HASIL FUNGSIONAL FRAKTUR PROXIMAL HUMERUS NEER DUA, …
Transcript of HASIL FUNGSIONAL FRAKTUR PROXIMAL HUMERUS NEER DUA, …
HASIL FUNGSIONAL FRAKTUR PROXIMALHUMERUS NEER DUA, TIGA - PERBANDINGAN
ANTARA K-WIRE, PLATE DAN COAPTATIONSPLINT
FUNCTIONAL OUTCOME OF PROXIMAL HUMERUSFRACTURE NEER TWO, THREE COMPARISONBETWEEN K-WIRE, PLATE AND COAPTATION
SPLINT
WENDELIN WIDIA MADHIN
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU
PROGRAM STUDI BIOMEDIK SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
iv
HASIL FUNGSIONAL FRAKTUR PROXIMAL HUMERUSNEER DUA, TIGA - PERBANDINGAN ANTARA K-WIRE,
PLATE DAN COAPTATION SPLINT
TesisSebagai salah satu Syarat mencapai Gelar Magister
Program Studi BiomedikPendidikan Dokter Spesialis Terpadu
Disusun diajukan oleh
WENDELIN WIDIA MADHIN
Kepada
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU
PROGRAM STUDI BIOMEDIK SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
v
vi
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Wendelin Widia MadhinNIM : P 1507211162Program Studi : BiomedikKonsentrasi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu
FK.UNHAS
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis inibenar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakanpengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudianhari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesisini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatantersebut.
Makassar, April 2018
Yang menyatakan
WENDELIN WIDIA MADHIN
vii
i
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas segala berkat dan
limpahan karunia kepada penulis mulai dari awal timbulnya ide pemikiran,
pelaksanaan sampai penyelesaian karya akhir ini penulis tidak kekurangan sesuatu
apapun. Pada kesempatan ini saya mengucapkan banyak terimakasih kepada
berbagai pihak yang telah berperan dalam penyusunan karya akhir ini sehingga saya
dapat menyelesaikan pendidikan di Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ortopedi
dan Traumatologi Universitas Hasanuddin.
Terima kasih saya ucapkan kepada Rektor Universitas Hasanuddin, Dekan
Fakultas Kedokteran, Ketua Bagian Ilmu Anestesi, Ketua Program studi Ortopedi dan
Traumatologi, Ketua Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran dan
Ketua Konsentrasi program pendidikan dokter spesialis dan combine degree
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin atas kesempatan yang telah diberikan
kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan PPDS dan Combine
Degree Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Terimakasih saya ucapkan para Guru Besar dan seluruh staf pengajar bagian
Ortopedi dan Traumatologi atas segala bimbingan dan arahannya selama saya
mengikuti program pendidikan dokter spesialis Ortopedi dan Traumatologi. Semoga
ilmu yang saya dapatkan selama pendidikan ini dapat saya amalkan dan manfaatkan
sebaik baiknya untuk kepentingan masyarakat luas.
Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada pembimbing saya, kepada dr.
Ruksal Saleh, Ph.D, Sp.OT(K), dr. Wilhelmus Supriyadi, Sp.OT(K), dr. Henry
Yurianto, M.Phil, Ph.D, Sp.OT(K), Dr. dr. Muh. Sakti SpOT(K) dan Dr. dr. Arifin
Seweng, MPH atas bimbingannya dalam menyelesaikan karya akhir ini. Tak lupa
saya mengucapkan banyak terimakasih kepada rekan rekan residen anestesi yang
telah membantu dalam menyelesaikan karya akhir ini hingga selesai tepat pada
waktunya.
Terimakasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada orang tua saya, Drg.
Madhin dan Kartini Jacob, telah mendukung selama saya menjalani proses
pendidikan ini. Semoga saya dapat menebus semua waktu yang hilang selama saya
menjalani pendidikan spesialis dan combine degree ini.
i
ii
Terimakasih juga kepada seluruh staf pegawai bagian Ortopedi dan
Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang selalu siap sedia
menolong, semoga kalian selalu mendapat lindungan Yang Maha Kuasa dan
memperoleh rejeki dan kebahagian yang penuh berkah. Rekan-rekan sejawat,
perawat serta staf kamar operasi yang telah banyak membantu selama proses
pendidikan ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan karya akhir ini
dan tidak menutup kemungkinan penulis mempunyai khilaf dan salah terhadap
saudara saudara yang turut serta dalam penyusunan karya akhir ini, untuk itu saya
mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya.
Akhir kata saya mengucapkan terimakasih banyak kepada semua pihak yang
turut berperan serta dalam penyelesaian karya akhir ini yang tidak bisa saya
sebutkan namanya satu persatu. Semoga Tuhan memberikan rahmat, kesehatan
dan berkat yang melimpah serta semoga kita dapat dipertemukan kembali dalam
suasana bahagia dan semoga karya akhir ini dapat bermanfaat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.
Makassar, April 2018
WENDELIN WIDIA MADHIN
ii
iii
iii
iv
iv
v
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI iDAFTAR GAMBAR iiiDAFTAR TABEL ivDAFTAR GRAFIK vDAFTAR LAMPIRAN vi
BAB I. PENDAHULUAN 11.1. Latar Belakang Penelitian 11.2. Rumusan Masalah 21.3. Tujuan Penelitian 21.4. Kegunaan Penelitian 2
1.4.1 Kegunaan teoritis 2
1.4.2 Kegunaan praktis 2
BAB II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 32.1. Kajian Pustaka 3
2.1.1 Fraktur Proximal Humerus 3
2.1.2 Biomekanika 5
2.1.3 Vaskularisasi 6
2.1.4 Innervasi 8
2.1.5 Gambaran Klinis 9
2.1.6 Terapi 9
2.1.6.1 Non operatif 9
2.1.6.2 Operatif 9
2.1.7 Komplikasi 18
2.2. Kerangka Pemikiran 202.3. Hipotesis 20
BAB III. BAHAN / OBJEK DAN METODE PENELITIAN 213.1. Bahan / Objek Penelitian 21
3.1.1. Tempat dan Waktu Penelitian 213.1.2. Populasi 21
v
vi
3.1.3. Sampel Penelitian dan Cara Pengambilan Sampel 213.1.4. Kriteria Inklusi, Eksklusi dan Withdrawal 223.1.5. Alat dan bahan 24
3.2. Metode Penelitian 253.2.1. Desain Penelitian 253.2.2. Cara Kerja Penelitian 253.2.3. Alur Penelitian 263.2.4. Alokasi Subyek 263.2.5. Klasifikasi Variabel 273.2.6. Definisi Operasional 273.2.7. Analisis Statistik 27
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 264.1. Hasil Penelitian 264.2 Pembahasan 29
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 325.1 Kesimpulan 325.2 Saran 32
DAFTAR PUSTAKA 33
LAMPIRAN 35
vi
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Klasifikasi Neer fraktur proximal humerus.
Gambar 2. Klasifikasi AO/ASIF proximal humerus.
Gambar 3. Efek rotator cuff pada proximal humerus.
Gambar 4. Anatomi bahu dan struktur neurovaskular.
Gambar 5. Fraktur proximal humerus dengan coaptation splint.
Gambar 6. Fiksasi Kirschner wire pada proximal humerus.
Gambar 7. Fraktur proximal humerus dengan pemasangan T-plate buttress.
Gambar 8. Algoritma penanganan fraktur proximal humerus berdasarkan usia kronologis
dan fisiologis.
Gambar 9. Pemilihan kasus untuk arthroplasti shoulder.
Gambar 10. Rekonstruksi medial calcar pada fraktur proximal humerus.
Gambar 11. Teknik osteosuture pada hemiarthroplasti.
Gambar 12. Gambaran radiografik proyeksi anteroposterior sendi bahu yang menunjukkan
tinggi humerus yang sesuai, letak tuberositas dan lebar epifisis.
Gambar 13. Gambaran radiografi proyeksi axillary view menunjukkan retroversi humeral
head yang adekuat.
vii
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Statistik Deskriptif Berdasarkan Usia, dan ASES Score (n=53)
Tabel 2. Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, dan Golongan (n=53)
Tabel 3. Perbandingan ASES Score Berdasarkan Jenis Fiksasi
viii
ix
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
Grafik 2. Distribusi Subjek Berdasarkan Usia
Grafik 3. Distribusi Subjek berdasarkan Jenis Fiksasi
Grafik 4. Perbandingan ASES score berdasarkan Jenis Fiksasi
ix
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Alat dan bahan
Lampiran 2. ASES kuesioner
Lampiran 3. ASES kuesioner untuk pasien
Lampiran 4. Fraktur Proximal Humerus Neer part 3 dengan fiksasi K-wire
Lampiran 5. Fraktur Proximal Humerus Neer part 2 dengan fiksasi T-buttress plate
Lampiran 6. Fraktur Proximal Humerus Neer part 2 dengan fiksasi coaptation splint
Lampiran 7. Sampel Data Pasien
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Fraktur pada proximal humerus merupakan fraktur yang sering terjadi pada usia lanjut.
Fraktur ini mencakup 4-5% dari semua fraktur yang pernah terjadi. Pada usia muda
melibatkan mekanisme cedera energi tinggi sedangkan pada usia lanjut melibatkan cedera
ringan diakibatkan karena penurunan bone mineral density pada usia lanjut (Keating,
2010).
Fragmen fraktur disebut displaced apabila telah bergeser minimal 1 cm atau
mengalami angulasi lebih dari 45°. Menurut Neer, klasifikasi fraktur proximal humerus
berdasarkan pengambilan radiografi anterior-posterior dan lateral. Adapun pengunaan CT
scan akan membantu untuk melakukan perencanaan perioperatif (Browner et al., 2014).
Kebanyakan fraktur proximal humerus mengalami pergeseran yang minimal
dan dapat ditangani dengan imobilisasi dan rehabilitasi yang awal. Khususnya pada usia
lanjut, penanganan terbaik adalah konservatif (Keating, 2010). Untuk penanganan fraktur
dengan pergeseran, dapat dilakukan ORIF dengan pemasangan plate and screw atau K-
wire. Berbagai terapi dan hasil pada beragam penderita, sangat bergantung daripada umur
dan fungsi sebelum terjadi fraktur proximal humerus.Adapun beberapa kontroversi masih
terdapat meliputi fraktur multipart yang kompleks displaced dan kesulitan untuk
mengevaluasi klasifikasi dan outcome dari cedera tersebut (Keating, 2010). Adapun
pilihan terapi untuk fraktur ini masih dalam pembahasan, masing-masing dengan
keuntungan dan kerugian, dan sulit untuk menyingkirkan komplikasi dari satu jenis terapi
dengan keuntungannya.
1
2
Oleh karena itu, penderita dengan pola fraktur yang serupa, dapat menerima beragam
pendapat mengenai keparahan fraktur, prediksi hasil dan manajemen fraktur yang cocok,
tergantung dari operator yang menangani kasus mereka (Browner et al., 2014).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka timbul pertanyaan manakah yang
menghasilkan fungsi klinis lebih baik pada pasien fraktur proksimal humerus Neer tipe 2 dan
3 setelah pemasangan K-wire, plating ataupun konservatif dengan coaptation splint?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.Tujuan Umum
Membandingkan hasil fungsi klinis berdasarkan ASES score setelah operasi
pemasangan K-wire, plating dan coaptation splint pada pasien fraktur proksimal humerus.
1.3.2.Tujuan Khusus
1) Menilai fungsi klinis berdasarkan ASES score pada sendi bahu, setelah pemasangan
K-wire.
2) Menilai fungsi klinis berdasarkan ASES score pada sendi bahu setelah pemasangan
plate and screw.
3) Menilai fungsi klinis berdasarkan ASES score pada sendi bahu setelah pemasangan
coaptation splint.
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Teoritis
Memberikan informasi ilmiah pada aspek teori tentang perbandingan hasil fungsi
klinis pasien setelah operasi pemasanganK-wire, plating dan coaptation splint.
1.4.2. Kegunaan Praktis
2
3
1) Dapat diterapkan secara klinis untuk mempertimbangkan penggunaan K-wire,
plating atau coaptation splintpada pasien dengan fraktur proksimal humerus.
2) Dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. KAJIAN PUSTAKA
2.1.1 Fraktur Proksimal Humerus
Kajian dari Codman mendapatkan bahwa fraktur pada proksimal humerus hampir selalu
terjadi pada garis fusi physis, sehingga menimbulkan fragmen fraktur utama seperti greater
tuberosity, lesser tuberosity, head dan shaft humerus (Keating, 2010).
Neer kemudian mengklasifikasikan fraktur humerus secara anatomis, dengan kriteria
displaced fracture apabila fragmen fraktur bergeser lebih dari 1 cm atau mempunyai angulasi ≥
45 derajat (Keating, 2010).
Berdasarkan sistem klasifikasi ini, fraktur yang undisplaced atau minimally displaced
dianggap sebagai one-part fracture. Displaced fracture digolongkan sesuai dengan fragmen
fraktur yang bergeser, meskipun terdapat garis fraktur yang menyerupai konfigurasi one-part
hingga four-part. Fraktur dislokasi juga dapat digolongkan berdasarkan arah dislokasi dari
head humerus (anterior atau posterior). Berdasarkan kriteria diatas, Neer menyimpulkan
bahwa 85% fraktur adalah yang minimally displaced meskipun beberapa pengkajian baru
menunjukkan prevalensi mendekati 50% (Konrad et al., 2008).
Klasifikasi AO/ASIF menggunakan trias alphanumeric untuk menghasilkan 27
subgrup utama. Klasifikasi ini jarang digunakan secara klinis dan akademis.
3
4
4
5
Gambar 1. Klasifikasi Neer fraktur proximal humerus.
Gambar 2. Klasifikasi AO/ASIF proximal humerus.
2.1.2 Biomekanika
Lebih dari 2/3 pergerakan bahu normal terjadi pada sendi glenohumeral, sisanya oleh
sendi scapulothorasik. Oleh sebab itu, cedera yang merusak head humerus dan mengurangi
permukaan fulkrum untuk pergerakan sendi akan mempengaruhi fungsi bahu secara
bermakna. Head humerus yang intak menjadi fulkrum bagi deltoid dan rotator cuff untuk
mengelevasi lengan sementara memberi kestabilan pada humerus. Kekuatan otot rotator cuff
5
6
memberi efek stabilizer dari robekan. Elevasi dan rotasi bahu akan terhalang apabila fulkrum
humeral head rusak akibat fraktur maupun dislokasi (Murray et al., 2011).
Meskipun glenoid congruent terhadap humeral head, permukaan glenoid hanya
mencakup 25-30% dari humeral head dan hal ini memberi kerangka stabilitas yang sedikit.
Stabilitas sendi glenohumeral bergantung juga kepada jaringan ikat yang ada disekitarnya.
Rotator cuff interval, termasuk ligamen korakohumeral dan ligamen glenohumeral superior
mencegah translasi ke inferior pada posisi adduksi dan mencegah dislokasi posterior pada
posisi fleksi, abduksi dan external rotasi. Ligamen korakohumeral memiliki fungsi terhadap
instabilitas inferior dan external rotasi (Vachtsevanos, 2004).
Untuk menjalankan fungsi normal, sendi bahu memerlukan kekuatan yang didapati
dari koordinasi 26 jenis otot termasuk otot scapulothorasik, scapulohumeral dan
thoracohumeral (Murray et al., 2011).
Otot rotator cuff dan deltoid masing-masing menyediakan 50% kekuatan untuk elevasi
extremitas diatas kepala. Stabilitas glenohumeral dinamik terutama disediakan oleh otot
rotator cuff dan tendon. Menurut pengkajian Lippitt et. al, stabilitas bergantung dari
kecekungan fossa glenoid dan kekuatan kompresi rotator cuff.
6
7
Gambar 3. Efek rotator cuff pada proximal humerus. Rotator cuff memberikan stabilitas dinamik denganmempertahankan posisi humeral head di glenoid dan mencegah translasi dan rotasi abnormal dari sendi
glenohumeral. Otot rotator cuff menyediakan 50% kekuatan untuk elevasi dan 90% kekuatan external rotasi.
2.1.3 Vaskularisasi
Suplai arteri ke proximal humerus berasal dari arteri axillaris melalui cabang humerus
circumflexa anterior dan posterior, ini akan ber-anastomose di bagian medial pada
quadrilateral space, di bagian lateral di daerah tuberositas mayor dan di humeral head melalui
anastomose interosseus (Murray et al., 2011).
Arteri circumflexa anterior memberi cabang kolateral yang mensuplai tuberositas
minor dan humeral head. Cabang utama anterior circumflexa adalah anterolateral ascending
artery, yang menyusuri bicipital groove dan masuk ke humeral head untuk membentuk
interosseus arcuate artery dimana pada kondisi normal, merupakan vaskularisasi utama bagi
humeral head. Cabang dari posterior circumflexa arteri menyuplai tuberositas mayor dan
posteromedial aspek dari humeral head (Keating, 2010).
7
8
Gambar 4. Anatomi bahu dan struktur neurovaskular.
Beberapa sumber vaskularisasi alternatif untuk humeral head menjadi penting pada
kondisi fraktur. Observasi menunjukkan bahwa osteonekrosis tidak langsung terjadi pada
fraktur proximal humerus Neer part 3 & 4, dan ini kemungkinan berkaitan dengan
vaskularisasi dari tuberositas, jaringan ikat, rotator cuff maupun kapsul. Pada khususnya,
cabang dari posterior circumflexa arteri masih dapat memberi perfusi ke humeral head.
Pembuluh-pembuluh darah tersebut biasanya masih viable pada fraktur proximal humerus
Neer 3 & 4 valgus dimana kapsul dan medial periosteum masih intak. Cabang circumflexa
yang masih baik beserta jaringan ikat disekitar fraktur dipertahankan pada saat reduksi dan
fiksasi fraktur (Brinker et al., 2009).
8
9
2.1.4 Innervasi
Persarafan dari bahu berasal dari cabang pleksus brakialis (C5-T1). Bagian trunks,
divisions, cord, dan branches dari pleksus mungkin akan rusak oleh fragmen fraktur yang
mengalami pergeseran atau cedera yang disebabkan oleh traksi (Murray et al., 2011).
Selama tindakan operatif, sebagian besar struktur ini biasanya dilindungi oleh conjoined
tendon yang terdiri dari otot biceps short head dan coracobrachialis, yang menandai batas
medial paparan bedah melalui pendekatan deltopektoralis . Namun, penting untuk
menghindari traksi berkepanjangan pada tendon tersebut selama proses intraoperatif, karena
dapat mencederai saraf muskulokutaneous (Khmelnitskaya et al., 2012).
Proses ini menembus conjoined tendon sekitar 5 sampai 8 cm di bawah ujung
processus coracoid. Nervus aksilaris (C5-C6) adalah struktur utama yang berisiko selama
penanganan operatif pada fraktur humerus proksimal. Saraf muncul dari bagian posterior
cord pleksus dan berjalan secara posterolateral di atas tulang subskapularis bagian bawah
untuk memasuki quadrilateral space, yang merupakan hubungan inferior langsung dari
kapsul sendi glenohumeral. Ini memberikan cabang posterior yang mempersarafi otot deltoid
posterior dan teres minor dan menyediakan sensasi ke “badge area” dari lengan atas. Cabang
anterior berada di sekeliling surgical neck yang menuju ke dalam otot deltoid. Persarafan ini
menginervasi bagian anterior dan sepertiga tengah dari otot deltoid tetapi tidak memiliki
cabang nervus kutaneus (Ruedi et al., 2007).
2.1.5 Gambaran Klinis
Klinis meliputi nyeri, edema dan hematoma pada lengan atas dan biasanya tampak
lebih berat pada dua minggu pertama. Fraktur proximal humerus terletak di dalam otot bahu
dan pembengkakan dan hematoma sering terlihat lebih jelas pada lengan bawah bagian
anterior-inferior. Edema yang berlebihan menunjukkan adanya kerusakan pembuluh darah
9
10
yang tersembunyi.
2.1.6 Terapi
2.1.6.1 Non-operatif
Fraktur yang bergeser minimal atau tidak bergeser dapat diterapi secara konservatif,
dengan periode imobilisasi 2 minggu dengan sling atau coaptation splint diikuti oleh
pergerakan pasif dari bahu. Serial X-ray control dilakukan dalam jangka waktu 3 minggu
(Khmelnitskaya et al., 2012). Hal ini untuk memastikan tidak adanya pergeseran dari fragmen
fraktur di kemudian hari. Adanya gambaran ‘pseudosubluksasi’ inferior pada fraktur proximal
humerus disebabkan oleh karena atoni otot deltoid, hemarthrosis ataupun robekan rotator cuff.
Gambaran ini akan pulih seiring waktu dan penyembuhan (Twiss, 2015).
Menurut literatur, penanganan non-operatif menghasilkan outcome yang cukup baik
bagi 75% kasus, khususnya untuk fraktur yang bergeser minimal (Neer part 1) (Jawa et al.,
2016). Pada beberapa pasien yang lanjut usia dan memiliki komorbiditas medis, tipe fraktur
yang kompleks dapat diterapi secara konservatif dan masih menghasilkan outcome yang
memuaskan. Namun apabila terapi non-operatif gagal, maka hasil outcome nya akan lebih
buruk setelah operasi salvage (Jawa et al., 2016).
2.1.6.2 Operatif
Reduksi tertutup dan perkutaneus pinning
Reduksi fraktur secara anatomis dilakukan dibawah C-arm. Untuk fraktur surgical
neck, dua hingga tiga buah Kirschner wire (0.045 – 0.0625) dimasukkan ke korteks lateral
distal terhadap insersi deltoid dan diteruskan ke daerah subchondral tanpa merusak
permukaan sendi artikular. Untuk fraktur tuberositas mayor dengan surgical neck, dua buah
Kirschner wire harus purchase ke korteks medial > 2 cm dari batas inferior humeral head.
Resch et.al menjelaskan teknik untuk reduksi tertutup untuk fraktur proximal humerus
10
11
Neer part 3: fraktur subkapital direduksi dengan adduksi, internal rotasi dan traksi axial dari
lengan atas. Pointed hook retraktor dimasukkan ke rongga subakromial untuk mengarahkan
fragmen tuberositas mayor ke anterior dan inferior. Dengan menggunakan C-arm, sendi bahu
dimanipulasi ke internal rotasi dan external rotasi hingga fragmen fraktur tereduksi dan
difiksasi dengan dua cannulated self-tapping screw. Imobilisasi dilakukan untuk tiga sampai
empat minggu kemudian dilanjutkan dengan pendulum exercise, elevasi anterior dan external
rotasi bahu. Pergerakan aktif dilaksanakan setelah 6 minggu bila sudah ada tanda-tanda
penyembuhan secara radiologis.
Fiksasi perkutaneus untuk fraktur proximal humerus memiliki keunggulan minimal
soft-tissue stripping, sehingga mengurangi insiden osteonekrosis. Beberapa literatur juga
menyatakan minimal jaringan parut antara permukaan scapulohumeral sehingga memudahkan
program rehabilitasi. Penggunaan Kirschner wire tidak mendukung untuk kasus osteoporosis,
kasus dengan comminution pada bagian medial calcar dan pada penderita yang tidak
kooperatif (Nho et al., 2007).
Reduksi tertutup dan pinning ini memerlukan teknik yang advanced. Hingga saat ini
telah banyak diteliti studi anatomikal yang mengevaluasi hubungan struktur neurovaskular
dengan Kirschner wire yang dipasang secara perkutaneus. Rowles dan McGrory meneliti
mengenai sepuluh bahu kadaver dengan perkutaneus pinning (dua pin lateral, satu pin anterior
dan dua pin pada tuberositas mayor). Dari studi ini ditemukan bahwa pin yang terletak di
proximal lateral berjarak rata-rata 3 mm dari cabang anterior nervus axillaris. Pin anterior
terletak sekitar 2 mm dari tendon long head biceps brachii dan 11 mm dari vena sefalika. Pin
di proximal tuberositas berjarak 6 mm dari nervus axillaris dan 7 mm dari arteri circumflexa
posterior (Nho et al., 2007). Pin tersebut akan menekan struktur-struktur penting apabila bahu
dalam posisi internal rotasi.
Pada kadaver studi yang dilakukan oleh Kamineni et.al, pemasangan Kirschner wire
11Gambar 5.Fiksasi Kirschner wire pada proximal humerus. X-ray anterior posterior fraktur proximal humerus yangdifiksasi dengan metode Jaberg et.al. X adalah jarak dari aspek superior ke inferior humeral head. 2X
adalah starting point untuk proximal lateral pin. End point untuk pin tuberositas mayor harus > 2 cm dari batasinferior humeral head.
12
secara perkutaneus mengikuti metoda Jaberg et.al dengan satu anteroposterior wire dan dua
dari sisi lateral (Gambar 4). Ditemukan beberapa kasus adanya kerusakan langsung nervus
axillaris oleh pin lateral sedangkan pin anterior merusak cabang terminal nervus axillaris.
Menurut Kamineni et.al, fiksasi pada fraktur proximal humerus tetap dianjurkan untuk
dilakukan minimal open approach untuk menghindari cedera pada struktur penting di sekitar
bahu (Nho et al., 2007).
12
13
Reduksi terbuka dan internal fiksasi – Konventional plate
Penanganan dengan ORIF dapat menggunakan konventional plating ataupun locking
plate. Wanner et.al menggunakan sistem ‘double plating’ dengan dua buah one-third tubular
plate. Standar insisi melalui approach deltopectoral dengan tujuan mencapai reduksi anatomis
diantaranya untuk tuberositas minor dan mayor, mengembalikan panjang shaft humerus dan
retroversi daripada humeral head. Pertama-tama dilakukan fiksasi di bagian lateral untuk
mereduksi tuberositas mayor. Kemudian fiksasi plate anterior perpendikular dengan plate
pertama. Pada penelitian Warren et.al, mereka menggunakan injeksi bone semen ke dalam
lubang screw pada kasus tulang porotik. Tulang porotik pada daerah proximal humerus ini
dapat menyebabkan kegagalan implantasi berupa screw pullout dan loosening. Meskipun
demikian, plating secara konventional masih dapat memberi hasil yang baik bila reduksi
anatomis tercapai.
Konvensional plating biasanya digunakan pada penderita muda dengan medial hinge
yang intak dan korteks diafisis yang adekuat (> 4 mm), oleh karena itu penderita usia tua
dianjurkan menggunakan fiksasi dengan locking plate. Metode Warren et.al dengan
menggunakan ‘double plate’ system memberikan outcome yang cukup memuaskan meskipun
dengan adanya kondisi osteonekrosis (Nho et al., 2007).
Rudolf et.al meneliti mengenai pemasangan plate & screw dan
menarik kesimpulan bahwa T–plate memiliki beberapa keuntungan
karena t ipisnya plat dapat dibentuk sesuai permukaan kontur tulang dan
fiksasi yang rigid dapat mengurangi nyeri kooperatif (Ruedi et al., 2007).
13
14
Gambar 6. Fraktur proximal humerus dengan pemasangan T-plate buttress.
Gambar 7. Algoritma penanganan fraktur proximal humerus berdasarkan usia kronologis dan fisiologis.Penderita usia muda ditangani secara agresif dan osteosintesis untuk mengembalikan struktur anatomi
normal, sedangkan penderita usia lanjut diterapi secara konservatif dan arthroplasti.
14
15
Kapan dilakukan Arthroplasti
Reduksi terbuka dan internal fiksasi – Locking plate
Dengan menggunakan teknikoperasi deltopectoral, pasien dalam beach chair
positiondan C-arm tersedia untuk mengamati sendi glenohumeral posisi anteroposterior.Saat
reduksi anatomis dari fraktur, diperhatikan untuk reposisi dari medial calcar. Posisi plate di
tengah dari korteks lateral 8 mm distal dari aspek superior tuberositas mayor. Penggunaan
locking plate memiliki keuggulan mekanik pada jenis fraktur yang comminuted di daerah
metafisis karena adanya ‘fixed-angle’ relationship plate dan screw. Proximal humeral locking
plate harus diletakkan pada tinggi yang sesuai karena akan cenderung terjadi impingement di
akromion. Penyembuhan fraktur proximal humerus sangat bergantung pada medial hinge atau
calcar, dan harus diperhatikan agar tereduksi secara anatomis (Gambar 6). Kontraindikasi
pemasangan locking plate adalah adanya fraktur dislokasi, humeral head yang terpecah dan
fraktur impresi meliputi > 40% permukaan artikular (Konrad et al., 2008).
15
HemiarthroplastiHemiarthroplasti Reverse Total Shoulder arthroplasti
Reverse Total Shoulder arthroplasti
Resiko tinggi nonunion tuberositas
Resiko tinggi nonunion tuberositas
Comminution signifikan pada tuberositas
Comminution signifikan pada tuberositas
Robekan rotator cuff yang tidak dapat diperbaiki
Robekan rotator cuff yang tidak dapat diperbaiki
Robekan rotator cuff yang dapat diperbaiki
Robekan rotator cuff yang dapat diperbaiki
Comminution signifikan pada tuberositas
Comminution signifikan pada tuberositas
Gambar 8. Pemilihan kasus untuk arthroplasti shoulder. Penting untuk mempertimbangkankompetensi rotator cuff dan resiko nonunion tuberositas humerus. Pasien dengan resiko tinggi
nonunion (comminution berat, perokok atau penyakit vaskular perifer) dianjurkan untukdilakukan primary reverse total shoulder arthroplasty.
16
Gambar 9. Rekonstruksi medial calcar pada fraktur proximal humerus. Ilustrasi menunjukkan fraktur proximalhumerus dengan medial hinge yang rusak yang telah direkonstruksi dengan plat intramedular 2.0-mm untuk
reduksi preliminary.
Hemiarthroplasti
Prinsip hemiarthroplasti sendi bahu mengikuti literatur berdasarkan Neer. Teknik
operasi standar menggunakan deltopectoral approach. Pada arthroplasti bahu, penting untuk
mengidentifikasi tuberositas dengan suture di bone-tendon junction untuk mengetahui control
dan insersi dari rotator cuff. Komponen humerus diposisikan untuk mengembalikan tinggi
humerus normal dan retroversi (sekitar 30◦ - 40◦). Hampir semua kasus memerlukan
cemented stem untuk menghindari rotasi pada humerus, dan bone graftdiantara tuberositas
dan shaftuntuk mendukung pertumbuhan tulang. Anatomi dari proximal humerus
direkonstruksi kembali dengan mengembalikan posisi tuberositas dengan teknik suture yang
berbeda beda. Pada literatur Bone and Joint Surgery ini dilakukan teknik penjahitan (Gambar
8) (Mc Clure et al., 2013).
Cerclage suture pertama dari tuberositas mayor yang dilingkarkanke arah medial leher
16
17
humerus. Secara biomekanik, medial circumferential cerclage ini mengurangi pergerakan
interfragmen dan memaksimalkan stabilitas untuk persiapan rehabilitasi post operasi.
Cerclage suture kedua melewati tuberositas minor, dan tension band dapat digunakan untuk
memfiksasi tuberositas ke shaft humerus. Pergerakan sendi bahu setelah pemasangan implant
arthroplasti dilakukan sebelum penutupan luka untuk memastikan stabilitas telah tercapai.
Gambar 10. Teknik osteosuture pada hemiarthroplasti.
Hemiarthroplasti dianjurkan untuk fraktur proximal humerus Neer part 3 & 4 pada
kasus osteoporotik, comminution, fraktur dislokasi dan fraktur impresi yang meliputi > 40 %
permukaan sendi, dengan pertimbangan kegagalan fiksasi pada tulang porotik dan resiko
17
18
osteonekrosis yang tinggi. Sebaliknya, infeksi dari sendi bahu atau jaringan ikat sekitarnya
menjadi kontraindikasi arthroplasti (Khmelnitskaya et al., 2012).
Secara keseluruhan, outcome yang optimal untuk arthroplasty dapat dicapai apabila
operator mempertimbangkan dua hal utama yaitu: retroversi humeral head yang benar (sekitar
30◦ - 40◦ menggunakan bicipital groove sebagai patokan) dan lokasi anatomis tuberositas
mayor. Selain dari itu, panjang humerus juga sangat mempengaruhi outcome operasi.
Humerus yang memendek post operasi akan mengurangi lever arm dari otot deltoid dan
mengurangi kekuatan otot untuk elevasi lengan. Sebaliknya, humerus yang terlalu panjang
setelah arthroplasti akan menyebabkan impingement, tuberositas nonunion dan migrasi
superior dari implant (Murray et al., 2011). Restorasi dari epiphyseal width juga menjadi
salah satu pertimbangan untuk mencapai hasil arthroplasti yang optimal. Epiphyseal width
yang sesuai (dibandingkan dengan kontralateral) akan memberikan soft-tissue tension otot
deltoid dan supraspinatus yang adekuat dan fungsi yang maksimal.
Hemiarthroplasti biasanya dilakukan dalam kondisi akut karena lebih mudah
dilakukan secara teknis, namun beberapa studi mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara arthroplasti yang dilakukan pada kondisi akut atau kronik (jangka waktu 30
hari) (Marin et al., 20).
18
19
Gambar 11. Gambaran radiografik proyeksi anteroposterior sendi bahu yang menunjukkan tinggi humerus yangsesuai, letak tuberositas dan lebar epifisis.
Gambar 12. Gambaran radiografi proyeksi axillary view menunjukkan retroversi humeral head yang adekuat.
19
20
2.1.7 Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukan fiksasi adalah hilangnya
reduksi, adhesive capsulitis, omarthrosis, avaskular nekrosis, dan impingement pada implant.
Komplikasi terbesar fraktur proksimal humerus yang ditangani secara konservatif maupun
operatif adalah osteonekrosis daripada humeral head. Insidensi berkisar antara 0%-70% yang
disebabkan oleh kerusakan vaskularisasi ke humeral head khususnya pada fraktur yang
melibatkan kolom medial (Brinker et al., 2009).
Penggunaan minimal invasif osteosintesis dengan K-wire dapat mengurangi insidens
osteonekrosis karena soft-tissue stripping yang minimal. Namun kurangnya stabilitas post
operasi akan menjadi hambatan untuk tindakan rehabilitatif awal, khususnya pada pasien
dengan kondisi tulang porotik. Pada tulang yang porotik, Her-tel et.al. menganjurkan
pemasangan osteosuture tambahan dan minimal plating untuk mencapai ekstra stabilitas. Pada
beberapa pengkajian didapatkan bahwa fiksasi dengan menggunakan K-wire dapat digunakan
pada kondisi dengan stok tulang yang baik (Sidhu et al., 2009). Meskipun demikian, beberapa
peneliti menyimpulkan bahwa penggunaan pinning K-wire transkutan menimbulkan banyak
komplikasi berupa instabilitas, infeksi jalur pin, iritasi kulit, migrasi pin dan pemaparan
berlebihan terhadap X-ray (Vachtsevanos, 2004).
Osteosintesis menggunakan plate and screw untuk fraktur proximal humerus telah
terbukti memberikan stabilitas yang paling besar pada tulang non-porotik. Komplikasi yang
terjadi pada kasus osteoporotik adalah screw loosening dan kegagalan implant, khususnya
pada fraktur Neer 3 & 4. Menurut Kristiansen dan Christensen, penggunaan T-buttress plate
pada fraktur proximal humerus tidak menghasilkan outcome yang memuaskan akibat gagal
implant. Sebaliknya, beberapa riset lain mendapatkan hampir 74% penderita memiliki fungsi
yang baik dan memuaskan pada penggunaan T-buttress plate untuk fraktur proximal humerus.
Khususnya pada fraktur proximal humerus Neer 4, hasil osteosintesis plate & screw tidak
20
21
memuaskan dan dianjurkan untuk penggantian sendi dengan arthroplasty (Brinker et al.,
2009).
Dewasa ini, studi biomekanik mengilustrasikan fraktur proximal humerus yang
difiksasi dengan locking plate dan dipapar dengan cyclic loading menunjukkan keunggulan
lebih yaitu stabilitas terhadap torsio dan bending. Apabila dibandingkan dengan implant
konvensional yang lebih kaku (T-plate), Locking Compression Plate untuk proximal humerus
menunjukkan stabilitas jangka lama yang lebih baik (Sidhu et al., 2009).
2.2 KERANGKA PEMIKIRAN
2.3. HIPOTESIS
Functional outcome plate and screw pada fraktur proksimal humerus Neer part 2 & 3
lebih baik dibandingkan dengan K-wire ataupun coaptation splint.
21
22
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian berupa Analitic Cross sectional study.
Penelitian ini telah dikaji oleh beberapa pihak menggunakan implant yang berbeda,
perbandingan antara K-wire dengan locking plate, namun masih merupakan kontroversi.
3.1.1 Cara Kerja & Pengumpulan Data
1. Mengidentifikasi pasien dengan fraktur humerus proksimal yang ditangani dengan
plate fixation dan mereka yang ditangani dengan K-wiring dan pasien yang menolak
operasi dan titangani secara konservatif dengan coaptation splint dari rekam medis dan
register pasien di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo dan Rumah sakit jejaring
Bagian Ortopedi dan Traumatologi di Makassar sebagai data sekunder.
2. Pasien yang memenuhi kriteria penelitian menjalani prosedur wawancara sebagai data
primer untuk memperoleh data hasil klinis.
3. Melakukan evaluasi secara klinis, penilaian dilakukan menggunakan ASES Score.
Dimana pada kriteria ini dapat ditentukan secara kualitatif hasil fungsi klinis dari
masing-masing pasien.
4. Melakukan analisa statistik dengan Descriptive cross tabulation.
5. Hasil dikumpulkan, dicatat dan dianalisa, kemudian akan dilakukan diskusi dan
pengambilan keputusan dari prosedur tersebut.
22
23
3.1.2 Alur Penelitian
3.1.3 Alokasi Subyek
1) Kriteria Subyek
Pasien setelah pemasangan plate fixation, K-wiring dan coaptation splint di RS Wahidin
Sudirohusodo dan Rumah Sakit jejaring bagian Ortopedi dan Traumatologi di Makassar
selama kurun waktu Januari 2013 hingga Desember 2016.
2) Kriteria Objektif
23
Seleksi Rekam Medis dan Registrasi pasien periode Januari 2013 –
Desember 2016
Seleksi Pasien Berdasarkan Kriteria Inklusi dan Kriteria
Eksklusi
Identifikasi Nama, Umur, Alamat, No. Telepon, Jenis Kelamin, Diagnosis Pre Op, Tanggal Operasi, Cedera Penyerta
Hasil fungsional (ASES Score) Pasca Pemasangan K-wire
Hasil fungsional (ASES Score) Pasca Pemasangan
fiksasi plate
Hasil fungsional (ASES Score) Pasca Pemasangan
coaptation splint
Analisa Perbandingan Hasil Fungsi Humerus
24
Hasil fungsi klinis pasien berdasarkan ASES Score.
3.1.4 Klasifikasi Variabel
1) Variabel Bebas : Plate Fixation, K-Wire, dan Coaptation Splint
2) Variabel Tergantung : Hasil fungsi klinis Humerus dengan ASES Score
3) Variabel kontrol : Diagnosis, Jenis Kelamin, Usia, Cedera
3.1.5 Definisi Operasional
1) Fraktur proximal humerus Neer part 2 adalah fraktur yang melibatkan pergeseran
(minimal 1 cm atau angulasi 450 ) pada satu part: surgical neck, anatomical neck,
greater tuberosity dan lesser tuberosity.
2) Fraktur proximal humerus Neer part 3 adalah fraktur yang melibatkan pergeseran
(minimal 1 cm atau angulasi 450 ) pada dua part: surgical neck dan greater tuberosity,
surgical neck dan lesser tuberosity dan greater tuberosity dan lesser tuberosity.
3) Functional outcome adalah kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari
yang spesifik yang dapat dinilai dari American Shoulder and Elbow Surgeon (ASES)
Score. Dimana interpretasi scoring 100 menunjukkan functional outcome terbaik, dan
scoring 0 menunjukkan hasil terburuk.
4) Fiksasi plate yang digunakan adalah T-buttress plate Humerus.
5) Coaptation splint yang digunakan adalah cast yang dipasangkan dari 1 inci superior
dari acromioclaviculr joint hingga 2 inci distal dari axilla dengan kondisi siku fleksi
90 derajat.
6) Kirschner wire yang digunakan berukuran 1.4 - 1.6.
3.1.6 Analisis Statistik
Data yang diperoleh, diolah dengan bantuan piranti lunak dengan metode statistik
dan disajikan dalam bentuk narasi, tabel dan grafik SPSS version 22. Analisa statistic
24
25
yang digunakan adalah statistic deskriptif dan tes Kruskal-Wallis untuk level
signifikan 0,05. Tes Post-Hoc yang digunakan adalah metode Bonferroni.
3.2. BAHAN / OBJEK PENELITIAN
3.2.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo dan RS Pelamonia Bagian
Ortopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar.
Penelitian dilakukan di bulan January 2013 – Desember 2016.
3.2.2 Populasi
Populasi yang termasuk dalam penelitian ini adalah semua pasien dengan fraktur
humerus proksimal dengan 2 bagian dan 3 bagian dengan K-wire, fiksasi plate, dan pasien-
pasien yang menolak operasi dan ditangani secara konservatif dengan coaptation splint yang
dipilih berdasarkan kriteria inklusion di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo dan RS
Pelamonia Bagian Ortopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,
Makassar bulan Januari 2013 – Desember 2016.
3.2.3 Sampel Penelitian dan Cara Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan semua pasien dengan fraktur humerus proksimal Neer
part 2 & 3 dengan K-wire,plate and screw dan coaptation splint yang dipilih berdasarkan
kriteria inklusi. Pengambilan sampel yaitu dengan melakukan pengumpulan data medik
pasien sebagai data sekunder dan melakukan wawancara dan pemeriksaan klinis sebagai data
primer.
3.2.4 Kriteria Inklusi, Ekslusi dan Withdrawal
25
26
a. Kriteria Inklusi
1. Kriteria Inklusi adalah pasien dengan fraktur humerus proksimal yang ditangani
dengan plate fixation dan mereka yang ditangani dengan K-wiring dan pasien yang
menolak operasi dan ditangani secara konservatif dengan coaptation splint di
Makassar, Indonesia, mulai bulan Januari 2013 – Desember 2016.2. Minimal 6 bulan post pemasangan K-wire, plate and screw dan coaptation splint.3. Laki-laki dan Perempuan.4. Usia 40 – 60 tahun.
b. Kriteria Eksklusi
1. Pasien dengan defisit neurologis.
2. Pasien post operasi yang mengalami infeksi.
3. Pasien dengan fraktur humerus proksimal dan cedera penyerta pada sisi yang sama.
4. Pasien dengan fraktur proksimal humerus patologis yang disebabkan oleh kanker dan
metastasis.
c. Kriteria Withdrawal / Drop Out
1. Pasien kriteria Inklusi menolak seluruh tindakan penelitian terhadap dirinya untuk
dijadikan subyek penelitian dimulai sesaat setelah tindakan operasi sampai sembuh.
2. Pasien kriteria Inklusi hilang kontak.
3.2.5 Alat dan Bahan
1. Medical Record
2. Alat tulis menulis
3. Kuesioner Penilaian Hasil fungsional (ASES Score)
4. Kamera digital
5. Laptop Asus
6. SPSS Versi 22
26
27
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
27
28
4.1 HASIL PENELITIAN
Didapatkan lima puluh tigapasien dengan kasus fraktur proximal humerus Neer part II
dan IIIyang ditangani dengan tindakan operasi reduksi terbuka dan internal fiksasi dengan
plate and screw, K-wire dan coaptation splint di Makassar yang memenuhi kriteria inklusi dan
ekslusi penelitian ini selama kurun waktu bulan Januari 2013 hingga Desember 2016.
Metode Analisis
Data yang diperoleh, diolah dengan bantuan piranti lunak dengan metode statistik dan
disajikan dalam bentuk narasi, tabel dan grafik SPSS version 22. Analisa statistic yang
digunakan adalah statistic deskriptif dan tes Kruskal-Wallis untuk level signifikan 0,05. Tes
Post-Hoc yang digunakan adalah metode Bonferroni.
Hasil Penelitian
Tabel 1. Statistik Deskriptif Berdasarkan Usia, dan ASES
Score (n=53)
Variabel Minimum Maximum Mean Std. DeviasiUsia 42 60 48,74 4,74
ASES Score 55,04 100,00 79,77 11,61
Tabel 1 menunjukkan:
Rentang usia subjek penelitian adalah 42 hingga 60 tahun dengan mean (rata-rata)
48,7±4,7 tahun. ASES score mempunyai nilai antara 55,04 to 100,00 dengan rata-rata 79,77±11,61
28
29
Tabel 2. Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis
Kelamin, Usia, dan Golongan (n=53)
Variabel Kategori N %
Jenis Kelamin Laki-laki 42 79,2Perempuan 11 20,8
Usia (tahun) 40-44 13 24,545-49 21 39,650-54 9 17,055-60 10 18,9
Jenis Fiksasi Coaptation
Splint
15 28,3
K-Wire 18 34,0Plate & Screw 20 37,7
Tabel 2 dan Gambar 1,2,3 menunjukkan:
Mayoritas subjek penelitian adalah laki-laki (79,2%), usia 45-49 tahun (39,6%).
Berdasarkan jenis fiksasi, terdapat 15 subjek yang menggunakan Coaptation Splint, 18 subjek
menggunakan K-wire dan 20 subjek menggunakan Plate and Screw.
Tabel 3. Perbandingan ASES Score Berdasarkan Jenis Fiksasi
Jenis Fiksasi N Mean Std. Deviasi PCoaptation Splint 15 69,73 9,55
0,000K-Wire 18 77,33 7,39Plate & Screw 20 89,50 8,24
Table 3 dan Gambar 5 menunjukkan:
Nilai Mean ASES score paling rendah secara signifikan pada kelompok Coaptation
Splint (69,73) dan paling tinggi pada kelompok Plate and Screw (89,50). Berdasarkan hasil tes post-hoc, nilai mean ASES score pada Kelompok Coaptation
Splintsecara signifikan lebih rendah daripada kelompok K-wire (p<0,05) dan
kelompokPlate and Screw (p<0,001). Berdasarkan hasil tes post-hoc, nilai mean ASES score pada kelompok K-wire secara
signifikan lebih rendah daripada kelompok Plate and Screw (p<0,001)
29
30
Grafik 2. Distribusi Subjek Berdasarkan Usia
30
Grafik 1. Distribusi Subjek berdasarkan Jenis Kelamin
31
Grafik 3. Distribusi Subjek berdasarkan Jenis Fiksasi
Grafik 4.
Perbandingan ASES score berdasarkan Jenis Fiksasi
4.2 PEMBAHASAN
Pemilihan terapi untuk fraktur proximal humerus Neer part 2 & 3 mencakup
terapi non-operatif dan operatif. Preferensi untuk operasi tergantung dari umur dan
31
32
kualitas tulang pasien, dan juga kemampuan operator untuk menganalisa tipe fraktur dan
memilih teknik yang sesuai untuk mengembalikan fungsi anatomis dari proximal
humerus.
Secara insiden, fraktur proximal humerus yang lebih sering terjadi pada wanita
post menopause, memaparkan beberapa dilema untuk pemilihan terapi fraktur disebabkan
adanya kondisi porotik tulang. Hal ini menyulitkan pemasangan implant karena
kurangnya purchase pada tulang dan resiko terjadi osteonekrosis dan impingement
subakromion pada penggunaan plate & screw.13 Beberapa literatur menyatakan
pemasangan K-wire perkutaneus memiliki keuntungan yang lebih baik karena minimal
soft tissue stripping, namun resiko cedera neurovaskular tetap harus dipertimbangkan.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa nilai rata-rata ASES score paling rendah secara
signifikan pada kelompok Coaptation Splint (69,73) dan paling tinggi pada kelompok Plate
and Screw (89,50). Scoring sistem ASES menunjukkan adanya outcome yang lebih superior
untuk pemasangan plate & screw berupa T-buttress plate dibandingkan dengan kelompok
yang menggunakan splint. Nilai rata-rata ASES score untuk penggunaan K-wire (77,33)
menunjukkan outcome yang lebih baik dibandingkan dengan splint namun tidak lebih baik
daripada penggunaan plate & screw. Sesuai dengan pengkajian Sidhu et.al, dimana
penggunaan T-buttress plate memberikan functional outcome yang baik untuk fraktur
proximal humerus Neer part 2 & 3 pada penderita dengan kualitas tulang yang baik.12
32
33
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
1. Skor ASES mendukung hasil fungsional untuk plate and screw dibandingkan dengan K-
wire dan coaptation splint, di kelompok usia antara 40-60 tahun.2. Hingga saat ini belum ada pilihan terbaik untuk menanganifraktur proximal humerus,
berbagai jenis penanganan bisa diterapkan pada setiap individu tergantung pada banyak
faktor seperti usia, tulang, penyembuhan tulang dan kepatuhan pasien, dan lain-lain.
5.2 SARANPenelitian lebih lanjut dianjurkan pada kelompok usia yang berbeda, sebaiknya pada usia
yang lebih muda.
33
34
DAFTAR PUSTAKA
Keating J. (2010). Fracture of the Humeral Neck . Rockwood and Green’s Fracture in Adults7ed. Lippincott Williams & Wilkins.;35:1047-8.
Brinker MR. (2013). Proximal Humerus Fracture and Dislocation. Review of OrthopaedicTrauma 2 nd ed. Lippincott Williams & Wilkins.;19:404-430.
Browner BD. et al. (2014). Chapter 4: Upper Extremity. Skeletal Trauma 5 th ed. Elsevier.;1410-1.
Konrad GG. et al . (2008). Proximal Humerus Fractures - Current Treatment Options. ActaChirurgiae Orthopaedicae Et Traumatologiae. Department für Orthopädie undTraumatologie, Klinikum der Albert-Ludwigs-Universitä.;412-21.
Khmelnitskaya E. et al. (2012). Evaluation and Management of Proximal Humeral Fracture. Hindawi Publishing Corporation Advances in Orthopaedic.;1-10.
Nho BS. et al. (2008). Management of Proximal Humeral Fracture. The Journal of Bone andJoint Surgery.;89(A):44-57.
Rüedi TP. et al. (2009). Proximal Humerus Fracture. AO Principle of FractureManagement.;Vol.2:590.
Vachtsevanos L. et al. (2014). Management of Proximal Humeral Fracture in Adults. CardiffJournal of Orthopaedic.;685-93.
34
35
Twiss T. et al (2015). Nonoperative Treatment of Proximal Humeral Fracture. Evaluation andManagement of Proximal Humeral Fracture. Springer.;2:23-37.
Murray IR. et al. (2011). Article Review of Proximal Humeral Fracture Concept inClassification, Management and Result. The Journal of Bone and Joint Surgery.;93(B):1.
McClure P. et al. (2013). Measures of Adult Shoulder Function: The American Shoulder andElbow Surgeons Standardized Shoulder Form Patient Self-Report Section (ASES),Disabilities of the Arm, Shoulder, and Hand (DASH), Shoulder Disability Questionnaire,Shoulder Pain and Disability Index (SPADI), and Simple Shoulder Test. Arthritis Care andResearch.;49(55):550-558.
Sidhu AS. et al. (2009). Analysis of Treatment in Proximal Humeral Fracture. JournalPb Orthopaedic.;Vol.XI:1.
De La Hoz Marín JJ. et al. (2010). Surgical Treatment of Proximal Humeral Fracture NeerPart III. Acta Orthopædica Belgica.;67;3.
Jawa A. et al. (2016). Treatment of Proximal Humeral Fracture. The Journal of Bone andJoint Surgery.;4:1.
35
36
Lampiran 1. Alat dan bahan
Medical record Alat tulis menulis dan Kuesioner Penilaian Hasil
fungsional (ASES Score)
Kamera digital
Laptop
36
37
SPSS Versi 22
Lampiran 2. ASES kuesioner
37
38
Lampiran 3. ASES kuesioner untuk pasien
FORMAT WAWANCARA
IDENTITAS PASIEN
1. Nama : ..........................................................
2. Umur : ……………………………………...
3. Rumah Sakit / No. Reg : ..........................................................
4. Pekerjaan : ..........................................................
5. Alamat : ..........................................................
6. No. HP / telp : ..........................................................
I. DATA UMUM PASIEN
1. Tanggal Cedera : ..........................................................
2. Tanggal dilakukan OP : .........................................................
II. DATA KLINIS PASIEN
1. Keadaan umum : a. Baik b. Sedang c. Lemah
2. Keluhan : ..........................................................
3. Mekanisme : ...........................................................
4. Riwayat penyakit : ..........................................................
38
39
5. Riwayat operasi : ..........................................................
6. Sisi cidera : kanan / kiri
7. Trauma penyerta : ...........................................
III. DATA HASIL FUNGSI KLINIS
1. Berdasarkan kriteriaASES (American Shoulder & Elbow Surgeon) Score:
Skala 0: Poor outcome / disabilitas / nyeri berat. Skala 100: excellent outcome
Subskala nyeriIntensitas nyeri:
Subskala fungsional1. Apakah sulit bagi anda untuk mngenakan jas?- Tidak bisa- Sangat sulit- Agak sulit- Tidak sulit
2. Apakah sulit bagi anda untuk tidur di sisi yang cedera?- Tidak bisa- Sangat sulit- Agak sulit- Tidak sulit
3. Apakah sulit bagi anda untuk menyikat punggung (atau mengenakan bra)?- Tidak bisa- Sangat sulit- Agak sulit- Tidak sulit
4. Apakah sulit untuk melakukan aktivitas toilet?
- Tidak bisa- Sangat sulit- Agak sulit- Tidak sulit
5. Apakah sulit untuk menyisir rambut anda?
- Tidak bisa- Sangat sulit- Agak sulit- Tidak sulit
6. Apakah sulit bagi anda untuk menjangkau barang di atas lemari?
39
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidaknyeri
Sangatnyeri
40
- Tidak bisa- Sangat sulit- Agak sulit- Tidak sulit
7. Apakah sulit untuk mengangkat beban sekitar 4.5 kg diatas bahu?
- Tidak bisa- Sangat sulit- Agak sulit- Tidak sulit
8. Apakah sulit untuk melempar bola diatas kepala?
- Tidak bisa- Sangat sulit- Agak sulit- Tidak sulit
9. Apakah sulit untuk melakukan pekerjaan sehari-hari?
- Tidak bisa- Sangat sulit- Agak sulit- Tidak sulit
10. Apakah sulit untuk melakukan aktivitas olahraga atau rekreasional?
- Tidak bisa- Sangat sulit- Agak sulit- Tidak sulit
Interpretasi:11
Subscale nyeri: (10-raw score) x 5 (score 0-50 ASES point)
Subscale fungsi: (10 item x 5) ÷ 3 (score 0-50 ASES point)
Total ASES score: Subscale nyeri (50% dari total) + subscale fungsi (50% dari total)
0-100 (0 = paling nyeri / disabilitas tertinggi)
40
41
Lampiran 4. Fraktur Proximal Humerus dengan fiksasi K-wire
41
42
Lampiran 5. Fraktur Proximal Humerus dengan fiksasi T-buttress plate
42
43
Lampiran 6. Fraktur proximal humerus dengan coaptation splint
43
44
Lampiran 7. Sampel Data Pasien
NONO
SAMPELUMUR JK DIAGNOSA FIKSASI ASES SCORE
1 1 55 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsCoaptation Splint 61.72
2 2 45 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsCoaptation Splint 56.71
3 3 51 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsCoaptation Splint 73.4
4 4 55 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 3
partsCoaptation Splint 65.06
5 5 48 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsCoaptation Splint 55.04
6 6 47 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsCoaptation Splint 61.72
7 7 42 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 3
partsCoaptation Splint 76.74
8 8 49 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsCoaptation Splint 61.72
9 9 53 PClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsCoaptation Splint 78.41
10 10 55 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsCoaptation Splint 83.42
11 11 60 PClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsCoaptation Splint 73.4
12 12 55 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsCoaptation Splint 85.08
44
45
13 13 51 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsCoaptation Splint 73.41
14 14 42 PClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsCoaptation Splint 63.39
15 15 48 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsCoaptation Splint 76.74
16 16 47 PClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsK-Wire 89.01
17 17 42 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsK-Wire 58.38
18 18 49 PClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsK-Wire 76.74
19 19 45 PClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 3
partsK-Wire 78.41
20 20 43 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsK-Wire 75.07
21 21 44 PClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsK-Wire 83.42
22 22 47 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsK-Wire 73.41
23 23 46 PClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 3
partsK-Wire 76.74
24 24 42 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsK-Wire 75.07
25 25 48 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsK-Wire 76.74
26 26 44 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsK-Wire 75.07
27 27 48 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsK-Wire 80.09
28 28 47 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsK-Wire 76.73
29 29 51 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 3
partsK-Wire 76.79
30 30 50 PClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsK-Wire 78.41
31 31 57 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsK-Wire 75.07
32 32 54 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsK-Wire 71.73
33 33 47 PClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsK-Wire 95.1
34 34 43 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 3
partsPlate & Screw 90.1
35 35 54 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsPlate & Screw 95.1
36 36 49 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsPlate & Screw 76.74
37 37 56 PClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsPlate & Screw 86.75
38 38 49 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 3
partsPlate & Screw 91.76
39 39 55 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsPlate & Screw 71.72
40 40 57 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsPlate & Screw 81.75
45
46
41 41 56 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsPlate & Screw 73.4
42 42 42 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 3
partsPlate & Screw 95.1
43 43 44 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsPlate & Screw 95.1
44 44 43 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsPlate & Screw 95.1
45 45 48 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsPlate & Screw 90.1
46 46 48 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 3
partsPlate & Screw 90.1
47 47 47 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsPlate & Screw 95.1
48 48 51 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsPlate & Screw 95.1
49 49 43 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsPlate & Screw 95.1
50 50 44 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 3
partsPlate & Screw 100
51 51 49 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsPlate & Screw 100
52 52 48 LClosed Fracture Proximal Left Humerus Neer 2
partsPlate & Screw 83.42
53 53 50 LClosed Fracture Proximal Right Humerus Neer 3
partsPlate & Screw 88.42
46
47