Kajian WTO MC 9, 2014

12
WTO MINISTERIAL MEETING 2013 (MC9) SISTEM PERDAGANGAN MULTILATERAL DAN GESTUR PENATAAN DUNIA DI TENGAH KRISIS GLOBAL TIM KAJIAN KERANGKA ACUAN RISET

description

Melihat transformasi di dalam WTO sebagai efek dari mutasi kapitalisme global.

Transcript of Kajian WTO MC 9, 2014

Page 1: Kajian WTO MC 9, 2014

WTO MINISTERIAL MEETING 2013 (MC9)

SISTEM PERDAGANGAN MULTILATERAL DAN GESTUR PENATAAN DUNIA DI

TENGAH KRISIS GLOBAL

TIM KAJIAN

MENYAMBUT WTO MINISTERIAL MEETING 2013

K E R A N G K A A C U A N R I S E T

Page 2: Kajian WTO MC 9, 2014

LATAR BELAKANG

“In the situation where crisis is still hampering the global economy, Indonesia continues to believe that the multilateral trading system has a significant role in fostering a fair global trade, sustaining the world economic growth, eradicating poverty and creating job opportunities... In this regard, the next MC9 will therefore be very important to re-energize the negotiation process and the process achieved so far, and to strengthen the multilateral trading system. Finally, Indonesia fervently hopes that the exotic ambiance of the land of the gods and goddess, the warm weather and the hospitality of the people of Bali, will rejuvenate and renew the constructive spirit of the Doha Development Agenda negotiation in the WTO”1

Demikian pernyataan delegasi Indonesia yang menjadi latar belakang bagi “kind offer,” sebuah tawaran baik hati dari pemerintah Indonesia untuk menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia yang kesembilan (the ninth WTO Ministerial Conference/MC9), pada Desember 2013 mendatang. Tawaran ini disambut positif dalam the WTO General Council Meeting di bulan Juli silam, yang tidak hanya dipandang sebagai wujud “kebaikan hati” Indonesia untuk menjadi tuan rumah bagi MC9, tetapi lebih dari itu, sebagai tanda komitmen kuat Indonesia kepada WTO.2

MC9 ini, tidak dapat dipandang sebagai sekedar pertemuan tingkat menteri yang biasa, yang rutin diselenggarakan di dalam WTO, yang atas “kebaikan hati” Indonesia, akan diselenggarakan di Bali pada tahun 2013. Terkandung beragam paradoks yang dapat memperlihatkan permasalahan dalam tatanan dunia dan bekerjanya kekuasaan global di balik penyelenggaraan MC9 ini. Pertama, Konferensi Tingkat Menteri WTO kesembilan yang akan diselenggarakan di Bali pada Desember 2013 ini merupakan konferensi pertama yang diadakan di luar Jenewa, setelah protes besar-besar dari gerakan sosial terhadap Konferensi Tingkat Menteri WTO yang keenam di Hong Kong pada tahun 2005. Aksi protes yang dilakukan oleh ribuan aktivis dari berbagai belahan dunia dalam MC6 Hong Kong 2005, berujung pada pembubaran paksa dan penangkapan aktivitis oleh Kepolisian Hong Kong. Pasca protes di Hong Kong, Konferensi Tingkat Menteri WTO yang ketujuh dan

1 “WTO Sets Date for Inter-Ministerial Meeting in Bali,” The Jakarta Globe, accessed December 19, 2012, http://www.thejakartaglobe.com/news/wto-sets-date-for-inter-ministerial-meeting-in-bali/533288. Lihat juga, “WTO agrees to hold 9th Ministerial Conference in Bali, Indonesia,” The World Trade Organization official website, accessed January 2, 2013, http://www.wto.org/english/news_e/news12_e/gc_26jul12_e.htm.2 Ketua WTO General Council Ambassador, Elin Johansen berterima kasih atas tawaran baik dari Indonesia ini dan menyatakan, “a clear sign of its commitment toward this organization.” Elin Johansen, Statement by the Chairperson of the General Council Ambassador Elin Ostebo Johansen, The World Trade Organization official website, mp3 audio format, accessed December 19, 2012, http://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/minist_e.htm.

Page 3: Kajian WTO MC 9, 2014

kedelapan (MC7 dan MC8) diselenggarakan di Jenewa pada tahun 2009 dan 2011.

Berselang tujuh tahun, untuk pertama kalinya Konferensi WTO akan digelar kembali di luar Jenewa. Menjadi sebuah paradoks ketika penyelenggaran konferensi di luar Jenewa ini akan dilakukan pada sebuah era di mana terjadi kebangkitan kembali gerakan perlawanan rakyat, mulai dari Arab Spring sampai kepada gerakan Occupy Wall Street. Sebuah masa yang disebut oleh Žižek sebagai The Year of Dreaming Dangerously.3 Sementara itu, pertemuan WTO telah menjadi ibarat sebuah titik temu protes bagi para akvitivis dari berbagai isu terhadap organisasi yang menjadi biang dari berbagai permasalahan masyarakat dunia, mulai dari kemiskinan dan sampai kepada kerusakan lingkungan.4

Kedua, terlepas dari kritik keras yang disuarakan oleh gerakan sosial terhadap sistem perdagangan multilateral di bawah kerangka WTO, pemerintah negara-negara anggotanya tetap berkeyakinan kuat akan manfaat dari sistem perdagangan multilateral yang dibangun melalui WTO, tidak hanya dalam meningkatkan kesejahteraan, namun juga diyakini sebagai solusi untuk mengatasi krisis perekonomian global. Setidaknya terdapat enam poin kritik yang diajukan gerakan protes terhadap WTO dalam menata sistem perdagangan multilateral. WTO dinilai sebagai sebuah organisasi yang mendorong terciptanya tatanan dunia yang anti terhadap kaum miskin (anti-poor). Globalisasi yang didorong oleh WTO telah meningkatkan ketimpangan global lebih besar ketimbang era sebelumnya. Ketimpangan pendapatan di antara 20 persen populasi dunia tingkat atas dengan “the bottom fifth” telah mengalami peningkatan dua kali lipat.5 Gerakan protes juga melayangkan kritik terhadap WTO dikarenakan keberadaannya telah menjadi lembaga supranasional yang mengancam kedaulatan negara, khususnya negara-negara berkembang. Keberadaan WTO dikritik sebagai lembaga pemerintahan yang ditopang oleh korporasi, yang sifatnya tidak demokratis dan tidak bertanggung jawab, yang telah menggantikan posisi pemerintah nasional serta merenggut otonomi dalam menjalankan pembangunan.6 Selain itu, WTO juga menjadi sasaran kritik atas dasar penyebaran liberalisasi perdagangan (free trade) yang dinilai oleh gerakan sosial tidak sama dengan fair trade, sebagai wujud rekolonisasi pertanian negara-negara Dunia Ketiga, mendorong kenaikan harga obat-obatan yang esensial, dan lebih melayani kepentingan korporasi ketimbang rakyat.7Demikianlah kritik yang dilontarkan oleh gerakan sosial terhadap WTO yang tidak hanya 3 Sebuah masa di mana mimpi-mimpi pembebasan (emansipatoris) menggerakan protes rakyat di berbagai belahan dunia, New York, Tahrir Square, London dan Athena. Slavoj Žižek, The Year of Dreaming Dangerously (London & New York: Verso, 2012), 1.4 Sebelum protes Hong Kong, pada tahun 1999 ribuan aktivis menentang pertemuan WTO di Seattle Amerika Serikat, yang berujung pada kerusuhan yang dikenal dengan peristiwa Battle in Seattle. 5 Monika Srivastava, “WTO, RTAs and the Collapse of Doha Round,” India Quarterly: A Journal of International Affairs 63 (2007): 96-120.6 Monika Srivastava, “WTO, RTAs and the Collapse of Doha Round,” 96-120.7 Monika Srivastava, “WTO, RTAs and the Collapse of Doha Round,” 96-120.

2

Page 4: Kajian WTO MC 9, 2014

mencerminkan skeptisisme terhadap sistem perdagangan multilateral (meskipun kritik-kritik tersebut tetap harus ditinjau kembali dalam kerangka yang lebih menekankan pada bekerjanya kekuasaan dalam tatanan dunia), namun juga dampak dari sistem perdagangan multilateral yang bersifat eksploitatif. Akan tetapi, sistem perdagangan multilateral yang dibangun melalui WTO tetap diyakini oleh pemerintah negara-negara anggotanya akan membawa manfaat positif bagi perekonomian dunia, setidaknya keyakinan inilah yang melandasi “kebaikan hati” pemerintah Indonesia untuk menjadi tuan rumah MC9 WTO di bulan Desember mendatang.

Ketiga, mandegnya negosiasi Putaran Pembangunan Doha (Doha Development Round) sejak tahun 2006, menjadi cerminan bagaimana pembangunan sistem perdagangan berbasis perdagangan bebas pada level multilateral banyak mendapatkan hambatan. Banyak ahli yang menilai kemandegan Putaran Doha sebagai wujud perkembangan yang positif bagi negara-negara berkembang, terutama terkait dengan ketimpangan posisi dan dampak negatif yang harus ditanggung oleh negara-negara berkembang di dalam negosiasinya.8Akan tetapi, meskipun negara-negara berkembang dapat bertarung di dalam negosiasi WTO, mereka justru berada dalam posisi terjepit dalam berhadapan dengan agenda perdagangan bebas di tingkat kawasan dan bilateral (regional trade arrangements, RTA &bilateral free trade agreement, FTAs), yang bahkan meliputi beragam bentuk kesepakatan yang telah berhasil mereka hindari di dalam WTO.9 Alhasil, terutama pasca mandegnya Putaran Doha, kesepakatan perdagangan bebas baik dalam skema regional maupun bilateral mengalami proliferasi yang sangat cepat. Sampai dengan 10 Januari 2013, tercatat sebanyak 546 kesepakatan perdagangan regional (RTAs) yang telah dilaporkan ke WTO.10 Dari jumlah tersebut, 354 kesepakatan telah memasuki fase implementasi.11 Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa skema regional dan bilateral merupakan manifestasi pergeseran strategi liberalisasi perdagangan yang mengalami kemandegan pada level multilateral, sebuah back-up plan bagi gagalnya Putaran Doha.

Salah satu semangat utama dari MC9 adalah untuk membangkitkan dan menghidupkan kembali negosiasi Putaran Pembangunan Doha yang selama bertahun-tahun mengalami kemandegan. Sebuah gejala menarik dapat dicermati dalam penataan perdagangan dunia yang mencoba untuk menarik kembali liberalisasi perdagangan pada skema multilateral di tengah maraknya RTAs dan FTAs. Paradoks utama terkandung dalam keputusan pemerintah Indonesia untuk menjadi tuan

8 Monika Srivastava, “WTO, RTAs and the Collapse of Doha Round,” 96-120.9 Bhagirath Lal Das, “Multitude of Mini WTOs” Economic and Political Weekly, October 29, 2006.10 “Regional Trade Agreements,” The World Trade Organization official website,accessed January 2, 2013,http://www.wto.org/english/tratop_e/region_e/region_e.htm.11 “Regional Trade Agreements,” The World Trade Organization official website,accessed January 2, 2013,http://www.wto.org/english/tratop_e/region_e/region_e.htm.

3

Page 5: Kajian WTO MC 9, 2014

rumah MC9. Di satu sisi, Indonesia merupakan bagian dari kelompok negara berkembang yang berada dalam posisi yang dirugikan dalam negosiasi WTO khususnya Putaran Uruguay dan Doha. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara yang sangat aktif dalam menyepakati perdagangan bebas baik dalam skema regional ataupun bilteral. Di sisi lain, secara eksplisit, keyakinan akan manfaat dari WTO dan semangat Putaran Doha merupakan landasan bagi Indonesia dalam menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah MC9, yang merupakan ranah pertarungan tidak seimbang terutama bagi negara-negara berkembang, yang juga sekaligus menjadi sarana bagi terbangunnya skema perdagangan bebas pada level multilateral di tengah-tengah kepungan RTAs dan FTAs.

Dalam perspektif tatanan global, fenomena penyelenggaraan MC9 di Indonesia yang mengandung berbagai paradoks ini terjadi di tengah krisis multi-dimensi yang melanda dunia. Krisis merentang mulai dari kerusakan lingkungan sampai kepada krisis kapitalisme global sebagai bagian dari tatanan dunia itu sendiri. Besarnya perhatian terhadap krisis global yang menjadi tantangan utama dalam agenda penyelenggaran MC9, memperlihatkan bahwa Pertemuan Tingkat Menteri WTO pada Desember 2013 mendatang bukanlah sekedar pertemuan seremonial yang rutin diikuti oleh negara-negara anggotanya. Terkandung suatu gestur penataan dunia untuk menata kekacauan (krisis) yang terkandung di dalam tatanan itu sendiri. WTO, melalui MC9, merupakan salah satu pemberhentian (relay) dari bekerjanya kekuasaan global dalam rangka menata dan menertibkan kekacauan di dalam tatanan global yang secara inheren bersifat eksploitatif.

MC9 tidak dapat dipandang hanya sebagai pertemuan rutin dan konspiratif dari para “dalang” yang menguasai ekonomi dunia yang berupaya melestarikan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat miskin di berbagai belahan dunia. Jika MC9 tetap hanya dipandang dari sudut ini, maka gerakan perlawanan pun akan menjadi tak ubahnya pertemuan rutin dan nostalgia seremonial dari para pemrotes yang juga tidak berujung pada perubahan tatanan, atau bahkan justru terserap dan diinklusi ke dalam tatanan itu sendiri. Fenomena MC9 dengan sekelumit paradoksnya, membuka peluang bagi pemahaman terhadap bekerjanya kekuasaan yang menopang tatanan dunia dengan segala bentuk kontemporalitasnya. Penelusuran kontekstual atas kontemporalitas kekuasaan global melalui MC9 WTO dapat menjadi landasan yang sepadan bagi perlawanan terhadap berbagai gestur penataan dalam tatanan dunia yang eksploitatif.

TUJUAN DAN SASARAN KAJIAN

Dalam rangka memberikan sambutan yang meriah dan “pantas” kepada even bergengsi dunia WTO yang sedianya Ministerial Meeting-nya diselenggarakan di Pulau Dewata Bali Desember 2013 mendatang, perlu

4

Page 6: Kajian WTO MC 9, 2014

sekiranya diselenggarakan suatu sambutan yang bernuansa akademik terhadapnya yang mampu menelisiknya dalam bentuk kontemporernya. Hal ini dirasa perlu selain karena even ini terus berkembang dan berevolusi, sambutan yang umumnya diberikan pun umumnya belum mampu menyesuaikan dengan kontemporalitas eksistensi organisasi dan even ini. Untuk mengisi kekosongan inilah riset ini diselenggarakan, yaitu untuk:

1. Pertama-tama memahami dan mengkontekstualisasikan kontemporalitas WTO ini;

2. Kedua, untuk memahami mekanisme internalnya; dan kemudian, 3. Ketiga, menawarkan bentuk respon yang mampu menjawab

tantangan yang diberikannya.

KELUARAN

Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah suatu dokumen laporan kajian yang akan memuat:

1. Hasil analisis terhadap kontekstualisasi kontemporalitas WTO dalam tatanan global;

2. Hasil analisis terhadap logika dan mekanisme internal WTO dalam bekerjanya kekuasaan global;

3. Tawaran bentuk respon terhadap gestur penataan dunia melalui WTO.

Dokumen laporan kajian ini kemudian dapat dijadikan sebagai instrumen dalam gerak perlawanan terhadap MC9 WTO yang dikemas dalam berbagai bentuk seperti buku, artikel, opini, leaflet dan berbagai bentuk media informasi lainnya.

KERANGKA METODOLOGIDAN ANALISIS

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tatanan(order), yang secara umum diartikan sebagai suatu kesatuan interaksi timbal balik antara paradigma, institusi dan praktik, baik yang dominan maupun periferal, yang terjadi dalam kerangka-waktu yang spesifik namun simultan di seluruh dunia. Sekalipun simultan, ia tidak selamanya sama. Oleh karenanya, pendekatan lain yang juga dipakai untuk membingkai fenomena ini adalah secara ‘tidak-merata-dan-terkombinasi’(uneven-and-combined). Dengan demikian, bentuk dan esensi WTO hari ini, khususnya MC9, akan dipandang sebagai suatu fenomena atau relay

5

Page 7: Kajian WTO MC 9, 2014

singular yang menjadi bagian dalam suatu kesatuan besar tatanan dunia, dalam hal ini, tatanan politik ekonomi global. Bentuk yang dimaksud adalah desain kerangka pengaturan (governance) yang diterapkan WTO. Sementara esensi yang dimaksud mencakup agenda dan retorika yang dicanangkan dan disuarakannya. Adalah spesifisitas corak bentuk dan esensi WTO inilah yang hendak dikontekstualisasikan keberadaan kontemporernya.

Secara metodologis, kajian ini menggunakan paradigma riset hibrid atau campuran (mixed-method), yaitu mengkombinasikan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Komposisinya adalah: pertama, pendekatan kuantitiatif dipakai untuk mendeskripsikan secara obyektif bentuk dan esensi dari WTO itu sendiri. Capaian (dan kegagalan) mayor dan performa WTO, terutama sampai pada tercetusnya agenda MC9, akan dipetakan dari data-data yang dikumpulkan melalui dokumen-dokumen resmi yang dirilis WTO (terutama tiga dokumen utamanya: WTO Annual Report, World Trade Report dan International Trade Statistics). Pendeskripsian ini akan dibingkai ke dalam kerangka yang menunjukkan kiprah perjalanan panjang WTO menuju “[reduced] obstacles to international trade and ensuring a level playing field for all, thus contributing to economic growth and development”12

Kedua, pendekatan kualitatif akan digunakan untuk mengkontekstualisasikan hasil deskripsi sebelumnya. Metode kontekstualisasi yang digunakan disini adalah apa yang disebut Michel Foucault sebagai metode problematisasi.13 Melalui problematisasi, suatu fenomena akan dilihat sebagai suatu solusi/jawaban bagi suatu problem spesifik yang terdahulu. WTO, dalam versi termutakhirnya di agenda MC9, akan dianggap sebagai suatu upaya untuk menjawab tantangan yang dipersepsinyasecara subyektif sebagai problem. Secara subyektif, maksudnya problem tersebut harus dilihat sebagai suatu problem yang muncul hanya apabila dipandang dari posisi tertentu; problem, dengan demikian adalah selalu problem bagi kelompok tertentu. Data-data yang dipakai disini adalah rangkaian diskursus/retorika yang mencoba membingkai suatu hal sebagai suatu masalah, bahkan masalah bagi “kita semua,” dan suatu solusi sebagai jawaban yang dipilih sebagai jawaban proper bagi masalah tersebut. Perlu ditekankan, bukanlah benar salahnya masalah dan solusi yang diperhatikan metode problematisasi, melainkan rupa-rupa mekanisme pewacanaan bagi masalah dan solusi tersebut.

Ketiga, masih dalam rangka kontekstualisasi. Perlu suatu kerangka untuk memahami problem obyektif dari paradigma perdagangan dan pembangunan yang dikampanyekan oleh WTO. Dengan mendudukkan problem yang dihadapan WTO dalam kerangka ‘kontradiksi internal 12“About the WTO — a statement by the Director-General,” The World Trade Organization official website, diakses pada 22 Januari 2013 dari http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/wto_dg_stat_e.htm.

13Michel Foucault & Paul Rabinow, “Polemics, Politics, and Problemizations,” dlm P. Rabinow, peny., Foucault Reader (NY: Pantheon Books, 1984), h. 381-390.

6

Page 8: Kajian WTO MC 9, 2014

akumulasi kapitalis’, maka statemen problem dan solusi yang coba dikemukakan oleh MC9 akan dibaca-ulang sebagai sebentuk upaya solutif dan resolutif bagi problem akumulasi kapital yang muncul sebelum MC9, khususnya semenjak Putaran Doha. Untuk ini, kembali pendekatan metodologis kuantitatif dipakai. Sampai di sini diharapkan cukup untuk menopang klaim bahwa gagalnya Putaran Doha merupakan gejala bagi suatu hal yang lebih besar, yaitu krisis akumulasi kapitalisme global.

Keempat, dalam rangka memahami MC9 sebagai penataan ulang “ekstra-ekonomis” bagi sistem ekonomi global, dengan demikian melihatnya sebagai suatu gestur politikekonomi, maka kembali pendekatan kualitatif dipergunakan untuk memproblematisasi proses penataan-ulang ini sebagai suatu respon subyektif terhadap krisis dari tatanan politik ekonomi terdahulu, yaitu neoliberalisme. Subyektivitas respon yang dimaksud diartikan sebagai keberpihakan kepada amannya keberlangsungan unit dasar dari tatanan politik ekonomi neoliberal, yaitu negara berdaulat modern. Berangkat dari asumsi bahwa negara berdaulat modern mendapatkan justifikasi kedaulatannya dari perlindungannya terhadap kebebasan pasar, dan bahwa WTO merupakan ajang perundingan dan negosisasi negara-negara untuk merancang perlindungan bagi pasar, maka akan ditunjukkan bagaimana desain WTO termutakhir menjadi jawaban bagi krisis legitimasi kedaulatan negara berdaulat modern.

Setelah keempat ini diselesaikan, barulah kajian ini siap untuk memasuki tahap kelima, yaitu secara obyektif mendeteksi aspek-aspek eksploitatif dari MC9 WTO ini sebagai suatu penataan ulang ekonomi global secara politis. Berbagai bentuk ketimpangan yang tidak terselesaikan, dan yang selalu menjadi “efek samping” dari keberadaan WTO, akan dipahami sebagai suatu kesatuan utuh melalui kerangka ‘pembangunan yang tidak merata dan terkombinasi’ (uneven and combined development) dari kapitalisme global kontemporer. Akhirnya, tahap keenam, merupakan puncak dari kajian ini, mencoba mengusulkan tawaran normatif dan praktis. Tawaran normatif merupakan proposal ideal untuk mengatasi problem eksploitasi, baik itu yang bentuk baru maupun inti dasarnya yang selalu terbarui dalam rupa-rupa kontemporernya. Tawaran praktis merupakan proposal ideal untuk mengimplementasikan tawaran normatif tersebut, terutama diluar kerangka yang mengasumsikan sentralitas pemerintah.

7

Page 9: Kajian WTO MC 9, 2014

JADWAL

Kegiatan kajian ini direncanakan akan dilaksanakan dalam kurun waktu selama 8 (delapan) bulan. Jadwal pelaksanaan selengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 1Jadwal Pelaksanaan Kegiatan

No.

KegiatanBulan ke-

1 2 3 4 5 6 7 81 Persiapan                2 Desk study                3 Pengumpulan data                4 FGD                5 Penyusunan dokumen                

6 Publikasi dan diseminasi nasional

               

7 Publikasi dan diseminasi internasional

Jakarta, Januari2013

Tim Kajian

8