EFEK KEMO-RADIOTERAPI TERHADAP EKSPRESI miRNA-21...

132
1 EFEK KEMO-RADIOTERAPI TERHADAP EKSPRESI miRNA-21 DAN miRNA-29C PADA PLASMA DARAH PASIEN KARSINOMA NASOFARING EFFECTIVITY OF CHEMO-RADIOTERAPY TO miRNA-21 AND miRNA-29C EXPRESSION AT BLOOD PLASMA PATIENT WITH NASOPHARYNGEAL CARCINOMA INDIRA MAHARIS Pembimbing: Prof. Dr. dr. Eka Savitri, Sp.T.H.T.K.L (K) Prof. dr. Abdul Kadir, Sp.T.H.T.K.L (K), PhD, M.Kes Dr. dr. Idham Jaya Ganda, SpA(K) KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU BIDANG ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

Transcript of EFEK KEMO-RADIOTERAPI TERHADAP EKSPRESI miRNA-21...

1

EFEK KEMO-RADIOTERAPI TERHADAP EKSPRESI

miRNA-21 DAN miRNA-29C PADA PLASMA DARAH

PASIEN KARSINOMA NASOFARING

EFFECTIVITY OF CHEMO-RADIOTERAPY TO miRNA-21 AND miRNA-29C

EXPRESSION AT BLOOD PLASMA PATIENT WITH NASOPHARYNGEAL

CARCINOMA

INDIRA MAHARIS

Pembimbing: Prof. Dr. dr. Eka Savitri, Sp.T.H.T.K.L (K)

Prof. dr. Abdul Kadir, Sp.T.H.T.K.L (K), PhD, M.Kes Dr. dr. Idham Jaya Ganda, SpA(K)

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU BIDANG ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2018

2

EFEK KEMO-RADIOTERAPI TERHADAP EKSPRESI

miRNA-21 DAN miRNA-29C PADA PLASMA DARAH

PASIEN KARSINOMA NASOFARING

EFFECTIVITY OF CHEMO-RADIOTERAPY TO miRNA-21 AND miRNA-29C

EXPRESSION AT BLOOD PLASMA PATIENT WITH NASOPHARYNGEAL

CARCINOMA

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi Biomedik

Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu

Disusun dan Diajukan Oleh

INDIRA MAHARIS

Kepada

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2018

3

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Indira Maharis

Nomor mahasiswa : P1507213085

Program Studi : Biomedik

Konsentrasi :Combined Degree PPDS Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis yang saya tulis ini benar-

benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian

hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan

Tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas

perbuatan tersebut.

Makassar, 29 Januari 2018

Yang menyatakan

Indira Maharis

4

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang

senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Penulisan Tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam

rangka menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis T.H.T.K.L di

Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L pada Konsentrasi Pendidikan

Dokter Spesialis Terpadu, Bidang Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L, Program

Studi Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin,

Makassar.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Tesis ini tidak akan

terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada

kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya

kepada Prof.Dr.dr.Eka Savitri, Sp.T.H.T.K.L(K), sebagai dosen

pembimbing materi dan penelitian, yang dengan penuh perhatian dan

kesabaran senantiasa membimbing dan memberikan dorongan sehingga

penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Prof.

dr.Abdul Kadir, Ph.D, Sp.T.H.T.K.L(K), MARS yang di tengah

kesibukannya sebagai Direktur RS Kanker Dharmais di Jakarta masih

memberikan waktu dan pikiran beliau untuk membantu penulis dalam

menyelesaikan penulisan hasil penelitian ini. Penulis juga menyampaikan

terima kasih kepada para penguji yang telah memberi banyak masukan

5

dan perbaikan untuk Tesis ini, yaitu Dr. dr. Riskiana Djamin,

Sp.T.H.T.K.L(K), Dr. dr. Muhammad Amsyar Akil,

Sp.T.H.T.K.L(K),FICS, dr. Andi Baso Sulaiman Sp.T.H.T.K.L(K),M.Kes,

dr. Fitriani Mangerangi,Sp.PK(K) dan Dr. dr. Idham Jaya Ganda,

Sp.A(K).

Terima kasih yang tak terhingga juga kami sampaikan kepada

seluruh staf pengajar ilmu kesehatan T.H.T.K.L FK UNHAS yang telah

membimbing dan mengarahkan kami selama mengikuti pendidikan

sampai penelitian dan penyusunan Tesis ini.

Pada kesempatan ini pula kami menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Rektor, Direktur Program Pascasarjana dan Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin atas kesediaannya menerima

penulis sebagai peserta pendidikan pada Konsentrasi Pendidikan

Dokter Spesialis Terpadu (Combined Degree) Program Studi Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

2. Bapak Koordinator Program Pendidikan Dokter Spesialis I Universitas

Hasanuddin yang senantiasa memantau dan membantu kelancaran

pendidikan penulis.

3. Prof.Dr.dr.Abdul Qadar Punagi, Sp.T.H.T.K.L(K) selaku Ketua

Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L, Dr.dr.Riskiana Djamin,

Sp.T.H.T.K.L(K) selaku Ketua Program Studi dan Dr.dr.Muh Fadjar

Perkasa,Sp.T.H.T.K.L(K) selaku Sekretaris Program Studi Ilmu

Kesehatan T.H.T.K.L, Prof. Dr.dr Sutji P Rahardjo, Sp.T.H.T.K.L(K),

6

beserta seluruh staf pengajar (supervisor) Departemen Ilmu Kesehatan

T.H.T.K.L, atas bimbingan dan asuhannya selama penulis menjalani

pendidikan.

4. Tirta Wardana, S Si yang telah membantu proses pemeriksaan

sampel dan pengolahan data beserta staf laboratorium HUM-RC RS.

Universitas Hasanuddin.

5. Bapak Ketua Konsentrasi, Ketua Program Studi Biomedik, beserta

Bapak dan Ibu staf pengajar pada Konsentrasi Pendidikan Dokter

Spesialis Terpadu Program Studi Biomedik Pascasarjana Universitas

Hasanuddin atas bimbingannya selama penulis menjalani pendidikan.

6. Direktur Rumah Sakit dr. Wahidin Sudirohusodo dan para direktur

rumah sakit satelit atas kesediaannya memberikan kesempatan

menjalani pendidikan di Rumah Sakit tersebut .

7. Staf administrasi di Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L, Bagian

PPDS dan Program Pascasarjana FK UNHAS atas bantuan dan

kerjasamanya selama masa pendidikan penulis.

8. Semua Paramedis di Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L RS Dr.

Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit satelit lainnya atas bantuan

dan kerjasamanya selama penulis mengikuti pendidikan.

9. Kedua orang tua tercinta ayahanda Kol.Purn.H.Pargono Soetardjo dan

ibunda Hj.Aisyah Sirajuddin serta mertua saya alm. dr.Syafruddin

Mapata,SpA dan Hj. Rita Sohra yang senantiasa mendukung dalam

7

doa dan dorongan yang sangat berarti bagi penulis selama mengikuti

pendidikan.

10. Saudara saya, Marissa Maharis,SE, para adik ipar saya dr.Aisyah Sari

Dewi, dr.Risma Maharani,M.Kes,SpOG, dr.Andi Isra Salahuddin dan

dr.Dimas Agung, keponakan Keisha Asyifa, Ahmad Arsenio Rajendra

serta anggota keluarga yang lain atas doa dan dukungan, berupa moril

maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

hasil penelitian ini

11. Akhirnya dari lubuk hati terdalam penulis ucapkan terima kasih kepada

suami tercinta dr.Eka Yusuf Inrakartika,M.Kes,Sp.A dan anak saya

Althaf Alzabran Inra, atas pengertian, pengorbanan waktu dan tenaga

yang tak akan pernah tergantikan dan dengan penuh kesabaran

senantiasa mendoakan dan menjadi sumber inspirasi dan semangat

hidup bagi penulis dalam menyelesaikan Karya Akhir ini.

12. Sahabat-sahabat seperjuangan PPDS T.H.T.K.L FK UNHAS terutama

dr. Stella. F. Attu, dr. Asni Azis, dr. Raihanah, dr. Novimaryana dan dr.

Ayu Ameliyah H. Terimakasih atas dukungan moril dan bantuannya

selama ini, hingga dapat menyelesaikan karya akhir ini.

13. dr. Juliansyih Safitri, Sp.T.H.T.K.L yang telah membantu pelaksanaan

penelitian ini.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang

turut membantu menyelesaikan Karya Akhir ini.

8

Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat berguna

bagi perkembangan Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L di masa yang akan datang.

Tak lupa penulis mohon maaf bilamana ada hal-hal yang tidak berkenan

dalam penulisan Tesis ini, karena penulis menyadari sepenuhnya bahwa

Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.

Makassar, Januari 2018

Indira Maharis

9

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS iii

PRAKATA iv

ABSTRAK viii

ABSTRACK ix

DAFTAR ISI x

DAFTAR ISTILAH xiv

DAFTAR TABEL xvii

DAFTAR GAMBAR xviii

DAFTAR LAMPIRAN xix

BAB I. PENDAHULUAN 1

I.1. Latar Belakang Masalah 1

I.2. Rumusan Masalah 5

I.3. Tujuan Penelitian 5

I.4. Manfaat Penelitian 7

I.5. Hipotesis Penelitian 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 9

II.1. Karsinoma Nasofaring 9

II.1.1 Definisi dan Anatomi 9

II.1.2. Epidemiologi 10

10

II.1.3. Etiologi 11

II.1.4. Gejala Klinis 12

II.1.5. Diagnosis 13

II.1.6. Histopatologi 14

II.1.7.Penentuan stadium 15

II.1.8. Penatalaksanaan 18

II.2. Radioterapi 23

II.2.1. Radioterapi Pada Keganasan Kepala Leher 23

II.3. Kemoterapi 30

II.3.1. Definisi Kemoterapi 32

II.3.2. Tujuan dari Kemoterapi 32

II.3.3. Mekanisme Kerja Obat-obat Kemoterapi 33

II.4. Kombinasi 45

II.5. MicroRNA (miRNA) 56

II.5.1. Ekspresi Abnormal miRNA pada Kanker 58

II.5.2. miRNA sebagai Biomarker Untuk Prediksi Respon 62

II.5.3. miRNA sebagai Biomarker Prognostik Kanker 62

II.5.4. Peranan miRNA-21 pada Karsinoma Nasofaring 63

II.5.5. Peranan miRNA-29c pada Karsinoma Nasofaring 65

Kerangka Teori 67

Kerangka Konsep 68

BAB III. METODE PENELITIAN 69

III.1. Desain Penelitian 69

11

III.2. Tempat dan Waktu Penelitian 69

III.3. Populasi Penelitian 69

III.4. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel 69

III.5. Perkiraan Besar Sampel 70

III.6. Kriteria Inklusi, Ekslusi dan Drop Out 70

III.7. Ijin Subyek Penelitian 71

III.8. Metode Pengumpulan Data 72

III.8.1. Bahan dan Alat Penelitian 72

III.8.2. Cara Kerja 72

III.8.3. Teknik Pemeriksaan 73

III.8.3.1 Isolasi RNA 74

III.8.3.2 Sintesis cDNA 75

III.9. Identifikasi Variabel 77

III.10. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif 78

III.11. Alur Penelitian 82

III.12. Biaya Penelitian 83

III.13. Pengolahan dan Analisis Data 83

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 84

IV.1 Hasil Penelitian 84

IV.2 Pembahasan 94

IV.3 Keterbatasan Penelitian 98

12

BAB V. PENUTUP 100

V.1 Kesimpulan 100

V.2 Saran 101

DAFTAR PUSTAKA 102

LAMPIRAN-LAMPIRAN 105

13

DAFTAR ISTILAH

AJCC : American Joint Committee On Cancer

AKT : PI3K protein kinase B (AKT)

ATM : ataxia telangiectasia mutated gene

ATR : ataxia telangiectasia and Rad3 related protein

BCL-2 : B cell lymphoma 2

CHK1 : Checkpoint kinase 1

CHK2 : Checkpoint kinase 2

CT : Computed Tomography

Cq : Quantification cycle

DNA : Deoxyribonucleic Acid

EBV : Epstein-Barr Virus

ECM : Extracellular matrix

EDTA : ethylenediaminetetraacetic acid

ELISA : Enzym Linked Imunosorbent Assay

KGB : Kelenjar Getah Bening

KNF : Karsinoma Nasofaring

14

Let-7 : Lethal-7

Maspin : mammary serine protease inhibitor

MCl-1 : myeloid cell leukemia 1

miRNA : micro ribonucleic acid

MMP : Matrix metalloproteinase

MRI : Magnetic Resonance Imaging

mRNA : messangger ribonucleid acid

NFIB : Nuclear Factor I/B

NF-κB : Nuclear factor- κB

PDCD4 : programmed cell death protein 4

PET : Positrion Emission Tomography

pri-miRNA : Primary Micro Ribonucleid Acid

PTEN : Phosphatase And Tensin Homolog

qRT-PCR : quick Real time- polimerase chain reaction

RAKE : RNA-primed array-based Klenow enzyme (RAKE)

RECK : Reversion-inducing cystein-rich protein with kazal motifs

RNA : Ribonucleid Acid

15

RS : Rumah Sakit

RT-PCR : Real time- polymerase chain reaction

SNP : Single Nucleotide Polymorphism

STAT1 : Signal transducer and activator of transcription 1

THT : Telinga Hidung Tenggorokan

TIAM1 : T cell lymphoma and metastasis 1 (TIAM1)

TIMP3 : Tissue inhibitor metalloproteinase-3

TNM : Tumor Nodul Metastase

TPM-1 : tropomyosin apha 1

UICC : Union Internastional Contre Cancer

USG : Ultrasonografi

VAS : Visual Analog Scale

VEGF : Vascular Endotelial Growth Factor

WHO : World Health Organization

16

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Distribusi sampel penderita KNF menurut umur, jenis

kelamin, suku bangsa, riwayat keluarga dan riwayat

merokok.

Hal. 85

Tabel 2 Karakteristik sampel pasien KNF Hal. 86

Tabel 3 Perbandingan ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c

pada plasma darah penderita karsinoma nasofaring

sebelum dan sesudah kemoradioterapi. Data

disajikan dalam bentuk nilai mean dan SD (standar

deviasi). Nilai p>0,05 dinyatakan tidak bermakna, diuji

dengan Dependent Sample T- test.

Hal. 91

Tabel 4 Perbandingan ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c

pada plasma darah penderita karsinoma nasofaring

sebelum dan sesudah Radioterapi. Data disajikan

dalam bentuk nilai mean dan SD (standar deviasi).

Nilai p<0,05 pada perbandingan ekspresi miRNA-29c

Post Radioterapi dinyatakan bermakna, sedangkan

nilai p>0,05 pada miRNA-21 dinyatakan tidak

bermakna diuji dengan Dependent Sample T- test.

Hal. 92

Tabel 5 Perbandingan ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c

pada plasma darah penderita karsinoma nasofaring

setelah kemoradioterapi dengan radioterapi. Data

disajikan dalam bentuk nilai mean dan SD (standar

deviasi). Nilai p>0,05 dinyatakan tidak berbeda

secara bermakna, diuji dengan Independent Sample

T- test.

Hal. 93

17

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kurva Hasil Amplifikasi dengan qRT-PCR.

(Merah: miRNA-21, Biru: miRNA-29c dan Hijau:

merupakan reference gene dari miRNA-16)

Hal. 88

Gambar 2 Kurva leleh (Melting Curve) dengan qRT-PCR.

(Merah: miRNA-21, Biru: miRNA-29c dan Hijau:

merupakan reference gene dari miRNA-16)

Hal. 88

Gambar 3 Puncak kurva leleh (Merah: miRNA-21, Biru:

miRNA-29c dan Hijau: merupakan reference

gene dari miRNA-16)

Hal. 89

Gambar 4 Hasil analisis ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c

post kemoradioterapi dengan preterapi.

Hal. 90

Gambar 5 Hasil analisis ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c

post Radioterapi dengan preterapi.

Hal. 92

Gambar 6 Hasil analisis ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c

post kemoradioterapi dengan Radioterapi.

Hal. 93

18

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Sampel Penelitian

Lampiran 2. Data Hasil Analisis Perbandingan Ekspresi miRNA-21

pre terapi dengan post kemoradioterapi.

Lampiran 3. Data Hasil Analisis Perbandingan Ekspresi miRNA-

29c pre terapi dengan post kemoradioterapi

Lampiran 4. Data Hasil Analisis Perbandingan Ekspresi miRNA-21

pre terapi dengan post radioterapi.

Lampiran 5. Data Hasil Analisis Perbandingan Ekspresi miRNA-

29c pre terapi dengan post radioterapi

Lampiran 6. Data Hasil Analisis Perbandingan Eskpresi miRNA-21

post kemoradioterapi dengan post radioterapi.

Lampiran 7. Data Hasil Analisis Perbandingan Ekspresi miRNA-

29c post kemoradioterapi dengan post radioterapi

Lampiran 8. Gambar Alat Penelitian

Lampiran 9. Gambar Proses Kegiatan Penelitian

Lampiran 10. Rekomendasi Persetujuan Etik

19

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari

sel epitel nasofaring (merupakan karsinoma sel skuamous (SCC)). Tumor

ini bermula dari dinding lateral nasofaring (Fossa Rosenmuller) yang

terletak di medial osteum tuba eustachii dan dapat menyebar kedalam

atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar

tengkorak, palatum, kavum nasi dan orofaring serta metastasis ke kelenjar

limfe leher.

KNF merupakan penyakit genetik multifaktor dengan karakter

endemis. Diperkirakan terdapat 87.000 kasus baru nasofaring muncul

setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan

26.000 kasus baru pada perempuan) dengan 51.000 kematian akibat KNF

(36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada perempuan). 1-2 KNF terutama

ditemukan pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria dan wanita

adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun. Angka

kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni

sebesar 40 - 50 kasus kanker nasofaring diantara 100.000 penduduk.

Kanker nasofaring sangat jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika

Utara dengan angka kejadian sekitar < 1/100.000 penduduk. Di Indonesia,

karsinoma nasofaring merupakan salah satu jenis keganasan yang sering

ditemukan, berada pada urutan ke-4 kanker terbanyak di Indonesia

20

setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru dengan

insidens sekitar 4,7 per 100.000 penduduk.(GLOBOCAN 2012). Sebagian

besar datang berobat dalam stadium lanjut, sehingga hasil pengobatan

dan prognosis menjadi buruk. Di RSU Dadi dan RS.Dr.Wahidin

Sudirohusodo selama periode 10 tahun (1990- 1999) ditemukan 274

(47,98%) kasus KNF dari tumor ganas kepala dan leher dengan

perbandingan antara laki-laki dan wanita adalah 2,6:1 Dari data profil

karsinoma nasofaring di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo-Makassar,

propinsi Sulawesi Selatan periode Januari 2004 sampai dengan Juni 2007

KNF merupakan 33% dari keganasan di bagian telinga, hidung dan

tenggorok, (2000-2009) yaitu ditemukan 362 kasus (57,28%) dari tumor

ganas kepala dan leher (Kuhuwael,2010).

Karsinoma nasofaring merupakan kanker yang keberhasilan

terapinya masih merupakan masalah karena keterlambatan untuk deteksi

dini. Radioterapi dan kemoterapi telah lama menjadi modalitas tatalaksana

tumor. Kedua modalitas ini memiliki keunggulan dan kelemahan masing-

masing, sehingga dapat saling melengkapi. Kombinasi kedua modalitas ini

merupakan salah satu hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan telah

memberi dampak yang besar kepada hasil terapi kanker. Tantangan

dalam menangani mortalitas dan morbiditas akibat kanker telah menjadi

pemicu untuk terus mencari terapi terbaik bagi para penderita kanker.

Salah satunya adalah upaya kombinasi modalitas terapi kanker.

21

Karsinoma nasofaring secara umum sensitif terhadap radioterapi,

tapi untuk stadium lanjut diperlukan upaya untuk kombinasi modalitas

terapi kanker yaitu baik secara kemoterapi berbasis platinum, yang

dikombinasi dengan radioterapi (kemoradioterapi). Pemberian dapat

secara kemoterapi adjuvant (pemberian kemoterapi diberikan setelah

pasien dilakukan radioterapi), kemoterapi neoadjuvant (pemberian

sitostatika lebih awal yang dilanjutkan pemberian radiasi), kemoterapi

concurrent (pemberian diberikan bersamaan dengan radiasi).

Meskipun telah tercapai perbaikan pada kedua teknologi dan

peralatan, prognosis KNF tetaplah buruk dengan angka ketahanan 5

tahun kurang dari 60%. Penyebab utama kegagalan terapi dan metastasis

adalah terjadinya resistensi terhadap zat radioaktif dan obat antitumor.

Pengertian yang lebih jelas tentang mekanisme resistensi kemoradioterapi

pada KNF dapat meningkatkan kemampuan kita untuk mengantisipasi

respon tumor pada KNF dan identifikasi pasien yang diuntungkan dari

terapi konservatif. (Zhang, et.al 2013).

Berbagai penelitian biologi molekuler sudah dikembangkan antara

lain ditemukannya pemeriksaan sederhana ELISA dan viral load Epstein-

Barr pada karsinoma nasofaring (Savitri 2015). Saat ini kami melanjutkan

untuk melihat efek kemoradioterapi dan radioterapi terhadap microRNA

(miRNA) pada pasien karsinoma nasofaring. Pengetahuan terhadap

miRNA dapat berperan penting dalam perkembangan dan progresi

kanker. Indikasi miRNA sebagai biomarker diagnosis dan prognosis

22

berbagai kanker, biomarker untuk prediksi respons terapi kanker, serta

potensi untuk mengembangkan terapi kanker dengan miRNA sebagai

target.

Karakteristik miRNA yang pertama kali diketahui pada KNF adalah

miRNA-29c (Sengupta dkk). Ditemukan pula bahwa miRNA-29c berfungsi

sebagai supresif tumor, akan meningkatkan migrasi dan invasi sel KNF

melalui regulasi komponen dimatriks ekstraseluler.21 Sedangkan penelitian

oleh Zhang dkk menunjukkan bahwa penurunan miRNA-29c terjadi pada

peningkatan resistensi terhadap radioterapi dan kemoterapi berbasis

platinum melalui regulasi dari antiapoptotik Mcl-1 dan Bcl-2. Seperti

miRNA lainnya, miRNA-29c dapat bekerja melalui beberapa jalur untuk

menekan proliferasi, survival dan motilitas dari sel KNF.27

Diantara semua jenis miRNA, miRNA-21 merupakan suatu kunci

onkogen, sejak ditemukan pada berbagai kanker dan berperan dalam

proses multipel malignansi seperti meningkatkan proliferasi pada sel KNF,

mensupresi apoptosis, pertumbuhan tumor pada sel MCF-7 dan

menurunkan invasi serta metastasis pada sel MDA-MB-231.15

Di Sulawesi, penelitian mengenai miRNA-21 dan miRNA-29c ini

memiliki nilai novelty karena belum pernah dilakukan pada karsinoma

nasofaring. Oleh karena itu, kami tertarik untuk meneliti efek

kemoradioterapi neoadjuvan dan radioterapi terhadap ekspresi miRNA-21

dan miRNA-29c pada plasma darah pasien karsinoma nasofaring.

23

Perlu kami informasikan pula bahwa penelitian ini dilakukan dengan

tidak bekerjasama dengan pihak manapun (no conflict of interest).

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas maka

dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apakah efek kemoradioterapi berbeda dengan efek radioterapi

terhadap ekspresi miRNA-21 pada plasma darah penderita

karsinoma nasofaring ?

2. Apakah efek kemoradioterapi berbeda dengan efek radioterapi

terhadap ekspresi miRNA-29c pada plasma darah penderita

karsinoma nasofaring ?

I.3. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum :

Mengetahui efek kemoradioterapi terhadap miRNA-21 dan miRNA-

29c pada plasma darah penderita karsinoma nasofaring.

2. Tujuan Khusus :

a. Mengukur ekspresi miRNA-21 pada plasma darah penderita

karsinoma nasofaring sebelum kemoradioterapi.

b. Mengukur ekspresi miRNA-21 pada plasma darah penderita

karsinoma nasofaring sesudah kemoradioterapi.

24

c. Membandingkan ekspresi miRNA-21 pada plasma darah

penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah

kemoradioterapi.

d. Mengukur ekspresi miRNA-21 pada plasma darah penderita

karsinoma nasofaring sebelum radioterapi.

e. Mengukur ekspresi miRNA-21 pada plasma darah penderita

karsinoma nasofaring sesudah radioterapi.

f. Membandingkan ekspresi miRNA-21 pada plasma darah

penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah

radioterapi.

g. Mengukur ekspresi miRNA-29c pada plasma darah

penderita karsinoma nasofaring sebelum kemoradioterapi.

h. Mengukur ekspresi miRNA-29c pada plasma darah

penderita karsinoma nasofaring sesudah kemoradioterapi.

i. Membandingkan ekspresi miRNA-29c pada plasma darah

penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah

kemoradioterapi.

j. Mengukur ekspresi miRNA-29c pada plasma darah

penderita karsinoma nasofaring sebelum radioterapi.

k. Mengukur ekspresi miRNA-29c pada plasma darah

penderita karsinoma nasofaring sesudah radioterapi.

25

l. Membandingkan ekspresi miRNA-29c pada plasma darah

penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah

radioterapi.

m. Membandingkan ekspresi miRNA-21 pada plasma darah

penderita karsinoma nasofaring sesudah kemoradioterapi

dengan sesudah radioterapi.

n. Membandingkan ekspresi miRNA-29c pada plasma darah

penderita karsinoma nasofaring sesudah kemoradioterapi

dengan sesudah radioterapi.

I.4. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

mengenai efek kemoradioterapi dan radioterapi terhadap ekspresi

miRNA-21 dan miRNA-29c pada penderita karsinoma nasofaring di

RS. Wahidin Sudirohusodo sebagai pusat rujukan dan representasif

masyarakat di Indonesia bagian timur.

2. Pengetahuan terhadap ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c dapat

bermanfaat sebagai biomarker untuk prediksi respons terapi

kanker.

3. Data penelitian ini dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya

dalam mengembangkan terapi karsinoma nasofaring dengan

miRNA sebagai target.

26

I.5. Hipotesis Penelitian

1. Ekspresi miRNA-21 pada penderita karsinoma nasofaring sebelum

kemoradioterapi lebih tinggi dibandingkan dengan sesudah

kemoradioterapi.

2. Ekspresi miRNA-21 pada penderita karsinoma nasofaring sebelum

radioterapi lebih tinggi dibandingkan dengan sesudah radioterapi.

3. Ekspresi miRNA-29c pada penderita karsinoma nasofaring sebelum

kemoradioterapi lebih rendah dibandingkan dengan sesudah

kemoradioterapi.

4. Ekspresi miRNA-29c pada penderita karsinoma nasofaring sebelum

radioterapi lebih rendah dibandingkan dengan sesudah radioterapi.

27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Karsinoma Nasofaring

II.1.1 Definisi dan Anatomi

Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari

sel epitel nasofaring (merupakan karsinoma sel skuamous (SCC)). Tumor

ini bermula dari dinding lateral nasofaring (Fossa Rosenmuller) yang

terletak di medial osteum tuba eustachii dan dapat menyebar kedalam

atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar

tengkorak, palatum, kavum nasi dan orofaring serta metastasis ke kelenjar

limfe leher.(Dubrulle, 2007)

Nasofaring adalah suatu daerah yang terletak di antara hidung

bagian belakang dengan tenggorok, merupakan daerah yang sempit dan

tersembunyi yang dibatasi oleh sinus sphenoid pada bagian atas, koana

pada bagian depan, palatum mole pada bagian bawah, muara tuba

auditiva pada bagian samping serta tulang belakang pada bagian

belakang, di dekat koana dilapisi epitel pseudo-stratified kolumner bersilia

serta epitel transisional pada daerah atap dan dinding samping, serta

epitel squamous berlapis pada daerah belakang dan bawah

(Nicholls,2000; Hao 2004, Fee,1998;Gibb,1999).

Vaskularisasi nasofaring berasal dari arteria pharingea ascendens,

arteria maksilaris, arteria pterygoid, serta arteria sfenopalatina, yang

semuanya merupakan cabang arteri karotis eksterna. Nasofaring

28

mendapat persyarafan dari cabang saraf Glosofaringeus (N IX), syaraf

Vagus (N X) dan saraf simpatis maksilaris cabang saraf Trigeminus (N V).

Nasofaring mempunyai banyak pembuluh limfe terutama bagian

atap dinding belakang (posterior) dan dinding samping (lateral),

mempunyai 3 jaras : 1). Berasal dari nodus limfatikus pada dinding lateral

faring berjalan ke nodus limfatikus parafaringeal atau retroparotid space

yang terletak berdekatan dengan nodus Rouviere.; 2). Nodus limfatikus

pada dinding lateral faring juga mempunyai cabang ke nodus limfatikus

jugularis (jugular chain), terutama ke nodus limfatikus jugulodigastrik (sub-

digastric); 3). Jaras nodus limfatikus yang ketiga adalah dari dinding lateral

nasofaring langsung ke nodus limfatikus yang terletak dari dalam pada

segitiga posterior (posterior triangle) nodus spinal accessory, yang terletak

di bawah muskulus sternokleidomastoideus (Lee,2004).

II.1.2 Epidemiologi

Insidensi KNF sangat bervariasi, Propinsi Guangdong China bagian

selatan, merupakan daerah dengan insidensi tertinggi di dunia yaitu

sekitar 40-50/100.000 penduduk per tahun, dengan rasio antara pria dan

wanita sebesar 3:1. Bangsa yang mempunyai resiko agak tinggi adalah

Eskimo, Tunisia, Filipina, Malaysia, Algeria dan Indonesia. Insidensi

menengah didapatkan di Asia Tenggara, Kenya, Tunisia, dan Algeria

dengan perkiraan sebesar 5-15/100.000 populasi, sedangkan insidensi

terendah didapatkan di Eropa dan Amerika sebesar kurang dari 1/100.000

29

populasi (Fee, 1998; Lee, 1998; Gibb, 1999; Jia et al., 2003; Chang et al.,

2004).

Insidensi KNF di Indonesia dilaporkan oleh Soeripto (1998) sebesar

3.9/100.000 populasi, sedangkan insidensi di Makassar propinsi Sulawesi

Selatan, Kuhuwael (2001) melaporkan pada RSU Dadi dan RS. Dr.

Wahidin Sudirohusodo selama periode 10 tahun (1990-1999) ditemukan

274 (47,98%) kasus KNF dari tumor ganas kepala dan leher dengan

perbandingan antara laki-laki dan wanita adalah 2,6:1. Sedangkan

Bastiana (2010) melaporkan pada RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo periode

10 tahun kedua (2000-2009) ditemukan 362 kasus (57,28%) dari tumor

ganas kepala dan leher.

II.1.3 Etiologi

Karsinogenesis KNF disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu

infeksi kronis virus Epstein-Barr (EBV), faktor lingkungan (bahan

karsinogenik), dan faktor genetik. Meskipun penyebab yang pasti

masih belum diketahui, banyak laporan berdasarkan penelitian in vitro

dan in vivo yang mendukung peran EBV sebagai faktor etiologi utama

pada KNF. Insiden KNF yang tinggi pada ras dan lokalisasi geografik

tertentu mengindikasikan adanya faktor lingkungan yang bersifat atau

mengandung bahan karsinogenik (environmental carcinogenes) dan

kerentanan genetik (genetic susceptibility) sebagai faktor penyebab

penting dari KNF(Zeng & Zeng, 2010)

30

Epstein Barr Virus (EBV) mempunyai peranan dalam

karsinogenesis KNF, sebab genome EBV sering ditemukan dalam

spesimen biopsi KNF. EBV dapat ditemukan dimana-mana ditubuh

manusia, sehingga tidak mungkin EBV hanya satu-satunya sebagai

penyebab KNF. Faktor kebiasaan mengkonsumsi makanan terutama ikan

asin yang mengandung nitrosamin dan bahan pengawet seperti formalin,

merupakan mediator penting dan dapat menjadi “alkylating Agent” yang

diketahui dapat menginduksi terjadinya karsinoma sel squamosa,

adenokarsinoma dan tumor lain di kavum nasi dan sinus paranasal atau

daerah nasofaring.

Seringnya peradangan didaerah nasofaring menyebabkan mukosa

nasofaring menjadi rentan terhadap karsinogen lingkungan dan

memudahkan perubahan mukosa ke arah prekanker serta faktor

pendukung seperti lingkungan dan genetik sangat menentukan timbulnya

KNF (Thomson, 2004; Korcum, 2006).

II.1.4 Gejala Klinis

Gejala klinis karsinoma nasofaring berhubungan dengan letak

tumor di nasofaring, ukuran tumor, perluasan tumor keluar nasofaring dan

penyebaran jauh (metastasis) tumor. Pada stadium awal, tumor yang kecil

dapat hanya menyebabkan gejala yang tidak jelas atau bahkan tidak

menyebabkan gejala apapun. Kadang dengan bertambah besarnya tumor

31

gejala-gejala yang terjadi tetap tidak spesifik dan membingungkan (Wei

dan Sham, 1996; Wei 2006).

Keluhan klinis sangat tergantung dengan lokasi tumor primer serta

perluasannya, baik hanya terbatas pada jaringan sekitarnya atau sudah

metastasis regional kekelenjar getah bening maupun jauh. Gejala paling

banyak dikeluhkan saat penderita datang adalah adanya benjolan di leher,

dimana benjolan ini merupakan tanda adanya metastasis tumor ke

limfonodi leher. Limfonodi yang sering terlibat adalah kelompok limfonodi

subdigastrik dan kelompok limfonodi jugularis superior (Wei, 2006).

Gangguan pada telinga; telinga terasa penuh, tersumbat, tinitus,

otitis media serosa atau penurunan pendengaran tipe konduktif. Gejala

lain dapat berupa gangguan pada rongga hidung; epistaksis, obstruksi

nasi, ingus campur darah. Gangguan neurologis; keatas mengenai grup

anterior saraf kranial III, IV, V dan VI dengan keluhan diplopia, hipestesi

pipi, reflek kornea menurun dan sakit kepala. Jika semua saraf kelompok

anterior terkena akan menyebabkan sindrom petrospenoid berupa

neuralgia trigeminal dan oftalmoplegia unilateral. Perluasan kebelakang

mengenai kelompok posterior saraf kranial VII, VIII, IX, X, XI dan XII,

dapat mengenai otot rahang sehingga menimbulkan trismus (Wei, 2006;

Kuhuwael,2001).

II.1.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis sistematis,

pemeriksaan fisis THT, radiologi yang meliputi foto polos, CT-Scan

32

nasofaring axial reformat coronal dan atau MRI untuk melihat massa

tumor, sedang untuk melihat adanya metastasis jauh, dapat diketahui

melalui pemeriksaan foto toraks, bone survey, USG abdomen dan PET

Scan.

Pemeriksaan patologi dapat berupa pemeriksaan sitologi; biopsi

sikatan (brush) atau histopatologi dengan melakukan biopsi nasofaring

dengan atau tanpa bantuan endoskop. Pemeriksaan serologis yaitu

dengan mendeteksi antibodi yang dihasilkan oleh EBV (Wei, 2006).

II.1.6 Histopatologi

Menurut WHO tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :

a. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi / Keratinizing Squamous Cell

Carcinoma ( WHO tipe I ).

Tipe ini mempunyai sifat pertumbuhan yang jelas pada permukaan

mukosa nasofaring. Sel kanker dapat berdiferensiasi baik sampai sedang

dan menghasilkan relatif cukup banyak bahan keratin baik di dalam

sitoplasma maupun di luar sel. Sebanyak 25% KNF merupakan

karsinoma tipe I di Amerika Serikat, namun hanya 1-2% di populasi

endemik (Neel, 1989; Lin et al, 2003).

b. Karsinoma sel skuamosa non keratinisasi / Non Keratinizing

Carcinoma ( WHO tipe II )

Tipe ini dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi. Tipe

berdiferensiasi ini menunjukkan diferensiasi sedang dan sebagian lainnya

33

dengan sel yang lebih kearah diferensiasi baik. Sel-sel ganas tersusun

stratified atau berimpitan menyerupai gambaran pada karsinoma sel

transisional, sedangkan tipe tidak berdiferensiasi ini mempunyai gambaran

patologi yang sangat heterogen, sel ganas berbentuk synctitial dengan

batas sel yang tidak jelas.

II.1.7 Penentuan Stadium

Setelah diagnosis pasti ditegakkan, stadium perlu ditentukan

dengan menggunakan sistem TNM. Penentuan stadium dilakukan

berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union Internastional Contre

Cancer) dan AJCC (American Joint Committee On Cancer) pada tahun

2010. Penentuan stadium merupakan suatu penilaian yang mampu

mendeskripsikan seberapa jauh kanker telah menyebar. Hal-hal yang

menjadi pertimbangan dalam staging adalah ukuran tumor/lesi primer,

seberapa dalam penetrasi tumor tersebut, invasi terhadap organ

sekitarnya, luas penyebaran ke kelenjar getah bening regional, serta

organ yang berada jauh dari tumor primer yang ikut terkena kanker

(apabila ada). Setelah diagnosis pasti ditegakkan, stadium perlu

ditentukan dengan menggunakan sistem TNM. Untuk KNF pembagian

TNM sebagai berikut, berdasarkan American Joint Committee on Cancer

(AJCC) 2010 :

34

Tumor primer (T)

Tx tumor primer tidak dapat dinilai

T0 tidak terbukti adanya tumor primer

Tis karsinoma in situ

T1 tumor terbatas di nasofaring atau meluas ke orofaring

dan/kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring

T2 tumor dengan perluasan ke daerah parafaring

T3 tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau

sinus paranasal

T4 tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya

saraf kranial, hipofaring, orbita, atau perluasan ke fossa

infratemporal/ ruang masticator

KGB Regional (N)

Nx KGB regional tidak dapat dinilai

N0 Tidak ada metastasis ke KGB regional

N1 metastase kelenjar getah bening leher unilateral dengan

diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa

supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar

getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau

kurang

N2 metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter 6

cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular

35

N3 metastase pada kelenjar getah bening di atas 6 cm dan/atau

pada fossa supraklavikular

N3a diameter terbesar lebih dari 6 cm

N3b meluas ke fossa supraklavikular

Metastasis jauh ( M )

M0 tidak ada metastase jauh

M1 ada metastase jauh

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat

ditentukan :

STADIUM T N M

Stadium 0 Tis N0 M0

Stadium I T1 N0 M0

Stadium II T1 N1 M0

T2 N0 M0

T2 N1 M0

Stadium III T1 N2 M0

T2 N2 M0

T3 N0 M0

T3 N1 M0

T3 N2 M0

36

Stadium IV A T4 N0 M0

T4 N1 M0

T4 N2 M0

Stadium IV B Setiap T N3 M0

Stadium IV C Setiap T Setiap N M1

Stadium I dan II merupakan stadium awal dari KNF, sedangkan stadium III

dan IV merupakan stadium lanjut dari KNF.

II.1.8 Penatalaksanaan

Sampai saat ini terapi utama Karsinoma nasofaring (KNF) adalah

radioterapi, tetapi persoalannya sampai saat ini yang timbul adalah angka

kekambuhan KNF pasca radioterapi masih cukup tinggi, sekitar antara

18% - 45% (Chang et al, 2004). Lee (2000) mendapatkan data bahwa

antara 80%-90% KNF stadium awal yang dilakukan radioterapi terjadi

remisi komplit, tetapi angka keberhasilan hidup selama 5 tahun pada KNF

stadium lanjut hanya mencapai 10% - 40%, dan apabila sudah didapatkan

metastasis jauh 85% akan meninggal pada tahun pertama.

Al-sarraf et al. (1990) mengatakan bahwa angka keberhasilan

terapi KNF stadium awal yang mendapat pengobatan radioterapi saja

dapat mencapai keberhasilan sebanyak 80%-100%, tetapi penderita KNF

stadium III – IV yang hanya diterapi dengan radioterapi saja, sebanyak

50% - 80% nya mempunyai risiko terjadinya kegagalan. Hal ini didukung

37

oleh Fandi et al. (2000) yang mengatakan bahwa kegagalan terapi KNF

yang terbanyak adalah terjadinya kekambuhan baik pada tumor primer

atau pada kelenjar limfe regional pasca radioterapi.

Radioterapi dan kemoterapi telah lama menjadi modalitas

tatalaksana tumor. Kedua modalitas ini memiliki keunggulan dan

kelemahan masing-masing, sehingga dapat saling melengkapi. Kombinasi

kedua modalitas ini merupakan salah satu hasil kemajuan ilmu

pengetahuan dan telah memberi dampak yang besar kepada hasil terapi

kanker. Tantangan dalam menangani mortalitas dan morbiditas akibat

kanker telah menjadi pemicu untuk terus mencari terapi terbaik bagi para

penderita kanker. Salah satunya adalah upaya kombinasi modalitas terapi

kanker.

Radiasi dan kemoterapi memiliki efek toksik terhadap jaringan

normal. Radiasi menyebabkan kerusakan pada daerah lokal penyinaran,

sedangkan kemoterapi karena bersifat sistemik, dapat menyebabkan

kerusakan yang sistemik pula. Kerusakan ini dapat bertambah besar

ketika radiasi dan kemoterapi bekerja pada daerah yang sama. Secara

umum kerusakan yang diakibatkan akan semakin besar seiring dengan

penambahan dosis. Hubungan dosis efek ini tergambarkan menjadi

sebuah kurva berbentuk sigmoid yang memungkinkan estimasi rasio

terapeutik. Suatu terapi dikatakan efektif bila rasio terapeutiknya >1,

artinya suatu modalitas lebih berpengaruh terhadap tumor dibandingkan

terhadap jaringan normal. Implementasi rasio terapeutik dalam dunia klinis

38

harus mempertimbangkan berbagai faktor, seperti tujuan dari pengobatan

( kuratif/ paliatif ), adanya organ kritis dan derajat kerusakan organ yang

dapat diterima.

Pemberian mengenai waktu pemberian obat berkaitan dengan

radioterapi

Obat kemoterapi diberikan sebelum (induction or neoadjuvant

chemotherapy), bersamaan (concurrent or concomitant) atau setelah

radiasi (adjuvant chemotherapy). Keuntungan dan kerugian dari masing-

masing pemberian ini.

Kemoterapi induksi membuat tumor primer lebih terkontrol oleh

radiasi dengan mengurangi sel klonogen dan reoksigenasi sel hipoksik.

Meskipun demikian manfaat terapeutiknya masih dibawah ekspektasi.

Sejumlah faktor diperkirakan menyebabkan hal ini, termasuk fenomena

accelerated repopulation.

Pada concurrent chemoradiation, penjadwalan pemberian fraksi

radiasi terhadap waktu pemberian kemoterapi sangat penting.

Penjadwalan ini harus didasarkan atas mekanisme sinergistik, toksisitas

jaringan normal dan kondisi tertentu dimana efek sinergistik paling optimal.

Sebagai contoh, telah diketahui bahwa tumor tikus yang sensitive

terhadap taxane memperlihatkan peningkatan respon tumor terhadap

radiasi. Namun, efek ini paling optimal jika agen kemoterapi diberikan 1-3

hari sebelum radiasi.

39

Jika tujuannya adalah untuk mengatasi repopulasi cepat dari sel

klonogen tumor, maka lebih efektif untuk memberikan agen kemoterapi

cell specific pada paruh kedua fraksi radioterapi ketika accelerated

repopulation lebih dominan. Faktor lain yang harus dipertimbangkan

adalah faktor cost benefit dan kenyamanan pasien.

Penjadwalan kemoradiasi konkuren yang optimal sangat penting,

tidak hanya untuk memaksimalkan respon tumor terhadap radiasi, tetapi

juga untuk meminimalisasi toksisitas pada organ kritis. Seperti telah

disinggung sebelumnya, masalah toksisitas jaringan normal ini merupakan

limitasi utama pemberian kombinasi radiasi dan kemoterapi secara

konkuren. Namun, concurrent chemoradiation telah memberikan bukti

klinis yang lebih baik dibandingkan mode kombinasi kemoradiasi lainnya

dalam hal kontrol lokal dan kesintasan hidup pasien. Beberapa penelitian

bahwa walaupun toksisitas kemoradiasi konkuren memang lebih besar

dibandingkan modalitas tunggal, namun masih dapat ditoleransi. Dan

dengan mempertimbangkan dampak positif kemoradiasi terhadap angka

survival, toksisitas ini masih dapat diterima.

Meningkatkan efikasi agen kemoterapi

Saat ini telah tersedia berbagai agen kemoterapi baru yang sangat

efektif terhadap kanker yang umum pada manusia dan merupakan

radiosensitizer yang cukup poten. Tetapi efek toksik terhadap jaringan

normal telah menjadi salah satu limitasi utama. Untuk mengatasi hal ini,

digunakan obat polimer larut air, seperti asam poliglutamat. Konjugat ini

40

akan berakumulasi dalam tumor dan melepaskan zat aktif kedalam tumor

dalam dosis tinggi dan untuk waktu yang lebih lama. Contohnya konjugat

yang telah dikembangkan adalah konjugat asam poliglutamat dengan

paclitaxel.

Inkorporasi molecular targeting

Penelitian terkini telah berhasil menemukan sejumlah reseptor,

enzim, atau growth factor yang bertannggung jawab atas resistensi sel

kanker terhadap radiasi atau agen sitotoksik diantaranya adalah epidermal

growth factor (EGFR), siklooksigenase 2 (COX 2) enzim, mutated ras,

CHK1 (protein control checkpoint siklus sel), sejumlah enzim perbaikan

DNA seperti DNA-PK, ATM, RAD51 dan lainnya.

Penelitian invivo telah membuktikan bahwa blok EGFR, atau

interferensi dalam proses signalingnya dapat meningkatkan outcome

terapi tumor dengan radiasi ataupun kemoterapi.

Proteksi jaringan normal

Toksisitas jaringan normal merupakan limitasi utama kemoradiasi

concurrent, karena itu pula dikembangkan suatu strategi inkorporasi

radioprotektor atau kemoprotektif kedalam terapi. Agen radioprotektor

yang paling banyak diteliti adalah senyawa Thiol, Contohnya amifostine.

Prinsip kerja dari amifostine adalah dengan scavenging radikal bebas

yang dibentuk oleh ionisasi radiasi dan agen kemoterapi tertentu seperti

agen alkilasi, dan mendonasikan atom hydrogen untuk memfasilitasi repair

DNA. Obat ini secara selektif diuptake oleh jaringan normal. Namun

41

belakangan ini telah muncul berbagai penelitian mengenai efek samping

amifostine yang cukup serius seperti syndrome steven johnsons (SSJ) dan

nekrolisis epidermo toksik (NET). Efek samping yang cukup serius ini

berakibat dihentikannya pemberian amifostine, penundaan radiasi sampai

resiko kematian. Oleh karena itu amifostine saat ini jarang digunakan.

Growth factor bermanfaat untuk ameliorasi toksisitas akibat agen

kemoterapi, khusus pada keganasan hematopoetik.

Interaksi agen kemoterapi spesifik dengan radiasi

Agen kemoterapi memiliki mekanisme kerja yang berbeda-beda.

Perbedaan mekanisme kerja antar golongan kemoterapi menyebabkan

adanya perbedaan interaksi dengan radiasi. Selanjutnya akan dibahas

mengenai interaksi spesifik masing-masing golongan dengan radiasi.

II.2 Radioterapi

II.2.1 Radioterapi Pada Keganasan Kepala Leher

Definisi Radioterapi

Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna

dengan menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel

tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor

agar tidak menderita kerusakan terlalu berat.

Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit

dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+

dan OH yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA

42

dalam kromosom, sehingga dapat terjadi rantai ganda DNA pecah,

perubahan cross-linkage dalam rantai DNA, dan perubahan base yang

menyebabkan degenerasi atau kematian sel.

Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel

kanker lebih rendah dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel

kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap rusak dibandingkan dengan

sel-sel normal. Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan

reparasi kerusakan DNA-nya sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA

sel normal yang lebih baik dan lebih cepat dari sel kanker ini dipakai

sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.

Pada tahun 1920-an terapi radiasi mulai dipertimbangkan untuk

karsinoma nasofaring. Awalnya pemberian radioterapi ini enggan

dilakukan karena letak nasofaring yang berdekatan dengan struktur yang

radiosensitif seperti mata dan korda spinalis, serta kedalaman penetrasi

sinar X-ray yang sangat rendah pada masa itu. Pada tahun 1920-an awal

terapi pertama menggunakan radium dilaksanakan di Institut Curie Paris.

(Agulnik,M. & Siu,L.L, 2005)

Radioterapi masih merupakan terapi pilihan pada kasus KNF yang

belum disertai tanda-tanda metastasis jauh. Untuk T1 dan T2 dosis

diberikan 200-220cGy per fraksi, diberikan 5 kali dalam seminggu sampai

mencapai dosis total 6000-7000cGy dalam 6 minggu. Untuk T3-T4 dosis

total radiasi 7000-7500cGy.

43

Pertimbangan pemilihan radiasi sebagai pengobatan pilihan utama

untuk KNF terutama didasarkan fakta bahwa secara histopatologis

kebanyakan (75%-95%) KNF dari jenis karsinoma undifferentiated (WHO

tipe 3) dan karsinoma non keratinisasi (WHO tipe 2) yang sangat

radiosensitif (Shanmugaratnam, 1988). Alasan lainnya adalah faktor

anatomi nasofaring yang terletak didasar tengkorak dengan banyak organ

vital menyebabkan tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh

daerah bebas tumor (free margin) sangat sulit dikerjakan (Bailet, 1992;

Neel, 1993).

Jenis Sinar Radioterapi

Jenis sinar radioterapi yang dipakai untuk radioterapi adalah:

(1). Sinar Alfa yang merupakan sinar korpuskuler atau partikel dari inti

atom. Inti atom terdiri dari proton dan neutron. Sinar ini tidak dapat

menembus kulit dan tidak banyak dipakai dalam radioterapi.

(2) Sinar Beta yang merupakan sinar elektron. Sinar ini dipancarkan oleh

zat radioaktif yang mempunyai energi rendah dengan daya tembusnya

pada kulit terbatas, 3-5 mm, sehingga digunakan untuk terapi lesi yang

superfisial.

(3). Sinar Gamma yang merupakan sinar elektromagnetik atau foton. Sinar

ini dapat menembus tubuh, dimana daya tembusnya tergantung dari besar

energi yang menimbulkan sinar itu. Makin tinggi energinya atau makin

tinggi voltagenya, makin besar daya tembusnya dan makin dalam letak

dosis maksimalnya.

44

Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik,

diagnosis histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau

paliatif. Penderita juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada

penderita, bila perlu juga keluarganya diberikan keterangan mengenai

perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin

timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium

sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan umum

yang buruk, gizi kurang atau demam tidak diperbolehkan untuk radiasi,

kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita, seperti obstruksi

jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai

sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok ukur, kadar

Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari

3000 per mm dan trombosit 100.000 per uL.

Penentuan batas-batas lapangan radiasi merupakan salah satu

langkah yang terpenting untuk menjamin berhasilnya suatu radioterapi.

Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan sekitarnya /

potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah bening

regional.

Cara Pemberian Radioterapi

Ada 3 cara utama pemberian radioterapi yaitu

(1). Radiasi Eksterna / Teleterapi dengan sumber sinar berupa

aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar tubuh. Sinar

diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi.

45

(2). Radiasi Interna / Brachiterapi dengan sumber energi ditaruh di

dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di dalam rongga tubuh

(3). Intravena dengan larutan radioisotop disuntikkan ke dalam vena,

misalnya I131 intra vena akan diserap oleh tiroid untuk mengobati

kanker tiroid.

Pada kongres Radiologi Internasional ke VIII tahun 1953, ditetapkan

RAD (Radiation Absorbed Dose) sebagai banyaknya energi yang di serap

per unit jaringan. Saat ini unit Sistem Internasional ( SI ) dari dosis yang di

absorpsi telah diubah menjadi Gray (Gy) dan satuan yang sering dipakai

adalah satuan centi gray (cGy). 1 Gy = 100 rad dan 1 rad = 1 cGy =

102Gy.

Tujuan Pemberian Radioterapi

Terdapat 2 jenis radiasi yaitu radiasi kuratif dan radiasi paliatif.

Radiasi kuratif diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada

penderita dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer,

KGB leher dan supra klavikular. Dosis total radiasi yang diberikan adalah

6600-7000 rad dengan fraksi 200 rad, 5 kali pemberian per minggu.

Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad

lapangan penyinaran supraklavikular dikeluarkan. Sedangkan radiasi

paliatif diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan

lokal. Dosis radiasi untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300

rad, 5 x per minggu. Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas

pada daerah kambuh.

46

Respon Radioterapi

Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon

terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening

leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi

berdasarkan kriteria WHO :

a. Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah

bening yang besar.

b. Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50%

atau lebih.

c. No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap

d. Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar

25% atau lebih.(Ondrey and Wright;2002)

Target utama radioterapi adalah rusaknya DNA di kromosom inti sel

kanker yang berakibat kematian atau hilangnya kemampuan sel dalam

melakukan aktivitas reproduksi (proliferasi). Kematian sel kanker karena

kerusakan DNA berat (lethal damage) merupakan efek radiasi pengion

secara langsung, sedangkan kerusakan struktur vital sel sebagai akibat

dari ionisasi molekul air merupakan efek tidak langsung.

Sebagian besar kerusakan sel dan jaringan tubuh disebabkan

karena pengaruh terbentuknya radikal bebas terutama ion hidroksil.

Radiasi eksterna (teleterapi) pada KNF stadium loko-regional harus

diberikan dengan dosis yang cukup tinggi (sekitar 7000 cGy), ditujukan

pada tumor primer di nasofaring dan daerah perluasan maupun

47

metastasisnya di kelenjar getah bening leher. Radioterapi dikatakan

berhasil bila tercapai eradikasi semua sel kanker yang viable (Hussey,

1993). Pelepasan energi dari sinar pada materi biologik yang dilalui, yang

terjadi secara random mengakibatkan perubahan akibat radiasi dapat

terjadi pada setiap molekul dalam sel. Akan tetapi telah diketahui bahwa

kerusakan pada DNA merupakan penyebab utama kematian sel.

Kerusakan DNA yang dapat terjadi adalah antara lain (Hill, R.P., 1992;

Sukarja,1996) :

a. Rantai ganda DNA pecah

b. Perubahan atau kehilangan basa-basa pembentuk DNA

c. Terjadi cross-links antara DNA dan protein kromosom.

Perubahan yang dapat terjadi pada tingkat seluler adalah (Hill, R.P.,

1992) :

a. Aberasi kromosom

b. Hambatan melakukan proses reproduktif.

c. Hambatan melanjutkan siklus proliferasi sel (G2 mitotic delay).

Hilangnya kemampuan sel tumor melakukan aktifitas reproduksi,

sehingga menurunkan kemampuannya menghasilkan viable progeny

merupakan efek yang diharapkan dari radiasi dalam pengobatan

keganasan, disamping kematian sel. Tumor terkontrol bila stem cells

tidak dapat lagi berproliferasi.

48

Komplikasi radioterapi

Dapat berupa komplikasi dini yang biasanya terjadi selama atau

beberapa minggu setelah radioterapi, seperti Xerostomia, mual-muntah,

mukositis, anoreksi, dermatitis, eritema. Komplikasi lanjut dari radioterapi

biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti kontraktur

gangguan pertumbuhan.

II.3. Kemoterapi

Kemoterapi

Pada awal abad ke 20 kemoterapi pertama kali digunakan oleh

Ehrilch yang berasal dari agen anti parasit (alkylating agent). Penggunaan

obat anti kanker dimulai tahun 1946an dengan ditemukannya secara

kebetulan nitrogen mustard yang dapat dipakai untuk mengobati leukemia.

Umumnya obat anti kanker itu sangat toksis, sehingga penggunaannya

harus sangat hati-hati dan atas indikasi yang tepat. Sejak waktu itu makin

banyak ditemukan obat yang dapat dipakai untuk mengobati kanker. Saat

ini dikenal lebih dari 40 jenis obat anti kanker yang dipakai secara aktif di

seluruh dunia.

Awalnya kemoterapi memberi kesan kuat pada masyarakat awam

maupun sebagian dokter bahwa pemberian kemoterapi anti kanker

merupakan pemakaian sia-sia serta membawa dampak toksisitas yang

parah. Namun dengan kemajuan ilmu di bidang disiplin onkologi

anggapan yang tak beralasan tersebut dapat dihilangkan. Saat ini

49

kemoterapi telah berhasil digunakan untuk berbagai penyakit keganasan.

Walaupun toksisitas yang ditimbulkan masih belum dapat dihilangkan

seluruhnya, namun telah dapat meminimalkan morbiditas yang berlebihan.

Karsinoma nasofaring memiliki respons terhadap terapi radiasi dan

kemoterapi. KNF sangat sensitif terhadap kemoterapi, pemberian

kombinasi berbasis platinum memiliki aktivitas terapi lebih baik dari pada

yang single agent(Ali & Al Sarraf, 2000). Kemoterapi memiliki peran

penting pada terapi kuratif dan paliatif penderita KNF stadium lanjut

(Kawashima, et al., 2004).

Menurut prioritas indikasinya terapi kanker dapat dibagi dua yaitu

terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis).

Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak

dapat mandiri (Soebandiri, 2004). Semua kemoterapi yang diberikan

untuk menangani tumor lokoregional merupakan terapi adjuvan

(Agarwala, 1999).

Selain menghambat pertumbuhan atau eradikasi (mematikan) sel

kanker, beberapa jenis sitostatika dapat meningkatkan kepekaan tumor

terhadap radiasi. Prioritas pemberian kemoterapi terutama untuk KNF

stadium lanjut (T3-T4), atau bila dicurigai adanya metastasis jauh

(Kuratomi et al, 1999; Hasbini et. al., 1999).

Skipper pada tahun 1960-an mengungkapkan prinsip-prinsip trial

kemoterapi, sebagai berikut :

50

- Sel kanker single dapat tumbuh sampai mencapai masa tumor

letal.

- Tumor doubling time menurun dengan meningkatnya tumor

burden pada stadium lanjut dari pertumbuhan tumor.

- Kebanyakan obat kemoterapi menunjukkan” log cell kill kinetics”

dan peningkatan yang sama dan log cell kill sebanding dengan

dosis.

- Tumor burden berbanding terbalik dengan angka kesembuhan.

II.3.1 Definisi Kemoterapi

Kemoterapi merupakan pengobatan kanker dengan pemberian

obat-obatan tertentu (sitostatika/obat anti kanker) yang bertujuan untuk

menghambat pertumbuhan sel kanker ataupun membunuh sel kanker.

II.3.2 Tujuan dari kemoterapi:

a. sebagai radiosensitizer dan meningkatkan control locoregional

b. mengobati penyakit micrometastatic dan meningkatkan kualitas

hidup

c. preservasi organ

d. terapi palliative

e. debulking tumor besar sehingga memungkinkan untuk

dilakukan tindakan operasi

51

II.3.3 Mekanisme kerja obat-obat kemoterapi

Obat anti kanker terutama bekerja pada DNA yang merupakan

komponen utama gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel.

Cara kerjanya pada sel- sel kanker ada yang :

1. Menghambat atau mengganggu sintesa DNA dan atau RNA

2. Merusak replikasi DNA

3. Mengganggu transkripsi DNA oleh RNA

4. Mengganggu kerja gen

Obat anti kanker itu ada yang bekerja pada :

a. Fase spesifik, yaitu Fase M, Fase S, Fase G1, Fase G2

b. Fase nonspesifik, yaitu pada semua fase dalam siklus sel.

Terdapat 5 fase proliferasi sel, baik pada sel normal maupun pada

sel tumor. Adapun fase- fase tersebut adalah :

- Fase G 0 ( Gap 0 ): Fase istirahat, sel diprogram untuk

melaksanakan fungsi-fungsi khusus.

- Fase G 1 ( Gap 1) : Merupakan interfase, terjadi sintesa protein

dan RNA

- Fase S ( Sintesa ) : Fase sintesa DNA

- Fase G 2 (Gap 2) : fase premitosis, setelah sintesa DNA

selesai, sintesa protein dan RNA berlanjut dan precursor

microtubular dari mitosis dihasilkan.

- Fase M ( Mitosis ) : Fase pembelahan sel, setelah fase ini

selesai, maka siklus akan berulang ke awal.

52

Tumor maligna bisa terdiri fraksi sel yang aktif berproliferasi,

sehingga memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap kemoterapi, bisa juga

terdiri dari sel yang non proliferasi sehingga memiliki sensitifitas yang

rendah terhadap kemoterapi. Mayoritas tumor solid hanya sedikit fraksi

yang berproliferasi sehingga tumor solid tidak sensitif terhadap

kemoterapi. Pengetahuan akan kinetik selular dapat menuntun kita untuk

menentukan pemilihan obat anti kanker yang akan dipergunakan. Siklus

pertumbuhan kanker, obat anti kanker ada yang bekerja pada :

a. Semua siklus ( Cell Cycle Non Spesific )

Obat anti kanker jenis ini dapat bekerja pada semua siklus sel,

apakah sedang berada dalam siklus pertumbuhan sel atau

tidak. Pada umumnya sel yang pertumbuhannya cepat lebih

sensitif terhadap obat daripada yang lambat, hanya

perbedaannya yang tidak terlalu besar.

b. Pada siklus pertumbuhan tertentu pada semua phase (Cell

Cycle Non Phase Spesifik)

Obat hanya bekerja pada sel yang berada dalam siklus

pertumbuhan, tetapi tidak pada sel yang tidak tumbuh ( G 0 ).

Toksisitas sel tergantung dari dosis obat dan lama paparan

(exposure).

c. Pada siklus pertumbuhan tertentu pada fase tertentu ( Cell

Cycle Phase Spesific )

53

Obat bekerja hanya pada phase tertentu saja dalam siklus

pertumbuhannya cepat lebih peka daripada yang

pertumbuhannya lambat, tetapi ada sel yang tidak peka

terhadap obat walaupun dosisnya tinggi. Untuk sel kanker

golongan ini sebaiknya diberi obat anti kanker dalam waktu

yang pendek dan dengan dosis yang tinggi.

Berdasarkan mekanisme cara kerja obat:

- Alkylating agent

Obat golongan ini menghambat sintesa DNA dengan menukar

gugus alkali sehngga membentuk ikatan silang DNA dan

menganggu fungsi sel dengan melakukan transfer gugus alkali

pada gugus amino, karboksil, sulfidril atau fosfat.

Contoh: Cyclophospamid, Carboplatin, Cisplatin

- Antibiotik

Obat golongan ini mekanisme kerjanya menghambat sintesa

DNA dan RNA.

Contoh: Bleomicin, Mitomicin, Epirubicin, Doxorubicin

- Antimetabolit

Bekerja dengan cara menghambat sintesa asam nukleat.

Contoh: Leukovorin, Fluorouracil, Metotrexate, Hydroxyurea

- Mitotic Spindle

54

Obat golongan ini akan berikatan dengan protein mikrotubuler

sehingga menyebabkan disolusi struktur mitotic spindle pada

fase mitosis.

Contoh: Paclitaxel, Vincristine, Doxetaxel

- Topoisomerase inhibitor

Obat golongan ini bekerja dengan cara menganggu fungsi enzim

topoisomerase sehingga menghambat proses transkripsi dan

replikasi

Contoh: Etoposit, Irinotecan dan Topotecan

- Hormonal

Beberapa hormonal dapat digunakan dalam kemoterapi.

Contoh: adrenokortikosteroid (Prednison, metilprednisolon,

dexametason)

- Monoclonal antibodies

Obat ini memiliki selektifitas relative untuk jaringan tumor dan

toksisitasnya relative rendah. Obat ini dapat menyerang sel

tertentu secara langsung dan dapat digabungkan dengan zat

radioaktif atau kemoterapi tertentu.

Contoh:Rituximab dan Trastuzumab

55

Metoda Pemberian Kemoterapi

Secara umum metode kemoterapi digunakan dengan 4 cara kerja

yaitu :

1. Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului

pembedahan dan radiasi

2. Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan

bersamaan dengan radiasi pada kasus karsinoma stadium

lanjut (konkuren atau konkomitan).

3. Sebagai terapi adjuvant yaitu sebagai terapi tambahan paska

pembedahan dan atau radiasi

Indikasi dan Kontraindikasi Pemberian Kemoterapi

Indikasi Kemoterapi, menurut Brule, cs ( WHO 1973 ), ada 7 indikasi

pemberian kemoterapi, yaitu :

1. Untuk menyembuhkan kanker

2. Memperpanjang hidup dan remisi

3. Memperpanjang interval bebas kanker

4. Menghentikan progresi kanker

5. Paliasi symptom

6. Mengecilkan volume kanker

7. Menghilangkan gejala para neoplasma

Kontraindikasi Kemoterapi, menurut Brule, cs ( WHO 1973 ) :

1. Kontraindikasi Absolut

a. Penyakit stadium terminal

56

b. Hamil trimester pertama kecuali akan digugurkan

c. Septikemia

d. Koma

2. Kontraindikasi Relatif

a. Usia lanjut terutama untuk tumor yang tumbuhnya lambat

dan sensitivitasnya rendah

b. Status penampilan yang sangat jelek

c. Ada gangguan fungsi organ vital yang berat seperti : hati,

ginjal, jantung, sumsum tulang.

d. Dementia

e. Penderita tidak dapat mengunjungi klinik secara teratur.

Teknik Pemberian Kemoterapi

Peroral,Intravena,Intraarteri,Intraperikardial,Intratekal,Intraperitoneal.

Obat-obat kemoterapi

Obat-obat yang biasa digunakan untuk tumor daerah kepala dan

leher :

Agen Platinum-Based

Obat ini termasuk kedalam agen alkilasi bersama dengan nitrogen

mustard (mustine, cyclophosphamide, ifosfamide, chlorambucil dan

melaphalan), sulfonat alkil (busulphan), aziridine (thiotepa) dan nitrosurea

(carmustine, lomustine). Obat golongan ini telah lama dikenal sebagai

kemoterapi yang poten. Mekanisme antitumornya berupa inhibisi sintesis

DNA. Mekanisme sekundernya adalah inhibisi elongasi transkripsi oleh

57

DNA. Bahan dasar logamnya membuatnya memiliki afinitas yang tinggi

terhadap electron dan bereaksi secara selektif dengan electron yang

terhidrasi. Mekanisme pasti kematian sel pada kombinasi radiasi dan

kemoterapi ini belum diketahui. Namun, bukti-bukti klinis mengarah

kepada inhibisi PLDR dan radiosensitasi sel tumor yang hipoksik. Cisplatin

dan radiasi memiliki efek sinergistik yang tidak hanya sekedar aditif,

terutama jika diberikan pada radiasi terfraksinasi. Hal ini dijelaskan oleh

mekanisme inhibisi SLDR. Generasi kedua dari golongan agen berbasis

platinum adalah carboplatin. Meta analisis oleh Hotta et. al yang

mempelajari mengenai carboplatin sebagai pengganti cisplatin pada terapi

kombinasi NSCLC menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan angka

kesintasan antara kedua agen. Namun efek samping carboplatin dapat

lebih ditoleransi.

Efek samping hematologi yang timbul adalah leukopeni dan

trombositopeni, sedangkan anemia biasanya timbul setelah beberapa kali

pemberian. Mual dan muntah sering dijumpai dan biasanya bertahan

sampai 24-96 jam. Berdasarkan klasifikasi emetic power cisplatin

tergolong very emetic chemotherapy. Sedangkan nephrotoxicity

(peningkatan level serum creatinin dan BUN) tergantung dosis yang

diberikan dan biasanya jarang dijumpai jika rehidrasi dilakukan secara

adekuat (Florea & Busselberg, 2011).

Selain itu dapat pula terjadi ototoxicity, jenis yang timbul adalah high

frequency hearing loss atau tinnitus, lebih sering dijumpai pada penderita

58

yang mendapat dosis > 100 mg/m2 dengan pemberian IV cepat (Florea &

Busselberg,2011).

Pada beberapa kasus, cisplatin dapat menimbulkan abnormalitas

jantung (cardiotoxicity)berupa bundle branch block, gelombang ST-T yang

abnormal, atrial fibrilasi dan supraventrikular takikardi. Pemberian cisplatin

juga dapat menimbulkan neuropati perifer berupa glove and stocking

neuropathy, klinis berupa mati rasa, kesemutan dan terasa tebal pada

kedua tangan-kaki bagian distal (Saini,et al., 2003).

Cisplatin dapat menimbulkan toksisitas pada hepar, reaksi alergi dari

yang ringan sampai syok anafilaksis. Reaksi alergi dan syok anafilaksis

dapat timbul hanya beberapa menit setelah pemberian.Timbulnya

komplikasi ini dapat diatasi dengan pemberian epinefrin, kortikosteroid

dan antihistamin (Kentjono, 2010).

Taxane

Paclitaxel dan Docetaxel merupakan obat yang paling efektif

melawan kanker kepala dan leher. Paclitaxel pada awalnya didapat dari

kulit pohon yew pacific, tetapi saat ini sudah dibuat sintesis. Golongan

taxane ini menstabilkan polimerisasi tubulin dan menghambat pemisahan

sel. Docetaxel mempunyai aktivitas yang hampir sama dengan paclitaxel.

Kedua obat ini dianggap sebagai lini pertama pengobatan kanker kepala

dan leher tingkat lanjut.

Golongan kemoterapi ini berasal dari tumbuh-tumbuhan. Paclitaxel

(Taxol) dan docetaxel (Taxotere) merupakan contoh dari golongan ini.

59

Administrasi taxane akan berakibat berhentinya sel pada fase G2/M dari

siklus sel yang merupakan titik dimana sensitifitas sel terhadap efek

ionisasi radiasi meningkat. Namun fakta bahwa sel non proloferatif juga

tersensitisasi oleh paclitaxel mengindikasikan adanya mekanisme selain

G2/M arrest. Secara umum, penelitian in vitro menunjukkan bahwa efek

sensitisasi ini paling optimal ketika sel proliferative telah diinkubasi dengan

konsentrasi sedang paclitaxel selama 24 jam sebelum radiasi.

Secara lokal dimana vaskularisasi jaringan tumor yang masih baik,

akan lebih sensitif menerima kemoterapi sebagai antineoplastik agen.

Karsinoma sel skuamosa biasanya sangat sensitif terhadap kemoterapi

ini. (Bailey 1998).

Penelitian di Anderson Cancer Center menunjukkan bahwa paclitaxel

juga menginduksi terjadinya kematian sel terprogran (apoptosis),

sedangkan observasi oleh Milas et.al. menyimpulkan bahwa :

Penyusutan massif sel tumor melalui jalur apoptosis terjadi

terbatas pada region perivaskular.

Radio enhancement yang terjadi pada periode ini bahkan

lebih bermakna lagi ketika sel apoptotik ini disingkirkan dari

tumor.

Tampaknya kombinasi efek pada siklus sel, reoksigenasi dan drug

induced apoptosis, menjelaskan kemampuan radiosensitisasi paclitaxel.

Agen terbaru dari golongan taxane diantaranya taxoltere metro,

epithilones dan taxane oral.

60

Golongan taxol ini telah dipakai sebagai agen kombinasi dengan

radiasi pada kasus-kasus keganasan kepala leher dan paru (NSCLC)

Mitomycin C

Alasan penggunaan mitomycin C sebagai terapi kombinasi

berdasarkan kemampuannya untuk menargetkan sel hipoksik yang

radioresisten. Bukti preklinik menunjukkan bahwa pemberian mitomycin

sebelum radiasi menimbulkan interaksi supraaditif. Berhubungan sel

normal tidak hipoksik, efek selektif mitomycin C mampu meningkatkan

efek terapi tanpa meningkatkan resiko toksisitas jaringan normal. Namun,

agen ini tetap memiliki keterbatasan. Penggunaan mitomycin C dibatasi

oleh toksisitas hematologiknya. Para peneliti berusaha mengatasi hal ini

melalui pengembangan tirapazamine, suatu benzotriazine di N-oksida,

yang bersifat toksik terhadap sel hipoksik pada dosis yang jauh lebih

rendah daripada kadar dosis untuk tujuan radiosensitisasi. Agen ini

memiliki perbedaan toksisitas paling tinggi antara sel hipoksik dan

nonhipoksik. Pada hakikatnya obat ini bekerja melalui fungsi reduktor

intraseluler yang menghasilkan radikal bebas reaktif yang mampu

menyebabkan terjadinya SSB dan DSB. Pada keadaan teroksigenasi,

elektron bebas akan diabsorpsi dan zat aktif akan dioksidasi menjadi

bentuk prodrug kembali.

Antimetabolit

Dasar efek sitotoksik obat ini diperkiraka merupakan kombinasi

beberapa efek berikut :

61

1. Inkorporasi ke dalam RNA, sehingga menggganggu fungsinya.

2. Inhibisi fungsi thimidilat sintetase berakibat pada inhibisi sintesis

DNA.

3. Inkorporasi langsung ke dalam DNA.

Optimalisasi dari penjadwalan administrasi obat sangat penting

untuk mendapat keuntungan dari kombinasi obat ini dengan radiasi.

Blackstock menyimpulkan toksisitas pada pemberian kemoradiasi

concurrent dengan gemcitabine dua kali dalam seminggu yang diberikan

30 menit sebelum radiasi, memberikan hasil yang baik dengan toksisitas

yang masih dapat diterima.

Gemcitabine merupakan salah satu contoh obat dari golongan ini

yang merupakan suatu radiosensitizer yang poten. Efek biologis dari obat

ini hampir sepenuhnya merupakan akibat efeknya terhadap metabolism

DNA. Namun selain itu, efek sitotoksik diakibatkan juga oleh inkorporasi

obat ke dalam DNA dan apoptosis. Gemcitabine berkerja spesifik pada sel

dalam fase S, oleh karena itu obat ini memiliki toksisitas selektif terhadap

sel proliferative, sehingga meurunkan jumlah proliferasi yang berlangsung

selama fraksinasi terapi radiasi.

Inhibitor Topomerase I

Camptothecin adalah tumbuhan alkaloid yang berasal dari pohon

Camtotheca acuminate. Zat ini pertama kali di uji antara tahun 1960 dan

1970, namun penelitiannya ditinggalkan akibat perdarahan sistitis berat

yang tidak dapat diprediksi. Camptothecin dan turunannya (irinotecane,

62

topotecham, 9-aminocamtotecin, SN-38) menargetkan DNA

topoisomerase. DNA topoisomerase adalah enzim yang berperan dalam

berbagai proses esensial sel, termasuk transkripsi dan replikasi. Kompleks

camptothecim- topoisomerase I DNA menjadi stabil ketika berikatan

dengan fragmen SSB DNA. Kompleks stabil ini berinteraksi dengan

replication fork saat fase S atau pada replikasi DNA spontan post stress

genomic, dan menyebabkan konversi SSB menjadi DSB irreversible, dan

berujung pada kematian sel.

5-Fluorouracil

Obat ini bekerja spesifik sebagai analog urasil pada fase S yang

dapat diaktivasi melalui dua jalur utama intraseluler yaitu menggabungkan

fosforilasi menjadi RNA dan aktivasi menjadi 5fluorodeoxyuridine

monophosphate yang menghambat enzim thymidylate synthase dan

konversi senyawa uridin menjadi timidin. Sehingga sel akan kekurangan

timidin dan tidak dapat mensintesis DNA. Efek samping yang ditemukan

adalah mielosupresi, mukositis, diare, dermatitis dan kardiotoksik.

Cetuximab (Erbitux)

Merupakan obat kanker yang masuk golongan ‘terapi target’. Obat ini

bekerja sangat selektif dengan menjadikan zat-zat spesifik dalam tubuh

yang berperan dalam proses pertumbuhan sebagai target pengobatan.

Cetuximab menghambat produksi VEGF (Vascular epithelial growth factor)

karsinoma epidermosa, sehingga mengurangi jumlah pembuluh darah

tumor, down regulation VEGF, IL-8 dan ekspresi bEGF (basic fibroblast

63

growth factor) pada xenograf tumor. Obat ini diberikan secara intravena

dengan dosis 200-400 mg/m2 dan memiliki waktu paruh 114 (75-188 jam),

sehingga memungkinkan diberikan setiap minggu. Pada saat dosis awal

diberikan secara perlahan secara intravena dalam dosis besar diberikan

sekitar 2 jam. Untuk pemberian berikutnya diberikan seminggu sekali

dalam waktu 1 jam. Pada kanker kepala dan leher cetuximab diberikan

dengan kombinasi radioterapi. Efek samping cetuximab biasanya ringan

seperti rash, jerawat, kulit kering dan fissure.

II.4 Kombinasi

Tujuan mengkombinasi agen kemoterapi dengan radioterapi adalah

sebagai tambahan pengobatan primer (radiotherapy), untuk meningkatkan

kesintasan melalui kontrol lokoregional, mengurangi atau menghilangkan

metastasis dan tetap menyelamatkan integritas serta fungsi jaringan/

organ normal, mengurangi besarnya tumor, terapi buat tumor yang

radioresisten, meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi,

mengobati penyakit dengan metástasis jauh, penyakit tidak kompatibel

pembedahan dan radiasi, serta meningkatkan overall cure rate (Tara &

Lundberg, 2008). Untuk tujuan ini ada beberapa strategi yang

diklasifikasikan oleh Steel dan Peckhan menjadi 4 kelompok:

1. Spatial cooperation. Dasar pertimbangan strategi adalah radiasi

dan kemoterapi bekerja pada target yang berbeda. Radiasi

bekerja lokal pada tumor, sedaangkan kemoterapi lebih efektif

64

untuk eradikasi mikrometastasis. Spatial cooperation

merupakan dasar dari pemberian kemoradiasi adjuvan. Konsep

ini juga digunakan dalam tatalaksana keganasan hematologi

yang telah menyebar ke otak. Jika tujuan spatial cooperation

tercapai, hasilnya berupa reduksi metastasis jauh setelah terapi

kombinasi.

2. Independent/ shared toxicity. Efek toksik pada jaringan normal

menjadi batasan pemberian kombinasi radiasi dan kemoterapi.

Tujuan strategi ini adalah mengkombinasikan radiasi dengan

kemoterapi yang efek toksiknya tidak tumpang tindih pada suatu

organ, sehingga dosis radiasi dan kemoterapi dapat diberikan

semaksimal mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan

jeda antar terapi tetapi pasien mungkin harus menghadapi

rentang efek toksik yang lebih luas/ berat. Jika strategi ini

dipakai sebagai dasar interaksi kombinasi radiasi dan

kemoterapi, cara kombinasi paling optimal adalah secara

sekuensial, untuk menghindari meningkatnya efek samping jika

diberikan secara konkomitan.

3. Enhance tumor radioresponse. Interaksi antara kemoterapi dan

radiasi pada tingkat molekuler, seluler dan patofisiologi

diperkirakan merupakan penyebab peningkatan respon tumor

terhadap radiasi. Interaksi ini menghasilkan efek sinergis yang

lebih dari sekedar efek aditif. Penguatan ini harus selektif

65

terhadap sel-sel tumor dibandingkan terhadap sel normal,

sehingga tercapai rasio terapeutik yang lebih baik. Cara klasikk

untuk mengevaluasi efek kombinasi adalah melalui DMF (dose

modifying factor), yang merupakan perbandingan dosis isoefek

menggunakan radiosensitizer dan tidak menggunakan

radiosensitizer.

4. Normal tissue protection. Jika jaringan normal dapat diproteksi,

maka dapat diberikan dosis yang lebih besar kepada jaringan

tumor dan sekaligus meminimalisir efek samping. Hal ini dapat

dilakukan melalui tehnik mutakhir dalam radioterapi atau dengan

pemberian agen kimia atau biologis yang secara selektif

memproteksi jaringan normal dari radiasi dan agen kemoterapi.

Mekanisme interaksi kemoterapi dengan radiasi

1. Menambah kerusakan awal akibat radiasi

Radiasi menyebabkan kerusakan pada DNA melalui berbagai

mekanisme. Diantaranya adalah single strand break (SSB), double

strand break (DSB), kerusakan basa dan sebagainya. DSB dan

aberasi kromosom yang muncul akibat DSB dipikirkan sebagai

mekanisme utama dalam kematian sel. Agen apapun yang dapat

menyebabkan DNA lebih rentan terhadap radiasi dapat

meningkatkan kemampuan membunuh sel. Obat-obatan tertentu

contoh agen kemoterapi golongan ini adalah cisplatin,

bleomisin,doxorubisin dan hidroxyurea.

66

2. Menghambat perbaikan sel

Kerusakan letal dan potentially lethal damage (PLD) yang

diakibatkan oleh radiasi dapat diperbaiki. Reparasi PLD atau yang

dikenal sebagai potentially lethal damage repair (PLDR) adalah

proses yang terjadi ketika suatu sel yang berproliferasi cepat

mengalami perbaikan yang suboptimal atau kondisi pertumbuhan

yang terganggu. Sedangkan sublethal damage (SLD) merupakan

cedera sel yang masih dapat diperbaiki dalam keadaan normal. Pada

keadaan ini, sel akan menjadi lebih sensitive terhadap radiasi yang

berurutan. Sublethal damage repair (SLDR) mengindikasikan

peningkatan cell survival antar dua fraksi yang dipisahkan oleh jeda

waktu tertentu, sedangkan PLDR mengindikasikan peningkatan cell

survival antara dua fraksi yang dipisahkan oleh jeda waktu tertentu,

sedangkan PLDR mengindikasikan peningkatan cell survival akibat

kondisi lingkungan pasca radiasi. PLDR terjadi jika setelah radiasi,

sel memasuki fase plateau dan kondisi milieu akan menentukan

terjadinya kematian sel. Proses terjadinya SLDR sangat singkat,

berkisar antara 4-6jam setelah radiasi. Dalam waktu ini, diantara dua

fraksi radiasi, dapat terjadi perbaikan DSB DNA. PLDR terjadi ketika

kondisi lingkungan mencegah sel membelah diri selama beberapa

jam, sehingga sel memiliki kesempatan untuk memperbaiki lesi yang

seharusnya lethal seandainya DNA berreplikasi.

67

3. Redistribusi siklus sel

Kemoterapi dan radiasi keduanya lebih efektif terhadap sel

proloferatif dibandingkan yang tidak. Telah diketahui bahwa sel pada

fase G2 dan M tiga kali lebih sensitive dibandingkan fase S. Strategi

ini memanfaatkan sifat tersebut untuk memaksimalkan hasil terapi.

Contohnya beberapa agen kemoterapi, seperti taxane, dapat

memblok transisi sel saat mitosis, sehingga sel terakumulasi pada

fase G2 dan M yang radiosensitive. Eliminasi sel yang berada pada

fase S yang radioresisten merupakan bagian dari strategi

redistribusi.

4. Mengatasi radioresistensi akibat hipoksia

Tumor padat biasanya memiliki karakteristik defek

vaskularisasi, baik pada jumlah dan fungsinya, sehingga pendarahan

menjadi inadekuat. Sel tumor menjadi hipoksik, bersifat asam dan

akhirnya nekrotik. Adanya hipoksia ini menyebabkan tumor menjadi

lebih agresif (hipoksia kondusif untuk munculya sel tumor yang lebih

virulen dan menstimulasi metastasis) dan lebih resisten terhadap

radiasi dan agen kemoterapi. Sel hipoksik 2,5-3 kali lebih resisten

terhadap radiasi dibandingkan yang teroksigenasi dengan baik.

Mengkombinasi agen kemoterapi dengan radiasi dapat menurunkan

atau menghilangkan hipoksia dan dampak buruknya terhadap respon

radiasi tumor. Sebagian besar agen kemoterapi membunuh sel yang

berproliferasi, yang biasanya berada pada region tumor yang

68

teroksigenasi dengan baik karena berada dekat dengan pembuluh

darah. Destruksi sel pada region ini membuat oksigenasii region

hipoksik lebih baik dan pengecilan ukuran tumor juga membuatnya

lebih dekat dengan pembuluh darah. Konsep klasik mengemukakan

bahwa region hipoksik adalah region yang lokasinya jauh dari

pembuluh darah. Namun diluar perkiraan ternyata bagian hipoksik

tumor dapat ditemukan pada daerah yang dekat dengan pembuluh

darah. Hal ini mengindikasikan adanya susunan pembuluh darah

yang disfungsional. Feng-Li melakukan percobaan in vivo yang

menunjukkan bahwa mikrometastasis dengan ukuran <1mm

mengalami hipoksia berat, sedangkan tumor ukuran 1-4mm memiliki

perfusi yang baik dan teroksigenasi dengan baik pula. Faktor lain

yang juga mempengaruhi adalah daur hidup sel tumor. Sehingga

pola hipoksia pada tumor merupakan sesuatu yang kompleks.

5. Menghambat repopulasi sel tumor

Tumor akan kehilangan sejumlah sel setelah tiap fraksi radiasi

dan hal ini menginduksi terjadinya kompensasi berupa regenerasi sel

(repopulation). Peningkatan kecepatan proliferasi yang diinduksi oleh

terapi ini dikenal sebagai accelerated repopulation.

Accelerated repopulation memiliki dampak positif bagi jaringan

sehat karena berfungsi sebagai pelindung dari kerusakan akibat

radiasi. Namun accelerated repopulation memiliki dampak yang

bervariasi terhadap control lokal tumor oleh radiasi atau kemoterapi.

69

Maka dari itu pendekatan apapun yang dapat mengurangi atau

menghilangkan accelerated population dari sel klonogen diperkirakan

dapat meningkatkan respon radioterapi. Agen kemoterapi memiliki

kemampuan sitotoksik atau sitostatik dan dapat mengurangi

kecepatan proliferasi jika diberikan bersamaan dengan radioterapi

(konkuren), sehingga meningkatkan efektivitas terapi. Tetapi yang

menjadi keterbatasan dalam pemberian kemoradiasi konkuren

adalah meningkatnya toksisitas terhadap jaringan normal yang

memiliki tingkat proliferasi tinggi, karena sebagian besar agen

kemoterapi memiliki selektivitas yang rendah.

Pemberian mengenai waktu pemberian obat berkaitan dengan

radioterapi

Obat kemoterapi diberikan sebelum (induction or neoadjuvant

chemotherapy), bersamaan (concurrent or concomitant) atau setelah

(adjuvant chemotherapy) radiasi. Keuntungan dan kerugian dari masing-

masing pemberian ini.

Kemoterapi induksi membuat tumor primer lebih terkontrol oleh

radiasi dengan mengurangi sel klonogen dan reoksigenasi sel hipoksik.

Meskipun demikian manfaat terapeutiknya masih dibawah ekspektasi.

Sejumlah faktor diperkirakan menyebabkan hal ini, termasuk fenomena

accelerated repopulation.

Jika tujuannya adalah untuk mengatasi repopulasi cepat dari sel

klonogen tumor, maka lebih efektif untuk memberikan agen kemoterapi

70

cell specific pada paruh kedua fraksi radioterapi ketika accelerated

repopulation lebih dominan. Faktor lain yang harus dipertimbangkan

adalah faktor cost benefit dan kenyamanan pasien.

Penjadwalan kemoradiasi konkuren yang optimal sangat penting,

tidak hanya untuk memaksimalkan respon tumor terhadap radiasi, tetapi

juga untuk meminimalisasi toksisitas pada organ kritis. Seperti telah

disinggung sebelumnya, masalah toksisitas jaringan normal ini merupakan

limitasi utama pemberian kombinasi radiasi dan kemoterapi secara

konkuren. Namun, concurrent chemoradiation telah memberikan bukti

klinis yang lebih baik dibandingkan mode kombinasi kemoradiasi lainnya

dalam hal kontrol lokal dan kesintasan hidup pasien. Beberapa penelitian

bahwa walaupun toksisitas kemoradiasi konkuren memang lebih besar

dibandingkan modalitas tunggal, namun masih dapat ditoleransi. Dan

dengan mempertimbangkan dampak positif kemoradiasi terhadap angka

survival, toksisitas ini masih dapat diterima.

Meningkatkan efikasi agen kemoterapi

Saat ini telah tersedia berbagai agen kemoterapi baru yang sangat

efektif terhadap kanker yang umum pada manusia dan merupakan

radiosensitizer yang cukup poten. Tetapi efek toksik terhadap jaringan

normal telah menjadi salah satu limitasi utama. Untuk mengatasi hal ini,

digunakan obat polimer larut air, seperti asam poliglutamat. Konjugat ini

akan berakumulasi dalam tumor dan melepaskan zat aktif kedalam tumor

dalam dosis tinggi dan untuk waktu yang lebih lama. Contohnya konjugat

71

yang telah dikembangkan adalah konjugat asam poliglutamat dengan

paclitaxel.

Inkorporasi molecular targeting

Penelitian terkini telah berhasil menemukan sejumlah reseptor,

enzim, atau growth factor yang bertanggung jawab atas resistensi sel

kanker terhadap radiasi atau agen sitotoksik diantaranya adalah epidermal

growth factor (EGFR), siklooksigenase 2 (COX 2) enzim, mutated ras,

CHK1 (protein control checkpoint siklus sel), sejumlah enzim perbaikan

DNA seperti DNA-PK, ATM, RAD51 dan lainnya.

Penelitian invivo telah membuktikan bahwa blok EGFR, atau

interferensi dalam proses signalingnya dapat meningkatkan outcome

terapi tumor dengan radiasi ataupun kemoterapi.

Proteksi jaringan normal

Toksisitas jaringan normal merupakan limitasi utama kemoradiasi

concurrent. Karena itu pula dikembangkan suatu strategi inkorporasi

radioprotektor atau kemoprotektif kedalam terapi. Agen radioprotektor

yang paling banyak diteliti adalah senyawa Thiol, Contohnya amifostine.

Prinsip kerja dari amifostine adalah dengan scavenging radikal bebas

yang dibentuk oleh ionisasi radiasi dan agen kemoterapi tertentu seperti

agen alkilasi, dan mendonasikan atom hydrogen untuk memfasilitasi repair

DNA. Obat ini secara selektif diuptake oleh jaringan normal. Namun

belakangan ini telah muncul berbagai penelitian mengenai efek samping

amifostine yang cukup serius seperti syndrome steven johnsons (SSJ) dan

72

nekrolisis epidermo toksik (NET). Efek samping yang cukup serius ini

berakibat dihentikannya pemberian amifostine, penundaan radiasi sampai

resiko kematian. Oleh karena itu amifostine saat ini jarang digunakan.

Growth factor bermanfaat untuk ameliorasi toksisitas akibat agen

kemoterapi, khusus pada keganasan hematopoetik.

Interaksi agen kemoterapi spesifik dengan radiasi

Agen kemoterapi memiliki mekanisme kerja yang berbeda-beda.

Perbedaan mekanisme kerja antar golongan kemoterapi menyebabkan

adanya perbedaan interaksi dengan radiasi. Selanjutnya akan dibahas

mengenai interaksi spesifik masing-masing golongan dengan radiasi.

Pemberian kemoterapi terbagi dalam 3 kategori :

1. Kemoterapi adjuvan.

2. Kemoterapi neoadjuvant

3. Kemoterapi concurrent

1. Kemoterapi adjuvan

Pemberian kemoterapi diberikan setelah pasien dilakukan radioterapi.

Tujuannya untuk mengatasi kemungkinan metastasis jauh dan

meningkatkan kontrol lokal. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu

saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya

yang maksimal ternyata: - Kanker masih ada, dimana biopsi masih

positif. - Kemungkinan besar kanker masih ada, meskipun tidak ada bukti

secara makroskopis. - Pada tumor dengan derajat keganasan tinggi.

(oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh) 11,13

73

2. Kemoterapi neoadjuvan

Pemberian sitostatika lebih awal yang dilanjutkan pemberian

radiasi. Maksud dan tujuan pemberian kemoterapi neoadjuvan

untuk mengecilkan tumor yang sensitif sehingga setelah tumor

mengecil akan lebih mudah ditangani dengan radiasi. Kemoterapi

neoadjuvan telah banyak dipakai dalam penatalaksanaan kanker

kepala dan leher. Alasan utama penggunaan kemoterapi

neoadjuvan pada awal perjalanan penyakit adalah untuk

menurunkan beban sel tumor sistemik pada saat terdapat sel tumor

yang resisten. Vaskularisasi intak sehingga perjalanan ke daerah

tumor lebih baik. Terapi bedah dan radioterapi sepertinya akan

memberi hasil yang lebih baik jika diberikan pada tumor berukuran

lebih kecil. Teori ini dapat disingkirkan karena akan

terjadipeningkatan efek samping, durasinya, dan beban biaya

perawatan yang meningkat. Dan yang lebih penting, sel yang

bertahan setelah kemoterapi akan menjadi lebih tidak respon

setelah dilakukan radioterapi sesudahnya. Berdasarkan penelitian

pemberian neoadjuvan kemoterapi dalam 2-3 siklus yang diberikan

setiap 3 minggu dengan syarat bila adanya respon terhadap

kemoterapi.

3. Kemoterapi concurrent. Kemoterapi diberikan bersamaan dengan

radiasi. Umumnya dosis kemoterapi yang diberikan lebih rendah.

Biasanya sebagai radiosensitizer. Kemoterapi sebagai terapi

74

tambahan pada KNF ternyata dapat meningkatkan hasil terapi

terutama pada stadium lanjut atau pada keadaan relaps. Hasil

penelitian menggunakan kombinasi cisplatin radioterapi pada

kanker kepala dan leher termasuk KNF, menunjukkan hasil yang

memuaskan. Cisplatin dapat bertindak sebagai agen sitotoksik dan

radiation sensitizer. Jadwal optimal cisplatin masih belum dapat

dipastikan, namun pemakaian seharihari dengan dosis rendah,

pemakaian 1 kali seminggu dengan dosis menengah, atau 1 kali 3

minggu dengan dosis tinggi telah banyak digunakan. 14 Agen

kemoterapi telah digunakan pada pasien dengan rekurens lokal

dan metastatik jauh. Agen yang telah dipakai yaitu metothrexat,

bleomycin, 5 FU, cisplatin dan carboplatin merupakan agen yang

paling efektif dengan respon berkisar 15-31%. Agen aktif yang lebih

baru meliputi paklitaxel dan gemcitibine.

II.5. MicroRNA (miRNA)

MicroRNAs (miRNAs) merupakan non-coding RNAs, berfungsi

sebagai pengatur post transkripsi pada gen target. Eviden terbaru

menunjukkan miRNAs terdapat pada perkembangan dan atau progresi

dari variasi kanker manusia. (Zhang, et.al 2013).

MicroRNA (miRNA) adalah asam ribonukleat yang tidak mengkode

protein dengan transkrip akhir sepanjang 18-25 nukleotida yang

berinteraksi dengan target gen yang mengkode mRNA. MiRNA

75

bekerjasama dengan elemen pengatur lain seperti faktor transkripsi untuk

mengontrol translasi miRNA. Kebanyakan miRNA dikode pada bagian

genom yang dulu dianggap sebagai daerah bukan pengkode. Sejak

ditemukan pertama kali di tahun 1993 pada cacing Caenorhabditis

elegans, miRNA menarik perhatian karena ciri fungsional yang unik dan

cara kerjanya, memberi sebuah dimensi baru terhadap dogma sentral

biologi molekuler. Gen-gen miRNA tersebar di dalam genom dan

diperkirakan berjumlah 2-5% dari gen-gen manusia.(Lee 2012, Wutchy

2012, Farazi 2012)

miRNA sering diekspresikan sebagai transkrip polisistronik. Satu

miRNA dapat mempunyai banyak mRNA target sehingga diperkirakan

bahwa lebih dari 1/3 gen-gen manusia diatur oleh miRNA. Dewasa ini

lebih dari 1.500 miRNA telah dikarakterisasi dan jumlah gen yang telah

diketahui diatur oleh miRNA pada manusia telah meningkat pesat. Kurang

lebih sepertiga miRNA pada manusia berada dalam 113 kelompok yang

terdiri dari 2-7 gen dengan jarak antar gen miRNA dalam kelompok yang

sama adalah ≤ 51 kb. Data profil miRNA dari berbagai jaringan dan lini sel

memperlihatkan kelompok-kelompok miRNA tersebut diekspresikan

bersama-sama. Gen-gen miRNA lainnya dipotong dari intron gen-gen

pengkode protein, intron dan ekson dari gen bukan pengkode protein,

atau dari 3’-UTR gen-gen pengkode protein dan diekspresikan secara

individual.(Lee 2016, Wargasetia 2016)

76

Peran miRNA sebagai molekul pengatur utama yang mengontrol

berbagai proses dasar dalam sel, seperti proliferasi, kematian,

diferensiasi, apoptosis, motilitas, sifat invasif, respons terhadap stres dan

sebagainya terus dipelajari di hampir semua lingkup biologi dan

biomedis.(Lee 2016, Wargasetia 2016)

II.5.1 Ekspresi Abnormal miRNA pada Kanker

Gen-gen miRNA ditranskripsikan menjadi primary miRNA (pri-

miRNA) oleh RNA polimerase II. Transkrip pri-miRNA adalah non-coding

RNA (ncRNA) dengan struktur sekunder stem-loop yang mengandung

prekursor miRNA (pre-miRNA). Transkrip pri-miRNA dipotong oleh enzim

Drosha (RNA polimerase III) menjadi pre-miRNA yang diekspor ke

sitoplasma oleh exportin 5, lalu diproses lebih lanjut menjadi miRNA yang

matang oleh Dicer (RNA polimerase III yang ke-dua). Pada sel-sel yang

normal, rasio antara pri-miRNA terhadap mature miRNA mendekati satu,

sedangkan pada sel-sel kanker banyak gen miRNA yang ditrankripsikan

namun tidak diproses menjadi miRNA yang matang. (Wargasetia 2015)

Dua macam pendekatan diaplikasikan untuk identifikasi gen-gen

miRNA dalam skala besar yaitu kloning dan pendekatan komputer.

Perkembangan dalam teknologi kuantifikasi miRNA, seperti miRNA

microarray, bead-based flow cytometry, RNA-primed array-based Klenow

enzyme (RAKE) assay, miRNA serial analysis of gene expression

(miRAGE), and realtime RT-PCR based TaqMan miRNA assay telah

77

memfasilitasi studi profil miRNA global pada genom kanker. miRNA dapat

menjadi penanda molekuler yang akurat karena relatif stabil mengingat

ukurannya yang kecil dan resisten terhadap degradasi RNAse. miRNA

dapat diisolasi dari spesimen formalin-fixed paraffin-embedded (FFPE)

dan dikuantifikasi dengan qRT-PCR dan microarray. Perkembangan

metode qRT-PCR yang sangat sensitif memungkinkan deteksi miRNA dari

beberapa nanogram total RNA yang diperoleh dari biopsy aspirasi jarum

halus. (Wargasetia 2015)

Beberapa tahun terakhir ini dipelajari bahwa sejumlah miRNA

berperan dalam patogenesis berbagai kanker pada manusia. Fungsi

miRNA yang hilang/menurun atau sebaliknya berupa fungsi mRNA yang

meningkat berkontribusi terhadap perkembangan kanker. Lebih dari

setengah gen-gen miRNA pada manusia berlokasi pada daerah genomik

yang sering mengalami amplifikasi, delesi, dan translokasi terlibat dalam

kanker. (Wargasetia 2015). Bukti pertama keterlibatan miRNA dalam

kanker dilaporkan pada 2002, saat Calin menemukan dua gen miRNA

yaitu miR-15a dan miR-16-1 pada daerah di kromosom 13q14 yang

biasanya mengalami delesi pada leukemia limfositik kronik. Hilangnya

miR-15a dan miR-16-1 terjadi pada hampir 70% leukemia limfositik kronik.

Delesi atau penurunan ekspresi miR-15a dan miR-16-1 juga ditemukan

pada kanker prostat, limfoma, dan mieloma multipel. Kemajuandalam

bidang penelitian kanker memberikan informasi bahwa kelainan regulasi

78

ekpresi miRNA ditemukan pada sejumlah kanker manusia. (Wargasetia

2015)

Profil ekspresi abnormal miRNA ditemukan pada spesimen tumor

dan lini sel kanker ketika dibandingkan dengan kontrol jaringan normal.

MiRNA berikatan secara spesifik dengan targetnya, sehingga polimorfisme

nukleotida tunggal (single nucleotide polymorphism, SNP) pada urutan

miRNA atau mRNA target dapat mengarah kepada suatu penyakit,

termasuk kanker. Pada berbagai tipe kanker didapati pengaturan yang

salah pada miRNA yang mengindikasikan bahwa miRNA mempengaruhi

gen-gen target yang terlibat dalam proliferasi sel, apoptosis, diferensiasi,

invasi, dan motilitas yang penting untuk perkembangan kanker.

(Wargasetia 2016)

Aspek-Aspek Biologi Kanker yang Diregulasi oleh miRNA

Regulasi miRNA berperan dalam berbagai peristiwa biologis kanker,

yaitu:

1. Siklus sel

Gen p27 (Kip1) yang merupakan penekan tumor, menjadi target

langsung dari miRNA-221 dan miRNA-222 pada glioblastoma dan

kanker prostat. miRNA-221 dan miRNA-222 yang berada di

kromosom X diekspresikan berlebih pada berbagai kanker yaitu

kanker ovarium, kanker hati, dan glioblastoma.Kedua miRNA

tersebut mendukung pertumbuhan sel dan progresi siklus sel.

2. Kematian sel terprogram

79

MiRNA berpartisipasi dalam tumorigenesis dengan menjadikan

gen-gen antiapoptosis sebagai target. Sebagai contoh adalah

penekanan gen-gen antiapoptosis Mcl-1 oleh miRNA-29b dan

miRNA-4s, juga Bcl-2 oleh miRNA-15a dan miRNA -16.

3. Invasi dan metastasis

miRNA-21 yang diekspresikan berlebih pada kanker

menyebabkan motilitas sel meningkat dan invasi dengan

menjadikan phosphatase and tensin homolog (PTEN) sebagai

target. PTEN adalah penekan tumor yang menghambat invasi sel

dengan menghambat ekspresi dari matrix metalloprotease. Jalur

lain dilaporkan pada kanker kolorektal bahwa miRNA-21 berperan

dalam invasi, intravasasi, dan metastasis melalui penurunan

ekspresi PDCD4. MiRNA lainnya yang berperan dalam invasi dan

metastasis adalah miRNA-10b.

4. Angiogenesis

Stimulasi pembentukan pembuluh darah baru oleh c-Myc

melibatkan penekanan ekspresi faktor antiangiogenik Tsp-1

(thrombospondin-1). c-Myc menekan Tsp-1 melalui pengaktifan

kelompok miRNA-17-92. MiRNA mempengaruhi keenam ciri sel-

sel malignan yaitu kemandirian dalam sinyal pertumbuhan

(keluarga let-7), tidak sensitif pada sinyal antipertumbuhan

(kelompok miRNA-17-92), menghindari apoptosis (miRNA-34a),

80

kemampuan replikasi tak terbatas (kelompok miRNA-372/373),

serta invasi dan metastasis (miRNA-10b). (Wargasetia 2016)

II.5.2 miRNA sebagai Biomarker Untuk Prediksi Respons Terapi

Kanker

Kemoterapi banyak digunakan untuk pengobatan kanker , namun

resistensi obat adalah masalah utama untuk keberhasilan pengobatan.

Adanya berbagai mutasi dan perubahan genetik yang bervariasi

menjadikan tumor tidak responsif terhadap pengobatan. Resistensi

terhadap tipe obat kemoterapi tertentu dapat dipengaruhi oleh regulasi

miRNA dan respons sel-sel kanker terhadap kemoterapi dapat dimodulasi

oleh miRNA. (Bovel L, Putcha B, 2011).

II.5.3 miRNA sebagai Biomarker Prognostik Kanker

Profil miRNA dapat menunjukkan prognosis, misalnya ekpresi yang

tinggi dari miRNA-326/miRNA-130a dan ekspresi rendah miRNA-

155/miRNA-210 berkaitan dengan peningkatan kemampuan bertahan

hidup pasien glioblastoma. Ekspresi miRNA-375 ditekan pada karsinoma

sel skuamosa esofagus dan berkaitan dengan stadium klinis lanjut,

metastasis, dan luaran yang buruk. Penurunan ekspresi let-7 pada pasien

non-small cell lung cancer berkaitan dengan prognosis buruk. Pada

kanker payudara, ekspresi berlebih dari miRNA-21 berkaitan dengan

gambaran patofisiologis penyakit seperti stadium lanjut tumor, metastasis

ke kelenjar getah bening, dan kemampuan bertahan hidup yang rendah.

81

Studi menggunakan microarray dengan probe oligonukleotida miRNA

mengidentifikasi miRNA-21 sebagai petanda prognostik potensial untuk

diagnosis kanker payudara. (Massardi 2014)

Selama bertahun-tahun, banyak laporan menunjukkan bahwa

proporsi yang tinggi dari miRNAs terlokalisasi pada daerah terkait kanker.

Hal ini menunjukkan bahwa miRNAs memainkan peran penting dalam

pembentukan kanker. Banyak dari famili miRNAs telah dilaporkan dapat

mengubah biologi seperti proliferasi sel dan perkembangan, apoptosis dan

metastasis pada KNF dan kanker lainnya. Beberapa jalur yang penting

dalam karsinogenesis menunjukkan down-regulasi yang signifikan dari

miRNAs. Meskipun demikian, sebagian besar miRNAs yang diregulasi

belum sepenuhnya dipelajari atau dipahami. Expressi miRNAs yang

diubah pada karsinoma nasofaring berpotensi terlibat dalam pathogenesis

KNF dengan mempengaruhi siklus sel pada tingkat yang berbeda dengan

menargetkan jalur genetik yang berbeda. (Lee 2016)

II.5.4 Peranan miRNA-21 pada Karsinoma Nasofaring

MiRNA-21 merupakan salah satu jenis miRNA yang sering

dihubungkan pada kanker kepala leher. Diantara semua jenis miRNA,

miRNA-21 merupakan suatu kunci onkogen, sejak ditemukan pada

berbagai kanker dan berperan dalam proses multipel malignansi seperti

meningkatkan proliferasi pada sel KNF, mensupresi apoptosis,

pertumbuhan tumor pada sel MCF-7 dan menurunkan invasi serta

metastasis pada sel MDA-MB-231.15

82

Peningkatan miRNA-21 dilaporkan dapat menjadi antiapotosis,

menyebabkan proliferasi sel, dan mendukung terjadinya invasi dan

metastasis. Beberapa target mRNA dari miRNA-21 telah diidentifikasi,

yaitu PTEN, RECK, NFIB, TPM-1, PDCD4 dan Maspin. Hui et al

melaporkan peningkatan miRNA (>3,5-fold) pada 78% sampel jaringan

dari tumor kepala leher karsinoma sel squamous yang menunjukkan

pentingnya miRNA-21 pada tumor kepala leher. dan tumor supressor

PDCD4 berhubungan terbalik dengan miRNA-21.

Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta oleh Bintoro menemukan

bahwa miRNA-21 ini mampu menarget banyak jenis mRNA termasuk

tumor supresor PTEN. Sehubungan dengan hal itu, miRNA-21 ini juga

menjadi indikator adanya suatu kelainan pada sel. Diketahui bahwa

semakin tinggi stadium kanker maka ekspresi miRNA ini semakin tinggi.

Berdasarkan hal tersebut maka miRNA ini memiliki potensi sebagai

biomarker diagnosis KNF dan model target terapi. Penelitian ini dilakukan

untuk melihat perbedaan relatif ekspresi hsa-miRNA-21-5p dan mRNA

PTEN berdasarkan stadium klinis yang terbagi kepada stadium awal (I dan

II) dan stadium lanjut (III dan IV) pada plasma pasien KNF. (Bintoro 2015)

miRNA-21 dapat menghambat apoptosis dengan menargetkan

pada gen phosphatase and tensin homolog (PTEN). PTEN merupakan

salah satu protein pro apoptotic dan telah diketahui miRNA-21

menargetkan gen PTEN pada beberapa jenis kanker. PTEN juga menjadi

target dari miRNA-21 dengan cara berikatan dengan bagian 3’ UTR dari

83

gen PTEN sehingga proses apotosis terhambat. Penelitian oleh

Ilioupoulos et al juga menunjukkan bahwa dengan menargetkan PTEN.

miRNA-21 akan menginduksi protein NF-κB, protein yang berperan dalam

inflamasi, sehingga membantu sel normal bertransformasi menjadi sel

kanker. miRNA-21 juga berperan dalam memberikan sel kanker

kemampuan untuk bermetastasis melalui regulasi PTEN pada jalur PI3K

protein kinase B (AKT) dan jalur extracellular signal regulated kinase. Bila

miRNA-21 menghambat ekspresi PTEN maka jalur AKT dan ERK akan

tidak terkendali menyebabkan karakteristik Epithelilal Mesencymal

Transtitional dan sel punca kanker. (Wargasetia 2016)

Salah satu cara miRNA-21 berperan dalam invasi kanker adalah

dalam meregulasi gen tissue inhibitor metalloproteinase-3 (TIMP3) yang

mengkode protein TIMP. Matriks metalloproteinase (MMP) merupakan

enzim yang berperan dalam meremodel organisasi sel. TIMP dalam hal ini

berperan menyeimbangkan MMP sehingga hal tersebut berdampak

terhadap metastasis kanker. (Wargasetia 2016)

II.5.5 Peranan miRNA-29c pada Karsinoma Nasofaring

Karakteristik miRNA yang pertama kali diketahui pada KNF adalah

miRNA-29c (Sengupta dkk). Ditemukan pula bahwa miRNA-29c berfungsi

sebagai supresif tumor, akan meningkatkan migrasi dan invasi sel KNF

melalui regulasi komponen dimatriks ekstraseluler.21 Sedangkan penelitian

oleh Zhang dkk menunjukkan bahwa penurunan miRNA-29c terjadi pada

peningkatan resistensi terhadap radioterapi dan kemoterapi berbasis

84

platinum melalui regulasi dari antiapoptotik Mcl-1 dan Bcl-2. Seperti

miRNA lainnya, miRNA-29c dapat bekerja melalui beberapa jalur untuk

menekan proliferasi, survival dan motilitas dari sel KNF.27

Pada Karsinoma nasofaring, miRNA-29c berfungsi sebagai tumor

suppressor. miRNA-29c dapat menghambat beberapa target yang

mempengaruhi sintesis dan fungsi matrix ekstraseluler. Selain itu miRNA-

29c juga memediasi efek supresi tumor melalui inhibisi T cell lymphoma

and metastasis 1 (TIAM1) gene, yang mendukung terjadinya migrasi dan

invasi sel kanker nasofaring. (Liu 2013)

Penelitian oleh Zang 2013 memperlihatkan berkurangnya ekspresi

miRNA-29c yang berhubungan dengan resistensi kanker nasofaring

terhadap kemoterapi dan radioterapi melalui percobaan secara in vivo dan

in vitro, melalui mediasi terhadap protein target MCl-1 (myeloid cell

leukemia 1) dan BCL-2 (B cell lymphoma 2) yang merupakan anti

apoptotic. (Zang 2013)

85

Kerangka Teori

Kerangka Konsep

Apoptosis Proliferasi sel kanker Metastasis

PTEN↓

miRNA-21

TIAM 1

miRNA-29c

PDCD4↓ TIMP-3↓ Mcl -1 BCL -2

Infeksi EBV Pola hidup Lingkungan

Kemo-Radioterapi

VEGF

86

Kerangka Konsep

Keterangan:

: Variabel independen

: Variabel antara

: Variabel dependen

: Variabel eksterna

Kemoradioterapi Neoadjuvan (Cisplatin

dan Paclitaxel ) dilanjutkan Radioterapi

Ekspresi

miRNA-21

Karsinoma

nasofaring

Proliferasi sel kanker

Karsinoma Invasi sel kanker

Nasofaring Apoptosis

Infeksi EBV

Lingkungan

Ekspresi

miRNA-29c

Pola Hidup

Radioterapi

87

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif (Sastroasmoro, 2011).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek kemoteradioterapi dan efek

radioterapi terhadap ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c dalam plasma

penderita Karsinoma Nasofaring.

III.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Unit rawat jalan THT-KL RSUP Dr.Wahidin

Sudirohusodo selama periode waktu Februari - November 2017.

III.3 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah pasien KNF stadium I, II, III, IV yang belum

diterapi, datang berobat di Unit rawat jalan THT-KL RSUP Dr.Wahidin

Sudirohusodo, selama periode waktu Februari - November 2017.

III.4 Sampel dan Cara Pengambilan Sampel

Sampel adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi kriteria

penelitian dan sampel penelitian diambil dari populasi penelitian yang

telah teridentifikasi dan memenuhi kriteria. Pengambilan sampel dilakukan

secara consecutive sampling, yaitu semua penderita karsinoma nasofaring

88

yang belum diterapi, baik kemoterapi/ radioterapi/ kemoradioterapi yang

memenuhi kriteria inklusi.

III.5 Perkiraan Besar Sampel

Besar perkiraan sampel dihitung dengan rumus berikut:

n =𝑍𝑎2𝑃𝑄

𝑑2

n =(1,96)2𝑥 0,4 𝑥 0,6

0,12

n = 20

Keterangan:

n = jumlah minimal sampel

zα = deviat baku normal untuk α/batas kemaknaan (5%) dalam tabel 2

arah yang memiliki nilai 1,96

p = proporsi KNF menurut kepustakaan yaitu 47,90 %

q = 1-p

d = tingkat ketetapan absolut yang dikehendaki sebesar 10%

Dengan demikian dalam penelitian ini dibutuhkan sampel sebesar 20

sampel.

III.6. Kriteria Inklusi, Ekslusi dan Drop Out

1. Kriteria Inklusi

a. Penderita KNF (semua stadium I,II,III,IV) yang telah ditegakkan

diagnosis berdasarkan pemeriksaan histopatologis.

b. Berusia >15 tahun

89

c. Tidak ditemukan adanya tumor / keganasan di organ lain.

d. Tidak mempunyai riwayat gangguan hemostatik

e. Penderita KNF dengan regimen kemoterapi Cisplatin+ Paclitaxel.

f. Bersedia menjadi sampel penelitian

2. Kriteria Eksklusi

a. Penderita KNF yang telah mendapatkan kemoterapi,

radioterapi, atau kemoradioterapi

3. Kriteria Drop Out

a. sampel darah lisis

b. pasien meninggal dunia sebelum protokol kemoradioterapi

selesai

c. pasien tidak datang kontrol setelah kemoradioterapi

d.pasien menolak melanjutkan terapi

e. ganti regimen kemoterapi (Carboplatin/ Docetaxel)

III.7 Ijin Subyek Penelitian

Ijin penelitian diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Biomedis pada

Manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dengan nomor

surat rekomendasi : 921/ H4.8.4.5.31/ PP36-KOMETIK/ 2017. Penderita

dan keluarga diberikan penjelasan tentang penelitian ini dan meminta

persetujuan penderita untuk berpartisipasi dalam penelitian ini (Informed

consent) untuk dijaikan sampel penelitian.

90

III.8 Metode Pengumpulan Data

III.8.1 Bahan dan Alat Penelitian

a. Alat diagnostik THT

b. Vacutainer

c. Tabung berisi EDTA 10%

d. Kapas + alkohol 70 %

e. Cool Box

f. Marker pen

g. miRCURY RNA Isolation kit-Biofluids, Exiqon

h. Universal cDNA synthesis kit II, Exiqon

i. Exilenr SYBR Green Master Mix, 2,5 mL. Exiqon

j. Hsa miR-16-5p (LNA primer set, reference gene)

k. Safe lock tube 1,5 ml

l. Pipet tip filter 1-10 µl

m. Pipet tip filter 20-200 µl

n. Pipet tip filter 100-1000 µl

o. White Tube PCR

III.8.2 Cara Kerja

a. Dilakukan anamnesis.

b. Dilakukan pemeriksaan THT-KL: otoskopi, rinoskopi anterior,

faringoskopi, dan pemeriksaan kelenjar kepala dan leher.

91

c. Dilakukan pemeriksaan CT-Scan Nasofaring potongan axial

reformat coronal.

d. Dilakukan Informed Consent untuk kemudian ditanda tangani.

e. Dilakukan biopsi nasofaring.

f. Bagi yang memenuhi kriteria inklusi, dimasukkan sebagai sampel

penelitian.

g. Sampel darah setelah diterapi kemoradioterapi neoadjuvan

(kemoterapi dengan regimen cisplatin dan paclitaxel, kemudian

dilanjutkan radioterapi) atau radioterapi kemudian diambil (± 2-5ml)

dimasukkan kedalam tabung yang telah diberi EDTA 10%. Setelah

itu disentrifuge pada kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Plasma

diambil dan disimpan pada lemari es -800C dan diberi label.

h. Sampel plasma kemudian dilakukan isolasi DNA, sintesis cDNA

dan pemeriksaan ekspresi secara kuantitatif dengan qRT-PCR

Biorad.

III.8.3 Teknik Pemeriksaan

Sampel dikoleksi dalam bentuk plasma dan disimpan pada suhu -

80 0C. Setelah sampel terkumpul dilakukan isolasi RNA lalu disintesis

menjadi cDNA kemudian dilakukan qPCR dan dianalisis menggunakan

software Genex Pro with Exiqon qPCR.

92

III.8.3.1 Isolasi RNA

Kit yang digunakan untuk isolasi RNA yaitu miRCURY RNA Isolation

Kit-Biofluid Exiqon. Mula-mula plasma dicairkaan kemudian disentrifugasi

selama 5 menit, supernant dipermukan kemudian dipipet 200 µl dan

dipindahkan ke tabung baru. Tambahkan 60 µl Lysis solution buffer

kemudian di vortex 5 detik dan diinkubasi dalam suhu ruang selama 3

menit. Kemudian tambahkan 20 µl protein precipitation solution BF, vortex

selama 5 detik, diinkubasi dalam suhu ruang selam 1 menit. Setelah itu

sentrifugasi 11000g, selama 3 menit. Pindahkan supernatant yang bening

ke dalam tabung 2 ml yang baru. Tambahkan 270 µl isopropanolol, vortex

selama 5 detik. Pasang microRNA mini spin kolom ke dalam tabung

koleksi, masukkan 300 µl sampel, inkubasi selama 2 menit pada suhu

ruang, kemudian sentrifugasi 11.000 g selama 30 detik lalu buang cairan

yang masuk ke dalam tabung koleksi, kemudian pasang kembali ke dalam

collection tube. Tambahkan 100 µl wash solution 1 BF ke kolom,

sentrifugasi 11.000g 30 detik, buang cairan dan letakkan kembali kolom

ke dalam collection tube. Tambahkan 700 µl wash solution 2 BF ke kolom,

sentrifugasi 11.000g selama 30 detik, buang kembali cairan pasang

kembali kolom. Tambahkan 250 µl wash solution 2 BF, sentrifugasi

11.000g selama 2 menit, buang cairan dan pasang kembai kolom.

Tambahkan 50µl rDNAse ke kolom, inkubasi selama 15 menit pada suhu

ruang. Tambahkan kembali 100 µl wash solution 1 BF ke kolom,

sentrifugasi 11.000g 30 detik, buang cairan dan letakkan kembali kolom

93

ke dalam collection tube. Tambahkan 700 µl wash solution 2 BF ke kolom,

sentrifugasi 11.000 g selama 30 detik, buang kembali cairan pasang

kembali kolom. Tambahkan 250 µl wash solution 2 BF, sentrifugasi 11.000

g selama 2 menit, buang cairan dan pasang kembai kolom. Ganti dengan

tabung baru 1,5 ml lalu tambahkan 25 µl RNAse free water, inkubasi

dalam suhu ruang selama 1 menit lalu sentrifugasi 11.000g selama 1

menit, dengan tube yang sama lalu ulangi perlakuan dengan

menambahkan 25 µl RNAse free water, inkubasi 1 menit suhu ruang lalu

sentrifugasi 11.000 g selama 1 menit. RNA yang diisolasi dapat disimpan

dalam lemari pendingin -20 0C.

III.8.3.2 Sintesis cDNA

Sintesis cDNA dilakukan dengan universal cDNA Synthesis kit II

(exiqon). Keluarkan RNA yang telah diisolasi dari lemari pendingin, alas

dengan ice pack. Lakukan homogenisasi dengan vortex dan spin down.

Siapkan reagen yang akan digunakan untuk pembuatan master mix yang

terdiri dari 5x reaction buffer (2 µl), nuclease free water (4,5 µl), enzyme

mix (1µl), Spike in (0,5µl) sehingga total 8µl. Homogenisasi dengan vortex

dan spin down (buat mix sesuai jumlah sampel yang akan digunakan),

simpan dalam wadah tabung yang dialasi ice pack. Bagi master mix ke

dalam tabung sebanyak 16µl per reaksi. Masukkan 4µl sampel RNA ke

dalam tabung kemudian spin down. Tabung dimasukkan ke dalam thermal

94

cycler Applied Biosystems dengan protokol sesuai tabel 3. Penyimpanan

hasil sintesis cDNA dilakukan dalam lemari pendingin -20 0C.

Temperatur Waktu

42 0C 60 menit

95 0C 5 menit

4 0C ∞

a. Real time qPCR

Bahan yang digunakan adalah Exilent SYBR Green master mix. 2,5 ml

(Exiqon), primer set (forward dan reverse) miRNA, cDNA yang telah

dibuat sebelumnya. Keluarkan cDNA dari lemari pendingin -200C.

Letakkan pada wadah tabung yang telah dialasi ice pack. Biarkan mencair

perlahan. Homogenisasi dengan vortex kemudian spin down. Encerkan

cDNA dengan RNAse free water dengan perbandingan 1:80, yaitu 5µL

cDNA dengan 395 µl RNAse free water. Homogenisasi dengan vortex

kemudiaan spin down. Simpan dalam wadah tabung yang dialasi ice pack.

Ambil SYBR Green master mix dan primer set miRNA dan primer kontrol

miR-16 dari lemari pendingin. Homogenisasi primer dengan vortex

kemudian spin down. Buat campuran master mix sebanyak 2 buah

(kontrol miRNA 16 dan miRNA yang menjadi target) (Wardana, 2016).

Campurkan 5µl SYBR Green master mix dan 1 µl PCR primer mix (untuk

masing-masing campuran dibedakan). Homogenisasi dengan vortex

kemudian spin down. Bagi master mix ke dalam masing-masing tabung

reaksi sebanyak 6 µl. masukkan 4 µl sampel cDNA yang telah diencerkan.

95

Set program real time qPCR Biorad CFX 96 sebagai berikut: Denaturasi

95 0C (10 menit), Amplifikasi 40 siklus ,95 0C ( 10 detik), 60 0C (1 menit

ramp-rate 1,6 0C/detik, Optical read, Analisis kurva leleh pilih ya). Lakukan

analisa dengan software Biorad CFX Manager software untuk

memperoleh nilai Quantificatiaon cycle (Cq), quantification curve dan

melting curve.

Data kemudian dimasukkan dalam software Microsoft excel untuk

menghitung hasil kuantifikasi relatif PCR dengan metode 2-ΔΔCq (Livak KJ,

2001)

ΔCq miRNA21 = Cq miRNA21- Cq reference gen (miRNA16)

ΔCq miRNA29c = Cq miRNA29c - Cq reference gen (miRNA16)

ΔΔCq = ΔCq pasien- ΔCqkontrol

Fold change = -2 ΔΔCq

III.9 Identifikasi Variabel

Dalam penelitian ini beberapa variabel dapat diidentifikasi berdasarkan

peran dan skalanya :

1. Variabel bebas adalah Efek Kemoradioterapi dan Radioterapi.

2. Variabel tergantung adalah Ekspresi MiRNA-21 dan MiRNA-29c.

3. Variabel antara adalah Karsinoma Nasofaring Gen target (PTEN,

TIAM1, MCL1, BCL2, PDCD4)

4. Variabel eksterna adalah genetik, infeksi EBV dan Pola hidup

96

III.10 Definisi Operasional & Kriteria Objektif

1. Penderita karsinoma nasofaring (KNF) adalah penderita yang

secara histopatologis menderita karsinoma nasofaring

- Stadium dini : Karsinoma nasofaring stadium I-II

berdasarkan American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010

- Stadium lanjut : Karsinoma nasofaring stadium III-IV

berdasarkan American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010

2. Penderita KNF post terapi adalah penderita yang sudah terdiagnosa

KNF berdasarkan pemeriksaan histopatologis dan telah ditentukan

stadiumnya yang mendapatkan terapi sesuai protokol, antara lain

radioterapi untuk stadium dini dan kombinasi (kemo-radioterapi) untuk

stadium lanjut.

3. Kontrol adalah Pasien yang sudah terdiagnosa KNF berdasarkan

pemeriksaan histopatologis, tetapi belum mendapatkan therapy sesuai

protokol (kemo-radioterapi).

4. Ekspresi miRNA-21 adalah jumlah kuantitatif miRNA-21 yang

diperiksa dalam plasma darah, melalui pemeriksaan qRT-PCR,

berperan dalam proses multipel malignansi seperti meningkatkan

proliferasi pada sel KNF, mensupresi apoptosis, pertumbuhan tumor

dan menurunkan invasi serta metastasis.

5. Ekspresi miRNA-29c adalah jumlah kuantitatif miRNA-29c yang

diperiksa dalam plasma darah, melalui pemeriksaan qRT-PCR.

miRNA-29c berfungsi sebagai supresif tumor, akan meningkatkan

97

migrasi dan invasi sel KNF melalui regulasi komponen dimatriks

ekstraseluler.

6. Plasma darah adalah komponen darah berbentuk cairan berwarna

kuning yang didapatkan setelah darah disentrifugal.

7. Isolasi DNA adalah RNA yang diisolasi dengan menggunakan

miRCURY RNA Isolation Kit-Biofluid Exiqon.

8. Sintesis DNA adalah 4 µl hasil sintesis cDNA dengan menggunakan

universal cDNA Synthesis kit II Exiqon.

9. Refference gen adalah miR-16 (hsa-miR16-5p)

10. qRT-PCR adalah Polimerase Chain Reaction real time Biorad C1000

11. Derajat Histopatologi adalah gambaran histopatologi jaringan biopsi

Berdasarkan kriteria menurut WHO tahun 1991, hanya dibagi atas 2

tipe, yaitu :

a. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi / Keratinizing Squamous

Cell Carcinoma ( WHO tipe I ).

b. Karsinoma sel skuamosa non keratinisasi / Non Keratinizing

Carcinoma ( WHO tipe II ). Tipe ini dibagi lagi menjadi

berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi.

12. Tumor (T) adalah: perluasan tumor yang dinilai melalui hasil CT-scan,

dengan kriteria berdasarkan AJCC 2010

T1: tumor terbatas di nasofaring atau meluas ke orofaring

dan/kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring

T2: tumor dengan perluasan ke daerah parafaring

98

T3: tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak

dan/atau sinus paranasal

T4: tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau

terlibatnya saraf kranial, hipofaring, orbita, atau

perluasan ke fossa infratemporal/ ruang mastikator

13. Nodul (N) adalah pembesaran kelenjar getah bening leher

berdasarkan pemeriksaan fisis dengan kriteria AJCC 2010

N0: tidak ada metastasis ke KGB regional

N1: metastase kelenjar getah bening leher unilateral dengan

diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa

supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar

getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm

atau kurang

N2: metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter

6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular

N3: metastase pada kelenjar getah bening di atas 6 cm

dan/atau pada fossa supraklavikular atau diameter terbesar

lebih dari 6 cm, atau meluas ke fossa supraklavikular

14. Metastasis jauh ( M ): Invasi tumor ke organ lain melalui pemeriksaan

bone survey dan USG abdomen

M0 : tidak ada metastase jauh

M1 : ada metastase jauh

99

15. Kemoterapi neoadjuvan : Merupakan salah satu kombinasi terapi

yang dimana pemberian kemoterapi neoadjuvant yang dimaksud

adalah pemberian sitostatika lebih awal yang dilanjutkan pemberian

radiasi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan untuk mengecilkan tumor

yang sensitif sehingga setelah tumor mengecil akan lebih mudah

ditangani dengan radiasi dan telah banyak dipakai dalam

penatalaksanaan kanker kepala dan leher untuk menurunkan beban sel

tumor sistemik pada saat terdapat sel tumor yang resisten.

16. Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna

dengan menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-

sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar

tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Radioterapi masih

merupakan terapi pilihan pada kasus KNF yang belum disertai tanda-

tanda metastasis jauh.

100

III.11 ALUR PENELITIAN

III.12 Biaya Penelitian

Pemeriksaan miRNA-21 dan miRNA-29c dengan qRT-PCR

Informed concent

Memenuhi kriteria

Inklusi , Eksklusi dan

Drop out

Penentuan Stadium KNF

Isolasi DNA

Pasien dengan gejala KNF

Sintesis cDNA

DATA

Hasil Analisis DATA

Anamnesis Pemeriksaan fisis THT Ct-Scan nasofaring coronal reformat axial Pemeriksaan histopatologi ( Biopsi Nasofaring )

Kelompok 1 (kontrol): KNF (+)

Kelompok 2 Stadium Lanjut :Kemoradioterapi

Kelompok 3 Stadium Dini : Radioterapi

USG Abdomen Bone survey

Diikuti sampai terapi selesai lengkap

Diikuti sampai terapi selesai lengkap

101

Biaya penelitian dan pemeriksaan ditanggung oleh peneliti sendiri dan tidak

dibebankan kepada pasien.

III.13 Pengolahan dan Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari hasil penelitian dicatat dan dikelompokkan

berdasarkan tujuan dan jenis data. Hasil analisis ekspresi fold change dari target

miRNA-21 dan miRNA-29c disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Kemudian dipilih

analisis T-test dan p value 2-tail dilakukan untuk melihat perbedaan ekspresi antara

penderita KNF post kemo-radioterapi dengan pre terapi.

102

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RS. Wahidin Sudirohusodo, Laboratorium RS.

Universitas Hasanuddin dan Laboratorium Universitas Gajah Mada sejak Februari-

November 2017. Didapatkan total 32 plasma darah pasien KNF. Pasien dibagi dalam 3

kelompok: kelompok 1 yaitu 16 plasma darah pasien KNF pre terapi (kontrol),

kelompok 2 yaitu 9 plasma darah pasien KNF post kemoradioterapi, kelompok 3 yaitu 7

plasma darah pasien KNF post Radioterapi. Adapun karakteristik dari sampel

penelitian sebagai berikut.

1. Karakteristik subjek penelitian

Variabel n= 16 Persen (%)

Umur :

20 – 29 thn 1 6,25

30 – 39 thn 4 25

40 – 49 thn 9 56,25

50 – 59 thn 2 12,5

≥60 thn 0 0

Jenis Kelamin :

Laki-laki 9 56,25

Perempuan 7 43,75

Suku :

Bugis 7 43,75

Kaili 2 12,5

103

Toraja 1 6,25

Makassar 4 25

Selayar 1 6,25

Mandar 1 6,25

Riwayat Keluarga:

Ya 2 12,5

Tidak 14 87,5

Riwayat Merokok:

Merokok 4 25

Tidak merokok 12 75

Tabel 1. Distribusi sampel penderita KNF menurut umur, jenis kelamin, suku bangsa,

riwayat keluarga dan riwayat merokok.

Distribusi sampel penderita KNF menurut umur dan jenis kelamin menunjukkan

bahwa umur sampel bervariasi, paling banyak pada kelompok umur 40-49 tahun

(56,25%), lebih banyak sampel laki-laki (56,25%) dibandingkan perempuan (43,75%),

serta paling banyak dari suku Bugis (43,75%). Sampel yang memiliki riwayat keluarga

dengan penyakit yang sama sebanyak 12,5% dan yang tidak memiliki riwayat keluarga

dengan penyakit yang sama sebesar 87,5%. Sampel yang memiliki riwayat merokok

sebesar 25%, dan riwayat tidak merokok sebesar 75%.

Variabel n= 16 Persen (%)

Stadium KNF :

Stadium I 1 6,25

Stadium II 6 37,5

Stadium III 6 37,5

Stadium IVA 1 6,25

Stadium IVB 2 12,5

Stadium IVC 0 0

104

Staging KNF

Dini 7 43,75

Lanjut 9 56,25

Derajat Histopatologi :

WHO Tipe I 1 6,25

WHO Tipe II 15 93,75

Tabel 2. Karakteristik sampel pasien KNF

Karakteristik pasien terbanyak bahwa dari 16 pasien KNF, paling banyak

penderita KNF stadium II dan III (37,5%). Berdasarkan staging KNF paling banyak

ditemukan pada staging lanjut ( 56,25% ). Berdasarkan derajat histopatologis dari

penderita KNF paling tinggi pada WHO tipe II (93,75%).

2. Kuantifikasi dengan menggunakan qRT-PCR

Metode quantifikasi dilakukan dengan menggunakan primer miRCURY LNA hsa-

miRNA-21-5p (cat no. 204230) dengan sequence primer

UAGCUUAUCAGACUGAUGUUGA, hsa-miRNA-29c-3p (Cat no. 204729) dengan

sequence primer UAGCACCAUUUGAAAUCGGUUA dan hsa-miRNA-16-5p sebagai

reference gene (Cat no. 205702) dengans sequence primer

UAGCAGCACGUAAAUAUUGGCG. Quantifikasi level ekspresi dilakukan dengan

menggunakan miRCURRY SYBR Green Master mix (Exiqon, Denmark). Mesin qPCR

menggunakan BIORAD CFX 96 dan dianalisis menggunakan CFX Manager 96 dan

GraphPad.

Hasil kuantifikasi didapatkan 3 grafik yang dihasilkan dari kuantifikasi PCR yang

dilakukan dengan menggunakan BIORAD dan dianalisis dengan menggunakan

software CFX 96 Manager software yaitu grafik amplification, melt curve and melt peak.

105

Telah dibedakan setiap grafik berdasarkan ketiga warna target yaitu merah = miRNA-

21, biru = miRNA-29c dan hijau merupakan reference gene dari miRNA-16. Hasil dari

ekspresi ketiga miRNA yang ditentukan dengan nilai quantifikasi cycle (Cq) pada grafik

amplifikasi menunjukkan bahwa miRNA yang telah diisolasi dari sampel plasma

berhasil di kuantifikasi, sedangkan untuk melihat spesifisitas dapat dilihat pada grafik

melt peak yang menunjukkan hanya 1 peak pada setiap miRNA sehingga dapat

diketahui bahwa tidak terdapat inhibitor, kontaminan ataupun pengganggu lainnya yang

mempengaruhi proses amplifikasi.

a. Kurva Amplifikasi

Gambar 1. Kurva Hasil Amplifikasi dengan qRT-PCR. (Merah: miRNA-21, Biru: miRNA-29c dan Hijau: merupakan reference gene dari miRNA-16)

Pada gambar 1 tampak hasil amplifikasi dari seluruh sampel dalam satuan RFU

(Relatif Fluorosensi Unit). Hasil fluoresensi yang ditangkap pada setiap siklus

kuantifikasi diterjemahkan ke dalam bentuk kurva. Semakin kekiri atau semakin awal

fluorosensi ditangkap, menunjukkan semakin tinggi level ekspresi miRNA

b. Kurva leleh (Melt Curve)

106

Gambar 2. Kurva leleh (Melting Curve) dengan qRT-PCR. (Merah: miRNA-21, Biru: miRNA-29c dan Hijau: merupakan reference gene dari miRNA-16)

Pada gambar 2 tampak kurva leleh (Melt Curve), dimana semakin tinggi

temperature, maka sampel akan terdenaturasi dan fluoresensi yang ditangkap akan

habis. Kurva ini menunjukkan total reaksi yang terjadi, sehingga kita dapat mengetahui

bahwa persiapan sampel cukup baik.

c. Puncak kurva leleh

Gambar 3. Puncak kurva leleh (Merah: miRNA-21, Biru: miRNA-29c dan Hijau: merupakan reference gene dari miRNA-16)

Kurva leleh pada gambar 3 merupakan grafik yang dapat digunakan untuk

melihat sensivitas dan spesifitas target amplifikasi. Pada penelitian ini tampak total

setiap reaksi memiliki puncak masing-masing.

107

3.Analisa Data

Hasil quantifikasi miRNA telah dianalisis dengan menggunakan software lisensi

GenEx 6 untuk mengetahu deskripsi dari hasil ekspresi miRNA dengan qPCR. Analisis

yang dilakukan yaitu meliputi pre-processing untuk melakukan normalisasi data, analisis

reference gene, analisis level ekspresi (Fold Change) dengan menggunakan metode

relatif kuantifikasi, dan analisis statistik.

Reference gene merupakan gen kontrol yang dibutuhkan untuk menganalisis

level ekspresi miRNA berbasis dengan metode relatif quantifikasi. Referene gene yang

digunakan dalam penelitian miRNA yaitu hsa-miRNA-16-5p yang diketahui merupakan

salah satu gene yang stabil pada pasien KNF dan individu sehat yang telah dilakukan

oleh tim peneliti FK UGM. Disamping itu, kami mencoba menganalisis penggunaan hsa-

miR-16-5p sebagai reference gene dengan menggunakan normfinder dan didapatkan

bahwa has-miRNA-16-p adalah yang terbaik sebagai reference gen.

Analisis level ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c dianalisis dengan

menggunakan livak method untuk mengetahui perubahan metode dengan

membandingkan antara pasien KNF post kemo-radioterapi dengan kontrol (pre terapi).

Gambar 4: Hasil analisis ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c post kemoradioterapi dengan preterapi.

108

Variabel

Post Kemoradioterapi (n=9) Pre terapi(n=9)

p Median

(Min-Max) Mean SD

Median

(Min-Max) Mean SD

Ekspresi

miRNA-

21

25,90

(24,21-29,57)

26,28 3,05

28,09

(25,85-30,34)

27 1,89 0,81

Ekspresi

miRNA-

29c

31,13

(25,58-36,69) 32,10 3,71

30,18

(27,25-33,12) 30,45 1,75 0,81

Tabel 3. Perbandingan ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c pada plasma darah penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah kemoradioterapi. Data disajikan dalam bentuk nilai mean dan SD (standar deviasi). Nilai p>0,05 dinyatakan terdapat perbedaan tidak bermakna, diuji dengan Dependent Sample T- test.

Tabel 3 menunjukkan bahwa, rata-rata ekspresi miRNA-21 pada pasien

karsinoma nasofaring post kemoradioterapi adalah 26,28 menurun dibandingkan

dengan rata-rata miRNA-21 pre terapi yaitu 27,76. Hasil uji statistik menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ekspresi miRNA-21 pada

penderita karsinoma nasofaring pre terapi dan post kemoradioterapi (p>0,05).

Sedangkan rata-rata ekspresi miRNA-29c pada pasien karsinoma nasofaring post

kemoradioterapi adalah 32,10 meningkat dibandingkan rata-rata miRNA-29c pre terapi

yaitu 30,45. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang tidak

bermakna antara ekspresi miRNA-29c pada penderita karsinoma nasofaring pre terapi

dan post kemoradioterapi (p>0,05).

109

Gambar 5. Hasil analisis ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c post Radioterapi dengan preterapi.

Variabel

Post Radioterapi (n=7) Pre Terapi (n=7)

P Median

(Min-Max) Mean SD

Median

(Min-Max) Mean SD

Ekspresi

miRNA-

21

27,33

(22,58-32,08) 26,89 3,71

27,79

(23,58-32) 26,95 2,92 0,10

Ekspresi

miRNA-

29c

32,02

(29,94-38,22) 32,03 3,10

30,87

(27,56-34,19) 32,46 2,69 0,05

Tabel 4. Perbandingan ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c pada plasma darah penderita

karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah Radioterapi. Data disajikan dalam bentuk nilai mean dan SD (standar deviasi). Nilai p<0,05 pada perbandingan ekspresi miRNA-29c Post Radioterapi dinyatakan terdapat perbedaan bermakna, sedangkan nilai p>0,05 pada miRNA-21 terdapat perbedaan tidak bermakna diuji dengan Dependent Sample T- test.

Tabel 4 menunjukan bahwa, rata-rata ekspresi miRNA-21 pada pasien

karsinoma nasofaring post radioterapi adalah 26,89 menurun dibandingkan dengan

rata-rata miRNA-21 pre terapi yaitu 26,95. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ekspresi miRNA-21 pada penderita

karsinoma nasofaring pre terapi dan post Radioterapi (p>0,05). Sedangkan rata-rata

ekspresi miRNA-29c pada pasien karsinoma nasofaring post radioterapi adalah 32,03

110

menurun dibandingkan rata-rata miRNA-29c pre terapi yaitu 32,46. Hasil uji statistik

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara ekspresi miRNA-29c

pada penderita karsinoma nasofaring pre terapi dan post Radioterapi (p≤0,05).

Gambar 6. Hasil analisis ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c post kemoradioterapi dengan Radioterapi.

Variabel

Kemoradioterapi (n=9) Radioterapi (n=7)

P Median

(Min-Max) Mean SD

Median

(Min-Max) Mean SD

Ekspresi

miRNA-

21

25,90

(24,21-29,57) 26,28 3,05

27,33

(22,58-32,08) 26,89 3,71 0,38

Ekspresi

miRNA-

29c

31,13

(25,58-36,69) 32,10 3,71

32,02

(29,94-38,22) 32,03 3,10 0,19

Tabel 5. Perbandingan ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c pada plasma darah penderita karsinoma nasofaring setelah kemoradioterapi dengan radioterapi. Data disajikan dalam bentuk nilai mean dan SD (standar deviasi). Nilai p>0,05 dinyatakan terdapat perbedaan tidak bermakna, diuji dengan Independent Sample T- test.

Tabel 5 menunjukan bahwa, rata-rata ekspresi miRNA-21 pada pasien karsinoma

nasofaring Post Kemoradioterapi adalah 26,28 menurun dibandingkan dengan rata-

rata miRNA-21 Post Radioterapi yaitu 26,89. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ekspresi miRNA-21 pada penderita

karsinoma nasofaring Post Kemoradioterapi dan Post Radioterapi (p>0,05). Sedangkan

111

rata-rata ekspresi miRNA-29c pada pasien karsinoma nasofaring Post Kemoradioterapi

adalah 32,10 meningkat dibandingkan dengan rata-rata miRNA-29c Post Radioterapi

yaitu 32,03. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang tidak

bermakna antara ekspresi miRNA-29c pada penderita karsinoma nasofaring Post

Kemoradioterapi dan Post Radioterapi (p>0,05).

IV.2 Pembahasan

Pada penelitian sebelumnya 27 sampel plasma darah penderita KNF pre terapi

berhasil diselesaikan, dengan hasil miRNA-21 meningkat pada pasien KNF dan

miRNA-29c menurun pada pasien KNF. Penelitian kemudian kami lanjutkan dan diikuti

selama proses terapi sampai selesai. Selama proses kemoradioterapi berlangsung 10

pasien meninggal dunia sementara kemoterapi, 8 pasien menolak untuk dilakukan

kemoterapi dan radioterapi. Sehingga pada penelitian ini hanya 9 pasien yang diikuti

sampai selesai dan diambil plasma darah post kemoradioterapinya. Kemudian kami

mengambil tambahan 7 pasien KNF baru pre terapi yang kami ikuti selama proses

radioterapinya sampai selesai. Sehingga terkumpul 16 pasien yang kami ikuti dari

preterapi sampai post terapi (kemo-radioterapi) selesai dan kami ambil sebagai sampel

plasma darah untuk diperiksa miRNA-21 dan miRNA-29c, yang dapat dilanjutkan

sampai ke pemeriksaan qPCR.. Mula-mula dilakukan isolasi DNA dan sintesis DNA di

laboratorium Rumah Sakit Universitas Hasanuddin. Sampel dalam bentuk cDNA

kemudian dikirim ke laboratorium biologi molekuler Universitas Gajah Mada untuk

112

dilakukan pemeriksaan qPCR, yang hasilnya nanti akan dibandingkan dengan sampel

pre terapi KNF pasien yang sama dengan post terapi (kemo-radioterapi)

Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak menderita KNF dibandingkan

perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Djufri (2014),

didapatkan laki-laki lebih banyak dan penelitian oleh Savitri dan Haryana (2015), bahwa

laki-laki lebih banyak menderita KNF dibandingkan perempuan.

Kelompok umur penderita KNF yang terbanyak adalah pada rentang umur 40-49

tahun yaitu 56,25%. Rata-rata umur penderita pada penelitian ini adalah 45,5 tahun.

Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya tidak jauh berbeda yang dilaporkan oleh

Djufri (2014), yaitu 48,8 tahun. Suku terbanyak yaitu suku Bugis sebanyak 43,75%.

Hampir sama dengan penelitian yang dilakukan di Makassar oleh Savitri dan Haryana

(2015), yaitu sekitar 41% dan juga penelitian Djufri (2014), yaitu sekitar 44,3%.

Distribusi untuk derajat histopatologi penderita KNF menurut WHO 1991

didapatkan terbanyak pada WHO tipe II sebanyak 93,75%. WHO tipe II merupakan

jenis yang terbanyak didapatkan di Asia Tenggara. Pada penelitian ini paling banyak

pada stadium II dan III berdasarkan stadium KNF menurut AJCC didapatkan terbanyak

pada stadium II dan III yaitu 37,5%.

MiRNA merupakan molekul kecil non-coding RNA yang dapat menarget protein

yang mengkode mRNA dengan mempengaruhi post transkripsi, translasi dan

degradasi dari mRNA. MiRNA dilaporkan berkorelasi terhadap proses karsinogenesis

pada manusia yaitu dengan mengambil peran dalam mempengaruhi proliferasi,

apoptosis, migrasi dan invasi sel kanker.

113

MiRNA dapat dianalisa dengan metode Real Time PCR (qRT-PCR), microarray

maupun next generation sequencing. Namun Analisis hasil ekspesi miRNA (miRNA)

dengan menggunakan metode quantifikasi qRT-PCR memberikan beberapa kelebihan

dibandingan dengan metode quantifikasi lainya sepeti microarray ataupun next

generation sequencing terutama pada tingkatan sensitivitas dan spesifitas amplifikasi

target, dengan menggunakan jumlah sampel yang sedikit dapa memberikan gambaran

dengan tingkatan validitas yang tinggi.

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa miRNA-21 dapat dideteksi pada

plasma darah manusia. Ekspresi relatif miRNA-21 post kemoradioterapi dan radioterapi

menurun dibandingkan pre terapi. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya pada

plasma KNF juga menginvestigasi adanya penurunan ekspresi miRNA 21 pada

penderita KNF post kemo-radioterapi dengan respon terapi komplit(Herawati 2015).

Akan tetapi pada penelitian ini didapatkan 5 sampel plasma darah pasien KNF post

kemo-radioterapi yang ekspresi miRNA-21 meningkat, hal ini disebabkan karena tidak

resposif terhadap terapi (hal ini di lihat dari pertumbuhan nodul jugularis profunda

superior) dan terjadi mutasi biogenesis.

Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya beberapa target gen yang

dipengaruhi oleh miRNA-21 menyebabkan terjadinya proliferasi dan invasi sel.

Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Meng dkk 2007 menunjukkan bahwa

PTEN (Phospatase and tensin homolog) merupakan target langsung miRNA-21 yang

berkontribusi terhadap invasi sel. (Meng dkk, 2007). miRNA-21 berperan terhadap

resistensi terhadap apoptosis dan kemoterapi dengan langsung menargetkan PDCD4

(Yang GD dkk 2013)

114

Adanya perbedaan dalam beberapa penelitian perlu mengkaji faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi regulasi miRNA-21 dan membandingkan regulasi famili miRNA

yang lebih berperan pada karsinoma nasofaring.

Dari hasil penelitian ekspresi miRNA-29c pada pasien KNF post kemo-radioterapi

didapatkan meningkat dibanding pre terapi. Sama dengan hasil sebelumnya yang

mendapatkan peningkatan ekspresi miRNA 29c pada plasma darah penderita KNF post

terapi (Wardana, 2016). Akan tetapi pada penelitian ini didapatkan 1 sampel plasma

darah pasien KNF post radioterapi yang ekspresi miRNA-29c menurun, hal ini

disebabkan karena tidak resposif terhadap terapi dan terjadi mutasi biogenesis,

sehingga perlu pemeriksaan lanjut untuk melihat mutasi didaiser. MiRNA-29c dapat

bertindak sebagai tumor suppressor. MiRNA-29c dapat menekan progresifitas sel

kanker dengan mempromosikan apoptosis dan meningkatkan sensitivitas terhadap obat

kemoterapi (Jiang et al,2014). Ekspresi miRNA-29c juga berhubungan dengan regulasi

VEGF(Chen et al, 2009). MiRNA-29c juga memperlihatkan peningkatan selama fase

diferensiasi osteoblast pada percobaan in vitro(Kapinas K, 2009) membuat hipotesa

bahwa miR-29a dan miRNA-29c secara positif meregulasikan differensiasi osteoblast

dengan mengontrol ekspresi osteonectin pada target organ (Kapinas, 2009). Tetapi

ternyata tetap berbeda bila pasien datang dengan stadium lanjut.

IV.3 Keterbatasan Penelitian

Sehubungan dengan terkendala lamanya proses penelitian ini dilakukan (diikuti

proses kemo-radioterapi sampai selesai) sehingga beberapa pasien kami drop out

dikarenakan meninggal dunia, pasien tidak datang kontrol, pasien menolak untuk

115

melanjutkan terapi dikarenakan keterbatasan ekonomi dan juga pasien ganti regimen

kemoterapi. Adapun keterbatasan yang lain, yaitu masih kurangnya penelitian tentang

ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c pada penderita KNF terutama di Indonesia, oleh

karena itu peneliti masih sulit untuk mendapatkan referensi-referensi tentang penelitian

yang sama di Indonesia, oleh karena itu peneliti berusaha untuk memberikan sedikit

gambaran tentang peranan miRNA-21 dan miRNA-29c pada KNF. Namun demikian

peneliti mempunyai keterbatasan antara lain sarana dan prasarana laboratorium biologi

molekuler yang kurang memadai di Universitas Hasanuddin Makassar, sehingga

memerlukan pemeriksaan lanjutan dibantu oleh tim Universitas Gajah Mada Yogyakarta

yang pada akhirnya membutuhkan waktu penelitian yang lebih lama dan meningkatkan

biaya penelitian.

116

BAB V

PENUTUP

V.1 KESIMPULAN

1. Terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ekspresi miRNA-21 pada

penderita karsinoma nasofaring sebelum terapi dan sesudah kemoradioterapi.

2. Terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ekspresi miRNA-29c pada

penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah kemoradioterapi.

3. Terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ekspresi miRNA-21 pada

penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah Radioterapi.

4. Terdapat perbedaan yang bermakna antara ekspresi miRNA-29c pada penderita

karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah Radioterapi.

5. Terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ekspresi miRNA-21 pada

penderita karsinoma nasofaring Post Kemoradioterapi dan Post Radioterapi.

6. Terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ekspresi miRNA-29c pada

penderita karsinoma nasofaring Post Kemoradioterapi dan Post Radioterapi.

V.2 Saran

1. Pemeriksaan miRNA-29c dapat dipertimbangkan sebagai metode respon terapi

dan prediktif prognosis pada pasien karsinoma nasofaring.

2. Perlu ditentukan rasio miRNA-21 dan miRNA-29c terhadap karsinoma

nasofaring.

3. Perlu penelitian lanjut untuk melihat mutasi biogenesis pada sampel yang 5

sampel post kemo-radioterapi dan 1 sampel post radioterapi lengkap.

117

DAFTAR PUSTAKA

Bintoro, S. 2015. Perbedaan eskpresi hsa-miRNA-21-5p dan mRNA PTEN berdasarkan

stadium klinis pada plasma darah pasien karsinoma nasofaring. Tesis dan Disertasi Universitas Gajah Mada

Bruce, J.P., Liu F.F. 2014. MicroRNAs in nasopharyngeal carcinoma. Chinese journal of

cancer. 33(11): 539-544 He, M.L., Luo M.X, Lin M.C., Kung H.F., 2012. MicroRNAs: potential diagnostic markers

and therapeutic targets for EBV-associated nasopharyngeal carcinoma. Biochimica et biophysica,1-10

Hui A.B., lenarduzzi M., Krushel T., Waldron L., Pintilie M., Shi W., et.al., 2010.

Comprehensive microRNA profiling for head and neck squamous cell carcinomas. American association for cancer research. 16 (4):1129-1139

Iliopoulos D., jaeger H.A., Hirsch M.L, Bulyk K. 2010. STAT3 activation of miRNA-21

and miR-181b-1, via PTEN and CYLD, are part of the epigenetic swich linking inflammation to cancer. Mol Cell (4) 39: 493-506

Kuhuwael F.G., 2001. Aspek klinis karsinoma nasofaring di RSU Dadi dan RS.Wahidin

Sudirohusodo tahun 1990-1999. Disajikan dalam Pertemuan Ilmiah Berkala XV. Fakultas Kedokteran UNHAS Makassar 5 September 2001.

Kuhuwael F.G., 2010. Perbandingan Kasus Kanker Kepala Leher dalam Dua Dekade di

Makassar. Makalah disajikan dalam KONAS PERHATI XV Makassar 3-5 Juli 2010.

Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, Karsinoma Nasofaring, Modul Onkologi 2010.1-51. Lee K.T., Tan J.K., Lam A.K, Gan S.Y., MicroRNAs serving as potential biomarkers and

therapeutic targets in nasopharyngeal carcinoma: a critical review, Critical Reviews in Oncoloy/Hematology, 1-9.

Liu, N., Tang, L.L., Sun, Y., Cui, R.X., Wang, H.Y., Huang, B.J., et al., 2013. MiR-29 c

suppresses invasion and metastasis by targeting TIAM1 in nasopharyngeal carcinoma. Cancer Lett. 329, 181–188.

Li Y., Yan L., Zhang W., Wang H., Chen W., Hu N., et.al. 2014. miRNA-21 inhibitor suppresses proliferation and migration of nasopharyngeal carcinoma cells through down-regulation of BCL2 expression. Int J Clin Exp Pathol. 7(6):3478-3487.

118

Luan J., Wang J., Su Q., Chen X., jiang G., Xu X., 2015. Meta –analysis of the differentially expressed microRNA profiles in nasopharyngeal carcinoma. Oncotarget. 7 (9). 10513-10521.

Massardi N.A., Kusmardi., 2014. MikroRNA-21 dan peranannya pada kanker payudara.

Medicinus, 4 (6), 12-24. Miao B.P., Zhang R.S., Fu Y.T., Zhao M., Liu Z.G, Yang P.C., 2014. Nasopharyngeal

cancer-derived microRNA-21 promotes immune suppressive B cells. Cellular & Molecular Immunology, 1–7.

Ou H., Li Y., Kang M., Activation of miRNA-21 by STAT3 Induces Proliferation and

Suppresses Apoptosis in Nasopharyngeal Carcinoma by Targeting PTEN Gene. Plos One. 9 (11). 1-10.

Pieter N.A.L.,2013.. Profil Iga(Vca-P18+Ebna1) Dan Viral Load DNA EBV Sebagai

Faktor Resiko Keluarga Penderita Karsinoma Nasofaring Dengan EBV Positif. Disertasi tidak diterbitkan. Program Pasca Sarjana UNHAS. 1-50.

Rickinson A.B., and Moss D.J.1997. Human Cytotoxic T Lymphocyte Response to

Epstein Barr Virus Infection.Ann Rev.Imm. 15:407-12. Roezin A., Adham M. (2007). Karsinoma nasofaring. Dalam:Soepardi EA, Iskandar N,

Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan:Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke 6. Balai Penerbit FKUI. Jakarta p. 182-7

Sastroasmoro S., Ismael S. (2011). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis edisi ke-4.

Sagung Seto. 130-144. Savitri E., Haryana MS. (2015). Expression of interleukin-8, interleukin-10 and Ebstein-

Barr Viral Load as prognostic indicator in nasopharyngeal carcinoma. Global journal of Health science.Vol 7(3) 362-372.

Sengupta, S., den Boon, J.A., Chen, I.H., Newton, M.A., Stanhope, S.A., Cheng, Y.J.,et

al., 2008. MicroRNA 29c is down-regulated in nasopharyngeal carcinomas,up-regulating mRNAs encoding extracellular matrix proteins. Proc. Natl. Acad.Sci. U. S. A. 105, 5874–5878.

Spence T., Bruce J., Yip K.W., Liu F.F., 2015. MicroRNAs in nasopharyngeal

carcinoma. Chin clin Oncol, 5(2).1-11. Sun Z.F., Li S.G., Kaufmann A.M., Albers A.L. 2014., miRNA-21 increases the

programmed cell death 4 gene-regulated cell proliferation in head and neck squamous carcinoma cell lines. Oncology Reports 32: 2283-2289.

119

Tan G., Tang X., tang F., 2015. The role of microRNAs in nasopharyngeal carcinoma. Tumor Biol. 69-79.

Tran N., Mclean T., Zhang X., Zhao C.J, Thomson J.M., O’brien C., et al., 2007.

MicroRNA expression profiles in head and neck cancer cell lines. Biochemical and Biophysical Research communication. 358. 12-17.

Wargasetia TL.,2016. The potential of miRNAs as biomarker and therapy targets for

cancer. Journal of medicine and health. 1, 277-286. Zhang J.X., Qian D., Wang F.W., Liao D.Z., Wei J.H., Tong Z.T., et.al. 2013. MicroRNA-

29c enhances the sensitivities of human nasopharyngeal carcinoma to cisplatin-based chemotherapy and radiotherapy. Cancer Letters. 91-98.

120

Lampiran 2 : Data hasil analisis perbandingan ekspresi miRNA-21 pre terapi dengan post kemoradioterapi hsa-miRNA-21-5p (Pre

Therapy) hsa-miRNA-21-5p (Chemoradiotherapy)

NAN 6.16760305055394

NAN 1.51203452544667

NAN 7.55065426744024

133.720359457737 NAN

NAN NAN

NAN NAN

275.378588728965 2.91839614881127

NAN NAN

11.7279447248469 NAN

NAN

NAN

NAN

NAN

3.04209952734082

NAN

1.7381630905427

KS Not Determined Not Determined

Norm. Dist. Not Determined Not Determined

KS P-Value Not Determined Not Determined

Count 5 4

Mean 85.1214311058865 4.53717199806303

STDEV 120.03752721985 2.7994804746075

Df 7

SD^2 8237.07757671539

T 1.32360190144073

P-Value 0.227223872

Confidence level 0.95

SEM 53.7006597812648

t* 2.36462407410662

Difference (A-B log scale) 80.5842591078235

CI start/end (log) -46.3976138063645 207.566132022011

Fold change 1.81250481853065E24

CI start/end (linear) -92698665694179.4 3.04531220157732E62

121

Lampiran 3 : Data hasil analisis perbandingan ekspresi miRNA-29c pre terapi dengan post kemoradioterapi hsa-miRNA-29c-3p (Pre

Therapy) hsa-miRNA-29c-3p (Chemoradiotherapy)

2.90573998734854 1.4573032357348

2.57993937658677 1.08396017706908

3.2872726338444 1.58776064057617

3.95606859289349 5.02071718967269

2.97669318034662 10.5259100651877

3.55360263042397 3.12390720312348

5.58677467811922 2.92007200269379

3.12583935283562 7.90700010824372

3.78575682846573 2.25066909905007

1.94180340549102

4.11109845265301

2.73721301541929

3.39689236275737

1.40692411880015

4.65216883828602

1.47839600351933

KS 0.0939234271929785 0.271200328999773

Norm. Dist. Passed Passed

KS P-Value >0.1 0.0551415668805893

Count 16 9

Mean 3.21763646611191 3.98636663570572

STDEV 1.10210349949776 3.25334017335704

Df 23

SD^2 4.47362000533516

T 0.872279410749682

P-Value 0.392071254

Confidence level 0.95

SEM 1.11890089190274

t* 2.0686574860866

Difference (A-B log scale) -0.768730169593813

CI start/end (log) -3.08335287581739 1.54589253662977

Fold change -1.70376950061515

CI start/end (linear) -8.47581956600369 2.91984651987924

122

Lampiran 4 : Data hasil analisis perbandingan ekspresi miRNA-21 pre terapi dengan post radioterapi hsa-miRNA-21-5p (Pre

Therapy) hsa-miRNA-21-5p (Radiotherapy)

NAN 2.56098688001519

NAN 1.61863516712861

NAN 5.33874497997103

133.720359457737 NAN

NAN 17.2735531249842

NAN 5.90496001805853

275.378588728965 1

NAN

11.7279447248469

NAN

NAN

NAN

NAN

3.04209952734082

NAN

1.7381630905427

KS Not Determined Not Determined

Norm. Dist. Not Determined Not Determined

KS P-Value Not Determined Not Determined

Count 5 6

Mean 85.1214311058865 5.61614669502626

STDEV 120.03752721985 6.04447515903964

Df 9

SD^2 6424.30112932953

T 1.63812612090948

P-Value 0.135819731

Confidence level 0.95

SEM 53.7390999943486

t* 2.26215737473831

Difference (A-B log scale) 79.5052844108602

CI start/end (log) -42.0610169531548 201.071585774875

Fold change 8.5797655687861E23

CI start/end (linear) -4588045868152.07 3.37736963127635E60

123

Lampiran 5 : Data hasil analisis perbandingan ekspresi miRNA-29c pre terapi dengan post radioterapi hsa-miRNA-29c-3p (Pre

Therapy) hsa-miRNA-29c-3p (Radiotherapy)

2.90573998734854 2.48990269482222

2.57993937658677 2.47274121102007

3.2872726338444 1.78703934469307

3.95606859289349 2.61600027228835

2.97669318034662 1.32867960296471

3.55360263042397 1.6175984418727

5.58677467811922 1

3.12583935283562

3.78575682846573

1.94180340549102

4.11109845265301

2.73721301541929

3.39689236275737

1.40692411880015

4.65216883828602

1.47839600351933

KS 0.0939234271929785 0.244403354605295

Norm. Dist. Passed Passed

KS P-Value >0.1 >0.1

Count 16 7

Mean 3.21763646611191 1.90170879538016

STDEV 1.10210349949776 0.634766542380392

Df 21

SD^2 0.982716820668174

T 2.92929370047482

P-Value 0.008014199

Confidence level 0.95

SEM 0.365343305751657

t* 2.07961365163988

Difference (A-B log scale) 1.31592767073175

CI start/end (log) 0.556154744555362 2.07570059690814

Fold change 2.48962365078104

CI start/end (linear) 1.47034503824616 4.21549075985703

124

Lampiran 6 : Data hasil analisis perbandingan ekspresi miRNA-21 post kemoradioterapi dengan post radioterapi hsa-miRNA-21-5p

(Chemotherapy) hsa-miRNA-21-5p (Radiotherapy)

6.16760305055394 2.56098688001519

1.51203452544667 1.61863516712861

7.55065426744024 5.33874497997103

NAN NAN

NAN 17.2735531249842

NAN 5.90496001805853

2.91839614881127 1

NAN

NAN

KS Not Determined Not Determined

Norm. Dist. Not Determined Not Determined

KS P-Value Not Determined Not Determined

Count 4 6

Mean 4.53717199806303 5.61614669502626

STDEV 2.7994804746075 6.04447515903964

Df 8

SD^2 25.7737090655453

T 0.329251998763195

P-Value 0.750419745

Confidence level 0.95

SEM 2.83699713135239

t* 2.30600401535835

Difference (A-B log scale) -1.07897469696323

CI start/end (log) -7.62110147342198 5.46315207949552

Fold change -2.11253419921483

CI start/end (linear) -196.870272986371 44.113614819502

125

Lampiran 7 : Data hasil analisis perbandingan ekspresi miRNA-29c post kemoradioterapi dengan post radioterapi hsa-miRNA-29c-3p

(Chemotherapy) hsa-miRNA-29c-3p (Radiotherapy)

1.4573032357348 2.48990269482222

1.08396017706908 2.47274121102007

1.58776064057617 1.78703934469307

5.02071718967269 2.61600027228835

10.5259100651877 1.32867960296471

3.12390720312348 1.6175984418727

2.92007200269379 1

7.90700010824372

2.25066909905007

KS 0.271200328999773 0.244403354605295

Norm. Dist. Passed Passed

KS P-Value 0.0551415668805893 >0.1

Count 9 7

Mean 3.98636663570572 1.90170879538016

STDEV 3.25334017335704 0.634766542380392

Df 14

SD^2 6.22081068918455

T 1.65852328886286

P-Value 0.119439277

Confidence level 0.95

SEM 1.11066913232864

t* 2.1447868712253

Difference (A-B log scale) 2.08465784032556

CI start/end (log) -0.297490732968086 4.46680641361921

Fold change 4.24174484421088

CI start/end (linear) -1.22900495560302 22.1127479316342

126

Lampiran 8: Gambar Alat-Alat penelitian

127

Lampiran 9: Gambar Proses kegiatan Penelitian

128