BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ruang Lingkup Bantuan Hukum
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ruang Lingkup Bantuan Hukum
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ruang Lingkup Bantuan Hukum
Bantun hukum (legal aid) memiliki definisi yang beragam. Black’s Law
Dictionary mendefinisikan bantuan hukum sebagai berikut: “Country wide
system administered locally by legal services is rendered to those in financial
need and who cannot afford private counsel”.8 Bantuan hukum sendiri tidak
dikenal dan tidak diartikan dalam UUDNRI 1945, namun disebutkan dalam
konstitusi RIS dan UUDS 1950 meskipun memiliki makna yang sedikit berbeda
jika dibandingkan dengan pengertian bantuan hukum saat ini. Dalam Aspek –
Aspek Bantuan Hukum di Indonesia oleh Abdurrahman dijelaskan:
Dalam Pasal 7 ayat 4 konstitusi RIS disebutkan bahwa setiap orang berhak
mendapatkan bantuan hukum yang sungguh dari hakim – hakim yang
ditentukan. Sedangkan Pasal 7 ayat 4 UUDS 195 menyebutkan bahwa setiap
orang berhak mendapatkan bantuan hukum dari hakim-hakim yang
ditentukan untuk itu, melawan perbuatan yang berlawanan dengan hak – hak
dasar yang diperkenalkan.
Dari penjelasan di atas, bantuan hukum di sini diartikan sebagai pertolongan
yang diberikan oleh hakim bagi tertuduh atau para dalam suatu perkara yang
diadilinya.
8 Dikutip dari Black’s Law Dictionary, edisi kelima, 1979, hlm. 803.
24
Pada Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum,
mengartikan bahwa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.
Di Indonesia, terdapat beberapa ahli yang memberikan pengertian bantuan
hukum sesuai dengan definisi dan sudut pandangnya masing-masing, adapun
pengertian bantuan hukum dari para ahli adalah sebagai berikut:
Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa: di dalam suatu artikel yang
berjudul “ legal aid : modern system and variation”, Capelletti dan Gordley
telah menyajikan suatu uraian mengenai beberapa sistem bantuan hukum, baik
dari Eropa maupun Amerika. Mereka menyatakan bahwa pada dasarnya
terdapat dua model ( sistem ) bantuan hukum, yang dinamakan sebagai model
Yuridis individual dan model kesejahteraan. Artinya, di suatu hak yang
diberikan kepada warga masyarakat untuk melindungi kepentingan –
kepentingan individual, dan di lain pihak sebagai suatu hak akan kesejahteraan
yang menjadi bagian dari kerangka perlindungan sosial yang diberikan suatu
negara kesejahteraan.9
Adnan Buyung Nasution, dalam sebuah makalahnya tahun 1980,
mengatakan bahwa “bantuan hukum pada hakikatnya adalah sebuah program
yang tidak hanya merupakan aksi kultural akan tetapi juga aksi struktural yang
diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat yang tidak adil menuju tatanan
masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas yang nyaman bagi golongan
9 Soerjono Soekanto, Prof, Dr, SH, MA, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosial Yuridis, Ghalia,
Jakarta, 1983
25
mayoritas. Oleh karena itu bantuan hukum bukanlah masalah sederhana. Ia
merupakan rangkaian tindakan guna pembebasan masyarakat dari belenggu
struktur politik, ekonomi, dan sosial (poleksos) yang sarat dengan penindasan.
10
Menurut K. Smith dan D.J. Keenan yang dikutip oleh Soerjono Soekanto,
Heri Tjandrasari dan Tien Handayani mengatakan bahwa “Bantuan hukum
(baik yang berbentuk pemberian nasehat hukum, maupun yang berupa menjadi
kuasa dari pada seseorang yang berperkara) yang diberikan kepada orang yang
tidak mampu ekonominya, sehingga ia tidak dapat membayar biaya
(honorarium) kepada seorang pembeli atau pengacara”. (Soerjono Soekanto,
Heri Tjandrasari dan Tien Handayani, 1987 : 9).
Menurut Bambang Sunggono dan Aries Harianto : Bantuan hukum adalah
suatu terjemahan dari istilah “legal aid” dan “legal assistance” yang dalam
prakteknya punya orientasi yang agak berbeda. “legal aid” biasanya lebih
digunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum dalam arti sempit
berupa pemberian jasa pada bidang hukum pada seseorang yang terlibat dalam
suatu perkara secara cuma-cuma atau gratis khususnya bagi mereka yang tidak
mampu (miskin). Sedangkan “legal assistance” untuk menunjukkan
pengertian bantuan hukum kepada mereka yang tidak mampu, ataupun
pemberian bantuan hukum oleh para advokat dan atau pengacara yang
mempergunakan honorarium.
10 T. Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta, 1986, hlm. 152
26
Menurut Erni Widhayanti: Bantuan Hukum pada hakikatnya segala upaya
pemberian bantuan dan pelayanan hukum kepada masyarakat, agar mereka
memperoleh dan menikmati semua haknya yang diberikan oleh hukum dalam
proses peradilan pidana.11 Lebih lanjut, Frans Hendra Winarta menegaskan
bahwa bantuan hukum merupakan jasa hukum yang khusus diberikan kepada
fakir miskin yang memerlukan pembelaan secara cuma-cuma baik di luar
maupun di dalam pengadilan secara pidana, perdata, dan tata usaha negara dari
seseorang yang mengerti seluk-beluk pembelaan hukum, asas-asas dan kaidah
hukum, serta hak asasi manusia. 12
Selanjutnya Nawawi memberikan batasan pengertian bantuan hukum
sebagai berikut :
“Bantuan hukum adalah bantuan memberikan jasa untuk :
a. Memberikan nasehat hukum;
b. Bertindak sebagai pendamping dan membela seseorang yang dituduh
atau didakwa melakukan kejahatan dalam perkara pidana”. 13
Dari beberapa pendapat di atas dapat diperoleh bahwa bantah hukum adalah
merupakan suatu pemberian jasa dalam bidang hukum yang berupa sumbangan
pemikiran atau perbuatan-perbuatan tertentu berupa bantuan dalam
11 Erni Widhayanti, SH, Hak – Hak Tersangka/ Terdakwa Di Dalam KUHAP, Liberty,
Yogyakarta, 1988, hlm. 11 12 Frans Hendra Winarta, Op. Cit, hlm. 23 13 Nawawi, Taktik Dan Strategi Membela Perkara Pidana, Fajar Agung, Jakarta, 1987, hlm. 4
27
mempertahankan hak dan memenuhi suatu kewajiban hukum tertentu kepada
fakir miskin yang membutuhkan.
B. Historis Yuridis-Normatif Bantuan Hukum di Indonesia
Bantuan hukum mulai dikenal pada zaman kolonialisme Belanda dengan
beberapa peraturannya yang disusun berdasarkan urutan waktu di bawah ini
sampai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum sebagai berikut :
1. Reglement op de Rechtsvordering (Reglemen Acara Perdata)
Staatsblad 1847 No. 52 jo. 1847 No. 63 Bagian 12 Beperkara secara
Cuma-Cuma (Prodeo) atau dengan Biaya Tarif yang Dikurangi Pasal
872,
“Barang siapa menjadi Penggugat atau Tergugat dapat menunjukkan,
bahwa ia adalah miskin atau tidak mampu untuk membayar biaya
perkaranya, oleh hakim yang akan mulai memeriksa perkaranya atau
sedang memeriksa perkaranya, dapat diizinkan untuk berperkara secara
cuma-cuma atau dengan biaya dengan tarif yang dikurangi. Orang-orang
asing yang tidak dimungkinkan untuk diizinkan beperkara dengan cuma-
cuma kecuali dengan suatu perjanjian yang tegas-tegas mengenai hal itu.”
Di dalam pengaturan undang undang ini telah menjamin bahwa para
pihak yang beperkara di muka pengadilan baik menjadi penggugat
maupun tergugat dapat mengurusi perkara hukumnya di muka
pengadilan dengan harga yang telah disesuaikan dengan kemampuan
dari penggugat maupun tergugat atau bahkan dapat dibebaskan biaya.
28
Kesadaran pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma telah
dikonsepkan semenjak zaman pemerintahan kolonial Belanda.
2. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en Het Belied Der Justitie
(R.O.) Staatsblad 1847 No. 27 Pasal 190 : “Para Advokat dan Procureur
bila ditunjuk oleh badan Pengadilan, dimana ia diangkat, wajib memberi
bantuan hukum secara cuma-cuma atau separo dari tarip biaya yang
berlaku, guna menolong mereka yang telah mendapat izin berproses tanpa
biaya atau di bawah tarip dari biaya yang berlaku.”
Di dalam peraturan perundang-undangan ini disebutkan bahwa para
Advokat diharuskan memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma
kepada mereka yang ditunjuk dapat beracara di bawah tarif biaya yang
berlaku atau bahkan dibebaskan dari biaya pada umumnya. Namun dari
beberapa peraturan yang diciptakan di masa kolonial Belanda ini masih
belum menyindir peran dari para akademisi untuk memberikan bantuan
hukum.
3. Regeling van den Bijstand en de Vertegenwoordigin van Partijen in
Burgerlijke Zaken voor de Landraden (Staatsblad 1927 No. 496)
tentang Peraturan dan Perwakilan Para Pihak Dalam Perkara Perdata
Di Hadapan Pengadilan Negeri Pasal 1 :
(1) Kecuali apa yang diatur dalam ayat 3 pasal ini, pasal 123 ayat 1
Reglement Indonesia Yang Diperbaharui (S. 1941-44) dan Pasal 147
ayat 1 Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
29
(R.Bg.), maka siapapun berhak untuk membantu atau mewakili suatu
pihak sebagai kuasa dalam perkara Perdata.
(2) Untuk bantuan atau perwakilan tersebut dengan dasar atau alasan
apapun juga tidak boleh dimintakan pembayaran atau menerimanya
tanpa memperhatikan aturan-aturan dalam ordonansi ini.
Di dalam undang undang ini disebutkan bahwa siapa saja berhak
untuk membantu atau mewakili suatu pihak kuasa dalam perkara
perdata. Jika diartikan, siapa pun yang memiliki pengetahuan
akan hukum maka berhak untuk membantu siapa pun yang
beperkara dan tidak diperkenankan untuk meminta pembayaran
dengan alasan tertentu. Dalam undang undang ini tidak
dijelaskan arti dan batasan siapa saja yang boleh memberikan
bantuan hukum.
4. Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad 1941 No. 44) Pasal 83 h ayat
6: “Jika seorang disangka bersalah melakukan suatu kejahatan yang
akibatnya ia dapat dihukum mati maka magistraat menanyakan kepadanya,
apakah ia berkehendak dalam Pengadilan dibantu oleh seorang Penasehat
ahli hukum atau seorang Penasehat Hukum.”
Pasal 123 ayat 1 : “Kedua belah pihak, kalau mau boleh dibantu atau
diwakili oleh Juru Kuasa, yang untuk maksud itu dikuasakan dengan Surat
Kuasa Istimewa, kecuali jika yang memberi kuasa itu hadir sendiri. Si
Penggugat dapat juga memberi kuasa itu dalam surat permintaan yang
ditanda tanganinya dan dimasukkan menurut ayat (1) pasal 118 atau pada
30
tuntutan yang dilakukan dengan lisan menurut pasal 120, dalam hal yang
terakhir yang sedemikian itu disebut dalam catatan yang dibuat dari
tuntutan itu.
Pasal 250 ayat 5 : “Jika tersangka diperintahkan menghadap ke
Pengadilan karena suatu kejahatan, yang boleh menyebabkan hukuman
mati, maka Tersangka baik dalam pemeriksaan oleh opsir justiti yang
ditetapkan dalam ayat keenam Pasal 83 h baik kemudian, menyatakan
kehendaknya supaya di waktu persidangan dibantu oleh seorang pembicara
sarjana hukum atau seorang atau seorang ahli hukum, maka Ketua
menunjuk dalam surat penetapannya seorang anggota Pengadilan Negeri
yang ahli hukum, atau orang lain yang sarjana hukum atau ahli hukum yang
menyatakan sudi melakukan pekerjaan itu, untuk memberi bantuan yang
dikehendaki. Hal penunjukan Pembela itu selama pemeriksaan belum
selesai, boleh juga dilakukan dengan surat penetapan yang terasing, yakni
kalau hal ini dikehendaki oleh tersangka pada masa itu. Hal penunjukan itu
tidak dilakukan apabila pada Pengadilan Negeri tidak ada seorang ahli
hukum yang bekerja di bawah perintah Ketua atau tidak ada Sarjana atau
ahli hukum yang sudi memberi bantuan itu”.
Pasal 250 ayat 6 : “Sarjana hukum atau ahli hukum yang ditunjukkan
menurut ayat yang lalu harus memberi bantuan dengan tanpa biaya.”
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa bantuan hukum akan diberikan
kepada terdakwa yang dihukum mati. Namun pasal ini tidak menyatakan
bahwa selain terdakwa yang divonis hukuman mati memiliki hak untuk
mendapatkan bantuan hukum. Tetapi dalam pasal ini sudah
31
mengikutsertakan akademisi sarjana hukum untuk memberikan bantuan
hukum dan tentunya bantuan ini harus diberikan secara gratis. Tentunya
pasal ini belum memfasilitasi bantuan hukum secara merata kepada
semua masyarakat yang membutuhkan.
5. Surat Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor 1902/P/2196/M/1959
Perihal : Penunjukan Pembela Berdasar Pasal 250 (5) H.I.R. kepada
Kepala Pengadilan Negeri di Banjarmasin yang pada pokoknya
menyebutkan bahwa, “Berdasarkan Pasal 250 ayat 5 H.I.R. tidak ada
keberatan untuk menunjuk seorang tamatan S.K.M.A atau seorang yang
berijazah B.A./Candidaat jurusan Hukum untuk menjadi Pembela, oleh
karena intisari dari Pasal 250 (5) H.I.R. tersebut ialah memberi kekuatan
hukum kepada seorang terdakwa oleh orang yang dianggap ahli hukum”.
Surat Ketua Mahkamah Agung R.I yang ditujukan kepada Kepala
Pengadian Negeri di Banjarmasin menjelaskan bahwa pembela hukum
dapat berasal dari seorang tamatan S.K.M.A atau sekolah kejuruan yang
mengerti tentang masalah hukum. Hal ini didasarkan pada Pasal 250
ayat (5) H.I.R. Dalam surat ketua Mahkamah Agung ini memberikan
kesempatan pada para tamatan sekolah menengah untuk memberikan
bantuan hukum, namun surat ini masih belum menjelaskan persyaratan
apa saja yang harus ditempuh seorang tamatan sekolah menengah untuk
memberikan bantuan hukum dan dalam surat ini dijelaskan secara tidak
langsung bahwa semua terdakwa yang sedang mengalami permasalahan
hukum dapat menerima bantuan hukum.
32
6. Penetapan Presiden RI No. 16 Tahun 1963 tentang Pembentukan
Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILUB) sebagaimana telah
ditingkatkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang
Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden
sebagai Undang-Undang, di dalamnya mengatur tentang bantuan hukum
dalam pemeriksaan di dalam persidangan MAHMILUB. Pasal 4 dari
peraturan ini menyatakan bahwa,
(1) Terdakwa dibantu oleh seorang atau lebih Pembela dan/atau
Penasehat.
(2) Jika Terdakwa tidak dapat mengajukan seorang Pembela, maka
Hakim Ketua menunjuk seorang atau lebih Pembela baginya.
Bantuan hukum dalam penetapan presiden ini dijelaskan bahwa tidak
hanya warga saja yang berak mendapatkan bantuan hukum, namun
juga peradilan militer yang mana di dalamnya yang menjadi terdakwa
adalah seorang militer yang melakukan pelanggaran hukum. Dengan
penetapan presiden ini menandakan bahwa bantuan hukum sudah
mulai masuk lebih dalam lagi ke dalam peradilan militer dan tidak
hanya di dalam peradilan konvensional biasa.
7. Peraturan Menteri Kehakiman Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pokrol
Pasal 2
menyebutkan bahwa, “Pokrol berkewadjiban : menegakkan hukum dengan
djalan memberi nasehat, mewakili dan atau membantu seseorang, sesuatu
badan atau sesuatu pihak di luar maupun di dalam Pengadilan,
berdasarkan kesadaran : [1] hukum adalah alat Revolusi, [2] hukum
33
berdasarkan Pantjasila, dan berhaluan Manipol Usdek, [3] hukum
berfungsi pengajoman, [4] hukum bertudjuan mentjapai dan menegakkan
masjarakat Sosialis Indonesia jang adil dan makmur, dan [5] setiap orang
mempunyai hak untuk memperoleh bantuan hukum dan wadjib diberi
perlindungan jang wadjar”.
Peraturan Menteri di atas memberikan penjelasan tentang bantuan
hukum yang masih berhaluan revolusi Indonesia. Karena pada tahun
1965 Indonesia sedang mengalami pergeseran haluan politik yang mana
pada saat itu masih dipimpin oleh Ir. Soekarno yang menggalakkan
revolusi.
8. Peraturan Menteri Kehakiman R.I. Nomor 1 Tahun 1965 Pasal 6 :
(1) Orang bukan Pokrol, yang akan memberikan bantuan hukum di dalam
suatu Pengadilan, hanya untuk satu perkara tertentu, harus mendaftarkan
diri pada Kepaniteraan Pengadilan tersebut.
(2) Panitera Pengadilan memberi surat keterangan bantuan hukum untuk
perkara yang bersangkutan dan mencatatnya dalam Buku Daftar Bantuan
Hukum.
Peraturan Menteri Kehakiman di atas memfasilitasi para pemberi
bantuan hukum yang dari kalangan non pokrol dapat memberikan
bantuan hukum dengan surat keterangan dari Panitera Pengadilan yang
mana nantinya dicatatkan pada Buku Daftar Bantuan Hukum. Peraturan
Menteri Kehakiman di atas pada tahun 1965 merupakan sebuah langkah
yang maju dalam rangka memberikan bantuan hukum kepada yang
membutuhkan di mana pada saat Indonesia masih dalam masa peralihan.
34
Dan ini juga menandakan bahwa pemerintah juga memberikan perhatian
penuh pada pemberian bantuan hukum meskipun pada saat itu masih
banyak gejolak di dalam negeri pada saat itu.
9. Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Badan-Badan Peradilan
Departemen Kehakiman Nomor : 0466/Sek-DP/74 tanggal 12 Oktober
1974 yang mengatur tentang pemberian bantuan hukum oleh Biro Bantuan
Hukum Fakultas Hukum Negeri yang isinya bahwa untuk dapat
memperoleh bantuan/perhatian pihak Pengadilan Tinggi/Pengadilan
Negeri, Fakultas Hukum Negeri harus memenuhi syarat-syarat tertentu
antara lain :
a. Biro Bantuan Hukum diberikan dalam rangka satu program pendidikan
hukum yang dipersiapkan dengan baik.
b. Bantuan Hukum yang diberikan oleh Mahasiswa Hukum tingkat IV dan
V yang turut dalam program bantuan hukum harus diselenggarakan di
bawah pengawasan dan bimbingan dosen/tenaga pengajar yang telah
berpengalaman dalam soal pembelaan perkara/pengadilan.
c. Biro hanya diperbolehkan membela orang yang kurang mampu tanpa
memungut bayaran dan tidak bermaksud menyaingi pengacara yang
profesinya membela perkara.
d. Dianjurkan agar ada kerja sama yang baik antara Biro Bantuan Hukum
Fakultas dengan para Pengacara/Advokat.
Pertama kalinya pihak akademisi, terutama para mahasiswa
fakultas hukum diberikan kesempatan untuk memberikan
bantuan hukum. Tetapi tidak semua mahasiswa fakultas hukum
35
dapat memberikan bantuan hukum, mahasiswa yang
memberikan bantuan hukum merupakan mahasiswa yang berada
di tingkat IV dan V dan harus berada di bawah pengawasan
bimbingan dosen / tenaga pengajar melalui naungan Biro
Bantuan Hukum. Bisa dikatakan bahwa lahirnya Biro Bantuan
Hukum di universitas pertama kali dimulai dari sini. Dan Biro
ini diharuskan memberikan bantuan hukum secara gratis.
10. Instruksi PANGKOPKAMTIB Nomor : INS.03/KOPKAM/XI/1978
tanggal 27 November 1978 tentang Pedoman sementara untuk
melaksanakan pernyataan bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri
Kehakiman, Jaksa Agung, WAPANGAB/PANGKOPKAMTIB, KAS
KOPKAMTIB dan KAPOLRI tanggal 10 November 1978 di dalamnya
ada lima belas persoalan bantuan hukum yang diatur dalam lampiran
Instruksi KOPKAMTIB yang harus dilaksanakan.
11. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.02.09.08 Tahun 1980
tanggal 1 Juni 1980 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Hukum
Pasal I :
(1) Pemberian Bantuan Hukum dalam pasal ini diselenggarakan melalui
badan Peradilan Umum.
(2) Bantuan Hukum diberikan kepada Tertuduh yang tidak/kurang mampu
dalam perkara Pidana :
a. yang diancam dengan pidana lima tahun penjara atau lebih, seumur
hidup atau pidana mati;
36
b. yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun tetapi perkara
tersebut menarik perhatian masyarakat luas.
Tata cara pemberian bantuan hukum sudah dibahas pada
Keputusan Menteri Kehakiman meskipun belum ada undang
undang yang mengaturnya pada saat itu. Dalam Keputusan
Menteri Kehakiman ini hanya ditujukan kepada para tertuduh
yang sedang mengalami perkara pidana yang mana perkara
pidananya ini dianggap sebagai kasus yang luar biasa dan
menarik perhatian khalayak ramai serta memiliki ancaman
pidana lima tahun penjara hingga pidana mati.
12. Kewajiban untuk memberikan bantuan hukum terhadap pelaku tindak
pidana tertentu (stricto sensu) diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
dalam Pasal 56,
(1) Dalam hal Tersangka atau Terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang
tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang
tidak mempunyai Penasehat Hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan
pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib
menunjuk Penasehat Hukum bagi mereka.
(2) Setiap Penasehat Hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) memberikan bantuan hukumnya dengan cuma-
cuma.
37
Bantuan hukum yang dimaksud dalam KUHP ini adalah bantuan
hukum yang langsung ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan
dan khusus untuk para terdakwa yang melakukan tindak pidana
khusus dan yang tidak memiliki penasehat hukum. Masih sama
seperti bantuan hukum lainnya, penasehat hukum yang ditunjuk
di sini harus memberikan bantuan hukum secara gratis. Istilah
bantuan hukum baru populer di dalam KUHP dan setelahnya.
13. Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung R.I. dan Menteri Agama
R.I. Nomor : KMA/003/SK/I/1983 dan Nomor : 3 Tahun 1983 tentang
Pengawasan Terhadap Pemberi Bantuan Hukum yang pada pokoknya
memutuskan bahwa, “Dalam rangka pengawasan terhadap Pemberi
Bantuan Hukum diperlukan suatu wadah dalam Mahkamah Agung cq.
Sekertariat Jenderal dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama cq. Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam”.
Pemberian bantuan hukum juga sudah masuk pada peradilan agama
yang mana bantuan hukum pada peradilan agama ini dianjurkan untuk
berada di bawah pengawasan dari Mahkamah Agung agar tidak ada
kecurangan dalam memberikan bantuan hukum di dalam peradilan
agama, seperti penetapan biaya dalam memberikan bantuan hukum.
14. Instruksi Menteri Kehakiman R.I. Nomor M.24-UM.06.02 Tahun 1985
tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Bantuan Hukum Bagi
Golongan Masyarakat yang Kurang Mampu yang pada pokoknya
“menginstruksikan kepada : [1] Kepala Kantor Wilayah Departemen
38
Kehakiman, [2] Ketua Pengadilan Tinggi, dan [3] Ketua Pengadilan
Negeri untuk : [1] Melaksanakan Program Bantuan Hukum bagi golongan
masyarakat yang kurang mampu berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan
sebagaimana terlampir dalam Instruksi ini, [2] Melaksanakan Instruksi ini
secara tertib dan penuh tanggung jawab dan [3] Melaksanakan Instruksi
ini secara tertib dan penuh tanggung jawab”.
Pemberian bantuan hukum mulai dicanangkan secara serius dengan
Instruksi Menteri Kehakiman untuk warga yang kurang mampu.
Instruksi ini diberikan kepada para pejabat yang berwenang dan harus
dilaksanakan dengan baik, tertib dan penuh tanggung jawab. Instruksi
ini menyambung istilah bantuan hukum dari KUHP.
15. Surat Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor : 084/TUN/VIII/1989
Perihal Mohon petunjuk adanya perbedaan pendapat Pengadilan
Jambi dengan Fakultas Hukum Universitas Jambi dalam masalah
struktur organisasi dan operasional Biro Bantuan Hukum di
Universitas tanggal 14 Agustus 1989 kepada Sdr. Ketua Pengadilan
Tinggi Jambi yang pada pokoknya memberikan petunjuk:
(1) Pembentukan dan susunan Pengurus Biro Bantuan Hukum Fakultas
Hukum Universitas Jambi adalah urusan intern dan terserah kepada
Fakultas Hukum itu sendiri;
(2) Sedangkan adanya keinginan Fakultas Hukum tersebut untuk
mendaftarkan Biro Bantuan Hukumnya pada Pengadilan Tinggi Jambi
hendaknya Saudara sambut dengan baik.
39
(3) Tetapi yang boleh berpraktek di muka Pengadilan hanyalah mereka-
mereka yang diangkat oleh Menteri Kehakiman (Advokat) dan yang
diberi ijin berpraktek oleh Ketua Pengadilan tinggi (Pengacara
Praktek); Berarti hanya mereka- mereka yang telah memenuhi
persyaratan-persyaratan seperti tersebut dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung RI tanggal 25 November 1988 No. 8 Tahun 1988
tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah
Agung RI dan Menteri Kehakiman RI tanggal 6 Juli 1987 saja yang
dibenarkan menjalankan kegiatan profesi sebagai Penasehat Hukum.
(4) Sedang apabila didirikannya Biro Bantuan Hukum semacam itu
dimaksudkan untuk membimbing Mahasiswa Hukum tingkat akhir untuk
berpraktek hukum di muka Pengadilan maka hal itu dapat terjadi
setelah pihak Universitas mengadakan kerja sama dengan Pengadilan
Tinggi. Sesuai dengan Surat Mahkamah Agung tanggal 20 Oktober
1987 No. 39/TUN/X/1987 Perihal Persetujuan Kerja sama mengenai
Bantuan Hukum maka sebagai pelaksanaan dari kerja sama antara
Ketua Pengadilan Tinggi dan pihak Universitas, jumlah dosen
pembimbing Mahasiswa Hukum tersebut paling banyak 3 (tiga) orang,
kepada mereka itu dapat Saudara beri ijin praktek khusus yang hanya
berlaku untuk mendampingi Mahasiswa berpraktek hukum.
Pengaturan pemberian bantuan hukum yang dilakukan oleh para
mahasiswa fakultas hukum tingkat akhir juga dibahas dalam
Surat Ketua Mahkamah Agung atas pertanyaan dari Universitas
Jambi untuk mendirikan bantuan hukum yang mana akan
40
terlaksana dengan mengadakan kerja sama dengan Pengadilan
Tinggi.
16. Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor MA/KUMDIL/5043/VIII/90
Perihal Penertiban terhadap para Penasehat Hukum dan Biro Bantuan
Hukum tanggal 25 Agustus 1990 kepada Sdr.-Sdr. Ketua Pengadilan
Tinggi di seluruh Indonesia yang pada pokoknya bahwa, sehubungan
dengan pelaksanaan penertiban terhadap mereka yang boleh beracara di
muka Pengadilan, maka bersama ini dikirimkan foto copy surat edaran :
(1) Saudara Ketua Pengadilan Tinggi Bengkulu tanggal 1 Juni 1990 No.
W21.D. BH.08.10-346 tentang Pembentukan Tim Bantuan Hukum.
(2) Saudara Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat tanggal 11 Juni 1990 No.
W8.DA. KP.04.B-1308 tentang Penertiban terhadap para Pengacara
Praktek kepada Saudara-saudara, agar dapat dipergunakan sebagai
contoh apabila di tempat Saudara berhadapan dengan masalah yang
sama.
Surat Mahkamah Agung yang ditujukan kepada ketua Pengadilan
Tinggi di seluruh Indonesia ini menyarankan untuk membentuk tim
untuk memberikan bantuan hukum kepada siapapun yang
membutuhkannya.
17. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 51:
(1) Setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak
mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasehat Hukum
selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata
cara yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
41
(2) Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib
memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali, atau orang tua
asuh, mengenai hak memperoleh bantuan hukum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(3) Setiap Anak Nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan
langsung dengan Penasehat Hukum dengan diawasi tanpa didengar
oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 52: “Dalam memberikan bantuan hukum kepada anak sebagaimana
dimaksud Pasal 51 ayat (1), Penasehat Hukum berkewajiban
memperhatikan kepentingan anak dan kepentingan umum serta berusaha
agar suasana kekeluargaan tetap terpelihara dan peradilan berjalan
lancar.”
Bantuan hukum yang dijelaskan pada Undang-Undang No. 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 51 dibedakan dari bantuan hukum
yang lain. Dalam memberikan bantuan hukum pada anak yang nakal
yang ditangkap, maka sang pemberi bantuan hukum harus mengetahui
kepentingan dari anak yang bersangkutan dan memperlakukannya tidak
seperti beberapa tahanan yang lain.
18. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 18 ayat 4 bahwa, “Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan
bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
42
Selain dalam UUD NRI 1945, hak setiap orang yang beperkara untuk
mendapatkan bantuan hukum juga diatur dalam Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mana pada undang
undang ini diartikan bahwa bantuan hukum merupakan hak asasi setiap
manusia yang sudah dijamin di dalam undang undang tentang HAM
maupun dalam konstitusi.
19. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia Pasal 10 menyebutkan bahwa, “Dalam hal tidak ditentukan lain
dalam Undang- Undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara
pidana” mutatis mutandis Ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku dalam Undang-Undang
Pengadilan HAM.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia Pasal 10 ini menyambung ketentuan dari Pasal 56 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
mengharuskan pejabat yang bersangkutan harus menunjuk salah satu
penasihat hukum untuk terdakwa yang bersangkutan. Dan penasihat
hukum yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang harus memberikan
batuan hukum gratis kepada terdakwa yang bersangkutan.
20. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasal 1 ayat
9 menyebutkan bahwa, “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang
diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien yang tidak
mampu” dan Pasal 22:
43
(1) Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada
pencari keadilan yang tidak mampu.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan
hukum secara cuma-cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Di dalam undang undang Advokat ini menjelaskan bahwa
Advokat diwajibkan untuk memberikan bantuan hukum secara
gratis kepada klien yang tidak mampu tanpa terkecuali. Bantuan
hukum pada undang undang ini hanya dapat ditemukan pada
pasal ini saja.
21. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 10 bahwa, “Korban berhak
mendapatkan : [a] perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik
sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan dan [d] pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum
pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
Pengaturan bantuan hukum juga dapat ditemukan pada Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Pasal 10, yang menjelaskan bahwa korban kekerasan dalam
rumah tangga berhak mendapatkan bantuan hukum. Ini merupakan salah
satu kemajuan dari bantuan hukum yang mana korban dari KDRT tidak
pernah disinggung sebelumnya pada beberapa peraturan sebelumnya.
44
22. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak- hak Sipil dan Politik) Pasal 14 ayat 3 huruf
d bahwa, “Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela
langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk
diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela, dan untuk
mendapatkan bantuan hukum demi kepentingan keadilan, dan tanpa
membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya”.
Pemberian bantuan hukum dianggap merupakan sebagai sesuatu yang
harus diperhatikan secara serius di mata internasional, sehingga bantuan
hukum juga dituangkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak- hak Sipil dan Politik) Pasal 14 ayat
3 huruf d
23. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.
Peraturan pemerintah ini merupakan tata cara pemberian bantuan hukum
seperti yang dijelaskan pada undang undang Advokat.
24. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 56 :
(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
hukum.
(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak
mampu.
45
Pasal 57:
(1) Pada setiap Pengadilan Negeri dibentuk Pos Bantuan Hukum kepada
pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.
(2) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara
cuma- cuma pada setiap tingkat peradilan sampai putusan terhadap
perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Bantuan Hukum dan Pos Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 56 mengharuskan bahwa pada setiap
pengadilan negeri harus dibentuk pos bantuan hukum yang
dikhususkan untuk para pencari keadilan yang tidak mampu. Pos
pos ini merupakan salah satu wujud pemerintah dalam
keseriusannya dalam memberikan bantuan hukum kepada
masyarakat yang tidak mampu.
Passim di dalam redaksional Pasal 60B ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal
60C ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Peru- bahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dan di dalam redaksional Pasal 144C ayat (1),
(2), dan (3) serta Pasal 144D ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
46
25. Surat Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor 041/KMA/IV/2009 tanggal
13 April 2009 yang pada pokoknya mengizinkan mahasiswa Fakultas
Hukum yang tergabung dalam Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum dapat
memberikan bantuan hukum di pengadilan.
Peran akademisi Fakultas Hukum diberikan kesempatan untuk
memberikan bantuan hukum sebagai salah satu bentuk perwujudan Tri
Dharma Perguruan Tinggi kepada masyarakat.
26. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Pasal
68B:
(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
hukum.
(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak
mampu.
(3) Pihak yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
melampirkan surat keterangan tidak mampu dari Kelurahan tempat
domisili yang bersangkutan.
Pasal 68C:
(1) Pada setiap Pengadilan Negeri dibentuk Pos Bantuan Hukum untuk
pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.
(2) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara
cuma- cuma, kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap
perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
47
(3) Bantuan Hukum dan Pos Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Passim di dalam redaksional Pasal 60B ayat (1),
(2), dan (3) serta Pasal 60C ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peru- bahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan di
dalam redaksional Pasal 144C ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal 144D
ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Pada peraturan ini dijelaskan bahwa setiap warga yang tidak
mampu dapat mendapatkan bantuan hukum dengan cara
memberikan surat tanda keterangan tidak mampu dari kelurahan
yang bersangkutan. Segala biaya selama masa persidangan akan
ditanggung oleh negara.
27. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2010 tentang
Pedoman Pemberian Bantuan Hukum beserta Petunjuk Pelaksananya
antara lain Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum
Nomor : 1/DJU/OT.01.3/VIII/2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2010 tentang Pedoman Bantuan Hukum Lampiran A dan Keputusan
TUADA ULDILAG MARI Nomor 04/ TUADA-G/II/2011 dan
Sekretaris MARI Nomor 020/SEKI/SK/II/2011 tentang Petunjuk
48
Pelaksanaan SEMA 10/2010 tentang Pedoman Bantuan Hukum
Lampiran B.
SEMA di atas memberikan petunjuk secara lengkap tentang pedoman
pemberian bantuan hukum beserta petunjuk pelaksaannya. SEMA ini
benar-benar membantu para pemberi bantuan hukum dalam
melaksanakan tugasnya tanpa terkecuali.
28. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
mengatur tentang Bantuan Hukum.14
C. Para Pihak yang Dapat Memberikan Bantuan Hukum
Tidak semua orang dapat memberikan bantuan hukum, hanya beberapa saja
yang bisa memberikan bantuan hukum bilamana ia mempunyai keahlian dalam
bidang hukum. Namun semua orang yang berada di bawah garis kemiskinan
berhak untuk mendapatkan bantuan hukum, secara cuma-cuma. Akan tetapi,
untuk terciptanya ketertiban pelaksanaan bantuan hukum, diberikan beberapa
batasan dalam hal memberikan bantuan hukum. Hanya ada beberapa golongan
tertentu yang dapat memberikan bantuan hukum kepada yang membutuhkan.
Menurut Keputusan Mahkamah Agung Nomor 5/KMA/1972 tanggal 22 Juni
1972 disebutkan bahwa pemberian bantuan hukum di Indonesia dapat
dikategorikan dalam tiga golongan, yaitu :
a. Pengacara yaitu mereka yang sebagai mata pencahariannya menyediakan
diri sebagai pembela dalam perkara pidana atau kuasa/wakil dari pihak-
14 Posbakumadin, “Implementasi Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu,”
(Disampaikan dalam Seminar Nasional Sosialisasi UU Bantuan Hukum Nomor 16 tahun 2011, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Surabaya, 26 April 2012)
49
pihak dalam perkara perdata dan yang telah mendapatkan surat
pengangkatan dari Departemen Kehakiman.
b. Pengacara Praktek, yaitu mereka yang sebagai mata pencahariannya
(beroep) menyediakan diri sebagai pembela atau kuasa/wakil dari pihak-
pihak yang berperkara, akan tetapi tidak termasuk dalam golongan
tersebut di atas.
c. Mereka yang karena sebab tertentu secara insidentil membela atau
mewakili pihak-pihak yang berperkara.
Sedangkan Bambang Poernomo membagi organ bantuan hukum yang dapat
memberikan bantuan hukum menjadi empat golongan, yaitu:
a. Advokat
Advokat menjalankan pekerjaan jasa hukum sebagai mata pencaharian
pokok dan memberikan bantuan hukum dalam arti seluas-luasnya baik di
muka pengadilan maupun di luar pengadilan. Advokat dalam menjalankan
pekerjaannya tersebut berdasarkan surat pengangkatan dari Menteri
Kehakiman.
b. Pengacara
Pengacara memberikan pekerjaan jasa dan memberikan bantuan hukum
secara terbatas bagi suatu perkara tertentu di muka pengadilan. Pengacara
dalam menjalankan tugasnya berdasarkan surat pengangkatan dari
Pengadilan Tinggi setempat.
c. Penasehat Hukum
Penasehat Hukum menjalankan pekerjaan jasa hukum dan memberikan
bantuan hukum berupa konsultasi hukum atau mendampingi klien dalam
melakukan pembelaan hukum di muka pengadilan terbatas pada
wilayah hukum tertentu dari Pengadilan Negeri yang berkuasa mengangkat
atas nama Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.
50
d. Pokrol
Pokrol menjalankan pekerjaan jasa atas dasar pengalaman dan membantu
orang yang berperkara pidana atau perdata yang tidak terjangkau oleh
Advokat, Pengacara dan Penasehat Hukum dengan tugas sesuai dengan surat
kuasa yang diijinkan oleh Pengadilan negeri.
Sementara dalam Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003
tentang Advokat menyatakan “Advokat wajib memberikan bantuan hukum
secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.” Sedangkan
pada Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum menyatakan:
Pemberi Bantuan Hukum berhak:
a. melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa
fakultas hukum;
b. melakukan pelayanan Bantuan Hukum;
c. menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program
kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum;
d. menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan Bantuan Hukum
berdasarkan Undang-Undang ini;
e. mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang
menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain,
untuk kepentingan pembelaan perkara; dan
g. mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan
selama menjalankan pemberian Bantuan Hukum.
1. Pemberi Bantuan Hukum Insidentil:
Apabila seorang sarjana hukum yang tidak termasuk golongan
pengacara, advokat atau belum melalui proses pengangkatan sebagai
pengacara, sehingga belum memiliki surat izin untuk berpraktek, maka
51
bantuan atau petunjuk yang diberikan kepada seseorang tersebut tidak
termasuk dalam kategori bantuan hukum, oleh karena hanya diberikan
secara insidentil. Bagi mereka yang memberikan bantuan hukum secara
insidentil maka diwajibkan untuk mengajukan permohonan kepada
Kepaniteraan Pengadilan Negeri di mana perkara itu akan diperiksa untuk
mendapatkan surat keterangan bantuan hukum dari Ketua Pengadilan
Negeri tersebut.
2. Lembaga Bantuan Hukum
Untuk menjalankan program bantuan hukum, telah dibentuk lembaga
yang dikenal dalam kegiatan dalam memberikan bantuan hukum kepada
masyarakat golongan fakir miskin dan buta hukum yang lebih dikenal
sebagai Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Dari Anggaran Dasar LBH Jakarta, lembaga ini memiliki tujuan untuk:
a. Memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (gratis /
prodeo) kepada masyarakat luas yang tidak mampu.
b. Menumbuhkan pengembangan serta meninggikan kesadaran
hukum pada masyarakat umumnya dan khususnya kesadaran
akan hak –hak sebagai subyek hukum.
c. Memajukan hukum dan pelaksanaan hukum sesuai dengan
perkembangan zaman dan masyarakat.
Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut lembaga berusaha dengan:
52
a. Menyelenggarakan pemberian bantuan hukum dan atau
pembelaan umum yang meliputi segala pekerjaan atau jasa
advokat terhadap kliennya di dalam maupun di luar pengadilan;
b. Mengadakan ceramah, diskusi, penerangan, penerbitan buku &
brosur dan lain sebagainya;
c. Mengadakan kerja sama dengan lembaga-lembaga badan-
badan instansi pemerintah maupun non pemerintah;
d. Menyediakan diri selaku wadah guna latihan praktek hukum
bagi mahasiswa fakultas hukum.
3. Fakultas Hukum
Adanya program bantuan hukum bagi suatu Fakultas Hukum adalah
merupakan suatu hal yang esensiel sebagaimana yang digambarkan oleh
Team Asesmen Pendidikan Hukum Konsorsium Ilmu Hukum
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengenai Pembaharuan
Pendidikan Hukum, bahwa pengembangan kegiatan pengabdian
masyarakat yang berbentuk bantuan hukum, konsultasi hukum,
penerangan, penyuluhan, dan kuliah kerja nyata, harus dimanfaatkan
dalam proses pendidikan, guna mencapai hasil yang bermanfaat baik dari
aspek pengabdian masyarakat maupun sebagai tempat praktek
mahasiswa.15
Selain mahasiswa fakultas hukum, para tenaga pendidik atau dosen dari
fakultas hukum juga dapat memberikan bantuan hukum kepada pada
15 Abdurrahman, Aspek – Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1983,
hlm. 254
53
masyarakat atau golongan tertentu yang masuk di dalam kategori
golongan yang sedianya pantas untuk menerima bantuan hukum. Selain
itu, keberadaan dosen di sini juga dapat berperan aktif sebagai
pembimbing mahasiswa fakultas hukum di dalam kegiatan Unit
Konsultasi Bantuan Hukum (yang selanjutnya disebut sebagai UKBH)
baik secara litigasi maupun non litigasi dan dapat memberikan
pembelajaran dan materi di luar kegiatan perkuliahan yang dilakukan
secara formal agar para mahasiswa juga dapat mempraktekkan apa yang
selama ini mahasiswa fakultas hukum dapatkan pada program studinya.
Sehingga apa yang didapatkannya pada bangku perkuliahan dapat benar-
benar diterapkan dan diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan.
UKBH yang bernaung di bawah fakultas hukum dapat sekaligus
dijadikan tempat untuk mendidik calon-calon sarjana hukum agar dapat
memahami bahwa profesi di bidang hukum adalah profesi yang sangat
luhur dan harus dapat dilaksanakan dengan pengetahuan, keterampilan,
kejujuran dan moral tinggi sembari mengamalkan salah satu dari Tri
Dharma Perguruan Tinggi.
Pemberian batuan hukum kepada orang atau kelompok orang yang
membutuhkan tidak bisa dilakukan secara langsung oleh pemberi bantuan
hukum. Tata cara pemberian bantuan hukum ini sendiri sudah diatur
dalam Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UUBH
yang menyatakan:
(1) Pemohon Bantuan Hukum mengajukan permohonan Bantuan
Hukum kepada Pemberi Bantuan Hukum.
54
(2) Pemberi Bantuan Hukum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
hari kerja setelah permohonan Bantuan Hukum dinyatakan
lengkap harus memberikan jawaban menerima atau menolak
permohonan Bantuan Hukum.
(3) Dalam hal permohonan Bantuan Hukum diterima, Pemberi Bantuan
Hukum memberikan Bantuan Hukum berdasarkan surat kuasa
khusus dari Penerima Bantuan Hukum.
(4) Dalam hal permohonan Bantuan Hukum ditolak, Pemberi Bantuan
Hukum mencantumkan alasan penolakan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian
Bantuan Hukum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
D. Para Pihak yang Menerima Bantuan Hukum
Para pihak yang berhak menerima bantuan hukum sudah ditentukan dan
diatur dalam UUBH. Pengertian dari Penerima Bantuan Hukum terdapat dalam
Pasal 5 UUBH yang meyatakan:
(1) Penerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat
memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri.
(2) Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas
pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan
berusaha, dan/atau perumahan.
Dari rumusan yang dijelaskan oleh Pasal 5 UUBH tersebut menyatakan
bahwa setiap orang yang tidak dapat memenuhi hak dasar seperti pangan,
sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha,
dan/atau perumahan dapat menerima bantuan hukum. Pengertian orang atau
kelompok orang miskin di sini hanya didefinisikan sebagai orang atau
kelompok orang yang tidak memiliki kemampuan secara ekonomi.
Orang atau kelompok orang yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara
layak dan mandiri, tidak dapat begitu saja dapat menerima bantuan hukum dari
55
pemberi bantuan hukum. Ketentuan ini dapat dilihat dalam syarat dan tata cara
pemberian bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat
(2) yang menyatakan:
(1) Untuk memperoleh Bantuan Hukum, pemohon Bantuan Hukum harus
memenuhi syarat-syarat:
a. mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-
kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok
persoalan yang dimohonkan Bantuan Hukum;
b. menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan
c. melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau
pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.
(2) Dalam hal pemohon Bantuan Hukum tidak mampu menyusun
permohonan secara tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan.
Dari uraian di atas bisa diketahui bahwa tidak serta-merta semua orang yang
termasuk ke dalam golongan orang tidak mampu tidak bisa mendapatkan
bantuan hukum secara langsung atas permasalahan hukum yang sedang
dihadapinya. Tetapi hal ini juga berlaku kepada sang pemberi bantuan hukum
yang mana pemberi bantuan hukum ini tidak bisa langsung memberikan
bantuan hukumnya kepada masyarakat yang membutuhkan. Setidaknya,
pemberi bantuan hukum juga harus memenuhi syarat sebagai berikut seperti
yang telah diatur dalam Pasal 14 UUBH:
(1) Untuk memperoleh Bantuan Hukum, pemohon Bantuan Hukum harus
memenuhi syarat-syarat:
a. mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-
kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok
persoalan yang dimohonkan Bantuan Hukum;
b. menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan
c. melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau
pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.
56
(2) Dalam hal pemohon Bantuan Hukum tidak mampu menyusun
permohonan secara tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan.
Dari rumusan di atas yang mengatur tentang pengaturan syarat penerima
bantuan hukum, akan memungkinkan untuk meminimalisir bentuk-bentuk
kecurangan yang berpotensi, seperti orang atau kelompok orang yang mampu
yang menyamar datang dari kelompok orang yang tidak mampu dan juga
ketentuan ini menjamin setiap orang atau kelompok orang yang tidak mampu
akan mendapatkan jaminan bantuan hukum atas permasalahan hukum yang
sedang dihadapinya.