[FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx
Transcript of [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx
LAPORAN TUTORIAL
BLOK 18 ILMU PENYAKIT MATA SKENARIO 2
KELOMPOK A10
MAHIRA BAYU ADIFTA G0012125
PRISMA PUTRA G. A. G0012165
GREGORIUS YOGA PANJI G0012087
NADITA GITA O. G0012145
AGYA GHILMAN FAZA G0012009
SHANTI PROBOSIWI G0012209
NILUH AYU ANISSA H. G0012149
ROSA RIRIS S. G0012193
NADIA NURFAUZIAH G0012143
YUNINDRA KEN S. G0012237
KARTIKA YULIANA P. G0012103
SALSHA AMALIA G0012203
TUTOR: SIGIT SETYAWAN, dr
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2014
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-
Nya, sehingga laporan ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyusun telah berusaha
semaksimal mungkin untuk melakukan yang terbaik melalui laporan ini. Namun,
sebagai manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, tentu masih banyak kesalahan
yang terdapat dalam laporan ini. Laporan ini tentu masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran dari staf pengajar, teman-teman,
dan siapapun yang membaca laporan ini.
Ucapan terima kasih kami ucapkan pada dosen kami, seluruh staf pengajar, semua
teman yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyusunan laporan ini, dan
pihak-pihak lain yang telah turut membantu dalam penyusunan laporan ini.
Surakarta, 9 September 2014
Penyusun,
Kelompok tutorial A10
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Radang telinga tengah (otitis media) adalah peradangan telinga bagian tengah,
peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum
mastoid dan sel mastoid yang biasanya disebabkan oleh penjalaran infeksi dari
tenggorokan (faringitis). Pada semua jenis otitis media juga dikeluhkan gangguan
dengar (tuli) konduktif (Brunner and Suddart : 2000). Otitis media dapat dibagi
menjadi tiga macam yaitu :
1. Otitis media akut
2. Otitis media kronis
3. Otitis media sekretori
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius.
Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di
saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya
saluran menyebabkan transudasi, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan
bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri
mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah
(Brunner and Suddart : 2000).
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) ialah infeksi kronis di telinga tengah
dengan perforasi membran timpani dan keluarnya sekret dari telinga tengah secara
terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening, atau
berupa nanah. Biasanya disertai gangguan pendengaran. (Arif Mansjoer, 2001 :
82).
4
Jenis otitis media supuratif kronis dapat terbagi 2 jenis, yaitu OMSK tipe
benigna dan OMSK tipe maligna. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan otitis
media akut menjadi otitis media kronis yaitu terapi yang terlambat diberikan,
terapi tidak adekuat, virulensi kuman yang tinggi, daya tahan tubuh yang rendah
(gizi buruk) atau hygiene buruk. Gejala otitis media supuratif kronis antara lain
otorrhoe yang bersifat purulen atau mokoid, terjadi gangguan pendengaran,
otalgia, tinitus, rasa penuh di telinga dan vertigo (Kapita selekta kedokteran,
1999).
B. Skenario
ADUH, TELINGAKU BAU!
Seorang buruh bangunan laki-laki usia 25 tahun, dating ke praktek dokter
umum dengan keluhan utama telinga kan mengeluarkan cairan kuning, kental dan
berbau busuk. Pasien juga mengeluh telinga berdenging sehingga pendengaran
terganggu, disertai kepala pusing. Pasien sejak remaja sering pilek, disertai hidung
tersumbat bergantian kanan dan kiri terutama jika terpapar debu. Satu tahun yang
lalu telinga kanan keluat cairan kental, jernih yang sebelumnya didahului demam,
batuk dan pilek. Riwayat kambuh-kambuhan terutama jika batuk dan pilek.
Pada pemeriksaan otoskopi telinga kanan didapatkan: perforasi sub total dengan
secret mukopurulen dan granuloma. Rinoskopi anterior terdapat: secret seromukous,
konka hipertrofi, livide. Pemeriksaan pharing didapatkan: mukosa hiperemi.
Selanjutnya dokter merencanakan pemeriksaan penunjang.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Organon Auditus
Anatomi Organon Auditus
Organon auditus terdiri dari tiga bagian, yaitu: auris eksterna, auris media, dan
auris interna. Auris eksterna terdiri dari auriculae dan meatus acusticus eksternus.
Auris media terdiri dari membrana tympanica, cavum tympani, ossiculae
auditivae, musculi ossiculae auditivae dan tuba auditiva eustachii. Sementara auris
media terdiri dari labyrintus membranaceus dan labyrintus osseus.
Membrana tympanica terdiri dari dua pars, yaitu: pars tensa dan pars flaccida.
Pars tensa terdiri dari tiga lapisan, yaitu: stratum cutaneum, lamina propria dan
stratum mukosum. Sementara pars flaccida hanya terdiri dari dua lapisan saja,
yaitu: pars cutaneum dan pars mukosum. Ditengah-tengah membrane tympanica
terdapat penonjolan akibat pendesakan dari manubrium mallei yang disebut umbo.
Dari umbo, membrane tympanica dapat dibagi menjadi empat kuadran yaitu
kuadran anterior superior, anterior inferior, posterior superior dan posterior
inferior. Pada kuadran anterior inferior terdapat daerah yang memantulkan cahaya
bila disinari yang disebut cone of light.
Ossiculae auditivae terdiri dari os malleus, os incus dan os stapes. Ossiculae
tersebut berfungsi untuk menghantarkan getaran dari membrane tympanica ke
auris interna. Pada os malleus dilekati oleh m. tensor tympanica dan pada os stapes
dilekati oleh m. stapedius. Kedua musculi tersebut berfungsi untuk meredam
getaran os malleus maupun os stapes.
Labyrintus osseus adalah kumpulan organ berdinding tulang pada auris
interna. Terdiri dari vestibulum, kanalis semi sirkularis dan cochlea. Labyrintus
membranaceus berupa membrane yang berada didalam labyrintus osseus. Terdiri
6
dari ductus semi sirkularis, utriculus, sacculus dan ductus cochlearis. Didalam
labyrintus osseus terdapat cairan yang disebut perilymphe dan didalam labyrintus
membranaceus terdapat cairan endolymphe. (Hadiwidjaja S.,2013)
Gambar 1. Organon Auditus; Auris Eksterna dan Auris Media
(Hadiwidjaja S.,2013)
Fisiologi Sitem Pendengaran
Telinga secara anatomis terbagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, tengah
dan dalam. Telinga luar dan tengah berperan dalam transmisi suara melalui udara
menuju telinga bagian dalam yang terisi cairan. Pada telinga dalam ini, terjadi
amplifikasi energi suara. Di sana juga terdapat dua macam sistem sensoris yaitu
koklea yang mengkonversikan gelombang suara menjadi impuls saraf dan
vestibular apparatus yang berguna untuk keseimbangan (Sherwood, 2010).
Pendengaran merupakan persepsi saraf terhadap suara yang terdiri dari aspek
identifikasi suara dan lokalisasinya. Suara merupakan sensasi yang dihasilkan saat
7
getaran longitudinal molekul lingkungan luar yang menghantam membran timpani
(Barrett, 2011). Gelombang suara merupakan getaran udara yang merambat yang
terdiri dari area bertekanan tinggi disebabkan kompresi molekul udara dan area
bertekanan rendah yang disebabkan oleh rarefaction molecule.
Kecepatan suara adalah sekita 344 m/s pada suhu 20 C di permukaan air laut.⁰
Semakin tinggi suara dan altitudenya, kecepatan rambat suara makin tinggi
(Barrett, 2011). Suara dikarakteristikan berdasarkan tone, intensitas dan kualitas.
Pitch atau tone ditentukan oleh frekuensi getaran. Makin besar frekuensinya,
makin tinggi pitch-nya. Telinga manusia mampu mendengar suara dengan
frekuensi dari 20 sampai 20.000 Hz. Namun, yang paling sensitif adalah antara
1.000-4.000 Hz. Suara pria dalam percakapan normalnya sekitar 120 Hz
sedangkan wanita mencapai 250 Hz. Jumlah pitch yang dapat dibedakan oleh
orang normal adalah sekitar 2000, tetapi musisi yang terlatih dapat lebih dari itu.
Suara yang paling mudah dibedakan nadanya adalah suara dengan frekuensi 1000-
3000 Hz. Lebih atau kurang dari itu akan semakin sulit dibedakan.
Intensitas atau kekerasan tergantung oleh amplitudo gelombang suara atau
perbedaan tekanan antara daerah gelombang bertekanan tinggi akibat kompresi
dan daerah bertekanan rendah akibat rarefaction. Dalam interval suara yang dapat
didengar, makin besar amplitudonya, makin keras suara tersebut terdengar.
Kekerasan atau kebisingan suara diukur dengan satuan dB (desibel)yang
merupakan pengukuran logaritmis dari intensitas dibandingkan dengan suara
teredup yang bisa didengar (ambang pendengaran). Suara dengan kebisingan
melebihi 100 dB dapat menyebabkan kerusakan permanen pada koklea (Barrett,
2011).
Suara dengan range 120 sampai 160 dB seperti alarm kebakaran maupun
pesawat jet diklasifikasikan sebagai suara yang menyakitkan; 90-110 dB (subway,
bass drum, gergaji mesin) diklasifikasikan sebagai suara yang ekstrem tinggi; 60-
80dB (alarm jam, lalu lintas yang bising, percakapan) diklasifikasikan sebagai
8
sangat keras; 40-50 dB (hujan, bising ruangan normal) moderate, dan 30 dB
(bisikan, perpustakaan) sebagai redup. (Yarnick, 1995).
Timbre atau kualitas suara tergantung pada overtone yang merupakan
frekuensi tambahan yang menumpuk pada pitch atau tone dasar. Misalnya adalah
nada C pada terompet akan terdengar berbeda dengan piano. Overtone inilah yang
dapat menyembabkan suara dapat memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari pinna/auris (daun telinga) dan meatus akustikus
eksterna. Pinna adalah struktur menonjol yang merupakan kartilago terbalut
kulit. Fungsi utamanya adalah mengumpulkan dan menghubungkan suara
menuju meatus akustikus eksterna. Karena bentuknya, pinna secara parsial
membatasi suara yang berasal dari belakang sehingga timbrenya akan berbeda.
Dengan begitu, kita dapat membedakan apakah suaranya berasal dari depan
atau belakang.
Lokalisasi suara yang berasal dari kanan atau kiri ditentukan oleh dua hal.
Pertama adalah gelombang suara mencapai telinga yang lebih dekat terlebih
dahulu sebelum sampai ke telinga yang lebih jauh. Kedua adalah saat mencapai
telinga yang lebih jauh, intensitas suaranya akan lebih kecil dibandingkan
telinga yang lebih dekat. Selanjutnya, korteks auditori mengintegrasikan kedua
hal tersebut untuk menentukan lokalisasi sumber suara. Oleh karena itu,
lokalisasi suara akan lebih sulit dilakukan jika hanya menggunakan satu telinga.
Jalur masuk pada telinga luar dilindungi oleh rambut halus. Kulit yang
membatasi kanal tersebut berisi kelenjar keringat termodifikasi yang
menghasilkan serumen (earwax), yang akan menangkap partikel-partikel asing
yang halus (Sherwood, 2010).
2. Telinga Tengah
Telinga tengah mengirimkan pergerakan vibratori dari membran timpani
menuju cairan pada telinga dalam. Ada tiga tulang ossicle yang membantu
proses ini yaitu malleus, incus dan stapes yang meluas dari telinga tengah.
9
Malleus menempel pada membran timpani sedangkan stapes menempel pada
oval window yang merupakan gerbang menuju koklea yang berisi cairan.
3. Membran timpangi (gendang telinga)
Membran timpani berada pada perbatasan telinga luar dan tengah. Area
tekanan tinggi da rendah pada gelombang suara akan menyebabkan membran
timpani bergetar ke dalam dan ke luar. Supaya membran tersebut dapat secara
bebas bergerak kedua arah, tekanan udara istirahat pada kedua sisi membran
timpani harus sama. Membran sebelah luar terkekspos pada tekanan atmosfer
yang melewati meatus akustikus eksterna sedangkan bagian dalam menghadapi
tekanan atmosfer dari tuba eustachius yang menghubungkan telinga tengah ke
faring. Secara normal, tuba ini tertutup tetapi dapat dibuka dengan gerakan
menguap, mengunyah dan menelan.
Pada perubahan tekanan eksternal yang cukup signifikan seperti saat
dalam pesawat, membran timpani menonjol dan menimbulkan rasa nyeri ketika
tekanan luar telinga berubah sementara bagian dalam tidak berubah.
Pembukaan tuba eustachius dengan menguap dapat membantu untuk
menyamakan tekanan tersebut (Sherwood, 2010).
Saat membran timpani bergetar, tulang-tulang tersebut bergerak dengan
frekuensi yang sama , mentransmisikan frekuensi tersebut dari menuju oval
window. Selanjutnya, tiap-tiap getaran menghasilkan pergerakan seperti
gelombang pada cairan di telinga dalam dengan frekuensi yang sama dengan
gelombang suara aslinya.
Sistem osikular mengamplifikasikan tekanan dari gelombang suara pada
udara dengan dua mekanisme untuk menghasilkan getaran cairan pada koklea.
Pertama adalah karena permukaan area dari membran timpani lebih besar dari
oval window, tekanan ditingkatkan ketika gaya yang mempengaruhi membran
timpani disampaikan oleh ossicle ke oval window (tekanan=gaya/area). Kedua
adalah kerja dari ossicle memberikan keuntungan mekanis lainya. Kedua hal
10
tersebut meningkatkan gaya pada oval window sampai 20 kali. Tambahan
tekanan tersebut penting untuk menghasilkan pergerakan cairan pada koklea.
Beberapa otot tipis di telinga tengah dapat berkontraksi secara refleks
terhadap suara keras (70 dB) menyebabkan membran timpani menebal dan
menyebabkan pembatasan gerakan pada rangkaian ossicle. Pengurangan
pergerakan pada struktur telinga tengah akan mengurangi transmisi dari suara
yang keras tersebut ke telinga dalam guna melindungi bagian sensoris dari
kerusakan. Refleks tersebut berlangsung relatif lambat, terjadi setidaknya
sekitar 40 msec sesudah pajanan terhadap suara keras. Oleh karena itu, hanya
bisa melindungi dari suara yang berkepanjangan, bukan suara yang sangat tiba-
tiba seperti ledakan (Sherwood, 2010).
4. Koklea
Koklea adalah sebuah struktur yang menyerupai siput yang merupakan
bagian dari telinga dalam yang merupakan sistem tubular bergurung yang
berada di dalam tulang temporalis. Berdasarkan panjangnya, komponen
fungsional koklea dibagi menjadi tiga kompartemen longitudinal yang berisi
cairan. Duktus koklear yang ujungnya tidak terlihat dikenal sebagai skala
media, yang merupakan kompartemen tengah. Bagian yang lebih di atasnya
adalah skala vestibuli yang mengikuti kontur dalam spiral dan skala timpani
yang merupakan kompartemen paling bawah yang mengikuti kontur luar dari
spiral.
Cairan di dalam skala timpani dan skala vestibuli disebut perilimfe.
Sementara itu, duktus koklear berisi cairan yang sedikit berbeda yaitu
endolimfe. Bagian ujung dari duktus koklearis di mana cairan dari
kompartemen atas dan bawah bergabung disebut dengan helikotrema. Skala
vestibuli terkunci dari telinga tengah oleh oval window, tempat stapes
menempel. Sementara itu, skala timpani dikunci dari telinga tengah dengan
bukaan kecil berselaput yang disebut round window. Membran vestibular tipis
membentuk langit-langit duktus koklear dan memisahkannya dari skala
11
vestibuli. Membran basilaris membentuk dasar duktus koklear yang
memisahkannya dengan skala timpani. Membran basilar ini sangat penting
karena di dalamnya terdapat organ korti yang merupakan organ perasa
pendengaran (Sherwood, 2010).
Gambar 2. Fisiologi Pendengaran
1) Aliran gelombang getaran melewati skala vestibuli dan skala timpani
yang berguna untuk meredam tekanan (bukan persepsi suara). 2)Aliran
gelombang yang berkaitan dengan persepsi suara akan melewati shorcut
menembus membran vestibularis lalu mencapai membran basilaris yang di
dalamnya terdapat organ korti sebagai reseptor stimulus suara
5. Sel Korti dan Sel Rambut
Dalam organ korti pada satu koklea terdapat sekitar 15.000 sel rambut
yang menjadi reseptor suara. Sel-sel tersebut tersusun dalam baris paralel
empat. Satu baris berupa sel rambut dalam dan tiga lainnya merupakan sel
rambut dalam. Pada masing-masing sel rambut akan ada penonjolan sekitar 100
rambut yang dikenal sebagai stereosilia (mikrovili yang diperkuat dengan
aktin).
12
Sel-sel rambut ini merupakan mekanoreseptor yang menghasilkan sinyal
neural ketiga permukaan rambutnya mengalami deformasi secara mekanis
berkaitan dengan pergerakan cairan di telinga dalam. Stereosilia ini berkontak
dengan membran tektorial, struktur mirip tenda yang menjalar pada seluruh
panjang organ korti.
Kerja mirip piston yang dilakukan stapes melawan oval window
menghasilkan gelombang tekanan pada kompartemen atas. Karena cairan tidak
dapat dikompresi, tekanan dihamburkan dalam dua arah ketika stapes
menyebabkan oval window menggembung ke belakang yaitu dengan
pergeseran round window dan defleksi membran basilar.
Gelombang tekanan tersebut akan menekan perilimfe ke depan pada
kompartemen atas, kemudian ke helikotrema dan ke kompartemen bawah.
Selanjutnya, hal tersebut menyebabkan round window menggembung ke arah
luar (ke arah telinga tengah) untuk mengkompensasi peningkatan tekanan.
Ketika stapes bergerak ke arah belakang dan menarik oval window ke arah
telinga tengah, perilimfe akan bergeser ke arah berlawanan, menggantikan area
yang tadinya diisi round window. Jalur ini tidak menghasilkan persepsi suara,
hanya mengurangi tekanan saja.
Gelombang tekanan yang berkaitan dengan persepsi suara akan
menggunakan jalur pintas. Gelombang tekanan pada kompartemen atas
ditransfer melalui membran vestibular yang tipis ke duktus koklear dan melalui
membran basilar ke kompartemen bawah. Hal tersebut selanjutnya akan
memfasilitasi round window untuk menggembung ke arah luar dan dalam.
Perbedaan utama pada jalur ini adalah transmisi gelombang tekanan melalui
membran basilar menyebabkan membran tersebut bergerak ke atas dan ke
bawah atau bergetar yang sinkron dengan gelombang tekanan. Akibatnya sel
rambut pada organ korti yang ada di sana juga ikut bergerak.
Sel rambut yang berfungsi untuk mendengar adalah sel rambut dalam. Sel
tersebut mentransformasikan gaya mekanis suara menjadi impuls elektris
13
pendengaran. Stereosilia pada sel reseptor tersebut berkontak dengan membran
tektorial yang kaku sehingga sel tersebut akan membelok kembali (bolak-balik),
saat membran basilar yang berosilasi menggeser posisinya.
Gerakan bolak-balik tersebut akan menyebabkan pembukaan dan
penutupan kanal kation secara mekanis pada sel rambut menghasilkan
depolarisasi atau hiperpolarisasi sesuai dengan frekuensi suara penstimulus.
Stereosilia pada masing-masing sel rambut tersusun ke dalam baris-baris yang
berurutan sesuai dengan tinggi (seperti tangga). Tip links, yang merupakan
CAMs (cell adhesion molecules), menghubungkan ujung stereosilia dalam
barisan tersebut. Saat membran basilar bergerak ke atas, bundle stereosilia
membengkok ke arah membran yang paling tinggi, meregangkan tip links
tersebut. Peregangan tersebut akan membuka kanal kation.
K+ lebih banyak ditemukan di endolimfe daripada yang ditemukan di
dalam sel. Beberapa kanal kation memang sudah terbuka dalam keadaan
istirahat yang memungkinkan K+ mengalir. Semakin banyak kanal yang
terbuka, lebih banyak K+ yang memasuki sel rambut. Tambahan K+ ini akan
mendepolarisasi sel rambut. Sebaliknya, saat membran basilaris turun,
terjadilah hiperpolarisasi karena makin banyak K+ yang tidak bisa masuk sel
(Sherwood, 2010).
Sel rambut tidak menghasilkan potensial aksi melainkan akan bersinaps
secara kimia dengan ujung serat saraf afferen nervus koklearis. Kadar K+ yang
rendah menyebabkan sel rambut dalam mengeluarkan secara spontan
neurotransmiter melalui eksositosis yang diinduksi oleh Ca2+ dalam kondisi
tidak ada stimulasi. Depolarisasi akan menyebabkan pembukaan kanal
bergerbang listrik Ca2+. Akibatnya terjadilah peningkatan kecepatan
pengeluaran neurotransmitter. Pada hiperpolarisasi, terjadi hal yang
sebaliknya.1 Potensial membran istirahat sel rambut adalah sekitar -60 mV.
Saat stereosilia terdorong ke arah kinosilia, potensial membran dapat berkurang
menjadi -50 mV (Barrett, 2011).
14
Sementara itu, sel rambut luar menjalankan fungsi elektromotili. Sel
tersebut secara aktif dan sering mengubah panjangnya sebagai respon terhadap
perubahan potensial membran. Sel akan memendek saat depolarisasi dan
memanjang saat hiperpolarisasi. Perubahan tersebut akan mengamplifikasi
pergerakan dari membran basilaris. Oleh karena itu, sel rambut luar akan
membantu reseptor sensori supaya lebih sensitif terhadap intensitas suara dan
diskriminasi bermacam pitch suara (Sherwood, 2010).
6. Diskriminasi Pitch, Timbre dan Kebisingan (Loudness)
Diskriminasi pitch atau nada tergantung pada bentuk dari membran
basilaris. Daerah yang berbeda dari membran basilaris secara alami bergetar
secara maksimal pada frekuensi yang berbeda. Ujung sempit dekat oval window
akan bergetar paling baik pada nada berfrekuensi tinggi sedangkan area yang
luas dekat helikotrema paling baik pada nada rendah. Saat gelombang suara
dengan frekuensi tertentu menyebabkan osilasi stapes, gelombang tersebut akan
berjalan ke membran basilar yang memiliki daerah sensitif terhadap frekuensi
tersebut. Energi gelombangnya akan dihamburkan dengan adanya osilasi
membran ini sehingga berakhir pada area maksimal tadi. Adanya overtone pada
bermacam frekuensi akan menyebabkan membran basilaris bergetar secara
simultan tetapi kurang intens dibandingkan nada dasarnya sehingga sistem saraf
pusat dapat membedakan timbre suara.
Sementara itu, diskriminasi kebisingan atau kenyaringan tergantung dari
amplitudonya. Gelombang suara yang berasal dari sumber yang lebih keras
akan menghantam gendang telinga (membran timpani) sehingga bergetar
dengan lebih bertenaga meskipun frekuensinya tetap sama. Osilasi pada
membran basilaris yang lebih besar akan diinterpretasikan sebagai suara yang
lebih keras oleh sistem saraf pusat (Sherwood, 2010).
7. Korteks Auditori
Sebagaimana area pada membran basilaris yang berasosiasi dengan nada
tertentu, korteks auditori primer pada lobus temporalis juga tersusun secara
15
tonotopically. Masing-masing area pada membran basilaris tersebut terkait pada
area spesifik pada korteks auditori primer (satu nada, satu neuron kortikal
teraktivasi).
Saraf afferen yang mengambil sinyal auditori dari sel rambut dalam akan
keluar dari koklea melalui nervus auditori. Ada beberapa sinaps yang terjadi
terutama pada batang otak dan nukleus geniculatum medial thalamus.Batang
otak menggunakan input auditori untuk kewaspadaan dan bangun. Pada batang
otak, jaras saraf auditori ini akan menuju baik sisi ipsilateral maupun
kontralateralnya sehingga kedua lobus temporal akan mendapatkan impuls.
Oleh karena itu, gangguan pada jaras di atas batang otak pada satu sisi tidak
akan mengganggu pendengaran.
Korteks auditori primer juga dapat menerima bermacam suara yang
berbeda sedangkan korteks auditori yang lebih tinggi mengintegrasikan suara
yang berbeda tersebut menjadi koheren sebagai pola yang berarti. Dengan
begitu, kita dapat membedakan suara-suara terpisah yang masuk ke telinga dan
memilih mana suara yang memang penting untuk didengarkan (Sherwood,
2010).
Area auditori ternyata memiliki spesialisasi hemisfer. Pada area Brodman
22 diperkirakan merupakan tempat pemprosesan sinyal auditori yang
berhubungan dengan pembicaraan. Dalam proses bahasa, bagian kiri lebih aktif
daripada sisi kanan. Area 22 sebelah kanan lebih kepada melodi, nada dan
intensitas suara.
Jalur auditori bersifat sangat plastis yang sangat dimodifikasi oleh
pengalaman. Pada orang yang mengalami tuli sebelum kemampuan
berbahasanya berkembang, ternyata dengan melihat tanda-tanda bahasa juga
akan mengaktivasi area assosiasi auditori. Sebaliknya, individu yang buta pada
masa awal hidup dapat melokalisasi suara jauh lebih baik daripada mereka yang
memiliki penglihatan normal. Plastisitas juga sangat nampak pada musis yang
dapat lebih peka terhadap suara dibanding non musisi (Barrett, 2011).
16
Histologi Telinga
1. Telinga Luar
Auricula, atau pinna (sayap) terdiri ataas suatu lempeng cartilago elastic
ireguler berbentuk corong, yang ditutupi secara erat oleh kulit dan menghantarkan
gelombang suara ke dalam meatus acusticus externus. Saluran ini dilapisi oleh
epitel skuamosa berlapis yang berlanjut dengan kulit auricular dan di dekat folikel
rambutnya, kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat apokrin termodifikasi yang
disebut kelenjar seruminosa ditemukan pada submukosa. Serumen adalah materi
kekuningan berlemak yang dihasilkan dari sekresi kelenjar sebasea dan
seruminosa. Serumen mengandung berbagai protein, asam lemak jenuh, dan
keratinosit yang terlepas dan memiliki sifat antimikroba protektif. Dinding meatus
acusticus externus ditunjang oleh kartilago elastic di sepertiga luarnya, sedangkan
os temporal menutup bagian dalam.
Membran timpani berupa lembar epithelial. Sisi luarnya dilapisi epidermis
dan permukaan dalamnya dilapisi epitel selapis kuboid yang menyatu dengan
lapisan rongga timpani di telinga tengah. Di antara lapisan epitel tersebut terdapat
lapisan tipis jaringan ikat fibrosa yang terdiri atas serat-serat kolagen dan elastin
serta fibroblast.
2. Telinga Tengah
Rongga timpani terutama dilapisi oleh selapis epitel kuboid yang berada di
lamina propia yang sangat melekat pada periosteum. Di dekat tuba auditorius,
epitel selapis ini secara berangsur berubah menjadi epitel bertingkat silindris
bersilia yang melapisi tuba tersebut. Pada dinding medial bertulang telinga tengah
terdapat dua area berlapis membrane dan tidak bertulang yaitu tingkap lonjong
(fenestra ovalis) dan tingkap bundar (fenestra rotunda). Ossicula auditus terdiri
atas malleus, incus, dan stapes. Malleus menempel pada jaringan ikat membrane
timpani dan stapes melekat pada jaringan ikat membrane di tingkap lonjong.
17
Tulang-tulang ini berartikulasi di sendi synovial yang bersama-sama periosteum
sepenuhnya dilapisi epitel selapis gepeng.
3. Telinga Dalam
Telinga dalam berada sepenuhnya di dalam os temporal, dimana sederetan
ruang yang saling berhubungan, labirin bertulang, menamping serangkaian saluran
kontinu berlapis epitel yang terisi cairan dan bilik yang membentuk labirin
membranosa yang lebih kecil. Labirin membranosa berasal dari vesikel
ectodermal, otokista, yang melekuk ke dalam jaringan ikat di dalamnya selama
minggu keempat perkembangan embrio, kehilangan kontak dengan ectoderm
permukaan, dan menjadi terbenam pada rudiment bakal os temporal. Selama
proses tersebut, vesicula otica berubah bentuk, yang membentuk 2 cabang utama
di labirin membranosa.Pada setiap struktur lapisan epitel memiliki area luas
mekanoreseptor sensorik kolumner yang disebut sel rambut di region khusus:
a. Dua macula utriculus dan sacculus
b. Tiga crista ampullaris di pelebaran region ampula pada setiap ductus
semicircularis
c. Organ corti spiral panjang pada ductus cochlearis
Cochlea berukuran panjang sekitar 35 mm dan membentuk dua setengah
putaran di sekeliling inti tulang yang disebut modiolus. Modiolus memiliki
pembuluh darah dan bsadan sel dan processus cabang akustik saraf cranial ke
delapan di ganglion cochleare atau ganglion spirale. Semua region labirin
bertulang terisi perilimfe dengan komposisi ion yang serupa dengan cairan
serebrospinal dan cairan ekstrasel jaringan lain, tetapi memiliki sedikit protein.
Perilimfe dihasilkan dari mikrovaskuler periosteum dan dialirkan melalui suatu
ductus perilymphaticus ke dalam ruang subarachnoid yang berdekatan. Cairan ini
menahan dan menyangga labirin membranosa tertutup yang melindunginya dari
dinding keras labirin bertulang. Labirin membranosa terisi dengan endolimfe, yang
18
juga mengandung sedikit protein dan lebih lanjut ditandai oleh kadar kalium yang
tinggi (150 mM) dan natrium yang rendah (16 mM), yang serupa dengan kadarnya
dalam cairan intrasel. Endolimfe dihasilkan terutama oleh kapiler di stria
vaskularis di dinding ductus cochlearis dan mengalir dari vestibulum ke dalam
sinus venosa dura mater oleh ductus endolymphaticus yang kecil.
Sacculus dan utriculus terdiri atas suatu selubung tipis jaringan ikat yang
dilapisi epitel selapis gepeng. Labirin membranosa melekat pada periosteum
labirin oseosa melalui untaian jariga ikatyang mengandung mikrovaskuler yang
menyuplai jaringan labirin membranosa. Kedua macula pada dinding sacculus dan
utriculus adalah area kecil sel neuroepitel kolumner yang dipersarafi oleh cabang
nervus vestibularis. Makula sacculus dan utriculus terdiri atas penebalan dinding
yang memiliki beberapa ribu sel rambut mekanosensitif beserta sel penyangga
kolumner dengan inti basal, dan ujung saraf.
Ujung apical setiap sel rambut memiliki sebuah kinosilium dengan sebuah
badan basal dan suatu aksonema termodifikasi mikrotubulus ganda dan seberkas
stereosilia kaku panjang yang tidak bercabang dan berjumlah 60-100. Stereosilia
muncul dari region apical yang banyak mengandung aktin, lempeng kutikula, yang
berperan mengembalikan struktur kaku yang menonjol ke posisi normalnya setelah
menekuk. Stereosilia tersusun dalam barisan yang semakin memanjang dengan
stereosilia terpanjang – sekitar 100 µm – yang berada dekat dengan kinosilium.
Ujung stereosilia dan kinosilia terbenam dalam suatu lapisan gelatinosa
proteoglikan kental yang disebut membrane otolitik, dengan bagian luarnya yang
terisi dengan struktur berkapur yang disebut otolit (atau otokonia)
Di ujung basalnya, semua sel rambut bersinaps dengan ujung saraf aferen
(ke otak). Sejumlah sel rambut (tipe I) memiliki ujung basal bundar yang
dikelilingi oleh calyx terminalis aferen. Ujung basal sebagian besar sel rambut
(tipe II) berbentuk silindris dan memiliki lebih banyak ujung tonjolan yang khas
19
dari saraf aferen (dari otak) yang memodulasi sensitivitas mekanoreseptor ini.
Setiap sel rambut juga dikelilingi oleh sel penyangga, yang dapat memiliki
berbagai fungsi selain menyediakan penyangga fisis untuk mekanoreseptor.
Pelebaran ampula di setiap ductus semicircularis memiliki suatu area
mekanoreseptor mirip rebung memanjang (crista ampullaris). Crista secara
histologis serupa dengan macula, dengan sel rambut, sel penyokong, dan ujung
saraf. Akan tetapi lapisan proteoglikan bernama cupula yang melekat pada berkas
rambut sel sensoris lebih tebal dan tidak memiliki otolit.
Di sepanjang permukaan ductus cochlearis dipisahkan dari scala vestibule
oleh membrane vestibularis. Struktur yang sangat tipis ini terdiri atas suatu
membrane basal dengan epitel skuamosa selapis di setiap sisinya: satu mesotel
yang menghadap skala vestibulae dan bagian alain lapisan ductus cochlearis. Sel-
sel di kedua lapisan memiliki taut erat yang luas yang membantu menjaga gradien
ion yang sangat besar pada kedua sisi membrane di antara endolimfe dan
perilimfe.
Di dinding lateral ductus cochlearis terdapat stria vaskularis, suatu epitel
unik yang menghasilkan dan memmelihara endolimfe untuk seluruh lapisan
membranosa. Stria vaskularis menutup suatu jaringan kapiler dan terdiri dari sel
yang mempunyai banyak lekukan basal yang dalam pada membrane plasmanya, di
membrane ini terdapat banyak mitokondria. Cairan dan pompa K+ dari kapiler
oleh sel epitel tersebut dilepaskan ke dalam ductus cochlearis sebagai endolimfe.
Di dinding yang memisahkan ductus cochlearis dari scala tympani adalah
struktur kompleks yang disebut organ spiral (organ corti) yang memiliki reseptor
auditorik khusus dalam bentuk sel rambut yang berespons terhadap berbagai
frequensi udara. Organ spiral berada di lamina basal – membrane basilaris. Sel
rambut luar (outer hair cell) terdapat dalam tiga baris di dekat fenestra ovalis,
yang bertambah hingga lima baris di dekat apeks koklea. Terdapat sebaris sel
20
rambut dalam (inner hair cell) yang memiliki susunan linear stereosilia pendek,
sedangkan OHC masing-masing memiliki barisan melengkung steereosilia
panjang. Tidak terdapat kinosilium yang dijumpai pada sel rambut koklea, yang
memungkinkan simetrisitas sel yang penting untuk perannya pada tranduksi
sensoris.
Ujung stereosilia tertinggi OHC terbenam di dalam membrana tectorial,
suatu lapisan aseluler yang terjulur di atas organ spiral dari modiolus. Membrana
tectoria terdiri atas berkas halus kolagen (tipe II, V, IX dan XI), proteoglikan
terkait dan protein lain serta dibentuk selama periode embrionik dari sekresi sel
yang melapisi region di dekatnya (limbus spiral).
Sel rambut luar dan dalam memiliki ujung saraf aferen dan eferen dengan
IHC yang lebih banyak dipersarafi. Badan sel neuron bipolar berada di suatu inti
tulang modiolus dan membentuk ganglion spirale.
Kedua tipe utama sel penyokong kolumner berhubungan dengan sel rambut
organ spiral tersebut. Sel pilar dibuat kaku oleh berkas keratin dan membatasi
sebuah ruang segitiga berbentuk corong diantara sel rambut luar dan dalam. Sel
falang mengelilingi dan menyokong langsung sel rambut dalam dan luar, yang
hampir sepenuhnya menutupi setiap IHC, tetapi hanya menutupi ujung basal OHC.
(Mescher, Anthony L., 2011)
B. Etiologi dan Patofisiologi Otitis Media Akut (OMA) dan Otitis Media
Supuratif Kronik (OMSK)
Otitis Media Akut (OMA)
Etiologi dan Faktor Resiko
Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang
paling sering ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae, diikuti oleh
Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus grup A, dan
Staphylococcus aureus. Beberapa mikroorganisme lain yang jarang ditemukan
21
adalah Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia pneumaniae, dan Clamydia
tracomatis.
Broides et al menemukan prevalensi bakteri penyebab OMA adalah
H.influenza 48%, S.pneumoniae 42,9%, M.catarrhalis 4,8%, Streptococcus grup A
4,3% pada pasien usia dibawah 5 tahun pada tahun 1995-2006 di Negev, Israil.
Sedangkan Titisari menemukan bakteri penyebab OMA pada pasien yang berobat
di RSCM dan RSAB Harapan Kita Jakarta pada bulan Agustus 2004 – Februari
2005 yaitu S.aureus 78,3%, S.pneumoniae 13%, dan H.influenza 8,7%.
Virus terdeteksi pada sekret pernafasan pada 40-90% anak dengan OMA,
dan terdeteksi pada 20-48% cairan telinga tengah anak dengan OMA. Virus yang
sering sebagai penyebab OMA adalah respiratory syncytial virus. Selain itu bisa
disebabkan virus parainfluenza (tipe 1,2, dan 3), influenza A dan B, rinovirus,
adenovirus, enterovirus, dan koronavirus. Penyebab yang jarang yaitu
sitomegalovirus dan herpes simpleks. Infeksi bisa disebabkan oleh virus sendiri
atau kombinasi dengan bakteri lain (Broides, 2009).
Patofisiologi
Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh.
Sumbatan pada tuba Eustachius merupakan faktor utama penyebab terjadinya
penyakit ini. Dengan terganggunya fungsi tuba Eustachius, terganggu pula
pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah sehingga kuman masuk dan
terjadi peradangan. Gangguan fungsi tuba Eustachius ini menyebabkan terjadinya
tekanan negatif di telingah tengah, yang menyebabkan transudasi cairan hingga
supurasi. Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).
Makin sering anak-anak terserang ISPA, makin besar kemungkinan
terjadinya OMA. Pada bayi dan anak terjadinya OMA dipermudah karena: 1.
morfologi tuba eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal; 2.
sistem kekebalan tubuh masih dalam perkembangan; 3. adenoid pada anak relatif
lebih besar dibanding orang dewasa dan sering terinfeksi sehingga infeksi dapat
22
menyebar ke telinga tengah. Beberapa faktor lain mungkin juga berhubungan
dengan terjadinya penyakit telinga tengah, seperti alergi, disfungsi siliar, penyakit
hidung dan/atau sinus, dan kelainan sistem imun.
Klasifikasi
1. Ada 5 stadium OMA berdasarkan pada perubahan mukosa telinga tengah, yaitu:
2. Stadium Oklusi, stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membran
timpani akibat tekanan negatif telinga tengah. Membran timpani kadang tampak
normal atau berwarna suram.
3. Stadium Hiperemis, pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di
sebagian atau seluruh membran timpani, membrane timpani tampak hiperemis
disertai edem.
4. Stadium Supurasi, stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengah disertai
hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum
timpani sehingga membran timpani tampak menonjol (bulging) ke arah liang
telinga luar.
5. Stadium Perforasi, pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga
nanah keluar dari telinga tengah ke liang telinga.
6. Stadium Resolusi, pada stadium ini membran timpani berangsur normal,
perforasi membran timpani kembali menutup dan sekret purulen tidak ada lagi.
Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah maka resolusi dapat
terjadi walaupun tanpa pengobatan.
Ada juga yang membagi OMA menjadi 5 stadium yang sedikit berbeda
yaitu: 1. stadium kataralis; 2. stadium eksudasi; 3. stadium supurasi; 4. Stadium
penyembuhan; dan 5. stadium komplikasi.
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah infeksi kronik telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan keluarnya sekret dari telinga tengah
secara terus-menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental,
bening, atau nanah. Biasanya disertai gangguan pendengaran.
23
Etiologi
Sebagian besar OMSK merupakan kelanjutan OMA yang prosesnya sudah
berjalan lebih dari 2 bulan. Beberapa faktor penyebab adalah terapi yang
terlambat, terapi tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh rendah,
atau kebersihan buruk. Bila kurang dari 2 bulan disebut subakut.Sebagian kecil
perforasi membran timpani terjadi akibat trauma telingan tengah. Kuman
penyebab biasanya Gram positif aerob, sedangkan pada infeksi yang telah
berlangsung lama sering juga terdapat kuman Gram negatif dan naerob.
Patofisiologi
OMSK dibagi dalam 2 jenis, yaitu beningna atau tipe mukosa, dan maligna
atau tipe tulang. Berdasarkan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif
juga dikenal tipe aktif dan tipe tenang. Pada OMSK beningna, peradangan terbatas
pada mukosa saja, tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Jarang
menimbulkan komplikasi berbahaya dan tidak terdapat kolesteatom.
OMSK tipe maligna disertai dengan kolesteatom. Perforasi terletak
marginal, subtotal atau di atik. Sering menimbulkan komplikasi yang berbahaya
atau fatal.
C. Manifestasi Klinik Otitis Media Akut (OMA) dan Otitis Media Supuratif
Kronik (OMSK)
1. Tinitus
Tinnitus merupakan suatu gangguan pendengaran dengan keluhan perasaan
mendengar bunyi tanpa rangsangan bunyi dari luar. Keluhannya bisa berupa
bunyi mendenging, menderu, mendesis, atau berbagai macam bunyi yang lain.
Tinnitus berasal dari kata latin yaitu tinnire, yang berarti mendenging atau
berkerincing. Tinnitus adalah bunyi abnormal yang didengar penderita yang
berasal dari dalam kepala, biasanya disebut juga telinga berdengung. Tinnitus
dapat dibagi atas tinnitus objektif, bila suara tersebut dapat didengar juga oleh
24
pemeriksa atau dengan auskultasi di sekitar telinga dan tinnitus subjektif, bila
suara tersebut hanya didengar oleh penderita dan jenis ini sering terjadi.
Tinnitus merupakan gejala yang sangat sering terjadi dan dapat tidak
dikenali oleh kebanyakan orang sampai penyebabnya ditemukan dan diatasi.
Tinnitus dapat terjadi dalam berbagai intensitas. Tinnitus dengan nada rendah,
seperti bergemuruh atau nada tinggi, seperti berdengung. Tinnitus dapat terus-
menerus atau hilang timbul terdengar.(Lockwood AH, 2008)
Lama serangana tinnitus bila berlangsung dalam wakt 1 menit biasanya
akan hilang sendiri, keadaan ini bukan merupakan keadaan patologik. Bila
berlangsung dalam 5 menit merupakan keadaan patologik. (Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, 2007)
Patofisiologi
Pada tinnitus terjadi aktivitas elektrik pada area auditorius yang
menimbulkan perasaan adanya bunyi, namun impuls yang bukan berasal dari
bunyi eksternal yang ditransformasikan, melainkan berasal dari sumber impuls
abnormal di dalam tubuh pasien sendiri. (Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher, 2007)
2. Kepala Pusing
Kepala pusing atau nyeri kepala merupakan salah satu gejala dari adanya
gangguan keseimbangan di dalam tubuh. Keseimbangan tubuh diatur oleh
vestibulum dan canalis semicircularis yang ada di dalam auris interna, ketika
kepala bergerak atau berputar maka hair cell akan tertekuk kea rah yang
berlawanan dengan endolimfe, sehingga terjadilah depolarisasi sel dan
potensial aksi. Potensial aksi diteruskan oleh nervus vestibularis menuju
nucleus vestibularis di truncus cerebri dan archicerebellum. Setelah input
diterima, output diteruskan menuju motorneuron yang menginervasi otot-otot
proksimal tubuh, sehingga seseorang dapat mengetahui posisi tubuhnya dan
25
tidak merasakan seperti bumi ini berputar. Keluar cairan kuning, kental, dan
berbau busuk
Ear discharge merupakan berbagai macam cairan yang keluar dari telinga.
Biasa juga disebut dengan otorrhea. Penyebab yang paling sering salah satunya
adalah akibat adanya Infeksi telinga.
Infeksi telinga muncul ketika bakteri atau virus masuk kedalam Auris
media. Auris media terletak di belakang membran tymphani. Berisi tiga tulang
pendengaran yang sangat vital dalam proses pendengaran. Infeksi telinga akan
menyebabkan penumpukkan cairan di cavum tympani, yang jika makin lama
mengumpul akan menyebabkan salah satu bagian pada membran tympani akan
mengalami bulging. Bagian tersebut kemudian akan kekurangan pasokan darah
sehingga terjadi nekrosis, yang jika tidak tertangani akan berlanjut menjadi
perforasi sehingga cairan yang tertumpuk akan keluar.
Pada saat terjadi penumpukkan cairan akibat infeksi di cavum tympani,
kerja tulang pendengaran dalam menyalurkan getaran suara pun terganggu
dikarenakan media yang biasanya berisi udara menjadi berisi cairan. Maka dari
itu fungsi pendengaran juga akan terganggu.(George Krucik, MD, MBA,
2014)
3. Gangguan Pendengaran
Secara anatomis, cavum nasi terhubung ke nasopharynx melalui choanae,
dan terhubung ke auris media melalui tuba auditiva eustachii. Sehingga infeksi
mikroorganisme pada nasus dapat menyebar ke auris media dan pharynx
begitu pula sebaliknya.
Proses infeksi yang menjalar ke auris media mengakibatkan peradangan
mukosa. Hal tersebut menyebakan produksi secret berlebih di auris media.
Penimbunan secret berlebih pada auris media menyebabkan hantaran
gelombang suara menjadi terganggu. Sehingga sensitivitas dalam mendengar
menurun.
26
D. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Otitis Media Akut (OMA)
dan Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)
1. Pemeriksaan OMA
Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut: 1. Penyakitnya muncul
mendadak (akut); 2. Ditemukannya tanda efusi di telinga tengah. Efusi
dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut:
menggembungnya gendang telinga, terbatas /tidak adanya gerakan gendang
telinga, adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga, cairan yang
keluar dari telinga; 3. Adanya tanda / gejala peradangan telinga tengah, yang
dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut: kemerahan pada
gendang telinga, nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.
Diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang cermat. Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada stadium dan
usia pasien. Pada anak –anak umumnya keluhan berupa rasa nyeri di telinga
dan demam. Biasanya ada riwayat infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya.
Pada remaja atau orang dewasa biasanya selain nyeri terdapat gangguan
pendengaran dan telinga terasa penuh. Pada bayi gejala khas adalah panas
yang tinggi, anak gelisah dan sukar tidur, diare, kejang-kejang dan sering
memegang telinga yang sakit.
Beberapa teknik pemeriksaan dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis OMA, seperti otoskop, otoskop pneumatik, timpanometri, dan
timpanosintesis.Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang
menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau
agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga.
Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi
pneumatik. Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama
sekali dapat dilihat dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini meningkatkan
sensitivitas diagnosis OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat
ditegakkan dengan otoskop biasa.
27
Untuk mengkonfirmasi penemuan otoskopi pneumatik dilakukan
timpanometri. Timpanometri dapat memeriksa secara objektif mobilitas
membran timpani dan rantai tulang pendengaran. Timpanometri merupakan
konfirmasi penting terdapatnya cairan di telinga tengah. Timpanometri juga
dapat mengukur tekanan telinga tengah dan dengan mudah menilai patensi
tabung miringotomi dengan mengukur peningkatan volume liang telinga luar.
Timpanometri punya sensitivitas dan spesifisitas 70-90% untuk deteksi cairan
telinga tengah, tetapi tergantung kerjasama pasien.
Timpanosintesis, diikuti aspirasi dan kultur cairan dari telinga tengah,
bermanfaat pada anak yang gagal diterapi dengan berbagai antibiotika, atau
pada imunodefisiensi. Timpanosintesis merupakan standar emas untuk
menunjukkan adanya cairan di telinga tengah dan untuk mengidentifikasi
patogen yang spesifik. Menurut beratnya gejala, OMA dapat diklasifikasi
menjadi OMA berat dan tidak berat. OMA berat apabila terdapat otalgia
sedang sampai berat, atau demam dengan suhu lebih atau sama dengan 39ºC
oral atau 39,5ºC rektal, atau keduanya. Sedangkan OMA tidak berat apabila
terdapat otalgia ringan dan demam dengan suhu kurang dari 39ºC oral atau
39,5ºC rektal, atau tidak demam. (Adams GL, 2012)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Telinga menggunakan Otoskop
Alat yang digunakan untuk pemeriksaan telinga adalah lampu kepala,
corong telinga, otoskop, pelilit kapas, pengait serumen, pinset telinga dan
garputala.
Mula-mula dilihat keadaan dan bentuk daun telinga, daerah belakang
telinga. Dengan menarik daun telinga ke atas dan ke belakang, liang telinga
menjadi lebih lrus dan akan mempermudah untuk melihat keadaan liang
telinga ddan membran timpani. Pakai otoskop untuk melihat lebih jelas
bagian-bagian membran timpani. Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika
memeriksa menggunakan otoskop adalah adakah serumen, bagaimana
28
konsistensi, warna dan baunya, adakah reaksi inflamasi di liang telinga,
bagaimana kondisi membran timpani, apakah utuh, bagaimana
penampakannya, dsb.
Uji pendengaran dilakukan dengan memakai garputala dan dari hasil
pemeriksaan dapat diketahui jenis ketulian apakah tuli konduktif atau tuli
perspektif. Uji penala yang dapat dilakukan adalah uji Rinne, uji Weber dan
uji Scwabah. (Soepardi, E.A., 2007)
Dari hasil pemeriksaan otoskopi pada skenario didapatkan discharge
mukopurulen dan granuloma. Granuloma dan discharge mukopurulen
menandakan adanya infeksi yang sudah berlangsung lama, karena
granuloma sendiri khas jika terjadi infeksi yan lama pada telinga.
Discharge yang keluar menandakan sudah adanya perforasi pada membran
timpani sebagai jalan keluar discharge. Hal-hal di atas menandakan
terjadinya infeksi kronis pada rongga telinga bagian tengah (auris media).
b. Pemeriksaan Hidung menggunakan Rhinoskopi
Memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan disebut rhinoskopi
anterior. Diperlukan spekulum hidung. Vestibulum hidung, septum nasi
terutama bagian anterior, konka inferior, konka media, meatus sinus
paranasal dan keadaan mukosa rongga hidung harus diperhatikan. Hal ini
dilakukan pada bagian kiri mapun kanan juga.
Untuk melihat bagian belakang hidung dilakukan pemeriksaan
rhinoskopi posterior sekaligus untuk melihat keadaan nasofaring. Untuk
melakukan pemeriksaan rhinoskopi posterior diperlukan spatula lidah dan
kaca nasofaring. Sebelum kaca ini dimasukkan, suhu kaca dites terlebih
dahulu pada kulit belakang kiri pemeriksa. Pasien diminta membuka mulut,
lidah dua petiga anterior ditekan dengan spatula lidah. Setelah itu kaca
dimasukkan sampai ke nasofaring. Mula-mula perhatikan bagian belakang
septum dan choana. Kemudian kaca diputar ke lateral sedikit untuk melihat
29
konka superior, konka media, meatus superior dan meatus media. Kaca
diputar lebih ke laterallagi sehingga dapat diindentifikasi torus tubarius,
muara tuba Esutachius dan fossa Rossenmuler.
Pada skenario didapatkan hasil pemeriksaan rhinoskopi anterior pada
pasien terdapat discharge seromukous, konka hipertrofi dan livide. Livide
merupakan tanda khas yang terjadi pada rhinitis allergica yang persisten.
Dan pada rhinitis allergica yang persistenjuga terdapat adanya konka yang
hipertrofi dan adanya discharge seromukous. (Soepardi, E.A., 2007)
3. Pemeriksaan Penunjang OMSK
a. Audiometrik untuk mengetahui tuli konduktif. Pada pemeriksaan
audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi dapat
pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar
dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas.
b. Foto rontgen untuk mengetahui patologi mastoid
c. Otoskop untuk melihat perforasi membran timpani
d. Pemeriksaan Radiologi
1) Proyeksi Schuller: memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari
arah lateral dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena
memperlihatkan posisi sinus lateral dan tegmen.
2) Proyeksi Mayer atau Owen: Diambil dari arah dan anterior telinga
tengah. Akan tampak gambaran tulang- tulang pendengaran dan atik
sehingga dapat diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai
struktur-struktur.
3) Proyeksi Stenver: memperlihatkan gambaran sepanjang piramid
petrosus dan yang lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna,
vestibulum dan kanalis semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan
antrum dalam potongan melintang sehingga dapat menunjukan adanya
pembesaran.
30
4) Proyeksi Chause III: memberi gambaran atik secara longitudinal
sehingga dapat memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik.
Politomografi dan atau CT scan dapat menggambarkan kerusakan tulang
oleh karena kolesteatom.
e. Bakteriologi. Bakteri yang sering dijumpai pada OMSK adalah
Pseudomonas aeruginosa, Stafilokokus aureus dan Proteus. Sedangkan
bakteri pada OMSA Streptokokus pneumonie,H. influensa, dan Morexella
kataralis. Bakteri lain yang dijumpai pada OMSK E. Coli, Difteroid,
Klebsiella, dan bakteri anaerob adalah Bacteriodes sp. (Fung, K., 2004)
f. Tone Decay Test. Tone decay test atau tes kelelahan merupakan suatu
pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui ambang batas telinga untuk
mendengar. Pemeriksaan ini menyimpulkan bahwa apabila telinga manusia
distimulasi terus-menerus oleh suatu bunyi, maka aka nada suatu waktu
dimana telinga mengalami fatigue sehingga tidak dapat mendengar bunyi.
Namun, hal ini bersifat sementara.Tone decay test ada 2 cara yaitu dengan
cara Threshold Tone Decay(TTD) dan Supra Threshod Adaptation
Test(STAT). TTD dibagi menjadi cara Gahart dan cara Rosenberg. Cara
Gerhart memberikan perangsangan secara terus menerus dengan intensitas
sesuai dengan ambang dengar. Misalnya 40 db bila setelah 60 detik masih
tetap mendengar maka test dinyatakan negative , jika sebaliknya terjadi
kelelelahan atau tidak mendegar maka test dinyatakan + Kemudian
intesitas Bunyi ditambah 5 db jadi 45 db maka pasien dapat mrndengar
lagi,rangsangan dilakukan dengan 45 db selama 60 detik dan seterusnya.
Sedangkan cara Rosenberg dengan penambahan : < 15 db = normal, >30 db
= sedang. STAT digunakan dengan prinsip pemeriksaan pada 3 Frekwensi(
500 hz 1000 hz dan 2000 hz) pada 110 db SPL = 100 db Sl. Artinya Nada
Murni pada frekwensi ( 500 hz 1000 hz dan 2000 hz) pada 110 db SPL
diberikan secara terus menerus selama 60 detik , terjadi kelelahan maka tes
31
dinyatakan +. (Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tengorok
Kepala Leher, 2002)
E. Diagnosis Banding
1. Rhinitis Vasomotor
Etiologi
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. Beberapa
faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti
ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor
topikal.
b. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara
yang tinggi dan bau yang merangsang.
c. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti
hamil dan hipotiroidisme.
d. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.
Patofisiologi
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi
dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem
saraf simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis
vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan
peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis.
Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang
hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai
peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan
transudasi cairan, edema dan kongesti.
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari sel-
sel seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin,
32
leukotrin, prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-
elemen ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang
menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem
saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan rinore.
Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated)
seperti pada rinitis alergi.
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rinitis
vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi
yang spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan
udara, perfume, asap rokok, polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ).
Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rinitis
vasomotor yaitu :
a. Meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
b. Mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
c. mengurangi peptide vasoaktif
d. Mencari dan menghindari zat-zat iritan.
Patogenesis
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh-
pembuluh darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf
parasimpatis. Tidak dijumpai alergen terhadap antibodi spesifik seperti
yang dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini merupakan refleks
hipersensitivitas mukosa hidung yang non – spesifik. Serangan dapat muncul
akibat pengaruh beberapa faktor pemicu.
a. Latar belakang
1) Adanya paparan terhadap suatu iritan → memicu ketidakseimbangan
sistem saraf otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada
mukosahidung → vasodilatasi dan edema pembuluh darah mukosa
hidung→ hidungtersumbat dan rinore.
2) Disebut juga “ rinitis non-alergi ( nonallergic rhinitis ) “
33
3) Merupakan respon non – spesifik terhadap perubahan – perubahan
lingkungannya, berbeda dengan rinitis alergi yang mana merupakan
respon terhadap protein spesifik pada zat allergennya.
4) Tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang diperantarai oleh ige
( ige-mediated hypersensitivity )
b. Pemicu ( triggers ) :
1) Alkohol
2) Perubahan temperatur /
kelembapan
3) Makanan yang panas dan
pedas
4) Bau – bauan yang menyengat
( strong odor )
5) Asap rokok atau polusi udara lainnya
6) Faktor – faktor psikis seperti : stress,
ansietas
7) Penyakit – penyakit endokrin
8) Obat-obatan seperti anti hipertensi,
kontrasepsi oral
Gejala klinis
Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan
dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan
bersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat
sangat bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama
sewaktu perubahan posisi. Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila
dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan
mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena
adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena
asap rokok dan sebagainya. Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya
ingus yang jatuh ke tenggorok ( post nasal drip ).
Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2
golongan, yaitu golongan obstruksi (blockers) dan golongan rinore
(runners / sneezers). Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik
daripada golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan
34
rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan
diagnosisnya.
Diagnosis
Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya
dan keluhan dimulai pada usia dewasa.Beberapa pasien hanya mengeluhkan
gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan tertentu tetapi tidak
mempunyai keluhan apabila tidak terpapar.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema
mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah tua
( karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka
dapat licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga hidung terdapat sekret
mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang
ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. Pada rinoskopi posterior
dapat dijumpai post nasal drip.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
rinitis alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST,
serta kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga
eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi
sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret.
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan
mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.
(Soepardi EA, 1997)
F. Penatalaksanaan
Tatalaksana OMA
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pada stadium oklusi
pengobatan terutama dilakukan bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachii,
sehingga tekanan negative di telinga tengah hilang. untuk itu diberikan obat tetes
35
hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis (untuk <12 Tahun) atau HCl
efedrin 1% dala, larutan fisiologis (untuk >12 Tahun dan orang dewasa).
Selain itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan apabila penyebab
utamanya adalah kuman, bukan virus atau alergi.
Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotika, obat tetes hidung dan
analgetika. Antibiotika yang dianjurkan adalah dari golongan penisilin atau
ampisilin. Terapi awal diberikan penisilin intramuscular agar didapatkan
konsentrasi yang adekuat dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan.
Pemberian antibiotika dianjurkan selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap
penisilin bisa diberikan eritromisin.
Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/Kg BB per hari dibagi
dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40 mg/kg BB per hari dibagi dalam 3 dosis, atau
eritromisin 40 mg/kg BB per hari
Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotika, idealnya harus disertai
dengan mirigotomi, bila membrane timpani masih utuh, dengan miringotomi
gejala –gejala klinis lebih cepat hilang dan rupture dapat dihindari.
Pada stadium perforasi sering terlihat secret banyak keluar dan kadang
terlihat secret keluar secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah
obat cuci telinga H202 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat.
Biasanya secret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7-
10 hari.
Pada stadium resolusi, maka membrane timpani berangsur normal kembali,
sekret tidak ada lagi dan perforasi membrane timpani menutup (Djaafar, 2007).
Tatalaksana OMSK
Terapi OMSK memerlukan waktu yang lama dan berulang-ulang karena sekret
yang keluar biasanya tidak cepat kering dan sering kambuh. Hal ini disebabkan:
1. Perforasi membran timpani permanen
2. Sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung, sinus
36
3. Terbentuk jaringa patologik irreversibel dalam rongga mastoid
4. Gizi higiene kurang
Bila sekret keluar terus-menerus, berikan obat pencuci telinga H2O2 3%
selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang, beri antibiotika dan kortikosteroid
dalam bentuk tetes telinga. Obat tetes telinga ini jangan diberikan terus-menerus
lebih dari 1 atau 2 minggu karena memiliki efek samping ototoksik. Selain itu beri
antibiotika oral ampisilin atau eritromisin. Bila sekret telah kering tetapi perforasi
masih ada setelah 2 bulan, lakukan miringoplasti atau timpanoplasti utuk
menghentikan infeksi secara permanen. Sumber infeksi harus diobati lebih dulu,
kalau perlu dengan pembedahan.
Prinsip terapi OMSKmaligna adalah pembedahan, yaitu mastoidektomi
dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi medikamentosa hanya bersifat sementara
sebelum pembedahan. Operasi direncanakan secepatnya untuk memperbesar
kemungkinan keberhasilan dan memperkecil risiko komplikasi. Bila terdapat abses
subperiosteal retroaurikular, maka dilakukan insisi abses tersendiri sebelum
mastoidektomi.(Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher, 2007)
G. Motivasi dan Edukasi terhadap Prognosis Penyakit
1. Memberi tahu pasien bahwa rhinitis alergi merupakan penyakit
hipersensitivitas yang dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
alergen, dalam skenario ini debu.
2. Memberi tahu pasien agar selalu menjaga kebersihan hidung dan telinga.
3. Memberi tahu pasien untuk tidak melakukan aktivitas-aktivitas yang mungkin
memberatkan telinga, seperti berenang dan mendengar suara yang keras.
4. Memberi tahu pasien untuk melakukan pengobatan secara tuntas dan adekuat
agar penyakitnya tidak kambuh atau bertambah parah.
37
H. Komplikasi Otitis Media Akut (OMA) dan Otitis Media Supuratif Kronik
(OMSK)
Komplikasi OMA yang serius adalah:
1. Infeksi pada tulang di sekitar telinga tengah (mastoiditis atau petrositis)
2. Labirintitis (infeksi pada kanalis semisirkuler)
3. Kelumpuhan pada wajah
4. Tuli
5. Peradangan pada selaput otak (meningitis)
6. Abses Otak
Tanda-tanda terjadinya komplikasi:
1. Sakit kepala
2. Tuli yang terjadi secara mendadak
3. Vertigo (perasaan berputar)
4. Demam dan menggigil. (Adams, 2012).
Komplikasi otitis media terjadi bila sawar pertahanan telinga tengah normal
dilewati sehingga infeksi bisa menjalar ke struktur sekitarnya.
Pertahanan pertama adalah mukosa cavum timpani dimana fungsinya untuk
melokalisasi infeksi. Apabila pertahanan pertama terlewati maka akan menghadapi
pertahanan kedua yaitu dinding tulang cavum timpani dan sel mastoid. Apabila
pertahanan ini runtuh maka struktur lunak di sekitarnya juga akan terkena
sehingga menyebabkan periosteum runtuh dan mengakibatkan abses periosteal
yang relatif tidak berbahaya.
Namun, apabila infeksi terus berlanjut dan mengarah ke os temporal, maka
bisa terjadi paresis n.facialis dan labyrinthitis. Apabila infeksi mengarah ke
cranial, maka bisa menyebabkan abses ekstradural, meningitis, dan abses otak.
Apabila sawar tulang ini terlewati, maka akan menghadapi pertahanan ketiga
dengan membentuk jaringan-jaringan granulasi.
38
I. Etiologi, Patofisiologi,dan Manifestasi Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama udara pernapasan (misalnya tungau,
debu)
2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran pencernaan (misalnya makanan
berupa susu, ikan laut, dll)
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan (misalnya penisilin atau
sengatan lebah)
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak langsung (misalnya bahan
kosmetik dan perhiasan)
Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE. (WHO, 2001)
Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
39
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E
(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE
di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamine. (Irawati,
Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara garis besar, pengeluaran histamine oleh tubuh akan menyebabkan, rasa
gatal gidung dan bersin-bersin, hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet
ditambah meningkatnya permeabilitas kapiler, dan hidung menjadi tersumbat
karena vasodilatasi sinusoid. (Swardana, 2000).
J. Hubungan Rhinitis Alergi dan Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)
Pasien rhinitis alergi akan mengalami fase MPI (Minimal Persistent
Inflammation), dimana terdapat ICAM-1 yang merupakan reseptor selektif untuk
infeksi rhinovirus, virus penyebab common cold atau rhinitis simpleks. Apabila
infeksi ini berlangsung terus-menerus maka bisa menjalar ke telinga tengah
melalui saluran tuba eustachius dan bisa menyebabkan otitis media akut. Otitis
media akut yang tidak ditangani secara adekuat bisa berlanjut menjadi otitis media
supuratif kronik.
40
K. Edukasi
1. Memberikan pengertian kepada pasien untuk menghindari alergen (debu, bulu
binatang, serbuk bunga) agar rhinitis alergi tidak terjadi.
2. Memberikan informasi, instruksi dan peringatan kepada pasien tentang efek
terapi obat dan efek samping yg mungkin timbul selama pengobatan.
41
BAB III
PEMBAHASAN
Hasil anamnesis pada pasien di skenario didapatkan keterangan adanya
infeksi pada telinga kanan pasien yang mengeluarkan cairan kuning, kental
dan berbau busuk. Dari riwayat penyakit dahulu pasien yang sering pilek saat
remaja, apalagi jika terpapar debu dicurigai adanya riwayat alergi yang cukup
lama. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior ditemukan adanya discharge
seromukous, konka hipertrofi dan livide, dan yang terakhir ini merupakan
tanda khas pada kejadian rhinitis allergica. Rhinitis alergika adalah kelainan
pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Rinitis
alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC)
yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan
late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
42
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit
B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamine. Secara garis besar,
pengeluaran histamine oleh tubuh akan menyebabkan, rasa gatal gidung dan
bersin-bersin, hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet ditambah
meningkatnya permeabilitas kapiler, dan hidung menjadi tersumbat karena
vasodilatasi sinusoid.
Untuk gejala telinga kanan keluar cairan encer, jernih, dan ada darah.
Kambuh-kambuhan jika batuk pilek, merupakan kelanjutan dari gejala pasien
yang sering menderita batuk pilek saat terpapar debu. Gejala diatas
kemungkinan terjadi karena pasien terus terpapar oleh allergen, dan tidak
melakukan pengobatan atau pencegahan supaya alerginya tidak kambuh.
Kemungkinan pasien setahun yang lalu menderita otitis media,
infeksinya berasal dari hidung pasien menyebar ke telinga tengah pasien
melalui tuba auditiva eustachii, yang merupakan penghubung nasofaring
dengan auris media. Setelah itu, terbentuk efusi di dalam auris media karena
infeksi dari hidung itu sendiri. Cairan lama-lama terakumulasi di dalam auris
media sehingga mendesak membrane timpani kearah lateral/bulging. Jika
keadaan ini tidak diobati (seperti kemungkinan yang terjadi pada skenario),
membrane timpani tidak dapat menahan cairan yang ada di dalam auris media,
43
dan terjadi rupture membrane timpani/perforasi sehingga keluar cairan dan
darah dari dalam telinga. Keadaan ini dapat terjadi kambuh-kambuhan karena
sumber infeksinya sendiri belum diobati. (Djaafar, 2007).
Dengan adanya kemungkinan adanya otitis media satu tahun yang lalu
namun pasien tidak melakukan pengobatan atau pengobatan setahun yang lalu
tidak adekuat, telinga tengah pasien tetap mengeluarkan cairan, ditambah daya
tahan tubuh pasien yang lemah dikarenakan pasien mempunyai alergi
terhadap debu dan terpajan setiap hari. Karena penyakit yang dideritanya
sudah mencapai kronis, maka keadaan sekret yang keluar pun berbeda
dibandingkan setahun yang lalu, yakni kuning, kental dan berbau busuk.
(Balqis, 2011)
Pasien dalam scenario juga megeluhan telinga berdenging sehingga
pendengaran terganggu, disertai kepala pusing. Gejala yang dirasakan pasien
adalah tinnitus. Pada tinitus terjadi aktivitas elektrik pada area auditorius yang
menimbulkan perasaan adanya bunyi, namun impuls yang ada bukan berasal
dari bunyi eksternal yang ditransfor-masikan, melainkan berasal dari sumber
impuls abnormal di dalam tubuh pasien sendiri. Impuls abnormal itu dapat
ditimbulkan oleh berbagai kelainan telinga. Tinitus dapat terjadi dalam
berbagai intensitas. Tinitus dengan nada rendah, seperti bergemuruh atau nada
tinggi, seperti berdengung. Tinitus dapat terus menerus atau hilang timbul
terdengar. Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat
juga terjadi karena gangguan konduksi. Tinitus yang disebabkan oleh
gangguan konduksi, biasanya berupa .bunyi dengan nada rendah. Jika disertai
dengan inflamasi, bunyi dengung ini terasa ber-denyut (tinitus pulsasi).Tinitus
dengan nada rendah dan terdapat gangguan konduksi, biasanya terjadi pada
sum-batan liang telinga karena serumen atau tumor, tuba katar, otitis media,
otosklerosis dan Iain-lain. (Djaafar, 2007) Pendengaran pada penderita otitis
media biasanya terganggu karena adanya akumulai cairan pada auris media
yang menyebabkan kinerja ossicula auditiva menjadi berkurang, dan ini
44
berimbas pada berkurangnya pendengaran. Untuk gejala kepala pusing, hal ini
dapat dikaitkan dengan adanya infeksi yang lama pada auris media yang
menyebabkan infeksi menyebar melalui fenestra rotundum dan menginfeksi
perilimfe dan endolimfe pada auris interna. Padahal kita tau fungsi dari auris
interna selain untuk fungsi pendengaran juga berfungsi untuk keseimbangan.
Jika endolimfe dalam auris interna terjadi inflamasi disana, maka densitas dari
endolimfe akan meningkat, hal ini dapat mengakibatkan kepala pusing.
Pemeriksaan otoskopi, telinga kanan didapatkan adanya discharge
mukopurulen, dan granuloma. Granuloma itu sendiri merupakan tanda bahwa
telah terjadi rekasi radang yang kronis yang ditemukan biasanya pada otitis
media supuratif kronis (OMSK). OMSK sendiri dapat terjadi jika telah terjadi
otitis media akut (OMA) terlebih dahulu. Jika dilihat dari riwayat penyakit
dahulu pasien, rhinitis kronis dapat menyebabkan gangguan pada tuba
eustachii yang akhirnya menyebabkan oklusi dari tuba eustachii. Oklusi
tersebut menimbulkan tekanan negatif pada telinga tengah yang nantinya
menghalangi keluarnya sekret dari telinga tengah ke nasofaring. Dengan
adanya infeksi yang masuk ke tuba akibat rhinitis dan juga kegagalan tuba
untuk mngeluarkan sekretnya menimbulkan terjadinya infeksi pada telinga
tengah (OMA). Karena terjadinya OMA pada pasien tidak dilakukan
pengobatan yang adekuat dan dibiarkan saja, maka lama-elamaan timbullah
otitis media supuratif kronis (OMSK).
Karena itu, dalam tatalaksana seharusnya tidak hanya dilakukan
pengobatan medikamentosa, seperti antibiotik, antiinflamasi, antinyeri, tetapi
juga perlu dilakukan pembersihan telinga tengah. Selain itu, pasien perlu
diberikan edukasi mengenai pencegahan timblnya rhinitis allergica dengan
menghindari bahan-bahan yang memicu.
45
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari diskusi yang telah kami lakukan pada pertemuan satu dan dua dapat
ditarik kesimpulan bahwa pasien terkena otitis media supuratif kronik berdasarkan
dari gejala, etiologi dan patofisiologi yang telah ada pada pembahasan
sebelumnya. Namun awitan yang terjadi pada pasien berdasar diskusi bias bermula
dari rhinitis alergi yang diderita pasien dan tidak ditangani dengan baik begitu juga
diperburuk oleh lingkungan kerja pasien.
B. Saran
Saran untuk diskusi tutorial kali ini adalah diharapkan partisipasi aktif oleh
tiap-tiap peserta diskusi agar diskusi semakin beragam dan hidup. Begitu juga
diharapkan pula untuk masing-masing peserta diskusi untuk mencari learning
objective yang sudah ditentukan.
Untuk tutor sudah baik dalam memandu diskusi dengan terus memancing
peserta diskusi untuk terus berperan aktif dalam diskusi dan menuntun diskusi
menuju learning objective yang diinginkan.
46
DAFTAR PUSTAKA
Adams GL, Boies LR, Higler PA. 2012. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid.
Boies, Buku Ajar Penyakit THT Ed. 6. Jakarta:EGC;88-119.
Balqis, Nora. 2011. Gambaran otitis media supuratifkronik di RSUP. H.Adam
Maliktahun 2008. http://www.repository.usu.ac.id
Broides, A., dkk. Acute otitis media caused by Moraxella catarrhalis: Epidemiologic
and Clinical Characteristic. Clinical Infectious Diseases 2009;49:1641–7.
Djaafar, ZA. 2003. Otittis Media SupuratifKronik, dalamSoepardi, S.A., dkk, (ed),
PenatalaksanaanPenyakitdanKelainanTelingaHidungTenggorok, Edisi 3.
Jakarta: BalaiPenerbit FK UI.
Djaafar, Z.A., HelmiRestuti R.D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi Keenam. Jakarta: FKUI
EfiatyArsyad, S, NurbaitiIskandar. 1997. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung.
Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
Elise,Kasakeyan. Rinitis Vasomotor. Dalam :Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar, Ed.
Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-3.Jakarta :Balai Penerbit FK UI.1997.
h. 107 – 8.
Fung, K., 2004, Otitis Media Chronic, http://www.medline.com
Lockwood AH, Salvi RJ, Burkard RF. Tinnitus. [Online]. 2002 Sept 19 [cited 2008 Jun 23]; Available from URL:http://www.NEJM.com
Mansjoer, Arif. dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga J ilid 1.
Jakarta:Media Aesculapius FakultasKedokteran UI.
Sherwood, L. 2010. Human Physiology: The Periferal Nervous System: Afferent Division; Spesial Sense7th Ed. Philadelphia: Brooks/Cole Engange Learning. p. 213-23.
47
Soepardi, EfiatyArsyad et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
StafPengajarIlmuPenyakit THT FKUI. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tengorok Kepala Leher. Edisi ke 5 Cetakan ke2. Jakarta :Balai Penerbit
FKUI.