ISSUE NO. 5 / OKTOBER 2017 - ap-lawsolution.com file1 ISSUE NO. 5 / OKTOBER 2017 OJK dan Pengajuan...

12
ISSUE NO. 5 / OKTOBER 2017 OJK dan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Asuransi Pergeseran Makna PKPU Apa Mungkin? Mempailitkan Orang yang Sudah Meninggal INDONESIAN E-MAGAZINE FOR LEGAL KNOWLEDGE BY Konflik antara Sita Umum Kepailitan & Sita Pidana

Transcript of ISSUE NO. 5 / OKTOBER 2017 - ap-lawsolution.com file1 ISSUE NO. 5 / OKTOBER 2017 OJK dan Pengajuan...

1

ISSUE NO. 5 / OKTOBER 2017

OJK dan Pengajuan Kepailitan

Perusahaan Asuransi

Pergeseran Makna PKPU

Apa Mungkin? Mempailitkan

Orang yang Sudah Meninggal

INdONESIaN E-MagazINE fOR LEgaL KNOwLEdgE By

Konflik antara Sita Umum

Kepailitan & Sita Pidana

2

IKLAN

Please do not hesitate to contact us if you have any question at [email protected].

Looking forward to hearing from you.

We, Akasa Cipta Tama (ACT), was established in April 2015 as a response to the demand of highly qualified translators for business, legal, technical, and general documents; as well as interpreters and note takers for meetings, seminars, and conference. Our translators, interpreters and note

takers have extensive experiences in their respective fields.

With a comprehensive database of qualified human resources, ACT works to ensure the best results in every project we run. Some of our top personnel have worked for various international events and some of our clients include the Office of the President of the Republic of Indonesia,

People’s Consultative Assembly, The United Nations, The World Bank, AusAID, USAID, and some prominent law firms in Indonesia.

3

Editorial:Penasihat:Setyawati Fitri Anggraeni,S.H.,LL.M.,FCIArb.Pemimpin Redaksi:Agus Dwi Prasetyo,S.H.Redaktur Pelaksana:Tanya Widjaja Kusumah,S.H.Penulis:Agus Dwi Prasetyo,S.H.Tanya Widjaja Kusumah,S.H.Sufi Mufarrid Fadhly,S.H.Elida Damaiyanti Napitupulu, S.H.Manuel Simbolon,S.H., M.H.Tubagus Syaqief Harizansyah,S.H.Kevin Samuel Fridolin Manogari, S.H.Kontributor:Konsultan Media: Fifi Juliana JelitaPenyunting Naskah: Wahyu HardjantoPenata Visual: Riesma PawestriIlustrasi: freepik.com

daftar isi

Majalah Actio terbit setiap empat bulan sekali,dibuat dan didistribusikan oleh

Sanggahan:Perlu kami sampaikan bahwa telaah, opini, maupun informasi dalam Actio merupakan kontribusi pribadi dari para partners dan/atau associate yang tergabung di kantor hukum Anggraeni and Partners dan merupakan pengetahuan hukum umum. Telaah, opini, dan informasi dalam Actio tidak dimaksudkan untuk memberikan pendapat hukum ataupun pandangan kantor hukum Anggraeni and Partners terhadap suatu permasalahan hukum tertentu.

Telaah, opini, dan informasi dalam Actio tidak dapat dianggap sebagai indikasi ataupun petunjuk terhadap keadaan di masa yang akan datang. Telaah, opini, maupun informasi dalam Actio tidak ditawarkan sebagai pendapat hukum atau saran hukum untuk setiap hal tertentu. Tidak ada pihak pembaca yang dapat menganggap bahwa dirinya harus bertindak atau berhenti bertindak atau memilih bertindak terkait suatu masalah tertentu berdasarkan telaah, opini, maupun informasi di Actio tanpa mencari nasihat dari profesional di bidang hukum sesuai dengan fakta-fakta dan keadaan-keadaan tertentu yang dihadapinya.

KATA PeNgANTAr 3INfo 4TELAAh: Polemik Akibat Terbitnya SeMA Nomor 2 Tahun 2016 5TELAAh: Konflik Antara Sita Umum Kepailitan & Sita Pidana 6TANYA JAWAB 8KUPAS PerATUrAN: Pengajuan Kepailitan Perusahaan Asuransi Diatur oJK 9oPINI: Pergeseran Makna PKPU 10KIAT: 6 Langkah Debitor Perseroan Terbatas Untuk Mengajukan Permohonan PKPU 11

“Pembaca yang Budiman,Di penghujung September ini, ACTIO kembali hadir bagi pembaca sekalian dengan topik utama mengenai “Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailitan”.

Pada abad ke-21 ini, globalisasi dan modernisasi memacu manusia untuk berjuang dan bersaing, terutama dalam meningkatkan kesejahteraannya di bidang ekonomi. Utamanya, para pengusaha dituntut untuk berkompetisi dalam meningkatkan dan mengembangkan usahanya.

Berlandaskan pada alasan tersebut dan keterbatasan modal sendiri, pengusaha berupaya untuk mencari peluang mendapatkan pinjaman dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi, ataupun cara lain yang diperbolehkan.

Fakta ini tentunya menimbulkan tingginya risiko kegagalan pengembalian pinjaman bagi para kreditor sebagai pemodal. Dengan demikian, permasalahan mengenai penyelesaian utang piutang dalam masyarakat semakin banyak terjadi.

Sebagai solusi atas permasalahan tersebut, lembaga PKPU dan kepailitan lahir. Pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan.

Dengan adanya putusan pernyataan pailit tersebut, diharapkan agar harta pailit debitor dapat digunakan untuk membayar kembali seluruh utang debitor secara adil dan merata serta berimbang.

Pembahasan ACTIO mengupas berbagai aspek dari PKPU dan kepailitan. Tim ACTIO berharap, rubrik-rubrik pada edisi kali ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi para pembaca, terutama bagi mereka yang mencari solusi dan jaminan atas pengembalian piutangnya.

Selamat membaca.Salam,

aNggRaENI aNd PaRTNERS

Setyawati Fitri A, S.H., LL.M., FCIArbPartner Pengelola

There is no security on this earth. Only opportunity. – Douglas MacArthur –

4

INfO

Penunjukan kurator dan pengurus oleh debitor kini harus disetujui oleh kreditor. Kewajiban tersebut diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan efisiensi dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“SeMA 2/2016”).

Dalam tataran praktik, SeMA 2/2016 telah diterapkan dengan adanya Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dengan Nomor 196 K/Pdt.Sus-Pailit/2017. Dalam perkara tersebut, PT. rPS mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap dirinya sendiri. Pada tingkat pertama, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta menolak permohonan pernyataan pailit yang didaftarkan oleh PT. RPS dengan alasan bahwa PT. RPS selaku debitor tidak melampirkan surat persetujuan dari kreditor terhadap usulan kurator. Meskipun PT. RPS mengajukan kasasi, upaya tersebut kandas setelah Mahkamah Agung menolak permohonan tersebut pada tingkat kasasi.

Alasan penolakan Majelis hakim Agung adalah karena pemohon tidak melampirkan surat persetujuan dari kreditor terhadap kurator yang diajukan. Dengan demikian, permohonan pailit tersebut tidak memenuhi ketentuan dalam Surat edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan Efisiensi dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“SeMA”).

Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil menerbitkan surat kepada semua kepala dinas kependudukan dan pencatatan sipil kabupaten/kota di seluruh Indonesia dengan Nomor: 472-2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017. Surat ini sebagai tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 69/PUU-13/2015 tanggal 27 oktober 2016 yang membolehkan perjanjian perkawinan dibuat setelah selama perkawinan.

Surat ini berisi penjelasan tentang administrasi pencatatan perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan, menurut surat tersebut, dibuat dengan akta notaris dan dilaporkan kepada unit pelaksana teknis instansi pelaksana (“UPT”). Persyaratan dan tata cara pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan dilakukan dengan

memperhatikan waktu pembuatan perjanjian, tempat dibuatnya perjanjian, dan tempat dicatatkannya perkawinan serta perubahan

atau pencabutan perjanjian perkawinan.

Terkait pelaporan perjanjian perkawinan, pejabat pencatatan sipil pada instansi pelaksana atau UPT

membuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan. Sementara itu, khusus

untuk akta perkawinan atau dengan nama lain yang diterbitkan oleh negara lain, tetapi perjanjian perkawinan atau perubahan dan

pencabutannya dibuat di Indonesia, pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan tersebut dibuat

dalam bentuk surat keterangan dengan format khusus. (KSH)

Penunjukan kurator Harus Disetujui KreDitor

Pencatatan Perjanjian Perkawinan

5

TELaaH

5

Terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016 (“SeMA 2/2016”) berpotensi

menimbulkan polemik baru dalam penerapannya. Salah satu poin dalam SEMA yang diterbitkan pada tanggal 25 April 2016 tersebut adalah mewajibkan debitor untuk menyertakan persetujuan tertulis dari kreditor terhadap kurator yang diajukan oleh debitor (“persetujuan lreditor”).

Dapat dipahami bahwa SeMA 2/2016 diterbitkan dengan tujuan baik, khususnya untuk menerapkan asas keseimbangan, yaitu mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, yang di sisi lain juga untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.

Walaupun demikian, faktanya, penerapannya tidak sesederhana apa yang tertulis di dalam SeMA 2/2016. Salah satunya dalam hal permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Ramaldi Praja Sentosa (“PT. rPS”) di pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor: 49/Pdt.Sus-Pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst pada tanggal 17 oktober 2016.

Dalam permohonan pailit tersebut, PT. RPS mengajukan permohonan pailit dengan dasar mempunyai satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih serta memiliki lebih dari satu kreditor. Dalam persidangan, PT. rPS mengundang kreditor-kreditornya, yaitu PT. Bank BNI (Persero) Tbk, TNI AU (MBAU), dan S’Net.

Bersamaan dengan permohonan pailit tersebut, PT. RPS mengusulkan seorang kurator untuk kepentingan pemberesan harta pailitnya. Meskipun, menurut PT. RPS, pihaknya telah menyerahkan form persetujuan atas kurator yang diusulkan

Polemik akibat terbitnya Sema nomor 2 taHun 2016

Sebagaimana diketahui, UU Kepailitan hanya mensyaratkan bahwa

permohonan pailit dapat diterima apabila (i) terdapat minimal dua kreditor; dan (ii) adanya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.1 Adapun persyaratan tambahannya adalah pembuktian terhadap utang tersebut, yang

harus bersifat sederhana.2

Dalam hal ini, menarik untuk dipertanyakan, apakah adanya syarat tambahan adanya persetujuan kreditor tersebut bertentangan dengan UU Kepailitan, atau SeMA 2/2016 tersebut hanya perluasan makna dari Pasal 15 ayat (3) UU Kepailitan yang mengatur bahwa kurator yang diangkat harus independen.

Jika memang demikian, apakah independensi seorang kurator tersebut dapat diukur dengan ada atau tidaknya persetujuan kreditor terhadap usulan kurator oleh debitor? Lebih jauh lagi, bagaimana pelaksanaannya apabila terdapat pertentangan di antara para kreditor terhadap kurator yang diusulkan oleh debitor? Permasalahan ini menjadi pekerjaan rumah bagi lembaga legislatif yang saat ini sedang membahas rUU Kepailitan yang baru.

Sangat dipahami bahwa SeMA 2/2016 adalah jawaban Mahkamah Agung terhadap kekhawatiran dari para kreditor terhadap adanya debitor yang memanfaatkan lembaga kepailitan dan PKPU untuk menguntungkan dirinya sendiri atau sebagian kreditor. Namun di sisi lain, penerbitan SeMA 2/2016 tersebut justru memicu potensi polemik baru, baik dalam penafsiran maupun pelaksanaannya. Diharapkan, UU Kepailitan yang baru dapat menjawab persoalan ini. (SMf)

kepada para kreditor, faktanya sampai pada tanggal putusan dibacakan oleh hakim, tidak ada satu pun kreditor yang mengembalikan form persetujuan tersebut kepada kreditor.

Atas dasar hal tersebut, majelis hakim pengadilan niaga menolak permohonan pailit yang diajukan oleh PT Ramaldi Praja Santosa dengan pertimbangan hukum PT Ramaldi Praja Santosa tidak memenuhi syarat formil yang ditentukan oleh SeMA 2/2016. Meskipun PT. rPS kemudian mengajukan kasasi, upaya tersebut kandas setelah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi tersebut.

Putusan ini menimbulkan beberapa permasalahan hukum baru yang menarik untuk dibahas. Setidaknya ada dua hal yang mengusik penulis terkait dengan syarat persetujuan kreditor terhadap kurator yang diatur oleh SEMA 2/2016. Pertama, apakah independensi seorang kurator dapat diukur oleh ada atau tidaknya persetujuan dari kreditor? Yang kedua, apakah SeMA telah melampaui persyaratan diterimanya permohonan pailit sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”)?

1. Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan.2. Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan

6

Konflik antara kewenangan untuk melakukan penyita-an oleh kurator dan

pe nyidik sudah menjadi topik pembicaraan kalangan praktisi dan akademisi belakangan ini. Permasalahannya adalah, siapa yang lebih berwenang untuk menyita dan menguasai suatu barang atau aset dalam hal bahwa barang atau aset tersebut merupakan boedel pailit sekaligus barang bukti dalam penyidikan suatu tindak pidana.

Pendapat mengenai hal tersebut terbelah menjadi dua, yang pertama berpendapat bahwa penyitaan untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan tindak pidana harus didahulukan dibanding penyitaan untuk kepentingan kepailitan dan pemberesan harta debitor. Alasannya, kepentingan hukum publik harus didahulukan daripada kepentingan hukum privat. Dalam hal ini, penyidik tetap mempunyai kewenangan penyitaan terhadap suatu barang atau aset meskipun diketahui bahwa barang atau aset tersebut berada dalam status sita umum oleh penguasaan kurator.

Pendapat yang kedua menyatakan bahwa sita umum

lebih tinggi kedudukannya daripada sita pidana. hal ini didasarkan pada beberapa hal, yaitu (i) sita umum didasarkan atas suatu putusan pengadilan yang mempunyai akibat terhadap semua penetapan pengadilan (ii) bahwa produk putusan pengadilan hanya bisa dibatalkan dengan putusan pengadilan juga, tidak bisa dengan penetapan. Sementara itu, landasan kewenangan penyitaan pidana adalah penetapan pengadilan.

Pada dasarnya, sita umum adalah penyitaan yang dikenal dalam hukum perdata, khususnya hukum kepailitan yang mengatur hubungan antara para kreditor dan debitor. Namun dalam perkembangannya, kepailitan di Indonesia tidak hanya terbatas pada kepentingan privat.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan atau UU Kepailitan mengatur aspek-aspek yang bersinggungan dengan kepentingan publik, salah satunya utang pajak, yang menempatkan negara sebagai kreditor preferen. Aspek kepentingan publik lain yang diatur dalam proses kepailitan adalah sita

pidana atas bagian dari harta pailit debitor. Di sinilah irisan antara ranah privat dan ranah publik bersinggungan.

Maksud dari dilaksanakannya sita umum adalah untuk melindungi kepentingan para kreditor. Pertama, untuk menghindari adanya perbuatan debitor yang dapat merugikan harta pailit. Kedua, untuk menghentikan eksekusi sepihak yang dilakukan oleh kreditor terhadap harta debitor pailit. Oleh karena itu, sita umum terhadap harta debitor lahir sejak putusan pailit diucapkan, dan sejak saat itu pula debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus hartanya.

Sementara itu, sita pidana adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan, di bawah penguasaannya, terhadap benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. 1 Benda yang disita tersebut diambil oleh penyidik dari kekuasaan pemilik

TELaaH

KonFLiK antara sita umum KePaiLitan & sita PiDana

6

7

yang akan digunakan sebagai barang bukti untuk kepentingan pemeriksaan, penuntutan, dan peradilan. Penyitaan dimaksudkan agar benda tersebut aman, tidak dapat dihilangkan atau dimusnahkan oleh tersangka atau terdakwa.

Pasal 31 ayat (2) UU Kepailitan pada intinya menyebutkan, seluruh sita dihentikan ketika putusan pailit telah diucapkan, jika perlu hakim pengawas harus memerintahkan pencoret an nya. Sejak putusan pailit diucapkan, seluruh sita yang ada pada sebuah benda berakhir dan digantikan de ngan sita umum kepailitan. hal ini dimaksudkan untuk melindungi harta debitor pailit dari kemungkinan kecurangan yang dilakukan kreditor ataupun debitor.

Sementara itu, Pasal 39 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa benda yang berada dalam perkara kepailitan dapat disita oleh penyidik demi kebutuhan penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana. Demi kebutuhan penyidikan, penuntutan, dan peradilan, harta debitor pailit yang sudah disita umum

dapat disita lagi oleh penyidik untuk menjamin keamanannya. harta tersebut akan dijadikan barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan sehingga keamanannya harus terjamin.

Dalam penerapannya, kedua pasal tersebut riskan untuk dibenturkan untuk adu wewenang antara kurator dan penyidik dalam melaksanakan sita umum dan sita pidana. Setiap pendapat tentang siapa yang harus didahulukan disertai dengan dasar hukum yang jelas. Pada tataran praktik, diperlukan suatu kearifan dalam mengambil keputusan dan tindakan dari tiap-tiap pihak, baik kurator maupun penyidik. Mereka dapat memilih untuk mempertentangkan kewenangan tersebut melalui jalur hukum atau bekerja sama untuk kelancaran pelaksanaan tugas masing-masing.

71. Pasal 1 angka 16 KUHAP.

Apabila kepentingan kurator adalah untuk melelang aset debitor dan membagikan hasilnya kepada para kreditor, tidak ada salahnya untuk “meminjamkan” barang tersebut kepada penyidik. Sebagaimana diketahui, kepentingan penyidik menyita barang atau aset adalah untuk menjadikannya bukti dan menyelesaikan proses penyelidikan atau penyidikan, bukan untuk memilikinya. Dengan demikian, perkara pidana dapat segera selesai dan diputus dengan harapan barang bukti dikembalikan kepada kurator.

Pada tingkat normatif, diperlukan suatu ketegasan pengaturan—atau mungkin lebih pada persoalan teknis—ketika harta debitor pailit pada saat bersamaan menjadi barang bukti dalam proses penyelidikan, penyidikan, atau mungkin dalam proses penuntutan dan persidangan perkara pidana. (MSB)

8

TaNya JawaB

T Tapakah eksekusi bisa dilakukan terhadap aset debitor yang berada di luar negeri dan baru diketahui kreditor setelah pengadilan niaga di Indonesia mengeluarkan pernyataan pailit?

Di dalam Penjelasan Bab I Bagian Umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU No. 37/2004”) disebutkan bahwa UU ini didasarkan pada beberapa asas, salah satunya asas integrasi.

“Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.”

Merujuk penjelasan di atas, Pasal 299 UU No. 30/2004 mengatur bahwa sepanjang tidak ditentukan lain oleh UU No.37/2004, maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata.

Oleh karena itu, putusan pernyataan pailit yang telah diputuskan oleh pengadilan niaga di Indonesia hanya berlaku dan mengikat di wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKrI), dan kekuatan eksekutorial hanya dapat berlaku pada aset di wilayah NKrI sesuai Pasal 431 reglement op de rechtvordering (“rv”).

Dengan demikian dapat disimpulkan, kurator tidak dapat melakukan eksekusi terhadap aset debitor yang berada di luar wilayah yuridiksi NKrI. (EdN)

memPaiLitKan orang yang suDaH meninggaL

apakah permohonan pailit dapat diajukan terhadap debitor yang telah meninggal dengan kondisi masih wajib melunasi utang yang jatuh tempo? Bagaimana proses permohonan pailitnya, serta adakah jangka waktunya?

Permohonan pailit tidak hanya dapat ditujukan terhadap debitor pailit, tetapi juga harta peninggalan orang yang telah meninggal dunia dengan persyaratan apabila ada dua atau lebih kreditor mengajukan permohonan pailit dengan membuktikan hal yang tertuang di dalam Pasal 207 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU No. 37/2004), yaitu bahwa:a. Utang orang yang meninggal, semasa hidupnya

tidak dibayar lunas; ataub. Pada saat meninggalnya orang tersebut, harta

peninggalannya tidak cukup untuk membayar utangnya.

Adapun putusan pernyataan pailit akan berakibat demi hukum bahwa harta kekayaan orang yang telah meninggal dipisahkan dari harta ahli warisnya.

Karena itu, alamat surat panggilan juru sita terhadap ahli waris atas permohonan pailit harus diajukan dengan alamat terakhir debitor, tanpa keharusan menyebutkan nama-nama ahli waris. Permohonan pailit diajukan 90 hari setelah debitor meninggal dunia.

Sementara itu, perdamaian tidak berlaku terhadap kepailitan harta peninggalan, seperti diatur dalam Pasal 144 sampai Pasal 177 UU Kepalitan, kecuali bila warisan telah diterima oleh ahli waris secara murni.di luar wilayah yuridiksi NKrI. (EdN)

Catatan: penanya adalah seorang karyawan di perusahaan jasa keuangan di Jakarta.

9

KUPaS PERaTURaN

Otoritas Jasa Keuangan atau oJK mengundangkan Peraturan tentang

Pembubaran, Likuidasi dan Kepailitan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah berdasarkan Peraturan oJK Nomor 28/PoJK.05/2015 tanggal 11 Desember 2015 (“PoJK 28/2015”).

Terkait hal tersebut, kreditor yang menilai bahwa sebuah perusahaan perasuransian memenuhi persyaratan pailit berdasarkan UU Kepailitan dapat menyampaikan permohonan kepada oJK agar otoritas itu mengajukan permohonan pernyataan pailit perusahaan kepada pengadilan niaga.

Pengajuan kepailitan oleh kreditorPermohonan dibuat secara tertulis oleh kreditor kepada oJK dengan memuat sekurang-kurangnya:a. identitas kreditor, paling sedikit

meliputi nama lengkap dan alamat kreditor;

b. nama perusahaan yang dimohonkan untuk dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga;

c. uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi:1. kewenangan pengadilan niaga;2. kedudukan hukum kreditor yang berisi uraian jelas mengenai hak kreditor untuk mengajukan permohonan; dan3. alasan permohonan pernyataan pailit diuraikan secara jelas dan rinci;

d. hal-hal yang dimohonkan;

PenGajuan kePailitan PerusaHaan asuransi Diatur ojK

yang ditujukan kepada Ketua Dewan Komisioner oJK dengan tembusan Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya oJK.

alat bukti kepailitanAlat bukti permohonan pernyataan pailit dari kreditor, selain secara tertulis, diajukan dalam format compact disk (CD), yang paling sedikit memuat:a. bukti identitas diri kreditor;b. bukti surat atau tulisan yang

berkaitan dengan alasan permohonan;

c. daftar calon saksi dan/atau ahli disertai pernyataan singkat alasan permohonan, serta pernyataan bersedia hadir ke persidangan, dalam hal kreditor bermaksud mengajukan saksi dan/atau ahli; serta

d. daftar bukti lain, dapat berupa informasi di dalam atau dikirim melalui media elektronik, bila perlu.

jangka waktu Pengajuan kepailitanoJK menyetujui atau menolak permohonan paling lama 30 hari sejak berkas diterima secara lengkap. Jika dokumen kurang lengkap, kreditor wajib memenuhinya 10 hari sejak pemberitahuan diterima, dan akan gugur bila lewat jangka waktu tersebut.

akibat dari Permohonan PailitSelama putusan pailit belum diucapkan, oJK dapat mengaju kan permohonan kepada pengadilan untuk:a. meletakkan sita jaminan

terhadap sebagian atau seluruh kekayaan perusahaan; atau

b. menunjuk kurator (BHP atau kurator lainnya) sementara untuk mengawasi:1. pengelolaan usaha perusahaan; dan2. pembayaran kepada kreditor, pengalihan, atau peng agunan kekayaan perusahaan yang dalam hal kepailitan merupakan wewenang kurator.

tindak lanjut Setelah berakhirnya kepailitan hak pemegang polis, tertang gung, atau peserta punya kedudukan paling tinggi atas pembagian dana dari harta kekayaan perusahaan yang pailit sehingga harus didahulukan.

Jika dana tidak cukup, pembayar-an dilakukan secara proporsional. Namun, apabila ada kelebihan, dana dapat digunakan untuk mereka yang berhak atas manfaat asuransi, selain tiga pihak di atas. (TwK)

10

OPINI

Regulasi tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang atau

disingkat PKPU pertama kali diundangkan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan (“Perppu 1/1998”). Perppu 1/1998 tersebut kemudian ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan (“UU 4/1998”). Perppu 1/1998 dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif.1 Adapun UU tersebut ditetapkan sebagai akibat krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997. 2

Seiring perkembangan hukum di masyarakat, Perppu 1/1998 tidak lagi sesuai. Oleh karena itu, pada tahun 2004, pemerintah menerbitkan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”).

Salah satu perubahan mendasar Perppu 1/1998 ke UU Kepailitan adalah proses pengajuan

1. Paragraf Ketiga Penjelasan Umum UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (“UU 4/1998”).2. Paragraf Kedua Penjelasan Umum UU 4/1998.3. Pasal 222 ayat (1) jo. ayat (3) UU Kepailitan.4, Proses untuk menentukan kemampuan membayar suatu perusahaan.

Pergeseran maKna PKPu

permohonan PKPU, yang awalnya hanya boleh diajukan debitor, tetapi kemudian juga kreditor.3 Landasan filosofis memperbolehkan kreditor mengajukan permohonan PKPU salah satunya tercantum dalam Penjelasan UU Kepailitan paragraf ke-15, yaitu untuk menghindari potensi kecurangan-kecurangan debitor.

Sebagai contoh, debitor berusaha untuk memberikan keuntungan kepada satu atau beberapa kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau debitor melarikan semua harta kekayaannya untuk melepaskan tanggung jawab terhadap para kreditor. Dengan adanya permohonan PKPU oleh kreditor, setiap tindakan kepengurusan dan kepemilikan harta debitor berada dalam pengawasan pengurus sehingga mencegah kemungkinan hal-hal tersebut.

Namun dalam perkembangannya, wewenang bagi kreditor untuk mengajukan permohonan PKPU justru melenceng dari tujuan awal pembentukan UU Kepailitan. Dalam

praktiknya, tidak jarang kreditor menggunakan lembaga kepailitan dan PKPU tersebut untuk memaksa debitor dengan keuangan yang masih sehat untuk masuk proses PKPU sehingga seluruh kegiatan usahanya dalam pengawasan dan persetujuan pengurus. Tidak jarang, perusahaan yang sebenarnya masih prospektif dan sanggup membayar utang-utangnya berujung pailit dan seluruh asetnya berada dalam penyitaan oleh kurator.

Dapat dipahami bahwa kepailitan dan PKPU di Indonesia tidak mensyaratkan insolvency test.4 Sebaliknya, UU Kepailitan mensyaratkan debitor terbukti secara sederhana mempunyai dua kreditor dan satu utang yang telah jatuh tempo. Oleh karena itu, yang dihukum dinyatakan pailit atau PKPU tidak semata kondisi tidak mampu membayar debitor, melainkan ketidakmauan membayar utang debitor. Secara formal, tidak relevan menggunakan alasan perusahaan masih mampu membayar untuk menghindar dari proses kepailitan dan PKPU.

Namun, kita perlu kembali pada landasan filosofis pembentukan UU Kepailitan, yaitu asas kelangsungan usaha. Oleh sebab itu, menurut penulis, akan lebih tepat apabila tujuan utama PKPU adalah membantu debitor yang kesulitan membayar utang agar dapat melanjutkan usahanya. Dalam hal ini, debitor diberi kesempatan mengajukan proposal perdamaian kepada para kreditornya.

Sebaliknya, akan tidak tepat apabila permohonan PKPU oleh kreditor ditujukan untuk memaksa debitor membayar utangnya, apalagi untuk mematikan usaha debitor. Dengan demikian, diharapkan, rencana pembahasan rUU Kepailitan yang baru akan dapat memenuhi rasa keadilan bagi kedua belah pihak. (adP)

11

KIaT

lanGkaH Debitor PerSeroan terbataS untuK mengajuKan PermoHonan PKPu6

raPat umum PemeGanG SaHam (ruPS)

Mendapatkan persetujuan rUPS (dengan kuorum kehadiran ¾ saham dengan

hak suara hadir/diwakili dan disetujui oleh minimal ¾ bagian dari seluruh saham)

(ps. 89 UUK & PKPU);

PerSetujuan kreDitorMendapatkan persetujuan dari kreditor mengenai nama calon pengurus yang

akan diajukan dalam PKPU (angka II huruf 2 SeMA No 2 tahun 2016);

memiliki lebiH Dari Satu kreDitor Dan Satu utanG

yanG SuDaH jatuH waktu Dan DaPat DitaGiH

Memiliki lebih dari satu kreditor (dengan utang-utang yang sudah jatuh tempo

dan dapat ditagih dan juga diperkirakan tidak dapat melanjutkan pembayaran)

(ps. 222 UU UUK & PKPU);

menyiaPkan buktiMenyiapkan dokumen bukti yang terkait dengan pengajuan permohonan

PKPU dan menyegel dokumen yang akan dijadikan bukti ke persidangan;

PerSiaPkan PermoHonan PkPuMenyiapkan draft permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang. Dalam hal

permohonan PKPU diajukan oleh kuasa hukum, permohonan PKPU ditandatangani oleh

kuasa hukum dan debitor;

menDaFtarkan PermoHonan PkPu

ke PenGaDilan niaGaPermohonan PKPU dalam praktik diperbanyak 11 salinan untuk diajukan kepada ketua

pengadilan niaga di wilayah domisili hukum pemohon (Ps. 3 ayat 5 UUK & PKPU).

Pengajuan permohonan PKPU disertai dengan pengajuan bukti awal. (TSH)

11

12

2016 ACTINg AS AN ATTorNeY for Indonesian state owned company in a civil proceeding related to tort. ProvIDINg ADvICe in related to shipping dispute for Indonesian shipping company. ProvIDINg ADvICe for an independent Power Producer company in related for financing.

CRIMINaL Law CORPORaTE Law COMMERCIaL dISPUTES

MaRITIME Law aRBITRaTION