JURNAL STRATEGI PENGURANGAN KETIDAKPASTIAN OLEH …
Transcript of JURNAL STRATEGI PENGURANGAN KETIDAKPASTIAN OLEH …
JURNAL
STRATEGI PENGURANGAN KETIDAKPASTIAN OLEH PENGAJAR
DALAM KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN SISWA
PENYANDANG AUTISMA
(Studi Kasus pada SLB Mitra Ananda
Autism Center Surakarta Tahun 2018)
Oleh:
Mutiara Sopia Noeranny
D1216043
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
Program Studi Komunikasi
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
1
STRATEGI PENGURANGAN KETIDAKPASTIAN OLEH PENGAJAR
DALAM KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN ANAK
PENYANDANG AUTISMA
(Studi Kasus pada Sekolah Luar Biasa Mitra Ananda
Autism Center Surakarta Tahun 2018)
Mutiara Sopia Noeranny
Sri Hastjarjo
Program Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret
Abstract
Autism is one of the mental disabilities caused by the mutation of rare
genes in the human body. Along with the times, cases of autism around the world
have increased, including in Indonesia. Autism is a pervasive disorder, namely
psychiatric disorders that cause difficulties in language skills, social abilities and
behavioral development that are not as expected. Basically, people with autism
cannot be cured but can be educated and trained to maximize their abilities.
Mitra Ananda’s School for disable children is one of the schools where the
majority of autistic students are in the moderate to severe category. In these
conditions autistic students have not been able to communicate, and interact well.
Characteristics of autistic students differ from one another, this is a certain
uncertainty for teachers in establishing relationships with them
This research uses qualitative methods with a type of case study research.
While the data collection technique uses in-depth interviews with the selection of
informants through purposive sampling techniques. Therefore, the selected
informants were instructors who understood the condition of autistic students and
taught at the same place for a minimum of 2 years. In addition to using in-depth
interviews, researchers also use data collection techniques in the form of
document studies and literature studies.
In this study, the shadows refers to the theory of uncertainty reduction
initiated by Berger and Calabrese. The two figures mentioned that when two
foreigners meet they tend to experience communication uncertainty, therefore a
strategy is needed to reduce uncertainty so that communication can run more
effectively. The strategies used are information retrieval, planning and limiting.
The results of this research obtained by the researcher is that the
uncertainty reduction strategy carried out by instructors in interpersonal
communication with autistic students is information retrieval through three ways,
namely passive, active and interactive, making planning in the form of preventive
actions to reduce communication uncertainty and restrict communication content
to be understood by students autism.
Keywords: People with autism, uncertainty reduction theory, interpersonal
communication
2
Pendahuluan
Autism merupakan salah satu gangguan disabilitas mental yang
mempengaruhi perkembangan komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku.
Gangguan ini dapat dideteksi sebelum anak berusia tiga tahun. Sejalah munculnya
terminologi autistik pertama kali dicetuskan oleh Eugen Bleuler seorang Pskiatrik
Swiss pada tahun 1911, terminologi ini digunakan pada penderita schizophrenia
anak remaja. Selanjutnya pada tahun 1943 seorang Psikiater dari Johns Hopkins
University bernama Leo Kanner mendeskripsikan tentang “early infantile
autism” atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai autisme dalam masa
kanak-kanak, yaitu syndrome yang terjadi sejak bayi dilahirkan atau sejak 30 hari
dari awal kelahirannya. Hal ini digunakan untuk membedakan gejala autisme
yang terjadi pada orang dewasa.
Anak penyandang autisme biasanya memiliki gangguan dalam test
kemampuan berbahasa, mereka tidak mempunyai deskrepansi atau perbedaan skor
antara kemampuan reseptif (pemahaman) dan ekspresif (penyampaian berbicara),
bahkan bisa terjadi kemampuan reseptifnya berada di bawah kemampuan rata-rata
anak seusianya. Anak-anak ini juga mempunyai kesulitan dalam bahasa non
verbal (bahasa simbolis dan bahasa mimik).
Gangguan autisme menyebabkan anak memiliki perilaku tidak peduli
dengan lingkungan sosialnya sehingga dapat mempengaruhi perkembangan
bahasa atau kerap disebut dengan delay speech. Gejala ini harus dikenali oleh
orangtua, guru, atau terapis karena berhubungan dengan interaksi sosial,
komunikasi serta perilaku dan cara bermain yang berbeda. Oleh karena itu,
komunikasi pada anak autis menjadi hal yang sangat penting dan seharusnya
dibangun secara harmonis dengan tujuan membangun pendidikan yang baik
dalam keluarga maupun masyarakat.
Mengajar anak penyandang autis tentunya lebih sulit dilakukan sehingga
dibutuhkan sekolah khusus sebagai bentuk penanganan yang serius bagi
penyandang disabilitas mental. Autism Center Mitra Ananda merupakan SLB-S
yang dulunya merupakan sebuah klinik terapi. Para peserta didik di sekolah ini
tidak hanya berasal dari kategori autis saja, melainkan juga dari penyandang
3
disabilitas lainnya seperti cerebral palsy, down syndrome, dan mental
retradation. Mayoritas siswa Mitra Ananda yang menyandang syndrome autis
memiliki kategori derajat level sedang hingga berat.
Meskipun memiliki background pendidikan sebagai terapis, tidak mudah
bagi para pengajar untuk melaksanakan tugasnya sebagai shadow1. Ada berbagai
ketidakpastian yang dirasakan oleh pengajar dalam berinteraksi dengan siswa
autis yang berhubungan dengan perasaan pengajar tentnag bagaimana harus
bersikap misalnya, bagaimana harus berbicara, bagaimana gejala tantrum yang
ditunjukkan oleh siswa serta bagaimana cara mengatasinya. Hal-hal tersebut terus
melingkupi pikiran dan perasaan mereka. Ketidakpastian yang pengajar rasakan
pada umumnya dilandasi akibat ketidaktahuan (belum tahu) tentang karakteristik
siswa yang akan menjadi peserta didik di sekolah tersebut.
Apabila ketidakpastian ini terus dibiarkan maka akan menghambat proses
pengembangan hubungan interpersonal antara pengajar dan siswa. Selain itu,
ketidakpastiak dalam diri pengajar terhadap anak didiknya dapat membuat tujuan
atau program pembelajaran tidak dapat tercapai. Menurut Berger dan Calabrese
(dalam West dan Turner, 2013:174) komunikasi merupakan alat untuk
mengurangi ketidakpastian seseorang.
Lebih lanjut berger dan Calabrese (dalam West dan Turner, 2013:184)
juga mengemukakan bahwa untuk mengurangi ketidakpastian yang menimbulkan
prediksi-prediksi dalam diri seseorang, memerlukan berbagai strategi. Strategi-
strategi tersebut bertujuan agar seseorang memperoleh informasi tentang orang
yang baru dikenal. Sebab, dengan memperoleh informasi seseorang dapat
menemukan jawaban atau kepastian atas berbagai prediksi yang sebelumnya
muncul terhadap orang yang baru dikenalnya.
Perilaku serta kemampuan pemahanan anak autis tentu berbeda dengan
anak yang normal. Waktu respon yang lebih lama serta timbal balik yang kurang
tepat menghadapkan pengajar pada keadaan ambiguitas. Dari pemaparan di atas,
rumusan masalah yang coba peneliti jawab dari penelitian ini adalah “bagaimana
1 Istilah untuk menyebut guru pendamping bagi anak berkebutuhan khusus
4
strategi pengurangan ketidakpastian yang dilakukan oleh pengajar dalam
komunikasi interpersonal dengan siswa penyandang autis pada SLB-S Mitra
Ananda?”
Tinjauan Pustaka
1. Komunikasi Interpersonal
Setiap makhluk hidup pasti melakukan komunikasi dengan sesamanya.
Begitupun dengan manusia, komunikasi merupakan jembatan yang digunakan
untuk memahami pesan atau maksud dari orang lain. Menurut Deddy Mulyana
(2001:59) komunikasi mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih yang
mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise) terjadi
dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan
untuk melakukan umpan balik.
Komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi yang paling ampuh
dalam mempersuasi orang lain untuk mengubah sikap, opini, perilaku komunikan
dan jika dilakukan secara tatap muka langsung akan lebih intensif karena terjadi
kontak pribadi yaitu antara pribadi komunikator dengan pribadi komunikan.
Kathleen S Verdeber et all (2007) (dalam Budayatna & Ganiem, 2011: 14-
15), komunikasi antarpribadi merupakan proses melalui mana orang menciptakan
dan mengelola hubungan mereka, melaksanakan tanggung jawab secara timbal
balik dalam menciptakan makna. Lebih lanjut ia menjelaskan sebagai berikut:
Pertama, komunikasi antarpribadi sebagai proses yang berlangsung lama dari
waktu ke waktu. Kedua, komunikasi antarpribadi bergantung pada makna yang
diciptakan oleh pihak yang terlibat. Ketiga, melalui komunikasi kita menciptakan
dan mengelola hubungan kita. Tanpa komunikasi hubungan tidak mungkin terjadi.
2. Teori Pengurangan Ketidakpastian
Saat kita bertemu dengan orang asing atau dengan orang yang belum kita
kenal, biasanya kita akan mempunyai berbagai pertanyaan terhadap orang
tersebut. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu sudah tentu tidak pasti karena
kita belum mengenal orang tersebut dengan baik. Saat itulah kita mengalami
ketidakpastian seingga kita mulai berpikir untuk menafsirkan beberapa alternatif
5
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kepada orang tersebut. Oleh sebab itu, kita
perlu berkomunikasi untuk mengurangi ketidakpastian yang kita alami. Dalam
rangka mengurangi ketidakpastian antara shadow dengan siswa autis, maka
dibutuhkan strategi yang tepat sehingga komunikasi yang dilakukan bermanfaat.
Berger dan Calabrese (dalam West & Turner, 2011:175) menyatakan
bahwa ketidakpastian berhubungan dengan 7 (tujuh) konsep lain yang berakar
pada komunikasi dan pengembangan hubungan, yaitu output verbal, kegiatan
nonverbal (seperti nada suara yang menyenangkan dan mencondongkan tubuh ke
arah depan), pencarian informasi (bertanya), pembukaan diri, resiprositas
pembukaan diri, kesamaan dan kesukaan. Tiap konsep ini bekerja bersama dengan
konsep yang lainnya sehingga para partisipan dapat mengurangi sebagian dari
ketidakpastian mereka.
Berger dan koleganya (1989) (dalam Budayatna & Ganiem, 2015;144)
menyatakan bahwa untuk mengurangi ketidakpastian, seseorang dapat
menggunakan tiga strategi pengurangan ketidakpastian yang ada. Ketiga strategi
pengurangan ketidakpastian tersebut Pertama, pencarian informasi yang
dilakukan dengan tiga strategi pencarian yaitu 1) strategi pasif yaitu strategi
dimana pihak yang hendak mereduksi ketidakpastian mengumpulkan informasi
tentang target melalui observasi, tanpa harus berhubungan langsung dengan target
(unobtrusive obervation), 2) strategi aktif yaitu observasi mengenai target tanpa
adanya interaksi langsung antara pihak yang melakukan observasi dengan target.
Termasuk dalam kategori ini adalah perolehan informasi mengenai target melalui
pihak ketiga, dan 3) strategi interaktif yaitu kita berkomunikasi secara langsung
pada target dengan cara tetap melakukan kontak tatap muka.
Kedua, membuat perencanaan. Sebuah “rencana” merupakan sebuah
gambaran kognitif mengenai tindakan-tindakan yang orang dapat gunakan.
Supaya berhasil, individu-individu harus merencanakan pada tingkat yang optimal
untuk kompleksitas. Individu-individu paling berhasil dalam lingkungan-
lingkungan yang ambigu (tidak pasti) apabila mereka dapat menghasilkan,
membuat, dan mengubah rencana-rencana untuk membicarakan kemungkinan-
kemungkinan yang mungkin terjadi.
6
Ketiga, membatasi teradap hasil-hasil negatif yang dapat terjadi apabila
pembuatan pesan-pesan dalam kondisi-kondisi ketidakpastian. Dalam hal ini
individu dapar menyusun pesan-pesan dengan cara yang memperkecil penampilan
yang menjengkelkan, contohnya dengan menggunakan humor untuk memperhalus
permintaan mereka, atau mereka akan mengalihkan arah pesan mereka jika
mereka perlu menarik diri.
3. Gangguan Autis
Autisme merupakan salah satu kelompok dari gangguan pada anak yang
ditandai munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif,
komunikasi, ketertarikan pada interkasi sosial dan perilakunya. Autisme berasal
dari bahasa Yunani kata “Autos” yang berarti “aku”. Dalam pengertian non ilmiah
dapat diinterpretasikan bahwa semua anak yang mengarah pada dirinya sendiri
disebut autistik. Arti kata ini ditujukan pada seseorang penyandang autisme yang
seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Autistik merupakan gangguan
perkembangan yang memperngaruhi beberapa aspek bagaimana anak melihat
dunia dan belajar dari pengalamannya.
Seperti yang diungkapkan oleh Karyn (2004: 366) yang menjelaskan
bahwa gangguan perkembangan perpasif adalah kategori yang diciptakan oleh
American Psychiatric Association untuk mengelompokkan anak-anak dengan
hambatan atau penyimpangan dalam perkembangan sosial, bahasa, dan kognitif
mereka. Perilaku autisme biasanya ditandai dengan rendahnya berkomunikasi
verbal maupun nonverbal, interaksi sosial yang terkesan aneh, emosi yang tidak
stabil, berubah-ubah dan persepsi sensorik yang tidak optimal.
Gangguan pada anak autis juga disebutkan dalam Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder 4th
Edition (DSM-VI) bawa ganguan
kualitatif komunikasi terlihat paling tidak 1 dari gejala-gejala seperti:
keterlambatan atau belum dapat mengucapkan kata-kata berbicara, tanpa disertai
usaha kompensasi dengan cara lain misalnya mimik wajah dan bahasa tubuh, bila
dapat berbicara, terlihat gangguan kesanggupan memulai atau mempertahankan
komunikasi dengan orang lain, penggunaan bahasa yang stereotipik dan berulang
7
atau bahasa yang tidak dapat dimengerti, serta cara bermain yang kurang
bervariasi atau monoton ( Maharani, 2008:126).
Kesulitan berkomunikasi pada anak autis membuat mereka tampak seperti
anak nakal yang sulit diatur. Hal tersebut bukan terjadi karena mereka sengaja
tidak patuh namun lebih karena mereka tidak paham apa perilaku yang diharapkan
oleh orang lain atas diri mereka serta bagaimana merespon orang-orang di
sekitarnya. Oleh sebab itu mereka perlu dibantu agar dapat memahami proses
komunikasi yang terjadi misalnya dengan menggunakan bantuan peraga visual.
Metodologi Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara yang dilakukan seorang peneliti untuk
mengumpulkan, mengklasifikasi dan menganalisis fakta-fakta yang ada di tempat
penelitian menggunakan ukuran pengetahuan. Ini dilakukan untuk menentukan
suatu kebenaran (Hamidi, 1994:206). Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode kualitatif karena peneliti ingin menjelaskan strategi yang
digunakan oleh pengajar dalam mereduksi ketidakpastian dalam komunikasi
interpersonal terhadap siwa autis. Penelitian kualitatf menurut Bogdan dan Taylor
(1975) (dalam Moleong, 2015:4) yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku
yang dapat diamati.
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Studi kasus menurut
Yin (2013:18) adalah suatu inquiry empiris yang menyelidiki fenomena dalam
konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antar fenomena dan konteks tak
tampak dengan tegas dan dimana multi sumber bukti dimanfaatkan. Sebagai suatu
inquiry studi kasus tidak harus dilakukan dalam waktu yang lama dan tidak pula
harus tergantung pada data etnografi atau observasi partisipan. Pada penelitian ini,
peneliti mengangkat topik tentang strategi pengurangan ketidakpastian oleh
pengajar dalam komunikasi interpersonal dengan anak penyandang autisma di
SLB-S Mitra Ananda. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa terdapat tiga
strtategi pengurangan ketidakpastian yang dilakukan oleh pengajar dalam
berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa penyandang autis.
8
Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara mendalam untuk
mengumpulkan data primer dari para informan. Menurut Kriyantono (2012:100)
wawancara mendalam adalah suatu cara mengumpulkan data dan informasi
dengan langsung bertatap muka dengan informan agar mendapatkan data lengkap
dan mendalam. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara yang bersifat semi
terstruktur, yaitu dalam melakukan wawancara peneliti memiliki pedoman
wawancara agar tidak jauh dari pembahasan namun pertanyaan tersebut tetap
dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan (Moleong, 2004:186).
Sedangkan data sekunder peneliti peroleh dari studi pustaka dalam bentuk
literatur buku yang mendukung tentang topik penelitian serta penelitian terdahulu
dengan topik yang sama sehingga dapat dijadikan bahan rujukan dalam penulisan
penelitian ini. Selain studi pustaka peneliti juga melakukan studi dokumen yaitu
mencari data mengenai hal-hal berupa catatan, transkrip, prasasti, notulen dan
sebagainya (Hadi, 1987:193). Dalam penelitian ini, peneliti mempelajari data
yang sifatnya tertulis mengenai Yayasan Pembinaan Anak Cacat khususnya SLB
Mitra Ananda baik yang melalui pihak sekolah langsung maupun data yang telah
tersedia di internet (website).
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive
sampling. Adapun informan yang dipilih peneliti merupakan pengajar dan orang
tua. Para pengajar yang diwawancarai terdiri dari 7 orang pengajar, tiga orang
diantaranya merupakan pengajar senior yang sekaligus berperan sebagai tim
assesment yang bertugas untuk memberikan assesment test saat penerimaan siswa
baru. Ketiga guru senior tersebut adalah Drs. Pardiyo, Dra. Sriwarjanti dan Juliana
Trisusilowati,Amd.OT. Sedangkan empat orang guru lainnya merupakan pengajar
muda yang memiliki ketertarikan dengan dunia autis yaitu Pak Dimas, Bu Santi,
Bu Ningrum dan Pak Hermawan. Selain dari pihak pengajar, peneliti juga
mewawancarai 3 orang wali murid untuk melakukan verifikasi data. Ketiga wali
murid yang tidak ingin disebutkan identitasnya itu merupakan orangtua atau
kerabat yang memiliki kedekatan dengan anak penyandang autis.
Kegiatan analisis data dalam penelitian kualitatif terdiri dari tiga alur yang
terjadi secara bersamaan (Miles & Huberman 1984 (dalam Sutopo, 2002: 91-92),
9
yaitu reduksi data, penyajian data dan verifikasi data. Sedangkan untuk uji
validitas datanya, peneliti menggunakan teknik triangulasi data. Triangulasi
adalah teknik pemerikasaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain
di luar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data tersebut. Triangulasi data yang dipilih oleh peneliti adalah
triangulasi sumber yaitu suatu cara yang mengarahkan peneliti agar di dalam
pengumpulan data peneliti wajib menggunakan sumber data yang tersedia (Patton
(1984) dalam Sutopo, (2002: 78)).
Sajian dan Analisis Data
1. Ketidakpastian Pengajar dalam Berkomunikasi dengan Siswa Autis
Ketika pertama kali mengajar siswa autis, rata-rata para shadow
merasakan ketidakpastian dalam bentuk kebingungan dalam menghadapi siswa
autis. Hal ini tentu sangat maklum karena kondisi siswa autis yang berbeda dari
anak yang tidak menyandang kebutuhan khusus. Secara umum peneliti
menggolongkan kecemasan atau kekhawatiran yang pengajar rasakan dalam 4
kelompok besar yaitu:
a. Ketidakpastian dalam segi kemampuan berkomunikasi siswa autis yang
mayoritas belum mampu berkomunikasi secara verbal (lisan maupun
tulisan) serta komunikasi non verbal yang mash terbatas.
b. Ketidakpastian dalam segi perilaku siswa di kelas khususnya yang
berhubungan dengan kepatuhan atas intruksi yang diberikan pengajar serta
gelaja tantrum yang lekat dengan siswa autis
c. Ketidakpastian dalam diri pribadi pengajar yang berhubungan dengan
adanya keraguan akan kemampuan yang miliki oleh guru dalam mengajar
siswa autis
d. Ketidakpastian eksternal yang berhubungan dengan sikap orangtua yang
tidak terbuka mengenai kondisi putra putrinya.
Berikut peneliti jabarkan lebih lanjut atas bentuk ketidakpastian pengajar
pada siswa autis. Pertama, ketidakpastian dalam segi kemampuan berkomunikasi
siswa yang mayoritas belum mampu berbicara bahkan menulis, serta komunikasi
10
non verbal yang masih terbatas. Kemampuan komunikasi siswa yang terbatas
meliputi, membeo, merengek, serta meracau tidak jelas. Karakteristik dan
kemampuan siswa yang berbeda antara satu dengan yang lainnya menjadi salah
satu point penting yang harus diketahui oleh setiap pengajar sehingga para guru
mengetahui langkah yang tepat untuk mengatasi ketidakpastian tersebut.
Kedua, ketidakpastian dalam segi perilaku siswa khususnya yang
berhubungan dengan kepatuhan atas intruksi yang diberikan oleh pengajar serta
gejala tantrum yang lekat dengan siswa autis. Perilaku penolakan yang biasanya
dilakukan oleh siswa autis misalnya berupa amukan, marah, berlari-lari, berjalan-
jalan dan berujung tantrum. Manifestasi tantrum siswa autis berbeda satu dengan
yang lainnya, ada yang tantrum menyakiti dirinya sendiri dengan memukul
kepalanya, melempar barang, hingga menyakiti orang lain seperti menyerang dan
menggigit orang-orang di sekitar.
Ketiga, ketidakpastian dalam diri pribadi pengajar yang berhubungan
dengan adanya keraguan akan kemampuan yang dimiliki oleh guru dalam
mengajar siswa autis. Keraguan ini terkait dengan ketidakpastian dalam
menyampaikan materi di kelas dan perkembangan pemahaman siswa yang sulit
memahami pelajaran misalnya siswa tidak paham dengan materi yang diberikan
dan perkembangan kemampuan siswa yang tidak seusuai dengan harapan
pengajar.
Keempat, ketidakpastian eksternal yang berhubungan dengan sikap
orangtua yang tidak terbuka mengenai kondisi putra-putri mereka. Kekhawatiran
ini diawali dari ketidakcocokan antara keterangan yang disampaikan oleh
orangtua mengenai karakteristik, kondisi serta kemampuan siswa dengan aktivitas
proses belajar mengajar yang dilakukan guru di kelas. Hal ini juga menjadi tugas
para pengajar untuk menyampaikan serta memberikan pengertian kepada wali
murid agar mau menerima kenyataan tentang kondisi kebutuhan khusus yang
dimiliki oleh putra-putrinya.
Peneliti sependapat dengan pemikiran Berger & Bradac, 1982 dalam West
& Turner (2011:184) dan Budayatna & Ganiem (2015:141) yang menjabarkan
dua bentuk ketidakpastian yang dialami oleh seseorang dalam berinteraksi dengan
11
orang lain. Dalam penelitain ini ditemukan bahwa terdapat juga dua buah bentuk
ketidakpastian yang dialami pengajar selama berinteraksi dengan siswa autis
yaitu:
1) Ketidakpastian Kognitif
Ketidakpastian kognitif (cognitive uncertainly) yaitu ketidakpastian yang
merujuk pada keyakinan dan sikap yang dianut oleh seseorang. Ketidakpastian
kognitif yang dimiliki pengajar terhadap siswa autis berupa pemikiran
pengajar terhadap kemampuan siswa autis.
2) Ketidakpastian Perilaku
Ketidakpastian perilaku (behavioral uncertainly) merupakan
ketidakpastian yang merujuk pada batasan sampai mana perilaku dapat
diprediksi dalam sebuah situasi tertentu.
2. Strategi Pengurangan Ketidakpastian yang Dilakukan Oleh Pengajar
Demi terciptanya suasana yang kondusif di dalam kelas serta tercapainya
tujuan pembelajaran, pengajar melakukan berbagai strategi pengurangan
ketidakpastian dalam berkomunikasi interpersonal dengan siswa autis. Dorongan
pengajar untuk mengurangi ketidakpastian dalam berinteraksi dengan siswa autis
disebabkan oleh tuntutan tanggungjawab sebagai guru dalam mendidik siswa
berkebutuhan khusus dalam memaksimalkan kemampuannya.
a. Pencarian Informasi Kondisi Siswa Autis oleh Pengajar
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh pengajar perlu mengetahui
informasi mengenai kondisi siswa autis yang menjadi peserta didiknya. Hal ini
bertujuan agar pengajar dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan
kebutuhan siswa. Pengajar harus mengetahui karakteristik, kondisi, latar belakang
serta potensi kemampuan siswa autis. Oleh sebab itu untuk memenuhi hal tersebut
pengajar melakukan berbagai cara untuk dapat memperoleh informasi yang
kredibel. Adapun informasi yang perlu diketahui pengajar selain dari profil umum
siswa, antara lain mulai dari riwayat kelahiran anak, riwayat perkembangan anak,
kondisi kesehatan anak, kebiasaan anak di rumah, kesukaan anak, kemampuan
serta riwayat pendidikannya jika sebelumnya pernah bersekolah atau terapi.
12
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa untuk memusatkan
komunikasi sebagai sarana perolehan pengetahuan dalam mencari informasi
tentang kondisi siswa autis, shadow melakukan dengan tiga cara yaitu
menggunakan strategi pasif, strategi aktif dan strategi interaktif.
1) Pencarian Informasi Menggunakan Strategi Pasif
Strategi pasif yang dilakukan pengajar untuk mengurangi ketidakpastian
dengan siswa autis yaitu melakukan pengamatan pada satu minggu awal siswa
masuk di kelas masing-masing. Dalam situasi di ruang kelas yang tidak
didampingi oleh orangtua dari masing-masing siswa, pengamatan yang dilakukan
adalah untuk melihat bagaimana reaksi serta respon siswa saat berada dalam
situasi atau lingkungan yang baru. Respon dari siswa autis bervariasi mulai yang
tidak terganggu karena sudah asyik sendiri, lari-lari, jalan-jalan, hingga
menunjukkan sikap memegang tangan pengajar sebagai ungkapan untuk meminta
bantuan atau meminta suatu benda yang menarik perhatian siswa.
Setiap pengajar akan melakukan pengamatan kepada anak didiknya di
kelas masing-masing. Pengamatan pada satu minggu pertama ini dilakukan untuk
membentuk kedekatan antara pengajar kelas dengan peserta didiknya. Biasanya
satu minggu pertama siswa tidak mendapatkan materi pelajaran, tapi dibebaskan
bermain. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Ningrum, yang membiarkan anak didiknya
untuk mengamati dan beradaptasi dengan suasanya serta lingkungan kelas yang
baru. Beliau juga melihat reaksi siswa terhadap suasanya tersebut.
“Satu minggu awal biasanya kita biarkan dia dulu, kita lihat bagaimana
responnya, apakah pas masuk itu dia marah-marah, lari-lari, kita coba
suruh duduk mau apa nggak kayak pengenalan sama siswa. Kita amati
maunya dia apa dulu, baru selanjutnya kita bisa menentukan harus
ngapain.”(Wawancara dengan Ningrum, pada tanggal 25/10/2018)
Proses memahami karakteristik siswa autis pada dasarnya tidak hanya
pada satu minggu awal saja, namun juga berlangsung selama proses belajar
mengajar. Hal ini disebabkan perilaku siswa yang cenderung berubah-ubah, dan
menunjukkan respon yang tidak sama pula. Sama halnya dengan siswa lain di
sekolah umum yang butuh orientasi untuk mengenal guru dan lingkungan
13
sekolahnya pada awal mereka menimba ilmu di tempat tersebut, demikian juga
berlaku untuk siswa autis.
2) Pencarian Informasi Menggunakan Strategi Aktif
Strategi aktif yang dilakukan pengajar untuk mengurangi ketidakpastian
dengan siswa autis yaitu dengan melakukan wawancara kepada pihak keluarga,
misalnya dengan orangtua atau kerabat siswa. Interview awal dengan orangtua
siswa dilakukan secara tatap muka pada saat masa pendaftaran siswa baru di
sekolah. Adapaun informasi yang perlu diketahui oleh pengajar tentang siswa dari
interview tersebut adalah tentang kondisi siswa, karakteristik siswa, kebiasaan
siswa di rumah, riwayat pendidikan sebelumnya jika ada, riwayat terapi, kondisi
kesehatan siswa hingga hal yang disukai maupun tidak disukai oleh siswa.
Informasi-informasi tersebut dibutuhkan oleh pengajar untuk mendukung proses
belajar mengajar di kelas. Selain itu, informasi tersebut juga berguna saat siswa
mengalami tantrum atau menunjukkan sikap tidak suka dan sikap menolak
terhadap intruksi yang diberikan oleh pengajar.
Biasanya ketika siswa melakukan penolakan terhadap intruksi yang
diberikan oleh pengajar, mereka akan memberikan reward yang diantaranya
terdiri dari suatu benda yang menjadi kesukaan dari siswa tersebut. Tidak hanya
dengan orangtua, pengajar juga melakuan tanya jawab dengan tim assesment atau
guru sebelumnya untuk mencari informasi tentang siswa yang bersangkutan. Dari
hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, semua informan sepakat bahwa
cara untuk mengetahui kondisi siswa autis, hal pertama yang dilakukan adalah
bertanya kepada orangtua siswa mengenai kondisi putra putri mereka.
“Informasi tentang kondisi anak itu kan bisa dengan tanya ke orangtua,
informasi dari pengasuh, atau assesment. Kebetulan saya salah satu
anggota dari tim assesment, sama Bu Yuli juga.” (Wawancara dengan
Sriwarjanti, 14/12/2018)
Assesment awal dibutuhkan untuk mengetahui kemampuan siswa, jenis
kebutuhan khususnya serta untuk menentukan kelas mana yang cocok atau hampir
mendekati dengan kemampuan anak tersebut. Tidak semua siswa berkebutuhan
khusus yang memiliki kategori sama ditempatkan dalam satu kelas karena
penentuan kelas dilakukan berdasarkan kemampuan siswa bukan dilihat dari jenis
14
kebutuhan khususnya. Adakalanya siswa yang sudah pernah bersekolah atau
menyenyam pendidikan tidak perlu mendapatkan assesment lagi, namun cukup
dengan menunjukkan dokumen pendukung yang bisa membuktikan kebenaran
tentang kondisi siswa dan hanya tinggal melengkapi kebutuhan yang dirasa masih
kurang, seperti halnya Risa dan Jojo yang tidak memerlukan assesment ulang.
3) Pencarian Informasi Menggunakan Strategi Interaktif
Strategi interaktif yang dilakukan oleh pengajar untuk mengurangi
kecemasaan saat menghadapi siswa autis yaitu dengan berinteraksi dengan siswa
autis yang telah dicari tahu informasinya. Komunikasi yang terjadi antara
pengajar dengan siswa autis yaitu berbentuk pemberian materi pelajaran atau
intruksi sederhana untuk melatih kemandirian dan kepatuhan siswa serta pada saat
siswa melakukan penolakan hingga yang paling berat adalah ketika tantrum.
Intruksi yang diberikan oleh pengajar dapat dilakukan dalam bentuk bahasa
campuran antara bahasa verbal dan non verbal terkecuali siswa tersebut sudah
mampu berkomunikasi secara lisan, maka intruksi yang diberikan juga dalam
bentuk lisan. Pemberian intruksi biasanya dilakukan secara berulang-ulang
dengan diiringi bahasa tubuh yang menyerupai gerakan dalam melakukan sesuatu
yang diperintahkan dalam intruksi tersebut.
Pengajar berusaha untuk terus melakukan komunikasi yang kontinyu
meskipun siswa paham atau tidak terhadap maksud yang diberikan pengajar. Hal
tersebut bertujuan agar siswa merasa diperhatikan oleh pengajar. Bentuk
komunikasi pengajar dalam menarik perhatian siswa dapat berupa “ocehan”
pengajar mengenai suatu benda di sekitarnya, dengan harapan agar siswa mau
meresponnya. Seletah respon yang diharapkan diterima oleh pengajar, maka
pengajar akan melakukan kontak fisik sebagai bentuk komunikasi nonverbal
untuk menenangkan siswa dari gejala tantrum atau penolakannya. Kontak fisik
dapat meliputi sentuhan, pelukan, gerakan, maupun ekspresi yang menunjukan
kepedulian terhadap siswa.
“Pokoknya saya tetap berusaha berkomunikasi meskipun dia respon atau
nggak melakukan apa-apa.” (Wawancara dengan Sriwarjanti, pada tanggal
14/12/2018)
15
Interaksi yang terjadi dalam strategi pencarian informasi secara interaktif
berada dalam proses kegiatan belajar mengajar. Strategi ini erat kaitannya dengan
berbagai upaya yang dilakukan oleh pengajar dalam membuat perencanaan dan
membatasi pesan untuk berinteraksi dengan siswa autis. Selain dengan siswa
berkebutuhan khusus, strategi interaktif juga dilakukan pengajar kepada kedua
orangtua siswa dalam upaya mengurangi ketidakpastian. Penyampaian kondisi
siswa merupakan bentuk tanggungjawab pengajar kepada orangtua untuk
memberikan pengertian mengenai kondisi anak yang sebenarnya dapat dilakukan
dengan berbagai media misalnya foto atau video kegiatan di sekolah. Selain itu,
dengan memberikan edukasi atau sesi sharing kepada wali murid pada saat
pertemuan POSMA sebagai bentuk pengurangan ketidakapastian atas
ketidakpastian dan ketidakjujuran wali murid mengenai kondisi siswa.
b. Membuat Perencanaan
Adapun beberapa strategi membuat perencanaan yang dilakukan oleh
pengajar antara lain:
1) Menyampaikan Materi Secara Bergantian dengan Partner Kelas
Sebagian pengajar juga sudah mulai memiliki kepercayaan diri dalam hal
cara penyampaian materi terhadap siswa autis. Namun, perbedaan latar belakang
dan kategori kondisi siswa serta perubahan perilaku siwa yang tidak mau
menerima pelajaran akan tetap memunculkan ketidakpastian pada diri pengajar.
Tak jarang pengajar merasa ragu lagi akan kemampuannya, kondisi ini biasanya
di atasi dengan melakukan switch atau penggantian dengan partner pengajar lain.
2) Terus Belajar Lebih Dalam Tentang Autis
Dalam wawancaranya dengan narasumber, belajar dapat dilakukan dengan
membaca buku atau mengamati cara handling guru senior yang telah
berpengalaman dalam menangani siswa autis. Proses belajar ini dilakukan sambil
jalan saja dan tidak memiliki waktu khusus.
3) Memberikan Intruksi Sederhana pada Siswa
Upaya untuk mengatasi kecemasan dalam memberikan materi kepada
siswa autis adalah dengan cara memberikan intruksi sederhana. Siswa autis
memiliki pemahaman yang lambat dari siswa lainnya penggunaan intruksi yang
16
sederhana akan mempermudah mereka untuk mengerti apa yang dimakasudkan
oleh pengajar. Intruksi sederhana yang diberikan dapat berhubungan dengan
materi pelajaran atau mengajarkan kepatuhan kepada siswa. Pemberian intruksi
dapat dilakukan dengan cara berkomunikasi verbal secara lisan dan
berkomunikasi nonverbal dengan cara menunjuk, memperagakan dan
mengungkapkan ekspresi yang tepat. Intruksi juga dilakukan secara berulang dan
berkesinambungan sampai anak terbiasa dan mampu merespon dengan baik.
4) Reward untuk Meminimalisir Penolakan Siswa
Upaya untuk meminimalisir penolakan yang dilakukan oleh siswa salah
satunya adalah dengan memberikan reward atau penghargaan saat siswa telah
berhasil dalam menyelesaikan tugas atau intruksi yang diberikan. Reward bisa
berupa sesuatu yang disukai oleh siswa, bisa berupa tepuk tangan, acungan jempol
atau juga bisa berbentuk pujian yang ekspresif untuk menyenangkan hatinya.
5) Mengendalikan Tantrum pada Siswa Autis
Dalam arti sempit tantrum bisa didefinisikan sebagai amukan atau marah
dengan heboh. Upaya pengendalian tantrum yang dilakukan oleh pengajar pada
dasarnya bertujuan untuk meredakan emosi siswa yang meledak, di mulai dari
mendiamkan siswa sejenak dengan tidak merespon apa yang dia lakukan hingga
membawanya ke ruangan lain untuk dipisahkan dari siswa lainnya. Selain kedua
hal tersebut, untuk meredakan tantrum dapat dilakukan dengan bernyanyi, atau
membangun trust antara pengajar dengan siswa autis.
6) Pengaturan Kelas untuk Meningkatkan Konsentrasi Belajar Siswa
Siswa autis yang mengalami gangguan konsentrasi akan sulit beradaptasi
jika ruang kelas dipenuhi oleh ornamen atau hiasan yang ada di dinding kelas.
Selain itu, untuk membuat siswa nyaman, pihak sekolah menyediakan ruang kelas
yang dilegkapi oleh AC. Dalam satu kelas, hanya terdiri dari 4-5 orang siswa saja
dengan jumlah pengajar 2-3 orang per kelasnya. Jumlah ini dirasa sudah sangat
ideal, karena proses pembelajaran siswa autis membutuhkan tenaga ekstra dan
kesabaran yang ekstra sehingga pengajar kelas tidak cukup hanya satu orang saja.
Rotasi pengajar dilakukan satu tahun sekali, bersamaan dengan rotasi
siswa. Hal tersebut dilakukan dengan harapan dapat melatih siswa untuk
17
bersosialisasi dengan siswa maupun guru lainnya, namun tetap dalam menentukan
kelas bagi para siswa disesuaikan dengan perkembangan kemampuan para peserta
didik berdasarkan hasil evaluasi.
7) Memberikan Pengertian Kepada Orangtua Siswa
Upaya pihak sekolah dalam mengurangi ketidakpastian saat berhadapan
dengan orangtua yakni dengan mendorong terbentuknya susatu wadah
perkumpulan untuk sharing atau berbagi unek-unek diantara orangtua yaitu
POSMA. Dalam kegiatannya, POSMA memiliki pertemuan rutin yaitu selama
tiga bulan sekali. Pertemuan tersebut biasanya berisi tentang seminar atau sharing
pengalaman tentang cara menangani siswa autis atas kerja sama dengan sekolah
untuk mengundang pembicara yang ahli dibidangnya, tergantung dengan
permintaan materi anggota POSMA itu sendiri. Harapannya dengan adanya
POSMA, para orangtua dapat lebih mengerti serta menerima kondisi buah
hatinya, sehingga pihak sekolah dapat lebih mudah melakukan kerjasama untuk
membantu memaksimalkan kemampuan siswa.
c. Membatasi
Dalam berkomunikasi dengan siswa autis perlu adanya pembatasan-
pembatasan dalam pengemasan pesan serta cara menyampaikannya agar maksud
pengajar dapat mudah dimengerti oleh peserta didik. Pesan yang disampaikan
kepada siswa penyandang autis harus berupa intruksi yang sederhana dan singkat.
Kata-kata yang digunakan tidak boleh mengandung imbuhan, melainkan harus
menggunakan kata dasar. Dalam menyusun kalimat, tidak boleh lebih dari dua
kata. Hal ini disebabkan siswa autis memiliki respon serta pemahaman yang
lambat, jika kata yang digunakan untuk berbicara terlalu panjang maka akan
membuat siswa kebingungan dan tidak akan merespon pesan yang diberikan.
Siswa autis memiliki gangguan penerimaan pesan di otaknya sehingga jika
pesan yang diberikan terlalu panjang akan membutuhkan waktu yang lama bagi
siswa autis dalam memberikan respon. Selain itu, pesan yang diberikan harus
konsisten dan tidak berubah-ubah agar siswa juga terbiasa melakukannya.
”Kalau untuk anak autis itu prinsipnya kata-katanya singkat, satu sampai
dua kata saja, terus tegas intonasinya, yang ketiga itu harus konsisten”
(Wawancara dengan Pardiyo, pada tanggal 03/12/2018)
18
Selain dari perangkaian pesannya, pesan yang disampaikan juga harus
dalam intonasi yang tegas, jelas, serta singkat. Pengulangan intruksi perlu
dilakukan untuk melatih kepatuhan serta daya ingat siswa pada suatu kalimat atau
intruksi yang diberikan. Kemampuan siswa autis dalam kategori berat memiliki
daya ingat yang kurang sehingga penyampaian pesan harus dilakukan secara
kontinyu dan konsisten agar kelak ketika siswa diberikan intruksi yang sama di
lain waktu, responnya akan sedikit menjadi lebih cepat.
Bentuk membatasi pesan tidak hanya dilakukan pada saat ucapan lisan
saja, namun juga dilakukan pada saat penyampaian pesan yang menggunakan
gerakan non verbal. Semisal pengajar ingin memberikan intruksi “ambil piring”,
jika diucapkan secara lisan sudah cukup sederhana dan terdiri dari dua kata dasar,
pengajar hanya tinggal mengatur intonasi serta penekanan dalam pelafalannya.
Namun, ketika ingin dikombinasikan dengan gerakan non verbal untuk
memfokuskan anak, maka kata yang digunakan adalah “ambil” sambil menunjuk
pada gambar atau wujud asli sebuah piring. Dalam berkomunikasi secara non
verbal (menggunakan gerakan) juga tidak boleh melakukan banyak gerakan lain
sampai siswa melakukan intruksi tersebut. Jika pengajar ingin siswa melakukan
lebih dari satu intruksi, pesan yang diberikan tidak diucapkan segaligus, tapi siswa
harus mampu melakukan intruksi pada pesan sebelumnya, barulah dilanjutkan
pada pesan atau intruksi kedua.
Kesimpulan
Proses pencarian informasi siswa autis yang dilakukan dengan tiga strategi
yaitu strategi pasif, digunakan pengajar pada saat pengamatan perilaku dan respon
siswa di kelas. Strategi aktif digunakan pengajar sebagai proses tanya jawab
mengenai kondisi siswa, karakteristik serta kebiasaannya. Proses tanya jawab
tersebut dapat dilakukan dengan keluarga atau kerabat terdekat, tim assesmen,
maupun guru sebelunya yang pernah mengajar siswa tersebut. Strategi interaktif
dilakukan pengajar dengan berinteraksi langsung dengan siswa autis, interaksi
yang dilakukan berupa komunikasi verbal berupa pengucapan pesan secara lisan.
19
Pelafalan pesan lisan ini dikombinasikan dengan bahasa tubuh berupa gerakan,
sentuhan, kontak mata dan ekspresi pengajar. Strategi interaktif juga berlaku
untuk memberikan pemahaman dan pengertian kepada orangtua agar mau terbuka
serta menerima kondisi dari buah hati mereka.
Pengajar membuat berbagai perencanaan untuk mengurangi ketidakpastian
yang dialaminya, baik yang berasal dari dalam diri pengajar, siswa maupun dari
orang lain. Upaya pengurangan ketidakpastian dalam diri pengajar dilakukan
dengan pergantian shadow, sedangkan ketidakpastian dengan orangtua dapat
diatasi dengan membuat paguyuban POSMA sebagai wadah untuk sharing
mengenai keluhan wali murid. Dalam berkomunikasi dengan siswa autis, para
pengajar memanfaatkan sesuatu yang menjadi kesukaan siswa untuk memulai
berinteraksi atau sebagai cara untuk mengatasi penolakan dan menenangkan
gejala tantrum yang muncul. Sikap “cuek” atau “membiarkan sejenak” ketika
tantrum memberikan jeda kepada siswa untuk menurunkan emosinya sehingga
ketika pengajar mulai menjalin komunikasi kembali kepada siswa, siswa dapat
menerima stimuli yang diberikan oleh pengajar.
Para pengajar juga membatasi pesan yang diberikan kepada siswa autis
agar lebih cepat direspon oleh siswa. Pesan yang diberikan memiliki kriteria
singkat, jelas dan tegas. Selain itu pesan harus bersifat konsisten untuk melatih
kepatuhan siswa. Pesan yang diberikan akan dikombinasikan dengan gerakan
untuk mempermudah siswa dalam memahaminya. Selain pembatasan pada pesan
yang akan disampaikan, pengajar juga melakukan pembatasan ornamen di ruang
kelas agar tidak mengganggu konsentrasi siswa dengan cara tidak banyak
memasang hiasan-hiasan di dinding agar konsentrasi siswa tidak mudah pecah.
Daftar Pustaka
Budyatna, M. & Ganiem, L. M. (2011). Teori Komunikasi Antar Pribadi. Jakarta:
Prenada Media Grup
Budyatna, M. (2015). Teori Komunikasi Antar Pribadi. Jakarta: Prenada Media
Grup
Hadi, S. (1987). Metode Riset. Yogyakarta:YPF Psikologi UGM
Hamidi. (1994). Metodologi Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press
20
Karyn, S. (2004). Untukmu Segalanya: Perjuangan Ibunda Seorang Anak Autistik
Mengungkap Misteri Autisme dan Gangguan Perkembangan
Perpasif.(Lala, Herawati. Terjemahan). Bandung:Qanita
Maharani, S. (2008). Mengenali dan Memahami berbagai Gangguan Kesehatan
Anak. Jogjakarta: Katahati
Moleong, L. J.(2014). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda
Mulyana, D. (2001). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Rosda
Sutopo, H.B. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press
West, Richard & Turner L.H. (2013). Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan
Aplikasi 3th
.ed ( Marswendy. B Terjemahan). Jakarta: Salemba Humanika
Yin, R. K.(2013). Studi Kasus Desain & Metode. Jakarta: Rajawali Press