JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

27
JURNAL BIOLOGI SUMATERA (Sumatran Journal of Biology) Volume 1, Nomor 1 Januari 2006 ISSN 1907−5537 PENANGGUNG JAWAB Dwi Suryanto KETUA EDITOR (CHIEF EDITOR) Erman Munir DEWAN EDITOR (EDITORIAL BOARD) Erman Munir, Ternala A. Barus, Dwi Suryanto, Retno Widhiastuti EDITOR TEKNIK (MANAGING EDITOR) Riyanto Sinaga, Erni Jumilawaty BENDAHARA Nunuk Priyani PENERBIT (PUBLISHER) Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia ALAMAT EDITOR (EDITORIAL ADDRESS) Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia Jln. Bioteknologi No. 1, Kampus USU, Padang Bulan, Medan 20155

Transcript of JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

Page 1: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

1

JURNAL BIOLOGI SUMATERA (Sumatran Journal of Biology)

Volume 1, Nomor 1 Januari 2006 ISSN 1907−5537

PENANGGUNG JAWAB Dwi Suryanto

KETUA EDITOR (CHIEF EDITOR) Erman Munir

DEWAN EDITOR (EDITORIAL BOARD) Erman Munir, Ternala A. Barus, Dwi Suryanto, Retno Widhiastuti

EDITOR TEKNIK (MANAGING EDITOR) Riyanto Sinaga, Erni Jumilawaty

BENDAHARA Nunuk Priyani

PENERBIT (PUBLISHER) Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara,

Medan, Indonesia

ALAMAT EDITOR (EDITORIAL ADDRESS) Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia

Jln. Bioteknologi No. 1, Kampus USU, Padang Bulan, Medan 20155

Page 2: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

2

DAFTAR ISI ISSN 1907-5537

JURNAL BIOLOGI SUMATERA (Sumatran Journal of Biology) Halaman Identifikasi Jenis dan Jumlah Bakteri pada Pasien Mikosis Kulit. Kiki Nurtjahja, Dwi Suryanto, dan Lavarina Winda............................................................................................................. 1 – 2 Pengujian Degradasi Klorpromazin HCl dalam Plasma Secara In Vitro. M.T. Simanjuntak ....... 3 – 7 Efek Pemberian Monosodium Glutamat (MSG) terhadap Perkembangan Embrio Mencit (Mus musculus L.) Strain DDW Selama Periode Praimplantasi hingga Organogenesis. Emita Sabri, Deny Supriharti, dan Gunawan E. Utama................................................................................. 8 – 14 Inisiasi In Vitro Biji Muda Terong Belanda (Solanum betaceum Cav.) Berastagi Sumatera Utara pada Komposisi Media dan Zat Tumbuh yang Berbeda. Elimasni, Isnaini Nurwahyuni, dan M. Zaidun Sofyan........................................................................................................................... 15 – 19 Perilaku Harian Pecuk Hitam (Phalacrocorax sulcirostis) Saat Musim Berbiak di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Jakarta. Erni Jumilawaty ................................................................... 20 – 23

Page 3: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

Jurnal Biologi Sumatera, Januari 2006, hlm. 1 – 2 ISSN 1907-5537

Vol. 1, No. 1

1

IDENTIFIKASI JENIS DAN JUMLAH BAKTERI PADA PASIEN MIKOSIS

KULIT

Kiki Nurtjahja1), Dwi Suryanto1), dan Lavarina Winda2) 1Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Jalan Bioteknologi No. 1, Padang Bulan, Medan 20155

2Fakultas Biologi, Universitas Medan Area, Jalan Kolam No. 1, Medan 20223

Abstract

The occurrence of bacteria on superficial mycosis (tinea) has been studied. The aim of the study is to observe the presence of bacterial species as secondary infection on superficial primary mycosis. Thirty samples of patients mycosis were investigated by scrapping method at head skin (tinea capitis), body (tinea corporis), feet (tinea pedis), nail (tinea manus), and upper tight (tinea cruris). By adding potassium hydroxide (KOH) 10%, each sample was tested microscopically to examine the presence of parasitic fungi. The positive samples were diluted to 10-2 in sterile distilled water. The samples were cultured in solidified nutrient agar (NA) media for 37oC, 24 h. The number of bacteria colonies were calculated, the colonies were determined by Gram stainning. Most patients were infected by tinea tinea corporis, tinea pedis, tinea cruris, tinea manus, and tinea capitis, respectively. Five species bacteria were found, the highest number of bacteria was Staphylococcus aureus, which was found in all tinea. The second number was Streptococcus faecalis, Enterobacter aerogenes, Escherichia coli, and Proteus vulgaris, respectively. Keywords: tinea, scrapping, mycosis

PENDAHULUAN

Infeksi jamur pada kulit atau mikosis banyak diderita penduduk khususnya yang tinggal di daerah tropis. Iklim panas dan lembab merupakan salah satu penyebab tingginya insiden tersebut. Selain itu mikosis pada kulit dipredisposisi oleh higiene yang kurang sehat, adanya sumber penularan, pemakaian antibiotika, dan penyakit kronis (Adiguna 2001).

Mikosis kulit atau disebut juga dengan “ring worm” atau dalam istilah klinis disebut dengan tinea disebabkan oleh 3 genus jamur yaitu Microsporum, Tricophyton dan Epidermophyton (Rippon 1988; Chung & Bennett 1992 dan Morello et al 1994). Jamur-jamur ini menyerang permukaan tubuh yang terkeratinisasi seperti kulit pada tubuh, kulit yang berambut seperti pada kepala, dan kuku. Namun jamur ini tidak menginfeksi ke jaringan kulit yang lebih dalam. Tergantung pada bagian tubuh yang diserang, dikenal tinea pada kulit kepala (tinea kapitis), permukaan badan (tinea korporis), lipat paha (tinea kruris), dagu dan leher (tinea barbae), jari-jari tangan (tinea manus), kaki (tinea pedis) dan pada kuku (tinea ungium).

Infeksi sekunder oleh bakteri pada saat serangan jamur terjadi karena kekebalan tubuh menurun akibat infeksi yang sedang terjadi. Bakteri ini berasal dari flora normal tubuh atau berasal dari

lingkungan. Pada tinea pedis menunjukkan bahwa pemeriksaan lebih lanjut ditemukan peningkatan jumlah bakteri Gram negatif yaitu Staphylococcus aureus dan S. epidermidis (Rippon 1988; Mainiadi 2002). Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi jenis dan jumlah bakteri yang terdapat pada pasien-pasien mikosis kulit.

BAHAN DAN METODE

Pemeriksaan Mikroskopis. Sampel untuk

diagnosis diperoleh dari kerokan (scrapping) dan usapan lesi kulit/rambut dari 30 pasien yang sebelumnya diduga terinfeksi jamur. Bagian yang terinfeksi dibersihkan dengan alkohol 70%. Hasil kerokan kemudian diletakkan pada gelas objek steril selanjutnya ditambahkan 1-2 tetes KOH 10%. Sediaan dibiarkan pada temperatur kamar selama 2-5 menit, dilayangkan beberapa kali di atas api kecil dan dilihat di bawah mikroskop. Adanya hifa atau konidia menunjukkan infeksi disebabkan oleh jamur.

Kultur Bakteri. Bila pemeriksaan positif (ditandai adanya hifa atau konidia pada hasil scrapping) dilanjutkan dengan kultur bakteri. Infeksi positif oleh jamur dikerok dengan skalpel, hasil kerokan diencerkan dengan akuades hingga 10-2. Hasil pengenceran dikultur pada media nutrient agar, diinkubasi 37oC, 24 jam. Jumlah koloni yang tumbuh

Page 4: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

NURTJAHJA ET AL. J. Biologi Sumatera

2

dihitung. Jenis bakteri diidentifikasi dengan pewarnaan Gram. Bakteri teridentifikasi Gram + atau bentuk kokus dikultur kembali dengan media MSA (Mannitol Salt Agar) dan diuji dengan uji katalase. Bakteri Gram – dan bentuk batang dikultur dengan media reaksi biokimia seperti triple sugar iron agar (TSI), sulfur indole motility agar (SIM), dan simon citrate agar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemeriksaan Mikroskopis. Seluruh sampel

menunjukkan uji positif adanya hifa spora jamur. Sebagian besar sampel pasien menderita tinea korporis diikuti berturut-turut oleh tinea pedis, tinea kruris, tinea manus, dan tinea kapitis.

Kultur Bakteri. Dari hasil kultur dijumpai 5 spesies bakteri. Spesies bakteri yang paling sering dijumpai pada setiap tinea adalah Staphylococcus aureus diikuti dengan Enterobacter aerogenes dan Staphylococcus faecalis. Bakteri Escherichia coli dan Proteus vulgaris hanya dijumpai pada tinea pedis. S. aureus paling banyak dijumpai pada tinea korporis, tinea pedis, tinea kruris. Hasil pengamatan pemeriksaan mikroskopis dan kultur bakteri terhadap 30 sampel penderita dermatofitosis (tinea) dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini:

Tabel 1. Jumlah dan jenis bakteri yang dijumpai pada

30 pasien dermatofitosis (tinea) Dermatofitosis

(tinea) Jumlah sampel

Jumlah sel

bakteri

Jenis bakteri

Tinea kapitis 2 3.700 S. aureus Tinea korporis

10 39.100 12.300 12.600

S. aureus S .faecalis E. aerogenes

Tinea kruris 7

28.000 2.000 8.100

S. aureus S. faecalis E. aerogenes

Tinea manus 3 3.700 S. aureus Tinea pedis

8 37.900 5.600 2.700 2.500

S. aureus S. faecalis E. coli P. vulgaris

Permukaan kulit manusia tidak steril. Pada kulit banyak terakumulasi sisa-sisa metabolisme tubuh sehingga mikroorganisme dapat tumbuh pada permukaan kulit (Wiryadi, 2002). Mikroorganisme tersebut secara alami berada pada permukaan kulit dan dalam kondisi normal tidak menimbulkan penyakit, mikroorganisme demikian disebut sebagai flora normal tubuh manusia. Namun beberapa faktor predisposisi seperti higiene yang kurang, menurunnya daya tahan tubuh, penyakit kronis atau terjadi luka pada kulit maka flora normal tersebut dapat menimbulkan infeksi. Di antara flora normal yang paling sering dijumpai pada permukaan kulit adalah bakteri dan jamur. Kedua jenis mikroorganisme ini dapat menyebabkan penyakit kulit. Pada keadaan kulit yang mengalami luka maka akan terjadi infeksi sekunder oleh jamur dan bakteri. Bakteri dapat menginfeksi epidermis atau jaringan yang lebih dalam, infeksinya dapat bervariasi sesuai dengan bakteri penyebabnya, bagian tubuh yang terinfeksi dan keadaan imunologik penderita. Di antara bakteri yang sering menyebabkan infeksi sekunder pada kulit adalah dari genus Staphylococcus, Streptococcus, dan bakteri Gram- (Rippon, 1988). Di antara bakteri tersebut. Staphylococcus aureus adalah sangat patogen pada kulit.

DAFTAR PUSTAKA Adiguna, M.S. 2001. Epidemiologi Dermatomikosis

di Indonesia dalam Dermatomikosis Superfisial. Jakarta: FKUI.

Kwon-Chung KJ, Bennet JE. 1992. Medical Mycology. Philadelphia: Lea & Febiger.

Mainiadi. 2002. Infeksi Sekunder pada Dermatofitosis di Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin. Medan: RSUP H. Adam Malik.

Rippon JW. 1988. Medical Mycology. 3rd edition. Philadelphia: WB Saunders Co.

Wiryadi BE. 2002. Mikrobiologi Kulit dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-3 Jakarta: FKUI.

Page 5: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

Jurnal Biologi Sumatera, Januari 2006, hlm. 3 – 7 ISSN 1907-5537

Vol. 1, No. 1

3

PENGUJIAN DEGRADASI KLORPROMAZIN HCl DALAM PLASMA

SECARA IN VITRO

M.T. Simanjuntak Departemen Farmasi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Jalan Bioteknologi No. 1, Kampus USU Medan

Abstract

The degradation test of chlorpromazin hydrochloride in condensation of buffer solution attempt animal

plasma and by in vitro. The degradation test of chlorpromazin hydrochloride was conducted in condensation of buffer solution done at pH 4.0; 6.0; 7.0; 8.0; and 11.5, while in plasma was done with addition of enzyme inhibitor of NaF with different concentration. Test of degradation of chlorpromazin hydrochloride also done at temperature 30°C, 37°C and 50°C in condensation of buffer solution pH 7.0. The experimental data was analyzed by analysis of variance (ANOVA) and Least Significant Difference (LSD).

Total chlorpromazin hydrochloride in plasma was measured by using spectrophotometer at 710 nm with addition of ferri chloride solution, potassium ferri cyanide solution and acetic acid with aquabidest as the solvent. The result of research indicated that the degradation of chlorpromazin hydrochloride was influenced by pH, temperature, and enzyme activity.

PENDAHULUAN

Psikotropik ialah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan, atau pengalaman (World Health Organization, 1966). Klorpromazin hidroklorida (CPZ) merupakan derivat dari fenotiazin yang terdiri dari senyawa dimetilaminopropil.

Klorpromazin HCl adalah turunan fenotiazin dengan pKa=9,3 (Foye, 1996). Pertama kali dikembangkan pada tahun 1950 untuk digunakan sebagai pengobatan anestesi (Mayer, 1990). Klorpromazin HCl digunakan sebagai antiemetikum, sedativum, analgetikum. Efek samping yang ditimbulkan dari klorpromazin HCl berupa lesu, mengantuk, pusing, sakit kepala, konstipasi, jantung berdebar, mulut kering, dan tenggorokan (Shannon, 2000). Dalam perdagangan klorpromazin HCl terdapat dalam bentuk sediaan tablet, sirup, dan injeksi. Sediaan oral klorpromazin yang sering digunakan adalah tablet antara lain tablet Largactil®, Promagtil®.

Klorpromazin HCl secara kimia merupakan senyawa yang kurang stabil. Bentuk garamnya di bawah pengaruh cahaya dan oksigen akan berwarna gelap, di mana perubahan oksidatif dipercepat dengan adanya ion logam (Mayer, 1990).

Klorpromazin HCl dalam darah yang disimpan pada temperatur 4°C tidak mengalami peruraian, sedangkan penyimpanan pada temperatur 37°C klorpromazin HCl dalam darah yang tidak diawetkan akan terurai sebesar 50% (Batziris, 1997).

Menurut Simanjuntak dan Bangun (2004), kalsium dan vitamin B1 dapat mempengaruhi absorbsi klorpromazin HCl pada kelinci bila diberikan secara oral.

Monitoring obat dilakukan dengan mengukur konsentrasi obat dalam darah dengan maksud untuk memastikan bahwa obat berada dalam indeks terapetik. Salah satu kriteria obat yang harus dimonitor dalam tubuh adalah obat-obat yang mempunyai indeks terapi yang sempit. Klorpromazin HCl mengalami metabolisme sangat luas dan indeks terapi yang sempit sehingga konsentrasi dan peruraian obat dalam plasma perlu dipantau (Wilson & Gisvold, 1982).

Berbagai metode penetapan kadar fenotiazin dan turunannya dapat dilakukan secara spektrofotometri, spektrofluorometri, konduktometri, fluoroimmunoassay, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, Kromatografi Cair-Gas, adsorpsi voltametri, dan titrasi. Metode spektrofotometri yang dilakukan adalah berdasarkan reaksi oksidasi klorpromazin HCl dengan Fe (III) dan membentuk khelat dengan ferisianida dalam asam asetat yang menghasilkan warna biru prusia dan absorbsi maksimum 700-720 nm (Nagaraja, 2000).

Berdasarkan uraian di atas maka penulis melakukan penelitian pengaruh pH dan temperatur terhadap laju peruraian klorpromazin HCl dalam larutan air dan plasma hewan percobaan secara in vitro, dan mempergunakan kelinci sebagai model hewan percobaan.

Page 6: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

SIMANJUNTAK J. Biologi Sumatera

4

BAHAN DAN METODE

Bahan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aqua bidestilata, aquadestilata, klorpromazin HCl, natrium hidroksida, kalium dihidrogen fosfat, ferri klorida, kalium ferri sianida, asam asetat glasial, NaF, garam dapur, es, etanol, asam fosfat.

Alat. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah tabung reaksi, gelas ukur, gelas beaker, baskom plastik, termometer, pH meter, waterbath, alumunium foil, rak tabung, mikro pipet 100 μl, labu taker, maat pipet, bola karet, efendorf, kertas perkamen, stopwatch, centrifuge, touch mixer, termos es, batang pengaduk, neraca analitik, spektrofotometri visibel, pipet tetes.

Subjek Uji. Kelinci Jantan berat 1,5 – 2 kg. Rancangan Percobaan Uji In Vitro. Pada

percobaan in vitro yang digunakan dalam percobaan ini adalah larutan buffer dengan pH yang ditentukan dan plasma dari hewan percobaan yaitu kelinci dengan berat badan 2,0 kg. Rancangan percobaan ini dibagi menjadi 4 tahap rancangan uji. Pada tahap I, pengujian laju peruraian klorpromazin HCl dalam larutan buffer pH 4,0; 6,0; 7,0; 8,0; 11,5 pada temperatur 37°C dengan variasi waktu reaksi: 1 jam; 2 jam; 4 jam; 6 jam; 9 jam; 12 jam. Tahap II, pengujian laju peruraian klorpromazin HCl larutan buffer pH 7,0 pada temperatur 30°C, 37°C, 50°C, dengan variasi waktu reaksi: 1 jam; 2 jam; 4 jam; 6 jam; 9 jam; 12 jam. Tahap III, pengujian laju peruraian klorpromazin HCl dalam plasma kelinci dengan variasi waktu reaksi: 1 jam; 2 jam; 4 jam; 6 jam; 9 jam; 12 jam. Tahap IV, pengujian laju peruraian klorpromazin HCl dalam plasma tanpa atau dengan penambahan enzim inhibitor NaF dengan variasi waktu reaksi: 1 jam; 2 jam; 4 jam; 6 jam; 9 jam; 12 jam.

Penentuan Laju Peruraian Klorpromazin HCl dalam Larutan Buffer. Untuk menentukan laju peruraian klorpromazin HCl sesuai dengan rancangan uji tahap I adalah dengan memakai variasi larutan buffer pada pH 4,0; pH 6,0; pH 7,0; pH 8,0; pH 11,5 dengan cara sebagai berikut: dipipet ke dalam tabung reaksi 15 ml 1 ml larutan buffer dan kemudian diinkubasi di dalam penangas air pada suhu 37°C selama 5 menit dipipet 100 μl larutan klorpromazin HCl ke dalam larutan buffer yang telah diinkubasi di atas. Lalu reaksi dihentikan pada waktu yang bervariasi dari 1 jam; 2 jam; 4 jam; 6 jam; 9 jam; 12 jam dengan mempergunakan “stop solution” berupa larutan buffer yang telah didinginkan dalam campuran es dan garam sebanyak 5 ml. Konsentrasi dari klorpromazin HCl ditentukan dengan metode

spektrofotometri pada panjang gelombang maksimum. Untuk menentukan konsentrasi dari klorpromazin HCl dalam berbagai pH yang lainnya dilakukan dengan prosedur yang sama seperti di atas.

Penentuan Laju Peruraian Larutan Klorpromazin HCl pH 7,0 pada Temperatur 30°C; 37°C; 50°C. Untuk menentukan laju peruraian larutan klorpromazin HCl pH 7,0 pada temperatur 30°C; 37°C; 50°C dilakukan dengan cara sebagai berikut: Ke dalam tabung reaksi 15 ml dipipet 1 ml larutan buffer pH 7,0 diinkubasi selama 5 menit pada temperatur yang diinginkan (30°C; 37°C; 50°C), kemudian dipipet 100 µl larutan klorpromazin HCl ke dalam larutan buffer yang telah diinkubasi di atas.

Pengujian Laju Peruraian Klorpromazin HCl dalam Plasma Kelinci. Untuk menentukan laju peruraian larutan klorpromazin HCl dalam plasma kelinci dilakukan dengan cara sebagai berikut: ke dalam tabung reaksi 15 ml dipipet 1 ml larutan plasma, diinkubasi selama 5 menit pada temperatur 37°C. Kemudian dipipet 100 μl larutan klorpromazin HCl ke dalam larutan buffer yang telah diinkubasi di atas. Lalu reaksi dihentikan pada waktu yang bervariasi dari 1 jam; 2 jam; 4 jam; 6 jam; 9 jam; 12 jam dengan mempergunakan 4 ml larutan etanol 96%, dicampur dengan bantuan pengaduk sentuh dan disentrifugas selama 10 menit, 3000 rpm, supernatant (bagian etanol) dipisah dan dimasukkan ke dalam tabung. Konsentrasi dari klorpromazin HCl ditentukan secara spektrofotometri pada panjang gelombang maksimum.

Pengujian Laju Peruraian Klorpromazin HCl dalam Plasma Tanpa atau dengan Inhibitor NaF. Untuk menentukan laju peruraian larutan klorpromazin HCl dalam plasma kelinci ditambahkan enzim inhibitor NaF dengan konsentrasi total pencampuran: 50 mg/ml; 25 mg/ml; 12,5 mg/ml dilakukan dengan cara sebagai berikut: Ke dalam tabung reaksi 15 ml dipipet 1 ml larutan plasma, diinkubasi selama 5 menit. Kemudian dipipet 100 μl larutan klorpromazin HCl konsentrasi (550 mg/ml; 275 mg/ml; 137,5 mg/ml) ke dalam larutan buffer yang telah diinkubasi di atas sehingga konsentrasi total klorpromazin (50 mg/ml; 25 mg/ml; 12,5 mg/ml). Lalu reaksi dihentikan pada waktu yang bervariasi dari 1 jam; 2 jam; 4 jam; 6 jam; 9 jam; 12 jam dengan penambahan 4 ml larutan etanol 96%. Dicampur sampai homogen memakai bantuan pengaduk sentuh dan disentrifugasi selama 10 menit, 3000 rpm, pisahkan supernatan (bagian etanol) dan dimasukkan ke dalam tabung. Selanjutnya ditentukan secara spektrofotometri pada panjang gelombang maksimum.

Page 7: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

Vol. 1, 2006 J. Biologi Sumatera

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh pH terhadap Laju Peruraian Klorpromazin HCl. Dari Gambar 1 terlihat bahwa klorpromazin HCl mengikuti reaksi orde satu dan lebih stabil pada pH 7,0. Hal ini juga dapat dilihat pada Tabel 1, di mana pada pH 7,0 harga Kobs paling kecil dan harga t ½ paling besar. Jadi, tingkatan laju peruraian klorpromazin HCl dalam larutan buffer adalah pH=4,0>pH=11,5>pH=6,0>pH= 8,0>pH=7,0.

Dari hasil uji statistik laju peruraian larutan klorpromazin HCl menggunakan Anova dan LSD dengan taraf kepercayaan (p=0,5) berdasarkan konsentrasi, diperoleh harga Fhitung=5,971 berarti lebih besar dari Ftabel=3,49 (Sudjana, 1992). Hal ini menunjukkan bahwa laju peruraian klorpromazin HCl dalam larutan buffer menunjukkan perbedaan yang signifikan. Tabel. Harga kobs dan t½ klorpromazin HCl dalam

larutan dapar pH larutan dapar k obs (menit-1) t ½ (menit)

4,0 0,0147 47,14 6,0 0,0011 630 7,0 0,0002 3465 8,0 0,0006 1155

11,5 0,0025 277,20 Keterangan: kobs=konstanta laju laju peruraian t½ (menit)=waktu paruh obat

Pengaruh Temperatur. Pada Gambar 2 terlihat bahwa laju peruraian klorpromazin HCl mengikuti reaksi orde satu dan akan meningkat dengan semakin tinggi temperatur. Laju peruraian klorpromazin HCl juga dapat ditentukan dengan menghitung harga energi aktivasi. Energi aktivasi (Ea) adalah energi minimum yang diperlukan agar suatu zat terurai. Semakin tinggi harga Ea dari suatu zat maka laju peruraiannya akan semakin kecil. Dengan peningkatan temperatur Energi aktivasi diperoleh sebesar 4305,98 kkal/mol.

Hasil uji statistik dari pengaruh temperatur terhadap laju peruraian klorpromazin HCl dalam larutan buffer pH=,0 (Tabel 2) menggunakan Anova dan LSD dengan taraf kepercayaan (p=0,5) diperoleh harga Fhitung=6,825 yang berarti lebih besar dari Ftabel=3,55 (Sudjana, 1992). Hal ini menunjukkan bahwa laju peruraian klorpromazin HCl dalam larutan berbagai temperatur yang diuji berbeda secara signifikan (Sudjana, 1993). Dengan rincian bahwa perbedaan signifikan terhadap laju peruraian klorpromazin HCl adalah antara temperatur 30°C dengan 50°C, temperatur 37°C dengan 50°C,

sedangkan laju peruraian pada temperatur 30°C dengan 37°C tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Tabel 2. Harga kobs dan t½ klorpromazin HCl

temperatur berbeda Temperatur (°C) Kobs (menit-1) t ½ (menit)

30 0,00022 3165,625 37 0,00024 2887,500 50 0,00049 1414,286

Keterangan: kobs=konstanta laju laju peruraian t ½ (menit)=waktu paruh obat

Laju Peruraian Klorpromazin HCl dalam

Plasma Kelinci dengan atau Tanpa Penambahan NaF. Dari Gambar 3 dan Tabel 3 dapat dilihat bahwa laju peruraian klorpromazin HCl mengikuti orde satu dan dipengaruhi oleh konsentrasi NaF (12,5 mg; 25 mg; 50 mg), semakin besar konsentrasi NaF yang ditambahkan laju peruraian klorpromazin HCl semakin menurun, bila dibandingkan dengan tanpa penambahan NaF. Dari hasil percobaan diperoleh bahwa laju peruraian klorpromazin HCl dalam plasma dengan penambahan NaF dengan konsentrasi 50 mg/ml memiliki profil yang hampir sama dengan laju peruraian pada larutan buffer pH 7,0.

Dengan uji statistik menggunakan Anova terlihat bahwa laju peruraian klorpromazin dalam plasma dibandingkan dengan laju peruraian dalam plasma dengan penambahan NaF dan laju peruraian pada larutan buffer pH=7,0 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan di mana Fhitung=5,575, lebih besar dari Ftabel=3,33. Sedangkan laju peruraian klorpromazin HCl dalam plasma dengan penambahan NaF tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan laju peruraian pada larutan buffer pH 7,0. Hasil analisis menunjukkan bahwa laju peruraian klorpromazin HCl dalam plasma mungkin dipengaruhi oleh kerja suatu enzim. Hal ini disebabkan karena laju peruraian klorpromazin HCl yang lebih besar dalam plasma terjadi akibat aktivitas enzim. Enzim meningkatkan reaksi spontan pada temperatur fisiologis. Tabel 3. Harga kobs dan t½ larutan klorpromazin HCl

dalam plasma tanpa atau dengan NaF pada temperatur 37°C

Perlakuan Kobs (menit-1) t ½ (menit) Tanpa NaF 0,0032 216,50 Total NaF 12,5 mg 0,0009 770,00 Total NaF 25 mg 0,0007 990,00 Total NaF 50 mg 0,00016 4331,25

Keterangan: kobs=konstanta laju laju peruraian t½ (menit)=waktu paruh obat

Page 8: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

SIMANJUNTAK J. Biologi Sumatera

6

0.0000.5001.0001.5002.0002.5003.0003.5004.0004.5005.000

0 100 200 300 400 500 600 700 800

Waktu (menit)

Log

C +

3

pH 4,0 pH 6,0 pH 7,0 pH 8,0 pH 11,5

Gambar 1. Laju peruraian klorpromazin HCl dalam larutan buffer dengan pH berbeda

3.350

3.400

3.450

3.500

3.550

3.600

3.650

3.700

0 100 200 300 400 500 600 700 800

Waktu (menit )

Log

C +

3

Suhu kamar (30 C) Suhu 37 C Suhu 50 C

Gambar 2. Laju peruraian klorpromazin HCl dalam larutan buffer pH 7,0 dengan temperatur yang berbeda

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

4.5

0 200 400 600 800Waktu (menit)

Log

C +

3

pH 7,0 Plasma Plasma + NaF 12,5 mgPlasma + NaF 25 mg Plasma NaF 50 mg

Gambar 3. Profil laju peruraian larutan klorpromazin HCl dalam plasma tanpa atau dengan penambahan NaF

dan larutan buffer pH 7,0

Page 9: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

Vol. 1, 2006 J. Biologi Sumatera

7

UCAPAN TERIMA KASIH

Disampaikan kepada: 1. Bapak Drs. Harry Agusnar, M.Sc. Phil. selaku

Kepala Lembaga penelitian FMIPA USU atas bantuan fasilitas yang diberikan.

2. Prof. DR. Hakim Bangun, Apt. atas diskusi yang diberikan.

3. Saudara Ronald Sidabutar atas bantuan teknis untuk penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aiache JM, Devissaquet J, Guyot-Herman AM. 1993.

Farmasetika Biofarmasi. Surabaya: Universitas Airlangga Press.

Anief M. 1993. Farmasetika. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Basavaiah K. 2004. Indirect Spectrophotometric Determination of some Biologically Important Phenothiazines using Potassium Dichromat, Iron (II) and 1, 10-phenantroline. Indian Journal of Chemical Technology 11: 639-642.

Batziris H. 1997. Postmortem Artefacts Associated with Physychotropic Drugs. Monash University.

Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta.

Martin A., Swarbrick J., Cammarata A. 1990. Farmasi Fisik. Penerjemah: Yoshita. Edisi ketiga. Jakarta: Universitas Indonesia.

Mayer K. 1990. Senyawa Obat. Edisi kedua. Penerjemah: Wattimena, dkk. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nagaraja P. Dinesh ND, Gowda NMM, Ranggappa KS. 2000. A Simple Spectrophotometric Determination of Some Phenothiazine Drugs in Pharmacetical samples. Analytical Sciences. pp. 16, 1127-1130.

Atkins PW. 1993. Kimia Fisika. Edisi keempat. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Roth S, Seeman P. 1972. Biochemistry Biophysiology.

Shahib H. 1992. Pemahaman Seluk Beluk Biokimia dan Penerapan Enzim Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Shannon MT. 2000. Drug Guide. New Orleans: Division Nursing Our Lady of Holy Cross College.

Sudjanah. 1993. Pengantar Statistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Takata Y. 1999. A Rabbit Model for Evaluation of Klorpromazine Induced Orthostatic Hypotension. Japan: Department of Pharmacology, Faculty of Pharmaceutical Science.

Tanu I. 1994. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Simanjuntak MT., Bangun H., Juniaton K. 2004. Pemeriksaan Absorbsi Intestinal Klorpromazin HCl dengan Pemberian Peroral pada Kelinci Percobaan. Medan: Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Tokumura T, Horie T. 1997. Kinetics of Nikkomycin Z Degradation in Aqueous Solution and in Plasma. Biol Pharm Bull 20:557-580.

Page 10: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

Jurnal Biologi Sumatera, Januari 2006, hlm. 8 – 14 ISSN 1907-5537

Vol. 1, No. 1

8

EFEK PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG) TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO MENCIT (Mus musculus L.) STRAIN DDW

SELAMA PERIODE PRAIMPLANTASI HINGGA ORGANOGENESIS

Emita Sabri, Deny Supriharti, dan Gunawan E. Utama

Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Jalan Bioteknologi No. 1, Padang Bulan, Medan 20155

Abstrak

Telah dilakukan penelitian mengenai efek pemberian monosodium glutamat (MSG) terhadap

perkembangan embrio mencit (Mus musculus L.) strain DDW selama periode praimplantasi hingga organogenesis. MSG diberikan pada induk mencit dimulai sejak umur kehamilan 0 hari hingga 16 hari, secara gavage sebanyak 0,1 ml/10 g bb.

Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial yang terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan dengan dosis 2,4; 4,8; 9,6 mg/ml akuades, sedangkan kelompok kontrol terdiri dari kelompok kontrol tanpa perlakuan dan kontrol akuades. Dari penelitian diperoleh hasil bahwa pemberian MSG pada induk mencit umur kehamilan 0 hari hingga 16 hari tidak mempengaruhi implantasi dan berat badan fetus hidup. MSG menyebabkan secara nyata menurunkan jumlah fetus hidup, yang ditandai dengan peningkatan persentase kematian intra uterus berupa embrio yang diresorp. MSG menyebabkan secara nyata peningkatan persentase kehilangan praimplantasi serta meningkatkan secara nyata persentase fetus yang mengalami malformasi. Malformasi yang ditemukan pada fetus adalah malformasi eksternal berupa mikropthalmia, anopthalmia, acorea sedangkan malformasi internal berupa hidrosephalus.

Dengan demikian dapat disimpulkan pada penelitian ini pemberian MSG pada induk mencit yang sedang hamil bersifat embriotoksik dan teratogenik. Keywords: MSG, embriotoksik, teratogenik

PENDAHULUAN

Kesibukan yang meningkat di tengah masyarakat perkotaan dan pesatnya kemajuan teknologi informasi membawa dampak perubahan gaya hidup. Perubahan ini juga mempengaruhi pola konsumsi makanan dengan lebih banyak mengkonsumsi jenis makanan cepat saji. Keluarga yang makin sibuk, waktu yang tersedia untuk memasak makanan sendiri makin berkurang dan akhirnya tergantung pada bahan makanan awetan dan kemasan yang belakangan ini makin banyak dijual di pasar–pasar tradisional dan swalayan (Darmawan, 2001). Termasuk pula penggunaan berbagai macam penyedap rasa yang digunakan untuk keperluan sehari-hari baik berasal dari olahan tradisional maupun secara sintetis yang menggunakan bahan kimia (Anggara, 2000), misalnya bahan penyedap. Bahan kimia yang lebih dikenal dengan nama vetsin, micin, atau moto ini sudah lama akrab di kalangan ibu rumah tangga karena biasa digunakan sebagai bahan penyedap masakan (Dhindsa, 1981).

Vetsin biasanya berbentuk kristal halus dan berwarna putih yang dibuat melalui proses fermentasi

dari bahan dasar pati (gandum) dan gula molases (tetes tebu) yang diberi nama sebagai garam natrium dari asam glutamat atau lebih dikenal dengan nama monosodium glutamat (MSG) (Anggara, 2000). Asam glutamat merupakan salah satu jenis asam amino non esensial yang merupakan bagian dari kerangka utama dari berbagai jenis molekul protein yang terdapat dalam makanan, baik yang bersumber dari nabati maupun hewani (Winarno, 1994). Total pemakaian MSG di beberapa negara cukup tinggi misal Jepang, kira–kira sampai 15.000 ton per tahun, Korea, 30.000 ton per tahun, sedangkan di Amerika kira–kira 26.000 per tahun, dan di Indonesia sudah mencapai 17.000 ton per tahun (Dhindsa, 1981).

Penelitian mengenai efek toksik dari MSG ini menunjukkan hasil yang mengejutkan. Dari berbagai macam penelitian yang dilakukan pada neonatal dengan pemberian MSG dosis besar melalui suntikan diketahui bahwa MSG dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf dan mata pada bagian retina, menyebabkan kemandulan pada jantan dan betina, menurunkan berat uterus dan testis, serta kerusakan fungsi reproduksi (Takasaki 1979). Jhon Olney (1996) dalam Winarno (1994) mengemukakan MSG

Page 11: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

Vol. 1, 2006 J. Biologi Sumatera

9

yang diberikan sebagai makanan pada tikus putih dapat mengakibatkan kerusakan pada beberapa sel syaraf khususnya di bagian hipotalamus. Kemudian pada tahun yang sama dilaporkan bahwa penyuntikan MSG pada bayi monyet dapat menyebabkan bayi monyet tersebut menjadi pendek serta mengalami kerusakan mata pada bagian retina (Winarno, 1994).

Nizamuddin (2000) telah melakukan penelitian mengenai efek toksik pemberian MSG pada tikus jantan. Kelompok perlakuan diberi MSG dengan dosis 2400 mg/kg bb, 4800 mg/kg bb, dan 9600 mg/kg bb dalam 4 ml akuades sedangkan kelompok kontrol diberi 4 ml akuades tanpa MSG dan tanpa diberi apapun. Dari hasil penelitiannya, setelah pemberian dilakukan selama 49 hari ternyata MSG dapat mempengaruhi proses spermatogenesis. Namun, penelitian tentang efek toksik pemberian MSG terhadap perkembangan embrio belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian MSG terhadap gangguan perkembangan embrio (Mus musculus L.) selama periode praimplantasi hingga organogenesis lanjut.

BAHAN DAN METODE

Hewan Percobaan. Hewan percobaan yang

dipergunakan adalah mencit (Mus musculus L.) betina strain DDW. Umur mencit perlakuan 12 minggu dengan kisaran berat badan 25-30 g (Smith, 1988). Mencit dipelihara dalam kandang terbuat dari plastik yang diberi alas sekam yang diganti 2 kali seminggu. Pemberian pakan dan minum dilakukan setiap hari secara ad libitum.

Bahan Uji. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa serbuk monosodium glutamat (MSG) dengan merek dagang dari salah satu penyedap rasa yang diperoleh dari pasar swalayan. Serbuk MSG ini berupa kristal putih yang mengandung 99% MSG dan terbungkus dalam kantung plastik tertutup. Serbuk MSG ditimbang beratnya sesuai dengan dosis perlakuan yang telah ditetapkan (Nizamuddin, 2000).

Rancangan Penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen dengan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Perlakuan terdiri atas satu faktor yaitu dosis bahan yang digunakan. ▪ Kontrol tanpa perlakuan (K0) ▪ Kontrol Pelarut dengan dosis 0 mg/4 ml akuades

(KP0) ▪ Perlakuan dengan dosis 2,4 mg/4 ml akuades (P1) ▪ Perlakuan dengan dosis 4,8 mg/4 ml akuades (P2) ▪ Perlakuan dengan dosis 9,6 mg/4 ml akuades (P3)

Jumlah ulangan untuk tiap kelompok perlakuan ditentukan dengan menggunakan rumus yang digunakan Sugandi & Sugiarto (1994).

Cara Kerja. Mencit betina dewasa berumur 12 minggu dengan kisaran berat badan 25 sampai 30 g dan berada pada tahap estrus dikawinkan dengan seekor mencit jantan pasangannya. Apabila keesokan harinya terdapat sumbat vagina maka kopulasi telah terjadi dan dinyatakan sebagai kehamilan pada 0 hari (Taylor, 1986). Pemberian MSG pada hewan uji dilakukan secara oral menggunakan jarum gavage pada induk mencit umur kehamilan 0 hingga 16 hari, dengan volume pemberian 0.1 ml/10 g bb. Sebelum perlakuan berat badan induk mencit ditimbang. Selanjutnya mencit dari kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dibunuh dengan cara dislokasi leher pada umur kehamilan 18 hari. Setelah pembedahan, dilakukan pengamatan meliputi jumlah implantasi, jumlah fetus hidup, fetus mati, embrio yang di resorpsi, korpus luteum. Fetus hidup ditimbang berat kemudian diamati kelainan-kelainan eksternal dan internal. Untuk pengamatan malformasi pada bagian hidung, mata, dan otak dilakukan pemotongan dengan pisau silet menggunakan metode penyayatan razor blade (Taylor, 1986).

Untuk memastikan embrio yang diresorpsi, uterus ditetesi larutan ammonium sulphate 10% selama 10 menit, dibilas dengan air mengalir kemudian ditetesi dengan larutan hydrochloric acid 1% dan larutan potassium ferricyanide 2% yang ditandai dengan bintik hitam pada uterus (Taylor, 1986).

Analisis Data. Dari pengamatan yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan analisis varian (anava) untuk membandingkan data parametrik berupa berat fetus hidup, jumlah fetus hidup, jumlah implantasi, dan jumlah korpus luteum pada kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Apabila terdapat perbedaan yang sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Gomez & Gomez, 1995).

Data non parametrik berupa persen embrio yang diresorpsi, persen fetus mati, persen kehilangan praimplantasi, dan malformasi dianalisis dengan menggunakan uji Wilcoxon’s rank sum test (Wilcoxon & Wilcox 1965 dalam Sabri, 1996).

Untuk menghitung persen fetus hidup, persen malformasi, persen fetus mati, persen embrio diresorpsi, persen kehilangan praimplantasi dihitung Manson & Kang (1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian tentang pengaruh MSG

dengan dosis perlakuan 2,4 mg/4ml akuades (P1), 4,8 ml/4 ml akusdes (P2), dan 9,6 mg/4 ml akuades (P3)

Page 12: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

SABRI ET AL. J. Biologi Sumatera

10

dan kelompok kontrol terdiri dari kontrol tanpa perlakuan (K0) dan kontrol pelarut (KP0) yang diberikan pada induk mencit (Mus musculus L.) albino strain DDW selama umur kehamilan 0 hingga 16 hari menggunakan jarum gavage dengan volume pemberian 0,1 ml/10 g bb yang dapat dilihat dari beberapa tabel di bawah.

Pengaruh Pemberian MSG terhadap Rataan Penampilan Organ Reproduksi Induk Mencit dan Keadaan Fetus Hidup Selama 0 hingga 16 hari Kehamilan. Hasil analisis sidik ragam terhadap penampilan reproduksi induk mencit yang sedang hamil (Tabel 1) meliputi berat badan fetus hidup, jumlah fetus hidup, jumlah implantasi, dan jumlah korpus luteum menunjukkan bahwa berat badan fetus hidup pada kelompok K0 (1,35) tidak berbeda nyata dengan kelompok KP0 (1,35). Kelompok perlakuan dosis P1 (1,05), P2 (1,08), dan P3 (1,07) juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan kelompok K0 dan KP0. Jumlah fetus hidup yang diperoleh pada kelompok K0 (9,60) dengan kelompok KP0 (9,40) tidak menunjukkan perbedaan, selanjutnya jumlah fetus hidup pada kelompok P1 (7,80) cenderung menurun dibandingkan KP0 (9,40), meski secara statistik tidak berbeda. Hasil analisis sidik ragam kelompok P2 (5,40) menunjukkan perbedaan yang nyata menurun jika dibandingkan dengan kelompok K0, kelompok KP0 dan kelompok P1, begitu pula pada kelompok P3 (5,80) menunjukkan perbedaan yang nyata menurun jika dibandingkan dengan kelompok K0, KP0, dan P1.

Pada penelitian ini terjadi penurunan jumlah fetus hidup berkaitan erat dengan semakin meningkatnya jumlah kematian intrauterus terutama berupa embrio diresorpsi (Tabel 2) dan seiring dengan kenaikan dosis MSG yang diberikan pada induk mencit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian MSG selama induk mencit hamil bersifat embriotoksik. Hal ini diduga karena pemberian MSG yang dilakukan secara terus menerus sejak kehamilan 0 hingga 16 hari masuk ke dalam tubuh induk mencit, kemudian adanya ketidakmampuan induk mencit untuk menetralisir dan mendetoksifikasi senyawa-senyawa kimia yang masuk ke dalam tubuh induk mencit. Akhirnya terakumulasi pada embrio mencit melalui pembuluh darah dan mempengaruhi perkembangan fetus mencit tersebut. Winarno (1995) menyatakan bahwa MSG merupakan garam natrium dari asam glutamat yang dihasilkan dari proses pembuatan gula molases yang membentuk glutamin, kemudian diubah menjadi asam glutamat dan gugus karboksilat. Kedua senyawa tersebut mudah terhidrolisis dengan penambahan asam atau basa. Meskipun kedua senyawa tersebut merupakan

komponen yang aktif, tetapi sejauh ini belum diketahui senyawa yang lebih berperan aktif dalam menyebabkan kematian intrauterus. Sadler (1993) menambahkan embrio mudah diserang atau diganggu pada tingkat dini, maka dalam perkembangannya mengalami kerusakan yang sangat parah sehingga tidak dapat hidup.

Analisis statistik jumlah implantasi antara ketiga kelompok perlakuan menunjukkan adanya penurunan bila dibandingkan dengan kedua kelompok kontrol. Namun setelah dilakukan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah implantasi (Tabel 1) antara ketiga kelompok perlakuan dengan kedua kelompok yang masing-masing tidak menunjukkan adanya perbedaan. Dengan demikian pemberian MSG selama umur kebuntingan induk mencit cenderung tidak bersifat sebagai anti implantasi.

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa jumlah korpus luteum dari ketiga kelompok perlakuan cenderung mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan kedua kelompok kontrol. Dan jumlah korpus luteum tertinggi terdapat pada P3 dan menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan K0, KP0, P1, dan P2. Terjadinya variasi peningkatan jumlah korpus luteum antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol diduga tidak disebabkan oleh pemberian dosis MSG, tetapi mungkin disebabkan oleh faktor genetik serta faktor internal dari induk mencit yang berbeda-beda. Besarnya jumlah korpus luteum antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol tersebut menggambarkan telur yang diovulasikan. Meskipun banyak telur yang diovulasikan tetapi terjadi kehilangan jumlah praimplantasi yang tinggi dan berbeda nyata (P2) bila dibandingkan dengan kelompok K0 (Tabel 2). Hal ini diduga karena pemberian MSG dilakukan secara terus menerus selama 0 hingga 16 hari kehamilan induk mencit dapat mengganggu tahap perkembangan embrio pada waktu pembelahan atau cleavage. Oleh karenanya sel-sel embrional tidak mencapai tahap blastokista yang normal untuk dapat terimplantasi pada uterus.

Pengaruh Pemberian MSG terhadap Persentase Penampilan Organ Reproduksi Induk Mencit Secara Gavage pada Umur 0 Hari Hingga 16 Hari Kehamilan. Persentase penampilan organ reproduksi yang diamati dalam penelitian ini meliputi persentase fetus yang mengalami malformasi, persentase kematian intrauterus berupa persentase embrio diresopsi dan persentase kehilangan praimplantasi yang dapat dilihat pada Table 2. Hasil menunjukkan bahwa persentase fetus yang mengalami malformasi 0% terjadi pada kelompok K0 dan KP0. Pada perlakuan P1 menyebabkan malformasi sebesar 2,05% (1,35±1,10) yang tidak berbeda nyata dengan kelompok K0 dan KP0.

Page 13: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

Vol. 1, 2006 J. Biologi Sumatera

11

Fetus yang mengalami malformasi pada kelompok P2 cenderung meningkat bila dibandingkan kedua kelompok kontrol, meskipun secara statistik tidak berbeda. Namun pada perlakuan P3 persentase fetus yang mengalami malformasi sebesar 11,05% (2,26±1,40) dan menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan K0, KP0, P1, dan P2. Malformasi yang ditemukan pada ketiga kelompok perlakuan berupa mikroptalmia, anoptalmia, akorea, dan hidrosefalus (Tabel 3). Kejadian ini diduga karena semakin meningkatnya pemberian dosis MSG yang diberikan, serta didukung oleh kemampuan induk mencit untuk menetralisir zat atau senyawa kimia yang bersifat toksik. Selain itu juga tergantung kerentanan dan kondisi fisiologis dari induk mencit yang berbeda-beda, sehingga cenderung meningkatkan persentase malformasi pada fetus. Menurut Wilson (1973), kerentanan terhadap teratogenesis tergantung dari genotip dari suatu konseptus dan cara-cara interaksi dengan faktor lingkungan yang meliputi perbedaan spesies, perbedaan strain dan lingkungan, serta penyebab dari faktor lain.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa persentase kematian intrauterus (Tabel 2) hanya berupa embrio diresopsi yang menunjukkan adanya peningkatan embrio diresopsi baik pada kedua kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Pada kelompok K0 persentase embrio diresopsi sebesar 0,80% (1,24±1,06) dan pada KP0 persentasenya meningkat sebesar 2,59% (1,62±1,06), tetapi berdasarkan hasil uji statistik tidak berbeda. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor internal dari induk mencit itu sendiri atau juga terjadi secara alami. Pada perlakuan P1 persentase embrio diresopsi sebesar 5,00% (1,93±1,17) dan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kelompok K0 maupun KP0. Demikian pula pada P2 (5,40%), meskipun adanya peningkatan persentase embrio diresorpsi, tetapi uji statistik menunjukkan tidak berbeda nyata dengan K0, KP0, dan P1. Namun pada P3 persentase embrio diresopsi sebesar 8,67% (3,64±1,20) dan menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan K0, KP0, P1, dan P2. Ini berarti bahwa terjadinya peningkatan persentase embrio diresopsi tersebut sejalan dengan kenaikan dosis MSG yang diberikan. P3 merupakan dosis yang optimal dalam menyebabkan kematian intrauterus yang berupa embrio diresopsi. Dengan demikian penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian MSG selama umur kehamilan induk mencit bersifat embriotoksik. Seperti yang dikemukakan oleh Schardein (1985) dalam Peniati (1994), bahwa kematian fetus pada awal kebuntingan merupakan ciri utama dari toksisitas perkembangan dan kematian yang terjadi berupa

embrio resopsi yang ditandai oleh adanya bekas implantasi, tetapi bila kematian yang terjadi pada akhir kebuntingan maka fetus akan diresopsi seluruhnya sehingga dihasilkan fetus yang mengalami maserasi.

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa hasil analisis statistik Wilcoxon’s rank sum test menunjukkan persentase kehilangan praimplantasi pada kelompok K0 sebesar 3,21% (3,19±0,02) dan secara statistik tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan KP0 yang besarnya 5,92% (5,77±0,02). Pada perlakuan P1 persentase kehilangan praimplantasinya sebesar 6,67% (5,88±0,02) juga menunjukkan perbedaan yang tidak nyata jika dibandingkan dengan K0, KP0. Namun pada P2 persentase sebesar 22,70% (16,18± 1,29) yang menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan K0, KP0 dan P1. Sedangkan pada perlakuan P3 persentase kehilangan praimplantasi sebesar 16,22% (10,39±1,00) dan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan K0, KP0, dan P1. Pada penelitian ini, P2 merupakan dosis yang cukup optimal dalam menyebabkan kehilangan praimplantasi. Besarnya persentase kehilangan praimplantasi ini diduga karena pemberian MSG mulai 0 hari hingga 16 kehamilan dan berlangsung secara terus menerus tanpa ada selang interval waktu. Dengan demikian dapat mengganggu tahap perkembangan embrio pada waktu pembelahan, sehingga sel-sel embrional tidak dapat mencapai tahap blatokista yang normal. Hal ini didukung oleh Parthodiharjo (1980) dalam Tampubolon (2000) yang menyatakan, bahwa perubahan komposisi substansi sangat mempengaruhi pertumbuhan embrio dan apabila substansi yang diperlukan embrio tersebut dimasuki zat atau bahan lain yang sifatnya toksik maka zat atau bahan tersebut dapat memasuki sistem peredaran darah kemudian akan mempengaruhi perkembangan embrio sehingga mengakibatkan embrio mati.

Pengaruh Pemberian MSG terhadap Kejadian Kelainan Eksternal dan Internal pada Fetus Mencit Setelah Induk Diberi MSG Secara Gavage pada Umur Kehamilan 0 Hari Hingga 16 Hari. Kejadian kelainan eksternal pada fetus mencit yang induknya diberi MSG berupa mikropthalmia, anopthalmia, dan acorea, sedangkan kelainan internal yang muncul pada fetus mencit adalah hidrosephalus, yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Kelainan mikropthalmia merupakan kelainan yang terjadi pada bagian mata yang menyebabkan salah satu bagian lensa mengecil pada sebelah kanan ataupun pada sebelah kiri (Taylor, 1968). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, kelainan mikropthalmia tidak dijumpai pada K0 dan KP0. Pada perlakuan P1 persentase munculnya kelainan

Page 14: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

SABRI ET AL. J. Biologi Sumatera

12

mikropthalmia sebesar 1,11% begitu pula pada P2 persentasenya sebesar 1,82% dan pada P3 menunjukkan peningkatan sebesar 3,75%. Meskipun terjadi sedikit peningkatan persentase kelainan mikropthalmia ini, namun berdasarkan hasil uji statistik tidak berbeda dari kelompok K0 dan KP0.

Keadaan ini menunjukkan bahwa tingkat kejadian munculnya kelainan mikropthalmia ini mungkin belum begitu tinggi sehingga secara analisis statistik Wilcoxon’s rank sum test juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda antara kedua kelompok kontrol. Dalam penelitian ini terlihat bahwa kelainan mikropthalmia tidak disebabkan oleh infeksi dalam rahim seperti sitomegalo virus dan toksoplasmosis, tetapi kelainan mikropthalmia diduga karena pemberian MSG yang mengganggu periode organogenesis mata, yaitu pada saat proses diferensiasi jaringan lensa di mana sel-sel epitel ekuatorial di bagian posterior yang mengelilingi jaringan lensa tidak mengalami pemanjangan ke arah anterior untuk membentuk serabut lensa primer yang akan menutupi seluruh rongga lensa mata, yang akhirnya akan membentuk serabut lensa sekunder sehingga lensa mata akan mengecil (Gilbert, 1988).

Rugh (1968) menambahkan bahwa pada hari ke-13 ini serabut-serabut lensa menyelaputi kantung lensa, kemudian lipatan penutup primer mulai terbentuk dan serabut-serabut saraf muncul pada tangkai optik sehingga pada perkembangan selanjutnya serabut lensa ini berkembang secara vertikal maupun lateral mengisi rongga mata, sedang menurut Sadler (1993) kelainan mikropthalmia ini merupakan keadaan di mana seluruh mata terlalu kecil dan volume bola mata dapat berkurang sampai dua per tiga dari normal. Biasanya kelainan ini dihubungkan dengan cacat mata lainnya. Mikropthalmia kerapkali merupakan akibat infeksi dalam rahim seperti sitomegalo virus atau toksoplasmosis.

Kelainan anopthalmia merupakan kelainan menyebabkan kehilangan salah satu bagian mata baik sebelah kanan ataupun sebelah kiri (Taylor, 1968). Dari Tabel 3 dapat dilihat, bahwa pada K0 dan KP0 tidak dijumpai adanya kelainan anopthalmia. Pada P1, persentase kejadiannya sebesar 1,11%, pada P2 persentasenya sebesar 1,82%, dan pada P3 persentasenya sebesar 3,75%, meski demikian hasil analisis statistik menunjukkan tidak berbeda nyata dengan K0. Terjadinya kelainan anopthalmia ini diduga disebabkan karena pemberian MSG mengganggu terbentuknya kantung optik primer dari dinding otak depan sehingga plakoda lensa tidak dapat berinvaginasi membentuk kantung lensa dalam proses pembentukan mata, sehingga salah satu bagian mata tidak dapat terbentuk pada saat organogenesis mata. Gilbert (1988) menyatakan bahwa mata terbentuk dari

dinding otak depan. Pada bagian anterior membentuk kantung optik primer, kemudian sel-sel mesenkim dari kantung optik primer tersebut akan menginduksi lapisan ektoderm hingga membentuk plakoda lensa. Plakoda lensa tersebut mengalami invaginasi juga membentuk kantung lensa. Plakoda lensa menginduksi kantung optik primer untuk membentuk cawan optik sehingga sel-sel mesenkim dari cawan optik yang berada di bagian posterior akan membentuk tangkai optik sehingga akhirnya membetuk mata.

Kelainan acorea merupakan kelainan pada mata yang disebabkan karena salah satu bagian mata tidak mempunyai lensa mata (Taylor, 1968). Kelainan ini tidak dijumpai pada K0, KP0, dan P1. Sedangkan kelainan acorea ditemukan pada P2 persentasenya sebesar 1,82% dan P3, dan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dari K0l, KP0, dan P1. Terjadinya kelainan acorea ini diduga karena pemberian MSG dapat mengganggu pembentukan lensa mata yang berasal dari kantung lensa yang akan berkembang membentuk lensa dari periode organogenesis mata sehingga lensa mata gagal terbentuk (Gilbert, 1988). Rugh (1968) menyatakan bahwa pada hari ke-11 kantung lensa mata mulai menutup dari epitel ektoderm bagian kepala sehingga lensa mata mulai muncul keluar, serabut-serabut lensa, dan fisura choroid mulai terbentuk.

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa kelainan hidrosephalus ini tidak dijumpai pada kelompok K0 dan KP0. Tetapi pada P1 dan P2 persentase kejadiannya meningkat sebesar 2,22% dan 7,27%, meski tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dari kelompok K0 dan KP0. Sedangkan pada P3 persentasenya cenderung mengalami peningkatan yang cukup tinggi sebesar 15,00% yang menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan K0, KP0, P1, dan P2. Keadaan ini menunjukkan bahwa tingkat kejadian dari munculnya kelainan hidrosephalus meningkat sejalan dengan peningkatan dosis MSG yang diberikan. P3 merupakan dosis yang optimal dalam menyebabkan kelainan hidrosephalus. Tingginya kejadian hidrosephalus pada kelompok perlakukan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol mungkin disebabkan karena MSG yang diberikan pada saat dalam pembentukan otak. Rugh (1968) menyatakan organogenesis otak terjadi pada umur kebuntingan 7 sampai 14 hari. Terjadinya hidrosephalus disebabkan oleh adanya penimbunan cairan otak dalam ventrikel serebrum. Seperti yang diungkapkan oleh Taylor (1968), hidrosephalus ada 2 macam yaitu hidrosephalus internal yang ditandai oleh terjadinya pengumpulan cairan otak secara tidak normal di dalam ventrikel otak, dan hidrosephalus eksternal yang ditandai oleh penimbunan cairan otak di

Page 15: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

Vol. 1, 2006 J. Biologi Sumatera

13

permukaan otak dan durameter. Pada penelitian ini kelainan hidrosephalus yang mucul adalah hidrosephalus internal yaitu hidrosephalus yang disebabkan oleh adanya penimbunan cairan otak pada ventrikel lateral (ventrikel I dan ventrikel II) karena adanya penyumbatan pada rongga otak tengah

(mesensephalon) yang disebut akuaduktus silvius sehingga cairan otak tersebut tidak dapat mengalir menuju ventrikel ke IV kemudian akan terkumpul diventrikel lateral dan biasanya hidrosephalus ini disertai dengan adanya penipisan mantel (selaput) yang melapisi rongga otak (Sadler, 1993).

Tabel 1. Rataan penampilan organ reproduksi induk mencit pada kehamilan 0 hingga 16 hari setelah diberi

MSG secara gavage Perlakuan Berat Badan Fetus

Hidup (g) Jumlah Fetus

Hidup Jumlah Implantasi Jumlah Korpus

Luteum K0 1,35 aA 9,60 aA 10,00 a 11,60 KP0 1,35 aA 9,40 aA 10,80 a 14,00 P1 1,05 aA 7,80 aA 9,60 a 17,60 P2 1,08 aA 5,40 bA 7,40 a 15,80 P3 1,07 aA 5,80abA 8,80a 19,20

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji Duncan (DnMRT)

Tabel 2. Persentase penampilan organ reproduksi induk mencit pada umur kehamilan 0 hingga 16 hari diberi MSG secara gavage

Persentase Kematian Intrauterus

Perlakuan Persentase Fetus Mengalami Malformasi

Embrio Resorb

Persentase Kehilangan Praimplantasi

K0 0 (0)

0,80 (1,24±1,06)

3,21 (3,19 ±0,02)

KP0 0 (0)

2,59 (1,62±1,06)

5,92 (5,77±0,02)

P1 2,05 (1,35±1,10)

5,00 (1,93 ±1,17)

6,67 (5,88 ±0,02)

P2 5,19 (1,71±1,23)

5,40 (1,93 ±1,17)

22,70* (16,18±1,29)

P3 11,05* (2,26±1,40)

8,67* (3,46 ±1,20)

16,22 (10,39 ±1,00)

Keterangan: Uji statistik Wilcoxon’s Rank Sum Test *Berbeda nyata dari kontrol (p<0,05) Tabel 3. Kejadian kelainan eksternal dan internal pada fetus mencit yang induknya diberi MSG secara gavage

pada umur kehamilan 0 hingga 16 hari Jumlah Fetus Mengalami Malformasi (%)

Malformasi Eksternal Malformasi Internal

Perlakuan

Jumlah Induk

Jumlah Fetus

Hidup Mikropthalmia Anopthalmia Acorea Hidrosephalus K0 5 22 0 0 0 0 KP0 5 22 0 0 0 0 P1 5 18 1,11 1,11 0 2,22 P2 5 11 1,82 1,82 1,82 7,27 P3 5 16 3,75 3,75 3,75 15,00*

Keterangan: Uji statistik Wilcoxon’s Rank Sum Test *Berbeda nyata dari kontrol (p<0,05)

Page 16: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

SABRI ET AL. J. Biologi Sumatera

14

DAFTAR PUSTAKA

Anggara U. 2000. Aditif Makanan Dan Obat-obatan. Pusat Penyelidikan Racun Negara (USM). Jurnal Kedokteran Malaysia. 2: 19-23 C.

Darmawan I. 2000. Nutrisi dan Makanan Tambahan. Jakarta: Penerbit PT Penebar Swadaya.

Dhindsa KS. 1981. Histological Changes in The Thyroid Gland Induced By Monosodium Glutamat In Mice. An Atlas of Human Anatomy.

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi Keempat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Gomez, Gomez. 1995. Prosedur Penelitian Untuk Penelitian Pertanian. Edidi Ke-2. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Harahap R. 2001. Paper Teratologi. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Manson J.M, Kang Y.J. 1989. Methods For Asssing Female Reproduvtive and Development Toxicology in Principles and Methods of Toxicology. Secon Edition. New York: AW Hayes Raven Press, Ltd.

Mayes P.A., Gravner D.K. 1992. Biokimia’ Harper. Edisi Ke-20. Jakarta: Penerbit Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Nalbandov A.V. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Nizamuddin. 2000. Pengaruh Monosodium Glutamat (MSG) Per Oral terhadap Spermatogenesis dan

Jumlah Anak Tikus Putih Jantan Dewasa. Jurnal Kedokteran Yarsi 8: 93-113.

Sabri, E. 1996. Pengaruh Ekstrak Kencur (Kaempferia galanga L.) terhadap Perkembangan Prenaral Mencit (Mus musculus) Swiss Webster Albino. Tesis. Pascasarjana. ITB. Bandung.

Sadler TW. 1988. Embriologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Smith JB. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press.

Sugandi E, Sugiarto. 1994. Rancangan Percobaan. Edisi Pertama. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset.

Suntoro HS. 1983. Metode Pewarnaan. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara.

Sukra Y. 2000. Benih Masa Depan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Syhrum MH, Kamaludin. 1994. Reproduksi dan Embriologi, dari Satu Sel Menjadi Organisme. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia .

Takasaki Y. 1979. Toxicological Studies of Monosodium Glutamate in Rodents. Japan.

Tambajong J. 1995. Sinopsis Histologis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Taylor. 1986. Practical Teratology. London: Academic Press.

Yatim W. 1994. Reproduksi dan Embriologi. Bandung: Penerbit Tarsito.

Page 17: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

Jurnal Biologi Sumatera, Januari 2006, hlm. 15 – 19 ISSN 1907-5537

Vol. 1, No. 1

15

INISIASI IN VITRO BIJI MUDA TERONG BELANDA (Solanum betaceum Cav.)

BERASTAGI SUMATERA UTARA PADA KOMPOSISI MEDIA DAN ZAT TUMBUH YANG BERBEDA

Elimasni, Isnaini Nurwahyuni, dan M. Zaidun Sofyan

Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Jalan Bioteknologi No. 1, Padang Bulan, Medan 20155

Abstrak

Telah dilakukan penelitian tentang inisiasi in vitro biji muda terong belanda (Solanum betaceum Cav.)

Berastagi Sumatera Utara pada komposisi media dan zat pengatur tumbuh yang berbeda. Penelitian dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dalam Faktorial dengan 5 kali ulangan. Faktor komposisi media: yaitu ½ MS dan MS penuh, faktor kedua adalah zat pengatur tumbuh yaitu: kontrol, 2 mg/L 2,4 D, 1 mg/L BAP dan 1mg/L BAP + 2 mg/L 2,4 D.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa media yang terbaik untuk proliferasi dan diferensiasi eksplan adalah media MS, hal yang sama juga didapatkan untuk panjang tunas. Sedangkan zat pengatur tumbuh terbaik didapatkan pada penambahan 2 mg/L 2,4 D dan tidak berbeda nyata dengan 2 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP. Keywords: immature seed, Solanum betaceum

PENDAHULUAN

Dalam usaha meningkatkan perekonomian bangsa sangat diperlukan pengembangan berbagai usaha baik dari sektor industri maupun sektor pertanian dan pangan, terutama usaha-usaha untuk meningkatkan baik kualitas maupun kuantitas jenis-jenis pangan yang bernilai ekonomis.

Terong belanda (Solanum betaceum Cav.) merupakan tanaman jenis terong-terongan dari famili Solanaceae. Terong belanda tumbuh di Indonesia hanya pada beberapa daerah terutama di daerah Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Terong belanda telah dikenal di kalangan masyarakat Sumatera Utara dalam bentuk minuman jus buah segar yang sangat diminati, karena rasanya yang asam manis. Dalam 2 tahun ini, terong belanda mulai dikembangkan pengolahannya dalam bentuk sirup yang ternyata cukup diminati oleh masyarakat baik dari daerah Medan sekitarnya, bahkan sudah mulai merambah ke daerah Jakarta serta daerah Jawa lainnya, akan tetapi produksi sirup dan selai terong belanda belum dalam jumlah yang banyak karena ketersediaan buahnya yang relatif belum banyak. Hal ini dapat dilihat dari data produksi yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian (2003), yaitu hanya 39 ton pada tahun 2000, meski pada tahun 2002 terjadi pelonjakan yang sangat signifikan yaitu menjadi 101 ton dengan tingkat pertumbuhan 123%. Selain itu, terong belanda ini juga mempunyai potensi yang cukup baik untuk dijadikan sebagai buah kering yang tentunya akan menambah nilai ekonominya.

Upaya budi daya terong belanda yang dilakukan selama ini lebih bersifat tradisional, sehingga produksi buah belum seperti yang diharapkan. Selain itu hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman terong belanda sering merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi kualitas buah yang dihasilkan. Menurut Faucon (1998) dan Borowicz (2001) penyakit yang umum menyerang terong belanda di negara-negara Amerika Latin adalah jenis-jenis jamur mikorhiza dan berbagai jenis nematoda yang memberi pengaruh terhadap produksi buah.

Penelitian tentang terong belanda ini masih dirasakan kurang sekali dan belum ada yang meneliti tentang upaya peningkatan produktivitas dengan cara perbanyakan secara in vitro baik pada organ vegetatif maupun pada organ generatif yaitu dengan teknik kultur jaringan. Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman, seperti protoplasma, sel, kelompok sel, jaringan, dan organ serta menumbuhkan dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan bersegrerasi menjadi tanaman lengkap kembali (Djapfar, 1990). Bagian tanaman yang digunakan untuk kultur jaringan biasanya adalah jaringan yang masih muda yang berasal dari organ vegetatif seperti akar, batang, dan daun maupun organ generatif seperti embrio, biji, anther, atau ovul serta bagian lain dari bunga (Mathius & Harris, 1995).

Keberhasilan kultur in vitro ditentukan oleh media dan macam tanaman. Media mempunyai 2 fungsi utama, yaitu untuk mennyuplai nutrisi dan

Page 18: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

ELIMASNI ET AL. J. Biologi Sumatera

16

untuk mengarahkan pertumbuhan melalui zat pengatur tumbuh (Katuuk, 1998; Hendaryono & Wijayani, 1994). Adanya variasi media untuk tanaman menimbulkan beberapa macam media yang digunakan untuk kultur yaitu Murashige dan Skoog, Gamborg (B5), Linsmaier, Nitsch dan Nitsch, Woddy Plant Medium (WPM), MS, dan lain-lain. Media MS paling banyak digunakan terutama untuk tanaman hortikultura (Prihardini, et al., 1993).

Selain media, zat pengatur tumbuh juga memegang peranan penting dalam melakukan teknik kultur. Zat pengatur tumbuh adalah kelompok hormon, baik hormon tumbuhan alamiah maupun sintetis yang berupa bahan-bahan kimia bukan unsur hara tanaman dan tidak dijumpai pada tanaman tetapi bila diberikan pada tanaman mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya (Djafar, 1990).

Sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologi di dalam tanaman dan juga berpengaruh di dalam perkembangan embrio. Sejumlah senyawa-senyawa subtitusi adenin yang mempunyai aktivitas seperti sitokinin terdapat di dalam pertumbuhan kalus tembakau. 6–benzyl amino purine (BAP) mempunyai struktur yang serupa dengan kinetin, di mana menurut susunan kimianya kinetin adalah 6–furfurilaminopurin (Wattimena, 1988).

Senyawa-senyawa yang tidak mempunyai ciri-ciri indol tetapi mempunyai gugus asam asetat juga mempunyai keaktifan biologis seperti IAA. Asam naftalena asetat (NAA) dan asam 2,4 diklorofenoksi asetat (2,4 D) adalah senyawa tanpa ciri-ciri indol tetapi mempunyai aktivitas biologis seperti IAA. NAA dipergunakan sebagai hormon akar sedangkan 2,4 D adalah auksin yang paling aktif dan dipergunakan sebagai herbisida (Wattimena, 1988). Untuk itu peneliti ingin melakukan penelitian pendahuluan tentang kemungkinan pembudidayaan terong belanda ini dengan melakukan pengkulturan pada organ generatifnya atau biji muda dengan menggunakan komposisi media dan zat pengatur tumbuh yang berbeda.

BAHAN DAN METODE

Persiapan Bahan. Bahan yang digunakan adalah buah muda terong belanda yang diambil dari Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Media MS dan ½ MS padat, zat pengatur 2,4 D dan BAP. Bahan steril clorox dan alkohol serta bahan antioksidan L–cystein, providode iodine, dan belate.

Metodologi Penelitian. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan 2 faktor yang diteliti yaitu:

I. Faktor komposisi media A1 : media ½ MS A2 : media MS

II. Faktor Zat Tumbuh B1 : kontrol (tanpa zat pengatur) B2 : 2 mg/l 2,4 D B3 : 1 mg/l BAP B4 : 2 mg 2,4 D + 1 mg/l BAP

Masing-masing perlakuan akan terdiri dari 10

botol sampel dengan 3 kali ulangan. Uji statistik yang akan digunakan untuk menguji antar kelompok adalah uji Anova (Prahardini, et al., 1993).

Pengambilan Sampel. Buah terong belanda sebagai sumber eksplan diambil dari daerah Brastagi dan dipisahkan bijinya dari daging buahnya. Kemudian biji dibersihkan dari kotoran dengan mencuci di bawah air mengalir dan merendamnya selama 30 menit dalam larutan deterjen. Biji yang diperoleh dimasukkan ke dalam larutan asam askorbat 100 ml/l dan kemudian dibilas dengan akuades (Prihardini, et al., 1993).

Eksplan biji kemudian direndam dalam larutan clorox 10% selama 5 menit dan dicuci lagi dengan akuades. Setelah itu eksplan direndam dalam betadine 10% selama 5 menit dan selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan kertas saring steril. Eksplan sudah siap untuk ditanam pada media kultur.

Inokulasi Eksplan Biji. Laminar air flow dihidupkan dan dibersihkan dengan alkohol 96% selama 15 menit. Alat-alat yang dipakai direndam dalam alkohol 96%. Dengan bantuan pinset steril, aluminium foil dari botol kultur dibuka dan eksplan diinokulasikan dengan posisi biji terbenam sebagian ke dalam media, kemudian botol ditutup kembali.

Botol berisi eksplan ini ditempatkan pada rak kultur untuk penyimpanan dengan suhu ruang dijaga sekitar 26–28ºC dengan perioditas cahaya selama 16 jam terang dan 8 jam gelap dengan menggunakan lampu folurescense 30 watt. Ruang pelihara disemprot dengan larutan aseptik 2 kali sehari dengan alkohol 70%.

Parameter yang Diamati a. tipe proliferasi – differensiasi eksplan b. Persentase pembentukan kalus c. Jumlah tunas d. Persentase eksplan yang terkontaminasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tipe Proliferasi – Diferensiasi pada Biji. Dari hasil uji statistik diketahui perlakuan komposisi media yang berbeda memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap proliferasi–diferensiasi eksplan, sedangkan pengaruh zat pengatur tumbuh dan

Page 19: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

Vol. 1, 2006 J. Biologi Sumatera

17

interaksinya tidak berbeda nyata. Untuk uji rata-rata proliferasi–diferensiasi eksplan dapat dilihat pada Tabel 1.

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa proliferasi – diferensiasi eksplan terbaik didapatkan pada perlakuan A2 (media MS) (87,13) yang berbeda nyata dengan A1 (media ½ MS) (66,07). Hal ini disebabkan karena dalam media MS terkandung beberapa komponen garam-garam anorganik yang dibutuhkan oleh eksplan untuk proliferasi terutama adanya unsur N yang diberikan dalam 2 senyawa yaitu dalam bentuk ammonium nitrat dan kalium nitrat. Kemudian vitamin B yang juga diberikan dalam beberapa jenis. Jadi dengan demikian kebutuhan tanaman terhadap hara makro dan mikro terpenuhi sehingga menyebabkan eksplan berkembang lebih bagus dari media ½ MS. Hal ini sesuai dengan penelitian Jenimar (1993), di mana eksplan tunas kentang yang dikulturkan dalam media MS menghasilkan proliferaasi-difensiasi eksplan hingga 80%.

Tabel 1. Rata-rata pembentukan tipe proliferasi–

diferensiasi eksplan pada kultur biji terong belanda pada komposisi media dan zat pengatur tumbuh yang berbeda

A/B B0 B1 B2 B3 Rataan A1 30,96 87,13 59,04 87,13 66,07AbA2 87,13 87,13 87,13 87,13 87,13Aa Rataan 59,05 87,13 73,09 87,13

Keterangan: Notasi yang menunjukkan perbedaan sangat nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan taraf 1% (huruf besar) menurut uji Duncan.

Media MS memang merupakan komposisi

media tumbuh yang biasa digunakan. Gunawan (1987) menyatakan bahwa media dasar MS merupakan komposisi media tumbuh yang sangat baik digunakan untuk inisiasi eksplan pada perbanyakan tanaman.

Zat pengatur tumbuh tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap proliferasi–diferensiasi eksplan. Namun dari data terlihat bahwa perlakuan B1 (2 mg/l 2,4 D) (87,13) dan B3 (2,4 D + 1 mg/l BAP) merupakan perlakuan terbaik dibandingkan dengan perlakuan B0 dan B2 terhadap proliferasi–diferensiasi eksplan. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan auksin pada media kultur baik secara mandiri maupun secara kombinasi berpengaruh terhadap tipe proliferasi–diferensiasi eksplan. Menurut Gunawan (1987), auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang proliferasi eksplan. Selanjutnya Heddy (1996) menyatakan bahwa 2,4 D merupakan jenis auksin yang mempunyai potensi tinggi untuk proliferasi–diferensiasi eksplan. Demikian juga dengan Gardner,

et al. (1991), juga menyatakan bahwa proliferasi–diferensiasi eksplan terjadi karena adanya pembelahan sel oleh auksin.

Persentasi Kultur yang Berkalus (%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar eksplan yang dikulturkan berkalus, pengujian secara statistik menunjukkan bahwa interaksi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentasi eksplan berkalus, kecuali komposisi media dan zat pengatur tumbuh. Hasil uji DnMRT terhadap persentase kalus ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata persentase kultur berkalus (%)

pada kultur biji terong belanda pada komposisi media dan zat pengatur tumbuh yang berbeda

A/B B0 B1 B2 B3 RataanA1 0 80 0 60 35bB A2 60 80 60 100 75aA Rataan 30bB 80aA 30bB 80aA

Keterangan: Notasi yang menunjukkan perbedaan sangat nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan taraf 1% (huruf besar) menurut uji Duncan.

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa persentase

kalus tertinggi ditemukan pada perlakuan A2 (medium MS) yaitu 75% dari eksplan yang ditanaman berkalus dan berbeda nyata dengan A1 (medium ½ MS). Ini disebabkan karena media MS mengandung komposisi unsur-unsur hara makro, mikro, dan vitamin dengan jumlah yang lebih tinggi dan konsentrasi ini cukup untuk mendukung pertumbuhan kalus yang relatif lebih banyak. Gunawan (1987) menyatakan bahwa media dasar MS merupakan komposisi media tumbuh yang sangat baik digunakan untuk pertumbuhan kalus pada kebanyakan tanaman. Selanjutnya Heddy (1996) juga menyatakan bahwa media MS dengan penambahan auksin dan sitokinin banyak dipakai untuk inisiasi kalus pada kultur tanaman.

Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap persentase pertumbuhan kalus tertinggi ditemukan pada perlakuan B1 dan B3 yaitu sekitar 80%, yang berbeda nyata dengan kedua perlakuan lainnya B0 dan B2. Persentase kalus yang tinggi pada B1 dan B3 ini disebabkan oleh aktivitas 2,4-D yang ditambahkan ke dalam kultur. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan bahwa 2,4-D lebih responsif dalam membentuk kalus jika dibandingkan dengan jenis auksin lainnya. Pada perlakuan B3 gabungan antara 2,4-D dan BAP memberikan rasio yang seimbang di antara kelompok zat tumbuh tersebut sehingga kultur diarahkan untuk pembentukan kalus. Penambahan BAP dalam kultur berfungsi untuk mendorong sitokinesis tanpa diikuti diferensiasi sel atau jaringan. Heddy (1996) dan Gardner et al. (1991) menyatakan

Page 20: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

ELIMASNI ET AL. J. Biologi Sumatera

18

bahwa kalus terbentuk karena adanya pembelahan sel yang dipicu oleh auksin dan 2,4-D merupakan jenis auksin yang berpotensi tinggi untuk membentuk kalus.

Kombinasi perlakuan antara komposisi media dan zat pengatur tumbuh secara statistik tidak berpengaruh namun dari hasil yang ditemukan pada perlakuan A2B3 didapatkan persentase kalus tertinggi yaitu 100%. Nilai ini tertinggi di antara perlakuan-perlakuan yang lain. Dari hasil ini terlihat bahwa penambahan 2,4-D dengan BAP menghasilkan rasio konsentrasi yang seimbang untuk mendukung pertumbuhan kultur membentuk kalus. Pada kondisi ini terjadi kerjasama yang sinergis dari kedua zat pengatur tumbuh tersebut yang menyebabkan terjadinya pembelahan sel secara lebih cepat.

Jumlah Tunas. Data jumlah tunas dapat dilihat pada Tabel 3. Dari hasil analisa statistik bahwa interaksi dan komposisi media tidak memberikan pengaruh yang nyata kecuali zat pengatur tumbuh berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas. Tabel 3. Rata-rata jumlah tunas pada kultur biji

terong belanda pada komposisi media dan zat pengatur tumbuh yang berbeda

A/B B0 B1 B2 B3 Rataan A1 0,20 1,00 2,40 1,60 1,30 A2 0,80 1,00 1,40 2,20 1,35 Rataan 0,50cB 1,00bcAB 1,90aA 1,90aA

Keterangan: Notasi yang menunjukkan perbedaan sangat nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan taraf 1% (huruf besar) menurut uji Duncan.

Dari Tabel 3 di atas terlihat bahwa perlakuan

B2 dan B3 memberikan jumlah tunas tertinggi pada kultur biji muda terong belanda yaitu 1,90. Hal ini disebabkan karena penambahan BAP ke dalam media pertumbuhan sehingga eksplan yang tumbuh berdiferensiasi ke arah tunas. Keberadaan BAP endogen yang berasosiasi dengan BAP eksogen menyebabkan ekplan tersebut berdiferensiasi membentuk tunas. Menurut Wilkins (1992) dan Sutopo (1993) bahwa sitokinin dalam kultur jaringan berperan dalam pembelahan sel dan pembentukan tunas.

Persentase Eksplan yang Terkontaminasi. Persentase ekplan yang terkontaminasi pada kultur biji muda terong belanda sebanyak 4,16%. Kalau dibandingkan dengan penelitian-penelitian lain dengan kondisi laboratatorium yang sama persentase kultur yang terkontaminasi tergolong sedikit. Hal ini disebabkan karena sterilisasi dan proses penanaman dilakukan secara aseptik dan menuruti prosedur-prosedur yang sudah teruji.

Kontaminasi kebanyakan dari jenis bakteri, hal ini kemungkinan disebabkan karena kondisi biji dari terong belanda ini yang berlendir dan agak susah dihilangkan walaupun sudah digosok dan dicuci selama satu jam dalam air mengalir.

Gunawan (1995) mengatakan, inisiasi kultur yang bebas kantaminan merupakan langkah yang sangat penting karena pada bahan tanaman banyak mengandung debu, kotoran, dan berbagai kontaminan yang dapat mengkontaminasi eksplan, sehingga dibutuhkan seni kerja yang baik. Menurut Yusnita (2003), eksplan yang berasal dari alam memiliki tingkat kontaminasi yang tinggi, meskipun demikian hal ini dapat diatasi apabila teknik sterilisasi dan penanaman dilakukan dengan cara yang aseptik seperti misalnya perendaman eksplan di dalam larutan NaOCl 0,5%-1% selama 5-10 menit, dan penggunaan tween-20 selama 5-10 menit, dan berbagai prosedur sterilisasi, sesuai dengan jenis eksplan yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA Borowicz V. 2001. Do arbuscular mycorhyzal fungi

alter plant pathogen relations. Ecology 82: 3057-3068.

Departemen Pertanian. 2003. Data Agribisnis Wilayah Sumatera.

http://www.agribisnis.deptan.go.id. Djafar ZR. 1990. Dasar-Dasar Agronomi. Badan

Kerjasama Universitas Wilayah Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Agronomi Network WUAE Project. Palembang.

Faucon P & Borowicz. 2001. Tree tomato. Tamarillo. http://www.desserttropical.com

Gardner FP, Pearce RB & Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta: UI Press.

Gunawan LW. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. PAU Bioteknologi IPB. Bogor.

Heddy S. 1996. Hormon Tumbuhan. Ed-4. Cetakan ke-2. Jakarta: Rajawali.

Herdaryono DPS & Wijayani A. 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif. Yogyakarta: Kanisius.

Jenimar. 1993. Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh BAP dan 2,4-D pada Perbanyakan Kentang Secara Kultur Jaringan. Fakultas Pertanian, USU. Medan.

Page 21: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

Vol. 1, 2006 J. Biologi Sumatera

19

Katuuk JRP. 1998. Teknik Kultur Jaringan dalam Mikropropogasi Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Mathius NT & Nurhaimi H. 1995. Teknologi In Vitro Untuk Pengadaan Tanaman Perkebunan. Warta Puslit Bioteknologi 1: 2.

Prahandini PE, Sudaryono RT & Purnomo S. 1993. Komposisi Media dan Eksplan Untuk Inisiasi Salak Secara In Vitro.

Sutopo L. 1993. Teknologi Benih. Jakarta: Rajawali Press.

Wattimena GA. 1992. Bioteknologi Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. PAU Bioteknologi IPB. Bogor.

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Jakarta: Agromedia.

Page 22: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

Jurnal Biologi Sumatera, Januari 2006, hlm. 20 – 23 ISSN 1907-5537

Vol. 1, No. 1

20

PERILAKU HARIAN PECUK HITAM (Phalacrocorax sulcirostis) SAAT

MUSIM BERBIAK DI SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT, JAKARTA

Erni Jumilawaty

Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Jalan. Bioteknologi No. 1, Padang Bulan, Medan 20155

Abstract

Black Cormorants (Phalacrocorax sulcirostis) Daily Behavior ofreeding Season in Pulau Rambut Wildlife Sanctuary, Jakarta was observed during February–June 2001. There were 10 pair cormorant selected for study daily behavior in theirs nest, that is nest construction, take care of child, body maintenance, locomotion and social behavior. The nests were marked with textile band. 265 hours were spent to study behavior. Body maintenance (2709 point), locomotion (1430 point), take care of child (1352 point) and social interaction (1307 point) were in the greatest quantities and turn over brood (53 point) were smaller quantities than the others behavior. Nest contruction and take care of child were done by two parents. Nest contruction were spent 7 - 12 days. Turn over ensued to three time in 11 hour i.e 09.00 – 10.00 AM, 12.00 – 13.00 PM dan 16.00 – 17.00 PM child of cormorant were eaten four time in 11 hour i.e 06.00 - 07.00 AM, 09.00 – 10.00 AM, 13.00 – 14.00 PM and 16.00 – 17.00 PM. Keywords: cormorant, daily behavior, breeding season, Pulau Rambut Wildlife

PENDAHULUAN

Setiap organisme memiliki kemampuan untuk hidup, tumbuh, dan berkembang biak pada habitat yang sesuai dengannya. Salah satu cara untuk mempertahankan hidupnya adalah dengan mempertahankan perilaku keseharian pada saat musim berbiak.

Faktor yang sangat menentukan perilaku ini di antaranya habitat tempat tinggalnya meliputi keamanan dan ketersediaan sumber daya hayati yang dapat mendukung kelestariannya terutama pada saat berbiak, di mana organisme membutuhkan keamanan dan ketersediaan makanan lebih baik dibandingkan pada saat tidak memasuki musim berbiak.

Perilaku harian organisme merupakan faktor yang berasal dari hewan itu sendiri. Setiap hewan memiliki karakter perilaku harian yang berbeda sesuai anatomi dan morfologi tubuh yang dimilikinya. Seperti halnya pada burung air, jenis perilaku harian yang kelihatan pada saat musim berbiak tiba akan berbeda dengan jenis perilaku yang tampak pada jenis burung lainnya.

Suaka Margasatwa Pulau Rambut (106˚31’30”E, 5˚57’S) merupakan sebuah pulau kecil dan masih merupakan bagian dari Kepulauan Seribu. Pulau ini merupakan habitat burung air terbesar di Jawa Barat dan telah ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa pada tahun 1999 melalui SK. Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 275/kpts-II/1999. Pulau Rambut dihuni 14 jenis burung-burung air

yaitu: 2 jenis cangak, 3 jenis kuntul, roko-roko, pelatuk besi, bangau bluwok, pecuk ular, 3 jenis pecuk, 2 jenis kowak (Mardiastuti, 1992; Mahmud, 1991).

Burung-burung ini memiliki musim berbiak yang hampir bersamaan pada setiap tahunnya sehingga merupakan pemandangan yang sangat menarik untuk mengamati perilaku harian dari burung-burung tersebut pada saat musim berbiak tiba.

Studi ini bertujuan untuk mengetahui perilaku harian burung pecuk pada saat musim berbiak tiba meliputi perilaku membuat sarang, mengasuh anakan, dan perilaku lainnya yang dilakukan pada saat musim berbiak.

BAHAN DAN METODE

Studi ini dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2001 bertepatan dengan musim biak 2001 di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, dengan mengambil 10 pasang pecuk yang sedang berbiak. Pohon tempat bersarang ditandai dengan pita dan diberi nomor. Studi dilakukan dari sebuah pohon dengan bantuan teropong binokuler mulai jam 06.00-17.00 WIB dengan menggunakan metode scan sampling.

Perilaku yang diamati meliputi: mengeram, membuat sarang, perawatan diri, memberi makan, agonistik, melompat, dan terbang dengan mencocokkan gambar perilaku berdasarkan buku acuan menurut (Van Tets, 1965; Mendall, 1936 dan Johnsgard, 1993).

Page 23: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

Vol. 1, 2006 J. Biologi Sumatera

21

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perilaku harian pecuk yang diamati dalam penelitian ini meliputi: perilaku membuat sarang, perilaku mengeram dan perilaku mengasuh anak. Hasil pengamatan jumlah dan persentase lama aktivitas masing-masing dibagi menjadi tiga waktu yang diringkas pada Gambar 1, 2, dan 3 yaitu jam pengamatan 06.00-10.00 (pagi hari) WIB, 10.00-14.00 (siang hari) WIB dan 14.00-17.00 (sore hari) WIB. Gambar 1-3 terlihat 4 aktivitas yang paling sering dilakukan yaitu: perawatan diri, lokomosi, interaksi sosial, dan mengasuh anak. Persentase perilaku perawatan diri memiliki nilai tertinggi pada ketiga waktu pengamatan (pagi, siang, dan sore hari), diikuti dengan lokomosi, interaksi sosial dan mengasuh anakan (pagi dan siang), hal ini disebabkan ke 4 aktivitas ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

Pada Gambar 1-3 dapat dilihat bahwa aktivitas perilaku paling banyak dilakukan pada jam 10.00-14.00 WIB dan terendah pada jam 14.00-17.00 WIB. Aktivitas mengeram, mengasuh anak dan membuat sarang paling tinggi terjadi pada jam 06.00-10.00 WIB. Data keseluruhan jumlah dan persentase perilaku diringkas pada Gambar 4 dan 5.

Pada Gambar 4 dapat dilihat ada 3 aktivitas yang dilakukan dengan proporsi yang hampir sama yaitu perilaku perawatan tubuh, lokomosi, dan interaksi sosial. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Sarjono (1995) dan Fithri (1987) perilaku istirahat pecuk yang sedang berbiak lebih kecil dibandingkan dengan pecuk non berbiak, hal ini dikarenakan pecuk lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengeram, melindungi, dan mengasuh anakan.

Untuk memberi makan anakan biasanya induk dapat berkali-kali datang dan pergi sampai anakan benar-benar memperoleh makanannya. Setiap memberi makan, induk datang 2-4 kali datang dan pergi. Seiring dengan bertambahnya usia anakan, aktivitas induk mencari makan juga akan bertambah selain itu bila anakan sudah hampir besar induk juga harus menambah ranting untuk sarang, sehingga lokomosi merupakan kegiatan yang senantiasa dilakukan, diiringi dengan aktivitas perawatan tubuh yang selalu mengikuti semua aktivitas lainnya.

Dengan kata lain pecuk yang sedang berbiak lebih banyak melakukan aktivitas utama di antaranya perawatan tubuh, lokomosi, dan interaksi sosial, dibandingkan pecuk yang tidak dalam keadaan berbiak. Sedang waktu istirahat lebih rendah bila dibandingkan dengan pecuk yang tidak berbiak.

Pada Gambar 4 terdapat variasi jam pertukaran pengeraman dan pemberian makan atau mengasuh anak, hal ini disebabkan data yang

diperoleh selama pengamatan berasal dari 15 individu yang berbeda. Umumnya ke-15 individu ini memperlihatkan jam pertukaran yang hampir sama setiap hari, meskipun terjadi perbedaan hanya beberapa menit (10-15 menit dari jam pertukaran di hari sebelumnya).

Pada Gambar 4 terlihat bahwa puncak perilaku mengeram terjadi dua kali yaitu pada jam 6.00-7.00 WIB dan antara jam 8.00-12.00 WIB. Yang dimaksud dengan mengeram ini meliputi mengeram dalam arti sebenarnya, dan duduk di dalam sarang untuk melindungi anakan. Hal ini diduga erat kaitannya dengan faktor suhu, di mana pada saat pagi hari (6.00-7.00 WIB) induk melindungi telur dan anakan dari udara yang lembab (menghangatkan) dan pada saat menjelang siang di mana suhu udara mulai naik dan sinar matahari mulai meningkat maka induk akan melindungi anakan dan telur dari sinar matahari.

Kenyataannya, sulit untuk mengetahui apakah anakan sudah menetas atau belum karena anakan tidak mengeluarkan suara. Kesulitan membedakan ini terutama pada saat pengamatan perilaku mengasuh anakan dan mengeram, karena pohon sarang tidak di panjat seperti pemeriksaan harian telur. Baru setelah anakan berumur seminggu terlihat mulai menggerak-gerakkan kepalanya. Untuk mengetahui apakah anakan sudah menetas dapat dilakukan dengan cara: 1) melihat cangkang yang terdapat di sekitar pohon yang diamati, 2) mendengarkan suara anakan, 3) mengamati bila induk sering berdiri dan jarang terlihat mengeram serta seperti menarik sesuatu dari dalam sarang (selain ranting). Hal kedua dapat dilakukan bila pengamatan dilakukan dekat dengan objek.

Berdasarkan pembagian waktu pengamatan pagi, siang, dan sore (Gambar 1-3) dapat dilihat bahwa aktivitas paling tinggi pecuk pada saat bersarang terjadi pada saat siang hari, aktivitas paling rendah terjadi pada saat sore hari di mana pecuk sudah kembali ke sarang setelah lelah melakukan aktivitas pada saat siang dan pagi hari. Pada pagi hari pecuk lebih banyak menghabiskan waktunya untuk merawat dan melindungi anakan.

Pecuk yang mengeram lebih banyak melakukan beberapa aktivitas dibandingkan dengan yang mengasuh anakan. Dari semua aktivitas selama mengeram yang paling sering dilakukan oleh pecuk adalah berputar, berdiri, menelisik. Sedangkan pointing, gaving paling sering dilakukan pada saat banyak gangguan dan umum dilakukan pada saat siang hari. Nest worring umumnya dilakukan pada saat siang hari saat udara panas bersamaan dengan kegiatan cooling dan panting. Semua jenis kegiatan dan gerakan yang dilakukan oleh pecuk selama pengamatan dicocokkan dengan hasil pengamatan van Tets (1965).

Page 24: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

JUMILAWATY J. Biologi Sumatera

22

Gambar 1. Persentase perilaku pecuk pada jam 06.00-10.00 (pagi hari) WIB di Suaka Margasatwa Pulau

Rambut, 2001

Gambar 2. Persentase perilaku pecuk pada jam 10.00-14.00 (siang hari) WIB di Suaka Margasatwa Pulau

Rambut, 2001

Gambar 3. Persentase pecuk pada jam 14.00-17.00 (sore hari) WIB di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, 2001

Page 25: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

Vol. 1, 2006 J. Biologi Sumatera

23

Gambar 4. Histogram jumlah perilaku pecuk pada setiap jam pengmatan

Gambar 5. Histogram perbedaan tiga aktivitas utama pecuk di tiga lokasi tanpa membedakan waktu

pengamatan

DAFTAR PUSTAKA Altmann J. 1974. Observational Study of Behaviour:

Sampling Method. Behaviour 49: 227-265. Faaborg J. 1988. Ornithology an Ecological

Approach. New Jersey: Prentice Hall Fithri A. 1987. Studi Perilaku Makan Burung Pecuk

Kecil (Phalacrocorax niger) Dan Pecuk Besar (P. sulcirostris). Skripsi Mahasiswa Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Bogor.

Kortlandt A. 1995. Patterns of Pair-Formation and Nest-Building in The European Cormorant Phalacrocorax carbo sinensis. Ardea 83: 11-25.

Matthews CW & Fordham RA. 1995. Behaviour of The Little Pied Cormorant Phalacrocorax melanoleucos. Emu 96: 118-121.

Sarjono AP. 1995. Ekologi Pecuk Hitam (Phalacrocorax sulcirostris Brandt, 1931) di

Taman Burung Kota Baru Bandar Kemayoran, Jakarta. Skripsi mahasiswa. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Sellers RM. 1995. Wing-Spreding Behaviour of Cormorant Phalacrocorax carbo. Ardea 83: 27-36.

Van Tets GF. 1965. Comparative Study of Some Sosial Communication Patterns in The Pelecaniformes. Lawrence, Kansas: The Allen Press.

Van Eerden MR & Voslamber B. 1995. Mass Fishing by Cormorants Phalacrocorax carbo at Lake Ijsselmeer, The Netherlands: a Recent and Succesfull adaptation to a Turbid Environment. Ardea 83: 199-212.

Welty JC. 1982. The Life of Birds. New York: Senders College Publishing.

Page 26: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

24

JURNAL BIOLOGI SUMATERA (J Biol Sum) Sumatran Journal of Biology

PEDOMAN PENULISAN

Naskah: Jurnal Biologi Sumatera menerima naskah dari berbagai bidang ilmu biologi baik murni maupun terapan. Naskah yang dipublikasi di Jurnal Biologi Sumatera (J. Biol. Sum.) merupakan naskah yang belum pernah diterbitkan dalam jurnal lainnya. Naskah dapat berupa artikel hasil penelitian (Original Article), ulas balik (Review/Minireview) dan komunikasi singkat (Rapid Communication). Panjang maksimum naskah adalah 6, 8, dan 3 halaman cetak masing-masing untuk artikel hasil penelitian, ulas balik dan komunikasi singkat. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah yang isinya tidak sesuai dengan pedoman penulisan dan penulisannya tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tidak akan dipublikasi dan Editor tidak berkewajiban mengembalikan naskah bersangkutan. Format: Seluruh isi naskah termasuk abstrak, isi, daftar pustaka, tabel, gambar dan keterangan gambar diketik pada kertas ukuran HVS A-4 dengan jarak dua spasi dengan menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12 point. Setiap lembarnya diberi nomor halaman. Abstrak, isi, ucapan terima kasih, daftar isi, tabel, gambar, dan keterangan gambar harus dimulai dari halaman baru. Tabel, gambar, dan keterangan gambar diletakkan pada akhir naskah. Standar abreviasi dan unit harus menggunakan standar internasional. Abreviasi harus ditulis penuh untuk pertama kali muncul dan penggunaan kependekan dalam judul dan abstrak harus dihindari. Nama generik zat kimia yang digunakan harus ditulis. Penggunaan nama genus dan spesies ditulis cetak miring. Judul: Judul harus singkat, spesifik, dan informatif. Pada bagian judul harus terdapat jenis naskah, nama lengkap, dan alamat penulis, dan catatan kaki terhadap koresponden harus ditujukan lengkap dengan nomor telepon, faksimili, dan/atau e-mail. Abstrak: Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris (Abstract) dan tidak lebih dari 250 kata. Dalam abstrak harus terkandung tujuan, metode, hasil, dan kesimpulan. Data yang terdapat dalam abstrak merupakan data yang sangat penting. Aspek-aspek yang baru dan penting harus tercermin dalam abstrak. Maksimum lima kata kunci dalam bahasa Inggris ditulis di bawah abstrak.

Tulisan: Tulisan untuk naskah artikel hasil penelitian terdiri dari Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil, dan Pembahasan. Hasil dan Pembahasan juga dapat digabung. Untuk Ulas Balik dan Komunikasi Singkat ditulis sebagai naskah sinambung tanpa sub judul bahan dan metode, hasil dan pembahasan. Pendahuluan memberikan latar belakang yang cukup agar pembaca memahami dan memperkirakan hasil yang akan dicapai tanpa harus merujuk pada penerbitan-penerbitan sebelumnya. Cara penulisan rujukan dalam teks dengan menyebutkan penulis diikuti tahun penerbitan (contoh: bila di akhir teks ditulis [Munir & Suryanto 2004) dan bila di awal teks ditulis Munir & Suryanto (2004)]. Bila penulis lebih dari dua, ditulis nama penulis pertama saja dan diikuti dengan kata et al. yang dicetak miring (contoh Suryanto et al. 2001). Pendahuluan juga harus berisikan latar belakang beserta tujuan dari penelitian. Pada bagian Bahan dan Metode harus berisikan informasi teknis sehingga peneliti lain dapat mengulangi berdasarkan teknik percobaan yang dikemukakan. Untuk kondisi tertentu nama dan merek alat beserta kondisi percobaan harus dicantumkan. Hasil dapat disajikan dalam bentuk tabel, gambar atau langsung dalam tubuh tulisan. Hasil yang disajikan dalam naskah merupakan hasil yang signifikan dan berarti penting bagi naskah. Hindari penggunaan grafik atau gambar yang berlebihan bila dapat disajikan dalam tubuh tulisan dengan singkat. Pembahasan berisikan interpretasi terhadap hasil penelitian dan dikaitkan dengan hasil-hasil yang pernah dilaporkan. Hindari pengulangan metode dan hasil penelitian serta hal-hal yang telah dicantumkan dalam bagian Pendahuluan. Daftar Pustaka: Daftar Pustaka ditulis memakai sistem tahun nama (Harvard) dan diurut menurut abjad. Ketepatan penggunaan Daftar Pustaka merupakan tanggung jawab penuh penulis. Data yang tidak dipublikasi tidak dapat digunakan sebagai sumber kepustakaan, akan tetapi naskah yang sudah diterima untuk publikasi tetapi belum terbit dapat dimasukkan dalam Daftar Pustaka dengan menyebutkan nama jurnal dan diikuti oleh kata diterima untuk publikasi atau in press. Seluruh nama penulis dicantumkan dalam daftar pustaka (tidak ada penggunaan et al dalam Daftar Pustaka). Nama jurnal dipendekkan menurut abreviasi yang lazim dari The List of Serial Title Word Abreviation yang dikeluarkan oleh Pusat Internasional ISSN dan dicetak miring. Cara penulisan dapat mengikuti salah satu dari berikut:

Page 27: JBS Vol_ I No_ 1 Januari 2006

25

Jurnal: Millar SL, Buyck B. 2002. Molecular phylogeny of

the genus Russula in Europe with a comparison of modern infrageneric classification. Mycol Res 106:259-276.

Buku: Boaden PJS, Seed R. 1985. An Introduction to Coastal

Ecology. New York: Blackie. Bab dalam Buku: Admassu W, Korus RA. 1998. Engineering of

bioremediation process: Need and limitations. Di dalam Crawford RL, Crawford DL (ed). Bioremediation: Principles and applications. Cambridge: Cambridge University Press.

Abstrak Priyani N, Simorangkir J, Flaherti V. 2003. The effect

of phosphor and nitrogen addition on crude oil degradation by Candida sp. Abstrak Seminar Nasional Kimia. Medan, 11 Oktober 2003. hlm 27.

Prosiding: Nasution Z. 2004. The forest ecology in the Lake

Toba catchment area. Di dalam: Proceedings of The 5th International Wood Science Symposium JSPS-LIPI Core University Program in the Field of Wood Science. Kyoto, September 17-19. hlm 287-293.

Skripsi/Tesis/Disertasi: Rahmawati S. 2003. Pengaruh pemberian ekstrak biji

pepaya (Carica papaya L.) terhadap gambaran sel-sel Leydig mencit (Mus musculus L.) jantan dewasa strain DDW. [Skripsi]. Medan: Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara.

Internet : Phetteplace H, Jarosz M, Uctuk R, Johnson D,

Sporleder R. 2000. Evaluation of single cell protein as a protein supplement for finishing cattle. http://www.ansci.colostate.edu/documents/renut/2000/pdf/hp001.pdf. [20 Maret 2003].

Tabel: Tabel diberi nomor secara berurutan sebagaimana muncul dalam teks. Setiap tabel diberi judul yang informatif. Bila dalam tabel terdapat kependekan harus dijelaskan dengan catatan kaki. Lebar maksimum tabel harus sesuai dengan lebar maksimum area cetak yaitu 8,5 cm atau 18 cm. Gambar: Seluruh gambar atau foto harus dirujuk di dalam teks dan diberi nomor secara berurutan. Gambar atau foto hanya yang berwarna hitam putih dan harus jelas untuk dapat diperbanyak. Masing-masing gambar harus diserahkan dalam lembaran yang terpisah dan siap jadi tanpa perlu perubahan ukuran dan bentuk dan masing-masingnya dilengkapi dengan keterangan yang cukup. Lebar maksimum gambar harus sesuai dengan lebar maksimum area cetak yaitu 8,5 cm atau 18 cm. Kontribusi Penerbitan: Setiap penulis dibebani biaya cetak sebesar Rp. 100.000.- (seratus ribu rupiah) untuk setiap artikel yang diterbitkan. Kelebihan halaman dikenakan biaya tambahan sebesar Rp. 50.000.- (lima puluh ribu rupiah) per halaman cetak. Penulis mendapatkan satu eksemplar terbitan dan 5 (lima) salinan artikel. Pengiriman Naskah: Penulis diminta untuk mengirimkan dua eksemplar asli beserta dokumen (file) dalam disket atau compact disc (CD) dengan program Microsoft Word. Pada disket atau CD dituliskan nama penulis pertama dan nama dokumennya. Naskah dikirimkan kepada: Editor Jurnal Biologi Sumatera Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara, Jln. Bioteknologi No. 1, Kampus USU, Medan 20155. File elektronik dapat dikirim ke: [email protected]