KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

101

Transcript of KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Page 1: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP
Page 2: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

1Kajian Degradasi Ekosistem ... (Listyaningsih, et al)

KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAPPOPULASI POLYMESODA EROSA DI SEGARA ANAKAN, CILACAP(Assessment of Mangrove Ecosystem Degradation to the Population of

Polymesoda erosa in Segara Anakan, Cilacap)

Dyah Dwi Listyaningsih, Fredinan Yulianda, Erwin Riyanto ArdliProdi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Gedung Sekolah Pascasarjana Kampus IPB Baranangsiang Bogor 16144E-mail: [email protected]

ABSTRACTSegara Anakan is an unique ecosystem with lagoons, mangrove and lowland. One of biota living inmangrove ecosystem is Polymesoda erosa. The species is valuable both economically and ecologically. In theother side, degradation occurred in mangrove Segara Anakan. This study aims to determine populationof P. erosa and to analyze its relationship with mangrove degradation in Segara Anakan, Cilacap.Purposive Random Sampling was used to collect the clams data and plots sampling techniques wereapplied to obtain vegetation data. Average of P.erosa abundance ranged from 9,83 + 4,68 ind/m2.Age distribution was presented as histograms. Dominant sizes were from 4,6 – 5,8 cm. The distributionpattern determined by variance index  shows a random (aggregate) distribution. Very weak correlationwas found between P. erosa and mangrove that indicates not connected directly. Tree category was domi-nated by Nypa fructicans. Sapling category was dominated by Rhizophora apiculata and Acanthusebracteatus, Acanthus ilicifolius for seedlings, shrubs and herbs. Based on GIS analysis, mangrove area inSegara Anakan was 8036.9 ha. P. erosa strongly correlates to environmental components namely tem-perature and salinity. People utilized P. erosa as source of food, income and land hoard.Keywords: Mangrove, degradation, P. erosa, Segara Anakan

ABSTRAKSegara Anakan merupakan ekosistem unik dengan laguna, bakau dan dataran rendah. Salah satubiota yang tinggal di ekosistem mangrove adalah Polymesoda erosa yang merupakan spesies berhargasecara ekonomi dan ekologis. Namun demikian, degradasi mangrove nampak terjadi di Segara Anakan.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui populasi P. erosa dan menganalisis hubungannya dengandegradasi mangrove di Segara Anakan, Cilacap. Teknik Purposive Random Sampling digunakan untukmengumpulkan data kerang dan plot teknik pengambilan sampel yang diterapkan untuk memperolehdata vegetasi. Rata-rata P. erosa kelimpahan berkisar antara 9,83 + 4,68 ind/m2. Distribusi poladisajikan sebagai histogram. Ukuran yang dominan berasal dari 4,6 - 5,8 cm. distribusi Pola ditentukanoleh indeks varians menunjukkan (agregat) distribusi acak. Korelasi sangat lemah ditemukan antara P.erosa dan mangrove yang mengindikasikan tidak berhubung secara langsung. Kategori pohon didominasioleh Nypa fructicans. Kategori pancang didominasi oleh Rhizophora apiculata dan Acanthus ebracteatus,Acanthus ilicifolius untuk bibit, semak dan tumbuhan. Berdasarkan analisis GIS, kawasan mangrovedi Segara Anakan adalah 8.036,9 ha. P. erosa sangat berkorelasi dengan lingkungan komponen-motivasional yaitu suhu dan salinitas. Orang dimanfaatkan P. erosa sebagai sumber makanan,pendapatan dan timbunan tanah.Kata kunci: Mangrove, degradasi, P. erosa, Segara Anakan

Page 3: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 1 - 102

PENDAHULUAN

Segara Anakan terletak di Pantai SelatanPulau Jawa dan secara administratif masukdalam wilayah kecamatan Kampung LautKabupaten Cilacap. Bila dipandang dariprespektif lingkungan hidup, SegaraAnakan sangat unik karena terdiri dari la-guna berair payau, hutan mangrove danlahan dataran rendah yang dipengaruhipasang surut. Kondisi ini menjadi potensialbagi berbagai biota untuk memijah danmencari makan. Salah satu biota yanghidup dalam ekosistem mangrove adalahPolymesoda erosa.

Luasan mangrove Segara Anakan daritahun ke tahun mengalami penurunan. Halini mengindikasikan adanya degradasi man-grove. Luasan mangrove Segara Anakanmenurut Ardli dan Wolff (2008) padatahun 1987 mencapai 15827,6 ha, tahun1995 mencapai 10974,6 ha, tahun 2004mencapai 9271,6 ha dan tahun 2006mencapai 9237,8 ha.

Degradasi yang terjadi terus-menerus diekosistem mangrove Segara Anakan dapatmenyebabkan perubahan kondisi dariekosistem tersebut. Tentunya hal iniberpengaruh juga terhadap P. erosa karenasecara langsung karena kerang inibergantung pada kondisi ekosistem man-grove sebagai habitat dan tempat mencarimakanan. Penurunan populasi hinggaancaman kepunahan dapat terjadi biladegradasi berlangsung dalam kurun waktutertentu. Hal ini diperparah dengan adanyaeksploitasi berlebihan dari masyarakatsekitar. Masyarakat menangkap kerang P.erosa tanpa memperhatikan ukuran ataupunbobot dari kerang tersebut karena kerangini memiliki nilai ekonomis yang cukuptinggi akibat kandungan gizi yangdimilikinya ataupun menjadi komoditipenting dan cangkangnya dapatdimanfaatkan sebagai bahan kerajinan

(Kresnasari, 2010). Oleh karena itupenelitian mengenai kondisi populasi P.erosa dan keterkaitan dengan degradasiekosistem mangrove perlu dilakukan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untukmengkaji status populasi P. erosa danmengalisa keterkaitannya dengan degradasiekosistem mangrove yang terjadi di SegaraAnakan, Cilacap. Manfaat dari penelitianini adalah untuk pengelolaan dalam upayamemperbaiki kondisi lingkungan danpopulasi P. erosa di ekosistem mangroveSegara Anakan, Cilacap.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini secara keseluruhan di-laksanakan selama empat bulan dariOktober 2012 hingga Januari 2013 dikawasan ekosistem mangrove SegaraAnakan, Cilacap, Jawa Tengah. Kegiatanidentifikasi dan analisis sampeldilaksanakan di Laboratorium BiologiAkuatik Fakultas Biologi UNSOED.Pemilihan lokasi penelitian dilakukandengan metode purposive sampling berupapenempatan lokasi penelitian berdasarkanberbagai pertimbangan. Pertimbangan yangdigunakan pada penelitian ini antara lainkawasan mangrove yang berkriteria baik,sedang ataupun rusak sebagai akibat daridegradasi. Selain itu, penentuan stasiundiambil berdasarkan kondisi yangrepresentatif berdasar karakter habitat P.erosa. Metode lain yang digunakan dalampenelitian ini adalah metode deskriptif.Dari dua belas stasiun pengambilan sampelterbagi menjadi empat kelompok stasiunberdasarkan tingkat kerusakan mangrove(Anwari et al., 2013). Tingkat kerusakanterbagi menjadi rusak berat (A), rusak (B),kurang bagus (C) dan bagus (D).

Pengambilan sampel kerang dilakukan padaarea sampling dan melihat kondisi

Page 4: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

3Kajian Degradasi Ekosistem ... (Listyaningsih, et al)

lingkungan khususnya kondisi mangroveyang terdapat disekitarnya. Pada setiapstasiun pengambilan sampel diambil tigatitik berbeda secara acak. Pengambilansampel P.erosa menggunakan plot sampling(1x1 m). Setiap plot digunakan sebagaiulangan. Metode pengambilan datavegetasi mangrove mengikuti kesesuaiandengan sampel kerang. Pengamatan man-grove terbagi menjadi pengamatan pohon,anakan dan semai, semak dan herba. Selainitu data yang diambil terdiri dari jumlah danjenis tegakan mangrove, diameter pohonserta keterangan lain yang mendukungkelengkapan data. Identifikasi mangrovedilakukan dengan berpedoman padaTomlinson (1994).

Pengukuran parameter lingkungandilakukan pada setiap titik pengambilanP.erosa dan pengamatan mangrove.Pengukuran parameter lingkungan terbagimenjadi dua tahap yaitu secara eksitu daninsitu. Selanjutnya, pemanfaatan P.erosadapat diketahui dengan cara menyebarkandaftar pertanyaan (quisioner) danwawancara pada masyarakat sekitar.

Metode yang digunakan untuk menentukanjumlah responden yaitu metode Solvin(Siregar, 2011) yaitu :

2Ne 1N n

Keterangan :n = Ukuran sampel atau jumlah

respondene = Nilai kritis (batas ketelitian 5%)N = Ukuran populasi dalam waktu

tertentu

Nilai kepadatan P.erosa dapat diartikanbanyaknya P.erosa per satuan unit luas plotyang diamati. Hasil yang didapat dianalisisdengan rumus sebagai berikut (Heryantoet al.,2006):

nXi

D

Keterangan :

= jumlah total individu jeniskerang I (ind)

D = kepadatan (ind/m2)n = luasan plot (m2)

Penentuan kelompok umur pada penelitianini menggunakan teknik pergeseran kelasmodus dengan analisis frekuensi panjang(Morton, 1984). Sedangkan, pola distribusidianalisis dengan menggunakan indeksvariansi menurut Spellerberg (1998) :

1 n

xxS

n

1-n

2

i2

Keterangan :S = sampel

ix = perbedaan nilai pada saat observasi

n = jumlah sampel

x = rata-rata sampel

Analisis data vegetasi menggunakanmetode menurut Dombois dan Ellenberg(1974), yaitu dengan mengetahui nilaikerapatan, kerapatan relatif, frekuensi,frekuensi relatif, dominansi, dominansirelatif dan nilai penting masing-masingkategori mangrove. Selain itu untukmengetahui degradasi mangrove digunakanpeta landsat 2012. Peta ini dapat diolahdengan menggunakan metode delineasipada software Arcgis 9. Analisis komponenlingkungan dilakukan dengan Principal Com-ponent Analysis (PCA). Keterkaitan antarakondisi mangrove dengan kondisi populasiP.erosa dianalisis dengan menggunakananalisis regresi kubik. Dengan klasifikasi 0tidak ada korelasi, 0 – 0.199 korelasi sangat

Page 5: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 1 - 104

lemah, 0.20 – 0.399 korelasi rendah, 0.40– 0.599 korelasi cukup kuat, 0.60 – 0.70korelasi kuat, 0.80 – 1 korelasi sangat kuat(Ridwan dan Sunarto, 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan Gambar 1 menunjukan nilaikepadatan pada masing-masing stasiunyang bervariasi. Secara keseluruhan, nilaikepadatan P.erosa mencapai 9,83 + 4,68ind/m2.

Kepadatan yang berbeda diduga terkaitdengan kondisi habitat dan lingkunganP.erosa. Selain itu jenis bivalvia termasukP.erosa tidak tersebar secara normal. Halini sesuai dengan pernyataan Kresnasari(2010) bahwa berbagai faktor lingkungandapat mempengaruhi turunnya produk-tivitas biota perairan. Selain itu Amin(2009) menyebutkan kepadatan P.erosadipengaruhi oleh perbedaan karakteristikdari masing-masing stasiun pengambilansampel. Hal ini sesuai dengan kondisilingkungan yang terdapat di lapangan baikdari kondisi substrat, salinitas maupunsuhu. Pada Gambar 1, terlihat bahwakelimpahan P.erosa dominan pada

kelompok stasiun B dan tidak ada padakelompok stasiun D yang memiliki man-grove kategori bagus.

Secara umum menunjukan bahwa man-grove tidak berpengaruh secara langsungterhadap nilai kepadatan P.erosa. Tidakadanya individu P.erosa pada kelompokstasiun D dengan kategori mangrove baguskemungkinan disebabkan kondisi substratyang cenderung kering dan keras ataupunfaktor lingkungan lain yang kurangmendukung sehingga tidak memungkinkanbagi P.erosa untuk hidup pada kondisi tersebut.

Peta persebaran P.erosa (Gambar 2)menunjukan wilayah yang memiliki nilaikelimpahan dominan tinggi berada dibagian tengah dan barat mangrove SegaraAnakan. Di lain sisi bagian tengah danbarat memiliki mangrove yang tergolongrusak hingga rusak berat. Bagian timurtergolong mangrove kategori bagus. Inimenunjukan bahwa mangrove tidakmempengaruhi kondisi populasi P.erosa.Pada bagian timur Segara Anakan, substratcenderung keras karena jarang terendamoleh pasang surut. Komposisi substrat yangtepat dapat mempermudah P.erosamenyaring makanan. Laju pertukaran air

Gambar 1. Kepadatan P.erosa Berdasarkan Stasiun Pengamatan

Page 6: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

5Kajian Degradasi Ekosistem ... (Listyaningsih, et al)

berlangsung cepat sehingga kadar oksigenterlarut menjadi banyak tersedia. Selainberbagai faktor yang telah disebutkan,faktor pemangsaan, penyebaran larva,pasang surut dan pengambilan P.erosa jugadapat mempengaruhi nilai kepadatan. Saatpenyebaran, larva mencari habitat yangcocok. Berkembang menjadi bivalvia

muda, menetap hingga dewasa dan matanggonad (Manzi dan Castagna, 1989).

Piramida sebaran umur yang terbentukmenggambarkan individu betina lebihmendominasi dibandingkan jantan.

Piramida (Gambar 3) juga menggambarkanrendahnya individu anakan dan individu

Gambar 2. Peta Persebaran P. erosa Berdasarkan Kelimpahan Setiap Stasiun Pengamatan

100 50 0 50 100

2-3.2

3.3-4.5

4.6-5.8

5.9-7.1

7.2-8.4

Piramida Sebaran Umur P.erosa

Kelompok Stasiun A

female

male

50 0 50

2-3.2

3.3-4.5

4.6-5.8

5.9-7.1

7.2-8.4

Piramida Sebaran Umur P.erosa

Kelompok Stasiun B

malefemale

50 0 50 100

2-3.2

3.3-4.5

4.6-5.8

5.9-7.1

7.2-8.4

Piramida Sebaran Umur P.erosa

Kelompok Stasiun C

male

female

Sumber: hasil analisis

Gambar 3. Piramida Sebaran Umur P. erosa Berdasarkan Kelas Ukuran Panjang

Page 7: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 1 - 106

Tabel 1. Pola Distribusi P. Erosa

Sumber: hasil analisis

tua. Jenis piramida ini biasa disebut denganpiramida sarang tawon kuno/old fashionedbeehive. Frekuensi kehadiran P.erosa yangmendominasi terlihat pada ukuran 4,6 – 5,8cm sebanyak 43 individu. Ukuran ini jugamemiliki daya tahan hidup yang lebih tinggidibanding dengan ukuran kurang dari 2 cm(Widowati et al., 2005). Kepadatan populasidan faktor fisik, kimia maupun biologishabitat mempengaruhi pertumbuhankerang khususnya pada cangkang danjaringan.

Tabel 1 menunjukan pola persebaranmengelompok. Ini merupakan bentukpenyebaran paling umum yang terjadi dialam. Pola mengelompok terjadi sebagaiakibat dari adanya perbedaan responterhadap perbedaan habitat secara lokal.Pola distribusi dari P.erosa terkait dengantingkah laku strategi reproduksi, kesediaanpakan dan kondisi lingkungan (Kresnasari,2010). Selain itu, pola sebaran dipengaruhioleh faktor kompetisi. Kompetisi ini dapatberupa perebutan makanan dan ruanguntuk hidup.

Mangrove kategori pohon hanyadidominasi oleh Nypa Fructicans. Saat

pengamatan banyak ditemukan pohon yangditebang dan hanya terdapat Nypa fruticanssebagai mangrove kategori pohon. Hal inisesuai dengan pernyataan Tumisem danSuwarno (2008) bahwa banyak mangrovekategori pohon terutama spesies Rhizophorasp. yang ditebang secara ilegal. Penebanganini berlatar belakang penggunaanRhizophora sp. sebagai kayu bakar industrigula kelapa di wilayah Cilacap. Spesies yangmendominasi pada kategori anakan adalahRhizophora apiculata. Semai, semak danherba didominasi oleh familia Acanthaceae.Kondisi tersebut mempengaruhi spesieslain. Semai, semak maupun herba spesieslain akan sulit berkembang karena kurangmendapat sinar matahari akibat tertutupoleh Acanthus.

Ardli dan Wolff (2008) menyatakan bahwaluas kawasan mangrove Segara Anakanpada tahun 1987 sebesar 15827,6 ha.Tahun 1995 luasan mangrove menjadi10974,6 ha. Tahun 2004 luasan mangrovemenurun kembali menjadi 9271,6 ha danterus menerus mengalami penurunanhingga tahun 2006 mencapai 9237,8 ha.Bila dibandingkan dengan luasan mangroveyang didapat dari analisis landsat 2012

Kelompok Stasiun Nilai x Nilai S-2 Perbandingan Pola Distribusi

A 5.11 19.6 x < S-2 Aggregate (mengelompok)

B 11.11 13.37 x < S-2 Aggregate (mengelompok)

C 17.33 269.78 x < S-2 Aggregate (mengelompok)

D 0 0 x < S-2 Aggregate (mengelompok)

Keseluruhan 5.5 35.53 x < S-2 Aggregate (mengelompok)

Page 8: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

7Kajian Degradasi Ekosistem ... (Listyaningsih, et al)

(Gambar 4) , luas mangrove hanyamencapai 8036,9 ha. Dengan demikiankondisi mangrove Segara Anakan memangmengalami degradasi yang diindikasikandengan penurunan luasan mangrove.Penurunan ini disebabkan oleh berbagaihal, antara lain konversi lahan danpenebangan mangrove.

Sebaran karakteristik komponen lingkung-an dari keseluruhan stasiun tergambarpada hasil analisis PCA (Gambar 5). Hasilanalisis menunjukan bahwa kepadatanP.erosa berkorelasi erat dengan suhu dansalinitas. Semakin tinggi tingkat penguapan(suhu tinggi) di suatu wilayah makasalinitas semakin tinggi dan begitupunsebaliknya. Selain itu wilayah SegaraAnakan memiliki kondisi salinitas yangberagam.

Gambar 6 menunjukan hubungan antarakerapatan mangrove seluruh kategoriterhadap kepadatan P.erosa. Berdasarkan

analisis regresi kubik, didapatkan nilai R2

kategori pohon sebesar 0,055. R2 untukkategori anakan sebesar 0,146. R2 untukkategori semai, semak dan herba adalah0,094. Secara keseluruhan mangrovetergolong memiliki hubungan yang sangatlemah terhadap kepadatan P.erosa.Kerapatan jenis mangrove tidakberpengaruh terhadap kepadatan P.erosa.Akan tetapi kerapatan mangrove didugaberpengaruh langsung terhadap kandunganbahan organik (Tis’in, 2008).

Umumnya pemanfaatan bagian dagingP.erosa oleh masyarakat digunakan sebagaibahan makanan. P.erosa menjadi salah satusumber protein andalan setelah ikan.Khasanah et al., (2010) menyebutkanbahwa P. erosa mengandung rata-rata nilaiprotein hewani 55,96% dan lemak 6,53%.Tingginya pemanfaatan P.erosa olehmasyarakat sekitar menyebabkan kerang inimenjadi salah satu biota yang paling dicarioleh para nelayan. Pendapatan nelayan dari

Gambar 4. Peta Luasan Mangrove Kawasan Segara Anakan, Cilacap

Page 9: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 1 - 108

hasil pencarian P.erosa dapat dikatakancukup tinggi. Harga jual daging P.erosamencapai Rp. 15.000 per kg dan penjualandengan cangkang mencapai Rp. 4.000 perember. Masyarakat juga memanfaatkancangkang kerang. Cangkang kerang

Sumber: hasil analisis

Gambar 5. Analisis PCA Kualitas Lingkungan

Sumber: hasil analisis

Gambar 6. Grafik Regresi Hubungan Mangrove Kategori Pohon, Anakan dan Kategori

digunakan untuk mempertinggi lahan desaagar tidak terkena air pasang. Menurutmasyarakat cangkang kerang digunakanuntuk menimbun lahan karena lebihekonomis dibandingkan menggunakanpasir.

Page 10: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

9Kajian Degradasi Ekosistem ... (Listyaningsih, et al)

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasanpenelitian maka dapat disimpulkan bahwa:1. Ekosistem mangrove Segara Anakan

mengalami degradasi yangdiindikasikan dengan penurunan luasdan saat ini mencapai 8036,9 ha.

2. Populasi P.erosa memiliki nilaikepadatan sebesar 9,83 + 4,68 ind/m2,ukuran panjang dominan 4,6 – 5,8 cm,mengelompok dan melimpah pada

bagian barat maupun tengah SegaraAnakan dengan kondisi mangroverelatif rusak.

3. Populasi P.erosa tidak memilikiketerkaitan secara langsung dengankondisi mangrove dan faktorlingkungan yang berpengaruh adalahsalinitas dan suhu.

4. Masyarakat memanfaatkan P.erosasebagai sumber makanan, pendapatandan menimbun lahan.

DAFTAR PUSTAKA

Amin R. 2009. Potensi Kerang Kepah (Polymesoda erosa) Perairan Pemangkat SambasKalimantan Barat [Tesis]. Semarang (ID) : Universitas Diponegoro. hlm 183-246.

Anwari MS, Sunarto, Dulbahri, Suwarno, Hadi S. 2013. Struktur dan Komposisi MangroveBerdasarkan Tingkat Kerusakan di Segara Anakan, Cilacap. Jurnal Waratropika.Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (sedang dicetak).

Ardli ER, M Wolff. 2008. Land use and land cover change affecting habitat distribution in the SegaraAnakan lagoon, Java, Indonesia. Regional Environmental Change. DOI:10.1007/ s10113-008-0072-6.

Dombois M, H Ellenberg. 1974. Aims and Methodes of Vegetation Ecology.John Wiley. NewYork. hlm 547 .

Heryanto, Marsetiowati R, Yulianda F. 2006. Metode Survei dan Pemantauan PopulasiSatwa. Seri Kelima tentang Siput dan Kerang. Cibinong (ID) : Bidang Zoologi PusatPenelitian Biologi-LIPI. hlm 56.

Khasanah F, E Supriyantini, SY Wulandari. 2010. Kandungan Nutrisi Kerang Totok padaVariasi Ukuran Cangkang di Pulau Gombol, Cilacap. Majalah Ilmu Kelautan.

Kresnasari D. 2010. Analisis Bioekologi : Sebaran Ukuran Kerang Totok (Polymesoda erosa)Di Segara Anakan Cilacap [Tesis]. Semarang (ID) : Universitas Diponegoro.

Manzi JJ, Castagna M. 1989. Hatchery Production of Nursery Stock Clams.In Clam Mariculture inNorth America.Elsevier. New York. hlm 285-296.

Morton B. 1984. A Review of Polymesoda erosa (Geloina) Gray 1842 (Bivalvia: Corbiculidae) fromIndo-Pasific Mangrove. Journal Asian Marine Biology 1 : 77-86.

Page 11: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 1 - 1010

Siregar S. 2011. Statistika Deskriptif untuk Penelitian. Jakarta (ID) :Rajawali Pers.

Spellerberg FI. 1998. Global Ecology and Biogeography Letters. Blackwell publishing.hlm 317-333.

Tis’in M. 2008. Tipologi Mangrove dan Keterkaitannya Dengan Populasi GastropodaLittorina neritoides (LINNE,1758) di Kepulauan Tankeke, Kabupaten Takalar, SulawesiSelatan [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Tomlinson PB. 1994. The Botany of Mangrove. Cambridge University Press. Cambridge.hlm412.

Tumisem, Suwarno. 2008. Degradasi Hutan Bakau Akibat Pengambilan Kayu Bakar olehIndustri Kecil Gula Kelapa di Cilacap. Forum Geografi. 22 (2) : 159-168.

Widowati I, J Suprijanto, R Hartati, SAP Dwiono. 2005. Hubungan Dimensi Cangkangdengan Berat Kerang Totok Polymesoda erosa (Bivalvia : Corbiculidae) dari SegaraAnakan Cilacap, Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Akuakultur Berkelanjutan,Fakultas Biologi Program Sarjana Perikanan dan Kelautan Universitas JendralSoedirman, Purwokerto. 48-50 hlm.

Page 12: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

11Dampak Variabilitas Hujan ... (Marganingrum, et al)

DAMPAK VARIABILITAS HUJAN DAN KONVERSI LAHAN TERHADAPSENSITIFITAS DEBIT ALIRAN SUNGAI CITARUM

Rainfall Variability and Landuse Conversion ImpactsTo Sensitivity of Citarum River Flow

Dyah Marganingrum1)*, Arwin2), Dwina Roosmini2), dan Pradono3)

1) Program Studi Doktoral Teknik Lingkungan ITB2) KKTeknologi Pengelolaan Lingkungan-Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB

3) KK Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota-SAPPK ITB*Puslit Geoteknologi-LIPI

E-mail: [email protected]

ABSTRACTThe objective of this study is to determine the sensitivity of Citarum river flow to climate change and landconversion. It will provide information the flow resistance that required in the water resources sustainability.Saguling reservoir is one of the strategic reservoirs, which 75% water is coming from the inflow of UpperCitarum measured at Nanjung station. Climate variability was identified as rainfall variability. Sensitivitywas calculated as the elasticity value of discharge using three-variate model of statistical approach. The landuseconversion was calculated used GIS at 1994 and 2004. The results showed that elasticity at the Nanjungstation and Saguling station decreased from 1.59 and 1.02 to 0.68 and 0.62 respectively. The decreasingaccured in the before the dam was built period (1950-1980) to the after reservoirs operated periode (1986-2008). This value indicates that: 1) Citarum river flow is more sensitive to rainfall variability that recorded atNanjung station than Saguling station, 2) rainfall character is more difficult to predict. The landuse analysisshows that forest area decrease to ± 27% and built up area increased to ± 26%. Those implied a minimumrainfall reduction to± 8% and flow minimum to ± 46%. Those were caused by land conversion and describingthat the vegetation have function to maintain the baseflow for sustainable water resource infrastructure.Keywords : climate change, elasticity, statistik

ABSTRAKTujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan sensitivitas aliran sungai Citarum terhadap perubahaniklim dan konversi lahan. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan informasi hambatan aliran yangdiperlukan dalam keberlanjutan sumber daya air. Waduk Saguling merupakan salah satu waduk strategis, yang75% air yang berasal dari masuknya Atas Citarum diukur pada stasiun Nanjung. Variabilitas iklim telahdiidentifikasi sebagai variabilitas curah hujan. Sensitivity dihitung sebagai nilai elastisitas debit menggunakanmodel tiga-variate dari pendekatan statistik. Konversi penggunaan lahan dihitung menggunakan GIS padatahun 1994 dan 2004. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada elastisitas stasiun Nanjung dan stasiunSaguling menurun dari 1,59 dan 1,02-0,68 dan 0,62 masing-masing. Penurunan terjadi pada perlakuansebelum bendungan periode pembangunan (1950-1980) sampai periode operasional (1986-2008). Nilai inimenunjukkan bahwa: 1) aliran sungai Citarum lebih sensitif terhadap curah hujan variabilitas yang tercatat distasiun Nanjung daripada stasiun Saguling, 2) karakter curah hujan lebih sulit untuk memprediksi. Analisispenggunaan lahan menunjukkan bahwa kawasan hutan penurunan ± 27% dan daerah terbangun meningkat± 26%. Hal ini menunjukan penurunan curah hujan minimum untuk ± 8% dan aliran minimum untuk ±46%. Kondisi ini disebabkan oleh konversi lahan dan menjelaskan bahwa vegetasi memiliki fungsi untukmempertahankan aliran dasar untuk infrastruktur sumber daya air yang berkelanjutan.Kata kunci: perubahan iklim, elastisitas, statistik

Page 13: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 11 - 2212

PENDAHULUAN

Input utama sumber air di suatu DaerahAliran Sungai (DAS) adalah curah hujan.Curah hujan menjadi sumber air dalambentuk air tanah, mata air, sungai, danauatau waduk, dipengaruhi oleh karakteristikDAS (watershed properties). Selain pengguna-an lahan, variabel DAS lainnya relatif tetap(seperti sifat geologi atau tanah, topografidan kemiringan lereng) [Suripin, 2004;Arwin, 2008]. Perubahan variabelpenggunaan lahan akan menentukankuantitas dan kualitas sumber air,khususnya air permukaan. Studi yangmengkaji pendayagunaan sumber airpermukaan cukup beralasan sesuai denganamanat yang tertulis pada pasal 26 (5) UUNo.7/2004. Peraturan tersebut mengata-kan bahwa pendayagunaan sumberdaya airdidasarkan pada keterkaitan antara airhujan, air tanah, dan air permukaan denganmengutamakan pendayagunaan airpermukaan.

Mengetahui dampak variabilitas hujan dankonversi lahan terhadap debit aliran Sungaisangat penting untuk menjaminkeberlanjutan sumber air. Curah hujan (P)adalah variabel acak. Hujan yangberkarakter acak akan menjadi debit alirandengan sifat yang acak pula, (meskipunhujan relatif lebih independent daripadadebit). Karena hujan dan debit merupakanvariabel acak, maka instrumen statistikdapat digunakan untuk mengetahuiperubahan perilakunya [Arwin dkk, 2002;Koutsoyiannis, 2008; Liu dan Cui, 2009].Apabila curah hujan yang jatuh kepermukaan bumi dengan pola penggunaanlahan yang tetap (fix variable) maka debitaliran akan mengikuti pola curah hujan.Namun apabila guna lahannya berubahmaka debit aliran (Q) akan semakin inde-pendent, baik secara kuantitas maupunkualitas (Arwin, 2009; anna, et al, 2011).Perubahan guna lahan dapat diketahui dari

analisis peta penggunaan lahan padaperiode yang berbeda. Pada umumnyadigunakan perbedaan periode minimum 10tahun untuk menunjukkan perbedaan yangsignifikan dalam perubahan guna lahan.

Lokasi studi dilakukan di CekunganBandung. Kawasan ini menjadi salah satukawasan strategis nasional (KSN) denganfokus pengembangan ekonomi nasional [PPNo. 26/2008]. Hulu DAS Citarummerupakan kawasan utama CekunganBandung dengan catchment area (daerahtangkapan) ± 1717 km2 dari 2283 km2 luastotal Cekungan Bandung [NUDS, 1985].Secara administratif, KSN CekunganBandung meliputi lima daerah otonomi,yaitu Kabupaten Bandung, KabupatenBandung Barat, Kota Bandung, KotaCimahi, dan tiga kecamatan di KabupatenSumedang. Gambar 1 adalah batasan lokasistudi dengan distribusi pos hujan dan posdebit yang digunakan untuk analisis dalamstudi ini.

Pengembangan kawasan CekunganBandung sebagai Kawasan StrategisNasional (KSN) yang bertumpu padapeningkatan ekonomi, menyebabkankawasan ini mengalami eksploitasi lahan.Salah satu bentuk implikasinya adalahberkurangnya daerah resapan air (rechargearea/RA). Sebagian daerah RA di kawasanCekungan Bandung telah beralih fungsimenjadi permukiman dan kawasan industriakibat tekanan populasi dan aktivitasproduksi di kawasan ini [Wangsaatmaja,2004]. Eksploitasi lahan telah menyebab-kan gangguan terhadap keseimbangankomponen utama hidrologi (hujan dandebit). Pengelolaan DAS yang kurangmemperhatikan integrasi antara aspek lahandan air menjadi salah satu akar permasalah-an di kawasan ini (Pribadi dan Oktavia,2007).

Dengan demikian ada dua faktor utama

Page 14: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

13Dampak Variabilitas Hujan ... (Marganingrum, et al)

yang perlu diperhatikan dalam pendaya-gunaan sumber air permukaan, yaituvariabilitas hujan dan konversi lahan.Analisis perubahan debit aliran menjadipenting dalam menjamin keandalansumber air serta keberlanjutan infrastruktursumberdaya air. Salah satu infrastruktursumberdaya air yang berfungsi strategis dilokasi studi ini adalah Waduk Saguling.Waduk ini merupakan pemasok utamaenergi listrik pada jaringan listrik Jawa-Balikarena memiliki LFC (Load FrequencyControll). Input utama Waduk Sagulingberasal dari Hulu DAS Citarum. Inputtersebut terukur di pos pencatatan debitNanjung yang meliputi 75% dari total in-

flow Waduk Saguling (Hart and Djuangsih,2002).

Waduk Saguling dibangun sebagai wadukfungsi tunggal (single purpose). Namunkarena laju kebutuhan air baku di KSNCekungan Bandung semakin meningkat,maka transformasi fungsi tunggal menjadimultisektor perlu dikaji lebih lanjut. Olehkarena itu perlu dilakukan analisis danevaluasi debit aliran sungai Citarum(khususnya yang terukur di Pos Nanjungdan pos Saguling) akibat pengar uhvariabilitas hujan dan konversi lahan. Nilaipositif dari hasil studi ini ditujukan untukmempersiapkan langkah mitigasi dan

Sumber: hasil analisisGambar 1. Lokasi Studi Cekungan Bandung

Page 15: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 11 - 2214

adaptasi guna menjaga keandalan sumberair di KSN Cekungan Bandung, khususnyakeberlanjutan infrastruktur WadukSaguling.

METODE PENELITIAN

Hujan dan debit merupakan variabel acak.Oleh karena itu kecenderungan atau trenddata historikalnya dapat dianalisis denganinstrumen statistik. Untuk menggambar-kan trend dari suatu time serries data dapatdilakukan transformasi rata-rata waktu,seperti metode Moving Average (rata-ratabergerak) [Koutsoyiannis, 2008]. Trenddianalisis pada dua periode yang berbeda.Tahun 1950-1980 menggambarkan periodesebelum Waduk Saguling dibangun. Dantahun 1986-2008 menggambarkan periodesetelah Waduk Saguling dioperasikan.

Kecenderungan atau trend dari data hujandan debit hanya menggambarkan keduakomponen hidrologi tersebut secaraterpisah. Sedangkan untuk mengetahuihubungan antara kedua komponen P-Qtersebut dilakukan dengan analisissensitivitas P-Q. Tinggi rendahnyasensitivitas debit terhadap variabilitashujan ditentukan berdasarkan nilaielastisitas P-Q. Nilai elastisitas debit sungaiterhadap variabilitas hujan didefinisikansebagai perubahan debit sungai yangproporsional terhadap perubahan curahhujan yang dalam studi ini menggunakanvariabel hujan wilayah rata-rata. Hujanwilayah rata-rata dalam studi ini dihitungmenggunakan metode Poligon Thiessen.

Nilai elastisitas P-Q dirumuskan dalampersamaan berikut [Schaake, 1990;Sankarasubramanian et al, 2001; Liu danCui, 2009]:

QP

dP dQ

dP/PdQ/QQPε 3p --------------- (1)

Sankarasubramanian et al (2001) menerap-kan persamaan (1) pada nilai rata-rata curahhujan (variabel iklim) yang dapat dianggapsebagai ukuran untuk membandingkanrespon debit aliran terhadap perubahaniklim. Sehingga persamaan (1) dapat dituliskembali sebagai berikut:

µ µ

dPdQµ,µε

Q

PQPP ------------------- (2)

Persamaan (1) menggambarkan intrinsicproperty of catchment [Chiew, 2006]. Untukmengestimasi nilai ep pada persamaan (1),dapat dilakukan dengan dua pendekatan(Sankarasubramanian et al, 2001):1. Menggunakan pendekatan nonpara-

meter alami (the natural nonparametric ap-proach) dengan persamaan sebagaiberikut :

QP

PPQQmedian ε

t

tP ---------- (3)

2. Menggunakan model tiga variat (tri-variate model) sebagai estimatorkedua, dengan persamaan sebagaiberikut :

P

QPQ,P C

C ρε --------------------- (4)

Dimana : Q,P adalah koefisien korelasiantara Q dan P, sedangkan CQ dan CPmasing-masing adalah koefisien variasiQ dan P.

Nilai elastisitas (e) dan korelasi () P-Qmenjadi salah satu pertimbangan utamadalam pengelolaan sumberdaya air,berkaitan dengan perhitungan ketersediaanair yang berkelanjutan.

Nilai hujan dalam perhitungan diatasditentukan berdasarkan nilai hujan rata-ratawilayah di Cekungan Bandung. Perhitungan

Page 16: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

15Dampak Variabilitas Hujan ... (Marganingrum, et al)

hujan rata-rata wilayah menggunakanmetode pendekatan polygon Thiessen daribeberapa stasiun hujan yang terdistribusimerata di Cekungan Bandung. Periodetahun 1950-1980 menggunakan 18 poshujan sementara pada periode tahun 1986-2008 menggunakan 8 pos hujan. Perbedaanjumlah pos hujan tersebut dipengaruhi olehketersediaan serial data historikal darimasing-masing pos hujan yang disesuaikandengan ketersediaan seri historikal datadebit, baik di pos Nanjung maupun posSaguling. Pos debit Nanjung mewakili DASCitarum Hulu, sementara pos debitSaguling mewakili Waduk Saguling yangmerupakan muara aliran DAS CitarumHulu.

Sementara pengaruh konversi lahandilakukan dengan analisis perubahan gunalahan periode 1994 dan 2004 (10 tahun)dikaitkan dengan perubahan data hujandan debit harian minimum pada keduatahun tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Di Indonesia terdapat tiga pola hujan, yaitutipe Moonsun, Equatorial, dan Lokal[Tjasyono, 2004]. Hasil analisis curah hujan

wilayah di Cekungan Bandung menunjuk-kan pola hujan tipe Moonsun dengan satupuncak hujan pada bulan Maret (Gambar2). Rata-rata hujan bulanan mengalamipenurunan setelah Waduk Sagulingberoperasi. Rata-rata hujan bulanan padaperiode 1950-1980 (sebelum WadukSaguling beroperasi) sebesar 182 mm/bulan. Namun setelah Waduk Sagulingberoperasi (periode 1986-2008), rata-ratahujan bulanan turun menjadi 139 mm/bulan. Perubahan nilai rata-rata adalahsalah satu indikator adanya variabilitas atauketidakpastian hujan [Arwin, 2009].

Variabilitas hujan yang jatuh pada sebuahDAS akan berpengaruh pada debit aliran.Meskipun sifat dependensinya lebih tinggidari hujan, data debit juga merupakanvariabel acak. Oleh karena itu, pendekatanstatistik juga dapat digunakan untukmengetahui trend atau sensibilitasnya[Arwin, 1993; Arwin dkk., 2002;Koutsoyiannis, 2008]. Sensibilitas (polasuksesif) debit sangat diperlukan dalamperencanaan infrastruktur sumberdaya air.Gambar 3 menunjukkan bahwa metodemoving average dengan 10 periode yangmenggambarkan ekstrimitas debit di posNanjung sebagai inflow utama WadukSaguling.

Sumber: hasil analisisGambar 2. Hujan Rata-Rata Wilayah Cekungan pada Dua Periode yang Berbeda

[Periode Sebelum Waduk Saguling Dibangun (a) dan Periode Setelah Waduk SagulingBeroperasi (b)]

Page 17: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 11 - 2216

Ekstrimitas debit ditunjukkan dari adanyaperbedaan yang makin ekstrim antara debitminimum dan debit maksimum. Debitharian minimum di pos Nanjung semakinturun sebaliknya debit harian maksimum-nya semakin tinggi. Analisis debit rencanaminimum-maksimum (kering-basah) sangatpenting dalam perencanaan dan evaluasiinfrastruktur sumberdaya air.

Hujan (P) dan debit (Q) merupakan duakomponen utama dalam siklus hidrologiyang menjadi variabel penentu sekaliguspembatas dalam pembangunan. Isu

Sumber: hasil analisisGambar 3. Debit Suksesif di Pos Nanjung Periode 1974-2006 dengan Moving Average

10 Tahun

perubahan iklim akhir-akhir ini tentu akanmemberikan pengaruh terhadap pola hujandan debit di lokasi studi. Untuk mengetahuihubungan antara P dan Q dilakukan analisissensitivitas P-Q.

Gambar 4 memperlihatkan hasil per-hitungan sensitivitas debit aliran SungaiCitarum menggunakan model tiga variat[Lui dan Cui, 2009]. Tingkat sensitivitasdihitung sebagai nilai elastisitas debitterhadap rata-rata curah hujan wilayahCekungan Bandung. Perbandingan dilaku-kan pada debit terukur di pos Nanjung dan

Sumber: hasil analisisGambar 4. Nilai Elastisitas Debit Terukur di Pos Nanjung dan Pos Saguling terhadap

Variabilitas Curah Hujan di Cekungan Bandung: (a) LagTime = Nol Bulan dan(b) LagTime = Satu Bulan

(a) (b)

(debit minimum-m3/dt) (debit minimum-m3/dt)

Page 18: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

17Dampak Variabilitas Hujan ... (Marganingrum, et al)

Pos Saguling, masing-masing sebagai posprimer dan pos sekunder. Sebagai inflowutama, debit terukur di Pos Nanjungmemberikan pengaruh besar terhadapfluktuasi debit di Waduk Saguling.

Perhitungan stastistik dilakukan dengandua versi. Versi pertama (Gambar 4a)menggunakan lagtime nol bulan. Artinyakorelasi dilakukan antara data debit dandata hujan pada bulan dan tahun yangsama. Versi kedua (Gambar 4b) mengguna-kan lagtime satu bulan, artinya korelasidilakukan antara data curah hujan pada tbulan dengan data debit pada t+1 (satubulan berikutnya). Dua skenario tersebutdilakukan atas dasar bahwa hujan yangjatuh menjadi limpasan terbagi atas directrunoff dan baseflow. Skenario 1 diterapkanpada DAS yang kecil dimana baseflow dapatdiabaikan. Sedangkan skenario 2 diterap-kan untuk DAS yang lebih besar dimanaperanan baseflow sangat signifikan [Arwin2002].

Korelasi dilakukan setelah menyamakansatuan debit dan hujan dalam bentuk vol-

ume (m3/tahun). Varabel hujan dikalikandengan luasan DAS (2283 Km2). Hasilperhitungan nilai elastisitas debit-hujandapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2,masing-masing menggunakan lagtime nolbulan dan satu bulan.

Hasil perhitungan dengan dua versi menunjuk-kan fenomena bahwa pembangunaninfrastruktur Waduk Saguling dapat me-nurunkan sensitivitas debit terhadap per-ubahan iklim. Fenomena tersebut terlihatpada penurunan nilai elastisitas debitterhadap perubahan iklim, baik di posNanjung maupun pos Saguling yang cukupsignifikan (masing-masing ±60% dan±30%). Sehingga dapat dikatakan bahwapembangunan Waduk Saguling dapatmeredam pengaruh variabilitas atauperubahan iklim yang terjadi di kawasanCekungan Bandung.

Dari Gambar 4 terlihat bahwa sebelumWaduk Saguling dibangun (1950-1980),nilai elastisitas debit lebih dari 1 (e >1),baik yang terukur di pos Nanjung maupunSaguling. Nilai tersebut menunjukkan

Tabel 1. Perhitungan Elastisitas Debit-Hujan (Lagtime Nol Bulan)

Sumber: hasil analisis

1950-1980 : Sebelum Waduk Saguling dibangun Q-N Q-S P-Wil

Rata-rata 1819 2659 4977 Standard deviasi 823 836 1005 Koefisien Variansi 0.45 0.31 0.20 Nilai korelasi, r 0.71 0.65 Elastisitas 1.59 1.02

1986-2008: Setelah Waduk Saguling dioperasikan Q-N Q-S P-Wil

Rata-rata 2236 2840 3818 Stdandard deviasi 458 613 693 Koefisien Variansi 0.20 0.22 0.18 Nilai korelasi, r 0.56 0.58 Elastisitas 0.63 0.69

Page 19: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 11 - 2218

bahwa perubahan iklim di CekunganBandung sangat mempengaruhi kondisialiran di Cekungan Bandung pada periodetersebut. Hal ini tentunya akan memberi-kan ancaman bagi keberlanjutan infra-struktur sumberdaya air di kawasan ini.Perubahan debit aliran tersebut menginisiasiperlunya melakukan evaluasi terhadapdebit rencana pada infrastrukur sumber-daya air, termasuk waduk. Hal ini tertuangdalam PP No. 37 Tahun 2010 tentangBendungan.

Setelah Waduk Saguling dioperasikan, nilaielastisitas debit terhadap perubahan iklimturun hingga kurang dari 1. Nilai tersebutmenunjukkan kondisi bahwa debit di posNanjung maupun di pos Saguling tidakterlalu sensitif terhadap perubahan iklimyang terjadi di Cekungan Bandung. Dengandemikian dapat dikatakan bahwa fungsiwaduk selain sebagai penyimpan air, jugamampu meredam pengaruh perubahaniklim. Hal ini tentu dapat menjadi salahsatu alasan yang menangkal bahwapembangunan waduk selalu membawa

permasalahan. Permasalahan sosial akanterjadi manakala komunikasi antarapengelola (dalam hal ini Pemerintah danswasta) dan masyarakat sekitar tidak ber-langsung dengan baik. Di kawasan perkotaan,seperti KSN Cekungan Bandung denganpertumbuhan penduduk yang tinggi,ketergantungan terhadap waduk sebagaisumber air baku sangatlah krusial.

Salah satu dampak dari laju pertumbuhanpenduduk adalah eksploitasi lahan.Konversi lahan secara suksesif menjadipemicu terjadinya ekstrimitas debit danhujan di lokasi studi. Perubahan tutupanlahan, dari hutan berturut-turut menjadibudidaya, permukiman pedesaan dan ur-ban berdampak semakin besarnya debitlimpasan. Tutupan lahan bervegetasi diDAS Citarum Hulu turun sebesar ± 10%selama kurun waktu 10 tahun yaitu tahun1994-2004 (Gambar 5 dan Gambar 6).Selain sebagai indikator penurunan kualitasDAS, perubahan tutupan lahan tentu sajamempengaruhi perubahan iklim dalamskala mikro maupun meso.

1950-1980 : Sebelum Waduk Saguling Dibangun Q-N Q-S P-Wil

Rata-rata 1801 2675 4977 Stdandard deviasi 752 878 1005 Koefisien Variansi 0.42 0.33 0.20 Nilai korelasi, r 0.75 0.67 Elastisitas 1.55 1.09

1986-2008: Setelah Waduk Saguling Dioperasikan Q-N Q-S P-Wil

Rata-rata 2232 2833 3818 Stdandard deviasi 510 677 693 Koefisien Variansi 0.23 0.24 0.18 Nilai korelasi, r 0.54 0.57 Elastisitas 0.68 0.75

Sumber: hasil analisis

Tabel 2. Perhitungan Elastisitas Debit-Hujan (Lagtime Satu Bulan)

Page 20: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

19Dampak Variabilitas Hujan ... (Marganingrum, et al)

Sumber: hasil analisisGambar 5. Perubahan Guna Lahan di Das Citarum Hulu (1994-2004)

Keterangan:

Sawah

Lahan terbangun

Perkebunan/Kebun campuran

Hutan

Ladang/Tegalan/Belukar

Lahan terbuka/Pertambangan

Badan air

Sumber: hasil analisisGambar 6. Persentase perubahan guna lahan di DAS Citarum Hulu (1994-2004)

Page 21: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 11 - 2220

Peranan vegetasi di suatu lokasi adalahmeningkatkan indeks konservasi karenarekahan atau pori-pori tanah akan me-ningkatkan porositas, dan meningkatkaninfiltrasi karena ruang tanah melebarsehingga dapat menampung banyak air danmengurangi limpasan. Tabel 3 menunjuk-kan perubahan lahan (lahan bervegetasi danlahan terbangun), perubahan hujan wilayahrata-rata tahunan, serta perubahan debitterukur di pos Nanjung (yang mewakilisebagian besar debit runoff dari CekunganBandung). Hasil perhitungan tersebut(Tabel 3) terlihat bahwa penurunanpersentase lahan bervegetasi danpeningkatan lahan terbangun (dari tahun1994-2004) seiring dengan penurunanhujan (baik rata-rata maupun tahunan),demikian halnya dengan data debit. Namunapabila melihat perubahan debit minimumterhadap hujan minimum, menunjukkanperbedaan yang sangat signifikan. Artinya

perubahan hujan minimum hanya 8,33%memberikan perubahan debit minimumsebesar 46%. Dengan demikian fungsi atauperanan vegetasi dalam hal meningkatkanindeks konservasi semakin menurundengan adanya perubahan atau konversilahan dari lahan bervegetasi menjadi lahanterbangun.

Oleh karena itu untuk menjaga agarketersediaan air tetap kontinu, diperlukanupaya mengendalikan kerusakan sumberair. Salah satu bentuk pengendaliankerusakan sumber air adalah mengendali-kan konversi lahan dengan menetapkanbatasan ruang hidrologis secara tegasantara kawasan konservasi dan kawasanbudidaya/kerja. Dengan demikian pengen-dalian konversi lahan sama pentingnyadengan upaya adaptasi terhadap perubahaniklim yang ada dalam kerangka mencapaikeberlanjutan (infrastruktur) sumber dayaair.

Variabel Tahun Persen

Perubahan 1994 2004

Penggunaan Lahan

Hutan (ha) 553.18 400.45 -27.61

Vegetasi lainnya (ha) 865.41 824.26 -4.76

Terbangun (ha) 315.76 396.78 25.66

Hujan (P)

Pmin(mm/bln) 12 11 -8.33

Prata-rata (mm/bln) 136.60 103.75 -24.05

Ptahunan (mm/th) 1639.21 1245.03 -24.05

Debit (Q)

Qmin (m3/dt) 6.51 3.49 -46.39

Qrata-rata (m3/dt) 73.52 59.23 -19.44

Qtahunan (12 x m3/dt) 882.25 710.70 -19.44

Tabel 3. Perubahan Variabel Penggunaan Lahan, Hujan dan Debit Kurun Waktu 1994-2004

Sumber: hasil analisis

Page 22: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

21Dampak Variabilitas Hujan ... (Marganingrum, et al)

DAFTAR PUSTAKA

Anna, Alif Noor, Suharjo, Munawar Cholil (2011). Analisis Fluktuasi Hujan dan MorfologiSungai Terhadap Konsentrasi Banjir Daerah Surakarta. Forum Geografi. Vol. 25, No. 1,Juli 2011: 41 – 52.

Arwin, Sirtadian, A.D., Juwana, I. (2002): Studi Statistika Komponen Utama Hidrologi diDaerah Aliran Sungai dalam Rangka Ketersediaan Sumber Air Bersih. Jurnal ITENAS,No.3, Vol. 6, Sept-Nov 2002, 86-97.

Arwin. (1993): Rainfall-runoff Watershed Model by Multiple Regression Method forOptimizing Hydroelectric Power of Saguling with Incertain Future. Conference Paper 4th

IAWQ (International Association on Water Quality) Vol. I on Water Conservation and PollutionControl, Jakarta 5-9 October 1993, Indonesia.

Arwin. (2009): Perubahan Iklim, Konversi Lahan, dan Ancaman Banjir dan Kekeringan diKawasan Terbangun. Pidato Ilmiah Guru Besar ITB-Majelis Guru Besar ITB. CV SenatamaWikarya-Bandung.

KESIMPULAN DAN SARAN1. Nilai elastisitas debit tercatat di pos

Nanjung dan pos Saguling menurundari sebelum waduk dibangun dansetelah waduk dioperasikan.

2. Debit tercatat di Pos Nanjung lebihsensitif terhadap variabilitas curahhujan daripada debit tercatat di PosSaguling.

3. Pembanguan waduk memberikan efekpositif dalam meredam pengaruhvariabilitas iklim (hujan) terhadapdebit aliran. Kestabilan debit aliransangat diperlukan dalam memper-tahankan keberlanjutan sumber air(infrastruktur sumberdaya air).

4. Dampak konversi lahan dalam prosesinput-output DAS (hujan menjadidebit) di lokasi studi terlihat signifikanyang artinya bahwa fungsi vegetasisangat diperlukan dalam rangkamempertahankan debit aliran dasar

yang diperlukan untuk keberlanjutaninfrastruktur sumberdaya air.

5. Elast isitas debit sungai terhadapperubahan iklim di lokasi studi (DASCitarum Hulu) berkaitan erat denganperubahan penggunaan lahan. Per-ubahan penggunaan lahan memberikanpengaruh terhadap perubahan iklim.Konversi lahan dari lahan bervegetasimenjadi lahan terbangun, selainmemberikan pengaruh terhadapperubahan iklim baik secara mikromaupun meso, juga memberikandampak terhadap perubahan debitaliran sungai secara langsung.

6. Untuk mengurangi tingkat elastisitasdebit terhadap perubahan iklim,diperlukan pengendalian konversilahan, baik secara tidak langsung (in-direct) dengan peraturan perundangan,atau secara langsung (direct) denganinsentif-disinsentif.

Page 23: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 11 - 2222

Chiew, F.H.S. (2006): Estimation of Rainfall Elasticity of Streamflow in Australia. HydrologicalScience Journal, 51, 613-625

Hart, B.T., Dok, Wendy van, and Djuangsih, N. (2002): Nutrient budgent for SagulingReservoir, West Java, Indonesia. Water Research, 36, 2152-2160.

Koutsoyiannis, D. (2008): On Detectability of Nonstationary from Data Using StatisticalTool. European Geoscience Union General assembly, Vienna-Austria 13-18 April 2008.

Liu, Qiang dan Cui, Baashan. (2009): Impact of Climate Change/Vulnerability on the StreamFlow in The Yellow River Basin, China. Ecolological Modeling xxx (2009), xxx-xxx,Elsevier Publisher-(article in press)

NUDS (National Urban Development and Strategy). (1985): Penyusunan Kerangka Struktur RuangMetropolitan Bandung. Ditjen Ciptakarya-Departemen PU.

Pribadi, K. N dan Oktavia, P. (2007) : Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu MelaluiPengembangan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan di Cekungan Bandung. JurnalPerencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 18 No. 2, 1-32.

Sankarasubramanian, A. and Vogel, R.M., Limbrunner, J.F. (2001): Climate elasticity ofstreamflow in the United States. Water Resources Research, 37, 1771-1781.

Tjasyono, Bayong. (2004): Klimatologi. ITB Press, Bandung.

Page 24: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

23Model Hidrodinamika ... (Arifin, et al)

MODEL HIDRODINAMIKA PERAIRAN PESISIR KOTA MAKASSARHydrodynamics Model of Coastal Areas of Makassar City

Taslim Arifin1),Yulius1) dan M. Furqon Azis Ismail2)

1) Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP2) Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI

E-mail: [email protected]

ABSTRACTHydrodynamics Model In Makassar Waters. Numerical hydrodynamics model MOHID based on Boussinesqapproaches methods and General Ocean Turbulence Model formula is used to study the tidal current in Makassarwaters. The data used in this model are water elevation from the field measurements and bathymetry from theHydro-Oceanographic chart. The numerical simulation was conducted for 30 days. Model simulation results showthat the tidal current velocity ranges from 0,001 m/s – 0,012 m/s where the velocity during neap tide is smallerthan the velocity during spring tide. The pattern of tidal current in Makassar waters is dominantly flows towardswestward and then turned heading northward direction. The simulation result of tide-induced residual current inverification point shows that the flows is ebb-dominant at a rate of 0,005 m/s heading westward direction.Key words: numerical model, tidal current, Makassar waters

ABSTRAKModel arus numerik MOHID berdasarkan metode pendekatan Boussinesq dan rumus Model TurbulensiSamudra Umum digunakan untuk mempelajari pasang surut saat ini di perairan Makassar. Data yang digunakandalam model ini adalah elevasi air dari pengukuran lapangan dan batimetri dari grafik Hydro-Oseanografi.Simulasi numerik dilakukan selama 30 hari. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa pasang surut berkisarkecepatan arus dari 0,001 m / s - 0,012 m /s mana kecepatan selama air perbani lebih kecil dari kecepatanselama musim semi pasang. Pola pasang surut saat ini di perairan Makassar dominan mengalir ke arah baratdan kemudian berbalik menuju ke utara arah. Hasil simulasi pasang-arus induksi sisa dalam jalur verifikasimenunjukkan bahwa arus surut dominan pada tingkat 0,005 m / s menuju arah barat.Kata kunci: model numerik, arus pasang surut, perairan Makassar

PENDAHULUAN

Makassar sebagai kota pesisir merupakanpusat kegiatan ekonomi dan politik diprovinsi Sulawesi Selatan yang mengalamipertumbuhan yang sangat pesat baik darisegi pembangunan fisik dan kepadatanpenduduknya. Pesisir merupakan area yangmenarik berlangsungnya aktifitas manusia(Triyono, 2009), sehingga upaya reklamasipesisir saat ini mulai banyak bermunculanuntuk memenuhi kebutuhan lahan-lahanbaru di pesisir Kota Makassar. Reklamasi

dapat memberikan keuntungan danmembantu kota dalam rangka penyediaanlahan untuk berbagai keperluan (pemekarankota), penataan daerah pesisir, pengembang-an wisata bahari, dan lain-lain. Namunperlu diingat bahwa kegiatan reklamasiadalah bentuk campur tangan manusiaterhadap keseimbangan lingkungan alamiahpesisir yang selalu dalam keadaan dinamissehingga dikhawatirkan akan melahir-kanperubahan ekosistem seperti perubah-anpola arus, erosi dan sedimentasi pesisir yang

Page 25: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 23 - 3224

berpotensi mengganggu lingkungan pesisir(Mann dan Lazier, 2006: 118).

Pasang surut dan arus yang dibangkitkanpasang surut sangat dominan dalam prosessirkulasi massa air di perairan pesisir(Duxbury et al. 2002: 203). Pengetahuanmengenai pasang surut dan pola sirkulasiarus pasang surut di perairan pesisir dapatmemberikan indikasi tentang pergerakanmassa air serta kaitannya sebagai faktoryang dapat mempengaruhi distribusi suatumaterial di dalam kolom air (Mann danLazier, 2006: 254). Reklamasi daerah pesisiryang terus berkembang dan bervariasi darisegi teknologi, metode pelaksanaan dankebutuhan menuntut efektifitas dalamperencanaan dan pelaksanaannya. Untukmendapatkan data pasang surut dan aruspasang surut di perairan Pesisir Makassar,diperlukan waktu yang lama dan dana yangbesar. Pemodelan numerik dengan pelaksana-annya yang cepat dan relatif murah dapatdipilih untuk mengatasi kurangnya dana danwaktu yang tersedia (Ramming danKowalik, 1980: 162). Dalam tulisan inidibahas pola sirkulasi arus pasang surut diperairan pesisir Makassar, hasil darisimulasi numerik menggunakan modelhidrodinamika MOHID yang merupakanprogram terbuka (open source) dan gratisyang selanjutnya dapat digunakan sebagaistudi pendahuluan dalam perencanaanreklamasi di perairan pesisir Makassar.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April2010 di perairan pesisir Kota Makassar(Gambar 1). Pengambilan data dilakukanselama 15 hari pengamatan dengan meng-gunakan alat automatic tide gauge. Simulasiarus pasang surut dalam studi ini mengguna-kan program terbuka (open source) yang gratisdengan nama MOHID (Modelo Hidro-dinàmico). Model MOHID merupakansebuah program numerik terintegrasi

berorientasi objek (Integrated Object OrientedModel) yang dikembangkan oleh Mirandaet al (2000: 395). MOHID meng-gunakanmetode pendekatan Boussinesq (Boussinesqapproaches) dan formula dari GOTM (Gen-eral Ocean Turbulence Model) (Alexandre etal. 2009: 32). MOHID memiliki kemampuanproses awal dan akhir (pre-processor and post-processor) untuk pemodelan hidrodinamika.Proses awal pemodelan numerik adalahpembangunan grid pada daerah yang akandimodelkan serta penentuan parametermasukan. Proses akhir pemodelan adalahkegiatan menyajikan data hasil pemodelanyang dilakukan. MOHID menyediakanperangkat GIS dan GUI sebagai perangkatproses awal untuk mengatur, mengedit, danmemvisualisasikan data geometri dalamsebuah grid yang akan digunakan dalampemodelan numerik. Perangkat proses akhirdari MOHID adalah perangkat Post-Pro-cessor yang dapat menyajikan hasil modelsecara grafik dan visualisasi data hasil pemodel-an pada setiap grid dalam domain model.

Daerah model pada studi ini adalah per-airan Pesisir Makassar seperti yang terlihatpada Gambar 1. Daerah model dibuatdengan ukuran grid Äx = Äy = 50 meter,sehingga terbentuk menjadi 200 sel barisdan 125 sel kolom. Total sel daerah modelsebesar 25000 sel yang meliputi seluruharea studi. Faktor pembangkit arus dalamsimulasi numeris ini berupa elevasi pasangsurut hasil pengukuran selama 15 hari yangdiinterpolasi dengan langkah waktu Ät =3600 detik. Simulasi model hidrodinamikadijalankan selama 30 hari atau 720 jam.Pada simulasi numerik ini menggunakandata input batimetri yang diperoleh daridata Dishidros TNI-AL no. 176. Kedalamanmaksimum daerah model mencapai 30meter dengan batas daerah model 119° 21’BT – 119° 25’ BT dan 5° 6’ LS – 5° 11’ LS.Untuk verifikasi, hasil simulasi akan di-bandingkan dengan data hasil pengukurantinggi muka air laut pada posisi 119° 24,17’BT dan 5° 8,59’ LS.

Page 26: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

25Model Hidrodinamika ... (Arifin, et al)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil simulasi model hidrodinamika yangberupa elevasi (tinggi muka) air laut padaposisi 119° 24,17’ BT dan 5° 8,59’ LS dapatdilihat pada Gambar 2. Berdasarkan hasilvisualisasi gambar tersebut, tipe pasangsurut perairan Pantai Makassar adalah tipecampuran yang cenderung diurnal (hariantunggal) dengan amplitudo sebesar 0,88 –2,18 meter dari muka laut rata-rata (MSL).Tipe pasang surut dan elevasi air laut hasilsimulasi tersebut sesuai dengan hasil yangdidapatkan oleh Nurfaida (2009: 118).Adanya fluktuasi muka air laut hasilsimulasi tersebut akan diikuti oleh gerakan

massa air yang periodik (Hatayama et al.1996: 12368) seperti yang terlihat padaGambar 3 - 10. Verifikasi tinggi muka air(elevasi) hasil simulasi dilakukan denganmembandingkannya dengan hasil peng-ukuran dari data lapangan. Secara umum,hasil simulasi model dapat merepresentasi-kan dengan cukup baik pola elevasi mukaair di perairan Pantai Makassar (Gambar2). Hal ini terlihat dengan adanya kesesuai-an elevasi muka air dan amplitudo elevasihasil simulasi dengan selisih sebesar 7 %.

Secara umum pola arus pasang surut rata-rata hasil simulasi model hidrodinamika dititik verifikasi sekitar Pesisir Makassar

Sumber: hasil analisisGambar 1. Lokasi Simulasi Model Arus Pasang Surut Di Perairan Pesisir Makassar.

Segitiga Warna Merah Merupakan Lokasi Dari Titik Verifikasi Model.

Page 27: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 23 - 3226

pada kondisi pasang surut menuju surutperbani menunjukkan bahwa arus pasangsurut bergerak ke arah barat menjauhiperairan Pesisir Makassar yang kemudianberbelok secara dominan ke arah utaradengan kecepatan maksimum yangmencapai 0,002 m/det (Gambar 3). Ketikaelevasi air mencapai air terendah padakondisi surut perbani, pola arus pasangsurut hampir sama dengan pola aliran aruspada saat menuju surut perbani yangdidominasi oleh aliran ke arah barat danberbelok menuju ke arah utara dengankecepatan maksimum mencapai 0,005 m/det (Gambar 4). Pola arus pada kondisipasang surut menuju pasang perbani relatiftidak terlalu berbeda dengan pola arus padasaat menuju surut perbani serta pada saatsurut perbani dimana pola arusnya masihdidominasi oleh aliran yang bergerak kearah barat dan utara dengan kecepatan arusmaksimumnya mencapai 0,001 m/det(Gambar 5). Pola arus pada saat elevasi airmencapai air tertinggi pada pasang perbanimasih menunjukan pergerakan arus yangdidominasi oleh aliran ke arah utara yang

kemudian berbelok menuju perairan PesisirMakassar dengan kecepatan maksimummencapai 0,008 m/det (Gambar 6).

Pola arus pasang surut pada kondisi pasangsurut menuju surut purnama menunjukanaliran yang didominasi oleh pergerakan kearah barat menjauhi perairan PesisirMakassar dengan kecepatan maksimummencapai 0,003 m/det (Gambar 7). Pola arusketika elevasi air mencapai air terendahpada surut purnama masih didominasi oleharus yang menuju ke arah barat menjauhiperairan Pesisir Makassar dengan kecepat-an maksimumnya mencapai 0,012 m/det(Gambar 8). Pola aliran massa air padakondisi pasang surut menuju pasangpurnama didominasi oleh aliran yangbergerak ke arah timur kemudian aliran-nyaberbelok menyusuri Pesisir Makassardengan kecepatan aliran maksimummencapai 0,002 m/det (Gambar 9). Polaarus pada saat elevasi air mencapai airtertinggi pada pasang purnama polaarusnya masih didominasi oleh aliran yangbergerak ke arah timur mendekati Pesisir

Sumber: hasil analisisGambar 2. Perbandingan Tinggi Muka Air Hasil Simulasi Selama 15 Hari

dengan Pengukuran di Perairan Pantai Makassar pada Posisi 119° 21’ 49,50’’BT dan 5° 11’ 56,35’’ LS

Page 28: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

27Model Hidrodinamika ... (Arifin, et al)

Sumber: hasil analisisGambar 3. Pola Arus Pasang Surut Rata-Rata pada Saat Kondisi Pasut Menuju Surut

Perbani di Perairan Pesisir Makassar

Sumber: hasil analisisGambar 4. Pola Arus Pasang Surut Rata-Rata pada Saat Surut Perbani di Perairan Pesisir

Makassar

Page 29: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 23 - 3228

Sumber: hasil analisisGambar 5. Pola Arus Pasang Surut Rata-Rata pada Saat Kondisi Pasut Menuju Pasang

Perbani di Perairan Pesisir Makassar

Sumber: hasil analisisGambar 6. Pola Arus Pasang Surut Rata-Rata pada Saat Pasang Perbani di Perairan

Pesisir Makassar

Page 30: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

29Model Hidrodinamika ... (Arifin, et al)

Sumber: hasil analisisGambar 7. Pola Arus Pasang Surut Rata-Rata pada Saat Kondisi Pasut Menuju Surut

Purnama di Perairan Pesisir Makassar

Sumber: hasil analisisGambar 8. Pola Arus Pasang Surut Rata-Rata pada Saat Surut Purnama di Perairan

Pesisir Makassar

Page 31: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 23 - 3230

Makassar dengan kecepatan maksimummencapai 0,009 m/det (Gambar 10). Polaarus pasang surut hasil simulasi numerikpada studi ini yang didominasi oleh aliranyang menuju ke barat dan utara memilikikesesuaian dengan penelitian yang pernahdilakukan oleh Nurfaida (2009:44) diperairan Pesisir Makassar.

Aliran residual dari pasang surut (tide-in-duced residual flow) yang didefinisikansebagai aliran rata-rata massa air dalam satusiklus pasang surut, memiliki peranan yangsangat penting dalam proses dinamikaestuari dan pesisir (Van Manh dan yanagi,2000: 59). Salah satu contohnya adalahbesar dan arah dari aliran residual akanmenentukan proses penyebaran danpengendapan dari berbagai komposisisedimen dan polutan di pesisir. Dari hasilsimulasi didapatkan bahwa aliran residualdi titik verifikasi didominasi oleh aliran

surut (ebb-dominant) dengan laju sebesar0,005 m/det menuju ke arah barat ataumenuju ke Laut Makassar (Gambar 11).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan: (1) Tipe pasang surut diperairan pesisir Makassar adalah tipecampuran yang cenderung diurnal (hariantunggal) dengan amplitudo sebesar 0,88 –2,18 meter dari MSL; (2) Hasil verifikasielevasi muka air hasil simulasi modelhidrodinamika terhadap data lapanganmemiliki kesesuaian yang cukup baikdengan selisih sebesar 7 %; (3) Kecepatanar us pasang surut rata-rata di tit ikverifikasi sekitar perairan Pesisir Makassarpada kondisi pasang surut perbani beradadalam kisaran 0,001 m/det – 0,008 m/det,sedangkan untuk kondisi pasang surutpurnama berada dalam kisaran 0,002 m/

Sumber: hasil analisisGambar 9. Pola Arus Pasang Surut Rata-Rata pada Saat Kondisi Pasut Menuju Pasang

Purnama di Perairan Pesisir Makassar

Page 32: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

31Model Hidrodinamika ... (Arifin, et al)

Sumber: hasil analisisGambar 10. Pola Arus Pasang Surut Rata-Rata pada Saat Pasang Purnama di Perairan

Pesisir Makassar

Sumber: hasil analisisGambar 11. Arah Aliran Residual dari Satu Siklus Pasang Surut pada Titik Verifikasi di

Perairan Pesisir Makassar

Page 33: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 23 - 3232

det – 0,012 m/det; (4) Aliran arus pasangsurut di titik verifikasi sekitar perairanPesisir Makassar pada kondisi pasang surutperbani dan pasang sur ut purnamadidominasi oleh aliran yang bergerakmenuju ke arah barat dan utara; (5) Aliranresidual pada titik verifikasi didominasioleh aliran surut (ebb-dominant) dengan lajusebesar 0,005 m/det menuju ke arah barat.

Penelitian yang dilakukan dengan meng-gunakan model hidrodinamika MOHIDmemerlukan data pasang surut dan aruspasang surut secara time series akan tetapinilai parameter tersebut sangat sulitdiperoleh di lokasi penelitian. Penelitiantentang nilai parameter tersebut perludilakukan secara insitu untuk mendapatkangambaran karakteristik yang sesuai,

DAFTAR PUSTAKA

Alexandre, N., Miguel, D., dan Chambel, P. 2009. Three-dimensional Modelling of a TidalChannel: The Espinheiro Channel (Portugal). Continental Shelf Research 29: 29-41.

Duxbury, A.B., Duxbury, A.C., dan Sverdrup, K.A. 2002. Fundamentals of Oceanography.McGraw Hill Companies, New York.

Hatayama, T., Awaji, T., dan Akitomo, K. 1996. Tidal Currents in the Indonesian Seas and TheirEffect on Transport and Mixing, Journal of Geophysical Research 101 - C5, 12353-12373.

Mann, K.H., dan Lazier, J.R.N. 2006. Dynamics of Marine Ecosystems: Biological-Physical Interactionsin the Ocean. Bedford Institute of Oceanography, Canada.

Miranda, R., Braunsweig, F., Leitao, P., Neves, R., Martins, F., dan Santos, A. 2000. MOHID 2000A Coastal Integrated Object Oriented Model. Hydraulic Engineering Software VIII: 391-401.

Nurfaida. 2009. Pengembangan dan Rencana Pengelolaan Lanskap Pesisir Kota MakassarSebagai Waterfront City. Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ramming, H.G., dan Kowalik, Z. 1980. Numerical Modeling of Marine Hydrodynamics.Elsevier Scientific Publishing Company, 112 – 164 pp.

Triyono (2009) Tinjauan Geografis "Litoralisasi" di Kawasan Pesisir Selatan Yogyakarta.Forum Geografi. Vol. 23, No. 1, Juli 2009: 1 - 10.

Van Manh, D., Yanagi, T. 2000. A Study on Residual Flow in the Gulf of Tongking. Journalof Oceanography 56: 59 – 68 pp.

sehingga dapat digunakan pada penelitianselanjutnya, baik secara insitu atau denganpemodelan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Tulisan ini merupakan konstribusi daririset “Analisis karakteristik sumberdayapesisir Kota Makassar” Tahun Anggaran2010 pada Pusat Penelitian danPengembangan Sumberdaya Laut danPesisir, Badan Litbang Kelautan danPerikanan. Ucapan terima kasih diper-untukkan bagi Misbah Program StudiGeofisika, Fakultas MIPA UNHAS atasbantuan dalam pengambilan data dan Dr.Syafri Burhanuddin, DEA selaku narasumber pada kegiatan riset di Makassar.

Page 34: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

33Pengaruh Penggenangan pada ... (Slamet,et al)

PENGARUH PENGGENANGAN PADA TEKNIK BUDIDAYA PADITERHADAP INFILTRASI DAN NERACA AIR

The Flooding Effect From Rice Cultivation Technique On InfiltrationAnd Water Balance

Lilik Slamet S, Adi Basukriadi, M. Hasroel Thayeb, Tri Edi Budi SoesiloUniversitas Indonesia

E-mail: [email protected]

ABSTRACTFlood events are often inundated rice fields and can cause flooding to surrounding areas (the lower reaches of theriver) should not be underestimated (just blame the rainfall factor alone), but should be seen also internal factorsof the techniques of rice cultivation in paddy fields. The purpose of research/study was to analyze the effect offlooding on the cultivation of paddy rice to infiltration and provide alternative solutions cultivation techniquesto reduce flooding. The research method in this study is a survey method with the quantitative approach.Techniques flooding in paddy rice cultivation, especially irrigated cropping pattern rice 3 times a year haveresulted in the formation of plow layer tread that is waterproof (hardpen). Waterproof coating that forms onthe floor of paddy (rice surface) can not infiltrate rainwater so that if there is a high-intensity rainfall in therainy season, rice can not hold the rain water will overflow and cause flooding to the area around the rice fields.Techniques inundation in lowland rice cultivation resulted in flooded paddy rice growth period in a rather longtime (over 2 months), so that the aggregate soil is loose and prone to erosion and landslide potential. Anticipa-tion of floods caused by wetland can be done by making the high rice fields higher than the height of thefloodwaters that ever happened to the rice field and lowering the height of standing water in the paddy fields.Keywords: flooding, cultivation, rice, infiltration, water balance

ABSTRAKKejadian banjir yang seringkali menggenangi lahan sawah dan dapat menjadi penyebab banjir ke daerahsekitarnya (bagian hilir sungai) tidak boleh dipandang sebelah mata (hanya menyalahkan faktor curah hujansaja), tetapi harus dilihat pula faktor internal dari teknik budidaya padi di sawah. Tujuan penelitian/kajianini adalah menganalisis pengaruh dari penggenangan sawah pada budidaya padi terhadap infiltrasi danmemberikan alternatif solusi teknik budidaya yang dapat mengurangi banjir. Metode penelitian dalam kajianini adalah metode survey dengan pendekatan secara kuantitatif. Teknik penggenangan budidaya tanamanpadi di sawah, terutama sawah irigasi dengan pola tanam 3 kali padi dalam setahun telah mengakibatkanterbentuknya lapisan tapak bajak yang bersifat kedap air (hardpen). Lapisan kedap air yang terbentukpada lantai sawah (permukaan sawah) tidak dapat menginfiltrasi air hujan sehingga jika ada curah hujandengan intensitas tinggi pada musim penghujan, maka sawah tidak dapat menampung air hujan dan akanmelimpah menjadi penyebab banjir untuk daerah sekitar persawahan. Teknik penggenangan pada budidayapadi lahan sawah mengakibatkan sawah tergenang pada periode pertumbuhan tanaman padi dalam waktuyang agak lama (lebih dari 2 bulan), sehingga agregat tanah bersifat lepas dan mudah tererosi dan berpotensilongsor. Antisipasi terhadap bahaya banjir yang disebabkan oleh lahan sawah dapat dilakukan denganmembuat tinggi pematang sawah yang lebih tinggi daripada ketinggian genangan banjir yang pernah terjadipada areal persawahan dan menurunkan ketinggian genangan air pada lahan sawah.

Kata kunci: penggenangan, budidaya, padi, infiltrasi, neraca air

Page 35: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 33 - 4434

PENDAHULUAN

Kejadian banjir di Indonesia bukan lagimerupakan fenomena baru. Setiap musimpenghujan kejadian dan bencana banjirselalu menghiasi berita baik pada mediacetak maupun elektronik. Banjir yangterjadi bukan hanya melanda permukimanpenduduk di perkotaan, tetapi juga banyakmenggenangi area persawahan di perdesa-an. Banjir yang menggenangi lahan sawahdapat merusak tanaman hingga berakibatterjadinya gagal panen (sawah puso).

Menurut Febrianti, et al, (2013) pada tahun2012 terdapat sekitar 460 hektar arealsawah di Kabupaten Jember, Jawa Timurdan lebih dari 800 hektar sawah diKabupaten Kudus, Jawa Tengah tergenangbanjir. Ditambahkan oleh Febrianti, et al,(2013) bahwa kejadian banjir tidak sajaterjadi sekali dalam setahun, tetapi terdapatareal sawah yang terkena banjir lebih daridua kali dalam setahun yaitu pada bulan-bulan Desember, Januari, dan Februari (DJF).

Pada tahun 2007, di bulan-bulan DJF banjirhanya satu kali melanda areal persawahandi Jawa. Pada tahun 2008 pada bulan yangsama banjir telah melanda sawah denganfrekuensi yang meningkat sampai dua kalidi Jawa Tengah. Tahun 2009 banjir yangmelanda sawah dengan frekuensi dua kalitelah meluas ke bagian Selatan Jawa Timur.Tahun 2010 banjir yang melanda lahansawah dengan frekuensi dua kali hampirmerata di seluruh Provinsi di pulau Jawa.Frekuensi banjir yang melanda sawah padatahun 2012 telah mencapai tiga kali, artinyasetiap bulan pada bulan DJF terdapat satukali kejadian banjir (Febrianti, et al, 2013).

Selama ini banyak pendapat positif tentangkeberadaan sawah yang ditanami padi.Sawah yang ditanami padi disampingsebagai mata pencaharian dan sumberpangan pokok sebagian besar masyarakat

Indonesia, fungsi sawah yang lain adalahjuga sebagai reservoir dan pengendali banjir.

Odum (1995) menyatakan bahwa sawahadalah bentuk analogi dari sebuah rawa.Sebagai sebuah rawa, maka sawah adalahsebuah tempat parkir air sementara. Ketikaair hujan yang jatuh melebihi ketinggianpematang sawah, maka sawah tidak dapatlagi sebagai reservoir penyimpan air.

Pernyataan lain dari Suroso, et al (2006) darihasil penelitiannya menyatakan bahwa tataguna lahan yang berpengaruh terhadapdebit banjir adalah lahan sawah dengankoefisien korelasi (r) sebesar -0,682. Halini menunjukan bahwa semakin besar luassawah maka semakin kecil debit banjir.Sebagian air hujan yang jatuh pada sawahakan ditampung sementara, sehingga debitaliran permukaan (limpasan) akan menurun.Kelebihan air yang tidak dapat ditampungoleh sawah akan menjadi sumber air danpenyebab banjir untuk lingkungansekitarnya, terutama daerah hilir sungai.

Pada areal sawah dengan teknik teraseringdi dataran tinggi dengan topografi miringdan terjal, malahan air hujan tidak tertampungdan tidak disimpan dahulu pada sawah,tetapi akan jatuh langsung ke sawah dibawahnya, begitu seterusnya sehinggaakan berakibat banjir pada daerah bagianhilir sungai. Diduga banjir yang seringmelanda Jakarta (menjadi agenda danlangganan setiap tahun) disebabkan olehtata guna lahan sawah di bagian hulu sungaiCiliwung yang ditanami padi. Kondisi inidapat dibuktikan dari warna air pada saatbanjir berwarna coklat tanah yangbersumber dari erosi tanah oleh air hujandi hulu sungai Ciliwung.

Banyak pendapat yang menyatakan bahwabanjir pada sebuah lahan sawah hanyadipengaruhi oleh faktor dari luar sawah(eksternal) yaitu kondisi curah hujan, bukandari pengaruh faktor dalam sawah sendiriyaitu dari teknik penggenangan sawah

Page 36: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

35Pengaruh Penggenangan pada ... (Slamet,et al)

dalam budidaya tanaman padi. Curah hujanyang dapat menyebabkan banjir padasebuah lahan sawah adalah yang melebihikebutuhan air tanaman padi sebesar 150mm/bulan (Panuju et al, 2009).

Oleh karena itu melalui makalah ini akandikaji pengaruh penggenangan lahan sawahdalam budidaya tanaman padi padainfiltrasi air hujan, neraca air lahan sawah,pemicu banjir, dan potensi longsor.Perumusan masalah pada penelitian iniadalah belum diketahuinya pengaruhpenggenangan lahan sawah yang ditanamipadi pada kejadian banjir.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkajipengaruh dari penggenangan sawah padabudidaya padi terhadap infiltrasi, neraca airlahan sawah, potensi banjir dan tanah longsordan memberikan solusi alternatif teknikbudidaya padi agar ramah lingkungan.Manfaat dari penelitian ini secara teoritisadalah mengubah wawasan dan pengetahu-an yang sebenarnya tentang pengaruhpenggenangan sawah pada budidayapertanian padi sawah terhadap degradasilingkungan (banjir dan tanah longsor).

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan pada pe-nelitian ini adalah pendekatan kuantitatifdengan metode penelitian adalah survey.Data yang digunakan pada penelitian iniadalah data sekunder. Analisis koefisienkorelasi digunakan untuk menilai hubunganantara luas sawah irigasi dengan luas daerahyang terkena banjir. Analisis deskriftifdigunakan untuk menjelaskan proses yangberlangsung karena pengaruh penggenang-an pada infiltrasi, banjir, dan longsor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Padi bukanlah tanaman hydrofit (tanaman

air). Tanaman padi termasuk ke dalam fa-milia rumput-rumputan (Graminaceae)adalah tanaman darat. Teknik budidayatanaman padi di sawah dengan caradigenangi memiliki tujuan untukmengurangi pertumbuhan gulma (pesaingtanaman pokok). Padi adalah salah satujenis tanaman budidaya yang dapat tumbuhdalam kondisi tergenang karena ke-mampuannya mengoksidasi lingkunganperakarannya sendiri. Oksigen didifusikandari daun melalui turiang (anakan padi) danbatang ke akar melalui lacuna (rongga antarsel) atau saluran dalam jaringan korteks.Tabel 1 menyajikan jumlah naftilaminayang dapat dioksidasi (daya oksidasi nisbiakar) oleh berbagai jenis tanaman.

Pada Tabel 1 memperlihatkan bahwatanaman padi memiliki daya oksidasi yangpaling besar diantara jenis tanaman lainwalaupun dalam kondisi tergenang. Hal inimembuktikan bahwa tanaman padi dapathidup di lingkungan berair dan tergenang.

Penggenangan pada lahan sawah yangditanami padi mengakibatkan serangkaianperubahan sifat fisika, kimia, dan biologidari tanah yang dapat menghasilkan suatutata hubungan tanah-tanaman yangberbeda sama sekali dengan media yangditanami oleh tanaman selain padi. Sanchez(1993) menyatakan tanah kering yang tiba-tiba digenangi akan menyebabkanterpecahnya agregat (gumpalan) tanah yangbesar menjadi agregat tanah yang lebihkecil. Pada aspek kimia, penggenanganlahan sawah mengakibatkan oksidasi yangdilakukan oleh mikroba dalam lahan sawahbersifat anaerob (tanpa oksigen) yangmenghasilkan emisi CH4 (metana) keatmosfer. Pada respirasi aerob, mikrobamenggunakan oksigen dan menghasilkanCO2 (karbondioksida), tetapi pada kondisitergenang (anaerob), respirasi mikrobamenghasilkan CH4.

Page 37: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 33 - 4436

Pengaruh Penggenangan pada Infiltrasi

Infiltrasi adalah proses terserapnya airmasuk ke dalam pori tanah. Perubahantataguna lahan menjadi lahan sawahmengakibatkan pemadatan tanah sehinggamenurunkan laju infiltrasi air danmeningkatkan air larian. Penanaman padisecara terus-menerus (tiga kali tanamdalam setahun) mengakibatkan infiltrasitanah semakin menurun, seperti disajikanpada Gambar 1.

Pada Gambar 1 dapat diketahui bahwa lajuinfiltrasi pada tanah sawah yang ditanamipadi tiga kali tanam dalam setahun (polatanam 1) akan menghasilkan laju infiltrasiyang paling kecil dengan semakin lamadigenangi. Penanaman padi yang terus-menerus sepanjang tahun mengakibatkanlapisan kedap air yang tidak dapatmenginfiltrasi air hujan ke dalam lapisantanah (lahan) lebih dalam. Pola tanam padidengan frekuensi tiga kali tanam dalamsetahun dapat berlangsung dengan bantuanair irigasi.

Hasil analisis koefisien korelasi antara luassawah irigasi dan luas sawah yang terkenabanjir menghasilkan r = 0,37 (Gambar 2).Hal ini membuktikan bahwa pola tanamyang kontinyu selama setahun dengan

bantuan irigasi berbanding lurus denganarea terkena banjir. Kondisi ini disebabkanoleh timbulnya lapisan kedap air padalahan sawah.

Sedangkan pada tanah sawah dengan polatanam padi-palawija (pola tanam 2), lajuinfiltrasi akan semakin besar daripada polatanam 1. Pada lahan sawah yang ditanamipadi sekali (pola tanam 3), lalu diberakan(tidak ditanami) laju infiltrasinya adalahyang paling besar diantara ke tiga polatanam (Gambar 1).

Lapisan kedap air pada bagian bawah tanahsawah menguntungkan dari sisi penanamanpadi karena air akan mengalir melambat(infiltrasi kecil). Lapisan padat terbajak(hardpen) dijumpai pada tanah yangditanami padi selama beberapa tahun.(Sanchez, 1993). Lapisan kedap air initerbentuk dari mengendapnya senyawa besi(feri) dan mangan sebagai lapisan oksida disekeliling zarah tanah lempung.

Laju infiltrasi yang kecil mengakibatkanlaju aliran permukaan (limpasan) padatanah sawah adalah besar, terlebih lagi jikaair hujan yang jatuh sudah tidak dapat lagitertampung oleh pematang sawah. Semakinbesar run off (aliran permukaan/limpasan),maka kemungkinan terjadinya banjir

Jenis Tanaman Naftilamina teroksidasi dalam 48 hari (mg/g akar kering)

Padi 15-30 Kedelai 7,1 Gandum 4,9 Sorgum 4 Avena sp 2,9 Jagung 1,4 Sumber: Sanchez (1993)

Tabel 1. Naftilamina yang Dioksidasi Tanaman

Page 38: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

37Pengaruh Penggenangan pada ... (Slamet,et al)

Sumber: Sanchez (1993)

Gambar 1. Perbedaan Laju Infiltrasi Tanah Sawah PadaTiga Pola Tanam Berbeda

Sumber: hasil analisis

Gambar 2. Hubungan Antara Luas Sawah Irigasi denganLuas Banjir Sawah

adalah berpeluang besar. Kondisi ini terjadidi sawah, dengan laju infiltrasi yang kecil,maka laju run of f akan menjadi besar.Semakin besar air yang diinfiltrasi, makasemakin kecil air hujan yang menjadi bagianrun off. Aliran permukaan adalah fungsi dariinfiltrasi (Rohmat, 2009).

Laju run off semakin besar juga disebabkanoleh intersepsi oleh tajuk tanaman padiyang kecil. Pada umumnya besarnyaintersepsi oleh vegetasi adalah sekitar 10-

20% dari total hujan pada musim per-tumbuhan. Sedangkan besarnya intersepsihujan berkisar antara 10-35% dari curahhujan total (Asdak, 2002).

Asdak (2002) menyatakan bahwaintersepsi dipengaruhi oleh faktor curahhujan, jenis komunitas tumbuhan, dan fasepertumbuhan tanaman. Pada curah hujandengan intensitas tinggi, maka bagian airhujan yang diintersepsi akan lebih kecildaripada curah hujan dengan intensitas

Page 39: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 33 - 4438

lebih rendah. Hal ini disebabkan pada curahhujan dengan intensitas rendah jumlah airhujan yang mengalir akan lebih lambatmenyusuri batang tumbuhan.

Bentuk komunitas tegakan pohon (hutan),semak belukar, padang rumput, dan komunitastanaman pertanian (termasuk lahan sawah)akan memiliki porsi intersepsi yang berbeda.Semakin rapat tajuk tanaman, maka semakinbesar intersepsi yang terjadi. Besarnyaintersepsi pada tanaman pertanian ber-variasi dipengaruhi oleh jenis tanaman pangan,jarak tanam, dan fase pertumbuhan.

Terdapat perbedaan intersepsi antarakomunitas tumbuhan berbentuk hutan dankomunitas tanaman pertanian (tanamansemusim sepert i padi dan palawija).Perbedaan itu pada proses mengalirnya airhujan yang jatuh pada tajuk sampai kepermukaan tanah. Pada komunitas hutan,air hujan yang sampai ke permukaan akanmelalui aliran batang sehingga kecepatanair hujan menurun. Air hujan yang hanyalolos saja, tanpa melalui aliran batang dapatmengakibatkan kecepatan jatuh air menjadibesar dan memiliki daya rusak terhadapbutir tanah yang lebih besar sehingga dapatberpotensi erosi. Setelah sampai di permuka-an, adanya serasah pada lantai hutan jugaakan memperkecil daya rusak butir hujanpada tanah. Serasah hutan mampu menyerapair dan dengan perlahan air akan ber-infiltrasi ke lapisan tanah yang lebih dalam.

Pada tanaman pertanian, tidak adanyaaliran batang dan tidak adanya serasah padapermukaan akan mengakibatkan air hujanlangsung jatuh dengan kecepatan dan dayarusak pada butir tanah yang lebih besar danberpotensi mengerosi tanah.

Pengaruh vegetasi dan cara bercocok tanamterhadap air aliran permukaan bahwavegetasi dapat memperlambat jalannyaaliran permukaan dan memperbesar jumlahair yang tertahan di atas permukaan tanah.

Semakin besar bagian curah hujan yangmenjadi aliran permukaan, maka ancamanterjadinya erosi dan banjir akan menjadilebih besar.

Perubahan pada Persamaan NeracaAir

Pada kondisi ideal tutupan lahan berupavegetasi selain sawah, maka air hujan akanterdistribusi seperti disajikan pada Gambar3.

Adanya lapisan kedap air yang terbentukpada lapisan bawah sawah mengubahskema distribusi air sebelumnya (Gambar3) menjadi distribusi air seperti tersaji padaGambar 4.

Pada Gambar 4 dapat diketahui bahwadengan adanya lapisan kedap air pada lahansawah, maka distribusi air hujan akanmenjadi lebih singkat. Tanaman padi hanyamemiliki daya intersepsi tajuk yang kecilatau dapat dikatakan intersepsi oleh tajuktanaman padi adalah tidak ada sehinggaakan memperbesar debit aliran permukaan.

Adanya lapisan kedap air pada lahan sawahmengakibatkan perubahan pada persamaanneraca air pada sebuah petak sawah irigasi.Kesetimbangan air pada sebuah petaksawah irigasi sebelumnya (Arsyad, 1989)adalah :

Is + Re + Ig = S + U + Gv + Gh + Os

dengan :Is = air irigasiRe = curah hujanIg = air rembesan sampingS = genangan air dalam sawahU = evapotranspirasiGv = perkolasi ke bawahGh = perkolasi ke sampingOs = air keluar dari petak sawah

Page 40: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

39Pengaruh Penggenangan pada ... (Slamet,et al)

Sumber: Arsyad, 1989

Gambar 3. Distribusi Air Hujan di Permukaan Tanah

Jatuh langsung

Suplai air ke permukaan tanah

Intersepsi tajuk

Evapo-transpirasi

Curah hujan

Infiltrasi langsung

Simpanan permukaan

Aliran di atas permukaan tanah

Infiltrasi tertunda

Simpanan bawah permukaan

Transpirasi

Perkolasi Aliran bawah permukaan

Cadangan bawah tanah

Aliran a ir bawah tanah

Aliran sungai

Page 41: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 33 - 4440

Jatuh langsung

Suplai air ke permukaan tanah

Intersepsi tajuk

Evapo-transpirasi

Curah hujan

Simpanan permukaan di sa wah

Aliran di atas permukaan tanah

Aliran sungai

Sumber: Arsyad, 1989

Gambar 4. Distribusi Air pada Lahan Sawah

Menurut Susilowati (2004) dalam Purnama(2009) dinyatakan bahwa kebutuhan airirigasi (I) adalah :

AIE

ER - PRW IR Etc I

dengan :Etc = kebutuhan air konsumtif tanamanIR = kebutuhan air untuk penyiapan

lahanRW = kebutuhan air untuk penggantian

lapisan airP = perkolasi

ER = hujan efektifIE = efisiensi irigasiA = luas areal sawah yang teririgasi

Kehilangan air karena perkolasi (ke bawah)pada sawah berkurang dengan terbentuk-nya lapisan tapak bajak (plow sole) yang agakkedap air. Perkolasi adalah peristiwabergeraknya air ke bawah dalam profiltanah. Infiltrasi menyediakan air untukperkolasi. Dengan adanya lapisan kedap airpada permukaan bawah sawah, makaperkolasi ke bawah atau Gv sama dengannol, sehingga persamaan kesetimbangan airpada petak sawah irigasi menjadi :

Page 42: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

41Pengaruh Penggenangan pada ... (Slamet,et al)

Is + Re + Ig = S + U + Gh + Os

Maka perhitungan kebutuhan air irigasi dariSusilowati (2004) dengan tidak mem-perhitungkan adanya perkolasi (karenaterbentuknya lapisan kedap air pada lahansawah), akan menjadi :

AIE

ER -RW IR Etc I

Lahan Sawah Pemicu Longsor danBanjir

Penggenangan pada lahan sawah dalamwaktu yang lama akan menurunkan ke-mantapan agregat tanah. Hal ini dikarena-kan adanya bahan organik dan reduksilapisan oksida besi dan oksida manganmenjadi bentuk yang dapat larut.

Pada satu sisi lahan sawah dapat menjadipenampung air hujan, tetapi pada sisi lainlahan sawah yang menjadi penampung airhujan tersebut akan mempermudahterjadinya longsor. Hal ini dikarenakanagregat tanah yang selalu terkena air danmenggenangi sawah akan memisahkanagregrat tanah menjadi butir-butiran tanahyang lepas dan mudah tererosikan.

Sawah pada dataran rendah (sawah datar)memiliki tingkat kerawanan longsor sangatrendah. Sawah berlereng memilikikerentanan tinggi terhadap longsor. Padawilayah berlereng, tanah longsor mulaiterjadi pada sawah dengan kemiringanlereng lebih besar dari 3%.

Penelitian lain dari Wahyunto, et al (2003)yang menyebutkan bahwa jangkauan akartanaman semusim seperti tanaman padiyang dangkal akan mempermudah longsorjika dibandingkan dengan tanamantahunan (tanaman keras). Tanaman padimemiliki perakaran dangkal (tidak lebih dari20 cm). Lebih lanjut Wahyunto, et al (2003)dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa

tanah longsor lebih mudah terjadi padawilayah lahan sawah. Hal ini dikarenakantanah di wilayah lahan sawah lebih seringatau selalu dalam keadaan jenuh air/tergenang dalam waktu yang cukup lama(lebih dari 2 bulan) sehingga dapat memacuterjadinya longsor.

Terbentuknya lapisan kedap air pada lantaisawah menyebabkan air hujan tidak dapatberinfiltrasi dan menggenangi sawah.Tinggi genangan yang lebih besar daripadatinggi pematang akan mengakibatkanbanjir sawah yang dapat meluap ke arealsekitar sawah.

Solusi Alternatif untuk Antisipasi Banjir

Penggenangan memiliki dua aspek yangberlawanan, positif dan negatif. Aspekpositif bahwa tanaman padi yang ditanamdalam kondisi tergenang pertamaketerbatasan air bukan faktor pembatas(kebutuhan air terjamin). Ke dua adalahpengendalian gulma menjadi lebih mudah.Ke tiga adalah tersedianya unsur haratertentu yaitu posfor. Pada tanah yangbanyak mengandung kapur (kalsium),penggenangan akan meningkatkanketersediaan unsur besi yang selanjutnyadapat meningkatkan hasil panen secaramencolok (Sanchez, 1993).

Aspek negatif dari budidaya padi denganpenggenangan selain terbentuknya lapisankedap air, pada tanah bergaram (mengandungunsur natrium tinggi), penggenangan akanmenurunkan daya hantar listrik danmemacu pencucian garam sehingga akanberakibat pada pencemaran tanah danbadan air. Pada tanah dengan kandunganpasir dan bahan organik tinggi, tetapi kandung-an besi rendah, penggenangan akan meng-hasilkan asam organik dan H2S yang tinggiyang bersifat racun pada tanaman.

Solusi dari lahan sawah yang berpotensibanjir dan longsor adalah dengan meng-

Page 43: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 33 - 4442

ubah ketinggian penggenangan lahan sawahmenjadi tinggi genangan yang lebih pendek.Catabay, et al, (1959) dalam Rice ProductionManual (1967) menyatakan bahwa peng-genangan sedalam 5 cm, 10 cm, 15 cm, dan20 cm tidak menunjukan perbedaan produksiyang nyata. Menurut Chang (1965) dalamRice Production Manual (1967), bahwa tinggipenggenangan 2,5 cm dari permukaanlahan sawah dapat menghasilkan produksi5% lebih tinggi daripada penggenangandengan ketinggian 10 cm. Arsyad (1989)menyatakan bahwa penggenangan lebihdari 10 cm dapat mempertinggi sterilitasbeberapa varietas tanaman padi.

Nasi dari beras atau tanaman padi adalahmakanan pokok sebagian besar masyarakatIndonesia, sehingga untuk mengurangidampak degradasi lingkungan daripertanian padi sawah dan agar sawah tetapberproduksi dan menjadi mata pencaharianpenduduk, maka strategi yang dapatdilakukan salah satunya adalah denganmengubah (memodifikasi) tinggi peng-genangan lahan sawah yang ditanami padi.

Penggenangan yang dangkal adalah suatustrategi untuk memfungsikan sawah sebagaipengendali banjir. Artinya dengan peng-genangan lahan sawah yang dangkal, makajika terjadi hujan dengan intensitas tinggi,daya tampung volume lahan sawah untukair hujan akan menjadi lebih besar sehinggabanjir ke daerah sekitar persawahan dapatdicegah, tetapi menurunkan produksi padi.Volume daya tampung sawah (V) dapatdirumuskan sebagai berikut :

V = ((Tp-Tg) + I) x L

dengan :Tp = tinggi pematangTg = tinggi rata-rata genangan sawahI = intersepsiL = luas area persawahan

Tidak adanya intersepsi oleh tajuk tanamanpadi, maka intersepsi oleh tanaman padisama dengan nol. Pembuatan tinggipematang sawah pun saat ini harus denganperencanaan yang tepat yang memper-hitungkan curah hujan maksimum yangpernah terjadi pada daerah tersebut.Formulasi untuk merencanakan tinggipematang sawah adalah sebagai berikut:

TgLV Tp

dengan :V = volume curah hujan maksimum (m3)

Satuan dari curah hujan (tinggi hujan)adalah mm. Konversi dari curah hujan kevolume curah hujan adalah :

1 mm curah hujan = 1 liter volume curahhujan.

Contoh penggunaan persamaan untukmerencanakan tinggi pematang sawahadalah sebagai berikut : Kawasanpersawahan dengan luas areal 5 ha memilikirata-rata curah hujan pada bulan-bulanDesember, Januari, dan Februari dalam 10tahun terakhir adalah 1000 mm. Jikadiketahui tinggi genangan air dalam arealpersawahan adalah 2,5 cm. Berapakahtinggi pematang minimal yang harus dibuatagar air hujan masih dapat tertampungdalam sawah?

Diketahui :

Tinggi genangan = 2,5 cm =0,025 m

tinggi hujan = 1000 mm

volume curah hujan = 1000 liter = 1 m3

Luas sawah = 5 ha = 50000 m2

Tp > 2,5 cm

Page 44: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

43Pengaruh Penggenangan pada ... (Slamet,et al)

Maka tinggi pematang harus dibuat lebihdari 2,5 cm.

Tinggi pematang sawah yang lebih tinggidari sebelumnya akan mengakibatkanketinggian permukaan air pada lahansawah saat musim penghujan tidak akanmelebihi tinggi pematang sehingga banjirdapat dicegah. Keuntungan lain daripenggenangan sawah yang tidak tinggi(rendah) adalah bagian tanah samping yangmengalami genangan akan lebih sempit danmengurangi potensi longsor.

Keuntungan lain penggenangan lahansawah yang dangkal adalah dapat mem-perluas areal sawah irigasi yang dapatditanami khususnya pada musim kemarau.Sawah yang selalu kering akan terjadidenitrifikasi yang mengakibatkan kehilang-an nitrogen pada saat sawah diairi kembali.

KESIMPULAN DAN SARAN

Banjir pada lahan sawah tidak disebabkanoleh faktor eksternal berupa curah hujansaja, tetapi faktor internal dari teknik

budidaya tanaman padi lahan sawah dengancara penggenangan. Penggenangan padalahan sawah terutama sawah irigasi denganpola tanam tiga kali padi dalam setahuntelah menimbulkan lapisan kedap air yangtidak dapat menginfiltrasi air. Akibat airtidak terinfiltrasi dan curah hujan yangjatuh melebihi tinggi penampang sawah,maka lahan sawah akan banjir dan menjadipenyebab banjir untuk daerah sekitarnya.Penggenangan dalam waktu cukup lamaakan melepaskan agregat tanah yang dapatberpotensi longsor. Untuk antisipasi banjir,erosi, dan longsor, maka pertanian tanam-an semusim jangan diusahakan pada daerahhulu sungai.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih penulis ucapkan kepadaBapak Dr. Adi Basukriadi, MSc selaku Pro-motor dan Bapak Dr. Ir. M. Hasroel Thayeb,APU dan Bapak Dr. dr. Tri Edi BudiSoesilo, MSi selaku ko-promotor I dan IIyang telah banyak membimbing penulissehingga tulisan ini dapat diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. (1989). Konservasi Tanah Dan Air. Bogor: IPB Press.

Asdak, C. (2002). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.

Febrianti, N. D. Dirgahayu D. (2013). Analisis Frekuensi Banjir Sawah Pada Musim HujanMenggunakan Data Penginderaan Jauh. Proseding Seminar Nasional Sains Atmosfer danAntariksa, Serpong, 27 November 2012. Jakarta: LAPAN.

Odum, E, P, 1995, Dasar-Dasar Ekologi, edisi ke tiga, UGM Press, Yogyakarta.

Panuju, F. Heidina, B.H. Trisasongko, B. Tjahjonol, A. Kasno, dan A.H.A. Syafril. (2009).Variasi Nilai Indeks Vegetasi Modis Pada Siklus Pertumbuhan Padi, Jumal llmiahGeomatika. Vol.15, No.2, Desember 2009.

Page 45: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 33 - 4444

Purnama, S. (2009). Neraca Air di Pulau Bali. Forum Geografi. vol. 23, no. 1, Juli.

R.I.C.E. 1967. Rice Production Manual.

Rohmat, D. (2009). Tipikal Kuantitas Infiltrasi Menurut Karakteristik Lahan (Kajian Empirikdi DAS Cimanuk Bagian Hulu). Forum Geografi. vol. 23, no. 1, Juli.

Sanchez, P. A. (1993). Sifat Dan Pengelolaan Tanah Tropika, Bandung: ITB.

Suroso, H. A. Susanto, 2006, Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit BanjirDAS Banjaran, Jurnal Teknik Sipil, Vol. 3, No. 2, Juli 2006.

Wahyunto, Sastramihardja, W. Supriatna, W. Wahdini, Sunaryo. (2003). Kerawanan LongsorLahan Pertanian Di Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Proseding SeminarNasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian.

Page 46: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

45Risiko Longsorlahan ... (Purnomo, et al)

RISIKO LONGSORLAHAN PADA LAHAN PERTANIAN DI KOMPLEKSGUNUNGAPI KUARTER ARJUNO JAWA TIMUR

Landslide Risk on the Farmland at the Arjuno Volcano Complex of East Java

Nugroho Hari Purnomo 1), Sutikno 2), Sunarto 2), Luthfi Muta’ali 2)

1)Jurusan Pendidikan Geografi Universitas Negeri Surabaya, Surabaya2)Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

E-mail: [email protected]

ABSTRACTThe purposes of the study are (1) studying the characteristics of the landslide hazard level, vulnerability,and capacity dealing with the seasonal plant farmland, and (2) developing the conceptual model disasterrisk of landslide for the seasonal plant farmland at the stato volcano area. Sampling of the land factorwas carried out in a purposive way and the sampling of the people was carried out accidentally. Theanalysis was conducted descriptively, parametric and non-parametric statistics, and spatial analysis ofeological map, land shape, slope, soil and land use. The findings showed that the extremely high landsliderisk occurred at the cone shape of the incised volcano and the slope of the incised volcano. The economicvulnerability of one-seasonal crop farmland was about Rp. 8,879,310,-ha/year – Rp. 44,036,061ha/year. While, the socio-economic factor of the farmers was generally characterized by a transition intoa periurban area. The conceptual model tated that theresources of seasonal plant farmland with the highrisk of landslide can be cultivated with the acceptable risk if the vulnerability of agricultural commodityis low in economic value and the capacity of farmers cultivating it is high.

Keywords: risk, landslide, farmland

ABSTRAKPenelitian ini dirancang untuk tujuan (1) mempelajari karakteristik tingkat bahaya, kerentanan , dankapasistas terkait longsor lshsn pada tanaman semusim, dan (2) mengembangkan konseptual modelrisiko bencana longsor untuk lahan pertanian tanaman semusim di daerah gunung berapi stato. Sam-pling dari faktor tanah dilakukan dengan cara purposive dan rakyat dilakukan dengan accidentalsampling. Analisis dilakukan secara deskriptif, parametrik dan statistik non-parametrik, dan analisisspasial terhadap geologi, bentuk lahan, kemiringan, tanah dan penggunaan lahan tumpangsari . Temuanmenunjukkan bahwa risiko longsor sangat tinggi terjadi pada bentuk kerucut gunung berapi tertorehdan lereng gunung berapi tertoreh. Kerentanan ekonomi lahan pertanian tanaman satu musim adalahsekitar Rp. 8.879.310, -ha/year - Rp. 44.036.061 ha / tahun. Sementara, faktor sosio-ekonomipetani pada umumnya ditandai dengan transisi ke area periurban. Model konseptual yang dihasilkanmenyatakan bahwa sumber daya lahan pertanian tanaman semusim dengan risiko longsor tinggi dapatdibudidayakan dengan risiko yang dapat diterima jika kerentanan komoditas pertanian rendah nilaiekonomi dan kapasitas petani mengolahnya tinggi.

Kata kunci: risiko, tanah longsor, lahan pertanian

Page 47: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 45 - 5646

PENDAHULUAN

Perkembangan paradigma penangananbencana bergeser dari managemen bencanake managemen risiko bencana (Twigg,2004; ISDR, 2005; Bastian 2006). Risikomengindikasikan adanya kehilangan ataukerusakan yang mungkin terjadi padakehidupan atau prasarana fisik pada waktutertentu. Menurut Bastian (2006), pengurang-an risiko menekankan pada ketersediaaninformasi mengenai potensi kejadianbencana dan konsekuensi yang ditimbul-kan, sehingga risiko bencana dapat diper-hitungkan secara akurat meskipun waktukejadian masih merupakan ketidakpastian.

Hampir sebagian besar kajian mengenailongsorlahan menyatakan bahwapenggunaan lahan memiliki peran dalamkejadian longsorlahan (Goenadi et al.,2003; Naryanto et al., 2004; Lee andPradhan, 2006) di samping adanyakomposisi tipe lempung yang terbentuk(Priyono, 2012). Sementara mayoritaspetani kecil perdesaan mengandalkanbentuk penggunaan lahan per taniantanaman semusim untuk hajat kehidupansubsisten mereka. Gangguan sistempertanian pada bentuk penggunaan lahantersebut akan berpengaruh nyata terhadapkehidupannya. Karena itu pemahamanterhadap risiko longsorlahan pada lahanpertanian tanaman semusim sebagai asetvital perekonomian petani kecil perdesaanakan, memberikan manfaat bagi pengelola-an sumberdaya pertanian.

Jalur tengah Pulau Jawa yang terbentuk olehsistem gunungapi Kuarter merupakanwilayah yang subur sehingga lajupertumbuhan penduduknya cepat sertatuntutan kebutuhan hidupnya yangsemakin kompleks. Salah satu wilayahtersebut adalah Kecamatan Pujon yangterletak pada DAS Konto bagian hulu, sertaKecamatan Bumiaji dan Kota Batu yang

terletak pada DAS Brantas bagian hulu diwilayah Malang Jawa Timur. Wilayah yangsecara fisiografi dikenal sebagai komplekGunungapi Kuarter Arjuno, merupakanjalur perekonomian terdekat penghubungantara Malang dengan Kediri dan Jombangdengan pertumbuhan penduduk untuk ketiga kecamatan tersebut mencapai sekitar1,8 % per tahun (Badan Pusat Statistik,2008A; Badan Pusat Statistik, 2008B).Dalam konsep tataruang wilayah initermasuk sebagai daerah fungsi lindung,akan tetapi arah pengembangan per-ekononomian ditetapkan sebagai kawasanpertanian dan pariwisata (Badan Perencana-an Pembangunan Daerah KabupatenMalang, 1994). Perkembangan wilayahyang cukup pesat pada topografi berbukithingga bergunung akan meningkatkanpotensi risiko longsorlahan. Kejadianlongsorlahan yang diinventarisasipemerintah daerah dari 2002 - awal 2009menimbulkan kerugian infrastruktursekitar Rp. 3,5 milyar.

Penilaian dan manajemen risikolongsorlahan penuh dengan ketidakpastianmenyangkut besaran, kecepatan, waktulongsorlahan, kerentanan kehidupanmanusia, dan prasarana fisik (Dai et al.,2002). Dalam paradigma penguranganrisiko, bencana dapat dikurangi dampaknyaapabila masyarakat memahami karak-teristik wilayah rawan bencana, memahamiobjek yang rentan bahaya, dan memahamikapasitas individu serta masyarakat dalammenghadapi bencana sehingga dapatdirumuskan sebagai berikut :

petani masyarakat kapasitassemusim)n tanama

pertanian lahan kerentanan x (bahaya

Risiko

------------------------------------ (1)

Per masalahannya adalah bagaimanaterapan konsep penilaian risiko bencana

Page 48: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

47Risiko Longsorlahan ... (Purnomo, et al)

longsorlahan tersebut pada lahan pertaniantanaman semusim yang berkembang diwilayah gunungapi.

Tujuan penelitian adalah (1) mengkajikarakteristik tingkat bahaya longsorlahandi lahan pertanian tanaman semusim,tingkat kerentanan lahan pertanian tanam-an semusim, dan kapasitas masyarakatpetani terhadap longsorlahan, serta (2)menyusun model konseptual risikobencana longsorlahan pada lahan pertaniantanaman semusim di wilayah gunungapi.

METODE PENELITIAN

Metode utama penelitian ini adalah survei.Sebanyak 33 buah satuan lahan dijadikansebagai kerangka penentuan lokasipengambilan sampel sekaligus kerangkaanalisis. Satuan lahan berasal daritumpangsusun Peta Bentuklahan, Geologi,Lereng, Tanah, dan Penggunaan lahandengan skala sama 1:75.000. Pengambilansampel pada lahan dilakukan secarapurposif. Data yang dikumpulkan adalahdata karakteristik lahan.

Sampel petani sebanyak 196 respondendengan sampling error 7 % dari jumlahpopulasi yang tidak diketahui. Pengambilansampel secara aksidental, yaitu siapa sajapenduduk dengan pekerjaan utama sebagaipetani yang mengerjakan lahan pertaniantanaman semusim. Sebaran lokasi respondenditentukan secara proporsional ber-dasarkan luasan 22 satuan lahan yang adaaktivitas budidaya pertaniannya. Data yangdikumpulkan adalah data sosial ekonomipetani.

Analisis pengaruh faktor lahan lerhadaplongsorlahan dan pengaruh faktor sosialekonomi terhadap persepsi longsorlahanmasing-masing dilakukan secara regresimultivariat metode stepwise dan metode en-

ter bila memenuhi syarat uji normalitas, ujiheteroskedastisitas, dan uji multikolinieritas.Apabila salah satu asumsi tidak terpenuhimaka digunakan analisis korelasi tiapvariabel bebas terhadap variabel terikatdengan syarat data normal. Bila data tidaknormal maka digunakan metode statistiknonparametrik berupa korelasi Spearman (rs)untuk data non katagori dan Kruskal Wallsuntuk data katagori. Analisis tingkatbahaya longsorlahan adalah analisis faktoruntuk mengelompokkan data variabellahan yang mencerminkan tingkat bahayalongsorlahan dan dilanjutkan analisiskeruangan. Analisis tingkat kerentananlahan pertanian tanaman semusimmenggunakan analisis kluster metodehirarki untuk mengelompokkan tingkatkerentanan ekonomi lahan pertaniantanaman semusim dan dilanjutkan analisiskeruangan. Analisis tingkat kapasitas sosialekonomi masyarakat petani menggunakananalisis rata-rata tertimbang metodepengharkatan untuk mengelompokkansecara keruangan. Untuk analisis tingkatrisiko longsorlahan digunakan analisiskeruangan berdasarkan tabel silang tingkatbahaya, tingkat kerentanan, dan tingkatkapasitas. Untuk menyusun modelkonseptual risiko longsorlahan digunakananalisis deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bahaya, Kerentanan, dan Kapasitas

Analisis regresi multivariat memenuhisyarat untuk digunakan dan menunjukkanbahwa variabel curah hujan, ketebalanlapukan batuan, konsistensi batas lekat,dan kemiringan lereng berpengaruh secarasignifikan pada taraf 0,05% terhadap luaslongsorlahan. Analisis menunjukkan bahwanilai korelasi (R2) = 0,676, sehingga dapatdinyatakan bahwa perubahan luas

Page 49: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 45 - 5648

Spearman untuk data non katagori danKruskal Wall is untuk data katagori.Hasilnya menunjukkan bahwa individuberpendidikan formal dan berpengetahuanpenyebab dan konservasi terkaitlongsorlahan tinggi pada usia muda sampaidewasa, akan memiliki persepsi yang lebihbaik tentang bencana longsorlahan.Sementara analisis pengharkatan dankeruangan untuk mengetahui tingkatkapasitas sosial ekonomi petani terhadaplongsorlahan menunjukkan bahwa wilayahdengan kapasitas tinggi ini terletak disekitar Kota Kecamatan Kota Batu danBumiaji sehingga dapat mencerminkansebagai masyarakat urbanisasi perdesaan.

Risiko Longsorlahan

Tumpangsusun Peta Tingkat BahayaLongsorlahan, Peta Tingkat KerentananEkonomi Lahan Pertanian, dan PetaTingkat Kapasitas Sosial EkonomiMasyarakat Petani menghasilkan empattingkat risiko longsorlahan. Hasilmenunjukkan bahwa bahaya ataukerentanan atau kapasitas tinggi belumtentu menghasilkan risiko tinggi. Tingkatrisiko longsorlahan dan sebarannyadisajikan Tabel 1 dan Gambar 1.

longsorlahan dipengaruhi oleh ke-4variabel tersebut sebesar 67,6%,sedangkan 32,4% berasal dari variabellainnya. Analisis faktor dan keruanganmenunjuk-kan bahwa karakteristik lahanpada tingkat bahaya sangat tinggi adalahbentuklahan kerucut gunungapi tertorehdan lereng gunungapi tertoreh berbatuanformasi Anjasmoro tua dan muda denganbatuan berupa breksi gunungapi, lava, tuf,lahar, retas; dengan kemiringan lereng 21-55%; dan macam tanah kompleks Andosolcoklat, Andosol coklat kekuningan, danLitosol, serta Asosiasi Andosol coklat danGlei humus.

Analisis klaster dan keruangan me-nunjukkan tingkat kerentanan ekonomilahan pertanian tanaman semusim berkisarantara Rp. 8.879.310,-ha/th - Rp.44.036.061,-ha/th. Sementara analisisregresi multivariat tidak memenuhi syaratuntuk digunakan mengetahui pengaruhfaktor sosial ekonomi terhadap persepsilongsorahan karena syarat heteros-kedastisitas tidak terenuhi. Uji normalitasdata juga menunjukkan bahwa semuavariabel tidak normal kecuali variabel usiadan luas lahan. Oleh karena itu digunakanstatistik nonparametrik berupa korelasi

Tabel 1. Tingkat Risiko Longsorlahan

No. Simbol Satuan Lahan Tingkat Bahaya

Tingkat Kerentanan

Tingkat Kapasitas

Tingkat Risiko

1. F1-Aw-I-AG-S (1) rendah sangat tinggi sangat tinggi sangat rendah

2. F1-Aw-II-LCRK-T (2) sangat rendah rendah tinggi sangat rendah

3. V1-Aw-IV-RK-H (3) tinggi - - -

4. V1-Kb-III-ACL-H (4) sedang - - -

5. V1-Kb-IV-ACL-H (5) sangat rendah - - -

6. V1-Kb-IV-ACL-T (6) tinggi - - -

Page 50: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

49Risiko Longsorlahan ... (Purnomo, et al)

Sumber: analisis keruangan, 2010

7. V1-Pt-IV-RC-T (7) sedang sangat rendah tinggi sangat rendah

8. V2-At-I-AG-S (8) rendah tinggi tinggi rendah

9. V2-At-IV-ACL-T (9) sedang sangat rendah sedang rendah

10. V2-Aw-III-ACRC-T (10) sedang sangat rendah rendah sedang

11. V2-Aw-IV-ACRC-H (11) tinggi - - -

12. V2-Aw-IV-RK-H (12) sedang - - -

13. V2-Kb-IV-ACL-T (13) sedang sangat rendah sedang rendah

14. V2-Pt-II-RC-T (14) rendah rendah sedang rendah

15. V2-Pt-III-RC-T (15) rendah sangat rendah sangat rendah sedang

16. V3-Am-II-ACRC-T (16) sedang sangat rendah rendah sedang

17. V3-At-I-AG-S (17) sedang tinggi sedang tinggi

18. V3-Aw-II-ACRC-T (18) sedang sangat rendah rendah sedang

19. V3-Aw-II-LCRK-T (19) sangat rendah sangat rendah sedang rendah

20. V3-Aw-II-RC-P (20) sangat rendah - - -

21. V3-Aw-III-ACRC-H (21) sedang - - -

22. V3-Aw-III-ACRC-T (22) rendah rendah rendah sedang

23. VD1-Am-IV-ACL-H (23) sangat tinggi - - -

24. VD2-Am-IV-ACL-H (24) tinggi - - -

25. VD2-Am-IV-ACL-T (25) sangat tinggi rendah sedang tinggi

26. VD2-Am-IV-AG-H (26) sangat tinggi sangat rendah rendah tinggi

27. VD2-Am-IV-AG-T (27) tinggi sangat rendah tinggi rendah

28. VD2-At-IV-ACL-H (28) sedang - - -

29. VD2-At-IV-ACL-S (29) sangat tinggi tinggi sedang tinggi

30. VD2-At-IV-ACL-T (30) sangat tinggi sangat rendah sedang sedang

31. VD2-At-IV-AG-T (31) tinggi rendah tinggi rendah

32. VD3-At-I-AG-S (32) tinggi tinggi sedang tinggi

33. VD3-At-IV-ACL-T (33) tinggi sedang sedang tinggi

Page 51: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 45 - 5650

Gambar 1. Peta Risiko Longsorlahan

Page 52: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

51Risiko Longsorlahan ... (Purnomo, et al)

Model konseptual risiko pada penelitianini didasarkan pada konsep kepekaanmanusia terhadap bencana yangdimodifikasi untuk model konseptualrisiko longsorlahan sesuai hubungansumberdaya dan bahaya pada konsepgeomorfologi lingkungan. Berdasarkandata faktor fungsi risiko yang signifikan,maka diketahui model visual pita

toleransi risiko bencana longsorlahan yangdapat diterima pada tingkat risiko tinggi,sedang, rendah, dan sangat rendah (Gambar2). Mengacu pada hasil penelitian yaituempat t ingkat r isiko yang dimodelvisualkan, maka masing-masing tingkatr isiko longsorlahan dapat dimodelanalogkan bersama dengan masing-masingfaktornya dalam rumus berikut:

Keterangan:Bahaya tinggi = longsorlahan aktual banyak dengan ukuran besar sampai kecil;

potensial tinggiKerentanan tinggi = lahan pertanian tanaman semusim dengan nilai ekonnomi lahan

pertanian tinggiKapasitas rendah = tingkat pendidikan rendah, pengetahuan rendah, usia penduduk

tuaBahaya sedang = longsorlahan aktual sedikit tetapi ukurannya besar; potensial

sedangKerentanan rendah = lahan pertanian tanaman semusim dengan nilai ekonnomi lahan

pertanian rendahBahaya rendah = longsorlahan aktual 1 dengan ukuran kecil; potensial rendahKapasitas sedang = tingkat pendidikan sedang, pengetahuan sedang, usia penduduk

muda dan dewasa

--------- (2)

--------- (3)

--------- (4)

---- (5)

rendah kapasitas tinggikerentanan tinggibahaya an tinggilongsorlah bencana Risiko

rendah kapasitasrendah kerentanan sedang bahaya sedangan longsorlah bencana Risiko

sedang kapasitas tinggikerentanan rendah bahaya rendah an longsorlah bencana Risiko

sedang kapasitas tinggikerentanan rendah bahaya rendah sangat an longsorlah bencana Risiko

Page 53: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 45 - 5652

Bahaya Potensial

a

tinggi sedang rendah

tinggi

sedang renda

h Kere

ntan

an K

apas

itas

sedang rendah

tinggi

sedang

rendah

tinggi

bn

tinggi sedang rendah

tinggi

sedang renda

Kapa

sitas

Ke

rent

anan

Bahaya Potensial

tinggi sedang rendah

tinggi

sedang

rendah

Kapa

sitas

c

tinggi sedang ren dah

tinggi

sedang renda

h Kere

ntan

an

Bahaya Potensial

tinggi sedang rendah

tinggi

sedang

rendah

d

tinggi sedang rendah

tinggi sedang

rendah

Kapa

sitas

Ke

rent

anan

Bahaya Potensial

tinggi sedang rendah

tinggi

sedang

rendah

Keterangan:

: Garis bahaya longsorlahan aktual;

: Garis tingkat kapasitas, kerentanan, bahaya potensial;

: Area bahaya longsorlahan potensial;

: Area sumberdaya lahan pertanian dengan risiko diterima / ditoleransi;

: Area sumberdaya lahan pertanian dengan risiko diabaikan

Sumberdaya lahan tanpa risikolebar, bahaya longsorlahanaktual dan potensial rendah,risiko diterima sempit

Sumberdaya lahan tanpa risikosempit, bahaya longsorlahanaktual banyak tetatpi berukurankecil dan bahaya potensialrendah, risiko diterima lebar

Sumberdaya lahan tanpa risikosempit, bahaya longsorlahanaktual sedikit tetatpi berukuranbesar dan bahaya potensialsedang, risiko diterima sedang

Sumberdaya lahan tanpa risikotidak ada; bahaya longsorlahanaktual banyak dan berukuran besarserta bahaya potensial tinggi;risiko diterima sangat sempit

Sumber : hasil analisis deskriptif, 2011; modifikasi dari Hewit dan Burton, 1971 dalamSmith, 1996

Gambar 2. Model Konseptual Risiko Longsorlahan; (a) Risiko Tinggi, (b) Risiko Sedang,(c) Risiko Rendah, (d) Risiko Sangat Rendah

Page 54: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

53Risiko Longsorlahan ... (Purnomo, et al)

Pada aspek bahaya, penyebab longsor-lahan adalah ketebalan material lapukanbatuan berkonsistensi batas lekat rendahyang menumpang pada lereng dengankemiringan tinggi, ketika menerima responhujan yang tinggi akan berpotensi terjadilongsorlahan. Ketebalan lapukan batuanyang menunjukkan volume material besarberperan dalam meningkatkan gaya berat(Notohadiprawiro dan Suparnowo, 1978;Moon dan Simpson, 2002; Bronto, 2004;Frattini et al., 2004; Karnawati, 2005;Akgun et al., 2011). Saat konsistensirendah tanah dalam keadaan mengalir ataukental. Kelekatan tanah saat jenuh airakan menjadi berkurang karena terjadinyaperengangan antar butiran partikel tanah(Sutedjo dan Kartasapoetra, 1987;Poerwowidodo, 1992). Bila kondisitersebut terjadi pada lereng yang miringsampai curam maka akan terjadiketidakstabilan lereng. Ketidakstabilanlereng dikendalikan oleh hubungan antaramomen gaya yang melongsorkan massamaterial bergerak ke bawah denganmomen gaya yang menahan massa mate-rial tetap berada pada tempatnya. Gayayang melongsorkan massa material berupaberat massa material, beban pada lereng,tekanan air dalam pori tanah, dangangguan pada tanah. Untuk gaya yangmenahan adalah kuat geser material yangbekerja sepanjang bidang gelincir padalereng (Pangluar dan Suroso, 1985; Cookedan Dornkamp, 1990; Huda, 2001;Karnawati, 2005; Akkrawintawong et al.,2008). Kondisi tersebut bila menerimarespon hujan dengan intensitas dan waktuyang lama maka potensi kejadian longsor-lahan meningkat (Ayala, 2003; Polimeo,1998; Beek, 2002; Karnawati, 2005).

Pada aspek kerentanan dan kapasitasmenunjukkan bahwa elemen berisikoberupa komoditas tanaman semusimpada penggunaan lahan pertanian sawah

memiliki nilai ekonomi lahan dengankerentanan tinggi. Penelitian terdahulujuga menyatakan bahwa lahan pertanianyang sesuai untuk beberapa variasi jeniskomoditas bernilai ekonomi tinggi dankebutuhan bahan pangan pokok memilikikerentanan tinggi karena sawah memilikiperan ekonomi dan ekologi yang tinggidibandingkan dengan bentuk peng-gunaan lahan pertanian lainnya(Kumalawati, 2005; Remondo et al. ,2006; Baiquni, 2006). Sementara dari sisikapasitas menunjukkan bahwa individuber pendidikan for mal dan ber-pengetahuan t inggi pada usia mudasampai dewasa memiliki persepsi yangbaik tentang bencana longsorlahan. Halini memperkuat pendapat bahwa sebagianbesar persepsi dan perilaku manusiamer upakan perilaku yang dibentuk,diperoleh, dan dipelajari melalui prosespenyerapan pengetahuan melalui belajarformal maupun sumber informasi dariberbagai pihak terlebih lagi bagi merekayang ber usia muda (Walgito, 1999;Solana e t al . , 2003; Donie, 2006;Kuncoro, 2003).

Aspek kerentanan dan kapasitas jugamengungkap bahwa karakteristikmasyarakat di daerah penelitian bercirikanmasyarakat transisi wilayah urbanisasiperdesaan. Hal ini dapat dilihat dari kondisivisual perkotaan pada Kota Batu denganpertumbuhan dan perdesaan di KecamatanBumiaaji dan Pujon. Selain itu menunjuk-kan bahwa 89% responden memilikipekerjaan sampingan. Menurut Yunus(2008) kondisi tersebut sudah dapatmencirikan adanya dinamika masyarakatwilayah perkotaan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah

Page 55: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 45 - 5654

risiko longsorlahan tinggi ditentukan olehbentuk penggunaan lahan sawah padalahan dengan material lapukan batuanyang tebal, tanahnya berkonsistensi bataslekat rendah, terletak pada lereng dengankemiringan tinggi, wilayahnya dengancurah hujan tinggi, yang diusakan olehpetani dengan pendidikan rendah,pengetahuan penyebab dan pengetahuankonservasi lahan terkait longsorlahanrendah, serta berusia cenderung tua.Penelitian ini juga menghasilkan modelkonseptual risiko longsorlahan yang mere-presentasikan hubungan sumberdaya danbencana pada konsep geomorfologilingkungan. Model konseptual risikolongsorlahan tersebut dinyatakan bahwasumberdaya lahan pertanian tanamansemusim dengan t ingkat bahayalongsorlahan tinggi, dapat diusahakandengan risiko yang diterima apabilakerentanan komoditas pertaniannyabernilai ekonomi rendah dan kapasitaspetani yang mengusahakannya tinggi.Kesimpulan tersebut berlaku pada lahan

pertanian tanaman semusim yang diusaha-kan oleh masyarakat wilayah urbanisasiperdesaaan di lahan gunungapi. Disaran-kan untuk pengurangan risiko dapatdilakukan melalui pendidikan formal danpendidikan non formal. Pendidikan for-mal yang dimaksud adalah memasukkantema pengurangan risiko bencana kedalam kurikulum lokal. Pendidikannonformal yang dimaksud adalah melaluipelatihan-pelatihan tanggap longsorlahanbagi masyarakat luas.

UCAPAN TERIMAKASIH

Tulisan ini mer upakan garis besarpenelitian disertasi yang disusun olehpenulis pertama dibawah bimbinganpenulis kedua, ket iga, dan keempat.Ucapan terimakasih sebesar-besarnyadisampaikan kepada para pembimbing yangdengan kesabarannya, ketulusan, dankeiklasannya telah mendorong penulispertama untuk menyelesaikan disertasi.

DAFTAR PUSTAKA

Akgun, A., Kýncal, C., and Pradhan, B., 2011. Application of Remote Sensing Data and GISfor Landslide Risk Assessment as an Environmental Threat to Izmircity (West Turkey). http://www. Springer Science + Business Media B.V. h.5463-5469.

Akkrawintawong, K.; Chotikasathien, W.; Daorerk, V.; and Charusiri, P., 2008. GISApplication for Landslide Hazard Mapping in Phang Nga Region,Southern Thailand.Proceedings of the International Symposia on Geoscience Resources and Environments of AsianTerranes (GREAT 2008), Bangkok.

Ayala, I. Alcantara., 2003. Hazard assessment of rainfall-induced landsliding in Mexico.www.elsevier.com/locate/geomorph. p.1-22.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Malang, 1994. Tata Ruang KabupatenMalang Tahun 1994-2004. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah KabupatenMalang, Malang.

Badan Pusat Statistik, 2008A. Kota Batu Dalam Angka Tahun 2008. Badan Pusat StatistikKota Batu, Batu.

Page 56: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

55Risiko Longsorlahan ... (Purnomo, et al)

Badan Pusat Statistik, 2008B. Kabupaten Malang Dalam Angka Tahun 2008. Badan PusatStatistik Kabupaten Malang, Malang

Baiquni, M., 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perdesaan dan Strategi PenghidupanRumahtangga Perdesaan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada Masa Kritis(1998-2003). Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Universitas GadjahMada, Yogyakarta

Bastian, I., 2006. Valuasi Risiko Bencana. Makalah Seminar Nasional Pelacakan Valuasi RisikoBencana. Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Beek, R.V., 2002. Assessment of The Influence of Changes in Land Use and Climate on LanslideActivity in a Mediterranean Environment. Universiteit Utrecht, Utrecht

Bronto, S., 2004. Longsor di Gunungapi. Dalam Permasalahan, Kebijakan, dan PenanggulanganBencana tanah Longsor di Indonesia. Pengelolaan Sumberdaya dan kawasan, PusatPengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta

Cooke, R.U. and J.C. Dornkamp., 1994. Geomorphology in Environmental Management. A NewIntroduction, edisi kedua. Claredon Press, Oxford

Donie, S., 2006 Masyarakat yang Tinggal di Daerah Rawan Longsor. Interpretasi, Penyebab,dan Strategi Adaptasi (Kasus Desa Purwoharjo Kecamatan Samigaluh Kulon Progo).Tesis (tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Goenadi, S., Sartohadi, J., Hardiyatmo, H.C., Hadmoko, D.S., dan Giyarsih, S.R., 2003.Konservasi Lahan Terpadu Daerah Rawan Bencana Longsoran di Kabupaten KulonProgo Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian UniversitasGadjah Mada, Yogyakarta

Huda, M., 2001. Mekanisme Gerakan Longsoran Tanah Lempung Akibat Input Curah Hujandi Pegunungan Kendeng Kabupaten Grobokan Jawa Tengah. Tesis (tidak dipublikasikan).Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Karnawati, D. 2005. Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan UpayaPenanggulangannya. Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta

Kumalawati, R., 2005.Valuasi ekonomi Risiko Bencana Alam Gerakan Massa dan ErosiTerhadap Lahan Pertanian di DAS Tinalah Kulon Progo. Tesis (tidak dipublikasikan).Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Kuncoro, V, 2003. Perumahan di Kawasan Rawan Bencana Tanah Longsorlahan (StudiKasus Kota Semarang). Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana, UniversitasGadjah Mada, Yogyakarta

Lee, S., and Pradhan, B., 2006. Probabilistic landslide hazards and risk mapping on PenangIsland, Malaysia. Earth System Science 115, No. 6, December 2006, Printed in India, p.661–672

Page 57: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 45 - 5656

Naryanto, H. S., Marwanta, B., Prawiradisastra, S., Kurniawan, L., dan Wisyanto, 2004.Fenomena dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kajadian Bencana AlamTanah Longsor di Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat Tanggal 21 April 2004.Dalam Permasalahan, Kebijakan, dan Penanggulangan Bencana tanah Longsor di Indonesia.Pengelolaan Sumberdaya dan kawasan, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi,Jakarta.

Notohadiprawiro, T., Suparnowo, S.H., 1978. Asas-Asas Pedologi. Departemen Ilmu TanahFakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pangular D. dan Suroso., 1985. Petunjuk Penyelidikan dan Penanggulangan Gerakantanah. BadanPenelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum, Departemen Pekerjaan UmumRepublik Indonesia, Bandung.

Poerwowidodo, 1992. Metode Selidik Tanah. Usaha Nasional, Surabaya.

Polemio, M., and Sdao, M., 1998. The Role of Rainfall in The Landslide Hazard: The Case of TheAvigliano Urban Area (Southern Apennines, Italy) . www.elsevier.com/locate/ EngineeringGeology 53 p. 297–309.

Priyono, Kuswaji Dwi. 2012. Kajian Mineral Lempung pada Kejadian Bencana Longsorlahandi Pegunungan Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta. Forum Geografi. Vol. 26,No. 1, Juli 2012: 53 - 64.

Remondo, J., Bonachea, J, and Cendrero, A., 2006. Quantitative Landslide Risk Assessmentand Mapping on the Basis of Recent Occurrences. Geomorphology. www.elsevier.com/locate/geomorph. p.1-12.

Slamet, Y., 2006. Metode Penelitian Sosial. Universitas Sebelas Maret Press, Surakarta.

Solana, M.C. and Kilburn, C.R.J., 2003. Public Awareness of Landslide Hazards: theBarranco de Tirajana, Gran Canaria, Spain. Geomorphology 54. http://www.elsevier.com/locate/geomorph. h.39-48.

Twigg, J., 2004. Good Practice Review Disaster Risk Reduction Mitigation and Preparedness inDevelopment and Emergency Programming. Overseas Development Institute, London,United Kingdom.

Walgito, B., 2003. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Penerbit Andi, Yogyakarta.

Yunus, H.S., 2008. Dinamika Wilayah Peri-Urban, Determinan Masa Depan Kota. PustakaPelajar, Yogyakarta.

Page 58: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

57Pemodelan Tingkat Daya Pulih ... (Noviani, et al)

PEMODELAN TINGKAT DAYA PULIH MASYARAKAT DI KAWASANRAWAN BENCANA BANJIR KOTA SURAKARTA

Modelling of community recovery level of flood-prone area in Surakarta

Rita Noviani, Pipit Wijayanti dan Yasin Yusup 1)

Dosen P. Geografi FKIP UNS and Staff of  Center for Disaster Study UNSEmail: [email protected]

ABSTRACTThis study aimed to develop community resilience velocity model after the disaster. The study is a descriptiveanalysis using household survey of the flood victims. Total sample of 100 households in ten villages on thebanks of the Bengawan Solo River, and is an area prone to flooding. Processing for data is using descriptivestatistical analysis, correlation and regression, analysis of variance and factor analysis.There is a closerelationship between the power recovered by a factor of assets, knowledge and long flood events. The twomain factors affecting the dominant public resilience is a characteristic of a society of social assets, knowledgeand natural assets. The second factor is the economic and financial factors, and long floods. The Resultedmodel level resilience  from the research is Y = 0.012 X1 + 0.118 X2 + 0.394 X3 + 0.079 X4 +0.040 X5-.002 X6. which; Y is Power Restored (speed), Ownership Financial Assets (X1), Ownershipof Assets Economics (X2 ), Natural Asset Ownership (X3), Social Asset Ownership (X4), Lama flood-ing (days) (X5), and Knowledge (X6). Further optimization of the acceleration of flood resilience ofhouseholds to do with strengthening the ownership of assets, improving the capacity of communities andreduce the threat of flooding and duration of.

Keywords: modeling, power restored, flood-prone areas

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk menyusun model kecepatan daya pulih masyarakat pasca bencana. Penelitianbersifat deskriptif analitis dengan menggunakan metode survei terhadap rumah tangga yang menjadi korbanbencana banjir. Jumlah sampel sebanyak 100 rumah tangga yang berada di sepuluh desa di bantaransungai Bengawan Solo dan merupakan kawasan rawan banjir. Pengolahan data dengan menggunakananalisis statistik deskriptif, korelasi dan regresi, analisis varian dan analisis faktor. Terdapat hubunganyang erat antara daya pulih dengan faktor aset, pengetahun dan lama kejadian banjir. Dua faktor utamayang dominan mempengaruhi daya pulih adalah karakteristik sosial masyarakat yang terdiri dari asetsosial, pengetahuan dan aset natural. Faktor kedua adalah faktor ekonomi dan finansial serta lamakejadian banjir. Model tingkat daya pulih yang dihasilkan penelitian ini adalah Y = 0,012 X1 +0,118 X2 + 0,394X3 + 0,079 X4+ 0,040 X5- 0,002 X6, dimana, Y adalah Daya Pulih (kecepatan),Kepemilikan Aset Finansial (X1), Kepemilikan Aset Ekonomi (X2), Kepemilikan Aset Natural (X3),Kepemilikan Aset Sosial (X4), Lama terjadinya banjir (hari) (X5), dan Pengetahuan (X6). Selanjutnyaoptimasi percepatan daya pulih rumahtangga korban banjir dapat dilakukan dengan memperkuatkepemilikan asset, perbaikan kapasitas masyarakat dan mengurangi ancaman dan lama banjir.

Kata kunci: pemodelan, daya pulih, kawasan rawan banjir

Page 59: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 57 - 7058

PENDAHULUAN

Bantaran sungai Bengawan Solo merupa-kan kawasan rawan bencana yang berpotensiterlanda banjir setiap tahunnya, khususnyadi musim penghujan. Salah satu daerahyang menjadi ’langganan’ banjir BengawanSolo adalah Kota Surakarta. Setiap tahunbanjir rutin melanda daerah ini dan menyebab-kan kerusakan dan kerugian yang cukupbesar. Berdasarkan aspek sektoral, nilaikerusakan paling besar dialami oleh sektorpermukiman dan infrastruktur. Secarakewilayahan, area terdekat dengan aliranBengawan solo merupakan daerah yangpaling potensial terkena dampak bencanadimana diperkirakan sekitar 65% darikerusakan dan kerugian dialami kawasanini. Risiko ini terus mengalami peningkatanseiring dengan proses pembangunan yangcepat (Anna et. al, 2010).

Berdasarkan karakteristik wilayah dan sosialekonomi masyarakat, tingkat kerusakandan kerugian yang dialami masing-masingrumah tangga akan memiliki tingkat dayapulih yang sangat bervariatif. Keberlangsung-an hidup pasca bencana dapat berkelanjutanapabila bisa pulih dari tekanan atau shockseperti bencana alam dll denganmenggunakan asset dan kemampuan yangdimiliki sekarang tanpa menggantungkanhanya pada Sumber Daya Alam (Chambers,R. and G.Conway (1992).

Keberlangsungan hidup terdiri daripendapatan baik secara tunai atau dalambentuk lain seperti relasi sosial atau orang-orang yang dikenal yang dapat memudah-kan kehidupan seseorang atau sebuahkeluarga, dan akses kepada pelayananumum dan pelayanan sosial yang memberi-kan sumbangan atau kontribusi terhadapkesejahteraan seseorang atau keluarga.(Ellis,1998). Keberlangsungan hidup jugadapat tediri dari Asset (natural, physical,human, financial dan social), aktifitas, dan

akses terhadap asset yang ada melaluiperantara orang-orang yang telah dikenal-nya dan relasi-relasi social) yang kemudianbersama-sama menentukan peningkatankehidupan baik secara invidual maupundalam tingkat rumah tangga. (Ellis,2000)

Dari definisi dari keberlangsungan hidupdapat diambil 3 komponen terpentingdalam keberlangsungan hidup manusiayaitu: Asset, Akses dan Aktifitas. Assetdapat berarti anugrah atau sokongan dariSumber daya seperti Sumber daya Alam(Natural Capital) yang ada untuk dapathidup. Asset juga dapat berupa assetmaterial(Physical Capital), kemampuan fi-nancial (Financial Capital), kemampuandari tiap anggota keluarga/pengalaman(Human capital), dan relasi atau hubungandengan komunitas yang ada disekitarnya(Social Capital).(Fine,1999).

Hubungan kelima asset ini dapat digambar-kan dari sebuah pentragram untuk dapatmempermudah dalam menganalisiskeberlangsungan hidup baik dalam tingkatrumah tangga maupun dalam tingkatanwilayah (Gambar 1).

Akses terhadap pasar merupakan salah satukomponen penting dalam keberlangsunganhidup manusia. Akses dalam setiap wilayahberbeda satu sama lain dan mungkin adawilayah yang tidak mempunyai aksesterhadap pasar (akses terhadap lahan,kredit dll) atau mungkin beberapa orangyang mempunyai status sosial, finansial danhuman capital rendah tidak mempunyaiakses terhadap pasar. Akses terhadap pasarsangat ditentukan oleh beberapa faktoryaitu jarak terhadap pasar, akses kepadainfrastruktur fisik, telekomunikasi, aksesterhadap informasi, akses terhadap pelayan-an, dll. (Junior Davis and Dirk Bezemer, 2003)

Aktivitas dapat berarti cara yang ditempuhsemua anggota keluarga dalam memanfaat-kan waktu sibuk mereka untuk mendukung

Page 60: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

59Pemodelan Tingkat Daya Pulih ... (Noviani, et al)

keberlangsungan hidup mereka. Aktifitasdisini dapat berarti bekerja, produksipertanian, perdagangan dan berbagaiaktifitas lain.(Barrett et al. ,2001b).Beberapa dari aktifitas dalam strukturmasyarakat pertanian diantaranya incomeatau pendapatan dapat berasal dari on farmincome off farm income dan unlearned income.Davis and Pearce(2001). Dari Incometersebut dapat di klasifikasikan kembalikedalam beberapa jenis pekerjaan makroseperti pekerjaan berbasis pertanian,pekerjaan berbasis non pertanian dll.Dukungan atau sokongan asset yangdimiliki oleh tiap rumah tangga danaktivitas yang dilakukan secara bersama-sama akan mendukung kehidupan yanglebih baik (well being). (Barrett et al.,2001b).hal ini dapat dicerminkan dari Gambar 2.

Dalam konteks manajemen bencana,khususnya tahap pemulihan kondisi,kerangka kerja livelihood (keberlangsunganhidup) dapat digunakan oleh pembuat

kebijakan untuk meningkatkan kondisikehidupan dari masyarakat dan wilayahyang terkena dampak langsung maupuntidak langsung dari suatu bencana. Liveli-hood atau keberlangsungan hidup menyedia-kan kerangka kerja yang mempunyai fokuspada masyarakat yang kehilangan asetkehidupan yang dimilikinya yang jikapenangannnya tidak tepat akan menyebab-kan kemiskinan. Penelitian ini bertujuanuntuk menyusun model kecepatan dayapulih masyarakat pasca bencana.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif analitikdengan metode survei untuk menguraikanmengenai gejala yang dikaji berdasarkanindikator yang telah ditetapkan. Indikatoryang dimaksud adalah karakteristik rumahtangga, banjir, pengetahuan, dampakbanjir, strategi adaptasi dan daya pulihrumah tangga akibat banjir.

Sumber:hasil analisis

Gambar 1. Pentagon Lima Aset dalam Pemulihan Pasca Bencana

Page 61: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 57 - 7060

Sumber: hasil analisis

Gambar 2. Sustainable Livelihood Framework (Development of International Development“DFID), 1999

Penelitian ini dilakukan di sepanjang bantaransungai Bengawan Solo di kota Surakarta.Daerah ini telah ditetapkan oleh PEMKOTsebagai kawasan rawan bencana yangdisebabkan karena bajir rutin sungaiBengawan Solo,

Populasi dalam penelitian ini adalah rumahtangga yang menjadi korban bencana banjirdan berada dalam wilayah kawasan rawanbanjir. Jumlah sampel penelitian sebanyak100 rumahtangga korban bencana banjiryang diambil secara random (simple randomsampling).

Data dan variabel yang digunakan dalampenelit ian ini dapat dikelompokkanmenjadi sebagai berikut (Tabel 1).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknis analisis statistik yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu analisis regresimultivariant, yaitu dengan menetapkankecepatan daya pulih sebagai variableterpengaruh (Y), dan faktor lain sepertikepemilikan asset, karakteristik banjir danpengetahuan sebagai faktor yangmempengaruhi (Xi). Mendasarkan teoriyang ada dapat diformulasikan sebagaiberikut :Y = a + b1X1 + b1X2 + b3X3 + b4X4 -

b5X5 + b6X6

Keterangan:Y = Daya Pulih (kecepatan)X1 = Kepemilikan Aset FinansialX2 = Kepemilikan Aset EkonomiX3 = Kepemilikan Aset NaturalX4 = Kepemilikan Aset SosialX5 = Lama terjadinya banjir (hari)X6 = Pengetahuan

Page 62: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

61Pemodelan Tingkat Daya Pulih ... (Noviani, et al)

No. Indikator Sumber Data Variabel-variabel Penelitian

1. Karakteristik Banjir Bengawan Solo

Data Sekunder (Instansional)

dan Observasi lapangan

2. Karakteristik Wilayah Rawan Bencana Banjir

Data Sekunder (Instansional), Kuesioner, dan Observasi lapangan

1. Sejarah Banjir 2. Frekwensi 3. Lama Banjir 4. Pemetaan rawan banjir 5. Ketinggian banjir 6. Langkah-langkah menangani banjir

3. Karakteristik Rumah Tangga

Data Primerdengan wawancara terstruktur

1. Umur 2. Jenis kelamin 3. Pendidikan 4. Pekerjaan 5. Lama Tinggal 6. Penghasilan 7. Pengeluaran 8. Jumlah Anggota keluarga 9. Karakteristik Anggota Keluarga

4. Kepemilikan Aset Data Primerdengan wawancara terstruktur

1. Modal Finansial 2. Modal Ekonomi 3. Modal Natural 4. Modal Sosial

5. Pengetahuan tentang Banjir

Data Primer dengan wawancara terstruktur

1. Kawasan rawan banjir 2. Penyebab banjir 3. Akibat banjir 4. Penanggulangan banjir 5. Manajemen banjir

6. Dampak Bencana Data Primer dengan wawancara terstruktur

1. Rumah 2. Diri pribadi 3. Bahan pokok 4. Harta benda 5. Lingkungan

7. Strategi Adaptasi Data Primer dengan wawancara terstruktur

1. Tetap tinggal di lokasi 2. Punya rencana pindah 3. Pindah 4. Relokasi 5. Transmigrasi

8. Daya Pulih Data Primer dengan wawancara terstruktur

1. Fisik rumah/bangunan dan lingkungan

2. Psikologis keluarga (dari stress) 3. Natural (pangan dan sandang) 4. Kesehatan (jika sakit) 5. Sosial (hubungan kemasyarakatan)

Tabel 1. Faktor-Faktor yang Menjadi Indikator dan Variabel Penelitian

Sumber: hasil analisis

Page 63: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 57 - 7062

Kepemilikan Aset

Finansial

Kepemilikan Aset

Ekonomi

Kepemilikan Aset Natural

Kepemilikan Aset Sosial

Total Skor Pengetahuan

Lama Terjadinya

Banjir (Hari)

X1 X2 X3 X4 X5 X6

Y (Daya Pulih) ,646 ,073 ,000 ,000 ,028 99 99 99 99 99 99

Rata-rata Waktu Daya Pulih

0.010* 0.107* .427* .245* .295* -.311 ,092 ,029 ,000 ,015 ,003 ,052

99 99 99 99 99 99 Sumber: analisis data primer, 2012

Tabel 2. Matrik Koefisien Korelasi Antara Peubah Daya Pulih(Y) dan Enam PeubahPengaruh = Xi

Tingkat daya pulih suatu rumah tanggasangat tergantung pada besarnya tingkatkerusakan yang dialami, sumberdayarumah tangga (aset) yang dimiliki danpengaruh faktor eksternal. Indikator asettersebut, dapat menentukan tingkat dayapulih suatu wilayah, sebagai dasar untukmenyusun strategi pembangunan secaramenyeluruh terhadap daerah bencana.

Beberapa konsep dasar tentang daya pulihrumah tangga akibat bencana menyakinibahwa determinan asset, pengetahuan dankarakter bencana sangat mempengaruhikecepatan daya pulih rumah tangga. Olehkarena itu perlu ditelusuri faktor-faktorapa yang berpengaruh dan besarnyapengaruh tersebut, sehingga dapatdiketahui bagaimana cara mempercepattingkat daya pulih masyarakat dalammenghadapi bencana banjir. Untukmengetahui dan memahami faktor-faktordeterminan yang berpengaruh terhadapvariasi tingkat daya pulih, atas dasar datayang telah diperoleh pada penelitian ini,dianalisis menggunakan teknik analisiskorelasi regresi ganda. Dengan tekniktersebut, disamping dapat mengetahuikekuatan hubungan antara berbagaipeubah atau variabel, juga mampu me-

nunjukkan besarnya pengaruh secarakuantitatif (jika peubah-peubah laindianggap konstan), sekaligus persamaamregresi yang dapat digunakan untukmemperkirakan perubahan daya pulih yangterjadi. Selanjutnya setiap faktor dapatdikelompokkan menjadi peubah bebas (in-dependent variable) Xi dan Y sebagai peubahtidak bebas (dependent variable). Masing-masing peubah tersebut dapat dilihat padaTabel 2. Pada tahap awal dilakukan prosesanalisis korelasi sebagaimana yangdisajikan dalam matrik koefisien korelasiantar peubah berikut (Tabel 2).

Matriks koefisien korelasi antar peubahpenelitian, seperti telah dikemukakansebagai salah satu hasil analisis, dapatditunjukkan pada Tabel 2. Pada tabeltersebut menunjukkan bahwa antarapeubah tingkat daya pulih rumahtangga(Y) dengan setiap peubah bebas (Xi),memiliki koefisien korelasi ‘(r) yangbervariasi. Dari enam variabel yang ditelitilima diantaranya berpengaruh signifikan,yaitu X1, X2, X3, X4, dan X5 dan hanyaX6 yang kurang berpengaruh, limadiantara variabel tersebut hubungannyabersifat positif dan satu variable bersifatnegatif.

Page 64: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

63Pemodelan Tingkat Daya Pulih ... (Noviani, et al)

Berdasarkan matrik korelasi tersebut,maka semakin tinggi kepemilikan assetfinancial (X1), kepemilikan asset ekonomi(X2), ke-pemilikan asset natural (X3),kepemilikan asset sosial (X4), dan tingkatpengetahuan (X5), maka daya pulihmasyarakat semakin cepat. Sebaliknyamakin lama genangan banjir, makinrendah atau lama tingkat daya pulihnya.

Model Regresi Tingkat Daya Pulih

Koefisien korelasi yang telah dikemukakanpada bahasan sebelumnya, merupakanhasil analisis korelasi sederhana antara duapeubah, tanpa mempertimbangkanpengaruh peubah bebas yang lain. Olehkarena itu masih perlu ditelusuri lebihlanjut melalui analisis korelasi regresiganda. Disamping mampu menunjukkanbesarnya pengaruh dari peubah bebas(secara bersama-sama), analisis korelasiregresi ganda juga memberikan persamaanlinier matematik yang sangat berguna bagiprediksi kecepatan daya pulih rumah tanggaakibat faktor-faktor penyebabnya, sepertiasset, pengetahuan, dan karakter bencanatersebut.

Hasil analisis menunjukkan bahwabesarnya koefisien korelasi regresi bergandasebesar 0,655, dan nilai F regresi bergandasebesar 3,995, pada taraf signifikan F yangsangat terpercaya yaitu kurang dari 0,001(signif F = 0,0000). Secara rinci hasilanalisis ini dapat disajikan pada Tabel 3.

Hasil analisis tersebut menunjukkan,bahwa terdapat korelasi yang sangat kuatantara peubah terpengaruh Y (kecepatandaya pulih) dengan enam peubah tingkatdaya pulih (X) secara berganda. Dalam halini ditunjukkan oleh adanya derajadkepercayaan yang sangat tinggi (lebih dari99,995 persen) atau taraf signifikansi Fkurang dari 0,001. Oleh karena itu, dapatdinyatakan bahwa ke enam peubah

pengaruh tersebut secara bersama-samamemiliki pengaruh yang sangat kuatterhadap kecepatan daya pulih rumahtangga korban bencana banjir.

Besarnya sumbangan (share) dari keenampeubah pengaruh X terhadap variabelterpengaruh Y (daya pulih), ditunjukkanoleh besarnya angka R square yakni 0,607.Hal ini berarti, bahwa sumbangan yangdiberikan ke enam peubah pengaruh Xterhadap variasi peubah terpengaruh Ysebesar 60,7 persen, sedangkan sisanya39,3 persen disebabkan oleh faktor lain diluar faktor yang diamati pada penelitian ini.

Ditinjau dari hasil analisis regresi, me-nunjukkan bahwa besarnya koefisienregresi atau koefisien arah persamaan, jugamerupakan besarnya pengaruh setiappeubah pengaruh (X) terhadap peubahterpengaruh (Y), jika peubah pengaruhnaik atau turun sebesar satu unit. Besarnyanilai koefisien persamaan regresi langsungditunjukkan pada Tabel 4.

Dari Tabel 4, persamaan regresi untukprediksi tingkat daya pulih rumahtanggakorban bencana banjir dapat dirumuskansebagai berikut :Y = 0,012 X1 + 0,118 X2 + 0,394X3 +

0,079 X4+ 0,040 X5- 0,002 X6

Pada persamaan garis regresi linier bergandatersebut, dapat diartikan bahwa setiappeubah X mempunyai nilai pengaruhbervariasi. Besarnya variasi nilai pengaruhsetiap peubah (X) adalah sebagai berikut : Kepemilikan asset finansial (X1)

mempunyai koefisien sebesar 0,012,artinya, jika nilai peubah pengaruh lain(X2, X3, X4, X5, X6) konstan, makasetiap peningkatan 1 unit kepemilikanasset finansial yang terbakukan,berakibat peningkatan kecepatan dayapulih masyarakat sebesar 0,012.

Kepemilikan aset ekonomi (X2) mem-

Page 65: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 57 - 7064

Model Simbol Unstandardized

Coefficients Standardized Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 45,403 18,577 2,444 ,016 Kepemilikan Aset Finansial

X1 ,507 3,979 ,012 ,127 ,090

Kepemilikan Aset Ekonomi

X2 2,755 2,274 ,118 1,211 ,023

Kepemilikan Aset Natural

X3 21,055 5,582 ,394 3,772 ,000

Kepemilikan Aset Sosial

X4 2,210 2,893 ,079 ,764 ,045

Tingkat Pengetahuan

X5 ,606 1,684 ,040 ,360 ,007

Lama genangan banjir

X6 ,001 ,061 -,002 ,019 ,985

Sumber: hasil analisis regresi ganda

Tabel 4. Hasil Analisis Persamaan Regresi Bagi bagi Peubah Tingkat Daya Pulih KorbanBencana Banjir

punyai koefisien sebesar 0,118, artinya,jika nilai peubah pengaruh lain (X1, X3,X4, X5, X6) konstan, maka setiappeningkatan 1 unit kepemilikan assetekonomi yang terbakukan, berakibatpeningkatan kecepatan daya pulihmasyarakat sebesar 0,0118.

Kepemilikan aset natural (X3) mem-punyai koefisien sebesar 0,394, artinya,

jika nilai peubah pengaruh lain (X1, X2,X4, X5, X6) konstan, maka setiappeningkatan 1 unit kepemilikan assetnatural yang terbakukan, berakibatpeningkatan kecepatan daya pulihmasyarakat sebesar 0,394.

Kepemilikan aset sosial (X4) mem-punyai koefisien sebesar 0,079, artinya,jika nilai peubah pengaruh lain (X1, X2,

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .655a ,607 ,155 36,38056

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean

Square F Sig.

1 Regression 31727,456 6 5287,909 3,995 .001a Residual 121766,180 92 1323,545 Total 153493,636 98

Sumber: hasil analisis regresi ganda

Tabel 3. Koefisien Korelasi Berganda dan Analisis Varians

Page 66: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

65Pemodelan Tingkat Daya Pulih ... (Noviani, et al)

X3, X5, X6) konstan, maka setiappeningkatan 1 unit kepemilikan assetsosial yang terbakukan, berakibatpeningkatan kecepatan daya pulihmasyarakat sebesar 0,079.

Tingkat pengetahuan terhadapbencana banjir (X5) mempunyaikoefisien sebesar 0,040, artinya, jikanilai peubah pengaruh lain (X1, X2, X3,X4, X6) konstan, maka setiappeningkatan 1 unit pengetahuan yangterbakukan, berakibat peningkatankecepatan daya pulih masyarakatsebesar 0,040, dan

Lama genangan banjir (X6) mempunyaikoefisien sebesar 0,002, artinya, jikanilai peubah pengaruh lain (X1, X2, X3,X4, X5) konstan, maka setiappeningkatan 1 unit lama genanganbanjir, berakibat penurunankecepatandaya pulih masyarakat sebesar 0,002.

Dengan kenyataan demikian, maka dapatdiketahui bahwa keenam peubah Xtersebut memiliki pengaruh terhadapterjadinya variasi daya pulih rumah tangga.Namun, set iap peubah atau faktordeterminan tersebut besar pengaruhnyaberbeda-beda, mulai dari pengaruh terbesarhingga pengaruh terkecil.

Faktor Penentu Tingkat Daya Pulih

Atas dasar 6 (enam) indikator penentu tingkatdaya pulih rumah tangga korban bencanabajir yang dianalisis, dilakukan analisisfaktor, dengan tujuan untuk melihatdimensi-dimensi terpenting di dalamindikator-indikator tersebut dan melihatkecepatan pulih masing-masing rumahtangga. Dari ekstraksi 6 variabel daya pulihrumah tangga akibat banjir maka diperolehdua faktor terpenting yang dapat memberi-kan informasi sebesar 73 persen dari totalinformasi dalam enam indikator. Duafaktor ini dianggap mewakili untuk melihat

tingkat daya pulih rumah tangga akibatbanjir di bantaran sungai bengawan Solo.

Faktor pertama yang memberikansumbangan tertinggi, yaitu sebesar 42,882persen, kemudian faktor kedua memberi-kan sumbangan sebesar 20,744 persen(Tabel 5). Selanjutnya untuk melihattingkat kepentingan dari setiap indikatordaya pulih ini didalam setiap faktor, dapatdilihat dari faktor loading setiap faktor.

Selanjutnya untuk memudahkan analisis,maka faktor-faktor ini diberi nama sesuaidengan kelompok indikator yangdiwakilinya. Indikator yang memiliki nilailebih besar dari 0,5 dianggap indikator yangmenentukan dalam faktor tersebut. Atasdasar inilah dibuat pengelompokan faktorsebagai berikut.1. Faktor I memberikan sumbangan

sebesar 42,882 % terdiri dari kepe-milikan asset sosial (0.774), penge-tahuan (0.759), dan kepemilikan assetnatural (0.643)1. Faktor ini selanjutnyadisebut dengan faktor karakteristiksosial masyarakat.1Angka-angka ini memiliki makna, jikasuatu rumahtangga memiliki nilaitinggi dalam faktor ini, maka rumah-tangga tersebut memiliki nilai tingkatdaya pulh yang lebih tinggi dibandingrumahtangga lainnya.

2. Faktor II memberikan sumbangansebesar 20,744 persen terdiri dari duaindikator dominan yaitu kepemilikanasset ekonomi (0,778) dan kepemikanasset finansial (0,628), sehinggadisebut sebagai faktor ekonomi.

Berdasarkan analisis tersebut di atas(Tabel6), maka tingkat kecepatan daya pulihkorban banjir di sungai bengawan soloditentukan oleh besarnya kapasitasmasyarakat yang berasal dari faktorkepemilikan asset sosial dan kepemilikan

Page 67: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 57 - 7066

Sumber: hasil perhitungan analisis faktor

Tabel 6. Koefisien Matrik Komponen Setelah Rotasi (Menunjukkan Indikator TingkatDaya Pulih Korban Bencana Banjir Dominan di Masing-Masing Faktor)

No. Indikator Faktor

I II

1. Kepemilikan Aset Finansial ,178 ,628 2. Kepemilikan Aset Ekonomi ,231 ,778 3. Kepemilikan Aset Natural ,643 -,378 4. Kepemilikan Aset Sosial ,774 ,063 5. Lama terjadinya banjir (hari) -,547 ,300 6. Pengetahuan ,759 ,087

finansial dan ekonomi. Semakin besarkapasitas masyarakat dan kepemilikan as-set financial dan ekonomi, semakin cepatdaya pulih rumah tangga dalam meng-hadapi bencana banjir.

Perbedaan Daya Pulih

Berdasarkan hasil analisis varian (ANOVA)tentang perbedaan tingkat daya pulihantara rumah tangga korban bencana banjirantara daerah di wilayah tanpa tanggul, di

dalam tanggul, dan di luar tanggul tidakmenunjukkan adanya perbedaan. Dengankata lain rata-rata waktu yang diperlukankorban bencana banjir untuk pulih relatifsama antara rumah tangga yang berlokasipada wilayah tanpa tannggu; di dalamtanggul maupun di luar tanggul. Hal inidisebabkan karakteristik banjir khususnyafrekwensi, lama genangan dan kedalamanbanjir relatif sama dan terdistribusi merata.Berikut hasil ANOVAnya (Tabel 7).

Sumber: hasil perhitungan analisis faktor

Tabel 5. Total Varian dari Masing-Masing Komponen (Faktor) (MenunjukkanSumbangan Masing-Masing Faktor)

Komponen Initial Eigenvalues

Extraction Sums of Squarea Loading

Total Varian

(%) Kumulatif

(%) Total

Varian (%)

Kumulatif (%)

1 1,973 32,882 32,882 1,973 42,882 42,882 2 1,245 20,744 53,626 1,245 20,744 63,626 3 ,932 15,537 69,163 4 ,689 11,481 80,644 5 ,650 10,842 91,486 6 ,511 8,514 100,000

Page 68: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

67Pemodelan Tingkat Daya Pulih ... (Noviani, et al)

Optimasi Percepatan Tingkat Daya Pulih

Berdasarkan hasil analisis korelasi, faktorpenentu dan model tingkat daya pulihrumah tangga sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya dapat susun langkah-langkah optimasi untuk mempercepattingkat daya pulih rumah tangga, yangdisusun dengan skala prioritas sebagaiberikut.1. Memperkuat asset ekonomi rumah

tangga korban gempa dengan mem-berikan peluang usaha dan berusaha.

2. Memperkuat asset financial rumahtangga korban gempa khususnyapemberian bantuan modal bagipengembangan usaha dan bantuan fi-nancial pengaman (stimulant dana)untuk memulihkan keadaan.

3. Restrukturisassi modal naturalsumberdaya alam khususnya assettanah, bagi rumahtangga yang tidakmemiliki tanah atau memiliki tanahsangat sempit. Selain itu assetpeternakan dapat digunakan sebagaipengaman di waktu banjir, dengancacatan ada keamanan ternak daridampak banjir.

4. Memperteguh jejaring dan kepercayaandiantara masyarakat sebagai modalsosial yang sangat penting dalam

meningkatkan daya pulih, mengingatsebagian besar korban ditolong olehkerabat dan tetangga.

5. Meningkatkan kapasitas masyarakatmelalui program aksi terkait denganpeningkatan pengetahuan dan ketram-pilan dalam penanganan dampakbencana banjir termasuk upaya mitigasibencana.

6. Memperkecil tingkat ancaman banjir,dengan upaya mitigasi dan langkah-langkah teknis seperti pengerukankedalaman sungai, pembuatan tanggulpengaman, pelurusan sungai,pemompaan ketika terjadi banjir.

7. Diperlukan langkah integrative dalampembangunan daerah aliran sungai,khususnya konservasi di daerah hulu.Oleh karena itu diperlukan sinkronikasi,integrasi, koordinasi, dan sinergismeantar daerah.

8. Hasil analisis uji beda menunjukkantidak ada perbedaan tingkat daya pulihantar wilayah, oleh karena langkah-langkah upaya tersebut di atas dapat di-perlakukan di semua wilayah penelitian.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan hasil dan tujuan

Sumber: hasil perhitungan analisis faktor

Tabel 7. Hasil Analisis Perbedaan Tingkat Daya Pulih Rumah Tangga Akibat BanjirAntara Daerah Tanpa Tanggul, di Dalam Tanggul dan di Luar Tangga

Sum of Squares df

Mean Square F Sig.

Between Groups 720,152 2 360,076 ,226 ,798 Within Groups 152773,484 96 1591,390

Total 153493,636 98

Page 69: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 57 - 7068

penelitian maka dapat disimpulkan hasilpenelitian sebagai berikut.

Kesimpulan1. Kecepatan daya pulih rumah tangga

korban bencana banjir sangat ber-variasi tergantung dari jenis kerusakanyang didapatkannya. Ker usakanrumah umumnya dipulihkan dalamrata-rata satu bulan, sedangkan untukfinansial dan ekonomi lebih lama darisatu bulan.

2. Tidak terdapat perbedaan yang nyatadaya pulih rumah tangga korbanbencana banjir antar wilayah di dalammaupun di luar tanggul. Daya pulihlebih banyak ditentukan oleh besarkecilnya dampak bencana banjirtersebut dibanding aspek lokasi.

3. Terdapat hubungan yang erat antaradaya pulih dengan faktor aset,pengetahun dan lama kejadian banjir.Dua faktor utama yang dominanmempengaruhi daya pulih adalahkarakteristik sosial masyarakat yangterdiri dari aset sosial, pengetahuandan aset natural. Sedangkan faktorkedua adalah faktor ekonomi danfinansial serta lama kejadian banjir.

4. Model t ingkat daya pulih yangdihasilkan penelitian ini adalah Y =0,012 X1 + 0,118 X2 + 0,394X3 +0,079 X4+ 0,040 X5- 0,002 X6, dimana,Y adalah Daya Pulih (kecepatan),Kepemilikan Aset Finansial (X1),Kepemilikan Aset Ekonomi (X2),Kepemilikan Aset Natural (X3) ,Kepemilikan Aset Sosial (X4), Lamaterjadinya banjir (hari) (X5), danPengetahuan (X6)

5. Optimasi percepatan daya pulih rumahtangga korban bencana banjir dilaku-kan dengan penguatan kepemilikanasset dan pengetahuan serta mengurangilama kejadian banjir.

Saran1. Temuan-temuan penelitian ini penting

untuk ditindaklanjuti sebagai masukanbagi pemerintah daerah dan organisasimasyarakat guna melakukan manajemenpenanganan pasca bencana banjir.Dalam konteks program rekon-struksidi Kawasan Rawan Bencana banjiryang dikembangkan oleh pemerintahdan LSM, umumnya baru mendasarkanpada tingkat kerusakan dan kerugianakibat banjir dan belum mengem-bangkan tingkat kemampuan dayapulih rumahtangga.

2. Perlunya mencoba formulasi modeltingkat daya pulih rumahtangga dalampercepatan daya pulih, diantaranyadengan memperkuat asset financial,ekonomi, natural dan modal sosial.Selain itu perlu peningkatan kapasitasrumahtangga dengan peningkatanpengetahuan serta mengurangi ancam-an bencana banjir.

3. Perlunya penekanan redistribusi pro-gram penanganan percepatan dayapulih rumahtangga merata ke seluruhwilayah, dengan mempertimbangkankomponen penentu tingkat daya pulih.

4. Memperkecil tingkat ancaman banjir,dengan upaya mitigasi dan langkah-langkah teknis seperti pengerukankedalaman sungai, pembuatan tanggulpengaman, pelurusan sungai, pemompa-an ketika terjadi banjir.

5. Diperlukan langkah integratif dalampembangunan daerah aliran sungai,khususnya konservasi di daerah hulu.Oleh karena itu diperlukan sinkronikasi,integrasi, koordinasi, dan sinergismeantar daerah.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada

Page 70: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

69Pemodelan Tingkat Daya Pulih ... (Noviani, et al)

DAFTAR PUSTAKA

ADB, 2007. Disaster Management, A Disaster Manager’s Handbook, Manila: ADB.

Anna, Alif Noor, Retno Woro Kaeksi, dan Wahyuni Apri Astuti. 2010. Analisis KarakteristikParameter Hidrologi Akibat Alih Fungsi Lahan di Daerah Sukoharjo Melalui CitraLandsat Tahun 1997 dengan Tahun 2002. Forum Geografi. Vol. 24, No. 1, Juli 2010:57 – 72.

Carter. Nick, 1991. Disaster management: A Disaster Manager’s Handbook, ADB, Manila.

Cuny.F.C. 1983. Disasters and Development. Oxford University Press. New York.

Davis, Junior R and Dirk J Bezemer.2004.The Development Of The Non Farm Economy inDeveloping Countries and Transition Economy: Key Emerging and Concept Rural Issues.Greenwich: DFID and Natural Recource Institute,University of Greenwich.

Davis., Ian and Satyendra S Gupta. 1991. Disaster Mitigation in Asiaand Pasific. AsianDevelopment Bank (ADB). Manila.

De Guzman, Emmanuel, M. 2002. Towards Total Disaster Risk Management Approach, ADRC-UNOCHA-RDRA.

DFID.1999. Sustainable Livelihood Guidance Sheet. DFID.

Ellis, Frank.2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries.New York:OxfordUniversity Press Inc.

Gordon, Ann.1999. Non Farm Rural Livelihoods. Policy Series4. Chatham UnitedKingdom:Natural Recources Institute.

http://www.psychologymania.com/2011/08/pengertian-persepsi.html.

Muta’ali, Luthfi. 2010. Tingkat daya Pulih Wilayah Perdesaan di Kawasan Rawan bencanaMerapi. Yogyakarta : Sekolah Pascasarjana UGM.

Universitas Sebelas Maret Surakartamelalui Hibah Penelitian FundamentalNomor: 247a/UN27.11/PN/2012tanggal 25 April 2012, yang telahmemberi bantuan dana, sehinggapenelitian ini dapat terlaksana. Demikianjuga dengan mahasiswa Pendidikan

Geografi UNS, Danang, Ifen, Dimas, danBeni yang telah membantu dalampengumpulan data. Secara khusus penulisucapkan terima kasih kepada Dr.LutfiMuta’ali,S.Si.MP atas sumbanganpemikiran yang diberikan serta data-datayang menjadi rujukan dalam tulisan ini.

Page 71: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 57 - 7070

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 11 Tahun 2008 tentang PedomanRehabilitasi dan Rekonstruksi.

Smith. K., Environmental Hazards: Assessing Risk and Reducing Disaster, London, Routledge,1992.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta: BadanNasional Penanggulangan Bencana.

Waugh.W.L. and Hy. R.J. 1990. Introduction to Emergency Management. in Waugh and Hy (Eds)Handbook of Emergency Management:Programs and Policies Dealing with MajorHazards and Disasters. Westport: Greenwood Press (pp.1-10).

Page 72: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

71Kajian Bangkitan Pergerakan ... (Somantri, et al)

KAJIAN BANGKITAN PERGERAKAN TRANSPORTASIDI KOTA BANDUNG DENGAN MENGGUNAKAN CITRA QUICKBIRD

DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFISStudy of Transportation Movement Generation In Bandung City by usingQuickBird Imagery Remote Sensing and Geographic Information System

Lili Somantri1, Totok Gunawan2, Projo Danoedoro2,Su Ritohardoyo2

1 Mahasiswa S3 (Doktor) Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM2 Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Email: [email protected]

ABSTRACTThe objective of this study is to examine the transport movement generation in Bandung City by usingQuickBird imagery remote sensing and geographic information systems. The method used in this researchis spatial approach by quantitative descriptive analysis. It resulted that the greatest movement generationcome from the regular housing types of 3440 people per hour. The District with the greatest generationwas Sub Ujungberung, ie 55,501 people per hour, whereas the highway with the greatest amount ofgeneration is Soekarno-Hatta street of 51,014 people per hour.

Keywords: movement generation, settlement type, QuickBird imagery

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan mengkaji bangkitan pergerakan transportasi di Kota Bandung denganmenggunakan citra penginderaan jauh quickbird dan sistem informasi geografis.Metode yang digunakandalam pene litian ini yaitu menggunakan pendekatan spas ial dengan analisis deskript ifkuantitatif.Adapun hasil dari penelitian ini yaitu bangkitan pergerakan yang paling besar berasal daritipe permukiman teratur sedang yaitu 3.440 orang per jam. Kecamatan yang memiliki bangkitan palingbesar yaitu Kecamatan Ujungberung, yaitu55.501 orang per jam, sedangkan jalan yang memiliki jumlahbangkitan paling besar adalah Jalan Soekarno-Hatta, yaitu 51.014 orang per jam.

Kata kunci: bangkitan pergerakan, tipe permukiman, citra quickbird

PENDAHULUAN

Kajian transportasi dalam ilmu geografimenjadi semakin penting seiring denganpertumbuhan penduduk dalam suatuwilayah.Peningkatan jumlah pendudukmenyebabkan peningkatan kebutuhansarana transportasi untuk menggerakkanpenduduk maupun barang dari suatuwilayah ke wilayah lainnya.

Jumlah penduduk yang memadati daerahperkotaan di Indonesia terus mengalamipeningkatan. Pada tahun 1971 persentasependuduk yang tinggal di perkotaan hanya17,3% dari total penduduk Indonesia. Padatahun 1980 meningkat menjadi hampir22,3%, pada tahun 1995 meningkat lagimenjadi 30,9%, dan pada tahun 2000meningkat menjadi 42,4%. Kemudianpada tahun 2003 penduduk yang tinggal

Page 73: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 71 - 8272

di perkotaan sekitar 55,3% dan diperkira-kan naik lagi menjadi 68,6% pada tahun2020. (Tukiran dan Ediastuti, 2004).

Bandung merupakan salah satu kota besardi Indonesia yang memiliki kepadatanpenduduk sangat tinggi, berdasarkan datasensus penduduk tahun 2010 pendudukKota Bandung yaitu sekitar 14.300 jiwa/km2(Badan Pusat Statistik Kota Bandung,2011). Dalam beberapa tahun terakhirKota Bandung menunjukkan penambahanjumlah penduduk yang besar, padahal luasadministratif wilayahnya relatif tetap.Penambahan jumlah penduduk kotabandung per tahunbertambah sekitar31.423 jiwa atau 1,68 %.

Seiring dengan peningkatan jumlahpenduduk dan semakin kompleksnyakegiatan penduduk di perkotaan makakebutuhan sarana transportasi semakinmeningkat.Hal ini dapat ditunjukkan darisemakin banyaknya kendaraan yangberoperasi di jalan, baik kendaraan pribadimaupun umum. Peningkatan jumlahkendaraan apabila tidak diimbangi denganpenyediaan jalan yang memadai maka akanmenimbulkan masalah transportasi, salahsatunya kemacetan lalu lintas.

Untuk mengatasi masalah kemacetan lalulintas yang disebabkan oleh kemampuanjaringan jalan yang relatif tetap, danpertumbuhan jumlah kendaraan terusmeningkat, maka perencanaan transportasisangat perlu dilakukan. Perencanaan trans-portasi sangat berkaitan dengan ketersedia-an data yang akurat, dapat dipercaya, danmudah diperoleh.

Menurut Tamin (2000) bahwa perencanaantransportasi dapat dilakukan dengan modelperencanaan empat tahap (four step model),yang terdiri atas bangkitan dan tarikanpergerakan, distribusi pergerakan,pemilihan moda, dan pemilihan rute.

Tahap bangkitan pergerakan bertujuanmemperkirakan jumlah pergerakan yangakan dilakukan oleh seseorang pada setiapzona asal (Oi) ke zona tujuan(Dd). Dataatau informasi yang digunakan dalampenentuan bangkitan pergerakan, yaitupenggunaan lahan, penduduk, dan kondisisosial ekonomi (Tamin, 2000; Usher, 2000).

Dalam perencanaan transportasi tahapbangkitan pergerakan dibagi menjadi duajenis, yaitu pergerakan berbasis rumah danpergerakan bukan berbasis rumah.Pergerakan berbasis rumah (home based)yang dimulai (tempat asal) dan diakhiri(tempat tujuan) di rumah. Pergerakan yangberbasis bukan rumah (non home based)yangtidak dimulai dari rumah dan tidak diakhiridi rumah.

Tamin (2000) mengatakan bahwapergerakan dapat dibedakan berdasarkantujuan pergerakan, waktu, dan jenis orangyang melakukan pergerakan. Berdasarkantujuan pergerakan misalnya ke tempat kerjaatau sekolah yang dilakukan rutin, ber-dasarkan waktu misalnya dilakukan padajam sibuk yaitu jam 07.00, dan berdasarkankarakteristik orang misalnya yang memilikipendapatan tinggi, sedang, dan rendah.

Citra penginderaan jauh dapat dimanfaat-kan untuk berbagai kajian lingkungan dansumberdaya (Pigawati dan Rudiarto, 2011)salah satunya untuk kajian transportasi, jikadibandingkan dengan metode pengumpul-an data secara manual (Usher, 2000). Salahsatu citra satelit penginderaan jauh yangcocok digunakan untuk studi transportasiperkotaan adalah citra Quickbird.

Keunggulan citra Quickbird memilikiresolusi spasial yang sangat tinggi, yaitu0,61 meter untuk pankromatik, dan 2,4meter untuk multispectral sehingga dapatmenyajikan data yang rinci. Denganresolusi setinggi ini, informasi daerah

Page 74: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

73Kajian Bangkitan Pergerakan ... (Somantri, et al)

perkotaan dapat diperoleh dengan akuratdan detail sehingga dapat digunakan untukmengidentifikasi objek perkotaan denganbaik, seperti penggunaa lahan, jaringanjalan dan lebar jalan, pola bangunan rumahmukim, kepadatan bangunan rumah mukim,dan pusat-pusat kegiatan penduduk(Somantri, 2008).

Tujuan penelitian ini yaitu mengestimasibangkitan pergerakan di Kota Bandungdengan menggunakan citra penginderaanjauh quickbird dan sistem informasigeografis.

METODOE PENELITIAN

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini,yaitu Citra Quickbird Pan-Sharpenedtanggal 08 Januari 2008 Daerah KotaBandung. Citra Quickbird Pan-Sharpenedmemiliki kelebihan tampilannya berwarnasesuai dengan keadaan di lapangan danmemiliki resolusi spasial yang tinggi (0,6meter) sehingga mudah mengidentifikasiobjek pemanfatan lahan kota sepertipermukiman. Penelitian ini menggunakanperalatanlapangan antara lain Global Posi-tioning System (GPS) digunakan untukpenentuan plot sampel di lapangan danPedoman pengamatan bangkitan pergerak-an di tiap permukiman.

Kegiatan yang dilakukan dalam penelitianini, dilaksanakan berdasarkan tiga tahapan,yaitu tahap pengumpulan data, pengolahandata, dan analisis data. Data dalampenelitian ini diperoleh dari hasil ekstraksicitra Quickbird, dan data lapangan. Datadari hasil ekstraksi Citra Quickbird, yaitupenggunaan lahan permukiman. Datalapangan, yaitu data bangkitan pergerakandari tipe permukiman.

Unit analisis data dalam penelitian iniyaitutipe permukiman yang merupakan

hasil overlay antara peta pola bangunanpermukiman dan peta ukuran bangunanpermukiman.Bangkitan pergerakandiperoleh berdasarkan hasil perhitungan dilapangan yang keluar dari masing-masingtipe permukiman. Bangkitan ini dihitungpada masing-masing akses jalan keluarpermukiman dari mulai jam 05.00 WIBsampai 13.00 WIB. Alur dari penelitian inidisajikan dalam bentuk bagan seperti padaGambar 1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Interpretasi Pemanfaatan Lahan

Pemanfaatan lahan merupakan data yangsangat penting digunakan dalam kajiantransportasi kota, yaitu mengidentifikasikawasan permukiman sebagai daerah asalbangkitan pergerakan.

Untuk analisis bangkitan pergerakan,Objek permukiman diklasifikasikan sampaipada level IV yang dibedakan berdasarkanatas ukuran bangunan rumah mukim, yaituukuran kecil (d” 100 meter persegi), sedang(> 100 – 250 meter persegi), besar (> 250meter persegi).Pada level III permukimandiklasifikasikan berdasarkan pola bangunanyang terdiri atas permukiman teratur,permukiman agak teratur, dan permukimantidak teratur.

Pada citra Quickbird objek permukimanteratur sangat mudah dikenali denganbentuk dan ukuran atapnya yang relatifsama, berwarna abu-abu, orange, danterkadang biru (Gambar 2). Atapnya adayang berbentuk segi empat (bujur sangkar)dan adapula yang berbentuk persegipanjang. Ciri khas permukiman teraturadalah polanya yang teratur mengikuti atauberasosiasi dengan jaringan jalan, terutamajalan lokal.Ukuran bangunannya yaitu 200- 450 meter persegi.

Page 75: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 71 - 8274

Sumber:hasil analisis

Gambar 1. Bagan Alur Penelitian

Page 76: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

75Kajian Bangkitan Pergerakan ... (Somantri, et al)

Permukiman agak teratur ukuran bangunan-nya bervariasi dari 120 – 200 meter persegidengan bentuk bangunan sebagian besarpersegi panjang. Ciri khasnya bangunannyahanya sekitar 75% yang menghadap jalanlingkungan (lokal) sehingga ada rumah-rumah yang tidak menghadap ke jalan danhanya dihubungkan dengan ganggang(Gambar 3). Mengidentifikasi objek bangun-an permukiman agak teratur memerlukankejelian dalam menginterpretasinya.

Pada citra Quickbird, objek permukimantidak teratur juga sangat mudah dikenalikarena memiliki ciri ukuran bangunan yang

lebih kecil dibandingkan objek bangunanlainnya, terdapat pada suatu kawasan yangsangat banyak bangunannya. Kemudianpada objek permukiman tidak teratur banyakbangunan yang tidak menghadap ke jalanlingkungan dan hanya dihubungkan olehgang-gang sempit. Ciri khas permukimantidak teratur itu sangat padat denganatapnya berwarna orange, atau cokelat.

Tipe Permukiman di Kota Bandung

Tipe permukiman didasarkan hasil over-lay pola permukiman (teratur, agak teratur,tidak teratur) dan ukuran permukiman

Sumber:hasil analisis

Gambar 3. Permukiman Agak Teratur

Sumber:hasil analisis

Gambar 2. Permukiman Teratur

Page 77: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 71 - 8276

Sumber: Interpretasi Citra Quickbird Tahun 2011

Tabel 1. Luas Tipe Permukiman di Kota Bandung

(kecil, sedang, besar). Jenis tipe permukim-an yang dihasilkan yaitu permukiman agakteratur kecil (ATK), agak teratur sedang(ATS), teratur besar (TB), teratur kecil(TK), teratur sedang (TS), tidak teraturkecil (TTK), dan tidak teratur sedang(TTS).Berdasarkan hasil dari interpretasicitra Quickbird luas masing-masing tipepermukiman dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan tabel tersebut dapatdiketahui bahwa permukiman agak teraturkecil banyak terdapat di wilayah Bojo-nagara dengan luas 130.4 Ha, permukim-an agak teratur sedang banyak terdapatdi wilayah Cibeunying dengan luas 167.1Ha. Permukiman teratur besar banyakterdapat di wilayah Cibeunying denganluas 532.1 Ha, permukiman teratur kecilbanyak terdapat di wilayah Tegallegayaitu 114.3 Ha, permukiman teratursedang banyak terdapat di wilayah Kareesyaitu 604.6 Ha. Adapun permukimantidak teratur kecil banyak terdapat diwilayah Tegallega yaitu 864.5 Ha, danpermukiman tidak teratur sedang banyak

terdapat di wilayah Karees, yaitu 29.4Ha.

Untuk analisis bangkitan pergerakanmenggunakan unit analisis t ipe per-mukiman yang dioverlaykan dengan aksespermukiman terhadap jalan utama, danluas kawasan permukiman per kelurahan(Ha). Akses permukiman ke jalan utamaterdiri atas jalan arteri dan jalan kolektor,sedangkan luas kawasan permukimanterdiri atas 4 kelas, yaitu < (kurang dari)30 Ha, antara 31 – 60 Ha, antara 61 – 90Ha, dan > (lebih dari) 91 Ha.

Bangkitan Permukiman Hasil SurveyLapangan

Setiap tipe permukiman memiliki jumlahbangkitan pergerakan yang berbeda-beda,karena dipengaruhi oleh jumlah pendudukdan kondisi sosial ekonomi yang ada padamasing-masing tipe permukiman tersebut.Hasil survey lapangan bangkitan pergerak-an pada masing-masing tipe permukimandapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.

Wilayah Pengembangan

Agak Teratur (Ha)

Teratur (Ha)

Tidak Teratur (Ha)

ATK ATS TB TK TS TTK TTS

Bojonagara 130.4 156.9 455.5 54.2 180.2 577 10.2 Cibeunying 14.2 167.1 532.1 35.9 80.8 810 0 Tegallega 28.7 35 139.3 114.3 293 864.5 19.7 Karees 56.5 82 26.5 17.1 604.6 430.4 29.4 Ujungberung 36.4 11.2 0 56.9 216.9 722.7 0 Arcamanik 12.1 5 2.5 32.4 541.4 125.6 6.5 Kordon 0 37 38.5 3.5 492.9 192.4 7 Gedebage 0 0 0 0 460.9 106.5 0

Total 278.3 494.2 1194.4 314.3 2870.7 3829.1 72.8

Page 78: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

77Kajian Bangkitan Pergerakan ... (Somantri, et al)

No Permukiman Teratur Bangkitan Pergerakan (Orang/Jam)

1. Permukiman Teratur Besar a. Teratur Besar Arteri < 30 Ha 320 b. Teratur Besar Arteri Antara 31 – 60 Ha 426 c. Teratur Besar Arteri Antara 61 – 90 Ha 303 d. Teratur Besar Kolektor Kurang Dari 30 Ha 519 e. Teratur Besar Kolektor 31 - 60 Ha 276 f. Teratur Besar Kolektor 61 – 90 Ha 410 g. Teratur Besar Kolektor Lebih Dari 90 Ha 956

2. Permukiman Teratur Kecil a. Teratur Kecil Arteri < 30 Ha 435 b. Teratur Kecil Arteri 31 – 60 Ha 423 c. Teratur Kecil Kolektor < 30 Ha 367 d. Teratur Kecil Kolektor Antara 31 - 60 Ha 399

3. Permukiman Teratur Sedang a. Teratur Sedang Arteri < 30 Ha 577 b. Teratur Sedang Arteri 31 - 60 Ha 581 c. Teratur Sedang Arteri 61 - 90 Ha 724 d. Teratur Sedang Arteri > 90 Ha 548 e. Teratur Sedang Kolektor < 30 Ha 392 f. Teratur Sedang Kolektor Antara 31 – 60 Ha 303 g. Teratur Sedang Kolektor > 90 Ha 315

Sumber: survey lapangan, tahun 2012

Tabel 2. Bangkitan Pergerakan dariPermukiman Teratur

Sumber: survey lapangan, tahun 2012

Tabel 3. Bangkitan Pergerakan dari Permukiman Agak Teratur dan Tidak Teratur

No. Permukiman Agak Teratur Bangkitan Pergerakan (Orang/Jam)

1. Agak Teratur Kecil a. Agak Teratur Kecil Arteri < 30 Ha 616 b. Agak Teratur Kecil Kolektor < 30 Ha 205

2. Agak Teratur Sedang a. Agak Teratur Sedang Arteri < 30 Ha 637 b. Agak Teratur Sedang Arteri Antara 31 – 60 Ha 380 c. Agak Teratur Sedang Kolektor < 30 Ha 302 d. Agak Teratur Sedang Kolektor > 90 Ha 479

3. Tidak Teratur Kecil a. Tidak Teratur Kecil Arteri < 30 Ha 396 b. Tidak Teratur Kecil Arteri Antara 31-60 Ha 308 c. Tidak Teratur Kecil Arteri 61-90 Ha 466 d. Tidak Teratur Kecil Kolektor < 30 Ha 246 e. Tidak Teratur Kecil Kolektor Antara 31 - 60 Ha 297

4. Tidak Teratur Sedang 633

Page 79: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 71 - 8278

Pemetaan Variabel Bangkitan Per-gerakan Penduduk

Berdasarkan nilai bangkitan pergerakandari hasil survey lapangan pada masing-masing tipe permukiman maka denganbantuan Sistem Informasi Geografis dapatdilakukan overlay sehingga dapat dibuatnilai bangkitan pergerakan berdasarkanadministrasi (kecamatan, wilayah pengem-bangan) dan jaringan jalan.

1. Berdasarkan Administrasi

Berdasarkan wilayah pengembangan,wilayah Tegallega memiliki bangkitanpergerakan yang paling besar yaitu 148071orang per jam, sedangkan yang palingsedikit adalah wilayah Kordon yaitu 44206orang pejam. Berdasarkan kecamatan padamasing-masing wilayah pengembangan,bangkitan pergerakan orang per jam diwilayah Bojonagara yaitu Kecamatan Andir(39780 orang), di wilayah Cibeunying,yaitu kecamatan coblong (22234 orang),diwilayah kordon yaitu kecamatan buahbatu(23372 orang), di wilayah karees yaitukecamatan regol (29596 orang), di wilayahtegallega yaitu kecamatan bandung kulon(53488orang), di wilayah ujungberung yaitukecamatan ujungberung (55501 orang), diwilayah gedebage yaitu kecamatan gedebage(15160 orang), di wilayah arcamanik yaitukecamatan arcamanik (43475 orang).Untuk detail mengenai jumlah bangkitanpergerakan di kota bandung dapat dilihatpada Tabel 4 (Lampiran).

2. Berdasarkan Tipe Jaringan Jalan

Tipe jaringan jalan dibedakan atas jaringanjalan arteri primer, arteri sekunder,kolektor primer, dan kolektor sekunder.Setelah dimasukkan data atribut bangkitanpergerakan hasil pengukuran lapanganpada masing-masing data spasial tipepermukimannya, kemudian dioverlaykandengan data hasil buffer sepanjang 500

meter pada masing-masing tipe jaringanjalan maka diperoleh jumlah bangkitanpergerakan sebagai berikut.a. Jalan arteri primer (Tabel 5)(Lampiran)b. Jalan arteri sekunder (Tabel 6)

(Lampiran)c. Jalan kolektor primer (Tabel 7)

(Lampiran)d. Jalan kolektor sekunder (Tabel 8)

(Lampiran)

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahuibahwa pada jaringan jalan arteri primeryang memiliki nilai bangkitan paling banyakyaitu jalan Soekarno Hatta (51014 orangper jam), pada jalan arteri sekunder yangmemiliki nilai bangkitan paling banyakyaituJl. Kiaracondong (31386 orang perjam), pada jalan kolektor primer yangmemiliki nilai bangkitan paling banyak yaituJl. Gatot Subroto (27470 orang per jam)dan pada jalan kolektor sekunder yangmemiliki nilai bangkitan paling banyak yatuJl. Ir. H. Juanda (17494 orang per jam)

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian tersebut dapatdisimpulkan bahwa unit analisis untukbangkitan pergerakan transportasi yaitu tipepermukiman yang merupakan hasil over-lay antara peta pola bangunan rumahmukim dan peta ukuran bangunan rumahmukim. Untuk memperoleh peta pola danukuran bangunan rumah mukim dapatdengan mudah diperoleh dari hasilinterpretasi citra quickbird. Permukimanteratur merupakan tipe permukiman yangpaling luas di Kota Bandung. Bangkitanpergerakan yang besar berasal daripermukiman Teratur, berdasarkan wilayahpembangunan yang memiliki banyakjumlah bangkitan yaitu Tegallega danberdasarkan kecamatan yang memiliki

Page 80: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

79Kajian Bangkitan Pergerakan ... (Somantri, et al)

banyak bangkitan yaitu Ujungberung.Berdasarkan jaringan jalan bangkitan yangjumlahnya besar adalah pada JalanSoekarno-Hatta. Penelitian bangkitanpergerakan transportasi ini perlu dilakukan

pengkajian lebih lanjut karena mobilitaspergerakan penduduk tidak hanya melewatisatu jalan saja sehingga dapat meminimal-kan penyimpangan jumlah bangkitan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kota Bandung. 2008. Data Jumlah Penduduk Kota Bandung.

Budi, I.S. 2007. Pengaruh Penggunaan Lahan Terhadap Bangkitan Dan Tarikan Pergerakandi Sepanjang Jalan Gadjah Mada Kota Batam. Tesis. Program Pascasarjana. MagisterTeknik Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro. Semarang.

Chang, K. 2002. Introduction to Geographic Information Systems. McGraw-Hill Higher Education.New York.

DigitalGlobe, 2007.QuickBird Imagery Products (Product Guide).DigitalGlobe, Inc., Longmont.

Pigawati, Bitta dan Iwan Rudiarto. 2011. Penggunaan Citra Satelit untuk KajianPerkembangan Kawasan Permukiman Di Kota Semarang. Forum Geografi. Vol. 25,No. 2, Desember 2011: 140 – 151.

Rodrique, J.P., Comtos, C., dan Black, B. 2009. The Geography of Transport System. Departementof Global Studies and Geography. Hofstra University. New York.

Samsat Kota Bandung.2010. Data Pertambahan Jumlah Kendaraan di Kota Bandung. 2010.

Tamin, O.Z. 2000. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Penerbit ITB. Bandung.

Tukiran dan Ediastuti, E. 2004. Penduduk Indonesia Saat Ini dan Tantangan di Masa Mendatang.Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Usher, J.M. 2000. Remote Sensing Applications in Transportation Modelling. Departement ofIndustrial Engineering Mississippi State University. Diakses tanggal 30 Oktober 2009.

Page 81: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 71 - 8280

Sumber: hasil analisis Sistem Informasi Geografis, Tahun 2012

Tabel 4. Bangkitan Pergerakan di Kota Bandung Berdasarkan Administrasi

No. Wilayah Pengembangan Kecamatan Bangkitan Pergerakan

(Orang Per Jam)

1. Bojonagara 123194 Andir 39780 Cicendo 38740 Sukajadi 25195 Sukasari 19479

2. Cibeunying 84991 Bandung Wetan 3406 Cibeunying Kaler 19803 Cibeunying Kidul 16196 Cidadap 19464 Coblong 22234 Sumur Bandung 3888

3. Kordon 44206 Bandung Kidul 20834 Buahbatu 23372

4. Karees 97657 Batununggal 29112 Kiaracondong 26353 Lengkong 12596 Regol 29596

5. Tegallega 148071 Astanaanyar 16912 Babakan Ciparay 39026 Bojongloa Kidul 33922 Bandung Kulon 53488 Bojongloa Kaler 4543

6. Ujungberung 146069 Cibiru 27497 Panyileukan 21037 Ujungberung 55501 Cinambo 15003

7. Gedebage 27382 Gedebage 15160 Rancasari 12222

8. Arcamanik 88405 Antapani 24204 Arcamanik 43475 Mandalajati 20727

Lampiran

Page 82: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

81Kajian Bangkitan Pergerakan ... (Somantri, et al)

No Nama Jalan Panjang Jalan (Km) BangkitanPergerakan

(Orang Per Jam)

1 Jl. Jend. Sudirman 6,79 9060 2 Jl. Asia Afrika 1,51 4141 3 Jl. Jend. A. Yani 5,40 17931 4 Jl. Raya Ujungberung 8,04 12003 5 Jl. Soekarno Hatta 18,46 51014 6 Jl. Dr. DJunjunan 2,00 14328 7 Jl. Pasteur 0,21 2190 8 Jl. Surapati 1,16 12841 9 Jl. PHH. Mustofa 3,34 13272

10 Jl. Haji Amir Mahmud (Raya Cibeureum)

2,78 15384

Tabel 5. Bangkitan Pergerakan di Jalan Arteri Primer

Sumber: hasil analisis Sistem Informasi Geografis, Tahun 2012

Tabel 6. Bangkitan Pergerakan di Jalan Arteri Sekunder

Sumber: hasil analisis Sistem Informasi Geografis, Tahun 2012

No. Nama Jalan Panjang jalan (Km) Bangkitan Pergerakan

(Orang per jam)

1. Jl. Kiaracondong 4,12 31386 2. Jl. Ters. Kiaracondong 0,99 15370 3. Jl. Jamika 0,91 2721 4. Jl. Peta 2,60 8791 5. Jl. BKR 2,30 20519 6. Jl. Pelajar Pejuang 45 1,48 14475 7. Jl. Laswi 1,10 7494 8. Jl. Sukabumi 0,64 7696 9. Jl. Diponegoro 0,66 8925

10. Jl. W.R. Supratman 1,86 8442 11. Jl. Jakarta 1,15 12521 12. Jl. Ters. Jakarta 2,76 29526 13. Jl. Ters. Pasirkoja 2,68 10999 14. Jl. Pasir Koja 0,46 5263

Page 83: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 71 - 8282

Tabel 7. Bangkitan Pergerakan di Jalan Kolektor Primer

Sumber: hasil analisis Sistem Informasi Geografis, Tahun 2012

Tabel 8. Bangkitan Pergerakan di Jalan Arteri Sekunder

No. Nama Jalan Panjang Jalan (Km) Bangkitan Pergerakan (Orang per jam)

1. Jl. Raya Setiabudhi 6.03 18285 2. Jl. Sukajadi 2.57 5274 3. Jl. HOS. Tjokroaminoto

(Pasirkaliki) 2.18 12617

4. Jl. Gardujati 0.41 7349 5. Jl. Astanaanyar 0.76 11286 6. Jl. K.H. Wahid Hasyim

(Kopo) 2.96 23932

7. Jl. Moch. Toha 3.47 19483 Jl. Buah Batu 2.73 19478

8. Jl. Ters. Buah Batu 1.06 12005 9. Jl. Moch. Ramdan 0.94 12557

11. Jl. Rumah Sakit 2.83 11063 12. Jl. Gedebage Selatan 3.08 12930 13. Jl. Wastukencana 0.98 3620 14. Jl. Pajajaran 2.24 12094 15. Jl. R.E Martadinata 3 7606 16. Jl. Gatot Subroto 4.31 27470

No. Nama Jalan Panjang Jalan (Km) Bangkitan Pergerakan (Orang per jam)

1. Jl. Ir. H. Juanda 5.64 17494 2. Jl. Dipatiukur 1.83 10692 3. Jl. Merdeka 1.04 3293 4. Jl. Ciumbuleuit 2.44 9829 5. Jl. Cihampelas 0.14 10095 6. Jl. Siliwangi 1.06 10207 7. Jl. Gegerkalong Hilir 2.10 10876 8. Jl. Tubagus Ismail 1.27 13351 9. Jl. Sadang Serang 0.71 7727

10. Jl. Cikutra Barat 0.88 6334 11. Jl. Cikutra Timur 2.37 11719 12. Jl. Ciwastra 5.80 14246 13. Jl. Rajawali Barat 1.02 14527 14. Jl. Rajawali Timur 1.54 12827 15. Jl. Kebonjati 1.40 10824 16. Jl. Veteran 0.83 5127

Sumber: hasil analisis Sistem Informasi Geografis, Tahun 2012

Page 84: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

83Pemetaan Kapasitas Adaptif ... (Suhelmi)

PEMETAAN KAPASITAS ADAPTIF WILAYAH PESISIR SEMARANGDALAM MENGHADAPI GENANGAN AKIBAT KENAIKAN MUKA AIR

LAUT DAN PERUBAHAN IKLIMAdaptive Capacity Mapping of Semarang Offshore Territory by The

Increasing of Water Level and Climate Change

Ifan Ridlo SuhelmiPusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir

Balitbang Kelautan dan Perikanan - KKPEmail: [email protected]

ABSTRACTTidal inundation, flood and land subsidence are the problems faced by Semarang city related to climatechange. Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC)predicted the increase of sea level rise 18-59 cmduring 1990-2100 while the temperature increase 0,6oC to 4oC during the same periode. The semarangcoastal city was highly vulnerable to sea level rise and it inceased with two factors, topography and landsubsidence. The purpose of this study was to map the adaptive capacity of coastal areas in the face of thethreat of disasters caused by climate change. The parameters used are Network Number, Employee basededucational background, Source Main Livelihoods, Health Facilities, Infrasuktur Road. Adaptive capacityof regions classified into 3 (three) classes, namely low, medium and high. The results of the study showedthat most of the coastal area of Semarang have adaptive capacities ranging from low to moderate, while thevillage with low capacity totaling 58 villages (58.62%) of the total coastal district in the city of Semarang.

Keywords: adaptive capacity, inundation, sea level rise, climate change

ABSTRAKKota Semarang menghadapi berbagai permasalahan lingkungan yang terkai dengan perubahan iklimantara lain banjir, rob, amblesan tanah. Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC)memperkirakan bahwa kenaikan muka air secara global dari 1990 sampai 2100 akan mencapai 18-59 cm, sementara kenaikan suhu dunia dalam jangka waktu tersebut sekitar 0,6oC sampai 4oC. Dalammenghadapi perubahan iklim, suatu wilayah akan memberikan respon yang berbeda-beda. Kondisipesisir Semarang di Provinsi Jawa Tengah termasuk wilayah yang rentan terhadap fenomena kenaikanmuka air laut. Hal ini disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor topografi dan faktor penurunan tanah(land subsidence). Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan kapasitas adaptif wilayah pesisirdalam menghadapi ancaman bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim. Parameter yang dikajiantara lain Jaringan Telpon, Pekerja berdasarkan latar belakang pendidikan, Sumber PencaharianUtama, Sarana Kesehatan, Infrasuktur Jalan. Kelas kapasitas adaptif wilayah dikelaskan menjadi 3(tiga) kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi. Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian wilayah pesisirKota Semarang memiliki kapasitas adaptif yang berkisar antara rendah hingga sedang, adapunkelurahan yang memiliki kapasitas rendah berjumlah 58 kelurahan (58,62%) dari total seluruhkecamatan pesisir yang ada di Kota Semarang.

Kata kunci: kapasitas adaptif, genangan, kenaikan muka laut, perubahan iklim

Page 85: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 83 - 9484

PENDAHULUAN

Semarang merupakan salah satu kota yangterletak di wilayah pesisir. Ibu kota ProvinsiJawa Tengah ini terus mengalamiperkembangan dan telah tumbuh menjadipusat kegiatan ekonomi utama dan kotaindustri di Jawa Tengah. Arbriyakto danKardyanto (2006) mengungkapkanberbagai permasalahan lingkungan yangdihadapi Kota Semarang yang berkaitandengan fenomena kelautan dan dinamikalingkungan antara lain masalah rob(limpasan air pasang laut), amblesan tanahantara 15-25 cm per tahun dan banjir setiapmusim hujan ketika terjadi hujan deras 1sampai dengan 3 jam.

Adanya fenomena alam tersebut membawakonsekuensi bagi pemerintah kota dankelompok masyarakat yang terkenadampaknya secara langsung untukmenanggung kerugian fisik bangun-anrumah, kerugian sosial penduduk, sertabiaya pembangunan dan pemeliharaansarana dan prasarana yang harus dikeluar-kan oleh pengelola kota dan juga masyarakatsetempat. Kondisi topografi Semarangcenderung landai dengan kemiringan 0sampai 2% dengan sebagian besarwilayahnya hampir sama tingginya denganpermukaan laut bahkan di beberapa tempatberada di bawahnya (Bappeda 2002).Topografi yang demikian landai menyebab-kan tingkatan kerentanan terhadapperubahan iklim tersebut menjadi semakinbesar. Risiko tersebut semakin besardengan adanya pertumbuhan pemukimanyang dari tahun ke tahun semakinmeningkat (Pigawati dan Rudiarto, 2011).

Pemanasan global ditengarai akanmenaikkan muka air laut, akibat kenaikanair laut adalah fenomena erosi dan genangandi wilayah pesisir dan hilangnya lahanbaasah yang kaya akan keanekaragamanhayati (de Lourdes dan Olivio, 1997; Saizar

1997; Titus, 1990). Kajian mengenaipengaruh detail dan dampak pemanasanglobal pada wilayah pesisir dengankepadatan penduduk yang tinggi perludilakukan. Kongres internasional mengenaiperubahan iklim menggarisbawahi serius-nya dampak yang ditimbulkan perubahanlingkungan pada permukiman penduduk diwilayah pesisir (GCAPC, 2000).

Kenaikan muka air laut secara umum akanmengakibatkan berbagai dampak antaralain: (a) peningkatan frekuensi danintensitas banjir, (b) perubahan arus lautdan meluasnya kerusakan mangrove, (c)perluasan intrusi air laut, (d) peningkatanancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomimasyarakat pesisir, dan (e) berkurang luasdaratan atau hilangnya pulau-pulau kecil(Diposaptono, 2002).

Amblesan tanah merupakan fenomenaalami karena adanya konsolidasi tanahakibat pematangan lapisan tanah yangmasih muda di Semarang bawah. Padamusim hujan, banjir yang bersinergi denganfenomena rob akan menjadikan wilayahyang tergenang menjadi semakin luas.

Penelitian ini mengkaji kapasitas adaptifwilayah pesisir terhadap ancaman kenaikanmuka air laut yang terjadi di pesisir KotaSemarang. Kapasitas adaptif suatuwilayah akan berpengaruh terhadap besarkecilnya dampak yang ditimbulkan olehfenomena perubahan iklim.

METODE PENELITIAN

Lokasi kajian potensi kerugian akibatgenangan rob di lakukan pada pesisir KotaSemarang terlihat pada Gambar 1. Kajianini merupakan kajian lanjutan dari kajianfisik luasan penggenangan rob akibatkenaikan muka air laut. Hasil kajian luasdan distribusi rob dijadikan masukan dalam

Page 86: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

85Pemetaan Kapasitas Adaptif ... (Suhelmi)

Gambar 1. Lokasi Penelitian

menghitung kerugian ekonomi akibatgenangan (Gambar 1).

Penilaian kerentanan wilayah pesisirdilakukan setelah diperoleh berbagaiskenario genangan yang terjadi pada pesisirKota Semarang. Skenario penggenanganmenggunakan data Suhelmi (2010).Pendekatan penentuan kerentanan denganmelihat aspek sosial dan fisik. Pendekatankerentanan menggunakan metode hasilmodifikasi dengan mempertimbangkanpemetaan kerentanan yang disusun olehACCCRN (2010) dan Miladan (2009) yangmerupakan modifikasi dari PedomanPenyusunan Peta Resiko yang disusun olehBappenas. Adapun faktor yang dinilaimeliputi kerentanan fisik, ekonomi, sosial

kependudukan dan kerentanan lingkungan.Parameter yang digunakan untuk me-nyusun peta kerentanan terdiri dari 8(delapan) parameter. Setiap parameterdilakukan pembobotan sesuai dengankontribusi tingkat kerentanan. Pembobotansetiap parameter dapat dilihat pada Tabel1.

Berdasarkan delapan indikator tersebutkemudian dilakukan penilaian kerentananmasing-masing kelurahan terhadap bencanagenangan banjir pasang. Penilaian dilakukandengan mengkalikan antara bobot masing-masing indikator dengan skor indikatoruntuk masing-masing kelurahan. Formulayang digunakan seperti terlihat padapersamaan 1.

Page 87: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 83 - 9486

ij8

1j ij Vw VI ------------------------ (1)

Dimana:VI = indek kerentanan total suatu

kelurahanwij = bobot dari suatu indikator kerentan-

an i pada kelurahan jVij = nilai suatu indikator kerentanan i

pada kelurahan j

Berdasarkan Formula 1 selanjutnya disusunkelas kerentanan terhadap genangan, tidakhanya berdasarkan aspek fisik namun jugamempertimbangkan aspek sosial. Kelaskerentanan dapat dilihat pada Tabel 2.

Parameter untuk menyusun indek kapasitaswilayah menggunakan 5 (lima) parameterdengan pembobotan setiap parameterseperti terlihat pada Tabel 3.

Indikator fasilitas kesehatan dibagi kedalam 5 sub-indikator yaitu: jumlahPoliklinik (Pl), Posyandu (Ps), PelayananKesehatan Masyarakat (Puskesmas, Pk),Klinik Bidan (B) dan Klinik Dokter (D).Semua nilai- nilai sub-indikator dinormalisasidengan jumlah populasi Kelurahan yangbersangkutan. Nilai skor di set iapKelurahan IA4 dihitung dengan meng-gunakan rumus oleh ACCCRN (2010)persamaan 2.

V Kerentanan Bobot

B1 Jaringan jalan 0,20 B2 Persentasi lahan terbangun 0,20 B3 Sumber Air Minum 0,05 B31 Baik 0,10 B32 Sedang 0,20 B33 Buruk 0,30 B34 Tidak ada Layanan 0,40 B4 Kepadatan penduduk 0,05 B5 Kemiskinan 0,10 B6 Kawasan sempadan pantai 0,10 B7 Kawasan sempadan sungai 0,10 B8 Persentase tutupan mangrove/kawasan resapan air 0,20

Sumber: ACCCRN, 2010, Miladan, 2009, dengan modifikasi

Tabel 1. Indikator yang Digunakan untuk Mendefinisikan Kerentanan dan Bobotnya

Tabel 2. Kelas Kerentanan Akibat Genangan Banjir Pasang

No Kelas Kerentanan Nilai Skor

1 Rendah < 0,48 2 Sedang 0,48 – 0,74 3 Tinggi > 0,74

Sumber: ACCCRN, 2010, Miladan, 2009, dengan modifikasi

Page 88: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

87Pemetaan Kapasitas Adaptif ... (Suhelmi)

IA4i = 1/Pi*(0.3*Pli+0.2*Psi +0.2*Pki+0.1*Bi+ 0.2*D ------ (2)

Penghitungan nilai indek kapasitas totaldigunakan persamaan 3 yang merupakanjumlah dari perkalian antara faktor penentukapasitas dengan bobot masing-masingindikator (ACCCRN, 2010).

ij5

1i ij Cw CI ------------------------ (3)

Dimana:CI = indek kapasitas total suatu kelurahanwij = bobot dari suatu indikator

kapasitas i pada kelurahan j

Cij = nilai suatu indikator kapasitas ipada kelurahan j

Nilai kapasitas adaptih hasil perhitungandengan menggunakan formula 2, dikelas-kan menjadi 3 (tiga) kelas dengan intervalseperti terlihat pada Tabel 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kerentanan terhadap genangan merupakansuatu kondisi dimana suatu lokasi akan mudahuntuk terkena genangan akibat kenaikanmuka air laut dan banjir. Analisia kerentanandilakukan dengan unit analisa berupa

C Kapasitas Bobot

A1 Jaringan Telpon 0,05 A2 Pekerja berdasarkan latar belakang pendidikan 0,30

A21 TK - SMP 0,30 A24 SMA/Universitas 0,70

A3 Sumber Pencaharian Utama 0,30 A4 Sarana Kesehatan* 0,10

A41 Puskesmas 0,20 A42 Poliklinik 0,30 A43 Posyandu 0,20 A44 Tempat Praktek Bidan 0,10 A45 Tempat Praktek Dokter 0,20

A5 Infrasuktur Jalan 0,25

Tabel 3. Indikator yang Digunakan untuk Mendefinisikan Kapasitas Adaptif danBobotnya

No Kelas Kerentanan Nilai Skor

1 Rendah < 0,49 2 Sedang 0,49 – 0,74 3 Tinggi > 0,74

Tabel 4. Kelas Kapasitas Adaptif Masing-Masing Kelurahan

Page 89: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 83 - 9488

satuan kelurahan. Masing-masing kelurahanmemiliki suatu nilai kerentanan tertentu.Semakin besar nilai indek kerentanan suatukelurahan maka tingkat kerentanankelurahan tersebut semakin tinggi untukterkena dampak genangan akibat kenaikanmuka air laut dan amblesan tanah.

Berdasarkan prediksi luas genangan padatahun 2030 hasil kajian Suheli (2011) yangmendasarkan pada laju kenaikan muka airlaut dan amblesan tanah, maka akan terjadiperubahan pada indikator kerentanan luasjalan, bangunan yang tergenang dan jumlahpenduduk yang terkena dampak. Padatahun 2010 penduduk pada 9 Kecamatandi Kota Semarang mencapai 872.604 jiwa.Dengan prediksi laju pertumbuhan 1,5%per tahun maka pada tahun 2030 diprediksipenduduk akan berpenduduk 1.175.271jiwa. Kepadatan penduduk meningkat dari6.405 jiwa/km2 menjadi 8.627 jiwa/km2.Maka akan terjadi perubahan kerentananpada setiap kelurahan. Peningkatankerentanan dari tahun 2010 dan tahun2030 dapat dilihat pada Gambar 2.

Jumlah kelurahan pada kategori ke-rentanan rendah pada tahun 2030 menurundari 85 kelurahan menjadi 34 kelurahan.Sebanyak 51 kelurahan mengalamipeningkatan kelas kerentanan darikerentanan rendah menjadi kerentanansedang atau tinggi. Kelurahan dengankerentanan sedang pada tahun 2010berjumlah 14 kelurahan dan meningkatmenjadi 44 kelurahan pada tahun 2030.Sedangkan kerentanan tinggi pada tahun2010 tidak ada kelurahan yang masukkategori ini namun pada tahun 2030diprediksikan akan terdapat 21 kelurahanyang masuk kelas kerentanan tinggi sepertidapat dilihat pada Gambar 3.

Kerentanan tinggi khususnya terdapatpada kelurahan-kelurahan yang terletakpada lokasi yang terpengaruh genangan

akibat kenaikan muka air laut dan tingginyalaju amblesan tanah. Hal tersebut dapatdilihat pada beberapa kelurahan sepertikelurahan Tanjung Emas, Bandarharjo danKemijen yang meningkat menjadi kelaskerentanan tinggi pada tahun 2030 menjadikelas kerentanan tinggi. Peningkatantingkat kelas kerentanan ini terkait puladengan peningkatan luas infrastruktur yangdiprediksikan akan terkena genangan padatahun 2030.

Berdasarkan kelas kerentanan tersebut,dapat disajikan distribusi spasial kelaskerentanan setiap kelurahan yang ada dipesisir Kota Semarang. Persebaran kelaskerentanan masing-masing kelurahan padatahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 4a,sedangkan kelas kerentanan kelurahan padatahun 2030 dapat dilihat pada Gambar 4b.

Peningkatan kerentanan seiring denganpeningkatan jumlah kelurahan yang terkenadampak genangan akibat kenaikan mukaair laut dan amblesan tanah. Pada tahun2010 terdapat 31 kelurahan (31%) yangterkena dampak penggenangan dan akanmeningkat menjadi 56 kelurahan (57%)kelurahan akan terkena dampak peng-genangan pada tahun 2030 (Tabel 5).

Sebagian besar kelurahan yang memilikikerentanan tinggi berada pada lokasi yangmemiliki nilai amblesan tanah yang tinggi,sedangkan wilayah yang memiliki amblesantanah yang cukup kecil tidak meningkatkerentanannya, seperti kelurahan-kelurahanyang terletak di Kecamatan Tugu.

Penilaian kapasitas adaptif dilakukandengan menghitung kapasitas adaptifsuatu kelurahan terhadap bencanagenangan. Semakin tinggi kapasitas adaptifmaka semakin tahan kelurahan tersebutdalam menghadapi bencana genangan.

Perhitungan indek kapasitas dilakukanpada 9 (sembilan) kecamatan yang

Page 90: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

89Pemetaan Kapasitas Adaptif ... (Suhelmi)

berpotensi terkena genangan akibatkenaikan muka air laut dan amblesan tanahsampai dengan tahun 2030. Sembilankecamatan tersebut terdiri dari KecamatanGayamsari, Genuk, Pedurungan, SemarangBarat, Semarang Selatan, SemarangTengah, Semarang Timur dan Tugu.Sembilan kecamatan tersebut terdiri dari

99 kelurahan. Perhitungan indek kapasitasdan indek kerentanan dilakukan pada 99kelurahan tersebut.

Hasil perhitungan indek kapasitas dapatdikelompokkan kapasitas kelurahanmenjadi 3 yaitu rendah, sedang dan tinggi.Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh

Gambar 2. Indek Kerentanan Per Kelurahan pada Tahun 2010 dan Tahun 2030

Gambar 3. Jumlah Kelurahan Berdasarkan Kelas Kerentanan pada Tahun 2010 danTahun 2030

Page 91: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 83 - 9490

Gambar 4. Kerentanan pesisir terhadap genangan pada tahun 2010 (4a) dan pada tahun2030 (4b)

(4a)

(4b)

sebagian besar kelurahan yang ada di pesisirKota Semarang pada tahun 2010 memilikinilai kapasitas yang rendah hingga sedang,adapun kelurahan yang memiliki kapasitasrendah berjumlah 58 kelurahan (58,62%)seperti terlihat pada Gambar 5.

Distribusi spasial kapasitas adaptif untuktiap kelurahan pada tahun 2010 dapat dilihatpada Gambar 6a. Berdasarkan gambar ter-sebut dapat dilihat bahwa beberapakelurahan yang terletak pada garis pantai

memiliki nilai kapasitas yang sedang,seperti terlihat pada Kelurahan Tawangsaridan Kelurahan Panggung.

Berdasarkan prediksi jumlah penduduk dankondisi sosial ekonomi serta mengacu padarencana tata ruang pada tahun 2030,disusun indek kapasitas adaptif pada tahun2030. Berdasarkan hal tersebut sebagianbesar kelurahan mengalami peningkatankapasitas adaptif, terlihat ada 3 kelurahanyaitu Tlogosari Kulon, Pleburan dan

Page 92: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

91Pemetaan Kapasitas Adaptif ... (Suhelmi)

Tabel 5. Jumlah dan Persentase Kelurahan Tergenang Tiap Kecamatan Tahun 2010 dan 2030

Sumber: Suhelmi, 2011

Kecamatan Jumlah Kelurahan

Jumlah Kelurahan Tergenang

2010

% Kelurahan Tergenang

2010

Jumlah Kelurahan Tergenang

2030

% Kelurahan Tergenang

2030

Gayamsari 7 3 43 5 71 Genuk 13 4 31 7 54 Pedurungan 12 0 0 2 17 Semarang Barat 16 3 19 10 63 Semarang Selatan 10 0 0 1 10 Semarang Tengah 15 3 20 7 47 Semarang Timur 10 2 20 8 80 Semarang Utara 9 9 100 9 100 Tugu 7 7 100 7 100

Jumlah 99 31 31 56 57

Gambar 5. Jumlah Kelurahan Berdasarkan Kelas Indek Kapasitas

Page 93: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 83 - 9492

(6a)

Gambar 6. Kapasitas Adaptif terhadap genangan pada tahun 2010 (6a) dan pada tahun2030 (6b)

(6b)

Page 94: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

93Pemetaan Kapasitas Adaptif ... (Suhelmi)

Panggung Lor memiliki kapasitas adaptifyang tinggi. Sedangkan kelurahan yangberada di wilayah pesisir sebagian besarmemiliki kelas kapasitas adaptif sedang.Untuk melihat distribusi persebaran kelaskapasitas adaptif tiap kelurahan dapatdilihat pada peta distribusi kelas kapasitasadaptif pada tahun 2030 seperti terlihatpada Gambar 6b.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil kajian menunjukkan bahwa peningkat-an luas genangan rob akibat kenaikan mukaair laut berperan besar dalam nilai indekkerentanan. Pada umumnya dengan kondisisosial ekonomi yang ada akan terjadipeningkatan kapasitas adaptif pada tahun2030 dibandingkan dengan kapasitas adaptif

tahun 2010. Hal ini dikarenakan lokasikajian adalah wilayah perkotaan yang mem-punyai infrastruktur yang baik. Untuk mem-peroleh hasil kajian yang lebih komprehensif,disarankan untuk menerapkan metodepada wilayah yang belum berkembang.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepadakepala Pusat Penelitian dan pengembanganSumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Peneliti-an dan Pengembangan Kelautan danPerikanan atas dukungan dalam penelitianini, Muhamad Helmi, M.Si. yang telah mem-berikan masukan dan data yang diperlukandalam penyusunan naskah ini, serta HariPrihatno, M.Sc yang telah membantuterlaksananya penelitian di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

[ACCCRN] Asians Cities Climate Change Resiliance Network. 2010. Kajian Kerentanandan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim di Kota Semaraang. Laporan Akhir. MercyCorps. Jakarta.

Arbriyakto D, Kardyanto D. 2006. Identifikasi Pengukuran Kerugian Fisik BangunanRumah dan Kerugian Sosial Penduduk Kawasan Pantai Kota Semarang. ProceedingSeminar Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia. Semarang: Universitas Diponegoro.

[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Kota Semarang. 2002. LaporanAntara: Rencana Pengembangan Potensi Kelautan Kota Semarang Tahun Anggaran 2001/2002. Semarang : Bappeda Kota Semarang.

Diposaptono S. 2002. Pengaruh Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diIndonesia. Jakarta: Direktorat Bina Pesisir Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-PulauKecil DKP.

de Laurdes and Olivo M. 1997. Assesment of The Vulnerability of Venezuella to Sea LevelRise. Climate Res. Vol. 9:57-65. http://www.int-res.com/articles/cr/9/c009p057.pdf(30 Juli 2009).

Page 95: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 83 - 9494

[GCAPC] Global Change and Asia Pacific Coasts. 2000. Proceedings of APN/SUVAS/LOICZJoint Conference on Coastal Impacts of Climate Change and Adaptation in the Asia-PacificRegion. Kobe-Japan: Nov 14-16, 2000 http://sim.nilim.go.jp/GE/Papers/JGEE0407/Kobayasi.doc (8 Februari 2008).

Miladan N. 2009. Kajian Kerentanan Wilayah Pesisir Kota Semarang erhadap PerubahanIklim. Thesis pada Program Studi Magister Teknik Pembangunan Wilayah danKotaProgram Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.

Pigawati, Bitta dan Iwan Rudiarto. 2011. Penggunaan Citra Satelit untuk KajianPerkembangan Kawasan Permukiman Di Kota Semarang. Forum Geografi. Vol. 25,No. 2, Desember 2011: 140 – 151.

Saizar A. 1997. Assesment of Impact of a Potential Sea Level Rise on The Coast ofMontevideo, Uruguay. Climate Res. Vol. 9:73-79 http://www.int-res.com/articles/cr/9/c009p073.pdf (1 September 2009).

Suhelmi, 2011. Kajian Dampak Land Subsidence Terhadap Peningkatan Luas genanganRob di Kota Semarang. Jurnal Teknologi Kelautan.

Titus JG. 1990. Greenhouse Effect, Sea Level Rise, and Land Use. Land Use Policy Journal7:138-53. http://www.epa.gov/climatechange /effects/downloads/landuse.pdf (2Agustus 2009).

Page 96: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

95Pengaruh Kondisi Meteorologis ... (Darmanto dan Cahyadi)

PENGARUH KONDISI METEOROLOGIS TERHADAPKETERSEDIAAN AIR TELAGA DI SEBAGIAN KAWASAN KARST

KABUPATEN GUNUNGKIDUL(Studi Analisis Neraca Air Meteorologis untuk Mitigasi Kekeringan)

Effect of The Meteorological Conditions to Spring Water Availability In SomeKarst Region at Gunungkidul Districts

(Meteorologist Water Balance Analysis Study for Drought Mitigation)

Darmakusuma Darmanto1, Ahmad Cahyadi1

1Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah MadaEmail: [email protected]

ABSTRACTThe objective of this study is to understand the influence of meteorological conditions of logva wateravailability in karst area, Gunungkidul Regency. Meteorological condition analysis was determined bycreating meteorological water balance using Thornthwaite Mather method. Water availability conditionwas determined by using multi-temporal images. Then, the result of water balance was matched with thelogva water availability derived from multi-temporal images. The result shows that meteorological condi-tions will influence logva water availability in karst area, Gunungkidul Regency. It was shown by com-paring the amount of logva in surplus months and deficit months. The amount of logva in surplusmonths is more than in deficit months. In addition, the longer meteorological water deficit, the amounts ofdetected logva decreases. Based on that condition, it means that meteorological water balance analysis canbe used to plan disaster mitigation based on the time and duration of deficit months.

Keywords: karst, logva, meteorological condition, multitemporal imagery, water balance

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kondisi meteorologis terhadap ketersediaan airtelaga di kawasan karst Kabupaten Gunungkidul. Analisis kondisi meteorologis ditentukan denganpembuatan neraca air meteorologis menggunakan metode Thornthwaite Mather. Kondisi ketersediaanair telaga ditentukan dengan menggunakan citra multi temporal. Hasil analisis neraca air kemudiandicocokkan dengan kondisi ketersediaan air telaga yang diperoleh dari citra multi temporal. Hasil analisismenunjukkan bahwa kondisi meteorologis sangat mempengaruhi ketersediaan air telaga di kawasankarst Kabupaten Gunungkidul. Hal ini dibuktikan dengan jumlah telaga yang terdeteksi pada bulansurplus air lebih banyak dibandingkan pada bulan defisit. Selain itu, semakin lama mengalami defisitair meteorologis, maka jumlah telaga yang terdeteksi juga semakin sedikit. Berdasarkan hal tersebut,maka berarti bahwa analisis neraca air meteorologis dapat digunakan untuk merencanakan upayamitigasi bencana berdasarkan pada waktu terjadinya bulan defisit air, serta lamanya terjadi bulandefisit air secara meteorologis.

Kata kunci: karst, telaga, kondisi meteorologis, citra multitemporal, kesetimbangan air

Page 97: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 95 - 10096

PENDAHULUAN

Kawasan karst merupakan kawasan yangkondisinya gersang dan memiliki banyaksingkapan batuan kemudian digunakanuntuk menyebutkan wilayah lain di seluruhdunia yang memiliki kondisi yang sama.Saat ini, istilah karst sering digunakandigunakan untuk menyebutkan bentuklahan yang secara dominan terbentuk olehkombinasi batuan yang mudah larut danmempunyai porositas sekunder yangberkembang dengan baik (Ford dan Will-iams, 1992 dan Veni dan DuChene, 2001).Pembentukan lorong-lorong dan diaklas-diaklas (retakan) di permukaan menyebab-kan air masuk ke dalam sistem aliran bawahtanah sehingga menyebabkan kondisikering di permukaan (Sudarmadji dkk,2012).

Ketiadaan aliran permukaan menyebabkantelaga dan mataair menjadi sumber air yangsangat penting di kawasan karst (Santosa,

2007). Lebih lanjut Santosa (2007)menjelaskan bahwa telaga atau logvaadalah ledokan-ledokan berbentuk corong(doline) pada daerah berbatuan karbonatyang terisi air baik secara permanen (terisiair sepanjang tahun) ataupun tidakpermanen (terisi air hanya pada musimpenghujan). Ketersediaan air telagakhususnya pada musim kemarau sangatlahpenting untuk memenuhi kebutuhan air dikawasan karst Gunungsewu KabupatenGunungkidul (Gambar 1) (Awang danNurhadi, 2005; Sudarmadji dkk, 2012).Namun demikian, tidak semua telagamemiliki ketersediaan air sepanjang tahun.Hal ini akan menyebabkan suatu wilayahdilanda kekeringan apabila tidak memilikisumber air yang lain.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuipengaruh kondisi meteorologis terhadapketersediaan air telaga di kawasan karstGunungsewu Kabupaten Gunungkidul.Penelitian ini diharapkan dapat digunakan

Gambar 1. Lokasi Kajian Penelitian

Page 98: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

97Pengaruh Kondisi Meteorologis ... (Darmanto dan Cahyadi)

untuk membantu dalam pengembanganmetode penentuan telaga yang potensial dantidak potensial untuk pemenuhan kebutuhanair kawasan karst pada musim kemarauberdasarkan pada neraca air meteorologis.

METODE PENELITIAN

Perhitungan Neraca Air Meteorologis

Data yang digunakan untuk perhitunganneraca air meteorologis adalah data hujandan suhu dari stasiun Panggang dan PlayenTahun 2001, 2003, dan 2009. Perhitunganneraca air meteorologis dilakukan denganmenggunakan Metode ThornthwaiteMather (Thornthwaite dan Mather, 1957).

Analisis Kondisi Telaga

Penentuan lokasi telaga yang terdapat diwilayah kajian dilakukan denganmenggunakan peta rupa bumi Indonesia(RBI) terbitan Bakosurtanal skala 1: 25.000serta survei lapangan. Kondisi telaga yangterdapat pada lokasi penelitian dilihatdengan menggunakan citra ASTER VNIR(Februari 2001 dan Juni 2003) dan ALOSAVNIR (Juni 2009). Hasil dari pemantauandengan ketiga citra tersebut menghasilkankondisi telaga berair atau telaga kering.Waktu pemotretan masing-masing citrayang digunakan, dicocokkan dengankondisi neraca air lokasi penelitian. Hal inidilakukan untuk mengetahui pengaruh darikondisi meteorologis terhadap kondisiketersediaan air telaga di lokasi penelitian.Telaga di Kabupaten Gunungkidul banyakyang mati (kering) akibat prosessedimentasi (Santosa, 2007). Oleh karenaitu, maka dalam penelitian ini digunakancitra Geo Eye (Maret 2010) dan surveilapangan untuk memastikan bahwa telagayang kering bukan hanya disebabkan olehsedimentasi, tetapi juga oleh sebab faktormeteorologis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis neraca air meteorologiswilayah penelitian ditunjukkan padaGambar 2. Neraca air meteorologis wilayahpenelitian pada Tahun 2001 mengalamisurplus sebanyak 6 bulan dan mengalamidefisit sebanyak 6 bulan. Kondisi defisitpada tahun ini mulai terjadi pada BulanApril dan berakhir pada Bulan September.

Kondisi neraca air meteorologis wilayahpenelitian Tahun 2003 menunjukkanbahwa defisit air hanya terjadi 5 bulan, lebihsedikit dibandingkan Tahun 2001. Defisitair secara meteorologis terjadi mulai BulanApril dan berakhir lebih awal dibandingkanTahun 2001, yakni Bulan Agustus. Hal inimenunjukkan adanya variasi kondisimeteorologis di wilayah penelitian. Kondisimeteorologis Tahun 2009 sangat berbedadengan Tahun 2001 dan 2003. Kondisidefisit secara meteorologis terjadi sebanyak9 bulan. Kondisi defisit terjadi pada BulanApril, namun sampai pada Bulan Desemberkondisi tersebut belum berakhir.

Jumlah telaga di wilayah penelitianberdasarkan pada peta Rupa Bumi Indo-nesia (RBI) skala 1: 25.000 berjumlah 13,sedangkan berdasarkan survei lapanganterdapat 10 telaga yang tidak masuk didalam peta RBI tersebut. Hal ini berartijumlah telaga di wilayah penelitian adalah23. Jumlah telaga yang terdeteksi pada tigacitra yang digunakan juga berbeda-beda.

Hasil analisis ASTER VNIR Februari 2001mendeteksi 18 titik telaga, ASTER VNIRJuni 2003 mampu mendeteksi 10 telaga,sedangkan analisis ALOS AVNIR Juni 2009mendeteksi 13 telaga dengan lokasi yangberbeda. Berdasarkan neraca airmeteorologis yang telah dibuat, Februari2001 merupakan bulan surplus air secarameteorologis. Hal tersebut menyebabkanbanyak telaga di wilayah penelitian terisi

Page 99: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 95 - 10098

air pada Februari 2001. Defisit terjadikarena hujan yang jatuh ke permukaanbumi jumlahnya lebih kecil dibandingevapotranspirasi aktual sehingga air yangdapat tertahan dalam tanah lebih sedikit.Hal ini menjadikan kelembaban tanahberkurang dan tanah menjadi kering.Evapotranspirasi aktual yang besar telagapada bulan defisit membuat volume airpada telaga menurun. Kondisi iniberlangsung pada bulan defisit sehinggabanyak telaga yang mengering.

Kondisi yang berbeda terjadi pada hasilanalisis citra tanggal 30 Juni 2003 dan 20Juni 2009, di mana keduanya berada padabulan defist air secara meteorologis. Halini menyebabkan jumlah telaga yangterdeteksi pada citra lebih sedikit (Tahun2003 terdeteksi 10 telaga dan Tahun 2009

terdeteksi 13 telaga) dibandingkan denganjumlah telaga yang terdeteksi pada citraTahun 2001. Jumlah telaga yang terdeteksipada Tahun 2009 lebih banyakdibandingkan dengan Tahun 2003 karenatanggal perekaman citra pada Tahun2003 merupakan bulan ke-3 dari bulandefisit air secara meteorologis, atau telahterjadi 2 bulan defisit sebelum perekamancitra. Hal ini berbeda dengan kondisiperekaman citra Tahun 2009, di manapada saat perekaman bulan defisit airsecara meteorologis baru berjalan satubulan. Berdasarkan hal tersebut, makaberarti kondisi meteorologis sangat mem-pengaruhi ketersediaan air telaga dikawasan karst Kabupaten Gunungkidul.Hasil ini menunjukkan bahwa analisisneraca air meteorologis dapat digunakanuntuk merencanakan upaya mit igasi

Gambar 2. Neraca Air Meteorologis Wilayah Penelitian Tahun 2001, 2003, dan 2009

Page 100: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

99Pengaruh Kondisi Meteorologis ... (Darmanto dan Cahyadi)

bencana berdasarkan pada waktuterjadinya bulan defisit air, serta lamanyaterjadi bulan defisit air secara meteo-rologis.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil analisis neraca air meteorologis dancitra multi temporal menunjukkan bahwakondisi meteorologis sangat mem-pengaruhi ketersediaan air telaga di

kawasan karst Kabupaten Gunungkidul.Hal ini terbukti dari banyaknya telaga yangterdeteksi pada citra yang terekam padabulan defisit, sedangkan semakin lamamengalami bulan defisit air secarameteorologis maka jumlah telaga yangterdeteksi semakin sedikit. Oleh karenaitu, maka berarti bahwa analisis neraca airmeteorologis dapat digunakan untukmembantu dalam perencanaan mitigasikekeringan di kawasan karst KabupatenGunungkidul.

No. RBI 1998 ASTER 2001 ASTER 2003 ALOS 2009 GEOEYE 2010

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.

* * * * * * * * * * * * * *

* * * * * * * * * * * * * * * * * *

* * * * * * * * * *

* * * * * * * * * * * * *

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Jumlah 13 18 10 23 Sumber: hasil analisis

Tabel 1. Telaga yang terdeteksi pada Masing-Masing Citra dan Peta

Page 101: KAJIAN DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP

Forum Geografi, Vol. 27, No. 1, Juli 2013: 95 - 100100

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Tjahyo Nugroho; Haryono, Eko; dan Woro, Suratman. 1999. Kawasan Karst danProspek Pengembangannya. Makalah dalam Seminar Pertemuan Ilmiah Tahunan IkatanGeografiwan Indonesia 1999. Universitas Indonesia, 26-27 Oktober 1999.

Awang, S.A. dan Nurhadi. 2005. Konservasi Sumber Air Tambakromo: Ketersediaan danKelangkaan Air. dalam Awang, S.A. 2005. Kelangkaan Air: Mitos Sosial, Kiat dan EkonomiRakyat. Yogyakarta: Debut Press.

Ford, D. dan Williams, P. 1992. Karst Geomorphology and Hydrology. London: Chapman andHall.

Santosa, Langgeng Wahyu. 2007. Kerusakan Telaga Dolin dan Faktor-Faktornya di WilayahPerbukitan Karst Kabupaten Gunungkidul. Jurnal Kebencanaan Indonesia, Vol.1(3). Hal176-193.

Sudarmadji; Suprayogi, S. dan Setiadi. 2012. Konservasi Mata Air Berbasis Masyarakat diKabupaten Gunungkidul untuk Mengantisipasi Dampak Perubahan Iklim. Yogyakarta:Penerbit Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Thornthwaite, C.W. dan J.R. Mather. 1957. Introduction and Tables for computing PotensialEvapotranspiration and The Water Balance. Publ. In Clim. Vol. 10(3). Certerton. NewJersey.

Veni, G. dan DuChene, H. 2001. Living With Karst: A Fragile Foundation. Alexandria: AmericanGeological Institute.