repositori.unud.ac.id · kalimat, tuturan, penggunaaan bahasa. Dalam berkomunikasi, makna atau...
Transcript of repositori.unud.ac.id · kalimat, tuturan, penggunaaan bahasa. Dalam berkomunikasi, makna atau...
CULTURAL SCRIPTS IN BALINESE LANGUAGE
By:
I Made Netra
Faculty of Arts-Udayana University
ABSTRACT
This article is based on Wierzbicka’s and Goddard’s claims suggesting that cultural
scripts approach is merely that the scripts form a kind of interpretive background against which
individuals position their own acts and those of others that scripts can form a stance of
interpretation to the position. It is made in order to avoid from being confused due to the
ambiguity. However, anthropological linguists and ethnographers of communication have long
recognized that different speech communities have different ways of speaking, not just in the
narrowly linguistic sense but also in the norms or conventions of linguistic interaction.
This article tries to explain that cultural scripts in Balinese language may reflect cultural
norms and ways Balinese people communicate in the society. Cultural scripts in Balinese
language containing two formats or models, namely high-level scripts and low-level scripts, may
take the forms of grammar, lexicon, and utterance. The discussion of the cultural scripts in
Balinese language associated with utterance and lexicon that reflects the Balinese cultural
norms can be derived from the functions of speech acts, such as assertive, directive, expressive,
commissive, and declarations.
Key Words: cultural scripts, cultural norms, interaction, communication, speech acts
WACANA BUDAYA DALAM BAHASA BALI
Oleh:
I Made Netra
Fakultas Sastra dan Budaya-Universitas Udayana
1. Pengantar
Masyarakat tutur yang berbeda memiliki cara berbicara yang berbeda, bukan hanya
dalam arti linguistik yang sempit tetapi juga dalam norma-norma budaya atau konvensi interaksi
linguistik yang berdasarkan konteks budaya. Oleh karena itu, norma budaya diartikan sebagai
kaidah yang dipakai sebagai aturan dalam menjalankan kehidupan sosial dalam masyarakat.
Masyarakat tutur dalam berkomunikasi diyakini pula memproduksi bahasa yang dimaksudkan
untuk menyampaikan sesuatu kepada lawan bicaranya. Bahasa yang diproduksi tersebut biasanya
dapat dikatakan berbentuk wacana. Wacana dalam hal ini diartikan sebagai sesuatu di atas
kalimat, tuturan, penggunaaan bahasa. Dalam berkomunikasi, makna atau pesan penutur bersifat
multitafsir. Sering juga dikatakan bahwa makna bahasa itu sering bersifat taksa, yaitu bahasa
mengandung makna ganda tentunya didasarkan atas sudut pandang yang berbeda.
Untuk menghindari ketaksaan tersebut, maka para ahli semantik berusaha keras untuk
memasukkan konteks situasi dan konteks budaya di dalam pemaknaan wacana budaya. Terkait
dengan hal ini. salah satu hasil nyata dan monumental dari ahli semantik adalah apa yang disebut
dengan cultural script „wacana budaya‟. Wacana budaya dalam hal ini bisa dipandang sebagai
pendekatan untuk melihat, memahami, dan menangkap norma budaya.
Berbagai definisi wacana budaya telah banyak diberikan. Beberapa diantanya adalah: (1)
Wacana Budaya merupakan cara berbicara dalam sudut pandang linguistik dan norma budaya
atau konvensi interaksi linguistik; (2) Wacana Budaya merupakan cara mengungkap konvensi
kelokalan yang berbeda-beda dari sebuah wacana dengan menggunakan metabahasa semantik
alami; (3) Wacana Budaya merupakan metode untuk menguraikan konvensi (perintah,
kesopanan, formalitas); dan (4) Wacana Budaya merupakan gambaran asumsi umum tentang
bagaimana orang berpikir tentang interaksi sosial. Jadi, klaim pendekatan Wacana Budaya
adalah bahwa wacana membentuk semacam latar belakang penafsiran terhadap tindakan individu
dan juga tindakan orang lain.
Ide utama dalam tulisan ini adalah bahwa wacana budaya dapat merefleksikan norma
budaya dan cara berkomunikasi masyarakat. Wacana budaya yang mengandung dua format atau
model, yaitu high-level scripts „wacana tingkat tinggi atau wacana utama dan inti‟ dan low-level
script „wacana tingkat bawah atau turunan‟, dapat berwujud tata bahasa, leksikon, dan tuturan.
Pembahasan mengenai wacana budaya terkait dengan tuturan dan leksikon bahasa Bali yang
merefleksikan norma budaya dapat diderivasi dari fungsi tindak tutur, seperti assertif, direktif,
ekspresif, komisif, dan deklarasi.
2. PEMBAHASAN
Pada bagian ini, pembahasan dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian yang satu
berhubungan dengan bagian yang lainnya. Bagian-bagian tersebut adalah: tingkatan dalam
wacana budaya dan wujud performansi wacana budaya, dan wacana budaya refleksi norma
budaya. Hal ini berarti bahwa untuk memahami bagaimana wacana budaya merefleksikan
norma budaya, maka pemahaman terhadap tingkat dan wujud wacana budaya sangat diperlukan.
2.1 Tingkatan dalam Wacana Budaya
Masyarakat memiliki wacana budaya berbeda-beda. Wacana budaya berhubungan
dengan aspek-aspek berpikir, berbicara, dan berperilaku. Walaupun demikian, diyakini ada dua
tingkatan wacana budaya, yaitu: (1) high-level script „wacana tingkat tinggi‟, yang merupakan
wacana utama dan inti dan (2) low-level script „wacana tingkat bawah atau turunan‟ yang
merupakan wacana yang didasari atas if and when condition „kondisi jika dan ketika‟. Goddarad
(1997) menggambarkannya dengan memberikan contoh wacana masyarakat Anglo. wacana (A)
di bawah ini bisa dikatakan wacana tingkat tinggi dari budaya masyarakat Anglo. Wacana ini
mengungkapkan preferensi budaya, seperti otonomi pribadi. Sementara wacana (B) ini
mengungkapkan dukungan budaya, seperti sikap ekspresif dalam ucapan dan tindakan. Dalam
kedua kasus itu dapat dikatakan bahwa perhatian tingkat tinggi terungkap pada wacana ini
diuraikan secara rinci dengan di dalam praktik berbahasa dan budaya pada masyarakat Anglo
Wacana tingkat tinggi seperti ini sering terkait erat dengan kata budaya, seperti kebebasan dan
ketulusan. Berikut adalah eksplikasi wacana budaya yang dimaksud.
(A) Wacana Tingkat Tinggi yang Terkait dengan Otonomi Pribadi
People think like this:
When a person does something, it is good if this person can think about it like this:
"I am doing this because I want to do it”
(B) Wacana Tingkat Tinggi yang Terkait dengan Keekspresifan
People think like this:
It is good if a person wants other people to know what this person thinks
It is good if a person wants other people to know what this person feels
(Goddard, 2000: 6)
Karena masyarakat bersifat heterogen, maka tidak semua anggota masyarakat, secara
perorangan, bisa menerima dan mendukung wacana tersebut. Oleh karena itu Goddard
menyatakan bahwa masyarakat tidak secara pribadi mengidentifikasikan dan mengetahui isi
wacana budaya tersebut, namun mereka tetap merasa akrab dengannya, dimana mereka
meyakini bahwa wacana budaya tersebut merupakan bagian dari latar belakang interpretatif
wacana dan perilaku sosial dalam konteks budaya tertentu. Oleh karena itu, selain wacana
budaya tingkat tinggi, terdapat pula wacana budaya tingkat bawahan atau turunan.Hal ini dapat
dilihat bahwa kedua wacana budaya di atas berkaitan erat dengan komponen evaluasi dan
komponen persepsi.
Komponen evaluasi bisa berbentuk “itu tidak baik jika ..............”, itu buruk jika ..... ....,
dll, atau varian lain seperti "itu bisa menjadi baik jika ...." dan "dapat buruk jika ......".Banyak
wacana budaya mengikuti format umum ini. Jenis lainnya menyangkut komponen persepsi orang
tentang apa yang mereka bisa dan tidak bisa dilakukan. "Saya dapat mengatakan (berpikir,
lakukan, dll) dan" Saya tidak bisa mengatakan (berpikir, lakukan, dll) ".
Lebih spesifik, wacana tingkat bawah sering ditandai dengan komponen "ketika" dan "jika"
mewakili naskah yang relevan dari konteks sosial. Perhatikan contoh berikut.
(C) Wacana Budaya Menghindari Perintah
People think like this:
When I want someone to do something
It is good if I say something like this to this person:
“I want you to do it
I think that you will do it because of this”
(Goddard, 2000: 7)
2.2 Wujud Performansi Wacana Budaya
Pemahaman terhadap tingkatan wacana budaya, tingkat tinggi dan tingkat bawahan atau
turunan menjadi cara dan alat untuk mengetahui wujud performansi wacana budaya itu sendiri.
Wujud performansi wacana budaya erat hubungannya dengan makna budaya yang selanjutnya
menjadi kaidah atau norma budaya. Norma budaya itu selanjutnya dieksplikasi dan dikonfigurasi
dengan model tingkat tinggi dan turunannya. Makna sebuah wacana budaya bisa terlihat dan
diderivasi dari fungsi tindak tutur. Makna sebuah bahasa ditentukan dari dalam bahasa itu sendiri
dan dari luar bahasa. Demikian pula halnya dengan makna sebuah wacana. Karena wacana
budaya bisa dilihat dengan dua paradigma, yaitu paradigma formal dan paradigma funsional,
maka pengertian wacana didasari oleh kedua paradigma tersebut. Dari sudut pandang formal,
wacana didefinisikan sebagai sesuatu di atas kalimat. Sementara dari sudut pandang fungsional,
wacana diartikan sebagai tuturan dan penggunaan bahasa. Berdasarkan pemahaman di atas, dapat
dikatakan bahwa wacana erat kaitannya dengan penggunaan bahasa.Penggunaan unit-unit bahasa
memiliki makna tertentu. Ketika penggunaann bahasa dianggap sebagai wacana budaya, maka
maknanya dapat dijadikan kaidah-kaidah yang diyakini dan dipercayai oleh masyarakat
penuturmya dalam menjalankan kehidupan sosial sehingga akan menjelma menjadi norma
budaya.
Sebelum diuraikan dengan jelas fungsi tindak tutur, akan digambarkan terlebih dahulu
wacana budaya yang berbentuk tata bahasa, karena tata bahasa juga berpengaruh pada
pemaknaan penggunaan bahasa. Tata bahasa yang dimaksud adalah tata bahasa yang berupa
kalimat interogatif retorika. Wacana budaya dapat berwujud tata bahasa. Tata bahasa bisa
mempengaruhi makna penggunaan bahasa. Salah satu bentuk tata bahasa yang sering ditemukan
dalam wacana budaya di Bali adalah bentuk ae yang diartikan sebagai “kan” (tag question) yang
ditemukan di bagian akhir suatu ujaran. Disamping itu, intonasi yang dipakai adalah intonasi
yang meningkat. Perhatikan contoh berikut.
(D) Mbok lakar kuma jani, ae?
Kakak mau ke sawah sekarang, kan?
(Netra, 2010)
Berdasarkan norma masyarakat Bali, tag ini menunjukan bahwa penutur berharap bahwa
petutur melakukan hal yang sama, tetapi pada saat yang bersamaan dia mengakui bahwa petutur
boleh mengatakan hal yang berbeda, yaitu menjawab pertanyaan dengan “tidak”. Dengan
demikian ae „kan‟ yang dipakai oleh penutur pada akhir ujaran mengandung arti bahwa penutur
memang benar-benar ingin bertanya atau mengetahui keadaan lawan bicaranya terutama apa
yang akan dilakukannya. Oleh karena itu, apat dikatakan bahwa tag question merefleksikan
budaya masyarakat Bali yang begitu penting, yakni perbedaan pendapat dan opini atau sudut
pandang dapat terjadi dan oleh karenanya bisa menerima perbedaan itu mengingat penutur
memang ingin memastikan apakah lawan bicaranya melakukan sesuatu atau tidak. Dari susut
pandang wacana budaya Bali tingkat tinggi terkait tag ini adalah sebagai berikut.
(1) Orang berpikir seperti ini:
Jika seseorang melihat orang lain melakukan sesuatu, alangkah baiknya jika orang ini
berpikir seperti ini:
“Saya harus memastikan apa yang orang lain lakukan”
(2) Orang berpikir seperti ini:
Ketika saya melihat seseorang akan melakukan sesuatu
Alangkah baiknya jika saya mengatakan sesuatu seperti ini kepada orang ini:
“Saya pikir anda akan melakukan hal yang sama”
(3) Orang berpikir seperti ini:
Seseorang akan selalu katakan sesuatu kepada orang lain, jika sesorang mengetahui orang
lain akan melakukan sesuatu
“Saya pikir anda akan melakukannya”
Di samping itu, tag ini juga bisa dimaknai berbeda mengingat kondisi kontekstual yang
berbeda pula. Oleh karena itu, dari sudut pandang low-level script, tag ini bisa dimaknai atau
dikonfigurasi untuk menunjukkan small talk atau basa-basi. Karena situasinya adalah bahwa
orang tersebut memang jelas-jelas membawa perlengkapan sawah, maka ketika dia bertemu
dengan orang lain maka dia disapa dengan ujaran seperti itu. Artinya kata ae memang berfungsi
untuk memperlancar percakapan dimana penuturnya mendorong atau menginginkan lawan
bicaranya untuk menyetujuinya atau mengiyakannya, bahwa dia memang melakukan sesuatu
seperti yang dikonfirmasikan oleh lawan bicaranya (hanya sekedar basa-basi saja). Oleh karena
itu, penggunaan ae dalam wacana budaya tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
(4) Orang berpikir seperti ini:
Ketika seseorang melakukan sesuatu dan ketika orang lain mengetahui ini, alangkah
baiknya jika ketika orang lain mengatakan tentang sesuatu yang seseorang lakukan,
seseorang dapat mengatakan sesuatu, seperti ini
“Saya pikir begitu atau ya”
(5) Orang berpikir seperti ini:
Seseorang dapat mengatakan sesuatu seperti ini kepada orang lain:
Ketika saya tidak akan melakukan sesuatu seperti yang dikatakan orang lain, alangkah
baiknya jika saya mengatakan sesuatu seperti ini:
“Saya pikir tidak begitu”
2.3 Wacana Budaya Refleksi Norma Budaya
Penyigian norma budaya suatu masyarakat atau komunitas, selain dilihat dari aspek tata
bahasa, dapat dilihat juga dari penggunaan aspek leksikon dan tuturan dalam suatu bahasa yang
berhubungan langsung dengan konteks situasi (context-bound). Penggunaan aspek-aspek ini
menentukan cara pertuturan masyarakat atau komunitas. Cara pertuturan semacam ini disimpan
dalam praktik-praktik keseharian mereka yang pada akhirnya disepakati secara kolektif sehingga
menjelma menjadi aturan yang disebut dengan norma budaya (Lihat Netra, 2011)
Untuk menyigi norma budaya, diperlukan sebuah model. Sebuah model yang mendukung
etnopragmatik sebagai komunikasi universal telah dibuat oleh seorang ahli yang menawarkan
suatu kerangka untuk memahami cara orang yang berasal dari budaya yang berbeda untuk
berpikir dan bagaimana model ini memengaruhi cara mereka berkomunikasi. Model ini disebut
dengan model cultural scripts ‟wacana budaya‟ (Wierzbicka, 1999 dan Goddard, 2000). Model
ini dapat menjelaskan perbedaan antara kebudayaan dan komunikasi lintas budaya. Lebih lanjut,
Wierzbicka (1999) mengatakan bahwa cultural scripts ‟wacana budaya‟ ini dapat diterapkan
untuk mengkaji emosi lintas budaya dan untuk melihat bagaimana perbedaan-perbedaan emosi
perasaan seseorang dalam berkomunikasi. Wierzbicka (1999) memberikan contoh wacana
budaya Anglo-Amerika untuk menggambarkan pola-pola komunikasi merekanya. Orang Anglo-
Amerika biasanya berkata, seperti berikut: "/ can do something very good " atau "I think this"
atau "I think that".
Bagi orang-orang Anglo-Amerika dirasakan sangat penting untuk mengungkapkan
pikiran mereka melalui leksikon ketika mereka berkomunikasi. Mereka menyampaikan
pesan secara jelas dan terbuka dan tanpa basa-basi. Pesan tidak mungkin mereka sampaikan
secara tersirat dan tidak langsung dengan menggunakan bahasa tubuh dan pergerakan tubuh atau
sesuatu yang lainnya dalam berkomunikasi, kecuali dengan bahasa yang verbal. Bahkan, mereka
menolak pesan apabila mereka tidak setuju dengan hal tersebut.
2.3.1 Wacana Budaya Terkait dengan Tuturan Asertif
Fungsi asertif adalah fungsi tuturan yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa
yang dikatakan. Wacana budaya yang terkait dengan tuturan asertif merupakan pernyataan
mengenai sesuatu yang mengikat penutur pada suatu kebenaran. Wacana budaya terkait dengan
tuturan asertif juga merupakan tuturan yang menyatakan kepercayaan yang sangat kuat yang
diungkapkan oleh penutur. Wacana budaya tingkat tinggi atau wacana utama terkait tuturan
asertif dapat dieksplikasi sebagai berikut:
(6) Orang berpikir seperti ini:
Ketika seseorang mengetahui sesuatu, ada baiknya jika orang ini dapat menyatakan
tentang keberadaannya
Dan ketika seseorang mengetahui kebenarannya, ada baiknya jika orang ini dapat
menyatakannya kepada orang lain
Wacana budaya terkait tuturan asertif yang dipakai oleh masyarakat Bali memiliki
banyak varian makna. Namun, dalam pembahasan ini hanya dua varian saja yang dijelaskan,
yaitu nulak „menolak‟, dan ngedengang „memperlihatkan‟. Adapun norma budaya yang melekat
di dalam kedua makna tersebut berdasarkan konteks budaya orang Bali adalah sebagai berikut
(7) Nulak „Menolak‟
Orang berpikir seperti ini:
Ketika seseorang merasakan sesuatu yang tidak baik terjadi karena orang lain melakukan
hal yang kurang baik, alangkah tidak baiknya jika seseorang mengatakannya di depan
orang ini
Ketika seseorang mearasakan sesuatu yangtidak baik terjadi karena orang lain melakukan
sesuatu yang salah, alangkah baiknya jika seseorang tidak mengatakannya di depan orang
ini
Oleh karena ini, Seseorang akan mengatakan sesuatu seperti ini:
“Saya pikir itu menjadi lebih baik jika sesuatu yang jelek tidak terjadi
Saya pikir itu menjadi lebih baik jika anda tidak melakukan hal seperti ini
Saya mengatakan penolakan seperti ini”
(8) Ngedengang „Memperlihatkan‟
Orang berpikir seperti ini:
Ketika saya memikirkan sesuatu, alangkah baiknya jika saya dapat menunjukkannya
kepada orang lain
Ketika saya memiliki sesuatu, alangkah baiknya jika saya dapat menunjukkannya kepada
orang lain
Ketika saya melakukan sesuatu, alangkah baiknya jika saya dapat menunjukkannya
kepada orang lain
2.3.2 Wacana Budaya Terkait dengan Tuturan Direktif
Fungsi direktif adalah fungsi tuturan yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar
lawan bicara dapat melakukan tindakan yang disebutkan dalam tuturan tersebut. Tuturan yang
berfungsi direktif dimaksudkan untuk menyatakan ekspresi sikap penutur terhadap tindakan yang
akan dilakukan oleh lawan tuturnya. Dengan kata lain, tuturan dengan fungsi direktif ini
mengekspresikan maksud penutur (keinginan, harapan, dan perasaan) sebagai tuturan atau sikap
yang diekspresikan dan dijadikan alasan untuk bertindak oleh lawan tuturnya. Wacana budaya
tingkat tinggi atau wacana utama terkait tuturan direktif adalah sebagai berikut:
(9) Orang berpikir seperti ini:
Ketika saya merasakan sesuatu dan ingin seseorang melakukan sesuatu
Alangkah baiknya jika saya mengatakan sesuatu seperti ini kepada orang ini:
“Saya ingin anda melakukan ini
Saya pikir anda akan melakukan ini karena ini”
Tuturan direktif memiliki variasi makna yang banyak sesuai dengan konteks
pertuturannya dan budaya masyarakat Bali. Namun, dalam pembahasan ini hanya dua variasi
makna yang dicoba dijelaskan, yaitu nuturang „menasehati‟ dan nutudin atau ngundang
„mengundang‟. Berikut ini adalah eksplikasi wacana budaya tersebut dengan memakai
metabahasa semantik alami
(10) Nuturang „Menasehati‟
Orang berpikir seperti ini:
Sesuatu yang baik akan terjadi jika seseorang dapat melakukan sesuatu yang baik
kepada semua orang
Jika tidak, sesuatu yang buruk akan terjadi
Oleh karena itu, orang ini akan mengatkan sesuatu seperti ini:
“Anda dapat melakukan ini juga kepada orang yang lainnya lagi”
Nutudin dan ngundang bermakna mengundang. Namun, perbedaannya terletak pada
kesan yang ditimbulkan oleh leksikon tersebut. Nutudin berkesan negatif, yaitu dilakukan apabila
ada upacara kematian. Sementara ngundang berkesan positif dan bersenang-senang. Ngundang„
mengundang‟ dipakai apabila masyarakat Bali memiliki kegiatan adat yang bersifat suka cita.
Berikut eksplikasinya:
(11) Nutudin „Mengundang‟
Orang berpikir seperti ini:
Ketika sesuatu yang buruk terjadi pada seseorang, alangkah baiknya jika orang
lain dapat melakukan sesuatu
Oleh karena itu, seseorang dapat memikirkan sesuatu, seperti ini:
“Saya tidak harus memberitahukan ini kepada orang lain
Saya pikir orang lain dapat melakukan sesuatu
Orang lain tidak ingin sesesuatu yang lebih buruk terjadi lagi kepada saya”
(12) Ngundang „Mengundang‟
Orang lain berpikir seperti ini:
Ketika sesuatu yang baik terjadi pada seseorang, alangkah baiknya jika orang lain
dapat melakukan sesuatu
Oleh karena itu, seseorang dapat memikirkan sesuatu, seperti ini:
“Saya lebih baik memberitahukan ini kepada orang lain
Jika tidak, orang lain tidak dapat melakukan sesuatu dan sesuatu yang
buruk akan terjadi kepada saya”
2.3.3 Wacana Budaya Terkait dengan Tuturan Ekspresif
Fungsi ekspresif adalah fungsi tuturan yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar
tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam suatu tuturan, misalnya
meminta maaf dan berterima kasih. Berikut ini eksplikasi wacana budaya Bali terkait dengan
tuturan ekspresif
(13) Orang berpikir seperti ini:
Adalah sesuatu yang baik jika seseorang menginginkan orang lain mengetahui
apa yang orang ini pikirkan
Adalah sesuatu yang baik jika seseorang menginginkan orang lain mengetahui apa
yang orang ini rasakan
Varian makna tuturan ekspresif dalam bahasa Bali sangatlah banyak, Namun, hanya dua
varian makna saja yang dicoba untuk dijelaskan dalam pembahasan ini, yaitu nunas pangampura
„meminta maaf‟ dan suksma „terima kasih‟. Kedua varian tuturan ekspresif tersebut diuraikan
secara ringkas satu per satu, seperti berikut.
(14) Nunas Pangampura „Meminta maaf‟
Orang berpikir seperti ini:
Ketika seseorang melakukan sesuatu yang tidak baik dan oleh karenanya sesuatu
yang buruk terjadi pada orang lain, alangkah baiknya jika seseorang mengatakan
sesuatu seperti ini:
“Saya ingin anda mengetahui apa yang saya rasakan saat ini
Saya mengatakan maaf seperti ini”
Jika tidak, sesuatu yang lebih buruk akan terjadi lagi
(15) Suksma „Terima kasih‟
Orang berpikir seperti ini:
Ketika orang lain telah melakukan sesuatu dan oleh karenanya seseorang memilik
sesuatu yang baik, alangkah baiknya jika orang ini dapat melakukan sesuatu yang
baik kepada orang lain
Tidaklah buruk jika seseorang dapat mengatakan sesuatu seperti ini:
“Saya tidak berterima kasih seperti ini
Saya berterima kasih dengan ini
Saya menginginkan anda mengetahui apa yang saya rasakan”
Pada saat yang sama, ketika waktunya tiba, orang ini akan melakukan sesuatu
yang baik untuk orang lain.
Karena itu, sesuatu yang baik dapat terjadi kepada orang lain
2.3.4 Wacana Budaya Terkait dengan Tuturan Komisif
Fungsi komisif adalah fungsi tuturan yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa
yang disebutkan dalam tuturannya, misalnya berjanji. Wacana budaya terkait dengan tuturan
komisisf dapat dieksplikasi dengan wacana budaya tingkat tinggi, seperti terlihat di bawah ini
(16) Orang berpikir seperti ini:
Adalah sesuatu yang baik jika ketika seseorang mengatakan sesuatu, orang lain
dapat melakukan sesuatu seperti apa yang orang ini katakan
Adalah sesutau yang tidak baik jika seseorang tidak melakukan sesuatu seperti
apa yang orang ini katakan
Salah satu representasi wacana budaya yang terkait dengan tuturan komisif dalam bahasa
Bali adalah mejanji „berjanji‟. Wacana budaya ini dapat dieksplikasi sebagai berikut
(17) Mejanji „Berjanji‟
Orang berpikir seperti ini:
Pada waktu itu, seseorang mengatakan sesuatu kepada orang lain
Saat yang sama, seseorang dapat melakukan sesuatu
Jika tidak, suatu yang buruk dapat terjadi kepada seseorang
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika seseorang dapat melakukan sesuatu seperti
apa yang orang ini katakan
Ketika seseorang tidak melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang orang ini
katakan, sesuatu yang buruk dapat terjadi
Oleh karena itu, alangkah tidak baiknya jika seseorang tidak melakaukan sesuatu
seperti apa yang orang ini katakan
2.3.5 Wacana Budaya Terkait dengan Tuturan Deklarasi
Fungsi deklarasi adalah fungsi tuturan yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk
menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru, misalnya, memutuskan. Wacana
budaya yang terkait dengan tuturan deklarasi dapt diuraikan berikut ini
(18) Orang berpikir seperti ini:
Ketika seseorang mengetahui sesuatu, ada baiknya jika orang ini dapat
menyatakan tentang keberadaannya
Dan ketika seseorang mengetahui kebenarannya, sesuatu yang baru dapat terjadi
Salah satu representasi wacana budaya terkait dengan tuturan deklarasi dalam bahasa Bali
adalah mutusang „memutuskan‟. Adapun eksplikasinya dapat dilihat seperti berikut ini
(19) Mutusang „Memutuskan‟
Orang berpikir seperti ini:
Ketika sesuatu yang tidak baik terjadi, alangkah baiknya jika seseorang dapat
mengatakan sesuatu kepada orang lain
Saat yang sama, ketika orang lain mengetahu sesuatu yang tidak baik terjadi,
alangkah baiknya jika orang lain dapat melakukan sesuatu hanya sekali saja
Oleh karena itu, sesuatu yang buruk tidak lagi terjadi dan sesuatu yang baru dapat
terjadi
3. Penutup
Pada bagian ini disajikan dua paragraph penutup, yaitu (1) catatan penting mengenai
wacana budaya dan (2) simpulan terhadap pembahasan mengenai wacana budaya Bali yang
merefleksikan norma budaya Bali
3.1 Catatan Penting Mengenai Wacana Budaya
Sebelum ditarik simpulan terhadap pembahasan mengenai wacana budaya Bali, beberapa
catatan penting perlu diuraikan terlebih dahulu. Wacana budaya merupakan aturan perilaku yang
berfungsi sebagai aturan interpretasi, persepsi, dan evaluasi. Tidak ada yang tahu berapa banyak
wacana budaya yang akan diperlukan untuk menjelaskan dengan relatif lengkap mengenai
budaya lisan dari setiap masyarakat. Berbagai bentuk intertekstualitas beroperasi antara dan di
antara wacana budaya.
3.2 Simpulan
Dari pembahasan mengenai wacana budaya Bali yang merefleksikan norma budaya Bali
di atas, beberapa simpulan dapat ditarik, seperti
1) Wacana budaya bisa dipandang sebagai model, format, dan cara berkomunikasi
masyarakat Bali dengan memakai metabahasa semantik alami
2) Wacana budaya terjadi pada dua tingkatan, yaitu tingkat tinggi dan tingkat rendah.
3) Wacana budaya dapat berwujud tata bahasa, yaitu interogatif retorika yang maknanya
adalah bahwa penutur mearasa yakin terhadap apa yang dilakuakan oleh seseorang. Di
samping itu tag juga mengandung makna basa-basi.
4) Wacana budaya Bali mengandung norma budaya yang maknanya seperti tertuang dalam
fungsi tindak tutur asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi.
5) Wacana budaya memiliki varian leksikon yang maknanya dapat dieksplikasi
menggunakan metabahasa semantik alamai
DAFTAR PUSTAKA
Bach, K. dan Robert M. Harnish. 1979. Linguistic Communication and Speech Acts. London:
The MIT Press.
Goddard, C. 1994. Cross Linguistic Syntax from A Semantic Point of View (NSM Approach).
New England: New England University Press.
Goddard, C. 1997. “Semantic Theory and Semantic Universal” Dalam Cliff Goddard and A.
Wierzbicka (eds), from Semantic and Lexical Universals: Theory and Empirical
Findings. Amsterdam/Philadelphia: Benjamins, 7--29.
Goddard, C. 2000. Semantic Analysis: A Practical Introduction. Oxford: Oxford University
Press.
Goddarad, C. 2003. “Directive Speech Acts in Malay: Ethnopragmatic Perspective”. in Special
Issue on Intercultural Communication. Edited by Christine Beal. 2003
Levinson, C. Stephen. 1987. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Netra, I M. 2005. ”Eksplikasi Makna Ilokusional Tuturan Upacara Memadik ‟Meminang
Perempuan‟ di Kota Denpasas: Kajian MSA” (Sebuah Tesis S2). Denpasar: Program
Studi Linguistik S2, Program Pascasarjana Universitas Udayana
Netra, I M. 2010. “Realisasi Intonasi Bahasa Bali dalam Menentukan Makna Budaya” dalam
Prosiding Seminar Bahasa Ibu III. Denpasar: Preogram Studi Magister (S2) dan Doktor
(S3) Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
Netra, I. M. 2011. “Wacana Ritual Melong Pare Bulu Komunitas Petani Adat Bayan Lombok
Utara: Kajian Etnopragmatik”. (Desertasi). Denpasar: Program Doktor (S3) Linguistik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Schiffrin, D. 1994. Approaches to Discourse. Cambridge: Blackwell.
Wierzbicka, A 1991. Cross-Cultural Pragmatics. The Semantics of Human Interaction. Berlin
and New York: Mouten de Gruyter
Wierzbicka, A. 1992. Semantics, Culture, and Cognition. New York and Oxford: Oxford
University Press.
Wierzbicka, A. 1996. Semantics Primes and Universals. Oxford and New York: Oxford
University Press.
Wierzbicka, A 1999. Emotions Across Languages and Cultures: Diversity and Universals.
Cambridge: Cambridge University Press.