All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

110

Transcript of All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

Page 1: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008
axioo
Stamp
axioo
Stamp
axioo
Stamp
Page 2: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKANDirektorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter

Bank Indonesia

Penyantun/PatronDewan Gubernur Bank Indonesia

Board of Governors of Bank Indonesia

Dewan Penasehat/Advisory BoardProf. DR. Anwar Nasution

Prof. DR. InsukindroProf. DR. Iwan Jaya Azis

DR. M. Syamsuddin

Pemimpin Redaksi/Chairman of Editorial BoardMade SukadaWijoyo Santoso

Dewan Penyunting/Editorial BoardHalim Alamsyah

Perry WarjiyoSuseno

Wimboh SantosoEndy Dwi Tjahjono

Solikin M. JuhroHaris Munandar

Redaktur Pelaksana/Staff Editor/Editorial AdministratorAndi Alfian Parewangi

Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomidan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan tulisandibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukanmerupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin inipaper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi danKebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20;Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email : [email protected]

Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober danJanuari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungiSeksi Publikasi Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter,Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2,Jakarta Pusat, telp. (021) 381 8206. Untuk permohonan berlangganan:telp. (021) 381 8636, fax. (021) 231 1219, email: [email protected]

Sekretariat/SecretariatRakianto IrawantoM.S. Artiningsih

Page 3: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008 196

BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN

Volume 11 No.2, Oktober 2008

Analisis Triwulanan dan Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sisitem Pembayaran Triwulan III 2008 Tim Penulis Laporan Triwulanan Bank Indonesia ______________________ 91 Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia Ascarya dan Diana Yumanita _____________________________________ 95 Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat Gejolak Nilai Tukar Perdagangan Priadi Asmanto dan Sekar Suryandari ______________________________ 121 Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi Sri Liani Suselo dan Tarsidin _____________________________________ 155

Page 4: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008 196

– Halaman ini sengaja dikosongkan –

Page 5: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2008

91

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,

Triwulan III 2008

Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia

Tekanan inflasi di Indonesia pada triwulan III-2008 masih tinggi. Hal ini terutama berasal dari tingginya ekspektasi inflasi masyarakat, kuatnya permintaan domestik, serta dampak imported inflation terkait dengan potensi pelemahan nilai tukar rupiah sebagai akibat dari krisis keuangan di AS. Menyikapi perkembangan tersebut, pada tataran kebijakan, Dewan Gubernur Bank Indonesia memandang perlu untuk mengendalikan tekanan inflasi guna mencapai sasaran inflasi dalam jangka menengah dan menjaga kestabilan ekonomi pada umumnya.

Triwulan III-2008 diwarnai oleh problematika yang terjadi di pasar keuangan global serta dampaknya pada perekonomian Indonesia. Perlambatan ekonomi dunia, saat ini telah dirasakan di beberapa negara industri maju, dan mulai merambat pada negara emerging markets termasuk Indonesia. Gejolak yang terjadi di pasar global, tidak dapat dihindari terasa mengalir dan menyebar pada ekonomi Indonesia. Terlepas dari masih kuatnya fundamental ekonomi Indonesia, sentimen negatif yang ditimbulkan dari krisis telah mendorong pelarian modal asing keluar. Hal ini memberi tekanan pada bursa saham dan nilai tukar rupiah. Indeks harga saham mencatat penurunan tajam dan nilai tukar rupiah melemah. Kedua hal tersebut berujung pada sebuah gambaran pesimis tentang prospek perekonomian domestik. Menyikapi hal tersebut, Bank Indonesia dan Pemerintah terus menerus melakukan koordinasi kebijakan serta senantiasa memonitor perkembangan perekonomian dari waktu ke waktu.

Dalam kondisi yang masih diselimuti berbagai permasalahan tersebut, inflasi dan stabilitas ekonomi tetap menjadi fokus utama Bank Indonesia. Upaya untuk menyeimbangkan antara pengendalian inflasi dan risiko ketidakstabilan di pasar uang secara umum terus menerus dilakukan. Untuk mengendalikan inflasi, Bank Indonesia mengambil kebijakan pengetatan moneter dengan menaikkan BI Rate sebesar 75 bps selama triwulan III-2008 serta mengoptimalkan seluruh instrumen kebijakan moneter yang tersedia. Kenaikan BI Rate telah diikuti dengan peningkatan suku bunga deposito dan suku bunga kredit. Hingga Agustus 2008, suku bunga deposito telah meningkat lebih tinggi dibandingkan peningkatan BI Rate yang dikuti oleh peningkatan suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI), sementara Kredit Konsumsi (KK) tercatat relatif stabil.

Perkembangan yang dicermati Bank Indonesia adalah kondisi likuiditas pasar uang di beberapa bank yang mengalami keketatan likuiditas. Keketatan ini dipengaruhi

Page 6: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008 92

oleh ketidakmerataan likuiditas di antara bank mengingat secara total kondisi likuiditas perbankan masih memadai. Selain itu, tingginya ekspansi kredit perbankan yang tidak disertai dengan pertambahan penghimpunan dana masyarakat yang memadai telah menyebabkan beberapa bank mengalami keketatan likuiditas. Perilaku berjaga-jaga perbankan dalam menghadapi peningkatan permintaan uang kartal menjelang hari raya keagamaan dan masih rendahnya ekspansi rekening pemerintah semakin menambah ketatnya kondisi likuiditas perbankan. Namun, keketatan likuiditas tersebut diperkirakan lebih bersifat temporer. Keketatan kondisi likuiditas ini diperkirakan akan berkurang setelah berakhirnya periode lebaran yang ditandai dengan kembalinya uang kartal ke sistem perbankan dan cenderung ekspansinya rekening pemerintah di triwulan IV-2008. Guna mengatasi permasalahan ketatnya kondisi likuiditas tersebut, Bank Indonesia telah melakukan berbagai upaya diantaranya melalui penyempurnaan pelaksanaan operasi moneter.

Di tengah gejolak keuangan global dan melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, perekonomian Indonesia pada triwulan III-2008 masih mencatat pertumbuhan yang tinggi. PDB triwulan III-2008 diprakirakan akan tumbuh sebesar 6,3% (yoy), setelah mencatat pertumbuhan sebesar 6,4% (yoy) pada triwulan II-2008. Kegiatan konsumsi rumah tangga diperkirakan menjadi motor pertumbuhan tersebut. Masih tingginya pertumbuhan konsumsi tersebut ditopang oleh masih kuatnya daya beli dan meningkatnya sumber pembiayaan konsumsi. Komponen permintaan domestik lainnya, yaitu investasi, juga menunjukkan pertumbuhan yang tinggi, terutama pada investasi nonbangunan. Namun, melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia berimbas pada melemahnya pertumbuhan ekspor Indonesia walaupun masih dalam level yang tinggi. Sementara itu, impor diperkirakan tumbuh tinggi sejalan dengan masih kuatnya permintaan domestik dan kebutuhan ekspor.

Perkembangan ekonomi global kemudian memberi tekanan pada Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan III-2008. Ekspor tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan impor. Impor yang masih tumbuh tinggi terkait dengan kuatnya permintaan domestik, disamping adanya kenaikan harga. Melambatnya perekonomian di negara maju, disertai penurunan harga komoditas dunia, akan menurunkan kinerja ekspor Indonesia. Namun, penurunan tersebut diperkirakan tidak terlalu dalam mengingat jenis produk ekspor Indonesia adalah ekspor berbasis sumberdaya alam yang kurang sensitif terhadap perlambatan ekonomi negara maju. Selain itu, peranan perdagangan intraregional di wilayah Asia Pasifik, khususnya China dan India yang meningkat dalam beberapa tahun belakangan ini mampu mencegah ekspor turun lebih tajam.

Berkaitan dengan impor dapat dikemukakan bahwa berdasarkan komposisinya, kenaikan impor yang terjadi terutama berupa bahan baku dan barang modal. Hal tersebut pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya aktivitas dan kapasitas produksi di dalam negeri yang akan berdampak positif pada perekonomian dalam jangka menengah panjang. Kegiatan impor terutama dilakukan oleh sektor industri (khususnya oleh subsektor industri kimia, subsektor logam dasar, besi dan baja, serta subsektor alat

Page 7: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2008

93

angkutan, mesin dan peralatan), serta sektor pengangkutan dan komunikasi, yang secara umum memiliki keterkaitan cukup besar dengan proses produksi di industri lainnya (backward & forward linkage).

Di sisi neraca modal dan portofolio, sentimen negatif yang dipicu gejolak di pasar keuangan global telah mendorong aliran keluar modal asing. Investasi portofolio mencatat terjadinya aliran keluar modal asing (net outflow). Guna memenuhi kebutuhan akan impor yang meningkat, pelaku ekonomi domestik melakukan penarikan aset yang ditempatkan di luar negeri dan sebagian dibiayai dari utang luar negeri, sebagaimana diindikasikan oleh komponen other investment yang mencatat aliran dana masuk (net inflow). Pada ujungnya, sejalan dengan perkembangan tersebut cadangan devisa tercatat sebesar USD57,1 miliar atau setara dengan 4,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Terjadinya aliran keluar modal asing memberi tekanan pada nilai tukar rupiah selama triwulan III-2008. Meskipun demikian, Bank Indonesia senantiasa mengawal perkembangan nilai tukar melalui kebijakan stabilisasi di pasar valas guna mengurangi tekanan dan volatilitas rupiah. Dengan upaya tersebut, rupiah dalam triwulan III-2008 secara rata-rata masih menguat dibandingkan periode sebelumnya. Nilai tukar rupiah secara rata-rata triwulanan terapresiasi 0,47% dari Rp9.259 per USD menjadi Rp9.216 per USD. Tekanan depresiatif mulai terjadi di penghujung triwulan III-2008 seiring dengan perkembangan ekonomi global yang memengaruhi perilaku pemilik modal asing. Risk aversion, atau sikap menghindari risiko dari para pelaku pasar, telah menyebabkan tekanan pada rupiah. Adanya tekanan terhadap nilai tukar juga dialami oleh mata uang regional yang melemah akibat sebaran dampak gejolak eksternal. Di sisi lain, rupiah, masih memiliki imbal hasil investasi yang menarik, tercermin dari tingginya spread suku bunga antara asing dan domestik. Hal ini pada gilirannya mampu mengurangi tekanan arus keluar dana asing dari instrumen rupiah lebih lanjut.

Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di akhir laporan (September 2008) ditutup pada level 1832 atau melemah 21,9% dibandingkan dengan akhir triwulan II-2008. Buruknya kinerja IHSG selama triwulan III-2008 lebih disebabkan oleh pengaruh memburuknya kondisi pasar keuangan global seiring dengan berlanjutnya kebangkrutan beberapa institusi keuangan internasional.

Ke depan, di tengah gejolak yang menyelimuti perekonomian global, pertumbuhan ekonomi diprakirakan masih tinggi di kisaran 6,2-6,4% pada tahun 2008 dan sedikit melemah pada tahun 2009. Masih tingginya pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh tingginya permintaan domestik. Tingginya permintaan domestik selain ditopang oleh ketersediaan pembiayaan, juga didukung oleh masih kuatnya daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga diprakirakan masih cukup kuat. Sementara itu, pertumbuhan investasi terutama didorong oleh investasi nonbangunan. Di sisi eksternal, tingginya

Page 8: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008 94

pertumbuhan impor barang modal dan bahan baku, diperkirakan akan menambah daya gerak perekonomian Indonesia ke depan. Optimisme tersebut didasarkan pada impor barang modal dan bahan baku yang dilakukan oleh sektor-sektor industri yang mempunyai daya ganda (multiplier effect) yang cukup besar terhadap perekonomian. Di lain pihak, pertumbuhan ekspor barang dan jasa diperkirakan melambat seiring dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia dan harga komoditas internasional. Sementara itu, tekanan inflasi dalam beberapa bulan ke depan diperkirakan masih tinggi. Laju inflasi IHK tahun 2008 diprakirakan akan berada pada kisaran 11,5%-12,5% (yoy). Sementara itu, dalam tahun 2009 tekanan inflasi diperkirakan akan mereda mulai pertengahan tahun sejalan dengan respon kebijakan moneter yang ditempuh saat ini serta menurunnya imported inflation terkait dengan penurunan tren harga komoditas internasional. Dengan perkembangan tersebut, inflasi tahun 2009 diprakirakan akan berada pada kisaran 6,5%-7,5% (yoy).

Perekonomian Indonesia ke depan juga masih dihadapkan pada berbagai risiko. Risiko terutama berasal dari perkembangan perekonomian dunia, khususnya keberlanjutan dari krisis finansial global. Pertumbuhan ekonomi dapat menjadi bias menurun akibat krisis tersebut yang juga menurunkan kinerja NPI sejalan dengan potensi penurunan harga-harga harga-harga komoditas internasional.

Dalam tataran kebijakan ke depan, Bank Indonesia akan memfokuskan perhatian pada upaya untuk mengurangi risiko inflasi tanpa mengganggu arah peningkatan pertumbuhan ekonomi secara berlebihan. Untuk itu, Bank Indonesia akan tetap melaksanakan kebijakan moneter yang terukur dan hati-hati dengan tetap menjaga momentum perkembangan perekonomian. Keputusan Dewan Gubernur BI pada Oktober 2008 untuk menaikkan kembali BI Rate sebesar 25 bps menjadi 9,5% terutama didasari oleh pertimbangan tersebut. Dari sisi stabilitas sistem keuangan, kebijakan Bank Indonesia tersebut juga diharapkan dapat menjaga stabilitas sistem keuangan domestik. Selain itu, kebijakan tersebut akan tetap diikuti oleh pemanfaatan piranti moneter lain secara optimal, untuk meminimalkan volatilitas nilai tukar rupiah serta menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang. Bank Indonesia akan terus menerus mencermati dan memonitor perkembangan ekonomi global dan akan segera melakukan penyesuaian kebijakan apabila diperlukan dalam tujuan menjaga kestabilan ekonomi makro dan pencapaian sasaran inflasi jangka menengah panjang.

Page 9: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

COMPARING THE EFFICIENCY OF ISLAMIC BANKSIN MALAYSIA AND INDONESIA

AscaryaDiana Yumanita1

A b s t r a c t

This study measures and compares the efficiency of Islamic banks in Malaysia and Indonesia using

Data Envelopment Analysis (DEA), which is a non-parametric and deterministic methodology for determining

the relative efficiency. The intermediation approach will be applied.

This study identifies the sources and the level of inefficiency of the inputs and outputs. The results

show that the Islamic banking in Indonesia is more efficient than the one in Malaysia in all three

measurements; the technical, the scale, and the overall efficiency. Technically, financing is one of the

sources of inefficiency in Malaysia, while human resource is one of the sources of inefficiency in Indonesia.

Islamic windows should be encouraged to convert to subsidiaries or Islamic full branches to improve

the scale and the overall efficiencies in Malaysia. Furthermore, the accelerated expansion both organically

and inorganically is needed to improve the scale and the overall efficiencies of the Islamic banking in

Indonesia.

i iJEL Classification: i i JEL Classification: C14, G21, G28

Keywords: Islamic banking, performance, efficiency, Data Envelopment Analysis (DEA).

1 Penulis adalah peneliti pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, [email protected], diana [email protected] terdahulu dari paper ini telah dipresentasikan pada International Conference on Islamic Banking & Finance 2007, 23 25 April2007, Kuala Lumpur.

Page 10: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

96 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

I. INTRODUCTION

The Islamic banks exist since early 1960s. The first Islamic bank established in 1963 as a

pilot project in the form of rural savings bank in a small town of Egypt, Mit Ghamr. After that,

Islamic banking movement came back to life in mid 1970s. The establishment of Islamic

Development Bank in 1975 triggered the development of Islamic banks in many countries,

such as Dubai Islamic Bank in Dubai (1975), Faisal Islamic Bank in Egypt and Sudan (1977), and

Kuwait Finance House in Kuwait (1977). By the end of 2005, more than 300 institutions in over

65 jurisdictions are managing assets worth around 700 - 1000 billion US dollars in a Shariah

compatible manner. A large part of the banking and Takaful concentration is in Bahrain Malaysia,

and Sudan. A significant part of mutual funds concentrate in the Saudi Arabian and Malaysian

markets in addition to the more advanced international capital markets.

In Malaysia, Islamic financial institutions exist since the establishment of the Pilgrimage

fund board in 1969. Malaysia started the establishment of Islamic bank, Bank Islam Malaysia

Berhad or BIMB in 1983. To accelerate the nationwide dissemination of Islamic banking, Bank

Negara Malaysia or BNM (the central bank of Malaysia) implemented Islamic banking scheme

or Islamic windows structure, which allow the conventional banks to offer Islamic banking

products and services using their existing infrastructure including staff and branches. Today,

Islamic financial system in Malaysia has emerged as important component that contributes to

the growth and development of Malaysian economy by diversifying the players encompasses

the domestic as well as the foreign banking players.

The Islamic banking system in Malaysia is represented by 29 Islamic banking institutions

comprising of 2 Islamic banks, 2 Islamic subsidiaries and 25 Islamic banking scheme banks.

Moreover, Islamic banking in Malaysia has reached more than 10% of the banking market

share. It is envisioned in the Financial Sector Master Plan (FSMP) that the Islamic banking industry

in Malaysia would achieved 20% of the banking market share in 2010.

In Indonesia, Islamic financial institutions started to emerge in early 1980s with the

establishment of Baitut Tamwil-Salman in Bandung dan Koperasi Ridho Gusti in Jakarta. The

first Islamic Bank in Indonesia, Bank Muamalat Indonesia, established in 1992. The development

of Islamic bank has been accelerated since Bank Indonesia (the central bank of Indonesia)

allowed conventional banks to open Islamic branch. This Islamic branch can offer Islamic banking

products and services separated from its conventional parent with its own infrastructure, including

staff and branches.

The Islamic banking system in Indonesia is currently represented by 3 Islamic banks and

19 Islamic branches, and 105 Islamic People»s Credit Bank, with 620 offices and 439 office

Page 11: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

97Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia

channeling spread through out the country. They offer comprehensive and wide range of Islamic

financial products and services and cater 1.54% of the banking market share. It is expected

that the Islamic banking industry in Indonesia would reached 5% of the banking market share

in 2008.

However, the Islamic banking in Malaysia and Indonesia has experiencing a slower growth

in the last two years. There are many factors that could be attributed to this slower growth. One

of these factors is the competitiveness since in the dual banking system they have to compete

head to head with the conventional banks. To win the competition, Islamic banks should know

the strengths and the weaknesses relative to their competitor. Therefore, analysis of the efficiency

of Islamic banks in comparison with conventional banks is very important to give a big picture

of the strengths and weaknesses of Islamic banks and their competitors.

Despite of the importance, there are very limited study focusing on the efficiency of

Islamic banks compare to the efficiency of conventional banks within a country or between

countries, especially in Malaysia and Indonesia. These measures could be used as a guide for

Islamic banks to improve their weaknesses to be able to compete in the global market and to

achieve the intended goals to improve the market share. Moreover, the goal to strengthen

Islamic banking structure could be achieved.

The objective of this study is to compare the efficiency of Islamic banks in Malaysia and

Indonesia using intermediation approach. This study will identify the sources and level of

inefficiency for each of the inputs and outputs. The measurement will give a relative efficiency

of individual bank compare to its peer group in every aspect considered.

II. THEORY

The concept of efficiency rooted from the microeconomic concept, namely, consumer

theory and producer theory. Consumer theory tries to maximize utility or satisfaction from

individual point of views, while producer theory tries to maximize profit or minimize costs from

producer point of views.

In the producer theory, there is a production frontier line that describes the relationship

between inputs and outputs of production process. This production frontier line represents the

maximum output from the use of each input. It also represents the technology used by a business

unit or industry. A business unit that operates on the production frontiers is technically efficient.

Figure II.1 shows the production frontier line.

Page 12: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

98 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Considered from economic theory, there are two different types of efficiency, namely

technical efficiency and economic efficiency. Economic efficiency has macro economic point of

view, while technical efficiency has micro economic point of view. The measurement of technical

efficiency limited to technical and operational relationship in a conversion process of input to

output. Whereas, in economic efficiency price can not be considered as given, since price can

be influenced by macro policy (Sarjana, 1999). According to Farell (1957), efficiency comprises

of two components, namely:

a. Technical efficiency describes the ability of a business unit to maximize output given certain

amount of input.

b. Allocative efficiency describes the ability of a business unit to utilize inputs in optimal

proportion based on their price.

When the two types of efficiency combined, it will produce economic efficiency. A company

is considered to be economically efficient if it can minimize the production costs to produce

certain output within common technology level and market price level.

Kumbhaker and Lovell (2000) argue that technical efficiency is only one of many

components economic efficiency as a whole. Nevertheless, in order to achieve economic efficiency

a company should produce maximum output with certain amount of input (technical efficiency)

and produce output with the right combination within certain price level (allocative efficiency).

Figure II.1Production Frontier Line

C

B

A

y

0 x

Page 13: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

99Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia

II.1. The Measurement of Efficiency

In the past few years, the performance measurement of the financial institution has

increasingly focused on the frontier efficiency or X-efficiency (rather than the scale efficiency),

which measures the deviation in performance of a financial institution from the best practices

or costs-efficient frontier that depicts the lowest production costs for a given level of output.

The X-efficiency stems from technical efficiency, which gauges the degree of friction and waste

in the production processes, and from the allocation efficiency, which measures the levels of

various inputs.

Frontier efficiency is superior for most regulatory and other purposes to the standard

financial ratios from accounting statements, such as return on asset (ROA) or cost/revenue ratio

that are commonly employed by regulators, managers of financial institutions, or industrial

consultants to assess the financial performance. This superiority lies on the usage of the

programming or the statistical techniques in order to obtain better estimates of the underlying

performance of the managers. This technique can removes the effects of the input prices

differences and other exogenous market factors affecting the standard performance ratios

(Bauer, et al., 1998).

The frontier efficiency has been used extensively in regulatory analysis to measure the

effects of the merger and the acquisition, capital regulations, deregulation of deposit rates, the

removal of geographic branching restrictions and the holding company acquisitions, etc., on

financial institution performance.

The tools to measure efficiency could be parametric and non-parametric. The parametric

approach uses stochastic econometric and tries to eliminate the impact of disturbance to

inefficiency, and commonly classified into 3 types, (i) the Stochastic Frontier Approach (SFA), (ii)

the Thick frontier approach (TFA), and (iii) the Distribution-free approach (DFA).

These approaches differ in their assumptions about the shape of the efficient frontier, the

treatment of random error, and the assumption of the inefficiencies and the random error

distribution. The parametric methods have disadvantages relative to the non-parametric methods

of having to impose more structure on the shape of the frontier by specifying its functional

form. However, an advantage of the parametric methods is that they allow for random error, so

these methods are less likely to misidentify measurement error, transitory differences in cost, or

specification error for inefficiency (Bauer, et al., 1998).

Meanwhile, non-parametric linear programming approach to measuring efficiency uses

non-stochastic approach and tends to combine disturbance into inefficiency. This is built based

on discovery and observation from the population and evaluates efficiency relative to other

Page 14: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

100 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

units observed. One of the non-parametric approaches, known as data envelopment analysis

(DEA), is a mathematical programming technique that measures the efficiency of a Decision

Making Unit (DMU) relative to other similar DMUs with the simple restrictions that all DMUs lie

on or below the efficiency frontier (Seiford and Thrall, 1990). The performance of a DMU is very

relative to other DMUs, especially those that cause inefficiency. This approach can also determine

how a DMU can improve its performance to become efficient.

DEA was first introduced by Charnes, Cooper, and Rhodes in 1978. Since then its utilization

and development have grown rapidly including many banking-related applications. The main

advantage of DEA is that, unlike regression analysis, it does not require an a priori assumption

about the analytical form of the production function so imposes very little structure on the

shape of the efficient frontier. Instead, it constructs the best practice production function solely

on the basis of observed data, and therefore the possibility of misspecification of the production

technology is zero. On the other hand, the main disadvantage of DEA is that the frontier is

sensitive to extreme observations and measurement error (the basic assumption is that random

errors do not exist and that all deviations from the frontier indicate inefficiency). Moreover,

there exists a potential problem of ≈self identifier∆ and∆≈near-self-identifier∆.

II.2. The Financial Institution Efficiency

The financial institution efficiency like banks can be approached from their activities,

which explain the relationship between the input and the output of the bank. These activities

are typically classified into 3 types; the production or operational approach, the intermediation

approach and the asset approach or the modern approach.

The first 2 approaches apply the classical microeconomic theory of the firm. The production

approach describes the banking activities as the production of services to depositors and

borrowers using all available factors such as labor and physical capital. The intermediation

approach describes the banking activities as intermediary institution to transform the money

borrowed from depositors (surplus spending units) into the money lent to borrowers (deficit

spending units).

The third approach is an improvement of the first two ones. It applies the modified

classical theory of the firm by incorporating some specificity of the banks activities including

the risk management, the information processing and some other form of agency problems.

These specificities are crucial in explaining the role of the financial intermediaries (Freixas and

Rochet, 1998). See the summary in Table II.1.

Page 15: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

101Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia

From those studies it can be concluded that asset approach is an advanced approach that

views bank not only has a classical function of intermediary, but also has other various new

functions. Therefore, asset approach is not suitable to be applied to Islamic banking which

focuses on extending financing to the real sector. Production approach can be applied for

Islamic banking, since this approach views Islamic bank as a general business unit. However, it

becomes too general, so that the very essence of Islamic banking is not represented. Meanwhile,

intermediation approach can be applied for Islamic banking since this approach views Islamic

banking as an intermediary institution. However, the input and output variables should be

selected carefully to really reflect the true essence of Islamic banking. Input and output variables

selected by Sufian (2006) are the closest to the characteristics of Islamic banking. Some

modifications might be needed to make it more representative.

2 As data on the number of employees are not readily made available, this study uses personnel expenses as a proxy measure.

Table II.1 Summary of Approaches Applied

Yudhistira»03 Staff Costs; Fixed Assets; Total Deposits Total Loans; Other Income; Liquid AssetsAscarya & Staff Costs; Fixed Assets; Total Deposits Total Loans; Other Income; Liquid AssetsYumanita»06Sufian»06 Labor Costs2; Fixed Assets; Total Deposits Total Loans; IncomeJemric & No. of Employees; Fixed Assets & Software; Total Loans; Short term SecuritiesVujcic»02 Total Deposits

Author Input Output

d i t e n p r acIntermediation Approach

d Ai rProduction Approach

Ascarya & Interest Costs; Staff Costs; Operational Costs Interest Income; Other Operational IncomeYumanita»06Jemric & Interest & Related Costs; Commissions for Interest & Related Revenues; Non interestVujcic»02 Services & Related Costs; Labor Related Revenues

Adm. Costs; Capital Related Adm. Costs

pAsset Approach pAsset Approach

Ascarya & Staff Costs to Total Assets; Interests Costs to Financing to Connected Party; Financing toYumanita»06 Total Assets; Other Costs to Total Assets Other Party; Financial PapersHadad Staff Costs to Total Assets; Interests Costs to Financing to Connected Party; Financing toet.al»03. Total Assets; Other Costs to Total Assets Other Party; Financial Papers

Banking efficiency has been a very important issue in a transition economy. All countries

in transition have been encounter at least with one banking crisis, and many with more than

one crisis (Jemric and Vujcic, 2002). Banking efficiency is also an important issue in a developing

Page 16: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

102 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

open economy, since most of them have also been faced a banking crisis in the past. Malaysia

and Indonesia are no exception.

There are a lot of studies on banking efficiency and most of them use parametric methods

instead of non-parametric particularly Data Envelopment Analysis (DEA). Moreover those studies

mostly are applied to the conventional banks while its application on the Islamic bank case is

still limited.

Yudistira measured the efficiency of 18 Islamic banks from various countries during 1997-

2000 using intermediation approach, since intermediation is a fundamental principle of Islamic

banking, (Yudistira, 2003). Ascarya and Yumanita measured the efficiency of Islamic banks in

Indonesia during 2002-2004 using intermediation and production approaches, since Islamic

banking not only can be viewed as intermediary institution, but can also be viewed as a production

entity, (Ascarya and Yumanita, 2006). Meanwhile, Sufian measured the efficiency of Islamic

window banks in Malaysia during 2001-2004 using intermediation approach with the same

reason as that of Yudistira, (Sufian, 2006). Another application of DEA was in Croatia during

1995-2000 using the intermediation and the production approach (Jemric and Vujcic, 2002).

Meanwhile, Hadad et al. measured efficiency of banks in Indonesia during 1995-2003 using

asset approach to see the impact of merger and acquisition, (Hadad et al., 2003).

III. METHODOLOGY

This study will apply Data Envelopment Analysis (DEA). DEA is a non parametric and

stochastic method to measure the relative efficiency of production frontier based on the

multiple inputs and multiple outputs of decision making unit data. The non-parametric nature

of DEA makes it require no assumption of the production function and the DEA approach

will generate the production function based on observed data, hence the misspecification

can be minimized. DEA can be applied to analyze different kind of inputs and outputs without

initially assigning weight. Moreover, the efficiency produced is a relative efficiency based on

observed data. The preference of the decision maker can also be accommodated in the

model.

III.1. Data Envelopment Analysis

Data envelopment analysis or DEA is a methodology for analyzing the relative efficiency

and managerial performance of productive or decision making units (DMUs). The DEA allows

us to compare the relative efficiency of banks by firstly determine the efficient banks as

Page 17: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

103Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia

benchmarks and then measure the inefficiencies in input combinations (slack variables) of other

banks relative to the benchmark (Jemric and Vujcic, 2002).

The DEA is an alternative approach to regression analysis. While the regression analysis

relies on central tendencies, the DEA is based on external observations. Furthermore the

regression approach applies a single estimated regression equation to each observation vector,

while the DEA use and analyze each vector (DMU) separately to produce individual efficiency

measures relative to the entire set under evaluation (Jemric and Vujcic, 2002).

From the set of available data, the DEA identifies the reference points (relatively efficient

DMUs) then define the efficient frontier as the best practice production technology and finally

evaluate the inefficiencies of other interior points, (Jemric and Vujcic, 2002). All the inefficient

DMUs will lies below the efficient frontier.

Besides producing efficiency value for each DMU, DEA also determines DMUs that are

used as reference for other inefficient DMUs.

DMU = decision making unit n : number of DMU evaluated

m : different inputs xij : number of input i consumed by DMUj

p : different outputs ykj : number of output k produced by DMUj

Two most frequently used DEA models are the CCR model (Charnes, Cooper, and Rhodes,

1978) and the BCC model (Banker, Charnes, and Cooper, 1984), both differ in their treatment

on the return to scale. The CCR assumes each DMU operates with constant return to scale,

while the BCC assumes each DMU can operate with variable return to scale.

Generally, the efficiency score of CCR model for each DMU will not exceed the BCC

model. This is because the BCC model analysis each DMU ≈locally∆ (i.e. compared to the

subset of DMUs that operate in the same region of return to scale) rather than ≈globally (Jemric

and Vujcic, 2002). Furthermore, a DMU like bank has similar characteristics one to another and

each bank usually varies in size and production level. This emphasize that size will matter in the

relative efficiency measurement. The CCR model represents (the multiplication of) pure technical

and scale efficiencies, while BCC model represents technical efficiency only.

We define the relative scale efficiency a the ratio of CCR model and BCC model,

Sk = q

k,CCR/q

k,BCC

Efficiency of DMU0

k y

k0Σp

k 1

vi x

i0Σm

i 1

Page 18: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

104 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

If the value of S = 1 means that the DMU operates in the best relative scale efficiency or

in its optimal size. If the value of S is less than 1 means that there still exists scale inefficiency

(equal to 1-S) of the DMU. Consequently, when a DMU is efficient under BCC model but

inefficient under CCR model it means the DMU has scale inefficiency.

OE = TE x SE, hence SE = OE/TE

OE: overall efficiency of CCR Model; TE: technical efficiency of BCC Model

III.2. The Formulation of Performance Indicators

The Islamic bank is essentially a business entity and is functioning as financial intermediary

and service provider that operate in compliance with Shariah. In addition, Islamic bank, which

is a part of the Islamic economic system to bring rahmatan lil alamin - «mercy to all that exist»,

is inline to the general humanitarian concept to achieve the social welfare improvement and

justice and to minimize the gap between the rich and the poor.

The General Council for Islamic Banks and Financial Institutions CIBAFI (2006) issued

performance indicators for Islamic Financial Institutions covering: 1) asset quality and composition;

2) capital structure; 3) profitability; 4) efficiency; 5) liquidity; and 6) growth. Samad and Hassan

(2000) measure the performance of Islamic bank focusing on four financial ratios: 1) profitability;

2) liquidity; 3) risk and solvency; and 4) commitment to economy and Muslim community.

Hameed et al. (2003) propose Islamicity disclosure index and Islamicity performance index.

The former covers 3 aspects: 1) Shariah compliance; 2) Corporate governance; and 3) Social/

environmental. The latter covers 1) profit sharing ratio; 2) zakah performance ratio; 3) equitable

distribution ratio; 4) directors-employees welfare ratio; 5) Islamic investment ratio; 6) Islamic

income ratio; and 7) AAOIFI index.

Another identification of the performance indicator is related to the social reporting

aspect. Maali et.al. (2006) identify 3 social disclosures as the benchmark; 1) social report on the

compliance with the Islamic principles in particular when dealing with different parties; 2)

social report on how the operations of the business have affected the well being of the Islamic

community; and 3) social report on institution»s role to help the Muslims to perform their

religious duties.

From indepth interviews and focus group discussions we realize that the Islamic bank

performance measurement should fulfill its responsibility to the shareholders (such as financial

soundness and sustainability), to the customer (such as customer satisfaction), to the employee

(such as fair treatment, facility and encouragement to perform religious duties), and to the

Page 19: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

105Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia

society (such as role in improvement of social welfare and employment). Therefore, we suggest

that comprehensive performance measurement should cover business, social, ibadah/da»wah,

and shariah compliance aspects. Parameters of each aspect should reflect the true essence and

characteristics of Islamic banking.

1. Business aspect measures the performance of an institution as a business entity, which

could include financial, management, operation, etc. Business aspect, including efficiency

and profitability, is important since sound and profitable business is needed for an institution

to be able to serve and bring benefit to the society.

2. Social aspect measures the contribution of an institution made to the society, which could

include zakah, infaq and shadaqah (ZIS), qardhul hasan, commitment to Muslims,

commitment to micro, small and medium enterprises (MSMEs), commitment to under

developed areas, corporate social responsibility (CSR), charitable activities, community

involvement, etc.

3. Ibadah/ da»wah aspect measures the effort of an institution to help Muslims to perform

their religious duties and improve their God consciousness (iman), which could include

iman improvement for employees, ibadah facilities, socialization, etc.

4. Shariah compliance aspect measures the adherence of an institution»s activities to Islamic

laws, which could include profit-and-loss sharing (PLS) ratio, financing to deposit ratio (FDR),

unlawful transactions, etc.

The description above should show clearly that the efficiency which is generally used to

measure the performance in market-driven concept is only one part of the holistic performance

concept explained above. The efficiency measure should be viewed with caution as it may

ignore the social justice (dzulm).

IV. RESULT AND ANALYSIS

IV.1. Data Description

The sources of the data are from financial statements of the Islamic banks in Malaysia

and Indonesia during the period of 2002-2005. There are 2 types of Islamic banks in Malaysia;

the full fledged Islamic bank and the conventional bank that offer Islamic banking products

called Islamic window (domestic and foreign owned), see Table II.2. Similarly, in Indonesia there

are also 2 types of Islamic banks; the full fledged Islamic bank and the conventional bank that

have separated its Islamic branch or Islamic business unit. Some data on newest and remote

Islamic Regional Development Branches are not yet available hence they are excluded from the

analysis.

Page 20: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

106 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

This study modifies the intermediation approach to better reflect Islamic bank activities,

as also adopted by Sufian (2006). Accordingly, we assume the Islamic banks produce Total

Loans (y1) and Income (y2) by employing Total Deposits (x1), Labor (x2) and Fixed Assets (x3).

Liquid assets are not included in since the Islamic banks are not dealing with the financial

instruments transaction but in the business of providing financing to the real sector.

As data on the number of employees are not available we use the personnel expenses as

a proxy. Table II.3 presents the aggregate series of inputs and outputs of Malaysian and Indonesian

Islamic banks included in this study.

Table II.2 Data of Islamic Banks

lalMalaysiaMalaysiaDomestic Full Fledged 2 2 2 2Domestic Window 9 9 9 9Foreign Window 4 4 4 4d nIndonesiandIndonesiaDomestic Full Fledged 2 2 3 3Domestic Full Branch (included) 5 7 10 16Domestic Full Branch (no data) 1 1 5 3

2002 2003 2004 2005

Table II.3 Inputs and Outputs Data (Real US$.000)

MalaysiaDeposits 13,141,963 14,541,280 16,304,807 18,921,325 44.0Labor 47,417 57,465 61,694 76,225 60.8Assets 14,665,918 17,097,693 18,396,941 22,537,563 53.7Financing 7,470,068 9,755,250 11,817,295 13,582,279 81.8Income 497,820 623,390 748,052 869,034 74.6

FDR 56.8 67.1 72.5 71.8Indonesia

Deposits 110,371 550,617 940,023 885,359 702.2Labor 8,580 13,060 19,084 20,174 135.1Assets 433,713 854,425 1,400,265 1,395,608 221.8Financing 347,468 598,175 1,041,176 1,093,134 214.6Income 51,847 85,358 140,256 141,101 172.1FDR 314.8 108.6 110.8 123.5

Malaysia: IndonesiaDeposits 119.1 26.4 17.3 21.4Labor 5.5 4.4 3.2 3.8

etAssets 33.8 20.0 1 113.1 16.1Financing 21.5 16.3 11.3 12.4Income 9.6 7.3 5.3 6.2

2002 2003 2004 2005 Growth

Page 21: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

107Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia

Some important issue can be drawn from the fact above. Firstly, over the four-year period,

the total assets of Malaysian Islamic banking operations grew by about 54%, while Indonesian

Islamic banking grew even more impressive by 222%, although it still significantly smaller (one

sixteenth) than that of Malaysia.

Secondly, during this period, there has been an increasing awareness among Malaysian

and especially Indonesian public about the Islamic banking and finance substantiated by the

growth of total deposits by 44% and 702% respectively. Thirdly, the contribution of the Islamic

banking in the economy has been increasing substantially reflected by the growth in total

financing extended of 82% in Malaysia and 215% in Indonesia. High financing to deposits

ratio reflects the contribution of Islamic banks to the real sector. Malaysia recorded an increasing

trend of FDR to reach the highest of 72.5% in 2004 and then slightly declined to 71.8% in

2005. Indonesia has always recorded high FDR of more than 100% and still recorded 123.5%

in 2005.

Another conclusion is about the employment in the Islamic banking industry during this

period. It is clear from table II.3 that the Islamic banking and finance industry in Malaysia and

Indonesia has created significant employment during this period.

As data on the number of employees are not readily made available, we use personnel

expenses as a proxy measure. From table II.3 it is apparent that personnel expenses have expanded

by approximately 61% in Malaysia and 135% in Indonesia. Finally, the Islamic banking and

finance industry has increasingly generated high returns. During the period of study, we have

witnessed more than 75% and 172% increase in total income of the Malaysian and the

Indonesian Islamic banks respectively. Table II.3 and II.4 in the appendix present the summary of

statistics for the inputs and outputs for Islamic banks included in this study for Malaysia and

Indonesia, respectively.

IV.2. Pre Tests

Theoretically, DEA does not require the proof that the samples are indeed belong to the

same population and similar level of technology, hence comparable. However, since the DEA

assumes that random errors do not exist and that all deviations from the frontier indicate

inefficiency therefore the DEA is sensitive to any extreme observations and measurement error.

To minimize this disadvantage, some parametric and non-parametric pre tests are done to

make sure that all samples are drawn from the same population. The pre tests results summary

can be read in table II.4.

Page 22: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

108 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Based on most of the results presented in Table II.4, we failed to reject the null hypothesis

at the 0.05 levels of significance that the Malaysian Islamic banks and Indonesian Islamic banks

come from the same population and have identical technologies. This implies there is no

significant difference between the Malaysian and Indonesian Islamic banks technologies and it

is appropriate to construct a combined frontier.

IV.3. DEA Results

The efficiency of Islamic banks in Malaysia and Indonesia are measured in several ways by

applying the DEA method. To ensure a comparable measurement, the Malaysian and the

Indonesian Islamic banks are pooled together to form a common frontier. First, all banks are

measured for single year from 2002 to 2005. Second, all banks for all years are pooled to

measure the overall efficiency. Table II.5 reports the sample statistics of the various efficiency

scores of Malaysian and Indonesian Islamic banks for the years 2002 (Panel A), 2003 (Panel B),

2004 (Panel C), 2005 (Panel D), and all banks all years (Panel E).

Table II.4 Summary of Parametric and Non Parametric Tests for the Null Hypothesis that Malaysian

and Indonesian Islamic Banks Possess Identical Technologies

Individual Test O TesANOVA Test t e tt test an nhMann Whitney

Hypothesis MeanI MeanM MedianI MedianM

Test Statistics F(Prb>F) t(Prb>t) z(Prb>z)

Overall Efficiency 0.3305 0.645 (0.004)

Technical Efficiency 0.3540 0.492 (0.004)

Scale Efficiency 0.0003 0.051 (0.017)

Test GroupItem

Parametric Non Parametric

Accept Ho: There is no significant difference

Table II.5 Summary Statistics of Efficiency Measures

A SIMALAYSIA

Overall Efficiency 0.723 0.295 1.000 0.243

Technical Efficiency 0.832 0.346 1.000 0.222

Scale Efficiency 0.862 0.581 1.000 0.133

Mean Minimum Maximum Std DevEfficiency Measures

e A el A Panel A. 2002Panel A. 2002

Page 23: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

109Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia

Table II.5 Summary Statistics of Efficiency Measures (continue)

MALAYSIAMALAYSIA

Overall Efficiency 0.684 0.059 1.000 0.255

Technical Efficiency 0.750 0.059 1.000 0.253

Scale Efficiency 0.919 0.530 1.000 0.143

NINDONESIANINDONESIA

Overall Efficiency 0.724 0.171 1.000 0.219

Technical Efficiency 0.830 0.332 1.000 0.197

Scale Efficiency 0.867 0.376 1.000 0.163

Mean Minimum Maximum Std DevEfficiency Measures

. Pan Panel B. 2003

D N AINDONESIA

Overall Efficiency 0.847 0.366 1.000 0.232

Technical Efficiency 0.993 0.949 1.000 0.019

Scale Efficiency 0.853 0.366 1.000 0.229

el C Panel C. 2004

A YSIMALAYSIA

Overall Efficiency 0.734 0.245 1.000 0.284

Technical Efficiency 0.809 0.288 1.000 0.247

Scale Efficiency 0.897 0.527 1.000 0.169

D N AINDONESIA

Overall Efficiency 0.855 0.333 1.000 0.224

Technical Efficiency 0.927 0.476 1.000 0.172

Scale Efficiency 0.907 0.699 1.000 0.117

el D Panel D. 2005

M A AMALAYSIA

Overall Efficiency 0.748 0.323 1.000 0.229

Technical Efficiency 0.810 0.328 1.000 0.208

Scale Efficiency 0.919 0.630 1.000 0.135

IINDONESIA

Overall Efficiency 0.885 0.437 1.000 0.187

Technical Efficiency 0.921 0.659 1.000 0.130

Scale Efficiency 0.951 0.663 1.000 0.103

el E. EA YPanel E. ALL YEAR

MALAYSIA

Overall Efficiency 0.742 0.068 1.000 0.270

Technical Efficiency 0.807 0.071 1.000 0.250

Scale Efficiency 0.919 0.520 1.000 0.150

ESIINDONESIA

Overall Efficiency 0.848 0.338 1.000 0.200

Technical Efficiency 0.918 0.461 1.000 0.158

Scale Efficiency 0.919 0.622 1.000 0.128

Page 24: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

110 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

The results suggest the overall efficiency of Malaysian Islamic banks improve and reach

the highest mean of 74.8% in 2004 (Panel C) and then decline slightly to 74.2% in 2005 (Panel

D). The decomposition of overall efficiency into its pure technical and scale efficiency components

suggest that the technical inefficiency dominates the scale inefficiency of Malaysian Islamic

banks for all years. The technical efficiency has been somewhat declining to 80.7% in 2005

(Panel D), while the scale efficiency has been improving to 91.9% in 2005 (Panel D). This

implies that during the period of study, the Malaysian Islamic banks have been operating at

slightly higher scale efficiency but technically less efficient (see Figure II.2, left).

Figure II.2Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia

In Indonesia, the overall efficiency of the Islamic banks is stable and reached the highest

mean of 88.5% in 2004 as in Malaysia. In 2005, the overall efficiency of Indonesia Islamic bank

also down slightly to 84.8%. From 2002 to 2004, the scale efficiency of the Indonesia Islamic

bank increased but slightly down in 2005 (see Figure II.2, right).

The scale efficiency can be further investigated by looking at the return to scale trend

calculated using the DEA, as presented on Table II.6:

Malaysia

0.70

0.80

0.90

1.00

2002 2003 2004 2005

OVERAL

TECHNICAL

SCALE

Indonesia

0.70

0.80

0.90

1.00

2002 2003 2004 2005

OVERAL

TECHNICAL

SCALE

Table II.6 Return to Scale

alOOverallCRS 12 54.5 13 54.2 14 50.0 17 50.0IRS 5 22.7 5 20.8 5 17.9 4 11.8DRS 5 22.7 6 25.0 9 32.1 13 38.2TOTAL 22 100.0 24 100.0 28 100.0 34 100.0

2002 2003 2004 2005

Bank % Share Bank % Share Bank % Share Bank % Share

Page 25: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

111Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia

In Malaysia, in general 6 of 15 Islamic banks operate efficiently during 2002-2005. In

Indonesia the number of Islamic bank is growing from 7 banks in 2002 to 19 in 2005. Around

half of the new Islamic bank from year to year can operate in efficient scale. In 2005, 11 of 19

Islamic bank in Indonesia run efficiently in scale.

IV.3.1. Individual Bank Investigation

Deeper analysis on individual bank is presented on Table Appendix II.3 in appendix. In

Malaysia, most of Islamic banks operate at diseconomies of scale (DRS) or constant return to

scale (CRS). It is found that the larger Islamic banks in Malaysia tend to be more efficient than

the smaller ones. On the other hand, all the profitable banks are efficient. For the smaller

banks, the decomposition of overall efficiency suggest that the foreign window banks are

mostly efficient in scale, while the inefficiency is mainly attributed to the technical aspect3.

In Indonesia, almost all Islamic banks are either operating at scale efficient (CRS) or

operating at diseconomies of scale (DRS). Most of the Islamic banks experiencing CRS are older

banks, while Islamic banks experiencing DRS mostly are newer banks. This is true since for the

year 2005 there are six new Islamic banks added in the analysis, while the existing banks are

also still expanding. All profitable Islamic banks in Indonesia also tend to be efficient banks as

in Malaysia. However, size does not always correspond with efficiency in Indonesia as we can

find an efficient bank both in large or smaller scale.

Table II.6 Return to Scale (continue)

M ayaMalayMalaysiaMalaysia

CRS 6 40.0 7 46.7 5 33.3 6 40.0

IRS 5 33.3 4 26.7 5 33.3 2 13.3

DRS 4 26.7 4 26.7 5 33.3 7 46.7

TOTAL 15 100.0 15 100.0 15 100.0 15 100.0

I nI nIndonesiaIndonesia

CRS 6 85.7 6 66.7 9 69.2 11 57.9

IRS 0 0.0 1 11.1 0 0.0 2 10.5

DRS 1 14.3 2 22.2 4 30.8 6 31.6

TOTAL 7 100.0 9 100.0 13 100.0 19 100.0

2002 2003 2004 2005

Bank % Share Bank % Share Bank % Share Bank % Share

3 These findings are contradict to the findings of Sufian (2006), where he found that foreign window banks were almost scale efficientand the inefficiency were mainly attributed to scale.

Page 26: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

112 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Besides generating an efficient frontier another salient feature of DEA is its ability to

generate a set of references for the inefficient bank to benchmark to. Table II.7 shows those

referenced banks in 2005. There are more Indonesian Islamic banks set as the benchmarks. On

total, Indonesian Islamic banks have been benchmarked 51 times, while Malaysian Islamic

banks have been benchmarked only 16 times. Among all the Islamic banks, Bank Muamalat

Indonesia is the most referred bank and the EON Bank from Malaysia is the second most

referred bank.

IV.3.2. Sources of Inefficiencies

Another useful feature of DEA is that it can identify the source of inefficiency. In 2005, the

3 largest sources in Malaysian Islamic Bank are financing (52.39%), labor (20.22%) and deposits

(11,61%). This means the Malaysian Islamic banks should increase their financing over the

deposit (FDR) since the core business of Islamic bank is to extend the financing of the real sector.

Figure II.3Potential Improvements for Islamic banks in Malaysia and Indonesia

Malaysia

Deposits,11.61%

Labor,20.22%

Assets,11.60%

Financing,52.39%

Income,4.17%

Indonesia

Deposits,25.73%

Labor,29.56%

Assets,25.07%

Financing,0.00%

Income,19.64%

Table II.7 Reference Set

1 Bank Muamalat Indonesia 13 8 Bank Tabungan Negara 2

2 EON Bank 12 9 Bank Jabar 2

3 Bank DKI 12 10 Public Bank 1

4 Bank BRI 11 11 Hong Leong Bank 1

5 Bank IFI 7 12 Bank Danamon 1

6 Maybank 3 13 Affin Bank 1

7 Bank Syariah Mandiri 3

No Bank Count No Bank Count

Page 27: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

113Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia

Contrary to the Malaysian case, the most efficient element of Indonesian Islamic banking

is financing, while the most inefficient element is labor costs. In 2005, 29.56% of the inefficiencies

can be attributed to the personnel expenses as the supply of human resource is always lagging

behind the demand. Even in the expansion of the universities and the higher educational

institutions offering Islamic Economic and Finance, the number of graduates are still could not

catch up with the demand.

In general, the Indonesian Islamic banks are relatively more efficient than Malaysian in

terms of the three measures applied on this study. The FDR in Indonesia has always been higher

than 100 percent, reflecting a high contribution of Indonesian Islamic banking to the real

sector. This conclusion should be further investigated as the FDR increase could also caused by

a slower deposit mobilization, especially when the market interest rate increase and the fund is

shifting to conventional bank in order to gain a higher return.

V. CONCLUSION AND RECOMMENDATOIN

Several conclusions derived from the comparison of the Indonesian vs. Malaysian Islamic

banking system are:

Islamic banking in Malaysia existed 10 years earlier than that of Indonesia. Currently, its

asset size is 16 times larger.

In Malaysia, the scale efficiency has reached 92%, however the overall efficiency remains

around 74% due to low technical efficiency. There are only 40% efficient Islamic banks in

Malaysia from 2002 √ 2005 where the large Islamic window banks tend to be more efficient

than the small ones.

Profitable banks tend to be efficient banks. 7 of 15 Malaysian Islamic banks operate in

diseconomies of scale (DRS) in 2005, especially small and foreign owned banks.

In a relatively infant stage and small size, Indonesian Islamic banking has recorded high

overall efficiency of 85%, mainly due to the improvement in scale efficiency from impressive

growth. Technical efficiency has always been high at higher level than Malaysia. However,

the percentage of efficient Islamic banks in Indonesia has been declining from 86% (6 out

of 7) in 2002 to 58% (11 out of 19) in 2005. Most efficient Islamic bank in Indonesia are old

bank.

Labor has been a problem of Islamic banks in Indonesia and requires top priority improvement.

The Islamic banks also need further expansion both organically and inorganically to improve

its scale and the overall efficiency.

Page 28: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

114 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

The policy implications are straightforward especially as recommended below:

The Islamic banks in Malaysia should redirect their orientation not to follow the path of

conventional banks, which mainly focus on the monetary sector by expanding the financing

activities to improve their FDR. One alternative policy is to give an incentive for Islamic banks

that extend more financing, while to give disincentive for Islamic banks that maintain excess

liquidity and opt to place them in the short-term financial instruments.

The size of the Islamic (window) bank matters in Malaysia. Consequently, the window banks

should be encouraged to convert to subsidiaries or full branches apart from their parent

conventional banks. This strategy will improve their scale and overall efficiencies.

Instead of relying on organic expansion, which is naturally slow, this study recommend the

rapid acceleration of the Islamic banks in Indonesia, directed by the government. The

government is encouraged to expand inorganically by converting one state owned

conventional bank into Islamic bank, preferably the one with large networks.

Human resource has always been a problem in Indonesian Islamic banking. In the short, the

education and training should be conducted for every level of management. In the long

term, special fields of study in Islamic economic and finance should be opened in graduate

and undergraduate levels, as well as inserting Islamic economic and finance curriculum in

high school.

Minimum budget allocated for human resources development is another proposed policy.

In addition, the government could give incentives by financing participation in human

resources development program and also provide a free training for the Islamic bank officers.

Page 29: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

115Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia

REFERENCES

Ascarya and Yumanita, Diana. ≈Analisis Efisiensi Perbankan Syariah di Indonesia dengan Data

Envelopment Analysis∆, TAZKIA Islamic Finance and Business Review, Vol.1, No.2 (2006).

Bauer, Paul W., Berger, Allen N., Ferrier, Gary D., and Humphrey, David B. ≈Consistency Conditions

for Regulatory Analysis of Financial Institutions: A Comparison of Frontier Efficiency Methods∆,

Federal Reserve, Financial Services Working Paper, 02/97 (1998).

Berger, Allen N., Humphrey, David B. ≈Efficiency of Financial Institutions: International Survey

and Directions for Future Research∆, European Journal of Operational Research (1997).

General Council for Islamic Banks and Financial Institutions. CIBAFI Performance Indicators,

CIBAFI, 2006.

Coelli, Tim, Rao, DS. Prasada, and Battese, George E. An Introduction to Efficiency and

Productivity Analysis, Kluwer Academic Publishers, 1998.

Denizer, Cevdet A., et al. Measuring Banking Efficiency in the Pre and Post Liberalization

Environment: Evidence from the Turkish Banking System, World Bank, 2000.

Farrell, M.J. ≈The Measurement of Productive Efficiency,∆ Journal of The Royal Statistical Society,

120, 253-81 (1957).

Freixas, Xavier and Rochet, Jean-Charles. Microeconomics of Banking, The MIT Press, Cambridge,

Massachusetts, London, England, 1998.

Hadad, Muliaman D., et al. ≈Analisis Efisiensi Industri Perbankan Indonesia: Penggunaan Metode

Nonparametrik Data Envelopment Analysis (DEA)∆, Biro Stabilitas Sistem Keuangan Bank

Indonesia, Research Paper, no. 7/5, (2003).

Hameed, Shahul M.I. et al. ≈Alternative Disclosure and Performance Measures for Islamic Banks∆,

Paper, Presented at International Conference on Management and Administrative Sciences,

Faculty of Economics, University of King Fahd Petroleum and Mineral (2003).

Jemric, Igor and Vujcic, Boris. ≈Efficiency of Banks in Croatia: A DEA Approach, Croatian National

Bank∆, Working Paper, 7 February (2002).

Page 30: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

116 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Kumbhaker, Subal C. and Lovell, C.A. Knox. Stochastic Frontier Analysis, Cambridge University

Press, United Kingdom, 2004.

Maali, Basam et al. ≈Social Reporting by Islamic Banks∆, Abacus, Vol.42, No.2 (2006).

Samad, Abdus and Hassan, M. Kabir. ≈The Performance of Malaysian Islamic Bank during

1984-1997: An Exploratory Study∆, International Journal of Islamic Financial Services, Vol.1,

No.3, October-December (1999).

Sufian, Fadzlan. ≈The Efficiency of Islamic Banking Industry in Malaysia: Foreign Versus Domestic

Banks∆, Paper, INCEIF Colloquium, Malaysia, April (2006).

Yudistira, Donsyah. ≈Efficiency in Islamic Banking; An Empirical Analysis of 18 Banks∆, Paper,

Loughborough University, United Kingdom (2003).

Page 31: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

117Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia

APPENDIX

Table Appendix II.1 Descriptive Statistics of Malaysian Islamic Banks

TPUOUTPUT

i n Total Financing

Min 5,473 4,448 2,923 1,546

Mean 498,005 650,350 787,820 905,485

Max 2,171,982 3,044,636 3,712,326 3,978,985

S.D 619,756 848,942 984,796 1,073,597

n oIncome

Min 1,042 1,539 2,913 985

Mean 33,188 41,559 49,870 57,936

Max 145,517 148,730 155,722 183,899

S.D 44,444 43,333 49,963 60,753

PUINPUT

Total Deposits

Min 16,386 25,442 159,772 107,226

Mean 876,131 969,419 1,086,987 1,261,422

Max 3,201,733 3,272,005 4,064,761 4,579,731

S.D 999,222 1,065,232 1,148,374 1,344,370

o Labor Costs

Min 196 233 117 105

Mean 3,161 3,831 4,113 5,082

Max 19,782 22,929 23,897 32,750

S.D 6,002 6,867 7,150 9,372

etAssets

Min 24,488 39,155 213,591 129,197

Mean 977,728 1,139,846 1,226,463 1,502,504

Max 3,474,857 4,052,667 3,966,089 5,655,260

S.D 1,090,688 1,237,634 1,164,147 1,557,892

2002 2003 2004 2005($ 000) ($ 000) ($ 000) ($ 000)

Page 32: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

118 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Table Appendix II.2Descriptive Statistics of Indonesian Islamic Banks

TPUOUTPUT

i n Total Financing

Min 607 3,348 485 772

Mean 49,638 66,464 80,090 57,533

Max 188,410 243,709 483,915 438,709

S.D 71,338 96,747 157,981 134,216

n oIncome

Min 23 479 35 37

Mean 7,407 9,484 10,789 7,426

Max 26,564 38,878 64,030 60,130

S.D 11,365 15,912 21,179 17,481

PUINPUT

Total Deposits

Min 411 2,597 394 301

Mean 15,767 61,180 72,309 46,598

Max 87,394 237,872 437,862 374,120

S.D 32,208 100,576 146,307 114,040

oLabor Costs

Min 93 84 29 17

Mean 1,226 1,451 1,468 1,062

Max 3,889 5,887 7,405 8,836

S.D 1,607 2,141 2,416 2,108

etAssets

Min 1,511 4,709 1,675 1,434

Mean 61,959 94,936 107,713 73,453

Max 229,304 356,133 635,353 546,614

S.D 91,560 147,355 204,025 162,039

2002 2003 2004 2005($ 000) ($ 000) ($ 000) ($ 000)

Page 33: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

119Comparing the Efficiency of Islamic Banks in Malaysia and Indonesia

Table Appendix II.3Summary of Efficiency Measures 2005

lMalalMal D m F l ed edDomestic Full Fledgedm F l ed edD Domestic Full Fledged OEOE OROAOROA OEOE ROAROA OOEOOE ROAROA OEOE RROARROA

2 Bank Islam Malaysia 3,928,457 0.66 3.20 0.68 0.58 0.55 0.57 0.64 0.28

3 Bank Muamalat 2,545,530 0.45 0.31 0.49 0.36 0.38 0.05 0.57 0.29

alMal m c oDomestic Window

1 Maybank 5,655,260 1.00 1.68 1.00 0.90 1.00 0.77 1.00 1.35

4 Public Bank 1,994,331 1.00 2.62 0.84 2.50 0.91 1.88 0.83 1.69

5 RHB Islamic Bank 1,889,672 0.56 0.54 0.99 2.18 0.69 1.08 0.69 1.01

6 Hong Leong Bank 1,441,707 1.00 1.39 1.00 1.68 1.00 2.04 1.00 1.43

7 Hong Kong Bank 1,302,628 0.82 0.78 0.93 0.50 0.95 0.38 1.00 2.65

8 EON Bank 1,061,960 1.00 2.47 1.00 1.88 1.00 1.50 0.81 1.07

9 Affin Bank 904,394 1.00 0.85 0.85 1.03 1.00 1.22 0.98 0.94

16 Southern Bank 202,439 0.79 0.67 0.73 1.05 0.77 5.04 0.73 3.65

17 Commerce Tijari 129,197 0.07 3.15

Arab Malaysian Bank 338,447 0.69 1.25 0.81 0.18 0.57 1.07

alMal on nForeign Window

10 OCBC 582,394 0.77 0.88 0.72 0.62 0.35 0.44 0.36 0.65

13 Alliance Bank 384,206 0.80 0.90 0.62 0.92 0.25 0.94 0.29 1.11

14 Citibank 266,457 0.43 0.94 0.35 0.55 1.00 1.45 0.94 3.84

15 Standard Chartered Bank 248,932 0.79 0.30 0.32 0.48 0.36 1.36 0.42 2.61

I dI dIndInd m F l ed ed m F l ed edDomestic Full FledgedDomestic Full Fledged

11 Bank Syariah Mandiri 546,614 1.00 1.18 0.99 1.51 0.72 0.53 1.00 1.55

12 Bank Muamalat Ind 511,232 1.00 2.11 1.00 1.54 0.90 1.59 1.00 2.06

20 Bank Syariah Mega Ind 38,904 0.89 0.81 0.77 2.51

dInd m F l D c rDomestic Full Branch

18 Bank Negara Indonesia 91,912 0.84 2.05 0.91 N/A 1.00 0.01 1.00 N/A

19 Bank BRI 43,936 1.00 0.34 1.00 3.76 0.76 8.41 0.37 15.22

22 Bank Bukopin 26,098 0.99 0.56 1.00 1.73 1.00 0.27 0.89 2.57

23 Bank Danamon 24,457 1.00 11.77 1.00 0.21 0.98 2.47 0.74 10.18

24 Bank Niaga 22,402 0.85 0.57 0.44 N/A

26 Bank Tabungan Negara 10,844 1.00 0.76

27 Bank International Ind 9,887 0.94 9.57 0.84 17.20 0.33 3.59

28 Bank Permata 9,851 0.61 3.44

32 Bank IFI 2,572 1.00 2.01 1.00 2.50 1.00 3.84

dInd r cR i Regional Full Branch

21 Bank Jabar 26,630 1.00 2.82 1.00 1.67 1.00 0.77 0.94 0.21

25 Bank Sumut 15,180 0.52 1.43

29 BPD Aceh 5,337 0.34 0.26

30 Bank DKI 4,202 1.00 2.96 0.57 1.84

31 Bank Riau 2,591 0.84 0.87 1.00 N/A

33 BPD NTB 1,525 0.62 2.65

34 Bank Kalsel 1,434 0.67 0.61

Size BANK Assets 2005 2004 2003 2002

Page 34: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

halaman ini sengaja dikosongkan

Page 35: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

CADANGAN DEVISA, FINANCIAL DEEPENINGDAN STABILISASI NILAI TUKAR RIIL RUPIAH AKIBAT GEJOLAK

NILAI TUKAR PERDAGANGAN

Priadi Asmanto1

Sekar Suryandari 2

A b s t r a c t

These papers analyze the influence of the international reserves and the financial deepening on the

real exchange rate stabilization due to the terms of trade shock. The analysis covers 6 countries with

quarterly data (Indonesia, United States, Japan, Hong Kong, Singapore and South Korea during the period

of 2000.1 to 2006.4). This research utilizes the international reserves mitigation and the financial deepening

mitigation model.

This result shows that the reserves mitigation terms variable plays important role as the real exchange

rate stabilization regarding the terms of trade shock in a common sample, but not in specific country. The

mitigation effect associated with international reserves (buffer stock effect) applies only in South Korea.

While for United State and Indonesia mitigation effect associated with international reserves opposite

way. Even for Hong Kong, Japan and Singapore, the mitigation effect does not have significant induces

real exchange rate stability.

Furthermore, the financial deepening mitigation terms variable cannot be treated as the real exchange

rate stabilization in a common sample, but not specific country. The mitigation effect associated with

financial deepening (shock absorber effect) applies only in United States and Indonesian economic, while

for South Korea the mitigation effect associated with the financial deepening works in opposite way.

Even for Hong Kong, Japan and Singapore, the mitigation effect of financial deepening does not have

significant induces real exchange rate stability.

In Indonesian economic, the financial deepening is more effective than the international reserve to

create the real exchange rate stability. The shock absorber effect in Indonesia is more effective than the

buffer stock effect to stabilize the real exchange rate due to the terms of trade shock.

i i JEL Classification: E44, F31, F32

Keywords: International reserves, buffer stock, financial deepening, shock absorber, terms of

trade shock, real exchange rate.

1 Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Email: [email protected] Alumni Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya. Email: [email protected]. Penulis berterimakasih

kepada Dr. Andi M. Alfian Parewangi yang berkenan memberikan saran dan komentar pada penulisan paper ini.

Page 36: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

122 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

I. PENDAHULUAN

Perkembangan ekonomi Indonesia dewasa ini menunjukkan semakin terintegrasi dengan

perekonomian dunia. Hal ini merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem perekonomian

terbuka yang dalam aktivitasnya selalu berhubungan dan tidak lepas dari fenomena hubungan

internasional. Adanya keterbukaan perekonomian ini memiliki dampak pada perkembangan

neraca pembayaran suatu negara yang meliputi arus perdagangan dan lalu lintas modal terhadap

luar negeri suatu negara.

Salah satu bentuk aliran modal yang masuk ke dalam negeri yaitu dapat berupa devisa

yang berasal dari perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara tersebut. Meningkatnya

ekspor suatu negara akan membawa keuntungan yaitu kenaikan pendapatan, kenaikan devisa,

transfer modal dan makin banyaknya kesempatan kerja. Demikian pula meningkatnya impor

suatu negara akan memberikan lebih banyak alternatif barang-barang yang dapat dikonsumsi

dan terpenuhinya kebutuhan bahan-bahan baku penolong serta barang modal untuk kebutuhan

industri di negara-negara tersebut dan transfer teknologi.

Perdagangan internasional akan terjadi pada suatu perbandingan harga tertentu yaitu

antara harga ekspor dan harga impor yang sering disebut nilai tukar perdagangan (terms of

trade, TOT). Nilai tukar perdagangan besar sekali pengaruhnya terhadap kesejahteraan suatu

bangsa dan juga sebagai pengukur posisi perdagangan luar negeri suatu bangsa. TOT yang

disimbolkan dengan N dihitung sebagai perbandingan antara indeks harga ekspor (Px) dengan

indeks harga impor (Pm) atau N = Px/Pm (Nopirin 1992: 71). Kenaikan N menunjukkan perbaikan

di dalam Terms of Trade. Perbaikan terms of trade ini dapat timbul sebagai akibat nilai perubahan

harga ekspor yang lebih besar realatif terhadap harga impor.

Perbaikan terms of trade akan meningkatkan pendapatan negara tersebut dari

perdagangan demikian sebaliknya. Selain mempengaruhi pendapatan negara, pergerakan TOT

juga mempengaruhi nilai tukar riil, (Mankiw, 2000: 195). Upaya untuk mengatasi pengaruh

memburuknya terms of trade terhadap nilai tukar ini dapat menggunakan cadangan devisa

(international reserves) yang dimiliki negara yang bersangkutan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian

Aizenman and Crichton (2006), menyebutkan bahwa negara-negara yang mengekspor barang-

barang sumberdaya alam memiliki volatilitas terms of trade yang 3 kali lebih volatil dibandingkan

negara-negara yang mengekspor barang manufaktur. Selain besaran pergerakan TOT, volatilitas

ini juga mempengaruhi nilai tukar riil suatu negara

Pada dasarnya international reserves berfungsi sebagai buffer stock untuk berjaga-jaga

guna menghadapi ketidakpastian keadaan yang akan datang. Sehingga, apabila terjadi depresiasi

nilai tukar riil akibat memburuknya terms of trade maka disitulah international reserves berfungsi

Page 37: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

123Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat GejolakNilai Tukar Perdagangan

sebagai penstabil. Perbaikan terms of trade akan meningkatkan aliran modal masuk sehingga

akan kembali mendorong apresiasi nilai tukar riil.

Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Rajan dan Siregar (2004), diperoleh bahwa

reserves merupakan kunci utama dari suatu negara untuk dapat menghindari krisis ekonomi

dan keuangan. Terutama bagi negara-negara dengan perekonomian yang terbuka dimana aliran

modal internasional adalah volatil atau rentan terhadap terjadinya shock yang merambat dari

negara lain (contagion effect). Bahwa dengan melihat pengalaman krisis yang terjadi pada

tahun 1997, negara yang memiliki reserves yang besar dapat menghindari contagion effect

dari krisis dengan lebih baik dibandingkan dengan negara yang memiliki reserves yang kecil.

Upaya untuk mengatasi gejolak nilai tukar akibat terms of trade shock selain dengan

international reserves juga dapat diatasi dengan mengukur financial deepening (kedalaman

sektor keuangan) suatu negara. Financial deepening diukur melalui rasio M2 dibagi GDP (Gross

Domestic Product). Penggunaan rasio ini dikarenakan merupakan rasio paling umum yang

digunakan untuk mengukur perkembangan sektor keuangan suatu negara. Hasil rasio ini akan

menunjukkan rasio penggunaan M2 untuk menghasilkan setiap GDP. Semakin kecil dalam

rasio tersebut menunjukkan semakin dangkal sektor keuangan suatu negara dan semakin besar

rasio tersebut menunjukkan sektor keuangan negara tersebut semakin dalam.

Suatu negara dengan rasio financial deepening yang besar cederung mengurangi peran

international reserves sebagai penstabil nilai tukar riil. Hal ini dikarenakan negara dengan rasio

financial deepening yang besar dapat dikatakan telah memiliki pertumbuhan ekonomi yang

sudah baik sehingga negara tersebut dapat mengatasi gejolak nilai tukar akibat terms of trade

shock dengan penyesuaian otomatis melalui mekanisme pasar, Aizenman dan Crichton (2006).

Karakteristik Indonesia sebagai ∆small open economy∆ yang menganut sistem devisa

bebas dan sistem nilai tukar mengambang (free floating) menyebabkan pergerakan nilai tukar

di pasar rentan oleh pengaruh faktor ekonomi dan non-ekonomi. Untuk mengurangi gejolak

nilai tukar yang berlebihan maka pelaksanaan intervensi menjadi sangat penting terutama untuk

menjaga stabilitas nilai tukar pada saat tertentu yang benar-benar dibutuhkan agar dapat

memberikan kepastian bagi dunia usaha. Salah satu bentuk intervensi itu adalah dengan

menggunakan international reserves dan ini sejalan dengan argumentasi Aizenman,dkk (2004)

bahwa suatu negara yang menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas akan cenderung

mengurangi permintaan international reserves-nya.

Di Indonesia, Bank Indonesia sejauh ini berupaya untuk mengoptimalkan berbagai fasilitas

atau insentif agar semakin banyak eksportir yang bersedia menyerahkan devisa hasil ekspornya

ke Bank Indonesia (Goeltom dan Zulverdi, 1998). Bahkan dalam masa krisis pasar modal global

Page 38: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

124 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

2008 ini, Bank Indonesia mewajibkan pengguna valas untuk melaporkan peruntukannya jika

melebihi US$10.000 per bulan.

Permasalahan mendasar yang diangkat dalam penelitian ini diantaranya: 1) Bagaimanakah

pengaruh international reserves dalam perannya sebagai penstabil nilai tukar riil akibat terms

of trade shock. 2) Bagaimanakah pengaruh financial deepening dalam perannya sebagai

penstabil nilai tukar riil akibat terms of trade shock. Kedua permasalahan tersebut akan dibahas

bagaimanakah pengaruhnya di keseluruhan obyek penelitian dan juga secara spesifik setiap

Negara untuk memperoleh perbandingan antar Negara, khususnya antara Indonesia dengan

Negara-negara mitra dagang utama (Amerika serikat, Jepang, Singapura, Korea Selatan dan

Hongkong).

II. TEORI

II.1. International Reserves

≈The need of a central bank for international reserves is similar to an individual»s desire to

hold cash balances (currency and checkable deposits)∆ (Carbaugh, 2004: 513). Dari pernyataan

tersebut dapat disimpulkan bahwa kebutuhan international reserves bagi suatu negara

mempunyai tujuan dan manfaat seperti halnya manfaat kekayaan bagi suatu individu. Motif

kepemilikan international reserves dapat disamakan dengan motif seseorang untuk memegang

uang yaitu untuk motif transaksi, motif berjaga-jaga dan motif spekulasi. Motif transaksi antara

lain untuk membiayai transaksi impor yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendukung

proses pembangunan, motif berjaga-jaga berkaitan dengan mengelola nilai tukar, serta motif

yang ketiga adalah untuk lebih memenuhi kebutuhan diversifikasi kekayaan (memperoleh return

dari kegiatan investasi dengan international reserves (Gandhi, 2006: 1).

Jhingan (2001) menyatakan bahwa ≈International liquidity (generally used as a synonym

for international reserves) is defined as the aggregate stock of internally acceptable assets held

by the central bank to settle a deficit in a country»s balance of payments. International reserves

merupakan asset dari bank sentral yang dipergunakan untuk mengatasi ketidakseimbangan

neraca pembayaran. Definisi tersebut senada dengan konsep International Reserves and Foreign

Currency Lliquidity (IRFCL) yang dikeluarkan oleh IMF bahwa international reserves didefinisikan

sebagai seluruh aktiva luar negeri yang dikuasai oleh otoritas moneter dan dapat digunakan

setiap waktu guna membiayai ketidakseimbangan neraca pembayaran atau dalam rangka

stabilitas moneter 3.

3 Guidelines for International Reserves and Foreign Currency Liquidity, IMF, 2001.

Page 39: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

125Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat GejolakNilai Tukar Perdagangan

Sedangkan menurut Salvatore (1996: 513), bahwa international reserves merupakan asset-

asset likuid dan berharga tinggi yang dimiliki suatu negara yang nilainya diakui atau diterima

oleh masyarakat internasional dan dapat dipakai sebagai alat-alat pembayaran yang sah bagi

pemerintah atau negara yang merupakan pemiliknya dalam mengadakan transaksi-transaksi

atau pembayaran internasional. Selain untuk tujuan stabilisasi nilai tukar, terkait dengan neraca

pembayaran international reserves dapat digunakan untuk membiayai impor dan membayar

kewajiban luar negeri. Besar kecilnya akumulasi international reserves suatu negara biasanya

ditentukan oleh kegiatan perdagangan (ekspor dan impor) serta arus modal negara tersebut.

Kecukupan international reserves ditentukan oleh besarnya kebutuhan impor dan sistem

nilai tukar yang digunakan. Dalam sistem nilai tukar yang mengambang bebas, fungsi

international reserves adalah untuk menjaga stabilitas nilai tukar hanya terbatas pada tindakan

untuk mengurangi fluktuasi nilai tukar yang terlalu tajam. Oleh karena itu, international reserves

yang dibutuhkan tidak perlu sebesar international reserves yang dibutuhkan apabila negara

tersebut mengadopsi sistem nilai tukar tetap. Wujud utama dari international reserves adalah

emas, hard currencies yang pada umumnya dalam bentuk empat jenis mata uang utama yang

dianggap paling berpengaruh di dunia, yaitu: US dollar, Euro, Poundsterling dan Yen serta

surat-surat berharga terbitan IMF yang biasa disebut sebagai Special Drawing Rights (SDRs).

Penjelasan lebih rinci mengenai komponen international reserves sebagaimana dijelaskan oleh

Gandhi (2006: 4).

Berkaitan dengan sifat dari rezim nilai tukar (sistem nilai tukar tetap, mengambang dan

mengambang terkendali) di negara yang menganut sistem nilai tukar tetap pada umumnya

memerlukan international reserves yang besar untuk mempertahankan nilai tukar pada level

yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan oleh ketakutan negara itu akan ketidakpastian dalam

sistem nilai tukar mengambang bebas yang diterapkannya. Sehingga, sebagai upaya untuk

berjaga√jaga dalam menghadapi fluktuasi nilai tukarnya otoritas moneter negara tersebut

membutuhkan international reserves dalam jumlah yang dianggap memadai guna stabilisasi

nilai tukar.

Pada sistem nilai tukar mengambang, terjadinya pergerakan nilai tukar dapat diatasi

sendiri oleh mekanisme pasar, sehingga jumlah international reserves yang dibutuhkan tidak

sebanyak yang dibutuhkan oleh suatu negara dengan sistem nilai tukar tetap yang rigid. Menurut

Carbaugh (2004: 516), tujuan utama dari international reserves adalah untuk memfasilitasi

pemerintah dalam melakukan intervensi pasar sebagai upaya untuk menstabilkan nilai tukar.

Sehingga, suatu negara dengan aktivitas stabilisasi yang aktif memerlukan jumlah international

reserves yang besar pula.

Page 40: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

126 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Keterbukaan perekonomian suatu negara tercermin dengan semakin besarnya transaksi

perdagangan dan aliran modal antar negara. Semakin terbuka perekonomian suatu negara

kebutuhan international reserves-nya cenderung semakin besar guna membiayai transaksi

perdagangan. Parameter yang biasa dipakai untuk mengukur kecukupan international reserves

sehubungan dengan transaksi perdagangan antar negara adalah marginal propensity to import.

Semakin besar angka propensity tersebut menunjukkan semakin besarnya kebutuhan

international reserves yang harus dimiliki dan semakin kecil angka propensity tersebut

menunjukkan semakin kecilnya kebutuhan international reserves yang harus dimiliki (Gandhi,

2006: 11). Dengan tersedianya international reserves yang mencukupi maka apabila suatu

negara mengahadapi kondisi terms of trade yang buruk yang kemudian akan berpengaruh

pada nilai tukar riilnya maka international reserves dapat berperan sebagai absorber.

II.2. Nilai Tukar Perdagangan (Terms of Trade)

Terdapat beberapa konsep tentang TOT. Konsep pertama merupakan konsep yang paling

umum digunakan, yaitu net barter terms of trade atau juga dapat disebut commodity terms of

trade. Net barter terms of trade adalah perbandingan antara indeks harga ekspor dengan

indeks harga impor. Kenaikan ekspor menunjukkan perbaikan di dalam nilai tukar perdagangan,

artinya untuk sejumlah tertentu ekspor dapat diperoleh jumlah impor yang lebih banyak dengan

melalui hubungan harga (Nopirin, 1995: 71).

Forumulasinya dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut:

Dimana, Px adalah Indeks harga ekspor; Pm adalah Indeks harga impor; dan 100 adalah Indeks

tahun dasar. Bila N >100 atau terjadi kenaikan net barter terms of trade maka berarti terjadi

perkembangan perdagangan luar negeri yang positif karena dengan nilai ekspor tertentu

diperoleh nilai impor yang lebih besar (Hady, 2001:77).

Konsep kedua adalah gross barter terms of trade, merupakan perbandingan antara indeks

volume impor dengan indeks volume ekspor. Konsep ini menjadi tidak penting karena kurang

memberikan gambaran tentang perubahan harga. Oleh karena itu, apabila konsep terms of

trade tanpa diberi penjelasan apa-apa maka yang dimaksud adalah konsep net barter terms of

trade.

Konsep ketiga adalah income terms of trade yang dapat dituliskan dengan rumus sebagai

berikut :

(III.1)

Page 41: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

127Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat GejolakNilai Tukar Perdagangan

Dimana: N adalah net barter terms of trade; Px adalah Indeks harga ekspor; Pm adalah Indeks

harga impor; dan Qx adalah Indeks kuantitas ekspor.

Berdasarkan konsep ini, kenaikan income terms of trade menunjukkan bahwa suatu

negara dapat memperoleh jumlah impor yang lebih besar dengan dasar kenaikan nilai ekspornya.

Bagi negara-negara yang sedang berkembang, selain variabel harga juga sangat penting untuk

menilai terms of trade ini dengan mempertimbangkan volume ekspornya karena kenaikan

harga ekspor yang tinggi mungkin diimbangi dengan turunnya volume ekspor.

Perbaikan TOT dapat timbul sebagai akibat: (1) harga ekspor naik sedang harga impor

tetap; (2) harga ekspor tetap sedang harga impor turun; (3) harga ekspor naik dengan proporsi

yang lebih besar daripada naiknya harga impor; (4) harga ekspor turun dengan proporsi yang

lebih kecil daripada turunnya harga impor.

Mekanisme bagaimana TOT dapat berpengaruh pada nilai tukar riil adalah dapat dilihat

dari sebuah mekanisme sederhana yaitu perbaikan TOT akan meningkatkan aliran modal masuk

yang berasal dari perdagangan yang selanjutnya dapat mengapresiasi nilai tukar riil dan

sebaliknya. Memburuknya TOT akan mengakibatkan permintaan valuta asing meningkat

sehingga akan mendepresiasi nilai tukar riil.

Terkait dengan jenis produksi yang diperdagangkan, maka secara umum nilai tukar

perdagangan komoditi (commodity terms of trade atau net barter terms of trade) negara-

negara berkembang cenderung mengalami kemerosotan dari waktu ke waktu. Salah satu

penyebab utamanya adalah sebagian besar atau bahkan semua kenaikan produktivitas yang

terjadi di negara-negara maju dialirkan ke para pekerjanya dalam bentuk upah dan pendapatan

yang lebih tinggi, sedangkan sebagian besar atau seluruh kenaikan produktivitas yang

berlangsung di negara-negara berkembang diwujudkan sebagai harga-harga produk yang lebih

murah (Salvatore, 1996 : 431).

II.3. Nilai Tukar Riil (Real Exchange Rate) dan Pasar Valas

Setiap negara memiliki sebuah mata uang yang menunjukkan harga-harga barang dan

jasa. Pengertian nilai tukar valuta asing adalah ≈Exchange rate is the price of one nation»s

money in terms of another nation»s money.∆ ≈The nominal exchange rate is usually called the

exchange rate∆. Menurut definisi tersebut nilai tukar diartikan sebagai harga suatu mata uang

terhadap mata uang negara lain. Nilai tukar nominal biasa disebut nilai tukar (exchange rate)

(III.2)

Page 42: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

128 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

(Pugel, 2004). Menurut Mankiw, nilai tukar nominal adalah harga relatif dimana seseorang

dapat memperdagangkan mata uang suatu negara dengan mata uang lainnya (Mankiw, 2000:

200).

Dengan menggunakan suatu indeks harga untuk Indonesia (P), sebuah indeks harga

untuk harga-harga di luar negeri (P*) dan nilai tukar nominal antara rupiah dengan mata uang

asing (e), akan dapat diukur nilai tukar riil keseluruhan antara Indonesia dengan negara-negara

lain sebagai berikut :

Nilai Tukar Riil = (e x P) / P* (III.3)

Terdapat paling tidak 3 faktor utama yang mempengaruhi permintaan valuta asing.

Pertama, faktor pembayaran impor. Semakin tinggi impor barang dan jasa, maka semakin

besar permintaan terhadap valuta asing sehingga nilai tukar akan cenderung melemah. Kedua,

faktor aliran modal keluar (capital outflow). Semakin besar aliran modal keluar, maka semakin

besar permintaan valuta asing dan pada kelanjutannya akan memperlemah nilai tukar. Aliran

modal keluar meliputi pembayaran hutang penduduk Indonesia (baik swasta dan pemerintah)

kepada pihak asing dan penempatan dana penduduk Indonesia ke luar negeri. Ketiga,, kegiatan

spekulasi. Semakin banyak kegiatan spekulasi valuta asing yang dilakukan oleh spekulan, maka

semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga memperlemah nilai tukar mata uang

lokal terhadap mata uang asing.

Sementara itu, penawaran valuta asing dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama,

faktor penerimaan hasil ekspor. Semakin besar volume penerimaan ekspor barang dan jasa,

maka semakin besar jumlah valuta asing yang dimiliki oleh suatu negara dan pada lanjutannya

nilai tukar terhadap mata uang asing cenderung menguat atau apresiasi. Kedua, faktor aliran

modal masuk (capital inflow). Semakin besar aliran modal masuk, maka nilai tukar akan

cenderung semakin menguat. Aliran modal masuk tersebut dapat berupa penerimaan hutang

luar negeri, penempatan dana jangka pendek oleh pihak asing (portofolio investment) dan

investasi langsung pihak asing (foreign direct investment) (Simorangkir dan Suseno, 2004: 6).

II.4. Financial Deepening

Ukuran dari perkembangan intermediasi keuangan biasanya digunakan pengukuran

indikator melalui kuantitas, kualitas, dan efisiensi dari jasa intermediasi keuangan (Calderon,

2002:5). Terdapat beberapa indikator untuk mengetahui seberapa besar tingkat perkembangan

sektor keuangan salah satu diantaranya adalah rasio antara aset keuangan dalam negeri terhadap

GDP (Muklis, 2005: 2).

Page 43: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

129Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat GejolakNilai Tukar Perdagangan

Menurut King dan Levine (1993), ≈Financial deepening means an increase in the money

supply of financial assets in the economy, it is important to develop some measures of the

widest range of financial assets, including money.∆ Selain itu, King dan Levine merancang 4

ukuran dalam perhitungan perkembangan sektor keuangan. Pertama, ukuran dari kedalaman

sektor keuangan adalah rasio dari kewajiban lancar (liquid liabilities) dari sistem keuangan

terhadap GDP. Kewajiban lancar dalam hal ini adalah M3, namun apabila M3 tidak bisa didapatkan

maka digunakan M2. Hal ini sejalan dengan IMF dalam database International Financial Statistic

dan juga Slangor (1991:11). Kedua,,,, adalah rasio dari deposit money bank domestic asset dibagi

dengan deposit money bank domestic asset ditambah dengan central bank domestic asset

yang menggambarkan institusi keuangan yang lebih spesifik. Ketiga,,,, rasio kredit dari sektor

swasta non keuangan dibagi dengan total kredit domestik. Keempat, adalah rasio kredit sektor

swasta non-keuangan dibagi dengan GDP. Dua yang terakhir ini menggambarkan ukuran

kuangan sektor dan tingkat pinjaman publik (King dan Levine, 1993: 4).

Penggunaan rasio M2 terhadap GDP sebagai indikator financial deepening juga dibenarkan

oleh King dan Levine, (1993: 5). Semakin kecil rasio tersebut maka semakin dangkal sektor

keuangan suatu negara. Suatu negara dikatakan memiliki sektor keuangan yang dalam apabila

M2 > 20% dari GDP dan dangkal apabila M2 < 20% dari GDP (Aizenman dan Crichton, 2006:

20). Telah disebutkan bahwa apabila terjadi gejolak pada nilai tukar akibat terms of trade

shock maka negara dengan sektor keuangan yang dalam akan mampu menstabilkan nilai

tukarnya secara otomatis melalui mekanisme pasar.

III. METODOLOGI

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan merupakan

data panel, mencakup periode 2000:Q1 - 2006:Q4 dan 6 negara yakni Indonesia dan 5 negara

mitra dagang utamanya yaitu; Amerika Serikat, Jepang, Hongkong, Singapura dan Korea Selatan.

Sumber utama data berasal dari International Financial Statistic yang diterbitkan oleh IMF.

Teknik estimasi data panel digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh

international reserves yang digunakan dalam rangka stabilisasi nilai tukar akibat terms of trade

shock. Selain itu model ini juga diperunakan untuk melihat bagaimana peran financial deepening

suatu negara dalam stabilisasi nilai tukar ini. Model persamaan yang diestimasi, dikembangkan

dari penelitian (Aizenman dan Crichton, 2006), yakni:

1. Model international reserves mitigation terms :

(III.4)

Page 44: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

130 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

2. Model financial deepening mitigation terms :

(III.5)

Dimana : RER adalah nilai tukar riil (Real Exchange Rate); ETOT adalah efektifitas nilai tukar

perdagangan yang dinilai dari keterbukaan perdagangan (Trade Openness) yang dikalikan

dengan nilai tukar perdagangan (Terms of Trade); RES adalah cadangan internasional

(International reserves); FD adalah kedalaman sektor keuangan (Financial Deepening); i adalah

crossection indentification; t adalah time series identification; εit adalah Koefisien pengganggu

(error terms) 4.

Varian pertama dari teknik estimasi data panel adalah pendekatan pooled least square

(PLS) yang secara sederhana menggabungkan seluruh data time series dan cross section dan

kemudian mengestimasi model dengan menggunakan metode ordinary least square (OLS) 5.

Pendekatan kedua adalah fixed effect model (FEM) yang memperhitungkan kemungkinan

perbedaan intercept antar individu yang ditunjukkan dengan kehadiran αi pada persamaan

(III.6). Secara teknis, model dengan fixed effect menambahkan dummy variables sebanyak N-1

buah ketika terdapat N individu. Pendekatan ketiga adalah random effect model (REM) yang

dapat memperbaiki efisiensi proses least square dengan memperhitungkan error dari time series

dan cross section.

Berbeda dengan FEM, model REM memperlakukan intercept sebagai random variable

dengan rata-rata α dengan stokastik terms εit. Model random effect adalah variasi dari estimasi

generalized least square (GLS). Model data panel untuk masing-masing varian teknik tersebut

adalah sebagai berikut (Gujarati, 2003: 640):

a. Pooled Least Square

(III.6)

b. Fixed Effect

(III.7)

c. Random Effect

(III.8)

Pada dasarnya penggunaan metode data panel memiliki beberapa keunggulan (Widarjono,

2005: 254). Pertama, panel data mampu memperhitungkan heterogenitas individu secara

eksplisit dengan mengijinkan variabel spesifik individu. Kemampuan mengontrol heterogenitas

4 Definisi operasional variabel lebih detail dapat dilihat dilampiran IV.A.5 Lihat: Baltagi, 2002 ; Gujarati, 2003 ; Maddala ; 1993 ; Pindyck dan Rubinfeld, 1998.

Page 45: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

131Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat GejolakNilai Tukar Perdagangan

individu ini pada gilirannya menjadikan data panel dapat digunakan untuk menguji dan

membangun model perilaku yang lebih kompleks. Kedua, jika efek spesifik signifikan berkorelasi

dengan variabel penjelas lainnya, penggunaan panel data akan mengurangi masalah omitted

variables secara substansial. Ketiga,,,, data panel mendasarkan diri pada observasi cross section

yang berulang-ulang (time series), sehingga metode data panel cocok untuk digunakan sebagai

study of dynamic adjustment. Keempat, tingginya jumlah observasi memiliki implikasi pada

data yang lebih informatif, lebih variatif, kolinearitas antar variabel yang semakin berkurang

dan peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom), sehingga dapat diperoleh hasil estimasi

yang lebih efisien. Kelima, data panel dapat digunakan untuk mempelajari model-model perilaku

yang kompleks. Keenam, data panel dapat meminimalisir bias yang mungkin ditimbulkan oleh

agregasi data individu. Keunggulan-keunggulan tersebut diatas memiliki implikasi pada tidak

diperlukannya pengujian asumsi klasik dalam model data panel, sesuai apa yang ada dalam

beberapa literatur yang digunakan dalam penelitian ini6.

Dalam estimasi selanjutnya sebagai persyaratan estimasi regresi data panel, perlu di

pilih penggunaan antara pooled least square, random effect model atau fixed effect model.

Ketiga model tersebut akan berbeda dalam intrepetasi selanjutnya sehingga perlu dilakukan

pemilihan model untuk memperoleh estimasi yang efisien sesuai dengan penggunaan regresi

data panel. Pertama uji statistik F digunakan untuk memilih antara metode PLS tanpa variabel

dummy atau memilih Fixed Effect. Kedua , uji Lagrange Multiplier (LM) digunakan untuk memilih

antara OLS tanpa variabel dummy atau memilih Random Effect. Terakhir , , untuk memilih antara

Fixed Effect Model (FEM) atau Random Effect Model (REM) digunakan uji yang dikemukakan

oleh Hausman.

Jika data time series lebih besar dibandingkan data cross section maka teknik efek acak

(REM) kurang tepat atau tidak dapat dipakai untuk mengestimasi suatu model (Telisa, 2004:30)7.

Dalam model penelitian ini teknik Random Effect Model (REM) tidak dapat digunakan, karena

pada penelitian ini jumlah time series (28 time series) lebih besar dibandingkan dengan jumlah

cross section (6 cross section). Oleh sebab itu pemilihan teknik estimasi dalam penelitian ini

hanya memilih diantara dua teknik estimasi yaitu PLS (Pooled Least Square) atau FEM (Fixed

Effect Model). Hasil pengujian menyarankan penggunaan Model Fixed Effect (Unrestricted)

dalam penelitian ini.

6 Lihat: Maddala, 1998; Pindyck & Rubinfeld, 1991; Greene, 2003; Gujarati, 2003; Widarjono, 2005.7 Ibid

Page 46: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

132 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

IV. HASIL DAN ANALISA

IV.1. Model International Reserves Mitigation Terms

Berdasarkan hasil pengolahan data dalam tabel III.1. koefisien determsinasi model

International Reserves Mitigation Terms untuk keseluruhan negara adalah sebesar 0.999602

sedangkan untuk estimasi spesifik masing-masing negara adalah sebesar 0.999845. Artinya

variasi variabel independen dalam model tersebut mampu menjelaskan variasi dari variabel

dependen kedua model tersebut masing-masing sebesar 99,96% dan 99,98%. Secara simultan,

variabel-variabel yang digunakan dalam estimasi keseluruhan maupun estimasi spesifik memiliki

pengaruh yang signifikan, kondisi tersebut dapat diketahui dari nilai Fhitung yang masing-masing

sebesar 57441.05 dan 57032.28. Nilai tersebut melebihi nilai kritis yang dipersyaratkan sesuai

dengan F-tabel hingga taraf signifikansi 1%. Dengan demikian nilai Fhitung > Ftabel yang berarti H0

ditolak. Secara parsial sebagaimana terdapat dalam tabel dibawah menunjukkan pengaruh

masing-masing variabel bebas yang signifikan terhadap variabel nilai tukar riil (variabel dependen)

pada estimasi secara keseluruhan. Namun untuk estimasi spesifik masing-masing negara hanya

variabel effective terms of trade Indonesia, reserves mitigation terms Indonesia, Korea dan

Amerika yang signifikan secara statistik mempengaruhi vriabel real exchange rate.

Table III.1Hasil Estimasi Model International Reserves Mitigation Terms

ETOT 0.284268 2.56778**

ETOT*RES 0.132075 2.09932**

ETOT HONGKONG 22.46666 0.74752

ETOT INDONESIA 0.316773** 2.43922

ETOT JEPANG 1.121919 0.43500

ETOT KOREA 0.003361 0.01666

ETOT SINGAPORE 0.199146 1.46518

ETOT AMERIKA 2.090986 1.49823

ETOT*RES HONGKONG 13995.05 1.56464

ETOT*RES INDONESIA 1.319664* 7.56910

ETOT*RES JEPANG 3.999142 0.66075

ETOT*RES KOREA 0.632528* 4.46203

ETOT*RES SINGAPORE 0.098955 1.42588

ETOT*RES AMERIKA 872.0151* 5.22225

HONGKONG C 2.171398 1.771814

INDONESIA C 8.674646 8.621120

JEPANG C 4.800271 4.633982

KOREA C 6.759747 7.526659

Estimasi KeseluruhanVariable

Coefficient t-Stat Coefficient t-Stat

Estimasi Spesifik

Page 47: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

133Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat GejolakNilai Tukar Perdagangan

Dari estimasi secara keseluruhan dalam tabel diatas terlihat bahwa pengaruh effective

terms of trade (ETOT) terhadap real exchange rate (RER) adalah positif. Temuan empiris ini

tidak sesuai dengan teori yang digunakan dalam penelitian, yaitu diharapkan bernilai negatif.

Dengan asumsi bahwa peningkatan real exchange rate merupakan depresiasi nilai tukar domestik

atau apresiasi nilai tukar mitra dagang, maka peningkatan pada effective terms of trade suatu

negara terhadap negara-negara mitra dagangnya cenderung meningkatkan (depresiasi) real

exchange rate. Rata-rata effective terms of trade keseluruhan negara obyek penelitian adalah

1,82, dengan perubahan pada real exchange rate rata-rata apresiasi sebesar 0,04%.

Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa elastisitas real exchange rate terhadap

effective terms of trade shock ialah kenaikan effective terms of trade sebesar 1% mempengaruhi

real exchange rate sebesar 0.28%. Dapat diartikan bahwa perbaikan effective terms of trade

akan menyebabkan mata uang luar negeri mengalami apresiasi terhadap mata uang dalam

negeri. Kondisi demikian menggambarkan bahwa keterbukaan perdagangan memiliki sisi negatif

yaitu kecenderungan untuk melemahkan nilai tukar suatu negara ketika terjadi penurunan

kinerja perekonomian negara mitra dagang tersebut dan dengan dukungan trade openness

dan effective terms of trade yang semakin meningkat. Kondisi ini secara aktual dapat

digambarkan pada resesi global pada saat ini yang hampir tidak sedikitpun negara yang menuai

imbas negatif. Hampir seluruh perekonomian dunia termasuk nilai tukarnya cenderung

terdepresiasi dan perekonomian berjalan lambat.

Ketidaksesuaian hasil ini dimungkinkan juga dikarenakan kekuatan pasar yang

mempengaruhi fluktuasi nilai tukar. Aliran modal jangka pendek, aliran keuangan internasional

baik dari pemerintah maupun swasta yang erat kaitannya dengan keterbukaan perekonomian

suatu negara memungkinkan berpengaruh pada nilai tukar riil. Besaran (magnitude) effective

Table III.1Hasil Estimasi Model International Reserves Mitigation Terms (lanjutan)

SINGAPORE C 0.255848 0.785565

AMERIKA C 4.863883 5.622034

R squared 0.999602 0.999845

Adjusted R squared 0.999585 0.999828

F statistic 57441.05 57032.28

Prob(F statistic) 0.000000 0.000000

SE. of Regression 0.092231 0.059402

Durbin Watson stat 0.153911 0.543285

Estimasi KeseluruhanVariable

Coefficient t-Stat. Coefficient t-Stat

Estimasi Spesifik

Sumber: Hasil pengolahanKeterangan: * Signifikan 1%; ** Signifikan 5%.

Page 48: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

134 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

terms of trade dalam mempengaruhi pasar nilai tukar dapat dikatakan terlalu kecil jika

dibandingkan dengan varabel-variabel lain yang berkaitan dengan nilai tukar.

Berdasarkan hasil estimasi dapat dikemukakan bahwa peningkatan atau perbaikan pada

effective terms of trade suatu negara berdampak pada peningkatan (apresiasi) nilai tukar riil

negara lain sebagai mitra dagang utamanya atau penurunan (depresiasi) nilai tukar pada

negaranya sendiri. Dapat dikatakan pula bahwa perbaikan yang terjadi pada effective terms of

trade suatu negara menguntungkan negara mitra dagangnya dari sisi nilai tukar, namun tidak

untuk negaranya sendiri. Hal ini merupakan efek negatif keterbukaan perdagangan suatu negara

yang semakin meningkat. Peningkatan effective terms of trade suatu negara secara aktual dapat

digambarkan pada periode krisis global sebagaimana yang telah terjadi pada tahun 2008 yang

menurunkan produktivitas masing-masing negara dan menurunkan nilai tukarnya, tanpa

terkecuali Indonesia. Peningkatan effective terms of trade yang menggambarkan semakin

lemahnya batas-batas negara dalam konteks perdagangan juga berdampak pada lemahnya batas-

batas efek negatif yang ditimbulkan oleh resesi negara lain terhadap perekonomian domestik.

Jika dilihat secara spesifik masing-masing negara kondisi tersebut tidak sepenuhnya

berpengaruh sama di tiap-tiap negara, tergantung pada skala ekonomi dan struktur

perekonomian masing-masing. Hanya Indonesia yang memiliki effective terms of trade yang

signifikan mempengaruhi real exchange rate dan bertanda sesuai dengan teori yang digunakan

dalam penelitian ini. Perbaikan pada effective terms of trade Indonesia berdampak pada apresiasi

nilai tukar riil Rupiah.

Grafik III.1Perkembangan Terms of Trade, Perubahan Real Exchange Rate, International Reserves dan

Financial Deepening Masing-masing Negara

Terms of Trade

140,00

120,00

100,00

80,00

60,00

40,00

20,00

-1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 32000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Trade Opennes

1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 32000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

1,20

1,00

0,80

0,60

0,40

0,20

0,00

Sumber: International Financial Statistic 2000-2006 (Diolah Kembali)

HongkongKorea

IndonesiaSingapore

JepangAmerika

Page 49: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

135Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat GejolakNilai Tukar Perdagangan

Peningkatan ekspor nasional yang terjadi, yang berujung pada membaiknya terms of

trade mendorong apresiasi nilai tukar riil. Secara rata-rata, pertumbuhan nilai ekspor Indonesia

selama periode penelitian menunjukkan nilai sebesar 9,01%. Peningkatan tersebut diikuti dengan

apresiasi nilai tukar riil mata uang Rupiah terhadap Dolar US rata-rata sebesar 4,46%. Kondisi

tersebut menggambarkan temuan empiris hasil estimasi dengan deskripsi data yang digunakan

dalam penelitian ini memiliki arah hubungan yang sama. Namun demikian, perlu

dipertimbangkan bahwa rata-rata pertumbuhan impor cenderung lebih besar dari pada

pertumbuhan nilai ekspor, yaitu sebesar 15,07%. Lebih besarnya pertumbuhan impor jika

dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor menunjukkan perlunya peningkatan ekspor lebih

besar untuk mengantisipasi gejolak terms of trade yang mungkin mengalami penurunan.

Grafik III.1Perkembangan Terms of Trade, Perubahan Real Exchange Rate, International Reserves dan

Financial Deepening Masing-masing Negara (lanjutan)

Sumber: International Financial Statistic 2000-2006 (Diolah Kembali)

HongkongKorea

IndonesiaSingapore

JepangAmerika

Effective Terms of Trade

1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 32000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

6,00

5,00

4,00

3,00

2,00

1,00

-2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 42000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

15,00

10,00

5,00

0,00

-5,00

-10,00

-15,00

-20,00

Perubahan Nilai Tukar Riil

Rasio International Reserves/GDP

1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 32000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

4,50

4,00

3,50

3,00

2,00

1,00

2,50

1,50

0,50

0,00

Financial Deepening

1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 32000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

14,00

0,00

12,00

10,00

8,00

6,00

4,00

2,00

Page 50: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

136 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Negara-negara lain yang hampir memiliki kemiripan dengan Indonesia adalah Korea dan

Singapura. Korea dan Singapura juga memiliki effective terms of trade yang negatif

mempengaruhi real exchange rate-nya, namun untuk kasus kedua negara tersebut pengaruhnya

terhadap real exchange rate tidak signifikan. Kondisi ini dimungkinkan karena skala

perekonomian kedua negara tersebut yang lebih besar dan struktur perekonomian yang berbeda

dengan Indonesia, sehingga perubahan pada nilai tukar tidak hanya bergantung pada terms of

trade melainkan faktor-faktor lain seperti aliran modal jangka pendek dan aliran modal

internasional negara bersangkutan. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang masih bertumpu

pada ekspor-impor barang dan jasa dan berkaitan erat dengan terms of trade seperti ekspor

sumber daya alam dan barang-barang setengah jadi. Sehingga peningkatan dan perbaikan

effective terms of trade Indonesia mutlak diperlukan untuk mengapresiasi nilai tukar jika

dibandingkan dengan negara-negara lainnya dalam penelitian ini.

Negara-negara dengan skala ekonomi yang lebih besar seperti Jepang, Amerika dan

Hongkong bahkan mengindikasikan pengaruh positif effective terms of trade terhadap real

exchange rate negaranya, meskipun pengaruh tersebut tidak signifikan. Untuk kasus negara-

negara ini, elastisitas real exchange rate terhadap effective terms of trade shock cenderung

positif dan lebih besar dari 1. Hal ini menggambarkan bahwa depresiasi nilai tukar negara-

negara tersebut terjadi ketika semakin terbuka dalam perdagangan internasionalnya.

8 Lihat lampiran: Elastisitas Real Exchange Rate

Table III.2Rata-rata Elastisitas Real Exchange Rate terhadap Perubahan ETOT dan TOT

Reserves over GDP 0.0180 0.0027 0.5620 0.1381 0.9113 3.7300 0.0056

Trade Openness 1.5120 0.0014 0.2333 0.0266 0.2814 0.9447 0.0247

All Hongkong Indonesia Japan Korea Singapore USA

Means

Effective TOT 0.2819 60.7665 0.4249 1.6740 0.5798 0.1700 7.0017

Terms of Trade 0.4143 0.0320 0.0092 0.0216 0.0008 1.2153 0.0510

R t i El RER Elasticity to

Sumber: Hasil pengolahan

Negara dengan rasio international reserves terhadap GDP sebesar 0,018 dan trade openness

sebesar 1,51, elatisitas8 real exchange rate terhadap effective terms of trade dan terms of trade

(reguler) menunjukkan nilai masing-masing sebesar 0,28 dan 0,41. Hal ini menunjukkan bahwa

real exchange rate secara keseluruhan inelastis terhadap perubahan yang terjadi pada effective

terms of trade maupun terms of trade. Negara-negara maju seperti Hongkong, Jepang dan

Page 51: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

137Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat GejolakNilai Tukar Perdagangan

Amerika pada umumnya perdagangan internasionalnya merupakan ekspor barang-barang

industri atau teknologi tinggi, hal ini menyebabkan nilai tukar negara-negara tersebut elastis

terhadap perubahan yang terjadi pada effective terms of trade. Namun negara-negara dengan

perdagangan internasional berupa barang-barang sumberdaya alam, komoditas dan barang

setengah jadi seperti Indonesia cenderung memiliki real exchange rate yang inelastis terhadap

perubahan yang terjadi pada effective terms of trade maupun terms of trade. Negara yang

memiliki international reserves yang cukup besar seperti Singapura (rata-rata 3,7) cenderung

memiliki real exchange rate yang elastis terhadap perubahan yang terjadi pada terms of trade

namun tidak elastis terhadap perubahan yang terjadi pada effective terms of trade.

Variabel reserves mitigation terms (ETOT*RES) berdasarkan estimasi secara keseluruhan

memiliki pengaruh negatif terhadap real exchange rate, hal ini sesuai dengan hasil yang

diharapkan sebagaimana teori yang digunakan. International reserves memiliki peranan buffer

stock berfungsi ketika terjadi depresiasi nilai tukar yang disebabkan terms of trade shock.

Sehingga dapat dikemukakan bahwa pada saat terjadi depresiasi nilai tukar maka international

reserves akan berperan sebagai penstabil nilai tukar9. Kondisi ini menunjukkan bahwa

internastional reserves memegang peranan penting dalam perekonomian suatu negara. Namun

demikian mitigation effect dari international reserves tidak sepenuhnya berlaku untuk masing-

masing negara, bergantung pada skala dan struktur perekonomian masing-masing negara.

Mitigation effect dari international reserves hanya berlaku untuk negara-negara berkembang

dan negara-negara di asia, namun tidak berlaku bagi negara-negara industri (Aizenman dan

Crichton, 2006).

Penggunaan international reserves sebagai instrumen pengendali nilai tukar lazim

digunakan oleh bank sentral meskipun rezim nilai tukar yang dianutnya free floating exchange

rate. Sesuai dengan tujuan dan fungsi bank sentral sebagai pengendali harga yang termasuk

harga-harga barang konsumsi domestik dan harga mata uang negara bersangkutan juga

merupakan tanggungjawab bank sentral. Sehingga apabila sewaktu-waktu terjadi depresiasi

nilai tukar yang terlalu tajam maka bank sentral cenderung menstabilkan nilai tukar dengan

menggunakan international reserves tersebut. Intervensi bank sentral untuk menstabilkan nilai

tukar dengan menggunakan international reserves hanya dilakukan pada saat nilai tukar

bergejolak terlalu tajam. Untuk upaya tersebut, hingga saat ini international reserves masih

merupakan pilihan utama sebagai penstabil nilai tukar.

Peningkatan pada reserves mitigation terms sebesar 1% menurunkan real exchange rate

sebesar 0.13%. Peningkatan yang terjadi pada internastional reserves suatu negara memiliki

9 Peran buffer (lihat lampiran IV.A: definisi operasional variabel)

Page 52: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

138 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

kecenderungan untuk menjaga stabilitas nilai tukar di negara bersangkutan. Internastional

reserves dalam kasus penelitian ini memiliki peranan yang signifikan dalam upaya stabilitas

nilai tukar di masing-masing negara. Dengan rata-rata perumbuhan international reserves

keseluruhan sebesar 2,15% perubahan yang terjadi pada real exchange rate keseluruhan negara

rata-rata terapresiasi sebesar 0,04%.

Hasil estimasi spesifik dari sisi international reserves Indonesia tidak sesuai dengan teori.

Hasil estimasi menunjukkan tanda koefisen pada variabel reserves mitigation terms bertanda

positif. Hal ini mengindikasikan jika terjadi depresiasi pada nilai tukar yang disebabkan terms of

trade shock maka international reserves Indonesia tidak berperan penuh sebagai penstabil nilai

tukar yang terdepresiasi tersebut (ceteris paribus). Dapat dikatakan pula penggunaan

international reserves untuk menstabilkan nilai tukar di Indonesia diragukan efektifitasnya.

Kondisi tersebut secara aktual tercermin dalam penggunaan international reserves Indonesia

untuk menghadapi gejolak nilai tukar pada Nopember-Desember 2008 yang menunjukkan

hasil yang kurang menggembirakan. Nilai tukar rupiah terhadap dolar cenderung melemah

meskipun international reserves Indonesia terkuras dan menipis. Kondisi yang sama dengan

data yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan pada international

reserves belum memiliki peranan sebagai penstabil nilai tukar. Peningkatan rata-rata international

reserves Indonesia selama periode penelitian adalah sebesar 6,21% sedangkan perubahan

rata-rata yang terjadi pada nilai tukar riil mata uang rupiah adalah apresiasi sebesar 0,65%.

Real exchange rate Indonesia kurang elastis terhadap perubahan yang terjadi pada international

reserves.

Kurang efektifnya penggunaan international reserves tidak jauh berbeda dengan negara-

negara lain sebagai obyek penelitian ini, kecuali Korea Selatan. Dengan pertumbuhan

international reserves sebesar 2,64%, nilai tukar Won terapresiasi rata-rata 0,72%. Dengan

peningkatan international reserves sebesar 1%, mitigation effect yang ditimbulkan adalah

ter apresiasinya Won sebesar 0,63%. Peran buffer stock oleh international reserves di negara

ini telah berjalan dengan semestinya dalam menghadapi depresiasi nilai tukar akibat dari

terms of trade shock. Hal inilah yang menggambarkan Korea Selatan efektif dalam

penggunaan international reserves-nya sebagai instrumen pengendali nilai tukar ketika terjadi

depresiasi nilai tukar riil yang disebabkan oleh terms of trade shock. Peran buffer stock oleh

international reserves berjalan sesuai dengan arah yang diharapkan. Sedangkan untuk kasus

Amerika hampir sama dengan Indonesia, dimana international reserves sebagai instrumen

pengendali nilai tukar kurang efektif penggunaanya. Rezim nilai tukar free floating exchange

rate turut memberikan argumen tidak efektifnya international reserves sebagai instrumen

pengendali nilai tukar. Tekanan permintaan dan penawaran di pasar keuangan, khususnya

Page 53: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

139Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat GejolakNilai Tukar Perdagangan

valuta asing secara otomatis mengarahkan nilai tukar pada titik keseimbangan tanpa melihat

stabil atau tidaknya nilai tukar dan tinggi rendahnya international reserves negara

bersangkutan.

IV.2. Model Financial Deepening Mitigation Terms

Penggunaan rasio M2 terhadap GDP merupakan ukuran yang paling umum digunakan

untuk mengetahui kedalaman dari sektor keuangan dan sebagai indikator financial deepening

(Slangor, 1991:7). Penentuan rasio M2 terhadap GDP sebagai indikator financial deepening

juga dibenarkan oleh King dan Levine (1993:5), jika untuk menggambarkan intermediasi

keuangan sebagai penunjang kegiatan sektor riil dapat menggunakan rasio M2 terhadap GDP.

Perkembangan yang semakin kecil dalam rasio tersebut menunjukkan semakin dangkal sektor

keuangan suatu negara. Sebaliknya semakin besar dalam rasio tersebut menunjukkan semakin

dalam sektor keuangan suatu negara.

Hubungan antara financial deepening dalam perannya sebagai penstabil nilai tukar tidak

terjadi secara langsung. Namun, berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan

bahwa suatu negara dengan kondisi financial deepening yang dalam berimplikasi pada

pertumbuhan ekonomi negara tersebut yang juga tinggi. Apabila terjadi gejolak pada nilai

tukar akibat terms of trade shock maka negara tersebut mampu menstabilkan nilai tukarnya

secara otomatis melalui mekanisme pasar yang telah berjalan dengan baik yang tercermin dari

kinerja sektor keuangan di negara bersangkutan. Mekanisme financial deepening yang dapat

memicu pertumbuhan ekonomi ketika kedalaman financial deepening negara tersebut

disebabkan fungsi intermediasi sektor keuangan yang berjalan dengan baik, yang berimplikasi

pada akumulasi modal yang berjalan dengan cepat (Calderon dan Liu, 2002: 9). Financial

deepening dapat dikatakan berfungsi sebagai shock absorber ketika suatu negara dalam kondisi

financial deepening yang baik dan memiliki arah hubungan pengaruh positif terhadap nilai

tukar riilnya.

Berdasarkan hasil pengolahan data dalam tabel III.3 koefisien determinasi estimasi secara

keseluruhan dan spesifik masing-masing sebesar 0.999602 dan 0.999826. Artinya variabel

independen dalam model tersebut mampu menjelaskan variasi dari variabel dependen masing-

masing sebesar 99.96% dan 99.98%. Secara simultan, variabel-variabel independen yang

digunakan dalam model signifikan berpengaruh terhadap variabel dependen masing-masing

model. Hasil Fhitung model pertama dan model kedua masing-masing sebesar 57441.05 dan

50703.52, nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan nilai F-tabel. Dengan demikian nilai

Fhitung > Ftabel yang berarti penolakan terhadap H0.

Page 54: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

140 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Untuk hasil estimasi model financial deepening mitigation terms sebagaimana dalam

tabel diatas tanda pada koefisien regresi variabel effective terms of trade menunjukkan arah

pengaruh yang tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan. Sebagaimana dikemukakan

sebelumnya, berdasarkan teori yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan pengaruh negatif

dari effective terms of trade (dapat diartikan depresiasi nilai tukar luar negeri dan apresiasi nilai

tukar dalam negeri). Sebagaimana dalam model pertama, model kedua ini mengindikasikan

semakin efektif nilai tukar perdagangan (effective terms of trade) suatu negara semakin

menurunkan nilai tukar negara bersangkutan. Keterbukaan perdagangan yang disusun dan

direncanakan serta direalisasikan dengan baik justru berdampak pada penurunan nilai tukar riil

negara bersangkutan. Dapat diartikan bahwa untuk menjaga stabilitas nilai tukar riil di suatu

Table III.3Hasil Estimasi Model Financial Deepening Mitigation Terms

ETOT 0.210725 2.81353*

ETOT*RES*FD 0.020775 2.31106**

ETOT HONGKONG 29.58673 1.01420

ETOT INDONESIA 0.085392 0.75753

ETOT JEPANG 0.727807 0.27372

ETOT KOREA 0.056182 0.27047

ETOT SINGAPORE 0.08172 1.13121

ETOT AMERIKA 2.063432 1.34070

ETOT*RES*FD HONGKONG 752.3878 1.37064

ETOT*RES*FD INDONESIA 0.457545* 6.94424

ETOT*RES*FD JEPANG 3.378820 0.79663

ETOT*RES*FD KOREA 0.101195* 4.09339

ETOT*RES*FD SINGAPORE 0.008658 1.11762

ETOT*RES*FD AMERIKA 1096.675* 3.44534

HONGKONG C 2.171885 1.81693

INDONESIA C 8.707835 8.61228

JEPANG C 4.807432 4.66986

KOREA C 6.827674 7.48335

SINGAPORE C 0.316388 0.68145

AMERIKA C 4.855598 5.43282

R squared 0.999602 0.999826

Adjusted R squared 0.999585 0.999806

F statistic 57441.05 50703.52

Prob(F statistic) 0.000000 0.000000

SE. of Regression 0.091970 0.063000

Durbin Watson stat 0.159282 0.558856

Estimasi KeseluruhanVariable

Coefficient t-Stat Coefficient t-Stat

Estimasi Spesifik

Sumber: Hasil pengolahanKeterangan: * Signifikan 1%; ** Signifikan 5%.

Page 55: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

141Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat GejolakNilai Tukar Perdagangan

negara, hendaknya keterbukaan perdagangan di batasi dan sebagai upaya menghindari efek

negatif effective terms of trade, meskipun kondisi tersebut tidak berlaku secara spesifik di

seluruh negara didunia.

Secara rata-rata financial deepening keseluruhan negara yang diestimasi adalah sebesar

3,34 dengan perubahan pada real exchange rate rata-rata terapresiasi sebesar 4,3%. Dari hasil

estimasi model financial deepening mitigation terms secara keseluruhan, menunjukkan koefisien

effective terms of trade memiliki nilai sebesar 0,21. Dapat diartikan bahwa elastisitas real exchage

rate terhadap effective terms of trade shock ialah peningkatan effective terms of trade suatu

negara sebesar 1% berpengaruh pada peningkatan real exchange rate sebesar 0,21%.

Peningkatan real exchange rate disini diartikan sebagai depresiasi nilai tukar, sehingga semakin

efektif terms of trade suatu negara berdampak negatif terhadap real exchange rate negara

bersangkutan. Meskipun real exchange rate tidak inelastis terhadap effective terms of trade,

setidaknya menggambarkan bahwa efektifitas terms of trade membawa dampak negatif dalam

perekonomian suatu negara, terutama nilai tukarnya.

Hal ini dimungkinkan terjadi karena besaran (magnitude) effective terms of trade dalam

mempengaruhi pasar nilai tukar dapat dikatakan terlalu kecil sehingga kekuatan pasar yang

mempengaruhi fluktuasi nilai tukar tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh perubahan effective

terms of trade namun oleh faktor lainnya. Kondisi aliran modal jangka pendek dan aliran modal

internasional mendukung argumen ini. Skala dan struktur ekonomi antar negara yang berbeda-

beda demikian juga terjadi pada pasar barang dan pasar keuangan. Hal ini banyak berpengaruh

pada efektifitas terms of trade dalam mempengaruhi nilai tukar riil di masing-masing negara.

Disisi lain, variabel financial deepening mitigation terms (ETOT*RES*FD) memiliki koefisien

negatif dan signifikan, hal ini menandakan financial deepening tidak berfungsi sebagai shock

absorber ketika suatu negara mengalami depresiasi nilai tukar riil yang disebabkan terms of

trade shock. Hasil estimasi model ini menghasilkan nilai koefisien variabel financial deepening

mitigation terms adalah sebesar -0,021. Hal ini dapat diartikan bahwa international reserves

dan rasio jumlah uang beredar terhadap GDP kurang memiliki peranan sebagai shock absorber

ketika terjadi depresiasi nilai tukar yang disebabkan terms of trade shock.

Terjadinya depresiasi nilai tukar yang diakibatkan oleh terms of trade shock tidak mampu

distabilkan oleh financial deepening negara-negara bersangkutan. Ketidakmampuan financial

deepening mitigation terms sebagai penstabil nilai tukar mendukung hasil dari model

international reserves mitigation terms yang menunjukkan bahwa secara umum di negara-

negara yang termsasuk dalam penelitian, international reserves lebih berperan sebagai penstabil

nilai tukar riil dibandingkan financial deepening mitigation terms. Negara-negara yang menjadi

obyek penelitian ini secara keseluruhan memiliki kecenderungan international reserves masing-

Page 56: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

142 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

masing negara lebih berperan mempengaruhi stabilitas real exchange rate negara-negara

bersangkutan.

Hasil estimasi secara spesifik sebagaimana terdapat dalam tabel III.3 tersebut diatas terlihat

bahwa untuk keseluruhan negara, termsasuk Indonesia variabel effective terms of trade (ETOT)

tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai tukar riil. Dapat diartikan besar kecilnya

elastisitas real exchange rate terhadap effective terms of trade shock tidak banyak berpengaruh

pada peranan financial deepening sebagai shock absorber ketika terdapat depresiasi niali tukar

akibat terms of trade shock. Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan tersebut, variabel effective

terms of trade Indonesia, Korea dan Singapura memiliki arah hubungan yang sesuai dengan

teori, namun demikian variabel-variabel tersebut tidak signifikan mempengaruhi real exchange

rate. Hal berbeda untuk negara lainnya, yaitu Hongkong, Jepang dan Amerika bahkan memiliki

nilai koefisien yang tidak sesuai dengan teori yang digunakan. Effective terms of trade negara-

negara tersebut bertanda positif dan tidak signifikan mempengaruhi real exchange rate. Dalam

konteks financial deepening sebagai shock absorber depresiasi real exchange rate akibat dari

terms of trade shock dapat dikatakan effective terms of trade tidak banyak memiliki pengaruh

terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada real exchange rate semua negara.

Estimasi spesifik untuk variabel financial deepening mitigation terms (ETOT*RES*FD)

menghasilkan nilai koefisien secara individu berpengaruh terhadap nilai tukar riil pada taraf

keyakinan 1%. Pengaruh tersebut signifikan hanya di negara Indonesia, Korea dan Amerika.

Dengan demikian penolakan terhadap H0 hanya berlaku untuk ketiga negara tersebut. Dari

hasil estimasi menunjukkan bahwa tanda pada koefisien variabel financial deepening mitigation

terms untuk negara Korea adalah negatif yang menandakan peranan financial deepening tidak

optimal sebagai shock absorber depresiasi nilai tukar ketika terjadi depresiasi nilai tukar akibat

terms of trade di negara Korea. Hal ini memperkuat pada temuan sebelumnya yang

mengindikasikan negara ini telah efektif menggunakan international reserves-nya sebagai

penstabil nilai tukar pada saat terjadi depresiasi real exchange rate Won yang disebabkan terms

of trade shock.

Berdasarkan estimasi spesifik hanya Indonesia dan Amerika yang mengindikasikan hasil

sesuai teori dan hasil yang diharapkan, yaitu nilai koefisien variabel financial deepening mitigation

terms positif. Hal ini dapat diartikan apabila terjadi depresiasi pada nilai tukar Indonesia dan

Amerika yang disebabkan terms of trade shock maka financial deepening akan berperan sebagai

penstabil nilai tukar (shock absorber) untuk mata uang negara yang terdepresiasi tersebut.

Tanda positif pada koefisien variabel financial deepening mitigation terms berarti bahwa financial

deepening dapat berperan sebagai penstabil nilai tukar akibat terms of trade shock (Aizenman

dan Crichton (2006: 6).

Page 57: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

143Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat GejolakNilai Tukar Perdagangan

Dalam kasus Indonesia, rata-rata financial deepening adalah sebesar 1,7% dengan

pertumbuhan rata-rata dalam periode yang sama yang cenderung menurun 4,24% setiap tahunnya.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode penelitian adalah 5,59% sedangkan

pertumbuhan M2 selama periode yang sama sebesar 10,59%. Kondisi intermediasi perbankan

yang sesuai dengan kebutuhan perekonomian dapat mengakumulasi modal dengan cepat dan

menyalurkan pada sektor-sektor ekonomi yang membutuhkannya belum sepenuhnya berjalan

dengan baik jika dilihat kontribusinya terhadap perekonomian dari sisi perdagangan internasional.

Dalam hal financial deepening, negara yang memiliki kemiripan dengan kasus

perekonomian Indonesia ialah negara Amerika. Financial deepening Amerika memiliki peranan

sebagai penstabil nilai tukar Dolar US terhadap mata uang negara-negara mitra dagang

utamanya. Jumlah uang beredar mendorong apresiasi otomatis pada nilai tukar ketika depresiasi

nilai tukar akibat terms of trade shock. Negara-negara tersebut diantaranya Hongkong, Jepang

dan Singapura. Kedua negara tersebut financial deepening kurang memiliki peranan dalam

penstabilan nilai tukar.

Berbeda dengan perkonomian Indonesia dan Amerika, beberapa negara juga terapresiasi

nilai tukarnya dengan dorongan financial deepening namun dorongan tersebut tidak signifikan

mempengaruhi apresiasi nilai tukar pada saat terjadi depresiasi nilai tukar yang diakibatkan

oleh terms of trade shock. Negara Hongkong, Jepang dan Singapura variabel financial deepening

mitigation terms tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai tukar riil. Hal ini

dikarenakan selama periode penelitian, nilai tukar Yen Jepang dan Dollar Singapura menguat

terhadap dollar AS terutama ditopang oleh bangkitnya kembali kinerja ekspor negara-negara

tersebut dengan memanfaatkan meningkatnya permintaan dunia terutama dari AS dan China.

Dengan asumsi bahwa suatu negara dengan kondisi financial deepening yang dalam telah

mampu melakukan self adjustment pada nilai tukarnya. Financial deepening yang dalam dapat

diartikan bahwa sistem keuangan di negara tersebut telah maju, berkembang dan sektor-sektor

keuangan yang berjalan tidak hanya didominasi oleh sektor perbankan. Tidak signifikannya

financial deepening Hongkong, Jepang dan Singapura dimungkinkan karena kondisi financial

deepening negara-negara tersebut tergolong dalam jika dibandingkan dengan negara-negara

lain sebagai obyek penelitian ini. Negara obyek penelitian ini yang mengindikasikan kondisi financial

deepening cukup baik dibandingkan dengan negara-negara lainnya adalah Hongkong dan

Singapura. Rata-rata financial deepening negara-negara tersebut masing-masing sebesar 11,7

dan 4,52, sedangkan rata-rata financial deepening Jepang sebesar 1,37. Hal ini berarti bahwa

mekanisme penyesuaian otomatis yaitu melalui mekanisme pasar telah berjalan dengan baik di

dua negara tersebut. Financial deepening di tiga negara tersebut menunjukkan nilai jumlah uang

beredar di masing-masing negara lebih dari satu kali besarnya GDP masing-masing negara.

Page 58: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

144 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Ketidaksesuaian hasil untuk negara Hongkong juga dikarenakan negara ini menganut

sistem nilai tukar tetap sehingga yang lebih berperan sebagai penstabil nilai tukar adalah dengan

menggunakan international reserves. Sedangkan untuk negara Jepang, pada periode penelitian

peningkatan dalam jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) belum cukup untuk mengangkat

perekonomian Jepang dari deflasi. Sehingga, pemerintahan negara Jepang lebih banyak

menggunakan international reserves melalui kegiatan intervensi di pasar valas. Hal ini dilakukan

untuk menahan laju apresiasi Yen yang cukup cepat karena apresiasi yen yang terlalu besar

dapat menurunkan profit yang diperoleh eksportir. Sehingga, pada periode penelitian financial

deepening kurang berperan sebagai penstabil nilai tukar.

Dengan pertumbuhan M2 rata-rata sebesar 11,47 dan pertumbuhan ekonomi rata-rata

4,92%, kondisi financial deepening Korea Selatan adalah sebesar 0,21. Berdasarkan hasil estimasi

menunjukkan bahwa financial deepening memiliki keofisien negatif dan signifikan. Dalam kondisi

demikian dapat diartikan bahwa financial deepening yang semakin meningkat justru memiliki

pengaruh pada penurunan nilai tukar negara Korea Selatan. Dalam kondisi terms of trade

shock, negara ini tidak banyak menggunakan M2 sebagai shock absorber melalui mekanisme

financial depening. Hal ini memperkuat temuan empiris pada model international reserves

mitigation terms yang menunjukkan hanya Korea Selatan yang efektif menggunakan

international reserves sebagai penstabil nilai tukar riil ketika terjadi depresiasi nilai tukar akibat

time of trade shock. Peran international reserves sebagai buffer stock berjalan sesuai dengan

hipotesis yang diharapkan.

Meskipun shock absorber oleh financial deepening Indonesia berfungsi dengan baik

sebagaimana yang terjadi pada Amerika. Di Indonesia penggunaan jumlah uang beredar sebagai

absorber ketika terjadi depresiasi nilai tukar akibat terms of trade shock kurang optimal

penggunaannya. Kondisi financial deepening Indonesia selama periode penelitian kurang

mendukung stabilitas nilai tukar pada periode yang sama, dimana pertumbuhan rata-rata

financial deepening Indonesia tumbuh negatif 4,24%. Kondisi ini menunjukkan belum efektif

penggunaan financial deepening sebagai penstabil real exchange rate di Indonesia meskipun

hasil estimasi menunjukkan peranan penting financial deepening sebagai shock absorber

penstabil nilai tukar Rupiah.

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Penelitian ini pada intinya membahas peranan international reserves dan financial

deepening dalam mempengaruhi stabilitas nilai tukar pada saat terjadinya terms of trade shock.

Dengan obyek penelitian Indonesia beserta 5 negara mitra dagang utamanya (Hongkong,

Page 59: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

145Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat GejolakNilai Tukar Perdagangan

Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Amerika Serikat) penelitian ini menyimpulkan bahwa

secara keseluruhan negara-negara obyek penelitian menunjukkan elastisitas real exchange rate

terhadap effective terms of trade shock yang signifikan dikedua model yang digunakan. Setiap

perubahan yang terjadi pada effective terms of trade direspon positif oleh real exchange rate

semua negara. Perbaikan dan peningkatan kondisi effective terms of trade cenderung

menurunkan mata uang masing-masing negara (depresiasi). Ketika terjadi terms of trade shock,

secara rata-rata keseluruhan negara cenderung menggunakan international reserves untuk

mengurangi gejolak yang terjadi pada nilai tukarnya (depresiasi).

Keseluruhan negara menggunakan international reserves sebagai penstabil nilai real

exchange rate-nya. Peranan buffer stock dari international reserves berjalan mendorong apresiasi

real exchange rate keseluruhan negara. Peranan financial deepening dalam hal penstabil nilai

tukar secara keseluruhan tidak memiliki peranan sebagai shock absorber penstabil nilai tukar

mata uang masing-masing negara. Kondisi ini menggambarkan bahwa negara-negara obyek

penelitian memiliki kecenderungan lebih menekankan penggunaan international reserves dalam

rangka penstabil nilai tukarnya, meskipun efektifitas penggunaan instrumen tersebut

berdasarkan penelitian ini diragukan keberhasilannya.

Secara spesifik masing-masing negara, penggunaan instrumen tersebut banyak mengalami

perbedaan dalam hal peranan buffer stock dari international reserves dan peranan shock absorber

dari financial deepening. Perbedaan-perbedaan tersebut bergantung pada skala ekonomi dan

struktur perekonomian masing-masing negara. Hanya negara Korea yang menunjukkan peranan

international reserves sebagai buffer stock penstabil nilai tukar ketika terdapat gejolak penurunan

nilai tukar akibat terms of trade shock. Sedangkan untuk negara-negara lainnya termasuk

Indonesia dan Amerika Serikat international reserves mengalami keterbalikan, dimana peranan

international reserves sebagai buffer stock penstabil real exchange rate tidak berjalan efektif

dan cenderung mendorong depresiasi nilai real exchange rate. Bahkan untuk kasus negara

Hongkong, Jepang dan Singapura peranan buffer stock dari international reserves tidak banyak

memiliki pengaruh yang signifikan.

Peranan shock absorber dari financial deepening ditinjau lebih spesifik untuk masing-

masing negara mengalami perbedaan efektifitasnya di masing-masing negara. Arah yang sama

dengan penggunaan international reserves yang menunjukkan hanya Korea Selatan yang

memiliki peranan penggunaan international reserves untuk upaya penstabil nilai tukar mata

uang negara tersebut, dalam konteks financial deepening di negara tersebut financial deepening

justru tidak memiliki peranan sebagai penstabil nilai tukar ketika terjadi depresiasi nilai tukar

pada saat terms of trade shock. Peranan buffer stock dari international reserves lebih efektif

dibandingkan dengan peranan shock absorber dari financial deepening. Sedangkan untuk negara

Page 60: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

146 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Indonesia dan Amerika financial deepening memberikan peranan yang cukup besar dalam

upaya penstabilan nilai tukar. Untuk negara-negara Jepang, Hongkong dan Singapura peranan

buffer stock yang berasal dari international reserves dan shock absorber dari financial deepening

tidak banyak memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap upaya stabilitas nilai tukar

yang disebabkan terms of trade shock.

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk upaya stabilitas nilai tukar di

Indonesia lebih efektif menggunakan financial deepening jika dibandingkan dengan penggunaan

instrumen international reserves. Bank sentral sebagai pemegang kebijakan intervensi nilai tukar

perlu melakukan evaluasi ulang pada penggunaan instrumen international reserves, khususnya

ketika terjadi depresiasi nilai tukar yang diakibatkan oleh terms of trade shock seperti saat ini.

Penggunaan financial deepening dalam perekonomian Indonesia kurang maksimal sebagai

bentuk upaya stabilitas nilai tukar. Pertumbuhan ekonomi cenderung lebih tinggi dibandingkan

dengan pertumbuhan jumlah uang beredar. Hal inilah yang menyebabkan financial deepening

Indonesia memiliki pertumbuhan negatif dan peranannya terhadap stabilitas nilai tukar

cenderung kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan standarnya. Rendahnya pertumbuhan

financial deepening dimungkinkan oleh masih berhati-hatinya sektor perbankan dalam

menjalankan fungsi intermediasinya sesuai dengan kebutuhan perekonomian. Hal tersebut

juga di tunjang dengan penanaman investasi di Indonesia yang cenderung rendah dengan

pertumbuhan rata-rata 8,8%.

Peningkatan efektifitas terms of trade Indonesia juga perlu dilakukan untuk upaya stabilitas

nilai tukar. Effective terms of trade yang memiliki arah pengaruh negatif terhadap nilai tukar riil

perlu disikapi dengan membuka lebar upaya-upaya perdagangan internasional dan aliran modal

jangka panjang dari luar negeri. Kondisi ini dapat didorong dengan meningkatkan volume

ekspor nasional untuk mempercepat apresiasi dan stabilitas nilai tukar Rupiah. Hal ini sangat

mungkin dilakukan pada kondisi seperti sekarang dengan tetap memperhatikan kondisi

perekonomian global yang belum sepenuhnya stabil.

Efektifnya pengaruh financial deepening tersebut memungkinkan untuk meningkatkan

perekonomian domestik yang lebih baik. Namun demikian, selama periode penelitian financial

deepening Indonesia memiliki kecenderungan tumbuh negatif. Hal ini dapat diartikan bahwa

meskipun peranan financial deepening yang positif terhadap nilai tukar namun peranan financial

deepening sebagai shock absorber ketika terjadi depresiasi real exchange rate cenderung semakin

mengecil. Peranan financial deepening belum diikuti dengan intermediasi perbankan dan

investasi yang sesuai dengan kebutuhan kinerja perekonomian. Kondisi perekonomian yang

lebih baik dengan ditunjang intermediasi perbankan nasional yang memadai memungkinkan

untuk meningkatkan output domestik yang berpengaruh pula pada stabilitas nilai tukar. Dengan

Page 61: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

147Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat GejolakNilai Tukar Perdagangan

membaiknya perekonomian nasional, memungkinkan untuk terlepas dari gejolak yang terjadi

pada perekonomian dunia, hal tersebut dapat dicontohkan oleh negara dengan kondisi domestik

yang cukup baik dan tahan terhadap guncangan resesi dunia pada saat ini ialah India dan

China.

Beberapa saran yang memiliki keterkaitan dan implikasi terhadap kebijakan di Indonesia

ialah:

1. Bank sentral dalam hal ini Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter diharapkan

mampu menjaga international reserves dalam kondisi yang cukup dan stabil. Untuk menjaga

stabilitas nilai tukar di pasar keuangan melalui intervensi pasar valas, Bank Indonesia

hendaknya hanya melakukan intervensi jika diperlukan dan kondisi pasar valas yang tidak

sepenuhnya stabil. Hal ini berdasarkan pada tidak efektifnya international reserves sebagai

penstabil nilai tukar (buffer stock) jika dibandingkan dengan peranan yang sama dari financial

deepening (shock absorber). Penjagaan international reserves dimaksudkan agar bank sentral

memberi kepercayaan pada pasar terhadap kondisi international reserves yang kuat dan

influence kepada para pelaku pasar bahwa fundamental ekonomi adalah kuat untuk

mengatasi gejolak nilai tukar akibat terms of trade shock.

2. Diperlukan kebijakan oleh Bank Indonesia berupa dorongan menjalankan fungsi intermediasi

bank-bank yang ada di Indonesia. Intermediasi perbankan berhubungan langsung dengan

jumlah uang beredar sehingga berdampak pada financial deepening. Perlunya peningkatan

kondisi financial deepening dimaksudkan untuk menindaklanjuti temuan penelitian yang

menunjukkan financial deepening memiliki peranan buffer stock cukup memungkinkan

untuk menjaga stabilitas nilai tukar.

3. Peningkatan volume investasi langsung dengan kebijakan-kebijakan yang mendorong

investasi perlu dilakukan pemerintah sebagai otoritas fiskal. Aliran modal masuk jangka

panjang atau foreign direct investment merupakan salah satu bentuk investasi yang memiliki

peranan dalam peningkatan jumlah uang beredar dan pertumbuhan perekonomian nasional.

Kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan atau output domestik.

Peningkatan volume investasi selanjutnya diharapkan berimplikasi pada meningkatnya

pertumbuhan ekonomi. Volume investasi yang berimplikasi pada jumlah uang beredar

diharapkan dapat menjaga mekanisme pasar agar berjalan dengan baik dan sesuai dengan

kondisi perekonomian sehingga stabilitas nilai tukar dapat terjaga dengan baik.

4. Perlunya meningkatkan penerimaan ekspor Indonesia dengan menciptakan suatu iklim yang

memungkinkan ekspor Indonesia meningkat secara terus menerus dan stabil. Perlunya

menjaga harga komoditas ekspor Indonesia agar tetap kompetitif di pasar internasional.

Peningkatan efektifitas terms of trade dalam kasus perekonomian Indonesia sesuai dengan

hasil penelitian yang menunjukkan semakin efektif terms of trade semakin meningkatkan

Page 62: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

148 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

apresiasi nilai tukar Rupiah. Kondisi ekspor yang semakin membaik diharapkan nilai tukar

riil akan terapresiasi.

5. Perlunya menjaga kecukupan international reserves untuk intervensi dalam jumlah yang

terukur. Kecukupan international reserves diharapkan mampu mengikuti perkembangan

indikator moneter terutama nilai tukar rupiah dan perkembangan pasar valuta asing,

dikarenakan bahwa devisa merupakan salah satu alat dan sumber pembiayaan yang penting

bagi perekonomian suatu bangsa dan negara. Pemilikan dan penggunaan devisa serta sistem

nilai tukar perlu diatur sebaik-baiknya untuk memperlancar lalu lintas perdagangan, investasi

dan pembayaran dengan luar negeri, sesuai dengan UU No. 24 Tahun 1999 tentang lalu

lintas devisa dan sistem nilai tukar.

6. Dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar, diharapkan Bank Indonesia lebih banyak

melakukan kerjasama-kerjasama bilateral yang serupa dengan negara EMEAP (Executive

Meeting of the east Asia and Pacific Central Banks/Monetary Authorities) dan ASA (ASEAN

Swap Arrangement). Tujuan dari dua kerjasama tersebut adalah untuk saling membantu

secara bilateral apabila suatu negara peserta mengalami gejolak nilai tukar. Kerjasama tersebut

dipandang lebih menguntungkan bila dibandingkan kerjasama yang selama ini dilakukan

Indonesia dengan IMF, dimana tuntutan perjanjian IMF lebih banyak memberatkan

pemerintah Indonesia melalui program-program stabilitas perekonomian sesuai dengan

pandangan IMF bukan pada kondisi riil kebutuhan dan kinerja perekonomian Indonesia.

7. Untuk penelitian selanjutnya, beberapa catatan yang perlu diperhatikan: Pertama, untuk

menganalisa peranan financial deepening dan international reserves perlu untuk melakukan

formulasi ulang pada komponen variabel jumlah uang beredar dan international reserves

dengan pemisahan bagi negara maju dan berkembang. Sebagai gambaran, penelitian ini

menggunakan jumlah uang beredar dengan proxy M2 untuk negara-negara maju dengan

negara berkembang, sehingga hasil yang diperoleh kurang maksimal. seperti fenomena

yang sama antara Indonesia dan Amerika, sedangkan secara riil kedua negara tersebut

mengalami perbedaan yang sangat besar baik dalam skala ekonomi, struktur ekonomi serta

struktur sistem keuangan di kedua negara. Kedua, keterbatasan data yang digunakan dalam

penelitian ini menyebabkan analisa terhadap fenomena yang terjadi sulit untuk dijangkau.

Seperti periode tahun 1997/1998 sebenarnya perlu dimasukkan sebagai periode penelitian

untuk menghasilkan analisa yang lebih detail antara fenomena dengan hasil estimasi yang

dilakukan.

Page 63: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

149Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat GejolakNilai Tukar Perdagangan

DAFTAR PUSTAKA

Aizenman, Joshua dan Nancy Marion. 2002. The High Demand For International Reserves In

The Far East: What»s Going On?. Working Paper 9266. National Bureau of Economic Research.

October 2002, pp. 1-46.

Aizenman, Joshua Yeonho Lee dan Yeongseop Rhee. 2004. International Reserves Management

And Capital Mobility In A Volatile World: Policy Considerations And A Case Study of Korea.

Working Paper 10534. National Bureau of Economic Research. June 2004. pp. 1-29.

Aizenman, Joshua dan Daniel Riera-Crichton. 2006. Real Exchange Rate And International

Reserves In The Era of Growing Financial And Trade Integration. Working Paper 12363.

National Bureau of Economic Research. July 2006. pp. 1-54.

Aulia F., Telisa, 2001, Agregat Moneter sebagai Sasaran Antara Kebijakan Moneter diIndonesia,

Jurnal Ekonomi Pembangunan Indonesia, Vol. 2, No. 1, Juli 2001.

Baltagi, Badi H. 2002. Econometric Analysis of Panel Data. Second Edition. New York : John

Wiley & Sons. Ltd.

Calderon, Cesar A. 2004. Real exchange Rates In The Long And Short Run: A Panel Co-Integration

Approach. Revista de Analisis Economico. Vol. 19. No. 2. December 2004. pp. 41-83.

Calderon, Cesar A dan Lin Liu. 2002. The Direction of Causality Between Financial Development

and Economic Growth. Working Papers 184. Central Bank of Chile . October 2002. pp. 1-20.

Carbaugh , Robert . J . 2004 . International Economics . 9th Ed . USA . Thomson.

Gandhi, Dyah Virgoana. Pengelolaan Cadangan Devisa Di Bank Indonesia. Seri Kebanksentralan.

No.17. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK). Bank Indonesia. Maret 2006.

Goeltom, Miranda S dan Doddy Zulverdi. Manajemen Nilai Tukar Di Indonesia dan

Permasalahannya. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Bank Indonesia. Vol.1, No.2.

September 1998.

IMF. 2001. Guidelines for International Reserves and Foreign Currency Liquidity. IMF Official

Website: http://www.imf.org.

Greene, William H. 2003. Econometric Analysis. Fifth Edition. New York University. Prentice

Hall. Pearson Education, Inc., Upper Saddle River. New Jersey.

Page 64: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

150 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Gujarati, Damodar N. 1995. Basic Econometrics. Fourth Edition. New York McGRAW-HILL.

Hady, Dr. Hamdy. 2001. Ekonomi internasional. Edisi Ketiga. Jakarta. Penerbit Ghalia Indonesia

Jhingan, M.L. 2001. International Economics. Fifth Revised and Enlarge Edition. Delhi: Vrinda

Publication (P) LTD. India.

King, Robert. G dan Ross Levine. 1993. ∆Finance and Growth: Schumpeter Might be Right∆,

Quartely Journal of Economics, CVIII, Agustus, 1993. pp.716√737.

Krugman, P.R & M. Obstfeld . 2003 . International Economics : Theory & Policy. 6th Ed . USA .

Addison Wesley.

Mankiw, N. Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Terjemahan. Jakarta :

Penerbit Erlangga.

Muklis. 2005. Analisis Financial Deepening di Indonesia. Ekofeum Online. Jurnal Ekonomi

Pembangunan. FE UM.

Nopirin. 1995 . Ekonomi Internasional . Edisi Ketiga . Yogyakarta : BPFE.

Pugel, Thomas A. 2004. International Economics. Twelfth Edition. New York: McGraw-Hill

Companies.

Rajan, Ramkishen dan Reza Siregar. 2004. Centralized Reserves Pooling for the ASEAN+3

Countries, Monetary And Financial Integration In East Asia The Way Ahead, Vol.2, ADB,

New York, Palgrave Macmillan.

Salvatore, Dominick. 1996. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Terjemahan. Jakarta :

Penerbit Erlangga.

Simorangkir, Iskandar dan Suseno. Sistem dan Kebijakan Nilai Tukar. Seri Kebanksentralan,

No.12, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Bank Indonesia, Mei 2005.

Slangor. 1991. Financial System and Economics Development. A Lecture Note Prepared for

ASEAN Course on Management Central Bank Branches.

Tambunan, Tulus T.H. 2004. Globalisasi dan Perdagangan Internasional. Bogor. Ghalia Indonesia.

Widarjono, Agus.2005. Ekonometrika Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Ekonosia.

. 2005. Modul Pelatihan Ekonometrika Dasar. Kerjasama Laboratorium FE UI dan

Direktorat Pendidikan Tinggi. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

. 2004. Modul Pelatihan Ekonometrika dan Time Series Models. Jurusan Ilmu Ekonomi

dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga. Surabaya.

. 2002. Eviws 4.1. User Guide. Quantitatif Micro Soft Ware. LLC : United States of

America.

Page 65: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

151Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat GejolakNilai Tukar Perdagangan

LAMPIRAN III.A

Definisi Operasional Variabel

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebagaimana terdapat dalam bagian 3

diberikan definisi operasional untuk menghindari kerancuan makna, serta merupakan batasan

dan penjelasan dari variabel- variabel yang digunakan, yaitu:

1) e v m o rc Effective terms of trade (ETOT)

Untuk memberikan gambaran mengenai kondisi perdagangan suatu negara dengan negara

lain dengan telah memasukkan unsur keterbukaan perdagangan maka digunakan rumus

yang diadopsi dari model yang digunakan oleh Aizenman dan Crichton (2006) yaitu

TO*ln(TOT) yang kemudian disebut effective terms of trade, yang dapat dituliskan dengan

rumus sebagai berikut:

(III.A.1)

Formulasi persamaan diatas diperoleh dari persamaan di bawah ini:

a) TO (Trade Openness atau keterbukaan perdagangan), didapat dari rumus :

(III.A.2)

Dimana: TO adalah keterbukaan perdagangan yang menunjukkan seberapa besar rasio

antara ekspor dan impor suatu negara terhadap GDP negara bersangkutan; Export adalah

kegiatan menjual barang yang diproduksi di dalam negeri ke luar negeri. Data ekspor

merupakan data yang diperoleh dalam bentuk kuartal di Indonesia dan 5 negara mitra

dagangnya; Import adalah kegiatan membeli barang dari luar negeri untuk mencukupi

kebutuhan di dalam negeri. Data impor merupakan data yang diperoleh dalam bentuk

kuartal.

b) ln(TOT) merupakan log natural dari terms of trade. Terms of trade merupakan rasio dari

indeks harga ekspor dibagi dengan indeks harga impor dikalikan 100, yang dapat

dituliskan dengan rumus sebagai berikut :

(III.A.3)

Dimana : Px adalah Indeks harga ekspor; Pm adalah Indeks harga impor; dan 100 adalah

Indeks tahun dasar

Page 66: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

152 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

10 Buffer Stock berarti international reserves berfungsi sebagai cadangan untuk berjaga jaga guna menghadapi ketidakpastian keadaanyang akan datang (misal dalam hal ini digunakan untuk stabilisasi nilai tukar).

2)2) es g o Ter v i es v i g o Ter Reserves Mitigation Terms Reserves Mitigation Terms ETOETO(ETOT*RES)(ETOT*RES)

Variabel kedua yaitu effective terms of trade*RES (reserves mitigation terms) digunakan

untuk melihat seberapa besar pengaruh international reserves berperan sebagai penstabil

nilai tukar akibat terms of trade shock. Variabel ini didapat dari rumus (TO*ln(TOT)*RES)

dimana RES (reserves), didapat dengan rumus :

(III.A.4)

International reserves berfungsi sebagai buffer stock10 apabila α2 < 0 dan apabila α2 > 0

maka international reserves tidak berfungsi sebagai buffer stock. International Reserves

yang digunakan disini adalah total reserves minus gold dikarenakan terdapat masalah pada

penghitungan international reserves apabila mengikutsertakan emas. aaPertamaPertama, adanya

masalah tentang bagaimana cara menilai emas dengan tepat. Dikarenakan harga emas

yang selalu berubah-ubah setiap waktu. ededKeduaKedua, saat ini sebagian besar negara hanya

menghitung emas kurang dari 3% dari keseluruhan jumlah international reserves-nya

sedangkan emas saat ini sendiri dihitung senilai 35 SDRs per ons (pada tahun 2002). KetKetKetigaKetiga,

international reserves dalam bentuk emas yang dimiliki oleh negara sedang berkembang

masih dianggap kurang penting (Aizenman dan Marion, 2002). Sedangkan GDP dalam

persamaan diatas merupakan perwakilan dari output dalam negeri

3)3) at n c en i n s n c en i at n s Financial Deepening Mitigation Terms Financial Deepening Mitigation Terms (ETOT*RES*FD)(ETOT*RES*FD)

Variabel ketiga yaitu ETOT*RES*FD (financial deepening mitigation terms). digunakan untuk

melihat seberapa besar pengaruh kedalaman sektor keuangan suatu negara (financial

deepening) dapat menstabilkan nilai tukar akibat terms of trade shock. FD (Financial

Deepening) menunjukkan perkembangan sektor keuangan suatu negara. Perkembangannya

dapat diukur dengan menggunakan rasio antara aset keuangan dalam negeri terhadap

GDP yaitu :

(III.A.5)

Dimana; M2 adalah broad money yang terdiri dari uang primer (M1) ditambah dengan

tabungan dan deposito berjangka; dan GDP merupakan nilai dari output dalam negeri.

Hasil rasio ini menunjukkan rasio penggunaan M2 untuk menghasilkan setiap GDP. Semakin

kecil dalam rasio tersebut menunjukkan semakin dangkal sektor keuangan suatu negara

Page 67: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

153Cadangan Devisa, Financial Deepening dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah akibat GejolakNilai Tukar Perdagangan

dan semakin besar rasio tersebut menunjukkan semakin dalam sektor keuangan suatu

negara.

4)4) eal Ex g e eal Ex g e Real Exchange Rate Real Exchange Rate (((RER)(RER)

RER (Real Exchange Rate), merupakan variabel hasil olahan dari nilai tukar nominal mata

uang dalam negeri dengan mata uang luar negeri dengan basis perhitungan kuartalan.

Nilai ini diperoleh dengan mengalikan antara nilai tukar nominal dalam negeri dengan

consumer price index (CPI) luar negeri dibagi dengan CPI dalam negeri. Persamaannya adalah

sebagai berikut:

(III.A.6)

Dimana: Kurs nominal adalah harga suatu mata uang terhadap mata uang negara lain;

CPILN adalah Indeks Harga Konsumen luar negeri; CPIDN adalah Indeks Harga Konsumen

dalam negeri. CPILN yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan patokan CPI US, hal

ini dikarenakan US merupakan mitra dagang utama terbesar Indonesia. Sedangkan CPILN

US menggunakan CPI Jepang dengan alasan yang sama.

5)5) eal Ex g El t i e aseal Ex g e Elast iReal Exchange Rate ElasticityReal Exchange Rate Elasticity

Merupakan tingkat elastisitas RER terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada effective

terms of trade (ETOT shock) dan terms of trade reguler (TOT shock). Untuk menghitung

elastisitas RER digunakan rumus yang diadopsi dari model yang digunakan oleh Aizenman

dan Crichton (2006) yaitu:

Elastistas RER terhadap Perubahan ETOT:

Elastisitas RER terhadap Perubahan TOT:

Page 68: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

halaman ini sengaja dikosongkan

Page 69: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

KEMISKINAN DI INDONESIA:PENGARUH PERTUMBUHAN DAN PERUBAHAN

STRUKTUR EKONOMI

Sri Liani Suselo1

Tarsidin2

A b s t r a c t

Poverty level of Indonesia remains high while the economy experiences relatively high and steady

growth. The asymmetry is investigated, probing the poverty and economic growth-structure linkages at

sectoral level. The result shows that agriculture sector is the highest contributors of poverty at almost all

regions. It is also the most responsive sector, with its high growth elasticity of poverty reduction. On the

other hand economic structure seems to have varying impacts on poverty at sectoral level.

i i JEL Classification: O10, O49

Keywords: Poverty, economic growth, structure, sectoral level.

1 Sri Liani Suselo adalah Senior Researcher pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Bank Indonesia; [email protected] Tarsidin adalah Visiting Researcher pada Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Bank Indonesia; [email protected]

Page 70: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

156 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

I. PENDAHULUAN

Pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang berkisar 5% - 6% per tahun, agaknya belum

mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Bahkan terjadi peningkatan jumlah penduduk

miskin, yang saat ini berkisar 37 juta jiwa. Sementara itu studi dari Bank Dunia menyebutkan

bahwa hampir 50% dari jumlah penduduk Indonesia dikategorikan ∆miskin∆ dan ∆berada di

ambang kemiskinan∆. Hal ini menjadikan permasalahan kemiskinan patut mendapat perhatian

yang besar dari semua pihak.

Pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan peningkatan jumlah penduduk miskin

tersebut tentunya mengundang sejumlah pertanyaan, seperti: siapa sebenarnya yang menikmati

pertumbuhan ekonomi tersebut, apakah pertumbuhan ekonomi tersebut disebabkan oleh

peningkatan produktivitas ataukah penggunaan faktor produksi, apakah pertumbuhan ekonomi

tersebut terkonsentrasi pada sektor-sektor tertentu sementara beberapa sektor lainnya

pertumbuhannya relatif lambat sehingga tidak mampu menekan kemiskinan.

Di samping itu terjadi pula perubahan struktur perekonomian Indonesia. Peran sektor

pertanian, yang menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakat Indonesia semakin menurun.

Sementara itu sektor industri pengolahan dan sektor pengangkutan dan komunikasi semakin

meningkat share-nya. Perubahan struktur ini juga diduga turut berdampak, baik secara langsung

maupun tidak, terhadap tingginya angka kemiskinan di Indonesia.

Berdasarkan hal-hal tersebut menarik kiranya untuk dilakukan penelitian atas pertumbuhan

ekonomi dan perubahan struktur perekonomian, dalam hal ini dengan mendekomposisinya

menjadi pertumbuhan ekonomi sektoral dan dinamika yang terjadi seiring dengan adanya

perubahan struktur perekonomian. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat menjelaskan

fenomena peningkatan angka kemiskinan yang terjadi di Indonesia.

Studi/penelitian ini diharapkan dapat menjawab 4 pertanyaan; (1) Bagaimana dekomposisi

sektoral kemiskinan di Indonesia? Sektor-sektor usaha manakah yang berkontribusi paling besar

terhadap tingginya angka kemiskinan Indonesia?, (2) Bagaimana pertumbuhan ekonomi sektoral

Indonesia? Bagaimana perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi sektoral tersebut dapat

menjelaskan fenomena tingginya angka kemiskinan Indonesia?, (3) Bagaimana pula perubahan

struktur perekonomian Indonesia? Apakah perubahan struktur ekonomi tersebut turut

berdampak pada tingginya angka kemiskinan Indonesia?, dan (4) Apakah solusi yang bisa

dilakukan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan tersebut?

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh beberapa manfaat, pertama, bagi

pengambil kebijakan baik di tingkat Pusat maupun Daerah, dengan mengetahui pengaruh

pertumbuhan ekonomi sektoral Indonesia terhadap kemiskinan sektoral akan dapat dijadikan

Page 71: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

157Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

landasan dalam perumusan kebijakan, terkait dengan langkah-langkah yang diperlukan untuk

mengurangi jumlah penduduk miskin melalui kebijakan pembangunan sektoral. Demikian pula

halnya dengan langkah-langkah yang perlu diambil untuk meminimisasi dampak buruk dari

perubahan struktur perekonomian. Kedua, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi

bagi studi-studi lainnya mengenai pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Indonesia.

II. TEORI

II.1. Tinjauan Literatur

Beberapa literatur terkait dengan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, beberapa faktor

lain yang mempengaruhi, dan berbagai kebijakan yang ditujukan untuk pengentasannya

diuraikan berikut ini.

II.1.1. Pertumbuhan Ekonomi, Distribusi Pendapatan, dan Kemiskinan

Beberapa studi untuk melihat hubungan antara pertumbuhan ekonomi, distribusi

pendapatan, dan kemiskinan telah banyak dilakukan. Hipotesis dari Kuznets (1955, 1963)

menyebutkan bahwa proses pembangunan akan disertai dengan meningkatnya inequality secara

substansial, yang akan berbalik hanya pada tahap perekonomian sudah maju (advanced). Hal

tersebut juga disampaikan oleh Ahluwalia, Carter, dan Chenery (1979), di mana ada dugaan

bahwa pertumbuhan ekonomi disertai dengan meningkatnya inequality sehingga masyarakat

miskin mendapat bagian yang kecil dari pertumbuhan ekonomi.

Upaya paling komprehensif untuk menguji hipotesis Kuznets dilakukan oleh Deininger

dan Squire (1998), yang dengan kualitas data yang lebih baik hasilnya menunjukkan tidak

adanya hipotesis inverted-U dari Kuznets. Pada kebanyakan kasus distribusi pendapatan selama

beberapa dekade terakhir terlihat tidak banyak berubah. Beberapa studi lainnya antara lain

dilakukan oleh Knowles (2001), yang mendapatkan adanya hubungan negatif yang signifikan

antara keduanya pada sejumlah negara berkembang, namun pada negara-negara lainnya tidak

cukup ditemukan bukti tersebut. Sementara itu Ravallion dan Chen (1997) tidak menemukan

adanya hubungan yang sistematis antara pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan

pendapatan, namun ditemukan adanya hubungan yang kuat antara pertumbuhan ekonomi

dan penurunan kemiskinan.

Pentingnya meneliti ketiganya secara bersamaan sebagai suatu identitas dikemukakan

oleh Bourguignon (2002), yang mengidentifikasi adanya hubungan antara pertumbuhan

ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan perubahan distribusi pendapatan. Terkait dengan ukuran

Page 72: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

158 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

kemiskinan, Bigsten dan Shimeles (2005) menyebutkan adanya dua ukuran kemiskinan, yakni

pendapatan per kapita dan income-inequality, sebagaimana juga disebutkan Kakwani (1991)

dan Ravallion (1992).

II.1.2. Kondisi Ekonomi Makro dan Kemiskinan

Tingkat kemiskinan di suatu negara tentunya tidak terlepas dari kinerja variabel-variabel

ekonomi makro negara yang bersangkutan. Hal ini antara lain diteliti oleh Balke dan Slottje

(1993), yang menguji hubungan antara variabel-variabel ekonomi makro dan tingkat kemiskinan

di US. Di samping itu pengaruh korelasi antar negara juga turut berperan terhadap tingkat

kemiskinan di suatu negara, sebagaimana disebutkan Ravallion (2001).

Balke dan Slottje (1993) menyimpulkan bahwa inflasi tidak mempunyai dampak terhadap

kemiskinan, berbeda dengan pengangguran yang berdampak buruk pada kemiskinan. Variabel-

variabel yang digunakan berupa pengeluaran pemerintah, transfer payments, dan money supply

(untuk menggambarkan kebijakan fiskal dan moneter), dan variabel aggregate price level dan

pengangguran (untuk menggambarkan kondisi ekonomi makro), serta ukuran kemiskinan.

II.1.3. Dualisme Ekonomi dan Kemiskinan

Adanya dikotomi antara perekonomian rural, yang dicirikan dengan masyarakat agraris dan

perekonomian urban, dengan berbagai industrinya, juga menjadi penyebab ketidakmerataan

distribusi pendapatan dan kemiskinan di berbagai negara berkembang. Hal ini antara lain

dikemukakan oleh Bourguignon dan Morrison (1998), yang mendapatkan bahwa dualisme ekonomi

merupakan penyebab utama adanya perbedaan distribusi pendapatan. Peningkatan pertumbuhan

sektor pertanian diyakini merupakan cara yang paling efisien dalam mengurangi ketidakmerataan

pendapatan dan kemiskinan. Hal ini antara lain diketengahkan pula oleh Ravallion dan Datt (1996).

Sementara itu Mellor (1999) menyebutkan bahwa pertumbuhan sektor manufaktur penting bagi

pertumbuhan secara keseluruhan bagi suatu negara, namun pertumbuhan sektor pertanian sangat

penting bagi pertumbuhan employment dan pengurangan kemiskinan.

Bahwa dualisme ekonomi dapat meningkatkan kemiskinan dikemukakan pula oleh

Ahluwalia, Carter, dan Chenery (1979), yang menyebutkan adanya faktor-faktor institusional

dan kebijakan yang bias, yang mengakibatkan aliran sumber daya berlebihan ke sektor urban.

Ravallion dan Chen (1997) menyebutkan perlunya memperhatikan dinamika di antara

penduduk miskin, dengan melihat penduduk miskin bukan sebagai grup yang homogen,

mengingat respon kemiskinan terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi dan distribusi

Page 73: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

159Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

pendapatan tentunya berbeda antara daerah rural dan urban. Hal ini juga disampaikan oleh Ali

dan Thorbecke (1998), yang membuktikan bahwa rural poverty lebih responsif terhadap

pertumbuhan ekonomi daripada urban poverty, namun di sisi lain urban poverty lebih responsif

terhadap distribusi pendapatan.

II.1.4. Dinamika Sektoral-Regional, Pertumbuhan Ekonomi, dan Kemiskinan

Tingkat kemiskinan suatu negara juga erat kaitannya dengan dinamika perekonomiannya,

baik akibat perubahan struktur perekonomiannya maupun perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi

sektoral dan regional. Ravallion dan Datt (1999) melakukan studi tentang pengaruh komposisi

pertumbuhan ekonomi sektoral dan kondisi awal suatu daerah terhadap pengurangan tingkat

kemiskinannya. Demikian pula dengan Bigsten dan Levin (2000), yang menyebutkan pentingnya

memperhatikan dinamika intersektoral dalam menyusun strategi untuk mengurangi kemiskinan.

Hal ini juga diamati oleh Hoeven (2004), yang melihat adanya keterkaitan antara

perubahan struktur ekonomi di suatu negara dan ketidakmerataan pendapatan dan kemiskinan

yang diakibatkannya. Sementara itu Huppi dan Ravallion (1990), yang meneliti tentang struktur

kemiskinan sektoral pada periode adjustment di Indonesia pada pertengahan tahun 1980-an,

mendapatkan bahwa meskipun secara keseluruhan tingkat kemiskinan mengalami penurunan,

namun pengaruhnya tidak merata pada lintas regional dan sektoral, di mana pengurangan

kemiskinan yang signifikan terutama terjadi pada sektor rural farming.

Datt dan Ravallion (2002) dalam penelitiannya menekankan adanya perbedaan tingkat

kemiskinan di antara beberapa daerah di India. Daerah-daerah yang pembangunan daerah

pertanian dan human capital-nya rendah relatif tidak responsif terhadap pertumbuhan ekonomi

dalam kaitannya dengan pengurangan kemiskinan. Sementara itu Friedman (2002), yang

melakukan studi tentang respon poverty terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia,

mendapatkan adanya respon yang tinggi. Namun perbedaan antar daerah dalam tingkat

kemiskinan tetap ada meskipun telah dilakukan langkah-langkah untuk mengontrol tingkat

pendapatan pada tingkat provinsi. Terlihat bahwa faktor-faktor lokal memainkan peranan penting

terhadap tingkat kemiskinan di suatu daerah.

II.1.5. Kebijakan Pengentasan Kemiskinan

Ahluwalia, Carter, dan Chenery (1979) menyebutkan ada beberapa alternatif kebijakan

untuk mengurangi kemiskinan, yakni: akselerasi pertumbuhan ekonomi, memperbaiki distribusi

pendapatan, dan mengurangi pertumbuhan penduduk. Sementara itu Bigsten dan Levin (2000)

Page 74: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

160 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

menyebutkan bahwa beberapa elemen strategis yang dapat mengurangi kemiskinan antara

lain: outward-oriented strategy berupa pertumbuhan ekonomi yang dimotori ekspor, yang

didasarkan pada manufaktur yang labor intensive, pembangunan pertanian dan daerah

pedesaan, dengan menggalakkan teknologi baru, investasi pada infrastruktur fisik dan human

capital, institusi yang efisien yang memberikan insentif kepada petani dan entrepreneur, kebijakan

sosial untuk mempromosikan kesehatan, pendidikan, social capital, dan jaring pengaman untuk

memproteksi penduduk miskin.

Sementara itu hasil studi de Janvry dan Sadoulet (1999) menunjukkan bahwa pertumbuhan

ekonomi dapat mengurangi kemiskinan dan ketidakmerataan secara efektif hanya jika tingkat

kemiskinan dan ketidakmerataan awal tidak terlalu tinggi dan tingkat pendidikan masyarakatnya

cukup tinggi. Ditemukan pula adanya asimetri atas dampak pertumbuhan ekonomi terhadap

kemiskinan, yakni dampak penurunan pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan akan lebih

besar daripada dampak kenaikannya.

II.1.6. Pertumbuhan Ekonomi yang Mendorong Pengentasan Kemiskinan

Dari uraian di muka terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dengan sendirinya dapat

mengentaskan kemiskinan, seringkali terjadi trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan

kemiskinan. Ahluwalia (1976) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi memang disertai

dengan meningkatnya inequality, namun di sisi lain pendapatan penduduk miskin juga meningkat

meskipun dengan rate yang lebih lambat dari rata-rata peningkatan pendapatan. Pertumbuhan

ekonomi diperlukan untuk mengurangi kemiskinan, jadi pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan

awal. Jika pengentasan kemiskinan diprioritaskan, yang akan terjadi adalah bahwa pertumbuhan

ekonomi akan relatif rendah.

Dalam hal ini perlu diambil kebijakan guna mengarahkan pertumbuhan ekonomi agar

pertumbuhan tersebut dapat mengurangi jumlah penduduk miskin, atau sering disebut pro-

poor growth. Bigsten dan Levin (2000) menyebutkan bahwa strategi pro-poor growth tidak

hanya memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi, tapi juga harus dikombinasikan dengan

kebijakan distribusi pendapatan. Namun terdapat trade-off. Jika pengurangan kemiskinan dapat

dicapai melalui perbaikan distribusi pendapatan, maka kebijakan distribusi pendapatan

diprioritaskan. Sebaliknya jika pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk mengurangi kemiskinan

dapat dicapai melalui ketidakmerataan distribusi pendapatan yang lebih besar maka terdapat

toleransi atas distribusi pendapatan tersebut.

Osmani (2004) menyebutkan bahwa kebijakan untuk mengurangi kemiskinan harus

mengedepankan baik tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi maupun tingginya

Page 75: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

161Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi. Studinya menekankan peran

pengangguran dalam menjelaskan hubungan antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi,

mengingat masyarakat miskin banyak bersandar pada tenaga kerjanya. Di samping itu return

to labor juga sangat ditentukan oleh physical assets, human capital, dan social capital, yang

jika faktor-faktor tersebut rendah maka seorang pekerja dapat terjebak dalam kemiskinan. Di

samping itu peran factor productivity juga penting untuk menggerakkan pertumbuhan dalam

upaya pengentasan kemiskinan, sebagaimana dikemukakan oleh Treichel (2005).

II.2. Kerangka Konseptual

Saat ini berbagai upaya tengah dilakukan untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi dikatakan tidak berkualitas sehingga tidak dapat mengurangi tingkat

kemiskinan. Namun terlihat adanya upaya analisis yang kurang terarah, di mana pertumbuhan

ekonomi selalu didekomposisi dari sisi pengeluaran, yakni berapa besarkah pertumbuhan

konsumsi, investasi, pengeluaran Pemerintah, dan ekspor-impor. Sementara itu kemiskinan

selalu dilihat dalam konteks regional, pada tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Beberapa

institusi pun mulai membangun model makronya dengan memasukkan kemiskinan sebagai

variabelnya tanpa mendekomposisi terlebih dahulu besaran kemiskinan tersebut.

Melalui pendekatan sektoral pada penelitian ini, di mana pertumbuhan ekonomi dan

kemiskinan didekomposisi berdasarkan sisi sektoralnya, diharapkan dapat diperoleh jawaban

atas fenomena besarnya tingkat kemiskinan Indonesia di tengah pertumbuhan ekonomi yang

relatif tinggi.

Sebagaimana diuraikan di muka, terdapat hubungan yang erat antara pertumbuhan

ekonomi dan kemiskinan, yang antara lain dapat dilihat dari besarnya growth elasticity of

poverty reduction-nya (elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi), yakni seberapa

besar dampak pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan tingkat kemiskinan. Demikian

pula halnya dengan perubahan struktur perekonomian, yang menyebabkan terjadinya

perubahan pendapatan para pelaku ekonomi, disinyalir juga turut berdampak pada tingkat

kemiskinan.

Berbeda dengan studi-studi sebelumnya yang memodelkan dan menganalisis hubungan

antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan, studi ini memperhitungkan pula dampak

perubahan struktur perekonomian. Adanya perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi antar

sektor usaha menyebabkan terjadinya perubahan struktur perekonomian, yang antara lain

dipicu oleh adanya perbedaan insentif dari tiap sektor usaha. Hubungan antara pertumbuhan

ekonomi, perubahan struktur, dan kemiskinan dapat digambarkan sebagai berikut:

Page 76: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

162 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

II.2.1. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi, yang diukur dengan pertumbuhan GDP, menunjukkan naiknya

jumlah output yang diproduksi oleh suatu perekonomian. Pertumbuhan ekonomi tersebut

juga mencerminkan naiknya pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang

digunakan di perekonomian tersebut. Dengan mendekomposisi pertumbuhan ekonomi tersebut

per sektor usaha, dapat diketahui adanya perbedaan yang cukup signifikan atas pertumbuhan

ekonomi tiap sektor usaha tersebut, yang tentunya berimplikasi pada berbagai variabel sektoral

lainnya.

Pertumbuhan ekonomi suatu sektor usaha sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan

employment dan tingkat produktivitas sektor usaha yang bersangkutan, di samping tentunya

dipengaruhi pula oleh business cycle sektor yang bersangkutan. Pertumbuhan ekonomi sektoral

tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

di mana Y adalah output, K = kapital, L = labor (tenaga kerja) dan TFP = total factor productivity

Sementara itu perubahan struktur ekonomi juga turut berpengaruh terhadap kinerja

sektor-sektor usaha tersebut, dan dengan demikian mempengaruhi besarnya pertumbuhan

ekonomi sektoral. Di sisi lain perubahan struktur juga disebabkan adanya perbedaan

pertumbuhan ekonomi antar sektor usaha. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat

antara pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur, serta employment dan produktivitas

sektoral.

Gambar IV.1Gambaran Skematik Hubungan Pertumbuhan Ekonomi,

Perubahan Struktur, dan Kemiskinan

PertumbuhanEkonomi

PerubahanStruktur

Perekonomian

Employment&

Produktivitas

Tenaga Kerja

Kapital

DistribusiPendapatan

Pemilik FaktorProduksi:

Tenaga KerjaKapital

Resources

Kemiskinan

Head CountRatio(HCR)

Resources

KelompokPenghasilan:

RendahMenengah

Tinggi

Income GapRatio(IGR)

Page 77: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

163Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

II.2.2. Perubahan Struktur Perekonomian

Struktur perekonomian Indonesia, yang terdiri dari sembilan sektor usaha, senantiasa

berubah. Dinamika perubahan struktur tersebut merupakan hal yang wajar dalam suatu

perekonomian. Perubahan struktur dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti adanya

perbedaan insentif (yakni rate of return on investment), yang senantiasa berubah seiring dengan

perkembangan demand dan supply di masing-masing sektor usaha; perkembangan teknologi;

dan ketersediaan sumber daya atau faktor produksi bagi perkembangan suatu sektor usaha.

Perubahan struktur perekonomian tersebut juga terjadi seiring dengan terjadinya perbedaan

tingkat pertumbuhan ekonomi antar sektor usaha. Sektor usaha yang tingkat pertumbuhannya

lebih tinggi akan semakin besar share atau porsinya dalam perekonomian, sebaliknya yang

tingkat pertumbuhannya rendah akan menurun share-nya. Perubahan struktur ini tentunya akan

mengubah distribusi pendapatan sektoral dari para pelaku ekonomi. Sektor pertanian, yang

menurun share-nya pada beberapa tahun terakhir, misalnya, akan menjadi kurang menarik

dibandingkan dengan sektor-sektor usaha yang pertumbuhannya tinggi dan share-nya makin

besar. Pendapatan atas faktor produksi akan semakin tertuju pada sektor-sektor usaha yang

tengah berkembang dan semakin sedikit yang bisa dinikmati oleh pelaku usaha di sektor pertanian.

Perubahan struktur ekonomi yang mengakibatkan perubahan distribusi pendapatan

sektoral tersebut akan mengakibatkan terjadinya pergeseran daya beli dari pemilik faktor

produksi yang sektor usahanya mengecil perannya ke pemilik faktor produksi yang tengah

berkembang. Hal ini dapat memicu timbulnya kemiskinan jika pergeseran tersebut terjadi dari

sektor usaha yang sebelumnya dikategorikan berpendapatan rendah (seperti sektor pertanian)

ke sektor usaha yang berpendapatan tinggi. Sebagaimana diketahui sektor pertanian merupakan

sektor usaha dengan tingkat pendapatan terendah.

II.2.3. Kemiskinan

Sebelum melihat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Indonesia,

perlu ditetapkan terlebih dahulu ukuran kemiskinan yang akan digunakan. Ukuran kemiskinan

tersebut tergantung pada beberapa faktor, yakni:

Standar hidup, yang dalam hal ini bisa menggunakan pendapatan atau pengeluaran untuk

konsumsi pada periode waktu tertentu.

Poverty line di mana individu dikategorikan miskin.

Sebagaimana disebutkan Ray (1998), terdapat beberapa ukuran kemiskinan. Ukuran

kemiskinan yang digunakan pada penelitian ini adalah Headcount Ratio (HCR) dan Income

Page 78: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

164 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Gap Ratio (IGR). HCR dalam hal ini digunakan berkaitan dengan fenomena meningkatnya

jumlah penduduk miskin di Indonesia, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

di mana HC adalah headcount atau jumlah penduduk miskin dan n adalah jumlah penduduk.

Melalui HCR tersebut dapat diketahui besarnya persentase penduduk miskin di tiap sektor

usaha.

Sementara itu melalui IGR dapat diketahui intensitas dari kemiskinan pada suatu sektor

usaha. Meskipun ukuran ini tidak sensitif terhadap distribusi pendapatan di antara penduduk

miskin, namun dapat digunakan sebagai acuan seberapa jauh tingkat kemiskinan dibandingkan

garis kemiskinannya. Ukuran ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

di mana yi adalah pendapatan penduduk miskin, p adalah poverty line .

Terdapat pula beberapa ukuran kemiskinan lain yang lazim dipakai, sebagaimana

diketengahkan oleh Foster, Greer, dan Thorbecke (1984), yang bentuk umumnya dapat dituliskan

sebagai berikut:

di mana N adalah jumlah penduduk, q adalah penduduk miskin, Zp adalah poverty line, Y

i

adalah pendapatan penduduk miskin dan α adalah bobot.

Semakin besar α, semakin besar pula bobot yang diberikan kepada penduduk yang lebih

miskin. Pada α = 0, ukuran yang dihasilkan berupa P0, yang merupakan HCR. Sementara itu

pada α = 1, dihasilkan indeks kemiskinan P1, yang pada dasarnya merupakan perkalian antara

HCR dan IGR. Sedangkan jika α = 2, dihasilkan indeks kemiskinan P2, yang dapat menunjukkan

tingkat ketidakmerataan di antara penduduk miskin.

Dalam hal ini yang akan digunakan adalah ukuran kemiskinan HCR dan IGR. Ukuran

kemiskinan HCR digunakan untuk melihat gambaran besarnya kemiskinan di tiap sektor, dan

IGR untuk melihat intensitasnya. Ukuran kemiskinan P1 dan P2 tidak digunakan mengingat

besarannya merupakan suatu komposit (antara HCR dan IGR). Tentunya akan lebih baik untuk

menganalisis masing-masing komponennya.

Page 79: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

165Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

Dalam hal ini dilakukan dekomposisi atas besaran kemiskinan di Indonesia, berupa

kemiskinan sektoral-regional dan kemiskinan regional-sektoral. Melalui dekomposisi ini

diharapkan dapat diperoleh pemetaan kemiskinan baik pada tiap sektor usaha maupun pada

tiap daerah.

II.2.4. Model

Melalui dekomposisi pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan saja belum dapat

diketahui hubungan di antara keduanya. Dalam hal ini perlu dibangun model untuk menjelaskan

hubungan antara pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur, dan kemiskinan di Indonesia,

yakni dari sisi sektoralnya. Pada penelitian ini tidak dibangun model untuk menguji hubungan

antara kemiskinan sektoral-regional dan pertumbuhan ekonominya, mengingat tidak tersedianya

data pertumbuhan ekonomi sektoral-regional.

ead o o H ) n 1) Headcount Ratio (HCR)

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur, dan kemiskinan sektoral

di Indonesia, yang dalam hal ini diukur dengan HCR, dapat dirumuskan sebagai berikut:

i = 1,2,...,n : sektor usaha

di mana y adalah pertumbuhan GDP riil dan S adalah share GDP riil

Diperkirakan terdapat perbedaan sektoral yang cukup berarti atas besaran HCR sektoral,

mengingat masing-masing sektor usaha mempunyai karakteristik berbeda-beda, antara lain

dari sisi labor dan capital intensity-nya, kelompok penghasilan karyawannya, dan struktur industri

intra-sektoral terkait dengan backward dan forward linkage-nya. Perbedaan karakteristik tersebut

tentunya akan berdampak pada perbedaan respon, terlebih lagi situasi yang dihadapi oleh masing-

masing sektor usaha tersebut berbeda-beda, di mana ada sektor usaha yang berkembang dan

tingkat pertumbuhannya tinggi, sementara sektor usaha lainnya justru menyusut share-nya.

o I ) c m 2) Income Gap Ratio (IGR)

Model untuk menggambarkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan perubahan

struktur terhadap IGR dapat dirumuskan sebagai berikut:

i = 1,2,...,n : sektor usaha

di mana y adalah pertumbuhan GDP riil dan S adalah share GDP riil.

Page 80: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

166 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Dari formulasi tersebut di atas, terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi dan perubahan

struktur berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan melalui beberapa jalur, yakni:

a. Pertumbuhan ekonomi secara langsung berpengaruh terhadap tingkat pendapatan per kapita

sektoral, baik pendapatan dari tenaga kerja maupun kapital, dan besarnya konsumsi per

kapita. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu sektor pada umumnya diikuti dengan

tingginya konsumsi per kapita.

b. Perubahan struktur perekonomian secara langsung akan berdampak pada adanya perubahan

distribusi pendapatan sektoral yang diterima oleh para pemilik faktor produksi, baik dari

tenaga kerja maupun kapital. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap besarnya konsumsi

per kapita dan tingkat kemiskinan di sektor yang bersangkutan.

c. Pertumbuhan ekonomi menyebabkan terjadinya perubahan struktur ekonomi, mengingat

adanya perbedaan insentif seiring dengan adanya perbedaan tingkat pertumbuhan

ekonomi antar sektor usaha, yang pada akhirnya akan berdampak pula pada tingkat

kemiskinan.

III. METODOLOGI

III.1. Data

Penelitian ini menggunakan data Susenas dari BPS dan atas beberapa variabel datanya

diperoleh dari Bank Indonesia, CEIC, dan dari berbagai publikasi lainnya. Periode observasi dari

tahun 1994 - 2006, dengan menggunakan data tahunan. Beberapa variabel yang digunakan

antara lain: tingkat kemiskinan sektoral, pertumbuhan ekonomi sektoral dan share GDP riil

sektoral.

Tingkat kemiskinan sektoral diperoleh melalui pengolahan data sendiri, dengan

menggunakan poverty line regional sepanjang periode observasi. Atas beberapa periode yang

BPS tidak mempublikasikan besaran poverty line regional tersebut, yakni tahun 1994, 1995,

1997, dan 1998 dilakukan interpolasi untuk mendapatkan besaran poverty line regional.

Sementara itu untuk tahun 2005 dan 2006 dilakukan ekstrapolasi untuk mendapatkan poverty

line regional berdasarkan poverty line nasional

Dalam hal ini terdapat dua jenis HCR dan IGR yang dihitung, yakni HCR dan IGR sektoral,

yang menunjukkan tingkat kemiskinan dalam ruang lingkup sektor yang bersangkutan, serta

HCR yang dibobot dengan employment share masing-masing sektor usaha terhadap total

employment pada perekonomian Indonesia (selanjutnya disebut HCR tertimbang) dan IGR yang

dibobot dengan porsi penduduk miskin di suatu sektor terhadap penduduk miskin Indonesia

(selanjutnya disebut IGR tertimbang).

Page 81: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

167Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

Dalam menghitung besaran HCR dan IGR tersebut, dilakukan aproksimasi sepenuhnya

berdasarkan sample, tanpa menggunakan bobot rumah tangga dan bobot individu yang ada

pada data Susenas. Jadi employment share masing-masing sektor usaha tergantung pada jumlah

sample yang sumber penghasilannya berasal dari sektor usaha tersebut. Demikian pula halnya

dengan porsi penduduk yang dikategorikan miskin. Tidak digunakannya bobot yang ada pada

data Susenas didasarkan pada pertimbangan bahwa bobot tersebut tidak mencerminkan bobot

sektoral, tapi lebih pada bobot representasi penduduk pada suatu wilayah sampling, dengan

demikian tidak tepat untuk digunakan dalam melakukan pembobotan sektoral.

III.2. Metode

Metode yang digunakan untuk mengestimasi model HCR dan IGR adalah dengan panel

data. Dalam hal ini di samping dilakukan regresi dengan common coefficient, dilakukan pula

regresi cross-section specific coefficient guna mendapatkan gambaran atas perbedaan respon

sektoral kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur. Mengingat data

berupa 13 periode observasi dengan 9 cross-section, sementara itu terdapat 9 x 2 cross-section

specific coefficient, diperlukan kehati-hatian dalam membaca hasil regresi dengan cross-section

specific coefficient tersebut. Sementara itu pengujian dengan F-test dan Hausman test akan

dilakukan guna melihat metode panel data mana yang paling tepat, apakah pooled least squre,

fixed effect model, ataukah random effect model.

Dalam menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur, dan

kemiskinan di Indonesia, dilakukan regresi atas beberapa model sebagai berikut:

eg c u t i R C1) Regresi Headcount Ratio (HCR)

Langkah pertama adalah melakukan regresi kemiskinan sektoral yang diukur dengan

Headcount Ratio (HCR) terhadap pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur. Melalui

langkah ini diharapkan dapat diketahui gambaran umum dari pengaruh keduanya terhadap

besarnya tingkat kemiskinan, termasuk perbedaan respon HCR sektoralnya.

di mana y adalah pertumbuhan GDP riil dan S adalah share GDP riil. Dalam hal ini dilakukan

regresi terhadap besaran HCR dalam ruang lingkup sektor usaha yang bersangkutan (HCR

sektoral) guna melihat pengaruh pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi di masing-

masing sektor usaha.

Dilakukan pula regresi terhadap HCR yang dibobot dengan employment share sektoral

terhadap keseluruhan sample (HCR tertimbang), yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

Page 82: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

168 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

di mana HCi adalah headcount atau jumlah penduduk miskin di sektor ke-i, n

i adalah jumlah

penduduk di sektor i, N adalah jumlah penduduk Indonesia, adalah employment share

sektor i.

Dengan pendekatan ini dapat terlihat besarnya pengaruh pertumbuhan ekonomi dan

perubahan struktur terhadap kemiskinan di suatu sektor sekaligus dampaknya bagi kemiskinan

di tingkat nasional.

eg i R 2) Regresi Income Gap Ratio (IGR)

Melalui regresi IGR terhadap pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur dapat

diketahui pengaruh keduanya terhadap intensitas kemiskinan di Indonesia, termasuk pada

tingkat sektoralnya.

di mana y adalah pertumbuhan GDP riil dan S adalah share GDP riil.

Seperti halnya pada model sebelumnya, regresi juga dilakukan terhadap besaran IGR

dalam ruang lingkup masing-masing sektor (IGR sektoral) guna melihat pengaruh sektoralnya,

dan regresi terhadap IGR yang dibobot dengan porsi penduduk miskin di suatu sektor usaha

terhadap penduduk miskin Indonesia (IGR tertimbang) untuk melihat dampaknya terhadap

kemiskinan pada sektor tersebut sekaligus terhadap kemiskinan di tingkat nasional. IGR

tertimbang tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

di mana yi adalah pendapatan penduduk miskin, p adalah poverty line, HC

i adalah headcount,

jumlah penduduk miskin di sektor i, HC adalah headcount atau jumlah penduduk miskin

Indonesia, dan adalah : porsi penduduk miskin di suatu sektor usaha terhadap penduduk

miskin Indonesia (dengan mengeluarkan poverty line pada rumusan tersebut).

Page 83: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

169Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

IV. ANALISIS

IV.1. Gambaran Variabel dan Perkembangannya

Pada tingkat agregat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada beberapa tahun terakhir

relatif tinggi, yakni berkisar 5% - 6% per tahun. Namun dinamika tingkat kemiskinan di Indonesia

seringkali tidak sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Terdapat beberapa periode di

mana pertumbuhan ekonomi diwarnai dengan peningkatan kemiskinan. Hal ini tentunya

menimbulkan pertanyaan, bagaimana bisa perekonomian tumbuh cukup tinggi namun yang

terjadi justru semakin naiknya angka kemiskinan. Berdasarkan perhitungan pada tahun 2006

terdapat sekitar 17,75% penduduk Indonesia yang masuk kategori miskin.

Tingkat kemiskinan di suatu sektor usaha dapat dilihat dari dua sisi, yakni dari sisi

kemiskinan yang terjadi hanya dalam ruang lingkup sektor usaha yang bersangkutan (dalam

hal ini diukur dengan HCR dan IGR sektoral) dan dari sisi kemiskinan di sektor usaha yang

bersangkutan secara relatif terhadap kemiskinan di tingkat nasional (yang diukur dengan HCR

dan IGR tertimbang).

Untuk memperoleh gambaran deskriptif tentang tingkat kemiskinan di Indonesia dilakukan

penghitungan tingkat kemiskinan, baik dari sisi sektoral maupun sisi regional. Hasil perhitungan

lengkap atas tingkat kemiskinan sektoral-regional Indonesia pada tahun 2006 dapat dilihat

pada Lampiran 3 dan 4, yang menunjukkan baik besaran HCR dan IGR sektoral maupun HCR

dan IGR tertimbang. Hasil perhitungan tingkat kemiskinan sektoral-regional tersebut

menunjukkan bahwa hampir di semua daerah sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan

merupakan penyumbang terbesar bagi tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia. Sementara

itu sektor listrik, gas, dan air minum serta sektor keuangan, real estat, persewaan, dan jasa

perusahaan merupakan dua sektor usaha yang tingkat kemiskinannya paling kecil hampir di

semua daerah. Perbedaan tingkat kemiskinan sektoral di daerah-daerah tersebut terkait pula

dengan factor endowment dan adanya sektor-sektor usaha tertentu yang memang tidak cukup

berkembang dibandingkan sektor-sektor usaha lainnya yang menjadi unggulan di daerah-daerah

tersebut.

Besaran HCR, baik sektoral maupun tertimbang, dan variabel pertumbuhan dan perubahan

struktur ekonomi di masing-masing sektor usaha sebagaimana terlihat pada gambar berikut

ini.

Page 84: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

170 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Gambar IV.2Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi dan Headcount Ratio (HCR)

Sektor Industri Pengolahan%

-40,00-30,00-20,00-10,00

-10,0020,0030,0040,0050,0060,0070,0080,00

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthHCR-Sectoral GDP Share

HCR-Weighted

Sektor Listrik, Gas, dan Air Minum%

-40,00-30,00-20,00-10,00

-10,0020,0030,0040,0050,0060,0070,0080,00

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthHCR-Sectoral GDP Share

HCR-Weighted

Sektor Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan%

-40,00-30,00-20,00-10,00

-10,0020,0030,0040,0050,0060,0070,0080,00

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthHCR-Sectoral GDP Share

HCR-Weighted

Sektor Pertambangan dan Penggalian%

-40,00-30,00-20,00-10,00

-10,0020,0030,0040,0050,0060,0070,0080,00

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthHCR-Sectoral GDP Share

HCR-Weighted

Sektor Konstruksi%

-40,00-30,00-20,00-10,00

-10,0020,0030,0040,0050,0060,0070,0080,00

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthHCR-Sectoral GDP Share

HCR-Weighted

%

-40,00-30,00-20,00-10,00

-10,0020,0030,0040,0050,0060,0070,0080,00

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthHCR-Sectoral GDP Share

HCR-Weighted

Sektor Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi

Sektor Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi%

-40,00-30,00-20,00-10,00

-10,0020,0030,0040,0050,0060,0070,0080,00

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthHCR-Sectoral GDP Share

HCR-Weighted

Sektor Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh.%

-40,00-30,00-20,00-10,00

-10,0020,0030,0040,0050,0060,0070,0080,00

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthHCR-Sectoral GDP Share

HCR-Weighted

Page 85: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

171Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

Sementara itu besaran IGR dan variabel pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi

di masing-masing sektor usaha sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar IV.2Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi dan Headcount Ratio (HCR)

(lanjutan)

Sektor Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan%

-40,00-30,00-20,00-10,00

-10,0020,0030,0040,0050,0060,0070,0080,00

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthHCR-Sectoral GDP Share

HCR-Weighted

Gambar IV.3Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi dan Income Gap Ratio (IGR)

Sektor Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan%

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthIGR-Sectoral GDP Share

IGR-Weighted-40,00

-30,00

-20,00

-10,00

-

10,00

20,00

30,00

40,00

Sektor Pertambangan dan Penggalian%

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthIGR-Sectoral GDP Share

IGR-Weighted-40,00

-30,00

-20,00

-10,00

-

10,00

20,00

30,00

40,00

Sektor Industri Pengolahan%

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthIGR-Sectoral GDP Share

IGR-Weighted-40,00

-30,00

-20,00

-10,00

-

10,00

20,00

30,00

40,00%

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthIGR-Sectoral GDP Share

IGR-Weighted-40,00

-30,00

-20,00

-10,00

-

10,00

20,00

30,00

40,00

Sektor Listrik, Gas, dan Air Minum

Page 86: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

172 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Gambar IV.3Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi dan Income Gap Ratio (IGR)

(lanjutan)

Sektor Konstruksi%

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthIGR-Sectoral GDP Share

IGR-Weighted-40,00

-30,00

-20,00

-10,00

-

10,00

20,00

30,00

40,00

Sektor Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi%

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthIGR-Sectoral GDP Share

IGR-Weighted-40,00

-30,00

-20,00

-10,00

-

10,00

20,00

30,00

40,00

Sektor Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi%

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthIGR-Sectoral GDP Share

IGR-Weighted-40,00

-30,00

-20,00

-10,00

-

10,00

20,00

30,00

40,00

Sektor Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh.%

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthIGR-Sectoral GDP Share

IGR-Weighted-40,00

-30,00

-20,00

-10,00

-

10,00

20,00

30,00

40,00

Sektor Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan%

19941995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 20042005 2006

GDP GrowthIGR-Sectoral GDP Share

IGR-Weighted-40,00

-30,00

-20,00

-10,00

-

10,00

20,00

30,00

40,00

Dari kedua gambar di atas, dapat dilihat bahwa tingkat kemiskinan yang terjadi dalam

ruang lingkup sektor usaha yang bersangkutan (dalam hal ini diukur dengan HCR dan IGR

sektoral) pada umumnya relatif tinggi, namun jika dibobot dengan masing-masing sektor usaha

(diukur dengan HCR dan IGR tertimbang) terlihat bahwa kemiskinan di sektor pertanian,

perkebunan, dan perikanan adalah yang paling tinggi.

Page 87: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

173Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

IV.2. Hasil Regresi

IV.2.1. Headcount Ratio (HCR)

Hasil regresi terlebih dahulu diuji dengan F-test dan Hausman test. Berdasarkan pengujian

dengan F-test, guna menentukan model terbaik di antara pooled LS dan fixed effect, terlihat

bahwa nilai F-statistiknya 4,01, sementara itu F-tabel dengan v1=8 dan v2=106 pada level of

significance 5% adalah 2,02. Dengan demikian fixed effect model lebih dipilih daripada pooled

LS. Sementara itu hasil pengujian dengan Hausman test menghasilkan besaran Chi-square

2,17 dengan p-value sebesar 0,3381, dengan demikian tidak signifikan untuk menolak Ho

bahwa random effect dan fixed effect sama saja. Mengingat adanya kemungkinan korelasi

antara unobserved/time-constant factors dan explanatory variables, dalam hal ini dipilih untuk

menggunakan fixed effect model.

Nilai adjusted R-squared-nya yang sebesar 0,69 menunjukkan bahwa model tersebut

dapat menjelaskan variasi pada Headcount Ratio (HCR) sektoral dengan baik. Hal ini didukung

pula dengan nilai F-statistik sebesar 22,65 yang menunjukkan signifikansi model tersebut. DW-

statistik yang sebesar 1,86 juga menunjukkan model tersebut terhindar dari permasalahan

autokorelasi. Hasil regresinya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel IV.1.

Untuk melihat lebih jauh pengaruh kedua variabel tersebut pada masing-masing sektor

usaha, dilakukan regresi dengan cross-section specific coefficient. Sebagaimana disebutkan di

muka, mengingat data berupa 13 periode observasi dengan 9 cross-section, sementara itu

terdapat 9 x 2 cross-section specific coefficient, diperlukan kehati-hatian dalam membaca hasil

regresi dengan cross-section specific coefficient tersebut.

Tabel IV.1Headcount Ratio (HCR) Sektoral

Sektor sektor Usaha 0,817930*** 2,869699**

(0,090332) (1,293554)

Adjusted R2 0,689952

F statistic 22,64619***

DW statistic 1,860429

Explanatory Variables

Pertumbuhan GDPRiil Sektoral

(GDPG)

Share GDPRiil Sektoral

(GDPSH)

Dependent Variable: Headcount Ratio SektoralPeriode observasi: 1994 - 2006

Metode: Fixed Effect

Sektor Usaha

t C efModel I: Common Coefficient

Page 88: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

174 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Tabel IV.1Headcount Ratio (HCR) Sektoral (lanjutan)

Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 7,434179*** 2,401243

(1,781110) (4,083430)

Pertambangan dan Penggalian 1,449816** 5,104057**

(0,640206) (2,262080)

Industri Pengolahan 1,513295*** 2,057956

(0,273061) (1,290441)

Listrik, Gas, dan Air Minum 2,552827*** 78,73699***

(0,769414) (27,77054)

Konstruksi 0,776255*** 1,892599

(0,130693) (2,090330)

Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 1,217331*** 4,326644

(0,218822) (3,700063)

Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 1,276073*** 4,738775*

(0,237790) (2,482614)

Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 0,425913*** 0,326761

(0,103392) (1,120798)

Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 2,619340*** 2,840730

(0,598427) (4,894959)

Adjusted R2 0,775040

F statistic 16,37107***

DW statistic 1,885689

Explanatory Variables

Pertumbuhan GDPRiil Sektoral

(GDPG)

Share GDPRiil Sektoral

(GDPSH)

Dependent Variable: Headcount Ratio SektoralPeriode observasi: 1994 - 2006

Metode: Fixed Effect

Sektor Usaha

f ef r Sec o cModel II: Cross Section Specific Coefficient

Hasil regresi di atas menunjukkan besarnya pengaruh pertumbuhan dan perubahan

struktur ekonomi terhadap tingkat kemiskinan dalam ruang lingkup sektor usaha yang

bersangkutan. Terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi terhadap sektor pertanian, perkebunan,

dan perikanan, sektor listrik, gas, dan air minum, serta sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan

perorangan berpengaruh besar terhadap kemiskinan di sektor-sektor usaha tersebut.

Pertumbuhan ekonomi sebesar 1% akan mengurangi kemiskinan di sektor pertanian,

perkebunan, dan perikanan sebesar 7,43%. Sementara itu pengaruh perubahan struktur

ekonomi terlihat bervariasi antar sektor usaha.

Standard Error dalam tanda ( );Signifikan pada α = 1%, 5%, dan 10% ditunjukkan dengan ***, ** dan *

Page 89: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

175Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

Sementara itu regresi juga dilakukan terhadap variabel HCR tertimbang. Pengujian statistik

dalam pemilihan model terbaik, antara pooled LS, fixed effect, dan random effect, dilakukan

dengan cara sebagaimana disebutkan di atas. Hasilnya menunjukkan model terbaik dengan

fixed effect model. Hasil regresinya sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut ini.

Tabel IV.2Headcount Ratio (HCR) Tertimbang

Sektor sektor Usaha 0,039814*** 0,124702

(0,008042) (0,122777)

Adjusted R2 0,806383

F statistic 41,51251***

DW statistic 2,009136

Explanatory Variables

Pertumbuhan GDPRiil Sektoral

(GDPG)

Share GDPRiil Sektoral

(GDPSH)

Dependent Variable: Headcount Ratio TertimbangPeriode observasi: 1994 - 2006

Metode: Fixed Effect

Sektor Usaha

C ef o cModel I: Common Coefficient

Standard Error dalam tanda ( );Signifikan pada α = 1%, 5%, dan 10% ditunjukkan dengan ***, ** dan *

f ef r Sec o cModel II: Cross Section Specific Coefficient

Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 2,973951*** 0,354969

(0,775650) (1,778280)

Pertambangan dan Penggalian 0,066881 0,048534

(0,081404) (0,287631)

Industri Pengolahan 0,107051*** 0,056805

(0,022886) (0,108154)

Listrik, Gas, dan Air Minum 0,007945*** 0,314434***

(0,002966) (0,107044)

Konstruksi 0,44458*** 0,168086

(0,008133) (0,130073)

Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 0,189097*** 0,737242

(0,043031) (0,727615)

Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 0,077634*** 0,461373*

(0,023081) (0,240976)

Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 0,003195*** 0,013436

(0,001236) (0,013399)

Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 0,462220*** 1,013462

(0,111297) (0,910381)

Adjusted R2 0,892955

F statistic 38,21766***

DW statistic 2,125882

Page 90: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

176 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Dari hasil regresi tersebut terlihat bahwa elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan

sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan sangat tinggi, yakni mencapai -2,97. Hal ini berarti

tiap pertumbuhan sebesar 1% di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan akan dapat

mengurangi kemiskinan nasional sebesar 2,97%. Jadi dalam hal ini besaran koefisiennya

menunjukkan pengaruhnya terhadap kemiskinan nasional, mengingat tingkat kemiskinan (dalam

hal ini HCR) sudah dibobot dengan employment share-nya.

Sementara itu elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan sektor industri pengolahan

hanya sebesar -0,11. Dengan demikian tiap pertumbuhan sebesar 1% di sektor usaha tersebut

akan berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan nasional hanya sebesar 0,11%. Sektor

usaha yang elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonominya paling kecil adalah sektor

keuangan, real estat, persewaan, dan jasa perusahaan, yakni hanya sebesar -0,003. Sedangkan

sektor usaha yang elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonominya cukup besar antara

lain sektor konstruksi (-0,44) dan sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan (-0,46).

Besaran koefisien variabel pertumbuhan GDP riil sektoral (GDPG) sebagian besar terlihat

signifikan, bahkan pada level of significance 1%.

Sementara itu koefisien variabel share GDP riil sektoral sebagian besar tidak signifikan.

Koefisien yang bertanda negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi share GDP riil sektoralnya,

semakin rendah tingkat kemiskinannya. Hal ini tentunya sejalan dengan logika, dengan semakin

besarnya output dan pendapatan suatu sektor usaha tentunya akan semakin banyak pula yang

dapat dibagikan kepada para pelaku ekonomi di sektor usaha tersebut. Beberapa sektor usaha

yang koefisien variabel share GDP riil sektoralnya bertanda negatif antara lain sektor pertanian,

perkebunan, dan perikanan, serta sektor industri pengolahan.

Meskipun koefisiennya sama-sama bertanda negatif, dalam hal ini perlu dicermati bahwa

arah perubahan share GDP riil kedua sektor usaha tersebut berbeda. Share sektor pertanian,

perkebunan, dan perikanan mengalami penurunan, sedangkan share sektor industri pengolahan

mengalami peningkatan. Naiknya share sektor industri pengolahan dalam hal ini dapat

mengurangi kemiskinan di tingkat nasional. Sedangkan turunnya share sektor pertanian,

perkebunan, dan perikanan menyebabkan kenaikan tingkat kemiskinan nasional.

Dari hasil pengolahan data dan regresi tersebut dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian,

perkebunan, dan perikanan tidak saja merupakan sektor usaha yang paling tinggi tingkat

kemiskinannya, tapi juga mempunyai elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi

paling tinggi. Di samping itu penurunan share sektor usaha tersebut juga turut memperburuk

tingkat kemiskinan Indonesia. Dengan demikian langkah yang paling tepat untuk mengurangi

kemiskinan adalah dengan memberikan perhatian lebih pada sektor pertanian, perkebunan,

dan perikanan.

Page 91: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

177Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

IV.2.2. Income Gap Ratio (IGR)

Langkah pertama adalah melakukan regresi terhadap variabel IGR sektoral, untuk melihat

pengaruh pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi terhadap kemiskinan dalam ruang

lingkup sektor usaha yang bersangkutan. Sebelumnya dilakukan pengujian statistik dalam

pemilihan model terbaik, antara pooled LS, fixed effect, dan random effect, dengan cara

sebagaimana disebutkan di atas. Hasilnya adalah model terbaik dengan fixed effect model.

Hasil regresinya sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut ini.

Tabel IV.3Income Gap Ratio (IGR) Sektoral

Sektor sektor Usaha 0,215601*** 0,613789**(0,024104) (0,306200)

Adjusted R2 0,516220F statistic 11,37954***DW statistic 1,912597

Explanatory Variables

Pertumbuhan GDPRiil Sektoral

(GDPG)

Share GDPRiil Sektoral

(GDPSH)

Dependent Variable: Income Gap Ratio SektoralPeriode observasi: 1994 - 2006

Metode: Fixed Effect

Sektor Usaha

C o ef cModel I: Common Coefficient C ef o cModel I: Common Coefficient

Standard Error dalam tanda ( );Signifikan pada α = 1%, 5%, dan 10% ditunjukkan dengan ***, ** dan *

f ef r Sec o cModel II: Cross Section Specific Coefficient

Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 1,754434*** 0,021573(0,391601) (0,897797)

Pertambangan dan Penggalian 0,504689** 0,854578(0,224451) (0,793065)

Industri Pengolahan 0,343111*** 0,411603(0,065229) (0,308261)

Listrik, Gas, dan Air Minum 1,270040*** 31,89586**(0,397884) (14,36088)

Konstruksi 0,167095*** 0,400419(0,031518) (0,504107)

Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 0,282799*** 1,431584(0,054103) (0,914823)

Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 0,302631*** 1,798927**(0,068608) (0,716289)

Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 0,117000*** 0,150770(0,044124) (0,478317)

Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 0,454466** 0,202919(0,207114) (1,694132)

Adjusted R2 0,611068F statistic 8,009716***DW statistic 2,018067

Page 92: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

178 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

Dari hasil regresi tersebut terlihat bahwa sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan

dan sektor listrik, gas, dan air minum merupakan dua sektor usaha yang paling banyak

terpengaruh oleh pertumbuhan ekonomi di sektor usaha yang bersangkutan. Sementara itu

pengaruh perubahan struktur ekonomi terlihat bervariasi, yang paling mencolok adalah

pengaruhnya terhadap sektor listrik, gas, dan air minum.

Berikutnya adalah regresi terhadap variabel IGR tertimbang. Dalam hal ini juga dilakukan

pengujian statistik dalam pemilihan model terbaik, antara pooled LS, fixed effect, dan random

effect, dengan cara sebagaimana disebutkan di atas, dan dipilih untuk menggunakan fixed

effect model. Hasil regresinya sebagaimana pada tabel berikut ini.

Tabel IV.4Income Gap Ratio (IGR) Tertimbang

Sektor sektor Usaha 0,007468*** 0,034647

(0,002490) (0,028833)

Adjusted R2 0,943246

F statistic 193,7902***

DW statistic 1,957359

Explanatory Variables

Pertumbuhan GDPRiil Sektoral

(GDPG)

Share GDPRiil Sektoral

(GDPSH)

Dependent Variable: Income Gap Ratio TertimbangPeriode observasi: 1994 - 2006

Metode: Fixed Effect

Sektor Usaha

C ef t o cModel I: Common Coefficient

f ef r Sec o cModel II: Cross Section Specific Coefficient

Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 1,010547*** 0,265164

(0,227490) (0,489057)

Pertambangan dan Penggalian 0,035531 0,049518

(0,081856) (0,262640)

Industri Pengolahan 0,024353** 0,027233

(0,010575) (0,049629)

Listrik, Gas, dan Air Minum 0,003295*** 0,185079***

(0,001155) (0,042043)

Konstruksi 0,008282** 0,031801

(0,003306) (0,047324)

Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 0,057254*** 0,418071

(0,019379) (0,308832)

Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 0,021363 0,288878*

(0,015473) (0,156563)

Page 93: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

179Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

Tabel IV.4Income Gap Ratio (IGR) Tertimbang (lanjutan)

Explanatory Variables

Pertumbuhan GDPRiil Sektoral

(GDPG)

Share GDPRiil Sektoral

(GDPSH)

Dependent Variable: Income Gap Ratio TertimbangPeriode observasi: 1994 - 2006

Metode: Fixed Effect

Sektor Usaha

f ef r Sec o cModel II: Cross Section Specific Coefficient

Standard Error dalam tanda ( );Signifikan pada α = 1%, 5%, dan 10% ditunjukkan dengan ***, ** dan *

Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 0,000101 0,015207**

(0,000740) (0,007590)Jasa

Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 0,171085*** 0,776082*

(0,056885) (0,466309)

Adjusted R2 0,965022

F statistic 110,3354***

DW statistic 2,243676

Hasil yang diperoleh juga terlihat serupa dengan hasil pada model HCR. Sektor pertanian,

perkebunan, dan perikanan merupakan sektor usaha yang elastisitas kemiskinan terhadap

pertumbuhan ekonominya paling tinggi, yakni sebesar -1,01. Besaran tersebut menunjukkan

bahwa tiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1% akan dapat menurunkan IGR sebesar 1,01%.

Sektor usaha lainnya yang elastisitasnya cukup tinggi dibandingkan sektor-sektor usaha lainnya

adalah sektor listrik, gas, dan air minum, dengan besaran koefisien -0,17. Seperti halnya pada

model HCR, sebagian besar koefisien variabel share GDP riil sektoral terlihat tidak signifikan,

dengan pengaruh yang bervariasi antar sektor usaha.

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

V.1. Kesimpulan

Dari uraian di muka, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Pada tingkat nasional dinamika tingkat kemiskinan di Indonesia seringkali tidak sejalan dengan

tingkat pertumbuhan ekonomi. Terdapat beberapa periode di mana pertumbuhan ekonomi

diwarnai dengan peningkatan kemiskinan.

2. Tingkat kemiskinan yang terjadi dalam ruang lingkup sektor usaha yang bersangkutan (dalam

hal ini diukur dengan HCR dan IGR sektoral) pada umumnya relatif tinggi. Namun jika HCR

dibobot dengan employment share (diukur dengan HCR tertimbang) dan IGR dibobot dengan

porsi penduduk miskin di masing-masing sektor usaha terhadap penduduk miskin Indonesia

Page 94: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

180 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

(diukur dengan IGR tertimbang), terlihat bahwa kemiskinan di sektor pertanian, perkebunan,

dan perikanan adalah yang paling tinggi.

3. Hasil perhitungan tingkat kemiskinan sektoral-regional menunjukkan bahwa hampir di semua

daerah sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan merupakan penyumbang terbesar

bagi tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia.

4. Hasil regresi model HCR tertimbang menunjukkan bahwa elastisitas kemiskinan terhadap

pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan di tingkat nasional

sangat tinggi, yakni mencapai -2,97. Hal ini berarti tiap pertumbuhan sebesar 1% di

sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan akan dapat mengurangi kemiskinan nasional

sebesar 2,97%. Sementara itu hasil regresi model HCR sektoral menunjukkan bahwa

elastisitas sektor tersebut dalam mengurangi kemiskinan di sektor yang bersangkutan

sebesar -7,34. Kedua besaran elastisitas tersebut jauh di atas besaran elastisitas sektor-

sektor usaha lainnya, termasuk elastisitas sektor industri pengolahan yang masing-masing

sebesar -0,11 dan -1,51.

5. Koefisien share GDP riil sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan dan sektor industri

pengolahan yang sama-sama bertanda negatif (pada regresi model HCR sektoral dan HCR

tertimbang) mempunyai implikasi yang berbeda. Pada periode observasi share sektor

pertanian, perkebunan, dan perikanan mengalami penurunan, sedangkan share sektor

industri pengolahan mengalami peningkatan. Naiknya share sektor industri pengolahan

dalam hal ini akan mengurangi kemiskinan, sedangkan turunnya share sektor pertanian,

perkebunan, dan perikanan tentunya membuat naiknya tingkat kemiskinan.

6. Hasil regresi model IGR tertimbang juga menunjukkan bahwa sektor pertanian, perkebunan,

dan perikanan merupakan sektor usaha yang elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan

ekonominya paling tinggi, yakni sebesar -1,01. Besaran tersebut menunjukkan bahwa tiap

pertumbuhan ekonomi sebesar 1% akan dapat menurunkan IGR sebesar 1,01%. Berdasarkan

regresi atas model IGR sektoral, terlihat bahwa besaran elastisitas sektor tersebut juga yang

tertinggi, yakni -1,75. Sementara itu pengaruh variabel share GDP riil terlihat bervariasi

antar sektor usaha.

V.2. Rekomendasi

Beberapa hal yang dapat direkomendasikan dari hasil penelitian ini antara lain sebagai

berikut:

1. Dari hasil pengolahan data dan regresi tersebut diketahui bahwa sektor pertanian,

perkebunan, dan perikanan tidak saja merupakan sektor usaha yang paling tinggi tingkat

kemiskinannya, tapi juga mempunyai elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi

Page 95: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

181Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

paling tinggi. Di samping itu penurunan share sektor usaha tersebut juga turut memperburuk

tingkat kemiskinan Indonesia. Dengan demikian langkah yang paling tepat untuk mengurangi

kemiskinan adalah dengan memberikan perhatian lebih pada sektor pertanian, perkebunan,

dan perikanan.

2. Hasil studi ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi studi-studi lain tentang pertumbuhan

ekonomi dan kemiskinan di Indonesia.

Page 96: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

182 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

DAFTAR PUSTAKA

Ahluwalia, Montek S.; Carter, Nicholas G.; dan Chenery, Hollis B. ≈Growth and Poverty in

Developing Countries.∆ Journal of Development Economics, 1979, 6, 299-341.

Balke, Nathan S. dan Slottje, Daniel J. ≈Poverty and Change in the Macroeconomy: A Dynamic

Macroeconometric Model.∆ The Review of Economics and Statistics, Februari 1993, 75(1),

117-122.

Bigsten, Arne dan Levin, Jorgen. ≈Growth, Income Distribution, and Poverty: A Review.∆

Goteborg University Working Paper in Economics, No. 32, November 2000.

Bigsten, Arne dan Shimeles, Abebe. ≈Can Africa Reduce Poverty by Half by 2015? The Case for

a Pro-Poor Growth Strategy.∆ Goteborg University, Agustus 2005.

Bourguignon, Francois. ≈The Growth Elasticity of Poverty Reduction: Explaining Heterogeneity

across Countries and Time Periods.∆ DELTA Working Paper, No. 2002-03, 2002.

Datt, Gaurav dan Ravallion, Martin. ≈Is India»s Economic Growth Leaving the Poor Behind?∆

World Bank Policy Research Working Paper, Mei 2002.

de Janvry, Alain dan Sadoulet, Elisabeth. ≈Growth, Poverty, and Inequality in Latin America: A

Causal Analysis, 1970-94, IADB, Februari 1999.

Deininger, Klaus dan Squire, Lyn. ≈New Ways of Looking at Old Issues: Inequality and Growth.∆

Journal of Development Economics, 1998, 57(1998), 259-287.

Friedman, Jed. ≈How Responsive is Poverty to Growth? A Regional Analysis of Poverty, Inequality,

and Growth in Indonesia, 1984-1999.∆ RAND, 2002.

Hoeven, Rolph van der. ≈Poverty and Structural Adjustment: Some Remarks on Tradeoffs between

Equity and Growth.∆ ILO Employment Paper, No. 2004/4, 2004.

Huppi, Monika dan Ravallion, Martin. ≈The Sectoral Structure of Poverty during an Adjustment

Period: Evidence for Indonesia in the Mid-1980s.∆ World Bank Working Papers, No. WPS

529, Oktober 1990.

Page 97: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

183Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

Knowles, Stephen. ≈Inequality and Economic Growth: The Empirical Relationship Reconsidered

in the Light of Comparable Data.∆ WIDER Discusstion Paper, No. 2001/128, November

2001.

Osmani, S.R. ≈The Employment Nexus between Growth and Poverty: An Asian Perspective.∆

SIDA-UNDP, Maret 2004.

Ravallion, Martin. ≈Growth, Inequality, and Poverty: Looking Beyond Averages.∆ World Bank,

2001.

Ravallion, Martin dan Chen, Shaohua. ≈Measuring Pro-Poor Growth.∆ Economics Letters, 2003,

78(2003), 93-99.

Ravallion, Martin dan Datt, Gaurav. ≈When is Growth Pro-Poor? Evidence from the Diverse

Experiences of India»s States.∆ World Bank, 1999.

Ray, Debraj. Development Economics. New Jersey: Princeton University Press, 1998.

Page 98: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

184 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

LAMPIRAN IV.A

Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Tahun 1994 - 2006

No.

1 Pertanian, Perkebunan, dan

Perikanan 0,56 4,38 3,14 1,00 1,33 2,16 1,88 3,26 3,45 3,79 2,82 2,66 2,98

2 Pertambangan dan Penggalian 5,60 6,74 6,30 2,12 2,76 1,62 5,51 0,33 1,00 1,37 4,48 3,11 2,21

3 Industri Pengolahan 12,36 10,88 11,59 5,25 11,44 3,92 5,98 3,30 5,29 5,33 6,38 4,57 4,63

4 Listrik, Gas, dan Air Minum 12,54 15,91 13,63 12,37 3,03 8,27 7,56 7,92 8,94 4,87 5,30 6,30 5,87

5 Konstruksi 14,86 12,92 12,76 7,36 36,44 1,91 5,64 4,58 5,48 6,10 7,49 7,42 8,97

6 Perdagangan, RM, dan

Jasa Akomodasi 7,61 7,94 8,16 5,83 18,22 0,06 5,67 3,95 4,27 5,45 5,70 8,38 6,13

7 Angkutan, Pergudangan, dan

Komunikasi 8,34 8,50 8,68 7,01 15,13 0,75 8,59 8,10 8,39 12,19 13,38 12,97 13,64

8 Keuangan, R. Estat, Persewaan,

dan Jasa Persh. 10,17 11,04 6,04 5,93 26,63 7,19 4,59 6,76 6,70 6,73 7,66 6,79 5,65

9 Jasa Kemasyarakatan, Sosial,

dan Perorangan 2,77 3,27 3,40 3,62 3,85 1,94 2,33 3,24 3,75 4,41 5,38 5,05 6,22

lTotallTotal ,57,545,7,54 28,2228,22 7,827,82 4,704,70 113,13113,13 ,0,79,0,79 4,924,92 3,643,64 44,5044,50 44,7844,78 35,0335,03 5,685,68 55,4855,48

SektorPeriode

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Page 99: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

185Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

LAMPIRAN IV.B

Share GDP Riil Sektoral Tahun 1994 - 2006

No.

1 Pertanian, Perkebunan, dan

Perikanan 15,68 15,12 14,47 13,96 15,85 16,07 15,60 15,54 15,39 15,24 14,92 14,49 14,15

2 Pertambangan dan Penggalian 11,58 11,42 11,26 10,98 12,29 12,00 12,07 11,68 11,29 10,63 9,66 9,43 9,14

3 Industri Pengolahan 24,51 25,12 25,99 26,13 26,64 27,47 27,75 27,65 27,86 28,01 28,37 28,07 27,84

4 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,38 0,41 0,43 0,46 0,55 0,59 0,60 0,63 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66

5 Konstruksi 6,87 7,17 7,50 7,69 5,62 5,47 5,51 5,56 5,61 5,68 5,82 5,91 6,11

6 Perdagangan, RM, dan

Jasa Akomodasi 16,99 16,94 17,00 17,18 16,17 16,04 16,15 16,20 16,16 16,26 16,37 16,79 16,89

7 Angkutan, Pergudangan, dan

Komunikasi 4,55 4,56 4,60 4,70 4,59 4,52 4,68 4,88 5,06 5,42 5,85 6,25 6,74

8 Keuangan, R. Estat, Persewaan,

dan Jasa Persh. 10,50 10,77 10,59 10,72 9,05 8,33 8,31 8,56 8,74 8,90 9,12 9,22 9,23

9 Jasa Kemasyarakatan, Sosial,

dan Perorangan 9,44 9,01 8,64 8,55 9,46 9,57 9,34 9,30 9,23 9,20 9,23 9,18 9,24

SektorPeriode

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Page 100: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

186 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

LAMPIRAN IV.C

Tingkat Kemiskinan Regional-Sektoral Tahun 2006

No.

1 NAD Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 17,57 9,03 17,29 12,04

2 Pertambangan dan Penggalian 10,17 0,32 17,62 0,46

3 Industri Pengolahan 6,62 0,26 16,94 0,35

4 Listrik, Gas, dan Air Minum 5,74 0,02 24,79 0,03

5 Konstruksi 12,42 0,87 16,46 1,16

6 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 6,48 0,79 15,76 1,02

7 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 12,44 0,77 17,68 1,09

8 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 1,97 0,02 25,88 0,05

9 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 4,68 0,67 20,57 1,13

10 Lainnya 10,81 0,03 14,65 0,03

1 812,78 1 617,36

11 Sumatera Utara Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 21,47 11,21 17,87 11,45

12 Pertambangan dan Penggalian 6,24 0,18 19,90 0,22

13 Industri Pengolahan 10,17 0,47 15,94 0,50

14 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00

15 Konstruksi 19,68 0,86 15,62 0,90

16 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 9,99 1,50 16,85 1,70

17 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 18,91 1,52 15,93 1,65

18 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 3,15 0,03 12,70 0,03

19 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 6,93 0,76 16,14 0,80

20 Lainnya 9,27 0,05 19,48 0,06

1 916,59 1 117,31

21 Sumatera Barat Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 28,98 12,61 21,84 11,31

22 Pertambangan dan Penggalian 14,94 1,09 18,09 0,91

23 Industri Pengolahan 19,10 0,97 21,79 0,97

24 Listrik, Gas, dan Air Minum 11,32 0,05 13,53 0,03

25 Konstruksi 32,29 1,48 19,96 1,38

26 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 17,11 2,84 19,76 2,72

27 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 21,72 1,64 18,74 1,44

28 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 6,62 0,06 10,89 0,03

29 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 13,92 1,94 20,47 1,98

30 Lainnya 13,56 0,02 15,50 0,01

2 922,69 2 020,80

Propinsi

Ukuran Kemiskinan

HCR IGRSektor

% % % %Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang

Page 101: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

187Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

No.

31 Riau Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 23,59 12,31 18,51 11,34

32 Pertambangan dan Penggalian 13,30 0,55 24,47 0,73

33 Industri Pengolahan 15,40 0,93 16,02 0,81

34 Listrik, Gas, dan Air Minum 9,71 0,03 18,42 0,04

35 Konstruksi 19,21 1,03 19,74 1,12

36 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 13,12 1,83 20,53 2,11

37 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 24,21 1,69 22,90 2,18

38 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 3,00 0,03 5,42 0,01

39 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 8,77 0,85 17,77 0,84

40 Lainnya 50,00 0,02 4,10 0,01

1 019,30 1 819,18

41 Jambi Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 13,73 8,81 17,96 12,14

42 Pertambangan dan Penggalian 10,55 0,33 16,45 0,47

43 Industri Pengolahan 15,72 0,77 15,79 1,01

44 Listrik, Gas, dan Air Minum 19,40 0,05 11,96 0,06

45 Konstruksi 15,78 0,57 19,04 0,98

46 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 7,99 0,80 19,67 1,49

47 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 13,61 0,56 21,47 1,08

48 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 2,98 0,02 12,84 0,02

49 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 5,82 0,53 21,18 0,99

50 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00

1 412,44 1 518,25

51 Sumatera Selatan Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 16,67 9,80 16,96 8,84

52 Pertambangan dan Penggalian 10,46 0,35 17,04 0,38

53 Industri Pengolahan 15,77 0,55 13,99 0,49

54 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00

55 Konstruksi 32,03 1,41 20,86 2,05

56 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 13,17 1,65 17,96 2,04

57 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 22,58 1,50 20,29 2,12

58 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 8,37 0,05 11,30 0,04

59 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 14,89 1,43 19,48 1,91

60 Lainnya 11,17 0,06 10,70 0,04

1 016,80 1 117,91

61 Bengkulu Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 16,39 11,05 15,10 11,47

62 Pertambangan dan Penggalian 3,70 0,10 14,59 0,12

63 Industri Pengolahan 8,45 0,22 20,49 0,44

64 Listrik, Gas, dan Air Minum 12,77 0,03 5,23 0,01

65 Konstruksi 19,18 0,61 20,43 1,05

66 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 8,47 0,76 15,65 1,07

67 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 6,46 0,24 6,46 0,13

68 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 0,00 0,00 0,00 0,00

69 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 7,02 0,73 19,23 1,26

70 Lainnya 9,00 0,04 46,01 0,18

1 813,78 1 315,73

Propinsi

Ukuran Kemiskinan

HCR IGRSektor

% % % %Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang

Page 102: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

188 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

No.

71 Lampung Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 25,64 14,23 18,02 10,97

72 Pertambangan dan Penggalian 19,47 0,63 20,06 0,60

73 Industri Pengolahan 20,37 1,33 18,56 1,15

74 Listrik, Gas, dan Air Minum 18,75 0,05 18,38 0,05

75 Konstruksi 28,84 1,45 21,98 1,64

76 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 13,88 1,73 17,76 1,56

77 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 22,68 1,26 18,87 1,25

78 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 8,47 0,07 24,53 0,09

79 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 11,87 1,26 22,60 1,45

80 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00

2 02 022,0022,00 1 61 618,7618,76

81 Kep, Bangka Belitung Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 12,74 3,40 12,22 5,72

82 Pertambangan dan Penggalian 5,29 1,78 14,31 3,59

83 Industri Pengolahan 4,86 0,23 21,95 0,77

84 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00

85 Konstruksi 6,76 0,47 14,04 0,98

86 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 4,13 0,52 19,66 1,53

87 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 3,35 0,15 12,55 0,26

88 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 0,00 0,00 0,00 0,00

89 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 5,47 0,52 18,25 1,43

90 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00

87,08 1 714,27

91 Kep, Riau Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 32,53 10,18 21,27 10,25

92 Pertambangan dan Penggalian 16,72 1,64 21,93 1,87

93 Industri Pengolahan 16,64 2,02 25,25 2,64

94 Listrik, Gas, dan Air Minum 16,13 0,07 35,71 0,14

95 Konstruksi 23,90 1,72 21,01 1,90

96 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 9,07 1,34 18,19 1,26

97 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 17,07 1,64 19,49 1,67

98 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 3,08 0,03 6,36 0,01

99 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 10,51 1,38 25,19 1,79

100 Lainnya 20,73 0,12 19,10 0,13

520,15 2 521,65

101 DKI Jakarta Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 38,14 1,25 11,86 2,46

102 Pertambangan dan Penggalian 5,78 0,26 19,68 0,84

103 Industri Pengolahan 3,43 0,54 8,89 0,79

104 Listrik, Gas, dan Air Minum 2,19 0,03 7,40 0,03

105 Konstruksi 7,30 0,37 15,23 0,94

106 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 4,25 1,43 15,31 3,63

107 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 6,61 0,64 18,72 2,00

108 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 1,98 0,15 22,35 0,56

109 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 6,92 1,34 18,19 4,05

110 Lainnya 21,43 0,02 28,47 0,11

26,02 015,40

Propinsi

Ukuran Kemiskinan

HCR IGRSektor

% % % %Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang

Page 103: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

189Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

No.

111 Jawa Barat Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 28,79 6,00 18,73 5,95

112 Pertambangan dan Penggalian 15,26 1,06 18,68 1,12

113 Industri Pengolahan 14,34 2,14 16,50 2,01

114 Listrik, Gas, dan Air Minum 6,87 0,02 13,57 0,02

115 Konstruksi 26,28 1,91 20,34 2,21

116 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 14,05 3,35 18,30 3,51

117 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 17,31 1,59 17,86 1,66

118 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 3,75 0,07 15,99 0,07

119 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 11,35 1,55 19,27 1,75

120 Lainnya 16,69 0,18 17,82 0,19

717,87 918,49

121 Jawa Tengah Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 34,79 11,23 18,29 8,17

122 Pertambangan dan Penggalian 16,10 0,89 18,24 0,68

123 Industri Pengolahan 21,86 3,24 16,82 2,31

124 Listrik, Gas, dan Air Minum 9,38 0,03 4,31 0,00

125 Konstruksi 28,85 2,60 17,33 1,92

126 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 17,00 3,17 16,95 2,30

127 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 25,23 1,51 18,39 1,21

128 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 6,52 0,08 11,77 0,04

129 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 11,75 1,39 15,96 0,96

130 Lainnya 9,52 0,04 14,50 0,03

724,17 217,62

131 DI Yogyakarta Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 28,06 8,19 15,79 6,52

132 Pertambangan dan Penggalian 5,89 0,64 16,06 0,57

133 Industri Pengolahan 22,47 1,97 17,28 1,88

134 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00

135 Konstruksi 33,40 3,83 16,16 3,39

136 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 12,68 1,99 11,91 1,40

137 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 21,71 1,10 18,06 1,19

138 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 2,41 0,04 15,60 0,04

139 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 4,79 0,81 18,79 0,88

140 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00

1 818,58 1 715,87

141 Jawa Timur Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 38,23 14,53 21,13 11,20

142 Pertambangan dan Penggalian 19,10 1,25 18,38 0,87

143 Industri Pengolahan 20,14 2,50 18,41 1,77

144 Listrik, Gas, dan Air Minum 8,45 0,03 26,23 0,03

145 Konstruksi 32,01 2,03 19,08 1,50

146 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 17,48 2,93 18,75 2,15

147 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 26,55 1,78 19,14 1,32

148 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 8,15 0,12 21,12 0,10

149 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 12,90 1,47 19,26 1,12

150 Lainnya 25,00 0,01 28,58 0,01

2 526,65 2 720,07

Propinsi

Ukuran Kemiskinan

HCR IGRSektor

% % % %Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang

Page 104: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

190 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

No.

151 Banten Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 22,68 5,76 19,41 8,30

152 Pertambangan dan Penggalian 7,07 0,33 15,57 0,41

153 Industri Pengolahan 7,90 1,59 17,63 2,30

154 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00

155 Konstruksi 17,09 1,03 20,16 1,69

156 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 10,46 2,01 15,95 2,58

157 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 10,93 1,11 14,65 1,33

158 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 2,31 0,05 11,40 0,05

159 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 8,00 0,91 12,11 0,91

160 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00

1 912,79 1 717,57

161 Bali Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 12,19 3,41 13,84 5,43

162 Pertambangan dan Penggalian 7,23 0,18 8,29 0,18

163 Industri Pengolahan 11,05 1,44 15,24 2,62

164 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00

165 Konstruksi 13,12 1,53 15,09 2,81

166 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 4,88 1,00 10,84 1,32

167 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 5,88 0,32 14,09 0,56

168 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 1,51 0,04 5,37 0,03

169 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 3,27 0,50 16,71 1,00

170 Lainnya 7,55 0,02 6,52 0,01

68,46 1 513,95

171 NTB Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 26,91 11,63 18,23 8,70

172 Pertambangan dan Penggalian 16,70 1,20 18,89 1,01

173 Industri Pengolahan 21,88 1,41 21,50 1,46

174 Listrik, Gas, dan Air Minum 14,75 0,04 11,14 0,02

175 Konstruksi 26,83 1,62 21,46 1,71

176 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 18,20 2,52 19,75 2,45

177 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 25,92 2,18 19,30 2,01

178 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 6,67 0,07 21,46 0,07

179 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 13,01 1,72 22,10 1,90

180 Lainnya 13,64 0,04 19,17 0,04

2 322,43 1 819,38

181 NTT Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 42,33 29,39 20,51 16,22

182 Pertambangan dan Penggalian 16,54 0,51 14,90 0,26

183 Industri Pengolahan 31,60 1,02 20,87 0,62

184 Listrik, Gas, dan Air Minum 9,64 0,02 10,62 0,01

185 Konstruksi 37,54 1,00 22,99 0,79

186 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 25,93 1,28 19,49 0,88

187 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 26,24 0,88 22,84 0,72

188 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 11,04 0,08 13,93 0,03

189 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 11,03 1,33 19,28 0,88

190 Lainnya 28,47 0,09 16,01 0,04

335,61 220,45

Propinsi

Ukuran Kemiskinan

HCR IGRSektor

% % % %Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang

Page 105: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

191Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

No.

191 Kalimantan Barat Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 15,63 9,49 17,35 9,99

192 Pertambangan dan Penggalian 13,39 0,64 20,26 1,03

193 Industri Pengolahan 16,80 0,59 16,54 0,73

194 Listrik, Gas, dan Air Minum 8,22 0,02 25,15 0,04

195 Konstruksi 21,30 1,13 23,29 2,09

196 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 10,00 1,12 17,51 1,61

197 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 20,52 0,72 15,75 0,92

198 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 5,77 0,04 11,20 0,03

199 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 9,07 0,87 18,99 1,35

200 Lainnya 32,90 0,16 14,75 0,21

814,78 917,99

201 Kalimantan Tengah Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 12,52 7,48 17,96 12,83

202 Pertambangan dan Penggalian 5,85 0,36 11,39 0,41

203 Industri Pengolahan 11,59 0,43 19,30 0,82

204 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00

205 Konstruksi 13,43 0,66 12,74 0,85

206 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 5,19 0,50 15,37 0,79

207 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 6,94 0,36 14,23 0,53

208 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 3,35 0,02 26,04 0,04

209 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 4,68 0,47 18,45 0,92

210 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00

1 710,27 1 917,19

211 Kalimantan Selatan Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 12,89 5,69 16,35 8,60

212 Pertambangan dan Penggalian 5,96 0,46 11,71 0,57

213 Industri Pengolahan 9,94 0,65 16,37 1,12

214 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00

215 Konstruksi 11,03 0,61 11,93 0,82

216 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 6,85 1,09 13,23 1,61

217 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 11,09 0,71 20,47 1,58

218 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 6,74 0,06 16,82 0,10

219 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 5,74 0,71 15,08 1,25

220 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00

89,98 1 615,66

221 Kalimantan Timur Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 30,50 11,41 22,11 15,17

222 Pertambangan dan Penggalian 5,24 0,49 16,34 0,47

223 Industri Pengolahan 9,11 0,70 21,64 0,90

224 Listrik, Gas, dan Air Minum 11,21 0,04 12,85 0,03

225 Konstruksi 13,89 0,96 14,13 0,81

226 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 7,66 1,17 17,54 1,22

227 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 12,36 0,79 19,89 0,93

228 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 3,47 0,09 24,11 0,13

229 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 6,72 0,93 17,51 0,97

230 Lainnya 46,58 0,11 19,67 0,13

1 916,69 2 620,76

Propinsi

Ukuran Kemiskinan

HCR IGRSektor

% % % %Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang

Page 106: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

192 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

No.

231 Sulawesi Utara Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 27,35 12,49 20,34 13,57

232 Pertambangan dan Penggalian 6,34 0,41 17,83 0,41

233 Industri Pengolahan 12,03 0,69 12,16 0,46

234 Listrik, Gas, dan Air Minum 5,49 0,02 0,13 0,00

235 Konstruksi 24,64 2,08 18,04 2,12

236 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 8,87 0,87 14,80 0,72

237 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 11,30 0,95 17,61 0,96

238 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 1,46 0,01 11,65 0,01

239 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 5,79 0,78 17,47 0,76

240 Lainnya 22,58 0,10 17,70 0,10

218,42 119,11

241 Sulawesi Tengah Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 37,06 23,46 20,49 15,37

242 Pertambangan dan Penggalian 19,42 0,55 25,31 0,47

243 Industri Pengolahan 33,33 1,30 18,39 0,83

244 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00

245 Konstruksi 33,04 1,19 19,76 0,86

246 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 12,75 1,02 16,97 0,66

247 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 27,37 1,12 18,62 0,77

248 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 5,85 0,04 20,14 0,03

249 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 12,61 1,64 17,86 1,04

250 Lainnya 27,40 0,08 5,71 0,02

130,41 420,04

251 Sulawesi Selatan Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 27,49 14,12 18,58 12,20

252 Pertambangan dan Penggalian 10,80 0,66 16,78 0,55

253 Industri Pengolahan 14,94 0,64 17,99 0,57

254 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00

255 Konstruksi 25,10 1,04 18,10 0,98

256 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 12,20 1,50 16,34 1,27

257 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 23,70 1,59 18,17 1,51

258 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 6,31 0,09 5,56 0,03

259 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 8,05 1,06 18,23 1,03

260 Lainnya 14,29 0,04 22,64 0,04

320,73 918,19

261 Sulawesi Tenggara Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 27,45 13,99 20,19 12,51

262 Pertambangan dan Penggalian 21,01 1,06 23,57 1,16

263 Industri Pengolahan 24,24 1,37 19,56 1,23

264 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00

265 Konstruksi 21,23 0,95 15,54 0,72

266 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 14,83 1,69 19,99 1,67

267 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 24,52 1,60 23,31 1,93

268 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 0,00 0,00 0,00 0,00

269 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 7,10 1,07 19,65 1,09

270 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00

2 321,73 2 220,32

Propinsi

Ukuran Kemiskinan

HCR IGRSektor

% % % %Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang

Page 107: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

193Kemiskinan di Indonesia: Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

No.

271 Gorontalo Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 27,68 13,88 18,95 12,88

272 Pertambangan dan Penggalian 15,24 0,70 16,81 0,60

273 Industri Pengolahan 16,93 1,10 16,28 0,92

274 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00

275 Konstruksi 19,52 1,27 13,44 0,96

276 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 9,44 0,92 17,78 0,93

277 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 12,06 1,01 12,94 0,70

278 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 0,00 0,00 0,00 0,00

279 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 6,40 0,81 17,34 0,79

280 Lainnya 32,26 0,08 7,94 0,04

819,78 117,81

281 Sulawesi Barat Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 29,19 20,85 21,25 15,83

282 Pertambangan dan Penggalian 22,53 0,49 18,91 0,34

283 Industri Pengolahan 20,04 0,70 18,47 0,53

284 Listrik, Gas, dan Air Minum 55,56 0,07 11,81 0,03

285 Konstruksi 35,63 0,92 19,11 0,72

286 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 22,00 1,37 12,33 0,66

287 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 39,37 1,76 20,10 1,48

288 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 10,87 0,07 20,94 0,07

289 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 11,34 0,98 18,38 0,69

290 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00

2 227,22 2 520,35

291 Maluku Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 38,12 23,95 23,15 18,44

292 Pertambangan dan Penggalian 16,27 0,48 18,30 0,33

293 Industri Pengolahan 31,12 1,67 19,82 1,10

294 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00

295 Konstruksi 27,76 0,76 13,18 0,37

296 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 11,54 0,73 21,19 0,53

297 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 15,49 0,83 16,26 0,48

298 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 4,41 0,04 13,02 0,02

299 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 9,90 1,31 19,43 0,90

300 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00

2 829,78 2 622,16

301 Maluku Utara Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 16,49 9,70 19,00 13,71

302 Pertambangan dan Penggalian 8,77 0,40 21,89 0,82

303 Industri Pengolahan 23,17 1,20 16,61 1,58

304 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00

305 Konstruksi 7,41 0,37 23,17 0,85

306 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 3,83 0,28 17,34 0,40

307 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 6,94 0,48 14,67 0,67

308 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 0,00 0,00 0,00 0,00

309 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 3,17 0,37 20,31 0,81

310 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00

1 912,79 118,85

Propinsi

Ukuran Kemiskinan

HCR IGRSektor

% % % %Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang

Page 108: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

194 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

No.

311 Irian Jaya Barat Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 35,31 22,46 21,58 18,16

312 Pertambangan dan Penggalian 12,20 0,21 27,83 0,24

313 Industri Pengolahan 13,95 0,43 17,06 0,29

314 Listrik, Gas, dan Air Minum 0,00 0,00 0,00 0,00

315 Konstruksi 11,58 0,46 18,24 0,34

316 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 8,66 0,72 19,28 0,56

317 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 10,27 0,60 18,44 0,46

318 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 0,00 0,00 0,00 0,00

319 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 12,38 1,55 16,06 0,97

320 Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00

2 326,43 2 121,01

321 Papua Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan 45,65 31,19 27,03 24,92

322 Pertambangan dan Penggalian 3,66 0,07 25,43 0,06

323 Industri Pengolahan 12,42 0,18 24,54 0,14

324 Listrik, Gas, dan Air Minum 10,42 0,02 8,92 0,01

325 Konstruksi 7,86 0,18 14,25 0,09

326 Perdagangan, RM, dan Jasa Akomodasi 3,08 0,14 10,69 0,05

327 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 8,83 0,56 20,38 0,35

328 Keuangan, R. Estat, Persewaan, dan Jasa Persh. 5,98 0,05 19,22 0,03

329 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 6,54 0,82 18,70 0,53

330 Lainnya 19,36 0,37 20,32 0,24

3 633,56 2 126,41

Propinsi

Ukuran Kemiskinan

HCR IGRSektor

% % % %Sektoral Tertimbang Sektoral Tertimbang

Page 109: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

PETUNJUK PENULISAN

1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak

melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang

dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima,

TETAP menjadi hak penulis.

2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial

sebesar Rp 1.000.000,- s.d. Rp 3.000.000,-.

3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan

softcopy anda ke:

[email protected]

Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan

melalui pos ke alamat redaksi berikut:

BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia

Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2

Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394

4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan

ukuran font 12.

5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation.

6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah

yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan

sebaliknya.

7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal

of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.acaweb.org/journal/

jel class system.html.

8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,

Page 110: All Paper - BEMP Volume 11 No 2, Oktober 2008

196 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2008

I. JUDUL BABI. JUDUL BABI. JUDUL BABI. JUDUL BABI. JUDUL BAB

IIIII.1. Sub Bab.1. Sub Bab.1. Sub Bab.1. Sub Bab.1. Sub Bab

IIIII.1.1. Sub Sub Bab.1.1. Sub Sub Bab.1.1. Sub Sub Bab.1.1. Sub Sub Bab.1.1. Sub Sub Bab

9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote.

10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut,

a.a.a.a.a. Publikasi buku:Publikasi buku:Publikasi buku:Publikasi buku:Publikasi buku:

John E. Hanke dan dan dan dan dan Arthur G. Reitsch, (1940), , (1940), , (1940), , (1940), , (1940), Business ForecastingBusiness ForecastingBusiness ForecastingBusiness ForecastingBusiness Forecasting, PrenticeHall, New, PrenticeHall, New, PrenticeHall, New, PrenticeHall, New, PrenticeHall, New

Jersey.Jersey.Jersey.Jersey.Jersey.

b.b.b.b.b. Artikel dalam jurnal:Artikel dalam jurnal:Artikel dalam jurnal:Artikel dalam jurnal:Artikel dalam jurnal:

Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with

Human Capital∆, Human Capital∆, Human Capital∆, Human Capital∆, Human Capital∆, Journal of Monetary EconomicsJournal of Monetary EconomicsJournal of Monetary EconomicsJournal of Monetary EconomicsJournal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416., Oktober 2000,46(2), hal. 397-416., Oktober 2000,46(2), hal. 397-416., Oktober 2000,46(2), hal. 397-416., Oktober 2000,46(2), hal. 397-416.

c.c.c.c.c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan dan dan dan dan Rose, Andrew K.

≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth

Rogoff, eds., Rogoff, eds., Rogoff, eds., Rogoff, eds., Rogoff, eds., Handbook of International EconomicsHandbook of International EconomicsHandbook of International EconomicsHandbook of International EconomicsHandbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995,. Amsterdam: North-Holland, 1995,. Amsterdam: North-Holland, 1995,. Amsterdam: North-Holland, 1995,. Amsterdam: North-Holland, 1995,

hal. 397-416.hal. 397-416.hal. 397-416.hal. 397-416.hal. 397-416.

d.d.d.d.d. Kertas kerja Kertas kerja Kertas kerja Kertas kerja Kertas kerja (working papers)(working papers)(working papers)(working papers)(working papers):::::

Kremer, Michael dan dan dan dan dan Chen, Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous

Fertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working PaperFertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working PaperFertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working PaperFertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working PaperFertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper

No.7530, 2000.No.7530, 2000.No.7530, 2000.No.7530, 2000.No.7530, 2000.

e.e.e.e.e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John. ≈Can Parental Decision Explain. ≈Can Parental Decision Explain. ≈Can Parental Decision Explain. ≈Can Parental Decision Explain. ≈Can Parental Decision Explain

U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.

f.f.f.f.f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan dan dan dan dan Heston, Alan, Alan, Alan, Alan, Alan

W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.

g.g.g.g.g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆, ≈Killed by Kindness∆, ≈Killed by Kindness∆, ≈Killed by Kindness∆, ≈Killed by Kindness∆,

NewsweekNewsweekNewsweekNewsweekNewsweek, April 12, 1993, hal. 50-56., April 12, 1993, hal. 50-56., April 12, 1993, hal. 50-56., April 12, 1993, hal. 50-56., April 12, 1993, hal. 50-56.

11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening

Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk

CV (curriculum vitae) lengkap.