Analisis Spasial Kriminalitas Harta Benda di Wilayah...

15
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. 15 No. 2 Januari 2015: 158-172 p-ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-9280 158 Analisis Spasial Kriminalitas Harta Benda di Wilayah Jadetabek Spatial Analysis on Property Crime in Jadetabek Aditya Harin Nugroho a, , Sonny Harry B. Harmadi b, a Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia b Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abstract This study aims to identify the existence of spatial dependence of property crime at sub-district level in the case of Jakarta, Tangerang, Depok, and Bekasi (Jadetabek), the major metropolitan area in Indonesia over 2010 period. Empirical results by using spatial autoregressive suggest the existence of positive spatial autocorrelation of property crime in Jadetabek. We also find the determinants of property crime is related to per capita household expenditure, number of youth unemployment, number of young population, number of drags abuse case, and percentage of case solved. Keywords: Property Crime; Jadetabek; Polda Metro Jaya; Spatial Dependence Abstrak Studi ini bertujuan mengidentifikasi adanya dependensi spasial dari kejahatan harta benda pada tingkat kecamatan di wilayah Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jadetabek), sebagai wila- yah utama metropolitan di Indonesia, selama periode 2010. Hasil empiris dengan menggunakan spatial autoregressive menunjukkan adanya otokorelasi spasial positif untuk kejahatan harta benda di Jadetabek. Kami juga menemukan bahwa determinan dari kejahatan harta benda di antaranya pengeluaran per kapita, jumlah pengangguran muda, jumlah penduduk usia muda, jumlah kasus penyalahgunaan narkotika, dan persentase kasus yang terselesaikan. Kata kunci: Kriminalitas Harta Benda; Jadetabek; Polda Metro Jaya; Dependensi Spasial JEL classifications: K00; O18; R12 Pendahuluan Analisis ekonomi tentang kriminalitas berawal dari studi Gary S. Becker (1968) lewat karya- nya Crime and Punishment. Menggunakan da- ta kriminalitas Amerika Serikat (AS), hasil stu- di Becker mengungkapkan bahwa individu yang rasional akan melakukan tindakan ilegal ber- dasarkan analisis biaya-manfaat dan diformu- Alamat Korespondensi: Lembaga Demografi FEB UI. Gedung A Nathanael Iskandar Lantai 2 & 3 Kam- pus Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Depok 16424, In- donesia. E-mail : [email protected]. E-mail : [email protected]. lasikan dalam crime economic model (CEM). Ehrlich (1973) mengembangkan model ini lebih lanjut dengan mempertimbangkan opportunity cost dan menguji hubungan antara tingkat kri- minalitas dengan variabel sosio-ekonomi. Ber- beda dengan ahli sosial lainnya, ekonom menje- laskan fenomena kriminalitas dengan memper- timbangkan perilaku individu konsumen, yaitu memaksimumkan utilitas (Ehrlich, 1996). Dengan mengacu pada studi Becker dan Ehr- lich, paper ini mencoba mengembangkan model determinan kriminalitas bermotif ekonomi de- ngan memasukkan aspek spasial. Diduga bah- wa kejadian kriminalitas harta benda di sua- JEPI Vol. 15 No. 2 Januari 2015

Transcript of Analisis Spasial Kriminalitas Harta Benda di Wilayah...

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan IndonesiaVol. 15 No. 2 Januari 2015: 158-172p-ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-9280158

Analisis Spasial Kriminalitas Harta Benda di Wilayah JadetabekSpatial Analysis on Property Crime in Jadetabek

Aditya Harin Nugrohoa,�, Sonny Harry B. Harmadib,��

aLembaga Demografi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas IndonesiabDepartemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Abstract

This study aims to identify the existence of spatial dependence of property crime at sub-district levelin the case of Jakarta, Tangerang, Depok, and Bekasi (Jadetabek), the major metropolitan area inIndonesia over 2010 period. Empirical results by using spatial autoregressive suggest the existenceof positive spatial autocorrelation of property crime in Jadetabek. We also find the determinantsof property crime is related to per capita household expenditure, number of youth unemployment,number of young population, number of drags abuse case, and percentage of case solved.Keywords: Property Crime; Jadetabek; Polda Metro Jaya; Spatial Dependence

Abstrak

Studi ini bertujuan mengidentifikasi adanya dependensi spasial dari kejahatan harta benda padatingkat kecamatan di wilayah Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jadetabek), sebagai wila-yah utama metropolitan di Indonesia, selama periode 2010. Hasil empiris dengan menggunakanspatial autoregressive menunjukkan adanya otokorelasi spasial positif untuk kejahatan hartabenda di Jadetabek. Kami juga menemukan bahwa determinan dari kejahatan harta benda diantaranya pengeluaran per kapita, jumlah pengangguran muda, jumlah penduduk usia muda,jumlah kasus penyalahgunaan narkotika, dan persentase kasus yang terselesaikan.Kata kunci: Kriminalitas Harta Benda; Jadetabek; Polda Metro Jaya; Dependensi Spasial

JEL classifications: K00; O18; R12

Pendahuluan

Analisis ekonomi tentang kriminalitas berawaldari studi Gary S. Becker (1968) lewat karya-nya Crime and Punishment. Menggunakan da-ta kriminalitas Amerika Serikat (AS), hasil stu-di Becker mengungkapkan bahwa individu yangrasional akan melakukan tindakan ilegal ber-dasarkan analisis biaya-manfaat dan diformu-

�Alamat Korespondensi: Lembaga Demografi FEBUI. Gedung A Nathanael Iskandar Lantai 2 & 3 Kam-pus Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Depok 16424, In-donesia. E-mail : [email protected].��E-mail : [email protected].

lasikan dalam crime economic model (CEM).Ehrlich (1973) mengembangkan model ini lebihlanjut dengan mempertimbangkan opportunitycost dan menguji hubungan antara tingkat kri-minalitas dengan variabel sosio-ekonomi. Ber-beda dengan ahli sosial lainnya, ekonom menje-laskan fenomena kriminalitas dengan memper-timbangkan perilaku individu konsumen, yaitumemaksimumkan utilitas (Ehrlich, 1996).

Dengan mengacu pada studi Becker dan Ehr-lich, paper ini mencoba mengembangkan modeldeterminan kriminalitas bermotif ekonomi de-ngan memasukkan aspek spasial. Diduga bah-wa kejadian kriminalitas harta benda di sua-

JEPI Vol. 15 No. 2 Januari 2015

Nugroho, A. H. & Harmadi, S. H. B. 159

tu wilayah akan terkait dengan kejadian kri-minalitas di wilayah lainnya yang berdekatan(bertetangga). Untuk menetapkan satuan wila-yah kami menggunakan wilayah kerja Kepolisi-an Daerah Metropolitan Jakarta Raya (PoldaMetro Jaya) di mana wilayahnya terbagi ataskepolisian resor (polres) dan kepolisian sektor(polsek).

Menurut Kepolisian Republik Indonesia, kri-minalitas harta benda terdiri dari pembakar-an dengan sengaja, perusakan barang, penipu-an atau perbuatan curang, penadahan, pen-curian kendaraan bermotor roda dua dan em-pat, pencurian biasa, pencurian keras, pencuri-an dengan pemberat, pencurian di dalam kelu-arga, dan pencurian ringan. Jenis kriminalitasini dipilih sebagai objek studi karena umum-nya didasarkan pada motif ekonomi dengan tu-juan memaksimumkan utilitas. Hal ini didu-kung oleh Morgan Kelly (2000) yang menje-laskan bahwa kriminalitas harta benda terkaitdengan faktor ekonomi seperti kemiskinan, pe-ngangguran, dan pengeluaran pemerintah.

Wilayah mencakup Jadetabek (DKI Jakar-ta, Depok, Tangerang, dan Bekasi) yang me-rupakan wilayah kerja Polda Metro Jaya, dipi-lih karena menjadi penyumbang terbesar kasuskriminalitas harta benda di Indonesia. Namundemikian, perlu dipahami bahwa tindak krimi-nalitas lebih sering terjadi di wilayah perkotaandan tingkat kriminalitas di pusat kota umum-nya sangat tinggi (O’Sullivan, 2007). Jakartasebagai ibukota negara, kota terbesar di Indo-nesia, serta memiliki penduduk perkotaan ter-banyak, tentu dihadapkan pada permasalahankriminalitas yang kompleks, dengan potensi ke-jadian yang sangat besar.

Meskipun tingkat kriminalitas di Jadetabekmerupakan yang tertinggi di Indonesia, namunberdasarkan data tahun 2007–2011 telah terja-di penurunan tingkat kriminalitas dari 63.661kasus (2007) menjadi 53.324 (2011) seperti ter-lihat pada Gambar 1. Tren positif ini pun ter-jadi pada kriminalitas harta benda yang me-nurun sebesar 39,1% dari 43.256 kasus di ta-

hun 2007 menjadi 16.911 kasus pada tahun2011 (BPS, 2010; 2012). Padahal berdasar-kan data Kepolisian RI, dari tahun 2003–2005secara tren kriminalitas di Polda Metro Ja-ya mengalami peningkatan, baik kriminalitassecara umum maupun persentase kriminalitasharta benda. Fenomena penurunan ini mena-rik diamati, mengingat hasil studi Glaeser danSacerdote (1996) menunjukkan bahwa elastisi-tas kriminalitas di kota positif 0,15. Maknanyabahwa setiap peningkatan 10% populasi akanmeningkatkan kriminalitas sebesar 1,5%. Ke-nyataannya, wilayah Jadetabek terus mengala-mi kenaikan jumlah penduduk dari tahun ke ta-hun. Sebagai contoh, dapat terlihat pada Gam-bar 2 bahwa jumlah penduduk DKI Jakartaterus mengalami peningkatan berdasarkan da-ta registrasi vital menurut wilayah di ProvinsiDKI Jakarta 2007–2010. Hal ini pun sejalan ha-sil sensus penduduk yang dipublikasikan BPSuntuk tahun 2000 dan 2010, di mana jumlahpenduduk di wilayah Jadetabek terus menga-lami peningkatan. Jika dikaitkan dengan hasilstudi Glaeser dan Sacerdote, maka tren pening-katan penduduk di Jadetabek seharusnya dii-kuti kenaikan jumlah kriminalitas di wilayahtersebut.

Menurut Australian Bureau Statistics, terda-pat hubungan antara prevelansi (kejadian) kri-minalitas dengan tingkat pendapatan yang ren-dah, kemiskinan, pendidikan, dan tingkat pres-tasi (Statistics, 2001). Hal ini diperkuat olehhasil studi Graycar (1997) yang menemukanbahwa di beberapa kota di AS, peningkatankriminalitas berdampak pada penurunan nilaisewa ataupun nilai perumahan. Wilayah de-ngan tingkat kriminalitas tinggi, cenderung di-hindari sebagai tempat tinggal bagi penduduk.Peningkatan kriminalitas juga berdampak pa-da penurunan aktivitas bisnis dan pendapatanpajak. Sebuah studi di Boston mengidentifika-sikan bahwa penurunan tingkat kriminalitas se-besar 5% dapat menghasilkan kenaikan penda-patan pajak sebesar US$ 30 juta.

Untuk kasus tingginya tingkat kriminalitas

JEPI Vol. 15 No. 2 Januari 2015

Analisis Spasial Kriminalitas Harta Benda...160

Gambar 1: Tingkat Kriminalitas Polda Metro Jaya 2007–2011Sumber: BPS, diolah

Gambar 2: Banyaknya Penduduk Berdasarkan Hasil Registrasi Menurut Wilayah di Provinsi DKIJakarta 2007-2010

Sumber: BPS, diolah

JEPI Vol. 15 No. 2 Januari 2015

Nugroho, A. H. & Harmadi, S. H. B. 161

di Jadetabek, dibutuhkan penanganan yang se-suai karakteristik spasialnya. Analisis spasialdapat mengidentifikasikan lokasi dari aktivitaskriminal dan juga dapat memberikan masuk-an yang relevan terhadap pergerakan pelakukriminal (Anselin et al., 2000). Bagaimanapunjuga, kriminalitas harus diatasi dengan mema-hami faktor-faktor yang memengaruhinya seca-ra tepat. Untuk menggali lebih dalam tentangfaktor-faktor yang memengaruhi kriminalitasharta benda di Jadetabek, paper ini menga-jukan tiga pertanyaan studi, yaitu: (1) apa sa-ja determinan kriminalitas harta benda di wi-layah Jadetabek?; (2) apakah terdapat depen-densi spasial antar-wilayah dalam kasus krimi-nalitas harta benda di Jadetabek?; dan (3) ke-bijakan apa yang tepat untuk menurunkan kri-minalitas harta benda di Wilayah Metro Jaya?

Tinjauan Referensi

Studi tentang penurunan tingkat kriminalitaspernah dilakukan oleh Levitt (2004) lewat kar-yanya yang berjudul ”Understanding WhyCrime Fell in the 1990s: Four Factorsthat Explain the Decline and Six that DoNot”. Studi tersebut menggunakan persep-si media dalam mengidentifikasikan determin-an yang tepat untuk kriminalitas harta bendadan personal di Amerika Serikat. Studi Levittmengacu pada studi Lexis-Nexis yang mengi-dentifikasikan berapa kali faktor-faktor itu di-sebut dalam media terkemuka di AS (Tabel 1).

Kemudian, selain faktor-faktor yang terda-pat dalam studi Lexis Nexis, Levitt pun me-nambahkan beberapa faktor yang memengaru-hi kriminalitas seperti kebijakan tentang diper-bolehkannya aborsi, aturan tentang kepemilik-an senjata dan juga penegakan hukuman, dimana digunakan sepuluh variabel dalam studitersebut. Studi Levitt menemukan bahwa ter-dapat empat faktor yang memengaruhi penu-runan tingkat kriminalitas di AS pada tahun90-an, yaitu peningkatan jumlah personil poli-si, meningkatnya jumlah orang yang dipenjara,

penurunan penggunaan narkoba, dan peratur-an tentang legalisasi aborsi. Penerapan pende-katan Levitt di Indonesia harus disesuaikan de-ngan kondisi yang ada baik karena alasan keti-adaan data maupun adanya perbedaan kondisi.

Studi ini selanjutnya menggunakan enam va-riabel yang diadopsi dari studi Levitt dan ha-nya fokus meneliti kasus kriminalitas hartabenda. Salah satu argument utamanya ialahkarena kriminalitas harta benda dianggap me-miliki kaitan erat dengan ekonomi dan meng-hasilkan kerugian langsung yang terukur secaramaterial. Variabel yang digunakan dalam stu-di ini antara lain (i) pengeluaran per kapitaper kecamatan; (2) jumlah pengangguran usia15–24 tahun; (iii) perubahan demografi yangdigambarkan lewat jumlah penduduk 15–24 ta-hun; (iv) kasus penyalahgunaan narkoba yangdigambarkan oleh jumlah laporan kasus narko-ba; dan (v) faktor pencegah yang digambarkanoleh jumlah personil polisi dan jumlah orangyang dipenjara sebagai proksi persentase kasusyang dapat diselesaikan. Asumsinya ialah se-makin banyak personil polisi dan kasus yangterselesaikan, maka akan semakin tinggi pro-babilitas para kriminal tertangkap dan hal iniakan mendisinsentif para pelaku kriminalitasharta benda.

Cantor dan Land (1985) dalam Yearwooddan Koinis (2011) mendukung hipotesis bahwakriminalitas harta benda secara langsung dipe-ngaruhi situasi perekonomian yang memburuk,karena kondisi tersebut menyebabkan semakinterbatasnya jumlah pekerjaan legal, dan men-dorong lebih banyak individu melakukan krimi-nalitas harta benda sebagai upaya pemenuhankebutuhan hidup sehari-hari.

Menurut Brueckner (2011), besarnya penda-patan dari pekerjaan yang sah (legal) berko-relasi terbalik dengan tingkat kriminalitas. Se-makin tinggi upah dari pekerjaan yang sah, se-makin rendah tingkat kriminalitas. Seorang pe-laku kriminalitas yang rasional akan memban-dingkan antara expected income dari pekerja-an yang sah (lawful income) dengan pekerjaan

JEPI Vol. 15 No. 2 Januari 2015

Analisis Spasial Kriminalitas Harta Benda...162

Tabel 1: Penjelasan Media tentang Penyebab Penurunan Kriminalitas di Amerika Serikat pada Tahun90-an, di Rangking Berdasarkan Number of Mentions

Explanation Number of Mentions

Innovative policing strategies 52Increased Reliance on prison 47Changes in crack/other drug markets 33Aging of the population 32Tougher gun control laws 32Strong economy 28Increased number of police 26All other explanation 34

Sumber: Levitt (2004)

illegal (kriminalitas). Sedangkan expected inco-me terkait dengan probabilitas atau peluangseseorang tertangkap karena melakukan keja-hatan. Jika lawful income lebih besar diban-ding expected income dari hasil kriminalitas,maka seseorang yang rasional akan memilih ti-dak melakukan kriminalitas harta benda. Se-hingga hipotesisnya, tingkat pengeluaran perkapita sebagai proksi dari pendapatan yang sahberhubungan negatif dengan tingkat kriminali-tas harta benda.

Philips et al. (1972) menjelaskan adanya hu-bungan yang kuat antara kriminalitas denganpengangguran usia muda. Hal ini tidak menge-jutkan karena pengangguran mengukur tingkatkesempatan kerja untuk memperoleh penda-patan yang sah (lawful income), di mana sema-kin tinggi pengangguran berarti semakin ren-dah tingkat kesempatan kerja legal yang terse-dia.

Selanjutnya dari sisi demografi, Becsi (1999)menemukan bahwa kriminalitas harta bendadipengaruhi oleh besarnya proporsi pendudukmuda usia 15–24 tahun. Asumsinya bahwa ke-lompok umur tersebut cenderung memiliki ke-mampuan fisik yang kuat dalam melakukantindakan kriminal.

Terkait narkoba, berdasarkan hasil studiWilson (1975) diketahui bahwa 25–67% kri-minalitas harta benda dilakukan oleh pecan-du narkoba. Artinya, semakin banyak kasuspenyalahgunaan narkoba, maka semakin besarpeluang terjadinya tindak kriminalitas harta

benda. Lebih lanjut dalam sebuah studi lain-nya oleh Boyum dan Kleiman (1995) ditemuk-an bahwa 39% dari pengguna kokain crack (ko-kain dalam bentuk kristal) menyatakan bahwamotif para pengguna narkoba dalam melaku-kan tindak kriminalitas harta benda bertujuanuntuk membeli narkoba.

Variabel selanjutnya terkait faktor pence-gahan, di mana Brueckner (2011) mengung-kapkan bahwa jumlah personil polisi yang ber-tugas akan berdampak pada besar kecilnya risi-ko terjadinya kejahatan harta benda. Semakinbanyak polisi, semakin besar peluang pelakukriminal untuk tertangkap. Selain itu, pening-katan jumlah personil polisi akan menimbul-kan biaya tambahan bagi penjahat untuk me-lakukan aksinya. Artinya, dengan personil po-lisi yang lebih banyak, tingkat kesulitan dalammelakukan tindak kriminalitas juga semakintinggi. Sehingga, sekalipun mereka sukses me-lakukan aksi kejahatan, namun manfaat yangdiperoleh lebih rendahkarena biaya melakukankejahatan semakin mahal akibat semakin ba-nyaknya personil kepolisian. Lebih lanjut, En-torf dan Spengler (2000) dalam studinya mene-mukan hubungan inferensial yang kuat antaratingkat penyelesaian kasus kriminalitas hartabenda dengan tingkat kriminalitas harta bendaitu sendiri.Semakin tinggi tingkat penyelesaiankasusnya, semakin rendah tingkat kriminalitasharta benda. Sekali lagi hal ini menunjukkanbahwa tingginya penyelesaian kasus menjadi si-nyal tingginya tingkat keberhasilan justice sys-

JEPI Vol. 15 No. 2 Januari 2015

Nugroho, A. H. & Harmadi, S. H. B. 163

tem dalam menangkap dan menghukum pelakukriminalitas harta benda.

Hal yang menarik untuk diamati ialah ada-nya kemungkinan bahwa kasus kriminalitas an-tara satu wilayah dengan wilayah lainnya sa-ling terkait. Oleh karenanya, paper ini berusa-ha mengidentifikasi adanya dependensi spasialdalam kejahatan harta benda. Dalam ekonomiregional dikenal Hukum Tobler yang menya-takan bahwa segala sesuatu saling berhubung-an satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatuyang dekat lebih mempunyai pengaruh daripa-da yang jauh (Anselin, 1988). Hal ini didukungoleh studi yang dilakukan Cracolici dan Uberti(2008) yang menemukan bahwa di Italia, da-lam kasus pencurian dan penipuan (merupa-kan bagian kriminalitas harta benda) terdapathubungan spasial antara satu provinsi denganprovinsi lainnya.

Berdasarkan berbagai hasil studi empiris se-belumnya, maka dapat disusun beberapa hipo-tesis. Pertama, pengeluaran per kapita seba-gai proksi dari pendapatan yang sah berkore-lasi negatif dengan tingkat kriminalitas hartabenda. Kedua, terdapat korelasi positif antarajumlah pengangguran usia muda dengan ting-kat kriminalitas harta benda. Ketiga, besarnyaproporsi penduduk usia 15–24 berkorelasi po-sitif dengan tingkat kriminalitas harta benda.Keempat, jumlah laporan kasus narkoba me-miliki korelasi positif dengan kriminalitas har-ta benda. Kelima, jumlah personil polisi ber-hubungan negatif dengan tingkat kriminalitasharta benda di wilayah Jadetabek. Keenam,persentase penyelesaian kasus memiliki korela-si negatif dengan kriminalitas harta benda. La-lu yang terakhir, ketujuh, terdapat dependensispasial antar-kejadian kriminalitas harta ben-da.

Studi sejenis pernah dilakukan oleh Husna-yain (2007) yang menggunakan Ordered LogitModel dengan objek studi terhadap 34 pro-vinsi di Indonesia. Studi ini menemukan bah-wa terdapat empat variabel yang memengaru-hi kriminalitas harta benda di Indonesia, yaitu

tingkat upah, pengangguran, proporsi pria usia15-24 tahun, dan tingkat penyelesaian kasus,di mana variabel-variabel tersebut berpenga-ruh positif terhadap kriminalitas harta bendadi Indonesia. Selain itu, studi yang dilakukanHardianto (2009) juga menemukan hubunganyang signifikan antara upah dengan kriminali-tas di Indonesia.

Berbeda dengan studi sebelumnya, objekstudi ini ialah wilayah Jadetabek yang men-jadi penyumbang terbesar tingkat kriminalitasdi Indonesia. Temuan dan analisis kriminalitasharta benda di wilayah ini diharapkan dapatmemberikan gambaran tentang pola keterkait-an secara spasial dan sumbangan rekomendasiguna mencegah kerugian yang lebih besar, baikkerugian materil maupun non-materil.

Sebagai tambahan, analisis ekonomi krimi-nalitas belum banyak dilakukan di Indonesia,sehingga studi ini diharapkan dapat berkon-tribusi dalam menganalisis kriminalitas dalamkonteks ekonomi di Indonesia. Studi ini jugamenggunakan analisis spasial di mana hal inimasih jarang dilakukan di Indonesia, teruta-ma untuk studi kriminalitas bermotif ekonomi.Penggunaan analisis spasial sendiri diharap-kan dapat bermanfaat untuk menganalisis polakriminalitas harta benda di wilayah Jadetabek,sehingga studi ini diharapkan dapat memberi-kan deskripsi yang lebih baik tentang krimina-litas secara spasial.

Metode

Objek dari studi ini adalah kasus kriminalitasdi wilayah Jadetabek yang masuk dalam kewe-nangan Polda Metro Jaya. Secara administra-tif, wilayah Jadetabek berada di bawah kendalisepuluh Kepolisian Resor (Polres), yaitu PolresJakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat,Jakarta Utara, Jakarta Barat, Kabupaten Be-kasi, Kota Bekasi, Kabupaten Tangerang, Ko-ta Tangerang, dan Kota Depok. Adapun PolresSoekarno-Hatta dan Polres Pelabuhan TanjungPriok tidak diikutsertakan karena merupakan

JEPI Vol. 15 No. 2 Januari 2015

Analisis Spasial Kriminalitas Harta Benda...164

wilayah khusus dan Polres Kepulauan Seribudianggap terpisah dari wilayah lainnya sehing-ga diduga tidak memiliki dependensi secaraspasial.

Unit analisis dari studi ini sendiri adalah ke-camatan, sehingga studi ini menggunakan datauntuk tingkat kecamatan yang berada di wila-yah kerja Polda Metro Jaya. Sedangkan datayang digunakan dalam studi ini berasal dariSurvei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)2010, Badan Informasi Geospasial (BIG) danPolda Metro Jaya. Studi ini menggunakan ta-hun 2010 sebagai tahun observasi dikarenakandua alasan. Pertama, berdasarkan data diketa-hui bahwa di Indonesia sedang terjadi pening-katan jumlah kriminalitas, namun justru di Ja-detabek terjadi penurunan tingkat kriminalitasterutama pada periode 2007–2010. Lalu kedua,karena data SUSENAS 2010 memiliki sampelterbanyak dibanding tahun-tahun sebelumnyadan lebih lengkap jumlah kecamatan yang di-observasi.

Spesifikasi Model

Studi ini menggunakan data cross section de-ngan dua model, yaitu Ordinary Least Squa-re (OLS) dan Spatial Auto Regressive (SAR)atau Spatial Error Model (SEM). Penggunaanmodel SAR atau SEM digunakan untuk mengi-dentifikasi adanya dependensi spasial, sementa-ra model OLS digunakan untuk membanding-kan apakah dengan memasukkan unsur spasialdi dalam model dapat menambah kemampuanmodel dalam menjelaskan variabel terikat.

Adapun model OLS yang digunakan dalamstudi ini yaitu :

cpropi �B0 �B1pengkapitai �B2yngumpi

�B3yngpopi �B4drgi �B5poli

�B6clri � ε(1)

dengan:

cprop : laporan kasus kriminalitas harta ben-da;

pengkapita : pengeluaran per kapita per keca-matan;

yngump : pengangguran berusia 15–24 tahun;yngpop : penduduk berusia 15–24 tahun;drg : laporan kasus narkoba;pol : personil polisi per kepolisian sektor (pol-

sek);clr : persentase penyelesaian kasus.

Sementara Model Cross Section Spasial Kri-minalitas Harta benda yang umum adalah se-bagai berikut:

cpropi �B0 � ρWcpropi �B1pengkapitai

�B2yngumpi �B3yngpopi

�B4drgi �B5poli �B6clri � u(2)

u � λWu� ε (3)

dengan:

ρ : koefisien otoregresi lag spasial;W : matriks pembobot spasial;u : vektor eror yang diasumsikan mengandung

otokorelasi;λ : koefisien eror otoregresi spasial;ε : vektor eror acak.

Dalam menentukan ada atau tidaknya de-pendensi spasial antar-polsek di Polda MetroJaya digunakan pengujian Pengganda Lagra-nge (Lagrange Multiplier) di mana menurutAnselin (1988) hipotesis pengujian Lagrangesebagai berikut.

• Model Umum Regresi Spasial (GSM)H0 : ρ dan atau λ = 0 (tidak ada keter-gantungan spasial)H1 : ρ dan λ � 0 (ada ketergantungan spa-sial)

• Model Regresi Lag Spasial (SAR)H0 : ρ = 0 (tidak ada ketergantungan lagspasial)H1 : ρ � 0 (ada ketergantungan lag spasi-al)

• Model Regresi Eror Spasial (SEM)H0 : λ = 0 (tidak ada ketergantungan eror

JEPI Vol. 15 No. 2 Januari 2015

Nugroho, A. H. & Harmadi, S. H. B. 165

spasial)H1 : λ � 0 (ada ketergantungan eror spa-sial)

Model regresi linear pada data yang terda-pat interaksi antara unit-unit spasial memili-ki variabel terikat spasial lag atau spasial eroryang biasanya disebut model lag spasial (Spati-al Autoregressive Model) dan model eror spasi-al (SEM) (Elhorst, 2009). Keduanya diestimasimenggunakan metode maximum likelihood. Ji-ka ρ � 0 dan λ = 0, maka model umum spasialakan berubah menjadi model SAR atau modellag spasial yang dinyatakan lewat persamaanberikut:

cpropi �B0 � ρWcpropi �B1pengkapitai

�B2yngumpi �B3yngpopi

�B4drgi �B5poli �B6clri � ε(4)

Model spasial lag menyatakan bahwa vari-abel terikat dipengaruhi oleh variabel terikattetangga pada satu set karakteristik lokal. Se-dangkan, jika ρ = 0 dan λ � 0, maka modelumum spasial akan berubah menjadi SEM ataumodel eror spasial yang dinyatakan lewat Per-samaan (5) dan (6).

cpropi �B0 �B1pengkapitai �B2yngumpi

�B3yngpopi �B4drgi �B5poli

�B6clri � u(5)

u � λWu� ε (6)

Model spasial eror di sisi lain, menyatakanbahwa variabel terikat bergantung pada eroryang terkait antara satu wilayah dengan wila-yah lain dan set karakteristik lokal. Kemudian,uji goodness of fit digunakan untuk memban-dingkan antara model OLS dengan SAR/SEM.Menurut Anselin (2005), kriteria yang dapatdigunakan untuk membandingkan antara duamodel atau lebih adalah log-likelihood, AkaikeInfo Criterion (AIC), dan Schwarz Criterion(SC). Sementara untuk uji asumsi, model yangBest, Linier, Unbiased Estimator (BLUE) ha-rus memenuhi asumsi Independen, Identik, dan

Distribusi Normal (IIDN), sehingga dilakuka-nlah uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, ujihomoskedastisitas dengan distribusi plot danuji otokorelasi Durbin-Watson.

Matriks Pembobot (Weight Matrix)

Matriks pembobot merupakan elemen yangpenting di dalam ekonometrika spasial. Matrikspembobot spasial W merefleksikan posisi rela-tif dari satu unit regional dengan unit regionallainnya. Untuk 1 set observasi sejumlah N, ma-ka W adalah matriks N�N , dengan elemen di-agonal sama dengan 0 dan elemen lainnya (wij)merepresentasikan intensitas dari efek wilayahi terhadap wilayah j (Anselin dan Bera, 1998).

Matriks pembobot spasial di dalam studi inimenggunakan peta (data vektor) Jadetabek se-perti yang terlihat pada Gambar 3, denganmenggunakan persinggungan dua sisi (doublerook contiguity) dengan menghilangkan ordopertama sebagai dasar penentuan ketetangga-an. Rook contiguity dipilih karena persinggung-an sisi memberikan akses yang lebih besar ter-hadap ketergantungan spasial dalam hal apa-pun. Sementara, persinggungan dua sisi de-ngan menghilangkan ordo pertama mendefini-sikan wij � 1 untuk kecamatan kedua di ka-nan, utara, dan selatan region yang menjadiperhatian, sementara wij � 0 untuk kecamat-an lainnya.

Penggunaan double rook contiguity denganmenghilangkan ordo pertama, dilatarbelakangiteori journey to crime yang diungkapkan olehWhite (1932) yang mengasumsikan bahwa pe-laku kriminalitas harta benda secara umummenempuh jarak yang lebih jauh dibandingkriminalitas personal atau yang dilakukan ter-hadap manusia. Pelaku kriminalitas harta ben-da sendiri lebih termotivasi pada imbal hasilyang akan didapatkan. Para pelaku krimina-litas jenis ini bersedia untuk menempuh ja-rak yang lebih jauh jika memang pendapat-an yang mereka dapatkan lebih tinggi (Bran-tingham dan Brantingham dalam Hodgkinsondan Tilley, 2007). Oleh karena itu, dalam studi

JEPI Vol. 15 No. 2 Januari 2015

Analisis Spasial Kriminalitas Harta Benda...166

Gambar 3: Peta JadetabekSumber: Badan Informasi Geospasial (BIG)

ini diasumsikan bahwa kriminalitas personal disuatu kecamatan dipengaruhi oleh kecamatanyang bertetanggaan langsung. Sementara kri-minalitas harta benda dipengaruhi oleh keca-matan kedua setelah kecamatan tersebut, yangartinya menempuh jarak yang lebih jauh di-bandingkan dengan kriminalitas personal.

Variabel Studi

Data kriminalitas harta benda yang digunakandalam studi ini adalah jumlah laporan kasuskriminalitas harta benda di Polda Metro Jaya.Adapun nilai ini didapat dengan menjumlah-kan laporan kasus beberapa jenis kriminalitasyaitu pembakaran dengan sengaja, perusakanbarang, penipuan atau perbuatan curang, pe-nadahan, pencurian kendaraan bermotor rodadua dan empat, pencurian biasa, pencurian ke-ras, pencurian dengan pemberat, pencurian didalam keluarga, dan pencurian ringan. Semen-tara untuk variabel bebas yang digunakan da-lam studi ini terdiri dari:

(a) Pengeluaran per kapita (pengkap) adalahproksi dari pendapatan yang sah (legal in-come). Variabel ini didapat dari data SU-

SENAS 2010 dengan menjumlahkan totalpengeluaran per kecamatan dibagi dengantotal sampel.

(b) Pengangguran muda (yngump) adalah va-riabel yang menggambarkan penganggur-an terbuka berusia 15–24 tahun berdasar-kan data SUSENAS 2010. Dikarenakandata SAKERNAS tidak mencakup datatingkat kecamatan, maka dalam variabelini definisi pengangguran hanya terbataspada orang yang tidak bekerja dan sedangmencari kerja, yang berbeda dengan de-finisi BPS. Sehingga, data pengangguranmuda didapat dari variabel penduduk usia15–24 yang digabungkan dengan orangyang mencari kerja dan tidak bekerja, ke-mudian hasil yang ada dibobotkan denganpembobot individu.

(c) Jumlah penduduk berusia 15–24 tahun(yngpop) adalah variabel yang menjelas-kan tentang jumlah penduduk yang beru-sia 15-24 tahun. Variabel ini diambil daridata SUSENAS 2010 dengan mengguna-kan pembobot individu.

(d) Jumlah laporan kasus narkoba (drg) ada-

JEPI Vol. 15 No. 2 Januari 2015

Nugroho, A. H. & Harmadi, S. H. B. 167

lah variabel yang merupakan proksi da-ri kondisi pasar narkoba di Polda MetroJaya. Diasumsikan, semakin banyak jum-lah laporan kasus narkoba di suatu keca-matan, artinya semakin mudah di wilayahtersebut mendapatkan narkoba dan sema-kin banyak pecandu narkoba di kecamatantersebut. Data jumlah laporan kasus nar-koba ini didapat dari data Polda MetroJaya pada tahun 2010.

(e) Jumlah personil polisi (pol) adalah varia-bel yang menggambarkan kekuatan polisi.Data ini adalah jumlah personil polisi (ti-dak termasuk polisi lalu lintas (polantas))yang bersumber dari data Polda Metro Ja-ya 2010.

(f) Persentase penyelesaian kasus kriminalitasharta benda (clr) adalah proksi dari ting-kat orang yang dipenjara, karena diasum-sikan semakin banyak kasus yang tersele-saikan, maka semakin banyak orang yangdipenjara. Variabel ini didapat dari dataPolda Metro Jaya, yaitu dengan membagijumlah kasus yang selesai dengan jumlahlaporan kasus dikali seratus.

Hasil dan Analisis

Pengujian dalam studi ini dimulai dengan me-lihat model yang terbaik antara model OLSdan Regresi Linier Spasial agar kemudian da-pat diketahui model mana yang lebih merepre-sentasikan variabel terikatnya dan apakah fak-tor spasial memengaruhi kriminalitas propertidi Polda Metro Jaya. Setelah ditemukan modelyang terbaik dalam menggambarkan variabelterikatnya, maka model tersebut akan diguna-kan dalam menganalisis determinan kriminali-tas harta benda di wilayah yang menjadi objekstudi. Hasil regresi OLS menunjukkan Prob¡Fsebesar 0,0000 yang menunjukkan bahwa va-riabel bebas secara simultan berpengaruh ter-hadap variabel terikat. Selain itu, bisa terlihatbahwa R-square yang dihasilkan adalah sebe-sar 0,53 artinya variable bebas mampu menje-

laskan variabel terikat sebesar 53%, sedangkansisanya dijelaskan variabel bebas lain di luarmodel ini.

Selanjutnya, dilakukan identifikasi efek spa-sial yang bertujuan untuk mengetahui keter-gantungan spasial pada model. Lagrange Mul-tiplier (LM) digunakan untuk mendeteksi ke-tergantungan spasial secara lebih spesifik yai-tu ketergantungan spasial dalam lag, eror, dankeduanya (lag dan eror). Hasil LM pada mo-del ditunjukkan pada Tabel 2. Uji PenggandaLagrange digunakan untuk memilih antara mo-del SAR dengan model SEM yang diidentifika-si lewat identifikasi efek spasial. Hasil uji LMmenunjukkan bahwa hanya LM lag yang sig-nifikan di bawah 5%, artinya terjadi ketergan-tungan spasial pada lag. Sementara itu, untukmelihat ketergantungan spasial dalam studi inidigunakan model SAR.

Model yang diestimasi dengan SAR menun-jukkan R-square yang lebih tinggi yaitu 0,57.Namun meskipun menunjukkan angka yang le-bih tinggi, hal ini tidak bisa dijadikan dasaruntuk memilih model mana yang lebih baik ka-rena R-square yang dihasilkan oleh model SARmerupakan pseudoR-square. Oleh karena itu,untuk melihat model mana yang lebih baik an-tara OLS dengan SAR, bukan hanya R-squareyang harus diperhatikan tetapi standar good-ness of fit lainnya, yaitu log likelihood, AIC,dan SC.

Tabel 3 menunjukkan adanya peningkatangoodness of fit pada model SAR dibandingkandengan model OLS. Ini ditunjukkan lewat loglikelihood yang meningkat dari -595,274 men-jadi -591,693, kemudian penurunan AIC dari1.204,55 menjadi 1.199,39, dan SC yang turundari 1.222,5 menjadi 1.219,90 setelah menggu-nakan SAR. Oleh karena itu, model SAR di-anggap memiliki kemampuan yang lebih baikdalam menerangkan variabel bebas.

Hasil estimasi model spasial lag (SAR) padaTabel 5 menunjukkan bahwa dengan pseudoR-Square sebesar 0,57 terdapat pengaruh signifi-kan faktor wilayah terhadap kriminalitas harta

JEPI Vol. 15 No. 2 Januari 2015

Analisis Spasial Kriminalitas Harta Benda...168

Tabel 2: Hasil Pengujian Pengganda Lagrange

Tes Nilai Prob.

Lagrange Multiplier (lag) 7.997 0,004Robust LM (lag) 6.136 0,013Lagrange Multiplier (error) 2.246 0,134Robust LM (error) 0,385 0,535Lagrange Multiplier (SARMA) 8.382 0,015

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

Tabel 3: Perbandingan Goodness of Fit antara Model OLS dengan SAR

IndikatorModel

OLS SAR

Log likelihood -595,27 -591,69AIC 1204,55 1199,39SC 1222,50 1219,90

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

Tabel 4: One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Residual

N 96

Normal Parameters (a,b) Mean .0000Standar Deviasi 114.70063

Most Extreme Differences Absolut .136Positif .136Negatif -.069

Kolmogorov-Smirnov Z 1.330

Asymp. Sig. (2-tailed) .058

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

Tabel 5: Hasil Estimasi Model Spatial Auto Regressive (SAR)

Variabel BebasKoefisien Kesesuaian dengan hipotesis

Nama Variabel Keterangan

W CPROP Faktor spasial 0,3546**pengkapita Pengeluaran per kapita 0,0234** Tidak Sesuaiyngump Pengangguran usia 15–24 tahun 0,0001** Sesuaiyngpop Jumlah penduduk usia 15–24 tahun 0,0010* Sesuaidrg Jumlah laporan kasus narkoba 1.670** Sesuaipol Jumlah personil polisi 0,3178 Tidak Sesuaiclr Persentase penyelesaian kasus -3,2175** Sesuai

Sumber: Hasil Pengolahan PenulisKeterangan: * signifikan pada taraf 10%Keterangan: ** signifikan pada taraf 5%

JEPI Vol. 15 No. 2 Januari 2015

Nugroho, A. H. & Harmadi, S. H. B. 169

benda di wilayah Polda Metro jaya. Hal ini ber-arti terdapat dependensi spasial antara krimi-nalitas harta benda di suatu kecamatan dengankecamatan kedua setelah kecamatan tersebut.

Selain itu, pada Tabel 5 digambarkan pulabahwa dari 6 variabel bebas yang digunakan,terdapat 4 variabel yang signifikan pada confi-dence interval 99% yang memengaruhi krimi-nalitas harta benda di Polda Metro Jaya yaitu,pengeluaran per kapita, pengangguran usia 15–24 tahun, jumlah laporan kasus narkoba, danpersentase penyelesaian kasus. Sementara itu,jumlah penduduk usia 15–24 tahun signifikanpada confidence interval 90% dan jumlah per-sonil tidak signifikan dalam memengaruhi kri-minalitas harta benda.

Variabel pengeluaran per kapita sebagaiproksi dari pendapatan sah menunjukkan ha-sil yang tidak sesuai dengan hipotesis, di ma-na pengeluaran per kapita justru meningkat-kan kriminalitas harta benda di Jadetabek.Hal ini sesuai dengan studi O’Sullivan (2007)yang mengungkapkan bahwa berbanding ter-balik dengan kriminalitas personal yang me-nurun seiring dengan peningkatan pendapat-an, ternyata kriminalitas harta benda justrumeningkat seiring dengan peningkatan penda-patan. Dalam perspektif spasial, hal ini didugadapat terjadi karena adanya keterkaitan spasi-al antar-kecamatan di Polda Metro Jaya, se-hingga peningkatan pendapatan justru akanmeningkatkan ketertarikan para pelaku tindakkriminal terhadap kecamatan di dekatnya.

Selanjutnya, pengangguran usia 15–24 tahunmenunjukkan hasil yang sesuai dengan hipote-sis. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien posi-tif, yang berarti peningkatan 1 orang pengang-guran akan meningkatkan 0,0001 kasus krimi-nalitas harta benda. Ini tentu sejalan denganstudi yang dilakukan oleh Philips et al. (1972)yaitu terdapat hubungan yang kuat antara kri-minalitas dengan pengangguran usia muda.

Jumlah penduduk usia 15-24 tahun sebagaisalah satu variabel demografi pun menunjuk-kan kesesuaian dengan hipotesis. Ini terbuk-

ti dengan peningkatan 1 orang penduduk usiamuda akan meningkatkan 0,0010 kasus krimi-nalitas harta benda.

Untuk variabel jumlah laporan kasus narko-ba, ditemukan hasil yang sesuai dengan hipote-sis. Ini terlihat dari jumlah laporan kasus nar-koba yang berkorelasi positif dengan variabelterikat di mana peningkatan 1 laporan kasusnarkoba akan meningkatkan kriminalitas hartabenda sebesar 1,670 kasus.

Berikutnya, persentase penyelesaian kasusmenunjukkan hasil yang juga sesuai dengan hi-potesis. Maknanya, persentase penyelesaian ka-sus berkorelasi negatif dengan kriminalitas har-ta benda di Polda Metro Jaya, di mana pe-ningkatan 1% kasus kriminalitas harta bendayang terselesaikan, akan mengurangi krimina-litas harta benda sebesar 3,21 kasus. Hal inimendukung studi Entorf dan Spengler (2000)yang menemukan hubungan inferensial yangkuat antara tingkat penyelesaian kasus krimi-nalitas harta benda dengan tingkat kriminali-tas harta benda.

Tetapi, variabel jumlah personil polisi ter-nyata tidak signifikan dalam memengaruhi kri-minalitas harta benda di Polda Metro Jaya. Inisejalan dengan studi Husnayain (2007) yang ju-ga menunjukkan bahwa jumlah personil polisitidak berpengaruh signifikan terhadap krimi-nalitas harta benda di Indonesia. Ini artinya,jumlah personil kepolisian pada tahun 2010masih belum cukup berdampak terhadap pe-nurunan kriminalitas harta benda di wilayahkerja Polda Metro Jaya.

Dalam memenuhi asumsi IIDN, dilakukanpengujian pada model SAR dengan menggu-nakan uji Kolmogorov-Smirnov, homokedastis,dan Durbin-Watson pada nilai residual. Ha-sil uji Kolmogorov-Smirnov pada Tabel 4 me-nunjukkan bahwa residual terdistribusi dengannormal dengan P-value Asymp. Sig. (2-tailed)yang lebih besar dari 0,05 yaitu 0,058 atau jikadibulatkan sebesar 0,06. Hal ini terlihat padaplot dengan titik-titik residual yang mengikutigaris lurus pada Gambar 4. Lebih lanjut pa-

JEPI Vol. 15 No. 2 Januari 2015

Analisis Spasial Kriminalitas Harta Benda...170

Gambar 4: Diagram Pencar Uji Kolmogorov-SmirnovSumber: Hasil Pengolahan Penulis

Gambar 5: Uji HomokedastisitasSumber: Hasil Pengolahan Penulis

JEPI Vol. 15 No. 2 Januari 2015

Nugroho, A. H. & Harmadi, S. H. B. 171

da uji homokedastisitas, hasil pengujian padaGambar 5 menunjukkan bahwa diagram pen-caran pada residu tidak membentuk pola ter-tentu. Maknanya adalah tidak terdapat hete-rokedastisitas dalam model yang digunakan.

Kemudian, uji Durbin Watson dilakukan de-ngan K=6, alpha=5%, N=96 yang selanjutnyadapat terlihat bahwa nilai Du= 1,802, semen-tara hasil Dw = 2,210. Nilai Dw lebih besardaripada Du, menunjukkan tidak tolak H0 se-hingga dapat diasumsikan tidak ada otokore-lasi pada sisaan. Hasil dari ketiga pengujiantersebut menunjukkan bahwa model SAR yangdigunakan dalam studi ini telah memenuhi sya-rat untuk menghasilkan model BLUE.

Simpulan

Studi ini menunjukkan bahwa terdapat depen-densi spasial dalam kejadian kriminalitas har-ta benda di Jadetabek. Pengujian dengan mo-del SAR menunjukkan bahwa kriminalitas har-ta benda di suatu kecamatan dipengaruhi olehdua kecamatan setelah kecamatan tersebut. Se-lain itu terdapat lima variabel yang menjadideterminan dari kriminalitas harta benda diJadetabek yaitu pengeluaran per kapita, pe-ngangguran usia muda, jumlah laporan kasusnarkoba, persentase penyelesaian kasus, danjumlah penduduk usia muda. Sedangkan jum-lah personil polisi menjadi variabel yang ti-dak signifikan dalam memengaruhi kriminali-tas harta benda di Polda Metro Jaya. Hal inididuga karena jumlah personil polisi yang ma-sih jauh dari memadai untuk kebutuhan di wi-layah Jadetabek.

Lebih lanjut, pengeluaran per kapita menun-jukkan hasil yang tidak sesuai dengan hipo-tesis. Hal ini didukung oleh O’Sullivan (2007)yang mengungkapkan bahwa kasus kriminalitasharta benda justru meningkat seiring denganpeningkatan pendapatan masyarakat. Tinggi-nya pendapatan per kapita justru menjadi lu-crative target bagi para pelaku kriminal. Se-mentara itu, studi Husnayain (2007) mendu-

kung hasil bahwa jumlah personil polisi yangtidak signifikan dalam memengaruhi kriminali-tas harta benda di wilayah kerja Polda MetroJaya ini.

Berdasarkan hasil studi ini, maka terdapatbeberapa rekomendasi kebijakan yang dapatdilakukan untuk menurunkan kriminalitas har-ta benda di Jadetabek. Pertama, memperbaikikoordinasi antar-polsek yang berdekatan. Ter-utama polsek sebuah kecamatan dengan polsekdi dua kecamatan setelah kecamatan tersebut.Kedua, mengatasi masalah pengangguran usiamuda sebagai upaya mengurangi potensi mere-ka menjadi pelaku tindak kriminal. Salah sa-tunya bisa dilakukan dengan melakukan pro-gram wirausaha muda dan pembukaan balaikerja bagi mereka yang menjadi penganggur-an di usia muda.

Ketiga, diperlukan sarana dan kebijakan un-tuk training, upgrading, dan conselling terha-dap angkatan kerja, terutama yang berusia mu-da agar lebih cepat mendapatkan pekerjaan.Keempat, peningkatan pendapatan yang adaharus diiringi dengan membangun justice sys-tem yang lebih baik. Kelima, meningkatkan posanggaran kepolisian di Anggaran Pendapat-an Belanja Negara (APBN) guna peningkat-an kualitas dan kuantitas kepolisian. Keenam,meningkatkan pengawasan terhadap pendudukusia 15–24 tahun dengan penyuluhan atau se-minar yang dilakukan Polda Metro Jaya. Ketu-juh, memperkuat fungsi pengawasan dan reha-bilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) da-lam hal regulasi dan anggaran yang bertujuanuntuk menekan jumlah pengedar dan penggu-na narkoba

Daftar Pustaka

[1] Anselin, L. (1988). Spatial Econometrics: Methodand Models. Dodrecht, Netherlands: Kluwer Aca-demic Publishers.

[2] Anselin, L. (2005). Exploring Spatial Data withGeoda: A Workbook Spatial Analysis Laboratoryand Center for Spatially Integrated Social Scien-ce (CSISS). Department of Geography, Universityof Illinois, Urbana-Champaign.

JEPI Vol. 15 No. 2 Januari 2015

Analisis Spasial Kriminalitas Harta Benda...172

[3] Anselin, L., & Bera, A. K. (1998). Spatial Depen-dence in Linear Regression Models with an Intro-duction to Spatial Econometrics. In A. Ullah & D.Giles (Eds.), Handbook of Applied Economic Sta-tistics (pp. 237–289). New York: Marcel Dekker.

[4] Anselin, L., Cohen, J., Cook, D., Gorr, W., & Ti-ta, G. (2000). Spatial analyses of crime. Criminaljustice, 4 (2), 213–262.

[5] Becker, G. S. (1968). Crime and Punsihment: AnEconomic Approach. Journal of Political Econo-my, 76 (2), 169–217.

[6] Becsi, Z. (1999). Economics and Crime in the Sta-tes. Economic Review - Federal Reserve Bank ofAtlanta, 84 (1), 38–56.

[7] Boyum, D., & Kleiman, M. A. (1995). Alcoholand Other Drugs. In J. Q. Wilson, & J. Peterse-lia (Eds.), Crime and Public Policy (pp. 295–326).San Fransisco: Intitute for Contemporary Studies.

[8] BPS. (2010). Statistik Kriminal 2007–2009. Jakar-ta: Badan Pusat Statistik.

[9] BPS. (2011). Survei Sosial Ekonomi Nasional (SU-SENAS) 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

[10] BPS. (2012). Statistik Kriminal 2011. Jakarta:Badan Pusat Statistik.

[11] Brueckner, J. K. (2011). Lectures on Urban Eco-nomics. Cambridge: The MIT Press.

[12] Cracolici, M. F., & Uberti, T. E. (2008). Geogra-phical Distribution of Crime in Italian Provinces :A Spatial Econometric Analysis (FEEM WorkingPaper No. 11.2008). Nota Di Lavoro. Italy: Fonda-zione Eni Enricco Mattei.

[13] Ehrlich, I. (1973). Participation in illegitimate acti-vities: A theoretical and empirical investigation.Journal of Political Economy, 81 (3), 521–565.

[14] Ehrlich, I. (1996). Crime, punishment, and themarket for offenses. The Journal of Economic Per-spectives, 10 (1), 43–67.

[15] Elhorst, J. P. (2009). Spatial panel data models. InM. M. Fischer (Ed.), Handbook of applied spatialanalysis C.2 (pp. 377–407). New York: Springer.

[16] Entorf, H., & Spengler, H. (2000). Socioeconomicand demographic factors of crime in Germany: Evi-dence from panel data of the German states. Inter-national review of law and economics, 20 (1), 75-106.

[17] Glaeser, E. L., & Sacerdote, B. (1996). Why is the-re more crime in cities? (No. w5430). NationalBureau of Economic Research (NBER) WorkingPaper.

[18] Graycar, A. (1997). Social and Econo-mic Consequences of Violent Crime andProperty Crime. Second National OutlookSymposium of Crime in Australia. Mar-ch. http://www.aic.gov.au/media_library/

conferences/outlook97/graycar.pdf (Diakses23 Agustus 2015).

[19] Hardianto, F. N. (2009). Analisis Faktor-Faktoryang Mempengaruhi Tingkat Kriminalitas di In-donesia dari Pendekatan Ekonomi. Bina Ekonomi,13 (2), 28–41.

[20] Hodgkinson, S., & Tilley, N. (2007). Travel-to-crime: homing in on the victim. International Re-view of Victimology, 14 (3), 281–298.

[21] Husnayain, I. (2007). Analisis Ekonomi KejahatanProperti di Indonesia Tahun 2005. Skripsi. Depok:Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

[22] Kelly, M. (2000). Inequality and Crime. Review ofEconomics and Statistics, 82 (4), 530–539.

[23] Levitt, S. D. (2004). Understanding why crime fellin the 1990s: Four factors that explain the decli-ne and six that do not. The Journal of EconomicPerspectives, 18 (1), 163–190.

[24] O’Sullivan, A. (2007). Urban Economics, 6th edi-tion. New York: McGraw-Hill.

[25] Phillips, L., Votey, H. L., & Maxwell, D. (1972).Crime, youth, and the labor market. Journal ofPolitical Economy, 80 (3), 491–504.

[26] Statistics, A. B. (2001). Measuring wellbeing: Fra-meworks for Australian social statistics. Canberra:Australian Bureau Statistics.

[27] White, R. C. (1932). The Relation of Felonies toEnvironmental Factors in Indianapolis. Social For-ces, 10 (4), 498–509.

[28] Wilson, J. Q. (1975). Thinking about Crime. NewYork: Basic Books.

[29] Yearwood, D. L., & Koinis, G. (2011). Revisitingproperty crime and economic conditions: An explo-ratory study to identify predictive indicators be-yond unemployment rates. The Social Science Jo-urnal, 48 (1), 145–158.

JEPI Vol. 15 No. 2 Januari 2015