EFEK KEMO-RADIOTERAPI TERHADAP EKSPRESI miRNA-21...
Transcript of EFEK KEMO-RADIOTERAPI TERHADAP EKSPRESI miRNA-21...
1
EFEK KEMO-RADIOTERAPI TERHADAP EKSPRESI
miRNA-21 DAN miRNA-29C PADA PLASMA DARAH
PASIEN KARSINOMA NASOFARING
EFFECTIVITY OF CHEMO-RADIOTERAPY TO miRNA-21 AND miRNA-29C
EXPRESSION AT BLOOD PLASMA PATIENT WITH NASOPHARYNGEAL
CARCINOMA
INDIRA MAHARIS
Pembimbing: Prof. Dr. dr. Eka Savitri, Sp.T.H.T.K.L (K)
Prof. dr. Abdul Kadir, Sp.T.H.T.K.L (K), PhD, M.Kes Dr. dr. Idham Jaya Ganda, SpA(K)
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU BIDANG ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2018
2
EFEK KEMO-RADIOTERAPI TERHADAP EKSPRESI
miRNA-21 DAN miRNA-29C PADA PLASMA DARAH
PASIEN KARSINOMA NASOFARING
EFFECTIVITY OF CHEMO-RADIOTERAPY TO miRNA-21 AND miRNA-29C
EXPRESSION AT BLOOD PLASMA PATIENT WITH NASOPHARYNGEAL
CARCINOMA
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Biomedik
Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu
Disusun dan Diajukan Oleh
INDIRA MAHARIS
Kepada
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2018
3
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Indira Maharis
Nomor mahasiswa : P1507213085
Program Studi : Biomedik
Konsentrasi :Combined Degree PPDS Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan
Tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Makassar, 29 Januari 2018
Yang menyatakan
Indira Maharis
4
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan Tesis ini.
Penulisan Tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam
rangka menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis T.H.T.K.L di
Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L pada Konsentrasi Pendidikan
Dokter Spesialis Terpadu, Bidang Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L, Program
Studi Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Tesis ini tidak akan
terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada Prof.Dr.dr.Eka Savitri, Sp.T.H.T.K.L(K), sebagai dosen
pembimbing materi dan penelitian, yang dengan penuh perhatian dan
kesabaran senantiasa membimbing dan memberikan dorongan sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.
Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Prof.
dr.Abdul Kadir, Ph.D, Sp.T.H.T.K.L(K), MARS yang di tengah
kesibukannya sebagai Direktur RS Kanker Dharmais di Jakarta masih
memberikan waktu dan pikiran beliau untuk membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan hasil penelitian ini. Penulis juga menyampaikan
terima kasih kepada para penguji yang telah memberi banyak masukan
5
dan perbaikan untuk Tesis ini, yaitu Dr. dr. Riskiana Djamin,
Sp.T.H.T.K.L(K), Dr. dr. Muhammad Amsyar Akil,
Sp.T.H.T.K.L(K),FICS, dr. Andi Baso Sulaiman Sp.T.H.T.K.L(K),M.Kes,
dr. Fitriani Mangerangi,Sp.PK(K) dan Dr. dr. Idham Jaya Ganda,
Sp.A(K).
Terima kasih yang tak terhingga juga kami sampaikan kepada
seluruh staf pengajar ilmu kesehatan T.H.T.K.L FK UNHAS yang telah
membimbing dan mengarahkan kami selama mengikuti pendidikan
sampai penelitian dan penyusunan Tesis ini.
Pada kesempatan ini pula kami menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Rektor, Direktur Program Pascasarjana dan Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin atas kesediaannya menerima
penulis sebagai peserta pendidikan pada Konsentrasi Pendidikan
Dokter Spesialis Terpadu (Combined Degree) Program Studi Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
2. Bapak Koordinator Program Pendidikan Dokter Spesialis I Universitas
Hasanuddin yang senantiasa memantau dan membantu kelancaran
pendidikan penulis.
3. Prof.Dr.dr.Abdul Qadar Punagi, Sp.T.H.T.K.L(K) selaku Ketua
Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L, Dr.dr.Riskiana Djamin,
Sp.T.H.T.K.L(K) selaku Ketua Program Studi dan Dr.dr.Muh Fadjar
Perkasa,Sp.T.H.T.K.L(K) selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Kesehatan T.H.T.K.L, Prof. Dr.dr Sutji P Rahardjo, Sp.T.H.T.K.L(K),
6
beserta seluruh staf pengajar (supervisor) Departemen Ilmu Kesehatan
T.H.T.K.L, atas bimbingan dan asuhannya selama penulis menjalani
pendidikan.
4. Tirta Wardana, S Si yang telah membantu proses pemeriksaan
sampel dan pengolahan data beserta staf laboratorium HUM-RC RS.
Universitas Hasanuddin.
5. Bapak Ketua Konsentrasi, Ketua Program Studi Biomedik, beserta
Bapak dan Ibu staf pengajar pada Konsentrasi Pendidikan Dokter
Spesialis Terpadu Program Studi Biomedik Pascasarjana Universitas
Hasanuddin atas bimbingannya selama penulis menjalani pendidikan.
6. Direktur Rumah Sakit dr. Wahidin Sudirohusodo dan para direktur
rumah sakit satelit atas kesediaannya memberikan kesempatan
menjalani pendidikan di Rumah Sakit tersebut .
7. Staf administrasi di Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L, Bagian
PPDS dan Program Pascasarjana FK UNHAS atas bantuan dan
kerjasamanya selama masa pendidikan penulis.
8. Semua Paramedis di Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L RS Dr.
Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit satelit lainnya atas bantuan
dan kerjasamanya selama penulis mengikuti pendidikan.
9. Kedua orang tua tercinta ayahanda Kol.Purn.H.Pargono Soetardjo dan
ibunda Hj.Aisyah Sirajuddin serta mertua saya alm. dr.Syafruddin
Mapata,SpA dan Hj. Rita Sohra yang senantiasa mendukung dalam
7
doa dan dorongan yang sangat berarti bagi penulis selama mengikuti
pendidikan.
10. Saudara saya, Marissa Maharis,SE, para adik ipar saya dr.Aisyah Sari
Dewi, dr.Risma Maharani,M.Kes,SpOG, dr.Andi Isra Salahuddin dan
dr.Dimas Agung, keponakan Keisha Asyifa, Ahmad Arsenio Rajendra
serta anggota keluarga yang lain atas doa dan dukungan, berupa moril
maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
hasil penelitian ini
11. Akhirnya dari lubuk hati terdalam penulis ucapkan terima kasih kepada
suami tercinta dr.Eka Yusuf Inrakartika,M.Kes,Sp.A dan anak saya
Althaf Alzabran Inra, atas pengertian, pengorbanan waktu dan tenaga
yang tak akan pernah tergantikan dan dengan penuh kesabaran
senantiasa mendoakan dan menjadi sumber inspirasi dan semangat
hidup bagi penulis dalam menyelesaikan Karya Akhir ini.
12. Sahabat-sahabat seperjuangan PPDS T.H.T.K.L FK UNHAS terutama
dr. Stella. F. Attu, dr. Asni Azis, dr. Raihanah, dr. Novimaryana dan dr.
Ayu Ameliyah H. Terimakasih atas dukungan moril dan bantuannya
selama ini, hingga dapat menyelesaikan karya akhir ini.
13. dr. Juliansyih Safitri, Sp.T.H.T.K.L yang telah membantu pelaksanaan
penelitian ini.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang
turut membantu menyelesaikan Karya Akhir ini.
8
Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat berguna
bagi perkembangan Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L di masa yang akan datang.
Tak lupa penulis mohon maaf bilamana ada hal-hal yang tidak berkenan
dalam penulisan Tesis ini, karena penulis menyadari sepenuhnya bahwa
Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.
Makassar, Januari 2018
Indira Maharis
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS iii
PRAKATA iv
ABSTRAK viii
ABSTRACK ix
DAFTAR ISI x
DAFTAR ISTILAH xiv
DAFTAR TABEL xvii
DAFTAR GAMBAR xviii
DAFTAR LAMPIRAN xix
BAB I. PENDAHULUAN 1
I.1. Latar Belakang Masalah 1
I.2. Rumusan Masalah 5
I.3. Tujuan Penelitian 5
I.4. Manfaat Penelitian 7
I.5. Hipotesis Penelitian 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 9
II.1. Karsinoma Nasofaring 9
II.1.1 Definisi dan Anatomi 9
II.1.2. Epidemiologi 10
10
II.1.3. Etiologi 11
II.1.4. Gejala Klinis 12
II.1.5. Diagnosis 13
II.1.6. Histopatologi 14
II.1.7.Penentuan stadium 15
II.1.8. Penatalaksanaan 18
II.2. Radioterapi 23
II.2.1. Radioterapi Pada Keganasan Kepala Leher 23
II.3. Kemoterapi 30
II.3.1. Definisi Kemoterapi 32
II.3.2. Tujuan dari Kemoterapi 32
II.3.3. Mekanisme Kerja Obat-obat Kemoterapi 33
II.4. Kombinasi 45
II.5. MicroRNA (miRNA) 56
II.5.1. Ekspresi Abnormal miRNA pada Kanker 58
II.5.2. miRNA sebagai Biomarker Untuk Prediksi Respon 62
II.5.3. miRNA sebagai Biomarker Prognostik Kanker 62
II.5.4. Peranan miRNA-21 pada Karsinoma Nasofaring 63
II.5.5. Peranan miRNA-29c pada Karsinoma Nasofaring 65
Kerangka Teori 67
Kerangka Konsep 68
BAB III. METODE PENELITIAN 69
III.1. Desain Penelitian 69
11
III.2. Tempat dan Waktu Penelitian 69
III.3. Populasi Penelitian 69
III.4. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel 69
III.5. Perkiraan Besar Sampel 70
III.6. Kriteria Inklusi, Ekslusi dan Drop Out 70
III.7. Ijin Subyek Penelitian 71
III.8. Metode Pengumpulan Data 72
III.8.1. Bahan dan Alat Penelitian 72
III.8.2. Cara Kerja 72
III.8.3. Teknik Pemeriksaan 73
III.8.3.1 Isolasi RNA 74
III.8.3.2 Sintesis cDNA 75
III.9. Identifikasi Variabel 77
III.10. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif 78
III.11. Alur Penelitian 82
III.12. Biaya Penelitian 83
III.13. Pengolahan dan Analisis Data 83
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 84
IV.1 Hasil Penelitian 84
IV.2 Pembahasan 94
IV.3 Keterbatasan Penelitian 98
13
DAFTAR ISTILAH
AJCC : American Joint Committee On Cancer
AKT : PI3K protein kinase B (AKT)
ATM : ataxia telangiectasia mutated gene
ATR : ataxia telangiectasia and Rad3 related protein
BCL-2 : B cell lymphoma 2
CHK1 : Checkpoint kinase 1
CHK2 : Checkpoint kinase 2
CT : Computed Tomography
Cq : Quantification cycle
DNA : Deoxyribonucleic Acid
EBV : Epstein-Barr Virus
ECM : Extracellular matrix
EDTA : ethylenediaminetetraacetic acid
ELISA : Enzym Linked Imunosorbent Assay
KGB : Kelenjar Getah Bening
KNF : Karsinoma Nasofaring
14
Let-7 : Lethal-7
Maspin : mammary serine protease inhibitor
MCl-1 : myeloid cell leukemia 1
miRNA : micro ribonucleic acid
MMP : Matrix metalloproteinase
MRI : Magnetic Resonance Imaging
mRNA : messangger ribonucleid acid
NFIB : Nuclear Factor I/B
NF-κB : Nuclear factor- κB
PDCD4 : programmed cell death protein 4
PET : Positrion Emission Tomography
pri-miRNA : Primary Micro Ribonucleid Acid
PTEN : Phosphatase And Tensin Homolog
qRT-PCR : quick Real time- polimerase chain reaction
RAKE : RNA-primed array-based Klenow enzyme (RAKE)
RECK : Reversion-inducing cystein-rich protein with kazal motifs
RNA : Ribonucleid Acid
15
RS : Rumah Sakit
RT-PCR : Real time- polymerase chain reaction
SNP : Single Nucleotide Polymorphism
STAT1 : Signal transducer and activator of transcription 1
THT : Telinga Hidung Tenggorokan
TIAM1 : T cell lymphoma and metastasis 1 (TIAM1)
TIMP3 : Tissue inhibitor metalloproteinase-3
TNM : Tumor Nodul Metastase
TPM-1 : tropomyosin apha 1
UICC : Union Internastional Contre Cancer
USG : Ultrasonografi
VAS : Visual Analog Scale
VEGF : Vascular Endotelial Growth Factor
WHO : World Health Organization
16
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Distribusi sampel penderita KNF menurut umur, jenis
kelamin, suku bangsa, riwayat keluarga dan riwayat
merokok.
Hal. 85
Tabel 2 Karakteristik sampel pasien KNF Hal. 86
Tabel 3 Perbandingan ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c
pada plasma darah penderita karsinoma nasofaring
sebelum dan sesudah kemoradioterapi. Data
disajikan dalam bentuk nilai mean dan SD (standar
deviasi). Nilai p>0,05 dinyatakan tidak bermakna, diuji
dengan Dependent Sample T- test.
Hal. 91
Tabel 4 Perbandingan ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c
pada plasma darah penderita karsinoma nasofaring
sebelum dan sesudah Radioterapi. Data disajikan
dalam bentuk nilai mean dan SD (standar deviasi).
Nilai p<0,05 pada perbandingan ekspresi miRNA-29c
Post Radioterapi dinyatakan bermakna, sedangkan
nilai p>0,05 pada miRNA-21 dinyatakan tidak
bermakna diuji dengan Dependent Sample T- test.
Hal. 92
Tabel 5 Perbandingan ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c
pada plasma darah penderita karsinoma nasofaring
setelah kemoradioterapi dengan radioterapi. Data
disajikan dalam bentuk nilai mean dan SD (standar
deviasi). Nilai p>0,05 dinyatakan tidak berbeda
secara bermakna, diuji dengan Independent Sample
T- test.
Hal. 93
17
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kurva Hasil Amplifikasi dengan qRT-PCR.
(Merah: miRNA-21, Biru: miRNA-29c dan Hijau:
merupakan reference gene dari miRNA-16)
Hal. 88
Gambar 2 Kurva leleh (Melting Curve) dengan qRT-PCR.
(Merah: miRNA-21, Biru: miRNA-29c dan Hijau:
merupakan reference gene dari miRNA-16)
Hal. 88
Gambar 3 Puncak kurva leleh (Merah: miRNA-21, Biru:
miRNA-29c dan Hijau: merupakan reference
gene dari miRNA-16)
Hal. 89
Gambar 4 Hasil analisis ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c
post kemoradioterapi dengan preterapi.
Hal. 90
Gambar 5 Hasil analisis ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c
post Radioterapi dengan preterapi.
Hal. 92
Gambar 6 Hasil analisis ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c
post kemoradioterapi dengan Radioterapi.
Hal. 93
18
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Sampel Penelitian
Lampiran 2. Data Hasil Analisis Perbandingan Ekspresi miRNA-21
pre terapi dengan post kemoradioterapi.
Lampiran 3. Data Hasil Analisis Perbandingan Ekspresi miRNA-
29c pre terapi dengan post kemoradioterapi
Lampiran 4. Data Hasil Analisis Perbandingan Ekspresi miRNA-21
pre terapi dengan post radioterapi.
Lampiran 5. Data Hasil Analisis Perbandingan Ekspresi miRNA-
29c pre terapi dengan post radioterapi
Lampiran 6. Data Hasil Analisis Perbandingan Eskpresi miRNA-21
post kemoradioterapi dengan post radioterapi.
Lampiran 7. Data Hasil Analisis Perbandingan Ekspresi miRNA-
29c post kemoradioterapi dengan post radioterapi
Lampiran 8. Gambar Alat Penelitian
Lampiran 9. Gambar Proses Kegiatan Penelitian
Lampiran 10. Rekomendasi Persetujuan Etik
19
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari
sel epitel nasofaring (merupakan karsinoma sel skuamous (SCC)). Tumor
ini bermula dari dinding lateral nasofaring (Fossa Rosenmuller) yang
terletak di medial osteum tuba eustachii dan dapat menyebar kedalam
atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar
tengkorak, palatum, kavum nasi dan orofaring serta metastasis ke kelenjar
limfe leher.
KNF merupakan penyakit genetik multifaktor dengan karakter
endemis. Diperkirakan terdapat 87.000 kasus baru nasofaring muncul
setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan
26.000 kasus baru pada perempuan) dengan 51.000 kematian akibat KNF
(36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada perempuan). 1-2 KNF terutama
ditemukan pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria dan wanita
adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun. Angka
kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni
sebesar 40 - 50 kasus kanker nasofaring diantara 100.000 penduduk.
Kanker nasofaring sangat jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika
Utara dengan angka kejadian sekitar < 1/100.000 penduduk. Di Indonesia,
karsinoma nasofaring merupakan salah satu jenis keganasan yang sering
ditemukan, berada pada urutan ke-4 kanker terbanyak di Indonesia
20
setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru dengan
insidens sekitar 4,7 per 100.000 penduduk.(GLOBOCAN 2012). Sebagian
besar datang berobat dalam stadium lanjut, sehingga hasil pengobatan
dan prognosis menjadi buruk. Di RSU Dadi dan RS.Dr.Wahidin
Sudirohusodo selama periode 10 tahun (1990- 1999) ditemukan 274
(47,98%) kasus KNF dari tumor ganas kepala dan leher dengan
perbandingan antara laki-laki dan wanita adalah 2,6:1 Dari data profil
karsinoma nasofaring di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo-Makassar,
propinsi Sulawesi Selatan periode Januari 2004 sampai dengan Juni 2007
KNF merupakan 33% dari keganasan di bagian telinga, hidung dan
tenggorok, (2000-2009) yaitu ditemukan 362 kasus (57,28%) dari tumor
ganas kepala dan leher (Kuhuwael,2010).
Karsinoma nasofaring merupakan kanker yang keberhasilan
terapinya masih merupakan masalah karena keterlambatan untuk deteksi
dini. Radioterapi dan kemoterapi telah lama menjadi modalitas tatalaksana
tumor. Kedua modalitas ini memiliki keunggulan dan kelemahan masing-
masing, sehingga dapat saling melengkapi. Kombinasi kedua modalitas ini
merupakan salah satu hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan telah
memberi dampak yang besar kepada hasil terapi kanker. Tantangan
dalam menangani mortalitas dan morbiditas akibat kanker telah menjadi
pemicu untuk terus mencari terapi terbaik bagi para penderita kanker.
Salah satunya adalah upaya kombinasi modalitas terapi kanker.
21
Karsinoma nasofaring secara umum sensitif terhadap radioterapi,
tapi untuk stadium lanjut diperlukan upaya untuk kombinasi modalitas
terapi kanker yaitu baik secara kemoterapi berbasis platinum, yang
dikombinasi dengan radioterapi (kemoradioterapi). Pemberian dapat
secara kemoterapi adjuvant (pemberian kemoterapi diberikan setelah
pasien dilakukan radioterapi), kemoterapi neoadjuvant (pemberian
sitostatika lebih awal yang dilanjutkan pemberian radiasi), kemoterapi
concurrent (pemberian diberikan bersamaan dengan radiasi).
Meskipun telah tercapai perbaikan pada kedua teknologi dan
peralatan, prognosis KNF tetaplah buruk dengan angka ketahanan 5
tahun kurang dari 60%. Penyebab utama kegagalan terapi dan metastasis
adalah terjadinya resistensi terhadap zat radioaktif dan obat antitumor.
Pengertian yang lebih jelas tentang mekanisme resistensi kemoradioterapi
pada KNF dapat meningkatkan kemampuan kita untuk mengantisipasi
respon tumor pada KNF dan identifikasi pasien yang diuntungkan dari
terapi konservatif. (Zhang, et.al 2013).
Berbagai penelitian biologi molekuler sudah dikembangkan antara
lain ditemukannya pemeriksaan sederhana ELISA dan viral load Epstein-
Barr pada karsinoma nasofaring (Savitri 2015). Saat ini kami melanjutkan
untuk melihat efek kemoradioterapi dan radioterapi terhadap microRNA
(miRNA) pada pasien karsinoma nasofaring. Pengetahuan terhadap
miRNA dapat berperan penting dalam perkembangan dan progresi
kanker. Indikasi miRNA sebagai biomarker diagnosis dan prognosis
22
berbagai kanker, biomarker untuk prediksi respons terapi kanker, serta
potensi untuk mengembangkan terapi kanker dengan miRNA sebagai
target.
Karakteristik miRNA yang pertama kali diketahui pada KNF adalah
miRNA-29c (Sengupta dkk). Ditemukan pula bahwa miRNA-29c berfungsi
sebagai supresif tumor, akan meningkatkan migrasi dan invasi sel KNF
melalui regulasi komponen dimatriks ekstraseluler.21 Sedangkan penelitian
oleh Zhang dkk menunjukkan bahwa penurunan miRNA-29c terjadi pada
peningkatan resistensi terhadap radioterapi dan kemoterapi berbasis
platinum melalui regulasi dari antiapoptotik Mcl-1 dan Bcl-2. Seperti
miRNA lainnya, miRNA-29c dapat bekerja melalui beberapa jalur untuk
menekan proliferasi, survival dan motilitas dari sel KNF.27
Diantara semua jenis miRNA, miRNA-21 merupakan suatu kunci
onkogen, sejak ditemukan pada berbagai kanker dan berperan dalam
proses multipel malignansi seperti meningkatkan proliferasi pada sel KNF,
mensupresi apoptosis, pertumbuhan tumor pada sel MCF-7 dan
menurunkan invasi serta metastasis pada sel MDA-MB-231.15
Di Sulawesi, penelitian mengenai miRNA-21 dan miRNA-29c ini
memiliki nilai novelty karena belum pernah dilakukan pada karsinoma
nasofaring. Oleh karena itu, kami tertarik untuk meneliti efek
kemoradioterapi neoadjuvan dan radioterapi terhadap ekspresi miRNA-21
dan miRNA-29c pada plasma darah pasien karsinoma nasofaring.
23
Perlu kami informasikan pula bahwa penelitian ini dilakukan dengan
tidak bekerjasama dengan pihak manapun (no conflict of interest).
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas maka
dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Apakah efek kemoradioterapi berbeda dengan efek radioterapi
terhadap ekspresi miRNA-21 pada plasma darah penderita
karsinoma nasofaring ?
2. Apakah efek kemoradioterapi berbeda dengan efek radioterapi
terhadap ekspresi miRNA-29c pada plasma darah penderita
karsinoma nasofaring ?
I.3. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum :
Mengetahui efek kemoradioterapi terhadap miRNA-21 dan miRNA-
29c pada plasma darah penderita karsinoma nasofaring.
2. Tujuan Khusus :
a. Mengukur ekspresi miRNA-21 pada plasma darah penderita
karsinoma nasofaring sebelum kemoradioterapi.
b. Mengukur ekspresi miRNA-21 pada plasma darah penderita
karsinoma nasofaring sesudah kemoradioterapi.
24
c. Membandingkan ekspresi miRNA-21 pada plasma darah
penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah
kemoradioterapi.
d. Mengukur ekspresi miRNA-21 pada plasma darah penderita
karsinoma nasofaring sebelum radioterapi.
e. Mengukur ekspresi miRNA-21 pada plasma darah penderita
karsinoma nasofaring sesudah radioterapi.
f. Membandingkan ekspresi miRNA-21 pada plasma darah
penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah
radioterapi.
g. Mengukur ekspresi miRNA-29c pada plasma darah
penderita karsinoma nasofaring sebelum kemoradioterapi.
h. Mengukur ekspresi miRNA-29c pada plasma darah
penderita karsinoma nasofaring sesudah kemoradioterapi.
i. Membandingkan ekspresi miRNA-29c pada plasma darah
penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah
kemoradioterapi.
j. Mengukur ekspresi miRNA-29c pada plasma darah
penderita karsinoma nasofaring sebelum radioterapi.
k. Mengukur ekspresi miRNA-29c pada plasma darah
penderita karsinoma nasofaring sesudah radioterapi.
25
l. Membandingkan ekspresi miRNA-29c pada plasma darah
penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah
radioterapi.
m. Membandingkan ekspresi miRNA-21 pada plasma darah
penderita karsinoma nasofaring sesudah kemoradioterapi
dengan sesudah radioterapi.
n. Membandingkan ekspresi miRNA-29c pada plasma darah
penderita karsinoma nasofaring sesudah kemoradioterapi
dengan sesudah radioterapi.
I.4. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai efek kemoradioterapi dan radioterapi terhadap ekspresi
miRNA-21 dan miRNA-29c pada penderita karsinoma nasofaring di
RS. Wahidin Sudirohusodo sebagai pusat rujukan dan representasif
masyarakat di Indonesia bagian timur.
2. Pengetahuan terhadap ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c dapat
bermanfaat sebagai biomarker untuk prediksi respons terapi
kanker.
3. Data penelitian ini dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya
dalam mengembangkan terapi karsinoma nasofaring dengan
miRNA sebagai target.
26
I.5. Hipotesis Penelitian
1. Ekspresi miRNA-21 pada penderita karsinoma nasofaring sebelum
kemoradioterapi lebih tinggi dibandingkan dengan sesudah
kemoradioterapi.
2. Ekspresi miRNA-21 pada penderita karsinoma nasofaring sebelum
radioterapi lebih tinggi dibandingkan dengan sesudah radioterapi.
3. Ekspresi miRNA-29c pada penderita karsinoma nasofaring sebelum
kemoradioterapi lebih rendah dibandingkan dengan sesudah
kemoradioterapi.
4. Ekspresi miRNA-29c pada penderita karsinoma nasofaring sebelum
radioterapi lebih rendah dibandingkan dengan sesudah radioterapi.
27
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Karsinoma Nasofaring
II.1.1 Definisi dan Anatomi
Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari
sel epitel nasofaring (merupakan karsinoma sel skuamous (SCC)). Tumor
ini bermula dari dinding lateral nasofaring (Fossa Rosenmuller) yang
terletak di medial osteum tuba eustachii dan dapat menyebar kedalam
atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar
tengkorak, palatum, kavum nasi dan orofaring serta metastasis ke kelenjar
limfe leher.(Dubrulle, 2007)
Nasofaring adalah suatu daerah yang terletak di antara hidung
bagian belakang dengan tenggorok, merupakan daerah yang sempit dan
tersembunyi yang dibatasi oleh sinus sphenoid pada bagian atas, koana
pada bagian depan, palatum mole pada bagian bawah, muara tuba
auditiva pada bagian samping serta tulang belakang pada bagian
belakang, di dekat koana dilapisi epitel pseudo-stratified kolumner bersilia
serta epitel transisional pada daerah atap dan dinding samping, serta
epitel squamous berlapis pada daerah belakang dan bawah
(Nicholls,2000; Hao 2004, Fee,1998;Gibb,1999).
Vaskularisasi nasofaring berasal dari arteria pharingea ascendens,
arteria maksilaris, arteria pterygoid, serta arteria sfenopalatina, yang
semuanya merupakan cabang arteri karotis eksterna. Nasofaring
28
mendapat persyarafan dari cabang saraf Glosofaringeus (N IX), syaraf
Vagus (N X) dan saraf simpatis maksilaris cabang saraf Trigeminus (N V).
Nasofaring mempunyai banyak pembuluh limfe terutama bagian
atap dinding belakang (posterior) dan dinding samping (lateral),
mempunyai 3 jaras : 1). Berasal dari nodus limfatikus pada dinding lateral
faring berjalan ke nodus limfatikus parafaringeal atau retroparotid space
yang terletak berdekatan dengan nodus Rouviere.; 2). Nodus limfatikus
pada dinding lateral faring juga mempunyai cabang ke nodus limfatikus
jugularis (jugular chain), terutama ke nodus limfatikus jugulodigastrik (sub-
digastric); 3). Jaras nodus limfatikus yang ketiga adalah dari dinding lateral
nasofaring langsung ke nodus limfatikus yang terletak dari dalam pada
segitiga posterior (posterior triangle) nodus spinal accessory, yang terletak
di bawah muskulus sternokleidomastoideus (Lee,2004).
II.1.2 Epidemiologi
Insidensi KNF sangat bervariasi, Propinsi Guangdong China bagian
selatan, merupakan daerah dengan insidensi tertinggi di dunia yaitu
sekitar 40-50/100.000 penduduk per tahun, dengan rasio antara pria dan
wanita sebesar 3:1. Bangsa yang mempunyai resiko agak tinggi adalah
Eskimo, Tunisia, Filipina, Malaysia, Algeria dan Indonesia. Insidensi
menengah didapatkan di Asia Tenggara, Kenya, Tunisia, dan Algeria
dengan perkiraan sebesar 5-15/100.000 populasi, sedangkan insidensi
terendah didapatkan di Eropa dan Amerika sebesar kurang dari 1/100.000
29
populasi (Fee, 1998; Lee, 1998; Gibb, 1999; Jia et al., 2003; Chang et al.,
2004).
Insidensi KNF di Indonesia dilaporkan oleh Soeripto (1998) sebesar
3.9/100.000 populasi, sedangkan insidensi di Makassar propinsi Sulawesi
Selatan, Kuhuwael (2001) melaporkan pada RSU Dadi dan RS. Dr.
Wahidin Sudirohusodo selama periode 10 tahun (1990-1999) ditemukan
274 (47,98%) kasus KNF dari tumor ganas kepala dan leher dengan
perbandingan antara laki-laki dan wanita adalah 2,6:1. Sedangkan
Bastiana (2010) melaporkan pada RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo periode
10 tahun kedua (2000-2009) ditemukan 362 kasus (57,28%) dari tumor
ganas kepala dan leher.
II.1.3 Etiologi
Karsinogenesis KNF disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
infeksi kronis virus Epstein-Barr (EBV), faktor lingkungan (bahan
karsinogenik), dan faktor genetik. Meskipun penyebab yang pasti
masih belum diketahui, banyak laporan berdasarkan penelitian in vitro
dan in vivo yang mendukung peran EBV sebagai faktor etiologi utama
pada KNF. Insiden KNF yang tinggi pada ras dan lokalisasi geografik
tertentu mengindikasikan adanya faktor lingkungan yang bersifat atau
mengandung bahan karsinogenik (environmental carcinogenes) dan
kerentanan genetik (genetic susceptibility) sebagai faktor penyebab
penting dari KNF(Zeng & Zeng, 2010)
30
Epstein Barr Virus (EBV) mempunyai peranan dalam
karsinogenesis KNF, sebab genome EBV sering ditemukan dalam
spesimen biopsi KNF. EBV dapat ditemukan dimana-mana ditubuh
manusia, sehingga tidak mungkin EBV hanya satu-satunya sebagai
penyebab KNF. Faktor kebiasaan mengkonsumsi makanan terutama ikan
asin yang mengandung nitrosamin dan bahan pengawet seperti formalin,
merupakan mediator penting dan dapat menjadi “alkylating Agent” yang
diketahui dapat menginduksi terjadinya karsinoma sel squamosa,
adenokarsinoma dan tumor lain di kavum nasi dan sinus paranasal atau
daerah nasofaring.
Seringnya peradangan didaerah nasofaring menyebabkan mukosa
nasofaring menjadi rentan terhadap karsinogen lingkungan dan
memudahkan perubahan mukosa ke arah prekanker serta faktor
pendukung seperti lingkungan dan genetik sangat menentukan timbulnya
KNF (Thomson, 2004; Korcum, 2006).
II.1.4 Gejala Klinis
Gejala klinis karsinoma nasofaring berhubungan dengan letak
tumor di nasofaring, ukuran tumor, perluasan tumor keluar nasofaring dan
penyebaran jauh (metastasis) tumor. Pada stadium awal, tumor yang kecil
dapat hanya menyebabkan gejala yang tidak jelas atau bahkan tidak
menyebabkan gejala apapun. Kadang dengan bertambah besarnya tumor
31
gejala-gejala yang terjadi tetap tidak spesifik dan membingungkan (Wei
dan Sham, 1996; Wei 2006).
Keluhan klinis sangat tergantung dengan lokasi tumor primer serta
perluasannya, baik hanya terbatas pada jaringan sekitarnya atau sudah
metastasis regional kekelenjar getah bening maupun jauh. Gejala paling
banyak dikeluhkan saat penderita datang adalah adanya benjolan di leher,
dimana benjolan ini merupakan tanda adanya metastasis tumor ke
limfonodi leher. Limfonodi yang sering terlibat adalah kelompok limfonodi
subdigastrik dan kelompok limfonodi jugularis superior (Wei, 2006).
Gangguan pada telinga; telinga terasa penuh, tersumbat, tinitus,
otitis media serosa atau penurunan pendengaran tipe konduktif. Gejala
lain dapat berupa gangguan pada rongga hidung; epistaksis, obstruksi
nasi, ingus campur darah. Gangguan neurologis; keatas mengenai grup
anterior saraf kranial III, IV, V dan VI dengan keluhan diplopia, hipestesi
pipi, reflek kornea menurun dan sakit kepala. Jika semua saraf kelompok
anterior terkena akan menyebabkan sindrom petrospenoid berupa
neuralgia trigeminal dan oftalmoplegia unilateral. Perluasan kebelakang
mengenai kelompok posterior saraf kranial VII, VIII, IX, X, XI dan XII,
dapat mengenai otot rahang sehingga menimbulkan trismus (Wei, 2006;
Kuhuwael,2001).
II.1.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis sistematis,
pemeriksaan fisis THT, radiologi yang meliputi foto polos, CT-Scan
32
nasofaring axial reformat coronal dan atau MRI untuk melihat massa
tumor, sedang untuk melihat adanya metastasis jauh, dapat diketahui
melalui pemeriksaan foto toraks, bone survey, USG abdomen dan PET
Scan.
Pemeriksaan patologi dapat berupa pemeriksaan sitologi; biopsi
sikatan (brush) atau histopatologi dengan melakukan biopsi nasofaring
dengan atau tanpa bantuan endoskop. Pemeriksaan serologis yaitu
dengan mendeteksi antibodi yang dihasilkan oleh EBV (Wei, 2006).
II.1.6 Histopatologi
Menurut WHO tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
a. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi / Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma ( WHO tipe I ).
Tipe ini mempunyai sifat pertumbuhan yang jelas pada permukaan
mukosa nasofaring. Sel kanker dapat berdiferensiasi baik sampai sedang
dan menghasilkan relatif cukup banyak bahan keratin baik di dalam
sitoplasma maupun di luar sel. Sebanyak 25% KNF merupakan
karsinoma tipe I di Amerika Serikat, namun hanya 1-2% di populasi
endemik (Neel, 1989; Lin et al, 2003).
b. Karsinoma sel skuamosa non keratinisasi / Non Keratinizing
Carcinoma ( WHO tipe II )
Tipe ini dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi. Tipe
berdiferensiasi ini menunjukkan diferensiasi sedang dan sebagian lainnya
33
dengan sel yang lebih kearah diferensiasi baik. Sel-sel ganas tersusun
stratified atau berimpitan menyerupai gambaran pada karsinoma sel
transisional, sedangkan tipe tidak berdiferensiasi ini mempunyai gambaran
patologi yang sangat heterogen, sel ganas berbentuk synctitial dengan
batas sel yang tidak jelas.
II.1.7 Penentuan Stadium
Setelah diagnosis pasti ditegakkan, stadium perlu ditentukan
dengan menggunakan sistem TNM. Penentuan stadium dilakukan
berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union Internastional Contre
Cancer) dan AJCC (American Joint Committee On Cancer) pada tahun
2010. Penentuan stadium merupakan suatu penilaian yang mampu
mendeskripsikan seberapa jauh kanker telah menyebar. Hal-hal yang
menjadi pertimbangan dalam staging adalah ukuran tumor/lesi primer,
seberapa dalam penetrasi tumor tersebut, invasi terhadap organ
sekitarnya, luas penyebaran ke kelenjar getah bening regional, serta
organ yang berada jauh dari tumor primer yang ikut terkena kanker
(apabila ada). Setelah diagnosis pasti ditegakkan, stadium perlu
ditentukan dengan menggunakan sistem TNM. Untuk KNF pembagian
TNM sebagai berikut, berdasarkan American Joint Committee on Cancer
(AJCC) 2010 :
34
Tumor primer (T)
Tx tumor primer tidak dapat dinilai
T0 tidak terbukti adanya tumor primer
Tis karsinoma in situ
T1 tumor terbatas di nasofaring atau meluas ke orofaring
dan/kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring
T2 tumor dengan perluasan ke daerah parafaring
T3 tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau
sinus paranasal
T4 tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya
saraf kranial, hipofaring, orbita, atau perluasan ke fossa
infratemporal/ ruang masticator
KGB Regional (N)
Nx KGB regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada metastasis ke KGB regional
N1 metastase kelenjar getah bening leher unilateral dengan
diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa
supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar
getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau
kurang
N2 metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter 6
cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular
35
N3 metastase pada kelenjar getah bening di atas 6 cm dan/atau
pada fossa supraklavikular
N3a diameter terbesar lebih dari 6 cm
N3b meluas ke fossa supraklavikular
Metastasis jauh ( M )
M0 tidak ada metastase jauh
M1 ada metastase jauh
Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat
ditentukan :
STADIUM T N M
Stadium 0 Tis N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T1 N1 M0
T2 N0 M0
T2 N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N0 M0
T3 N1 M0
T3 N2 M0
36
Stadium IV A T4 N0 M0
T4 N1 M0
T4 N2 M0
Stadium IV B Setiap T N3 M0
Stadium IV C Setiap T Setiap N M1
Stadium I dan II merupakan stadium awal dari KNF, sedangkan stadium III
dan IV merupakan stadium lanjut dari KNF.
II.1.8 Penatalaksanaan
Sampai saat ini terapi utama Karsinoma nasofaring (KNF) adalah
radioterapi, tetapi persoalannya sampai saat ini yang timbul adalah angka
kekambuhan KNF pasca radioterapi masih cukup tinggi, sekitar antara
18% - 45% (Chang et al, 2004). Lee (2000) mendapatkan data bahwa
antara 80%-90% KNF stadium awal yang dilakukan radioterapi terjadi
remisi komplit, tetapi angka keberhasilan hidup selama 5 tahun pada KNF
stadium lanjut hanya mencapai 10% - 40%, dan apabila sudah didapatkan
metastasis jauh 85% akan meninggal pada tahun pertama.
Al-sarraf et al. (1990) mengatakan bahwa angka keberhasilan
terapi KNF stadium awal yang mendapat pengobatan radioterapi saja
dapat mencapai keberhasilan sebanyak 80%-100%, tetapi penderita KNF
stadium III – IV yang hanya diterapi dengan radioterapi saja, sebanyak
50% - 80% nya mempunyai risiko terjadinya kegagalan. Hal ini didukung
37
oleh Fandi et al. (2000) yang mengatakan bahwa kegagalan terapi KNF
yang terbanyak adalah terjadinya kekambuhan baik pada tumor primer
atau pada kelenjar limfe regional pasca radioterapi.
Radioterapi dan kemoterapi telah lama menjadi modalitas
tatalaksana tumor. Kedua modalitas ini memiliki keunggulan dan
kelemahan masing-masing, sehingga dapat saling melengkapi. Kombinasi
kedua modalitas ini merupakan salah satu hasil kemajuan ilmu
pengetahuan dan telah memberi dampak yang besar kepada hasil terapi
kanker. Tantangan dalam menangani mortalitas dan morbiditas akibat
kanker telah menjadi pemicu untuk terus mencari terapi terbaik bagi para
penderita kanker. Salah satunya adalah upaya kombinasi modalitas terapi
kanker.
Radiasi dan kemoterapi memiliki efek toksik terhadap jaringan
normal. Radiasi menyebabkan kerusakan pada daerah lokal penyinaran,
sedangkan kemoterapi karena bersifat sistemik, dapat menyebabkan
kerusakan yang sistemik pula. Kerusakan ini dapat bertambah besar
ketika radiasi dan kemoterapi bekerja pada daerah yang sama. Secara
umum kerusakan yang diakibatkan akan semakin besar seiring dengan
penambahan dosis. Hubungan dosis efek ini tergambarkan menjadi
sebuah kurva berbentuk sigmoid yang memungkinkan estimasi rasio
terapeutik. Suatu terapi dikatakan efektif bila rasio terapeutiknya >1,
artinya suatu modalitas lebih berpengaruh terhadap tumor dibandingkan
terhadap jaringan normal. Implementasi rasio terapeutik dalam dunia klinis
38
harus mempertimbangkan berbagai faktor, seperti tujuan dari pengobatan
( kuratif/ paliatif ), adanya organ kritis dan derajat kerusakan organ yang
dapat diterima.
Pemberian mengenai waktu pemberian obat berkaitan dengan
radioterapi
Obat kemoterapi diberikan sebelum (induction or neoadjuvant
chemotherapy), bersamaan (concurrent or concomitant) atau setelah
radiasi (adjuvant chemotherapy). Keuntungan dan kerugian dari masing-
masing pemberian ini.
Kemoterapi induksi membuat tumor primer lebih terkontrol oleh
radiasi dengan mengurangi sel klonogen dan reoksigenasi sel hipoksik.
Meskipun demikian manfaat terapeutiknya masih dibawah ekspektasi.
Sejumlah faktor diperkirakan menyebabkan hal ini, termasuk fenomena
accelerated repopulation.
Pada concurrent chemoradiation, penjadwalan pemberian fraksi
radiasi terhadap waktu pemberian kemoterapi sangat penting.
Penjadwalan ini harus didasarkan atas mekanisme sinergistik, toksisitas
jaringan normal dan kondisi tertentu dimana efek sinergistik paling optimal.
Sebagai contoh, telah diketahui bahwa tumor tikus yang sensitive
terhadap taxane memperlihatkan peningkatan respon tumor terhadap
radiasi. Namun, efek ini paling optimal jika agen kemoterapi diberikan 1-3
hari sebelum radiasi.
39
Jika tujuannya adalah untuk mengatasi repopulasi cepat dari sel
klonogen tumor, maka lebih efektif untuk memberikan agen kemoterapi
cell specific pada paruh kedua fraksi radioterapi ketika accelerated
repopulation lebih dominan. Faktor lain yang harus dipertimbangkan
adalah faktor cost benefit dan kenyamanan pasien.
Penjadwalan kemoradiasi konkuren yang optimal sangat penting,
tidak hanya untuk memaksimalkan respon tumor terhadap radiasi, tetapi
juga untuk meminimalisasi toksisitas pada organ kritis. Seperti telah
disinggung sebelumnya, masalah toksisitas jaringan normal ini merupakan
limitasi utama pemberian kombinasi radiasi dan kemoterapi secara
konkuren. Namun, concurrent chemoradiation telah memberikan bukti
klinis yang lebih baik dibandingkan mode kombinasi kemoradiasi lainnya
dalam hal kontrol lokal dan kesintasan hidup pasien. Beberapa penelitian
bahwa walaupun toksisitas kemoradiasi konkuren memang lebih besar
dibandingkan modalitas tunggal, namun masih dapat ditoleransi. Dan
dengan mempertimbangkan dampak positif kemoradiasi terhadap angka
survival, toksisitas ini masih dapat diterima.
Meningkatkan efikasi agen kemoterapi
Saat ini telah tersedia berbagai agen kemoterapi baru yang sangat
efektif terhadap kanker yang umum pada manusia dan merupakan
radiosensitizer yang cukup poten. Tetapi efek toksik terhadap jaringan
normal telah menjadi salah satu limitasi utama. Untuk mengatasi hal ini,
digunakan obat polimer larut air, seperti asam poliglutamat. Konjugat ini
40
akan berakumulasi dalam tumor dan melepaskan zat aktif kedalam tumor
dalam dosis tinggi dan untuk waktu yang lebih lama. Contohnya konjugat
yang telah dikembangkan adalah konjugat asam poliglutamat dengan
paclitaxel.
Inkorporasi molecular targeting
Penelitian terkini telah berhasil menemukan sejumlah reseptor,
enzim, atau growth factor yang bertannggung jawab atas resistensi sel
kanker terhadap radiasi atau agen sitotoksik diantaranya adalah epidermal
growth factor (EGFR), siklooksigenase 2 (COX 2) enzim, mutated ras,
CHK1 (protein control checkpoint siklus sel), sejumlah enzim perbaikan
DNA seperti DNA-PK, ATM, RAD51 dan lainnya.
Penelitian invivo telah membuktikan bahwa blok EGFR, atau
interferensi dalam proses signalingnya dapat meningkatkan outcome
terapi tumor dengan radiasi ataupun kemoterapi.
Proteksi jaringan normal
Toksisitas jaringan normal merupakan limitasi utama kemoradiasi
concurrent, karena itu pula dikembangkan suatu strategi inkorporasi
radioprotektor atau kemoprotektif kedalam terapi. Agen radioprotektor
yang paling banyak diteliti adalah senyawa Thiol, Contohnya amifostine.
Prinsip kerja dari amifostine adalah dengan scavenging radikal bebas
yang dibentuk oleh ionisasi radiasi dan agen kemoterapi tertentu seperti
agen alkilasi, dan mendonasikan atom hydrogen untuk memfasilitasi repair
DNA. Obat ini secara selektif diuptake oleh jaringan normal. Namun
41
belakangan ini telah muncul berbagai penelitian mengenai efek samping
amifostine yang cukup serius seperti syndrome steven johnsons (SSJ) dan
nekrolisis epidermo toksik (NET). Efek samping yang cukup serius ini
berakibat dihentikannya pemberian amifostine, penundaan radiasi sampai
resiko kematian. Oleh karena itu amifostine saat ini jarang digunakan.
Growth factor bermanfaat untuk ameliorasi toksisitas akibat agen
kemoterapi, khusus pada keganasan hematopoetik.
Interaksi agen kemoterapi spesifik dengan radiasi
Agen kemoterapi memiliki mekanisme kerja yang berbeda-beda.
Perbedaan mekanisme kerja antar golongan kemoterapi menyebabkan
adanya perbedaan interaksi dengan radiasi. Selanjutnya akan dibahas
mengenai interaksi spesifik masing-masing golongan dengan radiasi.
II.2 Radioterapi
II.2.1 Radioterapi Pada Keganasan Kepala Leher
Definisi Radioterapi
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna
dengan menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel
tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor
agar tidak menderita kerusakan terlalu berat.
Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit
dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+
dan OH yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA
42
dalam kromosom, sehingga dapat terjadi rantai ganda DNA pecah,
perubahan cross-linkage dalam rantai DNA, dan perubahan base yang
menyebabkan degenerasi atau kematian sel.
Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel
kanker lebih rendah dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel
kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap rusak dibandingkan dengan
sel-sel normal. Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan
reparasi kerusakan DNA-nya sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA
sel normal yang lebih baik dan lebih cepat dari sel kanker ini dipakai
sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.
Pada tahun 1920-an terapi radiasi mulai dipertimbangkan untuk
karsinoma nasofaring. Awalnya pemberian radioterapi ini enggan
dilakukan karena letak nasofaring yang berdekatan dengan struktur yang
radiosensitif seperti mata dan korda spinalis, serta kedalaman penetrasi
sinar X-ray yang sangat rendah pada masa itu. Pada tahun 1920-an awal
terapi pertama menggunakan radium dilaksanakan di Institut Curie Paris.
(Agulnik,M. & Siu,L.L, 2005)
Radioterapi masih merupakan terapi pilihan pada kasus KNF yang
belum disertai tanda-tanda metastasis jauh. Untuk T1 dan T2 dosis
diberikan 200-220cGy per fraksi, diberikan 5 kali dalam seminggu sampai
mencapai dosis total 6000-7000cGy dalam 6 minggu. Untuk T3-T4 dosis
total radiasi 7000-7500cGy.
43
Pertimbangan pemilihan radiasi sebagai pengobatan pilihan utama
untuk KNF terutama didasarkan fakta bahwa secara histopatologis
kebanyakan (75%-95%) KNF dari jenis karsinoma undifferentiated (WHO
tipe 3) dan karsinoma non keratinisasi (WHO tipe 2) yang sangat
radiosensitif (Shanmugaratnam, 1988). Alasan lainnya adalah faktor
anatomi nasofaring yang terletak didasar tengkorak dengan banyak organ
vital menyebabkan tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh
daerah bebas tumor (free margin) sangat sulit dikerjakan (Bailet, 1992;
Neel, 1993).
Jenis Sinar Radioterapi
Jenis sinar radioterapi yang dipakai untuk radioterapi adalah:
(1). Sinar Alfa yang merupakan sinar korpuskuler atau partikel dari inti
atom. Inti atom terdiri dari proton dan neutron. Sinar ini tidak dapat
menembus kulit dan tidak banyak dipakai dalam radioterapi.
(2) Sinar Beta yang merupakan sinar elektron. Sinar ini dipancarkan oleh
zat radioaktif yang mempunyai energi rendah dengan daya tembusnya
pada kulit terbatas, 3-5 mm, sehingga digunakan untuk terapi lesi yang
superfisial.
(3). Sinar Gamma yang merupakan sinar elektromagnetik atau foton. Sinar
ini dapat menembus tubuh, dimana daya tembusnya tergantung dari besar
energi yang menimbulkan sinar itu. Makin tinggi energinya atau makin
tinggi voltagenya, makin besar daya tembusnya dan makin dalam letak
dosis maksimalnya.
44
Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik,
diagnosis histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau
paliatif. Penderita juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada
penderita, bila perlu juga keluarganya diberikan keterangan mengenai
perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin
timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium
sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan umum
yang buruk, gizi kurang atau demam tidak diperbolehkan untuk radiasi,
kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita, seperti obstruksi
jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai
sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok ukur, kadar
Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari
3000 per mm dan trombosit 100.000 per uL.
Penentuan batas-batas lapangan radiasi merupakan salah satu
langkah yang terpenting untuk menjamin berhasilnya suatu radioterapi.
Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan sekitarnya /
potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah bening
regional.
Cara Pemberian Radioterapi
Ada 3 cara utama pemberian radioterapi yaitu
(1). Radiasi Eksterna / Teleterapi dengan sumber sinar berupa
aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar tubuh. Sinar
diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi.
45
(2). Radiasi Interna / Brachiterapi dengan sumber energi ditaruh di
dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di dalam rongga tubuh
(3). Intravena dengan larutan radioisotop disuntikkan ke dalam vena,
misalnya I131 intra vena akan diserap oleh tiroid untuk mengobati
kanker tiroid.
Pada kongres Radiologi Internasional ke VIII tahun 1953, ditetapkan
RAD (Radiation Absorbed Dose) sebagai banyaknya energi yang di serap
per unit jaringan. Saat ini unit Sistem Internasional ( SI ) dari dosis yang di
absorpsi telah diubah menjadi Gray (Gy) dan satuan yang sering dipakai
adalah satuan centi gray (cGy). 1 Gy = 100 rad dan 1 rad = 1 cGy =
102Gy.
Tujuan Pemberian Radioterapi
Terdapat 2 jenis radiasi yaitu radiasi kuratif dan radiasi paliatif.
Radiasi kuratif diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada
penderita dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer,
KGB leher dan supra klavikular. Dosis total radiasi yang diberikan adalah
6600-7000 rad dengan fraksi 200 rad, 5 kali pemberian per minggu.
Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad
lapangan penyinaran supraklavikular dikeluarkan. Sedangkan radiasi
paliatif diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan
lokal. Dosis radiasi untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300
rad, 5 x per minggu. Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas
pada daerah kambuh.
46
Respon Radioterapi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon
terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening
leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi
berdasarkan kriteria WHO :
a. Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah
bening yang besar.
b. Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50%
atau lebih.
c. No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap
d. Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar
25% atau lebih.(Ondrey and Wright;2002)
Target utama radioterapi adalah rusaknya DNA di kromosom inti sel
kanker yang berakibat kematian atau hilangnya kemampuan sel dalam
melakukan aktivitas reproduksi (proliferasi). Kematian sel kanker karena
kerusakan DNA berat (lethal damage) merupakan efek radiasi pengion
secara langsung, sedangkan kerusakan struktur vital sel sebagai akibat
dari ionisasi molekul air merupakan efek tidak langsung.
Sebagian besar kerusakan sel dan jaringan tubuh disebabkan
karena pengaruh terbentuknya radikal bebas terutama ion hidroksil.
Radiasi eksterna (teleterapi) pada KNF stadium loko-regional harus
diberikan dengan dosis yang cukup tinggi (sekitar 7000 cGy), ditujukan
pada tumor primer di nasofaring dan daerah perluasan maupun
47
metastasisnya di kelenjar getah bening leher. Radioterapi dikatakan
berhasil bila tercapai eradikasi semua sel kanker yang viable (Hussey,
1993). Pelepasan energi dari sinar pada materi biologik yang dilalui, yang
terjadi secara random mengakibatkan perubahan akibat radiasi dapat
terjadi pada setiap molekul dalam sel. Akan tetapi telah diketahui bahwa
kerusakan pada DNA merupakan penyebab utama kematian sel.
Kerusakan DNA yang dapat terjadi adalah antara lain (Hill, R.P., 1992;
Sukarja,1996) :
a. Rantai ganda DNA pecah
b. Perubahan atau kehilangan basa-basa pembentuk DNA
c. Terjadi cross-links antara DNA dan protein kromosom.
Perubahan yang dapat terjadi pada tingkat seluler adalah (Hill, R.P.,
1992) :
a. Aberasi kromosom
b. Hambatan melakukan proses reproduktif.
c. Hambatan melanjutkan siklus proliferasi sel (G2 mitotic delay).
Hilangnya kemampuan sel tumor melakukan aktifitas reproduksi,
sehingga menurunkan kemampuannya menghasilkan viable progeny
merupakan efek yang diharapkan dari radiasi dalam pengobatan
keganasan, disamping kematian sel. Tumor terkontrol bila stem cells
tidak dapat lagi berproliferasi.
48
Komplikasi radioterapi
Dapat berupa komplikasi dini yang biasanya terjadi selama atau
beberapa minggu setelah radioterapi, seperti Xerostomia, mual-muntah,
mukositis, anoreksi, dermatitis, eritema. Komplikasi lanjut dari radioterapi
biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti kontraktur
gangguan pertumbuhan.
II.3. Kemoterapi
Kemoterapi
Pada awal abad ke 20 kemoterapi pertama kali digunakan oleh
Ehrilch yang berasal dari agen anti parasit (alkylating agent). Penggunaan
obat anti kanker dimulai tahun 1946an dengan ditemukannya secara
kebetulan nitrogen mustard yang dapat dipakai untuk mengobati leukemia.
Umumnya obat anti kanker itu sangat toksis, sehingga penggunaannya
harus sangat hati-hati dan atas indikasi yang tepat. Sejak waktu itu makin
banyak ditemukan obat yang dapat dipakai untuk mengobati kanker. Saat
ini dikenal lebih dari 40 jenis obat anti kanker yang dipakai secara aktif di
seluruh dunia.
Awalnya kemoterapi memberi kesan kuat pada masyarakat awam
maupun sebagian dokter bahwa pemberian kemoterapi anti kanker
merupakan pemakaian sia-sia serta membawa dampak toksisitas yang
parah. Namun dengan kemajuan ilmu di bidang disiplin onkologi
anggapan yang tak beralasan tersebut dapat dihilangkan. Saat ini
49
kemoterapi telah berhasil digunakan untuk berbagai penyakit keganasan.
Walaupun toksisitas yang ditimbulkan masih belum dapat dihilangkan
seluruhnya, namun telah dapat meminimalkan morbiditas yang berlebihan.
Karsinoma nasofaring memiliki respons terhadap terapi radiasi dan
kemoterapi. KNF sangat sensitif terhadap kemoterapi, pemberian
kombinasi berbasis platinum memiliki aktivitas terapi lebih baik dari pada
yang single agent(Ali & Al Sarraf, 2000). Kemoterapi memiliki peran
penting pada terapi kuratif dan paliatif penderita KNF stadium lanjut
(Kawashima, et al., 2004).
Menurut prioritas indikasinya terapi kanker dapat dibagi dua yaitu
terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis).
Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak
dapat mandiri (Soebandiri, 2004). Semua kemoterapi yang diberikan
untuk menangani tumor lokoregional merupakan terapi adjuvan
(Agarwala, 1999).
Selain menghambat pertumbuhan atau eradikasi (mematikan) sel
kanker, beberapa jenis sitostatika dapat meningkatkan kepekaan tumor
terhadap radiasi. Prioritas pemberian kemoterapi terutama untuk KNF
stadium lanjut (T3-T4), atau bila dicurigai adanya metastasis jauh
(Kuratomi et al, 1999; Hasbini et. al., 1999).
Skipper pada tahun 1960-an mengungkapkan prinsip-prinsip trial
kemoterapi, sebagai berikut :
50
- Sel kanker single dapat tumbuh sampai mencapai masa tumor
letal.
- Tumor doubling time menurun dengan meningkatnya tumor
burden pada stadium lanjut dari pertumbuhan tumor.
- Kebanyakan obat kemoterapi menunjukkan” log cell kill kinetics”
dan peningkatan yang sama dan log cell kill sebanding dengan
dosis.
- Tumor burden berbanding terbalik dengan angka kesembuhan.
II.3.1 Definisi Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pengobatan kanker dengan pemberian
obat-obatan tertentu (sitostatika/obat anti kanker) yang bertujuan untuk
menghambat pertumbuhan sel kanker ataupun membunuh sel kanker.
II.3.2 Tujuan dari kemoterapi:
a. sebagai radiosensitizer dan meningkatkan control locoregional
b. mengobati penyakit micrometastatic dan meningkatkan kualitas
hidup
c. preservasi organ
d. terapi palliative
e. debulking tumor besar sehingga memungkinkan untuk
dilakukan tindakan operasi
51
II.3.3 Mekanisme kerja obat-obat kemoterapi
Obat anti kanker terutama bekerja pada DNA yang merupakan
komponen utama gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel.
Cara kerjanya pada sel- sel kanker ada yang :
1. Menghambat atau mengganggu sintesa DNA dan atau RNA
2. Merusak replikasi DNA
3. Mengganggu transkripsi DNA oleh RNA
4. Mengganggu kerja gen
Obat anti kanker itu ada yang bekerja pada :
a. Fase spesifik, yaitu Fase M, Fase S, Fase G1, Fase G2
b. Fase nonspesifik, yaitu pada semua fase dalam siklus sel.
Terdapat 5 fase proliferasi sel, baik pada sel normal maupun pada
sel tumor. Adapun fase- fase tersebut adalah :
- Fase G 0 ( Gap 0 ): Fase istirahat, sel diprogram untuk
melaksanakan fungsi-fungsi khusus.
- Fase G 1 ( Gap 1) : Merupakan interfase, terjadi sintesa protein
dan RNA
- Fase S ( Sintesa ) : Fase sintesa DNA
- Fase G 2 (Gap 2) : fase premitosis, setelah sintesa DNA
selesai, sintesa protein dan RNA berlanjut dan precursor
microtubular dari mitosis dihasilkan.
- Fase M ( Mitosis ) : Fase pembelahan sel, setelah fase ini
selesai, maka siklus akan berulang ke awal.
52
Tumor maligna bisa terdiri fraksi sel yang aktif berproliferasi,
sehingga memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap kemoterapi, bisa juga
terdiri dari sel yang non proliferasi sehingga memiliki sensitifitas yang
rendah terhadap kemoterapi. Mayoritas tumor solid hanya sedikit fraksi
yang berproliferasi sehingga tumor solid tidak sensitif terhadap
kemoterapi. Pengetahuan akan kinetik selular dapat menuntun kita untuk
menentukan pemilihan obat anti kanker yang akan dipergunakan. Siklus
pertumbuhan kanker, obat anti kanker ada yang bekerja pada :
a. Semua siklus ( Cell Cycle Non Spesific )
Obat anti kanker jenis ini dapat bekerja pada semua siklus sel,
apakah sedang berada dalam siklus pertumbuhan sel atau
tidak. Pada umumnya sel yang pertumbuhannya cepat lebih
sensitif terhadap obat daripada yang lambat, hanya
perbedaannya yang tidak terlalu besar.
b. Pada siklus pertumbuhan tertentu pada semua phase (Cell
Cycle Non Phase Spesifik)
Obat hanya bekerja pada sel yang berada dalam siklus
pertumbuhan, tetapi tidak pada sel yang tidak tumbuh ( G 0 ).
Toksisitas sel tergantung dari dosis obat dan lama paparan
(exposure).
c. Pada siklus pertumbuhan tertentu pada fase tertentu ( Cell
Cycle Phase Spesific )
53
Obat bekerja hanya pada phase tertentu saja dalam siklus
pertumbuhannya cepat lebih peka daripada yang
pertumbuhannya lambat, tetapi ada sel yang tidak peka
terhadap obat walaupun dosisnya tinggi. Untuk sel kanker
golongan ini sebaiknya diberi obat anti kanker dalam waktu
yang pendek dan dengan dosis yang tinggi.
Berdasarkan mekanisme cara kerja obat:
- Alkylating agent
Obat golongan ini menghambat sintesa DNA dengan menukar
gugus alkali sehngga membentuk ikatan silang DNA dan
menganggu fungsi sel dengan melakukan transfer gugus alkali
pada gugus amino, karboksil, sulfidril atau fosfat.
Contoh: Cyclophospamid, Carboplatin, Cisplatin
- Antibiotik
Obat golongan ini mekanisme kerjanya menghambat sintesa
DNA dan RNA.
Contoh: Bleomicin, Mitomicin, Epirubicin, Doxorubicin
- Antimetabolit
Bekerja dengan cara menghambat sintesa asam nukleat.
Contoh: Leukovorin, Fluorouracil, Metotrexate, Hydroxyurea
- Mitotic Spindle
54
Obat golongan ini akan berikatan dengan protein mikrotubuler
sehingga menyebabkan disolusi struktur mitotic spindle pada
fase mitosis.
Contoh: Paclitaxel, Vincristine, Doxetaxel
- Topoisomerase inhibitor
Obat golongan ini bekerja dengan cara menganggu fungsi enzim
topoisomerase sehingga menghambat proses transkripsi dan
replikasi
Contoh: Etoposit, Irinotecan dan Topotecan
- Hormonal
Beberapa hormonal dapat digunakan dalam kemoterapi.
Contoh: adrenokortikosteroid (Prednison, metilprednisolon,
dexametason)
- Monoclonal antibodies
Obat ini memiliki selektifitas relative untuk jaringan tumor dan
toksisitasnya relative rendah. Obat ini dapat menyerang sel
tertentu secara langsung dan dapat digabungkan dengan zat
radioaktif atau kemoterapi tertentu.
Contoh:Rituximab dan Trastuzumab
55
Metoda Pemberian Kemoterapi
Secara umum metode kemoterapi digunakan dengan 4 cara kerja
yaitu :
1. Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului
pembedahan dan radiasi
2. Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan
bersamaan dengan radiasi pada kasus karsinoma stadium
lanjut (konkuren atau konkomitan).
3. Sebagai terapi adjuvant yaitu sebagai terapi tambahan paska
pembedahan dan atau radiasi
Indikasi dan Kontraindikasi Pemberian Kemoterapi
Indikasi Kemoterapi, menurut Brule, cs ( WHO 1973 ), ada 7 indikasi
pemberian kemoterapi, yaitu :
1. Untuk menyembuhkan kanker
2. Memperpanjang hidup dan remisi
3. Memperpanjang interval bebas kanker
4. Menghentikan progresi kanker
5. Paliasi symptom
6. Mengecilkan volume kanker
7. Menghilangkan gejala para neoplasma
Kontraindikasi Kemoterapi, menurut Brule, cs ( WHO 1973 ) :
1. Kontraindikasi Absolut
a. Penyakit stadium terminal
56
b. Hamil trimester pertama kecuali akan digugurkan
c. Septikemia
d. Koma
2. Kontraindikasi Relatif
a. Usia lanjut terutama untuk tumor yang tumbuhnya lambat
dan sensitivitasnya rendah
b. Status penampilan yang sangat jelek
c. Ada gangguan fungsi organ vital yang berat seperti : hati,
ginjal, jantung, sumsum tulang.
d. Dementia
e. Penderita tidak dapat mengunjungi klinik secara teratur.
Teknik Pemberian Kemoterapi
Peroral,Intravena,Intraarteri,Intraperikardial,Intratekal,Intraperitoneal.
Obat-obat kemoterapi
Obat-obat yang biasa digunakan untuk tumor daerah kepala dan
leher :
Agen Platinum-Based
Obat ini termasuk kedalam agen alkilasi bersama dengan nitrogen
mustard (mustine, cyclophosphamide, ifosfamide, chlorambucil dan
melaphalan), sulfonat alkil (busulphan), aziridine (thiotepa) dan nitrosurea
(carmustine, lomustine). Obat golongan ini telah lama dikenal sebagai
kemoterapi yang poten. Mekanisme antitumornya berupa inhibisi sintesis
DNA. Mekanisme sekundernya adalah inhibisi elongasi transkripsi oleh
57
DNA. Bahan dasar logamnya membuatnya memiliki afinitas yang tinggi
terhadap electron dan bereaksi secara selektif dengan electron yang
terhidrasi. Mekanisme pasti kematian sel pada kombinasi radiasi dan
kemoterapi ini belum diketahui. Namun, bukti-bukti klinis mengarah
kepada inhibisi PLDR dan radiosensitasi sel tumor yang hipoksik. Cisplatin
dan radiasi memiliki efek sinergistik yang tidak hanya sekedar aditif,
terutama jika diberikan pada radiasi terfraksinasi. Hal ini dijelaskan oleh
mekanisme inhibisi SLDR. Generasi kedua dari golongan agen berbasis
platinum adalah carboplatin. Meta analisis oleh Hotta et. al yang
mempelajari mengenai carboplatin sebagai pengganti cisplatin pada terapi
kombinasi NSCLC menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan angka
kesintasan antara kedua agen. Namun efek samping carboplatin dapat
lebih ditoleransi.
Efek samping hematologi yang timbul adalah leukopeni dan
trombositopeni, sedangkan anemia biasanya timbul setelah beberapa kali
pemberian. Mual dan muntah sering dijumpai dan biasanya bertahan
sampai 24-96 jam. Berdasarkan klasifikasi emetic power cisplatin
tergolong very emetic chemotherapy. Sedangkan nephrotoxicity
(peningkatan level serum creatinin dan BUN) tergantung dosis yang
diberikan dan biasanya jarang dijumpai jika rehidrasi dilakukan secara
adekuat (Florea & Busselberg, 2011).
Selain itu dapat pula terjadi ototoxicity, jenis yang timbul adalah high
frequency hearing loss atau tinnitus, lebih sering dijumpai pada penderita
58
yang mendapat dosis > 100 mg/m2 dengan pemberian IV cepat (Florea &
Busselberg,2011).
Pada beberapa kasus, cisplatin dapat menimbulkan abnormalitas
jantung (cardiotoxicity)berupa bundle branch block, gelombang ST-T yang
abnormal, atrial fibrilasi dan supraventrikular takikardi. Pemberian cisplatin
juga dapat menimbulkan neuropati perifer berupa glove and stocking
neuropathy, klinis berupa mati rasa, kesemutan dan terasa tebal pada
kedua tangan-kaki bagian distal (Saini,et al., 2003).
Cisplatin dapat menimbulkan toksisitas pada hepar, reaksi alergi dari
yang ringan sampai syok anafilaksis. Reaksi alergi dan syok anafilaksis
dapat timbul hanya beberapa menit setelah pemberian.Timbulnya
komplikasi ini dapat diatasi dengan pemberian epinefrin, kortikosteroid
dan antihistamin (Kentjono, 2010).
Taxane
Paclitaxel dan Docetaxel merupakan obat yang paling efektif
melawan kanker kepala dan leher. Paclitaxel pada awalnya didapat dari
kulit pohon yew pacific, tetapi saat ini sudah dibuat sintesis. Golongan
taxane ini menstabilkan polimerisasi tubulin dan menghambat pemisahan
sel. Docetaxel mempunyai aktivitas yang hampir sama dengan paclitaxel.
Kedua obat ini dianggap sebagai lini pertama pengobatan kanker kepala
dan leher tingkat lanjut.
Golongan kemoterapi ini berasal dari tumbuh-tumbuhan. Paclitaxel
(Taxol) dan docetaxel (Taxotere) merupakan contoh dari golongan ini.
59
Administrasi taxane akan berakibat berhentinya sel pada fase G2/M dari
siklus sel yang merupakan titik dimana sensitifitas sel terhadap efek
ionisasi radiasi meningkat. Namun fakta bahwa sel non proloferatif juga
tersensitisasi oleh paclitaxel mengindikasikan adanya mekanisme selain
G2/M arrest. Secara umum, penelitian in vitro menunjukkan bahwa efek
sensitisasi ini paling optimal ketika sel proliferative telah diinkubasi dengan
konsentrasi sedang paclitaxel selama 24 jam sebelum radiasi.
Secara lokal dimana vaskularisasi jaringan tumor yang masih baik,
akan lebih sensitif menerima kemoterapi sebagai antineoplastik agen.
Karsinoma sel skuamosa biasanya sangat sensitif terhadap kemoterapi
ini. (Bailey 1998).
Penelitian di Anderson Cancer Center menunjukkan bahwa paclitaxel
juga menginduksi terjadinya kematian sel terprogran (apoptosis),
sedangkan observasi oleh Milas et.al. menyimpulkan bahwa :
Penyusutan massif sel tumor melalui jalur apoptosis terjadi
terbatas pada region perivaskular.
Radio enhancement yang terjadi pada periode ini bahkan
lebih bermakna lagi ketika sel apoptotik ini disingkirkan dari
tumor.
Tampaknya kombinasi efek pada siklus sel, reoksigenasi dan drug
induced apoptosis, menjelaskan kemampuan radiosensitisasi paclitaxel.
Agen terbaru dari golongan taxane diantaranya taxoltere metro,
epithilones dan taxane oral.
60
Golongan taxol ini telah dipakai sebagai agen kombinasi dengan
radiasi pada kasus-kasus keganasan kepala leher dan paru (NSCLC)
Mitomycin C
Alasan penggunaan mitomycin C sebagai terapi kombinasi
berdasarkan kemampuannya untuk menargetkan sel hipoksik yang
radioresisten. Bukti preklinik menunjukkan bahwa pemberian mitomycin
sebelum radiasi menimbulkan interaksi supraaditif. Berhubungan sel
normal tidak hipoksik, efek selektif mitomycin C mampu meningkatkan
efek terapi tanpa meningkatkan resiko toksisitas jaringan normal. Namun,
agen ini tetap memiliki keterbatasan. Penggunaan mitomycin C dibatasi
oleh toksisitas hematologiknya. Para peneliti berusaha mengatasi hal ini
melalui pengembangan tirapazamine, suatu benzotriazine di N-oksida,
yang bersifat toksik terhadap sel hipoksik pada dosis yang jauh lebih
rendah daripada kadar dosis untuk tujuan radiosensitisasi. Agen ini
memiliki perbedaan toksisitas paling tinggi antara sel hipoksik dan
nonhipoksik. Pada hakikatnya obat ini bekerja melalui fungsi reduktor
intraseluler yang menghasilkan radikal bebas reaktif yang mampu
menyebabkan terjadinya SSB dan DSB. Pada keadaan teroksigenasi,
elektron bebas akan diabsorpsi dan zat aktif akan dioksidasi menjadi
bentuk prodrug kembali.
Antimetabolit
Dasar efek sitotoksik obat ini diperkiraka merupakan kombinasi
beberapa efek berikut :
61
1. Inkorporasi ke dalam RNA, sehingga menggganggu fungsinya.
2. Inhibisi fungsi thimidilat sintetase berakibat pada inhibisi sintesis
DNA.
3. Inkorporasi langsung ke dalam DNA.
Optimalisasi dari penjadwalan administrasi obat sangat penting
untuk mendapat keuntungan dari kombinasi obat ini dengan radiasi.
Blackstock menyimpulkan toksisitas pada pemberian kemoradiasi
concurrent dengan gemcitabine dua kali dalam seminggu yang diberikan
30 menit sebelum radiasi, memberikan hasil yang baik dengan toksisitas
yang masih dapat diterima.
Gemcitabine merupakan salah satu contoh obat dari golongan ini
yang merupakan suatu radiosensitizer yang poten. Efek biologis dari obat
ini hampir sepenuhnya merupakan akibat efeknya terhadap metabolism
DNA. Namun selain itu, efek sitotoksik diakibatkan juga oleh inkorporasi
obat ke dalam DNA dan apoptosis. Gemcitabine berkerja spesifik pada sel
dalam fase S, oleh karena itu obat ini memiliki toksisitas selektif terhadap
sel proliferative, sehingga meurunkan jumlah proliferasi yang berlangsung
selama fraksinasi terapi radiasi.
Inhibitor Topomerase I
Camptothecin adalah tumbuhan alkaloid yang berasal dari pohon
Camtotheca acuminate. Zat ini pertama kali di uji antara tahun 1960 dan
1970, namun penelitiannya ditinggalkan akibat perdarahan sistitis berat
yang tidak dapat diprediksi. Camptothecin dan turunannya (irinotecane,
62
topotecham, 9-aminocamtotecin, SN-38) menargetkan DNA
topoisomerase. DNA topoisomerase adalah enzim yang berperan dalam
berbagai proses esensial sel, termasuk transkripsi dan replikasi. Kompleks
camptothecim- topoisomerase I DNA menjadi stabil ketika berikatan
dengan fragmen SSB DNA. Kompleks stabil ini berinteraksi dengan
replication fork saat fase S atau pada replikasi DNA spontan post stress
genomic, dan menyebabkan konversi SSB menjadi DSB irreversible, dan
berujung pada kematian sel.
5-Fluorouracil
Obat ini bekerja spesifik sebagai analog urasil pada fase S yang
dapat diaktivasi melalui dua jalur utama intraseluler yaitu menggabungkan
fosforilasi menjadi RNA dan aktivasi menjadi 5fluorodeoxyuridine
monophosphate yang menghambat enzim thymidylate synthase dan
konversi senyawa uridin menjadi timidin. Sehingga sel akan kekurangan
timidin dan tidak dapat mensintesis DNA. Efek samping yang ditemukan
adalah mielosupresi, mukositis, diare, dermatitis dan kardiotoksik.
Cetuximab (Erbitux)
Merupakan obat kanker yang masuk golongan ‘terapi target’. Obat ini
bekerja sangat selektif dengan menjadikan zat-zat spesifik dalam tubuh
yang berperan dalam proses pertumbuhan sebagai target pengobatan.
Cetuximab menghambat produksi VEGF (Vascular epithelial growth factor)
karsinoma epidermosa, sehingga mengurangi jumlah pembuluh darah
tumor, down regulation VEGF, IL-8 dan ekspresi bEGF (basic fibroblast
63
growth factor) pada xenograf tumor. Obat ini diberikan secara intravena
dengan dosis 200-400 mg/m2 dan memiliki waktu paruh 114 (75-188 jam),
sehingga memungkinkan diberikan setiap minggu. Pada saat dosis awal
diberikan secara perlahan secara intravena dalam dosis besar diberikan
sekitar 2 jam. Untuk pemberian berikutnya diberikan seminggu sekali
dalam waktu 1 jam. Pada kanker kepala dan leher cetuximab diberikan
dengan kombinasi radioterapi. Efek samping cetuximab biasanya ringan
seperti rash, jerawat, kulit kering dan fissure.
II.4 Kombinasi
Tujuan mengkombinasi agen kemoterapi dengan radioterapi adalah
sebagai tambahan pengobatan primer (radiotherapy), untuk meningkatkan
kesintasan melalui kontrol lokoregional, mengurangi atau menghilangkan
metastasis dan tetap menyelamatkan integritas serta fungsi jaringan/
organ normal, mengurangi besarnya tumor, terapi buat tumor yang
radioresisten, meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi,
mengobati penyakit dengan metástasis jauh, penyakit tidak kompatibel
pembedahan dan radiasi, serta meningkatkan overall cure rate (Tara &
Lundberg, 2008). Untuk tujuan ini ada beberapa strategi yang
diklasifikasikan oleh Steel dan Peckhan menjadi 4 kelompok:
1. Spatial cooperation. Dasar pertimbangan strategi adalah radiasi
dan kemoterapi bekerja pada target yang berbeda. Radiasi
bekerja lokal pada tumor, sedaangkan kemoterapi lebih efektif
64
untuk eradikasi mikrometastasis. Spatial cooperation
merupakan dasar dari pemberian kemoradiasi adjuvan. Konsep
ini juga digunakan dalam tatalaksana keganasan hematologi
yang telah menyebar ke otak. Jika tujuan spatial cooperation
tercapai, hasilnya berupa reduksi metastasis jauh setelah terapi
kombinasi.
2. Independent/ shared toxicity. Efek toksik pada jaringan normal
menjadi batasan pemberian kombinasi radiasi dan kemoterapi.
Tujuan strategi ini adalah mengkombinasikan radiasi dengan
kemoterapi yang efek toksiknya tidak tumpang tindih pada suatu
organ, sehingga dosis radiasi dan kemoterapi dapat diberikan
semaksimal mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan
jeda antar terapi tetapi pasien mungkin harus menghadapi
rentang efek toksik yang lebih luas/ berat. Jika strategi ini
dipakai sebagai dasar interaksi kombinasi radiasi dan
kemoterapi, cara kombinasi paling optimal adalah secara
sekuensial, untuk menghindari meningkatnya efek samping jika
diberikan secara konkomitan.
3. Enhance tumor radioresponse. Interaksi antara kemoterapi dan
radiasi pada tingkat molekuler, seluler dan patofisiologi
diperkirakan merupakan penyebab peningkatan respon tumor
terhadap radiasi. Interaksi ini menghasilkan efek sinergis yang
lebih dari sekedar efek aditif. Penguatan ini harus selektif
65
terhadap sel-sel tumor dibandingkan terhadap sel normal,
sehingga tercapai rasio terapeutik yang lebih baik. Cara klasikk
untuk mengevaluasi efek kombinasi adalah melalui DMF (dose
modifying factor), yang merupakan perbandingan dosis isoefek
menggunakan radiosensitizer dan tidak menggunakan
radiosensitizer.
4. Normal tissue protection. Jika jaringan normal dapat diproteksi,
maka dapat diberikan dosis yang lebih besar kepada jaringan
tumor dan sekaligus meminimalisir efek samping. Hal ini dapat
dilakukan melalui tehnik mutakhir dalam radioterapi atau dengan
pemberian agen kimia atau biologis yang secara selektif
memproteksi jaringan normal dari radiasi dan agen kemoterapi.
Mekanisme interaksi kemoterapi dengan radiasi
1. Menambah kerusakan awal akibat radiasi
Radiasi menyebabkan kerusakan pada DNA melalui berbagai
mekanisme. Diantaranya adalah single strand break (SSB), double
strand break (DSB), kerusakan basa dan sebagainya. DSB dan
aberasi kromosom yang muncul akibat DSB dipikirkan sebagai
mekanisme utama dalam kematian sel. Agen apapun yang dapat
menyebabkan DNA lebih rentan terhadap radiasi dapat
meningkatkan kemampuan membunuh sel. Obat-obatan tertentu
contoh agen kemoterapi golongan ini adalah cisplatin,
bleomisin,doxorubisin dan hidroxyurea.
66
2. Menghambat perbaikan sel
Kerusakan letal dan potentially lethal damage (PLD) yang
diakibatkan oleh radiasi dapat diperbaiki. Reparasi PLD atau yang
dikenal sebagai potentially lethal damage repair (PLDR) adalah
proses yang terjadi ketika suatu sel yang berproliferasi cepat
mengalami perbaikan yang suboptimal atau kondisi pertumbuhan
yang terganggu. Sedangkan sublethal damage (SLD) merupakan
cedera sel yang masih dapat diperbaiki dalam keadaan normal. Pada
keadaan ini, sel akan menjadi lebih sensitive terhadap radiasi yang
berurutan. Sublethal damage repair (SLDR) mengindikasikan
peningkatan cell survival antar dua fraksi yang dipisahkan oleh jeda
waktu tertentu, sedangkan PLDR mengindikasikan peningkatan cell
survival antara dua fraksi yang dipisahkan oleh jeda waktu tertentu,
sedangkan PLDR mengindikasikan peningkatan cell survival akibat
kondisi lingkungan pasca radiasi. PLDR terjadi jika setelah radiasi,
sel memasuki fase plateau dan kondisi milieu akan menentukan
terjadinya kematian sel. Proses terjadinya SLDR sangat singkat,
berkisar antara 4-6jam setelah radiasi. Dalam waktu ini, diantara dua
fraksi radiasi, dapat terjadi perbaikan DSB DNA. PLDR terjadi ketika
kondisi lingkungan mencegah sel membelah diri selama beberapa
jam, sehingga sel memiliki kesempatan untuk memperbaiki lesi yang
seharusnya lethal seandainya DNA berreplikasi.
67
3. Redistribusi siklus sel
Kemoterapi dan radiasi keduanya lebih efektif terhadap sel
proloferatif dibandingkan yang tidak. Telah diketahui bahwa sel pada
fase G2 dan M tiga kali lebih sensitive dibandingkan fase S. Strategi
ini memanfaatkan sifat tersebut untuk memaksimalkan hasil terapi.
Contohnya beberapa agen kemoterapi, seperti taxane, dapat
memblok transisi sel saat mitosis, sehingga sel terakumulasi pada
fase G2 dan M yang radiosensitive. Eliminasi sel yang berada pada
fase S yang radioresisten merupakan bagian dari strategi
redistribusi.
4. Mengatasi radioresistensi akibat hipoksia
Tumor padat biasanya memiliki karakteristik defek
vaskularisasi, baik pada jumlah dan fungsinya, sehingga pendarahan
menjadi inadekuat. Sel tumor menjadi hipoksik, bersifat asam dan
akhirnya nekrotik. Adanya hipoksia ini menyebabkan tumor menjadi
lebih agresif (hipoksia kondusif untuk munculya sel tumor yang lebih
virulen dan menstimulasi metastasis) dan lebih resisten terhadap
radiasi dan agen kemoterapi. Sel hipoksik 2,5-3 kali lebih resisten
terhadap radiasi dibandingkan yang teroksigenasi dengan baik.
Mengkombinasi agen kemoterapi dengan radiasi dapat menurunkan
atau menghilangkan hipoksia dan dampak buruknya terhadap respon
radiasi tumor. Sebagian besar agen kemoterapi membunuh sel yang
berproliferasi, yang biasanya berada pada region tumor yang
68
teroksigenasi dengan baik karena berada dekat dengan pembuluh
darah. Destruksi sel pada region ini membuat oksigenasii region
hipoksik lebih baik dan pengecilan ukuran tumor juga membuatnya
lebih dekat dengan pembuluh darah. Konsep klasik mengemukakan
bahwa region hipoksik adalah region yang lokasinya jauh dari
pembuluh darah. Namun diluar perkiraan ternyata bagian hipoksik
tumor dapat ditemukan pada daerah yang dekat dengan pembuluh
darah. Hal ini mengindikasikan adanya susunan pembuluh darah
yang disfungsional. Feng-Li melakukan percobaan in vivo yang
menunjukkan bahwa mikrometastasis dengan ukuran <1mm
mengalami hipoksia berat, sedangkan tumor ukuran 1-4mm memiliki
perfusi yang baik dan teroksigenasi dengan baik pula. Faktor lain
yang juga mempengaruhi adalah daur hidup sel tumor. Sehingga
pola hipoksia pada tumor merupakan sesuatu yang kompleks.
5. Menghambat repopulasi sel tumor
Tumor akan kehilangan sejumlah sel setelah tiap fraksi radiasi
dan hal ini menginduksi terjadinya kompensasi berupa regenerasi sel
(repopulation). Peningkatan kecepatan proliferasi yang diinduksi oleh
terapi ini dikenal sebagai accelerated repopulation.
Accelerated repopulation memiliki dampak positif bagi jaringan
sehat karena berfungsi sebagai pelindung dari kerusakan akibat
radiasi. Namun accelerated repopulation memiliki dampak yang
bervariasi terhadap control lokal tumor oleh radiasi atau kemoterapi.
69
Maka dari itu pendekatan apapun yang dapat mengurangi atau
menghilangkan accelerated population dari sel klonogen diperkirakan
dapat meningkatkan respon radioterapi. Agen kemoterapi memiliki
kemampuan sitotoksik atau sitostatik dan dapat mengurangi
kecepatan proliferasi jika diberikan bersamaan dengan radioterapi
(konkuren), sehingga meningkatkan efektivitas terapi. Tetapi yang
menjadi keterbatasan dalam pemberian kemoradiasi konkuren
adalah meningkatnya toksisitas terhadap jaringan normal yang
memiliki tingkat proliferasi tinggi, karena sebagian besar agen
kemoterapi memiliki selektivitas yang rendah.
Pemberian mengenai waktu pemberian obat berkaitan dengan
radioterapi
Obat kemoterapi diberikan sebelum (induction or neoadjuvant
chemotherapy), bersamaan (concurrent or concomitant) atau setelah
(adjuvant chemotherapy) radiasi. Keuntungan dan kerugian dari masing-
masing pemberian ini.
Kemoterapi induksi membuat tumor primer lebih terkontrol oleh
radiasi dengan mengurangi sel klonogen dan reoksigenasi sel hipoksik.
Meskipun demikian manfaat terapeutiknya masih dibawah ekspektasi.
Sejumlah faktor diperkirakan menyebabkan hal ini, termasuk fenomena
accelerated repopulation.
Jika tujuannya adalah untuk mengatasi repopulasi cepat dari sel
klonogen tumor, maka lebih efektif untuk memberikan agen kemoterapi
70
cell specific pada paruh kedua fraksi radioterapi ketika accelerated
repopulation lebih dominan. Faktor lain yang harus dipertimbangkan
adalah faktor cost benefit dan kenyamanan pasien.
Penjadwalan kemoradiasi konkuren yang optimal sangat penting,
tidak hanya untuk memaksimalkan respon tumor terhadap radiasi, tetapi
juga untuk meminimalisasi toksisitas pada organ kritis. Seperti telah
disinggung sebelumnya, masalah toksisitas jaringan normal ini merupakan
limitasi utama pemberian kombinasi radiasi dan kemoterapi secara
konkuren. Namun, concurrent chemoradiation telah memberikan bukti
klinis yang lebih baik dibandingkan mode kombinasi kemoradiasi lainnya
dalam hal kontrol lokal dan kesintasan hidup pasien. Beberapa penelitian
bahwa walaupun toksisitas kemoradiasi konkuren memang lebih besar
dibandingkan modalitas tunggal, namun masih dapat ditoleransi. Dan
dengan mempertimbangkan dampak positif kemoradiasi terhadap angka
survival, toksisitas ini masih dapat diterima.
Meningkatkan efikasi agen kemoterapi
Saat ini telah tersedia berbagai agen kemoterapi baru yang sangat
efektif terhadap kanker yang umum pada manusia dan merupakan
radiosensitizer yang cukup poten. Tetapi efek toksik terhadap jaringan
normal telah menjadi salah satu limitasi utama. Untuk mengatasi hal ini,
digunakan obat polimer larut air, seperti asam poliglutamat. Konjugat ini
akan berakumulasi dalam tumor dan melepaskan zat aktif kedalam tumor
dalam dosis tinggi dan untuk waktu yang lebih lama. Contohnya konjugat
71
yang telah dikembangkan adalah konjugat asam poliglutamat dengan
paclitaxel.
Inkorporasi molecular targeting
Penelitian terkini telah berhasil menemukan sejumlah reseptor,
enzim, atau growth factor yang bertanggung jawab atas resistensi sel
kanker terhadap radiasi atau agen sitotoksik diantaranya adalah epidermal
growth factor (EGFR), siklooksigenase 2 (COX 2) enzim, mutated ras,
CHK1 (protein control checkpoint siklus sel), sejumlah enzim perbaikan
DNA seperti DNA-PK, ATM, RAD51 dan lainnya.
Penelitian invivo telah membuktikan bahwa blok EGFR, atau
interferensi dalam proses signalingnya dapat meningkatkan outcome
terapi tumor dengan radiasi ataupun kemoterapi.
Proteksi jaringan normal
Toksisitas jaringan normal merupakan limitasi utama kemoradiasi
concurrent. Karena itu pula dikembangkan suatu strategi inkorporasi
radioprotektor atau kemoprotektif kedalam terapi. Agen radioprotektor
yang paling banyak diteliti adalah senyawa Thiol, Contohnya amifostine.
Prinsip kerja dari amifostine adalah dengan scavenging radikal bebas
yang dibentuk oleh ionisasi radiasi dan agen kemoterapi tertentu seperti
agen alkilasi, dan mendonasikan atom hydrogen untuk memfasilitasi repair
DNA. Obat ini secara selektif diuptake oleh jaringan normal. Namun
belakangan ini telah muncul berbagai penelitian mengenai efek samping
amifostine yang cukup serius seperti syndrome steven johnsons (SSJ) dan
72
nekrolisis epidermo toksik (NET). Efek samping yang cukup serius ini
berakibat dihentikannya pemberian amifostine, penundaan radiasi sampai
resiko kematian. Oleh karena itu amifostine saat ini jarang digunakan.
Growth factor bermanfaat untuk ameliorasi toksisitas akibat agen
kemoterapi, khusus pada keganasan hematopoetik.
Interaksi agen kemoterapi spesifik dengan radiasi
Agen kemoterapi memiliki mekanisme kerja yang berbeda-beda.
Perbedaan mekanisme kerja antar golongan kemoterapi menyebabkan
adanya perbedaan interaksi dengan radiasi. Selanjutnya akan dibahas
mengenai interaksi spesifik masing-masing golongan dengan radiasi.
Pemberian kemoterapi terbagi dalam 3 kategori :
1. Kemoterapi adjuvan.
2. Kemoterapi neoadjuvant
3. Kemoterapi concurrent
1. Kemoterapi adjuvan
Pemberian kemoterapi diberikan setelah pasien dilakukan radioterapi.
Tujuannya untuk mengatasi kemungkinan metastasis jauh dan
meningkatkan kontrol lokal. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu
saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya
yang maksimal ternyata: - Kanker masih ada, dimana biopsi masih
positif. - Kemungkinan besar kanker masih ada, meskipun tidak ada bukti
secara makroskopis. - Pada tumor dengan derajat keganasan tinggi.
(oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh) 11,13
73
2. Kemoterapi neoadjuvan
Pemberian sitostatika lebih awal yang dilanjutkan pemberian
radiasi. Maksud dan tujuan pemberian kemoterapi neoadjuvan
untuk mengecilkan tumor yang sensitif sehingga setelah tumor
mengecil akan lebih mudah ditangani dengan radiasi. Kemoterapi
neoadjuvan telah banyak dipakai dalam penatalaksanaan kanker
kepala dan leher. Alasan utama penggunaan kemoterapi
neoadjuvan pada awal perjalanan penyakit adalah untuk
menurunkan beban sel tumor sistemik pada saat terdapat sel tumor
yang resisten. Vaskularisasi intak sehingga perjalanan ke daerah
tumor lebih baik. Terapi bedah dan radioterapi sepertinya akan
memberi hasil yang lebih baik jika diberikan pada tumor berukuran
lebih kecil. Teori ini dapat disingkirkan karena akan
terjadipeningkatan efek samping, durasinya, dan beban biaya
perawatan yang meningkat. Dan yang lebih penting, sel yang
bertahan setelah kemoterapi akan menjadi lebih tidak respon
setelah dilakukan radioterapi sesudahnya. Berdasarkan penelitian
pemberian neoadjuvan kemoterapi dalam 2-3 siklus yang diberikan
setiap 3 minggu dengan syarat bila adanya respon terhadap
kemoterapi.
3. Kemoterapi concurrent. Kemoterapi diberikan bersamaan dengan
radiasi. Umumnya dosis kemoterapi yang diberikan lebih rendah.
Biasanya sebagai radiosensitizer. Kemoterapi sebagai terapi
74
tambahan pada KNF ternyata dapat meningkatkan hasil terapi
terutama pada stadium lanjut atau pada keadaan relaps. Hasil
penelitian menggunakan kombinasi cisplatin radioterapi pada
kanker kepala dan leher termasuk KNF, menunjukkan hasil yang
memuaskan. Cisplatin dapat bertindak sebagai agen sitotoksik dan
radiation sensitizer. Jadwal optimal cisplatin masih belum dapat
dipastikan, namun pemakaian seharihari dengan dosis rendah,
pemakaian 1 kali seminggu dengan dosis menengah, atau 1 kali 3
minggu dengan dosis tinggi telah banyak digunakan. 14 Agen
kemoterapi telah digunakan pada pasien dengan rekurens lokal
dan metastatik jauh. Agen yang telah dipakai yaitu metothrexat,
bleomycin, 5 FU, cisplatin dan carboplatin merupakan agen yang
paling efektif dengan respon berkisar 15-31%. Agen aktif yang lebih
baru meliputi paklitaxel dan gemcitibine.
II.5. MicroRNA (miRNA)
MicroRNAs (miRNAs) merupakan non-coding RNAs, berfungsi
sebagai pengatur post transkripsi pada gen target. Eviden terbaru
menunjukkan miRNAs terdapat pada perkembangan dan atau progresi
dari variasi kanker manusia. (Zhang, et.al 2013).
MicroRNA (miRNA) adalah asam ribonukleat yang tidak mengkode
protein dengan transkrip akhir sepanjang 18-25 nukleotida yang
berinteraksi dengan target gen yang mengkode mRNA. MiRNA
75
bekerjasama dengan elemen pengatur lain seperti faktor transkripsi untuk
mengontrol translasi miRNA. Kebanyakan miRNA dikode pada bagian
genom yang dulu dianggap sebagai daerah bukan pengkode. Sejak
ditemukan pertama kali di tahun 1993 pada cacing Caenorhabditis
elegans, miRNA menarik perhatian karena ciri fungsional yang unik dan
cara kerjanya, memberi sebuah dimensi baru terhadap dogma sentral
biologi molekuler. Gen-gen miRNA tersebar di dalam genom dan
diperkirakan berjumlah 2-5% dari gen-gen manusia.(Lee 2012, Wutchy
2012, Farazi 2012)
miRNA sering diekspresikan sebagai transkrip polisistronik. Satu
miRNA dapat mempunyai banyak mRNA target sehingga diperkirakan
bahwa lebih dari 1/3 gen-gen manusia diatur oleh miRNA. Dewasa ini
lebih dari 1.500 miRNA telah dikarakterisasi dan jumlah gen yang telah
diketahui diatur oleh miRNA pada manusia telah meningkat pesat. Kurang
lebih sepertiga miRNA pada manusia berada dalam 113 kelompok yang
terdiri dari 2-7 gen dengan jarak antar gen miRNA dalam kelompok yang
sama adalah ≤ 51 kb. Data profil miRNA dari berbagai jaringan dan lini sel
memperlihatkan kelompok-kelompok miRNA tersebut diekspresikan
bersama-sama. Gen-gen miRNA lainnya dipotong dari intron gen-gen
pengkode protein, intron dan ekson dari gen bukan pengkode protein,
atau dari 3’-UTR gen-gen pengkode protein dan diekspresikan secara
individual.(Lee 2016, Wargasetia 2016)
76
Peran miRNA sebagai molekul pengatur utama yang mengontrol
berbagai proses dasar dalam sel, seperti proliferasi, kematian,
diferensiasi, apoptosis, motilitas, sifat invasif, respons terhadap stres dan
sebagainya terus dipelajari di hampir semua lingkup biologi dan
biomedis.(Lee 2016, Wargasetia 2016)
II.5.1 Ekspresi Abnormal miRNA pada Kanker
Gen-gen miRNA ditranskripsikan menjadi primary miRNA (pri-
miRNA) oleh RNA polimerase II. Transkrip pri-miRNA adalah non-coding
RNA (ncRNA) dengan struktur sekunder stem-loop yang mengandung
prekursor miRNA (pre-miRNA). Transkrip pri-miRNA dipotong oleh enzim
Drosha (RNA polimerase III) menjadi pre-miRNA yang diekspor ke
sitoplasma oleh exportin 5, lalu diproses lebih lanjut menjadi miRNA yang
matang oleh Dicer (RNA polimerase III yang ke-dua). Pada sel-sel yang
normal, rasio antara pri-miRNA terhadap mature miRNA mendekati satu,
sedangkan pada sel-sel kanker banyak gen miRNA yang ditrankripsikan
namun tidak diproses menjadi miRNA yang matang. (Wargasetia 2015)
Dua macam pendekatan diaplikasikan untuk identifikasi gen-gen
miRNA dalam skala besar yaitu kloning dan pendekatan komputer.
Perkembangan dalam teknologi kuantifikasi miRNA, seperti miRNA
microarray, bead-based flow cytometry, RNA-primed array-based Klenow
enzyme (RAKE) assay, miRNA serial analysis of gene expression
(miRAGE), and realtime RT-PCR based TaqMan miRNA assay telah
77
memfasilitasi studi profil miRNA global pada genom kanker. miRNA dapat
menjadi penanda molekuler yang akurat karena relatif stabil mengingat
ukurannya yang kecil dan resisten terhadap degradasi RNAse. miRNA
dapat diisolasi dari spesimen formalin-fixed paraffin-embedded (FFPE)
dan dikuantifikasi dengan qRT-PCR dan microarray. Perkembangan
metode qRT-PCR yang sangat sensitif memungkinkan deteksi miRNA dari
beberapa nanogram total RNA yang diperoleh dari biopsy aspirasi jarum
halus. (Wargasetia 2015)
Beberapa tahun terakhir ini dipelajari bahwa sejumlah miRNA
berperan dalam patogenesis berbagai kanker pada manusia. Fungsi
miRNA yang hilang/menurun atau sebaliknya berupa fungsi mRNA yang
meningkat berkontribusi terhadap perkembangan kanker. Lebih dari
setengah gen-gen miRNA pada manusia berlokasi pada daerah genomik
yang sering mengalami amplifikasi, delesi, dan translokasi terlibat dalam
kanker. (Wargasetia 2015). Bukti pertama keterlibatan miRNA dalam
kanker dilaporkan pada 2002, saat Calin menemukan dua gen miRNA
yaitu miR-15a dan miR-16-1 pada daerah di kromosom 13q14 yang
biasanya mengalami delesi pada leukemia limfositik kronik. Hilangnya
miR-15a dan miR-16-1 terjadi pada hampir 70% leukemia limfositik kronik.
Delesi atau penurunan ekspresi miR-15a dan miR-16-1 juga ditemukan
pada kanker prostat, limfoma, dan mieloma multipel. Kemajuandalam
bidang penelitian kanker memberikan informasi bahwa kelainan regulasi
78
ekpresi miRNA ditemukan pada sejumlah kanker manusia. (Wargasetia
2015)
Profil ekspresi abnormal miRNA ditemukan pada spesimen tumor
dan lini sel kanker ketika dibandingkan dengan kontrol jaringan normal.
MiRNA berikatan secara spesifik dengan targetnya, sehingga polimorfisme
nukleotida tunggal (single nucleotide polymorphism, SNP) pada urutan
miRNA atau mRNA target dapat mengarah kepada suatu penyakit,
termasuk kanker. Pada berbagai tipe kanker didapati pengaturan yang
salah pada miRNA yang mengindikasikan bahwa miRNA mempengaruhi
gen-gen target yang terlibat dalam proliferasi sel, apoptosis, diferensiasi,
invasi, dan motilitas yang penting untuk perkembangan kanker.
(Wargasetia 2016)
Aspek-Aspek Biologi Kanker yang Diregulasi oleh miRNA
Regulasi miRNA berperan dalam berbagai peristiwa biologis kanker,
yaitu:
1. Siklus sel
Gen p27 (Kip1) yang merupakan penekan tumor, menjadi target
langsung dari miRNA-221 dan miRNA-222 pada glioblastoma dan
kanker prostat. miRNA-221 dan miRNA-222 yang berada di
kromosom X diekspresikan berlebih pada berbagai kanker yaitu
kanker ovarium, kanker hati, dan glioblastoma.Kedua miRNA
tersebut mendukung pertumbuhan sel dan progresi siklus sel.
2. Kematian sel terprogram
79
MiRNA berpartisipasi dalam tumorigenesis dengan menjadikan
gen-gen antiapoptosis sebagai target. Sebagai contoh adalah
penekanan gen-gen antiapoptosis Mcl-1 oleh miRNA-29b dan
miRNA-4s, juga Bcl-2 oleh miRNA-15a dan miRNA -16.
3. Invasi dan metastasis
miRNA-21 yang diekspresikan berlebih pada kanker
menyebabkan motilitas sel meningkat dan invasi dengan
menjadikan phosphatase and tensin homolog (PTEN) sebagai
target. PTEN adalah penekan tumor yang menghambat invasi sel
dengan menghambat ekspresi dari matrix metalloprotease. Jalur
lain dilaporkan pada kanker kolorektal bahwa miRNA-21 berperan
dalam invasi, intravasasi, dan metastasis melalui penurunan
ekspresi PDCD4. MiRNA lainnya yang berperan dalam invasi dan
metastasis adalah miRNA-10b.
4. Angiogenesis
Stimulasi pembentukan pembuluh darah baru oleh c-Myc
melibatkan penekanan ekspresi faktor antiangiogenik Tsp-1
(thrombospondin-1). c-Myc menekan Tsp-1 melalui pengaktifan
kelompok miRNA-17-92. MiRNA mempengaruhi keenam ciri sel-
sel malignan yaitu kemandirian dalam sinyal pertumbuhan
(keluarga let-7), tidak sensitif pada sinyal antipertumbuhan
(kelompok miRNA-17-92), menghindari apoptosis (miRNA-34a),
80
kemampuan replikasi tak terbatas (kelompok miRNA-372/373),
serta invasi dan metastasis (miRNA-10b). (Wargasetia 2016)
II.5.2 miRNA sebagai Biomarker Untuk Prediksi Respons Terapi
Kanker
Kemoterapi banyak digunakan untuk pengobatan kanker , namun
resistensi obat adalah masalah utama untuk keberhasilan pengobatan.
Adanya berbagai mutasi dan perubahan genetik yang bervariasi
menjadikan tumor tidak responsif terhadap pengobatan. Resistensi
terhadap tipe obat kemoterapi tertentu dapat dipengaruhi oleh regulasi
miRNA dan respons sel-sel kanker terhadap kemoterapi dapat dimodulasi
oleh miRNA. (Bovel L, Putcha B, 2011).
II.5.3 miRNA sebagai Biomarker Prognostik Kanker
Profil miRNA dapat menunjukkan prognosis, misalnya ekpresi yang
tinggi dari miRNA-326/miRNA-130a dan ekspresi rendah miRNA-
155/miRNA-210 berkaitan dengan peningkatan kemampuan bertahan
hidup pasien glioblastoma. Ekspresi miRNA-375 ditekan pada karsinoma
sel skuamosa esofagus dan berkaitan dengan stadium klinis lanjut,
metastasis, dan luaran yang buruk. Penurunan ekspresi let-7 pada pasien
non-small cell lung cancer berkaitan dengan prognosis buruk. Pada
kanker payudara, ekspresi berlebih dari miRNA-21 berkaitan dengan
gambaran patofisiologis penyakit seperti stadium lanjut tumor, metastasis
ke kelenjar getah bening, dan kemampuan bertahan hidup yang rendah.
81
Studi menggunakan microarray dengan probe oligonukleotida miRNA
mengidentifikasi miRNA-21 sebagai petanda prognostik potensial untuk
diagnosis kanker payudara. (Massardi 2014)
Selama bertahun-tahun, banyak laporan menunjukkan bahwa
proporsi yang tinggi dari miRNAs terlokalisasi pada daerah terkait kanker.
Hal ini menunjukkan bahwa miRNAs memainkan peran penting dalam
pembentukan kanker. Banyak dari famili miRNAs telah dilaporkan dapat
mengubah biologi seperti proliferasi sel dan perkembangan, apoptosis dan
metastasis pada KNF dan kanker lainnya. Beberapa jalur yang penting
dalam karsinogenesis menunjukkan down-regulasi yang signifikan dari
miRNAs. Meskipun demikian, sebagian besar miRNAs yang diregulasi
belum sepenuhnya dipelajari atau dipahami. Expressi miRNAs yang
diubah pada karsinoma nasofaring berpotensi terlibat dalam pathogenesis
KNF dengan mempengaruhi siklus sel pada tingkat yang berbeda dengan
menargetkan jalur genetik yang berbeda. (Lee 2016)
II.5.4 Peranan miRNA-21 pada Karsinoma Nasofaring
MiRNA-21 merupakan salah satu jenis miRNA yang sering
dihubungkan pada kanker kepala leher. Diantara semua jenis miRNA,
miRNA-21 merupakan suatu kunci onkogen, sejak ditemukan pada
berbagai kanker dan berperan dalam proses multipel malignansi seperti
meningkatkan proliferasi pada sel KNF, mensupresi apoptosis,
pertumbuhan tumor pada sel MCF-7 dan menurunkan invasi serta
metastasis pada sel MDA-MB-231.15
82
Peningkatan miRNA-21 dilaporkan dapat menjadi antiapotosis,
menyebabkan proliferasi sel, dan mendukung terjadinya invasi dan
metastasis. Beberapa target mRNA dari miRNA-21 telah diidentifikasi,
yaitu PTEN, RECK, NFIB, TPM-1, PDCD4 dan Maspin. Hui et al
melaporkan peningkatan miRNA (>3,5-fold) pada 78% sampel jaringan
dari tumor kepala leher karsinoma sel squamous yang menunjukkan
pentingnya miRNA-21 pada tumor kepala leher. dan tumor supressor
PDCD4 berhubungan terbalik dengan miRNA-21.
Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta oleh Bintoro menemukan
bahwa miRNA-21 ini mampu menarget banyak jenis mRNA termasuk
tumor supresor PTEN. Sehubungan dengan hal itu, miRNA-21 ini juga
menjadi indikator adanya suatu kelainan pada sel. Diketahui bahwa
semakin tinggi stadium kanker maka ekspresi miRNA ini semakin tinggi.
Berdasarkan hal tersebut maka miRNA ini memiliki potensi sebagai
biomarker diagnosis KNF dan model target terapi. Penelitian ini dilakukan
untuk melihat perbedaan relatif ekspresi hsa-miRNA-21-5p dan mRNA
PTEN berdasarkan stadium klinis yang terbagi kepada stadium awal (I dan
II) dan stadium lanjut (III dan IV) pada plasma pasien KNF. (Bintoro 2015)
miRNA-21 dapat menghambat apoptosis dengan menargetkan
pada gen phosphatase and tensin homolog (PTEN). PTEN merupakan
salah satu protein pro apoptotic dan telah diketahui miRNA-21
menargetkan gen PTEN pada beberapa jenis kanker. PTEN juga menjadi
target dari miRNA-21 dengan cara berikatan dengan bagian 3’ UTR dari
83
gen PTEN sehingga proses apotosis terhambat. Penelitian oleh
Ilioupoulos et al juga menunjukkan bahwa dengan menargetkan PTEN.
miRNA-21 akan menginduksi protein NF-κB, protein yang berperan dalam
inflamasi, sehingga membantu sel normal bertransformasi menjadi sel
kanker. miRNA-21 juga berperan dalam memberikan sel kanker
kemampuan untuk bermetastasis melalui regulasi PTEN pada jalur PI3K
protein kinase B (AKT) dan jalur extracellular signal regulated kinase. Bila
miRNA-21 menghambat ekspresi PTEN maka jalur AKT dan ERK akan
tidak terkendali menyebabkan karakteristik Epithelilal Mesencymal
Transtitional dan sel punca kanker. (Wargasetia 2016)
Salah satu cara miRNA-21 berperan dalam invasi kanker adalah
dalam meregulasi gen tissue inhibitor metalloproteinase-3 (TIMP3) yang
mengkode protein TIMP. Matriks metalloproteinase (MMP) merupakan
enzim yang berperan dalam meremodel organisasi sel. TIMP dalam hal ini
berperan menyeimbangkan MMP sehingga hal tersebut berdampak
terhadap metastasis kanker. (Wargasetia 2016)
II.5.5 Peranan miRNA-29c pada Karsinoma Nasofaring
Karakteristik miRNA yang pertama kali diketahui pada KNF adalah
miRNA-29c (Sengupta dkk). Ditemukan pula bahwa miRNA-29c berfungsi
sebagai supresif tumor, akan meningkatkan migrasi dan invasi sel KNF
melalui regulasi komponen dimatriks ekstraseluler.21 Sedangkan penelitian
oleh Zhang dkk menunjukkan bahwa penurunan miRNA-29c terjadi pada
peningkatan resistensi terhadap radioterapi dan kemoterapi berbasis
84
platinum melalui regulasi dari antiapoptotik Mcl-1 dan Bcl-2. Seperti
miRNA lainnya, miRNA-29c dapat bekerja melalui beberapa jalur untuk
menekan proliferasi, survival dan motilitas dari sel KNF.27
Pada Karsinoma nasofaring, miRNA-29c berfungsi sebagai tumor
suppressor. miRNA-29c dapat menghambat beberapa target yang
mempengaruhi sintesis dan fungsi matrix ekstraseluler. Selain itu miRNA-
29c juga memediasi efek supresi tumor melalui inhibisi T cell lymphoma
and metastasis 1 (TIAM1) gene, yang mendukung terjadinya migrasi dan
invasi sel kanker nasofaring. (Liu 2013)
Penelitian oleh Zang 2013 memperlihatkan berkurangnya ekspresi
miRNA-29c yang berhubungan dengan resistensi kanker nasofaring
terhadap kemoterapi dan radioterapi melalui percobaan secara in vivo dan
in vitro, melalui mediasi terhadap protein target MCl-1 (myeloid cell
leukemia 1) dan BCL-2 (B cell lymphoma 2) yang merupakan anti
apoptotic. (Zang 2013)
85
Kerangka Teori
Kerangka Konsep
Apoptosis Proliferasi sel kanker Metastasis
PTEN↓
miRNA-21
TIAM 1
miRNA-29c
PDCD4↓ TIMP-3↓ Mcl -1 BCL -2
Infeksi EBV Pola hidup Lingkungan
Kemo-Radioterapi
VEGF
86
Kerangka Konsep
Keterangan:
: Variabel independen
: Variabel antara
: Variabel dependen
: Variabel eksterna
Kemoradioterapi Neoadjuvan (Cisplatin
dan Paclitaxel ) dilanjutkan Radioterapi
Ekspresi
miRNA-21
Karsinoma
nasofaring
Proliferasi sel kanker
Karsinoma Invasi sel kanker
Nasofaring Apoptosis
Infeksi EBV
Lingkungan
Ekspresi
miRNA-29c
Pola Hidup
Radioterapi
87
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif (Sastroasmoro, 2011).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek kemoteradioterapi dan efek
radioterapi terhadap ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c dalam plasma
penderita Karsinoma Nasofaring.
III.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Unit rawat jalan THT-KL RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo selama periode waktu Februari - November 2017.
III.3 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah pasien KNF stadium I, II, III, IV yang belum
diterapi, datang berobat di Unit rawat jalan THT-KL RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo, selama periode waktu Februari - November 2017.
III.4 Sampel dan Cara Pengambilan Sampel
Sampel adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi kriteria
penelitian dan sampel penelitian diambil dari populasi penelitian yang
telah teridentifikasi dan memenuhi kriteria. Pengambilan sampel dilakukan
secara consecutive sampling, yaitu semua penderita karsinoma nasofaring
88
yang belum diterapi, baik kemoterapi/ radioterapi/ kemoradioterapi yang
memenuhi kriteria inklusi.
III.5 Perkiraan Besar Sampel
Besar perkiraan sampel dihitung dengan rumus berikut:
n =𝑍𝑎2𝑃𝑄
𝑑2
n =(1,96)2𝑥 0,4 𝑥 0,6
0,12
n = 20
Keterangan:
n = jumlah minimal sampel
zα = deviat baku normal untuk α/batas kemaknaan (5%) dalam tabel 2
arah yang memiliki nilai 1,96
p = proporsi KNF menurut kepustakaan yaitu 47,90 %
q = 1-p
d = tingkat ketetapan absolut yang dikehendaki sebesar 10%
Dengan demikian dalam penelitian ini dibutuhkan sampel sebesar 20
sampel.
III.6. Kriteria Inklusi, Ekslusi dan Drop Out
1. Kriteria Inklusi
a. Penderita KNF (semua stadium I,II,III,IV) yang telah ditegakkan
diagnosis berdasarkan pemeriksaan histopatologis.
b. Berusia >15 tahun
89
c. Tidak ditemukan adanya tumor / keganasan di organ lain.
d. Tidak mempunyai riwayat gangguan hemostatik
e. Penderita KNF dengan regimen kemoterapi Cisplatin+ Paclitaxel.
f. Bersedia menjadi sampel penelitian
2. Kriteria Eksklusi
a. Penderita KNF yang telah mendapatkan kemoterapi,
radioterapi, atau kemoradioterapi
3. Kriteria Drop Out
a. sampel darah lisis
b. pasien meninggal dunia sebelum protokol kemoradioterapi
selesai
c. pasien tidak datang kontrol setelah kemoradioterapi
d.pasien menolak melanjutkan terapi
e. ganti regimen kemoterapi (Carboplatin/ Docetaxel)
III.7 Ijin Subyek Penelitian
Ijin penelitian diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Biomedis pada
Manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dengan nomor
surat rekomendasi : 921/ H4.8.4.5.31/ PP36-KOMETIK/ 2017. Penderita
dan keluarga diberikan penjelasan tentang penelitian ini dan meminta
persetujuan penderita untuk berpartisipasi dalam penelitian ini (Informed
consent) untuk dijaikan sampel penelitian.
90
III.8 Metode Pengumpulan Data
III.8.1 Bahan dan Alat Penelitian
a. Alat diagnostik THT
b. Vacutainer
c. Tabung berisi EDTA 10%
d. Kapas + alkohol 70 %
e. Cool Box
f. Marker pen
g. miRCURY RNA Isolation kit-Biofluids, Exiqon
h. Universal cDNA synthesis kit II, Exiqon
i. Exilenr SYBR Green Master Mix, 2,5 mL. Exiqon
j. Hsa miR-16-5p (LNA primer set, reference gene)
k. Safe lock tube 1,5 ml
l. Pipet tip filter 1-10 µl
m. Pipet tip filter 20-200 µl
n. Pipet tip filter 100-1000 µl
o. White Tube PCR
III.8.2 Cara Kerja
a. Dilakukan anamnesis.
b. Dilakukan pemeriksaan THT-KL: otoskopi, rinoskopi anterior,
faringoskopi, dan pemeriksaan kelenjar kepala dan leher.
91
c. Dilakukan pemeriksaan CT-Scan Nasofaring potongan axial
reformat coronal.
d. Dilakukan Informed Consent untuk kemudian ditanda tangani.
e. Dilakukan biopsi nasofaring.
f. Bagi yang memenuhi kriteria inklusi, dimasukkan sebagai sampel
penelitian.
g. Sampel darah setelah diterapi kemoradioterapi neoadjuvan
(kemoterapi dengan regimen cisplatin dan paclitaxel, kemudian
dilanjutkan radioterapi) atau radioterapi kemudian diambil (± 2-5ml)
dimasukkan kedalam tabung yang telah diberi EDTA 10%. Setelah
itu disentrifuge pada kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Plasma
diambil dan disimpan pada lemari es -800C dan diberi label.
h. Sampel plasma kemudian dilakukan isolasi DNA, sintesis cDNA
dan pemeriksaan ekspresi secara kuantitatif dengan qRT-PCR
Biorad.
III.8.3 Teknik Pemeriksaan
Sampel dikoleksi dalam bentuk plasma dan disimpan pada suhu -
80 0C. Setelah sampel terkumpul dilakukan isolasi RNA lalu disintesis
menjadi cDNA kemudian dilakukan qPCR dan dianalisis menggunakan
software Genex Pro with Exiqon qPCR.
92
III.8.3.1 Isolasi RNA
Kit yang digunakan untuk isolasi RNA yaitu miRCURY RNA Isolation
Kit-Biofluid Exiqon. Mula-mula plasma dicairkaan kemudian disentrifugasi
selama 5 menit, supernant dipermukan kemudian dipipet 200 µl dan
dipindahkan ke tabung baru. Tambahkan 60 µl Lysis solution buffer
kemudian di vortex 5 detik dan diinkubasi dalam suhu ruang selama 3
menit. Kemudian tambahkan 20 µl protein precipitation solution BF, vortex
selama 5 detik, diinkubasi dalam suhu ruang selam 1 menit. Setelah itu
sentrifugasi 11000g, selama 3 menit. Pindahkan supernatant yang bening
ke dalam tabung 2 ml yang baru. Tambahkan 270 µl isopropanolol, vortex
selama 5 detik. Pasang microRNA mini spin kolom ke dalam tabung
koleksi, masukkan 300 µl sampel, inkubasi selama 2 menit pada suhu
ruang, kemudian sentrifugasi 11.000 g selama 30 detik lalu buang cairan
yang masuk ke dalam tabung koleksi, kemudian pasang kembali ke dalam
collection tube. Tambahkan 100 µl wash solution 1 BF ke kolom,
sentrifugasi 11.000g 30 detik, buang cairan dan letakkan kembali kolom
ke dalam collection tube. Tambahkan 700 µl wash solution 2 BF ke kolom,
sentrifugasi 11.000g selama 30 detik, buang kembali cairan pasang
kembali kolom. Tambahkan 250 µl wash solution 2 BF, sentrifugasi
11.000g selama 2 menit, buang cairan dan pasang kembai kolom.
Tambahkan 50µl rDNAse ke kolom, inkubasi selama 15 menit pada suhu
ruang. Tambahkan kembali 100 µl wash solution 1 BF ke kolom,
sentrifugasi 11.000g 30 detik, buang cairan dan letakkan kembali kolom
93
ke dalam collection tube. Tambahkan 700 µl wash solution 2 BF ke kolom,
sentrifugasi 11.000 g selama 30 detik, buang kembali cairan pasang
kembali kolom. Tambahkan 250 µl wash solution 2 BF, sentrifugasi 11.000
g selama 2 menit, buang cairan dan pasang kembai kolom. Ganti dengan
tabung baru 1,5 ml lalu tambahkan 25 µl RNAse free water, inkubasi
dalam suhu ruang selama 1 menit lalu sentrifugasi 11.000g selama 1
menit, dengan tube yang sama lalu ulangi perlakuan dengan
menambahkan 25 µl RNAse free water, inkubasi 1 menit suhu ruang lalu
sentrifugasi 11.000 g selama 1 menit. RNA yang diisolasi dapat disimpan
dalam lemari pendingin -20 0C.
III.8.3.2 Sintesis cDNA
Sintesis cDNA dilakukan dengan universal cDNA Synthesis kit II
(exiqon). Keluarkan RNA yang telah diisolasi dari lemari pendingin, alas
dengan ice pack. Lakukan homogenisasi dengan vortex dan spin down.
Siapkan reagen yang akan digunakan untuk pembuatan master mix yang
terdiri dari 5x reaction buffer (2 µl), nuclease free water (4,5 µl), enzyme
mix (1µl), Spike in (0,5µl) sehingga total 8µl. Homogenisasi dengan vortex
dan spin down (buat mix sesuai jumlah sampel yang akan digunakan),
simpan dalam wadah tabung yang dialasi ice pack. Bagi master mix ke
dalam tabung sebanyak 16µl per reaksi. Masukkan 4µl sampel RNA ke
dalam tabung kemudian spin down. Tabung dimasukkan ke dalam thermal
94
cycler Applied Biosystems dengan protokol sesuai tabel 3. Penyimpanan
hasil sintesis cDNA dilakukan dalam lemari pendingin -20 0C.
Temperatur Waktu
42 0C 60 menit
95 0C 5 menit
4 0C ∞
a. Real time qPCR
Bahan yang digunakan adalah Exilent SYBR Green master mix. 2,5 ml
(Exiqon), primer set (forward dan reverse) miRNA, cDNA yang telah
dibuat sebelumnya. Keluarkan cDNA dari lemari pendingin -200C.
Letakkan pada wadah tabung yang telah dialasi ice pack. Biarkan mencair
perlahan. Homogenisasi dengan vortex kemudian spin down. Encerkan
cDNA dengan RNAse free water dengan perbandingan 1:80, yaitu 5µL
cDNA dengan 395 µl RNAse free water. Homogenisasi dengan vortex
kemudiaan spin down. Simpan dalam wadah tabung yang dialasi ice pack.
Ambil SYBR Green master mix dan primer set miRNA dan primer kontrol
miR-16 dari lemari pendingin. Homogenisasi primer dengan vortex
kemudian spin down. Buat campuran master mix sebanyak 2 buah
(kontrol miRNA 16 dan miRNA yang menjadi target) (Wardana, 2016).
Campurkan 5µl SYBR Green master mix dan 1 µl PCR primer mix (untuk
masing-masing campuran dibedakan). Homogenisasi dengan vortex
kemudian spin down. Bagi master mix ke dalam masing-masing tabung
reaksi sebanyak 6 µl. masukkan 4 µl sampel cDNA yang telah diencerkan.
95
Set program real time qPCR Biorad CFX 96 sebagai berikut: Denaturasi
95 0C (10 menit), Amplifikasi 40 siklus ,95 0C ( 10 detik), 60 0C (1 menit
ramp-rate 1,6 0C/detik, Optical read, Analisis kurva leleh pilih ya). Lakukan
analisa dengan software Biorad CFX Manager software untuk
memperoleh nilai Quantificatiaon cycle (Cq), quantification curve dan
melting curve.
Data kemudian dimasukkan dalam software Microsoft excel untuk
menghitung hasil kuantifikasi relatif PCR dengan metode 2-ΔΔCq (Livak KJ,
2001)
ΔCq miRNA21 = Cq miRNA21- Cq reference gen (miRNA16)
ΔCq miRNA29c = Cq miRNA29c - Cq reference gen (miRNA16)
ΔΔCq = ΔCq pasien- ΔCqkontrol
Fold change = -2 ΔΔCq
III.9 Identifikasi Variabel
Dalam penelitian ini beberapa variabel dapat diidentifikasi berdasarkan
peran dan skalanya :
1. Variabel bebas adalah Efek Kemoradioterapi dan Radioterapi.
2. Variabel tergantung adalah Ekspresi MiRNA-21 dan MiRNA-29c.
3. Variabel antara adalah Karsinoma Nasofaring Gen target (PTEN,
TIAM1, MCL1, BCL2, PDCD4)
4. Variabel eksterna adalah genetik, infeksi EBV dan Pola hidup
96
III.10 Definisi Operasional & Kriteria Objektif
1. Penderita karsinoma nasofaring (KNF) adalah penderita yang
secara histopatologis menderita karsinoma nasofaring
- Stadium dini : Karsinoma nasofaring stadium I-II
berdasarkan American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010
- Stadium lanjut : Karsinoma nasofaring stadium III-IV
berdasarkan American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010
2. Penderita KNF post terapi adalah penderita yang sudah terdiagnosa
KNF berdasarkan pemeriksaan histopatologis dan telah ditentukan
stadiumnya yang mendapatkan terapi sesuai protokol, antara lain
radioterapi untuk stadium dini dan kombinasi (kemo-radioterapi) untuk
stadium lanjut.
3. Kontrol adalah Pasien yang sudah terdiagnosa KNF berdasarkan
pemeriksaan histopatologis, tetapi belum mendapatkan therapy sesuai
protokol (kemo-radioterapi).
4. Ekspresi miRNA-21 adalah jumlah kuantitatif miRNA-21 yang
diperiksa dalam plasma darah, melalui pemeriksaan qRT-PCR,
berperan dalam proses multipel malignansi seperti meningkatkan
proliferasi pada sel KNF, mensupresi apoptosis, pertumbuhan tumor
dan menurunkan invasi serta metastasis.
5. Ekspresi miRNA-29c adalah jumlah kuantitatif miRNA-29c yang
diperiksa dalam plasma darah, melalui pemeriksaan qRT-PCR.
miRNA-29c berfungsi sebagai supresif tumor, akan meningkatkan
97
migrasi dan invasi sel KNF melalui regulasi komponen dimatriks
ekstraseluler.
6. Plasma darah adalah komponen darah berbentuk cairan berwarna
kuning yang didapatkan setelah darah disentrifugal.
7. Isolasi DNA adalah RNA yang diisolasi dengan menggunakan
miRCURY RNA Isolation Kit-Biofluid Exiqon.
8. Sintesis DNA adalah 4 µl hasil sintesis cDNA dengan menggunakan
universal cDNA Synthesis kit II Exiqon.
9. Refference gen adalah miR-16 (hsa-miR16-5p)
10. qRT-PCR adalah Polimerase Chain Reaction real time Biorad C1000
11. Derajat Histopatologi adalah gambaran histopatologi jaringan biopsi
Berdasarkan kriteria menurut WHO tahun 1991, hanya dibagi atas 2
tipe, yaitu :
a. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi / Keratinizing Squamous
Cell Carcinoma ( WHO tipe I ).
b. Karsinoma sel skuamosa non keratinisasi / Non Keratinizing
Carcinoma ( WHO tipe II ). Tipe ini dibagi lagi menjadi
berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi.
12. Tumor (T) adalah: perluasan tumor yang dinilai melalui hasil CT-scan,
dengan kriteria berdasarkan AJCC 2010
T1: tumor terbatas di nasofaring atau meluas ke orofaring
dan/kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring
T2: tumor dengan perluasan ke daerah parafaring
98
T3: tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak
dan/atau sinus paranasal
T4: tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau
terlibatnya saraf kranial, hipofaring, orbita, atau
perluasan ke fossa infratemporal/ ruang mastikator
13. Nodul (N) adalah pembesaran kelenjar getah bening leher
berdasarkan pemeriksaan fisis dengan kriteria AJCC 2010
N0: tidak ada metastasis ke KGB regional
N1: metastase kelenjar getah bening leher unilateral dengan
diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa
supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar
getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm
atau kurang
N2: metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter
6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular
N3: metastase pada kelenjar getah bening di atas 6 cm
dan/atau pada fossa supraklavikular atau diameter terbesar
lebih dari 6 cm, atau meluas ke fossa supraklavikular
14. Metastasis jauh ( M ): Invasi tumor ke organ lain melalui pemeriksaan
bone survey dan USG abdomen
M0 : tidak ada metastase jauh
M1 : ada metastase jauh
99
15. Kemoterapi neoadjuvan : Merupakan salah satu kombinasi terapi
yang dimana pemberian kemoterapi neoadjuvant yang dimaksud
adalah pemberian sitostatika lebih awal yang dilanjutkan pemberian
radiasi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan untuk mengecilkan tumor
yang sensitif sehingga setelah tumor mengecil akan lebih mudah
ditangani dengan radiasi dan telah banyak dipakai dalam
penatalaksanaan kanker kepala dan leher untuk menurunkan beban sel
tumor sistemik pada saat terdapat sel tumor yang resisten.
16. Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna
dengan menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-
sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar
tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Radioterapi masih
merupakan terapi pilihan pada kasus KNF yang belum disertai tanda-
tanda metastasis jauh.
100
III.11 ALUR PENELITIAN
III.12 Biaya Penelitian
Pemeriksaan miRNA-21 dan miRNA-29c dengan qRT-PCR
Informed concent
Memenuhi kriteria
Inklusi , Eksklusi dan
Drop out
Penentuan Stadium KNF
Isolasi DNA
Pasien dengan gejala KNF
Sintesis cDNA
DATA
Hasil Analisis DATA
Anamnesis Pemeriksaan fisis THT Ct-Scan nasofaring coronal reformat axial Pemeriksaan histopatologi ( Biopsi Nasofaring )
Kelompok 1 (kontrol): KNF (+)
Kelompok 2 Stadium Lanjut :Kemoradioterapi
Kelompok 3 Stadium Dini : Radioterapi
USG Abdomen Bone survey
Diikuti sampai terapi selesai lengkap
Diikuti sampai terapi selesai lengkap
101
Biaya penelitian dan pemeriksaan ditanggung oleh peneliti sendiri dan tidak
dibebankan kepada pasien.
III.13 Pengolahan dan Analisis Data
Semua data yang diperoleh dari hasil penelitian dicatat dan dikelompokkan
berdasarkan tujuan dan jenis data. Hasil analisis ekspresi fold change dari target
miRNA-21 dan miRNA-29c disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Kemudian dipilih
analisis T-test dan p value 2-tail dilakukan untuk melihat perbedaan ekspresi antara
penderita KNF post kemo-radioterapi dengan pre terapi.
102
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RS. Wahidin Sudirohusodo, Laboratorium RS.
Universitas Hasanuddin dan Laboratorium Universitas Gajah Mada sejak Februari-
November 2017. Didapatkan total 32 plasma darah pasien KNF. Pasien dibagi dalam 3
kelompok: kelompok 1 yaitu 16 plasma darah pasien KNF pre terapi (kontrol),
kelompok 2 yaitu 9 plasma darah pasien KNF post kemoradioterapi, kelompok 3 yaitu 7
plasma darah pasien KNF post Radioterapi. Adapun karakteristik dari sampel
penelitian sebagai berikut.
1. Karakteristik subjek penelitian
Variabel n= 16 Persen (%)
Umur :
20 – 29 thn 1 6,25
30 – 39 thn 4 25
40 – 49 thn 9 56,25
50 – 59 thn 2 12,5
≥60 thn 0 0
Jenis Kelamin :
Laki-laki 9 56,25
Perempuan 7 43,75
Suku :
Bugis 7 43,75
Kaili 2 12,5
103
Toraja 1 6,25
Makassar 4 25
Selayar 1 6,25
Mandar 1 6,25
Riwayat Keluarga:
Ya 2 12,5
Tidak 14 87,5
Riwayat Merokok:
Merokok 4 25
Tidak merokok 12 75
Tabel 1. Distribusi sampel penderita KNF menurut umur, jenis kelamin, suku bangsa,
riwayat keluarga dan riwayat merokok.
Distribusi sampel penderita KNF menurut umur dan jenis kelamin menunjukkan
bahwa umur sampel bervariasi, paling banyak pada kelompok umur 40-49 tahun
(56,25%), lebih banyak sampel laki-laki (56,25%) dibandingkan perempuan (43,75%),
serta paling banyak dari suku Bugis (43,75%). Sampel yang memiliki riwayat keluarga
dengan penyakit yang sama sebanyak 12,5% dan yang tidak memiliki riwayat keluarga
dengan penyakit yang sama sebesar 87,5%. Sampel yang memiliki riwayat merokok
sebesar 25%, dan riwayat tidak merokok sebesar 75%.
Variabel n= 16 Persen (%)
Stadium KNF :
Stadium I 1 6,25
Stadium II 6 37,5
Stadium III 6 37,5
Stadium IVA 1 6,25
Stadium IVB 2 12,5
Stadium IVC 0 0
104
Staging KNF
Dini 7 43,75
Lanjut 9 56,25
Derajat Histopatologi :
WHO Tipe I 1 6,25
WHO Tipe II 15 93,75
Tabel 2. Karakteristik sampel pasien KNF
Karakteristik pasien terbanyak bahwa dari 16 pasien KNF, paling banyak
penderita KNF stadium II dan III (37,5%). Berdasarkan staging KNF paling banyak
ditemukan pada staging lanjut ( 56,25% ). Berdasarkan derajat histopatologis dari
penderita KNF paling tinggi pada WHO tipe II (93,75%).
2. Kuantifikasi dengan menggunakan qRT-PCR
Metode quantifikasi dilakukan dengan menggunakan primer miRCURY LNA hsa-
miRNA-21-5p (cat no. 204230) dengan sequence primer
UAGCUUAUCAGACUGAUGUUGA, hsa-miRNA-29c-3p (Cat no. 204729) dengan
sequence primer UAGCACCAUUUGAAAUCGGUUA dan hsa-miRNA-16-5p sebagai
reference gene (Cat no. 205702) dengans sequence primer
UAGCAGCACGUAAAUAUUGGCG. Quantifikasi level ekspresi dilakukan dengan
menggunakan miRCURRY SYBR Green Master mix (Exiqon, Denmark). Mesin qPCR
menggunakan BIORAD CFX 96 dan dianalisis menggunakan CFX Manager 96 dan
GraphPad.
Hasil kuantifikasi didapatkan 3 grafik yang dihasilkan dari kuantifikasi PCR yang
dilakukan dengan menggunakan BIORAD dan dianalisis dengan menggunakan
software CFX 96 Manager software yaitu grafik amplification, melt curve and melt peak.
105
Telah dibedakan setiap grafik berdasarkan ketiga warna target yaitu merah = miRNA-
21, biru = miRNA-29c dan hijau merupakan reference gene dari miRNA-16. Hasil dari
ekspresi ketiga miRNA yang ditentukan dengan nilai quantifikasi cycle (Cq) pada grafik
amplifikasi menunjukkan bahwa miRNA yang telah diisolasi dari sampel plasma
berhasil di kuantifikasi, sedangkan untuk melihat spesifisitas dapat dilihat pada grafik
melt peak yang menunjukkan hanya 1 peak pada setiap miRNA sehingga dapat
diketahui bahwa tidak terdapat inhibitor, kontaminan ataupun pengganggu lainnya yang
mempengaruhi proses amplifikasi.
a. Kurva Amplifikasi
Gambar 1. Kurva Hasil Amplifikasi dengan qRT-PCR. (Merah: miRNA-21, Biru: miRNA-29c dan Hijau: merupakan reference gene dari miRNA-16)
Pada gambar 1 tampak hasil amplifikasi dari seluruh sampel dalam satuan RFU
(Relatif Fluorosensi Unit). Hasil fluoresensi yang ditangkap pada setiap siklus
kuantifikasi diterjemahkan ke dalam bentuk kurva. Semakin kekiri atau semakin awal
fluorosensi ditangkap, menunjukkan semakin tinggi level ekspresi miRNA
b. Kurva leleh (Melt Curve)
106
Gambar 2. Kurva leleh (Melting Curve) dengan qRT-PCR. (Merah: miRNA-21, Biru: miRNA-29c dan Hijau: merupakan reference gene dari miRNA-16)
Pada gambar 2 tampak kurva leleh (Melt Curve), dimana semakin tinggi
temperature, maka sampel akan terdenaturasi dan fluoresensi yang ditangkap akan
habis. Kurva ini menunjukkan total reaksi yang terjadi, sehingga kita dapat mengetahui
bahwa persiapan sampel cukup baik.
c. Puncak kurva leleh
Gambar 3. Puncak kurva leleh (Merah: miRNA-21, Biru: miRNA-29c dan Hijau: merupakan reference gene dari miRNA-16)
Kurva leleh pada gambar 3 merupakan grafik yang dapat digunakan untuk
melihat sensivitas dan spesifitas target amplifikasi. Pada penelitian ini tampak total
setiap reaksi memiliki puncak masing-masing.
107
3.Analisa Data
Hasil quantifikasi miRNA telah dianalisis dengan menggunakan software lisensi
GenEx 6 untuk mengetahu deskripsi dari hasil ekspresi miRNA dengan qPCR. Analisis
yang dilakukan yaitu meliputi pre-processing untuk melakukan normalisasi data, analisis
reference gene, analisis level ekspresi (Fold Change) dengan menggunakan metode
relatif kuantifikasi, dan analisis statistik.
Reference gene merupakan gen kontrol yang dibutuhkan untuk menganalisis
level ekspresi miRNA berbasis dengan metode relatif quantifikasi. Referene gene yang
digunakan dalam penelitian miRNA yaitu hsa-miRNA-16-5p yang diketahui merupakan
salah satu gene yang stabil pada pasien KNF dan individu sehat yang telah dilakukan
oleh tim peneliti FK UGM. Disamping itu, kami mencoba menganalisis penggunaan hsa-
miR-16-5p sebagai reference gene dengan menggunakan normfinder dan didapatkan
bahwa has-miRNA-16-p adalah yang terbaik sebagai reference gen.
Analisis level ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c dianalisis dengan
menggunakan livak method untuk mengetahui perubahan metode dengan
membandingkan antara pasien KNF post kemo-radioterapi dengan kontrol (pre terapi).
Gambar 4: Hasil analisis ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c post kemoradioterapi dengan preterapi.
108
Variabel
Post Kemoradioterapi (n=9) Pre terapi(n=9)
p Median
(Min-Max) Mean SD
Median
(Min-Max) Mean SD
Ekspresi
miRNA-
21
25,90
(24,21-29,57)
26,28 3,05
28,09
(25,85-30,34)
27 1,89 0,81
Ekspresi
miRNA-
29c
31,13
(25,58-36,69) 32,10 3,71
30,18
(27,25-33,12) 30,45 1,75 0,81
Tabel 3. Perbandingan ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c pada plasma darah penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah kemoradioterapi. Data disajikan dalam bentuk nilai mean dan SD (standar deviasi). Nilai p>0,05 dinyatakan terdapat perbedaan tidak bermakna, diuji dengan Dependent Sample T- test.
Tabel 3 menunjukkan bahwa, rata-rata ekspresi miRNA-21 pada pasien
karsinoma nasofaring post kemoradioterapi adalah 26,28 menurun dibandingkan
dengan rata-rata miRNA-21 pre terapi yaitu 27,76. Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ekspresi miRNA-21 pada
penderita karsinoma nasofaring pre terapi dan post kemoradioterapi (p>0,05).
Sedangkan rata-rata ekspresi miRNA-29c pada pasien karsinoma nasofaring post
kemoradioterapi adalah 32,10 meningkat dibandingkan rata-rata miRNA-29c pre terapi
yaitu 30,45. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang tidak
bermakna antara ekspresi miRNA-29c pada penderita karsinoma nasofaring pre terapi
dan post kemoradioterapi (p>0,05).
109
Gambar 5. Hasil analisis ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c post Radioterapi dengan preterapi.
Variabel
Post Radioterapi (n=7) Pre Terapi (n=7)
P Median
(Min-Max) Mean SD
Median
(Min-Max) Mean SD
Ekspresi
miRNA-
21
27,33
(22,58-32,08) 26,89 3,71
27,79
(23,58-32) 26,95 2,92 0,10
Ekspresi
miRNA-
29c
32,02
(29,94-38,22) 32,03 3,10
30,87
(27,56-34,19) 32,46 2,69 0,05
Tabel 4. Perbandingan ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c pada plasma darah penderita
karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah Radioterapi. Data disajikan dalam bentuk nilai mean dan SD (standar deviasi). Nilai p<0,05 pada perbandingan ekspresi miRNA-29c Post Radioterapi dinyatakan terdapat perbedaan bermakna, sedangkan nilai p>0,05 pada miRNA-21 terdapat perbedaan tidak bermakna diuji dengan Dependent Sample T- test.
Tabel 4 menunjukan bahwa, rata-rata ekspresi miRNA-21 pada pasien
karsinoma nasofaring post radioterapi adalah 26,89 menurun dibandingkan dengan
rata-rata miRNA-21 pre terapi yaitu 26,95. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ekspresi miRNA-21 pada penderita
karsinoma nasofaring pre terapi dan post Radioterapi (p>0,05). Sedangkan rata-rata
ekspresi miRNA-29c pada pasien karsinoma nasofaring post radioterapi adalah 32,03
110
menurun dibandingkan rata-rata miRNA-29c pre terapi yaitu 32,46. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara ekspresi miRNA-29c
pada penderita karsinoma nasofaring pre terapi dan post Radioterapi (p≤0,05).
Gambar 6. Hasil analisis ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c post kemoradioterapi dengan Radioterapi.
Variabel
Kemoradioterapi (n=9) Radioterapi (n=7)
P Median
(Min-Max) Mean SD
Median
(Min-Max) Mean SD
Ekspresi
miRNA-
21
25,90
(24,21-29,57) 26,28 3,05
27,33
(22,58-32,08) 26,89 3,71 0,38
Ekspresi
miRNA-
29c
31,13
(25,58-36,69) 32,10 3,71
32,02
(29,94-38,22) 32,03 3,10 0,19
Tabel 5. Perbandingan ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c pada plasma darah penderita karsinoma nasofaring setelah kemoradioterapi dengan radioterapi. Data disajikan dalam bentuk nilai mean dan SD (standar deviasi). Nilai p>0,05 dinyatakan terdapat perbedaan tidak bermakna, diuji dengan Independent Sample T- test.
Tabel 5 menunjukan bahwa, rata-rata ekspresi miRNA-21 pada pasien karsinoma
nasofaring Post Kemoradioterapi adalah 26,28 menurun dibandingkan dengan rata-
rata miRNA-21 Post Radioterapi yaitu 26,89. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ekspresi miRNA-21 pada penderita
karsinoma nasofaring Post Kemoradioterapi dan Post Radioterapi (p>0,05). Sedangkan
111
rata-rata ekspresi miRNA-29c pada pasien karsinoma nasofaring Post Kemoradioterapi
adalah 32,10 meningkat dibandingkan dengan rata-rata miRNA-29c Post Radioterapi
yaitu 32,03. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang tidak
bermakna antara ekspresi miRNA-29c pada penderita karsinoma nasofaring Post
Kemoradioterapi dan Post Radioterapi (p>0,05).
IV.2 Pembahasan
Pada penelitian sebelumnya 27 sampel plasma darah penderita KNF pre terapi
berhasil diselesaikan, dengan hasil miRNA-21 meningkat pada pasien KNF dan
miRNA-29c menurun pada pasien KNF. Penelitian kemudian kami lanjutkan dan diikuti
selama proses terapi sampai selesai. Selama proses kemoradioterapi berlangsung 10
pasien meninggal dunia sementara kemoterapi, 8 pasien menolak untuk dilakukan
kemoterapi dan radioterapi. Sehingga pada penelitian ini hanya 9 pasien yang diikuti
sampai selesai dan diambil plasma darah post kemoradioterapinya. Kemudian kami
mengambil tambahan 7 pasien KNF baru pre terapi yang kami ikuti selama proses
radioterapinya sampai selesai. Sehingga terkumpul 16 pasien yang kami ikuti dari
preterapi sampai post terapi (kemo-radioterapi) selesai dan kami ambil sebagai sampel
plasma darah untuk diperiksa miRNA-21 dan miRNA-29c, yang dapat dilanjutkan
sampai ke pemeriksaan qPCR.. Mula-mula dilakukan isolasi DNA dan sintesis DNA di
laboratorium Rumah Sakit Universitas Hasanuddin. Sampel dalam bentuk cDNA
kemudian dikirim ke laboratorium biologi molekuler Universitas Gajah Mada untuk
112
dilakukan pemeriksaan qPCR, yang hasilnya nanti akan dibandingkan dengan sampel
pre terapi KNF pasien yang sama dengan post terapi (kemo-radioterapi)
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak menderita KNF dibandingkan
perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Djufri (2014),
didapatkan laki-laki lebih banyak dan penelitian oleh Savitri dan Haryana (2015), bahwa
laki-laki lebih banyak menderita KNF dibandingkan perempuan.
Kelompok umur penderita KNF yang terbanyak adalah pada rentang umur 40-49
tahun yaitu 56,25%. Rata-rata umur penderita pada penelitian ini adalah 45,5 tahun.
Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya tidak jauh berbeda yang dilaporkan oleh
Djufri (2014), yaitu 48,8 tahun. Suku terbanyak yaitu suku Bugis sebanyak 43,75%.
Hampir sama dengan penelitian yang dilakukan di Makassar oleh Savitri dan Haryana
(2015), yaitu sekitar 41% dan juga penelitian Djufri (2014), yaitu sekitar 44,3%.
Distribusi untuk derajat histopatologi penderita KNF menurut WHO 1991
didapatkan terbanyak pada WHO tipe II sebanyak 93,75%. WHO tipe II merupakan
jenis yang terbanyak didapatkan di Asia Tenggara. Pada penelitian ini paling banyak
pada stadium II dan III berdasarkan stadium KNF menurut AJCC didapatkan terbanyak
pada stadium II dan III yaitu 37,5%.
MiRNA merupakan molekul kecil non-coding RNA yang dapat menarget protein
yang mengkode mRNA dengan mempengaruhi post transkripsi, translasi dan
degradasi dari mRNA. MiRNA dilaporkan berkorelasi terhadap proses karsinogenesis
pada manusia yaitu dengan mengambil peran dalam mempengaruhi proliferasi,
apoptosis, migrasi dan invasi sel kanker.
113
MiRNA dapat dianalisa dengan metode Real Time PCR (qRT-PCR), microarray
maupun next generation sequencing. Namun Analisis hasil ekspesi miRNA (miRNA)
dengan menggunakan metode quantifikasi qRT-PCR memberikan beberapa kelebihan
dibandingan dengan metode quantifikasi lainya sepeti microarray ataupun next
generation sequencing terutama pada tingkatan sensitivitas dan spesifitas amplifikasi
target, dengan menggunakan jumlah sampel yang sedikit dapa memberikan gambaran
dengan tingkatan validitas yang tinggi.
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa miRNA-21 dapat dideteksi pada
plasma darah manusia. Ekspresi relatif miRNA-21 post kemoradioterapi dan radioterapi
menurun dibandingkan pre terapi. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya pada
plasma KNF juga menginvestigasi adanya penurunan ekspresi miRNA 21 pada
penderita KNF post kemo-radioterapi dengan respon terapi komplit(Herawati 2015).
Akan tetapi pada penelitian ini didapatkan 5 sampel plasma darah pasien KNF post
kemo-radioterapi yang ekspresi miRNA-21 meningkat, hal ini disebabkan karena tidak
resposif terhadap terapi (hal ini di lihat dari pertumbuhan nodul jugularis profunda
superior) dan terjadi mutasi biogenesis.
Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya beberapa target gen yang
dipengaruhi oleh miRNA-21 menyebabkan terjadinya proliferasi dan invasi sel.
Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Meng dkk 2007 menunjukkan bahwa
PTEN (Phospatase and tensin homolog) merupakan target langsung miRNA-21 yang
berkontribusi terhadap invasi sel. (Meng dkk, 2007). miRNA-21 berperan terhadap
resistensi terhadap apoptosis dan kemoterapi dengan langsung menargetkan PDCD4
(Yang GD dkk 2013)
114
Adanya perbedaan dalam beberapa penelitian perlu mengkaji faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi regulasi miRNA-21 dan membandingkan regulasi famili miRNA
yang lebih berperan pada karsinoma nasofaring.
Dari hasil penelitian ekspresi miRNA-29c pada pasien KNF post kemo-radioterapi
didapatkan meningkat dibanding pre terapi. Sama dengan hasil sebelumnya yang
mendapatkan peningkatan ekspresi miRNA 29c pada plasma darah penderita KNF post
terapi (Wardana, 2016). Akan tetapi pada penelitian ini didapatkan 1 sampel plasma
darah pasien KNF post radioterapi yang ekspresi miRNA-29c menurun, hal ini
disebabkan karena tidak resposif terhadap terapi dan terjadi mutasi biogenesis,
sehingga perlu pemeriksaan lanjut untuk melihat mutasi didaiser. MiRNA-29c dapat
bertindak sebagai tumor suppressor. MiRNA-29c dapat menekan progresifitas sel
kanker dengan mempromosikan apoptosis dan meningkatkan sensitivitas terhadap obat
kemoterapi (Jiang et al,2014). Ekspresi miRNA-29c juga berhubungan dengan regulasi
VEGF(Chen et al, 2009). MiRNA-29c juga memperlihatkan peningkatan selama fase
diferensiasi osteoblast pada percobaan in vitro(Kapinas K, 2009) membuat hipotesa
bahwa miR-29a dan miRNA-29c secara positif meregulasikan differensiasi osteoblast
dengan mengontrol ekspresi osteonectin pada target organ (Kapinas, 2009). Tetapi
ternyata tetap berbeda bila pasien datang dengan stadium lanjut.
IV.3 Keterbatasan Penelitian
Sehubungan dengan terkendala lamanya proses penelitian ini dilakukan (diikuti
proses kemo-radioterapi sampai selesai) sehingga beberapa pasien kami drop out
dikarenakan meninggal dunia, pasien tidak datang kontrol, pasien menolak untuk
115
melanjutkan terapi dikarenakan keterbatasan ekonomi dan juga pasien ganti regimen
kemoterapi. Adapun keterbatasan yang lain, yaitu masih kurangnya penelitian tentang
ekspresi miRNA-21 dan miRNA-29c pada penderita KNF terutama di Indonesia, oleh
karena itu peneliti masih sulit untuk mendapatkan referensi-referensi tentang penelitian
yang sama di Indonesia, oleh karena itu peneliti berusaha untuk memberikan sedikit
gambaran tentang peranan miRNA-21 dan miRNA-29c pada KNF. Namun demikian
peneliti mempunyai keterbatasan antara lain sarana dan prasarana laboratorium biologi
molekuler yang kurang memadai di Universitas Hasanuddin Makassar, sehingga
memerlukan pemeriksaan lanjutan dibantu oleh tim Universitas Gajah Mada Yogyakarta
yang pada akhirnya membutuhkan waktu penelitian yang lebih lama dan meningkatkan
biaya penelitian.
116
BAB V
PENUTUP
V.1 KESIMPULAN
1. Terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ekspresi miRNA-21 pada
penderita karsinoma nasofaring sebelum terapi dan sesudah kemoradioterapi.
2. Terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ekspresi miRNA-29c pada
penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah kemoradioterapi.
3. Terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ekspresi miRNA-21 pada
penderita karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah Radioterapi.
4. Terdapat perbedaan yang bermakna antara ekspresi miRNA-29c pada penderita
karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah Radioterapi.
5. Terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ekspresi miRNA-21 pada
penderita karsinoma nasofaring Post Kemoradioterapi dan Post Radioterapi.
6. Terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara ekspresi miRNA-29c pada
penderita karsinoma nasofaring Post Kemoradioterapi dan Post Radioterapi.
V.2 Saran
1. Pemeriksaan miRNA-29c dapat dipertimbangkan sebagai metode respon terapi
dan prediktif prognosis pada pasien karsinoma nasofaring.
2. Perlu ditentukan rasio miRNA-21 dan miRNA-29c terhadap karsinoma
nasofaring.
3. Perlu penelitian lanjut untuk melihat mutasi biogenesis pada sampel yang 5
sampel post kemo-radioterapi dan 1 sampel post radioterapi lengkap.
117
DAFTAR PUSTAKA
Bintoro, S. 2015. Perbedaan eskpresi hsa-miRNA-21-5p dan mRNA PTEN berdasarkan
stadium klinis pada plasma darah pasien karsinoma nasofaring. Tesis dan Disertasi Universitas Gajah Mada
Bruce, J.P., Liu F.F. 2014. MicroRNAs in nasopharyngeal carcinoma. Chinese journal of
cancer. 33(11): 539-544 He, M.L., Luo M.X, Lin M.C., Kung H.F., 2012. MicroRNAs: potential diagnostic markers
and therapeutic targets for EBV-associated nasopharyngeal carcinoma. Biochimica et biophysica,1-10
Hui A.B., lenarduzzi M., Krushel T., Waldron L., Pintilie M., Shi W., et.al., 2010.
Comprehensive microRNA profiling for head and neck squamous cell carcinomas. American association for cancer research. 16 (4):1129-1139
Iliopoulos D., jaeger H.A., Hirsch M.L, Bulyk K. 2010. STAT3 activation of miRNA-21
and miR-181b-1, via PTEN and CYLD, are part of the epigenetic swich linking inflammation to cancer. Mol Cell (4) 39: 493-506
Kuhuwael F.G., 2001. Aspek klinis karsinoma nasofaring di RSU Dadi dan RS.Wahidin
Sudirohusodo tahun 1990-1999. Disajikan dalam Pertemuan Ilmiah Berkala XV. Fakultas Kedokteran UNHAS Makassar 5 September 2001.
Kuhuwael F.G., 2010. Perbandingan Kasus Kanker Kepala Leher dalam Dua Dekade di
Makassar. Makalah disajikan dalam KONAS PERHATI XV Makassar 3-5 Juli 2010.
Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, Karsinoma Nasofaring, Modul Onkologi 2010.1-51. Lee K.T., Tan J.K., Lam A.K, Gan S.Y., MicroRNAs serving as potential biomarkers and
therapeutic targets in nasopharyngeal carcinoma: a critical review, Critical Reviews in Oncoloy/Hematology, 1-9.
Liu, N., Tang, L.L., Sun, Y., Cui, R.X., Wang, H.Y., Huang, B.J., et al., 2013. MiR-29 c
suppresses invasion and metastasis by targeting TIAM1 in nasopharyngeal carcinoma. Cancer Lett. 329, 181–188.
Li Y., Yan L., Zhang W., Wang H., Chen W., Hu N., et.al. 2014. miRNA-21 inhibitor suppresses proliferation and migration of nasopharyngeal carcinoma cells through down-regulation of BCL2 expression. Int J Clin Exp Pathol. 7(6):3478-3487.
118
Luan J., Wang J., Su Q., Chen X., jiang G., Xu X., 2015. Meta –analysis of the differentially expressed microRNA profiles in nasopharyngeal carcinoma. Oncotarget. 7 (9). 10513-10521.
Massardi N.A., Kusmardi., 2014. MikroRNA-21 dan peranannya pada kanker payudara.
Medicinus, 4 (6), 12-24. Miao B.P., Zhang R.S., Fu Y.T., Zhao M., Liu Z.G, Yang P.C., 2014. Nasopharyngeal
cancer-derived microRNA-21 promotes immune suppressive B cells. Cellular & Molecular Immunology, 1–7.
Ou H., Li Y., Kang M., Activation of miRNA-21 by STAT3 Induces Proliferation and
Suppresses Apoptosis in Nasopharyngeal Carcinoma by Targeting PTEN Gene. Plos One. 9 (11). 1-10.
Pieter N.A.L.,2013.. Profil Iga(Vca-P18+Ebna1) Dan Viral Load DNA EBV Sebagai
Faktor Resiko Keluarga Penderita Karsinoma Nasofaring Dengan EBV Positif. Disertasi tidak diterbitkan. Program Pasca Sarjana UNHAS. 1-50.
Rickinson A.B., and Moss D.J.1997. Human Cytotoxic T Lymphocyte Response to
Epstein Barr Virus Infection.Ann Rev.Imm. 15:407-12. Roezin A., Adham M. (2007). Karsinoma nasofaring. Dalam:Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan:Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke 6. Balai Penerbit FKUI. Jakarta p. 182-7
Sastroasmoro S., Ismael S. (2011). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis edisi ke-4.
Sagung Seto. 130-144. Savitri E., Haryana MS. (2015). Expression of interleukin-8, interleukin-10 and Ebstein-
Barr Viral Load as prognostic indicator in nasopharyngeal carcinoma. Global journal of Health science.Vol 7(3) 362-372.
Sengupta, S., den Boon, J.A., Chen, I.H., Newton, M.A., Stanhope, S.A., Cheng, Y.J.,et
al., 2008. MicroRNA 29c is down-regulated in nasopharyngeal carcinomas,up-regulating mRNAs encoding extracellular matrix proteins. Proc. Natl. Acad.Sci. U. S. A. 105, 5874–5878.
Spence T., Bruce J., Yip K.W., Liu F.F., 2015. MicroRNAs in nasopharyngeal
carcinoma. Chin clin Oncol, 5(2).1-11. Sun Z.F., Li S.G., Kaufmann A.M., Albers A.L. 2014., miRNA-21 increases the
programmed cell death 4 gene-regulated cell proliferation in head and neck squamous carcinoma cell lines. Oncology Reports 32: 2283-2289.
119
Tan G., Tang X., tang F., 2015. The role of microRNAs in nasopharyngeal carcinoma. Tumor Biol. 69-79.
Tran N., Mclean T., Zhang X., Zhao C.J, Thomson J.M., O’brien C., et al., 2007.
MicroRNA expression profiles in head and neck cancer cell lines. Biochemical and Biophysical Research communication. 358. 12-17.
Wargasetia TL.,2016. The potential of miRNAs as biomarker and therapy targets for
cancer. Journal of medicine and health. 1, 277-286. Zhang J.X., Qian D., Wang F.W., Liao D.Z., Wei J.H., Tong Z.T., et.al. 2013. MicroRNA-
29c enhances the sensitivities of human nasopharyngeal carcinoma to cisplatin-based chemotherapy and radiotherapy. Cancer Letters. 91-98.
120
Lampiran 2 : Data hasil analisis perbandingan ekspresi miRNA-21 pre terapi dengan post kemoradioterapi hsa-miRNA-21-5p (Pre
Therapy) hsa-miRNA-21-5p (Chemoradiotherapy)
NAN 6.16760305055394
NAN 1.51203452544667
NAN 7.55065426744024
133.720359457737 NAN
NAN NAN
NAN NAN
275.378588728965 2.91839614881127
NAN NAN
11.7279447248469 NAN
NAN
NAN
NAN
NAN
3.04209952734082
NAN
1.7381630905427
KS Not Determined Not Determined
Norm. Dist. Not Determined Not Determined
KS P-Value Not Determined Not Determined
Count 5 4
Mean 85.1214311058865 4.53717199806303
STDEV 120.03752721985 2.7994804746075
Df 7
SD^2 8237.07757671539
T 1.32360190144073
P-Value 0.227223872
Confidence level 0.95
SEM 53.7006597812648
t* 2.36462407410662
Difference (A-B log scale) 80.5842591078235
CI start/end (log) -46.3976138063645 207.566132022011
Fold change 1.81250481853065E24
CI start/end (linear) -92698665694179.4 3.04531220157732E62
121
Lampiran 3 : Data hasil analisis perbandingan ekspresi miRNA-29c pre terapi dengan post kemoradioterapi hsa-miRNA-29c-3p (Pre
Therapy) hsa-miRNA-29c-3p (Chemoradiotherapy)
2.90573998734854 1.4573032357348
2.57993937658677 1.08396017706908
3.2872726338444 1.58776064057617
3.95606859289349 5.02071718967269
2.97669318034662 10.5259100651877
3.55360263042397 3.12390720312348
5.58677467811922 2.92007200269379
3.12583935283562 7.90700010824372
3.78575682846573 2.25066909905007
1.94180340549102
4.11109845265301
2.73721301541929
3.39689236275737
1.40692411880015
4.65216883828602
1.47839600351933
KS 0.0939234271929785 0.271200328999773
Norm. Dist. Passed Passed
KS P-Value >0.1 0.0551415668805893
Count 16 9
Mean 3.21763646611191 3.98636663570572
STDEV 1.10210349949776 3.25334017335704
Df 23
SD^2 4.47362000533516
T 0.872279410749682
P-Value 0.392071254
Confidence level 0.95
SEM 1.11890089190274
t* 2.0686574860866
Difference (A-B log scale) -0.768730169593813
CI start/end (log) -3.08335287581739 1.54589253662977
Fold change -1.70376950061515
CI start/end (linear) -8.47581956600369 2.91984651987924
122
Lampiran 4 : Data hasil analisis perbandingan ekspresi miRNA-21 pre terapi dengan post radioterapi hsa-miRNA-21-5p (Pre
Therapy) hsa-miRNA-21-5p (Radiotherapy)
NAN 2.56098688001519
NAN 1.61863516712861
NAN 5.33874497997103
133.720359457737 NAN
NAN 17.2735531249842
NAN 5.90496001805853
275.378588728965 1
NAN
11.7279447248469
NAN
NAN
NAN
NAN
3.04209952734082
NAN
1.7381630905427
KS Not Determined Not Determined
Norm. Dist. Not Determined Not Determined
KS P-Value Not Determined Not Determined
Count 5 6
Mean 85.1214311058865 5.61614669502626
STDEV 120.03752721985 6.04447515903964
Df 9
SD^2 6424.30112932953
T 1.63812612090948
P-Value 0.135819731
Confidence level 0.95
SEM 53.7390999943486
t* 2.26215737473831
Difference (A-B log scale) 79.5052844108602
CI start/end (log) -42.0610169531548 201.071585774875
Fold change 8.5797655687861E23
CI start/end (linear) -4588045868152.07 3.37736963127635E60
123
Lampiran 5 : Data hasil analisis perbandingan ekspresi miRNA-29c pre terapi dengan post radioterapi hsa-miRNA-29c-3p (Pre
Therapy) hsa-miRNA-29c-3p (Radiotherapy)
2.90573998734854 2.48990269482222
2.57993937658677 2.47274121102007
3.2872726338444 1.78703934469307
3.95606859289349 2.61600027228835
2.97669318034662 1.32867960296471
3.55360263042397 1.6175984418727
5.58677467811922 1
3.12583935283562
3.78575682846573
1.94180340549102
4.11109845265301
2.73721301541929
3.39689236275737
1.40692411880015
4.65216883828602
1.47839600351933
KS 0.0939234271929785 0.244403354605295
Norm. Dist. Passed Passed
KS P-Value >0.1 >0.1
Count 16 7
Mean 3.21763646611191 1.90170879538016
STDEV 1.10210349949776 0.634766542380392
Df 21
SD^2 0.982716820668174
T 2.92929370047482
P-Value 0.008014199
Confidence level 0.95
SEM 0.365343305751657
t* 2.07961365163988
Difference (A-B log scale) 1.31592767073175
CI start/end (log) 0.556154744555362 2.07570059690814
Fold change 2.48962365078104
CI start/end (linear) 1.47034503824616 4.21549075985703
124
Lampiran 6 : Data hasil analisis perbandingan ekspresi miRNA-21 post kemoradioterapi dengan post radioterapi hsa-miRNA-21-5p
(Chemotherapy) hsa-miRNA-21-5p (Radiotherapy)
6.16760305055394 2.56098688001519
1.51203452544667 1.61863516712861
7.55065426744024 5.33874497997103
NAN NAN
NAN 17.2735531249842
NAN 5.90496001805853
2.91839614881127 1
NAN
NAN
KS Not Determined Not Determined
Norm. Dist. Not Determined Not Determined
KS P-Value Not Determined Not Determined
Count 4 6
Mean 4.53717199806303 5.61614669502626
STDEV 2.7994804746075 6.04447515903964
Df 8
SD^2 25.7737090655453
T 0.329251998763195
P-Value 0.750419745
Confidence level 0.95
SEM 2.83699713135239
t* 2.30600401535835
Difference (A-B log scale) -1.07897469696323
CI start/end (log) -7.62110147342198 5.46315207949552
Fold change -2.11253419921483
CI start/end (linear) -196.870272986371 44.113614819502
125
Lampiran 7 : Data hasil analisis perbandingan ekspresi miRNA-29c post kemoradioterapi dengan post radioterapi hsa-miRNA-29c-3p
(Chemotherapy) hsa-miRNA-29c-3p (Radiotherapy)
1.4573032357348 2.48990269482222
1.08396017706908 2.47274121102007
1.58776064057617 1.78703934469307
5.02071718967269 2.61600027228835
10.5259100651877 1.32867960296471
3.12390720312348 1.6175984418727
2.92007200269379 1
7.90700010824372
2.25066909905007
KS 0.271200328999773 0.244403354605295
Norm. Dist. Passed Passed
KS P-Value 0.0551415668805893 >0.1
Count 9 7
Mean 3.98636663570572 1.90170879538016
STDEV 3.25334017335704 0.634766542380392
Df 14
SD^2 6.22081068918455
T 1.65852328886286
P-Value 0.119439277
Confidence level 0.95
SEM 1.11066913232864
t* 2.1447868712253
Difference (A-B log scale) 2.08465784032556
CI start/end (log) -0.297490732968086 4.46680641361921
Fold change 4.24174484421088
CI start/end (linear) -1.22900495560302 22.1127479316342