ANTISIPASI RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS …
Transcript of ANTISIPASI RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS …
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 34
ANTISIPASI RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS
KEGIATAN EKSPOR DAN IMPOR PADA PT YKK ZIPCO
INDONESIA
* Sri Esa Rahmadani
* Munawaroh
ABSTRACT
The purpose of this research is to decide the strategy in anticipating
and reducing the restitution of Value Added Tax (VAT) to PT YKK
Zipco Indonesia, a foreign capital company conducting export and
import activities. The research method used is descriptive to describe
the calculation of VAT and VAT restitution mechanism conducted by
PT YKK Zipco Indonesia based on the prevailing rules, and strategy
in anticipating VAT restitution by utilizing Bonded Zone facility. This
research analyzes the positive impact of tax planning in anticipating
VAT restitution.
Keywords: Compensation, Restitution, Value Added Tax, Export, Import
PENDAHULUAN
Reformasi pajak (tax reform) yang
dilakukan pemerintah Indonesia pada
tahun 1983 telah memberikan perubahan
yang konstruktif bagi perpajakan Indonesia
yang mampu menunjukkan fungsinya
sebagai salah satu sumber penerimaan
Negara dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Salah satu perubahan
tersebut adalah dengan munculnya Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) menggantikan
pajak penjualan tahun 1951. Dinamakan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) karena
yang terkena pajaknya hanya penambahan
nilainya saja.
Dasar hukum PPN di Indonesia
adalah Undang-undang tentang Pajak
Pertambahan Nilai nomor 42 tahun 2009
yang berlaku sejak 1 April 2010,
merupakan perubahan ketiga UU PPN
tahun 1984. Menurut UU nomor 42 tahun
2009 tersebut, PPN dikenakan kepada
produsen ataupun distributor yang menjual
barang dan/atau jasanya kepada konsumen
terakhir di Daerah Pabean. Oleh karena itu,
atas barang yang tidak dikonsumsi di
daerah pabean (diekspor), akan dikenakan
pajak dengan tarif 0%, sebaliknya atas
impor barang dikenakan pajak yang sama
dengan produksi barang dalam negeri.
YKK Corporation (YKK株式会社 –
YKK Kabushikigaisha) adalah grup
perusahaan Jepang yang memproduksi
produk metal nonbesi, dan dikenal sebagai
produsen ritsleting terbesar di dunia. YKK
adalah merek dagang terdaftar sekaligus
singkatan dari Yoshida Kogyo Kabushiki
Kaisha. Kantor pusat berada di
distrik Chiyoda, Tokyo.Grup YKK telah
memiliki 132 perusahaan yang tersebar di
70 negara dan teritori, dengan total pabrik
dan kantor di sejumlah 672 lokasi. Grup
YKK terdiri dari tiga bidang usaha: produk
pengancing/ritsleting, produk bahan
bangunan, dan enjinering mesin.
Perusahaan yang berada di bawah grup
YKK dikelompokkan menjadi 6 kelompok
berdasarkan lokasi geografis: Jepang, Asia
Timur, ASEAN-Asia Selatan-Oseania,
Eropa-Timur Tengah-Afrika, Amerika
Utara-Amerika Tengah dan Amerika
Selatan.Di Indonesia, Grup YKK memiliki
PT YKK Zipper Indonesia , PT.
Jurnal Akuntansi Bisnis
Vol. 4 No. 2 Mei 2017
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 35
Andityawarman, PT YKK Zipco
Indonesia , dan PT YKK Fasco Indonesia.
PT YKK Zipper Indonesia didirikan
pada tanggal 23 Mei 1972 sebagai
perusahaan manufaktur yang fokus
memproduksi “Zipper” (ritsleting) dan
komponennya, yaitu quicklon (kait &
pengikat loop), pita elastis, tape gandum
kotor, stopper kabel plastik, telah tumbuh
menjadi YKK Fastening Indonesia Group
(FIG), dan terkonsentrasi dalam
memberikan berbagai keuntungan bagi
perdagangan Indonesia dan industri,
mendukung industri dalam negeri tekstil,
dan berfokus 25% dari produksi untuk
ekspor langsung dalam Grup YKK, 55%
untuk ekspor tidak langsung dan sisanya
untuk pasar domestik. Sebagai salah satu
sentra produksi YKK Corporation
mengikuti perkembangan industri dan
perdagangan global, terutama yang terjadi
di Asia. Perusahaan YKK Group
menganggap adil dan merata sebagai dasar
kegiatan operasional dan manajemen,
dinyatakan dalam prinsip manajemennya,
“YKK Berusaha meningkatkan Nilai
Perusahaan Signifikansi yang Tinggi”.
Setelah 17 tahun usaha di Indonesia
sukses, pada 23 Oktober tahun 1989
mendirikan PT YKK Zipco Indonesia,
perusahaan patungan dengan produk
utamanya adalah ritsleting (polyester) dan
komponennya (kaset, rantai, slider).
Perusahaan ini baru mencapai kesuksesan
dengan cepat dan sekarang memiliki 3
pabrik di Cibitung, Bekasi, dengan 652
karyawan, dan berproduksi untuk ekspor
l a n g s u n g , ya i t u d i d i s t r i b u s i k a n
ke Perusahaan YKK seluruh dunia.
PT YKK Zipco Indonesia merupakan
perusahaan manufakturyang memfokuskan
kepada solusi sistem dan teknologi
informasi yang menyeluruh dan
terintegrasi di dalam pengembangan
produktivitas dan efisiensi aktivitas ekspor
dan impor atas barang kena pajak.Dalam
hal ini PT YKK Zipco Indonesia telah
melakukan Restitusi PPN hampir setiap
Tahun dikarenakan lebih besarnya nilai
Pajak Masukan dibanding Pajak Keluaran
dalam aktivitas Ekspor dan impor tersebut,
dan nilai yang akan direstitusi adalah
selisih dari nilai yang dikompensasikan ke
Masa Pajak berikutnya.
Tabel 1
Kenaikan dan Penurunan Lebih Bayar PPN
PT. YKK Zipco Indonesia Tahun 2010 - 2014
No
Tahun
(t)
Lebih Bayar
(1)
Selisih(2)=
Lebih Bayar(t – (t-1))
% Kenaikan/Penurunan
(3)=(2): Lebih Bayar(t-1)
1 2010 32.693.225.676 - -
2 2011 66.948.479.078 34.255.253.402 105%
3 2012 45.095.527.083 -21.852.951.995 -33%
4 2013 93.950.864.321 48.855.337.238 108%
5 2014 76.933.580.733 -17.017.283.588 -18%
Sumber : Data diolahpenulis (2016)
Tabel 1diatas menunjukkan pada
tahun 2010 sampai dengan 2014selisih
nilai lebih bayar PPN dalam lima tahun
tersebut mengalami kenaikan dan
penurunan. Pada tahun 2010-2011
mengalami kenaikan hingga 105%.
Namun tahun 2012 terjadi penurunan
sebesar 33%. Kemudian tahun 2013 ada
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 36
kenaikan sebesar 108% dan tahun 2014
kembali terjadi penurunan sebesar 18%.
Dengan demikian kenaikan yang terjadi
mencapai >100%, namun pada penurunan
hanya berkisar 18% - 33%. Jika diprediksi
ada beberapa hal yang mungkin
menyebabkan hal tersebut diantaranya,
kesalahan perhitungan Pajak Keluaran dan
Pajak Masukan, kurangnya ketelitian
karyawan dalam menginput dataPPN, atau
disebabkan lawan transaksi dengan kode
transaksi tertentu yang menambah angka
lebih bayar,dan adanya kemungkinan
masih mengikuti aturan perpajakan yang
sudah tidak berlaku karena kurang
mengikuti informasi terkini tentang
regulasi perpajakan yang berlaku.
Nilai lebih bayar PPN dapat
dikompensasikan pada masa pajak
berikutnya dan dapat juga direstitusi,
namun oleh karena proses restitusi tersebut
membutuhkan proses yang panjang, maka
diperlukan perencanaan pajak agar di masa
pajak selanjutnya tidak lagi terjadi
restitusi. Hasil penelitian Linda Yuliana
(2010) dan Syahrul Fauzi (2012)dengan
menggunakan regresi linier sederhana
menunjukkan, bahwa pemberian restitusi
PPN berpengaruh terhadap penerimaan
PPN. Milda Agustina (2011), melakukan
penelitian dengan sumber data dari bagian
perpajakan dan keuangan serta dokumen-
dokumen lain yang terkait, menyatakan
bahwa perbedaan omzet yang dihasilkan
dari faktor-faktor penyebab perbedaan omzet PPN dan PPh yaitu karena
perbedaan pengakuan penjualan dan
pembuatan faktur pajak, akun PPN yang
diterapkan perusahaan telah memadai
dengan prinsip-prinsip akuntansi dan
peraturan perpajakan walaupun masih ada
hal–hal yang belum dilaksanakan tetapi
perusahaan berusaha menyempurnakannya.
Secara spesifik tujuan yang akan
dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui cara perhitungan PPN atas
Kegiatan Ekspor dan Impor PT YKK
Zipco Indonesia, menganalisis kesesuaian
perhitungan PPN dengan UU Nomor 42
tahun 2009, mengetahui strategi dalam
mengurangi terjadinya restitusi, dan
mengetahui dampak positif adanya
perencanaan pajak dalam mengantisipasi
Restitusi Pajak Pertambahan Nilai.Hasil
yang diharapkan dari penelitian equalisasi
P P N ka l i i n i ada l ah ad an ya
keselarasan dan keseimbangan antara
peraturan–peraturan mengenai Pajak
Pertambahan Nilai yang berlaku dengan
penerapannya oleh perusahaan, dan
perusahaan mampu meminimalkan
angka resti tusi setiap bulannya.
Selanjutnya, diharapkan penelitian ini
dapat memberikan kontribusi menuntun
perusahaan menjadi Wajib Pajak yang
patuh pada peraturan yang berlaku.
TINJAUAN PUSTAKA
Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Untung Sukardji (2015:1)
Pajak Pertambahan Nilai (Value Added
Tax) untuk pertama kali diperkenalkan
oleh Carl Friedrich von Siemens, seorang
industrialis dan konsultan pemerintah
Jerman pada tahun 1919. Namun ironisnya
justru pemerintah Perancis yang pertama
kali menerapkan PPN dalam sistem
perpajakannya pada tahun 1954, sedangkan
Jerman baru menerapkannya pada awal
tahun 1968. Indonesia baru mengadopsi
PPN pada t an gga l 1 Apr i l 198 5
menggantikan Pajak Penjualan (PPn) yang telah diberlakukan di Indonesia sejak
tahun 1951.
Permasalahan yang terkait dengan
impor dan ekspor barang dan jasa
dikemukakan oleh Untung Sukardji
(2015:57), bahwa setiap kegiatan
memasukkan barangdari luar Daerah
pabean ke dalam daerah pabean disebut
impor Barang Kena Pajak (BKP).
Sementara itu pasal 4 ayat1 huruf b UU
PPN tidak menentukan status orang atau
badan yang melakukan kegiatan ini, maka
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 37
impor BKP yang dilakukan oleh siapa pun
dapat dikenai PPN. Demikian pula, setiap
kegiatan mengeluarkan BKP berwujuddari
dalam ke luar daerah pabean disebut
ekspor BKP Berwujud, dan dalam
penjelasan Pasal 4 ayat 1 huruf f
ditegaskan, bahwa pengusaha yang
melakukan ekspor BKP hanya pengusaha
yang dikukuhkan menjadi PKP, sehingga
dikenai PPN.
Sementara itu dinyatakan dalam
pasal 1 angka 28 UU PPN, bahwa ekspor
BKP Tidak Berwujud adalah setiap
kegiatan pemanfaatan BKP Tidak
Berwujud dari dalam keluar daerah
pabean.Contoh : PT Hutama Karya selaku
p eme gan g ha k pa t en t ek no lo g i
pembangunan jalan layang di Thailand.
Kegiatan ini termasuk dalam kelompok
ekspor BKP Tidak Berwujud. Dalam
penjelasan Pasal 4A ayat 1 huruf g dirinci
jenis Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,
yaitu (a) penggunaan atau hak
menggunakan hak cipta di bidang
kesusasteraan, kesenian, atau karya ilmiah,
paten, desain atau model, rencana,formula
atau proses rahasia, merek dagang, atau
bentuk hak kekayaan intelektual/industrial
atauhak serupalainnya; (b) penggunaan
atau hak menggunakan peralatan/
perlengkapan, industrial, komersial, atau
ilmiah; (c) pemberitahuan pengetahuan
atau informasi di bidang ilmiah, teknikal,
industrial atau komersial; (d) pemberian
bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak tersebut pada huruf
a, penggunaaan atau hak menggunakan
peralatan perlengkapan tersebut pada huruf
b, atau pemberian pengetahuan atau
informasi tersebut pada huruf c, berupa :1)
penerimaan atau hak menerima rekaman
gambar atau rekaman suara atau keduanya,
yang disalurkan kepada masyarakat
melalui sateli t , kabel, serat optik,
atauteknologi yang serupa; 2) penggunaan
atau hak menggunakan rekaman suara,
gambar atau rekaman suara atau keduanya,
untuk siaran televisi atau radio yang
disiarkan/dipancarkan melalui satelit,
kabel, serat optik, atau teknologi yang
serupa atau 3) penggunaan atau hak
menggunakan sebagian atau seluruh
spektrum radio komunikasi ; (e)
penggunaan atau hak menggunakan film
gambar hidup (motion picture fil), film
atau pita video untuk siaran televisi, atau
pitasuara untuk radio dan (f) pelepasan
seluruhnya atau sebagian hak yang
berkenaan dengan penggunaan atau
pemberian hak kekayaan intelektual/
industrial atau hak-hak lainnya
sebagaimana tersebut di atas.
Adapun ekspor Jasa Kena Pajak
(JKP)berdasarkan pasal 1 angka 29adalah
setiap kegiatan penyerahan JKP keluar
Daerah Pabean.Pasal 4 ayat 2 UU PPN
menyebutkan, bahwaketentuan mengenai
batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak
yang atas ekspornya dikenai PPN diatur
dengan peraturan Menteri Keuangan.
Sebagai peraturanpelaksanaan dari
ketentuan ini telah ditetapkan Peraturan
M e n t e r i K e u a n g a n N o m o r
70/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010
yang sudah diubah dengan peraturan
menteri keungan Nomor 30/PMK.03/2011
tanggal 28 Februari 2011. Berdasarkan
PMK ini, ditetapkan tiga jenis JKP yang
atas ekspornya dikenai PPN, yaitu (a) jasa
maklon; (b) jasa perbaikan dan perawatan
yang melekat pada atau untuk barang bergerak yang dimanfaatkan diluar daerah
pabean; (c) jasa konstruksi yang melekat
pada atau untuk barang tidak bergerak
yang terletak di luar daerah pabean.
Dasar Pengenaan Pajak Nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
dapat menggunakan harga jual atau
penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau
nilai lain yang diatur dalam peraturan
menteri . Pasal 1 angka 18 UU
PPNdirumuskan mengenai harga Jual,
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 38
adalah nilai berupa uang termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan
Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut
berdasarkan undang-undang ini dan
potongan harga yang dicantumkan dalam
faktur Pajak. Kemudian dalam pasal 1
angka 19 dirumuskan : Penggantian adalah
nilaiberupa uang termasuk semua biaya
yang di minta atau seharusnya diminta oleh
pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena
Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, oleh atau
ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud,
tetapi tidak termasuk pajak yang dipungut
menurut undang-undang ini dan potongan
harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak, atau nilai berupa uang yang dibayar
atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa
karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dan/atau penerima manfaat Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
luar ke dalamDaerah Pabean.Adapun yang
dimaksud dengan semua biaya dalam
ketentuan tersebut antara lain biaya
pengangkutan, biaya asuransi, biaya
bantuan teknik, biaya pemeliharaan, biaya
pengiriman, biayagaransi, dan biaya
pendidikan.
Pengertian Nilai impor dirumuskan
dalam pasal 1 angka 20 adalah nilai berupa
uang yang menjadi dasar penghitungan bea
masuk ditambah pungutan berdasarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-perundangan yang mengatur mengenai
kepabeanan dan cukai untuk impor Barang
Kena Pajak (Cost Insurance and Freight),
tidak termasukPajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang dipungut menurut undang-undang
ini.Pasal 1 angka 26 dirumuskan tentang
nilai ekspor, yaitu nilai berupa uang
termasuk semua biaya yang diminta atau
yang seharusnya diminta oleh eksportir.
Peraturan pelaksanaan Pasal 1 angka
17 UU PPN telah ditetapkan Peraturan
M e n t e r i K e u a n g a n N o m o r
75/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010
tentang nilai lain sebagai dasar pengenaan
Pajak, telah diubah dengan peraturan
M e n t e r i K e u a n g a n N o m o r
56/PMK.03/2015 tanggal 18 Maret 2015,
ditetapkan nilai lain sebagai Dasar
Pengenaan Pajak sebagai berikut: (a) untuk
pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP
adalah HargaJual atau Penggantian setelah
dikurangi laba kotor; (b) untuk pemberian
cuma-cuma Barang Kena Pajak dan /atau
Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau
penggantian setelah dikurangi laba kotor;
(c) untuk penyerahan media rekaman suara
atau gambar adalahperkiraan Harga Jual
rata-rata; (d) untuk penyerahan film cerita
adalah perkiraan hasil rata-rata per judul
film; (e) untuk penyerahan produk
tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
(f) untuk Barang Kena Pajak berupa
persediaan dan /atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan adalah harga pasar wajar; (g)
untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari
pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan BarangKena Pajak antar
cabang adalah harga pokok penjualan atau
harga perolehan; (h) untuk penyerahan
Barang Kena Pajak melalui pedagang
perantara adalah harga yang
disepakati antara pedagang perantara
dengan pembeli; (i) untuk penyerahan
Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang; (j) untuk penyerahan
jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh
persen) dari jumlah yang ditagih atau
jumlah yang seharusnya; atau (k) untuk
penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan
/atau jasa agen perjalanan wisata berupa
penyerahan paket wisata, pemesanan
sarana angkutan, dan pemesanan sarana
akomodasi, yang penyerahannya tidak
didasari pada pemberian komisi/imbalan
atas penyerahan jasa perantara penjualan,
adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 39
tagihan atau jumlah yang seharusnya
ditagih; (l) untuk penyerahan jasa
pengurusan transportasi ( freight
forwarding) yang di dalam tagihan jasa
pengurusan transportasi tersebut terdapat
biaya transportasi (freight charges) adalah
10% (sepuluh persen) dari jumlah yang
ditagih atau seharusnya ditagih.
Selain nilai lain tersebut masih ada
beberapa nilai lain untuk menghitung pajak
yang digunakan sebagai dasar untuk
menghitung pajak yang terutang, yaitu (1)
nilai lain sebagai DPP untuk menghitung
pajak yang terutang atas kegiatan
membangun sendiri yang dilakukan tidak
dalam kegiatan usaha atau pekerjaan dapat
dikelompokkan dalam dua tahap, yaitu: a)
sebelum 22 November 2012 berdasarkan
peraturan menteri keuangan Nomor
39/PMK.03/2010 Tanggal 27Februari
2010, adalah sebesar 40% dari biaya yang
dikeluarkan; b) sejak 22 November 2012
berdasarkan peraturan Menteri Keuangan
Nomor 163/PMK.03/2012 tanggal 22
Oktober 2013 mulai berlaku tanggal 22
November 2012, yaitu sebesar 20% dari
biaya yang dikeluarkan; (2) nilai lain
sebagai DPP atas penyerahan film cerita
impor kepada pengusaha bioskop
berdasakan peraturan Menteri Keuangan
Nomor 102/PMK.011/2011 tanggal 13 Juli
2011 ditetapkansebesar Rp12.000.000,00
(dua belas juta rupiah) per copy film cerita
impor, yang pemungutannya dilakukan
pada saat pertama kali copy Film Cerita Impor tersebut diserahkan kepada
pengusaha Bioskop; (3) nilai lain DPP atas
penyerahan emas perhiasandiatur dalam
peraturan Menteri Keuangan Nomor
30/PMK.03/2014 yang mulai berlaku sejak
tanggal ditetapkan dan diundangkan, yaitu
10 Februari 2014, atas penyerahan emas
perhiasan dan/atau jasa yg terkait dengan
emas perhiasan oleh pengusaha emas
perhiasan terutang PPN sebesar 10%.
Pengusaha Emas perhiasan dikelompokkan
menjadi dua, yaitu a) pabrikan emas
perhiasan adalah pengusaha yang
menghasilkan emas perhiasan dan
melakukan kegiatan antara lain jual beli,
jasa perbaikan/ modifikasi dan /atau jasa
lain yang berkaitan dengan emas
perhiasan; b) pedagang emas perhiasan
adalah pengusaha yang semata -mata
melakukan kegiatan jual beli emas
perhiasan. Adapun sebagai Dasar
pengenaan Pajak ditetapkan sebagai
berikut a) nilai sebagai DPP sebesar 20%
dari harga jual emas perhiasan atau
penggantian; b) nilai sebagai DPP atas
penyerahan emas perhasan dilakukan
dengan cara mengganti atau menukar emas
perhiasan dengan emas batangan kadar
24(dua puluh empat) karat sebagai
pengganti seluruh bahan baku pembuatan
emas perhiasan, adalah 20% dari selisih
antara harga jual emas perhiasan dengan
harga jual emas batangan yang terkandung
dalam emas perhiasan.Ketentuan tentang
pengusaha kecil t idak berlaku bagi
pengusaha emas perhiasan, sehingga
seluruh pengusaha emas perhiasan wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP.
Adapun tarif PPN diatur dalam pasal
7 UU PPN tahun 2009 sebagai berikut (1)
tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen); (2)
tarif PPN sebesar 0% (nol persen)
diterapkan atas a) ekspor BKP Berwujud;
b) ekspor BKP tidak berwujud; c) ekspor
JKP; (3) dengan peraturan pemerintah,
tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya
5% (lima persen) dan setinggi tingginya
15% (lima belas persen).
Restitusi Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan Undang–undang No 42
Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) pada pasal 9 ayat (4) ayat (4a),
ayat (4b), ayat (4c), ayat (4d), dan ayat
(4f), pajak masukan dalam suatu masa
pajak dikreditkan dengan pajak keluaran
dalam masa pajak yang sama. Pajak
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 40
masukan yang dikreditkan harus
menggunakan faktur pajak yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksudkan
dalam pasal 13 ayat (5) dan ayat (9)
undang–undang tersebut. Dengan demikian
apabila dalam suatu masa pajak, pajak
keluaran lebih besar daripada pajak
masukan, selisihnya merupakan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) yang harus
disetor oleh pengusaha kena pajak. Apabila
dalam suatu masa pajak, pajak masukan
yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada pajak keluaran, selisihnya
merupakan kelebihan pajak yang dapat
dikompensasikan ke masa pajak
berikutnya, hal inilah yang mendasari
restitusi.
Pengembalian kelebihan pembayaran
pajak (restitusi) terjadi apabila jumlah
kredit pajak atau jumlah pajak yang
dibayar lebih besar daripada jumlah pajak
yang terutang atau telah dilakukan
pembayaran pajak yang tidak seharusnya
terutang, dengan catatan wajib pajak tidak
punya hutang pajak lain. Ketentuan
restitusi diatur lebih lanjut di dalam
peraturan Menteri Keuangan Nomor :
72/PMK.03/2010 tentang Tata Cara
Pengembalian Kelebihan PPN/Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Pengembalian ataupun kompensasi
kelebihan pembayaran pajak oleh negara
kepada PKP dikarenakankomposisi pajak
keluaran lebih kecil daripada pajak
masukan, atau lebih lazim disebutkan pajak masukan lebih besar daripada pajak
keluaran. Pengembalian ke lebihan
pembayaran pajak kepada PKP yang
berhak, tidak mempengaruhi penerimaan
negara dari sektor pajak karena PKP
mengambil uangnya sendiri yang masuk ke
kas negara terlalu banyak atau lebih besar
dari jumlah pajak yang seharusnya disetor.
Dalam hal ini, terdapat prosedur restitusi
kepada PKP dalam hal waktu mengajukan
pengembalian yaitu sebagai berikut: (1)
PKP hanya dapat mengajukan permohonan
pengembalian (restitusi) pada akhir tahun,
apabila dalam suatu masa pajak, pajak
masukan yang dapat dikreditkan lebih
besar daripada pajak keluaran, selisihnya
merupakan kelebihan pajak yang
dikompensasikan ke Masa Pajak
Berikutnya, PKP dapat mengajukan
permohonan pengembalian atas kelebihan
Pajak (Restitusi) pada akhir tahun buku
(tahun kalender), yaitu bagi PKP Orang
Pribadi yang dikecualikan dari kewajiban
menyelenggarakan pembukuan; (2) PKP
yang dapat mengajukan permohonan
pengembalian (Restitusi) pada setiap masa
pajak a) PKP yang melakukan ekspor BKP
berwujud; b) PKP yang melakukan
penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP
kepada pemungut PPN; c) PKP yang
melakukan penyerahan BKP dan/atau
penyerahan JKP yang PPN nya tidak
dipungut; d) PKP yang melakukan ekspor
BKP tidak berwujud; e) PKP yang
melakukan ekspor JKP dan/atau; f) PKP
dalam tahap belum berproduksi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9ayat
(2a) UU PPN, bahwa bagi pengusaha
Kena Pajak yang belum berproduksi
sehingga belum melakukan penyerahan
yang terutang pajak, pajak Masukan atas
perolehan dan/atau impor barang modal
dapat dikreditkan.
Mekanisme PPN berdasarkan
Undang–undang PPN menyebutkan
pengkreditan pajak masukan tidak perlu
memenuhi syarat bahwa a) PKP pembeli BKP/penerima JKP (selanjutnya disebut
PKP penerima faktur pajak) sudah
membayar PPN kepada PKP penjual BKP
atau pemberi JKP (PKP pembuat faktur
pajak), yaitu meskipun PKP penerima
faktur pajak belum membayar PPN yang
terutang kepada PKP pembuat faktur
pajak, sepanjang faktur pajak sudah
diterima, maka PPN yang tercantum dalam
faktur pajak tersebut, sudah dapat
dikreditkan. Jika ditemukan data bahwa
PKP pembuat faktur pajak belum
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 41
melaporkan PPN tersebut dalam SPT masa
PPN nya, maka kantor pelayanan pajak
yang bersangkutan wajib menagih kepada
PKP pembuat faktur pajak, danapabila dari
pengkreditan pajak masukan ini
menimbulkan lebih bayar, maka PKP yang
mengkreditkan pajak masukan tetap berhak
memperoleh pengembalian. b) PKP
pembuat faktur pajak sudah melaporkan
Pajak Keluaran yang terkait dalam SPT
Masa PPN-nya, bahwa PKP penerima
faktur pajak yang belum membayar PPN
yang terutang kepada PKP pembuat faktur
pajak sebagaimana hal tersebut diatas pada
poin a, dapat mengkreditkan pajak
masukan yang tercantum dalam faktur
pajak yang diterima apalagi bagi PKP
penerima faktur pajak jelas dapat
mengkreditkan pajak masukan yang
tercantum dalam faktur pajak, hal tersebut
juga tidak dipersyaratkan bahwa PKP
pembuat faktur Pajak sudah melaporkan
PPN dimaksud sebagai pajak keluaran
dalam SPT masa PPNnya.
Cara pengajuan Permohonan
Pengembalian (Restitusi) kelebihan pajak
oleh PKP sebagai berikut: mengisi
(memberi tanda silang) pada SPT Masa
PPN kolom “Dikembalikan (restitusi),”
atau Surat Permohonan tersendiri apabila
kolom “Dikembalikan (restitusi)” dalam
SPT Masa PPN tidak diisi atau tidak
mencantumkan tanda permohonan
p e n g e m b a l i a n k e l e b i h a n p a j a k .
Permohonan pengembalian kelebihan pajak diajukan kepada KPP di tempat PKP
dikukuhkan. Hal lainnya yang perlu
diperhatikan adalah permohonan
pengembalian kelebihan Pajak ditentukan
1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Masa
Pajak.
Pengembalian PPN dan PPnBM yang
dibayar oleh Orang Pribadi Pemegang
Paspor Luar Negeri Pasal 16E yang
merupakan pasal yang disisipkan melalui
UU Nomor 42 Tahun 2009, formulanya
sebagai berikut (1) PPN dan PPnBM yang
sudah dibayar atas pembelian Barang Kena
Pajak yang dibawa keluar Daerah Pabean
oleh orang Pribadi pemegang paspor luar
negeri dapat diminta kembali; (2) PPN dan
PPnBM yang dapat diminta kembali
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi syarat a) nilai PPN paling
sedikit Rp 500.000,00 ( lima ratus ribu
rupiah) dan dapat disesuaikan dengan
peraturan Pemerintah; b) pembelian
Barang Kena Pajak dilakukan dalam dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum
keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
c) faktur pajak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13
ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) dan alamat pembeli
diisi dengan nomor paspor atas penjualan
kepada orang pribadi pemegang paspor
luar negeri yang tidak mempunyai NPWP;
(3) Permintaan kembali PPN dan PPnBM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada saat orang pribadi
pemegang paspor luar negeri
meninggalkan indonesia dandisampaikan
kepada Direktur Jenderal Pajak melalui
kantor Direktorat Jenderal Pajak di Bandar
Udara yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan; (4) Dokumen yang harus
ditunjukkan pada saat meminta kembali
PPN dan PPnBMadalah a) Paspor; b) Pas
naik (boarding pas) untuk keberangkatan
orang pribadi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) keluar Daerah Pabean; c) Faktur
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c; (5) Ketentuan mengenai tata cara
pengajuan dan penyelesaian permintaan
kembali PPN dan PPnBM sebagaimana
dimaksud ayat (1) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ketentuan ini merupakan refleksi dari
prinsip destinasi, bahwa PPN dikenakan di
tempat tujuan barang atau jasa akan
dikonsumsi.
Adapun ketentuan khusus yang
diberlakukan sebagai berikut 1) Pasal 16A
menentukan bahwa pemungut PPN yang
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 42
berstatus sebagai pembeli BKP atau
penerima JKP, diberi wewenang bahkan
diwajibkan memungut pajak yang terutang,
padahal berdasarkan Pasal 3A ayat (1)
pihak yang wajib memungut PPN adalah
PKP yang melakukan penyerahan BKP
atau JKP; 2) Pasal 16B mengatur tentang
fasilitas PPN, padahal PPN menghendaki
netral, di mananetralitas ini dapat dicapai
apabila PPN bersikap sama terhadap
seluruh PKP, tidak ada perbedaan
perlakuan,sedangkan fasilitas mengandung
makna perlakuan khusus terhadap wajib
pajak atau PKP tertentu; 3) Pasal 16C
mengatur tentang pengenaan PPN atas
kegiatan membangun sendiri yang
dilakukan dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan orang pribadi atau badan,
sementara itu dalam penjelasan Pasal 4
ayat (1) huruf c ditegaskan bahwa salah
satu syarat suatu penyerahan JKP dapat
dikenakan PPN adalah penyerahan itu
dilakukan dalam kegiatan usaha atau PKP;
4) Pasal 16D secara terselubung
mengenakan PPN atas penyerahan BKP
yang merupakan aktiva yang menurut
tujuan semua tidak untuk diperjualbelikan,
berarti bukan barang dagangan, sehingga
akivitas ini dilakukan tidak dalam kegiatan
usaha atau pekerjaan PKP; 5) Pasal 16E
merupakan pasal baru yang disisipkan
melalui UU nomor 42 Tahun 2009
melanggar prinsip PPN sebagai pajak tidak
langsung yang memisahkan antara pemikul
beban pajak dengan penanggung jawab pembayaranpajak, di manapenanggung
jawab pembayaran pajak adalah PKP yang
melakukan penyerahan BKP atau JKP,
sedangkan penerima BKP atau JKP adalah
pemikul beban pajak. Oleh karena itu,
apabila terdapat kesalahan dalam
mekanisme PPN, bukan tanggung jawab
PKP penerima BKP atau JKP. Diantara
pasal–pasal yang menyimpang tersebut
dapat ditoleransikan hanya pasal 16B
karena meskipun melanggar prinsip PPN
tetapi tidak menambah beban rakyat.
Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak
(SKPPKP)
Penelitian dilakukan terhadap
permohonan pengembalian kelebihan
Pajak yang diajukan oleh (1) PKP kriteria
tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17C UU KUP tentang wajib pajak
(WP) dengan kriteriatertentu (WP patuh)
yang ditetapkan dengan keputusan
Direktur Jenderal Pajak (DJP), meliputi: a)
WP tepat waktu dalam menyampaikan
Surat Pemberitahuan; b) Tidak mempunyai
tunggakan pajak untuk semua jenis pajak,
kecuali tunggakan pajak yang telah
memperoleh izin untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak; c) Laporan
keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau
lembaga pengawasan keuangan pemerintah
dengan pendapat Wajar Tanpa
Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut
– turut dan d) Tidak pernah dipidana
karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu
5 (lima) tahun terakhir; (2) PKP yang
memenuhi persyaratan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam pasal 17D
UU KUP yang berisi tentang wajib pajak
yang memenuhi persyaratan tertentu,
yaitu a) WP orang pribadi yang tidak
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
b) WP orang pribadi yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar
sampai dengan jumlah tertentu; c) WP
badan dengan jumlah peredaran usaha dan
jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah
tertentu; d) PKP yang menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa PPN dengan jumlah
penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai
dengan jumlah tertentu; e)PKP berisiko
rendah sebagaimana dimaksud dalam pasal
9 ayat (4c) UU PPN.
Penelitian oleh DJP dilakukan
terhadap kebenaran pemenuhan ketentuan
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 43
Pasal 9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf
c,huruf d, dan huruf e Undang–undang
PPN, kelengkapan surat Pemberitahuan
dan lampiran–lampirannya, kebenaran
penulisan dan penghitungan pajak, dan
kebenaran pembayaran pajak yang telah
dilakukan oleh WP.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap
WP yang disebutkan diatas, DJP setelah
melakukan penelitian atas permohonan
pengembalian kelebihan Pajak yang
diajukan oleh PKP, harus menerbitkan
S u r a t K e p u t u s a n P e n g e m b a l i a n
Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP)
paling lama 1 bulan sejak saat diterimanya
permohonan pengembalian kelebihan
pajak.Apabila jangka waktu satu bulan
tersebut telah lewat dan DJP tidak
menerbitkan SKPPKP, permohonan
pengembalian kelebihan pajak yang
diajukan dianggap dikabulkan dan
SKPPKP harus diterbitkan paling lama 7
hari setelah jangka waktu 1 bulan tersebut
berakhir.
SKPPKP tidak diterbitkan terhadap
PKP beresiko rendah apabila hasil
penelitian menyatakan PKP tidak
memenuhi ketentuan Pasal 9 ayat (4b)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf
e Undang–undang PPN. Hasil penelitian
menyatakan tidak lebih bayar, lampiran
surat pemberitahuan tidak lengkap,
dan/atau pembayaran pajak tidak benar.
Dalam hal SKPPKP tidak diterbitkan,
terhadap PKP beresiko rendah tesebut harus diberikan pemberitahuan secara
tertulis dengan menggunakan formulir
lampiran PMK-72/PMK.03/2010 dan
permohonan pengembalian kelebihan
pajak, dari PKP ini akan diproses
berdasarkan ketentuan pasal 17BU.
Pemeriksaan PKP
Pemeriksaan dilakukan terhadap
permohonan pengembalian kelebihan pajak
yang diajukan oleh PKP selain a) PKP
Kriteria tertentu (Pasal 17 C UU KUP); b)
PKP yang memenuhi persyaratan tertentu
(Pasal 17D UU KUP); c) PKP resiko
rendah (Pasal 9 ayat 4C UU PPN). DJP
setelah melakukan pemeriksaan atas
permohonan pengembalian kelebihan pajak
harus menerbitkan SKP paling lama 12
bulan sejak permohonan pengembalian
kelebihan pajak diterima. Jangka waktu 12
bulan ini tidak berlaku dalam hal terhadap
PKP sedang dilakukan pemeriksaan bukti
permulaan tindak pidana di bidang
perpajakan.Apabila setelah melampaui
jangka waktu 12 bulan tersebut Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu
keputusan, permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dianggap
dikabulkan dan SKPLB harus diterbitkan
paling lama 1 bulan setelah jangka waktu
tersebut berakhir.
Prosedur pemeriksaan terhadap PKP
pasal 17C UU KUP, Pasal 17D UU KUP,
dan PKP beresiko rendah, untuk hal ini
DJP setelah melakukan pengembalian
pendahuluan kelebihan Pajak dapat
melakukan pemeriksaan kepada PKP
berisiko rendah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (4c) UU PPN, PKP
kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
dalam pasal 17C UU KUP, atau PKP yang
m e m e n u h i p e r s y a r a t a n t e r t e n t u
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D
UU KUP.Dalam hal berdasarkan hasil
pemeriksaan diterbitkan SKPKB, PKP
kriteria tertentu atau PKP yang memenuhi
persyaratan tertentu wajib membayar jumlah kekurangan pajak ditambah dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100% dari jumlah kekurangan
pembayaran pajak. Berdasarkan hasil
pemeriksaan diterbitkan SKPKB, PKP
berisiko rendah wajib membayar jumlah
jumlah kekurangan pajak ditambah dengan
sanksi adminstrasi berupa bunga sebesar
2% per bulan, paling lama 24 bulan, dari
jumlah kekurangan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13
ayat (2) UU KPP.
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 44
Perencanaan pajak
Beberapa hal yang mempengaruhi
perilaku wajib pajak untuk meminimum-
kan kewajiban pembayaran pajak mereka,
baik secara legal maupun ilegal, disebut
dengan propensity of dishonesty
(Srinivasan, 1973) adalah sebagai berikut :
1) Tingkat kerumitan suatu peraturan
(Complexity of rule ), makin rumit
p e r a t u r a n p e r p a j a k a n , m u n c u l
kecenderungan wajib pajak untuk
menghindarinya karena biaya untuk
mematuhinya (compliance cost) menjadi
tinggi; 2) Besarnya pajak yang dibayar
(Tax required to pay), makin besar jumlah
pajak yang harus dibayar, akan makin
besar pula kecenderungan wajib pajak
untuk melakukan kecurangan dengan cara
memperkecil jumlah pembayaran
pajaknya; 3) Biaya untuk negosiasi (Cost
of bribe), disengaja atau tidak, kadang-
kadang wajib pajak melakukan negosiasi
dan memberikan uang sogokankepada
fiskus dalam pelaksanaan hak dan
kewajiban perpajakannya. Makin tinggi
uang sogokan yang dibayarkan semakin
kecil pula kecenderungan wajib pajak
untuk melakukan pelanggaran; 4) Risiko
deteksi (Probability of detection), risiko
deteksi ini berhubungan dengan tingkat
probabilitas apakah pelanggaran ketentuan
perpajakan ini akan terdeteksi atau tidak,
makin rendah risiko terdeteksi, wajib pajak
cenderung melakukan pelanggaran,
sebaliknya, bila suatu pelanggaran mudah diketahui, wajib pajak akan memilih posisi
konservatif dengan tidak melanggar aturan;
5) Besarnya Denda (Size of penalty), makin
berat sanksi perpajakan yang bisa
dikenakan, maka wajib pajak akan
cenderung mengambil konservatif dengan
tidak melanggar ketentuan perpajakan,
sebaliknya makin ringan sanksi atau
bahkan ketiadaan sanksi atas pelanggaran
yang dilakukan wajib pajak, maka
kecendrungan untuk melanggar akan lebih
besar; 6) Moral Masyarakat, akan memberi
warna tersendiri dalam menentukan
kepatuhan dan kesadaran mereka dalam
melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya.
Secara umum motivasi dilakukannya
perencanaan pajak (tax planning) adalah
untuk memaksimalkan laba setelah pajak
(after tax return). Karena pajak itu
mempengaruhi pengambilan keputusan
atas suatu tindakan dalam operasi untuk
melakukan investasi melalui analisis yang
cermat dan pemanfaatan peluang atau
kesempatan dalam ketentuan peraturan
yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk
memberikan perlakuan yang berbeda atas
objek yang secara ekonomi hakikatnya
sama dengan memanfaatkan : a) Perbedaan
Tarif pajak (tax rates), karena penerapan
schedular taxation tarif yang diterapkan di
Indonesia (dalam UU PPh Tahun
1983/1994/2000) akan memotivasi wajib
pajak/perencana pajak untuk mendesain
tax planningnya sedemikian rupa pada
besaran penghasilan kena pajak dengan
lapisan tarif yang paling rendah (low
bracket), sebagaimana diutarakan oleh
Barry Bracewell-Milnes(1980); b)
Perbedaan perlakuan atas objek pajak
sebagai dasar pengenaan pajak (tax
base) (Erly Suandy, 2012:14).
Ada beberapa manfaat perencanaan
pajak yang dilakukan secara cermat : 1)
Penghematan kas keluar, karena beban
pajak yang merupakan unsur biaya dapat
dikurangi; 2) Mengatur aliran kas masuk dan keluar (Cash flow), karena dengan
perencanaan pajak yang matang dapat
diperkirakan kebutuhan kas untuk pajak,
dan menentukan saat pembayaran sehingga
perusahaan dapat menyusun anggaran kas
secara lebih akurat.
Adapun tujuan pokok yang ingin
dicapai dari manajemen pajak/perencanaan
pajak yang baik adalah (1)Meminimalisasi
beban pajak yang terutang, tindakan yang
harus diambil dalam rangka perencanaan
pajak tersebut berupa usaha-usaha
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 45
mengefisiensikan beban pajak yang masih
dalam ruang lingkup pemajakan dan tidak
melanggar peraturan perpajakan ;
(2) Memaksimalkan laba setelah pajak; (3)
Meminimalkan terjadinya kejutan pajak
(tax surprise) jika terjadi pemeriksaan
pajak oleh fiskus; (4) Memenuhi kewajiban
perpajakannya secara benar, efisien, dan
efektif , sesuai dengan ketentuan
perpajakan, yang antara lain meliputi : a)
Mematuhi segala ketentuan administratif,
sehingga terhindar dari pengenaan sanksi,
baik sanksi administratif maupun pidana,
seperti bunga, kenaikan, denda, dan hukum
kurungan, atau penjara; b) Melaksanakan
secara efektif segala ketentuanundang-
undang perpajakan yang terkait dengan
pelaksanaan pemasaran, pembelian, dan
fungsi keuangan, seperti pemotongan dan
pemungutan pajak (PPh pasal 21, pasal22,
dan pasal 23).
Tax Management/Tax Planning yang
baik mensyaratkan beberapa hal: 1) Tidak
melanggar ketentuan perpajakan, jadi
rekayasa perpajakan yang didesain dan
diimplementasikan bukan merupakan tax
evasion; 2) secara bisnis masuk akal
(reasonable), kewajaran melakukan
transaksi bisnis harus berpegang kepada
praktik perdagangan yang sehat dan
menggunakan standard arm’s length price,
atau harga pasar yang wajar, yakni tingkat
harga antara pembeli dan penjual yang
independen, bebas melakukan transaksi; 3)
Didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (misalnya: kontrak, invoice,
faktur pajak, PO, dan DO), kebenaran
formal dan materiil suatu transaksi
keuangan perusahaan dapat dibuktikan
dengan adanya kontrak perjanjian dengan
pihak ketiga atau Purchase Order(PO) dari
pelanggan, bukti penyerahan barang/jasa
(delivery order), invoice, faktur pajak
sebagai bukti penagihannya serta
pembukuannya ( general ledger).
Tax Planningdilakukan sepanjang
usia perusahaan. Jadi sejak saat berdiri,
aktivitas manajemen sudah dimulai,
banyak sekali tax management yang harus
dilaksanakan, karena pajak itu melihat
pada subjek yang sudah terbebani sebagai
wajib pajak (WP) orang pribadi atau badan
sejak awal, misalnya perusahaan baru
berdiri, kemudian mulai berjalan, dan tidak
lama bubar. Jadi walaupun sudah bubar,
pajaknya belum selesai. Pada saat
perusahaan bubar atau pada saat WP orang
pribadi meninggal, masalah pajaknya
masih ada. Jadi pajak tidak habis karena
WP meninggal, karena warisan-warisan ini
oleh fiskus masih diotak-atik.
METODOLOGI PENELITIAN
Objek Penelitian ini adalah PT. YKK
Zipco Indonesia, berlokasi di jalan
Inspeksi Tarum Barat, Kampung Meriuk
Desa Ganda Mekar Cikarang barat, Bekasi
17520. Adapun data yang digunakan
meliputidata primer, berupa struktur
organisasi, aktivitas operasional dan
gambaran umum terkait dengan PPN, dan
data sekunder berupa kebijakan
akuntansi,rekapitulasi dan equalisasi PPN
PT YKK Zipco Indonesia.Data tersebut
dikumpulkan dengan dua cara yaitu
penelusuran literatur (Library Research)
untuk memperoleh dan mendukung masalah
yang dibahas, dan melakukan penelitian
Lapangan (Field Research)dengan metode
wawancara dan observasi terkait
denganEqualisasi PPN.
Situasi sosial sebagai populasi yaitu tempat, pelaku, dan aktivitas yang
berinteraksi secara sinergis (Spradley dalam
Sugiyono, 2013:115)dengan nara sumber
atau informan sebagai sampel dalam
penelitian ini adalah dalam penelitian ini
adalah terkait dengan Rekapitulasi PPN dan
Equalisasi PPN periode 2010-2014.
Analisis data yang terkumpuldengan
menggunakan metode deskripsi kualitatif,
untuk menggambarkan keadaan atau status
fenomena dengan menganalisis serta
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 46
menjelaskan penerapan akuntansi pajak
pada PT. YKK Zipco Indonesia.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Restitusi PPN pada PT YKK Zipco
Indonesiadilakukan hampir setiap Tahun.
Hal yang menyebabkan terjadinya restitusi
adalah besarnya nilai Pajak Masukan
dibanding Pajak Keluaran, dan nilai yang
akan direstitusi adalah selisih dari nilai
yang dikompensasikan ke masa pajak
berikutnya, hal ini terjadi karena aktivitas
Ekspor dan Impor.Tetapi jika diprediksi
ada beberapa hal lain yangmenyebabkan
terjadinya restitusi diantaranya, kesalahan
perhitungan Pajak keluaran dan Pajak
masukan, kurangnya ketelitian karyawan
dalam penginputan data, atau disebabkan
lawan transaksi dengan kode transaksi
tertentu yang menambah angka lebih
bayar, atau masih mengikuti aturan
perpajakan yang sudah tidak berlaku
dikarenakan tidak mengikuti sosialisasi
dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP),
seminar atau pelatihan pajak bagi
karyawan.
Setelah dilakukan penelitian,
mengenai ketelitian penginputan data
sudah dimaksimalkan karena sebelum
melakukan pelaporan PPN setiap bulannya,
dilakukan pencocokan kembali antara fisik
dan data yang sudah diinput. Jadi sangat
kecil kemungkinan untuk kesalahan dalam
hal menginput data.Jika pun terjadi
kesalahan input, faktur pajak masukan yang salah akan dilakukan pembetulan
sesuai dengan faktur pajak fisik, tetapi hal
itu tidak berpengaruh besar pada angka
restitusi, hanya menjadi syarat diterimanya
pengajuan restitusi.Dalam hal ini dapat
disimpulkan bahwa perhitungan PPN atas
kegiatan Ekspor dan Impor yang dilakukan
PT YKK Zipco Indonesia sudah benar dan
sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Demikian pula, PT. YKK Zipco
Indonesia selalu menyesuaikan dengan
peraturan pajak yang berlaku, dan
perhitungan PPN yang dilakukan sudah
sesuai dengan UU Pajak No. 42 Tahun
2009. Jika PT. YKK Zipco Indonesia tidak
mengikuti peraturan pajak terbaru, akan
sangat mempengaruhi pada pengajuan
restitusi.DJP akan melakukan pemeriksaan
setelah menerima pengajuan restitusi,
bukan hanya memeriksa mengenai
peraturan yang diikuti, tetapi sekaligus
memeriksa angka yang diajukan dengan
faktur pajak fisik. Selama 5 tahun berturut–
turut (tahun 2010-2014) PT. YKK Zipco
Indonesia selalu memiliki nilai lebih bayar
yang besar, meskipun sudah
dikompensasikan ke periode berikutnya.
Mekanisme pengawasan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) adalah sebagai
berikut: pelaporan Surat Pemberitahuan
(SPT) Masa dari Wajib Pajak (WP)
tertentu mencerminkan transaksi dengan
pihak lawan transaksi. Hal ini
m e m u n g k i n k a n D J P m e l a k u k a n
penelusuran atas transaksi antar pihak,
guna memastikan seluruh pajak yang
terhutang sudah disetorkan ke kas Negara.
Mekanisme pengawasan ini juga
berujungpada
kemudahan pelayanan yangdinikmati WP.
Proses restitusi PPN yang cukup memakan
waktu, dapat dipersingkat apabila seluruh
lawan transaksi telah melaporkan SPT
sekaligus membayar pajak yang
terhutang.Terdapat beberapa pihak lawan
transaksi PT. YKK Zipco Indonesia yang
tidak melaporkan SPT Masa, mengakibat-
kan tersendatnya proses restitusi. Hal ini
terjadi sebelum dikeluarkan sistem e-
faktur, namun setelah sistem e-faktur
diberlakukan tidak ada lagi faktur pajak
yang fiktif karena untuk e-nofa (e-nomor
faktur) diterbitkan sendiri oleh Dirjen
Pajak, jika nomor faktur yang digunakan
PKP bukan nomor seri dari Dirjen Pajak
maka otomatis akan ditolak saat pelaporan.
Perencanaan pajak yang dapat
dilakukan dalam mengantisipasi atau
meminimalkan angka restitusi PPN adalah
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 47
dengan mengajukanfaktur pajak senilai
500 ribu sampai dengan 1 juta keatas, hal
ini akan diberlakukan pada restitusi PPN
Tahun 2014 dan seterusnya.Langkah ini
cukup baik dalam mengantisipasi dan
mengurangi angka restitusi PPN.
Berikut tabel 2 rincian perhitungan
Lebih bayar PPN dari Tahun 2010 sampai
dengan Tahun 2014.
Tabel 2
Perhitungan Lebih Bayar PPN Tahun 2010 sampai dengan 2014
Sumber : Data diolah penulis (2016)
Perhitungan PPN Tahun 2010 sampai
dengan Tahun 2014 menunjukkan
besarnya angka lebih bayar yang
disebabkan oleh tingginya angka
pembelian dalam daerah pabean yang
dikenakan PPN dan nilai Penjualan dalam
daerah pabean yang dikenakan PPN rata–
rata hanya setengah dari nilai pembelian
tersebut. Sedangkan untuk menambah nilai
pajak keluaran adalah dari total penjualan,
tapi dikarenakan penjualan lebih tinggi
dalam Ekspor yang nilai PPN-nya adalah
nol, maka hal ini sebagai penyebab utama
terjadinya lebih bayar.
Berdasarkan tujuan penelitian ini,
maka strategi dalam mengantisipasi dan
mengurangi angka restitusi adalah dengan
mengajukan restitusi untuk faktur pajak
bernilai PPN Rp 500.000 ke atas.Cara ini
diterapkan pada pengajuan restitusi Tahun
2013, berikut ini perhitungannya dalam
tabel 3:
Tabel 3
Perhitungan Pengajuan Restitusi PPN Tahun 2013
Deskripsi Aktual Submit (Rp 500.000)
B1-Impor 28.695.641.374 25.333.040.433
B2-Lokal 72.696.885.542 42.201.315.154
Retur - -
A2 (19.773.468.505) (19.773.468.505)
Kompensasi 12.331.805.910 12.331.805.910
Lebih Bayar/Kurang bayar 93.950.864.321 60.092.692.992
Sumber : Data diolah penulis (2016)
Tabel 3 diatas menunjukkan adanya
pengurangan angka lebih bayar dari
pengajuan restitusi PPN pada tahun 2013,
yaitu hanya untuk faktur pajak yang
TAHUN 2010 2011 2012 2013 2014
Keterangan :
B1-Impor 17.271.944.893 25.986.442.720 20.927.453.887 28.695.641.374 46.180.412.071
B2-Lokal 28.661.475.902 36.402.801.194 31.855.305.261 72.696.885.542 56.701.522.007
Retur ( 38.799.307) 0 0 0 0
A2 (13.201.395.812) (12.334.016.161) (15.056.115.977) (19.773.468.505) (25.948.353.345)
Kompensasi 0 16.893.251.325 7.368.883.912 12.331.805.910 0
Lebih Bayar 32.693.225.676 66.948.479.078 45.095.527.083 93.950.864.321 76.933.580.733
PPN
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 48
bernilaiRp 500.000 ke atas.Hal ini
dilakukan sesuai kebijakan perusahaan,
dengan tujuan meminimalkan angka dan
mempercepat proses restitusi. Selisih dari
pengurangan lebih bayar dengan angka
yang diajukan yaitu senilai Rp.
33.858.171.329,- akan dikompensasikan ke
Masa Pajak berikutnya. Setelah diteliti
ternyata strategi ini tidak berpengaruh
besar dalam mengurangi angka restitusi,
maka perusahaan membuat kebijakan baru
dengan pengajuan restitusi untuk tahun
2014 adalah untuk faktur pajak yang
bernilai Rp 1.000.000 ke atas, berikut
perhitungannya dalam tabel 4 :
Tabel 4
Perhitungan Pengajuan Restitusi PPN Tahun 2013
Deskripsi Aktual Submit
(Rp 1.000.000 juta )
B1-Impor 46.180.412.071 32.784.767.217
B2-Lokal 56.701.522.007 13.816.569.486
Retur - -
A2 (25.948.353.345) (25.948.353.345)
Kompensasi - -
Lebih Bayar/Kurang bayar 76.933.580.733 20.652.983.358
Sumber : Data yang sudah diolah (2016)
Pengajuan restitusi untuk nilai PPN
sebesar Rp 1 juta keatas per faktur pajak
cukup efektif dalam mengurangi angka
restitusi. Sama halnya dengan perhitungan
PPN Tahun 2013, selisih dari pengurangan
lebih bayar actual dengan angka yang
diajukan untuk dires ti tusi akan
dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya.
Kemudian strategi yang akan sangat
berpengaruh pada restitusi dan sesuai
dengan peraturan pemerintah adalah
penggunaan kawasan berikat (Bonded
Zone), sesuai dengan Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor
147/PMK.04/2011 tentang kawasan
berikat. Tujuan utama dari fasilitas
kawasan berikat ini adalah untuk
mendukung berhasilnya sektor kegiatan
ekonomi yang berprioritas tinggi dalam
skala nasional, mendorong perkembangan
dunia usaha dan meningkatkan daya saing,
mendukung pertahanan nasional serta
memperlancar pembangunan nasional.
Fasilitas berupa PPN terutang tidak
dipungut atau dibebaskan dari pengenaan
PPN, hakikatnya sama yaitu pembeli atau
penerima jasa tidak perlu membayar PPN
terutang dan bagi penjual atau pemberi jasa
tidak perlu memungut PPN yang terutang.
Pernyataan ini menjelaskan bahwa dengan
menggunakan fasilitas kawasan berikat
dapat mengantisipasi terjadinya restitusi
karena angka pajak masukan akan menjadi
nol karena tidak dpungut PPN.
PTYKK Zipco Indonesia memutus-
kan menggunakan fasilitas ini mulai tahun
2016. Dengan demikian angka restitusi
pada periode berikutnya tidak sebesar
sebelumnya, meskipun tidak menjadi nol
tetapi angka restitusi dapat diminimalkan.
KESIMPULAN
Hasilpeneliti inimenunjukkan, bahwa
PT. YKK Zipco Indonesia(1) perhitungan
PPN atas kegiatan ekspor dan impor mulai
dari penginputan data, pelaporan hingga
pengajuan restitusi sudah benar dan sesuai
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 49
dengan UU PPN No. 42 Tahun 2009, (2)
Strategi dalam mengantisipasi terjadinya
restitusi PPN yang dilakukan mulaitahun
2013 dengan beberapa perubahan
kebijakan, maka keputusan strategi yang
dilakukan perusahaan di tahun 2016 adalah
yang paling efisien dan efektif, (3)
Perencanaan pajak yang dilakukan PT.
YKK ZIPCO Indonesia sangat
berpengaruh dalam mengantisipasi restitusi
PPN, hal ini terlihat pada kepatuhan
perusahaan sebagai wajib pajak terhadap
peraturan pemerintah, dan melengkapi
setiap dokumen yang dibutuhkan dalam
pemeriksaan pajak yang dilakukan
Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam
rangka mengantisipasi terjadinya restitusi
PPN, perencanaan pajak yang dilakukan
perusahaan adalah dengan menggunakan
fasilitas kawasan berikat atau Bonded
Zone, sesuai dengan Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor
147/PMK.04/2011.
SARAN
Sebagai perusahaan modal asing
yang ternamadengan omset penjualan yang
cukup besar, maka saran untuk PT YKK
ZIPCO Indonesia : (1) Tetap mengikuti
perkembangan informasi perpajakan yang
cenderung perubahannya cukup dinamis,
agar tidak ketinggalan informasi regulasi
perpajakan yang berlaku , (2) Tetap
mengutamakan ketelitian dalam menginput
data PPN untuk mencegah keterlambatan pelaporan SPT dan menghindari
pembetulan SPT yang berulang yang
dibutuhkan untuk pelaporan, (3) Selalu
mengecek pemutakhiran master data
alamat lawan transaksi, untuk menghindari
terjadinya pembetulan faktur pajak, (4)
Memastikan bahwa lawan transaksi PT
YKK Zipco Indonesia selalu melaporkan
SPT Masa PPN setiap bulan, melalui
konfirmasi DJP untuk memudahkan proses
pemeriksaan, (5) Menginformasikan
kepada pihak lawan transaksi mengenai
data yang sesuai untuk penerbitan faktur
pajak, yaitu dengan mengirim faktur e-
billing yang telah diotorisasi guna
menghindari penolakan dari DJP saat
pelaporan, (6) Selalu melakukan
pengecekan ulang sebelum melakukan e-
billing dan sebelum pelaporan SPT, serta
mengarsipkan urut tanggal historis, agar
memudahkan proses klarifikasi apabila
terdapat pemeriksaan dari pihak DJP
dimasa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina Milda, 2011, Akuntansi Pajak
Pertambahan Nilai pada PT.
Agung Sumatera Samudra Abadi
Medan, Universitas Sumatera
Utara : Medan
Barry Bracewell-Milnes,1980, Tax
Avoidance dan Evasion: The
Individual and Society, Oxon
Publishing, Ltd., p.120
Erly Suandy, 2012, Perencanaan Pajak,
Jakarta: Salemba Empat
Fauzi Syahrul, 2012, Pengaruh Pemberian
restitusi Pajak Pertambahan
Nilai terhadap Penerimaan PPN
pada Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) Pratama Wilayah
Tangerang : Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah :
Jakarta
Linda Yuliana, 2010, Pengaruh Pemberian
Restitusi PPN terhadap
Penerimaan PPN dikantor KPP Pratama Serpong, Skripsi,
Universitas Pamulang
L.M.Syamrin, 2011, Pengantar Akuntansi,
Jakarta: Rajagrafindo Persada
Mardiasmo, 2011 Perpajakan, Jakarta :
Andi
Milda Agustina, 2011, Akuntansi Pajak
Pertambahan Nila pada PT
Agung Sumatera Samudra Abadi
Jurnal Akuntansi & Bisnis Krisnadwipayana Sri Esa Rahmadani & Munawarih
Hal | 50
Medan, Skripsi, Universitas
Sumatera Utara
Syahrul Fauzi, 2012, Pengaruh Pemberian
Restitusi Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) terhadap
Penerimaan PPN pada Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
wilayah Tangerang, Skripsi
Sugiyono, 2013, Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta
Sundoro, Agus Setiyono, 2010, Undang–
Undang Perpajakan Indonesia
Terbaru, Book I, Semar
Publishing : Jakarta Selatan
Sundoro, Agus Setiyono, 2010, Undang–
Undang Perpajakan Indonesia
Terbaru, Book II Semar
Publishing : Jakarta Selatan
Thomas Sumarsan, 2011, Akuntansi Dasar
dan Aplikasi dalam bisnis jilid 1,
Jakarta: Indeks
T.N. Srinivasan, 1973, Tax Evasion: A
Model, Journal of Public
Economics, 339-346
Untung Sukardji, 2015, Pokok–Pokok
Pajak Pertambahan Nilai,
Jakarta: Rajagrafindo Persada