DAFTAR PUSTAKA

22
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 1995. Stilistika, Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press Chapman, Raymon. 1975. Linguistics and Literature. An Introduction to Literary Stylistics. Port Melbourne Victoria: Edward Arnold (Australia) Culler, Jonathan. 1977. Stucturalist Poetics. London: Methuen and Co.Ltd. Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Widyatama Garyoan. 2002. Kyouyou Gaido, Jinsei no Tomo.http://www.melma.com/ search_kyouyou_0_0_2_2/ tanggal akses 17 Maret 2007 Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics. London: Methuen and Co.Ltd Hirai, Masao. 1980. Nandemo Wakaru Hyaku Jiten. Tokyo: Sanseido Ismail, Rohani Binti Haji. 1994. “Sajak Sepatu Tua karya Rendra. Analisis Stilistika”. Yogyakarta: Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.( Tesis S2, Tidak diterbitkan) Jassin, H.B. 1976. Sastra Indonesia Sebagai Warga Dunia. Jakarta: Gramedia _______. 1991. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Haji Masagung Junus, Umar. 1989. Stilistik, Satu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia Kawabata, Yasunari. 2004. Yukiguni, edisi ke-128. Tokyo: Shinchosha Keraf, Gorys. 1987. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Larson, Mildred L. 1989. Penerjemahan berdasarkan Makna: Pedoman untuk Pemadanan Antar Bahasa (terj. Kencanawati Taniran). Jakarta: Arcan

Transcript of DAFTAR PUSTAKA

Page 1: DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1995. Stilistika, Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press

Chapman, Raymon. 1975. Linguistics and Literature. An Introduction to Literary Stylistics. Port Melbourne Victoria: Edward Arnold (Australia)

Culler, Jonathan. 1977. Stucturalist Poetics. London: Methuen and Co.Ltd.

Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Widyatama

Garyoan. 2002. Kyouyou Gaido, Jinsei no Tomo.http://www.melma.com/ search_kyouyou_0_0_2_2/tanggal akses 17 Maret 2007

Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics. London: Methuen and Co.Ltd

Hirai, Masao. 1980. Nandemo Wakaru Hyaku Jiten. Tokyo: Sanseido

Ismail, Rohani Binti Haji. 1994. “Sajak Sepatu Tua karya Rendra. Analisis Stilistika”. Yogyakarta: Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.( Tesis S2, Tidak diterbitkan)

Jassin, H.B. 1976. Sastra Indonesia Sebagai Warga Dunia. Jakarta: Gramedia

_______. 1991. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Haji Masagung

Junus, Umar. 1989. Stilistik, Satu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia

Kawabata, Yasunari. 2004. Yukiguni, edisi ke-128. Tokyo: Shinchosha

Keraf, Gorys. 1987. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia

Larson, Mildred L. 1989. Penerjemahan berdasarkan Makna: Pedoman untuk Pemadanan Antar Bahasa (terj. Kencanawati Taniran). Jakarta: Arcan

Leech, Geoffrey N., and Short, Michael H. 1981. Style in Fiction. A Linguistic Introduction to English Fictional Prose. London and New York: A Longman Paperback

Luxemburg, Jan Van et.al. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa

Ma’ruf, Anas. 1972. Negeri Salju. (terj. Yukiguni karya Kawabata Yasunari). Jakarta : Pustaka Jaya

Moentaha, Salihen. 2006. Bahasa dan Terjemahan, Language and Translation The New Millenium Publication. Jakarta: Kesaint Blanc

Page 2: DAFTAR PUSTAKA

Momiyama, Yosuke. 1997. “Kanyoku no Taikeiteki Bunseki, Inyu, Kanyu, Teiyu ni Motozoku Kanyoku no Imi no Seiritsu o Chushin” dalam Nagoya Daigaku Kokugo Bungaku, No. 80. Nagoya: Nagoya Daigaku Kokugo Bungakukai

Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif, Telaah Positivistik Rasionalistik dan Phenomenologik. Yogyakarta: Rake Sarasin

Muslicha, Anisa. 2003. “Deskripsi musim salju dalam novel Yukiguni (Daerah Salju) karya Kawabata Yasunari. Kajian Stilistika: Penggunaan bahasa kiasan”. Surabaya: Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surabaya. (skripsi tidak diterbitkan)

Nazar, Arlina. 1997. “Analisis Ukemihyogen dalam Novel Yukiguni”.Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (skripsi tidak diterbitkan)

Nida, Eugene A. 1964. Toward a Science of Translation. Leiden: E.J. Brill

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Parera, JD. 2004. Teori Semantik. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga

Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Edisi Kedua. Jakarta: Rineka Cipta

Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Univesitas Gadjah Mada Press

_______. 2005. “Kajian Stilistika”. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Univesitas Gadjah Mada. Tidak diterbitkan.

Rosidi, Ajip dan Matsuoka, Kunio. 1987. Daerah Salju. (terj. Yukigunikarya Kawabata Yasunari) Jakarta: Pustaka Jaya

_______. 1989. Mengenal Sastra dan Sastrawan Jepang. Jakarta: Erlangga

Soeratno, Siti Chamamah, “Penelitian Sastra: Tinjauan Tentang Teori dan Metode Sebuah Pengantar” dalam Jabrohim (ed). 1994.Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia IKIP Muhammadiyah Yogyakarta

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Teeuw. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia

_______. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra.Jakarta: Pustaka Jaya

_______. 1988.Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya

Turner, G.W. 1977. Stylistics. New York: Penguin Books

Tim Penyusun. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas dan Balai Pustaka

Verhaar, JWM. 1989. Pengantar Linguistik Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Page 3: DAFTAR PUSTAKA

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan (terj. Melani Budianta). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Widyamartajaya. 2005. Panggilan Menjadi Penerjemah. Yogyakarta: Pustaka Widyatama

Yuliantini, Adee Kartika. 1990. “Perbedaan Nilai Estetik Akibat Diksi Novel ‘Daerah Salju’ dan ‘Negeri Salju’ sebagai terjemahan Yukiguni karya Kawabata Yasunari” dalam Puitika: Sastra Bandingan, Edisi 02/Th.1/1990. Malang: HISKI Komisariat Malang

Yusuf, Suhendra. 1994. Teori Terjemahan. Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik. Bandung: Mandar Maju

BAB I

PENGANTAR

1.1. Latar Belakang Masalah

Page 4: DAFTAR PUSTAKA

Novel merupakan salah satu wujud dari karya sastra. Struktur novel sebagai sebuah karya

sastra terdiri atas tema, penokohan, setting, alur, bahasa, dll. Karya sastra tidak dapat dipisahkan

dengan keberadaan bahasa sebagai penyusun karya sastra. Teeuw (1983: 1) menyatakan bahwa

bahasa merupakan medium bagi pengarang/penyair untuk mengekspresikan gagasannya,

sedangkan bagi pembaca/ peneliti karya sastra, bahasa merupakan medium untuk memahami

karya sastra. Bahasa dan sastra merupakan sebuah sistem yang kemampuannya menjadi syarat

mutlak untuk memahami dan mengarang karya sastra. Sudjiman (1993: 2) menyatakan bahwa

karya sastra merupakan wacana bahasa yang khas, yang di dalam ekspresinya menggunakan

bahasa dengan memanfaatkan segala unsur dan sarana/kaidahnya, sedangkan Chapman (1975:

13) berpendapat bahwa karya sastra menggunakan bahasa sebagai sarana estetik, tidak hanya

untuk komunikasi ataupun ekspresi.

Teks karya sastra merupakan suatu keutuhan atau bentuk pemadatan sebuah karya, yang

mengambil kegunaan bahasa secara homogen ataupun spesifik (Leech , 1981: 12). Sebuah karya

sastra tidak mungkin ‘diucapkan’ tanpa menggunakan bahasa. Peranan bahasa menjadi hal yang

penting bagi seorang pengarang dalam menghasilkan sebuah karya sastra. Sebagai medium yang

digunakan pengarang untuk menuangkan pengalaman estetis atau realitas, bahasa mempunyai

makna yang tertuang dalam teks karya sastra. Hal ini disebabkan karya sastra sebagai struktur

yang bermakna (Pradopo, 2005:120-121). Teeuw (1988:72) menyatakan bahwa bahasa sastra

adalah bahasa khusus dan membentuk dunianya tersendiri, meskipun begitu, kekhasannya

bukanlah berarti bahasa sastra tidak dapat diteliti. Bahasa dalam karya sastra tidak dapat

dilepaskan dari konteksnya sebagai satu kesatuan. Karya sastra sebagai sebuah struktur

merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan

yang timbal balik, saling menentukan (Pradopo, 2005:118). Piaget, (dalam Hawkes 1978:16),

menyatakan bahwa struktur karya sastra mempunyai tiga ide dasar yaitu, wholeness,

transformation, self-regulation. Turner (1977: 27) menyatakan bahwa konteks dan makna bahasa

tidak dapat dihindari dalam pembahasan sastra, hal ini terlihat dari cara mengamati setting dari

bahasa yang telah masuk dalam pembahasan sastra dengan rinci dari gaya bahasa adalah sebuah

analisis makna, yaitu makna denotatif dan konotatif.

Rangkaian kata dalam teks karya sastra merupakan makna konotatif atau secondary

modelling system. Hal inilah yang membedakan bahasa kolokial dengan bahasa sastra. Bahasa

kolokial cenderung bermakna denotatif, sedangkan bahasa dalam karya sastra mempunyai

tataran yang berbeda dengan bahasa pada umumnya dan cenderung bermakna konotatif.

Page 5: DAFTAR PUSTAKA

Walaupun makna bahasa sastra cenderung bermakna konotatif, makna kata dalam karya sastra

juga tidak dapat dipisahkan dari makna denotatifnya (Nurgiyantoro, 1995: 273). Wellek (1962:

22-23), membagi bahasa menjadi 3 macam, yaitu: bahasa sastra, bahasa ilmu, dan bahasa

kolokial/sehari-hari. Bahasa sastra itu merupakan secondary modelling system, sedangkan bahasa

ilmu dan bahasa kolokial merupakan primary modelling system. Turner (1977:20) berpendapat

bahwa bahasa sastra adalah bahasa dalam konteks, kata penghubung satu dengan yang lainnya.

Tiap detil sebuah karya sastra menjadi penunjang kualitas secara keseluruhan. Oleh sebab itu,

bahasa dalam karya sastra mempunyai fungsi liteter sebagai satu kesatuan karya sastra tersebut.

Stilistika, sebagai ilmu gabungan antara ilmu linguistik dan ilmu sastra, meletakkan fungsi

bahasa literer terhadap latar belakang dari fungsi bahasa aslinya (Leech, 1981: 5).

Terjemahan karya sastra merupakan hal yang sudah tidak asing baik di bidang sastra

maupun bidang ilmu yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa terjemahan merupakan hal yang

tidak dapat dipisahkan dari kehidupan modern saat ini. Hal ini disebabkan salah satu cara untuk

meningkatkan mutu ”gizi” masyarakat di Indonesia ialah membaca dan menerjemahkan karya

sastra asing sebanyak-banyaknya (Jassin 1976: 15). Teeuw (1984:217) mendefinisikan

terjemahan sebagai bentuk transformasi dari satu sistem ke sistem lainnya yang melibatkan

konteks waktu, ruang dan latar belakang budaya. Keberadaan karya sastra terjemahan, termasuk

terjemahan dari bahasa Jepang, menambah khazanah karya sastra Indonesia.

Karya sastra terjemahan dari bahasa Jepang yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia di antaranya adalah karya Kawabata Yasunari, Yukiguni (Negeri Salju)

terjemahan/terj. Anas Ma’ruf tahun 1972; Yukiguni (Daerah Salju), terj. Ajip Rosidi dan

Matsuoka Kunio tahun 1987; Nemureru Bijo (Rumah Perawan), terj. Asrul Sani tahun

1977; Utsukushisa to Kanashimi to (Keindahan dan Kepiluan), terj. Asrul Sani

1980; Zenbazuru (Bangau-bangau beterbangan), terj. Max Arifin tahun 1978; Izu no

Odoriko (Penari-penari Jepang), terj. Ajip Rosidi dan Matsuoka Kunio tahun 1986; karya

Natsume Soseki, Kokoro (Rahasia Hati), terj. Hartoyo Andangjaya tahun

1978; Botchan (Botchan), terj. Mokhtar Ahmad tahun 1986; karya Yukio

Mishima, Kinkakuji (Kuil Kencana), terj. Asrul Sani tahun 1978; Shiosai (Senandung Ombak),

terj. Ayatrohaedi tahun 1976; karya Akutagawa Ryunosuke, Rashomon(Rashomon), terj. Hasan

Amir tahun 1976; Kappa (Kappa), terj. H. Winarta tahun 1972; karya Tanizaki Jun-

ichiro, Shunkinshou (Wajah Shunkin), Yume no Ukihashi (Jembatan Impian), terj. Sugiarta

Sriwibawa tahun 1976; dan masih banyak lagi. Karya sastra Jepang yang diterjemahkan ke

Page 6: DAFTAR PUSTAKA

dalam bahasa Indonesia saat ini, kebanyakan masih berupa karya sastra yang populer di Jepang

dan di negara lain. Pengarangnya pun merupakan pengarang Jepang yang mempunyai dedikasi

tinggi di dunia sastra. Salah satunya adalah Kawabata Yasunari.

Kawabata Yasunari adalah salah satu sastrawan legendaris Jepang dengan karya-

karyanya yang menjadi masterpiece. Hasil karya Kawabata Yasunari, selain Yukiguni (Daerah

Salju) adalah Izu no Odoriko (Penari Izu), Juurokusai no Nikki, (Buku harian usia 16

tahun), Zenbazuru (Bangau-bangau beterbangan), Nemureru Bijou(Rumah

Perawan), Utsukushisa to Kanashimi to (Keindahan dan Kepiluan), dll. (Rosidi, 1989: 78-79).

Selama menjadi seorang sastrawan, Kawabata telah melahirkan lebih dari 20 novel dan beberapa

cerpen. Kawabata juga aktif dalam beberapa organisasi yang bergerak dalam bidang jurnalistik,

yaitu sebagai anggotaShinkaku Ha (sebuah penerbitan majalah); sebagai ketua PEN

Club(organisasi perkumpulan penyair, penulis skenario, penulis esai dan penulis novel)

(Desriani. 2004:30). Berkat jerih payah dan kreativitasnya yang memberikan warna dalam dunia

sastra, khususnya sastra Jepang, dan umumnya sastra dunia, Kawabata mendapatkan

penghargaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Penghargaan sastra yang diterima

Kawabata dari dalam negeri adalah Kikuchi Kan (1944) untuk karyanya Yuuhi (Matahari

Senja); Sastra (1954) untuk karyanya Yama no Oto (Suara Gunung); Medali Kebudayaan dari

pemerintah Jepang (1968) untuk karyanyaYukiguni setelah novel tersebut mendapatkan nobel

sastra. Adapun dari luar negeri, Kawabata mendapatkan penghargaan yang menempatkannya

sebagai sastrawan dunia, yaitu penghargaan berupa nobel sastra/ Nobel Prize for Literature tahun

1968 di Stockholm, Swedia.[1]

Selain mendapatkan nobel sastra, Yukiguni juga telah diterjemahkan ke berbagai bahasa,

antara lain: bahasa Inggris, Belanda, Swedia, dan Indonesia (Desriani, 2004:35). Yukiguni juga

telah ditransformasikan dalam bentuk film pada tahun 1957 dan tahun 1965. Pada tahun 1957,

film Yukiguni disutradarai oleh Shiro Toyoda dan dibintangi oleh Kishi Keiko sebagai Komako

dan Ryo Ikebe sebagai Shimamura. Kemudian, pada tahun 1965, Yukigunidifilmkan lagi di

bawah arahan sutradara Hideo Ôba, dan dibintangi oleh Mineko Bandai, Kakuko Chino,

Takanobu Hozumi, Kaneko Iwasaki. (Diakses dari http://www. amazon.com/Snowcountry-

Yasunari-Kawabata/dp/0399505261)

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa Yukiguni mendapat sambutan yang cukup baik

di kalangan sastra dunia. Dalam jajaran sastra Jepang, Yukiguni tergolong sastra klasik karena

Page 7: DAFTAR PUSTAKA

gaya bahasanya yang singkat dan padat seperti bahasa dalam haiku[2](Ma’ruf, 1972: 8). Bahasa

dan gaya bahasa yang singkat dan padat dalam Yukiguni menjadi poin yang menarik ketika

seseorang ingin memahami ceritanya, meskipun terkadang membuat orang menjadi tidak dapat

langsung menangkap makna dari bahasa dan gaya bahasa yang dipakai Kawabata dalam

novelnya ini. Hal inilah yang seringkali membuat penerjemah menjadi sedikit kesulitan dalam

menerjemahkan dan mencari padanannya ke dalam bahasa sasarannya. Padahal keberadaan

sebuah karya sastra asing di suatu negara disambut baik atau tidak oleh pembacanya, tergantung

pada hasil kerja penerjemah. Maka dari itu, pengetahuan terhadap bahasa, budaya dan sastra

bahasa sumber dan bahasa sasaran menjadi bekal penting ketika seseorang hendak

menerjemahkan karya sastra. Selain itu, terjemahan mempunyai peranan penting untuk

transformasi budaya dan pengetahuan dari suatu negera ke negara lain yang berbeda bahasa dan

budayanya.

Hasil penerjemahan Yukiguni ke dalam bahasa Inggris yang berjudul Snow

Country dilakukan oleh Edward G. Seidensticker.Snow Country ini merupakan karya yang

mempopulerkan Yukigunike dunia International (Desriani, 2004:35). Hal ini disebabkan pada

waktu itu, bahasa Jepang belum populer di kalangan dunia Internasional, tidak seperti sekarang.

Berkat penerjemahan tersebut,Yukiguni menjadi terkenal ke seluruh dunia dan mendapat nobel

sastra. Hasil penerjemahan Yukiguni ke dalam bahasa Indonesia, telah dilakukan sebanyak dua

kali, yaitu: Yukiguni yang diterjemahkan oleh Anas Ma’ruf dengan judul Negeri Salju pada tahun

1972; dan Yukiguni yang diterjemahkan oleh Ajip Rosidi bekerjasama dengan Matsuoka Kunio

yang judul Daerah Salju, tahun 1987. Anas Ma’ruf, dalam pengantarnya (1972:4), menyatakan

bahwa Negeri Salju diterjemahkan dari Yukiguni yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa

Inggris yaitu Snow Country oleh E.G. Seidensticker, sehingga judulnya sesuai dengan bahasa

Inggrisnya yaitu Negeri Salju. Adapun penerjemahan yang dilakukan oleh Ajip Rosidi dan

Matsuoka Kunio terhadap Yukiguni, merupakan penerjemahan yang langsung mengacu pada

novel asli berbahasa Jepang, terbitan Shinchosha. (Rosidi: 1987:6).

Karya sastra Jepang terjemahan dapat dijadikan bahaninformasi mengenai

perkembangan, gejolak jiwa manusia dan situasi sosial masyarakat di tempat lain, yang

dicurahkan pengarang lewat karya sastranya. Kehadiran karya sastra Jepang ke Indonesia

mempunyai efek yang cukup baik bagi pembaca maupun pengarang sastra. Ide-ide sosial budaya,

adat istiadat, dan pemandangan yang eksotik di Jepang, menimbulkan inspirasi bagi pengarang

Indonesia untuk menggambarkan-nya ke dalam karya sastra. Sebagai contoh,novel karya

Page 8: DAFTAR PUSTAKA

sastrawan Indonesia yang mengambil latar belakang budaya Jepang adalah Helai Helai Sakura

Gugur (tahun 1964),Gairah Untuk Hidup dan Untuk Mati (tahun 1968), karya Nasjah

Djamin; Namaku Hiroko (tahun 1977) karya NH. Dini. Herlino Soleman pun, dalam kumpulan

cerpennya, Tabir Kelam (tahun 2003), mengambil latar belakang kehidupan sosial budaya

Jepang sebagai ide ceritanya.

Penelitian, yang diberi judul “Diksi dan Bahasa Kiasan dalam NovelDaerah Salju Karya Ajip

Rosidi: Kajian Stilistika, mengaji gaya bahasa dari teks sastra terjemahan berbahasa Indonesia

yang dibandingkan dengan teks aslinya yang berbahasa Jepang. Secara tradisional, gaya bahasa

dapat dihubungkan dengan kepribadian pengarang/penerjemah yang digunakannya dalam karya

sastranya. Gaya bahasa merupakan perwujudan parole (Leech, 1981: 11), sedangkan bahasa

merupakan wujud langue. Culler (1977:8) menyatakan bahwa parole adalah wujud dari

penerapan langue. Langue adalah sebuah sistem, aturan-aturan, norma-norma yang terdapat

dalam bahasa yang bersifat tidak disadari dan menjadi suatu fenomena sosial,

sedangkan parole/tuturan adalah bahasa yang digunakan dalam percakapan atau ketika kita

menyampaikan suatu pesan tertentu lewat suara-suara simbolik yang keluar dari mulut. Tuturan

ini bersifat individual sehingga mencerminkan kebebasan pribadi seseorang (Chapman, 1973: 9;

Turner, 1977: 14). Dalam penelitian ini, gaya bahasa Ajip Rosidi yang terdapat pada

novel Daerah Salju yang dibatasi pada kajian diksi dan bahasa kiasan dan dibandingkan dengan

bahasa yang terdapat pada teks berbahasa Jepang untuk mengetahui dalam fungsi apa diksi dan

bahasa kiasan itu digunakan. Selain itu, berdasarkan ungkapan Ajip Rosidi dalam pengantar

novel Daerah Salju yang menyatakan bahwa penerjemahan yang dilakukannya merupakan

penerjemahan yang setia pada teks aslinya, maka penelitian ini juga mencari pembuktian atas

ungkapan tersebut.

Dari hasil pembacaan terhadap kedua teks terjemahanNegeri Salju dan Daerah

Salju, serta hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Adee Kartika tentang diksi yang terdapat

pada kedua teks terjemahan tersebut, yang menyimpulkan bahwa novel Daerah

Salju mempunyai keunggulan dalam memaparkan latar belakang kontekstual dan latar belakang

psikologis, maka Daerah Saljudijadikan sebagai objek materiil dalam penelitian ini. Selain

itu,Daerah Salju merupakan terjemahan langsung dari Yukiguni, sedangkan Negeri

Salju merupakan terjemahan dari Snow Country.

Page 9: DAFTAR PUSTAKA

Pilihan kata/diksi merupakan langkah awal yang harus dihadapi oleh penerjemah dalam

menyusun teks terjemahan. Penerjemah akan dihadapkan pada beberapa pilihan kata/diksi yang

terdapat pada kamus dan ensiklopedia untuk mendapatkan padanan kata yang sesuai dengan

susunan dan konteks kalimat bahasa sasaran, serta maknanya tidak menyimpang dari makna

bahasa sumber. Hal ini tidak mudah karena sebuah kata dan idiom dalam bahasa sumber ketika

diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran akan mempunyai beberapa padanan kata dan adakalanya

tidak mempunyai padanan kata. Adapun kajian diksi sebagai kajian dari stilistika, menjadi

bahasan dalam penelitian ini disebabkan Ajip Rosidi dalam Daerah Salju telah memasukkan

kata-kata daerah, menggunakan diksi yang mempunyai sinonim secara bersamaan, serta

peminjaman kata-kata bahasa Jepang yang mengandung budaya. Pilihan kata/diksi yang terdapat

pada Daerah Salju menjadi menarik untuk diteliti dengan kajian stilistika untuk mengetahui

dalam rangka fungsi literer apa diksi tersebut digunakan Ajip Rosidi dalam karya sastra

terjemahannya tersebut.

Bahasa Indonesia ataupun bahasa Jepang, merupakan bahasa yang memiliki bahasa

kiasan. Dari hasil pembacaan, baikDaerah Salju maupun Yukiguni merupakan novel yang di

dalamnya banyak mengandung gaya bahasa perumpamaan. Hasil pembandingan antara

teks Daerah Salju dengan Yukiguni,menggambarkan bahwa jumlah bahasa kiasan perumpamaan

yang digunakan dalam kedua teks tersebut hampir sama banyaknya, meskipun terdapat beberapa

perbedaan kelompok bahasa kiasannya. Akan tetapi, sebagai kajian stilistika, penelitian bahasa

kiasan ini tetap dalam tataran fungsi literer. Dari bahasa kiasan yang terdapat dalam Daerah

Salju, ditemukan grand idea/ide pokok dari novel Daerah Salju, yaitu dalam kehidupan di dunia,

jarak antara keindahan/ kebahagiaan dengan keburukan/kesedihan itu sangat dekat, seperti dua

sisi mata uang.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini membahas bagaimana pilihan

kata/diksi dan bahasa kiasan yang terdapat pada novel Daerah Salju sebagai bentuk terjemahan

dari novel Yukiguni karya Kawabata Yasunari.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Teoretis

Page 10: DAFTAR PUSTAKA

Tujuan penelitian ini secara teoretis adalah memberikan penekanan bahwa karya sastra

tidak dapat dipisahkan dari bahasa sebagai salah satu pembentuk struktur karya sastra. Oleh

sebab itu, penelitian bahasa dalam karya sastra, dengan menggunakan ilmu stilistika, merupakan

kajian untuk mengungkapkan gaya bahasa yang digunakan oleh seseorang dalam karya

sastranya. Selain itu, penelitian ini merupakan penelitian yang membandingkan teks terjemahan

dengan teks aslinya, maka dapat diungkapkan gaya bahasa teks terjemahan dengan teks aslinya

dalam kerangka fungsi literernya.

1.3.2. Tujuan Praktis

Tujuan penelitian ini secara praktis adalah mengungkapkan pilihan-pilihan kata/diksi dan

bahasa kiasan yang terdapat pada teks terjemahan berbahasa Indonesia, Daerah Salju, sebagai

bentuk terjemahan dari teks berbahasa Jepang, Yukiguni. Dari pembandingan kedua teks tersebut,

dapat diketahui kesetaraan atau penyimpangan penggunaan diksi dan bahasa kiasan. Selain itu,

dari diksi dan bahasa kiasan yang digunakan dalam kedua teks tersebut dapat diungkapkan grand

idea yang melatarbelakangi penggunaan diksi dan bahasa kiasan tersebut.

1.4. Tinjauan Pustaka

Dipilihnya novel Yukiguni karya Kawabata Yasunari, sebagai objek penelitian,

disebabkan lewat novel inilah Kawabata Yasunari mendapatkan nobel sastra pada tahun 1968.

Selain itu, berdasarkan penelitian-penelitian yang ada, terdapat berbagai pengetahuan yang

diberikan dan dihasilkan oleh para peneliti sebelumnya, antara lain sebagai berikut.

a) Penelitian Adee Kartika Yuliantini, dalam Jurnal Puitika Hiski, Malang edisi 02/Th.1/

1990, berjudul “Perbedaan nilai estetis akibat diksi novel Daerah Salju dan Negeri

Salju sebagai terjemahan Yukiguni karya Kawabata Yasunari”. Penelitian tersebut

merupakan studi bandingan antara dua teks terjemahan novel Yukiguni karya Kawabata

Yasunari ke dalam bahasa Indonesia, yaitu Daerah Salju terjemahan Ajip Rosidi

dan Negeri Salju terjemahan Anas Ma’ruf. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kedua

teks terjemahan tersebut terdapat perbedaan, yaitu Daerah Salju mempunyai keunggulan

dalam bidang latar kontekstual dan latar psikologis dibandingkan teks Negeri Salju. Akan

tetapi,Negeri Salju lebih menarik dibandingkan Daerah Salju dari segi narasi/ceritanya.

Perbedaan yang terdapat antara dua teks terjemahan tersebut disebabkan pilihan diksi dan

penataan kata dalam kalimat yang dilakukan oleh penerjemah.

Page 11: DAFTAR PUSTAKA

b) Criestantie, dalam skripsinya yang berjudul “Yukiguni (Daerah Salju) karya Kawabata

Yasunari: Sekajian Tema”, menyimpulkan bahwa tema yang diangkat oleh Kawabata

dalam Yukiguni merupakan tema yang absurd.

c) Arlina Nazar, dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Ukemi hyoogen (penyataan bentuk

pasif) dalam Novel Yukiguni”, menyimpulkan bahwa struktur kalimat pasif (ukemi)

dalamYukiguni (berbahasa Jepang), tidak diterjemahkan seperti adanya dalam

novel Daerah Salju (berbahasa Indonesia), tetapi masih mengungkapkan bentuk kalimat

pasif tersebut. Penelitian yang dilakukan Arlina merupakan studi banding dalam bidang

terjemahan terhadap novel Daerah Saljuterhadap Yukiguni.

d) Anisa Muslicha, dalam skripsinya yang berjudul “Deskripsi musim salju dalam

novel Yukiguni (Daerah Salju) karya Kawabata Yasunari, Kajian Stilistika: Penggunaan

bahasa kiasan”, menyimpulkan bahwa terdapat 45 kalimat yang mengandung deskripsi

musim salju yang menggunakan bahasa kiasan dan pilihan kata.

e) Desriani, dalam Tesisnya yang berjudul “Geisha dalam novelYukiguni karya Kawabata

Yasunari: Sebuah pendekatan Mimesis”, menyimpulkan bahwa novel Yukiguni ini

memiliki beberapa peniruan atas kehidupan nyata tentang kehidupangeisha yang terjadi

di dalam masyarakat Jepang, yaitu: (1) mimesis latar novel, baik latar waktu maupun

ruang; (2) mimesis hubungan geisha dengan tamu langganan; (3) mimesis geisha dengan

induk semang; (4) mimesis hubungan geisha dengan istri pelanggan.

f) Zack Davisson (http://A:\amazon.com.BooksSnowCountry.htm.14 Januari 2004)

menyatakan bahwa Yukiguni merupakan novel yang menarik, dalam, dan

berkarakter. Yukigunimempunyai gaya yang halus dan menjadi merk dagang bagi

Kawabata. Dalam bahasanya, Kawabata sebagai pewarishaiku, juga mengisyaratkan

cerita hanya dengan menggunakan kata-kata yang perlu. Adapun dari segi emosionalitas,

diekspresikan melalui bahasa yang berbunga-bunga. Adapun cerita

dalam Yukiguni adalah sekitar hubungan percintaan seorang geisha dan pecinta seni,

tetapi mereka sebenarnya tidak tahu apa itu cinta. Ini merupakan hubungan tanpa nafsu

namun memiliki warna yang kuat.

g) Christopher Culver, dalam website yang sama dengan Zack Davisson, tanggal 1 Oktober

2001, di Chicago, IL, USA, menyatakan bahwa Yukiguni merupakan sebuah kisah cinta

Page 12: DAFTAR PUSTAKA

yang menyentakkan hati antara seorang playboy yang mengembara dengan

seorang geisha di daerah terpencil di barat laut Jepang, pada saat musim semi yang panas.

Akan tetapi, kisah tersebut menyiratkan kepedihan cinta yang membingungkan, yang

menyiksa antara Shimamura dan Komako. Yukiguni juga memiliki keindahan, khususnya

latar belakang pemandangan yang putih bersih dan abadi.

Dari penelitian yang telah dilakukan, penelitian ini mempunyai suatu penemuan yang

berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Dengan kajian diksi dan bahasa kiasan yang

digunakan Ajip Rosidi dalam terjemahannya, Daerah Salju, penelitian ini mencoba memaparkan

‘dalam rangka fungsi literer apakah’ bentuk terjemahan yang setia pada teks aslinya yang

dilakukan oleh Ajip Rosidi, dan gaya bahasanya yang memasukkan diksi dari bahasa Jepang,

bahasa daerah dalam Daerah Salju. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini menjadi

berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Adee Kartika yang membedakan antara

pilihan diksi yang dipakai dalam dua versi penerjemahan Yukiguni ke dalam bahasa Indonesia

yang telah dilakukan oleh Anas Ma’ruf dan Ajip Rosidi, dan penelitian yang telah dilakukan oleh

Anisa Muslicha, tentang bahasa kiasan yang mendeskripsikan musim salju. Akan tetapi,

penelitian ini berangkat dari hasil penelitian dari kedua penelitian tersebut.

1.5. Kerangka Teori

1.5.1. Teori Stilistika

Stilistika atau Stylistics adalah ilmu tentang style (gaya). Leech (1981: 13)

mendefinisikan stilistika sebagai studi tentang gaya bahasa, yang secara sederhana adalah

sebagai latihan dalam menggambarkan dalam fungsi ‘apa’ bahasa dibuat. Stilistika karya sastra

mencoba menjelaskan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistiknya. Style/gaya bahasa

menjadi sebuah konsep hubungan, dan tujuan stilistika sastra adalah menghubungkan dalam rasa

yang lebih menarik dibanding yang terlah disebutkan, menghubungkan kritik apresiasi estetik

dengan deskripsi bahasa. Adapun Turner (1977: 7) berpendapat bahwa stilistika adalah bagian

dari linguistik yang berkonsentrasi pada penggunaan bahasa tetapi tidak secara eksklusif, dengan

perhatian khusus pada kesadaran dan penggunaan bahasa yang kompleks dalam karya

sastra. Aminuddin (1995:42) menyatakan stilistika merupakan studi yang ditinjau dari sasaran

dan penjelasan yang dibuahkan hanya berpusat pada aspek gaya yang secara esensial berkaitan

Page 13: DAFTAR PUSTAKA

dengan wujud pemaparan karya sastra sebagai bentuk penyampaian gagasan pengarangnya,

sedangkanJassin (1991: 127)stilistika adalah ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa.

Berdasarkan definisi di atas, hubungan karya sastra dapat dikaji dari segi kebahasaannya

yang merupakan secondary modeling system dan merupakan tanda-tanda yang

bermakna. Style dan stilistika merupakan studi bahasa yang digunakan dalam teks sastra, dengan

tujuan menghubungkan bahasa dengan fungsi artistik (Leech, 1981: 15). Dalam stilistika sastra,

penulis/pengarang boleh mempunyai tujuan bervariasi dan kita (peneliti) disiapkan untuk

menilai style dari karya tertentu dalam hubungan dengan tujuan dari karya tersebut (Turner,

1977: 235). Hal ini disebabkan analisis stilistika mempelajari penggunaan bahasa yang

menyimpang dari penggunaannya yang biasa dan mencoba menemukan alasan dan tujuan

penyimpangan itu dari sudut estetis (Jassin, 1991: 128).

Karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan

medium bahasa. Bahasa, sebagai medium karya sastra, sudah merupakan sistem semiotika atau

ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti (Pradopo, 2005:120-121). Kritikus

menyendirikan satuan-satuan berfungsi dan konvensi-konvensi sastra yang berlaku. Satuan-

satuan berfungsi yaitu: alur, setting, penokohan, satuan-satuan bunyi, kelompok kata, kalimat

(gaya bahasa), dan satuan visual (tipografi, enjabement, bait, dll.)

Sebagai satuan berfungsi, gaya bahasa sebuah karya sastra dapat dikaji melalui pilihan

kata/diksi dan bahasa kiasan sebagai bagian dari kajian stilistika yang mengaji gaya bahasa suatu

karya sastra. Stilistika, sebagai kajian linguistik, hanya mempelajari struktur kebahasaan meliputi

pemakaian atau penyusunan kata, kalimat, wacana, dan gaya pada suatu teks sastra sampai pada

efek yang ditimbulkannya dan memberikan penilaian terhadapnya. (Ismail,

1994:4). Stilistika memanfaatkan linguistik untuk meneliti efek estetik bahasa (Wellek, 1995:

221). Kajian stilistika pada karya sastra merupakan sebuah kajian wacana sastra dengan orientasi

linguistik. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang

membedakan atau mempertentangkannya dengan wacana non-sastra, meneliti dedalamsi

terhadap tata bahasa sebagai sarana literer (Sudjiman, 1993:3). Stilistika dianggap sebagai ilmu

yang menggabungkan linguistik dan sastra. Junus (1989:xviii) merumuskan bahwa stilistika

adalah linguistik dan (ilmu) sastra. Hal tersebut terlihat pada upaya stilistika yang condong pada

ilmu sastra dan penelitian stilistika yang dipusatkan pada karya sastra sebagai sumber gaya, dan

penggunaan bahasa yang kompleks dan fungsi estetiknya dominan (Pradopo, 2005:3). Stilistika

Page 14: DAFTAR PUSTAKA

juga digunakan oleh sastrawan dalam menciptakan karya sastra untuk menerangkan sesuatu yang

berkaitan dengan fungsi artistik dan maknanya. Wellek (1989:222-3) mengatakan bahwa kajian

stilistika secara luas meneliti semua teknik yang dipakai untuk tujuan ekspresif tertentu dan

meliputi wilayah yang lebih luas dari sastra atau retorika.

Gaya bahasa (style) sebagai kajian utama stilistika, berasal dari bahasa latin Stilus, yaitu

semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Kemudian pada

perkembangannya style ditekankan pada keahlian untuk menulis. Style lalu berubah menjadi

kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata. Adapun

jangkauan style mencakup unsur-unsur meliputi diksi, frasa, klausa, kalimat, wacana secara

keseluruhan (Keraf, 1987: 112). Adapun Aminuddin (1995: v) mendefinisikan gaya bahasa

sebagai cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan tujuan dan

efek yang ingin dicapainya. Gaya bahasa dalam sastra menimbulkan efek puitis atau efek estetik.

Soal pilihan kata adalah soal gaya. Gaya bahasa mempelajari segala cara yang tujuannya ialah

untuk mencapai suatu efek tertentu dalam pernyataan. (Jassin, 1991: 128). Enkvist, dalam Junus

(1989: 4), mendefinisikan gaya bahasa sebagai berikut:

(1) bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya;

(2) pilihan antara berbagai-bagai pernyataan yang mungkin;

(3) sekumpulan ciri-ciri pribadi;

(4) penyimpangan daripada norma atau kaidah;

(5) sekumpulan ciri-ciri kolektif;

(6) hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada sebuah

ayat.

Berdasarkan definisi di atas, dalam menganalisis gaya bahasa suatu karya sastra, harus

diperhatikan bahwa karya sastra sebagaisecondary modelling system. Gaya bahasa dalam karya

sastra juga merupakan sistem tanda yang mempunyai makna (Junus, 1989: 187). Hal ini

disebabkan benda, kegiatan, peristiwa, dan proses, semuanya diberi label yang disebut lambang.

Setiap lambang dibebani unsur yang disebut makna. Makna lambang-lambang tersebut

memperlihatkan hubungan makna. (Pateda, 2001: 254-255)

Page 15: DAFTAR PUSTAKA

Makna yang berhubungan dengan gaya bahasa ada yang dapat dilihat dari segi kedekatan

antarmakna, ada pula yang dapat dilihat dari segi kesamaan antarmakna. Kesamaan antarmakna

berhubungan dengan metafora, dan yang kedekatan antarmakna berhubungan dengan metonimi

(Pateda, 2001:234). Maka dari itu, pemaknaan suatu tanda dalam karya sastra, harus dalam

kerangka semiotika karena sistem tanda ditentukan konvensi sastra yang berlaku dan dalam

rangka fungsi literer.

Gaya bahasa ada beberapa macam. Pradopo (2005:8) membedakannya menjadi tiga, yaitu

gaya bunyi, gaya kata dan gaya kalimat/gaya wacana. Gaya bunyi meliputi kiasan bunyi, sajak

(rima), orkestrasi, dan irama. Gaya kata meliputi gaya bentuk kata (morfologi), arti kata

(semantik), diksi dan bahasa kiasan, serta gaya asal usul kata (etimologi). Adapun gaya kalimat

atau gaya wacana meliputi gaya bentuk kalimat dan sarana retorika.

Adapun gaya bahasa yang dikaji dalam penelitian ini merupakan gaya kata yang

dikhususkan pada pemakaian diksi dan bahasa kiasan. Gaya bahasa berdasarkan pemilihan

kata/diksi ini berorientasi pada masalah ketepatan dan kesesuaian suatu kata dalam situasi

tertentu dalam sebuah karya sastra. Hal ini sesuai dengan pendapat Keraf (1987: 117) yang

menyatakan bahwa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling

tepat dan sesuai untuk posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata

dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam karya sastra.

Pilihan kata/diksi adalah gaya. Memilih dan mempergunakan kata sesuai dengan isi yang

mau disampaikan ialah soal gaya. Juga, bagaimana menyusun kalimat secara efektif, secara

estetis, yakni memberi kesan yang dikehendaki pada penerima adalah soal gaya (Jassin,

1991:126). Pilihan kata/diksi dipergunakan untuk mendapatkan arti (makna) setepat-tepatnya

untuk intensitas pernyataan/ ekspresi dan untuk mendapatkan nilai estetik (Pradopo, 2005:

36&54).

Adapun pentingnya ketepatan penggunaan pilihan kata/diksi sangat menentukan dalam

menyampaikan maksud suatu karya sastra (Sudjiman, 1993:22). Pilihan kata/diksi dalam karya

sastra dapat menggunakan sinonim, kata daerah, kata asing, tautologi (pengulangan makna atau

gagasan), anomali (penyimpangan dari sudut gramatikal atau semantis suatu bahasa), bahasa

kiasan, dll. Adapun penganalisisan pilihan kata, yang dapat dilakukan adalah melakukan

Page 16: DAFTAR PUSTAKA

pengamatan apakah sebuah teks berisi kata-kata kongkret dan khusus, berisi kata-kata abstrak

dan umum, bahasa resmi dan tak resmi, khidmat dan sehari-hari. (Luxemburg, 1991: 59)

Bahasa kiasan merupakan salah satu unsur untuk mendapatkan nilai estetik (Pradopo,

2005:61). Adapun gaya bahasa kiasan merupakan penggunaan bahasa kiasan/figurative

languageyaitu menyatakan suatu hal secara tidak langsung dengan menyamakan suatu hal

dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama atau menyatakan suatu hal dengan hal lain untuk

mendapatkan gambaran angan (imaji) yang jelas (Pradopo, 2005: 38). Bahasa kiasan juga

merupakan pemakaian kata yang maknanya tidak sebenarnya (Kridalaksana, 1982:103). Di

bawah ini adalah pembagian jenis bahasa kiasan dari pendapat para ahli stilistika adalah sebagai

berikut.

Keraf (1987:138-145) membagi jenis bahasa kiasan dalam bahasa Indonesia menjadi 16,

yaitu: persamaan/simile; metafora; alegori, parabel, fabel; personifikasi/prosopopoeia;

alusi; eponim; epitet; sinekdoke; metonimia; antonomasia; hipalase; ironi, sinisme, sarkasme;

satire; inuendo; antifrasis; pun/paronomasia. Jassin (1991:114-125) membagi jenis bahasa kiasan

menjadi personifikasi, kiasan/metafora, perbandingan, kiasan klise/ hiperbol. Adapun bahasa

kiasan perbandingan ditandai dengan kata “seperti, macam, laksana, penaka, ibarat, dll”.

Luxemburg (1991:64-67) membagi 3 majas yaitu, majas pertentangan (antitese dan oksimoron);

majas identitas (perumpamaan dan metafora); majas kontinguitas (metonimia, sinekdoke totum

pro parte dan sinekdoke pars pro toto). Adapun Aminuddin (1995:242-246) membagi jenis

bahasa kiasan yaitu metafora, metonimi, sinekdoke, simile, ironi. Adapun Pradopo (2005:38)

membagi bahasa kiasan yaitu: perumpamaan/simile, perbandingan epos/epic simile, metafora,

metafora yang diperluas/extended metaphor, alegori, personifikasi, metonimi, sinekdoke. Larson

(1984: 116-122) membedakan makna bahasa kiasan menjadi metonimi, sinekdoke, idiom,

eufimisme dan hiperbola.