GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

16
59 GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM PENGELOMPOKAN BAHASA (GENOLINGUISTICS: ALTERNATIVE APPROACH IN LANGUAGE GROUPING) Mahsun Universitas Mataram Jalan Majapahit Nomor 62, Gomong, Kecamatan Selaparang, Kota Mataram Nusa Tenggara Barat 83115 Pos-el: [email protected] Yenni Febtaria Wijayatiningsih Kantor Bahasa NTB Jalan Dokter Sujono, Kelurahan Jempong Baru, Kecamatan Sekarbela, Kota Mataram (953,76 km) Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia 83115 Pos-el: [email protected] Abstract Until recently, the results of language grouping in Indonesia conducted by some linguists still show differences one another. Take for example, the study on grouping of Malay and Javanese languages done by Dyen and Blust or that of Indonesian languages conducted by SIL group and by Dempwolff were proved to be dissimilar. This indicates that analysis focusing only on language aspects is not sufficient to provide a more accountable language grouping analysis. Therefore, it is important to collaborate with other disciplines which are expected to be synergic with language aspect analysis. Plenty of studies which relate ethnic grouping genetically to the grouping of speakers of certain sublanguages have been conducted. Unfortunately, the studies of the two disciplines were not conducted integratedly, so that the results are less satisfying. This is due to the unavailability of established formulation about the concepts and collaborative method of the two disciplines. Therefore, this paper aims at describing in detail about how linguistics and genetics collaborate as a new subinterdisciplines called Genolinguistics to be applied in the study on grouping of related languages. Key word: subinterdisciplines, collaborative, genolinguistics, grouping, genetics Abstrak Setakat ini, hasil pengelompokan bahasa-bahasa di Indonesia yang dilakukan para linguis masih terdapat perbedaan satu dengan lainnya, misalnya perbedaan pengelompokan bahasa Melayu dengan Jawa yang dilakukan Dyen dan Blust atau pengelompokan bahasa-bahasa di Indonesia yang dilakukan kelompok SIL dengan pengelompokan bahasa yang dilakukan Dempwolff. Hal ini membuktikan bahwa analisis dari aspek kebahasaan belum cukup untuk menghasilkan analisis pengelompokkan bahasa yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Diperlukan dukungan kajian dari bidang lain yang diharapkan dapat bersinergi dengan analisis dari aspek kebahasaan. Kajian yang menghubungkan pengelompokkan etnis secara genetis dengan pengelompokkan penutur bahasa-bahasa tertentu sudah banyak dilakukan. Namun, sayangnya kajian kedua bidang itu berjalan sendiri-sendiri sehingga hasil yang diperoleh kurang memuaskan. Hal ini disebabkan belum terdapatnya rumusan yang jelas tentang konsep dan metode kolaboratif antarkedua bidang itu. Untuk itu, tulisan ini mencoba memaparkan secara jelas tentang bagaimana linguistik dan genetika dapat berkolaborasi sebagai satu subdisiplin antarbidang baru yang disebut genolinguistik dalam kajian pengelompokkan bahasa- bahasa berkerabat. Kata kunci: subinterdisiplin, kolaborasi, genolinguistik, pengelompokan, genetika

Transcript of GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

Page 1: GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

Mahsun, et al: Genolinguistik: Ancangan Alternatif ...

59

GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM PENGELOMPOKAN BAHASA

(GENOLINGUISTICS: ALTERNATIVE APPROACH IN LANGUAGE GROUPING)

MahsunUniversitas Mataram

Jalan Majapahit Nomor 62, Gomong, Kecamatan Selaparang, Kota Mataram Nusa Tenggara Barat 83115

Pos-el: [email protected]

Yenni Febtaria WijayatiningsihKantor Bahasa NTB

Jalan Dokter Sujono, Kelurahan Jempong Baru, Kecamatan Sekarbela, Kota Mataram (953,76 km)Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia 83115

Pos-el: [email protected]

Abstract

Until recently, the results of language grouping in Indonesia conducted by some linguists still show differences one another. Take for example, the study on grouping of Malay and Javanese languages done by Dyen and Blust or that of Indonesian languages conducted by SIL group and by Dempwolff were proved to be dissimilar. This indicates that analysis focusing only on language aspects is not sufficient to provide a more accountable language grouping analysis. Therefore, it is important to collaborate with other disciplines which are expected to be synergic with language aspect analysis. Plenty of studies which relate ethnic grouping genetically to the grouping of speakers of certain sublanguages have been conducted. Unfortunately, the studies of the two disciplines were not conducted integratedly, so that the results are less satisfying. This is due to the unavailability of established formulation about the concepts and collaborative method of the two disciplines. Therefore, this paper aims at describing in detail about how linguistics and genetics collaborate as a new subinterdisciplines called Genolinguistics to be applied in the study on grouping of related languages.

Key word: subinterdisciplines, collaborative, genolinguistics, grouping, genetics

Abstrak

Setakat ini, hasil pengelompokan bahasa-bahasa di Indonesia yang dilakukan para linguis masih terdapat perbedaan satu dengan lainnya, misalnya perbedaan pengelompokan bahasa Melayu dengan Jawa yang dilakukan Dyen dan Blust atau pengelompokan bahasa-bahasa di Indonesia yang dilakukan kelompok SIL dengan pengelompokan bahasa yang dilakukan Dempwolff. Hal ini membuktikan bahwa analisis dari aspek kebahasaan belum cukup untuk menghasilkan analisis pengelompokkan bahasa yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Diperlukan dukungan kajian dari bidang lain yang diharapkan dapat bersinergi dengan analisis dari aspek kebahasaan. Kajian yang menghubungkan pengelompokkan etnis secara genetis dengan pengelompokkan penutur bahasa-bahasa tertentu sudah banyak dilakukan. Namun, sayangnya kajian kedua bidang itu berjalan sendiri-sendiri sehingga hasil yang diperoleh kurang memuaskan. Hal ini disebabkan belum terdapatnya rumusan yang jelas tentang konsep dan metode kolaboratif antarkedua bidang itu. Untuk itu, tulisan ini mencoba memaparkan secara jelas tentang bagaimana linguistik dan genetika dapat berkolaborasi sebagai satu subdisiplin antarbidang baru yang disebut genolinguistik dalam kajian pengelompokkan bahasa-bahasa berkerabat.

Kata kunci: subinterdisiplin, kolaborasi, genolinguistik, pengelompokan, genetika

Page 2: GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

60

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 59–74

1. Pendahuluan Dalam linguistik, khususnya linguistik

diakronis, terdapat dua hipotesis yang mendasari munculnya asumsi-asumsi dasar sehingga memungkinkan bidang ilmu ini dapat menjalankan kerja akademiknya. Kedua hipotesis tersebut adalah hipotesis keterhubungan (relatedness hypothesis) dan keteraturan (regularity hypothesis) tentang semua fenomena lingual yang menjadi objek kajian linguistik. Hipotesis keterhubungan berasumsi bahwa bahasa-bahasa/dialek-dialek itu, pada dasarnya berhubungan satu sama lain karena semua bahasa/dialek yang ada berasal dari satu bahasa induk. Oleh karena berasal dari satu bahasa induk, kerja perbandingan haruslah ditujukan pada upaya menjelaskan adanya persamaan antara kata-kata dari berbagai bahasa/dialek yang berbeda tersebut. Selain itu, karena berasal dari satu bahasa induk, pada bahasa-bahasa atau dialek-dialek turunan dapat ditemukan unsur-unsur pewarisan dari bahasa purbanya (bentuk relik, baik berupa retensi maupun inovasi fonologis). Adapun hipotesis keteraturan dimaksudkan bahwa rekonstruksi bahasa induk dengan mudah dilakukan karena diperkirakan adanya perubahan-perubahan bahasa yang bersifat teratur. Diasumsikan bahwa setiap (bentuk) bunyi dari suatu bahasa atau dialek akan berubah dengan cara yang sama pada setiap keadaan dan kejadian yang sama. Meskipun harus dicatat bahwa perubahan tidak selamanya berlangsung secara teratur, ada unsur-unsur kebahasaan (leksikon) tertentu yang berubah secara sporadis karena setiap kata dalam bahasa memiliki sejarah sendiri-sendiri. Oleh karena itu, melalui asumsi ini para ahli linguistik diakronis berupaya mengkaji kata-kata yang mempunyai arti yang sama dari berbagai bahasa yang diperkirakan berasal dari satu bahasa induk dengan harapan dapat menemukan hubungan bunyi untuk dilakukan rekonstruksi bahasa purbanya.

Dengan berlandaskan pada dua asumsi tersebut, bahasa-bahasa di dunia ini (termasuk dialek-dialek dari bahasa itu) di samping dapat dikelompokan ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda, juga dapat pula diperlihatkan keterkaitan antara satu kelompok dengan kelompok lain pada tataran yang

lebih tua sejarahnya. Kenyataan tersebut selain memungkinkan untuk dilakukan pengelompokkan populasi manusia penutur bahasa (dialek) juga dapat dilakukan penelusuran keterhubungan satu dengan lainnya dalam mata rantai persebaran populasi etnis/subetnis.

Darwin, dalam teori evolusinya menyatakan bahwa perkembangan ras-ras manusia dan diversifikasi bahasa adalah dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Pada suatu saat sebuah bahasa digunakan oleh sekelompok orang di dunia ini, kemudian kelompok tersebut terpecah mungkin karena masalah-masalah yang terkait dengan kesulitan bahan makanan, kependudukan, pemukiman, atau karena konflik sosial yang bersifat internal di tempat yang lama. Lama-kelamaan tampilan fisik dan juga bahasa dari kelompok-kelompok baru hasil pecahan itu menjadi berbeda. Apabila proses perpecahan yang membentuk kelompok baru tersebut berlangsung berkali-kali, akan terbentuklah sebuah pohon keluarga ras dan bahasa. Dengan kata lain, apabila hal itu berlangsung secara normal, distribusi bahasa di seluruh dunia akan berjalan seiring dengan distribusi secara genetis. Selanjutnya, jika fakta-fakta bahasa mengindikasikan cara-cara kelompok yang terpecah-pecah itu menyebar ke seluruh dunia, pola-pola penyebaran bahasa semestinya sama dengan pola penyebaran genetik manusia.

Dalam bidang genetika telah berhasil diidentifikasi unit-unit herediter yang ditransmisikan (diwariskan) dari satu generasi ke generasi berikutnya yang disebut dengan gen. Manusia memiliki seperangkat lengkap gen yang disebut dengan genom. Gen ini menempati sebuah bintik kecil yang disebut nukleus di dalam setiap sel. Tubuh manusia memiliki 100 triliyun sel yang kebanyakan berdiameter sepersepuluh milimeter. Sementara itu, di dalam nukleus terdapat dua perangkat lengkap (sepasang x sepasang) genom manusia, kecuali dalam sel telur dan sperma yang masing-masing hanya memiliki seperangkat (sebelah pasang) dan sel darah merah yang tidak mengandung genom.

Genom manusia bagaikan peti harta karun yang berisi informasi/rahasia dalam wujud ribuan gen dan jutaan untaian. Setiap genom terdiri atas sekitar 30.000 – 80.000 gen. Genom hadir dalam paket yang berisi 23 kromosom yang terpisah-pisah. Setiap kromoson bercerita tentang hal yang

Page 3: GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

Mahsun, et al: Genolinguistik: Ancangan Alternatif ...

61

berbeda-beda, misalnya cerita tentang kehidupan (kromosom 1), tentang sejarah (kromosom 3), tentang takdir (kromosom 4), dan seterusnya (Ridley, 2005). Pendeknya, genom berisi pesan-pesan rahasia, baik tentang masa lampau yang jauh maupun yang dekat mengenai manusia itu sendiri. Dengan demikian, genom sama dengan buku. Apabila buku ditulis pada halaman yang rata, genom ditulis pada rantai-rantai panjang gula dan posfat yang disebut molekul-molekul DNA tempat basa-basa melekat ke samping membentuk anak-anak tangga. Setiap kromosom adalah sepasang molekul DNA yang (sangat) panjang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gen terdapat dalam molekul-molekul panjang asam deoksiribonukleat atau yang sering kita kenal dengan DNA (deoxyribonucleat acid). Molekul-molekul inilah yang berperan sebagai pembawa informasi genetik dari satu generasi ke generasi berikutnya. Keunggulan dari DNA ini adalah kemampuannya untuk menyalin untaian komplementer yang menghasilkan untai yang sama dengan yang asli. Jika urutan ACGT menjadi TGCA dalam Salinan, akan ditranskrip kembali menjadi ACGT dalam salinan yang berasal dari salinan. Hal ini memungkinkan DNA mengalami replikasi tanpa batas dengan tetap menyimpan informasi yang sama. Dengan demikian, DNA dapat menjadi instrumen untuk mengelompokkan dan menjajaki perjalanan historis populasi manusia.

Adanya kesamaan beberapa tujuan akhir dari kerja linguistik dengan genetika memunculkan harapan baru bagi upaya mengolaborasikan antarkeduanya sehingga menghasilkan satu ilmu antardidsiplin baru yang secara stipulatif diberi nama genolinguistik. Berdasarkan latar pemikiran tersebut, masalah pokok yang dibahas dalam artikel ini dapat dirumuskan berikut.1. Apakah yang dimaksudkan dengan studi

genolinguistik?2. Bagaimanakah kerangka konseptual dan

metodologis pengitegrasian kajian lingusitik dengan kajian genetika dalam konteks subdisiplin genolinguistik?

3. Bagaimanakah contoh implementasi kajian genolinguistik dalam kajian pengelompokan

bahasa?Untuk menjawab masalah tersebut

diperlukan data, baik menyangkut data contoh hasil kajian linguistik yang dihubungkan dengan kajian linguistik atau sebaliknya maupun data untuk memperlihatkan bagaimana kajian genolinguistik diterapkan dalam kajian sesungguhnya. Untuk jenis data yang pertama, disediakan dengan menggunakan metode simak teknik simak libat cakap. Metode dengan teknik ini dimaksudkan sebagai upaya penyediaan data melalui dokumen hasil kajian yang mencoba menghubungkan antara kajian linguistik dengan genetika atau sebaliknya yang telah dilakukan para pakar sebelumnya. Selain itu, metode simak dengan teknik ini digunakan juga dalam menyediakan data yang berupa hasil analisis genetika pada penutur bahasa yang sama dengan penutur bahasa yang data kebahasaannya diambil. Dalam hal ini data hasil analisis genetika atas penutur bahasa Tobati, Tarfia, Gresis, dan Namblong yang dihasilkan oleh Mulyanto et al. (2005-2008). Adapun untuk menyediakan data kebahasaan dalam keempat bahasa itu dilakukan dengan metode cakap teknik cakap semuka, yaitu suatu metode yang bertujuan untuk penyediaan data melalui cara peneliti langsung mewawancarai informan di lokasi tempat penutur bahasa tersebut. Data yang telah disediakan itu dianalisis dengan menggunakan metode padan teknik hubung-banding menyamakan, hubung-banding membedakan, dan hubung-banding menyamakan hal pokok. Ihwal penggunaan metode dan teknik terebut, baik pada tahap penyediaan data maupun pada tahap analisis data dapat dilihat dalam Mahsun (2017).

2. Kerangka Teori2.1 Pengelompokan Bahasa

Berdasarkan Kajian LinguistikUpaya yang mencoba menghubungkan

antara satu bahasa dengan bahasa yang lain untuk menemukan keterhubungan bahasa-bahasa itu merupakan spirit kerja akademik yang mewarnai perjalanan kajian linguistik sepanjang abad ke-19. Kegiatan ini mencapai bentuknya yang lebih ilmiah pada paruh kedua abad ke-19 yang ditandai dengan lahirnya kelompok yang menamakan diri sebagai penganut Aliran

Page 4: GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

62

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 59–74

Tata Bahasa Baru (Neogrammarian/Jung Gramatiker) dengan tokoh-tokohnya antara lain: Karl Verner, August Leskien, Hermann Paul, dan lain-lain. Teori yang dikembangkan berupa Hukum Perubahan Bunyi tanpa Kecuali (Ausnahmslosigkeit der Lautgesetze) telah menyita perhatian para peminat linguistik pada saat itu untuk membuktikan kebenarannya. Implikasi dari upaya-upaya pembuktian itu telah mendorong lahirnya subkajian linguistik diakronis dan dialektologi yang peletakan dasarnya dilakukan oleh Gillièron di Prancis dan Wenker di Jerman. Dengan demikian, kajian linguistik diakronis menemukan landasan epistemologisnya dalam dua bentuk, yaitu linguistik historis komparatif dan dialektologi (diakronis).

Berbagai upaya akademik yang terkait dengan kajian linguistik diakronis terus digalakkan. Kajian yang berupaya menelusuri relasi kekerabatan dan pengelompokan bahasa serta rekonstruksi bahasa purba yang menurunkan bahasa-bahasa berkerabat banyak membuahkan hasil, seperti ditemukan hasil rekonstruksi bahasa purba yang menurunkan kelompok bahasa-bahasa Indo-Eropa yang disebut Protobahasa Indo-Eropa, bahasa purba yang menurukan bahasa-bahasa Austronesia yang disebut Protobahasa Austronesia dan lainnya.

Dalam upaya pengelompokkan (termasuk juga rekonstruksi bahasa purba) bahasa-bahasa berkerabat yang memiliki tradisi tulis yang cukup panjang sejarahnya, seperti kelompok bahasa-bahasa Indo-Eropa relatif tidak ditemukan kesulitan karena data berupa naskah kuno dapat menyisakan jejak-jejak historis perubahan bahasa yang dialami oleh bahasa-bahasa tersebut. Berbeda halnya dengan upaya pengelompokan bahasa-bahasa berkerabat yang tidak memiliki sejarah tradisi tulis yang panjang, seperti bahasa-bahasa yang masuk rumpun Austronesia. Bebagai perbedaan dalam pengelompokan (termasuk dalam penentuan wujud etimon purba) sering terjadi antara linguis yang satu dengan linguis yang lainnya. Sebagai contoh, dijumpai perbedaan pengelompokan bahasa-bahasa Melayu Polinesia di Indonesia yang dilakukan Brandes (1884) dengan yang dilakukan Blust (1971); pengelompokan dan penelusuran kekerabatan beberapa bahasa

dalam subkelompok bahasa rumpun bahasa Austronesia yang dilakukan Dyen (1965) dan Blust (1971); atau pertentangan pengelompokan bahasa Melayu dan Jawa ke dalam kelompok keluarga bahasa tertentu antara Nothofer (1975) dengan Blust (1971). Apabila Nothofer mengelompokkan bahasa Melayu ke dalam keluarga bahasa Melayu-Javanik yang di dalamnya ada bahasa Melayu, Jawa, Madura, dan Sunda, namun Blust justru bahasa Melayu dipandang lebih dekat hubungannya dengan bahasa Aceh dan Chamic di Vietnam, sedangkan bahasa Jawa dianggap lebih dekat hubungannya ke bahasa Bali dan Sasak di Lombok.

Adanya perbedaan dalam pengelompokan bahasa seperti digambarkan di atas, tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Ikhtiar untuk terus menemukan metode yang handal dalam rangka mencapai kebenaran ilmiah haruslah terus digalakkan. Salah satu ikhtiar itu adalah mencoba memanfaatkan teori, metode yang terdapat dalam ilmu lain, atau bahkan mencoba mengelaborasikan kosep teoretis dengan metode dalam berbagai disiplin ilmu. Langkah-langkah seperti itu bukan sesuatu yang diharamkan karena dalam dunia ide (ilmu) tidak mengenal pengkotak-kotakan. Dapat saja suatu disiplin ilmu meminjam teknik, konsep, hukum, data, model, teori, atau penjelasan–pendek kata, apapun yang dianggap berguna untuk mencapai kebenaran (Kaplan, 1964). Itu sebabnya, linguistik diakronis dapat merapikan hasil analisis pengelompokkan bahasa dan penelusuran arah migrasi penuturnya melalui hasil pengelompokkan populasi yang dilakukan dalam kajian genetika. Begitu pula genetika dapat meminjam model penentuan sampel dari disiplin linguistik diakronis untuk melaksanakan kerja akademiknya.

2.2 Upaya-Upaya Awal Kajian Genetika yang Berimplikasi pada Pengelompokkan BahasaDalam kajian genetika, berbagai upaya

yang mencoba mengaitkan hasil kajian bidang ini dengan hasil kajian bidang linguistik sudah banyak dilakukan, di antaranya dilakukan oleh Bellwood (2000), Olson (2003), Marzuki et al. (2003) yang secara singkat hasilnya disampaikan

Page 5: GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

Mahsun, et al: Genolinguistik: Ancangan Alternatif ...

63

berikut.Kajian yang dilakukan oleh Bellwood (2000)

memfokuskan diri pada upaya penelusuran fase prasejarah kelompok manusia yang terdapat di kepulauan Indonesia dan Malaysia yang disebutnya dengan nama kepulauan Indo-Malaysia. Dalam kajian ini, selain menggunakan pendekatan genetika atau disebutnya Antropologi Biologis dan arkeologi, juga menggunakan pendekatan linguistik. Dengan menggunakan data skunder yang berupa hasil kajian pakar dalam masing-masing ketiga bidang itu, Bellwood mampu merajut informasi yang menunjukkan adanya kesesuaian secara relatif antara fakta arkeologis dengan fakta genetik (DNA) dan fakta kebahasaan dalam menelusuri asal dan migrasi manusia yang mendiami kepulauan Indo-Malaysia. Dari segi kebahasaan, Bellwood secara jelas menyebutkan bahwa simpulan tentang prasejarah kawasan Indo-Malaysia 5.000 tahun lalu harus mempertimbangkan secara serius fakta bahasa dan tidak dengan serta merta menerima begitu saja pandangan yang dibangun atas dasar fakta arkeologis, melainkan mencoba memadukan berbagai fakta dari berbagai disiplin ilmu, termasuk linguistik dan genetika. Bukti arkeologis yang berupa budaya tembikar menunjukkan kesesuaian dengan data kebahasaan. Kosakata yang menunjukkan penggunaan benda-benda budaya itu ditemukan dalam kosakata masyarakat penutur Melayu-Polinesia awal di Taiwan sekitar 4000 dan 3000 SM. Ini menunjukkan bahwa tanah asal protobahasa Austronesia paling cocok ditempatkan di Taiwan (Indo-Cina). Dalam hubungan dengan bidang genetika, Bellwood baru sebatas mengambil hasil bahasan unsur DNA dari sekuens polimorfisme genetik yang berhubungan dengan ada tidaknya varian-varian dalam sistem antigen sel merah Diego, protein-protein serum yang mengikat besi transferin, immunoglobulin Gm, dan sistem serum Gc. Berdasarkan unsur ini mampu diidentifikasi perbedaan Mongoloid Asia dan Amerika, termasuk juga Mongoloid Indo-Malaysia dengan orang Australia atau Melanesia. Kedua ras ini (Australia dan Melanesia) cukup dekat asal usulnya, namun keduanya cukup lama terpisah dari orang-orang Asia Tenggara karena banyak ciri dari sistem genetik darah yang berbeda.

Kajian yang relatif serupa dengan yang

dilakukan Bellwood adalah dilakukan Olson (2003). Olson mencoba menjajaki sejarah umat manusia di muka bumi ini dengan memberi penjelasan dari disiplin ilmu arkeologi, genetika, dan linguistik. Bedanya, apabila Bellwood menjajaki prasejarah manusia di kawasan kepulauan Indo-Malaysia, Olson justeru mencoba menguraikan asal usul manusia dalam cakupan yang lebih luas, yaitu populasi manusia yang ada di muka bumi yang dimulai dari penjelasannya tentang bagaimana proses yang dialami manusia purba Afrika menjadi manusia Afrika modern yang tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Dalam hubungan dengan kajian ini, pandangan Olson yang patut dikemukakan ialah adanya kesepadanan/kesesuaian antara fakta arkeologis, bahasa, dan genetik untuk 19 kelompok besar pemakai bahasa-bahasa di dunia, yaitu kelompok bahasa Afro-Asiatik, Altaik-Japanese-Korea, Amerindian, Australia-Aboriginal, Austro-Asiatik, Austronesia, Kaukasian, Dravida, Eskimo-Aleut, Indo-Eropa, Indo-Pasifik, Khoisan, Nia-Dene, Niger-Kordova, Nilo-Sahara, Palaeosiberian, Sino-Tibet, Tai, dan Uralik (Olson, 2003:204).

Selanjutnya, dalam artikel yang berjudul “Human Genome Diversity and Disease on the Island Southest Asia” dalam Tropical Disease yang diterbitkan di New York, Marzuki et al. (2003) mencoba memperlihatkan pengelompokan penutur bahasa Austronesia berdasarkan kesamaan genetis. Dengan analisis struktur genetis (kesamaan nukleotida HVR1 dari mtDNA) berdasarkan 840 DNA sebagai sampel yang diambil dari 28 kelompok etnik (populasi), Marzuki et al. mengajukan pengelompokan populasi dalam bentuk pohon filogenetik yang menggambarkan penutur bahasa Sumbawa berada pada kelompok yang sama dengan penutur kelompok bahasa Sumba dan Minahasa karena memiliki tingkat divergensi mtDNA (0.052), sedangkan Bali dan Sasak dikelompokkan dengan Minangkabau dan Banjar dengan tingkat divergensi mtDNA (0.063, 0.064, 0.060). Yang menarik dari pengelompokan ini ialah bahwa penyatukelompokkan Sasak dengan Bali dan Sumbawa dengan Sumba sebenarnya mengikuti pengelompokkan yang diajukan oleh Bellwood (2000:144) yang disajikannya dalam bentuk peta persebaran bahasa dari subkelompok

Page 6: GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

64

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 59–74

Austronesia utama dan rumpun bahasa lain di Asia Tenggara berikut.

Peta tersebut memperlihatkan bahwa bahasa Sumbawa dan bahasa Bima yang terdapat di pulau Sumbawa disatukelompokkan dengan bahasa Sumba ke dalam kelompok subrumpun Austronesia Tengah-Timur. Baik Blust maupun Brandes tidak memasukkan bahasa Sumbawa ke dalam kelompok bahasa yang sama dengan bahasa Bima dan Sumba, melainkan memasukkan bahasa tersebut ke dalam subrumpun Austronesia Barat. Di wilayah pulau Sumbawa itulah tempat terjadinya pemisahan wilayah Austronesia Barat dengan Austronesia Timur menurut konsep Brandes atau Austronesia Tengah-Timur menurut konsep Blust. Akibat dari kesalahan penapsiran yang dilakukan oleh Bellwood dimanfaatkan oleh Marzuki et al. lalu dihubungkan dengan hasil analisis genetika yang dilakukannya. Dari pembandingan itu terkesan ada pemaksaan fakta genetis untuk mengikuti alur penjelasan pemilahan bahasa yang dapahami oleh peneliti genetika tersebut.

Apa yang ingin dikatakan dari uaraian tersebut ialah kebanyakan ahli genetika yang mencoba mengaitkan kajiannya dengan masalah persebaran etnis (sengaja atau tidak sengaja) mendasarkan diri pada kajian bahasa. Fakta pengelompokan bahasa diupayakan bersesuaian dengan penafsiran genetika. Hal ini dapat terjadi karena jauh sebelum genetika mencoba menghubungkan temuannya tentang genom manusia dengan pengelompokan dan penelusuran migrasi populasi manusia, linguistik telah lebih dahulu berbicara tentang hal itu. Jadi, tidak mengherankan jika fakta pengelompokkan populasi manusia berdasarkan bahasa itu dirujuk

para pakar genetika. Namun sayangnya, jika kajian genetika hendak dihubungkan dengan fakta bahasa seharusnya pengambilan sampel, baik untuk genetika maupun linguistik dilakukan secara bersama-sama dengan berbasis pada penutur bahasa tertentu yang sama pula. Apabila generalisasi akan dibuat untuk populasi yang lebih luas, katakan kelompok yang berkategori keluarga atau rumpun bahasa, sampelnya harus mencerminkan keberbedaan bahasa yang terdapat dalam kelompok bahasa tersebut. Ada kemungkinan, meskipun kelompok bahasanya sama (sama-sama rumpun Austronesia) bisa jadi antara penutur bahasa yang satu dengan penutur bahasa yang lain dalam kelompok itu berbeda gennya. Sekadar contoh, Nurainy (2005) menyatakan bahwa genotipe VHB pada penutur bahasa Austronesia di Indonesia adalah genotipe B, sedangkan genotipe C menjadi salah satu ciri penutur bahasa di Papua dan populasi Austromelanosid.

3. Pembahasan3.1 Ihwal Genolinguistik

Dalam bukunya yang berjudul Genolinguistik: Kolaborasi Linguistik dengan Genetika dalam Pengelompokan Bahasa dan Populasi Penuturnya, Mahsun (2010) memberi batasan tentang genolinguistik sebagai subdisiplin antarbidang lingistik dengan genetika yang menkaji masalah pengelompokkan populasi manusia, relasi kekerabatan di antaranya, serta perjalanan historis yang dialami oleh kelompok populasi tersebut melalui pengelompokan dan penelusuran relasi kekerabatan bahasa dan gen. Dimungkinkannya linguistik dan genetika bersinergi untuk tujuan di atas dapat dijelaskan berikut.

a. Baik bahasa (yang menjadi objek linguistik) maupun gen memiliki “kekuasaan” istimewa atas kehidupan dan urusan manusia. Kita dapat membayangkan apa yang terjadi pada diri manusia jika gen yang memiliki tugas tertentu, salah satu atau beberapa di antaranya tidak berfungsi seperti yang terjadi pada mereka yang mengalami gangguan genetis secara serius. Dengan analog yang sama, dapat kita membayangkan pula apa yang terjadi pada diri manusia yang tidak memiliki kemampuan berbahasa seperti yang dialami oleh mereka

Page 7: GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

Mahsun, et al: Genolinguistik: Ancangan Alternatif ...

65

yang mendapat gangguan berbicara. Mau tidak mau hidup mereka menjadi serba terbatas dan berkekurangan.

b. Apabila garis keturunan gen memiliki potensi menjadi abadi yang dibuktikan melalui materi genetis pada organisme-organisme yang ada sekarang yang diturunkan dari generasi ke generasi (dengan modifikasi) yang tidak terputus, hal yang relatif sama terjadi pada materi bahasa. Dalam bahasa, meskipun tidak sekuat daya tahan gen, namun materi tertentu dari bahasa (seperti satuan gramatis, data kata-kata tertentu yang menyangkut kosakata dasar) masih dapat dipertahankan meskipun dengan modifikasi (istilah linguistiknya: inovasi) fonologis. Fenomena ini mengandung makna bahwa berdasarkan fakta linguistik dan genetika yang ada dapat direkonstruksi masa lampau yang dialami populasi manusia.

c. Suatu ciri penting dari mutasi gen adalah bahwa mutasi itu berlangsung secara individual. Sebuah mutasi tidak mungkin terjadi secara serentak pada sebuah kelompok, tidak seperti kegandrungan orang secara tiba-tiba pada sebuah mode tertentu. Pada mulanya mutasi terjadi pada sebuah sel tunggal lalu menyebar pada sel-sel generasi selanjutnya ketika sel pertama pada generasi yang disebut terakhir itu membelah. Oleh karena itu, sebuah mutasi warisan hanya memiliki dua cara untuk muncul pada lebih dari satu individu, yaitu pertama, mutasi yang sama dapat terjadi secara terpisah pada dua orang, namun pristiwa ini sangat jarang terjadi; kedua, mutasi itu mungkin diturunkan oleh orang tua kepada beberapa anaknya. Hal yang serupa terjadi dalam bahasa. Bahwa perubahan dalam pengucapan suatu bunyi dalam kata suatu bahasa tidaklah berlangsung secara seketika. Sebagai contoh, pengucapan bunyi [u] Protobahasa Austronesia menjadi bunyi [e] pada silabe ultima yang berakhir konsonan dalam bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar (BSDSB) seperti pada etimon PAN *ñiur > ñer ‘kelapa’, tidaklah terjadi secara serentak. Tidak mungkin semua penutur bahasa itu bersepakat untuk bangun pagi-pagi mengucapkan bunyi [u] menjadi [e], melainkan ada orang tertentu yang memulainya dan kecenderungan itu diikuti oleh penutur lainnya. Begitu pula untuk berlakunya kaidah itu pada kata-kata lain yang strukturnya sama dengan kata tersebut, misalnya dari

Protobahasa Sasak-Sumbawa *tutur > BSDSB: tuter ‘tutur, cerita’ tidaklah terjadi serentak bersamaan dengan kata yang bermakna ‘kelapa’ melainkan terjadi secara bertahap. Mungkin yang lebih dahulu kata yang bermakna ‘kelapa’ lalu beberapa waktu kemudian menyusul kata yang bermakna ‘tutur, cerita’ dan seterusnya diikuti kata lain yang sama struktur fonologisnya dengan kata-kata tersebut. Apa yang menarik dari perubahan (mutasi) yang bertahap, baik yang berhubungan dengan gen maupun bahasa ialah bahwa untuk menjadikan perubahan itu sebagai ciri khas populasi diperlukan waktu yang panjang. Bahkan untuk bahasa, bukti-bukti perubahan yang bersifat teratur seperti di atas dapat dijadikan evidensi untuk merekonstruksi bahasa purbanya dan sekaligus dapat dijadikan dasar pengelompokan bahasa-bahasa turunan dari bahasa purba itu. Dengan kata lain, mutasi atau perubahan bertahap mengandung dimensi historis dari populasi yang mengalami mutasi atau perubahan tersebut. Dalam pada itu, bukti-bukti mutasi yang bersifat khas (teratur) dari sekelompok manusia dapat dijadikan bahan untuk merekonstruksi sejarah yang dialami oleh populasinya dalam hubungan dengan populasi lain yang sekerabat dengannya.

Dalam kaitan dengan gen virus hepatitis B yang menjadi contoh analisis genolinguistik yang dipaparkan dalam tulisan ini, beberapa hal yang dikemukakan berikut ini menjadi alasan dimungkinkannya linguistik dan genetika dapat berkolaborasi.

Bahasa yang menjadi objek kajian linguistik ternyata tidak hadir dalam wujud yang homogen, melainkan memiliki varian-varian (heterogen). Kemajuan yang dicapai studi linguistik yang objek sasarannya bahasa telah berhasil merunut relasi historis variasi yang terdapat dalam bahasa dari level yang paling panjang sejarahnya (paling kuna/purba) sampai ke yang paling modern. Secara konseptual/metodologis Swadesh (1955) dengan leksikostatistiknya, berhasil menyusun relasi kekerabatan bahasa dalam satu pohon kekerabatan bahasa, mulai dari level yang paling purba: makrofilum diikuti mesofilum, mikrofilum, rumpun bahasa, keluarga bahasa, sampai level bahasa. Sementara itu, Guiter (1973) dengan konsep metodologisnya yang berupa dialektometri mengajukan suatu kerangka

Page 8: GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

66

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 59–74

perunutan varian yang terdapat pada level bahasa ke varian yang lebih modern dalam hal ini dialek/subdialek, termasuk perbedaan wicara. Guiter mengajukan pandangannya dengan menghitung persentase perbedaan yang terdapat pada isolek-isolek yang diperbandingkan. Apabila kategori yang dikemukakan Swadesh dan Guiter itu dipadukan, akan diperoleh hierarkhi kekerabatan bahasa dari yang paling modern (subdialek) sampai ke yang paling kuno: makrofilum. Untuk jelasnya dapat dilihat dalam ilustrasi berikut ini.

Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa variasi bahasa tidak hanya dapat dirunut dari sebuah protobahasa (bahasa purba) pada tataran yang paling purba/kuno: macrofilum lalu ditemukan variasi berkerabat pada level di bawahnya: mesofilum, microfilum, rumpun bahasa (stock), sampai keluarga bahasa (family), tetapi di bawah level bahasa itu pun masih dapat dirunut variasi level dialek dan subdialek. Sejalan dengan itu, dalam bidang biologi molekuler/genetika, para pakar yang menaruh perhatian pada upaya penyembuhan

dan penyebaran virus hepatitis B (VHB) telah berhasil mengidentifikasi variasi yang terdapat pada unsur fenotipe VHB atas empat jenis: adw, adr, ayw, dan ayr (Mulyanto, 1992 dan Nurainy, 2005), dan variasi pada genotipenya berhasil diidentifikasi atas delapan varian, yaitu: A, B, C, D oleh Okamoto et al. (1988); E, F oleh Norder et al. (1994), G oleh Stuyver et al. (2000), dan H oleh Arauz et al. (2002). Dari sudut pandang virologi dan manifestasi klinik DNA VHB dapat berbeda walaupun dalam genotipe yang sama, misalnya dilaporkan adanya subgenotipe pada genotipe B, yaitu Ba (a untuk Asia) dan Bj (j untuk Jepang). Ba ditandai dengan adanya rekombinasi dengan genotipe C pada daerah precore dan core (Sugauchi et al., 2002). Serokonversi HBeAg lebih banyak ditemukan pada genotipe Bj dibandingkan pada Ba (Sugauchi et al., 2004). Selain adanya subgenotipe Ba dan Bj dilaporkan adanya variasi DNA pada genotipe A yaitu Ae (e untuk Eropa) dan Aa (a untuk Asia dan Afrika) (Saugachi et al., 2004).

Dengan demikian, varian-varian dalam DNA VHB itu memiliki wilayah persebaran spesifik, misalnya serotipe VHB: adw menyebar di wilayah Sumatra, Jawa, Kalimantan, Bali, Lombok, Ternate, Morotai; ayw tersebar di Nusa Tenggara Timur dan Maluku; dan adr di wilayah Papua (Mulyanto et al., 1997). Bahkan keberadaan varian VHB itu, oleh Nurainy (2005) dihubungkan dengan persebaran subrumpun bahasa Austronesia Barat: adw dan subrumpun Austronesia Tengah-Timur: ayw.

3.2 Cakupan Kajian GenolinguistikSeperti dijelaskan sebelumnya bahwa

adanya asumsi yang berangkat dari hipotesis keterhubungan (relatedness hypothesis) dan keteraturan (regularity hypothesis) sebagai landasan kerja linguistik diakronis dan ditemukannya DNA sebagi persenyawaan kimia pada mahluk hidup yang membawa keterangan genetik dari satu generasi ke generasi berikutnya memungkinkan kerja subdisiplin ilmu genolinguistik untuk memfokuskan kerja akademiknya pada upaya pengelompokkan dan penelusuran persebaran populasi manusia. Selain itu, ditemukannya fakta bahwa munculnya varian dalam bahasa sehingga memunculkan

BPI makrofilum

BPI mesofilum

BPI mikrofilum

BPI rumpun bhs

BPI keluarga bhs

BPI satu bhs

(Prabahasa)

BPI level Pradialek

Bahasa Modern

(dialek/subdialek)

Page 9: GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

Mahsun, et al: Genolinguistik: Ancangan Alternatif ...

67

dialek atau bahasa baru disebabkan adanya kelompok penutur suatu bahasa tertentu yang melakukan inovasi secara intens sementara yang lainnya lebih konservatif. Dengan demikian, dalam bahasa-bahasa atau dialek-dialek yang berkerabat dimungkinkan untuk diidentifikasi adanya bahasa atau dialek tertentu dalam kelompok bahasa/dialek berkerabat yang lebih inovatif; sementara yang lain ada yang lebih konservatif. Persoalannya, dari sudut pandang genetika apakah genom pada dialek/subdialek yang inovatif dan konservatif itu terjadi perbedaan atau tidak? Pertanyaan yang sama apakah terjadi pula pada bahasa yang inovatif dan bahasa yang konservatif. Hal-hal semcam ini menjadi kajian yang menarik untuk dikuak dalam kajian genolinguistik. Dengan kata lain, genolinguistik dapat memfokuskan kajiannya pada (1) pengelompokkan dan penelusuran penyebaran bahasa dan populasi penuturnya, (2) penelusuran relasi kekerabatan bahasa dan penuturnya melalui analisis ada tidaknya kesepadanan fakta bahasa dan genetik, (3) penelusuran ada tidaknya kesejajaran fakta bahasa dan fakta genetik yang menyangkut bahasa/dialek yang inovatif dan konservatif, dan (4) merekonstruksi sejarah wilayah yang bahasa dan komunitasnya diteliti. Dengan diperolehnya dua jenis pembuktian, yaitu pembuktian kebahasaan dan pembuktian genetis, upaya-upaya yang dilakukan tersebut dapat lebih dipertanggungjawabkan.

3.3 Kerangka Kerja Kajian GenolinguistikAgar hasil kedua bidang itu dapat

digeneralisasi perlu ditetapkan kerangka kerja/metodologis yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kerangka kerja/metodologis ini terutama dalam penentuan sampel tempat pengambilan data kebahasaan dan data sera (darah). Ada beberapa prinsip yang dapat dianut dalam kajian genolinguistik, khsusunya dalam penentuan sampel penelitian, yaitu prinsip keaslian dan prinsip keterwakilan.

Prinsip keaslian secara metodologis dapat dimaknai bahwa sampel yang diambil itu sedapat mungkin berupa individu yang masih memelihara unsur asli, baik bahasa maupun gennya (bukan gen hasil rekombinasi genetis). Keaslian ini

penting karena yang akan ditelusuri adalah pengelompokkan populasi dan penelusuran arah migrasi. Apabila unsur yang dianalisis bukan unsur kesamaan karena pewarisan dari suatu asal yang sama, generalisasi yang dibuat dalam rangka menjelaskan arah migrasi akan menyesatkan. Selain itu, keaslian itu penting karena baik unsur kebahasaan maupun unsur genetis (DNA) dapat merupakan unsur yang sama karena proses peminjaman atau sama secara kebetulan untuk aspek kebahasaan, atau sama karena telah terjadi rekombinasi genetis akibat kawin campur untuk aspek genetik. Oleh karena itu, agar individu yang menjadi sampel hendaknya individu-individu yang memenuhi syarat-syarat (1) individu itu adalah warga tutur bahasa yang berada di perdesaan, tidak dekat dengan kota besar, (2) mobilitas individu itu rendah (jarang bepergian), (3)lahir dan dibesarkan di tempat itu, (4) bukan merupakan hasil perkawinan silang (lintas bahasa), (5) berpendidikan rendah, maksimal tamat SMU, dan (6) mempunyai kebanggan terhadap bahasa dan kebudayaannya.

Persyaratan pertama ditetapkan dengan asumsi bahwa masyarakat yang tinggal di perdesaan dipandang masih banyak menyimpan keaslian, jarang menerima pengaruh, baik yang berupa unsur kebahasaan maupun yang menyangkut kemungkinan rekombinasi gen akibat perkawinan campuran. Adapun persyaratan kedua, dengan mobilitas rendah, individu itu jarang berinteraksi dengan komunitas lain yang menggunakan bahasa yang berbeda yang dapat memengaruhi penggunaan bahasanya. Begitu pula untuk persyaratan ketiga, seseorang yang lahir di desa yang menggunakan bahasa ibunya itu diasumsikan tidak akan menerima pengaruh dari bahasa lain yang bukan menjadi bahasa ibunya sehingga keaslian bahasa yang digunakan dapat lebih terjaga. Selanjutnya, persyaratan keempat, di samping masalah kebahasaan dapat lebih terjaga keasliannya juga yang menyangkut kemungkinan terjadinya rekombinasi genetik akibat perkawinan campur dapat diminimalkan. Individu yang menjadi sampel dapat dipastikan adalah individu yang bukan merupakan hasil perkawinan campuran. Untuk persyaratan kelima dan keenam pada dasarnya lebih bersifat mendukung persyaratan sebelumnya. Dengan pendidikan rendah diharapkan mobilitasnya

Page 10: GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

68

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 59–74

rendah, jarang berinteraksi dengan komunitas tutur lain sehingga keaslian bahasanya lebih terjaga. Hal yang sama diharapkan juga dari persyaratan keenam karena kebanggaan terhadap bahasa dapat menjadi penjaga dari banyaknya unsur kebahasaan bahasa lain yang masuk dalam bahasa ibunya. Semua persyaratan tersebut pada dasarnya diharapkan menjadi penapis bagi kemungkinan banyaknya pengaruh bahasa lain dan terjadinya rekombinasi genetik akibat perkawainan campuran.

Kemudian, masalah keterwakilan populasi dimaksudkan di sini ialah bahwa jumlah sampel yang diambil haruslah dapat merepresentasikan populasi yang menjadi objek penelitian. Untuk penelitian dari aspek kebahasaan karena analisisnya menyangkut analisis diakronis yang berbasis pada struktur bahasa (struktur fonologis, leksikon, gramatika), jumlah informan paling tidak tiga orang, satu orang yang menjadi informan utama sedang dua orang lainnya sebagai informan pendamping yang menjadi teman berdiskusi untuk saling melengkapi jawaban atas pertanyaan yang disiapkan dalam bentuk instrumen penelitian.

Selanjutnya, untuk data sera mengingat bahwa sampel yang dimaksudkan di sini adalah sampel yang terindikasi mengidap VHB, sementara individu yang terindikasi pengidap VHB itu baru terdeteksi setelah pemeriksaan darah/seranya, idealnya yang pertama ditetapkan adalah penentuan jumlah sampel yang dipandang representatif untuk membuat generalisasi tentang kondisi populasi. Namun demikian, mengingat bahwa jumlah individu yang mengindap VHB dalam suatu populasi sangat terbuka kemungkinannya, dapat banyak dan dapat sedikit, upaya yang dilakukan adalah mengambil darah/sera pada sampel dalam jumlah maksimal sejauh dapat dicapai. Tentunya harus diingat bahwa pengambilan sampel dalam jumlah yang cukup besar banyak hambatannya, misalnya keberadaan individu yang memang bersedia diambil darahnya dan keterbatasan jumlah populasi dari komunitas yang menjadi objek penelitian, seperti penelitian yang dilakukan terhadap kelompok penutur bahasa-bahasa yang terancam punah yang justru banyak ditemukan di daerah terpencil (perdesaan). Oleh karena itu, ukuran besar/kecilnya sampel sebaiknya disesuaikan dengan kondisi dalam arti

ada standar minimalnya. Dalam hal ini, untuk sampel penelitian yang jumlah populasinya cukup tinggi, kita dapat mengambil darah/sera pada jumlah sampel paling sedikit 500 orang, sedangkan pada populasi yang jumlahnya kecil kita dapat mengambil sampel dalam sejumlah yang disesuaikan dengan kondisi.

3.4 Bahasa Austronesia dan Non-Austronesia: Implementasi Awal Kajian GenolinguistikDalam buku Bahasa-Bahasa di Indonesia

(Languages of Indonesia) yang diterbitkan dalam seri berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris oleh Summer Institute of Linguistics (2006) ditemukan uraian ihwal bahasa-bahasa yang terdapat di wilayah Indonesia. Selain jumlah penutur, lokasi tempat dituturkan bahasa-bahasa itu juga ditemukan penjelasan ihwal keanggotaan bahasa-bahasa itu dalam kelas/kelompok tertentu. Ada empat klasifikasi keanggotaan bahasa-bahasa tersebut, yaitu kelas/kelompok Austronesia, Trans Nugini, Papua Barat, dan kelompok tanpa identitas keanggotaan dalam kelas tertentu. Kelompok yang terakhir digunakan untuk menyebutkan bahasa-bahasa tertentu yang belum dapat ditentukan menjadi anggota dari kelompok yang mana.

Penyebutan kelompok/kelas Austronesia di dalam buku tersebut langsung dirujuk pada subklasifikasi/subkelompok Melayu Polinesia Barat, Melayu Polinesia Tengah-Timur, atau Melayu Polinesia Timur. Perujukan Austronesia atas subklasifikasi itu mengindikasikan bahwa yang disebut bahasa Austronesia hanyalah bahasa-bahasa yang masuk dalam subrumpun Melayu Polinesia. Bahasa-bahasa yang tidak termasuk dalam kategori subkelompok itu adalah bahasa-bahasa yang non-Austronesia dapat berkelas Trans Nugini atau berkelas Papua Barat.

Dalam rangka kerja genolinguistik akan dikemukakan hasil kajian Mulyanto et al. (2009) Penelitian tersebut dilakukan sebagai pembuktian awal tentang pengelompokan bahasa di Indonesia atas Austronesia dan non-Austronesia dengan mengambil sampel bahasa Tarfia dan Tobati yang mewakili kelompok Austronesia dan bahasa Gresi dan Nambolong

Page 11: GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

Mahsun, et al: Genolinguistik: Ancangan Alternatif ...

69

yang mewakili kelompok Trans Nugini. Keempat bahasa itu berada di wilayah Provinsi Papua. Selanjutnya, terhadap kedua kelompok bahasa tersebut dilakukan kajian genolinguistik dengan bertumpu pada upaya menjawab masalah apakah bahasa-bahasa yang diklasifikasikan sebagai kelompok Austronesia dan non-Austronesia tersebut benar-benar merupakan dua kelompok bahasa yang berbeda?

Dengan menggunakan analisis dialektometri terhadap 200 kosakata dasar dan 443 kosakata selain kosakata dasar untuk keempat isolek tersebut diperoleh hasil bahwa kempat-empatnya merupakan bahasa yang berbeda, sebagaimana diidentifikasi kelompok linguis SIL karena persentase perbedaan fonologi dan leksikon berada di atas 95% (kisaran antara 95,50%--100%), suatu angka perbedaan yang masih dapat dikategorikan sangat tinggi. Dalam hal ini masing-masing disebut sebagai bahasa Tarfia, Tobati, Gresi, dan Namblong. Untuk mengetahui relasi kekerabatan antarbahasa itu dilakukan penghitungan leksikostatistik terhadap 200 kosakata dasar dan memperlihatkan hasil bahwa untuk bahasa Tarfia dan Tobati yang diklasifikasikan sebagai rumpun Austronesia ternyata memiliki persentase di bawah 5%, jadi bahasa-bahasa itu merupakan bahasa-bahasa yang diturunkan dari sebuah filum (mikrofilum) yang sama, bukan dari rumpun yang sama. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan berbagai kelemahan tentang asumsi dasar diterapkannya metode lesikostatistik, hasil perhitungan kuantitatif tidak dapat dijadikan patokan untuk menentukan relasi kekerabatan antarbahasa tersebut. Dalam konteks inilah analisis kualitatif memainkan peran untuk memecahkan kelemahan yang dikandung pendekatan kuantitatif. Untuk itu, analisis kualitatif dilakukan dengan memfokuskan diri pada penelusuran unsur pemarkah posesif (sebagai penghubung antara unsur yang diterangkan dengan unsur yang menerangkan) pada konstruksi genetif yang terdapat dalam bahasa-bahasa yang diperbandingkan.

Nothofer (komunikasi pribadi, 1990) menyebutkan bahwa pemarkah yang menjadi penghubung tersebut, dalam bahasa-bahasa Austronesia berwujud *nia, yang refleksnya dalam bahasa-bahasa turunan dapat bervariasi. Dalam bahasa Jawa pemarkah itu dapat muncul

sebagai ne atau e, seperti pada: kəlambine Amer ‘baju milik Amir’, bapake Susno ‘bapak milik Susno’ dan lain-lain atau dapat juga muncul sebagai ni seperti dalam bahasa Tarfia: Ik ni siwim ‘kamu mempunyai hidung; atau dapat berwujud n seperti dalam bahasa Sumbawa (dialek Jereweh): balen Esa ‘rumah kepunyaan Esa/Aisyah’ dan lain-lain.

Terkait dengan hal tersebut, keempat bahasa yang diperbandingkan memperlihatkan pawarisan penanda milik Austronesia *nia melalui perubahan fonologis. Dalam bahasa Tarfia dan Tobati penanda milik itu menjadi ni, sedangkan dalam bahasa Gresi dan Namblong masing-masing menjadi de dan ge seperti pada contoh berikut ini.

Bahasa Tarfia:

Duk ni siwi-k ‘Saya mempunyai hidung = hidung saya’

Saya pos hidung-ku (k < ku < aku)

Bahasa Tobati:

Ayi ni rum ’Ayah mempunyai rumah = rumah ayah’

ayah pos rumah

Bahasa Namblong:

ηayO de yamó ’ Ayah mempunyai rumah = rumah ayah’

ayah pos rumah

Bahasa Gresi:

aya ge yap ‘Ayah mempunyai rumah = rumah ayah’

ayah pos rumah

Tahap terbentuknya penanda milik dalam bahasa-bahasa tersebut dapat diskenariokan Austronesia Purba: *nia > ne > de > ge atau *nia > ni > di > gi.

Brandes (1884) mengelompokkan bahasa Austronesia atas Austronesia Barat dan Austronesia Timur dengan menggunakan konstruki kompletif. Lebih lanjut, konstruksi kompletif dengan susunan terbalik ini dijadikan salah satu dasar pembedaan antara kelompok Austronesia dengan non-Austronesia, khususnya

Page 12: GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

70

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 59–74

untuk kelompok Filum Trans Nugini dan Papua Barat. Sebagai contoh dalam bahasa-bahasa yang dikelompokkan sebagai bahasa-bahasa Trans Nugini oleh SIL memang dapat diidentifikasi adanya konstruksi kompletif dengan susunan terbalik, seperti dalam bahasa Namblong dan Gresi pada contoh berikut.

Bahasa Namblong:

ηambe təmbriη ’Saya mempunyai hidung = hidung saya’

saya hidung

Bahasa Gresi:

age muiy ’Saya mempunyai hidung = hidung saya’

saya hidungMunculnya dua bentuk konstruksi genitif,

yaitu pertama konstruksi genitif dengan penanda milik dan kedua adalah konstruksi milik dengan tanpa penanda milik dalam bahasa Gresi dan

Namblong terkait kategori kata yang menjadi unsur pemiliknya. Jika unsur pemiliknya berupa pronomina, penanda milik tidak akan muncul. Sebaliknya, jika unsur pemiliknya berupa nomina nama diri dan nomina yang berhubungan dengan istilah kekerabatan, penanda miliknya akan muncul. Apa yang disebut sebagai konstruksi kompletif atau konstruksi genitif dengan susunan terbalik oleh Brandes sesungguhnya merupakan konstruksi milik dalam bentuk aktif yang mengalami pelesapan penanda miliknya (lebih jauh tentang hal ini dapat dilihat dalam Mahsun, 2010). Dengan demikian, berdasarkan ciri-ciri linguistik berupa konstruksi genitif dengan penanda milik yang terdapat antara unsur pemilik dan unsur termiliknya dapat dikatakan bahwa keempat bahasa tersebut merupakan bahasa Austronesia.

Dari segi genetika, khusus DNA VHB, keempat penutur bahasa itu dominan memiliki DNA VHB subgenotipe C6 seperti terlihat dalam Tabel 1 dan 2 berikut ini.

Tabel 1 Hasil Sekuensing DNA VHB pada Kelompok Penutur Bahasa Tarfia dan Gresi

No WilayahDNA VHB: Genotipe/Subgenotipe VHB

B3 C6 B3 + C6 D6 D6 + C6 Total1 Tarfia 1 6 1 1 - 92 Gresi 1 10 - 1 1 13

Tabel 2 Hasil Sekuensing DNA VHB pada Kelompok Penutur Bahasa Tobati dan Namblong

No WilayahDNA VHB: Genotipe/Subgenotipe VHB

B2 B7 B8 C5 C6 C11 C12 D1 D6 Total1 Tobati - - 1 1 6 - - - 1 9

2 Namblong 1 1 - 16 2 1 1 1 23

Tabel 1 menggambarkan bahwa DNA VHB yang dominan terdapat di wilayah pakai bahasa Tarfia dan Gresi adalah genotipe C, subgenotipe C6 (6 di Tarfia dan 10 di Gresi), yaitu masing-masing: 60% dan 70,69%, disusul oleh genotipe B, subgenotipe B3 (1 di Tarfia dan 1 di Gresi) dan genotipe D, subgenotipe D6 (1 di Tarfia dan 1 di Gresi), kemudian disusul oleh genotipe campuran, hasil rekombinasi antara subgenotipe B3+C6 (hanya ditemukan

di Tarfia), dan rekombinasi subgenotipe D6+C6 yang ditemukan di Gresi. Selanjutnya, Tabel 2 menggambarkan bahwa genotipe C subgenotipe C6 merupakan subgenotipe yang juga dominan ditemukan di wilayah pakai bahasa Tobati dan Namblong masing-masing: 66,66% dan 69,56%, disusul oleh subgenotipe C11 (8,69% di Namblong), lalu disusul oleh subgenotipe B8, C5, dan D6 (masing-masing 11% di Tobati) B2, B7, C12, D1, dan D6 masing-masing 4,34% di

Page 13: GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

Mahsun, et al: Genolinguistik: Ancangan Alternatif ...

71

Namblong. Apa yang menarik dari fakta genetis ini ialah dari sudut pandang DNA VHB, baik komunitas penutur bahasa Tarfia, Gresi, Tobati maupun Namblong merupakan komunitas yang sama, setidak-tidaknya berasal dari asal yang sama dengan DNA VHB-nya bergenotipe C dengan subgenotipe C6 yang lebih dominan. Dengan demikian, baik dari segi linguistik maupun dari segi genetik (DNA VHB), keempat bahasa tersebut merupakan bahasa yang bekategori yang sama, yaitu Austronesia.

4. Penutup4.1 Simpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikemukakan beberapa hal sebagai simpulan berikut ini.

Adanya kesamaan beberapa tujuan akhir dari kerja linguistik dengan genetika memunculkan harapan baru bagi upaya mengolaborasikan antarkeduanya sehingga menghasilkan satu ilmu antardidsiplin baru yang secara stipulatif diberi nama genolinguistik. Kolaborasi antarkedua bidang ilmu ini diharapkan dapat menghasilkan satu kajian pengelompokkan, penelusuran relasi kekerabatan, dan migrasi penutur bahasa atau variannya yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Kolaborasi antara linguistik dengan genetika yang melahirkan subdisiplin ilmu Genolinguistik sangat dimungkinkan karena kedua objek kajian masing-masing disiplin ilmu tersebut memiliki sifat yang sama, yaitu (1) baik bahasa yang menjadi objek kajian linguistik maupun gen (DNA) yang menjadi objek kajian genetika, terutama untuk DNA VHB, memiliki varian yang sangat beragam, (2) setiap varian mempunyai distribusi geografis spesifik, (3) distribusi geografis varian-varian tersebut mengikuti alur migrasi manusia.

Selain itu, menginat bahwa epidemi virus terjadi biasanya karena adanya kontak, sementara itu kontak biasanya terjadi karena ada sarana komunikasi yang sama, yaitu bahasa, pada penutur bahasa atau varian bahasa yang sama cenderung memiliki gen (DNA) VHB yang sama. Dengan demikian, melalui kajian

genolinguistik dapat dilakukan: pengelompokan dan penelusuran penyebaran bahasa dan populasi penuturnya; penelusuran relasi kekerabatan bahasa dan penuturnya melalui analisis ada tidaknya kesepadanan fakta bahasa dan genetik; penelusuran ada tidaknya kesejajaran fakta bahasa dan fakta genetik yang menyangkut bahasa /dialek yang inovatif dan konservatif; dan perekonstruksian sejarah wilayah yang bahasa dan komunitasnya diteliti.

Berdasarkan contoh hasil implementasi kajian genolinguistik atas kelompok bahasa yang diklaim sebagai kelompok yang berbeda, Austronesia dan non-Austronesia yang masing-masing direpresentasikan oleh bahasa Tobati dan Tarfia (Austronesia) dan bahasa Gresi dan Namblong (non-Austronesia) menunjukkan bahwa, baik fakta linguistik maupun fakta genetika menunjukkan bahwa keempat bahasa sampel menunjukkan kelompok rumpun bahasa yang sama, yaitu Sustronesia. Dalam kaitan dengan pembangunan bangsa, penelitian genolinguistik dipandang cukup penting, setidak-tidaknya dalam pembangunan sosial (social engenering).

4.2 SaranKolaborasi antarkedua bidang ilmu ini

diharapkan dapat menghasilkan satu kajian pengelompokan, penelusuran relasi kekerabatan, dan migrasi penutur bahasa atau variannya yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, penelititian genolinguistik diharapkan mampu memberi sumbangan bagi upaya penyediaan informasi tentang kesamaan dalam keberbedaan suku bangsa di Indonesia. Kesamaan, baik itu karena kesamaan sejarah maupun karena kesamaan asal dapat menjadi titik masuk bagi upaya menjalin komunikasi budaya antarberbagai etnis yang berbeda yang pada akhirnya dapat mengarah pada integrasi sosial menuju integrasi bangsa. Pendeknya, Indonesia yang kaya akan bahasa lokal denga topografi medan yang beragam menjadi pertanda akan keberagaman genetis dan karena itu menjadi lahan yang menarik dan menantang bagi studi genolingistik pada masa-masa mendatang.

Page 14: GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

72

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 59–74

DAFTAR PUSTAKAAkuta N. et al. 2003. “The Influence of Hepatitis B Virus Genotype on the Development of Lamivudin

Resistance During Long-Term Treatment”. Dalam Journal Hepatol 2003, 37: 19--26.Arauz-Ruiz P. et al. 2002. “Genotype H: A New Amerindian Genotype of Hepatitis B Virus Revealed in

Central America”. Dalam Journal Gen Virol 2002, 83:2059--73.Bellwood, Peter. 1997. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. University of Hawai’i Press.Blust, R. 1971. “Proto-Austronesian Addenda”. Working Papers in Linguistiks 3 (1) :1-106.

Honolulu: University of Hawaii.Blust, R. 1984. “The Austronesian Homeland: A Linguistic Perspective”. Dalam AP 26: 45-67.Brandes, J.L.A. 1884. Bidrage tot de Verglijkende Klankleer der Westersche Afdeeling van de Danie, J. A. 1991. KajianGeografiDialekdiMinahasaTimurLaut. Jakarta Balai Pustaka.Dyen, Isidore. 1965. “A Lexicostatistical Classification of the Austronesian Languagees”, dalam

InternationalJournalofAmericenLinguistics.Memoir,19(Jil.31,No.1).Guiter, Henri. 1973. “Atlas et Frontiere Linguistique”. Dalam LesDialectesRomansdeFrence,No.

930:61-109.Paris: Centre National de la Recherche Scientifique.Kaplan, Abraham. 1964. The Conduct of Inqury: Methodology of Behavioral Sciences. Chandler

Publishing Co.Mahsun. 2010. Genolinguistik:Kolaborasi LinguistikdanGenetikadalamPengelompokanBahasa

dan Populasi Penuturnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mahsun. 2017. MetodePenelitianBahasa:TahapanStrategi,Metode,danTekniknya(EdisiKetiga).

Depok: Rajawali Pers, PT RajaGrafindo.Marzuki, Sangkot et al. 2003.”Human Genom Diversity and Desease on the Island Southeast Asia”.

Dalam Tropical Deseases (edit by Marzuki et al.). New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers.

Mulyanto et al. 2009. “Bahasa Genom”. Laporan Penelitian Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Mulyanto et al. 1997. “Distribution of the Hepatitis B Surface Antigen Subtypes in Indonesia: Implication for Etnic Heterogeneity and Infection Control Measures”. Dalam Archives of Virology142:1221--2129, Austria.

Mulyanto. 1991. “Perbedaan Imunogenisitas Hepatitis B Surface Antigen (HBsAg) dari Berbagai Subtipe: Studi Seroepidemiologik dan Laboratorik dalam Rangka Pemurnian HbsAg”. Disertasi Doktor, Universitas Airlangga, Surabaya.

Murakami, Kazuo. 2007. TheDivineMessage of theDNA (Terjemahan: Tuhan dalamGenetika). Bandung: Mizan.

Norder H. et al. 1994. “Complete Genomes, Philogenetic Relatedness, and Structural Proteins of Six Strains of the Hepatitis B Virus, Four of which Represent Two New Genotypes”. Dalam Virology1994;198:489--503.

Nothofer, B. 1975. TheReconstructionofProto-Malayo-Javanic. S’Gravenhage-Martinus Nijhoff.Nurainy, Neni. 2005. “Keanekaragaman Molekul Virus Hepatitis B dan Kaitannya dengan Latar

Belakang Populasi Manusia di Indonesia”. Disertasi Doktor, Universitas Indonesia.Olson, Steve. 2003. MappingHumanHistory:DiscoveringthePastThroughOurGenes. New York:

Mariner Book.Okamoto H. et al. 1988. “Typing Hepatitis B Virus by Homology in Nucleotide Sequence: Comparison

of Surface Antigen Subtypes”. Dalam JournalGenVirol1988;69:2575--83

Page 15: GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

Mahsun, et al: Genolinguistik: Ancangan Alternatif ...

73

Ridley, Matt. 2005. Genom: Kisah Spesies Manusia dalam 23 Bab. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.SIL. 2006. LanguagesofIndonesia. Jakarta: SIL International, Indonesia Branch.Stuyver L. et al. “A New Genotype of Hepatitis B Virus: Complete Genome and Phylogenetik

Relatedness”. Dalam Journal GenVirol2000;81:67--74.Sugauchi F. et al. 2004. “Two Subgenotype of Genotype B (Ba and Bj) of Hepetitis B Virus in Japan”.

ClinInfectDis2004,38:1222--1228.Sugauchi F. et al. 2002. “Hepatitis B Virus of Genotype B with or without Recombination with

Genotype C Over the Pre-core Region Plus the Core Gene”. Dalam Journal Gen Virol 2002,5: 985--992.

Swadesh, Morris. 1955. “Lexicostatistic Dating of Prehistoy Etnic Contacts”. Proceedings of the American Philosophical Society, 96. Hal: 452--463

Page 16: GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM …

74

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 59–74