BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2...

28
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teori 2.1.1. Belajar dan Pembelajaran Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2) mendefinisikan belajar adalah perubahan disposisi atau kemampuan melalui aktivitas. Travers (Suprijono, 2009: 2) belajar adalah proses menghasilkan penyesuaian tingkah laku. Menurut Cronbach (Djamarah, 2011:13) mengemukakan “learning is shown by a change is behavior as a result of experience” (belajar adalah perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman). Menurut Spears (Suprijono, 2009:2) “Learning is observe, to read, to invite, to try something themselves, to listen, to follow direction” (dengan kata lain, bahwa belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengarkan dan mengikuti arah tertentu). Menurut James O. Whittaker (Djamarah, 2011:12) belajar sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003: 23). Berdasarkan pendapat diatas, peneliti menegaskan bahwa belajar adalah suatukegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh pengalaman melalui aktivitas yang menghasilkan perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan dan bersifat permanen. Menurut Suprijono (2009:13) pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari.Pembelajaran merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dan pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1.Kajian Teori

2.1.1. Belajar dan Pembelajaran

Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2) mendefinisikan belajar adalah

perubahan disposisi atau kemampuan melalui aktivitas. Travers (Suprijono, 2009:

2) belajar adalah proses menghasilkan penyesuaian tingkah laku. Menurut

Cronbach (Djamarah, 2011:13) mengemukakan “learning is shown by a change is

behavior as a result of experience” (belajar adalah perubahan perilaku sebagai

hasil dari pengalaman). Menurut Spears (Suprijono, 2009:2) “Learning is observe,

to read, to invite, to try something themselves, to listen, to follow direction”

(dengan kata lain, bahwa belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba

sesuatu, mendengarkan dan mengikuti arah tertentu).

Menurut James O. Whittaker (Djamarah, 2011:12) belajar sebagai proses

dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.

Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk

memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai

hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto,

2003: 23).

Berdasarkan pendapat diatas, peneliti menegaskan bahwa belajar adalah

suatukegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh pengalaman

melalui aktivitas yang menghasilkan perubahan perilaku yang baru secara

keseluruhan dan bersifat permanen.

Menurut Suprijono (2009:13) pembelajaran berdasarkan makna leksikal

berarti proses, cara, perbuatan mempelajari.Pembelajaran merupakan suatu proses

perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan yang

dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara

keseluruhan, sebagai hasil dan pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi

dengan lingkungannya.

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

9

Pembelajaran menurut Gagne (Isjoni, 2011:72)“An active process and

suggests that teaching facilitating active mental process by student”, bahwa

dalam proses pembelajaran siswa berada dalam posisi proses mental aktif, dan

guru berfungsi mengkondisikan terjadinya pembelajaran.

Sedangkan menurut Surya (Isjoni, 2011:72) pembelajaran merupakan

suatu proses perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu

perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dan pengalaman

individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Pembelajaran

merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses

pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta

pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain,

pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar

dengan baik.

Berdasarkan pendapat di atas peneliti menyimpulkan bahwa, pembelajaran

merupakan proses interaksi antara guru dengan siswa yang ditujukan untuk

melakukan perubahan sikap dan pola pikir siswa kearah yang lebih untuk

mencapai hasil belajar yang optimal.

2.1.2. Pembelajaran Kooperatif

Menurut Lie (Suprijono, 2009:56) pembelajaran kooperatif juga

didasarkan atas filsafat homo homini socius, filsafat ini menekankan bahwa

manusia adalah makhluk sosial. Sedangkan menurut Eggen (Isjoni, 2011:25)

pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa

untuk bekerja secara kolaboratif dalam mencapai tujuan.

Model pembelajaran kooperatif bukanlah hal yang sama sekali baru bagi

guru. Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang

mengutamakan adanya kerjasama antar siswa. Setiap siswa yang ada dalam

diskusi atau kerjasama mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda

(tinggi, sedang, dan rendah) dan jika memungkinkan dalam kerjasama berasal dari

ras, budaya, suku yang berbeda-beda serta memperhatikan kesetaraan gender.

Model pembelajaran kooperatif menguatamakan kerja sama dalam menyelesaikan

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

10

permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan ketrampilan dalam rangka

mencapai tujuan pembelajaran.

Menurut Karp dan Yoels (Isjoni, 2011:19) menyatakan bahwa strategi

yang paling sering dilakukan untuk mengaktifkan siswa adalah dengan diskusi

kelas. Namun dalam kenyataannya, strategi ini tidak efektif karena meskipun guru

sudah mendorong siswa untuk aktif dalam berdiskusi, kebanyakan siswa hanya

diam menjadi penonton sementara karena kelas dikuasai oleh beberapa siswa saja.

Salah satu metode pembelajaran yang berkembang saat ini adalah

pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif mengkondisikan siswa untuk

aktif dan saling memberi dukungan dalam kerjasama untuk menuntaskan materi

masalah dalam belajar.

Menurut Koes (Isjoni, 2011:20) menyebutkan bahwa belajar kooperatif

didasarkan pada hubungan antara motivasi, hubungan interpersonal, strategi

pencapaian khusus, suatu ketenangan dalam individu memotivasi gerakan kearah

pencapaian hasil yang diinginkan.

Hakikatnya kooperatif sama dengan kerja kelompok, oleh banyak guru

yang mengatakan tidak ada sesuatu yang aneh dalam kooperatif, karena mereka

beranggapan telah biasa melakukan pembelajaran kooperatif dalam belajar bentuk

kelompok, walaupun sebenarnya tidak semua belajar kelompok dikatakan

kooperatif, seperti dijelaskan Abdulhak (Isjoni, 2011:28) bahwa pembelajaran

kooperatif dilaksanakan melalui berbagai proses antara peserta didik belajar

sehingga dapat mewujudkan pemahaman bersama diantara peserta belajar itu

sendiri.

Menurut beberapa pendapat diatas, peneliti menyimpulkan bahwa

pembelajaran kooperatif merupakanpembelajaran yang didasari oleh adanya

kerjasama yang menanamkan pemahaman komunikasi antar individu. Dalam

pembelajaran ini akan tercipta sebuah interaksi yang lebih luas, yaitu interaksi dan

komunikasi yang siswa lakukan untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran serta

setiap siswa bertanggung jawab atas kelompoknya.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

11

Menurut Roger dan David Johnson, (Suprijono, 2009:58) mengatakan

bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif, untuk

itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran kooperatif yaitu:

1. Saling Ketergantungan Positif

Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap

anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu

menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus

menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan

mereka.

2. Tanggung Jawab Perseorangan

Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model

pembelajaran kooperatif, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk

melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif dalam model pembelajaran

cooperative learning membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian

rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan

tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa

dilaksanakan.

3. Tatap Muka

Dalam pembelajaran kooperatif setiap kelompok harus diberikan

kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan

memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan

semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan,

memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.

4. Komunikasi Antar Anggota

Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai

keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga

bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan

kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan

berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun,

proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

12

untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental

dan emosional para siswa.

5. Evaluasi Proses Kelompok

Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk

mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar

selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.

Menurut Lungdren (Isjoni, 2011: 16) unsur-unsur dasar dalam pembelajaran

kooperatif adalah:

1. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama”.

2. Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.

3. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.

4. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab di antara para anggota kelompok.

5. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.

6. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh ketrampilan bekerja sama selama belajar.

7. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa, dengan

pembelajaran kooperatif para siswa dapat membuat kemajuan besar ke arah

pengembangan sikap, nilai dan tingkah laku yang memungkinkan siswa dapat

berpartisipasi dalam komunitas mereka dengan cara-cara yang sesuai dengan

tujuan pembelajaran, karena tujuan utama pembelajaran kooperatif itu sendiri

adalah memperoleh pengetahuan dari sesama temannya. Jadi, seorang teman

harus memberikan kesempatan kepada teman yang lain untuk mengemukakan

pendapatnya dengan cara mengahargai pendapat orang lain dan adanya saling

ketergantungan positif.

Terdapat 6 langkah utama dalam pelajaran yang menggunakan

pembelajaran kooperatif menurut Suprijono, (2009:65) yaitu:

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

13

Langkah 1 : Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa. Guru menyampaikan

semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut

dan memotivasi siswa dalam belajar.

Langkah 2 : Menyajikan informasi. Guru menyajikan informasi kepada siswa

dengan demonstrasi atau lewat bahan bacaan. (sering kali dengan

bahan bacaan).

Langkah 3 : Mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar. Guru

menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk

kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan

transisi secara efisien.

Langkah 4 : Membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka

mengerjakan tugas mereka.

Langkah 5 : Evaluasi. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang trlah

dipelajari atau masing-masnig dari kelompok mempresentasikan

hasil kerjanya.

Langkah 6 : Memberikan penghargaan. Penghargaan diberikan baik secara

individu atau kelompok.

Sedangkan Abdulhak (Isjoni, 2011:120) menjelaskan, langkah-langkah

pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan secara jelas apa yang harus dicapai peserta belajar

2. Memilih bentuk kegiatan pembelajaran yang tepat

3. Menjelaskan secara detail proses pembelajaran kooperatif, yaitu mengenai

apa yang harus dilakukan, dan apa yang diharapkan

4. Memberikan tugas yang paling tepat dalam pembelajaran

5. Menyiapkan bahan belajar yang memudahkan peserta belajar dengan baik

6. Melaksanakan pengelompokan peserta belajar

7. Mengembangkan sistem pujian untuk kelompok atau perorangan peserta

belajar

8. Memberikan bimbingan yang cukup kepada peserta belajar

9. Menyiapkan instrumen penilaian yang tepat

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

14

10. Mengembangkan sistem pengarsipan data kemajuan peserta belajar, baik

perorangan maupun kelompok, dan

11. Melaksanakan refleksi

Berdasarkan pendapat diatas dapat ditegaskan bahwa, pembelajaran

kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan tujuan-tujuan dari

pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti dengan

penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian

dilanjutkan langkah-langkah dimana siswa di bawah bimbingan guru bekerja

bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung, Fase

terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir kelompok

atau mengetes apa yang telah dipelajari siswa dan pengenalan kelompok dan

usaha-usaha individu.

2.1.3. Ruang Lingkup Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match

2.1.3.1. Landasan Pemikiran Pembelajaran Make a Match

Teknik belajar mengajar mencari pasangan (Make a Match)

dikembangkan oleh Lorna Current (Lie, 2007:55). Salah satu keunggulan teknik

ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau

topik dalam suasana yang menyenangkan. Teknik ini bisa digunakan dalam semua

mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.

Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match bernaung dalam teori

konstruktivis. Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih

mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling

berdiskusi dengan temannya.Mereka diajarkan ketrampilan-ketrampilan khusus

agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam mengikuti proses pembelajaran,

seperti menjadi pendengar aktif, memberikan penjelasan kepada teman sebaya

dengan baik, berdiskusi, dan sebagainya.

Selanjutnya, penerapan Make a Match dapat membangkitkan

keingintahuan dan kerja sama di antara siswa serta mampu menciptakan kondisi

yang menyenangkan. Hal ini sesuai dengan tuntutan dalam kurikulum tingkat

satuan pendidikan (KTSP) bahwa proses pembelajaran mengikuti standar

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

15

kompetensi, yaitu : berpusat pada siswa; mengembangkan keingintahuan dan

imajinasi; memiliki semangat mandiri, bekerja sama, dan kompetensi;

menciptakan kondisi yang menyenangkan; mengembangkan beragam kemampuan

dan pengalaman belajar; karakteristik mata pelajaran.

2.1.3.2. Pembelajaran Make a Match

Anita Lie(Isjoni, 2011:112)Make a Match adalah teknik dimana siswa

mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana

yang menyenangkan.Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan

untuk semua tingkatan usia.

Menurut Suprijono (2009:94) hal-hal yang perlu dipersiapkan jika

pembelajaran dikembangkan dengan Make a Match adalah kartu-kartu. Kartu-

kartu tersebut terdiri dari kartu berisi pertanyaan-pertanyaan dan kartu-kartu yang

lainnya berisi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Metode pembelajaran Make a Match adalah teknik pembelajaran berpijak

pada teori konstruktivisme, pada pembelajaran ini terjadi kesepakatan antara

siswa tentang aturan-aturan dalam berkolaborasi. Masalah yang dipecahkan

bersama akan disimpulkan bersama, peran guru hanya sebagai fasilitator yang

mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan belajar. Pada interaksi siswa terjadi

kesepakatan, diskusi, menyampaikan pendapat dari ide-ide pokok materi, saling

mengingatkan dari kesalahan konsep yang disimpulkan, membuat kesimpulan

bersama. Interaksi belajar yang terjadi benar-benar interaksi dominan siswa

dengan siswa. Dalam aktivitas siswa selama pembelajaran kooperatif Make a

Match benar-benar memberdayakan potensi siswa untuk mengaktualisasikan

pengetahuan dan keterampilannya, jadi benar-benar sangat sesuai dengan

pendekatan konstruktivis yang dikembangkan saat ini.

Berdasarkan pendapat diatas dapat ditegaskan bahwa Make a Match

adalah teknik mencari pasangan dimana setiap siswa menerima satu kartu. Kartu

itu bisa berisi pertanyaan, bisa berisi jawaban. Selanjutnya mereka mencari

pasangan yang cocok sesuai dengan kartu yang dipegang. Perkembangan

berikutnya, para pengguna metode ini berusaha memodifikasi dan

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

16

mengembangkannya sesuai dengan kreativitas guru sehingga memotivasi siswa

untuk aktif dalam proses belajar mengajar.

2.1.3.3. Tujuan Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match

Menurut Slavin (Isjoni, 2011:24) menyebutkan pembelajaran kooperatif

merupakan model pembelajaran yang telah dikenal sejak lama, di mana pada saat

itu guru mendorong para siswa untuk melakukan kerja sama dalam kegiatan-

kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman sebaya (peer

teaching). Dalam melakukan proses belajar mengajar guru tidak lagi mendominasi

seperti lazimnya pada saat ini, sehingga siswa dituntut untuk berbagi informasi

dengan siswa yang lainnya dan saling belajar mengajar sesama mereka. Tujuan

pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan

prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok.

Karena siswa bekerja dalam suatu team, maka dengan sendirinya dapat

memperbaiki hubungan di antara para siswa dari berbagai latar belakang etnis dan

kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses kelompok dan

pemecahan masalah.

Manfaat penerapan belajar kooperatif tipe Make a Match adalah dapat

mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada level

individual. Di samping itu, belajar kooperatif dapat mengembangkan solidaritas

sosial di kalangan siswa. Dengan belajar kooperatif, diharapkan kelak akan

muncul generasi baru yang memiliki prestasi akademik yang cemerlang dan

memiliki solidaritas sosial yang kuat.

Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match merupakan sebuah

kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi

untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match

disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi

siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam

kerjasama berpasangan, serta memberikan kesempatan pada siswa untuk

berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya.

Jadi, dalam pembelajaran kooperatif tipe Make a Match siswa berperan ganda

yaitu sebagai siswa ataupun sebagai guru. Dengan bekerja secara kolaboratif akan

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

17

mengembangkan ketrampilan berhubungan dengan sesama manusia yang akan

sangat bermanfaat bagi kehidupan di luar sekolah.

2.1.4. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match

Langkah-langkah teknik belajar mengajar mencari pasangan (Make a

Match) yang dikembangkan oleh oleh Lorna Curren (Lie, 2007:55) adalah sebagai

berikut:

1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik

yang mungkin cocok untuk sesi review (persiapan menjelang tes atau ujian)

2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu

3. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan

kartunya. Misalnya, pemegang kartu yang bertuliskan LIMA akan

berpasangan dengan pemegang kartu PERU. Atau pemegang kartu yang

berisi nama KOFI ANNAN akan berpasangan dengan pemegang kartu

SEKRETARIS JENDERAL PBB.

4. Siswa bisa juga bergabung dengan dua atau tiga siswa lain yang memegang

kartu yang cocok. Misalnya, pemegang kartu 3+9 akan membentuk kelompok

dengan pemegang kartu 3×4 dan 6×2.

Sedangkan menurut Suprijono, (2009:94) hal-hal yang perlu dipersiapkan

jika pembelajaran dikembangkan dengan Make a Match adalah:

1. Mempersiapkan kartu-kartu. Kartu-kartu tersebut terdiri dari kartu berisi

pertanyaan-pertanyaan dan kartu-kartu lainnya berisi jawaban dari

pertanyaan-pertanyaan.

2. Guru membagi komunitas kelas menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama

merupakan kelompok pembawa kartu-kartu berisi pertanyaan-pertanyaan.

Kelompok kedua adalah kelompok pembawa kartu-kartu berisi jawaban-

jawaban dan kelompok ketiga adalah kelompok penilai.

3. Guru mengatur posisi kelompok-kelompok tersebut berbentuk huruf U.

Upayakan kelompok pertama dan kedua belajar saling berhadapan.

4. Jika masing-masing kelompok sudah berada di posisi yang telah ditentukan,

maka guru membunyikan peluit sebagai tanda agar kelompok pertama

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

18

maupun kedua saling bergerak mereka bertemu, mencari pasangan

pertanyaan-jawaban yang cocok.

5. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi.

6. Hasil diskusi ditandai oleh pasangan-pasangan anatara anggota kelompok

pembawa kartu pertanyaan dan anggota kelompok pembawa kartu jawaban.

7. Pasangan-pasangan yang sudah terbentuk wajib menunjukan pertanyaan-

jawaban kepada kelompok penilai.

8. Kelompok penilai kemudian membacakan apakah pasangan pertanyaan-

jawaban itu cocok.

9. Setelah penilaian dilakukan, guru mengatur sedemikian rupa kelompok

pertama dan kelompok kedua bersatu kemudian memposisikan dirinya

menjadi kelompok penilai. Sementara, kelompok penilai pada sesi pertama

tersebut di atas dipecah menjadi dua, sebagian anggota memegang kartu

pertanyaan sebagian lainnya memegang kartu jawaban. Posisikan mereka

dalam bentuk huruf U.

10. Guru kembali membunyikan peluitnya menandai kelompok pemegang kartu

pertanyaan dan jawaban bergerak mencari, mencocokan, dan mendiskusikan

pertanyaan-jawaban. Berikutnya adalah masing-masing pasangan pertanyaan-

jawaban menunjukan hasil kerjanya kepada penilai.

Perlu diketahui bahwa tidak semua peserta didik baik yang berperan sebagai

pemegang kartu pertanyaan, pemegang kartu jawaban,maupun penilai mengetahui

dan memahami secara pasti apakah betul kartu pertanyaan-jawaban yang mereka

pasangkan sudah cocok. Demikian halnya bagi peserta didik kelompok penilai.

Siswa juga belum mengetahui pasti apakah penilaian mereka benar atas pasangan

pertanyaan-jawaban. Berdasarkan kondisi inilah guru memfasilitasi diskusi untuk

meberikan kesempatan kepada seluruh peserta didik mengkonfirmasikan hal-hal

yang mereka telah lakukan yaitu memasangkan pertanyaan-jawaban dan

melaksanakan penilaian.

Dari pendapat di atas pembelajaran kooperatif tipe Make a Match merupakan

sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara

berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif tipe Make

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

19

a Match disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa,

memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat

keputusan dalam kelompok, serta memberikan kesempatan pada siswa untuk

berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya.

Jadi, dalam pembelajaran kooperatif tipe Make a Match siswa berperan ganda

yaitu sebagai siswa ataupun sebagai guru. Dengan bekerja secara kolaboratif akan

mengembangkan ketrampilan berhubungan dengan sesama manusia yang akan

sangat bermanfaat bagi kehidupan di luar sekolah.

2.1.5. Penerapan Pembelajaran Make a Match dalam Proses Belajar

Mengajardi SD

Sedangkan prosedur penerapan kooperatif tipe Make a Match dalam

proses belajar mengajar, peneliti tetap mengacu pada langkah-langkah

pembelajaran Make a Match yang dikemukakan oleh Lie (2007: 55) dan

Suprijono (2009: 94). Akan tetapi, ada sedikit penambahan/pengurangan oleh

peneliti dengan maksud menyesuaikan materi yang akan diajarkan kepada siswa

serta menyesuaikan kondisi siswa yang dimana baru pertama kalinya

mendapatkan pembelajaran Make a Match serta untuk mempermudah guru dalam

menerapkan pembelajaran tersebut.

Pada penerapan metode Make a Match, diperoleh beberapa temuan bahwa

metode Make a Match dapat memupuk kerjasama siswa dalam menjawab

pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang dibagikan oleh guru kepada siswa,

proses pembelajarannyapun lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih

antusias mengikuti proses pembelajaran pada saat siswa mencari pasangan

kartunya masing-masing. Adapun penerapan Make a Match yang akan digunakan

oleh peneliti dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:

1.) Tahap Persiapan(kegiatan pendahuluan)

Tahap pendahuluan ini digunakan untuk menyiapkan siswa dalam

mengikuti kegiatan pembelajaran. Dalam kegiatan pendahuluan, guru:

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

20

• Menyiapkan siswa secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses

pembelajaran.

• Memberikan apersepsi untuk memunculkan rasa keingintahuan siswa tentang

materi yang akan dipelajari yaitu, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan

yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan

dipelajari.

• Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai.

• Menjelaskan tentang uraian kegiatan pembelajaran Make a Match yang akan

digunakan dalam pembelajaran.

• Menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik, satu

bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.

• Setiap siswa mendapatkan sebuah kartu yang bertuliskan soal/jawaban.

2.) Tahap Penyampaian dan Pelatihan (kegiatan inti)

a. Eksplorasi

Dalam kegiatan eksplorasi:

• Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang.

• Setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya.

• Setiap siswa berpikir, menganalisis, menyelesaikan tugasnya dalam

mencocokan kartu dan bertindak tanpa rasa takut.

b. Elaborasi

Dalam kegiatan Elaborasi:

• Setiap siswa diberi kesempatan berdiskusi dengan pasangannya untuk

mengoreksi kembali hasil kerjanya.

• Setiap siswa diberi kesempatan untuk bisa berpindah pasangan dengan siswa

lain yang memegang kartu yang cocok.

• Setiap siswa berpasangan membacakan kartu yang telah dicocokannya baik

kartu soal maupun kartu jawaban didepan kelas.

• Siswa berpasangan menempelkan kartunya yang telah cocok pada papan tulis

atau tempat yang telah disediakan oleh guru.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

21

c. Konfirmasi

Dalam kegiatan konfirmasi, guru:

• Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan tentang

hasil kerja siswa.

• Setiap siswa berpasangan akan mendapatkan point jika jawabannya itu benar.

• Jika setiap siswa berpasangan tidak dapat mencocokan kartunya dengan benar

maka, akan mendapatkan hukuman yang telah disepakati bersama.

• Bersama-sama dengan siswa mencocokan hasil kerja yang telah dilakukan oleh

siswa.

• Menjawab pertanyaan siswa yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan

bahasa baku dan benar.

• Memberi acuan agar siswa dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi

• Memberi informasi kepada siswa untuk bereksplorasi lebih jauh.

• Memberikan motivasi kepada siswa yang kurang atau belum berpartisipasi

aktif.

3.) Tahap Penampilan Hasil dan Kesimpulan (kegiatan penutup)

• Guru bersama-sama dengan siswa membuat kesimpulan dari hasil

pembelajaran.

• Guru memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran.

• Guru memberikan evaluasi kepada siswa.

Berdasarkan langkah-langkah diatas telah ditetapkan penerapan Make a

Match yang nantinya akan digunakan oleh peneliti untuk sebagai acuan dalam

proses belajar mengajar.Pada kegiatan belajar mengajar penggunaan metode Make

a Match, siswa nampak lebih aktif mencari pasangan kartu antara jawaban dan

soal. Dengan metode pencarian kartu pasangan tersebut siswa dapat

mengidentifikasi permasalahan yang terdapat di dalam kartu yang ditemukannya

dan menceritakannya dengan sederhana dan jelas secara bersama-sama. Kegiatan

yang dilakukan guru ini merupakan upaya guru untuk menarik perhatian siswa

sehingga pada akhirnya dapat menciptakan suasana yang menyenangkan dan

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

22

antusiasme siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan

tuntutan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) bahwa pelaksanaan

proses pembelajaran mengikuti standar kompetensi, yaitu: berpusat pada siswa;

mengembangkan keingintahuan dan imajinasi; memiliki semangat mandiri,

bekerja sama, dan kompetensi; menciptakan kondisi yang menyenangkan;

mengembangkan beragam kemampuan dan pengalaman belajar; karakteristik

mata pelajaran.

Sedangkan dalam penerapan metode Make a Match peneliti tidak menutup

kemungkinan adanya kelebihan dan kelemahan dalam proses belajar mengajar.

Hal ini sejalan dengan apa yang telah diungkapkan oleh Lie, yaitu sebagai berikut:

2.1.6. Kelebihan dan Kelemahan Make a Match

Menurut Lie (2007:56) kelebihan dan kelemahan pembelajaran kooperatif

make a match dalam proses belajar mengajar yaitu sebagai berikut:

Kelebihan :

a. Siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik

dalam suasana belajar aktif dan menyenangkan.

b. Materi pembelajaran yang disampaikan lebih menarik perhatian siswa.

c. Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi.

d. Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match bisa digunakan dalam semua

mata pelajaran.

e. Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran (Let them

move).

f. Kerjasama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis.

g. Munculnya dinamika gotong royong yang merata di seluruh siswa.

Kelemahan :

Di samping manfaat yang dirasakan oleh siswa, pembelajaran kooperatif tipe

Make a Match berdasarkan temuan dilapangan mempunyai sedikit kelemahan

yaitu:

a. Diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan.

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

23

b. Waktu yang tersedia perlu dibatasi jangan sampai siswa terlalu banyak

bermain-main dalam proses pembelajaran.

c. Guru perlu persiapan bahan dan alat yang memadai.

d. Kelas yang gemuk (lebih dari 30 siswa/kelas) jika kurang bijaksana muncul

adalah suasana seperti pasar dengan keramaian yang tidak terkendali. Tentu

saja kondisi ini akan mengganggu ketenangan belajar kelas dikiri kanannya.

Apalagi jika gedung kelas tidak kedap suara. Tetapi hal ini bisa diantisipasi

dengan menyepakati beberapa komitmen ketertiban dengan siswa sebelum

“pertunjukan” dimulai. Pada dasarnya mengendalikan kelas itu tergantung

bagaimana kita memotivasinya pada langkah pembukaan.

2.1.7. Hasil belajar

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah

ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2008:22).Setiap guru pasti

memiliki keinginan agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang

dibimbingnya. Karena itu guru harus memiliki hubungan dengan siswa yang dapat

terjadi melalui proses belajar mengajar. Setiap proses belajar mengajar

keberhasilannya diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dicapai siswa.

Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian,

sikap-sikap, apresiasi dan ketrampilan (Suprijono, 2009:5). Merujuk pemikiran

Gagne (Suprijono, 2009:6) hasil belajar berupa:

1.) Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam

bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis

2.) Ketrampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dalam

lambang.

3.) Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas

kognitifnya sendiri.

4.) Ketrampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak

jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak

jasmani.

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

24

5.) Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan

penilaian terhadap objek tersebut.

Menurut Lindgren (Suprijono, 2009:7) hasil pembelajaran meliputi

kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Yang harus diingat, hasil belajar

adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek

kemanusiaan saja.

Klasifikasi hasil belajar menurut Bloom (Suprijono, 2009:7) secara garis

besar membagi menjadi 3 ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah

psikomotoris.Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual.Ranah

afektif, berkenaan dengan sikap. Ranah psikomotorik, berkenaan dengan hasil

belajarketerampilan dan kemampuan bertindak.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditegaskan bahwa hasil belajar siswa

diantaranya ialah siswa dapat mencapai prestasi yang maksimal sesuai dengan

kapasitas yang mereka miliki, serta siswa dapat mengatasi berbagai macam

kesulitan belajar yang mereka alami.Aktivitas siswa mempunyai peranan yang

sangat penting dalam proses belajar mengajar, tanpa adanya aktivitas siswa maka

proses belajar mengajar tidak akan berjalan dengan baik, akibatnya hasil belajar

yang dicapai siswa rendah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hasil belajar merupakan

kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman

belajarnyaatau hasil akhir dari proses kegiatan belajar siswa dari seluruh kegiatan

siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas dan menerima suatu pelajaran untuk

mencapai kemampuan yang lebih dari sebelumnya. Pencapaian hasil belajar yang

diukur dengan tugas–tugas yang harus dijawab atau diselesaikan oleh siswa

dengan tujuan untuk mengukur kemajuan dengan evaluasi.

2.1.8. Gender

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:353) kata gender

berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World, Gender diartikan sebagai

perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan

tingkah laku, sedangkan dalamWomen’s Stdies Encyclpedia dijelaskan bahwa

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

25

gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan

(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakterisk emosional

antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Menurut Jhon W. Santrock (2007: 84) bahwa gender adalah dimensi

psikologis dan sosiokultural yang dimiliki karena seseorang adalah lelaki atau

perempuan.

Ada dua aspek dalam gender yaitu: identitas gender dan peran gender.

Identitas gender adalah perasaan menjadi laki-laki atau perempuan, yang biasanya

dicapai ketika anak berusia 3 tahun. Peran gender adalah gambaran bagaimana

pria atau wanita berfikir, bertindak, atau merasa.

Showalter (2007: 2) mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan

laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan

gender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat menggunakannya untuk

menjelaskan sesuatu. Pandangan di sekitar teologi jender berkisar pada tiga hal

pokok: pertama, asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan, kedua, fungsi

keberadaan laki-laki dan perempuan, ketiga, persoalan perempuan dan dosa

warisan. Ketiga hal ini memang dibahas secara panjang lebar dalam Kitab Suci

beberapa agama.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu

konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan

perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah

suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang

bersifat kodrati.

2.1.9. Pengertian Pembelajaran IPA

2.1.9.1. Hakikat Pembelajaran IPA

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan

pengetahuan yang tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum

KTSP (Depdiknas, 2006) bahwa IPA berhubungan dengan cara mencari tahu

tentang alam secara sistematis, sehingga bukan hanya penguasaan kumpulan

pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsipsaja tetapi juga merupakan

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

26

suatu proses penemuan. Selain itu IPA juga merupakan ilmu yang bersifat empirik

dan membahas tentang fakta serta gejala alam. Fakta dan gejala alam tersebut

menjadikan pembelajaran IPA tidak hanya verbal tetapi juga faktual. Hal ini

menunjukkan bahwa, hakikat IPA sebagai proses diperlukan untuk menciptakan

pembelajaran IPA yang empirik dan faktual. Hakikat IPA sebagai proses

diwujudkan dengan melaksanakan pembelajaran yang melatih ketrampilan proses

bagaimana cara produk sains ditemukan.

Secara umum, kegiatan dalam IPA berhubungan dengan eksperimen.

Namun dalam hal-hal tertentu, konsep IPA adalah hasil tanggapan pikiran

manusia atas gejala yang terjadi di alam. Seorang ahli IPA (ilmuwan) dapat

memberikan sumbangan besar kepada IPA tanpa harus melakukan sendiri suatu

percobaan, tanpa membuat suatu alat atau tanpa melakukan observasi.

Ciri-ciri khusus tersebut dipaparkan berikut ini.

a. IPA mempunyai nilai ilmiahartinya kebenaran dalam IPA dapat dibuktikan lagi oleh semua orang dengan menggunakan metode ilmiah dan prosedur seperti yang dilakukan terdahulu oleh penemunya.

b. IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam.

c. IPA merupakan pengetahuan teoritis. Teori IPA diperoleh atau disusun dengan cara yang khas atau khusus, yaitu dengan melakukan observasi, eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, eksperimentasi, observasi dan demikian seterusnya kait mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain.

d. IPA merupakan suatu rangkaian konsep yang saling berkaitan. Dengan bagan-bagan konsep yang telah berkembang sebagai suatu hasil eksperimen dan observasi, yang bermanfaat untuk eksperimentasi dan observasi lebih lanjut.

IPA meliputi empat unsur, yaitu produk, proses, aplikasi dan sikap.

Produk dapat berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum. Proses merupakan prosedur

pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi pengamatan,

penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen, percobaan atau penyelidikan,

pengujian hipotesis melalui eksperimentasi, evaluasi, pengukuran, dan penarikan

kesimpulan.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

27

2.1.9.2.Karakteristik IPA

Karakteristik belajar IPA meliputi:

a. Hampir semua indera, seluruh proses berpikir, dan berbagai gerakan otot.

b. Berbagai teknik (cara), seperti observasi, eksplorasi, dan eksperimentasi.

c. Alat bantu pengamatan untuk memperoleh data yang obyektif, sesuai sifat IPA yang mengutamakan obyektivitas.

d. Kegiatan temu ilmiah, mengunjungi objek, studi pustaka, dan penyusunan hipotesis untuk memperoleh pengakuan kebenaran temuan yang benar-benar obyektif.

e. Proses aktif, artinya belajar IPA merupakan suatu yang harus dilakukan siswa, bukan suatu yang dilakukan untuk siswa.

Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik

untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan

lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses

pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk

mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar

secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga

dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih

mendalam tentang alam sekitar.IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari

untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang

dapat diidentifikasikan. Pen erapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar

tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa hakikat IPA meliputi beberapa aspek yaitu faktual,

keseimbangan antara proses dan produk, keaktifan dalam proses penemuan,

berfikir induktif dan deduktif, serta pengembangan sikap ilmiah.

2.1.9.3. Tujuan IPA

Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki

kemampuan sebagai berikut:

1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya.

2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

28

3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.

4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.

6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.

2.1.9.4.Ruang Lingkup IPA

Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut:

1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.

2. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas. 3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,

cahaya dan pesawat sederhana. 4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-

benda langit lainnya. 2.1.9.5. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar

Pembelajaran IPA di SD merupakan interaksi antara siswa dengan

lingkungan sekitanya. Hal ini mengakibatkan pembelajaran IPA perlu

mengutamakan peran siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Sehingga

pembelajaran yang terjadi adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dan

guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran tersebut. Guru berkewajiban untuk

meningkatkan pengalaman belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran

IPA. Tujuan ini tidak terlepas dari hakikat IPA sebagai produk, proses dan sikap

ilmiah. Oleh sebab itu, pembelajaran IPA perlu menerapkan prinsip-prinsip

pembelajaran yang tepat. Beberapa prinsip pembelajaran IPA di SDsebagai

berikut:

1. Empat Pilar Pendidikan Global, yang meliputi learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together. Learning to know, artinya dengan meningkatkan interaksi siswa dengan lingkungan fisik dan sosialnya diharapkan siswa mampu membangun pemahaman dan pengetahuan tentang alam sekitarnya. Learning to do, artinya pembelajaran IPA tidak hanya menjadikan siswa sebagai pendengar melainkan siswa diberdayakan agar mau dan mampu untuk memperkaya pengalaman belajarnya. Learning to be, artinya dari hasil

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

29

interaksi dengan lingkungan siswa diharapkan dapat membangun rasa percaya diri yang pada akhirnya membentuk jati dirinya. Learning to live together, artinya dengan adanya kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu akan membangun pemahaman sikap positif dan toleransi terhadap kemajemukan dalam kehidupan bersama.

2. Prinsip Inkuiri, prinsip ini perlu diterapkan dalam pembelajaran IPA karena pada dasarnya anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, sedang alam sekitar penuh dengan fakta atau fenomena yang dapat merangsang siswa ingin tahu lebih banyak.

3. Prinsip Konstruktivisme. Dalam pembelajaran IPA sebaiknya guru dalam mengajar tidak memindahkan pengetahuan kepada siswa. Melainkan perlu dibangun oleh siswa dengan cara mengkaitkan pengetahuan awal yang mereka miliki dengan struktur kognitifnya.

4. Prinsip Salingtemas (sains, lingkungan, teknologi, masyarakat). IPA memiliki prinsip-prinsip yang dibutuhkan untuk pengembangan teknologi. Sedang perkembangan teknologi akan memacu penemuan prinsip-prinsip IPA yang baru.

5. Prinsip pemecahan masalah. Pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berhadapan dengan berbagai macam masalah. Disisi lain, salah satu alat ukur kecerdasan siswa banyak ditentukan oleh kemampuannya memecahkan masalah. Oleh karena itu, pembelajaran IPA perlu menerapkan prinsip ini agar siswa terlatih untuk menyelesaikan suatu masalah.

6. Prinsip pembelajaran bermuatan nilai. Masyarakat dan lingkungan sekitar memiliki nilai-nilai yang terpelihara dan perlu dihargai. Oleh karena itu, pembelajaran IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan atau kontradiksi dengan nilai-nilai yang diperjuangkan masyarakat sekitar.

7. Prinsip Pakem (pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Prinsip ini pada dasarnya merupakan prinsip pembelajaran yang berorientasi pada siswa aktif untuk melakukan kegiatan baik aktif berfikir maupun kegiatan yang bersifat motorik.

Ketujuh prinsip itu perlu dikembangkan dalam pembelajaran IPA yang

kontekstual di SD. Hal ini bertujuan agar pembelajaran IPA lebih bermakna dan

menyenangkan bagi siswa, sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa maksimal.

2.2. Kajian Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Rifka Isnaini pada tahun 2011 pada siswa

Kelas V di SDN Kidul Dalem 2 Malang dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar

Bahasa Indonesia Siswa Kelas V Dengan Menerapkan Model Pembelajaran Make

a Match Di SDN Kidul Dalem 2 Malang”. Hasil observasi menunjukkan bahwa

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

30

nilai hasil belajar siswa kelas V SDN Kidul Dalem 2 Kota Malang rendah, hal ini

dapat dilihat dari: (1) Dominasi guru dalam proses pembelajaran tersebut dapat

menyebabkan siswa lebih bbersifat pasif; (2) Guru hanya menggunakan

metode ceramah, tanya jawab, dan penugasan sehingga mereka lebih banyak

menunggu sajian guru daripada mencari, menemukan sendiri pengetahuan

atau sikap dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Untuk itu, perlu adanya

inovasi pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa yaitu Make a

Match.

Tujuan penelitian tersebut adalah: (1) Mendeskripsikan penerapan

model pembelajaran make a match pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada

siswa kelas V SDN Kidul Dalem 2 Malang dan (2) Mendeskripsikan model

pembelajaran make a match dapat meningkatkan hasil belajar Bahasa Indonesia

pada siswa kelas V SDN Kidul Dalem 2 Malang. Subyek penelitian dalam

penelitian ini adalah siswa kelas V SDN Kidul Dalem 2 Kota Malang.

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan empat

tahapan, yaitu (1) Perencanaan, (2) Pelaksanaan, (3) Pengamatan, (4)

Refleksi. Menggunakan empat cara dalam pengumulan data, yaitu (1)

Observasi, (2) Wawancara, (3) Tes, (4) Dokumentasi. Analisis data dalam

penelitian ini menggunkan tiga cara, yaitu reduksi data, paparan data, dan

penyimpulan data.

Berdasarkan judul diatas dapat diketahui bahwa penerapan model

pembelajaran model make a match pada mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas V

SDN Kidul Dalem 2 Kota Malang dengan materi Menghargai Peranan Para

Tokoh Pejuang dan Masyarakat dalam Mempersiapkan dan Mempertahankan

Kemerdekaan Indonesia pada siswa kelas V SDN Kidul Dalem 2 Malang

terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dalam setiap siklus

ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa mengalami peningkatan

yaitu pada tahap tindakan pada siklus I 61,1% dan pada siklus II mengalami

kenaikan menjadi 100%. Ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa

dari siklus I naik 38,9% ke siklus II. Dalam setiap siklus ketuntasan hasil

belajar pada tes akhir siswa mengalami peningkatan yaitu pada nilai awal

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

31

sebelum tindakan adalah 13,7%, pada siklus I ada 48,3% dan pada siklus II ini

mengalami kenaikan cukup tinggi yaitu 100%. Ketuntasan hasil belajar pada tes

akhir siswa dari nilai awal ke siklus I naik 34,6% dan dari siklus I ke siklus II

naik 51,7%. Saran yang diberikan hendaknya guru menggunakan strategi dan

model pembelajaran yang menarik, salah satunya adalah dengan menerapkan

modelpembelajaran make a match untuk meningkatkan hasil belajar siswa.

Penelitian yang dilakukan oleh Maryuni apada tahun 2010 pada siswa

Kelas V Semester 1dengan judul “ Peningkatan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan

Sosial Tentang Sejarah Masuknya Agama Di Indonesia Melalaui Model

Pembelajaran Mencari pasangan Bagi Siswa Kelas V Semester 1, SDN 01

Cangakan Kecamatan Karanganyar Tahun Pelajaran 2008/2009”.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil belajar Ilmu

Pengetahuan Sosial melalui model pembelajaran Mencari Pasangan (Make a

Match) bagi siswa kelas V semester I SD Negeri 01 Cangakan Kabupaten

Karanganyar Tahun 2009/2010. Penelitian Tindakan Kelas ini menggunakan

metode deskriptif kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas 5

Sekolah Dasar Negeri 01 Karanganyar Tahun Pelajaran 2008/2009 yang

berjumlah 15 siswa. Adapun sample yang diambil adalah 15 siswa, metode

pengambilan sample adalah seluruh siswa menjadi sample. Adapun teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, tes, dokumentasi, angket dan

catatat dalam kegiatan mengajar belajar. Hasil analisis menunjukkan bahwa

sebelum penelitian (tes awal) pemahaman siswa terhadap pelajaran IPS hanya

46,7% yaitu 7 anak yang tuntas berarti terdapat 53,3% yaitu 8 anak yang belum

tuntas, pada siklus I Pemahaman Konsep menjadi 80% yaitu 12 siswa yang tuntas

berarti meningkat sebesar 33,3% dan pada siklus II jumlah siswa tuntas menjadi

100% atau naik sebesar 20%. Peningkatan ini bukan hanya dari pemahaman

konsep saja tetapi jga dari aspek keaktifan siswa, ini ditunjukkan dengan keaktifan

siswa yang mula-mula hanya 55,67% oada siklus I menjadi 81,30% yaitu

meningkat 25,6% dan pada siklus II menjadi 89,79 yaitu meningkat menjadi

8,49%.

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

32

Faktor pendukung keberhasilan penerapan model pembelajaran diatas

karena siswa sangat senang belajar sambil bermain, disamping itu alat dan bahan

yang digunakan mudah diperoleh dan harganya relatif murah, proses

pembuatannyapun sangat mudah. Faktor penghambat penerapan model

pembelajaran ini adalah terbatasnya buku sumber materi sehingga siswa hanya

mengandalkan buku paket yang dimiliki, namun hal ini peneliti sudah

memberikan jalan keluarnya dengan meringkas materi dari buku elektronik.

Berdasarkan penelitian diatas dapat diketahui hasil penelitian tentang

model pembelajaran mencari pasangan (make a match) dapat meningkatkan

keaktifan siswa. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan Keaktifan siswa yang mula-

mula hanya 55,67% pada siklus I menjadi 81,30% yaitu meningkat 25,63% dan

pada siklus II menjadi 89,79 % yaitu meningkat 8,49% dari siklus I.

Penelitian yang dilakukan oleh Muharif tahun 2010 dalam penelitiannya

yang berjudul “Penerapan Model Cooperatif Learning-Make A Match Untuk

Meningkatkan Aktivitas Siswa Kelas V Dalam Pembelajaran Matematika di SDN

010 Gabung Makmur Kecamatan Kerinci Kanan Kabupaten Siak ” dengan tujuan

meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran Matematika yang mana data

sebelumnya diperoleh bahwa mata pelajaran Matematika kurang diminati oleh

siswa. Disebut kurang diminati karena pada proses pembelajaran secara umum,

siswa lebih banyak yang tidak memperhatikan, tidak merasa senang dalam belajar,

dan tidak ada keinginan untuk memperoleh pengetahuan lebih dari pelajaran

matematika ini, oleh karena itu peneliti beranggapan bahwa dengan diterapkanya

model pembelajaran make a match pada pelajaran matematika, aktivitas siswa

meningkat.

Berdasarkanjudul penelitian diatas dapat diketahuibahwa nilai aktivitas

siswa untuk kerjasama (KRJ) pada pertemuan keempat siklus II terdapat 10 siswa

yang mendapat sangat aktif, 11 siswa yang mendapat aktif, 2 siswa yang

mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai

aktivitas siswa untuk keseriusan (KSR) pada pertemuan keempat siklus II terdapat

8 siswa yang mendapat sangat aktif, 12 siswa yang mendapat aktif, 3 siswa yang

mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

33

aktivitas siswa untuk ketepatan siswa (KTT) pada pertemuan keempat siklus II

terdapat 9 siswa yang mendapat sangat aktif, 11 siswa yang mendapat aktif, 3

siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang

aktif. Nilai aktivitas siswa untuk kemampunan bertanya (KB) pada pertemuan

keempat siklus II terdapat 8 siswa yang mendapat sangat aktif, 13 siswa yang

mendapat aktif, 2 siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang

mendapat nilai kurang aktif. Nilai aktivitas siswa untuk aktivitas menulis (AM)

pada pertemuan keempat siklus II terdapat 7 siswa yang mendapat sangat aktif, 13

siswa yang mendapat aktif, 3 siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa

yang mendapat nilai kurang aktif. Sedangkan nilai tes siswa siklus I pertemuan

pertama terdapat 11 siswa yang mendapat sangat baik, 8 siswa yang mendapat

nilai baik, 4 siswa yang mendapat nilai cukup baik dan 0 siswa yang mendapat

nilai kurang baik. Pada siklus II terdapat 18 siswa yang mendapat sangat baik, 3

siswa yang mendapat baik, 2 siswa yang mendapat nilai cukup baik dan 0 siswa

yang mendapat nilai kurang baik. Untuk nilai aktivitas guru pada siklus II

pertemuan keempat sebanyak 5 item (55,6%) pada posisi sangat sempurna dan 4

item (44,4%) pada posisi sempurna.

Berdasarkan analisis kajian yang pernah digunakan para peneliti di atas maka

dengan penerapan pembelajaran kooperatif make a match dapat meningkatkan

prestasi belajar siswa. Dengan analisis tersebut, maka peneliti melakukan

penelitian dengan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe make a match pada

pelajaran IPA untuk meningkatkan hasil belajar siswa berdasarkan gender.

2.3. Kerangaka Berpikir

Pembelajaran merupakan proses interaksi antara guru dengan siswa yang

ditujukan untuk melakukan perubahan sikap dan pola pikir siswa kearah yang

lebih untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Hasil belajar merupakan

kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman

belajarnya atau hasil akhir dari proses kegiatan belajar siswa dari seluruh kegiatan

siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas dan menerima suatu pelajaran untuk

mencapai kemampuan yang lebih dari sebelumnya.

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

34

Penelitian ini terdiri dari dua variabel bebas dan satu variabel terikat. Variabel

ini, digambarkan dalam model kerangka berfikir sebagai berikut:

Tabel 2.1. Data Hasil Belajar Berdasarkan Pembelajaran dan GenderSiswa kelas V SD Negeri Jetis 01 Kelas V Semester 2 Tahun Ajaran 2011/2012

Pembelajaran Konvensional

(K) Make a Match

(M)

Gender Laki-laki (l) Kl Ml Perempuan (p) Kp Mp

Tabel 2.1 menunjukkan model kerangka 2 x 2 faktorial desain. Model

kerangka tersebut merupakan interaksi pembelajaran dan gender siswa terhadap

hasil belajar. Terdapat dua interaksi dalam model diatas, yaitu pembelajaran dan

gender. Pembelajaran dibagi menjadi dua, yaitu pembelajaran konvensional (K)

dan pembelajaran Make a Match (M). Gender siswa dibedakan menjadi kelompok

siswa laki-laki (l) dan kelompok siswa perempuan (p). Interaksi antar keduanya

akan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa baik laki-laki atau perempuan yaitu

Kl, Kp, Ml dan Mp.

Hasil belajar siswa diperoleh ketika pembelajaran IPA materi proses

pembentukan tanah di kelas lima. Model kerangka diatas ingin mengetahui

perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe

Make a Match dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional,

mengetahui perbedaan hasil belajar antara siswa laki-laki dan siswa perempuan,

serta mengetahui perbedaan pengaruh penerapan metode pembelajaran Make a

Match terhadap hasil belajar IPA berdasarkan gender siswa kelas V SDN Jetis 01

Kecamatan Karangrayung Kabupaten Grobogan Tahun Ajaran 2011/2012.

2.4. Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka berpikir, hipotesis penelitian

dalam penelitian ini sebagai berikut:

1) Hipotesis : Ada perbedaan hasil belajar IPA siswa yang menggunakan

pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dengan kelompok siswa yang

menggunakan pembelajaran konvensional.

Hipotesis Statistiknya sebagai berikut:

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA Robert M. Gagne (Suprijono, 2009:2 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/822/3/T1_ 292008059_BAB II.pdf · perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,

35

H0 : µe- µk = 0

H1:µe- µk≥ 0

2) Hipotesis : Ada perbedaan hasil belajar IPA yang signifikan antara

kelompok siswa laki – laki dan kelompok siswa perempuan.

Hipotesis Statistiknya sebagai berikut:

H0 : µl-µp = 0

H1 : µl- µp ≥ 0

3) Hipotesis : Ada perbedaan hasil belajar dengan menerapkan pembelajaran

Make a Match berdasarkan gender.

Hipotesis Statistiknya sebagai berikut:

H0 :µkl = µml = µkp = µmp

H1 : µkl ≠ µml ≠ µkp ≠ µmp