THE IMPACT OF ADVERTISING AND PRICE …maya.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/... · Web...
Transcript of THE IMPACT OF ADVERTISING AND PRICE …maya.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/... · Web...
PENGARUH IKLAN DAN PROMOSI HARGA TERHADAP EKUITAS MEREK
Agus Mahendra Wibowo
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKP Yogyakarta
ABSTRACT
Marketing communications may provide the means for developing strong, customer-based brand equity. Among marketing communication tools, advertising and price promotion have always played a pivotal role. Hence, this research examines the effect of perceived advertising spending and price promotion on brand equity across experience goods/services. Jean was chosen as goods because it’s quality can be judged well before and after purchase or use it and bank was chosen as experience products due to its quality is unable to judge before use and able to judge quality after use. This research finds that advertising has significant positive impact on brand equity for both goods product and experience product. However, price promotion, for goods product, has significant negative impact on brand awareness and brand association and, for experience product (banking service), has positive effect on perceived quality and brand loyalty. In order to build strong brand equity effectively, managers must invest in the advertising but considering product categories when applying price promotion.
Key Word: Advertising, Price Promotion, Brand Equity, Product Category
PENDAHULUAN
Ekuitas merek, ukuran dari nilai
keseluruhan merek, adalah konsep kunci
dalam manajemen merek. Ekuitas merek
diidentifikasi sebagai sumber keunggulan
kompetitif bagi banyak organisasi. Keller
(2003) menyebut konsep ekuitas merek
sebagai "efek diferensial pengetahuan merek
terhadap respon konsumen ". Selanjutnya,
Keller mengusulkan (1) pengetahuan merek
sebagai pusat definisi ekuitas merek dan
tingkat pengetahuan merek meningkatkan
probabilitas pemilihan merek, (2)
mendefinisikan pengetahuan merek dalam
hal kesadaran merek dan image, dan (3)
brand awareness sebagai "kekuatan jejak
merek di memori dan kemampuan konsumen
untuk mengidentifikasi merek di bawah
kondisi yang berbeda" dan mendefinisikan
citra merek sebagai "persepsi mengenai
sebuah merek yang tercermin oleh asosiasi
merek dalam memori konsumen".
Ekuitas merek-pelanggan adalah satu
set yang berhubungan dengan asosiasi merek
yang dimiliki oleh konsumen dalam memori.
Dalam perspektif ini, ekuitas merek
dianggap sebagai keyakinan, mempengaruhi,
dan pengalaman subyektif lain yang
berkaitan dengan merek (yaitu, sikap
terhadap merek, brand image, dll), penelitian
yang ada terhadap ekuitas merek digunakan
untuk mengidentifikasi empat "komponen"A
1
kognitif dari ekuitas merek berbasis
pelanggan seperti sikap terhadap merek,
kekuatan preferensi, pengetahuan merek,
dan merek heuristik (Girish dan Clayton,
2004). Untuk memperluas ekuitas merek
dengan memasukkan konstruksi, seperti
loyalitas merek, kesadaran merek, persepsi
kualitas, dan asosiasi merek
Ekuitas merupakan seperangkat aset
dan kewajiban terkait dengan merek, yang
menambah nilai atau mengurangi nilai dari
sebuah produk dalam hubungannya dengan
pelanggan. Nilai ekuitas merek berasal dari
lima aset ekuitas merek (loyalitas merek,
kesadaran merek, persepsi kualitas, asosiasi
merek dan aktiva lainnya), di mana persepsi
kualitas dan asosiasi merek merupakan dua
aset yang paling penting. Semua aset
ekuitas merek ini memberi nilai tambah bagi
perusahaan dan pelanggan.
Loyalitas merek didasarkan pada
pelanggan dapat mempertahankan serangan
dari pesaing, dan dampak upaya-upaya
pemasaran produsen yang lebih kompetitif
untuk menarik pelanggan setia dari merek
lain yang tidak memuaskan. Kesadaran
merek bisa memberikan keakraban untuk
merek dan sinyal dari kekukuhan dan janji
jika pelanggan tahu merek, dan pada saat itu
akan mempengaruhi pertimbangan
pelanggan untuk merek dan pengaruh lebih
lanjut atas pemilihan konsumen terhadap
merek ketika merek itu sudah hafal.
Kualitas yang dirasakan dapat
mempengaruhi keputusan pembelian dan
loyalitas merek secara langsung, terutama
bila pelanggan belum dirangsang oleh
bujukan atau tidak dapat membuat analisis
rinci. Asosiasi Merek dapat membantu
pelanggan untuk berurusan dengan atau
mengingat informasi dan menjadi dasar
perbedaan produk, yang akan memberikan
alasan pembelian bagi pelanggan dan timbul
perasaan positif (Ali Hasan, 2010).
Aset merek eksklusif lainnya (paten,
merek dagang, distributor dll) lebih sulit
diukur dari perspektif pelanggan. Dalam hal
ini, ini membuat kesan kualitas, loyalitas
merek, kesadaran merek dan asosiasi merek
sebagai variabel ukuran ekuitas merek
berdasarkan prestasi atau kinerja merek
(Keller, 2003). Dari sudut pandang ini dapat
ditemukan bahwa ekuitas merek dapat
membawa nilai bagi konsumen dan
produsen. Nilai pelanggan dari ekuitas
merek adalah dasar untuk menciptakan nilai
produsen. Dalam lima aset ekuitas merek,
loyalitas merek dapat dipengaruhi oleh
dimensi kunci lain (kesadaran merek, kesan
kualitas dan asosiasi merek) dari ekuitas
merek, sehingga loyalitas merek dapat
2
dianggap sebagai dasar utama dari ekuitas
merek dan independen dari dimensi lain
Berdasarkan uraian diatas maka fokus
penelitian dirumuskan sebagai berikut : (1)
apakah iklan berpengaruh terhadap ekuitas
merek untuk produk barang dan produk
pengalaman/jasa. (2) apakah harga promosi,
untuk produk barang, memiliki dampak
terhadap kesadaran merek dan asosiasi
merek, dan (3) apakah produk pengalaman
(layanan perbankan), berpengaruh terhadap
persepsi kualitas dan loyalitas merek.
KONSTRUKSI TEORITIS DAN
HIPOTESIS PENELITIAN
Gambar 1 menunjukkan kerangka
konseptual, yang menjelaskan efek dari
belanja iklan dan harga promosi pada ekuitas
merek, diantarai oleh peran kategori produk
sebagai variable moderator.
Hubungan Iklan dan Brand Equity
Periklanan pengeluaran, sebagai alat
komunikasi pemasaran utama di pasar
konsumen, harus dipertimbangkan ketika
menentukan efek dari komunikasi
pemasaran pada konsumen, dan persepsi
bahwa pesan memprovokasi antara individu-
individu target yang berbeda (Angel dan
Manuel, 2005). Keller (2003) mencatat
bahwa komunikasi pemasaran berkontribusi
terhadap ekuitas merek. Artinya,
komunikasi yang efektif memungkinkan
formasi kesadaran merek dan citra merek
yang positif.
Ketika konsumen melihat belanja iklan
yang tinggi, ini memberikan kontribusi
untuk persepsi mereka tentang tingkat
kepercayaan bahwa manajer pemasaran
dalam produk, belanja iklan yang dirasa
memiliki efek positif, tidak hanya pada
ekuitas merek secara keseluruhan, tetapi
juga pada masing-masing elemen yang
terdiri dari; kesadaran, persepsi dan kualitas,
asosiasi dan loyalitas merek. Loyalitas
merek dianggap sebagai dimensi dan hasil
dari ekuitas merek (Morgan, 2000).
3
Produk Barang
Produk Jasa
Gambar 1. Kerangka Konseptual
Hubungan antara kualitas yang
dirasakan dan pengeluaran untuk
komunikasi pemasaran dibenarkan oleh
penelitian yang berbeda. Hubungan antara
belanja komunikasi pemasaran dan investasi
pada merek, yang melibatkan persepsi
kualitas yang lebih tinggi. Hubungan antara
investasi dalam komunikasi pemasaran dan
kualitas mempengaruhi tidak hanya kualitas
merek dirasakan, tetapi juga mendukung
keputusan pembelian dengan meningkatkan
nilai produk, penerima iklan menganggap
pengeluaran iklan dirasakan pada merek
sebagai upaya menegaskan kembali
keputusan pembelian.
Skala ariabel ekuitas merek seperti
"brand awareness" dan "sikap merek" dapat
menggunakan "efek paparan" untuk
meningkatkan evaluasi pelanggan terhadap
merek. "Efek paparan" akan berarti jika
dampak beberapa tujuan pemasaran terjadi
secara berulang. Konsumen akan memiliki
lebih banyak sikap positif untuk tujuan
pemasaran jika dampak yang muncul secara
teratur. "Efek paparan " merupakan faktor
kunci untuk mengubah preferensi dan sikap.
Validasi pengaruh "efek paparan" pada
"pengetahuan merek", " sikap merek ",
"keakraban merek", pembelian dan
kepercayaan. Hubungan antara investasi
dalam komunikasi pemasaran dan kualitas
mempengaruhi tidak hanya kualitas merek
yang dipersepsikan, tetapi juga mendukung
keputusan pembelian dengan meningkatkan
nilai produk. Oleh karena itu pengeluaran
iklan cenderung positif terhadap ekuitas
merek. Berdasarkan logika ini hipotesis
yang akan diuji secara empiris diusulkan
tentang pengeluaran iklan dan ekuitas merek
sebagai berikut.
H1 : Pengeluaran Iklan Mempengaruhi Ekuitas Merek
H1a : Iklan pengeluaran yang positif berkaitan dengan persepsi kualitas. H1b : Iklan pengeluaran yang positif berkaitan dengan loyalitas merek. H1c : Iklan pengeluaran yang positif berkaitan dengan brand awareness. H1d : Iklan pengeluaran yang positif berkaitan dengan asosiasi merek.
Hubungan antara Harga Promosi dan
Brand Equity
Promosi penjualan mengikis ekuitas
merek, dan biasanya, harga disesuaikan oleh
produsen sebagai metode promosi langsung
untuk meningkatkan pembelian pelanggan.
Sebagian besar efek dari pemotongan harga
terlihat dalam jangka pendek pilihan merek.
Promosi meningkatkan sensitivitas harga
pada pelanggan yang tidak setia. Akan
tetapi umumnya tidak tahan saat efek jangka
panjang dipertimbangkan. Dalam hal ini,
dengan menggunakan harga promosi berarti
penurunan ekuitas merek. Harga dianggap
sebagai standar skala kualitas produk tidak
4
langsung oleh pelanggan. Ini adalah konsep
bahwa harga berkorelasi positif dengan
kualitas produk, yaitu harga yang lebih
tinggi, lebih baik kualitasnya.
Penggunaan harga promosi memiliki efek
negatif terhadap ekuitas merek, karena
dianggap bahwa konsumen merasakan
hubungan negatif antara ekuitas merek dan
perlu menggunakan insentif untuk penjualan
yang mempengaruhi tingkat kemapanan
harga (Donthu dan Lee, 2000). Penjualan
promosi pada umumnya, dan khususnya
harga promosi, dianggap melemahkan
ekuitas merek meskipun memili manfaat
jangka pendek yang mereka berikan kepada
konsumen (Yoo, Donthu dan Lee, 2000).
Secara keseluruhan, efek jangka
panjang harga promosi penjualan yang
negative, oleh karena itu harga promosi
mungkin memiliki pengaruh negatif pada
persepsi pelanggan diferensial membuat
kesadaran persepsi pelanggan pada kualitas,
dan kemudian mempengaruhi ekuitas merek
produk dan kesediaan pembelian pelanggan.
Kegiatan berdasarkan penurunan harga dapat
menempatkan merek dalam bahaya,
konsumen akan terprovokasi dengan
ketidakstabilan, kebingungan dan
variabilitas menyebabkan kualitas image
tidak stabil. Oleh karena itu, penelitian ini
mengusulkan hipotesis untuk diuji secara
empiris adalah sebagai berikut :
H2 : Harga promosi mempengaruhi ekuitas merek;
H2a : Harga promosi negatif yang terkait dengan persepsi kualitas; H2b : Harga promosi negatif yang terkait
dengan loyalitas merek; H2c : Harga promosi negatif yang terkait
dengan brand awareness; H2d : Harga promosi negatif yang terkait
dengan asosiasi merek.
Kategori Produk
Kategori produk ditetapkan pada
sebuah kontinum produk barang (goods),
pengalaman (experience), atau kepercayaan
(credence) --- GEC, atas dasar evaluasi
pelanggan terhadap barang/jasa dengan cara
yang berbeda. Produk barang didominasi
oleh informasi atribut lengkap bisa diperoleh
sebelum membeli, pada produk
pengalaman /jasa, pelanggan dapat
mengevaluasi setelah mengkonsumsi, dan
barang kepercayaan didominasi oleh atribut
bahwa pelanggan tidak dapat memverifikasi
bahkan setelah digunakan . Atribut barang
dapat dianalisis dalam tiga sifat,
pengalaman, produk barang dan
kepercayaan. Produk barang memiliki
karakteristik yang dapat diidentifikasi
melalui pemeriksaan dan sebelum membeli.
Pengalaman, di sisi lain, memiliki fitur yang
terungkap hanya melalui konsumsi.
5
Kenyataan bahwa konsumen tidak bisa
memastikan kualitas dan nilai kepercayaan,
produk, dan pengalaman. Produk barang,
seperti yang didefinisikan oleh kerangka
GEC, bahwa ketidakpastian pra-pembelian
adalah rendah. Pada pengalaman, dan
kepercayaan yang ditandai dengan
ketidakpastian yang lebih tinggi, sehingga
strategi iklan untuk penjual barang mungkin
akan sangat berbeda dari kepercayaan dan
produk pengalaman. Meskipun, hubungan
positif antara kualitas merek dan belanja
iklan yang diharapkan, hubungan akan
berbeda dengan produk yang berbeda. Oleh
karena itu, penelitian ini mengusulkan
hipotesis yang akan diuji secara empiris
dirumuskan sebagai berikut :
H3: Dampak iklan terhadap ekuitas merek
untuk produk barang berbeda dari yang
non barang/jasa (pengalaman dan
kepercayaan).
Variabilitas produk barang / jasa
rendah juga membuatnya layak bagi
konsumen untuk memperoleh pengetahuan
penuh tentang kinerja produk sebelum
membeli. Harga akan menjadi pendorong
utama untuk pelanggan. Untuk layanan
kepercayaan, harga mungkin bukan atribut
yang paling penting. dan pengetahuan
meningkat sepanjang ada kontinuitas dari
kepercayaan untuk jasa.
Karena kesulitan mendapatkan
informasi prepurchase, maka memberikan
informasi tambahan dapat mengurangi risiko
bagi pelanggan. Selain itu, kepercayaan
barang/jasa sangat profesional dan terkait
dengan tingkat variabilitas yang lebih tinggi,
hal ini lebih sulit bagi pelanggan untuk
menilai kualitas atau pengalaman,
kepercayaan barang/jasa, harga murah
sehingga dapat menjadi petunjuk bagi
keterbatasan kualitas.
Peneliti berpendapat bahwa dampak
harga promosi pada ekuitas merek untuk
produk barang/jasa berbeda dari yang non-
produk barang (pengalaman dan
kepercayaan). Maka hipotesis yang
diusulkan untuk diuji secara empiris adalah :
H4 : Dampak promosi harga pada ekuitas
merek untuk produk barang/jasa berbeda
dari yang non-produk (pengalaman dan
kepercayaan) barang / jasa.
6
METODE PENELITIAN
Definisi dan Pengukuran
Penelitian ini berfokus pada tiga
konstruksi yaitu iklan, promosi harga dan
ekuitas merek. Pengeluaran periklanan,
sebagai alat komunikasi pemasaran utama di
pasar konsumen, harus dipertimbangkan
ketika menentukan efek dari komunikasi
pemasaran pada konsumen, dan persepsi
bahwa pesan memprovokasi antar individu
dari target yang berbeda. Oleh karena itu,
iklan dalam penelitian ini didefinisikan
sebagai persepsi subjektif konsumen
terhadap merek.
Skala pengukuran dikembangkan
dengan referensi dari Yoo et al. (2000)
Martin (2000). Harga promosi berarti
pengurangan harga jangka pendek seperti
penjualan khusus. Hal ini diukur sebagai
persepsi subjektif konsumen, frekuensi dari
harga promosi yang digunakan untuk merek.
Skala ekuitas merek mencakup empat
dimensi inti:, kualitas merek, loyalitas
merek, kesadaran merek dan asosiasi merek.
Kualitas didefinisikan sebagai penilaian
subjektif yang dilakukan oleh konsumen
mengenai keunggulan suatu produk.
Loyalitas merek memainkan peranan yang
luar biasa dalam menghasilkan ekuitas
merek, bukan hanya karena kemampuan
untuk mempertahankan pelanggan setia,
tetapi juga karena loyalitas pelanggan
meluas ke merek lain (terutama pada
portofolio perusahaan). Dalam riset ini,
kesetiaan brand mengacu pada komitmen
keseluruhan yang loyal terhadap merek
tertentu.
Kesadaran merek diukur sebagai
tingkat persepsi subjektif konsumen
terhadap merek. tingkat pengenalan merek
adalah mereka yang menghadirkan
kesadaran merek pada tingkat yang lebij
tinggi. Asosiasi merek terkait dengan
serangkaian atribut berwujud dan tidak
berwujud yang terkait dengan merek, dan
pada kondisi apa sikap konsumen yang
mungkin menguntungkan untuk memilih
merek. Semua item diukur dengan skala
Likert yang disedrhanakan menjadi 5 point.
Pretest Kategori Produk
Riset ini memilih tiga kategori produk:
jean, restoran cepat saji, dan bank. Sampel
pretest berjumlah 85 mahasiswa. Tabel 1
menunjukkan bahwa jean, restoran cepat saji
adalah produk barang, mahasiswa dapat
menilai kinerja dari setiap layanan baik
sebelum maupun setelah digunakan, untuk
menilai kinerja dari setiap layanan lebih
besar dari 3,0 pada skala lima poin. Namun,
skor tertinggi sebelum dan setelah pembelian
pada produk Jean. Ini berarti bahwa
7
responden dapat menilai kualitas Jean itu
baik sebelum dan sesudah membeli atau
menggunakannya. Jadi Jean terpilih sebagai
produk barang dalam riset ini ini. Sementara
kemampuan untuk menilai mutu sebelum
digunakan kurang dari 3,0 dan kemampuan
untuk menilai kualitas setelah digunakan
lebih besar dari 3,0, adalah bank. Oleh
karena itu, desain kuesioner formal dalam
penelitian ini memilih jean sebagai produk
barang dan bank sebagai produk
pengalaman.
Tabel 1. Statistik Deskriptif dari Kategori Produk
N Minimum Maksimum Mean Std. Deviasi
Jean Sebelum membeli
85 2.00 5.00 3.5059 0.81099
Setelah penggunaan
85 3.00 5.00 4.2353 0.47926
Restoran cepat saji
Sebelum membeli
85 1.00 5.00 3.4941 0.88133
Setelah penggunaan
85 2.00 5.00 4.1882 0.69854
Bank Sebelum membeli
85 1.00 5.00 2.9059 0.88133
Setelah penggunaan
85 2.00 5.00 3.6824 0.83398
Pengumpulan Data dan Analisis
Survei dengan menggunakan kuesioner
dilakukan pada bulanDesember 2010 sampai
bulan Februari, 2011. Sampel penilitian ini
adalah mahasiswa yang sering mengunjungi
gerai penjualan jean, restoran cepat saji dan
bank tempat mereka melakukan transaksi
untuk berbagai kepentingan seperti
pembayaran KRS, mengambil uang dan lain
sebagainya, Jumlah sampel yang terambil
200 orang.
Reliabilitas dan Validitas Tes
Analisis eksploratori faktor – AEF
digunakan untuk ekstraksi komponen pokok
dan rotasi diterapkan pada setiap item. Skala
komunikasi pemasaran meliputi 6 item (tabel
3). 6 item ini diekstraksi menjadi 2 faktor
(iklan dan harga promosi). Uji sampling
menggunakan
KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) tes yang
menunjukkan bahwa nilai KMO adalah
0,744 yang berarti analisis faktor mencapai
tingkat sedang. Persentase akumulasi
perbedaan sebesar 86,49%, cukup untuk
8
mewakili data asli. Faktor loading setiap
item lebih besar dari 0,5 menunjukkan
adanya validitas konvergen.
Skala ekuitas merek meliputi 12 item
(tabel 4). ke 12 item ini diekstraksi menjadi
4 faktor- Pengujian sampling dengan uji
KMO yang menunjukkan bahwa nilai KMO
adalah 0,896 yang berarti analisis faktor
mencapai tingkat tinggi. Persentase
akumulasi perbedaan sebesar 82,38%, cukup
untuk mewakili data asli. Faktor loading
setiap item lebih besar dari 0,5 menunjukkan
adanya validitas konvergen.
Skala komunikasi pemasaran meliputi
6 item (table 5). ke 6 item diekstraksi
menjadi dua factor (iklan dan harga
promosi). Dari sampling dengan uji KMO
yang menunjukkan bahwa nilai KMO adalah
0,788 yang berarti analisis faktor mencapai
tingkat sedang. Persentase akumulasi
perbedaan adalah sebesar 87,51%, cukup
untuk mewakili data asli. Faktor loading
setiap item lebih besar dari 0,5 menunjukkan
adanya validitas konvergen.
Skala ekuitas merek meliputi 12 item
(Tabel 6). 12 item ini diekstraksi 4 faktor :
persepsi kualitas, loyalitas merek, kesadaran
merek dan asosiasi merek. Pengujian
sampling dengan uji KMO menunjukkan
bahwa nilai KMO adalah 0,851 yang berarti
kebugaran analisis faktor mencapai tingkat
tinggi. Persentase akumulasi perbedaan
sebesar 80,43%, cukup untuk mewakili data
asli. Faktor loading setiap item lebih besar
dari 0,5 menunjukkan validitas konvergen.
Cronbach's α Jean diukur melalui
konsistensi setiap item. Semua dimensi
memiliki lebih besar dari nilai yang
disarankan sebesar 0,7 - iklan α = 0,943,
promosi harga α = 0,895, persepsi kualitas α
= 0,832, loyalitas merek α = 0,840, brand
awareness α = 0,906 dan asosiasi merek α =
0,916. Nilai alpha untuk masing-masing
konstruksi menunjukkan konsistensi internal
yang memadai.
Cronbach's α Bank diukur melalui
konsistensi setiap item.
Semua dimensi memiliki lebih besar
dari nilai yang disarankan sebesar 0,7 - iklan
α = 0,937, harga promosi α = 0,917, persepsi
kualitas α = 0,866, loyalitas merek α =
0,747, brand awareness α = 0,908 dan
asosiasi merek α = 0,891. Nilai alpha untuk
masing-masing konstruksi menunjukkan
konsistensi internal yang memadai.
9
Bank
Analisis Korelasi Pearson digunakan
untuk analisis antar variabel. Tabel 10
menunjukkan analisis hubungan antara iklan,
promosi harga dan ekuitas merek bank.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan positif yang signifikan antara
iklan dan persepsi kualitas (= 0,385, p r
<0,01), loyalitas merek (r = 0,236, p <0,01),
brand awareness (r = 0,158, p <0,05) dan
asosiasi merek (r = 0,360, p <0,01). Ada
hubungan positif yang signifikan antara
promosi harga dan persepsi kualitas (r =
0,337, p <0,01), loyalitas merek (p r = 0,271,
<0,01) dan asosiasi merek (r = 0,211, p
<0,01). Ini berarti bahwa promosi harga
bank memiliki efek positif terhadap ekuitas
merek, terutama pada persepsi kualitas,
loyalitas merek dan asosiasi merek.
Analisis Regresi
Jean
Iklan berpengaruh positif signifikan
terhadap persepsi kualitas (β 0,343, t =>
1,645), loyalitas merek (β 0,232, t => 1,645),
kesadaran merek (β 0,566, t => 1,645) dan
asosiasi merek (β = 0,481, t> 1,645). Harga
promosi berpengaruh negatif signifikan
terhadap brand awareness (β =- 0,180, t <-
1,645) dan asosiasi merek (β =- 0,108, t <-
1,645) Harga promosi pengaruh negatif tidak
signifikan terhadap persepsi kualitas (β =-
0,078,> t - 1,645). Selain itu, harga promosi
tidak berpengaruh signifikan terhadap
loyalitas merek (β 0,013, t = <1,645).
Bank
Iklan berpengaruh positif signifikan
terhadap persepsi kualitas (β 0,296, t =>
1,645), loyalitas merek (β 0,149, t => 1,645),
kesadaran merek (β 0,174, t => 1,645) dan
asosiasi merek (β = 0,329, t> 1,645). Harga
promosi berpengaruh positif signifikan
terhadap persepsi kualitas (β = 0,231),
loyalitas merek (β = 0,209). Harga promosi
tidak berpengaruh signifikan terhadap brand
awareness (β =- 0,038) dan asosiasi merek (β
= 0,073). Analisis korelasi menggambarkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara
biaya iklan dan promosi harga. Untuk
menghindari dampak collinearity antara
variabel independen, penelitian ini
mengadopsi diagnostik collinearity. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa VIF
(Variance Inflation Factor) kurang dari 10.
Artinya, tingkat collinearity tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap
estimasi model regresi.
Riset ini mencoba untuk memperluas
ekuitas merek dengan menggunakan
konstruksi loyalitas merek, kesadaran merek,
kesan kualitas dan asosiasi merek.
10
Spesifikasi konseptual bisa bermasalah
karena konstruksi yang sama muncul untuk
memainkan peran ganda. Sebagai contoh,
loyalitas merek dianggap sebagai dimensi
dan hasil dari ekuitas merek. Oleh karena
itu, penelitian ini lebih lanjut meneliti
hubungan antara loyalitas merek, kesadaran
merek, persepsi kualitas, dan asosiasi merek
dengan memperlakukan loyalitas merek
sebagai variabel terikat. Tabel 13
menunjukkan bahwa, untuk jean, persepsi
kualitas berpengaruh positif signifikan
terhadap loyalitas merek (β 0,392, t =>
1,645) dan asosiasi merek berpengaruh
positif signifikan terhadap loyalitas merek (β
= 0,317, t> 1,645). Kesadaran merek tidak
berpengaruh signifikan terhadap loyalitas
merek bank (β =- 0,037, t> -1,645). Persepsi
kualitas, kesadaran merek dan asosiasi
merek semua berpengaruh positif signifikan
terhadap loyalitas merek (β 0,380, t =>
1,645), (β 0,158, t => 1,645), (β = 0,269, t>
1,645).
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis di atas,
penelitian ini menemukan iklan yang
memiliki hubungan positif yang signifikan
terhadap ekuitas merek produk barang dan
produk jasa. Selanjutnya, hasil analisis
regresi menemukan bahwa promosi harga
tidak berpengaruh signifikan terhadap
loyalitas merek merek jean. Hal ini karena
konsumen tertarik terhadap merek oleh
utilitas transaksi yang memberikan harga
promosi (sesaat), dan ketika akhir promosi,
mereka kehilangan minat pada merek.
Dengan demikian, perubahan loyalitas
merek setelah berakhirnya promosi tidak
mungkin terjadi kecuali merek ini dianggap
unggul dan memenuhi kebutuhan konsumen
lebih baik daripada merek pesaing.
Meskipun harga promosi tidak memiliki
dampak yang signifikan terhadap persepsi
kualitas, arah dan harapan tetap menjadi
nilai negatif. Saat melihat kekuatan penjelas
dari model regresi, adjusted R ², ada
perbedaan besar antara kekuatan penjelas
dari pengeluaran iklan dan harga promosi
untuk dimensi ekuitas merek. Kedua
variabel independen menjelaskan kesadaran
merek (adjusted R ² = 0,364) dan asosiasi
merek (adjusted R ² = 0,245) lebih baik dari
melihat kualitas (adjusted R ² = 0,119) dan
loyalitas merek (adjusted R ² = 0,044). Ini
membuktikan bahwa marketer harus
mempertimbangkan faktor penting lainnya
ketika menyelidiki loyalitas merek.
Selain itu, ditemukan bahwa promosi
harga secara signifikan berpengaruh positif
terhadap persepsi kualitas dan loyalitas
merek bank. ini mungkin karena bank
adalah layanan industri berskala besar.
11
Ketika Bank menggunakan harga promosi
berjangka pendek, konsumen tidak akan
mempertanyakan kepada orang lain tentang
kualitas pelayanan bank, atau harga seperti
tingkat bunga dan biaya layanan dapat
menjadi salah satu faktor kunci bagaimana
pelanggan menilai kualitas bank. Penelitian
ini juga menemukan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara harga
promosi dan kesadaran merek atau asosiasi
merek, karena dan tinggi rendahnya harga
bisa sama-sama kuat terkait merek dalam
memori yang membawa manfaat kepada
konsumen.
Riset ini menunjukkan bahwa iklan
berpengaruh positif signifikan terhadap
ekuitas merek produk jean dan bank.
Namun, tingkat dampaknya tidak sama,
hasilnya, dapat diketahui bahwa iklan
memiliki dampak lebih tinggi pada empat
dimensi ekuitas merek produk barang (jean)
(koefisien standar) dari pada yang produk
bank.
Harga promosi berpengaruh moderat
yang berbeda pada ekuitas merek karena
perbedaan kategori produk, ini berarti bahwa
harga promosi membuat pengaruh
bertentangan mengenai produk tangible dan
intangible. Harga promosi dalam kesadaran
merek dan asosiasi merek jean memiliki
dampak negatif signifikan. Namun,
berpengaruh positif terhadap persepsi
kualitas dan loyalitas merek di industri
perbankan. Loyalitas merek konsumen pada
produk barang dapat ditingkatkan, jika
identifikasi integral pada kualitas produk dan
asosiasi merek yang baik dapat ditingkatkan.
Loyalitas merek sangat dipengaruhi oleh
tiga dimensi ekuitas merek produk layanan
bank.
Kekuatan variable penjelas
pengeluaran iklan dan harga promosi pada
ekuitas merek (adjusted R ²), pengeluaran
periklanan dan harga promosi memiliki
kekuatan penjelas yang lebih baik pada
kesadaran merek jean dan asosiasi merek
pada layanan perbankan. Dalam layanan
perbankan, R ² nilai disesuaikan dari
kekuatan penjelas pengeluaran iklan dan
harga promosi menunjukkan 0,178 pada
persepsi kualitas, 0,083 pada loyalitas
merek, 0,016 pada kesadaran merek, dan
0.125 pada asosiasi merek.
Dengan kata lain, adjusted R ² nilai-
nilai dari kekuatan penjelas pengeluaran
iklan dan harga promosi pada layanan
perbankan semuanya kurang dari 15%. Ini
menunjukkan bahwa pengaruh variabel
moderator terhadap ekuitas merek non
produk barang yang berbeda.
KESIMPULAN
12
Penelitian ini meneliti iklan di kategori
produk barang dan non barang. Di kedua
kategori, merek dengan anggaran iklan yang
lebih tinggi menghasilkan tingkat yang lebih
tinggi secara substansial dari ekuitas merek.
Riset ini mencatat bahwa perusahaan
periklanan berkontribusi terhadap ekuitas
merek dan loyalitas meningkat. Belanja
iklan menunjukkan hubungan kausal yang
menguntungkan bagi tiga dari empat dimensi
ekuitas merek. Semakin tinggi belanja iklan
untuk merek, semakin baik kualitas produk
seperti yang dirasakan oleh konsumen,
semakin tinggi tingkat kesadaran merek dan
asosiasi yang lebih terkait dengan produk,
pembentukan loyalitas merek. Artinya,
kegiatan periklanan yang efektif
memungkinkan formasi kesadaran merek
dan kualitas yang dirasakan positif, loyalitas
merek dan asosiasi merek.
Untuk meringkas, iklan memiliki efek
positif terhadap ekuitas merek. Oleh karena
itu, hipotesis H1a, H1b, H1c dan H1d
diterima. Pertanyaan penelitian yang
menyangkut penelitian ini adalah apakah
harga promosi dapat memberikan kontribusi
terhadap konstruksi ekuitas merek. Harga
promosi memiliki efek negatif terhadap
ekuitas merek dalam jangka panjang. Harga
promosi sebagai insentif untuk
meningkatkan penjualan telah terbukti
memiliki efek negatif terhadap ekuitas
merek.
Meskipun mereka dapat menyebarkan
manfaat jangka pendek kepada konsumen,
dari perspektif strategis menunjukkan efek
negatif ini dapat mempengaruhi kualitas
yang dirasakan dari produk buruk, karena
manfaat yang diperoleh melalui harga
promosi tidak bertahan lama, dan tidak
menularkan keamanan atau keyakinan
bahwa merek harus menginspirasi berkaitan
dengan utilitas yang diharapkan.
Namun, mengadopsi perspektif
pengetahuan merek berbasis ekuitas merek
konsumen, riset ini menunjukkan bahwa
harga promosi dari bank berguna untuk
menciptakan ekuitas merek karena efek
positif pada persepsi kualitas, loyalitas
merek dan asosiasi merek. Namun
demikian, statistik produk barang
membuktikan bahwa promosi harga
memiliki dampak negatif yang signifikan
pada kesadaran merek dan asosiasi merek.
Oleh karena itu, H2 sebagian diterima.
Riset ini menguji secara sistematik
driver kemungkinan perbedaan di kategori
produk dan implikasi dari temuan ini.
Hasilnya membuktikan bahwa kategori
produk memang memiliki efek moderat di
antara harga promosi dan ekuitas merek.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
13
kategori produk yang memoderasi hubungan
antara iklan, harga promosi dan ekuitas
merek. Pengaruh iklan dan harga promosi
pada ekuitas merek berbeda dari produk
barang dan non barang (pengalaman dan
kepercayaan). Dibandingkan produk barang,
produk jasa secara positif lebih efektif
beriklan di ekuitas merek.
Arah dan dimensi dampak harga
promosi pada ekuitas merek dalam kategori
berbagai produk berbeda. Dalam produk
jean, memiliki dampak negatif yang
signifikan pada kesadaran merek dan
asosiasi merek. Produk non barang (bank),
memiliki dampak positif yang signifikan
terhadap kualitas dan loyalitas merek.
Kategori produk memberikan sebuah efek
moderator pada hubungan antara ekuitas
merek dan harga iklan atau promosi.
Dengan demikian hipotesis H3 dan H4
diterima.
Implikasi Manajerial
Banyak perusahaan besar
menghabiskan ratusan miliar pada
komunikasi pemasaran, seperti iklan dan
harga promosi. Apakah iklan dan harga
promosi memperkuat atau melemahkan
ekuitas merek? Bagaimana seharusnya
manajer mengalokasikan sumber daya
keuangan untuk iklan dan harga promosi?
Mengapa bisnis bersedia untuk membayar
begitu banyak untuk nama merek? Untuk
membangun ekuitas merek yang kuat dan
efisien, manajer harus berinvestasi dalam
iklan, namun mempertimbangkan kategori
produk ketika menerapkan harga promosi.
Karena harga promosi bisa menyiratkan
rendahnya kualitas produk barang, mungkin
tidak meningkatkan ekuitas merek.
Meskipun memiliki manfaat dalam
jangka pendek dengan harga promosi,
mungkin tidak sesuai dengan persepsi
kualitas tinggi, dan akan mengurangi ekuitas
merek dalam jangka-panjang. Manajer
seharusnya tidak menggunakan harga
promosi. Manajer harus menerapkan
marketing mix yang akurat untuk
mengoperasikan dan mengelola merek.
Dengan demikian mereka dapat
meningkatkan loyalitas pelanggan dan
meningkatkan laba perusahaan. Untuk
produk non barang, harga promosi dapat
meningkatkan kualitas dan loyalitas merek.
Di pasar yang kompetitif dan dinamis,
para manajer harus menyadari pentingnya
komunikasi pemasaran untuk seluruh merek.
Untuk tujuan ini, manajer harus
memasukkan foresight strategis dalam
perencanaan pemasaran dengan melihat ke
depan dan penalaran mundur dalam
membuat keputusan yang optimal. Dengan
melihat ke depan, setiap manajer merek,
14
ramalan masa depan rencananya dan
mengantisipasi keputusan harus dibuat oleh
merek pesaing lainnya; dengan penalaran
mundur, manajer harus secara optimal
keputusan yang dibuat dapat sebagai
tanggapan terhadap strategi terbaik dari
semua merek.
Oleh karena itu, terlepas dari produk
barang atau non barang, persepsi pelanggan
dalam pengeluaran iklan memiliki dampak
positif terhadap ekuitas merek. Dari hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa
pengeluaran iklan dirasakan oleh pelanggan
mendekati angka 3 untuk industri jeans dan
kategori perbankan di-point 5. Oleh karena
itu, bagaimana mempromosikan pengeluaran
iklan dirasakan oleh pelanggan adalah upaya
masa depan untuk manufaktur, khususnya
untuk industri perbankan.
Keterbatasan penelitian dan saran
Beberapa keterbatasan penelitian ini.
Pertama, riset ini berkonsentrasi pada efek
pengeluaran iklan dan harga promosi. Oleh
karena itu direkomdasikan Interaksi upaya
pemasaran lain yang perlu dipelajari,
misalnya harga, kekuatan distribusi dan citra
toko. Kedua, riset ini hanya menekankan
pada perbandingan non produk barang dan
produk barang. Setiap perbandingan produk
barang, pengalaman dan kepercayaan tidak
tercakupi. Sepadan dengan kerangka GEC,
disarankan agar penelitian mendatang dapat
melibatkan analisis lebih mendalam dan
perbandingan lebih dari dua jenis produk dan
diusulkan untuk menguji model pengukuran
pada sampel konsumen lain. Ketiga, subjek
penelitian ini adalah mahasiswa, oleh karena
itu penelitian mendatang dapat memperluas
sampel ke konsumen umum, dan Keempat,
penelitian masa depan dapat mengungkap
hubungan sebab dan akibat jika
menggunakan analisis longitudinal.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Hasan, 2010. Marketing-ed3. Yogyakarta: Media Presindo. hlm 84, 142-162.
Angel F. Villarejo-Ramos, Manuel J. Sa´nchez-Franco. 2005, ‘The impact of marketing communication and price promotion on brand equity’, Brand Management, vol.12, No.6, 431-444.
Girish N. Punj, Clayton L. Hillyer. 2004. ‘A cognitive model of customer-based brand equity for frequently purchased products: conceptual framework and empirical results’, Journal of Consumer Psychology, 14(1&2), 124-131.
Keller, K. L. 2003, ‘Strategic Brand Management’, Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall.
15
Martin, F. A. 2000 ‘Medicio´n de la calidad de servicio percibida en el transporte pu´ blico urbano: Metodologı´a y relacio´n con variables de marketing’, doctoral dissertation, University of Seville, Spain.
Morgan, R. P. 2000. ‘A consumer-oriented framework of brand equity’, International Journal of Market Research, 42, 65–78.
Yoo, B., Donthu, N. and Lee, S. 2000 ‘An examination of selected marketing mix elements and brand equity’, Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 28, No. 2, pp. 195–211.
BISNIS MICE SEBAGAI POTENSI UNGGULAN PARIWISATA DI YOGYAKARTA
M. Agus Prayudi
Dosen Akademi Pariwisata Indraphrasta Yogyakarta
Abstract
Mice in the tourism industry is type of tourism activity in which a large group, usually carefully planned, take departure together for particular purpose. The mice world is a world that has not received optimal attention from the tourism agent in Indonesia . Mice is very promising, especially for the Yogyakarta city, which is the education and tourism city and of course often to be the scene of meetings and exhibitions either regional, national and even international. Mice business is very reasonable to be developed in Yogyakarta because the city has various advantages either the hotel facilities, convention hall, human resources, means and infrastructure of transportation, telecommunications networks and availability the type of culinary and handicrafts tourism.
Keywords: Mice, Meeting, Incentive, Convention and Exhibition
16
Pariwisata merupakan salah satu industri
raksasa dunia yang mendorong pertumbuhan
sektor ekonomi paling cepat. Pada 2008,
diperkirakan wisatawan di dunia mencapai
920 juta, tetapi karena terjadinya krisis
global, jumlah kunjungan menurun 4%
menjadi 880 juta pada 2009. Walau terjadi
penurunan, industri pariwisata terutama di
Asia Pasifik sudah kembali pulih, sehingga
pada 2010 kontribusi pariwisata pada PDB
mencapai 9,2% (US $5.751 milyar) dengan
pertumbuhan 0,5% serta menciptakan 235,8
juta kesempatan kerja (8,1% dari
kesempatan kerja dunia) (Kusmayadi, 2010
diktipari .org).
Salah satu penentu perkembangan
dunia pariwisata di suatu daerah adalah
terbukanya daerah itu terhadap pertumbuhan
pariwisata di tingkat lebih luas, baik nasional
maupun internasional. Di Indonesia,
peningkatan kepercayaan dari dunia
internasional terhadap negara ini sebagai
tujuan wisata yang menarik mendorong
tumbuhnya bisnis MICE (Meeting,
Incentive, Conference, and Exhibition),
terutama sejak 2007.
Dampak besar bisnis MICE dapat
dilihat dari perolehan devisa pariwisata
dengan diadakannya sejumlah kegiatan
konvensi internasional skala besar seperti
PATA Travel Mart dan Global Climate
Change yang berhasil diadakan di Indonesia
pada 2010. Peran Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata (Depbudpar), para pelaku
bisnis MICE, INCCA (Indonesia Congress
and Convention Association), dan perguruan
tinggi penting dalam mendukung
perkembangan dan pertumbuhan bisnis
MICE dalam konteks promosi pariwisata di
Indonesia, terutama di sepuluh kota besar
yang ditetapkan sebagai destinasi unggulan
MICE, antara lain: Jakarta, Bandung,
Yogyakarta, Surabaya, Bali, Medan, Batam,
Padang, Makasar dan Ma-nado. Keberadaan
Direktorat MICE di Depbudpar diharapkan
mampu mendorong semakin meningkatnya
industri jasa MICE di negara ini.
A. Apa Bisnis MICE?
Bisnis MICE merupakan bisnis jasa
kepariwisataan yang bergerak di seputar
Pertemuan, Insentif, Konvensi, dan Pameran
(Meeting, Incentive, Convention, and
Exhibition, yang disingkat MICE). Keempat
jenis kegiatan kepariwisataan ini merupakan
usaha untuk memberi jasa pelayanan bagi
suatu pertemuan sekelompok orang,
khususnya para pelaku bisnis, cendekiawan,
eksekutif pemerintah dan swasta, untuk
membahas berbagai persoalan yang
berkaitan dengan kepentingan bersama,
termasuk memamerkan produk-produk
bisnis.
17
Pertama, meeting merupakan rapat atau
pertemuan sekelompok orang yang
tergabung dalam sebuah asosiasi, di mana
perusahaan yang mempunyai kesamaan
minat dengan tujuan dan kepentingan
membahas suatu permasalahan bersama.
Kedua, incentive mengacu pada perjalanan
insentif yang merupakan suatu kegiatan
perjalanan yang diselenggarakan oleh suatu
perusahaan untuk karyawan dan mitra usaha
sebagai imbalan penghargaan atas prestasi
mereka yang berkaitan dengan
penyelengaraan konvensi yang membahas
perkembangan kegiatan perusahaan yang
bersangkutan dan/atau kegiatan pameran.
Ketiga, convention, yaitu pertemuan
sekelompok orang (negarawan, usahawan,
cendekiawan, profesional dan sebagainya)
untuk mambahas masalah yang berkaitan
dengan kepentingan bersama, biasanya
dengan jumlah peserta banyak.
Keempat, exhibition, yaitu bentuk
kegiatan mempertunjukkan, memperagakan,
memperkenalkan, mempromosikan, dan
menyebarluaskan informasi hasil produksi
barang atau jasa maupun informasi visual di
suatu tempat tertentu dalam jangka waktu
tertentu untuk disaksikan langsung oleh
masyarakat dalam meningkatkan penjualan,
memperluas pasar dan mencari hubungan
dagang.
Usaha jasa MICE tidak dapat
dipisahkan dari mata rantai usaha di bidang
kepariwisataan dan berbagai sektor usaha
lainnya. Penyelenggaraan MICE selalu
melibatkan banyak sektor usaha atau industri
dan banyak pihak, yang menimbulkan
pengaruh ekonomi berlipat ganda (multiplier
effect) yang menguntungkan dan dapat
dirasakan oleh banyak pihak, khususnya
karena daya-pengeluaran finansial (spending
power) dari segmen MICE tinggi, sekitar 8-
10 kali wisatawan biasa. Di antara pihak
yang potensial mendapatkan keuntungan
besar bisnis MICE adalah Percetakan, Hotel,
Perusahaan Sovenir, Biro Perjalanan Wisata,
Transportasi, Professional Conference
Organizer (PCO), Usaha Kecil dan
Menengah (UKM), dan Event Organizer.
B. Potensi Perkembangan Bisnis MICE
di Indonesia
Secara global, industri MICE di
berbagai kawasan ASEAN, Asia Pasifik,
Eropa dan Amerika Serikat pada 2007 rata-
rata mengalami pertumbuhan dua digit, dan
kondisi ini memiliki dampak positif terhadap
industri MICE di Indonesia. Intinya, kondisi
global bisnis itu mendorong bisnis MICE di
negara ini. Pada dekade 1990-an, bisnis
MICE menjadi bagian penting dari
perkembangan kepariwisataan di Indonesia,
walaupun di negara-negara industri maju
18
bidang pariwisata ini sudah jauh lebih
berkembang sebelumnya. Pesatnya
perkembangan bisnis MICE terjadi seiring
semakin terbukanya perdagangan
internasional dan berkembang pesatnya
teknologi informasi dan transportasi. Kota
besar khususnya Jakarta, dan kota-kota besar
lain yang berdekatan, masih menyumbang
persentase terbesar dalam mendatangkan
tamu yang menginap dalam kerangka bisnis
MICE.
Dalam kapasitas sebagai pengambil
kebijakan, pemerintah sudah mengatur dunia
pariwisata melalui Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,
yang menyebutkan ada 13 sektor usaha
pariwisata, yaitu: (1) Daya Tarik Wisata, (2)
Kawasan Pariwisata, (3) Jasa Transportasi
Wisata, (4) Jasa Perjalanan Wisata, (5) Jasa
Makanan & Minuman, (6) Penyediaan
Akomodasi, (7) Penyelenggaraan Kegiatan
Hiburan & Rekreasi, (8) Penyelenggaraan
Pertemuan, Perjalanan Insentif, Konferensi
& Pameran, (9) Jasa Informasi Pariwisata,
(10 Jasa Konsultan Pariwisata, (11) Jasa
Pramu Wisata, (12) Wisata Tirta, dan (13)
Spa. Terkait dengan MICE, pada Mei 2009
diterbitkan Peraturan Menteri Kebudayaan
dan Pariwisata Nomor
18/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman
Penggunaan Jasa dan Produk Usaha Mikro
Kecil Menengah dalam Kegiatan Pertemuan,
Perjalanan Insentif, Konferensi dan
Pameran. Diharapkan, kesempatan terbuka
lebar bagi pelaku UMKM untuk
mempromosikan jasa dan produknya dalam
kegiatan pertemuan, perjalanan insentif,
konferensi, dan pameran atau bisnis MICE.
Sejumlah penyelenggaraan kegiatan MICE
di Indonesia terbukti memberi kontribusi
konkret dalam pembangunan ekonomi,
antara lain berbentuk penerimaan cadangan
devisa dalam waktu relatif singkat,
penerimaan pajak, penyerapan tenaga kerja
dan pengembangan infrastruktur di kota
besar seperti Batam, Medan, Jakarta,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Bali,
Makassar, dan Manado.
Penghasilan besar dari bisnis MICE itu
dapat diperoleh dari subsektor bisnis MICE,
antara lain: usaha akomodasi seperti hotel,
wisma, dan losmen; usaha jasa penyewaan
audio visual, usaha konsumsi baik berbentuk
restoran maupun perusahaan jasa boga atau
katering; usaha suvenir yang meliputi pusat
perbelanjaan, toko-toko hadiah, perusahaan
kerajinan dari berbagai bahan tekstil
pakaian, kulit, kerajinan bambu, kayu, dan
rotan; usaha jasa hiburan seperti orkestra,
sendratari, sanggar kesenian dan kebudayaan
serta lawak, dan usaha jasa pengiriman cepat
(ekspres) dan pelayaran (shipping). Semua
19
jenis usaha ini bisa dikelola oleh UMKM
atau setidaknya melibatkan banyak sektor
UMKM, terutama di kota-kota besar seluruh
Indonesia.
C. Bisnis MICE di Yogyakarta
Yogyakarta adalah daerah tujuan
wisata utama di Pulau Jawa, Indonesia.
Kombinasi unik antara candi-candi kuno,
sejarah, tradisi, budaya, pendidikan dan
kekuatan alam menjadikan Yogyakarta
sangat menarik untuk dikunjungi. Kota ini
merupakan daerah tujuan wisata MICE yang
banyak diminati berbagai kalangan, karena
memiliki fasilitas yang cukup lengkap untuk
mendukung kegiatan itu. Di kota ini,
misalnya, banyak terdapat hotel dan gedung
pertemuan yang mempunyai standar MICE
dan siap menggelar berbagai kegiatan, baik
skala nasional maupun internasional.
Berdasarkan data kantor Dinas
Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY), sampai sekarang di daerah ini tercatat
terdapat 33 hotel berbintang, dan 835 hotel
melati, di samping sejumlah gedung
pertemuan yang dapat mendukung
Yogyakarta sebagai tujuan wisata MICE.
Banyaknya peserta seminar, komvensi,
pameran maupun kegiatan lainnya berskala
nasional maupun internasional yang digelar
di Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa
posisi Yogyakarta sebagai salah satu daerah
pariwisata berbasis MICE semakin kokoh.
Pengembangan kegiatan bisnis MICE
menjadi salah satu prioritas program
pengembangan pariwisata karena kegiatan
yang digelar di kota akan berdampak positif
terhadap sektor pariwisata. Forum
Silaturahmi Insan Pariwisata (Fosipa)
Indonesia yang berpusat di Yogyakarta
mempunyai anggota dari kalangan pelaku
usaha wisata, baik pengelola hotel, restoran,
jasa transportasi wisata, dan pramuwisata se
Jawa-Bali serta sebagian Sumatera. Di
samping itu, banyaknya kegiatan MICE
dapat memberikan keuntungan, yaitu
meningkatkan penghasilan, termasuk para
pemangku kepentingan (stakeholder)
pariwisata. Misalnya, produk kerajinan,
rumah makan atau restoran, dan hotel
banyak diuntungkan banyaknya kegiatan
MICE, baik nasional, regional maupun
internasional.
Sebagai kota wisata, Yogyakarta terus
berbenah dan menambah berbagai fasilitas
yang dibutuhkan wisatawan. Bertambahnya
hotel, restoran, pusat perbe-lanjaan dan
fasilitas olah raga tentu semakin
memanjakan para wisatawan untuk merasa
nyaman berkunjung ke Yogyakarta. Selain
itu, kondisi kota ini yang aman menjadi
daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk
20
mengadakan acara skala nasional, regional
maupun internasional, baik seminar,
pameran, pertemuan, dan lain sebagainya.
Dengan kondisi seperti itu banyak pelaku
jasa wisata menyambut optimis dan
mendukung berbagai kegiatan dalam
kerangka bisnis MICE. Sekarang, fasilitas
kebutuhan untuk masyarakat termasuk
wisatawan di Yogyakarta semakin lengkap.
Ketika wisatawan mau belanja, misalnya,
pilihan wisata belanja semakin banyak
tersedia, mengingat semakin banyak
didirikannya pusat perbelanjaan mo-dern di
berbagai sudut kota ini.
Tidak hanya urusan belanja, untuk
wisata MICE yang lain di Yogyakarta sangat
memadai. Banyak hotel berbintang, Jogja
Expo Center (JEC), Malioboro Mall,
Ambarukmo Plasa, termasuk Gedung Pasifik
Hall di Jalan Magelang, adalah beberapa
tempat konvensi dan pameran yang banyak
diminati para pengunjung. Dibandingkan
lainnya, Pasifik Hall masih unggul karena
tempatnya yang luas dan fasilitas yang
memadai. Tempatnya juga stategis dan
mudah dijangkau. Banyak masyarakat dari
luar Yogyakarta mau mengikuti seminar,
pertemuan kantor, pa-meran sampai hajatan
pernikahan menggunakan tempat ini.
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui
bahwa salah satu fasilitas sangat penting
dalam suatu penyelenggaraan konvensi
adalah ruang pertemuan (hall) dan hotel.
Pertumbuhan hotel dan jumlah kamar
berikut fasilitas-fasilitasnya secara langsung
akan berpengaruh terhadap penyediaan
fasilitas pendukung untuk usaha wisata
MICE. Di antara hotel yang sangat terkenal
untuk penyelenggaraan bisnis MICE antara
lain: hotel Bintang 5 (Aquila Prambanan
Hotel dan Melia Purosani Hotel); hotel
Bintang 4 (Natour Garuda Hotel, Santika
Hotel, Sahid Garden Hotel, Yogya
International Hotel, Jayakarta Hotel,
Radisson Plaza Hotel); hotel Bintang 3
(Mutiara Hotel, Puri Artha Hotel, Sriwedari
Hotel & Cottages, Phoenix Heritage Hotel);
hotel Bintang 2 (Mendut Hotel, Matahari
Hotel); hotel Bintang 1 (Cakra Kembang
Hotel, Air Langga Hotel, Dwi Pari Hotel)
(Dinas Pariwisata Yogyakarta, 2007).
Perkembangan hotel yang ada di
Yogyakarta sangat dipengaruhi pula oleh
akses dari dan/atau ke dunia pariwisata
internasional. Dibukanya Bandar Udara
Adisucipto Yogyakarta sebagai bandar udara
internasional pada 21 Februari 2004 telah
membuka peluang sangat lebar bagi
pengembangan pariwisata internasional,
termasuk bisnis MICE di kota budaya ini.
Lokasi geografisnya yang strategis jelas
membuat kota Yogyakarta mudah dijangkau
21
baik menggunakan transportasi udara
maupun darat. Untuk transportasi udara,
jarak Bandara Adisucipto hanya sekitar 8 km
dari pusat kota, dan didukung dengan
transportasi lokal yang relatif memadai,
terutama armada angkutan darat dalam kota,
seperti taksi, transjogja, bis umum, kereta
api dengan tarif relatif murah. Kondisi ini
didukung dengan kondisi jalan yang baik
dan lalu-lintas yang relatif tidak sering
mengalami kemacetan. Hal ini sangat
berpengaruh pada kenyamanan dan
kemudahan bagi wisatawan konvensi, baik
selama berlangsungnya konvensi maupun
setelah acara itu selesai.
Selain itu, ada juga fasilitas yang
sangat mendukung berkembangnya bisnis
MICE, yaitu tersedianya sarana
telekomunikasi secara memadai. Yogyakarta
banyak memiliki tempat yang melayani jasa
telekomunikasi yang dapat digunakan untuk
tujuan lokal, interlokal, dan interlokal.
Berkembangnya Warnet (Warung Internet),
jaringan telpon kabel yang dipadu dengan
speedy dari Telkom, jaringan komunikasi
wireless untuk koneksi Internet, dan
pesatnya perkembangan inovatif berbagai
merek komputer dan HP dengan kualitas
jauh lebih tinggi memperbesar peluang
berkembangnya pariwisata, termasuk bisnis
MICE. Semua fasilitas telekomunikasi
tersebut sangat membantu pengguna jasa
telekomunikasi, baik untuk penduduk lokal
maupun untuk wisatawan.
Akhirnya, kehadiran wisatawan di
Yogyakarta tidak dapat dilepaskan juga dari
berkembangnya wisata kuliner di kota
budaya ini. Berdirinya berbagai hotel
berbintang yang menyediakan berbagai jenis
masakan dan fasilitas restoran yang bertaraf
internasional sangat mendukung
pertumbuhan bisnis MICE internasional. Di
lokasi tengah kota dan pinggiran kota juga
terdapat rumah makan dengan berbagai tipe
dengan berbagai jenis makanan seperti
Indonesian Food, Chinese Food, European
Food, Sea Food, Pizza, Fried Chicken,
Thailand Food, Japanese Food, dan lain-lain
menambah khasanah wisata kuliner di
Yogyakarta. Dengan demikian Yogyakarta
mempunyai jumlah dan jenis rumah makan
yang cukup banyak untuk melayani selera
wisatawan, termasuk mereka yang terlibat
dalam penyelenggaraan bisnis MICE.
Beragamnya fasilitas penyelengga-raan
pariwisata di Yogyakarta menjadi daya tarik
luar biasa dalam penyelenggaraan acara
pertemuan, insentif, konvensi dan pameran
untuk memeriahkan obyek-obyek wisata
yang ada. Pengembangan yang disengaja
atas bisnis MICE ini tentu akan memicu
perkembangan acara itu di masa yang akan
22
datang. Karena itu, dapat dikatakan bahwa
usaha wisata MICE memiliki dampak
berlipatganda (multiplier effect) yang sangat
kaitannya dengan mata-rantai usaha
kepariwisataan lainnya, mulai dari usaha
yang besar seperti hotel berbintang, usaha
transportasi, akomodasi sampai usaha
terkecil dan informal seperti usaha
pembuatan dan penjualan cenderamata. Pada
tingkat yang lebih riil, di antara pihak yang
mendapat keuntungan dari perkembangan
bisnis ini adalah: pengusaha transportasi,
baik tingkat lokal, interlokal, nasional
maupun internasional; akomodasi, baik hotel
berbintang maupun tak-berbintang; restoran;
hibur-an; shooping; cenderamata. Akhirnya,
pemerintah juga dapat menetapkan pajak
dengan lebih banyak obyek dan subyek
pajak terkait dengan berbagai acara bisnis
MICE yang diadakan di berbagai gedung
pertemuan besar.
Uraian mengenai keterkaitan antar-
sektor usaha yang berhubungan dengan
penyelenggaraan bisnis MICE tersebut
memperlihatkan keunggulan bisnis MICE
dibandingkan atraksi atau usaha pariwisata
lainnya. Penyelenggaraan suatu acara bisnis
MICE akan memberikan efek berlipat ganda
(multiplier effect) yang lebih luas dan lebih
besar terhadap sektor-sektor pendukung
pariwisata yang lain.
D. Kendala Bisnis MICE di Yogyakarta
Dalam perkembangannya sekarang,
harus diakui bahwa Yogyakarta juga
menghadapi kendala dalam pengembangan
bisnis MICE. Sebagaimana disebutkan di
atas, bisnis MICE banyak berhubungan
dengan kombinasi kepentingan khusus
antara bisnis dan pertemuan, insentif,
konvensi dan pameran. Dalam kerangka itu,
diperlukan banyak upaya pemenuhan
fasilitas MICE yang memadai dan layanan
yang ramah serta berkualitas. Hanya saja,
sumber daya manusia yang mensuplai bisnis
ini belum memadai, baik di dalam maupun
di luar hotel, sehingga adaka-lanya
pelaksanaan acara dalam kerangka bisnis
MICE tidak berlangsung dengan baik dan
tidak sedikit yang kurang memuaskan.
Pembenahan fasilitas harus terus dilakukan,
termasuk dalam masalah peralatan dengan
teknologi tinggi seperti alat presentasi audio
visual, sound system, lighting, komputer,
telekomunikasi pada setiap kamar dengan
jaringan internasional, dan serupa itu.
Di samping itu, dalam kerangka
pemasaran, program promosi untuk bisnis
MICE juga masih relatif terbatas atau
parsial. Masing-masing hotel masih
membuat program pemasaran untuk wisata
MICE dan mempromosikan fasilitas MICE
23
sendiri-sendiri. Promosi restoran,
transportasi, obyek dan atraksi wisata yang
terkait dengan bisnis MICE cenderung tidak
diikutsertakan menjadi satu informasi. Fakta
seperti itu sebenarnya juga menunjukkan
semakin ketatnya persaingan yang terjadi di
antara pelaku usaha wisata MICE, baik
tingkat lokal, nasional, regional maupun
internasional.
Padahal, kalau ditangani dengan baik,
program pemasaran terpadu yang melibatkan
berbagai pihak yang terkait dengan wisata
konvensi dapat menyediakan informasi dan
menyajikannya dalam bentuk promosi yang
utuh dan dapat meraih pasar secara bersama-
sama. Sinergi ini sangat penting jika para
pelaku bisnis MICE ingin dapat bersaing
kuat dalam pariwisata MICE di tingkat
internasional. Singapura menjadi salah satu
negara pesaing besar di dalam bisnis MICE,
baik dari jalur Australia sampai Korea
maupun dari Asia Pasifik ke Eropa dan
Amerika Serikat. Dengan kualitas sumber
daya manusia yang tidak memadai, para
pelaku bisnis MICE di Indonesia, dalam hal
ini Yogyakarta cenderung akan kalah saing.
Dalam konteks itu, keterpaduan dan
koordinasi antara pemerintah dan swasta
dalam kerangka kemitraan sangat penting,
begitu pula dengan kiprah dari para
pengelola perguruan tinggi, baik universitas,
sekolah tinggi, institut, politeknik dan serupa
itu.
E. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa bisnis MICE sangat
layak dikembangkan di Yogyakarta karena
kota ini memiliki berbagai keunggulan, baik
dilihat dari fasilitas perhotelan, gedung
pertemuan, sarana dan prasarana
transportasi, jaringan telekomunikasi dan
ketersediaan berbagai jenis wisata termasuk
kuliner dan kerajinan. Rasa aman tinggal di
Yogyakarta cenderung membuat banyak
wisatawan tinggal lebih lama, yang pada
gilirannya akan menimbulkan efek yang
berlipat ganda dari bisnis wisata MICE.
Dengan predikat sebagai kota wisata, kota
Yogyakarta sangat potensial dikembangkan
lebih lanjut menjadi kawasan tujuan wisata
MICE dengan cakupan fasilitas yang lebih
luas dan berkualitas. Untuk itu, sinergi di
antara para bisnis MICE dalam kegiatan
promosi dan pemasaran serta kemitraan
antara pemerintah dan swasta dalam
pengembangan dan penyelenggaraan acara
MICE, terutama untuk tingkat nasional,
regional dan internasional untuk
membangun daya saing dan keunggulan
bersama.
DAFTAR PUSTAKA
24
Fandy Tjiptono, 2006, Pemasaran Jasa, Malang, Bayumedia Publishing.
Philip Kotler, John Bower, James Makens, 2002, Pemasaran Perhotelan dan Kepariwisataan, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta, PT Prenhallindo.
Oka A. Yoeti, 2003, Manajemen Pemasaran Hotel, PT Perca, Jakarta
---------------, 2007, Hotel Marketing, Jakarta, PT Perca.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.
25
FAKTOR YANG MENENTUKAN OMZET PENJUALAN JAMU
Siti Eny Walsiati
Staf Pengajar di Akademi Pariwisata Indraphrasta
Abstract
Jamu is an herbal traditional product. Jamu often considered by society as alternative way from chemical medicines. In order to increase the quality and keep the hygiene, Jamu must be managed and produced in modern way. Some factors, which are considered as important aspect of selling number; are: condition and capability of the seller, market condition, company condition, promotion, as well as customer service quality.
Keyword: jamu, selling number
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak berabad abad lamanya, jamu
dipercaya memiliki khasiat tinggi untuk
menjaga kesehatan termasuk mengobati
berbagai penyakit. Jenis jamu tertentu juga
dipercaya dapat mempertajam aura
kecantikan seorang perempuan termasuk
membuatnya awet muda. Namun, rasa pahit
dan bau kurang enak jamu seringkali
mengalahkan keinginan mereguk khasiatnya.
Istilah “JAMU” merupakan sebutan
orang Jawa terhadap obat hasil ramuan
tumbuh-tumbuhan asli baik daun, batang dan
akar dari alam. Jamu sebenarnya merupakan
seni dalam pengobatan tradisional. Tidak
ada yang dapat memastikan kapan
munculnya tradisi minum jamu. Masyarakat
Indonesia paling tidak sudah mempunyai
tradisi meracik dan meminum jamu sejak
periode kerajaan Hindu-Jawa. Hal ini
dibuktikan dengan adanya Prasasti
Madhawapura dari jaman Majapahit yang
menyebut adanya profesi ‘tukang meracik
jamu’ yang disebut Pada relief candi
Borobudur (th 800 – 900 masehi) juga
menggambarkan adanya kegiatan peracikan
jamu.
Beberapa hal yang membedakan antara
jamu dengan obat kimia modern, salah
satunya adalah bahan pembuatnya. Jamu
menggunakan berbagai macam tumbuh-
tumbuhan yang langsung diambil dari alam.
Sedangkan obat kimia modern dihasilkan
dari senyawa bahan-bahan kimia sintetis.
Oleh karena itu, tingkat efek samping jamu
relatif sangat minim dibanding dengan obat
kimia modern. Dengan kata lain jamu
26
merupakan obat alami yang bebas efek
samping.
Seiring merebaknya gaya hidup sehat
dan alamiah, jamu kembali ditengok orang.
Jamu yang sesungguhnya adalah racikan
berbagai dedaunan berkhasiat obat dipercaya
minim efek samping, tidak seperti obat-
obatan kimia. Terpuruknya perekonomian
Indonesia beberapa tahun belakangan ini
juga membawa dampak diliriknya kembali
jamu dalam membantu mengobati berbagai
penyakit yang oleh beberapa masyarakat
terutama kalangan ekonomi menengah
dianggap paling efektif dilihat dari segi
harganya yang relatif lebih terjangkau.
Konsumsi obat-obatan tradisional di
masyarakat, seperti jamu godok, dalam
beberapa tahun terakhir terus mengalami
peningkatan. Bermacam-macam jamu untuk
berbagai penyakit seperti asam urat, diabetes
mellitus, ataupun kolesterol tinggi banyak
diminati masyarakat. Produksi jamu-jamuan
tersebut pun terus bertambah. saat ini
masyarakat banyak mencari jamu-jamuan
berbahan dasar mentah. Kekhawatiran
masyarakat terhadap efek samping obat-
obatan kimia secara langsung memang
meningkatkan konsumsi jamu-jamuan
berbahan mentah. Mereka lebih tenang
ketika melihat sendiri bahan- bahan jamu
dan yakin tidak ada campuran lain di
dalamnya. Konsumen pun tidak keberatan
meski harus menyeduh sendiri ramuan
bahan-bahan jamu yang dibeli.
Gencarnya promosi budaya back to
nature yang mendorong masyarakat kembali
pada pemanfaatan bahan-bahan alami juga
banyak memengaruhi peningkatan
permintaan masyarakat akan jamu. Menurut
Sidik Raharjo (31), pimpinan produsen jamu
godok dan instan Merapi Farma di Sariharjo,
Ngaglik menyatakan dalam harian Kompas
(16/07/2007) bahwasanya saat ini konsumen
juga semakin pintar. Mereka dapat memilih
obat-obatan yang paling sedikit mengandung
risiko atau efek samping negatif.
Selain itu, turunnya daya beli
masyarakat untuk mengonsumsi obat-obatan
kimia yang semakin mahal juga mendorong
masyarakat untuk mencari obat-obat
alternatif yang mereka percayai aman untuk
dikonsumsi. Pasca gempa 27 Mei, sebagian
masyarakat yogyakarta, khususnya yang
tinggal di Bantul kehilangan pekerjaan
pokok mereka, sehingga praktis dalam hal
pengobatan mereka lebih mengadalkan akan
khasiat jamu dibandingkan dengan obat-
obatan kimia yang harganya melambung.
Bahan-bahan rempah pembuat jamu
sebenarnya banyak terdapat di daerah
pedesaan akan tetapi kurang diperdayakan
oleh masyarakat untuk membuat bahan
27
ramuan jamu sendiri oleh karena repot serta
memakan waktu dalam pembuatannya dan
tidak tahan lama dalam penyimpanannya.
General Manager Operation PT Air
Mancur, James M Sinambela, Selasa (24/6)
dalam harian Kompas mengatakan, selain
meningkatkan standardisasi produk,
pengusaha jamu juga harus melakukan
inovasi produk. Saat ini masyarakat
cenderung menginginkan obat-obatan yang
murah, tanpa efek samping tetapi juga
praktis tanpa repot membuatnya atau
memperolehnya.
PEMBAHASAN
A. Jamu
Jamu adalah sebutan untuk obat tradisional
dari Indonesia. Belakangan populer dengan
sebutan herba atau herbal (Depdikbud.1995).
Jamu dibuat dari bahan-bahan alami, berupa
bagian dari tumbuhan seperti rimpang (akar-
akaran), daun-daunan dan kulit batang, buah.
Ada juga menggunakan bahan dari tubuh
hewan, seperti empedu kambing atau
tangkur buaya.
Pembuatan jamu Nusantara ini telah
berlangsung sejak zaman batu. Hal ini dapat
dilihat dari salah satu relief Candi
Borobudur yang menggambarkan kegiatan
meramu, menumbuk, dan memanfaatkan
daun, akar, serta umbi tanaman untuk obat
dan perawatan kecantikan. Di candi terbesar
ini juga tergambar jelas pahatan pohon
kalpataru yang melambangkan alam sebagai
sumber kesehatan.
Dalam sejarahnya, ilmu jejamuan ini
semula ini hanya dimiliki oleh bangsawan di
dalam keraton untuk menjaga keindahan
raga dan kesehatan mereka. Kemudian, pada
awal abad XVII, ahli botani Belanda
bernama Jacobus Bontius menemukan 60
jenis tanaman obat berkhasiat di Indonesia,
dan menulisnya dalam buku Histiria
Naturalist et Medica Indiae. Penemuan ini
dilanjutkan oleh Van Rheede, lalu
disempurnakan Gregorius Everhardus
Rumphius yang berdiam di Maluku dan
menghimpunnya dalam buku Herbarium
Amboinense. Sementara pada masa
pendudukan Jepang, saat obat-obatan
modern sudah banyak dijumpai, terbitlah
buku Formularium Medicamentorum
Soloensis (Kompas, 9/10/2004)
Akhirnya, ilmu jamu-jamuan yang
semula hanya dikuasai kerabat keraton pun
menyebar kepada masyarakat luas, terutama
di sekitar tembok keraton. Lambat laun,
jamu pun mengalami komersialisasi
sehingga mulai diperjualbelikan di warung,
oleh tabib, atau dijajakan berkeliling oleh
tukang-tukang jamu Jawa berkebaya yang
28
cantik. Bakul jamu yang gandes luwes itu
biasanya berjualan bersama, dan berangkat
berbondong-bondong berkeliling kampung
sambil menggendong keranjang berisi botol
jamu.
Industrialisasi jamu saat ini sudah
berkembang dengan munculnya pabrik-
pabrik jamu besar seperti Nyonya Meneer,
Sido Muncul pada, dan Air Mancur. Kini,
pasar jamu telah dipenuhi oleh sekitar 600
produsen jamu dari skala rumah tangga
sampai pabrik besar dengan ribuan pekerja.
Jamu pun dikenal lebih banyak orang,
terlihat dari makin menjamurnya outlet jamu
di berbagai sudut kota, iklannya yang
berjejal di berbagai media, dan omzet
penjualan yang mencapai sekitar Rp 2,4
triliun per tahun
Dalam industri jamu terdapat tiga jenis
produk, yaitu jamu tradisional yang masih
mempertahankan resep warisan leluhur,
jamu yang dikembangkan berdasarkan
referensi, serta fitofarmaka. Fitofarmaka
berasal dari tanaman yang sudah melalui
proses uji klinis dan pre uji klinis
persyaratan formal produk pengobatan
(Ibid).
Namun kini, seiring dengan
perkembangan zaman, jamu tradisional
kalah saing dengan jamu-jamu buatan
prabrik. Hal ini terlihat dari sedikitnya
penjual jamu gendong atau keliling yang
meramu bahan jamunya sendiri. Hanya jamu
tertentu seperti kunir asem dan beras kencur
yang masih diolah tangan sendiri.
Sedangkan untuk jamu lain, sudah tersedia
bahan serbuk buatan pabrik yang tinggal
seduh saja kemudian ditambahkan dengan
bahan-bahan lain seperti telur atau madu.
Meskipun prinsip pembuatan jamu
pada dasarnya sama, cara pembuatan yang
dipilih tukang jamu gendong atau keliling
lain-lain. Ada yang menggunakan cara
tumbuk, ulek, atau pipis. Bakul jamu yang
bermodal menggunakan blender. Ada pula
penjual yang tinggal mencampur bahan-
bahan yang sudah berupa serbuk. Alam
tropis ini memberikan kesempatan 30.000
spesies flora untuk tumbuh, dan 8.000 jenis
di antaranya adalah tanaman yang memiliki
khasiat obat. Meski baru ratusan spesies
yang telah termanfaatkan sebagai bahan
baku obat tradisional atau jamu. Dan
tanaman obat yang paling populer bagi
orang Jawa adalah jahe, kencur, kunyit,
temulawak, temu ireng, kapulaga, lengkuas,
serta lempuyang
Berdasarkan cara pembuatan, jamu
dibedakan menjadi jamu pipis, seduhan,
infus, serbuk, pil, kapsul, dan sirup. Selain
itu ada juga jamu parem, pilis, lulur, dan
mangir. Jamu pipis dan seduhan merupakan
29
jamu yang paling tradisional, paling dikenal
masyarakat luas, dan bertahan sampai kini.
Jamu ini pula yang selalu dijajakan penjual
jamu keliling ke kampung-kampung.
Semuanya berfungsi sama, untuk
menyembuhkan, merawat, dan mencegah
penyakit. Sementara parem, pilis, lulur, dan
mangir lebih banyak diasosiasikan sebagai
jamu perawatan kecantikan.
Penjualan jamu secara nasional turun
30 persen pada Juni dan Juli 2007 (Kompas
3/8/2007).Hal itu disebabkan sebagian
konsumen khawatir adanya jamu yang
menggunakan bahan kimia obat sebagai
campurannya. Untuk mendongkrak kembali
omzet penjualan jamu maka Badan
Pengawas Obat dan Makanan sebaiknya
menyosialisasikan jamu yang baik kepada
masyarakat. Mengontrol pengrajin-pengrajin
jamu yang nakal serta perlu adanya inovasi
baru yang berhubungan dengan jamu agar
menyarakat mempunyai alternatif lain cara
mengkonsumsi jamu.
Beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam mengkonsumsi jamu (yahoo.com
6/12/2007) yaitu :
1. Kulit kapsul dan bahan perekat tablet
jamu
Jamu dengan bentuk kapsul perlu
dikaji ulang terkait dengan aspek apakah
kulit kapsul tersebut halal atau tidak. Bahan
dasar pembuatan kulit kapsul adalah gelatin
yang bersumber dari tulang dan kulit
binatang. Selain itu, bahan perekat pada
pembuatan tablet dan kaplet juga perlu
diwaspadai. Biasanya digunakan magnesium
stearat yang merupakan turunan dari lemak
sebagai pengikat.
2. Alkohol dalam jamu cair
Jamu cair perlu dicermati sebab adanya
penggunaan alkohol. Jamu cair biasanya
berasal dari ekstraksi bahan aktif dari bahan
jamu. Proses ekstraksi ini --selain
menggunakan air--, kadang-kadang
menggunakan alkohol. Pada jamu instan
berbentuk bubuk, alkohol biasanya telah
diuapkan hingga kering. Namun pada jamu
cair biasanya residu alkoholnya masih cukup
tinggi, sehingga menjadikannya tidak halal.
3. Penambahan telur mentah ketika
akan meminum jamu seduh
Telur yang sering dipakai oleh para
tukang jamu adalah telur ayam kampung
atau telur bebek. Dengan kandungan gizinya
yang lengkap, telur ini dikenal sebagai
makanan yang memberikan efek kesehatan.
Telur disajikan mentah atau setengah
matang. Dari segi kandungan gizi, telur
mentah lebih baik, karena proteinnya belum
mengalami kerusakan (denaturasi). Namun
pada kondisi dimana wabah virus flu burung
30
cukup marak, penggunaan telur mentah ini
perlu dipertimbangkan.
4. Penggunaan anggur obat dalam jamu
Bahan yang sering dianggap obat dan
banyak dikonsumsi masyarakat adalah
anggur obat atau sering dikenal dengan
nama anggur kolesom. Bahan ini adalah
minuman fermentasi yang terbuat dari
perasan buah anggur. Dari segi bahan dan
proses pembuatan sama persis dengan
pembuatan wine atau minuman keras yang
berasal dari anggur. Dalam minuman ini
juga ditambahkan ramuan-ramuan lain yang
dianggap berkhasiat bagi kesehatan.
5. Penggunaan senyawa-senyawa kimia
sintetik dalam jamu
Belakangan ini, sering terdengar razia
terhadap produk jamu yang ternyata
dicampur dengan senyawa-senyawa sintetik
obat di dalamnya. Hal ini bertentangan
dengan ketentuan tentang definisi jamu.
Keberadaan senyawa-senyawa kimia di
dalamnya berbahaya karena interaksinya
dengan bahan lain dan efeknya terhadap
tubuh tidak dianalisis secara akurat.
6. Tanggal kadaluwarsa jamu
Kebanyakan produk jamu rumahan,
tanggal kadaluwarsanya sering tidak
dicantumkan. Padahal jamu tetap memiliki
masa pakai. Simplisia dalam jamu bisa
berjamur. Keberadaan air dalam jamu cair
juga memungkinkan tumbuhnya bakteri.
7. Penggunaan simplisia hewan
Jamu dipersepsikan oleh masyarakat
awam sebagai obat yang berasal dari
tumbuhan. Padahal tidak selalu demikian.
Definisi simplisia (jamu) secara farmasi
ialah bahan alamiah yang digunakan sebagai
obat dan belum mengalami pengolahan apa
pun. Kecuali dinyatakan lain, ia berupa
bahan yang dikeringkan. Simplisia terdiri
dari dua jenis, yakni simplisia nabati dan
hewani. Keduanya merupakan bagian utuh,
bagian, atau eksudat dari masing-masing
tumbuhan atau hewan dan bukan merupakan
senyawa kimia murni.Jika jamu
menggunakan simplisia hewan, tentu
kehalalan menjadi terkait dengan
penyembelihan hewan tersebut
B. Faktor – Faktor Penentu Omzet
Penjualan
1. Wirausaha
Pada umumnya masyarakat
menganggap wirausaha sinonim dengan
pengusaha. Pengusaha yang hebat berarti
wirausaha yang hebat , yang unggul.
31
Anggapan itu banyak benarnya namun untuk
keperluan pembinaan dan pengembangan
yang sistematis, operasional dan berjenjang,
ada baiknya digunakan pengertian yang
lebih tajam.
Pekerja bebas, pengusaha dan
wirausaha kesemuanya adalah orang-orang
yang terlibat langsung dalam kegiatan usaha
(bisnis). Pekerja bebas adalah orang yang
melakukan suatu usaha yang mandiri atau
tanpa majikan akan tetapi tidak berorientasi
untuk memperoleh keuntungan. Bila pekerja
bebas bekerja bersama-sama dalam suatu
ruangan maka koordinasinya yang biasanya
adalah pemasok modal utama bukan sekedar
pekerja bebas, tetapi pengusaha, karena
disitu telah berlangsung proses perusahaan.
Wirausaha dapat dipahami dari menguraikan
istilah tersebut. Wira berarti utama, gagah,
luhur, berani, teladan, atau pejuang.
Sedangkan wirausaha berarti pejuang yang
gagah, luhur, berani dan pantas menjadi
teladan dalam bidang usaha. Dengan kata
lain wirausaha adalah orang-orang yang
mempunyai sifat kewirausahaan yaitu :
keberanian mengambil resiko, keutamaan,
kreatifitas dan keteladanan dalam menangani
nusaha atau perusahaan dengan berpijak
pada kemauan dan kemampuan sendiri.
Pada dasarnya suatu bentuk usaha jasa atau
barang apapun baik itu berbentuk
perusahaan mapuan home industri tidak
lepas dari unsur manajemen yaitu : (a)
Sumber daya manusia yang baik (man); (b)
Sumber dana yang mencukupi (money); (c)
Peralatan dan mesin yang tepat guna
(machine); (d) Cara kerja yang efektif
(methods); (e) Pasar dan langganan yang
setia (markets).
Man atau manusia adalah unsur utama
dari suatu perusahaan, haruslah mampu
mengelola usaha yang dijalankannya. Unsur
permodalan, peralatan, tata cara dan
pemasaran tidak dapat perlepas dari
keberhasilan sebuah perusahaan kecil.
Pengusaha yang handal dapat
dikualifikasikan sebagai berikut : (a)
Memiliki rasa percaya diri atau sikap
mandiri yang tinggi untuk berusaha mencari
penghasilan dan keuntungan melalui
perusahaan; (b) Mau dan mampu menangkap
peluang usaha yang menguntungkan; (c)
Mau dan mampu bekerja keras dan tekun
dalam menghasilkan barang dan jasa serta
mencoba cara kerja yang lebih tepat dan
efisien; (d) Mau dan mampu berkomunikasi,
tawar-menawar dan musyawarah dengan
berbagai pihak yang besar pengaruhnya pada
kemajuan usahanya terutama para pembeli
atau langganan; (e) Menghadapi hidup dan
menangani usaha dengan terencana, jujur,
hemat dan disiplin; (f) Mencintai kegiatan
32
usahanya; (g) Mau dan mampu
meningkatkan kapasitas diri sendiri dan
kapasitas perusahaandengan memanfaatkan
dan memotivasi orang lain; (h) Berusaha
mengenal dan mengendalikan lingkungan
serta menggalang kerjasama yang
menguntungkan dengan berbagai pihak.
2. Strategi Bisnis
Strategi bisnis adalah serangkaian
komitmendan tindakan yang terintegrasi dan
terkoordinasi, yang dirancang untuk
menyediakan nilai kepada para pelanggan
dan mendapatkan keunggulan kompetitif
dengan mengeksploitasi kompetensi-
kompetensi inti dari pasar produk individual
dan spesifik (Thomson.2001:151). Jadi
strategi bisnis merefleksikan keyakinan
perusahaan tentang dimana dan bagaimana
ia memiliki keunggulan dibandingkan
dengan lawan-lawannya. Berkaitan dengan
lingkungan persainagn perusahaan dan
interaksi yang dimiliki perusahaan maka
sudah selayaknya semua karyawan
memahami apa yang menjadi keunggulan
perusahaan. Pertanyaan-pertanyaan tentang
strategi perusahaan dimasa dating dan
keunggulan kompetitif yang menjadi
dasarnya harus dipecahkan dengan cepat
untuk memungkinkan dilakukannya
tindakan-tindakan strategis yang efektif.
Para pelanggan adalah dasar dari
keberhasilan strategi bisnis. Perusahaan
perusahaan terus menerus menekankan
pentingnya hubungan antara membangun
relasi dan mengirimkan jasa ke pelanggan
dan kinerja keuangan perusahaan. Tiga isu
penting tentang strategi bisnis yaitu
a. Siapa : Menentukan pelanggan yang
akan dilayani
Pelanggan dapat dibagi menjadi
kelompok-kelompok berdasarkan perbedaan
dalam kebutuhan mereka. Disebut sebagai
segmentasi pasar, ini merupakan suatu
proses dimana melaluinya orang-orang
dengan kebutuhanyang sama dikelompokkan
kedalam individu dan kelompok yang dapat
diidentifikasi. Segmentasi pasar merupakan
proses dua langkah dalam menamakan pasar
produk yang luas dan mensegmentasikan
mereka untuk memilik pasar sasaran dan
mengembangkan bauran pemasaran yang
cocok. Hampir setiap cirri manusia dan
organisasi yang dapat diidentifikasi bias
digunakan untuk membagi suatu pasar
kedalam bsegmen-segmen yang berbeda satu
sama lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi
segmentasi pelanggan misalnya : (i) faktor
demografis (usia, pendapatan, seks dll); (ii)
faktor sosiodemografis (kelas social, tahap
dalam siklus hisup berkeluarga); (iii) faktor
geografis (perbedaan kultural, regional dan
33
nasional); (iv) faktor psikologis (gaya hidup,
cirri-ciri kepribadian); (v) faktor persepsi
(segmentasi manfaat, pemetaan persepsi).
b. Apa : menentukan kebutuhan
pelanggan yang ingin dipuaskan
Ketika sebuah perusahaan memutuskan
siapa yang akan ia layani, ia harus secara
bersamaan mengidentifikasi kebutuhan
kelompok pelanggan sasaran yang dapat
dipuaskan oleh barang dan jasanya. Suatu
keunggulan kompetitif tambahan meningkat
bagi mperusahaan-perusahaan yang mampu
mengantisipasi dan kemudian memuaskan
kebutuhan yang sebelumnya tidak diketahui
oleh pelanggan. Kemampuan yang secara
positif dan kontinu memberi kejutan pada
para pelanggannya memungkinkan
perusahaan itu menghasilkan laba rata-rata
karena selalu menciptakan kembali dirinya
dari waktu ke waktu.
c. Bagaimana : Menentukan kompetensi
inti yang diperlukan untuk memuaskan
kebutuhan pelanggan
Perusahaan menggunakan kompetensi-
kompetensi intinya untuk menerapkan
strategi penciptaan-nilai dan memuaskan
kebutuhan pelanggan.
3. Tipe-tipe Strategi Bisnis
a. Strategi kepemimpinan biaya
Strategi kepemimpinan biaya adalah
serangkaian tindakan integratif yang
dirancang untuk memproduksi atau
mengirimkan barang-barang atau jasa pada
biaya paling rendah, relatif terhadap para
pesaing dengan ciri-ciri yang dapat diterima
para pelanggan. Implementasi yang efektif
dari strategi kepemimpinan biaya ini
memungkinkan perusahaan menghasilkan
laba di atas rata-rata selain adanya faktor-
faktor kompetitif yang kuat seperti berikut.
Pertama, persaingan dengan para
pesaing yang sudah ada. Memiliki posisi
biaya rendah merupakan pertahanan yang
berharga dalam menghadapi para pesaing,
karena posisi yang menguntungkan sebagai
pemimpin biaya, para pesaing akan ragu
dengan basis harga.
Kedua, kekuatan tawar-menawar
pembeli (pelanggan). Pelanggan yang
berkuasa dapat mendesak pemimpin biaya
untuk mengurangi harga-harganya, tapi
harga tersebut tidak akan didesak sampai
ketingkat harga dimana pesaing industri
lainnya dapat menghasilkan laba-di atas rata-
rata.
Ketiga, kekuatan tawar menawar
suplier. Pemimpin biaya beroperasi dengan
margin yang lebih besar dari para
pesaingnya. Diantara banyak keuntungan,
margin lebih tinggi yang relatif dengan
margin para pesaing memungkinkan
pemimpin biaya untuk menerapkan kenaikan
34
harga suplier. Dengan cara laian, pemimpin
biaya yang kuat dapat mndesak para suplier
untuk menahan harga mereka, mengurangi
margin mereka dalam proses tersebut.
Keempat, peserta potensial. Melalui
usaha yang terus menerus untuk mengurangi
biaya ketingkat yang lebih rendah dari para
pesaingnya, pemimpin biaya menjadi sangat
efisien. Karena mereka meningkatkan
margin laba, tingkat efisien yang selalu
diperbaiki ini menjadi halangan masuk yang
signifikan bagi peserta bisnis yang potensial.
Margin laba pemimpin biaya yang rendah
mengharuskan pemimpin biaya untuk
menjual produknya dalam volume yang
lebih besar untuk mendapatkan laba di atas
rata-rata.
Kelima, Produksi pengganti. Ketika
dihadapkan dengan kemungkinan substitusi,
pemimpin biaya lebih memiliki fleksibilitas
dari para pesaingnya. Untuk mmpertahankan
para pelanggannya, pemimpin biaya dapat
mengurangi harga barang atau jasanya.
Tetap dengan harga yang lebih rendah dan
kualitas yang dapat diterima, pemimpin
biaya meningkatkan kemungkinan
pelanggan akan memilih produknya daripada
produk pengganti.
b. Strategi diferensiasi
Strategi diferensiasi adalah
serangkaian tindakan integratif yang
dirancang untuk memproduksi barang atau
jasa yang dianggap para pelanggan berbeda
dalam hal-hal yang penting bagi mereka.
Dengan strategi diferensiasi, atribut dan
karakteristik unik produk perusahaan (selain
biaya) memberikan nilai bagi pelanggan.
Strategi ini memusatkan diri pada investasi
dan pengembangan ciri yang terus menerus
dan bukan fokus pada biaya, yang
membedakan barang dan jasanya dalam hal
yang dihargai oleh pelanggan, yaitu sebagai
berikut.
Pertama, persaingan dengan para
pesaing yang sudah ada. Pelanggan
cenderung menjadi pembeli yang setia
terhadap produk yang didiferensiasi dengan
cara-cara yang bermakna bagi mereka.
Ketika kesetiaan mereka pada barang
meningkat, kepekaan pelanggan terhadap
kenaikan harga berkurang.
Kedua, kekuatan tawar-menawar pembeli
(pelanggan). Keunikan diferensiasi barang
dan jasa mengisolasi suatu perusahaan dari
persaingan kompetitif dan mengurangi
kepekaan pelanggan terhadap kenaikan
harga.
Ketiga, kekuatan tawar-menawar
suplier. Karena perusahaan yang
mengimplementasikan strategi diferensiasi
membebankan harga premium untuk produk
produknya, suplier harus memasok bahan-
35
bahan yan berkualias tinggi. Adapun biaya
suplier yang relatif tinggi dibebankan pada
biaya tambahan perlengkapan ke pelanggan
dengan menaikkan harga dari produk
uniknya.
Keempat, Peserta potensial. Loyalitas
pelanggan dan kebutuhannya untuk
mengatasi keunikan produk diferensial
merupakan hambatan yang substansial bagi
masuknyan peserta bisnis potensial.
Memasuki suatu industri dengan kondisi
seperti ini menuntut investasi sumberdaya
yang signifikan dan kemauan untuk bersabar
mencari loyalitas pelanggan.
Kelima, Produk pengganti. Perusaan-
perusahaan yang menjual barang dan jasa
bermerek pada pelnggan yang loyal
memiliki posisi yang efektif dalam
menghadapi produk-produk substitusi.
Sebaliknya, perusahaan yang tidak meiliki
loyalitas merek lebih tunduk pada pelanggan
yang biasanya mereka akan beralih produk
yang menawarkan bentu-bentuk diferensiasi
yang melayani fnsi yang sama.
C. Faktor – Faktor Lain (Swastha dan
Irawan : 1990)
Pertama, Kondisi organisasi
perusahaan. Pada perusahaan besar, biasanya
masalah penjualan ditangani oleh bagian
tersendiri (Bagian Penjualan) yang dipegang
orang-orang yang ahli dibidang penjualan.
Kedua, Faktor yang tidak kalah pentingnya
adalah : periklanan, peragaan, kampanye,
pemberian hadiah sering mempengaruhi
penjualan. Dalam hal ini diperlukan dana
yang tidak sedikit. Dalam bentuk promosi
dengan kemasan yang menarik bagi pembeli.
Ketiga, Harga yang terjangkau, pemberian
pelayanan dan tempat penjualan yang
strategis.
KESIMPULAN
Produk jamu banyak diminati semua
kalangan masyarakat, sebagai produk
pengganti pengobatan non medis yang lebih
murah dan terjangkau harganya. Namun
dalam pengelolaan bisnis jamu harus
memperhatikan faktor-faktor seperti konsep
wirausaha, konsep strategi bisnis, strategi
diferensiasi produk. Disamping itu tempat
yang strategis sangat dibutuhkan konsumen
untuk mudah memperoleh produk jamu yang
tetap higienis dikonsumsi.
DAFTAR PUSTAKA
Darwin Bangun, 1989, Manajemen Perusahaaan, Dep. P & K, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta.
Geofferey G. Meredith, 1992, Kewirausahaan Teori dan Praktek, PT. Pustaka Binawan Pressindo.
Gilarso T. 1992, Ilmu Ekonomi Bagian Makro, Yogyaakrta, Kanisius
36
http://www.geocities.com/jamuherbacure/Jamu.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Gula#Pembuatan_gula
Indriyo Gitosudarmo, 1996, Pengantar Bisnis, Edisi 2, BPFE, Yogyakarta
Kompas. 9 Oktober 2004. Jamu Gendong Bertahan Ditengah Himpitan Industri
________16 Juli 2007. Industri Kecil. Konsumsi Jamu Tardisional Terus Alami Peningkatan
________ 27 Juli 2007. Industri Jamu Indonesia hadapi Tantangan Besar
________ 3 Agustus 2007. Obat-obatan. Penjualan Jamu Turun
LPPM, 1996, Manajemen Umum, Modul 1 Proses Manajemen, Pendidikan Manajemen Multi Media, Jakarta
Marbum, B.N. 1996, Manajemen Perusahaan Kecil, PT. Pustaka Binaman Presendo, Jakarta.
Michael A. Hitt., dkk, 2001. Manajemen Strategi Daya saing dan Globalisasi. Jakarta. Salemba Jakarta
Tarsi Tarmudji, Manajemen Bisnis, Liberty, Yogyakarta
Wisnu Giyono. 2002. Jiwa Wirausaha Penduduk Desa Tertinggal di DIY. Laporan Penelitian. Yogyakarta : Akpar Buana Wisata
37
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN KELUARGA
DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD) MELALUI PENDAMPINGAN
KADER PAUD DESA SUMBERSARI, MOYUDAN, SLEMAN, YOGYAKARTA
Sri Muliati AbdullahRahma Widyana
Kamsih Astuti
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta
ABSTRACTThe center of early childhood education (ECE) is the right of organizational community to be the center of early childhood stimulation activities. ECE will be able to have an optimal role when supported by adequate resources both human resources, financial resources and educational facilities. Given the importance of early childhood education as a place of early learning for the next generation, the SCT team was moved to take part in coaching and mentoring in early childhood education. The purpose of the activities is to educate, to train, and to assist trainers of early childhood education, became a pilot group in early childhood education in Sumbersari. Then this group stimulates the formation of new ECE in the village, to educate the cadres of the PKK in early childhood education, giving direction in the administration of early childhood education, to empower communities, build awareness and increase of community participation in early childhood education programs. Group partners are four nonformal groups of early childhood education under PKK Sumbersari guidance that will be a pilot and nine pioneering groups of early childhood education will be initiated its establishment. The method for the application of science and technology are: (a) Education and training for trainers of early childhood childhood education, about Early Childhood Development, Education and early childhood learning, and socialization and community empowerment and (b) Assistance pilot trainer to provide guidance for the others PKK cadres to initiated the establishment of early childhood education. The implementation of this community service for 3 months. Outcomes from these activities is a pilot group on early childhood education that stimulates the formation of another group of early childhood education in the village Sumbersari. At the end of activities, all of dukuh in the village Sumbersari (13 dukuh) has been established early childhood education, this means that each dukuh in the village Sumbersari already has a group of early childhood education providers.
Keywords: early childhood group, the PKK cadres Sumbersari Village, education, training, mentoring.
Pendahuluan
38
Desa Sumbersari memiliki wilayah
seluas 546.000,5 Ha, dengan jarak 3 km dari
pusat kecamatan Moyudan, 15 km dari pusat
Kabupaten Sleman, dan 12 km dari pusat
propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa
ini terdiri dari 13 dusun yaitu Dusun
Tegalrejo, Klisat, Nasri, Semingin, Tumut,
Menulis, Tiwir, Blendung, Bendosari,
Ngaglik, Gesikan, Nglahar, dan Sombangan.
Berdasarkan data penduduk per Desember
2008, jumlah penduduk berusia 0-6 tahun
sebanyak 579 jiwa. Menyikapi hal ini, mulai
tahun 2007, PKK desa Sumbersari merintis
pendirian lembaga Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD) jalur nonformal sebagai upaya
penumbuhan dan pengembangan anak usia
dini khususnya yang berusia praTK. PAUD
ini menerima peserta didik usia 2 sampai 5
tahun. Diharapkan setelah anak mengikuti
PAUD ini dapat siap masuk sekolah Taman
Kanak-Kanak. Tujuan didirikannya lembaga
PAUD ini sesuai dengan isi UU no. 20 tahun
2003, pasal 1, butir 14 yaitu seperti berikut:
“Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
adalah “suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai
dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui
pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan
jasmani dan rohani agar anak memiliki
kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih
lanjut.”
Permasalahan Mitra
Dalam perjalanan selama hampir 2
tahun, PAUD desa Sumbersari telah
menunjukkan suatu kemajuan. Namun tidak
dapat disangkal, kendala atau hambatan juga
banyak dialami. Berdasarkan hasil focus
group discussion (FGD) yang dilakukan tim
pengusul proposal dengan para kader PKK
desa dan kader PAUD dari 4 dusun pada
tanggal 21 Mei 2009, diperoleh data
permasalahan yang dapat dikategorikan
menjadi dua yaitu permasalahan pengelolaan
PAUD dan permasalahan masyarakat.
1. Permasalahan pengelolaan oleh Kader
PAUD, meliputi:
a.Penyelenggaraan PAUD belum
melingkupi seluruh dusun desa
Sumbersari. Baru 4 dari 13 dusun yang
berinisiatif menyelenggarakan PAUD.
Kesadaran perangkat dusun, khususnya
kader PKK dari 9 dusun yang lain untuk
39
memberi pelayanan PAUD, perlu
dimunculkan.
b. Kegiatan
PAUD di 4 dusun belum dapat
dilaksanakan sesuai jadwal. Hal ini
terkait dengan jumlah pendidik yang
sangat terbatas. Ketika pendidik sedang
mempunyai kesibukan bekerja atau
mempunyai acara keluarga, mereka tidak
masuk. Bahkan ketika semua pendidik
saat itu berhalangan hadir, PAUD
diliburkan. Hal ini menimbulkan kendala
dalam rutinitas penyelenggaraan PAUD.
c.Kualifikasi tingkat pendidikan dan
latar belakang pendidikan para
pendidik PAUD yang kurang
memenuhi persyaratan. Ketentuan
ideal pendidik PAUD adalah S1
PAUD. Para pendidik PAUD belum
ada yang memenuhi ketentuan
tersebut. Hanya pendidik PAUD dusun
Blendung yang tingkat dan latar
belakang pendidikannya mendekati
ideal.
d.Kurang terpenuhinya persyaratan
kualifikasi tingkat pendidikan dan latar
belakang pendidikan para pendidik
PAUD, menyebabkan besarnya
kebutuhan untuk mengetahui dan
mengembangkan kurikulum. Meskipun
rambu-rambu kurikulum dari
pemerintah telah ada, namun pendidik
merasakan banyak keterbatasan dalam
mengembangkan kurikulum.
Sebenarnya para pendidik telah
mengikuti beberapa pelatihan tentang
PAUD, namun dirasakan cukup untuk
memenuhi pengetahuan mereka
tentang kurikulum.
e.Terbatasnya kondisi tempat kegiatan,
ruang dan alat untuk belajar, ruang
bermain serta minimnya alat
permainan edukatif dirasakan pula
sebagai kendala proses belajar
mengajar.
2. Permasalahan masyarakat, meliputi:
a. Masyarakat dari 4 dusun yang
mempunyai PAUD (Dusun Menulis,
Blendung, Tiwir, dan Nglahar) belum
seluruhnya aktif mengikutsertakan
anaknya mengikuti kegiatan PAUD.
Kalaupun telah terdaftar belum
seluruhnya aktif mengantar anaknya
sesuai jadwal hari kegiatan PAUD.
Ketika orangtua sedang mempunyai
kesibukan, anak tidak diantar ke
PAUD. Bahkan di Kelompok Bermain
PAUD dusun Nglahar, jumlah anak
berkurang cukup banyak.
b. Partisipasi masyarakat untuk
terlibat sebagai pendidikan PAUD
masih rendah. Hal ini dikarenakan
40
pekerjaan sebagai pendidik PAUD
merupakan pekerjaan sosial / sukarela
(tidak ada imbalan gaji),
sehinggahanya sedikit yang bersedia
bergabung sebagai pendidik PAUD.
Gambaran Ipteks yang ditransfer pada mitra:
Metode Penerapan IPTEKS
Berdasarkan identifikasi permasalahan di
atas, tim dan mitra menetapkan metode
penerapan ipteks yakni :
1. Peningkatan pengetahuan dan
ketrampilan melalui pendidikan dan
pelatihan, khususnya pada kader dari 4
PAUD. Secara rinci, materi pelatihan
kader PAUD adalah sebagai berikut.
a. Perkembangan anak usia dini, meliputi:
Perkembangan anak usia dini,
Permasalahan perkembangan anak usia
Kelompok PAUD percontohan
dgn pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari pendampingan TIM dapat melakukan penberdayaan masyarakat
membangun kesadaran kader PKK dusun untuk merintis PAUD
memberikan contoh dan arahan tentang penyelenggaraan PAUD
mengedukasi masyarakat ttg PAUD
meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam program PAUD
LUARAN :
PAUD percontohan dapat menstimulasi terbentuknya
PAUD-PAUD lain di desa Sumbersari
Permasalahan PAUD tingkat dusun di Desa Sumbersari
PENDAMPINGAN INTEGRATIF
(khususnya untuk kelompok PAUD percontohan)
Transfer metode pendidikan anak usia dini:teknik stimulasi dan pendidikan anak usia dinisosialisasi dan pengayaan kurikulum PAUDpenyelenggaraan wadah pendidikan anak usia dini yang ideal di PAUD tingkat dusunmetode pendidikan pada keluarga tentang PAUD
Transfer metode pemberdayaan masyarakat yg efektif :Strategi pelibatan partisipasi masyarakat
dalam PAUD (peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya PAUD)
Strategi keterpaduan PAUD di seluruh dusun di desa Sumbersari
Strategi koordinasi, monitoring dan evaluasi oleh PKK-PAUD tingkat desa
Peningkatan pengetahuan tentang perkembangan anak usia dini pada kader PAUD dgn pendidikan & pelatihan :Perkembangan anak usia diniPermasalahan perkembangan anak usia diniDeteksi dini terhadap penyimpangan perkembangan anak usia diniDinamika keluarga dlm mewujudkan pengasuhan yang ideal untuk anak usia dini
41
dini, deteksi dini terhadap
penyimpangan perkembangan anak
usia dini dan dinamika keluarga dalam
mewujudkan pengasuhan yang ideal
untuk anak usia dini Pendidikan dan
pembelajaran anak usiagaraan, wadah
pendidikan anak usia dini yang ideal di
PAUD tingkat dusun;
b. Metode pendidikan dan
pemberdayaan masyarakat, meliputi:
Strategi pelibatan partisipasi
masyarakat dalam PAUD (peningkatan
kesadaran masyarakat tentang
pentingnya PAUD); Strategi
keterpaduan PAUD penyelenggaraan
di seluruh dusun di desa Sumbersari;
Strategi koordinasi, monitoring dan
evaluasi oleh PAUD desa terhadap
PAUD dusun.
2. Pendampingan kader PAUD percontohan
untuk melakukan pendampingan pada
kader PKK dari dusun yang belum
memiliki PAUD untuk merintis
berdirinya PAUD. Pendampingan ini
dilakukan setelah kelompok PAUD di
Dusun Menulis, Blendung, Nglahar, dan
Tiwir diberi pendidikan dan pelatihan
oleh Tim. Keempat PAUD ini (PAUD
percontohan) dengan didampingi Tim
IbM melakukan sosialisasi dan
memberikan motivasi pada kelompok
PKK di dusun lain untuk merintis
penyelenggarakan PAUD. Selanjutnya
tim akan memberikan pendampingan
pada mitra dalam proses perintisan
PAUD di dusun lain.
Kajian Teoritis Penerapan Ipteks
Pemberdayaan masyarakat merupakan
upaya yang disengaja untuk memfasilitasi
masyarakat lokal dalam merencanakan,
memutuskan dan mengelola sumberdaya
lokal yang dimiliki sehingga pada akhirnya
mereka memiliki kemampuan dan
kemandirian (Subejo dan Supriyanto, 2004).
Pemberdayaan masyarakat bertujuan agar
kelompok sasaran dapat menggalang
berbagai potensi yang ada dalam dirinya
dan memanfaatkan potensi yg dimiliki untuk
mengatasi permasalahan yg dihadapi.
Adapun tahapan pemberdayaan masyarakat
meliputi :
Tahap 1, pengembangan konsep sesuai
dengan tujuan dan sasaran program
berdasarkan hasil community needs analysis;
bersamaan dengan tahap ini adalah
mengikut-sertakan (melibatkan peran
komunitas/masyarakat) atau yang lazim
disebut dengan Involve.
42
Tahap 2, mensosialisasikan program
kepada seluruh komunitas, agar mereka
merasa memiliki program sekaligus ikut
bertanggungjawab terhadap pelaksanaan dan
keberhasilan program.
Tahap 3, Proses pemberdayaan
masyarakat, yaitu : (a) Pengembangan
kelompok, (b) Penyusunan rencana dan
pelaksanaan kegiatan, (c) Monitoring dan
evaluasi partisipatif .
Tahap 4, Pemandirian Masyarakat.
Pembahasan pemberdayaan sebagai program
dan sebagai suatu proses terkait erat dengan
posisi agen pemberdayaan masyarakat.
Apabila agen pemberdaya masyarakat
berasal dari luar komunitas, program
pemberdayaan akan diikuti dengan terminasi
atau disengagement, sedangkan bila agen
pemberdaya berasal dari internal komunitas
pemberdayaan akan lebih diarahkan pada
proses pemberdayaan yang berkelanjutan.
Pemberdayaan dilakukan mulai dari level
psikologis-personal-masyarakat :
Level Psikologis
Personal Mengembangkan pengetahuan, wawasan, harga diri, kemampuan, kompetensi, motivasi, kreasi, dan kontrol diri.
Masyarakat Menumbuhkan rasa memiliki, gotong rotong, mutual trust, kemitraan, kebersamaan, solidaritas sosial dan visi kolektif masyarakat.
Pendekatan yang digunakan dalam
kegiatan pemberdayaan masyarakat ini
adalah melalui cooperative self help.
Cooperative self help adalah pendekatan
yang mengutamakan kerjasama dalam
masyarakat secara sukarela, saling
membantu untuk mengatasi masalahnya
sendiri, dan memanfaatkan kelompok-
kelompok masyarakat setempat. Pendekatan
ini merupakan upaya pengembangan
masyarakat yang dimulai dari bawah tanpa
melibatkan secara langsung pihak luar dalam
pelaksanaannya. Pendekatan cooperative self
help memberi kesempatan masyarakat untuk
mengemukakan keinginannya, agar dapat
menolong dirinya sendiri. Pendekatan ini
menempatkan pihak luar sebagai pendorong
timbulnya kebutuhan masyarakat, sebagai
pihak yang menanggapi kebutuhan
masyarakat, dan sebagai pihak yang tidak
memaksakan keinginannya pada masyarakat.
Secara rinci prosedur pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat adalah sebagai
berikut : (a) pemaparan masalah PAUD oleh
43
kader PAUD; (b) Identifkasi
penyelenggaraan kegiatan PAUD yang telah
dilakukan oleh kader PKK dusun yang
dikoordinir oleh kader PKK desa; (c) Kontak
dengan tim ahli, terdiri dari dua kegiatan
yaitu pelatihan kader dan konsultasi kader.
Dengan demikian akan terjadi alih
pengetahuan ttg PAUD dari tim ahli kepada
kader; (d) Diseminasi pengetahuan ttg
PAUD oleh kader percontohan kepada kader
PAUD rintisan.
Upaya peningkatan pengetahuan mitra
IbM melalui metode pendidikan pelatihan,
menggunakan konsep Andragogi. Andragogi
berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani,
yakni Andra berarti orang dewasa dan
agogos berarti memimpin. Perdefinisi
andragogi kemudian dirumuskan sebagau
"Suatu seni dan ilmu untuk membantu orang
dewasa belajar" (Craig, 1987). Knowles
(dalam Craig, 1987), memiliki asumsi
sebagai berikut: (a) Orang dewasa perlu
dibina untuk mengalami perubahan dari
kebergantungan kepada pengajar kepada
kemandirian dalam belajar. Orang dewasa
mampu mengarahkan dirinya mempelajari
sesuai kebutuhannya; (b) Pengalaman orang
dewasa dapat dijadikan sebagai sumber di
dalam kegiatan belajar untuk memperkaya
dirinya dan sesamanya; (c) Kesiapan belajar
orang dewasa bertumbuh dan berkembang
terkait dengan tugas, tanggung jawab dan
masalah kehidupannya; (d) Orientasi belajar
orang dewasa harus diarahkan dari berpusat
pada bahan pengajaran kepada pemecahan-
pemecahan masalah; (e) Motivasi belajar
orang dewasa harus diarahkan dari
pemberian pujian dan hukuman kepada
dorongan dari dalam diri sendiri serta karena
rasa ingin tahu; (f) Peer teaching..
Dalam teori pembelajaran orang
dewasa menyebutkan bahwa orang-orang
dewasa itu akan membawa pengalaman dan
keahliannya ke lingkungan belajar. Dengan
memberi kesempatan pada mereka untuk
menggambarkan dan membagikan
pengalaman mereka dalam kelompok, bisa
menguatkan partisipan untuk melakukan.
HASIL PELAKSANAAN DAN
PEMBAHASAN
1. Pendampingan PAUD percontohan di
4 pedukuhan Desa Sumbersari
Tim Pengabdian IbM telah
melaksanakan pendampingan terhadap
empat PAUD yang diharapkan dapat
menjadi PAUD percontohan dan melakukan
pendampingan bagi sembilan PAUD lain
yang belum memiliki PAUD. Keempat
PAUD tersebut dapat dilihat dalam Tabel
berikut.
44
Tabel 1. Daftar PAUD Percontohan
NO. NAMA PAUD DUKUH1 PAUD Mekarsari Menulis2 PAUD Bhakti Siwi Tiwir3 PAUD Arumsari Nglahar4 PAUD Mekarsari Blendung
Deskripsi hasil evaluasi kelayakan PAUD di 4 (empat) dukuh setiap aspek diuraikan dalam Tabel 2.
a. Tempat belajar
Tabel 2.Deskripsi Aspek Tempat Belajar di PAUD Rintisan Percontohan
PAUD DI DUKUH DESKRIPSI
Menulis Ruangan berukuran 5 x 5 m, cukup memadai. Tanah milik bersama dari desa, lahan dan permainan outdoor digunakan bersama dengan TK
Tiwir Ruangan berukuran 7 x 4 m, cukup memadai tapi kurang leluasa untuk gerak anak 24 orang, tempat bermain cukup luas
Blendung Ruangan berukuran 4 x 9 m, kurang leluasa untuk menampung 32 siswa, tempat bermain outdoor juga kurang luas (kurang lebih 2x9 meter)
Nglahar Ruangan berukuran 5 x 7 m, memadai untuk tempat belajar 12 siswa, tempat bermain outdoor cukup luas
b. Alat Pembelajaran
Tabel 3. Deskripsi Aspek Alat Pembelajaran di PAUD Rintisan Percontohan
PAUD DI DUKUH DESKRIPSIMenulis Alat permainan edukatif cukup memadai , sebagian sudah berumur lama
Alat penunjang proses belajar cukup memadai, dan lengkap, lemari, loker, meja kursi cukup.
Alat makan memadai, bahan plastik dan ketersediaan cukupTiwir Alat permainan edukatif relatif masih sedikit, kurang memenuhi untuk
jumlah siswa yang ada. Alat penunjang proses belajar relatif masih minimal dan seadanya, meja
kursi cukup untuk jumlah anak, tetapi belum memiliki loker untuk tempat dan mainan dan tas anak
Alat makan memadai, aman dan ketersediaan cukupBlendung Alat permainan edukatif memadai dan cukup lengkap tapi jumlah belum
sesuai dengan kebutuhan siswa. Alat penunjang proses belajar cukup memadai, tersedia dalam jumlah
cukup. Papan tulis belum ada, loker mainan kurang, loker tas belum ada. tersedia memadai, sesuai dengan jumlah siswa.
Nglahar Alat permainan edukatif cukup memadai tapi variasi masih kurang, tapi PAUD ini cenderung memanfaatkan materi dari alam (misalnya daun, dsb).
Alat penunjang proses belajar cukup memadai, tersedia meja kursi, namun belum ada papan tulis, loker tas masih jadi satu dengan loker mainan
45
Alat makan memadai, aman dan ketersediaan cukup
c. Pengelolaan kelas
Tabel 4. Deskripsi Aspek Pengelolaan Kelas di PAUD Rintisan Percontohan
PAUD DI DUKUH DESKRIPSI PENILAIAN
Menulis Metode pembelajaran cukup bervariasi dan menarik. Kelas dibedakan atas 3 kelompok (kelompok 2 tahun, 3 tahun dan 4 tahun), pembelajaran diberikan berdasarkan usia
Baik
Tiwir Metode pembelajaran menyenangkan, usia 2 – 4 tahun dijadikan satu kelas, namun pendekatan dilakukan sesuai dengan kebutuhan
Baik
Blendung Metode mengajar cukup menarik dan bervariasi, hal ini didukung dengan relatif intens para guru mengikuti pelatihan PAUD
Baik
Nglahar Metode mengajar cukup menarik, anakdapat konsentrasi dan memperhatikan. Pendekatan terhadap perilaku anak sesuai dengan kebutuhan anak
Baik
d. Pengajar
Tabel 5. Deskripsi Aspek Pengajar di PAUD Rintisan Percontohan
PAUD DI DUKUH
Jumlah pengajar dan siswa Pendidikan Penilaian
Pengajar Siswa S1 SMA/SPG SMPMenulis 5 17 0 5 0 MemadaiTiwir 4 24 0 3 1 SedangBlendung 4 33 1 2 1 SedangNglahar 3 12 0 3 0 Memadai
e. Administratif
Tabel 6. Deskripsi Aspek Administrasi di PAUD Rintisan Percontohan
PAUD DI DUKUH DESKRIPSI
Menulis Buku administrasi sekolah telah lengkap
Tiwir Buku administrasi seperti buku induk, buku kegiatan pembelajaran, buku keuangan dan buku tamu sudah ada, hanya saja belum memiliki buku pemantauan perkembangan siswa dan buku kegiatan pembelajaran masih sangat umum, belum dibuat rutin harian
Blendung Buku administrasi sekolah telah lengkap
Nglahar Buku administrasi sekolah telah lengkap
46
f. Kurikulum
Tabel 7. Deskripsi Aspek Kurikulum di PAUD Rintisan Percontohan
PAUD DI DUKUH DESKRIPSI
Menulis Mengacu pada menu generik PAUD, Satuan pembelajaran sudah disusun dan direalisasikan.
Tiwir Mengacu pada menu generik PAUD, sudah ada satuan pembelajaran harian
Blendung Mengacu pada menu generik PAUD, sudah ada satuan pembelajaran harian
Nglahar Mengacu pada menu generik kelompok A, SAP direncanakan bersama oleh guru, tapi belum dibuat secara tertulis
g. Jadwal Akademik
Tabel 8. Deskripsi Aspek Jadual Akademik di PAUD Rintisan Percontohan
PAUD DI DUKUH DESKRIPSI
Menulis Jam belajar setiap hari kamis dan sabtu (jam 8.00-10.00). Sudah ada jadual akademik
Tiwir Pembelajaran dilaksanakan setiap rabu dan sabtu jam 8 - 10 Jadual sudah ada, tapi baru agenda mingguan dan bulanan (agenda/ satuan pembelajaran
harian belum ada)Blendung Pembelajaran dilaksanakan setiap hari selasa dan kamis jam 8-10
Sudah memiliki jadual akademikNglahar Pembelajaran dilaksanakan 4 x seminggu, yakni hari senin sampai dengan kamis jam 8 - 11
Sudah memiliki jadual akademik
h. Kegiatan evaluasi
Tabel 9. Deskripsi Aspek Kegiatan Evaluasi di PAUD Rintisan Percontohan
PAUD DI DUKUH DESKRIPSI
Menulis Rapat rutin intra pengurus dilaksanakan usai mengajarPertemuan rutin orang tua- pendidik dilaksanakan 1 bulan sekali dgn agenda kerja bakti atau
membahas masalah anakTerima raport dilaksanakan setiap 6 bulan sekali
Tiwir Rapat rutin intra pengurus telah dilaksanakanPertemuan rutin orang tua- pendidik belum rutin dilaksanakan, dilaksanakan hanya pada saat
ada hal yang perlu dibicarakan bersamaTerima raport dilaksanakan setiap 6 bulan sekali
Blendung Rapat rutin intra pengurus telah dilaksanakan Pertemuan rutin orang tua- pendidik sudah rutin dilaksanakanTerima raport dilaksanakan setiap 6 bulan sekali
Nglahar Rapat rutin intra pengurus dilaksanakan setiap hari kamis membicarakan materi pembelajaranPertemuan rutin orang tua- pendidik sudah rutin dilaksanakan, parenting class dilaksanakan
setiap 3 bulan
47
Terima raport dilaksanakan setiap 6 bulan sekalii. Keterlibatan Orang Tua
Tabel 10. Deskripsi Aspek Keterlibatan Orang Tua di PAUD Rintisan Percontohan
PAUD DI DUKUH DESKRIPSI
Menulis Kehadiran anak mengikuti PAUD relatif rutin Saat jam belajar, sebagian besar siswa masih ditunggui orang tua walau di
luar kelas Kesadaran orang tua untuk datang pertemuan cukup baik.
Tiwir Kehadiran anak mengikuti PAUD relatif rutin dan semakin baik. Prosentase kehadiran semakin meningkat
Saat jam belajar, sebagian besar siswa masih ditunggui Kehadiran orang tua dalam pertemuan yang diselenggarakan sekolah cukup
baikBlendung Kehadiran anak mengikuti PAUD relatif rutin
Saat jam belajar, sebagian besar siswa masih ditunggui orang tua Kehadiran orang tua dalam pertemuan yang diselenggarakan sekolah cukup
baik Nglahar Kehadiran anak mengikuti PAUD relatif rutin
Saat jam belajar, tidak ada siswa yang ditunggui siswa Kehadiran orang tua dalam pertemuan yang diselenggarakan sekolah cukup
baik
2. Pendampingan perintisan pendirian
PAUD di 9 pedukuhan Desa
Sumbersari
Kegiatan selanjutnya yang telah
dilaksanakan oleh Tim IbM adalah
pendampingan untuk merintis berdirinya
PAUD di sembilan dukuh yang ada di Desa
Sumber Sari dengan melibatkan para
pengurus PKK desa dan pelaksana PAUD
dari empat dukuh yang telah memiliki
PAUD (dukuh Menulis, Blendung, Tiwir
dan Nglahar). Sembilan dukuh yang
didampingi meliputi: Sombangan, Tegalrejo,
Klisat, Nasri, Semingin, Tumut, Gesikan,
Bendosari dan Ngaglik.
Deskripsi hasil pendampingan
perintisan berdirinya PAUD di sembilan
dukuh di Desa Sumber Sari dapat dilihat
dalam Tabel 11.
48
Tabel 11. Tabel Deskripsi Hasil Pendampingan Perintisan PAUD Di 9 Dukuh
DUKUH NAMA PAUD
DESKRIPSI
Sombangan Tunas Bangsa
Pada saat pendampingan sekaligus dilakukan launching pembukaan PAUD “Tunas Bangsa”. Pada saat pendampingan, pengurus telah terbentuk, dengan pak dukuh sebagai pelindung/penasehat. Telah terdaftar pula peserta didik PAUD. Buku-buku administratif telah dibuat lengkap.
Tegalrejo Melati Selama sebulan sebelum pendampingan PAUD sudah berjalan satu bulan sekali bersamaan dengan Posyandu. Pada saat pendampingan, ditetapkan oleh pengurus PKK dihadiri pengurus PKK tingkat kelurahan dan warga yang hadir ke depan diselenggarakan sebulan 2 kali
Klisat Mekar Sari Sebelum pendampingan, pembinaan anak usia dini dilakukan 2x sebulan setelah pelayanan Posyandu. Setelah pendampingan, pengurus PAUD terbentuk , kegiatan PAUD dilaksanakan seminggu sekali. Jumlah balita yang terdata sebanyak 27 orang.
Nasri Dahlia Indah Saat pendampingan dilakukan pembentukan pengurus PAUD dipimpin pak dukuh disaksikan oleh ibu-ibu yang mempunyai putra-putri usia dini. Terbentuk pengurus PAUD. Kegitan dilaksanakan 1 minggu sekali.
Semingin Kuncup Mekar
Sebelum pendampingan telah dilakukan dua kali pertemuan untuk membentuk pengurus PAUD dan rapat pengurus baru untuk merencanakan kegiatan PAUD dan penggalian dana. Pada saat pendampingan sekaligus dilaksanakan peresmian berdirinya PAUD ‘Kuncup Mekar’ oleh Ketua TP PKK Desa Sumbersari. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan seminggu sekali setiap hari Sabtu, tempat di rumah Bapak Dukuh. Jumlah siswa 23 anak, usia 2-4 tahun. Buku-buku administrasi juga sudah tersedia lengkap.
Tumut Tunas Harapan
Telah terbentuk pengurus PAUD dengan pak dukuh sebagai penasehat. Sosialisasi telah dilakukan saat ada pertemuan posyandu, sekaligus langsung dibuka pendaftaran untuk peserta didik.
Gesikan Sekar Melati Telah terbentuk susunan pengurus, juga telah terdaftar peserta didik PAUD. Buku-buku administratif telah dipersiapkan lengkap. Pada saat pendampingan, sekaligus diresmikan pembukaan / launching PAUD Sekar Melati.
Bendosari Kuncup Mekar
Susunan pengurus telah terbentuk dan telah dilakukan pendataan calon/ prospek peserta didik. Tempat kegiatan PAUD bertempat di rumah pak dukuh.
Ngaglik Tunas Pertiwi
Telah tersusun laporan kegiatan lengkap yang meliputi pembentukan pengurus PAUD, rencana sosialisasi dan rencana kegiatan pembelajaran. Jumlah siswa sebanyak 36 anak, berusia 2 – 5 tahun. Tempat kegiatan PAUD ada dua yaitu di rumah Bapak Dukuh dan di rumah salah seorang warga RT Madean karena lokasi RT Madean yang jauh dari rumah Pak Dukuh. Kegiatan dilaksanakan seminggu sekali setiap hari Sabtu (tiga kali kegiatan dilakukan ) di dua tempat, dan sekali dalam sebulan dilakukan terpusat di rumah Pak Dukuh.
49
Gambaran kesiapan setiap dukuh dalam merintis pendirian PAUD terlihat dalam tabel 12
Tabel 12. Kesiapan 9 Dukuh di Desa Sumber Sari dalam Perintisan Berdirinya PAUD
DUSUN KESIAPAN/KETEREDIAANDukuh Administrasi
*Pengurus/guru
Sarana belajar
Prospek siswa
Tempat
Sombangan 1,2,3,4,5,6 4 Sedikit 20 Rumah Bu DukuhTegalrejo 3 6 Belum ada 25 Rumah Bu DukuhKlisat 1,2,3,4,5,6 4 Belum ada 27 Rumah Bu DukuhNasri 6 9 Belum ada 28 Rumah Bu DukuhSemingin 1,2,3,4,5,6 4 Sedikit 23 Rumah Bu DukuhTumut 6 4/6 Belum ada 23 Rumah Bu DukuhGesikan 1,2,3,4,5,6 7 Sedikit 22 Rumah Bu Sri KawitBendosari 1,2,3,4,5,6 4 Belum ada 20 Rumah Bu DukuhNgaglik 6 4 Sedikit 36 Rumah Bu Dukuh
Keterangan:
1. Buku induk 4. Buku Catatan Perkembangan
2. Buku kegiatan 5. Buku Kas dan Inventaris APE & Barang
3. Daftar Hadir 6. Buku Tamu
Dari hasil pendampingan yang dilakukan tim
ke masing-masing dukuh, dihasilkan
kesepakatan tentang rencana waktu mulai
pelaksanaan dan hari serta jam belajar. Tabel
selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 13.
Tabel 13. Rencana Waktu Pelaksanaan PAUD yang Disepakati
DUKUH WAKTU HARI DAN JAM BELAJAR
MULAI PELAKSANAAN:
Sombangan 3 xseminggu Senin, Rabu, Kamis Nopember 2010
Tegalrejo 2 kali sebulan Minggu ke 1dan ke 3, hari minggu jam 8.30
7 Nopember 2010
Klisat 2 x sebulan Jum’at Nopember 2010
Nasri 1 x seminggu 8 -10 Nopember 2010
Semingin 1 x seminggu Sabtu 13 Nopember 2010
Tumut 2 x seminggu Nopember 2010
Gesikan 1 x seminggu Sabtu 09.00 – 11.00 6 Nopember 2010
Bendosari 1 x seminggu Jum’at 5 Nopember 2010
Ngaglik 1 x seminggu Sabtu Nopember 2010
50
Kendala permasalahan yang dihadapi
oleh setiap dukuh dalam upaya merintis
pendirian PAUD yang terungkap saat
pendampingan dapat dilihat dalam Tabel 14.
Tabel 14. Kendala/ Permasalahan Dukuh dalam Merintis Pendirian PAUD
DUKUH KENDALA/PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Sombangan Keterbatasan sarana dan prasarana termasuk alat peraga, dan masih membutuhkan pendampingan. Disamping itu masih perlu disosialisasikan kepada orangtua tentang keberadaan PAUD di dukuh Sombangan, sementara permasalahan selama ini adalah sulit mempertemukan semua orang tua yang memiliki anak balita.
Tegalrejo Keterbatasan dana, mengingat kondisi ekonomi masyarakat menengah ke bawah dan membutuhkan pendampingan dari yang sudah berpengalaman
Klisat Keterbatasan sarana dan prasarana belajar, APE belum ada. Jumlah pendidik sangat terbatas karena banyak kader PKK yang belum percaya diri untuk menjadi pendidik.
Nasri Keterbatasan sarana dan prasarana belajar, serta APE belum ada. Antusiasme masyarakat masih perlu ditingkatkan melalui sosialisasi yang lebih gencar. Beberapa pengurus masih merasabelum percaya diri untuk menjadi pendidik.
Semingin Kesadaran orang tua calon siswa masih perlu ditingkatkan melalui sosialisasi oleh kader PAUD pada berbagai kegiatan pedukuhan.
Tumut Pengurus PAUD telah ada, namun jumlah yang bersedia menjadi pendidik masih terbatas. Sarana dan prasarana belajar seperti APE masih perlu ditambah.
Gesikan Para pelaksana merasa belum memiliki pengalaman dalam mendidik dan mengelola PAUD, dan ketersediaan fasilitas mainan relatif belum ada.
Bendosari Sarana dan prasarana belajar serta APE belum ada. Sosialisasi PAUD ke masyarakat masih perlu ditambah melalui berbagai kegiatan di pedukuhan.
Ngaglik Lokasi terpencar jauh, ada 1 RT yang jaraknya jauh kurang lebih 1 km
Luaran Kegiatan
Metode penerapan ipteks di atas
efektif, terbukti dari hasil luaran yang
dihasilkan dari kegiatan ini sesuai dengan
tujuan kegiatan yakni 4 kelompok PAUD
terdampingi menjadi model percontohan
yang menstimulasi terbentuknya kelompok
51
PAUD lain di desa Sumbersari. Pada semua
pedukuhan di desa Sumbersari (13
pedukuhan) telah berdiri PAUD, beserta
struktur pengelola dan pengajar, tempat dan
waktu pelaksanaan.
Program-program di atas dapat dijamin
keberlanjutannya karena :
a. Telah terbentuk 4 pos PAUD sebagai
model percontohan yang dapat
digunakan sebagai acuan belajar bagi 9
PAUD rintisan yang baru dimulai
kegiatannya.
b. Model pendampingan yang dapat
dilakukan oleh 4 pos PAUD contoh
sehingga dapat membina PAUD rintisan
c. Pengurus PKK desa Sumbersari telah
dilatih dan berkomitmen untuk
melakukan kontrol/pengawasan
pelaksanaan PAUD di seluruh
pedukuhan di Desa Sumbersari,
sekaligus mengawasi penggunaan Alat
Permainan Edukatif yang dihibahkan
untuk menjadi aset PAUD desa
Sumbersari.
d. Dukungan dari aparat pemerintah desa
dan masyarakat untuk pelaksanaan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Luaran yang dihasilkan dari kegiatan
ini sesuai dengan tujuan kegiatan yakni 4
kelompok PAUD terdampingi menjadi
model percontohan yang menstimulasi
terbentuknya kelompok PAUD lain di desa
Sumbersari beserta struktur pengelola dan
pengajar, tempat dan waktu pelaksanaan.
Dengan berdirinya pos PAUD di semua
pedukuhan di desa Sumbersari (13
pedukuhan) telah berdiri PAUD, hal ini
berarti masyarakat di masing-masing
pedukuhan telah mempunyai wadah untuk
kegiatan pendidikan anak usia dini.
Kelompok mitra kegiatan ini yakni
kelompok PAUD jalur non formal di bawah
PKK Desa Sumbersari, Moyudan, Sleman,
DIY, yang terdiri dari 4 PAUD menjadi
model percontohan 9 PAUD yang dirintis
pendiriannya. Metode penerapan ipteks yang
digunakan : (a) Pendidikan dan pelatihan
diberikan pada kader PAUD, dengan materi
Perkembangan Anak Usia Dini, Pendidikan
dan pembelajaran anak usia dini, dan
Sosialisasi serta pemberdayaan masyarakat
dan (b) Pendampingan kader PAUD
percontohan untuk melakukan
pendampingan pada kader PKK dari dusun
yang belum memiliki PAUD untuk merintis
berdirinya PAUD.
Saran
1. Kader PAUD
a. Kader PAUD untuk dapat secara
berkesinambungan meningkatkan
52
pengetahuan dan ketrampilan untuk
dapat menambah kualitas sebagai
pendidik PAUD. Beberapa cara yang
dapat ditempuh yakni : (1) masuk ke
jaringan HIMPAUDI (Himpunan
Pendidikan Anak Usia Dini Indonesia)
di kecamatan Moyudan; (2)
Mengundang nararsumber yang ahli di
bidangnya; (3) Mengirim pengurus
atau pendidik PAUD secara bergilir
untuk mengikuti pelatihan tentang ke-
PAUD-an yang diselenggarakan
pemerintah maupun institusi lain.
b. Tak henti-hentinya untuk melakukan
sosialisasi pada masyarakat tentang arti
pentingnya PAUD agar semakin
banyak masyarakat yang
mempercayakan pendidikan putra-
putrinya di PAUD.
c. Menjalin kerjasama dan hubungan baik
dengan masyarakat, untuk dapat saling
membantu dalam melakukan swadaya
pengadaan sarana maupun prasarana
belajar yang mampu diupayakan
bersama.
d. PAUD percontohan (PAUD dari
pedukuhan Blendung, Nglahar, Menulis,
dan Tiwir) diharapkan terus melakukan
pembinaan pada PAUD rintisan (PAUD
dari 9 dusun lainnya)
2. Aparat pemerintah Desa Sumbersari,
khususnya kader PKK
a. Secara rutin menyelenggarakan
pertemuan pengurus dan pendidik
PAUD dari masing-masing pedukuhan
untuk membahas sekaligus
mengevaluasi kemajuan PAUD di
Desa Sumbersari;
b. Membantu memfasilitasi proses
pengajuan perijinan pendirian PAUD
masing-masing pedukuhan;
c. Mengawasi penggunaan aset Alat
Permainan Edukatif yang dihibahkan
ke Pemerintah Desa Sumbersari dalam
hal ini PKK Desa Sumbersari;
d. Memfasilitasi PAUD untuk
memperoleh dana bantuan dari
pemerintah maupun dari sumber
lainnya.
Daftar Pustaka
Craig, R.L. 1987. Training and Development handbook: A Guide to Human Resource Development. Third Edition. New York: McGraw-Hill Book Company.
Harmonisasi Pemberdayaan Masyarakat dengan Pembangunan Berkelanjutan. Buletin Ekstensia. Pusat Penyuluhan Pertanian Departemen Pertanian RI vol 19 th XI 2004. Diunduh dari http://subejo.staf.ugm.ac.id/wp-content/supriyanto-ekstensia.pdf
53
54
HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN NARSISTIK DENGAN PERILAKU
KONSUMTIF PADA REMAJA DI YOGYAKARTA
Yusi Ambarwati
Ranni Merli Safitri
Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta
ABSTRACT
This study aims to determine the correlation between the narcissistic personality to the consumptive behavior in adolescents. The hypothesis put forward is that there is a positive correlation between the narcissistic personality to consumptive behavior. The higher narcissistic personality, the higher the consumptive behavior. Conversely, the lower the narcissistic personality, the lower the consumptive behavior in adolescents. Research subjects were 65 students in grade 1 and 2 SMU Negeri 3 Yogyakarta aged between 12-17 years. Data collection methods used was narcissistic Personality Scale and Consumptive Behavior Scale. Results of analysis of data showed that there was a highly significant positive correlation between the narcissistic personality to consumptive behavior, with correlation r xy = 0.523 (p <0.01), so the hypothesis proposed was accepted
Keywords: narcissistic personality, Consumptive behavior
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa
peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.
Pada masa ini remaja senang mencoba hal-
hal baru untuk menentukan jati dirinya. Pada
umumnya remaja akan mulai memperhatikan
penampilannya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Hurlock (2002) yang mengatakan
bahwa penampilan bagi remaja sangat
penting, yaitu sebagai daya tarik fisik, usaha
mencari dukungan sosial, dan popularitas.
Sebagai usaha untuk mendukung
penampilannya tersebut biasanya remaja
suka berbelanja, seperti pakaian dan
asesoris.
Perilaku remaja yang suka berbelanja ini
dijadikan acuan oleh para produsen untuk
memasarkan produk-produnya. Alasannya
karena pola konsumsi individu biasanya
terbentuk ketika remaja, disamping itu
karakteristik remaja yang mudah
terpengaruh iklan, teman, tidak realistis, dan
cenderung boros dalam menggunakan uang
(Tambunan, 2001). Selain itu, (Tinarbuko,
2006) mengatakan bahwa remaja pada
umumnya belum dapat menentukan prioritas
kebutuhannya sendiri sehingga dalam
membuat keputusan membeli lebih
mengandalkan emosi daripada rasio.
Tahap perkembangan pada remaja
cenderung memiliki permasalahan dalam
pergaulan, karena dalam masa pencarian
identitas diri tersebut remaja berusaha
melakukan hal-hal yang dapat menunjang
penampilan supaya mendapat perhatian
sehingga diterima oleh kelompok pergaulan
tertentu (Sarwono, 2001). Hal ini dapat
dilihat dari kebiasaan dan gaya hidup remaja
dewasa ini yang cenderung mengarah pada
gaya hidup mewah yang kemudian dapat
menimbulkan pola hidup konsumtif (Lina
dan Rosyid, 1997). Berdasarkan wawancara
dan observasi yang peneliti lakukan terhadap
beberapa remaja yang masih bersekolah dan
beberapa alumni SMU Negeri 3 yang
dikenal sebagai SMU favorit, yang berusia
14-19 tahun (28 Oktober-15 November
2006), dapat disimpulkan bahwa perilaku
membeli yang dilakukan para remaja
tersebut lebih banyak dilakukan karena
mengikuti trend saat itu. Remaja-remaja
tersebut mengungkapkan alasan-alasan yaitu
supaya dapat berpenampilan up to date dan
lebih percaya diri dalam bergaul.
Karakter remaja yang suka mencoba
hal-hal baru cenderung akan mengikuti
mode-mode terbaru, hal ini diperkuat dengan
banyaknya majalah-majalah remaja yang
menampilkan produk-produk yang sedang
trend, karenanya Loudon dan Bitta (dalam
Lina dan Rosyid, 1997) menyatakan bahwa
remaja adalah kelompok yang berorientasi
konsumtif. Perilaku membeli pada remaja
yang berlebihan serta tidak sesuai dengan
kebutuhan tersebut dapat digolongkan
sebagai perilaku konsumtif.
Pendapat senada diungkapkan oleh
Neufeldt (dalam Zebua dan Nurdjyayadi,
2001), yang mengungkapkan bahwa perilaku
konsumtif digambarkan sebagai tindakan
yang tidak rasional dan bersifat kompulsif,
secara ekonomis menimbulkan pemborosan,
serta secara psikologis mengakibatkan
kecemasan dan rasa tidak aman.
Perilaku konsumtif dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Engel, dkk (1994)
menyebutkan beberapa faktor internal yang
dapat mempengaruhi perilaku konsumen,
diantaranya, motivasi, proses belajar dan
pengalaman, kepribadian dan konsep diri,
keadaan ekonomi, dan gaya hidup. Faktor
eksternal terdiri dari kebudayaan, kelompok
sosial, kelompok referensi, keluarga, dan
status sosial. Penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Lina dan Rosyid (1997)
menyebutkan bahwa perilaku konsumtif
pada umumnya dilakukan oleh remaja. Salah
satu faktor yang diperkirakan dapat
mempengaruhi perilaku konsumtif tersebut
adalah kepribadian. Dalam hal ini
kepribadian yang kemungkinan besar
mempengaruhi perilaku konsumtif adalah
kepribadian narsistik.
Fausiah dan Widury (2005)
menggolongkan kepribadian narsistik
sebagai gangguan kepribadian kelompok B,
yakni gangguan kepribadian yang memiliki
perasaan kuat bahwa individu tersebut
merupakan seseorang yang penting dan
merasa bahwa dirinya unik. Fausiah dan
Widury menambahkan bahwa individu
dengan kepribadian narsistik merasa dirinya
spesial, ambisius, dan suka mencari
ketenaran, sehingga sulit menerima kritik
dari orang lain.
Maria dkk (2001) menyebutkan
beberapa karakteristik kepribadian narsistik
yaitu; rasa sensitif terhadap kritik atau
kegagalan, kebutuhan yang besar untuk
dikagumi, dan kurangnya empati. Remaja
yang memiliki rasa bangga terhadap diri
sendiri dapat dikatakan bahwa remaja itu
memiliki kepribadian narsistik. Kepribadian
narsistik merupakan perasaan bangga
terhadap diri sendiri dan selalu merasa lebih
dari individu lain. Keadaan tersebut
membuat individu yang berkepribadian
narsistik selalu berusaha tampil lebih dari
individu lain. Hal ini mempengaruhi
perilakunya dalam hal mengkonsumsi suatu
barang. Biasanya remaja yang
berkepribadian narsistik lebih tertarik
dengan atribut-atribut yang dikenakan
idolanya daripada melihat usaha idolanya
untuk mencapai kesuksesan (Sabirin, 2005).
Ketertarikan remaja pada atribut yang
dikenakan idolanya dapat dilihat dari
perilaku membeli barang-barang yang
sebenarnya tidak dibutuhkan, misalnya
membeli pakaian, sepatu atau tas hanya
karena sedang trend atau supaya menyerupai
idolanya. Perilaku membeli yang tidak
sesuai dengan kebutuhan dan cenderung
berlebihan dapat digolongkan pada perilaku
konsumtif. Perilaku konsumtif tersebut
biasanya dimanfaatkan oleh para produsen
untuk memasarkan produknya yang
ditujukkan khusus untuk remaja. Iklan
produk melalui berbagai media yang mudah
didapatkan oleh remaja merupakan salah
satu cara produsen dalam menarik perhatian
remaja.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa remaja memiliki
kecenderungan berkepribadian narsistik
yang dapat menyebabkan remaja tersebut
berperilaku konsumtif.
Hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah ada hubungan positif
antara kepribadian narsistik dengan perilaku
konsumtif pada remaja. Semakin tinggi
kepribadian narsistik, semakin tinggi
perilaku konsumtifnya, dan sebaliknya,
semakin rendah kepribadian narsistik, maka
semakin rendah perilaku konsumtifnya.
METODE
Variabel-variabel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kepribadian
narsistik sebagai variabel bebas dan perilaku
konsumtif sebagai variabel tergantung.
Subjek penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah remaja kelas 1 dan 2
SMU Negeri 3 Yogyakarta yang berusia 13-
17 tahun dan berjumlah 60 siswa.
Metode pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan Skala Perilaku
Konsumtif dan Skala Kepribadian Narsistik.
Skala perilaku Konsumtif terdiri dari 37
aitem dalam bentuk kalimat pernyataan
favorable dan unfavorable dengan 4 kategori
respon yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai),
TS (Tidak Sesuai) dan STS (Sangat Tidak
Sesuai). Aitem-aitem di atas memiliki
koefisien validitas bergerak antara 0,274
sampai 0,679, dan koefisien reliabilitas
sebesar 0,9105 sehingga layak digunakan
sebagai alat pengumpul data. Skala kedua
yang digunakan adalah Skala Kepribadian
Narsistik yang terdiri dari 32 aitem dalam
bentuk kalimat pernyataan favorable dan
unfavorable. Aitem-aitem di atas memiliki
koefisien validitas bergerak antara 0,279
sampai 0,658, dan koefisien reliabilitas
sebesar 0,8854 sehingga layak digunakan
sebagai alat pengumpul data.
Metode analisis data dalam peneltian
ini menggunakan teknik analisis korelasional
Product Moment dari Karl Pearson. Alasan
menggunakan teknik tersebut adalah: 1)
untuk mengatahui ada tidaknya hubungan
antara variabel perilaku konsumtif dan
kepribadian narsistik, 2) jenis datanya
interval.
HASIL DAN DISKUSI
Berdasarkan hasil uji normalitas
sebaran diperoleh untuk data variabel bebas
yaitu kepribadian narsistik, besarnya KS – Z
= 0,074, dengan taraf signifikansi sebesar
0,2 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
sebaran variabel kepribadian narsistik
terdistribusi normal, sedangkan variabel
tergantung yaitu perilaku konsumtif pada
remaja besarnya; KS – Z = 0,083, dengan
taraf signifikansi sebesar 0,2 (p > 0,05).
Hasil tersebut menunjukkan data variabel
perilaku konsumtif terdistribusi normal.
Berdasarkan hasil uji linieritas antara
variabel kepribadian narsistik dengan
perilaku konsumtif diperoleh nilai F
linieritas sebesar 24,028, dengan taraf
signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05).
Hasil uji linieritas menunjukkan bahwa
hubungan antara variabel kepribadian
narsistik dengan perilaku konsumtif adalah
linier.
Analisis korelasi Product Moment
diperoleh rxy = 0,523 dengan taraf
signifikansi 0,000 (p < 0,01), yang artinya
ada hubungan yang sangat signifikan antara
variabel kepribadian narsistik dengan
perilaku konsumtif para remaja. Hal tersebut
menyatakan bahwa hipotesis diterima.
Koefisien determinasi (R) variabel narsistik
terhadap perilaku konsumtif yang diporeh
sebesar 0,273 atau variabel kepribadian
narsistik memberikan sumbangan terhadap
variabel perilaku konsumtif sebesar 27,3%,
sedangkan 72,7% dipengaruhi oleh variabel
lain.
Berdasarkan analisis korelasi product
moment, secara umum hasil penelitian
menunjukkan bahwa kepribadian narsistik
mempunyai hubungan positif yang sangat
signifikan dengan perilaku konsumtif.
Artinya, semakin tinggi kepribadian narsistik
semakin tinggi pula perilaku konsumtif yang
terjadi pada remaja dan sebaliknya, semakin
rendah kepribadian narsistik semakin rendah
pula perilaku konsumtif pada remaja. Hal
tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang
diajukan diterima.
Pada umumnya remaja memiliki idola
yang dijadikan panutan untuk berperilaku
dan berpenampilan (Lina dan Rosyid, 1997).
Remaja mulai kegiatan konsumsinya dengan
membeli barang-barang seperti yang dipakai
idolanya dengan tujuan supaya dapat
menyerupai gaya sang idola, selain itu
remaja cenderung ingin menjadi perhatian
teman-teman dan lingkungannya. Kegiatan
konsumsi tersebut dapat menjadi berlebihan
apabila remaja terlalu mementingkan atribut
yang dapat menunjang penampilannya. Hal
itu dapat terjadi pada remaja yang memiliki
kecenderungan kepribadian narsistik.
Halgin dan Whitbourne (1997),
mengatakan bahwa individu dengan
kepribadian narsistik memiliki rasa
mementingkan diri sendiri yang tidak
realistis. Individu yang memiliki kepribadian
narsistik yang tinggi pada umumnya selalu
merasa istimewa, arogan, angkuh, dan
merasa hanya individu yang status sosialnya
tinggi yang dapat menghargai dan mengerti
kebutuhannya. Pendapat serupa dari Fausiah
dan Widury (2005) mengatakan bahwa
kepribadian narsistik adalah perasaan yang
kuat bahwa individu tersebut merupakan
seseorang yang penting dan merasa bahwa
dirinya unik. Selain itu, individu dengan
kepribadian narsistik merasa dirinya spesial,
ambisius, dan suka mencari ketenaran,
sehingga sulit menerima kritik dari orang
lain.
Karakteristik kepribadian narsistik di
atas dewasa ini terdapat pada beberapa
remaja, sehingga remaja menjadi konsumtif
supaya dapat berpenampilan lebih dari yang
lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock
(2002) yang mengatakan bahwa penampilan
bagi remaja sangat penting, yaitu sebagai
daya tarik fisik, usaha mencari dukungan
sosial, dan popularitas. Akibat minat yang
berlebihan terhadap penampilan tersebut
akan mendorong remaja untuk berperilaku
konsumtif.
Neufeldt (dalam Zebua dan
Nurdjyayadi, 2001) mengungkapkan bahwa
perilaku konsumtif digambarkan sebagai
tindakan yang tidak rasional dan bersifat
kompulsif, secara ekonomis menimbulkan
pemborosan, serta secara psikologis
mengakibatkan kecemasan dan rasa tidak
aman.
Hasil kategorisasi perilaku konsumtif
terhadap siswa kelas 1 dan 2 di SMU Negeri
3 Yogyakarta menunjukkan sebagian besar
subjek memiliki taraf perilaku konsumtif
yang rendah, yaitu sebanyak 39 subjek atau
60%. Sisanya sebanyak 26 subjek atau 40%
berada dalam taraf sedang, dan tidak ada
subjek yang berada dalam taraf perilaku
konsumtif yang tinggi. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa subjek penelitian ini
tidak menunjukkan adanya kecenderungan
perilaku konsumtif. Hasil kategorisasi
kepribadian narsistik juga menunjukkan
bahwa sebagian besar subjek memiliki taraf
kepribadian narsistik rendah, yaitu sebanyak
47 subjek atau 72,3%. 27,7% atau sebanyak
18 subjek berada pada taraf sedang, dan
tidak ada subjek yang memiliki taraf
kepribadian tinggi. Subjek dalam penelitian
ini tidak memperlihatkan kecenderungan
kepribadian narsistik. Namun demikian hasil
korelasi menunjukkan adanya hubungan
positif yang sangat signifikan.
Rendahnya kategorisasi tersebut dapat
dikarenakan ketika subjek mengisi skala
banyak bertanya kepada teman-temannya
sehingga jawaban cenderung sama satu
subjek dengan subjek lainnya. Dapat
dikatakan bahwa dalam penelitian ini subjek
mengisi skala berdasarkan social
diserability. Social diserability adalah
kecenderungan pada subjek penelitian yang
menjawab sesuai jawaban sebagian besar
subjek (www.wikipedia.org).
Selain itu penyebab rendahnya
kategorisasi disebabkan karena jumlah
subjek yang hanya 65 siswa, pemberian
skala secara klasikal, dan reliabilitas variabel
perilaku konsumtif sebesar 0,9105, yang
berarti masih terdapat variasi eror sebesar
8,95% pada variabel tersebut. Reliabilitas
variabel kepribadian narsistik sebesar
0,8854, yang berarti masih terdapat variasi
eror sebesar 11,46% pada variabel tersebut
yang juga dapat menjadi penyebab
rendahnya kategorisasi. Pada kenyataannya
subjek penelitian ini memperlihatkan ciri-ciri
konsumtif, diantaranya atribut-atribut yang
dikenakan oleh sebagian besar subejek
penelitian adalah bermerk terkenal, seperti
tas, sepatu, ponsel, hingga laptop yang
dibawa saat pengisian angket penelitian.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan yang telah dikemukakan pada
bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan positif yang sangat signifikan
antara kepribadian narsistik dengan perilaku
konsumtif pada remaja.
Saran kepada subjek penelitian adalah
untuk mempertahankan kepribadian narsistik
dan perilaku konsumtifnya yang rendah.
Saran untuk peneliti selanjutnya, supaya
memperhatikan faktor-faktor lain seperti
media massa, lingkungan, kelompok
referensi atau idola, dan besarnya uang saku.
DAFTAR PUSTAKA
Engel, J.F, Blackwell, R.D, Miniard P.W. 1992. Perilaku Konsumen. Budiyanto (pen.) 1994. Jakarta: Binarupa Aksara.
Fausiah, F. dan Widury, J. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: UI-press.
Halgin, R.P. & Whitbourne, S.K. 1997. Abnormal Psychology: The Human Experience of Psychological Disorders. USA: Brown & Benchmark.
Hurlock, E,B. 2002. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Lina & Rosyid, H.F. 1997. Perilaku Konsumtif Berdasar Locus of Control Pada Remaja Putri. Psikologika.. No.4 TahunII. Hal 5-13.
Maria, H., Prihanto,S., & Sukamto, M. 2001. Hubungan Antara Ketidakpuasan Terhadap Sosok Tubuh (Body Dissatisfaction) dan Kepribadian Narsistik dengan Gangguan Makan (Kecenderungan anorexia dan bulimia nervosa). Anima,Vol.16, No. 3. Hal. 272-289.
Sabirin, Eka. 2005. Kenapa Kita Doyan Belanja? http://kompas.com/kompas.
Edisi 26 Agustus 2005. Diakses pada tanggal 13 November 2006.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2001. Psikologi Remaja. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Tambunan,. R 2001. Remaja dan Perilaku Konsumtif. http// www.e- psikologi.com/remaja. Edisi 19 November 2001. Diakses pada tanggal 2 April 2006.
Tinarbuko, S. 2006. Pola Hidup Konsumtif Masyarakat Yogya.
https://www.kompas.com Edisi 7 Februari 2006. Diakses pada tanggal 25 Mei 2007.
Wikipedia.http://en.wikipedia.org/wiki/Social_desirability_bias. Diakses pada 23 Oktober 2007.
Zebua, A.S & Nurdjayadi, R.D. 2001 Hubungan Antara Konformitas dan Konsep Diri Dengan Perilaku Konsumtif Pada Remaja Putri. Phronesis. Vol.3. No. 6. hal. 72-
PENINGKATAN KOMPETENSI BERBAHASA INGGRIS FUNGSIONAL KONTEKSTUAL BAGI CALON PEKERJA MIGRAN KECAMATAN MOYUDAN
KABUPATEN SLEMAN
Hermayawati, dkk
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Mercu Buana Yogyakarta
ABSTRACT
The District of Moyudan, Sleman Yogyakarta has a relatively high unemployment rate with the job seekers of 6.109 male and 5.293 female. Most of them (especially female) desiredly want to work at overseas as Indonesian Overseas Workers, or Tenaga Kerja Indonesia (TKI). The problem is, they must not merely have job-skill, but also have to be able to use the target language in the job target country, at least English as a means of communication with their new environment. In facts, several research showed that they are not able to communicate in English well. Meanwhile, English is a key instrument to communicate especially with their employers. Based on this fact, this program of Ipteks bagi Masyarakat (IbM) aimed at conducting English training especially for community of the migrant workers candidates. The training program was held by using Functional English Learning Model (Materi Ajar Bahasa Inggris Fungsional /MABIF). The training was conducted for 24 meetings and followed by 40 participants. They consisted of 20 undergraduates degree, 17 higher level students, and 3 person were the graduates of Senior Highschools. This program resulted: (1) MABIF with level of significance of = 0.04; (2) Article of Publication in a Daily Regional Newspaper (Kedaulatan Rakyat) and a Journal (Socio-Humaniora); (3) Training Certificate showed Functional English Mastery; and (4) the Existence/the establishment of Association of Moyudan’s Overseas Worker Candidates (Paguyuban Calon Pekerja Migran di Moyudan) to keep the project sustainability. Kata kunci:
Functional English, Migrant, MABIF
PENDAHULUAN
Kecamatan Moyudan berjarak 15 Km
dari pusat Kota Yogyakarta dan 4 Km dari
perguruan tinggi Penulis. Sebagai salah satu
wilayah Kabupaten Sleman Daerah Istimewa
Yogyakarta, Moyudan wajib ikut serta
dalam mewujudkan visi daerahnya, yaitu
menuju masyarakat Sleman yang lebih
sejahtera pada tahun 2010. Masalahnya,
hingga saat ini angka pengangguran masih
relatif tinggi dan tentunya perlu solusi.
Menurut data yang ada di Kecamatan,
jumlah pencari kerja mencapai 6.109 laki-
laki dan 5.293 perempuan dan di antaranya
ingin bekerja di luar negeri sebagai Tenaga
Kerja Indonesia di luar negeri (TKI).
Mekipun termasuk wilayah yang
subur, kebanyakan penduduk usia muda di
wilayah Kecamatan Moyudan kurang
berminat untuk bertani atau pun menjadi
perajin. Berdasarkan data yang ada, terdapat
sekitar 40 orang pencari kerja yang tertarik
untuk bekerja di luar negeri, baik di sektor
domestik (sebagai penatalaksana rumah
tangga/PRT) maupun di sektor formal,
terutama sebagai buruh pabrik. Dengan
bekerja di luar negeri, mereka berharap akan
mendapatkan penghasilan yang jauh lebih
tinggi dibanding di Indonesia sehingga akan
dapat menyejahterakan keluarga mereka.
Permasalahan utama yang dihadapi
oleh mitra program adalah: kebanyakan
pencari kerja migran kurang mampu
berbahasa Inggris. Padahal, bahasa Inggris
merupakan sarana utama untuk
berkomunikasi dengan lingkungan bekerja
mereka di luar negeri. Hal ini dapat
dimaklumi jika mengingat bahwa kualitas
sumber daya manusia Indonesia berada di
urutan paling bawah di antara negara-negara
Asia-Pasifik lain (Madya, 2001: 1;
Gunarwan, 2004: 11-12). Selain itu, hasil
penelitian bersama antara Lembaga
Penelitian Universitas Indonesia dan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Depnakertrans) tahun 2000, yang berjudul:
“Situasi TKI di Sembilan Negara”,
menyimpulkan bahwa TKI kurang diminati
di sembilan negara Asia-Pasifik dan Timur
Tengah, yaitu Singapura, Malaysia, Taiwan,
Hong Kong, Korea, Jepang, Saudi Arabia,
Iran, dan Amerika. Pengguna jasa di
sembilan negara tersebut lebih memilih
tenaga kerja dari Philipina, India, dan
Vietnam, yang dipandang lebih terampil
dalam berkomunikasi dan mengurus rumah
tangga dibandingkan dengan TKI
(Depnakertrans, 2000: i-ii). Implikasinya,
proses pelatihan bahasa asing (Inggris)
Calon TKI (CTKI) kurang optimal.
Optimalisasi pelatihan bahasa Inggris salah
satunya dapat dilakukan dengan
meningkatkan kualitas materi ajarnya
(Hermayawati, 2007: 323-324).
Materi ajar merupakan komponen
kunci dan sarana pembantu ketercapaian
tujuan program pembelajaran dan pelatihan
pada semua tataran belajar. Untuk itu
penyusunannya mestinya disesuaikan
dengan analisis kebutuhan target (Richards,
2001: 21, 257). Pemilihan atau penyusunan
materi ajar tidak terlepas dari kualitas guru
atau pun perencana program yang
bersangkutan. Namun pada kenyataannya,
berbagai hasil penelitian menunjukkan
bahwa guru, perencana program
pembelajaran dan pelatihan seringkali
kurang tepat dalam memilih atau pun
menyusun materi ajar bagi peserta didiknya.
Dengan kata lain, muatan materi ajar yang
digunakan para guru seringkali tidak sesuai
dengan kebutuhan peserta didik yang
notabene sama dengan kebutuhan pengguna
lulusan (Hermayawati, 2005: 47-51; 2007:
323-324). Sebagai akibatnya, output dan
outcome-nya kurang berterima di dunia kerja
(Depnakertrans, 2000: i-ii) karena kurang
sesuai dengan tuntutan yang ditargetkan.
Permasalahan tersebut di atas
menunjukkan bahwa bahasa bersifat
kompleks (Byram & Fleming, 1998: 11),
baik menyangkut tata bahasa maupun dalam
hal berinteraksi dan beradaptasi dengan
budaya mereka (Koentjaraningrat, 2002:
132-133). Bahasa merupakan alat
komunikasi yang paling efektif. Tanpa
penguasaan bahasa yang digunakan sehari-
hari, orang akan kesulitan berinteraksi,
termasuk para TKI di lingkungan bekerja
mereka.
Kesalahpahaman dalam berinteraksi
yang terjadi secara terus menerus dari waktu
ke waktu antara pekerja dan majikan dapat
memicu kekerasan yang berujung pada
penolakan terhadap pekerja yang
bersangkutan. Jika terjadi secara masal, tentu
hal tersebut akan mengakibatkan rendahnya
posisi tawar (bargaining position) para
pencari kerja di luar negeri. Atas dasar
berbagai kenyataan sebagaimana disebutkan
di muka, model MABIF secara normatif
telah disesuaikan dengan kebutuhan program
IbM ini.
METODE
1. Pelaksanaan Program
Sesuai dengan fenomena permasalahan
yang ada, program IbM ini menggunakan
metode penyuluhan, pendidikan dan latihan.
Materinya menggunakan Model Materi Ajar
Bahasa Inggris Fungsional (MABIF) yang
sebenarnya merupakan temuan penelitian
disertasi yang berjudul: “Pengembangan
Materi ajar Bahasa Inggris dengan
Pendekatan Fungsional (Penelitian
Pengembangan di PJTKI Jakarta)”
(Hermayawati, 2008: 324-325) yang telah
terbukti efektif dan sengaja digunakan
menjadi Model Pembelajaran dalam
Program ini. Model Materi Ajar Bahasa
Inggris Fungsional (MABIF) sebenarnya
secara khusus didesain bagi para calon
tenaga kerja Indonesia (CTKI) yang sedang
menjalani pelatihan di Perusahaan Jasa
Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) Jakarta.
Namun demikian, model ini telah juga telah
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
peserta pelatihan dan users mereka di luar
negeri. Sebagai ilustrasi, ciri-ciri MABIF
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Ciri-Ciri Materi Ajar Bahasa Inggris Fungsional/ MABIF
No.
Aspek Bahasa yang Dipelajari
Materi Ajar Bahasa Inggris Fungsional/MABIF
1. Bentuk Wacana Materi ajar ditampilkan dalam bentuk percakapan otentik (Authentics Dialogues, Monologues) yang sesuai dengan tujuan dan analisis kebutuhan target.
2. Aspek Linguistik Pengembangan aspek linguistik difokuskan pada pemenuhan kebutuhan pembelajar, yaitu penguasaan speaking skill yang melibatkan aspek struktur, kosakata, pelafalan, kefasihan, dan pemahaman pertuturan (listening comprehension).
3. Aspek Semantik Kosakata yang sebagian besar diakses dari materi ajar lama disajikan secara kontekstual dan terpadu dalam bentuk dialog dengan mengacu pada konsep Minimum-adequate Vocabulary.
4. Aspek Pragmatik/ Budaya
Aspek pragmatik yang terkait dengan budaya penutur target disajikan secara terpadu (embedded) di dalam wacana.
5. Keterampilan berbahasa (L.Skills)
Keterampilan berbicara (speaking skill) yang meliputi unsur struktur, kosakata, pelafalan, kefasihan/kecepatan bertutur, dan pemahaman (listening comprehension).
6. Keterkaitan antarkonsep (Networking)
Ada keterkaitan antarmateri/antarkonsep berbahasa (yaitu penggunaan fungsi bahasa “Imparting and seeking factual informations” yang tersaji dalam bentuk wacana dan tercantum secara berurutan di dalam Bab atau Unit Pokok Bahasan) secara luwes dan seimbang.
7. Tata Ringkasan (Structured Summaries)
Materi ajar diurutkan dari mudah ke sulit; sederhana ke agak kompleks; disertai tampilan language focus dan sentence patterns yang dapat digunakan sebagai dasar pemahaman pertuturan target bagi pembelajar.
8. Tampilan Naskah Materi ajar dibuat menarik bagi penggunanya karena pertuturan ditampilkan dalam bentuk dialog-dialog otentik disertai dengan ilustrasi yang dapat memperjelas pemahaman konsep pertuturan target.
2. Pelaksanaan Kegiatan
Program kegiatan IbM ini didasarkan
atas asumsi sebagai berikut: (a) para peserta
diklat rata-rata memiliki kemampuan awal
(intakes) bahasa Inggris pada taraf
pembelajaran pemula (threshold dan/atau
false-beginning level), yaitu pembelajar yang
sudah pernah belajar bahasa Inggris selama
bertahun-tahun tetapi tetap tidak mampu
menggunakannya; (b) setelah mengikuti
pelatihan, peserta diklat akan mampu
menggunakan fungsi-fungsi bahasa target
yang cocok dengan level kemampuan
mereka, yaitu “imparting and seeking
factual informations” untuk berkomunikasi
dengan orang lain, baik di dalam maupun di
luar pelatihan; (c) jika hal itu terjadi, para
peserta akan mampu berkomunikasi
menggunakan bahasa target tersebut dengan
para pengguna (users), manakala mereka
bekerja di luar negeri; dan (d) instruktur dan
peserta pelatihan akan dapat
menyebarluaskan Model MABIF yang yang
memungkinkan untuk dipelajari sendiri oleh
penggunanya.
Pelaksanaan program IbM ini
melibatkan 40 orang partisipan. Instruktur
diklat adalah dua orang dosen pendidikan
bahasa Inggris (PBI) dan sekaligus adalah
Ketua dan Anggota Tim IbM. Dalam
melaksanakan diklat, instruktur dibantu oleh
lima orang mahasiswa PBI FKIP Universitas
Mercu Buana Yogyakarta. Sebagai
gambaran, berikut ini disajikan langkah-
langkah pelaksanaan programnya.
Mengidentifikasi masalah menentukan masalah utama menganalisis kebutuhan program menentukan tujuan menyusun/mengembangkan materi diklat memberikan pengarahan tentang pelaksanaan kegiatan melaksanakan kegiatan sesuai jadwal mengevaluasi program menganalisis hasil evaluasi melakukan perbaikan program hasil akhir (terampil berbahasa Inggris pada level ambang, diseminasi melalui Artikel Publikasi dan Sustainability).
3. Partisipasi Mitra dalam Pelaksanaan
Program
Mitra utama program IbM ini adalah
lembaga Kecamatan Moyudan yang
didukung sepenuhnya oleh sumber daya
manusia yang ada. Dalam hal ini, lembaga
kecamatan berfungsi sebagai rekomendator
dan legitimator pelaksanaan kegiatan yang
didukung oleh empat Kalurahan yang
meliputi: Kalurahan Sumbersari, Sumber
Agung, Sumber Rahayu, Sumber Arum.
Namun atas dasar kesepakatan bersama dan
berbagai pertimbangan yang ada, kegiatan
dipusatkan di Kalurahan Sumbersari.
Pertimbangan terhadap lokasi pusat kegiatan
tersebut didasarkan pada berbagai faktor
berikut: (1) letak geografisnya yang paling
strategis di antara empat kelurahan yang ada;
(2) tempatnya luas dan lebih kondusif
dibanding tiga kelurahan lainnya; (3)
pemukiman penduduk saling berdekatan
sehingga memudahkan komunikasi
antarpelaku kegiatan; (4) Kelurahan
Sumbersari merupakan daerah terdekat
dengan perguruan tinggi Tim Pelaksana IbM
sehingga lebih memperlancar pelaksanaan
kegiatan; (5) fasilitas yang ada lebih
memadai daripada tempat lain.
4. Evaluasi Hasil Kegiatan
Evaluasi program IbM ini
menggunakan dua bentuk instrumen yang
berupa tes tulis (paper-and-pencil test) dan
tes lisan (oral production test). Untuk
keperluan tersebut penulis menyusun kisi-
kisi tes tulis dengan memadukan konsep
Gronlund (1978: 50-51) dan model
Rubrik/Panduan Penskoran Bahasa Lisan
(O’Malley & Pierce, 1996: 67) lengkap
dengan jenjang skala penskorannya, seperti
tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Tabel Spesifikasi 90-Butir tes Tulis Penguasaan Fungsi Bahasa Target
Content Areas on:
Imparting and seeking factual informations
(1)
Identifying
(2)
Reporting Describing
& Narrating)
(3)
Correcting (Agreeing
/Denying)
(4)
Asking (for help
/invitation/
questions)
Total
Five Variables
Total number of test items/ descriptors
10 67 4 9 90
Tabel 2 menunjukkan bahwa tes tulis
yang berjumlah 90 butir soal meliputi
pengembangan kecakapan menggunakan
fungsi bahasa target, yaitu “imparting and
seeking factual informations” yang meliputi
kategori identifying, reporting (termasuk
describing dan narrating), correcting
(termasuk agreeing dan denying), dan asking
(for help, questions, dan invitation) (Van Ek,
1987: 113). Penentuan jumlah butir soal
pada masing-masing variabel fungsi bahasa
dilakukan dengan mempertimbangkan taraf
kepentingan dan frekuensi penggunaannya
di dalam komunikasi khusus bagi penutur
pada tataran pemula (false beginners).
Komponen kecakapan berbicara yang
diuji adalah pelafalan, kefasihan atau
kecepatan berbicara, kosakata, struktur, dan
pemahaman (terhadap pertuturan orang lain).
Kriteria yang digunakan ada dua kategori.
Secara holistik penilaian kemampuan
berbicara menggunakan Rubrik/Panduan
Penskoran Bahasa Lisan (O’malley &
Pierce, 1996: 67) dengan rentang skala 1-2,
khusus bagi level pemula seperti tercantum
pada Tabel 3.
Tabel 3. Rubrik Penskoran Bahasa Lisan untuk Level Pemula
Rating Scale
Descriptions on Speaking Skill Speaking Skill Components Mastery
2 - Begins to communicate personal and survival needs
Fluency
- Speaks in single-word utterances and short patterns
Structure/Pronunciation
- Uses functional vocabulary Vocabulary
- Understands words and phrases; requires repetitions
Comprehension
1 - Begins to name concrete objects Vocabulary/ Pronunciation
- Repeats words and phrases Fluency/Structure
- Understands little or no English Comprehension
Skor satu diperoleh jika peserta
mampu: menyebutkan nama objek benda
atau pun orang (begins to name concrete
objects); menirukan kata dan frase dengan
lafal yang benar (repeats words and
phrases); dan memahami pertuturan
sederhana orang lain (understands little or
no English). Peserta mendapat skor dua jika
mampu: mengucapkan tuturan pada level
bahasa pemula (begins to communicate
personal and survival needs); menggunakan
tuturan dan pola kalimat pendek (speaks in
single-word utterances and short patterns);
menggunakan kosakata fungsional (uses
functional vocabulary); memahami kosakata
atau pun frase yang terkadang perlu didengar
berulangkali (understands words and
phrases; requires repetitions).
Pengembangan butir-butir instrumen
menggunakan dua bentuk tes, yaitu tes tulis
dan tes lisan. Butir-butir tes tulis ditekankan
pada kemampuan peserta dalam
menggunakan fungsi-fungsi bahasa target.
Tes lisan yang bertujuan mengukur
kompetensi berbicara pada tataran ambang
ini menggunakan kriteria penilaian O’malley
& Pierce (1996: 76) sebagai berikut: (1)
validitas isi (content validity), yaitu
penilaian hendaknya mengukur kompetensi
pemahaman/menyimak dan berbicara, dan
aktivitas tersebut menjadi bagian
pengajaran; (2) validitas butir-butir soal
(task validity), yaitu penilaian hendaknya
benar-benar mengukur kemampuan
pemahaman dan berbicara, bukan mengukur
aspek menyangkut kognitifnya; (3)
kesesuaian dengan tujuan dan kemampuan
menyesuaikan/ mengembangkan konsep
bahasa target (purposefulness and
transferability), yaitu penilaian hendaknya
merefleksikan tujuan memahami konteks
dan berbicara dalam kehidupan sehari-hari;
dan (4) keotentikan, yaitu penilaian
hendaknya mengukur kecakapan siswa
dalam memahami dan berbicara yang sesuai
dengan tataran peserta tes. Berikut ini
dikemukakan penjelasan masing-masing
butir kriteria penilaian tersebut.
Pertama, pengukuran validitas isi yang
dilakukan melalui kegiatan oral interview
menyangkut penggunaan fungsi-fungsi
bahasa target, dikembangkan dalam materi
ajar alternatif, yaitu kategori “imparting and
seeking factual information”, yang meliputi
fungsi-fungsi bahasa: identifying, reporting
(termasuk describing dan narrating),
correcting (yang meliputi agreeing dan
disagreeing), dan asking (termasuk di
dalamnya asking for information dan asking
for help).
Kedua, pengukuran validitas butir-
butir soal yang dilakukan melalui
pengukuran kemampuan peserta yang
berfokus pada kecakapan pemahaman,
pelafalan, kefasihan (speed of speaking),
kosakata, dan tata bahasa (O’malley &
Pierce, 1996: 68; Bailey, 2005: 2).
Penggunaan kelima komponen tersebut
diintegrasikan ke dalam penggunaan fungsi-
fungsi bahasa target tersebut di muka.
Ketiga, pengukuran kesesuaian materi
tes yang bertujuan untuk mengukur
kemampuan peserta dalam menggunakan
fungsi-fungsi bahasa target yang telah
dipelajari, terutama dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan penguji. Jika peserta
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
penguji dengan menggunakan bahasa target
secara tepat, maka pengukuran dapat
dikatakan sesuai dengan tujuan wawancara.
Keempat, pengukuran keotentikan
materi dilakukan melalui pengukuran
kemampuan peserta dalam memahami
tuturan dan berinteraksi dengan penguji,
termasuk pemahaman budaya dan
pragmatika bahasanya. Lingkup penguasaan
bahasanya terutama difokuskan pada
penggunaan fungsi-fungsi bahasa yang
berhubungan dengan kebutuhan interaksi
sehari-hari (survival needs) di negara target
bekerja, terutama sebagai penatalaksana
rumah tangga/PRT. Tabel 4 merupakan
Matriks Kegiatan Penilaian Bahasa Lisan
khusus bagi peserta tes (false beginners).
Selain tes tulis, tes wawancara (scored-
interview) juga dilakukan secara individual
oleh dua orang evaluator (interviewer).
Materi tes meliputi pengukuran kemampuan
siswa dalam menggunakan fungsi-fungsi
bahasa asking: for help/for information;
identifying someone/something; dan
reporting: describing/narrating. Picture-
cued Desscriptions/Stories meliputi
pengukuran penguasaan siswa terhadap
fungsi-fungsi bahasa describing dan
correcting. Information Gap meliputi
pengukuran penguasaan peserta terhadap
fungsi-fungsi bahasa describing, asking
for/giving information, dan giving direction.
Roleplays meliputi pengukuran penguasaan
siswa terhadap fungsi-fungsi bahasa asking
for/giving information dan correcting:
agreeing/disagreeing.
Prosedur pelaksanaan tes ini mengacu
pada konsep Cohen et al. (2000: 392) dan
Richards (2001b: 296-297), yaitu bahwa
pada pelaksanaan evaluasi program bahasa,
pengumpulan data dilakukan dengan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Pendekatan kualitatif menghasilkan data
kualitatif, yaitu hasil pengukuran yang tidak
dapat diekspresikan secara numeriki.
Pendekatan kualitatif diperoleh dari hasil
pengumpulan berbagai informasi, yang di
antaranya adalah interviu, yang menjadi alat
pengumpul data lisan dalam kegiatan IbM
ini. Pendekatan kuantitatif menghasilkan
data kuantitatif, yaitu hasil pengukuran yang
berupa informasi numerik. Data kuantitatif
dikumpulkan dari peserta tes dengan topik
yang ditargetkan dan dapat dianalisis secara
statistik sehingga menghasilkan ketentuan-
ketentuan khusus. Berdasarkan konsep
tersebut, penulis menggunakan jenis
pendekatan ini melalui instrumen dalam
bentuk tes tulis sebagai sarana pengumpul
data numeriknya.
Tes tulis dilakukan melalui langkah-
langkah sebagai berikut: (1) membuat kisi-
kisi tes penguasaan fungsi-fungsi bahasa
target (imparting and seeking factual
informations: identifying, reporting,
correcting, dan asking), yang integratif ke
dalam keterampilan berbicara; (2)
merancang butir-butir tes; (3) menyiapkan
komponen penilaian, yaitu pedoman
penilaian, tabel konversi nilai, dan lembar
jawab; (4) melaksanakan tes tulis; dan (5)
mengadakan test-scoring dengan rentang
skor 1-90.
Tes lisan dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut: (1) wawancara
pendahuluan; (2) wawancara lanjutan; dan
(3) penyimpulan hasil wawancara.
Wawancara dimulai dengan pertanyaan-
pertanyaan sosial seperti “How are you to
day?”, “What city do you from?”, “How long
have you studied English?”, dan “Are you
married?” untuk membiasakan peserta tes
menjawab pertanyaan secara otomatis,
karena pertanyaan-pertanyaan semacam itu
akan selalu dijumpai di mana pun, termasuk
di negara tujuan bekerja para calon pekerja
migran.
Kedua, wawancara lanjutan untuk
menjajaki kemampuan peserta tes dalam
menerapkan kelima komponen kecakapan
berbicara (termasuk pengetahuan budaya
dan pragmatika bahasa yang diekspresikan
oleh pewawancara) secara terpadu ke dalam
fungsi-fungsi bahasa ”imparting and seeking
factual informations”, seperti tuturan
berikut: “Name?; “Age?”; “Address?”;
“Destination?”; dan “Got it?”. Tes
pemahaman sosial budaya diwujudkan
dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan berikut
ini: “What you have to do in the morning
time, when your employers have not got
up?” atau “What you have to do if there is a
call while your employers are outsides”.
Dalam hal ini, penguji secara rileks
mengamati dan menilai respons peserta tes
yang diarahkan pada penggunaan unsur-
unsur ketrampilan berbicara dan fungsi
bahasa target.
Ketiga, penyimpulan hasil wawancara
dilakukan setelah pengujian dipastikan
sesuai dengan tujuan atau target
pelaksanaannya. Penyimpulan berfokus pada
tingkat penguasaan kecakapan berbicara
menggunakan fungsi-fungsi bahasa target
dan kelima unsur keterampilan berbicara.
Wawancara diakhiri secara luwes agar
peserta tes menganggap bahwa ujian
kecakapan berbicara merupakan pengalaman
yang menyenangkan.
Keempat, melakukan pengumpulan
data dan menganalisis hasilnya. Data berupa
skor tes tulis (0 - 90) dan tes lisan yang
dilakukan dengan kriteria penskoran model
“Rubrik Penskoran Bahasa Lisan bagi
Pembelajar Level Pemula (Beginner’s
Rubric Scoring of Oral-language)” dengan
rentang skala skor 0 – 2. Tes kecakapan
berbicara dilakukan secara lisan (oral
production test) (O’malley & Pierce, 1996:
67; Bailey, 2005: 84). Namun demikian,
dalam kegiatan IbM ini penulis
menggunakan tes tulis dan tes lisan demi
menjaga kesahihan hasil pengukuran dan
keluasan target cakupan penguasaan semua
unsur dan area linguistik yang telah
diajarkan.
HASIL KEGIATAN
Hasil kegiatan IbM bagi calon pekerja
migran di Kecamatan Moyudan ini adalah
sebagai berikut. Pertama, peningkatan
kecakapan berbicara para peserta pelatihan
yang dibuktikan melalui pengujian
efektivitas MABIF dengan taraf signifikansi = 0.04. Pengujian kecakapan berbicara
meliputi pelafalan, tata bahasa, kosakata,
kefasihan, dan pemahaman menggunakan
fungsi-fungsi bahasa level threshold/false
beginning (Bailey, 2005: 30), yaitu
imparting and seeking factual informations
(Van Ek, 1987: 113) serta dengan penerapan
konsep kosakata minimum (minimum-
adequate vocabulary) dan pemahaman
pengetahuan sistem gramatikal bahasa target
yang cukup untuk memahami kebutuhan
dasar komunikasi (minimum-adequate
grammar) (Wilkins, 1987: 97). Skor kedua
bentuk tes dari kedua kelompok partisipan
merupakan data pengujian yang kemudian
dianalisis menggunakan uji-t.
Kedua, sertifikasi bagi peserta
pelatihan khusus penguasaan berbahasa
Inggris untuk survival life. Sertifikasi yang
dilegalisasi oleh LPPM Universitas Mercu
Buana ini dapat digunakan sebagai bukti
rekomendasi untuk mengikuti pelatihan
lanjutan di lembaga penyelenggara pelatihan
bagi calon tenaga kerja migran yaitu PJTKI
(Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia)
dan BLKLN (Balai Latihan Kerja untuk
Luar Negeri) Depnakertrans.
Ketiga, terbentuknya “Paguyuban
Calon Tenaga Kerja Migran” khususnya di
lingkungan Kecamatan Moyudan Sleman,
Yogyakarta. Paguyuban ini dibentuk sebagai
upaya untuk menjamin keberlangsungan
(sustainability) program IbM. Paguyuban ini
berfungsi sebagai wadah kegiatan praksis
pelatihan berbahasa Inggris lisan (English
speaking club) yang anggota dan pelaksana
kegiatannya adalah para lulusan pelatihan.
Para lulusan yang merupakan pencari kerja
lulusan berbagai perguruan tinggi negeri dan
swasta membentuk kelompok belajar yang
siap bekerja di luar negeri dan bertugas
merekrut dan menyediakan fasilitas yang
diperlukan oleh para peserta pelatihan
berikutnya secara swadaya di bawah
bimbingan dosen dan mahasiswa bahasa
Inggris UMBY.
Keempat, terwujudnya Artikel
Publikasi sebagai sarana penyebarluasan
pengalaman atau pun informasi menyangkut
hasil pelaksanaan kegiatan yang dapat
digunakan sebagai referensi atau pun
inspirasi bagi peneliti dan pengabdi sejenis.
SIMPULAN
Berdasarkan berbagai penjelasan di
atas dapat disimpulkan bahwa IbM ini
menghasilkan: (1) Kecakapan berbahasa
Inggris terutama untuk survival life; (2)
Sertifikat Pelatihan Penguasaan bahasa
Inggris Fungsional; (3) terbentuknya
Paguyuban Calon Pekerja Migran untuk
menjamin keberlangsungan (sustainability)
program IbM ini (4) Artikel Publikasi
sebagai sarana diseminasi hasil kegiatan.
DAFTAR PUSTAKA
Bailey, Kathleen M. 2005. Practical English Language Teaching Speaking. New York: McGraw-Hill.
Byram, Michael. & Fleming, Michael. 1998. Language Learning in Intercultural
Perspective (Approaches through drama and ethnography). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Brown, Douglas, H. 1996. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. Englewood Cliffs, New Jersey 07632: Prentice-Hall, Inc.
---------. 2000. Principles of Language Learning and Teaching: Fourth Edition. New York: Addison Wesley Longman, Inc. A Pearson Education Company.
Cohen, Louis., et al. 2000. Research Methods in Education. Great Britain: TJ International Ltd, Padstow, Cornwall.
Cunningsworth, Alan. 1995. Choosing Your Coursebook. Great Britain: The Bath Press.
Depdiknas. 2003. Kurikulum Berbasis kompetensi: Pengembangan Silabus. Jakarta: Dirjen Dikdasmen Depdiknas.
Depnakertrans RI. 2000. Situasi TKI di 9 Negara: A Cooperative Research between the research centre of the University of Indonesia and The Department of Man-power. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Depnakertrans RI.
---------. 2007. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2006 Tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (BNP2TKI). Jakarta: Biro Hukum Depnakertrans RI.
Dubin, Fraida. & Olshtain, Elite. 1992. Course Design: Developing programs and materials for language learning. Cambridge: Cambridge University Press.
Fromkin, Victoria., et al. 2003. An Introduction to Language. USA:
Heinle, a part of Thomson Corporation.
Gronlund, Norman E. 1978. Stating Objectives for Classroom Instruction: Second Edition. New York: Macmillan Publishing Co., Inc.
Gunarwan, Asim. 2004. Pragmatik, Kebudayaan, dan Pengajaran Bahasa. Surakarta: UNS.
Hammerly, H. 1991. Fluency and Accuracy: Toward Balance in Language Teaching and Learning. Clevedon: Multilingual Matters, Ltd.
Hermayawati. 2007. The Relevance of English Learning Materials at the Senior Highschools to the Culture’s Conservation and Tourism Development in Yogyakarta City: Makalah hasil penelitian disajikan dalam Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, terakreditasi ISSN 1693-623X Vol. 5, No. 1, edisi April 2007. Surakarta: Prodi PBI PPs UNS.
---------. 2009. Developing Functional English Learning Materials for the Migrant Domestic Worker Candidates: Makalah dalam “Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya”, PBI PPs UNS Surakarta ISSN 1693-623X Vol. 6, No.1, Eds. April 2009. Surakarta: PPs UNS.
Hutchinson, Tom & Waters, Alan. 1994. English for Specific Purposes: a Learning-centred Approach. Cambridge: Cambridge University Press.
Johnson, Elaine B. 2007. Contextual Teaching and Learning (Edisi Terjemahan). Bandung: MLC.
Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Littlewood, William. 1992. Teaching Oral Communication: A Methodological Framework. Cambridge, Massachusetts 02142 USA: Blackwell Publishers.
McDonough, Jo. & McDonough, Steven. 1997. Research Methods for English Language Teachers. New York: St Martin’s Press Inc.
O’malley, J.Michael. & Pierce, Valdez, Lorraine. 1996. Authentic Assessment for English Language Learners: Practical Approaches for Teachers. USA: Addison-Wesley Publishing Company, Inc.
Richards, J.C. 2001. Curriculum Development in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.
Tomlinson, Brian. & Masuhara, Hitomi. 2004. Developing Language Course Materials. Singapore: SEAMEO Regional Language Centre.
Van Ek. 1987. The Threshold Level (an extract). Oxford: Oxford University Press.
Wilkins, D.A. 1987. Grammatical, Situational and Notional Syllabuses (an extract). Oxford: Oxford University Press.
PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN TERHADAP PENGUNGKAPAN TANGGUNGJAWAB SOSIAL / SOCIAL DISCLOSURE
Nugraeni
Staf pengajar pada Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Mercu Buana Yogyakarta
ABSTRACT
The issue which becomes a concern of community today is the role of a company to its environment, both external environment and internal environment of the company. In addition to profit-oriented activities, companies need to conduct other activities, such as activities to provide a safe working environment for its employees, ensure that no pollution to its surrounding area is produced from the production process, transparent duty stationing of employess, to produce safe products for consumers, and maintaining the external environment to achieve corporate social responsibility. Disclosure of social responsibility is one of the selected media to show concern of the company to the surrounding community. CSR (Corporate Social Responsibility) disclosure is useful as added value for a company as well as reducing the social costs arising from company activities. In addition to above mentioned benefits of CSR, the company can gain legitimacy by demonstrating social responsibility through CSR disclosure in the media and in the company's annual report. Results of several studies concluded that the percentage of management ownership and type of industry has significant influence in company policy in expressing social information; company size and structure of ownership significantly influence the broad of voluntary disclosure in corporate annual reports.
Keywords: management ownership, social disclosure
PENDAHULUAN
FASB Concepts Statement No. 1
dalam Kieso (2002) menyatakan bahwa
beberapa informasi yang bermanfaat lebih
baik disajikan dalam laporan keuangan, dan
beberapa lainnya lebih baik disajikan dengan
menggunakan media pelaporan keuangan
selain laporan keuangan. Isu yang sedang
menjadi perhatian masyarakat saat ini yaitu
peran suatu perusahaan terhadap
lingkungannya, baik lingkungan intern
maupun lingkungan ekstern perusahaan.
Perusahaan mempunyai peran selain
memberi manfaat positif terhadap ekonomi
juga berkontribusi terhadap menurunnya
kondisi sosial masyarakat. Beberapa
perusahaan mendapat kritik karena telah
menciptakan masalah sosial seperti polusi,
penyusutan sumber daya, limbah, mutu dan
keamanan produk, hak dan status karyawan,
keselamatan kerja dan lain-lain.
Berubahnya kondisi lingkungan
ekonomi banyak berpengaruh pada dunia
usaha. Untuk dapat lebih bersaing,
perusahaan dihadapkan pada kondisi untuk
dapat lebih transparan dalam
mengungkapkan informasi perusahaannya,
sehingga akan lebih membantu para
pengambil keputusan dalam mengantisipasi
kondisi yang semakin berubah. Tujuan
laporan keuangan adalah menyediakan
informasi yang menyangkut posisi
keuangan, kinerja serta perubahan posisi
keuangan suatu perusahaan yang dapat
bermanfaat bagi sejumlah pengguna dalam
pengambilan keputusan. Laporan keuangan
yang disusun untuk tujuan tersebut
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
bersama sebagian besar pengguna.
Profesi akuntan sebagai penyedia informasi
tidak dapat melepaskan diri dari situasi
perkembangan perekonomian. Semakin
besar suatu usaha bisnis, semakin dirasakan
perlunya informasi akuntansi, baik untuk
pertanggung jawaban maupun untuk dasar
pengambilan keputusan. Berhubungan
dengan pengujian informasi keuangan dari
pihak luar (investor), profesi akuntan perlu
mengatur cara-cara pengujian informasi
keuangan suatu badan usaha dan memberi
jasa audit untuk menentukan kewajaran
laporan keuangan yang disusun oleh
manajemen. Agar laporan keuangan yang
sudah diperiksa oleh akuntan publik dapat
menjadi dasar yang berguna bagi
pengambilan keputusan, salah satu cara yang
dapat ditempuh adalah dengan membuat
kriteria perlunya disclosure (pengungkapan)
tertentu yang dapat mencakup semua
perusahaan publik (Irawan, 2006: 19).
Menurut Statement of Financial
Accounting Concepts (SFAC) No. 1, tujuan
pelaporan adalah untuk memberikan
informasi yang berguna bagi investor, calon
investor, kreditur, calon kreditur dan para
pemakai lainnya dalam membuat keputusan
investasi, kredit dan keputusan lainnya
secara rasional. Menurut Susanto (1992)
Subroto (2003) dan Irawan (2006) informasi
yang terkandung dalam laporan keuangan
sangat penting sebagai dasar untuk
mengalokasikan dana-dana investasi secara
efisien dan produktif. Daarough (1993)
Subroto (2003) Irawan (2006) menunjukkan
arti pentingnya informasi laporan keuangan
dengan menyatakan bahwa, perusahaan –
perusahaan memberikan laporan keuangan
kepada berbagai stakeholder, dengan tujuan
untuk memberikan informasi yang relevan
dan tepat waktu agar berguna dalam
pengambilan keputusan investasi,
monitoring, penghargaan kinerja dan
pembuatan kontrak-kontrak. Irawan (2006)
menyatakan bahwa kualitas keputusan
investasi dipengaruhi oleh kualitas
pengungkapan perusahaan yang diberikan
melalui laporan tahunan. Agar informasi
yang disajikan dalam laporan keuangan
dapat dipahami dan tidak menimbulkan
salah interpretasi, maka penyajian laporan
keuangan harus disertai dengan
pengungkapan yang cukup (adequate
disclosure).
Saat ini pihak-pihak managerial
perusahaan semakin menyadari bahwa
perusahaan tidak lagi dihadapkan pada
tanggung jawab yang berpijak pada single
bottom line, yaitu nilai perusahaan
(corporate value) yang direfleksikan dalam
kondisi keuangannya (financial) saja, namun
juga harus berpijak pada triple bottom lines
yaitu memperhatikan masalah sosial dan
lingkungannya. Dunia usaha bukan lagi
sekedar kegiatan ekonomik untuk
menciptakan profit demi kelangsungan
usahanya, melainkan tanggung jawab sosial
dan lingkungan. Jika menggantungkan
semata-mata pada kesehatan finansial tidak
akan menjamin perusahaan akan bisa
tumbuh secara berkelanjutan (sustainable)
(Adhianta 2008)
PEMBAHASAN
Pertanggungjawaban social perusahaan (CSR)
Dauman dan Hargreaves (1992) dalam
Sulastini (2007) menyatakan bahwa
tanggung jawab perusahaan dapat dibagi
menjadi tiga level sebagai berikut :
1. Basic responsibility (BR)
Pada level pertama, menghubungkan
tanggung jawab yang pertama dari suatu
perusahan, yang muncul karena keberadaan
perusahaan tersebut seperti; perusahaan
harus membayar pajak, memenuhi hukum,
memenuhi standar pekerjaan, dan
memuaskan pemegang saham. Bila tanggung
jawab pada level ini tidak dipenuhi akan
menimbulkan dampak yang sangat serius.
2. Organization responsibility (OR)
Pada level kedua ini menunjukan
tanggung jawab perusahaan untuk
memenuhi perubahan kebutuhan
”Stakeholder” seperti pekerja, pemegang
saham, dan masyarakat di sekitarnya.
3. Sociental responses (SR)
Pada level ketiga, menunjukkan
tahapan ketika interaksi antara bisnis dan
kekuatan lain dalam masyarakat yang
demikian kuat sehingga perusahaan dapat
tumbuh dan berkembang secara
berkesinambungan, terlibat dengan apa yang
terjadi dalam lingkungannya secara
keseluruhan.
Tanggung jawab perusahaan tidak
hanya terbatas pada kinerja keuangan
perusahaan, tetapi juga harus bertanggung
jawab terhadap masalah sosial yang
ditimbulkan oleh aktivitas operasional yang
dilakukan perusahaan. Adapun Teuku dan
Imbuh (1997) Nur Cahyonowati (2003)
dalam Sulastini (2007) mendeskripsikan
tanggung jawab sosial sebagai kewajiban
organisasi yang tidak hanya menyediakan
barang dan jasa yang baik bagi masyarakat,
tetapi juga mempertahankan kualitas
lingkungan sosial maupun fisik, dan juga
memberikan kontribusi positif terhadap
kesejahteraan komunitas dimana mereka
berada. Sedangkan menurut Ivan Sevic
(Hasibuan,2001) Sulastini (2007) tanggung
jawab sosial diartikan bahwa perusahaan
mempunyai tanggung jawab pada tindakan
yang mempengaruhi konsumen, masyarakat,
dan lingkungan. Selain itu Weston dan
Brigham (1990) Sulastini (2007)
menyatakan bahwa perusahaan harus
berperan aktif dalam menunjang
kesejahteraan masyarakat luas.
Corporate Social Responsibility (CSR)
atau tanggung jawab sosial perusahaan
didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk
memberikan kontribusi bagi pembangunan
ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama
dengan para karyawan serta perwakilan
mereka, keluarga mereka, komunitas
setempat maupun masyarakat umum untuk
meningkatkan kualitas kehidupan dengan
cara yang bermanfaat baik bagi bisnis
sendiri maupun untuk pembangunan (The
World Business Council for Sustainable
Development (WBCSD) Ambadar, 2008:19
Djoe mee 2009). Konsep CSR melibatkan
tanggung jawab kemitraan antara
pemerintah, lembaga sumber daya
masyarakat, serta komunitas setempat
(lokal). Kemitraan ini tidaklah bersifat pasif
dan statis. Kemitraan ini merupakan
tanggung jawab secara sosial antara
stakeholders. Definisi SEA (Social
Economic Accounting): menyangkut
pengaturan, pengukuran analisis, dan
pengungkapan pengaruh ekonomi sosial dari
kegiatan perusahaan. Bertujuan untuk
mengukur dan melaporkan pengaruh
kegiatan perusahaan terhadap lingkungan,
mencakup: Financial, Managerial Social
Accounting dan Social Auditing
(Harahap,2004:349 Djoe mee 2009).
Pengungkapan (disclosure) tanggung
jawab sosial
Menurut Hackston dan Milne,
tangggung jawab sosial perusahaan sering
disebut juga sebagai corporate social
responsibility atau social disclosure,
corporate social reporting, social reporting
merupakan proses pengkomunikasian
dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan
ekonomi organisasi terhadap kelompok
khusus yang berkepentingan dan terhadap
masyarakat secara keseluruhan (Sembiring,
2005) dalam Sri Sulastini (2007). Hal
tersebut memperluas tanggung jawab
organisasi dalam hal ini perusahaan, di luar
peran tradisionalnya untuk menyediakan
laporan keuangan kepada pemilik modal,
khususnya pemegang saham. Perluasan
tersebut dibuat dengan asumsi bahwa
perusahaan mempunyai tanggung jawab
yang lebih luas dibanding hanya mencari
laba untuk pemegang saham (Gray et.al
(1995) Hasibuan (2001) Sulastini (2007).
Menurut Gray et.al. dalam Sembiring (2005)
Sulastini (2007) ada dua pendekatan yang
secara signifikan berbeda dalam melakukan
penelitian tentang pengungkapan tanggung
jawab sosial perusahaan. Pertama,
pengungkapan tanggungjawab sosial
perusahaan mungkin diperlakukan sebagai
suatu suplemen dari aktivitas akuntansi
konvensional. Pendekatan ini secara umum
akan menganggap masyarakat keuangan
sebagai pemakai utama pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan dan
cenderung membatasi persepsi tentang
tanggung jawab sosial yang dilaporkan.
Pendekatan kedua dengan meletakkan
pengungkapan tanggung jawab sosial
perusahaan pada suatu pengujian peran
informasi dalam hubungan masyarakat dan
organisasi. Pandangan yang lebih luas ini
telah menjadi sumber utama kemajuan
dalam pemahaman tentang pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan dan
sekaligus merupakan sumber kritik yang
utama terhadap pengungkapan tanggung
jawab sosial perusahaan.
Banyak teori yang menjelaskan
mengapa perusahaan cenderung
mengungkapkan informasi yang berkaitan
dengan aktivitasnya dan dampak yang
ditimbulkan oleh perusahaan tersebut. Gray
et.al. (1995) dalam Henny dan Murtanto
(2001) Sulastini (2007). menyebutkan ada
tiga studi yaitu :
1. Decision usefullness studies.
Sebagian dari studi-studi yang
dilakukan oleh para peneliti yang
mengemukakan teori ini menemukan bukti
bahwa informasi sosial dibutuhkan oleh para
pemakai laporan keuangan. Dalam hal ini
para analis, banker, dan pihak lain yang
dilibatkan dalam penelitian tersebut diminta
untuk melakukan pemeringkatan terhadap
informasi akuntansi. Informasi akutansi
tersebut tidak terbatas pada informasi
akuntansi tradisioanal yang telah dikenal
selama ini, namun juga informasi lain yang
relatif baru dalam wacana akuntansi. Mereka
menempatkan informasi aktivitas social
perusahaan pada posisi yang moderately
important untuk digunakan sebagai
pertimbangan oleh para users dalam
pengambilan keputusan
2. Economic theory studies
Studi ini menggunakan agency theory
dan positive accounting theory, dimana teori
tersebut menganalogikan manajemen
sebagai agen dari suatu prinsipal. Dalam
penggunaan agency theory, prinsipal
diartikan sebagai pemegang saham atau
traditional users lain. Namun pengertian
prinsipal tersebut meluas menjadi seluruh
interest group perusahaan yang
bersangkutan. Sebagai agen manajemen
akan berupaya mengoperasikan perusahaan
sesuai dengan keinginan publik
(stakeholder).
3. Social and political theory studies
Studi di bidang ini menggunakan teori
stakeholders, teori legitimasi organisasi, dan
teori ekonomi politik. Teori stakeholders
mengasumsikan bahwa eksistensi
perusahaan ditentukan oleh para
stakeholders. Perusahaan berusaha mencari
pembenaran dari para stakeholders dalam
menjalankan operasi perusahaannya.
Sehingga berakibat semakin besar pula
kecenderungan perusahaan mengadaptasi
diri terhadap keinginan para stakeholders-
nya.
Informasi yang diungkapkan dalam laporan
keuangan tahunan dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu pengungkapan wajib
(Mandatory disclosure) dan pengungkapan
sukarela (Voluntery disclosure).
Pengungkapan wajib merupakan
pengungkapan yang diharuskan oleh
peraturan yang berlaku, dalam hal ini adalah
peraturan yang ditetapkan oleh lembaga
yang berwenang. Sedangkan pengungkapan
sukarela adalah pengungkapan yang
melebihi dari yang diwajibkan.
Menurut Hendriksen (2002) Hartanti
(2005) ada tiga konsep pengungkapan yang
umumnya diusulkan, adalah sebagai
berikut : (1) Pengungkapan cukup (Adequate
disclosure). Pengungkapan cukup adalah
pengungkapan minimum yang disyaratkan
oleh peraturan yang berlaku, dimana angka
yang disajikan dapat diinterpretasikan
dengan benar oleh investor (2)
Pengungkapan wajar (Fair disclosure), yaitu
Pengungkapan yang wajar secara tidak
langsung menyiratkan suatu etika, yaitu
memberikan perlakuan yang sama kepada
semua pemakai laporan keuangan; (3)
Pengungkapan penuh (Full disclosure), yaitu
menyangkut penyajian informasi yang
relevan. Bagi sebagian orang pengungkapan
penuh berarti penyajian informasi secara
berlimpah sehingga tidak tepat. Menurut
mereka, terlalu banyak informasi akan
membahayakan. Karena penyajian rinci dan
yang tidak penting justru akan mengaburkan
informasi yang signifikan membuat laporan
keuangan sulit ditafsir.
Di Indonesia yang menjadi otoritas
pengungkapan wajib adalah Bapepam.
Setiap perusahaan publik diwajibkan
membuat laporan keuangan yang diaudit
oleh akuntan publik independen sebagai
sarana pertanggungjawaban, terutama
kepada pemilik modal. Bapepam melalui
Surat Keputusan Bapepam No. 06/PM/2000
tanggal 13 Maret 2000 tentang Pedoman
Penyajian Laporan Keuangan mensyaratkan
elemen-elemen yang seharusnya
diungkapkan dalam laporan keuangan
perusahaan-perusahaan publik di Indonesia.
Kemudian untuk pedoman penyajian dan
pengungkapan laporan keuangan perusahaan
publik industri manufaktur diatur melalui
Surat Edaran Ketua Bapepam No.
SE-02/PM/2002 tanggal 27 Desember 2002.
Dalam Surat Edaran tersebut total item
pengungkapan wajib oleh perusahaan
manufaktur adalah 68 item.
Menurut Murtanto (2006) Sulastini
(2007), pengungkapan kinerja perusahaan
seringkali dilakukan secara sukarela
(voluntary disclosure) oleh perusahaan.
Adapun alasan-alasan perusahaan
mengungkapkan kinerja sosial secara
sukarela antara lain:
1. Internal Decision Making
Manajemen membutuhkan informasi
untuk menentukan efektivitas informasi
sosial tertentu dalam mencapai tujuan sosial
perusahaan. Walaupun hal ini sulit
diidentifikasi dan diukur, namun analisis
secara sederhana lebih baik daripada tidak
sam sekali.
2. Product Differentiation
Manajer perusahaan memiliki insentif
untuk membedakan diri dari pesaing yang
tidak bertanggung jawab secara sosial
kepada masyarakat. Akuntansi kontemporer
tidak memisahkan pencatatan biaya dan
manfaat aktivitas sosial perusahaan dalam
laporan keuangan, sehingga perusahaan yang
tidak peduli sosial akan terlihat lebih sukses
daripada perusahaan yang peduli. Hal ini
mendorong perusahaan yang peduli sosial
untuk mengungkapkan informasi tersebut
sehingga masyarakat dapat membedakan
mereka dari perusahaan lain.
3. Enlightened Self-Interest
Perusahaan melakukan pengungkapan
untuk menjaga keselarasan sosialnya dengan
para stakeholder karena mereka dapat
mempengaruhi pendapatan penjualan dan
harga saham perusahaan.
Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI)
dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) Nomor 1 (revisi 2004)
Sulastini (2007) paragraf sembilan secara
implisit menyarankan untuk mengungkapkan
tanggung jawab akan masalah sosial sebagai
berikut :
“Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peran penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting”
Dalam Exposure Draft PSAK no 20
tahun 2005, Masnila (2008) tentang
Akuntansi Lingkungan bagian Pendahuluan
paragraph 01 dinyatakan bahwa :
”......perusahaan-perusahaan pada masa kini diharapkan atau diwajibkan untuk mengungkapkan informasi mengenai kebijakan dan sasaran-sasaran lingkungannya, program-program yang sedang dilakukan dan kos-kos yang terjadi karena mengejar tujuan-tujuan ini dan menyiapkan serta mengungkapkan risiko-risiko lingkungan. Dalam area akuntansi, inisiatif yang telah digunakan untuk memfasilitasi pengumpulan data dan untuk menigkatkan kesadaran perusahaan dalam hal terdapatnya implikasi keuangan dari masalah-masalah lingkungan”.
Bagian Definisi paragraf 08 dinyatakan :
”........Pengungkapan tambahan, bagaimanapun, diperlukan atau dianjurkan agar merefleksikan secara penuh berbagai dampak lingkungan yang timbul dari berbagai aktivitas dari suatu perusahaan atau industri khusus”.
Bagian Pengungkapan paragraf 41
dinyatakan seperti berikut:
”......... Pengungkapan yang demikian itu dapat dimasukkan dalam laporan keuangan, dalam catatan atas laporan keuangan atau, dalam kasus-kasus tertentu dalam suatu seksi laporan di luar laporan keuangan itu sendiri. ......”.
Berdasarkan pernyataan PSAK di atas,
menunjukkan kepedulian akuntansi terhadap
masalah-masalah sosial yang merupakan
pertanggungjawaban sosial perusahaan.
Belum adanya standar baku yang merinci
peraturan mengenai pengungkapan sosial
mengakibatkan perusahaan memiliki
keleluasaan dan kebebasan untuk
mengungkapkan informasi sosial tersebut.
Struktur kepemilikan dan pengungkapan
tanggungjawab sosial
Pengungkapan kinerja lingkungan,
sosial dan ekonomi bertujuan untuk menjalin
hubungan komunikasi yang baik dan efektif
antara perusahaan dengan publik dan
stakeholders lainnya tentang bagaimana
perusahaan telah mengintegrasikan
corporate social responsibilty (CSR): –
lingkungan dan sosial – dalam setiap aspek
kegiatan operasinya (Darwin, 2007).
Perusahaan juga dapat memperoleh
legitimasi dan memaksimalkan kekuatan
keuangannya dalam jangka panjang dengan
memperlihatkan tanggung jawab sosial
melalui pengungkapan CSR dalam media
termasuk dalam laporan tahunan perusahaan
(Oliver, 1991; Haniffa dan Coke, 2005; Ani,
2007) dan Kiroyan (2006). Hal ini
mengindikasikan bahwa perusahaan yang
menerapkan CSR mengharapkan akan
direspon positif oleh para pelaku pasar.
Kepemilikan asing dalam perusahaan
merupakan pihak yang dianggap concern
terhadap pengungkapan tanggung jawab
sosial perusahaan. Negara-negara luar
terutama Eropa dan United State merupakan
negara-negara yang sangat memperhatikan
isu-isu sosial; seperti pelanggaran hak asasi
manusia, pendidikan, tenaga kerja, dan isu
lingkungan seperti, efek rumah kaca,
pembalakan liar, serta pencemaran air. Hal
ini juga yang menjadikan dalam beberapa
tahun terakhir ini, perusahaan multinasional
mulai mengubah perilaku mereka dalam
beroperasi demi menjaga legitimasi dan
reputasi perusahaan (Simerly dan Li, 2001;
Fauzi, 2006) dalam joernalakuntansi 2010.
Struktur kepemilikan lain adalah
kepemilikan institusional, dimana umumnya
dapat bertindak sebagai pihak yang
memonitor perusahaan. Perusahaan dengan
kepemilikan institusional yang besar (lebih
dari 5%) mengindikasikan kemampuannya
untuk memonitor manajemen. Semakin
besar kepemilikan institusional maka
semakin efisien pemanfaatan aktiva
perusahaan dan diharapkan juga dapat
bertindak sebagai pencegahan terhadap
pemborosan yang dilakukan oleh
manajemen (Faizal, 2004 dalam Arif, 2006).
Hal ini berarti kepemilikan institusi dapat
menjadi pendorong perusahaan untuk
melakukan pengungkapan tanggung jawab
sosial.
Lebih lanjut dalam joernalakuntansi
2010, dalam posisi sebagai bagian dari
masyarakat, operasi perusahaan seringkali
mempengaruhi masyarakat sekitarnya.
Eksistensinya dapat diterima sebagai
anggota masyarakat, sebaliknya
eksistensinya pun dapat terancam bila
perusahaan tidak dapat menyesuaikan diri
dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat tersebut atau bahkan merugikan
anggota komunitas tersebut. Oleh karena itu,
perusahaan, melalui top manajemennya
mencoba memperoleh kesesuaian antara
tindakan organisasi dan nilai-nilai dalam
masyarakat umum dan publik yang relevan
atau stakeholder-nya (Dowling dan Pfeffer,
1975 dalam Haniffa fan Cooke, 2005; Ani,
2007). Keselarasan antara tindakan
organisasi dan nilai-nilai masyarakat ini
tidak selamanya berjalan seperti yang
diharapkan. Tidak jarang akan terjadi
perbedaan potensial antara organisasi dan
nilai-nilai sosial yang dapat mengancam
legitimasi perusahaan. Menurut Sethi dalam
Haniffa dan Cooke (2005); Ani (2007), hal
ini dapat menghancurkan legitimasi
organisasi yang berujung pada berakhirnya
eksistensi perusahaan.
Suchman (1995) dalam Barkemeyer
(2007) memberikan definisi mengenai
organisational legitimacy sebagai berikut:
“Legitimacy is a generalized perception or
assumption that the actions of an entity are
desirable, proper, or appropriate within
someocially constructed system of norms,
values, beliefs, and definitions”. Nasi, Nasi,
Philips, and Zyglidopoulos, 1997 dalam
Nurhayati, Brown, dan Tower, 2006 dalam
joernalakuntansi 2010, mengatakan bahwa
“Legitimacy theory focuses of the adequacy
of corporate social behaviour”. Ini berarti
bahwa society judge organisasi berdasarkan
atas image yang akan mereka ciptakan untuk
diri mereka sendiri. Selanjutnya organisasi
dapat menetapkan legitimasi mereka dengan
memadukan antara kinerja perusahaan
dengan ekspektasi atau persepsi publik
(Henderson et al, 2004, Nurhayati, et al,
2006).
Perusahaan multinasional atau dengan
kepemilikan asing utamanya melihat
keuntungan legitimasi berasal dari para
stakeholrder-nya dimana secara tipikal
berdasarkan atas home market (pasar tempat
beroperasi) yang dapat memberikan
eksistensi yang tinggi dalam jangka panjang
(Suchman, 1995 dalam Barkemeyer, 2007).
Pengungkapan tanggung jawab sosial
merupakan salah satu media yang dipilih
untuk memperlihatkan kepedulian
perusahaan terhadap masyarakat di
sekitarnya. Dengan kata lain, apabila
perusahaan memiliki kontrak dengan foreign
stakeholders baik dalam ownership dan
trade, maka perusahaan akan lebih didukung
dalam melakukan pengungkapan tanggung
jawab sosial. Penelitian Tanimoto dan
Suzuki (2005), dalam melihat luas adopsi
GRI dalam laporan tanggung jawab sosial
pada perusahaan publik di Jepang,
membuktikan bahwa kepemilikan asing pada
perusahaan publik di Jepang menjadi faktor
pendorong terhadap adopsi GRI dalam
pengungkapan tanggung jawab sosial.
Susanto (dalam Marwata, 2006),
meneliti luas pengungkapan sukarela dalam
laporan tahunan perusahaan yang terdaftar di
BEJ, menemukan pemilikan saham oleh
investor asing dalam penelitian ini tidak
memiliki hubungan dengan luas
pengungkapan sukarela dalam laporan
tahunan. Kepemilikan institusional adalah
kepemilikan saham perusahaan oleh institusi
keuangan, seperti perusahaan asuransi, bank,
dana pensiun, dan asset management (Koh,
2003; Veronica dan Bachtiar, 2005). Tingkat
kepemilikan institusional yang tinggi akan
menimbulkan usaha pengawasan yang lebih
besar oleh pihak investor institusional
sehingga dapat menghalangi perilaku
opportunistic manajer. Perusahaan dengan
kepemilikan institusional yang besar (lebih
dari 5%) mengindikasikan kemampuannya
untuk memonitor manajemen (Arif, 2006).
Shleifer and Vishny (1986) Barnae dan
Rubin (2005), bahwa institutional
shareholders, dengan kepemilikan saham
yang besar, memiliki insentif untuk
memantau pengambilan keputusan
perusahaan. Sebagai bentuk institusi
memerlukan pengungkapan CSR terjadi
pada perbankan Eropa, dimana perbankan di
Eropa menerapkan kebijakan dalam
pemberian pinjaman hanya kepada
perusahaan yang mengimplementasikan
CSR dengan baik. Barnae dan Rubin (2005)
dalam joernalakuntansi 2010, melakukan
penelitian untuk melihat CSR sebagai
konflik berbagai shareholder menunjukkan
hasil bahwa institutional ownership tidak
memiliki hubungan terhadap CSR.
Selanjutnya, Mani (2004) Kasmadi dan
Susanto (2006), menguji faktor-faktor yang
menentukan luas pengungkapan sukarela
dalam laporan tahunan perusahaan di India,
menemukan financial institution investment
tidak berhubungan secara signifikan
terhadap pengungkapan sukarela dalam
laporan tahunan perusahaan di India.
Anggraini (dalam Dumadia, 2009)
melakukan penelitian terhadap faktor-faktor
yang mempengaruhi keputusan perusahaan
untuk mengungkapkan informasi sosial di
dalam laporan keuangan tahunan pada
perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan variabel
prosentase kepemilikan manajemen, tingkat
leverage, biaya politis, dan profitabilitas.
Hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa persentase kepemilikan manajemen
dan tipe industri berpengaruh signifikan
terhadap kebijakan perusahaan dalam
mengungkapkan informasi sosial. Irawan
(2006) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi pengungkapan antara lain
saham publik dan status perusahaan, dimana
adanya perbedaan dalam proporsi saham
yang dimiliki oleh investor luar dapat
mempengaruhi kelengkapan pengungkapan
oleh perusahaan. Hal ini karena semakin
banyak pihak yang membutuhkan informasi
tentang perusahaan, semakin banyak pula
detail-detail butir yang dituntut untuk dibuka
dan dengan demikian pengungkapan
perusahan semakin luas. Dessy Amalia
(2005) Kumala Dewi (2007) hasil penelitian
menujukkan bahwa ukuran perusahaan dan
struktur kepemilikan memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap luas pengungkapan
sukarela dalam laporan tahunan perusahaan.
SIMPULAN
Perusahaan memiliki kewajiban sosial
atas apa yang terjadi disekitar lingkungan
masyarakat. Selain menggunakan dana dari
pemegang saham, perusahaan juga
menggunakan dana dari sumber daya lain
yang berasal dari masyarakat (konsumen)
sehingga hal yang wajar jika masyarakat
mempunyai harapan tertentu terhadap
perusahaan. Tanggung jawab sosial adalah
suatu bentuk pertanggungjawaban yang
seharusnya dilakukan perusahaan, atas
dampak positif maupun dampak negatif yang
ditimbulkan dari aktivitas operasionalnya,
dan mungkin sedikit-banyak berpengaruh
terhadap masyarakat internal maupun
eksternal dalam lingkungan perusahaan.
Selain melakukan aktivitas yang berorientasi
pada laba, perusahaan perlu melakukan
aktivitas lain, misalnya aktivitas untuk
menyediakan lingkungan kerja yang aman
bagi karyawannya, menjamin bahwa proses
produksinya tidak mencemarkan lingkungan
sekitar perusahaan, melakukan penempatan
tenaga kerja secara jujur, menghasilkan
produk yang aman bagi para konsumen, dan
menjaga lingkungan eksternal untuk
mewujudkan kepedulian sosial perusahaan.
Disclosure dalam laporan keuangan
tahunan merupakan sumber informasi untuk
pengambilan keputusan investasi. Keputusan
investasi sangat tergantung dari mutu dan
luas pengungkapan yang disajikan dalam
laporan tahunan. Mutu dan luas
pengungkapan laporan keuangan tahunan
masing-masing berbeda. Perbedaan ini
terjadi karena karakteristik dan filosofi
manajemen masing-masing perusahaan juga
berbeda. Selain digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan, disclosure dalam
laporan keuangan tahunan juga digunakan
sebagai sarana pertanggungjawaban
manajemen keuangan atas sumber daya yang
dipercayakan.
Dengan adanya PSAK No 1 (revisi
2004) diharapkan menambah kesadaran
perusahaan untuk melaporkan kegiatan
sosialnya terhadap lingkungan sekitar
perusahaan. Geliat untuk selalu
mengungkapkan tanggung jawab sosial
dalam bentuk CSR reporting sudah nampak
dan perusahaan mulai tidak ragu lagi. Bagi
perusahaan dengan menjalankan praktik
akuntansi dan pelaporan atas aktivitas
sosialnya diharapkan dapat memberikan
nilai tambah yang diperoleh dari para
stakeholdernya. Namun begitu tidak semua
perusahaan mengungkapkan aktivitas
sosialnya.
Pengungkapan CSR berguna bagi
perusahaan selain untuk nilai tambah
perusahaan juga mengurangi biaya sosial
yang timbul nanti dari aktivitas perusahaan.
Selain itu perusahaan juga dapat
memperoleh legitimasi dengan
memperlihatkan tanggung jawab sosial
melalui pengungkapan CSR dalam media
termasuk dalam laporan tahunan perusahaan.
Perusahaan yang menerapkan CSR
mengharapkan akan direspon positif oleh
para pelaku pasar. Kepemilikan asing dalam
perusahaan merupakan pihak yang dianggap
concern terhadap pengungkapan tanggung
jawab sosial perusahaan. Struktur
kepemilikan lain adalah kepemilikan
institusional, dimana umumnya dapat
bertindak sebagai pihak yang memonitor
perusahaan. Kepemilikan institusi dapat
menjadi pendorong perusahaan untuk
melakukan pengungkapan tanggung jawab
sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Irawan, 2006, “Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Jakarta”, Skripsi S1, Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta.
David S.Gelb; Joyce A.Strawser, “Corporate Social Responsibility and Financial Disclosures:An Alternative Explanation for Increased Disclosure”, Journal of Business Ethics, Vol. 33, No. 1 (Sep., 2001) pp 1-13.
Dewi Hartanti, 2005 : “ Pengaruh Faktor-faktor Fundamental Terhadap Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta”, Skripsi S1, Universitas Negeri Semarang.
Dessy Amalia, 2005, “Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Luas Pengungkapan Sukarela (Voluntary Disclosure) Pada Laporan Tahunan Perusahaan”, Jurnal Akuntansi Pemerintah, Vol 1, No. 2, November 2005
Djoe2x’s Blog-http://djoe2x.wordpress.com
Edi Subiyantoro, Saarce Elsye Hatane, “Dampak Perubahan Kultur Masyarakat Terhadap Praktik Pengungkapan Laporan Keuangan Perusahaan Publik di Indonesia”, Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Vol. 9, No. 1, Maret 2007: 18-29
http://joernalakuntansi.wordpress.com
http://www.dumadias.blogspot.com
http://www.Theowordpower’s.webblog.com
Kieso Donald E; Jerry J.Weygandt; Terry D. Warfield, 2002, “Intermediate
Accounting”, Edisi Kesepuluh, Jilid 3, Erlangga, Jakarta.
Kumala Dewi, 2009 “ Pengaruh Luas Pengungkapan Laporan Keuangan Tahunan Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Indonesia Terhadap Keputusan oleh Investor”, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, Jakarta.
Sri Sulastini, 2007, “Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Social Disclosure Perusahaan Manufaktur yang telah go public”, Skripsi S1 Universitas Negeri Semarang.
PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL DAN KUALITAS AUDIT
TERHADAP PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONCIBILITY (CSR)
Imannuel Wiryawan (Staf Pengajar Fak Ekonomi Univ Kristen Imanuel)
Martinus Budiantara (Staf Pengajar Fak Ekonomi Univ Mercu Buana Yogyakarta)
Abstract
Companies are sometimes less aware of the importance of environment upon the success of the business. Problems related to the environment, such as environmental pollution, should not occur if the company's activity is accompanied by a concern for society and the environment. Such conditions require that firms are not only oriented towards profit, but also accompanied by attention to the surrounding environment. This study examines the effect of audit quality and institutional ownership of corporate social disclosure responcibility.Key word: corporate social responcibility, institutional ownership, audit quality
PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh
aktivitas bisnis yang ada di suatu negara.
Perusahaan-perusahaan akan saling bersaing
untuk menjadi pemimpin di bidang industri
masing-masing. Pada mulanya, keberhasilan
perusahaan tidak banyak diikuti dengan
kepedulian terhadap lingkungan sekitar.
Perusahaan kurang menyadari akan arti
pentingnya lingkungan terhadap kesusksesan
usaha. Permasalahan yang terkait dengan
lingkungan, seperti pencemaran lingkungan,
seharusnya tidak terjadi apabila aktivitas
perusahaan disertai dengan suatu kepedulian
terhadap masyarakat dan lingkungan.
Kondisi seperti ini mengharuskan
perusahaaan tidak hanya berorientasi
terhadap laba saja, namun juga disertai
dengan perhatian terhadap lingkungan
disekitarnya.
Dua motivasi yang mendasari perusahaaan
dalam mengungkapkan aktivitas CSR
(Corporate Social Respocibility) dalam
laporan keuangan. Dua motivasi tersebut
didasarkan pada teori stakeholders dan teori
legitimasi. Dalam teori stakeholders
disebutkan bahwa perusahaan akan memilih
stakeholders yang dianggap penting dan
mengambil tindakan yang dapat
menghasilkan hubungan harmonis antara
perusahaan dan stakeholdesrnya. Oleh
karena itu, perusahaan mempertimbangkan
aktivitas serta pengungkapan CSR dengan
harapan agar mempunyai hubungan yang
baik dengan para stakeholders perusahaan.
Teori legitimasi menyebutkan bahwa
perusahaan sebaiknya menunjukkan
berbagai aktivitas sosial perusahaan agar
tujuan perusahaan diterima masyarakat. Oleh
karena itu, perusahaan mempertimbangkan
aktivitas serta pengungkapan CSR dengan
harapan memperoleh legitimasi dari publik.
Perusahaan menggunakan pengungkapan
CSR untuk membenarkan atau melegitimasi
aktivitas perusahaan di mata masyarakat.
Hal ini dikarenakan, pengungkapan aktivitas
CSR akan menunjukkan tingkat kepatuhan
suatu perusahaan seperti kepatuhan terhadap
norma-norma yang berlaku, serta harapan-
harapan publik kepada perusahaaan tersebut.
Berdasarkan studi empirik,
menunjukkan bahwa aktivitas pengungkapan
CSR beragam pada semua perusahaan
industri. Studi empirik lain juga
menunjukkan bahwa perilaku pengungkapan
CSR sangat penting dan secara sistematis
dipengaruhi oleh variasi perusahaan dan
karakteristik industri yang mempengaruhi
biaya-manfaat pengungkapan.
Beberapa literatur penelitian yang
dilakukan oleh Cooke (2005), Hossain et al.
(1995), Neu et al.(1998), dan Patten (1991),
dalam Reverte (2008) menunjukkan bahwa
terdapat beberapa variabel yang
kemungkinan menjelaskan variasi luasnya
pengungkapan CSR dalam laporan tahunan.
Munif (2010) menguji pengaruh ukuran
perusahaan (zise), keuntungan (profitability),
struktur kepemilikan (ownership structure),
leverage, sensitivitas industri (industry
sensitivity), serta pengungkapan media
(media exposure) terhadap CSR.
Pada umumnya perusahaan yang besar
mengungkapkan lebih banyak informasi
dibandingkan dengan perusahaan kecil.
Perusahaan besar pada umumnya
mempunyai jenis produk yang banyak,
sistem informasi yang canggih, serta struktur
kepemilikan yang lengkap, sehingga
memungkinkan dan membutuhkan tingkat
pengungkapan secara luas ( Suripto,
1999,Zaleha, 2005)
Penelitian yang dilakukan oleh Adams
et al. (1998), Cullen and Christopher (2002),
Hamid (2004), Haniffa dan Cooke (2005),
Hossain et al. (1995), Neu et al.(1998), dan
Patten (1991), dalam Reverte (2008)
menunjukkan hubungan yang signifikan
antara ukuran perusahaan dengan
pengungkapan sosial. Sementara Hackston
dan Milne (1996), Zaleha (2005) dan
Anggraeni (2006) tidak menemukan
hubungan dari kedua variabel tersebut.
Sensitivitas industri dapat didefinisikan
sebagai seberapa besar tingkat industri
tersebut bersinggungan langsung dengan
konsumen dan kepentingan luas lainnya.
Oleh karena itu, pada umumnya perusahaan
yang mempunyai sensitivitas industri yang
tinggi terhadap lingkungannya akan
memperoleh perhatian yang tinggi mengenai
lingkungan tersebut dibandingkan dengan
perusahaan-perusahaan yang mempunyai
sensitivitas industri yang lebih rendah
terhadap lingkungannya. Hal ini dikarenakan
perusahaan tersebut mempunyai dampak
potensi yang lebih tinggi dalam
mempengaruhi kondisi serta keberadaan
lingkungan tersebut (Branco dan Rodrigues,
2008).
Pada beberapa penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa perusahaan-
perusahaan yang proses manufaktur
perusahaan mempunyai pengaruh negatif
pada lingkungan, maka pengungkapan dan
pelaporan akan lebih informative
dibandingkan dari industri lainnya (Reverte,
2008). Penelitian yang dilakukan oleh
Anggraini (2006) menunjukkan adanya
pengaruh yang signifikan antara sensitivitas
industri dengan pengungkapan tanggung
jawab sosial.
Pada umumnya, perusahaan dengan tingkat
leverage yang tinggi akan mengurangi
pengungkapan tanggung jawab sosial yang
dibuatnya agar tidak menjadi perhatian dari
para debtholders. Brammer dan Pavelin
(2008) dalam Reverte (2008) juga
menyatakan bahwa tingkat utang yang
rendah akan membuat para kreditor
perusahaan mengurangi tekanan yang
mendesak kebijakan manajer dalam aktivitas
CSR yang secara tidak langsung
mempengaruhi kesuksesan keuangan
perusahaa
Perusahaan yang mempunyai struktur
kepemilikan yang terdispersi, pada
umumnya akan memperbaiki kebijakan
pelaporan keuangan perusahaan dengan
menggunakan pengungkapan CSR untuk
mengurangi asimetri informasi. Sedangkan
perusahaan dengan struktur kepemilikan
yang terpusat pada umumnya lebih kurang
termotivasi untuk mengungkapkan informasi
tambahan pada kegiatan CSR perusahaan.
Hal ini dikarenakan para shareholder pada
perusahaan tersebut dapat memperoleh
informasi secara langsung dari perusahaan
(Reverte, 2008). Penelitian yang dilakukan
Brammer and Pavelin (2008); Prencipe
(2004); dalam Reverte (2008) menunjukkan
hubungan yang positif antara struktur
kepemilikan dan pengungkapan tanggung
jawab sosial.
Pengungkapan media merupakan salah
satu sumber utama pada informasi
lingkungan. Media mempunyai peran
penting pada pergerakan mobilisasi sosial,
misalnya kelompok yang tertarik pada
lingkungan (Patten, 2002b dalam Reverte,
2008). Pengungkapan CSR pada media,
diharapkan perusahaan akan mempunyai
citra yang positif di mata publik, sehingga
perusahaan mendapatkan legitimasi atas
praktik CSR. Hal inilah yang menjadi bagian
pada proses membangun institusi,
membentuk norma yang diterima dan
legitimasi praktik CSR.
Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh kualitas audit
terhadap pengungkapan corporate
social responcibility (CSR).
2. Bagaimana pengaruh kepemilikan
institusional terhadap pengungkapan
corporate responsibility (CSR)
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh kualitas
audit terhadap pengungkapan
Corporate Social Respocibility (CSR).
2. Untuk mengetahui pengaruh
kepemilikan institusional terhadap
pengungkapan Corporate Social
Responcibility (CSR).
Tinjauan dan Pengembangan Hipotesis
Corporate Social Responsibility (CSR)
Seperti dikemukakan oleh Robins
(2005) adalah sebagai berikut:
CSR is a concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and stakeholder relations on a voluntary basis; it is about managing companies in a socially responsible manner.
Pengertian CSR menurut Wikipedia Indonesia menyatakan bahwa :
“ Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan “
Dari kedua definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa CSR dijalankan
terintegrasi dengan bisnis perusahaan,
memperhatikan kepentingan stakeholders
(pemangku kepentingan) dengan harapan
memberikan manfaat/kesejahteraan bagi
masyarakat.
Menurut Daniri (2007) CSR lahir dari
desakan masyarakat atas perilaku
perusahaan yang biasanya selalu fokus untuk
memaksimalkan laba, mensejahterakan para
pemegang saham, dan mengabaikan
tanggung jawab sosial seperti perusakan
lingkungan, eksploitasi sumber daya alam,
dan lain sebagainya. Konsep dan praktik
CSR bukan lagi dipandang sebagai suatu
cost center tetapi juga sebagai suatu strategi
perusahaan yang dapat memacu dan
menstabilkan pertumbuhan usaha secara
jangka panjang. Oleh karena itu penting
untuk mengungkapkan CSR sebagai wujud
pelaporan tanggung jawab sosial kepada
masyarakat.
Good Corporate Governance (GCG)
Menurut Daniri (2004), dengan
mengutip riset Berle dan Means pada tahun
1934, isu GCG muncul karena terjadinya
pemisahan antara kepemilikan dan
pengelolaan perusahaan. Pemisahan ini
memberikan kewenangan kepada pengelola
(manajer/direksi) untuk mengurus jalannya
perusahaan, seperti mengelola dana dan
mengambil keputusan perusahaan atas nama
pemilik. Pemisahan ini didasarkan pada
principal-agency theory yang dalam hal ini
manajemen cenderung akan meningkatkan
keuntungan pribadinya daripada tujuan
perusahaan. Selain memiliki kinerja
keuangan yang baik, perusahaan juga
diharapkan memiliki tata kelola yang baik.
Corporate Governance atau sering disebut
dengan tata kelola perusahaan mulai banyak
dibicarakan sejak terjadinya berbagai
skandal di dunia bisnis yang melibatkan
manipulasi akuntansi. Skandal akuntansi
yang terjadi pada perusahaan-perusahaan
besar seperti Enron, Xerox, Tyco, Global
Crossing, dan Worldcom. Terungkapnya
skandal akuntansi mengakibatkan
bekurangnya kepercayaan masyarakat
khususnya masyarakat keuangan dalam
pasar uang dan pasar modal, salah satu
indikatornya adalah turunnya harga saham
secara drastis dari perusahaan yang terkena
kasus.
Persoalan tata kelola perusahaan
menjadi semakin jelas terlihat. Negara
Amerika Serikat yang dikenal sebagai
negara acuan penerapan tata kelola
perusahaan yang baik menjadi diragukan
karena kasus-kasus manipulasi akuntansi.
Ada tuduhan yang menyebutkan bahwa
pemicu munculnya kasus manipulasi justru
karena mekanisme tata kelola perusahaan di
Amerika Serikat (Mayangsari, 2003).
Penerapan Corporate Governance
diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk
memberikan keyakinan kepada para investor
akan menerima return atas dana yang
diinvestasikan, dan yakin bahwa manajer
tidak akan menggelapkan atau tidak
menginvestasikan dana ke proyek-proyek
yang tidak menguntungkan dan berkaitan
dengan bagaimana investor mengontrol para
manajer.
Corporate Governance meliputi
serangkaian hubungan antara manajemen
perusahaan, dewan direksinya (dewan
direksi dan dewan komisaris), para
pemegang saham dan stakeholders lainnya.
Corporate Governance juga merupakan
suatu yang memfasilitasi penentuan sasaran-
sasaran dari suatu perusahaan, dan sebagai
sarana pencapaian sasaran dan sarana
menentukan teknik monitoring kinerja
(OECD, 1999). Corporate Governance
harus memberikan insentif yang tepat bagi
dewan direksi dan manajemen dalam rangka
mencapai sasaran, harus dapat memfasilitasi
monitoring yang efektif dan mendorong
penggunaan sumber daya yang efektif.
Penerapan good corporate governance
diyakini mampu menciptakan kondisi yang
kondusif dan landasan yang kokoh untuk
menjalankan operasional perusahaan yang
baik, efisien dan menguntungkan. Penerapan
good corporate governance dapat didorong
dari dua sisi, yaitu etika dan peraturan.
Dorongan dari etika (ethical driven) datang
dari kesadaran individu-individu, pelaku
bisnis untuk menjalankan praktik bisnis yang
mengutamkan kelangsungan hidup
perusahaan, kepentingan stakeholders, dan
menghindari cara-cara menciptakan
keuntungan sesaat. Di sisi lain, dorongan
dari peraturan (regulatory driven) memaksa
perusahaan untuk patuh terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kedua
pendekatan ini memiliki kekuatan dan
kelemahannya masing-masing dan seharusya
saling melengkapi untuk menciptakan
lingkungan bisnis yang sehat (KNKG,
2006).
Tujuan dari Corporate Governance
adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi
semua pihak yang berkepentingan
(stakeholders). Secara lebih rinci,
terminologi Corporate Governance dapat
dipergunakan untuk menjelaskan peranan
dan perilaku dari Dewan Direksi, Dewan
Komisaris, pengurus (pengelola) perusahaan,
dan para pemegang saham (FCGI, 2001).
Sebagaimana yang diuraikan oleh OECD
(2004), yang dikutip oleh FCGI dalam
terbitannya ada empat unsur penting dalam
CG yaitu:
a. Keadilan (Fairness), yaitu kepastian
perlindungan atas hak seluruh pemegang
dari penipuan (fraud) dan penyimpangan
lainnya serta adanya pemahaman yang
jelas mengenai hubungan berdasarkan
kontrak diantara penyedia sumber daya
perusahaan dan pelanggan.
b. Transparansi (Transparancy), yaitu
keterbukaan mengenai informasi kinerja
perusahaan, baik ketepatan waktu
maupun akurasinya. Hal ini berkaitan
dengan kualitas informasi akuntansi
yang dihasilkan.,
c. Akuntabilitas (Accountability), yaitu
penciptaan sistem pengawasan yang
efektif berdasarkan pembagian
wewenang, peranan, hak dan tanggung
jawab dari pemegang saham, manajer,
dan auditor.
d. Pertanggungjawaban (Responsibility),
yaitu pertanggungjawaban perusahaan
kepada stakeholders dan lingkungan
dimana perusahaan itu berada. CG
timbul karena kepentingan perusahaan
untuk memastikan kepada pihak
penyandang dana (principal/investor)
bahwa dana yang ditanamkan digunakan
secara tepat dan efisien. Selain itu
dengan CG, perusahaan memberikan
kepastian bahwa manajemen (agent)
bertindak yang terbaik demi kepentingan
perusahaan.
Penerapan good corporate governance
diyakini mampu menciptakan kondisi yang
kondusif dan landasan yang kokoh untuk
menjalankan operasional perusahaan yang
baik, efisien dan menguntungkan. Coombes
dan Watson (2000) dalam Fachrurozi (2007)
menyatakan bahwa pemegang saham saat ini
sangat aktif dalam meninjau kinerja
perusahaan karena pemegang saham
menganggap bahwa CG yang lebih baik
akan memberikan imbal hasil yang lebih
tinggi bagi pemegang saham. Tujuh puluh
lima persen dari investor mengatakan bahwa
praktek CG paling tidak sama pentingnya
dengan kinerja keuangan ketika investor
mengevaluasi perusahaan untuk tujuan
investasi. Bahkan 80% dari investor
mengatakan akan membayar lebih mahal
untuk saham perusahaan yang memiliki CG
yang lebih baik (wellgoverned company atau
WGC) dibandingkan perusahaan lain dengan
kinerja keuangan relatif sama.
Penelitian Terdahulu
Klapper dan Love (2002) dalam
Darmawati, dkk.(2005) menemukan adanya
hubungan positif antara corporate
governance dengan kinerja perusahaan yang
diukur dengan ROA dan Tobins Q.
Penemuan penting lain adalah bahwa
penerapan corporate governance di tingkat
perusahaan lebih memiliki arti dalam Negara
berkembang dibandingkan dalam negara
maju.
Wahyuni (2005) meneliti pengaruh
antara Current ratio, ROE, Total Asset Turn
Over dan DER terhadap harga saham.
Hasilnya menunjukkan bahwa current ratio,
ROE, total asset turn over (TAT), dan DER
berpengaruh secara signifikan terhadap
harha saham.
Siallagan dan Machfoedz (2006)
meneliti hubungan mekanisme corporate
governance, kualitas laba dan nilai
perusahaan. Dalam penelitian ini mekanisme
corporate governance diproksi oleh
kepemilikan manajerial, keberadaan komite
audit, dan proporsi dewan komisaris
independen. Hasil menunjukkan bahwa
mekanisme corporate governance
mempengaruhi nilai perusahaan (Tobin’s Q).
Yuniasih dan Wirakusuma (2007)
meneliti pengaruh kinerja keuangan terhadap
nilai perusahaan dengan
mempertimbangkan CSR dan corporate
governance sebagai variabel moderasi.
Kinerja keuangan diproksikan dengan ROA,
sedangkan corporate governance
diproksikan dengan kepemilikan manajerial.
Hasilnya mengindikasikan bahwa ROA
berpengaruh positif terhadap nilai
perusahaan, pengungkapan CSR dapat
memoderasi hubungan antara ROA dengan
nilai perusahaan, akan tetapi kepemilkan
manajerial tidak dapat memoderasi
hubungan antara ROA dengan nilai
perusahaan.
Nurkhin (2009) meneliti corporate
governance dan profitabilitas, pengaruhnya
terhadap pengungkapan tanggung jawab
sosial perusahaan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Profitabilitas terbukti
berpengaruh positif terhadap CSR. Rahayu
Sri (2010) dalam penelitian menemukan
bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh
signifikan terhadap hubungan antara ROE
terhadap Tobins Q, pengungkapan CSR
tidak mempengaruhi hubungan antara
kinerja keuangan dan nilai perusahaan.
Adhi Cahya Bramantya (2010) dalam
penelitiannya menemukan bahwa kinerja
keuangan yang terdiri dari rasio Size, ROA,
dan Leverage berpengaruh secara simultan
terhadap pengungkapan CSR. Secara parsial
kinerja keuangan yang berpengaruh terhadap
pengungkapan CSR adalah variabel Size dan
Leverage.
Hipotesis
H1 : Kualitas Audit berpengaruh positip terhadap pengungkapan CSR.
H2 : Struktur kepemilikan institusional berpengaruh terhadap pengungkapan CSR
Pengungkapan CSRKualitas Audit
Kepemilikan Institusional
H3 : Kualitas Audit dan struktur kepemilikan institusional secara bersama sama mempengaruhi pengungkapan CSR
METODE PENELITIAN
Populasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah seluruh perusahaan
yang termasuk dalam kelompok industri
manufaktur yang telah terdaftar di BEI.
Dipilihnya satu kelompok industry yaitu
industri manufaktur sebagai populasi
dimaksudkan untuk menghindari bias yang
disebabkan oleh efek industri (industrial
effect), dan selain itu sector manufaktur
memiliki jumlah terbesar perusahaan
dibandingkan sektor lainnya.
Sampel
Sampel penelitian ditentukan
berdasarkan purposive sampling yang berarti
pemilihan sampel berdasarkan kriteria
tertentu. Adapun kriteria perusahaan
manufaktur yang dijadikan sampel antara
lain adalah seperti berikut: (a) Semua
perusahaan yang termasuk dalam kelompok
industri manufaktur yang terdaftar di BEI
dan mempublikasikan laporan keuangan
tahun 2009; ((b) Perusahaan sampel tidak
mengalami delisting selama periode
pengamatan; (c) Tersedia laporan keuangan
perusahaan secara lengkap pada tahun 2009,
baik secara fisik maupun melalui website
www.idx.co.id atau pada website masing-
masing perusahaan; (d) Memiliki data
keuangan yang berkaitan dengan variabel
penelitian secara lengkap.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder. Data
penelitian diambil dari laporan tahunan
perusahaan yang telah diaudit dan
dipublikasikan. Data diperoleh antara lain
dari Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id).
Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode dokumentasi,
yaitu mempelajari catatan-catatan
perusahaan yang diperlukan yang terdapat
didalam annual report perusahaan yang
menjadi sampel penelitian seperti informasi
pengungkapan CSR, kualitas audit, struktur
kepemilikan institusional, dan data lain yang
diperlukan. Pengukuran kinerja CSR adalah
melalui laporan kegiatannya, yakni dengan
metode content analysis yang merupakan
suatu cara pemberian skor pada pengukuran
pengungkapan sosial laporan tahunan yang
dilakukan dengan pengamatan mengenai ada
tidaknya suatu item informasi yang
ditentukan dalam laporan tahunan, apabila
item informasi tidak ada dalam laporan
keuangan maka diberi skor 0, dan jika item
informasi yang ditentukan ada dalam laporan
tahunan maka diberi skor 1.
Variabel Independen
Kualitas Audit
DeAngello (1981) mendefinisikan
audit quality sebagai “pasar menilai
kemungkinan bahwa auditor akan
memberikan a) penemuan mengenai suatu
pelanggaran dalam sistem akuntansi klien;
dan b) adanya pelanggaran dalam
pencatatannya.“ Pada public sector, GAO
(1986) mendefinisikan audit quality yaitu
pemenuhan terhadap standar profesional dan
terhadap syarat-syarat sesuai perjanjian,
yang harus dipertimbangkan. Pengertian lain
yang digunakan berkaitan dengan studi
mengenai audit quality adalah analisis
terhadap kualitas yang ditinjau dari aturan
yang dibuat oleh aparatur pemerintah.
Kemudian dari tiga pendekatan tersebut
Schroeder (1986) dan Carcello (1992)
mengidentifikasi adanya hubungan antara
atribut kualitas audit dan kualitas audit yang
dirasakan (dalam Lowensohn, 2007).
Variabel Dependen Pengungkapan CSR
Pengungkapan CSR ad pengungkapan
informasi yang berkaitan dengan tanggung
jawab perusahaan di dalam laporan tahunan.
Pengukuran CSR mengacu pada 78 item
pengungkapan yang digunakan oleh Siregar
(2008). Pengukuran variabel ini dengan
indeks pengungkapan sosial, selanjutnya
ditulis CSR dengan membandingkan jumlah
pengungkapan yang diharapkan.
Pengungkapan sosial merupakan data
yang diungkap oleh perusahaan berkaitan
dengan aktifitas sosialnya yang meliputi 13
item lingkungan, 7 item energi, 8 item
kesehatan dankeselamatan kerja, 29 item
lain-lain tenaga kerja, 10 item produk, 9 item
keterlibatan masyarakat, dan 2 item umum.
Metode Analisis
Penelitian ini diuji dengan
menggunakan teknik analisis regresi linear
sederhana. Sebelum analisis dilaksanakan,
terlebih dahulu perlu dilakukan uji asumsi
klasik untuk menghasilkan nilai parameter
model penduga yang sah. Nilai tersebut akan
terpenuhi jika hasil uji asumsi klasiknya
memenuhi asumsi normalitas, serta tidak
terjadi heteroskedastisitas, autokorelasi, dan
multikolinearitas.
Uji Autokorelasi
Correlations
Indeks
CSR INSTUKA
D
Pearson Correlation
Indeks CSR 1.000 .093 .364
INST .093 1.000 -.054
UKAD .364 -.054 1.000
Sig. (1-tailed)
Indeks CSR . .172 .000
INST .172 . .290
UKAD .000 .290 .
N Indeks CSR 107 107 107
INST 107 107 107
UKAD 107 107 107
Uji Signifikansi/Pengaruh Simultan (Uji Statistik
F)
ANOVAb
ModelSum of Squares df
Mean Square F Sig.
1 Regression .025 2 .013 8.824 .000a
Residual .148 104 .001
Total .173 106
a. Predictors: (Constant), UKAD, INST
b. Dependent Variable: Indeks CSR
Dari hasil uji Anova diperoleh
bahwa kepemilikan institusional dan
kualitas audit secara bersama-sama
berpengaruh terhadap pengungkapan
CSR. Hal ini dapat dilihat dari nilai
signifikasnsi < 0,05
Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig.B Std. Error Beta1 (Constant) -.014 .021 -.697 .488
INST .019 .015 .113 1.239 .218UKAD .022 .005 .370 4.075 .000
a. Dependent Variable: Indeks CSR
Dari hasil perhitungan uji t, dapat
dilihat bahwa kepemilikan institusional
secara parsial tidak berpengaruh terhadap
pengungkapan CSR. Hal ini dapat dilihat
dari nilai Sig > 0,05. Sedangkan kualitas
audit secara parsial berpengaruh terhadap
pengungkapan CSR.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Fr Reni Retno. 2006. ”Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta)”. Makalah Disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntansi Ke-9. Padang, 23 – 26 Agustus.
Branco, M. C. dan Rodrigues, L. L. 2008. “Factors Influencing Social Responsibility Disclosure by Portuguese Companies”. Journal of Business Ethics (2008) 83:685–701 DOI 10.1007/s10551-007-9658-z.
Daniri, Mas Achmad 2009. “Mengukur Kinerja Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Informasi CSR Sangat Terbatas, Bisnis Indonesia, 8 Juni 2009.
Daniri, Mas Achmad, 2008, “Jadikan GCG Bermakna”, Bisnis Indonesia, 21 Desember 2008.
Hasyir, Dede Abdul, 2009, “Pengungkapan Informasi Pertanggungjawaban Sosial Pada Laporan Tahunan Perusahaan ‐ Perusahaan Publik di Bursa Efek Jakarta”. Working Paper in Accounting and Finance, Universitas Padjajaran Bandung.
Herawaty, Vinola, 2008, “Peran Praktek Corporate Governance Sebagai Moderating Variable Dari Pengaruh Earnings Management Terhadap Nilai Perusahaan”, Simposium Nasional Akuntansi 11 Pontianak 23-24 Juli 2008.
Herdinata, Christian, 2008, “Good Corporate Governance vs Bad Corporate Governance: Pemenuhan Kepentingan Antara Para pemegang Saham Mayoritas dan Pemegang
Saham Minoritas”, The 2nd National Conference UKWMS, Surabaya.
IICG, 22 Februari 2010, “Corporate Governance”, http://www.iicg.org.
Medley, Patrick. 1997. “Environmental Accounting – What Does It Mean to Professional Accountants? Journal of Accounting Auditing & Accountability”. Vol.10 No.4. p. 594-600.
Midiastuty, Pratana dan Machfoedz, Mas’udz, 2003, “Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba”, Simposium Nasional Akuntansi VI.
Nurlela, Rika dan Islahuddin, 2006, “Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen Sebagai Variabel Moderating”, Universitas Syah Kuala.
Rosmasita, Hardhina, 2007, “Faktor-faktor Yang Mempengari Pengungkapan Sosial (Social Disclosure) Dalam Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan Manufaktur di BEJ”, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Sabeni, Arifin, 2005, “Peran Akuntan Dalam Menegakkan Prinsip Good Corporate Governance (Tinjauan Perspektif Agency Theory)”, Pidato Pengukuhan Guru Besar , Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Sekaran, Uma, 2006, “Metodologi Penelitian Untuk Bisnis, Edisi 4”, Salemba Empat, Jakarta.
Siallagan, Hamonangan dan Machfoedz, Mas’udz, 2006, “Mekanisme Corporate Governance, Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan”, Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang.
Siregar, Baldric, 2008, “ Seminar Peran Akuntan dalam Pengukuran CSR”, Ina Garuda Yogyakarta, 11 Desember 2008.
www.srsn.com
www.yahoofinance.com
Yuniasih, Ni Wayan dan Wirakusuma, Made Gede, 2007, ”Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Pengungkapan Corporate Social Responsibility Dan Good Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi”, Universitas Udayana, Bali.