Lap D

download Lap D

of 38

Transcript of Lap D

  • 7/29/2019 Lap D

    1/38

    SKENARIO D

    Mrs .Neny , 62 years old female complains of two episodes of urinary incontinence. On

    both occasions she was unable to reach a bathroom in time to prevent loss of urine. The

    first episode occurred when she was in her car and the second while she was in a shopping

    mall. She is reluctant to go out because of this urge incontinence. She has no menstrual

    periode since she was 50.Within in the last month , her husband died and ever since she

    stayed with a housemaid.

    Physical examination found the body weight is 75 kg, height is 156 cm, the blood

    pressure is 150/80 mmHg, apical-radial pulse deficit, body temperature is 36,50C, there is

    no exertional dyspnea, fatigue, and headace. Laboratory finding is within normal limit.

    Lumbal densitometry is -3,0 and femoral densitometry is -2,7. Geriatric Depression Scale

    (GDS) 6. MMSE Score is 26.

    Mrs. Neny so far was in treatment of catopril 12,5 mg,two times daily

    KLARIFIKASI ISTILAH :

    1. Urinary incontinence :Ketidakmampuan untuk

    mengendalikan pembuangan urin

    2. Urge incontinence : Pengeluaran urin secara involunter akibat peregangan

    orifisium vesika urinary.

    3. Apical-radial pulse deficit : denyut nadi yang tidak sama antara apex kordis

    dengan ateri radialis (atrial fibrilasi), biasanya jumlah denyut jantung lebih besar

    daripada jumlah denyut nadi.

    4. Exertional dyspnea : sesak napas yang muncul karena melakukan aktivitas

    5. Headache : sakit kepala

    6. Fatigue : lemah ; kehilangan tenaga

    7. Densitometry : penentuan berbagai variasi ketebalan melalui perbandingan dengan

    bahan lain atau standar tertentu.

    8. GDS (Geriatric Depression Scale) :skala untuk menilai depresi pada geriatri

    9. MMSE (Mini Mental State Examination) : tes yang digunakan untuk meilai

    kerusakan kognitif pada orang tua.

    10. Catopril : Obat anti hipertensi golongan ACE inhibitor

    1

  • 7/29/2019 Lap D

    2/38

    IDENTIFIKASI MASALAH :

    1. Ny. Neni 62 tahun mengeluh incontinensia urin dua kali, pertama di mobil, kedua

    di mall

    2. Ia enggan keluar rumah karena masalah urge incontinence.

    3. Menopause usia 50 tahun

    4. Suaminya meninggal 1 bulan yang lalu, sejak itu dia tinggal dengan PRT.

    5. Pemeriksaan Fisik : BB : 75kg, TB : 156cm, TD : 150/80mmHg, , apical-radial

    pulse deficit, T: 36,50C, tidak ada exertional dyspnea, fatigue, and headace.

    6. Pemeriksaan tambahan: Lab: normal, Lumbal densitometry is -3,0 and femoral

    densitometry is -2,7. GDS :6, MMSE : 26.

    7. Riwayat pengobatan : dalam waktu yang lama menggunakan captopril 12,5 mg 2

    kali sehari.

    ANALISIS MASALAH :

    1. Bagaimana fisiologi berkemih ? Sintesis.

    2. Apa etiologi inkontinensia urin?

    Akut : DRIP atau DIAPPers

    Persisten : tergantung tipe, lebih lengkap di sintesis

    3. Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan?

    - Usia tua merupakan faktor predisposisi terjadinya inkontinensia urin.

    - Inkontinensia urin lebih banyak diderita oleh wanita daripada pria.

    4. Apa etiologi dan mekanisme urge incontinence ? sintesis

    5. Apa makna incontinensia urin membuat enggan keluar rumah ?

    Inkontinensia urin menyebabkan masalah psikososial

    6. Apa hubungan menopause dan keluhan yang dialami ?

    2

  • 7/29/2019 Lap D

    3/38

    Pada wanita menopause terjadi penurunan drastis hormone estrogen. Penurunan

    hormone estrogen ini menyebabkan penurunan kerja osteoblast dan menaikan

    kerja osteoclast yang membuat tulang menjadi rapuh. Penurunan estrogen juga

    berdampak pada menurunnya tahanan pada uretra dan muara kandung kemih yang

    bisa bedampak terjadinya inkontinensia urin.

    7. Apa hubungan suami meninggal 1 bulan yang lalu dan tinggal bersama pembantu

    dengan keluhan sekarang?

    Dari hasil GDS didapat bahawa ibu ini suspect depresi ringan, sehingga

    membuatnya jarang keluar rumah dan jarang beraktivitas hal ini ditambah dengan

    adanya pembantu.

    Seperti yang kita ketahui, keluarnya cairan tubuh manusia melaui 2 jalan utama n

    melalui keringat, karena kurangnya aktifitas maka pengeluaran cairan hanya

    melalui urin karena diamsusikan bahwa dengan berkurangnya aktifitas maka

    berkurang pula keringat yang dikeluarkan.

    8. Apa interpretasi pemeriksaan fisik dan hubungan dengan kasus?

    Pemeriksaan Kasus Nilainormal Interpretasi

    BB & TB BB : 75 Kg

    TB : 156 cm

    Hitung BMI =

    BB / TB2

    = 75

    (1,56)2

    = 30,81 kg/m2

    Obese II

    TD 150/80

    mmHg

    120/80 mmHg Hipertensisistolikterisolasi (HST)

    Pulse Apical-

    radial pulse

    deficit

    - Terjadiperbedaaniramaantaranadi yang

    diperiksa di apical (jantung) dan radial

    menandakanaritmiaFibrilasiAtrial

    Suhutubuh 36,5 C 36,5-37,5 C Normotermi

    Exertionaldyspnea - - Tidakadaggnparu

    Fatigue - - Normal

    Headache - - Normal

    Penjelasan :

    1. Obesitas

    Kategori

    3

  • 7/29/2019 Lap D

    4/38

    < 18,5 Underweight

    18,5 22,9 Normal

    23- 24,9 Overweight

    25-29,9 Obese I

    > 30 Obese II

    Tabel :klasifikasi BMI menurut WHO

    a. Denganmeningkatnyausia terjadi massalemak total serta berkurangnya

    massa tubuh kering dan massa tulang. Di sisi lain, denganbertambahnyausia

    aktivitastubuh

  • 7/29/2019 Lap D

    5/38

    elastisitaspembuluhdarahperiferakibat proses menua

    meningkatkanresistensipembuluhdarahperifer hipertensisistolik .( buku ajar

    geriatric UI, ed ke-4)

    3. Atrial fibrilasi

    Penyebab :

    a. Pembesaran atrium akibatlesipadakatubjantung yang mencegah atrium

    mengosongkanisinyasecaraadekutakedalamventrikel, ataukarenakegagalanventrikel

    yang diakibatkanolehpembendungandarah yang banyakdidalam atrium.

    b. Dinding atrium yang berdilatasi merupakan kondisi ideal untuk menyebabkan

    jalur konduksi yang panjang demikian juga dengan konduksi yang lambat, yang

    keduanya merupakan factor predisposisifibrilasi atrium. (Fisiologi kedokteran Guiton

    & Hall)

    9. Apa interpretasi pemeriksaan tambahan ?

    Pemeriksaan Nilai normal Interpretasi

    Laboratorium Normal

    Lumbal densitometry : - 3, 0 -1 Osteoporosis

    Femoral densitometry : -2, 7

    GDS : 6 0-4 Depresi ringan

    MMSE : 26 24-30 Tidak ada gangguankognitif

    TDS

    Kekakuan aorta

    TDD

    Vol aorta

    Semakin besar

    perbedaan TDS dan

    TDD makin besar

    risikokomplikasi

    Seiring

    waktu

    Proses menua, Kehilanganelasti

    sitasarteri

    5

  • 7/29/2019 Lap D

    6/38

    Ringkasan :

    Klasifikasi menurut WHO :

    Klasifikasi T-score

    Normal -1

    Osteopenia Antara -1 dan -2,5

    Osteoporosis -2,5

    Osteoporosis berat -2,5 dan fraktur fragilitas

    Geriatric Depression Scale (GDS)

    - Score 0-4 : normal

    - Score 5-8 : mild depression

    - Score 9-11 : moderate depression

    - Score 12-15 : severe depression

    Jawaban tidak 5 (khususnya nomor 1, 5, 7, 11, 13) menunjukkan bahwa

    seseorang mengalami depresi.

    .

    6

  • 7/29/2019 Lap D

    7/38

    Cara pemeriksaan

    Diagnosis osteoporosis ditentukandenganmengukurdensitasmassatulang (BMD).

    Bagian- bagiantulang yang diukur :

    a Tulangbelakang (L1- L4)

    b Panggul : femoral neck, total femoral neck, dantrokanter.

    Lenganbawah (33%radius), bila :

    1. Tulangbelakang dan/ataupanggultidakbisadiukur

    2. Hiperparatiroideisme

    3. Sangatobese

    Indikasi pemeriksaan densitometri tulang :

    a. Wanita dengan defisiensi estrogen, untuk menilai penurunan densitas massa

    tulang dan keputusan pemberian terapi pengganti hormonal.

    7

  • 7/29/2019 Lap D

    8/38

    b. Penderita dengan abnormalitas tulang belakang atau secara radiologik

    didapatkan osteopenia, untuk mendiagnosis osteoporosis spinal dan

    menentukan langkah diagnosis dan terapi selanjutnya.

    c. Penderita yang memperoleh glukokortikoid jangka panjang, untuk

    mendiagnosis penurunan densitas massa tulang dan penentuan langkah

    terapi selanjutnya.

    d. Pada penderita dengan hiperparatiroidisme primer asimtomatik, untuk

    menilai penurunan densitas massa tulang dan menentukan tindakan

    pembedahan pada paratiroid.

    e. Evaluasi penderita-penderita :

    - Tidak responsif terhadap terapi yang diberikan

    - Penurunan densitas massa tulang yang cepat.

    f. Evaluasi penderita-penderita dengan risiko tinggi osteoporosis :

    - Amenore

    - Hiperparatiroidisme sekunder

    - Anoreksi nervosa

    - Alkoholisme

    - Terapi antikonvulsan

    - Fraktur multipel traumatik.

    Pemeriksaan densitometri tulang biasanya digunakan untuk mengukur densitas massa

    tulang pada daerah lumbal, femur proksimal, lengan bawah distal dan seluruh tubuh.

    Secara rutin, untuk diagnosis osteoporosis, cukup diperiksa densitometri lumbal dan

    femur proksimal. Bila terdapat keterbatasan biaya, dapat dipertimbangkan pemeriksaan

    hanya pada 1 daerah, yaitu daerah lumbal untuk wanita yang berumur kurang dari 60

    tahun, atau daerah femur proksimal pada wanita yang berumur lebih dari 60 tahun atau

    pada laki-laki.

    10. Apa interpretasi penggunaan captopril dan apa hubungannya dengan keluhan Ny.

    Neni?

    Captopril merupakan golongan ACE inhibitor. Merupakan obat anti hipertensi

    yang bisa ikut berkontribusi dalam inkontinensia urin.

    Dalam kasus, penggunaan captopril menunjukkan bahwa ia mengalami hipertensi,

    dan kemungkinan juga dapat menyebabkan IU.

    8

  • 7/29/2019 Lap D

    9/38

    pemberian captopril (dosis dan pemilihan) sudah sesuai untuk mengatasi

    hipertensi yang dialami Ny. Neni,, namun captopril (ACE-inhibitor) ini dapat

    menginduksi batuk yang kronis sehingga dapat memperparah terjadinya

    inkontinensia urin) CAPTOPRIL merupakan factor risko inkontinesia tipe

    stress

    11. Apa DD kasus ini ?

    a. Tipe urgensi

    - Ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul.

    - Manifestasi berupa urgensi, frekuensi, dan nokturia.

    b. Tipe stress

    - Akibat tekanan intraabdominal yang meningkat seperti batuk, bersin, atau

    mengejang

    - Terutama terjadi pada perempuan usia lanjut yang mengalami hipermobilitas

    uretra dan lemahnya otot dasar panggul akibat seringnya melahirkan, operasi,

    dan penurunan oksigen.

    - Predisposisi : obesitas, batuk kronik, trauma perineal, melahirkan pervaginam,

    terapi radiasi keganasan, menopause.

    c. Tipe fungsional

    - Terjadi akibat penurunan berat fungsi fisik dan kognitif.

    - Pasien tidak dapat mencapai toilet pada yang tepat.

    - Biasa terjadi pada demensia berat, gangguan mobilitas, gangguan neurologik,

    dan psikologik.

    d. Tipe Overflow

    - Manifestasinya klinisnya berupa berkemih sedikit, pengosongan kandung kemih

    tidak sempurna, dan nokturia.

    - Dapat disebabkan obat-obatan.

    e. Tipe campuran

    - Merupakan kombinasi dari 2 tipe atau lebih.

    - Biasanya kombinasi antara tipe stress dan urgensi

    9

  • 7/29/2019 Lap D

    10/38

    12. Apa pemeriksaan penunjang lain yang dibutuhkan?

    Inkontinensia Urin :

    Pemeriksaan urodinamik, untuk mengkaji obstruksi atau gangguan fungsi intrinsik

    sfingter uretra.

    Stress testing (uji batuk,bersin)

    Postvoid residual measurement (Mengukur sisa urin setelah berkemih)

    USG saluran kemih

    Cystography

    Urinalisis

    Uji urodinamik sederhana

    Laboratorium : Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum

    Catatan berkemih (voiding record).

    2. Fibrilasi Atrial :

    EKG mengetahui irama (verifikasi FA), hipertrofi ventrikel kiri,

    iskemia

    Foto rontgen toraks

    Ekokardiograf melihat kelainan katup, ukuran atrium dan ventrikel,

    fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow, dan trombus di atrium kiri.

    3. Osteoporosis : Penilaian langsung densitas tulang untuk mengetahui ada/tidaknya

    osteoporosis dapat dilakukan secara:

    1. Radiologik

    2. Radioisotop

    3. QCT (Quantitative Computerised Tomography)

    4. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

    5. Densitometer(X-ray absorpmetry)

    6. Serum kalsium, serum vitamin D dan serum prolaktin

    13. Apa WD dan bagaimana cara mendiagnosis kasus ini ?

    Diagnosis kerja

    10

  • 7/29/2019 Lap D

    11/38

    Ny.Neni 62 tahun menopause mengalami inkontinensia urin tipe campuran (urgensi dan

    stres) disertai dengan isolated sistolik hipertension, obesitas, osteoporosis, atrial fibrilasi

    dan suggestive of depression.

    14. Apa etiologi dan faktor resiko kasus ini ? Sintesis

    15. Apa epidemiologi kasus ini ? Sintesis

    16. Bagaimana patofisiologis kasus ini ? Sintesis

    17. Apa manifestasi kinis kasus ini ? Sintesis

    18. Apa tatalaksana kasus ini ? Sintesis

    19. Bagaimana prognosis kasus ini ?

    Secaraumum, prognosis masing-masing diagnosis adalahsebagaiberikut,

    Inkontinensia Urin

    Prognosisbaik.

    HST

    Pasien hipertensi yang gemuk mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan

    pada yang kurus.

    FibrilasiAtrial

    Prognosis masih baik karena belum terdapat gejala pemberat berupa lemah,

    sesak napas terutama saat aktivitas, pusing, gejala yang menunjukan adanya

    iskemia atau gagal jantung kongestif.

    Osteoporosis

    pengubahan pola makan kayakalsium, aktivitas, dansuplementasikalsium dan

    lain-lainmendukungprognosisbaik,

    Sehinggaprognosis kasus ini adalah :

    Quo advitam : dubia ad bonam

    Quo ad functionam :dubia ad bonam

    20. Apa komplikasi kasus ini ?

    Inkontinensia Urin

    Dampak medis

    11

  • 7/29/2019 Lap D

    12/38

    Pada pasien yang kurang aktifitas hanya berbaring di tempat tidur dapat

    menyebabkan ulkus dikubitus dan dapat meningkatkan resiko infeksi lokal

    termasuk osteomyelitis dan sepsis.

    Sosial : hilangnya percaya diri, depresi, terganggunya akivitas social dan

    seksual, serta menyebabkan ketergantungan

    Ekonomi : mengganggu produktivitas, dan biaya yang dikeluarkan akibat

    inkontinensia urin

    Hipertensi sistolikStroke, demensia vaskularFibrilasi AtrialAritmia jantung , tromboemboli terutama stroke.Osteoporosis terjatuh,Fraktur

    21. KDU ? 4

    HIPOTESIS :

    Ny. Neni 62 tahun mengalami inkontinensia urin tipe , obesitas, atrial fibrilasi, hipertensi

    sistolik, menopause, dan osteoporosis.

    KERANGKA KONSEP

    12

  • 7/29/2019 Lap D

    13/38

    SINTESIS

    Fisiologi Berkemih

    Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian

    koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase yaitu

    fase penyimpanan dan fase pengosongan. Diperlukan keutuhan struktur dan fungsi

    komponen saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan.

    Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali.

    Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol volunter dan

    disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra

    internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh

    korteks otak.

    Kandung kemih terdiri dari 4 lapisan, yaitu lapisan serosa, lapisan otot detrusor,

    lapisan submukosa, dan lapisan mucosa. Ketika otot detrusor relaksasi, pengisian kandung

    kemih terjadi, dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih

    atau proses berkemih berlangsung. Kontraksi Kandung kemih disebabkan oleh aktivitas

    parasimpatis yang dipicu oleh asetilkolin pada receptor muskarinik. Sfingter uretra interna

    menyebabakn uretra tertutup, sebagai akibat verja aktivitas saraf simpatis yang dipicu

    oleh noradrenalin.

    Otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung

    kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medula spinalis, dan

    pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh

    urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvisdan medula spinalis ke pusat saraf

    kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglio basal dan serebelum)

    menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan

    seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisisan kandung kemih

    berlanjut, rasa pengembungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobus

    frontal|), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan

    subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda

    pengeluaran urin.

    Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang saraf dari korteks disalurkan melalui

    medula spinalis dan syaraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis

    13

  • 7/29/2019 Lap D

    14/38

    kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung

    kemih. Interfensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan

    kontraktilitas otot.

    Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di

    medula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian

    (penyimpanan) kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf ototnom simpatis yang

    mengakibatkan penutupan kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih, serta

    penghambatan aktivitas saraf parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada

    otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatik dan somatik menurun,

    sedangkan parasimpatik meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan

    pembukaan leer kandung kemih. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang

    lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri, dan serebelum.

    Sensasi pertama ingin berkemih biasanya timbul pada saat volume kandung kemih

    mencapai antara 150-350 ml. Kapasitas kandung kemih normal bervariasi sekitar 300-600

    ml. Umumnya kandung kemih dapat menampung urin sampai lebih kurang 500 ml tanpa

    terjadi kebocoran.

    Perubahan-perubahan fisiologik terkait proses menua pada saluran kemih bawah

    Kandung kemih Perubahan morfologis

    Trabekulasi

    Fibrosis

    Saraf otonom

    Pembentukan divertikula

    Perubahan fisiologis

    Kapasitas

    Kemampuan menahan kencing

    Kontraksi involunter

    Volume residu pasca berkemih

    Uretra Perubahan morfologis

    Komponene seluler

    Deposit kolagen

    Perubahan fisiologis

    14

  • 7/29/2019 Lap D

    15/38

    Tekanan penutupan

    Tekanan akhiran keluar

    Prostat Hiperplasi

    Vagina Componen selular

    Mucosa atrofi

    Dasar panggul Deposit kolagen

    Rasio jeringan ikat-otot

    Otot melemah

    INKONTINENSIA URIN

    Definisi

    Inkontinenensia urin adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi

    yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan atau sosial.

    Epidemiologi

    Di masyarakat barat, sebagian besar studi epidemiologis mengindikasikan prevalensi

    sebesar 25-55%. Kisaran yang luas ini diatribusikan ke varietas luas yang sama dengan

    metodologi investigasinya, karakteristik populasinya, dan definisi inkontinensia sendiri.

    Terlebih lagi data yang ada sekarang jauh lebih terbatasi oleh fakta bahwa sebagian besar

    wanita tidak memperhatikan kondisi tersebut (Hunskaar, 2000). Diperkirakan hanya 1 dari

    4 wanita yang mencari bantuan medis mengenai inkontinensia yang mereka alami karena :

    malu, akses yang terbatas ke pelayanan kesehatan, atau skrining yang kurang oleh

    penyedia layanan kesehatan (Hagstad, 1985).

    Kondisi yang paling sering ditemukan adalah SUI, yaitu sekitar 29-75% kasus.

    Overaktivitas detrusor mencapai 33% kasus inkontinensia, sedangkan sisanya berupa

    bentuk campuran (MUI) (Hunskaar, 2000).

    Inkontinensia urin signifikan menurunkan kualitas hidup penderitanya, yang mengarah

    pada terganggunya hubungan sosial, distres psikologis karena malu dan frustasi, rawat

    inap karena gangguan kulit dan infeksi traktus urinarius, serta perawatan di rumah

    (nursing home admission). Wanita tua penderita inkontinensia 2,5 kali lebih mungkin

    menjalani nursing home daripada yang kontinensia (Langa, 2002).Etiologi

    15

  • 7/29/2019 Lap D

    16/38

    Delirium

    Infeksi

    Atrophic vaginitis atau urethritis

    Farmasi

    - Sedatif hipnotik

    - Loop diuretics

    - Agen anti kolinergik

    - Agonis dan antagonis -adrenergik

    - Calcium chanel blockers

    Kelainan psikologi: depresi

    Kelainan endokrin

    Mobilitas yang terbatas

    Impaksi feses

    Faktor risiko

    1. Jenis kelamin

    2. Usia

    Prevalensi inkontinensia meningkat bertahap selama masa dewasa muda. Puncak

    yang lebar tampak pada usia pertengahan dan kemudian menetap setelah usia 65 tahun

    (Hannestad, 2000).

    3. Ras

    Dulunya wanita kaukasia diyakini lebih beresiko mengalami inkontinensisa urin

    daripada ras lain. Namun sebaliknya, wanita Afrika-Amerika dipercaya berprevalensilebih tinggi pada urge incontinence. Namun laporan tersebut tidak berdasar populasi, dan

    dengan demikian perbedaan ras sejatinya bukan merupakan perkiraan yang terbaik.

    Sebagian besar studi epidemiologis mengenai inkontinensia urin dilaksanakan dalam

    populasi Kaukasian. Data yang ada menyangkut perbedaan ras sangat didasarkan pada

    ukuran sampel yang kecil (Bump, 1993). Dari catatan terkini, belum jelas apakah

    perbedaan ini biologis, berkaitan dengan penilaian pelayanan kesehatan, atau dipengaruhi

    oleh ekspektasi kultural dan ambang toleransi simptom. Dengan demikian, masih

    diperlukan studi lebih mendalam mengenai studi non-Kaukasian.

    16

  • 7/29/2019 Lap D

    17/38

    4. Obesitas

    Beberapa studi epidemiologis menunjukkan bahwa peningkatan body mass index

    (BMI) merupakan faktor resiko independen dan signiffikan untuk semua jenis

    inkontinensia urin (Table 23-1). Bukti menunjukkan bahwa prevalensi urgeincontinence

    dan stress incontinence meningkat berbanding lurus dengan meningkatnya BMI

    (Hannestad, 2003). Secara teoritis peningkatan tekanan intraabdominal yang bersamaan

    dengan pemingkatan BMI menghasilkan tekanan intravesikal yang secara proporsional

    lebih tinggi. Tekanan yang lebih tinggi ini menimbulkan urethral closing pressure dan

    menjurus pada inkontinensia (Bai, 2002). Deitel and co-workers (1988) melaporkan

    adanya penurunan yang signifikan pada prevalensi stress urinary incontinence, dari 61

    menjadi 11%, pada wanita obese seiring dengan penurunan berat bdan setelah

    pembedahan bariatrik. Sesuai dengan itu, jika proporsi populasi yang overweight dan

    obese lebih besar, diharapkan kita dapat melihat peningkatan prevalensi inkontinensia

    urin di Amerika Serikat (Flegal, 2002).

    Table 23-1 Faktor Resiko Inkontinensia Urin

    Usia

    Kehamilan

    Kelahiran

    Menopause

    Histerektomi

    Obesitas

    Simptom urinari

    Gangguan fungsional

    Gangguan kognitif

    Tekanan abdominal tinggi yang kronis

    Batuk kronis

    Konstipasi

    Resiko okupasional

    Merokok

    5. Menopause

    Studi-studi yang ada belum konsisten menunjukkan adanya peningkatan disfungsi

    urin setelah seorang wanita memasuki tahun-tahun postmenopausal (Bump, 1998). Sukar

    untuk memisahkan efek hipoestrogenisme dari efek penuaan.

    17

  • 7/29/2019 Lap D

    18/38

    Reseptor estrogen afinitas tinggi telah diidentifikasi di uretra, muskulus

    pubokoksigeal, dan trigonum bladder, namun jarang ditemukan di bladder (Iosif, 1981).

    Dipercaya bahwa perubahan kolagen yang berkaitan dengan hipoestrogen dan reduksi

    vaskularisasi serta volume muskulus skeletal secara kolektif berperan pada gangguan

    fungsi uretra melalui penurunan resting urethral pressure (Carlile, 1988). Lebih jauh lagi,

    defisiensi estrogen yang menimbulkan atrofi urogenital diperkirakan berperan dalam

    simptom sensoris urinari yang menyertai menopause (Raz, 1993). Estrogen memang

    berperan penting dalam fungsi urinari normal, namun masih kurang jelas apakah estrogen

    berguna dalam terapi atau pencegahan inkontinensia (Estrogen Replacement) (Fantl,

    1994, 1996).

    6. Kelahiran dan kehamilan

    Banyak studi menemukan bahwa wanita para memiliki prevalensi inkontinensia

    urin lebih besar dibandingkan dengan yang nullipara. Pengaruh dari melahirkan anak

    terhadap kejadian inkontinensia dapat timbul dari luka langsung pada otot-otot pelvis dan

    perlekatan jaringan ikat. Sebagai tambahan, kerusakan syaraf dari trauma atau ketegangan

    yang ada dapat berdampak pada disfungsi otot pelvis (Snooks, 1986). Secara spesifik,

    level yang lebih tinggi dari latensi motorik nervus pudendal yang lama setelah melahirkan

    nampak pada wanita dengan inkontinensia dibanding dengan wanita yang asimtomatis.

    7. Kebiasaan merokok dan penyakit paru kronis

    Ada 2 studi epidemiologis yang menunjukkan peningkatan resiko inkontinensia

    urin yang signifikan pada wanita usia lebih dari 60 tahun dengan penyakit pulmoner

    obstruktif kronis (Brown, 1996; Diokno, 1990). Sama pula pada kebiasaan merokok yang

    diidentifikasi sebagai faktor resiko independen inkontinensia urin pada beberapa studi.

    Salah satu dari studi tersebut, menyebutkan bahwa baik yang perokok maupun mantan

    perokok tercatat memiliki resiko 2-3 kali lipat dibanding dengan yang bukan perokok

    (Bump, 1992). Secara teoritis, kenaikan persisten tekanan intraabdominal yang timbul

    karena batuk kronis perokok dan sintesis kolagen, dapat diturunkan dengan efek

    antiestrogenik merokok.

    8. Histerektomi

    Studi belum menunjukkan hasil yang konsisten bahwa histerektomi merupakan

    faktor resiko berkembangnya inkontnensia urin. Studi yang menunjukkan hubungan

    18

  • 7/29/2019 Lap D

    19/38

    tersebut adalah studi retrospektif, kurangnya grup kontrol yang sesuai, dan sering semata-

    mata berdasarkan data subyektif (Bump, 1998). Sebaliknya, Studi yang meliputi tes pre

    dan post operatif urodinamik mengungkapkan perubahan fungsi bladder yang secara

    klinis tidak signifikan. Lebih jauh lagi, bukti tidak mendukung bahwa menghindari

    histerektomi yang telah diindikasikan secara klinis ataupun menghindari pelaksanaan

    histerektomi supracervical menjadi ukuran untuk mencegah inkontinensia urin (Vervest,

    1998; Wake, 1980).

    Jenis inkontinensia

    1. Inkontinensia Urin Akut Reversibel

    Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet

    sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin

    umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat

    memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia

    persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.

    Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula

    menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis

    dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering

    menyebabkan inkontinensia akut.

    Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya

    inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena

    dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya

    inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya

    inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic

    narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.

    Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible

    dapat dilihat akronim di bawah ini :

    D --> Delirium

    R--> Restriksi mobilitas, retensi urin

    I --> Infeksi, inflamasi, Impaksi

    P --> Poliuria, pharmasi

    2. Inkontinensia Urin Persisten

    19

  • 7/29/2019 Lap D

    20/38

    Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi,

    patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih

    bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.

    Urge inkontinensia

    - Merupakan penyebab IU tersering pada orang tua, terjadi pada 40-70 % pasien yang

    datang dengan keluhan inkontinensia.

    - Masalah tersering dalam fase pengisian/penyimpanan urin timbul takkala kandung

    kemih gagal utk tetap relaks sampai waktu yang tepat untuk berkemih .

    - Pasien dengan detrusor yang overaktif akan merasakan kontraksi detrusor yang lebih

    cepat dan lebih kuat sebelum VU terisi penuh

    Penyebab:

    Non neurogenik

    - Inflamasi atau iritasi pada kandung kemih

    - Proses menua : Kelemahan otot dasar panggul

    - Idiopatik

    Neurogenik

    - Ssp yg menghambat kontraksi kandung kemih terganggu

    - Kelainan neurologik akibat lesi suprapontin (stroke,parkinson)

    - Trauma medulla spinalis

    - Obat obatan

    - Kelainan metabolik spt hipoksemia dan ensefalopati

    Stress inkontinensia

    -Terjadi akibat gangguan fungsi sfingter uretra sehingga urin keluar dari kandung

    kemih manakala tekanan intra abdomen meningkat spt batuk atau bersin .

    - Dikaitkan dengan kelemahan ligamen pubouretra dan dinding anterior vagina.

    Penyebab:

    - Prolaps Hipermobilitas uretra

    - Perubahan posisi uretra dan kandung kemih

    - Defisiensi intrinsik sfingter (kongenital)

    20

  • 7/29/2019 Lap D

    21/38

    - Denervasi akibat obat penghambat adrenagik alfa ,trauma bedah, radiasi .

    - Predisposisi : obesitas , batuk kronik , trauma perineal, melahirkan pervaginam

    ,terapi radiasi keganasan

    Overflow bladder

    - Terjadi akibat retensi urin pada kandung kemih yg mengalami distensi (peregangan).

    - Urin mengisi kandung kemih sampai tercapai kapasitas maksimal kandung kemih,

    selanjutnya urin yg tidak dapat tertampung lagi keluar melalui uretra.

    Penyebab:

    - Menurunnya kontraksi kandung kemih sekunder akibat obat obatan

    yg merelaksasi otot detrusor kandung kemih

    - Denervasi pada detrusor akibat kelainan neurologis yang

    mempengaruhi inervasi kandung kemih

    - Obtruksi aliran urin akibat Pembesaran prostat,impaksi feses. Striktur

    uretra,kontraksi uretra akibat agonis adrenegik alfa.

    - Obtruksi anatomik pada perempuan prolapspelvis dan distorsi uretra

    - Neuropati diabetes melitus

    Fungsional

    - Terjadi pada orang usia lanjut yg tidak mampu atau tidak mau mencapai toilet pada

    waktunya

    - Faktor penyebab dapat mengeksaserbasi tipe lain

    - Memiliki kelainan saluran kemih bagian bawah seperti hiperaktivitas detrusor

    Penegakan diagnosis

    1. anamnesia tambahan

    Adanya inkontinensia, berat ringannya, lamanya, tingkat ketergantungan,

    dan adanya prolaps

    Pengaruh terhadap hubungan sebelumnya

    Terapi sebelumnya, konservatif, medik, dan operasi yang berkaitan dengan

    sistem saluran kemih dan saluran cerna (rektum)

    Lingkungan sosial, kultur, dan fisik

    Status mental

    21

  • 7/29/2019 Lap D

    22/38

    Fungsi kognitif

    Kecacatan keterbatasan bergerak, gangguan pengluhatan, gangguan

    pendengaran

    Penyakit-penyakit yang menyertai geriatri

    Riwayat pengobatan

    Riwayat merokok, minum alkohol, konsumsi kopi

    2. pemeriksaan tambahan

    Pemeriksaan laboratorium : serum kalsium, vitamin D, kadar gula darah

    urinalisis

    Pemeriksaan fungsi ginjal

    sistometrografi

    Stress testing

    Post-voidal measurement

    Urodynamic

    Catatan miksi Minta pasien untuk miksi:

    Volume miksi ?

    Volume miksi residu, > 100mL adanya

    indikasi overflow inkontinensia

    Pemeriksaan abdomen Organomegali: menyebabkan tekanan

    intraabdomen, indikasistress incontinence

    Pemeriksaan Pelvis Apakah tedapat tanda-tanda:

    Infeksi

    Inflamasi

    Atrofi

    Divertikula uretra

    Bimanual Vaginal discharge?

    kontraksi vaginal kontraksi m.

    levator ani urin mudah keluar

    Rectal toucher Tonus sfingter anal menurun

    Impaksi feses

    Lesi rectum

    22

  • 7/29/2019 Lap D

    23/38

    USG traktus urinarius

    Radiograpgy (cystography)

    Chest X-ray

    ECG

    Patofisiologis

    Manifestasi Klinis

    mengompol, mengalami dampak psikis yaitu enggan untuk keluar rumah dan menarik diri

    karena minder.

    Tatalaksana

    o Modalitas suportif nonspesifik :

    - edukasi

    23

  • 7/29/2019 Lap D

    24/38

    - memakai subtitusi toilet

    - manipulasi lingkungan

    - pakaian tertentu dan pads

    - modifikasi intake cairan dan obat

    o Intervensi behavioral

    - bergantung pasien : latihan otot pelvis, bladder training, bladder retraining

    - bergantung caregiver : penjadwalan miksi, latihan kebiasaan, prompted voiding, obat-

    obatan (relaksan kandung kemih, agonis alfa, antagonis alfa, estrogen, periuretral infeksi,

    operasi, peralatan mekanik, kateter)

    Tabel 2. Terapi primer untuk berbagai tipe inkontinensia urine

    Tipe inkontinensia Terapi primer

    Stres

    Urgensi

    Overflow

    Fungsional

    - latihan Kegel

    - Agonis adrenergik alfa

    - Estrogen

    - Injeksi periuretral

    - Operasi bagian leher

    kandung kemih

    - Relaksan kandung

    kemih

    - Estrogen

    - Bladder training

    - Operasi untuk

    menghilangkan sumbatan

    - Bladder training- Kateterisasi intermitten

    - Kateterisasi menetap

    - Intervensi behavioral

    - Manipulasi lingkungan

    - Pads

    Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Halaman 1397

    24

  • 7/29/2019 Lap D

    25/38

    o Pada skenario,diketahui mengalami inkontinensia urine tipe urgensi. Sehingga

    penatalaksanaan primer yang dapat dilakukan berdasarkan tabel di atas adalah pemberian

    relaksan kandung kemih, estrogen, dan bladder training.

    o Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif di antara terapi

    nonfarmakologis lainnya. Tujuan terapi adalah memperpanjang interval berkemih yang

    normal dengan teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih adalah

    6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali. Namun, untuk melakukan bladder training

    diperlukan motivasi yang kuat dari pasien.

    oLatihan otot dasar panggul juga merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia

    tipe urgensi. Latihan dilakukan 3-5 kali sehari dengan 15 kontraksi dan menahan hingga

    10 detik.

    oObat-obatan yang dapat diberikan untuk tatalaksana inkontinensia tipe urgensi antara

    lain antikolinergik seperti oksibutinin dan tolterodin. Pemberian dosis 4 mg 1 kali sehari

    dapat meminimalkan efek samping seperti xerostomia, xeroftalmia, konstipasi, gangguan

    penglihatan, sedatif, retensi urine, insomnia, takikardia, ortostatis, kebingungan, dan

    delirium. Mekanisme kerjanya adalah dengan merelaksasikan otot kandung kemih

    sehingga diharapkan dapat menunda berkemih.

    o Pembedahan

    Merupakan jalan terakhir bila obat-obatan juga tidak menghentikan inkontinensia urin.

    Konsultasi dengan bagian ilmu kebidanan dan bagian bedah urologi

    Pada kasus :

    1. Untuk inkontinensia urgensi

    Terapi perilaku bladder training untuk memperpanjang interval

    miksi

    Diantar ketika hendak ke toilet

    Membuat catatan berkemih

    Terapi farmakologis menggunakan muscle relaxant (Flavoxate), chalcium

    channel blocker (diltiazem, nifedipine), kombinasi muscle relaxant dan

    antikolinergik (oxybutynin, tolterodine, dicyclomine), antidepresan trisiklik

    (doxepine, imipramine)

    2. Untuk inkontinensia stress

    25

  • 7/29/2019 Lap D

    26/38

    Pengurangan berat badan

    Latihan otot dasar panggul (Kegel)

    Cap device menutupi meatus uretra/kateter kondom/penile clamps

    Farmakologis (phenylpropanolamine, pseudoephedrine, estrogen)

    Terapi bedah jika terdapat hipermobilitas uretra

    Edukasi

    Karena ibu neny mengalami obesitas dimana obersitas merupakan faktor predisposisi

    terjadinya inkontinensia urin, maka kita perlu menyarankan diet sehat hitung kalori dan

    olahraga untuk mengatasi obesitas.Ibu neny juga mengalami osteoporosis, untuk itu kita juga menyarankan makanan tinggi

    kalsium (sayur hijau) disertai olahraga untuk kesehatan tulang

    OSTEOPOROSIS

    DEFINISI

    Penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan

    perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang mudah rapuh dan mudah patah

    FAKTOR RISIKO

    Factor risiko osteoporosis

    Umur

    Tiap peningkatan 1 dekade, risiko meningkat 1,4 -1,8

    Genetik

    Etnis

    Seks

    Riwayat keluarga

    Lingkungan

    Defisiensi kalsium

    Aktivitas fisik kurang

    Obat-obatan

    Merokok, alcohol

    26

  • 7/29/2019 Lap D

    27/38

    Risiko terjatuh yang meningkat

    Hormonal dan penyakit kronik

    Defisiensi estrogen, androgen

    Tirotoksikosis, hiperparatiroidisme primer, hiperkortisolisme

    Penyakit kronik

    Sifat fisik tulang

    Densitas (massa)

    Ukuran dan geometri

    Mikroarsitektur

    Komposiss

    Faktor Risiko Fraktur Panggul

    TerjatuhPenurunan respons protektif

    - Kelainan neuromuscular

    - Gangguan penglihatan

    - Gangguan keseimbangan

    Gangguan penyediaan energy

    - Malabsorpsi

    Peningkatan fragilitas tulang- Densitas massa tulang rendah

    - Hiperparatiroidisme

    PATOGENESIS

    PENDEKATAN KLINIS

    27

  • 7/29/2019 Lap D

    28/38

    1) Anamnesis

    - Keluhan utama

    - Factor lain: fraktur pada trauma minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi

    badan, kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D,

    latihan yang teratur yang bersifat weight-bearing.

    - Obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang

    - Alkohol dan merokok

    2) Pemeriksaan Fisik

    Pengukuran tinggi dan berat badan, gaya berjalan pasien, deformitas tulang, leg-length

    inequality, nyeri spinal dan jaringan parut pada leher

    3) Pemeriksaan Biokimia Tulang

    Kalsium total dalam serum, ion kalsium, kadar fosfor serum, kalsium urin, fosfat urin,

    osteokalsin serum, piridolin urin dan bila perlu hormone paratiroid dan vitamin D

    4) Pemeriksaan Radiologis

    Pemeriksaan radiologic untuk menilai massa tulang sangat tidak sensitive. Gambaran

    radiologic yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah trabekular

    yang lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran

    picture-frame vertebra.

    a. Vertebra

    Gambaran osteoporosis pada foto polos akan menjadi lebih radiolusen tetapi baru

    terdeteksi setelah penurunan massa tulang sekitar 30%.

    b. Femur proksimal

    Bagian ujung proksimal tulang femur terdiri dari trabekula tulang yang tersusun

    dalam 2 lengkung yang saling menyilang.

    Trabekula di proksimal femur dapat dilihat dengan baik bila dibuat rontgenogram

    pada daerah hip (leher femur) dengan menggunakan exposure yang adekuat agar

    dapat melihat detil makroskopis arsitektur susunan trabekulanya.

    c. Metakarpal

    Resorpsi pada korteks tulang dapat tampak di 3 tempat spesifik yaitu permukaan

    endosteal, intrakortikal dan periosteal.

    d. Skintigrafi tulang

    28

  • 7/29/2019 Lap D

    29/38

    Skintigrafi tulang dengan menggunakan technetium-99m yang dilabel pada metilen

    difosfonat atau hidroksimetilen difosfonat, sangat baik untuk menilai metastasis pada

    tulang, tumor primer pada tulang, ostiomielitis dan nekrosis aseptic. Diagnosis

    ditegakkan dengan mencari uptake yang meningkat, baik secara umum maupun

    secara local.

    5) Pemeriksaan densitas massa tulang

    Densitas massa tulang berhubungan dengan kekuatan tulang dan risiko fraktur. Berbagai

    metode yang dapat digunakan untuk menilai densitas tulang adalah single-photon

    absorptiometry (SPA) dan single-energy X-ray absorptiometry (SPX) lengan bawah dan

    tumit; dual-photon absorptiometri (DPA) dan dual-energy X-ray absorptiometry (DPX)

    lumbal dan proximal femur; dan quantitative computed tomography.

    Pemeriksaan densitometry untuk mengetahui densitas tulang pada osteoporotic dipakai

    standar WHO

    Normal > -1

    Osteopenia

  • 7/29/2019 Lap D

    30/38

    Estrogen (terapi sulih hormon)

    Agen anti resorbtif (raloxphene, golongan biposfonat, calcitonin)

    ISOLATED SYSTOLIC HYPERTENSION

    a. Definisi

    Hipertensi tekanan sistolik 140 mmHg dan tekanan diastolic 90 mmHg.

    Isolated systolic hipertension hipertensi primer dimana tekanan sistolik ( 140

    mmHg), sedangkan tekanan diastolic cenderung menetap atau sedikit ( 90 mmHg)

    b. Epidemiologi

    Terjadi pada 80% geriatri dengan usia 50 tahun

    Prevalensi:

  • 7/29/2019 Lap D

    31/38

    Perubahan keseimbangan antara vasodilatasi adrenergik beta dan vasokonstriksi

    adrenergik alfa kecenderungan vasokontriksi peningkatan resistensi pembuluh

    darah perifer dan tekanan darah

    Peningkatan asupan dan penurunan sekresi

    retensi NaPerubahanperubahandi atas bertanggung jawab terhadap peningkatan tekanan sistolik

    yang disproporsional, penurunan curah jantung (cardiac output), penurunan denyut

    jantung, penurunan kontraktilitas miokard, hipertrofi ventrikel kiri, dan disfungsi

    diastolik penurunan fungsi ginjal dengan penurunan perfusi ginjal dan laju filtrasi

    glomerulus.

    Tatalaksana

    Tujuan: Target terapi hipertensi sistolik terisolasi pada orang tua adalah untuk

    mempertahankan tekana darah dibawah 140/80-85 mmHg

    Short acting beta blocker

    Ca channel antagonist (diltiazem)

    Cegah stroke antikoagulan coumadin

    Mengembalikan ritme sinus

    antikoagulasi Implantasi pacemaker

    Implantable cardiomaker defibrillator

    Lifestyle berhenti merokok, penurunan BB yang berlebihan,

    berhenti/mengurangi asupan alcohol, mengurangi asupan garam, perkaya diet buah-

    buahan, sayuran, dan diet rendah lemak.

    ATRIAL FIBRILASI

    Definisi

    Merupakan suatu atrial tachycardia yang umum. Pada atrial fibrillation beberapa signal

    listrik yang cepat dan kacau "menyala" dari daerah-daerah yang berbeda di atria, dari pada

    hanya dari satu daerah pemacu jantung di SA node. Signal-signal ini pada gilirannya

    menyebabkan kontraksi ventricle yang cepat dan tidak beraturan .

    Klasifikasi

    Klasifikasi FA berdasarkan ada tidaknya penyakit jantung yang mendasari

    31

  • 7/29/2019 Lap D

    32/38

    - Primer : bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung dan kelainan sistemik

    yang dapat menimbulkan aritmia.

    - Sekunder : bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung tetapi ada kelainan

    sistemik yang menimbulkan aritmia.

    Klasifikasi FA berdasarkan waktu timbul & kemungkinan keberhasilan konversi

    ke irama sinus

    - Paroksismal, bila FA berlangsung kurang dari 7 hari, berhenti dengan

    sendirinya tanpa intervensi pengobatan atau tindakan apapun.

    - Persisten, bila FA menetap lebih dari 48 jam, hanya dapat berhenti dengan

    intervensi pengobatan atau tindakan.

    - Permanen, bila FA berlangsung lebih dari 7 hari, dengan intervensi

    pengobatan FA tetap tidak berubah.

    FA dapat pula di bagi menjadi FA akut (bila < 48 jam) dan FA kronik (bila > 48

    jam).

    Etiologi

    Stress hemodinamik tekanan intra-atrial, Ex: penyakit katup mitral atau

    trikuspid, disfungsi ventrikel kiri, hipertensi sistemik atau pulmonal, tumor atau

    trombus intracardiac

    Iskemi atrial ex: CAD

    Inflamasi ex: myokarditis dan perikarditis karena Collagen vascular disease,

    infeksi virus dan bakteri, bedah cardiac, esofagus, torax.

    Obat-obatan stimulan, alkohol, kokain

    Penyakit paru embolisme paru dan pneumonia

    Penyakit endokrin hipertiroid dan pheochromocytom

    Neurologis perdarahan subarachnoid dan stroke

    Familial

    Faktor risiko

    Meningkatnya usia

    Laki-laki

    insidensi lebih tinggi pada ras kulit putih

    PJK

    32

  • 7/29/2019 Lap D

    33/38

    Tekanan darah tinggi

    CHF

    Penyakit katup jantung

    Hipertiroidisme

    Penyakit paru (asthma,emphysema,COPD)

    Pericarditis

    Emboli paru

    Alkoholism

    Penyakit jantung kongenital

    Merokok

    Manifestasi Klinis

    Asimptomatis

    Gejala: pslpitasi, sensasi denyut jantung yang cepat dan iregular

    Pingsan

    Kelemahan, sesak napas, nyeri dada, edema

    Gejala-gejala penyakit penyebab

    Tatalaksana

    1. Mengembalikan irama ke sinus dan mempertahankannya

    Farmakologis: obat antiaritmia

    o efek pada action potentials individual cell

    o lebih dari satu efek pada action potentials

    o Amiodarone efek class I, II, III, IV

    o Sotalol aktifitas - blockade( class II )

    o efek memperpanjang action potentials ( class III )

    DC cardioversi

    Dilakukan pada AF yang tidak stabil

    Prosedur invasif

    o Dirusak dengan energi radiofrekuensi pulmonary vein isolation

    33

  • 7/29/2019 Lap D

    34/38

    o Corridor operation isolasi serat jaringan yang menghubungkan

    SA node dan AV node

    Maze III operation diperlukan CPB dan cardioplegic circulatory arrest

    2.Mengontrol frekuensi respon ventrikel

    Short acting beta blocker

    Ca channel antagonist (diltiazem)

    3.Mencegah terjadinya tromboemboli sistemik

    antikoagulan (acetyl salicilyc acid)

    4.Lifestyle

    menurunkan berat badan jika ada kegemukan, mengurangi minum alcohol,

    meningkatkan aktivitas fisik aerobik, mengurangi asupan garam, mempertahankan

    asupan kalium yang adekuat, mempertahankan asupan kalsium dan magnesium

    yang adekuat, menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan

    kolesterol

    OBESITAS

    Definisi

    Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang

    berlebihan.

    Etiologi & Faktor Risiko

    Terjadinya obesitas melibatkan beberapa faktor:

    Faktorgenetik

    Anggota keluarga tidak hanya berbagi gen, tetapi juga makanan dan kebiasaan gaya

    hidup, yang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya obesitas. Seringkali sulit untuk

    memisahkan faktor gaya hidup dengan faktor genetik. Penelitian terbaru menunjukkan

    bahwa rata-rata faktor genetik memberikan pengaruh sebesar 33% terhadap berat badan

    seseorang.

    Faktor lingkungan

    34

    http://id.wikipedia.org/wiki/Genetikhttp://id.wikipedia.org/wiki/Genetik
  • 7/29/2019 Lap D

    35/38

    Faktor lingkungan ini meliputi perilaku/pola gaya hidup (misalnya apa yang dimakan dan

    berapa kali seseorang makan serta bagaimana aktivitasnya)

    Faktorpsikis

    Apa yang ada di dalam pikiran seseorang bisa mempengaruhi kebiasaan makannya.

    Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan makan.

    Faktor kesehatan

    Beberapa penyakit bisa menyebabkan obesitas, diantaranya:

    o Hipotiroidisme

    o Sindroma Cushing

    o Sindroma Prader-Willi

    o Beberapa kelainan saraf yang bisa menyebabkan seseorang banyak makan.

    Obat-obatan.

    Obat-obat tertentu (misalnya steroid dan beberapa anti-depresi) bisa menyebabkan

    penambahan berat badan.

    Faktor perkembangan

    Penderita obesitas, terutama yang menjadi gemuk pada masa kanak-kanak, bisa memiliki

    sel lemak sampai 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berat badannya

    normal. Jumlah sel-sel lemak tidak dapat dikurangi, karena itu penurunan berat badan

    hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi jumlah lemak di dalam setiap sel.

    Aktivitas fisik

    Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan merupakan salah satu penyebab utama dari

    meningkatnya angka kejadian obesitas di tengah masyarakat yang makmur. Orang-orang

    yang tidak aktif memerlukan lebih sedikit kalori. Seseorang yang cenderung

    mengkonsumsi makanan kaya lemak dan tidak melakukan aktivitas fisik yang seimbang,

    akan mengalami obesitas.

    Manifestasi Klinis

    Penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada

    menekanparu-paru gangguan pernafasan dan sesak nafas (meskipun

    penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan)

    Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat tidur sleep apnea sehingga pada

    siang hari penderita sering merasa ngantuk.

    35

    http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Psikis&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Steroid&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Depresihttp://id.wikipedia.org/wiki/Fisikhttp://id.wikipedia.org/wiki/Diafragmahttp://id.wikipedia.org/wiki/Paru-paruhttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Psikis&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Steroid&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Depresihttp://id.wikipedia.org/wiki/Fisikhttp://id.wikipedia.org/wiki/Diafragmahttp://id.wikipedia.org/wiki/Paru-paru
  • 7/29/2019 Lap D

    36/38

    Obesitas masalah ortopedik: termasuk nyeri punggung bawah dan

    memperburuk osteoartritis (terutama di daerah pinggul, lutut dan pergelangan

    kaki)

    Obesitas

    permukaan tubuh yang relatif lebih sempit dibandingkan dengan beratbadannyapanas tubuh tidak dapat dibuang secara efisienmengeluarkan

    keringat yang lebih banyakkulit lembab faktor redisposisi kelainan kulit

    Sering ditemukan edema (pembengkakan akibat penimbunan sejumlah cairan) di

    daerah tungkai dan pergelangan kaki.

    Tatalaksana

    Terapi diet. Terapi diet bertujuan untuk membuat defisit 500-1000 kcal/hari.

    Aktivitas fisik. Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan selama 30 menit

    dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45

    menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu.

    Terapi perilaku. Yang harus diawasi adalah kebiasaan makan, aktivitas fisik,

    manajemen stres, stimulus control, pemecahan masalah, contigency management,

    cognitive restructuring, dan dukungan sosial.

    Farmakoterapi. Sibutramine dan orlistat dapat digunakan untuk membantu

    menurunkan berat badan.

    Terapi bedah. Terapi ini hanya diberikan untuk pasien obesitas dengan BMI >40 atau

    >35 dengan kondisi komorbid.

    36

  • 7/29/2019 Lap D

    37/38

    MENOPAUSE

    Definisi

    Menopause adalah berhentinya siklus menstruasi secara teratur akibat turunnya

    produksi estrogen oleh ovarium.

    Berhentinya menstruasi (sekret fisiologik darah dan jaringan mukosa serta

    bersiklus yang melalui vagina dari uterus tidak hamil, dibawah pengendalian hormon).

    Merupakan suatu bagian dari proses menua yang irreversible dan melibatkan sistem

    reproduksi wanita.

    Dimulai setelah 12 bulan sejak menstruasi terakhir dan ditandai dengan

    berlanjutnya gejala vasomotor dan gejala urogenital seperti keringnya vagina dan

    Merupakan satu peristiwa dalam klimakterium, yaitu fase fisiologis yang terjadi

    jika fungsi ovarium telah mengalami regresi.

    Etiologi

    Penurunan fungsi ovarium.

    Ooforektomi bilateral pada setiap usia setelah menarche juga dapat menimbulkan

    gejala-gejala seperti menopause.

    Epidemiologi

    Semua wanita akan mengalami menopause.

    Biasa terjadi pada usia 45-52 tahun.

    Manifestasi klinis

    Amenorrhea

    Hot flushes(panas pada kulit wajah dan leher)

    Berdebar-debar

    Sakit kepala, vertigo

    Tangan dan kaki terasa dingin

    Mudah tersinggung

    Cemas, gelisah, depresi

    Insomnia

    Keringat waktu malam

    Pelupa, sulit berkonsentrasi

    37

  • 7/29/2019 Lap D

    38/38

    Cepat lelah

    Penambahan berat badan

    Dispareuni

    Tatalaksana

    Pada kasus : Tidak diperlukan penatalaksanaan khusus jika tidak terdapat gejala saat

    premenopause yang sangat mengganggu seperti hot flushes, berkeringat banyak, jantung

    berdebar-debar, rasa nyeri dan tidak nyaman pada payudara, rasa panas, PUD, dan

    gangguan psikis. Jika saat terjadinya premenopause terdapat gejala-gejala tersebut, dapat

    dipertimbangkan untuk melakukan terapi sulih hormon.

    Karena menopause berhubungan dengan peningkatan berat badan akibat kompensasi

    tubuh dengan peningkatan sel lemak karena penurunan estrogen, diperlukan management

    yang baik untuk mencegah peningkatan berat badan yang berlebihan misalnya dengan

    diet yang seimbang dan melakukan aktivitas/gerak secara rutin.

    Karena rendahnya kadar estrogen pada wanita post menopause dapat memicu terjadinya

    osteoporosis, sebaiknya diberikan terapi estrogen sebagai prevensi.

    Tabel 8. Preparat estrogen untuk prevensi osteoporosis