Kontrak Karya PT Freeport Ditinjau Dari Pasal 33 UUD 1945

36
1 Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia Ditinjau Dari Pasal 33 UUD Tahun 1945 dan Implikasinya Terhadap Iklim Investasi di Indonesia 1 Oleh: Syahrul Fitra, Antonius Kanaris, Triani 2 Abstrak The land, the water, and the natural resources within shall be under the powers of the State and shall be used to the greatest benefit of the people. (The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, Article 33 (3)). To regulate the management of natural resources, especially coal and mineral resources, in 1967, The Government established the Law of The Republic Indonesia Number 1 of 1967 Concerning Foreign Capital Investment and Law of Republic Indonesia Number 11 of 1967 Concerning Mining as the legal basis regulating about investment and mining issues in Indonesia, especially for foreign investors. The first collaboration engaged in mining was collaboration between The Government of Republic of Indonesia and PT. Freeport Indonesia. This collaboration was established to perform the processing of copper mining in Papua. Cooperation as outlined in the contract of work (CoW) in 1967 was renewed in 1991 with the expansion of the area from Ertsberg to Grasberg in Papua. Since it was first established, the contract of work has spawned many disputes as well as revenue to the state. Key Words: Kontrak Karya (Contract of Work(COW)), PT. Freeport Indonesia, Sengketa Abstrak Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam tersebut terutama sumber daya mineral dan batu bara maka pada tahun 1967 dibentuk Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Pertambangan sebagai dasar hukum untuk melakukan penanaman modal dan pertambangan di Indonesia terutama oleh pemodal asing. Kerjasama pertama setelah lahirnya kedua undang-undang tersebut adalah kerjasama pemerintah dengan PT. 1 Tulisan ini merupakan tugas Ujian Akhir Semester pada kuliah Hukum Investasi, yang dibina oleh Arman Nevi, S.H.,M.M. Dan telah dipresentasikan di depan mahasiswa Paskasarjana Fakultas Hukum UI, program studi Hukum Ekonomi. 2 Penulis merupakan Mahasiswa Paskasarjana Fakultas Hukum UI, angkatan 2013.

description

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam tersebut terutama sumber daya mineral dan batu bara maka pada tahun 1967 dibentuk Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Pertambangan sebagai dasar hukum untuk melakukan penanaman modal dan pertambangan di Indonesia terutama oleh pemodal asing. Kerjasama pertama setelah lahirnya kedua undang-undang tersebut adalah kerjasama pemerintah dengan PT. Freeport Indonesia untuk melakukan pengolahan pertambangan tembaga di cdangan Ertsberg Papua. Kerjasama yang dituangkan dalam kontrak karya (Contract of Work) tahun 1967 telah diperbaharui pada tahun 1991 dengan perluasan wilayah ke Grasberg Papua. Sejak kontrak karya ini dibentuk telah melahirkan banyak sengketa disamping pemasukan terhadap negara.

Transcript of Kontrak Karya PT Freeport Ditinjau Dari Pasal 33 UUD 1945

  • 1

    Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia Ditinjau

    Dari Pasal 33 UUD Tahun 1945 dan Implikasinya

    Terhadap Iklim Investasi di Indonesia1

    Oleh:

    Syahrul Fitra, Antonius Kanaris, Triani2

    Abstrak

    The land, the water, and the natural resources within shall be under the powers of

    the State and shall be used to the greatest benefit of the people. (The 1945

    Constitution of the Republic of Indonesia, Article 33 (3)). To regulate the

    management of natural resources, especially coal and mineral resources, in 1967,

    The Government established the Law of The Republic Indonesia Number 1 of

    1967 Concerning Foreign Capital Investment and Law of Republic Indonesia

    Number 11 of 1967 Concerning Mining as the legal basis regulating about

    investment and mining issues in Indonesia, especially for foreign investors. The

    first collaboration engaged in mining was collaboration between The Government

    of Republic of Indonesia and PT. Freeport Indonesia. This collaboration was

    established to perform the processing of copper mining in Papua. Cooperation as

    outlined in the contract of work (CoW) in 1967 was renewed in 1991 with the

    expansion of the area from Ertsberg to Grasberg in Papua. Since it was first

    established, the contract of work has spawned many disputes as well as revenue to

    the state.

    Key Words: Kontrak Karya (Contract of Work(COW)), PT. Freeport Indonesia,

    Sengketa

    Abstrak

    Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

    Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33

    ayat 3 UUD 1945). Untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam tersebut

    terutama sumber daya mineral dan batu bara maka pada tahun 1967 dibentuk

    Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Pertambangan

    sebagai dasar hukum untuk melakukan penanaman modal dan pertambangan di

    Indonesia terutama oleh pemodal asing. Kerjasama pertama setelah lahirnya

    kedua undang-undang tersebut adalah kerjasama pemerintah dengan PT.

    1 Tulisan ini merupakan tugas Ujian Akhir Semester pada kuliah Hukum Investasi, yang dibina oleh

    Arman Nevi, S.H.,M.M. Dan telah dipresentasikan di depan mahasiswa Paskasarjana Fakultas Hukum UI, program studi Hukum Ekonomi. 2 Penulis merupakan Mahasiswa Paskasarjana Fakultas Hukum UI, angkatan 2013.

  • 2

    Freeport Indonesia untuk melakukan pengolahan pertambangan tembaga di

    cdangan Ertsberg Papua. Kerjasama yang dituangkan dalam kontrak karya

    (Contract of Work) tahun 1967 telah diperbaharui pada tahun 1991 dengan

    perluasan wilayah ke Grasberg Papua. Sejak kontrak karya ini dibentuk telah

    melahirkan banyak sengketa disamping pemasukan terhadap negara.

    Kata Kunci: Kontrak Karya, PT. Freepor Indonesia, Sengketa

    A. Latar Belakang

    Mineral dan batu bara merupakan salah satu dari hasil kekayaan bumi yang tak

    terbarukan atau tidak dapat diperbaharui selain minyak bumi dan gas. Oleh sebab

    itu, Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945 mengamanatkan Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak

    dikuasai oleh negara dan selanjutnya pada ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

    sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Indonesia merupakan negara yang sangat luas, yaitu 1,904,569 Km

    2.3

    Dengan bentangan wilayah yang sangat luas tersebut, Indonesia memiliki potensi

    SDA yang sangat besar baik SDA hayati maupun non-hayati. Apabila potensi

    kekayaan alam tersebut dapat dimanfaatkan dengan maksimal, Indonesia dapat

    menjadi negara yang makmur, bahkan dapat mengalahkan negara-negara Eropa

    dan Amerika. Akan tetapi hal tersebut masih menjadi angan-angan (utopis) untuk

    saat ini. Hal tersebut disebabkan sistem pengelolaan yang tidak tepat atau faktor-

    faktor lain yang tidak lepas dari kondisi transisi politik Indonesia tahun 1965 dari

    Orde Lama ke Orde Baru. Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto

    ketika itu membuka pasar yang seluas-luasnya bagi investor terutama investor

    asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia setelah sebelumnya pada masa

    Orde Lama yang dipimpin Presiden Soekarno melakukan nasionalisasi aset

    terhadap perusahaan asing yang ada di Indonesia.

    Kebijakan liberalisasi ekonomi Orde Baru mulai terlihat sejak

    pembentukan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang

    diikuti dengan keluarnya UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, dan satu

    tahun setelah itu disusul dengan pengesahaan UU No. 6 Tahun 1968 tentang

    Penanaman Modal Dalam Negeri. Lahirnya paket regulasi tersebut telah menarik

    minat investor pertambangan asal Amerika Freeport Mining Inc., untuk

    menanamkan modalnya di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi

    Papua untuk melakukan eksploitasi tembaga. Karena kondisi Indonesia dalam

    masa transisi yang katanya membutuhkan dukungan ekonomi dan juga dengan

    dalih promosi investasi Indonesia ke luar negeri, maka Pemerintah Indonesia

    akhirnya menerima tawaran investasi dari Freeport Mining Inc. untuk melakukan

    kegiatan usahanya di Indonesia dengan mendirikan PT. Freeport Indonesia

    (PTFI). Kerjasama Pemerintah dan PTFI pun dituangkan dalam kontrak karya

    (KK) pertamanya pada tahun 1967 dengan lama operasi 30 tahun, dan pada tahun

    1988 ditemukan cadangan Grasberg akhirnya pada tahun 1991 dilakukan KK

    3http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia, diakses pada tanggal 21 September 2013.

  • 3

    kedua dengan durasi 30 tahun hingga tahun 2021 dengan alasan investasi besar

    dan risiko tinggi.4 KK memuat beberapa poin kesepakatan seperti wilayah

    pertambangan, royalti, hak-hak khusus pemerintah dan beberapa kesepakatan

    lainnya. Keberadaan KK inilah yang akhirnya membawa permasalahan di

    Indonesia terutama pasca Reformasi 1998. Terakhir KK PTFI tahun 1991 digugat

    oleh IHCS yang merupakan salah satu organisasi non pemerintahan yang bergerak

    dalam bidang advokasi hak asasi manusia. Alasan IHCS memasukkan gugatan

    terhadap PTFI di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena menganggap KK PTFI

    tahun 1991 yang memuat pembagian royalti kepada pemerintah sebesar 1% sudah

    tidak sesuai dengan PP 9 Tahun 2012 Jo PP No. 45 Tahun 2003 tentang

    Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang mengharuskan tarif royalti emas sebesar

    3,75%. Di samping itu IHCS juga menyatakan penguasaan tambang oleh PTFI

    terbukti tidak untuk sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat sebagaimana

    amanat UUD Tahun 1945. Terhadap Gugatan IHCS ini pada mulanya dalam

    putusan sela Majelis Hakim menolak Eksepsi PTFI, yang dalam eksepsinya

    menyatakan IHCS tidak berhak untuk melakukan gugatan terhadap PTFI, akan

    tetapi dalam putusan akhirnya Majelis Hakim mengabulkan Eksepsi PTFI dan

    menolak gugatan IHCS.5

    Di balik kejanggalan putusan Majelis Hakim tersebut, ada hal yang

    menarik untuk diteliti lebih lanjut terutama dilihat dari sejarah munculnya kontrak

    karya PTFI ini, apalagi kalau diamati dalam KK PTFI tersebut tercantum klausula

    yang mengatakan PTFI berhak untuk mengekspor seluruh hasil produksi mereka

    tanpa pembatasan apapun atau pembebanan pajak.6 Lantas di mana peran negara

    dalam hal ini, jika perusahaan seperti PTFI bisa begitu saja melakukan ekspor atas

    hasil bumi Indonesia tanpa dibebani pajak atau pembatasan ekspor. Sementara

    Pasal 33 Konstitusi sudah jelas dan tegas mengatakan semua hasil bumi dan

    kekayaan alam itu dikuasai negara untuk kesejahteraan rakyat. Hal tersebut jelas

    merugikan Indonesia, tapi karena Pemerintah sudah terikat dengan kontrak yang

    menganut pada dasarnya asas pacta sunt servanda mau tidak mau, suka tidak suka

    kontrak tersebut tetap harus dijalankan.

    Di samping persoalan di atas, perlu juga dilihat apakah persoalan pada

    KK PTFI tersebut akan berdampak terhadap iklim investasi di Indonesia sebab

    bagaimanapun juga investasi merupakan salah satu income yang sangat berperan

    dalam pembangunan Indonesia, tentunya investasi yang menjunjung semangat

    Pasal 33 Konstitusi.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan hal tersebut di atas, masalah penting yang menjadi fokus kajian

    dalam makalah ini adalah mengenai perspektif Kontrak Karya PT. Freeport

    Indonesia dilihat dari perspektif Pasal 33 UUD Tahun 1945 dan dampaknya

    4http://ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya, diakses pada

    tanggal 25 September 2013. 5http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50489b86bbae3/ihcs-minta-hakim-batalkan-kontrak-

    karya-freeport, diakses pada tanggal 25 September 2013. 6http://ptfi.co.id/, op.cit.

  • 4

    terhadap iklim investasi di Indonesia, terutama pasca lahirnya UU No. 25 Tahun

    2007 tentang Penenaman Modal dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

    Mineral dan Batu Bara yang menuntut penyesuaian semua kontrak karya yang

    sudah ada sebelum UU tersebut lahir minimal 1 (satu) tahun pasca diundangkan.

    C. Kebijakan Investasi di Indonesia

    Pembukaan UUD 1945 alinea keempat menyatakan bahwa tujuan pembentukan

    negara Indonesia adalah untuk: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

    tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan

    kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan pada

    keadilan dan perdamaian abadi.7 Untuk mengupayakan masyarakat adil dan

    makmur seperti yang dicita-citakan dalam UUD 1945, maka salah satu upaya

    yang ditempuh oleh pemerintah adalah dengan mengundang masuk modal asing

    ke Indonesia. Dalam mengupayakan cita-cita masyarakat adil dan makmur yang

    memenuhi rasa keadilan sosial, harusnya bangsa Indonesia dan masyarakat

    Indonesia termasuk pemerintah harus mengindahkan ketentuan-ketentuan Pasal

    33 UUD 1945.8 Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa keadilan sosial tidak

    semata-mata diartikan sebagai masyarakat yang cukup sandang, pangan, dan

    papan; tetapi justru harus diartikan sebagai cara bersama untuk turut memutuskan

    masa depan yang dicita-citakan dan turut secara bersama mewujudkan masa

    depan itu. 9

    Terkait penjelasan Pasal 33 UUD 1945 ini Prof. DR. Mr. Soepomo

    sebagai arsitek UUD 1945 menulis dalam salah satu ukunya memberi pengertian

    "dikuasai" sebagai berikut: "... termasuk pengertian mengatur dan/atau

    menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan mempertimbangkan produksi

    ...".10

    Sementara itu terkait frasa dikuasai oleh negara Mahkamah Konstitusi mengartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam luas yang

    bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala

    sumber kekayaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat

    atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.11

    Selanjutnya Mahkamah Konstitusi

    mengartikan Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945

    memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan

    7Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea 4

    8Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 1). Perekonomian

    disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.; 2). Cabang-cabang produksi yang

    penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.; 3). Bumi

    dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan

    untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 9Todung Mulya Lubis (1992). Hukum dan Ekonomi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta: Pustaka Sinar

    Harapan, 1992), hal. 27. 10

    Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 002/PUU-I/2003, hal. 35. 11

    Ibid., hal. 208.

  • 5

    tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan

    (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuktujuan sebesar-

    besarnya kemakmuran rakyat.

    Terkait pengelolaan (beheersdaad) Mahkamah Konstitusi lebih lanjut

    menjelaskan pengelolaan dapat dilakukan melalui mekanisme kepemilikan saham

    (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan

    Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen

    kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan

    penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-

    besarnya kemakmuran rakyat.12

    Merujuk kepada tafsiran Mahkamah Konstitusi di atas, bisa dikatakan

    tidak ada larangan bagi pemodal asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia

    khususnya dalam mengelola sektor-sektor penting tersebut. Akan tetapi ada

    batasan mengenai komposisi saham pemodal dari sektor swasta untuk

    menanamkan modalnya dalam bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang

    banyak tersebut. Untuk menentukan sektor usaha mana yang menyangkut hajat

    hidup orang banyak Mahkamah Konstitusi memberikan kriteria sebagai berikut:

    1) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau

    2) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau 3) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak.

    Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya

    kemakmuran rakyat.

    Untuk menentukan cabang-cabang produksi tersebut penting atau tidak

    merupakan kewenangan Pemerintah dan DPR. Sehingga untuk pemanfaatan

    modal untuk cabang produksi tersebut harus hati-hati jangan sampai cabang

    produksi penting dikelola secara berlebihan oleh swasta yang terlalu

    mementingkan prfit dirinya sendiri, terutama modal yang bersumber dari asing.

    Penggunaan modal asing ini pada dasarnya perlu dimanfaatkan secara

    maksimal untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia serta digunakan

    dalam bidang-bidang dan sektor-sektor yang dalam waktu dekat belum atau tidak

    dapat dilaksanakan oleh modal Indonesia sendiri. Akan tetapi, harapan untuk

    mendapatkan keuntungan besar dari pemodal asing justru yang terjadi saat ini

    banyak perusahaan-perusaan asing terlalu mendominasi bahkan di dalam

    kenyataannya perusahaan penanaman modal asing yang masuk di Indonesia

    kebanyakan sudah berbentuk Perusahaan Multi Nasional (PMN) atau Multi

    Nasional Corporation (MNC).

    Mengenai kepemilikan saham dan struktur permodalan sendiri,

    Sumantoro menyatakan dikenal adanya berbagai ketentuan yang menetapkan

    pemilikan saham asing minoritas, pemilikan saham asing mayoritas, pemilikan

    saham asing 50/50, pemilikan saham asing 49/51, dan pemilikan saham asing

    12

    Ibid., hal. 209.

  • 6

    100%.13

    Di dalam program Indonesiasi, pemerintah telah menetapkan alternatif

    49/51. Dalam konteks ini belum dipertimbangkan aspek-aspek jenis saham,

    pembagian laba dan penilaian atas asset serta hak menentukan pengelolaan

    perusahaan.

    Sementara jika dilihat kebelakang ekonomi Indonesia pasca transisi

    politik tahun 1967 bergerak menuju ekonomi liberal. Hal tersebut dipertegas

    dengan beberapa paket kebijakan ekonomi, seperti UU No. 1 Tahun 1967 tentang

    Penanaman Modal Asing, UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, UU No.

    6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan beberapa kebijakan

    lainnya setelah itu. Di samping itu pada tahun 1968 pemerintah mengeluarkan

    kebijakan memberikan fasilitas tambahan masa pembebasan pajak untuk

    perusahaan asing yang berbentuk patungan. Mulai saat itu penanaman modal

    asing di Indonesia dapat berbentuk penanaman modal langsung yang dimiliki

    asing atau berbentuk usaha patungan.

    Pada tahun 1974 sidang kabinet menetapkan kebijakan-kebijakan dalam

    upaya menarik investor dengan memberikan kemudahan memperkenankan

    pengelolaan perusahaan oleh personil asing, menjamin transfer modal dan

    keuntungan sesuai dengan mata uang yang dikehendaki, dan jaminan untuk tidak

    melakukan nasionalisasi.14

    Sejak tahun 1974, pemerintah menerbitkan kebijakan

    baru yang mensyaratkan semua penanaman modal asing berbentuk usaha

    patungan yang selanjutnya persyaratan tersebut lebih ditegaskan lagi yaitu bahwa

    pemilikan saham nasional menjadi mayoritas dalam waktu sepuluh tahun. Namun

    ada pengecualian untuk sektor pertambangan, minyak dan gas bumi dari

    ketentuan mayoritas kepemilikan saham tersebut. Akan tetapi kebijakan tahun

    1974 tersebut belum ditetapkan dalam bentuk peraturan perundangan, dan

    pelaksanaannya kurang efektif. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal, antara

    lain:15

    1) Dilihat dari segi kemampuan permodalan peserta nasional. 2) Lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara dalam peningkatan

    kepemilikan saham nasional belum bekerja seperti diharapkan.

    3) Kebijakan tersebut belum dituangkan dalam bentuk peraturan perundangan sehingga dalam penerapannya menimbulkan berbagai penafsiran.

    Kenyataan menunjukkan bahwa sampai tahun 1980 tidak ada perusahaan modal

    asing yang mengikuti kebijakan tersebut dengan menawarkan sahamnya lebih dari

    51% kepada pihak Indonesia. Bahkan Sumantoro mensinyalir bahwa di Indonesia

    telah timbul aneka ragam aturan yang mengatur sektor perekonomian yang

    acapkali ganti berganti dan adakalanya saling bertentangan atau tidak mendukung

    satu sama lain di antara berbagai subsektor, yang diakibatkan karena tidak

    13

    Sumantoro, Bunga Rampai Permasalahan Penanaman Modal dan Pasar Modal. (Bandung: Bina

    Cipta, 1985), Hal. 95-100. 14

    Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007, hlm. 46. 15

    Anang Priyanto, Eni Kusdarini, Candra Dewi Puspitasari, Kebijakan Pengaturan Divestasi

    Penanaman Modal Asing Di Sektor Pertambangan. (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta,

    2006), hal. 12-13.

  • 7

    metakhirnya hukum dasar yang mengatur sektor ekonomi.16

    Kebijakan liberalisasi

    ekonomi tersebut memuncak dikisaran tahun 1988 hingga tahun 1998, yang

    mengakibatkan kebablasan kebijakan ekonomi yang berisiko terhadap kondisi

    ekonomi Indonesia, beberapa di antaranya Bank Indonesia kehilangan kendali atas

    sistem moneter di Indonesia, pihak swasta dan modalnya menggantikan peran

    negara sebagai pengatur ekonomi mikro, beban utang negara besar sehingga

    kejutan-kejutan sekecil apapun ataupun pelarian modal dapat berakibat fatal, dan

    terakhir liberalisasi yang dilakukan setengah-setengah hanya menguntungkan

    segelintir orang yang mengontrol modal.17

    Paket kebijakan liberalisasi ekonomi tersebut, bisa dikatakan tidak

    merefleksikan semangat dari Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan setiap

    pengelolaan sektor usaha strategis dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat

    sebesar-besarnya. Justru dengan kebijakan tersebut hanya menguntungkan

    segelintir orang yang mengontrol modal. Jika belajar ke negara tetangga seperti

    Malaysia pengelolaan pertambangan seperti minyak bumi tidak ada dikelola oleh

    swasta, yang swasta adalah di Amerika Serikat, tetapi tidak berarti itu benar, swasta di Amerika Serikat justru mereka melakukan konservasi, tidak menyentuh

    sumber minyaknya, tidak mengebor banyak-banyak, dia menggunakan yang dari

    luar.18

    Pasca reformasi, liberalisasi ekonomi kembali menampakkan diri. Hal itu

    tercermin dari diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang

    Penanaman Modal (UUPM) yang baru. Undang-Undang ini lebih buruk dari

    Undang-Undang sebelumnya dalam hal melindungi masyarakat lokal atau

    komunitas, bahkan parahnya lagi dalam UUPM ini mengatur sendiri mengenai

    masa pemberian hak guna usaha (HGU) bagi perusahaan selama 95 tahun dan

    dapat diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbaharui

    selama 35 tahun.19

    Berdasarkan hal tersebut pemerintah dinilai memberi privillege

    kepada investor asing dan sudah jelas Pasal 22 tersebut tidak berpihak kepada

    masyarakat. Disamping itu Pasal 22 tersebut juga bertentangan dengan semangat

    UUD Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-

    Pokok Agraria.

    Pasal 22 UUPM tersebut, merupakan bencana legislasi di Indonesia, yang

    pada akhirnya dihapuskan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi RI.

    Menurut keterangan ahli dari Universitas Gajah Mada, Revrisond Baswir dalam

    sidang judicial review perkara No. 21-22/PUU-V/2007 tentang UUPM tersebut

    menarik kesimpulan paradigma warisan kolonial masih membayang-bayangi para

    pengambil kebijakan hingga kini. Menurutnya, kebijakan ekonomi dalam UUPM

    tidak sejalan dengan landasan ideologis dan latar belakang historis pembentukan

    Pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 yang menjadi bagian dari konsiderans

    16

    Sumantoro, Op. Cit.,hal. 201-215. 17

    Ibid., hlm. 47. 18

    Keterangan ahli Prof. Dr. Sri Edie Swasono, S.E. pada perkara di Mahkamah Konstitusi RI No.

    002/PUU-I/2003, hal. 84-85. 19

    Pasal 22 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara

    Republik Indonesia Tahun 2007 No. 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.

    4724) sebelum Judicial Review.

  • 8

    UUPM justru bersemangat anti kolonialisme, untuk bangkit sendiri secara

    ekonomi. Menurutnya, ketentuan mengenai dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam ketentuan itu berarti negara wajib membuat regulasi yang memihak kepada kemakmuran rakyat dan melindungi kepentingan

    pemodal dalam negeri.20

    Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam terutama sektor

    pertambangan seringkali sarat dengan intervensi asing, dan tampaknya pemerintah

    gagal mengintegrasikan fakta ekonomi itu ke dalam prinsip keadilan, kepatutan

    dan kemandirian yang dapat berdampak pada kegagalan pemerintah dalam

    memenuhi hak rakyatnya untuk mendapatkan kemakmuran. Berkaitan dengan

    masalah pertambangan, ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Penanaman Modal

    Asing yang lama (Tahun 1967) menyatakan bahwa penanaman modal asing di

    bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan pemerintah

    Indonesia atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan

    perundang-undangan yang berlaku.21

    Perlu diketahui bahwa pengelolaan bidang pertambangan seharusnya

    melibatkan masyarakat setempat. Di samping itu, sudah semestinya pengaturan

    penanaman modal asing bidang pertambangan diatur berbeda dan agak ketat

    dengan pengaturan bidang-bidang usaha lain mengingat sifat-sifat khusus dari

    usaha pertambangan itu sendiri. Sifat-sifat khusus usaha pertambangan

    sebagaimana dikemukakan oleh G. kartasapoetra dkk yakni:22

    1) Usaha pertambangan adalah suatu kegiatan yang menggali, memanfaatkan dan mengurangi serta mengahbiskan sesuatu kekayaan nasional berupa bahan

    galian yang tidak dapat ditumbuhkan kembali;

    2) Usaha pertambangan pada umumnya memerlukan skill khusus dan permodalan yang tidak sedikit, sedangkan resikonya sangat besar;

    3) Usaha-usaha pertambangan pada umumnya di samping mempunyai aspek-aspek nasional seringkali pula menyangkut aspek-aspek internasional,

    misalnya pengusahaan-pengusahaan bahan galian strategis maupun vital

    seperti monyak bumi, mineral radioaktif, nikel dan lain sebagainya;

    4) Eksploitasi bahan galian secara besar-besaran hanya dapat dibenarkan apabila secara nasional telah dapat pula digariskan policy pencadangan bahan galian

    yang sehat dan seimbang.

    Selanjutnya G. Kartasapoetra dkk melihat berdasarkan sifat-sifat khusus tersebut,

    maka pengikutsertaan modal asing di bidang usaha pertambangan di Indonesia

    harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang khusus pula. Hal ini tidak lain dengan

    20

    Revrisond Baswir, Kontrak Karya Pertambangan, Tersedia di

    http://muhammadbarli.blogspot.com/2009/06/kontrak-karya-pertambangan.html, 24 September

    2013, 20. 45 WIB. 21

    Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran

    Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik

    Indonesia Nomor 2818), Pasal 8. 22

    G. Kartasaputra, dkk. Manajemen Penanaman Modal Asing. (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hal.

    278-279.

  • 9

    maksud dan tujuan pemanfaatan yang sebesar-besarnya dari kekayaan mineral

    kita, termasuk di dalamnya segi-segi pengamanan kepentingan-kepentingan

    nasional dalam arti luas.23

    D. Perkembangan Kontrak Karya Di Indonesia.

    Kontrak Karya (KK) merupakan terjemahan dari Contract of Work (COW).

    Kontrak Karya (Contract of Work) juga diartikan sebagai suatu perjanjian

    pengusahaan pertambangan antara pemerintah Republik Indonesia dengan

    perusahaan swasta asing, patungan perusahaan asing dengan Indonesia dan

    perusahaan swasta nasional untuk melaksanakan usaha pertambangan di luar

    minyak gas dan bumi. Ismail Sunny mengartikan kontrak karya sebagai suatu kerja sama modal asing dalam bentuk kontrak karya terjadi apabila penanaman

    modal asing membentuk satu badan hukum Indonesia dan badan hukum ini

    mengadakan kerjasama dengan satu badan hukum yang menggunakan modal

    nasional.24 Merujuk kepada pendapat Ismail Sunny di atas, Made Ester Ida Oka Patty menyebutkan kontrak karya tidak hanya mengatur kerjasama antara badan

    hukum asing dengan badan hukum Indonesia, tapi mencakup beberapa aspek

    seperti 1) adanya kontraktual; 2) adanya subjek hukum; 3) adanya objek dan 4)

    adanya jangka waktu kontrak.25

    Masih dalam konteks definisi KK ini, pemerintah melalui Keputusan

    Direktur Jenderal Pertambangan Umum Nomor 150.K/20.01/DDJP/1998 tentang

    Tata Cara dalam Pasal 1 huruf a memberikan definisi tentang Kontrak Karya,

    yaitu:

    Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melaksanakan usaha pertambangan

    bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio

    aktif dan batu bara.

    Dilihat dari definisi KK di atas, dapat disimpulkan KK merupakan kerjasama

    antara modal asing dalam bentuk perusahaan berbadan hukum Indonesia dengan

    Pemerintah Indonesia untuk melakukan usaha pertambangan mineral. Sehingga

    KK tidak dapat atau tidak mencakup kepada wilayah pertambangan minyak bumi,

    gas alam, panas bumi, radio aktif dan batu bara.

    Berbicara KK, tidak berbicara sesuatu yang sifatnya tetap, sebab ada

    kemungkinan dilakukan pembaharuan-pembaharuan terkait cakupan kontrak

    karya, terlebih setiap kontrak terikat dengan prinsip-prinsip perjanjian

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang sahnya perjanjian

    23

    Ibid., 24

    Ismail Sunny dalam Salim H.S, Perkembangan Hukum Innominaat di Indonesia, (Jakarta: Sinar

    Grafika, 2003), hal.63. 25

    Made Ester Ida Oka Patty, Pelaksanaan Kontrak karya Antara Pemerintah Republik Indonesia

    Dengan PT. Avocet Bolang Mongondo, Universitas Diponegoro: Tesis, 2008, hal. 69-70.

  • 10

    jo Pasal 1337 KUHPer yang memungkinkan para pihak menyesuaikan isi kontrak

    berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, selama tidak bertentangan dengan

    ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

    Dalam usaha pertambangan sendiri, tidak hanya mengenal KK, selain itu

    juga ada Kuasa Pertambangan (KP), dan Perjanjian Karya Pengusahaan

    Pertambangan Batubara (PKP2B).26

    KK sendiri sebagai salah satu bentuk

    kerjasama dalam usaha pertambangan lebih menitik beratkan kepada objek di luar

    minyak bumi dan gas bumi seperti emas, tembaga, ataupun batu bara, hal ini bisa

    terlihat dari pengertian KK berdasarkan keputusan Dirjen Pertambangan Tahun

    1998 di atas.

    Untuk melihat lebih jelas rezim KK, bisa kita kelompokkan kedalam

    beberapa periode pertama, periode tahun 1967 atau periode lahirnya KK. Pada

    periode ini ada beberapa prinsip yang terdapat dalam KK di antaranya 1).

    Perusahaan kontraktor sebagai pemegang kuasa pertambangan atas dasar ijin

    pemerintah; 2). Manajemen di tangan kontraktor dan operasional di tanggung oleh

    kontraktor; 3). Pembagian hasil dalam bentuk uang dalam jumlah bebas (tidak

    ditentukan besarnya) untuk tahun ke-1 sampai dengan ke-3, dengan ketentuan

    bahwa penghasil pemerintah untuk tahun ke-4 sampai dengan ke-10 sebesar 35%;

    dan 4). Jangka waktu kontrak 30 (tigapuluh) tahun dan dapat diperpanjang.

    Kedua, periode 1968 1983, pada periode ini ada beberapa prinsip pada KK yang diperbaharui dan masih ada beberapa hal yang sama di antaranya 1).

    Memungkinkan bekerja sama dengan pihak lain yang telah memegang kuasa

    pertambangan; 2). Manajemen di tangan kontraktor dan operasional ditanggung

    oleh kontraktor. 3). Pembagian hasil ditentukan berdasarkan tarif yang ditetapkan

    pada setiap kontrak karya. Sedangkan terkait jangka waktu KK masih sama

    dengan periode I.

    Ketiga, periode 1983 1986, pada periode ini tidak terlalu banyak perubahan di antaranya terkait perusahaan kontraktor sebagai pemegang kuasa

    pertambangan atas dasar ijin pemerintah, dan terkait pembagian hasil selanjutnya

    mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 352 tahun 1971. Terkait beberapa aspek

    lainnya pada periode ini masih tetap sama dengan dua periode sebelumnya.

    Keempat, periode 1986 1994, pada periode ke empat ini perubahan terjadi pada aspek pembagian hasil, pada tahapan ini pembagian hasil sudah dibedakan antara

    pembagian hasil emas dan perak, di mana pembagian hasil terhadap emas sebesar

    1% dari harga jika US$ 300/troi ons dan 2% dari harga jika US$400/troi ons.

    Sedangkan untuk perak sebesar 1% jika harga US$ 10/troi ons dan 2%/troi ons

    jika harga US$15/troi ons.

    Kelima, periode 1994 1996, pada tahapan ini KK masih menggunakan beberapa prinsip pada periode pertama dan kedua, seperti manajemen di tangan

    26

    Dahulu Undang-Undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 mengatur bahwa Bentuk Izin

    Usaha Pertambangan meliputi Kontrak Karya (Pasal 10), Kuasa Pertambangan (Pasal 15) dan

    terdapat juga Surat Izin Pertambangan Daerah dan Surat Izin Usaha Pertambangan Rakyat

    sedangkan Undang-Undang Pertambangan baru (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009) mengatur

    bahwa Bentuk Ijin Usaha Pertambangan hanya terdapat mengenai Izin Usaha Pertambangan (IUP),

    Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) (tidak lagi

    memasukkan konsep kontrak karya).

  • 11

    kontraktor dan operasional ditanggung oleh kontraktor (sama dengan generasi II),

    tetapi ratio kewajaran utang (DER) 5: 1 untuk tidak kurang atau sama dengan

    $200 juta investasi dan 8 : 1 untuk lebih dari $200 juta. Selanjutnya pembagian

    hasil mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 1166.K/844/MPE/1992 tanggal 12

    September 1992. Pada tahapan periode keenam, yaitu 1996 1998 bisa dikatakan tidak ada suatu hal yang baru, KK yang ada pada masa itu masih tetap mengacu

    kepada periode-periode sebelumnya. Perubahan kembali terjadi pada periode

    ketujuh yaitu tahun 1998 2004. Pada periode ketujuh ini ada perubahan atau penyesuaian dalam beberapa aspek seperti dimungkinkan bekerjasama dengan

    pihak lain yang telah memegang kuasa pertambangan. Di samping itu manajemen

    di tangan kontraktor dan operasional di tanggung oleh kontraktor (sama dengan

    generasi II ), tetapi ratio kewajaran utang (DER) 5 : 1 untuk tidak kurang atau

    sama dengan $200 juta investasi dan 8 : 1 untuk lebih dari $200 juta.

    Terakhir yaitu KK generasi kedelapan atau generasi terakhir hingga

    lahirnya beberapa produk hukum dalam penanaman modal dan pertambangan.

    Periode ini mulai dari tahun 2004 sekarang. Pada periode ini ada beberapa perubahan, hal tersebut sejalan dengan perubahan perundang-undangan dalam

    bidang penanaman modal dan pertambangan. Beberapa perubahan di antaranya:

    1). Perusahaan negara sebagai pemegang kuasa pertambangan sedangkan

    perusahaan swasta bertindak sebagai kontraktor; 2). Manajemen di tangan

    kontraktor dan resiko operasional di tanggung oleh kontraktor; 3). Pembagian

    hasil dalam bentuk uang atas dasar perbandingan pemerintah /perusahaan negara :

    kontraktor = 60% : 40% dengan ketentuan bahwa penghasilan pemerintah tiap

    tahun tidak boleh kurang dari 20% hasil kotor; 4). Jangka waktu kontrak 30 (tiga

    puluh) tahun untuk daerah baru dan 20 tahun untuk daerah lama. 5). Penyisihan

    wilayah dilakukan 2 (dua) atau 3 (tiga) setelah jangka waktu tertentu.

    Perubahan-perubahan dalam beberapa periode KK tersebut, tidak lepas

    dari kondisi politik Indonesia ketika itu. Perubahan yang sangat siginifikan terjadi

    pasca transisi era Orde Baru ke Reformasi yang melahirkan UU No. 22 Tahun

    1999 tentang Pemerintahan Daerah, sebab pasca lahirnya UU Pemerintahan

    Daerah tersebut menuntut pembagian royalti yang awalnya terfokus ke Pusat.

    Tapi dengan lahirnya UU tersebut royalti juga harus diberikan kepada pemerintah

    daerah di mana lokasi pertambangan tersebut berada.

    Pasca transisi politik dari era orde baru ke reformasi, telah melahirkan

    UU No. 27 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, di mana UU ini merupakan

    pengganti dari UU PMA dan UU PMDN. Sehingga mengenai permodalan asing

    dan dalam negeri yang sebelumnya dipisah dalam dua UU akhirnya digabung

    kedalam satu kesatuan yang selanjutnya menjadi landasan berpijak dalam

    melakukan penanaman modal di Indoenesia. Sedangkan mengenai keberadaan KK

    lebih khusus diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

    dan Batu-bara, yang tidak lagi memasukkan kontrak karya kedalam bentuk

    kerjasama pengelolaan pertambangan, namun dalam Peraturan Kepala Badan

    Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nomor 12 Tahun 2009 Kontrak Karya ini

    kembali disebut sebagai dasar untuk memperoleh Rencana Penggunaan Tenaga

    Kerja Asing bagi perusahaan yang akan menggunakan Tenaga Kerja Asing.

  • 12

    E. Tinjauan Umum Kontrak Karya

    Kontrak karya merupakan perjanjian innominaat yaitu perjanjian yang

    pengaturannya tidak diatur dalam KUHPerdata. Karena kontrak karya adalah

    perjanjian khusus yang ketentuannya merujuk pada Pasal 1338 KUHPerdata, yang

    terkenal dengan asas kebebasan berkontrak.27 Pasal 1338 KUHPerdata

    menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

    Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.28

    Kontrak karya merupakan

    perjanjian yang bersifat dinamis dimana terdapat butir-butir yang dapat

    dinegosiasi ulang seperti: luas wilayah, tenaga kerja, royalti, masa kontrak, pajak,

    pengembangan wilayah usaha setempat, domestic market obligation, dan

    kepemilikan saham.

    Bentuk kontrak karya yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan

    perusahaan penanaman modal asing atau patungan (joint venture) antara

    perusahaan asing dengan perusahaan domestik adalah bersifat tertulis. Substansi

    kontrak disiapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen

    ESDM ( Energi dan sumber Daya Mineral ) dengan calon penanam modal.

    Substansi dari kontrak karya antara lain meliputi:

    1) Tanggal persetujuan dan tempat dibuatnya kontrak karya. 2) Subjek hukum yaitu Pemerintah dan penanam modal. 3) Definisi, yaitu Pengertian perusahaan affiliasi, perusahaan subsidair,

    pengusahaan, individu asing, mata uang asing, mineral-mineral, penyelidikan

    umum, eksplorasi, wilayah pertambangan, pemerintah, menteri, rupiah, mineral

    ikutan, penambangan, pemanfaatan lingkungan hidup, pencemaran, kotoran,

    dan wilayah proyek.

    4) Penunjukan dan tanggung jawab perusahaan. 5) Modus Operandi, yaitu memuat tentang kedudukan perusahaan, yurisdiksi

    pengadilan, kewajiban perusahaan untuk menyusun program, mengkontrakkan

    pekerjaan jasa-jasa teknis, manejemen dan administrasi yang dinggap perlu.

    6) Wilayah kontrak. 7) Periode penyelidikan umum. 8) Periode eksplorasi. 9) Laporan dan deposito jaminan. 10) Periode studi kelayakan. 11) Periode konstruksi. 12) Periode operasi. 13) Pemasaran. 14) Fasilitas umum dan re-ekspor. 15) Pajak-pajak dan lain-lain kewajiban keuangan perusahaan. 16) Pelaporan,inspeksi dan rencana kerja. 17) Hak-hak khusus pemerintah. 18) Ketentuan-ketentuan kemudahan. 19) Keadaan memaksa (force majure).

    27

    Salim H.S, Perkembangan Hukum Innominaat di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hal.63. 28

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, diterjemahkan oleh Subekti

    Tjitrosudibio, Pasal 1338.

  • 13

    20) Kelalaian. 21) Penyelesaian sengketa. 22) Pengakhiran kontrak. 23) Kerja sama para pihak. 24) Promosi kepentingan nasional. 25) Kerja sama daerah dalam pengadaan prasarana tambahan. 26) Pengelolaan dan perlindungan lingkungan. 27) Pengembangan kegiatan usaha setempat. 28) Ketentuan lain-lain. 29) Pengalihan hak. 30) Pembiayaan. 31) Jangka waktu. 32) Pilihan hukum.

    Akan tetapi aturan baru dalam pertambangan UU No. 4 Tahun 2009,

    model Kontrak Karya tidak dikenal lagi. Mengacu pada aturan peralihan UU No.

    4 Tahun 2009, Kontrak Karya yang ditutup sebelum berlakunya undang-undang

    tersebut wajib mengikuti ketentuan mengenai Izin Usaha Pertambangan (IUP)

    sebagaimana diatur dalam Pasal 36 dan Pasal 39 UU No. 4 tahun 2009. Adapun

    Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi berdasar ketentuan Pasal 39 UU No. 4

    Tahun 2009 wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya:29

    1) nama perusahaan; 2) lokasi dan luas wilayah; 3) rencana umum tata ruang; 4) jaminan kesungguhan; 5) modal investasi; 6) perpanjangan waktu tahap kegiatan; 7) hak dan kewajiban pemegang IUP; 8) jangka waktu berlakunya tahap kegiatan; 9) jenis usaha yang diberikan; 10) rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah

    pertambangan;

    11) perpajakan; 12) penyelesaian perselisihan; 13) iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan 14) Amdal.

    Sedangkan dalam IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 36 ayat (1) huruf b wajib memuat kctentuan sekurang-kurangnya:30

    1) nama perusahaan; 2) luas wilayah;

    29

    Indonesia. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 4959), Pasal 39. 30

    Indonesia. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 4959), Pasal 36 ayat (1)

  • 14

    3) lokasi penambangan; 4) lokasi pengolahan dan pemurnian, 5) pengangkutan dan penjualan; 6) modal investasi; 7) jangka waktu berlakunya IUP; 8) jangka waktu tahap kegiatan; 9) penyelesaian masalah pertanahan; 10) lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pasca tambang; 11) dana jaminan reklamasi dan pasca tambang; 12) perpanjangan IUP; 13) hak dan kewajiban pemegang IUP; 14) rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah

    pertambangan;

    15) perpajakan; 16) penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran

    produksi;

    17) penyelesaian perselisihan; 18) keselamatan dan kesehatan kerja; 19) konservasi mineral atau batubara; 20) pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri; 21) penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik; 22) pengembangan tenaga kerja Indonesia; 23) pengelolaan data mineral atau batu bara; dan 24) penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan mineral

    atau batu bara

    Berdasarkan perbandingan di atas, bahwa isi dari Izin Usaha

    Pertambangan (IUP) tidak jauh berbeda dengan klausula minimal yang harus ada

    pada kontrak karya. Hal ini tentunya membawa problematika baru di dalam upaya

    penegakan hukum, misalnya jika terjadi penyelesaian sengketa perizinan yang

    memungkinkan dibawa ke ranah arbitrase.31

    Hal ini merupakan kejanggalan atau

    keanehan mengingat sengketa izin tidak masuk dalam sengketa perdagangan.32

    Kembali kepada persoalan kontrak karya, yang terikat dengan hukum

    kontrak di Indonesia, ada beberapa aspek yang perlu juga diperhatikan selain

    ketentuan-ketentuan khusus di atas, yaitu mengenai syarat sahnya kontrak.

    Merujuk kepada Pasal 1320 KUHPerdata ada beberapa hal untuk melihat

    perjanjian atau kontrak itu bisa dikatakan sah atau tidak, antara lain pertama,

    sepakat mereka yang telah mengikatkan dirinya, terkait sepakat ini KUHPerdata

    tidak ada menjelaskan apa yang dimaksud sepakat, akan tetapi justru sebaliknya

    menyebutkan kondisi atau situasi yang tidak sepakat tersebut dalam beberapa

    31

    Pasal 154 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase

    dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan 32

    Faizal Kurniawan, Aspek Kontraktual Pengelolaan Pertambangan Mineral Dan Batu Bara,

    Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2009, Hlm.

  • 15

    pasal-pasal dalam KUHPerdata. Pasal-pasal tersebut antara lain 1321, 1322, 1323,

    1324, 1325, dan 1328.33

    Kedua, kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Terkait cakap atau

    tidak nya seseorang pada prinsipnya setiap orang cakap untuk membuat perjanjian

    yang melahirkan perikatan sebagaimana dimaksud Pasal 1329 KUHPerdata yang

    menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan kecuali oleh Undang-Undang dinyatakan tidak cakap, Undang-Undang yang dimaksud adalah Pasal 1330 KUHPerdata, sebab Undang-Undang dalam hal ini diartikan

    sempit.34

    Ketiga, mengenai suatu hal tertentu. Dalam hal tertentu atau objek

    tertentu, KUHPerdata telah mengatur dalam Pasal 1332 yang menyatakan bahwa

    hanya barang-barang yang diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok

    kontrak. Pasal 1333 KUHPerdata (pokok barang tersebut dapat ditentukan

    jenisnya dalam hal bahan galian/tambang), sehingga dari uraian tersebut jelas

    bahwa suatu hal tertentu tersebut adalah bahan galian (tambang), yang belum

    tentu ada dan harus memerlukan penelitian lagi dengan melalui penyelidikan

    umum. Dan keempat, suatu sebab yang halal. Sebab yang halal adalah

    sebagaimana di atur dalam Pasal 1335 KUHPerdata, Pasal 1336 dan Pasal 1337

    KUHPerdata.

    Keempat syarat di atas sebagaimana dimaksud Pasal 1320 dapat

    digolongkan menjadi dua bagian, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.

    Dikatakan sebagai syarat subjektif dikarenakan berkenaan dengan dingan person

    atau subjek yang melakukan perikatan, yang termasuk syarat subjektif adalah

    kesepakatan dan kecakapan. Untuk syarat objektif sendiri, merupakan syarat yang

    berkenaan dengan objek dari perjanjian itu, yang termasuk syarat objektif adalah

    mengenai suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Perikatan yang tidak memenuhi

    syarat sah kontrak sebagaimana dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata di atas akan

    memiliki akibat hukum sebagai berikut:35

    1) non-eksistensi, apabila tidak ada kesepakatan maka tidak timbul kontrak. 2) vernietigbaar atau dapat dibatalkan, apabila kontrak tersebut lahir karena

    adanya cacat kehendak (wilsgebreke) atau karena ketidakcakapan

    (onbekwaamheid) - (syarat Pasal 1320 BW angka 1 dan 2), berarti hal ini

    terkait dengan unsur subyektif, sehingga berakibat kontrak tersebut dapat

    dibatalkan, dan

    3) nietig atau batal demi hukum, apabila terdapat kontrak yang tidak memenuhi syarat obyek tertentu atau tidak mempunyai causa atau causanya tidak

    diperbolehkan (syarat Pasal 1320 BW angka 3 dan 4), berarti hal ini terkait

    dengan unsur subyektif, sehingga berakibat kontrak tersebut batal demi

    hukum.

    33

    Elly Erawati, Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, Jakarta:

    NLRP, 2010, hlm. 55. 34

    Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah

    1)Orang yang belum dewasa, 2)Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan. 35

    J.H. Niewenhuis, 1985, Hoofdstukken Verbintenissenrecht, terjemahan D. Saragih, Surabaya,

    hal. 6 dalam Faizal Kurniawan, Op. Cit.

  • 16

    Sedang dalam kepustakaan common law keabsahan kontrak

    diklasifikasikan ke dalam beberapa hal, meliputi:36

    1) A valid contract, di mana seluruh elemen terpenuhi dalam kontrak tersebut. 2) A voidable contract, apabila salah satu pihak memberikan sepakat karena

    adanya cacat kehendak (misrepresentation, duress or undue influence).

    3) An unenforceable contract, kontrak tersebut sah, namun tidak dapat dilaksanakan karena ada hal-hal tertentu yang tidak atau belum dipenuhi,

    umumnya terkait dengan formalitas kontrak, misal tidak adanya perijinan.

    4) An illegal contract, merupakan kontrak dengan tujuan atau obyeknya dilarang menurut hukum dilarang (illegal).

    Berkaitan dengan tidak dipenuhinya persyaratan formal yang meliputi

    persyaratan administratif dan teknis di dalam kontrak karya, maka akibat hukum

    terhadap kontrak karya tersebut adalah tidak dapat dilaksanakan (unenforceable).

    Oleh karenanya kontrak tersebut tidak mempunyai daya berlaku sebelum

    terpenuhinya persyaratan administrasi.37

    Bentuk kontrak yang biasa digunakan dalam kontrak karya adalah

    kontrak baku (standart contract). Kontrak baku menurut Sutan Remy Sjahdeini,38

    menerangkan bahwa kontrak yang hampir seluruh klausulanya sudah dibakukan

    oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak punya peluang untuk

    merundingkan atau meminta perubahan.

    Lahirnya kontrak baku dilatarbelakangi karena keadaan sosial ekonomi

    perusahaan besar dan lebih besar dalam melakukan atau mengadakan kerja sama

    dengan yang lebih lemah untuk kepentingan mereka tersebut ditentukan syarat-

    syarat secara sepihak. Pihak lawannya yang pada umumnya mempunyai

    kedudukan (segi ekonomi) lemah, baik karena posisinya maupun karena hanya

    menerima apa yang diberikan, dengan penggunaan kontrak baku tersebut. 39

    Sehubungan dengan kontrak baku tersebut, maka perusahaan

    pertambangan dianggap menyetujui syarat-syarat yang ditentukan dan hanya

    menerima kemudian kemungkinan untuk mengadakan perubahan itu sama sekali

    tidak ada. Sedangkan klausula dalam kontrak baku menurut Prof.Dr. Mariam

    Daru Badrulzaman, telah membedakan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu sebagai

    berikut:40

    1) kontrak baku sepihak adalah kontrak yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam kontrak tersebut, pihak yang kuat di sini ialah

    pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat

    dibandingkan pihak debitur, kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi.

    36

    M.L. Barron, 1998, Fundamentals of Business Law, McGraw Hill Book Co. Sydney, hal. 144-

    145 dalam Faizal Kurniawan, Ibid., 37

    Ibid 38

    Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para

    Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993. 39

    Edo Chermando, Ery Agus Priyono, F.X. Joko Priyono, Kontrak Karya Pertambangan PT.

    Freeport Dengan Pemerintah Indonesia, Semarang: Diponegoro Law Review, Volume 1, Nomor

    4, Tahun 2012, hlm. 7. 40

    Mariam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan. (Bandung: Citra Aditya Bakti.

    2001).

  • 17

    2) kontrak baku yang ditetapkan pemerintah, ialah kontrak baku yang mempunyai objek-objek hak-hak atas tanah

    3) kontrak baku yang ditentukan di lingkungan Notaris atau Advokat, terdapat kontrak-kontrak yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk

    memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan Notaris

    atau Advokat yang bersangkutan.

    Sehubungan dengan berakhirnya kontrak baku, tidak jauh berbeda

    dengan berakhirnya kontrak pada umumnya. Kontrak berakhir dapat terjadi

    bilamana karena disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

    1) Masa kontrak telah berakhir dan tidak diperpanjang lagi. 2) Jika pada akhir tiap-tiap pelaksanaan kontrak dari pada sejak efektif periode

    penyelidikan umum, eksplorasi, konstruksi, dan eksploitasi tetapi tidak

    diajukan perpanjangan dan tindakan lain berikut dari kegiatan penambangan,

    maka kontrak karya akan batal dengan sendirinya demi hukum.

    Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1266 KUHPerdata, bahwa syarat batal

    dicantumkan dalam persetujuan timbal balik manakala salah satu pihak tidak

    memenuhi kewajibannya. Jadi apabila syarat batal tersebut telah diperjanjikan

    antara para pihak, maka kontrak tersebut adalah sah adanya.

    Pelaksanaan kontrak karya di Indonesia pada dasarnya mengacu pada dua

    hal yaitu: 1). Aturan hukum Indonesia yang dikorelasikan dengan aturan hukum

    asing di mana perusahaan tambang asing tersebut mendasarkan hukumnya sebagai

    pedoman dalam hal terjadi sengketa perdata antara pihak Indonesia dengan

    perusahaan tambang asing tersebut. 2). Model kontrak karya, di mana kontrak

    karya tersebut memuat berbagai hal yang diperjanjikan antara Pemerintah

    Indonesia dengan perusahaan tambang asing.41

    F. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengaturan Divestasi Penanaman Modal Asing

    Divestasi saham adalah pelepasan, pembebasan, pengurangan modal. Disebut juga

    divestment yaitu kebijakan terhadap perusahaan yang seluruh sahamnya dimiliki

    investor asing untuk secara bertahap tetapi pasti mengalihkan saham-sahamnya itu

    kepada mitra bisnis lokal atau proses yang mengakibatkan pengalihan saham dari

    peserta asing ke peserta nasional Istilah lain untuk kebijakan di Indonesia disebut

    Indonesiasi saham. Perlunya menempuh langkah divestasi adalah terkait karena

    alasan-alasan antara lain: (1) Aset yang dijual lebih tinggi nilainya bagi pembeli,

    dalam arti pembeli bisa menggunakan secara lebih efisien. (2) Divestasi bukan

    didorong nilai asset, tetapi lebih ditekankan pada kemunculan kebutuhan

    mendesak atas dana tunai oleh perusahaan yang melakukan divestasi. Hasil

    divestasi biasanya digunakan untuk melunasi kewajibannya. (3) Alasan bahwa

    aset-aset yang dijual tidak ada hubungannya dengan bisnis utama perusahaan yang

    bersangkutan.

    41

    Edo Chermando, Ery Agus Priyono, F.X. Joko Priyono, Loc. Cit., hal.8.

  • 18

    Kebijakan Pemerintah yang terkait dengan divestasi dalam rangka

    penanaman modal dahulu telah diuraikan secara rinci dalam Peraturan Pemerintah

    Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang

    didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing, yang secara garis besar

    mengatur hal-hal sebagai berikut:42

    1) Penanaman modal asing dapat dilakukan dalam bentuk: a. patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki warga Negara

    Indonesia dan atau badan hukum Indonesia, atau

    b. langsung, dalam arti seluruh modalnya dimiliki oleh warga Negara dan/atau badan hukum asing;

    2) Jumlah modal yang ditanamkan dalam rangka penanaman modal asing ditetapkan sesuai dengan kelayakan ekonomi kegiatan usahanya.

    Saham peserta Indonesia dalam perusahaan yang didirikan dalam bentuk

    patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki Warga Negara

    Indonesia dan atau badan hukum Indonesia, sekurang-kurangnya 5% (lima

    perseratus) dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian.

    Penjualan lebih lanjut saham perusahaan, jumlah sekurang-kurangnya 5% dapat

    dilakukan kepada warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia yang

    modal sahamnya dimiliki warga Negara Indonesia melalui pemilikan langsung

    sesuai kesepakatan para pihak dan/atau pasar modal dalam negeri.

    Perusahaan yang didirikan atas penanaman modal asing dalam bentuk

    langsung, dalam jangka waktu paling lama lima belas tahun sejak berproduksi

    komersial menjual sebagian sahamnya kepada warga Negara Indonesia dan/atau

    badan hukum Indonesia melalui pemilikan langsung atau melalui pasar modal

    dalam negeri.

    Pengalihan saham tersebut tidak mengubah status perusahaan. Di

    samping melakukan penambahan modal saham dalam perusahaan sendiri,

    perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing yang telah

    berproduksi komersial dapat pula:43

    1) mendirikan perusahaan baru, dan/atau 2) membeli saham modal dalam negeri dan/atau perusahaan yang didirikan bukan

    dalam rangka berdiri, baik yang telah atau belum berproduksi komersial

    melalui pasar modal dalam negeri.

    Saham tersebut dapat juga dibeli oleh perusahaan yang didirikian dalam

    bentuk patungan, melalui pemilikan langsung sesuai kesepakatan para pihak.

    Pembelian saham tersebut tidak mengubah status perusahaan. Pembelian saham

    sebagaimana dimaksud dalam a dan b di atas dapat dilakukan sepanjang bidang

    usaha perusahaan tersebut tetap terbuka bagi penanaman modal asing.

    Dengan demikian segala kebijakan Pemerintah dalam pengaturan

    divestasi penanaman modal asing dalam sektor pertambangan secara yuridis

    tidaklah bertentangan dengan aturan dasarnya yaitu Undang-Undang Nomor 1

    Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 11

    42

    Anang Priyanto, Eni Kusdarini, Candra Dewi Puspitasari, Loc Cit., hal. 20-21. 43

    Ibid, hal. 25.

  • 19

    Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. Kedua aturan dasar tersebut

    memang dibuat hanyalah berisi ketentuan pokok yang dalam pelaksanaannya di

    atur lebih lanjut dengan peraturan-peraturan pelaksanaan, seperti Peraturan

    Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri. Namun demikian masih

    perlu dipertanyakan apakah kepemilikan saham PMA dalam sektor pertambangan

    khususnya pertambangan umum sudah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat?44

    Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 hanya ada satu pasal

    yang mengatur tentang divestasi saham yaitu Pasal 7. Ketentuan ini berkaitan

    dengan kewenangan pemerintah untuk tidak akan melakukan tindakan

    nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal kecuali

    dengan Undang-Undang. Nasionalisasi adalah pemindahan (cabang industri atau

    perdagangan yang penting) dari private menjadi milik atau di bawah pengawasan

    negara. Pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal atau lazim disebut

    divestasi modal adalah upaya untuk membeli modal yang dimiliki investor

    khususnya investor asing.45

    Pengaturan mengenai divestasi ini diatur kembali pada PP No. 24 tahun

    2012 yang menyebutkan antara lain:46

    1) Perusahaan asing yang menjadi pemegang izin pertambangan setelah 5 (lima)

    tahun produksi wajib mendivestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada

    tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51% dimiliki peserta Indonesia.

    2) Tahapan divestasinya adalah 20% dari seluruh saham pada tahun keenam

    produksi, kemudian 30% pada tahun ketujuh, 37% pada tahun kedelapan, 44%

    pada tahun kesembilan, dan 51% pada tahun ke-10.

    3) Peserta Indonesia yang dimaksud terdiri dari pemerintah, pemerintah provinsi

    atau pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN, BUMD, atau badan usaha

    swasta nasional.

    4) Ketentuan itu juga menyebutkan bahwa bila proses divestasi tersebut tidak

    tercapai, maka penawaran saham dilakukan pada tahun berikutnya.

    5) Selain itu, Pasal 98 di dalam peraturan itu menyebutkan, dalam hal terjadi

    peningkatan jumlah modal perseroan, maka peserta Indonesia sahamnya tidak

    boleh terdilusi menjadi lebih kecil dari jumlah saham sesuai tahapan kewajiban

    divestasinya.

    6) Tambang asing yang melanggar ketentuan divestasi akan dikenakan sanksi

    administratif mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara, hingga

    pencabutan izin.

    7) Peraturan itu berlaku sejak diundangkan tanggal 21 Februari 2012 dan tidak

    berlaku surut. Aturan itu juga berlaku pada seluruh kontrak yang mendapatkan

    perpanjangan.

    Pada praktiknya, kewajiban divestasi Freeport Indonesia baru diatur di

    dalam Pasal 24 Kontrak Karya perpanjangan 1991. Di dalam pasal tersebut

    disebutkan kewajiban divestasi Freeport Indonesia terdiri dari dua tahap. Tahap

    44

    Ibid 45

    H. Salim HS. Hukum Divestasi di indonesia. (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2013), hal. 124. 46

    Lihat Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

    Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara

  • 20

    pertama adalah melepas saham ke pihak nasional sebesar 9,36 persen dalam 10

    tahun pertama sejak 1991. Kemudian kewajiban divestasi tahap kedua mulai

    2001, perusahaan harus melego sahamnya sebesar 2 persen per tahun sampai

    kepemilikan nasional menjadi 51 persen.47

    Untuk kewajiban divestasi tahap pertama, PTFI sudah dilaksanakan.

    Pada tahun 1991, perusahaan emas dan tembaga asing itu melepas 9,36 persen ke

    pihak nasional lewat PT Indocopper Investama. Sayangnya, untuk kewajiban

    divestasi tahap kedua gugur setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor

    20 Tahun 1994. Di dalam PP tersebut, kepemilikan saham asing pada anak

    perusahaannya di Indonesia boleh sampai 100 persen. Dengan demikian, sampai

    sekarang kepemilikan saham nasional di Freeport Indonesia masih kecil. 48

    Pada dasarnya divestasi merupakan upaya pemerintah dan DPR agar

    perusahaan pertambangan asing seperti halnya PT. Freeport Indonesia mampu

    membawa manfaat besar baik bagi pemeritah maupun masyarakat Indonesia.

    Tetapi divestasi saham Freeport bukanlah perkara mudah karena akan timbul

    masalah-masalah seperti perebutan masalah pembelian saham yang didivestasi

    antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ataupun adanya kemungkinan

    pemerintah daerah hanya dijadikan boneka atau jalan masuk perusahaan swasta

    untuk melakukan pembelian saham yang akan menghasilkan keuntungan yang

    besar, selain itu kesulitan yang mungkin dihadapi oleh pemerintah karena harus

    melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan dengan PT. Freeport

    Indonesia.49

    Ada dua alasan yuridis dan non yuridis yang mengemukakan keharusan

    badan hukum asing melakukan divestasi saham. Alasan yuridisnya yakni karena

    tuntutan Undang-Undang yang berimplikasi kepada pengakhiran kontrak/

    didefault apabila tidak melaksanakan. Sedangkan alasan non yuridis antara lain

    karena: 1). Meningkatnya pendapatan negara dan daerah. 2) meningkatnya

    kesejahteraan masyarakat, dan 3). Mengurangi peran asing dalam pengelolaan dan

    pemanfaatan sumber daya alam tambang di Indonesia.50

    G. Sinkronisasi Pelaksanaan Pengaturan Divestasi Dalam Sektor Pertambangan Dengan Tujuan Dikeluarkannya Undang-Undang PMA

    Dan Tujuan Dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Pertambangan

    Pada dasarnya divestasi saham asing tidak hanya memberikan dampak positif bagi

    pemerintah, tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat. Dari dividen

    yang didapat pemerintah, dividen tersebut dapat digunakan untuk pengembangan

    masyarakat seperti kesehatan, pendidikan, pertanian dan sebagainya. Melalui

    47

    Tri Wahono, Hatta Puji Renegosiasi Kontrak Karya Freeport, Tersedia di

    http://bola.kompas.com/read/2012/07/23/17563876/Hatta.Puji.Renegosiasi.Kontrak.Karya.Freepor

    t, 27 September 2013, 10.30 WIB. 48

    Josie Susilo Hardianto, Freeport Menolak Divestasi, Tersedia di

    http://entertainment.kompas.com/read/2012/04/20/11462219/Freeport.Menolak.Divestasi, 27

    September 2013, 10.35 WIB. 49

    http://nugroho-sbm.blogspot.com/2011/11/berbagai-masalah-dalam-divestasi.html 50

    H. Salim HS, Op. Cit., hal. 136.

  • 21

    pengurangan peran badan hukum asing, maka pengelolaan sumber daya alam

    tersebut dapat dinikmati bangsa Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam

    tambang.51

    Bila mengkaitkan pelaksanaan pengaturan divestasi dalam sektor

    pertambangan dengan tujuan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

    1967 Jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 dan Undang- Undang nomor 11

    Tahun 1967 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, maka yang paling utama

    pengkajian mendalam dapat dicermati dari bagian Penjelasan Umum masing-

    masing kedua undang-undang tersebut. Dengan mencermati bagian Penjelasan

    Umum dari kedua undang-undang tersebut akan dapat disimpulkan adanya

    sinkronisasi atau kesejalanan antara pelaksanaan divestasi dalam sektor

    pertambangan dengan tujuan dikeluarkannya kedua Undang-Undang tersebut.

    Segala kebijakan pengaturan divestasi sektor pertambangan selalu

    mendasarkan pada kedua undang-undang tersebut, hal ini sebagaimana

    dicantumkan dalam bagian mengingat dari setiap kebijakan yang dikeluarkan

    Pemerintah. Secara garis besar tujuan dikeluarkannya kedua Undang-Undang

    tersebut antara lain:

    1) Maksud dikeluarkannya UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Jo UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan

    adalah untuk keselarasan dengan cita-cita dasar Negara Republik Indonesia

    serta kepentingan nasional khususnya di bidang pertambangan, serta adanya

    tuntutan masyarakat yang menghendaki agar kepada pihak swasta lebih

    diberikan kesempatan melakukan penambangan, sedangkan tugas Pemerintah

    ditekankan kepada usaha pengaturan, bimbingan dan pengawasan

    pertambangan, ditambah lagi dengan perkembangan politik dan pembaharuan

    kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Terkait hal

    tersebut, maka dipandang perlu diatur beberapa pokok persoalan mengenai:

    a. penguasaan bahan-bahan galian yang berada di dalam, di bawah dan di atas wilayah hukum pertambangan Indonesia. Dalam hal ini Negara

    menguasai semua bahan-bahan galian dengan sepenuh- penuhnya untuk

    kepentingan Negara serta kemakmuran rakyat, karena bahan- bahan galian

    tersebut adalah merupakan kekayaan nasional.

    b. pembagian bahan-bahan galian dalam beberapa golongan yang didasarkan atas pentingnya bahan galian itu; Untuk bahan galian yang strategis seperti

    minyak bumi, aspal, lilin bumi dan sejenisnya serta semua jenis gas mudah

    terbakar dan bahan galian yang radio aktif yang oleh karena sifatnya yang

    sangat khusus perlu dibuat undang-undang tersendiri, sedangkan Undang-

    Undang Pertambangan ini dianggap sebagai peraturan pokok, sehingga

    pembuatan peraturan lanjutan harus memperhatikan dasar-dasar yang

    termaksud dalam Undang-undang pertambangan ini.

    c. sifat dari perusahaan pertambangan, yang pada dasarnya harus dapat diusahakan oleh semua pihak yang berminat dan sanggup dengan tetap

    51

    Ibid., hal. 138-139.

  • 22

    memperhatikan segi keamanan Negara dan tetap berdasarkan asas-asas

    kekeluargaan;52

    Dalam hal ini dapat diambil cara-cara penguasaannya sebagai berikut: 53

    a. dikerjakan oleh suatu instansi Pemerintah b. diusahakan oleh Perusahaan Negara; c. diusahakan dengan perusahaan atas dasar modal bersama oleh pihak

    Negara dan daerah;

    d. diusahakan oleh Perusahaan Daerah; e. diusahakan oleh perusahaan yang modalnya adalah campuran oleh Negara

    dan pihak swasta, boleh pula modal campuran dengan perseorangan, asal

    berkewarganegaraan Indonesia dan boleh pula dengan badan swasta yang

    pengurusnya seluruhnya adalah warganegara Indonesia;

    f. diusahakan oleh pihak swasta boleh oleh perseorangan asal berkewarganegaraan Indonesia, atau boleh badan swasta yang seluruhnya

    berkewarganegaraan Indonesia terutama yang mempunyai bentuk

    koperasi. d. peranan Pemerintah Daerah lebih diperkuat; Pemerintah

    Daerah lebih diperkuat kedudukannya, terutama dalam pengaturan bahan

    galian golongan c serta pembagian atas keuntungan perusahaan

    pertambangan yang berusaha dalam sesuatu daerah, dan dalam hal ini

    perlu kerjasama yang erat dengan pihak Pemerintah Pusat. e. pengertian

    kuasa pertambangan tetap dipertahankan; f. adanya peraturan peralihan

    untuk mencegah kekosongan dalam menghadapi pelaksanaan undang-

    undang pertambangan.

    2) Maksud dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

    dengan melihat masalah ekonomi yang diartikan sebagai suatu masalah untuk

    meningkatkan kemakmuran rakyat dengan menambah produksi barang dan

    jasa, serta mengusahakan pembagian yang adil dari barang dan jasa hasil

    produksi, serta peningkatan produksi akan dapat tercapai melalui penanaman

    modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan

    keterampilan, penambahan kemampuan berorganisasi management, dan dalam

    hal ini penanaman modal memegang peranan yang sangat penting.

    Disamping itu dalam rangka menghentikan kemerosotan ekonomi dan

    melaksanakan pembangunan ekonomi, maka asas penting yang harus dipegang

    teguh ialah bahwa segala usaha harus didasarkan kepada kemampuan serta

    kesanggupan rakyat Indonesia sendiri. Namun begitu asas ini tidak boleh

    menimbulkan keseganan untuk memanfaatkan potensi- potensi modal teknologi

    dan skill yang tersedia dari luar negeri selama segala sesuatu benar-benar

    diabdikan kepada kepentingan ekonomi rakyat tanpa mengakibatkan

    ketergantungan terhadap luar negeri. 54

    Dominasi modal asing harus dicegah, dan perusahaan-perusahaan vital

    yang menguasai hajat hidup orang banyak tetap tertutup bagi modal asing. Dalam

    52

    Anang Priyanto, Eni Kusdarini, Candra Dewi Puspitasari, Loc Cit., hal. 27-28. 53

    Ibid ., hal. 28. 54

    Ibid

  • 23

    tiap izin penanaman modal asing ditentukan jangka waktu berlakunya yang tidak

    lebih dari 30 tahun, kecuali itu di dalam menentukan bidang- bidang usaha mana

    modal asing diperbolehkan, Pemerintah sepenuhnya mengatur rencana-rencana

    pembangunan yang akan disusun oleh Pemerintah, dan dalam hal ini tidak boleh

    dilupakan bahwa tanah, kekayaan alam dan itikad baik negara dan bangsa

    Indonesia juga dapat diperhitungkan sebagai modal berharga.

    Dengan demikian antara Undang-undang Penanaman Modal dengan

    Undang-Undang Pertambangan pada kenyataan sudah sejalan satu sama lain. Hal

    ini dapat dicermati dari Penjelasan Umum masing-masing undang-undang

    tersebut yang lebih mengutamakan kepentingan nasional dan kemakmuran rakyat.

    Secara yuridis normatif apa yang menjadi tujuan dikeluarkannya Undang-Undang

    Penanaman Modal dan Undang-Undang Pertambangan tidak ada pertentangan

    atau sudah sejalan sesuai dengan kehendak tujuan nasional negara Republik

    Indonesia.

    Adapun dalam kenyataan muncul kasus-kasus yang kurang memberikan

    keuntungan bagi bangsa Indonesia terutama kasus PT Freeport Indonesia

    berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2004 dan 2005 bahwa dari

    hasil pemeriksaan dapat dikemukakan bahwa unsur Sistem Pengendalian Intern

    atas pengelolaan PNBP telah dibuat, melalui susunan organisasi yang telah

    memisahkan fungsi pencatatan, penghitungan dan verifikasi; penerapan kebijakan

    mengenai penetapan royalti dan iuran tetap serta pengenaan denda keterlambatan

    pemenuhan kewajiban keuangan perusahaan; perencanaan penetapan anggaran

    PNBP yang dilakukan berdasarkan pembahasan RKAB; pelaksanaan prosedur

    pelaporan dan rekonsiliasi dengan instansi terkait; penatausahaan dokumen dan

    bukti-bukti setoran PNBP; serta adanya kegiatan pengawasan baik yang

    dilaksanakan oleh Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara (DPMB)

    maupun oleh Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN), terdapat ketidak

    sesuaian terhadap peraturan, prinsip akuntansi yang berlaku umum dan ketentuan

    kontrak pada TA 2004 dan TA 2005 sebesar USD17,040.72 ribu (20.19%) dan

    Rp192.228,10 juta (52,69%) dari realisasi anggaran yang diperiksa, sehingga

    menghilangkan potensi penerimaan Negara pada tahun 2004 dan 2005 (Semester

    I) sebesar USD2,228.98 ribu, potensi penerimaan barang tambang ikutan berupa

    belerang minimal sebesar USD14,442.25 ribu tidak dapat direalisasikan,

    Penerimaan iuran royalti dan iuran tetap dari PTFI untuk bagian Pemerintah Pusat

    pada tahun 2004 sebesar Rp75.347,12 juta dan tahun 2005 (Semester I) sebesar

    Rp116.880,98 juta atau total sebesar Rp192.228,10 juta belum dibukukan sebagai

    PNBP Dep. ESDM sehingga Laporan Realisasi Anggaran Departemen belum

    menunjukkan realisasi penerimaan yang sebenarnya, PT Freeport Indonesia

    kurang membayar royalti tahun 2003 dan 2004 sebesar USD369.49 ribu, sehingga

    royalti tersebut belum dapat digunakan untuk kepentingan Negara, Penjualan

    konsentrat dari PTFI ke Perusahaan Glencore AG pada tahun 2004 di bawah

    harga pasar sehingga menghilangkan potensi penerimaan pajak penghasilan

    sebesar USD5,914,42 ribu. 55

    Belum lagi berdasarkan hasil penelitian ICW bahwa

    ada dugaan PT. Freeport Indonesia yang tidak melakukan pembayaran royalty

    55

    Ibid., hal. 29.

  • 24

    sesuai kesepakatan dengan Negara sehingga merugikan Negara senilai Rp. 1.519

    Triliun56

    Semua itu tidaklah terkait dengan isi normatif peraturan perundang-

    undangan yang berlaku (UU Penanaman Modal dan Undang-Undang

    Pertambangan). Namun demikian jika mengkaji isi Undang-Undang Penanaman

    Modal dan Undang-Undang Pertambangan dari sisi maksud dan tujuannya

    semestinya Undang-Undang ini juga harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi

    dan kondisi masyarakat saat ini yang sesuai dengan era reformasi dan era

    globalisasi yang menghendaki kejelasan dan kerincian sebuah peraturan

    perundangan. Apalagi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

    tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, yang dalam Pasal 6 ayat

    (1) nya dinyatakan bahwa materi peraturan perundang-undangan harus

    mengandung beberapa asas, yang beberapa diantaranya adalah asas

    keseimbangan, keserasian dan keselarasan, yaitu asas bahwa setiap materi muatan

    peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian,

    dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan

    bangsa dan negara. 57

    Demikian juga asas keadilan yaitu asas bahwa setiap materi peraturan

    perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi

    setiap warga negara tanpa kecuali. Asas-asas ini pada era Orde Baru tidak pernah

    dimunculkan dan yang lebih ditekankan pada saat itu adalah kepentingan umum

    yang diutamakan dari pada kepentingan pribadi atau golongan.58

    Anggota Komisi VII DPR, Satya Yudha menuturkan, PP No. 24 Tahun

    2012 harus diartikan sebagai kebangkitan industri pertambangan nasional.

    Penanaman modal asing memberikan investasi besar dan divestasi diberlakukan

    secara bertahap, karena selama ini perusahaan tambang nasional tidak pernah

    mendapat kesempatan investasi di pertambangan besar. Menurutnya, tidak pernah

    ada kesempatan apabila harus dimulai sejak eksplorasi, karena biaya cukup tinggi.

    Divestasi ini dapat berjalan, bila pemerintah menyiapkan strategi portofolio

    BUMN telah siap. Ia berpendapat PT Freeport Indonesia saat ini belum dapat

    dimasukkan dalam aturan ini. Tapi, jika proses renegosiasi dimasukkan aturan

    divestasi, Freeport wajib mendivestasi sahamnya kepada mitra Indonesia

    tergantung tipe kontrak masing-masing.59

    Namun, menurut Hikmahanto Juwana, meskipun kewajiban divestasi

    51% pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 hanya ditujukan bagi

    pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Pasal 169 ayat b Undang-undang No

    4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara sebagai dasar PP

    tersebut menyatakan bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya

    56Indonesian Corruption Watch, Menimbang Manfaat Freeport Bagi Indonesia, Terdapat di http://antikorupsi.org/antikorupsi/q=content/20936/pemerintah-harus-renegosiasi-kontrak-freeport,

    tanggal 26 September 2013, 20.45 WIB. 57

    Anang Priyanto, Eni Kusdarini, Candra Dewi Puspitasari, Loc Cit., hal. 29 58

    Ibid., 59

    Satya Yudha, Pro Kontra Kewajiban Divestasi Perusahaan Tambang Dengan Terbitnya PP

    No.24/2012, Tersedia di http://irmadevita.com/2013/pro-kontra-kewajiban-divestasi-perusahaan-

    tambang-dengan-terbitnya-pp-no-242012, 22 September 2013, 21.15 WIB.

  • 25

    dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) harus

    disesuaikan dengan UU Minerba selambat-lambatnya setahun sejak UU Minerba

    diterbitkan. Pemegang kontrak karya pertambangan mineral yang belum memiliki

    kewajiban divestasi ke nasional, seperti PT Freeport Indonesia, anak usaha

    Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, dinilai harus mengikuti kewajiban

    divestasi berdasarkan Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2012 tentang

    Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.60

    Selain itu

    Hikmahanto Juwana juga menyebutkan bahwa penerapan Pasal 169 huruf (b)

    bukan merupakan hal aneh karena berdasarkan Pasal 1338 KUHPer ditentukan

    bahwa Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan

    kepatutan. Bila dilanggar akan menyebabkan batalnya perjanjian tersebut. Oleh

    karenanya sangat perlu dilakukan negosiasi ulang terhadap ketentuan Kontrak

    Karya yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

    Pertambangan Mineral dan Batu Bara.61

    Lebih jauhnya, Hikmahanto Juwana menegaskan, dalam kaitannya dengan

    proses renegosiasi kontrak, pemerintah harus tegas menolak perpanjangan kontrak

    karya Freeport dengan alasan-alasan sebagai berikut:62

    1) Pasal 169 ayat (B) UU Mineral dan Batubara mengamanatkan, kontrak karya akan tetap dihormati hingga masa berakhirnya. Amanah itu harus dihormati

    karena UU Minerba merupakan pengejawantahan kehendak dari masyarakat

    Indonesia. Yaitu, agar presiden mempunyai kewajiban memegang teguh

    sesuai sumpahnya ketika dilantik.

    2) Freeport sudah terlalu banyak menikmati kekayaan yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Apalagi, Freeport

    hingga saat ini enggan untuk transparan berapa keuntungan yang diperoleh.

    3) Bila perpanjangan diluluskan oleh pemerintah atas desakan pemerintah AS berarti negara Paman Sam tersebut telah menerapkan politik adu domba.

    Yaitu, antara pemerintah RI dengan rakyatnya sendiri.

    karena menurutnya saat ini masyarakat Indonesia tidak bisa menerima

    keberadaan Freeport yang terus menguras kekayaan sumber saya mineral

    Indonesia.

    Pada akhirnya Kontrak Karya yang digagas pada tahun 1967 itu

    sebenarnya ikut memupuk kecemburuan sosial yang terjadi karena proses-proses

    pemberian sumber daya alam Papua kepada PT. Freeport Indonesia. Hal yang

    alih-alih memberdayakan masyarakat Papua, tetapi makin meramaikan peta

    konflik dengan hadirnya wajah baru63

    60Hikmahanto Juwana, Kepastian Hukum di Sektor Pertambangan Pasca disahkannya UU Minerba, Seminar Hukum Online. Jakarta, 21 Januari 2009. 61

    Ibid. 62

    Hikmahanto Juwana, Pengamat: Tolak Perpanjangan Kontrak Karya Freeport dalam

    http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/12/09/03/m9s3oc-pengamat-tolak-perpanjangan-

    kontrak-karya-freeport, 25 September 2013, 21.55 WIB. 63

    Dalam catatan Ir. Alibasjah Inggriantara, SE, MMBAT ia mengutip beberapa persoalan

    mendasar yang ia nilai amat mengecewakan penduduk asli Papua mengenai keberadaan PT.

    Freeport Indonesia, yaitu: Pertama, Tidak legalnya penyerahan kepada Freeport, karena

  • 26

    Di sisi lain, perlu diketahui bahwa Kontrak Karya Pertambangan yang

    memberikan hak kepada kontraktor untuk melaksanakan usahanya sejak tahap

    survei, eksplorasi, eksplorasi, sampai dengan tahap eksploitasi, pengolahan,

    sampai ke penjualan hasil usahanya dan mengakibatkan tidak ada pemisahan

    antara tahap praproduksi dan tahap operasi produksi, juga memuat ketentuan

    mengenai keuangan dan perpajakan selama jangka waktu berlakunya kontrak.

    Pemerintah juga memberikan lex spesialis pada Kontrak Karya Pertambangan

    yang sebenarnya merupakan langkah untuk menciptakan iklim investasi baik di

    Indonesia. Ketentuan ataupun kesepakatan yang telah tercantum dalam kontrak

    tidak akan berubah karena berganti-gantinya peraturan perundang-undangan yang

    berlaku umum. Hal ini menyebabkan Investor merasa ada kepastian hukum bagi

    usahanya. Jaminan kepastian hukum ini sebenarnya penting karena usaha

    pertambangan memerlukan modal besar dan beresiko tinggi.

    H. Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia dari Ertsberg ke Grasberg

    Lahirnya kontrak karya PT. Freeport Indonesia tidak lepas dari peran Jacques

    Dozy yang menemukan cadangan Ertsberg pada tahun 1936, yang dilanjutkan

    dengan ekspedisi Forbes Eilson pada tahun 1960 untuk menemukan kembali

    Ertsberg.64

    Hasil ekspedisi Forbes Eilson tersebut baru ditindak lanjuti pasca lahir

    UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 11 Tahun

    1967 tentang Pertambangan. Masih pada tahun 1967 tersebut selanjutnya

    Pemerintah dengan PT. Freeport Indonesia (PTFI) sepakat untuk melakukan

    kerjasama pengelolaan cadangan Ertsberg yang dituangkan dalam kontrak karya

    seharusnya menunggu pelaksanaan pleebisit 1969, karena pada saat itu Papua belum diputuskan

    untuk menjadi wilayah integral dari Indonesia. Hal ini diduga sebagai hadiah kepada Amerika Serikat yang punya peran besar melengserkan orde lama di Indonesia. Kedua, dari segi kultural,

    penandatanganan itu sama sekali tidak melibatkan penduduk asli Papua. Oleh karenanya, banyak

    adat-adat penduduk setempat yang dilanggar melalui pengerukan isi perut bumi Papua, misalnya

    bagi Suku Amungme yang percaya bahwa di beberapa gunung di wilayah Papua merupakan

    tempat bersemayam arwah Jomun-Nerek, nenek moyang bagi orang Amungme. Ketiga, dari aspek

    ekonomi, kontrak itu dinilai sangat merugikan penduduk Papua. Melalui pola penguasaan saham,

    hasil yang didapatkan oleh Penduduk asli maupun Pemerintah Indonesia sangatlah minim.

    Keempat, secara geologis areal kontrak karya itu terlalu besar sehingga untuk harga yang

    diberikan kepada PT Freeport, sangatlah murah, padahal PT. Freeport menjadi perusahaan

    tambang terbesar ketiga di seluruh dunia melalui penambangan di Papua tersebut. Kelima, aspek

    kesejahteraan yang diberikan oleh PT. Freeport, terlalu kecil. Dengan penghasilan yang luar biasa

    besarnya, selama 21 tahun produksi (1973-1994), PT. Freeport hanya menyisihkan anggaran

    sebesar 5,56% saja untuk program sosial. Walau setelah tahun 1994 meningkat, namun jumlahnya

    tetap saja tidak lebih dari 10%. Keenam, PT. Freeport masih kurang menunjukkan perhatian yang

    baik terhadap lingkungan hidup, sehingga sampah (tailings) yang ia buang menyebabkan

    musnahnya 3.300 vegetasi hutan tropis, terjadinya penyumbatan mulut sungai dan endapat mulut

    sungai yang meyebabkan musnahnya banyak spesies ikan. Selain itu, terdapat juga aliran air asam

    tambang akibat proses oksidasi tailings dan batuan limbah. Lihat: Papua Dalam Konflik

    Berkepanjangan: Mencari Akar Penyelesaian Masalah Konflik Papua, Pusat Studi Jepang

    Universitas Indonesia, Januari 2004, hal: 15-16.

    Dalam (http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/File%20Publikasi/KI_Papua.pdf), 25 September

    2013, 21.50 WIB. 64

    http://www.ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya

  • 27

    pertama pada tahun 1967 dengan masa berlaku 30 tahun terhitung sejak 1973.

    Setelah beroperasi beberapa tahun, pada tahun 1988 PTFI menemukan cadangan

    Grasberg, dengan investasi yang berisiko tinggi dan jaminan investasi jangka

    panjang, maka pihak PTFI mencoba menegosiasikan ulang kontrak karya yang

    sudah ada untuk diperbarui, sehingga pada tahun 1991 lahirlah kontrak karya

    kedua dengan jangka waktu investasi 30 tahun yang berakhir tahun 2021, dan

    dapat diperpanjang 2 x 10 tahun (sampai tahun 2041).65

    Bentuk kontrak karya yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan

    perusahaan penanaman modal asing atau patungan antara perusahaan asing

    dengan perusahaan domestik adalah bersifat tertulis begitu juga dengan kontrak

    antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia sehingga dapat

    ditinjau menurut aturan hukum mengenai perjanjian yang berlaku di Indonesia.

    Tujuan dari kontrak antara perusahaan pertambangan PT. Freeport Indonesia

    dengan Pemerintah pada dasarnya adalah untuk menambang bahan galian

    (tambang) dan kesediaan Pemerintah untuk memberikan ijin dengan imbalan uang

    atau pajak atau pendapatan guna menambah devisa negara.

    Mengacu kepada pembahasan sebelumnya, bahwa kontrak karya

    menggunakan kontrak baku (standart contract). Walau menggunakan kontrak

    baku, terkait syarat sahnya kontrak tetap mengacuk kepada ketentuan perikatan

    yaitu Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam hal ini mengenai syarat subjektif seperti

    kesepakatan, dalam kontrak baku sepakat dilihat ketika pihak kedua menerima apa

    yang ditentukan oleh pihak pertama, pihak pertama merupakan pihak yang

    memiliki dominasi atau kekuatan yang lebih, sehingga dia mampu untuk

    menentukan isi perikatan. Dominasi pihak pertama dalam kontrak baku tidak

    berarti ada unsur paksaan dalam melakukan perikatan, sebab dalam pelaksaan

    kontrak baku apabila pihak kedua tidak setuju dengan isi perikatan ia tidak harus

    menandatangi isi dari perikatan atau kontrak itu sendiri. Dalam hal ini para

    pihaknya adalah PTFI sebagai pihak yang memiliki modal dan Pemerintah

    Indonesia sebagai pihak pemegang wilayah.

    Syarat subjektif selanjutnya adalah cakap, yang dikatakan cakap adalah

    mereka yang sudah dewasa dan tidak berada dibawah pengampuan. Dalam

    konteks ini PTFI sebagai subjek hukum recht person tidak sedang berada di

    bawah pengampuan sehingga ia bisa dikatakan cakap untuk melakukan perikatan,

    dan negara sebagai subjek hukum memiliki hak juga untuk melakukan perikatan.

    Dalam melakukan perikatan, negara sebagai subjek hukum diwakili oleh organ

    dari negara tersebut. Perikatan atau kontrak karya yang dilakukan antara PTFI

    dengan Pemerintah Indonesia, pemerintah diwakili oleh Menteri Pertambangan

    dan Perminyakan ketika itu.

    Terkait syarat objektif dari kontrak karya antara PTFI dengan Pemerintah

    Indonesia, pertama suatu pokok hal tertentu. Hal tertentu dalam hal ini adalah

    adanya objek yang diperjanjikan. Objek yang diperjanjikan dalam kontrak karya

    tersebut adalah kawasan atau cadangan Ertsberg di Papua seluas 10.000 HA, yang

    pada tahun 1991 diperbaharui dengan perluasan wilayah di cadangan Grasberg

    seluas 202.950 HA. Sedangkan syarat objektif kedua adalah sebab yang halal,

    65

    Ibid.

  • 28

    sebab yang halal dalam hal ini tidak hanya diartikan halal dalam artian fisik, tapi

    lebih mengacu apakah objek yang diperjanjikan tersebut termasuk yang dilarang

    oleh undang-undang atau tidak, seperti bahan-bahan narkotika yang dilarang oleh

    undang-undang sudah tentu tidak memenuhi ketentuan sebab yang halal sehingga

    perjanjian tersebut akan batal demi hukum atau dengan batal dengan sendirinya.

    Terkait kontrak karya PTFI dengan Pemerintah Indonesia, ketika kontrak pertama

    dan kedua secara umum bisa dikatakan sudah sesuai dengan peraturan perundang-

    undangan yang ada ketika itu. Akan tetapi syarat objektif yang kedua ini lah yang

    saat ini menjadi permasalahan kontrak karya PTFI terutama pasca reformasi, lebih

    tepatnya lagi pasca lahirnya UU No. 25 tahun 2007 dan UU No. 4 Tahun 2009.

    Kontrak karya kedua atau hasil negosiasi pada tahun 1991, mengenai

    royalti disepakati sebesar 1%, akan tetapi saat ini UU No. 4 Tahun 2009 mengatur

    sebaliknya minimal 3,75 % dan mengharuskan dilakukannya penyesuaian kontrak

    karya yang sudah ada sebelumnya dengan UU No. 4 Tahun 2009, dalam hal ini

    termasuk kontrak karya PTFI.

    Pada awalnya, terkait kontrak karya PTFI juga sudah memicu konflik,

    pertama PTFI sempat menjadi konflik di Papua karena lokasi penambangan

    tersebut berada di atas tanah ulayat dan perjanjian tersebut tidak melibatkan

    unsur-unsur masyarakat adat di Papua. Jika merujuk kepada Undang-Undang

    Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria (UUPA), yang

    mengakui dan menjamin hak-hak ulayat, sudah sepantasnya ketika pembentukan

    kontrak karya itu mempertimbangkan aspirasi masyarakat adat setempat. Bahkan

    dalam salah satu klausul kontraknya disebutkan bahwa PTFI berhak