Analisis Pengaruh Equalization Grant dan Sumber Kemandiian Fiskal Terhadap Belanja Modal Daerah
ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP...
Transcript of ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP...
ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI
FISKAL TERHADAP KESENJANGAN
EKONOMI ANTAR DAERAH
(STUDI KASUS PADA KABUPATEN/ KOTA
DI PROVINSI JAWA TENGAH)
Eranus Yoga Kundhani
Program Pascasarjana
Universitas Kristen Satya Wacana
2015
© Eranus Yoga Kundhani
All rights reserved. Save exception stated by the law, no part of this
publication may be reproduced, stored in a retrieval system of any nature, or
transmitted in any form or by any means electronic, mechanical,
photocopying, recording or otherwise, included a complete or partial
transcription, without the prior written permission of the author, application
for which should be addressed to author.
Diterbitkan oleh:
Program Pascasarjana
Universitas Kristen Satya Wacana
Jln. Diponegoro No 52-60 Salatiga 50711
Telp. (0298) 321212 ext. 229, Fax (0298) 311995
ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI
FISKAL TERHADAP KESENJANGAN
EKONOMI ANTAR DAERAH
(STUDI KASUS PADA KABUPATEN/ KOTA
DI PROVINSI JAWA TENGAH)
TESIS
Diajukan untuk memperoleh gelar Magister
di Universitas Kristen Satya Wacana.
Tesis ini telah dipertahankan dalam ujian
Program Pascasarjana Magister Studi Pembangunan
Universitas Kristen Satya Wacana,
pada hari Rabu, 21 Oktober 2015, pukul 10.00 WIB
di Universitas Kristen Satya Wacana
Jalan Diponegoro 52-60 Salatiga.
Oleh:
Eranus Yoga Kundhani
Lahir di Salatiga, Jawa Tengah
Pembimbing:
Dr. Gatot Sasongko, SE., MS
Penguji:
Marthen L. Ndoen, SE., MA., Ph.D
Dr. Wilson M.A. Therik, SE., M.Si
1
ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL
TERHADAP KESENJANGAN EKONOMI ANTAR DAERAH (STUDI KASUS PADA KABUPATEN/ KOTA
DI PROVINSI JAWA TENGAH)
Eranus Yoga Kundhani
ABSTRACT
Fiscal decentralization is the transfer of funds from the central
government, giving broad authority to the regions to manage and
optimize the economic potential that exists, in order to encourage
economic growth in each region and ultimately reduce economic
inequality gap between regions.
This research aims to analyze empirically the effect of fiscal
decentralization variable to variable economic gap between regions
in the districts/ cities in Central Java province. Variable economic
disparities between regions measured by Williamson Index. In
addition to analyzing the direct effect of fiscal decentralization
variable to variable economic disparities between regions, this study
also includes the Human Development Index (HDI) and economic
growth as intermediate variable in the model.
This research uses panel data. Panel data covering 35 district/ cities
in Central Java province, the period from 2004 to 2013. The method
used to process this panel data, using Ordinary Least Square (OLS)
Panel Data with Fixed Effect Model approach, combined with Path
Analysis.
Based on this research, it was found that the variables of fiscal
decentralization has indirect effect, negative and significant to the
variable economic disparities between regions, through HDI
variable. This means that the HDI to be intermediate variable that
must be considered in reducing economic disparities between
regions.
Keywords: Fiscal Decentralization, HDI, Economic Growth,
Economic Gaps Between Regions, Panel Data, Path Analysis.
2
Latar Belakang
1 Januari 2001 adalah tanggal pelaksanaan desentralisasi fiskal
yang mengacu pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Kedua
undang-undang tersebut pada perjalanannya mengalami revisi, menjadi
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah. Melalui kedua undang-undang
tersebut, pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam menjalankan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yakni kewenangan dalam hal
menggali pendapatan dan peran alokasi secara mandiri dalam
menetapkan prioritas pembangunan.
Penerapan otonomi daerah yang sudah berlangsung lebih dari
sepuluh tahun diharapkan bisa menggeser kewenangan pusat kepada
daerah. Otonomi daerah haruslah diartikan sebagai otonomi bagi
rakyat daerah dan bukan otonomi “daerah” dalam pemahaman wilayah
tertentu pada tingkat lokal (Kaloh, 2002 : 7). Otonomi daerah bukan
saja merupakan pelimpahan wewenang, namun juga merupakan
peningkatan partisipasi rakyat dalam pembangunan daerah. Otonomi
daerah bukan tanpa kelemahan, Prud’homme (1995) menyatakan
beberapa kelemahan yang muncul dalam otonomi daerah, yaitu:
1. Menciptakan kesenjangan antar daerah kaya dengan daerah
miskin.
2. Tidak efisiennya kebijakan ekonomi makro, seperti kebijakan
fiskal, berdampak pada terancamnya stabilitas ekonomi.
3. Kurang hadirnya lembaga perwakilan rakyat yang ditandai dengan
lemahnya public hearing, berdampak pada efisiensi.
4. Semakin meluasnya korupsi dari pusat menuju ke daerah.
Di Provinsi Jawa Tengah hal ini dapat terlihat dari
bervariasinya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riil antar
3
kabupaten/ kota. Data PDRB Riil tahun 2013 menunjukkan terdapat
tiga daerah yang memiliki PDRB Riil terbesar di Provinsi Jawa Tengah.
Kota Semarang menduduki tempat pertama dengan PDRB Riil sebesar
25.697.338,39 (Juta Rupiah), Kabupaten Cilacap di tempat kedua
dengan PDRB Riil sebesar 15.352.290,57 (Juta Rupiah) dan Kabupaten
Kudus dengan PDRB Riil sebesar 14.398.651,02 (Juta Rupiah) di tempat
ketiga. Namun pada tahun yang sama, Kota Salatiga berada pada
peringkat terbawah yakni sebesar 1.080.656,98 (Juta Rupiah). Dari data
tersebut, terlihat betapa lebar rentang PDRB Riil antar kabupaten/ kota
di Provinsi Jawa Tengah.
Lebih lanjut, data PDRB Riil per kapita antar kabupaten/ kota
di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2013 secara berurutan sebagai
berikut: Kabupaten Kudus dengan PDRB Riil per kapita sebesar
17.758354 (Juta Rupiah) menempati posisi teratas, disusul dengan Kota
Semarang dengan PDRB Riil per kapita sebesar 15.623382 (Juta
Rupiah), Kota Surakarta dengan PDRB Riil per kapita sebesar
11.974507 (Juta Rupiah) dan Kota Magelang dengan PDRB Riil per
kapita sebesar 10.995189 (Juta Rupiah). Jika data tersebut dibandingkan
dengan rata-rata PDRB Riil per kapita kabupaten/ kota di Provinsi
Jawa Tengah sebesar 5.739761 (Juta Rupiah) dengan standar deviasinya
sebesar 3.577223 (Juta Rupiah), maka terlihat beberapa kabupaten/
kota memiliki PDRB Riil per kapita berada jauh diatas rata-rata PDRB
Riil kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah, disamping itu tentu juga
terdapat kabupaten/kota dengan PDRB Riil per kapita di bawah angka
rata-rata tersebut.
Dari kedua data tersebut, baik PDRB Riil kabupaten/ kota
maupun PDRB Riil per kapita kabupaten/ kota di Provinsi Jawa
Tengah, dapat diduga kuat adanya kesenjangan ekonomi antar daerah
pada kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah.
Penelitian Apriesa (2013) pada kabupaten/ kota di Provinsi
Jawa Tengah, berfokus untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal
terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Dalam
penelitiannya Apriesa meregresikan variabel independent berupa
4
derajat desentralisasi fiskal, pajak daerah, populasi dan tenaga kerja
dengan variabel dependent pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
pendapatan. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian Apriesa,
adalah: pertama, pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan
ekonomi di Provinsi Jawa Tengah terbukti secara signifikan dan positif.
Kedua, pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan
pendapatan di Provinsi Jawa Tengah, memiliki pengaruh positif namun
tidak signifikan. Dengan kata lain bahwa desentralisasi fiskal kurang
mendukung terwujudnya pemerataan. Hasil ini selaras dengan
penelitian Mahi (2001) yang meneliti dampak desentralisasi fiskal
terhadap pertumbuhan kota. Salah satu kesimpulan dari hasil
penelitiannya menyatakan bahwa kebutuhan bagi hasil sumberdaya
alam berpotensi mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi, namun
akan meningkatkan kesenjangan antar daerah.
Peneliti lain, Brodjonegoro dan Dartanto (2003), melakukan
estimasi dampak desentralisasi fiskal di Indonesia terhadap
pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan antar daerah dengan
menggunakan analisa model analisis makro ekonometrik simultan.
Hasil analisis menunjukan bahwa, setelah pelaksanaan desentralisasi
fiskal kesenjangan antar wilayah semakin besar antar daerah di
Indonesia. Hal ini terjadi karena dalam era desentralisasi fiskal dengan
transfer dana dari pemerintah pusat dan kewenangan yang luas kepada
daerah untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi
ekonomi yang ada akan memberi efek positif terhadap pertumbuhan
ekonomi masing-masing daerah dan akan menyebabkan kesenjangan
antar wilayah semakin besar. Kesenjangan antar wilayah semakin besar
bisa terjadi karena beberapa hal: (1) satu daerah dengan daerah yang
lain tentu memiliki faktor endowment yang berbeda, (2) faktor
endowment yang berbeda mengakibatkan kemampuan daerah dalam
proses pertumbuhan ekonomi akan menghasilkan tingkat output yang
berbeda, (3) perbedaan tingkat output yang dihasilkan oleh masing-
masing daerah berakibat pada semakin besarnya kesenjangan antar
wilayah. Di sisi lain, estimasi kedua yakni berkenaan dengan pengaruh
desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pendapatan, bertolak
5
belakang dengan hasil penelitian Akai dan Sakata (2005) yang
menyatakan bahwa desentralisasi fiskal merupakan alat yang
digunakan untuk meningkatkan efisiensi sektor publik dan untuk
mengurangi kesenjangan antar daerah. Penelitian lain dilakukan oleh
Sasana (2005) tentang pengaruh desentralisasi fiskal terhadap
pertumbuhan ekonomi, kesenjangan antar daerah, penyerapan tenaga
kerja dan kesejahteraan di kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah.
Salah satu kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitiannya, yakni
bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
kesenjangan antar daerah, dengan kata lain, semakin tinggi
desentralisasi fiskal semakin kecil kesenjangan antar daerah pada
kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah.
Beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan adanya
perbedaan hasil penelitian mengenai pengaruh desentralisasi fiskal
terhadap kesenjangan ekonomi antar daerah di Provinsi Jawa Tengah.
Sebagian peneliti menyatakan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh
positif terhadap kesenjangan ekonomi antar daerah, sedangkan
sebagian lainnya menyatakan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh
negatif terhadap kesenjangan ekonomi antar daerah.
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah dalam penelitian
ini adalah bahwa pada masa desentralisasi fiskal (yang merupakan
transfer dana dari pemerintah pusat, pemberian kewenangan yang luas
kepada daerah untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi
ekonomi yang ada, dengan tujuan untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi masing-masing daerah) ternyata masih ada kesenjangan
ekonomi antar daerah pada kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah.
Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, maka pada
penelitian ini terdapat beberapa perbedaan:
Pertama, dari segi lokasi, penelitian ini fokus di Provinsi Jawa
Tengah, berbeda dengan Rochana (2013) yang meneliti Indonesia dan
penelitian Efriza (2014) yang berlokasi di Jawa Timur. Kedua, rentang
waktu yang dipakai dalam penelitian ini cukup panjang, yakni sepuluh
tahun (2004-2013), jika dibandingkan dengan Adi (2005) enam tahun
6
pengamatan, Sasana (2009) lima tahun pengamatan dan Rochana
(2013) enam tahun pengamatan. Ketiga, penelitian ini menggunakan
metode Path Analysis, yang tidak digunakan dalam penelitian Adi
(2005), Apriesa (2013), Rochana (2013) dan Efriza (2014). Keempat,
penggunaan Indeks Williamson sebagai indikator empiris variabel
Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah tidak digunakan dalam penelitian
Adi (2005), Sasana (2009) dan Apriesa (2013). Kelima, pada penelitian
ini memasukkan variabel Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai
variabel antara dalam model penelitian. Variabel IPM tidak ditemukan
pada penelitian Adi (2005), Sasana (2009), Apriesa (2013) dan Rochana
(2013). Variabel IPM memang ditemukan pada penelitian Efriza
(2014), namun tidak sebagai variabel antara. Keenam, meskipun
menggunakan metode analisis sama (Path Analysis), penelitian ini
memiliki variabel tujuan akhir yang berbeda dengan Sasana (2009).
Variabel akhir yang dituju pada penelitian ini adalah Kesenjangan
Ekonomi Antar Daerah, sedangkan pada penelitian Sasana adalah
variabel Kesejahteraan Masyarakat.
Pertanyaan Penelitian
Bagaimana pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan
ekonomi antar daerah pada kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal baik langsung maupun
tidak langsung, melalui variabel antara, terhadap kesenjangan ekonomi
antar daerah di kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah.
Penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat dalam
bentuk sumbangan pemikiran bagi pemerintah kabupaten/ kota
maupun pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dalam menyusun
perencanaan dan kebijakan pembangunan, sehingga hasil-hasil
7
pembangunan dapat dirasakan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah dan
mewujudkan pemerataan pembangunan guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah.
Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian yang menghasilkan perbedaan kesimpulan,
mengenai pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan ekonomi
antar daerah akan dibahas pada bagian ini.
Penelitian Priyo Hari Adi (2005) berfokus pada dampak
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, studi kasus
kabupaten/ kota se Jawa - Bali. Pemilihan daerah ini didasarkan pada
karakteristik ekonomi dan geografis yang sama. Data yang dipakai
dalam penelitian ini bersumber dari Badan Pusat Statistik, dan
dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu data sebelum (1998-2000) dan
data sesudah desentralisasi (2001-2003).
Dalam pengujian hipotesis, digunakan alat uji beda
berpasasangan (uji t) dan analisis varian (ANOVA). Uji t digunakan
untuk membandingkan pertumbuhan ekonomi daerah sebelum dan
sesudah pelaksanaan desentralisasi fiskal. ANOVA digunakan untuk
mengetahui perbedaan pertumbuhan yang nyata antara daerah dengan
tingkat kesiapan yang berbeda, dalam menghadapi desentralisasi fiskal.
Data sebelum desentralisasi fiskal (1998-2000) menunjukkan
bahwa kesenjangan antar daerah pada umumnya masih tinggi. Hal ini
tampak pada angka deviasi standar yang mencapai 3,197%. Angka
penyimpangan ini cukup tinggi terlebih bila diukur dari rata-rata
pertumbuhan yang hampir sama dengan penyimpangan tersebut
(2,9%). Disparitas pertumbuhan terbesar terjadi di propinsi Jawa Barat
dan Jawa Timur masing-masing sebesar 11,36% dan 10,73.
Berdasarkan hasil pemetaan tipologi daerah, dari 117
kabupaten dan kota, hanya 15% (atau 18 daerah) merupakan daerah
yang cepat maju dan tumbuh.
8
Kesenjangan pertumbuhan antar daerah setelah pelaksanaan
desentralisasi fiskal menjadi lebih kecil, hal ini ditunjukkan dengan
nilai deviasi standar yang turun menjadi 1,196%. Hal ini
mengindikasikan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi lebih merata
setelah masa desentralisasi fiskal.
Pengujian hipotesis 1 memberikan secara empiris, secara positif
dan signifikan terkait dengan pertumbuhan ekonomi pada masa
desentralisasi. Temuan ini sejalan dengan penelitian Bohte dan Meier
(2000), yang membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi pada
pemerintahan terdesentralisasi lebih tinggi dan cepat dibandingkan
dengan pertumbuhan ekonomi pada pemerintah tersentralisasi. Selain
itu, temuan ini mendukung penelitian Oates (1995), Lin dan Liu (2000)
yang menemukan bahwa desentralisasi fiskal memiliki hubungan yang
positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pengujian hipotesis 2 ada bukti empiris, rata-rata pertumbuhan
yang berbeda antar daerah dengan tipologi yang berbeda. Daerah yang
siap (memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi) terbukti
mempunyai tingkat pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan
daerah yang kurang siap menghadapi desentralisasi fiskal. Walaupun
demikian, perbedaan pertumbuhan setelah pelaksanaan desentralisasi
lebih kecil dibandingkan sebelum pelaksanaan desentralisasi.
Alat analisis deskriptif, digunakan untuk memberikan
gambaran awal pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per
kapita. Yang menarik dari penelitian Priyo Hari Adi adalah, kenaikan
pertumbuhan ekonomi untuk daerah yang sebelumnya dianggap
kurang siap (cepat maju tapi tertekan dan relatif tertinggal) ternyata
lebih tinggi daripada kenaikan pertumbuhan daerah lainnya. Dapat
diduga bahwa desentralisasi fiskal memberikan dorongan bagi daerah
untuk lebih kreatif dan inovatif untuk mengelola sumber daya yang
dimiliki.
Penelitian lain dilakukan oleh Hadi Sasana (2009), yang
menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi, kesenjangan antar
daerah dan penyerapan tenaga kerja terhadap kesejahteraan pada
9
kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah, pada masa desentralisasi
fiskal.
Pada penelitian ini, desentralisasi fiskal diproksi dengan rasio antara
Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditambah bagi hasil pajak dan bukan
pajak dengan realisasi pengeluaran total pemerintah kabupaten/kota.
Data yang digunakan berupa data sekunder berupa time series dari
tahun 2001 sampai dengan 2005, dan data cross section yang terdiri
dari 35 kabupaten/ kota, sehingga merupakan pooled data. Teknik
analisis yang digunakan adalah least square dengan menggunakan
analisis jalur (path analysis), yang dikembangkan sebagai model untuk
mempelajari pengaruh secara langsung maupun tidak langsung dari
variabel eksogen terhadap variabel endogen.
Hasil pembahasan dan analisis terhadap data yang ada,
diperoleh temuan sebagai berikut :
Pertama, pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan
ekonomi mempunyai koefisien jalur sebesar 0,268 dengan nilai
probabilitas signifikansi (p) sebesar 0,000. Hasil estimasi ini sesuai
dengan hipotesis satu, bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah. Hasil estimasi ini mengindikasikan bahwa
semakin tinggi desentralisasi fiskal di kabupaten/kota akan semakin
tinggi pula pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah.
Kedua, pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan
antar daerah memiliki koefisien jalur sebesar -0,494 dengan nilai
probabilitas signifikansi sebesar 0,000. Hasil estimasi ini memberikan
dukungan hipotesis dua, bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh
signifikan terhadap kesenjangan ekonomi antar daerah di
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi desentralisasi fiskal akan semakin
mengurangi kesenjangan ekonomi antara daerah kabupaten/kota.
10
Ketiga, pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesenjangan
antar daerah mempunyai koefisien jalur sebesar -0,164 dengan nilai
probabilitas signifikansi sebesar 0,013. Hasil estimasi ini sesuai dengan
hipotesis tiga, bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan
terhadap kesenjangan antar daerah di kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
pertumbuhan ekonomi akan semakin kecil tingkat kesenjangan
ekonomi antar daerah kabupaten/kota.
Keempat, pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap
penyerapan tenaga kerja memiliki koefisien jalur sebesar 0,154 dengan
nilai probabilitas signifikansi (p) sebesar 0,042. Hasil estimasi ini
memberikan dukungan hipotesis empat pada penelitian ini, bahwa
pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap penyerapan
tenaga kerja di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pertumbuhan
ekonomi akan semakin besar penyerapan tenaga kerja di
kabupaten/kota.
Kelima, pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap
kesejahteraan mempunyai koefisien jalur sebesar 0,133 dengan nilai
probabilitas signifikansi (p) sebesar 0,003. Hasil estimasi ini sesuai
dengan hipotesis lima, bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh
signifikan terhadap kesejahteraan di kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
pertumbuhan ekonomi akan semakin mendorong kesejahteraan
masyarakat di daerah kabupaten/kota.
Keenam, pengaruh kesenjangan antar daerah terhadap
kesejahteraan mempunyai koefisien jalur sebesar -0,262 dengan nilai
probabilitas signifikansi (p) sebesar 0,000. Hasil estimasi ini sesuai
hipotesis enam, bahwa kesenjangan antar daerah berpengaruh
signifikan terhadap kesejahteraan di kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin kecil
tingkat kesenjangan antar daerah, akan semakin mendorong
kesejahteraan masyarakat di daerah kabupaten/kota.
11
Ketujuh, pengaruh penyerapan tenaga kerja terhadap
kesejahteraan mempunyai koefisien jalur yang bertanda positif sebesar
0,600 dengan nilai probabilitas signifikansi (p) sebesar 0,000. Hasil
estimasi ini sesuai dengan hipotesis tujuh, bahwa meningkatnya
penyerapan tenaga kerja berpengaruh signifikan terhadap
kesejahteraan di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar penyerapan tenaga
kerja dalam berbagai lapangan usaha akan semakin mendorong
kesejahteraan masyarkat di daerah kabupaten/kota.
Lintantia Fajar Apriesa (2013) melakukan penelitian pada
kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah, untuk melihat pengaruh
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
pendapatan. Sayangnya pada penelitian ini, tidak dicantumkan rentang
waktu data yang digunakan.
Apriesa meregresikan variabel independent berupa derajat
desentralisasi fiskal, pajak daerah, populasi penduduk dan tenaga kerja
dengan variabel dependent berupa pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan wilayah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Ordinary Least Square (OLS) data panel. Perhitungan
ketimpangan pendapatan diukur dengan menggunakan Gini Ratio.
Hasil estimasi berkenaan dengan variabel dependent pertumbuhan ekonomi adalah sebagai berikut: pertama, derajat
desentralisasi berpengaruh positif (0,103294) dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Setiap ada kenaikan dalam derajat
desentralisasi yang berasal dari penerimaan daerah dan merupakan
sumber pengeluaran daerah, akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi daerah. Kedua, pajak daerah memiliki pengaruh negatif (-
0,995645) terhadap pertumbuhan ekonomi, namun tidak signifikan.
Hasil ini sesuai teori Peacock dan Wiseman bahwa pajak akan
mengurangi pertumbuhan ekonomi, namun tidak secara signifikan.
Ketiga, pertumbuhan populasi berpengaruh negatif (-0,481655) dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini menegaskan bahwa
pertumbuhan populasi yang besar nantinya dapat mengurangi nilai
12
pertumbuhan ekonomi. Keempat, tenaga kerja memiliki pengaruh
yang positif (2,96) dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Tenaga kerja yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan
penduduk berumur 15 tahun ke atas menurut Kabupaten/Kota dan
kegiatan selama seminggu yang lalu, bekerja untuk menghasilkan
output barang dan jasa di Jawa Tengah. Satuan dalam variabel tenaga
kerja adalah jumlah tenaga kerja. Hasil ini sesuai dengan model Sollow-
Swan, dimana tenaga kerja akan mempengaruhi pembangunan
ekonomi dengan meningkatkan output dan akan menghasilkan
peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Hasil estimasi yang berkenaan dengan variabel dependent ketimpangan pendapatan, adalah sebagai berikut: pertama,
pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh negatif (-0,0007888),
namun tidak signifikan terhadap ketimpangan pendapatan. Hasil ini
sesuai dengan teori Arthur Lewis yang menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi adalah proses yang tidak menyeluruh dan tidak
seimbang. Bahwa dalam proses pertumbuhan akan muncul dampak
negatif, yakni ketimpangan pendapatan. Pada awal pertumbuhan
ekonomi belum sepenuhnya terjadi pemerataan pembangunan di
seluruh daerah, namun pada tahap tertentu, ketimpangan pendapatan
yang kemudian menjadi ketimpangan wilayah, akan berangsur-angsur
berkurang.
Kedua, desentralisasi fiskal berpengaruh positif (0,001097),
namun tidak signifikan terhadap ketimpangan pendapatan. Makna
tidak signifikan mengandung arti bahwa desentralisasi fiskal kurang
tepat dipakai untuk memprediksi ketimpangan pendapatan. Hasil
estimasi ini bertolak belakang dengan penelitian Akai dan Sakata
(2005) yang menyatakan bahwa desentralisasi fiskal merupakan alat
yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi sektor publik dan untuk
mengurangi kesenjangan antar daerah.
Ketiga, pajak daerah berpengaruh negatif (-0,099895) dan
signifikan terhadap ketimpangan pendapatan. Kenaikan didalam pajak
daerah akan mengurangi ketimpangan pendapatan. Salah satu fungsi
13
dari pajak adalah mengurangi ketimpangan pendapatan, yaitu dengan
cara mendistribusikan hasil pemungutan pajak dari anggota masyarakat
berpenghasilan tinggi kepada masyarakat berpenghasilan rendah,
dalam bentuk subsidi maupun pembangunan di sektor publik. Dalam
hal inilah, pajak daerah dapat mengurangi ketimpangan pendapatan.
Keempat, pertumbuhan populasi memiliki pengaruh negatif (-
0,001368), tetapi tidak signifikan terhadap ketimpangan pendapatan.
Hasil ini menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi tidak
berpengaruh pada ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah.
Kelima, tenaga kerja berpengaruh negatif (-3,13E-07) dan
signifikan terhadap ketimpangan pendapatan. Peningkatan pada
variabel tenaga kerja sebagai salah satu faktor penghasil output akan
menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan.
Jika kedua bagian hasil estimasi, yakni hasil estimasi yang
berkenaan dengan variabel dependent pertumbuhan ekonomi dan hasil
estimasi yang berkenaan dengan variabel dependent ketimpangan
pendapatan, dapat disimpulkan: pertama, pengaruh desentralisasi fiskal
terhadap pertumbuhan ekonomi di provinsi Jawa Tengah terbukti
secara signifikan dan positif. Kedua, pengaruh desentralisasi fiskal
terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah, memiliki
pengaruh positif namun tidak signifikan.
Siti Herni Rochana (2013) melakukan penelitian tentang
kesenjangan ekonomi antar wilayah pada era otonomi daerah di
Indonesia. Penelitiannya menggunakan data sekunder tahun 1995 (satu
tahun pengamatan sebelum otonomi daerah) dan lima tahun
pengamatan setelah otonomi daerah, yaitu tahun 2003, 2005, 2007,
2009 dan 2011). Rochana menggunakan Indeks Williamson untuk
mengukur kesenjangan ekonomi antar daerah.
Dari hasil penelitian Rochana, diperoleh bukti empiris bahwa
derajat desentralisasi fiskal di Indonesia meningkat secara signifikan.
Pada tahun 2001 menjadi 25,77% meningkat dari 17,28% pada tahun
sebelumnya. Setelah tahun 2001, derajat desentralisasi fiskal meningkat
14
hingga diatas 30%. Pada tahun 2002, derajat desentralisasi fiskal
sebesar 33,84% dan pada tahun 2007 mencapai 38,39%.
Indeks Williamson penerimaan APBD per kapita antar
kabupaten/ kota di Indonesia, yang dihitung berdasarkan total nilai
APBD per kapita dan total jumlah penduduk per kabupaten/ kota, pada
enam tahun pengamatan (1995, 2003, 2005, 2007, 2009 dan 2011)
menunjukkan angka yang semakin tinggi. Hal ini menggambarkan
betapa semakin tinggi keragaman anggaran antar kabupaten/ kota.
Nilai Indeks Williamson yang cenderung terus meningkat, (1995
sebesar 0,4947; 2003 sebesar 0,6786; 2005 sebesar 0,7298; 2007 sebesar
0,7029; 2009 sebesar 0,7352 dan 2011 sebesar 0,7513) menunjukkan
adanya disparitas anggaran yang semakin besar pada era otonomi
daerah. Tingginya keragaman anggaran antar kabupaten/ kota yang
cenderung semakin besar dapat terjadi karena pelaksanaan
desentralisasi fiskal.
Hasil perhitungan Indeks Williamson untuk PDRB per kapita
kabupaten/ kota di Indonesia ternyata memiliki pola yang sama dengan
Indeks Williamson untuk penerimaan APBD per kapita. Pada tahun
1995 sebesar 0,7210; 2003 sebesar 1,1613; 2005 sebesar 1,4501; 2007
sebesar 1,4118; 2009 sebesar 1,4195 dan tahun 2011 sebesar 1,4559.
Kemiripan pola kedua hasil perhitungan tersebut (sama-sama
mengalami peningkatan) mengindikasikan bahwa peningkatan
kesenjangan antar wilayah berhubungan dengan peningkatan
keragaman anggaran antar daerah.
Fokus penelitian Ulfie Efriza (2014) adalah menganalisis
kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur
di era desentralisasi fiskal. Penelitian ini menggunakan data sekunder
yang terdiri dari 29 kabupaten dan 9 kota yang ada di Jawa Timur
dalam kurun waktu 10 tahun yakni periode 2001-2010. Teknik analisis
data menggunakan Indeks Williamson dan Indeks Entropi Theil yang
dilanjutkan dengan analisis regresi linear berganda.
Dari perhitungan Indeks Williamson, diperoleh hasil yang
menunjukkan angka diatas 1, hal ini menandakan bahwa adanya
15
ketidakmerataan distribusi pendapatan yang ada di Provinsi Jawa
Timur. Ketidakmerataan ini disebabkan adanya kabupaten/ kota yang
memiliki PDRB diatas rata-rata PDRB kabupaten/ kota di Provinsi
Jawa Timur, yakni Kota Kediri dan Kota Surabaya.
Disamping Indeks Williamson, Efriza juga menggunakan
Indeks Entropi Theil. Perhitungan didukung dengan penggunaan
tipologi Klassen untuk mempermudah perhitungan. Indeks Entropi
Theil dapat dibagi menjadi kesenjangan dalam grup (within) dan
kesenjangan antar grup (between). Hasil dari perhitungan Indeks
Entropi Theil ini juga menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan di
Provinsi Jawa Timur tinggi.
Hasil pengujian statistik Efriza terhadap variabel-variabel yang
ada didalam model adalah sebagai berikut: pertama, bahwa tingkat
buta huruf secara parsial berpengaruh positif (10,104) dan signifikan
terhadap tingkat kesenjangan pendapatan. Tingkat melek huruf adalah
satu indikator pendidikan. Jika tingkat pendidikan seseorang itu tinggi
maka diharapkan semakin tinggi pula produktivitas orang tersebut.
Tingkat produktivitas yang tinggi akan berdampak pada naiknya
pendapatan yang diterima.
Kedua, tingkat inflasi secara parsial berpengaruh positif (3,241)
dan signifikan terhadap tingkat kesenjangan pendapatan. Hasil estimasi
ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Cysne, Rubens P.
(2005) yang menyatakan bahwa inflasi memiliki pengaruh yang positif
terhadap kesenjangan pendapatan.
Ketiga, tingkat pertumbuhan ekonomi secara parsial
berpengaruh negatif (-3,260) dan signifikan terhadap tingkat
kesenjangan pendapatan. Ini berarti semakin tinggi pertumbuhan
ekonomi maka semakin rendah kesenjangan pendapatan.
Keempat, tingkat pengangguran secara parsial berpengaruh
positif (6,445) dan signifikan terhadap tingkat kesenjangan pendapatan.
Hasil ini selaras dengan penelitian Cysne, Rubens Penha (2004) yang
16
menyatakan bahwa tingkat pengangguran memiliki hubungan yang
positif terhadap tingkat kesenjangan pendapatan.
Kelima, tingkat buta huruf secara parsial berpengaruh negatif (-
3,879) dan signifikan terhadap kesenjangan pendapatan. Hasil
perhitungan ini sesuai dengan penelitian Alvan, Arzu yang
menyatakan bahwa indeks pembangunan manusia berpengaruh negatif
terhadap tingkat kesenjangan pendapatan. Semakin tinggi indeks
pembangunan manusia suatu daerah, maka akan semakin rendah
tingkat kesenjangan pendapatan daerah tersebut.
Keenam, bahwa tingkat buta huruf, inflasi, pertumbuhan
ekonomi, pengangguran dan indeks pembangunan manusia secara
bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat kesenjangan pendapatan
antar kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Timur.
Definisi Operasional
Desentralisasi Fiskal
Menurut Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, asas penyelenggaran
pemerintah daerah dibagi menjadi tiga, yaitu asas desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Konsekwensi yang muncul dari
adanya pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke
daerah adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan
prasarana, dan sumberdaya manusia.
Desentralisasi fiskal merupakan sebuah proses distribusi
anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada tingkat
pemerintahan yang lebih rendah, dengan tujuan mendukung fungsi
dan tugas pemerintahan serta pelayanan publik sesuai dengan
pelimpahan wewenang yang diberikan. Khusaini (2006) menyatakan
bahwa desentralisasi fiskal adalah pelimpahan kewenangan di bidang
penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya terpusat
17
(tersentralisasi), baik secara administrasi maupun pemanfaatannya
diatur dan dilakukan oleh pemerintah pusat.
Menurut Bahl (2000), dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal
terdapat prinsip yang harus diperhatikan, yakni ”money should follow function”. Hal ini memiliki makna bahwa setiap pelimpahan
wewenang pemerintahan akan terdapat konsekwensi pada anggaran
yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Jika
kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah adalah
turunan dari kebijakan otonomi daerah, yakni melalui pelimpahan
sebagian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,
maka ketika semakin banyak wewenang yang dilimpahkan kepada
daerah hal ini akan berdampak besarnya biaya yang dibutuhkan oleh
daerah untuk melaksanakan kewenangan tersebut.
Terdapat tiga tujuan utama dalam pemberian otonomi kepada
daerah melalui desentralisasi fiskal, yaitu (Barzelay, 1991):
1. Menciptakan efisiensi dan efektifitas dalam pengelolaan
sumberdaya daerah.
2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan
masyarakat.
3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat
untuk turut serta dalam proses pembangunan.
Oates (1993), menyatakan bahwa desentralisasi fiskal akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,
karena pemerintah akan lebih efisien dalam produksi dan
menyediakan barang publik. Efisiensi ini dapat terjadi karena
pemerintah (lokal) akan mengambil keputusan sesuai dengan
keanekaragaman kebutuhan lokal. Disamping itu, desentralisasi fiskal
akan meningkatkan efisiensi ekonomi yang pada akhirnya akan
berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pemerintah lokal
(daerah) dalam menyediakan infrastruktur dan sektor sosial akan
memacu pertumbuhan ekonomi. Pemahaman yang lebih baik tentang
kebutuhan masyarakat lokal (daerah) merupakan keuntungan yang
18
dimiliki pemerintah lokal (daerah) dalam penyusunan anggaran
belanja.
Indikator empiris yang dipakai untuk mewakili konsep
desentralisasi fiskal pada penelitian ini adalah Dana Perimbangan pada
kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah. Penggunaan data Dana
Perimbangan pada penelitian ini didasarkan pada UU No 25/ 1999 pasal
6 dan UU No. 33/2004 pasal 10, yakni Dana Perimbangan adalah dana
yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada
daerah untuk membiayai kebutuhannya dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi (Kuncoro, 2014). Data ini dihimpun dari “Statistik
Keuangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kota Di Jawa Tengah”
periode waktu 2004-2013, yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS) Provinsi Jawa Tengah.
Indeks Pembangunan Manusia
Dalam laman Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id),
pembangunan manusia diartikan sebagai suatu proses memperbanyak
pilihan-pilihan yang dimiliki manusia. Diantara pilihan-pilihan
tersebut, beberapa pilihan penting adalah berumur panjang dan sehat,
memiliki ilmu pengetahuan dan memiliki akses terhadap sumberdaya
yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indeks yang
mengukur capaian pembangunan manusia berdasarkan sejumlah
komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup, maka
IPM disusun melalui tiga dimensi utama, yakni meliputi umur panjang
dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. Ketiga dimensi ini
memiliki pengertian yang luas, karena berhubungan dengan banyak
faktor. Oleh karenanya untuk mengukur dimensi kesehatan
digunakanlah angka harapan hidup waktu lahir. Dimensi pengetahuan
diukur dengan indikator melek huruf dan rata-rata sekolah. Sedangkan
untuk mengukur dimensi hidup layak dipakai indikator kemampuan
daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang
19
dihitung dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai
pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk
hidup layak.
Gambar 1. Indeks Pembangunan Manusia (Sumber: www.bps.go.id)
Indikator pertama yang dipakai untuk menghitung dimensi
umur panjang dan sehat adalah Angka Harapan Hidup (AHH) pada
waktu lahir. Angka Harapan Hidup (AHH) pada waktu lahir
merupakan rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh
seseorang selama hidup.
Indikator kedua yang dipakai untuk menghitung dimensi pengetahuan
adalah Angka Melek Huruf (AMH), adalah persentase penduduk usia
15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau
huruf lainnya. Rata-rata Lama Sekolah (RLS), menggambarkan jumlah
tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam
menjalani pendidikan formal di sekolah.
Indeks Pembangunan
Manusia
Umur Panjang dan Sehat Angka Harapan Hidup Saat Lahir
Pengetahuan Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah
Kehidupan yang Layak
Pengeluaran Riil Per Kapita yang Disesuaikan
20
Komponen ketiga yang dipakai untuk menghitung dimensi kehidupan
yang layak adalah pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan. BPS
dalam menghitung dimensi kehidupan yang layak menggunakan rata-
rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan formula
Atkinson. Terdapat 27 komoditi kebutuhan pokok yang dipakai sebagai
dasar penghitungan daya beli (Purchasing Power Parity – PPP), yakni
beras lokal, tepung terigu, singkong, tuna/ cakalang, teri, daging sapi,
ayam, telur, susu kental manis, bayam, kacang panjang, kacang tanah,
tempe, jeruk, pepaya, kelapa, gula kopi, garam, merica, mie instan,
rokok kretek, listrik, air minum, bensin, minyak tanah dan sewa
rumah.
Penelitian ini menggunakan data IPM kabupaten/ kota di
Provinsi Jawa Tengah periode waktu 2004-2013, yang diunduh melalui
laman BPS Provinsi Jawa Tengah (www.jateng.bps.go.id).
Pertumbuhan Ekonomi
Salah satu indikator tercapainya pembangunan ekonomi adalah
adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tolok ukur keberhasilan
ekonomi akan terlihat dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi,
semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar
daerah dan antar sektor (Kuncoro, 2004).
Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai proses kenaikan
output per kapita (Boediono, 1985). Menurut Sukirno (2002), tingkat
pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari
perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai negara itu. Secara
tradisional, pembangunan ekonomi ditujukan untuk peningkatan
Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) (Saragih 2003, Kuncoro 2004). Pertumbuhan ekonomi
dihitung dengan rumus:
gt = ((PDB Riilt – PDB Riilt-1)/PDB Riilt-1) x 100%
21
Disamping penggunaan PDB Riil atau PDRB Riil untuk
menghitung pertumbuhan ekonomi, terdapat indikator yang lain, yaitu
pendapatan riil per kapita. Pendapatan riil per kapita dihitung dari
PDB Riil atau PDRB Riil dibagi dengan jumlah penduduk. Pendapatan
riil per kapita digunakan sebagai indikator untuk mendorong negara/
daerah agar berupaya meningkatkan tingkat pertumbuhan PDB Riil
atau PDRB Riil melebihi tingkat pertumbuhan penduduk.
Data Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan
digunakan dalam penelitian ini untuk menghitung pertumbuhan
ekonomi. Data ini diambil dari “Jawa Tengah Dalam Angka” periode
waktu 2004-2013, yang diterbitkan oleh BPS Provinsi Jawa Tengah.
Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah
Kesenjangan ekonomi merupakan salah satu hal yang umum
ditemui jika dihubungkan dengan pembangunan ekonomi suatu
daerah. Kesenjangan ini terjadi karena perbedaan faktor endowment (sumberdaya alam dan kondisi demografi) yang dimiliki oleh suatu
daerah. Kondisi demografis ini meliputi tingkat pertumbuhan dan
struktur penduduk, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, dan
perbedaan kondisi ketenagakerjaan termasuk didalamnya adalah
tingkat pengangguran (Sjafrizal, 2012). Lesmaan (2006) menambahkan
bahwa tingkat penggangguran yang tinggi berhubungan dengan
semakin tingginya kesenjangan antar daerah. Hal inilah yang
menjadikan kemampuan suatu daerah untuk mendorong proses
pembangunan menjadi berbeda pula.
Pada pelaksanaan desentralisasi fiskal, konsekwensi yang
muncul adalah adanya keberagaman anggaran antar daerah. Daerah
dengan penerimaan besar tentunya akan memiliki pengeluaran yang
besar pula, sebaliknya daerah dengan penerimaan kecil akan memiliki
pengeluaran yang kecil. Perbedaan inilah yang mengakibatkan
perbedaan pada output yang dihasilkan antara daerah yang kaya
dengan daerah yang miskin. Pemberlakuan desentralisasi
22
menyebabkan daerah kaya akan memiliki sumber penerimaan pajak
lebih banyak (Prud’homme, 1995).
Kesenjangan ekonomi antar daerah dapat diukur dengan
Indeks Williamson. Indeks ini dihitung berdasarkan total nilai PDRB
Riil per kapita dan total jumlah penduduk per kabupaten/ kota. Nilai
Indeks Williamson berkisar antara 0 dan 1. Semakin mendekati 0
berarti kesenjangan ekonomi antar daerah semakin kecil, sedangan jika
mendekati 1 berarti kesenjangan ekonomi antar daerah semakin besar.
Berikut ini rumus dari Indeks Williamson:
Keterangan:
WI = Indeks Williamson
yi = Pendapatan per kapita daerah dalam kesatuan wilayah
Y = Pendapatan per kapita wilayah
fi = Jumlah penduduk daerah dalam kesatuan wilayah
N = Jumlah penduduk wilayah
Data Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan
dan Jumlah Penduduk pada kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah,
dipakai untuk menghitung Indeks Williamson. Data ini dihimpun dari
“Jawa Tengah Dalam Angka” periode waktu 2004-2013, yang
diterbitkan oleh BPS Provinsi Jawa Tengah.
Data
Penelitian ini akan menggunakan data sekunder yang
disediakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah. Data
meliputi 35 kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah dan runtut waktu
(time series) yang dipakai dalam penelitian ini, dimulai dari tahun 2004
sampai dengan tahun 2013.
23
Teknik Analisis
Untuk menganalisis pengaruh masing-masing variabel, teknik
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Ordinary Least Square (OLS) Data Panel (Apriesa, 2013) dipadukan dengan Path Analysis (Sasana, 2009). Sedangkan untuk menghitung Kesenjangan
Ekonomi Antar Daerah digunakan Indeks Williamson (Rochana, 2013
dan Efriza, 2014). Pengolahan data panel pada penelitian ini
menggunakan program STATA versi 11.
Path Analysis atau analisis jalur merupakan pengembangan
model regresi. Analisis jalur digunakan untuk mengetahui apakah
variabel bebas (Desentralisasi Fiskal) memiliki pengaruh terhadap
variabel tak bebas (Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah), dan seberapa
jauh variabel bebas tersebut mempengaruhi variabel tak bebas dalam
penelitian ini (Ghozali, 2009).
Model analisis jalur yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Analisis Jalur Dekomposisi, yakni model yang menekankan pada
pengaruh yang bersifat kausalitas antar variabel, baik pengaruh
langsung maupun pengaruh tidak langsung. Analisis dalam model ini
dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Pengaruh Kausal Langsung (Direct Causal Effects), adalah
pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas, yang
terjadi tanpa melalui variabel tak bebas lainnya dalam model
yang sedang dianalisis.
2. Pengaruh Kausal Tidak Langsung (Indirect Causal Effects), adalah pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas,
yang terjadi melalui variabel tak bebas lainnya dalam model
yang sedang dianalisis.
3. Pengaruh Kausal Total (Total Causal Effects), adalah jumlah
dari pengaruh kausal langsung dan pengaruh kausal tidak
langsung.
24
Model Penelitian
Berdasarkan studi literatur, maka kerangka hubungan antar
variabel yang akan diteliti digambarkan dalam model sebagai berikut:
Gambar 2. Model Penelitian
Pada model diatas terdapat, dapat dijelaskan hubungan antar
variabel sebagai berikut:
1. Variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh langsung terhadap
variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah.
2. Variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung
terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui
variabel IPM.
3. Variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung
terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui
variabel Pertumbuhan Ekonomi.
4. Variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung
terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui
variabel IPM dan variabel Pertumbuhan Ekonomi.
Hasil dan Pembahasan
Langkah pertama yang dilakukan sebelum pengolahan data
panel adalah pengujian stasioneritas masing-masing variabel. Dari hasil
uji stasioneritas dengan menggunakan Levin-Lin-Chu unit-root test, dapat diketahui bahwa data panel untuk semua variabel pada
Kesenjang-an Ekonomi
Antar Daerah
Desentrali-sasi Fiskal
IPM Pertumbuh-an Ekonomi
25
Kesenjangan Ekonomi
Antar Daerah
Desentralisasi Fiskal IP
M
Pertumbuh-an Ekonomi
penelitian ini, dalam kondisi stasioner (lihat Lampiran). Langkah
kedua, adalah menyiapkan data hat (^)/ fitted, yang akan dipakai untuk
regresi antar variabel dalam model. Data yang diperlukan adalah data
IPM dan Pertumbuhan Ekonomi (PE^). Langkah ketiga, setelah data
hat (^)/ fitted tersedia, barulah proses regresi antar variabel dijalankan
sesuai dengan model yang sudah ditentukan. Regresi data panel ini
menggunakan program STATA versi 11.
Hasil olahan data panel tersebut (dapat dilihat dalam lampiran)
digambarkan dalam model berikut:
Gambar 3. Model Penelitian Dengan Koefisien Jalur
Pada model tersebut, variabel Desentralisasi Fiskal
berpengaruh langsung, negatif dan signifikan pada tingkat kepercayaan
satu persen, terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah,
dengan nilai koefisien jalur sebesar -1,67e-06. Hal ini menunjukkan
bahwa ketika ada peningkatan pada variabel Desentralisasi Fiskal akan
terjadi penurunan pada variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah.
Variabel Desentralisasi Fiskal diukur dengan Dana Perimbangan yang
diterima kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah, sedangkan variabel
Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah diukur dengan Indeks
Williamson. Nilai koefisien jalur sebesar -1,67e-06 dimaknai, jika
variabel Desentralisasi Fiskal meningkat 1% maka akan mengakibatkan
penurunan sebesar 1,67e-06% pada variabel Kesenjangan Ekonomi
Antar Daerah.
2.17e
-06
-0.2401741 -1.67e-06
7.21e-06
0.300
2978 -0.668811
26
Variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung,
negatif dan signifikan pada tingkat kepercayaan satu persen, terhadap
variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel IPM,
dengan nilai koefisien jalur sebesar -1,73e-06, yang diperoleh dari
7.21e-06 x -0.2401741. Hal ini berarti bahwa ketika ada peningkatan
pada variabel Desentralisasi Fiskal akan terjadi pengurangan pada
variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel IPM.
Nilai koefisien jalur sebesar -1,73e-06 memberikan makna, bila
variabel Desentralisasi Fiskal meningkat 1% maka akan mengakibatkan
penurunan sebesar 1,73e-06% pada variabel Kesenjangan Ekonomi
Antar Daerah, melalui variabel IPM.
Jika dibandingkan dengan hasil sebelumnya, yakni jalur Variabel
Desentralisasi Fiskal berpengaruh langsung terhadap variabel
Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, maka jalur variabel Desentralisasi
Fiskal berpengaruh tidak langsung terhadap variabel Kesenjangan
Ekonomi Antar Daerah melalui variabel IPM, memiliki nilai koefisien
jalur lebih besar.
Variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung,
negatif dan signifikan pada tingkat kepercayaan satu persen, terhadap
variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel
Pertumbuhan Ekonomi, dengan nilai koefisien jalur sebesar -1,45e-06,
diperoleh dari perkalian 2.17e-06 dengan -0.668811. Hal ini berarti
bahwa ketika ada peningkatan pada variabel Desentralisasi Fiskal akan
terjadi pengurangan pada variabel Kesenjangan Ekonomi Antar
Daerah, melalui variabel Pertumbuhan Ekonomi. Nilai koefisien jalur
sebesar -1,45e-06 dimaknai, bila variabel Desentralisasi Fiskal
meningkat 1% maka akan mengakibatkan penurunan sebesar 1,45e-
06% pada variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui
variabel Pertumbuhan Ekonomi.
Memperhatikan jalur variabel Desentralisasi Fiskal
berpengaruh tidak langsung terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi
Antar Daerah melalui variabel IPM, dan jalur variabel Desentralisasi
Fiskal berpengaruh tidak langsung terhadap Kesenjangan Ekonomi
27
Antar Daerah melalui variabel Pertumbuhan Ekonomi, maka jalur
variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung terhadap
variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah melalui variabel IPM
mempunyai nilai koefisien jalur lebih besar.
Variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak langsung,
negatif dan signifikan pada tingkat kepercayaan satu persen, terhadap
variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel IPM
dan variabel Pertumbuhan Ekonomi, dengan nilai koefisien jalur
sebesar -1,44e-06, yang diperoleh dari 7.21e-06 x 0.3002978 x -
0.668811. Hal ini menunjukkan bahwa ketika ada peningkatan pada
variabel Desentralisasi Fiskal akan terjadi pengurangan pada variabel
Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel IPM dan
variabel Pertumbuhan Ekonomi. Nilai koefisien jalur sebesar -1,44e-06
memberikan makna, bila variabel Desentralisasi Fiskal meningkat 1%
maka akan mengakibatkan penurunan sebesar 1,44e-06% pada variabel
Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, melalui variabel IPM dan
variabel Pertumbuhan Ekonomi.
Jika membandingkan jalur variabel Desentralisasi Fiskal
berpengaruh tidak langsung terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi
Antar Daerah melalui IPM, dengan jalur variabel Desentralisasi Fiskal
berpengaruh tidak langsung terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi
Antar Daerah melalui variabel IPM dan variabel Pertumbuhan
Ekonomi, maka jalur variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh tidak
langsung terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah
melalui variabel IPM memiliki nilai koefisien jalur lebih besar.
Memperhatikan model hasil olahan data panel tersebut, maka
jika dibandingkan dengan penelitian Sasana (2009) yang juga
menggunakan Path Analysis, terdapat beberapa perbedaan, yakni:
Pertama, variabel antara yang digunakan Sasana (2009) pada model
penelitiannya adalah variabel Pertumbuhan Ekonomi, Tenaga Kerja
Terserap, dan Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah. Sedangkan
penelitian ini, dimasukkannya variabel IPM sebagai variabel antara
(baru) selain variabel Pertumbuhan Ekonomi.
28
Kedua, pada penelitian Sasana (2009), variabel Desentralisasi Fiskal
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap variabel Kesenjangan
Ekonomi Antar Daerah, baik secara langsung dengan nilai koefisien
jalur sebesar -0,494 maupun tidak langsung melalui variabel
Pertumbuhan Ekonomi dengan koefisien jalur sebesar -0,043952 yang
diperoleh dari 0,268 x -0,164. Sedangkan pada penelitian ini variabel
Desentralisasi Fiskal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, baik langsung dengan
koefisien jalur sebesar -1,67e-06 maupun tidak langsung melalui
variabel IPM dengan koefisien jalur sebesar -1,73e-06. Pada penelitian
Sasana (2009) tampak bahwa variabel Desentralisasi Fiskal akan efektif
jika mempengaruhi langsung variabel Kesenjangan Ekonomi Antar
Daerah, sedangkan pada penelitian ini, variabel Desentralisasi Fiskal
akan efektif mempengaruhi variabel Kesenjangan Ekonomi Antar
Daerah jika melalui variabel IPM.
Oleh karenanya, untuk mengurangi kesenjangan ekonomi
antar daerah, pemerintah kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah
dapat menggunakan variabel IPM, sebagai variabel antara yang dapat
meningkatkan efektifitas pengaruh tidak alngsung variabel
Desentralisasi Fiskal terhadap variabel Kesenjangan Ekonomi Antar
Daerah.
Temuan lain dari penelitian ini adalah pengaruh variabel
Desentralisasi Fiskal, baik langsung maupun tidak langsung terhadap
variabel Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, dari semua jalur,
memiliki pengaruh yang negatif. Temuan ini didukung hasil penelitian
Akai dan Sakata (2005) dan Sasana (2005), yang menyatakan bahwa
Desentralisasi Fiskal akan mengurangi Kesenjangan Ekonomi Antar
Daerah.
Implikasi dari temuan empiris ini adalah, bahwa desentralisasi
fiskal dapat dipakai sebagai alat dari kebijakan pemerintah untuk
memperkecil kesenjangan ekonomi antar daerah, baik pengaruhnya
secara langsung maupun tidak langsung.
29
Kesimpulan, Keterbatasan dan Saran
Kesimpulan
Dari hasil pengolahan data panel untuk variabel Desentralisasi
Fiskal, IPM, Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Ekonomi Antar
Daerah, diperoleh temuan sebagai berikut: pertama, jika diban-dingkan
koefisien jalur, baik langsung maupun tidak langsung dari variabel
Desentralisasi Fiskal terhadap Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah,
maka temuan pada penelitian ini adalah bahwa variabel De-sentralisasi
Fiskal memiliki koefisien pengaruh yang besar terhadap variabel
Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah, jika melalui variabel IPM.
Kedua, dalam kurun waktu 10 tahun (2003-2014), Provinsi
Jawa Tengah, pada pelaksanaan Desentralisasi Fiskal melalui variabel
Pertumbuhan Ekonomi sudah dapat mengurangi Kesenjangan
Ekonomi Antar Daerah. Hal ini didukung teori Simon Kuznets, yang
menyatakan bahwa pada awal pertumbuhan ekonomi akan diikuti
kesenjangan ekonomi antar daerah yang semakin besar, namun dengan
berjalannya waktu, pada satu titik pertumbuhan ekonomi yang
semakin tinggi akan diikuti dengan penurunan kesenjangan ekonomi
antar daerah (Kuncoro, 2014).
Lebih lanjut, temuan ini juga didukung teori Arthur Lewis
yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses yang
tidak menyeluruh dan tidak seimbang. Bahwa dalam proses pertum-
buhan akan muncul dampak negatif, yakni ketimpangan pendapatan.
Pada awal pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya terjadi
pemerataan pembangunan di seluruh daerah, namun pada tahap
tertentu, ketimpangan pendapatan yang kemudian menjadi ketim-
pangan wilayah, akan berangsur-angsur berkurang (Apriesa, 2013).
Keterbatasan
Walaupun penelitian ini berhasil menghadirkan temuan baru,
namun harus diakui terdapat beberapa keterbatasan, pertama, Dana
30
Perimbangan terdiri dari beberapa item, yakni Dana Alokasi Umum,
Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil non
Pajak/ Sumber Daya Alam. Ketidaktersediaan data pada masing-masing
item mengakibatkan data yang digunakan pada penelitian ini hanyalah
Dana Perimbangan.
Kedua, IPM terdiri dari tiga dimensi utama, yakni meliputi (1)
umur panjang dan sehat, (2) pengetahuan serta (3) kehidupan yang
layak. Keterbatasan waktu penelitian mengakibatkan peneliti tidak
dapat menggunakan tiga dimensi tersebut dalam penelitian ini. Data
tiga dimensi dalam IPM tersebut dapat diperoleh pada data IPM untuk
masing-masing kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah.
Ketiga, hasil analisis bisa saja berbeda ketika menggunakan
model yang berbeda (misalnya, menggunakan model persamaan regresi
berganda). Oleh karenanya peneliti mengakui jika hasil temuan pada
penelitian ini bisa saja berbeda jika menggunakan model yang berbeda.
Saran
Pertama, penelitian ini dapat dilanjutkan dengan data yang
lebih lengkap, sehingga akan diketahui dengan lebih jelas, bagian mana
dari Dana Perimbangan dan dimensi IPM apa yang lebih berpengaruh
dalam model penelitian ini.
Kedua, perlunya penggunaan berbagai model untuk mengkaji
temuan maupun variabel-variabel yang diuji dalam penelitian ini
dibutuhkan, agar temuan pada penelitian ini dapat menjadi masukan
yang berharga pada pengambilan kebijakan pembangunan pada
kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah.
Ketiga, dari hasil temuan, peneliti merekomendasikan kepada
kepala daerah, baik Gubernur Provinsi Jawa Tengah, maupun Bupati
dan Walikota di kabupaten/ kota di provinsi Jawa Tengah, lebih
memperhatikan peningkatan IPM, khususnya melalui Dana Alokasi
Khusus untuk Bidang Pendidikan dan Kesehatan. Karena penelitian ini
31
membuktikan bahwa melalui variabel IPM, kesenjangan ekonomi
antar daerah dapat berkurang. Sebagai contoh, bila variabel
Desentralisasi Fiskal meningkat 1% maka akan mengakibatkan
penurunan sebesar 1,73e-06% pada variabel Kesenjangan Ekonomi
Antar Daerah, melalui variabel IPM.
Referensi
Adi, Priyo Hari. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali). Jurnal Interdisipliner Kritis UKSW.
Apriesa, Lintantia Fajar dan Miyasto. 2013. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Dan Ketimpangan Pendapatan (Studi Kasus: Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah). Diponegoro Journal of Economics. Vol. 2, No. 1, Tahun 2013.
Bahl, Roy W., 2000. China: Evaluating the Impact of Intergovernmental Fiscal Reform dalam Fiscal Decentralization in Developing Countries. Edited by Richard M. Bird and Francois Vaillancourt, United Kingdom: Cambridge University Press.
Barzelay, M. 1991. Managing Local Development: Lesson from Spain. Policy Sciences. 24. 271-290.
Dhyatmika, Ketut Wahyu dan Hastarini Dwi Atmanti. 2013. Analisis Ketimpangan Pembangunan Provinsi Banten Pasca Pemekaran. Diponegoro Journal of Economics. Vol. 2, No. 2, Tahun 2013, hal. 1-8.
Efriza, Ulfie. 2014. Analisis Kesenjangan Pendapatan Antar Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Timur di Era Desentralisasi Fiskal (Jurnal Ilmiah). Universitas Brawijaya Malang.
Ghozali, Imam. 2009. Ekonometrika: Teori, Konsep dan Aplikasi Dengan SPSS 17. Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Kaloh, J. 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta: PT Rineka Cipta. Khusaini, Muhamad. 2006. Ekonomi Publik: Desentralisasi Fiskal dan
Pembangunan Daerah, Malang: BPFE UNBRAW. Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi,
Perencanaan, Strategi dan Peluang. Penerbit Erlangga. Kuncoro, Mudrajat. 2014. Otonomi Daerah: Menuju Era Baru Pembangunan
Daerah. Edisi 3. Penerbit Erlangga. Lessman, Christian. 2006. Fiscal Decentralization and Regional Disparity: A
Panel Data Approach for OECD countries. Ifo Working Papers. Mankiw, N. Gregory. 2012. Macroeconomics. Worth Publishers. 8 edition.
32
Noegraha, Sinung Yoenanto dan Lana Soelistianingsih. 2007. Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/ Kota Di Propinsi Jawa Tengah Dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional. Parallel Session IVA: Urban & Regional. 13 Desember 2007. Wisma Makara, Kampus UI – Depok.
Oates, Wallace E. 1993. Fiscal Decentralizationn and Economic Development. National Tax Journal. XLVI. 237-243.
Prud’homme, Remy. 1995. The Danger of Decentralization. The World Bank Research Observer 10(2): 201-220.
Rochana, Siti Herni. 2013. Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Pada Era Otonomi Daerah Di Indonesia.
Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus. 2006. Ilmu Makroekonomi (Edisi Bahasa Indonesia). Salemba Empat. Jakarta.
Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi. Penerbit Ghalia Indonesia.
Sasana, Hadi. 2009. Analisis Dampak Pertumbuhan Ekonomi, Kesenjangan Antar Daerah dan tenaga Kerja Terserap Terhadap Kesejahteraan Di Kabupaten/ Kota Provinsi Jawa Tengah Dalam Era Desentralisasi Fiskal. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Maret 2009, Hal. 50-69.
Sjafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Sukirno, Sadono. 2004. Makroekonomi Teori Pengantar. Rajawali Press. Jakarta.
Sultan dan Jamzani Sodik. 2010. Analisis Ketimpangan Pendapatan Regional di DIY-Jawa Tengah Serta Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Periode 2000-2004. Buletin Ekonomi Vol. 8, No. 1, April 2010, Hal. 1-70.
Wahyuni, I Gusti Ayu Putri, Made Sukarsa dan Nyoman Yuliarmi. 2014. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Investasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Pendapatan Kabupaten/ Kota di Provinsi Bali. E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana 3.8 (2014):458-477.