecil, dan keputihan,. Perbedaan antara jantan dan betina dapat dilihat dari struktur tubuhnya, yaitu jika jantan pada ujung posterior bentuknya seperti tombak yang mengarah ke atas dan antenna lebih panjang, sedangkan tubuh betina berakhir bulat dan antenna nya lebih pendek dari jantan. Kutu dewasa berwarna hitam kecoklatan, tapi tampak hitam kemerahan setelah makan darah. Kutu dewasa panjangnya 3-4mm. Memiliki baik ctenidia genal dan pronatal, memiliki mata, pada koksa kaki ke-2 (mesopleuron) ditemukan batang pleural (Nadadisastra, D, 2009).

9.2 Epidemiologi

Orang yang mempunyai resiko tinggi adalah yang mempunyai hewan peliharaan anjing atau kucing yang menderita dipylidiasis. Rupanya orang – orang yang menyayangi hewan peliharaannya pasti selalu kontak dan adakalanya menciumi atau membawa hewan tersebut ke kamar tidur, sehingga ada kemungkinan terjadi infeksi dipylidiasis melalui tertelannya pinjal dari hewan tersebut. Terdapat kemungkinan lain mengenai tertelannya pinjal tersebut yaitu melalui tangan yang tercemar pinjal ke mulut (Nadadisastra, D, 2009).

22

Page 23: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

9.3 Siklus Hidup

Ada empat tahap utama dari siklus hidup kutu: telur, larva, pupa dan dewasa. Dibutuhkan sekitar 30 sampai 40 hari untuk kutu anjing dalam mengerami telur menjadi telur yang sempurna,meskipun ada beberapa kasus yang menunjukkan siklus ini berlangsung selama satu tahun. Kutu betina mulai bertelur dalam waktu 2 hari makan darah pertamanya. Telur yang putih dan kecil (0.5mm) tetapi yang terlihat dengan mata telanjang. Telur diletakkan pada rambut, bulu atau dalam habitat hospesnya, mereka kemudian jatuh ke tempat-tempat seperti tempat tidur, karpet atau perabot. Beberapa kutu meletakkan 3-18 telur sekaligus di dalam tubuh anjing tersebut,hal ini berpotensi memperbanyak telur hingga 500 telur selama beberapa bulan. Telur menetas dalam 1-12 hari setelah disimpan kemudian memproduksi larva seperti cacing yang tidak memiliki kaki dan tidak ada mata.

Larva berwarna putih dan 1,5-5mm panjang dengan pelindung dari bulu tipis. Mereka jarang tinggal di tubuh inang mereka, kemudian mereka segera mencari daerah tertutup seperti tempat tidur hewan peliharaan , serat karpet dan retakan pada lantai di mana mereka mencari makanan sementara menghindari cahaya. Larva memakan berbagai bahan organik termasuk kulit-kulit yang terjatuh, kotoran hewan dan kotoran dewasa (terdiri dari darah ). Larva memungkinkan untuk mengganti kulit mereka untuk tumbuh dan berubah menjadi kepompong sutra selama 5-15 hari. Sisa larva sebagai pre-pupa selama 3 hari sebelum molting lagi untuk membentuk pupa.

Pupa mengembangkan dalam kokon dari lima hari sampai lima minggu. Dalam kondisi normal, bentuk dewasa siap untuk muncul setelah kira-kira 2 minggu tetapi pada temperatur yang lebih tinggi perubahan akan lebih cepat. Mereka kadang-kadang tetap tinggal di kokon sampai getaran atau kebisingan dirasakan (yang mengindikasikan keberadaan manusia atau binatang) yang berarti - karena tidak ada gerakan bentuk dewasa dapat tinggal di kokon sampai dengan 6 bulan.

Kutu dewasa, tidak bersayap, ukuran 2-8mm panjang dan lateral dikompresi. Mereka tercakup dalam bulu dan sisir yang membantu mereka untuk menempel pada host dan memiliki antena yang dapat mendeteksi dihembuskannya karbon dioksida dari hewan. Antena mereka juga sensitif terhadap panas, getaran, bayangan dan perubahan arus udara. Semua kutu bergantung pada darah untuk nutrisi mereka tetapi mampu hidup dalam waktu yang lama tanpa makan, biasanya sekitar 2 bulan. Dalam kondisi yang menguntungkan dan disertai dengan sumber t makanan (darah) yang memadai, kutu dapat hidup sampai satu tahun (Nadadisastra, D, 2009).

9.4 Patofisiologi

Ctenocephalides canis dan C. felis berperan sebagai inang antara cacing pita Dipylidium caninum dan Hymenolepis diminuta. Pinjal C. canis dan C. felis juga merupakan inang antara cacing filaria Dipetalonema reconditum juga sebagai vektor penyakit rickettsial, termasuk Rickettsia typhi(nadadisastra, D, 2009).

23

Page 24: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

9.5 Pemerisaan Penunjang

Berdasarkan anamnesa yaitu perilaku keeratan hubungan dengan anjing atau kucing peliharaannya dan status kesehatan anjing atau kucing peliharaannya serta gejala klinis yang tampak dapat diprediksi. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk kepastian diagnosa dengan cara memeriksa adanya telur dalam feces atau adanya segmen proglottid yang keluar bersama feces. Kadang – kadang ditemukan sejumlah eggball pada perianal penderita (Nadadisastra, D, 2009).

9.6 Penatalasaan

Praziquantel 600 mg dosis tunggal, niclosamide (Yomesan) dosis tunggal 2 gr untuk dewasa atau 1,5 gr untuk anak dengan berat badan lebih dari 34 kg atau 1 gr untuk anak dengan berat badan 11-34 kg. Selain itu Quinakrin (Nadadisastra, D, 2009).

9.7 Pencegahan

Penularan dan infeksi dapat dicegah dengan cara menghindari kontak antara anak – anak dengan anjing atau kucing. Anjing atau kucing penderita dipylidiasis harus diobati. Selain itu perlu dilakukan pemberantasan pinjal atau kutu dengan insektisida (Nadadisastra, D, 2009).

24

Page 25: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

BAB XCTENOCEPHALIDES FELIS

Gambar

10.1 Definisi dan Morfologi

Dipylidiasis merupakan penyakit cacing pita yang secara primer terjadi pada anjing dan kucing. Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis karena dapat ditularkan kepada manusia melalui hospes perantara berupa pinjal atau kutu anjing dan kucing. Di Indonesia kasus dypilidiasis pada manusia belum pernah dilaporkan. Dari Laporan hasil penelitian terjadinya dipylidiasis pada anjing Bali disebutkan bahwa 18% dari anjing yang diperiksa, positif terinfeksi Dipylidium caninum ( Dharmawan NS dkk, 2003)

Pinjal yang biasa dikenal kutu loncat atau fleas ada 2 jenis, yaitu kutu loncat pada anjing dan kucing, namun di lapangan lebih sering ditemukan kutu loncat kucing yang juga dapat berpindah dan berkembang biak pada anjing.

Pinjal berukuran kecil dengan panjang 1,5-3,3 mm dan bergerak cepat. Biasanya berwarna gelap (misalnya, cokelat kemerahan untuk kutu kucing). Pinjal merupakan serangga bersayap dengan bagian-bagian mulut seperti tabung yang digunakan untuk menghisap darah host mereka. Kaki pinjal berukuran panjang, sepasang kaki belakangnya digunakan untuk melompat (secara vertikal sampai 7 inch (18 cm); horizontal 13 inch (33 cm)). Pinjal merupakan kutu pelompat terbaik diantara kelompoknya. Tubuh pinjal bersifat lateral dikompresi yang memudahkan mereka untuk bergerak di antara rambut-rambut atau bulu di tubuh inang. Kulit tubuhnya keras, ditutupi oleh banyak bulu dan duri pendek yang mengarah ke belakang, dimana bulu dan duri ini memudahkan pergerakan mereka pada hostnya.

10.2 Epidemiologi

Dipylidiasis pada manusia umumnya dilaporkan terjadi pada anak – anak usia di bawah 8 tahun. Penularan biasanya terjadi per oral malalui makanan , minuman atau

25

Page 26: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

tangan yang tercemar pinjal anjing atau kucing serta kutu anjing yang mengandung cysticercoid (Soedarto,2003).

Orang yang mempunyai resiko tinggi adalah yang mempunyai hewan peliharaan anjing atau kucing yang menderita dipylidiasis. Rupanya orang – orang yang menyayangi hewan peliharaannya pasti selalu kontak dan adakalanya menciumi atau membawa hewan tersebut ke kamar tidur, sehingga ada kemungkinan terjadi infeksi dipylidiasis melalui tertelannya pinjal dari hewan tersebut. Terdapat kemungkinan lain mengenai tertelannya pinjal tersebut yaitu melalui tangan yang tercemar pinjal ke mulut.

10.3 Siklus Hidup

10.4 Patofisiologi

Dipylidiasis pada manusia terjadi melalui konsumsi disengaja kutu anjing atau kutu kucing, anjing terinfeksi cysticercoids (bentuk larva D caninum). kutu adalah hospes perantara untuk D. caninum. Cysticercoids berkembang menjadi cacing dewasa di usus kecil tuan rumah di sekitar 20 hari. Cacing dewasa dapat mencapai panjang 10-70 cm dan berdiameter 2-3 mm. Cacing memiliki umur kurang dari 1 tahun. Perubahan patologis akibat dipylidiasis belum dijelaskan.

10.5 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk kepastian diagnosa dengan cara memeriksa adanya telur dalam feces atau adanya segmen proglottid yang keluar bersama feces. Kadang – kadang ditemukan sejumlah eggball pada perianal penderita.

26

Page 27: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

10.6 Penatalaksanaan

Anthelmintik yang dapat digunakan untuk dipylidiasis adalah praziquantel 600 mg dosis tunggal, niclosamide (Yomesan) dosis tunggal 2 gr untuk dewasa atau 1,5 gr untuk anak dengan berat badan lebih dari 34 kg atau 1 gr untuk anak dengan berat badan 11-34 kg. Selain itu Quinakrin (atabrin) dapat juga digunakan. ( Natadisastra D & Agoes R, 2009; Markell EK, et al, 1992)

Pada anjing dan kucing anthelmimtik yang digunakan adalah arecoline hydrobromide, arecolineacetasol, Bithional, Niclosamide atau Praziquantel (Soulsby EJL,1982)

10.7 Pencegahan

Penularan dan infeksi dapat dicegah dengan cara menghindari kontak antara anak dengan anjing atau kucing. Anjing atau kucing penderita dipylidiasis harus diobati. Selain itu perlu dilakukan pemberantasan pinjal atau kutu dengan insektisida(Soedarto,2007).

27

Page 28: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

Daftar Pustaka

Aisah S, 2007. Creeping Eruption dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Penerbit Fakultas Kedokteran FKUI.

Anonim, 2014. Phthirus Pubis-Pubic Lice. WOS Pubic Pediculosis Protocol. West of Scotland Sexual Health. New York.

Brown, H. W, 1983. Dasar Parasitologi Klinik. Jakarta: PT. Gramedia

Budiasnyah, T. 2013. Ask The Master UKDI. InternaPublishing. Tanggerang Selatan.

Djuanda, A., Hamzah,M. Aisah, S. 2010 Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ganda Husada, S, 1992. Parasitologi Kedokteran. Jakarata: Fakultas Kedokteran.

Garcia & Bruener, 1986. Diagnosa Parasitologi Kedokteran. Cetakan 1. Jakarta: EGC.

Gunning et al, 2013. Pediculosis and Scabies: A Treatment Update. American Family Physician. Vol. 25, no 3. Diakses pada 22 desember 2014. Dari < http://downloads.hindawi.com/journals/ipid/2012/587402.pdf>

Handoko R, Djuanda A, Hamzah M. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.4. Jakarta: FKUI.

Handoko R. 2008. Skabies. Dalam: Adhi D, Mochtar M, Siti A, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5. Cetakan ke 3. Jakarta. Balai Penerbit FK UI.

Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit.Ed.1. Jakarta: Hipokrates.

Haryuningtyas D, 2010, Deteksi Mikrofilaria/Larva Cacing Brugia Malayi pada Nyamuk dengan Polimerase Chain Reaction, Balai besar penelitian veteriner Vol. 13 No. 3, Diakses pada 21 desember 2014, http://bbalitvet.litbang.pertanian.go.id/eng/attachments/142_15SciPub.pdf.

Pozioet all, 2001. Failure of Mebendazole in the Treatment of Humans with Trichinellaspiralis Infection at the Stage of Encapsulating Larvae, Clinical Infectious Disease, Laboratory of Parasitology, IstitutoSuperiore di Sanità, Viale Regina Elena, Vol 32 (4), pp: 638-642

Prabu, B.D.R, 1990. Penyakit-penyakit Infeksi Umum. Edisi I. Jakarta: Widya Medica.

Soedarto, 1983. Ontemologi Kedokteran. Surabaya: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Soedarto, 2008, Parasitologi Klinik, Penerbit Airlangga University Press, Surabaya

28

Page 29: Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

Sutanto I, dkk, 2011, Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, Edisi 4, Badan Penerbit FKUI, Jakarta.

Taniawati, S, Agnes, K, Felix, P, 2011, Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, Ed.4, Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Weems, H. V. Jr. and T. R. Fasulo. 2013. Human Lice: Body Louse, Pediculus humanus humanus Linnaeus and Head Louse, Pediculus humanus capitis De Geer (Insecta: Phthiraptera (=Anoplura): Pediculidae). Ifas Extension. University Of Florida.

White RR et all, 2011. Characterisation of the TrichinellaspiralisDeubiquitinating Enzyme, TsUCH37, an Evolutionarily Conserved Proteasome Interaction Partner, Division of Cell and Molecular Biology, Department of Life Sciences, Imperial College London, London, United Kingdom, Vol 10, pp:1371

29