394_Studi Jasa Lingkungan

134
STUDI JASA LINGKUNGAN DI KAWASAN DANAU TOBA INTERNATIONAL TROPICAL TIMBER ORGANIZATION CENTER OF FOREST AND NATURE CONSERVATION RESEARCH AND DEVELOPMENT ITTO PD 394/06 Rev.01 (F)

Transcript of 394_Studi Jasa Lingkungan

Page 1: 394_Studi Jasa Lingkungan

STUDI JASA LINGKUNGAN

DI KAWASAN DANAU TOBA

INTERNATIONAL TROPICAL TIMBER ORGANIZATION

CENTER OF FOREST AND NATURE CONSERVATION RESEARCH AND DEVELOPMENT

ITTO PD 394/06 Rev.01 (F)

Page 2: 394_Studi Jasa Lingkungan

STUDI JASA LINGKUNGAN

DI KAWASAN DANAU TOBA

ITTO PROJECT PD 394/06 REV.1 (F)

September 1st 2007 – August 31st 2010

Restoring the Ecosystem Functions of Lake Toba Catchment

Area through Community Development and Local Capacity

Building for Forest and Land Rehabilitation

Page 3: 394_Studi Jasa Lingkungan

Dr. Radjab Tampubolon

@2008 by Centre of Forest and Nature Conservation Research

and Development (CFNCRD) and International Tropical Timber

Organization (ITTO)

This publication was made possible by the generous grant from

the ITTO, Yokohama, Japan

Published by

ITTO PROJECT PD 394/06 REV.1 (F)

Centre of Forest and Nature Conservation Research and

Development (CFNCRD)

Available from

ITTO PROJECT, CFNCRD

Phone/Fax : +62-251-7194707

Website : www.forda-mof.org

E-mail : [email protected]

Page 4: 394_Studi Jasa Lingkungan

KATA PENGANTAR

Laporan Studi Jasa Lingkungan di Kawasan Danau Toba (Proyek ITTO

PD 394/04 REV.1 (F)) merupakan laporan ketiga penyusunan laporan

sesuai dengan Perjanjian Kontrak antara ITTO dengan Konsultan pada

Februari 2009.

Laporan ini terdiri dari 7 (tujuh) Bab terdiri dari 1) Pendahuluan, 2) Valuasi

Ekonomi Jasa Lingkungan, 3) Review Jasa Lingkungan DAS, 4) Nilai Jasa

Lingkungan Kawasan Danau Toba, 5) Kompensasi Jasa Lingkungan, 6)

Kelembagaan dan 7) Kesimpulan dan Rekomendasi. Laporan ini juga

merupakan hasil analisis terhadap data, informasi dan pengamatan serta

diskusi selama melakukan survei lapangan yang didukung dengan data

sekunder baik dari dinas terkait maupun perguruan tinggi serta hasil

penelitian sejenis di DAS lain.

Laporan ini juga merupakan bahan presentasi dan diskusi antar tim ITTO

dan stakeholders di Kawasan Danau Toba yang hasilnya diharapkan akan

dimasukkan dalam penyusunan Final Report sesuai dengan TOR yang

diberikan kepada Konsultan.

Demikian, semoga dapat bermanfaat.

Bogor, Mei 2009

Dr. Radjab Tampubolon

Page 5: 394_Studi Jasa Lingkungan

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

DAFTAR TABEL ........................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... iv

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................. 1

B. Ruang Lingkup dan Keluaran ....................................................... 3

BAB II. VALUASI EKONOMI JASA LINGKUNGAN

A. Pendekatan .................................................................................. 6

B. Metode Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan .................................. 9

BAB III. REVIEW JASA LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

A. Sumberdaya Air dan Hidrologis DAS Citarum (Studi Kasus)........ 27

B. Jasa Lingkungan Sektor Pertanian .............................................. 38

C. Jasa Lingkungan Sektor Kehutanan dan Perkebunan.. ............... 47

BAB IV. NILAI JASA LINGKUNGAN KAWASAN DANAU TOBA

A. Sumberdaya Air dan Hidrologis .................................................. 68

B. Sekuestrasi Karbon dan Keanekaragaman Hayati ....................... 76

C. Rekreasi/Wisata, Pendidikan dan Penelitian.. ............................. 86

BAB V. KOMPENSASI JASA LINGKUNGAN

A. Kompensasi Biaya Lingkungan PLTA dan PAM .......................... 91

B. Implikasi Kebijakan dan Integrasi Implementasi........................... 94

BAB VI. KELEMBAGAAN

A. Pengelola Jasa Lingkungan ........................................................ 96

B. Keuangan dan Institusi Pengelola ............................................... 104

C. Partisipasi dan Kemitraan.. .......................................................... 110

BAB VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan................................................................................... 113

B. Saran ........................................................................................... 113

DAFTAR PUSTAKA

Page 6: 394_Studi Jasa Lingkungan

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1. Komparasi beberapa metode valuasi ekonomi lingkungan................... 16

3.1 Jumlah sedimen yang memasuki dan meninggalkan 18 petak (teras) sawah (dengan ukuran berkisar antara 12 to 358 m2, luas total 2515 m2, selama dua musim tanam (pertama 31 Oktober 2001 sampai 31 January 2002 dan kedua dari tanggal 16 Maret sampai 1 July 2002).....................................................................................................

43

3.2 Beberapa indikator masalah DAS, penyebab dan pilihan cara pengelolaannya.....................................................................................

46

3.3 Rekapitulasi data Lahan Kritis menurut Fungsi Kawasan Hutan.................... 49

3-4 Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap aliran sungai (Sihite dan Sinukaban, 2004)................................................................

53

3-5 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao terhadap beberapa sifat tanah dan penutupan permukaan tanah (Monde et al., 2008)..................................................................................................... 53

3-6 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao terhadap erosi dan aliran permukaan (Monde et al., 2008)..........................................

54

3-7 Biaya abatemen Marginal Abatement untuk pilihan Mitigasi berbasis batubara……………………………………………………………………...

65

3-8 Perkiraan Penggunaan Energi Fosil pada beberapa industri................ 66

3-9 Industri yang memberi kontribusi terhadap gas rumah kaca dan penipisan lapisan ozon........................................................................

67

4-1 Kemampuan membayar (WTP) beberapa pengguna jasa sumberdaya air.....................................................................................

75

4-2 Penambatan karbon dan keanekaragaman hayati di pinggiran hutan di Sumatra (dari Murdiyarso et al., 2002) .............................................

79

4-3 Perkiraan potensi karbon yang dapat disekuestrasi oleh vegetasi sesuai dengan tipe penutupan lahan di DTA Danau Toba....................

85

Page 7: 394_Studi Jasa Lingkungan

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2-1 Kerangka pendekatan ekosistem.......................................................... 7

2-2 Identifikasi aktor – aktor ekonomi........................................................... 9

2-3 Hierarki valuasi ekonomi barang dan jasa lingkungan………………….. 15

2-4 Kurva permintaan yang identik dari 2 pengguna sumberdaya air…….. 20

2-5 Compensation and equivalent variation dikaitkan dengan kualitas

lingkungan...............................................................................................

21

2-6 Kurva marginal WTP (CV dan EV) untuk kualitas lingkungan yang berbeda...................................................................................................

22

2-7 Kurva marginal WTP (CV dan EV) pada berbagai kondisi lingkungan.. 23

3-1 Kurva marginal WTP (CV dan EV) untuk kualitas lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993 dan 2003.................................

36

3-2 Suspended load (sedimen halus) dan bed load (sedimen kasar) yang

dihasilkan pada musim hujan tahun 2000/2001 (ditulis sebagai 2001) dan musim hujan 2001/2002 (ditulis sebagai 2002) untuk tampungan Tegalan, T (ditanami tanaman semusim); Rambutan, R (tanaman rambutan); dan Kalisidi, K (tanaman rambutan dengan singkong pada sebagian kecil tampungan) (Agus et al., 2003)......................................

41

3-3 Kapasitas retensi (kapasitas lahan untuk menahan air sementara sebelum terjadi aliran permukaan) dari beberapa sistem penggunaan lahan di DAS Citarum (Agus et al., 2003)...............................................

44

3-4 Grafik Produktivitas dan Kehilangan Produksi pada Beberapa Alternatif Penggunaan Lahan di DAS Besai...........................................

60

3-5 Intensitas Energi Nasional untuk Industri tahun 1990 dan 2000 (GJ/Million Rp) ……………………………………………………………….

64

3-6 Biaya Marginal Abatement untuk pada penggunaan batubara sebagai energi…………………………………………………………………………..

64

4-1 Sistem hidrologi dan sumberdaya air (Sumber : Asdak, 2004)............... 70

6-1 Instrumen Ekonomi Untuk Pengelolaan SDA dan LH............................. 101

6-2 Bagan Struktur Organisasi Komisi Pemulihan SDA dan LH................... 109

Page 8: 394_Studi Jasa Lingkungan

ABSTRACT

Study On Potential Environmental Service

Of The Lake Toba Catchment Area

Dr. Radjab Tampubolon

Lake Toba located at the watershed (DAS) Asahan has important and strategic

roles for especially North Sumatera Province and generally in Indonesia. Lake

Toba Ecosystem Management Plan (LTEMP) stated that the upstream of Lake

Toba Catchment Area (LTCA) have heavilly degraded its environemntal quality

in form of land use change, forest convesion, high fluctuation of water debit level

and heavy water polution. Watershed management requires high cost and time

consuming. Limitation of goverment budget for watershed management is a

dominat factor for reducing the environmental quality degaradation. Cost

approach on the existing environmental management based on pulluters pay

principle was not well implemented so that it should be developed on the basis of

users pay principle. In this case, environmetal management costs become

responsibility of multistakeholders. Involvement of users of environmental

services (in down stream area) such as households, industries and agriculture

sector in providing a productive conservation cost (upstream area) is an

alternative and constructive for watershed management cost. For that reason, it

requires study on present condition or environment status (state of nature) in the

upstream watershed area and its impact on externality cost of water users such as

water based electricity power company (PLTA) and drinking water local company

(PDAM). Scope of study area is LTCA consisting of upstrem, midstream and

downstream. Biophysic and chemical analyses were conducted on land cover and

its change, quantity and quality of water and its change (debit, sediment, physic,

chemical and biology). Economic analysis involves economic actors,

environmental services users both in upstream and downstream area. Economic

assessment on impact of environmental quality change on production cost and

economic efficiency of environmental services users use shadow price with

Page 9: 394_Studi Jasa Lingkungan

ii

valuation technique of replacement cost. The study shows that over this region of

Lake Toba has served as a provider of environmental services, water resources,

carbon sinks, tourism / recreation and other services. Results of study showed that

LTCA has a role as environmental service provider for long time such as water

resource, carbon sequestration, tourism/recreation and other services. Water

Based Energy Power (PLTA), Drinking Water Local Company (PDAM), DMI,

hotel/restaurant, fishery business, transportation and other as beneficiaries

particularly related to economic utilization. Potential economy of environmental

services in LTCA is very high, namely Rp. 1,386.31 milliard consisting of water

services around Rp. 785.15 milliard, carbon sequestration service around Rp.

599.47 milliard and tourism/recreation service around Rp. 1.68 milliard. This

value of environmental services is under its real value because some of

environmental services have not calculated yet and its calculation is commonly

under price. Up to now, there are no transfer of payment mechanism between

beneficiaries and service provider, and formal institution and its regulation (laws

and local regulations). At present, beneficiaries (businessmen) use their Corporate

Social Responsibility, is not fully enough, for conserving natural resources and

environment at LTCA. In general, if all payments of environmental services are

invested for natural resource and environmental conservation (including

compensation payment for community), the sustainability of environmental

services in LTCA would be realized. Therefore, this study should be done in

detail for each environmental service to obtain its real environmental service

value. Then, the Provincial Government of North Sumatera should formulate law

and regulation and establish an institution for managing environmental service as

its serious and real efforts to achieve the sustainability of LTCA ecosystem

management.

Page 10: 394_Studi Jasa Lingkungan

RINGKASAN

Studi Jasa Lingkungan Daerah Tangkapan Air Danau Toba

Dr. Radjab Tampubolon

Danau Toba yang terletak di daerah aliran sungai (DAS) Asahan memiliki

peranan yang sangat penting dan strategis bagi Provinsi Sumatera Utara pada

khususnya dan Indonesia pada umumnya. LTEMP (2004) menyatakan bahwa

kondisi Kawasan DTA Danau Toba khususnya wilayah hulu telah mengalami

degradasi kualitas lingkungan yang sangat berat berupa perubahan tataguna lahan

dan konversi hutan, fluktuasi debit air tinggi, dan pencemaran air berat.

Pengelolaan DAS memerlukan pembiayaan yang sangat besar dan dibutuhkan

waktu yang cukup lama. Keterbatasan pembiayaan pemerintah untuk pengelolaan

DAS merupakan faktor yang dominan dalam upaya menekan laju degradasi

kualitas lingkungan. Pendekatan pembiayaan pengelolaan lingkungan yang

selama ini didasarkan pada polluters pay principle belum memadai sehingga perlu

dikembangkan pemberian charge pada pengguna jasa lingkungan (users pay

principle). Dengan demikian pembiayaan pengelolaan lingkungan merupakan

tanggungjawab semua pihak (multi stakeholders). Pelibatan pengguna jasa

lingkungan (di wilayah hilir) seperti rumahtangga, industri dan pertanian dalam

menyediakan biaya konservasi produktif (di wilayah hulu) merupakan alternatif

yang sangat konstruktif dalam pembiayaan pengelolaan DAS. Untuk tujuan

tersebut diperlukan penelitian tentang kondisi atau status lingkungan (state of

nature) terkini DAS Wilayah Hulu dan pengaruhnya terhadap biaya eksternalitas

pengguna air seperti PLTA dan PDAM. Ruang lingkup wilayah studi adalah

kawasan Danau Toba DAS yang terdiri dari wilayah hulu, tengah dan hilir.

Analisis biofisik dan kimia dilakukan terhadap penutup lahan dan perubahannya,

kuantitas dan kualitas air dan perubahannya (debit, sedimen, fisik, kimia dan

biologi). Analisis ekonomi meliputi aktor–aktor ekonomi, pengguna jasa

lingkungan baik yang berada di wilayah hulu maupun hilir. Penilaian ekonomi

pengaruh perubahan kualitas lingkungan terhadap biaya produksi dan efisiensi

ekonomi pemanfaat jasa lingkungan dengan menggunakan harga bayangan

Page 11: 394_Studi Jasa Lingkungan

iv

(shadow price) dengan teknik valuasi replacement cost. Hasil studi menunjukkan

bahwa selama ini kawasan Danau Toba telah berperan sebagai penyedia jasa

lingkungan berupa sumber daya air, penyerap karbon, wisata rekreasi dan jasa

lainnya. PLTA, PDAM, DMI, hotel/restoran, usaha perikanan, transportasi dan

lain-lain sebagai pemanfaat (beneficiaries) terutama dikaitkan dengan

pemanfaatan secara ekonomi. Potensi ekonomi jasa lingkungan kawasan Danau

Toba sangat besar, yaitu sekitar Rp. 1.386,31 milyar yang terdiri dari jasa

lingkungan air sekitar Rp. 785,15 milyar, jasa penyerapan karbon sekitar Rp.

599,47 milyar dan jasa wisata/rekreasi sebesar Rp. 1,68 milyar. Nilai jasa

lingkungan ini masih dibawah nilai sesungguhnya karena masih banyak jasa

lingkungan yang belum dihitung dan perhitungan jasa lingkungan selalau di

bawah harga sesungguhnya. Hingga saat ini belum ada mekanisme pembayaran

jasa lingkungan antara pemanfaat dan penyedia serta lembaga (instansi) formal

dan regulasinya (UU atau Perda). Selama ini pemanfaat jasa lingkungan

(pengusaha) hanya menggunakan CSR-nya, yang sudah barang tentu tidak cukup,

bagi konservasi sumber daya alam dan lingkungan di kawasan Danau Toba.

Secara umum dapat disimpulkan apabila seluruh dana jasa lingkungan

diinvestasikan bagi koservasi sumberdaya alam dan lingkungan (termasuk

pemberian kompensasi bagi masyarakat), maka kelestarian jasa lingkungan di

kawasan Danau Toba akan tercapai. Oleh karena itu studi ini perlu dilanjutkan

dengan studi yang lebih detail untuk setiap pemanfaatan jasa lingkungan untuk

mendapatkan nilai jasa lingkungan sesungguhnya. Kemudian Pemda Provinsi

Sumatera Utara dapat menyusun UU dan peraturan serta pembentukan lembaga

pengelola jasa lingkungan sebagai upaya serius dan nyata untuk mewujudkan

kelestarian pengelolaan ekosistem DTA Danau Toba.

Page 12: 394_Studi Jasa Lingkungan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Danau Toba yang terletak di daerah aliran sungai (DAS) Asahan memiliki

peranan yang sangat penting dan strategis bagi Provinsi Sumatera Utara pada

khususnya dan Indonesia pada umumnya. Danau Toba dan daerah tangkapan

air (DTA) memiliki luas total 369.854 ha yang terdiri dari perairan seluas 110.260

ha, pulau Samosir seluas 69.280 ha dan daratan perbukitan sekitar danau

190.314 ha dan dihuni oleh sekitar 656.872 penduduk (2002), meliputi 7 (tujuh)

Kabupaten dan mengalir Sungai Asahan mulai dari Danau Toba hingga ke

pantai timur Sumatera dengan potensi debit air masuk total 41,613 - 124,914

m³/det dan air keluar 21,10 - 107,60 m³/det. Air Sungai Asahan tersebut

dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebanyak 4 (empat)

pembangkit dengan produksi energi listrik dan juga perusahaan daerah air

minum sebagai sumber air baku air minum, irigasi pertanian, industri, perikanan

dan pariwisata. (LTEMP, 2004).

Laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan di segala sektor yang

tinggi telah menyebabkan tekanan yang sangat besar terhadap sumberdaya

alam dan lingkungan sehingga menurunkan daya dukung wilayah Jawa Barat,

terutama perubahan tataguna lahan dan konversi hutan (land use change and

forestry). Gabel dan Folmer (2000) menyatakan bahwa besarnya dampak

lingkungan yang terjadi adalah perkalian jumlah penduduk dengan konsumsi

perkapita dan kerusakan lingkungan per unit konsumsi, dengan notasi I = PCB

(I = dampak, P = penduduk, C = konsumsi, B = kerusakan lingkungan per unit

konsumsi). Dari rumus tersebut dapat diketahui bahwa pertambahan penduduk

akan menyebabkan peningkatan konsumsi dan peningkatan laju kerusakan

lingkungan dan pada akhirnya berimplikasi pada besarnya dampak lingkungan

yang terjadi.

Bapedalda dan ITB (2002) dalam LTEMP (2004) menyatakan bahwa

proyeksi peningkatan penduduk di wilayah-wilayah DTA Danau Toba akan naik

sebesar 1,85 % per tahun yaitu menjadi 730 ribu lebih orang pada tahun 2007.

Akumulasi dampak negatif dari kegiatan antropogenik telah menimbulkan

terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan pemanasan global serta

perubahan iklim (global warming and climate change). Keadaan tersebut

Page 13: 394_Studi Jasa Lingkungan

2

menyebabkan hujan turun secara tidak merata baik dari segi jumlah maupun

distribusi dan sulit untuk diprediksi. Pemanasan global dan perubahan iklim

tersebut menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap ketersediaan air

untuk berbagai penggunaan seperti kebutuhan rumahtangga, irigasi pertanian

dan industri. Sebagai contoh, Pawitan (2003) menyatakan bahwa telah terjadi

selisih 1.000 mm rataan curah hujan tahunan antara dua periode pengamatan

(1931-1960 dan 1968-1988) pada banyak stasiun di sepanjang Jawa bagian

selatan dan untuk daerah aliran sungai (DAS) Citarum mengalami

kecenderungan penurunan curah hujan periode pengamatan tahun 1896-1994

sebesar 10 mm per tahun.

LTEMP (2004) menyatakan bahwa kondisi Kawasan DTA Danau Toba

khususnya wilayah hulu telah mengalami degradasi kualitas lingkungan yang

sangat berat berupa perubahan tataguna lahan dan konversi hutan, fluktuasi

debit air tinggi, dan pencemaran air berat. Peningkatan luas lahan kritis di

daerah tangkapan akan menyebabkan menurunnya kapasitas serap dan simpan

lahan terhadap air dan menimbulkan aliran permukaan (surface run off),

sehingga menyebabkan banjir pada musim hujan dan kering pada musim

kemarau. Laju erosi dan sedimentasi yang terjadi semakin tinggi dan telah

mencapai tingkat yang membahayakan bagi pengguna air di DTA Danau Toba

maupun DAS Asahan secara keseluruhan. Bila keadaan ini berlanjut, sisa umur

pakai waduk untuk membangkitkan turbin PLTA akan kurang sebagaimana

direncanakan. Besarnya fluktuasi debit air antara musim hujan dan musim

kemarau akan menyebabkan tidak stabilnya kuantitas pasokan air untuk

menggerakkan turbin. Degradasi lingkungan berupa pencemaran air baik yang

berasal dari pertanian, pemukiman dan industri menyebabkan karat pada

peralatan dan instalasi produksi energi listrik PLTA dan peningkatan penggunaan

bahan kimia PDAM serta pada proses pengolahan air. Kondisi ini menimbulkan

potensi kerugian (opportunity cost) bagi PLTA dan PDAM karena tidak dapat

berproduksi konstan pada kapasitas yang direncanakan.

Terjadinya krisis air baik dalam kuantitas dan kualitas, disebabkan oleh

pengelolaan DAS yang tidak tepat. Arsyad (2000), Pagiola, et al (2002), Asdak

(2004) dan Kodoatie dan Sjarief (2005) menyatakan bahwa kondisi air

merupakan parameter kunci dalam menilai keberhasilan pengelolaan DAS yang

dicirikan oleh beberapa faktor yaitu:

Page 14: 394_Studi Jasa Lingkungan

3

1. Kuantitas air. Pada umumnya kuantitas air sangat berkaitan dengan jumlah

curah hujan, kondisi penutup dan tataguna lahan. Semakin tinggi

perbandingan antara luas lahan tertutup vegetasi dengan total luas lahan,

maka tingkat ketersediaan air akan semakin besar, demikian sebaliknya.

Kondisi ini dapat dilihat pada besarnya air limpasan permukaan dan debit air

sungai.

2. Kualitas air. Kondisi kualitas air dalam DAS sangat dipengaruhi oleh penutup

lahan, limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertanian (pola tanam,

pemupukan dan pestisida). Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi kualitas

air limpasan, air sungai, waduk dan sumur.

3. Perbandingan debit maksimum dan debit minimum. Kondisi ini mencirikan

kemampuan DAS menyimpan air (saat musim hujan) dan mengalirkannya

terus menerus (kontinuitas) walaupun musim kemarau dengan fluktuasi debit

yang kecil. Kemampuan lahan menyimpan air sangat tergantung pada

kondisi dan distribusi penutup lahan serta tanah.

Pengelolaan DAS memerlukan pembiayaan yang sangat besar dan

dibutuhkan waktu yang cukup lama. Keterbatasan pembiayaan pemerintah

untuk pengelolaan DAS merupakan faktor yang dominan dalam upaya menekan

laju degradasi kualitas lingkungan. Pendekatan pembiayaan pengelolaan

lingkungan yang selama ini didasarkan pada polluters pay principle belum

memadai sehingga perlu dikembangkan pemberian charge pada pengguna jasa

lingkungan (users pay principle). Dengan demikian pembiayaan pengelolaan

lingkungan merupakan tanggungjawab semua pihak (multi stakeholders).

Pelibatan pengguna jasa lingkungan (di wilayah hilir) seperti rumahtangga,

industri dan pertanian dalam menyediakan biaya konservasi produktif (di wilayah

hulu) merupakan alternatif yang sangat konstruktif dalam pembiayaan

pengelolaan DAS (Chandler dan Suyanto, 2004 dalam Agus et. al, 2004). Untuk

tujuan tersebut diperlukan penelitian tentang kondisi atau status lingkungan

(state of nature) terkini DAS Citarum Wilayah Hulu dan pengaruhnya terhadap

biaya eksternalitas pengguna air seperti PLTA dan PDAM.

B. Ruang Lingkup dan Keluaran

Ruang lingkup wilayah studi adalah kawasan Danau Toba DAS yang

terdiri dari wilayah hulu, tengah dan hilir. Wilayah hulu (kawasan DTA Danau

Page 15: 394_Studi Jasa Lingkungan

4

Toba) merupakan wilayah konservasi, produsen atau supplier jasa lingkungan.

Wilayah tengah merupakan wilayah transisi hulu-hilir, distributor jasa lingkungan,

wilayah budidaya dan permukiman. Wilayah hilir umumnya merupakan wilayah

budidaya, industri, permukiman dan pengguna/pemanfaat atau demander jasa

lingkungan. Analisis biofisik dan kimia dilakukan terhadap penutup lahan dan

perubahannya, kuantitas dan kualitas air dan perubahannya (debit, sedimen,

fisik, kimia dan biologi). Analisis ekonomi meliputi aktor–aktor ekonomi,

pengguna jasa lingkungan baik yang berada di wilayah hulu maupun hilir.

Penilaian ekonomi pengaruh perubahan kualitas lingkungan terhadap biaya

produksi dan efisiensi ekonomi pemanfaat jasa lingkungan dengan

menggunakan harga bayangan (shadow price) dengan teknik valuasi

replacement cost.

Untuk menjawab menjawab permasalahan-permasalahan tersebut,

dilakukan studi tentang jasa lingkungan yang dihasilkan oleh ekosistem Sub DAS

Danau Toba dengan ruang lingkup sebagai berikut :

1. Menyusun rencana kerja studi jasa lingkungan sesuai dengan TOR-ITTO

2. Mengumpulkan data/informasi berkaitan dengan sosial budaya, sosial

ekonomi, dan biofisik lingkungan.

3. Inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis, penyedia (providers) dan pemanfaat

(beneficiaries) jasa lingkungan yang sudah ada maupun yang potensial

dimanfaatkan atau dikembangkan.

4. Melakukan pengkajian berkaitan dengan kemungkinan pengembangan CDM

dan REDD Project di DTA Danau Toba sebagai upaya mitigasi dan adaptasi

perubahan iklim dan pemanasan global.

5. Mengkaji dan mengevaluasi kelembagaan dan mekanisme pembayaran jasa

lingkungan yang sudah diterapkan atau yang dapat dikembangkan.

Sedangkan keluaran (output) yang diharapkan dari studi ini adalah disusunnya

Laporan Akhir Studi Jasa Lingkungan DTA Danau Toba yang berisikan :

1. Jenis-jenis, penyedia dan pemanfaat jasa lingkungan yang ada dan potensial

dikembangkan pada masa mendatang.

2. Sistem kelembagaan dan mekanisme pembayaran kompensasi atas

pemanfaatan jasa lingkungan yang sudah berjalan dan yang potensial

dikembangkan.

Page 16: 394_Studi Jasa Lingkungan

5

3. Strategi memanfaatkan peluang CDM dan REDD Project di DTA Danau

Toba.

4. Rekomendasi pemanfaatan dan pembayaran kompensasi semua jasa

lingkungan yang ada dan dimanfaatkan oleh pemanfaat di DTA Danau

Toba.

Page 17: 394_Studi Jasa Lingkungan

II. VALUASI EKONOMI JASA LINGKUNGAN

a. Pendekatan

Studi Jasa Lingkungan di DTA Danau Toba dilakukan dengan 2 (dua)

pendekatan yaitu pendekatan ekosistem dan identifikasi terhadap aktor-aktor

ekonomi.

1. Pendekatan Ekosistem

Paling tidak ada 4 (empat) komponen utama penyusun ekosistem dalam

suatu DAS yaitu komponen fisik (tanah), biologi (vegetasi), manajemen

(manusia) dan iklim (curah hujan). Keempat komponen tersebut membentuk

suatu kesatuan yang terintegrasi antara satu dengan yang lain, sehingga

perubahan pada suatu komponen akan mempengaruhi komponen lain. Vegetasi

(hutan) merupakan komponen ekosistem yang paling rentan (fragile) terhadap

perubahan dan berdampak luas terhadap komponen ekosistem yang lain.

Ekosistem DAS tersebut menghasilkan jasa lingkungan antara lain adalah

sumberdaya air, biodiversitas flora dan fauna, penambat karbon, rekreasi dan

penelitian bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Pada Gambar 2-1 disajikan

pendekatan ekosistem.

Indikator utama kesehatan suatu ekosistem DAS adalah kondisi

karakteristik hidrologis berupa debit dan volume air, sedimentasi dan kualitas

kimiawi sumberdaya air baik berupa fisik, kimia maupun biologi yang terdapat di

badan-badan air seperti sungai, danau dan waduk. Karakteristik hidrologis DAS

tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi pada komponen

ekosistem wilayah hulu terutama perubahan pada penutup lahan sebagai akibat

perubahan tataguna lahan. Perubahan karakteristik DAS tersebut berdampak

pada pengguna (pemanfaat) sumberdaya air baik sebagai sumberdaya energi

bagi PLTA maupun sumber air baku air minum bagi PDAM dalam menghasilkan

produknya. Tindakan konservasi di wilayah hulu DAS sangat diperlukan untuk

dapat memperbaiki dan memulihkan kualitas sumberdaya air yang dihasilkan

oleh DAS, agar laju kerugian yang dialami pengguna jasa lingkungan dapat

dikurangi atau bahkan dihilangkan atau mendatangkan keuntungan. Konservasi

tersebut membutuhkan biaya yang besar dengan waktu yang relatif lama. Untuk

itu diperlukan suatu valuasi ekonomi dikaitkan dengan pengguna jasa

lingkungan.

Page 18: 394_Studi Jasa Lingkungan

7

Tanah

Fisik

Hujan

Iklim

Hutan

Biologi

Manajemen

Manusia

EKOSISTEM

DAS

REPLACEMENT

COST

Debit

Fluktuasi

Biologi

Fisik dan

Kimia

Sedimen

KUANTITAS

DAN KUALITAS

AIR

Penggunaan

Bahan Kimia

BIAYA MARGINAL

LINGKUNGAN Kehilangan

Produksi

Pemeliharaan turbin,

waduk, kolam

Keterangan :

------- : Pengaruh parsial

_____ : Pengaruh kolektif

: Pengaruh antar

ekosistem

Gambar 2-1. Kerangka pendekatan ekosistem.

Komponen ekosistem yang divaluasi adalah :

1. Perubahan tataguna lahan dan penutup hutan (land use change and forest).

Pemilihan tataguna lahan dan hutan sebagai komponen yang dianalisa

dikarenakan tataguna lahan dan hutan merupakan komponen ekosistem

yang paling sensitif dan fragile serta berdampak penting baik on-site maupun

off-site. Proses perubahan terjadi di wilayah hulu DAS.

2. Kualifikasi atau kuantifikasi perubahan karakteristik hidrologis seperti halnya

fisik, kimia dan biologi serta debit dan fluktuasi. Pemilihan parameter fisik,

Page 19: 394_Studi Jasa Lingkungan

8

kimia, biologi, sedimen dan debit air dikarenakan parameter tersebut

merupakan indikator utama dalam menilai kesehatan ekosistem dan tingkat

pengelolaan DAS. Proses ini terjadi di wilayah tengah (transisi) DAS.

3. Penilaian ekonomi jasa lingkungan bagi pengguna (users) dilakukan

berdasarkan besarnya tambahan dugaan besarnya biaya lingkungan

(environmental marginal cost) yang harus dikeluarkan oleh pengguna

sebagai akibat penurunan kualitas jasa lingkungan yang diterima (biaya

ekstenalitas). Pada tahapan ini dilakukan identifikasi jenis jasa lingkungan

(environmental services) yang menyebabkan tambahan biaya dalam proses

produksi. Proses ini terjadi di wilayah hilir DAS.

4. Penetapan besarnya biaya marjinal lingkungan atau biaya eksternalitas untuk

setiap output produksi para pengguna PLTA atau PDAM. Nilai tersebut

merupakan nilai ekonomi jasa lingkungan yang dapat dijadikan sebagai biaya

pengganti (replacement cost) bagi perbaikan lingkungan di wilayah hulu DAS,

dengan penggunaan harga bayangan (shadow price). Penggunaan harga

pasar memang akan menyebabkan underprice bagi perhitungan nilai jasa

lingkungan, tetapi sangat berguna dalam memberikan gambaran willingness

to pay pengguna jasa lingkungan. Proses ini merupakan umpan balik

(causal loop) ke ekosistem DAS.

2. Identifikasi Aktor-Aktor Ekonomi

Pendekatan ekonomi dilakukan dengan terlebih dahulu

mengidentifikasi aktor-aktor ekonomi yang terlibat (sebagaimana ditampilkan

pada Gambar 2-2) dan perilakunya baik yang berada di DAS wilayah hulu

maupun di wilayah hilir dalam penggunaan jasa lingkungan.

Page 20: 394_Studi Jasa Lingkungan

9

Gambar 2-2. Identifikasi aktor – aktor ekonomi

B. Metode Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan

1. Keterkaitan Ekonomi dan Ekologi

Kepedulian masyarakat terhadap masalah lingkungan, terbagi paling

sedikit menjadi dua kelompok yang saling bertentangan, yaitu mereka yang

berpihak pada pertumbuhan dan mereka yang berpihak pada konservasi.

Penekanan pada pertumbuhan ekonomi semata-mata dapat menyebabkan

kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki. Kerusakan lingkungan dapat

terjadi apabila pertumbuhan ekonomi terjadi sangat cepat. Jadi sumberdaya

alam dan lingkungan juga merupakan faktor penting dari pertumbuhan ekonomi.

Apabila kualitas lingkungan turun melebihi daya dukungnya, maka ekonomi akan

kehilangan kemampuan untuk tumbuh. Kemungkinan lain akan muncul adalah

apabila semua kegiatan ekonomi dihentikan dengan tujuan untuk melindungi

sumberdaya alam dan lingkungan, maka tindakan ini juga dapat menimbulkan

HULU

HILIR 1

HILIR 2 • Wil. Hulu

• Up-stream

• Produsen-1

• Supplier-1

• WTP-1

• Wil. Hilir-1

• In-stream

• Demander-1

• Konsumen-1

• Supplier-2

• WTP-2

• WTA-1

• R – Cost 1

• Wil. Hilir-2

• Down-stream

• Konsumen-2

• End-user

• WTA-2

• R – Cost 2

Page 21: 394_Studi Jasa Lingkungan

10

proses degradasi lingkungan yang erat kaitannya dengan pertumbuhan

penduduk. Apabila pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan serta upaya

pengendalian kerusakan atau pencemaran tidak dihentikan, maka kegiatan

ekonomi menurun dengan cepat, terutama ketika pertumbuhan penduduk

sedang berkembang.

Secara praktis, antra ekonomi dan lingkungan memang berinteraksi satu

sama lain dan saling menentukan. Aktivitas ekonomi menghendaki adanya

pertumbuhan ekonomi yang mantap untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Pertumbuhan ekonomi tidak bisa berlangsung secara terus-menerus karena

adanya kendala lingkungan. Jika pertumbuhan ekonomi ingin ditingkatkan maka

eksploitasi sumberdaya harus ditingkatkan dan produk sisa atau limbah kembali

ke lingkungan. Eksploitasi sumberdaya yang meningkat dari waktu ke waktu

akan menguras sumberdaya alam yang tersedia dan akhirnya sistem ekonomi

akan memburuk (Yakin, 1997).

Kepentingan ekonomi dan lingkungan sebenarnya bisa sama-sama

tercapai dan tidak akan terkesan kontradiktif. Kuatnya saling interaksi dan

ketergantungan antara dua faktor tersebut memerlukan pendekatan yang cocok

bagi pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berwawasan lingkungan.

Secara teoritis dan praktis, penilaian ekonomi sumberdaya alam dengan

berdasarkan biaya moneter dari kegiatan ekstraksi dan distribusi sumberdaya

semata sering telah mengakibatkan kurangnya insentif bagi penggunaan

sumberdaya yang berkelanjutan. Untuk mendukung penggunaan sumberdaya

yang berkelanjutan, maka biaya lingkungan akibat degradasi itu harus

diintegrasikan dalam seluruh aspek kegiatan ekonomi tidak hanya pola konsumsi

dan perdagangan, tetapi juga terhadap semua sumberdaya (Pearce et.al, 1994).

Tujuan kebijakan pengelolaan ekonomi harus difokuskan pada

pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kualitas sumberdaya alam dan

lingkungan dapat menjadi pembatas proses pertumbuhan ekonomi, sehingga

pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan hanya mungkin tercapai apabila ada

pengelolaan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan yang memadai. Jadi

dalam mengambil keputusan dan penerapan kebijakan di segala tingkatan

masyarakat, pertimbangan-pertimbangan lingkungan perlu menjadi komponen

yang terpadu.

Page 22: 394_Studi Jasa Lingkungan

11

Untuk menuju sistem ekonomi yang efisien dan berwawasan lingkungan guna

menunjang pembangunan berkelanjutan, maka setiap kegiatan perekonomian

harus melakukan internalisasi. Proses ini secara konseptual benar-benar

memperhitungkan biaya lingkungan atau nilai kerugian yang diderita oleh pihak

lain sebagai salah satu komponen biaya produksinya. Tuntutan yang dilontarkan

adalah berupa penghilangan dampak negatif yang menimpa orang lain melalui

proses pemurnian atau pembersihan yang mengharuskan setiap pelaku ekonomi

untuk mengeluarkan biaya tambahan, sehingga dampak negatif dimasukkan ke

dalam perhitungan biaya (NRMP, 2003).

2. Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan

Todaro (2000) menyatakan bahwa kerusakan lingkungan pada akhirnya

harus dipikul dengan biaya yang cukup tinggi. Kelompok yang pertama dan

paling banyak menanggung beban kerusakan lingkungan adalah penduduk

miskin. Degradasi lingkungan menyebabkan menyusutnya tingkat produktivitas

lahan pertanian per kapita. Karena pengelolaan dan pengolahan lahan marjinal

merupakan sumber nafkah utama sehingga penduduk setempat yang paling

menderita sehubungan dengan kerusakan lingkungan seperti banjir. Mereka

tidak mempunyai fasilitas kesehatan dan air bersih, sehingga 80% wabah

penyakit menimpa penduduk miskin.

Tidak dimasukkannya biaya-biaya lingkungan dari kalkulasi pendapatan

merupakan salah satu penyebab terabaikannya persoalan lingkungan dari ilmu

ekonomi pembangunan selama ini (Tietenberg, 1992). Kerusakan lingkungan

akan menimbulkan berbagai dampak seperti banjir. Banjir selanjutnya

menimbulkan pencemaran air dan kelangkaan air bersih, membawa limbah

padat dan berbahaya, degradasi kualitas tanah, kemerosotan biodiversitas yang

akan berdampak pada kesehatan berupa menyebarnya penyakit menular akibat

tercemarnya air, kondisi kesehatan setiap penduduk memburuk akibat

kelangkaan air bersih, penyakit akibat banjir dan limpahan sampah, teracuninya

air, penyusutan gizi kalangan penduduk miskin. Sedangkan dampak terhadap

produktivitas adalah waktu dari para penduduk di desa banyak terbuang untuk

sekedar mencari air, sebagian kegiatan produktif terpaksa ditunda karena air

bersih untuk kebutuhan sehari-hari tidak tersedia, pencemaran sumber-sumber

air di bawah permukaan tanah, penurunan kemampuan adaptasi ekosistem dan

Page 23: 394_Studi Jasa Lingkungan

12

hilangnya sejumlah besar sumberdaya lingkungan hidup yang esensial, sehingga

perlindungan alam menjadi lemah (Todaro, 2000).

Kerusakan lingkungan akibat aktivitas orang lain merupakan suatu

eksternalitas. Eksternalitas terjadi jika suatu kegiatan menimbulkan manfaat

atau biaya bagi kegiatan atau pihak di luar pelaksana kegiatan tersebut.

Eksternalitas ditambah dengan biaya swasta disebut sebagai biaya sosial. Biaya

sosial berkaitan dengan kerusakan lingkungan hidup yang dapat dianggap biaya

pembangunan ekonomi (Randal, 1987). Yang menjadi masalah adalah siapa

yang harus menanggung biaya sosial tersebut, apakah biaya itu harus

ditanggung oleh pihak yang menimbulkan korban atau pihak yang dirugikan, atau

pemerintah. Para ekonom menyetujui agar pihak yang menimbulkan kerugian

harus dikenai kewajiban untuk mencegah pencemaran atau diwajibkan

membayar pajak sebesar kerugian yang ditimbulkannya atau sumber pencemar

dipindahkan keluar daerah yang mengalami pencemaran (Suparmoko, 1997).

Di dunia yang fana ini tidak ada sesuatu yang gratis. Apabila seseorang

ingin memperoleh sesuatu tanpa membayar, pasti ada orang lain yang harus

membayar biaya yang diperlukan untuk memperoleh sesuatu yang dianggap

menguntungkan tadi. Biaya eksternalitas juga timbul dengan adanya

penebangan hutan terutama di daerah hulu. Dengan penebangan dan

penghancuran di daerah hulu akan hancur pula sumberdaya plasma nutfah dan

meningkatkan laju erosi dan banjir menghancurkan kesuburan tanah;

memperpendek umur waduk, mendangkalkan saluran irigasi serta merusak

tanaman atau semua milik manusia di daerah hilir (Yunus, 2005). Jadi disamping

kegiatan itu memiliki biaya yang sungguh-sungguh harus dibayar sendiri,

ternyata juga menciptakan biaya yang harus dipikul orang lain. Oleh karena itu

biaya lingkungan itu adalah nyata dan harus diperhitungkan dalam kegiatan

pembangunan.

Setiap kegiatan atau kebijakan selalu timbul adanya biaya dan manfaat

sebagai akibat dari kegiatan atau kebijakan tersebut. Sebagai dasar untuk

menyatakan bahwa suatu kegiatan atau kebijakan itu layak atau tidak layak

diperlukan suatu perbandingan yang menghasilkan suatu nilai atau suatu rasio.

Untuk itu diperlukan suatu penilaian atau pemberian nilai (harga) terhadap

dampak suatu kegiatan atau kebijakan terhadap lingkungan. Tanpa pemberian

Page 24: 394_Studi Jasa Lingkungan

13

nilai dalam rupiah atau dollar sulit untuk menyatakan bahwa kegiatan itu layak

adanya (Field, 1994).

Nilai dari suatu barang atau jasa sangat membantu seorang individu,

masyarakat atau organisasi dalam mengambil suatu keputusan. Penilaian

ekonomi sumberdaya alam merupakan peralatan teknis yang dapat dipercaya

dan logis untuk digunakan sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan

dalam pengelolaan sumberdaya alam. Nilai atau perhitungan moneter dapat

menunjukkan keperdulian yang kuat terhadap aset sumberdaya alam dan

lingkungan, dapat menjadi pendukung untuk pemihakan terhadap kualitas

lingkungan, sebagai dasar pembanding secara kuantitatif dalam bentuk moneter

terhadap beberapa alternatif pilihan dalam pemutusan suatu kebijakan atau

pemanfaatan dana (NRM, 2001). Penilaian merupakan upaya menentukan nilai

atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan tertentu manusia

atau masyarakat (Ramdan, et al. 2003). Nilai merupakan persepsi manusia

tentang makna suatu obyek, bagi orang tertentu pada waktu dan tempat tertentu.

Persepsi tersebut berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan

yang melekat pada individu atau masyarakat itu. Untuk menilai seberapa besar

nilai sumberdaya alam sangat tergantung pada sistem nilai yang dianut. Sistem

nilai tersebut mencakup : apa yang dinilai, kapan dinilai, dimana dan bagaimana

menilainya, kelembagaan penilaian dan sebagainya (Ramdan, et.al, 2003).

Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat

penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam

yang semakin langka, sebagai rekomendasi tertentu pada kegiatan

perencanaan, pengelolaan. Valuasi ekonomi bermanfaat untuk mengilustrasikan

hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk

melakukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik, dan menggambarkan

keuntungan atau kerugian yang berkaitan dengan berbagai pilihan kebijakan dan

program pengelolaan sumberdaya alam sekaligus bermanfaat dalam

menciptakan keadilan dalam distribusi manfaat sumberdaya alam (Duer, 1993).

Nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan dan kesenangan

yang diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa

yang diperoleh dari jual beli, tetapi semua barang dan jasa yang dapat

memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia. Baik barang publik maupun

privat akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian manfaat

Page 25: 394_Studi Jasa Lingkungan

14

fungsi ekologis pada hakekatnya juga nilai ekonomi karena jika fungsi ekologis

terganggu maka akan menimbulkan ketidakmanfaatan (disutility) atau terjadi

kerugian berupa bencana atau kerusakan (Hussen, 2000).

Valuasi ekonomi dengan menggunakan nilai uang sebagai indikasi

penerimaan dan kehilangan manfaat atau kesejahteraan akibat kerusakan

lingkungan. Menurut Pearce et. al (1994), sebelum memberikan nilai dalam arti

uang (moneter), perlu dipahami nilai macam apa sajakah yang dapat diberikan

kepada suatu sumberdaya alam atau lingkungan. Konsep nilai ini bermacam-

macam, karena menyangkut berbagai macam tujuan yang berkaitan dengan

keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan itu sendiri. Pada dasarnya nilai

lingkungan dibedakan menjadi : (a) nilai atas dasar penggunaan (instrumental

value atau use value) dan (b) nilai yang terkandung di dalamnya atau nilai yang

melekat tanpa penggunaan (intrinsic value atau non use value). Nilai atas dasar

penggunaan menunjukkan kemampuan lingkungan apabila digunakan untuk

memenuhi kebutuhan; sedangkan nilai yang terkandung dalam lingkungan

adalah nilai yang melekat pada lingkungan tersebut. Atas dasar penggunaanya

nilai itu dibedakan lagi atas dasar penggunaan langsung (direct use value), nilai

penggunaan tidak langsung (inderect use value), nilai atas dasar pilihan

penggunaan (option use value), dan nilai yang diwariskan (bequest value).

Selanjutnya nilai atas dasar tanpa penggunaan juga dibedakan menjadi nilai atas

dasar warisan (bequest value) dan nilai karena keberadaannya (existence value).

Jadi dalam menentukan nilai lingkungan secara keseluruhan atau nilai

totalnya (total economic value - TEV), merupakan penjumlahan nilai penggunaan

langsung, nilai penggunaan tidak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaannya

(Randal, 1987). Apabila ekonomi diaplikasikan pada isu-isu lingkungan, maka

dapat diharapkan adanya kesadaran yang lebih mendalam untuk meningkatkan

kualitas lingkungan, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan yang

diharapkan. Peningkatan kualitas lingkungan juga merupakan peningkatan

ekonomi apabila meningkatkan kepuasan atau kesejahteraan sosial (NRMP,

2001). Secara grafik, hierarki valuasi ekonomi barang dan jasa lingkungan

disajikan pada Gambar 2-3.

Page 26: 394_Studi Jasa Lingkungan

15

Gambar 2-3. Hierarki valuasi ekonomi barang dan jasa lingkungan.

(Sumber Munasinghe, 1993).

3. Metode Valuasi Ekonomi Jasa Lingkungan

Metode penilaian sumberdaya alam dan lingkungan pada dasarnya dibagi

dua pendekatan yaitu metode berdasarkan kurva permintaan (demand curve

approach) atau berdasarkan willingness to pay (WTP) dan metode berdasarkan

non-kurva permintaan (non-demand curve approach) atau non-WTP. Metode

berdasarkan kurva permintaan terdiri dari contingent valuation method, metode

biaya perjalanan (travel cost method), dan metode harga hedonik (hedonic

pricing method). Sedangkan metode berdasarkan non-kurva permintaan terdiri

dari metode dosis-respon (dose-response method), metode biaya pengganti

NILAI EKONOMI TOTAL

(TOTAL ECONOMIC VALUE)

NILAI DIGUNAKAN (USE VALUE) NILAI TIDAK DIGUNAKAN

(NON USE VALUE)

Indirect

Use Value

Manfaat Fungsional

Fungsi Ekologis

Pengendalian

Banjir

Direct

Use Value

Output yang

dimanfaatkan

langsung

Pangan

Biomasa

Rekreasi

Kesehatan

Bequest Value

Habitat

Perubahan

tidak dapat

kembali

Option Value

Pemanfaatan

dimasa depan

Keanekaragaman hayati

Konservasi

Habitat

Existence

Value

Habitat

Spesies

Langka

Nilai Keterukuran Kepada Individu Semakin Rendah

Page 27: 394_Studi Jasa Lingkungan

16

(replacement cost), metode perilaku mitigasi (mitigation behaviour), dan metode

berdasarkan opportunity cost.

Dixon dan Sherman (1990), Pearce. et al (1994), Yakin (1997)

menyatakan bahwa tidak ada satu metode valuasi ekonomi jasa lingkungan yang

superior dapat digunakan untuk semua penilaian. Masing-masing metode valuasi

memiliki keunggulan dan kelemahan, sehingga pemilihan metode yang tepat

sangat tergantung pada tujuan valuasi ekonomi jasa lingkungan dan karakteristik

penyebabnya serta kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi hasil akhir dari

penelitian. Komparasi dari beberapa metode valuasi ekonomi lingkungan yang

umum digunakan dengan keunggulan dan kelemahannya disajikan pada Tabel

2-1.

Tabel 2-1. Komparasi beberapa metode valuasi ekonomi lingkungan.

Metode Valuasi

Keunggulan dan Kelemahan Penggunaan Umum Validitas Reliabilitas Kelengkapan Kepraktisan Kelemahan

Contingent Valuation

Sedang Sangat tinggi

- Sangat tinggi. - Dapat

mengukur

kesejahteraan

Tinggi

- Potensi bias besar. - Butuh sumber daya

penelitian yang besar.

- Umumnya

diterapkan di negara maju.

Perubahan Habitat dan wilayah

Travel Cost Sedang Sedang

- Rendah - Dapat

mengukur

kesejahteraan

Sedang

- Sulit mendapatkan

informasi tingkat kesenangan.

- Tidak memasukkan

biaya kesempatan dalam perhitungan.

- Sulit menjelaskan

hubungan antara jumlah kunjungan dan biaya

perjalanan.

Wisata dan rekreasi

Hedonic

Pricing Sedang Sedang

- Rendah - Dapat

mengukur kesejahteraan

Sedang

- Faktor intervensi

terlalu besar dalam penentuan harga properti.

- Tidak bisa mengestimasi nilai eksistensi.

Keamanan dan

kenyamanan

Page 28: 394_Studi Jasa Lingkungan

17

Dose-Response

Sedang Sangat rendah

- Tinggi

- Sangat berguna untuk pengambil

kebijakan

Sedang

- Mensyaratkan data harus lengkap.

- Sulit memperkirakan

fungsi efek dosis yang sinergistik.

- Sulit merancang

model dari keragaman respon oleh produsen.

Pencemaran Air, Udara dan Bunyi

Replaceme

nt Cost Sedang

Sangat

rendah

- Tinggi - Sangat

berguna untuk

pengambil kebijakan

Sedang

- Aplikasi teknik ini

belum banyak dilakukan.

- Sulit mengestimasi

keuntungan dan kerugian secara keseluruhan.

Restorasi

habitat.

Mitigation Behaviour

Sedang Sedang

- Rendah - Sangat

berguna untuk pengambil kebijakan

Sedang

- Diperlukan kesadaran lingkungan yang

tinggi dari masyarakat.

- Memiliki kemampuan

ekonomi yang memadai.

Biaya Preventif

Opportunity

cost Sedang Sedang

- Rendah - Sangat

berguna untuk pengambil kebijakan

Sedang

- Aplikasi teknik ini

belum banyak dilakukan.

- Sulit mengestimasi

biaya yang harus ditanggung karena ini bukan metode

langsung.

Pemeliharaan

biodiversitas,

(Sumber : Dixon dan Sherman, 1990; Pearce, et al, 1994; Yakin, 1997)

Salah satu pendekatan kurva permintaan (demand curve approach)

adalah metode Willingness to pay (WTP) (Pearce, et al, 1994 ) atau kesediaan

untuk membayar yaitu kesediaan individu untuk membayar terhadap suatu

kondisi lingkungan atau penilaian terhadap sumberdaya alam dan jasa alami

dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan. Dalam WTP dihitung seberapa

jauh kemampuan setiap individu atau masyarakat secara agregat untuk

membayar atau mengeluarkan uang dalam rangka memperbaiki kondisi

lingkungan sesuai dengan standar yang diinginkannya. Kesediaan membayar ini

didasarkan atas pertimbangan biaya dan manfaat yang akan diperoleh

konsumen tersebut. Dalam hal ini WTP merupakan nilai kegunaan potensial dari

sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Penghitungan WTP yang dikaitkan

dengan peningkatan kualitas dan degradasi lingkungan dapat dilakukan dengan

beberapa pendekatan sebagai berikut :

Page 29: 394_Studi Jasa Lingkungan

18

1. menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan oleh individu untuk mengurangi

dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan

pembangunan.

2. menghitung pengurangan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin

menurunnya kualitas lingkungan.

3. melalui suatu survai untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat untuk

membayar dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan

ataupun untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang lebih baik.

Penghitungan WTP dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu

penghitungan terhadap nilai dari penurunan kualitas lingkungan yang telah terjadi

maupun penghitungan secara langsung dengan cara melakukan survei

lapangan. Dalam WTP, surplus konsumen adalah selisih dari harga yang

bersedia dibayarkan konsumen dengan harga aktual yang dibayarkan.

Metode damage cost avoided, replacement cost dan substitute cost

merupakan metode pendekatan berdasarkan bukan kurva permintaan (Pearce

et.al, 1994, King dan Mazzota, 2005). Metode ini didasarkan pada kesediaan

individu untuk membayar biaya preventif, biaya pengganti dan biaya substitusi

atas menurunnya kualitas jasa lingkungan. Metode ini dapat digunakan untuk :

1. Menilai jasa peningkatan kualitas air dengan mengukur biaya pengendalian

emisi.

2. Menilai jasa perlindungan erosi dari hutan dengan mengukur biaya

pengerukan sedimentasi di daerah hilir.

3. Menilai jasa penjernihan air dengan mengukur biaya penyaringan dan

perlakuan kimiawi terhadap air.

4. Menilai jasa perlindungan pantai dari ombak dengan mengukur biaya

pembangunan tembok penahan ombak.

5. Menilai jasa habitat dan pemeliharaan ikan dengan mengukur pembibitan dan

pelaksanaan program.

Metode ini memiliki berbagai keunggulan dan kelemahan. Keunggulan

metode ini antara lain adalah :

1. Dapat menyediakan indikator nilai ekonomi dengan ketersediaan data dan

dapat menjelaskan hubungan antar barang substitusi.

Page 30: 394_Studi Jasa Lingkungan

19

2. Pengukuran biaya yang menghasilkan keuntungan dapat lebih mudah

dilakukan walaupun tidak memiliki pasar (non-marketed goods).

3. Metode valuasi untuk mengestimasi kesediaan membayar dapat

dilaksanakan walaupun data dan informasi terbatas.

Kelemahan metode ini antara lain adalah :

1. Membutuhkan informasi tingkat substitusi antara barang pasar dan

sumberdaya, padahal beberapa sumberdaya lingkungan memiliki substitusi

langsung dan tidak langsung.

2. Dapat digunakan setelah proyek selesai dan beroperasi.

3. Barang dan jasa lingkungan yang dibayarkan biaya penggantinya hanya

mewakili sebagian dari jasa lingkungan yang disediakan oleh jasa

lingkungan.

Lipper dan Zilberman (1999) dalam van den Berg (1999) menyatakan

bahwa ada 2 sistem kepemilikan sumberdaya air yang didasarkan pada jarak

antara masing-masing dengan sumber air yaitu riparian system (RS) dan prior

appropriation system (PAS). Riparian adalah individu yang paling dekat dengan

sumber air yang disebut komunitas hulu (X1) dan yang lebih jauh disebut

komunitas hilir (X2).

Page 31: 394_Studi Jasa Lingkungan

20

Gambar 2-4. Kurva permintaan yang identik dari 2 pengguna

sumberdaya air.

(Sumber : Lipper dan Zilberman, 1999 dalam van den Berg, 1999)

Alokasi sumberdaya air pada saat musim kemarau (debit kecil) akan

dioptimalkan oleh komunitas hulu dan apabila pada saat musim hujan (debit

besar) maka air dapat dimanfaatkan oleh komunitas hilir. Secara grafis kurva

permintaan X1 dan X2 disajikan pada Gambar 2-4. Ketika pasokan air rendah

maka komunitas hulu dapat menggunakan air yang tersedia hingga X1=A1.

Ketika pasokan air tinggi maka permintaan air dihulu sama dengan permintaan

air di hilir (dapat terpuaskan) dengan keragaman biaya sebesar Wo dimana

X1=X2=A1=A2. Surplus konsumen, ketika pasokan air rendah adalah sebesar

AwoG dan ketika pasokan air tinggi adalah sebesar AwoH.

Johansson (2000) dalam Gabel dan Folmer (2000), menyatakan bahwa

perbaikan kualitas lingkungan dapat mempengaruhi jumlah jasa lingkungan yang

dapat dibeli oleh individu pada tingkat pendapatan tertentu. Apabila kualitas

lingkungan meningkat, maka individu akan menurunkan jumlah barang yang

diminta dengan tetap mempertahankan tingkat kegunaan dari jasa lingkungan

tersebut. Apabila kualitas lingkungan menurun, maka individu akan menaikkan

permintaan jumlah barang yang diminta dengan resiko mendapatkan tingkat

A

G

C D

W0

H

A2

E

A1

D1(W)

D1+D2(W)

Page 32: 394_Studi Jasa Lingkungan

21

kegunaan yang menurun. Oleh karena setiap individu akan berusaha

mempertahankan kegunaan pada tingkat tertentu, maka individu akan

melakukan kompensasi dari pendapatannya untuk perbaikan kualitas lingkungan

(compensation and equivalent variation atau disingkat CV dan EV). Secara grafik

disajikan pada Gambar 2-5 dan Gambar 2-6 .

Gambar 2-5. Compensation and equivalent variation dikaitkan dengan kualitas

lingkungan. (Sumber : Johansson, 2000 dalam Gabel dan

Folmer, 2000).

Garis Biaya

Z ( Kualitas lingkungan)

X ( Kuantitas)

Kurva Indiferen

Y=xº A

B C

F

G D

E

Page 33: 394_Studi Jasa Lingkungan

22

Gambar 2-6. Kurva marginal WTP (CV dan EV) untuk kualitas lingkungan yang

berbeda. (Sumber : Johansson, 2000 dalam Gabel dan Folmer,

2000).

Biaya pengganti (replacement cost) didasarkan pada estimasi besarnya

biaya yang disediakan oleh pengguna jasa lingkungan untuk menghindari

kerusakan lingkungan (avoid cost) atau biaya restorasi dan rehabilitasi

lingkungan (replacement cost) atau biaya substitusi atas jasa lingkungan yang

mengalami kerusakan (King and Mazzotta, 2005 ; Hanley and Splash, 1995 ;

Hussen, 2000 ; Pearce et al, 1994). Dengan kata lain, biaya pengganti dapat

diasumsikan sebagai manfaat jasa lingkungan akibat peningkatan kualitas

lingkungan melalui rehabilitasi, restorasi dan konservasi ekosistem (Field, 1994).

Kesediaan pengguna jasa lingkungan mengkompensasikan

pendapatannya dimaksudkan untuk dapat mempertahankan tingkat utilitas

tertentu yang diinginkan. Dalam kaitannya dengan estimasi biaya pengganti

tersebut, maka asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Besarnya biaya kompensasi yang dibayarkan pengguna jasa lingkungan

sama dengan besarnya biaya perbaikan lingkungan di wilayah hulu.

Marginal WTP (EV)

Z ( Kualitas lingkungan)

Rupiah (Rp)

2

1

z¹ zº

Marginal WTP (CV)

Mc

MB

MA

CV=Mc-MB

EV=MB-MA

Page 34: 394_Studi Jasa Lingkungan

23

2. Kualitas lingkungan tahun 2002 lebih buruk dibandingkan tahun 1992.

Apabila prinsip pada Gambar 2-5 dan Gambar 2-6 .dikembangkan lebih

lanjut, maka diperoleh Gambar 2-7.

3. Garis biaya (budget line) y = p Xo dimana y = pendapatan tetap, p = harga

barang privat dan Xo = jumlah barang privat yang diminta. Karena jasa

lingkungan ‖tidak memiliki‖ harga pasar maka nilai p = 0 (free of charge),

sehingga biaya maksimal lingkungan (environmental cost) GB = y = 0.

4. Besarnya biaya marginal lingkungan MBI1 = rata-rata kenaikan biaya

marginal lingkungan tahun Z1 dan MBI2 = rata-rata kenaikan biaya marginal

lingkungan tahun Z2.

5. Besarnya kompensasi yang harus dibayarkan adalah sebesar CV1 + CV2.

Dimana CV1 = (MBI2 – MBI1) dan CV2 = (MBI1 – GB).

6. Kompensasi sebesar (CV1 + CV2) oleh pengguna jasa lingkungan sebagai

biaya pengganti (replacement cost) bagi rehabilitasi dan konservasi.

Gambar 2-7. Kurva marginal WTP (CV dan EV) pada berbagai kondisi

lingkungan.

Garis Biaya

Z

( Kualitas lingkungan)

GB = Y = X0 A B C

F

G D

E

H

3

2

1

I1

I2

I3

z2

z1

z3

MBI2

MBI1

MAI1

MAI2

Rp

Page 35: 394_Studi Jasa Lingkungan

24

Studi Jasa Lingkungan di Kawasan Danau Toba dilaksananakan dengan

menggunakan pendekatan demand curve (DC) and contingent valuation method

(CVM) melalui perhitungan kesediaan membayar - willingness to pay (WTP)

pengguna jasa lingkungan (masyarakat, perusahaan dan industri serta lembaga

publik). Survei CVM akan menggunakan kuesioner sebagaimana terlampir.

4. Metode Perhitungan Kesediaan Membayar

Metode CVM digunakan untuk menilai ekonomi barang publik dengan

menanyakan langsung kepada pengguna jasa lingkungan seberapa besar

maksimum kesediaan membayar sebagai kompensasi akibat kerusakan

lingkungan. Kesedian membayar merupakan gambaran dari tingkat preferensi

dan pendapatan individu (Pearce et al, 1994).

Dalam penelitian ini CVM menyangkut dua hal yaitu kesediaan pengguna

jasa membayar dan persepsi dari perilaku masyarakat pengguna jasa lingkungan

terhadap bentuk kesediaan membayar kompensasi lingkungan. Kuesioner yang

digunakan dalam CVM meliputi :

1. Deskripsi detil tentang jasa lingkungan yang divaluasi, persepsi penilaian

publik, jenis kesanggupan dan alat pembayaran.

2. Pertanyaan tentang WTP yang diteliti.

3. Karakteristik sosial demografis responden seperti usia, pendidikan,

pendapatan, dan lain-lain.

Pada CVM ini, masyarakat yang menjadi responden adalah pengguna jasa

lingkungan meliputi masyarakat, perusahaan, industri dan lembaga publik yang

terdapat di DTA Danau Toba dipilih secara purposive dan diklasifikasi

berdasarkan tingkat pendapatan dan pendidikan, pada tingkat/jumlah sampel

yang mencukupi. Pengolahan data kuesioner dilakukan dengan menggunakan

alat bantu SPSS dengan rumus-rumus (Jordan dan Elnagleeb, 1993 ; Pearce et

al, 1994) :

1. Nilai Tengah WT

n

EWTP = WiPfi

i=1

Dimana : EWTP : dugaan ratan WTP W : batas bawah kelas WTP Pf : frekuensi relatif kelas yang bersangkutan n : jumlah kelas

i : kelas ke-i

Page 36: 394_Studi Jasa Lingkungan

25

2. WTP Total

Dimana :

TWTP : kesediaan populasi pelanggan rumah tangga untuk membayar

WTP : kesediaan individu untuk membayar

N : jumlah sampel yamg bersedia membayar sebesar WTP

P : jumlah populasi pelanggan rumahtangga

i : jumlah sampel ke-i

3. Kurva Permintaan (Dugaan)

Dimana :

Ps : persepsi terhadap kualitas lingkungan

Jk : jenis kelamin

Us : usia

Pn : tingkat pendidikan

Pd : jumlah pendapatan keluarga

Bk : biaya tanggunga keluarga

Pk : pekerjaan

St : persepsi terhadap ketersediaan air

Ph : persepsi terhadap usaha perbaikan lingkungan di hulu

n

TWTP = WiPfi[ni / N]P

i=1

WTP = F(Ps,Jk,Us,Pn,Pd,Bk,Pk,St,Ph)

Pi =E ( Y = 1 X1 ) =

0+ 1X1+….+ kXk

e

0+ 1X1+….+ kXk

1+e

Page 37: 394_Studi Jasa Lingkungan

26

Dimana :

P1 : sebuah kemungkinan dengan Yi =1

0 : intersep

X1 : persepsi terhadap ketersediaan air

X2 : persepsi terhadap peranan masyarakat hulu dalam penyediaan

air minum.

X3 : persepsi terhadap kesetujuan masyarakat hulu melakukan

kegiatan perbaikan lingkungan.

X4 : pekerjaan

X5 : usia

X6 : pendidikan

X7 : pendapatan

X8 : jumlah tanggungan‘

X9 : jenis kelamin ( C1)

K : banyaknya X

e : Exp ( )= Odd Ratio

Persamaan di atas tersebut sebagai persamaan logistik/logit. Dimana

Li dikenal dengan logit, yang merupakan logaritma dari rasio sebelumnya dan

linear dalam variabel independen dan parameter. Metode estimasinya adalah

Maximum Likelihood Estimator (MLE) dan koefisien yang didapatkan

konsisten. Setelah mengetahui persamaan baru dengan memasukkan

komponen X, dilanjutkan dengan menentukan nilai peluang tiap responden.

Adapun nilai peluang tersebut berdasarkan persamaan sebelumnya

didapatkan dengan rumus sebagai berikut :

Li =

Ln (

P

i ) =

o+ 1X1+ 2X2+….+ kXk

1

-P1

P =

e

l

i

/

1 + e

li

Page 38: 394_Studi Jasa Lingkungan

III. REVIEW JASA LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

A. Sumberdaya Air dan Hidrologis DAS Citarum (Studi Kasus)

1. Perubahan Tutupaan Lahan dan Karakteristik Hidrologis

Masalah utama dalam pengelolaan sumberdaya air adalah kuantitas,

kualitas, penyebaran dan waktu aliran. Kekeringan dan banjir merupakan dua

contoh klasik yang kontras tentang perilaku aliran air sebagai akibat perubahan

kondisi tataguna lahan dan faktor meteorologi terutama hujan. Pembangunan

waduk, kecuali untuk PLTA juga dimaksudkan untuk menampung aliran air hujan

(ketika musim hujan di wilayah hulu) dan mengalirkannya kembali (pada musim

kemarau), sehingga pasokan air untuk irigasi di wilayah hilir dapat stabil pada

kuantitas tertentu. Pengelolaan vegetasi di wilayah hulu DAS juga dapat

menurunkan aliran sedimen yang masuk kedalam waduk sehingga

meningkatkan umur pemanfaatan (service life) waduk. Vegetasi (hutan) juga

dapat mengatur aliran air (stream regulator) yaitu dengan menyimpan air selama

musim hujan dan mengalirkannya pada musim kemarau.

Perubahan tataguna lahan DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode

1992–2002 telah menyebabkan perubahan pada karakteristik hidrologis berupa

terjadinya kecenderungan penurunan debit dan volume air (air masuk lokal dan

air keluar), fluktuasi debit air masuk lokal yang ditandai dengan meningkatnya

rasio Q max-min dan peningkatan laju sedimentasi dari tahun ke tahun. Dengan

demikian, kondisi ekosistem DAS Citarum Wilayah Hulu telah mengalami

degradasi yang cukup kritis ditandai dengan tingginya laju perubahan penutup

lahan dan pengalihan fungsi (tataguna).

1.1. Perubahan Penutup Lahan dan Curah Hujan

Pada periode pengamatan 1993 – 2003 secara keseluruhan DAS

Citarum Wilayah Hulu mengalami penurunan jumlah CH yang cukup tinggi yaitu

rata-rata sebesar 8,21 mm/th. Pada periode yang sama, musim kemarau (April-

September) di wilayah DAS Citarum Wilayah Hulu memiliki CH bulanan rata-rata

sebesar 118,35 mm dengan simpangan baku 45,08 mm, dan musim hujan

(Oktober-Maret), CH bulanan rata-rata sebesar 246,09 mm dengan simpangan

baku 43,85 mm. Adanya kecenderungan penurunan curah hujan dan kaitannya

dengan perubahan penutup lahan (land cover) akibat perubahan tata guna lahan

(land use) tersebut dapat diterangkan sebagai berikut.

Page 39: 394_Studi Jasa Lingkungan

28

Perubahan penutup lahan vegetasi di Pulau Jawa telah berlangsung

sejak awal abad lalu akibat konversi lahan hutan menjadi penggunaan lain.

Dampak perubahan penutup lahan dalam skala luas ini nampak dari perubahan

fungsi hidrologis DAS yang berawal dari penurunan curah hujan wilayah dan

diikuti dengan penurunan hasil air DAS (Pawitan, 2004). Penggundulan hutan

secara luas di suatu DAS akan menurunkan kelembaban (dengan berkurangnya

evapotranspirasi) dan menyebabkan penurunan curah hujan lokal. Penelitian di

Amazon (Asdak, 2004) menunjukan bahwa 50% dari total hujan di wilayah hutan

berasal dari hasil evapotranspirasi hutan yang ada di wilayah tersebut.

1. 2. Perubahan Penutup Lahan, Debit dan Volume Air

Analisis data menunjukkan adanya kecenderungan penurunan debit dan

volume air masuk lokal (DAML 1,49% dan VAML 4,2%) di Sub DAS Citarum

Wilayah Hulu. DAML harian rata-rata DAS Citarum Wilayah Hulu adalah sebesar

151,98 m³/dt (MK) dengan simpangan baku sebesar 44,45 m³/dt dan 265,40

m³/dt (MH) dengan simpangan baku sebesar 61,64 m³/dt. Penurunan debit dan

volume air tersebut serta peningkatan keragamannya kemungkinan terutama

disebabkan oleh penurunan curah hujan dan perubahan tataguna lahan. Hal ini

sesuai dengan pendapat Pawitan (1999) dalam Agus et.al (2004) yang

menyatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan berdampak pada

penurunan ketersediaan air wilayah akibat meningkatnya fluktuasi musiman

dengan gejala banjir dan kekeringan yang semakin ekstrim, ukuran DAS dan

kapasitas storage DAS baik di permukaan (tanaman, sawah, rawa, danau,

waduk dan sungai) maupun bawah permukaan (lapisan tanah dan air bumi),

akan merupakan faktor dominan yang menentukan kerentanan dan daya dukung

sistem sumberdaya air wilayah terhadap perubahan iklim. Pawitan (2002) dalam

Suryani dan Agus (2005) mengemukakan bahwa perubahan penggunaan lahan

dengan memperluas permukaan kedap air menyebabkan berkurangnya infiltrasi,

menurunkan pengisian air bawah tanah (recharge) dan meningkatkan aliran

permukaan (run off). Penurunan muka air tanah secara langsung mempengaruhi

penurunan debit dan peningkatan run off secara langsung mempengaruhi

peningkatan debit.

Akan tetapi dari beberapa penelitian (Asdak, 2004) menunjukan bahwa

perubahan vegetasi hutan menjadi non vegetasi telah menyebabkan kenaikan

hasil air total (water yield). Kenaikan hasil air tersebut terutama dihasilkan dari

Page 40: 394_Studi Jasa Lingkungan

29

meningkatnya run off yang langsung menjadi aliran (debit) air, penurunan

evapotranspirasi dan penurunan aliran rendah (base flow) yang tidak signifikan.

Hal ini dapat diterima karena pengaruh hutan terhadap aliran rendah sangat site

specific dan tidak ada jaminan penghutanan akan meningkatkan aliran rendah di

musim kemarau (Pawitan, 1999 dalam Agus et.al, 2004). Dengan demikian

penurunan debit, volume air dan peningkatan rasio Q max-min (1993–2003) di

DAS Citarum Wilayah Hulu lebih disebabkan oleh penurunan curah hujan yang

terjadi. Penurunan curah hujan tersebut kemungkinan disebabkan oleh

perubahan penutup lahan berupa penurunan luas vegetasi terutama hutan dan

tanaman keras (pohon) lainnya dalam skala besar dan jangka waktu yang lama.

1.3. Perubahan Penutup Lahan, Kualitas Air dan Sedimentasi

Kualitas air merupakan bagian yang penting dalam isu pengembangan

sumberdaya air dan kepedulian terhadap keadaan lingkungan hidup. Kualitas air

meliputi keadaan fisik, kimia dan biologi yang dapat mempengaruhi ketersediaan

air untuk kehidupan manusia, pertanian, industri, rekreasi dan pemanfaatan

lainnya. Karakteristik fisik terpenting yang dapat mempengaruhi ketersedian air

untuk berbagai kepentingan adalah sedimen, suhu, oksigen terlarut, pH, bakteri

dan kandungan logam berat.

Degradasi lingkungan, terutama yang berkaitan dengan berkurangnya

areal hutan secara meluas yang diikuti dengan praktek bercocok tanam yang

tidak atau kurang mengikuti kaidah-kaidah konservasi telah memberikan

sumbangan yang signifikan untuk terjadinya perubahan perilaku aliran air dan

menurunkan kualitas air. Menurunnya kualitas air tersebut diperparah lagi oleh

semakin banyaknya industri dan rumah tangga yang membuang limbah ke

perairan di sekitarnya, tanpa melalui pengolahan (treatment) air yang memadai.

Adanya perubahan kualitas air akibat perubahan pemanfaatan DAS, dapat

menjadikan air yang sebelumnya dapat dikonsumsi manusia menjadi tidak lagi

dapat dimanfaatkan tetapi masih dapat dipakai untuk keperluan lain seperti

rekreasi dan pertanian dalam arti luas.Dari aspek sumber, pencemaran perairan

dapat berasal dari degradasi lahan akibat kegiatan pertanian dalam arti luas

yang dikenal dengan istilah non-point source pollution, karena tempat sumber

pencemar tidak diketahui secara pasti. Sumber pencemar yang dengan pasti

diketahui sumbernya disebut point source pollution. Pencemaran dari kedua

Page 41: 394_Studi Jasa Lingkungan

30

sumber ini memasuki perairan dari wilayah hulu, tengah dan hilir DAS Citarum

Wilayah Hulu. Beberapa zat pencemar yang memasuki perairan adalah :

a. Muatan sedimen.

Kualitas fisik perairan sebagian besar ditentukan oleh jumlah konsentrasi

sedimen yang terdapat di perairan. Muatan sedimen terdiri dari dua jenis yaitu

sedimen merayap (bedload) dan sedimen melayang (suspended sediment).

Muatan sedimen diukur dengan tingkat kekeruhan yang terjadi di perairan

tersebut. Pada tingkat kekeruhan tertentu akan mengurangi cahaya matahari

yang dapat masuk kedalam badan air dan menghambat proses fotosintesa

vegetasi dan aktifitas kehidupan organisme perairan. Aktifitas manusia yang

menyebabkan perubahan tataguna lahan akan menimbulkan perubahan pada

karakter sedimentasi dan kualitas kimiawi air baik di wilayah hulu, tengah

maupun hilir DAS. Pemanfaatan lahan tersebut dapat meningkatkan jumlah

mineral-mineral dan komponen-komponen (organik dan non organik) lain yang

terangkut masuk ke dalam sungai dan menimbulkan dampak yang signifikan

terhadap keseimbangan ion-ion yang ada dalam perairan sutu DAS (Asdak,

2004).

Pembalakan (pembukaan) wilayah hutan akan menyebabkan

peningkatan ―hilangnya‖ unsur hara (terutama natrium dan NH4). Peningkatan

hilangnya unsur hara dan peningkatan air larian cenderung akan meningkatkan

konsentrasi unsur hara yang masuk ke sungai dan waduk. Faktor-faktor yang

mempengaruhi ―hilangnya‖ unsur hara pada penebangan hutan adalah proporsi

unsur hara yang terkandung dalam vegetasi (pohon), luas hutan yang ditebang,

perlakuan terhadap sisa tebangan dan proses dekomposisi sisa tebangan.

Anderson dan Spencer (1991) dalam Asdak (2004) mengemukakan bahwa unsur

hara yang ―hilang‖ dapat berkisar antara 10% - 50% akibat dari penebangan

hutan.

Dampak lain dari perubahan penutup lahan adalah peningkatan

sedimentasi di sungai yang mengalirkan air dari daerah tangkapan air yang

bersangkutan. Besarnya peningkatan sedimentasi tersebut dapat mencapi 2–3

kali lebih besar dari keadaan sebelum dilakukan penebangan hutan. Muatan

sedimen meningkat dari 180 ppm sebelum pembalakan menjadi 320 ppm selama

tahun pertama setelah pembalakan hutan dan meningkat 520 ppm pada dua

Page 42: 394_Studi Jasa Lingkungan

31

tahun setelah pembalakan (Hamilton dan King, 1983). Besarnya laju sedimentasi

yang terjadi sebesar 12,86 – 21,66 juta m³/th (DAS Citarum Wilayah Hulu)

mengindikasikan semakin rusaknya kondisi lingkungan di DAS Citarum Wilayah

Hulu. Perbedaan besarnya sedimentasi pada waktu yang berbeda tersebut

disebabkan oleh perbedaan karakteristik curah hujan dan sumber utama

sedimen berasal dari tempat-tempat yang dianggap rawan erosi seperti lahan-

lahan terbuka dengan kemiringan besar untuk berbagai penggunaan.

b. Suhu air.

Suhu merupakan faktor penentu atau pengendali kehidupan flora dan

fauna akuatik, terutama bila suhu perairan telah melampaui ambang batas bagi

kehidupan organisme perairan. Secara umum, kenaikan suhu perairan akan

mengakibatkan kenaikan aktifitas biologi dan memerlukan lebih banyak oksigen.

Kenaikan suhu perairan akan menurunkan kemampuan organisme akuatik dalam

memanfaatkan oksigen yang tersedia untuk berlangsungnya proses-proses

biologi dalam air. Kenaikan suhu perairan alamiah umumnya disebabkan oleh

peningkatan aktifitas penebangan hutan (vegetasi) terutama disepanjang tebing

aliran dan umumnya di wilayah DAS bagian hulu.

c. BOD5 dan COD

Kandungan oksigen terlarut dalam perairan dijadikan indikator ada

tidaknya pencemaran, dan ukuran yang umum digunakan adalah kandungan

BOD (biological oxygen demand) dan atau COD (chemical oxygen demand).

BOD adalah indeks oksigen yang diperlukan selama proses dekomposisi aerobik

zat pencemar yang dapat diurai (biodegradable pollutant). Dekomposisi aerobik

adalah perubahan proses kimia terurainya mikroba-mikroba yang menyusun

molekul organik menjadi bentuk lain yang lebih sederhana dan bersifat

―permanen‖ seperti CO2, PO4, dan NO4. Dengan demikian, semakin besar angka

BOD semakin tinggi tingkat pencemaran yang terjadi di perairan tersebut.

Secara umum, angka BOD yang tinggi (umumnya dinyatakan dalam

BOD5) yang menjukan tingginya konsentrasi bahan organik dalam perairan.

Perairan yang menampung limbah pemukiman dan industri memiliki BOD5

melebihi 200 ppm (Dunne dan Leopold, 1979, Brooks et. al, 1989 dalam Asdak,

2004). Mendasarkan pada kriteria ini, kondisi perairan di ketiga waduk masih

baik (nilai BOD5 dibawah 200 ppm) COD dapat dimanfaatkan untuk

memperkirakan tingkat BOD. Indeks COD kurang dimanfaatkan sebagai indikator

Page 43: 394_Studi Jasa Lingkungan

32

pencemaran karena tidak dapat menunjukan secara memadai jumlah oksegen

yang dikonsumsi dalam proses oksidasi pada aliran air alamiah. Di Jawa Barat

(Bukit, 1997 dalam Asdak, 2004), angka konsentrasi BOD5 tertinggi di Sungai

Citarum terdapa di Cimahi dan terkecil di Rancaekek.

d. pH Air.

Tingkat pencemaran perairan juga dapat dilihat dari tingkat keasaman

atau kebasaan air, terutama oksidasi sulfur dan nitrogen pada proses

pengasaman dan oksidasi kalsium dan magnesium pada proses pembasaan.

Besarnya angka pH dapat menunjukan adanya keseimbangan unsur-unsur kimia

dapat mempengaruhi ketersediaan hara yang sangat bermanfaat bagi vegetasi

akutik. Brooks et, al (1989) dalam Asdak (2004) menyatakan bahwa pH lebih

kecil dari 4,8 dan lebih besar dari 9,2 sudah dapat dikatagorikan perairan

tercemar. Berdasarkan hal ini, pH air waduk dan sumber air baku PDAM masih

baik (pH berkisar 6–8). Keasaman merupakan karakteristik air yang penting

karena mempengaruhi proses biologis dan kimia perairan dan menyebabkan

terjadinya karat (korosi) pada logam. Penyebab lain dari peningkatan pH perairan

adalah hujan asam (acid rain) yang menurut Hewlett (1982), hujan asam apabila

pH air hujan berada di bawah 5,6.

e. Faecal coliform dan logam berat.

Pada umumnya, faecal coliform digunakan sebagai indikator pencemaran

perairan yang bersumber dari limbah rumah tangga. Konsentrasi faecal coliform

lebih besar dari 2000 MPN/100 ml dianggap berbahaya bagi kesehatan manusia.

Limbah industri yang dibuang ke perairan umumnya mengandung logam berat

seperti Cu, Cd, Pb, Zn dan Hg, sedangkan limbah pestisida yang sering dijumpai

di perairan Indonesia antara lain adalah H2S, NO2 dan NH3.

2. Perubahan Karakteristik Hidrologis, Produksi PLTA dan PDAM dan

Biaya Marjinal Lingkungan.

2.1. Produksi Energi Listrik oleh PLTA

Karakteristik hidrologi yang paling mempengaruhi produksi energi listrik

dan air minum adalah debit, volume, sedimentasi dan pencemaran air. Dalam

merencanakan pembangunan waduk dan PLTA, faktor debit dan volume air serta

sedimentasi merupakan hal yang sangat penting. Untuk menghasilkan energi

Page 44: 394_Studi Jasa Lingkungan

33

listrik diperlukan energi sumderdaya air sejumlah tertentu. Debit dan volume air

juga sangat menentukan tinggi duga muka air (DMA) pada waduk yang pada

gilirannya akan mempengaruhi jumlah air yang dapat digunakan untuk memutar

turbin, karena masing-masing turbin memiliki ketinggian DMA yang berbeda.

Dengan demikian perencanaan produksi energi listrik sangat dipengaruhi oleh

ketersediaan volume air di waduk.

Sedimentasi waduk juga mempengaruhi produksi energi listrik PLTA.

Volume sedimentasi (bedload) yang besar akan mempengaruhi volume air dalam

waduk dan pada tingkat tertentu ketinggian sedimen akan mencapai tingkat

(level) inlet turbin. Kondisi seperti ini disebut kondisi waduk telah mencapai dead

storage (tampungan mati). Pada saat tersebut terjadi, air tidak dapat lagi masuk

melalui inlet turbin dan secara praktis air dalam waduk tidak dapat berfungsi

untuk menggerakan turbin PLTA. Waktu yang diperlukan oleh sedimentasi untuk

memenuhi dead storage-nya merupakan umur pakai (service life) waduk. Untuk

mengantisipasi terisinya dead storage waduk (umur waduk dapat diperpanjang),

pengelola waduk melakukan tindakan pembuangan sedimen (flushing) melalui

bottom atau hollow jet. Pembuangan sedimen tersebut memerlukan perhitungan

yang sangat matang dan dapat menyebabkan penghentian sementara turbin

tertentu (menurut tinggi DMA-nya). Kecuali itu, sedimentasi (suspended

sediment) yang bersama-sama dengan air memasuki inlet dan menggerakan

turbin mengisi partisi dari water cooler turbin. Apabila partisi tersebut sudah

penuh, maka water cooler turbin menjadi panas dan tidak berfungsi, sehingga

harus dilakukan pemeliharaan (satu turbin dikelilingi oleh enam water cooler).

Dengan dilakukan pemeliharaan, turbin yang bersangkutan tidak dapat

digunakan untuk memproduksi energi listrik. Semakin tinggi laju sedimentasi

waduk semakin sering water cooler turbin dipelihara. Di PLTA Saguling misalnya,

pemeliharaan water cooler turbin dilakukan satu kali dalam 7-10 tahun, padahal

menurut spesifikasi teknisnya pemeliharaan dilakukan satu kali dalam 20-35

tahun.

Kaitannya dengan penurunan kualitas kimiawi air waduk, gas H2S

merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi produksi energi listrik. Gas

H2S tersebut menyebabkan karat pada alat-alat produksi berbahan logam dan

menimbulkan bau yang sangat menyengat. Kondisi gas H2S dengan konsentrasi

tinggi ditemukan pada lokasi stoplog, ruang parkir, terowongan, tail race, tower

Page 45: 394_Studi Jasa Lingkungan

34

dan ruang penampung kiri dan kanan. Tingginya konsentrasi gas H2S tersebut

menyebabkan meningkatnya biaya pemeliharaan, penggantian peralatan,

pengadaan peralatan keselamatan kerja dan exhaust fan (Jasa Tirta II, 2002).

Dengan demikian, penurunan debit dan volume air serta peningkatan sedimen

waduk akan menyebabkan kerugian ekonomis bagi PLTA berupa : kehilangan

kesempatan produksi energi listrik yang mencapai 212,64 ribu kWh/tahun dan

peningkatan biaya pemeliharaan dan pengadaan keselamatan kerja.

2.2. Produksi Air Minum PDAM

Perubahan karakteristik hidrologi yang sangat mempengaruhi produksi air

minum PDAM adalah sedimentasi dan pencemaran kimiawi air baku air minum.

Bagi PDAM Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya, faktor debit dan volume air

dari Sungai Citarum masih sangat mencukupi sehingga sampai saat ini (2007)

tidak menjadi masalah. Proses fisika dan kimiawi pengolahan air oleh PDAM

(water treatment plant – WTP) dimaksudkan untuk menghasilkan air minum

dengan standar air minum yang ditentukan.

Pada umumnya, tingginya muatan sedimen pada air baku air minum

mempengaruhi proses fisika yang dilakukan oleh pengelola berupa ukuran bak

pengendapan (kolam tampung), waktu pengendapan dan intensitas pengerukan

(penggelontoran) sedimen. Semakin tinggi sedimen, semakin besar ukuran bak

penampungan atau semakin intensif penggerukan sedimen. Hal ini

mengakibatkan terganggunya sistem produksi dan meningkatkan investasi serta

pemeliharaan.

Proses kimia Pengolahan air baku air minum terutama dimaksudkan

untuk menetralisir dan meningkatkan kualitas air dengan memberikan bahan

kimia tertentu. Semakin tinggi konsentrasi unsur-unsur pencemar dalam air baku

air minum semakin besar jumlah bahan kimia yang diperlukan. Peningkatan

bahan kimia untuk pengolahan air baku tersebut akan meningkatkan biaya

produksi PDAM. Proses kimia juga dimaksudkan untuk menghilangkan

pencemar biologis seperti E. colii dan limbah domestik. Peningkatan kebutuhan

dan pembelian bahan kimia untuk menetralisir pencemar pada air baku air

minum merupakan penambahan biaya variabel dalam produksi air minum PDAM.

Dengan demikian, perusahaan akan mengeluarkan biaya yang semakin

meningkat seiring dengan meningkatnya pencemaran air Sungai Citarum baik

pencemaran fisik, kimiawi maupun biologis.

Page 46: 394_Studi Jasa Lingkungan

35

3. Biaya Marjinal Lingkungan

Bagi pengguna jasa lingkungan (sumberdaya air) seperti halnya PLTA

dan PDAM, penurunan kuantitas, peningkatan sedimentasi dan penurunan

kualitas kimiawi menimbulkan tambahan biaya (environmental marginal cost)

yang terus meningkat dari tahun ke tahun berikutnya. Biaya yang harus

disediakan sebagai akibat dari penurunan kualitas jasa lingkungan merupakan

biaya eksternalitas (externality cost) bagi pengguna air Citarum. PLTA dan

PDAM bersedia membayar karena harus mempertahankan kegunaan pada

kuantitas dan kualitas sumberdaya air (compensation variation-CV and

equivalent variation-EV) dalam memproduksi energi listrik dan air minum. Pada

Gambar 3-1 ditampilkan kurva marjinal WTP (EV dan CV). Besarnya biaya

ekternalitas ketiga PLTA tahun 1993 adalah sebesar Rp. 2.789,11 / MWh dan

tahun 2003 adalah Rp. 10.434,42 / MWh. Dengan demikian marjinal biaya

eksternalitas (biaya marjinal lingkungan) sebagai akibat degradasi lingkungan

tahun 1993 – 2003 adalah sebesar Rp7.645,09/MWh sebagai equivalent

variation dan compensation variation (kurva marjinal WTP 1993 bergeser ke kiri

menjadi kurva marjinal WTP 2003) atau Rp. 13,35/m3 air yang digunakan,

sedangkan PDAM besarnya adalah Rp. 28,33 – Rp. 64,0/m3 air baku air minum

Page 47: 394_Studi Jasa Lingkungan

36

Gambar 3-1. Kurva marginal WTP (CV dan EV) untuk kualitas lingkungan DAS

Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993 dan 2003.

Apabila kondisi lingkungan di wilayah hulu DAS diperbaiki dengan

rehabilitasi dan upaya konservasi (misalnya kondisi sama dengan 1993) maka

eksternalitas tersebut diinvestasikan sebagai biaya konservasi, sehingga

menggeser kurva marjinal WTP 2003 bergeser ke kanan menjadi kurva marjinal

WTP 1993. Semakin tinggi penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya air

semakin besar tambahan biaya yang harus dibayarkan agar PLTA dan PDAM

mendapatkan kepuasan yang sama (indifferent-marginal WTP). PLTA dan PDAM

melakukan kompensasi atas pendapatannya untuk membayar tambahan biaya

tersebut.

Dari sisi lain, kerugian yang diderita oleh PLTA dan PDAM sebagai akibat

degradasi kuantitas dan kualitas sumberdaya air merupakan opportunity cost

atas kerusakan ekosistem wilayah hulu DAS Citarum Wilayah Hulu atau

merupakan opportunity benefit yang hilang. Artinya, apabila tambahan biaya

yang dibayarkan oleh PLTA dan PDAM digunakan untuk merehabilitasi dan

melakukan tindakan konservasi, maka secara alamiah PLTA dan PDAM akan

Marginal WTP 1993 (EV)

Z ( Kualitas lingkungan)

Rupiah (Rp)

1993 2003

Marginal WTP (2003) (CV)

MB

M0

MA

CV=MB-MO = Rp. 7.645,09/MWh

EV=MO-MA = Rp. 7.645,09/MWh

MO = garis biaya = Rp. 2.789,11/MWh

Page 48: 394_Studi Jasa Lingkungan

37

mendapatkan tambahan keuntungan (marginal benefit) seiring dengan perbaikan

kuantitas dan kualitas sumberdaya air yang dihasilkan oleh ekosistem wilayah

hulu DAS Citarum. Dengan demikian, pembayaran tambahan biaya yang

dikeluarkan oleh PLTA dan PDAM bukanlah biaya tetapi merupakan investasi

jangka panjang yang menguntungkan.

Investasi tersebut merupakan kompensasi (transfer payment) dari hilir

(pengguna atau konsumen) ke hulu (produsen atau penyedia). Wilayah hulu DAS

Citarum Wilayah Hulu telah menghasilkan jasa lingkungan dan dari wilayah hilir

mengalirkan uang berupa investasi lingkungan untuk konservasi ekosistem

(replacement cost). Dengan kata lain, baik PLTA maupun PDAM telah

memindahkan resiko peningkatan biaya lingkungannya (environmental marginal

cost) kepada ekosistem DAS Wilayah Hulu sebagai akibat peningkatan biaya

pemeliharaan peralatan dan keamanan pekerja (marginal damage cost) serta

peningkatan kerugian (marginal opportunity cost) setiap tahun. Apabila transaksi

pembayaran seperti ini terjadi, menunjukan bahwa telah ada aliran bahan dan

energi (uang) dari hilir ke hulu, ada ketergantungan dan keterkaitan antara hilir

dan hulu serta telah menjadi suatu sistem yang terintegrasi (ekosistem). Pada

kondisi (state of nature) seperti ini akan terjadi internalisasi pendekatan

lingkungan dalam masalah ekonomi atau sebaliknya, sehingga pengelolaan DAS

dan sumberdaya air secara berkelanjutan akan terwujud.

Keberhasilan kompensasi antara hilir (konsumen) dan hulu (produsen)

sangat tergantung pada pendekatan pelaksanaannya. Ada dua metode

pendekatan yang biasa diterapkan di berbagai negara yaitu command and

control (CAC) dan market based instrument (MBI) atau sering disebut sebagai

instrumen ekonomi (economic instruments). Pada umumnya metode CAC lebih

berhasil di negara-negara berkembang, sedangkan MBI di negara-negara maju.

Hal ini berkaitan dengan tingkat pendapatan per kapita, pengetahuan dan

kesadaran hukum serta kepedulian terhadap kelestarian lingkungan di masing-

masing negara. Dalam implementasi CAC dan MBI sering terjadi kegagalan yang

menurut Fauzi (komunikasi pribadi – 2007) terdapat tiga kegagalan yang

mungkin terjadi, yaitu kegagalan institusi, kegagalan pasar, dan kegagalan

kebijakan. Ketiga kegagalan tersebut akan menyebabkan gap yang besar antara

biaya swasta dan biaya sosial dan pada gilirannya akan menimbulkan kerusakan

sumberdaya alam dan lingkungan, underpricing sumberdaya dan over

Page 49: 394_Studi Jasa Lingkungan

38

consumption / production. Oleh karena itu, untuk Indonesia sebaiknya lebih

mengutamakan pendekatan CAC (membangun kebijakan dan institusi) dan

diikuti dengan pendekatan MBI.

B. Jasa Lingkungan Sektor Pertanian

Selain fungsi utama sebagai penghasil pangan dan serat yang dapat

dipasarkan, kegiatan pertanian dapat merubah (memperbaiki) lansekap,

memberikan manfaat lingkungan seperti konservasi lahan dan mempertahankan

keanekaragaman hayati, menopang ketahanan pangan dan mempertahankan

daya pikat daerah pedesaan (OECD, 2001; Agus et al., 2006; Agus and

Manikmas, 2003). Pertanian merupakan penyangga lapangan kerja dan

merupakan sumber pendapatan sekitar 40% dari 99 juta angkatan kerja

Indonesia (BPS, 2004). Berbagai fungsi (multifungsi) yang dihasilkan pertanian

belum banyak dikenal dalam sistem pasar yang ada dan sering diabaikan dalam

berbagai kebijakan.

Pertanian menghasilkan berbagai jasa lingkungan setidak-tidaknya

dengan adanya pertanian, degradasi lahan tidak lebih parah dibandingkan bila

lahan pertanian semakin beralih guna menjadi penggunaan non pertanian seperti

pabrik dan perumahan, walaupun aspek positif ini tidak banyak disadari dan

dihargai. Kebijakan di bidang pengelolaan sumberdaya alam yang mendorong

dihasilkannnya jasa lingkungan dan menekan dampak negatif merupakan kunci

keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam.

Jasa lingkungan pertanian pada dasarnya adalah sumbangan yang

diberikan kepada masyarakat luas oleh petani yang pada umumnya merupakan

lapisan masyarakat termiskin dan terpinggirkan. Terdapat berbagai disinsentif

dalam berusahatani seperti kegagalan pasar (market failures), biasnya

kebijaksanaan pemerintah terhadap sektor penghasil devisa tinggi, tidak

tersedianya atau tidak sanggupnya petani memperoleh sarana pertanian, serta

berbagai masalah prasarana dan pemasaran. Petani juga sering mengalami

kesulitan disebabkan keadaan cuaca yang sulit diprediksi serta masalah hama

dan penyakit tanaman.

Dewasa ini dokumentasi tentang jasa lingkungan pertanian di Indonesia

masih sangat terbatas. Pengetahuan yang lebih mendalam dan berdasarkan

penelitian diperlukan untuk meningkatkan kesadaran pengambil kebijakan serta

Page 50: 394_Studi Jasa Lingkungan

39

masyarakat luas tentang multifungsi pertanian. Penelitian yang komprehensif dan

makalah kebijakan tentang bagaimana cara meningkatkan jasa lingkungan yang

positif dan menekan pengaruh negatif pertanian diharapkan dapat membantu

dikeluarkannya kebijakan yang lebih tepat dan tidak bias, yaitu kebijakan yang

dapat membantu meningkatkan perbaikan di bidang ekonomi dan lingkungan.

Makalah ini membahas tentang jasa lingkungan dari berbagai sistem dan praktek

pertanian serta sistem yang layak menerima imbalan.

Beberapa macam jasa lingkungan yang dapat disumbangkan oleh

pertanian antara lain adalah fungsi pengendalian erosi, mitigasi banjir, pendaur-

ulangan air, mitigasi suhu udara (Agus et al., 2001), pemeliharaan

keanekaragaman hayati, dan penambatan karbon. Uraian berikut akan

membahas beberapa fungsi tersebut.

1. Erosi pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan

Sutono et al. (2003) menggunakan universal soil loss equation (USLE)

untuk menduga erosi pada berbagai tipe penggunaan lahan di DAS Citarum.

Secara umum disimpulkan bahwa lahan dengan penutupan yang semakin rapat

(hutan) tingkat erosi semakin rendah (hutan 0.1 dan tanaman semusim 22.0).

Perlu diketahui bahwa angka yang ditampilkan didasarkan atas keadaan spesif ik

lokasi pengukuran dan angka tersebut tidak mencerminkan erosi dari areal yang

lebih luas, dimana deposisi pada tingkat lansekap. Adanya ‗filter‘ (misalnya strip

rumput) yang dapat mengurangi hasil sedimen per satuan luas, tidak

diperhitungkan dalam pendugaan ini. Prediksi skala plot ini menggunakan data

primer dan sekunder dari DAS tersebut sehingga bukan hanya penggunaan dan

sistem pengelolaan lahan yang bervariasi, tetapi juga faktor lain seperti lereng,

erosivitas hujan, dan erodibilitas tanah, tergantung variasi spasial sifat-sifat

tersebut. Pada umumnya sistem pertanian tanaman semusim mempunyai tingkat

erosi paling tinggi, diikuti oleh sistem campuran antara tanaman semusim

dengan tanaman tahunan.

Sistem tanaman semusim yang sering dijumpai merupakan rotasi atau

tumpang gilir beberapa jenis tanaman pangan seperti singkong, jagung, kacang

tanah, kedele, dan padi gogo atau sistem pertanian sayuran intensif yang banyak

dijumpai pada daerah berlereng curam. Disebabkan minimnya penutupan tanah

oleh tanaman, maka sistem pertanian tanaman semusim paling peka terhadap

Page 51: 394_Studi Jasa Lingkungan

40

erosi. Perkebunan teh memberikan nilai duga erosi yang juga cukup tinggi yang

disebabkan oleh penutupan tanah yang sedikit terbatas yang menyebabkan

tingginya nilai faktor ‗C‘. Selain itu pada lokasi penelitian ini perkebunan teh

tersebar di daerah berlereng curam. Pada sawah, karena adanya gabungan

teras dan dengan pematang, dan hutan, karena penutupan lahan yang rapat,

mempunyai tingkat erosi paling rendah.

Van Dijk (2002) membahas data dari literatur tentang penelitian erosi

pada skala DAS/sub-DAS dan hasilnya sesuai dengan data hasil Sutono et.al

(2003). Pada umumnya DAS yang ditutupi hutan memberikan hasil sedimen

terrendah, kecuali hutan jati yang pada kondisi pengukuran ini mempunyai lantai

yang hampir terbuka. Sistem berbasis tanaman sayuran menghasilkan sedimen

tertinggi. Sistem lain yang berbasis tanaman semusim yang intensif juga

memberikan sedimen kasar (bedload) yang tinggi disebabkan sedikitnya fungsi

saringan (filter) pada DAS tersebut.

1. Fungsi Tanaman Pohon-pohonan dan Strip Rumput

Agus et.al (2002) melakukan penelitian pada tiga tampungan mikro yang

satu sama lainnya berada pada radius <1 km dengan jumlah dan distribusi hujan

yang serupa. Data hasil sedimen dari Tampungan Tegalan (seluas 1.1 ha

didominasi oleh tanaman semusim), Tampungan Rambutan (seluas 0.9 ha

ditutupi tanaman rambutan, Nephelium lappaceum), dan Kalisidi (seluas 13 ha

yang juga ditutupi tanaman rambutan dan sedikit tanaman semusim pada

bagian hilirnya) disajikan pada Gambar 3-2. Hasil sedimen total dari tampungan

Tegalan, Rambutan, and Kalisidi adalah 20, 1.7, and 2.9 t/ha dengan curah hujan

tahunan 3800 mm. Data ini menunjukkan bahwa sistem pertanian tanaman

buah-buahan dapat mengurangi erosi secara nyata.

Disebabkan tingginya hasil sedimen pada sistem tanaman semusim yang

intensif, maka tanaman rumput yang dikaitkan dengan usaha penggemukan sapi,

ditanam pada bulan Desember 2001 pada Tampungan Tegalan. Hasil penelitian

ini menunjukkan adanya pengurangan hasil sedimen secara nyata pada tahun

2002 dibandingkan dengan tahun 2001. Curah hujan tahunan pada tahun 2002

sedikit lebih rendah dibandingkan dengan 2001 (3100 mm berbanding 3800

mm). Dengan berkembangnya rumput, efektivitasnya menahan erosi juga

meningkat. Sebaliknya, pada sebagian Tampungan Rambutan dan Kalisidi

Page 52: 394_Studi Jasa Lingkungan

41

berlangsung penanaman singkong (karena ‗penjarahan‘ oleh beberapa orang

penduduk) yang berakibat pada hancurnya sebagian agregat tanah dan

tersingkapnya permukaan tanah terhadap tetesan hujan dan tetesan tajuk,

sehingga erosinya meningkat.

Seperti halnya rambutan, kopi juga dapat mengurangi erosi. Berdasarkan

penelitian skala petak kecil, Pujiyanto et al. (2001) memperlihatkan bahwa erosi

sangat tinggi pada dua tahun pertama tanaman kopi bila petakan tersebut tidak

dikelola dengan perlakuan pengendalian erosi karena minimnya penutupan

permukaan tanah oleh tanaman. Tindakan pengendalian erosi seperti teras

bangku dan strip (hedgerow) efektif mengurangi erosi dalam dua tahun pertama.

Mulai tahun ketiga, erosi menjadi sangat kecil karena makin rapatnya tajuk kopi

dan mulai saat itu berbagai perlakuan konservasi tidak lagi memberikan

pengaruh terhadap erosi.

Gambar 3-2. Suspended load (sedimen halus) dan bed load (sedimen kasar) yang dihasilkan pada musim hujan tahun 2000/2001 (ditulis sebagai 2001) dan musim hujan 2001/2002 (ditulis sebagai 2002) untuk tampungan Tegalan, T (ditanami tanaman semusim); Rambutan, R (tanaman rambutan); dan Kalisidi, K (tanaman rambutan dengan singkong pada sebagian kecil tampungan) (Agus et al., 2003).

Widianto et al. (2002), melakukan pengukuran erosi pada hutan dan

berbagai tingkat pertumbuhan kopi di desa Bodong, Sumberjaya. Pengukuran

skala plot ini dilakukan pada petakan yang terpencar sehingga pengaruh angka

erosi yang didapatkan tidak hanya ditentukan oleh penggunaan lahan dan umur

kopi, tetapi juga oleh variasi pola hujan dan sifat tanah. Akan tetapi trend erosi

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

T-2

00

1

T-2

00

2

R-2

00

1

R-2

00

2

K-2

00

1

K-2

00

2

Ha

sil

se

dim

en

(t/

ha

)

Tampungan dan tahun pengukuran

Susp load

Bed load

Page 53: 394_Studi Jasa Lingkungan

42

yang didapatkan Widianto et al. (2004) sejalan dengan hasil yang didapatkan

oleh Pujianto (2001).

Di Kecamatan Sumberjaya, Lampung Barat, Dariah et al. (2004)

mencatat erosi yang juga sangat kecil (kurang dari 2 t ha-1 tahun-1) pada kebun

kopi umur 3 tahun dengan curah hujan tahunan sebanyak 2400 mm dan lereng

50-60%. Dalam keadaan demikian teknik konservasi yang mereka uji tidak

memberikan pengaruh nyata. Dua dekade sebelumnya, Gintings (1982)

mengukur erosi pada kecamatan yang sama selama enam bulan dengan curah

hujan sebanyak 1338 mm dengan lereng lahan hampir 60%. Erosi selama enam

bulan tersebut adalah 1,9; 1,6; 1,3; dan 0,3 t/ha berturut-turut untuk lahan yang

ditanami kopi berumur 1, 2, dan 16 tahun serta pada hutan alam. Erosi satu

tahun diperkirakan tidak akan lebih dari dua kali nilai ini karena curah hujan

tahunan rata-rata adalah 2400 mm.

Hasil penelitian ini secara konsisten menunjukkan bahwa tanaman

pohon-pohonan efektif dalam mengendalikan erosi. Kasus kopi dan rambutan

seperti telah diuraikan, memberikan contoh suatu sistem yang tidak saja aman

ditinjau dari aspek lingkungan, tetapi juga menjanjikan keuntungan finansial.

2. Sawah sebagai Penyerap Sedimen

Pengukuran erosi pada sawah bertingkat di Ungaran, Jawa Tengah,

dengan lereng makro 25% memperlihatkan bahwa sedimen yang keluar dari

sistem sawah sangat kecil (<1.5 ton ha-1 per musim tanam) dan lebih dari 50%

erosi terjadi selama dan sesaat sesudah pengolakan tanah (Tabel 2.4). Pada

saat pengamatan erosi, lumpur (butir tunggal dan agregat yang tersuspensi

selama pengolahan tanah) terangkut ke beberapa (2.3 sampai 2.4) petakan di

bawah petakan yang diolah. Ini berarti bahwa lumpur yang mencapai sungai

hanya berasal dari beberapa petakan di kiri kanan sungai. Aliran air terjadi dari

satu petak ke petak lain jika tinggi genangan melebihi tinggi genangan normal

yaitu 5 cm selama periode vegetatif. Jika tinggi genangan air selama dan

bebrapa saat sesudah pengolahan tanah diatur sedemikian rupa sehingga tidak

ada atau sedikit sekali terjadi aliran air, maka erosi dapat dikendalikan menjadi

lebih rendah. Tabel 3-1 juga memperlihatkan terjadinya deposisi sedimen pada

lahan sawah. Ini berarti bahwa sawah berfungsi sebagai penjerap (filter)

sedimen.

Page 54: 394_Studi Jasa Lingkungan

43

Tabel 3-1. Jumlah sedimen yang memasuki dan meninggalkan 18 petak

(teras) sawah (dengan ukuran berkisar antara 12 to 358 m2, luas total 2515 m2, selama dua musim tanam (pertama 31 Oktober 2001 sampai 31 January 2002 dan kedua dari tanggal 16 Maret sampai 1 July 2002).

Variabel Musim tanam

Pertama Kedua Lama pengamatan (hari) 62 69

Budget Sediment:

Jumlah total sediment memasuki sistem sawah dari saluran irigasi (t ha-1)

3.4 6.2

Jumlah total sedimen keluar dari sawah ke sungai (t/ha-1)

1.4 0.8

Jumlah total sedimen keluar dari sawah selama pengolahan tanah (t ha-1)

0.7 0.6

Jumlah sedimen dari saluran irigasi yang terdeposisi (mengendap) di sawah (t ha-1)

2 5.4

Sumber: Diolah dari Kundarto et al. (2002).

4. Pengaruh Pengelolaan Lahan terhadap Retensi Air

Agus et al. (2001) menduga kapasitas retensi air beberapa penggunaan

lahan di DAS Citarum Jawa Barat dan Agus et al. (2003) mengevaluasi fungsi

mitigasi banjir lahan sawah pada lokasi penelitian yang sama dengan

menggunakan replacement cost method dan travel cost method. Kapasitas

retensi air (disebut juga kapasitas buffer, BP) adalah kapasitas DAS dalam

menyerap dan menahan sementara air hujan. Hanya bila curah hujan melebihi

kapasitas retensi ini akan terjadi aliran permukaan selama dan sesaat sesudah

peristiwa hujan (Nishio, 1999). Kapasitas retensi air merupakan jumlah air yang

dapat diserap oleh pori tanah, air yang tertahan sebagai genangan pada

permukaan tanah, air yang tergenang pada sawah, dam, dan sebagainya, serta

air yang tertahan (terintersepsi) pada tajuk tanaman. Pada dasarnya, sifat ini

merupakan cerminan dari kapasitas mitigasi banjir dari setiap sistem

penggunaan lahan.

Agus et al. (2003) menemukan bahwa sistem penggunaan lahan berbasis

tanaman pohon-pohonan mampu mempertahankan kapasitas mitigasi banjir

mendekati kapasitas hutan. Sawah, dengan adanya teras dan pematang,

berperilaku sebagai gabungan dari dam kecil sehingga nilai retensi airnya

Page 55: 394_Studi Jasa Lingkungan

44

mendekati nilai pada sistem pertanian berbasis tanaman pohon-pohonan

(Gambar 3-3).

Selanjutnya Agus et al. (2003) mengemukakan bahwa produk yang dapat

dipasarkan (beras atau gabah) yang dihasilkan 157,000 ha sawah di DAS

Citarum yang luas total lahannya 696,000 ha adalah sekitar $181 juta per tahun,

sedangkan nilai fungsi mitigasi banjir sawah seluas ini pada DAS tersebut adalah

sekitar 10% dari nilai produk yang dapat dipasarkan (sekitar $18 juta per tahun).

Jumlah total replacement cost nilai mitigasi banjir, pendaur-ulangan air,

pengendalian erosi, pendaur-ulangan sampah organik, daya pikat pedesaan, dan

mitigasi peningkatan suhu udara adalah sekitar 51% dari harga beras atau padi

yang dapat dipasarkan atau sekitar $92 juta per tahun. Sistem pasar yang

berlaku sekarang hanya mengenal beras sebagai produk lahan sawah dan

mengesampingkan hasil sampingan (eksternalitas) ini.

Gambar 3-3. Kapasitas retensi (kapasitas lahan untuk menahan air

sementara sebelum terjadi aliran permukaan) dari beberapa sistem penggunaan lahan di DAS Citarum (Agus et al., 2003).

5. Praktek Pertanian Yang Pantas Mendapat Imbalan

Sistem penggunaan lahan yang berbeda memberikan jasa lingkungan

yang berbeda pula tergantung pada sistem itu sendiri dan cara pengelolaannya.

Praktek yang pantas mendapat Imbalan adalah yang memberikan jasa terhadap

masyarakat luas. Misalnya, bila banjir merupakan masalah yang sering terjadi

0.000.020.040.060.080.100.120.140.16

Kapasitas rete

nsi a

ir (

m)

Penggunaan Lahan

Intersepsi tajuk

Kapasitas genangan

Page 56: 394_Studi Jasa Lingkungan

45

dan intensitasnya meningkat di hilir suatu DAS, maka petani yang melakukan

kegiatan yang dapat meningkatkan kapasitas retensi air di dalam DAS tersebut

pantas mendapatkan Imbalan. Dalam hal ini menganalisis hubungan masalah

dengan kegiatan petani yang dapat mempertahankan atau meningkatkan jasa

lingkungan merupakan proses yang sangat penting. Proses ini antara lain adalah

identifikasi masalah spesifik DAS, identifikasi tindakan yang dapat dilakukan

petani atau kelompok tani yang dapat mengatasi atau mengurangi masalah,

pemilihan praktek yang paling layak dilaksanakan, dan fasilitasi bimbingan dan

penyediaan insentif untuk penerapan praktek baru. Solusi spesifik lokasi yang

dikembangkan oleh petani, baik dengan atau tanpa dukungan dari luar lebih baik

dibandingkan dengan rekomendasi konvensional yang seragam untuk seluruh

lokasi. Tantangan bagi kalangan penyuluh adalah bagaimana memfasilitasi dan

mempercepat proses pembelajaran lokal.

PRA (participatory rural appraisal) – suatu teknik survei di mana petani

dengan penyuluh berkomunikasi dua arah tentang sistem usaha tani, termasuk

tentang peluang dan kendala dalam berusaha – sudah merupakan prosedur

standar yang resmi dalam proses pemilihan teknologi pada berbagai proyek

pembangunan di Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya, rekomendasi yang

ditemukan pada berbagai plot demonstrasi (demplot) belum mencerminkan

keragaman biofisik dan sosial ekonomi petani dan rekomendasi yang seragam

masih mendominasi di lapangan. Sebagai contoh, lereng masih digunakan

sebagai kriteria utama penentuan jumlah pohon yang harus ditanam pada luasan

tertentu. Lahan dengan lereng <25%, antara 25 sampai 40%, dan >40%

direkomendasikan untuk ditanamai dengan 100, 200 dan 400 pohon ha -1 agar

terjadi penutupan tajuk tanaman berturut-turut 25%, 50% dan 100% (RTL-RLKT,

1996, tidak dipublikasi). Masalah yang lebih penting seperti jumlah pohon yang

sudah ada di lapangan, usaha tani yang subsisten (yang hanya berorientasi

kebutuhan pangan untuk dikonsumsi sendiri), ketidak-pastian dan ketidak-

amanan penguasaan lahan yang memaksa petani berinvestasi hanya untuk

tanaman umur pendek, tidak banyak diperhatikan dalam pemilihan teknologi.

Sebenarnya penanaman pohon-pohonan cukup disukai petani asalkan tidak

megorbankan tanaman semusim yang biasa mereka tanam. Untuk petani

dengan penguasaan lahan yang tidak aman, yang mereka utamakan adalah

Page 57: 394_Studi Jasa Lingkungan

46

bagaimana supaya modal dan keuntungan dapat mereka peroleh kembali

dengan cepat (Agus, 2001).

Pilihan pengelolaan lahan harus mempertimbangkan masalah utama dan

ini harus dimulai dengan analisis yang mendalam tentang hubungan sebab-

akibat, dan hubungan tersebut harus berorientasi kepada kebutuhan dasar

petani. Dengan demikian penting sekali untuk mengadakan dialog terbuka dan

transparan atau bernegosiasi antara stakeholders untuk menganalisis masalah,

kemungkinan penyebabnya, dan pilihan cara penanganan atau pengurangannya.

Contoh indikator jasa lingkungan, penyebab, dan alternatif teknologi pengelolaan

untuk menghasilkan jasa tersebut diberikan pada Tabel 3-2. Beberapa penyebab

masalah merupakan faktor alami yang sulit penanganannya, misalnya kemarau

panjang atau curah hujan yang ekstrim tinggi. Namun berbagai masalah dapat

dikurangi atau diperbaiki melalui pengelolaan lahan oleh petani sehingga

pengguna jasa di hilir mendapatkan manfaat dari jasa tersebut secara

berkelanjutan.

Tabel 3-2. Beberapa indikator masalah DAS, penyebab dan pilihan cara

pengelolaannya.

Indikator Kemungkinan penyebab

Pilihan cara pengelolaan menguranginya

Pemanasan suhu udara

Pembakaran bahan bakar berbasis karbon

Penanaman tanaman pohon-pohonan

Penurunan volume atau muka air danau secara nyata

Kemarau panjang Penerapan langkah-langkah mitigasi kekeringan (back-up systems) Penghematan

penggunaan air

Pengaliran air dari danau secara artifisial seperti melalui pengerukan dasar sungai atau sodetan danau untuk pembangkit listrik, industri, dan irigasi.

Peningkatan aliran air ke danau dengan cara mengurangi evapotranspirasi pada daerah tampungan air danau (DTA).

Penghematan penggunaan air

Page 58: 394_Studi Jasa Lingkungan

47

Sedimentasi serta berkurangnya kapasitas danau dan dam (dalam menampung air)

Erosi (termasuk erosi tebing sungai) dan sedimentasi.

Perbaikan penutupan tanah dengan tanaman

Strip rumput

Pembuatan sabuk hijau di sepanjang sungai dan sekeliling danau

Pengamanan tebing sungai yang labil.

Banjir Hujan berlebihan Pembuatan bangunan mitigasi banjir seperti dam dan kanal banjir.

Menurunnya kapasitas menahan air dan kapasitas infiltrasi daerah aliran sungai (DAS).

Peningkatan infiltrasi dan perkolasi melalui pembangunan kolam–kolam penampung air dan rorak.

Peningkatan konsumsi air di DAS, misalnya melalui penanaman pohon.

Melindungi tanah dari kehancuran agregat, misalnya dengan penggunaan mulsa, tanaman penutup tanah, dan pemeliharaan seresah di permukaan tanah.

Tersumbatnya atau tidak cukupnya system drainase

Pemeliharaan saluran drainase dan pembuatan saluran drainase baru

Sedimentasi Perbaikan sistem pencegahan erosi melalui penutupan tanah oleh tanaman, pagar hidup, agroforestry, pencetakan sawah dan sebagainya.

C. Jasa Lingkungan Sektor Kehutanan dan Perkebunan

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh topografi

secara alami sedemikian rupa sehingga semua air hujan yang jatuh kedalam

DAS tersebut akan ditampung, disimpan dan dialirkan melalui suatu sistim

sungai dan anak-anaknya ke danau atau laut. Dengan pemahaman seperti itu

maka DAS dapat dianggap sebagai suatu sistim secara hidrologis dan berfungsi

untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan. Dalam pengelolaan

DAS, fungsi hidrologis tersebut yang harus dikonservasi kan agar dapat

menunjang kehidupan secara lestari. Karena DAS merupakan suatu sistem

secara hidrologis maka bagian-bagian DAS mempunyai hubungan saling

ketergantungan. DAS bagian hilir sangat tergantung pada DAS bagian hulu

Page 59: 394_Studi Jasa Lingkungan

48

dalam hal penyediaan air. Kalau fungsi hidrologis DAS bagian hulu terganggu

maka penyediaan air untuk DAS bagian hilir juga akan terganggu bahkan dapat

menimbulkan malapetaka banjir di bagian hilir pada musim hujan dan

malapetaka kekeringan pada musim kemarau.

Untuk menjaga agar penyediaan air tetap terjamin dan malapetaka banjir

serta kekeringan dibagian hilir tidak terjadi maka fungsi hidrologis seluruh DAS

harus dijaga melalui penerapan teknik konservasi tanah dan air yang tepat dan

memadai. Berbagai teknik konservasi tanah dan air yang telah terbukti

bermanfaat dalam menjaga fungsi hidrologis DAS dapat dikelompokkan kedalam

4 kelompok yaitu Vegetatif, Agronomis, Struktur dan Manajemen. Salah satu

teknik konservasi tanah dan air dalam kelompok vegetatif yang sangat efektif

diterapkan dibagian hulu DAS adalah peningkatan penutupan lahan.

1. Kondisi Hutan dan Lahan Kritis Nasional

Berdasarkan kompilasi data lahan kritis yang dilakukan oleh Direktorat

Pengelolaan DAS (2007), Dirjend Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial

ternyata luas lahan yang berkategori potensial kritis sudah mencapai 47.87 juta

ha (25.9%) yang terdiri dari 33.96 jt ha (18.36%) didalam kawasan hutan dan

13,91 juta ha (7.52%) diluar kawasan hutan (Tabel 3-3).

1. Luas lahan kritis kategori potensial kritis adalah 47.871.030,66 ha atau 25,88

%, dengan rincian di dalam kawasan hutan seluas 33.965.593,89 ha atau

18,36 % dan diluar kawasan hutan seluas 13.905.436,77 ha atau sebesar

7,52 %. Daerah penyebaran terbesar untuk lahan kritis kategori potensial

kritis adalah tiga Provinsi di wilayah Kalimantan yaitu Kalimantan Tengah

seluas 8,1 juta ha, Kalimantan Timur seluas 6,3 juta ha dan kalimantan Barat

seluas 3,3 juta ha dan sebagian besar berada dalam kawasan hutan (Tabel

3-3).

2. Lahan dengan kategori agak kritis menempati luas 47.610.080,86 ha atau

sebesar 25,74 % dengan rincian didalam kawasan hutan seluas

31.527.147,54 ha atau sebesar 17,04 %, dan untuk lahan diluar kawasan

hutan seluas 16.082.933,32 ha atau sebesar 8,70 Kalimantan Timur

menempati luas paling besar untuk kategori kelas agak kritis yaitu seluas 8,5

juta ha dengan rincian diluar kawasan hutan seluas 6,7 juta ha dan di luar

kawasan hutan seluas 1,7 juta ha. Kemudian Kalimantan barat dengan

Page 60: 394_Studi Jasa Lingkungan

49

jumlah luas sebesar 8, 2 juta ha untuk dalam kawasan hutan seluas 4,4 juta

ha dan di luar kawasan hutan seluas 3,7 juta ha. Sedangkan Provinsi Riau

seluas 4,6 juta ha terdapat dalam kawasan hutan (Tabel 3-3).

3. Lahan dengan kategori kelas kritis adalah seluas 23.306.233,10 ha atau

sebesar 12,60 % yang terdiri dari 7, 96 % berada didalam kawasan hutan

atau seluas 14.718.674,70 ha dan sebesar 4,64 % atau seluas 8.587.558,31

ha berada di luar kawasan hutan. Provinsi yang luas lahan kritis dengan

kategori kritis lebih dari 1 juta ha dari 31 provinsi terdapat 9 provinsi yaitu

Papua 2,6 juta Riau 2,3 juta ha, Nusa Tenggara Timur seluas 2,2 juta ha,

Sumatera Selatan 2,1 juta ha, Kalimantan Timur 1,9 juta ha Kalimantan Barat

1, 8 juta ha, Sumatera Utara 1,5 juta ha Irian Jaya Barat 1,04 juta ha dan

kalimantan Timur seluas 1, 01 juta ha. (Table 3-3).

4. Lahan dengan kategori sangat kritis hanya menempati luas 6.890.566,91 ha

atau sebesar 3,73 % dengan rincian didalam kawasan hutan seluas

4.787.813,49 ha atau hanya sebesar 2,59 % dan di luar kawasan hutan

hanya seluas 2.102.753,42 ha atau sebesar 1,14 %. Provinsi yang paling

luas lahan kritis dengan kategori sangat kritis adalah Kalimantan tengah yaitu

seluas 1.267.743 ha (0,7%) yang berada didalam kawasan hutan seluas

1.265.626 ha dan di luar kawasan hutan hanya 2.126 ha.

5. Lahan dengan kategori sangat kritis hanya menempati luas 6.890.566,91 ha

atau sebesar 3,73 % dengan rincian didalam kawasan hutan seluas

4.787.813,49 ha atau hanya sebesar 2,59 % dan di luar kawasan hutan

hanya seluas 2.102.753,42 ha atau sebesar 1,14 %. Provinsi yang paling

luas lahan kritis dengan kategori sangat kritis adalah Kalimantan tengah yaitu

seluas 1.267.743 ha (0,7%) yang berada didalam kawasan hutan seluas

1.265.626 ha dan di luar kawasan hutan hanya 2.126 ha.

Tabel 3-3. Rekapitulasi data Lahan Kritis menurut Fungsi Kawasan Hutan

No Fungsi Kawasan Kriteria Lahan Kritis (Ha)

Potensial Kritis

Agak Kritis Kritis Sangat Kritis

1 Areal penggunaan lain

13.905.437 16.082.933 8.587.558 2.102.753

2 Hutan konservasi 5.518.724 3.002.261 1.021.015 332.077

3 Hutan Lindung 8.930.769 6.051.764 2.527.270 724.664

4 Hutan Produksi 8.686.817 8.919.109 4.284.581 2.052.204

Page 61: 394_Studi Jasa Lingkungan

50

5 Hutan Produksi konversi

3.262.656 5.367.368 4.212.741 969.213

6 Hutan Produksi Terbatas

7.566.628 8.186.644 2.673.067 709.65

JUMLAH 47.871.031 47.610.081 23.306.233 6.890.567

2. Penutupan Lahan oleh Vegetasi Hutan dan Fungsi Hidrologi DAS

Hutan hujan tropika adalah suatu ekosistem yang sudah tua, complex,

berdiri sendiri, dan stabil. Apabila hujan cukup, hutan hujan tropis akan dijumpai

disepanjang ekuator sampai 10o lintang utara dan selatan. Dalam ekosistem

tertutup tersebut, pohon-pohon kayu dan tumbuhan lainnya berada dalam

keadaan seimbang dengan tanah dan lingkungannya. Kebanyakan nutrient

(hara) diikat dalam tumbuhan dan disana terdapat daur hara yang efektif.

Intersepsi hujan, penahanan permukaan, evapotranspirasi, dan simpanan air

tanah sangat efektif menurunkan aliran permukaan ketingkat yang minimum.

Tajuk tumbuhan yang bertingkat ganda dan serasah tumbuhan melindungi tanah

dari pukulan air hujan dan mencegah pemecahan struktur tanah. Proses

dekomposisi serasah daun dan sisa tumbuhan lainnya berjalan secara cepat

sehingga kondusif meningkatkan aktivitas fauna tanah.

Namun sumber daya alam dan kekayaan sumber daya hayati tersebut

sangat cepat menyusut karena pembukaan hutan untuk pertanian dilakukan

untuk memenuhi kebutuhan pangan. Di Afrika dan daerah tropika lainnya,

ekosistem yang tertutup ini sedang sangat banyak diganggu oleh sistim

perladangan berpindah. Keberadaan hutan hujan tropis yang terpisah sepanjang

ekuator di Amerika Selatan, Afrika, Kalimantan, dan Papua New Guinea sedang

menurun secara cepat. Deforestasi skala besar untuk pertanian sejak tahun

1960-an menghasilkan suatu keadaan ekosistem yang tidak seimbang yang

mempengaruhi siklus hidrologi, siklus hara, mikroklimat, dan lingkungan biologis

termasuk mikroflora tanah dan aktivitas fauna (Cunningham, 1963) Lal and

Cummings, 1979; Lal, 1980). Hal tersebut menghasilkan pemadatan tanah, aliran

permukaan meningkat, dan erosi tanah dipercepat yang menimbulkan

terbukanya daerah tandus dan tidak produktif yang sangat luas dimana tadinya

terdapat hutan hujan tropis yang lebat. Hal ini terjadi karena produksi makanan

dalam jumlah besar harus dilakukan secara cepat.

Page 62: 394_Studi Jasa Lingkungan

51

Keseluruhan DAS Amazone yang meliputi 400 juta ha (4 juta km2)

mungkin dapat dikembangkan untuk tanaman pangan, penggembalaan, dan

tanaman perkebunan dalam waktu + 50 tahun (Brunig, 1975). Walaupun pada

waktu itu banyak ahli lingkungan dan konservasi telah memperingatkan

penentangan pada exploitasi sumber daya yang terancam tersebut (Richards

1973), pembukaan hutan dalam skala besar untuk pertanian tidak terelakan.

Namun, informasi penelitian dasar yang mungkin dapat dijadikan pedoman bagi

pengambil keputusan dan perencana untuk memilih daerah yang cocok dan

metoda yang sesuai untuk membuka hutan belum tersedia. Kebanyakan

penelitian hidrologi di daerah tropika masih terfokus pada studi keseimbangan air

secara umum. Pengaruh metoda pembukaan hutan dan teknik pengelolaan

tanah pada aliran permukaan, erosi tanah, dan potensi produktivitas tanah belum

banyak diteliti secara kuantitatif. Pada hal tipe informasi seperti ini sangat

diperlukan sebelum pelaksanaan rencana pembukaan hutan secara besar-

besaran dilakukan. Walaupun informasi yang berkaitan dengan pengaruh

pembukaan hutan terhadap perubahan siklus hidrologi dan pengangkutan

sedimen tidak banyak di daerah tropika, sejumlah badan informasi di daerah

temperate (beriklim sedang) sudah terbentuk.

Hibbert (1967) dan Pereira (1973) telah mengulas pengaruh pembukaan

hutan dan perubahan penggunaan lahan terhadap keseimbangan hidrologi dan

hasil air dari DAS di daerah tropika dan beriklim sedang. Peningkatan aliran

sungai pada umumnya proporsional dengan pengurangan penutupan hutan

(Hibbert, 1967). Pengaruh itu di Afrika Timur mengindikasikan bahwa apabila

kesempatan penyimpanan permukaan kecil maka pengelolaan DAS yang

rasional harus diarahkan/ditujukan pada pemantapan laju infiltrasi yang tinggi.

Contohnya di Kenya, mereka menemukan pengaruh konversi suatu lahan hutan

alam menjadi perkebunan the. Apabila pembukaan lahan hutan sebesar 30%

menjadi perkebunan teh, akan menurunkan evapotranspirasi daerah hanya 11%,

apabila diberikan perhatian yang sangat besar pada penekanan erosi selama

periode penanaman teh. Apabila tanaman teh sudah berkembang dan menutupi

semua lahan, maka rata-rata pemakaian konsumptif air tahunan secara praktis

tidak berubah bila dibandingkan dengan hutan alami. Pada lahan yang baru saja

dibuka dan perkembangan kanopi the belum terjadi, maka hujan sebanyak 90

mm menghasilkan aliran sungai maksimum sebesar 27 m3/dt per km2; tetapi

Page 63: 394_Studi Jasa Lingkungan

52

besaran aliran sungai tersebut hanya 0.6 m3/dt/per km2 pada lahan hutan kontrol

(Pereira, 1973).

Hasil yang diperoleh dari penelitian hidrologi di tropika Asia telah

menekankan pentingnya penutupan hutan dalam pengelolaan sumber daya

tanah dan air yang cocok (Kenwarthy, 1969; Low and Goh 1972; Pathak, 1974;

Srivastava, 1974; Cupta et al, 1975). Thijsse (1977) melaporkan bahwa

peningkatan erosi telah terjadi akibat pembukaan hutan didaerah tropika basah

Jawa. Pengaruh perlindungan penutupan hutan terhadap hasil air dan erosi telah

juga di tunjukkan oleh suatu kecelakaan kebakaran di pegunungan Snowy NSW

Australia (Brown 1972). Pola aliran sungai berubah secara drastis setelah

kebakaran. Perubahan tersebut terlihat pada bentuk hidrograf banjir dengan

terjadinya puncak aliran kedua yang tajam pada kurva konsentrasi dari hidrograf

banjir.

Disamping itu terbukti bahwa jumlah hasil air dan sedimen meningkat

secara nyata selama 4 tahun setelah kebakaran. Penelitian akhir-akhir ini di

bagian pantai basah Queensland, hujan tahunan sebesar 4175 mm

menunjukkan bahwa rata-rata koefisien aliran permukaan sudah mencapai 63%

walaupun pada DAS yang berhutan dan hampir semua aliran permukaan

tersebut berasal dari hujan (Gilmour, 1977) Bonell et al, 1979). Analisis sifat-sifat

fisik tanah dibawah penutupan hutan mengindikasikan bahwa permeabilitas

tanah jenuh pada kedalaman 10 cm adalah 32 m per hari (Gilmour and Bonnel,

1977, 1979; Bonell and Gilmour 1978). Namun, permeabilitas tanah tersebut

menurun secara drastis dengan kedalaman tanah sampai pada kedalaman 10 –

20 cm permeabilitasnya hanya 1.5 m per hari dan pada 20 – 100 cm hanya 0.3 m

per hari. Lapisan permukaan akan jenuh secara cepat dan akan menghasilkan

aliran permukaan dan aliran bawah permukaan. Penelitian yang dilakukan oleh

yayasan kopi di Kolumbia, Amerika Selatan melaporkan bahwa pengaruh

perlindungan penutupan lahan serupa dengan yang dilaporkan di Afrika Timur

(CENICAFE, 1975). Erosi tanah di daerah hutan yang belum terganggu secara

praktis sangat sedikit (Young, 1974). Brunig (1975) mengamati bahwa erosi

tanah dibawah hutan perawan hanya mencapai 0.2 ton per hektar per tahun.

Apabila ditanami tanaman pertanian, maka erosi meningkat sampai pada laju

yang sangat mengkhawatirkan antara 600 – 1200 ton perhektar per tahun.

Page 64: 394_Studi Jasa Lingkungan

53

3. Peranan Penutupan Lahan Hutan untuk Menjaga Fungsi Hidrologis

DAS

Penelitian di DAS Besai Lampung menunjukkan bahwa Vegetasi penutup

tanah berupa hutan sangat efektif dalam menjaga fungsi hidrologis DAS hulu

Sihite dan Sinukaban (Tabel 3-4).

Table 3-4. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap aliran sungai

(Sihite dan Sinukaban, 2004)

Remarks : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam setiap kolom tidak berbeda nyata menurut uji BNT dengan α= 5%.

Pada periode 1975 – 1981, dimana penutupan vegetasi hutan masih

sekitar 42.6%, koefisien aliran permukaan DAS masih dibawah 10% dan rasio

debit aliran max dengan debit aliran minimum (Qmax/Qmin) masih dibawah 15.

Tetapi setelah penutupan vegetasi hutan menurun secara berangsur sehingga

hanya tinggal 8.4% pada periode 1996 – 1998 maka keofisien aliran permukaan

sudah meningkat menjadi 0.25 dan rasio debit maksimum dengan debit minimum

meningkat menjadi 25 – 41. Hal ini terjadi karena pengurangan penutupan

vegetasi hutan menjadi perkebunan kopi yang secara nyata menurunkan

kapasitas infiltrasi, kekasaran permukaan lahan kadar bahan organik dan

permeabilitas tanah Hasil penelitian di DAS Nopu (Taman Nasional Lore Lind,

Sulawesi Tengah) menunjukkan bahwa setelah terjadi terjadi penurunan fungsi

hidrologis DAS yang dicirikan oleh meningkatnya koefisien aliran permukaan

secara drastis. Namun setelah lahan ditanam kakao, maka aliran permukaan

secara berangsur menurun kembali walaupun tidak pernah lagi mencapai seperti

pada saat lahan tertutup oleh hutan (Tabel 3-5).

Tabel 3-5. Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao terhadap

beberapa sifat tanah dan penutupan permukaan tanah (Monde et al., 2008)

Penggunaan C-org Porositas Permeabilitas Penutupan

Periode Run Off Coeficient

(%)

Aliran sungai m3/det

Rasio Qmax/Qmin

Musim hujan

Musim kemarau

1975 – 1981 1983 – 1989 1990 – 1995 1996 – 1998

9,5 – 9.5 12.31

a

15.65b

24.51c

25.4a

29.2b

31.5c

35.9d

11.2a

12.4a

8.9b

7.7b

7 – 12a

7 – 17a

17 – 37b

25 – 41b

Page 65: 394_Studi Jasa Lingkungan

54

Lahan (% ) (%) (cm/jam) Tanah (%)

Hutan 5,28 a 69,06 a 114,20 a 96,75 a

Kakao 3 th 2,56 b 61,89 ab 52,51 b 26,25 c

Kakao 6 th 1,61 b 57,35 b 7,41 c 62,38 b

Kakao-A 7 th 1,97 b 59,62 ab 19,72 bc 71,75ab

Kakao 11 th 1,64 b 56,47 b 4,09 c 73,80ab

Kakao-A 12 th 2,14 b 57,55 b 11,03 bc 80,20 a

Nilai dalam kolom yang sama bila diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0,05

Perambahan hutan mengakibatkan koefisien aliran permukaan meningkat

drastis dari 4.1% menjadi 20.5% dan erosi meningkat dari 0.2 ton/ha/thn menjadi

8.54 ton/ha/thn segera setelah hutan dibuka. Walaupun lahan ditanam kakao

koefisien aliran permukaan meningkat terus sampai mencapai 35%, namun

setelah penutupan lahan menjadi lebih baik lagi yaitu setelah kakao berumur

lebih dari 10 tahun, koefisien aliran permukaan menurun sampai 28% dan terus

bertahan disekitar 28%, tetapi erosi dapat ditekan menjadi hanya 0.71 ton/ha/thn.

Data ini menunjukkan bahwa fungsi hidrologis DAS dapat di pertahankan pada

kondisi yang relatif lebih stabil apabila penutupan lahan oleh vegetasi terutama

pohon-pohonan dan atau rumput permanen (Tabel 3-6).

Tabel 3-6. Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao terhadap

erosi dan aliran permukaan (Monde et al., 2008)

Penggunaan Lahan Erosi

(t.ha-1th-1)

Aliran permukaan (mm.th-1)

Koefisien aliran permukaan (%)

Hutan 0,20 a 59,7a 4,1

Kakao 3 th 8,54 c 301,2b 20,5

Kakao 6 th 3,25 b 366,6bc 25,0

Kakao A 7 th 3,09 b 352.2bc 24,0

Kakao 11 th 1,47ab 517,9 c 35,3

Kakao A 12 th 0,71 a 414,7 c 28,3

Nilai dalam kolom yang sama bila diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0.05

Page 66: 394_Studi Jasa Lingkungan

55

Hal ini terjadi karena penutupan vegetasi pohon-pohonan atau rumput

permanen dapat meningkatkan porositas tanah, C-organik tanah, penutupan

tanah oleh serasah permeabilitas tanah (Tabel III-4) sehingga terjadi peningkatan

kapasitas infiltrasi tanah, penurunan koefisien aliran permukaan dan penurunan

erosi.

4. Pengaruh Metoda Pembukaan Lahan terhadap Konsentrasi Sedimen

Konsentrasi sedimen sangat dipengaruhi oleh metoda pembukaan hutan

dan sistim pengolahan tanah. Walaupun ada erosi yang terukur dari DAS yang

tertutup hutan dan DAS yang dikelola secara tradisional, serasah dan penutupan

tajuk dalam DAS tersebut dapat mencegah pemecahan butir-butir tanah

sehingga menghasilkan sedimen yang terangkut sangat sedikit dan dapat

diabaikan. Diantara DAS yang dibuka seluruhnya, konsentrasi sedimen dalam

aliran permukaan yang paling rendah adalah pada DAS yang dibuka secara

tradisional dan lahannya tidak diolah serta yang paling tinggi adalah pada DAS

yang dibuka secara mekanis dan lahannya diolah. Konsentrasi sedimen tersebut

sangat berkaitan dengan kecepatan aliran permukaan dan kondisi permukaan

tanah. Kondisi permukaan tanah, melalui pengaruhnya pada laju infiltrasi dan

pemecahan tanah mempenagruhi kecepatan aliran permukaan dan jumlah

sedimen yang ada dalam aliran permukaan.

5. Pengaruh Metode Pembukaan Lahan Terhadap Aliran Permukaan dan

Erosi Tanah.

Dibandingkan dengan tidak adanya aliran permukaan dari DAS berhutan

dan sedikit aliran permukaan dari DAS yang dikelola dengan metoda tradisional,

terlihat terjadinya aliran permukaan yang lebih banyak dari DAS yang dikelola

dengan metoda pembukaan secara mekanis. Semua DAS yang ditanami

menghasilkan aliran permukaan yang berbeda-beda. Aliran permukaan akan

lebih sedikit dari DAS yang dibuka secara manual jika dibandingkan dengan

aliran permukaan dari DAS yang dibuka dengan traktor; demikian juga bila

dibandingkan aliran permukaan dari DAS yang tidak diolah tanahnya dengan

DAS yang diolah tanahnya, maka aliran permukaan dari DAS yang tidak diolah

dari berbagai metoda pembukaan adalah 84.7 mm dan dari DAS yang diolah

adalah 152.3 mm secara kontras rata-rata aliran permukaan dari DAS yang

Page 67: 394_Studi Jasa Lingkungan

56

dibuka secara manual dari berbagai tipe metoda pengolahan tanah adalah 35

mm dan dari DAS yang dibuka secara mekanis adalah 163 mm.

Puncak aliran permukaan juga lebih tinggi dari DAS yang dibuka secara

mekanis di bandingkan dengan yang dibuka secara manual. Erosi juga sangat

nyata dipengaruhi oleh metoda pembukaan dan metoda pengolahan tanah. Erosi

yang tertinggi terjadi pada DAS yang dibuka secara mekanis menggunakan

traktor dengan tree pusher/root rape yang dilanjutkan dengan pengolahan tanah

secara konvensional. Erosi yang terjadi tetap tinggi walaupun sudah dibangun

saluran teras untuk menurunkan erosi. Secara umum, besarnya erosi nyata lebih

kecil pada DAS yang dibuka secara manual dibandingkan dengan yang dibuka

secara mekanis (2.5 ton/ha/th dibandingkan dengan 13.8 ton/ha/th) dan pada

DAS yang tidak diolah dibandingkan dengan yang diolah secara konvensional

(6.5 ton/ha/thn dibandingkan dengan 12.1/ton/ha/thn). Didaerah yang dibuka

secara mekanis, erosi yang terjadi lebih kecil pada plot yang dibuka

menggunakan traktor dan shear blade dibandingkan dengan yang dibuka

menggunakan traktor tree pusher + root rake (3.8 ton/ha/thn dibandingkan

dengan 17.5 ton/ha/thn). Besarnya erosi dari plot yang dibuka dengan tree

pusher/roat rake dan diolah adalah lebih kecil dari semestinya karena terdapat

deposisi sediment dalam jumlah yang banyak dimulut alat pengukur (flume) yang

tidak tercatat (terukur). Sedimen yang terdeposisi tersebut mencapai ketebalan

30 cm pada area seluas kira-kira 100 m2. Akibatnya, erosi per mm aliran

permukaan tidak teramati dengan trend yang sama dengan erosi yang tercatat.

Namun demikian, besarnya erosi per satuan aliran permukaan adalah

lebih besar pada plot yang dibuka dengan tree pusher dari pada yang dibuka

secara manual (86.9 kg per mm aliran permukaan dibandingakn dengan 54.7 kg

per mm) dan dari plot yang diolah lebih besar daripada plot yang tidah diolah dan

dibuka secara manual (84.7 kg/mm aliran permukaan dengan 25.8 kg/mm).

7. Masalah Erosi, Produksi dan Pengembangan Lahan

Membuka lahan baru untuk pertanian masih merupakan cara yang

termurah untuk meningkatkan produksi pangan didaerah tropis. Meskipun ada

konsekuensi lingkungan yang merugikan, hutan tropika yang sangat luas akan

dibuka/dikembangkan untuk produksi makanan. Data diatas menunjukkan bahwa

selain pembukaan lahan secara ladang berpindah, pembukaan lahan secara

Page 68: 394_Studi Jasa Lingkungan

57

manual juga menghasilkan aliran permukaan dan erosi yang lebih kecil daripada

teknik pembukaan secara mekanis. Namun demikian, pembukaan lahan secara

manual lebih tidak efisien, memakan waktu lama, dan tidak ekonomis, serta

karena kekurangan tenaga, pembukaan lahan secara manual mungkin tidak

akan dapat ditanami tepat waktu. Akar dan tunggul pohon tidak akan

dipindahkan secara benar dan dapat merusak/membahayakan pada

pengoperasian peralatan mekanis. Oleh sebab itu, metoda pembukaan secara

mekanis sangat diperlukan pada pembukaan lahan skala besar untuk tujuan

pertanian. Untuk menjamin keberlanjutan produktivitas sangat penting

dikembangkan sistem pengelolaan tanah yang cocok yang dapat meminimalkan

pengaruh buruk dari cara pembukaan lahan secara mekanis. Hal ini terbukti dari

data diatas bahwa metoda pengolahan tanah dan sistem pengelolaan tanah dan

tanaman yang cocok memainkan peranan yang penting dalam konservasi tanah

dan air serta dalam menurunkan kecepatan penurunan kualitas tanah.

Plot yang terbuka secara mekanis dengan shear blade dan yang dibuka

secara manual dan diolah kedua-duanya kehilangan sebesar 2 kg tanah per kg

biji jagung yang diproduksi. Rasio kehilangan tanah terhadap produksi biji jagung

yang tertinggi terjadi pada plot yang dibuka secara mekanis dengan tree pusher

+ root rake. Pada musim pertama setelah pembukaan, perlakuan tanpa olah

tanah secara selektif tidak efektif karena tidak adanya mulsa sisa tanaman

dipermukaan. Tetapi sesudahnya dengan tersedianya mulsa sisa-sisa tanaman,

maka akan terjadi penurunan aliran permukaan dan kehilangan tanah secara

substansial dari plot yang dibuka secara mekanis dengan shear blade + tree

pusher tetapi tidak diolah. Dengan demikian, pembukaan lahan sangat

berpengaruh terhadap erosi dan aliran permukaan. Dalam hal ini pembuka lahan

dengan menggunakan alat alat berat dapat dikategorikan sebagai polluters

dalam pengelolaan lingkungan.

8. Dampak Kerusakan Hutan/Lahan Terhadap Ekonomi dan Pendapatan

Petani

Pertambahan nilai ekonomi kerugian lingkungan dari tahun 1975 sampai

1998 terutama disebabkan perubahan penggunaan lahan berhutan menjadi

kebun kopi. Perubahan penggunaan lahan ini menyebabkan terjadinya

perubahan erosi tanah dan debit sungai. Erosi tanah yang bertambah besar

Page 69: 394_Studi Jasa Lingkungan

58

menyebabkan semakin besarnya kehilangan hara dari lahan atau penurunan

produktivitas usahatani kopi dan pada musim kemarau debit minimum di DAS

Besai menjadi semakin rendah atau terjadi kekurangan air. Penurunan debit ini

menyebabkan produksi PLTA menjadi berkurang. Pada tahun 1975-1981 dengan

luasan hutan masih dominan, nilai kerugian ekonomi di DAS Besai akibat

eksternalitas berupa erosi dan penurunan debit pada musim kemarau adalah Rp.

12,294,831,022. Dampak ekonomi ini bertambah besar sejalan dengan

bertambahnya areal kebun kopi dan berkurangnya hutan. Tahun 1996/1997

dengan penutupan lahan kebun kopi sudah mencapai lebih dari 70% luas DAS

maka erosi bertambah besar dan sudah ada kehilangan produksi listrik pada

musim kemarau. Peningkatan dampak bio-fisik ini menyebabkan terjadinya

peningkatan kerugian ekonomi yang terjadi yaitu Rp. 55,144,087,842

Kelima pola usahatani kopi yang ada di DAS Besai menunjukkan tingkat

penerimaan yang berbeda dan juga erosi tanah yang berbeda. Perbedaan erosi

ini selain disebabkan pola usaha kopi juga karena penggunaan konservasi tanah.

Upaya konservasi tanah dengan menggunakan rorak (mekanis) dan menerapkan

kebun campuran (vegetatif) selain menyebabkan erosi tanah turun juga

menyebabkan terjadinya penambahan biaya dalam usahatani. Penambahan

biaya ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan penurunan biaya sosial

(eksternalitas erosi) yang berhasil dikurangi. Tetapi menempatkan biaya

eksternalitas sebagai tanggungan petani akan menyebabkan penurunan

penerimaan petani.

Penilaian kelayakan usahatani kopi di lokasi penelitian dilakukan dalam

dua cara, yaitu: (i) Analisis kelayakan usahatani kopi berdasarkan kondisi saat ini

tanpa mempertimbangkan erosi sebagai kehilangan produksi (non-replacement

cost of erosion) dan (ii) Analisis kelayakan usahatani kopi dengan

mempertimbangkan erosi sebagai kehilangan produksi (replacement cost of

erosion). Pada penggunaan lahan saat ini (tanpa mempertimbangkan erosi), pola

usaha tani kopi yang dikembangkan oleh masyarakat ternyata layak secara

finansial dan ditandai dengan nilai B/C rasio lebih dari 1.

Pendapatan dan Kelayakan Usaha

Berdasarkan wawancara dan pengamatan lapangan diketahui bahwa

permasalahan utama bagi petani dalam menerapkan konservasi adalah (i)

kondisi modal usaha dan (ii) usaha tani kopi yang dikembangkan merupakan

Page 70: 394_Studi Jasa Lingkungan

59

sumber utama pendapatan petani dan faktor harga yang fluktuatif. Permasalahan

ini menjadi sangat krusial bagi petani berlahan kecil dengan sumber pendapatan

hanya dari kebun kopi walaupun rata-rata pendapatan petani kopi per Ha

menunjukkan bahwa biaya konservasi tidak terlalu memberatkan usah atani

mereka. Jika dibandingkan besar penurunan kerugian akibat erosi dengan biaya

konservasi tanah maka terlihat biaya konservasi sangat kecil.

Analisis produktivitas dan kelayakan usahatani kopi dilakukan pada pola

usahatani dengan tingkat erosi dan aliran permukaan yang paling rendah.

Analisis kelayakan finansial pola usahatani kopi dengan atau tanpa

mempertimbangkan erosi menurut tingkat suku bunga (9%, 15% dan 20%)

memperlihatkan bahwa pola usahatani kopi dengan menggunakan kebun

campuran dengan tanaman keras dan konservasi tanah pada kondisi normal

layak dikembangkan sampai suku bunga 20%. Tetapi jika erosi diperhitungkan

sebagai kehilangan produksi maka pola agroforestry dengan tanaman hutan

tidak layak pada suku bunga 20%. Tanpa memperhitungkan kehilangan produksi

akibat erosi, pola agroforestry lebih sensitif dengan kenaikan biaya maupun

penurunan pendapatan. Jika erosi diperhitungkan sebagai faktor kehilangan

produksi, usahatani kopi dengan model kebun campuran dan penggunaan

teknologi rorak maupun teras ternyata hanya layak pada tingkat bunga 9% jika

terjadi kenaikan atau penurunan pendapatan.

Nilai Ekonomis Manfaat Jasa Lingkungan

Manfaat yang diperoleh di daerah hulu adalah produktivitas lahan. Akan

tetapi dengan laju erosi yang besar dan system agroteknologi yang digunakan

petani lebih mengutamakan ekstensifikasi maka pendapatan petani tidak terlalu

besar. Erosi tanah menyebabkan terjadinya kehilangan hara dan berarti

kehilangan kesempatan berproduksi atau kehilangan pendapatan sebesar nilai

tanah yang tererosi.

Manfaat langsung dan kehilangan produksi akibat erosi yang terjadi di

daerah hulu sangat ditentukan oleh pola usahatani kopi yang diterapkan petani

hulu. Penggunaan konservasi tanah dan air pada system usahatani kopi

menyebabkan kehilangan produksi semakin rendah. Penggunaan lahan dengan

kebun campuran (multistrata) menyebabkan erosi semakin rendah dan

pendapatan petani juga lebih baik. (Gambar 3-4). Pola ini memberikan

pendapatan petani lebih baik dan dampak lingkungan lebih rendah.

Page 71: 394_Studi Jasa Lingkungan

60

Gambar 3-4. Grafik Produktivitas dan Kehilangan Produksi pada Beberapa

Alternatif Penggunaan Lahan di DAS Besai

Manfaat yang diperoleh di hulu diperoleh dari nilai produktivitas lahan

kering yang didominasi penggunaan tanaman kopi. Biaya pengelolaan lahan

dibagi menjadi biaya penggunaan input produksi dan kehilangan produksi akibat

erosi. Pada penggunaan lahan saat ini, manfaat yang diterima hulu jika biaya

lingkungan (lost of productivity) tidak dimasukkan sebagai biaya produksi adalah

Rp 95,401,636,376 sedangkan jika dampak lingkungan dihitung maka manfaat

berkurang menjadi Rp. 47,586,800,364.

Pada daerah hilir, terjadi kehilangan kesempatan berproduksi dari PLTA

karena kurangnya jumlah air untuk memutar turbin. Disamping itu juga terdapat

kehilangan produksi karena harus mengosongkan air waduk untuk

penggelontoran sedimen. Jika melihat besanya kerugian yang terjadi di hilir

maka dibutuhkan pengelolaan daerah hulu untuk mengurangi kerugian hilir dan

manfaat yang terjadi di hilir harus dikelola sebagai bagian perbaikan daerah hulu

yang menjadi sumber manfaat di hilir. Manfaat yang diperoleh di hilir adalah

dalam bentuk nilai produksi listrik dan pengisian air tanah. Biaya yang

ditanggung hilir akibat penggunaan lahan saat ini diantaranya adalah kehilangan

produksi listrik dan biaya penggelontoran sediment akibat erosi tanah.

Kehilangan listrik ini tidak dijumpai pada saat penggunaan lahan berhutan masih

Page 72: 394_Studi Jasa Lingkungan

61

diatas 40% (penggunaan lahan tahun 1975-1984). Total manfaat yang diperoleh

hilir dan keberlanjutan manfaat hilir sangat ditentukan oleh pengelolaan dampak

lingkungan di hulu, sehingga perlu adanya partisipasi hilir dalam pengelolaan

dampak di hulu sebagai kompensasi jasa lingkungan.

Kebijakan Pengelolaan DAS

Keberlanjutan (sustainability) dari pengelolaan DAS ditentukan oleh

beberapa tujuan dari pengelolaan. Pengelolaan DAS diharapkan akan

mendukung perbaikan lingkungan yang berkelanjutan. Pengelolaan ini

merupakan kombinasi dari beberapa faktor seperti faktor teknologi, kebijakan

dan aktivitas yang bertujuan mengintegrasikan prinsip-prinsip social ekonomi

dengan lingkungan. Upaya pengelolaan ini dimaksudkan untuk mendukung

keberlanjutan atau keberhasilan pengelolaan DAS. Dengan demikian, ada

beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi keberhasilan tujuan pengelolaan DAS,

seperti: (i) pengelolaan DAS harus mendukung perbaikan produktivitas lahan; (ii)

pengelolaan DAS harus mengurangi kemungkinan terjadinya resiko penurunan

produksi (iii) pengelolaan DAS harus biasa mendukung perlindungan

sumberdaya alam dan mencegah terjadinya degradasi kualitas tanah dan air; (iv)

pengelolaan DAS secara ekonomi harus layak dan (v) secara sosial bisa diterima

masyarakat. Ke lima syarat ini secara spesifik tidak sama dan akan tergantung

kepada wilayah pengelolaan apakah di hulu atau di hilir.

Pemberdayaan Pendukung Dana Petani Hulu

Pengelolaan lingkungan yang baik di hulu akan memberikan manfaat bagi

penduduk di hilir. Adanya sebagian manfaat dari pengelolaan daerah hulu yang

dinikmati oleh penduduk di hilir yang secara status ekonomi lebih baik dari

penduduk hulu. Pemerintah seharusnya memperkenalkan dan mengembangkan

format subsidi bagi konservasi di hulu sama seperti adanya program irigasi di

daerrah hilir. Kredit yang dikembangkan di daerah hulu harus digunakan

Kebijakan sebagai investasi yang berkaitan dengan pelestarian sumberdaya.

Keberadaan sumber pendanaan ini akan menjadi faktor penting dalam

pencegahan kerusakan lingkungan dan pengentasan kemiskinan mengingat

kemiskinan dan kerusakan lingkungan merupakan sebab akibat. Untuk itu, dalam

managemen atau pengelolaan DAS, upaya mengembangkan sektor keuangan di

pedesaan menjadi penting.

Page 73: 394_Studi Jasa Lingkungan

62

Mengembangkan usahatani kopi di hulu dengan menerapkan konservasi

tanah dan air akan berarti meningkatkan biaya dan menurunkan manfaat

langsung yang diterima petani hulu tetapi bias dinikmati masyarakat hilir. Oleh

karena itu, manfaat yang diperoleh daerah hilir dengan adannya pengelolaan di

hulu harus bisa dinikmati oleh penduduk hulu lewat upaya transfer manfaat yang

dipelopori oleh pemerintah. Pemerintah harus memfasilitasi transfer dan sharing

manfaat ini kepada penduduk di hulu.

Kebijakan Kelembagaan Pengelolaan DAS Hulu

Pemberlakuan Otonomi Daerah telah memberikan keleluasaan kepada

pemerintah daerah (kabupaten/kota) dalam menentukan kebijakan, termasuk

kebijakan dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hulu dan penerimaan manfaat

di hilir memerlukan suatu aturan main yang jelas. Pranata kelembagaan menjadi

hal penting. Dalam hal ini yang diperlukan bukan membuat struktur organisasi

baru tetapi lebih kepada aturan main dan koordinasi antar kelembagaan yang

sudah ada. Aturan main yang sebaiknya dikembangkan adalah dalam rangka

keadilan dan kesetaraan. Masalah lingkungan dan pengelolaan DAS sebaiknya

dipandang sebagai permasalahan ekonomi maka bagian perekonomian di

kabupaten seharusnya berperan aktif dan ini bisa distimulir dari Bappeda

Propinsi.

Dari uraian diatas jelas terlihat bahwa jasa lingkungan yang diterima oleh

setiap penerima jasa terutama di hilir, seyogyanya dibayar oleh penerima jasa.

Prinsip pembayaran jasa lingkungan seperti ini dikenal dengan beneficiary – pay

principle. Disamping itu ada juga prinsip pembayaran jasa lingkungan yang

dibebankan kepada setiap perusak lingkungan yang dikenal dengan polluters –

pay principle. Penerapan kedua prinsip pembayaran jasa lingkungan ini sangat

diperlukan agar biaya pengelolaan lingkungan yang berkesinambungan dapat

dijamin. Hal ini perlu diatur dalam suatu undang-undang.

Jasa Lingkungan Sektor Industri

Berbicara mengenai industri dalam kaitannya dengan lingkungan, orang

sudah membayangkan bahwa dalam proses bahan baku menjadi produk jadi

selalu menimbulkan produk lain yang kurang bermanfaat atau lebih lebih rendah

nilai ekonominya, atau yang sering juga kita sebut sebagai limbah. Disamping itu

dalam proses industri digunakan energi untuk proses perubahannya, Sisa hasil

Page 74: 394_Studi Jasa Lingkungan

63

pembakaran juga menimbulkan polusi yang tidak sedikit jumlahnya, bahkan

dibeberapa kota besar dampaknya pada perubahan kualitas udara sudah cukup

nyata, dengan meningkatnya penderita Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA) akibat

pencemaran udara, ataupun diare akibat sanitasi yang tidak memadai.

Penggunaan energi dalam sektor industri meningkat sejalan dengan

pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2005 penggunaan energi untuk

sektor industri mencapai 232,41 juta BOE (tidak termasuk biomassa) atau 275,21

SDM (termasuk biomassa). Konsumsi energi untuk sektor industri mencapai 34%

dari konsumsi energi nasional, diperkirakan pada tahun 2025 konsumsi energi

nasional mencapai 1.008 juta BOE.

Intensitas penggunaan energi dalam sektor energi dari beberapa negara

dapat dilihat pada Gambar 3-5, yang memperlihatkan sektor industri di banyak

negara berubah menuju pada penggunaan teknologi yang lebih efisien, dengan

demikian intensitas energi untuk sektor industri cenderung menurun. Penurunan

intensitas energi dalam sektor industri juga terjadi di Indonesia. Statistik

menunjukkan bahwa ada 9 kelompok sektor industri yang intensitas energinya

menurun dari tahun 1990 s/d 2000, yaitu kelompok makanan, minuman, dan

industri rokok (31); kelompok industri tekstil, pakaian, dan kulit (32); kelompok

industri bambu, rotan, dan lain-lain (33); Kelompok kertas, cetak dan publikasi

(34); kelompok industri kimia dan bahan kimia, minyak, gas bumi, batubara, dan

karet (35); kelompok industri non logam hasil ekstraksi kecuali minyak dan gas

bumi (36); Kelompok industri pertambangan (37); kelompok industri logam,

mesin dan peralatan (38); kelompok industri prosesing (39). Penurunan

intensitas energi menunjukkan peningkatan proses efisiensi dalam proses

produksi.

Peningkatan efisiensi dalam proses produksi akan menurunkan emisi

CO2 dan membantu dalam mengurangi efek pemanasan global.

Page 75: 394_Studi Jasa Lingkungan

64

Gambar 3-5. Intensitas Energi Nasional untuk Industri tahun 1990 dan 2000

(GJ/Million Rp) (Sumber : Database Handbook Economy Energy

2005)

Pencegahan terhadap emisi gas rumah kaca dapat dilakukan melalui

penurunan pembakaran bahan bakar fosil, yang banyak digunakan dalam sektor

industri, namun demikian dalam negeri yang sedang membangun seperti

Indonesia sulit untuk menurunkan pemakaian energi dalam sektor industri,

karena peningkatan efisiensi dalam proses produksi akan diikuti oleh

peningkatan investasi.

Dalam kondisi ketidakpastian hukum, maka lingkungan akan menjadi

korban. Dalam Gambar 3-6 terlihat bahwa penurunan emisi dalam jumlah

tertentu akan meningkatkan biaya, oleh karena itu perlu dibuat skenario optimis

dan pesimis yang mungkin dilakukan tanpa mengganggu produktifitas nasional.

Gambar 3-6. Biaya Marginal Abatement untuk pada penggunaan batubara sebagai energi.

2. Peluang Jasa Lingkungan Sektor Industri

Pemilihan teknologi berpengaruh terhadap emisi CO2, sebagai contoh

jika dalam pembangkit listrik dengan menggunakan tenaga uap berbahan bakar

Page 76: 394_Studi Jasa Lingkungan

65

batu bara dianggap sebagai basis, maka penggunaan tenaga geothermal akan

mengurangi jumlah emisi CO2 yang sangat signifikan. Dalam kondisi yang

demikian, komitment terhadap penurunan emisi gas rumah kaca ditunjukkan

dengan kebijakan pemilihan teknologi yang tepat, dengan mempertimbangkan

potensi sumberdaya yang dimiliki.

Opini publik yang menganggap industri memberi kontribusi pada

pencemaran membuat sulit untuk menentukan jasa lingkungan apa yang dapat

diberikan oleh sektor industri. Penggunaan yang besar energi fosil akan

menghasilkan emisi CO2 dalam jumlah besar. Peluang jasa lingkungan dapat

dimasukkan dalam mekanisme produksi bersih, dengan pemilihan teknologi

proses yang tepat dan rendah dalam emisi gas rumah kacanya. Dalam hal

industri besi memilih gas alam sebagai energi untuk pemanasnya dan bukan

batubara, industri ini sudah melakukan pengurangan dalam jumlah besar emisi

gas rumah kaca, sebab jika Industri besi ini tetap menggunakan batu bara,

jumlah emisi CO2 akan meningkat pesat (Tabel 3-7). Pemilihan dalam

pemakaian bahan bakar atau teknologi ini patut mendapat jasa lingkungan yang

nilainya dikonversikan dengan berapa banyak jumlah emisi gas rumah kaca yang

direduksi atas keputusannya tersebut (Tabel 3-8).

Table 3-7. Biaya abatemen Marginal Abatement untuk pilihan Mitigasi

berbasis batubara.

Page 77: 394_Studi Jasa Lingkungan

66

Sumber : Study on Clean Development Mechanism in Indonesia, 2001.

Table 3-8. Perkiraan Penggunaan Energi Fosil pada beberapa industri.

Source: Department of Industry, 2007

3. Jenis Industri dan Jasa Lingkungan

Ada banyak sekali jenis dan macam industri, tidak semua industri patut

mendapat jasa lingkungan. Industri yang patut mendapat jasa lingkungan adalah

industri yang mampu menurunkan gas rumah kaca atau melalui upayanya terjadi

penurunan dalam emisi gas rumah kaca dalam jumlah yang cukup berarti. Tabel

IV-3 menunjukkan industri yang mempunyai peluang untuk memberi kontribusi

pada peningkatan gas rumah kaca dalam atmosfir. Industri yang mempunyai

kontribusi terhadap CH4, N2O patut mendapat mendapat perhatian karena

pengaruhnya terhadap gas rumah kaca jauh lebih tinggi. Selain jenis dan

kekuatan dari emisi, perlu juga diperhatikan jumlah emisinya yang dikeluarkan

oleh industri. Pada Tabel 3-9 terlihat bahwa industri semen, kertas dan pupuk

volumenya cukup besar.

4. Implikasi Kebijakan

Industri sangat beragam mulai dari jenis, proses, bahan baku, skala

industri dan produk yang dihasilkan. Dalam menentukan jasa lingkungan untuk

sektor industri lebih ditekankan pada industri yang menggunakan bahan baku

yang ramah lingkungan, proses yang tidak menimbulkan efek samping atau

limbah atau efisiensi yang tinggi, produk yang ramah lingkungan, baik isi maupun

pakagingnya.

Page 78: 394_Studi Jasa Lingkungan

67

Tabel 3-9. Industri yang memberi kontribusi terhadap gas rumah kaca dan

penipisan lapisan ozon.

Sumber : IPCC Guidelines for Nasional Greenhouse Gas Inventory, Revised 1996

Pemberian jasa lingkungan yang paling mungkin dikaitkan dengan isu gas rumah

kaca, atau penipisan lapisan ozon, karena sumber dana bagi pemberian jasa

tidak terbatas pada dana dalam negeri, tetapi bisa berasal dari luar negeri,

terutama negara-negara yang membutuhkan dalam perdagangan karbon, yang

terkait dengan kyoto protokol ataupun konvensi UNFCC Bali. Pemberian jasa

lingkungan dapat pula diberikan dalam bentuk kompensasi dalam pengurangan

pajak, atas penghargaannya kepada kepedualian industri terhadap lingkungan.

Perlunya dibuat konsep rancangan undang-undang jasa lingkungan yang

mengatur kewajiban-kewajiban dan penghargaan bagi industri yang peduli dan

juga sangsi bila mengabaikan dan merusak lingkungan.

Page 79: 394_Studi Jasa Lingkungan

IV. NILAI JASA LINGKUNGAN KAWASAN DANAU TOBA

i. Sumberdaya Air dan Hidrologi

Pada sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik yang spesifik serta

berkaitan dengan komponen utamanya seperti jenis tanah, tataguna lahan,

topografi, kemiringan dan panjang lereng. Karakteristik DAS tersebut dapat

merespon curah hujan yang jatuh di tempat tersebut dan dapat memberikan

pengaruh terhadap besar kecilnya evapo-transpirasi, infiltrasi, perkolasi, aliran

permukaan, kandungan air tanah, dan aliran sungai (Ffolliot, 1981). Pengetahuan

tentang proses-proses hidrologi yang berlangsung dalam ekosistem DAS

bermanfaat bagi pengembangan sumber daya air. Dalam sistem hidrologi ini

peranan vegetasi sangat penting artinya karena kemungkinan intervensi manusia

terhadap komponen lingkungan tersebut sangat besar. Vegetasi dapat merubah

sifat tanah dalam hubungannya dengan air, dapat mempengaruhi kondisi

permukaan tanah, dan dengan demikian, mempengaruhi besar kecilnya aliran air

permukaan (Asdak, 2004).

Penelitian mengenai aspek kelembagaan dan partisipasi dalam

pengelolaan DAS secara terpadu telah dilakukan oleh Kolopaking (1998). Dalam

penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan antara pengelolaan

DAS terpadu dengan perhutanan sosial berdimensi skala ekonomi yang

melibatkan tiga pihak yaitu pemerintah (Departemen Kehutanan), swasta dan

masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Walaupun telah terjadi

pengurangan curah hujan global, tetapi dengan adanya pemanasan suhu

permukaan laut akan terjadi peningkatan penguapan dan tentunya diikuti oleh

peningkatan curah hujan. Pengaruh peningkatan gas rumah kaca terutama gas

CO2 dan penggundulan hutan akibat konversi ke penggunaan lahan lainnya,

telah menimbulkan dinamika sumberdaya air dunia saat ini.

Salah satu indikator penting yang dapat digunakan untuk menunjukkan

perubahan iklim global adalah dari kecenderungan data aliran DAS yang ada di

dunia. Sulandari (2005) menyatakan bahwa Chief dan McMahon telah

melakukan pengujian statistik terhadap data historis debit puncak dan volume

aliran dari 142 sungai di dunia dengan data 50 sampai dengan 162 tahun dan

luas DAS seribu km² sampai delapan juta km², dan sampai pada kesimpulan

bahwa walau didapatkan terjadinya kecenderungan dan perubahan nyata dalam

sejumlah lokasi, namun tidak diperoleh konsistensi untuk seluruh wilayah. Dalam

Page 80: 394_Studi Jasa Lingkungan

69

sejumlah kasus dimana kecenderungan tersebut terjadi, perubahan kondisi

biofisik DAS akan dapat menyebabkan adanya ketidakpastian ketersediaan air di

masa depan dalam kaitannya dengan perubahan iklim global (Boer, 2003).

Secara umum sistem hidrologi suatu DAS disajikan pada Gambar 4-1.

Menurut Sanim (2003) air memiliki nilai sebagai barang (instrumental

value) dan juga memiliki nilai lain seperti sosial, kultural dan lingkungan (intrinsic

value). Air memiliki sifat terbuka (open access) dan menjadi milik umum (public

good), maka sumberdaya air mudah sekali mengalami perubahan dalam

kuantitas dan kualitas sebagai akibat dari ketidakjelasan hak-hak atas

pengelolaan dan pemanfaatannya. Di daerah hilir, air digunakan sebagai

sumber daya dalam berbagai bentuk penggunaan dengan skala yang bervariasi,

diantaranya sebagai sumberdaya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan

sebagai sumber bahan baku air minum (PDAM). Di daerah hulu, air digunakan

sebagai sumber air minum rumahtangga dan kebutuhan irigasi pertanian dan

perikanan. Menurut Anwar (1995) sumberdaya air memiliki karakteristik-

karakteristik khusus sebagai berikut :

1. Mobilitas, air yang bersifat cair mudah mengalir, menguap dan meresap di

berbagai media, sehingga sangat sulit untuk melaksanakan penegasan hak

atas sumberdaya ini secara ekslusif agar dapat dipertukarkan dalam sistem

ekonomi pasar.

2. Sifat skala ekonomi yang melekat dalam penyimpanan, penyampaian dan

distribusi air.

3. Penawaran air berubah-ubah menurut waktu, ruang dan kualitas dalam

keadaan kekeringan dan banjir sumberdaya air ini hanya dapat ditangani oleh

pemerintah untuk kepentingan umum.

4. Kapasitas dan asimilasi dari badan air, zat cair mempunyai daya larut untuk

mengasimilasikan berbagai zat padat tertentu selama daya asimilasinya tidak

terlampaui.

5. Penggunaannya bisa dilakukan secara beruntun ketika mengalir dari hulu ke

hilir sampai ke laut, dan dengan beruntunnya penggunaan air selama

perjalanan alirannya akan merubah kuantitas dan kualitasnya.

6. Penggunaannya yang serba guna, dengan kegunaannya yang banyak

tersebut maka pihak individu dapat memanfaatkannya dan sisanya menjadi

barang umum.

Page 81: 394_Studi Jasa Lingkungan

70

7. Nilai-nilai kultural yang melekat pada sumberdaya air, sebagian besar

masyarakat masih mempunyai nilai-nilai yang menganggap air sebagai

barang anugerah Tuhan yang tidak patut dikomersilkan.

Gambar 4-1. Sistem hidrologi dan sumberdaya air (Sumber : Asdak, 2004).

1. Potofolio sumberdaya air Danau Toba

Kondisi Iklim, curah hujan dan suhu

Menurut Klasifikasi Iklim Oldeman maka EKDT termasuk ke dalam tipe

iklim B1, C1, C2, D2, dan E2. Dengan demikian bulan basah (Curah Hujan

200 mm/bulan) berturut-turut pada kawasan ini bervariasi antara kurang dari 3

bulan sampai dengan 7 – 9 bulan, sedangkan bulan kering (Curah Hujan 100

mm/bulan) berturut-turut antara 2 – 3 bulan. Berdasarkan Klasifikasi iklim

menurut Scmidt dan Ferguson maka EKDT ini termasuk ke dalam tipe iklim A, B

dan C. Dari tujuh stasiun penakar hujan yang terdapat di EKDT ini (Parapat,

Sidamanik, Situnggaling, Balige, Siborong-borong, Dolok Sanggul, dan

Pangururan) diketahui bahwa curah hujan tahunan di kawasan ini berkisar antara

2.200 sampai dengan 3.000 mm/tahun. Puncak musim hujan terjadi pada bulan

November-Desember dengan curah hujan antara 190 – 320 mm/bulan.

Sedangkan puncak musim kemarau terjadi selama bulan Juni-Juli dengan curah

hujan berkisar antara 54 – 151 mm/bulan.

Page 82: 394_Studi Jasa Lingkungan

71

Suhu udara bulanan di EKDT ini berkisar antara 18,0 – 19,70 C di Balige

dan antara 21,0 – 20,0 di Sidamanik. Suhu udara selama musim kemarau

cenderung agak lebih tinggi dibandingkan dengan selama musim hujan.

Sedangkan angka kelembaban tahunannya berkisar antara 79 – 95 %. Pada

bulan-bulan musim kemarau kelembaban udara cenderung agak rendah

dibandingkan pada bulan-bulan musim hujan. Evaporasi bulanan di EKDT ini

berkisar antara 74 - 88 mm/bulan. Angka evaporasi selama musim-musim

kemarau cenderung lebih tinggi dibandingkan selama musim hujan.

Kondisi Hidrologi Danau Toba

Air yang masuk ke dalam Danau Toba berasal dari (1) Air Hujan yang

langsung jatuh di Danau Toba, (2). Air yang berasal dari sungai-sungai yang

masuk ke dalam danau. Di sekeliling danau terdapat 19 Sub DTA yang

merupakan daerah tangkapan air 19 sungai yang masuk ke dalam danau.

Sungai-sungai tersebut adalah : S. Sigubang, Bah Bolon, Sungai Guloan, S.

Arun, S. Tomok, S. Pulau Kecil/Sibandang, S. Halian, S. Simare, S. Aek Bolon,

S. Mandosi, S. Gongpan, S. Bah Tongguran, S. Mongu, S. Kijang, S. Sinabung,

S. Ringo, S. Prembakan, S. Sipultakhuda dan S. Silang. Pada kondisi hujan

normal masukan air dari sungai-sungai tersebut berkisar antara 41,613 m3/det

pada bulan Juli (puncak musim kemarau) sampai dengan 124,914 m3/det pada

bulan November (puncak musim hujan). Pada tahun kering 1997, debit aliran

masuk ke dalam danau dari sungai-sungai tersebut berkisar antara 8,56 m3/det

pada bulan Januari sampai dengan 62,539 m3/det pada bulan April. Sedangkan

pada tahun basah 1999, debit aliran masuk ke dalam danau dari sungai-sungai

tersebut berkisar antara 83,535 m3/det pada bulan Agustus sampai dengan

493,812 pada bulan Mei.

Pada kondisi hujan normal (tahun1991) masukan air yang berasal dari

curah hujan langsung ke dalam danau berkisar antara 1,1 mm pada bulan

Februari sampai dengan 8,2 mm pada bulan Mei. Pada tahun kering 1997,

jumlah air masuk ke dalam danau dari curah hujan langsung tersebut berkisar

antara 1,1 pada bulan April sampai dengan 5,5 mm pada bulan Desember.

Sedangkan pada tahun basah 1999, debit aliran masuk ke dalam danau dari

sungai-sungai tersebut berkisar antara 1,0 mm pada bulan Februari sampai

dengan 2,9 mm pada bulan September dan November. Berdasarkan

Page 83: 394_Studi Jasa Lingkungan

72

pengamatan selama 14 tahun (1986 – 1999) tercatat bahwa tinggi rata-rata

buma air bulanan Danau Toba ini berkisar antara 903,65 m dpl (bulan

September) sampai dengan 904,04 m dpl (bulan Mei). Sedangkan tinggi muka

air maksimum bulanan berkisar antara 904,62 m dpl (bulan September) sampai

dengan 905,23 m dpl. (bulan Mei). Tinggi muka air minimum bulanan berkisar

antara 902, 28 m dpl (bulan Agustus) sampai dengan 902,88 m dpl. (bulan

Februari). Kisaran paling lebar tinggi muka air danau bulanan antara 902,28 m

dpl – 905,23 m dpl, dengan demikian perbedaan tinggi muka air danau

maksimum-minimum paling lebar yang terjadi selama periode ini sebesar 2,95

meter.

Rata-rata debit pelepasan air bulanan dari Danau Toba ini berkisar antara

85,47 m3/det (bulan November) sampai dengan 94,59 m3/det (bulan April).

Sedangkan debit pelepasan air maksimum bulanannya berkisar antara 107,6

m3/det (bulan November) sampai dengan 183,1 m3/det (bulan April). Debit

pelepasan air minimum bulannya berkisar antara 21,1 m3/det (bulan Agustus)

sampai dengan 41,7 m3/det (bulan September). Dari data-data tersebut, volume

air Danau Toba yang keluar dialirkan melalui Sungai Asahan diperkirakan

sebesar 5.774.241.600,00 m3 per tahun yang digunakan oleh pengguna jasa

lingkungan seperti PLTA (INALUM), beberapa PDAM, domestic, manuciplity and

industry (DMI), irigasi dan penggunaan lainnya.

Kondisi Hidrologi Sungai-sungai DTA Danau Toba

Sungai-sungai yang terdapat di DTA Danau Toba dan mengalirkan airnya

dari DTA ini ke dalam Danau Toba terdiri dari 19 sungai yaitu : S. Sigubang, Bah

Bolon, Sungai Guloan, S. Arun, S. Tomok, S. Pulau Kecil, S. Halian, S. Simare,

S. Aek Bolon, S. Mandosi, S. Gopgopan, Bah Tongguran, S. Mongu, S. Kijang,

S. Sinabung, S. Ringo, S. Prembakan, S. Sipultakhuda dan S. Silang.

Sedangkan satu-satunya sungai yang merupakan pelepasan air dari danau ini

adalah S. Asahan yang mengalir dan bermuara di Pantai Timur Sumatera Utara.

Air yang mengalir ke S. Asahan ini dimanfaatkan oleh PLTA Asahan. Lima buah

sungai yaitu S. Sigubang, Bah Bolon, Guloan, Arun dan Tomok berada di Pulau

Samosir dan sungai-sungai lainnya berada di daratan Pulau Sumatera (LP ITB,

2001).

Page 84: 394_Studi Jasa Lingkungan

73

Sungai-sungai yang mengalirkan airnya ke dalam danau Toba tersebut

pada umumnya merupakan sungai intermitten, yaitu sungai yang hanya berair

pada musim penghujan saja atau pada waktu turun hujan, terutama sungai-

sungai yang berada di Pulau Samosir (Timbul, 1992). Data mengenai

pengamatan debit pada sungai-sungai yang mengalir ke dalam Danau Toba ini

belum diperoleh. Namun dari hasil beberapa literatur yang didapatkan bahwa

fluktuasi debit antara puncak musim hujan dan musim kemarau pada sungai-

sungai ini relatif lebar. Pada puncak musim hujan debit sungai meningkat cepat

sebaliknya pada musim-musim kemarau debit sungai-sungai ini sangat rendah.

Kondisi topografi yang berat, panjang sungai (hulu-hilir) yang tidak terlalu

panjang (5 – 20 km) mengakibatkan respon sungai terhadap curah hujan relatif

cepat sedangkan retensi daerah tangkapan terhadap hujan yang turun relatif

rendah. Dengan demikian pada waktu hujan debit sungai cepat meningkat

sebaliknya ketika hujan berhenti maka debit sungai akan cepat surut. Hasil

penelitian oleh Sipayung, B (1989) terhadap empat sungai yang berada di Pulau

Samosir (S. Bolon, S. Simaratuang, S. Silabung dan S. Sigumbang)

menunjukkan bahwa panjang sungai-sungai ini berkisar antara 6,1–16,9 km,

keberadaan hutan pada masing-masing daerah tangkapan sungai hanya berkisar

2,03 – 30,21%; kondisi kelerengan daerah tangkapan didominasi oleh

kelerengan > 15 %; mengakibatkan sungai-sungai ini bersifat intermitten. Ketika

hujan debit air tinggi, sedangkan ketika musim kemarau datang debit air menjadi

sangat rendah, bahkan sungai-sungai tersebut menjadi kering. Satu-satunya

sungai yang selalu mengalir sepanjang musim adalah S. Asahan. Aliran air

sungai ini berasal dari Danau Toba. Karena tersuplai dari Danau Toba maka

aliran sungai ini dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik PLTA Asahan.

Kualitas Air

Kondisi kualitas air perlu diketahui mengingat Danau Toba ini mempunyai

multi manfaat baik sebagai air minum, usaha perikanan, pembangkit listrik,

rekreasi, sehingga kelayakan kualitas air untuk berbagai keperluan tersebut

dapat diketahui. Sementara berbagai kegiatan perekonomian pada DTA maupun

pada kawasan danaunya dapat memberikan limbah yang dapat mencemari

perairan ini. Dengan demikian, kondisi kualitas air ini sangat penting untuk

dipantau guna kepentingan pemanfaatan air danau dan tingkat pencemaran

Page 85: 394_Studi Jasa Lingkungan

74

yang telah terjadi. Pemantauan secara kontinyu terhadap kualitas air Danau

Toba ini masih terbatas dilakukan oleh Stasiun pengembangan perikanan Danau

Toba.

Parameter-parameter yang diamati dari stasiun ini terbatas untuk

kepentingan perikanan. Sedangkan pemantauan terhadap parameter kualitas

danau secara menyeluruh yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan

dan untuk mengetahui tingkat pencemaran yang disebabkan oleh berbagai

kegiatan masih sangat terbatas. Pengamatan terhadap seluruh parameter

kualitas air danau ini hanya bersifat eksidentil sesuai dengan kegiatan penelitian

atau kajian-kajian tertentu terhadap ekosistem Danau Toba. Lokasi-lokasi

dilaksanakannya pengamatan terhadap kualitas air selama ini juga disesuaikan

dengan kebutuhan, sehingga sulit untuk mengetahui perubahan-perubahan yang

telah terjadi.

Dari Laporan LTEMP (2005) diketahui bahwa pada lokasi-lokasi yang

terdapat data pengamatan sesuai seri tahun yang ada, maka terdapat dua

parameter yang nampak kecenderungan perubahannya jika dilihat dari hasil 3

kali pengamatan tersebut. Nilai pH air Danau tampak adanya kecenderungan

menurun pada seluruh lokasi pengukuran kecuali di Tiga Raja. Penurunan nilai

pH ini diikuti kecenderungan meningkatnya nilai BOD yang cukup signifikan.

Penurunan pH dan peningkatan BOD ini kemungkinan besar disebabkan oleh

pencemaran bahan-bahan organik yang berasal dari berbagai kegiatan di DTA,

sekitar danau maupun kegiatan dalam perairan danaunya sendiri (budidaya

perikanan). Sayang data kandungan bahan organik dan parameter indikator lain

yang dapat menunjukkan adanya pencemaran bahan organik ini tidak

mendukung karena tidak dilakukan pemantauannya.

2. Potensi ekonomi jasa lingkungan sumberdaya air Danau Toba

Dari uraian dan potensi air Danau Toba dapat diperkirakan nilai ekonomi

jasa sumberdaya air yang dimanfaatkan oleh pengguna. Pengguna terbesar air

Danau Toba adalah PLTA Asahan (INALUM), PAM, industri manufaktur, hotel

dan restoran, kolam jaring apung (KJA), pertanian dalam arti luas, rumah tangga

dan penggunaan lain. Perkiraan potensi ekonomi jasa air Danau Toba disajikan

pada Tabel 4-1. Dalam studi ini, valuasi ekonomi yang dihitung nilainya adalah

Page 86: 394_Studi Jasa Lingkungan

75

jasa lingkungan bagi pengguna air seperti PLTA dan DMI , sekuestrasi karbon,

dan jasa wisata/rekreasi.

Dari Tabel 4-1 dapat diketahui bahwa total WTP (kesediaan membayar)

pengguna jasa air per tahun sangat besar yaitu sebesar Rp 785.155.388.680,80

yang terdiri dari PLTA (3 unit) : Rp 144.445.540.744,80, PDAM : Rp.

178.770.519.936,00 dan DMI : Rp. 461.939.328.000,00. untuk diinvestasikan

sebagai konservasi sumberdaya alam dan lingkungan di kawasan Danau Toba

termasuk peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Apabila kemampuan

membayar tersebut dikalikan dengan jumlah air yang digunakan oleh para

pengguna jasa, maka diperoleh nilai yang sangat besar. Sesungguhnya nilai ini

masih jauh dibawah nilai sebenarnya. Hal ini disebabkan beberapa hal antara

lain (1) harga satuan dibawah harga sebenarnya (underpricing), didasarkan pada

persepsi pengguna air, (2) identifikasi pengguna air belum akurat dan volume

penggunaannya masih kecil (tidak tercatat dengan baik) dan (3) belum semua

pengambil mafaat air teridentifikasi dan terinventarisasi dengan baik.

Tabel 4-1. Kemampuan membayar (WTP) beberapa pengguna jasa sumberdaya

air dan nilai ekonomi jasa sumberdaya air bagi pengguna

No. Pengguna Jasa Air

Porsi volume air yang digunakan

Volume air yang digunakan per tahun (m3)

WTP pengguna air per m³ (Rp)

Jumlah WTP pengguna air per tahun(Rp)

1. PLTA Asahan (INALUM) 0,51*)

2.944.863.216,00 16,35*)

144.445.540.744,80

2. PDAM 0,06*)

346.454.496,00 516,00**)

178.770.519.936,00

3.

Domestic, manuciplity, industry (Hotel, restoran, rumah tangga non PAM, lembaga publik) 0,025*)

144.356.040,00 3200,00**)

461.939.328.000,00

TOTAL 785.155.388.680,80

Keterangan : *)

Tampubolon (2007), PJT II (2005),LTEMP (2005) **) Hasil analisis data primer

(2009). PLTA di sepanjang Sungai Asahan ada 3 unit dengan kapasitas produksi energi listriknya sebesar Unit 1= 4x71,5 MW, Unit 2= 4x79,5 MW dan Unit 3= 4x90,5 MWt (setara UPB Saguling, Cirata dan Jatiluhur di Sungai Citarum Jawa Barat). Volume air keluar Danau Toba maksimum bulanan adalah 183,1 m

3/det.

Page 87: 394_Studi Jasa Lingkungan

76

Dari hasil pengolahan data yang disajikan LTEMP (2005) diperoleh angka

rata-rata volume air masuk (VAM) adalah sebesar 90.03 m³/dt dan volume air

keluar (VAK) : 83,33 m³/dt. Perbedaan antara VAM min (8,56 m³/dt) dengan

VAM maks (493,81 m³/dt), dapat memberikan gambaran bahwa kondisi tutupan

lahan di DTA Danau Toba sudah berada pada tahap kritis dimana nilai fluktuasi

debit maksimum (Vmaks) mencapai 57,69 kali lebih besar dari pada debit

minimum (Vmin), hal mana umumnya nilainya di bawah 40.

ii. Sekuestrasi Karbon dan Keanekaragaman Hayati

Disamping air, DAS menghasilkan jasa lingkungan yang lain berupa

keanekaragaman hayati, sekuestrasi karbon, rekreasi dan penelitian (Pagiola et.

al, 2002). Jasa lingkungan keanekaragaman hayati dikonsumsi oleh konsumen

yang sulit diidentifikasi ambang batas permintaan dan pasokan, sehingga sulit

mencari pembeli individual. Disamping itu, pemerintah, lembaga swadaya

masyarakat dan pengusaha telah berpartisipasi aktif dalam mengkonservasi

keanekaragaman hayati dengan kesediaan membayar. Peningkatan kesadaran

publik akan manfaat dan ancaman keanekaragaman hayati menyebabkan

individu dan komunitas menjadi penjual yang proaktif, sehingga pertumbuhan

dan diversifikasi pasar telah menghasilkan inovasi yang nyata dalam desain

komoditas dan mekanisme pembayarannya (Williams, et al, 2001). Setiap

mekanisme berusaha mengurangi resiko pasar, mengatasi pengaruh ambang

batas dan meminimalkan biaya transaksi. Dengan penurunan resiko dan biaya

transaksi, maka partisipasi pasar akan semakin meningkat. Kendala utama

adalah biaya transaksi yang berhubungan dengan pembentukan dan

pelaksanaan perdagangan terutama di negara berkembang. (Landell-Mills and

Porras, 2002).

Pohon (hutan) dalam proses fotosintesis melakukan pengikatan gas CO2

dari udara dan membentuk biomas yang terdiri dari karbohidrat (C6H12O6) dan

oksigen (O2) dan melepaskan sejumlah energi. Kemampuan pohon dalam

menyerap gas CO2 dan kaitannya dengan penurunan jumlah gas CO2 (gas

rumah kaca) di atmosfer telah banyak diteliti (Hairiah et al, 2001). Di dalam CoP7

(Conference of Parties ke-7) bulan November 2001 di Marakesh (Maroko)

diputuskan bahwa kegiatan LULUCF (Land use and land use change of forestry)

di negara-negara maju diizinkan sebagai rosot karbon (carbon sequestration) di

Page 88: 394_Studi Jasa Lingkungan

77

bawah CDM (clean development mechanisme) pada periode komitmen pertama

dan berpedoman pada Protokol Kyoto 1997 pasal 3.3 dan 3.4. Kegiatan yang

dilakukan secara domestik atau melalui JI (jointly implementation) dalam proyek

deforestasi, ini dapat menghasilkan unit penyerapan (remove unit RMU) untuk

memenuhi target penurunan emisi negara-negara maju (Murdiyarso, 2003).

Pasar bagi penggantian kapasitas pohon dalam sekuestrasi dan

simpanannya (sebagai jasa lingkungan) belum terwujud. Proses pembentukan

pasar tidaklah mudah dan belum tercapai satu platform perdagangan tingkat

transaksi (lokal, nasional, regional, dan internasional) mekanisme pembayaran

dan derajat partisipasi pemerintah. Perdagangan karbon dengan jumlah

komoditas ekuivalen 1 ton karbon telah meminimalisasi biaya transaksi.

Perdagangan internasional dalam bentuk AIJ (activities jointly implementation)

dan CDM untuk penggantian karbon umumnya dilakukan melalui negosiasi

individual dengan industri pengembangan pasar yang masih terbatas (Sulandri,

2005).

Walaupun diizinkan LULUCF dalam skema CDM masih diwarnai

perdebatan dan pembahasan antara lain hanya berlaku pada periode pertama

(2008–2012), terbatas pada kegiatan reforestasi dan tidak lebih dari 1% total

emisi pihak investor, namun Indonesia memliki potensi yang sangat besar untuk

berperan dalam mitigasi pemanasan global dan perubahan iklim global melalui

CDM dan mekanisme lainnya seperti CER (certified emission reduction)

(Murdiyoso, 2003).

Jasa lingkungan (pohon) dalam menyerap/menyimpan karbon sangat

dibutuhkan dan dimanfaatkan secara komersial oleh pembangkit listrik tenaga

disel (PLTD), pertambangan, industri pengguna bahan bakar fosil dan

transportasi. Salah satu usulan Indonesia dalam Konferensi UNFCC ke 13 di

Bali (3-14 Desember 2007) adalah REDD (reduction emision from degradation

and deforestation) yaitu penurunan emisi gas rumah kaca melalui penurunan

deforestrasi dan pencegahan degradasi. Pengambil manfaat dari sumberdaya

alam dan lingkungan (bahan tambang) dikenakan charge berupa deposit refund,

yang dapat dipergunakan untuk dana pemulihan kerusakan lahan dan hutan

(land recovery) baik selama penambangan maupun setelah penambangan

(terutama sistem penambangan terbuka). Pembukaan lahan hutan menjadi

penggunaan lain yang bersifat komersial (misalnya perkebunan) dikenakan

Page 89: 394_Studi Jasa Lingkungan

78

charge karena menghilangkan kemampuan pohon untuk menyerap karbon,

dikurangi dengan penambahan pengikatan karbon tanaman perkebunan

tersebut.

Sumber utama emisi CO2 di Indonesia adalah alih guna hutan yang pada

umumnya terjadi dengan sistem tebas bakar. Di Indonesia, emisi CO2 yang

berasal dari alih guna hutan lebih besar dibandingkan dengan yang berasal dari

pembakaran bahan bakar minyak dan gas bumi (Ministry of Environment, 1999).

Disamping itu lahan gambut merupakan tempat simpanan karbon yang sangat

besar, namun cadangan karbon tersebut akan mudah menjelma menjadi CO2

apabila hutan gambut dialih-gunakan (Agus dan van Noordwijk, 2007; Agus,

2007). Dari berbagai penggunaan lahan untuk pertanian, sistem berbasis pohon-

pohonan mempunyai simpanan karbon tertinggi sedangkan sistem tanaman

semusim mempunyai simpanan karbon terendah (Tabel II-5). Usaha untuk

meningkatkan simpanan karbon antara lain ditempuh melalui diversifikasi

tanaman pangan dengan tanaman pohon-pohonan atau dengan menerapkan

sistem agroforestry. Untuk sistem pertanaman kopi di Lampung, Sumatra,

pertambahan simpanan karbon tahunan dari sistem kopi campuran adalah

sekitar 1.9 Mg ha-1 tahun-1 selama siklus produksinya, sementara untuk sistem

monokultur adalah sekitar 1.0 Mg ha-1 tahun-1 (Tomich et al., 2001; van Noordwijk

et al., 2002). Gabungan antara berbagai tanaman dalam sistem agroforestry

yang kompleks sering dijumpai di kalangan petani kecil, tidak saja di Sumatra

dan Kalimantan di mana banyak terdapat ―agroforestry karet‖ atau ―hutan karet‖,

tapi juga di Jawa di mana tanaman semusim ditanam di sela berbagai tanaman

tahunan.

Di pinggir hutan di Sumatra, lahan yang ditanami dengan cara

agroforestry tradisional dapat mengandung jenis tanaman dengan jumlah

spesies mendekati yang ada pada hutan. Dengan semakin intensifnya sistem

pertanian, maka sistem pertanian cenderung lebih berbentuk monokultur,

sehingga dalam banyak hal mempunyai dampak negatif terhadap

keanekaragaman hayati (Tabel 4-2).

Page 90: 394_Studi Jasa Lingkungan

79

Tabel 4-2. Penambatan karbon dan keanekaragaman hayati di pinggiran hutan

di Sumatra (dari Murdiyarso et al., 2002)

Penggunaan lahan

Penambatan karbon

Keanekara-gaman hayati

Rata-rata simpanan karbon (Mg ha-1)

Jumlah species tanaman/petak

Hutan alam 254 120

Hutan yang dikelola masyarakat 176 100

Hutan bekas penebangan komersial 150 90

Agroforestry karet 116 90

Agroforestry karet yang ditanam dengan klon

103 60

Karet monokultur 97 25

Sawit monokultur 91 25

Rotasi padi gogo dengan bera 74 45

Singkong yang mengalami

degradasi menuju alang-alang

39 15

1. Potofolio Tutupan Lahan DTA Danau Toba

Hutan Alam/Hutan Rapat

Hutan alam/hutan rapat yang terdapat di DTA Danau Toba hanya mencapai

luasan 13,47% dari total luas DTA. Sebagian besar berada dalam Kawasan

Lindung yang telah ditata batas dan dikukuhkan, serta sebagian lagi berada

dalam areal Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Hutan alam dan hutan

rapat sangat mendukung kegiatan wisata alam, perlindungan flora dan fauna

serta sistem penyangga kehidupan.

Dilihat dari struktur dan komposisi tegakannya, hutan alam yang terdapat di DTA

Danau Toba merupakan hutan alam tropis basah dataran tinggi dengan jenis-

jenis pohon dominan dari jenis Dipterocarpaceae.

Hutan tanaman/hutan jarang/kebun campuran

Hutan tanaman mempunyai batas-batas yang jelas berupa batas alam

(punggung gunung dan sungai/jurang) serta batas buatan (jalan, jalur dan batas).

Hutan Tanaman Industri yang dikelola oleh PT. Inti Indorayon Utama (sekarang

PT. Toba Pulp Lestari Tbk) yang berada di Kecamatan Harian Boho, hutan

tanaman penggantian jenis di Onan Runggu dan Simanindo serta hutan tanaman

hasil reboisasi yang dilaksanakan oleh cabang Dinas Kehutanan XII Toba

Page 91: 394_Studi Jasa Lingkungan

80

Samosir. Jenis-jenis pohon hutan tanaman terdiri dari angsana, beringin,

cemara, eukaliptus, mahoni, kaliandra, kemiri, johar, mindi, palu, pinus dan

suren. Hutan jarang berupa hutan alam yang telah dieksploitasi dengan sistem

Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI) dalam areal Hutan Produksi seperti di

Kecamatan Merek dan Harian Boho. Kebun campuran merupakan budidaya

tanaman keras yang dilakukan oleh penduduk disekitar permukiman dan ditepi

hutan secara terpencar-pencar.

Kebun campuran yang terdapat DTA ini merupakan kebun yang

diusahakan masyarakat setempat yangt ditanami dengan berbagai jenis tanaman

perkebunan dan buah-buahan. Berbagai jenis tanaman yang terdapat dalam

kebun campuran adalah alpukat, aren, bambu, belimbing, cengkeh, coklat,

dadap, durian, gamal, jambu mente, jarak, jengkol, jeruk, kapuk, kecapi, kelapa,

kemiri, kopi, kayu manis, mangga, nangka, petai cina, petai, pinang, rambutan,

sawit, sawo dan sirsak. Luas hutan tanaman dan kebun campuran pada DTA

Danau Toba ini lebih kurang 13,68 % dari total luas DTA.

Semak/belukar muda/resam

Lahan yang berupa semak/belukar muda dan resam pada DTA ini lebih

kurang 15,09 % dari total luas DTA. Lahan yang berupa semak belukar ini

terdapat pada daerah-daerah yang berlereng terjal dan berbatu atau areal yang

relatif datar. Semak belukar yang terdapat di areal yang terjal umumnya

didominasi oleh tumbuhan Paku resam dan di beberapa tempat seperti lereng

terjal di sekitar air terjun Sipiso-piso didominasi oleh tumbuhan perlu Kaliandra.

Sedang belukar pada areal yang relatif datar umumnya diusahakan untuk

tanaman perkebunan oleh masyarakat setempat, terutama tanaman kopi.

Lahan Tanaman semusim

Pada DTA Danau Toba ini juga terdapat lahan yang diusahakan oleh

masyarakat setempat untuk usaha tani lahan kering. Di lahan usaha tani lahan

kering ini masyarakat membudidayakan tanaman semusim (palawija dan sayur-

sayuran). Sebagian besar diusahakan pada tempat datar, sebagian kecil disela-

sela bukit yang berlereng curam yang tanahnya masih subur. Dalam mengelola

tanah, sebagian petani masih belum menerapkan metode konservasi tanah. Hal

ini tampak dari tidak dibuatnya teras pada lahan miring, atau pembuatan teras

yang kurang baik, masih melakukan pembakaran dalam pembersihan lahan dan

Page 92: 394_Studi Jasa Lingkungan

81

belum membudayakan pergantian tanaman atau peristirahatan tanah. Hal

tersebut mengakibatkan erosi tanah yang cukup hebat pada lereng-lereng yang

curam, serta menurunnya kesuburan tanah sehingga banyak lahan yang

terlantar. Luas lahan tanaman semusim ini lebih kurang 36,39 % dari total luas

DTA Danau Toba.

Disamping petani yang belum memperhatikan konservasi tanah,

sebagian petani telah mengerti dan menerapkan pola-pola yang mengarah pada

pemanfaatan ruang optimal, pengawetan kesuburan tanah serta diversifikasi

jenis tanaman dengan pola tumpang sari. Demikian pula pada beberapa tempat

kelompok masyarakat dengan sadar telah berupaya untuk mempertahankan

daerah-daerah tertentu yang dianggapnya dapat melindungi atau sebagai

penyangga dari kegiatan usaha tani mereka. Berbagai jenis tanaman budidaya

yang diusahakan di antaranya, singkong, ketela, jagung, kacang tanah, kedelai,

cabai, terong, tomat, bayam dan sebagainya.

Lahan terbuka

Lahan terbuka yang dimaksud disini adalah terdiri dari permukiman,

bangunan lain (hotel, restoran, pembukaan lahan, padang alang-alang dan

rumput. Alang-alang dan rumput terdapat pada tempat-tempat yang relatif datar

dan sebagian kecil dipunggung-punggung bukit. Alang-alang dan rumput yang

cukup luas terdapat di Kecamatan Pangururan dan Simanindo. Hal ini berkaitan

erat dengan pemanfaatan lahan sebagai areal penggembalaan ternak sapi,

kerbau dan kambing. Yang dimaksud dengan pembukaan lahan meliputi

pembukaan lahan untuk persiapan budidaya tanaman semusim, pembangunan

Hutan Tanaman Industri, pengambilan gambut dan persiapan lapangan untuk

penggantian jenis pohon. Permukiman dan bangunan lain terkonsentrasi pada

daerah-daerah subur untuk pertanian, aksesibilitas tinggi atau mempunyai akses

terhadap kegiatan wisata.

Sawah

Persawahan di DTA Danau Toba umumnya berada di daerah yang relatif

datar akan tetapi di beberapa lokasi berada disela-sela bukit. Persawahan

tersebar hampir di seluruh Kecamatan kecuali Kecamatan Dolok Pardamean dan

Sidamanik. Sawah paling luas terdapat di Kecamatan Balige, Silaen dan Porsea.

Page 93: 394_Studi Jasa Lingkungan

82

5. Keanekaragaman hayati, Habitat, Flora dan Fauna

Habitat daratan

EKDT merupakan habitat (tempat hidup) berbagai jenis flora dan fauna

(biota) baik yang masih liar maupun yang telah dibudidayakan manusia. Secara

umum habitat EKDT dapat dikelompokkan menjadi 2 tipe habitat yaitu (1) habitat

daratan kawasan Danau toba yang berupa Pulau Samosir dan daratan di

sekeliling luar danau dalam cakupan DTA Danau Toba, dan (2) habitat perairan

Danau Toba. Habitat daratan EKDT dapat diklasifikasikan menjadi 6 tipe habitat

yaitu ; (1) habitat hutan alam/hutan rapat, (2) habitat hutan tanaman dan kebun

campuran, (3) habitat semak-belukar, (4) habitat tanaman semusim, (5) habitat

persawahan dan (6) habitat permukiman dan lahan terbuka/padang rumput.

Habitat hutan alam yang terdapat di DTA Danau Toba sebagian besar

berada dalam Kawasan Lindung serta sebagian lagi berada dalam areal Hutan

Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Habitat hutan alam dan hutan rapat

sangat mendukung kegiatan wisata alam, perlindungan flora dan fauna serta

sistem penyangga kehidupan. Dilihat dari struktur dan komposisi tegakannya,

hutan alam yang terdapat di DTA Danau Toba merupakan hutan alam tropis

basah dataran tinggi dengan jenis-jenis pohon diantaranya meranti , kapur ,

keruing, puspa, manggis hutan, kayu raja, pinus dan vegetasi lainnya berupa

liana, epifit, zingiberaceae, sedang jenis-jenis satwa yang terdapat di habitat

hutan rapat ini diantaranya ; burung rangkong, elang, kuau, burung hantu, beo,

monyet, beruk, siamang, kancil, kucing hutan, macan dahan, babi hutan, biawak

dan sebagainya. Di hutan alam Gunung Sipiso-piso didominasi oleh pohon

Hoting Batu (Querqus sp). Jenis pohon ini mencapai diameter > 50 cm dan

tingginya mencapai 35 meter, dengan penutupan tajuk mencapai 90 % (Kapisa

dan Sapulete, 1989). Jenis lain yang banyak terdapat di hutan alam Gunung

Sipiso-piso ini adalah Atuang (Semecarpus, sp), Sona, Dakkap dan Kamboang.

Habitat hutan tanaman pada EKDT Danau Toba ini merupakan Hutan Tanaman

Industri (HTI) yang dikelola oleh PT. Inti Indorayon Utama (sekarang PT. TPL

Tbk) yang berada di Kecamatan Harian Boho, hutan tanaman penggantian jenis

di Onan Runggu dan Simanindo serta hutan tanaman hasil reboisasi yang

dilaksanakan oleh cabang Dinas Kehutanan XII Toba Samosir.

Jenis-jenis pohon hutan tanaman ini terdiri dari angsana, beringin,

cemara, ekaliptus, mahoni, kaliandra, kemiri, johar, mindi, palu, pinus dan suren.

Page 94: 394_Studi Jasa Lingkungan

83

Hutan jarang berupa hutan alam yang telah dieksploitasi dengan sistem Tebang

Pilih Tanaman Indonesia (TPTI) dalam areal Hutan Produksi seperti di

Kecamatan Merek dan Harian Boho. Habitat hutan tanaman ini mendukung

berbagai jenis satwa/fauna, terutama berbagai jenis-jenis burung pemakan

serangga dan biji seperti kutilang, sikatan, tekukur, bubut, beo, kucica dan

sebagainya. Beberapa jenis mamalia yang sering dijumpai pada habitat hutan

tanaman ini diantaranya tupai, kera ekor panjang. Habitat kebun campuran ini

berada ditepi hutan secara terpencar-pencar. Jenis tanaman yang terdapat

dalam kebun campuran adalah alpukat, aren, bambu, belimbing, cengkeh, coklat,

dadap, durian, gamal, jambu mente, jarak, jengkol, jeruk, kapuk, kecapi, kelapa,

kemiri, kopi, kayu manis, mangga, nangka, petai cina, petai, pinang, rambutan,

sawit, sawo dan sirsak. Jenis-jenis tanaman yang terdapat pada kebun

campuran ini mendukung kehidupan berbagai jenis satwa/fauna yang terdapat

pada habitat ini terutama jenis-jenis burung pemakan serangga dan biji seperti

kutilang, sikatan, tekukur, bubut, beo, kucica dan sebagainya.

Habitat tanaman semusim ini merupakan lahan yang telah diusahakan

masyarakat setempat untuk usaha tani tanaman semusim seperti : singkong,

ketela, jagung, kacang tanah, kedelai, cabai, terong, tomat, bayam dan

sebagainya. Sedangkan habitat semak belukar yang terdapat pada DTA Danau

Toba ini merupakan lahan yang tertutup oleh semak belukar dan jenis tanaman

Paku Resam dan Kaliandra. Habitat semak belukar ini terdapat pada daerah

yang lereng curam dan sebagian juga terdapat pada daerah datar. Habitat

semak-belukar ini kurang dapat mendukung kehidupan fauna di kawasan ini.

Tipe habitat ini terdiri dari kawasan permukiman, padang alang-alang dan

rumput. Alang-alang dan rumput terdapat pada tempat-tempat yang relatif datar

dan sebagian kecil dipunggung-punggung bukit. Alang-alang dan rumput yang

cukup luas terdapat di Kecamatan Pangururan dan Simanindo. Habitat padang

alang-alang ini sangat mendukung sebagai areal penggembalaan ternak sapi,

kerbau dan kambing.

Habitat persawahan di DTA Danau Toba sebagian besar terdapat di

daerah yang relatif datar akan tetapi dibeberapa lokasi berada disela-sela bukit.

Persawahan tersebar hampir diseluruh Kecamatan kecuali Kecamatan Dolok

Pardamean dan Sidamanik. Habitat persaawahan ini paling luas terdapat di

Kecamatan Balige, Silaean dan Porsea. Berbagai jenis satwa yang terdapat di

Page 95: 394_Studi Jasa Lingkungan

84

areal persawahan ini terutama jenis-jenis burung pemakan biji dan serangga

seperti burung pipit, gelatik, bubut, tekukur dan sebagainya.

Habitat Perairan Danau Toba

Danau Toba yang terletak pada ketinggian sekitar 903 m dpl. Dikelilingi

oleh perbukitan yang kebanyakan telah gundul. Menurut sejarah kejadiannya,

danau ini merupakan danau vulkano-tektonik. Danau ini terbentuk kira-kira

300.000 tahun yang lalu yang diakibatkan oleh letusan gunung api dan

amblasnya tanah secara tektonik. Letusan tersebut membentuk lubang letusan

berbentuk kawah raksasa sehingga terjadilah sebuah danau. Bagian yang tidak

runtuh terbentuk menjadi satu pulau hingga saat ini yang dikenal dengan Pulau

Samosir. Oleh sebab itu maka kebanyakan pantai Danau Toba berbentuk curam.

Danau ini merupakan danau oligotropik (perairan kurus dan dalam)

dengan bagian yang subur terdapat di sekitar cekungan Pangururan, Porsea,

dan Prapat. Perairan danau ini terletak di atas tanah andesit dan leterit yang

kekurangan mineral terlarut, memiliki kandungan besi yang tinggi, sedangkan

unsur N, P dan Ca sangat rendah. Danau ini memiliki kandungan air seluas

1.146 km2 atau sekitar 2.860.000 ton air yang berasal dari mata air dan 19

sungai yang telah disebutkan terdahulu. Satu-satunya sungai yang bersumber

dari danau ini adalah S. Asahan yang mengalir di wilayah Kabupaten Asahan

dan dipergunakan sebagai pembangkit tenaga listrik (PLTA) Asahan.

Di dalam perairan danau ini terdapat berbagai jenis ikan baik ikan

endemik (asli) maupun ikan yang diintrodusi ke perairan ini yang merupakan

hasil budidaya (penebaran, kertamba maupun jaring apung. Jenis ikan yang

merupakan jenis ikan endemik yang keberadaannya saat ini hampir punah

adalah Ikan Batak terdiri dari dua spesies yaitu : Lissochilus sumatranus dan

Labeobarbus soro. Di perairan danau ini juga terdapat remis yang endemik yang

dikenal namanya sebagai Remis Toba (Corbicula tobae). Sedangkan berbagai

jenis ikan lain yang alami maupun hasil budidaya yang bukan endemis adalah :

ikan Mas, Mujair, Nila, Tawes, Lele, Gabus dan sebagainya.

3. Perkiraan Potensi Sekuestrasi Karbon DTA Danau Toba

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dihitung potensi karbon yang

dimiliki oleh Kawasan Danau Toba yaitu dengan menghitung luasan tutupan

Page 96: 394_Studi Jasa Lingkungan

85

lahan dikalikan dengan potensi karbon per hektar sesuai dengan penggunaan

lahan yang ada, sebagaimana disajikan pada Tabel 4-3

Tabel 4-3. Perkiraan potensi karbon yang dapat disekuestrasi oleh vegetasi

sesuai dengan tipe penutupan lahan di DTA Danau Toba

No Tipe Habitat

Daratan

Luas (Ha)

Potensi karbon

(Mg ha-1

)

Jumlah potensi Karbon

(Mg ha-1

)

Nilai Ekonomi Karbon (Rp)*1

1. Hutan alam, hutan rapat

35.557 254 8.523.478 3.128.116.426.000

2. Hutan tanaman, hutan jarang, kebun campuran

36.113 176 6.355.888 2.332.610.896.000

3. Semak, belukar muda, resam

39.893 150 5.983.950 2.196.109.650.000

4. Tanaman semusim 90.066 97 8.736.402 3.206.259.534.000

5. Persawahan 24.886 74 1.841.564 675.853.988.000

6. Lahan terbuka (pemukiman, bangunan lain, pembukaan lahan) rumput dan alang-alang

31.474 39 1.227.486 450.487.362.000

Total 263.989 32.668.768 11.989.437.856.000

*1) Keterangan : 1 ton karbon equivalen dengan 3,67 ton CO2. Harga 1 ton CO2 diasumsikan US$10 (US$1=Rp.10.000,-), Agus, F (2008) ( sumber : komunikasi pribadi – Fahmuddin Agus, 2009)

Dari Tabel 4-3 terlihat bahwa potensi ekonomi jasa lingkungan berupa

penyerapan karbon dari seluruh tipe penutupan lahan Kawasan Danau Toba

adalah sebesar Rp. 11.989.437.856.000 (mendekati 12 trilyun rupiah) Mg ha-1

selama masa penyerapan yang diasumsikan sama dengan masa kontrak CER

(certified reduction emission), umumnya selama 20 tahun. Dengan demikian nlai

CER adalah Rp 599.471.892.800 per tahun. Jumlah tersebut belum termasuk

potensi ekonomi pencegahan emisi CO2 dari lahan gambut yang ada di

Kawasan Danau Toba. Dengan demikian, jumlah itu masih dapat ditingkatkan

yang potensial untuk diperdagangkan baik melalui skema CDM maupun REDD.

Pembayaran karbon dengan skema CDM mensyaratkan beberapa hal

pokok antara lain (1) merupakan lahan bukan kawasana hutan sejak 1990, (2)

lahan kritis, (3) bukan kawasan lindung/konservasi, (4) status lahan tetap selama

Page 97: 394_Studi Jasa Lingkungan

86

kontrak, dan (5) dilakukan penanaman. Pembayaran karbon melalui skema

REDD memungkinkan dengan (1) reduce impact loging, (2) tindakan-tindakan

untuk mempertahankan status hutan lindung/konservasi, (3) mencegah

terjadinya emisi karbon (mencegah kebakaran dan terbukanya lahan gambut,

dll), dan 4) lainnya. Kedua skema pembayaran karbon di atas sangat potensial

diterapkan di Kawasan DTA Danau Toba dengan melibatkan masyarakat secara

aktif dan regulasi serta institusi yang memadai baik secara lokal, nasional dan

global.

C. Rekreasi/Wisata, Pendidikan dan Penelitian

Keindahan lansekap dan keanekaragaman hayati yang terdapat dalam

suatu DAS merupakan komoditas yang ditawarkan di pasar ekoturisme (wisata

alami). Saat ini, pasar bagi ekoturisme dirasakan perkembangannya masih

lambat terutama disebabkan pandangan operator turisme yang menganggap

keindahan lansekap dan keanekaragaman hayati sebagai komoditi gratis dan

belum mampu membangkitkan kesediaan membayar konsumen. Bila kondisi ini

berlangsung terus, maka dikhawatirkan jasa rekreasi yang ditawarkan DAS

kurang mendapat tanggapan dari pasar baik domestik maupun manca negara

(Pagiola, et. al, 2002).

Kondisi DAS memilki ekosistem dan keindahan lansekap yang spesifik

dan keanekargaman hayati yang tinggi baik dalam jenis maupun jumlah telah

mengundang peneliti lokal, nasional dan internasional untuk melakukan

penelitian dan pengembangan dalam berbagai hal terutama berkaitan dengan

ilmu pengetahuan dan teknologi. Penemuan jenis tanaman berhasiat obat

(madicinal plant), pengembangan bioteknologi dan industri biogenetika yang

spektakuler telah menjadikan penelitian terhadap keanekaragaman hayati

dipandang sebagai komoditas yang dapat dipasarkan bahkan dengan harga jual

yang tinggi.

Bauman et.al (2001) menyatakan bahwa sebagian besar

keanekaragaman hayati dunia terdapat di negara-negara selatan (berkembang),

akan tetapi yang lebih mendapatkan manfaat darinya adalah negara-negara

utara (maju). Negara - negara maju dengan dalih melakukan penelitian telah

meraup hasil yang sangat besar berupa hak paten dan intelektual, industri

biogenetika dan perdagangan produknya ke negara-negara berkembang yang

Page 98: 394_Studi Jasa Lingkungan

87

sebenarnya didapatkan dari negara berkembang. Pembentukan pasar bagi

penelitian dan hasilnya yang adil (fair) merupakan upaya yang harus dilakukan

untuk melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan dunia. Jasa lingkungan

berupa tempat rekreasi dan kesehatan dibutuhkan dan dimanfaatkan secara

komersial oleh turis dan wisata, olah raga, hotel/restoran dan konvensi.

Sedangkan jasa lingkungan berupa tempat penelitian dibutuhkan dan

dimanfaatkan secara komersial oleh peneliti, perguruan tinggi, lembaga-lembaga

riset dan industri baik berskala nasional maupun global.

Hasil perhitungan terhadap WTP (kemampuan membayar) jasa wisata

oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang ekowisata dan agrowisata di

Kawasan Danau Toba adalah sebesar Rp 3.600,- per tiket pengunjung. Artinya

perusahaan bersedia mengkompensasi pendapatannya sebesar Rp 3.600,- per

pengunjung (basis tiket Rp 1.500,-) untuk diinvestasikan dalam rangka

pelestarian lingkungan alam baik berupa hutan maupun air. Disisi lain, para

wisatawan juga bersedia membayar sebesar Rp 20.000,- per orang untuk setiap

pembayaran tiket sebesar Rp 7.000,- per pengunjung. Diproyeksikan dengan

jumlah pengunjung yang semakin besar dan meningkat setiap tahun, potensi

jasa lingkungan wisata di Kawasan Danau Toba sangat besar.

1. Kawasan Konservasi dan Hutan Wisata

Pada DTA Danau Toba terdapat 2 kawasan konservasi (daratan) yaitu :

Suaka Margasatwa Dolok Surungan dan Taman Wisata Alam Sijaba-

Hutaginjang. Ekosistem Suaka Margasatwa Dolok Surungan membentang di

wilayah kabupaten Toba Samosir terletak di bagian wilayah kecamatan

Habinsaran, Parsoburan dan Parhitean. Pada Kabupaten Asahan terletak di

bagian wilayah Kecamatan Bandar Pulau. Luas keseluruhan Suaka Margasatwa

Dolok Surungan adalah 23.800 Hektar.

Untuk menuju kawasan dapat dipilih 3 (tiga) alternatif pintu masuk menuju

kawasan. Pilihan pertama menuju Resort Parhitean. Alternatifnya dari kota

Medan menuju Kisaran hingga simpang Dolok Maraja membelok ke arah

Salimpotpot atau melalui Porsea menuju ke Salimpotpot. Waktu tempuhnya

kurang lebih 7 jam. Pilihan kedua menuju Parsoburan. Menempuh perjalanan

dari Medan ke Balige kemudian belok kiri ke arah Parsoburan dengan waktu

Page 99: 394_Studi Jasa Lingkungan

88

tempuh 7 jam. Pilihan ketiga adalah menuju Resort Parlilitan. Perjalanan yang

ditempuh dari Medan menuju Habinsaran dengan waktu tempuh selama 8 jam.

Penetapan sebagai kawasan hutan telah dilakukan pada tahun 1924

dengan Surat Keputusan Zelfsbestuur No.50 tanggal 25 Juni 1924, dengan

ditetapkannya kelompok hutan Dolok Surungan (Register 21 seluas 10.800

Hektar) dsn kelompok hutan Dolok Sihobun (Register 22 seluas 13.000 Hektar)

sebagai kawasan hutan. Menimbang kawasan tersebut merupakan habitat

penting bagi hidup dan berkembang biaknya satwa-satwa liar terutama

Tapir/Cipan (Tapirus Indicus), maka pada tahun 1974 kedua kelompok kawasan

hutan tersebut seluas 23.800 hektar ditetapkan statusnya menjadi kawasan

Suaka Margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor

43/Kpts/Um/2/1974 tanggal 2 Februari 1974.

2. Potensi Kawasan

Flora terdiri dari 2 tipe yaitu pada ketinggian 1000-2173 m dpl terdiri dari:

Anturmangan (Casuarina sp), Mayang (Palaquium sp), Haundolok (Eugenia sp),

Medang (Manglieta sp). Penetapannya merupakan habitat penting bagi satwa

Tapir/Cipan (Tapirus Indicus) sehingga perlu dijaga dan dibina kelestariannya

untuk ilmu pengetahuan dan pendidikan. Satwa lain yang hidup di kawasan

adalah antara lain, Kambing Hutan, Rusa (Cervis Unicolor), Harimau Sumatera

(Panthera Tigris Sumatrensis), Babi Hutan (Sus sp), Siamang (Hylobathes sp),

Elang (Fam: Accipitridae) dan lain-lain.

Kawasan ini terdiri dari dua kawasan yang terpisah namun berdekatan

yaitu Sijaba dan Hutaginjang. Terletak di kecamatan Muara Kabupaten Toba

Samosir. Untuk mencapai kawasan ini ditempuh dengan rute: Medan – Balige –

Sosor Lumban dengan jarak ± 350 Km dengan waktu tempuh 7 jam. Status

kawasan ini sebelumnya merupakan Hutan Produksi Terbatas berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Pertanian No.923/Kpts/Um/12/1982 tanggal 27 Desember

1982. Selanjutnya pada tahun 1993 ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.592/Kpts-II/1993 dengan

luas 500 Ha.

Merupakan kawasan hutan reboisasi yang didominasi oleh Tusam (Pinus

Mekussi) dan semak belukar/perdu. Jenis satwa yang bisa ditemui seperti

monyet, babi hutan, ayam hutan, beberapa jenis burung seperti murai batu,

Page 100: 394_Studi Jasa Lingkungan

89

kutilang, belibis, elang dan sebagainya. Taman wisata ini masih belum memiliki

fasilitas penunjang yang mendukung untuk tujuan pariwisata. Potensi Pariwisata

yang dapat dikembangkan adalah berupa pemandangan indah Danau Toba dari

arah ketinggian, udara yang sejuk, sehingga saat baik untuk Jogging serta

camping.

Pada tahun 2008, jumlah pengunjung domestik dan mancanegara ke

Kawasan Danau Toba adalah 143.298 pengunjung. Hasil pengolahan data

survei CVM yang dilakukan diperoleh informasi bahwa kemampuan membayar

turis lokal atas jasa wisata rata-rata adalah sebesar Rp 3500,- dan

mancanegara sebesar Rp.20000,- per tiket atau rata-rata sebesar Rp. 11.750

/tiket. Dengan demikian nilai jasa lingkungan wisata atau rekreasi Kawasan

Danau Toba sebesar Rp 1.683.751.500 /tahun. Jasa pendidikan dan penelitian,

belum teridentifikasi dan terkuantifiasi dengan baik. Namun diproyeksikan

nilainya belum signifikan dibandingkan dengan nilai jasa lingkungan sumberdaya

air dan rosot karbon.

D. Jasa Lingkungan Lainnya

Kecuali jasa-jasa sebagaimana diuraikan terdahulu sebenarnya

lingkungan juga memiliki jasa dalam mengelola limbah domestik (industri dan

rumah tangga) terutama sampah organik dan anorganik. Akan tetapi timbulan

sampah jauh melebihi kapasitas asimilatif lingkungan sehingga alam tidak

mampu mendekomposisinya secara alamiah. Kondisi tersebut menimbulkan

permasalahan yang sangat kompleks terutama bagi perkotaan. Pengelolaan

sampah di perkotaan bukan hanya menimbulkan permasalahan pencemaran

lingkungan dan kesehatan tetapi sudah menjadi permasalahan berupa konflik

sosial (kasus TPA Leuwi Gajah, Cimahi dan TPA Bojong Kabupaten Bogor, di

Jawa Barat).

Dari perspektif tanggung jawab mutlak (liability principle), penghasil

limbah domestik harus membayar pengeloaan limbahnya atau sering disebut

polluters pay principle. Akan tetapi, karena limbahnya menyebar di seluruh

daerah pemasaran produknya maka mereka sebenarnya telah memanfaatkan

jasa lingkungan alam untuk mengelola timbulan sampah yang mereka hasilkan.

Pemanfaatan jasa lingkungan oleh penghasil limbah tersebut seyogiaya

dibebankan biaya sebagai kompensasi atau diistilahkan product charge.

Page 101: 394_Studi Jasa Lingkungan

90

Besarnya beban biaya tersebut berbanding lurus dengan biaya

pengelolaan limbah bila dilakukan di pabrik/industrinya atau sebesar biaya yang

diperlukan untuk memulihkan kualitas lingkungan per satuan produk barang yang

dihasilkan. Secara umum, product charge dikenakan pada produk barang industri

dan manufaktur yang membutuhkan pengemasan dalam penjualannya seperti

makanan, minuman, elektronik, pupuk dan pestisida, semen, cat, dan lain-lain.

Dalam studi ini, jasa lingkungan sebagaimana diuraikan belum divaluasi secara

ekonomi. Apabila dilakukan valuasi ekonominya, diproyeksikan akan

memperoleh nilai yang cukup besar.

Dari seluruh uraian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa

nilai ekonomi jasa lingkungan Kawasan Danau Toba adalah sebesar RP.

1.386.311.032.980,80 yang terdiri dari Rp. 785.155.388.680,80 (jasa air), Rp.

Rp 599.471.892.800 (jasa rosot karbon) dan Rp Rp 1.683.751.500 /tahun (jasa

wisata/rekreasi). Apabila seluruh dana tersebut dialokasikan untuk konservasi

dan rehabilitasi serta peningkatan kesejahteraan masyarakat hulu Danau Toba,

maka kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan akan terjamin.

Page 102: 394_Studi Jasa Lingkungan

V. KOMPENSASI JASA LINGKUNGAN

A. Kompensasi Biaya Lingkungan PLTA dan PAM

Untuk mengetahui pengaruh penurunan kualitas lingkungan terhadap

biaya produksi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dilakukan perhitungan

terhadap (1) besarnya biaya hilangnya kesempatan produksi (opportunity cost)

akibat rendahnya volume air waduk, berhenti beroperasi selama pemeliharaan

dan keputusan manajemen PAM, (2) besarnya biaya yang harus dikeluarkan

oleh perusahaan berupa biaya pemeliharaan peralatan utama produksi dan (3)

biaya penggunaan bahan kimia terutama dalam penanganan gas H2S dan

pencegahan peralatan masinal/pipa dari karat. Untuk menjaga kontinuitas

produksi energi listrik pada tingkat tertentu diperlukan pemeliharaan terhadap

peralatan produksi terutama turbin dan water cooler, pembelian bahan kimia

tertentu dan pemeliharaan waduk. Pemeliharaan turbin dan water cooler

dilakukan satu kali dalam 20-30 tahun dan pemeliharaan waduk dilakukan rutin

setiap tahun.

Biaya eksternalitas adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan

(PLTA) untuk mempertahankan kegunaan sumberdaya air pada tingkat tertentu.

Besarnya biaya eksternalitas tersebut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

penghasil sumberdaya air di wilayah hulu DTA Danau Toba. Biaya eksternalitas

meningkat apabila terjadi penurunan volume air, peningkatan sedimen yang

memasuki partisi cooler (sehingga tidak beroperasi) yang kedua-duanya

menyebabkan kesempatan tidak berproduksi PLTA semakin besar, peningkatan

biaya pemeliharaan dan kebijakan manajemen PAM dalam mengalokasikan air.

Besarnya biaya eksternalitas tersebut diduga akan semakin meningkat

pada tahun-tahun mendatang sebagai akibat penurunan pendapatan dan

peningkatan biaya pemeliharaan. Penurunan pendapatan disebabkan oleh

peningkatan besarnya kehilangan kesempatan berproduksi, baik sebagai akibat

penurunan volume air masuk lokal, peningkatan sedimentasi dan waduk maupun

peningkatan frekuensi pemeliharaan alat utama produksi (turbin dan cooler).

Dengan kata lain, apabila kondisi penutup lahan dan karakteristik

hidrologis tidak berubah, maka PLTA akan memiliki potensi keuntungan sebesar

potensi kerugiannya. Biaya tersebut merupakan compensation variation dan

equivalent variation PLTA dalam upaya mempertahankan utilitas sumberdaya air

sebagai energi pembangkit pada tingkat produksi yang ditetapkan. Dengan kata

Page 103: 394_Studi Jasa Lingkungan

92

lain, biaya tersebut merupakan willingness to pay wilayah hilir (pengguna jasa)

atas perbaikan kualitas lingkungan wilayah hulu (penyedia jasa).

Bagi pengguna jasa lingkungan (sumberdaya air) seperti halnya PLTA

dan PAM, penurunan kuantitas, peningkatan sedimentasi dan penurunan kualitas

kimiawi menimbulkan tambahan biaya (environmental marginal cost) yang terus

meningkat dari tahun ke tahun berikutnya. Biaya yang harus disediakan sebagai

akibat dari penurunan kualitas jasa lingkungan merupakan biaya eksternalitas

(externality cost) bagi pengguna air Danau Toba. PLTA dan PAM bersedia

membayar karena harus mempertahankan kegunaan pada kuantitas dan kualitas

sumberdaya air (compensation variation-CV and equivalent variation-EV) .

Apabila kondisi lingkungan di wilayah hulu DTA atau DAS diperbaiki

dengan rehabilitasi dan upaya konservasi (misalnya kondisi lingkungan sama

dengan Z1) maka eksternalitas tersebut diinvestasikan sebagai biaya konservasi,

sehingga menggeser kurva marjinal WTP Z2 bergeser ke kanan menjadi kurva

marjinal WTP Z1 (sebagaimana digambarkan pad Bab III). Semakin tinggi

penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya air semakin besar tambahan biaya

yang harus dibayarkan agar PLTA dan PAM mendapatkan kepuasan yang sama

(indifferent-marginal WTP). PLTA dan PAM melakukan kompensasi atas

pendapatannya untuk membayar tambahan biaya tersebut.

Dari sisi lain, kerugian yang diderita oleh PLTA dan PAM sebagai akibat

degradasi kuantitas dan kualitas sumberdaya air merupakan opportunity cost

atas kerusakan ekosistem wilayah hulu DTA Danau Toba atau DAS Asahan

atau merupakan opportunity benefit yang hilang. Artinya, apabila tambahan biaya

yang dibayarkan oleh PLTA dan PAM digunakan untuk merehabilitasi dan

melakukan tindakan konservasi, maka secara alamiah PLTA dan PAM akan

mendapatkan tambahan keuntungan (marginal benefit) seiring dengan perbaikan

kuantitas dan kualitas sumberdaya air yang dihasilkan oleh ekosistem wilayah

hulu tersebut. Dengan demikian, pembayaran tambahan biaya yang dikeluarkan

oleh PLTA dan PAM bukanlah biaya tetapi merupakan investasi jangka panjang

yang menguntungkan.

Investasi tersebut merupakan kompensasi (transfer payment) dari hilir

(pengguna atau konsumen) ke hulu (produsen atau penyedia). Wilayah hulu DTA

Danau Toba telah menghasilkan jasa lingkungan dan dari wilayah hilir

mengalirkan uang berupa investasi lingkungan untuk konservasi ekosistem

Page 104: 394_Studi Jasa Lingkungan

93

(replacement cost). Dengan kata lain, baik PLTA maupun PAM telah

memindahkan resiko peningkatan biaya lingkungannya (environmental marginal

cost) kepada ekosistem DAS Wilayah Hulu sebagai akibat peningkatan biaya

pemeliharaan peralatan dan keamanan pekerja (marginal damage cost) serta

peningkatan kerugian (marginal opportunity cost) setiap tahun. Apabila transaksi

pembayaran seperti ini terjadi, menunjukan bahwa telah ada aliran bahan dan

energi (uang) dari hilir ke hulu, ada ketergantungan dan keterkaitan antara hilir

dan hulu serta telah menjadi suatu sistem yang terintegrasi (ekosistem). Pada

kondisi (state of nature) seperti ini akan terjadi internalisasi pendekatan

lingkungan dalam masalah ekonomi atau sebaliknya, sehingga pengelolaan DAS

dan sumberdaya air secara berkelanjutan akan terwujud.

Apabila transfer payment dari pengguna jasa (hilir) kepada produsen jasa

lingkungan (hulu) digunakan sebagai investasi lingkungan, maka masyarakat

yang berada di wilayah hulu akan memperoleh peningkatan pendapatan yang

sangat berarti bagi keberlanjutan (sustainability) konservasi sumberdaya air dan

ketersediaan pasokannnya kepada pengguna di hilir dengan kualitas yang

semakin membaik. Kompensasi dari pengguna kepada pemasok jasa lingkungan

juga akan sangat membantu pengentasan kemiskinan dan sekaligus dapat

menimbulkan ketergantungan di antara mereka. Dalam skala nasional akan

meningkatkan kesejateraan dan keadilan sosial serta memperkokoh kesatuan

dan persatuan bangsa.

Keberhasilan kompensasi antara hilir (konsumen) dan hulu (produsen)

sangat tergantung pada pendekatan pelaksanaannya. Ada dua metode

pendekatan yang biasa diterapkan di berbagai negara yaitu command and

control (CAC) dan market based instrument (MBI) atau sering disebut sebagai

instrumen ekonomi (economic instruments). Pada umumnya metode CAC lebih

berhasil di negara-negara berkembang, sedangkan MBI di negara-negara maju.

Hal ini berkaitan dengan tingkat pendapatan per kapita, pengetahuan dan

kesadaran hukum serta kepedulian terhadap kelestarian lingkungan di masing-

masing negara. Dalam implementasi CAC dan MBI sering terjadi kegagalan yang

menurut Fauzi (komunikasi pribadi) terdapat tiga kegagalan yang mungkin

terjadi, yaitu kegagalan institusi, kegagalan pasar, dan kegagalan kebijakan.

Ketiga kegagalan tersebut akan menyebabkan gap yang besar antara biaya

swasta dan biaya sosial dan pada gilirannya akan menimbulkan kerusakan

Page 105: 394_Studi Jasa Lingkungan

94

sumberdaya alam dan lingkungan, underpricing sumberdaya dan over

consumption / production. Oleh karena itu, untuk Indonesia sebaiknya lebih

mengutamakan pendekatan CAC (membangun kebijakan dan institusi) dan

diikuti dengan pendekatan MBI.

B. Implikasi Kebijakan dan Integrasi Implementasi

Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa valuasi ekonomi jasa

lingkungan dengan pendekatan compensation variation and equivalent variation

dapat digunakan untuk menghitung besarnya biaya (charge) yang harus

dibayarkan oleh pengguna kepada produsen (supplier) jasa lingkungan. Prinsip

dasar pendekatan ini adalah bahwa kerusakan lingkungan merupakan

opportunity cost produsen jasa lingkungan (equivalent variation) sama besarnya

dengan opportunity benefit pengguna jasa lingkungan (compensation variation).

Demikian pula sebaliknya, opportunity cost pengguna jasa lingkungan sama

besarnya dengan opportunity benefit produsen jasa lingkungan, Transfer of

payment dari pengguna kepada penyedia jasa lingkungan merupakan

pembayaran yang seharusnya dilakukan sebagai biaya pengganti (replacement

cost), rehabilitasi, restorasi dan pemulihan atas kerusakan sumberdya alam dan

lingkungan.

Oleh karena itu pembebanan tersebut sesungguhnya bukanlah sebagai

biaya yang memberatkan para pengguna jasa lingkungan tetapi merupakan

investasi konservasi sumberdaya alam dan lingkungan yang semakin

menguntungkan terutama dalam perhitungan ekonomi jangka panjang dan

berkelanjutan (sustainable). Identifikasi sektor-sektor yang berperan sebagai

pengguna jasa lingkungan, jenis-jenis jasa lingkungan dan valuasi ekonomi jasa

lingkungan, mekanisme transfer pembayarannya dan penyedia jasa lingkungan

merupakan hal-hal yang sangat penting dan strategis dalam implementasi

kompensasi jasa lingkungan serta implikasi dalam kebijakan pengelolaan

sumberdaya alam dan lingkungan, baik bidang legislasi, regulasi, institusi

maupun pendanannya.

Sebagaima diuraikan pada Bab terdahulu bahwa biaya yang diperlukan

sangatlah besar untuk rehabilitasi dan konservasi SDA dan Lingkungan di

wilayah hulu Kawasan Danau Toba sehingga kuantitas dan kualitas jasa

lingkungan tetap terjaga dengan baik. Oleh karena itu, dana kompensasi dari

Page 106: 394_Studi Jasa Lingkungan

95

pemanfaat (hilir) atas jasa air, rosot karbon dan keanekaragaman hayati, wisata

pendidikan dan penelitian serta jasa-jasa lingkungan lainnya dapat diintegrasikan

dalam suatu kawasan DTA atau Sub DTA dari Kawasan Danau Toba. Dengan

cara integrasi pembiayaan ini, maka keberhasilan rehabilitasi dan konservasi

serta peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai penyedia jasa lingkungan

(hulu) akan tercapai termasuk kepastian keberlanjutannya (sustainabilty).

Page 107: 394_Studi Jasa Lingkungan

VI. KELEMBAGAAN

Kelembagaan (institution) secara konseptual didefinisikan sebagai

aturan main (the rule of the game) yang dianut dan ditaati oleh masyarakat lokal

setempat yang menjadi pegangan oleh masyarakat yang bersangkutan (Anwar,

2001 jo Hayami dan Rutan, 1984). Beberapa literatur istilah kelembagaan lebih

mengarah pada social institution dan cenderung dipadankan dengan organisasi

(social organization). Beberapa kelompok menterjemahkan kelembagaan dengan

istilah pranata, dan kelompok lain juga punya pendangan lain yang

menterjemahkan kelembagaan dengan bangun sosial. Secara umum

kelembagaan merupakan bentuk sosial (social form) yang hidup dalam

masyarakat. Kata kelembagaan menunjuk kepada suatu yang bersifat mantap

(established) yang hidup (constitued) di dalam masyarakat. Suatu kelembagaan

adalah suatu perilaku (ways) yang hidup pada suatu kelompok orang. Didalam

konsep kelembagaan ini terkandung unsur-unsur yang membangun

kelembagaan yakni adanya prinsip-prinsip hidup bersama, nilai, norma dan

peraturan yang harus ditaati oleh anggota masyarakat, adanya organisasi yang

mewadahi struktur saling keterkaitan diantara unsur-unsur yang ada di dalam

kelembagaan tersebut.

Disisi lain hubungan sosial (social relation) pada suatu komunitas dapat

disebut sebagai sebuah kelembagaan apabila memiliki empat komponen, yaitu

adanya: (1) Komponen person, orang-orang yang terlibat dalam kelembagaan

dapat diidentifikasi dengan jelas, (2) Komponen kepentingan: orang-orang

tersebut diikat dengan suatu tujuan atau kepentingan, sehingga diantara mereka

harus saling berinteraksi, (3) Komponen aturan: setiap kelembagaan

mengembangkan seperangkat kesepakatan yang dipegang secara bersama,

sehingga seseorang dapat menduga apa perilaku orang lain dalam lembaga

tersebut, (4) Komponen struktur: setiap orang memiliki posisi dan peran, yang

harus dijalankan secara benar. Orang tidak bisa merubah posisinya dengan

kemauan sendiri.

A. Pengelola Jasa Lingkungan

1. Jasa Lingkungan

Ancaman terhadap kelangsungan sumber daya alam dan penurunan

kualitas lingkungan sudah menjadi fenomena global saat ini. Situasi yang tentu

Page 108: 394_Studi Jasa Lingkungan

97

saja sangat berbeda dengan kondisi sebelum terjadinya modernisasi yang

diawali pada abab ke 20 dan ke 21. Ancaman ini bukan saja menyangkut

kesehatan terhadap umat manusia namun juga melibatkan pemanfaatan yang

berlebihan terhadap sumber daya alam (overuse) serta peningkatan

pencemaran.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pengelolaan lingkungan

sangat diperlukan agar hasil-hasil yang dicapai dari pembangunan ekonomi

tersebut tidak menguap (dissipated) oleh karena rusaknya sumber daya alam

dan lingkungan. Beberapa instrumen pengendalian lingkungan bisa terdiri dari

instrumen command and control, moral suasion dan insentif berbasis finansial

maupun pasar atau sering disebut sebagai Instrumen Ekonomi. Dalam

implmentasi instrumen pengendalian lingkungan ini sesungguhnya dapat

bersinergi dan saling melengkapi.

Secara umum kondisi SDA dan LH di Indonesia mengalami penurunan

kualitas, fungsi dan manfaat. Tidak dapat dipungkiri bahwa upaya untuk

melakukan recovery atau pemulihan SDA dan LH ini kalah cepat dibandingkan

dengan proses penurunan kualitas, fungsi atau manfaat SDA dan LH itu sendiri.

Dapat dikemukakan beberapa alasan rasional yang melatarbelakangi mengapa

upaya untuk melakukan recovery atau pemulihan SDA dan LH ini kalah cepat

dibandingkan dengan proses penurunan kualitas, fungsi atau manfaat SDA dan

LH, sebagai berikut :

1. Perilaku buruk masyarakat baik secara individu atau kelompok sebagai

pelaku ekonomi.

o Kurang bahkan nyaris tidak memperhitungkan dampak kerusakan SDA

dan LH dalam mengambil manfaat ekonomi dari SDA dan LH.

o Perilaku yang tidak memberikan nilai jual/harga atas barang dan jasa

lingkungan, sehingga tindakan pelaku ekonomi tidak rasional dalam

menggunakan barang dan jasa lingkungan tersebut.

o Tidak menganut asas keberlanjutan dalam mengambil manfaat ekonomi

dari SDA dan LH.

2. Keterbatasan ketersediaan dana dalam upaya recovery atau pemulihan SDA

dan LH yang sudah diambil manfaat ekonominya oleh pelaku ekonomi.

3. Tidak dirasakan secara nyata penghargaan (reward) bagi stakeholder yang

berbuat dan berperilaku positif terhadap SDA dan LH, dan sebaliknya tidak

Page 109: 394_Studi Jasa Lingkungan

98

adanya ketegasan hukuman (punishment) bagi stakeholder yang berperilaku

negatif terhadap SDA dan LH.

4. Sifat SDA dan LH yang open access.

Tidak hanya persoalan sebagaimana yang dikemukakan diatas, beberapa

peneliti bahkan mengkaji adanya korelasi positif antara kemiskinan,

rendahnya tingkat pendidikan atau pengetahuan, dan persoalan sosial

lainnya dengan proses penurunan kualitas, fungsi atau manfaat SDA dan LH.

Dari perspektif interaksi sosial, pada umumnya seseorang

mendapatkan sesuatu yang diinginkannya berkat jasa yang diberikan oleh pihak

lain, sehingga manusia tersebut mendapatkan kemudahan dalam mendapatkan

keinginan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari manusia lain yang memberikan

bantuan dan kemudahan cenderung ditempatkan sebagai pemberi jasa satu-

satunya. Apakah suatu kealpaan atau karena pandangan yang sempit, SDA dan

LH yang sesungguhnya juga berperan sebagai pemberi jasa, sering dilupakan.

Pihak yang memberikan jasa kepada pelaku ekonomi yang mengambil manfaat

ekonomi dari SDA dan LH dalam konteks yang lebih luas terdiri dari manusia lain

serta SDA dan LH itu sendiri.

Lazimnya upaya balas jasa dari si penerima jasa kepada pemberi jasa

baik berupa moril maupun materil, dirasakan oleh si pemberi jas sebagai suatu

yang positif. Si pemberi jasa yang menerima balas jasa menggunakan balas jasa

tersebut untuk kepentingan perubahan dirinya kearah yang lebih baik. Idealnya

hal yang sama juga akan didapat oleh SDA dan LH sebagai pemberi jasa. Dan

balas jasa yang diberikan pelaku ekonomi yang mengambil manfaat ekonomi

dari SDA dan LH baik berupa moril maupun materil akan digunakan untuk

perbaikan, pemulihan atau recovery SDA dan LH, sehingga pada gilirannya nanti

SDA dan LH dapat berkelanjutan dalam kuwalitas, fingsi atau manfaatnya.

Kecenderungan yang terjadi pada saat ini adalah penurunan kualitas

dan fungsi atau manfaat SDA dan LH. Kondisi ini merupakan akumulasi dari

pembiaran atau kurangnya perhatian dari semua pihak dalam menempatlan SDA

dan LH sebagai penyedia jasa bagi pelaku ekonomi yang mengambil manfaat

ekonomi dari SDA dan LH tersebut. Ketika pelaku ekonomi yang mengambil

manfaat dari SDA dan LH sebagai penyedia jasa, dan pelaku ekonomi

menempatkan SDA dan LH sebagai subjek yang dapat diperlakukan sesuai

dengan kepentingan mereka. Apa yang mereka dapatkan dari SDA dan LH

Page 110: 394_Studi Jasa Lingkungan

99

dipandang sebagai usaha mereka tanpa menempatkan SDA dan LH sebagai

penyedia jasa.

Payment for Environmental Services/PES sebuah penamaan baru dari

konsep pembayaran yang dipungut kepada pelaku ekonomi yang mengambil

menfaat ekonomi dari SDA dan LH. Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for

Environmental Services/PES) merupakan perangkat baru yang berupaya untuk

melakukan gerakan konservasi dan juga memberikan penghargaan bagi

masyarakat miskin yang berhasil menjaga lingkungannya. Skema PES

melibatkan perjanjian yang bersifat suka rela dan mengikat, antara pembeli dan

penjual jasa lingkungan. Jenis jasa lingkungan telah ditentukan sesuai

kesepakatan. Skema ini dirancang untuk menjembatani jurang pemisah antara

kepentingan pribadi pemilik dan pihak berkepentingan lainnya dengan cara

memberikan kompensasi dalam bentuk keuntungan yang diperoleh dari

pemanfaatan lahan yang tidak mengindahkan aspek konservasi.

Pemanfaatan PES yang dianggap paling efisien bisa mengganggu rasa

keadilan kita karena perangkat ini ditujukan pada orang-orang yang benar-benar

mengancam lingkungan. Jika sebuah komunitas/masyarakat hidup harmonis di

hutan, maka akan terasa adil untuk memberikan penghargaan atas upaya

mereka dalam menjaga hutannya. Sayangnya, pembayaran yang diharapkan

tidak akan ―membeli‖ upaya konservasi tambahan maupun menghasilkan jasa

ekstra, sehingga masyarakat akan mengalami kesulitan untuk menemukan

pembelinya. Sebaliknya, seorang peternak yang membuka lahan hutan akan

merubah perilakunya jika ternyata pembayaran PES jauh lebih menarik

ketimbang keuntungan yang akan diterimanya dengan merubah lahan hutan

menjadi lahan peternakan.

Konsep Payment for Environmental Services/PES ini dapat saja

diadopsi dan diimplementasikan di Indonesia, akan tetapi perlu diformulasikan

mekanismenya yang dapat diterima semua pihak dan diatur dalam aturan

perundang-undangan, sehingga mempunyai kepastian hukum untuk

dilaksanakan. Konsep lain yang dapat diadopsi untuk memformulasikan

kebijakan jasa lingkungan di Indonesia dalah Instrumen Ekonomi. Di beberapa

negara, Instrumen Ekonomi ini sudah banyak diterapkan dan terbukti efektif

dalam mengendalikan dampak lingkungan. Panayotou (1994) menyebutkan

paling tidak ada empat hal utama menyangkut fungsi instrumen ekonomi dalarn

pengelolaan lingkungan yakni :

Page 111: 394_Studi Jasa Lingkungan

100

1. Menginternalisasikan eksternalitas dengan cara mengoreksi kegagalan pasar

melalul mekanisme "full cost pricIng" dimana biaya subsidi, biaya lingkungan

dan biaya eksternalitas diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.

2. Mampu mengurangi konflik pembangunan versus lingkungan, bahkan jika

dilakukan secara tepat dapat menjadikan pembangunan ekonomi sebagai

wahana untuk perlindungan lingkungan dan sebaliknya.

3. Instrumen ekonoml berfungsi untuk meng-encouragle efisiensi dalam

penggunaan barang dan jasa dari sumber daya alam sehingga tidak

menimbulkan overconsumption karena pasar, melalui isntrumen ekonomi

akan memberikan sinyal yang tepat terhadap penggunaan yang tidak efisien.

4. Instrumen ekonomi dapat digunakan sebagai sumber penerimaan (revenue

generatlng).

Secara umum berdasarkan Panayatou (1994) lebih jauh membagi

tipologi instrumen ekonomi menjadi tujuh jenis, yaitu :

1. Hak Kepemilikan (property right)

2. Penciptaan Pasar (market creation)

3. Instrumen Fiskal

4. Sistem Pungutan (charge system)

5. Instrumen Finansial

6. Instrumen Pertanggung jawaban (liability)

7. Performance dan Bond system

Dari Gambar 6-1 dapat dilihat bahwa dalam hal pemilikan (property

right) ada dua hal yang perlu dipertimbangkan yakni menyangkut ownership right

(hak memiliki) dan use right atau hak pemanfaatan. Instrumen ekonomi yang

bisa digunakan antara lain berupa licensing (penjualan izin), pengesahan

penjagaan (stewardship), hak pengusahaan misalnya pada pertambangan dan

sebagainya. Sementara itu dari sisi penciptaan pasar, mekanisme yang sering

digunakan di negara maju seperti tradeable permit, tradable catch quota (

individual transferable quota) dapat digunakan sebagai instrumen pengendalian.

Rincian jenis dan klasifikasi dari instrimen lainnya bisa dilihat pada Gambar

dibawan ini.

Page 112: 394_Studi Jasa Lingkungan

101

Gambar 6-1. Instrumen Ekonomi Untuk Pengelolaan SDA dan LH

Secara lebih rinci jenis-jenis instrumen ekonomi yang ada akan di

uraikan lebih rinci berdasarkan definisi, obyek, perubahan perilaku dan

mekanismenya sebagai berikut :

1. Hak Kepemilikan (property right); Hak kepemilikan yang sifatnya permanen

atau sementara pada seseorang, dan atau sekelompok orang terhadap

benda tidak bergerak.

2. Penciptaan Pasar (market creation); Suatu upaya untuk menciptakan pasar

terhadap barang dan jasa lingkungan hidup yang sebelumnya tidak

mempunyai nilai/harga di pasar sehingga berakibat kepada penggunaan

barang/jasa yang berlebihan.

3. Instrumen Fiskal; Suatu instrumen ekonomi yang bertujuan memasukkan

biaya dan manfaat sosial dari suatu kegiatan ekonomi ke dalam biaya

Tradable permit

Tradable quota

Tradable water right

Tradable resource share

Market Creation

Ownership rights

Water rights

Mining rights

Land rights Use rights

Stewardship

Licensing

Property Rights

Pollution charge

User charge

Impacak fee

Acces fee

Toll road

Administrative charge

Charge

Pollution taxes

Effluent tax

Emission tax

Input tax

Import tax

Product tax

Fiscal

Subsidies

Soft loan

Grand

Revolving fund

Location incentives

Financial

Legal liability

Non-compliance charge

Resource damage liability

Liability insurance

Enforcemenet incentive

Liability

Performance bond

Land reclamation

Bond

Deposit refund system

Deposit / refund

Page 113: 394_Studi Jasa Lingkungan

102

produksi dan biasanya diterapkan dalam suatu mekanisme fiskal sehingga

memiliki dampak terhadap pendapatan serta pengeluaran pemerintah.

4. Sistem Pungutan (charge system); Sejumlah uang yang dipungut oleh

pemerintah kepada masyarakat/unit usaha terhadap penggunaan sumber

daya alam, infrastruktur, serta jasa lingkungan, biasanya dialokasikan untuk

mengembalikan/membiayai biaya investasi fasilitas publik tersebut.

5. Instrumen Finansial; Instrumen yang digunakan untuk menginternalisasi

dampak positif dari pengelolaan lingkungan hidup yang baik seperti kegiatan

konservasi, biasanya bersifat extra-budgetary dan didanai oleh dana bantuan

atau pinjaman eksternal.

6. Instrumen Pertanggung jawaban (liability); Instrumen yang ditujukan untuk

membawa tanggung jawab sosial dengan mengukuhkan tanggungjawab

secara hukum (legal liability) terhadap dampak dari kerusakan SDA dan

lingkungan terhadap kesejahteraan masyarakat baik fisik maupun mental.

7. Performance dan Bond system; Sejumlah uang yang diserahkan di muka

kepada pemerintah oleh pelaku ekonomi apabila aktivitas ekonomi yang

dilakukan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan

hidup dan kelestarian SDA. Uang tersebut dapat diambil kembali setelah

dinyatakan oleh pihak yang berwenang bahwa aktivitas ekonomi tersebut

tidak menimbulkan dampak negatif.

Dari kosep-konsep yang dikemukakan diatas, dapat diadopsi untuk

diimplementasikan di Indonesia dan dimuat dalam regulasi jasa lingkungan.

Apapun bentuk konsep yang akan diadopsi untuk diimplementasikan di

Indonesia idealnya haruslah sesuai dengan akar budaya dan tidak mengabaikan

kearifan lokal yang ada di Indonesia.

2. Alasan Rasional Diperlukannya Regulasi Jasa Lingkungan

Upaya balas jasa kepada pihak lain yang memberikan kemudahan

seseorang dalam mendapatkan keinginannya adalah suatu hal yang lazim

dilakukan, dianjurkan, dan dipandang sebagai tindakan terpuji. Apabila jasa

diterima oleh seseorang atau sekelompok orang, dan si penerima jasa tidak

menunjukkan sikap balas jasa terhadap si pemberi jasa, maka akan timbul sikap

dan pandangan negatif dari si pemberi jasa kepada si penerima jasa. Sikap

negatif tersebut bisa saja berupa terhentinya pemberian jasa dari pihak pemberi

jasa kepada si penerima jasa. Kondisi ini terjadi karena upaya balas jasa sudah

dipandang sebagai norma atau kaidah. Dan jika saja norma atai kaidah ini

Page 114: 394_Studi Jasa Lingkungan

103

dilanggar oleh seseorang atau sekelompok orang, maka mereka akan mendapat

sanksi, jika sanksi tidak diatur dalam hubungan atau interaksi masyarakat, maka

sanksi tersebut cenderung bersifat sanksi moral. Seperti dikucilkan dalam

pergaulan atau tertutupnya kemungkinan atau peluang si penerima jasa untuk

mendapatkan jasa yang sama dari si pemberi jasa pada masa yang akan datang.

Di sisi lain si pemberi jasa yang mendapat tindakan balas jasa secara

langsung atau tidak langsung mendapatkan keuntungan atau mendapatkan

manfaat dari jasa yang mereka berikan. Keuntungan tersebut dapat saja berupa

moral maupun materil.

Jika tindakan balas jasa kepada manusia lain dilakukan dengan

perbuatan baik, pemberian sesuatu, memberikan sikap menghormati, dan sikap

baik lainnya. Lantas bagaimana dengan upaya balas jasa terhadap SDA dan LH

yang juga diposisikan sebagai pemberi jasa. Idealnya sikap yang sama juga

akan diterima oleh SDA dan LH. Akan tetapi pada kenyataannya kondisi ini tidak

terjadi. Hal ini disebabkan oleh karena upaya balas jasa kepada SDA dan LH

belum dipandang sebagai sebuah norma atau kaidah yang bersanksi dan harus

dipatuhi oleh setiap pelaku ekonomi yang menerima jasa dari SDA dan LH.

Untuk membangun sebuah kondisi yang memungkinkan seluruh

stakeholder memposisikan diri sebagaimana yang seharusnya, berbuat, berhak,

berkewajiban, dan bertanggung jawab terhadap SDA dan LH yang memberikan

manfaat ekonomi atau memebrikan jasa kepada pelaku ekonomi. Maka

diperlukan aturan-aturan yang bersifat baku dan mengikat semua pihak

sebagaimana posisinya masing-masing. Aturan tersebut secara yuridis

diputuskan dan ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.

Dengan regulasi dan pengaturan kelembagaan, akan menciptakan

mekanisme pengaturan hak dan kewajiban masing-masing stakeholder yang ada

secara proporsional dan fair. Sehingga kedepannya pengelolaan SDA dan LH di

Indonesia diharapkan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dengan

dukungan finansial dari stakeholder yang memperoleh manfaat ekonomi dari

SDA dan LH.

Pada kenyataannya Indonesia sampai saat ini belum memiliki regulasi

tentang jasa lingkungan. Keberadaan regulasi tentang jasa lingkungan

kedepannya mengatur secara tegas dan melengkapi regulasi yang ada, sebagai

payung hukum secara nasional yang mengatur mekanisme dan tata kelola jasa

lingkungan dan kompensasi. Disamping itu keberadaan regulasi jasa lingkungan

Page 115: 394_Studi Jasa Lingkungan

104

berperan sebagai payung yang melindungi secara yuridis lingkungan dan

kelompok masyarakat yang terkena dampak eksternalitas negatif yang

ditimbulkan oleh pelaku ekonomi yang mengambil manfaat ekonomi dari SDA

dan LH. RUU tentang Kompensasi Jasa Lingkungan sangat diperlukan RUU

tentang kompensasi jasa lingkungan diharapkan akan dapat menjawab

permasalahan keterbatasan dana bagi mitigasi dan adaptasi dampak

pemanasan global dan perubahan iklim.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan peran dan materi regulasi yang

memuat jasa lingkungan:

o Regulasi jasa lingkungan melengkapi regulasi yang sudah ada tentang

pengelolaan SDA dan LH.

o Regulasi jasa lingkungan sebagai payung hukum secara nasional yang

mengatur mekanisme dan tata kelola jasa lingkungan dan kompensasi.

o Regulasi jasa lingkungan sebagai payung yang melindungi secara yuridis

lingkungan dan kelompok masyarakat yang terkena dampak eksternalitas

negatif yang ditimbulkan oleh pelaku ekonomi yang mengambil manfaat

ekonomi dari SDA dan LH.

o Regulasi Jasa lingkungsan diharapkan akan lebih implementatif dan berhasil

mengingat konsep ini sangat rasional karena pemberian kompensasi

berbasis pada alam (naturalis), sosial budaya (kearifan lokal) dan religius.

o Regulasi jasa lingkungan memuat kompensasi jasa lingkungan yang akan

dapat menjawab permasalahan keterbatasan dana bagi mitigasi dan adaptasi

dampak pemanasan global dan perubahan iklim.

o Substansi pokok yang diatur dalam regulasi Jasa lingkungan memuat aturan

kerjasama antar daerah, kerjasama luar negeri, identifikasi penyedia dan

pemanfaat, mekanisme kompensasi, kelembagaan (regulator,

keuangan/bank dan operator), keterpaduan antar sektor dan peran serta

masyarakat, disamping substansi lain yang secara normatif.

o Institusi, kebijakan, perundang-undangan dan peraturan harus dibuat

mendukung kompensasi hulu-hilir.

B. Keuangan dan Institusi Pengelola

Ketersediaan pembiayaan untuk pengelolaan dan pemulihan SDA dan

LH adalah merupakan suatu keharusan. Dalam hal ini pengelolaan SDA dan LH

yang mengalami keterpurukan, pemburukan akibat pelaku ekonomi yang

Page 116: 394_Studi Jasa Lingkungan

105

memanfaatkan SDA dan LH tersebut. Suatu program sangat tidak mungkin akan

dapat berjalan sebagaimana yang sudah direncanakan tanpa diikuti oleh

anggaran atau budget. Jaminan ketersediaan anggaran untuk membiayai

program atau kegiatan pengelolaan atau pemulihan SDA dan LH berbanding

lurus dengan kelancaran pelaksanaan kegiatan tersebut. Sedemikian pentingnya

ketersediaan anggaran ini menjadi latar belakang penempatan anggaran atau

keuangan pada skala prioritas utama dalam sebuah kegiatan.

Sampai saat ini belum ada ketersediaan keuangan yang senantiasa

dapat dimanfaatkan setiap saat, tanpa melalui prosedur yang mengharuskan

kegiatan pengelolaan dan pemulihan SDA dan LH terhenti dalam interval waktu

yang cukup lama dikarenakan keterbatasan anggaran atau menunggu proses

pencairan keuangan yang berbelit dan memakan waktu. Dalam kondisi ini

terobosan baru bagi ketersediaan dana pengelolaan SDA dan LH sangat

diperlukan sehingga pada gilirannya nanti apapun bentuk aktivitas pengelolaan

SDA dan LH yang mengalami pemburukan akibat eksternalitas negatif yang

ditimbulkan oleh aktivitas pelaku ekonomi.

Dari perspektif perilaku sosial, dikenal suatu hukum sebab akibat yang

diikuti oleh tuntutan tanggungjawab kepada siapapun yang berperan sebagai

penyebab utama (causa prima), dalam hal ini akibat yang bersifat merusak atau

merugikan pihak tertentu. Penuntutan tanggung jawab dari pelaku ekonomi yang

menimbulkan eksternalitas negatif terhadap SDA dan LH dalam aktivitas mereka

adalah suatu keharusan, sehingga pelaku ekonomi yang memanfaatkan SDA

dan LH memperhitungkan eksternalitas negatif dari aktifitas mereka. Semakin

besar kerusakan yang mereka timbulkan akibat aktivitas mereka, maka semakin

besar pula beban tanggungjawab yang harus mereka pikul.

Seberapa besar pelaku ekonomi yang potensial menimbulkan

eksternalitas negatif harus membayar, dan kepada siapa mereka harus

membayar, haruslah diformulasikan dengan tepat dan terukur. Sehingga tidak

ada pihak yang dirugikan, atau pihak yang memikul beban yang seharusnya

tidak tanggungjawab mereka. Untuk hal ini diperlukan sebuah tim yang terdiri

dari SDM yang mempunyai keahlian dan kompetensi kearah itu.

Disisi lain ketersediaan keuangan untuk pengelolaan dan pemulihan

SDA dan LH yang sudah diambil manfaat ekonominya, tidak akan dapat

terpenuhi jika hanya berasal dari satu bersumber pembiayaan saja. Untuk

Page 117: 394_Studi Jasa Lingkungan

106

ketersediaan keuangan yang mencukupi, maka kedepannya dukungan keuangan

bersumber dari:

1. Dana lingkungan hasil kompensasi jasa lingkungan.

2. APBN dan APBD.

3. Kerjasama luar negeri.

4. Lain – lain pendapatan keuangan yang sah.

Untuk mewadahi implementasi konsep jasa lingkungan di Indonesia,

diperlukan keberadaan institusi yang dibentuk dan dilindungi oleh undang-

undang. Institusi ini dibentuk dan dikondisikan agar tidak tumpang tindih dengan

institusi lain yang sudah ada. Institusi yang mewadahi jasa lingkungan

merupakan institusi yang bersifat khusus. Hal ini ditujukan agar institusi ini lebih

mandiri dan independen sebagaimana halnya dengan Komisi Pemilihan Umum

(KPU). Maka bentuk institusi sebagai penanggungjawab pelaksanaan jasa

lingkungan di Indonesia lebih tepat berupa komisi. Komisi Pengelolaan Jasa

Lingkungan (KPJL), tetap dan mandiri. Rincian tugas, kewenangan, dan

tanggungjawab dari KPJL secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Melakukan identifikasi terhadap aktivitas pelaku ekonomi yang

memanfaatkan jasa lingkungan.

2. Melakukan kajian dampak atau eksternalitas negatif aktivitas pelaku ekonomi

yang memanfaatkan jasa lingkungan.

3. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah provinsi, kabupaten dan kota

terhadap aktivitas pelaku ekonomi, rekomendasi ini dijadikan sebagai salah

satu kelengkapan administrasi dalam pemberian izin usaha, atau izin

perusahaan dan sejenisnya.

4. Melakukan valuasi ekonomi untuk menetapkan nilai jasa lingkungan yang

harus dibayar pelaku ekonomi.

5. Melaksanakan pungutan kompensasi jasa lingkungan yang sudah

ditetapkanterhadap pelaku ekonomi.

6. Mengusulkan pencabutan izin usaha dan sejenisnya kepada pemerintah

provinsi, kabupaten dan kota terhadap suatu aktivitas pelaku ekonomi yang

mangkir, menolak untuk membayar, menunggak untuk membayar jasa

lingkungan.

7. Merencanakan dan melaksanakan aktivitas pemulihan SDA dan LH dengan

stakeholder yang dapat bekerjasama untuk kegiatan ini.

8. Dan tugas, kewenangan, dan tanggungjawab lain yang diberikan pemerintah.

Page 118: 394_Studi Jasa Lingkungan

107

Pembentukan komisi ini dilakukan sejak tingkat pusat sampai tingkat

daerah otonomi.

1. KPJL - Pusat.

2. KPJL- Provinsi.

3. KPJL- Kabupaten/Kota.

Dengan dibentuknya KPJL tersebut maka tugas umum dapat

didelegasikan pelaksanaannya pada KPJL Provinsi dan Kabupaten/Kota. Secara

rinci tugas dan kewenangan KPJL Pusat dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Melakukan rekrutmen Ketua dan Anggota KPJL Provinsi, Kabupaten/ Kota

bersama-sama dengan Pemerintah Propinsi, Kabupaten/ Kota.

2. Melakukan kajian ulang dampak atau eksternalitas negatif aktivitas pelaku

ekonomi yang memanfaatkan jasa lingkungan yang dilakukan oleh KPJL

Provinsi, Kabupaten/Kota.

3. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah provinsi, kabupaten dan kota

terhadap aktivitas pelaku ekonomi, rekomendasi ini dijadikan sebagai salah

satu kelengkapan administrasi dalam pemberian izin usaha, atau izin

perusahaan dan sejenisnya.

4. Mengevaluasi kinerja KPJL Provinsi, Kabupaten/ Kota.

5. Merencanakan dan melaksanakan aktivitas pemulihan jasa lingkungan

dengan stakeholder yang dapat bekerjasama untuk kegiatan ini di tingkat

pusat.

6. Dan tugas, kewenangan, dan tanggungjawab lain yang diberikan pemerintah.

Tugas dan kewenangan KPJL Provinsi dapat dikemukakan sebagai

berikut:

1. Menyampaikan ke KPJL hasil identifikasi aktivitas pelaku ekonomi yang

memanfaatkan jasa lingkungan yang dilakukan oleh KPJL Kabupaten/Kota.

2. Menyampaikan ke KPJL- Pusat hasil kajian dampak atau eksternalitas negatif

aktivitas pelaku ekonomi yang memanfaatkan jasa lingkungan yang dilakukan

oleh Komisi Pemulihan Lingkungan Kabupaten/Kota.

3. Memberikan rekomendasi kepada pelaku ekonomi yang potensial

menimbulkan dampak ekternalitas negatif, rekomendasi ini dijadikan sebagai

salah satu kelengkapan administrasi dalam pemberian izin usaha, atau izin

perusahaan dan sejenisnya.

4. Menyampaikan ke KPJL Pusat hasil valuasi ekonomi untuk menetapkan nilai

jasa lingkungan yang harus dibayar pelaku ekonomi.

Page 119: 394_Studi Jasa Lingkungan

108

5. Mengusulkan pencabutan izin usaha dan sejenisnya kepada pemerintah

provinsi, kabupaten dan kota terhadap suatu aktivitas pelaku ekonomi yang

mangkir, menolak untuk membayar, menunggak untuk membayar jasa

lingkungan, dengan melampirkan persetujuan KPJL Pusat.

6. Menyampaikan laporan kepada KPJL Pusat, kegiatan identifikasi, kajian

dampak atau eksternalitas negatif aktivitas pelaku ekonomi, valuasi ekonomi,

dan kegiatan lainnya yang terkait dengan jasa lingkungan di tingkat Propinsi.

7. Melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan KPJL Kabupaten/Kota.

8. Dan tugas, kewenangan, dan tanggungjawab lain yang diberikan pemerintah.

Rincian tugas dan kewenangan KPJL Kabupaten/Kota dapat

dikemukakan sebagai berikut:

1. Melakukan identifikasi terhadap aktivitas pelaku ekonomi yang

memanfaatkan jasa SDA dan LH.

2. Melakukan kajian dampak atau eksternalitas negatif aktivitas pelaku ekonomi

yang memanfaatkan jasa lingkungan.

3. Memberikan rekomendasi kepada pelaku ekonomi yang potensial

menimbulkan dampak ekternalitas negatif, rekomendasi ini dijadikan sebagai

salah satu kelengkapan administrasi dalam pemberian izin usaha, atau izin

perusahaan dan sejenisnya.

4. Melakukan valuasi ekonomi untuk menetapkan nilai jasa lingkungan yang

harus dibayar pelaku ekonomi.

5. Melaksanakan pungutan kompensasi jasa lingkungan yang sudah ditetapkan

terhadap pelaku ekonomi.

6. Mengusulkan pencabutan izin usaha dan sejenisnya kepada pemerintah

provinsi, kabupaten dan kota terhadap suatu aktivitas pelaku ekonomi yang

mangkir, menolak untuk membayar, menunggak untuk membayar jasa

lingkungan, dengan melampirkan persetujuan Komisi Pemulihan Lingkungan

Pusat.

7. Menyampaikan laporan kepada KPJL Provinsi, kegiatan identifikasi, kajian

dampak atau eksternalitas negatif aktivitas pelaku ekonomi, valuasi ekonomi,

dan kegiatan lainnya yang terkait dengan SDA dan LH di tingkat Provinsi.

8. Dan tugas, kewenangan, dan tanggungjawab lain yang diberikan pemerintah.

Page 120: 394_Studi Jasa Lingkungan

109

Struktur bagan organisasi komisi pemulihan lingkungan hidup ini

dibentuk dan disusun berdasarkan tugas dan fungsi dari komisi ini. Berikut

dikemukakan bagan organisasi komisi pengelolaan jasa lingkungan:

Gambar 6-2. Bagan Struktur Organisasi Komisi Pemulihan SDA dan LH

Dalam penyelenggaraan keuangan yang berasal dari berbagai sumber

sebagaimana dikemukakan diatas, perlu dicermati beberapa hal menyangkut

pengelolaan keuangan ini:

1. Penggunaan keuangan sepenuhnya ditujukan untuk pemulihan SDA dan LH

yang mengalami penurunan kuwalitas, fungsi atau manfaatnya yang

diakibatkan oleh eksternalitas negatif pelaku ekonomi.

2. Penerimaan keuangan dari jasa lingkungan adalah penerimaan bukan pajak.

3. Dikelola dengan mengutamakan transparansi dan akuntabilitas.

4. Untuk transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan pada KPJL

dilakukan audit oleh badan atau lembaga yang kompeten.

Ketua Komisi

Anggota Komisi

1.

2.

3.

...

Sekjen Komisi

Kordinator Wilayah

Barat

Kordinator Wilayah

Tengah

Kordinator Wilayah

Timur

Divisi Komisi Pemulihan SDA & LH

1. Perencanaan.

2. Identifikasi dan Valuasi Jasa Lingkungan.

3. Keuangan dan Logistik.

4. Humas dan Sosialisasi

Komisi Provinsi

Komisi Kabupaten/Kota

Komisi Provinsi Komisi Provinsi

Komisi Kabupaten/Kota Komisi Kabupaten/Kota

Page 121: 394_Studi Jasa Lingkungan

110

C. Partisipasi Dan Kemitraan

Partispasi, dalam banyak dapat diartikan hal sesuai dengan

keperluannya. Partisipasi di sini mempunyai arti keterlibatan masyarakat lokal

dalam setiap fase kegiatan mulai dari perencanaan dan pengambilan keputusan,

implementasi, evaluasi dan pemanfaatan (Awang, 1999) atas inisiatif sendiri

berdasarkan kearifan-kearifan lokal yang ada pada mereka untuk menyelesaikan

hal-hal yang dianggap sebagai hambatan dan merupakan bentuk inovatif dalam

melihat peluang atas kebutuhan-kebutuhannya. Partisipasi ini berdasarkan

tingkatan organisasi dibagi menjadi dua (Fuadi, 2000) yaitu: pertama partisipasi

yang terorganisasikan, terjadi bila suatu struktur organisasi dan seperangkat tata

kerja dikembangkan atau dalam proses persiapan. Kedua partisipasi yang tidak

terorganisasikan, terjadi karena peristiwa temporer.

Keterlibatan masyarakat dalam aktivitas keseharian bukan merupakan

hal yang terpisah antara berbagai aktivitas. Apa yang dilakukan oleh masyarakat

pada dasarnya merupakan suatu aktivitas yang saling terkait baik itu untuk

pemenuhan kebutuhan individu maupun sosial. Dalam konteks pengelolaan SDA

dan LH, aktivitas masyarakat yang diwujudkan dalam aktivitas domestik dan

publik sesungguhnya adalah bentuk praktis dari pengelolaan SDA dan LH itu

sendiri.

Banyak ragam aktivitas yang memungkinkan untuk dikombinasikan

dengan pengelolaan SDA dan LH sebagai bentuk kongkrit partisipasi

masyarakat. Aktivitas tersebut meliputi meliputi:

1. Aktivitas dalam organisasi kelembagaan atau kelompok perkumpulan

masyarakat.

2. Aktivitas dalam pertemuan kelompok perkumpulan warga.

3. Peran serta dalam forum pertemuan.

4. Aktivitas dalam kegiatan sosial masyarakat.

5. Aktivitas dalam mengajak warga untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan

sosial.

6. Aktivitas dalam kegiatan pengamanan wilayah.

7. Aktivitas keagamaan.

Partisipasi ide, merupakan bentuk keterlibatan yang mengarah pada

perumusan, perancangan dan perencanaan kegiatan. Dalam proses

pembangunan, partisipasi ide berada pada fase-fase awal. Partisipasi tenaga,

merupakan bentuk keterlibatan masyarakat secara fisik dalam aktivitas sosial.

Page 122: 394_Studi Jasa Lingkungan

111

Bentuk partisipasi semacam ini mudah teridentifikasi. Bahkan dalam konteks

pembangunan partisipatoris semu, bentuk partisipasi tenaga lah yang lebih

diakui. Kedua bentuk partisipasi tersebut dalam pelaksanaannya terwujud dalam

aktivitas individual dan komunal. Aktivitas yang dilakukan secara komunal

sendiri, dapat dikategorikan menjadi partisipasi yang terorganisasikan dan

partisipasi yang tidak terorganisasikan.

Dalam implementasi jasa lingkungan, masyarakat dapat dilibatkan

sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam kegiatan ini. Masyarakat dapat

dilibatkan sejak dari perekrutan anggota komisi pemulihan SDA dan LH,

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Keikutsertaan masyarakat dalam

implementasi jasa lingkungan sangat memungkinkan, karena institusi yang

mewadahi kagiatan ini dirancang sebagai sebuah instutusi yang berada diluar

pemerintahan, merupakan institusi yang bersifat khusus. Hal ini ditujukan agar

institusi ini lebih mandiri dan independen. Keterlibatan masyarakat ini dapat

secara perorangan ataupun berkelompok. Keberadaan masyarakat sebagai

pelaku ekonomi dan atau sebagai kelompok yang dirugikan dari aktivitas pelaku

ekonomi, sangat diperlukan, karena masyarakat dapat melakukan pengamatan

secara langsung terhadap aktivitas pelaku ekonomi dan ekstenalitas negatif yang

ditimbulkan dari aktivitas itu. Disisi lain masyarakat juga berperan sebagai

komponen penyeimbang dan bahkan dapat memberikan reaksi secara langsung

bagi pelaku ekonomi yang nyata-nyata menimbulkan eksternalitas negatif dan

ingkar terhadap kewajibannya.

Dalam kaitan ini, di Kawasan Danau Toba belum terbangun suatu

kelembagaan/institusi baik formal (mandatory) berdasarkan UU dan peraturan

(termasuk Perda Provinsi Sumut/Kab) maupun bersifat informal (voluntary)

antara stakeholders yang dibangun atas dasar saling membutuhkan (market

based instrument). Kelembagaan mandatory (command and control) tersebut

akan mengatur secara nasional pihak-pihak penyedia dan pengguna jasa

lingkungan, besarnya dan mekanisme kompensasi atas pemanfaatan jasa

lingkungan, upaya pelestarian fungsi jasa lingkungan dan pengawasan

penyelenggaraan pengelolaan jasa lingkungan. Kelembagaan voluntary antara

penyedia dan pemanfaat jasa lingkungan seperti halnya antara KS (Krakatau

Steel) dan FMPC (Forum Masyarakat Peduli Cidanau) di Provinsi Banten belum

terjadi di Kawasan Danau Toba. Kedepan, pola-pola seperti ini perlu

dipromosikan di Kawasan Danau Toba misalnya antara PT. Indonesia Asahan

Page 123: 394_Studi Jasa Lingkungan

112

Aluminium (INALUM), Toba Pulp and Paper (TP&P) beserta segenap pengguna

air Danau Toba dengan penyedia jasa lingkungan (masyarakat) di Kawasan

Danau Toba, sehingga jasa lingkungan berupa air dapat dijaga kelestariannya.

Page 124: 394_Studi Jasa Lingkungan

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

1. Potensi ekonomi jasa lingkungan Kawasan Danau Toba sangat besar yaitu

Rp. 1.386.311.032.980,80 yang terdiri dari jasa lingkungan air sebesar Rp.

Rp. 785.155.388.680,80, jasa penyerapan karbon sebesar Rp.

599.471.892.800 dan jasa wisata/rekreasi sebesar Rp 1.683.751.500 per

tahun. Sudah barang tentu, nilai ekonomi ini masih di bawah nilai ekonomi

yang sesungguhnya karena disamping masih banyak jasa lingkungan yang

belum dihitung juga disebabkan penilaian ekonomi jasa lingkungan selalu

under - price.

2. Kawasan Danau Toba berperan sebagai penyedia (provider) jasa lingkungan

berupa sumberdaya air, sekuestrasi karbon, wisata/rekreasi dan jasa lainnya.

PLTA, PDAM, DMI, hotel/restoran, usaha perikanan, transportasi, dan lain-

lain berperan sebagai pemanfaat (beneficiaries) terutama dikaitkan dengan

pemanfaatan secara ekonomi. Pemanfaatan jasa sekuestrasi karbon dapat

melalui skema CDM dan REDD baik dalam negeri maupun internasional.

3. Sampai saat ini belum ada mekanisme pembayaran jasa lingkungan (transfer

of payment) antara pemanfaat dengan penyedia serta lembaga (instansi)

formal dan regulasinya (UU atau Perda). Selama ini pemanfaat jasa

lingkungan (pengusaha) hanya sebatas pemanfaatan CSR-nya bagi

konservasi sumberdaya alam dan lingkungan di Kawasan Danau Toba, yang

sudah barang tentu tidak mencukupi.

4. Secara teori dapat disimpulkan bahwa, apabila seluruh dana jasa lingkungan

diinvestasikan bagi konservasi sumberdaya alam dan lingkungan (termasuk

pemberian kompensasi bagi masyarakat) maka kelestarian (sustainability)

jasa lingkungan di Kawasan Danau Toba akan tercapai.

B. Saran

1. Karena studi ini sangat makro maka penelitian secara detail untuk setiap

jenis jasa lingkungan, penyedia-pemanfaat dan mekanisme pembayarannya

sangat diperlukan.

Page 125: 394_Studi Jasa Lingkungan

114

2. UU dan peraturan sangat mendesak untuk disusun serta pembentukan

instansi yang berkewajiban mengelola jasa lingkungan diikuti dengan

pembentukan lembaga keuangan khusus jasa lingkungan.

3. Untuk menangkap peluang perdagangan karbon baik melalui skema CDM

maupun REDD, pemerintah puasat dan daerah (Kawasan Danau Toba) perlu

memantapkan status hutan dan lahan dan konsistensi peruntukannya

setidak-tidaknya selama kontrak carbon offset berlangsung.

Page 126: 394_Studi Jasa Lingkungan

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., Meine van Noordwijk dan R. Subekti (Editor). 2004. Dampak

Hidrologis Hutan, Agroforestry, dan Pertanian Lahan Kering Sebagai

Dasar Pemberian Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan di

Indonesia. ICRAF. Bogor.

Agus F. 2007. Cadangan, emisi, dan konservasi karbon pada lahan gambut

(Stock, emissions and conservation of carbon in peatland) p. 45-52 In

Agus et al. (eds.) Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air . Indonesian

Soil and Water Conservation Society, Jakarta. (In Indonesian).

Agus, F., Irawan, Suganda H, Wahyunto, Setiyanto A, and Kundarto M. 2006. Environmental multifunctionality of Indonesian agriculture.

Paddy Water Environment 4:181-188.

Agus F, Vadari T, Sukristiyonubowo, Hermianto B, Bricquet JP, dan Maglinao A.

2002. Catchment Size and Land Management Systems Affect Water and

Sediment Yields. Proceedings, 12th ISCO Conference 26-30 May 2002,

Beijing, China. pp. 469-475.

Agus F, Vadari T, Watung RL, Sukristiyonubowo, Valentin C, Ilao R, Toan TD,

dan Boonsaner A. 2003. The Effect of Catchment Size and Land

Management Systems on Water and Sediment Yield: A Case Study From

Several Micro Catchments in Southeast Asia. dalam Penning de Vries F

dan Valentin C (eds.) Proceedings Management of the 7 th MSEC

Assembly, Vientiane 2-7 December 2002. International Water

Management Institure, Sri Langka.

Agus F. 2001. Selection of soil conservation measures in Indonesian regreening

program. p. 198-202 dalam Stott JP, Mohtar RH, dan Steinhardt GC

(eds.). Sustaining the Global Farm: Selected Papers from the 10th

International Soil Conservation Organization Organization (ISCO)

Conference, May 24-29, Purdue University. Purdue University Press.

Purdue, USA.

Agus F dan Manikmas IMO. 2003. Environmental roles of agriculture in

Indonesia. Disajikan pada Roles of Agriculture in Development

Symposium, 25th Conference of the International Association of

Agricultural Economists, August 17-22, 2003, Durban, South Africa.

Agus F, and van Noordwijk M. 2007. CO2 emissions depend on two letters. The

Jakarta Post, November 15.

Agus F and I.G. Made Subiksa, 2008. Lahan Gambut : Potensi Untuk Pertanian

dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang

Pertanian. Bogor.

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.

Page 127: 394_Studi Jasa Lingkungan

116

Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press (Cetakan ketiga).

Baumann, M., B. Janet., K. Florianne dan P. Michel. 2001. Bisnis Kehidupan :

Keanekaragaman Hayati, Bioteknologi, dan Keserakahan Manusia.

Penterjemah Tim Konphalindo (The Life Industry : Biodiversity, People

and Profit). Yogyakarta.

BAPEDA Sumatera Utara, 2005. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau Toba

(LTEMP). Medan.

BPS (Biro Pusat Statistik). 2004. Statistics Indonesia. BPS, Jakarta.

(www.bps.go.id).

Bui Dung The., D.T. Ha and Ng. Q. Chinh. 2004. Rewarding upland farmers for

environmental services : Experience, constraints and potensial in

Vietnam. RUPES. ICRAF. Bogor.

Bonell, M., and Gilmour, D. A., 1978, The development of overland flow in a

tropical rainforest catchment,/. Hydrol, 39, 365-382.

Bonell, M., Gilmour, D. A., and Sinclair, D. F., 1979, A statistical method for

modelling the fate of rainfall in a tropical rainforest catchment, /.

Hydrol., 42, 251-267.

Brown, J. A. N., 1972, Hydrological effects of a bushfire in a catchment in

southeastern New South Wales, /. Hydrol, 15, 77-96.

Brunig, E. F., 1975, Tropical ecosystems: state and targets of research into

the ecology of humid tropical ecosystem, Plant Research and

Development, 1, 22-38.

CENICAFE, 1975, Manual de conservation de sudes de ladera, CENICAFE,

Chin-china, Caldas, Colombia, 267 pp.

Cunningham, R. K. 1963, The effect of clearing a tropical forest, J. Soil Sci.,

14, 334-345.

Dariah A, Agus F, Arsyad S, Sudarsono, dan Maswar. 2004. Erosi dan aliran

permukaan pada lahan pertanian berbasis tanaman kopi di Sumberjaya,

Lampung Barat. Agrivita 2004.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 2008. Naskah Akademik RUU Tentang Jasa

Lingkungan (Tidak dipublikasikan). Jakarta

Direktorat Pengelolaan DAS, 2007. Data Lahan Kritis Nasional. Direktorat

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . Direktorat Jenderal Rehabilitasi

Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan. Buku I.

Jakarta.

Dixon, J. A and P. B. Sherman. 1990. Economic of Protected Areas. A New

Look at Benefits and Costs. East West Center. Island Press. Washington

D.C.

Page 128: 394_Studi Jasa Lingkungan

117

Duerr, W. A. 1993. Introduction to Forest Resource Economics. McGraw - Hill,

Inc. Printed in Singapore.

Field, B. C. 1994. Environmental Economic an Introduction. McGraw - Hill Inc.

Printed in Singapore.

Folmer, H and H. L Gabel. (Editor). 2000. Principle of Environmental and

Resource Economics : A Guide for Student and Decision-Makers. Second

Edition

Francisco, H. A. 2003. Environmental services ―payments‖ : Experiences,

constraints and potential in The Philippine. RUPES. ICRAF. Bogor.

Gilmour, D. A., 1977, Effect of rainforest logging and clearing on water yield

and quality in a high rainfall zone of north-east Queensland, Institute

of Engineers of Australia Symposium on the Hydrology of Northern

Australia, Brisbane, Queensland 1977 Natl. Conf. Publ. No. 77/5, pp. 155-

60.

Gintings AN. 1982. Aliran permukaan dan erosi tanah yang tertutup tanaman

kopi dan hutan alam di Sumberjaya, Lampung Utara. Balai Penelitian

Hutan. Bogor.

Gupta, S. K., Das, D. C., Tejwani, K. G., Srinivas, Chittaranjan, S., and Ram Babu,

1975, Hydrological Investigations, (Tejwani, K. G., Gupta, S. K., and

Mathur, H. N., Editors), ICAR( 1975), 17-615.

Gouyon, A. 2003. Eco-certification as an incentive to conserve biodiversity in

rubber smallholder agroforestry systems : A preliminary study. RUPES.

ICRAF. Bogor.

Hairiah, K., S. M Sitompul., M. van Noordwijk and C. Palm. 2001. Carbon stocks

of tropical land use systems as part of the global C balance : Effect of

forest conversion and option for clean development activities. ICRAF.

Bogor.

Hanley, N and Clive, L. S. 1993. Cost – Benefit Analysis and The Environment.

Edward Elgar Publishing Company. England.

Hibbert, A. R., 1967, Forest treatment effects on water yield, Proceedings of Inter-

national Symposium on Forest Hydrology, Pennsylvania State University

(Perga-mon Press), 537-543.

Hussen, AM. 2000. Principle of Environmental Economics. Rodlege. NY 10001.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 1996a. Revised 1996 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: Reference Manual (Volume 3). Available at <http://www.ipcc-nggip

.iges.or.jp/public/gl/invs6.htm>. As obtained on April 26, 2004.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 1996b. Technologies, Policies, and Measures for Mitigating Climate Change. Available at < http: //www.gcrio.org/ ipcc/techrepI/index. html>. As obtained on February 25, 2004.

Page 129: 394_Studi Jasa Lingkungan

118

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2000. Good Practice Guidance and Uncertainty Management in National Greenhouse Gas Inventories., IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme,

Montreal, IPCC-XVI/DOC.10(1.IV.2000).Available at <http://www.ipcc-nggip.iges. or.jp / public/gpglulucf/gpglulucf.htm>. As obtained on January 10, 2005.

Jensen, C. 2003. Development assistance to upland communities in The

Philippines. RUPES. ICRAF. Bogor.

Kallesoe, M and D. D Alvis. 2004. Review of developments of environmental

services markets in Sri Lanka. RUPES. ICRAF. Bogor.

Kenworthy, J. B., 1969, Waterbalance in a tropical rainforest, A preliminary study

in the Ulu Gombak forest reserve, Malay. Nat. J., 22, 129-135.

King, D. M and M. Mazzotta. 2005. Ecosystem valuation. USDA. Natural

Resources Conservation Service and National Oceanographic and

Atmospheric Administration.

[KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Rencana Aksi Nasional

Dalam Menghadapi Perubahan iklim (Draft). Tidak Dipublikasi. Jakarta.

Kodoatie., J. Robert dan R. Syarief. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air

Terpadu. Andi.Yogyakarta.

Kundarto M, Agus F, Maas A, dan Sunarminto BH. 2002. Neraca air, erosi tanah

dan transport lateral hara N, P, dan K pada sistem persawahan di Sub

DAS Kali Babon, Semarang. Paper presented at Preliminary Seminar of

Multifuntionality of Paddy Field, Bogor 2, October 2002.

Lal, R., 1980, Management of soils for continuous production: controlling erosion

and maintaining physical condition, In D. J. Greenland (ed.),

Characterization of soils in relation to their classification and management

for crops production. Oxford University Press, London, UK (in press).

Lal, R, 1981. Deforestation of Tropical Rainforest and Hydrological Problems.

Tropical Agricultural Hydrology. Watershed Management and Land Use.

John Wiley and Sons. New York.

Lal, R., and Cummings, D. J., 1979, Clearing a tropical forest: 1 Effects on soil and

micro-climate, Field Crops Res., 2(2), 91-107.

Landell-Mills N., T.I. Porras. 2002. Silver Bullet or Fools‘ Gold? A Global Review

of Markets for Forest Environmental Services and Their Impact on Poor.

International Institute for Environment and Development (IIED). London

Low, K. S., and Goh, K. C., 1972, The water balance of five catchments in Selangor,

West Malaysia, J. Trop. Geography, 35,60-66.

Monde, A., N. Sinukaban, K. Murtilaksono dan N. H. Panjaitan, 2008. Dinamika

Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani akibat Alih Guna Lahan

Page 130: 394_Studi Jasa Lingkungan

119

Hutan Menjadi Lahan Kakao di DAS Nopu, Sulawesi Tengah. Seminar

Disertasi, IPB Bogor.

Munasinghe, M. 1993. Environmental economics and sustainable development.

World Bank Paper No.3. The World Bank. Washington D.C.

Murdiyarso, D. 2003a. Seri Perubahan Iklim : CDM : Mekanisme Pembangunan

Bersih. Jakarta, Buku Kompas.

Murdiyarso D, van Noordwijk M, Wasrin UR, Tomich TP and Gillison AN, 2002.

Environmental benefits and sustainable land-use options in the Jambi

transect, Sumatra, Indonesia. Journal of Vegetation Science 13: 429-438

____________ 2003b. Seri Perubahan Iklim : Sepuluh Tahun Perjalanan

Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim. Jakarta, Buku Kompas.

_____________. 2003c. Seri Perubahan Iklim : Protokol Kyoto : Implikasinya

Bagi Negara Berkembang. Jakarta, Buku Kompas.

Nishio M. 1999. Multifunction Character of Paddy Farming. Second Group Meeting

on the Interchange of Agricultural Technology Information between ASEAN

Member Countries and Japan, 16-18 February, 1999, Jakarta.

NRMP, 2001. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam. Natural Resource

Management Program (NRMP). Jakarta .

Pagiola, S., B. Joshua and L. M. Nayasha. 2002. Selling Forest Environmental

Services : Market – Based Mechanisms for Conservation and

Development. Earthscan Publication Limited. London.

Pathak, S., 1974, Role of forests in soil conservation with special reference to

Ramganga watershed, Soil Conservation Digest, 2(1), 44-9.

Pearce, D.W., R.K. Turner and I. Bateman. 1994. Economics of Natural

Resources and the Environment. New York: Harvester Wheatsheaf.

Pereira, H. S., 1973, Land Use and Water Resources. Cambridge University

Press j pp. 246.

Pujiyanto A, Wibawa, dan Winaryo. 2001. Pengaruh teras dan tanaman penguat

teras terhadap erosi dan produktivitas kopi arabica. Pelita Perkebunan

2001, 17(1):18-29.

Ramdan, H., Yusran dan D. Darusman. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Otonomi Daerah: Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi.

Bandung Cakrawala Baru Dunia Buku.

Randall, A. 1987. Resource Economics. John Wiley & Sons, Inc. Canada

Richards, P. W., 1973, The tropical rainforest, Scientific American, 229(6), 58-67.

Rosales, R. M. 2003. Developing pro-poor markets for environmental services

in The Philippines. RUPES. ICRAF. Bogor.

Page 131: 394_Studi Jasa Lingkungan

120

Salas, J. C. 2004. Case study of the Maasin Watershed : Analyzing the role of

institutions in a watershed-use conflict. RUPES. ICRAF. Bogor.

Sanim, B. 2003. Ekonomi sumberdaya air dan manajemen pengembangan

sektor air bersih bagi kesejahteraan publik. Orasi ilmiah guru besar tetap

bidang ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan, Faperta IPB. Bogor.

Scheehle, E.A., and M.R.J. Doorn. 2001. ―Improvements to the U.S. Wastewater Methane and Nitrous Oxide Emissions Estimates.‖ Working paper. Washington, DC.

Sihite, J and N Sinukaban, 2004. Economic Valuation of Land Use Changes in

Besai Subwatershed – Tulang Bawang Lampung. Procedings of

International Seminar on ―Towards Harmonization between Development

and Environmental Conservation in Biological Production‖, 3 – 5

Desember 2004. Cilegon Indonesia.

Srivastava, S. N., 1974, Peak rate of runoff from watersheds of soils conservation

research farm at Demetans—Hazaribagh, /.Soil and Water Conservation,

India, / 22-23,28-31.

Sulandari, U. 2005. Penilaian Jasa Lingkungan Air Minum dan Penentuan

Prioritas Bantuan Perbaikan Lingkungan (Studi Kasus DAS Citarum,

Jawa Barat). Tesis. Pascasarjana IPB. Bogor.

Suparmoko, M. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan : Suatu

Pendekatan Teoritis. Jogyakarta. BPFE.

Sutono S, Tala‘ohu SH, Sopandi O, dan Agus F. 2003. Erosi pada berbagai penggunaan lahan di Das Citarum pp. 113-133 dan Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

_____________. 2002. Buku Pedoman Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam

dan Lingkungan (Konsep dan Metode Penghitungan). Yogyakarta: BPFE.

Tampubolon, R. 2007. Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya

Eksternalitas Pengguna Air Citarum (Disertasi). Sekolah Pasca Sarjana

IPB, Bogor.

Thijsse, J. P., 1977, Soil erosion in the humid tropics, Landbourwkundig Tijdshcrift,

pt. 89(11), 408-411.

Tideman, EM. 1996. Watershed Management : Guidelines for Indian Condition.

New Delhi. India : Omega Sci.

Tietenberg, T. 1992. Environmental and Natural Resource Economics. Colby

Collage. HarperCollins Publisher.

Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Penerjemah

Abdullah dan Munandar. Jakarta: Erlangga.

Tomich TP, Van Noordwijk M, Budidarseno S, Gillison A, Kusumanto T,

Murdiyarso D, Stolle F dan Fagi AM. 2001. Agricultural intensification,

deforestation, and the environment: assessing tradeoffs in Sumatra,

Page 132: 394_Studi Jasa Lingkungan

121

Indonesia. In: Lee D.R. and Barrett, C.B. (eds.) Tradeoffs or Synergies?

Agricultural Intensification, Economic Development and the Environment.

CAB-International, Wallingford pp 221-244

U.S. Environmental Protection Agency (USEPA). 1997a. ―Estimate of Global Greenhouse Gas Emissions from Industrial Wastewater Treatment.‖ Washington, DC: USEPA. EPA-600/R-97-091.

U.S. Environmental Protection Agency (USEPA). 2004. Inventory of U.S. Greenhouse Gas Emissions and Sinks 1990–2002. Washington, DC:

USEPA, Office of Solid Waste and Emergency Response. Available at <http://www.epa.gov/methane/ intlanalyses.html>. As obtained on October 17, 2004.

U.S. Environmental Protection Agency (USEPA). 2006. Global Anthropogenic Non-CO2 Greenhouse Gas Emissions: 1990–2020. Washington, DC:

USEPA.

Van den Bergh, J.C.J.M. (Editor). 1999. Handbook of Environmental and

Resource Economic. Edward Elgar. UK – USA.

van Dijk AJM. 2002. Water and Sediment Dynamics in Bench-terraced

Agricultural Steeplands in West Java, Indonesia. Ph.D. Dissertation, Vrij

University, Netherland. 363p.

Van Noordwijk. M., F. Chandler and T.P. Tomich. 2004. An introduction to the

conceptual basis of RUPES. ICRAF. Bogor. 46 pp.

Van Noordwijk M, Subekti R, Kurniatun H, Wulan YC, Farida A dan Verbist B.

200? Carbon stock assessment for a forest-to-coffee conversion

landscape in Sumber-Jaya (Lampung, Indonesia): from allometric

equations to land use change analysis. Science in China (Series C) Vol

45 Supp.75-86.

Welch, E.B. 1980. Ecological effect of wastewater. Cambridge University Press.

Cambridge, London.

Widianto, Suprayogo D, Noveras H, Widodo RH, Purnomosidhi P and van

Noordwijk M. 2004. Konversi Hutan Menjadi Lahan Pertanian: Apakah

fungsi hidrologis hutan dapat digantikan system kopi monokultur? Agrivita

2004. (In press).

Wischmeier WH, dan Smith DD. 1978. Predicting rainfal erosion losses, A guide

to conservation planning. USDA. Agric. Handbook. 537. Washington DC.

World Bank Group. 2005. 2004—World Development Indicators: Table 2.1 Population Dynamics. Available at <http://www.worldbank.org/data/

databytopic/population.html>. As obtained on February 24, 2005.

Yakin A. 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan; Teori dan Kebijakan

Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Akademi Pressindo.

Young, R., 1974, The rate of slope retreat, The Institute of British Geographers,

Special Publication No. 7, 65-78.

Page 133: 394_Studi Jasa Lingkungan

122

Yunus, L. 2005. Evaluasi Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy

Hulu dan Akibatnya di Hilir (Studi Valuasi Ekonomi Kerusakan DAS di

Sub DAS Citanduy Hulu Jawa Barat dan Sub DAS Segara Anakan Jawa

Tengah). Tesis. Pascasarjana IPB. Bogor.

Page 134: 394_Studi Jasa Lingkungan

123

This publication was made possible by the generous grant

from the ITTO, Yokohama, Japan

Published by

ITTO PROJECT PD 394/06 REV.1 (F)

Centre of Forest and Nature Conservation Research and

Development (CFNCRD)

Available from

ITTO PROJECT, CFNCRD

Phone/Fax : +62-251-7194707

Website : www.forda-mof.org

E-mail : [email protected]