DISKUSI

6
DISKUSI Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 27 tahun di bangsal penyakit dalam RSUP DR. M.Djamil dengan diagnosis: MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome) DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) sekunder ec sepsis Syok Sepsis ec BP (HAP) Penurunan kesadaran ec uremic encephalopati P1A0H0 post partus prematurus pervaginam + PEB post regimen MgSO4 dengan o AKI RIFLE F o HELLP syndrome Ileus paralitik ec gangguan elektrolit Pasien didiagnosis sepsis berdasarkan kriteria International Sepsis Definitions Conference 2001 dan International Guideline for Management Sepsis 2012 meliputi demam lebih dari 38,3C, denyut jantung >90x/menit, takipneu, perubahan status mental dan leukopenia. 5 Pada pasien ini diberikan inotropik dobutamin. Dobutamin memiliki efek β1 yang kuat, dan efek β2 dan α yang lemah, menyebabkan peningkatan kardiak output, tekanan darah, denyut jantung, dan menurunkan resistensi vaskuler. Dosis dobutamin yang diberikan pada pasien dengan

description

diskusi

Transcript of DISKUSI

DISKUSI

DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 27 tahun di bangsal penyakit dalam RSUP DR. M.Djamil dengan diagnosis:

MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome)DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) sekunder ec sepsis

Syok Sepsis ec BP (HAP)Penurunan kesadaran ec uremic encephalopati P1A0H0 post partus prematurus pervaginam + PEB post regimen MgSO4 dengan AKI RIFLE FHELLP syndromeIleus paralitik ec gangguan elektrolitPasien didiagnosis sepsis berdasarkan kriteria International Sepsis Definitions Conference 2001 dan International Guideline for Management Sepsis 2012 meliputi demam lebih dari 38,3C, denyut jantung >90x/menit, takipneu, perubahan status mental dan leukopenia.5 Pada pasien ini diberikan inotropik dobutamin. Dobutamin memiliki efek 1 yang kuat, dan efek 2 dan yang lemah, menyebabkan peningkatan kardiak output, tekanan darah, denyut jantung, dan menurunkan resistensi vaskuler. Dosis dobutamin yang diberikan pada pasien dengan berkurangnya kardiak output adalah 2-20 mcg/kgBB/menit.3 Pada pasien ini dilakukan kultur swab tenggorok karena secara klinis, pasien didiagnosis menderita Bronkopneumonia dengan hasil ditemukan kuman Klebsiella sp. Klebsiella sp adalah bakteri gram negatif kedua paling banyak sebagai penyebab febrile neutropenia. Pada pasien selanjutnya dilakukan kultur darah. Berdasarkan teori, kultur darah penting untuk mendeteksi infeksi dalam sirkulasi darah. Setidaknya dilakukan pengambilan 2 sampel kultur darah (20 ml dibagi menjadi aerob dan anaerob). Dua kultur darah ini dapat mendeteksi patogen sekitar 80-90% pada pasien dengan penyakit kritis. Pneumonia pada pasien dengan keadaan neutropenia dapat memburuk dengan cepat.23 Kultur darah dapat ditemukan positif pada 20-25% kasus yang tidak diobati.31Pasien didiagnosis bronkopneumonia berdasarkan pemeriksaan klinis. Foto thorax (PA dan Lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Berdasarkan data 5 tahun terakhir di seluruh pusat pengobatan Paru di Indonesia, Klebsiella pneumonia adalah penyebab utama pneumonia komuniti yaitu sekitar 45,18%. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto thorax ditemukan infiltrat baru atau infiltrat progresif dengan 2 atau lebih gejala.31 Pada pasien ini, setelah dilakukan pemeriksaan rontgen thorax pada hari keempat rawatan, didapatkan paru dalam batas normal. Pasien dengan pneumonia dapat memiliki gambaran rontgen dada yag normal, walaupun hasil yang negatif palsu mungkin tidak umum ditemui. Diketahui bahwa CT-Scan Thorax dapat mengidentifikasi gambaran pneumonia yang tidak terlihat dari pemeriksaan Rontgen dada, khususnya pada lobus atas paru, atau pada pasien dengan infeksi nosokomial. Dari penelitian, dari total 428 pasien yang didiagnosis dengan pneumonia, 379 pasien didiagnosis menggunakan rontgen thorax dan 49 pasien didiagnosis menggunakan CT-Scan.32

Pasien ini mengalami DIC akut yang terjadi sekunder terhadap infeksi.MODS yang dialami pasien ini meliputi kegagalan sistem hematologi, ginjal, dan susunan saraf pusat. MODS diantara populasi berisiko tinggi yang dirawat di bagian emergency non-bedah berkisat antara 22%. Faktor risiko MODS pada pasien ini adalah sepsis. Sepsis mengakibatkan penurunan perfusi ke jaringan serta kerusakan endotel vaskuler sehingga terjadi iskemik sistem organ. Risiko kematian pada MODS berbanding lurus dengan jumlah organ yang terlibat dan lamanya disfungsi telah terjadi, serta penyakit yang mendasarinya. Apabila disfungsi organ telah terjadi dalam waktu 1 minggu, mortalitas antara 60-98%.1-4

Acute on CKD ditegakan dari adanya riwayat CKD pada pasien ini yang berawal dari hidronefrosis akibat obstruksi. Obstruksi diduga terjadi akibat adanya massa pada vesika urinaria yang menghambat aliran urin dari ureter. Ditemukannya metaplasia squamosa pada sediaan jaringan vesika urinaria menandakan adanya suatu peradangan kronik sehingga terjadi perubahan dari epitel transisional menjadi epitel squamosa.29Adanya penebalan pada dinding posterior vesika urinaria, kemungkinan ini menunjukan peradangan kronik yang terjadi pada trigonum vesika dimana terdapatnya saluran keluar menuju uretra. Adanya gejala obstruksi diserta hasil pemeriksaan biopsi jaringan vesika, memungkinkan terjadinya bladder outlet obstruction (BOO). BOO terjadi pada 1-39% wanita dengan gejala saluran kemih bagian bawah.30Pasien ini awalnya didiagnosis hiperglikemia reaktif, berdasarkan peningkatan glukosa darah yaitu 247 mg/dl tanpa adanya riwayat diabetes mellitus sebelumnya serta tanpa adanya riwayat keluarga. Hiperglikemia berhubungan dengan resistensi insulin yang umum ditemui pada pasien dengan penyakit kritis, bahkan pasien yang tanpa riwayat diabetes sebelumnya. Penelitian terbaru menyatakan bahwa kontrol glukosa darah yang ketat (200 mg/dl, kemudian dilakukan pemeriksaan GDP > 126 mg/dl.11 Kadar HbA1C 6,9% menunjukan kontrol glikemik pasien dalam 3 bulan terakhir berkisar pada glukosa darah 154 mg/dl.10 Kejadian diabetes mellitus pada pasien dapat terkait dengan Ca-mammae yang dideritanya. Ca-mammae merupakan salah satu faktor risiko terjadinya diabetes mellitus, begitu juga sebaliknya. Risiko diabetes mellitus pada penderita ca-mammae meningkat pada mulai 2 tahun pertama sejak diagnosis kanker.18 Kemungkinan diabetes tipe lain pada pasien ini awalnya bisa difikirkan karena adanya riwayat penggunaan kemoterapi dan radioterapi pada pasien ini. Hiperglikemia yang terjadi akibat kemoterapi terjadi beberapa hari setelah siklus pertama kemoterapi dacarbazin, mitomycin, doxorubicin, cisplatin, dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Walaupu obat-obatan ini dikenal dapat menginduksi diabetes mellitus, ettapi laporan kasusnya sangat sedikit. Penggunaan kortikosteroid sebagai premedikasi dapat juga mencetuskan diabetes mellitus, apabila digunakan dalam jangka lama yang biasanya hiang setelah penggunaan kortikosteroid ini dihentikan.28

Hiperurisemia didiagnosis berdasarkan hasil peemriksaan asam urat serum pasien. Asam urat merikapan hasil akhir penghancuran nukleosida purin yang memiliki kemampuan untuk menangkap radikal bebas. Hiperurisemia juga mencerminkan keadaan resistensi insulin yang merupakan patofisiologi dasar terjadinya diabetes mellitus tipe 2. Hiperurisemia adalah faktor risiko DM tipe 2 tetapi hubungan kausal antara keduanya belum jelas. Lebih lanjut, pasien DM tipe 2 dengan keadaan hiperurisemia berkepanjangan akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi DM, khususnya pada ginjal.33,34 Hiperurisemia dapat disebabkan oleh peningkatan produksi dan atau penurunan ekskresi asam urat. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan lanjutan yaitu asam urat urine kuantitatif dan didapatkan penurunan ekskresi asam urat urine 24 jam. Keadaan hiperurisemia ini ditemukan pada 15% pasien diabetes mellitus perempuan. Ini juga merupakan prediktor komplikasi makro dan mikrovaskuler DM, termasuk komplikasi pada ginjal.35