20080409121448-a

download 20080409121448-a

of 8

Transcript of 20080409121448-a

  • 7/31/2019 20080409121448-a

    1/8

    1

    CSR di Tahun 2008: Tak Ada Kecenderungan Menyurut

    Refleksiendati urut peristiwa bukanlah mata rantai sebab akibat, namun agaknya merugi

    jika tidak mencoba berefleksi sebentar menarik kerangka logis rentetan kejadian.Bagi mereka yang akrab dengan teori siklus, setiap perubahan, baik denganlanggam perlahan evolusi maupun detak kencang revolusi, dilihat sebagai

    gerakan melingkar. Semua gejala sebenarnya mengarah pada titik substansi tertentuyangmungkin bersifat universal. Bagi mereka yang memandang hidup sebagai garis lurus, jugapercaya bahwa berbagai bentangan garis lurus beragam peristiwa yang seakan berdiriindependen, tetap menuju ke sebuah muarayang mungkin menjadi satu-satunyapelabuhan dari berbagai gerakan, lompatan, bahkan dentuman.

    Mari berefleksi sejenak atas pertanyaan tunggal: ke mana CSR 2008 mengarah? Tulisan inimengajak pembaca untuk mengenakan kaca mata Alexander Dahlsrud, lewat artikelnyadengan tajuk How Corporate Social Responsibility is Defined: an Analysis of 37 Definitions,

    (Jurnal Corporate Social Responsibility and Environmental Management, No 15/2008) untukmenjawab pertanyaan ini. Setelah melakukan telaah panjang, Dahlsrud menyatakan bahwamuara dari berbagai debat CSR sebenarnya bisa didefinisikan sebagai kontribusi perusahaanuntuk pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutansebuah proses perubahan yangdisengaja untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuangenerasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dahlsrud juga mengidentifikasi 5komponen pokok dari berbagai definisi CSR yang ada, yaitu: ekonomi, sosial, lingkungan,pemangku kepentingan dan voluntarisme. Buat Dahlsrud, habis sudah perdebatan soaldefinisi CSR. Kalau pun ada, itu cuma masalah artikulasi, bukan substansi.

    Tidak demikian halnya di Indonesia. Perdebatan definisi dan praktik ideal CSR menjadiwacana hangat di Indonesia. Bahkan ia memasuki ruang kebijakan. Secara eksplisit, isu CSR

    masuk dalam Undang-Undang Penanaman Modal dan Perseroan Terbatas; pun disinggungsecara tegas dalam Rencana Undang Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba).Namun sayang, perundangan ini lebih menunjukkan ketertarikan pada pewajiban, sanksi,porsi dana, dan keamanan kepentingan bisnis. Tidak tersinggung sama sekali soal makna,nilai, dan cita-cita pembangunan berkelanjutan. Demikian pula dengan reaksi pihakperusahaan. Rata-rata mereka menunjukkan penolakan, dengan alasan sama: masalah dana.

    Jika pemerintah melihat CSR sebagai peluang memeroleh dana di luar pajak dan kewajibanregulasi lainnya, maka pihak perusahaan seakan berpaduan suara menyatakan bahwapewajiban CSR sebagai hanyalah tambahan pengeluaran anggaran.

    K

    Keburaman initerlihat dari ragamisu CSR yangterekam, di manakebanyakanperusahaan masihmenoleransipraktik-praktikbisnis yangbusuk.

  • 7/31/2019 20080409121448-a

    2/8

    2

    Kendati begitu, ada satu titik temu yang cukup marak disepakati oleh berbagai kalangan.Topik mengenai reputasi dan alasan keamanan keberlanjutan bisnis menjadi pilihan sikapdi tengah-tengah keterbatasan pengetahuan, akan keniscayaan CSR. Berbagai award, iklanreputasi yang mengandalkan testimoni pihak kedua atau ketiga, dan penambahan divisi CSRdalam struktur organisasi perusahaan, tampak menjadi fenomena yang seragam. Pundengan media yang membuat ruang cukup lebar isu CSR. Hanya saja, secara keseluruhan

    tampaknya masih buram jika menggunakan kacamata Dahlsrud.

    Keburaman ini terlihat dari ragam isu CSR yang terekam, di mana kebanyakan perusahaanmasih menoleransi praktik-praktik bisnis yang busuk. Konflik internal dengan isu soalgaji dan PHK tenaga kerja, bisnis transportasi yang mencelakakan konsumennya, soalperebutan hak atas tanah, penggelapan pajak, penyerobotan hutan lindung, dan praktikpenggalian sumberdaya alam yang turut menjadi penyebab pokok bencana sosial danlingkungan, masih terus menjadi peristiwa yang semakin menjadi-jadi di tengah maraknyakesadaran akan keharusan menjalankan bisnis secara etis dan penuh tanggung jawabkepada berbagai pemangku kepentingan. Jangankan melakukan stakeholder engagementdenganpemangku kepentingan eksternal, hubungan dengan pemangku kepentingan internal sajamasih terus dilanda percekcokan dan terancam perceraian.

    Isu lain yang juga cukup mencolok adalah soal kerusakan lingkungan dan upaya mengelolasumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Terdapat wacana menarik, namun hangat-hangat tahi ayam, mengenai gerakan investasi teknologi bersih. Sempat ada sentakandengan suara serak dari Dr. Hendro Sangkoyo untuk segera menghentikan karbokrasi,yakni sistem ekonomi dan turunannya dalam jangka panjang yang kelewat bergantung padapasokan energi fosil. Pun dengan penyelenggaraan COP 13 Desember lalu di Bali, yanggaungnya hanya terhitung bilangan bulan dengan jari sebelah tangan. Kenduri lainnya, UNGlobal Compact Leaders Summmit pada Juli 2007, MDGs Award Metro TV, CSR Asia

    Award di Vietnam. Semuanya masih ditempatkan sebagai hentakan suara serak sebentarsaja, yang nyaris tak berbekas sesudahnya.

    Berbagai desakan etis itu sama sekali belum tampak tidak menggerakkan perusahaan diIndonesia untuk memulai prakarsa membuktikan tesis Orlitzky, Schmidt dan Rynes (2003)yang telah membuktikan kaitan positif antara kinerja CSR dengan kinerja finansial. Sekalilagi, tidak ada kesediaan dari perusahaan untuk mendefinisikan wilayah kerja CSR sesuaidengan bisnis intinya, menghitung detail investasi sosial dan lingkungan, dan melakukananalisis hubungan secara saksama antara kinerja CSR dengan tingkat keberlanjutanbisnisnya. Hal ini sangat menonjol terlihat dari bagaimana laporan keberlanjutanperusahaan yang menempatkan posisi kinerja CSR nyaris seperti balutan kometik yangmenghadirkan kecantikan sesaat, yang segera terhapus oleh hujan masalah-masalah sosialdan lingkungan yang masih banyak terjadi.

    Secara sosial, perhatian dan upaya sungguh-sungguh akan minimalisasi dampak nyaris tidak

    menjadi pertimbangan pokok investasi dan ekspansi bisnis. Kasus terbaik yang muncul disepanjang tahun 2007 adalah maraknya bisnis perkebunan sawit mengiringi terusmelambungnya harga CPO dunia. Demikian pula dengan terus memburuknya citra salahsatu BUMN di bidang migas di mata masyarakat luasbaik karena kerusakan infrastrukturmilik perusahaan, maupun sebagai implikasi dari tren merosotnya kepercayaan publikkepada pemerintah.

    Sementara dari sisi kelompok penekan seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM)khususnya LSM lingkungan, media, dan kelompok masyarakat sipil lainnya, masih

  • 7/31/2019 20080409121448-a

    3/8

    3

    mengandalkan nada keras, ancaman pemburukan reputasi lewat tuntutan lembagapengadilan, mengandalkan gerakan demonstrasi, dan tidak mendukung gerakannya denganpertimbangan dan kecakapan ilmiah. Gerakan mereka nyaris sedikit bisa dipersamakandengan tekanan politik dari para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang sering digugatkecakapan kompetitifnya dan keabsahan representasinya sebagai wakil rakyat.

    Secara umum, hubungan antara perusahaan dengan pemangku kepentingan sosial masihmenunjukkan pola hubungan permusuhan dan kemesraan sesaat. Tidak ada kesadaranmungkin karena lemahnya pengetahuan, untuk melakukan engagement, bersama-samaberusaha untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. LSM sering kalimengajukan jalan pintas dengan kalimat pokoknya moratorium!. Sebaliknyaperusahaandan juga pemerintahsibuk mengajukan argumen pencapaian angka statistikmengenai dampak ekonomi, tanpa pernah membicarakan hal-hal di luar itu. Polakomunikasi ini nyaris menjadi klasik. Nyaris kedua belah pihak tidak ada kesediaan untuksecara saksama dan bersama-sama untuk berupaya melangsungkan perubahan sosial,ekonomi, lingkungan, budaya, politik, dan personal, di mana cadangan yang dikelola untukkebutuhan itu oleh generasi saat ini minimal sama dengan cadangan untuk generasiberikutnya.

    Satu hal yang mungkin sedikit menggembirakan adalah maraknya kegiatan voluntarismesebagai sisi lain dari serangan bencana alam yang bertubi-tubi di sepanjang 2007. Banjir

    Jakarta sepertinya disepakati dibaca sebagai sebuah business case. Nyaris semua perusahaan,besar maupun kecil, berlomba-lomba melakukan derma kepada korban bencana. Walauagak sedikit miris juga, gegap gempita bala bantuan dari perusahaan ini tak begitu semarakdi wilayah banjir lainnya, khususnya di luar Jawa. Lepas dari demikian strategis danseksinya posisi Jakarta di mana hampir seluruh head officeperusahaan besar berada di sana,tampak sangat semarak semangat kemanusiaan di sini. CSRatau tepatnya kegiatanfilantropipun semakin menguat.

    Kejadian itu juga menginspirasi banyak perusahaan untuk menggabungkan diri dalam

    sebuah perhimpunan filantropi dengan agenda yang lebih luas dan berkelanjutan. Yangagak mengganjal adalah tidak sedikit perusahaan melaporkan kepada publik bahwa dermakemanusiaan itu sebagai bentuk CSR perusahaan yang utama. Bagaimana mungkin, sebuahindustri rokok misalnya, menyatakan bahwa CSR utamanya adalah memberikan bantuandengan membangun sekian ratus sekolahan mulai dari tingkat dasar sampai denganmenengah di wilayah bencana, sementara ia sendiri tidak bersedia dengan seriusberkontribusi pada upaya-upaya minimalisasi dampak industri rokok sebagai bagian dariharmful industries?

    Berbagai KecenderunganSoal debat definisi. Kendati Dahlsrud mencoba mengunci mati perdebatan mengenaiCSR, di mana Dahlsrud mematok bahwa CSR sebagai kontribusi perusahaan bagi tujuan

    pembangunan berkelanjutan (sustainable development), namun soal definisi ini masih menjaditopik yang hangat diperdebatkan. Subhabrata Bobby Banerjee menulis sebuah artikeldengan nada menggugat: Corporate Social Responsibility: The Good, the Bad and the Ugly yangtermuat di jurnal Critical Sociology No. 34/2008. Banerjee di situ menegaskan bahwa:

    Wacana tanggung jawab sosial perusahaan dan berbagai wacana terkait inisiatif voluntarisme,corporate citizenship, dan kontribusi perusahaan bagi pembangunan berkelanjutan, kendati wacana inisering dikemukakan perusahaan sebagai tindakan emansipatoris, namun sebenarnya hanyalah aksiretorik. Retorika ini penting untuk melegitimasi tujuan ekspansi bisnis dan memperlebar jangkauankekuasaan perusahaan. Berbagai upaya yang sering disebut dengan stakeholder engagement tak lebih

    Banyak diyakinibahwa ketundukankepada regulasimenjadi elemenpenting bagikeamanan bisnismereka.

  • 7/31/2019 20080409121448-a

    4/8

    4

    dari sebatas trik dari bagaiamana sekelompok koloni (perusahaan) mengatur, memengaruhi danmenundukkan para pemangku kepentingannya demi tujuan-tujuan keamanan dan keberlanjutanbisnis.

    Banerjee juga menyatakan bahwa aksi dan kontribusi perusahaan dalam agenda CSR lebihtepat disebut sebagai gerakan ideologis ketimbang sebagai langkah emansipatori etis.

    Tentunya ideologi dimaksud adalah berbagai nilai yang mendukung dan melegitimasikan

    praktik-praktik kolonialisme. Sedangkan emansipatori etis adalah kesadaran penuh akankeniscayaan argumentasi etis dalam melakukan bisnis demi pembebasan dari kehidupanyang buruk, terbelakang dan merusak.

    Cara kritis ini jelas memberi angin segar kepada mereka yang membaca langkah ekspansibisnis dari perusahaan multinasional sebagai sebuah bentuk kolonialisme. Dan mungkinbisa menjadi senjata bagi pelebaran wacana mengenai nasionalisasi sumberdaya. Debatmengenai apakah CSR sebagai sebuah kesadaran etis untuk memulai bisnis dengan penuhpertimbangan tentang maksimisasi dampak positif dan minimisasi dampak negatif operasi;ataukah CSR memang hanya sebagai kosmetika untuk menutup wajah buruk perusahaankemudian menampilkan diri sebagai sosok yang ramah sosial dan lingkungan demikeberlanjutan eksistensi bisnis, rupanya masih akan terus menjadi perdebatan hangat di

    tahun 2008 ini dan juga tahun-tahun sesudahnya.

    Pelaksanaan dan Pelaporan CSR. Tren debat klasik di atas mungkin akan terusmeningkat dengan hadirnya salah satu pasal UU Perseroan Terbatas dan UU PenanamanModal tentang pewajiban kepada perusahaan untuk melaksanakan dan melaporkantanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL). Banyak diyakini bahwa ketundukan kepadaregulasi menjadi elemen penting bagi keamanan bisnis mereka. Dengan demikian, bisadiramalkan bahwa implementasi dan pelaporan CSR di tahun 2008 tampaknya akansemakin marak. Hanya saja ada catatan penting mengenai pelaksanaan pasal TJSL UU PT.Di perundangan itu disebutkan bahwa mekanisme pelaksanaan dan pelaporan TJSL akandiatur oleh Peraturan Pemerintah (PP). Hingga awal Aprril 2008 ketika tulisan ini dibuat,tidak ada kabar signifikan mengenai penyusunan PP TJSL. Perusahaan yang yang hanya

    hendak menyelenggarakan CSR sebagai kepatuhan terhadap kedua UU pasti akanmengalami kebingungan dengan standar pelaksanaan dan pelaporan yang tak kunjung hadir.

    UU ini sempat disinggung oleh Hendarman Soepanji, Jaksa Agung RI ketika mencobamemberikan perspektif hukum atas kasus lumpur lapindo. Jaksa Agung menegaskan bahwaLapindo bisa dijerat karena tidak melaksanakan TJSL, tidak bertanggung jawab sosial danlingkungan. Sebaliknya Lapindo berteguh menyatakan dirinya tidak bersalah. Merekamendasarkan argumentasinya pada pembelahan analisis para ahli geologi mengenaipelaksanaan standar dan prosedur pengeboran serta tafsir politik DPR yang memutuskanluapan lumpur Lapindo sebagai bencana. Sementara si berbagai media, Lapindomenyatakan bahwa ganti rugi yang dilakukannya sebagai bentuk kedermawanannya yangmereka nyatakan sebagai CSR.

    Persoalannya juga menjadi meluas, tidak lagi terbatas antara Lapindo dengan pemangkukepentingan sosial dan lingkungannya. Namun menjadi isu politik yang ruwet denganmelibatkan Presiden, DPR RI, parpol dan berbagai kekuatan sosial-politik lainnya.

    Agaknya pisau analisis Banerjee sangat membantu untuk menyikapi secara kritis kasusLapindo ini. Kalau kelak ada pihak yang bisa memberikan bukti tak terbantah bahwaLapindo memang bersalah, maka sisi the bad and the ugly dari praktik CSR-lah yangsebetulnya ditunjukkan oleh Lapindo. Tidak juga mengherankan kalau banyak pakar CSRyang mencatat luapan lumpur ini dalam sejarah tragedi lingkungan yang mungkin bisa

  • 7/31/2019 20080409121448-a

    5/8

    5

    disejajarkan dengan Minamata (Jepang), Abefan (Wales), Bhopal (India), Chernobyl (Rusia),Royal Dutch/Shell (Nigeria), dan Strava (Italia) yang melibatkan banyak nama perusahaanseperti Shiowa Maru, Amoco Cadiz Oil, Exxon Valdez, dan seterusnya.

    Tahun 2008 ini oleh banyak pihak kerap dibaca sebagai tahun persiapan menjelang Pemilu2009. Sudah menjadi fakta bahwa kontestan politik akan menggali sumber dana dari pihak

    manapun dan akan menggunakan berbagai cara. Belum jelasnya batasan wilayah kerja danpanduan laporan TJSL dipastikan menjadi kondisi karet yang bisa berakibat terpaksanyaperusahaan mengeluarkan dana CSR untuk kepentingan politik. Sepertinya, di tahun 2008dan 2009 kelak pelaksanaan dan pelaporan CSR akan bisa dibedah dengan perspektifanalisis kepentingan politik, khususnya kepentingan kelompok status-quo. Sudah terlalubanyak pihak-pihak di pusat maupun daerah yang terpesona dengan kemungkinanperusahaan mengucurkan dana ekstra untuk pemangku kepentingan. Padahal,sebagaimana yang telah diperingatkan oleh David Vogel dalam Market for Virtue (2006),keterlibatan perusahaan dalam politik seharusnya hanya yang bersifat positif, yaitumendorong kebijakan-kebijakan yang pro-sosial dan pro-lingkungan. Kalau perusahaanmendiamkan saja kebijakan yang buruk, atau malah menyokongnya dengan membiayaistatus quo, maka perusahaan jelas bersalah.

    Dalam hal pelaporan, RAPP dan KPC telah mengambil langkah yang strategis, dan dengansukses keluar dari kondisi ambigu UU PT. Mereka mencoba menerapkan standar GlobalReporting Initiative (GRI) yang sangat komprehensif termasuk melengkapinya dengan third

    party assurance. Terlepas dari soal penggunaan panduan GRI yang tidak utuh, paling tidakada kesediaan dari sejumlah perusahaan untuk mencari standar yang lebih baik dankomprehensif. Seharusnya mulai tahun 2008 ini dan di tahun-tahun mendatang penggunaanstandar GRI menjadi tren sustainability reporting perusahaan. Atau setidaknya, denganpewajiban melaporkan dampak sosial dan lingkungan serta upaya pengelolaannya,sebagaimana yang diamanatkan dalam UU PT, maka berbagai bentuk pelaporan CSR jugaakan meningkat drastis jumlahnya. Hanya saja, ini juga akan sangat tergantung dari tekananpublik atas perusahaan. Menilik pendirian Sidharta Utama (2007), sebetulnya hanya satu

    dari lima infrastruktur pelaporan keberlanjutan perusahaan yang menjadi domainperusahaan, yaitu tata kelola perusahaan. Sisanya, berasal dari luar perusahaan, termasuk diantaranya regulasi pemerintah, keberadaan standar dan tekanan publik. Kalau di tahun2008 kita tidak menyaksikan adanya peningkatan kondisi-kondisi infrastruktur tersebut,maka kita juga tak bisa berharap banyak.

    Kecenderungan ini mungkin juga akan melebar kepada perkembangan minat perusahaanyang lebih mendalam untuk mempelajari CSR. Tren forum belajar ini di tahun 2008berkecenderungan terus meningkat. Bahkan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia sudahmulai membuka program studi CSR. Seiring dengan itu, draftISO 26000 yang mengambiltajuk tanggung jawab sosial organisasi terus semakin memantapkan diri dan dipastikanbakal menjadi sebuah kekuatan pemaksa yang cukup efektif bagi perusahaan untuk

    menjalankan dan melaporkan CSR secara lebih substansial. Walaupun, harus diakui, karenasifatnya yang komprehensif, maka akan sangat sedikit perusahaan di Indonesia yang akanbisa mengadopsinya di awal-awal peluncurannya di tahun 2009 atau 2010 kelak. Mungkin,yang akan terjadi dalam waktu dekat adalah perusahaan mulai menggunakan ISO 26000sebagai alat pembelajaran CSR.

    Kalau tahun 2007 lalu diwarnai juga dengan banyak momen pemberian penghargaandengan tajuk CSR, kemungkinan di tahun 2008 kecenderungannya akan terus meningkat.BUMN yang dinamika organisasinya banyak ditentukan oleh dan memengaruhi dinamika

    Mungkin, yangakan terjadi dalamwaktu dekatadalahperusahaan mulaimenggunakan ISO

    26000 sebagai alatpembelajaranCSR.

  • 7/31/2019 20080409121448-a

    6/8

    6

    politik nasional, sepertinya akan terus menjadi peserta yang paling serius untukmemenangkan berbagai ajang penghargaan ini. Tidak menutup kemungkinan fenomena iniakan juga mendorong berbagai anak perusahaan dari MNC yang beroperasi di Indonesiauntuk mempublikasikan laporan kinerja CSRnya sendiri, tidak lagi hanya sebagai bagiankecil dari sustainability reportinduk perusahaan di level internasional. Terantung dari apakahberbagai pemberiaan penghargaan itu meningkat mutunya, dan apakah pasar memebrikan

    respons positif terhadap penghargaan itu, tren ini bisa menyadarkan perusahaan untukmenjadikan pelaporan kinerja CSR sebagai alat akuntabilitas manajemen, bukan lagi sebagaimedia iklan.

    Semakin menguatnya isu lingkungan. Seperti telah dikemukakan, kesadaran akankeberlanjutan lingkungan menjadi isu yang mengepung berbagai aktivitas bisnis. Kepungantidak hanya berasal dari pemerintah dan LSM. Tapi juga media. Terdapat kecenderungankuat, berbagai media melakukan engagement dengan berbagai LSM lingkungan untukmengampanyekan dan mengadvokasi isu keberlanjutan lingkungan. Tren pantauan, gerakanopini publik, dan bahkan protes tentang keberlanjutan lingkungan diperkirakan akansemakin menguat di tahun 2008. Masalah pembalakan liar dan alih fungsi lahan hutan sertapemanasan global agaknya akan terus dipergunakan sebagai tema serangan terhapa

    perusahaan. Namun, selain bentuk gerakan tekanan seperti itu, terdapat jugakecenderungan lain berupa engagement antara perusahaan dengan LSMkhususnya LSMinternasional seperti WWF, CI dan TNC yang telah memiliki kebijakan dan perangkatorganisasional untuk berhubungan dengan perusahaanuntuk membuat program bersamatentang pemeliharaan dan pemulihan lingkungan. Agaknya langkah konstruktif ini belumakan diikuti oleh sebagian besar LSM Indonesia dalam waktu dekat. Hubungan yangadversarial akan terus mewarnai hubungan perusahaan dan LSM, karena memang sebagianbesar perusahaan belum akan menjalankan CSRnya dengan sungguh-sungguh, sementaraLSM nasional masih banyak yang berpendirian bahwa bekerja sama dengan perusahaanadalah perselingkuhan ideologis.

    Mendesaknya kebutuhan pemetaan pemangku kepentingan. Tahun 2008 bisa disebut

    sebagai tahun transisi politik. Semua kalangan sudah secara terbuka menunjukkanpersaingan politik. Langkah politik presiden dan wakil presiden yang berbeda partai danakar dukungan politik juga menunjukkan suasana persaingan yang sangat kentara. Hampirsemua momen pengumuman dan pelaksanaan kebijakan selalu terkait dengan investasipolitik menjelang PEMILU 2009. Tampaknya pemerintah dan partai politik akan semakinlihai mewacanakan CSR dan keberlanjutan lingkungan sebagai topik debat dan kampanyepolitik. Isu lain yang mungkin juga akan digunakan sebagai tema kampanye politik adalahsoal nasionalisme sumberdaya alam. Untuk topik terakhir, kita menyaksikannya lewatdebat berkepanjangan mengenai pelaksanaan divestasi Newmont Nusa Tenggara yang saratdengan kepentingan politik di balik mekanisme bisnis yang sebetulnya sederhana saja.Demikian pula dengan implikasi politik atas menguatnya isu keberlanjutan lingkungan.

    Dinamika yang terus-menerus merumit, mau tak mau menjadikan perusahaan harusmemiliki dokumen peta pemangku kepentingan yang memetakan klasifikasi para pemangkukepentingan, pandangan, sikap, dan perspesi mereka. Lebih jauh daripada itu, perusahaanharus mengetahui pola hubungan yang tepat dengan mereka, melakukan pemetaan polahubungan antarpemangku kepentingan dan berbagai analisis lainnya yang berhubungandengan eksistensi dan keberlanjutan bisnis perusahaan. Dipastikan bahwa hanyaperusahaan yang sudah memiliki peta pemangku kepentingan yang lengkap dan terus-menerus memantau dinamika para pemangku kepentingannyalah yang relatif akan selamatdari berbagai jebakan dan tekanan politik pihak-pihak yang berkepentingan. Untuk itu, di

  • 7/31/2019 20080409121448-a

    7/8

    7

    tahun 2008, tampaknya perusahaan yang sudah mulai, hendak memulai, dan berkeinginankuat untuk melembagakan CSR sebagai bagian penting dari strategi dan nilai bisnisnya, akantampak disibukkan dengan upaya pemetaan para pemangku kepentingannya. Konsekuensilogisnya, akan banyak lembaga konsultan yang menawarkan jasa memetakan pemangkukepentingan itu, entah dengan kualitas seperti apa.

    Akhirul Kalam: Mendekati Diluncurkannya ISO 26000Kalau sepanjang 2007 hubungan perusahaan dengan para pemangku kepentingannyamemberikan dua catatan besar: Pertama, pemahaman atas CSR baik itu ditunjukkan dalamdiskusi publik serta regulasi lebih banyak menunjukkan kekeliruan atau kesalahpahamanmengenainya dibandingkan menunjukkan ragam artikulasi atas substansi CSR yangsebenarnya. Kedua, dari lima komponen utama CSRekonomi, sosial, lingkungan,pemangku kepentingan, dan voluntarisme, isu lingkungan dan pemangku kepentinganbanyak ditandai dengan peristiwa yang bersifat negatif. Ini menandakan bahwa teramatsedikit perusahaan dan seluruh pihak yang mengadopsi CSR dalam pengertian terkaitpembangunan berkelanjutan.

    Boleh jadi induk masalahnya terdapat pada lemahnya pemahaman dan ketersediaan

    petunjuk atauguidanceyang bukan saja berdiri sebagai kekuatan pedoman etis dan voluntariyang tak mengikat. Sebuah otoritas tampaknya diperlukan untuk mengakhiri sengkarutdebat tentang CSR dengan tegas, serta berargumen kuat bahwa CSR memang terkaitdengan keberlanjutan bahkan eksistensi bisnis secara langsung. Sehubungan dengan ini,tampaknya draftISO 26000 yang mengambil tajukguidance on social responsibility, bisa banyakmembantu meneguhkan pelaksanaan CSR yang substansial. Draft 4.1 ISO 26000 yangdimunculkan di akhir Maret 2008 memberikan definisi tentang kewajiban sosial perusahaandengan:

    Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the environment,through transparent and ethical behaviour that contributes to sustainable development, health and the welfare ofsociety; takes into account the expectations of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent withinternational norms of behaviour; and is integrated throughout the organization and practiced in its relationships.

    Di dalamnya juga dikemukakan bahwa isu-isu inti dalam tanggung jawab sosial sebuahorganisasi meliputi tujuh aspek: tata kelola, HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, praktikoperasi yang adil, konsumen dan pembangunan sosial dan ekonomi untuk masyarakat.Selain itu, dalam menyelenggarakan tanggung jawab sosialnya sebuah organisasi dituntutuntuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut: be accountable for its impacts on society and theenvironment; be transparent in its decisions and activities that impact on others; behave ethically at alltimes; respect and consider the interests of its stakeholders; respect the rule of law; recognize both theimportance and the universality of human rights; serta respect relevant international norms where thesenorms are superior to national law and practice.

    Tentunya ISO 26000 bukanlah satu-satunya standar, apalagi menjadi standar suci yang tidak

    bisa berubah. Setidaknya, draft ini sedikit banyak memberi bantuan berupa panduan bagiperusahaan yang hendak melangkah menyelenggarakan CSR. Pun di sisi lainnya, ia bisamenjadi bahan acuan bagi pemangku kepentingan yang hendak memantau hingar-bingar,hiruk-pikuk, dan berbagai kenduri CSR, sehingga tampak jelas beda antara CSR dengan

    greenwashatau marketing gimmick belaka.

    *****

    Tentunya ISO26000 bukanlahsatu-satunyastandar, apalagimenjadi standarsuci yang tidakbisa berubah.

  • 7/31/2019 20080409121448-a

    8/8

    8

    Sekali lagi, urut peristiwa memang bukanlah mata rantai sebab akibat. Namun, iamenyajikan banyak tanda. Tentu, kita tidak akan tetap bermuka masam, jika semuaperistiwa menghasilkan suara merdu dengan lagu kesejahteraan masyarakat dan kelestarianlingkungan. Kita masih harus bekerja keras memisahkan perusahaan yang baik dari yangburuk; memberikan penghargaan kepada yang baik; membantu yang serius memperbaikidiri; dan terus menekan yang berkinerja buruk. Pengukuran kinerja dalam pengertian CSR

    ala Dahlsrud dan ISO 26000 menjadi kunci penting untuk mendorong CSR yangsubstansial dan komprehensif. Karenanya, kita tak pernah boleh berkesimpulan bahwahanya karena berderma bermiliar-miliar dari keuntungannya, sebuah perusahaan kita sebutsebagai telah bertanggung jawab sosial. Bagaimana keuntungan itu dibuatapakah dengandampak negatif minimum dan dampak positif maksimumlebih menentukan tanggungjawabnya.

    Jakarta , 8 April 2008

    Taufik Rahman dan Jalal, Lingkar Studi CSR

    Lingkar Studi CSR

    Rukan Permata Senayan No.A/6

    Jln.Tentara Pelajar, Patal Senayan Jakarta 12210, Indonesia

    Telp. (021) 579 40610, Fax. (021) 579 40611

    www.csrindonesia.com, e-mail:[email protected]