Analisis Surplus dan Distribusi Pemasaran · PDF fileAgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009...

18
AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 8245X Henny Rosmawati, Hal; 99 116 99 Analisis Surplus dan Distribusi Pemasaran Beras Produksi Petani Kecamatan Buay Madang Kabupaten OKU Timur Oleh: Henny Rosmawati Abstract This research is aimed to : 1) count the number of rice surplus in Buay Madang district in OKU Timur regency. 2) count the factors which influenced the rice surplus among the farmers. 3) identify the distribution and rice marketing share in Buay Madang district in OKU Timur regency. 4) compare marketing range at the marketing level in Buay Madang district in OKU Timur regency. This research was done in OKU Timur regency which was selected purposively. The method of research used in this research was survey method. The sampling farmers were selected by using disproportionated stratified random sampling. The sampling farmers were 90 farmers consist of 30 farmers from Kurungan Nyawa village, 30 farmers from Sumber Mulyo village and 30 farmers from Sumber Harjo village. The result of the research shows that: 1) Rice surplus at the farmers level in Buay Madang district of OKU Timur regency is 93,172 % from total production of the farmersper year. 2) The factors which influenced the marketable surplus at the farmers level in Buay Madang district in OKU Timur regency were the land area width, the number of the family members, rice price, income of the farmers, the number of rice production, education level of the chief of the farmer family, the dominant gender in houshold. The land area width, the number of family member, income of the farmers, and the number of rice production factor has abstract influences to the marketable surplus of the farmers. 3) The marketing distribution which run in Buay Madang district consist two marketing channels as follow: channel I: farmers, Rice Milling Unit (RMU), agent of village area, agent of district area, comsumers. Channe II : farmers, agent of village area, agent of district area, retails and comsumers. 4) The marketing margin values obtained by the agent of district area is the biggest comparing with other marketing institutions, that is Rp 290 per kg. The marketing channel consist of the agent level of the village, RMU and retails is efficient and effective, because the marketing cost of them is lower than the marketing profit. Key words: Marketing, distribution, marketable surplus, marketing margin PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat mempertahankan hidup. Oleh karenanya pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduk setiap waktu merupakan hak asasi manusia. Dari berbagai jenis pangan (pokok), beras merupakan salah satu jenis pangan yang paling strategis di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Ketersediaan pangan ditentukan oleh aspek produksi, perdagangan (ekspor, impor), transfer (bantuan/hibah), dan stok. Dari berbagai Dosen Tetap FP Universitas Baturaja

Transcript of Analisis Surplus dan Distribusi Pemasaran · PDF fileAgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009...

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

99

Analisis Surplus dan Distribusi Pemasaran Beras

Produksi Petani Kecamatan Buay Madang Kabupaten OKU Timur

Oleh: Henny Rosmawati

Abstract This research is aimed to : 1) count the number of rice surplus in Buay Madang district in OKU

Timur regency. 2) count the factors which influenced the rice surplus among the farmers. 3) identify

the distribution and rice marketing share in Buay Madang district in OKU Timur regency. 4) compare

marketing range at the marketing level in Buay Madang district in OKU Timur regency. This research

was done in OKU Timur regency which was selected purposively. The method of research used in this

research was survey method. The sampling farmers were selected by using disproportionated stratified

random sampling. The sampling farmers were 90 farmers consist of 30 farmers from Kurungan Nyawa

village, 30 farmers from Sumber Mulyo village and 30 farmers from Sumber Harjo village. The result

of the research shows that: 1) Rice surplus at the farmers level in Buay Madang district of OKU Timur

regency is 93,172 % from total production of the farmersper year. 2) The factors which influenced the

marketable surplus at the farmers level in Buay Madang district in OKU Timur regency were the land

area width, the number of the family members, rice price, income of the farmers, the number of rice

production, education level of the chief of the farmer family, the dominant gender in houshold. The land

area width, the number of family member, income of the farmers, and the number of rice production

factor has abstract influences to the marketable surplus of the farmers. 3) The marketing distribution

which run in Buay Madang district consist two marketing channels as follow: channel I: farmers, Rice

Milling Unit (RMU), agent of village area, agent of district area, comsumers. Channe II : farmers,

agent of village area, agent of district area, retails and comsumers. 4) The marketing margin values

obtained by the agent of district area is the biggest comparing with other marketing institutions, that is

Rp 290 per kg. The marketing channel consist of the agent level of the village, RMU and retails is

efficient and effective, because the marketing cost of them is lower than the marketing profit.

Key words: Marketing, distribution, marketable surplus, marketing margin

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat mempertahankan hidup. Oleh

karenanya pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduk setiap waktu merupakan hak asasi

manusia. Dari berbagai jenis pangan (pokok), beras merupakan salah satu jenis pangan yang

paling strategis di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan

disebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, Pemerintah

menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap

ketersediaan pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam,

merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Ketersediaan pangan ditentukan oleh aspek

produksi, perdagangan (ekspor, impor), transfer (bantuan/hibah), dan stok. Dari berbagai

Dosen Tetap FP Universitas Baturaja

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

100

aspek tersebut, terjaminnya ketersediaan pangan disuatu wilayah ditentukan pula oleh struktur

dan mekanisme pasar dan distribusi (Handewi,2004).

Daerah surplus beras amat identik dengan kemakmuran karena dampak ganda (multiplier

effect) terhadap sektor non pertanian yang lain diperkirakan cukup besar. Oleh karena itu,

kebijakan distribusi perlu tepat dan berkontribusi pada ketahanan pangan. Apabila harga

ditetapkan terlalu mahal, maka dapat saja berarti bahwa petani dari daerah defisit padi telah

mensubsidi petani di daerah surplus. Demikian pula sebaliknya, harga beras yang terlalu

murah menjadi disinsentif bagi petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya.

Propinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu sentra produksi padi di Indonesia,

dimana setiap tahun luas areal panen dan produksi semakin meningkat. Pada tahun 1989 luas

areal panen padi sebesar 448,586 ha dengan tingkat produksi 1.337.611 ton serta

produktivitasnya sebesar 2,98 ton/ha. Pada tahun 2002, luas areal bertambah sebesar 522.263

ha dengan produksi sebesar 1.546.643 ton dan tingkat produksivitasnya sebesar 2,96 ton/ha.

Hal ini mengalami kenaikan yang cukup berarti yaitu 73,977 ha untuk luas areal dan 209.234

ton untuk produksi (Satria,2004).

Salah satu Kabupaten surplus di Propinsi Sumatera Selatan selama kurun waktu sepuluh

tahun (1992 – 2001), adalah Ogan Komering Ulu dengan surplus beras sebesar 32.847 ton

(Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan,2002). Hal ini disebabkan peranan sektor pertanian di

Kabupaten Ogan Komering Ulu sangat besar, dimana sebagian besar mata pencaharian

penduduknya adalah bertani dengan menanam padi. Namun demikian apabila ditinjau dari

tingkat petani dapat ditemukan petani yang tidak surplus beras karena lahan sawahnya hanya

sekitar 0,25 hektar. Salah satu kecamatan di Kabupaten OKU Timur yang merupakan sentra

produksi beras adalah Kecamatan Buay Madang, dengan rata-rata produksi 185.172,35 ton

beras per tahun (Kantor Ketahanan Pangan, 2004).

Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti berapa jumlah surplus beras petani di

Kecamatan Buay Madang Kabupaten OKU Timur, Faktor-faktor apa yang mempengaruhi

surplus beras di tingkat petani , bagaimana bentuk saluran dan rantai tataniaga beras petani di

Kecamatan Buay Madang , berapa besar perbedaan marjin pemasaran beras yang dinikmati

oleh lembaga pemasaran yang terlibat dalam distribusi beras petani di Kecamatan Buay

Madang.

Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menghitung jumlah surplus beras petani di Kecamatan Buay Madang Kabupaten OKU

Timur.

2. Mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi surplus beras di tingkat petani di

Kecamatan Buay Madang Kabupaten OKU Timur.

3. Mengidentifikasi saluran dan rantai tataniaga beras petani di Kecamatan Buay Madang.

4. Membandingkan marjin pemasaran beras pada tingkat lebaga pemasaran tersebut.

Kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Diharapkan dapat dijadikan bahan kepustakaan bagi mahasiswa, pembaca dan peneliti

selanjutnya yang bertema sejenis.

2. Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan atau Pemerintah dalam

menangani permasalahan perberasan, khususnya petani padi.

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

101

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Buay Madang Kabupaten OKU Timur. Daerah

pengambilan sampel dilakukan di tiga desa yaitu: Desa Kurungan Nyawa, Desa Sumber

Mulyo dan Desa Sumber Harjo. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive),

dengan pertimbangan bahwa:

1. Kecamatan Buay Madang adalah salah satu sentra produksi beras untuk kabupaten OKU

Timur dengan jumlah surplus beras tertinggi (246.965,38 ton GKG) dibandingkan dengan

kecamatan lain yang ada di kabupaten OKU Timur.

2. Desa Kurungan Nyawa merupakan tempat di mana pedagang besar kecamatan berada,

desa Sumber Mulyo dan desa Sumber Harjo adalah desa yang mempunyai aspek lembaga

pemasaran yang lengkap.

3. Ketiga desa tersebut mempunyai keterkaitan antar lembaga dalam pemasaran beras di

Kecamatan Buay Madang.

Waktu penelitian secara keseluruhan dilaksanakan dari bulan Januari 2005 hingga

Desember 2005. Sedangkan pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Juli 2005.

Metode Penelitian

Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode survei. Metode penarikan

sampel dalam penelitian ini digunakan Metode Penarikan Sampel Berstrata Tak Berimbang

(Disprportionated Stratified Random Sampling) dalam setiap strata.

Adapun langkah-langkah metode ini dilakukan sebagai berikut :

1. Penentuan dengan sengaja wilayah sampel (Sampling Area) yaitu di Desa Kurungan

Nyawa, Desa Sumber Mulyo dan Desa Sumber Harjo di Kecamatan Buay Madang.

2. Dari tiap desa terpilih ditentukan sebanyak 3 lapisan (strata) yaitu Strata I (petani dengan

luas lahan 0,36 ha), Strata II (petani dengan luas lahan 0,72 ha) dan Strata III (petani

dengan luas lahan 1,44 ha).

3. Dari tiap strata ditentukan secara sengaja ukuran sampel sebanyak 10 petani padi sawah.

Berdasarkan kriteria disproportionated stratified random sampling, maka tiap desa terpilih

terdapat 30 petani sebagai sampel. Ukuran sampel keseluruhan adalah 90 petani padi

sawah. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 4 berikut : Tabel 4.

Ukuran Sampel Petani Padi Sawah untuk Masing-Masing Strata dan Desa

Di Kecamatan Buay Madang, 2005

Desa Strata I Populasi Strata II Populasi Strata III Populasi Total

K.Nyawa 10 74 10 147 10 69 30

S. Mulyo 10 140 10 185 10 56 30

S. Harjo 10 342 10 96 10 33 30

Jumlah 30 556 30 428 30 158 90

(%) 5,40 7,01 18,99

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data

primer akan dilakukan dengan observasi langsung di lapangan dan wawancara langsung

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

102

dengan responden dengan menggunakan panduan kuesioner, sedangkan data sekunder

dikumpulkan dari instansi dan lembaga terkait dengan penelitian ini.

Data primer terdiri dari :

1. Dari petani: waktu panen, jenis dan jumlah produksi padi petani, tingkat konversi gabah-

beras dan kualitasnya, jumlah yang dikonsumsi dan yang dijual, harga yang diterima

petani.

2. Dari pedagang/pengusaha penggilingan beras: jenis dan jumlah produksi beras, tingkat

konversi gabah-beras dan kualitasnya, frekuensi penggilingan/produksi, jumlah penjualan

stok, harga beli gabah atau upah penggilingan, biaya pemasaran, harga jual beras.

3. Dari pedagang beras antar daerah: jenis, jumlah dan kualitas beras yang diperjual

belikan , penjual (sumber) dan pembeli beras, saluran dan rantai pemasaran termasuk

pasar konsumen yang dituju, biaya pemasaran, harga beli dan harga jual beras.

Data yang diperoleh di lapangan diolah secara matematis dengan menggunakan metode

Ordinary Least Square (OLS) dan disajikan secara tabulasi sedangkan manual saluran

pemasaran yang terjadi dijelaskan secara deskriptif. Untuk menjawab hipotesis pertama

digunakan perhitungan sebagai berikut :

Ms = Qp - Qc

Keterangan :

MS = Marketable surplus (kg)

Qp = jumlah produksi petani (kg)

Qc = jumlah konsumsi keluarga petani (kg)

Kemudian untuk menjawab hipotesis kedua digunakan analisis Regresi Liner Berganda

dengan persamaan penduganya :

MS = 0 + 1X1 +2X2 +3X3 +4X4 + 5X5 + 6D1 + 7D2 + U

Keterangan :

MS = Marketable surplus

X1 = luas lahan (ha)

X2 = jumlah anggota keluarga (orang)

X3 = harga beras (Rp/kg)

X4 = pendapatan petani (Rp)

X5 = jumlah produksi (kg)

D1 = Dummy tingkat pendidikan kepala keluarga

D1 = 1 (≥SD)

D1 = 0 (< SD)

D2 = Dummy jenis kelamin yang dominan dalam keluarga

D2 = 1 ( LK PR )

D2 = 0 ( LK PR)

= intersep

1-7 = parameter

U = variabel pengganggu

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

103

Untuk melihat koefisien hubungan variabel bebas (x1, x2, x3, x4, x5, D1, D2) secara

bersama-sama terhadap variabel tak bebas (Y), maka digunakan uji-F sebagai berikut :

Jk reg/k

Fhitung = -----------------------

Jk sisa/(n-k-1)

Jika :

≤ Ftabel, terima Ho

Fhitung

> Ftabel, tolak Ho

Keterangan :

1. Jika Fhitung lebih besar dari Ftabel, diputuskan untuk menolak Ho, berarti ada variabel bebas

yang mempunyai pengaruh yang berarti terhadap variabel terikat.

2. Jika fhitung lebih kecil dari Ftabel, diputuskan untuk menerima Ho, berarti ada variabel bebas

yang tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap variabel terikat.

Sedangkan untuk melihat keberartian hubungan masing-masing variabel bebas (X1)

terhadap variabel tidak bebas (Y) maka digunakan uji-t, dengan rumus :

ßi

Thitung = -----------

Se ( ßi )

Jika :

≥ t ------- (n-k-1), tolak Ho

t hitung

< t ------- (n-k-1), terima Ho

Keterangan :

1. Jika thitung lebih besar dari ttabel, diputuskan untuk menolak Ho, berarti ada variabel bebas

yang mempunyai pengaruh yang berarti terhadap variabel terikat.

2. Jika thitung lebih kecil dari ttabel, diputuskan untuk menerima Ho, berarti ada variabel bebas

yang tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap variabel terikat.

Selanjutnya untuk menjawab hipotesis ketiga dari penelitian ini, yaitu mengidentifikasi

saluran pemasaran beras dengan cara menelusuri saluran pemasaran beras yang dilakukan

petani di Kecamatan Buay Madang. Dan untuk menjawab hipotesis ke empat tentang marjin

pemasaran dan efisiensi digunakan perhitungan dengan rumus :

Mpi = Hji - Hbi

Keterangan :Mpi = Marjin pemasaran lembaga

pemasaran ke-i

Hji = Harga jual lembaga pemasaran ke-

i (Rp/kg)

Hbi = Harga pembelian lembaga

pemasaran ke-i (Rp/kg)

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

104

Rumus perhitungan efisiensi pemasaran :

Total Biaya Pemasaran

Efisiensi = x 100 %

Nilai Produk

Dengan kaidah keputusan :

a. 0 – 33% = efisisen

b. 34 – 67% = kurang efisien

c. 68 – 100% = tidak efisien

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani Contoh

Jumlah petani contoh yang diambil masing-masing desa adalah 30 orang petani dengan

lapisan 10 orang petani dengan luas lahan 0,36 ha, 10 orang petani dengan luas lahan 0,72 ha

dan 10 orang petani dengan luas lahan 1,44 ha sehingga jumlah seluruh petani contoh pada 3

desa adalah 90 orang petani. Untuk mengetahui latar belakang keadaan petani contoh akan

dikemukakan karakteristik petani meliputi struktur umur, jumlah anggota keluarga, dan

pendidikan.

1. Umur

Menurut Hernanto (1996), umur petani merupakan faktor penting yang dapat

mempengaruhi pendapatan usahatani, karena akan berhubungan dengan produktif atau

tidaknya seorang petani dalam mengelola usahataninya. Ada kecenderungan bahwa

semakin lanjut usia petani, maka kemampuannya secara pisik akan berkurang sehingga

mempengaruhi produksi yang dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa

umur petani contoh adalah berkisar antara 25-68 tahun, dengan rata-rata tingkat umur 44

tahun. Golongan umur petani contoh dapat dilihat pada Tabel 6 :

Tabel 6. Identitas Petani Contoh

Berdasarkan Golongan Umur di Kecamatan Buay Madang 2005

Jumlah petani

No Umur Strata Proporsi Strata Proporsi Strata Proporsi (tahun) I (%) II (%) III (%)

1. 2. 3. 4.

25 - 35 36 - 46 47 - 57 58 - 68

8 14 5 3

27,00 46.67 16,33 10,00

5 14 8 3

16,33 46.67 27,00 10,00

1 12 11 6

4,00 40,00 36,00 20,00

Jumlah 30 100,00 30 100,00 30 100,00

Tabel 6 menunjukkan bahwa petani contoh yang diamati, persentase terbesar adalah pada

golongan umur 36 tahun sampai dengan 46 tahun yaitu sebesar 45 persen atau 40 jiwa dari

jumlah keseluruhan, dengan demikian mayoritas petani contoh berada dalam usia

produktif dalam bekerja.

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

105

2. Tingkat Pendidikan

Pendidikan petani contoh sebagian besar tamat SD, lalu tamat SMP dan SMU serta ada

juga yang tamat Diploma. Meskipun demikian ada juga petani contoh yang tidak sekolah.

Jumlah petani contoh berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 7. berikut :

Tabel 7.

Identitas Petani Contoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan Buay Madang, 2005

Jumlah petani

No Pendidikan Strata Proporsi Strata Proporsi Strata Proporsi

I (%) II (%) III (%)

1. 2. 3. 4. 5.

TS SD

SMP SMU/STM Diploma

2 21 3 3 1

6,67 70,00 10,00 10,00 3,33

5 18 4 3 -

16,67 60,00 13,33 10,00

-

5 18 6 1 -

16,67 60,00 20,00 3,33

-

Jumlah 30 100,00 30 100,00 30 100,00

Pada Tabel 7 terlihat bahwa sebagian besar petani contoh yang diamati hanya

menyelesaikan pendidikannya sebatas Sekolah Dasar yaitu sebanyak 57 jiwa atau 63,34

persen dan 13 jiwa atau 14,45 persen telah menyelesaikan pendidikan di Sekolah

Menengah Pertama dan 7 jiwa atau 7,77 persen menyelesaikan pendidikan di Sekolah

Menengah Umum bahkan 1 jiwa atau 1,11 persen dari seluruh petani contoh telah

menyelesaikan pendidikannya hingga ke jenjang Perguruan Tinggi sedangkan sisanya 12

jiwa atau 13,34 persen tidak sekolah.

3. Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga petani contoh berkisar antara 3 sampai 7 jiwa dalam satu

keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan cucu. Untuk lebih jelas jumlah anggota

keluarga petani contoh dapat dilihat pada Tabel 8 :

Tabel 8.

Jumlah anggota keluarga petani contoh di Kecamatan Buay Madang,2005

Jumlah Petani

No Jlh Agt Kel Strata Proporsi Strata Proporsi Strata Proporsi (jiwa) I (%) II (%) III (%)

1. 2. 3. 4. 5.

3 4 5 6 7

9 18 3 - -

30,00 60,00 10,00

- -

8 11 9 1 1

26,67 36,67 30,00 3,33 3,33

5 12 7 2 4

16,67 40,00 23,33 6,67

13,33

Jumlah 30 100,00 30 100,00 30 100,00

Pada Tabel 8 diketahui bahwa jumlah anggota keluarga petani contoh terbanyak adalah 4

jiwa yaitu sebanyak 41 keluarga atau 45,56 persen, sedangkan jumlah anggota keluarga

terkecil adalah 6 jiwa yaitu sebanyak 3 keluarga atau 3,34 persen. Sedangkan rata-rata

jumlah anggota keluarga adalah sebanyak 4 jiwa dalam satu keluarga.

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

106

Surplus Beras Petani Kecamatan Buay Madang

Sebagai daerah penghasil padi maka Kecamatan Buay Madang juga merupakan daerah

produksi beras. Jenis padi yang diusahakan di Kecamatan Buay Madang adalah Varitas IR 64

dan Varitas Ciliwung dengan rata-rata tingkat produksi 6 ton GKP/ha/MT. Sedangkan kualitas

beras yang dihasilkan adalah beras asalan dan batik. Untuk kualitas batik biasanya terjadi

apabila pada saat panen padi tidak dapat dijemur secara optimal, sehingga beras yang

dihasilkan berwarna agak kekuningan. Dalam pengusahaannya budidaya padi masih

menggunakan IP 2, yaitu dalam 1 tahun padi diusahakan sebanyak 2 kali, namun demikian ada

juga petani yang menanam palawija sebagai tanaman selingan meskipun tidak semua lahannya

ditanami palawija.

Pada tahun 2004 Kecamatan Buay Madang merupakan penghasil padi terbesar untuk

Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur yaitu sebesar 117.107,70 ton GKG. Penghasil beras

kedua dan ketiga masing-masing adalah Kecamatan Semendawai Suku III sebesar 73.373,45

ton GKG dan Kecamatan Belitang sebesar 35.682,08 ton GKG.

Dengan jumlah produksi sebesar 117.107,70 ton GKG dan jumlah penduduk 96.611

jiwa, serta konsumsi per kapita penduduk 135 kg per tahun maka kecamatan Buay Madang

mengalami surplus beras sebesar 101.430,96 ton. Dan pada tahun 2005 produksi beras sebesar

121.148,80 ton GKG dengan jumlah penduduk 116.124 jiwa dan konsumsi 120 kg per kapita,

surplus beras kecamatan Buay Madang meningkat menjadi 235.372,28 ton. Dari hasil

penelitian jumlah surplus beras petani contoh adalah sebesar 529.873,4 ton beras dengan

rata-rata surplus 5.887,5 ton beras per tahun, maka cukup relavan bila Kecamatan Buay

Madang dikatakan daerah surplus beras. Meskipun demikian masih ada beberapa penduduk di

daerah penelitian yang penduduknya belum surplus beras. Hal ini disebabkan karena

kepemilikan lahan yang sempit yaitu ¼ bau atau 1800 m2. Produksi GKP dalam ¼ bau adalah

9 kwintal ( 900 kg) gabah kering panen yang apabila dikonversikan ke beras menjadi 558 kg

beras (tingkat konversi GKP ke beras 0,62%) sehingga untuk kebutuhan konsumsi mereka

menambahkannya dengan oyek. Perimbangan penggunaannya sangat beragam ada yang 3 : 1,

2 : 1 dan ada juga yang 3 : 2. Oyek adalah bahan makanan terbuat dari ubi kayu yang telah

diolah sedemikian rupa kemudian dikeringkan dan disimpan.

Untuk daerah penelitian Desa Sumber Harjo oyek biasanya di konsumsi setelah MT I

yaitu sekitar bulan September. Namun tidak semua penduduk Desa Sumber Harjo

mengkonsumsi bahan tersebut. Tetapi ada juga keluarga petani yang sudah surplus beras

sekalipun mereka masih saja ada yang mengkonsumsi oyek, hal ini dikarenakan oyek sudah

merupakan makanan yang sudah dikonsumsi secara turun temurun oleh masyarakat Jawa yang

ada di Kecamatan Buay Madang. Untuk membuat oyek biasanya petani mendapatkan ubi kayu

dari kebun mereka sendiri kemudian diolah dan dikeringkan kemudian disimpan untuk sampai

saatnya nanti digunakan. Jadi pada saat MT I keluarga petani yang lahan sawahnya sempit

sudah mulai membuat oyek sehingga pada saat paceklik mereka tidak kekurangan bahan

makanan.

Produksi Usahatani Padi Sawah Irigasi

Produksi adalah hasil dari usahatani padi sawah irigasi berupa gabah kering panen. Pada

tahun 2004 jumlah produksi Desa Kurungan Nyawa adalah sebesar 16.442 ton gkg yang

apabila di konversikan ke beras menjadi 10.391, 35 ton beras (tingkat konversi 62,3%).

Jumlah konsumsi beras penduduk Desa Kurungan Nyawa sebesar 8.679,45 ton beras, sehingga

Desa Kurungan Nyawa mempunyai surplus beras sebesar 8.679,75 ton beras. Untuk Desa

Sumber Mulyo, jumlah produksi adalah sebesar 4.886 ton gkg atau setara dengan 3.087.96 ton

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

107

beras. Konsumsi penduduk Desa Sumber Mulyo sebesar 816,9 ton beras dengan demikian

surplus yang dihasilkan oleh Desa Sumber Mulyo adalah sebesar 2.271,06 ton beras.

Sedangkan Desa Sumber Harjo, jumlah produksi yang dihasilkan sebesar 4.701 ton gkg

atau 2.971 ton beras dan konsumsi penduduk Desa Sumber Harjo sebesar 892,4 ton beras

maka jumlah surplus berasnya sebesar 2.078,64 ton beras. Adapun produksi yang di terima

oleh petani contoh dapat di lihat pada Tabel 9.

Tabel 9.

Rata-Rata Produksi dan Produktivitas Usaha Tani Padi Sawah Irigasi

Masing-Masing Strata Petani Contoh di Buay Madang, 2005

Strata Luas lahan Produksi Produktivitas

(ha) (gkp/kg) (gkp/kg/ha)

I

II

III

0.36

0.72

1,44

2.237,1

5.571,2

11.328,4

6.214,2

7.737,8

7.866,9

Pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa rata-rata produksi petani contoh dengan luas lahan

0,36 ha di ketiga desa sampel adalah sebesar 2,2 ton gkp/th, petani contoh dengan luas lahan

0,72 ha sebesar 5,5 ton gkp/th dan petani contoh dengan luas lahan 1,44 ha rata-ratanya

produksinya sebesar 11,3 ton gkp/th. Semakin luas lahan maka produksi juga akan semakin

meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh produtifitas lahan yang tinggi serta didukung oleh

adanya bendungan komering yang mengairi sawah-sawah di ketiga desa sampel.

Marketable Surplus

Marketable surplus adalah jumlah tanaman pangan yang dijual petani ke pasar yang

merupakan kelebihan produksi dari jumlah yang di konsumsi oleh keluarganya (Krishna,

1962). Sehubungan dengan pengertian tersebut maka jumlah surplus beras petani contoh di

ketiga desa sampel berdasarkan strata kepemilikan lahan dapat dilihat pada Tabel 10 :

Tabel 10.

Jumlah Surplus Beras Masing-Masing Strata Petani Contoh di Buay Madang, 2005

Strata Produksi (Kg) Konsumsi (Kg) Surplus (kg/th)

I

II

III

67.111,4

167.135,9

339.851,1

13.222

14.955

16.048

53.889.4

152.180,9

323.803,1

Jumlah 574.098,4 44.225 529.873,4

Rata-rata 6.378,9 491,4 5.887,5

persentase 7,7 92,3

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa jumlah surplus beras di ketiga desa sample pada

masing-masing stratanya cukup tinggi. Sehingga cukup relavan bila Kecamatan Buay Madang

dikatakan daerah sentra produksi beras di Kabupaten OKU Timur.

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

108

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Surplus Beras di Tingkat Petani

Dalam penelitian ini yang diduga mempengaruhi surplus beras di tingkat petani antara

lain lahan (X1), jumlah anggota keluarga (X2), harga beras (X3), pendapatan petani (X4),

jumlah produksi (X5), tingkat pendidikan kepala keluarga (D1), jenis kelamin yang dominan

dalam keluarga (D2). Hasil regresi dari model yang digunakan diperoleh nilai koefisien

determinasi (R2) dengan jumlah sampel sebanyak (n) 90 petani yang terdiri atas petani strata I,

strata II dan strata III.

Hasil perhitungan nilai koefisien determinasi (R2) didapat angka sebesar 0,997 yang

berarti 99 persen variasi variabel terikat yaitu marketable surplus dapat dijelaskan oleh

variabel bebas, sedangkan sisanya 1 persen variasi marketable surplus tersebut dijelaskan oleh

faktor lain yang tidak diteliti. Hasil analisis terhadap variabel-variabel penjelas yang

membentuk model penelitian didapatkan pendugaan parameter masing-masing variabel seperti

terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11.

Hasil Pendugaan Beberapa Variabel yang

Mempengaruhi Surplus Beras di Tingkat Petani di Kecamatan Buay Madang, 2005

Variabel Nilai Parameter t-hitung Signifikansi Keterangan

Intersep X1 (lahan) X2 (agt kelrg) X3 (harga beras) X4 (pendapatan) X5 (prod.beras) D1(pendidikan D2(jenis kelmn)

1238,001 4437,050 -71,576 -0,638 2,275 4,437 10,963 8,979 Fhit = 2187,885 Sig = 0,000

0,232 12,378 -2,131 -0,322 9,766 1,519 0,152 0,105

0,817 0,000 Nyata 0,036 Nyata 0,749 Tidak nyata 0,000 Nyata 0,133 Nyata 0,880 Tidak nyata 0,916 Tidak nyata

Hasil perhitungan pendugaan persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi surplus beras

pada Tabel 11 maka dapat dibuat model pendekatan persamaan pendugaan yaitu :

MS = 1238,001+4437,050X1–71,576X2–0,638X3+2,275X4+4,437X5+10,963D1+8,979D2.

Pengaruh variabel bebas yaitu lahan, jumlah anggota keluarga, harga beras, pendapatan,

produksi beras, dumm y tingkat pendidikan kepala keluarga, dan dummy jenis kelamin yang

dominan dalam keluarga secara bersama-sama (simultan) berpengaruh nyata terhadap surplus

beras petani pada taraf = 1%. Hasil analisis regresi menyatakan bahwa nilai F statistik (F

hitung) adalah sebesar 2197,885 dan berpengaruh nyata pada taraf = 1% dengan signifikansi

sebesar 0,000.

1. Faktor Lahan

Berdasarkan hasil regresi koefisien faktor jumlah produksi beras memperlihatkan tanda

yang positif yang berarti luas lahan berpengaruh terhadap marketable surplus petani

dengan arah yang sama. Secara statistik luas lahan berpengaruh nyata terhadap

marketable surplus petani pada taraf = 1%. Hasil regresi menunjukkan bahwa koefisien

variabel luas lahan sebesar 4437,050 artinya setiap penambahan luas lahan 1 ha maka

marketable surplus petani meningkat sebesar 4437,050 kg per tahun. Nilai elastisitas

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

109

faktor luas lahan sebesar 0,64 menjelaskan bahwa bertambahnya luas lahan 1 % akan

menambah marketable surplus beras sebesar 0,64 %.

2. Faktor Jumlah Anggota Keluarga

Faktor jumlah anggota keluarga menunjukkan pengaruh nyata negatif terhadap marketable

surplus petani pada taraf = 5%. Hasil regresi menunjukkan koefisien variabel jumlah

anggota keluarga sebesar –71,576 artinya setiap penambahan 1 orang anggota keluarga

akan mengurangi marketable surplus petani sebesar 71,576 kg per tahun. Dengan

bertambahnya anggota keluarga maka kebutuhan beras untuk konsumsi juga bertambah

sehingga mengurangi jumlah marketable surplus petani. Nilai elastisitas faktor jumlah

anggota keluarga adalah –0,06 menjelaskan bahwa bertambahnya jumlah anggota keluarga

1% akan mengurangi marketable surplus sebesar 0,06 %.

3. Faktor Harga Beras

Berdasarkan hasil regresi faktor harga beras memperlihatkan tanda yang negatif yang

berarti harga beras berpengaruh tidak nyata terhadap marketable surplus pada taraf =

10%. Hasil regresi menunjukkan bahwa nilai koefisien variabel harga beras sebesar –

0,638. Interpretasinya jika harga beras naik Rp 1 maka akan menurunkan marketable

surplus sebesar 0,638 kg. Tidak nyatanya pengaruh harga beras disebabkan harga beras

pada saat penelitian tidak terlalu bervariasi, yaitu berkisar antara Rp 2650 hingga Rp 2700

dengan harga rata-rata Rp 2687,78 dan standar deviasinya hanya 50. Nilai elastisitas faktor

harga beras adalah –0,30 menjelaskan bahwa perubahan harga sebesar 1% akan

mengurangi marketable surplus sebesar 0,30 %. Hal ini disebabkan beras merupakan

bahan pangan pokok petani tersebut.

4. Faktor Tingkat Pendapatan

Berdasarkan hasil regresi faktor tingkat pendapatan memperlihatkan tanda yang positif

pada taraf = 1% .Hasil regresi menunjukkan nilai koefisien variabel tingkat pendapatan

2,275 artinya setiap kenaikan pendapatan petani Rp 1 maka akan meningkatkan

marketable surplus petani sebesar 2,275 kg. Hal ini menjelaskan bahwa perubahan tingkat

pendapatan akan mempengaruhi marketable surplus petani.

5. Faktor Produksi Beras

Berdasarkan hasil regresi koefisien faktor produksi beras memperlihatkan tanda yang

positif yang berarti produksi beras berpengaruh terhadap marketable surplus petani dengan

arah yang sama. Secara statistik produksi beras berpengaruh nyata terhadap marketable

surplus pada taraf = 10%. Hasil regresi menunjukkan bahwa koefisien variabel produksi

beras sebesar 4,437 artinya setiap kenaikan 1 kg produksi beras maka marketable surplus

meningkat sebesar 4,437 kg. Nilai elastisitas faktor produksi beras adalah 48,10

menjelaskan bahwa bertambahnya jumlah anggota keluarga 1% akan meningkatkan

marketable surplus sebesar 48,10 %.

6. Faktor Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga

Berdasarkan hasil regresi faktor tingkat pendidikan kepala keluarga memperlihatkan tanda

yang positif berarti tingkat pendidikan kepala keluarga berpengaruh terhadap marketable

surplus petani dengan arah yang sama. Secara statistik faktor tingkat pendidikan kepala

keluarga berpengaruh tidak nyata terhadap marketable surplus petani pada taraf = 1%.

Hasil regresi menunjukkan bahwa koefisien variabel tingkat pendidikan kepala keluarga

sebesar 10,963 artinya jika tingkat pendidikan kepala keluarga naik satu tingkat maka

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

110

marketable surplus petani meningkat sebesar 10,963 kg. Dengan meningkatnya taraf

pendidikan petani maka pengetahuan petani pun akan bertambah dengan demikian petani

berusaha untuk meningkatkan produksi sawahnya dengan cara intensifikasi atau

ekstensifikasi.

Dengan meningkatnya produksi dan jumlah konsumsi yang tetap maka jumlah marketable

surplus petani pun akan meningkat. Peningkatan produksi dengan cara intensifikasi masih

dapat dilakukan selama penambahan faktor-faktor produksi belum melebihi ukuran yang

dianjurkan, apabila penambahan faktor-faktor produksi yang telah melebihi anjuran maka

penambahan tersebut akan menyebabkan kenaikan hasil yang berkurang (deminishing of

return). Demikian pula halnya peningkatan produksi dengan cara ekstensifikasi harus

memperhatikan lahan yang masih tersedia. Selama lahan yang belum diolah masih ada

maka peningkatan produksi dengan cara tersebut masih dapat dilakukan.

7. Faktor Jenis Kelamin Dominan dalam Keluarga

Faktor Jenis Kelamin yang dominan dalam keluarga menunjukkan tanda yang positif

artinya faktor jenis kelamin dominan dalam keluarga berpengaruh terhadap marketable

surplus petani dengan arah yang sama. Namun secara statistik faktor jenis kelamin

dominan dalam keluarga berpengaruh tidak nyata terhadap marketable surplus petani pada

taraf = 5%. Hasil regresi menunjukkan bahwa koefisien variabel jenis kelamin yang

dominan dalam keluarga sebesar 8,979 artinya keluarga yang rata-rata jumlah anggota

keluarganya lebih dari separuh laki-laki maka konsumsinya meningkat sebesar 8,979 kg

per tahun.

Analisis Pemasaran Beras

1. Saluran Pemasaran

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan lembaga pemasaran yang terlibat dalam

penyaluran komoditi beras adalah pedagang pengumpul, Rice Miling Unit (RMU),

pedagang besar kecamatan dan pedagang pengecer desa. Adapun saluran pemasaran yang

terjadi ada dua saluran. Saluran pemasaran yang pertama adalah dari petani ke

penggilingan (RMU) kemudian dijual ke pedagang pengumpul desa dan langsung ke

pedagang besar kecamatan. Selanjutnya didistribusikan ke daerah-daerah seperti Lubuk

Linggau, Lahat, Kayu Agung, Palembang bahkan ke daerah Propinsi Lampung. Saluran

kedua yaitu dari petani langsung dijual ke pedagang pengumpul yang sifatnya tengkulak

sehingga ketika panen mereka tidak bisa menjual ke tempat lain karena telah terikat sistem

ijon, kemudian dijual ke pedagang besar kecamatan atau langsung ke pedagang pengecer.

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diketahui bahwa dari 90 orang responden

sebagian besar mereka menggunakan rantai pemasaran yang panjang yaitu petani, RMU,

pedagang pengumpul, pedagang besar kecamatan kemudian terakhir konsumen. Hal ini

biasanya terjadi karena para petani telah biasanya menggunakan pinjaman modal dari

penggilingan, sehingga ketika mereka panen hasil panennya langsung diserahkan ke

penggilingan tersebut setelah sebelumnya disisihkan untuk konsumsi keluarga. Untuk

konsumsi keluarga para petani menyimpannya di rumah dalam bentuk gabah dan ada juga

yang menitipkannya di penggilingan atau di lumbung pangan desa. Para pedagang

pengumpul kemudian membeli hasil penggilingan yang kemudian menjualnya ke

pedagang besar kecamatan. Biasanya para pedagang pengumpul datang ke penggilingan

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

111

dengan ongkos angkut ditanggung oleh penggilingan atau RMU. Untuk lebih jelas

saluran pemasaran beras di daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

1 2 2

Keterangan :

1 = Saluran pemasaran pertama (62,23%)

2 = Saluran pemasaran kedua (31,37%)

Gambar 3. Saluran Pemasaran Beras Kecamatan Buay Madang

Persentase saluran pertama lebih besar dikarenakan dari 90 orang responden, 56 orang atau

62,23 % diantaranya menjual hasil panennya pada saluran pemasaran pertama sedangkan

sisanya menjual pada saluran pemasaran kedua. Pada saat penelitian dilakukan, harga jual

yang berlaku adalah Rp 1.250 – Rp 1.300 untuk Gabah Kering Panen dan Rp 2.650 – Rp

2.800 untuk harga beras. Penetapan harga biasanya dilakukan oleh pedagang pengumpul.

Hal yang mempengaruhi harga jual petani adalah musim panen dimana pada saat panen

biasanya harga lebih rendah bila dibandingkan saat paceklik dimana harga beras relatif

tinggi, sehingga pada saat panen petani selalu menyisihkan beras untuk keperluan

konsumsi keluarganya. Setelah dikurangi untuk konsumsi barulah hasil keseluruhannya

dijual. Namun demikian tidak selalu harga beras pada saat musim panen harga beras turun,

hal ini dapat kita lihat pada Gambar 4. yang menunjukkan kan harga beras pada bulan

Januari dan Februari cukup tinggi dibandingkan dengan bulan-bulan paceklik. Untuk

musim tanam 2004/2005 harga beras tertinggi adalah Rp 3.700 yaitu pada minggu ke IV

Januari. Pada akhir bulan Januari adalah merupakan masa panen untuk kecamatan

Gumawang, sedangkan bulan Februari adalah puncak panen Kecamatan Buay Madang.

Gambar 4. Grafik Harga Beras MT 2004/2005

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

4,000

Okt' 04 Nop' 04 Des' 04 Jan' 05 Feb' 05 Mar' 05 Apr' 05 Mei' 05 Juni' 05 Juli' 05 Agt' 05 Sept' 05

Harga MingguI

Harga MingguII

Harga MingguIII

Harga MingguIV

Petani

padi RMU PP desa

PP desa

PB

Kecamatan

P. Pengecer

PB

Kecamatan

Kec. Lain dlm

kabupaten

Konsumen

Propinsi lain

Kab lain dlm

propinsi

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

112

Berdasarkan hasil wawancara dengan petani contoh pada umumnya petani tidak berani

untuk menjual seluruh hasil panen kemudian untuk konsumsi mereka membeli beras yang

baru. Karena menurut mereka harga beras sangat fluktuatif dimana sewaktu-waktu dapat

berubah naik sehingga uang hasil panen tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup. Selain

itu dalam berusahatani para petani biasanya meminjam modal kepada para tengkulak

untuk membeli sarana usahatani dengan perjanjian mereka akan menjual hasil panennya

kepada para tengkulak tersebut. KUD yang merupakan sarana bagi masyarakat desa

terutama petani untuk membeli bahan-bahan pertanian tidak dapat memenuhi kebutuhan

tersebut.

Hal ini dikarenakan masyarakat belum memahami kegiatan organisasi koperasi sehingga

masyarakat tidak merasakan perlunya KUD tersebut. Padahal peranan KUD cukup besar

dalam membantu petani untuk mendapatkan harga gabah dan beras sesuai dengan harga

dasar, khususnya pada saat musim panen raya. Sehingga dengan adanya KUD masyarakat

dapat terbebas dari jeratan tengkulak dan pendapatan petani juga akan meningkat.

Demikian pula halnya dengan Perum Bulog Divre Sumsel, sebagai lembaga pemerintah

yang mempunyai tugas menjamin harga yang layak bagi konsumen (petani) masih belum

dapat dirasakan keberadaannya oleh masyarakat tani, hal ini disebabkan Perum Bulog

Divre Sumsel belum memberikan kontribusi yang maksimal terhadap masyarakat tani.

Seharusnya Perum Bulog Divre Sumsel dapat memberikan sedikit penyuluhan kepada

masyarakat tani bagaimana perlakuan terhadap hasil panen petani agar dapat sesuai

dengan persyaratan mutu yang berlaku dalam pembelian gabah dan beras yang dilakukan

oleh Perum Bulog.

2. Margin Pemasaran

Analis marjin pemasaran dilakukan untuk mengetahui tingkat kompetisi dari para pelaku

pemasaran yang terlibat dalam pemasaran/distribusi pangan Marjin pemasaran merupakan

selisih antara harga yang diterima produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen

(Tomeck and Robinson, 1990). Berdasarkan hasil penelitian nilai marjin pemasaran tiap

lembaga pemasaran maka nilai marjin pemasaran pedagang besar kecamatan adalah yang

tertinggi yaitu Rp 290, marjin pemasaran pedagang pengumpul desa Rp 116 dan yang

terendah marjin pemasaran pedagang pengecer dan RMU yaitu Rp 50. Adapun besarnya

marjin pemasaran tiap lembaga pemasaran dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12.

Marjin Pemasaran Ditingkat Lembaga Pemasaran di Kecamatan Buay Madang, 2005

No. Lembaga

pemasaran Harga Beli

(Rp/kg) Harga jual

(Rp/kg) Marjin (Rp) Pemasaran (%)

1.

2.

3

4.

PP desa

RMU

PB Kecamatan

P Pengecer

Total Marjin

2.517

2.600

2.500

2.683

2.633

2.650

2.790

2.733

58

50

290

50

448

12,94

11,16

64,74

11,16

100,00

Keterangan :

* PP = Pedagang Pengumpul * RMU = Rice Miling Unit (penggilingan padi) * PB = Pedagang Besar * P = Pedagang

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

113

Tabel 12 terlihat bahwa marjin pemasaran ditingkat pedagang besar kecamatan lebih besar

dibandingkan lembaga pemasaran yang lain yaitu Rp 290 atau 64,74 persen.

3. Keuntungan Pemasaran

Keuntungan pemasaran atau yang dikenal dengan istilah profit margin merupakan selisih

antara harga yang dibayarkan ke produsen dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen

setelah dikurangi biaya pemasaran (Kotler, 1995). Dari hasil perhitungan berdasarkan

margin pemasaran didapat biaya pemasaran yang berkisar antara Rp 25 hingga Rp 215 per

kg berupa biaya kuli angkut, packing, ongkos angkut, susut, dan karplas. Rincian biaya

pemasaran beras per kilogram dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13.

Rincian Biaya Pemasaran Beras Per Kilogram di Kecamatan Buay Madang,2005

No Desa Biaya (Rp/kg)

Kuli Packing Naik Angkut Susut Karplas Total

1. Kurungan Nyawa

a. PP Desa

b. RMU

c.PBKecamatan

d. Pengecer

5

5

5

5

-

-

15

-

5

5

5

5

15

25

25

5

-

-

100

-

-

-

65

-

25

35

215

15

2. Sumber Mulyo

a. PP Desa

b. RMU

c. Pengecer

5

5

5

-

-

-

5

5

5

15

25

15

-

-

-

-

-

-

25

35

25

3. Sumber Harjo

a. PP Desa

b. RMU

c. Pengecer

5

5

5

-

-

-

5

5

5

15

15

25

-

-

-

-

-

-

25

25

35

Untuk perhitungan keuntungan diketahui bahwa keuntungan pemasaran pada pedagang

besar adalah yang terbesar yaitu Rp 75 per kg (Lampiran 16). Akan tetapi untuk resiko

pemasaran maka resiko pemasaran pada pedagang pengecer relatif lebih berat bila

dibandingkan dengan lembaga pemasaran lain sebab pedagang pengecer berhubungan

langsung dengan konsumen akhir sebagai akibat faktor yang mempengaruhi daya beli

konsumen.

4. Efisiensi Pemasaran

Efisiensi pemasaran diartikan sebagai nisbah antara total biaya pemasaran dengan total

nilai peroduk yang dipasarkan. Lembaga pemasaran dikatakan efisien apabila nilainya

kurang dari satu atau 100 % dan lebih besar dari nol (0Ep1) artinya total biaya

pemasaran lebih kecil dibandingkan total nilai produk yang dijual lembaga tersebut.

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan didapat bahwa nisbah efisiensi di tingkat

pedagang besar adalah sebesar 8 persen dapat dikatakan bahwa pedagang besar sudah

tergolong efisien dalam memasarkan beras. Hal ini dikarenakan pemasarannya termasuk

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

114

dalam kategori efisien yaitu sebesar 0,08 atau 8 % yang berarti berada diantara nilai nol

dan satu (0Ep1). Sedangkan untuk efisiensi antar saluran pemasaran dapat dilihat pada

Tabel 14 berikut:

Tabel 14.

Efisiensi Lembaga Pemasaran untuk Tiap Saluran di Kecamatan Buay Madang, 2005

Lembaga Pemasaran Nilai Produk (Rp/kg) Total

Saluran I Saluran II

RMU

Pedagang Pengumpul

Pedagang Besar Kec.

Pedagang Pengecer

2550 2565

2675 2675

2790 – 2700 2800

5.115

5.450

2.790

5.500

Biaya Pemasaran (Rp/kg)

RMU

Pedagang Pengumpul

Pedagang Besar Kec.

Pedagang Pengecer

25 25

35 35

215 –

15 15

50

70

215

30

Efisiensi Lembaga Pemasaran (%)

RMU

Pedagang Pengumpul

Pedagang Besar Kec.

Pedagang Pengecer

1 0,98

2 2

8 –

0,56 1

1,98

4

8

1,56

Total 11,56 3,98

Dari Tabel 14 dapat diketahui bahwa saluran pemasaran kedua lebih efisien dibandingkan

dengan saluran pertama, ini dapat dilihat dari nilai efisiensi saluran pemasaran kedua

sebesar 3,98 % sedangkan saluran pemasaran pertama sebesar 11,56 %. Hal ini sejalan

dengan teori yang menyatakan bahwa semakin pendek rantai pemasaran maka akan

semakin efisien pemasaran tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Surplus beras di tingkat petani di Kecamatan Buay Madang Kabupaten OKU Timur adalah

sebesar 92,2 % dari total produksi beras yang dihasilkan petani per tahun.

2. Faktor yang mempengaruhi marketable surplus ditingkat petani di Kecamatan Buay

Madang Kabupaten OKU Timur antara lain faktor luas lahan, jumlah anggota keluarga,

harga beras, tingkat pendapatan, produksi beras, tingkat pendidikan kepala keluarga, dan

jenis kelamin yang dominan dalam keluarga. Faktor lahan, jumlah anggota keluarga dan

produksi beras berpengaruh nyata terhadap marketable surplus petani.

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

115

3. Saluran pemasaran yang terjadi di Kecamatan Buay Madang terdiri atas 2 saluran

pemasaran :

a. Saluran I : petani, RMU, PP, PB kecamatan, konsumen.

b. SaluranII : petani, P Pengumpul, P Besar kecamatan/Pengecer, konsumen.

4. Nilai marjin pemasaran yang diperoleh pedagang besar kecamatan adalah yang terbesar

dibandingkan lembaga pemasaran yang lain, yaitu Rp 290. Untuk pemasaran pada tingkat

pedagang pengumpul desa, RMU dan pedagang pengecer sudah tergolong efisien dan

efektif karena biaya pemasarannya lebih rendah dari tingkat penerimaan pemasaran.

Saran

Berdasarkan keadaan di lapangan sehubungan dengan penelitian ini maka disarankan :

1. Perlu pembinaan KUD sebagai lembaga ekonomi yang dapat memfasilitasi petani dalam

berusahatani dan memasarkan beras.

2. Perlu pembinaan penanganan pasca panen untuk meningkatkan mutu beras sehingga

harga jual petani meningkat.

3. Perlu penelitian lanjutan mengenai pemasaran beras produksi petani yang dipasarkan

keluar daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Bustanul. 2002. Formasi Strategi Makro-Mikro Ekonomi Indonesia. Jakarta: Ghalia

Indonesia. Jakarta.

____________. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku

Kompas.

Assauri, S. 1990. Manajemen Pemasaran. Jakarta: Rajawali Pers.

Biro Pusat Statistik. 2002.

Ellis, F. 1992. Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge: Cambridge

University Press.

Kelana, S. 1996. Teori Ekonomi Makro. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Lains, A. 1987. Dekomposisi Efek Perubahan Harga Beras di Indonesia : Efek Substitusi dan

Pendapatan, Ekonomi dan Keuangan Indonesia XXXV.

Limbong, W.H. & P. Sitorus. 1987. Tata Niaga Pertanian. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi.

Fakultas Pertanian IPB.

Saefuddin, A.M. 1991. Pemasaran Produk Pertanian. Bogor: Fakultas Pertanian Institut

Pertanian Bogor.

AgronobiS, Vol. 1, No. 1, Maret 2009 ISSN: 1979 – 8245X

Henny Rosmawati, Hal; 99 – 116

116

Soekartawi. 1995. Analisi Usahatani. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Majalah, Tesis, Jurnal dan Makalah

Gunawan, T. 2004. “Analisis Kebutuhan Dana Pembelian dan Distribusi Surplus Beras Petani

Sumatera Selatan”. Tesis Program Studi Agribisnis Program Pascasarjana. Universitas

Sriwijaya. Palembang.

Handewi. 2004. “Metode Pengumpulan Data Dan Analisis Margin Pemasaran Dalam Sisten

Distribusi Pangan”. Makalah Disampaikan dalam Seminar Badan Ketahanan Pangan.

Departemen Pertanian. Jakarta.

Krishna, R. 1962. “A Note on The Elasticity of The Marketable Surplus of Subsistence

Crop”. Indian Journal of Agriculture Economics. Vol.XVII. No. 3. Bombay. India

Lokollo, M . 2001. “Market Dependency and Houshold Food Consumption in East Java”.

Journal Agro Ekonomi. Indonesia.

Puslitbang Sosek Pertanian. 2001. “Food Policy Support. First Round Finding”. Kerjasama

Antara Puslitbang Sosek Pertanian dengan Bappenas, USAID dan DAI. Tidak

dipublikasikan.

Puspoyo, W. 2004. “Kebijakan Perberasan Nasional; Kekuatan, Kelemahan dan

Penyempurnaan”. Majalah Pangan. Vol.XIII.No.43. Jakarta.

Satria, J. 2004. “Analisis Permintaan Beras Sumatera Selatan”. Tesis Program Studi

Agribisnis Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya. Palembang.