ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

26
Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 1 USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26 ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN IMPLIKASINYA Slamet Arofik STAI Darussalam Nganjuk [email protected] Abstrack This field research reveals that the behavior of deviations due to “besanan” (having relationship between parents whose children are married to each other) that occurred in Juwet village, Ngronggot sub-district, Nganjuk district, as well as its analysis of the Islamic family law perspective. “Besanan” as a pre-marital process is a hereditary tradition in most Javanese communities, especially East Java, including Ngronggot District, Nganjuk District. None of the people do not carry out “Besanan”; even though there is no argument that legitimizes it from both the Qur'an and the hadith. Unlike the “Khithbah” which clearly has a variety of Hujjah. However, in the next stage, Bataan has legality. Initially only a tradition turned into a good Shari'a to do. But unfortunately, “Besanan” brings and has no good implications on the pattern of the couples' promiscuity. Actions that basically prohibited by the religion are no longer abandoned on the pretext of having obtained permission from the guardian and have been "future husband/wife". In the analysis of Islamic law, this phenomenon cannot be claimed as right. There are various verses of al-Qur'an and al-Hadith that can be used as a knife for analysis. Even the science of Ushul Fiqh and the Law of Fiqh has sentenced the law to illegitimate actions. Keywords: Besanan, Implikasi. A. Pendahuluan Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan agar dapat berhubungan satu sama lain, saling mencintai, menghasilkan keturunan dan hidup berdampingan secara damai dan sejahtera sesuai dengan perintah Allah dan petunjuk Rasulullah. Allah juga tidak menghendaki makhluk yang dimuliakan oleh-Nya memiliki kesamaan

Transcript of ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Page 1: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 1

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN IMPLIKASINYA

Slamet Arofik

STAI Darussalam Nganjuk

[email protected]

Abstrack

This field research reveals that the behavior of deviations due to “besanan” (having relationship between parents whose children are

married to each other) that occurred in Juwet village, Ngronggot sub-district, Nganjuk district, as well as its analysis of the Islamic family law perspective. “Besanan” as a pre-marital process is a hereditary tradition in most Javanese communities, especially East

Java, including Ngronggot District, Nganjuk District. None of the people do not carry out “Besanan”; even though there is no

argument that legitimizes it from both the Qur'an and the hadith. Unlike the “Khithbah” which clearly has a variety of Hujjah.

However, in the next stage, Bataan has legality. Initially only a tradition turned into a good Shari'a to do. But unfortunately, “Besanan” brings and has no good implications on the pattern of the

couples' promiscuity. Actions that basically prohibited by the religion are no longer abandoned on the pretext of having obtained permission from the guardian and have been "future husband/wife". In the analysis of Islamic law, this phenomenon

cannot be claimed as right. There are various verses of al-Qur'an and al-Hadith that can be used as a knife for analysis. Even the science of Ushul Fiqh and the Law of Fiqh has sentenced the law to illegitimate actions.

Keywords: Besanan, Implikasi.

A. Pendahuluan

Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan agar dapat

berhubungan satu sama lain, saling mencintai, menghasilkan

keturunan dan hidup berdampingan secara damai dan sejahtera sesuai

dengan perintah Allah dan petunjuk Rasulullah. Allah juga tidak

menghendaki makhluk yang dimuliakan oleh-Nya memiliki kesamaan

Page 2: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 2

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

dengan makhluk lain dengan menyalurkan hasrat seksual bebas tanpa

batas dan aturan. Karenanya Allah mensyariatkan atas manusia etika,

norma, nilai-nilai yang baik dan sempurna agar manusia mampu

menjaga kemuliaan serta kehormatannya.1

Melalui perkawinan yang sah, pergaulan antara laki-laki dan

perempuan akan menjadi terhormat sesuai dengan kodrat dan

kedudukan manusia sebagai Khalifah fi al-Ardl. Demi meraih itu semua

hukum Islam (Fikih) mengatur urusan perkawinan dengan amat teliti

dan rinci, mulai dari pendahuluan (proses peminangan), Ijab-Qabul

dan segala hal yang berkaitan dengan perkawinan termasuk di

dalamnya hak dan kewajiban masing-masing antara suami dan istri.2

Menuju kearah perkawinan, seperti ungkapan hadits yang

artinya:

“Perempuan dinikahi karena empat hal, karena hartanya, keturunannya,kecantikan parasnya dan karena agamanya. Maka dapatkanlah perempuan yang beragama (Islam), niscaya kedua tanganmu kaya (dirimu selamat)”.3

maka antara calon suami dan istri sudah semestinya saling

mengenal terlebih dahulu pribadi satu dengan yang lain baik dari segi

karakter, kebiasaan, agama, kehormatan/kemuliaan, silsilah

keturunan/nasab, Kecantikan maupun ketampanannya.

Oleh karenanya dalam syariat pernikahan terdapat tahapan yang

disebut dengan Khithbah atau Tunangan. Tahap ini merupakan proses

dimana masing-masing keluarga calon mempelai bertemu kemudian

membahas secara serius perihal rencana mempersatukan dua keluarga

melalui sebuah pernikahan. Dalam bahasa Jawa proses ini biasa disebut

1 M. Baqir al-Habsyi, Fikih Praktis (Bandung: Mizan, 2002), 2. 2 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2000), 1. 3 Muslim Al-Hajjaj Al-Qusyairi Al-Naisaburi, Shahih Imam Muslim, (Jakarta: Kampung Sunnah, 2009), 175.

Page 3: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 3

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

dengan istilah Besanan. Hal ini dilakukan selain bertujuan

menunjukkan keseriusan dari masing-masing fihak juga merupakan

sarana meminta kejelasan masing-masing pihak apakah benar-benar

telah siap dan bersedia menjalin persaudaran atau belum.

Dalam literasi hukum Islam Khithbah (dalam bahasa Indonesia

disebut Peminangan, dalam bahasa jawa disebut Lamaran) bukan

termasuk syarat atau rukun perkawinan. Oleh karenanya tanpa

melakukan Besanan sekalipun tidak akan mempengaruhi nilai

keabsahan suatu pernikahan. Namun dalam tradisi masyarakat

tertentu, tiada pernikahan terlaksana kecuali sebelumnya melakukan

proses Besanan terlebih dahulu. Mereka berkeyakinan, dengan

mengadakan Besanan sama halnya dengan pernikahan pasti akan

terwujud.

Namun “apa hendak dikata” tujuan baik nan mulia syariat

Besanan, pada masyarakat tertentu disalahartikan sehingga

menimbulkan prilaku-prilaku yang kurang baik dan cenderung keluar

dari norma agama. Fenomena generasi muda era globalisasi dengan

pergaulan yang opensif dan bebas membuka peluang situasi semakin

kurang religius. Besanan yang dilakukan dengan niatan ibadah

menimbulkan sesuatu yang paradoks. Prilaku-prilaku yang semestinya

belum halal dilakukan acapkali dilakukan akibat besanan.

Ironinya, realitas semacam itu menurut sebagian masyarakat

merupakan hal yang wajar dan bahkan terkesan tidak ada yang salah.

Kebebasan yang lahir pasca Besanan diyakini sebuah keniscayaan.

Bahkan sebagian masyarakat memahami bahwa Besanan/pertunangan

merupakan media agar kedua calon mempelai dapat bergaul secara

bebas kendati tanpa di dampingi atau menghadirkan muhrimnya.

Bermuara dari fenomena semacam di atas maka tulisan ini hendak

mengkaji, mencermati serta menganalisis secara mendalam perihal

Page 4: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 4

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

fenomena Besanan serta Implikasinya di Desa Juwet Kecamatan

Ngronggot Kabupaten Nganjuk dalam perspektif Hukum Keluarga

Islam.

B. Metode Penelitian

Jenis tulisan ini adalah penelitian kualitatif. Pendekatan yang

digunakan adalah yuridis-sosiologis, pembacaan diarahkan pada latar

belakang individu secara holistik. Dengan metode ini penulis

menganalisis pandangan masyarakat Desa Juwet Kecamatan

Ngronggot perihal Besanan serta implikasinya terhadap pergaulan

antara laki-laki dan perempuan selama masa Besanan berlangsung.

Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian dengan

mengamati gejala dan prilaku masyarakat yang mengarah terhadap

perubahan hukum, khususnya berkenaan dengan pandangan

masyarakat terhadap status hukum Besanan serta implikasinya

kemudian melakukan analisis terhadap hasil penelitian tersebut

dengan perspektif hukum keluaraga Islam serta metodologi

penetapan hukum Islam (Usul fikih).

Adapun pengumpulan data, penulis bertindak sebagai

pengamat serta partisipan sehingga kehadiran penulis diketahui

statusnya oleh objek atau informan. Sedangkan penggalian data

menggunakan wawancara dengan teknik Purposive Sampling

berdasarkan status, yakni pengambilan responden secara acak dan

(dibatasi) hanya yang sudah pernah menikahkan putra-putrinya.

Untuk mengolah data kualitatif agar dapat diambil kesimpulan

maka analisis data mengunakan reduksi data, penyajian data atau

display data dan mengambil kesimpulan dan verifikasi.

C. Pembahsan

Page 5: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 5

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

1. Profil singkat desa Juwet Kecamatan Ngronggot

Desa Juwet merupakan salah satu desa dari beberapa desa yang

ada di wilayah Kabupaten Nganjuk, tepatnya berada di Kecamatan

Ngronggot yang berdekatan dengan Kecamatanamatan Prambon.

Desa ini terdiri dari lima Dusun yakni Dusun Suruh, Dusun

Grampang, Dusun Beruk, Dusun Sonopinggir dan Dusun

Gendingan.

Asal muasal Desa Juwet, berdasarkan paparan salah satu

sesepuh desa,4 tidak diketahui dengan jelas kapan dan siapa warga

yang memulai bertempat tinggal di desa Juwet. Keterangan yang ada

hanyalah desa Juwet dihuni oleh masyarakat yang tidak mengenal

agama Islam. Mereka memiliki moral Jahiliyah dan memiliki tingkah

laku yang kurang manusiawi. Sekitar tahun 1800an datang seorang

laki-laki tua yang tidak diketahui darimana asalnya, mengajarkan

agama Islam kepada masyarakat.

Ia setelah melalui berbagai rintangan dan tantangan dari

masyarakat Namun akhirnya sejarah membuktikan bahwa pada

akhirnya semua itu dapat ia lalui dengan baik sehingga masyarakat

Juwet menerima dan menjalankan ajaran Islam dengan baik. Bahkan

ia selalu diunggulkan oleh masyarakat kemudian dijuluki “Mbah

Ahmad” yang memiliki kepiawaian memainkan gending dalam

menyebarkan ajaran Islam. Berkat kipiawaiannya melagukan

gending, sepeninggal mbah Ahmad dusun yang ditempatinya

kemudian dinamakan “Dusun Gendingan” untuk mengenang jasa

tersebut.5

Secara geografis letak desa Juwet terletak di ujung selatan timur

4 Seseorang yang dituakan oleh warga desa Juwet, bernama Syamsuri dan biasa dipanggil Mbah Ri 5 Wawancara dengan Mbah Ri, sesepuh warga Desa Juwet Kecamatan Ngronggot-Nganjuk, pada 5 Januari 2013 pukul 19.00 WIB.

Page 6: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 6

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

Kabupaten Nganjuk. Lebih rinci letak desa Juwet adalah:

a. Sebelah Selatan berbatasan dengan sungai Brantas

b. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Grompol Kecamatan

Prambon.

c. Sebelah Timur berbataasan dengan sungai Brantas.

d. Sebelah Utara berbatasan dengan desa Tanjungkalang.6

Dan luas keseluruhan wilayah desa ini adalah 219.380 Ha.

Dengan jumlah luas pertanian sawah 154.465 Ha. Sedangkan dari

pusat Kabupaten Nganjuk kurang lebih 30 KM.7

Jumlah penduduk desa di Desa. Juwet Kecamatan. Ngronggot

Kab. Nganjuk berjumlah ٢٩٤٠ penduduk. dengan 750 kepala

keluarga (KK) dan dengan 8 jenis pekerjaan.8

2. Besanan serta implikasinya perspektif warga desa Juwet

Besanan menurut masyarakat Juwet merupakan persiapan

atau pendahuluan pernikahan yang eksistensinya (hampir) pasti

dilakukan oleh kedua keluarga yang hendak menjalin

persaudaraan melalui ikatan pernikahan. Ini dilakukan selain

karena menjadi adat kebiasaan secara turun temurun Besanan

bertujuan mengenalkan kedua calon pengantin secara terbuka. Hal

ini dikatakan oleh salah satu warga Juwet yang bernama Muhsin, ia

mengatakan: “Besanan merupakan masa penjajakan bagi kedua calon

pengantin agar dapat mengenal karakter dan sifat masing-masing sebelum

menikah karena banyak pemuda dan pemudi desa Juwet menikah namun

belum mengenal pribadi masing-masing sebelumnya”.9

6 Dokumen desa Juwet Kecamatan Ngronggot Kabupaten Nganjuk. Diambil pada, 5

Januari 2013. 7 Ibid. 8 Ibid. 9 Wawancara Muhsin, Warga Desa Juwet, Tanggal 23 September 2013

Page 7: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 7

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

Lain halnya dengan pendapat warga yang bernama Subhan,

ia mengatakan bahwa Besanan tak ubahnya dengan membuat

“Iklan” (pemberitahuan dan pengumuman) kepada masyarakat

umum bahwa yang akan dinikahkan sudah tidak sendirian lagi dan

tidak boleh dilamar oleh orang lain.10

Sedikit berbeda dengan dua pendapat di atas. Menurut warga

yang bernama Najib, ia tidak menjelaskan arti Besanan namun

langsung menjelaskan tujuannya dan mengatakan bahwa Besanan

memiliki tujuan agar masing-masing keluarga saling mengenal

lebih dekat dan mendalam diantara satu dengan yang lain. Tidak

hanya itu, tujuan Besanan adalah menghindari kesalahfahaman

diantara kedua keluarga yang “mungkin saja” timbul menakala

Besanan tidak dilakukan. Besanan merupakan tindakan preventif

atas hal-hal yang tidak diinginkan kelak pasca pernikahan. Lebih

jauh lagi ia mengatakan bahwa Besanan bertujuan mengakrabkan

kedua belah fihak baik dari sisi kedua calon pengantin maupun

dari arah keluarganya.11

Dari ungkapan-ungkapan di atas dapat digaris bawahi bahwa

Besanan perspektif warga desa Juwet merupakan sebuah prosesi

yang dijadikan langkah awal mempertemukan kedua calon

pengantin menuju perkawinan. Besanan bertujuan agar kedua

belah fihak lebih mengenal satu dengan yang lain, baik watak,

karakter dan kebiasaan masing-masing calon pengantin. Tidak

hanya itu, Besanan juga bisa diungkapkan sebagai upaya membuat

“iklan” atas kedua calon mempelai bahwa keduanya dalam tempo

tidak lama akan resmi menjadi suami-istri sehingga pasca besanan

nanti sudah tidak boleh lagi dipinang maupun meminang karena

10 Subhan, Warga Desa Juwet, Tanggal 13 September 2013 11 Wawancara dengan Najib, Warga Desa Juwet Tanggal 16 September 2013.

Page 8: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 8

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

keduanya telah dipertunangkan. Besanan juga merupakan ajang

mempererat hubungan baik antar keluarga masing-masing terlebih

antar calon Pasutri. Dengan Besanan diharapkan kedua calon

Pasutri pasca memasuki gerbang rumah tangga tidak mengalami

hal-hal yang tidak diinginkan apalagi salah faham diantara kedua

keluarga maupun kedua calon Pasutri.

Ada perubahan paradigma pada sebagian besar masyarakat

Juwet manakala prosesi Besanan telah dilakukan. Mereka memiliki

anggapan bahwa Besanan merupakan pintu pembuka inklusifisme

kelamin sebagaimana adat ketimuran, penghilang “sekat”,

pemotong jarak antar calon mempelai. Maksudnya adalah

manakala Besanan sudah dilangsungkan maka pintu kebebasan

terbuka bagi kedua calon mempelai. Orang tua tidak berhak lagi

melarang keduanya untuk berduaan dan hendaknya memberi

kelonggaran terhadap keduanya. Orang tua seharusnya memberi

izin kepada mereka untuk pergi berdua, nonton, rekreasi bahkan

menginap di rumah tunangannya. Hal ini sebagaimana diungkap

oleh warga yang bernama Muhsin, ia mengatakan:

Pergaulan calon pengantin setelah Besanan setahu saya cenderung bebas

terutama pada saat hari Raya Idul Fitri. Pada momentum ini longgarnya aturan pergaulan laki-laki dan perempuan setelah masa Besanan tampak

lebih jelas dan nyata. Selain berkunjung ke rumah masing-masing pihak, biasanya mereka juga berkunjung ke rumah sanak saudaranya atau ke

tempat-tempat rekreasi bahkan menginap beberapa hari di rumah

tunangannya. Ini berbeda sekali manakala belum ada Besanan, orang tua cenderung lebih ketat dan memberikan batasan-batasan dalam pergaulan keduanya.12

Hal senada disampaikan oleh warga yang bernama Hilya

Diana. Ibu-ibu paruh baya ini mengatakan bahwa pergaulan antara

calon pengantin pasca besanan yang ada di desa Juwet wajar-wajar

12Wawancara dengan Muhsin, Warga Desa Juwet tanggal 12 September 2013

Page 9: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 9

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

saja, seperti misalnya pergi berdua, pacaran (di dalamnya mungkin

saja terjadi ciuman), sehingga tidak perlu dipermasalahkan karena

sudah karuan akan menjadi Pasutri serta telah mendapat izin orang

tua. Lain halnya jika yang melakukan itu semua bukan kedua calon

mempelai yakni para muda-mudi yang belum mengadakan ikatan

khitbah maka dipandang tidak wajar dan upnormal. Selengkapnya

ia megatakan:

Saya rasa pergaulan laki-laki dan perempuan atau sebut saja calon pengantin di desa ini (Juwet) selama masa besanan wajar-wajar saja karena

mereka telah mendapat restu dari orang tua. Yang menjadi masalah adalah perilaku anak-anak muda yang belum ada ikatan (Besanan) sama sekali”.13

Hal yang sama disampaikan oleh warga desa yang bernama

Najib. Ia mengatakan bahwa pergaulan selama masa besanan sudah

semestinya longgar. Orang tua tugasnya tinggal mengawasi saja.

Wajar jika kedua calon pengantin pergi berdua, berboncengan,

nonton bersama di bioskop, rekreasi berdua dan seterusnya.

Apalagi di Desa Juwet pemandangan semacam ini sudah bukan hal

tabu lagi mengingat keduanya merupakan calon pengantin yang

sah dan sudah mendapat restu orang tua.14

Ada pendapat yang sedikit berbeda, namun subtansinya

tetap sama disampaikan oleh Abdul Jalil, ia mengatakan bahwa:

Sudah menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Desa Juwet bahwa suatu

pernikahan harus didahului dengan proses besanan. Alasan utama

masyarakat besanan adalah untuk menghindari fitnah. Jika dalam pergaulan dengan lawan jenis dapat menimbulkan fitnah maka bagi mereka yang sudah dalam masa besanan dapat bergaul lebih longgar dan tidak menimbulkan fitnah, kecuali jika mereka sampai

melakukan hubungan suami istri.15

Pendapat ini dengan jelas menyebut bahwa besanan

merupakan adat/tradisi yang berlaku turun-temurun yang miliki

13 Wawancara dengan Hilya Diana, Warga Desa Juwet, Tanggal 21 September 2013 14 Wawancara dengan Najib, Warga Desa Juwet, Tanggal 22 September 2013 15Wawancara dengan Abdul Jamil, pada 15 September 2013.

Page 10: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 10

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

tujuan utama menghindari fitnah. Fitnah yang dimaksud oleh

responden ini adalah pergaulan yang di dalamnya melakukan

hubungan suami-istri (seks). Jika selama pasca besanan hal tersebut

tidak dilakukan maka apapun bentuk dan prilaku kedua calon

pengantin (seperti keterangan di atas) bukan dinamakan fitnah.

Fitnah perspektif responden tersebut adalah prilaku seks.

Warga yang bernama Imam Turmudzi juga mengatakan

bahwa di masyarakat juwet, besanan sudah menjadi kewajiban

masing-masing warga masyarakat yang harus dijalankan orang tua

(wali) sebelum menikahkan anakknya. Jika ada warga sampai tidak

mengadakan tradisi besanan maka akan mendapat celaan dari

masyarakat karena tidak mematuhi adat desa.16

Dari wawancara-wawancara di atas dapat disimpulkan

bahwa besanan merupakan tradisi turun temurun dan sudah

mengakar di sehingga menjadi hukum adat masyarakat desa

Juwet. Tidak ada warga yang berani melanggar tradisi ini sehingga

besanan seakan-akan menjadi kewajiban orang tua sebelum

menikahkan anaknya.

Dari pendapat-pendapat tersebut pula terdapat beberapa

pendapat masyarakat desa Juwet tentang pergaulan laki-laki dan

perempuan pasca besanan. Terlihat berbagai pandangan yang tidak

seragam namun memiliki subtansi sama sesuai dengan apa yang

terjadi di sekitar lingkungan mereka masing-masing. Mereka

menganggap wajar dan normal atas pergaulan calon mempelai

pasca besanan, seperti halnya berboncengan, pergi berdua, nonton,

pacaran dan bahkan ciuman. Hal ini tiada lain karena mereka

16 Wawancara dengan Imam Turmudzi, pada 12 September 2013.

Page 11: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 11

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

memiliki keyakinan bahwa keduanya merupakan “calon jadi” dan

telah mendapat restu orang tua.

Ada satu paradigma baru di masyarakat Juwet perihal

Besanan. Perubahan cara pandang ini menurut penulis bisa disebut

dengan istilah “Evolusi masa pasca Besanan”. Maksudnya jika

tempo dulu masa atau jeda waktu tunggu antara Besanan dengan

pelaksanaan pernikahan terbilang cukup lama maka di masa-masa

sekarang jarak antara keduanya terbilang pendek bahkan relatif

sangat singkat. Hal ini seperti diungkap oleh warga yang bernama

Kafabik, ia mengatakan:

Saat ini Besanan yang dilakukan warga desa Juwet sudah berubah. Besanan dalam waktu yang lama sudah sangat jarang terjadi. Dulu besanan bisa mencapai puluhan tahun dan sekarang tinggal sedikit

masyarakat desa Juwet yang melakukan Besanan lebih dari tiga tahun. Besanan lebih banyak dilaksanakan dalam waktu yang tidak lama yaitu

antara satu sampai tiga tahun saja bahkan ada yang beberapa bulan saja.17

Dari sekian banyak pendapat yang ada, perihal Besanan

dan implikasinya di masyarakat Juwet, yang harus digarisbawahi

adalah responden mengakui bahwa Besanan yang telah dilakukan

tidak pasti berbuah pernikahan. Sejauh apapun prilaku dan

perbuatan calon mempelai, besanan tetap saja sebuah tradisi yang

belum tentu dan belum pasti menghasilkan pernikahan. Besanan

hanyalah upaya kedua keluarga menunjukkan keseriusan

keduanya ingin menikahkan anggota keluarganya. Kalaupun di

kemudian hari pasca besanan terdapat hal-hal yang kurang/tidak

cocok maka pernikahan bisa dibatalkan atau menimal dideadline.

17 Wawancara dengan Kafabik, Tanggal 2 September 2013.

Page 12: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 12

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

3. Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan serta

implikasinya di desa Juwet Kecamatan Ngronggot Kabupaten

Nganjuk.

a. Besanan

Secara devinitif Besanan merupakan kata dalam bahasa

Jawa, berasal dari dua suku kata “Besan” yang bermakna “Orang

tua dari menantu” dan akhiran “an” yang menunjukkan arti

“Alat”. Jadi, Besanan bisa diartiakan sebagai media/alat untuk

menghubungkan antara dua orang tua (wali) disebabkan

perkawinan yang akan dijalin antara putra-putri kedua belah

fihak.18 Dalam bahasa arab Besanan diartikan dengan istilah علقة

Pertautan kekeluargaan antara“ زوج القرابة بین والدي زوجة ووالدي

kedua orang tua istri dan kedua orang tua suami”.19

Dalam Islam, pada dasarnya Besanan tidak memiliki dalil

nash Sharih baik dari al-Qur’an maupun hadits. Sebaliknya yang

memiliki Hujjah adalah Khithbah yakni lamaran atau pinangan.20

Khithbah dalam al-Qur’an disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat

235 yaitu:

رّضتم بھ من خطبة النساء أو أكننتم في أنفسكم علم الله أنكم ولا جناح علیكم فیما ع

الأیة....ستذكرونھن

“Dan tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kalian menyembunyikan (keinginan mengawinin mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka.....”

18 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 190. Lihat pula, www.dosenbahasa.com 19 A.W Munawir dan Muhammad Fairuz, Kamus al-Munawir (Surabaya: Pustaka

Progresif), 129. 20 Khithbah secara syara’ adalah keinginan seorang laki-laki untuk memiliki perempuan

yang jelas dan terlepas dari berbagai halangan atau keinginan memiliki perempuan yang halal untuk dinikahi. Lihat. Ali Yusuf as-Subki, Fiqh Keluarga (Jakarta: AMZAH, 2012), 65.

Dalam KBI lamaran semakna dengan kata pinangan bermakna permintaan. Lihat, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan, 802.

Page 13: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 13

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

Ayat ini menyebut dengan jelas kata Khithbah yang

bermakna meminang/melamar namun sama sekali tidak

menyebut lebih rinci segala hal yang berkenaan dengan

mekanisme maupun tata-cara melakukannya.

Di Indonesia khusunya Jawa, menyatukan antara lamaran

dengan Besanan. Lamaran dengan Besanan merupakan dua hal

yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain karena lamaran

in dan menjadi agenda utama dalam prosesi Besanan sehingga

antara Besanan dan lamaran laksanan api dan asap.

Dalam khazanah fikih Islam, Besanan dan lamaran bukan

pula termasuk salah satu rukun maupun syarat dalam pernikahan

sehingga pernikahan sah menurut Islam dan diakui walaupun

tanpa melakukan Besanan dan lamaran terlebih dulu.21 Namun

demikian Besanan yang di dalamnya terdapat lamaran atau

pinangan memiliki nilai urgensitas tinggi dan bisa disebut sebagai

muqaddimah pernikahan.22 Sukses dan tidaknya pertalian jodoh,

sekian persentasenya diperoleh dari keberhasilan berginning

Besanan.

Di tengah-tengah masyarakat desa Juwet, Tradisi Besanan

sudah berjalan sudah lama dan dilakukan secara turun-temurun.

Hal ini menurut penulis dapat dibenarkan dan tidak bertentangan

dengan syariat Islam karena selain berpijak pada dalil al-Qur’an

21 Menurut Syafi’iyah dan Malikiyah rukun nikah ada lima, yaitu suami, istri, wali, dua saksi dan akad yakni ijab-qabul sedangkan Hanafiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa

kelima rukun tersebut ada yang disebut sebagai syarat nikah. Adapun yang dimaksud

dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan yakni syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul. Dengan demikian,

Besanan maupun lamaran bukan penentu sah dan tidaknya pernikahan. Lihat, Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Vol. IV (Libanon: Dar al-Kutub

al-Ilmiyah, 2011), 16-17. 22 Ali Yusuf as-Subki, Fiqh Keluarga....66.

Page 14: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 14

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

di atas, eksistensi Besanan menurut warga desa Juwet jika

dianalisis satu-persatu perspektif hukum Keluarga Islam maka

dapat diuraikan beberapa poin sebagai berikut:

1. Besanan menurut warga yang beranama Muhsin merupakan

kegiatan yang bertujuan untuk mengenal lebih jauh pribadi

masing-masing fihak, baik dari sisi calon mempelai maupun

calon besan. Bagi calon mempelai momen ini bisa digunakan

sebagai sarana mengenal lebih jauh dan mendalam calon

pasangannya baik secara fisik maupun psikis. Masing-masing

bisa menanyakan kepada yang bersangkutan atau kepada

keluarganya perihal watak, karakter, kebiasaan maupun hal-hal

lain yang dibutuhkan. Begitu pula bagi calon besan, momen

Besanan ini bisa digunakan sebagai ajang silaturrahim

sekaligus memperkenalkan diri, keluarga dan kerabat serta hal-

hal yang menyangkut kebaikan calon mempelai.

Ada dua hal yang bisa digunakan sebagai landasan serta

hujjah dilaksanakannya poin pertama ini. Satu, al-Qur’an surat

al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya

aku menciptakan kamu semua dari laki-laki dan perempuan dan

menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu

saling mengenal”. Ayat ini dengan jelas menyebutkan bahwa

bahwa Allah menciptakan manusia agar saling mengenal satu

dengan yang lain karena pada dasarnya “Lain ladang lain pula

belalangnya”. Lain daerah maka lain pula adat dan

kebiasaannya. Dengan momentum Besanan maksud dan tujuan

ayat tersebut akan terwujud. Masing-masing fihak baik dari

keluarga maupun dari sisi calon mempelai, pada saat Besanan

bisa saling mengenal lebih jauh pribadi masing-masing serta

lebih mendalam perihal kualifikasi maupun integritas masing-

Page 15: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 15

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

masing.

Landasan kedua adalah hadits Nabi yang diriwayatkan

oleh sahabat Jabir bin ‘Abdillah, dia berkata:

قال رسول الله صلى الله علیھ وسلم إذا خطب أحدكم المرأة فإن إستطاع أن

ینظر إلى ما یدعوه إلى نكاحھا فلیفعل

“Apabila salah seorang diantara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah”.23 Hadits ini dengan jelas memberi legitimasi bagi calon

suami untuk dapat mengenal lebih jauh calon istrinya baik dari

sisi fisik maupun psikisnya. Bahkan hadits tersebut dengan

tegas memberi keluasan kepada calon peminang “mericek” hal-

hal yang membuatnya tertarik ingin menikah dengan

perempuan yang hendak dinikahi tersebut.24 Jika apa yang ia

saksikan secara langsung sesuai dengan apa yang ia ketahui

sebelumnya maka silahkan menuju proses lebih serius. Namun

sebaliknya jika tidak sesuai dengan apa yang ia saksikan maka

pasca Besanan pernikahan bisa saja dibatalkan.

2. Besanan menurut warga yang bernama Subhan adalah sarana

untuk membuat “Iklan”. Maksudnya dengan melakukan

besanan, kedua keluarga seakan-akan mengumumkan kepada

masyarakat bahwa salah satu keluarganya sudah tidak boleh

lagi dipinang atau meminang orang lain. Salah satu

23 Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sijistany, Sunan Abi Dawud, Vol. II (Bairut: Dar

al-Kitab al’Araby, T.Th), 190. 24 Mengenai apa saja yang dapat dilihat oleh pelamar ulama berbeda pendapat. Imam

Malik hanya memperbolehkan wajah dan kedua telapak tangan saja. Imam Abu Hanifah

memperbolehkan melihat wajah, kedua tapak tangan dan kedua tapak kaki sedangkan ulama lain memperbolehkan melihat secara mutlak kecuali dua kemaluan, sebaliknya

ada yang tidak memperebolehkan melihat sama sekali. Perbedaan mengenai kadar kebolehan memandang ini karenakemutlakan teks hadits. Lebih jauh mengenai

perbedaan ini, lihat: Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthuby, Bidayat al-Mujtahid Vol.III (T.Tp: Darussalam, 1995), 1238.

Page 16: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 16

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

keturunannya sudah dipinang/meminang orang lain sehingga

sudah tidak lagi bebas (single) karena dalam tempo yang tidak

lama ia akan resmi menikah dengan pasangan yang telah

dibesanankan.

Pernyataan warga desa Juwet di atas bisa dibenarkan.

Besanan yang dilakukan bisa dijadikan sarana pengumuman

kepada masyarakat sehingga masyarakat tau dan mengerti

hingga tidak lagi berharap bisa meminang atau dipinang oleh

keluarga yang sedang malakukan Besanan. Membuat

pengumuman ini menjadi sangat penting mengingat meminang

atas pinangan orang lain dilarang dalam agama. Terdapat

hadits yang melegitimasi hal ini, yaitu:

ولایخطب , نھى النبي صلى الله علیھ وسلم أن یبیع بعضكم على بیع بعض

الرجل على خطبة أخیھ حتى یترك الخاطب قبلھ اویأ ذن لھ الخاطب

“Nabi SAW melarang diantara kalian menjual atas jualan saudaranya, dan janganlah seseorang melamar atas lamaran saudaranya sehingga pelamar (pertama) meninggalkan lamarannya atau ia memberi izin”.25

Jadi, momentum Besanan merupakan sarana tepat untuk

melakukan tindakan preventif agar tidak terjadi “pinangan di

atas pinangan”. Dengan Besanan keluarga tidak perlu susah

payah membuat semacam pemberitahuan kepada masyarakat

bahwa anaknya sudah memiliki calon suami/istri yang sah

sehingga keluarga sudah tidak bisa menerima pinangan dari

orang lain.

3. Menurut mayoritas masyarakat desa Juwet, Besanan

merupakan adat atau tradisi yang harus dijaga dan

dilestarikan. Hal ini sudah dilakukan turun-temurun, dari

25 Muhammad bin Ismail bin Ibarahin bin al-Mughirah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Vol.VII, N0 Indeks 5142 (Kairo: Dar al-Syu’ub, 1987), 24.

Page 17: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 17

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

generasi ke generasi. Siapapun warga, apapun jabatannya,

seberapapun strata sosialnya menakala ingin menikahkan

keturunannya maka “harus” mengadakan Besanan lebih dulu.

Besanan bagi warga desa juwet merupakan “ritual” yang wajib

dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan. Jika ditinggalkan maka

yang bersangkutan akan mendapat sanksi sosial dari

masyarakat yakni dicemooh, dicaci dan menjadi buah bibir

dimana-mana.

Poin katiga ini jika dianalisis menggunakan metodologi

penetapan hukum Islam (ushul fiqh), tidak salah. Adat/tradisi

Besanan yang dilakukan oleh warga desa Juwet menilik

pendapat Syekh Abd al-Wahab Khalaf dapat dimasukkan

dalam kategori ‘Urf Sahih yakni adat / kebiasaan manusia yang

tidak bertentangan dengan dalil Syara’, tidak menghalalkan

perkara yang haram dan tidak pula membatalkan perkara yang

wajib.26 Apapun adat kebiasaan atau budaya masyarakat

selama tidak melanggar dan berlawanan dengan syara’ maka

bisa dikategorikan ‘Urf Sahih.

Jika diintrodusir lebih dalam lagi, mengikuti pendapat

syekh al-Khayath tradisi Besanan masuk dalam kategori ‘Urf

Mursal yakni ‘Urf / adat yang tidak disinggung sama sekali

( oleh syara’, tidak dalam hal pembolehan ( المسكوت عنھ

maupun pembatalan.27 Riilnya,Segala macam hasil daya dan

26 Adat atau tradisi dalam kajian Ushul Fiqh disebut al-‘Urf. Syekh Abd al-Wahab Khalaf mebagi al-‘Urf menjadi dua yaitu ‘Urf Sahih dan ‘Urf Fasid. ‘Urf Sahih adalah adat

kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan

perkara haram dan tidak pula membatalkan perkara wajib. Misalnya, memberi sesuatu kepada calon istri sebelum akad nikah disebut hadiah bukan mahar. Lihat: Abd al-

Wahab al-Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, T.Th), 89. 27 al-Khayath membagi ‘Urf jika ditinjau dari segi pensyariatan ( الشارع لھ ) menjadi tiga

yaitu: ‘Urf Sahih, ‘Urf Fasid dan ‘Urf Mursal. Lihat: ‘Abd al-‘Aziz al-Khayath, Nadzariyah al-‘Urf (Kuwait: al-Mausu’ah al-Kuwaitiyah , T.Th), 36-37.

Page 18: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 18

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

upaya manusia (budaya) selama bukan kategori ‘Urf fasid

maupun ‘Urf Sahih maka budaya tersebut disebut‘Urf

Mursal.Oleh kerenanya, Besanan jika mengikuti teori ini maka

masuk kategori ‘Urf Mursal.

Ulama madzhab Maliki dan madzhab Hanafi menyatakan

bahwa segala hal yang ditetapkan berdasarkan adat / tradisi

yang sahih yakni bukan tradisi Fasid maka bisa ditetapkan

eksistensinya berdasarkan dalil syara’. Mereka berpegang pada

kaidah ّالثابت بالعرف ثابت بدلیل شرعي “Ketetapan berdasarkan ‘Urf

bisa ditetapkan berdasarkan dalil syara’”.28 al-Sarakhshi,29 salah

satu ulama kenamaan madzhab Hanafi, menyebutkan dalam

karyanya al-Mabsuth bahwa ّالثابت بالعرف كالثابت بالنص

“Ketetapan berdasarkan dalil ‘Urf memiliki hukum

sebagaimana ketetapan berdasarkan nash”. Maksudnya

ketetapan yang dihasilkan berdasarkan adat/tradisi

masyarakat bisa ditetapkan eksistensinya laiknya terdapat nash

yang dijadikan dalil.30

Besanan secara De jure memang tidak memiliki dalil nash

Qath’i namun dengan menggunakan kaidah-kaidah tersebut

maka eksistensi Besanan bisa dibenarkan dan tidak

bertentangan dengan syara’. Para fuqaha khususnya dari

kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa jika syara’ memberi

taklif sedangkan di dalamnya tidak terdapat batasan maupun

rincian maka operasionalnya dikembalikan pada ‘Urf. Hal ini

28 Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh (Dar al-Fikr al-‘Araby, T.Th), 273 29 Nama lengkapnya Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl al-Sarakhshi. Ia adalah salah seorang ulama terbesar ketiga madzhab Hanafi setelah Abu Yusuf dan al-

Syaibany. Kendati ia adalah ulama besar namun tidak ditemukan secara lengkap biodata serta profil kehidupannya. Baca selengkapnya, Abd Aziz Dahlan, dkk (ed), Ensiklopedi

Hukum Islam, Vol. V (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), 1608. 30 Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, 273.

Page 19: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 19

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

bertendensi pada kaidah fikih:

كلّ ما ورد بھ الشرع مطلقا ولا ضابط لھ فیھ ولا في اللغة یرجع فیھ إلى

العرف

“Apapun yang disampaikan syara’ secara mutlak dan tidak

terdapat batasan padanya serta tidak dalam cakupan bahasa maka dikembalikan pada ‘Urf”.31

Dengan demikian, syariat Khithbah yang bersifat mutlak,

umum dan tidak ada penjelasan apapun mengenai mekanisme

dan tata-tata caranya dengan berlandaskan kaidah di atas maka

khitbah dapat bermetamorfosis menjadi beragam bentuk

kegiatan, salah satunya adalah berupa tradisi Besanan.

b. Implikasi Besanan

Khithbah yang dikemas dalam bentuk Besanan merupakan

pendahuluan pernikahan. Pada tahap ini terjadi perkenalan

(ta’aruf) lebih intens bagi masing-masing fihak, baik dari sisi

kedua calon maupun kedua besan. Oleh karena Besanan hanya

sebuah muqaddimah pernikahan dan bukan subtansi dari

pernikahan itu sendiri, bukan pula merupakan salah satu syarat

maupun rukun pernikahan (sudah dijelaskan di atas) maka

Besanan tidak membawa konsekswensi hukum sama sekali bagi

calon suami atas calon istri.

Bagi keduanya masih tetap berlaku status “orang lain”

(ajnaby-ajnabiyyah) sehingga apapun bentuk larangan agama

terhadap ajnabi (laki-laki lain yakni bukan muhrim perempuan)

kepada ajnabiyah (perempuan non muhrim bagi laki-laki)

walaupun sudah besanan/ tunangan, larangan tersebut tetap

berlaku dan sekali-kali tidak boleh dilanggar. Jika pra Besanan

31 Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Asybah wa al-Nadzair, Vol. I (T.T: Dar Kutub al-Ilmiyah, 1983), 96.

Page 20: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 20

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

ajnaby dilarang/diharamkan melakukan perbuatan A pada

ajnabiyah maka perbuatan A tersebut tetap terlarang kendati pasca

Besanan hingga pernikahan berlangsung.

Idealitas semacam ini pada tataran iplementasi kurang

menemukan sinkronisasi, khususnya di desa Juwet kecamatan

Ngronggot kabupaten Nganjuk. Di desa Juwet, Besanan

(metamorfosa dari khitbah) membawa dampak kurang baik pada

pergaulan calon suami dan calon istri. Pergaulan keduanya

cenderung menjauh dari tatanan agama dan sedikit demi sedikit

meninggalkan norma yang ada. Besanan seakan-akan menjadi

“pembuka” kebebasan bagi keduanya. Hal-hal yang terlarang

bukan saatnya lagi harus ditinggalkan pasca Besanan.

Ironisnya, fenomena tersebut sudah mendapat “tempat” di

hati masyrakat. Pemandangan yang seharusnya tabu nan jauh

dari norma agama, misalnya pergi setiap saat berdua (pacaran)

dalam rangka rekreasi, nonton bioskop, bermain ke rumah famili

dan segala aktifitas yang dilakukan berdua tanpa adanya Mahram,

dimana pada aktifitas-aktifitas tersebut memungkinkan

dilakukannya perbuatan terlarang misalnya pelukan, ciuman

bahkan lebih dari itu, menjadi hal yang lumrah dan biasa yang

tidak perlu dipermaslahkan dan diperbincangkan. Orang tua

(wali) yang seharusnya tidak memperbolehkan hal itu terjadi

justru sebaliknya, memberi keluasan dan terkesan mendukung.32

Realitas semacam ini pada dasarnya tidak dapat dibenarkan.

Pergaulan yang dilakukan oleh calon suami-istri yang belum

melakukan akad nikah kendati telah mendapat restu orang tua

32 Keterangan lebih lengkap mengenai pandangan masyarakat desa Juwet perihal ini bisa

dilihat ulang pada sub bab “Besanan dan implikasinya perspektif masyarakat desa Juwet” di atas.

Page 21: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 21

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

sebagaimana diuraikan di atas telah melanggar norma agama.

Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa:

الزنا إنھ كان فاحشة وساء سبیلا ولا تقربوا

“Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina

adalah perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan”.33

Ayat ini sebagaimana penjelasan imam Ibn Kathir dalam

tafsirnya, Allah melarang dua hal sekaligus yaitu zina dan hal-hal

yang mendorong dan menyebabkan terjadinya perbuatan zina.34

Tidak dapat dipungkiri, bahwa berduaan dengan lawan jenis

tanpa disertai mahram merupakan muqaddimah perzinaan dan

sesuatu yang dapat mendekatkan pada perzinaan. Zina dipastikan

tidak akan terjadi manakala berduaan tidak dilakukan

sebelumnya.

al-Syaukani dalam karyanya Fath al-Qadir juga menjelaskan

makna ayat tersebut. Menurutnya, Allah menetapkan larangan

zina dengan cara melarang hal-hal yang menjadi penyebab atau

pendahuluan zina. Jika zina hukumnya haram maka hal-hal yang

mendekatkan dan menyababkan zina hukumnya juga haram. Ia

menyatakan:

إنّ الوسیلة إلى الشئ إذا كانت حراما كان المتوسل إلیھ حراما ف

“Sesungguhnya perantara (al-wasilah) kepada sesuatu

manakala sesuatu tersebut haram maka si perantara

hukumnya haram”.35

33 QS. al-Isra’ [17] : 32. 34 Abi al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasy, Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Bairut: Dar Ibn Hazm, 2000), 1116–1117. 35 Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani, Fath al-Qadir (Bairut: Dar al-Ma’rifat, 2007) 820.

Page 22: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 22

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

Dua penjelasan ini sudah cukup memberi justifikasi bahwa

berduaan antara laki-laki dan perempuan tanpa didampingi

mahram memiliki hukum haram. Konklusi hukum ini diambil,

kendati bukan dari tekstual ayat namun dengan menggunakan

kaidah yang disampaikan al-Syaukani di atas maka dengan

sendirinya penyebab terjadinya zina (al-Wasilah) memiliki hukum

sebagaimana tujuan (al-Mutawasal Ilaih) yakni zina.

Dalam kajian usul fikih, perantara (al-wasilah) sinonim

dengan kata al-Dzari’ah yang bermakna “jalan”, ia memiliki

hukum sebagaimana tujuan ( Jika tujuan .36( للوسائل حكم المقاصد

memiliki hukum haram maka “jalan” tersebut memiliki hukum

haram, jika tujuan memiliki hukum wajib maka “jalan” hakumnya

wajib dan jika tujuan hukumnya haram maka “jalan” hukumnya

juga haram.37

Melengkapi keterangan di atas, terdapa beragam hadits yang

dapat dijadikan hujjah atas hukum haram berduaan, diantaranya

adalah:

من كان یؤمن با� والیوم الأخر فلا یخلونّ بإمرأة لیس معھا ذو محرم منھا فإنّ

ثالثھما الشیطان

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka

jangan sekali-kali bersepian dengan perempuan yang tidak disertai mahramnya karena yang ketiganya adalah setan”.38

Teks hadits ini, tepatnya pada kata ّفلا یخلون nabi dengan

tegas melarang kepada siapapun laki-laki pergi bersama

perempuan tanpa disertai mahramnya. Segala bentuk kegiatan

yang dilakukan laki-laki bersama dengan perempuan dengan cara 36 Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, Vol.I (Bairut, Dar al-Fikri, 1989), 230. 37 Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh (T.Tp, Dar al-Fikr al-‘Araby, T.Th), 288. 38 Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah al-Syaibany, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Vol.III (Kairo: Muassasah Qurthubah, T.Th), 339.

Page 23: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 23

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

berduaan tanpa didampingi mahram maka terlarang hukumnya.

Dalam hadits lain Nabi juga telah bersabda:

لایحل لمرأة تؤمن با� والیوم الاخر أن تسافر سفرا یكون ثلاثة أیام فصاعدا

لاومعھا أبوھا او أبنھا او زوجھا او أخوھا او ذومحرم منھاإ

“Tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah

dan hari akhir bepergian selama tiga hari bahkan lebih kecuali dengan bapaknya, anaknya, suaminya, saudaranya atau mahramnya”.39

Pada hadits ini, khitab nabi tertuju pada perempuan, nabi

melarang dengan tegas pada perempuan bepergian tanpa disertai

kerabatnya seperti orang tua, suami, anak, saudara atau saudara

yang lain. Sebaliknya pada hadits sebelumnya, nabi lebih

menekankan larangan pada laki-laki (kendati perempuan masih

termasuk dalam objek larangan tersebut).

Keterangan-keterangan di atas baik dari al-Qur’an maupun

hadits tidak ada satupun kata maupun redaksi menyebutkan

hukum haram. Kedua sumber hukum Islam tersebut hanya

melarang mendekati zina, melarang bepergian tanpa didampingi

mahram dan tidak mengatakan hukum haram atas prilaku

berduaan atau khalwat. Hukum haram atas berduaan merupakan

hasil istinbath menggunakan metodologi penetapan hukum Islam

(ushul fiqh). Dengan ilmu ini, larangan tersebut sudah pasti

menunjukkan pada lahirnya hukum haram karena dalam ushul

fiqh terdapat kaidah الأصل في النھي للتحریم “Hukum asal dalam

larangan menunjukkan haram”40. Dengan kaidah ini, larangan

melakukan zina berimplikasi pada munculnya larangan

39Abi al-Husein Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisabury, Sahih Muslim, Vol.II, N0.

1340 (Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991), 977. 40 al-Ghozali, al-Mankhul min Ta’liqat al-al-Ushul (Mesir: Dar al-Fikr, 1980), 130.

Page 24: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 24

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

mendekati zina. Mendekati zina dalam pembahasan kali ini

adalah berduaan (khalwat) antara calon pengantin pasca Besanan.

Jika dalam kajian usul fikih sudah dapat diambil konklusi

bahwa berduaan hukumnya haram maka berduan dalam

perspektif fikih hampir pasti adalah haram. Terbukti, semua

ulama ahli fikih menyatakan bahwa laki-laki berduaan dengan

perempuan (ajnabiyah) tanpa didampingi suami atau kerabatnya

maka hukumnya haram mutlak. Kemutlakan hukum haram ini

berlaku pada kondisi berduaan tersebut aman dari fitnah atau

tidak aman. Berikut penjelasan berduaan (khalwat) secara lebih

rinci versi empat madzhab:

1. Hanafiyah. Ibn ‘Abidin dalam Hasyiyahnya yang diberi nama

Radd al-Muhtar menyatakan bahwa khalwat dengan ajnabiyat

Haram kecuali dengan perempuan nenek-nenek (العجوز)

dengan catatan jika aman dari fitnah namun jika tidak aman

maka hukumnya haram.41

2. Malikiyah. Laki-laki haram khalwat dengan perempuan yang

tidak disertai dengan mahramnya, atau hak milik sang laki-laki

atas perempuan tersebut. Keduanya wajib disanksi (العقوبة)

walaupun mengaku sebagi suami istri kecuali mampu

memberikan bukti atas pengakuannya.42

3. Syafiiyah. Ulama madzhab ini tidak memberi rincian, antara

berduaan dengan perempuan muda atau tua. Syafiiyah

memberi hukum haram mutlak atas khalwat antara laki-laki dan

perempuan tanpa mahram. Hal ini dimaksudkan untuk

41Muhammad Amin Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala al-Dur al-Mukhtar Syarh

Tanwir al-Abshar, Vol. VI, Mesir: Maktabah Musthafa al-Baby al-Halaby, T.Th), 368. 42‘Ali al-Sha’idy al-‘Adwy, Hasyiyah al-‘Adwy ‘ala Syarh Aby al-Hasan, Vol.II (Bairut: Dar

al-Ma’rifat, T.Th), 422. Lihat pula, Ahmad bin Ghanim bin Salim bin Mahma al-Nafrawy al-Maliky, al-Fawakih al-Dawany, Vol.II (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1374 H), 410.

Page 25: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 25

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

menutup jalan kemaksiatan ( 43.( سدّ الذریعة

4. Hanabilah. Ulama Hanabilah memberi hukum haram mutlak

terhadap khalwat dalam segala keadaan tanpa membedakan

apakah khalwat tersebut mengakibatkan syahwat atau tidak.

Hal ini mengecualikan khalwat dengan anak dibawah usia 7

tahun maka tidak haram.44

Melihat dan mencermati semua paparan-paparan tersebut

maka dapat ditarik benang merah bahwa apa yang telah

dilakukan oleh para calon pengantin warga desa Juwet

sebagaimana gambaran di atas tidak dapat dibenarkan dan

hukumnya haram. Kendati telah ada ikatan Besanan namun

ikatan ini tidak membawa dampak hukum apapun.

BIBLIOGRAFI

‘Abd al-‘Aziz al-Khayath, Nadzariyah al-‘Urf, Kuwait: al-Mausu’ah al-

Kuwaitiyah , T.Th. ‘Ali al-Sha’idy al-‘Adwy, Hasyiyah al-‘Adwy ‘ala Syarh Aby al-Hasan, Bairut:

Dar al-Ma’rifat. ‘Ali bin Sulaiman al-Mardawy, al-Inshaf, Bairut: Dar Ihya’ al-Turats, T.Th. A.W Munawir dan Muhammad Fairuz, Kamus al-Munawir, Surabaya:

Pustaka Progresif, T.Th. Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah,Libanon:

Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2011. Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Asybah wa al-Nadzair, Dar Kutub

al-Ilmiyah, 1983. Abd al-Wahab al-Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-

Islamiyah, T.Th. Abd Aziz Dahlan, dkk (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar

Baru Van Hoeve, 1997. Abi al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasy, Tafsir al-Qur’an al-

43Syams al-Din Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syirbiny, Mughni al-Muhtaj ‘ala

Ma’rifati Ma’ani al-Fadz al-Minhaj,Vol.III, (Bairut: TP, T.Th), 668. 44 ‘Ali bin Sulaiman al-Mardawy, al-Inshaf, Vol.IX (Bairut: Dar Ihya’ al-Turats, T.Th), 315.

Page 26: ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP BESANAN DAN ...

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 26

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

Adzim, Bairut: Dar Ibn Hazm, 2000. Abi al-Husein Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisabury, Sohih

Muslim, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991. Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin

Rusyd al-Qurthuby, Bidayat al-Mujtahid,T.Tp: Darussalam, 1995. Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sijistany, Sunan Abi Dawud, Vol. II

(Bairut: Dar al-Kitab al’Araby, T.Th. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam ,Yogyakarta: UII Press,

2000. Ahmad bin Ghanim bin Salim bin Mahma al-Nafrawy al-Maliky, al-

Fawakih al-Dawany,Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby 1374 H. Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah al-Syaibany, Musnad al-Imam Ahmad bin

Hanbal, Kairo: Muassasah Qurthubah. al-Ghozali, al-Mankhul min Ta’liqat al-al-Ushul, Mesir: Dar al-Fikr, 1980. Ali Yusuf as-Subki, Fiqh Keluarga, Jakarta: AMZAH, 2012. M. Baqir al-Habsyi, Fikih Praktis, Bandung: Mizan, 2002. Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-‘Araby, T.Th.

Muhammad Amin Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala al-Dur al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, Mesir: Maktabah Musthafa al-Baby

al-Halaby. Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani, Fath al-Qadir, Bairut:

Dar al-Ma’rifat, 2007. Muhammad bin Ismail bin Ibarahin bin al-Mughirah al-Bukhari, Shahih al-

Bukhari, Kairo: Dar al-Syu’ub, 1987. Muslim Al-Hajjaj Al-Qusyairi Al-Naisaburi, Shahih Imam Muslim, Jakarta:

Kampung Sunnah, 2009. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia,

Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Syams al-Din Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syirbiny, Mughni

al-Muhtaj ‘ala Ma’rifati Ma’ani al-Fadzi al-Minhaj, Bairut. Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, Bairut, Dar al-Fikri, 1989. www.dosenbahasa.com