Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well ...

13
390 Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well Being Mahasiswa Prodi Psikologi Universitas Nusa Cendana Yeni Damayanti, Juliana Marlin Y Benu, Shela C. Pello Prodi Psikologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Nusa Cendana, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Kehidupan mahasiswa sering kali menimbulkan stress yang berkelanjutan sehingga rentan mengalami masalah kesehatan mental. Well being merupakan salah satu indikator utama dalam mengukur kesehatan mental individu. Subjective Well-Being dan Psychological Well-Being merupakan dua kajian yang paling banyak digunakan untuk mengukur kesejahteraan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara Subjective Well-Being dan Psychological Well-Being pada mahasiswa. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 194 orang mahasiswa pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana. Subjective Well-Being diukur dengan mengembangkan skala berdasarkan teori Diener, Suh dan Oishi (1997), dan Psychological Well-Being diukur dengan skala yang dikembangkan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Ryff (1995). Hipotesis penelitian diuji dengan menggunakan uji korelasi. Hasil analisis menunjukan adanya hubungan positif yang signifikan antara Subjective Well-Being dan Psychological Well-Being pada mahasiswa Psikologi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Nusa Cendana. Analisis lanjutan dilakukan untuk melihat keterkaitan antar komponen antara kedua variabel. Kata Kunci : Subjective Well-Being, Psychological Well-Being, mahasiswa. A. PENDAHULUAN Saat ini stres menjadi topik penting terutama di lingkungan akademis, mungkin karena fakta-fakta kehidupan saat ini yang dipenuhi dengan berbagai stres. Setiap individu tidak terkecuali mahasiswa dapat mengalami stres, karena stres merupakan suatu fenomena universal yang dapat terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari (Simbolon, 2015). Banyak faktor yang berkontribusi terhadap stres akademik. Menurut Misra dan Castillo (2004) stres akademis diakibatkan oleh frustasi, konflik, tekanan-tekanan, perubahan-perubahan, dan beban yang dilimpahkan pada diri sendiri. Hasil penelitian oleh Putri dan Suprapti (2014) mengemukakan bahwa mahasiswa dihadapkan pada masalah sejak baru menjadi mahasiswa dimana pada saat itu seorang mahasiswa harus melewati masa transisi dari SMA ke perguruan tinggi

Transcript of Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well ...

Page 1: Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well ...

390

Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well Being

Mahasiswa Prodi Psikologi Universitas Nusa Cendana

Yeni Damayanti, Juliana Marlin Y Benu, Shela C. Pello

Prodi Psikologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Nusa Cendana, Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Kehidupan mahasiswa sering kali menimbulkan stress yang berkelanjutan sehingga rentan mengalami

masalah kesehatan mental. Well being merupakan salah satu indikator utama dalam mengukur

kesehatan mental individu. Subjective Well-Being dan Psychological Well-Being merupakan dua

kajian yang paling banyak digunakan untuk mengukur kesejahteraan. Penelitian ini bertujuan untuk

melihat hubungan antara Subjective Well-Being dan Psychological Well-Being pada mahasiswa.

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 194 orang mahasiswa pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Nusa Cendana. Subjective Well-Being diukur dengan mengembangkan skala berdasarkan

teori Diener, Suh dan Oishi (1997), dan Psychological Well-Being diukur dengan skala yang

dikembangkan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Ryff (1995). Hipotesis penelitian diuji

dengan menggunakan uji korelasi. Hasil analisis menunjukan adanya hubungan positif yang

signifikan antara Subjective Well-Being dan Psychological Well-Being pada mahasiswa Psikologi

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Nusa Cendana. Analisis lanjutan dilakukan untuk

melihat keterkaitan antar komponen antara kedua variabel.

Kata Kunci : Subjective Well-Being, Psychological Well-Being, mahasiswa.

A. PENDAHULUAN

Saat ini stres menjadi topik penting terutama di lingkungan akademis, mungkin

karena fakta-fakta kehidupan saat ini yang dipenuhi dengan berbagai stres. Setiap

individu tidak terkecuali mahasiswa dapat mengalami stres, karena stres merupakan

suatu fenomena universal yang dapat terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari

(Simbolon, 2015). Banyak faktor yang berkontribusi terhadap stres akademik.

Menurut Misra dan Castillo (2004) stres akademis diakibatkan oleh frustasi, konflik,

tekanan-tekanan, perubahan-perubahan, dan beban yang dilimpahkan pada diri

sendiri.

Hasil penelitian oleh Putri dan Suprapti (2014) mengemukakan bahwa mahasiswa

dihadapkan pada masalah sejak baru menjadi mahasiswa dimana pada saat itu

seorang mahasiswa harus melewati masa transisi dari SMA ke perguruan tinggi

Page 2: Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well ...

391

sehingga membutuhkan penyesuaian yang baik. Sistem pendidikan di perguruan

tinggi menuntut seorang mahasiswa harus mandiri dan bertanggung jawab,

mendapatkan teman baru dari berbagai daerah, beberapa mahasiswa harus hidup

terpisah dari keluarga serta tinggal di lingkungan yang berbeda dan baru. Ada pula

permasalahan lain yang ditemukan oleh Kholidah dan Alsa (2012) bahwa mahasiswa

mengalami stres yang disebabkan oleh adanya persaingan terkait prestasi dalam

kuliah, pemilihan jurusan yang kurang tepat, dan pengaturan keuangan.

Hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan terhadap beberapa orang

mahasiswa Psikologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Nusa

Cendana, diperoleh hasil bahwa sejak menjadi mahasiswa mereka harus berusaha

menyesuaikan diri dengan lingkungan dan cara belajar yang menuntut mahasiswa

untuk bekerja secara mandiri dan kemandirian dalam memperdalam materi

perkuliahan. Mereka mengakui sulit berkonsentrasi, mudah lupa karena mereka

menganggap sudah menguasai materi namun saat ujian tiba, semua yang dipelajari

tidak dapat diingat lagi. Tidak jarang juga mahasiswa diperhadapkan pada konflik

antara rekan sesama mahasiswa berkaitan dengan persaingan prestasi belajar dan juga

berkaitan dengan masalah percintaan. Dalam masa perkuliahan, kesejahteraan

merupakan hal yang sangat ingin dimiliki oleh setiap mahasiswa. Terpenuhinya

kebutuhan seorang yang bersifat mendasar sampai kebutuhan yang paling tinggi

membuat seseorang merasakan kesejahteraan.

Subjective well being memiliki pengertian yaitu evaluasi individu terhadap

kesejahteraan psikologisnya. Subjective well being memiliki dua unsur penilaian

yaitu afektif dan kognitif. Bila secara afektif orang tersebut merasa bahagia dan

secara kognitif ia menilai hidupnya memuaskan maka bisa dikategorikan memiliki

subjective well being yang tinggi. Unsur afektif berkenaan mengenai emosi, suasana

hati (mood) dan perasaan (feelings) individu tersebut. Sedangkan unsur kognitif

merujuk kepada pemikiran seorang individu terhadap kepuasan hidupnya secara

menyeluruh dan juga secara spesifik atau dalam bagian-bagian tertentu, seperti

kehidupan kerjanya atau hubungannya dengan individu yang lain (relation) (Nayana,

2013). Menurut Diener dan Ryan (2009), kesejahteraan terdiri dari tiga hal yaitu

Page 3: Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well ...

392

pengalaman positif dan negatif, pikiran positif dan negatif, serta kesejahteraan

psikologis atau yang sering disebut dengan psychological well being. Seseorang yang

memiliki pengalaman positif yang lebih banyak dibandingkan dengan emosi

negatifnya akan lebih sejahtera. Berpikir positif dan mengurangi pikiran negatif

adalah hal yang dibutuhkan bagi seseorang untuk mencapai kesejahteraan. Dengan

demikian dapat disimpulkan subjective well being dan psychological well being

merupakan evaluasi untuk mengetahui kesejahteraan seseorang yang dapat ditandai

dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala

depresi. Seorang dapat dikatakan memiliki kesejahteraan psikologis ketika dapat

berfungsi positif secara psikologis (Dewanto, 2015).

Individu pada usia 20-30 tahun lebih cenderung memiliki subjective well being

relatif tinggi karena kelompok umur ini memiliki harapan yang lebih tinggi (Ulloa,

Moller & Poza, 2013). Sebaliknya penelitian yang dilakukan oleh Vaez, Kristenson

& Laflamme (2004) menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki tingkat subjective well

being lebih rendah dari orang dewasa, selain itu Ehrlich dan Isaacowitz (2002)

subjective well being pada mahasiswa cenderung rendah dan mengalami emosi

negatif.

Penelitian lain mengenai subjective well being dan psychological well-being

membahas aspek-aspek kesejahteraan yang berbeda (Keyes, Ryff & Shmotkin,

2002). Para peneliti sering berdebat tentang apakah ada perbedaan yang bermakna

antara subjective well being dan psychological well being. Ada yang berpendapat

bahwa subjective well being dan psychological well being adalah dimensi yang

berbeda, sedangkan pandangan lain berpendapat bahwa subjective well being dan

psychological well being adalah perspektif yang mirip (Kashdan, Diener & King.

2008) .

Berdasarkan pembahasan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah

mengetahui hubungan antara subjective well being dengan psychological well being

pada mahasiswa Psikologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa

Cendana, dan selanjutnya menguji hubungan antara aspek subjective well being

dengan dimensi psychological well being.

Page 4: Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well ...

393

B. TINJAUAN TEORITIS

B.1 Subjective Well-Being (SWB)

Subjective well being adalah sebuah evaluasi kognitif dan afeksi seseorang

terhadap hidupnya (Diener, Oishi & Lucas, 2003). Subjective well being

mempengaruhi pandangan seseorang kualitas hidupnya. Seseorang dengan level

subjective well being tinggi memandang hidupnya berkualitas, sedangkan seseorang

dengan level subjective well being rendah memandang hidupnya kurang berkualitas

dan tidak menyenangkan (Diener, 2000; Myers & Diener, 1995)

Terdapat tiga komponen dasar subjective well being, yaitu: (1) kepuasan hidup,(2)

afeksi positif, dan (3) rendahnya afeksi yang tidak menyenangkan (Diener, Suh, &

Oishi, 1997; Vitterso & Nilsen, 2002). Subjective well being tersusun seperti ketiga

komponen tersebut membentuk faktor global dari variabel-variabel yang saling

berkaitan.

Kepuasan hidup secara umum dapat dibedakan menjadi kepuasan dalam berbagai

domain kehidupan seperti rekreasi, cinta, dan persahabatan. Afek yang

menyenangkan dapat dibedakan menjadi kegembiraan, afeksi dan penghargaan. Afek

yang tidak menyenangkan dapat dibedakan menjadi malu, bersalah, sedih, marah dan

cemas (Diener, Suh, & Oishi, 1997).

B.2 Psychological Well Being (PWB)

Ryff (1989) mendefinisikan psychological well being sebagai hasil evaluasi atau

penilaian seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalaman

hidupnya. Ryff juga mengemukakan bahwa psychological well being digunakan

untuk menggambarkan suatu kondisi kesehatan psikologis individu berdasarkan

pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif. Ryff dan Keyes (1995) menyatakan

bahwa untuk mengukur psychological well being seseorang digunakan pendekatan

multidimensi yang terdiri dari enam dimensi yang berbeda dari aktualisasi diri

manusia: otonomi (autonomy), pertumbuhan pribadi (personal growth), penerimaan

diri (self-acceptance), tujuan dalam hidup (life purpose),penguasaan lingkungan

(enviromental mastery), dan hubungan positif dengan orang lain (positive

Page 5: Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well ...

394

relationship with others). Keenam dimensi ini menjelaskan psychological well being

baik secara teoritis ataupun operasional dan mereka menghubungkannya dengan hal-

hal yang berkaitan dengan kesehatan mental dan fisik (Ryff & Singer 1996). Adapun

enam dimensi psychological well being menurut Ryff dan Singer (1996) :

1. Otonomi menguraikan kualitas seperti penentuan nasib sendiri, pengaturan diri

dan kemandirian. Skala ini berfokus pada kemampuan untuk membuat

keputusan sendiri tanpa bergantung pada, atau menunggu persetujuan orang

lain; kemampuan untuk mengukur diri menurut keyakinannya sendiri dan

bukan keyakinan orang lain (Ryff & Singer, 1996).

2. Hubungan positif yang baik dicirikan oleh kemampuan untuk mempertahankan

hubungan baik dengan orang lain. Dimensi ini tidak hanya menggambarkan

kehangatan dan empati bagi orang lain, tetapi juga berhubungan dengan

kemampuan untuk mengidentifikasi, dan merasakan kasih sayang pada

keluarga dan teman-teman (Ryff, 1989).

3. Penguasaan lingkungan meliputi kemampuan untuk memanipulasi dan

menanggapi lingkungan sebagai bagian kunci dari fungsi psikologis positif.

Teori rentang hidup menggambarkan mampu secara kreatif mengubah dan

berinteraksi dengan lingkungan, secara fisik dan mental, sebagai tanda

kedewasaan (Ryff, 1989).

4. Pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk

mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia.

Dimensi ini dibutuhkan agar dapat optimal dalam berfungsi secara psikologis

(Ryff & Singer, 1998).

5. Tujuan dalam hidup berfokus pada memiliki makna, arah dan rasa pemenuhan

masa depan. Ini mengarah pada memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan

dan arah hidupnya, yakin bahwa ia mampu mencapai tujuan hidupnya, dan

pengalaman hidup dimasa lampau serta masa sekarang memiliki makna. (Ryff,

1995).

6. Penerimaan diri menggambarkan penerimaan diri dicirikan dengan kemampuan

menerima diri secara keseluruhan baik masa kini dan masa lalu. Dimensi ini

Page 6: Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well ...

395

merupakan ciri utama kesehatan mental, dan juga sebagai karakteristik utama

dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan kematangan (Ryff, 1989)

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah

mahasiswa program studi psikologi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas

Nusa Cendana berjumlah 211 mahasiswa. Teknik sampling yang digunakan adalah

total population sampling sehingga total subjek dalam penelitian ini adalah 211

subjek. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

kuesioner penelitian.

Variabel subjective well being diukur dengan menggunakan skala subjective well

being yang dikembangkan oleh Utami (2009) berdasarkan teori yang dikemukakan

oleh Diener, Suh dan Oishi (1997). Kuesioner subjective well being terdiri atas 2 sub

skala yaitu sub skala kepuasan hidup (SWB - SWLS) dan sub skala afek positif afek

negatif (SWB - PANAS). Sub skala kepuasan hidup terdiri dari 5 aitem dengan

koefisien reliabilitas sebesar 0,749. Sub skala afek positif terdiri dari 26 aitem dengan

koefisien reliabilitas 0,918; dan sub skala afek negatif terdiri dari 29 aitem dengan

koefisien reliabilitas 0,941. Ketiga sub skala tersebut memiliki reliabilitas komposit

sebesar 0,935. Variabel psychological well being menggunakan skala yang

dikembangkan oleh Prasetyo (2014) berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Ryff

(1989). Skala psychological well being terdiri dari 23 aitem dengan koefisien

reliabilitas sebesar sebesar 0,875.

Pengujian hipotesis penelitian menggunakan metode statistik parametrik dengan

teknik analisis korelasi untuk melihat hubungan antara variabel subjective well being

dan psychological well being. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis, dilakukan

pengujian asumsi yaitu uji normalitas dan uji linearitas.

D. HASIL PENELITIAN

Total kuisioner yang disebar dalam penelitian ini sebanyak 211, sedangkan

kuisinoer yang terkumpul kembali sebanyak 198. Kuisioner yang terkumpul

Page 7: Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well ...

396

kemudian diseleksi kembali untuk melihat kelengkapan data ditemukan 4 kuisioner

yang kurang lengkap sehingga yang dilakukan analisis data terdapat 194 kuisioner.

Hasil uji asumsi menunjukan bahwa data penelitian untuk kedua variabel

menujukan sebaran data yang normal dan linier. Nilai signifikansi Kolmogorov-

Smirnov untuk variabel subjective well being dan psychological well being adalah

sebesar 0,2 (p ≥ 0,05). Hasil uji linearitas menunjukan bahwa terdapat hubungan

yang linier antara variabel subjective well being dan psychological well being dengan

R Sq Linear sebesar 0,501. Data penelitian yang mengikuti sebaran yang normal dan

linear membuat data dapat dianalisis dengan statistik paramertik. Hasil uji korelasi

menggunakan analisis product moment dari pearson diperoleh nilai r sebesar 0,708

dan nilai p sebesar 0,00 (p ≤ 0,05). Hasil ini menunjukan adanya hubungan yang

positif antara variabel subjective well being dan psychological well being pada

mahasiswa Psikologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana.

Analisis lanjutan dilakukan dengan mengkorelasikan aspek dari subjective well

being dan dimensi dari psychological well being. Hasil analisis menujukan adanya

hubungan yang signifikan antara setiap aspek subjective well being dan dimensi

psychological well being. Rincian nilai korelasi dan signifikansi dapat dilihat sebagai

berikut :

Tabel. 1. Korelasi aspek Subjective Well Being (SWB) dan

dimensi Psychological Well Being (PWB)

Dimensi PWB Aspek

SWB

Autonomi Hubungan

Positif

Penguasaan

Lingkungan

Pertumbuhan

Pribadi

Tujuan

Hidup

Penerimaan

Diri

Kepuasan

Hidup r = 0,359

p = 0,00

r = 0,242

p = 0,00

r = 0,345

p = 0,00

r = 0,343

p = 0,00

r = 0,269

p = 0,00

r = 0,259

p = 0,00 Afek

Positif r = 0,439

p = 0,00

r = 0,404

p = 0,00

r = 0, 378

p = 0,00

r = 0,580

p = 0,00

r = 0,380

p = 0,00

r = 0,460

p = 0,00 Aspek

Negatif r = -

0,316

p = 0,00

r = -

0,232

p = 0,001

r = -0,394

p = 0,00

r = - 0,241

p = 0,001

r = -

0,222

p = 0,002

r = -

0,353

p = 0,00

E. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis data penelitian, maka hipotesis yang diajukan yaitu ada

hubungan yang antara subjective well being dengan psychological well being pada

Page 8: Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well ...

397

mahasiswa Psikologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana

dapat diterima (nilai r sebesar 0,708 dan nilai p sebesar 0,00 (p ≤ 0,05) menunjukkan

bahwa semakin tinggi nilai subjective well being mahasiswa maka makin tinggi pula

psychological well being mahasiswa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Ordonez, Silvi dan Cachioni (2011), Chen, Jing,

Hayes dan Lee (2012), Anglim dan Sharon (2016), Pareek, Mathur dan Mangnani

(2016).

Aspek kepuasan hidup dari subjective well being berkorelasi positif dengan enam

dimensi psychological well being yaitu otonomi, hubungan positif, penguasaan

lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup dan penerimaan diri. Kepuasan hidup

dari subjective well being menunjukkan korelasi paling tinggi dengan dimensi

otonomi pada psychological well being (r = 0,359). Hal ini menunjukkan bahwa

mahasiswa yang memiliki otonomi yang baik akan memiliki kepuasan hidup yang

tinggi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Diaz dan Arroyo

(2011) otonomi menjadi predictor yang signifikan dalam menentukan kepuasan

hidup seseorang.

Aspek afek positif berkorelasi yang paling tinggi dengan dimensi pertumbuhan

pribadi dari psychological well being (r = 0,580). Hal ini menunjukkan bahwa

semakin sering mahasiswa mengalami perasaan atau emosi positif maka mahasiswa

makin mampu terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, menyadari potensi

diri dan merasakan peningkatan pada dirinya. Penelitian yang dilakukan oleh

Marshall, Bejanyan dan Ferenczi (2013) dan Deeley dan Love (2012)

mengungkapkan bahwa individu yang sering merasakan emosi negatif mengalami

kesulitan untuk menerima peristiwa negatif terjadi disekitarnya sehingga

pertumbuhan pribadi menjadi terhambat. Sebaliknya individu dengan emosi positif

dapat lebih mudah meningkatkan potensi diri.

Aspek afek negatif berkorelasi negatif dengan dimensi penerimaan diri dari

psychological well being (r = - 0,353) yang artinya semakin jarang orang mengalami

emosi-emosi negatif maka makin mampu menerima dirinya. Hal ini didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Dimitrovsky, Lev dan Itskowitz (1998) menyebutkan

Page 9: Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well ...

398

bahwa emosi negatif yang dirasakan individu berpengaruh pada penerimaan dirinya.

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Perry, Henry, Nangle dan Grisham (2012)

mengatakan bahwa saat seeseorang dapat menerima dirinya maka semakin jarang ia

merasakan emosi negatif.

F. KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil dari penelitian dan analisis data dapat disimpulkan bahwa ada hubungan

positif antara subjective well being dengan psychological well being pada mahasiswa

Psikologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana (nilai r sebesar

0,708 dan nilai p sebesar 0,00 p ≤ 0,05). Saran yang dapat diberikan bagi subyek

penelitian untuk selalu melakukan evaluasi diri sebagai pedoman bagi mahasiswa

dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghindari diri dari stres akademik. Bagi

peneliti selanjutnya untuk dapat dilakukan penelitian serupa pada subjek yang

berbeda

G. DAFTAR PUSTAKA

Anglim, J., & Sharon, G. (2016). Psychological and Subjective Well-Being from

Personality: Incremental Prediction from 30 Facets Over the Big 5. Journal of

Happiness Study, 17: 59 – 80, http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/.

diakses 22 April 2018.

Chen, F., Jing, Y., Hayes, A., & Lee, J. (2012). Two concepts or two approaches? A

bifactor analysis of psychologicl and subjective well being. Journal of

Happiness Study, DOI 10.1007/s10902-012-9367-x.

http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 2 Mei 2018

Deeley, S., & Love, A. (2012). The emotion self-confidence model of suicide

ideation. Advences in Mental Health, 10 (3): 246 – 257.

http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 2 Mei 2018.

Dewanto W, (2015). Intervensi Kebersyukuran dan Kesejahteraan Penyandang

Disabilitas Fisik: Journal of Profesional Psychology. 1 (1). Fakultas Psikologi

Universitas Gadjah Mada.

Page 10: Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well ...

399

Diaz, R., & Arroyo, J. (2011). Personality factor, affect, and autonomy support as

predictors of life satisfaction. Universitas Psychologica, 12 (1): 41 – 55.

http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 26 April 2018

Diener, E. (1994). Assessing subjective well-being: Progress and opportunities.

Social Indicators Research, 31: 103-157.

http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 2 Mei 2018

Diener, E, Suh, E. & Oishi, S. (1997). Recent findings on subjective well being.

Indian Journal of Clinical Psychology. 24: 25–41.

http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 22 April 2018

Diener, E. (2000). Subjective well-being: The science of happiness, and proposal for

a national index. American Psychologist, 55, 34-43.

http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 2 Mei 2018

Diener E, Oishi S, Lucas R. (2003). Personality, Culture, and Subjective Well-Being:

Emotional and Cognitif Evaluations of Life. Annu. Rev. Psychol. 54 : 404.

http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 22 April 2018.

Diener, E., & Ryan, K. (2009). Subjective well-being: A general overview. South

African Journal of Psychology, 39(4): 391-406.

Dimitrovsky, L., Lev, S., & Itskowitz. (1998). Relationship of maternal and general

self-acceptance to pre- and postpartum affective experince. The Journal of

Psychology, 132 (5): 507 – 516. http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/,

diakses 2 Mei 2018.

Ehrlich, B., Isaacowitz. (2002). Does Subjective Well-Being Increase with Age?.

Perspective in Psychology. Journal Spring. Vol 5.

https://pdfs.semanticscholar.org/9dc8/ea74361dec8a28be2bbdc2f756d765a3f3

2f.pdf#page=21, diakses 26 April 2018.

Kashdan, T. B., Biswas-Diener, R., & King, L. A. (2008). Reconsidering happiness:

The costs of distinguishing between hedonics and eudaimonia. Journal of

Positive Psychology, 3: 219-233. http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/.

diakses 22 April 2018.

Page 11: Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well ...

400

Kayes, C., Shmotkin, D., & Ryff, C. (2002). Optimizing well-being: The empirical

encounter of two traditions. Journal of Personality and Social Psychology, 82

(6): 1007 – 1022.

Kholidah, E., & Alsa, A. (2012). Berpikir positif untuk menurunkan stres psikologis.

Jurnal Psikologi, 39 (1): 67 – 75.

Marshall, T., Bejanyan, K., & Ferenci. (2013). Attachment styles and personal

growth following romantic breakups: The mediating roles of distress,

rumination, and tendency to rebound. PloS One, 8 (9).

http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 2 Mei 2018.

Misra, R., & Castillo, L. G. (2004). Academic Stress Among College Students:

Comparison of American and International Students. International Journal of

Stress Management, 11 (2): 132-148.

Myers, D.G., Diener, E. (1995). Who Is Happy?. Psychological Science. Vol. 6. No.

1. Pp 10-19.

http://www.psychology.hku.hk/ftbcstudies/refbase/docs/myers/1995/62_Myers

+Diener1995.pdf, diakses 23 April 2018.

Nayana N. F, (2013). Kefungsian Keluarga dan Subjective Well-being Pada Remaja.

Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah Malang.

Ordonez, T., Silva, T. & Cachioni, M. (2011). Subjective and psychological well

being of students of a university of the third age. Dement Neuropsychol, 5 (3):

216 – 225. http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 26 April 2018.

Pareek, S., Mathur, N., & Mangnani, K. (2016). Subjective and psychological well

being as related to dispositional and motivational forgiveness among

adolescent. Journal of Health and Well Being, 7 (1): 125-128.

http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 26 April 2018.

Perry, Y., Henry, J., Nangle, M., & Grisham, J. (2012). Regulation of negative affect

in schizophrenia: The effectiveness of acceptance versus reapprasial and

suppression. Journal of Clinical and Experimental Neuropsychology, 34 (5):

497 – 508. http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 2 Mei 2018.

Page 12: Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well ...

401

Prasetyo, N. H. (2014). Program intervensi narima ing pandum: Upaya peningkatan

kesejahteraan psikologis family caregiver orang dengan skizofrenia.Tesis.

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Putri, D.A., Suprapti, V. (2014). Hubungan antara Self Efficacy dengan Subjective

Well-Being pada Mahasiswa Baru Politeknik Elektronika Negeri Surabaya

(PENS) yang Kos. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 3(3): 144-150.

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of

psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57(6):

1069-1081.

Ryff, C. (1995). Psychological well being in adult life. Current Direction in

Psychologica Science, 4(4): 99 – 104

Ryff, C., & Keyes, C. (1995). The structure of psychological well being. Journal of

Personality and Social Psychology, 69 (4): 719 – 727.

Ryff, C., & Singer, B. (1996). Psychological well being: Meaning, measurement, and

implications for psychotherapy research. Psychotherapy and Psychosomatics,

65: 14 – 23.

Ryff, C., & Singer, B. (1998). The contours of positive human health. Psychological

Inquiry, 9 (1): 1 – 28.

Simbolon, I, (2015). Gejala Stress Akademis Mahasiswa Keperawatan Akibat Sistem

Belajar Blok di Fakultas Ilmu Keperawatan X Bandung. Jurnal Skolastik

Keperawatan, 1 (1).

Ulloa, B., Moller, V., Poza A. (2013). How Does Subjective Well-Being Evolve with

Age? A Literatur Review. Discussion Paper No. 7328. German.

Utami, M. S. (2009). Keterlibatan dalam kegiatan dan kesejahteraan subjektif

mahasiswa. Jurnal Psikologi, 36 (2): 144-163.

Vaez, M., Kristenson, M. and Laflamme, L. (2004) Perceived Quality of Life and

Self-Rated Health among First-Year University Students. Social Indicators

Research, 68 (2) 221-234,

http://dx.doi.org/10.1023/B:SOCI.0000025594.76886.56, diakses 2 Mei 2018

Page 13: Hubungan Subjective Well Being dan Psychological Well ...

402

Vitterso, J., & Nilsen, F. ( 2002). The conceptual and relational structure of

subjective well-being, neuroticism, and extraversion. Social Indicators

Research. 57: 89-118. http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.ac.id/, diakses 25

April 2018

Weiten, W., Dunn, D. S., & Hammer, E. Y. (2015). Psychology Applied to Modern

Life: Adjustment in 21st Century (11th Edition). Boston: Cengage Learning.