Gaya Bahasa Arab dan Pemahaman Makna...

52
Edisi 13 Tahun VII Desember 2009 Diterbitkan oleh PPPPTK Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Saussure: Tentangnya, Tentang Warisannya, dan Tentang Teorinya Gaya Bahasa Arab dan Pemahaman Makna Alquran The Discourse of International Students Evaluation of A Workplce Learning Environment Does Degree (Really) Matter? Antara Saya, Kami, dan Kita Pemelajaran Elektronik: Apa dan Bagaimana

Transcript of Gaya Bahasa Arab dan Pemahaman Makna...

Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

Diterbitkan olehPPPPTK Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional

Saussure: Tentangnya, Tentang Warisannya, dan Tentang TeorinyaGaya Bahasa Arab dan Pemahaman Makna AlquranThe Discourse of International StudentsEvaluation of A Workplce Learning EnvironmentDoes Degree (Really) Matter?Antara Saya, Kami, dan KitaPemelajaran Elektronik: Apa dan Bagaimana

MEDIA Komunikasi dan Informasi Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa ini meru-pakan salah satu media informasi dan komunikasi antar-unit di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional, terutama antara

PPPPTK Bahasa dengan PPPPTK lain, LPMP, Direktorat-Direktorat yang relevan, pendidik, dan tenaga kependidikan bahasa.Media Informasi dan Komunikasi ini memuat informasi tentang kebahasaan dan pengajarannya serta kegiatan yang berkaitan

dengan pendidikan dan pelatihan guru bahasa. Kami mengundang para pembaca untuk berperan serta menyumbangkan buah pikiran yang sesuai dengan misi media ini, berupa pendapat atau tanggapan tentang bahasa, pengajarannya, dan ulasan tulisan pada media ini serta tulisan di bidang non-pendidikan bahasa.

Kami akan memperbaiki redaksional tulisan atau meringkas naskah yang akan terbit tanpa mengubah materi pokok tulisan. Bagi penulis yang artikel atau tulisan beritanya dimuat akan diberi honorarium yang pantas. e

Pengguna bahasa selama

ini tampak tidak

seragam dalam

menulis kan jenjang pendidikan

stra ta dua dan strata tiga pada

program pascasarjana. Di satu

pihak, ada yang menuliskannya

dengan singkatan S2 dan S3

(tanpa tanda hubung), di pihak

lain ada pula yang menuliskannya

dengan S-2 (dengan tanda

hubung). Manakah penulisan yang benar dengan atau tanpa tanda hubung?

Untuk menjawab pertanyaan

itu, perlu dijelaskan bahwa—

sesuai dengan kaidah Ejaan

Bahasa Indonesia yang

Disempurnakan—tanda hubung

memiliki beberapa fungsi. Salah

satu fungsi tanda hubung itu

adalah untuk merangkaikan

(a) se- dengan kata berikutnya

yang diawali dengan huruf

kapital, misalnya se-Jakarta

dan se-Indonesia;

(b) ke- dengan angka, misalnya

ke-2, ke-15, dan ke-25;

(c) angka dengan -an, misalnya

2000-an dan 5000-an;

S2 atau S-2?(d) singkatan (huruf kapital)

dengan imbuhan atau kata,

misalnya di-PHK, sinar-X, atau

hari-H;

(e) nama jabatan rangkap,

misalnya Menteri-Sekretaris

Negara.

Dalam ketentuan (b) dan

(c) tersebut tampak bahwa

perangkaian ke- dengan angka

dan angka dengan -an dilakukan

dengan menggunakan tanda

hubung. Hal itu menunjukkan

bahwa perangkaian angka dengan

unsur lain yang tidak sejenis

(bukan angka) dilakukan dengan

tanda hubung.

Selain itu, pada ketentuan

(d) tampak pula bahwa singkatan

berhuruf kapital dengan imbuhan

atau kata juga dirangkaikan

dengan tanda hubung. Hal

itu mengindikasikan bahwa

singkatan berhuruf kapital jika

dirangkaikan dengan unsur lain

yang tidak sejenis juga ditulis

dengan menggunakan tanda

hubung.

Sejalan dengan penjelasan

tersebut, jenjang akademik strata

dua pada program pascasarjana—

jika disingkat—lebih tepat

ditulis dengan menggunakan

tanda hubung, yaitu S-2, bukan

S2. Huruf S pada singkatan itu

merupakan singkatan berhuruf

kapital yang dirangkaikan dengan

unsur lain (angka 2) yang tidak

sejenis. Angka 2 pada singkatan

itu juga digabungkan dengan

unsur lain yang tidak sejenis,

yaitu S.

Oleh karena itu, perangkaian

kedua unsur yang tidak sejenis

itu lebih tepat menggunakan

tanda hubung. Hal yang sama

juga berlaku bagi jenjang strata

tiga, yang disingkat menjadi S-3.

Angka di belakang singkatan S itu

tidak menyatakan jumlah (seperti

P4 = 4P). Dengan demikian, angka

1, 2, dan 3 pada S-1, S-2, dan S-3

bukan berarti 1S, 2S, atau 3S,

melainkan menyatakan tingkat

pertama, kedua, dan ketiga. e

Sumber: Buku Praktis Bahasa Indonesia 2/Dendy Sugono (ed.). Jakarta: Pusat Bahasa, 2003.

senaraibahasa

Pendidikan adalah salah satu

kebutuh an dasar manusia Indo-

nesia. Tanpa pen didikan, kehidupan bermasyarakat

tidak akan pernah mengalami kemajuan. Pendidik-

anlah yang akan membuat suatu masyarakat

memiliki tingkat kehidupan ekonomi maupun

sosial budaya yang tinggi. Bangsa yang memiliki

tingkat pendidikan tinggi tidak akan pernah di-

bodohi bangsa lain.

Pemerintah dengan segenap tenaga berupaya

mening katkan taraf pendidikan masyarakat. Berba-

gai program digalakkan demi mencapai target dalam

bidang pendidikan. Bagi masyarakat kurang mampu

pemerintah membuka lebar kesempatan bagi mer-

eka untuk mengenyam pendidikan secara gratis.

Pada edisi kali ini, Ekspresi menyuguhkan

tulisan utamanya mengenai pendidikan gratis.

Meskipun diberikan secara gratis, kualitas pen-

didikan tidak serta merta seadanya. Dalam tulisan

tersebut yang patut diperhatikan justru kualitas

pendidikan bukan “harga” pendidikan. Pemerintah

mesti mampu menjamin pendidikan (sekolah) gra-

tis tersebut tetap memiliki mutu yang tidak kalah

dengan sekolah yang mahal.

Guru sebagai ujung tombak pendidikan pun

mesti memiliki kualitas individu yang andal. Ja-

ngan karena mengajar di sekolah gratis, seorang

guru mengajar semaunya. Guru harus bisa mengem-

bangkan kemampuan dirinya bahkan pada tingkat

internasional walaupun mereka belum memiliki

gelar sekalipun.

Semua hal tersebut bisa Anda baca lewat

Ekspresi yang memiliki tampilan muka baru ini.

Semoga bermanfaat. e

Senarai Bahasa

Salam Redaksi

Laporan Utama

Mencermati Pendidikan Gratis [4]

Bahasa dan Sastra

Saussure: Tentangnya, Tentang

Warisannya, dan Tentang

Teorinya [7]

Gaya Bahasa Arab dan Pemahaman

Makna Alquran [13]

Kepadaan Linguistik yang Tinggi

Menjadi Perspektif Ketenagaan

Bahasa Indonesia [16]

The Discourse of International

Students [20]

Evaluation of A Workplce Learnig

Environment [28]

Does Degree (Really) Matter? [36]

Antara Saya, Kami, dan Kita [39]

Pemelajaran Elektronik: Apa dan

Bagaimana [42]

Laporan Khusus

SEAMEO Regional Centre for QITEP

in Language [49]

Serambi Foto

Pembina Kepala PPPPTK Bahasa Muhammad Hatta Penanggung Jawab Kabag Umum Abdul Rozak, Kasubbag Tatausaha dan Rumah Tangga Azokhigo Daeli Pemimpin Redaksi Kabid Program dan Informasi Haslinda Erlina, Kabid Fasilitasi Peningkatan Kompetensi Evarinayanti, Iri Agus Sudirdjo Redaktur Pelaksana Kasi Program Endang Nilla P, Kasi Data dan Informasi Nurlaila Salim, Gunawan Widiyanto Redaktur Ririk Ratnasari, Puspita Dara Pratiwi, Neneng Tsani, Joko Subroto Desain Sampul dan Tataletak Yusup Nurhidayat Pencetakan dan Distribusi Naidi, Djudju, Komariah Alamat Redaksi Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa Jalan Gardu, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640 Kotak Pos 7706 JKS LA Telp. (021) 7271034

Faks. (021) 7271032 Website: www.pppptkbahasa.net Email: [email protected]

daftarisi

salamredaksi

4 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

laporanutama

peribahasa Jawa Jer basuki mawa bea rasanya tak salah jika direnungkan

kembali, apalagi jika dikaitkan dengan pen di dikan gratis, yang se-lalu saja menjadi modal utama da-lam dunia politik. Panggung pemi-lu yang baru usai juga menyisakan

janji para caleg me ngenai pendidik-an gratis. Pendidik an meru pakan harga mati dalam sebuah kehidup-an karena pendidikan adalah hak asasi manusia se perti yang tertu-ang dalam Universal Declaration of Human Rights.

Untuk membangun masyarakat mada ni diperlukan manusia yang cerdas dan kompeten. Di samping itu, era global yang ditandai de-ngan lahirnya masyarakat berba-sis pengetahuan (knowledge-based society) menuntut penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Keempat aspek tersebut da pat diperoleh melalui proses pendidik an, dan pendidik-an sendiri akan berjalan de ngan baik jika didukung oleh berbagai pihak terkait pemerin tah, baik pusat maupun daerah, orang tua, dan masyarakat.

Untuk membangun berdirinya pendidikan yang kokoh, Indo-nesia sudah lebih dari 15 tahun menanamkan fondasi pendidik-an dasar dengan mencanangkan prog ram wajib belajar mulai dari 6 tahun hingga diperluas menjadi 9

tahun. Meskipun demikian, masih saja belum jelas apakah Indonesia mampu melaksanakan wajib bela-jar (compulsory education) atau universal education yang artinya pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua wilayah, mengingat status wilayah panda-

ng an hidup sebagian besar rakyat Indonesia tentang pendidikan.

Dua konsep tersebut berbeda dan hal ini jelas tertuang dalam keputusan internasional, yak-ni Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand tahun 1990 yang menegaskan bahwa compulsory education bukan universal education.

Wajib belajar berimplikasi ter-hadap pembebasan biaya sebagai bentuk tanggung jawab pemerin-tah, baik pusat maupun daerah untuk menyukeskan pendidikan dasar sembilan tahun sedangkan universal education berimplikasi pada ketersediaan tempat belajar.

Dalam pengertian pembebasan biaya pendidikan, konsekuensi kebijakan pendidikan gratis sa-ngat bergantung pada perhitung-an biaya satuan (unit cost) di sekolah. Biaya satuan memberi-kan gambaran berapa sebenarnya rata-rata biaya yang diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu murid.

Besarnya biaya satuan kemu-dian harus diban dingkan dengan

MencerMati Pendidikan GratisRirik Ratnasari

PEndidiKAn

MEruPAKAn hArGA

MATi dAlAM SEBuAh

KEhiduPAn KArEnA

PEndidiKAn AdAlAh

hAK ASASi MAnuSiA

SEPErTi yAnG TErTuAnG

dAlAM UnIvERSAL

DEcLARATIon of HUMAn

RIgHTS.

5

laporanutamadana bantuan operasional seko-lah (BOS) yang pada tahun 2009 akan diterima oleh tiap siswa sebesar Rp400.000,00/tahun un-tuk SD/ SDLB di wilayah kota, Rp397.000,00/tahun untuk SD/SDLB di kabupaten sedangkan untuk siswa SMP/ SMPLB/SMPT di kota Rp575.000,00/tahun dan SMP/SMPLB/SMPT di kabupaten Rp570.000,00/tahun.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sebelum menjan-jikan pendidikan gratis apakah

para calon pimpinan daerah su-dah menghitung biaya satuan? Pertanya an kedua, jika ternyata biaya satuan di tingkat seko-lah lebih besar daripada dana BOS, siapa yang akan menutup kekurangan tersebut?

Kebijakan pendidikan gra-tis jelas tidak membebankan kekurang an biaya pendidikan

kepada orang tua. Alternatifnya hanya dua, yaitu dipenuhi oleh pemerintah daerah atau dibiarkan tanpa satu pihak pun menutup-nya. Mau atau tidak pemda yang akan menutup kekurangan biaya di sekolah seperti yang telah dinya takan dengan jelas dalam aturan BOS bahwa pemerintah daerah wajib memenuhi kekura-ngan biaya operasional sekolah dari APBD yang ada. Ini berarti, diperlukan alokasi APBD yang cukup besar, se suai dengan jum-

lah murid yang ha rus menempuh pendidikan dasar.

Sebagai gambaran, jika selisih antara biaya satuan dan BOS ada-lah Rp15.000,00 dan di suatu ka-bupaten terdapat 200.000 murid SD, diperlukan tambahan APBD senilai Rp3 miliar untuk tingkat SD, belum lagi ditambah untuk tingkat SMP. Semakin besar selisih

antara BOS dan biaya satuan, dan semakin besar jumlah murid di suatu daerah akan semakin besar alokasi APBD yang diperlukan.

Jika APBD daerah tersebut tidak dapat menutup kekurangan BOS, siapa yang harus bertang-gung jawab sementara kebijakan pendidikan gratis harus konsisten dilaksanakan? Apabila hal terse-but tetap dilaksanakan, kemung-kinan terbesar yang terjadi ada-lah penyelenggaraan pendidikan tidak sesuai de ngan standar.

Beberapa fakta tentang BOS menunjukkan sebagai berikut. Pertama, pemda menganggap BOS tidak cukup, sehingga meng-alokasikan dana APBD dalam jumlah cukup besar sebagai "pen-damping BOS", untuk bisa meng-gratiskan pendidikan.

Sebagai ilustrasi, kota Bekasi mengalokasikan APBD 2008 cu-

6 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

kup besar untuk pendamping BOS, sekitar Rp30.000,00 per siswa per bulan untuk SD plus biaya ope-rasional sekolah lainnya sebesar Rp21.500,00 dengan total dana yang dialokasikan untuk pos ini adalah Rp61,5 miliar (Republika, 3 Januari 2008). Ini merupakan kondisi yang mendekati ideal, keperluan operasional sekolah terpenuhi dengan baik dan masyarakat dapat menikmati pe-layanan pendidikan tanpa harus membayar.

Kedua, pemda menganggap BOS tidak cukup sehingga pemda tidak mengalokasikan atau meng-alokasikan APBD dalam jumlah kecil, tetapi masih memperboleh-kan sekolah menarik dana partisi-pasi dari masyarakat. Langkah ini tidak populer, karena masyarakat masih dibebani dengan biaya pen-didikan.

Akan tetapi, dalam kondisi seper ti ini pihak sekolah ter-bantu karena kekurangan dana operasional masih bisa ditutup dengan kontribusi dari orang tua atau masyarakat. Ketiga, pemda menganggap dana BOS sudah cukup bagi sekolah, sehingga pemda menggratiskan sekolah, tetapi tidak mengalokasikan atau mengalokasikan dalam jumlah kecil APBD-nya untuk keperluan operasional sekolah.

Ini merupakan kondisi yang sangat menyulitkan banyak seko-

lah karena dikhawatirkan berim-plikasi buruk pada kualitas pen-didikan. Di sisi lain, masyarakat menikmati sekolah gratis, meski-pun ada ancam an penurunan kualitas yang belum tentu dirasa-kan dengan segera.

Situasi di atas menunjukkan bahwa pendidikan gratis tidak selalu baik bagi masyarakat. Masyarakat memang memerlukan pendidikan yang murah, tetapi pada saat yang sama juga memer-lukan pendidikan yang bermutu dan harus disadari betul bahwa segala sesuatu memang memerlu-kan pengorbanan finansial.

Sayangnya, murah dan ber-mutu tidak selalu bisa berjalan seiring, lagi-lagi mengutip pepa-tah Jawa ana rega ana rupa. Da-lam kasus tertentu, bagi pemda yang tidak mengalokasikan APBD dalam jumlah yang cukup untuk keperluan operasional sekolah, kebijakan pendidikan gratis jus-tru menjadi perangkap. Kualitas pendidikan, yang sudah sering diragukan, akan semakin terpu-ruk akibat tidak terpenuhinya kebutuh an operasional sekolah.

Oleh karena itu, masyarakat harus cukup cerdas dalam mencer-mati wacana pendidikan gratis. e

Rujukanhttp://sekolahgratis.info/tentang-

sekolah-gratis/.

PEndidiKAn GrATiS TidAK

SElAlu BAiK BAGi MASyArAKAT. MASyArAKAT MEMAnG MEMErluKAn PEndidiKAn yAnG MurAh, TETAPi PAdA SAAT yAnG SAMA juGA MEMErluKAn PEndidiKAn yAnG BErMuTu dAn hAruS diSAdAri BETul BAhWA SEGAlA SESuATu MEMAnG MEMErluKAn PEnGorBAnAn finAnSiAl.

6 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

7

Saussure pun diang-gap sebagai satu dari sejumlah dan sederet

tokoh yang cukup kontributif terhadap perkembangan li-nguistik dan oleh karena nya ia disebut sebagai peletak dasar linguistik modern. Lagi pula, sosoknya pun dianggap me-warnai mosaik perlinguistikan Eropa sehingga sungguh wajar manakala peminat bahasa memi-liki kemelitan (curiousity) terha-dapnya. Pertanya annya adalah siapakah Saussure dan setakat mana pengaruh pemikirannya terhadap perkembangan linguis-tik? Tulisan ini mencoba meng-uraikan tentangnya, warisan, dan teorinya.

Tentang Saussure Saussure yang memiliki nama lengkap Ferdinand Mongin de Saussure lahir di Jenewa Swiss pada 26 November 1857 dalam sebuah keluarga yang memiliki sumbangan besar secara histo-ris terhadap ilmu pengetahuan. Dia sejak awal memang telah menunjukkan bakat dan kemam-puan intelektual yang luar biasa. Setelah setahun belajar bahasa Latin, Yunani, dan Sanskerta, serta mengikuti beragam kursus di Universitas Jenewa, dia me-mulai pekerjaan pertamanya di Universitas Leipzig pada tahun 1876. Dua tahun kemudian tat-kala berusia 21 tahun Saussure

saussure: tentangnya, tentang Warisannya, dan tentang teorinya

Gunawan Widiyanto

Staf PPPPTK Bahasa

belajar selama setahun di Berlin, tempat dia menulis satu-satunya karya terpanjangnya (full-length work), yakni Mémoire sur le système primitif des voyelles dans les langues indo-européenes (Thesis on the Primitive Vowel System in Indo-European Languages). Dia kembali ke Leipzig dan mendapat gelar doktor pada tahun 1880. Segera selepas itu dia menetap (lagi) di Paris, tempat dia meng-ajar bahasa-bahasa kuno dan modern. Di sana dia mengajar selama 11 tahun sebelum kem-bali ke Jenewa pada tahun 1891. Sisa hidupnya dia habiskan untuk memberi kuliah bahasa Sanskerta dan dan Indo-Eropa di Universitas Jenewa. Tidak sampai tahun 1906 Saussure mulai mengajar Pengan-tar Linguistik Umum (Course of General Linguistics) yang sung-guh menyita sebagian besar per-hatiannya sampai wafatnya pada tahun 1913.

Karya Saussure yang paling berpengaruh, Course in General Linguistics (Cours de linguistique générale), diterbitkan pada tahun 1916 sepe ninggalnya oleh mantan mahasiswanya, yakni Charles Bally dan Albert Sechehaye berdasarkan catat an dari perkuliahan Saussure di Universitas Jenewa. Karya itu menjadi salah satu karya linguistik yang potensial berkembang pada abad ke-20, utamanya bukan kare-na isinya melain kan lebih kare na ancangan inovatif nya, yang di-

PEnGAnTAr

aDa SaTU PERKaRa YaNG

HaMPIR SENaNTIaSa

MENGGaNJal KEBaNYaKaN

ORaNG TaTKala HENDaK

MEMBINCaNGKaN

lINGUISTIK SECaRa

MENDalaM, UTaMaNYa

lINGUISTIK STRUKTURal

TRaDISI EROPa. TaTKala

MEMBINCaNGKaNNYa,

PEMINaT BaHaSa RElaTIF

TIDaK BISa BERlEPaS

DIRI DaRI PERBINCaNGaN

PaRa TOKOH SEBaGaI

KONTRIBUTOR PEMIKIRaN

TERHaDaP PERKEMBaNGaN

IlMU INI. SalaH SaTU

DI aNTaRa TOKOH YaNG

PalING KONTRIBUTIF

TERHaDaP laJU

PESaTNYa PERTUMBUHaN

lINGUISTIK aDalaH

SaUSSURE.

8 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

pakai Saussure ketika membahas fenomena bahasa. Konsep uta-manya adalah bahwa bahasa bisa dianalisis sebagai sebuah sistem formal dari elemen yang beraneka, terlepas dari dialektika produksi dan pemahaman bahasa. Elemen tersebut mencakupi konsep tanda bahasa, penanda, petanda, dan referen.

Pada tahun 1996, sebuah naskah milik Saussure ditemukan di rumahnya di Jenewa. Teks ini diterbitkan dengan tajuk Writings in General Linguistics, dan di dalamnya dijelaskan secara sig-nifikan tentang karya nya, the Course.

Sebagai mahasiswa yang ce-merlang dan rajin, Saussure sejak awal menunjukkan bakatnya di bi-dang bahasa dan mempelajari ba-hasa Sanskerta, Yunani, Jerman, Latin, Perancis, dan Inggris. Dia memiliki mentor bernama Adolphe Pictet, seorang linguis termashur,

yang menyema ngati lelaki muda ini untuk terus berhasrat pada bahasa. Karena cende rung meng-ikuti jejak langkah pendahulunya yang menekuni Fisika, dia masuk universitas bergengsi, yakni Uni-versitas Jenewa pada tahun 1875 untuk belajar Kimia dan Fisika. Namun, menjelang tahun 1876 dia kembali menekuni Linguistik. Saus sure belajar di Universitas Berlin dari tahun 1878 hingga 1879 dan kemudian mendaftar Universitas Leipzig untuk bela-jar tata bahasa komparatif dan bahasa-bahasa Indo-Eropa. Dia menerbitkan buku lengkap per-tamanya, Memoire sur le systeme primitive des voyelles dans les langues indo-europeennes (tesis mengenai sistem asli vokal dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa), pada tahun 1878. Karya tersebut dipuji oleh para kritikus sebagai sebuah karya yang brilian, yang kare-nanya Saussure memiliki repu tasi

sebagai seorang pakar baru yang berkontribusi di bidang linguistik komparatif. Karya tersebut juga mengungkap penemuan pen-ting di bidang bahasa-bahasa Indo-Europa yang selanjutnya dikenal sebagai teori laringal, yang mene rangjelaskan karak-teristik bebera pa bahasa tertua dunia. Sayangnya, teori terse-but tidak terlalu banyak menda-pat sambutan sampai paruh abad 20. Saussure juga menerbitkan Remarques de grammaire et de phonetique (Catatan tentang Tata Bahasa dan Fonetik) pada tahun 1878. Dia merampungkan diser-tasi doktoralnya tentang genitif absolut dalam bahasa Sanskerta dan lulus dengan predikat summa cum laude dari Universitas Leipzig pada tahun 1880.

Kerja profesional pertama Saus sure di bidangnya adalah sebagai guru di École Practique des Hautes Études di Paris. Di sana dia meng ajar banyak ba-hasa, termasuk bahasa Lithua-nia dan Persia, yang menambah wawasan dan pengetahuannya. Sementara itu, dia menjadi ang-gota aktif Masyarakat Linguistik Paris (Linguistic Society of Paris) dan menduduki jabatan sekretaris pada 1882. Dia berada di the École Practique selama 10 tahun, yang akhirnya ditinggalkannya pada tahun 1891 untuk menerima ta-waran menduduki jabatan baru sebagai guru besar bahasa-baha-sa Indo-Europa dan tata bahasa komparatif di universitas Jenewa. Rekaman historis menunjukkan bahwa Saus sure merasa sangat khawatir untuk menerbitkan karya-karya nya hingga karya-karyanya terbukti benar-benar akurat. Dengan demikian, ba nyak karyanya tidak dirilis sepanjang

hidupnya dan banyak dari teori-nya ditulis dan dijelaskan di buku oleh penulis lain. Menurut Robert Godel dalam sebuah esai bertajuk Cahiers Ferdinand de Saussure, Saussure dikatakan takut tatkala pada tahun 1906 Universitas Je-newa meminta nya untuk meng ajar mata kuliah Linguistik, karena percaya bahwa dia tidak memadai tugas itu. Godel menjelaskan bah-wa Saussure merasa tidak sanggup dengan tugas tersebut, dan tidak berkeinginan untuk bersusah payah lagi dengan masalah itu. Namun, dia melakukan apa yang dia yakini menjadi tugasnya.

Saussure meninggal pada tang-gal 22 Pebruari 1913 di usia 56 karena penyakit kanker. Filling the void that de Saussure’s dislike of publishing and early death caused, banyak karyanya dirilis sepe-ninggalnya, termasuk Recueil des publications scientifiques (1921), Manoscritti di Harvard (1994), Phonetique (1995), Linguistik und Semiologie (1997), Ecrits de linguistique generale (2002), dan Theorie de sonantes: Il manoscritto de Ginevra (2002).

Warisan Saussure Pengaruh gagasan Saussure terha-dap perkembangan teori linguistik pada paruh pertama abad 20 me-mang tidak bisa dimungkiri. Ada dua arus pemikiran yang saling muncul secara independen, satu di Eropa dan lainnya di Amerika. Hasil dari setiap arus pemikiran itu menggabungkan konsep dasar pemikiran Saussure dalam mem-bentuk prinsip utama linguistik struktural.

Di Eropa, karya terpenting sedang dibuat oleh Aliran Praha (Prague School). Secara spesifik, Nikolay Trubetzkoy dan Roman

Jakob son memimpin usaha-usaha Aliran Praha dalam menyusun kerangka teori fonologi pada deka-de setelah 1940. Usaha Jakobson menguniversalkan teori struk-tural-fungsional fonologi, yang berbasis pada hierarki ketidaklum-rahan (markedness hierarchy) fitur pembeda, merupakan solusi pa ling berhasil dalam analisis linguistik menurut hipotesis Saussure. Di sisi lain, Louis Hjelmslev dan Aliran Copenhagen mengusulkan penaf-siran baru terha dap linguistik dari kerangka kerja teoretis struktural-is. Di Amerika, gagasan-gagasan Saus sure mengilhami distribu-sionalismenya Leonard Bloomfield dan para sarjana yang menganut Strukturalisme pascaBloomfield untuk meneruskan praktik dan kerja penelitian dan analisis ba-hasa yang sudah dimotori oleh Bloomfield, seperti Eugene Nida,

Bernard Bloch, George L. Trager, Rulon Wells, Charles Hockett, dan through Zellig Harris, pemuda Noam Chomsky. Di samping teori Tata Bahasa Transformasionalnya Chomsky, perkembangan kontem-porer strukturalisme lainnya men-cakupi teori Tagmemiknya Kenneth Pike, teori tata bahasa stratifika-sionalnya Sidney Lamb, dan karya Michael Silverstein.

Di luar linguistik, prinsip dan metode yang dipakai oleh struk-turalisme segera diadopsi oleh para sarjana dan kritikus sastra, seperti Roland Barthes, Jacques Lacan, dan Claude Lévi-Strauss, dan mengeja wantahkannya da-lam bidang kajiannya masing-ma-sing. Akan tetapi, penafsirannya yang begitu ekspansif terhadap teori Saussure, yang me ngandung ketak saan untuk memulainya, dan penerapan teori-teori terse-

9

10 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

but pada bidang kajian non-linguistis seperti sosiologi dan antropologi, menimbulkan kesulitan teoretis dan menandai berakhirnya struktural-isme dalam disiplin tersebut.

TEORI SAUSSURE Teori Laringal (Laryngeal Theory) Tatkala menjadi mahasiswa, Saussure menerbitkan sebuah karya pen-ting dalam bidang filologi Indo-Europa yang mengusulkan keberadaan segolong an bunyi dalam Proto-Indo-Europa yang disebut koefisien so-nan (sonant coefficients). Sarjana Denmark Herman Moller suggested that these might actually be laryngeal consonants, yang memuncul-kan apa yang saat ini dikenal sebagai teori laringal. Ditegaskan pula bahwa masalah yang dijumpai Saussure dalam mencoba menerangkan bagaimana ia bisa membuat hipotesis yang sistematis dan prediktif dari data linguistik yang sudah diketahui hingga yang tidak diketahui, menstimulasi perkembangan strukturalismenya. Prediksi Saussure ten-tang eksistensi laringal atau koefisien sonan dan evolusinya terbukti berhasil secara gemilang tatkala teks Hittite (the Hittite texts) ditemu-kan dan diterjemahkan 20 tahun kemudian. Patut pula dikemukakan bahwa catatan-catatan kuliahnya menjadi buku linguistik klasik. Antara tahun 1906 dan 1911, Saussure mengajar Linguistik Umum se-lama tiga kali, dan tetap tinggal di kampus tempat dia mengajar hingga tahun 1912. Perkuliahan ini menjadi dasar bagi karyanya yang klasik dan berpe ngaruh, yakni A Course in General Linguistics, yang terbit pada 1916—tiga tahun selepas meninggalnya. Karya itu disunting dan diresensi oleh dua dari mahasiwanya, yakni Charles Bally dan Albert Sechehaye, dan didasarkan pada catatan kuliah Saussure. Namun, para penyuntingnya dikritik karena gagal menunjukkan bagaimana ide-ide Saussure berkembang dan karena tidak menjelaskan bahwa Saussure rarely believed his innovative concepts to be fully formed.

Kontroversi mengenai buku tersebut dipicu oleh para sarjana yang mene mukan bukti bahwa Saussure begitu kuat dipengaruhi oleh te-man-teman akademis sejawatnya, W. D. Whitney dan Michel Breal, yang menyiratkan bahwa teori-teori Saussure tidak seasli seperti yang kali pertama diyakini nya. Sekalipun demikian, A Course in General Linguistics telah dikenali sebagai dasar teori strukturalisme modern, dan ia mengukuhkan Saussure sebagai pendiri linguistik modern. Roy Harris, yang menerbitkan terjemahan Course edisi 1983, menulis dalam pengantar buku tersebut tanpa ragu-ragu, bahwa buku tersebut adalah salah satu karya yang sangat luas cakupannya mengenai kajian aktivi-tas budaya yang diterbitkan sejak Renaissance.

A Course in General Linguistics mengemukakan ide Saussure tentang bahasa sebagai sebuah sistem tanda yang berkembang secara konstan, yang bermakna bahwa kata-kata tertentu tidak memiliki makna. Saus-sure lebih menerangkan, makna terjadi hanya jika orang-orang ber-sepakat bahwa kombinasi bunyi tertentu menunjukkan objek atau ide.

SaUSSURE DIaNGGaP OlEH BaNYaK KalaNGaN SEBaGaI PENCIPTa TEORI STRUKTURalISME MODERN, YaNG IDENYa TENTaNG L A n g U E DaN pARoLE MENJaDI INTEGRal

DENGaNNYa.

Dari kesepakatan ini selanjutnya tercipta sebuah “tanda” bagi ob-jek atau ide. Saussure memercayai bahwa tanda tersebut terdiri dari dua bagian, yakni penanda (mau-jud objek dalam bentuk grafis atau vokal) dan petanda (objek yang diwakili penanda). Dia men-jelaskan, hubungan antara dua bagian tanda itu bersifat hazy dan bagian-bagian tersebut tidak mungkin dipisah karena hubung-annya memang semena (arbi-trary). Dengan kata lain, repre-sentasi dari suatu objek tidak mendefinisikannya, dan hubungan antartanda berubah secara kons-tan. Saussure berargumen bahwa tanda tersebut tidak berhubung kait de ngan apa yang ia wakili, dan oleh kare nanya a tidak dapat mewakili apapun tanpa bantuan b dan sebaliknya, atau dengan kata lain, bahwa keduanya memi-liki nilai hanya karena perbedaan antara keduanya, atau bahwa ke-duanya tidak memiliki nilai, da-lam setiap konstituennya, kecuali melalui jejaring serupa dari per-bedaan negatif. Salah satu prin-sip utama dalam buku itu adalah bahwa kese suaian implisit makna sering terjadi pada semua tataran bahasa, dan untuk mencapai ke-berhasilan komunikasi, penutur harus dapat membedakan antara kedua nuansa makna dan tanda.

Ilmu Bahasa Relasi lain yang dikaji Saussure dalam bukunya adalah relasi langue dan parole, yang langue adalah konsepsi bahasa sebagai sebuah sistem nama tanpa makna sosial dan parole hanyalah mani-festasi suara atau grafis suatu ujaran. Lebih lanjut, dia mem-bedakan antara langue, yakni sistem suatu bahasa, bahasa seba-

gai sistem bentuk dan parole, yakni ujaran sebenarnya, tindak ujaran yang dimungkinkan oleh bahasa. Langue adalah keseluruhan sistem tanda yang merupakan produk dan konvensi masyarakat dan berfung-si sebagai alat komunikasi antara para anggotanya; sifatnya abs trak, sedangkan parole adalah pemakaian langue oleh tiap-tiap anggota masyarakat bahasa, sifatnya konkret karena parole merupakan realitas fisis yang berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Objek linguis-tik tidak lain adalah langue, sedangkan untuk mengkaji langue kita melakukannya melalui parole.

Dikotomi selanjutnya yang dia bahas adalah linguistik sinkronistis versus diakronistis. Baginya, bahasa dapat ditelaah secara sinkronis-tis dan diakronistis. Telaah sinkronistis melihat bahwa bahasa dapat dipelajari dari waktu ke waktu atau pada waktu tertentu. Telaah diak-ronistis berkaitan dengan kajian bahasa pada kurun waktu tertentu. Sebelum Saussure, bahasa selalu ditelaah secara diakronistis semata-mata. Ahli-ahli bahasa waktu itu belum menyadari bahwa bahasa da pat dipelajari secara sinkronistis pula. Di sinilah pentingnya pandangan Saussure bahwa, di samping secara diakronistis, bahasa dapat dipela-jari secara sinkronistis. Dengan pandangan itu, kita sekarang dapat memberikan pemerian tentang suatu bahasa tertentu tanpa melihat sejarah bahasa itu.

Setelah karya Saussure banyak diketahui publik, linguis, yang se-cara tradisional mengkaji bahasa dari perspektif historis atau diakro-nistis, cenderung bereksperimen dengan kajian sinkronistis. Saussure begitu kuat memercayai nilai perspektif sinkronistis karena kelebihan-nya memudahkan analisis bahasa sebagai lebih dari serangkaian pe-rubahan deskriptif. Meskipun kontribusi terhadap bidangnya begitu menonjol, Saussure juga dikritik karena ia mempersempit kajiannya pada aspek sosial bahasa, de ngan menghilangkan kemampuan manusia untuk memanipulasi dan menciptakan makna baru.

Akan tetapi, penerapan ilmunya pada pengujian hakikat bahasa memi-liki dampak yang begitu luas pada bi-dang-bidang yang berkait rapat de ngan linguistik, termasuk teori sastra kon-temporer; dekonstruksionisme (teori kritik sastra yang menegaskan bahwa kata hanya bisa mengacu pada kata lainnya dan yang mencoba menunjuk-kan bagaimana pernyataan mengenai kata apapun menghilang kan makna-nya sendiri); dan strukturalisme (suatu metode analisis kata dengan mengon-traskan struktur dasarnya dalam suatu sistem oposisi biner).

11

12 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

Saussure dianggap oleh ba-nyak kalangan sebagai pencipta teori strukturalisme modern, yang idenya tentang langue dan parole menjadi integral dengannya. Dia meyakini bahwa makna suatu kata kurang didasarkan pada objek yang ia acu dan lebih didasarkan pada strukturnya. Lebih sederhananya, dia menegaskan bahwa ketika seseorang memilih suatu kata, dia melakukannya dalam konteks telah memiliki kesempatan untuk memilih kata lainnya. Ini menam-bah dimensi lain pada makna kata yang dipilih, karena manusia se-cara naluriah mendasarkan mak-na suatu kata pada perbedaan-nya dengan kata lainnya yang t i d a k

dipilih. Teori Saussure tentang

hal ini, yang menentang metode riset positivis pada zamannya, meletakkan fondasi bagi aliran strukturalis pada teori sosial dan linguistik.

Meskipun dalam mengkaji bahasa dia kali pertama tam-pak ke luar dari jalur yang telah ditetapkan oleh para pendahu-lunya, Saus sure dari dulu hingga sekarang masih dianggap sebagai seorang ilmuwan. Dia merasakan linguistik sebagai cabang ilmu yang disulih dari semiologi (teori

dan kajian tentang tanda dan simbol) dan, melalui karyanya, Course, menyemangati linguis lainnya untuk memandang bahasa bukan sebagai sebuah organisme yang berkembang atas kemauan dan kehendaknya sendiri, me-lainkan sebagai sebuah produk minda kolektif (collective mind) dari sebuah guyup tutur (linguis-tic community).

Saussure menolak teori bahasa sebagai suatu proses penamaan semata—senarai kata, yang se-tiapnya dapat disamakan dengan benda yang dinamainya. Dia ber-sikap demikian karena teori terse-

but mengasum-sikan bahwa ide siap buat ( ready -made idea) ada sebe-lum kata itu ada; itu tidak memberita-hu kita apa-kah sebuah nama itu p a d a hakikat-n y a

ps iko lo-gis. Hal itu membuat

kita ber asumsi bahwa meng-hubungkan nama dan bendanya merupakan pekerjaan yang sa-ngat sederhana. Saussure menga-takan, unit kebahasaan meru-pakan sebuah entitas berganda, satu dibentuk dengan mengaso-siasikan dua hal. Alih-alih me-nyatukan benda dengan nama, tanda bahasa menyatukan kon-sep de ngan citra bunyi. Saussure mende finisikan citra bunyi bukan sebagai bunyi fisis, melainkan sebagai jejak atau kesan psikis bunyi pada indra kita. Kata ”kon-sep” diganti kata”petanda” dan

kata ”citra bunyi” diganti kata ”penanda.” Petanda dan penanda bersama-sama merupakan tanda

Saussure memiliki dua prin-sip dasar yang cukup terkenal: 1) hakikat semena suatu tanda; dan 2) hakikat linear suatu pe-nanda. Tanda itu semena sifatnya karena ikatan antara penanda dan petanda itu memang semena. Ide tentang “sister” tidak ber-hubung kait dengan bunyi kata “sister.” Keterkaitan antara ide dan bunyi—atau petanda dan pe-nanda—hanyalah konvensi sosie-tal. Kata Jerman Schwester dan kata Spanyol hermana sama-sama mengacu pada ide “sister,” tetapi bunyi tiap-tiap penanda tersebut tidak sama. Penanda itu pada hakikatnya linear karena pada penanda auditoris hanya tersedia dimensi waktu. Ia mewakili suatu rentang (span), dan rentang itu bisa diukur dalam dimensi tung-gal, yakni waktu. e

Rujukan Kridalaksana, Harimurti.

2005. Mongin-ferdinand de Saus sure: Peletak Dasar Strukturalisme dan Linguistik Mo dern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sampson, Geoffrey. 1980. Schools of Linguistics. London: Hutchinson.

Suhardi, B. 2005. “Tokoh-tokoh Linguistik Abad ke-20”. Dalam Kushartanti, Untung Yuwono dan Multamia RMT Lauder (ed.), 2005, Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, hlm. 200-219. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Verhaar, J.W.M. 1988. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

13

PENDAHULUANAllah SWT memberikan satu kelebih an kepada umat manu-sia berupa akal pikiran agar ia mampu menjalankan tugas dan misi nya sebagai khalifatullah fi al-ardl. Selain itu, karena kasih sayang-Nya, Allah menurun kan wahyu berupa Alquran melalui Jibril kepada Nabi SAW untuk di-jadikan referensi dalam kehidup-an. Sejak Tuhan “berbicara” itulah Islam lahir sebagai agama; ia bu-kan hanya sebagai fakta historis, melainkan juga sebuah kehadiran Tuhan dalam bentuk “kalam”. Se-luruh kebudayaan Islam memulai langkahnya de ngan fakta seja-rah bahwa manusia di sapa Tuhan dengan bahasa yang Dia ucapkan sendiri. Tercatat dalam sejarah bahwa Alquran diturunkan secara evolutif dan berkesinambung-an (tadrij) selama lebih kurang 23 tahun. Hal ini memberi kesan bahwa Alquran benar-benar ber-dialog sekaligus mengoreksi ke-hidupan umat manusia (Al Nab-han, 1981: 83).

Dengan kalimat lain, Alquran yang turun berangsur-angsur de-ngan gaya bahasa Arab qurani memiliki hakikat yang khusus, berbeda de ngan bahasa-bahasa yang lain. Hal ini karena sifat hakikat Alquran itu sendiri, yaitu sebagai sarana komunikasi antara

Tuhan de ngan makhluk-Nya. Ba-hasa dalam penger-tian umum hanya merupakan sarana komunikasi antara manusia satu de-ngan lainnya. Atom-isme logis mengata-kan bahwa hakikat bahasa adalah me-lukiskan du nia se-hingga struktur lo-gis bahasa sepadan dengan struktur lo-gis dunia. Sementara itu, positivisme logis

lebih jauh mengatakan bahwa makna bahasa harus dapat diverifikasi secara empiris dan logis. Berbeda dengan bahasa al Qur’an, ia tidak hanya mengacu pada dunia tetapi juga mengatasi ruang dan waktu. Ia bersifat metafisik, mengacu pada dimensi Ilahiyah dan adikodrati. Mengingat hakikat bahasa Alquran yang mengacu pada dimensi terse-but di atas, pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran tidak mungkin hanya didasarkan pada kaidah-kaidah linguistik semata. Oleh sebab itu, dalam upaya mengatasi stagnasi bahasa, terutama kaitannya de-ngan dimensi Ilahiyah, dimensi metafisik, dan dimensi adikodrati, sa-ngat realistis bilamana kemudian dikembangkan bahasa metafora dan analogi (majaz-tasybih).

Selain faktor di atas, ungkapan metaforis yang disajikan Alquran sa ngat terkait dengan faktor psikologis dan peradaban masyarakat Arab secara umum. Ia merupakan hasil proses dialektis dan jawaban Muhammad atas konteks yang dihadapi. Dalam hal pemahaman kon-teks makna Alquran, terdapat tayangan VCD atau TV yang berisi peng-akuan para pelaku bom bunuh diri pada Bom Bali II, terlihat salah satu pelaku, Salik Firdaus, mengutip ayat, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mere-ka itu hidup di sisi Tuhannya de ngan mendapat rezeki.” (QS. 3:169).

gaya bahasa arab dan peMahaMan Makna

alquranAhmad Ghozi

Widyaiswara Bahasa Arab PPPPTK Bahasa

14 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

Setelah mengu tip ayat itu, pelaku berkeyakinan bahwa kematiannya dalam aksi itu akan membawanya menuju surga (jannah). Tayangan yang kurang lebih sejenis juga se ring kita lihat dan dengar dari terpidana mati pelaku Bom Bali I, Amrozi, Imam Samudera, dan Mukhlas menjelang eksekusinya. Keyakinan pelaku pa ling tidak menunjukkan, ia belum tentu memahami sepenuhnya pesan Alquran pada ayat itu.

Padahal, ayat berjenis ini mut-lak membutuhkan penafsiran dan konteks yang lebih jernih agar tidak sembarang digunakan, ter-lebih untuk tujuan yang belum tentu dibenarkan oleh agama. Apalagi mayoritas ulama di du-nia Islam telah secara tegas tidak membenarkan aksi bom bunuh diri. Faktor yang sama juga ber-peran besar pada maraknya paham dan aliran sesat di Indonesia de-wasa ini. Karenanya, dibutuhkan usaha serius dan segera dari pihak-pihak terkait untuk merumuskan kembali bentuk penyajian pesan Alquran yang lebih komprehensif sehingga bisa dikonsumsi secara aman oleh publik yang awam ba-hasa Arab. Tulisan ini berangkat dari fenomena di atas. Dalam tu-lisan ini disajikan gaya bahasa Alquran dalam mendeskripsikan fenome na yang berkembang di tengah kehidup an masyarakat Arab ketika Alquran diturunkan.

PEMBAHASANPesan Pokok Alquran Ada tiga kunci utama untuk me-mahami pesan Alquran, yakni (1) konteks ia diwahyukan, dan oleh karenanya perhatian terhadap la-tar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul) menjadi begitu bernilai; (2) komposisi bahasa ayat dan

bentuk gaya pengungkapannya; (3) spirit atau pandangan hidup yang terkandung dalam keselu-ruhan teks (Mansyah, 2009:2). Untuk itu, dibutuhkan usaha keras untuk menggali kandung-an makna Alquran, apalagi bagi mereka yang hanya berpegang pada otoritas keilmuan para pe-nerjemahnya. Selain itu, mere ka harus menyadari bahwa Alquran diturunkan dengan membawa dua pesan pokok (Al-Dzahabi, tt.:29). Pertama, Alquran merupakan bukti kebenaran segala yang di-sampaikan Nabi. Kedua, Alquran menjadi petunjuk untuk kebaikan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.

Di sinilah distorsi suatu karya terjemahan Alquran akan sa ngat mungkin tampak karena setiap kemukjizatan yang terdapat, mi-salnya, di dalam keindahan susun-an retorikanya pasti mempunyai tujuan khusus. Ini jelas sekali tidak dapat terwakili dalam suatu karya terjemahan, meski pun pe-nerjemahnya memiliki peng ua-saan yang baik terhadap keindah-an retorika bahasa. Menya dari kelemah an dan keterbatasan karya terjemahan Alquran, para ahli Ilmu Alquran menetapkan ke-harusan untuk menguasai aspek-aspek kebahasaan dan kesusas-teraan Arab sebagai syarat utama untuk mendapatkan pemahaman yang benar ketika hendak meng-gali kekayaan kandungan makna yang terdapat dalam Alquran.

Konsep Gaya Bahasa ArabGaya bahasa Arab termasuk da-lam ranah ilm al balagah. Secara semantis, balagah berarti menca-pai tujuan atau mengenai sasaran dan efektif. Namun secara ter-minologis, balaghah berarti ilmu

yang membicarakan cara agar suatu makna (perasaan, pikiran, pesan) itu sampai kepada pen-dengar (mukhatab) dengan baik dan benar serta terasa indah dan menarik (Hidayat, 2005:1). Da-lam bahasa Arab, gaya bahasa dipelajari dalam suatu bidang ilmu bayan. Ilmu bayan adalah ilmu yang ditujukan untuk meng-ungkapkan dan menjelaskan makna kata sesuai dengan situasi dan kondisi (Hidayat, 2005:1). Dengan demikian, gaya bahasa Arab adalah uslub atau teknik mengungkapkan dan menjelaskan suatu makna kata dalam Alquran dengan baik, benar, dan indah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu.

Gaya Bahasa AlquranBerikut ini dipaparkan beberapa gaya bahasa Alquran yang secara metaforis menjalin dialektika de-ngan konteks sosiohistoris Arabia pra-Islam.

Majaz (Metafora)Menurut Abd al-Qahir al-Jur-

jani (w. 471 H) majaz adalah ke-balikan dari haqiqah. Sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengun-dang kemungkinan makna lain disebut haqiqah. Sementara itu, majaz adalah sebaliknya, yaitu perpindah an makna dasar ke makna lainnya, atau pelebaran medan makna dari makna dasar karena ada alasan tertentu. Secara teoretis, majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal menuju yang literer, atau dari yang deno-tatif menuju yang konotatif kare-na ada alasan-alasan tertentu. Misalnya, dalam surat al-Baqarah ayat 19:

15

“Mereka menyumbat telinganya dengan (anak) jarinya”

Kata “ashaabi’” secara leksikal maknanya jari-jari. Kiranya mus-tahil bagi orang-orang munafik Mekkah menyumbat telinganya dengan semua jari karena takut bunyi guntur yang mematikan. Yang dimaksud “ashaabi’” dalam ayat tersebut adalah sebagian dari jari-jari, bukan semuanya. Pema-haman semacam ini, berdasarkan konsep teori di atas disebut ma-jaz, yang salah satu alasannya adalah menyampaikan ungkapan dalam bentuk plural (jama’) na-mun yang dimaksudkan adalah sebagian saja.

Andaikata itu terjadi, yaitu menutup telinga dengan semua jarinya; pasti dilakukan kare-na mere ka benar-benar menga-lami keta kutan yang luar biasa. Situasi ini digambarkan oleh Alquran kare na pada awal misi kenabian Muhammad di Mekkah banyak orang yang menyatakan “beriman” kepada Nabi, tetapi mereka masih menyembunyikan kekafiran di dalam hatinya (mu-nafik). Kondisi keyakinan mereka dipaparkan begitu panjang lebar dalam Alquran, khususnya dalam surat al-Baqarah. Penggunaan majaz pada ayat di atas sangat dimaklumi sebab secara geografis, keadaan alam Arabia yang ke-ring dan tandus sangat memaksa orang-orang Arab untuk hidup berpindah-pindah dari satu wadi ke wadi yang lain (nomad) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kebiasaan ini membuka pelu-ang cukup besar akan terjadi nya pepe rangan antara satu kabilah de ngan kabilah lainnya. Karena faktor cuaca yang tidak bersaha-

bat dan suasana kehidupan yang gersang, harapan yang menye-limuti kehidup an mere ka terkon-taminasi oleh khayalan-khaya lan kotor yang mengakibatkan tim-bulnya al-syahwah al-hayawani-yah (nafsu binatang). Muncul-nya nafsu binatang ini bersa-maan de ngan gaya hidup nomad (tanaqqul) yang harus mereka jalani, yang sa ngat berpengaruh pada karakter dan tabiat mereka, yaitu terbentuknya sikap mendua terhadap wanita. Se ringkali me-reka menaruh rasa cinta kepada wanita lain, dan bahkan lebih dari pada itu mere ka menyukai hidup berpoligami (Hasan, 1990: 18).

Karena latar seperti itu, ba-hasa-bahasa Alquran yang berbi-cara tentang perempuan dan yang terkait dengannya selalu menggu-nakan bahasa yang halus, sopan, dan etis. Secara psikologis, kalau bahasa yang digunakan itu vulgar atau sesuai dengan konteksnya mungkin akan memancing mun-culnya sifat-sifat di atas yang su-dah menjadi karakter hidup mere-ka. Karena itu, untuk memendam sifat-sifat tersebut Alquran se-ngaja menyampaikannya dengan bahasa yang sopan.

Begitu pula dalam ayat Alquran ketika Allah membicara-kan kedudukan dan posisi seorang istri di hadapan sang suami ia digambarkan seperti ladang tem-pat bercocok tanam (har-tsun). Perhatikan ayat berikut:

“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok

tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu ba-gaimana saja kamu kehendaki.

(QS. 2:223).”Secara harfiah jika ayat di atas

dipahami, seakan-akan sang sua-

mi memiliki kebebasan. Padahal tidak demikian. Sekalipun dalam kenyataannya superioritas laki-laki terhadap perempuan sangat mendominasi saat itu, Islam te-lah memberikan aturan yang jelas dan adil. Seorang istri diibaratkan ladang karena pada ayat sebe-lumnya (ayat 222) membicarakan kondisi perempuan yang menstru-asi. Islam memberikan tuntunan bahwa perempuan yang sedang menstruasi tidak boleh diper-lakukan seperti dalam keadaan normal. Oleh karenanya, untuk melunakkan dan meluluhkan hati mereka Alquran menggambarkan seorang istri seperti ladang jika ia dalam keadaan suci.

Dalam fenomena masyarakat Arab, ladang memang menjadi simbol ketenangan dan kemak-muran hidup. Salah satu pe-nyebab terjadinya perang antar-kabilah adalah karena mereka be-rebut ladang sebagai sumber mata pencahari an. Supaya mereka tetap mencintai istri nya seperti semula, ia digambarkan dalam Alquran se-perti ladang. Hal ini karena dalam tradisi masyarakat Arab pra-Islam; apabila istri itu dalam keadaan menstruasi, ia di tinggalkan begitu saja, tidak diberi nafkah sehingga statusnya tidak jelas. Tradisi dan budaya yang mendeskreditkan posisi perempuan ini kemudian diperbaiki oleh Islam dengan cara yang halus agar kaum perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum laki-laki.

Tasybih Secara etimologis tasybih ber-

arti penyerupaan. Secara definitif ia adalah gaya bahasa yang me-nyerupakan dua perkara atau

bersambung ke halaman 45

16 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

PendahuluanKajian bahasa dewasa ini ditandai oleh berkembangnya perspektif baru di dalam melihat permasalahan kebahasaan. Perspektif baru itu kemu-dian menjelma menjadi bidang kajian baru di dalam linguistik yang bernama pragmatik linguistik. Pokok bahasannya adalah hubungan di antara bentuk-bentuk bahasa (language forms) dan penggunaannya, yakni penggunaan bahasa di dalam situasi yang sebenarnya. Dalam arti inilah pengertian dasar pragmatik itu berkisar. Pragmatik mempelajari hubungan antara bentuk bahasa dan penggunaanya. Berdasarkan hal ini, pragmatik dapat dikatakan berbeda secara substansial dengan bakal cikal ilmu bahasa, yaitu linguistik. Di dalam linguistik, bahasa dikaji tanpa merujuk kepada siapa yang menggunakan bahasa itu, di dalam arti siapa yang berujar (termasuk di mana, tentang apa, untuk apa) penting dirujuk karena faktor-faktor inilah yang menentukan apa mak-na ujaran atau, tepatnya, maksud ujaranya.

Tujuan tulisan ini, antara lain, menempatkan kedudukan pragma-tik di dalam wadah teori linguistik Hal ini disebabkan penalaran dasar linguistik adalah bahwa kita tidak dapat memahami hakikat bahasa tanpa memahami permasalahan di dalam perspektif kata yang luas, termasuk bagaimana bahasa digunakan di dalam komunikasi. Selain itu, ia bertujuan agar para penegak bahasa (peneliti, dosen, guru) me-merhatikan disiplin baru yang bernama pragmatik ini. Tulisan ini juga untuk menunjukkan bahwa dengan menambah wawasan bidang kajian antardisiplin yang lain, linguis dapat menambah kepadaan (adequacy) linguistik. Penalarannya adalah bahwa dengan hanya berkisarnya ka-jian linguistik pada permasalah an intrabahasa, kepadaan linguistik perlu ditingkatkan.

Di dalam pengertian tradisional ini, linguistik diartikan sebagai ilmu bahasa yang terdiri atas beberapa komponen, yaitu komponen fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, dan akhirnya semantik yang mengkaji makna kata dan kalimat. Dengan demikian, titik tolak tulisan ini ialah asumsi bahwa kepadaan linguistik perlu dikembangkan agar posisi tena-ga bahasawan untuk menangani permasalahan kebahasaan lebih luas.

Marida Gahara SiregarPeneliti Pusat Bahasa, Depdiknas

PAdA SAAT ini, PErMASAlAhAn BAhASA AKAn MEnjAdi BAnyAK dAn KoMPlEKS, TidAK TErBATAS PAdA MASAlAh BAhASA SEBAGAi SiSTEM. dEnGAn dEMiKiAn, PArA linGuiS Pun diTunTuT unTuK MEMBEdAh lEBih TAjAM MASAlAh KEBAhASAAn TEruTAMA di dAlAM PEnGErTiAn linGuiSTiK T r A d i S i o n A l , yAnG KAdAnG-KAdAnG diSEBuT MiKrolinGuiSTiK

Kepadaan Linguistik yang Tinggi Menjadi Perspektif Ketenagaan Bahasa Indonesia

17

Kepadaan LinguistikBerkaitan dengan teori tata baha-sa generatif, Chomsky mengatakan bahwa ada tiga tingkat kepadaan yang dapat dimiliki oleh teori ba-hasa. Pendapatnya dapat diterap-kan ke teori umum. Kepadaan itu mengacu ke pertanyaan apakah suatu teori memadai atau tidak sebagai landasan untuk memba-has permasalahan yang ada.

Ketiga tingkat kepadaan itu ialah kepadaan observasional, deskriptif, dan kepadaan eksplana-tori. Teori observasional mengacu ke kepadaan teori sehingga peng-guna teori dapat mengamati mana yang benar dan mana yang salah atau dengan perkataan lain, ia da-pat mengidentifikasi apa masalah-nya. Dengan demikian, kepadaan observasinal ini dapat digunakan pengguna teori untuk mengamati atau melihat apakah suatu bentuk itu benar atau salah.

Tingkat kepadaan kedua ada-lah tingkat kepadaan deskriptif, mengacu ke kepadaan teori yang memungkinkan pengguna suatu teori dapat mendeskripsikan suatu bentuk dengan benar. Kepadaan yang ketiga eksplanatori, mengacu ke kepadaan yang memungkinkan pengguna teori untuk dapat men-jelaskan mengapa suatu bentuk itu benar atau salah. Di dalam praktik lingustik, soal benar atau salah itu kemudian dinyatakan sebagai yang apik di dalam arti yang ter-bentuk dengan apik (well-formed) atau tidak apik di dalam arti yang tidak terbentuk dengan baik (ill-formed). Sehubungan dengan hal keapikan ini, linguistik jelas mem-punyai kepadaan yang tinggi.

Linguistik dapat didefinisikan sebagai disiplin yang mengkaji bahasa sebagai sistem komunikasi manusia, tetapi ada pembatasan

permasalahan bahwa yang di luar bahasa tidak menjadi objek kajian. Se-bagai ilmu yang membatasi diri pada hal-hal intrabahasa, linguistik mem-punyai kepadaan yang tinggi untuk mengidentifikasi mana yang benar dan mana bentuk yang salah atau mana yang apik mana yang tidak apik, baik secara morfologis, sintaksis, maupun secara semantik yang semuanya didasarkan pada kaidah yang berlaku.

Misalnya, bentuk merubah tidak apik secara morfologis karena menu-rut kaidah bahasa Indonesia imbuh an meng- (meN-) berubah menjadi me- jika kata dasarnya diawali oleh bunyi vokal. Dengan demikian, ben-tuk yang apik seharusnya adalah meng ubah. Yang berikut adalah bentuk tidak apik (ditunjukkan oleh bentuk a) dan yang apik (ditunjukkan oleh bentuk b). (lihat boks di atas)

18 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

Berdasarkan logika, tampak-nya bentuk-bentuk, seperti har-ganya mahal, jumlahnya banyak, dan usianya tua dapat dikatakan tidak apik secara semantik. Yang logis dan apik secara semantik kiranya adalah harganya tinggi, jumlahnya besar, dan usianya lanjut.

Contoh lain (contoh nomor 11) dapat menunjukkan keku-rang apik an secara semantik. Ala-sannya dalam contoh ada frasa le-bih kaya. Kita sudah membanding-kan dua entitas yang dalam baha-sa Inggris degree of comparison; setelah membandingkan masih membandingkan lagi dengan me-nga takan dibandingkan dengan. Lain halnya jika dikatakan Kalla kaya dibandingkan dengan Wiran-to. Artinya, Kala lebih kaya dari-pada Wiranto. Pada kedua kalimat terakhir ini perbandingan tidak dilakukan dua kali. Dengan de-mikian, pembentukannya apik.

Contoh 1—11 termasuk per-masalahan intrabahasa (bahasa Indonesia), jadi jelas bahwa li-nguistik mempunyai kepadaan yang tinggi. Ia dapat memilah-milah mana bentuk yang apik. Na-mun, linguistik tradisional tidak dapat menjelaskan mengapa, misalnya, lagu kalimat yang sama dan dikatakan kepada orang yang baru dikenal, seperti minum ko-pinya terde ngar lebih santun dari-pada dorong mobil saya walaupun keduanya bermodus sama, yakni modus imperatif.

Demikian juga halnya dengan istilah atau kata baru, ada yang cepat diterima, misalnya mantan dan wacana, tetapi ada juga yang tidak laku, dalam arti masyarakat tidak mau menggunakannya. De-ngan demikian, kepadaan linguis-tik memang masih perlu diting-

katkan agar linguis berada pada posisi yang lebih baik untuk menjelas-kan dan kalau mungkin memecahkan permasalahan kebahasaan.

Formalisme dan FungsionalismeTinjauan fokus bentuk-bentuk bahasa (linguistic formes) menjurus ke pan-dangan fungsionalisme dalam kajian linguistik. Menurut pandangan ini, kajian bahasa bertujuan memerikan dan menjelaskan fungsi bahasa, yakni untuk apa bahasa itu digunakan. Dua pandangan ini bertentangan, Leech (1983:46). (lihat boks)

Masih mengenai perbedaan faham formalisme dan faham fungsional-isme, ada pendapat yang mengatakan bahwa istilah fungsionalisme tidak harus dikaitkan dengan fungsi di luar bahasa sebagai sistem. Fungsionalisme, kata mereka, dapat juga dipakai di dalam kaitannya dengan hal-hal intrabahasa. Jika fungsionalisme diartikan seperti itu, di dalam li nguistik aliran struktural pun ada fungsionalisme. Misal-nya, seperti yang dicontohkan oleh Verschueren (1999:9), fonem /f/ dan fonem /v/ di dalam bahasa Inggris membentuk kontras fungsional kare na keduanya membedakan kata-kata seperti few dan view.

Di dalam sintaksis pun ada pandangan fungsionalisme, seper ti yang dikemukakan oleh Dik (1978), yang dikutip oleh Kridalaksana (2002:35) yang menjabarkan fungsi menjadi tiga, yaitu fungsi semantis, fungsi sintaksis, dan fungsi pragmatis. Fungsi semantis membedakan bagian kalimat menjadi pelaku, sasaran, penerima, dsb., yang mengingatkan kita pada peran semantis di dalam struktur semantis teori semantik

Paham Formalisme Fungsionalisme

Pokok Bahasan Linguistik

Apa yang diketahui penutur dan petutur

Apa yang dapat dilakukan oleh penutur dan/atau petutur dengan menggunakan bahasa

Keberadaan Bahasa

Bahasa merupakan wujud kemampuan otak manusia yang diwarisi secara genetik

Bahasa telah ber-evolusi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan pemakainya

Kesemestaan Bahasa

Anugrah biologis yang dimiliki manusia

Kenyataan bahwa semua kebudayaan mempunyai kesamaan kebutuhan komunikasi

Bagaimana Anak Belajar

Bahasa

Anak dilahirkan dengan properti pemerolehan bahasa (language acquisition deviced)

Anak belajar bahasa dengan belajar berinteraksi dengan anggota masyarakat yang lain di dalam situasi yang menuntut penggunaan bahasa

Kajian Bahasa

Bahasa sebagai fenomena mental dan mengkaji bahasa sebagai sistem yang otonom

Bahasa sebagai fenomena sosial dan mengkaji bahasa di dalam kaitannya dengan fungsi sosial bahasa itu

FunGSI ujARAn:TInDAk koMISIF;• TInDAk DIREkTIF;• TInDAk EkSpRESIF;• TInDAk DEklARASI; DAn • TInDAk REpRESEnTATIF. •

(SearLe; 1969)

19

generatif. Fungsi sintaktis membagi bagian kalimat menjadi subjek dan objek, yang mengingatkan kita pada cara menganalisis kalimat dengan menggunakan teori ilmu bahasa tradisional. Fungsi pragmatis membagi bagian kalimat menjadi tema, topik, dan fokus, seperti yang dianut da-lam teori bahasa aliran Praha (ibid), dengan catatan bahwa penger-tian pragmatis di sini berbeda dari pengertian pragmatis seperti yang berkembang sekarang.

Fungsionalnya teori Dik itu, yang tidak dapat disangkal adalah bahwa fungsi-fungsi itu dikaitkan dengan fungsi bagian kalimat. Jadi, teori sintaksis model Dik ini tetap berkisar pada nosi kalimat dan kare-na kalimat adalah bentuk bahasa (linguistic form), fungsionalisme se-perti ini dapat dikatakan fungsionalisme di dalam kubu formalisme. Fungsi kalimat di dalam teori Dik itu tidak dikaitkan dengan siapa yang mengujarkan kalimat itu sehingga ia tidak ditinjau untuk mak-sud apa kalimat itu diujarkan.

Yang benar-benar fungsionalisme seperti yang dirujuk di dalam tu-lisan ini adalah fungsionalisme yang mengacu pada pendapat untuk apa bahasa digunakan oleh penggunanya. Bedanya dengan formalisme dapat dilihat dari bagaimana kedua aliran ini menelaah bentuk bahasa. Di dalam aliran formalisme, bentuk bahasa yang tertinggi—sebelum wacana—adalah kalimat dan oleh para formalis ia dibedakan menurut modusnya, yakni deklaratif (yang mengacu ke kalimat pernyataan), interogatif (yang mengacu ke kalimat tanya), dan imperatif (yang merujuk ke kalimat perintah).

Sebaliknya, di dalam aliran fungsionalisme, bentuk bahasa yang berupa kalimat—yang dise-but ujaran atau tindak tutur (speech act) seperti kalimat—dibedakan berdasarkan maksud ujaran menurut penuturnya: un-tuk apa ujaran itu dilontarkan. Mengikuti Searle (1969), maksud atau fungsi ujaran itu, yang oleh-nya disebut makrofungsi, adalah tindak komisif, direktif, ekspresif, deklarasi (bukan deklaratif), dan representatif. Tindak komisi ada-lah tindak tutur (speech act) yang pengujarannya dimaksudkan oleh penutur sebagai komitmen diri-nya untuk melakukan hal yang disebutkan di dalam ujarannya itu (misalnya berjanji, mewajib-kan, bersumpah).

Tindak direktif adalah tindak tutur yang dilakukan penutur de ngan maksud agar si petutur melaksanakan tindakan yang dise-butkan di dalam ujaran penutur (misalnya menyuruh, memohon, mengimbau). Tindak ekspresif adalah tindakan yang dilakukan penutur dengan maksud menya-takan pendapatnya mengenai hal yang disebutkan dalam ujarannya (misalnya berterima kasih, me-muji, mengkritik, dsb.). Deklarasi adalah tindak tutur yang dilaku-kan oleh penutur untuk menim-bulkan perihal atau status baru (seperti mentahbiskan, menjatuh-kan hukuman, menikahkan). Tin-dak representatif adalah tindak tutur yang mengingatkan penu-turnya kepada kebenaran tentang apa yang dikatakan (misalnya me-nyatakan, mengakui, bersaksi).

Dengan sengaja Searle meng-gunakan istilah declaration, un-tuk fungsi ujaran yang keempat itu, alih-alih declarative. Hal ini

FunGSI ujARAn:TInDAk koMISIF;• TInDAk DIREkTIF;• TInDAk EkSpRESIF;• TInDAk DEklARASI; DAn • TInDAk REpRESEnTATIF. •

(SearLe; 1969)

bersambung ke halaman 48

20 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

anna Dwi KurniatiStaf PPPPTK Bahasa

INTRODUCTION

Studying in a new academic discourse can be a big challenge for some students, particularly for those arriving from a dif-ferent academic context. This can be the case for interna-

tional students as they have already acquired their first language and had prior learning experiences, which may not be similar to the ones they are facing in their new university. As a result, problems may occur during their learning process.

The differences between the students’ past academic experiences and the expectation of their new academic discourse have become an issue, believed to be the factors contributing to the students’ problems (See for example, Ballard & Clanchy, 1984, 1997). This article aims to provide further explanation on the topic, particularly on how the discourse of international students is constructed. In addition, this article also tries to explore if the discourse is merely myths. Eventu-ally, some suggestions in responding to the discourse are presented.

DISCOURSE OF INTERNATIONAL STUDENTSBefore providing further explanation on the discourse of international students, I would like to start by explaining the meaning of international students. According to Ryan and Carroll (2005), international students are students originally coming from outside of the country where they are having their tertiary study. In addition, these students have already had a prior experience in an educational system, which may be different from the system in the country they are studying. Therefore, they could have a different cultural learning experience and may speak a different language.

In this article, international students have a more specific meaning, namely students coming from Asian countries for tertiary study in

20 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

21

Western universities, such as in Australia, America and United Kingdom. In order to support my explanation on how the discourse of these international students is constructed, I will employ some literature describing these students in those universities.

Based on the literature, I discover that these students are sometimes represented negatively in regard to their ability and attitude towards learning in the Western academic discourse. Thus, I will initiate the content of this article with the representation of these students in the literature, followed by the studies and my examples, which may reinforce or contest the representation. However, this article specifically focuses on four representations of these students, namely lack of English competence, passiveness in class, lack of critical thinking, and plagiarism.

Lack of English CompetenceBallard and Clanchy (1997) point out that international students tend to have an inadequate knowledge of English. As a result, they may encounter difficulties, particularly in the first few weeks of their arrival. This situation is understandable due to the fact that they are bilinguals and English is likely to be their second or foreign language. Therefore, difficulties in comprehending one message can occur. In regard to reading and writing, Schmitt (2005) argues that these students posses less vocabularies than their local counterparts. Because of that, problems in those areas

are unavoidable.In addition to the explanation

above, these students may have an interference of their first language when producing sentences or

utterances in English. This, for example, can be discovered in a study conducted by Fatimah (2005). She shows that her research participants, Indonesian postgraduate students, learning at one university in Australia, had difficulties in the construction of past sentences as in Bahasa Indonesia, past events are indicated by the adverbs of time, e.g. kemaren, dua hari yang lalu, and no changes are needed in the verbs as in the case of English. Swan and Smith (1987, cited in Fatimah, 2005) explain that the difficulties in constructing past sentences may also become the case for the other Asian students, such as those coming from Japan, China, and Thailand. Students’ language from the latter country, for example, does not have the inflected forms of verbs, so one verb, such as eat could cover eats, ate, is eating, has/had eaten, and will/would eat. International students’ constraint in English may lead to another discourse

of their representation, namely passiveness in class.

Passiveness in ClassInternational students are often

depicted as students who are passive in class. In an ethnographic study carried out by Flowerdew and Miller (1995) on university students in Hongkong, they found that these students were reluctant to address questions in class, even though they were given time for that.

Flowerdew and Miller (1995) explain that these students’ reluctance is

influenced by Confucius’ teaching, namely obedience to authority. In class, teachers are the ones having the authority. As a result, asking questions to teachers may not be considered as an appropriate thing to do since students may be considered as “challenging” the authority. Thus, they are likely to ask their fellow students if they encounter problems.

These findings, however, are different from Tsui’s (1996, cited in Kumaradivelu, 2003) investigation on the action research studies conducted by thirty-eight English as a Second Language (ESL) teachers of one university in Hongkong. She reported that these teachers did not make culture as a contributing factor for their students’ passiveness as it was caused by the students’ fear of being a class joke, their low confidence, and inadequate English competence. Chalmers and Volet (1997) mention the latter factor as one of the reasons for South East Asian students’ passiveness

ThiS ArTiClE hAS ElABorATEd ThE ConSTruCTion of ThE

diSCourSE on inTErnATionAl STudEnTS. ThESE STudEnTS ArriVinG froM diffErEnT

PArTS of ASiA To STudy in ThE WESTErn uniVErSiTiES ArE ofTEn

PErCEiVEd dEfiCiEnT ThAn ThE loCAl STudEnTS.

22 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

in Australian classes. According to them, these students have difficulties in comprehending their lecturers’ fast pace utterances, accompanied by their Australian accents.

Even though culture may have an impact on the students’ passiveness, it should not be perceived as a sole responsibility of the issue as many factors should be considered. Amongst them are topic delivered, students’ motivations, their English competence and anxiety (Liu, 2001, cited in Kumaradivelu, 2003). Reflecting on my experience as an international student, my biggest hindrance in speaking in the class was language as expressing my ideas in English is not as easy as in my first language, Bahasa Indonesia. Therefore, whenever I tried to jump into a class discussion, I always thought of my language production. My fear was that the whole class could not understand my ideas. However, sometimes I tried to neglect the fear as I wanted to be part of the discussion.

Aside the factors mentioned in the previous paragraphs, other factors can contribute to the issue of passiveness. Chalmers and Volet (1997) mention the different view of perceiving the appropriateness of speaking in a class between international students and their local counterparts. According to them, many students perceive that addressing questions in class is unnecessary, as by doing that, they feel they have wasted the class’ time for achieving the class’ objective. Thus, students will really consider what to ask to their teachers (Jin and Cortazzi, 1999, cited in McLean & Ransom,

23

MAny ASPECTS Should BE EXAMinEd To rESPond To ThE diSCourSE

ProPErly, So ThAT diffErEnCES BETWEEn ThE STudEnTS’ And ThE

WESTErn CulTurE ArE noT PErCEiVEd AS A SinGlE ElEMEnT influEnCinG ThE

STudEnTS’ ATTiTudE And ABiliTy in ThE lEArninG ProCESS. in AddiTion,

STErEoTyPES on ThESE STudEnTS Should AlSo BE AVoidEd.

2005). In addition, the classroom condition and the education system should be taken into account (Pierson, 1996, cited in Kumaradivelu, 2003; Littlewood, 2000). Littlewood (2000) contest this stereotype as he argues that these students do not want to be passive in class, by merely receiving knowledge from their teachers.

Lack of Critical ThinkingCritical thinking is an activity involving one’s ability to evaluate and construct arguments (Elsegood, 2007). Garside (1996:215) provides four characteristics of thinking to be deemed as critical, namely “(1) Thinking that is clear, precise, accurate, relevant, logical, and consistent; (2) thinking that reflects a controlled sense of skepticism or disbelief of any assertion, claim, or conclusion until sufficient evidence and reasoning is provided to conclusively support it; (3) thinking that takes stock of existing information and identifies holes and weaknesses, thereby certifying what we know and don’t know; and (4) thinking that is free from bias, prejudice, and one-sidedness of thought”.

In Western academic culture, critical thinking is an essential factor for students to succeed in their academic life, but international students are often described having problems in becoming critical (See for example,Ballard & Clanchy, 1984, 1997; Hyland, 2003). In fact, these students are sometimes identified as rote learners with a surface approach to learning (Ballard & Clanchy, 1997; Flowerdew & Miller, 1995).

In other words, these students simply rely on their memory to

learn new information and their aim for learning is to reproduce information (Chalmers & Volet, 1997). In Flowerdew and Miller’s (1995) study, the Western teachers complained on their students’ inability to analyse and evaluate information due to Chinese education system, supporting students to take facts as they were and Confucius’ teaching on obedience to teachers. A similar concern is addressed in some studies on Indonesian students.

Moodie (2001) and Elsegood (2007) explain that their Indonesian students’ writings were lack of analysis and evidence to support their claims. This situation was caused by the students’ academic culture where teachers were perceived as the source of knowledge, in which students were not expected to argue.

From the explanation above, culture seems to provide a major contribution in making these students uncritical. This implies that critical thinking is not a notion, which is familiar to them. This certainly could be misleading. Dharampal (1983, cited in Kumaradivelu, 2003) shows that

in an Indian classroom transfer of knowledge is indicated by debates between teachers and students.

Furthermore, he argues, even, Buddha, in which the traditional Indians’ attitude towards knowledge was based on, encourages his followers not to rely on his words, but on their thinking. The same tone is expressed by Cheng (2000, cited in Kumaradivelu, 2003). He points out that Confucius actually perceives teachers not as a single source of knowledge in the classroom as students also play a significant role.

Phan (2001) provides another side in discussing this issue, i.e. differences of critical thinking implementation across cultures. She explains that in her context, Vietnam, there are many students, who are critical. However, influenced by the country’s socio-political and cultural factors, such as showing deference to teachers, these students may manifest criticism differently from their Western counterparts. This is reflected in the Vietnamese students’ writings, which tend to be indirect as a way for avoiding contradiction.

24 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

Minangkabau. However, similar to the Vietnamese context, members of these tribes have various ways of addressing their critics, which could lead to the dissimilarity in perceiving critical thinking not only among them, but also them and those coming from a completely different culture. PlagiarismBallard and Clanchy (1997) point out that international students tend to plagiarize. They explain, for example, in Islamic culture, quoting the words from the Quran is what counts as knowledge and in conducting so, one is unnecessary to have a proper reference. Sowden (2005) reinforces this discourse and explains that plagiarism links to students’ culture, namely collectivism (Thaiss & Zawacki, 2006), and to the notion of good students, indicated by their ability to copy and reproduce their teachers’ utterances.

In this discourse, culture again to be the main cause of the issue. However, Liu (2005) contests it by illustrating that in China, like in any Western culture, plagiarism is condemned. He argues that in quoting one’s utterances, one should make a reference, even if he or she quotes famous scholars or Confucius. This is also similar to Islamic and Vietnamese context.

As a Muslim myself, I have never recalled any ulamas quoting the words from Quran without mentioning the source. Even, when they mention the words of God, they usually say “In the words of God”, “He says”, or they make it more precise by stating the verse and chapters, for example, “In Al Baqarah verse, chapter

Similar to Phan’s (2001) study, circularity in writing was also found by Ignatius (1991, cited in Cahyono, 2001) in his Indonesian students’ essays. Sharing the same cultural value with the Vietnamese, Keraf (cited in Arsyad, 1999, p. 94) illustrates that Indonesians consider criticizing elders or people with higher authority to be impolite. This cultural value is likely to cause observers from different cultural backgrounds, particularly Westerners, to perceive Indonesian EFL writers as uncritical.

Issues on criticality may also be a result of the clear boundary between teachers and students (Soejono, 2001, cited in Elsegood, 2007) in which teachers tend to “spoon-feed” their students (Elsegood, 2007). However, this should not lead to a conclusion that all Indonesian students are not raised in a culture supporting critical thinking and are not critical. My experience as a student in Indonesia shows that there was time when teachers encouraged us to think critically. They provided us with tasks, requiring us to analyse and evaluate information.

I remember when I was in a senior high school, my group was asked to have a presentation on a topic, based on an issue discussed in the society and related to the class readings. At that time we were required to analyse the issue and provide convincing arguments.

In my observation as a student and a teacher, in a class, a debate between teachers and students also often happened. Chandra’s (2004) study reinforces the fact that critical thinking is not a strange notion in Indonesia, particularly in the three major tribes in the country, namely Java, Batak, and

indonESiAn And AuSTrAliAn STudEnTS hAVE diffErEnT ViEWPoinTS in PErCEiVinG PlAGiAriSM. ThiS iS influEnCEd By ThE diffErEnCES noT only in ThEir CulTurE BuT AlSo in ThEir ACAdEMiC ConTEXTS AS in AuSTrAliAn uniVErSiTiES, PlAGiAriSM iS TrEATEd EXPliCiTly, WhiCh MAy noT BE ThE CASE in ThE indonESiAn uniVErSiTiES.

24 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

25

eight, God says”. These ulamas employ the quotations as a means for supporting their arguments. In Vietnamese context, Phan (2001) explains that plagiarism is considered as an unacceptable act. Thus, teachers may give punishments to their students if they do plagiarism, such as writing a promise that they will not conduct such act in the future.

Plagiarism is often related to academic writing, in which understanding a new academic discourse is required as the discourse can be different between one culture and another. Cahyono (2001) in his study explains that Indonesian and Australian students have different viewpoints in perceiving plagiarism. This is influenced by the differences not only in their culture but also in their academic contexts as in Australian universities, plagiarism is treated explicitly, which may not be the case in the Indonesian universities. These differences certainly can create a problem, as Phan (2001) points out that teachers of the new academic culture may misinterpret the writing of the students, coming from another culture, to be plagiarized. Thus, making clear what is expected from the students in regard to their writing may be one of the solutions to overcome this problem.

Based on the explanation above, it seems that some literature has made the discourse to be the identities of international students. Although these identities tend to be applicable to them to some extent, the identities are also myth, for some literature tends to generalize all

26 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

Asian students having the same characteristics.

As we know, even in one society, differences between one individual and another often occur. In addition, the discourse is also problematical as it is constructed on the basis of the differences between the students’ and Western culture (For example, Ballard & Clanchy, 1984, 1997). However, as I have already illustrated in each discourse, we can see that these students’ culture is not totally different from the Western academic one. Albeit at the same time, we cannot deny the fact that there are differences resulting in the students’ difficulty in adjusting to the new academic life.

The problem of the discourse also lies on the fact that culture is perceived as the sole factor contributing to the discourse. Whereas, there are many other factors affecting the students’ attitudes. As Kumaravadivelu (2003, p. 714) argues that “classroom behaviours of second language learners are the result of a complex interface between several social, cultural, economic, educational, institutional, and individual factors”. Thus, to comprehend these students better, one should consider these factors, so that one-sided understanding can be avoided.

SUGGESTIONSIn this section, some recommendations are presented for teachers, international students, and their local counterparts to respond to the discourse. Teachers and local students should avoid having stereotypes on international students, as they are individuals, who are different

from one and another, even though they are members of one cultural group. Even if international students’ identities are fit into the discourse, teachers and local students should not perceive that the identities are static. Hall (1997) reminds that meaning is constantly changing through experience and interaction.

For international students, they should not let the discourse consume them and if it is possible, they should prove the other way around. In addition, these students, along with their local counterparts, and their teachers should realize that interface of culture is unavoidable during the process of learning. Thus, tolerance and understanding amongst them is required. One of the ways is through having awareness on various academic culture (Cortazzi and Jin, cited in McLean & Ransom, 2005). Hence, to avoid academic and cultural shock, international students should have prior preparation for their study.

CONCLUSIONThis article has elaborated the construction of the discourse on international students. These students arriving from different parts of Asia to study in the Western universities are often perceived deficient than the local students. Many aspects should be examined to respond to the discourse properly, so that differences between the students’ and the Western culture are not perceived as a single element influencing the students’ attitude and ability in the learning process. In addition, stereotypes on these students should also be avoided. e

ThE ProBlEM of ThE diSCourSE AlSo liES on ThE fACT ThAT CulTurE iS PErCEiVEd AS ThE SolE fACTor ConTriBuTinG To ThE diSCourSE. WhErEAS, ThErE ArE MAny oThEr fACTorS AffECTinG ThE STudEnTS’ ATTiTudES.

26 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

27

REFERENCESArsyad, S. (1999). The Indonesian

and English argument structure: A cross-cultural rhetoric of argumentative texts. Australian Review of Applied Linguistics, 22(2), 85-102.

Ballard, B., & Clanchy, J. (1984). Study abroad: A manual for Asian students. Malaysia: Longman.

Ballard, B., & Clanchy, J. (1997). Teaching international students: A brief guide for lecturers and supervisors. Deakin: IDP Education Australia.

Cahyono, B. Y. (2001). Research studies in second language writing and in contrastive rhetoric. In B. Y. Cahyono (Ed.), Second language writing and rhetoric: Research studies in the Indonesian context. Malang: State university of Malang Press.

Chalmers, D., & Volet, S. (1997). Common misconceptions about students from South-East Asia studying in Australia. Higher Education Research & Development, 16(1), 87-99.

Chandra, J. S. (2004). Notions of critical thinking in Javanese, Batak Toba, and Minangkabau culture. In B. N. Setiadi, A. Supratiknya, W. J. Lonner & Y. H. Poortinga (Eds.), Ongoing themes in psychology and culture. Melbourne: International association for Cross-Cultural Psychology.

Elsegood, S. (2007). Teaching critical thinking in an English for academic puproses program using a ‘claims and supports’ approach. Retrieved from http://www.fyhe.qut.edu.au/

past_papers/papers07/final_papers/pdfs/4e.pdf.

Fatimah (2005). Interlanguage syntax of Indonesian learners of English at postgraduate level. Unpublished master thesis, Monash University, Melbourne.

Flowerdew, J., & Miller, J. (1995). On the notion of culture in L2 lecturers. TESOL Quarterly, 29(2), 345-373.

Garside, C. (1996). Look who’s talking: A comparison of lecture and group discussion teaching strategies in developing critical thinking skills. Communication Education, 45(3), 212-227.

Hall, S. (1997). Cultural identity and diaspora. In K. Woodward (Ed.), Identity and Difference (pp. 51-59). London: SAGE Publication.

Hyland, K. (2003). Second language writing. New York: Cambridge University Press.

Kaplan, R. B. (1966). Cultural thought patterns in inter-cultural education. Language Learning, 16(1-2), 1-20.

Kumaradivelu, B. (2003). Problematizing cultural stereotyping in TESOL. TESOL Quarterly, 54(1), 68-78.

Littlewood, W. (2000). Do Asian students really want to listen and obey? ELT Journal, 54(1), 31-36.

Liu, D. (2005). Plagiarism in ESOL students: is cultural conditioning truly the major culprit? ELT Journal, 59(3), 234-241.

McLean, P., & Ransom, L. (2005). Building intercultural competencies: Implications for academic skills development. In J. Carroll & J. Ryan (Eds.),

Teaching international students: Improving learning for all (pp. 45-62). New York: Routledge.

Moodie, J. (2001). The development of a critical voice in the writing of international postgraduate students. Retrieved from http://learning.uow.edu.au/LAS2001/unrefereed/moodie.pdf.

Phan, L. H. (2001). How do culturally situated notions of ‘polite’ forms influence the way Vietnamese postgraduate students write academic English in Australia. Australian Journal of Education, 45(3), 296-308.

Ryan, J., & Carroll, J. (2005). Canaries in the coalmine: International students in Western universities. In J. Carroll & J. Ryan (Eds.), Teaching international students: Improving learning for all (pp. 1-10). New York: Routledge.

Schmitt, D. (2005). Writing in the international classroom. In J. Carroll & J. Ryan (Eds.), Teaching international students: Improving learning for all (pp. 63-74). New York: Routledge.

Sowden, C. (2005). Plagiarism and the culture of multilingual students in higher education abroad. ELT Journal, 59(3), 226-233.

Thaiss, C., & Zawacki, T. M. (2006). Engaged writers dynamic disciplines: Research on the academic writing life. Portsmouth: Boynton/Cook Publishers, Inc.

28 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

IndriyatiWidyaiswara Bahasa Inggris PPPPTK Bahasa

29

Introduction

nowadays both managers and workers realize that in order to

actively respond to such economic and political development, for example globalization, privatization and deregulation, it is important to continually focus on learning in the workplace. Accordingly, workplace learning gets its increasingly popular role as a vehicle through which organizations can achieve not only their short-term goals, but also their long term strategic visions. For that purpose, this

paper is going to analyze the potential of PPPPTK Bahasa as a learning environment especially for its trainers.

In discussing this matter, the paper will provide the definition of workplace learning and describe the types of learning, how learning occurs among the trainers in the organization and evaluate the strength and limitation of the organization in providing learning environment for them.

In Indonesia, PPPPTK Bahasa is one of teacher and educator training centres under the ministry of national education. It

is in charge of providing in-service trainings for all language teachers in Indonesia and advocacy for their professional development as well. As a public and government institution, its administrative, financial and managerial matters are under the policy of the government.

In addition, in carrying out its functions, this institution has the structural staff who are working on the administrative matters and the functional staff , or trainers, who are dealing with academic matters, training and learning process for the clients (language teachers). the

30 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

trainers in this institution are divided into some divisions: English, Arabic, Japanese, Indonesian, Chinese, German and French.

Their quality is one of the important factors which determine the success of programs in this training institution. For that reason, the institution always puts the improvement of the trainers as one of the targets in the strategic plan. However, when the institution is to organize training, both staff will work together in a teamwork facilitating the training participants with both administrative and academic service.

Definition of Workplace LearningMarsick (1987) cited by National Board of Employment, Education and Training (1994:10) defines workplace learning as the way in which individual or groups acquire, interpret, reorganize, change or assimilate a related cluster of information, skills and feelings. It is also primary to the way in which people construct meaning in their personal and shared organizational lives.

In addition, Matthew (1999:19) provides more descriptions about workplace learning that workplace learning involves the process of reasoned learning toward desirable outcomes for the individual and the organization. These outcomes should foster the sustained development of both the individual and the organization within the present and future context of organizational goals and individual career development.

On the other hand, Billets (1993:4) emphasizes that the individuals acquire the target knowledge and skills through participating in authentic vocational tasks supported and guided directly or indirectly. From those definitions, it is obvious that there are some conditions that should be considered in encouraging workplace learning.

Holliday, cited by Matthew (1999:20), mentions five important conditions that should be emphasized in creating a conducive environment to workplace learning. The first condition involves “self”. It is about the need of an individual for a positive feeling

about him/her self as a person. The second one is about

personal meaning. It involves how the individual reach his/her understanding of his/herself and his/her learning.

The third one is about “action”. It is about how the individual is able to develop, apply, and measure the use of his own and other people’s ideas in the workplace and to learn from the experience as well.

The fourth condition is about collegiality in which the individual should have the capacity to learn with and from colleague in both a direct and indirect way.

The last condition is about empowerment in which the individual has the ability to “feel a sense of ownership, autonomy, self-control and self-direction over their decisions and actions, including over the processes and outcomes of their learning.

In addition, Harris, Hull and Volet (1997:18) believe empowerment relates to employee development which is also seen within an organization as a primary vehicle for implementing and developing commitment to a change process in that organization.

Types of Knowledge RequiredMost of the trainers in PPPPTK Bahasa have educational background related to language education as well as experience as a language teacher in secondary school. However, some of them do not have experience in adult education and also training management.

On the other hand, the trainers are expected to continually improve their capability to meet

ThErE ArE fiVE iMPorTAnT CondiTionS ThAT Should BE EMPhASiZEd in CrEATinG A ConduCiVE EnVironMEnT To WorKPlACE lEArninG:

ThE firST CondiTion ¾inVolVES “SElf”;ThE SECond onE iS ¾ABouT PErSonAl MEAninG;ThE Third onE iS ¾ABouT “ACTion”;ThE fourTh ¾CondiTion iS ABouT CollEGiAliTy; AndThE lAST CondiTion ¾iS ABouT EMPoWErMEnT.

31

the development of technology and science (Burns, 1995:4-5). Accordingly, the type of knowledge required for their professional development will involve propositional knowledge, procedural knowledge and disposition.

The first type of knowledge is propositional knowledge, or declarative knowledge, which consists of fact, information, propositions, assertations and concepts (Billet, 1996:44; Billet, 2001:51). Due to their main duty, the trainers should continually up date their knowledge in language curriculum and material designs, language teaching methodology, language testing and assessment, and qualitative and quantitative research, and the educational policies for language education in the level of primary and secondary school.

In addition, since their training participants are adult, they also need to improve their knowledge on the concepts or theories of adult education. The second type is procedural knowledge which consist of technique, skills and the ability to secure goal (Billet, 1996:45; Billet, 2001:52). This includes trainers’ teaching skill, task management skill and ability of using the technology to support training as a product of the institution.

In teaching skill, the trainers need to know how to prepare lesson plan, techniques in delivering the subjects, as well as how to motivate or facilitate the participants. Task management skill covers the ability of analyzing a range of issues and finding link between them, making decision quickly, approaching and reflecting

problems with an open mind, critically appraising proposal, and dealing with problems that require a long term perspective (Field & Ford, 1995:113).

Finally, the last type of knowledge is disposition which relates to attitudes, values, affect, interests and identity associated with work (Billet, 1996:45; Billet, 2001:53). Considering that Indonesia has multicultural ethnics, the trainers in this institution also should consider the cultural differences among the training participants that they might encounter in conducting training.

They also should be aware that some attitudes are included in their performance evaluation when they are about to be promoted to higher level, for example being punctual, respecting any different opinions, and dressing appropriately. Thus, acquiring those three types of knowledge are important for their professional development.

How Learning OccursLearning and working are interdependent (Billet, 2001:21), and the trainers in this institution find so in carrying out their main task, that is conducting training. However, this task actually is not a routine or a daily activity because it depends on how many teacher training programs are scheduled in the annual project. Generally, the everyday work activities of the trainers relate to the preparations of the coming scheduled training project, for example deciding types of course, designing syllabus and lesson plan, composing learning materials or selecting and

contacting candidates of training participant.

In doing so, they usually work in team with some administrative staff. During this activity, the interactions within the team will involve sharing opinion, negotiating, and making decision to plan a good project. That is the social process, and learning will be inevitable (Bratton, et. al , 2003:61; Boud & Garrick, 1999:51; Burns, 1995:79; Billet, 1994:115). Similarly, Rylatt (2000:180) expresses that learning in working with team occurs as people might see it as a forum for mutual exchange and support.

Furthermore, learning also occurs as a reflection on the trainers’ experience in conducting training as they are managing their relationship with the client (Johnson, 1993:30; Burgonye et. al, 1994:4; Burns, 1995:87 ). In this way, the trainers usually have a meeting for evaluating the program. This circumstance is similar to Kolb’s idea in 1984 about a cycle of experiential learning which shows the relationship between action and learning (McGill& Beaty, 1997:30):

The cycle can describe the process of reflective learning of trainers’ experience from their previous project. Learning from experience can generate knowledge (Boud et.al, 1993:33).

32 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

33

They might learn about what can make their teaching strategy success or fail, formulate their new understanding, and then construct new and better future strategies for the next project. They also use trainer’s evaluation sheet which is usually filled by their training participants as a feedback to help them to have their reflection.

For junior trainers, learning may also occur through their observing the activities of the senior trainers. In conducting training, trainers sometimes work in a team teaching in which consists of a senior and a junior trainer. In this way, the junior trainers usually not only observe but also involve in the session with the guidance of the senior.

In another word, the junior find their learning on-the-job as well as a guided apprenticeship (Billet, 1994: 4; Billet, 1994:121; Haris et. al, 1996; Coffield, 1998:41). The trainers also learn from any in-house training provided by the institution. For example, to improve trainers’ computer skill which is related to teaching media, the institution provides a training on Information and Communication Technology. The facilities such as computers laboratory, multimedia room as well as internet are provided.

On the other hand, trainers’ intentional learning also occurs through internal academic seminar. This activity is usually carried out as a forum for the trainers to share their knowledge, especially for whom have just attended any trainings organized by other institutions. Thus, it seems that the learning process for the trainers occur in their

everyday work activities as well as through intentional training or learning programs.

Learning in the Workplace: Its Strength and WeaknessAs mentioned by Ford and Field (1995:96), learning is occurring all the time, although of course some individuals are better at it than others, and some environment more conducive than others, PPPPTK Bahasa also experiences that situation in its efforts to provide learning environment for the trainers.

There some factors that become the strength and weakness for its potential as a learning environment. Sometimes in one way a factor that is considered to be a strength, but in another way it might cause a weakness of the current arrangement of learning in this institution.

The first factor relates to the availability of the authentic activities for the trainers. According to Billet (1993:8; 1996:49) authentic learning experience will shape the construction of knowledge performance. As a training provider, this institution has some training programs as the authentic activities for its trainers.

As one of the important factors which determines the success of a training program, the trainers involve in all stages of the program from the proposal till the evaluation. However, despite the availability of the authentic activities, there is a fact that those activities sometime cannot be accessed by particular employees that in fact need this kind of experience in that activity, for example the candidate of trainers.

Consequently, it might influence their readiness in attending the trainer test, organized by the government, to get their certificate for legal position. Some of them do not exactly know how to deal with adult participant in appropriate ways or handle a conflict in delivering a session in a training due to lack of real experience. In the same way, Billet (2001:87) has pointed out such circumstance as a weakness in workplace learning because the lack of readiness can induce the anxiety, confusion or even reluctance in engaging to related further tasks.

The second factor lies in the guidance from other trainers (coworkers) and the expert. The contribution of more experienced coworkers in providing direct assistant and guidance is very crucial for workplace learning (Billet, 2001:77). At the same way, in this institution the senior trainers are expected to give guidance to the junior trainers both in training preparation and during the session when they work together in a team teaching, for example how to manage verbal and non-verbal skills in dealing with adult participants, how to overcome anxiety in delivering a session in a training or how to build assertiveness.

Further, sometimes in some cases, the information or guidance from the senior trainers is not really enough because they might also not really understand a particular concept, for example about language teaching or adult education. Consequently, both the senior and junior trainers need to seek out expert support (Billet, 2001:78). For this reason,

34 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

this institution need to be supported by some experts as the consultants in language and adult education. They can be from well-known Indonesian universities or some foreign agencies which work in the field of language teaching as well as adult education.

However, there is such behaviour of employees which make the guidance does not work very well. Their reluctance of providing guidance might weaken the learning environment in this institution (Harris et. al, 1996:10; Billet, 2001:90).

For example, in this institution, there might be a tendency of some employees for not giving an effective feedback to the junior or new employees. The emphasis of the feedback is always in the weakness or mistake done by the juniors or the newcomers. This condition tends not to build the assertive behaviours of the juniors or the newcomers which might influence their confidence for more challenging tasks in the workplace.

Based on Johari Window, feedback should reduce the “blind spot “ and increase “arena” (Mohan, 1997:372):

The model presents the self

as a window with four panes. “Arena” is the open part of the self in which we know certain things about ourselves which are also known or are open to others. “Blind spot” is that there are

aspects of ourselves that we are not aware, but they are apparent to others. “Façade” is that there are aspects of ourselves that we are aware, but others are definitely unaware.

“Unknown” is that there are aspects of ourselves that we and others are not yet aware of. The model highlights the influence of trust and openness as key factors in building satisfying relationships depending on cultural variables. Assertiveness should decrease the façade area and feedback to others should reduce our blind spot area.

Expansions in these two areas increase the arena area. In addition, Gill and Beaty (1995:159) express that “positive feedback signal change, negative feedback no change”. A feedback should emphasize the positive side or the strength of one’s performance in his/her efforts through his/her learning-on-the-job, and then it can encourage his/her motivation to improve.

The feedback also should give specific descriptions about what one have already shown as his/her strengths.

Therefore, the employees will feel more positive about themselves. Furthermore to that circumstance, the attitude of unwilling providing guidance or giving negative feedback can

be such inappropriate knowledge learnt by new employees. They might think it is a common behaviour in their workplace.

According to Billet (2001:84), such situation is an inevitable experience in the workplace and can become a weakness of learning in the workplace.

The third factor related to the culture of learning among the trainers and their willingness to learn. This is also about how knowledge is shared and created among trainers. Brand and Finger (1999:150) mention that two of the dimensions in measuring an organization’s capacity to learn are the collective learning and the cultural learning capacity.

The trainers, in representing the community of practice in the institution, show that they need to collaborate and learn from each other (Cross & Israelit, 2000:xiii). Their intentional collaborative learning is organized through a monthly-internal academic seminar in which the trainers take turn to be a presenter sharing what they have learnt from attending any trainings in other institutions.

Similarly, according to Mike Peddler’s The Learning Company (Field & Ford, 1995:42), in a learning organization, through their collective purpose, people creates the shared identity in order to produce quality of people’s interactions. In this way, the quality lies in their collective learning. In another words, we can say that through the academic seminar they establish their collective learning as well as cultural learning capacity.

In regards to the culture of learning, finally the willingness

ArenaBlind Spot

Facade Unknown

35

of the trainers to learn is the most important factor because the process of acquiring, updating, or transferring knowledge will depend on the individuals in the organization (Cohen & Sproull, 1996:431; Denhart, 2002:363).

In the same way, Argyris (1999:67) also points out the importance of individuals as an “agent of organization who produce behaviour that leads to learning. However, it is a fact that in an organization there also some employees who are not willing to participate in the learning process (Billet, 2001:96). This condition can also weaken an organization’s potential as a learning environment. Therefore, PPPTK Bahasa should anticipate the emergence of such situation.

ConclusionIn conclusion, this paper has highlighted the potential of a language teacher training centre as a learning environment, especially for its trainers. This paper has shown that learning occurs both in the interactions regarding the tasks in the workplace and the intentional learning through provided trainings in the institution.

In the meantime, during the efforts of this institution in providing the knowledge that the trainers should learn, some factors might strengthen and weaken its potential as a learning environment. Nevertheless, understanding the findings of both strengths and weaknesses will lead this institution into more organized planning to improve its potential to provide a learning environment in the workplace. e

ReferencesArgyris, C. (1999). On

Organization Learning. 2nd edition. Massachusetts, USA : Blackwell

Billet, S.(1993). Learning is working when working is learning: a guide to learning in the workplace. Queensland: Griffith University.

Billet, S. (1996). Towards a model of workplace learning: the learning curriculum. Studies in Continuing Education, Vol. 18, no. 1, pp. 43-58.

Billet, S. (2001). Learning in the workplace: strategies for effective practice. New South Wales: Allen & Unwin.

Boud, D., Cohen, R. & Walker, D. (1993). Using Experience for Learning. Bristol USA: The Society for Research into Higher Education & Open University Press.

Boud, D. & Garrick, J. (1999). Understanding Learning at Work. London: Routledge.

Brand, SB. and Finger, M. (1999).The concept of the ‘Learning Organization’ applied to the transformation of the Public sector: Conceptual Contribution for theory development. in M.E. Smith, J.Burgoyne and L. Aroujo (Eds), Organizational Learning and the learning organization. London: Sage.

Bratton, J., Mills, J.H., Pyrch, T., and Sawchuk, P. (2003). Workplace Learning: A Critical Introduction. Canada: Garamond Press.

Burgoyne, J., Pedler, M., & Boydell, T. (1994). Towards the Learning Company: Concept and Practice. London: McGraw-Hill Book Company.

Burns, R. (1995). The Adult Learner at Work. NSW Australia: Business & Professional Publishing.

Coffield, F. (1998). Learning at Work. Bristol, UK: The Policy Press.

Cohen, M.D. & Sproull, L.S. (1996). Organizational Learning. London: Sage.

Denhart, R.B. (2002). Managing Human Behaviour in Public and Non Profit Organization. California: Sage.

Harris, R., Simons, M., Willis, P., & Underwood, F. (1996). “You watch and then do it. They talk and you listen: on and off job sites as learning environments”, A paper presented at the Australian National Training Authority Research Advisory Council’s Third Annual Conference, “Researching and Learning Together”, Melbourne, 31 October – 1 November, 1-15.

Johnson, DW. (1993). Reaching Out: Interpersonal effectiveness and self-actualization. 5th edition. Boston: Allyn and Bacon.

Matthew, P. (1999). Workplace Learning: developing an holistic model. The Learning Organization. 6(1), pp 18-29.

McGill, I & Beaty, L. (1995). Action Learning: A guide for professional management and educational development. 2nd edition. London: Kogan Page.

Rylatt, A. (2000). Learning Unlimited: Practical strategies for transforming learning in the workplace of the 21st century. 2nd edition. NSW: Business + Publishing.

A few days ago, my colleagues and i debated whether those with a bachelor degree are more capable of

writing articles-scholarly or popular than those with a Master’s degree. One of my colleagues argued that the latter are more capable. However, the rest of us including me contended that the degree is not an absolute requirement for being capable of writing articles.

In other words, earning master degree does not guarantee that someone will be a competent writer. In fact, many outstanding and well-known writers actually did not

have a chance as well as opportunity to enjoy formal education. If they did, they left it by choice. To name a few of them are Emha Ainun Najib (Cak Nun), Jane Austen, Kartini, Arswendo Atmowiloto and a Nobel laureate, John Steinbeck. Cak Nun did not complete his bachelor degree and even Kartini did not make it to pursue her dream as bachelor degree holder in Netherland.

The above illustration leads me to the query whether or not a formal degree signifies our life, not only for being capable of writing but also for being successful financially as well as professionally in life.

So far, I have observed, many people are racing to pursue higher education (master or doctoral). It is quite interesting phenomenon since I expect this will contribute to a conducive academic environment including in my working office. Sharing idea, knowledge and skill will be regular activities which surely lead

lEArninG iS noT ConfinEd To A forMAl EduCATion BuT iT CAn TAKE PlACE EVEryWhErE And froM EVEryonE.

does degree (really) Matter?

Marike nawang palupiLPMP Yogyakarta

36 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

37

to academic discussion habit. Regretfully, I find something else.

Most communication I have done with master’s degree holders cause me to feel discouraged, underestimated and marginalized. Listening to others (particularly if the person—they talk to—is not in the same level or below) is not easy for them. On the other hand, I have also met some graduate degree holders who have no expertise in transforming idea or concept in logical order and clear (simple) ways. They are also lack of competencies they should obtain, after earning a degree.

The following people are the examples to the thesis I have already mentioned earlier. Jane Austen-the most widely-read and best loved writers in British literature developed herself through intensive readings. Edith Wharton—the first woman who won The Pulitzer prize—indulged herself in reading all kinds of books. Both Austen and Wharton were self-educated and avid readers.

They are admired for their realistic description and vigorous social perception toward society in most of their novels. The critics even compare their writing to reportage of their times. The two examples reveal how the well- known writers who did not attend formal education could achieve fame by publishing remarkable written pieces.

Our history also recorded how our nation was built by those who were well-self-educated. H Agus Salim and Adam Malik are worth examples to mention. Both were

Indonesian diplomats during Soekarno era. The two of them were without formal higher education degree.

Agus Salim served as foreign affairs minister twice during Soekarno presidency. Meanwhile, Adam Malik was one of ANTARA (Indonesia’s National Agency) founders. He was also the third vice president in Soeharto era who did not daunt to refer corruption happened in the time Soeharto reigned as an epidemic.

Across the country, Abraham Lincoln—US president in the end of nineteenth

century—also showed us how learning should not be situated only in classroom. His formal education was only 18 months of schooling but his insatiable appetite for books change him into a broad and open minded person.

As a symbol of freedom, he is admired for his extraordinary powerful rhetoric in English language. Through his well known speech—Gettysburg Address—he articulated the concept of democracy and equality well. One of his legacies was the eradication of slavery in United States.

Other examples of people who gain financial freedom without their formal higher degree are Bill Gates and Mark Zuckenberg. These two Harvard drop- outs amazes the world by their competency in information technology matters and not by their degree. Bill Gates, the richest man in the world (in 1995-2006), decided to develop his software company, Microsoft instead of completing his degree in Law, He believes that success is the worst teacher luring someone to feel undefeated. The main learning resource of his company is the unsatisfied customers.

Inspired by Bill’s step, the world’s youngest self made billionaire and the creator of

does degree (really) Matter?

dEGrEE doES noT rEAlly MATTEr if iT doES noT Turn uS inTo BETTEr And MorE uSEful PErSonS for oThErS. SoMETiMES, WE oVErlooK ThAT EArninG hiGhEr dEGrEE CoME WiTh hiGhEr rESPonSiBiliTiES. ThE rESPonSiBiliTiES CAn TAKE MAny forMS inCludinG

CoMPETEnCy, SKill And lifElonG lEArninG.

social networking website, Facebook, Mark left his study in psychology Harvard to concentrate in advancing the most popular ‘internet hangout’, Facebook. Like Bill Gates, this 24—year old—New Yorker put his customers as the prominent learning resource.

What the most crucial lessons that we can take from the people mentioned above is that learning is not confined to a formal education but it can take place everywhere and from everyone. We can learn in the street, market even in the desert. Bargaining, surviving in the driest area, behaving in the traffic is not always provided by lessons in classroom.

Thus, I can say that knowledge is all around. Furthermore, everyone is a teacher to others. We learn not only from those who we label “educators” (teachers, tutors, lecturers and so on), but also from everyone we meet in our daily life. We even learn from people, we consider ‘dumb’. Thus, we learn tolerant from the intolerant, good from the evil, humble from the arrogance and fear from the brave.

After all, learning is a lifelong activity. From

the day we were born to the day we pass away. Therefore, earning a degree should not be an end. It is a starting point for learning more as soon as we get a certain degree because knowledge always changes and develops. What we have learned from university may soon be out of date, so we need to update our knowledge and expertise. However, I have witnessed the fact that most of the graduates rarely update their expertise and knowledge, and they are proud of their degrees without keeping them updated with their knowledge and expertise.

Thus, the answer to the title of this article is obvious. Degree does not really matter if it does not turn us into better and more useful persons for others. Sometimes, we overlook that earning higher degree come with higher responsibilities. The responsibilities can take many forms including competency, skill and lifelong learning.

Furthermore, degree should bring good and useful impact in our environment. Like what I mentioned earlier, at least to contribute conducive academic environment for discussion. e

38 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

termasuk dalam jenis ini adalah “ia”, “dia”, “beliau”, yang berkategori tunggal, dan “mereka” yang berkategori jamak.

Pada penggunaannya tiap-tiap kata ganti memiliki arti yang berbeda-beda. Penggunaan kata ganti “aku” misalnya, bersifat lebih akrab dan intim. Kata ganti jenis ini biasanya digunakan dalam lingkungan kekerabatan. Lazim juga digunakan untuk berbicara dengan orang yang usia atau kedudukannya lebih rendah dari yang berbicara. Untuk orang yang lebih tua atau kedudukannya lebih tinggi umumnya digunakan “saya” sebab “saya” dianggap lebih halus. Kata “hamba” biasanya ditujukan kepada Tuhan atau digunakan dalam karya sastra lama, selain “patik”.

BAhASA AdAlAh SiSTEM TAn-dA ArBiTrEr yAnG KonVEn-SionAl. diKATAKAn SiSTEM KArEnA BAhASA BErSifAT

SiSTEMATiK dAn

SiSTEMiK. BErSifAT SiSTEMATiK KArEnA iA MEnG-iKuTi KAidAh yAnG TErATur dAn SiSTEMiK KArEnA iA MEr-uPAKAn SEBuAh SiSTEM ATAu SuBSiSTEM. ConTohnyA AdA-lAh fonoloGi, MorfoloGi,

dAn SinTAKSiS.

antara saya, kaMi, dan kita

Ririk RatnasariStaf PPPPTK Bahasa

Berkaitan dengan ciri tanda, dikatakan oleh kaum sauserrean bahwa bahasa pada dasarnya

berkaitan dengan unsur signifie dan signifiant. Signifie adalah unsur bahasa yang berada di balik tanda yang berupa konsep dalam benak penutur sedangkan signifiant merupakan wujud fisik atau tanda ujar.

Ciri selanjutnya adalah arbitrer. Dikatakan demikian karena hubungan antara signifie dan signifiant yang dibangun oleh bahasa bersifat semena dan kesemenaan itu dibangun atas dasar kesepakatan antarpenutur. Oleh karenanya, bahasa juga memiliki ciri konvensional.

Meskipun sistem bahasa bersifat semena, ternyata setiap bahasa, hampir dapat dipastikan, memiliki kata ganti orang atau pronomina persona. Ditilik dari jenisnya, ada bermacam-macam kata ganti orang. Ada kata ganti orang pertama tunggal. Tinjauan kata orang pertama adalah ‘yang berbicara’. Termasuk dalam kategori ini adalah “aku”, “saya”, “hamba” yang semuanya berkategori tunggal dan “kami”, “kita” berkategori jamak.

Kata ganti orang kedua, yakni ‘yang diajak bicara’. Termasuk dalam bagian ini adalah “kamu”, “anda”, “kau”, “engkau” yang berkategori tunggal dan “kalian” yang berkategori banyak. Terakhir yang dikenal dalam bahasa Indonesia adalah kata ganti orang ketiga yaitu ‘yang dibicarakan’. Yang

huBunGAn AnTArA SiGnifiE dAn SiGnifiAnT yAnG

diBAnGun olEh BAhASA BErSifAT SEMEnA dAn KESEMEnAAn

iTu diBAnGun ATAS dASAr KESEPAKATAn AnTArPEnuTur.

Dalam bahasa Indonesia, kata ganti orang pertama jamak mempunyai fenomena yang unik, karena dari jenis kata ganti ini dikenal kata “kami” yang bersifat eksklusif, dan “kita” yang inklusif. Untuk kata ganti yang sama bahasa Inggris hanya memiliki kata “we”, Belanda “wij”, dan Arab “nahnu”. Penggunaan kata ganti “kami” ini sering disalahgunakan orang, baik dari secara lisan maupun tertulis, baik secara formal maupun informal. “Kami” seringkali digunakan untuk mengacu pada orang pertama. Fenomena ini sering terlihat pada pembuatan surat lamaran kerja dan surat undangan.

Penggunaan kata “kami” sebagai kata ganti orang pertama ini mengandung maksud adanya keinginan merendah, bahwa ia hanyalah bagian kecil dari sesuatu yang sangat besar, yaitu masyarakat. Selain itu, ada pengakuan secara tidak langsung bahwa individu tidak hanya milik dirinya sendiri, tetapi juga merupakan bagian dari kelompok.

Selain sering dipertukaran dengan”saya”, ”kami” sering dipertukarkan dengan ”kita”. Mohon diperhatikan petikan wawancara yang dilakukan oleh wartawan berikut, “Begini, ya, kasus Munir itu masih KITA dalami. Kalau sudah waktunya, akan KITA sampaikan kepada kalian,” begitu penjelasan Kepala Polri Jenderal Sutanto. Dalam wawancara tersebut yang dimaksud kita oleh Sang Jenderal adalah jajaran polri. Namun, kekurangcermatan dalam penggunaan kata

ganti orang menyebabkan adanya perbedaan makna. Dalam hal ini, wartawan, yang mewawancarai, pastilah tidak turut serta dalam penyelidikan kasus Munir tersebut.

Namun, penggunaan kata tidak selalu hanya terikat pada arti. Bagaimana, sesungguhnya, kebiasaan pemakai bahasa

menggunakan kedua kata itu? Kalau tidak lagi marah, biasanya, pembicara merasa sungkan kepada lawan bicara sehingga mereka merasa sungkan untuk tidak mengikutsertakan lawan bicara ke dalam pembicaraan.

Kesungkanan seperti ini menyebabkan pembicara mengikutsertakan juga lawan berbicara. Bersama itu, mereka sering menggunakan kata ”kita ”daripada kata ”kami”. Hanyalah dalam keadaan yang cukup khusus, ketika lawan berbicara itu tidak pantas untuk diikutsertakan, barulah digunakan kata ”kami” atau ”saya”. Sering dirasakan bahwa penggunaan kata ”kami” mengandung suatu penegasan. Ini benar-benar tidak mencakup Anda. Ini hanya kami dan lawan berbicara pun paham sepaham-pahamnya.

Penggunaan kata “kami” apabila direnungkan mengandung proklamasi teritorial. Seseorang yang menggunakan kata “kami”secara otomatis dia mengakui keberadaan dirinya yang lemah. Akan tetapi, dalam kelemahannya tersebut dia dapat menjadi ancaman bagi orang lain. Dalam acaman itu orang harus berhati-hati karena yang dihadapi bukan hanya satu orang tetapi sekelompok orang.

“Kami” adalah isyarat bawah sadar dari individu terhadap lawannya yang dianggap lebih berkuasa. “Kami” juga merupakan

40 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

dAlAM BAhASA indonESiA, KATA GAnTi orAnG PErTAMA jAMAK MEMPunyAi fEnoMEnA yAnG uniK, KArEnA dAri jEniS KATA GAnTi

ini diKEnAl KATA KAMi yAnG

BErSifAT EKSKluSif, dAn

KiTA yAnG inKluSif.

isyarat adanya tekanan kelompok yang mengawasi kehidupan setiap orang sampai ke ruang-ruang pribadinya sehingga manusia perorangan selalu hanya merupakan bayang-bayang kelompok.

Bagian yang integral dengan “kami” adalah “kita”. Kata ganti “kita” tidak hanya melibatkan kelompok yang berbicara, tetapi juga merangkul yang diajak bicara. Sama halnya dengan “kami”, kata ganti “kita” awalnya terasa sebagai upaya penghalusan tutur.

Hal itu dikarenakan individu yang diajak mengajak tidak hanya sekelompok tetapi meluas sampai di luar kelompoknya. Lawan kelompok berarti semua orang diajak untuk terlibat. Dengan kata lain, kata “kita” adalah sebuah konsep yang memberikan batasan bahwa “tidak ada orang yang tidak terlibat”, semuanya ikut. Filsafatnya adalah filsafat berkumpul beramai-ramai.

Dengan kata ”kita”, kita menjadi beramai-ramai, semua ikut serta. Pokoknya, semua yang ada di situ tercakup di dalam pembicaraan. Mau ikut atau tidak mau ikut, ya, ikut. Senang ikut atau tidak senang ikut, ya, ikut. Dan bersama itu, dunia ini pun terasa lebih aman dan tenteram.

Perhatikan tajuk rencana yang dimuat dalam harian Kompas, 14 November 2008 berikut. ”Kita pantas mengikuti jejak dan mengembangkan gagasan dan visi Raja Abdullah: bahwa perdamaian akan lahir kalau ada keterbukaan, kesetaraan, saling percaya, keadilan, dan saling menghormati di anatara kita. Itu yang harus kita pahami dan wujudkan bersama”. Dalam tajuk yang ditulis redaksi sengaja memilih kata ”kita” sebagai

upaya perangkulan atau merukunkan antara redaksi dan pembaca.

Selain rasa rukun yang terkandung di dalam usaha mengitakan, redaksi sebenarnya bermaksud untuk berbagi risiko. Untung kalau semuanya benar. Kalau ada yang sampai keliru? Dengan mengitakan, kekeliruan itu pun ditanggung bersama, yang ikut mendengarkan juga memperoleh bagian dalam kekeliruan itu. Maklum, kita semua sudah dikitakan dan tidak sekadar dikamikan. Entah kata orang itu benar atau tidak.

Namun, berbagi keliru itu tidak dilakukan dengan sengaja atau dengan maksud buruk. Filsafat kumpul beramai-ramai itu ingin berbagi rasa. Untung sama-sama untung, keliru yang sama-sama keliru.

Dan, dengan daya jangkaunya yang luas, kata ganti “kita” alhasil dapat dijadikan senjata ampuh penetrasi sekaligus remote control. “Kita” menjadi upaya penaklukan yang secara psikologis sangat taktis, sopan tetapi agresif dan efektif. Dan yang tak kalah penting apabila sebuah seruan memakai kata ganti “kita” ini berarti semuanya diraup dalam kelompok. Tanpa melalui pertempuran, semua perbedaan, pertentangan, dan permusuhan secara fantastis melebur dalam sihir kata “kita”. e

Pemelajaran ElektronikSecara etimologis pemelajaran elektronik didefinisikan sebagai pemelajaran yang menggunakan perangkat elektronik, dalam hal ini komputer. Seperti halnya istilah lain yang penginggrisannya diawali dengan huruf e di depannya, misalnya e-banking, e-commerce, atau e-government, ia berhubungan dengan komputer, apakah ia terhubung dengan jaringan internet ataupun tidak.

Definisi pemelajaran elektronik yang diambil dari situs pemelajaran elektronik pun adalah bahwa semua perangkat lunak (software) adalah juga media pemelajaran elektronik. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemelajaran elektronik adalah semua yang mencakupi pemanfaatan komputer untuk menunjang peningkatan kualitas pemelajaran, termasuk di dalamnya penggunaan teknologi mudah alih (mobile technology), seperti PDA dan pemutar MP3 (MP3 players).

Selain itu, ia meliputi penggunaan bahan pengajaran (teaching materials) berbasis laman (web) dan hipermedia, multimedia CD-ROM atau situs laman (websites), forum diskusi, perangkat lunak kolaboratif, pos-el (e-mail), blogs, wikis, penilaian via komputer (computer aided assessment), animasi pendidkan, simulasi, permainan, perangkat lunak manajemen pemelajaran, sistem

peMelajaran elektronik: apa dan bagaiMana?

neneng TsaniStaf PPPPTK Bahasa

SUDaH MeNJaDI KeBUTUHaN

SETIAp oRGAnISASI unTuk

MEnYElEnGGARAkAn

pEMElAjARAn ElEkTRonIk (E-LEARNING)

SeBaGaI aLTerNaTIF DarI PeNYeLeNGGaraaN

BeLaJar MeNGaJar SeCara KONVeNSIONaL

ATAu TATAp MukA. SEjAk InTERnET

MeNJaDI BaraNG YaNG TaK TerPISaHKaN

DarI KeBUTUHaN HIDUP, DUNIa BeLaJar-

MEnGAjAR pun MEnjADI SEMAkIn kAYA AkAn

MEDIA pEnGAjARAn DAn pEMElAjARAn.

TULISaN INI MeNGUPaS aPa DaN BaGaIMaNa

pEMElAjARAn ElEkTRonIk ITu.

42 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

43

sistem pemilihan elektronik (electronic voting systems), dan lain-lain. Ia juga dapat berupa kombinasi dari penggunaan media yang berbeda (Thomas Toth, 2003; Athabasca University, Wikipedia).

PPPPTK Bahasa dan Pemelajaran ElektronikSebagai institusi yang bergerak di bidang pendidikan, PPPPTK Bahasa tergerak untuk mengikuti perkembangan dunia pendidikan. Dengan adanya pemelajaran elektronik, jarak yang semula terbentang dari Merauke hingga Sabang perlahan-lahan mulai sirna dengan adanya media pemelajaran elektronik ini.

Berangkat dari definisi di atas dapat dipetakan seperti apa pemelajaran elektronik yang telah diejawantahkan di institusi kita. Diawali dengan pembangunan laman www.pppptkbahasa.net, institusi ini mulai memasuki e-government. Dalam konteks ini PPPPTK Bahasa sebagai institusi pemerintah

menyediakan media informasi tentang keberadaan dan kiprahnya untuk masyarakat luas yang dapat diakses melalui jaringan internet.

Berkenaan dengan tugasnya sebagai pusat pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan bahasa, di

laman ini pula disediakan fasilitas untuk pemelajaran elektronik, di antaranya adalah tanda “e-learnig” dan “forum”. Kedua link ini menyajikan bahan ajar online dan forum untuk berdiskusi antara widyaiswara dan peserta diklat.

Selain itu, sebagai forum komunikasi lainnya, sebagian stafnya tergabung dalam [email protected]. Dari ketiga media pemelajaran elektronik yang dimiliki hingga sekarang, tugas terbesar institusi ini adalah mempromosikan fasilitasnya kepada kliennya agar diketahui keberadaan fasilitas pemelajaran elektronik ini.

Dengan demikian, tujuan fasilitas ini tercapai dalam membantu proses belajar mengajar dalam diklat. Salah satu cara untuk mempromosikannya adalah dengan mengirimi pos-el ke setiap peserta yang pernah didiklat. Hal ini dimulai degan mencantumkan kolom pos-el di biodata peserta.

Harapan dan TantanganDi dalam pemelajaran elektronik, seperti juga metode belajar konvensional, haruslah ada kerjasama yang sinergis antara pengajar dan pelajar (dalam lingkup PPPPTK Bahasa, berarti penatar dan petatar). Ia berkenaan dengan analisis kebutuhan dan tujuan sebuah pengajaran secara elektronik. Dari analisis

44 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

inilah dapat diketahui apakah sebuah mata diklat memiliki tingkat efisiensi yang baik dengan media ini atau tidak.

Oleh karena itu, pemelajaran elektronik diharapakan dapat membawa banyak manfaat. Tantangan yang lain, dalam penyelenggaraan pemelajaran elektronik, ada empat faktor yang saling menunjang, yaitu (a) jaringan (infrastruktur teknologi), (b) sistem pengelolaan pemelajaran (learning management system), yakni pengadministrasian proses belajar-mengajar, (c) materi atau bahan ajar yang akan dielektronikkan dan pemasaran (cara mempopulerkan fasilitas pemelajaran elektronik kepada klien), dan (d) sumber daya manusia bidang teknologi informasi dan pengajaran bahasa.

SimpulanSecara sederhana pemelajaran elektronik adalah media pemelajaran jarak jauh, tidak harus berada dalam ruang kelas, bertatap muka langsung dengan guru. Normalnya, dalam sebuah proses belajar-mengajar, pelajar dan pengajar berada di ruang dan waktu yang sama.

Kini dengan adanya media pemelajaran elektronik, proses ini menjadi lebih fleksibel. Pelajar bisa saja mengakses pelajaran yang telah diberikan oleh pengajar sebelumnya bahkan berulang-ulang sampai ia memahaminya tanpa membuat lelah pengajar. Demikian juga, pengajar bisa menyelesaikan program mengajarnya tanpa harus menunggu pelajar mana yang masih belum mengerti.

Hal ini karena mereka yang belum mengerti akan dengan aktif menghubungi pengajar dalam diskusi. Keuntungan inilah yang ingin didapatkan dari pemelajaran elektronik, yakni fleksibilitas. Namun, awalnya institusi memang harus menginvestasikan anggaran yang cukup besar, di antaranya untuk perangkat teknologi dan memelekkan sumberdaya manusianya dalam teknologi ini. Selanjutnya, institusi tinggal melakukan evaluasi dari waktu ke waktu. e

Rujukan Effendi, E., & Zhuang, H. 2005. E-learning

Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: ANDI. http://en.wikipedia.org/wiki/E-Government.http://en.wikipedia.org/wiki/Electronic_

learning.

45

lebih yang memiliki kesamaan dalam hal tertentu (Al Hasyimi, 1960: 247). Para sastrawan Arab menjelaskan bahwa tasybih meru-pakan elemen vital dalam karya sastra. Menurut mereka tasybih memiliki empat unsur utama, yaitu (1) sesuatu yang diper-bandingkan (al-musyabbah), (2) obyek perbandingan (al-musyab-bah bih), (3) alasan perbandingan (wajh al-syibh), dan (4) perangkat perbandingan (adat al-tasybih). al-musyabbah dan musyabbah bih dise but tharafan al-tasybih, yaitu dua pilar yang harus ada dalam ungkap an kalimat yang berben-tuk tasybih. Apabila salah satu yang muncul, apakah itu musyab-bah atau musyab bah bih, pemba-hasan ini tidak termasuk kategori tasybih, tetapi masuk pada kajian isti’arah. Karena itu, konsep ma-jaz, isti’arah, dan tasybih mempu-nyai kaitan dan saling berhubu-ngan.

Badawi (1950:190) mengata-kan, tasybih berfungsi memperjelas makna dan memperkuat maksud sebuah ung kapan sehingga orang yang mende ngarkan pembicaraan

bisa merasakan seperti pengalam-an psikologis si pembicara. Dalam persoalan-persoalan yang berkaitan dengan eskatologis, dalam Alquran seringkali digunakan bahasa meta-foris yang diungkapkan dalam ben-tuk gaya bahasa simile (tasybih).Contoh lain bentuk ungkapan tasy-bih juga ditemukan dalam surat an-Nur ayat 39:

“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar,

yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak

mendapatinya sesuatu apa pun. Dan didapatinya (ketetap an) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal

dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitu ngan-Nya.

(QS. 24:39)”Melihat kondisi geografi tanah

Arab yang sulit untuk mendapat-kan air, dalam ayat tersebut Allah mempersamakan amal-amal orang kafir dengan fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air dan bila didatangi tidak didapatinya. Satu gambaran yang benar-benar membuat mereka untuk berpikir mendalam, bahwa apa yang mere-ka lakukan selama ini di hadapan Allah tidak mendapatkan balasan sedikit pun. Pemersamaan amal-amal orang kafir dengan fatamor-gana ini dilakukan karena di tem-pat mereka hidup air sangat sulit didapatkan, dan itu menjadi sum-ber kehidupan masyarakat Arab secara keseluruh an. Pemersamaan itu akan membuat mereka lebih nyata untuk membaca fenomena

alam yang kemudian direfl eksikan dalam keyakinannya yang selama ini dianggap benar.

Bagaimana Alquran memberi-kan kabar gembira kepada orang yang beriman dan berbuat kebaik-an? Perhatikan ayat berikut.

“Dan sampaikanlah berita gem-bira kepada mereka yang beriman

dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Se tiap mereka diberi rezki buah-buah an dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, inilah yang pernah diberikan ke-pada kami dahulu. Mere ka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mere ka kekal di dalamnya. (QS. 2:25)”

Ini adalah sebuah perumpa-maan yang dapat memikat hati masyarakat Arab, yakni bahwa jika mereka beriman dan berbuat baik, baginya adalah surga yang penuh dengan air, buah-buahan, dan istri-istri. Tidak bersaha-batnya kondisi alam membuat mere ka kekurangan sumber air, dan tandusnya tanah padang pasir mengakibatkan sulitnya mendapat kan bahan makanan. Peperang an yang terjadi di antara mereka banyak disebabkan oleh kebutuh an pokok tersebut, dan bahkan dipicu oleh kecintaan ke-pada seorang perempuan.

Kebutuhan fisik berupa air dan buah-buahan, serta kebutuhan bio logis berupa istri-istri (bentuk jamak) merupakan fenomena dan realita yang menimpa masyarakat

sambungan dari halaman 15

46 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

Arab. Untuk menggugah keyakin-annya agar mereka mau beriman kepada ajaran yang dibawa Nabi dan kemudian diwujudkan dalam bentuk perbuatan nyata, Alquran menyampaikannya dengan gaya bahasa tasybih. Surga yang digam-barkan suatu tempat yang penuh dengan air, buah-buahan, dan istri-istri adalah bentuk perum-pamaan yang dapat memberikan stimulus, membangkitkan suges-ti, dan menjadi dambaan dalam hidup mereka.

Isti’arah Para ahli bahasa, termasuk

kritikus sastra meski banyak memberikan definisi isti’arah

berbeda-beda, namun inti yang dimaksud saling mendekati. Mi-salnya, Ibn Qutaibah (w. 276 H) mendefinisikan isti’arah sebagai peminjaman kata untuk dipakai dalam kata yang lain karena ada beberapa faktor. Lazimnya, orang Arab sering meminjam kata dan menempatkannya untuk kata lain tatkala ditemukan alasan-alasan yang memungkinkan. Konsep isti’arah sebenarnya berangkat dan bermuara dari bentuk gaya bahasa tasybih. Dengan demikian, pada hakikatnya ungkapan ben-tuk isti’arah ini adalah ungkapan bentuk tasybih yang paling ting-gi. Menurut Ahmad al-Hasyimi dan para ahli balaghah lainnya,

isti’arah mempunyai tiga unsur: (1) musta’ar lah (musyabbah), (2) musta’ar minh (musyabbah bih), dan (3) musta’ar (kata yang di-pinjam) (AlHasyimi, 1960: 304). Untuk lebih jelasnya perhatikan firman Allah surat Ibrahim ayat 1:

“Alif, laam raa. (ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepa-

damu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada

cahaya terang benderang de-ngan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha

Perkasa lagi Maha Terpuji.”

Dalam ayat di atas terdapat tiga kata yang dipinjam yaitu (1) al-dzulumat (gelap gulita), (2) al-nur (cahaya), dan (3) al-shirat (jalan). Kata “al-dzulumat” di-pinjam dari kata “al-kufr” (keku-furan), asalnya kekufuran dise-rupakan dengan suasana gelap gulita karena sama-sama tidak ada cahaya atau petunjuk, kemu-dian kata “al-kufr” dibuang dan maksudnya dipinjamkan kepada kata “al-dzulumat”. Demikian juga kata “al-nur” dipinjam dari kata “al-iman” (keimanan), asal-nya ke imanan diserupakan de-ngan cahaya karena sama-sama menerangi kehidupan, kemudian kata “al-iman” dibuang dan mak-

sudnya dipinjamkan kepada kata “al-nur”.

Kata “al-shirat” dipinjam dari kata “al-Islam” (keislaman), asal-nya jalan diserupakan dengan Is-lam karena sama-sama memberi-kan cara atau petunjuk, kemudian kata “al-Islam” dibuang dan mak-sudnya dipinjamkan kepada kata “al-shirat”. Dengan demikian, da-lam memahami ayat tersebut hen-daknya kata “al-dzulumat” dipa-hami sebagai kekufuran, kata “al-nur” dipahami de ngan ke imanan, dan kata “al-shirat” dipahami dengan keislaman.

Secara logika, diturunkannya Alquran untuk manusia bukan kare na supaya mereka keluar dari

suasana gelap gulita menuju ca-haya untuk memperoleh jalan Alquran adalah wahyu sebagai pedoman hidup manusia. Ia ditu-runkan Allah agar manusia bisa keluar dari kekufuran menuju ke-imanan dengan aturan yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam. Contoh isti’arah yang lain adalah:

“Dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepa-

danya (Alquran), mereka itulah orang-ornag yang beruntung.”

(QS. 7:157)

47

Kata “nur” di sini dipinjam untuk memperjelas misi dan pe-san kenabian, karena keduanya memiliki fungsi untuk meya-kinkan, menghi langkan, dan me-nepis keraguan atas kebenaran misi kenabian tersebut. Dengan demikian, maksud kata “al-nur” di sini adalah kehadiran Nabi Mu-hammad SAW bersama misinya yang membawa keselamatan dan kebahagiaan hidup.

Kinayah Kinayah adalah mengung-

kapan kata, tetapi yang dimak-sud bukan makna dari kata itu, sekalipun bisa dibenarkan kalau dipahami sesuai dengan makna dasarnya.

Misalnya adalah peribahasa Arab

Tangan panjangDi kalangan orang Arab isti-

lah “al-yad al-thawilah” sangat populer untuk menyebut (seba-gai kinayah) seseorang yang suka memberi atau membantu. Akan tetapi, kalau “al-yad al-thawilah” dipahami sebagai tangan yang panjang, sesuai dengan makna dasarnya, juga tidak salah, inilah kinayah. Perhatikan pula dalam surat al-Zukhruf ayat 18:

“Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesar-kan dalam keadaan berperhiasan

sedang dia tidak dapat mem-beri alasan yang terang dalam

pertengkaran.”

Menurut Fadlal Hasan (1987), ayat tersebut diturunkan kepada Nabi yang dilatarbelakangi oleh kebiasaan orang Arab jahiliyah yang membenci anak-anak perem-puan dan menguburnya hidup-hidup. Selain itu, mere ka juga me-nyangka bahwa malaikat itu anak perempuan Allah.

Selanjutnya, ayat tersebut diturunkan sekaligus memperkuat kebodohan dan kedangkalan pe-mikiran mereka. Dalam ungkapan ayat di atas “man yunasysya’u fil hilyati” (orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan) adalah kinayah bagi seorang perempuan. Hal ini karena yang sering berhias dan berdandan, serta tidak memiliki kekuatan dalam pertengkaran adalah orang perempuan. Dengan demikian, konteks ayat di atas adalah se-bagai kinayah bagi orang perem-puan Arab jahili yang memiliki kebiasaan berhias diri dan tidak memiliki kekuatan, sekalipun sifat-sifat itu juga terdapat pada perempuan zaman sekarang.

PENUTUPPada umumnya ungkapan- ungkapan dalam Alquran ketika memaparkan kebiasaan hidup masyarakat Arab pra-Islam se-lalu menggunakan gaya bahasa metaforis (majaz). Pengungkapan dengan gaya bahasa ini sangat beralasan, karena secara psikolo-gis mereka sudah memiliki keya-kinan paganisme, hidup nomaden atau probabilistik, dan berwatak kasar.

Karena itu, ketika Alquran menyampaikan kebenaran, lebih- lebih yang terkait dengan per-soalan gaib (eskatologis, bahasa Alquran sangat memerhatikan

aspek psikis mereka. Selain itu, ungkapan tersebut juga diyaki-ni memiliki kekuatan yang bisa membangkitkan imajinasi kreatif untuk membuka wilayah pema-haman baru yang batas akhirnya belum diketahui. Dengan demiki-an, Islam yang diyakini sebagai agama shalihun li kulli zamanin wa makanin dan membawa misi rahmatan lil Alamin dapat direa-lisasikan sesuai dengan konteks pembacaan. e

REFERENSIAl-Qur’anul Karim, terj. (2000)

Departemen Agama RI.Al Nabhan, M. Faruq, al-Madkhal

Li al-Tasyri’ al-Islami, Beirut: Dar al-Qalam, 1981.

Al Hasyimi, Ahmad, (1960) Jawahir al-Balaghah, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah.

Az Zahabi, tt. Al Tafsir wa al Mufassirun, Beirut.

Badawi, Ahmad Ahmad, (1950), Min Balaghah al-Qur’an, Kairo: Dar al-Nahdlah.

Fadlal Hasan Abbas, (1987), al-Balaghah Fununuha wa Afnanuha, Amman: Dar al-Furqan.

Hasan, Husein al-Hajj, (1990), Adab al-Arab Fi Ashr al-Jahiliyah, Beirut.

Hidayat, H.D. (2005), Nahwa al Balagah al Quraniyyah, Jakarta: IIQ.

Hidayat, Komaruddin, (1996), Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina.

Mansyah, Syarif Hade, (2009). Memahami Pesan Alquran dari Sisi Bahasa: www.pesantren.or.id.

48 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

adalah untuk membedakannya dari istilah declarative yang su-dah “terlanjur” dipakai untuk modus kalimat. Barangkali untuk menghindari kemungkinan keran-cuan di antara istilah tata bahasa dan istilah pragmatik itu. Fraser (1978) mengganti declaration itu dengan establishive. Ia juga meng-ganti istilah Searle expressive de-ngan evaluative.

SimpulanTujuan utama tulisan ini adalah menjual dagangan barang baru yang berlabel pragmatik. Mudah-mudahan para linguis junior ada yang tertarik. Harapan saya ada-lah hendaklah para linguis muda

tidak membatasi diri pada telaah bahasa saja. Telaah penggunaan bahasa di dalam situasi yang sebenar pun perlu dan ini men-janjikan hasil telah yang lebih menarik karena telaahnya lebih dinamis daripada telaah yang hanya berkisar pada hal-hal yang bersifat intrabahasa.

Sama sekali hal itu tidak ber-arti tinjauan linguistik tradisi-onal atau mikrolinguistik tidak berguna. Justru sebaliknya, teori li nguistik tradisional berguna sebagai landasan untuk meng-kaji perihal yang bersifat ekstra-bahasa. Dengan teori-teorinya yang bermutu tinggi, linguistik tradisional pun berguna sebagai

sambungan dari halaman 19

ajang mengasah wawasan keba-hasaan kita. Dari perspektif per-masalahan bahasa secara luas, yang “kurang” di dalam linguistik tradisional adalah keterbatasan dimensi sosial, dimensi kultural, serta dimensi penggunaan bahasa di dalam situasi komunikasi yang sebenar. Wawasan pragmatik me-mang perlu sebagai pemerluasan wawasan linguistik. Wawasan so-siolinguistik dan linguistik kebu-dayaan, serta wawasan linguistik statistik juga perlu dimiliki oleh para linguis muda. Implikasinya di dalam prog ram studi linguis-tik adalah perlu adanya spesialis- spesialis di berbagai bidang antar-displin. e

Daftar PustakaAncok, Djamaludin. 1995. Teknik Penyusunan Skala Pengukur. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan

Universitas Gadjah Mada.

Anderson, Benedict R.O.G. 1990. Language and Power: Esploring Political Cultures. Ithaca: Cornel University Press.

Anshen, Frank. 1978. Statistics for Linguistics. Rowley, Mass: Newbury House.

Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Oxford: Clarendom Press.

Browsn, P dan S.C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: CUP.

Crystal, D. 1987. The Cambridge Encyclopedia of Language. Cambridge: CUP.

Dik, Simon. 1978. Functional Grammar. Amsterdam: North Holland.

Dascal. M. 1987. Pragmatics and the Philosophy of Mind I: Thought in Language. Amsterdam: John Benjamin.

Fasold. Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society: Oxford: Basil Blackwell.

Fasold, Raph. 1990. The Sociolinguistics of Language. Oxford: Basil Blackwell.

Gazdar, Gerald. 1979. Pragmatics Implicative, Presupposition and Logical Form. New York: Academic Press.

Gice, H.P. 1975. Logic and Coversation. Dalam Cole P dan J.L. Morgan (ed). Syntax and Semantics 3: Speech Acts. New York: Academic Press. 41-58.

Gunarwan, Asim. 1993. The politeness rating of English and Indonesian directive types among Indonesia learners of English: Towards contraxtive pragmatics. Fourth International Pragmatics Conference. Kobe, Jepang, 4-9 Juli.

Gunarwan, Asim. 1994. The encroachment of the Indonesian language upon the home domain use of the Lampung language. Makalah pada seventh Conference on the Austronesian Linguistics. Leiden, 19-24 Juli.

49

ThE COMMITMeNT

oF InDonESIAn

GoVERnMEnT To IMpRoVE

eDUCaTION qUaLITY aLONG wITH

ITS MaIN aCTOrS NaMeLY TeaCHer

aND eDUCaTION PerSONNeL HaVe BeeN PrOVeN

BY THe eSTaBLISHMeNT OF THree New CeNTreS

aT THe SOUTHeaST aSIa LeVeL. THOSe CeNTreS

are SeaMeO reGIONaL CeNTre FOr qUaLITY

IMpRoVEMEnT AnD EMpoWERMEnT FoR

TeaCHerS aND eDUCaTION

PerSONNeL (qITeP) IN SCIeNCe,

IN MaTHeMaTICS, aND IN

LaNGUaGe. TO OBTaIN MOre

INFOrMaTION aBOUT SeaMeO

aND ITS CeNTreS, READ ThE

FOLLOwING arTICLe.

Structure of SeaMeO

SEAMEO stands for Southeast Asian

Ministers of Education Organization and

was formed in 1965 aiming to promote

co-operation among the Southeast Asian

nations through education, science and

culture. It has 11 Member Countries

(Brunei Darussalam, Cambodia,

Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar,

Philippines, Singapore, Thailand, Timor

Leste and Vietnam) and six Associate

Member Countries (Australia, Canada,

France, Germany, Netherlands and New

Zealand) and two Affiliate Members,

the International Council for Open

and Distance Education (ICDE) and

University of Tsukuba. The structure

of SEAMEO is composed of a Council,

a Secretariat, and Centres. A brief

description of what it is about will be

depicted in the following paragraphs.

The Southeast Asian Ministers of

Education Council is the policy making

body of SEAMEO and it meets once a year to formulate policies for SEAMEO. It approves all SEAMEO programmes, budgets

and makes all decisions that will bind the Organisations into commitments. The Council’s binding acts are in the form of Council

resolutions.

SEAMEO is supported by a Secretariat which is based in Bangkok, Thailand. It is headed by a Director, who is the chief

administrative officer and legal representative of the Organisation. He is supported by Programme Deputy Director and

Administration Deputy Director who are recruited from Member Countries.

The programmes and activities of SEAMEO are organised and conducted through its Regional Centres. There are 18

Regional Centres and each specialising in its own areas of competence. (see page 51)

Endang nilla pramowardhanylaporankhusus

50 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

The establishment of

SEAMEo Regional

Centre for qITeP in

language

It was during the

30th High Official

Meeting (HOM) in

2007 in Bangkok that

the proposal of the Government of

Indonesia on the establishment of the SEAMEO

Regional Centre was initiated. A feasibility study on the

project’s viability was suggested by the HOM in order

to endorse the proposal to the 43rd SEAMEO Council

Conference in 2008.

Further, the Indonesian delegates to the 43rd

SEAMEO Council Conference which was conducted in

Kualalumpur on March 13, 2008, presented the proposal

of the establishment of the Regional Centre for Language

or abbreviated as RECFOL. In general, the SEAMEO

Council, during the In-Camera session, agreed with the

establishment of the three SEAMEO Centres in Indonesia

with some considerations. First, the programmes must

not duplicate those of the existing Centres.

Second, a commitment on the financial

sustainability must be obtained from the

government of Indonesia.

In order to avoid programmes’

duplication, the proposed Centres

conducted a workshop on the

Strengthening Educational Quality in

Southeast Asia through Networking in

Yogyakarta on August 8—9, 2008. Thus, a

discussion between the SEAMEO existing centres and the

new ones was done in which each centre talked about its

major programmes. As a result, the new Centre focuses

its programmes on Bahasa Indonesia, Arabic and Chinese

Languages. In terms of target group, the Centre will cater

not only language teachers but also education personnel

(school principal, school supervisor, laboratory technician,

and school librarian). Therefore, the name of the proposed

centre was changed into SEAMEO Regional Centre for

Quality Improvement of Teachers and Education Personnel

(QITEP) in Language. The result of the workshop was

forwarded to the Ad-Referendum with the help of SEAMEO

Secretariat. The purpose was to get approval from the

Member Countries on the establishment of the

new centre.

Moreover, on January 19

– 20, 2009, the 31st SEAMEO

HOM was held in Bangkok. In

this meeting the government of

Indonesia reported on the works

that have been undertaken by

the proposed centres,

they were facilities

and development of

necessary documents.

Furthermore, on

February 18 – 20, 2009

in Lembang, West Java,

the proposed centres

conducted a workshop to create strategic plan

or five-year development plan and operational plan. In

this workshop, language experts were invited to share

their ideas on the programmes and activities that should

be offered to the SEAMEO Member Countries. The

commitment of the Indonesian government concerning

the finance sustainability is shown by the five-year

development plan containing programmes and activities of

the Centre for fiscal year of 2009 – 2013.

Finally, the In-Camera session of the 44th SEAMEO

Council Conference which was conducted on April 5 – 7,

2009 in Phuket, Thailand, approved the establishment

of the SEAMEO Regional Centre for QITEP in Language.

The approval was announced by His

Excellency, Mr. Jurin Laksanavisit,

SEAMEC President and Minister

of Education of Royal Thai.

Nevertheless, the SEAMEO

Council asked the new Centre

to set up a technical working

committee (TWC) comprising

experts from Member

Countries and who will

provide input to the Centre on

the development of documents that enable it to function

properly. The TWC will work on the documents, namely

Memorandum of Agreement, Enabling Instrument and

Staff Rules and Regulations.

Programmes and activities

The approval of the establishment of SEAMEO Regional

Centre for QITEP in Language during the 44th SEAMEO

Council Conference 2009 marked as the beginning

activities of the Centres that have been planned

for fiscal year 2009. The highlight of

this subsequently was the

51

No. Regional Centre Host Country

1. SEAMEO Regional Centre for Tropical Biology (BIOTROP) Bogor, Indonesia

2. SEAMEO Regional Centre for Educational Innovation and Technology (INNOTECH) Manila, Philippines

3. SEAMEO Regional Centre for Education in Science and Mathematics (RECSAM) Penang, Malaysia

4. SEAMEO Regional Language Centre (RELC) Singapore

5. SEAMEO Regional Institute of Higher Education and Development (RIHED) Bangkok, Thailand

6. SEAMEO Regional Centre for Archeology and Fine Arts (SPAFA) Bangkok, Thailand

7. SEAMEO Regional Centre for Graduates Study and Research in Agriculture (SEARCA) Los Banos, Philippines

SEAMEO Tropical Medicine and Public Health Network (TROPMED) Bangkok, Thailand

8. SEAMEO TROPMED Regional Centre for Community Nutrition (TROPMED RCCN) Jakarta, Indonesia

9. SEAMEO TROPMED Regional Centre for Microbiology, Parasitology and Entomology

Kuala Lumpur, Malaysia

10. SEAMEO TROPMED Regional Centre for Public Health Manila, Philippines

11. SEAMEO TROPMED Regional Centre for Tropical Medicine Bangkok, Thailand

12. SEAMEO Regional Centre for Vocational and Technical Education (VOCTECH) Brunei Darussalam

13. SEAMEO Regional Open Learning Centre (SEAMOLEC) Jakarta, Indonesia

14. SEAMEO Regional Training Centre (RETRAC) Ho Chi Minh City, Vietnam

15. SEAMEO Regional Centre for History and Tradition (CHAT) Yangon, Myanmar

16. SEAMEO Regional Centre for QITEP in Science Bandung, Indonesia

17. SEAMEO Regional Centre for QITEP in Mathematics Yogyakarta, Indonesia

18. SEAMEO Regional Centre for QITEP in Language Jakarta, Indonesia

launching of the Centre on July

13, 2009 in which the SEAMEC

President and Minister of

Education of Royal Thai, had

a chance to visit the Centre,

which is located in Srengseng

Sawah, as well as other guests

from existing SEAMEO Centres

in Indonesia.

Prior to the

implementation of training

programmes, a series of

workshops on the curriculum

and material development

were organised by inviting

experts from reputable

universities and institutions.

In addition, a workshop on

the development of training

needs analysis instrument was

also held in order to respond

to the needs of teachers and

education personnel in the SEA

region. Among the training

programmes that had been

implemented were Teaching

Methodology of Indonesian

Language for Foreign Learners

(July 13 – 26, 2009) and

Teaching Methodology for

Chinese Language Teachers

(August 2 – 15, 2009).

In addition to Indonesian,

Arabic and Chinese languages,

the SEAMEO QITEP in Language

will offer programmes and

activities for education

personnel including school

principal, school supervisor,

librarian, laboratory technician,

and administrative officer. In this regard, the themes of

such trainings will be tailored in accordance with the

needs and demands of the education personnel. Other

activities such as research, symposium, seminar, workshop

or conference will also be organised by the Centre as to

meet the objectives of sharing resource and information as

well as providing intellectual fora for policy makers.

Briefly, The Centre is expected not only to conduct

training, but also to explore innovative methods, different

types of learning materials and different modes of delivery

in line with the growth of information communication and

technology. The existence of SEAMEO Regional QITEP in

Language will bring benefits to all teachers and education

personnel and improvement for language education. e

serambifoto

Auditor dari SAI Global tampak tengah memeriksa dokumen- dokumen ISO Wakil Manajemen Mutu PPPPTK Bahasa pada au-dit eksternal (25/3).

Penatar dari PPPPTK Bahasa Fausta Dian K, S.Pd. tampak sedang memberikan arahan tugas kepada peerta Diklat Vokasi Guru Ba-hasa Inggris SMK Angkatan II (18/5) di PPPPTK Bahasa.

Ibu Hj. Ilham Noer Putri Hatta, S.H. sebagai Ketua Dharma Wani-ta PPPPTK Bahasa tengah memimpin rapat kerja Dharma Wanita Persatuan Depdiknas (9/1) didampingi Ibu Dra. Hj. Sri Sudaryati Baedhowi.

Peserta Diklat Bahasa Indonesia Bagi Guru SD Provinsi Kaliman-tan Timur tengah menyimak materi Kebijakan Dinas Pendidikan Prov. Kaltim (29/5) di PPPPTK Bahasa.

Penatar dari Goethe Institut Jakarta Andreas Zürn mendampingi peserta diklat (8/4) berdiskusi pada Diklat Tingkat Dasar Guru Bahasa Jerman SMA/SMK NAD di PPPPTK Bahasa.

Upacara Peringatan Hari Kebangkitan Nasional Ke-101 dilaksana-kan di PPPPTK Bahasa. Tampak pada foto, petugas upacara mem-bacakan naskah Pembukaan UUD 1945.

Para peserta Workshop Penyusunan Pedoman Pengembangan Media Pembelajaran Bahasa tampak sibuk berdiskusi (26/5) un-tuk menyusun dokumen pengembangan dan identifikasi kebutu-han media pembelajaran bahasa.

Kepala PPPPTK Bahasa Dr. Muhammad Hatta, M.Ed. didampi ngi Wakil Manajemen Mutu (3/4) tengah memimpin rapat pimpinan manajemen.