KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan...
Transcript of KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI - · PDF fileMenurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan...
1
KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI
Oleh: Abdul Hakim
*
ABSTRACT
There should be a common understanding that corruption is a disgraceful deed which harms community, no matter what form of corruption and level of implementer is. Any forms of bureaucratic actions which tend to lead and/or strengthen the attitude and behavior of corruption may not happen. Bureaucratic corruption must be abolished using multi-discipline and comprehensive approaches comprising the approaches of economy, culture, ethic or moral, and law. All state components must be involved in the efforts to abolish corruption in accordance with their own capacities. The accountability of corruption abolishing must be shared responsibility, it should be neither the responsibility of an individual nor a certain institute or agency.
PENDAHULUAN
Secara historis, Indonesia merupakan negara pertama di Asia yang
mengeluarkan suatu peraturan khusus tentang pemberantasan korupsi. Hal ini
dapat dibaca dari Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan
Darat tanggal 16 April 1958 No.Prt/Peperpu/C13/1958, dan kemudian diikuti oleh
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/1/7
tanggal 17 April 1958. Peraturan tersebut dikeluarkan karena Kepala Staf
Angkatan Darat saat itu sudah melihat adanya gejala korupsi di lingkungan
pemerintahan. Dalam peraturan tersebut terdapat sistem pendaftaran harta
benda pejabat oleh Badan Penilik Harta Benda dan peraturan tentang pengajuan
gugutan perdata berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad)
bagi orang yang mempunyai harta benda yang tidak seimbang dengan
pendapatannya, tetapi tidak dapat dibuktikan secara pidana.
Menurut Hamzah (2005), substansi peraturan tersebut memiliki
keistimewaan karena gugutan perdata terhadap orang yang diduga memiliki
kekayaan jauh di atas pendapatannya itu dapat diajukan langsung ke pengadilan
tinggi, tanpa harus melewati pengadilan negeri terlebih dahulu. Peraturan
Penguasa Perang Pusat tersebut secara substansial lebih lengkap dalam hal
pemberantasan korupsi melalui jalur tuntutan pidana maupun gugatan perdata,
* Dosen Fakultas Ilmu Administrasi dan Program Pascasarjana Universitas Brawijaya
Malang.
2
dan juga disertai dengan sistem preventif, yaitu pendaftaran harta benda pejabat.
Hal ini tidak dijumpai dalam undang-undang yang keluar berikutnya, yaitu: UU
No.24 (Prp) Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
Tindak Pidana Korupsi; UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi;
dan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat
ini pendaftaran harta kekayaan hanya berlaku bagi seseorang yang akan
menduduki jabatan tertentu pada level tertentu pula. Padahal pendaftaran harta
kekayaan itu dipandang sebagai salah satu jalur preventif yang efektif dalam
upaya pemberantasan korupsi, yang seharusnya diberlakukan untuk semua
pejabat pada tingkatan terendah sekalipun, apalagi jika dalam jabatan tersebut
terbuka kemungkinan untuk melakukan korupsi.
Sejarah telah membuktikan bahwa hilangnya jalur preventif dan gugutan
perdata dalam UU No.24 (Prp) Tahun 1960 dan UU No.3 Tahun 1971, telah
menyebabkan implementasi undang-undang tersebut dalam pemberantasan
korupsi tidak efektif, baik pada pasa Orde Lama (1960-1966) maupun Orde Baru
(1966-1998). Karena itu, menyadari hal ini, dalam UU No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme, dalam Pasal 5 (angka 3), disebutkan sebagai berikut: “Setiap
penyelenggara negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan
kekayaan sebelum dan setelah menjabat”. Namun demikian, undang-undang
saja tentu tidak cukup, karena implementasi isi undang-undang amatlah
tergantung pada kemauan politik (political will) yang kuat dari para
implementatornya, khususnya mereka yang sedang memegang kekuasaan
dalam pemerintahan. Sebagaimana yang dikatakan oleh mantan Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Taufiequrachman Ruki sebagai berikut: “Tak
perlu revolusi untuk memberantas korupsi … dalam konteks kepemimpinan,
pemberantasan korupsi di Indonessia bergantung kepada dua orang, yaitu
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Mahkamah Agung (MA)
Bagir Manan (Jawa Pos, 22/04/07, h.16, “Kunci di Tangan Presiden dan MA”).
Jika Jenderal Nasution sudah “mencium aroma” korupsi sejak tahun 1958,
dan kita asumsikan bahwa hal itu terjadi terus selama pemerintahan Orde Baru
(1966-1998), yang dipimpin Jenderal Soeharto, maka negara kita (Indonesia)
telah terbenam dalam pemerintahan korup kurang lebih 50 tahun, atau satu
generasi. Jika kita gunakan kategorisasi tahap korupsi dari Alatas (1982), maka
3
Indonesia dapat digolongkan pada tahap kedua, atau bahkan tahap ketiga.
Alatas, membedakan korupsi dalam tiga tahap, yaitu: (1) tahap dimana korupsi
relatif terbatas, tanpa mempengaruhi wilayah kehidupan sosial yang luas; (2)
tahap dimana korupsi telah merajalela dan menembus segala segi kehidupan,
sehingga hampir tidak ada yang dapat dilakukan seseorang tanpa memberi suap;
dan (3) korupsi yang terjadi telah sedemikian rupa sehingga menghancurkan
kehidupan masyarakat, termasuk koruptornya. Pada tahapan ketiga ini, korupsi
yang terjadi menjadi faktor pendorong bagi terjadinya korupsi yang lebih besar,
sehingga sampai pada tahap yang membinasakan kehidupan bermasyarakat.
Saat ini, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan
Jusuf Kalla (JK) dipandang memiliki komitmen dan kemauan politik yang sangat
tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi. Karena itu banyak kalangan menilai
bahwa upaya pemberantasan korupsi di era pemerintahan SBY-JK menuai hasil
yang sangat signifikan dibandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya.
Menurut Kwik Kian Gie, “Pemberantasan korupsi belum pernah mengambil
bentuk yang demikian konkrit dan demikian intensif, sebagaimana saat ini.
Konkrit dalam arti benar-benar diadili dan dipenjarakan tanpa pandang bulu.
Intensif dalam arti hampir setiap hari ada saja tersangka baru” (Jawa Pos,
10/03/08, h.1, ”Paradoks Semangat Pemberantasan Korupsi”). Walaupun
demikian, kita akui bahwa keberhasilan ini juga karena ditopang oleh adanya
dorongan publik dan lembaga swadaya masyarakat antikorupsi yang sangat kuat,
serta peran lembaga Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sangat signifikan.
Secara statistik, keberhasilan upaya pemberantasan korupsi dapat dilihat
dari posisi Indonesia sebagai negara korup terus membaik, dalam arti tidak lagi
menjadi negara paling korup. Menurut hasil survei lembaga pemeringkat yang
berbasis di Hongkong, Political and Economic Risk Consultancy (PERC), dalam
persepsi pengusaha ekspatriat di Asia, Indonesia tidak lagi dianggap sebagai
negara terkorup di Asia. Survei tersebut dilakukan terhadap 1.500 pengusaha
ekspatriat, dan menempatkan Indonesia di urutan kedua bersama Thailand.
Sedangkan predikat negara terkorup di Asia, menurut responden survei, adalah
Filipina. Bagi Indonesia, posisi ini lebih baik dari hasil survei sebelumnya (2006)
yang berada di urutan pertama atau sebagai negara paling korup di Asia (Jawa
Pos, 14/03/07, h.1., ”Indonesia Tak Lagi Terkorup di Asia”). Menurut PERC,
Indonesia mencatat kemajuan yang berarti dalam penindakan terhadap pelaku
4
korupsi. Ada niat kuat dari pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi,
meskipun hasilnya masih belum maksimal. Apa yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia, dalam pandangan PERC, dinilai lebih baik oleh responden survei,
dibandingkan dengan yang dilakukan oleh pemerintah Filipina dan Thailand.
Dalam publikasi yang dirilis PERC tahun 2008, peringkat Indonesia lebih
baik dari tahun 2007. Nilai Indonesia menyamai Tiongkok dan berada di posisi 10,
walaupun masih berada di bawah Vietnam, dan masih jauh di bawah Malaysia
dan Singapura. Penilaian ini didasarkan atas hasil survei terhadap 1.400
pengusaha asing di 13 negara Asia yang dipilih. Responden diminta memberikan
pandangan atas korupsi yang terjadi di negara tempat mereka menamkan modal.
Bandingannya adalah negara asal masing-masing responden tersebut. Adapun
ranking pemberantasan korupsi pada 13 negara Asia yang dipilih adalah
sebagaimana disajikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1. Ranking Pemberantasan Korupsi Hasil Survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
No. Negara Nilai 2008 2007
1. Singapura 1,13 1,20 2. Hongkong 1,80 1,87 3. Jepang 2,25 2,10 4. Makau 3,30 5,18 5. Korea Selatan 5,65 6,30 6. Malaysia 6,37 6,25 7. Taiwan 6,55 6,23 8. India 7,25 6,67 9. Vietnam 7,75 7,54 10. Tiongkok 7,98 6,29 11. Indonesia 7,98 8,03 12. Thailand 8,00 8,03 13. Filipina 9,00 9,40
Keterangan: Nilai 1-10, mulai dari paling bersih sampai paling korup. Sumber: PERC, dikutip dari Jawa Pos, 11/03/08, h.16. “Berantas Korupsi, RI
Selevel Tiongkok”. Dalam rilisnya, PERC menyebutkan bahwa Indonesia mencapai banyak
kemajuan dalam upaya pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan SBY-JK.
Namun demikian, menurut konsultan PERC, korupsi tetap menjadi masalah
serius di Indonesia. Hal ini juga diakui oleh Koordinator Bidang Hukum dan
Monitoring Peradilan, Indonesia Corruption Watch (ICW), yang menyatakan
5
bahwa sebagian koruptor memang sudah diadili tetapi pungutan liar (pungli)
masih tetap terjadi dan hal itu telah membuat investor merasa tidak nyaman.
Dalam bahasa yang lain, Kwik Kian Gie, menyatakan bahwa jika pungutan liar
(pungli) dianggap sebagai korupsi, maka korupsi masih belum berkurang, karena
pelayanan apa pun oleh birokrasi selalu disertai permintaan pembayaran ekstra
di luar biaya resmi.
Mengapa korupsi masih tetap terjadi, walaupun kegiatan pemberantasan
korupsi sangat giat dilakukan? Ini bukanlah pertanyaan sederhana, dan karena
itu penulis tidak punya pretensi untuk memberikan jawaban tuntas. Tulisan ini
mencoba mendekati dari faktro-faktor penyebabnya, dan kemudian
mengaitkannya dengan reformasi birokrasi sebagai upaya alternatif untuk
meminimalisir praktek korupsi. Tulisan ini membatasi diri pada praktek korupsi
birokrasi atau korupsi birokratis (bureaucratic corruption), yang dalam definisi
Alatas (1982), dinyatakan sebagai berikut: jika seorang pegawai negeri
menerima pemberian, apa pun bentuknya, yang diberikan oleh seorang swasta
dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa
(privileges) pada kepentingan si pemberi, maka tindakan itu disebut korupsi.
Singkatnya, korupsi biroratis adalah korupsi yang dilakukan oleh aparatur
pelaksana pelayanan publik. Menurut UU No.20/2001, beberapa bentuk tindakan
pegawai negeri yang tergolong korupsi, antara lain adalah: (1) menerima suap
(Ps.5, ayat 2); (2) menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya
(Ps.11); (3) menggelapkan uang atau membiarkan terjadinya penggelapan (Ps.8);
(5) memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi (Ps.9); (6) merusak
barang bukti (Ps.10 huruf a); (7) membiarkan orang lain merusak barang bukti
(Ps.10 huruf b); (8) membantu orang lain merusak barang bukti (Ps.10 huruf c);
(9) melakukan pemerasan (Ps.12 huruf e); (10) menyerobot tanah negara
sehingga merugikan orang lain (Ps.12 huruf h); (11) turut serta dalam pengadaan
barang dan jasa yang diurusnya (Ps.12 huruf i); dan (12) menerima gratifikasi
dan tidak melaporkan kepada KPK (Ps.12 B).
DINAMIKA KORUPSI
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Indonesia telah
terbenam selama lima puluh tahun dalam korupsi, dan hampir tidak terdengar
upaya pemberantasan yang memadai untuk memberantasnya. Kecenderungan
6
yang terjadi adalah membiarkan hal tersebut sehingga menjadi sebuah gunung
es yang hanya terlihat puncaknya, dan upaya pemberantasan hanya mengikis
puncak dari gunung es tersebut. Hasilnya adalah tampilnya pemimpin Orde Baru,
Jenderal HM Soeharto sebagai salah satu dari sepuluh besar pemimpin dunia
paling korup, dengan dugaan dana yang digelapkan antara 15-35 milliar dollar
AS. Dalam konferensi Kelompok Negara bagi Konvensi PBB Antikorupsi
(UNCAC, United Nations Convention Against Corruption) yang diselenggarakan
di Bali, dirilis nama sepuluh besar pemimpin dunia yang paling korup, dan HM
Soeharto menempati posisi nomor wahid sebagai pemimpin dunia terkorup.
Tabel 2. Sepuluh Besar Pemimpin Terkorup di Dunia No. Presiden Negara Tahun
Berkuasa
Dugaan dana yang digelapkan (dollar AS)
1. HM Soeharto Indonesia 1967-1998 15-35 milliar 2. Ferdinand E.Marcos Filipina 1972-1986 5-10 milliar 3. Mobutu Sese Seko RD Kongo 1965-1997 5 milliar 4. Sani Abacha Nigeria 1993-1998 2-5 milliar 5. Slobodan Milosevic Serbia 1993-1998 1 milliar 6. Jean-Claude Duvalier Haiti 1971-1986 300-800 juta 7. Alberto Fujimori Peru 1990-2000 600 juta 8. Pavlo Lazarenko Ukraina 1996-1997 144-200 juta 9. Arnoldo Aleman Nikaragua 1997-2002 100 juta 10. Joseph Estrada Filipina 1998-2001 78-80 juta
Sumber: Kompas, 30/01/08, h.8., ”Bank Dunia Sediakan Tenaga: Negara Berkembang Dibantu Mengembalikan Dana-dana Hasil Korupsi”.
Walaupun konferensi UNCAC melahirkan inisiatif yang disebut
Mengembalikan Aset yang Dicuri (StAR Initiative: The Stolen Asset Recovery
Initiative), namun HM Soeharto tidak pernah benar-benar tampil di persidangan
apalagi dipenjara, sampai akhirnya meninggal. Sampai saat ini, belum ada
tindakan konkret apa pun sehubungan dengan implementasi inisiatif tersebut,
dan entah dimana uang negara tersebut berada. Nigeria memerlukan waktu
selama 4-5 tahun untuk menarik aset yang dilarikan ke luar negeri. Filipina
bahkan memerlukan waktu 18 tahun untuk mengembalikan aset mantan
Presiden Ferdinand Marcos yang ada di luar negeri. Kendala pengembalian aset
yang dilarikan ke luar negeri karena korupsi banyak terkendala oleh biaya yang
sangat mahal. Indonesia mengeluarkan dana milliaran rupiah hanya untuk
menarik dana jutaan dollar AS yang dilarikan ke bank di Guernsey, Inggris.
7
Temuan ICW (Indonesia Corruption Watch) yang dirilis pada bulan
Januari 2007 (Jawa Pos, 25/01/07, h.2., ”Tren Korupsi 2004-2006”)
memperlihatkan kecenderungan kerugian negara yang terus meningkat
jumlahnya selama periode 2004-2006. Jika tahun 2004, kerugian negara
diperkirakan mencapai 4,3 triliun rupiah (dari 153 kasus yang terungkap), maka
pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 14,4 triliun rupiah (dari 161 kasus yang
terungkap), atau terjadi peningkatan sebanyak 10,1 triliun atau hampir 235
persen selama dua tahun berjalan. Jika dilihat dari sektor, menunjukkan bahwa
sektor pemerintahan menduduki peringkat pertama, disusul sektor perhubungan,
transportasi, dan perumahan atau pertanahan. Korupsi birokrasi terutama terjadi
pada pengelolaan anggaran pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Fakta ini menunjukkan bahwa birokrasi pemerintahan di Indonesia sangat rawan
akan praktek korupsi, terutama pada pemerintah pusat. Temuan ICW
menunjukkan bahwa pemerintah pusat berada pada ranking teratas, kemudian
disusul oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, Provinsi
Jawa Timur, dan Provinsi Aceh.
Dalam periode tahun 2005-2006, angka yang mengejutkan diungkapkan
oleh Ketua BPK Anwar Nasution, yang menyatakan bahwa dalam periode tahun
tersebut negara mengalami kerugian akibat korupsi sebanyak lebih dari 30 triliun,
dengan rincian tahun 2005 sebanyak 13,8 triliun rupiah (dari 3.054 kasus yang
terungkap), dan tahun 2006 sebanyak 19 triliun rupiah (dari 1.721 kasus yang
terungkap). Dari keseluruhan kerugian tersebut hanya sekitar 3 triliun rupiah saja
yang berhasil dikembalikan (Jawa Pos Radar Malang, 15/03/07, h.37., ”Rp30
Triliun Uang Negara Raib”). Fakta ini menunjukkan kenaikan yang sangat
fantastik dibandingkan dengan temuan ICW dua tahun sebelumnya.
Tahun 2007, kepala daerah merupakan aktor paling banyak sebagai
pelaku korupsi. Dari sebanyak 143 kasus korupsi yang dicatat oleh Pusat Kajian
Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), sebanyak 69 kepala daerah
terkait dengan kasus korupsi, baik dalam status saksi, tersangka, terdakwa, atau
terpidana (Jawa Pos, 29/12/2007, h.3., ”Kepala Daerah Aktor Korupsi
Terbanyak”). Mayoritas korupsi kepada daerah menggunakan dua modus, yaitu
penggelembungan (mark-up) dan penyalahgunaan dana APBD dalam
pengadaan barang dan jasa serta pengerjaan proyek APBD.
8
Temuan Pukat UGM, tidak berbeda jauh dengan temuan ICW. Sepanjang
tahun 1998-2007, menurut ICW, kasus korupsi lebih banyak terjadi di daerah. Di
antara 82 kasus yang telah ditangani penegak hukum dan tersangkanya telah
ditetapkan, sebanyak 68,3 persen dilakukan oleh instansi di daerah, yaitu pada
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah kota, DPRD, dan BUMD.
Total kerugian negara sebagai akibat korupsi di daerah mencapai 548,53 milliar
rupiah, dengan modus: mark-up, mark-down, kegiatan fiktif, penggelapan,
pemerasan, penyalahgunaan izin atau kewenangan, penyalahgunaan kredit, dan
penyuapan. Dua modus dengan kerugian terbesar adalah mark-up dan
penyalahgunaan anggaran (Jawa Pos, 11/02/08, h.10., ”Korupsi, Kampanye
Hitam Otda”). Andaikan KPK memiliki ”cabang” di tingkat provinsi dan kabupaten/
kota, mungkin kasus korupsi di daerah akan lebih banyak yang dapat diungkap,
tidak hanya menyangkut eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif di daerah.
Mitra kerja KPK di daerah (kepolisian daerah dan kejaksaan daerah) dinilai masih
lemah dalam penanganan kasus korupsi di daerah, karena itu sering terjadi unjuk
rasa akibat kelemahan tersebut. Oleh karena itu, beberapa kasus dugaan korupsi
yang menjadi perhatian publik di daerah diambil-alih oleh KPK. Beberapa contoh
kasus yang diambil-alih dan melibatkan kepala daerah adalah: Bupati Kutai
Kertanegara, Kaltim; Bupati Garut, Jabar; Bupati Palalawan, Riau; Bupati Kendal,
Jateng; dan Bupati Sleman, DIJ.
Memasuki tahun 2008, terdapat dua kasus korupsi besar yang menyita
perhatian bagian terbesar rakyat Indonesia, dan menjadi berita besar di berbagai
media, baik elektronik maupun majalah dan surat khabar. Kedua kasus ini justru
tidak terjadi di sektor pemerintahan, tetapi di sektor legislatif dan yudikatif. Kasus
pertama, adalah terbongkarnya kasus suap yang melibatkan seorang anggota
DPR, Al Amin Nur Nasution, saat bertransaksi dengan Sekretaris Daerah (Setda)
Kabupaten Bintan Kepulauan Riau, Azirwan, di kawasan Hotel Ritz Carlton,
Mega Kuningan Jakarta. Al Amin diduga menerima suap sebesar 3 milliar rupiah,
sebagai kompensasi telah mempermulus pengalihan fungsi hutan lindung
menjadi kawasan industri dan ibukota Kabupaten Bintan (Jawa Pos, 10/04/08,
h.1., ”KPK Bongkar Suap Rp 3 M”). Kasus kedua, adalah terbongkarnya kasus
suap yang dilakukan oleh Artalyta Suryani alias Ayin terhadap jaksa yang
menanangani penyelesaian kasus BLBI (khususnya yang melibatkan Sjamsul
Nursalim, pemilik BDNI), Urip Tri Gunawan, yang menerima suap sebesar 6
9
milliar rupiah (Jawa Pos, 18/03/08, h.1. ”Pejabat Gedung Bundar Disapu”).
Sampai saat ini kasus yang terakhir terus menjadi berita hangat, karena
beberapa pejabat kejaksaan yang diduga tersangkut kasus tersebut ikut
diperiksa oleh KPK, di samping pemeriksaan internal yang dilakukan oleh
Kejaksaan Agung.
Mengapa korupsi terus terjadi dan bahkan dalam skala yang lebih besar?
Pertanyaan ini menjadi menarik karena upaya pemberantasan korupsi sudah
menuai hasil signifikan, dengan banyaknya kasus yang terungkap dan relatif
banyak pejabat maupun bukan pejabat yang terpenjara karena kasus korupsi.
Apakah sanksi yang diberikan tidak efektif menimbulkan efek jera? Banyak
analisis yang dilakukan berkenaan dengan hal itu. Salah satunya yang menarik
penulis adalah tulisan Emerson Yuntho (2007) yang mengingatkan kita agar
jangan pernah kalah melawan koruptor. Yuntho, anggota Badan Pekerja ICW,
mencatat fenomena menurunnya political will pemerintahan SBY, yang
diindikasikan dengan semakin kurangnya intensitas pernyataan SBY tentang
pemberantasan korupsi, yang dicatat oleh ICW selama periode tiga tahun
terakhir (20 Oktober 2004–20 Oktober 2007). Pada tahun I (20 Oktober 2004 –
20 Oktober 2005), tercatat 35 pernyataan SBY mengenai pemberantasan korupsi.
Berdasarkan catatan tersebut, rata-rata sebanyak tiga kali sebulan SBY
mengeluarkan pernyataan atau berkomentar tentang pemberantasan korupsi.
Tahun II (20 Oktober 2005-20 Oktober 2006), terjadi penurunan menjadi hanya
19 kali. Bahkan ada tiga bulan (Juli, September, dan Oktober) SBY tidak
memberikan komentar apa pun yang berkenaan dengan korupsi. Pada tahun III
(20 Oktober 2006-20 Oktober 2007), tercatat hanya 14 kali SBY mengeluarkan
pernyataan yang dilansir media massa soal isu korupsi. ICW mencatat, ada
enam bulan dimana SBY tidak memberikan komnetar apa pun tentang isu
korupsi (Oktober 2006, Januari, Maret, Juni, Juli, dan September 2007).
Dinamika ini menurut Yuntho, menunjukkan melemahnya semangat
pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Akibatnya, menurut hasil
survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI), tingkat kepuasan
publik terhadap pemerintahan SBY terus menurun, dari lebih dari 80 persen pada
tahun 2004, turun menjadi 35,3 persen pada September 2007. Walaupun, faktor
di atas bukan satu-satunya penyebab terjadinya degradasi kepuasan publik,
10
namun tidak dapat disangkal bahwa selama ini program pemberantasan korupsi
telah menjadi daya tarik utama pemerintahan SBY.
KORUPSI DAN REFORMASI BIROKRASI
Dari beberapa referensi yang menulis tentang sebab-sebab terjadinya
korupsi , penulis memetakan ke dalam beberapa perspekstif untuk memudahkan
pembahasan. Perspektif tersebut adalah: ekonomi, budaya, moral atau etika, dan
hukum. Kalaupun ada kategorisasi perspektif lain, hal itu tidak menjadi lingkup
pembahasan dalam tulisan ini. Jadi, kita mulai dengan melihat sebab-sebab
korupsi dari berbagai perspektif, dan kemudian reformasi birokrasi macam apa
yang ditawarkan sebagai solusi pemecahannya.
Perspektif Ekonomi. Menurut penganut perspektif ini, korupsi terjadi
disebabkan oleh ketidakmampuan relatif seseorang dalam bidang ekonomi.
Kemiskinan dan rendahnya tingkat pendapatan menjadi pendorong utama
terjadinya korupsi. Tingkat pendapatan sekarang dirasakan tidak mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan pada tingkatan yang diharapkan. Mungkin
kebutuhan primer tercukupi, tetapi belum cukup untuk kebutuhan sekunder
dan/atau tersier. Karena itu setiap peluang yang ada untuk memperoleh
tambahan pendapatan akan dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Pada mulanya, peluang itu terbuka karena adanya pemberian uang dan
atau barang secara sukarela dari pengguna jasa layanan kepada pejabat publik
yang melayani, sebagai bentuk ”ucapan terima kasih” atas layanan yang telah
diberikan. Penerimaan seperti ini karena terjadi sewaktu-waktu, dan bahkan
mungkin setiap hari, tidaklah dianggap sebagai korupsi, tetapi dimaknai sebagai
suatu bentuk hubungan saling membutuhkan atau bahkan
hubungan ”persahabatan” antara pengguna jasa layanan dengan pemberi
layanan (pejabat publik atau pagawai negeri). Pengguna jasa layanan
membutuhkan ”urusan cepat selesai”, dan merasa sudah sepantasnya
memberikan imbalan jasa, sedangkan pemberi layanan juga merasa sudah
seharusnya menerima imbalan karena jasa yang diberikan. Dalam
perkembangan berikutnya, hubungan yang tadinya ”bersahabat” berubah bentuk
menjadi hubungan ”dagang”, antara pembeli dan penjual. Masyarakat pengguna
jasa yang membutuhkan pelayanan harus ”membeli” kepada pejabat pemberi
layanan yang berubah fungsi menjadi ”penjual” jasa layanan. Dalam hubungan
11
seperti ini, mereka yang memiliki uang dan penawaran lebih tinggi akan
memperoleh privileges dari pejabat publik. Sebaliknya yang tidak punya uang
harus rela antri agar memperoleh pelayanan, atau, menurut Kwik Kian Gie,
kalau ngotot tidak mau membayar akan menghadapi kesulitan yang dicari-cari
dan dibuat-buat. Korupsi dalam bentuk transaksi ekonomi seperti ini sudah
mendarah-daging (internalized) di dalam tubuh dan jiwa pejabat publik, dan
ironisnya masyarakat akan merasa aneh dan heran jika transaksi yang demikian
itu tidak ada. Korupsi telah meningkat menjadi suatu bentuk kleptokrasi
(cleptocracy), dimana masyarakat sudah tidak berdaya lagi menanggulangi
korupsi, bahkan mendukung korupsi melalui perilaku sehari-hari yang penuh
dengan kegiatan suap-menyuap, ketidakjujuran, penyembunyian fakta,
pemalsuan, dan penyelewengan dalam berbagai bentuknya.
Menurut Rose-Ackerman (1999), korupsi terjadi di perbatasan antara
sektor pemerintah dan sektor swasta. Apabila seorang pejabat pemerintah
memiliki kekuasaan penuh terhadap pendistribusian keuntungan atau biaya
kepada sektor swasta, maka terciptalah suatu insentif untuk penyuapan. Jadi
korupsi itu tergantung pada besarnya keuntungan dan biaya yang berada di
bawah pengendalian pejabat pemerintah. Pemerintah membeli dan menjual
barang dan jasa, membagi-bagikan bantuan, mengatur swastanisasi badan
usaha milik negara, dan memberikan konsesi. Para pejabat seringkali
memonopoli informasi yang penting. Pribadi atau perusahaan ingin membayar
sejumlah uang untuk mendapatkan keuntungan dari pemerintah dan menghindari
biaya. Seluruh kegiatan ini menciptakan peluang terjadinya korupsi. Banyak
proyek dalam berbagai sektor dikuasai oleh pemerintah, dan swasta yang
menginginkan proyek-proyek tersebut harus membayar sejumlah uang suap
untuk mendapatkannya, dan sekaligus menghindari biaya tinggi yang harus
dikeluarkan jika pribadi atau perusahaan tersebut harus mengikuti prosedur
administratif yang melelahkan. Sebuah studi tentang korupsi di Thailand
menunjukkan beberapa contoh dari korupsi birokrat dalam proyek infrastruktur,
konstruktruksi, dan bidang lainnya, dengan tingkat kebocoran mencapai 20
sampai 40 persen dari biaya total proyek. Begitu pula di Brasil, di bawah
Presiden Fernando Collor de Mello, kebocoran bahkan mencapai 50 persen. Di
Indonesia, korupsi di jawatan pabean (bea cukai) telah sedemikian meluas
sehingga Presiden telah menandatangani sebuah kontrak dengan sebuah
12
perusahaan swasta di Swiss yang akan mengambil alih beberapa tugas
kepabeanan di Indonesia (Rose-Ackerman, 1999:47). Dalam bulan Juni 2008,
dalam penyelidikan mendadak, KPK menemukan suap lebih dari 500 juta rupiah
yang tersebar dalam ratusan amplop di kantor bea cukai.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bagi penganut
perspekstif ekonomi tentang penyebab korupsi, semua itu terjadi karena
rendahnya tingkat upah atau gaji. Oleh karena itu kebijakan reformasi birokrasi
yang disarankan adalah melakukan remunerasi atau penyesuaian pendapatan
bagi pegawai pemerintah (remuneration policy). Asumsinya, gaji yang tinggi akan
mengurangi keinginan untuk melakukan korupsi. Perspektif ekonomi melihat
bahwa pendapatan berkorelasi signifikan dengan perilaku koruptif.
Kebijakan penyesuaian struktur penggajian dalam bentuk remunerasi
menjadi salah satu tuntutan para pejabat publik akhir-akhir ini, dan beberapa di
antaranya telah diimplementasikan, misalnya untuk jajaran Departemen
Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan, yang mengalami kenaikan gaji
signifikan. Struktur gaji menjadi salah satu masalah pelik dalam birokrasi di
Indonesia, dan telah menyentuh rasa ketidak-adilan dalam waktu yang lama.
Kerja tidak kerja gaji sama, asal golongan dan masa kerja sama. Tidak ada
pembedaan antara mereka yang bekerja giat dan berprestasi dengan mereka
yang malas. Gaji dan tunjangan seorang Presiden di negeri ini lebih kecil dari
Ketua DPR, dan gaji seorang Ketua DPR lebih kecil dari gaji Direksi BUMN,
sebagaimana disajikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 3. Gaji Beberapa Pejabat Negara dan Direksi BUMN di Indonesia No. Nama Pejabat Gaji Pokok dan Tunjangan (Rp) 1. Presiden 62.497.800,oo 2. Wakil Presiden 42.548.670,oo 3. Ketua DPR 89.200.000,oo 4. Anggota DPR 49.400.000,oo 5. Ketua Mahkamah Agung 55.400.000,oo 6. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan 23.900.000,oo 7. Jaksa Agung 19.000.000,oo 8. Jaksa Agung Muda 7.000.000,oo 9. Direktur Utama Pertamina 150.000.000,oo 10. Direktur Pertamina 140.000.000,oo 11. Direktur Utama Bank Mandiri 118.000.000,oo
Sumber: Jawa Pos, 05/04/2008, h.1., “Gaji Para Petinggi Negeri Ini”.
13
Lembaga negara ketiga tahun ini yang memperoleh tunjangan kinerja di
luar gaji dalam kerangka kebijakan remunerasi adalah Mahkamah Agung dan
badan peradilan di bawahnya. Kebijakan ini diatur melalui Perpres No.19 Tahun
2008 tentang Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah
Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya. Dalam Perpres tersebut, diatur 15
tingkatan besaran tunjangan khusus, mulai Rp4,2 juta (terendah untuk hakim PT
kelas II), sampai Rp31,1 juta untuk Ketua Mahkamah Agung. Kebijakan ini mulai
berlaku mundur sejak 1 September 2007, namun baru dibayarkan bulan Juli
2008 (Jawa Pos, 15/06/08, h.1., kolom, “Tunjangan MA“).
Kritik dan penentangan terhadap kebijakan remunerasi bukan tidak ada.
Wakil Presiden, Jusuf Kalla, saat membuka seminar Pencegahan Korupsi Melalui
Reformasi Birokrasi, di Hotel Four Seasons, 1 November 2007, menyatakan
bahwa proyeksi kenaikan gaji pegawai negeri dalam beberapa tahun mendatang
sangat membebani keuangan negara. Wapres menyatakan bahwa jika gaji
pegawai negeri terus naik tanpa diikuti pertumbuhan ekonomi, maka pada tahun
2011 akan terjadi stagnasi pembangunan, karena jumlah pengeluaran anggaran
belanja rutin jauh lebih besar daripada anggaran pembangunan (Jawa Pos,
02/11/07, h.3., “Kenaikan Gaji PNS Bikin Negara Kolaps”).
Kritikus lain, yang menentang kebijakan remunerasi, mempertanyakan
efektivitas kebijakan tersebut dalam upaya pemberantasan korupsi. Soedarno
(2008) menyatakan bahwa jumlah gaji yang tinggi tidak menjamin seseorang
untuk tidak melakukan perbuatan korup. Dia menunjukkan kasus-kasus korupsi
yang terjadi di Bulog, Pertamina, Bank Mandiri, dan Bank Indonesia, bukan
disebabkan karena rendahnya gaji, dan dengan demikian menurutnya, tidak
terdapat korelasi antara gaji yang tinggi dengan perbuatan korupsi. Hal yang
sama tersirat juga dari tulisan Taufiq (2008), bahwa kebijakan remunerasi tidak
menjamin suatu institusi bebas dari korupsi.
Kumorotomo ( 2006), menunjukkan bukti-bukti kasus, dimana gaji yang
tinggi tidak selalu berpengaruh siginifikan terhadap perilaku koruptif. Menurut
Kumorotomo, ketika Disky Iskandar Dinata dinyatakan sebagai otak korupsi
sebesar US$419,6 juta di Bank Duta pada tahun 1990, yang bersangkutan sudah
menduduki jabatan sebagai Direktur Bank Duta, dan dari segi materi sudah
sangat kaya. Begitu pula ketika Perdana Menteri Tanaka dari Jepang terbukti
14
melakukan skandal korupsi yang melibatkan perusahaan Lockheed, kekayaan
dan kekuasaannya sudah lebih dari cukup. Tetapi orang-orang ini tetap saja
melakukan korupsi. Kenaikan gaji, tampaknya memang telah membuat korupsi
birokratis dapat sedikit dikendalikan, tetapi untuk jenjang birokrasi tertentu
pemberian kenaikan gaji tidak selalu efektif untuk meredam nafsu birokrat untuk
melakukan korupsi. Secara teoretis, hubungan antara gaji pegawai negeri
dengan tingkat korupsi birokratis masih bersifat mendua (ambiguous).
Perspektif Budaya. Korupsi disebabkan oleh kebiasaan yang telah
mentradisi, yang kemudian menjelma menjadi sikap dan perilaku korup. Dalam
perspektif ini, terdapat kebiasaan seseorang atau kelompok tertentu, atau
bahkan masyarakat yang kemudian menjadi dasar dari budaya korup. Di zaman
kerajaan ada kebiasaan untuk memberi upeti kepada raja, sebagai bentuk
ungkapan kesetiaan atau loyalitas. Salah satu strategi politik yang digunakan
Raja Mataram untuk mencegah para bupati melepaskan diri dari kekuasaan raja
adalah dengan mengharuskan para bupati agar menghadap raja minimal tiga kali
dalam setahun, yaitu pada hari besar kerajaan (Garebeg Maulud, Garebeg
Syawal, dan Garebeg Besar). Pada saat menghadap raja inilah para bupati
mempersembahkan upeti kepada raja sebagai bukti kesetiaan daerahnya
(Dwiyanto, et al., 2006:12).
M.T.Zen (2007), menyatakan bahwa sifat permisif merupakan dasar
terbentuknya budaya korup. Sikap seseorang atau masyarakat yang membiarkan
orang lain melakukan hal-hal yang tidak baik, maka akan menjadikan hal-hal
yang semula “tidak baik” tadi berubah menjadi sesuatu yang dipandang “baik”.
Pada masa revolusi, semua yang berbau Belanda, atau bahkan yang berbau
Barat dianggap jelek sehingga harus dibuang jauh-jauh. Hal yang terjadi
selanjutnya adalah, apa saja yang ditinggalkan Belanda, seperti perilaku rapi,
bersih, tepat waktu, taat aturan, menghormati sesama, dan menghormati orang
tua atau atasan, dianggap tidak penting lagi. Sebab, semua itu adalah aturan
Belanda. Jika seorang bawahan ditegur atasannya karena datang terlambat, dia
akan marah dan mengatakan: “kolonial”. Dalam contoh ini, sikap dan perilaku
“baik”, malah dianggap “buruk”, hanya karena berasosiasi dengan sesuatu yang
tidak disukai sebelumnya.
15
Menurut Kumorotomo (2006:110), permasalahan pokok dalam
mengendalikan korupsi di suatu negara adalah apabila korupsi telah menjadi
bagian dari sejarah masyarakat yang bersangkutan. Di dalam sistem sosial yang
masih terpengaruh feodalisme, upeti menjadi sumber utama korupsi yang sangat
sulit diubah. Para penguasa feodal, zaman kerajaan, mempunyai hak istimewa
untuk menarik pajak tertentu dari penduduk. Pada zaman modern sekarang ini,
para pejabat publik, dengan pola tindakan tertentu yang disesuaikan dengan
situasi dan kondisinya, berusaha memperoleh berbagai keuntungan dengan
memanfaatkan kedudukan dan posisinya. Mereka, pada intinya, berusaha
mempertahankan sistem upeti untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
Perdana Menteri Thailand, Sarif Thanarat, setelah kematiannya diketahui bahwa
dia telah menggunakan uang kas negara sebesar US$29 juta serta menguasai
saham pada 15 perusahaan besar yang diurus oleh keluarganya dengan komisi
istimewa dari pemerintah. Soeharto, sebagai penguasa rezim Orde Baru,
sebagaimana dilansir oleh majalah Time tahun 1997, diduga menguasai aset
yang sangat besar dan dikelola dengan nepotisme yang sangat kuat. Perbuatan
korup seperti ini, terjadi karena para pemimpin tersebut merasa dirinya telah
berjasa besar terhadap negara dan karena itu sudah sewajarnya memperoleh
hak-hak istimewa. Sedangkan masyarakat bersikap permisif terhadap perilaku
rezim tersebut, yang sebenarnya merupakan bentuk perilaku korup.
Kebiasaan dalam tubuh birokrasi yang cenderung berorientasi ke atas,
oleh Kumorotomo (2006), juga dianggap sebagai penyebab terjadinya
penyelewengan dan tendensi ke arah korupsi. Seorang pemimpin instansi tidak
berani menindak bawahannya sebelum ada perintah atau izin dari pejabat yang
lebih tinggi. Pada saat izin diberikan, tindakan disiplin biasanya sudah terlambat
karena penyelewengan tersebut sudah menular atau berganti rupa. Orientasi
birokrasi ke atas, juga tampak dalam kebiasaan pejabat yang melapor kepada
atasan dengan bertandang ke rumahnya, meminta petunjuk, dan menganggap
bahwa apa pun yang direncanakan atasan adalah baik bagi bawahan. Kebiasan-
kebiasan seperti ini tanpa disadari telah melemahkan disiplin personal, dan
menganggap perilaku negatif tersebut sebagai sesuatu yang sudah biasa, dan
seharusnya seperti itu.
Kebiasaan melakukan penerimaan pegawai dengan menerima uang suap
atau imbalan jasa dalam bentuk lain, juga dipercaya akan menghasilkan pegawai
16
yang korup. Memperoleh promosi jabatan ke tingkat yang lebih tinggi melalui
pemberian sogokan juga dapat membentuk budaya korup di lingkungan kerja.
Demikian pula penggunaan money politics dalam proses pemilihan langsung
kepala daerah (pilkada) dapat menjadi dasar melakukan korupsi setelah
menjabat kelak. Semua bentuk kegiatan tersebut dapat menyuburkan sikap dan
perilaku korup di masyarakat. Banyak orang tua mencari orang-orang yang dapat
membantu memasukkan anaknya menjadi pegawai di suatu instansi. Tidak
sedikit orang yang menjadi korban penipuan dengan cara ini. Pegawai yang
diterima atau pegawai yang dipromosikan dan pejabat yang dipilih melalui
korupsi akan berupaya untuk mengembalikan ”modal”-nya, yang
telah ”diinvestasikan” dalam bentuk uang suap, pada saat dia bekerja atau
menduduki jabatan tertentu. Hal seperti ini dipandang sebagai suatu tindakan
yang absah saja dilakukannya, tanpa menyadari bahwa hal itu merupakan
perbuatan korup.
Oleh karena itu, mereformasi birokrasi bagi penganut perspektif budaya,
adalah mereformasi perilaku birokrasi. Mengubah budaya kerja yang feodalistik
menjadi budaya kerja berorientasi kinerja. Mengubah budaya kerja dari “dilayani”
menjadi “pelayan” masyarakat, bukan “abdi-dalem” atau “abdi-raja”, tetapi “abdi-
masyarakat”. Menurut perspektif budaya, pola pikir feodal yang masih mewarnai
perilaku para birokrat di Indonesia mengakibatkan terjadinya konflik loyalitas,
harus diubah. Para birokrat harus dapat mengidentifikasikan kedudukannya
sendiri sehingga dapat membedakan antara loyalitas kepada keluarga, golongan,
partai, dengan loyalitas kepada negara dan bangsa. Prinsip the right man on the
right place sebagai ciri birokrasi modern, harus diterapkan dalam setiap proses
penerimaan dan promosi pegawai.
Budaya birokrasi yang cenderung paternalistik dengan karakteristik
hubungan atasan-bawahan yang sangat pribadi, harus diubah menjadi hubungan
yang impersonal, dengan mengubah orientasi loyalitas dari “kepada atasan”
menjadi “kepada organisasi”. Orientasi kerja yang semula karena “taat pada
atasan” diubah menjadi karena “taat pada tujuan organisasi”. Hal ini bukanlah
berarti hubungan manusiawi antara atasan dengan bawahan dan antara sesama
rekan sekerja dihilangkan sama sekali, sehingga suasana kerja kehilangan
makna kemanusiaannya, tetapi hubungan kerja harus dibangun dalam suatu
kebersamaan untuk mencapai tujuan organisasi dan dengan demikian juga
17
sekaligus pencapaian tujuan pribadi. Perasaan hormat terhadap atasan dan juga
menghormati sesama rekan sekerja harus tetap ada dan dikembangkan dalam
konteks yang lebih profesional. Artinya, yang berlaku adalah aturan organisasi,
dan oleh karena itu sikap permisif atas segala bentuk perilaku menyimpang tidak
boleh dibiarkan.
Para pengkritik teori budaya selalu beranggapan bahwa mengubah
budaya itu bukanlah hal yang mudah. Bahkan ada yang menyatakan bahwa
untuk suatu perubahan perilaku yang sudah internalized dibutuhkan waktu satu
atau bahkan dua generasi. Kesulitannya terletak pada ketiadaan kemauan
semua pihak untuk memulai menerapkan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, dan
profesionalitas dalam melaksanakan pekerjaan. Menurut Kumorotomo (1999),
apabila gejala-gejala administratif --- uang semir, salam tempel, uang pelicin,
uang rokok, dan berbagai macam istilah lain untuk menunjukkan pungutan liar
atas pelayanan publik --- meluas di dalam masyarakat dan membudaya dalam
pola-pola kegiatan adminsitrasi publik, maka korupsi menjelma menjadi suatu
sistem yang sulit diubah. Sistem uang rokok (bakshish system) berubah menjadi
pola umum dan bisa menjalar ke satuan kegiatan administratif lain yang
sebelumnya tidak tersentuh korupsi. Jika demikian, maka upaya perubahan akan
membutuhkan waktu yang lama dan lebih sulit dilakukan.
Budaya paternalitistik dalam pelayanan publik yang menjadi dasar
tumbuh suburnya budaya korup, sulit diubah karena posisi tawar pengguna jasa
layanan dalam pola peternalisme sangat lemah. Sebagaimana dikatakan
Dwiyanto, et.al, (2006), dalam pola paternalisme, masyarakat pengguna jasa
tidak dapat berbuat banyak saat berhadapan dengan pelayanan yang tidak
memuaskan mereka. Keluhan yang disampaikan kepada aparatur birokrasi
seringkali tidak mendapat respon yang positif. Hal ini dikarenakan masyarakat
pengguna jasa tidak memahami mekanisme pengaduan. Hal yang tidak kalah
pentingnya adalah adanya perasaan takut dari pengguna jasa layanan untuk
mengadukan aparatur birokrasi yang meminta imbalan, atau melakukan
perbuatan tercela lainnya. Kondisi seperti ini, menurut pengkritik perspektif
budaya, kurang diperhatikan oleh penganut perspektif budaya.
Perspektif Etika atau Moral. Menurut perspektif ini, korupsi terjadi bukan
karena faktor ekonomi, tetapi karena mentalitas pelakunya. Korupsi birokratis
18
bersumber dari unsur manusia atau nilai-nilai moral yang dianut masyarakatnya.
Walaupun sistem pemerintahan sudah relatif baik, tetapi jika individu pelaksana
dari sistem tersebut tidak dijiwai oleh nilai-nilai integritas, kejujuran, dan harkat
kemanusiaan, maka sistem yang baik tersebut tidak akan efektif mencegah
perilaku korup. Pelaku dan penyebar korupsi menurut perspektif ini adalah homo
venalis, yaitu orang-orang yang berjiwa korup dan lebih sering menggunakan
cara-cara korup dalam kehidupannya. Dalam konteks perspektif ini, Kumorotomo
(1999) mendefiniskan korupsi sebagai kejahatan yang tidak mengandung
kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile),
ketidakjujuran (deceit) dan menyembunyikan suatu kenyataan (concealment).
Korupsi merupakan sisi buruk dari perilaku manusia. Setia orang memiliki
kesadaran moral, betapun rendahnya, dan setiap orang pasti tahu bahwa pola
perilaku yang mengarah pada korupsi adalah bertentangan dengan kesadaran
moral tersebut. Namun demikian, masih cukup banyak orang yang lebih suka
menggunakan cara-cara korup daripada cara-cara yang lebih bermoral. Menurut
Kumorotomo (1999), akar dari tindakan korup adalah pada sifat appetitus
divitiarum infinitus, suatu keserakahan yang tidak pernah terpuaskan untuk
memperoleh kekayaan, kedudukan, atau kekuasaan.
Karena faktor penyebab korupsi menurut perspektif ini adalah berpusat
pada masalah moral, maka pendekatan yang disarankan dalam reformasi
birokrasi adalah sosialisasi nilai-nilai moral kepada para pejabat di seluruh
jenjang administrasi publik, terutama yang menyangkut pengendalian diri. Nilai-
nilai pengendalian diri ini menyangkut kesadaran bahwa setiap manusia harus
terpanggil hatinya untuk melakukan apa yang baik bagi orang lain dan
masyarakatnya. Pembentukan sikap dasar yang demikian ini sangat penting
untuk mewujudkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam
hubungan sosial antara manusia pribadi dengan masyarakatnya. Dalam konteks
ini, pengendalian diri amat diperlukan, sehingga manusia terhindar dari sikap
egois, sikap mementingkan diri sendiri, sikap merendahkan orang lain, dan
sebagainya. Sasaran akhir dari sikap hidup yang mampu mengendalikan diri
adalah lahirnya individu yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) mampu
meletakkan kepentingan pribadinya dalam kerangka kesadaran kewajibannya
sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara; dan (2)
19
kewajiban terjadap bangsa dan negara dirasakan lebih utama dibandingkan
dengan kepentingan pribadinya.
Korupsi biasanya dimulai dari hal-hal kecil dan suap tersembunyi. Jika
pejabat tidak mampu mengendalikan diri dan imannya lemah maka dia akan
cenderung menerima berbabagi macam bentuk suap, dan secara tidak sadar
terperangkap dalam perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai moral. Konsep
pengendalian diri bukanlah konsep yang absurd dan utopis, karena konsep ini
didasari oleh kenyataan bahwa setiap manusia memiliki keinginan untuk hidup
berkelompok. Untuk memenuhi kebutuhannya manusia harus melakukan
interaksi dengan manusia lain, harus mau dan bisa bekerja sama dengan
manusia lain. Agar interaksi dan kerjasama tersebut dapat berjalan dengan baik
maka pengendalian diri sangat dibutuhkan.
Penganut perspektif ini juga menyarankan agar pembinaan agama di
lingkungan kerja terus diintensifkan dengan memperbanyak kegiatan ritual sesuai
dengan ajaran agama masing-masing. Para pemimpin didorong agar
memberikan teladan perilaku moral yang baik. Tempat-tempat ibadah di
lingkungan kerja harus tersedia, dengan fasilitas yang lengkap. Di samping itu
harus tersedia insentif bagi pegawai yang bekerja dengan rajin dan jujur. Karena,
sebagaimana dinyatakan oleh Marzoeki (2008), tinggi rendahnya moral
seseorang tidak terlepas dari etika kejujuran. Karena itu tes kepribadian untuk
mengetahui kecenderungan perilaku seorang calon pegawai, apakah dia adalah
seorang calon yang dapat dipercaya atau tidak, penting untuk dilakukan.
Bagi sebagian orang, pendekatan moral dalam upaya reformasi birokrasi
dinilai sulit untuk berhasil, bahkan dalam kasus Indonesia dikatakan gagal
menjadi pendekatan utama. Mereka menunjuk kasus-kasus korupsi yang terjadi
di lingkungan Departemen Agama, yang seharusnya menjadi contoh bagi
birokrasi pada lembaga negara yang lainnya. Penyelewengan dana umat yang
dikumpulkan dari kegiatan ibadah haji, adalah salah satu contoh kegagalan dari
sebuah lembaga yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Karena itu
para pengkritik menganjurkan agar masalah moral dan etika dijadikan kurikulum
tingkat dasar yang diwajibkan bagi siswa sekolah dasar dan menengah, selain
pendidikan agama. Dengan demikian masalah korupsi sudah dipahami sejak dini,
tidak menununggu seseorang menjadi pegawai atau pejabat.
20
Makmur (2007), menulis sembilan pesan moral yang dapat dijadikan kiat
untuk menghindari korupsi, sebagai berikut: (1) jauhi perkara yang syubhat
(meragukan), jangan berusaha mencari-cari pembenaran untuk memiliki sesuatu
yang jelas-jelas bukan hak Anda; (2) catat semua transaksi dan perjanjian Anda,
jelaskan akad perjanjian Anda secara tertulis, hitam di atas putih; (3) jangan
biarkan diri Anda berjalan tanpa kontrol; (4) hindari lingkungan yang korup, jika
Anda tidak yakin dapat mengubahnya; (5) jauhi sikap ”aji mumpung”, sabar dan
yakin menerima rizki dari Allah; (6) selektif dan hati-hati dalam memenuhi
tuntutan sosial, hindari gengsi dan pamer; (7) jangan berlebihan memenuhi
keinginan keluarga (anak dan isteri); (8) jangan remehkan korupsi kecil, karena
itu akan menjadi pintu masuk bagi Anda untuk melakukan korupsi yang lebih
besar; dan (9) jangan pernah berniat untuk korupsi.
Perspektif Hukum. Menurut perspektif ini, korupsi adalah tindakan
melanggar norma-norma hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang
berakibat pada rusaknya tatanan yang sudah disepakati, baik tatanan hukum,
politik, administrasi, manajemen, sosial dan budaya serta berakibat pula
terhadap terampasnya hak-hak rakyat yang semestinya didapat (Fahrojih, et.al.,
2005). Dalam Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, disebutkan bahwa tindak pidana korupsi adalah ”Setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, ...”. Dalam penjelasan pasal ini, disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan ”secara melawan hukum” adalah segala perbuatan melawan
hukum, baik dalam arti formil maupun materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan
atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut
dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata ”dapat merugikan ...”, menunjukkan
bahwa tindak pidaha korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana
korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah
dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Bagi penganut perspektif hukum, keseriusan dari keinginan suatu negara
untuk memberantas korupsi dapat dinilai dari undang-undang yang
21
ditetapkannya dan tindakan pemerintahnya dalam menerapkan undang-undang
tersebut (McWalters, 200). Dalam konteks ini, upaya pemberantasan korupsi
terdiri dari empat elemen, yaitu: (1) infrastruktur hukum antikorupsi domestik
yang efektif; (2) kerjasama internasional untuk saling membantu dalam bidang
hukum; (3) dukungan aktif dari rakyat; dan (4) kemauan politik untuk menjadikan
strategi antikorupsi dapat berjalan dengan baik.
Dilihat dari elemen infrastruktur hukum, Indonesia memiliki perangkat
hukum yang cukup memadai, yang dapat dilihat antara lain dari beberapa produk
hukum: (1) UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; (2) UU No.31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi j.o. UU No.20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999; (3) Peraturan Pemerintah No.71
Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peranserta Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi; (4) UU No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; (5)
UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (6)
UU No.7 Tahun 200 tentang Pengesahan United Nations Convention Against
Corruption 2003; dan (7) Instruksi Presiden RI No.5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Dalam pespektif hukum, yang sering menjadi persoalan adalah pertama,
masih terdapatnya polemik yang berkaitan dengan kedudukan peradilan korupsi
yang diatur dalam UU No.30 Tahun 2002, yang diputuskan oleh Mahkamah
Konstitusi bahwa pengadilan korupsi yang diatur dalam undang-undang tersebut
menyalahi konstitusi (Santoso, 2007). Kedua, dalam membuat jurisprudensi, para
jaksa dan hakim seringkali dianggap kurang tegas. Misalnya berkenaan dengan
salah tafsir mengenai perbedaan antara hadiah (costomary gift) dan suap (bribe),
yang tidak hanya dialami oleh para pejabat yang berhubungan dengan
administrasi pemerintahan, tetapi juga oleh para penegak hukum (Kumorotomo,
2006). Jika salah tafsir tersebut dilakukan secara sengaja oleh para jaksa dan
atau hakim maka akan banyak terjadi koruptor yang divonis bebas atau divonis
dengan hukuman ringan. Ketiga, kurangnya teladan dari institusi penegak hukum
dalam hal kepeloporan pemberantasan korupsi. Misalnya, ketertupan institusi
Mahkamah Agung (MA) terhadap audit biaya perkara oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) (Diansyah, 2008). Di samping itu, aparatur penegak hukum itu
22
sendiri juga menjadi bagian dari korupsi, misalnya kasus suap terhadap para
jaksa yang terjadi akhir-akhir ini. Keempat, belum adanya pembuktian terbalik,
yaitu beban pembuktian korupsi diserahkan kepada tersangka atau terdakwa,
untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya bukan hasil tindak
pidana korupsi. Kelima, belum adanya undang-undang perlindungan saksi dan
pelapor. Keenam, belum ada batsan waktu untuk penyelidikan, dan penyidikan
sehingga penuntutan dan persidangan kasus korupsi sering berlarut-larut.
Sasaran utama reformasi birokrasi dalam perspektif hukum adalah
penegakan hukum, yaitu pemberian sanksi yang seberat-beratnya kepada
koruptor sehingga menimbulkan efek jera. Hal ini dapat terjadi jika aparatur
penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi (kepolisian, jaksa,
hakim tipikor, MA, KPK, dan aparatur dari instansi terkait lainnya) bersih dari
kasus-kasus korupsi dan memeiliki kompetensi memadai dalam menangani
perkara korupsi. Di lingkungan birokrasi, penegakan hukum dapat dilakukan
melalui pengetatan pengawasan oleh atasan langsung. Kewenangan atasan
langsung untuk memberikan hukuman kepada staf atau pegawai di bawahnya
harus diperbesar, sehingga mereka dapat memberikan sanksi indisipliner secara
langsung, misalnya dalam bentuk mutasi, pencabutan sertifikasi profesi,
pencabutan tunjangan, penurunan pangkat, dan sebagainya.
Walaupun penegakan hukum telah berjalan relatif baik, namun bagi
pengkritik perspektif hukum masih menilai bahwa hukum senantiasa terlambat
jika dibandingkan dengan metode dan strategi (modus operandi) yang digunakan
para koruptor dalam briokrasi pemerintahan. Para koruptor selalu dapat
menemukan celah hukum yang dapat dimanfaatkan untuk menghindar dari
tuntutan korupsi. Transaksi suap berlangsung secara sistematik dan dilakukan di
luar lingkungan kerja, pemalsuan laporan harta kekayaan, membuka rekening
atas nama anggota keluarga, dan sebagainya. Para pengkritik juga menyatakan
bahwa tidak mungkin koruptor menangkap koruptor, sebuh sinyalemen untuk
menunjukkan bahwa aparatur penegak hukum menjadi bagian dari korupsi itu
sendiri.
PENUTUP
Pemebtantasan korupsi harus dilakukan secara sistemik dan
komprehensif. Sistemik, artinya tidak dilakukan secara parsial, sepotong-
23
sepotong, tetapi harus menyertakan seluruh bagian dari sistem yang ada.
Komprehensif, artinya melibatkan semua stakeholders dalam upaya
pemberantasannya dan menyangkut semua bentuk tindakan koruptif yang
dilakukan oleh semua pejabat dalam berbagai tingkatan, baik mereka yang ada
di eksekutif, legislatif, maupun yudukatif.
Pendekatan multi-disiplin harus digunakan dalam upaya pemberantasan
korupsi. Kebijakan remunerasi harus diterapkan secara menyeluruh, tidak boleh
terbatas pada instansi tertentu saja, yang dapat menimbulkan kecemburuan dari
aparatur instansi pemerintah yang lain. Sistem reward and punishment bagi para
aparatur birokrasi harus diterapkan secara konsisten. Kegiatan-kegiatan spesifik
yang dilakukan oleh aparatur harus memperoleh imbalan yang cukup, dan
mereka yang melakukan perbuatan korup harus diberi sanksi yang tegas.
Menayangkan para koruptor secara reality show, mengumumkan nama
mereka secara besar-besaran melalui media massa, dan juga pengumuman
dalam kegiatan upacara setiap hari Senen, serta berbagai bentuk kegiatan yang
sifatnya ”mempermalukan” para koruptor, harus diupayakan sebagai suatu
bentuk penegakan moral dan disiplin di lingkungan birokrasi pemerintahan.
Sedangkan dalam bidang hukum, selain memperberat hukum formal dan
memperbesar kewenangan atasan langsung, reformasi birokrasi harus juga
dilakukan untuk memperketat sistem rekrutmen pegawai dengan
mengoptimalkan penerimaan pegawai berdasarkan kecakapan dan referensi
kejujuran. Hal ini dapat dilakukan melalui tes-tes integritas, memanfaatkan
jaminan atas kejujuran dari lembaga-lembaga lain di luar pemerintahan (ICW,
Masyarakat Transparansi Indonesia, dsb.).
Selain upaya-upaya tersebut, reformasi birokrasi harus pula ditujukan
untuk mengurangi segala bentuk monopoli kekuasaan, seleksi ketat terhadap
pegawai yang terlibat dalam proses pengadaan barang dan jasa, dan
menciptakan sistem pertanggung jawaban yang transparan. Pembatasan
kewenangan dalam rangka mencegah monopoli kekuasaan, dapat dilakukan
antara lain melalui: (1) perumusan mekanisme dan prosedur pelaksanaan
pekerjaan yang lebih jelas dan tegas; (2) para pelaksana harus bekerja dalam
kelompok dan diawasi menurut hierarki; (3) membatasi pengaruh pelaksana
dalam keputusan penting, dengan maksud untuk membatasi wewenang dan
meningkatkan akuntabilitas; (4) menggunakan instrumen teknologi informasi
24
yang dapat menangkal terjadinya korupsi; (5) pemanfaatan informasi dari
masyarakat dan pers sebagai instrumen pengawasan ekstra; dan (6) menyusun
kode etik yang lebih spesifik dan mudah dipahami untuk kasus-kasus praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Syed Hussein, 1982. Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer. Jakarta: LP3ES.
Diansyah, Febri, 2008. “Korupsi di Balik Ketertutupan MA”. Dalam Jawa Pos, 10
Juni 2008, h.4. Dwiyanto, Agus, et al., 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Elliott, Kimberly Ann (ed.), 1999. Korupsi dan Ekonomi Dunia. Terjemahan A
Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Fahrojih, Ikhwan, et al., 2005. Mengerti dan Melawan Korupsi. Jakarta: YAPPIKA
dan Malang Corruption Watch (MCW). Kumorotomo, Wahyudi, 1999. Etika Administrasi Negara. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. ---------------, 2006. ”Pelayanan yang Akuntabel dan Bebas dari Praktik KKN”.
Dalam Agus Dwiyanto, et al. (ed.), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Makmur, Taufiq ST., 2007. Obat Anti Korupsi. Depok, Banten: Koekoesan. Malec, Kathryn L., 1993. ”Public Attitudes toward Corruption: Twenty-five Years
of Research”. Dalam H.George Frederickson, (ed.), Ethics and Public Administration. New York: M.E.Sharpe.
Marzoeki, Djohansjah, 2008. “Koruptor kok Minta Dibilang Bermoral”. Dalam
Jawa Pos, 18 Maret 2008, h.4. McWalters, Ian, 2006. Memerangi Korupsi: Sebuah Peta Jalan untuk Indonesia.
Surabaya: JPBooks. Nurbaya, Siti, 2008. “Perlunya Format Reformasi Birokrasi”. Dalam Jawa Pos, 5
Juni 2008, h.4. Rose-Ackerman, 1999. ”Ekonomi Politik Korupsi”. Dalam Kimberly Ann Elliott
(ed.), Korupsi dan Ekonomi Dunia. Terjemahan A Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
25
Santoso, Topo, 2007. ”Polemik Peradilan Korupsi”. Dalam Jawa Pos, 13 Februari 2007, h.4.
Soedarno, Ernanto, 2008. ”Kenaikan Gaji Jaksa dan Korupsi”. Dalam Jawa Pos,
9 April 2008, h.4. Taufiq, Muhammad, 2008. ”Remunerasi Hakim Agung: Tidak Menjamin Bebas
Korupsi”. Dalam Jawa Pos, 10 April 2008, h.4. Wahidin, Samsul, 2008. “Modul Korupsi Wakil Rakyat”. Dalam Jawa Pos, 19 April
2008, h.4. Yuntho, Emerson, 2007. “Jangan Pernah Kalah Lawan Koruptor”. Dalam Jawa
Pos, 7 November 2007, h.4. Zen, M.T., 2007. “Sifat Permisif Dasar Budaya Korup”. Dalam Jawa Pos, 5 Maret
2007, h.4.