Post on 03-Aug-2015
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1995. Stilistika, Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press
Chapman, Raymon. 1975. Linguistics and Literature. An Introduction to Literary Stylistics. Port Melbourne Victoria: Edward Arnold (Australia)
Culler, Jonathan. 1977. Stucturalist Poetics. London: Methuen and Co.Ltd.
Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Garyoan. 2002. Kyouyou Gaido, Jinsei no Tomo.http://www.melma.com/ search_kyouyou_0_0_2_2/tanggal akses 17 Maret 2007
Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics. London: Methuen and Co.Ltd
Hirai, Masao. 1980. Nandemo Wakaru Hyaku Jiten. Tokyo: Sanseido
Ismail, Rohani Binti Haji. 1994. “Sajak Sepatu Tua karya Rendra. Analisis Stilistika”. Yogyakarta: Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.( Tesis S2, Tidak diterbitkan)
Jassin, H.B. 1976. Sastra Indonesia Sebagai Warga Dunia. Jakarta: Gramedia
_______. 1991. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Haji Masagung
Junus, Umar. 1989. Stilistik, Satu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia
Kawabata, Yasunari. 2004. Yukiguni, edisi ke-128. Tokyo: Shinchosha
Keraf, Gorys. 1987. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia
Larson, Mildred L. 1989. Penerjemahan berdasarkan Makna: Pedoman untuk Pemadanan Antar Bahasa (terj. Kencanawati Taniran). Jakarta: Arcan
Leech, Geoffrey N., and Short, Michael H. 1981. Style in Fiction. A Linguistic Introduction to English Fictional Prose. London and New York: A Longman Paperback
Luxemburg, Jan Van et.al. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa
Ma’ruf, Anas. 1972. Negeri Salju. (terj. Yukiguni karya Kawabata Yasunari). Jakarta : Pustaka Jaya
Moentaha, Salihen. 2006. Bahasa dan Terjemahan, Language and Translation The New Millenium Publication. Jakarta: Kesaint Blanc
Momiyama, Yosuke. 1997. “Kanyoku no Taikeiteki Bunseki, Inyu, Kanyu, Teiyu ni Motozoku Kanyoku no Imi no Seiritsu o Chushin” dalam Nagoya Daigaku Kokugo Bungaku, No. 80. Nagoya: Nagoya Daigaku Kokugo Bungakukai
Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif, Telaah Positivistik Rasionalistik dan Phenomenologik. Yogyakarta: Rake Sarasin
Muslicha, Anisa. 2003. “Deskripsi musim salju dalam novel Yukiguni (Daerah Salju) karya Kawabata Yasunari. Kajian Stilistika: Penggunaan bahasa kiasan”. Surabaya: Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surabaya. (skripsi tidak diterbitkan)
Nazar, Arlina. 1997. “Analisis Ukemihyogen dalam Novel Yukiguni”.Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (skripsi tidak diterbitkan)
Nida, Eugene A. 1964. Toward a Science of Translation. Leiden: E.J. Brill
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Parera, JD. 2004. Teori Semantik. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Edisi Kedua. Jakarta: Rineka Cipta
Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Univesitas Gadjah Mada Press
_______. 2005. “Kajian Stilistika”. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Univesitas Gadjah Mada. Tidak diterbitkan.
Rosidi, Ajip dan Matsuoka, Kunio. 1987. Daerah Salju. (terj. Yukigunikarya Kawabata Yasunari) Jakarta: Pustaka Jaya
_______. 1989. Mengenal Sastra dan Sastrawan Jepang. Jakarta: Erlangga
Soeratno, Siti Chamamah, “Penelitian Sastra: Tinjauan Tentang Teori dan Metode Sebuah Pengantar” dalam Jabrohim (ed). 1994.Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia IKIP Muhammadiyah Yogyakarta
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Teeuw. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia
_______. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra.Jakarta: Pustaka Jaya
_______. 1988.Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya
Turner, G.W. 1977. Stylistics. New York: Penguin Books
Tim Penyusun. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas dan Balai Pustaka
Verhaar, JWM. 1989. Pengantar Linguistik Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan (terj. Melani Budianta). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Widyamartajaya. 2005. Panggilan Menjadi Penerjemah. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Yuliantini, Adee Kartika. 1990. “Perbedaan Nilai Estetik Akibat Diksi Novel ‘Daerah Salju’ dan ‘Negeri Salju’ sebagai terjemahan Yukiguni karya Kawabata Yasunari” dalam Puitika: Sastra Bandingan, Edisi 02/Th.1/1990. Malang: HISKI Komisariat Malang
Yusuf, Suhendra. 1994. Teori Terjemahan. Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik. Bandung: Mandar Maju
BAB I
PENGANTAR
1.1. Latar Belakang Masalah
Novel merupakan salah satu wujud dari karya sastra. Struktur novel sebagai sebuah karya
sastra terdiri atas tema, penokohan, setting, alur, bahasa, dll. Karya sastra tidak dapat dipisahkan
dengan keberadaan bahasa sebagai penyusun karya sastra. Teeuw (1983: 1) menyatakan bahwa
bahasa merupakan medium bagi pengarang/penyair untuk mengekspresikan gagasannya,
sedangkan bagi pembaca/ peneliti karya sastra, bahasa merupakan medium untuk memahami
karya sastra. Bahasa dan sastra merupakan sebuah sistem yang kemampuannya menjadi syarat
mutlak untuk memahami dan mengarang karya sastra. Sudjiman (1993: 2) menyatakan bahwa
karya sastra merupakan wacana bahasa yang khas, yang di dalam ekspresinya menggunakan
bahasa dengan memanfaatkan segala unsur dan sarana/kaidahnya, sedangkan Chapman (1975:
13) berpendapat bahwa karya sastra menggunakan bahasa sebagai sarana estetik, tidak hanya
untuk komunikasi ataupun ekspresi.
Teks karya sastra merupakan suatu keutuhan atau bentuk pemadatan sebuah karya, yang
mengambil kegunaan bahasa secara homogen ataupun spesifik (Leech , 1981: 12). Sebuah karya
sastra tidak mungkin ‘diucapkan’ tanpa menggunakan bahasa. Peranan bahasa menjadi hal yang
penting bagi seorang pengarang dalam menghasilkan sebuah karya sastra. Sebagai medium yang
digunakan pengarang untuk menuangkan pengalaman estetis atau realitas, bahasa mempunyai
makna yang tertuang dalam teks karya sastra. Hal ini disebabkan karya sastra sebagai struktur
yang bermakna (Pradopo, 2005:120-121). Teeuw (1988:72) menyatakan bahwa bahasa sastra
adalah bahasa khusus dan membentuk dunianya tersendiri, meskipun begitu, kekhasannya
bukanlah berarti bahasa sastra tidak dapat diteliti. Bahasa dalam karya sastra tidak dapat
dilepaskan dari konteksnya sebagai satu kesatuan. Karya sastra sebagai sebuah struktur
merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan
yang timbal balik, saling menentukan (Pradopo, 2005:118). Piaget, (dalam Hawkes 1978:16),
menyatakan bahwa struktur karya sastra mempunyai tiga ide dasar yaitu, wholeness,
transformation, self-regulation. Turner (1977: 27) menyatakan bahwa konteks dan makna bahasa
tidak dapat dihindari dalam pembahasan sastra, hal ini terlihat dari cara mengamati setting dari
bahasa yang telah masuk dalam pembahasan sastra dengan rinci dari gaya bahasa adalah sebuah
analisis makna, yaitu makna denotatif dan konotatif.
Rangkaian kata dalam teks karya sastra merupakan makna konotatif atau secondary
modelling system. Hal inilah yang membedakan bahasa kolokial dengan bahasa sastra. Bahasa
kolokial cenderung bermakna denotatif, sedangkan bahasa dalam karya sastra mempunyai
tataran yang berbeda dengan bahasa pada umumnya dan cenderung bermakna konotatif.
Walaupun makna bahasa sastra cenderung bermakna konotatif, makna kata dalam karya sastra
juga tidak dapat dipisahkan dari makna denotatifnya (Nurgiyantoro, 1995: 273). Wellek (1962:
22-23), membagi bahasa menjadi 3 macam, yaitu: bahasa sastra, bahasa ilmu, dan bahasa
kolokial/sehari-hari. Bahasa sastra itu merupakan secondary modelling system, sedangkan bahasa
ilmu dan bahasa kolokial merupakan primary modelling system. Turner (1977:20) berpendapat
bahwa bahasa sastra adalah bahasa dalam konteks, kata penghubung satu dengan yang lainnya.
Tiap detil sebuah karya sastra menjadi penunjang kualitas secara keseluruhan. Oleh sebab itu,
bahasa dalam karya sastra mempunyai fungsi liteter sebagai satu kesatuan karya sastra tersebut.
Stilistika, sebagai ilmu gabungan antara ilmu linguistik dan ilmu sastra, meletakkan fungsi
bahasa literer terhadap latar belakang dari fungsi bahasa aslinya (Leech, 1981: 5).
Terjemahan karya sastra merupakan hal yang sudah tidak asing baik di bidang sastra
maupun bidang ilmu yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa terjemahan merupakan hal yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan modern saat ini. Hal ini disebabkan salah satu cara untuk
meningkatkan mutu ”gizi” masyarakat di Indonesia ialah membaca dan menerjemahkan karya
sastra asing sebanyak-banyaknya (Jassin 1976: 15). Teeuw (1984:217) mendefinisikan
terjemahan sebagai bentuk transformasi dari satu sistem ke sistem lainnya yang melibatkan
konteks waktu, ruang dan latar belakang budaya. Keberadaan karya sastra terjemahan, termasuk
terjemahan dari bahasa Jepang, menambah khazanah karya sastra Indonesia.
Karya sastra terjemahan dari bahasa Jepang yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia di antaranya adalah karya Kawabata Yasunari, Yukiguni (Negeri Salju)
terjemahan/terj. Anas Ma’ruf tahun 1972; Yukiguni (Daerah Salju), terj. Ajip Rosidi dan
Matsuoka Kunio tahun 1987; Nemureru Bijo (Rumah Perawan), terj. Asrul Sani tahun
1977; Utsukushisa to Kanashimi to (Keindahan dan Kepiluan), terj. Asrul Sani
1980; Zenbazuru (Bangau-bangau beterbangan), terj. Max Arifin tahun 1978; Izu no
Odoriko (Penari-penari Jepang), terj. Ajip Rosidi dan Matsuoka Kunio tahun 1986; karya
Natsume Soseki, Kokoro (Rahasia Hati), terj. Hartoyo Andangjaya tahun
1978; Botchan (Botchan), terj. Mokhtar Ahmad tahun 1986; karya Yukio
Mishima, Kinkakuji (Kuil Kencana), terj. Asrul Sani tahun 1978; Shiosai (Senandung Ombak),
terj. Ayatrohaedi tahun 1976; karya Akutagawa Ryunosuke, Rashomon(Rashomon), terj. Hasan
Amir tahun 1976; Kappa (Kappa), terj. H. Winarta tahun 1972; karya Tanizaki Jun-
ichiro, Shunkinshou (Wajah Shunkin), Yume no Ukihashi (Jembatan Impian), terj. Sugiarta
Sriwibawa tahun 1976; dan masih banyak lagi. Karya sastra Jepang yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia saat ini, kebanyakan masih berupa karya sastra yang populer di Jepang
dan di negara lain. Pengarangnya pun merupakan pengarang Jepang yang mempunyai dedikasi
tinggi di dunia sastra. Salah satunya adalah Kawabata Yasunari.
Kawabata Yasunari adalah salah satu sastrawan legendaris Jepang dengan karya-
karyanya yang menjadi masterpiece. Hasil karya Kawabata Yasunari, selain Yukiguni (Daerah
Salju) adalah Izu no Odoriko (Penari Izu), Juurokusai no Nikki, (Buku harian usia 16
tahun), Zenbazuru (Bangau-bangau beterbangan), Nemureru Bijou(Rumah
Perawan), Utsukushisa to Kanashimi to (Keindahan dan Kepiluan), dll. (Rosidi, 1989: 78-79).
Selama menjadi seorang sastrawan, Kawabata telah melahirkan lebih dari 20 novel dan beberapa
cerpen. Kawabata juga aktif dalam beberapa organisasi yang bergerak dalam bidang jurnalistik,
yaitu sebagai anggotaShinkaku Ha (sebuah penerbitan majalah); sebagai ketua PEN
Club(organisasi perkumpulan penyair, penulis skenario, penulis esai dan penulis novel)
(Desriani. 2004:30). Berkat jerih payah dan kreativitasnya yang memberikan warna dalam dunia
sastra, khususnya sastra Jepang, dan umumnya sastra dunia, Kawabata mendapatkan
penghargaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Penghargaan sastra yang diterima
Kawabata dari dalam negeri adalah Kikuchi Kan (1944) untuk karyanya Yuuhi (Matahari
Senja); Sastra (1954) untuk karyanya Yama no Oto (Suara Gunung); Medali Kebudayaan dari
pemerintah Jepang (1968) untuk karyanyaYukiguni setelah novel tersebut mendapatkan nobel
sastra. Adapun dari luar negeri, Kawabata mendapatkan penghargaan yang menempatkannya
sebagai sastrawan dunia, yaitu penghargaan berupa nobel sastra/ Nobel Prize for Literature tahun
1968 di Stockholm, Swedia.[1]
Selain mendapatkan nobel sastra, Yukiguni juga telah diterjemahkan ke berbagai bahasa,
antara lain: bahasa Inggris, Belanda, Swedia, dan Indonesia (Desriani, 2004:35). Yukiguni juga
telah ditransformasikan dalam bentuk film pada tahun 1957 dan tahun 1965. Pada tahun 1957,
film Yukiguni disutradarai oleh Shiro Toyoda dan dibintangi oleh Kishi Keiko sebagai Komako
dan Ryo Ikebe sebagai Shimamura. Kemudian, pada tahun 1965, Yukigunidifilmkan lagi di
bawah arahan sutradara Hideo Ôba, dan dibintangi oleh Mineko Bandai, Kakuko Chino,
Takanobu Hozumi, Kaneko Iwasaki. (Diakses dari http://www. amazon.com/Snowcountry-
Yasunari-Kawabata/dp/0399505261)
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa Yukiguni mendapat sambutan yang cukup baik
di kalangan sastra dunia. Dalam jajaran sastra Jepang, Yukiguni tergolong sastra klasik karena
gaya bahasanya yang singkat dan padat seperti bahasa dalam haiku[2](Ma’ruf, 1972: 8). Bahasa
dan gaya bahasa yang singkat dan padat dalam Yukiguni menjadi poin yang menarik ketika
seseorang ingin memahami ceritanya, meskipun terkadang membuat orang menjadi tidak dapat
langsung menangkap makna dari bahasa dan gaya bahasa yang dipakai Kawabata dalam
novelnya ini. Hal inilah yang seringkali membuat penerjemah menjadi sedikit kesulitan dalam
menerjemahkan dan mencari padanannya ke dalam bahasa sasarannya. Padahal keberadaan
sebuah karya sastra asing di suatu negara disambut baik atau tidak oleh pembacanya, tergantung
pada hasil kerja penerjemah. Maka dari itu, pengetahuan terhadap bahasa, budaya dan sastra
bahasa sumber dan bahasa sasaran menjadi bekal penting ketika seseorang hendak
menerjemahkan karya sastra. Selain itu, terjemahan mempunyai peranan penting untuk
transformasi budaya dan pengetahuan dari suatu negera ke negara lain yang berbeda bahasa dan
budayanya.
Hasil penerjemahan Yukiguni ke dalam bahasa Inggris yang berjudul Snow
Country dilakukan oleh Edward G. Seidensticker.Snow Country ini merupakan karya yang
mempopulerkan Yukigunike dunia International (Desriani, 2004:35). Hal ini disebabkan pada
waktu itu, bahasa Jepang belum populer di kalangan dunia Internasional, tidak seperti sekarang.
Berkat penerjemahan tersebut,Yukiguni menjadi terkenal ke seluruh dunia dan mendapat nobel
sastra. Hasil penerjemahan Yukiguni ke dalam bahasa Indonesia, telah dilakukan sebanyak dua
kali, yaitu: Yukiguni yang diterjemahkan oleh Anas Ma’ruf dengan judul Negeri Salju pada tahun
1972; dan Yukiguni yang diterjemahkan oleh Ajip Rosidi bekerjasama dengan Matsuoka Kunio
yang judul Daerah Salju, tahun 1987. Anas Ma’ruf, dalam pengantarnya (1972:4), menyatakan
bahwa Negeri Salju diterjemahkan dari Yukiguni yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris yaitu Snow Country oleh E.G. Seidensticker, sehingga judulnya sesuai dengan bahasa
Inggrisnya yaitu Negeri Salju. Adapun penerjemahan yang dilakukan oleh Ajip Rosidi dan
Matsuoka Kunio terhadap Yukiguni, merupakan penerjemahan yang langsung mengacu pada
novel asli berbahasa Jepang, terbitan Shinchosha. (Rosidi: 1987:6).
Karya sastra Jepang terjemahan dapat dijadikan bahaninformasi mengenai
perkembangan, gejolak jiwa manusia dan situasi sosial masyarakat di tempat lain, yang
dicurahkan pengarang lewat karya sastranya. Kehadiran karya sastra Jepang ke Indonesia
mempunyai efek yang cukup baik bagi pembaca maupun pengarang sastra. Ide-ide sosial budaya,
adat istiadat, dan pemandangan yang eksotik di Jepang, menimbulkan inspirasi bagi pengarang
Indonesia untuk menggambarkan-nya ke dalam karya sastra. Sebagai contoh,novel karya
sastrawan Indonesia yang mengambil latar belakang budaya Jepang adalah Helai Helai Sakura
Gugur (tahun 1964),Gairah Untuk Hidup dan Untuk Mati (tahun 1968), karya Nasjah
Djamin; Namaku Hiroko (tahun 1977) karya NH. Dini. Herlino Soleman pun, dalam kumpulan
cerpennya, Tabir Kelam (tahun 2003), mengambil latar belakang kehidupan sosial budaya
Jepang sebagai ide ceritanya.
Penelitian, yang diberi judul “Diksi dan Bahasa Kiasan dalam NovelDaerah Salju Karya Ajip
Rosidi: Kajian Stilistika, mengaji gaya bahasa dari teks sastra terjemahan berbahasa Indonesia
yang dibandingkan dengan teks aslinya yang berbahasa Jepang. Secara tradisional, gaya bahasa
dapat dihubungkan dengan kepribadian pengarang/penerjemah yang digunakannya dalam karya
sastranya. Gaya bahasa merupakan perwujudan parole (Leech, 1981: 11), sedangkan bahasa
merupakan wujud langue. Culler (1977:8) menyatakan bahwa parole adalah wujud dari
penerapan langue. Langue adalah sebuah sistem, aturan-aturan, norma-norma yang terdapat
dalam bahasa yang bersifat tidak disadari dan menjadi suatu fenomena sosial,
sedangkan parole/tuturan adalah bahasa yang digunakan dalam percakapan atau ketika kita
menyampaikan suatu pesan tertentu lewat suara-suara simbolik yang keluar dari mulut. Tuturan
ini bersifat individual sehingga mencerminkan kebebasan pribadi seseorang (Chapman, 1973: 9;
Turner, 1977: 14). Dalam penelitian ini, gaya bahasa Ajip Rosidi yang terdapat pada
novel Daerah Salju yang dibatasi pada kajian diksi dan bahasa kiasan dan dibandingkan dengan
bahasa yang terdapat pada teks berbahasa Jepang untuk mengetahui dalam fungsi apa diksi dan
bahasa kiasan itu digunakan. Selain itu, berdasarkan ungkapan Ajip Rosidi dalam pengantar
novel Daerah Salju yang menyatakan bahwa penerjemahan yang dilakukannya merupakan
penerjemahan yang setia pada teks aslinya, maka penelitian ini juga mencari pembuktian atas
ungkapan tersebut.
Dari hasil pembacaan terhadap kedua teks terjemahanNegeri Salju dan Daerah
Salju, serta hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Adee Kartika tentang diksi yang terdapat
pada kedua teks terjemahan tersebut, yang menyimpulkan bahwa novel Daerah
Salju mempunyai keunggulan dalam memaparkan latar belakang kontekstual dan latar belakang
psikologis, maka Daerah Saljudijadikan sebagai objek materiil dalam penelitian ini. Selain
itu,Daerah Salju merupakan terjemahan langsung dari Yukiguni, sedangkan Negeri
Salju merupakan terjemahan dari Snow Country.
Pilihan kata/diksi merupakan langkah awal yang harus dihadapi oleh penerjemah dalam
menyusun teks terjemahan. Penerjemah akan dihadapkan pada beberapa pilihan kata/diksi yang
terdapat pada kamus dan ensiklopedia untuk mendapatkan padanan kata yang sesuai dengan
susunan dan konteks kalimat bahasa sasaran, serta maknanya tidak menyimpang dari makna
bahasa sumber. Hal ini tidak mudah karena sebuah kata dan idiom dalam bahasa sumber ketika
diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran akan mempunyai beberapa padanan kata dan adakalanya
tidak mempunyai padanan kata. Adapun kajian diksi sebagai kajian dari stilistika, menjadi
bahasan dalam penelitian ini disebabkan Ajip Rosidi dalam Daerah Salju telah memasukkan
kata-kata daerah, menggunakan diksi yang mempunyai sinonim secara bersamaan, serta
peminjaman kata-kata bahasa Jepang yang mengandung budaya. Pilihan kata/diksi yang terdapat
pada Daerah Salju menjadi menarik untuk diteliti dengan kajian stilistika untuk mengetahui
dalam rangka fungsi literer apa diksi tersebut digunakan Ajip Rosidi dalam karya sastra
terjemahannya tersebut.
Bahasa Indonesia ataupun bahasa Jepang, merupakan bahasa yang memiliki bahasa
kiasan. Dari hasil pembacaan, baikDaerah Salju maupun Yukiguni merupakan novel yang di
dalamnya banyak mengandung gaya bahasa perumpamaan. Hasil pembandingan antara
teks Daerah Salju dengan Yukiguni,menggambarkan bahwa jumlah bahasa kiasan perumpamaan
yang digunakan dalam kedua teks tersebut hampir sama banyaknya, meskipun terdapat beberapa
perbedaan kelompok bahasa kiasannya. Akan tetapi, sebagai kajian stilistika, penelitian bahasa
kiasan ini tetap dalam tataran fungsi literer. Dari bahasa kiasan yang terdapat dalam Daerah
Salju, ditemukan grand idea/ide pokok dari novel Daerah Salju, yaitu dalam kehidupan di dunia,
jarak antara keindahan/ kebahagiaan dengan keburukan/kesedihan itu sangat dekat, seperti dua
sisi mata uang.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini membahas bagaimana pilihan
kata/diksi dan bahasa kiasan yang terdapat pada novel Daerah Salju sebagai bentuk terjemahan
dari novel Yukiguni karya Kawabata Yasunari.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Teoretis
Tujuan penelitian ini secara teoretis adalah memberikan penekanan bahwa karya sastra
tidak dapat dipisahkan dari bahasa sebagai salah satu pembentuk struktur karya sastra. Oleh
sebab itu, penelitian bahasa dalam karya sastra, dengan menggunakan ilmu stilistika, merupakan
kajian untuk mengungkapkan gaya bahasa yang digunakan oleh seseorang dalam karya
sastranya. Selain itu, penelitian ini merupakan penelitian yang membandingkan teks terjemahan
dengan teks aslinya, maka dapat diungkapkan gaya bahasa teks terjemahan dengan teks aslinya
dalam kerangka fungsi literernya.
1.3.2. Tujuan Praktis
Tujuan penelitian ini secara praktis adalah mengungkapkan pilihan-pilihan kata/diksi dan
bahasa kiasan yang terdapat pada teks terjemahan berbahasa Indonesia, Daerah Salju, sebagai
bentuk terjemahan dari teks berbahasa Jepang, Yukiguni. Dari pembandingan kedua teks tersebut,
dapat diketahui kesetaraan atau penyimpangan penggunaan diksi dan bahasa kiasan. Selain itu,
dari diksi dan bahasa kiasan yang digunakan dalam kedua teks tersebut dapat diungkapkan grand
idea yang melatarbelakangi penggunaan diksi dan bahasa kiasan tersebut.
1.4. Tinjauan Pustaka
Dipilihnya novel Yukiguni karya Kawabata Yasunari, sebagai objek penelitian,
disebabkan lewat novel inilah Kawabata Yasunari mendapatkan nobel sastra pada tahun 1968.
Selain itu, berdasarkan penelitian-penelitian yang ada, terdapat berbagai pengetahuan yang
diberikan dan dihasilkan oleh para peneliti sebelumnya, antara lain sebagai berikut.
a) Penelitian Adee Kartika Yuliantini, dalam Jurnal Puitika Hiski, Malang edisi 02/Th.1/
1990, berjudul “Perbedaan nilai estetis akibat diksi novel Daerah Salju dan Negeri
Salju sebagai terjemahan Yukiguni karya Kawabata Yasunari”. Penelitian tersebut
merupakan studi bandingan antara dua teks terjemahan novel Yukiguni karya Kawabata
Yasunari ke dalam bahasa Indonesia, yaitu Daerah Salju terjemahan Ajip Rosidi
dan Negeri Salju terjemahan Anas Ma’ruf. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kedua
teks terjemahan tersebut terdapat perbedaan, yaitu Daerah Salju mempunyai keunggulan
dalam bidang latar kontekstual dan latar psikologis dibandingkan teks Negeri Salju. Akan
tetapi,Negeri Salju lebih menarik dibandingkan Daerah Salju dari segi narasi/ceritanya.
Perbedaan yang terdapat antara dua teks terjemahan tersebut disebabkan pilihan diksi dan
penataan kata dalam kalimat yang dilakukan oleh penerjemah.
b) Criestantie, dalam skripsinya yang berjudul “Yukiguni (Daerah Salju) karya Kawabata
Yasunari: Sekajian Tema”, menyimpulkan bahwa tema yang diangkat oleh Kawabata
dalam Yukiguni merupakan tema yang absurd.
c) Arlina Nazar, dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Ukemi hyoogen (penyataan bentuk
pasif) dalam Novel Yukiguni”, menyimpulkan bahwa struktur kalimat pasif (ukemi)
dalamYukiguni (berbahasa Jepang), tidak diterjemahkan seperti adanya dalam
novel Daerah Salju (berbahasa Indonesia), tetapi masih mengungkapkan bentuk kalimat
pasif tersebut. Penelitian yang dilakukan Arlina merupakan studi banding dalam bidang
terjemahan terhadap novel Daerah Saljuterhadap Yukiguni.
d) Anisa Muslicha, dalam skripsinya yang berjudul “Deskripsi musim salju dalam
novel Yukiguni (Daerah Salju) karya Kawabata Yasunari, Kajian Stilistika: Penggunaan
bahasa kiasan”, menyimpulkan bahwa terdapat 45 kalimat yang mengandung deskripsi
musim salju yang menggunakan bahasa kiasan dan pilihan kata.
e) Desriani, dalam Tesisnya yang berjudul “Geisha dalam novelYukiguni karya Kawabata
Yasunari: Sebuah pendekatan Mimesis”, menyimpulkan bahwa novel Yukiguni ini
memiliki beberapa peniruan atas kehidupan nyata tentang kehidupangeisha yang terjadi
di dalam masyarakat Jepang, yaitu: (1) mimesis latar novel, baik latar waktu maupun
ruang; (2) mimesis hubungan geisha dengan tamu langganan; (3) mimesis geisha dengan
induk semang; (4) mimesis hubungan geisha dengan istri pelanggan.
f) Zack Davisson (http://A:\amazon.com.BooksSnowCountry.htm.14 Januari 2004)
menyatakan bahwa Yukiguni merupakan novel yang menarik, dalam, dan
berkarakter. Yukigunimempunyai gaya yang halus dan menjadi merk dagang bagi
Kawabata. Dalam bahasanya, Kawabata sebagai pewarishaiku, juga mengisyaratkan
cerita hanya dengan menggunakan kata-kata yang perlu. Adapun dari segi emosionalitas,
diekspresikan melalui bahasa yang berbunga-bunga. Adapun cerita
dalam Yukiguni adalah sekitar hubungan percintaan seorang geisha dan pecinta seni,
tetapi mereka sebenarnya tidak tahu apa itu cinta. Ini merupakan hubungan tanpa nafsu
namun memiliki warna yang kuat.
g) Christopher Culver, dalam website yang sama dengan Zack Davisson, tanggal 1 Oktober
2001, di Chicago, IL, USA, menyatakan bahwa Yukiguni merupakan sebuah kisah cinta
yang menyentakkan hati antara seorang playboy yang mengembara dengan
seorang geisha di daerah terpencil di barat laut Jepang, pada saat musim semi yang panas.
Akan tetapi, kisah tersebut menyiratkan kepedihan cinta yang membingungkan, yang
menyiksa antara Shimamura dan Komako. Yukiguni juga memiliki keindahan, khususnya
latar belakang pemandangan yang putih bersih dan abadi.
Dari penelitian yang telah dilakukan, penelitian ini mempunyai suatu penemuan yang
berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Dengan kajian diksi dan bahasa kiasan yang
digunakan Ajip Rosidi dalam terjemahannya, Daerah Salju, penelitian ini mencoba memaparkan
‘dalam rangka fungsi literer apakah’ bentuk terjemahan yang setia pada teks aslinya yang
dilakukan oleh Ajip Rosidi, dan gaya bahasanya yang memasukkan diksi dari bahasa Jepang,
bahasa daerah dalam Daerah Salju. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini menjadi
berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Adee Kartika yang membedakan antara
pilihan diksi yang dipakai dalam dua versi penerjemahan Yukiguni ke dalam bahasa Indonesia
yang telah dilakukan oleh Anas Ma’ruf dan Ajip Rosidi, dan penelitian yang telah dilakukan oleh
Anisa Muslicha, tentang bahasa kiasan yang mendeskripsikan musim salju. Akan tetapi,
penelitian ini berangkat dari hasil penelitian dari kedua penelitian tersebut.
1.5. Kerangka Teori
1.5.1. Teori Stilistika
Stilistika atau Stylistics adalah ilmu tentang style (gaya). Leech (1981: 13)
mendefinisikan stilistika sebagai studi tentang gaya bahasa, yang secara sederhana adalah
sebagai latihan dalam menggambarkan dalam fungsi ‘apa’ bahasa dibuat. Stilistika karya sastra
mencoba menjelaskan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistiknya. Style/gaya bahasa
menjadi sebuah konsep hubungan, dan tujuan stilistika sastra adalah menghubungkan dalam rasa
yang lebih menarik dibanding yang terlah disebutkan, menghubungkan kritik apresiasi estetik
dengan deskripsi bahasa. Adapun Turner (1977: 7) berpendapat bahwa stilistika adalah bagian
dari linguistik yang berkonsentrasi pada penggunaan bahasa tetapi tidak secara eksklusif, dengan
perhatian khusus pada kesadaran dan penggunaan bahasa yang kompleks dalam karya
sastra. Aminuddin (1995:42) menyatakan stilistika merupakan studi yang ditinjau dari sasaran
dan penjelasan yang dibuahkan hanya berpusat pada aspek gaya yang secara esensial berkaitan
dengan wujud pemaparan karya sastra sebagai bentuk penyampaian gagasan pengarangnya,
sedangkanJassin (1991: 127)stilistika adalah ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa.
Berdasarkan definisi di atas, hubungan karya sastra dapat dikaji dari segi kebahasaannya
yang merupakan secondary modeling system dan merupakan tanda-tanda yang
bermakna. Style dan stilistika merupakan studi bahasa yang digunakan dalam teks sastra, dengan
tujuan menghubungkan bahasa dengan fungsi artistik (Leech, 1981: 15). Dalam stilistika sastra,
penulis/pengarang boleh mempunyai tujuan bervariasi dan kita (peneliti) disiapkan untuk
menilai style dari karya tertentu dalam hubungan dengan tujuan dari karya tersebut (Turner,
1977: 235). Hal ini disebabkan analisis stilistika mempelajari penggunaan bahasa yang
menyimpang dari penggunaannya yang biasa dan mencoba menemukan alasan dan tujuan
penyimpangan itu dari sudut estetis (Jassin, 1991: 128).
Karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan
medium bahasa. Bahasa, sebagai medium karya sastra, sudah merupakan sistem semiotika atau
ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti (Pradopo, 2005:120-121). Kritikus
menyendirikan satuan-satuan berfungsi dan konvensi-konvensi sastra yang berlaku. Satuan-
satuan berfungsi yaitu: alur, setting, penokohan, satuan-satuan bunyi, kelompok kata, kalimat
(gaya bahasa), dan satuan visual (tipografi, enjabement, bait, dll.)
Sebagai satuan berfungsi, gaya bahasa sebuah karya sastra dapat dikaji melalui pilihan
kata/diksi dan bahasa kiasan sebagai bagian dari kajian stilistika yang mengaji gaya bahasa suatu
karya sastra. Stilistika, sebagai kajian linguistik, hanya mempelajari struktur kebahasaan meliputi
pemakaian atau penyusunan kata, kalimat, wacana, dan gaya pada suatu teks sastra sampai pada
efek yang ditimbulkannya dan memberikan penilaian terhadapnya. (Ismail,
1994:4). Stilistika memanfaatkan linguistik untuk meneliti efek estetik bahasa (Wellek, 1995:
221). Kajian stilistika pada karya sastra merupakan sebuah kajian wacana sastra dengan orientasi
linguistik. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang
membedakan atau mempertentangkannya dengan wacana non-sastra, meneliti dedalamsi
terhadap tata bahasa sebagai sarana literer (Sudjiman, 1993:3). Stilistika dianggap sebagai ilmu
yang menggabungkan linguistik dan sastra. Junus (1989:xviii) merumuskan bahwa stilistika
adalah linguistik dan (ilmu) sastra. Hal tersebut terlihat pada upaya stilistika yang condong pada
ilmu sastra dan penelitian stilistika yang dipusatkan pada karya sastra sebagai sumber gaya, dan
penggunaan bahasa yang kompleks dan fungsi estetiknya dominan (Pradopo, 2005:3). Stilistika
juga digunakan oleh sastrawan dalam menciptakan karya sastra untuk menerangkan sesuatu yang
berkaitan dengan fungsi artistik dan maknanya. Wellek (1989:222-3) mengatakan bahwa kajian
stilistika secara luas meneliti semua teknik yang dipakai untuk tujuan ekspresif tertentu dan
meliputi wilayah yang lebih luas dari sastra atau retorika.
Gaya bahasa (style) sebagai kajian utama stilistika, berasal dari bahasa latin Stilus, yaitu
semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Kemudian pada
perkembangannya style ditekankan pada keahlian untuk menulis. Style lalu berubah menjadi
kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata. Adapun
jangkauan style mencakup unsur-unsur meliputi diksi, frasa, klausa, kalimat, wacana secara
keseluruhan (Keraf, 1987: 112). Adapun Aminuddin (1995: v) mendefinisikan gaya bahasa
sebagai cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan tujuan dan
efek yang ingin dicapainya. Gaya bahasa dalam sastra menimbulkan efek puitis atau efek estetik.
Soal pilihan kata adalah soal gaya. Gaya bahasa mempelajari segala cara yang tujuannya ialah
untuk mencapai suatu efek tertentu dalam pernyataan. (Jassin, 1991: 128). Enkvist, dalam Junus
(1989: 4), mendefinisikan gaya bahasa sebagai berikut:
(1) bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya;
(2) pilihan antara berbagai-bagai pernyataan yang mungkin;
(3) sekumpulan ciri-ciri pribadi;
(4) penyimpangan daripada norma atau kaidah;
(5) sekumpulan ciri-ciri kolektif;
(6) hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada sebuah
ayat.
Berdasarkan definisi di atas, dalam menganalisis gaya bahasa suatu karya sastra, harus
diperhatikan bahwa karya sastra sebagaisecondary modelling system. Gaya bahasa dalam karya
sastra juga merupakan sistem tanda yang mempunyai makna (Junus, 1989: 187). Hal ini
disebabkan benda, kegiatan, peristiwa, dan proses, semuanya diberi label yang disebut lambang.
Setiap lambang dibebani unsur yang disebut makna. Makna lambang-lambang tersebut
memperlihatkan hubungan makna. (Pateda, 2001: 254-255)
Makna yang berhubungan dengan gaya bahasa ada yang dapat dilihat dari segi kedekatan
antarmakna, ada pula yang dapat dilihat dari segi kesamaan antarmakna. Kesamaan antarmakna
berhubungan dengan metafora, dan yang kedekatan antarmakna berhubungan dengan metonimi
(Pateda, 2001:234). Maka dari itu, pemaknaan suatu tanda dalam karya sastra, harus dalam
kerangka semiotika karena sistem tanda ditentukan konvensi sastra yang berlaku dan dalam
rangka fungsi literer.
Gaya bahasa ada beberapa macam. Pradopo (2005:8) membedakannya menjadi tiga, yaitu
gaya bunyi, gaya kata dan gaya kalimat/gaya wacana. Gaya bunyi meliputi kiasan bunyi, sajak
(rima), orkestrasi, dan irama. Gaya kata meliputi gaya bentuk kata (morfologi), arti kata
(semantik), diksi dan bahasa kiasan, serta gaya asal usul kata (etimologi). Adapun gaya kalimat
atau gaya wacana meliputi gaya bentuk kalimat dan sarana retorika.
Adapun gaya bahasa yang dikaji dalam penelitian ini merupakan gaya kata yang
dikhususkan pada pemakaian diksi dan bahasa kiasan. Gaya bahasa berdasarkan pemilihan
kata/diksi ini berorientasi pada masalah ketepatan dan kesesuaian suatu kata dalam situasi
tertentu dalam sebuah karya sastra. Hal ini sesuai dengan pendapat Keraf (1987: 117) yang
menyatakan bahwa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling
tepat dan sesuai untuk posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata
dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam karya sastra.
Pilihan kata/diksi adalah gaya. Memilih dan mempergunakan kata sesuai dengan isi yang
mau disampaikan ialah soal gaya. Juga, bagaimana menyusun kalimat secara efektif, secara
estetis, yakni memberi kesan yang dikehendaki pada penerima adalah soal gaya (Jassin,
1991:126). Pilihan kata/diksi dipergunakan untuk mendapatkan arti (makna) setepat-tepatnya
untuk intensitas pernyataan/ ekspresi dan untuk mendapatkan nilai estetik (Pradopo, 2005:
36&54).
Adapun pentingnya ketepatan penggunaan pilihan kata/diksi sangat menentukan dalam
menyampaikan maksud suatu karya sastra (Sudjiman, 1993:22). Pilihan kata/diksi dalam karya
sastra dapat menggunakan sinonim, kata daerah, kata asing, tautologi (pengulangan makna atau
gagasan), anomali (penyimpangan dari sudut gramatikal atau semantis suatu bahasa), bahasa
kiasan, dll. Adapun penganalisisan pilihan kata, yang dapat dilakukan adalah melakukan
pengamatan apakah sebuah teks berisi kata-kata kongkret dan khusus, berisi kata-kata abstrak
dan umum, bahasa resmi dan tak resmi, khidmat dan sehari-hari. (Luxemburg, 1991: 59)
Bahasa kiasan merupakan salah satu unsur untuk mendapatkan nilai estetik (Pradopo,
2005:61). Adapun gaya bahasa kiasan merupakan penggunaan bahasa kiasan/figurative
languageyaitu menyatakan suatu hal secara tidak langsung dengan menyamakan suatu hal
dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama atau menyatakan suatu hal dengan hal lain untuk
mendapatkan gambaran angan (imaji) yang jelas (Pradopo, 2005: 38). Bahasa kiasan juga
merupakan pemakaian kata yang maknanya tidak sebenarnya (Kridalaksana, 1982:103). Di
bawah ini adalah pembagian jenis bahasa kiasan dari pendapat para ahli stilistika adalah sebagai
berikut.
Keraf (1987:138-145) membagi jenis bahasa kiasan dalam bahasa Indonesia menjadi 16,
yaitu: persamaan/simile; metafora; alegori, parabel, fabel; personifikasi/prosopopoeia;
alusi; eponim; epitet; sinekdoke; metonimia; antonomasia; hipalase; ironi, sinisme, sarkasme;
satire; inuendo; antifrasis; pun/paronomasia. Jassin (1991:114-125) membagi jenis bahasa kiasan
menjadi personifikasi, kiasan/metafora, perbandingan, kiasan klise/ hiperbol. Adapun bahasa
kiasan perbandingan ditandai dengan kata “seperti, macam, laksana, penaka, ibarat, dll”.
Luxemburg (1991:64-67) membagi 3 majas yaitu, majas pertentangan (antitese dan oksimoron);
majas identitas (perumpamaan dan metafora); majas kontinguitas (metonimia, sinekdoke totum
pro parte dan sinekdoke pars pro toto). Adapun Aminuddin (1995:242-246) membagi jenis
bahasa kiasan yaitu metafora, metonimi, sinekdoke, simile, ironi. Adapun Pradopo (2005:38)
membagi bahasa kiasan yaitu: perumpamaan/simile, perbandingan epos/epic simile, metafora,
metafora yang diperluas/extended metaphor, alegori, personifikasi, metonimi, sinekdoke. Larson
(1984: 116-122) membedakan makna bahasa kiasan menjadi metonimi, sinekdoke, idiom,
eufimisme dan hiperbola.