Kompilasi Kasus Rumah Sakit

28
Kompilasi Kasus Rumah Sakit Written by Admin Thursday, 29 January 2009 06:32 Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4 /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin- bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso- fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} Kompilasi Kasus Terkait Pelayanan Rumah Sakit: Sebuah Bahan Renungan Untuk Reformasi Pelayanan Rumah Sakit Oleh: Brian A. Prastyo A. Latar Belakang Kesehatan adalah hal yang sangat penting bagi setiap manusia. Apabila kesehatan seseorang terganggu, maka produktifitasnya pun akan terganggu. Ia tidak akan dapat melakukan pekerjaan atau rutinitasnya secara optimal. Gangguan terhadap kesehatan bahkan dapat menyebabkan seseorang menjadi cacat, kehilangan kemampuan organ tubuhnya, atau yang paling

Transcript of Kompilasi Kasus Rumah Sakit

Page 1: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

Kompilasi Kasus Rumah Sakit Written by Admin    Thursday, 29 January 2009 06:32 Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4 /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;}

Kompilasi Kasus Terkait Pelayanan Rumah Sakit:

Sebuah Bahan Renungan Untuk Reformasi Pelayanan Rumah Sakit

Oleh: Brian A. Prastyo

 

A.     Latar Belakang

Kesehatan adalah hal yang sangat penting bagi setiap manusia. Apabila kesehatan

seseorang terganggu, maka produktifitasnya pun akan terganggu. Ia tidak akan dapat melakukan

pekerjaan atau rutinitasnya secara optimal. Gangguan terhadap kesehatan bahkan dapat

menyebabkan seseorang menjadi cacat, kehilangan kemampuan organ tubuhnya, atau yang paling

ekstrem menyebabkan kematian. Dampak dari gangguan kesehatan tidak hanya dirasakan oleh

individu yang bersangkutan, tetapi juga oleh lingkungan sosial yang bersangkutan. Dampak

tersebut minimal dirasakan oleh keluarganya, rekan sekolahnya, atau rekan kerjanya. Apabila

penyakit yang menyebabkan gangguan kesehatan tersebut termasuk penyakit menular dan

berbahaya, maka dampaknya bisa lebih luas lagi. Mengingat begitu pentingnya arti kesehatan

tersebut bagi manusia, maka pada umumnya setiap orang akan melakukan segala daya upaya

Page 2: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

untuk memperoleh kesembuhan jika mereka mengalami gangguan kesehatan.

Rumah Sakit adalah salah satu lembaga yang akan didatangi oleh orang yang mengalami

gangguan kesehatan untuk memperoleh kesembuhan. Terhadap beberapa jenis gangguan

kesehatan tertentu, orang yang bersangkutan bahkan wajib menjalani perawatan di Rumah Sakit.

Hal itu dikarenakan alat yang diperlukan dan prosedur penyembuhan untuk gangguan kesehatan

tersebut hanya terselenggara di Rumah Sakit. Namun, satu hal yang penting untuk dicatat;

hubungan yang terjalin antara Rumah Sakit dengan orang yang mengalami gangguan kesehatan

(selanjutnya disebut Pasien) tersebut adalah suatu hubungan yang tidak murni bersifat

kemanusiaan, melainkan ada aspek bisnisnya.

Rumah Sakit dalam hal ini merupakan pelaku usaha, yang oleh karena itu memiliki misi

mencari keuntungan ekonomis dari kegiatannya. Sedangkan, di sisi lain Pasien adalah konsumen

yang membeli jasa kesehatan dari pihak Rumah Sakit. Dalam perkembangannya kegiatan bisnis

yang dilakukan oleh Rumah Sakit ternyata telah melahirkan berbagai permasalahan penting yang

perlu dicermati secara seksama; di antaranya tindakan Rumah Sakit yang menolak untuk merawat

pasien miskin, Rumah Sakit menahan Pasien yang belum membayar biaya perawatan, Rumah

Sakit tetap menagihkan biaya perawatan kepada Pasien yang miskin, dan berbagai kasus

kesalahan pelayanan medik atau yang umum dikenal dengan istilah malpraktik.

Berbagai permasalahan itu penting untuk dicermati agar dapat dirumuskan solusi yang

tepat untuk mengatasinya. Solusi tersebut dimaksudkan agar Rumah Sakit dapat secara optimal

menjadi lembaga yang melayani masyarakat dan tidak semata-mata menjadi mesin pengeruk

Page 3: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

keuntungan yang hanya melayani kepentingan pemegang saham Rumah Sakit tersebut.

 

B.     Kasus Penolakan Pasien Miskin

Dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan Kedua) disebutkan

bahwa, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Dengan

menggunakan penafsiran acontrario dapatlah dikatakan bahwa siapapun tidak boleh menghalangi

seseorang untuk, dalam konteks ini, memperoleh pelayanan kesehatan. Namun pada

kenyataannya, beberapa Rumah Sakit masih ada yang menolak untuk merawat Pasien miskin.

Kasus tersebut selengkapnya akan dipaparkan di bawah ini.

Muhammad Zulfikri (selanjutnya disebut Zul) merupakan putra sulung pasangan Husein-

Lailasari yang tinggal di Kelurahan Makasar, Jakarta Timur, yang lahir pada hari Rabu, 13 Juli

2005. Bayi itu lahir prematur dengan berat 1,4 kg lewat pertolongan dukun beranak. Pada tanggal

21 Juli 2005, Zul terkena penyakit kuning setelah dibawa mengungsi karena rumah kontrakan

Husein-Lailasari kebanjiran. Pukul 09.00 WIB, Husein-Laila membawa Zul ke puskesmas. Dari

puskesmas, mereka membawa Zul ke RSUD Budhi Asih, RSCM, RSPAD Gatot  Subroto, RSAL

Mintoharjo, RSAB Harapan Kita, dan RS UKI. Keenam RS ini menolak. Baru pukul 20.00 (11

Jam kemudian), Zul diterima di RS Harapan Bunda di Pasar Rebo.

RS Budhi Asih, Cawang menolak merawat dengan alasan berat Zulfikri hanya 1,4 kg. Ia

lalu dibawa ke RSCM; yang menolak dengan alasan tidak memiliki peralatan untuk merawat

Page 4: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

Zulfikri. Alasan yang sama juga dikemukakan RSAL Mintoharjo dan RS UKI. Sementara

RSPAD Gatot Subroto menolak dengan alasan ruangan/inkubator sudah penuh; namun

sebelumnya pihak RS sempat menanyakan apakah orang tua Zulfikri sanggup membayar biaya

perawatan Rp 700.000 sehari. RSBA Harapan Kita juga menolak dengan alasan tidak jelas.

(Kompas, 28 Juli 2005) Namun setelah dirawat di Rumah Sakit Harapan Bunda, kondisi Zul

berangsur-angsur membaik. (Kompas, 31 Juli 2005)

RS Harapan Bunda sebenarnya meminta uang sebesar Rp 1 juta untuk perawatan Zul

secara khusus. Namun, karena tidak punya uang, petugas meminta orantua Zul untuk

mengusahakan uang Rp 500.000. Husein lantas mengandalkan Sri Mulya, kakak kandungnya,

agar mencarikan pinjaman. Pada Pukul 23.00 WIB, kakaknya Husein datang membawa uang Rp

250.000, yang langsung diserahkan kepada perawat untuk keperluan obat. (Warta Kota, 25

Agustus 2005)

Ironisnya Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menyatakan bahwa sanksi terhadap

Rumah Sakit yang menolak Pasien miskin belum dapat diberikan. Alasannya ialah belum ada

dasar hukumnya. (Media Indonesia, 4 Agustus 2005) Mahlil Ruby, Peneliti pada Pusat Kajian

Ekonomi dan Kebijkan Kesehatan FKM UI, berbeda pendapat dengan Menteri Kesehatan. Ia

memandang bahwa penolakan Zulfikri oleh RS publik telah melanggar Pasal 34 Ayat (1) dan 28-

H Ayat (1) UUD 1945. Ia juga berpendapat bahwa penolakan tersebut dikarenakan RS publik

sangat sudah berorientasi ekonomi; yaitu karena pelayanan pasien miskin tidak banyak

menambah insentif tenaga kesehatan dan pemasukan kas Rumah Sakit, maka Zulfikri ditolak.

(Mahlil Ruby, Rumah Sakit Publik Mulai Miskin Moral, Kompas)

Page 5: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

 

C.     Kasus Penahanan Pasien

Pada medio September 2004, Rumah Sakit Siloam Gleneagles Karawaci Tangerang

dilaporkan ke Polisi oleh seorang anggota keluarga Pasiennya dengan tuduhan telah melakukan

penyanderaan Pasien. Berikut ini adalah gambaran dari kasus ini yang dicuplik dari berita yang

dimuat di Tempo Interaktif, 16 September 2004.

Menurut Jessy Quantero, Direktur Utama Healt Care selaku pengelola RS Siloam, pasien

bernama Leonardus, 53 tahun, memang merupakan pasien yang sudah lama dirawat di rumah

sakit itu. "Pasien itu memang pasien nakal dan tidak punya etikat baik," kata Jessy kepada Tempo.

Leonardus, kata Jessy, mulai masuk dan dirawat di RS Siloam sejak 16 Agustus 2004

dengan kondisi cukup parah, karena sudah banyak komplikasi. Pihak rumah sakit pun sudah

meminta komitmen pasien seputar kesanggupan membayar biaya pengobatan, karena pihak

tempat Leonardus bekerja tidak mau menanggung biaya pengobatan Leonardus. "Pasien

menyatakan sanggup untuk membayar sendiri, dan kami menjalankan kewajiban untuk

merawatnya," kata Jessy.

Alhasil, kondisi Leonardus membaik, dan Leonardus berencana pulang. Tapi ketika pihak

rumah sakit menagih biaya pengobatan, Leonardus justru mengaku disandera rumah sakit.

"Mahalnya biaya perawatan selama sebulan dan operasi yang harus dibayar, membuat Leonardus

kalap dan takut. Ia tidak bisa pulang sebelum menyelesaikan semua Administrasi sebesar Rp. 45

Page 6: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

Juta," kata Jessy.

Menurut Jessy, pihaknya sudah mendahulukan nilai-nilai kemanusiaan dengan tidak

menagih secara rutin semua biaya dan mendahulukan pengobatan. Tapi kemudian, nyonya Leni -

isteri Leonardus- melaporkan RS Siloam ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, karena suaminya

disandera rumah sakit itu. "Walau Leonardus sudah membuat kami malu, kami tetap akan

menyelesaikan masalah ini dengan cara baik-baik," kata Jessy.

Sebelum dilaporkan ke kepolisian, kata Jessy, pihaknya sudah mendapatkan kesepakatan

dengan Leonardus: Leonardus akan membayar tagihan dengan mencicil Rp. 3 juta per bulan.

"Tapi ketika ditangani LBH Kesehatan, kesepakatan itu langsung berubah dengan tawaran

mencicil Rp. 100 ribu per bulan," kata Jessy lagi.

 

D.    Kasus Penagihan Biaya Terhadap Pasien Miskin

Sebagai kompensasi atas pengurangan subsidi BBM, pemerintah memperkenalkan

program penggratisan biaya pengobatan untuk Pasien miskin. Namun pada kenyataannya

pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat miskin sepenuhnya belum terlaksana dengan baik,

bahkan cenderung cuma dalam tataran konsep. (Media Indonesia, 30 Juli 2005). Berita yang

dimuat di harian Suara Merdeka pada hari Rabu, 14 September 2005 menjadi bukti mengenai hal

tersebut.

Berita tersebut mempublikasikan pengalaman Subarjo (55), warga Bantul, pemegang

kartu sehat, berobat ke Rumah Sakit Wirosaban, Yogyakarta. Meski sudah menunjukkan kartu

Page 7: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

untuk keluarga miskin, dia tetap dikenai biaya Rp 240.000. Karena takut, Subarjo langsung

membayar sesuai dengan biaya yang diminta petugas rumah sakit. Namun Subarjo masih

beruntung, karena dalam waktu bersamaan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari mengetahui

peristiwa tersebut. Saat itu juga Menkes langsung meminta petugas rumah sakit untuk segera

mengembalikan uang pasien itu. Setelah dimarahi Menkes, petugas pun mengembalikan uang

berobat Rp 240.000 kepada Subarjo. Sementara itu, petugas pelayanan rumah sakit

mengungkapkan, Subarjo tetap dipungut biaya, walaupun memegang kartu sehat karena obat

yang ada dalam resep tidak termasuk dalam daftar obat kerja sama pemerintah dengan PT Askes.

''Ada dalam daftar atau tidak, pemegang kartu sehat harus mendapat pelayanan gratis,'' kata

Menkes.

Bukti bahwa program penggratisan biaya tersebut belum berjalan dengan baik juga

terdapat dalam berita yang dimuat di Gatra pada 2 Januari 2006. Dalam berita itu dikatakan

bahwa Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, saat mengunjungi RSUD M. Yunus Bengkulu

mengungkapkan kekecewaannya, karena mengetahui banyak pasien miskin di kelas III masih

dibebani biaya obat-obatan. "Ini sudah tidak benar, protapnya kan sudah jelas bahwa pasien

miskin di kelas III harus gratis. Mana petugas Askes tolong dijelaskan kenapa pasien masih

membayar," kata Menkes kepada dokter-dokter dari RSUD, anggota Komisi IX DPR-RI serta

pejabat Depkes RI.

Dari empat orang pasien miskin di kelas III RS itu, seluruhnya mengaku sudah

mengeluarkan biaya untuk menebus obat-obatan. Ny. Febi, orang tua dari Gozi (2,5) yang

menderita demam typoid, mengaku sudah membayar sampai Rp600 ribu untuk obat-obatan,

begitu juga dengan Ny. Fatimah (65) penderita muntaber sudah membayar Rp500 ribu. Menkes

Page 8: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

yang ketika itu didampingi Dirut Askes Dr Ori Sundari, dengan suara keras meminta agar semua

biaya yang dikeluarkan pasien miskin dikembalikan saat itu juga. Kepada Direktur RSUD M.

Yunus Dr Syarifuddin, ia minta agar jangan ada lagi pembayaran seperserpun yang dibebankan

kepada pasien miskin. Syarifuddin menegaskan, kalaupun pasien miskin membayar, nantinya

dibebankan ke APBD. Namun Menkes dengan suara keras menyatakan, tidak dibenarkan pasien

miskin membayar meski akhirnya diganti, karena setiap biaya pengobatan pasien miskin sudah

dibayar negara dan ditagih melalui Askes.

Anak Ny. Fatimah pasien muntaber yang dirawat, Suplin menyatakan dalam membayar

obat-obatan kepada pihak rumah sakit, ia tidak diberi tanda bukti ataupun kwitansi. Menkes

bahkan mengkhawatirkan obat-obatan untuk pasien miskin harus ditebus sendiri tapi oleh pihak

rumah sakit dimintakan ke Askes seolah-olah obat sudah diberikan secara gratis. Menkes

menegaskan, RS harus memberikan perawatan optimal kepada pasien miskin, sama halnya

dengan pasien di kelas maupun VIP. Pasien miskin sudah dibayar oleh negara dan pihak RS

menagih ke Askes, bahkan menurut Menkes, ada satu rumah sakit yang tagihan Askesnya sampai

Rp100 miliar. Pihak rumah sakit jangan memandang pasien mikin sebagai beban, bahkan

seharusnya mereka berlomba-lomba merawat pasien miskin, karena segala perawatan dan obat-

obatan diganti negara, bahkan jasa dokter juga dibayar. "Sangat keterlaluan kalau pihak rumah

sakit masih membeda-bedakan pasien dari keluarga miskin. Pasien miskin harus gratis dan

dirawat dengan baik dan saya tidak bisa terima dengan dalih apapun kalau ada pasien yang

diabaikan," ujarnya. Dalam kunjungan ke RSUD M. Yunus, Menkes menemui sekitar 10 pasien

miskin dan menanyakan perawatan yang diterima serta biaya perawatan. Sebagian penjelasan dari

dokter ditanyakan lagi ke pasien dan ada pernyataan dokter yang faktanya tidak sama dengan

Page 9: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

yang dialami pasien.

 

E.     Kasus-Kasus Malpraktek

1. Kasus Agian – Permohonan Euthanasia Pertama di Indonesia

Pemberitaan mengenai kasus ini diawali pada tanggal 29 Agustus 2004. Saat itu,

detik.com dalam judul beritanya menyebutkan, ”Ny. Agian, Korban Malpraktik Masih Tergeletak

Lemas.” Berdasarkan keterangan dari suami Ny. Agian yang bernama Panca Satriya Hasan

Kusumo yang dimuat detik.com pada 3 September 2004, awal mula kasus ini adalah sebagai

berikut.

” Awalnya tak ada tanda-tanda yang mencurigakan dari kehamilan istri saya ini. Setiap bulan istri saya memeriksakan kehamilan ke dokter Gunawan Muhamad, ahli kandungan. Selama sekian bulan rutin diperiksa dokter Gunawan, ia diberikan beberapa macam obat untuk kesehatan ibu dan anak. Tidak pernah ada gejala atau tanda-tanda keracunan. Setelah kehamilan memasuki bulan ke-34, ia (Ny. Again) kembali diperiksa. Hasil USG muncul kecurigaan dan keraguan dalam diagnosa terhadap kondisi janin dengan alasan monitor terlalu kecil. Oleh dokter, istri saya disarankan melakukan pemeriksaan di Jakarta yang lebih lengkap. Terus kami bawa ke RS Harapan Kita, hasilnya tidak ada kelainan pada janin, kecuali tampak acitest pada ibu dan letak bayi sungsang. Rekomendasinya agar segera dilakukan operasi caesar. Kemudian tanggal 20 Juli dilakukan operasi caesar di RSI Bogor. Operasi berjalan selamat, karena kondisi kesehatan bayi kurang, maka oleh pihak RSI bayi dirujuk di RS PMI Bogor untuk perawatan inkubator. Sedangkan istri saya normal, tak ada masalah bahkan komunikasi berjalan dengan baik dan malam itu dibawa ke Rumah Bersalin Yuliana untuk rawat inap. Keesokan harinya, saya diberitahu oleh pihak Rumah Bersalin Yuliana, bahwa istri saya tekanan darah naik, dan langsung dibawa ke RSI Bogor tanpa persetujuan saya. Saya diminta langsung ke RSI. Sampai di sana istri saya sudah ditangani tim dokter, beberapa saat kemudian pihak RS memberikan satu resep untuk ditebus, untuk menurunkan tekanan darah. Dan hasilnya setelah resep saya tebus, beberapa saat dari situ saya tanya perkembangan lagi. Darahnya ternyata terlalu drop, 120/80.  Wah terlalu rendah, pihak rumah sakit meminta saya menebus resep lagi. Saya tebus resep di rumah sakit itu. Saya tunggu beberapa saat. Pas ditensi, saya masuk, ternyata jadi 190/140. Dokter bilang pak ini ketinggian, bapak harus beli lagi namanya dupamin cair. Dua ampul plus pengantar untuk membeli darah dua kantong. Malam itu juga jam 12 saya berikan, tanggal 21 Juli itu, saya berikan 2 ampul dupamin dan dua ampul kantong darah.  Saya menunggu lagi di luar, karena tak boleh di dalam. Sekitar setengah satu saya dipanggil masuk ruangan dengan buru-buru, Pak-pak cepet-cepet. Pas saya masuk kedapatan istri saya nampak seperti sudah mati. Saya shock, mereka panik. Saya lihat mereka panik, dengan napas bantuan. Saya lihat kantong darah sudah kosong satu dan infus dupamin itu.  Setelah itu, saya lihat kira-kira 10 menit tanpa nadi dan napas. Tensi nol. Setelah kantong darah kedua dan dupamin diperas, kira-kira sepuluh menit muncul nadi dan napas. Pas ditensi, tensinya 60/40. Dari situlah dilanjutkan sampai kantong darah dan dupamin habis. Sampai kira-kira tinggal seperempat, ditensi, tensinya tidak terkendali. 60, 90, 150., 180

Page 10: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

terus sampai 250/210. Ya setelah selesai, di situlah akhir dari tindakan itu. Kemudian istri saya diamkan dari jam 2 siang, katanya mau dirujuk ke ICU. Baru pada jam 8 malam, baru dapat ruang ICU di rumah sakit PMI Bogor. Setelah masuk PMI, kemudian di ICU 8 hari dan dirawat inap sampai 38 hari. Baru dapat kepastian tanggal 11 Agustus kalau perlu tindakan lanjutan. Kemudian saya membawa istri saya ke RS Pertamina untuk MRI, karena beberapa hari itu kondisinya spatik. Ternyata PMI membiarkan saja. Hanya melakukan pijat-pijat saja. Setelah saya bawa ke RS Pertamina, baru pasti ada kerusakan otak, kanan kiri, otak kecil kanan dan kiri, serta kerusakan pusat saraf otak yang permanen.”

Pada 7 September 2004, diberitakan bahwa Ny. Agian Isnauli tidak hanya melaporkan dr

Gunawan dari RS Islam Budi Agung ke Polda Jawa Barat dengan tuduhan telah melakukan

malpraktik saja. Tetapi, ia rencananya akan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri

(PN) Bogor.

Pada 17 September 2004, Hasan beraudiensi dengan anggota DPRD Kota Bogor. Saat itu

ia menyampaikan bahwa ia sudah mengeluarkan uang Rp. 60 Juta untuk membiayai pengobatan

istrinya dan masih berhutang Rp. 17 Juta lagi ke RS PMI Bogor. Ia mengatakan bahwa tidak

memiliki uang lagi untuk membiayai pengobatan istrinya, karena itu ia memohon agar istrinya

disuntik mati saja (euthanasia). Pada 27 September 2004, Menteri Kesehatan A. Suyudi

mengatakan bahwa euthanasia dilarang di Indonesia. Diwawancarai pada hari yang sama, Hasan

mengatakan bahwa apabila pemerintah melarang euthanasia, maka dia minta pemerintah ikut

menanggung biaya pengobatan istrinya, karena Ia merasa tidak mampu lagi menyediakan dana

untuk pengobatan istrinya. Polemik seputar permohonan euthanasia ini mengundang komentar

dari dr Marius Widjajarta dari Yayasan Konsumen Kesehatan Indonesia. Menurutnya, apa yang

dilakukan RS terhadap Ny Agian sudah masuk kategori euthanasia pasif.

Lebih lanjut Ia mengatakan, " Kalau orang yang tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan

tidak mau dirawat, itu sudah merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam

hingga 12 tahun penjara."

Ternyata, pada 22 Oktober 2004 Hasan secara formal mengajukan permohonan

Page 11: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

euthanasia terhadap istrinya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada hari itu juga Hasan

meminta penetapan euthanasia kepada Menteri Kesehatan. Namun untuk berjaga-jaga sekiranya

Menteri Kesehatan menolak permohonan tersebut, Hasan juga menyerahkan surat kepada Menteri

Kesehatan yang berisi permohonan keringanan biaya perawatan untuk istrinya.

Pada 26 Oktober 2004, Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menjenguk Ny. Agian di

RSCM. Ia mengatakan,”untuk selanjutnya, biaya perawatan dan pengobatan Ny Agian akan kita

tanggung. Mudah-mudahan gratis, kita akan bantu seluruh biaya." Namun, pada 10 November

2004 Hasan malah melaporkan Menteri Kesehatan ke polisi. Ia mengatakan "Waktu

kunjungannya, menkes menjanjikan akan mengcover biaya perawatan istri saya. Tapi nyatanya

tagihan baru terus berdatangan. Tagihan yang saya bawa ini saja sudah menghabiskan biaya

sekitar Rp 20 juta. Bahkan ada obat-obatan yang belum saya tebus."

Pada tanggal 6 Januari 2005 terjadi kejadian yang luar biasa. Ny. Agian yang berbulan-

bulan koma telah sadar kembali. Ny Agian telah bisa meninggalkan tempat tidurnya dan melihat

pemandangan dengan naik kursi roda; tentu saja masih dengan bantuan kerabatnya. Dia juga

sudah bisa mengunyah karedok (makanan Sunda, sejenis gado-gado) dan sudah bisa berbicara.

Menurut, Iskandar, kuasa hukumnya dari LBH Kesehatan, kondisi Agian membaik setelah

mendapatkan berbagai pengobatan alternatif dari Manado, Sumut, Jabar hingga NTB. Jenis

pengobatan alternatif itu misalnya pemijitan sistem refleksi dan dengan bau-bauan. Menurut

Iskandar pengobatan tradisional ini merupakan upaya keluarga. "Tapi dokter tidak melarang,"

tandas Iskandar. Keluarga juga memberikan terapi memperdengarkan lagu-lagu nostalgia kepada

Agian. "Ny Agian jadi ingat anaknya dan ingat pergaulannya dulu. Keluarga terus melakukan

Page 12: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

aneka terapi," kata Iskandar.

Pada 6 Januari 2005, Ny. Agian dapat melakukan aktifitas yang luar biasa. Ia dapat

membaca surat Al Fatihah hingga selesai dan menyanyi lagu dangdut Goyang Dombret. Yanti,

Perawat yang sehari-hari merawat Ny. Agian menceritakan, "Kira-kira seminggu sebelum lebaran

(November 2004), Ny Agian sudah menunjukkan keadaan yang baik. Secara berangsur-angsur

pulih dari tempat tidur duduk bersandar, duduk berjuntai, dan sekarang sudah kuat menopang

lehernya." Dr M Imam, dokter jaga di Stroke Unit RSCM menambahkan, Ny Agian sudah mulai

progesif. "Sudah sekitar 1 bulan terakhir ini. Dia sudah bisa berkomunikasi dan menerima

rangsang-rangsang dari luar," kata Imam. Sedangkan ahli gizi Stroke Unit RSCM, Utih Arupah

SKM, menyatakan, biaya makan per hari Agian mencapai Rp 100 ribu. Setiap hari Ny. Agian

diberi susu peptamin ensure, 6 buah putih telor, sari buah, dan makan hapermuth 3 kali sehari.

"Untuk kembali sembuh, Ny Agian membutuhkan gizi yang prima. Karena itu ongkos

makanannya pun mencapai Rp 100 ribu per hari," katanya. "Pasien VIP biasanya nggak lebih dari

segitu (Rp 100 ribu). Tapi ini kita beri yang terbaik agar kondisinya semakin membaik,"

demikian menurut Utih. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Prof. Dr. Farid

Anfasa Moeloek pada tanggal 7 Januari 2005 berkomentar bahwa apa yang terjadi pada Ny.

Agian yang telah sadar dari koma panjangnya adalah suatu mukjizat.

Pada tanggal 6 Januari 2005 itu pula Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menjenguk

Ny. Agian kembali. Pada saat itu Ia mengatakan, "Tolong diberitakan ya! Orang yang sudah

hidup begini masa mau disuntik mati. Ini bagi kaum perempuan sangat menyakitkan. LSM yang

peduli perempuan diam saja.” Hasan saat itu tidak berada di tempat, karena sedang menjadi

relawan penolong korban tsunami di Aceh. Ketiadaan Hasan membuat berbagai isu yang

Page 13: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

menjurus fitnah beredar. Salah satunya ialah isu yang mengatakan bahwa kepergian Hasan ke

Aceh ialah untuk menghindari kebencian Ny. Again. Tetapi Ninda, aktivis LBH Kesehatan yang

intens mendampingi Ny. Again, pada 7 Januari 2005 membantah isu tersebut. Pada 9 Januari

2005, Ninda memberitahu bahwa Ny. Agian terus menerus memanggil nama Hasan. Hal mana

membuktikan bahwa Ny. Agian justru rindu pada suaminya, bukannya membencinya.

Setelah pulang dari Aceh, Hasan kembali membuat berita. Pada tanggal 11 Januari 2005

ia mengumumkan pada pers bahwa ia akan melaporkan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari ke

Mabes Polri dengan tuduhan pencemaran nama baik. Ia merasa difitnah Menkes yang

menuduhnya lari dari tanggung jawab menjaga istrinya yang sedang sakit di RSCM Agian Isna

Nauli. Hasan menuturkan, berdasarkan pengakuan dua orang wanita dari LBH kesehatan yang

menemani Agian saat Menkes datang, Menkes menunjuk kedua wanita itu dan menuduh mereka

hanya mencari keuntungan belaka dari sakitnya Agian.

"Itu fitnah. 'Adik-adik' dari LBH Kesehatan itu justru yang selama ini telah membantu saya. Saya

sangat keberatan dengan itu," demikian kata Hasan.

Pada 5 Februari 2005 diberitakan bahwa kondisi kesehatan Ny. Agian semakin membaik,

bahkan tangan dan kakinya sudah bisa digerakan. Ny. Agian bahkan sudah bisa menebar senyum

dan mengenali siapa saja yang mengajaknya bicara. Mungkin karena dianggap kondisinya sudah

membaik, maka pada tanggal 7 Februari 2005, pihak RSCM memindahkan Ny. Agian ke bangsal

kelas III. Sebelumnya Ny. Agian dirawat di ruang khusus stroke Soepardjo Roestam RSCM.

Menurut keluarga dan LBH Kesehatan yang mendampingi Ny. Agian, pemindahan dilakukan

dengan paksa dikawal aparat kepolisian. Menurut Ninda, dari LBH Kesehatan, pemindahan Ny

Agian ini dilakukan secara mendadak. Pihak keluarga sempat menentang pemindahan ini.

Page 14: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

Apalagi, saat itu suhu badan Ny Agian panas dan demam. Ninda menyatakan, alasan para

perawat di ruang Soepardjo Roestam memindahkan Agian, karena Agian dinilai sudah tidak perlu

perawatan secara medis lagi dan hanya butuh terapi saja. "Saat dipindahkan, sejumlah anggota

polisi mengawal dan bahkan mereka berjaga di depan bangsal ini sampai Sabtu kemarin,"

jelasnya.

Dibandingkan saat dirawat di ruang khusus perawatan Soepardjo Roestam, kualitas

perawatan di bangsal kelas III jauh berbeda. Ny Agian kini dikumpulkan bersama dengan 30

pasien lainnya di bangsal itu. Dulu, Ny Agian berada di Ruang Soepardjo Roestam seorang diri.

Di bangsal ini juga tidak tampak ada peralatan medis semewah di ruang Soepardjo Roestam.

Rencananya, kata Ninda, sebagai bentuk tidak terimanya keluarga atas pemindahan Ny

Agian ini, minggu ini pihak keluarga akan memindahkan Ny Agian ke luar negeri. Pihak keluarga

dan LBH Kesehatan juga menilai, RSCM sudah tidak serius lagi merawat Agian. Ini terihat, dari

tindakan para perawat yang kurang respek terhadap Agian.

"Memang, rencananya Bang Hasan (suami Agian) akan membawa Mami ke RS di Luar

Negeri minggu ini. Karena di sini dinilai sudah tidak serius. Tapi, fixed atau tidaknya dipindahkan

ke luar negeri, saya belum tahu," jelasnya. Sebelumnya, memang RSCM meminta kepada

keluarga untuk merawat Ny Agian di rumah, karena kondisi Agian sudah membaik. Namun, saat

itu Hasan mengaku belum siap.  Seiring dengan kepindahan Ny Agian ke bangsal kelas III,

wartawan juga tidak diperbolehkan oleh perawat untuk menengok atau mewawancarainya. Bila

ingin melihat kondisi Ny. Agian, wartawan harus mendapat izin tertulis dari RSCM.

Berita terakhir yang terkait dengan kasus ini dimuat di detik.com  pada tanggal 20

Page 15: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

Februari 2005. Dalam berita tersebut dikatakan bahwa untuk pemulihan kesehatannya Ny Agian

Isna Nauli akan diberangkatkan ke Kuba. Namun, karena masalah biaya yang mencapai sekitar

US$ 5.000, hal tersebut belum bisa dilakukan. Ketua LBH Kesehatan Iskandar Sitorus

mengatakan bahwa awalnya ada tiga negara yang akan dituju untuk pemulihan kesehatan Ny

Agian. Negara-negara tersebut adalah Kuba, Belanda dan Vatikan. "Tapi di antara tiga negara

tersebut yang lebih responsif adalah Kuba," katanya. Menurut Sitorus, Ny Agian segera di

berangkatkan ke Kuba jika uang tersebut terkumpul. "Tapi, sampai saat ini kami masih mencari

donatur untuk biayanya karena sampai saat ini belum ada," ungkapnya.

 

1. Kasus Adya – Gugatan Ditolak Hakim Karena Tidak Ada Otopsi

Kasus ini berawal ketika Adya Vitry Harisusanti mengalami muntah darah 20 Oktober

2002. Ia kemudian dibawa ke RS Azra Bogor dan sempat diopname. Pasien ini kemudian

diperbolehkan pulang keesokkan harinya. Tak lama kemudian, pasien ini kembali mengeluh sakit

di bagian kandungannya dan dibawa ke RS Sukoyo. Ia divonis menderita kista bagian di kanan

dan kiri kandungannya setelah melalui pemeriksaan USG dan kemudian dirujuk ke RS PMI

Bogor.

Adya lalu masuk RS PMI Bogor pada 10 November 2002 dan mendapat tindakan medis

yang dianggap membingungkan karena tidak adanya informasi yang jelas. Pasien ini diberikan

transfusi darah 300 cc padahal hasil lab menunjukkan kadar hemoglobin (HB)-nya masih normal.

Dokter juga me-rontgen di bagian dada, padahal menurut penggugat, istrinya menderita sakit

Page 16: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

dibagian perut.

RS PMI, menurut Indra, juga dinilai telah melakukan kelalaian medis yang merugikan

kondisi pasien. Pasien harus menunggu 1,5 jam dari jadual yang seharusnya dan tanpa alasan

yang jelas operasi kista itu akhirnya batal dilakukan, pada 14 November 2002 karena dokter tak

datang. "Tidak jadinya pelaksanaan operasi ini berakibat fatal pada kondisi fisik dan mental yang

memperparah dan penyakit almarhum," kata Erna Ratnaningsih, penasehat hukum penggugat.

Selama 14 hari tanpa penjelasan yang memadai mengenai kondisi istrinya, Indra

kemudian memindahkannya ke RS Pelni Petamburan. Adya kembali ditransfusi darah 500 cc.

Namun hingga dirawat di rumah sakit tersebut, dokter ternyata belum mampu menghentikan

pendarahan terus menerus yang diderita pasien itu.

Pemeriksaan di bagian kandungan juga menurut penggugat tidak dilakukan secara pantas

dan melanggar etika kedokteran. Menurut Indra, dokter langsung memvonis istrinya terkena

tumor miom (myoma) tanpa pemeriksaan lebih jauh seperti USG. Istrinya yang tanpa ditemani

itu, menurutnya sangat ketakutan dan menderita depresi luar biasa. Setelah pemeriksaan USG

ternyata tidak ditemukannya pendarahan di bagian kandungan dan tumor.

Karena tidak puas, Indra lalu meminta rujukan ke RSCM. Adya kemudian dirawat di

RSCM pada 17 Desember 2002. Ia diminta menceritakan seluruh tindakan medis yang pernah

dilakukan sebelumnya. Dokter RSCM yang menangani Adya cukup terkejut dengan apa yang

dilakukan dokter sebelumnya. Setelah di diagnosa melalui radiologi nuklir ternyata ditemukan

kebocoran sebanyak dua lubang di bagian usus Adya. Dokter pun memutuskan untuk

Page 17: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

mengoperasi dengan pemasangan alat CVP (Central Vena Presure).

Ternyata pemasangan alat yang dilakukan dokter sebelumnya, berakibat fatal dan

menyebabkan kematian Adya. Pemasangan alat melalui jarum suntik berukuran besar itu yang

dilakukan melalui pembiusan itu ternyata tidak berhasil. Darah mengalir sesaat jarum suntik itu

ditusuk ke tabung CVP dan membuat Adya semakin kritis. Alat itu ternyata, menurut Indra

dipasang tidak pada tempatnya. "Darah yang muncrat adalah darah segar yang berasl dari arteri

jadi bukan masuk ke vena," katanya. Adya menghembuskan nafas terakhirnya 10 menit

kemudian.

Suami almarhumah Adya Vitry Harisusanti, yaitu Indra Syafri Yacub, kemudian

menggugat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rumah Sakit Pelni Petamburan (Pelni)

dan Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (PMI), yang dianggapnya telah melakukan malpraktik.

Ketiga Rumah Sakit tersebut juga dilaporkan ke Menteri Kesehatan dengan tuduhan telah

melakukan pelanggaran Peraturan Menteri Kesehatan. RSCM dan RS PMI Bogor diadukan

karena tidak memberikan isi rekaman medis kepada Indra Syafri Yacub. Sedangkan RS Pelni

Petamburan diadukan karena salah satu dokternya tidak melakukan rekaman medis saat

almarhumah Adya Vitry Harisusanti dirawat disana.

Pada 30 September 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan malpraktek

yang dilayangkan terhadap tiga rumah sakit. Majelis hakim yang diketuai Cicut Sutiarso menilai

gugatan malpraktek yang diajukan Indra Syafri Yacub, suami korban yang bernama Adya Vitry

Harisusanti terhadap Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rumah Sakit Pelni

Petamburan (Pelni) dan Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (PMI), terlalu prematur. "Sampai

Page 18: Kompilasi Kasus Rumah Sakit

diajukannya gugatan, belum dilakukan pemeriksaan ataupun otopsi atas diri pasien tersebut

sehingga belum diketahui sebab-sebab kematiannya," kata Sugito, salah satu hakim anggota saat

membacakan putusan tersebut di PN Jakarta Pusat, Kamis (30/9). Menurut hakim, penting untuk

mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas gugatan perbuatan melawan hukum itu. Penasihat

hukum Indra, Erna Ratnaningsih menilai majelis hakim tidak mempertimbangkan bukti-bukti dan

saksi-saksi yang diajukan pihaknya. Selain itu ia menilai dalam gugatan perbuatan hukum, otopsi

bukanlah satu-satunya alat bukti. "Tidak ada seorang ahli pun mengatakan otopsi harus

dilakukan," katanya. (Tempo Interaktif, 30 September 2004)