BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2...
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.Kajian Teori
2.1.1. Belajar dan Pembelajaran
Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2) mendefinisikan belajar adalah
perubahan disposisi atau kemampuan melalui aktivitas. Travers (Suprijono, 2009:
2) belajar adalah proses menghasilkan penyesuaian tingkah laku. Menurut
Cronbach (Djamarah, 2011:13) mengemukakan “learning is shown by a change is
behavior as a result of experience” (belajar adalah perubahan perilaku sebagai
hasil dari pengalaman). Menurut Spears (Suprijono, 2009:2) “Learning is observe,
to read, to invite, to try something themselves, to listen, to follow direction”
(dengan kata lain, bahwa belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba
sesuatu, mendengarkan dan mengikuti arah tertentu).
Menurut James O. Whittaker (Djamarah, 2011:12) belajar sebagai proses
dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai
hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto,
2003: 23).
Berdasarkan pendapat diatas, peneliti menegaskan bahwa belajar adalah
suatukegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh pengalaman
melalui aktivitas yang menghasilkan perubahan perilaku yang baru secara
keseluruhan dan bersifat permanen.
Menurut Suprijono (2009:13) pembelajaran berdasarkan makna leksikal
berarti proses, cara, perbuatan mempelajari.Pembelajaran merupakan suatu proses
perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan yang
dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil dan pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya.
9
Pembelajaran menurut Gagne (Isjoni, 2011:72)“An active process and
suggests that teaching facilitating active mental process by student”, bahwa
dalam proses pembelajaran siswa berada dalam posisi proses mental aktif, dan
guru berfungsi mengkondisikan terjadinya pembelajaran.
Sedangkan menurut Surya (Isjoni, 2011:72) pembelajaran merupakan
suatu proses perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu
perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dan pengalaman
individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Pembelajaran
merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses
pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta
pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain,
pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar
dengan baik.
Berdasarkan pendapat di atas peneliti menyimpulkan bahwa, pembelajaran
merupakan proses interaksi antara guru dengan siswa yang ditujukan untuk
melakukan perubahan sikap dan pola pikir siswa kearah yang lebih untuk
mencapai hasil belajar yang optimal.
2.1.2. Pembelajaran Kooperatif
Menurut Lie (Suprijono, 2009:56) pembelajaran kooperatif juga
didasarkan atas filsafat homo homini socius, filsafat ini menekankan bahwa
manusia adalah makhluk sosial. Sedangkan menurut Eggen (Isjoni, 2011:25)
pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa
untuk bekerja secara kolaboratif dalam mencapai tujuan.
Model pembelajaran kooperatif bukanlah hal yang sama sekali baru bagi
guru. Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang
mengutamakan adanya kerjasama antar siswa. Setiap siswa yang ada dalam
diskusi atau kerjasama mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda
(tinggi, sedang, dan rendah) dan jika memungkinkan dalam kerjasama berasal dari
ras, budaya, suku yang berbeda-beda serta memperhatikan kesetaraan gender.
Model pembelajaran kooperatif menguatamakan kerja sama dalam menyelesaikan
10
permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan ketrampilan dalam rangka
mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut Karp dan Yoels (Isjoni, 2011:19) menyatakan bahwa strategi
yang paling sering dilakukan untuk mengaktifkan siswa adalah dengan diskusi
kelas. Namun dalam kenyataannya, strategi ini tidak efektif karena meskipun guru
sudah mendorong siswa untuk aktif dalam berdiskusi, kebanyakan siswa hanya
diam menjadi penonton sementara karena kelas dikuasai oleh beberapa siswa saja.
Salah satu metode pembelajaran yang berkembang saat ini adalah
pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif mengkondisikan siswa untuk
aktif dan saling memberi dukungan dalam kerjasama untuk menuntaskan materi
masalah dalam belajar.
Menurut Koes (Isjoni, 2011:20) menyebutkan bahwa belajar kooperatif
didasarkan pada hubungan antara motivasi, hubungan interpersonal, strategi
pencapaian khusus, suatu ketenangan dalam individu memotivasi gerakan kearah
pencapaian hasil yang diinginkan.
Hakikatnya kooperatif sama dengan kerja kelompok, oleh banyak guru
yang mengatakan tidak ada sesuatu yang aneh dalam kooperatif, karena mereka
beranggapan telah biasa melakukan pembelajaran kooperatif dalam belajar bentuk
kelompok, walaupun sebenarnya tidak semua belajar kelompok dikatakan
kooperatif, seperti dijelaskan Abdulhak (Isjoni, 2011:28) bahwa pembelajaran
kooperatif dilaksanakan melalui berbagai proses antara peserta didik belajar
sehingga dapat mewujudkan pemahaman bersama diantara peserta belajar itu
sendiri.
Menurut beberapa pendapat diatas, peneliti menyimpulkan bahwa
pembelajaran kooperatif merupakanpembelajaran yang didasari oleh adanya
kerjasama yang menanamkan pemahaman komunikasi antar individu. Dalam
pembelajaran ini akan tercipta sebuah interaksi yang lebih luas, yaitu interaksi dan
komunikasi yang siswa lakukan untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran serta
setiap siswa bertanggung jawab atas kelompoknya.
11
Menurut Roger dan David Johnson, (Suprijono, 2009:58) mengatakan
bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif, untuk
itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran kooperatif yaitu:
1. Saling Ketergantungan Positif
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap
anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu
menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus
menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan
mereka.
2. Tanggung Jawab Perseorangan
Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model
pembelajaran kooperatif, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk
melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif dalam model pembelajaran
cooperative learning membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian
rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan
tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa
dilaksanakan.
3. Tatap Muka
Dalam pembelajaran kooperatif setiap kelompok harus diberikan
kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan
memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan
semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan,
memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.
4. Komunikasi Antar Anggota
Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai
keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga
bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan
kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan
berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun,
proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh
12
untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental
dan emosional para siswa.
5. Evaluasi Proses Kelompok
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk
mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar
selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
Menurut Lungdren (Isjoni, 2011: 16) unsur-unsur dasar dalam pembelajaran
kooperatif adalah:
1. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama”.
2. Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.
3. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.
4. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab di antara para anggota kelompok.
5. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.
6. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh ketrampilan bekerja sama selama belajar.
7. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Berdasarkan pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa, dengan
pembelajaran kooperatif para siswa dapat membuat kemajuan besar ke arah
pengembangan sikap, nilai dan tingkah laku yang memungkinkan siswa dapat
berpartisipasi dalam komunitas mereka dengan cara-cara yang sesuai dengan
tujuan pembelajaran, karena tujuan utama pembelajaran kooperatif itu sendiri
adalah memperoleh pengetahuan dari sesama temannya. Jadi, seorang teman
harus memberikan kesempatan kepada teman yang lain untuk mengemukakan
pendapatnya dengan cara mengahargai pendapat orang lain dan adanya saling
ketergantungan positif.
Terdapat 6 langkah utama dalam pelajaran yang menggunakan
pembelajaran kooperatif menurut Suprijono, (2009:65) yaitu:
13
Langkah 1 : Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa. Guru menyampaikan
semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut
dan memotivasi siswa dalam belajar.
Langkah 2 : Menyajikan informasi. Guru menyajikan informasi kepada siswa
dengan demonstrasi atau lewat bahan bacaan. (sering kali dengan
bahan bacaan).
Langkah 3 : Mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar. Guru
menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk
kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan
transisi secara efisien.
Langkah 4 : Membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka
mengerjakan tugas mereka.
Langkah 5 : Evaluasi. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang trlah
dipelajari atau masing-masnig dari kelompok mempresentasikan
hasil kerjanya.
Langkah 6 : Memberikan penghargaan. Penghargaan diberikan baik secara
individu atau kelompok.
Sedangkan Abdulhak (Isjoni, 2011:120) menjelaskan, langkah-langkah
pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan secara jelas apa yang harus dicapai peserta belajar
2. Memilih bentuk kegiatan pembelajaran yang tepat
3. Menjelaskan secara detail proses pembelajaran kooperatif, yaitu mengenai
apa yang harus dilakukan, dan apa yang diharapkan
4. Memberikan tugas yang paling tepat dalam pembelajaran
5. Menyiapkan bahan belajar yang memudahkan peserta belajar dengan baik
6. Melaksanakan pengelompokan peserta belajar
7. Mengembangkan sistem pujian untuk kelompok atau perorangan peserta
belajar
8. Memberikan bimbingan yang cukup kepada peserta belajar
9. Menyiapkan instrumen penilaian yang tepat
14
10. Mengembangkan sistem pengarsipan data kemajuan peserta belajar, baik
perorangan maupun kelompok, dan
11. Melaksanakan refleksi
Berdasarkan pendapat diatas dapat ditegaskan bahwa, pembelajaran
kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan tujuan-tujuan dari
pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti dengan
penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian
dilanjutkan langkah-langkah dimana siswa di bawah bimbingan guru bekerja
bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung, Fase
terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir kelompok
atau mengetes apa yang telah dipelajari siswa dan pengenalan kelompok dan
usaha-usaha individu.
2.1.3. Ruang Lingkup Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match
2.1.3.1. Landasan Pemikiran Pembelajaran Make a Match
Teknik belajar mengajar mencari pasangan (Make a Match)
dikembangkan oleh Lorna Current (Lie, 2007:55). Salah satu keunggulan teknik
ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau
topik dalam suasana yang menyenangkan. Teknik ini bisa digunakan dalam semua
mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.
Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match bernaung dalam teori
konstruktivis. Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih
mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling
berdiskusi dengan temannya.Mereka diajarkan ketrampilan-ketrampilan khusus
agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam mengikuti proses pembelajaran,
seperti menjadi pendengar aktif, memberikan penjelasan kepada teman sebaya
dengan baik, berdiskusi, dan sebagainya.
Selanjutnya, penerapan Make a Match dapat membangkitkan
keingintahuan dan kerja sama di antara siswa serta mampu menciptakan kondisi
yang menyenangkan. Hal ini sesuai dengan tuntutan dalam kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) bahwa proses pembelajaran mengikuti standar
15
kompetensi, yaitu : berpusat pada siswa; mengembangkan keingintahuan dan
imajinasi; memiliki semangat mandiri, bekerja sama, dan kompetensi;
menciptakan kondisi yang menyenangkan; mengembangkan beragam kemampuan
dan pengalaman belajar; karakteristik mata pelajaran.
2.1.3.2. Pembelajaran Make a Match
Anita Lie(Isjoni, 2011:112)Make a Match adalah teknik dimana siswa
mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana
yang menyenangkan.Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan
untuk semua tingkatan usia.
Menurut Suprijono (2009:94) hal-hal yang perlu dipersiapkan jika
pembelajaran dikembangkan dengan Make a Match adalah kartu-kartu. Kartu-
kartu tersebut terdiri dari kartu berisi pertanyaan-pertanyaan dan kartu-kartu yang
lainnya berisi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Metode pembelajaran Make a Match adalah teknik pembelajaran berpijak
pada teori konstruktivisme, pada pembelajaran ini terjadi kesepakatan antara
siswa tentang aturan-aturan dalam berkolaborasi. Masalah yang dipecahkan
bersama akan disimpulkan bersama, peran guru hanya sebagai fasilitator yang
mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan belajar. Pada interaksi siswa terjadi
kesepakatan, diskusi, menyampaikan pendapat dari ide-ide pokok materi, saling
mengingatkan dari kesalahan konsep yang disimpulkan, membuat kesimpulan
bersama. Interaksi belajar yang terjadi benar-benar interaksi dominan siswa
dengan siswa. Dalam aktivitas siswa selama pembelajaran kooperatif Make a
Match benar-benar memberdayakan potensi siswa untuk mengaktualisasikan
pengetahuan dan keterampilannya, jadi benar-benar sangat sesuai dengan
pendekatan konstruktivis yang dikembangkan saat ini.
Berdasarkan pendapat diatas dapat ditegaskan bahwa Make a Match
adalah teknik mencari pasangan dimana setiap siswa menerima satu kartu. Kartu
itu bisa berisi pertanyaan, bisa berisi jawaban. Selanjutnya mereka mencari
pasangan yang cocok sesuai dengan kartu yang dipegang. Perkembangan
berikutnya, para pengguna metode ini berusaha memodifikasi dan
16
mengembangkannya sesuai dengan kreativitas guru sehingga memotivasi siswa
untuk aktif dalam proses belajar mengajar.
2.1.3.3. Tujuan Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match
Menurut Slavin (Isjoni, 2011:24) menyebutkan pembelajaran kooperatif
merupakan model pembelajaran yang telah dikenal sejak lama, di mana pada saat
itu guru mendorong para siswa untuk melakukan kerja sama dalam kegiatan-
kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman sebaya (peer
teaching). Dalam melakukan proses belajar mengajar guru tidak lagi mendominasi
seperti lazimnya pada saat ini, sehingga siswa dituntut untuk berbagi informasi
dengan siswa yang lainnya dan saling belajar mengajar sesama mereka. Tujuan
pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan
prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok.
Karena siswa bekerja dalam suatu team, maka dengan sendirinya dapat
memperbaiki hubungan di antara para siswa dari berbagai latar belakang etnis dan
kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses kelompok dan
pemecahan masalah.
Manfaat penerapan belajar kooperatif tipe Make a Match adalah dapat
mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada level
individual. Di samping itu, belajar kooperatif dapat mengembangkan solidaritas
sosial di kalangan siswa. Dengan belajar kooperatif, diharapkan kelak akan
muncul generasi baru yang memiliki prestasi akademik yang cemerlang dan
memiliki solidaritas sosial yang kuat.
Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match merupakan sebuah
kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi
untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match
disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi
siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam
kerjasama berpasangan, serta memberikan kesempatan pada siswa untuk
berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya.
Jadi, dalam pembelajaran kooperatif tipe Make a Match siswa berperan ganda
yaitu sebagai siswa ataupun sebagai guru. Dengan bekerja secara kolaboratif akan
17
mengembangkan ketrampilan berhubungan dengan sesama manusia yang akan
sangat bermanfaat bagi kehidupan di luar sekolah.
2.1.4. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match
Langkah-langkah teknik belajar mengajar mencari pasangan (Make a
Match) yang dikembangkan oleh oleh Lorna Curren (Lie, 2007:55) adalah sebagai
berikut:
1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik
yang mungkin cocok untuk sesi review (persiapan menjelang tes atau ujian)
2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu
3. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan
kartunya. Misalnya, pemegang kartu yang bertuliskan LIMA akan
berpasangan dengan pemegang kartu PERU. Atau pemegang kartu yang
berisi nama KOFI ANNAN akan berpasangan dengan pemegang kartu
SEKRETARIS JENDERAL PBB.
4. Siswa bisa juga bergabung dengan dua atau tiga siswa lain yang memegang
kartu yang cocok. Misalnya, pemegang kartu 3+9 akan membentuk kelompok
dengan pemegang kartu 3×4 dan 6×2.
Sedangkan menurut Suprijono, (2009:94) hal-hal yang perlu dipersiapkan
jika pembelajaran dikembangkan dengan Make a Match adalah:
1. Mempersiapkan kartu-kartu. Kartu-kartu tersebut terdiri dari kartu berisi
pertanyaan-pertanyaan dan kartu-kartu lainnya berisi jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan.
2. Guru membagi komunitas kelas menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama
merupakan kelompok pembawa kartu-kartu berisi pertanyaan-pertanyaan.
Kelompok kedua adalah kelompok pembawa kartu-kartu berisi jawaban-
jawaban dan kelompok ketiga adalah kelompok penilai.
3. Guru mengatur posisi kelompok-kelompok tersebut berbentuk huruf U.
Upayakan kelompok pertama dan kedua belajar saling berhadapan.
4. Jika masing-masing kelompok sudah berada di posisi yang telah ditentukan,
maka guru membunyikan peluit sebagai tanda agar kelompok pertama
18
maupun kedua saling bergerak mereka bertemu, mencari pasangan
pertanyaan-jawaban yang cocok.
5. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi.
6. Hasil diskusi ditandai oleh pasangan-pasangan anatara anggota kelompok
pembawa kartu pertanyaan dan anggota kelompok pembawa kartu jawaban.
7. Pasangan-pasangan yang sudah terbentuk wajib menunjukan pertanyaan-
jawaban kepada kelompok penilai.
8. Kelompok penilai kemudian membacakan apakah pasangan pertanyaan-
jawaban itu cocok.
9. Setelah penilaian dilakukan, guru mengatur sedemikian rupa kelompok
pertama dan kelompok kedua bersatu kemudian memposisikan dirinya
menjadi kelompok penilai. Sementara, kelompok penilai pada sesi pertama
tersebut di atas dipecah menjadi dua, sebagian anggota memegang kartu
pertanyaan sebagian lainnya memegang kartu jawaban. Posisikan mereka
dalam bentuk huruf U.
10. Guru kembali membunyikan peluitnya menandai kelompok pemegang kartu
pertanyaan dan jawaban bergerak mencari, mencocokan, dan mendiskusikan
pertanyaan-jawaban. Berikutnya adalah masing-masing pasangan pertanyaan-
jawaban menunjukan hasil kerjanya kepada penilai.
Perlu diketahui bahwa tidak semua peserta didik baik yang berperan sebagai
pemegang kartu pertanyaan, pemegang kartu jawaban,maupun penilai mengetahui
dan memahami secara pasti apakah betul kartu pertanyaan-jawaban yang mereka
pasangkan sudah cocok. Demikian halnya bagi peserta didik kelompok penilai.
Siswa juga belum mengetahui pasti apakah penilaian mereka benar atas pasangan
pertanyaan-jawaban. Berdasarkan kondisi inilah guru memfasilitasi diskusi untuk
meberikan kesempatan kepada seluruh peserta didik mengkonfirmasikan hal-hal
yang mereka telah lakukan yaitu memasangkan pertanyaan-jawaban dan
melaksanakan penilaian.
Dari pendapat di atas pembelajaran kooperatif tipe Make a Match merupakan
sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara
berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif tipe Make
19
a Match disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa,
memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat
keputusan dalam kelompok, serta memberikan kesempatan pada siswa untuk
berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya.
Jadi, dalam pembelajaran kooperatif tipe Make a Match siswa berperan ganda
yaitu sebagai siswa ataupun sebagai guru. Dengan bekerja secara kolaboratif akan
mengembangkan ketrampilan berhubungan dengan sesama manusia yang akan
sangat bermanfaat bagi kehidupan di luar sekolah.
2.1.5. Penerapan Pembelajaran Make a Match dalam Proses Belajar
Mengajardi SD
Sedangkan prosedur penerapan kooperatif tipe Make a Match dalam
proses belajar mengajar, peneliti tetap mengacu pada langkah-langkah
pembelajaran Make a Match yang dikemukakan oleh Lie (2007: 55) dan
Suprijono (2009: 94). Akan tetapi, ada sedikit penambahan/pengurangan oleh
peneliti dengan maksud menyesuaikan materi yang akan diajarkan kepada siswa
serta menyesuaikan kondisi siswa yang dimana baru pertama kalinya
mendapatkan pembelajaran Make a Match serta untuk mempermudah guru dalam
menerapkan pembelajaran tersebut.
Pada penerapan metode Make a Match, diperoleh beberapa temuan bahwa
metode Make a Match dapat memupuk kerjasama siswa dalam menjawab
pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang dibagikan oleh guru kepada siswa,
proses pembelajarannyapun lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih
antusias mengikuti proses pembelajaran pada saat siswa mencari pasangan
kartunya masing-masing. Adapun penerapan Make a Match yang akan digunakan
oleh peneliti dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
1.) Tahap Persiapan(kegiatan pendahuluan)
Tahap pendahuluan ini digunakan untuk menyiapkan siswa dalam
mengikuti kegiatan pembelajaran. Dalam kegiatan pendahuluan, guru:
20
• Menyiapkan siswa secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses
pembelajaran.
• Memberikan apersepsi untuk memunculkan rasa keingintahuan siswa tentang
materi yang akan dipelajari yaitu, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan
dipelajari.
• Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai.
• Menjelaskan tentang uraian kegiatan pembelajaran Make a Match yang akan
digunakan dalam pembelajaran.
• Menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik, satu
bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.
• Setiap siswa mendapatkan sebuah kartu yang bertuliskan soal/jawaban.
2.) Tahap Penyampaian dan Pelatihan (kegiatan inti)
a. Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi:
• Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang.
• Setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya.
• Setiap siswa berpikir, menganalisis, menyelesaikan tugasnya dalam
mencocokan kartu dan bertindak tanpa rasa takut.
b. Elaborasi
Dalam kegiatan Elaborasi:
• Setiap siswa diberi kesempatan berdiskusi dengan pasangannya untuk
mengoreksi kembali hasil kerjanya.
• Setiap siswa diberi kesempatan untuk bisa berpindah pasangan dengan siswa
lain yang memegang kartu yang cocok.
• Setiap siswa berpasangan membacakan kartu yang telah dicocokannya baik
kartu soal maupun kartu jawaban didepan kelas.
• Siswa berpasangan menempelkan kartunya yang telah cocok pada papan tulis
atau tempat yang telah disediakan oleh guru.
21
c. Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, guru:
• Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan tentang
hasil kerja siswa.
• Setiap siswa berpasangan akan mendapatkan point jika jawabannya itu benar.
• Jika setiap siswa berpasangan tidak dapat mencocokan kartunya dengan benar
maka, akan mendapatkan hukuman yang telah disepakati bersama.
• Bersama-sama dengan siswa mencocokan hasil kerja yang telah dilakukan oleh
siswa.
• Menjawab pertanyaan siswa yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan
bahasa baku dan benar.
• Memberi acuan agar siswa dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi
• Memberi informasi kepada siswa untuk bereksplorasi lebih jauh.
• Memberikan motivasi kepada siswa yang kurang atau belum berpartisipasi
aktif.
3.) Tahap Penampilan Hasil dan Kesimpulan (kegiatan penutup)
• Guru bersama-sama dengan siswa membuat kesimpulan dari hasil
pembelajaran.
• Guru memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran.
• Guru memberikan evaluasi kepada siswa.
Berdasarkan langkah-langkah diatas telah ditetapkan penerapan Make a
Match yang nantinya akan digunakan oleh peneliti untuk sebagai acuan dalam
proses belajar mengajar.Pada kegiatan belajar mengajar penggunaan metode Make
a Match, siswa nampak lebih aktif mencari pasangan kartu antara jawaban dan
soal. Dengan metode pencarian kartu pasangan tersebut siswa dapat
mengidentifikasi permasalahan yang terdapat di dalam kartu yang ditemukannya
dan menceritakannya dengan sederhana dan jelas secara bersama-sama. Kegiatan
yang dilakukan guru ini merupakan upaya guru untuk menarik perhatian siswa
sehingga pada akhirnya dapat menciptakan suasana yang menyenangkan dan
22
antusiasme siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan
tuntutan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) bahwa pelaksanaan
proses pembelajaran mengikuti standar kompetensi, yaitu: berpusat pada siswa;
mengembangkan keingintahuan dan imajinasi; memiliki semangat mandiri,
bekerja sama, dan kompetensi; menciptakan kondisi yang menyenangkan;
mengembangkan beragam kemampuan dan pengalaman belajar; karakteristik
mata pelajaran.
Sedangkan dalam penerapan metode Make a Match peneliti tidak menutup
kemungkinan adanya kelebihan dan kelemahan dalam proses belajar mengajar.
Hal ini sejalan dengan apa yang telah diungkapkan oleh Lie, yaitu sebagai berikut:
2.1.6. Kelebihan dan Kelemahan Make a Match
Menurut Lie (2007:56) kelebihan dan kelemahan pembelajaran kooperatif
make a match dalam proses belajar mengajar yaitu sebagai berikut:
Kelebihan :
a. Siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik
dalam suasana belajar aktif dan menyenangkan.
b. Materi pembelajaran yang disampaikan lebih menarik perhatian siswa.
c. Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi.
d. Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match bisa digunakan dalam semua
mata pelajaran.
e. Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran (Let them
move).
f. Kerjasama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis.
g. Munculnya dinamika gotong royong yang merata di seluruh siswa.
Kelemahan :
Di samping manfaat yang dirasakan oleh siswa, pembelajaran kooperatif tipe
Make a Match berdasarkan temuan dilapangan mempunyai sedikit kelemahan
yaitu:
a. Diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan.
23
b. Waktu yang tersedia perlu dibatasi jangan sampai siswa terlalu banyak
bermain-main dalam proses pembelajaran.
c. Guru perlu persiapan bahan dan alat yang memadai.
d. Kelas yang gemuk (lebih dari 30 siswa/kelas) jika kurang bijaksana muncul
adalah suasana seperti pasar dengan keramaian yang tidak terkendali. Tentu
saja kondisi ini akan mengganggu ketenangan belajar kelas dikiri kanannya.
Apalagi jika gedung kelas tidak kedap suara. Tetapi hal ini bisa diantisipasi
dengan menyepakati beberapa komitmen ketertiban dengan siswa sebelum
“pertunjukan” dimulai. Pada dasarnya mengendalikan kelas itu tergantung
bagaimana kita memotivasinya pada langkah pembukaan.
2.1.7. Hasil belajar
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah
ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2008:22).Setiap guru pasti
memiliki keinginan agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang
dibimbingnya. Karena itu guru harus memiliki hubungan dengan siswa yang dapat
terjadi melalui proses belajar mengajar. Setiap proses belajar mengajar
keberhasilannya diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dicapai siswa.
Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian,
sikap-sikap, apresiasi dan ketrampilan (Suprijono, 2009:5). Merujuk pemikiran
Gagne (Suprijono, 2009:6) hasil belajar berupa:
1.) Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam
bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis
2.) Ketrampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dalam
lambang.
3.) Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas
kognitifnya sendiri.
4.) Ketrampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak
jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak
jasmani.
24
5.) Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan
penilaian terhadap objek tersebut.
Menurut Lindgren (Suprijono, 2009:7) hasil pembelajaran meliputi
kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Yang harus diingat, hasil belajar
adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek
kemanusiaan saja.
Klasifikasi hasil belajar menurut Bloom (Suprijono, 2009:7) secara garis
besar membagi menjadi 3 ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah
psikomotoris.Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual.Ranah
afektif, berkenaan dengan sikap. Ranah psikomotorik, berkenaan dengan hasil
belajarketerampilan dan kemampuan bertindak.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditegaskan bahwa hasil belajar siswa
diantaranya ialah siswa dapat mencapai prestasi yang maksimal sesuai dengan
kapasitas yang mereka miliki, serta siswa dapat mengatasi berbagai macam
kesulitan belajar yang mereka alami.Aktivitas siswa mempunyai peranan yang
sangat penting dalam proses belajar mengajar, tanpa adanya aktivitas siswa maka
proses belajar mengajar tidak akan berjalan dengan baik, akibatnya hasil belajar
yang dicapai siswa rendah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hasil belajar merupakan
kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman
belajarnyaatau hasil akhir dari proses kegiatan belajar siswa dari seluruh kegiatan
siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas dan menerima suatu pelajaran untuk
mencapai kemampuan yang lebih dari sebelumnya. Pencapaian hasil belajar yang
diukur dengan tugas–tugas yang harus dijawab atau diselesaikan oleh siswa
dengan tujuan untuk mengukur kemajuan dengan evaluasi.
2.1.8. Gender
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:353) kata gender
berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World, Gender diartikan sebagai
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku, sedangkan dalamWomen’s Stdies Encyclpedia dijelaskan bahwa
25
gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakterisk emosional
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Menurut Jhon W. Santrock (2007: 84) bahwa gender adalah dimensi
psikologis dan sosiokultural yang dimiliki karena seseorang adalah lelaki atau
perempuan.
Ada dua aspek dalam gender yaitu: identitas gender dan peran gender.
Identitas gender adalah perasaan menjadi laki-laki atau perempuan, yang biasanya
dicapai ketika anak berusia 3 tahun. Peran gender adalah gambaran bagaimana
pria atau wanita berfikir, bertindak, atau merasa.
Showalter (2007: 2) mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan
laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan
gender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat menggunakannya untuk
menjelaskan sesuatu. Pandangan di sekitar teologi jender berkisar pada tiga hal
pokok: pertama, asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan, kedua, fungsi
keberadaan laki-laki dan perempuan, ketiga, persoalan perempuan dan dosa
warisan. Ketiga hal ini memang dibahas secara panjang lebar dalam Kitab Suci
beberapa agama.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu
konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah
suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang
bersifat kodrati.
2.1.9. Pengertian Pembelajaran IPA
2.1.9.1. Hakikat Pembelajaran IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan
pengetahuan yang tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum
KTSP (Depdiknas, 2006) bahwa IPA berhubungan dengan cara mencari tahu
tentang alam secara sistematis, sehingga bukan hanya penguasaan kumpulan
pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsipsaja tetapi juga merupakan
26
suatu proses penemuan. Selain itu IPA juga merupakan ilmu yang bersifat empirik
dan membahas tentang fakta serta gejala alam. Fakta dan gejala alam tersebut
menjadikan pembelajaran IPA tidak hanya verbal tetapi juga faktual. Hal ini
menunjukkan bahwa, hakikat IPA sebagai proses diperlukan untuk menciptakan
pembelajaran IPA yang empirik dan faktual. Hakikat IPA sebagai proses
diwujudkan dengan melaksanakan pembelajaran yang melatih ketrampilan proses
bagaimana cara produk sains ditemukan.
Secara umum, kegiatan dalam IPA berhubungan dengan eksperimen.
Namun dalam hal-hal tertentu, konsep IPA adalah hasil tanggapan pikiran
manusia atas gejala yang terjadi di alam. Seorang ahli IPA (ilmuwan) dapat
memberikan sumbangan besar kepada IPA tanpa harus melakukan sendiri suatu
percobaan, tanpa membuat suatu alat atau tanpa melakukan observasi.
Ciri-ciri khusus tersebut dipaparkan berikut ini.
a. IPA mempunyai nilai ilmiahartinya kebenaran dalam IPA dapat dibuktikan lagi oleh semua orang dengan menggunakan metode ilmiah dan prosedur seperti yang dilakukan terdahulu oleh penemunya.
b. IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam.
c. IPA merupakan pengetahuan teoritis. Teori IPA diperoleh atau disusun dengan cara yang khas atau khusus, yaitu dengan melakukan observasi, eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, eksperimentasi, observasi dan demikian seterusnya kait mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain.
d. IPA merupakan suatu rangkaian konsep yang saling berkaitan. Dengan bagan-bagan konsep yang telah berkembang sebagai suatu hasil eksperimen dan observasi, yang bermanfaat untuk eksperimentasi dan observasi lebih lanjut.
IPA meliputi empat unsur, yaitu produk, proses, aplikasi dan sikap.
Produk dapat berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum. Proses merupakan prosedur
pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi pengamatan,
penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen, percobaan atau penyelidikan,
pengujian hipotesis melalui eksperimentasi, evaluasi, pengukuran, dan penarikan
kesimpulan.
27
2.1.9.2.Karakteristik IPA
Karakteristik belajar IPA meliputi:
a. Hampir semua indera, seluruh proses berpikir, dan berbagai gerakan otot.
b. Berbagai teknik (cara), seperti observasi, eksplorasi, dan eksperimentasi.
c. Alat bantu pengamatan untuk memperoleh data yang obyektif, sesuai sifat IPA yang mengutamakan obyektivitas.
d. Kegiatan temu ilmiah, mengunjungi objek, studi pustaka, dan penyusunan hipotesis untuk memperoleh pengakuan kebenaran temuan yang benar-benar obyektif.
e. Proses aktif, artinya belajar IPA merupakan suatu yang harus dilakukan siswa, bukan suatu yang dilakukan untuk siswa.
Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik
untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan
lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses
pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk
mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar
secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga
dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih
mendalam tentang alam sekitar.IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari
untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang
dapat diidentifikasikan. Pen erapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar
tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa hakikat IPA meliputi beberapa aspek yaitu faktual,
keseimbangan antara proses dan produk, keaktifan dalam proses penemuan,
berfikir induktif dan deduktif, serta pengembangan sikap ilmiah.
2.1.9.3. Tujuan IPA
Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut:
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
28
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
2.1.9.4.Ruang Lingkup IPA
Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut:
1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.
2. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas. 3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,
cahaya dan pesawat sederhana. 4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-
benda langit lainnya. 2.1.9.5. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Pembelajaran IPA di SD merupakan interaksi antara siswa dengan
lingkungan sekitanya. Hal ini mengakibatkan pembelajaran IPA perlu
mengutamakan peran siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Sehingga
pembelajaran yang terjadi adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dan
guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran tersebut. Guru berkewajiban untuk
meningkatkan pengalaman belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran
IPA. Tujuan ini tidak terlepas dari hakikat IPA sebagai produk, proses dan sikap
ilmiah. Oleh sebab itu, pembelajaran IPA perlu menerapkan prinsip-prinsip
pembelajaran yang tepat. Beberapa prinsip pembelajaran IPA di SDsebagai
berikut:
1. Empat Pilar Pendidikan Global, yang meliputi learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together. Learning to know, artinya dengan meningkatkan interaksi siswa dengan lingkungan fisik dan sosialnya diharapkan siswa mampu membangun pemahaman dan pengetahuan tentang alam sekitarnya. Learning to do, artinya pembelajaran IPA tidak hanya menjadikan siswa sebagai pendengar melainkan siswa diberdayakan agar mau dan mampu untuk memperkaya pengalaman belajarnya. Learning to be, artinya dari hasil
29
interaksi dengan lingkungan siswa diharapkan dapat membangun rasa percaya diri yang pada akhirnya membentuk jati dirinya. Learning to live together, artinya dengan adanya kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu akan membangun pemahaman sikap positif dan toleransi terhadap kemajemukan dalam kehidupan bersama.
2. Prinsip Inkuiri, prinsip ini perlu diterapkan dalam pembelajaran IPA karena pada dasarnya anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, sedang alam sekitar penuh dengan fakta atau fenomena yang dapat merangsang siswa ingin tahu lebih banyak.
3. Prinsip Konstruktivisme. Dalam pembelajaran IPA sebaiknya guru dalam mengajar tidak memindahkan pengetahuan kepada siswa. Melainkan perlu dibangun oleh siswa dengan cara mengkaitkan pengetahuan awal yang mereka miliki dengan struktur kognitifnya.
4. Prinsip Salingtemas (sains, lingkungan, teknologi, masyarakat). IPA memiliki prinsip-prinsip yang dibutuhkan untuk pengembangan teknologi. Sedang perkembangan teknologi akan memacu penemuan prinsip-prinsip IPA yang baru.
5. Prinsip pemecahan masalah. Pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berhadapan dengan berbagai macam masalah. Disisi lain, salah satu alat ukur kecerdasan siswa banyak ditentukan oleh kemampuannya memecahkan masalah. Oleh karena itu, pembelajaran IPA perlu menerapkan prinsip ini agar siswa terlatih untuk menyelesaikan suatu masalah.
6. Prinsip pembelajaran bermuatan nilai. Masyarakat dan lingkungan sekitar memiliki nilai-nilai yang terpelihara dan perlu dihargai. Oleh karena itu, pembelajaran IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan atau kontradiksi dengan nilai-nilai yang diperjuangkan masyarakat sekitar.
7. Prinsip Pakem (pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Prinsip ini pada dasarnya merupakan prinsip pembelajaran yang berorientasi pada siswa aktif untuk melakukan kegiatan baik aktif berfikir maupun kegiatan yang bersifat motorik.
Ketujuh prinsip itu perlu dikembangkan dalam pembelajaran IPA yang
kontekstual di SD. Hal ini bertujuan agar pembelajaran IPA lebih bermakna dan
menyenangkan bagi siswa, sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa maksimal.
2.2. Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Rifka Isnaini pada tahun 2011 pada siswa
Kelas V di SDN Kidul Dalem 2 Malang dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar
Bahasa Indonesia Siswa Kelas V Dengan Menerapkan Model Pembelajaran Make
a Match Di SDN Kidul Dalem 2 Malang”. Hasil observasi menunjukkan bahwa
30
nilai hasil belajar siswa kelas V SDN Kidul Dalem 2 Kota Malang rendah, hal ini
dapat dilihat dari: (1) Dominasi guru dalam proses pembelajaran tersebut dapat
menyebabkan siswa lebih bbersifat pasif; (2) Guru hanya menggunakan
metode ceramah, tanya jawab, dan penugasan sehingga mereka lebih banyak
menunggu sajian guru daripada mencari, menemukan sendiri pengetahuan
atau sikap dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Untuk itu, perlu adanya
inovasi pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa yaitu Make a
Match.
Tujuan penelitian tersebut adalah: (1) Mendeskripsikan penerapan
model pembelajaran make a match pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada
siswa kelas V SDN Kidul Dalem 2 Malang dan (2) Mendeskripsikan model
pembelajaran make a match dapat meningkatkan hasil belajar Bahasa Indonesia
pada siswa kelas V SDN Kidul Dalem 2 Malang. Subyek penelitian dalam
penelitian ini adalah siswa kelas V SDN Kidul Dalem 2 Kota Malang.
Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan empat
tahapan, yaitu (1) Perencanaan, (2) Pelaksanaan, (3) Pengamatan, (4)
Refleksi. Menggunakan empat cara dalam pengumulan data, yaitu (1)
Observasi, (2) Wawancara, (3) Tes, (4) Dokumentasi. Analisis data dalam
penelitian ini menggunkan tiga cara, yaitu reduksi data, paparan data, dan
penyimpulan data.
Berdasarkan judul diatas dapat diketahui bahwa penerapan model
pembelajaran model make a match pada mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas V
SDN Kidul Dalem 2 Kota Malang dengan materi Menghargai Peranan Para
Tokoh Pejuang dan Masyarakat dalam Mempersiapkan dan Mempertahankan
Kemerdekaan Indonesia pada siswa kelas V SDN Kidul Dalem 2 Malang
terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dalam setiap siklus
ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa mengalami peningkatan
yaitu pada tahap tindakan pada siklus I 61,1% dan pada siklus II mengalami
kenaikan menjadi 100%. Ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa
dari siklus I naik 38,9% ke siklus II. Dalam setiap siklus ketuntasan hasil
belajar pada tes akhir siswa mengalami peningkatan yaitu pada nilai awal
31
sebelum tindakan adalah 13,7%, pada siklus I ada 48,3% dan pada siklus II ini
mengalami kenaikan cukup tinggi yaitu 100%. Ketuntasan hasil belajar pada tes
akhir siswa dari nilai awal ke siklus I naik 34,6% dan dari siklus I ke siklus II
naik 51,7%. Saran yang diberikan hendaknya guru menggunakan strategi dan
model pembelajaran yang menarik, salah satunya adalah dengan menerapkan
modelpembelajaran make a match untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
Penelitian yang dilakukan oleh Maryuni apada tahun 2010 pada siswa
Kelas V Semester 1dengan judul “ Peningkatan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan
Sosial Tentang Sejarah Masuknya Agama Di Indonesia Melalaui Model
Pembelajaran Mencari pasangan Bagi Siswa Kelas V Semester 1, SDN 01
Cangakan Kecamatan Karanganyar Tahun Pelajaran 2008/2009”.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil belajar Ilmu
Pengetahuan Sosial melalui model pembelajaran Mencari Pasangan (Make a
Match) bagi siswa kelas V semester I SD Negeri 01 Cangakan Kabupaten
Karanganyar Tahun 2009/2010. Penelitian Tindakan Kelas ini menggunakan
metode deskriptif kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas 5
Sekolah Dasar Negeri 01 Karanganyar Tahun Pelajaran 2008/2009 yang
berjumlah 15 siswa. Adapun sample yang diambil adalah 15 siswa, metode
pengambilan sample adalah seluruh siswa menjadi sample. Adapun teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, tes, dokumentasi, angket dan
catatat dalam kegiatan mengajar belajar. Hasil analisis menunjukkan bahwa
sebelum penelitian (tes awal) pemahaman siswa terhadap pelajaran IPS hanya
46,7% yaitu 7 anak yang tuntas berarti terdapat 53,3% yaitu 8 anak yang belum
tuntas, pada siklus I Pemahaman Konsep menjadi 80% yaitu 12 siswa yang tuntas
berarti meningkat sebesar 33,3% dan pada siklus II jumlah siswa tuntas menjadi
100% atau naik sebesar 20%. Peningkatan ini bukan hanya dari pemahaman
konsep saja tetapi jga dari aspek keaktifan siswa, ini ditunjukkan dengan keaktifan
siswa yang mula-mula hanya 55,67% oada siklus I menjadi 81,30% yaitu
meningkat 25,6% dan pada siklus II menjadi 89,79 yaitu meningkat menjadi
8,49%.
32
Faktor pendukung keberhasilan penerapan model pembelajaran diatas
karena siswa sangat senang belajar sambil bermain, disamping itu alat dan bahan
yang digunakan mudah diperoleh dan harganya relatif murah, proses
pembuatannyapun sangat mudah. Faktor penghambat penerapan model
pembelajaran ini adalah terbatasnya buku sumber materi sehingga siswa hanya
mengandalkan buku paket yang dimiliki, namun hal ini peneliti sudah
memberikan jalan keluarnya dengan meringkas materi dari buku elektronik.
Berdasarkan penelitian diatas dapat diketahui hasil penelitian tentang
model pembelajaran mencari pasangan (make a match) dapat meningkatkan
keaktifan siswa. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan Keaktifan siswa yang mula-
mula hanya 55,67% pada siklus I menjadi 81,30% yaitu meningkat 25,63% dan
pada siklus II menjadi 89,79 % yaitu meningkat 8,49% dari siklus I.
Penelitian yang dilakukan oleh Muharif tahun 2010 dalam penelitiannya
yang berjudul “Penerapan Model Cooperatif Learning-Make A Match Untuk
Meningkatkan Aktivitas Siswa Kelas V Dalam Pembelajaran Matematika di SDN
010 Gabung Makmur Kecamatan Kerinci Kanan Kabupaten Siak ” dengan tujuan
meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran Matematika yang mana data
sebelumnya diperoleh bahwa mata pelajaran Matematika kurang diminati oleh
siswa. Disebut kurang diminati karena pada proses pembelajaran secara umum,
siswa lebih banyak yang tidak memperhatikan, tidak merasa senang dalam belajar,
dan tidak ada keinginan untuk memperoleh pengetahuan lebih dari pelajaran
matematika ini, oleh karena itu peneliti beranggapan bahwa dengan diterapkanya
model pembelajaran make a match pada pelajaran matematika, aktivitas siswa
meningkat.
Berdasarkanjudul penelitian diatas dapat diketahuibahwa nilai aktivitas
siswa untuk kerjasama (KRJ) pada pertemuan keempat siklus II terdapat 10 siswa
yang mendapat sangat aktif, 11 siswa yang mendapat aktif, 2 siswa yang
mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai
aktivitas siswa untuk keseriusan (KSR) pada pertemuan keempat siklus II terdapat
8 siswa yang mendapat sangat aktif, 12 siswa yang mendapat aktif, 3 siswa yang
mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai
33
aktivitas siswa untuk ketepatan siswa (KTT) pada pertemuan keempat siklus II
terdapat 9 siswa yang mendapat sangat aktif, 11 siswa yang mendapat aktif, 3
siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang
aktif. Nilai aktivitas siswa untuk kemampunan bertanya (KB) pada pertemuan
keempat siklus II terdapat 8 siswa yang mendapat sangat aktif, 13 siswa yang
mendapat aktif, 2 siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang
mendapat nilai kurang aktif. Nilai aktivitas siswa untuk aktivitas menulis (AM)
pada pertemuan keempat siklus II terdapat 7 siswa yang mendapat sangat aktif, 13
siswa yang mendapat aktif, 3 siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa
yang mendapat nilai kurang aktif. Sedangkan nilai tes siswa siklus I pertemuan
pertama terdapat 11 siswa yang mendapat sangat baik, 8 siswa yang mendapat
nilai baik, 4 siswa yang mendapat nilai cukup baik dan 0 siswa yang mendapat
nilai kurang baik. Pada siklus II terdapat 18 siswa yang mendapat sangat baik, 3
siswa yang mendapat baik, 2 siswa yang mendapat nilai cukup baik dan 0 siswa
yang mendapat nilai kurang baik. Untuk nilai aktivitas guru pada siklus II
pertemuan keempat sebanyak 5 item (55,6%) pada posisi sangat sempurna dan 4
item (44,4%) pada posisi sempurna.
Berdasarkan analisis kajian yang pernah digunakan para peneliti di atas maka
dengan penerapan pembelajaran kooperatif make a match dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa. Dengan analisis tersebut, maka peneliti melakukan
penelitian dengan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe make a match pada
pelajaran IPA untuk meningkatkan hasil belajar siswa berdasarkan gender.
2.3. Kerangaka Berpikir
Pembelajaran merupakan proses interaksi antara guru dengan siswa yang
ditujukan untuk melakukan perubahan sikap dan pola pikir siswa kearah yang
lebih untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Hasil belajar merupakan
kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman
belajarnya atau hasil akhir dari proses kegiatan belajar siswa dari seluruh kegiatan
siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas dan menerima suatu pelajaran untuk
mencapai kemampuan yang lebih dari sebelumnya.
34
Penelitian ini terdiri dari dua variabel bebas dan satu variabel terikat. Variabel
ini, digambarkan dalam model kerangka berfikir sebagai berikut:
Tabel 2.1. Data Hasil Belajar Berdasarkan Pembelajaran dan GenderSiswa kelas V SD Negeri Jetis 01 Kelas V Semester 2 Tahun Ajaran 2011/2012
Pembelajaran Konvensional
(K) Make a Match
(M)
Gender Laki-laki (l) Kl Ml Perempuan (p) Kp Mp
Tabel 2.1 menunjukkan model kerangka 2 x 2 faktorial desain. Model
kerangka tersebut merupakan interaksi pembelajaran dan gender siswa terhadap
hasil belajar. Terdapat dua interaksi dalam model diatas, yaitu pembelajaran dan
gender. Pembelajaran dibagi menjadi dua, yaitu pembelajaran konvensional (K)
dan pembelajaran Make a Match (M). Gender siswa dibedakan menjadi kelompok
siswa laki-laki (l) dan kelompok siswa perempuan (p). Interaksi antar keduanya
akan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa baik laki-laki atau perempuan yaitu
Kl, Kp, Ml dan Mp.
Hasil belajar siswa diperoleh ketika pembelajaran IPA materi proses
pembentukan tanah di kelas lima. Model kerangka diatas ingin mengetahui
perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe
Make a Match dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional,
mengetahui perbedaan hasil belajar antara siswa laki-laki dan siswa perempuan,
serta mengetahui perbedaan pengaruh penerapan metode pembelajaran Make a
Match terhadap hasil belajar IPA berdasarkan gender siswa kelas V SDN Jetis 01
Kecamatan Karangrayung Kabupaten Grobogan Tahun Ajaran 2011/2012.
2.4. Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka berpikir, hipotesis penelitian
dalam penelitian ini sebagai berikut:
1) Hipotesis : Ada perbedaan hasil belajar IPA siswa yang menggunakan
pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dengan kelompok siswa yang
menggunakan pembelajaran konvensional.
Hipotesis Statistiknya sebagai berikut:
35
H0 : µe- µk = 0
H1:µe- µk≥ 0
2) Hipotesis : Ada perbedaan hasil belajar IPA yang signifikan antara
kelompok siswa laki – laki dan kelompok siswa perempuan.
Hipotesis Statistiknya sebagai berikut:
H0 : µl-µp = 0
H1 : µl- µp ≥ 0
3) Hipotesis : Ada perbedaan hasil belajar dengan menerapkan pembelajaran
Make a Match berdasarkan gender.
Hipotesis Statistiknya sebagai berikut:
H0 :µkl = µml = µkp = µmp
H1 : µkl ≠ µml ≠ µkp ≠ µmp