CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

30
CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS) TRAUMA ABDOMEN Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) SMF Penyakit Bedah Disusun oleh: Eva Noviani Lestari 12010011035 Marry Nadya Elmiera 12010011007 Dety Nur Rachmawati 12010011021 Partisipan : Cyndee Bayu Naga Dewata 12010011044 Dini Paramita Defrin 12010011068 Khairuli Amri 12010011028 Ilham Rizki Ernawan 12100109008 Preseptor: Arief Guntara dr., Sp.B

Transcript of CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

Page 1: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)TRAUMA ABDOMEN

Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) SMF Penyakit Bedah

Disusun oleh:

Eva Noviani Lestari 12010011035Marry Nadya Elmiera 12010011007Dety Nur Rachmawati 12010011021

Partisipan :

Cyndee Bayu Naga Dewata 12010011044Dini Paramita Defrin 12010011068Khairuli Amri 12010011028Ilham Rizki Ernawan 12100109008

Preseptor:

Arief Guntara dr., Sp.B

SMF PENYAKIT BEDAHPROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER (P3D)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNGRSUD AL IHSAN BANDUNG

2011

Page 2: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

1

BAB I

ANATOMI

1.1. Anatomi Dinding Abdomen

Gambar 1.1. Abdominal contents, undisturbed, and layers of anterolateral abdominal

Wall

Page 3: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

2

Gambar 1.2. Anterior abdominal wall

Table 1.1. Otot-otot dinding abdomen anterolateral

Page 4: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

3

Tabel 1.2. Persarafan dinding abdomen anterolateral

Gambar 1.3. Arteri dan limfatik dinding abdomen anterolateral

Page 5: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

4

Table 1.3. Arteri dinding abdomen anterolateral

Page 6: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

5

BAB II

PENDAHULUAN

A. High Index Of Suspicion

Trauma abdomen yang tidak dikenali sering menyebabkan kematian

akibat trauma yang dapat dicegah. Tanda-tanda peritoneal hampir tidak

diketahui, biasanya karena tertutup oleh rasa nyeri yang muncul dari gejala

ekstra abdominal atau trauma kepala maupun intoksikasi. Sekitar 20% pasien

dengan akut peritonium dapat ditemukan gejala ringan pada abdomen pada saat

pertama kali diperiksa di ruang emergensi. Biasanya darah akan terkumpul pada

rongga peritoneal. Pasien yang menderita luka penetrasi pada torso dapat diduga

mengalami trauma visceral pada abdomen.

B. Regio Abdomen

Abdomen memiliki tiga bagian secara anatomi yang nyata, yaitu rongga

peritoneal, retroperotoneal space, dan pelvic.

Upper abdomen adalah bagian dari rongga peritoneal yang ditutupi oleh

tulang thorax, dan terdiri dari diafragma, liver, spleen, lambung, dan kolon

transversum. Diafragma dapat naik ke ICS 4 pada saat ekspirasi penuh,

menyebabkan daerah viscera beresiko setelah trauma dada bagian bawah –

terutama pada luka penetrasi. Fraktur pada lower ribs meningkatkan

kecurigaan untuk trauma hepatosplenic.

Lower abdomen terdiri dari small bowel dan bagian lain dari

intraabdominal kolon.

Retroperitoneal space terdiri dari aorta, vena cava, pankreas, ginjal,

ureter, dan sebagian colon dan duodenum. Trauma pada viscera retroperitoneal

sulit untuk dikenali karena area tersebut sulit untuk ditemukan pada pemeriksaan

fisik.

Pelvic terdiri dari rektum, bladder, iliac vessels, dan pada wanita

termasuk genitalia interna. Diagnosis awal untuk trauma berdasarkan pada lokasi

struktur anatomi.

Page 7: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

6

BAB III

PEMBAHASAN TRAUMA ABDOMEN

I. PEMERIKSAAN

Faktor utama dalam pemeriksaan abdomen tidak untuk mendiagnosa tipe

trauma yang spesifik secara akurat namun untuk mengetahui ada tidaknya trauma

abdomen.

A. Riwayat

Riwayat kejadian yang lengkap sangat membantu dalam evaluasi dini untuk

mengetahui trauma tumpul ataupun trauma tajam. Pasien, jika sadar, sangat

menunjang dalam memberikan informasi ini. Biasanya, informasi tersebut dapat

diperoleh dari petugas prehospital care dan polisi, yang mencakup informasi

waktu, mekanisme kejadian, keadaan awal pasien, dan respon terhadap tindakan,

dll.

B. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan abdomen harus dilakukan secara sistematis dan cermat

sesuai dengan rangkaian standar pemeriksaan, antara lain inspeksi,

auskultasi, perkusi, dan palpasi. Hasilnya baik positif maupun negatif harus

dicatat dengan lengkap pada rekam medis.

1. Inspeksi

Pasien harus membuka semua pakaiannya. Bagian anterior dan

posterior abdomen termasuk dada bagian bawah dan perineum harus di

inspeksi dari abrasi, contusion, laserasi dan luka penetrasi. Untuk

melakukan pemeriksaan secara lengkap posisi pasien dapat diubah

dengan hati-hati.

2. Auskultasi

Abdomen harus diauskultasi untuk melihat ada tidaknya bising usus.

Adanya darah di intraperitoneal ataupun organ dalam dapat

menyebabkan ileus, sehingga suara bising usus menjadi hilang. Ileus

juga dapat terjadi akibat trauma ekstra abdomen seperti fraktur ribs,

pelvic, dan spine.

Page 8: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

7

3. Perkusi

Perkusi pada abdomen setelah trauma dilakukan terutama untuk

memperoleh rebound tenderness yang tidak jelas. Tindakan ini

menyebabkan gerakan ringan dari peritoneum dan menghasilkan respon

yang sama seperti ketika meminta pasien untuk batuk.

4. Palpasi

Palpasi daerah abdomen dapat memberikan informasi subjektif

maupun objektif. Temuan subjektifnya berupa lokasi nyeri pada

pemeriksaan sangat penting. Nyeri dini biasanya lokasinya dalam,

sehingga sulit untuk menentukan lokasinya.

Penegangan pada otot abdomen secara sadar timbul akibat pasien

menahan nyeri dan tidak menggambarkan trauma tertentu. Sedangkan

penegangan otot secara involunter merupakan tanda yang berhubungan

dengan iritasi peritoneal.

5. Pemeriksaan Rektal

DRE merupakan bagian dari pemeriksaan abdomen yang penting.

Tujuan utama dari pemeriksaan ini pada luka penetrasi adalah untuk

mencari darah yang dapat menandakan perforasi usus dan untuk

memastikan tonus spincter dan keutuhan spinal. Setelah trauma tumpul,

dinding rektum harus dipalpasi untik mendeteksi komponen tulang yang

patah dan menentukan posisi prostat. Letak prostat yang tinggi

menandakan disrupsi uretra posterior.

6. Pemeriksaan Vagina

Laserasi dari vagina dapat terjadi akibat luka penetrasi atau fragmen

tulang akibat fraktur pelvic.

7. Pemeriksaan Penis

Laserasi dari uretra harus dicurigai jika terdapat darah pada uretra

meatus.

Pemeriksaan fisik yang positif merupakan tanda klinis yang dapat

dipercaya sebagai tanda yang signifikan pada trauma abdomen. Hasil

yang negatif pada pemeriksaan fisik tidak menghilangkan kemungkinan

Page 9: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

8

trauma intraabdomen. Pada kebanyakan pasien pemeriksaan abdomen

tidak bisa mendiaagnosa penyakit akibat faktor-faktor yang

menyamarkan atau tidak adanya tanda klinis awal yang baru dapat

ditemukan setelah pemeriksaan berikutnya.

C. Intubasi

1. Nasogastrik tube

Intubasi nasogastrik merupakan tindakan diagnostik maupun terapi.

Tujuan utamanya adalah untuk mengeluarkan isi lambung untuk mengurangi

volume, tekanan, dan resiko aspirasi dari isi lambung. Adanya darah dalam

sekresi lambung dapat diduga akibat trauma upper gastrointestinal tract, jika

kita sudah tidak menduga sumber darah tersebut berasal dari

nasopharyngeal. Peringatan : Jika terdapat fraktur daerah wajah yang berat,

NGT harus dimasukan melalui mulut untuk mencegah masuknya tube ke

dalam intracranial melalui fraktur cribriform plate.

2. Bladder Catheter

Kateter urin dipasang untuk berbagai macam tujuan. Fungsi utamanya

adalah untuk dekompresi bladder dan untuk monitoring urin output sebagai

penanda perfusi jaringan. Hematuria merupakan tanda yang penting dari

trauma genitourinary. Dapat juga digunakan untuk screening kandungan obat

dalam urin. Peringatan : pemeriksaan rektum dan genitalia harus dilakukan

sebelum memasukan kateter urin karena hasil pemeriksaan dapat merupakan

kontraindikasi pemasangan kateter. Letak prostat yang tinggi, darah pada

meatus uretra atau hematoma scrotum merupakan kontraindikasi untuk

memasang kateter transuretera sampai kita sudah mengkonfirmasi keutuhan

uretra dengan retrograde uretherography.

D. Blood Sampling

Darah harus diambil dari vena dan dikirim ke lab intuk segera dianalisis.

Tipe darah dan cross matching harus dilakukan pada pasien dengan trauma

berat. Screening laboratorium untuk suspect trauma abdomen antara lain Ht,

Page 10: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

9

WBC dengan Diffcount, amylase, urinalisis, tes kehamilan pada semua wanita

usia produktif, dan alkohol dan/atau pemeriksaan obat lainya.

Tes ini sangat penting karena perubahan yang ditemukan dapat menjadi

tanda pertama dari trauma yang tidak tampak, terutama di retroperitonium.

E. Roentgenographic studies

1. Screening Roentgenorgram.

Hasil pembacaan roentgenografi harus disesuaikan dengan keadaan

pasien secara keseluruhan serta mekanisme traumapada pasien. Foto lateral

cervical spine, AP thorax dan foto pelvic harus diutamakan pada trauma

tumpul. Foto abdomen juga dapat membantu mengidentifikasi trauma

abdomen. Adanya udara bebas dibawah diafragma atau udara ekstraluminal

di dalam retroperitonium menandakan disrupsi visceral, dan diharuskan

segera melakukan celiotomy. Hilangnya bayangan psoas dapat dicurigai

akibat trauma retroperitoneal. Gambaran rongent harus dilihat pada trauma

tulang yang berhubungan dengan trauma abdomen.

Tabel 3.1. Trauma yang berkaitan

Bony Injuries Associated InjuriesLower ribs fractureLower thoracic spine injuriesLumbar transverse process fracturePelvic fracture

Liver and/ spleenPancreas, small bowelAbdominal viscera, kidneyPelvic organ or vessel retroperitoneal

2. Pemeriksaan Kontras

a. Urethrography

Urethrography harus dilakukan sebelum dimasukkan indwelling

urinary catheter saat dicurigai adanya urethral tear. Urethrogram dapat

dilakukan dengan memasukkan #12-French urinary catheter ke meatal

fossa dengan memompakan balon sampai 3 milimeter. Kontras yang

tidak larut dimasukkan dengan hati- hati

Page 11: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

10

b. Cystography

Bladder rupture ditentukan dengan gravity flow cystogram. Bulb

syringe ditempelkan ke indwelling bladder catheter yang diletakkan 15

cm di atas pasien, dan masukkan kontras yang larut air sebanyak 250-

300 ml sampai ke bladder. Foto anteroposterior, oblique, dan

postdrainage penting untuk mengekslusi injuri secara definitive.

Permintaan intravenous pyelogram (IVP) versus cystography diminta

berdasarkan kecurigaan terhadap injuri upper versus lower.

c. Excretory urogram

IVP mungkin berharga dalam evaluasi renal awal. Injeksi bolus IV

dosis tinggi memberikan fungsi renal dalam 5- 10 menit. Nonfunctional

unilateral bisa karena hancurnya parenkim yang massif atau gangguan

pembuluh darah pedikel, tapi mungkin karna tidak ada ginjal. Nonfungsi

membutuhkan evaluasi operasi.

Pada pasien stabil, CT scan lebih baik dari IVP jika dicurigaiinjuri

intraabdominal dan atau retroperitoneal. Pemeriksaan kontras IV tidak

dapat dilakukan pada pasien hipotensi dan yang tidak stabil.

d. Gastrointestinal

Injuri gastrointestinal retroperitoneal yang terisolasi seperti

duodenum, kolon asenden dan desenden, dan rectum mungkin tidak

bermanifestasi tanda peritoneal atau abnormalitas pada diagnostic

peritoneal lavage. Saat injuri ini dicurigai, pemeriksaan kontras GI upper

dan lower mungkin dapat mengidentifikasinya.

F. Special Diagnostic Studies

Jika pasien akan dibawa ke fasilitas lain, tes yang memakan waktu tidak

harus dilakukan. Tes ini termasuk pemeriksaan kontras urologi dan GI,

peritoneal lavage, atau CT scan.

Peritoneal lavage atau CT scan harus dilakukan pada pasien injuri

multiple jika pada pemeriksaan abdominal:

a. Equivocal (fraktur lower ribs, dan fraktur pelvic dan lumbar spine yang

ditemukan tidak jelas)

Page 12: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

11

b. Pemeriksaan tidak dapat dilakukan karena head injuri, intoxicant, atau

paraplegia.

c. Tidak praktis karena mengantisipasi pemeriksaan roentgenographic

(angiography) atau anestesi umum untuk injuri ekstra abdominal

1. Diagnostik Peritoneal Lavage

Adalah tes yang digunakan untuk melihat apakah ada atau tidaknya

perdarahan didalam abdomen yang dapat diakibatkan oleh trauma tumpul

ataupun trauma tajam.

Tes ini menggunakan pipa lentur yang dimasukkan ke dalam abdomen.

Ketika di aspirasi terlihat adanya darah maka perlu segera dilakukan

tindakan operasil. Peritoneal lavage adalah indicator akurat untuk

menentukan injury dalam abdomen.

Kontraindikasi :

- Riwayat operasi abdomen

- Obesitas

- Sirosis

- Koaguloopati menetap

2. Computed Tomography

Dapat menggunakan kontras. Pasien harus dalam keadaan stabil terlebih

dahulu dan tidak terdapat kontraindikasi. Pelu diingat: CT memungkinkan

tidak terlihatnya jejas pada saluran cerna.

II. INDIKASI CELIOTOMI

1. Hipotensi disertai dengan jejas abdomen

2. Peritonitis

3. Hipotensi berulang

4. Udara ekstralumen

5. Jejas diafragma

6. Perforasi intraperitoneal

7. Jejas pancreas, saluran cerna, hepar, lien dan ginjal

Page 13: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

12

8. Peningkatan amylase yang menetap

III. MASALAH KHUSUS

A. Trauma Tumpul

Pola injury abdomen pada trauma tumpul sangat berbeda dari luka penetrasi.

Trauma benda tumpul dihasilkan dari perubahan cepat kecepatan pada

kerusakan lapisan visceral yang dapat terjadi dikarenakan dorongan langsung,

tekanan menggeser dan fenomena closed loop. Liver, limpa, dan ginjal adalah

organ yang paling sering terkena trauma tumpul.

Injury abdomen yang disebabkan karena trauma tumpul sulit untuk diperiksa

dan didiagnosis. Organ yang multipel, gangguan kesadaran pasien, dan atau

berbagai macam prehospital dan perawatan emergency dapat menutupi atau

menyamarkan temuan pemeriksaan pada injury abdomen. Pemeneriksaan fisik

sering membutuhkan kecurigaan berdasarkan mekanisme dari injurynya.

Beberapa dapat ditemukan dari PE, beberpa bisa juga tidak ditemukan.

1. Diafragma

Robekan tumpul dapat terjadi pada bagian diafragma dan bisa mengenai

pericardium. Biasanya injury sebesar 5 sampai 10 cm panjangnya, melibatkan

posterolateral hemidiafragma kiri. Abnormalitas pada x-ray biasanya tidak

spesifik tetapi hemothorax dapat terlihat dengan jelas. Posisi dari NGT dapat

mengidentifikasikan adana robekan pada sisi kiri, tube yang berada diatas

diafragma merupakan pathognomonic.

2. Duodenum

Ruptur duodenum biasanya mengalami intoksikasi, supir yang bebas

yang terlibat dalam kecelakaan frontal-impact motor atau dengan benturan

pada abdomen karena stang motor. Peningkatan aspirasi darah melalui

nasogastric atau udara pada retroperitoneal harus dicurigai. Duodenal “C-

loop” diatrizoate meglumine (Gastrografin) atau double contrast CT scan

diindikasikan pada pasien yang beresiko tinggi.

3. Pankreas

Injury pada pakreas baisanya disebabkan karena pukulan langsung pada

epigastrik yang menekan organ melawan kolum vertebral. Level serum

Page 14: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

13

amylase yang normal tidak menyingkirkan major pancreatic trauma;

sebaliknya apabila terjadi peningkatan level amylase mungkin bukan

bersumber dari pankreas. Walaupun pemeriksaan CT-scan dobel kontras tidak

dapat mengidentifikasi trauma pankreas yang signifikan pada immediate

postinjury period.

4. Genitourinary

Pukulan langsung pada bagian belakang atau pinggang akan

menghasilkan memar, hematoma ataupun ekimosis dicurigai merupakan

tanda dari renal injury. Fraktur pada posterior lower ribs atau spinal

transverse process meingkatkan kemungkinnan. Jika terdapat perineal

hematom dan fraktur pelvic anterior dicurigai trauma pada vesika urinaria

atau urethral. Darah pada urethral meatus atau tidak dapat BAK merupakan

tanda yang jelas dari injury saluran kemih bagian bawah. Gangguan pada

urethral dibagi menjadi 2 yaitu bagian atas (posterior) atau bawah

(anterior)dari diafragma urogenital. Trauma pada urethral posterior biasanya

terjadi pada pasien dengan injury multisystem dan fraktur pelvis. Blunt renal

artery thrombosis jarang terjadi dan renal pedicle disruption adalah jarang;

keduanya mungkin tidak menghasilkan hematuria. Pada pasien dalam

keadaan sadar jarang ditemui severe abdominal pain.

5. Small Bowel

Trauma tumpul pada usus secara umum disebakan karena perlambatan

yang tiba-tiba dengan robekan pada tempat penempelan, khususnya jika

pasien tidak menggunakan sabuk pengaman dengan benar. Timbulnya

ekimosis yang transverse ataupun linear dengan dinding abdomen (tanda

sabuk pengaman) atau adanya fraktur kompresi pada anterior lumbar pada x-

ray harus diwaspadai oleh dokter adanya kemungkinan injury pada usus.

Diagnosis mungkin sulit, khususnya jika pendarahan minimal yang mungkin

dihasilkan dari robekan organ intestinal. CT biasanya tidak bisa

mendiagnosis.

Page 15: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

14

B. Penetrating Trauma

Trauma penetrasi mungkin menyebabkan efek tidak langsung, seperti

ledakan atau kavitasi, dan juga injuri yang sulit disembuh karena senjata atau

objek yang bisa memperparah luka. Pola injuri berhubungan dengan ukuran

visera abdomen dan dekat dengan tempat masuk. Liver, usus halus, kolon dan

lambung harus dicuriga sebagai organ yang kemungkinan bisa terkena.

Pemeriksaan trauma penetrasi meliputi waktu terjadinya injuri, tipe senjata,

jarak dari penyerang , jumlah tikaman atau tembakan dan darah yang keluar

pada saat kejadian. Pada pasien yang sadar, dokter bisa menggali informasi tapi

jika tidak bisa menanyakan kepada polisi untuk data investigasi.

Luka penetrasi, khususnya luka tembak di punggung, pinggang atau pelvis

bisa menyebabkan injuri urologis atau kolon. Adanya perforasi ureter dan vesika

urinaria bisa tidak menunjukkan adanya hematuria.

1. Lower chest wound

Lower chest digambarkan sebagai bagian antara ICS 4 anterior (garis

npple) dan ICS 7 posterior (ujung scapular) dan batas costal. Karena

diafragma meningkat samai ICS 4 saat ekspirasi, luka penetrasi pada region

ini mungkin melibatkan abdominal viscera. Cara paling tepat ialah dengan

melakukan celiotomy pada lower chest gunshot wounds, sementara beberapa

surgeons mungkn meangani luka tusuk secara nonoperatif.

2. Flank and back wounds

Injury penetrasi pada retroperitoneum biasanya susah dievaluasi karena

lokasi anatomi yang tersembunyi. Terjadinya perforasi colon bisa menjadi

fatal. Resiko terjadinya visceral injury diikuti penetrasi pada flank bisa

terjadi.

C. Pelvic Fractures and Associated Injuries

Trauma pelvis yang berat sering dialami oleh pejalan kaki, pengendara

motor, atau orang yang jatuh dari ketinggian. Angka kematian dari fraktur pelvis

terbuka dapat melebihi 50%.

Perdarahan besar dari fraktur pelvis merupakan masalah yang sangat sulit

untuk ditangani. Tulang besar dari pelvis memiliki suplai darah yang banyak dan

Page 16: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

15

bila terjadi fraktur pada tulang tersebut akan terjadi perdarahan. Sekelompok

otot utama yang mengelilingi tulang ini juga memiliki pembuluh darah yang

banyak dan dapat berdarah ketika pelvis terjadi fraktur. Sejumlah vena besar

memasuki pelvis dan beresiko tinggi terjadinya perobekan. Cedera arteri yang

utama dari trauma pelvis dapat menyebabkan perdarahan yang hebat.

Pemeriksaan fisik harus mencakup inspeksi yang teliti dari perineum untuk

mencari ekimosis atau luka terbuka, dan penekanan sistematik terhadap tulang

pelvis. Cedera rektal dan genitourinari harus dicurigai dan disingkirkan pada

seluruh pasien dengan fraktur pelvis. Sering terjadi cedera flexus sacralis.

Perdarahan yang hebat biasanya berhubungan dengan robeknya pelvis posterior.

Rontgen tunggal dari pelvis dapat melihat luasnya cedera, terutama pada elemen

posterior.

Hipotensi pada pasien dengan fraktur pelvis menimbulkan masalah yang

sulit. Fraktur pelvis jarang merupakan fenomena yang tersembunyi. Hipotensi

dapat berkaitan dengan cedera extrapelvis. Hipotensi pada pasien harus menjadi

focus dalam mendiagnosis dan proses pengobatan. Penyebab kehilangan darah,

diantaranya adalah;

1. Intra-abdominal dari cedera organ atau visceral

2. Cedera thorax yang mengancam nyawa

3. Cedera retroperitoneal atau pembuluh darah pelvis

4. Pendarahan yang berkaitan dengan fraktur tulang pelvis

Penatalaksanaan awal yang diutamakan pada pasien hipotensi dengan fraktur

pelvis mencakup penggantian volume yang adekuat, pemantauan hemodinamik

yang teliti dan evaluasi pasien secara lengkap untuk menyingkirkan sumber

hilangnya darah extrapelvis. Peritoneal lavage harus dilakukan diatas umbilikus

untuk mencegah hematoma yang seringkali meluas dari pelvis kedalam dinding

abdomen anterior bawah. Aliran bebas dari darah yang terlihat secara

makroskopik (gross blood) mengindikasikan cedera intraperitoneal yang

memerlukan celiotomy. Lavage diagnostik positif dengan perhitungan RBC

harus diinterpretasikan secara seksama. Sekitar 15% dari pasien ini tidak

memiliki cedera retroperitoneal, tetapi terjadi kebocoran dari hematoma

retroperitoneal. Bila dilakukan dengan tepat, lavage peritoneal negatif dapat

Page 17: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

16

menyingkirkan perdarahan intraperitoneal yang serius. Jika tulang pelvis tidak

stabil, konsultasi untuk dilakukan perawatan orthopedi. Ketika perdarahan

intraperitoneal terkontrol, stabilisasi pelvis sringkali dilakukan pemasangan

fiksator eksternal dengan segera.

Bila perdarahan intraperitoneal dapat disingkirkan dengan tidak adanya

darah pada lavage peritoneal. Bila tidak ditemukan sumber perdarahan (dada,

ekstremitas) dan jika stabilitas hemodynamic pasien dapat dipertahankan dengan

resusitasi cairan, dapat diperkirakan terjadi kehilangan darah yang terus menerus

dari cedera pelvis retroperitoneal. Pada kebanyakan kasus, hal ini disebabkan

oleh perdarahan bertekanan rendah dari tempat fraktur, jaringan lunak

disekitarnya, atau cedera lunak disekitarnya, atau cedera vena. Perdarahan ini

lebih efektif dikontrol dengan menstabilisasikan pelvis dan dilakukan penutupan

ruang peritoneal terhadap adanya cairan. Fiksasi pelvis eksternal merupakan

metode pilihan untuk menstabilisasikan secara mekanik cincin pelvis yang tidak

stabil. Sampai fiksasi pelvis eksternal selesai dilakukan pada pasien dengan

hemodinamik yang tidak stabil, kain pneumatic anti shock dapaat menjadi

alternatif yang paling baik, untuk sementara dapat dilakukan pembidaian yang

darurat untuk cincin pelvis. Bila stabilisasi pelvic gagal untuk mengontrol

kehilangan darah yang terus menerus, diindikasikandilakukannya arteriografi

dengan segera. Pada persentasi yang kecil dari semua pasien dengan fraktur

pelvis (<10%), perdarahan arteri yang terus menerus diidentifikasi dan dapat

dikontrol dengan embolisasi dari pembuluh darah yang terkena.

Pada pasien yang secara hemodinamik stabil, kedaruratan untuk fiksasi dari

pelvis yang terkena tidak menjadi bagian yang darurat. Fiksasi eksternal sendiri

seringkali tidak dapat menjaga posisi dari cedera cincin pelvis posterior yang

mengalami perubahan posisi dan fiksasi internal diperlukan. Fraktur ppelvis

terbuka memerlukan evaluasi yang telah dijelaskan sebelumnya, melalui

debridemen luka, stabilisasi pelvis yang sesuai, dan dilakukannya colostomy.

Penatalaksanaan dari masalah yang serius ini, khususnya pada pasien dengan

hipotensi yang menetap, membutuhkan pendekatan multidisiplin untuk

prognosis pasien yang optimal. Hal ini seringkali memerlukan merujuk pasien

Page 18: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

17

ke fasilitas yang lebih mampu menangani pasien dengan masalah yang

kompleks.

IV. RINGKASAN

Dua tipe utama trauma abdomen yaitu: tumpul dan tajam. Pada kasus ini

evaluasi pasien secara dini oleh dokter bedah sangat diperlukan.

A. Trauma Tumpul

Kerusakan visceral intraabdomen harus dicurigai secara seksama setelah

trauma tumpul terhadap abdomen, terutama karena adanya bukti yang seringkali

diagnosis dari cedera jenis ini sulit dilakukan dan perlu dilakukan pendekatan

yang agresif. Cedera multipel sering terjadi, tanda dan gejala yang sering

muncul akan memandu proses diagnostik. Penilaian mekanisme cedera dapat

memberikan beberapa petunjuk. Bila penemuan klinis tidak ditemukan atau

tertutupi oleh cedera lainnya, teknik khusus harus dilakukan. Lavage peritoneum

yang dilakukan secara tepat, merupakan alat diagnostik yang bernilai untuk

pasien tersebut. Diagnosis cedera organ yang khusus tidak diperlukan, hanya

perlu ditemukan cedera abdomen akut.

B. Trauma Tajam

Dokter bedah harus mengevaluasi seluruh cedera tajam pada abdomen.

Trauma tajam pada daerah flank, pantat, dan dada bagian bawah dapat

menimbulkan cedera intra-abdomen dan harus diikuti dengan kecurigaan tingkat

tinggi.

C. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan trauma tumpul dan tajam terhadap abdomen meliputi:

1. Penilaian ulang fungsi vital dan mengoptimalisasi oksigenasi dan perfusi

jaringan

2. Memastikan mekanisme cedera

3. Menjaga kecurigaan yang tinggi berhubunan dengan cedera pembuluh darah

dan retroperitoneal yang tersembunyi.

4. Mengulang pemeriksaan fisik, menilai adanya perubahan atau tidak

5. Memilih cara diagnosis yang khusus bila diperlukan, dilakukan dalam waktu

yang singkat

Page 19: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

18

6. Mengenal secara dini indikasi pelaksanaan bedaah dan tindakan celiotomy

Diagnostic Peritoneal Lavage

Alat-alat

1. Alat intubasi

a. ETT

b. Larungoscope blade and hande

c. Respirator with 15-mm adapter

2. Needle/syringe

a. 6-ml syringe with #21 atau #25 gauge needle

b. 12-ml ayrynge

3. Peritoneal dialysis catheter set-ups

4. Surgical instrument

a. Disposable scalpel with #10 and #11 blade

b. Tissue forceps

c. Allis clamp

d. Hemostatis

5. Antiseptic swab

6. 500 ml atau 1000 ml RL/normal saline dengan makrodrip dan extension tubing

7. Lidocaine dengan epinefrin

8. Surgical drap

9. Surgical garb (gloves, shoe cover, and scrub atau cover gown)

Teknik Lavage Peritoneal : Teknik Terbuka

a. Kempiskan kandung kemih dengan pemasanngan kateter urin

b. Kempiskan lambung dengan pemasangan nasogastric tube

c. Persiapan operasi abdomen ( daerah kosta ke area pubis dan anterior pinggang

ke pinggang)

d. Suntikan anastesi lokal di midline dan 1/3 dari umbilikus ke symphisis pubis.

Pergunakan lidokain dengan epinephrine untuk mencegah kontaminasi darah

dari kulit dan jaringan subkutan

e. Insisi secara vertikal kulit dan jaringan subkutan ke fascia

Page 20: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

19

f. Jepit tepian fascia dengan klem, angkat dan insisi peritoneum

g. Masukan kateter dialysis ke dalam rongga peritoneum

h. Setelah memasukan kateter kedalam peritoneum, arahkan kateter ke dalam

pelvis

i. Hubungkan kateter dialysis dengan spuit lalu aspirasi

j. Bila darah tidak didapatkan, masukan 10 mL/kgBB RL/Saline normal (sampai 1

liter) ke dalam peritoneum melalui tabung intravena yang melekat pada kateter

dialisis

k. Gerakkan abdomen secara perlahan akan mendistribusikan cairan ke seluruh

rongga peritoneum dan meningkatkan pencampuran dengan darah

l. Bila kondisi pasien stabil, biarkan cairan tetap disana selama 5-10 menit

sebelum dikeluarkan. Proses pengeluarannya dilakukan dengan meletakkan

tempat penampungan RL/saline normal pada lantai, sehingga memungkinkan

cairan peritoneum mengalir keluar dari abdomen. Pastikan tempat penampungan

tersebut berventilasi untuk mempercepat aliran cairan dari abdomen

m. Setelah cairan dikembalikan, kirim sample ke laboratorium untuk hitung eritrosit

dan leukosit. Hasil yang positif dan perlunya tindakan operasi diindikasikan

dengan 100 RBC/mm2 atau lebih dan lebih dari 500 WBC/mm2.

n. Lavage negatif, tanpa menyingkirkan cedera retroperitoneal, contohnya pancreas

dan duodenum, perforasi lubang visceral yang tersembunyi, atau robekan

diafragmatik.

Komplikasi Peritoneal Lavage

1. Pendarahan, secondary to injeksi anestesi local, insisi kuit atau jaringan subkutan

memberikan pemeriksaan false positif

2. Peritonitis karena perforasi intestinal dari kateter

3. Laserasi urinary bladder (jika bladder tidak dievakuasi sebelumnya saat prosedur)

4. Injuri pada bagian abdomen lain dan struktur retroperitoneal yang membutuhkan

tindakan operasi)

5. Infeksi

Page 21: CSS 8 - Trauma Abdomen (Eva,Marry,Dety)

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Moore KL, Dalley AF. Clinically oriented anatomy. 5th Ed. Philladelphia: William & Wilkins. 2006.

2. Alexander RH, Proctor HJ. trauma abdomen. Dalam: Alexander RH, Proctor HJ. Advanced trauma life support course for physicians.US: American College of Surgeon. 1994. p. 141-58.