Post on 25-Mar-2019
LAPORAN KEGIATAN PELAKSANAAN DAN PERKEMBANGAN TAHAP 3 MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM RASKIN
LP3ES
Jl. S. Parman Kav. 81, Slipi, Jakarta 11420; Telp. 021-56967127, 5674211; Fax. 021-56967127
Email : prisma@prismaindonesia.com, prisma.redaksi@gmail.com
LLAAPPOORRAANN KKEEGGIIAATTAANN PPEELLAAKKSSAANNAAAANN DDAANN PPEERRKKEEMMBBAANNGGAANN TTAAHHAAPP IIIIII MMOONNIITTOORRIINNGG DDAANN EEVVAALLUUAASSII PPRROOGGRRAAMM RRAASSKKIINN
Titl: Title : Laporan Kegiatan Pelaksanaan dan Perkembangan Tahap III Monitoring dan Evaluasi Program Raskin
, A: Program : Monitoring And Evaluation Of The
Implementation Of The National Reform And Pilot Activities Of The Raskin Program In Indonesia
Funded : AusAID through the PRSF Facility
: Steering Committee
Indonesia Partner Agency : National Team for Accelerating Poverty Reduction (TNP2K)
Dates : July 2012 – March 2013
i
PENGANTAR
Penyaluran beras untuk rakyat miskin (Raskin) pertama kali diluncurkan pada
1998 sebagai langkah darurat dalam menghadapi dampak krisis moneter dengan nama
Operasi Pasar Khusus (OPK). Pada 2002 pemerintah mengganti nama OPK menjadi
Raskin sebagai bagian dari kebijakan program perlindungan sosial bagi rakyat miskin
bukan lagi sebagai program darurat.
Dalam program raskin, jumlah beras per bulan per rumah tangga miskin (RTM)
yang disalurkan pada awalnya sebesar 10 kg, selama beberapa tahun berikutnya
bervariasi dari 10 hingga 20 kg, dan pada 2007 kembali menjadi 10 kg. Namun pada
2012 RTM akan mendapat jatah 15 kg per bulan. Frekuensi distribusi yang pada tahun-
tahun sebelumnya 12 kali, maka pada 2006 berkurang menjadi 10 kali, dan sejak 2007
kembali menjadi 12 kali per tahun. Disamping itu, program raskin juga telah
disempurnakan dari sisi pencapaian sasaran dan mekanisme distribusinya. Sehingga
diharapkan dapat mencapai 6 T (tepat) dalam warga penerima, jumlah beras yang
disalurkan, harga yang ditebus, kualitas beras yang diterima, waktu penyaluran dan
administrasinya.
Dengan latar belakang di atas, maka TNP2K (Tim Penanggulangan Program
Pengentasan Kemiskinan) sebagai lembaga yang bertanggungjawab atas effektivitas
program raskin memandang perlu untuk melakukan kajian secara seksama terhadap
efektivitas penyaluran program raskin. Melalui kajian seperti ini diharapkan
pemerintah akan mendapatkan masukan-masukan tentang kekurangan dan kelebihan
pelaksanaan program raskin sehingga dapat menjadi input perbaikan penyaluran
Raskin di masa yang akan datang. Kajian ini mengambil bentuk monitoring dan evaluasi
(monev), melalui pendekatan survey, indepth interview, dan focus group discussion di
22 Kabupaten dan Kota pada 11 Propinsi. Monitoring dan evaluasi ini dilakukan oleh
Prisma Resource Centre – LP3ES bekerjasama dengan TNP2K dan PRSF-Ausaid selama
8 bulan dari Juli 2012 – Maret 2013.
Laporan ini merupakan hasil monitoring dan evaluasi putaran III sebagai
kelanjutan dari monitoring dan evaluasi putaran I dan II. Temuan-temuan dalam
ii
laporan ini berasal dari hasil wawancara dengan RTS-PM, pelaksana raskin di tingkat
desa dan Kepala Desa/Lurah yang menjadi lokasi monitoring. Untuk melengkapi
temuan-temuan di lapangan, juga dilakukan wawancara dengan Tim Raskin Kabupaten
dan Kota yaitu Unit Kerja/Dinas, Bulog dan PT. Pos. Termasuk wawancara dengan
lembaga lain yang memiliki perhatian dalam program raskin seperti ; Lembaga Swadaya
Masyarakat, Universitas dan DPRD. Lingkup temuan-temuan dalam monev putaran III
ini mencakup masalah pendataan warga miskin, sosialisasi program raskin,
pemasangan poster dan pembagian kartu DPM, Distribusi Beras dan Kualitas Beras.
Akhirnya, semoga laporan ini bermanfaat bagi semua pihak khususnya yang
terlibat dalam pengelolaan program raskin. Sekalipun disadari bahwa laporan ini belum
cukup sempurna baik dari isi dan bahasanya.
Jakarta, 29 Mei 2013 .
iii
DAFTAR ISI
PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
EXECUTIVE SUMMARY vi BAB I PENDAHULUAN 1 I.1 Latar Belakang 1 I.2 Tujuan 3 BAB II METODOLOGI DAN PELAKSANAAN KEGIATAN 5 II.1 Metodologi 5 II.2 Pelaksanaan Monitoring 7 BAB III TEMUAN-TEMUAN 11 III.1 Jumlah RTS-PM 11 III.2 Pergantian RTS-PM 14 III.3 Sosialisasi Raskin 22 III.4 Pemasangan Poster dan Penggunaan Kartu DPM 31 III.5 Distribusi Beras 40 III.6 Harga Beras 52 III.7 Kualitas Beras 64 III.8 Waktu Penyaluran Beras 72 BAB IV ANALISA PROGRAM RASKIN 76 IV.1 Umum 76 IV.2 Tingkat Daerah 78 IV.3 Wilayah Uji Coba Kartu 83 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 89 V.1 Kesimpulan 89 V.2 Rekomendasi 93 LAMPIRAN Gambaran Perkembangan Raskin Per Kelurahan/Desa
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 : Agenda Pertemuan dengan TNP2K 8 Tabel 3.1 : Pagu Alokasi RTS 2012 Kabupaten/Kota Lokasi Monev 11 Tabel 3.2: Kenaikan dan Penurunan Alokasi Pagu RTS-PM di Desa 12 Tabel 3.3: Jumlah Desa yang melakukan musyarawarah
dan tidak untuk penggantian RTS-PM 16 Tabel 3.4: Informasi pelaksanaan musyawarah di 3 Kelurahan Kota Bogor 19 Tabel3.5: Sosialisasi Program Raskin di Desa 23 Tabel3.6: Beberapa alasan tidak melakukan sosialisasi 29 Tabel3.7: Pemasangan Poster DPM di 22 Kabupaten/Kota 34 Tabel 3.8: Gambaran Pembagian dan Penggunaan Kartu Raskin 38 Tabel3.9: Pembagian Beras (jumlah) di Tingkat RTS 42 Tabel3.10: Contoh Pembagian Beras di Desa Jelapat 46 Tabel 3.11: Lokasi/Titik Distribusi Raskin 51 Tabel 3.12: Harga Jual (penebusan) Beras Raskin oleh RTS di tiap Kabupaten/Kota 54 Tabel 3.13: Kualitas Beras Raskin yang diterima RTS di 22 Kabupaten/Kota 65 Tabel 3.14: Waktu Penyaluran Raskin di 22 Kabupaten/Kota 73 Tabel 4.1: Pencapaian 6 Indikator Pelaksanaan Program Raskin 76 Tabel 4.2: Skor Pelaksanaan Raskin di 22 Kabupaten/Kota 79 Tabel 4.3: Pelaksanaan Raskin menurut Jawa dan Luar Jawa 81 Tabel 4.4: Pelaksanaan Raskin menurut wilayah Barat dan Timur 82
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar1 : PenetapanResponden 7 Gambar 2.: Lokasi Pemasangan Poster DPM 32 Gambar 3: Kartu Raskin Daerah 39 Gambar 4: Kupon PembelianRaskin 40 Gambar 5: Rumah warga yang mendapatkan Raskin 47 Gambar 6: Kondisi beras raskin dalam keadaan kecoklatan dan pecah-pecah 67
vi
EXECUTIVE SUMMARY
RASKIN is the last resort of salvaging efforts to shore up support for the most
unfortunate sections of the population of the nation. Beyond this highly human reasons,
where no one is supposed to have any arguments against, the RASKIN management,
however, appears to be the most intricate one since minor mistakes in this field might
have highly detrimental effects to the policy.
This third stage of research conducted by Prisma Resource Center under the
supervision of the TNP2K has precisely these objectives in mind, which are to monitor,
and the next step is to do some limited assessment/evaluation of the field management
of RASKIN, as far as they are exposed by the field findings. Since the report is
supposedto go to the minuscule details suffice it here to just provide some perspectives.
Every set of policies is definitely a choiceout of several options and alternatives.
RASKIN policy is of course a choice that demonstrates very high inclination to favor rice
as one of the most opted food staples because of its nutritional values, availability,
andthe degree of social values, such as social honor embedded in it instead of, say for
example, cassava.
Bearing in mind all of the suppositions stated above one is set to look at the last
report of Raskin policy, the third in the series of reports of the field researches. One of
the objectivesis to correct past mistakes such as high percentage of wrong targets
because of wrong ways of identifying who is the poor section of a community, or the
poorest of the poor who badly need the support.
Methodology
Two approaches were available to conduct the monitoring and evaluation of how
Raskin was nationally managed. Firstly, a quantitative approach where 3,300 benefit
receiver households (RTS-PM) were interviewed, in a semi-open-semi-closed interview.
Secondly, qualitative approach using Focus Group Discussion (FGD) technique; in the
second round in depth interviews were conducted with village heads, with those who
were managing Raskin and the disctrict/municipality team including PT Pos, and
vii
BULOG. Statistically, the size of the sample covers two hundred and twenty villages
from 22 districts/municipalities spread around eleven provinces.
Results
First, the most conspicuous one is the decline of the targeted households who
received the benefits of RASKIN. Out of 22 districts and cities targeted the number of the
households are declining, a massive 72 percent in all. The fact requires answer as to
why the decline, what does it refer to. Does it means that the level of success of RASKIN
has been achieved in most of the regions concerned? On the other side of the question
are there psychological barriers that block people from participating in the program?
When the steps of Raskinmanagement have been correctly conducted one is penchant
to assume that the level of success is high, meaning---how otherwise--- that the
prosperity goes commensurate to the improvement of managerial steps taken.
It is, however, dismal when the decline of the household participation takes place
because of miscalculations, wrong targeting, wrong supportive administrative
equipment, and the likes. It would be the most dismal of all if the decline of the
household participation is the result of the decreasing budget to support the realization
of the program.
The second aspect of the findings is the communication technique. One of the
things that communication can do is to drive the intended message home, where the
targeted households can see that it is their rights to enjoy the Raskin benefits. The
message involves who are the real targeted households, the quantity of the benefits that
belongs them, and at what price.
The research shows that the majority of the sections under observation does not
comply with the requirement of communication with some dismal consequences. The
worst of the examples of lack of communication shows how the long dead people are
still on the list, which demonstrates, at least, two things. Firstly, things are purely
organized from one’ s desk without efforts to get into the field. Secondly,
communication networks, traditional and the modern one are not made available to the
decision makers.
viii
One way of doing the communication is to hold traditional musyawarah.
Musyawarah is one of the best traditions traded down along the ages of the living
traditional society. The marvels of musyawarah is, first and foremost, the assumption
behind it that every participants stand on the same levelas participants, and every one
is supposed to speak for the common interests of those taking part in the musyawarah.
The second one is all decisions taken during a musyawarah cannot be challenged
outside of the sessions unless one is to be blamed for lack of honesty, which in turn can
incur social sanctions in whatever form according to a community’s tradition. The third,
as far as Raskin is concerned,musyawarah is the forum where all participants can share
the objectives of the program.
As far as Raskin program is concerned musyawarah has been taken as one of the
managerial tools to make sure that the objectives are achievable. This research shows
that people are ambivalent in their attitude towards the so-called musyawarah. In some
regions there were villages that had no interest at all to convene a musyawarah, which
might be the result of the lack of understanding on the one hand, and the excess of
power of those who were managingraskin, on the on other. As far as the first is
concerned it doesn’t refer to the cognitive factor that “they don’t know what
musyawarah is”, but what occurs is that the perception of its importance is lacking. The
latter turns out to be more significant as demonstrated by the reportwhere local leaders
have the predilection to take decisions at will.
The consequence therefrom is that efforts to increase the quality of the Raskin
distribution are obstructed. It is no wonder at all if the deadare still on the official list.
With respect to it Bogor makes the best example for musyawarah with very positive
consequences where Raskin program reaches its best performance.The opposite
consequence is clearly demonstrated by the fact that villages that neglect the
“musyawarahdesa” uncompromisingly take the decision to evenly distribute rice to the
rich and the influential, to government officials and military men.
Third main finding of the research report is that top down decisionsare still
rampant without meticulous field checks as required by the regulations. The proof of it
is the following pompous statement of an official as what follows: “It is me who takes
decisions; I do the listing myself and decide who are eligible because I know my people.”
ix
Recommendations
To guarantee the effectiveness of the management of RASKIN as far as
procedures are concerned, where distribution guidelines are the integrated part of it, in
what follows are the recommendations of our team, Prisma Resource Center:
The district and municipality Team
1. Ample time is needed for village/kelurahan/district governments to verify data
concerning those who take the benefits before decisions are made by central
government to issue DPM or to print cards carrying names of those RTS-PM with
the results that the number of those decided to be RTS-PM comply with the
formulated criteria. This can be the basis to prevent ruthless decisions by local
government apparatuses to evenly distribute Raskin regardless of the social-
economic conditions of receivers where the relatively well to do people are
included into this service.
2. District Raskin team, i.e. district heads, bupati, mayors, have to put more emphasis
on the importance of raskin socialization to the sub-district level, and kelurahan,
where rights and obligations of the RTS-PM have to be effectuated, including the
implementation of the new methods, ID card. Bearing in mind the complication of
those methods more time is needed for them to comprehendabout what is going
on. The abrupt implementation of the system in the middle of the year is absolutely
not advised, besides the fact that socialization is one of the means for transparency,
and participation in the Raskin management. One has to have a clear notion that the
output of socialization is “integrity pact” and/or “the Raskin contract between the
villagers and village heads” to minimize, and to prevent the power excess among
the village apparatuses who look at the people as object in the Raskin management.
3. Recruitment of the facilitators at the sub-district level, kecamatan, who can act as
advisors and at the same time supervisors in every village/kelurahan, by facilitating
the implementation of “the integrity pact” or “contract” as mentioned above. Non-
governmental organizations and universities are the ideal bases for the
recruitment. Moreover, the facilitators are expected to establish “People’s Raskin
x
Committee” who can act as catalysts to improve the effectiveness of the Raskin
program in the villages---from the stage of socialization to Raskin distribution.
4. To establish “Raskin Receivers’ Community” / “KomiteWargauntukRaskin”, at the
village level who can act as forum to accommodate complains and to prevent raskin
distribution mismanagement from BULOG and village heads in the forms of
distributing lesser rice quantity, worse quality, higher price, bad time management
for raskin distribution, etc. This committee is expected to consist of distinguished,
independent, and decent figures of the society whose task is to improve the results
of raskin management--- seen from the side of those who receive the benefit---since
they are the truly poor section of the society. There should be a guarantee that the
quantity, price, and rice quality will be better from time to time.
5. To impose sanctions where raskin program can be dismissed for
villages/kelurahans who for any reasons fail to comply with timely rice distribution
to the benefit receivers at the decided price. The sanctions have to be even graver
for those villages/kelurahans who for any proven reasons have converted raskin
program into commodity to serve their own interests. To evade worse
consequences the neighbor village can be appointed as the substitute to manage the
distribution of raskin.
TNP2K and the Relevant Ministry
1. The identity card is something good in itself;however, it has to be nationally made
effective as instrument to pinpoint who are the really poor to be the RTS-PM, and
means for rice claim. The implement of the system, however, is subject to some
conditions: Firstly, improving the card management from the very beginning as for
example the way it is distributed to the people concerned, to the very practice of
how it is perused for rice claim. The present card format is seen as complicated for
simple people; it has to be made more practicable, simplified, user friendly so to
speak. Secondly, government apparatus, raskin managers, and the people (RTS-PM)
concerned have to be made more conscious of the objectives, benefits, and the
implement of the program.
2. Developing specific mechanism in the raskin management with specific view to the
remote and difficult-to-access villages, and other places in terms of distribution
xi
points, time schedule, selling price, or rice claiming. Some examples can be given
such as providing “Raskin Guarantee Funds”. Those funds can be used to help
guarantee that the poor sections of the society who have no fixed income will not be
denied rights to raskin in times where the distribution management is far from
certain for the very reason that they stay in remote and isolated places.
3. To improve card management in such a way that they reach the right receivers
(RTS-PM); better distribution of rice in exact measure (weight etc.); better quality
of rice, and last but not least the certainty of the schedule of rice distribution. One of
the ways to achieve this objective is to change the way the posters, cards are
dispatched, rice distribution is managed into a more open and transparent way in
an open tender. Doing this way these services do not fall under the monopoly of PT
Pos and BULOG but open to private corporations in stead.
4. Involve local print media into the service of monitoring the implementation of
raskin, who can play effective roles in improving the quality of the program,
boosting the effectiveness of its implementation by raskin district team. Instead of
covering the negative sides the media can play an important role in telling tales
about the success stories of one location to another.
At last, words of gratefulness should be said to the AUSAID who did an invaluable
service to our office in granting the opportunity for an eight-month research in this
highly sensitive and important issue such as Raskin. Fruitful cooperation with staff from
TNP2K is another experience for us, for which we offer our heartfelt gratitude.
Eight months of cooperating with tens of researchers, 88 of them, are quite of an
experience. This youthful eagerness demonstrated by our young researchers for new
findings of the old issue such as food security provide us with great pride that comes
beyond our expectation. In the course of this research candid discussions on research
experiences between us providenew insights on how to face new challenges in the
future.
There are heaps of lessons learned from this project; some of those are the need
for covering weaknesses of these young researchers in technical things such as
interview techniques, and the ways of doing straightforward reporting and the likes.
xii
Their zeal in doing research, and drives for new experience, however, give us hope for
this nation’s future in this field.
Expecting that this cooperation is not the last on behalf of our staff at Prisma
Resource Center I wish to thank you all for the opportunity.
Jakarta,29 May 2013
Daniel Dhakidae, Ph.D., Chairman of the Board of PRC
1 | P a g e
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang sekitar 95% dari jumlah penduduknya
mengkonsumsi beras sebagai pangan utama. Menurut data BPS 2011, rata-rata konsumsi
beras penduduk Indonesia sebesar 113,7 kg/jiwa/tahun. Bahkan pada tahun sebelumnya
mencapai 139,15 Kg/jiwa/tahun. Angka konsumsi ini melebihi jauh tingkat konsumsi rata-
rata dunia yang hanya sebesar 60 Kg/kapita/tahun. Termasuk jauh diatas angka konsumsi
beras negara tetangga seperti Malaysia sebesar 80 Kg/kapita/tahun, Thailand 70
Kg/kapita/tahun, dan Jepang 58 Kg/kapita/tahun. Sehingga Indonesia memiliki predikat
sebagai negara konsumen beras terbesar di dunia.
Implikasinya, beras menjadi komoditas nasional yang sangat strategis yang tidak
saja bernilai ekonomi melainkan juga politik. Situasi supply, demand dan harga beras yang
naik turun, acapkali memberi pengaruh terhadap stabilitas kehidupan social, politik dan
ekonomi nasional. Termasuk memberi kontribusi secara langsung dan tidak langsung
terhadap kondisi dan perkembangan kehidupan warga miskin. Karena itu, dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Pemerintah menetapkan kebijakan Peningkatan
Kesejahteraan Rakyat sebagai prioritas. Sasaran yang hendak dicapai melalui kebijakan ini
antara lain adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat miskin,
Sehingga angka kemiskinan dapat diturunkan menjadi 10,5 % – 11,5 % pada tahun 2012.
Raskin adalah bagian dari Program penanggulangan kemiskinan yang berada pada
kluster I, yaitu kegiatan perlindungan sosial berbasis keluarga dalam pemenuhan
kebutuhan pangan pokok bagi mayarakat kurang mampu. Raskin mempunyai multi fungsi,
yaitu memperkuat ketahanan pangan keluarga miskin, sebagai pendukung bagi
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), pendukung usaha tani padi dan sektor
lainnya dan peningkatan pemberdayaan ekonomi daerah. Disamping itu Raskin berdampak
langsung pada stabilisasi harga beras, yang akhirnya juga berperan dalam menjaga
stabilitas ekonomi nasional. Sasaran Raskin tahun 2012 adalah 17,48 juta Rumah Tangga
2 | P a g e
Sasaran (RTS) sesuai dengan hasil Pendataan Perlindungan Sosial tahun 2011 (PPLS-11)
BPS. Berdasarkan UU No.22 Tahun 2011 tentang APBN 2012, telah ditetapkan subsidi
pangan khususnya untuk Raskin tahun 2012, yaitu 17,48 juta RTS dan alokasi 15
kg/RTS/bulan selama 12 bulan dengan harga tebus Rp.1.600,-/kg di Titik Distribusi.
Keberhasilan Raskin diukur berdasarkan tingkat pencapaian indikator enam Tepat (6 T),
yaitu Tepat Sasaran, Tepat Jumlah, Tepat Harga, Tepat Waktu, Tepat Administrasi, dan
Tepat Kualitas1.
Sesudah lebih dari 10 tahun berjalan, maka dari sejumlah studi menunjukan adanya
sejumlah kelemahan yang signifikan. Misal saja ; ketepatan dalam menetapkan warga
miskin. Karenanya, pemerintah melakukan perubahan dalam pelaksanaan program
RASKIN terutama agar rumah tangga miskin terjamin betul sebagai penerima subsidi ini.
Akurasi penetapan rumah tangga miskin sebagai penerima manfaat menjadi sangat penting
mengingat dalam program raskin selama ini mereka hanya menerima beras raskin
sebanyak 4-8 kg dan sebaliknya jumlah rumah tangga bukan miskin mendapatkan lebih.
Banyak warga miskin yang tidak mengetahui bahwa mereka seharusnya mendapat subsidi
beras murah dalam jumlah dan harga yang telah ditetapkan oleh program.
Mendasarkan pada kelemahan dalam penetapan sasaran penerima raskin, maka
pada tahun 2102 dilakukan penyempurnaan terutama dalam mekanisme penetapan
sasaran penerima raskin yang lebih terbuka. Hal ini dilakukan melalui uji coba sistim kartu
dan voucher pada tahun 2012 dan diharapkan dapat diperluas untuk tahun 2013.
Mengingat raskin adalah program yang bersifat unik dan sensitive secara social, maka
disepakati bahwa perubahan program raskin dalam uji coba lebih melihat dampak positif
dan negatif pada masyarakat yang berbeda. Beberapa aspek yang akan mendapat perhatian
dalam perubahan mencakup ; perbaikan sasaran, peningkatan alokasi raskin pada rumah
tangga miskin, pengurangan tingkat kecemburuan dan konflik social, pemahaman atas hak
yang lebih baik dan lainnya. Aspek-aspek ini diharapkan menjadi dasar dalam perluasan
program raskin secara nasional. Uji coba ini akan melihat tingkat kelayakan dalam program
nasional melalui sistim kartu dan voucher pada tahun 2013.
1 Pedoman Umum Penyaluran Raskin, Subsidi Beras untuk Masyarakat Berpendapatan Rendah, Kemenkokesra,
2012
3 | P a g e
Dalam kerangka pelaksanaan mekanisme penetapan sasaran secara nasional.
Pemerintah telah mendistribusikan daftar penerima raskin, sosialisasi tujuan raskin baik
melalui radio, poster dan media kampanye lainnya. Pada tahun 2012, alokasi distribusi
raskin telah ditetapkan dengan menggunakan data PPLS11, dimana daftar penerima
manfaat raskin disiapkan oleh TNP2K. Disamping itu, TNP2K juga memberikan dukungan
terhadap PT Pos Indonesia dalam mengirimkan daftar penerima raskin hingga tingkat
desa. Dalam uji coba sistim kartu dan voucher Ini mengambil lokasi di 6 Provinsi yaitu Jawa
Timur, Bali, NTT, Sumatera Utara, Bangka Belitung dan Sulawesi Tenggara yang mencakup
sekitar 1.3 juta rumah tangga. Jumlah ini kurang lebih 9-10% dari 17,5 juta rumah tangga
yang potensial sebagai penerima raskin.
Untuk melihat effektivitas sistim baru dalam mekanisme penetapan sasaran
penerima manfaat raskin melalui kartu dan voucher, maka TNP2K dengan didukung
AusAid bekerjasama dengan Prisma – LP3ES melakukan monitoring dan evaluasi atas
pelaksanaan uji coba ini. Dalam monev ini juga mengambil beberapa provinsi penerima
raskin yang menggunakan kartu yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Selatan dan Maluku Utara. Dengan demikian, lokasi monev berlangsung di 11
Provinsi. Kegiatan monitoring dan evaluasi ini berlangsung dalam 3 (tiga) putaran yaitu :
(a). Monitoring Pertama dilakukan pada bulan 1 Oktober - 10 November 2012, (b).
Monitoring Kedua dilakukan pada bulan 12 November - 21 Desember 2012 dan (c).
Monitoring Ketiga dilakukan pada bulan 14 Januari – 9 Pebruari 2013.
I.2. Tujuan
Secara umum tujuan dari kegiatan monev ini adalah mengumpulkan data (bukti)
lapangan sebagai dasar bagi TNP2K dalam merumuskan rekomendasi kebijakan untuk
meningkatkan effektivitas pemilihan penerima manfaat (target) dan distribusi program
raskin untuk rumah tangga miskin dan yang rawan pangan.
Sementara tujuan khusus dari kegiatan monev ini adalah untuk melihat dan menilai
pelaksanaan dan dampak dari program raskin yang mencakup :
a. Reformasi nasional untuk sasaran program raskin yang melibatkan daftar penerima,
quota dan sosialisasi yang dilakukan pemerintah pusat.
4 | P a g e
b. Uji coba penggunaan sistim kartu identitas (ID Card) dan voucher yang
dikombinasikan dengan daftar penerima dan kuota di 6 provinsi.
1.3. Waktu Pelaksanaan
Kegiatan monitoring dan evaluasi program raskin ini berlangsung selama 6 (enam)
bulan effektif dari Juli 2012 - hingga Februari 2013 dan untuk pelaksanaan monitoring
putaran ketiga dilakukan pada tanggal 14 Januari - 26 Februari 2013.
5 | P a g e
BAB II
METODOLOGI dan PELAKSANAAN KEGIATAN
II.1. Metodologi
II.1.1. Pendekatan
Dalam kegiatan monitoring dan evaluasi putaran ketiga, pendekatan yang
digunakan tidak jauh berbeda dengan putaran sebelumnya. Pendekatan dalam putaran
terakhir ini tetap mencakup dua metode berikut ini:
a. Pendekatan kuantitatif.
Dilakukan melalui survei lapangan dengan menggunakan instrumen kuesioner
kepada kelompok responden target di seluruh wilayah penelitian.
b. Pendekatan kualitatif.
Setelah memperoleh gambaran yang cukup melalui Focus Group Discussion (FGD)
dari putaran sebelumnya, maka khusus dalam putaran ketiga pendekatan kualitatif
dilakukan hanya dengan menggunakan wawancara mendalam (indepth interview)
pada beberapa topik yang dipandang perlu diperdalam serta dipertajam, dan
kepada beberapa narasumber yang dianggap relevan dan kompeten.
II.1.2. Wilayah Sampel
Sebagaimana diketahui wilayah monitoring dan evaluasi ini meliputi 11 Propinsi,
dimana dari setiap propinsi dipilih 2 Kabupaten/Kota secara purposive, baik yang menjadi
lokasi pilot dari penerapan metode baru penggunaan Kartu Raskin maupun lokasi non
ujicoba Kartu Raskin. Penetapan sample juga dengan pertimbangan antara lain jumlah
rumah tangga miskin (RTM) yang tinggi dan merupakan wilayah yang pernah menjadi
lokasi saat studi Raskin 2011. Dengan demikian terdapat 22 Kabupaten/Kota yang terpilih
sebagai lokasi kegiatan monitoring dan evaluasi ini.
Selanjutnya di masing-masing kabupaten dan kota yang menjadi sampel, dipilih 3
kecamatan yang didasarkan pada kecamatan pusat kota dan jumlah rumah tangga miskin
penerima raskin kategori tinggi. Sedangkan di tingkat kecamatan, diambil 3-4
6 | P a g e
desa/kelurahan dengan kriteria wilayah yang memiliki RTM terbanyak. Dengan demkian,
responden yang terpilih pada monitoring pada putaran 1 merupakan responden panel.
Sehingga wilayah sampel yang sudah terpilih hingga tingkat desa/kelurahan tersebut
menjadi lokasi tetap untuk kegiatan monitoring dan evaluasi Raskin baik pada putaran 1,
putaran 2, maupun putaran terakhir ini.
II.1.3. Pengumpulan Data
Berdasarkan pertimbangan pendekatan diatas, maka pengumpulan data dilakukan
melalui beberapa teknik berikut:
a. Sebagaimana pada putaran sebelumnya, wawancara tatap muka kepada penerima
Raskin dan pengurus Raskin tingkat desa/kelurahan dengan menggunakan
kuesioner dilaksanakan juga pada putaran 3 ini. Wawancara dilakukan untuk
menggali berbagai informasi terutama tentang pengalaman warga miskin dalam
penebusan Raskin pada bulan terakhir penebusan dan khususnya pada bulan
November dan Desember 2012 di masing-masing desa/kelurahan.
b. Guna memperdalam temuan-temuan dari putaran-putaran sebelumnya, maka
pengumpulan data dan informasi juga dilakukan melalui wawancara mendalam di
tingkat desa dan kabupaten. Data yang digali lebih mendalam dan dibatasi pada
sejumlah topik berikut ini : (i) Sosialisasi; (ii) Musyawarah desa/kelurahan; (iii)
Pemasangan poster DPM; (iv) Pembagian kartu; (v) Penyaluran beras; (vi) Peran
dan Tugas Tim Raskin.Untuk itu, narasumber yang dihubungi adalah warga
penerima Raskin, tokoh masyarakat formal dan informal yang terkait langsung
dalam program Raskin atau para pengurus Raskin. Untuk Desa antara lain
Kepala/Pengurus Raskin Desa dan Tokoh Masyarakat. Sedangkan pada tingkat
Kabupaten antara lain Tim Raskin, Bulog, dan PT. Pos
II.1.4. Penetapan Responden
Seperti halnya pada putaran sebelumnya, jumlah penerima manfaat yang
diwawancara pada putaran 3 ini adalah 150 orang per kabupaten atau 300 orang untuk
setiap propinsi. Dengan demikian, di 11 propinsi terdapat 3.300 rumah tangga miskin yang
diwawancara. Dalam rangka kesinambungan data dari awal monitoring maka responden
7 | P a g e
Kecamatan 1
Kecamatan 2 Kecamatan 3
Kabupaten
KELURAHAN/DESA 10 Desa
1 2 3
15 RTM Panel
15 RTM Panel
15 RTM Panel
15 RTM Panel
15 RTM Panel
15 RTM Panel
15 RTM Panel
15 RTM Panel
15 RTM Panel
15 RTM Panel
10 9 8 7 6 5 4 9 10
Gambar 1. Penetapan Responden
penerima Raskin yang sudah terpilih pada putaran 1 menjadi responden panel pada
putaran berikutnya termasuk pada putaran terakhir ini. Penggantian responden panel
hanya dapat dilakukan bila responden bersangkutan dan seluruh keluarganya sudah
meninggal atau sudah pindah ke luar desa sampel.
Selain itu kegiatan monitoring ini juga menanyakan data Raskin pada komunitas
desa/kelurahan. Pada putaran-putaran sebelumnya, target responden komunitas adalah
kepala dusun/lingkungan sampel atau wilayah terkecil dimana responden tinggal. Namun
pada putaran terakhir ini, responden komunitas juga mencakup kepala dusun/lingkungan
yang berbeda dengan dusun sampel tetapi tetap dalam lingkup 1 desa yang sama.
II.2. Pelaksanaan Monitoring
Beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka pelaksanaan monitoring dan
evaluasi putaran terakhir ini adalah sebagai berikut :
Propinsi
8 | P a g e
II.2.1. Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan
program raskin dilakukan melalui survei kepada rumah tangga miskin (RTM), komunitas,
wawancara mendalam dengan masyarakat di desa dan instansi terkait di kabupaten. Pada
tahap awal, kegiatan pengumpulan data difokuskan pada wawancara dengan RTM panel
dan komunitas. Setelah tahap pengumpulan data kuantitatif tersebut dan proses entri
datanya selesai dilaksanakan (14 Januari – 28 Januari 2013), kegiatan pengumpulan data
dilanjutkan untuk metode kualitatif melalui wawancara mendalam (28 Januari 2013 – 6
Februari 2013).
II.2.2. Kegiatan Pendukung
Disamping kegiatan utama sebagaimana dikemukakan diatas, sejumlah kegiatan
yang bersifat pendukung dalam rangka efektivitas pelaksanaan monitoring dan evaluasi
dilakukan antara lain meliputi:
a. Konsultasi dengan TNP2K
Pada putaran terakhir ini Tim Pelaksana Prisma-LP3ES melakukan komunikasi
dengan Tim TNP2K terutama saat tahap persiapan dan pelaksanaan pengumpulan
data melalui pertemuan, telepon, maupun email. Tabel berikut ini adalah agenda
pertemuan terutama ketika tahap persiapan.
Tabel 2.1 Agenda Pertemuan dengan TNP2K
No Waktu Topik Pembahasan
1 9 Januari 2013 Membahas persiapan pelaksanaan putaran 3
2 11 Januari 2013 Membahas teknis pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif, dan program input data.
b. Monitoring Tim Lapangan
Untuk meningkatkan kualitas data yang dikumpulkan dan sekaligus mengetahui
perkembangan kegiatan pengumpulan data di tingkat lapangan secara langsung,
maka Tim Pelaksana Prisma-LP3ES mengunjungi beberapa wilayah sampel pada 25
– 30 Januari 2013. Adapun wilayah yang dipantau adalah: Kabupaten Brebes,
9 | P a g e
Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito
Kuala, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Sumba Barat Daya.
c. Pengembangan Komunikasi dengan Tim Lapangan
Selain kunjungan langsung ke daerah, dalam rangka meningkatkan efektivitas
pelaksanaan monitoring dan evaluasi dengan Tim lapangan, maka Tim Pelaksana
Prisma-LP3ES juga membangun komunikasi yang intensif melalui email/milis, SMS,
dan telepon. Khusus mengenai milis, ada 2 bentuk milis yang dibuka oleh Prisma –
LP3ES yaitu : Pertama, komunikasi dengan hanya tenaga Koordinator Kabupaten
melalui milis koordraskin2012@prismaindonesia.com. Komunikasi ini sebagai
media informasi atas perkembangan dan permasalahan kegiatan di masing-masing
kabupaten. Kedua, komunikasi dengan seluruh tim lapangan, baik Koordinator
maupun TPD Kecamatan, melalui milis monevraskin@prismaindonesia.com. Hal ini
bersifat lebih terbuka untuk menginformasikan berbagai masalah terkait yang
membutuhkan perhatian segera. Milis kedua ini lebih sering digunakan mengingat
singkatnya durasi waktu kegiatan pada putaran terakhir ini.
II.2.3. Pengiriman dan Pengolahan Data
Pada putaran ketiga ini terdapat 2 jenis data yang harus dikirimkan oleh Tim
lapangan, yaitu: Pertama, data kuantitatif dari hasil survei terhadap 3.300 RTM panel, 220
kepala desa/dusun sampel, dan 220 kepala dusun non sampel. Setelah dikirim kepada Tim
Prisma-LP3ES dan diperiksa kelengkapannya, jenis data ini selanjutnya dikirim kepada
TNP2K termasuk pengolahan datanya. Kedua, data kualitatif dari hasil wawancara
mendalam yang sudah ditranskripsi oleh Koordinator dan TPD Kecamatan. Kemudian data
tersebut langsung dikirim kepada Tim Prisma-LP3ES termasuk pengolahan datanya. Hasil
pengolahan data selanjutnya disusun dan dianalisa sebagai bahan laporan akhir.
II.2.4. Pelaporan
Setiap tenaga pungumpul data (TPD) Kecamatan dan Koordinator Kabupaten
menyusun laporan hasil pengamatan dan wawancara mendalam menurut kondisi
wilayahnya masing-masing. Laporan ini dikirimkan langsung kepada Tim Prisma-LP3ES.
Berdasarkan laporan dari masing-masing TPD dan Koordinator maka data dan informasi
10 | P a g e
diolah dan dianalisa berdasarkan ketegori issu/topic dari program raskin yang dikaji. Hasil
pengolahan dan analisa kemudian dijadikan dasar oleh Prisma-LP3ES untuk menyusun
laporan temuan pelaksanaan monitoring. Laporan ini kemudian dibahas dan didiskusikan
dengan Tim TNP2K dan PRSF-AusAid. Hasil diskusi dan rekomendasi dijadikan dasar bagi
Prisma – LP3ES untuk menyusun laporan akhir (final report).
11 | P a g e
BAB III
TEMUAN-TEMUAN
III.1. Jumlah RTS-PM
Hampir disebagian wilayah propinsi terdapat peningkatan jumlah RTS, namun di
tingkat kabupaten/kota yang menjadi lokasi monitoring dan evaluasi tidak dengan
sendirinya ikut mengalami penambahan jumlah alokasi raskin sesuai dengan jumlah
RTSnya. Sebagai contoh, untuk Propinsi Jatim meski pagu jumlah RTSnya naik, namun
jumlah RTS di Kabupaten Sampang justru turun sekitar 22.538 RTS pada periode Juni-
Desember 2012. Penurunan jumlah RTS dengan sendirinya terjadi pada lokasi yang alokasi
di tingkat propinsi menurun. Misal di Propinsi Sulawesi Selatan, karena pagunya menurun
maka untuk Kota Makasar jumlah RTSnya turun sebesar 15.837 RTS dan Kabupaten Gowa
sebesar 5.195 RTS. Kecuali untuk Maluku Utara, sekalipun pagunya menurun, namun
untuk Kabupaten Halmahera dan Kota Tidore mendapat kenaikan alokasi jumlah RTS.
Tabel 3.1. Pagu Alokasi RTS 2012 Kabupaten/Kota Lokasi Monev
No Kabupaten/Kota RTS-PM
Prosentase Jan-Mei 2012
Juni-Des 2012
Naik/Turun
1 Deli Serdang 77,203 70,391 (6,812) 8.82%
2 Nias Selatan 36,917 34,015 (2,902) 7.86%
3 Bangka 4,978 9,582 4,604 92.49%
4 Belitung 5,307 7,880 2,573 48.48%
5 Subang 139,896 149,900 10,004 7.15%
6 Kota Bogor 42,328 46,704 4,376 10.34%
7 Kota Semarang 55,221 50,937 (4,284) 7.76%
8 Brebes 217,690 199,632 (18,058) 8.30%
9 Sampang 150,386 127,848 (22,538) 14.99%
10 Pamekasan 109,017 101,482 (7,535) 6.91%
11 Karangasem 35,921 26,787 (9,134) 25.43%
12 Buleleng 45,187 47,511 2,324 5.14%
13 Timor Tengah Selatan 62,946 55,085 (7,861) 12.49%
14 Sumba Barat Daya 35,825 33,395 (2,430) 6.78%
15 Banjar 26,500 17,966 (8,534) 32.20%
16 Barito Kuala 18,246 16,857 (1,389) 7.61%
12 | P a g e
17 Gowa 43,162 37,967 (5,195) 12.04%
18 Kota Makasar 62,192 46,355 (15,837) 25.46%
19 Buton 39,055 16,721 (22,334) 57.19%
20 Muna 37,293 19,971 (17,322) 46.45%
21 Halmahera Utara 11,051 12,345 1,294 11.71%
22 Kota Tidore 2,978 5,811 2,833 95.13%
Sumber : TNP2K
Implikasi dari peningkatan dan penurunan alokasi jumlah RTS di tingkat
Kabupaten/Kota dengan sendirinya berpengaruh terhadap kebijakan di tingkat lokal,
terutama desa baik untuk penetapan RTS maupun alokasi beras yang dapat ditebus atau
didistribusikan.
Tabel 3.2. Kenaikan dan Penurunan Alokasi Pagu RTS-PM di Desa
No Kabupaten/Kota Kenaikan-Penurunan di Kab/Kota
Kenaikan-Penurunan Alokasi Pagu RTS – PM di Desa/Kelurahan
Naik Tetap Turun Jumlah Wilayah Uji coba Kartu RTS-PM 52 desa 1 desa 57 desa 110 desa 1 Nias Selatan (2.902) 5 Desa - 5 Desa 10 Desa 2 Bangka 4.604 8 Desa 1 Desa 1 Desa 10 Desa 3 Belitung 2.573 7 Desa - 3 Desa 10 Desa 4 Sampang (22.538) 3 Desa - 7 Desa 10 Desa 5 Pamekasan (7.535) 5 Desa - 5 Desa 10 Desa 6 Buleleng (2.324) 5 Desa - 5 Desa 10 Desa 7 Karangasem (9.134) 4 Desa - 6 Desa 10 Desa 8 Timor Tengah Selatan (7.861) 7 Desa - 3 Desa 10 Desa 9 Sumba Barat Daya (2.430) 7 Desa - 3 Desa 10 Desa 10 Buton (22.334) - - 10 Desa 10 Desa 11 Muna (17.322) 1 Desa - 9 Desa 10 Desa Wilayah Non Uji Coba Kartu 47 desa 17 desa 46 desa 110 Desa 12 Deli Serdang (6.812) 6 Desa - 4 Desa 10 Desa 13 Bogor 4.376 6 Desa 2 Desa 2 Desa 10 Desa 14 Subang 10.004 6 Desa - 4 Desa 10 Desa 15 Brebes (18.058) 4 Desa - 6 Desa 10 Desa 16 Semarang (4.284) 5 Desa - 5 Desa 10 Desa 17 Barito Kuala (1.389) 6 Desa 1 Desa 3 desa 10 Desa 18 Banjar Baru (8.534) 3 Desa 4 Desa 3 Desa 10 Desa 19 Makasar (15.837) 4 Desa - 6 Desa 10 Desa 20 Gowa (5.195) 6 Desa - 4 Desa 10 Desa 21 Halmahera Utara 1.294 1 Desa 7 Desa 2 Desa 10 Desa 22 Kota Tidore 2.833 - 3 Desa 7 Desa 10 Desa
Sumber : Laporan TPD Kecamatan
13 | P a g e
Dari tabel diatas menunjukan bahwa hampir di semua lokasi tidak ada dasar atau
kriteria yang jelas terkait dengan kenaikan atau penurunan alokasi jumlah RTS-PM di
tingkat desa baik untuk daerah uji coba penggunaan kartu maupun. Hanya saja jumlah desa
yang meningkat pagu alokasi RTS-PMnya di Kabupaten/Lokasi uji coba kartu raskin lebih
tinggi dari pada non uji coba. Kendatipun pada tingkat kabupaten terdapat kenaikan pagu
alokasi RTS-PM, tidak semua desa ikut mengalami kenaikan. Misal di Bangka, Belitung,
Bogor, Subang, Halmahera dan Tidore. Bahkan di Tidore, desa lokasi monev sama sekali
tidak mendapatkan tambahan jumlah alokasi RTS-PM yang mendapatkan raskin. Hal yang
sama dengan Kabupaten/Kota yang pagu alokasi RTS-PM mengalami penurunan, ternyata
di sejumlah desa justru mengalami kenaikan jumlah pagu penerima raskinnya. Kecuali
Kabupaten Buton dimana alokasi RTS-PM di 10 Desa lokasi monev dalam dalam bulan Juli-
Desember menurun, termasuk untuk Kabupaten Muna. Kondisi ini mengakibatkan
kebijakan penyaluran raskin di desa menjadi semakin tidak sesuai dengan ketentuan baik
RTS maupun jumlah beras.
Peningkatan jumlah pagu penerima raskin di tingkat desa sesungguhnya tidak
sesuai dengan fakta di lapangan untuk sejumlah desa, mengingat jumlah penduduk
miskinnya sangat sedikit dan sudah mendapatkan semua. Hal ini terjadi pada kasus di Desa
Gunung Pelawan Kecamatan Belinyu yang pagunya dalam bulan Juli-Desember meningkat
sebesar 400%. Peningkatan ini dirasakan menyulitkan bagi Desa untuk menyalurkan
sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Kepala Desa Gunung Pelawan “Kami sudah tidak
tahu lagi siapa yang mau didata jadi RTS. Jujur, yang sudah kami data itu saja sesungguhnya
banyak yang tidak terlalu miskin. Kuota yang kita terima sangat jauh meningkat. Di Bangka
ini gak ada yang miskin-miskin amat kayak di Jawa. Semua janda miskin dan tua sebanyak
91 orang juga sudah kita penuhi”( Wawancara 27 Januari 2013)
Situasi yang agak kontradiktif pada wilayah yang sesungguhnya kurang
berkembang dan penduduk miskinnya besar, namun sebaliknya justru pagu alokasi RTS
mengalami penurunan, seperti di Sulawesi Tenggara (Buton dan Muna). Sehingga alokasi
pagu RTS di 10 desa lokasi monev sangat jauh dari kenyataan. Di Desa Lakapodo, jumlah
RTS-PM yang dialokasikan berjumlah 102 warga sementara jumlah warga miskin yang ada
didaerah itu 475 KK. Ini berarti, setiap bulan 102 warga harus membagi haknya kepada
14 | P a g e
373 KK miskin. Demikian pula, alokasi di Kelurahan Wali hanya 143 RTS-PM, sementara
jumlah warga miskin 634 KK. Artinya, 143 RTS-PM harus membagi haknya kepada 491
warga miskin yang tidak terdaftar. Keadaan semacam ini yang dirasakan memprihatinkan
dan berat oleh Bapak Landai, Lurah Wali Kabupaten Muna “Sebagai pimpinan wilayah
kelurahan, posisi saya ini sangat berat dalam urusan raskin. Di satu sisi, saya harus taat
aturan untuk membagi raskin sesuai dengan jumlah yang ditentukan, namun pada sisi lain,
warga miskin di kelurahan jauh lebih besar dari alokasi raskin yang disediakan” .
Pengurangan jumlah alokasi RTS-PM ini cukup berpengaruh terhadap pelaksanaan
program raskin. Dampaknya sangat beragam, mulai dari yang moderat yaitu dilakukan
musyawarah untuk menyelesaikan yang mencakup warga penerima, beras yang dibagi,
dibagi merata dengan jumlah yang tidak sesuai dan hal ini yang paling banyak terjadi.
Hingga sikap yang ekstrem yaitu penolakan program raskin oleh Kepala Kecamatan. Hal ini
terjadi di Kabupaten Nias Selatan dan sebagaimana diakui oleh Kabag Kesos dari Pemda
Nias Selatan “ Sudah ada beberapa kecamatan di wilayah Nias Selatan yang telah melakukan
penolakan untuk penebusan beras raskin di lingkungan wilayahnya. Karena mengalami
pengurangan data yang cukup signifikan yang hampir 80% mengalami pengurangan RTS”.
III.2. Pergantian RTS-PM
Ketidakjelasan dasar penentuan pagu alokasi raskin di tingkat desa, pada akhirnya
bermuara pada kesesuaian pelaksanaan program raskin dengan ketentuan, terutama
dalam konteks warga penerima dan satuan beras yang diterima. Sebagaimana yang
disebutkan dalam dokumen TNP2K bahwa salah satu ukuran untuk menilai effektivitas
dari program raskin adalah ketepatan penerima manfaat atau RTS. Karena itu, dalam
panduan program raskin juga dijelaskan bahwa data RTS BPS perlu diverifikasi melalui
Mudes/Muskel kemudian hasilnya dimasukkan dalam daftar RTS-PM, ditetapkan oleh
kepala desa/lurah dan disyahkan oleh Camat. Sementara fakta di lapangan menunjukan
bahwa data DPM di banyak tempat berbeda antara Pemerintah dan Desa tidak seluruhnya
diselesaikan melalui musyawarah desa yang melibatkan kepala dusun, RW/RT dan Tokoh
masyarakat. Penggantian RTS-PM ataupun ketidakakuratan jumlah RTS-PM tidak jarang
diputuskan sendiri oleh Kepala Desa, Kepala Dusun atau RW/RT.
15 | P a g e
Dari hasil monitoring atas pelaksanaan program raskin di 22 Kabupaten/Kota
menunjukan bahwa sekitar 20% dari 220 desa yang menjadi lokasi monev telah melakukan
musyawarah desa terkait dengan penggantian RTS-PM dan pembahasan kenaikan-
penurunan pagu RTS-PM. Hal ini memberi indikasi bahwa asas partisipasi warga dalam
pengambilan keputusan atas masalah yang terkait dengan hak warga tidak dilakukan oleh
sebagian besar pemerintahan desa. Dalam masalah musyawarah ini, maka yang lebih ironis
adalah antara wilayah lokasi uji penerapan kartu raskin maupun tidak, ternyata tidak ada
perbedaan yang signifikan yaitu 18 Desa (lokasi uji coba kartu) dan 23 Desa (lokasi non uji
coba kartu). Pada sisi lain, hanya ada 2 Kabupaten/Kota yaitu Belitung dan Bogor yang
seluruh desanya (lokasi monev) melakukan musyawarah penggantian RTS-PM. Sementara
itu, ada 3 Kabupaten yakni Deli Serdang, Subang dan Barito Kuala, dimana proses
penggantian RTS-PM karena meninggal dunia, pindah tempat tinggal dan dinilai
kaya/mampu di 10 Desa diputuskan oleh aparat desa, kepala dusun, RW dan RT.
Kemudian terdapat 8 Kabupaten/Kota dimana sebagian desanya melaksanakan
musyawarah penggantian RTS-PM dan sebagian desa yang lain tidak melakukan atau
penggantian RTS-PM diserahkan ke masing-masing kepala lingkungan (dusun) atau
RW/RT. Yang paling banyak adalah Kabupaten/Kota yang tidak melakukan musyawarah
baik karena tidak ada penggantian RTS-PM maupun membahas penentuan warga penerima
raskin. Desa yang tidak melakukan musyawarah umumnya memiliki kebijakan membagi
rata raskin kepada warga desa yang merasa perlu dan mau. Raskin dibagikan tanpa melihat
apakah warga miskin, kaya, aparat, tokoh masyarakat dan lainnya kecuali pegawai negeri
dan ABRI. Sebagaimana di Kabupaten Pamekasan, sekalipun terdapat RTS-PM yang
meninggal dunia, pindah tempat tinggal ataupun kaya, namun tetap saja tidak dilakukan
penggantian melalui musyawarah baik oleh kepala desa maupun oleh Kadus, karena
kebijakan kepala desa sejak awal membagi rata raskin kepada semua warga yang perlu.
Menurut Kepala Desa Bujur Timur Kecamatan Batunampar, Pamekasan “ bantuan adalah
hak setiap warga. Demikian juga apakah diterima atau ditolak itu juga haknya
masing-masing warga. Tugas aparat desa hanya menyalurkan sesuai dengan
ketentuan. Namun jika ketentuan tidak sesuai dengan kenyataan, maka desa
berwenang untuk menyesuaikan agar tidak menimbulkan masalah “
16 | P a g e
Tabel 3.3. Jumlah Desa yang melakukan musyarawarah dan tidak untuk penggantian RTS-PM
No Kabupaten/Kota Melakukan
Musyawarah
Penggantian dan Penetapan RTS-PM Diputuskan
Desa Diputuskan
Kadus, RW-RT
Tidak Ada Penggantian
Wilayah Ujicoba Kartu 18 Desa 4 Desa 7 Desa 81 Desa 1 Nias Selatan 3 Desa 3 Desa - 4 Desa 2 Bangka 3 Desa - 7 Desa - 3 Belitung 10 Desa - - - 4 Sampang - - - 10 Desa
(bagi rata) 5 Pamekasan - - - 10 Desa
(bagi rata) 6 Buleleng 1 Desa - - 9 Desa 7 Karangasem 1 Desa 1 Desa - 8 Desa 8 Timor Tengah Selatan - - - 10 Desa 9 Sumba Barat Daya - - - 10 Desa 10 Buton - - - 10 Desa
(bagi rata) 11 Muna - - - 10 Desa
(bagi rata) Wilayah Non Ujicoba Kartu 30 Desa 30 Desa 23 Desa 27 Desa 12 Deli Serdang - 10 Desa - - 13 Bogor 10 Desa - - - 14 Subang - - 10 Desa - 15 Brebes - - - 10 Desa
(bagi rata) 16 Semarang - - - 10 Desa 17 Barito Kuala - - 10 Desa - 18 Banjar 7 Desa - 3 Desa - 19 Makasar 4 Desa 6 Desa - - 20 Gowa 6 Desa 4 Desa - - 21 Halmahera Utara - 7 Desa - 3 Desa 22 Kota Tidore 3 Desa 3 Desa - 4 Desa Jumlah 48 Desa 34 Desa 30 Desa 108 Desa
Sumber : Laporan Koordinator dan TPD
Sebagaimana telah disampaikan dalam uraian sebelumnya, ada 2 Kabupaten/Kota
(Belitung dan Bogor) yang seluruh lokasinya (10 desa) melakukan musyawarah baik
terkait dengan penggantian RTS-PM, menentukan rumah tangga penerima raskin dan
lainnya. Khusus untuk Kota Bogor, musyawarah dilakukan dalam pengertian yang
sebenarnya dimana peserta bukan hanya elit desa melainkan juga warga penerima raskin
(beberapa warga ditunjuk sebagai wakil). Proses berjalan komunikatif terhadap masalah
17 | P a g e
yang dimusyawarahkan. Musyawarah di Kota Bogor ini berbeda dengan wilayah lainnya
dan secara rinci dapat digambarkan berikut :
Mekanisme musyawarah di tingkat RT, sebagian besar RT tidak melakukan
musyawarah secara formal (mengundang warga dan berkumpul dalam suatu tempat untuk
membahas/memusyawarahkan pergantian RTS). Disamping mengundang atau
mengumpulkan beberapa warga, proses penggantian juga didasarkan atas usulan tokoh
masyarakat/tokoh agama menyampaikan informasi terkait warga yang berhak dan yang
tidak berhak menerima Raskin kepada ketua RT, kemudian usulan tersebut diserahkan
Kasus Kota BOGOR
Musyawarah Kelurahan (Muskel) merupakan forum musyawarah di tingkat Kelurahan yang melibatkan aparat kelurahan, perwakilan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), RW, RT, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama dan perwakilan RTS-PM Raskin. Tujuan diadakannya Muskel adalah untuk: a. Verifikasi penyesuaian data riil apabila RTS-PM Raskin mengalami perubahan
sebagai akibat meninggal dunia, pindah tempat tinggal dan berubah status menjadi miskin atau sebaliknya;
b. Menetapkan secara mufakat daftar nama RTS-PM Raskin; c. Menetapkan secara mufakat titik distribusi dan titik bagi; d. Menetapkan secara mufakat mekanisme penyaluran dari titik distribusi ke RTS-PM
Raskin; dan e. Menetapkan secara mufakat biaya distribusi dari titik distribusi kepada RTS-PM
Raskin dibiayai oleh APBD kota Bogor Tahun Anggaran 2012. (Petunjuk Teknis Pelaksanaan Raskin Kota Bogor, 2012).
Dari hasil monitoring menunjukkan bahwa seluruh kelurahan sampel di Kota
Bogor melakukan Muskel secara periodik minimal 1 (satu) tahun sekali dan diselenggarakan sebelum Raskin didistribusikan. Namun mekanisme dalam pelaksanaan Muskel di setiap kelurahan sampel berbeda-beda terutama dalam hal pergantian RTS, seperti: a. Kelurahan Mulyaharja, dimana pihak kelurahan mengundang RT/RW dalam
pelaksanaan muskel, kemudian menginformasikan terkait pergantian RTS, dan selanjutnya pihak kelurahan memberi waktu (1-2 hari) kepada RT/RW untuk mengidentifikasi warganya yang akan diganti, lalu setelah diidentifikasi pihak RT/RW menyampaikan data pergantian RTS ke kelurahan.
b. Ada juga pihak kelurahan yang melaksanakan muskel pergantian RTS dengan cara menerima usulan nama pengganti RTS hasil musyawarah di tingkat RT atau di tingkat RW.
18 | P a g e
atau dibahas di tingkat kelurahan. Namun sebelum dibawa ke tingkat kelurahan, masing-
masing RW mendiskusikan lebih dahulu dengan ketua-ketua RT.
Dengan demikian seluruh kelurahan sampel di Kota Bogor melaksanakan
Musyawarah Kelurahan (Muskel). Alasan pihak kelurahan melaksanakan Muskel, karena
merupakan suatu aturan yang harus dilaksanakan sebagaimana tertuang dalam Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Raskin Kota Bogor, 2012. Selain alasan tersebut, juga ada surat dari
Tim Koordinasi Raskin Kota Bogor kepada seluruh kelurahan untuk melaksanakan Muskel
di setiap kelurahan. Berdasarkan dua hal tersebut, maka pihak kelurahan harus melakukan
Muskel.
Pelaksanaan Muskel di Kota Bogor dilaksanakan di kantor kelurahan masing-masing
pada bulan Juni dengan waktu pelaksanaan yang beragam, yaitu ada yang dilaksanakan
pagi sampai siang, ada yang melaksanakan siang sampai sore dan ada juga yang
melaksanakan Muskel malam hari. Jumlah peserta dan unsur yang hadir dalam kegiatan
Muskel beragam, dari berbagai unsur. Namun, hanya sebagian kecil saja dalam Muskel
warga yang hadir, karena yang diundang hanya perwakilan warga. Alasan kelurahan tidak
mengundang banyak warga, karena sudah cukup diwakili oleh RT/RW/Kader Posyandu
sebagai wakil warga dan RT/RW/Kader Posyandu nanti menyampaikan lagi ke warganya
di wilayah masing-masing. Pertimbangan lain sifatnya teknis yaitu tempatnya tidak cukup.
Sekalipun yang diundang terbatas, namun sebagian warga yang mewakili
menunjukan minatnya yang besar. Padahal warga terkadang mengorbankan waktu
kerjanya. Alasan warga menghadiri Muskel karena ingin tahu informasi tentang Raskin,
sedangkan pihak kelurahan mengundang warga dengan tujuan adanya transparansi dan
warga mengetahui informasi Raskin. Warga yang hadir dalam pelaksanaan Muskel rata-
rata tidak aktif dalam menyampaikan usulan. Sementara untuk biaya kegiatan Muskel
mendapatkan subsidi dari Dinas Ketahanan Pangan Kota Bogor selaku sekretaris Tim
Koordinasi Raskin Kota Bogor sebesar Rp. 200.000,-. Kendatipun disadari oleh Kelurahan
bahwa biaya ini tidak cukup dan kekurangannya menggunakan dana Kas Kelurahan.
Secara singkat gambaran tentang pelaksanaan musyawarah di 3 Kelurahan dapat
dilihat dalam tabel dibawah ini.
19 | P a g e
Tabel 3.4. Informasi pelaksanaan musyawarah di 3 Kelurahan Kota Bogor
No. Nama
Kelurahan Pelaksanaan Kegiatan Musyawarah Kelurahan
1 Mulyaharja
Muskel dilakukan pada Hari Jumat Tanggal 8 Juni 2012 Jam 13.30 - 16.00 WIB, di Aula Kel. Mulyaharja, peserta 54 orang (dari unsur: Lurah, Kasi Kemas, Seklur, LPM, RT, RW dan Perwakilan Warga). Keputusan berupa Berita Acara Hasil Muskel, dengan kesepakatan sebagai berikut: 1. Pagu Raskin 1.404 RTS dengan Jumlah beras 15 kg per bulan; 2. Dari data RTS BPS : a. dinyatakan tidak layak karena sudah tidak miskin = 144 RTS, b. Pindah keluar kelurahan = 5 RTS, c. RTS tidak tunggal (punya ahli waris), meninggal dunia = 5 RTS; 3. Diganti dengan rumah tangga yang dinilai layak sesuai dengan kriteria BPS dan belum terdaftar dalam data RTS BPS, sebanyak 154 RTS-PM; 4. Jumlah RTS-PM = 1.404; 5.Pembagian beras dilaksanakan di Titik Distribusi yang berkedudukan di Kantor Kelurahan.
2
Pamoyanan
Muskel dilakukan pada Hari Jumat Tanggal 8 Juni 2012 Jam 13.30 WIB s/d selesai, di Aula Kel. Pamoyanan, peserta 46 orang (dari unsur: Lurah, Seklur, LPM, Babinkamtib, Amil, RW, RT, warga). Keputusan berupa Berita Acara Hasil Muskel, dengan kesepakatan sebagai berikut: 1. Pagu Raskin 1.127 RTS dengan Jumlah beras 16.905 kg per bulan/kk; 2. Dari data RTS BPS : a. nama dan alamat tidak dikenal = 7 RTS; 3. Diganti dengan rumah tangga yang dinilai layak sesuai dengan kriteria BPS dan belum terdaftar dalam data RTS BPS, sebanyak 7 RTS-PM; 4. Jumlah RTS-PM = 1.127; 5. Pembagian beras dilaksanakan di Titik Distribusi yang berkedudukan di Kantor Kelurahan.
3 Cikaret
Muskel dilakukan pada Hari Senin Tanggal 4 Juni 2012 Jam 19.30 WIB s.d. selesai, di kantor Kel. Cikaret, peserta 26 orang (dari unsur: Lurah, LPM, Kasi Kemas, RT, RW, pemuda, kader). Keputusan berupa Berita Acara Hasil Muskel, dengan kesepakatan sebagai berikut: 1. Pagu Raskin 1.277 RTS dgn Jumlah beras 19.155 kg per bulan; 2. Dari data RTS BPS : a. pindah keluar kelurahan = 13 RTS, b. RTS tidak tunggal (punya ahli waris), meninggal dunia = 5 RTS; 3. Diganti dengan rumah tangga yang dinilai layak sesuai dengan kriteria BPS dan belum terdaftar dalam data RTS BPS, sebanyak 18 RTS-PM; 4. Jumlah RTS-PM = 1.277; 5.Pembagian beras dilaksanakan di Titik Distribusi yang berkedudukan di Kantor Kelurahan.
Pada sisi lain, kegiatan musyawarah desa yang dilaksanakan di Kabupaten lain, pada
dasarnya lebih merupakan musyawarah antar aparatur desa dan dusun atau RW/RT yang
tidak melibatkan warga penerima raskin sebagai peserta. Musyawarah ini membahas RTS-
PM yang didasarkan usulan dari masing-masing RT yang prosesnya ditentukan oleh RT
sendiri tanpa melibatkan warga dengan alasan RT sudah mengetahui secara persis siapa
20 | P a g e
Kasus Kabupaten BANGKA
Pelibatan warga penerima raskin dalam musdes/muskel hampir tidak ada. Yang ada adalah musyawarah antara RT yang mengajukan nama warganya untuk diusulkan ke RW/Kadus/Kaling. Selanjutnya nama-nama tersebut dibawa ke tingkat desa. Bagaimana penentuan nama dari RT itu yang tidak dimusyawarahkan dengan warga. Alasan klasik yang muncul dari Lurah/Kadus adalah RT sudah tahu betul siapa warga yang layak untuk menerima raskin atau tidak. Dengan demikian, nama yang diajukan oleh RW/Kaling seolah nama definitif dan kemudian di rekap oleh kelurahan/desa untuk diajukan ke kecamatan. Hal ini terjadi hampir di seluruh Desa/Kelurahan di Kecamatan Mendobarat, Kabupaten Bangka, yang menjadi lokasi monev. Kondisi musyawarah semacam ini dibenarkan oleh sejumlah kepala dusun/lingkungan yang diwawancarai.
“Iya…kita ada penjaringan nama dari tingkat RT ke Kadus, asumsinya RT lebih mengetahui warganya” (Kaling Parit Pekir)
“Sayalah yang menentukan, saya data sendiri orang-orang mana yang layak menerima (raskin). Saya kan sudah tau mana warga saya yang layak, mana yang tidak” (Kadus Ake, Kaling Komplek Pemda, Kaling Sam Ratulangi)
warganya yang miskin dan tidak. Hal ini terjadi di Kota Semarang, Bangka, Brebes dan Nias.
Dengan demikian, hak politik warga dalam mengambil keputusan atas masalah warga
kurang diakomodir sekalipun ketika hadir warga tidak banyak menyampaikan pendapat
sebagaimana pengalaman musyawarah di beberapa kelurahan di Kota Bogor. Salah satu
gambaran atas pelaksanaan musyawarah seperti ini terjadi di Kabupaten Bangka .
Dengan demikian, tidak dapat dibayangkan praktek musdes/muskel sesuai dengan
konsep atau pengertian yang bentuknya terbuka dan demokratis dengan mengumpulkan
warga masyarakat penerima raskin dan membahas serta menentukan siapa RTS yang tepat
sasaran. Tapi lebih pada musdes/muskel terbatas saja dengan aparatur pemerintahan
desa. Sekalipun kurang optimal dalam proses pelaksanaan musyawarah, namun hal ini
relative lebih baik dibandingkan jika tanpa musyawarah untuk penggantian RTS dan yang
memutuskan sendiri masalah penggantian RTS-PM. Kecuali Sampang, Pamekasan, Buton,
Muna, Semarang, Brebes, SBD dan TTS, maka sejumlah desa di 11 Kabupaten/Kota
21 | P a g e
Kasus Kabupaten BREBES Sejumlah desa yang tidak melakukan musyawarah penggantian RTS karena
beras dibagi rata. Kepala Desa, Dusun dan RW/RT pada dasarnya mengetahui bahwa musyawarah desa perlu dilakukan untuk memutuskan tentang bagaimana sebaiknya pembagian raskin dimasyarakat. Tetapi musyawarah tersebut tidak dalam rangka membahas penggantian RTS tetapi dalam rangka membagi pagu raskin untuk setiap wilayah RT. Pemerintah desa tahu bahwa musyawarah desa penting sekali dilakukan dalam program raskin, termasuk masalah penggantian RTS-PM.
Sekdes Desa Baros Kecamatan Ketanggungan Brebes menyadari bahwa Musyawarah perlu dilakukan mengingat kalau tidak melakukan musyawarah, maka pemerintah desa tidak tahu apa yang diinginkan warga dalam pembagian raskin. “Kami pemerintah desa tidak berani memutuskan sendiri pembagian raskin. Aturan pemerintah tentang pembagian raskin kami sampaikan kepada warga (hanya warga miskin saja yang memperoleh raskin), Namun jujur saja, posisi desa sangat sulit karena warga semua berkeinginan memperoleh raskin. Sehingga kami tidak bisa berbuat apa-apa dan akhirnya mengikuti keinginan warga untuk membagi raskin secara rata.”(Bapak Sukari-Sekdes Desa Baros).
Apa yang terjadi di Brebes, bisa jadi sesuai dengan kenyataan. Namun ada juga yang merupakan sikap atau posisi kepala desa untuk lepas tanggung jawab.
menyerahkan penentuan penggantian RTS-PM ke Kepala Desa, Kadus dan RW/RT dengan
alasan mereka lebih tahu kondisi warganya.
Demikian yang terjadi pada kasus di Kabupaten lain, misal saja Kabupaten Banjar.
Untuk semua wilayah sampel, musyawarah desa yang dilakukan hanya sebatas
pembentukan panitia pengelola raskin, penentuan harga tebus dan titik bagi di desa.
Musyawarah hanya dihadiri oleh kades beserta aparat di desa dan kepala dusun tanpa
melibatkan masyarakat baik yang terdaftar dalam DPM maupun tidak terdaftar. Hal yang
sama di Kabupaten Gowa, hampir semua pengelola raskin mulai dari tingkat kabupaten
sampai tingkat RT, menganggap bahwa sosialisasi yang dilakukan juga sekaligus
merupakan kegiatan musyawarah. Namun nyaris tidak ada dokumen (notulasi) yang
menguatkan atau membuktikan sehingga sangat sulit untuk mendiskripsikan jika
musyawarah telah dilakukan. Kepala Lingkungan Bontonompo, H. Pataromo, mengaku
tidak pernah ada sosialisasi dan juga musyawarah. “waktu belum dia kepala desa kita sering
22 | P a g e
rapat rapat kalau ada bantuan, tapi sekarang selama dia lurah tidak pernah mi rapat, itu mi
pa…… “2
III.3. Sosialisasi Raskin
Dalam pelaksanaan program raskin, Kantor Menko Kesra telah mengeluarkan
pedoman penyaluran raskin tahun 2012, yang menjelaskan bahwa Sosialisasi Program
Raskin adalah kegiatan penting untuk memberikan informasi yang lengkap dan benar
kepada seluruh pihak terkait. Sehingga dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan
Program Raskin dalam pencapaian 6 (enam) sasaran. Sosialisasi dilakukan mulai dari Tim
Pusat hingga Desa dengan jenjang sbb :
1. Tim Koordinasi Raskin Pusat melakukan sosialisasi kepada Tim Koordinasi Raskin
Provinsi.
2. Tim Koordinasi Raskin Provinsi melakukan sosialisasi kepada Tim Koordinasi
Raskin Kabupaten/Kota.
3. Tim Koordinasi Raskin Kabupaten/Kota melakukan sosialisasi kepada Tim
Koordinasi Raskin Kecamatan.
4. Tim Koordinasi Raskin Kecamatan melakukan sosialisasi kepada Pelaksana
Distribusi.
5. Pelaksana Distribusi melakukan sosialisasi kepada RTS-PM.
Terkait dengan masalah sosialisasi ini, maka kegiatan monitoring dan evaluasinya
lebih difokuskan di tingkat Kabupaten, Kecamatan dan Desa. Pemantauan yang dilakukan
mencakup aspek bentuk atau media yang digunakan maupun frekwensinya. Ditingkat
propinsi, tim tidak melakukan pemantauan secara khusus mengingat pelaksanaan raskin
oleh propinsi bukan merupakan cakupan pekerjaan ini. Proses monitoring dilakukan
dengan mewawancarai Tim Raskin Kabupaten, Camat dan Desa terkait dengan sosialisasi.
Termasuk dengan aparat dusun dan warga penerima raskin. Tim monev tidak dapat
melihat secara langsung pelaksanaan sosialiasi karena kehadiran kegiatan sosialisasi
berjalan sebelum kegiatan monitoring ini dimulai. Dari hasil monitoring di 22
2 H. Pataromo, Kepala Dusun Bontonompo, Kelurahan Bontonompo, Kec. Bontonompo, Januari 2013
23 | P a g e
Kabupaten/Kota maka sosialisasi program raskin yang sudah dilaksanakan dapat
digambarkan sebagai berikut :
Tabel 3.5. Sosialisasi Program Raskin di Desa
No Kabupaten/Kota Tidak Ada Sosialisasi
Melakukan Sosialisasi
Alasan Jumlah Desa/
Kelurahan
Materi Peserta
Wilayah Uji Coba Kartu 56 desa/kel 54 desa/kel 1 Nias Selatan 10 desa - - - Sosialisasi
tidak ada dan hanya informasi ke warga soal harga dan distribusi
2 Bangka 8 desa 2 desa Perganti-an RTS dan data RTS tidak valid
Kadus, BPD, LPM, Aparat Desa
Menghin-dari gejolak warga, karena data RTS tidak valid
3 Belitung - 10 desa alokasi raskin, perganti-an DPM, kriteria penerima, poster (DPM) dan kartu raskin
Tokoh Masyarakat, Kadus-kadus, Tokoh Pemuda, RT, RW, serta sebagian RTS
Tidak sulit dalam mengkoordinir pembagian beras dan supaya masyara-kat paham tentang prosedur penyalu-ran
4 Sampang 3 desa 7 desa Penuru-nan pagu, distribusi beras dan kebijakan pemerataan
Kadus, RW/RT dan sebagian tokoh masyarakat
Memberikan bekal kepada Kadus/RW/RT dalam menjelas-kan ke warga
24 | P a g e
5 Pamekasan 10 desa - - - Tidak perlu sosialisasi karena beras dibagi rata
6 Buleleng 4 desa 6 desa Alokasi dan data RTS, mekanisme distribusi,harga jual
Aparat Desa, BPD,LPM,kadus, RT dan sebagian RTS
Agar warga memaha-mi mekanis-me raskin
7 Karangasem - 10 desa Alokasi raskin, Poster DPM dan biaya penebu-san
Kades, kaur, LPM, kadus
Penjelasan kepada kadus dan kewajiban atas raskin
8 Timor Tengah Selatan 10 desa - -
- Sosialisasi tidak ada, hanya informasi untuk penyeto-ran uang Tebusan dan Pembagian Raskin
9 Sumba Barat Daya 2 8 desa Aturan baru tentang Daftar Penerima Raskin dan penggunaan kartu raskin.
Aparat Desa, BPD, Tokoh Masyarakat, Peneri-ma Raskin dan bukan peneri-ma
Informasi peraturan baru, sekaligus juga untuk menyepa-kati agar mekanis-menya tetap bagi rata (meski ada kartu)
25 | P a g e
10 Buton - 10 desa Pagu Raskin sesuai dengan DPM, jumlah yang akan diterima per rumah tangga , harga beras, metode kartu,
Lurah, perang-kat kelura-han, kepala lingkungan, tokoh-tokoh masyarakat dan masyarakat
Agar masyara-kat paham karena berkurangnya jumlah RTS yang menerima dan kesepaka-tan membagi rata raskin.
11 Muna 9 desa 1 desa Informasi Pagu raskin yang Turun
Kades,Kepala lingkungan
Khawatir ada konflik jika DPM disosialisasikan karena tidak semua warga masuk DPM
Wilayah Non Ujicoba Kartu 56 desa/kel 54 desa/kel 12 Deli Serdang 10 desa - - - Sosialisasi
raskin tidak ada hanya pemberitahuan dari aparat kelurahan/ desa ke Kadus atau Kepling atas kurang atau bertambahnya kuota penerima raskin di dusun
26 | P a g e
13 Bogor - 10 kel Pagu Raskin, Jumlah dan penggantian RTS Sosialisa-si Pihak RW/RT : Jumlah beras yang diterima DPM, harga beras
Pihak Kelura-han : Lurah, Kasi Kemas, Seklur, LPM, RT, RW. Pihak RW/RT : Ketua RT, Kader, Tokoh Agama, RTS
Supaya berbagai informasi Raskin pada warga/DPM diketahui dan pelaksanaan di lapangan lancar dan aman
14 Subang 10 Desa - - - Tidak pernah ada sosialisasi ke warga, kecuali informasi yang disampai-kan pada saat penebusan raskin
15 Brebes 4 desa 6 desa Penjela-san pagu dan jadwal penyalu-ran raskin alokasi di masing-masing desa
RT, POKJA Raskin, RW/RT dan sebagian RTS
Agar warga masyara-kat paham jumlah dan alokasi di tiap wilayah(RT)
16 Semarang 8 kel 2 kel Alokasi raskin yang menurun, penjela-san
Ketua RT, RTS, LPMK, Tokoh Masyarakat
Menginformasikan penyalu-ran raskin terbaru dari
27 | P a g e
terkait RTS dalam DPM
pemerin-tah agar warga mengeta-hui hak dan kewajibannya
17 Banjar 10 desa - - - Sosialisasi tidak ada karena raskin dibagi rata
18 Barito Kuala - 10 desa Kuota raskin , pemben-tukan tim raskin dan penerima per RT
Ketua RT, aparat desa, Gapok-tan, warga RTS, tim raskin , PKK
Ada perubahan kuota berdasar-kan data DPM sehingga harus di konfirmasi kepada RT
19 Makasar 1 kel 9 kel DPM, peneta-pan jumlah Raskin yg dibagikan kepada setiap RTS.
Lurah dan petugas Raskin, RW/RT
Agar ketua-ketua RW mengeta-hui DPM baru dan jumlah beras yang dibagikan
20
Gowa
6 desa
4 desa
Jumlah yang diterima per RTS, DPM jumlah alokasi raskin yg turun
Kepala desa, kepala dusun, sekdes, pengelo-la raskin, tokoh masyarakat.
Sosialisasi dilakukan karena merasa perlu ada kesepahaman tentang pengatu-ran distribusi agar ada tanggungjawab bersama.
28 | P a g e
Itu tugas kami sebagai ketua RT untuk menginformasikan agar warga
faham akan hak dan kewajibannya. Kami menyampaikan dari rumah ke
rumah saja. Ada juga warga yang datang sendiri bertanya. Kalau semua
diundang bisa tidak muat ruang kelurahan” (Agus Rahmat/Ketua
Rt.01/RW.07, Kel. Bubulak)
21 Halmahera 2 desa 8 desa Jumlah beras, harga tebus
RW/RT dan RTS
Agar warga paham hak-hak dan kewajibannya atas raskin
22 Tidore 5 desa 5 desa Jumlah beras, RTS, Harga, perganti-an RTS pendistribusian
kadus, petugas raskin, RT /warga
Menetap-kan sasaran RTS dan agar masyara-kat mengeta-hui harga dan jumlah raskin yg ditebus
Jumlah 110 desa/kel
110 desa/kel
Sumber : Laporan Koordinator dan TPD
Dari 220 desa/kelurahan yang menjadi lokasi monitoring dan evaluasi di 22
Kabupaten/Kota menunjukan bahwa antara desa/kelurahan yang melakukan sosialisasi
dan tidak, jumlahnya sama. Demikian pula antara wilayah uji coba kartu dan tidak juga
tidak terdapat perbedaan. Jumlah yang nyaris sama juga terjadi pada Kabupaten/Kota yang
seluruh desanya melakukan sosialisasi dan yang tidak. Ada 5 Kabupaten/Kota yang seluruh
desa dan kelurahannya melakukan sosialisasi dan terdapat 6 Kabupaten/Kota yang 10 desa
dan kelurahan tidak melakukan sosialisasi. Sementara 11 Kabupaten/Kota yang lain,
hanya sebagian melakukan sosialisasi dan sebagian tidak.
29 | P a g e
Dari 16 Kabupaten/Kota yang melaksanakan sosialisasi dan jika dilihat dalam
pengertian yang ideal, dimana semua pihak hadir termasuk warga penerima dan materi
yang dibahas, maka hal itu hanya terjadi di 7 Kabupaten/Kota (Bogor, Sumba Barat Daya,
Belitung, Buleleng, Brebes, Barito Kuala, dan Tidore). Namun wilayah yang paling baik
dalam pelaksanaan sosialisasi adalah Kota Bogor. Pengelola raskin di kota ini mulai dari
tingkat kota hingga kelurahan nampaknya menyadari betul pentingnya transparansi dan
partisipasi dalam proses distribusi raskin. Bukan saja melalui tatap muka dengan seluruh
pemangku kepentingan di tingkat kota, kecamatan dan kelurahan, namun juga dilakukan
informasi ke media cetak dan radio melalui talk show. Bahkan di tingkat bawah, pihak RT
selalu pro aktif memberikan informasi raskin kepada warga yang tidak hadir dalam
sosialisasi.
Sementara 9 Kabupaten/Kota yang lain, sosialisasi hanya dihadiri aparat desa,
kepala dusun, RW/RT dan tokoh masyarakat. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi
kenapa desa melakukan kegiatan sosialisasi : a. menghindari konflik antar warga dan
dengan desa karena alokasi raskin turun, b. semua pihak dan warga penerima mengetahui
hak dan kewajibannya dan c. warga penerima paham dengan penurunan alokasi RTS dan
sepakat dengan keputusan pembagian jumlah pembagian dan harganya. Sementara bagi
desa dan kelurahannya yang tidak melakukan sosialisasi alasan pokoknya adalah beras
dibagi rata sehingga tidak membutuhkan sosialisasi. Berikut ini beberapa petikan alasan
dari desa dan kelurahan yang tidak melakukan sosialisasi.
Tabel 3.6. Beberapa alasan tidak melakukan sosialisasi
No Kabupaten/Kota Alasan tidak melakukan sosialisasi
1 Nias Selatan “Sosialisasi tidak pernah dilakukan karena tidak adanya alokasi budget. Demikian juga halnya pihak kecamatan tidak pernah menerima dan melakukan sosialisasi ke desa-desa tentang model penyaluran raskin terbaru”. (Kepala Desa Hilianaa, Kec. Teluk Dalam)
2 Bangka “Buat apa sosialisasi. Sama saja sih…gak ada bedanya dengan yang dulu-dulu. Distribusi berjalan lancar…Memang kemarin ada sedikit masalah dengan data saja, tapi itu sudah tertangani, dan semua sudah berjalan seperti biasa” (Sekdes Gn. Pelawan, Kaling Parit Pekir Sungailiat)
30 | P a g e
3 Pamekasan “ Sengaja desa tidak melakukan sosialisasi warga karena kebijakan desa membagi rata raskin, apalagi alokasi RTS yang kita terima menurun. Kalau soal, harga beras dan dimana diambil, cukup disampaikan melalui Kadus dan RT” ( Koordinator Raskin Desa Jambringan Kec. Proppo)
4 Timor Tengah Selatan
“ Bagaimana kami bisa melakukan sosialisasi karena dari pihak Kelurahan belum memperoleh sosialisasi dari Bagian Ekonomi Kabupaten tentang berbagai hal terkait dengan raskin, sehingga tidak ada materi yang dapat kami sosialisasikan ke masyarakat penerima manfaat. “ (Sekretaris Kel.Kobekamuso Kec. Kota Soe)
5 Muna “ Saya menyadari tanpa sosialisasi menyebabkan masyarakat maupun Kelurahan sama-sama kurang memahami roh dari program raskin ini. Akibatnya kalau ada masalah selalu jalan keluarnya musyawarah mufakat atas kemauan dan kesepakatan bersama antara kelurahan dan warganya. Hal ini karena tidak ada dasar sebagai pedoman dalam bertindak untuk menjalankan program ini dari Pemerintah atau Tim Raskin yang sudah dibentuk.” (Lurah Napabalano Kec. Napabalano)
6 Deli Serdang Alasan pihak desa tidak melakukan sosialisasi adalah untuk meminimalisir konflik, karena raskin yang dibagikan tidak sesuai dengan ketentuan karena banyak masyarakat diluar DPM, yang merasa pantas untuk mendapatkannya.“ (Sekdes Desa Sei Gelugur Kec. Pancur Batu)
7 Subang “Pelaksanaan sosialisasi memang tidak langsung menyentuh ke masyarakat mengingat waktu dan anggaran yang kurang memadai. Pelaksanaan sosialisasi ke pengelola kelurahan/desa disisipkan pada acara rapat minggo, itu pun hanya di beberapa desa/kelurahan. Selebihnya dalam bentuk instruksional langsung ke pengelola oleh Kepala Desa/Kelurahan atau oleh Kaur Kesos.” (H. Endang Juharya, Kasubag. Sosial Kemasyarakatan Setda Bagian Sosial/ Koordinator Tim Raskin Kabupaten Subang )
8 Semarang “ Alasan tidak melakukan sosialisasi adalah karena tidak ada dana. Selain karena warga Kelurahan Mangunharjo memiliki kesadaran yang kurang terhadap kegiatan yang dilakukan di kelurahan. Dalam setiap kali ada pertemuan warga selalu meminta uang transport. Jika tidak ada transport, warga lebih mengutamakan pekerjaan daripada undangan dari kelurahan. Sulitnya mengumpulkan orang dalam suatu pertemuan inilah yang mendasari tidak diadakannya sosialisasi di Kelurahan Mangunharjo” (Lurah Mangunharjo Kec. Tugu)
31 | P a g e
9 Banjar “ Kami tidak mengerti kenapa desa tidak melakukan sosialisasi. Tapi yang jelas sebagai warga penerima, saya tidak tahu berapa jatah raskin yang seharusnya diterima, berapa harga yang ditetapkan dan kapan waktunya beras diluncurkan. Sebagian besar warga hanya mengetahui bahwa beras dibagi rata dengan jumlah takaran dan harga yang berbeda “ (Haliuddin, Warga Desa Sungai Bakung, Kec. Sungai Tabuk)
10 Gowa “Soal raskin, saya tidak pernah diundang pertemuan di desa dan diberitahu oleh RT. Saya baru tahu dari keluarga saya di Makassar yang mendapatkan 1 karung beras per KK. Kami di sini hanya 7-9 liter. Artinya beras yang saya terima kadang 7 liter, atau lebih 9 liter. Saya juga mau sebenarnya 15 Kg juga atau 1 karung. Dengan jumlah itu tentu akan sangat membantu kami. Dengan jumlah yang kami terima saat ini maka 3 hari sudah habis .” (Ibu Syamsiah, Warga Desa Jenetallasa Kec. Palangga)
III.4. Pemasangan Poster dan Penggunaan Kartu DPM
Didasarkan atas sejumlah kritik atas pelaksanaan program raskin dalam 1 dekade
terakhir, maka pemerintah menggunakan mekanisme baru dalam implementasinya yaitu
melalui pemasangan poster DPM dan Kartu Raskin. Setidaknya, ada 3 (tiga) tujuan yang
diharapkan terkait dengan penggunaan mekanisme baru dalam program raskin, yaitu:
(1) Meningkatkan ketepatan sasaran penyaluran raskin
(2) Meningkatkan pemahaman penerima mengenai haknya untuk mendapatkan raskin
sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan
(3) Menguji coba effektivitas mekanisme baru penyaluran raskin dalam rangka
perbaikan masa depan.
Terkait dengan penggunaan mekanisme baru ini, maka salah satu kebijakan yang
ditempuh adalah pembagian kartu raskin kepada 1,3 juta RTS terpilih di sejumlah (7)
propinsi uji coba. Disamping tetap dilakukan pemasangan poster yang berisikan DPM di
kantor kelurahan/desa, maka kartu raskin yang dibagikan ke masing-masing RTS ini
dikirimkan oleh PT. Pos langsung ke warga sehingga ketika melakukan penebusan warga
menggunakan kartu raskin.
32 | P a g e
Gambar 2. Lokasi Pemasangan Poster
DPM
Namun dalam pelaksanaannya, mekanisme baru baik untuk pemasangan poster
DPM maupun penggunaan kartu raskin nampaknya kurang berlangsung sesuai dengan
harapan. Ada desa yang memasang poster di ruang terbuka sehingga warga dapat melihat
dan membaca, namun ada pula desa/kelurahan yang justru menyimpan poster tersebut.
Demikian pula untuk kartu raskin, ternyata tidak seluruh lokasi yang RTS-nya menerima
kartu. Kalaupun menerima kartu, namun tidak digunakan sebagai alat penebusan.
Sementara, terdapat pula lokasi dimana kartunya disimpan di desa/kelurahan dan tidak
diserahkan ke warga oleh PT. Pos. Secara rinci, gambaran tentang penerapan mekanisme
baru dalam pelaksanaan program raskin sebagai berikut :
III.4.1. Pemasangan Poster DPM
Pemasangan poster DPM merupakan bagian untuk menciptakan transparansi dalam
pelaksanaan program raskin, terutama terkait dengan warga yang berhak dan tidak
sebagai RTS-PM. Dengan adanya poster diharapkan masyarakat mengetahui dan
memberikan sanggahan jika terdapat warga yang tidak layak tercantum pada DPM. Poster
ini, pada dasarnya sangat baik sebagai media pembelajaran bagi warga dalam memperkuat
hubungan sosial. Mengingat bagi warga yang merasa tidak layak sebagai RTS – jika
tercantum pada DPM – akan dengan sendirinya
mundur karena ada warga lain yang dinilai jauh
lebih berhak dan membutuhkan. Dengan demikian,
pemasangan poster DPM sangat penting untuk
menjamin distribusi raskin tepat sasaran. Sekalipun
untuk itu diperlukan beberapa syarat yang meliputi
: tempat pemasangan yang terbuka, dipasang di
sejumlah titik, dan tingkat melek huruf warga
cukup tinggi. Sebaliknya, pemasangan poster
hanya formalitas dan tidak berguna ketika kurang ada dari minat warga untuk mengetahui
informasi yang bersifat tertulis.
Dalam kaitan dengan hal diatas, nampaknya hanya sedikit desa/kelurahan yang
melaksanakan pemasangan poster agar warganya mengetahui. Tercatat hanya 20% dari
220 desa/kelurahan yang bersedia memasang poster DPM. Inipun hanya dipasang di
Penempelan poster DPM
Penempelan poster DPM
33 | P a g e
kantor desa/ kelurahan kecuali di Kabupaten Belitung dimana poster DPM terpasang di
rumah kepala dusun, RW dan RT. Disamping itu, pemasangan poster juga tidak
berlangsung di seluruh desa, maksimal hanya 6 desa di satu kabupaten yang memasang
seperti di Timor Tengah Selatan. Hampir semua kelurahan desa yang memasang poster
DPM pada tempat yang terbuka dan mudah dilihat warga yaitu papan pengumuman dan
balai desa. Namun ada pula desa yang memasang pada lokasi yang sulit diketahui yaitu di
ruang kerja kepala desa (Sumba Barat Daya), di pintu kantor kepala desa (Barito Kuala)
dan di dinding bercampur dengan poster-poster lainnya (Banjar).
Pemasangan poster bukan semata-mata bersifat pengumuman, melainkan juga
merupakan bagian menciptakan tata kelola desa yang baik terutama aspek transparansi
dan partisipasi. Justru dengan poster dipasang dapat menciptakan pendistribusian raskin
yang tepat sasaran. Sebagai contoh di Desa Air Seru Kecamatan Sijuk Belitung, pada saat
poster ditempelkan di kantor desa ada warga yang melihat, dan mengajukan pertanyaan
kepada Sekdes mengapa dalam satu keluarga, terdapat 2 KK yang mendapatkan raskin? Hal
ini kemudian menjadi bahan pertimbangan desa untuk mengganti salah satunya agar bisa
diberikan kepada warga lain yang lebih membutuhkan. Pada sisi lain, pemasangan poster
juga baru dilakukan sesudah adanya program monev raskin ini. Kepala Desa Alasangker,
Buleleng baru memasang Poster DPM setelah mengikuti FGD di desa saat menjabat sebagai
kepala dusun. Setelah menjabat Kepala Desa, poster DPM akhirnya dipasang. "Karena saya
baru tahu ada poster DPM dan harus dipasang setelah ada penjelasan dari PT. Pos pada saat
mengikuti FGD di desa yang dilakukan oleh Prisma” (Kepala Desa Alasangker Buleleng, I
Wayan Sitama).
Sebaliknya jumlah desa/kelurahan yang tidak memasang mencapai 80% dan
berlangsung di 22 Kabupaten/Kota. Bahkan di Nias Selatan, Bangka, Sampang, Pamekasan,
Buton dan Makasar hampir seluruh desa/kelurahan lokasi monitoring tidak memasang
poster. Pada umumnya poster disimpan di kantor atau rumah kepala desa/lurah karena
alasannya untuk menghindari konflik baik antar warga maupun dengan desa akibat data
dalam poster DPM tidak sesuai dengan faktanya. Kemudian ada pula desa yang tidak
memasang karena kebijakan membagi beras secara merata dan belum menerima dari PT.
Pos. Terlepas dari itu, memang ada kecenderungan bahwa tidak terpasangnya poster DPM
34 | P a g e
ada unsur kesengajaan dari aparat desa/kelurahan agar warga tidak mempertanyakan atau
memprotes karena data salah maupun bertujuan menyalurkan raskin tidak dalam jumlah
yang sebenarnya. Hal ini diakui dan sebagaimana disampaikan M. Jiddan Kepala Desa Antar
Baru, Kec. Marabahan Barito Kuala, “Poster DPM sengaja belum saya pasang (tunjukkan) ke
warga. Hal ini selain datanya tidak terkini juga untuk mengurangi adanya banyak protes
dari warga tentang nama-nama yang tercantum di dalamnya karena ada beberapa nama
yang secara ekonomi sudah mampu”
Tabel 3.7. Pemasangan Poster DPM di 22 Kabupaten/Kota
No Kabupaten/Kota Pemasangan Poster DPM Poster DPM tidak Dipasang
Desa/Kel Alasan Desa/Kel Alasan
Wilayah Uji Coba Kartu 22 desa/kel
88 desa/kel
1 Nias Selatan - - 10 desa/kel Disimpan di almari desa karena khawatir terjadi konflik akibat data DPM tidak sesuai
2 Bangka - - 10 desa/kel Data DPM tidak valid dan dikhawatirkan ada gejolak di masyarakat
3 Belitung 5 desa/kel Dipasang di depan kantor, aula desa dan papan informasi, di dusun, RW/RT agar warga tahu
5 desa/kel Supaya tidak rusak akibat terpaan angin dan hujan. Selain itu untuk menghindari kesalahpaha-man warga jika melihat daftar DPM
4 Sampang - - 10 desa/kel Tidak perlu karena kesepakatan di desa sistem penyaluran raskin bagi rata
35 | P a g e
5 Pamekasan - - 10 desa/kel PT. Pos tidak mengirim poster DPM dan kartu ke desa
6 Buleleng 5 desa/kel Dipasang di Balai pertemuan dan papan pengumuman kantor desa agar warga tahu
5 desa/kel DPM tidak dipakai sebagai acuan lagi untuk pembagian raskin, karena dibagi rata
7 Karangasem 1desa/kel Dipasang di Kantor Desa agar warga tahu jumlah dan siapa RTS
9 desa/kel Takut timbul konflik, disimpan di kantor kepala desa. Soal DPM sudah dijelaskan ke kepala dusun pada saat sosialisasi
8 Timor Tengah Selatan 6 desa/kel Dipasang di papan pengumuman desa sehingga warga tahu
4 desa/kel Disimpan oleh satker untuk mencegah konflik karena watak warganya yang keras
9 Sumba Barat Daya 3 desa/kel Dipasang di ruangan kepala desa
7 desa/kel Disimpan oleh kepala dusun karena takut terjadi gejolak dari yang tidak ada nama dalam DPM, sehingga sistim bagi rata.
10 Buton - - 10 desa/kel Sengaja karena pagu raskin berkurang dan warga telah sepakat untuk membagi rata beras raskin
11 Muna 2 desa/kel - 8 desa/kel Lurah/Desa khawatir dapat protes dari masyarakat dan bertanya-tanya
36 | P a g e
mengapa ada warga yang dimasukan DPM, sementara ada banyak masyarakat yang layak justru tidak terdaftar
Wilayah Non Ujicoba Kartu
23 desa/kel
- 87 desa/kel
12 Deli Serdang 2 desa/kel Dipasang di papan pengumuman desa dengan rapi sejak putaran 1 hingga kini dan ruang kerja staf lurah
8 desa/kel Khawatir ada keributan sebab banyak nama yang layak mendapat Raskin tetapi tidak termasuk dalam DPM
13 Bogor 2 desa/kel Terpasang di papan pengumuman desa agar ada sanggahan dari warga jika DPM tidak sesuai
8 desa/kel Disimpan di meja kantor kelurahan, untuk menghindari konflik karena ada warga yang tidak terdata. Selain ada beberapa kantor desa/ kelurahan direnovasi
14 Subang 1 desa/kel Dipasang pada papan pengumuman desa agar masyarakat tahu berapa jumlah dan siapa RTS-PM
9 desa/kel 6 Desa disimpan di Kantor Desa untuk mencegah konflik dan 3 Desa tidak menerima dari PT. Pos
15 Brebes 1 desa/kel Dipasang pada papan pengumuman desa
9 desa/kel Disimpan di gudang balai desa dan meja kaur kesra dan tanpa alasan yang jelas
16 Semarang 3 desa/kel Dipasang pada kaca depan kantor
7 desa/kel Masih dalam bentuk gulungan disimpan di
37 | P a g e
kelurahan sejak awal terima poster agar setiap warga yang datang bisa melihat
lemari dan tidak tahu kalau harus ditempel, 1 desa belum terima dari kantor pos
17 Barito Kuala 1 desa/kel Dipasang pada pintu masuk kantor desa sehingga tidak terlihat ketika pintu dibuka
9 desa/kel Disimpan di rumah kepala desa dan kantor kelurahan karena data DPM tidak sesuai
18 Banjar 2 desa/kel Terpasang di dinding kantor kelurahan bergabung dengan poster-poster lain
8 desa/kel Menghindari konflik sebab beras dibagi merata dan tidak berdasar DPM
19 Makasar - - 10 desa/kel Baru terima dari Pos bulan Oktober dan masih disimpan
20 Gowa 5 desa/kel Dipasang di Papan Pengumuman Kantor Kelurahan agar warga melihat
5 desa/kel 4 desa karena belum ada posternya, dan 1 desa karena alasan keamanan (konflik)
21 Halmahera Utara 3 desa/kel Dipasang di papan informasi desa agar warga tahu jumlah penerima raskin
7 desa/kel DPM disimpan oleh kepala desa di rumahnya karena sistem bagi rata.
22 Kota Tidore 3 desa/kel - 7 desa/kel Khawatir akan ada protes masyarakat karena data DPM tidak sesuai
Jumlah 45desa/kel - 176 desa/kel
Sumber : diolah dari laporan Koordinator dan TPD
38 | P a g e
III.4.2. Penggunaan Kartu Raskin
Penggunaan kartu raskin sebenarnya merupakan pendekatan yang baik untuk
menjamin bahwa raskin benar-benar diterima oleh warga miskin sekaligus mengeliminasi
warga mampu dimasukan sebagai penerima raskin. Namun dalam penerapannya di lokasi
uji coba ternyata tidak berjalan efektif. Masih banyak lokasi yang RTS-PM tidak
mendapatkan kartu dan selain dibagikan melalui Kepala Desa/Kelurahan, kartu juga tidak
digunakan sebagai alat penebusan. Sebagai metode baru, penerapan kartu memerlukan
proses yang relative baru terutama memahamkan warga. Hanya saja, proses ini tidak
dilaksanakan secara benar dan ketat oleh lembaga pelaksana raskin di tingkat bawah.
Terlebih lagi, sistim reward dan punishment tidak diberlakukan bagi aparat dan desa yang
taat dan tidak melakukan ketentuan ini. Sehingga kartu raskin tidak ubahnya seperti kertas
tak berharga.
Tabel 3.8. Gambaran Pembagian dan Penggunaan Kartu Raskin
No Kabupaten/Kota Kartu tidak dibagikan Kartu Dibagikan
Jumlah Desa
Dipakai untuk penebusan
1 Nias Selatan Di 7 Desa, kartu disimpan di lemari/meja kerja Kades
3 Desa yang membagi ke RTS
RTS di 3 Desa yg menerima kartu telah menggunakan untuk penebusan
2 Bangka Di 7 desa, Kepala Lingkungan menyimpan Kartu
3 Desa yang membagi kartu ke RTS
RTS di 2 Desa yang sudah memegang kartu telah digunakan saat penebusan
3 Belitung Di 2 Desa, kartu disimpan oleh Kepala Dusun
PT. Pos telah membagikan kartu di 8 Ds
Kartu digunakan sebagai alat penebusan di 8 Desa
4 Sampang Di 10 desa, kartu disimpan di kades
- -
5 Pamekasan 10 desa tidak terima kartu karena ada surat edaran Bupati Pamekasan untuk menunda distribusi kartu raskin. Kartu tersimpan di kantor POS
6 Buleleng Di 3 desa, kartu masih disimpan Kades/Kadus
PT. Pos membagi ke 7 Desa
Digunakan penebusan, 6 desa dibawa RTS dan 1 desa melalui Kadus
7 Karangasem Di 2 desa, kartu disimpan di Kadus
8 desa dibagikan ke RTS
RTS di 4 desa sudah menggunakan kartu untuk penebusan
8 Timor Tengah Selatan
Di 1 desa, kartu disimpan di Desa
Di 9 desa, dibagikan ke RTS
RTS di 6 desa menggunakan untuk penebusan
39 | P a g e
Gambar 3. Kartu Raskin Daerah
9 Sumba Barat Daya Di 4 desa, kartu disimpan di Desa
6 desa, kartu dibagikan ke RTS
RTS di 2 desa menggunakan kartu untuk penebusan
10 Buton 5 desa, kartu disimpan di Kadus/RT
5 desa membagi ke RTS
3 desa menggunakan sebagai alat penebusan
11 Muna Di 1 Desa, kartu disimpan di Kepala Desa
9 desa membagi
9 Desa tidak menggunakan kartu karena beras dibagi rata
Dari 110 desa dan kelurahan di 11 Kabupaten/Kota yang menjadi lokasi uji coba
penggunaan kartu, sekitar 47,27 % yang tidak membagikan kartu langsung ke setiap RTS-
PM sebagaimana ditentukan. Kartu raskin umumnya disimpan di Kepala Desa, Kepala
Dusun dan RT karena beberapa faktor, seperti : ketika dikirimkan ke RTS oleh PT. Pos,
warga sedang tidak di tempat atau PT. Pos memang tidak membagikan langsung kepada
warga melainkan melalui Kepala Desa. Kecuali di
Pamekasan, dimana memang terdapat instruksi dari
Bupati kepada PT. Pos untuk tidak membagikan kartu
ke setiap warga (RTS).
Penyimpanan kartu di Kepala Desa juga
mengandung tujuan yang baik yaitu agar kartu tetap
aman dan tidak hilang sehingga dapat digunakan
untuk penebusan. Hal ini seperti disampaikan oleh
Kepala Desa Ekhosakhozi Kecamatan Lolowau, Nias
Selatan: “ saya sengaja menyimpan kembali kartu agar
tidak hilang dan warga RTS dapat memanfaatkan
kartu saat pendistribusian ”. Sedangkan
desa/kelurahan yang membagikan kartu kepada warga (RTS) mencapai 52,72% atau 58
desa/kelurahan di 9 Kabupaten/Kota. Sedangkan yang menggunakan kartu untuk
penebusan sebanyak 39 desa/kelurahan (35,45%). Sesungguhnya lebih dari 50% warga
penerima raskin yang menggunakan kartu untuk penebusan. Namun kartu yang digunakan
bukan dari TNP2K melainkan kartu yang dibuat sendiri oleh Tim Raskin Daerah., missal
saja di beberapa desa Kabupaten Bangka, dimana ketika penebusan warga tidak
40 | P a g e
Gambar 4. Kupon Pembelian Raskin
menggunakan kartu dari TNP2K melainkan kartu dari daerah. Kartu yang dibuat di daerah
ini dinilai lebih mudah dan sederhana dibanding yang berasal dari TNP2K. Hal ini seperti
yang disampaikan oleh salah seorang kepala dusun di Desa Parit Padang Kecamatan
Sungailiat “Kalau bisa kita pakai kartu daerah (kuning) sajalah…..sebab agak rumit jika
dengan kartu yang baru ini (TNP2K). Terlebih lagi kita sudah terbiasa dengan kartu kuning.
Yang baru itu kadang suka hilang kesobek gak sadar. Kartu kuning itu lebih simpel”.
Di Kabupaten Bangka, ada juga kelurahan yang tidak memakai kartu kuning
maupun kartu pusat (TNP2K) yaitu di Lingkungan Sam Ratulangi, Srimenanti, dimana
warga memakai kupon yang dicetak oleh Kepala Lingkungan. Pemakaian kupon oleh warga
sangat sederhana. Ibu Jumilah (warga RTS) mengatakan bahwa yang penting bukan
kartunya, tetapi kesesuaian jumlah beras yang dibagi dengan aturan yaitu 15 kg.
Nampaknya masalah kartu bukan menjadi alat
yang tepat untuk menjamin distribusi raskin
bisa tepat sasaran. Apalagi kebijakan raskin
dibagi rata dengan alasan agar tidak
menimbulkan konflik. Hal tesebut seperti
penuturan La Ode Zahaba (DPM RTS
Kelurahan Kombeli) yang diwawancarai pada
23 Januari 2013: “Pada September 2012, PT.
POS mengkoordinasikan pihak kelurahan
untuk pembagian kartu raskin, namun
dengan berbagai pertimbangan antara lain sudah adanya keributan yang disebabkan
adanya jumlah DPM yang berkurang, maka pemerintah kelurahan tidak berani membagikan
kartu tersebut ke RTS. Kartu yang di berikan oleh PT.POS masih tersimpan bersama poster
DPM”.
III.5. Distribusi Beras
Distribusi beras merupakan aspek yang paling pokok dari seluruh proses
pelaksanaan program raskin karena akan menentukan sejauhmana beras yang diterima
sesuai dengan yang ditentukan dari sisi jumlah, kualitas, ketepatan waktu dan kemudahan
41 | P a g e
RTS untuk mengambil. Pada dasarnya, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
(Kemenkokesra) selaku instansi yang menjadi sektor utama (leading sector) dari program
raskin telah mengeluarkan pedoman tentang mekanisme distribusi beras yang menjamin
distribusi berjalan effektif. Dalam pedoman telah diatur secara rinci prosedur distribusi
yang rigid dan detail dari tingkat kabupaten hingga RW/RT. Bahkan diatur pula mekanisme
pengendalian dan pengawasan manakala beras yang dibagi tidak sesuai jumlah dan
kualitasnya. Termasuk ketentuan yang melarang distribusi beras kepada pihak yang tidak
terdaftar dalam DPM atau pembagian secara rata.
III.5.1. Jumlah Beras
Namun dalam prakteknya, nyaris tidak seluruh kabupaten/kota terutama di
tingkat desa yang melaksanakan distribusi beras yang sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam pedoman. Kecuali di Kabupaten Bangka, dimana seluruh desa/kelurahan yang
menjadi lokasi monev membagikan raskin sesuai dengan ketentuan (15 kg). Dari 220
desa/kelurahan, maka hanya 23,63% atau 52 desa/kelurahan yang membagikan beras
sebanyak 15 kg. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh aparat desa ketika membagikan
sesuai dengan ketentuan yakni tidak ingin mendapatkan masalah secara hukum
(melanggar ketentuan), jumlah warga miskinnya tidak banyak dan tidak berharap ada
konflik baik sesama warga maupun dengan aparat desa. Berikut ini adalah beberapa
contoh petikan alasan dari kepala desa/lingkungan membagi beras sesuai ketentuan
“Ini amanah, gak berani kami mengurangi jatah orang miskin, pertanggungjawabannya bukan hanya pada pemerintah, tapi juga pada yang diatas” (Kaling Lingkungan III, Bukit Ketok, Bangka) “Kita salurkan apa adanya, gak berani kita ambil, banyak yang masuk penjara gara-gara raskin ini, nanti diperiksa oleh kejaksaan. Lebih baik tidak jadi kepala desa dari pada ngasih raskin yang gak sesuai ketentuan” (Kades Payabenua dan Kades Kemuja, Bangka) “Kami membagi beras sesuai ketentuan (15kg) dan mematok harga per karung Rp. 35.000,- yang disepakati dalam musyawarah dengan para ketua RT. Biaya ini sudah termasuk biaya angkut dan administrasi serta untuk petugas yang melakukan pendistribusian beras, kalau dari Marabahan kota harganya juga sudah naik, karena ada biaya sewa gudang dan juga biaya karung” (Akhmad Kusdiman, Kasi Kesra Kelurahan Ulu Benteng, Barito Kuala)
42 | P a g e
Sementara daerah yang tidak menyalurkan sesuai dengan ketentuan jumlahnya
cukup besar yaitu 158 desa/kelurahan atau 72,37% dan tersebar di 21 Kabupaten dan
Kota. Bahkan ada 10 wilayah yang seluruh desa/kelurahannya tidak menyalurkan
sebanyak 15 kg (Brebes, Semarang, Pamekasan, Muna, Bogor, Subang, Makasar, Gowa dan
Halmahera Utara). Selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 3.9. berikut ini.
Tabel 3.9. Pembagian Beras (jumlah) di Tingkat RTS
No Kabupaten/Kota Membagi Beras (15 kg)
Membagi Beras Kurang 15kg
Jumlah Desa Alasan
Wilayah Ujicoba Kartu 46 desa/kel 64 desa/kel 1 Nias Selatan 7 desa/kel 3 desa/kel Karena penurunan alokasi
RTS 2 Bangka 10 desa/kel - - 3 Belitung 8 desa/kel 2 desa/kel 15 kg yang sesuai DPM dan
7,5kg bagi pengganti karena jumlahnya 2 kali lipat.
No Kabupaten/Kota Membagi Beras (15 kg)
Membagi Beras Kurang 15kg
Jumlah Desa Alasan
4 Sampang 6 desa/kel 4 desa/kel Dibagi rata karena jumlah warga miskin lebih besar dari DPM
5 Pamekasan - 10 desa/kel Dibagi rata sekitar 5 kg
Kesepakatan kepala desa di Pamekasan untuk membagi rata agar tidak ada kecemburuan
6 Buleleng 2 desa/kel 8 desa/kel dibagi rata
Jumlah warga miskin cukup banyak dan beras dibagi merata (4-6 kg)
7 Karangasem 8 desa/kel
2 desa/kel
Dibagi sekitar 5-10 kg berdasar kesepakatan dusun sesuai dengan jumlah warga miskin
8 Timor Tengah Selatan 2 desa/kel 7 desa/kel Berkisar 8-10 kg karena kebijakannya dibagi kepada semua masyarakat dan merata sesuai KK
9 Sumba Barat Daya 2 desa/kel 8 desa/kel Dibagi rata karena warga miskin cukup banyak sehingga kalau dihitung per bulan berkisar 4 kg, 5 kg, 6.5kg, 8.5kg, 9 kg dan 12 kg sesuai dengan jumlah KK
43 | P a g e
10 Buton 1 desa/kel 9 desa/kel Dibagi rata karena jumlah warga yang butuh lebih banyak, sistem rapel 2-5 bln sesuai tahapan penyaluran, jumlahnya antara 3 - 7.5 kg
11 Muna - 10 desa/kel Dibagi rata berkisar 3-14 kg, dan pembagiannya di rapel 2, 4, atau 5 bulan. Bahkan di desa Lakapodo ada yg sampai 7 bulan
Wilayah Non Ujicoba Kartu 8 desa/kel 102 desa/kel
12 Deli Serdang 4 desa/kel. 6 desa/kel. Karena jumlah warga yang membutuhkan Raskin lebih banyak.
4 desa/kel bagi rata karena jumlah yang berhak lebih besar dari DPM
2 desa membagi 15 kg utk yang miskin sekali dan kurang dari 15 kg (warga miskin dan pengganti)
13 Bogor - 10 desa/kel Jumlah beras dalam karung selalu kurang (menyusut).
Banyak warga miskin yang butuh tidak terdata & tidak masuk DPM
Menghindari kecemburuan warga (asal warga "aman")
14 Subang - 10 desa/kel Bervariasi antara 3-10 kg sesuai jumlah warga miski
Kecuali Di RW 24 Kel. Karanganyar membagi sesuai : 15 Kg/ KK, dan RT 19 Kel. Dangdeur 16 Liter= 15 Kg
15 Brebes - 10 desa/kel Bervariasi ada 3.5 kg, 5 kg, 6 kg, 7 kg dibagi rata tiap KK supaya tidak ada konflik di masyarakat
16 Semarang - 10 desa/kel Dibagi rata (5-7 kg) karena jumlah warga yang meminta raskin lebih banyak dari pada di DPM. Kecuali Desa Tanjung Mas di RT 5 yang membagi 15 Kg
17 Barito Kuala 2 desa/kel 8 desa/kel Bervariasi ada 5, 7, 10 kg karena jumlah warga yang butuh lebih banyak. Namun di desa jelapat, 20 KK sangat
44 | P a g e
miskin mendapat 15 kg dan gratis berdasarkan rapat des
18 Banjar 2 desa/kel 8 desa/kel Dibagi merata antara 4 - 10 liter karena warga miskin lebih banyak dari pada DPM
19 Makassar - 10 desa/kel membagi dibawah ketentuan, dari 4-10 liter karena jumlah warga yang miskin lebih banyak
20 Gowa -
10 desa/kel Membagi rata-rata 8 - 9 liter sesuai dengan musdes berdasarkan RTS periode sebelumnya Jan-Jun 2012
21 Halmahera Selatan - 10 desa/kel Jumlah beras disesuaikan dengan jumlah orang dalam satu KK
22 Tidore - 10 desa/kel Sistem pembagian berdasar SK Walikota, dimana dibagi rata sesuai warga miskin dan dilakukan 5 bulan sekali dgn jumlah sekitar 21-45 kg.
Jumlah 54 desa/kel 156 desa/kel
Sebagian besar dari desa yang tidak menyalurkan beras sesuai dengan ketentuan
karena kebijakan bagi rata akibat jumlah warga miskin yang tidak didata jauh lebih besar
dari pada yang tercantum dalam DPM. Sekalipun disadari bahwa hal ini melanggar aturan,
namun pembagian rata tetap dilakukan semata karena alasan keadilan, kemanusiaan dan
menghindari konflik. Faktor ketidaksesuaian antara alokasi RTS dengan jumlah warga
miskin merupakan faktor dominan penyebab tidak dibaginya beras sebesar 15 kg. Misal
saja yang terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya. Sekalipun pembagian merata, terkadang
ada wilayah desa/kelurahan yang memiliki kebijakan memberikan secara penuh (15 kg)
kepada warga yang dinilai paling miskin seperti ; janda, warga jompo, buruh tani dan
baru membagi rata kepada yang lain.
Hal ini terjadi pula di Desa Buntu Bedimbar, Kecamatan Lubuk Pakam, Deli
Serdang. Termasuk kasus di Desa Jelapat, Kecamatan Tamban, Barito Kuala yang
memberikan gratis sebanyak 15 kg kepada warga miskin berdasarkan musyawarah desa
antara Kades, Kadus dan RW/RT dan petugas raskin. Musyawarah ini antara lain
membahas kriteria warga paling miskin, inventarisasi warga miskin dan harga tebus. Kasus
45 | P a g e
di Desa Buntu, selain memberikan penuh 15 kg, harga beras juga sebesar Rp. 1600,-/kg
tanpa dipungut biaya transportasi, dll. Sayangnya kearifan dalam mengelola raskin seperti
di desa Buntu, desa Jelapat dan lainnya tidak dapat ditularkan atau berpengaruh ke desa
yang lain (meski dalam satu kecamatan) untuk melakukan hal yang sama.
Pembagian merata pada umumnya diputuskan melalui 2 (dua) cara yaitu Pertama,
kepala desa melakukan musyawarah dengan kepala dusun dan RW/RT terkait dengan
jumlah alokasi raskin di tiap RT dan jumlah yang harus dibagikan. Kedua, kepala desa
menyerahkan sepenuhnya untuk penetapan jumlah beras yang dibagi warga kepada
Meski istilahnya pembagian merata, namun di lapangan ditemukan pembagiannya dilakukan dalam berbagai cara berikut ini: 1) Warga di DPM menerima beras lebih banyak daripada warga di luar
DPM. Antara lain diterapkan di kelurahan Toloa dan Tomalou, Tidore Kepulauan, dimana warga DPM menerima 50 kg (untuk jatah distribusi 5 bulan), sedangkan warga selain DPM mendapatkan jatah 25 kg di Toloa dan 20 kg di Tomalou.
2) Seluruh warga menerima jumlah beras yang sama Jumlah beras dibagi dalam porsi yang sama kepada seluruh masyarakat, baik yang tergolong tidak mampu maupun yang mampu. Tetapi ada juga yang membagi pada seluruh masyarakat dengan pengecualian pada kelompok PNS, pengusaha, atau keluarga kaya.
3) Berdasarkan jumlah anggota rumah tangga/KK Salah satu desa yang menerapkan cara ini adalah desa Kaliwlingi, Brebes. Di sini Raskin dibagi rata menurut KK dimana setiap KK mendapat jatah 5 kg. Sehingga bila dalam 1 rumah dihuni oleh 4 KK, maka rumah tangga tersebut menerima Raskin sebanyak 20 kg. Cara serupa digunakan di desa Gulo, Halmahera Utara. Sehingga agar dapat mencukupi untuk semua KK yang ada, Raskin dibagi dalam satuan liter tidak lagi dalam kilogram
4). Diputar secara bergilir Di Kecamatan Pengarengan, Sampang, ketika pagu wilayahnya mengalami penurunan, aparat di sana menawarkan pembagian akan dilakukan setiap bulan untuk semua warga di seluruh dusun dengan jumlah yang lebih kecil dibandingkan sebelumnya atau diputar bergiliran. Ternyata warga memilih diputar secara bergilir untuk setiap dusun. Sehingga bila pada bulan ini warga di dusun A akan menerima Raskin sejumlah 15 kg, maka pada bulan berikutnya giliran warga di dusun B yang mendapat jatah beras sejumlah itu.
46 | P a g e
RW/RT karena dinilai paling tahu siapa warganya yang miskin dan tidak. Namun untuk
yang kedua, ada kecenderungan jika kepala desa melepas tanggung jawab atau tidak ingin
disalahkan dengan distribusi raskin yang tidak sesuai ketentuan. Hal ini terjadi di
Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara. Sebagaimana dikemukakan oleh
Kepala Kelurahan “ Sebagai lurah saya memberi perintah untuk membagi sesuai dengan
ketentuan. Namun jika ada RW/RT yang membagi secara merata kepada warga lain diluar
DPM, ya silahkan”.
Alasan lain untuk tidak membagi raskin sesuai dengan ketentuan (15 kg) adalah
untuk menghindari kecemburuan dan menimbulkan konflik sesama warga ataupun
dengan aparat. Hal ini bisa benar dan juga tidak sesuai dengan kenyataan. Pada yang
pertama yaitu menghindari adanya
konflik terjadi pada kasus di Bogor,
Brebes, dan Pamekasan. Dalam
kasus Desa Pulosari Kabupaten
Brebes, menurut Pak Lihin Kepala
Dusun Pagejugan sebelum tahun
2010 Raskin dibagi berdasarkan
DPM. Pengambilan pun di balai
Desa. Tetapi kemudian terjadi
kericuhan karena yang tidak
menerima keberatan dan minta
jatah. Masyarakat yang tidak
mendapat jatah mengancam akan
mogok melakukan kerja bakti, bayar
iuran bahkan sampai mogok bayar
pajak. Karena menimbang
keamanan dan kedamaian desa
maka diadakan musyawarah bersama dan diputuskan raskin dibagi rata. Pembagian
merata didasarkan rumah (dikenal dengan wuwung). Namun di lokasi desa sample jumlah
pembagiannya berbeda-beda. Untuk Desa Kaliwlingi rata-rata yang diterima setiap KK
Tabel 3.10. Contoh Pembagian Beras di Desa Jelapat
RT Musyawarah Desa Jelapat 1 Kuota Raskin
DPM Kuota Raskin
Keterangan
1 5 13 Untuk 40 KK @ 5-7 Liter 2 1 12 Untuk 35 KK @ 5-7 Liter 3 2 12 Untuk 40 KK @ 5-7 Liter 4 3 12 Untuk 35 KK @ 5-7 Liter 5 10 12 Untuk 35 KK @ 5-7 Liter 6 7 12 Untuk 35 KK @ 5-7 Liter 7 13 12 Untuk 40 KK @ 5-7 Liter 8 21 20 Untuk 60 KK @ 5-7 Liter 9 15 16 Untuk 45 KK @ 5-7 Liter
10 14 4 Untuk 10 KK @ 5-7 Liter 11 38 28 Untuk 80 KK @ 5-7 Liter 12 14 17 Untuk 50 KK @ 5-7 Liter 13 12 20 Untuk 60 KK @ 5-7 Liter
14 A 36 17 Untuk 50 KK @ 5-7 Liter 14 B 9 Untuk 25 KK @ 5-7 Liter 15 16 18 Untuk 50 KK @ 5-7 Liter 16 46 18 Untuk 50 KK @ 5-7 Liter 17 20 18 Untuk 50 KK @ 5-7 Liter 18 8 15 Untuk 45 KK @ 5-7 Liter 19 8 13 Untuk 40 KK @ 5-7 Liter 20 13 17 Untuk 50 KK @ 5-7 Liter 21 14 17 Untuk 50 KK @ 5-7 Liter 22 29 20 Untuk 60 KK @ 5-7 Liter 23 23 20 Untuk 60 KK @ 5-7 Liter
24 RT 368 368 Total 1.120 KK menebus
47 | P a g e
Gambar 5. Rumah warga yang mendapatkan Raskin
adalah 5 kg dan dua bulan terakhir naik menjadi 6 kg. Dengan pendekatan KK untuk
pembagian raskin secara rata, maka terdapat 1 rumah mendapat 20 kg, karena dalam satu
rumah terdapat 4 KK (Desa Kaliwlingi). Pada sisi lain, Desa Pasar Batang yang memiliki
penduduk dan KK lebih banyak mengakibatkan jumlah yang diterima lebih sedikit sekitar
3,5 kg dengan batasan tiap rumah hanya 2 KK. Contoh lain dari pembagian secara merata
dapat dilihat pada kasus Desa Jelapat, Kabupaten Barito Kuala, seperti pada tabel 3.10 di
atas.
Alasan pembagian merata agar tidak menimbulkan konflik pada dasarnya tidak
selamanya benar. Di Kelurahan Ulu Benteng Kecamatan Marahaban, Barito Kuala misalnya
terdapat 2KK yang bersedia melimpahkan
raskinnya kepada warga lain yang membutuhkan.
Bapak Ahmad Kafi dari RT. 12 Kelurahan Ulu
Benteng mengatakan “ Meskipun saya tidak
tergolong kaya, namun tidak masalah seandainya
tidak mendapatkan raskin karena mungkin banyak
yang lebih perlu dari saya. Gak mungkin saya protes,
marah atau konflik dengan warga yang
mendapatkan” Sementara responden lainnya
menyerahkan haknya ke warga lain karena sudah
beberapa tahun tidak menebus raskin sebab tidak
cocok untuk mengkonsumsi beras raskin.
Hal yang sama juga dengan yang terjadi di Desa Bahari Kecamatan Sampolawa, Kabupaten
Buton. Bapak Cholidi yang namanya masuk dalam DPM dengan sukarela menyerahkan
haknya kepada warga lain yang membutuhkan “Sekalipun nama saya terdaftar di DPM
tetapi saya menyerahkan jatah raskin ke warga lain yang lebih membutuhkan. Jadi jika ada
musyawarah gak mungkin ada konflik. Yang penting dijelaskan secara terbuka oleh Kepala
Desa”. Sebaliknya yang membuat konflik atau kekacauan justru di pemerintahan desa
akibat ada permainan dan ketidakadilan sebagaimana yang terjadi pada kasus di Kelurahan
Samata Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa. Ibu Rahmatia (masyarakat miskin yang
terdaftar dalam DPM tapi tidak pernah menerima raskin ) mengatakan : “Setiap penyaluran
48 | P a g e
raskin di kantor lurah selalu kacau karena kadang ada masyarakat menebus raskin sampai 3
karung satu orang. Dengan alasan mewakili tetangganya. Sementara dia jual lagi dengan
harga mahal untuk ke tetangganya. Harga per karungnya Rp. 37.000,-. Disamping itu,
kadang juga terlalu lama antri kemudian tidak dapat raskin karena kehabisan beras.
Sehingga malu pergi ke kantor kelurahan antri tebus raskin tetapi tidak pernah dapat
sembako. Sebab pembagian raskin seringkali staf Kelurahan lebih mementingkan
keluarganya walau antri belakangan. Ini yang membuat saya dan warga lain marah“
III.5.2. Titik Bagi
Terkait dengan lokasi yang menjadi titik distribusi atau penyaluran raskin kepada
warga (RTS-PM) telah diatur dalam pedoman umum penyaluran raskin yang dikeluarkan
Kantor Kemenkokesra Tahun 2012. Dalam pedoman ini dijelaskan bahwa titik distribusi
(TD) merupakan tempat penyerahan Raskin yang penetapannya di kantor desa/kelurahan
atau di lokasi lain atas dasar kesepakatan tertulis antara pemerintah kabupaten/kota dan
Perum Bulog setempat. Dalam upaya meningkatkan pelayanan, maka TD dapat dialihkan
dari kantor Desa/Kelurahan ke lokasi lain seperti Dusun/RW. Atau jika kantor
desa/kelurahan sulit/tidak terjangkau, maka TD dapat dialihkan ke kantor kecamatan atau
tempat lainnya.
Pada prakteknya, titik distribusi secara umum telah berjalan sesuai dengan
ketentuan yaitu di 104 Desa/Kelurahan dan Dusun/RW/RT di 114 Desa/Kelurahan dan 2
desa membagi di lokasi lain. Pada lokasi uji coba kartu, titik bagi sebagian besar di kantor
desa/kelurahan dan sebaliknya untuk lokasi non uji coba, titik bagi umumnya di Dusun,
RW dan RT. Pada umumnya alasan pokok pembagian di kantor atau rumah kepala desa
atau kelurahan maupun dusun adalah kemudahan lokasi
distribusi untuk dijangkau baik oleh Bulog maupun
warga penerima. Meskipun sifatnya kasuistis, ada alasan
lain yang melatarbelakangi titik bagi beras diserahkan ke
desa yaitu kepala dusun tidak ingin waktunya habis
untuk mengurus raskin karena tidak ada kompensasi. Hal
ini terjadi di Desa Gunung Pelawan, distribusi beras
Sejauh pengamatan kami tidak ada masalah bagi warga karena tempat
yang disepakati sebagai titik bagi bukan
merupakan keputusan Bulog dalam hal
penentuan tempat (H. Agus Salim, SE Kasubag Divre Bulog Bau-Bau)
49 | P a g e
langsung dilakukan oleh aparat desa. “ Gak cukup biaya operasional yang diberikan untuk
ngurusin distribusi raskin itu. Dulu juga saya yang urus, berhari-hari di rumah membuat saya
gak bisa kerja lainnya. Sekarang mendingan desa saja yang urus” (Kadus Pejem, Gunung
Pelawan, Kabupaten Bangka). Sekalipun bersifat kasus, namun hal ini menunjukan bahwa
kesukarelawan yang merupakan prinsip kerja dari seorang pamong mulai kurang.
Pada sisi lain, titik distribusi di tingkat Dusun, RW atau RT juga memberikan risiko
pada kenaikan harga beras yang ditebus menjadi lebih mahal meskipun lebih mudah
dijangkau oleh warga. Hal ini karena biaya transportasi menjadi lebih mahal terutama pada
lokasi yang jauh dan kondisi jalannya jelek dan sulit transportasi. Hal ini terjadi di Desa
Tamban Bangun, dimana harga penebusan beras menjadi Rp 2.500/liter. “ Kami menerima
harga beras raskin Rp 2.000/kg jadi Rp 30.000/sak. Oleh karena lokasi dari beberapa RT
cukup jauh sehingga harus menggunakan angkot sepeda motor atau gerobak angkut hingga
menuju RT yang bersangkutan. Masing-masing ketua RT akan membayar Rp 2.200/kg
ditambah biaya untuk keperluan membayar buruh angkot, bensin, kantor plastik. Sehingga
warga membeli beras dengan harga Rp 2.500/liter” (Effendi, Kaur Pembangunan Desa
Tamban Muara, Kecamatan Tamban Barito Kuala). Risiko lain dengan titik bagi di Dusun
dan RT adalah jumlah beras sering kurang dari 15 kg karena sudah tumpah kesana kemari
sewaktu dalam perjalanan, namun tetap dihitung 15 kg mengingat hanya berkurang antara
1 ons hingga 1 kg. Sekalipun warga sering tidak mempermasalahkannya.
Memang ada kondisi jarak tempuh beberapa desa yang berjarak cukup jauh dari
kantor kecamatan, termasuk juga jarak tempuh dengan rumah kadus. Terlebih lagi ada
beberapa warga penerima manfaat yang rumahnya berada di hutan/kebun dan secara fisik
dan ekonomi tidak mampu. Sehingga pihak Kepala Dusun, RT/RW berupaya pro aktif
untuk mengantar langsung ke warga penerima. Dimana dari kantor desa dan kepala dusun
menyewa mobil angkut dengan biaya yang didapat dari dana iuran sukarela yang didapat
setiap proses penyaluran beras raskin. Jadi terdapat subsidi silang untuk meringankan
beban warga miskin dalam menerima haknya. Hal ini terjadi di Kecamatan Membalong,
Kabupaten Belitung.
Di Kabupaten Buton misalnya, lokasi distribusi disepakati dengan
mempertimbangkan aspek kecepatan dan ketepatan. Kantor/Balai desa tidak menyulitkan
50 | P a g e
warga untuk datang menebus raskin. Kantor/Balai desa sebagai pusat aktifitas
pemerintahan dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lainnya di desa merupakan pilihan
tepat untuk digunakan juga sebagai sentra pendistribusian raskin. Meski untuk desa
tertentu diputuskan di salah satu rumah warga dengan pertimbangan bahwa kendaraan
pengangkut raskin dari Bulog tidak bisa menjangkau kantor/balai desa dikarenakan akses
jalan ke tempat tersebut tidak bisa dilewati kendaraan roda empat. Ada pula desa yang
pernah mengusulkan agar pusat titik bagi raskin di rumah tiap-tiap kepala dusun,
lingkungan atau RW/RT. Namun pihak Bulog menolak karena akan terkendala dengan
waktu pendistribusian menjadi lebih lama. Sementara pada sisi lain, Bulog juga dituntut
harus bisa tepat waktu dalam pendistribusian. Selain itu, pemusatan titik distribusi di
rumah tiap-tiap kepala dusun, lingkungan atau RW/RT juga ditolak warga alasannya
masalah transparansi pembagian raskin. Bagi masyarakat yang setuju pendistribusian di
kantor atau balai desa, masyarakat bisa menyaksikan sendiri seluruh proses
pendistribusian ke warga sehingga hal-hal yang kesannya kurang transparan bisa dapat
dihindari.
Disamping Desa, Dusun, RW/RT, titik distribusi juga memanfaatkan rumah kader
posyandu, banjar atau kelompok dan warung desa. Namun pada dasarnya tidak terdapat
perbedaan yang kontras dari sisi efektivitas. Nampaknya prinsip secara umum yang
digunakan dalam penentuan titik distribusi adalah:
(a) Mudah dijangkau baik oleh Bulog dan warga
(b) Jumlah beras tidak berkurang karena tumpah di jalan
(c) Tidak membebani pengelola raskin (RT) karena tidak ada biaya kompensasi
(d) Waktu pembagian tidak terlalu lama
(e) Warga dapat melakukan kontrol ketika waktu pembagian.
Selain kelima prinsip tersebut, ditemukan pula kasus menarik dimana distribusi
beras diserahkan Bulog ke pihak swasta. Di Kecamatan Marabahan Barito Kuala, distribusi
beras dikelola oleh seorang tokoh masyarakat yang tinggal di Marabahan bernama KH.
Jahran. Distribusi beras dari BULOG langsung ke gudang milik KH Jahran, baru kemudian
beliau memberitahukan ke Kecamatan dan Desa/Kelurahan jika beras datang. Harga
raskin Rp. 1.600,- per Kg dari BULOG, oleh KH Jahran dijual ke desa sebesar Rp. 1800,-
51 | P a g e
untuk keperluan biaya pembelian karung, upah tenaga serta transportasi sebesar Rp. 200,-
per karung/per 15 Kg.
Tabel 3.11. Lokasi/Titik Distribusi Raskin
No Kabupaten/Kota Lokasi/Titik Distribusi Raskin
Kantor Desa Dusun/RW/RT Lokasi Lain
Lokasi Ujicoba Kartu 64 desa/kel 46 desa/kel - 1 Nias Selatan 9 desa, dirumah
kades/lurah 1 desa di rumah kadus
-
2 Bangka 6 di kantor desa/kelurahan
4 desa di rumah kadus
-
3 Belitung 7 di kantor desa kelurahan
3 desa, rumah RW/RT
-
4 Sampang - 10 desa di rumah kadus
-
5 Pamekasan 3 desa di rumah kepala desa
7 desa di dusun -
6 Buleleng 1 desa di kantor kepala desa
9 desa di dusun -
7 Karangasem 6 desa 4 desa - 8 Timor Tengah Selatan 10 desa - - 9 Sumba Barat Daya 6 desa 4 desa, di rumah
kadus -
10 Buton 9 desa 1 desa - 11 Muna 7 desa 3 desa - Lokasi Non Ujicoba Kartu 40 desa/kel 68 desa/kel 2 desa/kel 12 Deli Serdang 7 desa 3 desa 13 Bogor - 10 desa 14 Subang - 8 desa 2 desa, rumah
kader dan balai musyawarah
15 Brebes 1 desa 9 desa 16 Semarang - 10 desa 17 Barito Kuala 5 desa, (4 desa di
rumah kades, 1 desa di rumah BPD/Tim Raskin)
5 desa
18 Banjar - 10 desa 19 Makassar 6 desa 4 desa 20 Gowa 6 desa 4 desa 21 Halmahera 7 desa 3 desa 22 Tidore 8 desa 2 desa 104 desa/kel 114 desa/kel 2 desa/kel
52 | P a g e
III.6. Harga Beras
Dalam mekanisme pelaksanaan program raskin yang dikeluarkan oleh
Kemenkokesra disebutkan bahwa untuk pembayaran harga pokok beras (HPB) Raskin dari
RTS-PM kepada Pelaksana Distribusi Raskin dilakukan secara tunai sebesar Rp1.600,-/kg.
Nampaknya harga jual (penebusan) yang murah menjadi jendela (peluang) bagi pengelola
raskin terutama di tingkat desa untuk memanfaatkan sebagai media dalam penggalangan
dana dari masyarakat baik untuk kepentingan sosial (publik) maupun kebutuhan ekonomi
(pribadi).
Dalam monitoring dan evaluasi pelaksanaan program raskin putaran III dengan
jelas menunjukkan hanya sekitar 71 desa/kelurahan (32,27%) yang menetapkan harga jual
sesuai dengan ketentuan yaitu Rp. 1600,-/kg. Namun keputusan itu tidak berlaku di semua
wilayah administrative dari tingkat paling atas sampai paling rendah di tingkat desa. Hanya
1 desa atau kelurahan dalam suatu kecamatan atau 1 kecamatan dalam suatu kabupaten
saja. Contohnya antara lain adalah desa Mayong di Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng;
desa Seraya Timur, Kabupaten Karangasem; begitu pula Kecamatan Kedundung,
Kabupaten Sampang, dan Kecamatan Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang.
Di wilayah Kecamatan Lubuk Pakam, tidak ada tambahan biaya untuk penebusan
raskin. Warga menebus beras dengan harga Rp. 1.600/kg atau Rp. 24.000 per 15 kg.
Sedangkan biaya lain seperti biaya transportasi menjadi tanggungan pihak desa yaitu dari
dana Alokasi Dana Desa (ADD). Begitu pula yang terjadi di Kecamatan Kedundung. Namun
pihak penanggung biaya lainnya (berupa bongkar muat dan transportasi dari desa ke
dusun) berbeda pada setiap desa sampel. Di desa Batoporo Timur dan Banjar, biaya lain
diambil dari kas desa, sementara di desa Palenggiyan dan Jerruan berasal dari dana
pribadi. Demikian pula di Sumba Barat Daya. Harga tebus beras dari masyarakat sesuai
dengan pedoman umum Raskin. Tanpa ada biaya tambahan lainnya, sekalipun bagi
masyarakat yang tinggal di desa yang berjarak sekitar 59 km menuju BULOG atau harus
ditempuh selama 5.5 jam.
Padahal sesuai dengan ketentuan, untuk biaya angkut dari BULOG ke titik distribusi
(desa) sudah menjadi tanggungan BULOG melalui pos biaya operasional Raskin yang telah
ditetapkan dari Pusat. Selain itu BULOG juga menanggung biaya koordinasi dengan
53 | P a g e
pemerintah kabupaten sejumlah Rp 1.500.000/bulan, kecamatan Rp 100.000/bulan, dan
dengan pemerintah desa Rp 30.000/bulan. Sedangkan sumberdana APBD Kabupaten
hanya untuk menanggung biaya sosialisasi. Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada
biaya lain lagi yang dikenakan bagi penerima Raskin, selain biaya tebus raskin, yakni Rp.
1.600/Kg.
Namun dalam faktanya berbeda. Beberapa kasus menunjukan masyarakat
dibebaskan dari biaya penebusan raskin. Misal yang terjadi di Kecamatan Kao Utara,
Kabupaten Halmahera Utara. Di wilayah ini masyarakat menebus Raskin tanpa membayar.
Karena seluruh biaya tebus ditanggung oleh PT. Nusa Halmahera Mineral sebagai bagian
dari program tanggungjawab sosial perusahaan terhadap masyarakat lingkar tambang.
Demikian pula dengan Propinsi Bangka Belitung, dimana masyarakat di Kabupaten Bangka
dan Kabupaten Belitung tidak perlu mengeluarkan biaya apapun untuk menebus Raskin
atau gratis. Hal ini sudah berlaku di Propinsi Bangka Belitung sejak tahun 2009 karena
biaya beras Rp 1.600/kg disubsidi dari APBD Propinsi melalui Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Pemerintahan Desa (total Rp 8,9 miliar). Sedangkan biaya
angkut/distribusi ditanggung oleh APBD Kabupaten masing-masing.
Pemerintah Kabupaten juga mengalokasikan anggaran khusus untuk biaya
operasional Raskin senilai Rp 300/Kg. Biaya tersebut digunakan untuk kepentingan para
perangkat kelurahan/desa ketika mendistribusikan raskin. Sementara pemerintah
Kabupaten Belitung telah menanggung biaya yang disebut sebagai upah timbang sebesar
Rp 4.000 per RTS untuk setiap kali penyaluran. Meski demikian tetap saja ada istilah
‘sumbangan sukarela’, ‘uang konsumsi’, dan lain sebagainya dengan nilai yang bervariasi.
Ada yang sebesar Rp 3.000, Rp 5.000, atau Rp 6.000,- per sak yang diserahkan pada saat
pengambilan untuk satu paket Raskin. Sumbangan itu diberikan secara langsung pada
aparat desa, tetapi ada pula yang dimasukkan ke kotak sumbangan yang sudah disiapkan
oleh pihak desa.
Tambahan biaya yang dikutip di Belitung ini terkesan janggal. Apalagi jika dana
tambahan itu digunakan untuk membayar biaya timbang yang sesungguhnya sudah
ditanggung oleh APBD Kabupaten. Namun setelah bulan September atau sejak dibagikan
54 | P a g e
beras dengan ukuran karung kecil 15kg, pengelola desa Air Seru tidak lagi memungut biaya
timbang karena tidak perlu membayar tenaga penimbang lagi.
Sementara 149 desa/kelurahan sisanya menetapkan harga jual beras raskin mulai
dari Rp. 1.700,- hingga Rp. 2.500,-. Bahkan terdapat juga desa yang menetapkan harga
hingga Rp. 4.000,- per kg. Perbedaan harga penebusan beras oleh RTS bukan saja di tingkat
kabupaten/kota, melainkan juga antar desa dan termasuk pada tingkat distribusi terbawah
yaitu di Dusun/RT.
Gambaran umum penetapan harga jual atau penebusan beras raskin di masing-
masing Kabupaten/Kota dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.12. Harga Jual (penebusan) Beras Raskin oleh RTS di tiap Kabupaten/Kota
No Kabupaten/Kota Harga Jual (penebusan) Raskin (Rp)
Keterangan 1600 1600-2.000 Diatas 2.000
Wilayah Ujicoba Kartu 1 Nias Selatan - 10 desa/kel - Terima di
desa 2 Bangka 10 desa/kel - - Gratis 3 Belitung 10 desa/kel - - Gratis, tetapi
ada tambahan sukarela per sak beras
4 Sampang 8 desa/kel 2 desa/kel - Harga 1.700 5 Pamekasan 10 desa/kel - - 6 Buleleng 1 desa/kel 8 desa/kel 1 desa/kel Harga 1.600,
RTS membawa tempat sendiri
7 Karangasem 7 desa/kel 3 desa/kel - 8 Timor Tengah Selatan 6 desa/kel - 4 desa/kel 9 Sumba Barat Daya 10 desa/kel - - 10 Buton 1 desa/kel 9 desa/kel - Harga 1.600
perliter 11 Muna - 4 desa/kel 6 desa/kel Wilayah Non Ujicoba Kartu 12 Deli Serdang 6 desa/kel 4 desa/kel - Harga 1.600
kualitas jelek 13 Bogor - - 10 desa/kel 14 Subang - 6 desa/kel 4 desa/kel 15 Brebes - 5 desa/kel 5 desa/kel 16 Semarang - 10 desa/kel - Harga rata2
55 | P a g e
Rp. 2000/kg 17 Barito Kuala - 3 desa/kel 7 desa/kel 18 Banjar - 2 desa/kel 8 desa/kel Ada 1 RT yang
harganya 4.000 perkg
19 Makassar - 10 desa/kel - 20 Gowa 2 6 desa/kel 2 desa/kel 21 Halmahera - 3 desa/kel 7 desa/kel 22 Tidore - - 10 desa/kel Jumlah 71 desa/kel 85 desa/kel 64 desa/kel
Dalam kaitannya dengan penetapan harga jual atau tebus beras raskin di tingkat
RTS sebesar Rp. 1.600,- ada beberapa masalah yang berkembang :
Pertama, kesesuaian ukuran. Sekalipun ada 71 desa/kelurahan yang menetapkan
harga sebesar Rp. 1600,-, namun tidak seluruhnya menjual dengan ukuran yang sama (kg).
Di Desa Bahari (Buton), Desa Taeng (Gowa), misalnya, penjualan raskin di sana
menggunakan satuan ukuran liter. Jika dalam 1 sak berisi 15 kg, maka terdapat penyisihan
sebesar 3 kg atau Rp. 4.800,- per sak.
Kedua, sarana dan prasarana. Pengelola raskin tidak menyediakan kantong atau
bungkus dan ini menjadi urusan RTS untuk membawa kantong sendiri. Termasuk tidak
menyediakan alat transportasi ke lokasi terdekat dari RTS seperti di Kecamatan Buleleng.
Di Desa Kalebarembang (Gowa), RTS harus mengeluarkan biaya Rp. 3.000,- untuk sewa
ojek ketika mengambil raskin di Desa.
Ketiga, kualitas raskin. Dengan harga Rp. 1600/kg, umumnya kualitas berasnya
kurang bagus, seperti di Kecamatan Lubuk Pakam Deli Serdang.
III.6.1. Peruntukan Biaya Tambahan
Penetapan harga jual atau tebus nampaknya
tidak semuanya standar. Ada lokasi yang didasarkan
pada proses musyawarah dan ada yang bersifat
sepihak yang diputuskan sendiri oleh kepala desa,
pengelola raskin, kepala dusun atau RT. Termasuk
dasar pertimbangan dalam menentukan harga
sehingga berbeda-beda harga jual di tingkat RTS
“Disini saya menebus beras dengan harga Rp. 13.500
untuk setiap 6 Kg beras dan ditambah dengan iuran /
infak pembangunan masjid sebesar Rp. 5.000,- sehingga setiap penebusan beras kami
harus mengeluarkan Rp. 18.500,-“ , kata Ibu Tarmah
dari desa Baros, Brebes.
56 | P a g e
sekalipun dalam 1 wilayah desa/kelurahan. Misal saja, Kepala Desa Antar Baru di Barito
Kuala, M Jiddan yang mengatakan bahwa dirinya tidak tahu mengapa harga tebus beras
didesanya bisa lebih tinggi di banding Desa Antar Jaya, dan itu kebijakan dari pengelola
raskin desa. Keluhan yang sama disampaikan oleh salah seorang RTS di Deli Serdang
“Kenapa ya bu, di daerah Langkat seperti punya saudara saya, dapatnya 15 kg, harganya pun
Cuma 1.600. Sedangkan disini harganya 1.800 dan dapatnya 10kg.“ Namun hal itu tidak
pernah disampaikan langsung oleh warga kepada panitia raskin, “wah, kami kalo banyak-
banyak tanya nanti malah dicoret, besok-besok nggak dapat lagi.“ (Penerima raskin di Desa
Sei Gelugur Pancur Batu, Deli Serdang).
Harga jual atau penebusan yang diatas ketentuan juga sangat bervariasi dan secara
umum dalam kisaran Rp. 1800,- hingga Rp. 2500,- tergantung pada lokasi tinggal dari RTS.
Kecuali pada kasus di Kabupaten TTS. Di 3 desa di Amanatun Selatan yang lokasinya cukup
jauh dan terisolasi jaraknya dari Kota So’e justru tidak melakukan pungutan tetapi 3 desa
dan kelurahan di kecamatan Kota So’e, persis di jantung ibukota kabupaten TTS justru
memberlakukan pungutan tambahan transportasi sebesar Rp. 2000,-/RTS. Ada
kecenderungan, bahwa harga jual (tebus) di wilayah perkotaan jauh lebih mahal
dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini terlihat pada harga jual di Bogor, Semarang,
Makasar dan Tidore yang rata-rata menjual beras seharga Rp. 2.000,- per kg. Demikian pula
untuk wilayah Kabupaten, dimana lokasi yang dekat dengan pusat pemerintah lebih mahal
dari pada lokasi yang jauh. Penambahan biaya ini dengan berbagai alasan :
(a) pembelian kantong plastik
(b) transpor dari desa ke titik bagi
(c) ongkos petugas penimbangan
(d) honor petugas raskin desa/dusun
(e) upah buruh truk
“Terus terang kita tidak bisa menjual beras sesuai aturan yang telah ditetapkan
pemerintah yaitu sebesar Rp 1.600/kg. Kenapa begitu, karena pengelola perlu biaya
tambahan untuk transport, beli kantong plastik dan honor petugas di lapangan saat
mengangkut beras dari kelurahan dan saat membagi di Pos Yandu. Satu tambahan lagi yang
sangat penting, isi beras karung 50 kg, ternyata saat ditimbang tidak mencapai 50 kg, rata-
57 | P a g e
rata 46-47 kg/karung. Sedangkan kami tetap membayar ke kelurahan seharga 50 kg. Oleh
karena itu berdasarkan musyawarah dengan RT setempat serta diwakili oleh warga, maka
kami sepakat untuk menjual beras dengan harga Rp. 2.000,-/liter atau Rp2.500/kg.” (H. Enin
Suryana, Ketua RW 01 Kelurahan Kedung Badak, Bogor)
Pada sisi lain, kehadiran program raskin ini juga dimanfaatkan sebagai medium
penggalangan dana di tingkat Desa/Dusun/RW/RT. Banyak lokasi yang memasukkan
komponen biaya yang tidak langsung terkait dengan raskin dalam harga jual atau tebus,
misalnya iuran RW/RT, iuran posyandu, perbaikan kantor desa atau rumah ibadah.
Termasuk memasukan biaya sukarela yang besarnya Rp. 2.000,- sampai Rp. 3.000,- per 15
kg sebagaimana di Belitung yang pembagian raskinnya bersifat gratis.
Penambahan biaya ini pada sebagian lokasi memang dimanfaatkan benar-benar
untuk kepentingan publik, namun ada juga yang masuk ke kantong aparat. Di RW 01
Kelurahan Gunung Batu misalnya, disebutkan bahwa sisa saldo tersebut tidak diketahui
oleh warga dengan alasan khawatir warga akan memanfaatkan untuk hal yang tidak jelas.
Lebih baik disimpan dan kami gunakan untuk membantu warga miskin berobat. Berbeda
Kelebihan harga juga dialokasikan untuk pengelola Raskin itu sendiri. Dengan nama atau istilah yang berbeda. Ada yang mengatasnamakan biaya operasional petugas raskin. Ada pula yang menyebut jasa pendistribusian, hanya karena tim Raskin desa tidak menerima beras jatah. Padahal di beberapa wilayah ditemukan para pengelola Raskin turut menikmati berkah beras murah ini. Seorang kader Posyandu di Kecamatan Subang yang merangkap sebagai pengelola Raskin tingkat RW mengaku bahwa setiap kader dan RT mendapat jatah beras masing-masing 1 karung ukuran 15 kg, sementara RW setiap bulan mendapat jatah Rp 100.000. Ditambahkan oleh seorang ketua RT di Kecamatan Cipunagara, Subang, dari penyelenggaraan program Raskin ini RT mendapat upah Rp 100.000 per bulan. Dan ternyata berkah Raskin begitu luas hingga berwujud kursi. Kini setiap RT di salah satu desa di Subang sudah mempunyai kursi yang lazim dimanfaatkan untuk pertemuan tingkat RT atau disewakan untuk hajatan dan biaya sewanya sebagai pemasukan kas RT.
58 | P a g e
dengan Kelurahan Pasir Jaya yang justru mengakui bahwa warga malah tahu akan sisa
penjualan raskin tersebut. Transparansi penggunaan saldo penjualan raskin justru dituntut
oleh warga. “Warga tidak keberatan dan warga pun cukup menikmati sisa dana tersebut
melalui kegiatan-kegiatan sosial, seperti pengajian mingguan-bulanan, posyandu, dana
rapat, perbaikan jalan-selokan, dan seterusnya. Yang penting kelebihan dananya diketahui
oleh warga dan disetujui penggunaannya. Itulah gunanya kita disini sering rapat,
musyawarah dan berembuk biar semua enak dan kebagian” (Erwin Toar/Ketua RW.011,
Kel.Pasir Jaya). Pemanfaatan sisa atau kelebihan hasil penjualan raskin memang beragam.
Di sejumlah desa di Kabupaten Buleleng, digunakan sebagai PAD desa rata-rata sebesar Rp.
400.000,-/bulan - Rp. 500.000,-/bulan. Bahkan di Banjar/Dusun/Linkungan/RT di
Buleleng setiap bulannya menerima dana lebih dari hasil penjualan raskin sebesar Rp.
1.000.000,- - Rp. 1.500.000,- untuk pembangunan dan kegiatan upacara adat di banjar/
dusun/ lingkungan/ RT.
Namun terdapat pula desa atau kelurahan yang
memang sengaja menaikkan harga jual raskin untuk
membiayai yang tidak perlu. Misal saja : memberikan tips
bagi supir dan kernet truk dari Bulog sebagaimana di
Kabupaten Subang. Membayar pinjaman atau tunggakan
raskin masa lalu akibat penyelewengan oleh oknum desa
seperti di Kota Tidore. Di Kelurahan Goto Tidore misalnya,
Raskin dijual dengan harga Rp. 2000,- per kg karena
kelebihannya untuk menutupi hutang dari pinjaman raskin
masa lalu. Kecenderungan menambahkan biaya di sejumlah lokasi agaknya menjadi pola
dengan berbagai alasan. Yang paling banyak adalah alasan untuk keperluan biaya
transportasi. Meski ada lokasi yang mendapat subsidi atau bantuan dana transportasi,
namun tetap harganya lebih besar dari ketentuan. Misal saja, di Kabupaten Gowa, dimana
melalui APBD 2012 telah dialokasikan dana transportasi raskin sebesar Rp. 100.000,-
/bulan/desa. Hanya saja menurut keterangan dari Kepala Desa, realisasinya tidak jelas dan
mekanismenya merepotkan dan butuh waktu 2-3 hari mengurus. Sehingga Kepala Desa
cenderung tidak mengambil. “ Memang ada dana dari Kabupaten untuk transportasi raskin,
Harga raskin yang seharusnya dijual
Rp.1600 / kg, harus dijual dengan harga
Rp. 2000 untuk menutupi hutang
(Usman Toduho, Lurah Goto)
59 | P a g e
namun mengurusnya rumit, butuh waktu dan ongkos ke kota. Jadi malas ngurus karena di
sini banyak pekerjaan “ (Kepala Desa Kalebarembeng, Gowa).
III.6.2. Kemampuan Menebus Beras
Terkait dengan persoalan harga ini, hasil monitoring dan evaluasi ini juga
memperoleh informasi mengenai kemampuan masyarakat miskin untuk menebus beras
baik bagi warga yang menerimanya setiap bulan maupun beberapa bulan sekaligus.
Mayoritas warga selalu mengambil jatahnya saat beras datang. Termasuk warga penerima
Raskin di Sampang yang penyalurannya dilakukan dengan model diputar atau bergilir per
dusun dimana setiap 1 dusun penyalurannya 2 bulan sekali atau 3 bulan sekali. Demikian
pula bagi sebagian warga Semarang Utara yang tidak merasa kesulitan dalam menebus
Raskin sejumlah 1-3 kg saja dengan harga kurang dari Rp 10.000. Hal ini masih dianggap
ringan oleh sebagian warga. Apalagi di Kabupaten Bangka dan Kabupaten Belitung dimana
Raskin diberikan secara gratis.
Meski demikian bukan berarti kelompok warga yang tidak pernah melewatkan
setiap jadwal distribusi Raskin itu selalu mempunyai dana untuk menebusnya. Warga
Karangasem, salah satu contohnya, selalu dapat menebus beras dalam setiap penyaluran,
karena dibantu secara tidak langsung oleh Kepala Lingkungan yang sudah membayar
dimuka seluruh jatah beras warga di lingkungannya. Sehingga warga masih mempunyai
waktu sekitar 3 hari untuk melunasi penebusannya. Yang menjadi soal adalah tidak seluruh
kelembagaan dusun, RW dan RT memiliki kapasitas pendanaan seperti di Karangasem
untuk menyediakan dana talangan bagi warga untuk menebus raskin.
Dari pemaparan tersebut diperoleh gambaran bahwa kemampuan warga kurang
mampu ini tetap saja dalam keterbatasan terutama dalam persoalan ketersediaan dana.
Pekerjaan mereka yang kebanyakan pada bidang usaha yang tidak memberikan
penghasilan tetap membuat mereka seringkali kesulitan membayar Raskin. Ketidakpastian
waktu distribusi acapkali mengakibatkan warga kurang mampu menjadi kesulitan untuk
menebus. Bagi warga yang memiliki keluarga atau tetangga yang mampu biasanya
meminjam sementara untuk keperluan penebusan. Namun pada sisi lain, manakala tidak
ada keluarga maka warga yang berpenghasilan tidak menentu seringkali meminjam uang
60 | P a g e
pada pelepas uang (rentenir) untuk menebus dan terakhir merelakan hak raskin tidak
ditebus karena ketiadaan dana.
Berikut ini adalah beberapa faktor yang menyebabkan warga penerima Raskin
bertambah sulit untuk menebus beras yang menjadi jatahnya.
Di Buleleng ada beberapa dusun yang mempertanyakan masalah jadwal penebusan
beras ini. Karena ketua lingkungan/RT di wilayah mereka tidak mengumumkan kapan
tepatnya beras dapat ditebus. Mereka hanya diberi tahu bahwa waktu penebusan beras
hanya 1 hari, dan bila melampaui dari jadwal tersebut aparat tidak akan melayani lagi
dengan alasan beras sudah ditebus oleh warga lainnya. Padahal warga masih
mengumpulkan dana untuk menebusnya dengan menempuh berbagai cara seperti
mengumpulkan barang-barang bekas terlebih dahulu untuk dijual atau bekerja serabutan
lainnya. Ternyata ada permainan di sana. Hasil observasi di lapangan menemukan bahwa
pada setiap penyaluran di wilayah itu selalu ada tukang tadah yang sudah siap menampung
beras dari Kepala RT dengan harga pasaran berkisar Rp. 4.000 - Rp. 5.000.
1. Jadwal datang beras setiap bulan tidak tetap waktunya. Distribusi pernah dilakukan pada tengah bulan atau kadang pada awal bulan, tetapi tidak selalu pada waktu tersebut. Waktu yang tidak tentu itu menyulitkan mereka yang berpenghasilan rendah dan tidak tetap untuk menyiapkan dananya. Tidak bisa dipastikan apakah mereka mempunyai uang atau tidak ketika beras datang dalam jadwal yang tidak menentu ini. Apalagi jika Raskin disalurkan saat masyarakat belum menerima gaji atau bahkan ketika uang penghasilan warga sudah habis atau tanggal tua. Akibatnya pada situasi seperti itu dimana ada warga yang tidak menebus Raskin maka jatahnya akan dialihkan kepada warga penerima lainnya. Dan bila keluarga lain yang tercantum dalam DPM itu tidak mampu atau tidak sanggup menebusnya maka biasanya akan ditawarkan kepada masyarakat lainnya selain yang terdaftar di DPM.
61 | P a g e
Warga yang kesulitan untuk menebus Raskin akan bertambah pada
saat musim paceklik atau sedang mengganggur, karena mereka tidak
punya pendapatan sama sekali.
Padahal terkadang beras yang diterima tidak sesuai dengan jatah sejumlah bulan
penyaluran yang sudah dibayar oleh warga. Artinya ketika warga telah membayar beras
untuk jatah 3 bulan, misalnya, maka selayaknya mereka akan menerima beras sebanyak
jatah 3 bulan tersebut. Tetapi kadang tidak demikian praktik yang terjadi di lapangan.
Seperti yang pernah terjadi di Lahusa, Nias Selatan. Warga diminta membayar jatah beras
untuk 3 bulan berikutnya, sementara jatah 3 bulan sebelumnya yang telah mereka setor
sekaligus masih belum genap diterima semuanya atau tersisa jatah 1 bulan lagi.
Terkait dengan hal tersebut, di Desa
Sidamangura dan Konawe, Kabupaten Muna,
sering terjadi keributan pada setiap
pembagian Raskin. Karena masyarakat yang
sudah membayar sebelumnya justru tidak
dapat menerima jatahnya. Aparat desa justru
mendahulukan pelayanan terhadap warga
yang menebus setelah beras datang
dibandingkan mereka yang telah membayar jauh
2. Penyaluran beras dalam waktu beberapa bulan sekaligus Di beberapa wilayah, dengan pertimbangan utama menghemat biaya transportasi, distribusi beras kepada keluarga miskin yang tercantum dalam DPM seringkali dilakukan tidak setiap bulan (antara lain di Nias Selatan, Karangasem, Timor Tengah Selatan, Buton, Muna, Halmahera Utara, Tidore), misalnya dalam kurun waktu 3 bulan sekali atau 4 bulan sekali. Penyaluran beberapa bulan sekaligus seperti itu dirasa sangat memberatkan bagi masyarakat. Terlebih bila datangnya beras bertepatan dengan adanya upacara di dusun/desa (Karangasem) atau pada waktu hasil bumi berkurang (Nias Selatan). Sehingga ada sebagian yang masyarakat yang menebus jatahnya lebih kecil daripada jumlah bulan distribusinya. Misalnya seharusnya warga berhak menebus Raskin sejumlah 45 kg untuk jatah distribusi selama 3 bulan, tetapi karena tidak memiliki cukup dana maka mereka hanya mampu menebus 20 – 30 kg.
62 | P a g e
sebelum hari penebusan tiba. Ketika warga mengajukan keberatan dan protes mengenai
persoalan itu, pihak aparat desa justru menawarkan pengembalian uang mereka sebagai
solusinya.
Warga yang sering mengalami kesulitan dalam menebus Raskin mungkin tidak
banyak jumlahnya. Terutama para lansia, janda, keluarga miskin sekali dan keluarga miskin
dengan banyak anak. Akan tetapi jumlahnya akan semakin bertambah pada saat musim
paceklik dan tidak banyak pekerjaan di lingkungan tempat tinggalnya. Karena rata-rata
pekerjaan warga adalah petani, nelayan, pekerja lepas, dan buruh. Sehingga pada saat
musim paceklik atau sedang mengganggur, mereka tidak punya pendapatan sama sekali.
Seperti di Batumarmar, Pamekasan, misalnya. Meski terlihat banyak rumah besar
dan mewah di sana namun itu merupakan hasil dari masa lalu saat mereka bekerja sebagai
TKI bukan cermin keadaan sekarang. Karena setelah kembali ke kampungnya mereka tidak
bekerja lagi atau hanya bekerja sebagai petani yang tidak menentu penghasilannya.
Keadaan tak pasti ini dialami juga oleh buruh tani bawang di Brebes. Ketika musim
paceklik mereka kehilangan pendapatan yang biasanya diterima sebesar Rp 12.000 untuk
setengah hari kerja. Sedangkan di Kodi Bangedo, Sumba Barat Daya, masa-masa sulit
penduduk di sana justru terjadi pada saat panen padi. Pundi keuangan mereka terisi kala
tiba musim jambu sekitar bulan September-Desember. Jadi kemampuan keuangan mereka
Supaya dapat membeli Raskin, cara yang umum ditempuh oleh kebanyakan warga adalah meminjam uang atau berhutang. Baik pada tetangga, saudara, kepala desa maupun pihak lainnya. Pinjaman akan dikembalikan kelak setelah mereka mempunyai uang atau mendapatkan kiriman dari keluarga yang merantau. Sedangkan para jompo dan janda mengandalkan pemberian uang dari sanak saudara dan anak-anaknya.
Cara lainnya adalah menjual harta yang masih dimiliki atau menjual hasil kebun berupa sayur mayur, singkong, ubi, buah-buahan (antara lain di Timor Tengah Selatan, Buton, Muna) dan hasil ternak seperti ayam, babi, dan kambing (antara lain di Timor Tengah Selatan). Ada pula yang sengaja menyisihkan uang atau menyimpan sisa uang belanja harian demi dapat menebus Raskin.
63 | P a g e
tergantung musim. Begitu pula para nelayan di Semarang Utara. Mereka pergi melaut tidak
setiap hari dan ketika melaut pun belum tentu memperoleh hasil.
Oleh karena itu banyak pula di antara mereka yang bersedia melakukan usaha apa
saja atau bekerja serabutan sepanjang mendatangkan uang. Seperti yang diungkapkan oleh
seorang warga di Semarang, yang tinggal bersama anak-anaknya yang sudah berkeluarga
beserta cucu-cucunya dengan total anggota rumah tangga sejumlah 8 orang dalam rumah
berukuran 4x5 m2 dan berdinding papan. Penghasilan keluarga ini tidak menentu karena
hanya menantu dan cucunya saja yang bekerja secara serabutan. Sehingga mereka
seringkali merasa kesulitan untuk menebus raskin.
Meski kebanyakan titik bagi menerapkan sistim beras boleh dibawa pulang oleh
warga setelah dibayar atau ‘ada uang ada barang’, tetapi di beberapa wilayah lainnya
terdapat pengecualian. Di Semarang Utara masyarakat diperbolehkan mengambil Raskin
terlebih dulu dan membayarnya setelah mempunyai uang. Bahkan bagi warga yang sangat
tidak mampu biasanya ditalangi terlebih dahulu oleh tetangga yang lebih mampu atau oleh
aparat desa seperti kepala dusun/ketua RT/ketua RW/kepala desa/korlap Raskin. Dana
talangan itu, menurut pengakuan pengelola Raskin di Sampang, dapat mencapai 30 % dari
jumlah keseluruhan hasil pembayaran Raskin desa.
Di Brebes ada ketua RT yang terpaksa menggunakan uang pribadi atau nombok
hingga Rp 400.000 setiap bulan karena beras tidak ditebus warga yang tidak mampu. Jika
demikian kondisinya aparat terpaksa harus menutupi jumlah keseluruhan tebusan beras
termasuk menanggung pembayaran dari warga yang belum melunasi pembayaran atau
menunggak (di Nias Selatan, ada yang menunggak sampai 3-6 bulan). Selain dengan cara
merogoh kantong pribadi, ada pula pengelola Raskin yang mengambil jalan dengan
menjual beras yang tersisa kepada pihak lain. Dengan harga yang lebih tinggi atau yang
berlaku di pasaran. Tentu saja ada laba di sana. Namun mereka berdalih hal ini dilakukan
supaya dapat mengembalikan uang tebusan saat mengambil beras di BULOG.
Di sisi lain bila ingin dibandingkan antara harga Raskin yang ditetapkan dengan
nilai kualitasnya, kebanyakan warga menganggap kedua hal itu sudah setara atau sesuai.
Dengan nada yang pasrah bahkan tak jarang yang sinis. “Yaa…, harga Rp 2.000 wajarlah
kalau kualitasnya juga seperti ini,” demikian pernyataan salah seorang warga di Bogor.
64 | P a g e
Atau seperti yang diungkapkan oleh masyarakat di Semarang dan Gowa, “Harga tersebut
memang sesuai karena kualitasnya juga jelek.” Jauh lebih jelek dari beras di pasar, tambah
warga Muna.
Jadi semuanya tergantung pada sudut pandangnya. Beras akan dinilai kualitasnya
berdasarkan harga yang mana. Bila hanya berdasarkan angka Rp 1.600 atau Rp 2.000 atau
variasinya, maka harga yang ditebus warga sudah sesuai dengan kualitasnya. Namun jika
ditinjau dari harga beli Pemerintah ke BULOG sebesar Rp 6.000 (antara lain di Deli
Serdang, Bogor) atau Rp 7.000 (antara lain di Gowa), maka beras yang selama ini diterima
warga dinilai masih jauh dari kualitas seharusnya pada harga tersebut.
III.7. Kualitas Beras
Kualitas beras adalah satu elemen penting dalam mengukur tingkat keberhasilan
program raskin. Pada pedoman penyelenggaraan raskin bab IV disebutkan bahwa jika
dalam penyaluran terdapat Raskin yang tidak sesuai dengan kualitas yang ditetapkan
dalam Inpres Perberasan, No 7 Tahun 2009 maka Tim Koordinasi Raskin Kecamatan atau
Pelaksana Distribusi atau Penerima Manfaat harus menolak dan mengembalikannya
kepada Satker Raskin untuk diganti dengan kualitas yang sesuai. Dengan harga pembelian
dari pemerintah sebesar Rp. 6.000,- per kg dan sesuai Inpres No 7, maka RTS seharusnya
mendapatkan beras dengan kualitas kadar air maksimum 14%, butir patah maksimum
20%, kadar menir maksimum 2% dan derajat sosoh minimum 95%.
Namun dalam faktanya, tidak seluruh lokasi desa monev yang mendapatkan beras
dengan kualitas baik. Dari 220 desa/kelurahan yang dimonitor, tercatat hanya 37,72 %
lokasi yang mendapatkan beras raskin dalam kualitas baik, 58,18 % lokasi yang menerima
beras dalam kondisi pecah, berbau, berwarna dan berkutu dan 4,09 % lokasi yang
menerima beras berkutu. Ini berarti, sekitar 62,27 % kualitas beras yang didistribusikan ke
RTS dalam kondisi yang kurang berkualitas. Sementara ada 7 Kabupaten/Kota yang
seluruh desanya menerima beras dalam kondisi kualitas yang buruk yaitu Pamekasan,
Buton, Muna, Subang, Brebes, Semarang dan Halmahera Utara. Ini berarti, pihak Bulog
mendistribusikan beras raskin yang dibawah standart harga yang dibeli pemerintah yaitu
Rp. 6.000,- per kg. Nampaknya jika mengikuti Inpres Perberasan, kualitas beras yang
disalurkan Bulog berkisar pada harga Rp. 2.685,- hingga Rp. 3.300,- per kg.
65 | P a g e
Tabel 3.13. Kualitas Beras Raskin yang diterima RTS di 22 Kabupaten/Kota
No Kabupaten/Kota
Kualitas Beras Raskin
Baik Pecah/Menir Bau/
Berwarna Berkutu
Wilayah Ujicoba Kartu 1 Nias Selatan 1 desa 9 desa (menir, bau dan berkutu) 2 Bangka 10 desa - 3 Belitung 3 desa 7 desa/kel, beras lembab
karena karena lamanya waktu distribusi
4 Sampang 10 desa - 5 Pamekasan - 10 desa, beras pecah dan bau 6 Buleleng 4 desa 6 desa, beras pecah dan coklat 7 Karangasem 4 desa 6 desa, pecah2 dan bau 8 Timor Tengah Selatan 8 desa 2 desa, pecah2 9 Sumba Barat Daya 10 desa - 10 Buton - 10 desa, pecah dan agak coklat 11 Muna - 10 desa, beras pecah, mangkak dan berkutu Wilayah Non Ujicoba Kartu - - 12 Deli Serdang 7 desa 1 desa - 2 desa 13 Bogor 2 desa/kel 8 desa/kel, pecah dan mangkak 14 Subang - 10 desa, pecah-pecah, bau dan berkutu 15 Brebes - 10 desa, pecah, berbau dan berkutu 16 Semarang - 10 desa, pecah dan agak berbau 17 Banjar 9 desa 1 desa, beras pecah dan mangka 18 Barito Kuala 10 desa - 19 Makasar - 2 desa, pecah 5 desa, coklat 3 desa 20 Gowa - 1 desa, pecah 8 desa, berbau 1 desa 21 Halmahera - 10 desa, beras pecah, berbau dan berkutu 22 Tidore 5 desa 2 desa, pecah 3 desa Jumlah 83 desa/kel 128 desa/kel 9 desa/kel
III.7.1. Pengolahan Raskin
Masyarakat menilai kualitas Raskin seringkali jauh dari kelayakan konsumsi bagi
manusia. Bentuk butiran beras tidak utuh/remuk/hancur, sudah menguning atau bahkan
cenderung berwarna hitam, berdebu, berkutu, berbau, berbatu, banyak kotoran sisa
penggilingan/katul, banyak karak, menggumpal. Sehingga ketika dimasak tidak tahan lama
atau cepat basi (Brebes dan Muna), atau setelah dingin nasinya menjadi keras (Halmahera
Utara).
66 | P a g e
Di Deli Serdang sebagian besar masyarakat miskin menyatakan bahwa Raskin yang
dinikmati sekarang sudah baik kualitasnya dan lebih enak rasanya. Namun, menurut
beberapa warga, setiap bulan kualitas beras tidak sama. Ada kalanya bagus seperti
beras yang mereka beli di pasar dan kadangkala buruk. Pada bulan Oktober dan November
2012, misalnya, ditemukan beberapa karung Raskin dengan mutu tidak baik. Beras dengan
kualitas buruk itu biasanya banyak ditemukan pada karung berukuran 15 kg.
Meski kualitasnya tidak sesuai standar, petugas pembagi tetap menyalurkannya dan
warga juga tetap menebusnya. Karena umumnya aparat tidak memeriksa seluruh karung
yang diantar ke desa atau kelurahan sehingga Raskin yang diterima tidak diketahui
kualitasnya. Seperti yang disampaikan seorang aparat desa di Kecamatan Kao Utara,
Kabupaten Halmahera Utara, berikut ini:
Di masing-masing daerah Raskin berkualitas tidak baik ditemukan dalam berbagai variasi berikut:
Pada waktu tertentu saja (tidak setiap waktu penyaluran)
Pada beberapa karung dalam periode penyaluran yang sama
Pada setiap waktu penyaluran dan hampir semua karung Pada karung dengan kemasan lebih kecil
Itu tara kase tahu, entah mau bagus dia tara bae, tetap saya kase, pasti dong mara karna tara bae, pasti dong buang, dia b’abu, dia bagumpal, trus kaya dia b’kutu.” (kami tidak beritahu, entah beras tersebut bagus atau tidak bagus, tetap saya bagikan ke warga, pasti mereka marah-marah karena kualitas raskin jelek, mereka pasti buang, karena beras berabu, banyak gumpalan, terus banyak kutunya)
67 | P a g e
Di Kabupaten Subang misalnya, beras yang diterima oleh masyarakat kondisi
menirnya bisa mencapai 40%. Di Desa Tanjung, Desa Jati, Kec. Cipunagara dan Desa Ciasem
Baru Kecamatan Ciasem, sejumlah RTS memperlihatkan beras dengan kualitas yang buruk
sebesar 5 liter dengan tingkat beras menir sekitar 40% (2 liter) menir. Menurut salah
seorang warga beras ini tidak dapat dikonsumsi sehinggga oleh warga digunakan sebagai
pakan ternak ayam karena harga pakan ternak bisa mencapai Rp. 3.000,- s/d 4.000,- perkg.
Gambar 6. Kondisi beras raskin dalam keadaan kecoklatan dan pecah-pecah
Sedangkan di Kabupaten Karangasem umumnya Raskin digunakan untuk konsumsi
RTS. Selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, raskin juga digunakan
untuk membuat makanan tradisional (jajan reginang/tipat) untuk kebutuhan upacara adat
(maturan/sesajen) yang dibuat oleh RTS (tidak dijual).
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, bahwa secara umum kualitas beras
Raskin secara fisik sudah mengalami perubahan terutama sejak 3 bulan terakhir, namun
dari rasa masih tetap dianggap kurang. Sebagaimana yang dirasakan oleh masyarakat
miskin di kabupaten Banjar. Mereka tidak menyukai beras yang rasanya pulen (malut) atau
melekat setelah melalui proses pemasakan. Karena berasnya terasa seperti beras ketan,
sedangkan masyarakat di sana biasa mengkonsumsi beras dengan tekstur agak keras.
Sekalipun Raskin yang dibagikan dalam kondisi kualitas yang kurang baik, namun
nampaknya posisi RTS (warga) tidak berdaya untuk menolak karena kebutuhan yang tidak
bisa dihindari dan tidak ada pilihan lain. Ibu Nelci Missa dari Desa Fenun Kecamatan
68 | P a g e
Amanatun Selatan TTS, mengatakan “Kualitas raskin pada penyaluran terakhir ini, hancur
(maksudnya pecah-pecah) tetapi tetap kami makan (konsumsi), karena raskin sangat
membantu kami dalam memenuhi kebutuhan makan (pangan) kami sekeluarga”. Hal yang
sama juga terjadi di Kota Semarang, dimana selama program raskin berjalan (2012)
kualitas raskin yang diterima kurang baik kualitasnya yaitu berasnya remuk, berwarna
kehitaman/kehijauan dan baunya apek. Pernyataan ini diperjelas oleh keterangan Kasi
Kesos Kelurahan Mangunharjo Kecamatan Tugu, Semarang, “Beras raskin yang disalurkan
kurang baik kualitasnya yaitu remuk/hancur, kadar menirnya mencapai 30%, berwarna
hitam dan kehijauan, serta banyak sisa kotoran hasil penggilingan (las). Kualitas raskin yang
kurang baik kemungkinan karena memang kualitas padinya tidak begitu bagus, dan beras
terlalu lama disimpan di Dolog sehingga kualitasnya berkurang sangat banyak”.
Secara umum, meski berkualitas buruk, Raskin tetap dikonsumsi oleh masyarakat
miskin. Sebagian mengkonsumsinya tanpa mencampur dengan beras lain dengan alasan
keuangan karena warga tidak mempunyai uang untuk membeli beras lainnya. Ada pula
karena alasan kesehatan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa warga di
Kabupaten Deli Serdang dan Kota Tidore Kepulauan, “Terkadang rasanya lumayan enak
juga, apalagi Raskin kadar gulanya rendah sehingga baik untuk kesehatan.” Tetapi ada
kasus di Kaliwlingi, Brebes, apabila dimakan tanpa campuran beras yang lebih
bagus, perut warga menjadi sakit.
Sebelum dikonsumsi, Raskin harus melalui berbagai proses terlebih dahulu
supaya enak di lidah. Cara yang biasa dilakukan warga, antara lain:
Mencuci beras dengan lebih lama/berkali-kali
Mencuci beras dengan air garam untuk menghilangkan bau
apeknya
Mencampur dengan daun pandan saat memasak supaya wangi
Menambahkan air pada saat memasak sehingga beras tidak
keras
Memasak dengan santan
69 | P a g e
Memang sebagian besar warga biasanya mengkonsumsi Raskin dengan cara
mencampurnya dengan jagung (antara lain di Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten
Karangasem) atau umumnya dengan beras lainnya berjenis premium atau yang lebih baik
mutunya.
Dalam kaitan dengan kualitas, BULOG juga merespon keluhan warga dengan
mendemonstrasikan memasak nasi (magic jar) bersama masyarakat dan hasilnya baik dan
bisa dimakan. “Memang harus direndam agak lama dalam proses mencucinya, saya juga ikut
makan kemarin di desa Sebudi Kabupaten Karangasem”, jelas Bapak Made Raka Suparta.
III.7.2. Pengembalian Beras
Berdasarkan keterangan yang dikumpulkan dari pihak BULOG, sesungguhnya jika
ada beras yang tidak layak konsumsi, maka beras dapat dikembalikan dan ditukar dalam
waktu 24 jam. Namun belum banyak warga atau para pengurus Raskin di berbagai wilayah
yang mengetahui mengenai adanya mekanisme pengembalian beras tersebut. Di samping
itu aparat di desa/kelurahan juga khawatir adanya biaya tambahan saat mengembalikan ke
BULOG.
Padahal BULOG akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap penggantian beras
yang rusak termasuk mengganti biaya pengangkutan atau dengan kata lain tanpa ada
penambahan beban biaya. Demikian antara lain yang disampaikan oleh Kansilog Nias
Selatan dan BULOG Kabupaten Muna.
Walau demikian pengembalian Raskin ini agak sulit dilakukan dalam tempo 24 jam.
Karena jarak dan geografis desa yang sangat menyebar, biasanya beras dengan kualitas
buruk baru diketahui setelah karung dibuka di titik bagi yang kebanyakan terletak di dusun
dan telah lebih dari 24 jam. Apalagi jumlah karung beras yang tiba di titik distribusi (kantor
desa) biasanya dalam jumlah yang banyak sehingga pengelola raskin di tingkat desa tidak
dapat memeriksa satu demi satu karung Raskin untuk melihat kualitasnya. Selain itu
peralatan untuk memeriksa Raskin juga tidak dimiliki oleh petugas raskin di tingkat desa.
“Bagaimana mau mengecek raskin, datang jumlahnya karung sudah banyak, dan sering tiba
di desa sudah sore, kami tidak mempunyai alat, juga sudah tidak ada petugas di kantor desa
yang mengawasi”, ungkap Pak Nengah Masa.
70 | P a g e
Oleh karena itu waktu 1 x 24 jam yang diberikan oleh BULOG untuk melakukan
penukaran tidak akan mungkin bisa dipenuhi oleh aparat ditingkat desa. Proses distribusi
dari kantor desa ke dusun/banjar memerlukan waktu 1-2 hari, dan kualitas beras baru
dapat diketahui pada hari kedua sehingga sudah tidak bisa melakukan klaim. Di samping
itu petugas yang mengantarkan beras hanyalah supir truk dan kuli angkut bukan karyawan
BULOG, sehingga urusan keluhan tidak bisa ditangani langsung di lapangan.
Sementara kendala teknis yang dihadapi di Bogor adalah penyaluran oleh BULOG
dilakukan pada malam hari/tengah malam sehingga pihak kelurahan atau warga tidak
sempat memeriksa kualitas beras pada setiap karung yang diantar. Kesempatan untuk
memeriksa itu baru dapat dilakukan setelah beras sampai di rumah Ketua RT/RW saat
beras dibongkar dan ditimbang di sana. Tetapi ketika warga menjumpai beras berkualitas
kurang baik, ada semacam keengganan warga untuk mengembalikan beras ke
RT/RW/Kelurahan karena beranggapan akan menyita waktu padahal kebutuhan beras
sudah tidak bisa ditunda lagi.
Meskipun demikian di beberapa wilayah ada sejumlah aparat yang sudah pernah
melakukan pengembalian Raskin kepada BULOG, antara lain Semarang, Gowa, Bangka,
Makasar. Di Semarang pengelola Raskin pernah mengembalikan Raskin karena ditemukan
banyak kutunya dan selanjutnya BULOG mengganti dengan beras yang lebih baik.
Pengalaman yang sama pernah dialami oleh aparat kelurahan di Makasar, namun pihak
kelurahan harus mengantar dan mengambil penggantinya sendiri serta dengan
menggunakan biaya sendiri.
Demikian pula yang terjadi di salah satu kelurahan di Bangka pada bulan
September. Saat itu ditemukan sekarung beras ukuran 50 kg yang tidak layak konsumsi
karena isinya menggumpal seperti sudah pernah terkena air dan kadaluarsa. Barangkali
karena penyaluran dari BULOG itu sudah berlangsung lama sehingga tidak
mengidentifikasi karung tersebut secara seksama termasuk beras buruk tadi. Lalu pihak
kepala lingkungan setempat melaporkan temuan itu kepada pihak BULOG, dan
menukarkan dengan beras yang layak dikonsumsi.
Penukaran beras dari desa kepada BULOG tersebut, menurut Ketua Tim Raskin
BULOG di Bali, rata-rata per bulan terjadi sebanyak 11%. Diakui oleh pihaknya bahwa cara
71 | P a g e
penyimpanan beras di BULOG masih konvensional dan sangat manual. Hal ini sangat
berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, dimana beras yang disimpan
tersebut semakin lama kualitasnya justru semakin baik.
Namun ternyata penukaran beras tidak selalu menghasilkan kualitas yang lebih
baik. Antara lain hal ini dialami oleh warga di Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang. Ada
satu desa yang mengembalikan beras dengan kualitas jelek ke BULOG. Pada hari
berikutnya beras pengganti datang tetapi dengan kualitas yang tidak lebih baik.
Hal ini tentu saja membuat para pengelola Raskin untuk berpikir ulang bila ingin
mengganti beras. Apalagi ternyata biaya transportasi tetap ditanggung sendiri oleh
pengurus desa. Kini aparat di Brebes agak enggan menukarkan beras lagi kepada BULOG.
Bila hampir setiap penyaluran, selalu ada beras dalam kualitas yangburuk, maka akan
menyita waktu dan merepotkan atau menambah pekerjaan mereka.
Alasan biaya dan waktu juga mengemuka dari wilayah lain, seperti Sampang,
Pamekasan, Halmahera Utara, dan Muna. Sempat terpikir akan mengembalikan beras ke
BULOG, tetapi selain masyarakat tidak paham caranya, para pengurus Raskin juga
mempertanyakan biaya transportasi dan biaya buruh menjadi tanggungan masyarakat atau
BULOG. Selain itu kalau dikembalikan ke BULOG prosesnya akan memakan waktu yang
lama. Oleh karena itu biasanya masyarakat menerima saja apa adanya beras yang sudah
ditebus.
Pasrah. Barangkali itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan sikap
masyarakat miskin pada umumnya terhadap kualitas Raskin. Mereka menerima begitu saja
beras pemberian pemerintah dengan harga murah ini. Karena Raskin merupakan bantuan
pemerintah, baik buruknya tidak diperhitungkan atau lebih tepatnya sudah dimaklumi.
Mereka tetap bersyukur telah mendapatkan bantuan. Tanpa protes. Karena menurut warga
di Brebes, “Rasanya tidak etis sudah dikasih beras murah tetapi masih protes.“
Sesungguhnya banyak keluhan masyarakat terhadap kualitas Raskin. Namun
biasanya hanya sampai pada obrolan dengan tetangga saja. Sangat jarang keluhan tersebut
disampaikan secara langsung kepada perangkat desa. Hal ini terutama karena warga
khawatir keluhan atau protes yang disampaikan akan membuat nama mereka dicoret atau
dikeluarkan dari Daftar Penerima Raskin.
72 | P a g e
Permasalahan kualitas beras dapat dikatakan sebagai persoalan yang menuntut
perhatian serius dari pemerintah. Memperbaiki atau meningkatkan kualitas beras harus
menjadi prioritas pemerintah dalam penyaluran Raskin mendatang. Sebagaimana pesan
yang disampaikan oleh aparat di Kabupaten Subang berikut ini, “Sebaiknya pemerintah
lebih memperhatikan kualitas beras terlebih dahulu dibandingkan mengubah sistim atau
menerapkan metode baru.” Bahkan bila BULOG tidak sanggup menyediakan beras dengan
kualitas layak konsumsi, salah seorang camat setempat, yang daerahnya merupakan salah
satu wilayah lumbung padi, mengusulkan untuk menggunakan beras lokal produksi
wilayahnya yang kualitasnya lebih baik daripada mutu beras BULOG.
III.8. Waktu Penyaluran Beras
Dalam Pedoman Umum pada penjelasan mengenai waktu penyaluran beras hanya
disebutkan bahwa waktu pelaksanaan penyaluran beras kepada RTS-PM sesuai dengan
rencana penyaluran. Namun berdasar pagu Raskin yang sudah ditetapkan yaitu setiap
bulan untuk setiap desa/kelurahan maka umumnya distribusi beras ini dilaksanakan
regular 1 kali sebulan. Dari hasil monev menunjukan bahwa tidak semua wilayah sampel
menyalurkan dalam waktu yang sudah ditentukan (1 kali/bulan). Proporsinya berimbang
antara wilayah yang membagi Raskin secara rutin dengan yang tidak. Hampir separuh atau
46% dari 220 desa/kelurahan sampel menyalurkan beras kepada rumah tangga miskin
secara teratur setiap bulan.
Sedangkan sisanya sekitar 54 % wilayah membagi Raskin dalam waktu beberapa
bulan sekaligus, dengan berbagai variasi waktu yakni ada yang 2 bulan sekali, atau 3 bulan
bahkan ada pula yang sampai 6 atau 7 bulan sekali. Hal ini memberi isyarat bahwa di
sejumlah lokasi, manajemen distribusi (ketepatan waktu, lokasi bagi) masih merupakan
masalah dalam effektivitas pelaksanaan raskin. Tanpa disadari bahwa ketdakpastian dan
lamanya waktu penyaluran berimplikasi pada peningkatan pengeluaran dari warga miskin
karena warga harus membeli beras dengan harga pasar. Seperti ungkapan dari seorang
warga di Desa Kualeu, Timor Tengah Selatan berikut ini : “ Raskin tidak kami terima setiap
bulan tetapi 6 bulan bahkan lebih karena kami menunggu kapan pemerintah desa
memberikan informasi melalui RT/Dusun untuk kami bayar raskin atau kami terima raskin”.
73 | P a g e
Tabel 3.14. Waktu Penyaluran Raskin di 22 Kabupaten/Kota
No Kabupaten/Kota
Waktu Penyaluran
Rutin (Setiap Bulan)
Tidak Rutin (Beberapa Bulan)
Wilayah Ujicoba Kartu 42 desa (41.2%) 68 desa (57.6%) 1 Nias Selatan - 10 desa 2 Bangka 10 desa - 3 Belitung 10 desa - 4 Sampang 9 desa 1 desa 5 Pamekasan 2 desa 8 desa 6 Buleleng 10 desa - 7 Karangasem 1 desa 9 desa 8 Timor Tengah Selatan - 10 desa 9 Sumba Barat Daya - 10 desa
10 Buton - 10 desa 11 Muna - 10 desa Wilayah Non Ujicoba Kartu 60 desa/kel (58.8%) 50 desa/kel (42.4%) 12 Deli Serdang 10 desa - 13 Bogor 10 kelurahan - 14 Subang 10 desa - 15 Brebes 10 desa - 16 Semarang 10 desa - 17 Barito Kuala 6 desa 4 desa 18 Banjar 3 desa 7 desa 19 Makasar 1 kelurahan 9 kelurahan 20 Gowa - 10 desa 21 Halmahera Utara - 10 desa 22 Tidore - 10 kelurahan
Jumlah 102 desa/kelurahan 118 desa/kelurahan
Jika ditelusuri menurut lokasi uji coba kartu dengan yang non uji coba kartu, dari
tabel 3.14 tampak bahwa jumlah kabupaten/kota yang seluruh desa/kelurahan
melaksanakan distribusi tepat waktu di wilayah non uji coba kartu lebih banyak dari pada
daerah dengan penerapan metode baru. Yakni 5 kabupaten/kota (Deli Serdang, Bogor,
Subang, Brebes, dan Semarang) berbanding dengan 3 kabupaten (Bangka, Belitung, dan
Buleleng). Namun terjadi yang sebaliknya pada perbandingan antara jumlah wilayah yang
semua desa/kelurahannya tidak dapat secara rutin melakukan distribusi Raskin, yaitu 3
kabupaten/kota (Gowa, Halmahera Utara, Tidore) berbanding dengan 5 kabupaten/kota
(Nias Selatan, Timor Tengah Selatan, Sumba Barat Daya, Buton, dan Muna) di lokasi uji
coba kartu. Hal ini berarti secara keseluruhan ketepatan waktu distribusi yang tidak
74 | P a g e
berjalan sesuai ketentuan lebih banyak terjadi di daerah dengan penerapan metode uji
coba kartu (57.6%).
Penyaluran Raskin yang tidak dilaksanakan setiap bulan tersebut dapat dikatakan
dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini:
1. Kendala transportasi/jarak/letak geografis
Jarak desa ke BULOG yang jauh dengan kondisi jalan yang rusak dianggap tidak efektif
jika penyaluran harus dilakukan setiap bulan. Seperti yang terjadi di Sumba Barat Daya
(SBD) dimana sub Divre Bulog masih berkedudukan di Waikabubak-Sumba Barat yang
berjarak sekitar 40 km dari SBD. Selain itu alat pengangkutan beras juga menjadi
pertimbangan, sebagaimana yang terjadi di Kecamatan Lolowau, Nias Selatan. Di sana
kapal pengangkut beras hanya 1 unit dengan kapasitas yang terbatas apalagi saat cuaca
buruk. Sehingga distribusi beras umumnya dilaksanakan sekaligus untuk beberapa
bulan.
2. Pagu Raskin yang ditetapkan tidak sesuai dengan jumlah warga miskin
Untuk mengatasinya maka umumnya aparat/pengurus Raskin setempat menempuh
cara atau siasat dengan pembagian beras secara merata bagi seluruh rumah tangga
miskin yang ada. Akibatnya beras yang diterima oleh masing-masing RTS setiap bulan
tidak akan pernah mencapai 15 kg sesuai ketentuan atau dalam jumlah yang sedikit
sekali (lihat pembahasan tentang Jumlah Beras). Oleh karena itu supaya sekali menebus
warga bisa langsung menerima dalam jumlah yang banyak maka distribusinya
dilakukan beberapa bulan sekali. Di kecamatan Mollo Utara, Timor Tengah Selatan,
misalnya. Jika dibagi setiap bulan setiap warga miskin Desa Eonbesi hanya menerima
beras sebanyak 3-4 kg. Tetapi bila ditebus setiap 6 bulan maka mereka akan mendapat
jatah Raskin dalam jumlah yang (seolah-olah) lebih banyak yakni 40 kg. Hal ini senada
dengan pernyataan kepala desa Walla Ndimu, Sumba Barat Daya, “Lebih baik kumpul
banyak baru diambil, supaya terima berasnya dalam jumlah yang banyak.”
3. Adanya tunggakan desa
Penyaluran beras oleh Bulog dijalankan berdasarkan atas pembayaran yang dilakukan
oleh masing-masing daerah. Artinya bagi desa yang sudah membayar dana setoran
warga ke rekening Bulog melalui bank setempat maka penyaluran beras bagi daerah
75 | P a g e
tersebut akan didahulukan. Mengenai sistim pembayaran yang dilakukan sebelum
penyaluran tersebut, pihak Bulog Barito Kuala mengemukakan alasan berikut,
“Pembayaran raskin sebenarnya bisa 3-4 hari setelah penerimaan raskin, tapi kadang
sulit jua karena aparat desa sudah disibukkan dengan penyaluran beras. Sehingga
kebanyakan dari Kecamatan membayar terlebih dahulu tagihan raskin tersebut”. Dan
sebaliknya untuk desa yang belum melunasi pembayaran akan ditunda pengirimannya
hingga seluruhnya terlunasi. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi tunggakan pembayaran
yang berlipat-lipat.
Akibat dari tunggakan tersebut adalah distribusi Raskin kepada RTS-PM menjadi
tersendat atau tidak rutin setiap bulannya. Meskipun hanya karena keterlambatan
setoran dari 1 RT (dipakai oleh ketua RT untuk modal usaha) atau 1 kepala desa, maka
semua desa dalam lingkup 1 kecamatan akan menanggung risikonya tidak akan
mendapat jatah Raskin pada bulan tersebut sebagaimana yang terjadi di kabupaten
Banjar. Sementara di kecamatan Bontonompo, kabupaten Gowa, pada periode Juni-
Desember 2012 hanya terjadi 2 kali penyaluran yakni pada awal bulan Desember 2012
dan Januari 2013. Hal ini terjadi sebagai akibat dari belum dilunasinya setoran bulan
April dan Mei 2012 sebesar Rp 111.656.000,-.
76 | P a g e
BAB IV
ANALISA PROGRAM RASKIN
IV.1. Umum
Berdasarkan ketentuan yang telah digariskan dalam pedoman umum dan temuan-
temuan dari monitoring pelaksanaan program raskin di masyarakat, menunjukan bahwa
program raskin nyaris belum berjalan effektif dilihat dari proses dan hasilnya. Nyaris tidak
ada satu kabupaten/kota yang menjadi lokasi monitoring telah melaksanakan program
raskin secara sempurna dalam arti seluruh ketentuan yang diatur dalam pedoman umum
dipatuhi.
Tabel 4.1. Pencapaian 6 Indikator Pelaksanaan Program Raskin
No Indikator Pelaksanaan raskin di
Desa/Kelurahan Jumlah Ya Tidak
1 Sosialisasi Program Raskin dengan RTS
110 (50%) 110 (50%) 220 (100%)
2 Pemasangan Poster DPM di ruang terbuka
44 (20%) 176 (80%) 220 (100%)
3 Musyawarah Penggantian DPM 43 (19,54%) 177 (81,46%) 220 (100%)
4 Kesesuaian Jumlah Beras 54 (24,54%) 166 (73,46%) 200 (100%) 5 Kesesuaian Harga Beras 75 (34,09%) 145 (65,91%) 220 (100%) 6 Kesesuaian Kualitas Beras 84 (38,18%) 136 (61,82%) 220 (100%)
Rata-rata 31,05% 68,95% 100%
Dengan menggunakan 6 aspek atau elemen penting dalam pelaksanaan program
raskin sebagaimana tabel 4.1. di atas, maka hanya 31,05 % dari 220 desa/kelurahan yang
melaksanakan program raskin sesuai dengan ketentuan. Masalah pokok yang nampak dari
program raskin adalah terkait dengan rendahnya partisipasi masyarakat dan transparansi
serta akuntabilitas terutama di tingkat desa. Masyarakat terutama kelompok miskin nyaris
tidak dilibatkan dalam seluruh proses pelaksanaan raskin. Ini terlihat dari rendahnya
kegiatan sosialisasi dan musyawarah yang melibatkan warga (RTS-PM) terkait dengan
raskin di tingkat RT, Dusun dan Desa/Kelurahan. Hal ini menunjukan bahwa aparat desa
77 | P a g e
masih beranggapan jika warga (RTS-PM) adalah objek yang tidak berdaya dan perlu
disantuni .
Program raskin terkesan seolah-olah menjadi milik dan kewenangan pemerintah
dan keberadaan masyarakat (RTS) hanyalah sebagai objek (penerima). Karenanya, setiap
bentuk putusan atau ketentuan tentang raskin harus diterima, meskipun tidak sesuai
seperti jumlah beras yang diterima, harga beras yang ditebus dan kualitas. Pendek kata,
masyarakat dihadapkan pada posisi yang sulit yaitu “terima atau tidak”. Mengingat jika
tidak bersedia menerima, masih ada warga lain yang mau menerima. Selain itu, jika tidak
bersedia, masyarakat sangat membutuhkan untuk memenuhi konsumsi keluarganya.
Situasi yang sulit ini juga diperkuat dengan persepsi tradisionil masyarakat tentang
“bantuan” yang tidak boleh ditolak dan siapapun berhak.
Kekhawatiran terjadinya kerusuhan, kecemburuan dan kekisruhan diantara warga
terkait dengan program raskin telah membuat aparat desa/kelurahan cenderung hati-hati
dan tertutup dalam melaksanakan program ini. Pemasangan poster DPM yang tidak
dilakukan dan kartu raskin yang disimpan adalah indikasinya. Sekalipun disadari
kekhawatiran ini tidak seluruhnya tepat karena akar persoalan yang sebenarnya adalah
alokasi jumlah raskin yang disediakan lebih sedikit dari yang dibutuhkan. Kedua, tidak ada
keberanian dan kemauan dari aparat desa untuk memberikan pendidikan dan pemahaman
kepada warganya jika raskin diperuntukan bagi warga miskin (RTS-PM). Karena itu,
desa/kelurahan yang menerima beras sesuai dengan jumlah yang ditentukan (15 kg)
kurang dari 25%. Sebagian besar lokasi membagikan beras secara bergilir dan merata.
Ketidakberdayaan masyarakat, terutama warga miskin (RTS) menjadi semakin jelas
ketika dihadapkan pada ketidaksesuaian harga yang ditentukan. Sebagian besar desa
(65,91%) menetapkan harga jual/penebusan beras diatas ketentuan dengan bermacam-
macam alasan baik rasional maupun tidak. Bahkan tidak sedikit, desa/kelurahan yang
menjadikan program raskin sebagai ajang penggalangan dan pemupukan dana baik untuk
keperluan desa, organisasi dan juga pribadi. Misal di Belitung, mengingat beras diberikan
secara gratis, maka desa memanfaatkan dengan mengutip sumbangan sukarela dari setiap
RTS sebesar Rp. 2.000,- hingga Rp. 3.000,-. Disamping itu, yang lebih menarik adalah harga
jual beras di wilayah perkotaan jauh lebih mahal dibandingkan di pedesaan.
78 | P a g e
Ketidaksesuaian pelaksanaan program raskin dari ketentuan yang digariskan
semakin lebih nyata ketika melihat kualitas beras yang dibagikan. Salah seorang warga
(RTS) mengandaikan bahwa posisinya sebagai penerima ibarat sudah jatuh ditimpa tangga.
Mengingat jumlah beras yang diterima kurang dari 15 kg, harga hingga Rp. 2.000,- dan
ditambah lagi kualitas beras tidak baik. Tercatat hanya 38,18% desa/kelurahan yang
menerima beras dengan kualitas standart sesuai dengan Inpres Perberasan No 7 Tahun
2009. Sekalipun pihak Bulog memberikan kesempatan untuk penggantian beras yang tidak
berkualitas, namun dengan ketentuan pengembalian dapat dilakukan dalam waktu 1x24
jam dari distribusi, maka masyarakat beranggapan ini omong kosong mengingat jarak ke
Bulog sangat jauh dan membutuhkan biaya. Karenanya, nyaris tidak ada desa yang
mengembalikan beras yang tidak berkualitas. Masyarakat lebih membuat berbagai siasat
agar beras yang berkualitas rendah masih tetap dapat dikonsumsi.
IV.2. Tingkat Daerah
Situasi secara nasional pada dasarnya merupakan gambaran dari perkembangan
program raskin di tiap-tiap daerah (kabupaten/kota). Dari 22 Kabupaten/Kota yang
menjadi lokasi monitoring dan terdiri dari 11 lokasi uji coba kartu raskin dan 11 lokasi non
uji coba, nampaknya tidak ada perbedaan yang mencolok dalam pencapaian program
raskin yang ditentukan. Boleh disebut tidak ada satupun kabupaten atau kota yang
kinerjanya sempurna baik dalam proses maupun distribusinya. Apa yang telah digariskan
dalam pelaksanaan raskin yaitu 6 T (tepat sasaran, tepat waktu, tepat jumlah, tepat harga,
tepat kualitas dan tepat administrasi) nyaris tidak terjadi sehingga hanya bersifat slogan.
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan program Raskin secara
kuantitatif di masing-masing daerah, Tim Prisma melakukan penghitungan skor terhadap 9
indikator yang sudah berhasil dipantau dalam survei kualitatif. Pada setiap indikator, nilai
terendah adalah 0 dan tertinggi adalah 10. Dasar penilaiannya adalah jumlah desa yang
telah melakukan/menjalankan indikator tersebut. Artinya jika di suatu daerah ada 10
desa/kelurahan yang melakukan indikator A maka akan bernilai 10, sebaliknya jika tidak
ada desa/kelurahan yang menjalankannya maka nilai indikator di daerah itu adalah 0.
Dengan demikian nilai tertinggi di daerah uji coba kartu akan mencapai 90 untuk 9
indikator, sementara di wilayah non kartu adalah 80 untuk 8 indikator. Dengan asumsi
79 | P a g e
setiap indikator mempunyai bobot yang sama, maka skor pelaksanaan Raskin di suatu
kabupaten/kota adalah (hasil bagi antara total nilai seluruh indikator suatu daerah dengan
nilai tertinggi) x 100.
Tabel 4.2. Skor Pelaksanaan Raskin di 22 Kabupaten/Kota
No Kabupaten/Kota Indikator Pelaksanaan Raskin
Jumlah Skor A B C D E F G H I
Lokasi Ujicoba Kartu Rata-rata 40.2
1 Nias Selatan 3 0 0 7 7 3 1 0 0 21 23.3 2 Bangka 3 0 2 10 10 3 10 10 10 58 64.4 3 Belitung 8 5 10 8 7 10 3 10 10 71 78.9 4 Sampang 0 0 7 6 6 0 10 9 8 46 51.1 5 Pamekasan 0 0 0 0 0 0 0 2 10 12 13.3 6 Buleleng 7 5 6 2 2 1 4 10 1 38 42.2 7 Karangasem 8 1 10 8 8 1 4 1 7 48 53.3 8 Timor Tengah
Selatan 9 6 0 2 2 0 8 0 6
33 36.7 9 Sumba Barat Daya 6 3 8 2 2 0 10 0 10 41 45.6 10 Buton 5 0 10 1 1 0 0 0 1 18 20.0 11 Muna 9 2 1 0 0 0 0 0 0 12 13.3 Lokasi Non Ujicoba Kartu
Rata-rata 26.6
12 Deli Serdang - 2 0 4 4 0 7 10 6 33 41.3 13 Bogor - 2 10 0 0 10 2 10 0 34 42.5 14 Subang - 1 0 0 0 0 0 10 0 11 13.8 15 Brebes - 1 6 0 0 0 0 10 0 17 21.3 16 Semarang - 3 2 0 0 0 0 10 0 15 18.8 17 Barito Kuala - 1 10 2 2 0 10 10 0 35 43.8 18 Banjar - 2 0 2 0 7 9 3 0 23 28.8 19 Gowa - 5 4 0 0 6 0 0 2 17 21.3 20 Makasar - 0 9 0 8 4 0 1 0 22 27.5 21 Halmahera Utara - 3 8 0 0 0 0 0 0 11 13.8 22 Tidore Kepulauan - 3 5 0 0 3 5 0 0 16 20.0
Rata-rata (keseluruhan) 33.4
Keterangan:
A. Penerapan Kartu D. Jumlah Beras tepat G. Beras berkualitas baik
B. Pemasangan Poster E. Dibagi sesuai kuota RTS H. Waktu bagi tepat
C. Melakukan Sosialisasi F. Melakukan Musyawarah I. Tepat Harga
80 | P a g e
Di Nias Selatan, misalnya. Pada indikator B bernilai 0 karena tidak ada satu pun desa
di sana yang memasang poster. Sedangkan pada indikator D, Nias Selatan memperoleh nilai
7 karena ada 7 desa yang telah melaksanakan pembagian beras secara tepat jumlah.
Demikian seterusnya hingga seluruh indikator memiliki nilainya berdasarkan data yang
ada. Sehingga diperoleh total nilai terhadap 9 indikator adalah 21. Jadi skor pelaksanaan
Raskin di Nias Selatan (yang merupakan lokasi uji coba kartu) adalah (21/90) x 100 atau
sama dengan 23.3. Dengan cara serupa, maka skor yang diperoleh Deli Serdang (lokasi non
uji coba kartu) adalah (33/80) x 100 atau sama dengan 41.3.
Dari Tabel 4.2. di atas tampak bahwa hanya Kabupaten Belitung dan Bangka yang
pelaksanaan program Raskin-nya berjalan cukup baik dilihat dari proses dan hasilnya.
Selanjutnya wilayah yang pelaksanaannya termasuk dalam kondisi sedang adalah
Kabupaten Karangasem dan Sampang. Sekalipun demikian, beberapa wilayah juga dapat
dikategorikan sedang yakni Kabupaten Sumba Barat Daya, Barito Kuala, Bogor, Buleleng,
dan Deli Serdang. Kabupaten yang boleh disebut buruk pelaksanaan program Raskin-nya
adalah Kabupaten Halmahera Utara, Subang, Muna, dan Pamekasan. Ada kecenderungan,
bahwa proses penyelenggaraan yang partisipatif dan transparan, maka kegiatan distribusi
raskin lebih baik dalam arti beras dibagi sesuai dengan kuota RTS, jumlah beras lebih tepat
dan waktu pembagian lebih baik. Satu-satunya lokasi yang pelaksanaan program raskin
tidak effektif dan jauh dari yang ditentukan adalah Kabupaten Pamekasan. Kecuali
pembagian beras, di Kabupaten Pamekasan, nyaris tidak ada desa yang melaksanakan
kegiatan raskin seperti sosialisasi program raskin, pemasangan poster DPM, pembagian
kartu raskin maupun musyawarah penggantian RTS. Hal positif yang berlangsung di
Kabupaten Pamekasan hanya dalam penetapan harga beras yang sesuai ketentuan (Rp.
1600,-/kg) dan pembagian beras sesuai dengan waktu yang ditentukan meski hanya terjadi
pada sedikit desa saja.
Bila analisa dilakukan menurut wilayah Jawa (60 desa/kelurahan atau 6
kabupaten/kota) dan Luar Jawa (160 desa/kelurahan atau 16 kabupaten/kota), maka
“ketidakpatuhan” pelaksanaan Raskin lebih banyak terjadi di wilayah Jawa daripada Luar
Jawa. Hal ini tampak pada banyak indicator seperti sosialisasi, pemasangan poster,
pembagian kartu, ketepatan jumlah, harga, dan kualitas. Pada aspek sosialisasi, misalnya,
81 | P a g e
jumlah desa/kelurahan yang tidak melakukan sosialisasi pada warganya di area
monitoring Jawa mencapai sekitar 58 persen sedangkan di Luar Jawa adalah 48 persen.
Perbedaan yang sangat mencolok terlihat dalam persoalan kualitas beras, dimana
buruknya kualitas beras dikeluhkan oleh 80 persen penerima Raskin di Jawa sementara di
Luar Jawa disampaikan oleh 56 persen warga miskin. Terkait dengan hal terakhir ini
menjadi ironis mengingat Jawa memiliki begitu banyak daerah lumbung padi namun
ternyata warga miskinnya justru menerima beras dengan mutu yang tidak baik. Apalagi
dalam hal ketepatan waktu penyaluran beras sesungguhnya Jawa lebih baik daripada Luar
Jawa karena penerima Raskin di Jawa lebih rutin mendapatkan jatahnya atau dapat
menebus setiap bulan (85 persen di Jawa berbanding dengan 41 persen di Luar Jawa).
Artinya setiap bulan beras dikeluarkan dari gudang Dolog dan selanjutnya disalurkan pada
masyarakat yang menjadi target Raskin sehingga beras tidak terlalu lama tersimpan di
gudang yang sering diduga menjadi penyebab menurunnya/rusaknya mutu beras seperti
menggumpal, berkutu, berbau.
Tabel 4.3. Pelaksanaan Raskin menurut Jawa dan Luar Jawa
No Uraian Jawa (%) Luar Jawa (%)
Kartu Non Kartu
Kartu Non Kartu
1 Tidak melakukan Musyawarah 0 25 12.22 69.57 2 Tidak melakukan Sosialisasi 65 55 47.78 48.57 3 Tidak memasang poster 100 82.5 75.56 77.14 4 Tidak tepat jumlah 70 100 55.56 88.57 5 Tidak tepat harga 10 100 50 88.57 6 Tidak tepat kualitas 50 95 55.56 55.71 7 Tidak tepat waktu 45 0 65.56 65.71
Rata-rata 48.57 65.36 51.75 70.55
Hasil yang menarik juga terkuak dalam kelompok area Jawa dan Luar Jawa tersebut
ketika ditinjau lebih dalam berdasarkan lokasi uji coba kartu (Jawa: 20 desa/kelurahan
atau 2 kabupaten/kota, Luar Jawa: 90 desa/kelurahan atau 9 kabupaten/kota) dengan non
uji coba (Jawa: 40 desa/kelurahan atau 4 kabupaten/kota, Luar Jawa: 70 desa/kelurahan
atau 7 kabupaten/kota). Pada masalah sosialisasi dan pemasangan poster, desa/kelurahan
di Jawa yang tidak mengikuti pedoman yang digariskan justru lebih banyak terjadi di
wilayah uji coba, yakni sekitar 65 persen yang tidak melakukan sosialisasi dan ada 100
82 | P a g e
persen atau seluruh desa yang tidak memasang poster. Bandingkan dengan angka di lokasi
non uji coba yaitu masing-masing 55 persen dan 83 persen. Padahal sosialisasi menjadi
penting terutama di lokasi uji coba untuk menyebarluaskan metode baru berupa
penerapan kartu kepada masyarakat termasuk pemasangan daftar nama penerima Raskin
yang termuat dalam bentuk poster.
Namun pada indikator lainnya seperti ketepatan jumlah dan harga, baik di Jawa
maupun Luar Jawa, ketidaksesuaian indicator tersebut lebih banyak terlihat di lokasi non
uji coba daripada daerah uji coba kartu. Agaknya penggunaan kartu yang mencantumkan
dengan jelas siapa penerimanya, jatah beras yang menjadi hak penerima, serta harga tebus
yang seharusnya, membuat para pengurus Raskin di lokasi uji coba kartu lebih berhati-hati
dalam membagi Raskin sehingga RTS-PM setempat cenderung menerima beras dalam
jumlah dan harga sesuai ketetapan.
Jika wilayah monitoring dibagi dalam kelompok Indonesia bagian Barat (100
desa/kelurahan atau 10 kabupaten/kota) dan Timur (120 desa/kelurahan atau 12
kabupaten/kota), terlihat bahwa tidak berjalannya sosialisasi, pemasangan poster,
pembagian kartu, dan kualitas beras sesuai dengan ketentuan lebih banyak terjadi di
wilayah Barat daripada Timur. Sebaliknya ketidaktepatan jumlah beras, harga serta waktu
penerimaan beras, kebanyakan dijumpai di wilayah Indonesia Timur. Hal ini agaknya
berkaitan erat dengan persoalan kondisi geografis di area monitoring tersebut sehingga
warga harus menebus dengan harga beras yang lebih tinggi karena dibutuhkan biaya
tambahan untuk mengangkut beras sampai di tangan masyarakat dan dianggap lebih
efisien bila penyalurannya dilakukan dalam waktu beberapa bulan sekaligus.
Tabel 4.4. Pelaksanaan Raskin menurut wilayah Barat dan Timur
No Uraian Barat (%) Timur (%)
Kartu N.Kartu Kartu N. Kartu 1 Tidak melakukan Musyawarah 20 40 1.67 64.41 2 Tidak melakukan Sosialisasi 62 64 41.67 40 3 Tidak memasang poster 90 82 71.67 76.67 4 Tidak tepat jumlah 38 92 75 93.33 5 Tidak tepat harga 24 88 58.33 96.67 6 Tidak tepat kualitas 52 82 56.67 60 7 Tidak tepat waktu 18 0 81.67 76.67
Rata-rata 43.43 64 55.24 72.53
83 | P a g e
Ketika penelusuran hasil monitoring dilakukan di dalam wilayah Barat dan Timur
menurut lokasi uji coba kartu (Barat: 50 desa/kelurahan atau 5 kabupaten/kota, Timur: 60
desa/kelurahan atau 6 kabupaten/kota) dan non uji coba (Barat: 50 desa/kelurahan atau 5
kabupaten/kota, Timur: 60 desa/kelurahan atau 6 kabupaten/kota), tampak bahwa jumlah
desa/kelurahan yang membagi beras dalam jumlah dan harga yang tidak sesuai dengan
ketentuan lebih banyak terjadi di daerah non uji coba kartu daripada lokasi uji coba, baik di
Indonesia Barat maupun Timur. Hasil tersebut senada pula dengan tabulasi silang yang
dilakukan dalam area Jawa dan Luar Jawa sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya. Ini
dapat dimaknai bahwa di lokasi non uji coba tidak ada kontrol atau pengawasan tentang
jumlah dan harga beras yang sesuai dengan pedoman pelaksanaan Raskin, seperti layaknya
kartu di lokasi uji coba yang di dalamnya termuat antara lain jumlah dan harga yang dapat
ditebus oleh masyarakat, sehingga ketidaktepatan cenderung lebih banyak terjadi di sana.
IV.3. Wilayah Uji Coba Kartu
Bila analisa dilakukan menurut wilayah yang merupakan daerah uji coba kartu
dengan daerah non uji coba kartu, secara umum wilayah non uji coba kartu lebih banyak
yang tidak menjalankan pedoman pelaksanaan Raskin sesuai ketentuannya daripada
wilayah uji coba kartu.
Tabel 4.5. Pelaksanaan Raskin menurut wilayah uji coba Kartu dan Non Kartu
No Uraian Kartu (%) Non Kartu (%)
1 Tidak melakukan Musyawarah 10 48.18 2 Tidak melakukan Sosialisasi 50.91 50.91 3 Tidak memasang poster 80 79.09 4 Tidak tepat jumlah 58.18 92.73 5 Tidak tepat harga 42.73 92.73 6 Tidak tepat kualitas 54.55 70 7 Tidak tepat waktu 61.82 45.45
Rata-rata 51.17 68.44
Hal ini terlihat dalam soal Musyawarah, Tepat Jumlah, Tepat Harga, dan Tepat
Kualitas. Terutama dalam hal Tepat Jumlah dan Harga, proporsi ketidakpatuhan di Non
Kartu dapat dikatakan sangat besar yakni 92.73 persen. Sementara di area Kartu “hanya”
terjadi pada sekitar separuh jumlah desanya, yakni 58.18 persen dalam persoalan tidak
84 | P a g e
Tepat Jumlah dan 42.73 persen dalam tidak Tepat Harga. Ini berarti adanya kartu membuat
sebagian aparat desa yang biasanya terlibat dalam pembagian Raskin sudah menjalankan
penyaluran Raskin sesuai ketentuannya. Karena ketetapan jumlah dan harga tercantum
dalam kartu yang dibagikan dari Pusat. Meski begitu rendahnya proporsi penyimpangan di
area Kartu masih perlu penelitian lebih lanjut apakah semata faktor kartu tersebut atau
ada variabel lain yang mempengaruhinya.
Sementara itu dalam persoalan waktu penyaluran, ketidaktepatan lebih banyak
terjadi di area uji coba kartu (61.82 persen) daripada non uji coba kartu (45.45 persen).
Hal ini karena sebagian besar kabupaten/kota yang termasuk dalam area Kartu ini
merupakan wilayah yang mempunyai kendala geografis, antara lain seperti Timor Tengah
Selatan, Sumba Barat Daya, Buton, Muna, sehingga penyaluran Raskin di sana umumnya
dilakukan dalam waktu beberapa bulan sekaligus.
Dengan begitu pada tahap awal ini agaknya metode kartu sudah mampu menjadi
alat kontrol bagi efektifitas pelaksanaan Raskin. Meskipun pembagiannya belum merata di
semua area uji coba kartu. Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan Bab III, baru
52.73 persen desa dari 110 desa dalam area uji coba yang telah membagikan kartu pada
RTS-PM, dimana sekitar 67 persen diantaranya telah memanfaatkan kartu untuk
melakukan penebusan menebus Raskin. Sedangkan di wilayah sisanya (47 persen) kartu
belum dibagikan dengan berbagai alasan antara lain alasan politis (Pilkada) dan khawatir
konflik dengan warga yang sebelumnya mendapat Raskin. Oleh karena itu, terkait dengan
kartu sebagai salah satu instrument untuk meningkatkan effektivitas pelaksanaan raskin
nampaknya masih perlu pembenahan, missal saja sosialisasi yang intensif kepada aparat
dan pengelola raskin di desa dan masyarakat. Sehingga warga yang tidak mendapat kartu
dapat memahami dengan jelas maksud dan tujuannya terutama dalam kriteria warga yang
berhak menerima kartu dan raskin. Termasuk dalam aspek manajemen kartu mulai dari
teknis pengiriman hingga ke RTS-PM maupun format kartu itu sendiri yang dirasakan
kurang praktis dalam penggunaannya..
Dari pelaksanaan monitoring dan evaluasi pada putaran akhir ini memberikan
gambaran bahwa efektif dan tidaknya program raskin di daerah sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor berikut :
85 | P a g e
1. Alokasi Kuota Raskin
Jumlah alokasi kuota raskin yang tidak sesuai dengan jumlah warga miskin di
desa/kelurahan telah memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap
penyelenggaraan raskin di masyarakat. Penurunan kuota raskin yang mencapai
72% seolah-olah menjadi dasar alasan pembenar untuk membagi raskin secara
merata dan tidak sesuai dengan DPM. Termasuk menjadi salah satu faktor untuk
tidak melakukan sosialisasi, musyawarah terkait dengan raskin, dan pemasangan
poster. Dalam sebuah wawancara dengan Ketua Asosiasi Kepala Desa Kabupaten
Pamekasan terungkap pernyataan “Kebijakan di Pamekasan adalah bagi rata raskin,
akibat kuota turun dan data tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi tidak perlu lagi
sosialisasi, pemasangan poster, kartu dibagi, toh beras tetap dibagi secara merata“ .
Sekalipun dalam jumlah terbatas, pada beberapa desa/kelurahan yang alokasi
Raskin-nya naik juga melakukan hal serupa yaitu tidak memanfaatkan kartu raskin
untuk penebusan, memasang poster DPM dan yang lain, seperti di Sampang,
Semarang dan yang lain.
2. Manajemen Distribusi
Pengelolaan raskin khususnya dalam distribusi beras ke RTS-PM mulai dari Bulog
ke titik distribusi dan titik bagi hingga jadwal penyaluran merupakan masalah yang
membutuhkan perhatian serius. Menurunnya jumlah beras di titik distribusi
(kurang dari 15 kg/sak) yang disebabkan oleh berbagai factor seperti ; kantong sak
yang berlubang penting untuk dicarikan solusinya agar tidak merugikan warga.
Mengingat jika beras yang diterima di titik distribusi kurang dari 15 kg, maka
berimplikasi pada semakin berkurangnya beras di titik bagi. Demikian halnya
dengan ketepatan dan kepastian waktu penyaluran beras ke warga (RTS-PM).
Dalam monitoring ditemukan banyak kasus bahwa ketidaktepatan dan kepastian
waktu penyaluran telah merugikan warga miskin terutama yang tidak memiliki
pendapatan tetap. Warga menjadi kehilangan haknya ketika beras disalurkan pada
waktu yang tidak tepat.
86 | P a g e
3. Dukungan Pemerintah Kabupaten
Keberadaan Tim Raskin Kabupaten, terutama dinas atau unit kerja Pemerintah
Kabupaten yang ditunjuk sebagai penyelenggara program raskin sangat penting dan
menentukan. Di sebagian besar wilayah menunjukan bahwa Tim Raskin aktif ketika
proses sosialisasi raskin di kabupaten berakhir. Nampak ada kesan bahwa proses
distribusi menjadi urusan kecamatan, desa/kelurahan dan aparatnya beserta PT.
Pos dan Bulog. Tim Raskin kabupaten hanya berperan memonitor pelaksanaan dan
itu pun nyaris kurang berjalan. Lemahnya dukungan dan pemantauan dari
Pemerintah Kabupaten telah menyebabkan penyelenggara di desa kurang
terkendali dan juga merasa terbebani. Sehingga proses pelaksanaan raskin berjalan
kurang efektif. Dukungan pemerintah kabupaten dan kota baik dalam bentuk moril,
kebijakan dan sumberdaya sangat membantu efektitas Raskin di masyarakat,
sebagaimana yang terjadi pada beberapa wilayah berikut :
a. Di Karangasem dan Buleleng, pembagian raskin sesuai dengan kuota RTS
sesudah Bupati mengintruksikan untuk tidak membagi secara merata dan
memberikan sangsi bagi Kepala Desa yang melanggar.
b. Di Kota Bogor, pemerintah kota membantu memberikan kontribusi bagi
penyelenggaraan sosialisasi dan musyarawarah kelurahan sebesar Rp.
400.000,- sehingga sosialisasi dan musyawarah raskin berjalan dengan
melibatkan wakil warga (RTS).
c. Di Bangka dan Belitung, pemerintah provinsi mengalokasikan APBD untuk
mensubsidi pelaksanaan raskin sehingga RTS menerima beras secara gratis
dalam jumlah yang sesuai.
4. Peranan Aparat Desa
Desa dan kelurahan merupakan titik simpul paling menentukan penyelenggaraan
program raskin baik dari proses dan hasilnya. Karena itu, pemahaman, kapasitas
serta integritas dari Kepala Desa dan Lurah menjadi faktor menentukan sejauhmana
raskin berjalan efektif. Di sejumlah desa/lurah dimana program raskin berjalan
efektif karena raskin ditempatkan sebagai bagian dari tanggungjawabnya
mengentaskan warga miskin. Sehingga bersedia mengalokasikan dana desa untuk
87 | P a g e
sosialisasi kepada warganya. Termasuk membagikan raskin kepada warga yang
benar-benar dinilai tidak mampu (miskin). Di Kabupaten Sampang, pembagian
raskin secara merata lebih dikarenakan jumlah warga miskinnya lebih besar
dibanding kuota raskin yang diterima. Demikian pula di Kecamatan Amanatun
Selatan-Timor Tengah Selatan (TTS), sekalipun lokasinya sangat jauh dari pusat
kota TTS dan secara geografis sulit, namun seluruh desa tidak menambah biaya
untuk penebusan raskin dengan alasan akan semakin membebani warga miskin.
5. Keberadaan Tokoh Masyarakat
Sekalipun dalam pedoman umum tentang raskin diberikan ruang partisipasi
masyarakat, namun sifatnya tidak mengikat karena kurang diatur secara jelas
bagaimana mekanisme pelembagaannya. Karena itu, di sebagian besar
desa/kelurahan, posisi warga (RTS) lebih sebagai objek. Keluhan yang muncul
terhadap pelaksanaan raskin seringkali bersifat personal yang tidak selamanya
disampaikan secara terbuka. Terlebih lagi, tokoh masyarakat yang ada kurang
bersedia secara sukarela untuk memfasilitasi keluhan warga dan sekaligus
melakukan kontrol atas distribusi raskin. Ada beberapa faktor yang
melatarbelakangi : a) Tokoh masyarakat di desa menjadi bagian dari kepentingan
desa yang mendapatkan manfaat dari program raskin, b) Tokoh masyarakat tidak
ingin berseberangan dan menjaga hubungan social dengan kepala desa, meski tidak
memiliki kepentingan dengan raskin dan c) Tokoh masyarakat tidak memiliki
mandat dari warga (RTS) untuk membantu memperjuangkan hak-hak atas raskin.
Padahal, keberadaan tokoh masyarakat ini penting dalam meningkatkan efektivitas
raskin sebagaimana pada kasus di Karangasem dengan komunitas banjarnya.
6. Lokasi Tinggal RTS
Penyelenggaraan program raskin nampaknya mengandaikan bahwa secara
geografis lokasi tinggal RTS dan desa adalah sama, dalam arti mudah diakses. Hal ini
nampak dari pedoman raskin yang tidak mengatur atau memberi perlakuan
berbeda pada warga (RTS) dan desa yang sulit dijangkau. Implikasinya, seluruh
proses penyelenggaraan dan distribusi Raskin di tingkat desa kurang berjalan
efektif seperti di Nias Selatan, Buton, Halmahera Utara, dan Gowa. Pada lokasi desa
88 | P a g e
yang sulit, pada umumnya distribusi raskin tidak tepat waktu (beberapa bulan) dan
harga tebus cenderung mahal. Penebusan raskin pada wilayah desa yang jauh rata-
rata 1 kali dalam 4 bulan. Hal ini dimaksudkan untuk (a) menghemat biaya
transport sehingga tidak setiap bulan harus datang ke kota untuk mengurus raskin
(b) supaya warga mendapat jumlah beras yang lebih banyak dalam sekali bagi (c)
mempermudah masyarakat yang kesulitan uang, karena kesulitan jika harus setiap
bulan mengumpulkan uang dan (d) meringankan beban pekerjaan para kepala
dusun yang bertugas keliling ke rumah warga untuk mengumpulkan uang guna
menebus raskin.
7. Peran Bulog dan PT. Pos
Kedua instansi ini pada dasarnya memiliki peranan strategis dalam mendukung
efektivitas program raskin di masyarakat. Namun kedua instansi ini memandang
bahwa program raskin tidak lebih sebagai tugas rutin sebagaimana fungsinya.
Sehingga prinsip efisiensi lebih diutamakan karena sebagai perusahaan ketimbang
efektivitas hasil. Instansi ini belum mampu memberikan pengecualian bahwa
program raskin adalah bagian dari tugas Negara untuk mengentaskan kemiskinan
dan sekaligus meningkatkan kinerjanya dalam pelayanan. Karena itu, dalam
kewajibannya membagikan kartu raskin ke setiap RTS kurang berjalan optimal. PT.
Pos umumnya membagikan kartu raskin di Desa/Kelurahan. Kemudian meminta
desa/kelurahan untuk menyerahkan ke warga. Sehingga PT. Pos tidak tahu menahu,
apakah kartu sudah sampai atau tidak di masing-masing warga (RTS-PM).
Hal yang sama juga terjadi pada Bulog, yang tidak mampu memberikan jaminan
bahwa beras diterima dalam jumlah yang sesuai (15 kg per sak) dengan kualitas
yang sesuai dengan Inpres Perberasan. Berdasarkan wawancara dengan sebagian
besar kepala desa dan lurah maupun pelaksana raskin, nyaris tidak ada petugas
Bulog yang turun ke lokasi untuk melakukan verfikasi terkait dengan jumlah dan
kualitas beras yang diterima di desa. Alasan klasik kedua instansi ini adalah
keterbatasan sumberdaya untuk melayani setiap desa.
89 | P a g e
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
V.1. Kesimpulan
Program raskin pada dasarnya sebuah kebijakan pemerintah yang positif dalam
rangka membantu kebutuhan pangan masyarakat miskin. Program ini juga dianggap
konkrit karena manfaatnya secara langsung dirasakan masyarakat miskin. Hampir seluruh
warga miskin menyatakan terbantu dengan adanya progam raskin terutama dalam
mensubsidi kebutuhan pangan (konsumsi) keseharian. Di tingkat pusat, program raskin
sesungguhnya telah dirancang dengan baik dimana prinsip partisipasi, transparansi dan
akuntabilitas telah digariskan agar menjamin distribusi raskin dapat memenuhi sasaran
dari segi warga penerima, jumlah beras yang diterima, harga yang terjangkau dan beras
yang berkualitas.
Disamping itu, program raskin juga merancang skema pengelolaan yang terstruktur
mulai dari pusat, propinsi, kabupaten hingga desa dalam rangka pelaksanaan raskin
berjalan efektif. Termasuk membentuk unit pemantauan dan complain sehingga hasil dan
manfaatnya sesuai dengan tujuan raskin serta sekaligus dapat meminimalisir
penyimpangan. Lebih dari itu, penerima manfaat dari program raskin juga secara ketat
diperuntukan bagi warga yang benar-benar terkategori miskin. Hal ini tercermin dari
penggunaan data PPLS 2011 sebagai dasar dalam menetapkan rumah tangga sasaran dan
penyebarluasan poster DPM dan kartu RTS-PM sebagai media kontrolnya.
Nampaknya pelaksanaan program raskin berjalan efektif hingga tingkat Kabupaten
dan Kota, dimana seluruh skema pengelolaan dan kegiatan relative dapat dijalankan
seperti sosialisasi program raskin dan alokasi kuota raskin. Namun untuk kegiatan lain
yang menjamin efektivitas pelaksanaan raskin di masyarakat dengan hasil yang baik nyaris
kurang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten (Tim Raskin) misalnya verifikasi, monitoring
ataupun penetapan kebijakan yang mendukung. Implikasinya, program raskin di
masyarakat dapat disebut kurang berjalan secara optimal baik dilihat dari aspek proses
dan hasilnya. Boleh dikatakan tidak ada kabupaten/kota yang dapat disebut berhasil dan
90 | P a g e
sempurna dalam melaksanakan program raskin dengan hasil optimal. Setiap lokasi
memiliki kelebihan dan, keterbatasan masing-masing. Meskipun terdapat 1-2 desa yang
berhasil dan sempurna dalam melaksanakan mulai dari sosialisasi hingga distribusi agak
sulit dijadikan model untuk didiseminasi karena kondisi social-politik yang berbeda.
Beberapa indikasi dari belum optimalnya pelaksanaan program raskin adalah sebagai
berikut :
1. Kegiatan sosialisasi program raskin kepada masyarakat sebagai wahana
pemahaman tentang hak dan kewajiban warga penerima manfaat ternyata tidak
sepenuhnya dilaksanakan oleh desa/kelurahan. Hanya sekitar 50% dari
desa/kelurahan yang telah melaksanakan sosialisasi, itupun dengan materi yang
umumnya menyangkut teknis (waktu dan tempat) penebusan dan kewajiban (harga
beras dan mekanisme pembayaran). Sementara terkait dengan hak RTS (jumlah
beras, kualitas beras, periode penerimaan) kurang disampaikan.
2. Sosialisasi kepada masyarakat luas bahwa program raskin diperuntukan bagi
warga yang benar-benar terkategori miskin melalui penyebarluasan poster DPM
(daftar penerima manfaat) ternyata kurang berjalan sesuai dengan diharapkan.
Hanya 20% desa/kelurahan yang memasang poster DPM di ruang terbuka dan
sisanya tidak memasang atau hanya menyimpannya di kantor atau rumah kepala
desa/lurah maupun di dusun.
3. Demikian pula untuk Kartu RTS-PM. Meskipun lebih banyak desa/kelurahan yang
membagikan Kartu RTS-PM dan menggunakan ketika penebusan, namun tercatat 52
desa atau 47,27% yang tidak membagikan kartu ke warga. Hal ini bukan karena
masalah instrument kartunya melainkan lebih soal manajemen kartu yang belum
optimal. PT. Pos sebagai penanggungjawab pembagian kurang faham dengan esensi
kartu dalam program raskin dan semata-mata hanya berperan sebagai kurir.
Termasuk mekanisme penggunaannya dan formatnya yang dirasakan rumit oleh
aparat di desa sehingga kurang banyak digunakan sebagai alat penebusan.
4. Sekalipun banyak kepala desa/kelurahan dan aparaturnya mengeluhkan bahwa
daftar DPM kurang sesuai dengan kenyataan di masyarakat, namun ironisnya
91 | P a g e
peluang untuk melakukan penggantian RTS-PM melalui musyawarah justru tidak
dilakukan. Mengganti atau menambah jumlah RTS-PM seringkali dilakukan sepihak
oleh kepala desa, kepala dusun dan RW/RT. Hanya 19,54% desa/kelurahan yang
melakukan kegiatan musyawarah dengan melibatkan warga untuk mengganti atau
menambah warga yang menjadi RTS-PM.
5. Dalam kaitan dengan distribusi beras raskin nampaknya juga tidak berjalan optimal.
Hal ini nampak dari hanya 24,54% desa/kelurahan yang membagi atau menjual
beras sesuai ketentuan (15 kg/RTM) dan harga jual atau penebusan sesuai yang
telah ditentukan (34,09%) serta beras cukup berkualitas mengikuti Inpres
Perberasan (38,18%). Ini berarti, lebih banyak desa/kelurahan yang
mendistribusikan beras ke RTS-PM kurang mengikuti ketentuan yang ditetapkan.
6. Masalah lain yang menjadi keluhan warga adalah soal ukuran (jumlah) beras yang
diterima di titik distribusi (desa) dan titik bagi (dusun/RT) yang seringkali kurang
sesuai dengan ketentuan (dibawah 15 kg/sak). Disamping secara alami memang
kurang, namun yang banyak terjadi adalah berlubangnya kantong (sak) beras sejak
keluar dari gudang Bulog. Hal ini merugikan warga karena jumlahnya berkurang
dan aparat desa karena dianggap warga sebagai ‘tikus” yang mengurangi beras.
7. Disamping masalah kualitas dan harga yang kurang sesuai di banyak lokasi, soal lain
dalam distribusi yang lebih penting lagi adalah terkait dengan ketepatan dan
kepastian waktu dalam penyaluran beras ke warga. Hasil monitoring menunjukan
bahwa di banyak lokasi yang penyalurannya 3,4 dan 5 kali dalam setahun atau tidak
rutin setiap bulan. Demikian pula dengan kepastian waktu (tanggal) penyalurannya.
Kondisi ini sangat merugikan warga (RTS-PM) karena harus berusaha keras untuk
mendapatkan dana agar dapat menebus beras dan bahkan dapat kehilangan hak-
nya jika tidak memiliki uang untuk menebus.
8. Dalam kaitan dengan penyelenggaraan raskin di tiap daerah maka pada dasarnya
tidak ada satupun Kabupaten/Kota yang menjadi lokasi monitoring telah mematuhi
seluruh ketentuan yang digariskan dalam pedoman. Hanya terdapat 2 (dua) wilayah
yang relative cukup baik melaksanakan 6 (enam) indicator keberhasilan program
92 | P a g e
raskin. Kedua wilayah ini adalah Kabupaten Bangka dan Kabupaten Belitung. Relatif
lebih baiknya pelaksanaan raskin di 2 wilayah ini dikarenakan :
a. Transparansi proses pelaksanaan raskin dari aparat desa/kelurahan kepada
warga (RTS-PM) sejak tahap sosialisasi sehingga dapat direduksi tingkat
penyimpangan seminal mungkin.
b. Dukungan pemerintah Propinsi dan Kabupaten dalam mendukung
effektivitas pelaksanaan raskin mulai dari kegiatan sosialisasi hingga
penyaluran raskin. Pemerintah Bangka dan Belitung yang menyediakan dana
APBD untuk biaya transportasi dan biaya operasional penyaluran raskin
(pengadaan kantong, honor petugas dan lainnya). Sementara pemerintah
Kota Bogor melalui APBD membantu biaya sosialisasi dan musyawarah
raskin dengan warga
c. Pemahaman dan integritas yang baik dari sebagian besar Lurah dan Kepala
Desa terhadap program raskin yang diperuntukan bagi warga miskin.
Sehingga mengurangi tingkat penyimpangan dalam penyaluran raskin
kepada warga baik dalam jumlah beras yang disalurkan dan harga yang
ditetapkan. Meski ada penambahan biaya yang dibebankan, namun hal ini
diputuskan secara terbuka dan digunakan untuk kepentingan desa.
9. Ada sejumlah kelemahan yang mengakibatkan kurang efektif dan optimalnya proses
dan hasil pelaksanaan program raskin di masyarakat yaitu :
a. Rendahnya dukungan pemerintah kabupaten dan kota dalam berbagai
bentuk untuk menjamin kelancaran dan efektivitas raskin di masyarakat
b. Kuat dan bahkan dominannya peranan kepala desa/lurah dalam menentukan
masalah teknis pelaksanaan raskin
c. Tidak adanya tokoh masyarakat (individu) dan kelompok (LSM, Universitas,
Organisasi masyarakat) yang membantu warga masyarakat dalam
memperjuangkan hak-haknya.
10. Sekalipun pelaksanaan program raskin kurang berjalan efektif, namun nyaris tidak
menimbulkan konflik dan tindakan kekerasan secara fisik diantara warga maupun
warga dan aparat. Termasuk tindakan pengrusakan terhadap fasilitas desa akibat
93 | P a g e
ketidakpuasan terhadap distribusi raskin. Tindakan paling tinggi yang dilakukan
warga akibat ketidakpuasan dan ketidakadilan dalam pelaksanaan raskin adalah
demonstrasi atau protes terhadap kepala desa atau dusun yang dianggap tidak
transparan.
V.2. Rekomendasi
Untuk menjamin pelaksanaan program raskin di masyarakat berlangsung efektif
dari sisi proses dan sesuai dengan ketentuan dalam distribusinya, maka beberapa
rekomendasi yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :
V.2.1. Tim Raskin Kabupaten/Kota
1. Memberikan waktu yang cukup bagi pihak desa/kelurahan/Pemda untuk
melakukan verifikasi data Penerima Manfaat sebelum ditetapkan sebagai keputusan
oleh pusat dalam bentuk poster DPM atau pencetakan nama RTS-PM pada kartu.
Sehingga warga yang ditetapkan sebagai RTS-PM sesuai dengan jumlah dan
kriterianya. Kesesuaian ini juga dapat menjadi dasar atau alat untuk menghindari
aparat pemerintah desa/kota membagi raskin secara merata dan kepada warga
yang mampu.
2. Tim Raskin Kabupaten, dalam hal ini Bupati/Walikota perlu memberi penekanan
kepada Kecamatan, Desa dan Lurah tentang pentingnya melakukan sosialisasi
program raskin dari desa/kelurahan kepada warga (RTS-PM) tentang hak dan
kewajiban RTS-PM, termasuk dalam hal penerapan metode baru (penggunaan
kartu) yang seharusnya membutuhkan waktu yang cukup lama agar dipahami
dengan jelas dan tidak diberlakukan tiba-tiba pada pertengahan tahun. Sosialisasi
ini merupakan bagian dalam membangun transparansi dan partisipasi dalam
pengelolaan raskin. Output sosialisasi adalah dapat dibuat dalam bentuk “pakta
integritas” atau “kontrak raskin antara warga dan desa” sehingga dapat
mengurangi dan menghindari kewenangan yang berlebihan dari aparat desa dan
semata-mata menempatkan warga sebagi objek dalam pelaksanaan raskin.
94 | P a g e
3. Merekrut tenaga fasilitator kecamatan yang berperan sebagai penasehat sekaligus
pengawas dalam pelaksanaan program raskin di tiap-tiap desa/kelurahan.
Termasuk memfasilitasi terwujudnya pakta integritas oleh desa atau kontrak raskin
antara warga dan desa (point 2 diatas). Fasilitator ini dapat direkruit dari kalangan
independen seperti ; LSM atau Perguruan Tinggi. Fasilitator ini diharapkan juga
dapat memfasilitasi terbentuknya “Komite Warga untuk Raskin” yang fungsinya
menjadi katalis dan melakukan advokasi dalam mendorong effektivitas program
raskin di desa mulai dari sosialisasi hingga distribusi
4. Membangun komunitas penerima raskin di tingkat desa (Komite Warga untuk
Raskin) yang berperan sebagai wadah dalam menampung berbagai keluhan atau
penyimpangan dalam proses distribusi raskin ke masyarakat dari pihak Bulog
maupun Desa yang meliputi ukuran jumlah beras, kualitas, harga, waktu distribusi
dan lainnya. Komite ini dipilih dari tokoh masyarakat yang dinilai independen dan
memiliki integritas. Dengan demikian, pelaksanaan program raskin dapat lebih
dioptimalkan hasilnya terutama dalam penerima raskin adalah warga miskin dan
jaminan jumlah, harga dan kualitas beras yang lebih baik
5. Memberikan sangsi berupa pemutusan program raskin bagi desa/ kelurahan yang
tidak tepat dalam mendistribusikan beras raskin baik terkait dengan penerima
manfaat, beras yang dibagikan dan harga yang ditetapkan. Terutama bagi
desa/kelurahan yang terbukti memanfaatkan atau menjadikan program raskin
sebagai komoditi atau proyek untuk kepentingan pribadi. Untuk tidak merugikan
warga miskin yang berhak menerima, maka penyalurannya dititipkan atau
ditempatkan ke desa terdekat (sekitarnya).
V.2.2. TNP2K dan Kementerian Terkait
1. Memberlakukan sistim kartu raskin secara nasional sebagai instrument untuk
memastikan warga miskin sebagai RTS-PM dan menggunakan ketika penebusan.
Namun pemberlakuan sistim kartu ini secara nasional memerlukan persyaratan ;
Pertama, memperbaiki sistim manajemen kartu mulai dari mekanisme pembagian ke
95 | P a g e
warga (RTS-PM) yang lebih efisien sampai penggunaan untuk penebusan, termasuk
perbaikan format yang lebih praktis. Kedua, sosialisasi secara intensif tujuan,
manfaat dan penggunaaan kepada aparat pengelola raskin dan warga (RTS-PM).
2. Mengembangkan mekanisme khusus dalam penyelenggaraan program raskin
terutama untuk lokasi desa dan tempat tinggal warga yang sulit dijangkau atau
diakses sehingga berakibat waktu distribusi tidak pasti, harga jual menjadi mahal
dan warga kesulitan menebus. Misal saja ; menyediakan Dana Jaminan (Raskin
Guarantee Fund). Dana ini digunakan untuk membantu, menjamin (talangan)
masyarakat miskin yang tidak memiliki pendapatan tetap agar tidak kehilangan
haknya ketika waktu distribusi tidak pasti akibat lokasi tinggal yang jauh dan
terisolir.
3. Meningkatkan ketepatan pembagian Poster DPM dan Kartu Raskin hingga ke warga
penerima (RTS-PM) dan mendorong sistim distribusi beras dengan ukuran yang tepat
dan kualitas yang baik serta kepastian waktu distribusi. Salah satunya adalah dengan
mengubah mekanisme pengadaan jasa pengiriman poster dan kartu dan penyaluran
beras secara terbuka melalui lelang atau tender. Dengan demikian, kedua jasa ini
tidak dimonopoli PT. Pos dan Bulog melainkan memungkinkan pihak swasta untuk
melakukan sehingga menjamin penyaluran kartu dan beras ke warga menjadi lebih
baik .
4. Melibatkan peran media cetak lokal untuk melakukan monitoring pelaksanaan raskin
di lapangan sebagai input perbaikan kualitas dan effektivitas program raskin bagi Tim
Raskin Kabupaten. Peran media ini tidak sebatas mempublikasikan pelaksanaan
raskin yang negative melainkan juga praktek atau kasus-kasus raskin yang sukses
sehingga dapat menjadi pelajaran bagi lokasi lain.