Post on 22-Jun-2015
description
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
Tugas :
DASAR-DASAR AKUAKULTUR
“Budidaya Kerang Mutiara (Pinctada maxima) The Golden and Silver Pearl pada
Keramba Jaring Apung di Perairan Nusantara”
OLEH :
ARIS SANDO HAMZAH
I1 A2 11 023
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2014
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tiram mutiara merupakan salah satu sumberdaya laut yang memiliki harga jual yang
menggiurkan serta memiliki prospek yang sangat cerah di pasaran. Karna memiliki peluang
bisnis dan nilai ekonomi yang menggiurkan ditambah semakin berkembangnya Ilmu teknologi
dan pengetahuan tak heran maka jumlah pembudidaya atau produsen tiram mutiara semakn
meningkat. Teknik budidaya kerang mutiara pada mulanya dikuasai oleh tenaga asing (Jepang)
khusus untuk hatchery dan operasi penyuntikan. Namun seiring dengan perkembangan teknologi
bidang kelautan, maka pada dekade tahun 1980-an telah terjadi alih teknologi dari tenaga asing
ke tenaga kerja Indonesia (Hamzah dan Setyono 2009; Hamzah, 2008c). Sebagai akibat dari
penguasaan teknologi bio industri budidaya kerang mutiara oleh tenaga kerja Indonesia, maka
tahun 2010 tercatat kurang lebih 71 perusahaan dengan rincian 38 perusahaan terdaftar sebagai
anggota ASBUMI (Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia) yang tersebar di perairan Indonesia
(Susilowati & Sumantadinata, 2011). Dijelaskan pula bahwa Indonesia memiliki mutiara
kebanggaan yang menjadi komuditas ekspor yaitu mutiara warna putih atau South Sea Pearl,
sejenis dengan mutiara yang diproduksi oleh Australia, Filipina dan Myanmar (Hamzah, 2013).
Salah satu jenis kerang yang paling banyak diminati adalah Pinctada maxima atau biasa
dikenal sebagai ratu mutiara (The Queen of Pearls) yang menghasilkan butiran mutiara berwarna
emas (gold) dan berwarna perak (silver). Warna dari mutiara ini yang indah dan elegan,
menambah daya tarik tersendiri bagi konsumen di pasaran. Nilai eksport biji mutiara untuk
propinsi NTB tahun 1999 sebesar US$ 12,1 juta atau Rp. 96 milyar (Kurs US$ 1 = Rp.8000-).
Ketergiuran investor untuk menanamkan modalnya dalam usaha kerang mutiara, karena
memiliki prospek yang cerah dimana pemasaran hasilnya bukan saja tergantung pada biji
mutiara,namun permintaan antar pengusaha justru lebih interest pada ukuran stadia larva pada
kolektor, anakan antara 3-5cm dan dewasa 6cm hingga siap operasi inti (ukuran cangkang pada
dorsal 12cm). Harga kerang mutiara hidup ukuran dewasa (6-12cm) per-sentinya bervariasi
antara Rp. 4000, - Rp.5000, (Hamzah dan Sumadhiharga, 2002).
Perairan Indonesia sendiri memiliki potensi Tiram mutiara (Pinctada maxima) yang
begitu besar di wilayah Indonesia bagian timur seperti Irian Jaya, Sulawesi dan gugusan laut
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
Arafuru Hal ini, didukung oleh Perairan Nusantara yang memiliki gugusan pulau-pulau kecil dan
besar yang berjumlah 17.508 pulau dengan garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada, yaitu
81.290 km (Rangka dan Ratnawati, 2008 dalam Hamzah, 2013). Di beberapa daerah tersebut,
usaha penyelaman tiram mutiara merupakan mata pencaharian bagi penduduk setempat. Gairah
para penyelam semakin kuat setelah berdirinya beberapa perusahaan mutiara, karena jalur
pemasaran tiram mutiara hasil menyelam cukup baik mengingat perusahaan tersebut masih
membeli tiram dari para penyelam (Tarwiyah, 2001). Budidaya tiram mutiara dilakukan dengan
beberapa metoda. Metoda tersebut antara lain: Metoda rakit apung (floating raft method), metoda
dasar (bottom method) dan metoda tali rentang (long line method), masing-masing dilengkapi
dengan keranjang pemeliharaan (pocket). Metoda yang umumnya digunakan dalam budidaya
tiram mutiara di Indonesia yaitu metoda rakit apung dan tali rentang. Metoda dasar hanya unggul
dari segi keamanannya saja, sedangkan untuk perawatan relatif lebih sulit.
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat dari penulisan makalah ini yaitu agar pembaca mengetahui cara
pembudidayaan tiram mutiara (Pinctada maxima), serta mengetahui parameter lingkungan dan
hal-hal yang mempengarui pertumbuhan dan kelangsungan hidup tiram mutiara (P. maxima)
pada rakit apung.
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembentukan Mutiara Secara Alami
Di alam, mutiara terbentuk akibat adanya irritant yang masuk ke dalam mantel kerang
mutiara. Fenomena adanya irritant ini sering juga ditafsirkan dengan masuknya pasir atau benda
padat ke dalam mantel kemudian benda ini pada akan terbungkus nacre sehingga jadilah mutiara.
Secara teoritis, Elisabeth Strack (secara mendalam terdapat dalam buku Pearls tahun 2006)
mendeskripsikan terbentuknya mutiara alami terbagi atas dua bagian besar, terbentuk akibat
irritant dan masuknya partikel padat dalam mantel moluska. Pada prinsipnya, mutiara terbentuk
karena adanya bagian epithelium mantel yang masuk ke dalam rongga mantel tersebut. Bagian
epithelium mantel ini bertugas mengeluarkan/mendeposisikan nacre pada bagian dalam
cangkang kerang disamping membentuk keseluruhan cangkang. Teory irritant mengungkapkan
bahwa pada suatu saat bagian ujung mantel sang kerang dimakan oleh ikan, hal ini
dimungkinkan karena kerang akan membuka cangkang dan menjulurkan bagian mantelnya untuk
menyerap makanan. Saat mantelnya putus, bagian remah eptiheliumpun masuk ke dalam rongga
mantel.
Teory irritant juga mengungkapkan bahwa bisa saja mutiara terbentuk akibat masuknya
cacing yang biasanya menempati moluska pada masa perkembangannya kemudian berpindah ke
organisme lain. Cacing ini merusak dan memasuki rongga mantel. Cacing ini tanpa sengaja
membawa bagian epithelium yang ada di permukaan mantel bersamanya. Bila cacing mati dalam
rongga mantel, maka cacing ini akan dibungkus oleh epithelium, membentuk kantung mutiara
dan akhirnya terbentuklah mutiara. Kalaupun cacing itu bisa melepaskan diri, maka epithelium
yang tinggal dalam rongga mantellah yang akan membentuk mutiara setelah sebelumnya
membentuk kantung mutiara. Sementara teori yang kedua adalah masuknya partikel padat ke
dalam rongga mantel. Partikel padat bisa saja terperangkap di dalam tubuh kerang akibat
dorongan air. Saat kerang ini tak bisa mengeluarkannya, partikel inipun bisa saja masuk ke
rongga mantel. Saat dia masuk, epithelium juga ikut bersamanya. Epithelium ini akhirnya
membungkus partikel padat sehingga terbentuklah kantung mutiara. Kantung mutiara ini
akhirnya akan mendeposisikan nacre ke partikel padat tersebut. Namun demikian sejauh ini
belum ada bukti ilmiah yang mendukung teori masuknya pasir ke dalam mantel kerang mutiara
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
walaupun teori ini dipahami sejak lama. Dari beberapa mutiara alami yang dibedah,
menunjukkan bahwa bagian inti mutiaranya bukanlah partikel padat.
B. Habitat dan Penyebaran
Dalam aplikasi pengembangan budidaya kerang mutiara (Pinctada maxima) faktor yang
perlu diperhatikan adalah kondisi lingkungan seperti suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH dan
kecerahan perairan. Suhu air sangat berperan dalam mengendalikan proses metabolisme, pada
kisaran suhu antara 26-29 ºC kerang mutiara sangat aktif melakukan kegiatan metabolisme dan
mampu tumbuh dengan baik (Susilowati & Sumantadinata, 2011). Kondisis yang sama juga
berlaku pada kisaran salintas antara 27-32 ppt (Doroudi et al., 1999). Sementara oksigen terlarut
umumnya merupakan faktor pembatas bagi sintasan organisme akuatik (Meade, 1989).
Kebutuhan komsumsi oksigen terlarut bagi kehidupan kerang mutiara jenis P. Fucata berbagai
ukuran berbeda-beda yaitu untuk ukuran antara 40-50mm mengkomsumsi 1,339 mL/jam, ukuran
50-60 mm mengkomsumsi 1,650mL/jam dan ukuran 60-70mm mengkomsumsi sebesar
1,810mL/jam (Dharmaraj et al., 1987). Menurut Nayar & Mahadevan (1987), dalam Susilowati
& Sumantadinata (2011), bahwa habitat kerang mutiara berbeda pada perairan dengan pH lebih
tinggi dari 6,75; namun kerang mutiara tidak dapat memproduksi bila pH lebih tinggi dari 9.
Lebih jauh dijelaskan pula bahwa pH air yang cocok untuk tumbuh dan berkembang biak kerang
mutiara (Pinctada maxima) adalah berkisar antara 7,9-8,2
Daerah sebaran kerang mutiara khususnya jenis Pinctada maxima di perairan Indonesia
umumnya banyak ditemukan di wilayah Indonesia bagian timur, yaitu Maluku terutama gugus
kepulauan Arafura, Irian Jaya dan Sulawesi (Mosses et al,. 1994). Selanjutnya dijelaskan pula
bahwa jenis hewan ini senang hidup pada kedalaman perairan antara 20 – 60 m dan menempel
dengan menggunakan bysusnya pada batu-batuan dan pecahan karang serta kadang ditemukan
pada dasar perairan yang berpasir. Jenis kerang mutiara yang hidup dan menyebar di perairan
Indonesia antara lain : Pinctada maxima, Pinctada margaritifera, Pinctada fucuta, Pinctada
chemnitis dan Pteria penguin. Semen-tara yang dapat dikembangkan untuk menghasilkan butiran
mutiara ada empat jenis antara lain Pinctada maxima, Pinctada margaritifera, Pitrea penguin
dan Pinctada fucata. Namun dari sekian jenis, yang banyak diminati dan sudah mengalami
pengembangan lebih maju adalah Pinctada maxima. Tiram mutiara jenis Pinctada sp. yang
banyak dijumpai di berbagai Negara seperti Pilipina, Thailand, Birma, Australia dan perairan
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
Indonesia, sebenarnya lebih menyukai hidup di daerah batuan karang atau dasar perairan yang
berpasir. Disamping itu juga banyak dijumpai pada kedalaman antara 20 m – 60 m. Untuk
perairan Indonesia sendiri jenid tiram Pinctada maxima banyak terdapat di wilayah Indonesia
bagian timur, seperti Irian Jaya, Sulawesi dan gugusan laut Arafuru. (Sutaman 1993).
C. Pemilihan Lokasi
Bagian penting yang harus kita lakukan sebelum memulai suatu usaha budidaya adalah
mencari dan menilai calon lokasi yang akan dijadikan tempat pemeliharaan. Salah satu faktor
yang mempengaruhi keberhasilan suatu usaha budidaya lebih banyak ditentukan oleh lokasi yang
memenuhi syarat teknis. Tidak jarang para pengusaha mengalami beberapa kesulitan dan
hambatan yang menjurus kepada kegagalan, hanya karena kurang cermat dalam memilih lokasi.
Standard kelayakan lokasi budidaya kerang mutiara dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 : Standar Kelayakan Budidaya Kerang Mutiara
N
o
Parameter Indikator
1 Terlindung dari pengaruh angin musim Baik
2 Kondisi Gelombang Tenang
3 Arus (Cm/dt) 15 - 25
4 Kedalaman air (m) 15 - 25
5 Dasar Perairan Berkarang
6 Salinitas (o/oo) 32 - 35
7 Suhu (oC) 25 – 29
8 Kecerahan (m) 4,5 – 6,5
9 Kesuburan Perairan Subur
10 Sumber Benih dan Induk Banyak
11 Sarana Penunjang Baik
12 Pencemaran Tidak ada
13 Keamanan Aman
Sumber : Mulyanto (1987) dalam Hamzah (2013)
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
Menurut Sutaman (1993) kondisi dan kualitas air yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan, ukuran dan kualitas mutiara adalah sebagai berikut :
a. Dasar Perairan
Dasar perairan secara fisik maupun kimia berpengaruh besar terhadap susunan dan
kelimpahan organisme di dalam air termasuk bagi kehidupan tiram mutiara. Adanya perubahan
tanah dasar (sedimen) akibat banjir yang menyebabkan dasar perairan tertutup lumpur sering
menimbulkan kematian pada tiram terutama yang masih muda. Oleh karena itu dasar perairan
yang berpasir atau berlumpur tidak layak untuk lokasi budidaya tiram mutiara. Dasar perairan
yang cocok untuk budidaya untuk budidaya tiram mutiara ialah dasar perairan yang berkarang
atau mengandung pecahan-pecahan karang. Bisa juga dipilih dasar perairan yang terbentuk
akibat gugusan karang yang sudah mati atau gunungan-gunungan karang.
b. Kedalam
pada umumnya kerang mutiara digantung pada kedalaman 2 – 3m. pembesaran anakan
kerang yang digantung pada level kedalaman 2m adalah diduga kuat berkaitan dengan distribusi
kelimpahan pakan alami (fitoplankton). Sebagaimana dikemukakan oleh Sutomo (1987) dan
Sidabutar (1998) bahwa sebaran konsentrasi pakan alami (fitoplankton) umumnya lebih tinggi
pada lapisan permukaan dibanding dengan lapisan yang lebih dalam. Demikian juga penjelasan
yang hampir sama dikemukakan oleh Honkoop dan Beukema (1997), Pilditch dan Grant (1999),
Marsden (2004), Yukihira et.el. (1998, 2000, 2006). Keadaan ini identik dengan hasil penelitian
di perairan Teluk Kapontori, Pulau Buton yang dilakukan oleh Hamzah dan Nababan (2009),
bahwa persentasi kelangsungan hidup anakan kerang mutiara (Pinctada maxima) yang digantung
pada kedalaman 2m secara umum lebih tinggi (100%) dibandingkan dengan hasil yang diperoleh
pada lapisan di bawahnya. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa kondisi anakan kerang mutiara
pada kedalaman 2m memiliki daya lekat bysus pada substrat kuat dan tonjolan hasaky tumbuh
mekar yang merupakan indikasi bahwa kerang dalam keadaan “sehat”. Demikian juga hasil
penelitian yang dilakukan oleh Hamzah (2008a; 2008b).
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
(Sumber : Dok Pribadi)
Gambar 1: Pengaruh kedalaman terhadap pertumbuhan P. maxima
c. Arus Air
Banyak sedikitnya kelimpahan plankton sebagai makanan alami tiram sangat tergantung
pada kuat tidaknya arus yang mengalir dilokasi tersebut. Tiram mutiara memiliki sifat filter
feeder. Oleh karena itu tiram mutiara akan mudah kelaparan pada kondisi arus yang terlalu kuat
yang terjadi selama berjam-jam dalam sehari. Lokasi yang cocok untuk budidaya tiram mutiara
ialah yang terlindung dari arus yang kuat. Disamping itu pasang surut yang terjadi mampu
menggantikan massa air secara total dan teratur,sehingga ketersediaan oksigen terlarut maupun
plankton segar dapat terjamin.
d. Salinitas
Kualitas mutiara yang terbentuk dalam tubuh tiram dapat dipengaruhi oleh kadar salinitas
yang terlalu tinggi, warna mutiara menjadi keemasan. Sedangkan pada kadar salinitas di bawah
14% atau di atas 55% dapat mengakibatkan kematian tiram yang dipelihara secara massal.
Sebenarnya tiram mutiara ini mampu bertahan hidup pada kisaran salinitas yang luas,yaitu antara
20% – 50%. Tetapi salinitas yang terbaik untuk pertumbuhan tiram mutiara adalah 32% – 35%.
e. Suhu
Suhu memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan lapisan mutiara dan
pertumbuhan tiram itu sendiri. Di beberapa Negara, pertumbuhan tiram mutiara yang ideal
2 meter
8 meter
12 meter
16 meter
20 meter
24 meter
Teritip
Hasaky
Bysus
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
menunjukan kisaran suhu yang berbeda-beda. Di jepang, misalnya, pertumbuhan yang terbaik
berkisar antara 200C – 25
0C, sebab pada suhu di atas 28
0C menunjukan tanda-tanda yang
melemah. Hal ini bisa dimengerti, karena rata-rata suhu harian di jepang masih relative rendah,
walupun musim panas. Sedangkan di teluk Klutch India, pertumbuhan yang pesat dicapai pada
suhu anatara 230C – 27
0C. Untuk Negara kita sendiri yang beriklim tropis, pertumbuhan yang
terbaik dicapai pada suhu antara 280C – 30
0C. Pada iklim ini ternyata sangat menguntungkan
untuk budidaya tiram mutiara, sebab pertumbuhan lapisan mutiara dapat terjadi sepanjang tahun.
Sedangkan Negara yang memiliki empat musim (iklim sub-tropis) biasanya pertumbuhan tiram
mutiara tidak terjadi sepanjang tahun, karena pada suhu air di bawah 130C (musim dingin)
pelapisan mutiara atau penimbunan zat kapur akan terhenti. Kematian massal anakan kerang
mutiara rerata sebesar 68,57% bersamaan dengan naiknya kondisi suhu harian dari level 29°C
menjadi 31°C di perairan Buton, Sulawesi Tenggara (Hamzah et al., 2008; Hamzah, 2007).
Sebaliknya, di perairan Teluk Kombal Lombok Utara, NTB tercatat kematian massal sebesar
85% bersamaan dengan turunnya kondisi suhu musiman dari level 28,5°C (suhu optimum)
menjadi 26,5°C dan bahkan turun hingga mencapai 24,5°C (Hamzah et al., 2005). Perubahan
kondisi suhu musiman yang terjadi di laut lepas umumnya diakibatkan oleh proses penaikan
masa air (upwelling) yang turut mempengaruhi kondisi suhu perairan dangkal dan sekitarnya
(Wenno, 1979; Wirtki, 1961; Birowo, 1982). Dugaan lain Perubahan suhu cenderung
diakibatkan oleh arus dingin yang bersamaan dengan tiupan angin selatan pada malam hari
dalam beberapa minggu (Hamzah dan Nababan, 2009; Hamzah et. al., 2005).
f. Kecerahan
Banyak sedikitnya sinar matahari yang menembus ke dalam perairan sangat tergantung
dari kecerahan air. Semakin cerah perairan tersebut, maka semakin dalam sinar yang menembus
ke dalam perairan. Demekian pula sebaliknya. Untuk keperluaan budidaya tiram mutiara
selayaknya dipilih lokasi yang mempunyai kecerahan antara 4,5 m – 6,5 m, sehingga kedalaman
pemeliharaan bisa diusahakan antara 6 m – 7 m. sebab biasanya tiram yang dibudidayakan
diletakkan di bawah kedalaman atau kecerahan rata-rata.
g. Kesuburan Perairan
Tiram sebagai binatang yang tergolong filter feeder hanya mengandalakan makanan
dengan menyerap plankton dari perairan sekitar, sehingga keberadaan pakan alami memegang
peranan yang sangat penting. Sedangkan keberadaan pakan alami itu sendiri sangat berkaitan
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
erat dengan kesuburan suatu perairan. Pada kondisi perairan yang kurang subur (tercemar),
komposisi pakan alami jumlahnya akan sangat sedikit, sehingga kurang mendukung untuk
penyediaa pakan yang diperlukan tiram. Padahal tiram yang dipelihara dalam laut, jelas tidak
mungkin diberi pakan tambahan sebagaimana ikan atau udang yang dipelihara dalam tambak.
Oleh karena itu lokasi budidaya pada kondisi perairan yang subur mutlak diperlukan.
D. Budidaya dan Pengolahan
Teknik Produksi
Dalam kegiatan untuk memproduksi spat dapat dimulai jika semua sarana operasional
telah tersedia, terutama pakan hidup dan induk. Hal ini yang perlu disiapkan lebih dahulu jauh
hari sebelum pembangunan fisik dimulai. Kegiatan pembenihan ini diawali dengan kultur pakan
hidup, dalam arti bahwa jumlah pakan yang dikulturkan harus cukup untuk pakan induk, larva,
dan spat. Kegiatan selanjutnya adalah seleksi induk, pemijahan, pemeliharaan larva,
pemeliharaan spat, dan pendederan.
a. Seleksi induk
Dalam kegiatan seleksi induk tiram mutiara dapat dilakukan di atas rakit apung di laut
atau di laboratorium. Induk-induk yang akan diseleksi dengan posisi berdiri atau bagian dorsal di
bawah. Kemudian, biasanya induk akan membuka cangkang karena kekurangan oksigen. Proses
pembukaan cangkang hendaknya jangan dipaksakan karena dapat menyebabkan cangkang pecah.
Setelah cangkang terbuka sebagian , segera digunakan alat pembuka cangkang (shell opener)
agar cangkang terbuka. Selanjutnya, pada cangkang segera dipasang baji dari kayu sebagai
pangganjal agar cangkang tetap terbuka sebagian.
Untuk melihat posisi gonad, digunakan alat spatula. Dengan spatula, insang di sibakkan
sehingga posisi gonad dapat terlihat dengan jelas dan secara visual tingkat kematangan dapat
diketahui. Secara morfologi, tiram mutiara dewasa dan telah mencapai matang gonad penuh
yaitu (fase IV) dapat diketahui, dengan kondisi gonad adalah seluruh permukaan organ bagian
dalam tertutup oleh gonad, kecuali bagian kaki (Winanto et al., 2002).
Klasifikasi tiram mutiara yang memenuhi syarat untuk dijadikan induk berukuran antara
17-20 cm (DVM). Persyaratan yang paling penting adalah tingkat kematangan gonad. Induk
yang berasal dari hatchery, khususnya induk jantan, ada kalanya berukuran 15 cm (DVM) sudah
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
matang gonad penuh. Induk-induk yang sudah diseleksi atau sudah memenuhi syarat segera
dibawa ke laboratorium untuk dipijahkan.
Pengelolaan induk di laboratorium dalam kondisi terkendali telah dilakukan oleh para
ahli. Para ahli tersebut memelihara induk Pinctada maxima di laboratorium dilakukan di dalam
bak fiberglass kapasitas 1 ton. Selama pemeliharaan digunakan sistem air mengalir dan diberi
pakan tambahan fitoplankton. Aplikasi pakan hidup diberikan dengan variasi komposisi
Isocrysis galbana dan atau Pavlova luthri dengan Tetraselmis tetrathele atau Chaetoceros sp.
dengan perbandingan 1:1. jumlah pakan yang diberikan antara 25.000- 30.000 sel/cc/hari.
b. Pemijahan
Pemijahan tiram mutiara secara alami sering terjadi pada tiram yang telah dewasa. Dalam
kondisi gonad matang penuh, tiram akan segera memijah jika terjadi perubahan lingkungan
perairan walaupun sedikit. Kemungkinan lain adalah shock mekanik yang terjadi karena
perlakuan kasar pada saat cangkang dibersihkan atau akibat perbedaan tekanan. Lalu dibawah ke
tempat budidaya yang relatif dangkal sehingga memacu tiram untuk memijah.
Menurut Winanto (2004) rekayasa pemijahan perlu dilakukan jika secara alami tiram
tidak mau memijah di dalam bak pemijahan. Ada dua metode yang digunakan dalam perlakuan
pemijahan, yaitu metode manipulasi lingkungan dan metode rangsangan kimia.
c. Metode manipulasi Lingkungan
Metode pertama manipulasi lingkungan yang biasa di gunakan dan resiko kegagalannya
relatif kecil adalah metode kejut suhu (thermal shock), fluktuasi suhu, dan ekspose. Metode kejut
suhu dilakukan dengan cara, jika suhu air di tempat pemijahan mulanya sekitar 28ºC di tinggikan
menjadi 35ºC, ini di naikkan secara bertahap dengan bantuan alat pemanas (heater). Induk-induk
akan memijah setelah 60-90 menit dari perlakuan. Biasanya yang lebih dulu memijah adalah
induk jantan dan di susul oleh induk betina. Sperma yang keluar seperti asap berwarna putih.
Metode yang ke dua adalah fluktuasi suhu, jika suhu awal tempat pemijahan sekitar 28ºC
di tinggikan menjadi 33-45ºC . jika induk belum memijah setelah 60-90 menit maka suhu di
turunkan kembali ke suhu awal, perlakuan ini di lakukan terus-menerus sampai induk memijah.
Metode yang ketiga yaitu metode ekspose juga sering di lakukan dan ada kalanya di
kombinasikan dengan metode kejut suhu. Induk di letakkan di tempat teduh, lalu di biarkan
selama 30-45 menit, pada kondisi tertentu, misalnya induk belum mencapai fase matang gonad
(fase III) maka perlu di lakukan ekspose lebih lama, bisa mencapai 1-2 jam. Setelah masa
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
ekspose, induk di kembalikan lagi ke tempat bak pemijahan. Pada kasus ini bisa di kombinasi
antara metode ekspose dengan metode kejut suhu atau fluktuasi suhu.
d. Rangsangan kimia
Dalam pemijahan dengan menggunakan bahan kimia juga sering di lakukan, tetapi hasil
pembuahan (fertilisasi) biasannya kurang baik. Seperti halnya manipulasi lingkungan, dengan
bahan kimia juga bertujuan untuk merubah lingkungan mikro tempat pemijahan. Secara ekstrim
bahan kimia dapat dengan segera merubah lingkungan pH air menjadi asam atau basa, yamg
bertujuan memberikan shock fisiologis pada induk sehingga terpaksa mengeluarkan sel-sel
gonadnya (Winanto, 2004). Jenis bahan kimia yang umum di gunakan antara lain hydrogen
peroksida (H2O2), natrium hidroksida (NaOH), ammonium hidroksida (NH4OH), amoniak
(NH4), dan larutan tris (trace buffer).
Tabel 2. Perkembangan Pinctada maxima setelah telur di buahi.
Waktu setelah
Pembuahan
Temperature air
(ºC)
Perkembangan
15 menit 28 Penonjolan polar body I
25 menit 28 Penonjolan polar body II
40 menit 9 Penonjolan polar lobe I,
permulaan cleavage
45 menit 30 Stage 2 sel
1 jam 30 Stage 4 sel
1½ jam-3 jam 28-30 Stage 8 sel
2½ jam-3½ jam 27-30 Stage morula
3½ jam-4 jam 27-31
Blastula mulai megadakan
rotasi
Permulaan gastrula5½ jam28-30Perkembangan flagelata apical7½ jam28-30Kulit tiram
hampir menutupi tubuh18½ jam-19 jam26-30 (D shape)
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
Manajemen Pakan
Kultur Phytoplankton
Pakan alami untuk tiram mutiara yaitu jenis-jenis flagelata berukuran ≤ 10 µ. Beberapa
jenis mikroalga yang umum di berikan untuk larva tiram mutiara yaitu : Isocrysis galbana,
Pavlova lutheri, Chaetocheros. Sp, Nannoclorophysis. Sp, dan Tetraselmis chuii.
Pemeliharaan pakan alami ini dilakukan secara bertahap, hal ini untuk menjaga kualitas,
kuantitas serta kemurnian pakan alami tersebut. Yang dilakukan dengan menggunakan media
agar, setelah terbentuk koloni baru dipindahkan ke dalam tabung reaksi. Secara bertahap,
koleksi, isolasi dan perbanyakan meliputi kultur murni, semi masal dan masal (Winanto, 2004).
Air laut yang digunakan sebagai media pemeliharaan harus melewati saringan ukuran mikro dan
saringan kapas, selanjutnya disterilisasi dengan Autoclav. Komposisi pupuk yang di gunakan
adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Komposisi pupuk untuk kultur plankton.
No Jenis pupuk Dosis (conway) Dosis (guillard)
1 EDTA 45 gram 10 gram
2 NaH2PO42H2O 20 gram 10 gram
3 FeCI36H2O 1,5 gram 2,9 gram
4 H3BO3 33,6 gram 3,6 gram
5 MnCI2 0,36 gram -
6 NaNO3 100 gram 3,6 gram
7 Na2SiO39H2O - 100 gram
8 Trace Matel Solution 1 ml 5 gram/30 ml
9 Vitamin 1 ml 1 ml
10 Aquades sampar 1000 ml 1000 ml
Sumber : Ditjenkan, 2002
Makanan utama larva tiram mutiara adalah jenis alga Isocrysis galbana dan Monocrysis
lutheri, sehingga pakan ini perlu disiapkan sebagai makanan awal dari larva dan harus dilakukan
tiga hari sebelum larva menetas.
1. Kultur murni
Kultur murni pada skala laboratorium dapat menggunakan pupuk atau media Guillard
Conway. Pemeliharaan plankton pada skala laboratorium dilakukan secara bertahap. Hal ini
untuk menjaga kemurnian dan kualitas stok. Untuk kultur murni dapat digunakan cawan Petri
dengan media agar. Setelah berbentuk koloni, diamati dengan mikroskop untuk mengetahui
apakah terjadi kontaminsi dengan jenis lain atau tidak. Jika masih terkontaminasi maka harus
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
dilakukan pemurnian ulang sehingga didapatkan koloni satu spesies atau jenis Phytoplankton
yang diinginkan selanjutnya, dilakukan pemindahan untuk di ukur dalam tabung reaksi dengan
menggunakan tabung reaksi Ose.
Inokulum di dalam tabung reaksi dapat diperbanyak secara bertahap sampai mencapai
pertumbuhan puncak (blooming). Mulai dipelihara 100 cc, kemudian diperbanyak lagi ke 200 cc,
300 cc, 500 cc dan 1000 cc. Lama pemeliharaan tergantung pada jenis dan tingkat kepadatan
inokulum. Jika tujuan kultur untuk stok dan mempertahankan kemurnian, dapat dilakukan kultur
tanpa pengudaraan selama 2-3 bulan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kontaminasi.
Pada skala laboratorium jenis Isocrysis galbanai dan Pavlova lutheri dapat dipelihara 5-10 hari
dan Chaetoseros sp dapat dipelihara selama 5-12 hari.Pemeliharaan berikut masih dalam skala
laboratorium pada volume 3-5 liter dengan waktu pemeliharaan 5-7 hari untuk Isocrysis galbana
4-6 hari untuk Chaetoceros sedangkan untuk Pavlova lutheri sama dengan Isocrysis galbana.
Kultur skala laboratorium ini dimaksudkan untuk menyediakan inokulum untuk pembenihan
skala semi-masal atau skala 30-80 liter.
2. Kultur semi masal
Pada prinsipnya kultur semi masal dan masal sama dengan kultur dalam skala
laboratorium, hanya volumenya lebih besar. Untuk kultur semi masal dan masal, air laut yang
digunakan cukup disaring dengan kantong saringan 60-80 mikron. Setelah media air laut
disiapkan pupuk dimasukan kemudian diaduk secara merata atau diberi pengudaraan. Setelah itu,
bibit dimasukan ke dalam media.
Untuk jenis Isocrysis galbana dan Pavlova luthery yang dipelihara dalam skala
laboratorium dan semi masal akan capai kepadatan optimum setelah 4-6 hari. Kepadatan plankto
yang baik diberikan sebagai pakan, biasanya pada fase pertumbuhan optimum, awal fase
pertumbuhan tetap, atau setelah mencapai kepadatan optimum. Untuk mengetahui setiap fase
pertumbuhan tersebut perlu dilakukan pengamatan setiap hari, caranya dengan pengambilan
sample dan dapat dihitung kepadatannya dengan menggunakan haemocytometer.
Berikut ini adalah kepadatan optimum beberapa jenis plankton :
a. Isocrysis galbana : 9-10 juta sel/cc
b. Pavlova lutheri : 11-2 juta sel/cc
c. Tetraselmis tetrathele : 5-8 juta sel/cc
d. Chaetoceros sp. : 4-6 juta sel/cc
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
Bila kebutuhan pakan alami dalam jumlah besar maka dapat dilakukan kultur skala
masal, misalnya dengan volume pemeliharaan 1-5 ton. Pada kultur skala masal, kepadatan
maksimum akan dicapai setelah 5-7 hari.Menurut Isnasetyo dan Kurniastuti (1995), pemanenan
phytoplankton harus dilakukan setelah pada saat puncak populasi, sisa zat hara masih cukup
besar sehingga dapat membahayakan organisme pemangsa karena pemberian phytoplankton
pada bak pemeliharaan larva. Apabila pemanenan terlambat maka telah banyak terjadi kematian
phytoplankton sehingga kualitasnya menurun.
Pemanenan phytoplankton dapat dilakukan 3 cara yaitu sebagai berkut :
1. Penyaringan dengan plankton net.
2. Pemanenan dengan memindahkan langsung bersama media kultur.
3. Cara pengendapan menggunakan bahan kimia, seperti : Sodium hidroksida dan NaOH
3. Penyimpanan bibit murni
Guna untuk kesinambungan kultur phytoplankton maka perlu dilakukan pemeliharaan
stok bibit murni. Martosudarno dan wulan (1990) berpendapat bahwa untuk menyimpan bibit
phytoplankton lebih lama, dapat disimpan dalam kulkas (< 10º C) dengan syarat diperiksa setiap
minggu atau bulan untuk menjaga mutu phytoplankton tersebut. Kultur tidak perlu diberi aerasi
karena hanya menjadi sumber kontaminasi.
Kultur phytoplankton dapat di pelihara dengan beberapa cara sebagai berikut
1. Disimpan dalam media agar pada cawan Petri.
2. Disimpan pada media agar miring pada tabung reaksi.
3. Disimpan dalam media cair pada tabung reaksi.
4. Disimpan dalam media cair pada Erlenmeyer.
Penyimpanan stok bibit murni dalam media agar dapat bertahan sampai 6 bulan.
Penyimpanan stok murni dalam media cair dilakukan dalam tabung reaksi volume 10 ml, diberi
pupuk dan tanpa aerasi tetapi harus dilakukan pengocokan setiap hari. Biakan stok murni ini
diletakkan pada rak kulkas dengan pencahayaan lampu TL. Penyimpanan stok murni dalam
kulkas dapat bertahan selama 1 bulan dan sebiknya segra digunakan dan diganti dengan stok
baru.Kendala yang umum ditemukan dalam kultur phytoplankton adalah kontaminasi oleh
mikroorganisme lain seperti : Protozoa, bakteri, dan jenis phytoplankton lainnya. Kontaminasi
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
ini dapat bersumber dari medium (air laut, pupuk, udara atau aerasi, wadah kultur serta
inokulum)
Manajemen Kesehatan /Hama dan Penyakit
Hama dan penyakit dapat menyebabkan proses budidaya menjadi gagal, pertumbuhan
tiram dapat terganggu bahkan dapat mematikan tiram, untuk itu perlu dilakukan pengendalian.
Hama umumnya menyerang bagian cangkang. Hama tersebut berupa jenis teritip, racing, dan
polichaeta yang mampu mengebor cangkang tiram. Hama yang lain berupa hewan predator,
seperti gurita, bintang laut, rajungan, kerang hijau, teritip, golongan rumpu laut dan ikan sidat.
Upaya pencegahan dengan cara membersihkan hama-hama tersebut dengan manual pada
periode waktu tertentu. Penyakit tiram mutiara umumnya disebabkan parasit, bakteri, dan virus.
Parasit yang sering ditemukan adalah Haplosporidium nelsoni. Bakteri yang sering menjadi
masalah antara lain Pseudomonas enalia, Vibrio anguillarum, dan Achromobacter sp. Sementara
itu, jenis virus yang biasanya menginfeksi tiram mutiara adalah virus herpes. Upaya untuk
mengurangi serangan penyakit pada tiram mutiara antara lain
a) Selalu memonitor salinitas agar dalam kisaran yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan
tiram,
b) Menjaga agar fluktuasi suhu air tidak terlalu tinggi, seperti pemeliharaan tiram tidak terlalu
dekat kepermukaan air pada musim dingin,
c) Lokasi bodi daya dipilih dengan kecerahan yang cukup bagus, dan
d) Tidak memilih lokasi pada perairan dengan dasar pasir berlumpur.
Pengolahan
Pada prinsipnya, untuk dalam keberhasilan pemeliharaan tiram mutiara untuk
menghasilkan mutiara bulat baik kualitas maupun kuantitas sangat ditentukan oleh proses
penanganan tiram sebelum operasi pemasangan inti, saat pelaksanaan operasi, pasca operasi dan
ketrampilan dari teknisi serta sarana pembenihan tiram yang memadai.
Pada umumnya tiram mutiara yang akan dioperasi inti mutiara bundar berasal dari hasil
penangkapan dialam yang dikumpulkan dari kolektor dan nelayan. Namun ukuran cangkang
mutiara terdiri dari macam-macam ukuran yang nantinya disortir menurut ukuran besarnya
mutiara, hal inilah yang menjadi penyebab sehingga tidak dapat melaksanakan operasi dalam
jumlah yang banyak. Sedangkan hasil pembenihan dari hatchery dapat diperoleh ukuran yang
relatif seragam ukurannya sehingga dapat dilakukan operasi pemasangan inti mutiara dalam
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
jumlah yang banyak. Namun produksi benih belum dapat dikembangkan secara masal.
Pemeliharaan spat tiram disesuaikan dengan kondisi perairan disekitarnya. Pemeliharaan benih
(spat) yang masih kecil berukuran dibawah 5 cm dipelihara pada kedalaman 2-3 cm sedangkan
spat dengan ukuran di atas 5 cm dipelihara pada kedalaman lebih dari 4 cm (Sutaman, 1993).
Penanganan Tiram Sebelum Operasi Pemasangan Inti Mutiara
Dengan demikian kalau kita tinjau mengenai terjadinya mutiara, untuk saat ini dapat
dibagi menjadi dua yaitu:
Mutiara asli yang terdiri dari mutiara alam (natural pearl) dan mutiara pemeliharaan
(cultured pearl).
Mutiara tiruan/imitasi (imitation pearl) (Dwiponggo, 1976).
Mutiara pemeliharaan
Sebelum proses penanganan tiram mutiara (Pinctada maxima) untuk pemasangan inti
mutiara, harus dilakukan beberapa proses yaitu sebagai berikut:
a. Seleksi bibit
Benih tiram mutiara dari hasil penyelaman (natural) maupun dari hasil pembenihan
(breeding) diseleksi untuk mencari tiram yang telah siap untuk dioperasi pemasangan inti.
Menurut Sutaman (1993), bahwa benih siap operasi adalah tiram yang kondisinya sehat, tidak
cacat, telah berumur 2-3 tahun jika benih itu di dapat dari usaha budidaya dan berukuran diatas
15 cm jika benih tersebut didapat dari hasil penangkapan. Benih tiram mutiara yang telah
terkumpul dari hasil seleksi untuk dioperasi harus dipelihara dalam rakit pemeliharaan khusus
supaya memudahkan dalam penanganan saat operasi akan berlangsung.
b. Ovulasi buatan
Ovulasi buatan bertujuan agar pada saat operasi tiram mutiara tidak sedang dalam
keadaan matang telur, karena tiram yang matang telur jaringan tubuhnya sangat peka terhadap
rangsangan dari luar, sehingga inti yang di pasang akan dimuntahkan kembali. Ovulasi buatan ini
merupakan kegiatan yang sengaja dilakukan untuk memaksa tiram mutiara agar mengeluarkan
telur atau spermanya. Menurut Mulyanto (1987), bahwa cara ovulasi buatan yaitu dengan menaik
turunkan keranjang pemeiharaan kedalam air dengan cepat sampai telur atau sperma keluar dari
tiram.
Selain dari perlakuan menaik turunkan keranjang pemeliharaan tiram, kegiatan lain yang
dilakukan yaitu masa pelemasan tiram (yukuesey) dimana tiram mutiara yang siap operasi di
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
kurangi jatah pakannya dan membatasi ruang geraknya sehingga tiram menjadi lemah dan
kepekaannnya menjadi berkurang pada saat inti dimasukkan (Mulyanto, 1987).
c. Pembukaan cangkang
Setelah tiram mutiara diistrahatkan selama 1 hari setelah proses ovulasi buatan
selanjutnya dlakukan proses pembukaan cangkang tiram mutiara. Dalam kegiatan ini ada 3 cara
yang sering digunakan untuk memaksa tiram secara alami membuka cangkangnya yaitu dengan
merendamnya dalam air dengan kepadatan yang tinggi, sirkulasi air dan cara yang terakhir yaitu
pengeringan (Winanto, et. al. 1988).
Setelah cangkang terbuka akibat dari perlakuan ini, cangkang tersebut segera ditahan
dengan forsep dan di pasang baji pada mulut tiram supaya cangkang selalu dalam keadaan
terbuka. Selanjutnya 1 jam sebelum operasi, tiram-tiram tersebut diletakkan didalam dulang
dengan bagian engsel atau dorsal disebelah bawah (Sutaman, 1993).
Operasi Pemasangan Inti Mutiara Bulat
Untuk menghasilkan mutiara pada tiram ada dua cara yang umum di lakukan dalam
operasi pemasangan inti mutiara yaitu:
a. Pemasangan inti mutiara bulat
b. pemasangan inti mutiara setengah bulat (blister).
Operasi pemasangan inti mutiara bulat merupakan bagian terpenting dalam menentukan
keberhasilan pembuatan mutiara bulat. Ada beberapa cara yang perlu dilakukan dalam operasi
pemasangan inti mutiara bulat adalah sebagai berikut:
1) Sebelum pemasangan inti, tiram siap operasi di kumpulkan diatas meja operasi.
2) Membuat potongan mantel dengan pengambilan mantel dari tiram donor dan
mengguntingnya sekitar lebar 5 mm dan panjang 4 cm. kemudian mantel dipotong membentuk
bujur sangkar dengan sisi-sisi 4 mm (Sutaman, 1993). Menurut Tun dan Winanto (1988), mantel
yang diambil hendaknya dipilih tiram yang mudah dan aktif.
3) Pemasangan inti mutiara bulat.
Dalam pemasangan inti perlu diperhatikan ukuran inti yang akan dipasang. Umumnya
ukuran inti mutiara yang dimasukkan kedalam gonad tiram mutiara jenis Pinctada maxima yaitu
berkisar antara 3,03-9,09 mm (Mulyanto, 1987).
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
Penanganan Tiram Pasca Operasi
Menurut Mulyanto (1987), mengemukakan bahwa pemeliharaan tiram mutiara pasca
operasi sangat menentukan penyembuhan dan pembentukan mutiara yang dihasilkan. Setelah
tiram dioperasi, dengan cepat dan hati-hati dimasukkan kembali kedalam air dan digantung pada
rakit pemeliharaan yang letaknya paling dekat rumah operasi dan pada tempat yang pergerakan
airnya paling kecil. Tiram memerlukan waktu istrahat yang cukup 1-3 bulan untuk
menyembuhkan luka shock akibat dari operasi pemasangan inti.
Setelah masa penyembuhan, dilakukan pemeriksaan terhadap tiram untuk mengetahui
apakah inti yang telah dipasang masih dalam posisi semula atau dimuntahkan. Tiram yang akan
diperiksa di tahan dengan baji lalu diletakkan pada shell holder dan diperiksa. Apabila inti masih
berada didalam, maka bagian tersebut akan kelihatan sedikit menonjol (Winanto, et. al., 1988)
Pemeriksaan inti mutiara yang dilakukan oleh perusahan-perusahan yang berskala besar
dilakukan dengan cara menggunakan alat rontgen. Pemeriksaan dengan alat ini dilakukan sekitar
45 hari setelah masa tento terakhir atau kurang lebih 3 bulan setelah pemasangan inti. Tiram
yang masih terdapat inti didalam cangkangnya dalam posisi semula dipelihara kembali hingga
waktu panen tiba. Tiram yang memuntahkan intinya dan kondisi tubuhnya masih baik dapat
diulangi pemasangan inti mutiara bulat atau setengah bulat (blister) (Mulyanto, 1987).
Panen
Menurut Mulyanto (1987), bahwa setelah masa pemeliharaan 1,5-2 tahun sejak operasi
pemasangan inti maka tiram dapat dipanen dengan kecermatan dan ketepatan yang benar agar
hasil mutiara dapat berkualitas baik. Menurut Tun dan Winanto (1988), di Indonesia panen akan
lebih baik menguntungkan apabila dilakukan pada saat musim hujan, karena untuk mengurangi
mortalitas pada waktu pemasangan inti mutiara bulat kedua. Tekanan tinggi, suhu rendah dan
relatif konstan serta suasana remang-remang dapat menyebabkan sel penghasil nacre lebih aktif
mensekresikan nacre, sehingga kilau dan warnanya lebih baik walaupun pelapisan nacrenya
berlangsung lebih lambat.
Cara pemanenan dapat dilakukan sebagai berikut : tiram yang sudah dipanen diletakkan
di atas meja operasi. Kemudian bagian mantel dan insang yang menutupi gonad disisihkan
sehingga mutiara akan kelihatan dan tampak menonjol dengan sedikit bercahaya. Lalu dibuat
sayatan pada organ tersebut seperti pada saat pemasangan inti itiara bulat, maka mutiara dengan
mudah dapat dikeluarkan dari gonad tiram.
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
DAFTAR PUSTAKA
Birowo, S. 1982. Sifat oseanografi lapisan permukaan laut. Dalam: Kondisi Lingkungan Pesisir dan Laut
di Indonesia (Romimohtartodan Thayib (eds.) LON – LIPI, Jakarta:1-96.
Dharmaraj, S., Kandasami, D. And K. Algarswami, 1987. Some aspects of physiology of pearl oyster in
pearl culture. CMFRI. India. Bulletin, 29 : 4-12.
Doroudi, M.S., Southgate, P.C. & R.J. Mayer, 1999. The combined effects of temperature and salinity on
embryos and larvae of the black-lipped pearl oyster Pincyada margaritifera. Aquaculture Reseach,
30 : 271-277.
Hamzah, M.S dan D.E.Djoko.Setyono, 2009. Studi pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan kerang
mutiara (Pinctada maxima) pada kondisi suhu yang berbeda. Dalam : Prosiding Pertemuan Ilmiah
Tahunan ISOI 2008 di Bandung. Mutiara R. Putri, Satwan Hadi, D.E.D Setyono dan Fitri Suciaty
(eds.) Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI) : 240-246.
Hamzah, M.S. 2007a. Prospek pengembangan budidaya kerang mutiara (Pinctada maxima) dan kendala
yang dihadapi serta alternatif pemecahannya di beberapa tempat di kawasan perairan Tengah
Indonesia. Dalam : Prosiding Aquaculture Indonesia 2007. Masyarakat Akuakultur Indonesia
(MAI) Surabaya : 212-223.
Hamzah, M.S. 2007b. Studi tingkat mortalitas anakan kerang mutiara (Pinctada maxima) dikaitkan
dengan variasi musiman kondisi suhu laut di perairan Teluk Kombal, Lombok Barat dan Teluk
Kapontori, Pulau Buton. Dalam : Prosiding Seminar Nasional Muluska dalam penelitian,
konservasi dan ekonomi. BRKP DKP RI bekerja sama dengan Jur. Ilmu Kelautan, FPIK Undip,
Semarang 2007 : 425-438.
Hamzah, M.S. 2008a. Kelangsungan hidup dan perkembangan larva kerang mutiara (Pinctada maxima)
dengan pemberian jenis pakan alami yang berbeda. Dalam: Hardianto et al. (eds.). Prosiding
Seminar Nasional Kelautan IV. Universitas Hangtuah, Surabaya. Hal.:179-183.
Hamzah, M.S. 2008b. Pengaruh level kedalaman terhadap daya tempel larva kerang mabe (Pteria
penguin) dengan jaring sebagai kolektor spat di Teluk Kapontori, Pulau Buton - Sulawesi
Tenggara. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Moluska dalam penelitian, konservasi dan
ekonomi. BRKP DKP RI bekerja sama dengan Jur. Ilmu Kelautan, FPIK Undip, Semarang.
Hal.:134-141.
Hamzah, M.S. 2008c. Pengamatan kualitas hasil operasi penyuntikan mutiara kerang mabe (Pteria
penguin) di perairan Teluk Kapontori, Pulau Buton-Sulawesi Tenggara. Dalam : Buku Prosiding
Seminar Nasional Kelautan IV. Didik Hardianto dan Muh. Taufiqrrohman (eds.) Univ. Hangtuah
24 April 2008 Surabaya : II 173-II 178.
Hamzah, M.S. dan B. Nababan, 2009. Studi pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan kerang mutiara
(Pinctada maxima) pada kedalaman yang berbeda di Teluk Kapontori, Pulau Buton. J. Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis, 1(2):22-32.
Hamzah, M.S. dan Sumadhiharga, Kurnaen. 2002. Studi Laju Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup
Anakan Kerang Mutiara (Pinctada Maxima) Pada Kedalaman Yang Berbeda Di Perairan Teluk
Kombal-Lombok Barat. dalam: Konprensi Nasional III, di Bali 21-24 Mei 2002.
Hamzah, M.S.; Abd Basir Kaplale, sangkala dan Rustam. 2005. Kelangsungan hidup anakan kerang
mutiara (Pinctada maxima) dan fenomena arus dingin di perairan Teluk Kombal, Lombok Barat.
Dalam : Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan ISOI, 2003. Anugrah Nintji, Wahyu Budi
Setiawan, D.E.Djoko Setiono, P. Pradina dan Agus Supangat (eds.). Ikatan Serjana Oseanologi
Indonesia, Jakarta, 2005 : 171-177.
Hamzah. M.S. 2013. Studi Perkembangan Larva Kerang Mutiara (Pinctada Maxima) Pada Suhu Dan
Salinitas Berbeda Serta Uji Pembesaran Di Teluk Kombal - Lombok Utara. Disertasi. Malang:
Program Doktor Ilmu Perikanan Dan Kelautan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas
Brawijaya.
Meade, J.W., 1989. Aquaculture manegement. Van Nostrand Reinhold. New York, 175 pp.
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
Mosses, J.W; Hutubessy, B.G. dan Sidabutar, T. 1994. Preliminary study on the growth of pearl oyster
(Pteria penguin Roeding) reared under pond sea condition. Perairan Maluku dan sekitarnya.
Balitbang Sumberdaya Laut, P3O – LIPI Ambon, volume 8 : 24 – 35.
Nayer, K.N. & S. Mahadevan, 1987. Ecology of pearl oyster beds in pearl culture. Central Marine
Recearch Institute, India. Bulletin, 39 (5) : 29-36. Report No. 2 : 195pp.
Sidabutar, T. 1998. Variasi musiman fitoplankton di perairan Teluk Ambon. Dalam: Prosiding Seminar
Kelautan LIPI-Unhas I. Balitbang Sumberdaya laut, Puslitbang Oseanologi–LIPI Ambon: 209-
217.
Susilowati, R., K. Sumantadinata, 2011. Keragaman genetik tiram mutiara sebagai informasi dasar untuk
pemuliaan tiram mutiara. Dalam buku : Refleksi Pengembangan Budidaya Kekerangan di
Indonesia. M. F. Sugadi, I Nyoman A. Giri & D. Pringgenies (eds.). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelaulatan dan Perikanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan
Budidaya, Jakarta : 53-67.
Sutomo. 1987. Klorofil-a Fitoplankton di Teluk Ambon selama musim timur dan musim peralihan II,
1985. Dalam: Buku Teluk Ambon I, Biologi, Perikanan, Oseanografi dan Geologi. Balai
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut, P3O-LIPI Ambon: 24-33.
Wenno, L.F. 1979. Pola sebaran suhu air di Teluk Ambon. Oseanologi di Indonesia, 12:12-21.
Wirtki, K. 1961. Physical oseaography of the Southeast Asean Waters. Naga
Yukihira, H., D.W. Klumpp, and J.S.Lucas. 1998. Effects of body size on suspension feeding and energy
budgets of the pearl oysters Pinctada margaritifera and P. Maxima. Mar. Ecol. Prog. Ser.,
170:119-130
Yukihira, H., J.S. Lucas, and D.W. Klumpp, 2000. Comparative effects of temperature on suspension
feeding and energy budgets of the pearl oysters Pinctada margaritifera and P. Maxima. Mar. Ecol.
Prog. Ser., 195:179-188.
Yukihira, H., J.S. Lucas, and D.W. Klumpp, 2006. The pearl oyster, Pinctada maxima and P.
Margaritifera, respond in different ways to culture in dissimilar environtments. Aquculture, 252:
208-224.
Diposting Oleh Aris Sando Hamzah pada Marinecyber.com | Perikanan.or.id
LAMPIRAN
Sample Tiram Mutiara P. Maxima dan Pocket Berbagai
Ukuran