Kurikulum Pendidikan Islam - staiindo.ac.idstaiindo.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/6.1...tujuan...

26
Kurikulum Pendidikan Islam “Konsepsi Al-GhazlMengenai 'Ilm Far'Ain & 'Ilm FarKifyah” Baharuddin AR Dosen STAI Indonesia Abstract: In modern time, secularism, with the help of his adopted sons, i.e., idealism, rationalism and empiricism, succeeded in secularizing the content of knowledge, the method of knowing and its purpose. It has thus brought about chaos in man's life. The present study is trying to elucidate al-Ghazālī's conception of 'ilm far'ain and 'ilm farkifāyah curriculum. In doing so, the definition of 'ilm (knowledge), the nature of man and the objectives of education in Islam will be taken into consideration. This study found: (1) knowledge is so called only if it produces tranquility in man's life; (2) man needs far'ain and farkifāyah knowledge to nurture his dual nature aspects, i.e., physical and spiritual. While the former is to confirm and nurture his spiritual aspect, the latter is to his physical aspect; (3) These ilm far'ain and 'ilm farkifāyah are the means by which he pursues the life purpose as God's servant as well as khalifatullah. Saat ini, sekularisme, berkat bantuan para pembeonya, di antaranya idealisme, rasionalisme dan empirisme, telah sukses dalam membangun pilar-pilar disiplin ilmu, metodologi dan objektif atau tujuan ilmu menjadi sekular. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplor konsep al-Ghazālī tentang kurikulum ilm far'ain dan 'ilm farkifāyah. Akan tetapi, untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai konsep tersebut, maka konsep 'ilm, manusia serta tujuan pendidikan dalam Islam akan terlebih dahulu menjadi perhatian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ilmu pengetahuan dapat dibuktikan 'kebenaran dan kesalahan –nya.' Benar jika melahirkan ketenangan dan ketenteraman hidup; sebaliknya, salah jika melahirkan kegalauan dan malapetaka bagi pemiliknya; (2) manusia memiliki dual aspek, yaitu jasmani dan ruhani. DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

Transcript of Kurikulum Pendidikan Islam - staiindo.ac.idstaiindo.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/6.1...tujuan...

Kurikulum Pendidikan Islam

“Konsepsi Al-Ghazᾱlῑ Mengenai 'Ilm Farḍ 'Ain & 'Ilm Farḍ Kifᾱyah”

Baharuddin AR

Dosen STAI Indonesia

Abstract: In modern time, secularism, with the help of his adopted

sons, i.e., idealism, rationalism and empiricism, succeeded in

secularizing the content of knowledge, the method of knowing and

its purpose. It has thus brought about chaos in man's life. The present

study is trying to elucidate al-Ghazālī's conception of 'ilm farḍ 'ain

and 'ilm farḍ kifāyah curriculum. In doing so, the definition of 'ilm

(knowledge), the nature of man and the objectives of education in

Islam will be taken into consideration. This study found: (1)

knowledge is so called only if it produces tranquility in man's life; (2)

man needs farḍ 'ain and farḍ kifāyah knowledge to nurture his dual

nature aspects, i.e., physical and spiritual. While the former is to

confirm and nurture his spiritual aspect, the latter is to his physical

aspect; (3) These ilm farḍ 'ain and 'ilm farḍ kifāyah are the means by

which he pursues the life purpose as God's servant as well as

khalifatullah.

Saat ini, sekularisme, berkat bantuan para pembeonya, di antaranya

idealisme, rasionalisme dan empirisme, telah sukses dalam

membangun pilar-pilar disiplin ilmu, metodologi dan objektif atau

tujuan ilmu menjadi sekular. Penelitian ini bertujuan untuk

mengeksplor konsep al-Ghazālī tentang kurikulum ilm farḍ 'ain dan

'ilm farḍ kifāyah. Akan tetapi, untuk mendapatkan pemahaman yang

utuh mengenai konsep tersebut, maka konsep 'ilm, manusia serta

tujuan pendidikan dalam Islam akan terlebih dahulu menjadi

perhatian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ilmu

pengetahuan dapat dibuktikan 'kebenaran dan kesalahan –nya.'

Benar jika melahirkan ketenangan dan ketenteraman hidup;

sebaliknya, salah jika melahirkan kegalauan dan malapetaka bagi

pemiliknya; (2) manusia memiliki dual aspek, yaitu jasmani dan

ruhani.

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

108 Baharuddin AR

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

Oleh karenanya ia membutuhkan ilm farḍ 'ain dan 'ilm farḍ kifāyah

sebagai nutrisinya. Yang pertama adalah nutrisi bagi aspek

ruhaninya, sedangkan yang kedua adalah nutrisi bagi aspek

jasmaninya; dan (3) Ilm farḍ 'ain dan 'ilm farḍ kifāyah adalah bekal

untuk meraih tujuan hidupnya yang tidak lain adalah pengabdian

kepada Allah dan khalifatullah di muka bumi.

Keywords: Sekularisme, idealisme, rasionalisme, empirisme, ilm farḍ

'ain, 'ilm farḍ kifāyah, 'ilm, the nature of man, objectives of education,

khalīfatullāh.

A. Pendahuluan

Di antara problema besar yang dihadapi umat Islam di era modern

adalah redupnya etos keilmuan di kalangan umat Islam dan munculnya

dunia Barat sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Problema

pertama, rendahnya etos keilmuan, menjadikan umat Islam “terisolir” dari

dunia keilmuan global. Kondisi ini sangat ironis karena di era klasik,

selama kurang lebih enam abad, umat Islam berada pada garda depan dan

menjadi kiblat dunia dalam pengembangan ilmu. Sementara itu, problema

kedua, munculnya dunia Barat sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan

teknologi, membawa persoalan serius karena pengembangan ilmu dan

teknologi di Barat bercorak sekuler sehingga memunculkan ekses negatif

seperti; sekularisme, materialisme, hedonisme, individualisme,

konsumerisme, rusaknya tatanan keluarga, pergaulan bebas, dan

penyalahgunaan obat terlarang. Al-Attas, lebih kurang 2 dekade yang lalu,

telah memperingatkan:

... the greatest challenge that has surreptitiously arisen in our age is the

challenge of knowledge, indeed, not as against ignorance; but knowledge as

conceived and disseminated throughout the world by Western civilization;

knowledge whose nature has become problematic because it has lost its true

purpose due to being unjustly conceived, and has thus brought about chaos

in man's life instead of, and rather than, peace and justice; knowledge which

pretends to be real but which is productive of confusion and scepticism,

which has elevated doubt and conjecture to the 'scientific' rank in

methodology and which regards doubt as an eminently valid epistemological

tool in the pursuit of truth;

Kurikulum Pendidikan Islam 109

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

1 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Malaysia: International Institute of

Islamic Thought and Civilization, 1983), 133; bandingkan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), 19-20.

knowledge which has, for the firs time in history, brought chaos to the Three 1

Kingdoms of Nature; the animal, vegetal and mineral. (… tantangan

terbesar yang kita hadapi di zaman ini adalah tantangan kita

terhadap ilmu, bukan berhadapan dengan kebodohan, tetapi

berhadapan dengan perspektif ilmu yang dirajut oleh peradaban

Barat –perspektif mana yang menimbulkan kekacauan dan

kerancuan sebagai akibat dari terabaikannya arah dan tujuan ilmu

yang sesungguhnya. Ilmu yang seharusnya beranjak meninggalkan

syak dan skeptisisme menuju yakin yang membawa keadilan dan

ketentraman hidup, justeru sebaliknya menjadikan wasangka

sebagai metodologi yang valid dan ilmiah –hal mana berakibat pada

kehancuran alam: hewani, nabati dan mineral).

Kutipan di atas menunjukkan adanya kekeliruan epistemologi serta

kerancuan dalam tubuh ilmu pengetahuan, baik dalam memahami ilmu

pengetahuan serta tujuannya, metodologi, konten atau kurikulum,

maupun dalam 'menentukan' subjek-objek ilmu pengetahuan.

Dalam sistem pendidikan, kita mengenal adanya komponen-

komponen yang antara satu komponen dengan komponen yang lainnya

saling terkait dan terikat, seperti institusi pendidikan, kurikulum, guru-

murid, dan lain sebagainya. Fokus penelitian ini adalah Kurikulum Ilmu

Fard Ain dan Ilmu Fard Kifayah. Akan tetapi, sebelum kajian mengarah

kepada fokus tersebut, maka ada baiknya melengkapi pemahaman kita

mengenai ilmu, tujuan pendidikan, dan manusia & pendidikan.

B. Definisi Ilmu Pengetahuan

Dalam literatur Islam, terminologi yang sering digunakan untuk

proses “tercapainya” ilmu pengetahuan adalah al-fahm. Dengan kata lain,

al-fahm merupakan sebuah ungkapan ketika objek materia (al-ma'lūmāt)

telah “berhasil” dipahami dan menjadi ilmu pengetahuan.

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

110 Ahmad Mustaghfirin

2 Lihat al-Sayyid al-Syarîf 'Alî al-Jurjānî, al-Ta'rīfāt (Mesir: Maktabah Mu��afā al-Bānî, 1938),

135. Bandingkan Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Positive Aspect of Tasawwuf: Preliminary Thoughts on an Islamic Philosophy of Science (Kuala Lumpur: Art Printing Works, 1981), 5.

3 Dikutip dalam Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Nature of Man and the Psychology of the

Human Soul: A Brief Outline and a Framework for an Islamic Psychology and Epistemology, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1990), 7-8.

Berdasarkan hal tersebut, maka pakar mendefinisikan ilmu pengetahuan

(al-'ilm) sebagai “ketibaan arti atau makna sesuatu pada jiwa” (حصول معىن الشـئ ىف

وصول النفـس اىل) atau “berhasilnya jiwa memperoleh arti atau makna sesuatu (النفس.(معىن الشئ 2

Dua hal yang menarik perhatian kita dalam definisi di atas, pertama

terma al-nafs dan yang kedua terma ma'na. Menurut al-Ghazālī, terma al-

nafs, yang literalnya diterjemahkan sebagai jiwa, merupakan padanan dari

kata al-'aql (rasio), al-qalb (hati), dan al-rūḥ (ruh). Dengan ungkapan lain, ke

empat terma tersebut pada hakikatnya memiliki entitas yang satu. Adapun

penyebutannya yang berbeda-beda, hal itu dikarenakan oleh keadaan

(aḥwāl) atau fungsinya, sehingga: (a) apabila entitas tersebut keadaanya

melakukan kegiatan intelektual (apprehension) maka ia disebut sebagai akal

atau rasio (al-'aql), (b) apabila entitas tersebut keadaannya “menaungi”

tubuh (governs the body), maka ia disebut sebagai jiwa atau soul (al-nafs), (c)

apabila entitas tersebut keadaannya menerima intuisi dan pencerahan

(receiving intuitive illumination), maka ia disebut sebagai hati atau heart (al-

qalb), dan (d) apabila entitas tersebut keadaannya “kembali” kepada

dunianya yang abstrak (the world of abstract entity), maka ia disebut ruh atau 3

spirit (al-rūḥ).

Kembali kepada definisi mengenai ilmu pengetahuan di atas.

Menurut al-Attas, al-nafs adalah merupakan substansi spiritual manusia di

mana ia berfungsi sebagai penerima sekaligus penterjemah objek materia

yang masuk melalui organ-organ iderawi atau panca indera bagian dalam

dan bagian luar, sehingga pada gilirannya terjadi suatu “pemahaman” (al-

fahm) atau ilmu mengenai sesuatu objek materia. Proses ini dikenal dengan

proses abstraksi.

Proses abstraksi, lebih rinci dijabarkan al-Attas, ada dua jenis:

abstraksi bentuk ataupun makna –tergantung kepada materia yang

menjadi objeknya. Artinya, jika proses abstraksi ini dilakukan dengan

“menggunakan” pendekatan indera (indera luar), maka yang terabstraksi

dari objek materia tersebut adalah form (ṣūrah atau bentuk) yang

direpresentasikannya, bukan benda atau objek itu sendiri, selanjutnya form

yang telah terabstraksi tersebut, oleh 'indera dalam' diolah sedemikian

rupa menjadi sebuah “ide.” Proses pembentukan atau pengolahan form

menjadi ide ini disebut sebagai proses “pemahaman” (لفهم yang pada (ا

gilirannya membuat objek materia dapat “dipahami” (مفهوم). Begitu pun

halnya jika proses abstraksi tersebut dilakukan dengan “menggunakan”

pendekatan rasio, maka yang terabstraksi dari objek materia tersebut

adalah arti (ma'na) yang direpresentasikan oleh sesuatu yang melekat

padanya, bukan benda atau objek itu sendiri, selanjutnya arti yang telah

terabstraksi tersebut, oleh jiwa melalui organnya (al-'aql, al-qalb, al-rūḥ dan

al-nafs) “diolah” sedemikian rupa menjadi sebuah “ide.” Proses

pembentukan atau pengolahan arti menjadi ide ini disebut sebagai proses

“pemahaman” (الفهم) yang pada gilirannya membuat objek pengetahuan atau 4

sesuatu dapat “dipahami” (مفهوم).

Al-Attas lebih lanjut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan

ma'na sesuatu adalah hakikat sesungguhnya dari sesuatu atau realitasnya.

Realitas sesuatu ini memiliki kondisi eksistensi (maujūd) “ada” dan “tiada”

secara silih berganti tanpa ada dua durasi waktu yang mengantarainya,

serta memiliki posisi eksistensi sebagai manifestasi (tajallī) dari Allah atau

symbol (āyah) yang merepresentasikan Allah. Pada kenyataan inilah

realitas sesuatu dikatakan dalam teologi sebagai qiyāmuh li gairih dan dalam

tasawwuf sebagai fanā'. Hal ini, menurut para Sufi, dilakukan agar supaya

entitas atau sesuatu tersebut merasa fakir (al-faqr) –keadaan mana

membutuhkan sesuatu yang lain selain dari dirinya, yaitu Tuhan (al-Ganī)

setiap saat (sense of dependency).

4 Telusuri Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and the Philosophy of Science (Kuala

Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, ISTAC, 1989), 9-10.

Kurikulum Pendidikan Islam 111

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

112 Ahmad Mustaghfirin

5 Lihat Syafa'atun al-Mirzanah, When Mystic Masters Meet: Paradigma Baru dalam Relasi Umat

Kristiani-Muslim (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 141-143.6 World-view Islam memberi gambaran yang sangat jelas antara Being (wujūd) dan Existent

(maujūd), antara Unity (waḥdah) dan Multiplicity (katsrah), antara Subsistence (baqā) dan Evanescene (fanā). Dalam diskursus wujūd, waḥdah, dan baqā, realitas wujūd hanya milik Allah satu-satunya (independent, subsistent, dan absolute), sedangkan maujūd adalah milik segala sesuatu selain dari pada Allah (dependent upon God, evanescene, dan relative). Lihat al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, 34-35.

7 Wujūd dan maujūd adalah istilah yang biasa digunakan untuk membedakan antara Allah

dan ciptaan-Nya. Yang pertama mutlak digunakan untuk merefrensikan Allah, sedangkan yang kedua untuk merefrensikan segala sesuatu selain Allah (mā siwā Allāh).

Karena jika tetap atau pernah mengalami ketidak fanā-an atau ada dalam

eksistensinya untuk dua durasi masa atau lebih, maka entitas akan

mempunyai kualifikasi sebagai sesuatu yang independent (ginā) dari Tuhan 5

dalam durasi tersebut. Demikianlah realitas sesuatu atau ma'na sesuatu 6

itu.

Ma'na juga sering dikaitkan dengan pemahaman mengenai porsi dan

kedudukan sesuatu. Hal ini tak lain karena dalam diskursus ilmu

pengetahuan, di sana terdapat kriteria-kriteria yang mengikat dan yang

tanpa kehadirannya, ilmu pengetahuan tidak dapat disebut sebagai ilmu

pengetahuan yang sesungguhnya.

Kriteria-kriteria yang dimaksud adalah: (1) al-'Adl, (2) al-Ḥikmah, dan

(3) al-Adab. Al-'Adl dipahami sebagai kondisi dan situasi dimana segala sesuatu

berada pada porsi dan kedudukannya masing-masing; al-Ḥikmah adalah

pengetahuan yang Allah berikan kepada seorang hamba mengenai porsi dan

kedudukan segala sesuatu; sedangkan al-Adab adalah pengenalan dan

pengakuan bahwa dalam tatanan eksistensi (being & existent), yang meliputi

Tuhan, manusia dan semesta, terpaut sebuah hukum yang disebut dengan hukum

hirarki (hirarcical order) –hukum mana yang mendudukkan Tuhan, manusia serta

alam semesta pada porsi dan kedudukannya masing-masing yang sesuai dan laik.

7 Prasa di atas berindikasi bahwa dalam tatanan maujūd (eksistensi),

dalam hal ini dan sebagai contoh kasus, manusia, khsusnya dalam struktur

sosial, terpaut sebuah hukum hirarki berdasarkan kapasitas intelektual,

dan potensi spiritual yang dimilikinya. Hukum tersebut meniscayakan

“pendudukan” seseorang pada porsi dan kedudukan sesuai dengan

hirarkinya berdasarkan kapasitas dan potensinya masing-masing.

Kulmisnasi tertinggi dalam hirarki tatanan eksistensi adalah rasulullah 8

saw. menyusul para sahabat dan seterusnya.

Dengan kriteria-kriteria ilmu tersebut, dapat dipahami bahwa ilmu

pengetahuan adalah pengenalan dan pengakuan akan porsi dan kedudukan

segala sesuatu dalam tatanan eksistensi, hal mana akan membawa kepada

pengenalan dan pengakuan porsi dan kedudukan Tuhan dalam tatanan wujūd-

maujūd (being and existent).

C. Tujuan Pendidikan

Istilah tujuan atau sasaran atau maksud, dalam bahasa Arab

dinyatakan dengan ghāyah atau ahdāf atau maqāsid. Sedangkan dalam

bahasa Inggris dinyatakan dengan goal atau purpose atau objective atau aim.

Namun, secara umum, istilah-istilah tersebut mengandung pengertian

yang sama, yaitu perbuatan yang diarahkan kepada suatu tujuan tertentu

yang hendak dicapai melalui upaya atau aktivitas.

Dalam konteks pendidikan, tujuan merupakan masalah yang

sentral, oleh karena, tanpa perumusan tujuan yang jelas, matang, dan tepat,

maka ibarat mengharap perahu dapat berjalan di daratan. Namun demikian,

berbicara mengenai tujuan pendidikan, tak dapat tidak, mengajak kita

berbicara mengenai tujuan hidup. Hal ini karena pendidikan,

sesungguhnya merupakan suatu alat yang dengannya manusia dapat

memelihara kelanjutan hidupnya, baik sebagai individu, maupun sebagai

anggota dalam masyarakat. Dan demi kelangsungan hidupnya, manusia

mewariskan berbagai nilai budaya dari satu generasi ke generasi

berikutnya. Disamping berfungsi sebagai alat, pendidikan juga berfungsi

sebagai medium dalam mengembangkan potensi-potensi yang ada pada

diri individu yang pada nantinya berguna dalam menghadapi mileu yang

penuh panca robah. Penemuan teknologi modern yang berfungsi untuk

mengatasi, misalnya, banjir, puting-beliung, gempa bumi, gunung berapi

dan lain sebagainya adalah bukti nyata dari fungsi pendidikan sebagai alat

yang berguna demi kelangsungan hidup manusia.

8 Lihat al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, 35-37.

Kurikulum Pendidikan Islam 113

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

114 Ahmad Mustaghfirin

Berdasar pada penjelasan singkat di atas, maka disimpulkan bahwa

tujuan pendidikan haruslah berpangkal pada tujuan hidup. Lalu apakah

tujuan hidup itu?

Bangsa Sparta yang merupakan salah satu kerajaan Yunani kuno,

memiliki tujuan hidup sebagai pengabdi dengan maksud untuk

memperkuat kerajaan. Mereka memahami arti kuat tersebut dalam

pengertian kekuatan fisik. Dengan pemahaman tersebut mereka

mendesain sebuah konsep pendidikan (kurikulum) yang dengannya

tujuan pengabdian kepada kerajaan yang dimaksud dapat tercapai, seperti

menciptakan berbagai macam bentuk olah raga, misalnya renang, lari,

loncat dan lain sebagainya yang tiada lain dimaksudkan untuk kebugaran

dan kesehatan jasmani di mana pada gilirannya mereka dapat

mempertahankan dan menjaga kedaulatan kerajaan dari berbagai bentuk

teror, baik dari luar ataupun dari dalam kerajaan itu sendiri.

Contoh berbeda dari tujuan hidup di atas adalah bangsa Athena

yang juga merupakan salah satu dari kerajaan Yunani kuno. Mereka

berpendapat bahwa tujuan hidup adalah untuk mencari kebenaran (truth).

Bagi mereka, sebagaimana yang mereka anut dari pemikir dan filosof,

seperti Plato, kebenaran adalah kebenaran utopia. Ilustrasinya: segala

sesuatu yang kita saksikan merupakan bayangan dari sesuatu yang berada

di alam utopia. Dengan demikian, sesuatu yang disaksikan tersebut

merupakan materi (matter) sedangkan yang di alam utopia adalah

bentuknya (form). Yang pertama disebut memiliki karakter yang selalu

berubah, tidak tetap dan berbilang (many), sedangkan yang kedua

berkarakter tetap, tidak berubah dan hanya satu. Dengan pemahaman

tersebut, mereka beranggapan bahwa kebenaran sesuatu adalah

bentuknya, bukan materinya, dan kebenaran tersebut itulah hakikatnya.

Kedua falsafah hidup yang tersebut di atas, menurut Hasan

Langgulung, merupakan embrio dan dasar dari aliran-aliran pemikiran

pendidikan Eropa Barat dan Amerika pasca Descartes (1596-1650 M).

Aliran-aliran tersebut, tanpa terkecuali, beranggapan bahwa dunia adalah 9

tujuan hidup.

9 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003), 297-

298.

|M ÷ƒuät� sùr& Ç` tB x‹ sƒ ªB$# ¼ çmyg»s9Î) çm1uq yd ã&©# |Êr&ur ª!$# 4’n?tã 5Où= Ïæ tLsê yz ur 4’n?tã ¾ÏmÏè øÿxœ ¾Ïm Î7ù= s%ur Ÿ@ yè y_ ur 4’n? tã ¾ ÍnÎŽ |Çt/

Zo uq» t±Ïî yJsù ÏmƒÏ‰ öku‰ . ÏB ω÷è t/ «!$# 4 Ÿxsù r& tbrã� ©.x‹ s? ÇËÌÈ (#qä9$s% ur $tB }‘Ïd žwÎ) $uZ è?$uŠym $u‹ ÷R‘‰9$# ßNqßJtR $ u‹øt wUur$ tBur

!$uZ ä3Î= ökç‰ žw Î) ã� ÷d ¤$!$# 4 $tB ur Mçlm; y7 Ï9º x‹ Î/ ô ÏB AOù= Ïæ ( ÷b Î) öL èe žwÎ) tbq‘Z Ýà tƒ ÇËÍÈ

Di sinilah kita bermula dan di sini pula kita berakhir. Implikasinya adalah

pengingkaran akan adanya Hari Akhirat dan bahkan wujud Tuhan 10

menjadi diragukan. Seperti yang tegaskan oleh al-Qur'an (QS: 45:23-24)

yang menggambarkan kalangan naturalisme (dahriyūn):

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa

nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan

ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya

dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang

akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).

Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? Dan mereka

berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja,

kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita

selain masa," dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan

tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.

Tujuan hidup yang sedemikian, kita temukan dalam aliran

pendidikan progressivisme (fil. Pragmatisme) John Dewey, sebagaimana

yang ia tegaskan:

Since there is nothing to which growth is relative save more growth, there is

nothing to which education is subordinate save more education. The

education process has no end beyond itself, it is own end. (Selama

berkembang [tidak dapat dipahami] melainkan lebih berkembang,

[maka demikian pula halnya dengan pendidikan], pendidikan tidak

dapat bersandar kepada yang lain kecuali kepada lebih

berpendidikan. [Dengan demikian] proses pendidikan tidak dapat

berujung kepada sesuatu yang lain [selain kepada dirinya], 11

pendidikan itulah akhir dari pendidikan).

10 Lihat misalnya, Marxisme, Kantianisme, Rasionalisme, Existensialime, dan lain sebagainya.

11 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, 297-298.

Kurikulum Pendidikan Islam 115

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

116 Ahmad Mustaghfirin

Aliran pemikiran pendidikan yang sedemikian, menurut Muzayyin

Arifin, menjadikan nilai-nilai kultural relativisme sebagai dasar dalam

proses pendidikan dengan menafikan nilai-nilai absolut, khsusunya yang

bersifat profetis (wahyu). Hal ini lanjutnya, dapat membawa corak

pemikiran sekularistis, di mana pada gilirannya memunculkan manusia-12

manusia sekular-atheistis.

Selanjutnya, pemikiran pendidikan yang digaungkan oleh John

Dewey, dengan stigma education is the process without end ini melihat titik

berat pendidikan kepada kegunaan (utilitarian). Hal ini tentu tidak

mengherankan, oleh karena implikasi logika yang harus lahir dari

pemikiran bercorak sekularistis sememangnya kebendaan. Prinsipnya:

pelajari yang berguna dan buang yang tidak berguna. Berguna di sini memiliki

equivalensi yang bersifat kebendaan. Jadi segala yang berguna dari perspektif

kebendaan merupakan priortias yang harus diraih, sedangkan sebaliknya harus

dibuang. Dengan demikian, pendidikan yang dengannya membawa

perbendaharaan, seperti banyak uang, banyak mobil dan lain-lain, harus dipelajari

dan menjadi keniscayaan, sebaliknya harus ditinggalkan.

Islam memiliki jawaban khusus atas tantangan tujuan pendidikan

sebagaimana yang dinyatakan dengan tegas oleh Allah swt. di dalam QS:

51:56 sebagai berikut:

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

mereka mengabdi kepada-Ku.

Dari penegasan Allah swt. yang terdapat pada ayat di atas, para

pakar merumuskan kesepakatan mengenai tujuan pendidikan dalam Islam

yang tidak berbeda dengan tujuan hidup yang teaklamasi di dalam ayat

tersebut. Dengan ungkapan berbeda, tujuah pendidikan dalam Islam

adalah tujuan hidup itu sendiri, yang tiada lain adalah pengabdian kepada

Allah swt. Hal ini, tercermin dari hakikat manusia sebagai makhluk Allah

yang berfitrah religius ('abd Allāh) dengan amanah dipundaknya untuk

memakmurkan bumi (khalīfat Allāh).

12 Lihat Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Bumi Aksaria, 2009), 63.

$tB ur àM ø)n= yz £ Åg ø: $# }§RM} $#ur žwÎ) Èbr߉ç7 ÷è u‹Ï9 ÇÎÏÈ

Gambaran singkat mengenai tujuan pendidikan yang dijelaskan di

atas, dapat kita lihat dari hasil konfrensi dunia Islam I mengenai

pendidikan yang diadakan di Mekkah pada 31 Maret hingga 8 April 1977

(World Confrence on Muslim Education):

Education should aim at balanced growth of the total personality of man through

the training of Man's spirit, intellect, the rational self, feelings and bodily sense.

Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects, spiritual,

intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and

collectively and motivate all these aspects toward goodness and the attainment of

perfection. The ultimate aim of Muslim education lies in the realization of complete

submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at 13

large. (Pendidikan harus ditujukan pada pertumbuhan yang seimbang

dari seluruh kepribadian manusia melalui latihan atas jiwa, akal, diri

rasional, perasaan dan indera-indera jasmaniahnya. Oleh karena itu,

pendidikan harus mendukung pertumbuhan manusia dalam semua

aspeknya, spiritual, intellectual, imajinatif, fisik, ilmiah, linguistik, baik

secara individual maupun kolektif dan mendorong semua aspek ini

menuju kepada kebaikan dan pencapaian kesempurnaan. Tujuan akhir

dari pendidikan Islam adalah merealisasikan kepasrahan penuh pada

Allah, baik pada tingkat individual, komunitas, maupun pada tingkat

umat.

Kutipan mengenai tujuan pendidikan dalam Islam di atas,

merupakan atau dapat dikategorikan sebagai tujuan pendidikan puncak dan

tertinggi di mana pendidikan diharapkan dapat membawa manusia untuk

merealisasikan kedudukannya sebagai hamba Allah serta menjalankan 14

amanahnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dan realisasi dari

kedudukan serta fungsi manusia tersebut adalah ceriminan dari manusia

yang diistilahkan dengan al-insān al-kāmil yang tiada lain adalah insan adabī, 15

atau dalam bahasa al-Attas a good man.

13 Dikutip dalam Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, 301.

14 Lihat Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006.), 134.

15 Lihat al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, 1.

Kurikulum Pendidikan Islam 117

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

118 Ahmad Mustaghfirin

Dikatakan sebagai tujuan puncak dan tertinggi, oleh karena

sebahagaian pakar dan pemikir pendidikan mengkategorikan tujuan

pendidikan dalam Islam dengan perspektif hirarki. Jadi, menurut mereka,

tujuan pendidikan dalam Islam dapat dilihat secara hirarki yang meliputi:

(1) tujuan puncak dan tertinggi, (2) tujuan umum, (3) tujuan khusus, dan,

(4) tujuan sementara.

1. Tujuan Puncak dan Tertinggi

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tujuan

puncak dan tertinggi dari tujuan pendidikan dalam Islam adalah

perwujudan dari esensi dan hakikat manusia sebagai makhluk yang

religius, yaitu penghambaan kepada Allah swt. serta perealisasian amanah

yang diembannya sebagai khalifah Allah. Hal ini merupakan sebuah

kemutlakan yang bersifat umum dan universal, oleh karena sesuai dengan

fitrah manusia serta konsep ketuhanan yang mengandung kebenaran

mutlak dan universal.

2. Tujuan Umum

Abu Achmadi mendefinisikan pendidikan sebagai:

… upaya pengembangan potensi atau sumber daya insani dalam

rangka merealisasikan (self-realization), menampilkan diri sebagai

pribadi yang utuh (pribadi Muslim). Proses pencapaian realisasi diri

tersebut dalam istilah psikologi disebut becoming, yakni proses

menjadikan diri dengan keutuhan pribadinya. Sedangkan untuk

sampai pada keutuhan pribadi diperlukan proses perkembangan 16

tahap demi tahap yang disebut proses development…

Tercapainya self realization yang utuh tersebut merupakan tujuan

umum pendidikan Islam yang proses pencapaiannya melalui berbagai

lingkungan atau lembaga pendidikan, baik pendidikan keluarga, sekolah

atau masyarakat secara formal atau informal.

16 Abu Achmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), 66.

Sementara al-Abrasyi merumuskan tujuan umum pendidikan Islam 17

sebagai berikut:

1) Untuk mengadakan akhlak yang mulia. Kaum Muslimin dari

dahulu kala sampai sekarang setuju bahwa pendidikan akhlak

adalah inti pendidikan Islam, dan bahwa mencapai akhlak yang

sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya;

2) Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

Pendidikan Islam bukan hanya menitik beratkan pada

keagamaan saja, atau pada keduniaan saja, tetapi pada kedua-

duanya;

3) Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat,

atau yang lebih terkenal sekarang ini dengan nama tujuan-tujuan

vakasional dan professional;

4) Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan memuaskan

keinginan tahu (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu

demi ilmu itu sendiri; dan

5) Menyiapkan pelajar dari segi professional, teknikal dan

pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan

keterampilan pekerjaan tertentu agar ia dapat mencari rezeki

dalam hidup di samping memelihara segi kerohanian dan

keagamaan.

Tokoh lain yang juga menyinggung masalah tujuan umum dalam

pendidikan Islam adalah al-Nahlawi. Beliau menunjukkan empat tujuan

umum dalam pendidikan Islam yaitu:

1) Pendidikan akal dan persiapan pikiran. Allah menyuruh

manusia merenungkan kejadian langit dan bumi agar dapat

beriman kepada Allah;

2) Menumbuhkan potensi-potensi dan bakat-bakat asal pada anak-

anak. Islam adalah agama fitrah, sebab ajarannya tidak asing bagi

tabiat asal manusia, bahkan ia adalah fitrah yang manusia

diciptikan sesuai dengannya, tidak ada kesukaran dan perkara

luar biasa;

17 Dikutip dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 137-138.

Kurikulum Pendidikan Islam 119

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

120 Ahmad Mustaghfirin

3) Menaruh perhatian pada kekuatan dan potensi generasi muda

dan mendidik mereka sebaik-baiknya, baik laki-laki maupun

perempuan; dan,

4) Berusaha untuk menyumbangkan segala potensi-potensi dan

bakat-bakat manusia.

3. Tujuan khusus

Tujuan khusus adalah pengkhususan atau operasional tujuan

puncak dan tertinggi serta tujuan umum. Tujuan khusus bersifat realtif

sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan di mana perlu sesuai

dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka

tujuan puncak dan tertinggi serta tujuan umum. Pengkhususan tujuan

tersebut dapat didasarkan pada beberapa hal yaitu: (1) kultur dan cita-cita

suatu bangsa; (2) minat, bakat dan kesanggupan; dan, (3) tuntutan situasi.

4. Tujuan Sementara

Tujuan-tujuan sementara pada umumnya merupakan tujuan-tujuan

yang dikembangkan dalam rangka menjawab segala tuntutan kehidupan.

Karena itu tujuan sementara itu kondisional, tergantung faktor di mana

peserta didik itu tinggal atau hidup. Berangkat dari pertimbangan kondisi

itulah pendidikan Islam bisa menyesuaikan diri untuk memenuhi prinsip

dinamis dalam pendidikan dengan lingkungan yang bercorak apapun,

yang membedakan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain, yang

penting orientasi dari pendidikan itu tidak keluar dari nilai-nilai ideal

Islam.

Melihat tujuan-tujuan pendidikan yang telah dikemukakan di atas,

disimpulkan, bahwa tujuan umum, tujuan khusus, dan tujuan sementara

dapat dikatakan sebagai sarana menuju tercapainya tujuan puncak dan

tertinggi, bahkan menurut hemat penulis, tujuan-tujuan tersebut dapat

diasumsikan sebagai fungsi-fungsi sekaligus materi-materi pendidikan

yang dengannya tujuan puncak dan tertinggi dalam pendidikan Islam

dapat tercapai. Hal ini terlihat dengan jelas baik dari point-point yang

dikemukakan oleh al-Abrasyi dan al-Nahlawi di atas, maupun dari point-

point tujuan khusus pendikan yang dituangkan oleh Hasan Langgulung 18 seperti berikut:

18 Lihat Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1986) 64.

1) Memperkenalkan kepada generasi muda akan akidah Islam,

d a s a r - d a s a r n y a , a s a l u s u l i b a d a h d a n c a r a - c a r a

melaksanakannya dengan betul, dengan membiasakan mereka

berhati-hati mematuhi akidah-akidah agama serta menjalankan

dan menghormati syiar-syiar agama;

2) Menumbuhkan kesadaran yang betul pada diri pelajar terhadap

agama termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar akhlak yang

mulia;

3) Menanamkan keimanan kepada Allah pencipta alam, kepada

Malaikat, Rasul-rasul, Kitab-kitab dan hari kiamat berdasarkan

pada paham kesadaran dan perasaan;

4) Menumbuhkan minat generasi muda untuk menambah

pengetahuan dalam adab dan pengetahuan keagamaan dan

untuk mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan

kerelaan;

5) Menanamkan rasa cinta dan penghargaan kepada al-Qur'an,

membacanya dengan baik, memahaminya dan mengamalkan

ajaran-ajaranya.

6) Menumbuhkan rasa bangga terhadap sejarah dan kebudayaan

Islam dan pahlawan-pahlawannya serta mengikuti jejak mereka;

7) Menumbuhkan rasa rela, optimism, percaya diri, tanggung

jawab, menghargai kewajiban, tolong menolong atas kebaikan

dan takwa, kasih saying, cinta kebaikan, sabar, berjuang untuk

kebaikan, memegang teguh pada prinsip, berkorban untuk

agama dan tanah air dan bersiap untuk membelanya;

8) Mendidik naluri, motivasi, dan keinginan generasi muda dan

menguatkannya dengan akidah dan nilai-nilai, dan

membiasakan mereka menahan motivasinya, mengatur emosi

dan membimbingnya dengan baik, begitu juga mengajar mereka

berpegang dengan adab sopan santun pada hubungan dan

pergaulan mereka baik di rumah, di sekolah atau di mana pun ia

berada;

9) Menanmkan iman yang kuat kepada Allah pada diri mereka,

perasaan keagamaan, semangat keagamaan dan akhlak pada diri

mereka dan menyuburkan hati mereka dengan rasa cinta, zikir,

takwa dan takut kepada Allah; dan,

Kurikulum Pendidikan Islam 121

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

10) Membersihkan hati mereka dari rasa dengki, hasad, iri hati, benci,

kekasaran, egoism, tipuan, khianat, nifak, raga, serta perpecahan

dan perselisihan.

Dengan demikian, tujuan hidup seorang Muslim sebagai individu

yang memiliki fitrah pengabdian kepada Allah swt. serta fungsi

pemakmuran bumi, itu pulalah yang menjadi tujuan pendidikannya.

Materi-materi pendidikan yang menghantarkannya ke arah tujuan

tersebut, yang populer dikenal di dunia akademik sebagai kurikulum

pendidikan, secara detail akan diterangkan pada bagian kurikulum 'Ilm Farḍ

'Ain dan 'Ilm Farḍ Kifāyah.

D. Manusia dan Pendidikan

Sub pembahasan Manusia dan Pendidikan mendahului Kurikulum 19

Pendidikan. Hal ini penting, mengingat bahwa manusia adalah objek

dimana kurikulum pendidikan didesain dan dituangkan. Artinya,

perencanaan kurikulum pendidikan hanya dapat dilakukan jika objek

pendidikan dipahami dengan komprehensif.

19 Di dalam Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2006), 69-70, Sadulloh

menegaskan bahwa yang dapat menjadi objek pendidikan dan terlibat dalam proses pendidikan

adalah manusia. Dan hewan, oleh karena tidak memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh manusia, tidak

dapat dididik, dan tidak memungkinkan untuk menerima pendidikan. Ciri-ciri yang dimaksud

adalah:

1) Manusia memiliki kemauan untuk menguasai hawa nafsunya;

2) Manusia memiliki kesadaran intelektual dan seni. Manusia dapat mengembangkan pengetahuan

dan teknologi, sehingga menjadikannya sebagai makhluk berbudaya;

3) Manusia memiliki kesadaran diri. Manusia dapat menyadari sifat-sifat yang ada pada dirinya.

Manusia dapat mengadakan introspeksi diri;

4) Manusia adalah makhluk sosial. Manusia membutuhkan orang lain untuk hidup bersama-sama,

berorganisasi dan bernegara;

5) Manusia memiliki bahasa simbolis, baik secara tertulis maupun secara lisan;

6) Manusia dapat menyadari nilai-nilai (etika maupun estetika). Manusia dapat berbuat sesuai

dengan nilai-nilai tersebut. Manusia memiliki kata hati atau hati nurani; dan,

7) Manusia dapat berkomunikasi dengan Tuhan yang Mahakuasa sebagai pencipta alam semesta.

Manusia dapat menghayati kehidupan beragama, yang merupakan nilai yang paling tinggi dalam

kehidupan manusia.

Hal senada dikemukakan oleh al-Attas dalam pembahasannya mengenai terminologi pendidikan

Islam, sebagaimana yang dikutip oleh Wan Daud: … sementara pelatihan dapat dilakukan bagi

manusia dan binatang, pendidikan sejatinya hanya dapat dilakukan untuk manusia… lihat Wan

Mohd. Nor Wan Daud, “Konsep al-Attas tentang Ta'dib: Gagasan Pendidikan yang Tepat dan

Komprehensif dalam Islam.” Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Thn I, No. 6 September

2005, 81.

122 Baharuddin AR

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

Dikatakan manusia sebagai objek pendidikan, oleh karena, di antara

makhluk ciptaan Tuhan, hanya manusia yang memiliki keunikan serta

kekhususan yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan lainnya. Dan dengan

keunikan dan kekhususan tersebut, manusia dapat menerima pelatihan,

pengajaran, dan pendidikan. Keunikan dan kekhususan yang dimaksud

adalah bahwasanya manusia diletakkan dalam posisi dua titik lingkaran,

yaitu sebagai makhluk pribadi yang selalu mempererat hubungan dengan

Tuhan (ḥabl min Allāh) dan sekaligus menjalin hubungan dengan

masyarakatnya (ḥabl min al-Nās). Dengan ikatan dalam dua lingkaran

hubungan inilah, manusia menempuh rangkaian proses perkembangan

yang menuju ke arah martabat hidup manusiawi sesuai dengan kehendak

Tuhannya. Hubungan dua arah yang sekaligus harus dibentuk itulah yang

mampu menjadikan dirinya hamba Tuhan yang paling mulia di antara

makhluk Tuhan lainnya, karena mampu berkeimanan yang tangguh ('ibād

al-Raḥmān) dan mampu beramal shaleh untuk masyarakatnya (khalīfat

Allāh).

1. Hakikat Manusia

Pengetahuan tentang hakikat manusia merupakan bagian yang

sangat esensial, karena dengan pengetahuan tersebut dapat diketahui

tentang kedudukan dan fungsinya, baik hubungannya dengan Tuhan

maupun hubungannya dengan makhluk di sekelilingnya. Dan dengan

pengetahuan akan kedudukan dan fungsi manusia tersebut, maka proses

pendidikan dapat dilakukan dengan terencana dan tersistematis, sehingga

pada gilirannya tujuan pendidikan dapat tercapai secara maksimal.

Di dalam al-Qur'an, ada 3 terma yang sering digunakan untuk

menunjuk pengertian manusia. Ketiga terma tersebut adalah: al-basyar, al-

nās dan al-insān. Meskipun secara umum menunjukkan arti pada manusia,

akan tetapi, secara khusus memiliki pengertian yang berbeda.

1) Al-Basyar

Kata al-basyar dinyatakan di dalam al-Qur'an sebanyak 36 kali yang

tersebar ke dalam 26 sūrah untuk menunjuk manusia. Secara etimologi, al-

basyar merupakan bentuk jamak dari kata al-basyarat yang literal

diterjemahkan sebagai kulit kepala, wajah dan tubuh menjadi tempat

tumbuhnya rambut. Pemaknaan manusia dengan al-basyar memberi

pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifat-

sifat yang ada di dalamnya, seperti makan, minum, kebutuhan akan

hiburan, seks dan lain sebagainya.

Kurikulum Pendidikan Islam 123

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

Kata al-basyar ditujukan kepada manusia secara keseluruhan tanpa terkecuali, termasuk Nabi Muhammad, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qur'an (QS. 18:10: “Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah seorang manusia (basyar) seperti kalian”).

Ayat tersebut mengisyaratkan kepada kita, bahwa Nabi Muhammad saw. pun memiliki sifat basyariyah. Penggunaan kata al-basyar mempunyai makna bahwa manusia secara umum memiliki persamaan dengan ciri pokok dari makhluk Allah lainnya, seperti hewan dan tumbuhan. Ciri pokok yang umum tersebut di antaranya adalah persamaan mereka dalam hal kebutuhan akan ruang dan waktu, serta tunduk kepada sunnatullah. Secara biologis manusia memiliki ketergantungan yang sama dengan hewan dan tumbuhan terhadap alam, seperti makan, minum dan lain sebagainya. Dengan demikian, penggunaan kata al-basyar pada manusia hanya menunjukkan persamaan dengan makhluk lainnya pada aspek material atau dimensi alamiahnya saja.

2) Al-Nās

Kata al-nās dinyatakan di dalam al-Qur'an sebanyak 240 kali yang tersebar ke dalam 53 sūrah. Kata al-nās menunjuk kepada hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan menunjuk kepada manusia secara keseluruhan tanpa melihat statusnya apakah ia beriman atau kafir.

Selain pengertian tersebut, kata al-nās juga dipakai untuk menunjukkan sifat atau kondiri manusia yang labil. Meskipun Allah telah menganugerahkan kepada manusia berupa potensi akal yang dapat digunakan untuk mengenal Tuhan, namun hanya sebahagian manusia yang mau mempergunakannya dalam bentuk yang positif, bahkan sebahagian manusia mempergunakannya dalam bentuk negatif, yaitu melakukan penentangan dengan Tuhan. Dengan demikian, penyebutan manusia dengan menggunakan terma al-nās mengindikasikan bahwa manusia memiliki dua dimensi, yaitu sebagai makhluk yang mulia sekaligus tercela.

3) Al-Insān

Jika dipahami bahwa hakikat sesuatu itu adalah merupakan definisinya, sedangkan definisi dipahami sebagai pemberian batasan atau membuat sesuatu yang didefinisikan itu tidak tak terbatas (ad-infinitum) –batasan mana berarti memberi sesuatu yang didefinisikan sebuah kekhususan yang tidak dimiliki oleh sesuatu yang lain, maka disimpulkan bahwa kedua terma yang telah disebutkan di atas (i.e., al-basyar dan al-nās) belum dapat dikatakan telah cukup berbicara mengenai hakikat dan definisi manusia, melainkan hanya pada batas berbicara mengenai gambaran manusia.

124 Baharuddin AR

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

øŒÎ) ur x‹s{r& y7 •/u‘ .` ÏB ûÓÍ_t/ tP yŠ# uä ` ÏB óO Ïd Í‘qßgàß öN åktJ ­ƒ Íh‘èŒ öN èd y‰pk ô­r& ur #’n?tã öN ÍkŦ àÿRr& àM ó¡s9r& öN ä3În/t� Î/ ( (#qä9$s% 4’n? t/¡

!$tR ô‰Îgx© ¡ cr& (#qä9q à)s? tPöq tƒ Ïp yJ»uŠ É)ø9$# $ ¯RÎ) $Z à2 ô` tã # x‹» yd tû,Î# Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ

Lalu apa hakikat manusia? Apakah penyebutan al-Qur'an dengan

menggunakan terma al-insān dapat dikatakan sebagai definisi manusia?

Kata al-insān dinyatakan dalam al-Qur'an sebanyak 73 kali yang

disebut ke dalam 43 sūrah. Kata ini terbentuk dari akar kata nasiya yang

secara literal bermakna lupa. Ibn Abbas, seperti yang dikutip oleh al-Attas,

menyebutkan bahwa sesungguhnya manusia itu disebut sebagai manusia

oleh karena manusia telah melakukan perjanjian kontrak dengan Allah,

tetapi kemudian mereka lupa (innamā summiya al-insān insānan li annahū 20

'uhida ilayh fa nasiya).

Nampaknya Ibn Abbas merujuk pernyataannya dengan sebuah ayat di

dalam al-Qur'an (QS: 7:172):

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-

anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian

terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini

Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami

menjadi saksi." (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat

kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (banī '�dam) adalah

orang-orang yang lengah lupa terhadap kesaksian ini.

Kutipan ayat di atas, secara indikatif menunjukkan bahwa manusia, 21

di samping memiliki unsur yang disebut dengan unsur jasmani, ia juga

memiliki unsur ruhani.

20 Lihat al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, 37.

21 Bandingkan dengan ayat berikut (QS: 23:12-14):

Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.

ô‰s)s9ur$oY ø)n= yzz » |¡S M} $# ` ÏB 7' s#» n= ß™ ` ÏiB &ûü ÏÛ ÇÊËÈ §NèO çm» oYù= yè y_ Zp xÿôÜçR ’Îû 9‘#t� s% &ûü Å3B ÇÊÌÈ ¢OèO $uZø)n= yz sp xÿôÜ‘Z9 $# Zps)n= tæ $ uZø)n= y‚sù sps)n= yè ø9$# Zptó ôÒ ãB$ uZø)n= y‚sù

sptó ôÒßJ ø9 $#$VJ» sàÏã $tR öq|¡ s3 sù zO» sàÏè ø9$# $ VJ øtm: ¢OèO çm» tR ù't±S r& $) ù=yz t� yz#uä 4 x8u‘$t7 tF sù ª!$# ß |¡ ômr& tûüÉ)Î= »sƒø: $# ÇÊÍÈ

Kurikulum Pendidikan Islam 125

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

# sŒÎ* sù ¼ çmçF ÷ƒ§qy™ àM ÷‚ xÿtR ur ÏmŠ Ïù ÏB ÓÇrr•‘ (#qãè s)sù ¼çms9 tûïω Éf» y™ ÇËÒÈ

Sebagaimana yang juga ditegaskan oleh Allah swt. melalui firman-Nya 22 (QS: 15:29) yang berbunyi:

Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah

meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu

kepadanya dengan bersujud.

Selanjutnya, Allah mengajari manusia nama-nama (al-asmā') segala 23

sesuatu. Mengomentari ayat tersebut, al-Atas menyebutkan bahwa

“Allah telah memberi ilmu (al-'ilm) kepada manusia mengenai segala

sesuatu. Dan ilmu di sini, maksudnya bukan ilmu mengenai esensi (zat)

sesuatu, seperti ruh (al-rūḥ), oleh karena hanya sedikit saja ilmu

mengenainya yang telah disingkap (QS: 17:8: wa mā ūtītum min al-'ilm illā

qalīlā), melainkan ilmu yang berkenaan dengan hal-hal aksiden ('arad) dan

sifat (ṣifah) dari sesuatu yang dapat dicerna oleh indera dan aqal (maḥsūsāt 24

dan ma'qūlāt).

Allah juga telah memberi manusia ilmu pengetahuan mengenai Diri-

Nya (ma'rifah), ke-Esaan-Nya, bahwa Dialah Tuhan yang sesungguhnya,

sehingga dengan demikian, menjadi tujuan dari segala persembahan 25

(ilāh).

22 Menurut Ramayulis, jika proses penciptaan manusia sebagaimana yang dimaksud pada

ayat tersebut dianalisa lebih seksama, maka penggunaan kata al-insān di sini mengandung dua dimensi: pertama, dimensi tubuh (dengan berbagai unsurnya); kedua, dimensi spiritual (ditiupkannya roh Allah kepada manusia).

Dengan demikian, kedua dimensi tersebut, memberikan suatu penegasan, bahwa kata al-insān mengandung makna akan ke unikan manusia. Sebab, disamping memiliki kelebihan dan keistimewaan, ia juga memilki sifat-sifat keterbatasan, seperti tergesa-gesa, kikir, suka membantah, resah dan gelisah dan lain sebagainya. Untuk itu, agar manusia hidup sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah, maka hendaklah manusia senantiasa tetap menggunakan akal dan seluruh potensi yang dimilikinya secara optimal, dengan tetap berpedoman kepada ajaran ilahi. Dengan tetap mengacu pada nilali-nilai inilah manusia dapat mewujudkan dirinya sebagai makhluk Allah yang mulia. Jika tidak, manusia akan tergelincir dan terjerumus pada kehinaan, bahkan lebih hina dari binatang. Lihat Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 3-5.

23 Lihat QS: 2:31: wa 'allama Ᾱdam al-asmā.

24 Lihat al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, 24.

25 QS: 7:172 dan 3:18.

126 Baharuddin AR

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

Akan tetapi, bukan hanya ilmu dan ma'rifah yang melekat dalam diri

manusia, melainkan sifat lupa (nisyān), sebagaimana yang dinyatakan oleh

Ibn Abbas di atas. Sifat nisyān ini lah, yang menurut al-Attas, menjadi

penyebab terjadinya penyelewengan dan 'kedurhakaan' (disobidience) 26

kepada Allah swt. –hal mana kemudian melahirkan 'kezaliman' (al-ẓulm)

dan 'kebodohan' (al-jahl).

Dari penjelasan singkat tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia

memiliki kelebihan berupa unsur ruhani yang Allah anugerahkan

kepadanya –hal mana menunjukkan perbedaannya dengan makhluk

Tuhan lainnya. Kelebihan yang berupa unsur ruhani ini, tak lain dan tak 27 bukan, adalah rasio (al-'aql), hati (al-qalb), spirit (al-rūḥ) dan jiwa (al-nafs).

Itulah sebabnya, sebahagian pakar mendefinisikan manusa sebagai al-

ḥayawān al-nāṭiq (hewan yang rasional).

Lalu apa pengertian rasio yang mendefinisikan dan yang menjadi

pembeda antara manusia dengan makhluk atau lebih presisinya hewan 28

yang lainnya?

26 Lihat al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, 24

27 Menurut al-Ghazālī, terma al-nafs, yang literalnya diterjemahkan sebagai jiwa, merupakan

equivalensi dari kata al-'aql (rasio), al-qalb (hati), dan al-rūḥ (ruh). Dengan ungkapan lain, ke empat terma tersebut pada hakikatnya memiliki entitas yang satu. Adapun penyebutannya yang berbeda-beda, hal tersebut dikarenakan oleh keadaan (aḥwāl) atau fungsinya, sehingga: (a) apabila entitas tersebut keadaanya melakukan kegiatan intelektual (apprehension) maka ia disebut sebagai akal atau rasio (al-'aql), (b) apabila entitas tersebut keadaannya “menaungi” tubuh (governs the body), maka ia disebut sebagai jiwa atau soul (al-nafs), (c) apabila entitas tersebut keadaannya menerima intuisi dan pencerahan (receiving intuitive illumination), maka ia disebut sebagai hati atau heart (al-qalb), dan (d) apabila entitas tersebut keadaannya “kembali” kepada dunianya yang abstrak (the world of abstract entity), maka ia disebut ruh atau spirit (al-rūḥ). Dikutip dalam al-Attas, The Nature, 7-8.

28 Di dalam logika dikenal istilah kullī (general) dan juz'ī (parsial). Kullī terdiri dari 5 bagian,

yaitu: jins (jenus = jenis), naw' (spesis), faṣl (differentia), khaṣṣah (properti), dan 'araḍ 'āmm (aksiden umum). Mendefinisikan manusia sebagai hewan yang berasio berarti memberi kekhasan kepada manusia di mana kekhasan tersebut tidak dimiliki oleh hewan lainnya. Hewan adalah jenus, manusia adalah spesis, dan rasion adalah differentia. Lihat Mulla Khalil al-Sa'radi, Isagogi fi al-Manṭiq (Turkey: Teblig Yayinlari, tt.) 8.

Kurikulum Pendidikan Islam 127

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

Rasio merupakan terjemahan literal dari al-nuṭq. Rasio didefinisikan

sebagai kapasitas (capacity) untuk mengungkap dan memahami ucapan,

sekaligus kemampuan (power) untuk memformulasi makna (meaning). Jadi,

rasio merupakan sebuah fakultas dalam diri manusia yang dengannya ia

(manusia) dapat mengungkap ucapan ataupun memahami ucapan 29

ataupun memformulasi kalimat yang bermakna dan dapat dipahami.

Definisi mengenai rasio tersebut sesungguhnya merupakan

implikasi (by implication) pemahaman yang terindikasi dari kejadian yang

dikenal dengan 'pengambilan sumpah' (primordial covenant = 'ahd atau

mītsāq), dimana Allah bertanya kepada manusia: bukankah Aku (Allah)

Tuhan kalian? Yang serentak mereka jawab dalam bentuk affirmasi: ya, Kami

bersaksi akan hal itu! Oleh karena, tanpa adanya kapasitas serta kemampuan

(rasio) yang Allah anugerahkan kepada manusia tersebut, manusia tidak

akan dapat memahami pertanyaan serta mengartikulasi jawaban yang

dapat dipahami.

2. Kedudukan dan Fungsi Manusia

Dengan unsur manusia yang terdiri atas jasmani dan rohani, di mana

unsur yang kedua disebut menjadi unsur utama dan yang

mendefinisikannya, serta dengan kapasitas dan potensi yang

dianugerahkan kepadanya oleh Allah, maka, dengan demikian, ia

memiliki kedudukan yang strategis sebagai pengemban amanah Allah

(kahlīfat Allah).

Sebagai khalīfat Allah (lit. wakil Allah), manusia diberi 'kewenangan'

untuk memakmurkan bumi (QS: 2:30). Kewenangan di sini tidak dalam

pengertian kewenangan yang tanpa batas, melainkan kewenangan dengan

batas yang sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah, yaitu berlaku 'adil'

(justice).

29 Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Positive Aspects of Tasawwuf (Kuala Lumpur:

Art Printing Works, 1981), 4.

128 Baharuddin AR

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

Hal ini tentu hanya dapat dilakukan jika dipahami bahwa semesta atau

bumi yang diamanati merupakan ayat (simbol) yang tidak

'merepresentasikan' dirinya, melainkan 'sesuatu' di balik dirinya, yaitu, 30

Allah.

Dengan persepsi tersebut, manusia tentunya senantiasa akan

menjaga keharmonisan hubungan dirinya dengan alam sebagai sesuatu

yang memiliki persamaan sebagai hamba kepada Allah. Manusia akan

senantiasa memiliki sifat hormat dan menjaga prilaku dan perbuatannya

agar tidak terjadi kerusakan (fasād) di bumi yang ia junjung, sebagaimana

pesan Allah di dalam QS: 2:11-12:

Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat

kerusakan di muka bumi.”. mereka menjawab: “Sesungguhnya

kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah,

Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat

kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.

# sŒÎ) ur Ÿ@Š Ï% öN ßgs9 Ÿw (#r߉ Å¡øÿè? ’Îû ÇÚ ö‘F{ $# (# þqä9$s% $yJ ¯RÎ) ß øtwU šcqßs Î= óÁãB ÇÊÊÈ Iwr& öNßgR Î) ãN èd tbr߉šøÿßJø9 $#

Å3» s9ur žw tbrá�ãè ô±o„ ÇÊËÈ

30 Kata الشئ berarti sesuatu, atau segala yang ada selain dari Tuhan (ما سـوى هللا). Kata ini memiliki

padanan arti dalam bahasa Arab yaitu: املعلومات، العامل ،الكون (الاكئنات)، اخللق (ا�لوقات)، طبیعي :

artinya alam yang berasal dari atau �امل الكون والفســــاد dalam filsafat disebut sebagai )الكون (الاكئنات (1 muncul dan tercipta dari 'ālam al-'amr (alam perintah Allah) melalui kata atau kalimat )اكن – امنا امره اذا اراد ش��ا ان یقول � �ن ف�كون :sebagaimana firman Allah �كون – �ون / اك�ن - �ن) �ن

- �لق – خيلق – �لقـا) atau pencipta اخلالق artinya ciptaan, kata ini memberi indikasi adanya )اخللق (ا�لوقـات (2 .(�الق

”.yang berarti alam “terbit” atau alam ”stempel �امل طبـیعي dalam filsafat disebut sebagai طبیعي (3 Indikasinya adalah bila ada yang terbit sudah pasti ada penerbitnya atau pelaku yang melakukan stempel tersebut.

– �مل – یعمل – �لام yang berarti yang Maha Mengetahui العامل atau objek ilmu. Indikasinya adalah املعلومات (4 .()�امل – معلوم / معلومات

”,atau yang “menghendaki مشـ��ة yang berarti sesuatu. Ini mengindikasikan adanya الشئ (5 dalam teologi disebut sebagai (شاء – �شاء – شئ - مش��ة) مبش��ة هللا.

Terma-terma tersebut di atas, sebagaimana yang dapat dilihat, memunculkan indikasi adanya “sesuatu” yang lain selain dari dirinya (point to something other than itself). Sesuatu yang lain selain dari dirinya ini biasa diistilahkan dengan “tanda” (simbol = āyah) akan adanya Allah.

Kurikulum Pendidikan Islam 129

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

Hal senada dikatakan oleh Quraisy Syihab dalam menyikapi tugas

manusia sebagai khalīfat Allah di muka bumi:

… bahwa hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan

manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara

penakluk dengan ditaklukkan, atau antara tuan dengan hamba,

tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah swt.

karena walaupun manusia mampu mengelola dan menguasai,

namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimiliki oleh

manusia, melainkan karena Tuhan menundukkannya untuk 31

manusia.

Jadi, manusia dalam visi kekhalifahannya, bukan saja sekedar

'menggantikan' sebagaimana arti literal yang inheren dari kata khalīfah,

tetapi dengan arti yang luas yaitu senantiasa mengikuti perintah yang

digantikan (Allah). Dengan pengertian ini, dan sebagai konsekuwensi

logis, maka manusia memiliki tugas dan tanggung jawab atas amanah

kekhalifahan, yakni untuk memakmurkan bumi –hal mana berarti pula

bahwa telah menjadi keniscayaan baginya untuk memiliki ilmu atau

berada dalam lingkungan dan proses pendidikan yang membawanya

dapat merealisasikan tugas dan tanggung jawab yang diemban tersebut.

Oleh karena manusia sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,

merupakan makhluk Allah yang berdual dimensi: fisik dan non-fisik atau

jasmani dan ruhani, maka ilmu yang menjadi keniscayaan baginya pun

dapat diklasifikasi menjadi dua: ilmu yang menjadi “makanan” bagi

dimensi fisik dan ilmu yang menjadi makanan bagi dimensi ruhani. Kedua

ilmu yang menjadi keniscayaan bagi manusia inilah yang disebut dengan

ilm far� 'ain dan 'ilm far� kifāyah sebagaimana yang akan dijabarkan pada

sub bagian selanjutnya.

31 Dikutip dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 10.

130 Baharuddin AR

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

DAFTAR PUSTAKA

Hal 'Abd al-Bāqi, Muḥammad Fu'ād. Mu'jam al-Mufahras li Alfāzh Al-Qur'ān al-Karīm. Beirut: Dār al-Fikr, 1987.

al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. al-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Falasifatuha. Cario: Issa al-Baby al-Halaby & Co, 1969.

Achmadi, Abu. Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media, 1992.

Acikgenc, Alparslan. Islamic Science: Toward a Definition. Kuala Lumpur: ISTAC, 1996.

Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Bumi Aksaria, 2009.

al-Aṣfahānī, al-Rāghib. Mu'jam Mufradāt li alfāẓ al-Qur'ān. Beirut: Dār al-Fikr, tt.

al-Attas, Syed Muhammad Naquib. “Latar Belakang Kristen-Barat Kontemporer.” Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Vol III, No. 2 Januari-Maret 2007.

---------. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: ISTAC, 1991.

---------. Islam and Secularism. Malaysia: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1983.

---------. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam. Malaysia: University Teknologi Malaysia, 2014.

---------. The Positive Aspect of Tasawwuf: Preliminary Thoughts on an Islamic Philosophy of Science. Kuala Lumpur: Art Printing Works, 1981.

---------. The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul: A Brief Outline and a Framework for an Islamic Psychology and Epistemology. Kuala Lumpur: ISTAC, 1990.

---------. Islam and the Philosophy of Science. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, ISTAC, 1989.

---------. Islam and Secularism. International Institute of Islamic Thought and Civilization: Malaysia, 1983.

Kurikulum Pendidikan Islam 131

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017

---------. et.al., Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979.

th---------. The Oldest Known Malay Manuscript: a 16 Century Malay Translation of the Aqa'id of al-Nasafi. Kuala Lumpur: Department of Publications University of Malaya, 1988.

---------. The Meaning of Happiness in Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.

---------. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education, Kuala Lumpur: ISTAC, 1991.

---------. Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam (terj). Bandung: Mizan, 1987.

Bakar, Osman. Classification of Knowledge in Islam. Kuala Lumpur: Institute for Policy Research, 1992.

al-Baijūrī, Syeikh Ibrāhīm. Sharh al-Sanusiyah. Indonesia: Dār I�yā al-Kutub al-'Arabiyah, th.

Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003.

---------. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikolog dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986

al-Mirzanah, Syafa'atun. When Mystic Masters Meet: Paradigma Baru dalam Relasi Umat Kristiani-Muslim. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2006.

Wan Daud, Wan Mohd. Nor. The Beacon on the Crest of a Hill: A Brief History and Philosophy of the International Institute of Islamic Thought and Civilization. Kuala Lumpur: ISTAC, 1991.

---------. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization. Kuala Lumpur: ISTAC, 1998.

---------. “Konsep al-Attas tentang Ta'dib: Gagasan Pendidikan yang Tepat dan Komprehensif dalam Islam.” Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Thn I, No. 6 September 2005.

132 Baharuddin AR

DIRASAT. Vol. 12, No. 01 TAHUN 2017