Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 0
Vol.7 No.2 Juli 2018
ANXIETY IN EFL SPEAKING CLASSES: A CASE STUDY AT AKADEMI
SEKRETARI DAN MANAJEMEN (ASEKMA) DON BOSCO
Oleh: M.V.Mieke Marini M.P.,S.Pd.
DAMPAK PENERAPAN SISTEM BAN BERJALAN TERHADAP
PENINGKATAN KINERJA DALAM SISTEM PERKANTORAN
Oleh: Muller Sagala, S.E.,M.M.
PENGARUH KOMPETENSI LULUSAN PENDIDIKAN SEKRETARI
TERHADAP KEBERHASILAN DI DUNIA KERJA
Oleh: V.Y. Sri Sudarwinarti, S.Pd., M.Si.
PERAN FINTECH DALAM ADMINISTRASI KEUANGAN
PERKANTORAN
Oleh: Astuti Widiati, S.E., M.Pd.; Muller Sagala, S.E.,M.M.
ANALISA DAMPAK ANGGARAN PENDIDIKAN TERHADAP INDEKS
PEMBANGUNAN MANUSIA
Oleh: Muller Sagala, S.E.,M.M.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 i
Vol.7 No.2 - Juli 2017 ISSN 2089-4198
ADB’S Secretary JURNAL DUNIA SEKRETARIS
Susunan Kepengurusan Jurnal Ilmiah Dunia Sekretaris :
Penanggung Jawab
:
V.Y. Sri Sudarwinarti, S.Pd., M.Si.
Mitra Bestari/Reviewer
Pimpinan Redaktur
:
:
Dr. Nicolaus Uskono, S.Sos., M.Si.
Dr. V.W. Cahyana, M.Si.
Dr. Hendrikus Passagi
Dr. Zulkifli Rangkuti
RR. Martha Septina Purbowati, S.S.,M.Pd.
Wakil Pimpinan Redaktur : Muller Sagala, S.E., M.M.
Redaktur : Cecilia Agustien Umbas, S.Kom., M.Pd.
Astuti Widiati, S.E., M.Pd.
Penyunting / Editor : Muller Sagala, S.E., M.M.
Ir. Markonah, ASAI, M.M.
Desain Grafis dan Fotografer : Muller Sagala, S.E., M.M.
Sekretariat : M.V. Mieke Marini M.P., M.Hum.
Theresia Pawarti
A. Niken Budi Palupi
Alamat Redaksi : Kampus Asekma Don Bosco
Jl. Pulomas Barat V
Jakarta Timur
Telp: 021-4898774 Faks:021-4701190.
Situs http://www.asekma.ac.id
Email: [email protected]
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 ii
PENGANTAR REDAKSI
Pembaca yang terhormat,
Buku Jurnal Dunia Sekretaris nomor Vol.7 No.2 - Juli 2018 ini merupakan karya
ilmiah dari para dosen, alumni, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, dan pegawai
Akademi Sekretari dan Manajemen Don Bosco yang relevan dengan dunia sekretaris. Buku
Jurnal Ilmiah volume ini menyajikan beberapa kajian yang menarik antara lain bagaimana
rasa takut mahasiswa saat melakukan percakapan dalam bahasa Inggris, apa pengaruh
kompetensi lulusan terhadap keberhasilan dalam dunia kerja.
Beberapa tahun terakhir ini ramai dibicarakan tentang financial technology (FinTech).
Bagaimana peran FinTech dalam mengubah sikap masyarakat dalam mengelola transaksi
keuangan dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam skala administrasi keuanga
perkantoran. Topik lainnya adalah bagaimana peran sistem ban berjalan dalam
meningkatkan kinerja sistem perkantoran.
Semoga para pengguna buku Jurnal Ilmiah ini mendapatkan manfaat besar dalam
bidangnya masing-masing sekaligus untuk mendorong perkembangan profesi sekretaris
dalam dunia yang terus berubah.
Salam sukses dari Dewan Redaksi.
Jakarta, 2 Juli 2018
Dewan Redaksi
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 iii
Vol.7 No.2 - Juli 2017 ISSN 2089-4198
ADB’S Secretary JURNAL DUNIA SEKRETARIS
DAFTAR ISI
Hal
ANXIETY IN EFL SPEAKING CLASSES: A CASE STUDY AT AKADEMI
SEKRETARI DAN MANAJEMEN (ASEKMA) DON BOSCO
Oleh: M.V.Mieke Marini M.P.,S.Pd.
1
DAMPAK PENERAPAN SISTEM BAN BERJALAN TERHADAP
PENINGKATAN KINERJA DALAM SISTEM PERKANTORAN
Oleh: Muller Sagala, S.E.,M.M.
67
PENGARUH KOMPETENSI LULUSAN PENDIDIKAN SEKRETARI
TERHADAP KEBERHASILAN DI DUNIA KERJA
Oleh: V.Y. Sri Sudarwinarti, S.Pd., M.Si.
80
PERAN FINTECH DALAM ADMINISTRASI KEUANGAN PERKANTORAN
Oleh: Astuti Widiati, S.E., M.Pd.; Muller Sagala, S.E.,M.M.
102
ANALISA DAMPAK ANGGARAN PENDIDIKAN TERHADAP INDEKS
PEMBANGUNAN MANUSIA
Oleh: Muller Sagala, S.E.,M.M.
122
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 1
ANXIETY IN EFL SPEAKING CLASSES: A CASE STUDY AT AKADEMI
SEKRETARI DAN MANAJEMEN (ASEKMA) DON BOSCO
Oleh : M.V.Mieke Marini M.P.,S.Pd.
(Dosen ASEKMA Don Bosco, [email protected])
ABSTRAK
Tujuan utama penelitian ini adalah mengukur rasa ketakutan mahasiswa saat percakapan
dalam bahasa Inggris, penyebab rasa ketakutan itu, serta menawarkan cara untuk
mengatasi rasa ketakutan saat berbicara dalam bahasa Inggris.
Tiga pertanyaan dalam penelitian ini. Pertama, ditujukan untuk mengetahui apa saja
ketakutan-ketakutan yang dialami mahasiswa saat harus berbicara dalam bahasa Inggris.
Kedua ditujukan untuk mencari penyebab dari rasa takut mahasiswa untuk berbicara dalam
bahasa Inggris. Dan ketiga dimaksudkan untuk menawarkan cara guna mengatasi rasa takut
untuk berbicara dalam bahasa Inggris.
Sebuah angket yang terdiri dari 33 soal tentang ketakutan di kelas bahasa asing dengan
skala Likert, dibagikan kepada 47 mahasiswa, dan pertanyaan terbuka diberikan kepada
tujuh mahasiswa dan tiga dosen Asekma Don Bosco. Data statistik yang diperoleh kemudian
dianalisa dengan menggunakan statistik deskriptif analisis SPSS versi 16 untuk program
windows dan analisis kualitatif.
Hasil penelitian ini dirangkum dalam tiga poin. Pertama, mahasiswa teridentifikasi positif
mengalami ketegangan saat mereka harus berbicara dalam bahasa Inggris. Kedua, ada
beberapa faktor yang menyebabkan ketegangan saat berbicara dalam bahasa Inggris: takut
membuat kesalahan, takut gagal dalam test bahasa Inggris, masalah dalam penguasaan tata
bahasa dan kosakata, ketakutan karena mahasiswa lain lebih baik dalam berbahasa Inggris,
dan takut atas evaluasi dosen. Ketiga, penelitian ini dapat mengajukan beberapa cara untuk
mengatasi ketegangan mahasiswa untuk berbicara dalam bahasa Inggris, seperti
merancang kegiatan belajar dan menggunakan lebih banyak pendekatan konstruktif terlebih
untuk menguji dan menilai perkembangan mahasiswa.
Kata kunci: foreign language anxiety, EFL, speaking
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 2
CHAPTER I
INTRODUCTION
1.1 Background
Many of us have often experienced fear when we speak in public, especially when
we have to speak in a foreign language. The reasons why we feel stressed when we are
expected to speak in a foreign language vary, but the symptoms of such fear are the same.
Samuelsson (2011, p.1) explained that these symptoms show variation from just trembling,
blushing, and sweating to feeling out of breath, dizziness as well as being frightened to faint
at the moment of speaking.
In second or foreign language learning, oral communication becomes a natural and
important part. Studies of second language use have shown the kinds of problems L2 learner
face – and the skills they need to overcome them – to communicate in an L2 (e.g. Bialystok,
1990). Horwitz et al. (1986, p.125) stated that the major concern that often occurs in speaking
class is the student’s hesitation to speak. There are many reasons behind this and they vary
from one another. Young (1990, p.539) wrote, “Speaking in the foreign language is often
cited by students as their most anxiety-producing experience.”
MacIntyre and Gardner (1991, p.86) wrote that language anxiety is experienced by
learners of both foreign and second language and poses potential problems “as it can interfere
with the acquisition, retention and production of the new language.” Scovel (1978, p.134)
has considered anxiety “as a state of apprehension, a vague fear that is only indirectly
associated with an object, not as a simple, unitary construct, but as a cluster of affective
states, influenced by factors which are intrinsic and extrinsic to the foreign language learner.”
Many learners express their inabilities and sometimes even acknowledge their failure
in learning to speak a second or foreign language. These learners may be good at learning
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 3
other skills, meanwhile, when it comes to learning to speak another language; they claim to
have a ‘mental block’ against it (Horwitz et al., 1986, p.125). What, then, prevents them to
succeed in learning a second/foreign language? In the article by Horwitz et al. (1986, p.125),
it is mentioned that the learners may have an anxiety reaction which impedes their ability to
perform successfully in a foreign language class.
Tsui (1996, p.155) comments on the reason why secondary school students may be
reluctant to use English in class, one reason is “fear of making mistakes and being ridiculed
by classmates.” Tertiary students may still be affected by this fear. Speaking in front of
others, with the possibility of evaluation from the audience, would seem to cause discomfort.
Campbell and Ortiz (1991, p.159) found that language anxiety among university students to
be ‘alarming’ and estimated that up to one half of all language students experience
debilitating levels of language anxiety.
For some time, researchers, language teachers, and even language learners
themselves have been interested in the possibility that anxiety inhibits language learning
(Horwitz, 2001, p.112). She has hypothesized that anxiety impacts on foreign language
learning.
While many scholars have studied general language anxiety, Horwitz, Horwitz, and
Cope (1986, p.128) were the first to suggest that foreign language research had neither
defined anxiety that is specific to foreign language learning nor described the effects of
anxiety on foreign language learning in classroom settings. They hypothesized that anxiety
specific to foreign language learning parallels three related performance anxieties:
communication apprehension, test anxiety, and fear of negative evaluation. Furthermore,
Horwitz et al. (1986, p.128) speculated that foreign language anxiety was not simply the
combination of the three performance anxieties but was a “distinct complex of self-
perceptions, beliefs, feelings, and behaviors related to classroom language learning arising
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 4
from the uniqueness of the (foreign) language learning process.” They hypothesized that
performance difficulties in a foreign language may be due, in some measure, to anxiety.
Teaching English is given a higher priority in Indonesia’s curriculum over all other
foreign language in all school systems at all levels, from Elementary to University (Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum – Kemendikbud, 2013). Higher education’s students need to
have linguistic knowledge of English as they have to be able to communicate with people in
international communication, especially during discussion in meetings and conferences.
In ESP area, English is taught as the basis competence for these students to be a
personal assistant, now called as executive assistant, in business activity. (Barret, 2015, p.54)
stated that five core attributes of an effective executive assistant are reliability, punctuality,
loyalty, honesty, and a commitment to effective communication with the employee receiving
support. Ability to clearly convey, persuades, and negotiates information and ideas to
individuals or group are the required competence of an executive assistant. This condition
pushed the teachers to give as much as English exposures to students. They are asked to
response and speak in English during the class and when they want to communicate with the
teacher.
Whilst English speaking skill has been given greater priority in the English learning
process, the researcher still finds some problems when inviting students to actively
participate in the classroom. The most apparent problem is related to students’ hesitation in
using English orally as a foreign language. When students are asked and given opportunity
to conduct conversation in English, most of them have lack of willingness to do it. They
prefer to keep silent or use their gesture like giving a smile and move their head, which
indicates they do not want to speak or they do not know what to say, or say one or two
sentences in low voices and sit down in haste when they are asked to answer questions. The
other way of rejecting the chance to produce the language is, they will suddenly stop in the
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 5
process of speaking and after some moments; they will turn to the teacher and ask whether
Indonesian can be used. This problem occurred because in practice, exercises on discourse
level are not given much taught when they were at the secondary school; as a consequence,
students may gain linguistic competence in English but not its functional use. In other words,
skills acquired are applicable only within the classroom but insufficient when applied to
natural settings (Katemba, 2013, p.1).
There were many studies on anxiety conducted by experts, yet study focused on
students of secretarial diploma major is still limited. This research was conducted in
environment where all students were females with various high school backgrounds, SMA
and SMK, and also vary on their English proficiency and capacity.
The use of modern communicative language teaching approaches in the language
classrooms and the wide-spread use of English have increased the demand to learn good
communication skills but existence of anxiety in the learners may prevent them from
achieving the desired goal. Consideration of learners’ anxiety reactions in learning to speak
another language by a language teacher is highly important in order to assist them to achieve
the intended performance goals in the target language.
1.2 Statements of the Problem
Akademi Sekretari dan Manajemen (ASEKMA) Don Bosco is a Diploma Three (D-
III) education program majoring in secretary, managed by the Yayasan Panca Dharma in
Pulomas, Jakarta Timur. They prepare the students to take part in business field at the
management level as secretaries or personal assistants (PA).
Students are studying English for Specific Purposes, which means, the courses are
directed towards their future profession. They may perceive that English is of crucial
importance for success in finding a job and achieving promotion in their professional career.
Meanwhile, most of the learners have a problem in speaking. Despite the fact that they have
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 6
learned English for at least 6 years in high school, students still have difficulty to use the
language appropriately. In practice, they prefer not to communicate in English even though
they have enough linguistic competence. It can be more stressful when they are expected to
speak before the fluency is achieved. They once were asked to join an English Club to raise
their motivation to use English, but it did not produce a successful result.
Students’ hesitation in speaking English has become a topic which is commonly
discussed among the management and teachers at the researcher’s academy. We often
wonder why this happens. Those who should be responsible for this condition are the English
teachers. For this reason, the researcher conducts this study by involving two subject groups,
the students and teachers, in order to get comprehensive answers of the following research
questions:
1. To what extent are the students of ASEKMA Don Bosco anxious when they have to
speak in English?
2. What are the sources of their anxiety?
3. What strategies can be used to cope with speaking anxiety?
1.3 Objectives of The Study
This research has three objectives as follows:
1. To find out to what extent the students of ASEKMA Don Bosco are anxious when they
have to speak in English;
2. To seek out the source of students’ anxiety;
3. To describe what strategies that can be used to cope with speaking anxieties.
1.4 Limitation of the Study
This research is limited into two scopes, as follows:
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 7
1. This present study focuses on students’ anxiety, sources of their anxiety, and their
strategies to cope with the anxiety, regardless their gender and age, their attitude towards
language learning, and their language proficiency.
2. Students in this study refer to students of ASEKMA Don Bosco Semester II Academic
Year 20014/2015. Thus, the results of this study might not be applicable to another
setting. Teachers at this study refer to two permanent teaching staffs and one part-timer
teacher.
1.5 Significance of Study
From this study, educators, especially lecturers in ASEKMA Don Bosco will get
useful information on students’ anxiety level in speaking English as a foreign/second
language. The information will give them insight of the strategies that can be implemented
to reduce language anxiety and to create less stressful learning atmosphere.
The findings can also be used to help students find suitable strategies to overcome
their anxiety problem. It is essential to ensure that they have the competency in the language
so that they can perform well in English. Last but not least, it is also essential for the
management as they will have a clear answer on the problems of students’ hesitation in
speaking English.
1.6 The Organization of the Paper
This paper is organized in five parts. The first part is the introduction, which covers
the background of the study, statement of problem, objective of the study, limitation of the
study, and the significance of the study.
The second part is the literature review, which discusses the definition of anxiety, the
previous studies on anxiety, the theory of anxiety in second/foreign language, and the
theoretical concept dealing with speaking skills in ESL/EFL and the anxiety in the speaking
class.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 8
The third part discusses the methodology, which includes the choices of research
design. The fourth part focuses on the findings and discussion of the research. And finally,
the fifth part is the conclusion.
CHAPTER II
LITERATURE REVIEW
There is a great deal of research on anxiety related to foreign language learning. This
review first looks at more general on anxieties; the second section will discuss the role of
anxiety in learning a second/ foreign language; the third is about the types of anxiety; and
finally, the previous studies of anxiety in EFL speaking classroom.
2.1 The Definition of Anxiety
Based on Webster’s New World Dictionary, Anxiety is defined as a state of being
uneasy, apprehensive, or worried about what may happen; concern about possible future
event. Other definition is written by Scovel (1991, p.18). As he declared that “anxiety is a
psychological construct; commonly described by psychologists as a state of apprehension, a
vague of fear that is only indirectly associated with an object.” Other psychologists, Horwitz
et al., (1991, p.27) agree with Spielberger and defined anxiety as “the subjective feeling of
tension, apprehension, nervousness, and worry associated with an arousal of the autonomic
nervous system.” Moreover, Hansen (1977, p.91) called anxiety as “an experience of general
uneasiness, it is a sense of foreboding, and a feeling of tension.” Bekleyen (2001) explain
anxiety as “emotional response existed in one personality which threat individual’s values.”
Other definition on anxiety is given by Chastain, 1988, as cited by Riasati (2011,
p.907) that anxiety is “a state of uneasiness and apprehension or fear caused by the
anticipation of something threatening.” It is also said that anxiety is one of the most well
documented psychological phenomena. The definition ranges from a mixture of overt
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 9
behavioral characteristic that can be studied scientifically to introspective feelings that
epistemologically inaccessible (e.g. Casado & Dereshiswsky, 2004). Recently, Cassady
(2010, p.1) introduced the term academic anxiety as “a unifying formulation for the
collection of anxieties learners experience while in schools.”
In linguistics, many researchers examined anxiety together with other affective
variables like attitudes and motivation, as a potential factor influencing language learning
success since the 1970’s. Scovel (1978, p.134) proposes that “anxiety should not be viewed
as an independent construct; it should be examined from a multi-dimensional perspective.”
He defines anxiety as “a state of apprehension, a vague fear that is only indirectly associated
with an object characterized by a cluster of affective states influenced by factors which are
intrinsic and extrinsic to the foreign language learner.”
Horwitz (2001, p.113), writes that “anxiety is the subjective feeling of tension,
apprehension, nervousness and worry associated with an arousal of the autonomic nervous
system. It has been found to interfere with many types of learning and it is only logical that
this would also apply to second language learning.”
2.2 Speaking Skills
Bygate (2001, p.16) stated that “to understand what is involved in developing oral
L2 skill, it is useful to consider the nature and condition of speech.” Levelt (1989) proposed
that speech production involves four major processes: conceptualization, formulation,
articulation, and self-monitoring. Bygate (2001, p.16) stated the details of the processes as
follow: “Conceptualization is concerned with planning the message content. Formulation
is concerned to find the words and phrases to express the meanings, sequencing them and
putting in appropriate grammatical markers. Articulation involves the motor control of the
articulatory organs. Self-monitoring is concerned with language users being able to identify
and self-correct mistakes.”
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 10
Furthermore, Bygate (2001, p.16) also stated that the skills are also affected by the
context. “Speaking is typically reciprocal: any speakers are normally all able to contribute
simultaneously to the discourse, and to respond immediately to each other’s contributions.
Further, speaking is physically situated face to face interaction: speakers can see each other
and so can refer to the physical context and use a number of physical signals to indicate
attention to the interaction, their intention to contribute and their attitude towards what is
being said. Hence, speech can tolerate more implicit reference. Finally, in most speech
situations, speech is produced ‘on-line’. Speakers have to decide on their message and
communicate it without taking time to check it over and correct it: any interlocutors cannot
be expected to wait long for the opportunity to speak themselves. Hence, time pressure
means that the process of conceptualization, formulation, and articulation may not be well
planned or implemented, and need pauses or corrections.”
Moreover Bygate (2001, p.17) said that the ‘on-line’ processing conditions produce
language that is grammatically more ‘fragmented’, uses more formulaic phrases, and
tolerates more easily the repetition of words and phrases within the same extract of discourse.
Hence, oral language differs from written language both in process and product. The
implication for teaching is that oral skills and oral language should be practiced and assessed
under different conditions from written skills, and that a distinct methodology and syllabus
may be needed.
2.3 Anxiety in Learning a Foreign Language
In terms of performing in foreign language, Gardner and MacIntyre (1993), Oxford
(1999, p.59), defined anxiety as “fear of apprehension occurring when a learners is expected
to perform in the second/ foreign language.”
Previously, Krashen (1980) stated that anxiety contribute to an affective filter, which
prevents students from receiving input, and then language acquisition fails to progress.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 11
Horwitz et al. (1986, p.125) wrote, ”Just as anxiety prevents some people from performing
successfully in science or mathematics, many people find foreign language learning,
especially in classroom situation, particularly stressful.” In regards with this finding, Gardner
and MacIntyre (1993, p.5), then, considered that language anxiety ‘is seen as a stable
personality trait referring to the propensity for an individual to react in a nervous manner
when speaking in the second language. It is typified by self-belittling, feelings of
apprehension, and even bodily responses such as a faster heartbeat.”
According to Mitchell and Myles (2004, p.27) “the anxious learner is also less willing
to speak in class, or to engage target language speaker in formal interaction.” And
Onwuegbuzie et al. (1999, p.218) delineated language anxiety as “the feeling of tension
and apprehension specifically associated with second language context, including speaking,
listening, and learning”. And this definition appears to be widely accepted by researchers.
Horwitz et al. (1986, p.130) define foreign language anxiety as “a distinct set of
beliefs, perceptions, and feelings in response to foreign language learner in the classroom”,
and more concretely (p.125) as “an anxiety reaction which impedes their ability to perform
successfully in foreign language class”. Other definition of foreign language anxiety (FLA)
which is more abstract is given by Young (1992, p.157) where she sees FLA as “a
complicated psychological phenomenon peculiar to language learning.” Future research by
Hilleson (1996, p.250) described foreign language classroom anxiety as a situational-specific
form of foreign language anxiety.
People tend to experience with anxiety when they have to speak/ make a speech in
different situations, especially which require public speech. Many researchers agree that
there is a strong bond between anxiety and speaking activities. Daly (1991, p.1) states that
the anxiety experienced by many people while communicating in their first language seems
to have many logical ties to second/foreign language anxiety.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 12
The difference is that when communicating in other than the first language the
difficulty goes a step further in associate with the suitable lexis; construct an appropriate
syntactic structure, the use of comprehendible accent, and the demanding tasks of thinking
and organizing ideas and expressing them at the same time (Tanveer, 2007, p.3).
Many researchers (Bailey, Onwuegbuzie, and Daley, 2000; Spielmann and
Radnofsky, 2001; Young, 1992) have seen foreign language anxiety as a complex, multi-
dimensional construct. The idea of complexity may come from the fact that foreign language
anxiety is seen as being linked to and interacting with a variety of other variables (Phillips,
2005, p.9).
Young (1991a, p.427), listed six types of sources of foreign language anxiety: 1)
personal and interpersonal anxieties; 2) learner’ beliefs about language learning; 3)
instructor’ beliefs about language teaching; 4) instructor-learner interactions; 5) classroom
procedures; and 6) language testing.
It is said by MacIntyre and Gardner (1991b, p.514), that language anxiety linked to
everyday anxieties. The interaction of anxiety and causality has created heated debate, like
there is a question of whether the anxiety is internal and/ or external (Philips, 2005, p.9).
Different opinions to the suitability of using anxiety as a predictor of foreign
language ability have been proposed by many researchers. Onwuegbuzie, Bailey, and Daley
(1999a, p.217) viewed anxiety as a predictor of foreign language achievement; Sparks and
Ganschow (1991; 1995), Ganschow and Sparks (1996), and MacIntyre (1995a;b) look at
causality; does foreign language anxiety lead to poor foreign language ability or vice-versa?
MacIntyre exposes the primary importance of anxiety while Sparks and Ganschow (1996,
p.200) claim that aptitude is the main variable. Young (1991b) backs the latter view in her
study of oral proficiency ratings relevant to teacher certification. Scovel (1978, p.132)
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 13
claimed that, there is no interaction between foreign language anxiety and foreign language
ability.
Despite the long debates, it has been found that anxiety centered on the two basic
task requirements of foreign language learning: listening and speaking, because in
interaction, both the skills cannot be separated (Horwitz et al., 1986, p. 129).
2.4 Types of Anxiety
For some time, researchers, language teachers, and even language learners
themselves have been interested in the possibility that anxiety inhibits language learning.
Therefore, some researchers proposed categories of anxiety as follows:
a. Trait, state, and situational specific anxiety
b. Communication apprehension, test-anxiety and fear of negative evaluation
c. Self-efficacy and appraisal
2.4.1 Trait, State, and Situational Specific Anxiety
Horwitz (2001, p.113) stated that anxiety, as perceived intuitively by many language
learners, negatively influences language learning and has been found to be the most highly
examined variables in all of psychology and education. Psychologists make a distinction
between three categories of anxiety: trait anxiety, state anxiety, and situational specific
anxiety.
2.4.1.1 Trait Anxiety
Spielberger (1983, p.83) described individual who are more anxious and more likely
to become anxious regardless of situation are referred to as having trait anxiety. MacIntyre
and Gardner (1991b, p.514) identified trait anxiety as a personality trait that requires therapy
and is more lasting and stable and occurs in a variety of situations. It arises in response to a
perceived threat, but it differs in its intensity, duration and the range of situations in which
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 14
it occurs. Trait anxiety refers to the differences between people in terms of their tendency to
experience state anxiety in response to the anticipation of a threat.
People with a high level of trait anxiety experience more intense degrees of state
anxiety to specific situations than most people do and experience anxiety toward a broader
range of situations or objects than most people (Casado and Dereshiwsky, 2011; Ellis, 2008;
Scovel, 1978; Spielberger, 1972). Thus, trait anxiety describes a personality characteristic
rather than a temporary feeling (Hatfield, 2015, p.1).
Oxford (1999, p.59) stated that students may experience state anxiety in foreign
language classes when they are asked to speak. When anxiety experienced in foreign
language classes becomes permanent, it adversely affects performance and achievement in
foreign language. Pappamihiel (2002, p.330) wrote that “once the anxiety becomes a trait
one, it will hinder language learning.”
2.4.1.2 State Anxiety
Some researchers (Scott, 1986; Young, 1990) found that state anxiety is considered
a normal feeling and it is a more short-term reaction to a certain event. Hatfield (2015, p.1)
writes that “state anxiety describes the experience of unpleasant feelings when confronted
with specific situations, demands or a particular object or event. State anxiety arises when
the person makes a mental assessment of some type of threat. When the object or situation
that is perceived as threatening goes away, the person no longer experiences anxiety. Thus,
state anxiety refers to a temporary condition in response to some perceived threat.”
Riasati (2011, p.908) explained that “this anxiety occurs in learners because they are
exposed to a particular situation or event that is stressful to them; for example, there are some
learners who feel anxious if they are called by the teacher to speak in the classroom. The
good thing about state anxiety is that it diminishes over time as the learners get used to the
new environment or feel comfortable with the teacher.”
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 15
2.4.1.3 Situation Specific Anxiety
In the field of second language acquisition, MacIntyre and Gardner (1991) draw upon
the work done by Spielberger (1983) to make additional distinction. They suggested a type
of anxiety called situation specific anxiety which is experienced only in particular and
specific situation (MacIntyre & Gardner, 1991, p.24). It is refers to anxiety when a specific
event is reoccurred. MacIntyre & Gardner (1991c, p.90) defined state anxiety as “a blend of
trait and situational approaches.” They implied that “the situation-specific approach captured
the essence of foreign language anxiety and demonstrated a role for anxiety in the language
learning process” (MacIntyre & Gardner 1991c, p.87).
Horwitz (2001) also agrees that language anxiety is a more specific anxiety. “Trait,
state, and situation-specific anxiety may all have some effect on public speaking
performance. The impact of anxiety may also be influenced by personality variables”
(Philips, 2005, p.6).
2.4.2 Communication Apprehension, Test-Anxiety, and Fear of Negative Evaluation
Horwitz et al., (1986, p.127-128), connect foreign language anxiety to three
categories: communication apprehension, test-anxiety, and fear of negative evaluation. The
details of each category are as follows:
2.4.2.1 Communication apprehension.
Communication apprehension, oral communication anxiety, “stage fright”
and speaking anxiety are different terms for the manifestation of “difficulty in speaking in
dyads or groups or in public, or in listening to or learning a spoken message” (Horwitz et al.,
p.127).
Horwitz et al., (1986, p.128) describe it as “a distinct complex of perception, beliefs,
feelings, and behavior arising from the uniqueness of the language learning process.” Earlier,
McCroskey (1978, p.193) defined communication apprehension as “a person’s level of fear
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 16
or anxiety associated with either real or anticipated communication with another person or
persons.” He pointed out that typical behavior patterns of communicatively apprehensive
people are the communication avoidance and communication withdrawal.
Keramida (2009, p.39) added that “students who exhibit communication
apprehension do not feel comfortable communicating in the target language in front of others
due to their limited knowledge of the language, especially in relation to speaking and
listening skills.”
2.4.2.2 Test anxiety
Horwitz et al. (1986, p.127) stated that “test anxiety occurs in any testing situation,
and it refers to fear of failure in an individual’s performance. The reason for such anxiety is
often that anxious students put unrealistic demands on themselves feeling that mediocre test
performance is generally a failure.”
Previous studies by researchers (McKeachie et al., 1985; Sarason, 1984; Wine, 1971)
posit that test anxiety occurs when students who have performed poorly in the past develop
negative, irrelevant thoughts during evaluation situations. Aida (1994, p.157) writes that
“students will get difficulties to focus on what is going on in the classroom as they tend to
divide their attention between self awareness of their fears and worries and class activities
themselves.”
Keramida (2009, p.39) stated that “students who experienced test anxiety consider
the foreign language process, and especially oral production, as a test situation, rather than
an opportunity for communication and skills improvements.”
2.4.2.3 Fear of negative evaluation
Horwitz et al.,(1986, p.128) defined it as “apprehension about others’ evaluations,
avoidance of evaluative situations, and the expectation that others would evaluate one-self
negatively.”
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 17
Keramida (2009, p.39) stated that “students who experienced fear of negative
evaluation do not consider language errors as a natural part of the learning process, but as a
threat to their image, and a source for negative evaluations either from the teacher or their
peers. As a result, they are silent and withdrawn most of the time, and do not participate in
language activities.”
Horwitz et al. (1986) created the Foreign Language Classroom Anxiety Scale
(FLCAS) which considered as the first study to propose an anxiety construct that was
specific to the situation of language learning. Horwitz (1986, p.559) said that “the FLCAS
is used in order to measure foreign language anxiety, a self-report measure which assesses
‘the degree of anxiety, as evidenced by negative performance expectancies and social
comparisons, psycho-physiological symptoms, and avoidance behaviors.” The construct of
Foreign Language Classroom Anxiety Scale can be seen in Table 2.1 as follow:
Table 2.1 Foreign Language Classroom Anxiety Scale (FLCAS)
by Horwitz, Horwitz & Cope (1986)
SA = Strongly Agree ; A = Agree ; N = Neither Agree nor Disagree ; D = Disagree ; SD
= Strongly Disagree
No. Statements SA A N D SD
1 I never feel quite sure of myself when I am speaking in
my foreign language class.
2 I don’t worry about making mistakes in language class.
3 I tremble when I know that I’m going to be called on
in language class.
4 It frightens me when I don’t understand what the
teacher is saying in the foreign language.
5 It wouldn’t bother me at all to take more foreign
language classes.
6 During language class, I find myself thinking about
things that have nothing to do with the course.
7 I keep thinking that the other students are better at
language than I am.
8 I am usually at ease during tests in my language class.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 18
9 I start to panic when I have to speak without
preparation in language class.
10 I worry about the consequences of failing my foreign
language class.
11 I don’t understand why some people get so upset over
foreign language class.
12 In language class, I can get so nervous I forget things I
know.
13 It embarrasses me to volunteer answers in my language
class.
14 I would not be nervous speaking the foreign language
with native speakers.
15 I get upset when I don’t understand what the teacher is
correcting.
16 Even if I am well prepared for language class, I feel
anxious about it.
17 I often feel like not going to my language class.
18 I feel confident when I speak in foreign language class.
19 I am afraid that my language teacher is ready to correct
every mistake I make.
20 I can feel my heart pounding when I’m going to be
called on in language class.
21 The more I study for a language test, the more confused
I get.
22 I don’t feel pressure to prepare very well for language
class.
23 I always feel that the other students speak the foreign
language better than I do.
24 I feel very self-conscious about speaking the foreign
language in front of other students.
25 Language class moves so quickly I worry about getting
left behind.
26 I feel more tense and nervous in my language class than
in my other classes.
27 I get nervous and confused when I am speaking in my
language class.
28 When I’m on my way to language class, I feel very sure
and relaxed.
29 I get nervous when I don’t understand every word the
language teacher says.
30 I feel overwhelmed by the number of rules you have to
learn to speak a foreign language.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 19
31 I am afraid that the other students will laugh at me
when I speak the foreign language.
32 I would probably feel comfortable around native
speakers of the foreign language.
33 I get nervous when the language teacher asks questions
which I haven’t prepared in advance.
Moreover, Horwitz (2001, p.114) called this construct of Foreign Language Anxiety,
which they submitted, was “responsible for students’ negative emotional reactions to
language learning.” Wilson (2003, p.65) writes, as ways of measuring anxiety experienced
in the language classroom were sparse at that time, Horwitz et al designed the FLCAS as a
means of evaluating this particular kind of anxiety and creating in the process a scale that
would be used by numbers of researchers from then on.
2.4.3 Self-efficacy and Appraisal
Pappamihiel (2002, p.329) stated that “general theories of anxiety can be
conceptualized using two models by Pekrun’s (1992) Expectancy-Value Theory of Anxiety
(EVTA) and Bandura’s (1991) theory of self-efficacy. The EVTA model combines situation
expectancies (appraisal of situations as being threatening or not) with action-control
expectancies (appraisal about one’s ability to initiate and carry out an effective solution).
Similarly, theory of self-efficacy posits that when a situation is perceived as threatening, the
resultant anxiety is dependent on an individual’s perception of his/her ability to deal
positively with that threat.”
Thus, in general, Pappamihiel (2002, p.331) stated that “anxiety can be associated
with threats to self-efficacy and appraisals of situations as threatening. In a specific situation
such as language learning, a fear of negative evaluation, test anxiety, and communication
apprehension, and threats to one’s sense of self can reduce feelings of self-efficacy and
increase the chances that a second language situation will be seen as threatening.”
2.5 Previous Studies
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 20
There are many researches that have been conducted relating to the students’ anxiety
in foreign language learning. Studies from some researchers, named: Granchow & Sparks;
Sila; and Cao, will be further discussed below and supported by related literature in this
research.
2.5.1 Ganschow and Sparks’ Research (1996)
This research was conducted by two researchers namely Leonore Ganschow and
Richard Sparks in 1996. Leonore Ganschow was from Department of Educational
Psychology Miami University, Oxford, Ohio; while Richard Sparks was from Department
of Education College of Mt. St. Joseph, Ohio. The research’s aim was to examine the
relationship between anxiety and native language skill and foreign language aptitude among
a population of high school foreign language learners.
This research examined students’ anxiety level and measures of native language skill,
foreign language aptitude, and foreign language grades among a population of high school
women enrolled in first-year foreign language classes,
The research samples were 154 females who attended a highly selective, single sex
college preparatory high school and were enrolled in the first of a 3-year foreign language
course sequence. The test instruments that were administered include:
a. The Foreign Language Screening Instrument (FLCAS by Horwitz et al., 1986)
b. The Modern Language Aptitude Test, Long Form (MLAT LF by Carroll & Sapon, 1959)
c. The Nelson-Denny Reading Test (NELSON form E, by Brown, Bennet, & Hanna, 1981)
d. The Peabody Picture Vocabulary Test-Revised (PPVT-R, form L, by Dunn & Dunn,
1981)
e. The Phoneme Deletion (PHON DEL)
f. The Wide Range Achievement Test-Revised, Spelling subtest (WRAT SP by Jastak &
Wilkinson, 1984)
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 21
g. The Woodcock Reading Mastery Test-Revised, Form G, Basic Skills Cluster (WRMT
BSC by Woodcock, 1987)
h. The Woodcock-Johnson Psychoeducational Battery, Memory Cluster (WJMC by
Woodcock & Johnson, 1978)
In integrative reasons, the findings showed that low-anxious students perform better
than high-anxious students on measures of native language skill in the
phonological/orthographic domain, on a measure of foreign language aptitude. They found
overall differences among women classified in Hi-, Ave-, and LO-ANX groups on eight of
the nine variables, seven of which had been hypothesized to have significant differences.
The finding of large and significant differences in foreign language grades by ANX
level is consistent with findings by some foreign language researchers, who have examined
the correlation between grades and the FLCAS.
2.5.2 Sila’s Research (2010)
This is a research on young adolescent students’ foreign language anxiety in relation
to language skills at different levels conducted by Sila AY from Ankara University, Turkey,
in 2010. This study concentrates on the relationship between anxiety, language skills, and
levels of instructions.
The data was collected from 55 students of fifth graders, 48 students of sixth graders,
and 57 students of seventh graders, which come to a total of 160 participants of Ankara
University Development Foundation Primary School, and the age ranges were 11 – 13 years
old.
The questionnaire of FLCAS was used as the data collection instrument in the
research. However, as the FLCAS does not focus on the skills individually since it aims to
measure students’ in-class anxiety in general, she then, first modified so as to separate the
skills and then translated into Turkish. It was also simplified because the original scale was
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 22
designed for adult learners. The scale administered consisted of a total of 20 questions, four
each on language skills, there were:
a. speaking,
b. listening,
c. reading,
d. writing, and
e. grammar skills, respectively.
The findings showed that in relation to speaking skills, seventh grade students were
more anxious than sixth and fifth graders. In relation to listening skills, fifth grade students
were more anxious than sixth and seventh graders. In relation to reading skills, fifth grade
students were more anxious than sixth and seventh graders. In relation to writing skills,
seventh grade students were anxious than the sixth and fifth graders. In relation to grammar
skills, fifth, sixth, and seventh grade students hold nearly the same degree of anxiety.
She concluded that this research revealed that the foreign language anxiety,
experienced by young adolescent Turkish students, differs in relation to levels of instruction
and basic language skills. Foreign language anxiety is reported in receptive skills (listening
and reading) at the beginner levels and then in productive skills (speaking and writing) as
the levels advance.
The findings which suggest that beginner-level students are relatively more anxious
seem to contradict MacIntyre’s conception (1999) that foreign language anxiety is an anxiety
felt only when one is required to produce in a foreign language. It is also contradict to
Oxford’s idea (1999) that students may experience state anxiety when they are required to
speak in foreign language classes, but it diminishes as their foreign language skills and levels
of learning increase.
2.5.3 Cao’s Research (2011)
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 23
This research is conducted in 2011 by Yuan Cao from De La Salle University, Manila
Philippines. It is aimed to compare two models of foreign language classroom anxiety scale
and to find out which model of FLCAS has better fitness.
There are two models employed in investigating foreign language anxiety (Horwitz
et al., 1986; Na, 2007; Huang, 2008). The first model uses the three domains that cover
communication apprehension, test anxiety, and fear of negative evaluation. The second
model covers communication apprehension, test anxiety, fear of negative evaluation, and
anxiety of English classes.
Cao noticed that Huang study in 2008 used the first model in assessing students’
anxiety in foreign language classroom, where the 33 items were constructed under the three
domains, which are consistent with the model used in Horwitz (1986). The distribution of
the items is as follow:
- communication apprehension are (1, 4, 9, 14, 15, 18, 24, 27, 29, 30, 32);
- test anxiety are (3, 5, 6, 8, 10, 11, 12, 16, 17, 20, 21, 22, 25, 26, 28); and
- fear of negative evaluation are (2, 7, 13, 19, 23, 31, 33).
However, Aida’s study (1994) revealed FLCAS is a four factor model:
- speech anxiety and fear of negative evaluation;
- fear of failing the Japanese class;
- degree of comfort when speaking with native speakers of Japanese; and
- negative attitudes towards the Japanese class.
Another four factor model was proposed by Zhao (2007) who reconstructed Horwits et al.’s
three factors model into four domains with the items as follow:
- communication apprehension (1, 9, 14, 18, 24, 27, 29, 32)
- test anxiety (2, 8, 10, 19, 21)
- fear of negative evaluation (3, 7, 13, 15, 20, 23, 25, 31, 33)
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 24
- anxiety of foreign language class (4, 5, 6, 11, 12, 16, 17, 22, 26, 28, 30)
The questionnaires were distributed to students of the first year of college to fourth
year college students’ ages 18 to 23 years old who studied engineering, information
technology, economy and trade in China mainland.
The findings showed that both models were significant and indicate convergence of
the three and four factors. To find the better fit model, Cao uses chi-square (x2), Root Mean
Square Error Approximation (RMSEA), Akaike Information Criterion (AIC), Schwartz
Bayesian Criterion (SBC), Browne-Cudeck Cross Validation Index (BCCVI).
As the result, the three factor model has the best fit as it is shown as follow:
Comparison of Fit of the Two Models of FLCAS
Model χ2 RMSEA AIC SBC BCCVI
Three-factor
Model 2169.18 .07 7.72 8.57 7.78
Four-factor
Model 2211.19 .07 7.88 8.77 7.93
**P<.01
Having confirmed the construct of foreign language classroom anxiety allows other
researchers to use and further test the construct to strengthen its general functions.
CHAPTER III
THEORETICAL FRAMEWORK AND RESEARCH METHODOLOGY
This chapter will describe the details of the subjects, the instruments, and the
procedures of this study.
3.1 Theoretical Framework
Researchers (Clement 1980; Young 1992; MacIntyre and Gardner 1994b; MacIntyre
1999; and Zhang, 2001) have given various definitions for foreign language anxiety.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 25
However, Horwitz, Horwitz, and Cope (1986, p 129) described foreign language anxiety as
“a phenomenon related to but distinguishable from other specific anxieties”. As such,
Horwitz, Horwitz and Cope were the first to conceptualize foreign language anxiety as “a
unique type of anxiety specific to language learning” (Trang, 2011, p. 69).
Earlier, Scovel (1978) recognized conflicting findings in the earlier anxiety research
and attributed them to a lack of proper instruments for measuring language anxiety. Gardner
(1985) supported the view and further argued that instruments directly concerned with
foreign language anxiety would be more appropriate for studying foreign language anxiety
than those used for measuring general anxiety. He said that “not all forms of anxiety would
influence second or foreign language learning, but a construct of anxiety which is not general
but instead is specific to the language acquisition context is related to second language
achievement” (p. 34). Gardner, Clement, Smythe, and Smythe (1979) designed a five item
scale instrument, which, though it was restricted in scope, was relevant to foreign language
anxiety.
Horwitz, Horwitz and Cope (1986) then state, “since anxiety can have profound
effects on many aspects of foreign language learning, it is important to be able to identify
those students who are particularly anxious in foreign language class” (p.128).
The study was done during the summer of 1983 to students in the beginning language
classes at the University of Texas. They conducted an experiment and developed the Foreign
Language Classroom Anxiety Scale (FLCAS) which uses a Likert scale (Horwitz et al.,
p.129). The FLCAS has afforded an opportunity to examine the scope and severity of foreign
language anxiety. The 33 items reflected the three categories of foreign language anxiety:
communication apprehension, test-anxiety, and fear of negative evaluation in the foreign
language classroom. The original form of FLCAS has been discussed at the previous can be
seen in Table 2.1.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 26
The FLCAS was introduced as an instrument to measure anxiety levels as evidenced
by negative performance expectancies and social comparison, psycho-physiological
symptoms, and avoidance behaviors (Horwitz et al., 1986, p.126).
According to Horwitz et al., (1986, p.127), communication apprehension is
particularly relevant to the conceptualization of foreign language anxiety. They suggest that
“communication apprehension is a type of shyness characterized by fear of or anxiety about
communicating with people. The manifestation of communication apprehension are various
and, include difficulty in speaking with a partner or in groups (oral communication anxiety),
or in public speaking (“stage fright”), in listening to or learning a spoken message (receiver
anxiety)”. Horwitz et al. (1986, p.127) further said that “people who typically have trouble
speaking in groups are likely to experience even greater difficulty speaking in a foreign
language class where they have little control of the communicative situation and their
performance is constantly monitored. There are eleven statements indicating communication
apprehension.”
The second type of anxiety, test anxiety, Horwitz et al. (1986) considered relevant to
foreign language anxiety as it refers to a type of performance anxiety stemming from a fear
of failure. Gordon and Sarason (1955) as cited in Horwitz et al. (1986, p.127-128), explain
that “anxious students often put unrealistic demands on themselves and feel that anything
less than a perfect test performance is a failure.” Horwitz et al. add that “students who are
test-anxious in foreign language class probably experience considerable difficulty since test
and quizzes are frequent and even the brightest and most prepared students often make
errors.” Moreover, they claim that “oral tests have the potential of provoking both test- and
oral communication anxiety simultaneously in susceptible students” (p.128). There are
fifteen statements indicating test anxiety.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 27
The last manifestation of anxiety is fear of negative evaluation. Horwitz et al. (1986,
p.128) perceive foreign language anxiety “as a distinct complex of self-perceptions, beliefs,
feelings, and behaviors related to classroom language learning arising from the uniqueness
of the language learning process.” Sila (2010, p.83) adds that fear of negative evaluation,
which stems from an individual’s conviction of being evaluated negatively, leads the
individual to avoid others’ evaluation and evaluative situations.”
These descriptions of communication apprehension, test anxiety, and fear of negative
evaluation, proposed by Horwitz (1986) provide useful conceptual building blocks for
defining foreign language anxiety and have been cited by subjects in numerous tests as
causes of language anxiety.
In order to identify the subjective feelings of anxiety, an open-ended questionnaire
was employed. The open-ended questions were developed in a semi-structured format,
consisting of several key questions that help to define the areas to be explored (Gill et al,
2008, p.291). The questions were taken from the model by Tanveer (2007, p.86-88) and
aimed to investigate the factors that cause language anxiety from students and ESL/EFL
teachers’ perspectives (Tanveer, 2007, p.35).
Horwitz et al. (1986) provided a detailed report of the methodology they used to
produce the FLCAS using the beginning language class students at the University of Texas.
By understanding the methodological basis for the construction of the FLCAS, researchers
can make an informed determination about whether the FLCAS is an appropriate tool for
use with students in different context or whether it need to be adapted (Saraj, 2011, p.2).
3.2 Research Methodology
3.2.1 Research Subject and Settings
Subjects were 47 students of Akademi Sekretari dan Manajemen (ASEKMA) Don
Bosco. All students are females, ranging in age from 18 to 20 years old, and were enrolled
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 28
in the first year of a 3-year study program. Of the 47 students, 10 students had been learning
English since kindergarten, 33 since primary school, and 4 students since junior high school.
They were ready to get involved in the completion of the FLCAS questionnaire used in this
research. Students were also invited to participate in completing the open-ended questions,
and as the result, seven students came to volunteer.
When the data were obtained, these students were taking English for Secretary II,
which was preceded by English for Secretary I in the previous semester. The course is
designed to improve the students’ speaking skill especially for face- to- face and telephone
conversations.
Other participants were two full-time English teachers of Akademi Sekretari dan
Manajemen (ASEKMA) Don Bosco and one native speaker, who is a part-timer. The
purpose to get lecturers involved in this study was to know their opinions as part of the
stakeholders in classroom practices.
This research was conducted in February 2015 at Akademi Sekretari dan Manajemen
(ASEKMA) Don Bosco, jalan Pulomas Barat V, Pulomas, East Jakarta. ASEKMA Don
Bosco is a Diploma Three Program on Secretarial study under Yayasan Panca Dharma,
Jakarta.
The close-ended questionnaires were distributed on the 17th February 2015 to forty-
seven students. Then, the open-ended questionnaires were given to seven students and three
teachers on the 19th of February 2015.
3.2.2 Instruments
This research employed two questionnaires, they are:
1. the FLCAS by Horwitz et al. (1986), and
2. open-ended questions by Tanveer (2007).
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 29
The choice to use these two types of questionnaires was taken in order to attain the most
comprehensive answers on the objective of this research.
The following subsections provide explanations of the nature and process of the
questionnaires and the questions in greater detail.
3.2.2.1 Foreign Language Classroom Anxiety Scale (FLCAS)
This questionnaire used in this research consists of two sections, namely personal
background and the foreign language classroom anxiety scale. A detailed description of each
part of the questionnaire follows:
3.2.2.1.1 Personal Background Information
The first section of the questionnaire pertains to personal background information
and was designed to gather personal information from the research subjects, including age
and the time they started learning English.
3.2.2.1.2 Foreign Language Classroom Anxiety Scale (FLCAS)
The Foreign Language Classroom Anxiety Scale (FLCAS), which was devised by
Horwitz et al. (1986) and named by several researchers as a “valid” and “credible” measuring
instrument, was used as the main instrument for data collection in the research. For the
details, see Chapter II section 2.4.2 and the questionnaire is in table 2.1 (p.20-21).
The 33 items of FLCAS were selected and classified in order to give details of the
research questions as follow:
1. to find out to what extent the students of ASEKMA Don Bosco are anxious when
they have to speak in English, this research will use the item number 3, 9, 12, 16, 17,
18, 20, 22, 24, 25, 26, 27, and 28.
2. to identify the sources of their anxiety, this research will use the item number 1, 2, 4,
6, 7, 8, 9, 10, 13, 15, 19, 21, 23, 29, 30, 31, and 33.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 30
3. to develop strategies to cope with speaking anxiety, this research will use the item
number 5.14, and 32.
An Indonesian translation of the original, which was written in English, was
distributed to the students. The purpose of using Indonesian was to avoid misunderstanding
and to ensure the students’ confidence in responding. In response to each question, the
students were told to choose one of the five options given based on their experiences and
opinions.
Minor modification was made to the instrument. The researcher uses “English” to
substitute the term ‘foreign language’ in the original version. The reason for this change is
that the ‘foreign language’ in question for this study is English, and not other languages,
such as Chinese or Japanese, which are also taught in ASEKMA Don Bosco but will not be
used for this research.
The questionnaire consists of 33 statements with a five-point Likert-scale: ‘strongly
disagree’ (SD), ‘disagree’ (D), ‘neither agree nor disagree’ (N), ‘agree’ (A), and ‘strongly
agree’ (SA). The range of the questionnaire is from 1 to 5 , so the total range of scores is
from 33 to 165; with higher scores indicating higher levels of anxiety and lower scores
indicating lower levels of anxiety. See Appendix 1 for details.
3.2.2.2 The Open-Ended Questions
The open-ended questionnaire consists of two sections: the personal background
information, and the questions. A detailed description of each sections of the questionnaire
follows:
3.2.2.2.1 Personal Background Information
The first section was personal background information and was aimed at gathering
data about the research participants including name and signature. Name and signature are
required as proof of originality.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 31
3.2.2.2.2 Open-Ended Questions for Learners
The open-ended questionnaire for learners was designed by Tanveer (2007), consists
of ten questions. The following is the list of the questions:
Table 3.2
The Questions for The ESL/EFL Learners
1. How long have you been learning English? How do you feel about your experience
of learning English?
2. Please tell me what disturbs you the most about learning and speaking English!
Why?
3. Do you think learning and speaking English as a foreign language is very difficult?
What kind of difficulties or problems do you feel when speaking English?
4. What kind of situations causes stress or anxiety to you?
5. What happens to you when you are in a stressful situation while speaking English?
What do you do in this kind of situations?
6. What do you think are the reasons of this nervousness or anxiety?
7. In which kind of situations do you not feel anxiety or feel less anxiety while
speaking English?
8. Are you afraid of making errors while speaking English? How do you think people
will react if you make mistakes?
9. How do you think your language teacher plays a role in creating or reducing the
feeling of anxiety in the classroom?
10. What would you like to suggest in reducing language anxiety in the learners?
The 10 items of the question were selected and classified in order to investigate of the
following research questions:
1. to find out the level of anxiety experienced by the students of ASEKMA Don Bosco
when they have to speak in English, presented in number 1, 3a, and 4.
2. to identify the sources of their anxiety, this research will use the item number 2, 3b,
6, and 8.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 32
3. to develop strategies to cope with speaking anxiety, this research will use the item
number 5,7, 9, and 10.
The questions were also translated into Indonesian in order to avoid
misunderstanding and to ensure students’ confidence in responding. The adapted question
can be seen in Appendix 2.
3.2.2.2.3 Open-Ended Questions for Teachers
The questions for teachers are developed by Tanver (2007), consist of six questions
related to their experience in teaching activities, how they view anxiety, and ended by asking
for suggestions on how to overcome this problem. The questions are as follows:
1. How you view the role of language anxiety for ESL/EFL learners in learning and
particularly speaking English language.
2. What kinds of situations and language classroom activities have you found to be anxiety-
provoking for the students?
3. What do you think are the causes of students’ anxiety while speaking English?
4. Have you noticed any particular kinds of beliefs or perceptions about learning and
speaking English in your students and do you think they play a role in causing language
anxiety for the learners? Please explain.
5. What signs of anxiety have you noticed in anxious learners during your experience of
teaching English to ESL/EFL learners?
6. How do you think language anxiety can be successfully controlled in the learners?
The 6 items of the question were selected and classified in order to give details of the research
questions as follows:
1. to find out to what extent the students of ASEKMA Don Bosco are anxious when
they have to speak in English, this research will use the item number 2 and 4.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 33
2. to identify the sources of their anxiety, this research will use the item number 3 and
5
3. to develop strategies to cope with speaking anxiety, this research will use the item
number 1 and 6. (See Appendix 3 for details).
3.2.3 Research Procedures
The research procedure was conducted in two parts. The first part was the distribution
of the close-ended questionnaire (FLCAS) to the first grade students, and the second was the
distribution of the open-ended questionnaires to seven students and three teachers.
3.2.3.1 The Close-Ended Questionnaire (FLCAS)
The class was asked to complete the 33 statements of FLCAS on the 17th February
2015. It was briefly explained to subjects that the questionnaire related to research that was
being conducted on speaking anxiety. They were asked to answer the questions honestly to
the best of their knowledge and ability. They were told that some of them would later be
asked if they would volunteer to answer further questions. It is essential that the respondent
should consent to participate in the study as it was conducted on a voluntary basis. They did
not have to complete the questionnaire if they did not want to. Fortunately, no students
refused and all of them completed the questionnaire in full. They worked individually at the
same time in the classroom after class. Some of them requested clarification of certain
statements and all finished within 30 minutes. It was also explained that all the information
provided was confidential and their answers had no relation to their own course work.
3.2.3.2 The Open-Ended Questionnaire
Seven students and three lecturers were approached to volunteer for the follow-up
questions. All respondents wrote their answer in the space provided under the question items
(see Appendix 2 and 3).
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 34
Some students asked for confirmation, whether they were allowed to use Indonesian,
as they had to describe their ideas in details and were concerned about their limited linguistic
competence. The researcher allowed them to use Indonesian as it would give a greater chance
for them to express their feelings and ideas more completely. When the completed
questionnaires were submitted, it transpired that some had in fact been able to answer in
English, while others wrote in Indonesian.
The teachers agreed that the questions were sent via email on the 17th February 2015,
and the result would be sent back, also via email within three days. All teachers responded
each question based on their expertise and experience, and they responded in English. Their
answers to the questions were clear, especially the native speaker, who gave detailed
suggestions for further actions, especially in overcoming students’ anxiety that leads to
hesitation to speak in English.
3.2.4 Research Analysis Technique
The data of the FLCAS questionnaire was analyzed using data coding, descriptive
statistic analysis, while the open-ended questionnaires were input in order to get a summary
of the response to each question.
The analysis of the data is arranged as follow:
Research Question Instruments Analysis
To find out to what extent
are the students of
ASEKMA Don Bosco
anxious when they have
to speak in English?
FLCAS number: 3, 9, 12, 16,
17, 18, 20, 22, 24, 25, 26, 27,
28.
Descriptive analysis using
SPSS 16
Open-ended questions for
students number: 1, 3a, 4
Qualitative analysis
Open-ended questions for
teachers number: 2 and 4
Qualitative analysis
To identify the sources of
their anxiety?
FLCAS number: 1, 2, 4, 6, 7,
8, 9, 10, 13, 15, 19, 21, 23, 29,
30, 31, and 33
Descriptive analysis
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 35
Open-ended questions for
students, number: 2, 3b, 6, and
8
Qualitative analysis
Open-ended questions for
teachers, number: 3 and 5
Qualitative analysis
To develop strategies that
can be used to cope with
speaking anxiety.
FLCAS number: 5, 14, and 32 Descriptive analysis
Open-ended questions for
students, number: 5, 7, and 9.
Qualitative analysis
Open-ended questions for
teachers number: 1 and 6
Qualitative analysis
3.2.4.1 Data Coding
The data obtained from the close-ended questionnaire (FLCAS) were input into a
SPSS program for Windows.
3.2.4.2 Descriptive Statistical Analysis
A descriptive statistical analysis using SPSS for Windows was conducted to answer
the three research questions. The first question was intended to get the actual information of
students’ hesitation to speak English. The second was to identify the sources of their anxiety
in speaking English, and the third was to develop strategies to cope their speaking anxiety.
In this respect, percentages of each Likert point were calculated for each item. SPSS
version 16 for windows was employed during the descriptive analysis of the data.
The researcher used this analysis to find out the level of students anxiety in English
language speaking activities in the classroom and the cause of their anxiety, and to develop
strategy to cope the speaking anxiety. The presentation of the descriptive analysis appears in
Chapter IV.
3.2.4.3 Qualitative Data Analysis
The responses to the open-ended questionnaire were input and classified by their
similarity and differences on each items. The items were classified in order to answer the
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 36
research questions. Students’ responses were especially used to answer the research
questions 1-3. Teachers’ responses were also used to answer the research questions 1-3, and
to generate ideas to cope with the problem of language anxiety.
Having detailed the procedures used in this study, the next chapter presents findings relevant
to the research questions.
CHAPTER IV
RESEARCH FINDINGS AND DISCUSSION
This chapter is mainly intended to provide the answers to the research questions
presented in Chapter 1. The presentation of this chapter is divided into two sections. The
first section presents the result of the close-ended and the open-ended questionnaires while
the second section presents the discussion of the findings.
4.1 Findings
The findings of this study are based on the questionnaires, both close-ended and
open-ended, regarding language anxiety. The data of the Foreign Language Classroom
Anxiety Scale questionnaire was analyzed using descriptive-quantitative analysis. It is
intended to investigate the types of anxiety that experienced by the students, factors that
caused their anxiety, and finally to proposed a solution to cope with the anxiety. The open-
ended questionnaires’ results (both from students and teachers) were analyzed, mainly to
identify the specific information on the type of anxiety that is experienced by the students,
factors that caused their anxiety, and proposed on solution to cope the anxiety.
The presentation of the data is classified into two types. The first is the close-ended
questionnaire’s results and secondly, the open-ended questionnaire results on students’
perceptions towards anxiety in speaking English, and the sources of anxiety, and the
strategies to cope speaking anxiety.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 37
4.1.1 Students’ Anxiety to Speak English
This section describes the finding from both of the questionnaires relates to students’
perceptions towards anxiety in speaking English. The first subsection is intended to describe
the responses from the FLCAS questionnaires, next is from the students and finally the
teachers’ responses on the open-ended questions.
4.1.1.1 FLCAS Findings
This section showed the questionnaire result of Foreign Language Classroom
Anxiety Scale (FLCAS). It presents the data on students’ avoidance to speak English. The
data is presented in number and percentage in order to show the readable and understandable
results of the questionnaire. The statistical results on each item are presented in Appendix 4:
Table 4.1 The Frequency of Students’ Anxiety Level
No Statements SA A N D SD
1 I never feel quite sure of
myself when I am speaking
in my foreign language
class.
3
(6,4%)
20
(42,6%)
17
(36,2%)
5
(10,6%)
2
(4,3%)
3 I tremble when I know that
I’m going to be called on
in English class.
4
(8,5)
16
(34%)
11
(23,4)
13
(27,7%)
3
(6,4%)
6 During language class, I
find myself thinking about
things that have nothing to
do with the course.
1
(2,1%)
6
(12,8%)
8
(17%)
28
(59,6%)
4
(8,5%)
9 I start to panic when I have
to speak without
preparation in language
class.
15
(31,9%)
22
(46,8%)
5
(10,6%)
4
(8,5%)
1
(2,1%)
12 In language class, I can get
so nervous I forget things I
know.
3
(6,4%)
8
(17%)
14
(29,8%)
19
(40,4%)
3
(6,4%)
16 Even if I am well prepared
for language class, I feel
anxious about it.
3
(6,4%)
13
(27,7%)
15
(31,9%)
14
29,8%)
2
(4,3%)
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 38
17 I often feel like not going
to my language class.
0 1
(2,1%)
11
(23,4)
20
(42,6%)
15
(31,9%)
18 I feel confident when I
speak in foreign language
class.
1
(2,1%)
5
(10,6%)
28
(59,6%)
9
(19,1%)
4
(8,5%)
20 I can feel my heart
pounding when I’m going
to be called on in language
class.
6
(12,8%)
25
(53,2%)
9
(19,1%)
4
(8,5%)
3
(6,4%)
22 I don’t feel pressure to
prepare very well for
language class.
5
(10,6%)
23
(48,9%)
17
(36,2%)
2
(4,3%)
0
24 I feel very self-conscious
about speaking the foreign
language in front of other
students.
3
(6,4%)
4
(8,5%)
28
(59,6%)
10
(21,3%)
2
(4,3%)
25 Language class moves so
quickly I worry about
getting left behind.
8
(17%)
18
(38,3%)
10
(21,3%)
11
(23,4%)
0
26 I feel more tense and
nervous in my language
class than in my other
classes.
1
(2,1%)
16
(34%)
9
(19,1%)
16
(34%)
5
(10,6%)
27 I get nervous and confused
when I am speaking in my
language class.
0 17
(36,2%)
18
(38,3%)
10
(21,3%)
2
(4,3%)
28 When I’m on my way to
language class, I feel very
sure and relaxed.
3
(6,4%)
13
(27,7%)
23
(48,9%)
8
(17%)
0
Table 4.2 showed the percentage of frequency’s which has been rounded, and then
classified into three categories: ‘agree’ refers to the number of students who agreed and
strongly agreed; ‘neither agree nor disagree’ refers to those who neither agree nor disagree;
and ‘disagree’ that refers to those who disagreed and strongly disagreed.
Table 4.2 The Classification of The Students’ Anxiety Level
Item No. Agree
Neither
Agree nor
Disagree
Disagree
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 39
3 20
(43%)
11
(23%)
16
(34%)
9 37
(78%)
5
(11%)
5
(11%)
12 11
(23%)
14
(30%)
22
(47%)
16 16
(34%)
15
(32%)
16
(34%)
17 1
(2%)
11
(23%)
35
(75%)
18 6
(13%)
28
(60%)
13
(27%)
20 31
(66%)
9
(19%)
7
(15%)
22 28
(59%)
17
(36%)
2
(5%)
24 7
(15%)
28
(60%)
12
(25%)
25 26
(56%)
10
(21%)
11
(23%)
26 17
(36%)
9
(19%)
21
(45%)
27 17
(36%)
18
(38%)
12
(26%)
28 25
(53%)
9
(19%)
13
(28%)
Total 242
(39,5%)
184
(30,1%)
185
(30,4%)
Most students agreed that they feel anxious in learning and speaking English. They
experienced to some signs that indicated anxieties such as: tremble, loose focus, and panic,
nervous, anxious, heart pounding, pressure, self-conscious, worry, tense, confused and
overwhelmed. Table 4.2 proved that 43% of the students feel tremble when they are going
to be called on in English class (item number 3). 78% of the students agreed that they were
panic to speak in English without preparation (item number 9). 23% of the students agreed
that they forgot on things they have known when they were nervous (item number 12). 34%
of the students feel anxious even they were well prepare for language class (item number
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 40
16). Only 2% of the students feel like not going to their English class (item number 17). 13%
of the student agreed that they were confidence in speaking English (item number 18). There
are 66% of the students fell heart pounding when they are going to be called on in language
class (item number 20), and 59% of the students agreed that they did not feel the pressure in
English class (item number 22). 15% of the students agreed of feeling shy when they have
to speak English in front of the other students (item number 24). 56% of the students agreed
that they were worried about getting left behind in English class (item number 25). 36% of
the students agreed that they felt more tense and nervous in English class than in their other
class (item number 26). 36% of the students agreed that they got nervous and confused when
they were speaking in English class (item number 27). However, 53% of students agreed
that they felt sure and relaxed when they were on their way to English class (item number
28).
Chart 4.1 FLCAS Result on Students’ Anxiety to Speak English
Chart 4.1 showed that, the students were experienced with anxiety when they had to
speak English. 39,5% of students agreed that they feel anxious to speak English. That 30,1%
of students were not sure whether they feel anxious to speak English. It is difficult to identify
as t could have two possibilities: first, they did not sure of the feelings; or they wanted to say
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 41
agree or disagree but for some considerations, especially because they do not want to lose
their face in front of their friends and teacher, so they chose this choice. Finally, 30,4% of
students disagreed, which means they did not anxious to speak English.
Findings from the students’ open-ended questions can give clear answer of this
question.
4.1.1.2 Findings from the Open-Ended Questions
4.1.1.2.1 Students’ Responses
Students were asked about their hesitation in speaking English. Three questions were
employed to investigate their hesitation in speaking English, as follows:
1. How long have you been learning English and how do you feel about your experience
of learning English?
The findings are:
Most of the respondents have learnt English for more than ten years, and only one
student who started to learn English when she was in junior high school (14 years old). Five
out of seven students stated that they enjoy learning English while the rest others did not.
3.a Do you think learning and speaking English as foreign language is very difficult?
The findings are:
Four students responded that speaking English is not very difficult; one student
responded that it is moderately difficult, and two students responded that speaking English
is difficult.
4. What kind of situations causes stress or anxiety to you?
The findings are:
Students stated that they have problems to speak English especially in giving
responses in conversations with teachers and friends as well as debates and public speaking.
They are also afraid of making mistake in speaking English.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 42
The result shows that students were actually familiar with English since they have
learnt it for at least more than 5 years but, on the other hand, learning and speaking English
still become problematic to some students especially when they have to deliver public
speaking, debates, do conversations with teachers, or to answer questions as they are afraid
of making mistakes.
4.1.1.2.2 Teachers’ Responses
Teachers were asked about their experience on students’ anxiety in speaking English.
Two questions were employed to investigate the students’ hesitation to speak in English as
follows:
2. What kind of situations and language classroom activities have you found to be anxiety
provoking for the students?
The findings are:
Various responses were gathered from teachers about the students’ anxiety in
speaking English activities. All teachers agreed that there were some situations and language
classroom activities that cause anxiety in the students. They were: speaking performance and
any kinds of tests or assessments that might cause them losing face in front of their fellow
students and their teacher. Most students showed their hesitation in English speaking
activity. Students tended to refuse in participating in speaking for some reasons.
4. Have you noticed any particular kinds of beliefs or perceptions about learning and
speaking English in your students and do you think they play a role in causing language
anxiety for the learners? Please explain.
The findings are:
Students’ perception that learning, especially speaking English, is difficult. This may
hamper the development of their language skills and can cause students to doubt themselves
before even trying.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 43
The second reason is a belief that learning language is no different from learning
other academic subjects where most subjects are largely knowledge-based with a secondary
focus on skills. It is also be detrimental to good progress whereby the students feel the
importance of performing well and the consequences of performing poorly.
4.1.2 Sources of Students’ Anxiety in Speaking English
This section describes the finding from both of the questionnaires relates to the
sources of students’ anxiety in speaking English. The first subsection is intended to describe
the responses from the FLCAS questionnaires, next is from the students and the teachers’
responses on the open-ended questions.
4.1.2.1 The FLCAS Findings
The Foreign Language Classroom Anxiety Scale (FLCAS) provides the answer to
investigate students’ avoidance to speak English. The following table explains the result of
the FLCAS questionnaire on the sources of students’ hesitation in speaking English:
Table 4.3 The Frequency on the Sources of Students’ Anxiety
No Statements SA A N D SD
1
I never feel quite sure of
myself when I am
speaking in my foreign
language class.
3
(6,4%)
20
(42,6%)
17
(36,2%)
5
(10,6%)
2
(4,3%)
2
I don’t worry about
making mistakes in
language class.
1
(2,1%)
9
(19,1%)
16
(34%)
19
(40,4%)
2
(4,2%)
4
It frightens me when I
don’t understand what the
teacher is saying in the
foreign language.
4
(8,5%)
13
(27,7%)
14
(29,8%)
9
(19,1%)
7
(14,9%)
6
During language class, I
find myself thinking about
things that have nothing to
do with the course.
1
(2,1%)
6
(12,8%)
8
(17%)
28
(59,6%)
4
(8,5%)
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 44
7
I keep thinking that the
other students are better at
language than I am.
10
(21,3%)
26
(55,3%)
7
(14,9%)
2
(4,3%)
2
(4,3%)
8 I am usually at ease during
tests in my language class.
1
(2,1%)
11
(23,4%)
28
(59,6%)
7
(14,9%)
0
9
I start to panic when I have
to speak without
preparation in language
class.
15
(31,9%)
22
(46,8%)
5
(10,6%)
4
(8,5%)
1
(2,1%)
10
I worry about the
consequences of failing my
foreign language class.
17
(36,2%)
20
(42,6%)
3
(6,4%)
4
(8,5%)
3
(6,4%)
13
It embarrasses me to
volunteer answers in my
language class.
5
(10,6%)
18
38,3%)
10
(21,3%)
11
(23,4%)
3
(6,4%)
15
I get upset when I don’t
understand what the
teacher is correcting.
4
(8,5%)
21
(44,7%)
11
(23,4%)
10
(21.3%)
1
(2,1%)
19
I am afraid that my
language teacher is ready
to correct every mistake I
make.
2
(4,3%)
15
(31,9%)
9
(19,1%)
16
(34%)
5
(10,6%)
21 The more I study for a
language test, the more
confused I get.
1
(2,1%)
5
(10,6%)
8
(17%)
23
(48,9%)
10
21,3%)
23 I always feel that the other
students speak the foreign
language better than I do.
4
(8,5%)
28
(59,6%)
10
(21,3%)
4
(8,5%)
1
(2,1%)
29 I get nervous when I don’t
understand every word the
language teacher says.
5
(10,6%)
20
(42,6%)
13
(27,7%)
8
(17%)
1
(2,1%)
30 I feel overwhelmed by the
number of rules you have
to learn to speak a foreign
language.
7
(14,9%)
18
(38,3%)
9
(19,1%)
11
(23,4%)
2
(4,3%)
31 I am afraid that the other
students will laugh at me
when I speak the foreign
language.
8
(17%)
20
(42,6%)
6
(12,8%)
11
(23,4%)
2(4,2%)
33 I get nervous when the
language teacher asks
11
(23,4%)
24
(51,1%)
9
(19,1%)
2
(4,3%)
1
(2,1%)
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 45
questions which I haven’t
prepared in advance.
Table 4.4 showed the percentage of frequency’s which has been rounded, and then classified
into three categories: ‘agree’ refers to the number of students who agreed and strongly
agreed; ‘neither agree nor disagree’ refers to those who neither agree nor disagree; and
‘disagree’ that refers to those who disagreed and strongly disagreed.
Table 4.4 The Classification on the Sources of Students’ Anxiety
Item No. Agree Neither Agree
nor Disagree Disagree
1 24
(49%)
17
(36%)
7
(15%)
2 10
(21%)
16
(34%)
21
(45%)
4 17
(36%)
14
(30%)
16
(34%)
6 7
(15%)
8
(17%)
32
(68%)
7 36
(76%)
7
(15%)
4
(9%)
8 12
(25%)
28
(60%)
7
(15%)
9 37
(78%)
5
(11%)
5
(11%)
10 37
(78%)
3
(7%)
7
(15%)
13 23
(49%)
10
(21%)
14
(30%)
15 25
(54%)
11
(23%)
11
(23%)
19 17
(36%)
9
(19%)
21
(45%)
21 6
(13%)
8
(17%)
33
(70%)
23 32
(68%)
10
(21%)
5
(11%)
29 25
(53%)
13
(28%)
9
(19%)
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 46
30 25
(53%)
9
(19%)
13
(28%)
31 28
(59%)
6
(13%)
13
(28%)
33 35
(74%)
9
(19%)
3
(7%)
Total 395
(49,2%)
193
(22,9%)
220
(27,9%)
Table 4.4 showed that 49% of the students agreed that they avoid speaking English
because they were not sure of themselves to speak English (item number 1); 21% of the
students agreed that they do not worry about making mistakes in English class (item number
2); 36% of students agreed that they were frightened when they did not understand what the
teacher is saying in English (item number 4); 15% of the students agreed of feeling shy when
they have to speak in front of the other students (item number 6); 76% of the students agreed
that they kept thinking that the other students are better at English then they did (item number
7); 25% of the students agreed that they felt at ease during English test (item number 8); 78%
of the students agreed that they were panic when they have to speak without preparation in
English class (item number 9); 78% of the students agreed that they were worried about the
consequences of failing their English class (item number 10); 49% of the students agreed
that they felt embarrassed to volunteer answers in English class (item number 13); 54% of
the students agreed that they got upset when they did not understand what the teacher was
correcting (item number 15); 36% of the students agreed that they were afraid when their
English teacher was ready to correct every mistake they made (item number 19); 13% of the
students got confuse when they studied more for English test (item number 21); 68% of the
students agreed that the other students spoke English better that they did (item number 23);
53% of the students agreed that they got nervous when they did not understand every word
the English teacher said (item number 29); and 53% of the students agreed that they felt
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 47
overwhelmed by the number of rules they had to learn to speak English (item number 30);
59% of the students agreed that they were afraid that other students would laugh at them
when they speak English (item number 31); and 74% of the students agreed that they got
nervous when the English teacher asked questions which they have not prepared in advance
(item number 33).
Chart 4.2 Result on Causes of Students’ Anxiety in Speaking English
Chart 4.2 showed that 49,2% of the students agreed that students’ fear of making
mistakes; fear of failing the English’ test; their problem that they did not understand the
words or corrections as well as the evaluation given by the teacher; fear of did not have
enough time to prepare in speaking English; fear of the rules that need to be learnt before
speaking English; fear that the other students, who they think had a better English, will laugh
on the mistake he/she made; are the causes of their anxiety in speaking English. 22,9% of
students did not sure whether those factors caused the feeling of anxiety in speaking English;
and 27,9% of students did not see those factors as the sources of their speaking anxiety.
4.1.2.2 Findings from The Open-Ended Questions
4.1.2.2.1 Students’ Responses
Four questions were raised for the students to find out what caused them feel
anxious. The findings would be further discussed below for each question as follows:
2. Please tell me what disturbs you the most about learning and speaking English. Why?
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 48
The findings are:
Five students stated that grammar and vocabulary disturbed them the most, whilst
two students did not give proper answer as required as they wrote that they do not like
English and it was difficult. Accordingly, they could not answers any questions during the
class because they did not understand the questions. One student added that they knew what
the questions asked them to do but it was not easy to answer. Two students admitted that
their vocabularies are limited so it caused problems to answer, mainly to make the sentences.
3.b What kind of difficulties or problems do you feel when speaking English?
The findings are:
Four students clearly addressed that vocabulary limitation is their main problem in
speaking English. One student stated that she was afraid to make mistakes and felt confused
in arranging sentences. Two students stated that they do not understand because English is
difficult.
6. What do you think are the reason of this nervousness or anxiety?
The findings are:
First, they did not know what to say because they scared of saying wrong word(s).
Second, they felt less self-confidence because they realized that they had less proficiency in
English. Next, they got problems in mastering vocabulary so they could not speak English
fluently. And the last reason was meeting their strict and straight - English teacher.
8. Are you afraid of making errors while speaking English? How do you think people will
react if you make mistakes?
The findings are:
Six students agreed that they were afraid of making errors while speaking English and
only one student did not think that she was afraid. Four students believed that people would
understand and helped them by giving corrections on the mistake, meanwhile three other
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 49
students stated that people would laugh at them, then talked about the mistake and kept away
from her because she was stupid.
4.1.2.2.2 Teachers’ Responses
The teachers were also asked from their observation on the causes of the students’
anxiety in speaking English. The questions were:
3. What do you think are the causes of students’ anxiety while speaking English?
The findings are:
All teachers agreed that grammar and vocabulary mastery were the main cause of
students’ anxiety in speaking English. One teacher added that a speaking partner was also a
threat the students especially when the person was their English teachers or anyone who had
better English proficiency. Other teacher added that the main causes of this anxiety was when
teacher gave punishment on students’ poor performance or slow progress and conducted test
too frequent and placed too much importance on the result.
5. What signs of anxiety have you noticed in anxious learners during your experience of
teaching English to ESL/EFL learners?
The findings are:
There were many signs that have been noticed by the teachers in anxious learners
during the English class. Students were usually trembling, playing their hair or nails, not
focused, looked confused and uneasy, insecure, sweating, remained silent during the lessons,
worried and fear in test activities.
4.1.3 Strategies to Cope With Speaking Anxiety
This section describes the finding from both of the questionnaires relates to the ideas
to cope students’ anxiety in speaking English. The first subsection is intended to describe
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 50
the responses from the FLCAS questionnaires, next is from the students and finally the
teachers’ responses on the open-ended questions.
4.1.3.1 The FLCAS Findings
The Foreign Language Classroom Anxiety Scale (FLCAS) provides the proposed
strategy to solve the students’ anxiety in learning and especially speaking English. The
following table explains the result of the FLCAS questionnaire from items 5, 14 and 32:
Table 4.5 Frequency of Proposed Strategy to Cope With Speaking Anxiety
No Statements SA A N D SD
5 It wouldn’t bother me at all to take more
foreign language classes.
10 15 16 5 1
14 I would not be nervous speaking the foreign
language with native speakers.
5 11 23 5 3
32 I would probably feel comfortable around
native speakers of the foreign language.
8 18 13 6 2
Table 4.6 showed the percentage of frequency’s which has been classified into three
categories: ‘agree’ refers to the number of students who agreed and strongly agreed; ‘neither
agree nor disagree’ refers to those who neither agree nor disagree; and ‘disagree’ that refers
to those who disagreed and strongly disagreed. The percentages are rounded to the nearest
whole number.
Table 4.6 The Classification on The Propose Strategy to Cope With Speaking Anxiety
Item
Number Agree
Neither Agree
nor Disagree Disagree
5 25
(53%)
16
(34%)
6
(13%)
14 16
(34%)
23
(49%)
8
(17%)
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 51
32 26
(55%)
13
(28%)
8
(17%)
Total 67
(47,3%)
52
(37%)
22
(15,7%)
Table 4.6 showed that 53% of students agreed that it would not bother them at all to
take more English classes. 34% of students agreed that they would not be nervous speaking
English with native speakers. 55% of students agreed that they would probably feel
comfortable around native speakers of English.
Chart 4.3 Result on Proposed Strategy to Cope with Speaking Anxiety
Chart 4.3 showed that 47% of students agreed to take more English classes and get
involved with native speakers whilst 37% students got confused and 16% students disagreed
to have extra English class and dealt with the native speakers.
4.1.3.2 Findings from the Open-Ended Questions
4.1.3.2.1 Students’ Responses
The students were asked how they coped with their anxiety in speaking English. Four
questions were employed for this purpose, as follows:
5. What happens to you when you are in a stressful situation while speaking English? What
do you do in this kind of situations?
The findings are:
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 52
All students stated that they suddenly got blank when they were in a stressful
situation while speaking English, so they did not know what they have to say. Five students
tried to keep calm, not to panic even they got heart pounding and felt nervous and panic; and
then tried to remember what they wanted to say, whilst one student really did not know what
to say.
7. In which kind of situations do you not feel anxiety or feel less anxiety while speaking
English?
The findings are:
All students agreed that speaking English in a non-formal situation would reduce
their anxiety. Two students agreed that they would speak in English if the topic that being
discussed is familiar to them, and two students also agreed that talking with friends were less
anxious.
9. How do you think your language teacher plays a role in creating or reducing the feeling
of anxiety in the classroom?
The findings are:
Four students stated that their English teacher plays a big role in creating or reducing
the feeling of anxiety in the classroom. One student added that her English was able to create
an enjoyable learning so that she did not feel afraid during the lessons. Three students gave
some criteria of a good English teacher, they were: should be an easy-going person, patient,
kind, and able to raise students’ self-confidence.
10. What would you like to suggest in reducing language anxiety in the learners?
Some ideas in reducing language anxiety in the learners were suggested as follows:
First, did more English practice. Students need to start using English in their daily activities,
for example:
- read novels, newspaper or web,
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 53
- watch movies with English subtitle,
- sing English songs and listen how to pronounce the lyrics, and
- chat in English among friends in the classroom as well as in the social media (line,
facebook, email, whatsapp and more).
Second is that students might not think that English is difficult. Students had to have more
confidence in their own competence. Other idea stated that students should be brave to speak
even they felt afraid of making mistakes. And finally, two students stated that teacher should
create a nice and friendly class and informed the students that they do not need to be afraid
of making mistakes as the reason of their coming to the class is to learn.
4.1.3.2.2 Teachers’ Responses
The teachers were asked about the role of language anxiety in speaking for EFL
learners and how this anxiety can be coped in the learning process. The questions were as
follows:
1. How do you view the role of language anxiety for ESL/EFL learners in learning and,
particularly, speaking English?
The findings are:
Two teachers agreed that most language anxiety plays negative role for students in
learning and speaking English. They said that language anxiety may hamper students in
developing their language ability. Meanwhile, one teacher stated that language anxiety can
play contradicting roles in the learning process: as negative when it prevents the students
from learning and developing her knowledge and skill; conversely, it plays a positive role
when it motivates students to be able to master the language.
6. How do you think language anxiety can be successfully controlled in the learners?
Language anxiety can be successfully controlled in the learners in many ways:
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 54
1. Teachers need to design especially an anti-anxiety-inducing manner; which means a
secure and comfortable physical environment and fun and interesting learning activities
so that the students can relax and enjoy themselves while learning.
2. Teachers can reduce the risk of losing face amongst peers by establishing a positive
learning environment, wherein students support one another, applauding successes and
assisting with difficulties.
3. Teachers can use more constructive approach to testing and assessment by focusing on
student’s strengths and weaknesses so that they can see assessments as a positive thing
that will help their progress, rather than a scary pass/ fail event.
4. Teachers must establish realistic expectation for their students; they must plan lessons
and learning in line with the true ability of their students and reinforce all progress, no
matter how little.
5. Students should never be expected to do something that they have not yet learnt.
6. Teachers need to improve both Teacher – Students interactions in order to built up
students’ confidence while speaking English with teachers
4.2 Discussion
This section presented the discussion of the findings of the analysis. The discussion
was focused on the students’ perceptions towards anxiety in speaking English, the sources
of students’ anxiety in speaking English, and the strategies to cope the anxiety in speaking
English findings.
The discussion is as follows.
4.2.1 Student’s Anxiety in Speaking English
The FLCAS findings (see Chart 4.1) reported that the percentage of students who
agreed, neither agree nor disagree, and disagree were close in the total percentage, where the
highest percentage is 39,5 ; for those who agreed that they have the language anxiety. More
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 55
than one third of the first grade students felt the anxiety in speaking English. They used to
be panic, got heart pounding, and pressure in preparing themselves to speak English. The
data also showed that most of students were not sure of themselves when they were speaking
English. Reasons of their hesitation in speaking English would be discussed later after this
section.
The findings also showed that students’ hesitation in speaking English did not hinder
their willingness to join the class. They were ready to join in and always focused during the
class. It was also found that they did not want to get left behind and they felt very sure and
relaxed in English class. This finding was in line with the result of the open-ended questions
to students and teachers, where most of the students felt the anxious feeling when speaking
English but they enjoyed learning English.
It could be concluded that the first grade students of Asekma Don Bosco experienced
with anxiety in speaking English as they feel the importance of performing well relates to
their future profession. It is a good sign for teachers to find a way to help the students
controlled their language anxiety.
4.2.2 Sources of Students’ Anxiety
The close-ended questionnaires (see Chart 4.2) reported that there were significant
range on the percentage result of students who agreed, neither agree nor disagree, and
disagree; where the highest percentage is 49,2 for those who agreed that there were specific
reasons of their anxiety in speaking English.
The findings on the close ended question showed that the focuses of the causes of
students’ anxiety were having less time to prepare the dialogue, the consequences of failing
the English class, beliefs that they cannot answer the teacher’s question when they met, and
that their friends were able to perform English better than them. In contrast, the findings
from the open-ended questions showed that students were concerned on problems in
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 56
grammar and vocabulary mastery. They could not response or answer in English because
they were not sure of their understanding on vocabulary and grammar as well as to avoid
from the possibility of being embarrassed and losing face if they performed poorly in front
of their friends and teachers. This finding was in-line with the teachers’ responses where
they claimed that students’ main obstacles in speaking English were grammar and
vocabulary mastery, and followed by fear of failing the class as well as fear of negative
response and evaluations from teachers or friends who have better English than them.
The following data showed the results of students’ response on the foreign language
classroom anxiety scale (FLCAS) that was indeed informed that students’ anxiety was
generally identified with three manifestations which were communication apprehension, test
anxiety, and fear of negative evaluation. The results were presented as follow:
Chart 4.4 Communication Apprehension
Chart 4.4 showed that 36% of the students felt the shyness and difficult to speak,
listen and learning spoken English. Then 43% of students sometimes feel those feelings, but
in some conditions they did not feel it instead. Only 21% of students were ready to participate
in English spoken environment.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 57
Chart 4.5 Test Anxiety
Chart 4.5 showed that more than half of the students felt the fear of failure, and 28%
students expressed that sometimes they felt the fear and sometimes not. There were only
19% of students considered that they did not feel that fear.
Chart 4.6 Fear of Negative Evaluation
As it is shown on the Chart 4.6, less than half of the total students admit that they are
afraid of others’ negative evaluation, 21% students feel that not all of the evaluations are
negative, and the rest are open for any evaluations, the positive and the negative as well.
It could be concluded that this finding on students’ anxiety in speaking English were
indeed proofed that it was caused by negative performance expectancies and social
comparison, psycho-physiological symptoms, and avoidance behaviors.
4.2.3 Proposed Strategies to Cope With Speaking Anxiety
The close-ended questionnaires (see Chart 4.3) reported that there were significant
range on the percentage results of students who agreed, neither agree nor disagree, and
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 58
disagree; where the highest percentage is 47% for students who agreed to take extra English
class/ courses/ exposures to help them in reducing their negative anxiety in speaking English
and guided them to bravely speak in English in their daily life. It could be concluded that
students were opened for any activities to improve their English speaking skill.
The students’ responses of the open-ended questions suggested that a friendly-class
environment and helpful teacher should be created and performed to reduce students’ anxiety
in English speaking class. Friendly class means there will be no laugh or negative comments
for any mistakes make and a kind, patient, and helpful teacher who is able to create enjoyable
learning activities and motivate and raise students’ self-confidence in speaking English.
CHAPTER 5
CONCLUSION AND PEDAGOGICAL IMPLICATIONS
The last chapter is intended to present the conclusion and pedagogical implications.
The conclusion is derived from the research findings and the pedagogical implications are
intended for teachers, students and future researchers who intend to investigate the students’
anxiety in foreign language speaking activities.
5.1 Conclusion
This study is aimed to find out the actual information on students’ hesitation to speak
English and its factors that lay behind the problem. The reasons to take the first grade
students’ participation in the study is to help the teacher in identifying the reasons of
students’ hesitation in speaking English and to find out the best solution to be applied to
improve students’ speaking skills. There are three conclusions drawn from the findings and
discussion in the previous chapter.
First, the descriptive result of students and teachers’ response to students’ hesitation
while speaking English were indicated that the students experienced with anxiety in speaking
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 59
English activities. The result of the students’ perceptions towards the feeling of anxiety was
found that students hold some signs of anxiety such as trembling, heart-pounding, nervous,
panic, sweating, and insecure. It implies that anxious students are common in foreign
language classrooms, here, in the beginning classes on the university level.
Secondly, the descriptive result of students and teachers’ responses to the cause of
speaking English anxiety revealed that fear of making mistakes; fear of failing the English
tests; problems in their grammar and vocabulary mastery, fear that other students had better
English than them, and fear of teachers’ evaluations were considered as the most common
sources of students’ anxiety in speaking English. A formal, strict, and stressful classroom
environment also mentioned as factors that caused the anxiety.
Thirdly, the descriptive result of students and teachers’ responses on suggested
strategy to cope the students’ anxiety in speaking English revealed that a friendly and helpful
teacher as well as the classroom environment were required in order to reduce the students
anxiety in speaking English. Teachers need to design interesting learning activities and use
more constructive approach especially that will be used to test and assessed the students’
progress of the courses.
5.2 Pedagogical Implications
Anxiety can play contradicting roles in the learning process depending on the
learners’ attitude and the attitude of those around them, including their teachers. Anxiety is
more likely to play a negative role if the learner is more submissive or shy in nature or is
surrounded by a less supportive of more pessimistic community. Whereas if the learner has
a more confident approach to challenges and confrontation and has a supportive and
encouraging community, then anxiety is more likely to play a positive role.
5.2.1 Teachers
Teacher can reduce the students’ anxiety in some ways. First and foremost, teachers
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 60
must establish realistic expectations for their students. It must be clear to both the teacher
and the student that progress in language learning will likely be paced differently to progress
in other academic subjects. Based on this, teachers should first plan lessons and learning in
line with the true ability of their students and second reinforce all progress, no matter how
little”.
Teachers can also control anxiety by reducing the risk of losing face amongst peer.
This can be achieved by establishing a positive learning environment, wherein students
support one another, applauding successes and assisting with difficulties. It should be
recognized that this takes a long process of culture-changing to realize. Students should be
encouraged as much as possible to work together, help each other when they can and ask for
help when they need it.
A more constructive approach to testing and assessing will also help reduce anxiety.
Instead of high-stakes test that determine the success of the students, assessments should
instead focus on identifying the students’ strengths and weaknesses so that the next stage of
learning can be better tailored to her needs. This way, students can see assessments as a
positive thing that will help their progress, rather than a scary pass/fail event.
Students should never be expected to do something that they have not yet learned.
Thus, all lessons and indeed syllabi/ curricula should be planned and designed in such a way
that students develop step-by-step from not knowing to knowing. Increasing knowledge and
developing skills bit-by-bit and being assessed only on what has been learned.
Finally, anxiety can be reduced by designing the language classroom and the
language activities in an especially anti-anxiety-inducing manner. This means a secure and
comfortable physical environment and fun and interesting learning activities so that students
can relax and enjoy themselves while learning.
5.2.2 Students
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 61
It is widely known that most of researchers’ results show that students were
experienced with anxiety in speaking a foreign language. One of the results on this research
proposed some strategy to cope this problem. Students can reduce their anxiety by getting
and creating more exposure of English speaking environment as what had been suggested in
the discussion. Students must realize the importance of practicing English outside of the
classroom if they wish to become fluent speakers, especially if they want to develop their
pronunciation.
5.2.3 Future Research
Due to the limitation of my research, more extensive knowledge is required to find
out other factors which affect students’ anxiety in speaking English. There could be extrinsic
and intrinsic motivation, different gender, different age group, and so forth. The results are
expected to find the similarity and the difference between Horwitz et al. model and others.
REFERENCES
Aida, Y. Examination of Horwitz, Horwitz, and Cope's construct of Foreign Language
Anxiety: The case of Students of Japanesse. The Modern Language Journal, 78 ,
155-168. 1994.
Anderson, J. R. ACT,. A Simple Theory of Complex Cognition. American Psychologist, 51
, 355-365. 1996.
Anderson, J. The Architacture of Cognition. Harvard University Press. Cambridge, MA.
1983.
Anthony, E. M. Approach, method and technique. English Language and Teaching, 17 ,
57-63. 1963.
Barret, J. (n.d.). Keys to being an effective workplace personal assistant. Retrieved May
30, 2015, from www.worksupport.com/ documents/chapter5.pdf:
http://www.worksupport.com
Brown, H. D. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy.
Longman/ Pearson Education. White Plains, New York. 2001.
Bygate, M. Speaking. In R. &. Carter, Teaching English to Speakers of Other Languages
(pp. 14-19). Cambridge University Press. Cambridge, UK. 2001.
Campbell, C., & Ortiz, J. Helping students overcome foreign language anxiety: a foreign
language anxiety workshop. In E. K. Horwitz, Language Anxiety: From Theory and
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 62
Research to Classroom Implications (pp. 153-168). Prentice Hall. Englewood
Cliffs, New York. 1991.
Cao, Y. Comparison of Two Models of Foreign Language Classroom Anxiety Scale.
Philippine ESL Journal, 7, 73-93. 2011.
Casado, M., & Dereshiwsky, M. Foreign language anxiety of university students. College
Student Journal, 35 , 539-551. 2001.
Cassady, J. C. Anxiety in Schools: The Causes, Consequences, and Solutions for Academic
Anxieties. Peter Lang. New York. 2010.
Chastain, K. Developing Second-Language Skills: Theory and Practice. Harcourt Brace
Jovanovich, Inc. 1988.
Chomsky, N. Syntactic Structures. The Hague: Mouton & Co. 1957.
Cohen, L, Manion, L., & Morrison K. Research Method in Education. Routledge Falmer.
London. 2000.
Dally, J. (1991). Language anxiety: From theory and research to classroom implication. In
E. K. Horwitz, Understanding Communication Apprehension: An introduction for
language educators (pp. 3-13). New York: Prentice Hall.
De Jong, M. & Schellens, P. J. (1998). Focus group or individual interview? A comparison
of text evaluation approaches. Technical Communication, 45 , 77-88.
Ellis, R. (2008). The Study of Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University
Press.
Ely, C. M. (1986). An analysis of discomfort, risktaking, sociability, and motivation in the
L2 Classroom. Language Learning Journal, 36 , 1-25.
Eysenck, M. W. (1979). Anxiety, learning, and memory: A reconceptualization. Journal of
Research in Personality, 13 , 363-385.
Gardner, R. C. and MacIntyre, P.D. (1993). A student's contributions to second
languagelearning. Part II: affective variables. Language Teaching, 26 , 1-11.
Gardner, R. C. (1985). Social Psychology and Second Language Learning. The Role of
Attitudes and Motivation. London: Edward Arnold.
Garnder, R. C., Clement, R., Smythe, P. C., and Smythe, C. L. (1979). The Attitude and
Motivation Text Battery - Revised Manual. Research Bulletin . Ontario, Canada:
Language Research Group,.
Gass, S. (2002). An Interactionist Perspective on Second Language Acquisition. In R.
Kaplan (Ed.), The Oxford Handbook of Applied Linguistics. Oxford: Oxford
University Press.
Gass, S. M., Mackey, A., & Pica, T. (1998). The role of input and interaction in second
language acquisition. The Modern Language Journal, 82(iii) , 299-307.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 63
Gill, P., Stewart, K., Treasure, E. & Chadwick, B. (2008). Methods of data collection in
qualitative research: interviews and focus group. British Dental Journal, 204 , 291-
295.
Gregersen, T., & Horwitz, E. K. (2002). Language learning and perfectionism: anxious and
non-anxious language learners; reactions to their own oral performance. The
Modern Language Journal, 86 , 562-570.
Hatfield, R. (2015, April 14). Livestrong . Retrieved May 26, 2015, from Livestrong Web
site: www.livestrong.com
Haynes, J. (2007). Getting Started With English Language Learners: How Educators Can
Meet The Challenge. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum
Development.
Hilgard, E. R., Atkinson, R. C. & Atkinson, R. L. (1971). Introduction to Psychology. New
York: Harcourt.
Horwitz, E. K. (1986). Preliminary evidence for the reliability and validity of a aoreign
language anxiety scale. TESOL Quarterly, 20 , 559-564.
Horwitz, E. (2001). Language anxiety and achievement. Annual Review of Applied
Linguistics, 21 , 112-126.
Horwitz, E.K., Horwitz, M.B., & Cope, J. (1986). Foreign language classroom anxiety. The
Modern Language Journal, 70 , 125-132.
Howatt, A. P. (1984). A History of English Language Teaching. Oxford: Oxford University
Press.
Huang, H. (2008). University EFL students' and their teachers' preferences for in-class
activities and their relationship to the students' foreign language anxiety. Taiwan:
Unpublished mater thesis, Providence University.
Jones, J. F. (2004). A cultural context for language anxiety. English Australia (EA)
Journal, 21 , 30-39.
Kaplowitz, M. D. (2000). Statistical analysis of sensitive topics in group and individual
interviews. Quality & Quantity, 34 , 419-431.
Keramida, A. (2009). Helping students overcome foreign language speaking anxiety in the
English classroom: Theoretical issues and practical recommendations .
International Education Studies, 4 , 39-44.
Knodel, J. (1997). A case for nonanthropological qualitative methods for demographers.
Population and Development Review, 23 , 847-853.
Krashen, S. & Terrel, T. D. (1983). The Natural Approach. London: Pergamon.
Krashen, S. (1985). The Input Hypothesis. London: Longman.
Lenneberg, E. (1967). Biological Fondations of Language. New York: Wiley & Son.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 64
Lightbown, P. M., & Spada, N. (2006). How Language Are Learnt. Third Edition. London:
Oxford University Press.
Lindfors, J. (1991). Children's Language and Learning. London: Allyn and Bacon.
MacIntyre & Gardner, R. C. (1991). Methods and Results in the Study of Anxiety and
Language Learning: A Review of the Literature. Language Learning, 41 , 85-117.
MacIntyre, P. D. & Garnder, R. C. (1991). Anxiety and second language learning: Towards
a theoretical clarification. In E. K. Horwitz, Language anxiety: From theory and
research to classroom implications (pp. 41-54). Englewood Cliffs, New Jersey:
Prentice Hall.
MacIntyre, P. D. (1995). How Does Anxiety Affect Foreign Language Learning: A Reply
to Sparks and Granschow. The Modern Language Journal, 79 , 90-99.
MacIntyre, P. D. (1999). Language Anxiety: A Review of Literature for Language
Teachers. In D. J. Young, Affect In Foreign Language and Second Language
Learning (pp. 24-43). New York: Mc Graw Hills Companies.
MacIntyre, P. D., & Gardner, R. C. (1991a). Investigating language class anxiety using the
focused essay technique. Modern Language Journal, 75 , 296-304.
MacIntyre, P. D., & Gardner, R. C. (1991b). Language anxiety: Its relationship to other
anxieties and to processing in native and second languages. Language Learning, 41
, 513-534.
MacIntyre, P.D., & Gardner, R.C. (1994). The subtle effects of language anxiety on
cognitive processing in the second language. Language Learning, 44 , 283-305.
Mackey, A. (2006). Second Language Acquisition. In R. W. Fasold, An Introduction to
Language and Linguistics (pp. 434-463). Cambridge: Cambridge University Press.
Malone, S. (2012). Summer Institute of Linguistics, Inc. Retrieved August 19, 2014, from
SIL: www.sil.org
Marckwardt, A. D. (1972). Changing winds and shifting sands. MST English Quarterly 21 ,
3-11.
McCroskey. (1978). Validity of the PRCA as an index of oral communication
apprehension. Communication Monograph, 45 , 192-203.
McCroskey, J. C. (1970). Measures of communication-bound anxiety. Communication
Monograph, 45 , 269-277.
McKeachie, Wilbert J., Donald Pollie & Joseph Spiesman. (1985). Relieving anxiety in
classroom examinations. Journal of Abnormal and Social Psychology, 50 , 93-98.
McKendry, E. (n.d.). Cramlap . Retrieved May 15, 2014, from Cramlap:
http://www.cramlap.org
Menezes, V. (2013). Second language acquisition: Reconciling theories. Open Journal of
Applied Sciences, 3 , 404-412.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 65
Mitchell, R. a. (2004). Second Language Learning Theories. London: Hodder Arnold.
Mukulel, J. (1998). Approaches to English language teaching. New Delhi: Discovery
Publishing House.
Na, Z. (2007). A study of high school students' English learning anxiety. Asian EFL
Journal , 9 , 22-34.
Nunan, D. (1991). Communicative tasks and the language curriculum. TESOL Quarterly
25 , 279-295.
Ohata, K. (2005). Language anxiety from the teacher's perspective: Interviews with seven
experienced ESL/EFL teachers. Journal of Language and Learning, 3 , 133-155.
Onwuegbuzie, A. J., Bailey, P., & Daley, C. E. (1999). Factors associated with foreign
language anxiety. Applied Psycholinguistics, 20 , 217-239.
Oppenheim, A. N. (1992). Questionnaire Design, Interviewing and Attitude Measurement.
New York: Pinter Publishers.
Oxford, R. L. (1999). Anxiety and The Language Learner. New insight. In A. Jane, Affect
in Language Learning (pp. 58-67). Cambridge: Cambridge University Press.
Pappamihiel, N. E. (2002). English as a second language students and English language
anxiety. Research in the Teaching of English, 36 , 327-355.
Phillips, E. M. (1992). The effects of language anxiety on students' oral test performance
and attitudes. The Modern Language Journal, 76 , 14-25.
Prator, C. H. & Celce-Muria, M. (1979). An outline of language teaching approaches. In
McIntosh, L. & Celce Muria, Teaching English as a Second or Foreign Language
(Ed). New York: Newbury House.
Price, M. L. (1991). The Subjective Experience of Foreign Language Anxiety: Interviews
with High Anxious Students. In E. K. Horwitz, Language Anxiety: From Theory
and Research to Classroom Implications (pp. 101-108). Upper Saddle River, New
York: Prentice Hall.
Riasati, M. J. (2011). Language learning anxiety from EFL learner's perspective. Middle
East Journal of Scientific Research, 7 , 907-914.
Sarason, I. G. (1984). Stress, anxiety, and cognitive interference: Reactions to test. Journal
of Personality and Social Psychology, 46 , 929-938.
Sarason, I. G. (1978). The Test Anxiety Scale: Concept and Research. In C. D. Spielberger,
Series in Clinical and Community Psychology. Ed. (pp. 193-216). Washington:
Hemisphere Publishing Corporation.
Scovel, T. (1978). The effect of affect on foreign language learning: A review of the
anxiety research. Language Learning, 28 , 129-142.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 66
Sila, A. (2010). Young adolescent students' foreign language anxiety in relation to
language skills at different levels. The Journal of International Social Research, 3 ,
83-90.
Spielberger, C. D., Gorsuch, R. L., Lushene, R., Vagg, P. R., & Jacobs, G. A. (1983).
Manual for the State-Trait Anxiety Inventory. Palo Alto, California: Consulting
Psychologist Press.
Spielberger, D. D. (1989). State-Trait Anxiety Inventory: Bibliography (2nd ed). Palo Alto,
California: Consulting Psychologists Press.
Spolsky, B. (1989). Conditions for Second Language Learning; Introduction to a general
theory. London: Oxford University Press.
Tanveer, M. (2007). Investigations of the factors that cause language anxiety for ESL/EFL
learners in learning speaking skills and the influence it cast on communication in
the target language. Glasgow, UK: University of Glasgow.
Trang, T. T. (2012). A review of Horwitz, Horwitz, and Cope's theory of foreign language
anxiety and the challenges to the theory. English Language Teaching, 5 , 69-75.
Watson, David & Friend, Ronald. (1969). Measurement of social-evaluative anxiety.
Journal of Consulting and Clinical Psychology, 43 , 448-457.
Weiss, R. S. (1994). Learning from Strangers: The Art and Method of Qualitative
Interview Studies. New York: The Free Press.
Wilson, J. T. (2006). Anxiety in Learning English as A Foreign Language: Its Associations
with Student Variables, with Overall Proficiency, and with Performance on An Oral
Test. Granada: University of Granada.
Wine, J. D. (1971). Test Anxiety and the Direction of Attention. Psychological Bulletin, 76
, 92-104.
Young, D. (1990). An investigation of students' perspectives on anxiety and speaking.
Foreign Language Annals, 23 , 539-553.
Young, D. (1991). Creating a low-anxiety classroom environment: What does language
anxiety research suggest? Modern Language Journal, 75 , 426-439.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 67
DAMPAK PENERAPAN SISTEM BAN BERJALAN TERHADAP PENINGKATAN
KINERJA DALAM SISTEM PERKANTORAN
Oleh: Muller Sagala, S.E.,M.M.
(Dosen ASEKMA Don Bosco, [email protected])
ABSTRACT
Many found in an employee in their daily life that more time to walk from one work unit to
another work unit. In addition, the location between work units can be far from each other.
Improved organizational performance can be done by utilizing the resources to the
maximum, efficient, and effective. It should be ensured that no steps are taken with fruitless
results. Implementation of conveyor belt system is one of the solution for the implementation
of task can be done maximally, efficiently and effectively. Each step of implementing tasks
in the conveyor system will be greatly reckoned in improving the performance of each
employee. In this study, it is evident that the location of a well-structured work unit according
to the conveyor system can improve performance.
Key words: conveyor belt, performance, effective
PENDAHULUAN
Setiap usaha hampir dapat dipastikan selalu mengharapkan adanya peningkatan
produktivitas setiap periode. Bagi perusahaan manufaktur, manajemen mengharapkan
peningkatan produksi. Bagi perusahaan di bidang jasa marketing selalu mengharapkan
peningkatan penjualan. Bagi perusahaan yang bergerak di bidang jasa pelayanan tentunya
mengharapkan peningkatan mutu layanan yang semakin baik. Pemerintah Republik
Indonesia contohnya, pelayanan keluar masuk barang di pelabuhan, pelayanan di pintu toll,
dan di tempat jasa lainnya telah diupayakan agar waktu pelayanan yang semakin cepat, dari
15 menit menjadi 5 menit, dan seterusnya.
Walaupun dorongan perbaikan pelayanan telah dikumandangkan, dalam kenyataannya
masih ada jasa pelayanan di beberapa instansi dan perusahaan belum terlihat upaya
perbaikan. Berbagai alasan yang dapat disampaikan oleh mereka, antara lain belum adanya
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 68
standar pelayanan, masih fokus dalam upaya mencari nasabah, siswa, mahasiswa atau
lainnya, dan masih ada yang beranggapan bahwa hal tersebut akan memerlukan biaya yang
cukup tinggi.
Lalu pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dapat meningkatkan jumlah nasabah,
siswa, mahasiswa, produktivitas, dan lainnya apabila mutu pelayanan yang diberikan masih
belum dapat memuaskan nasabah? Tampaknya hal ini seperti lingkaran masalah yang tidak
berujung apabila masih terus diperdebatkan.
Berdasarkan uraian di atas, Penulis merasa tertarik untuk membuat kajian, apakah benar
peningkatan mutu layanan melalui penerapan sistem ban berjalan dapat meningkatkan
kinerja manajemen sistem perkantoran yang berdampak kepada adanya peningkatan kinerja.
Dalam kajian ini, Penulis membatasi pembahasan peningkatan mutu layanan dengan
menggunakan sistem ban berjalan, dan difokuskan kepada kinerja seorang sekretaris.
Manfaat yang diperoleh dari karya tulis ini adalah setiap pihak yang terlibat dalam
pelayanan akan memahami bahwa dalam melaksanakan pekerjaan selalu membutuhkan
sistem kerja yang efisien dan efektif sehingga berdampak kepada mutu layanan yang lebih
baik. Dan metode kajian yang digunakan dalam karya tulis ini adalah studi pustaka, pendapat
beberapa praktisi, serta pengamatan dalam penerapannya.
LANDASAN TEORI
Pengertian Sistem Ban Berjalan
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia ada dua pengertian tentang sistem ban
berjalan, yaitu : (a) lingkar ban terbuat dari kanvas (karet, baja, dan sebagainya) yang
dijalankan oleh mesin, dipakai di pabrik untuk mengangkut barang yang diproses oleh pabrik
itu, dari bagian yang satu ke bagian yang lain dalam suatu sistem produksi; dan (b) sistem
kerja yang menghubungkan bagian yang satu ke bagian yang lain, dari awal sampai akhir
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 69
dan kembali ke bagian awal. Penulis menggunakan pengertian yang kedua dalam hal sistem
ban berjalan dalam kajian ini. (https://www.kamusbesar.com/ban-berjalan
Pengertian sistem ban berjalan menurut sumber lainnya bahwa ban berjalan adalah ban
atau sabuk yang terhubung ke dua atau lebih katrol yang berputar yang digunakan untuk
mengangkut material. Satu atau lebih katrol terhubung ke generator sehingga akan
menggerakkan rangkaian ban atau sabuk tersebut. Katrol adalah suatu roda dengan bagian
berongga di sepanjang sisinya untuk tempat tali atau kabel. Katrol biasanya digunakan dalam
suatu rangkaian yang dirancang untuk mengurangi jumlah gaya yang dibutuhkan untuk
mengangkat suatu beban. Dalam beberapa perusahaan contoh yang dapat menggambarkan
pengertian ban berjalan tersebut antara lain : conveyer di beberapa gudang perusahaan,
pengantaran bagasi penumpang dari pesawat (baggage claim) di bandar udara.
Cara Kerja Sistem Ban Berjalan
Sistem ban berjalan dapat digunakan dalam metode produksi dan keselamatan kerja
bersama-sama dengan sistem lainnya. Telah banyak perusahaan yang menggunakannya
karena dipandang cukup efektif dan efisien dalam membantu peningkatan kinerja.
Misalnya dalam metode produksi. Kelancaran produksi dapat ditentukan oleh cara kerja
yang memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja. Sebagai contoh dalam produksi
kerajinan bahan limbah. Dalam contoh ini, ada 2 metode yang dapat dilakukan yaitu metode
tradisional dan metode modern (sistem ban berjalan).
Dalam hal ini, metode tradisional kurang tepat digunakan jika ingin memproduksi dalam
jumlah banyak karena produk yang dihasilkan sulit untuk mencapai standar bentuk yang
sama. Metode yang cocok adalah dengan menggunakan sistem ban berjalan.
Ada beberapa pertimbangan mengapa memilih sistem ban berjalan. Seperti diketahui,
dalam contoh kasus proses pembuatan bahan di atas dan pembentukan material solid sering
menghasilkan sisa potongan atau debu yang dapat melukai bagian tubuh pekerjanya
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 70
sehingga dibutuhkan alat keselamatan kerja berupa kacamata pelindung dan masker. Dalam
proses pembuatan bahan dan finishing, apabila menggunakan bahan kimia yang berbahaya
bagi kulit dan pernafasan, pekerja harus menggunakan sarung tangan dan masker. Selain alat
keselamatan kerja, diperlukan sikap kerja yang rapi, hati-hati, teliti, dan penuh konsentrasi.
Dengan penerapan sistem ban berjalan, semua persyaratan yang disebutkan tadi tidak
diperlukan karena tidak dilakukan oleh sumber daya manusia. Itulah alasannya mengapa
sistem ban berjalan lebih cocok digunakan.
Sistem Perkantoran
J.C. Denyer menjelaskan, sistem perkantoran adalah urutan baku operasi-operasi dalam
suatu kegiatan perusahaan khusus (contohnya pembayaran upah, pembuatan faktur
penjualan, dan sebagainya) yang berkenaan dengan bagaimana operasi-operasi itu
dilaksanakan (metode) maupun dimana dan bilamana dilaksanakan.
Menurut J.C Denyer sistem perkantoran perlu direncanakan secara baik karena berbagai
manfaat, yaitu :
1. Kelancaran pekerjaan perkantoran, dan mencegah kemungkinan kesalahan dalam
pekerjaan.
2. Pengurangan keterlambatan, hambatan.
3. Kontrol yang lebih baik terhadap pekerjaan.
4. Penghematan tenaga kerja dan biaya tata usaha.
5. Koordinasi berbagai seksi dan bagian dalam organisasi.
6. Kemudahan dalam melatih para pegawai tatausaha.
Sistem perkantoran yang baik mempunyai suatu arus kerja yang lancar tanpa terjadi
hambatan-hambatan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menghindari hambatan
tersebut adalah :
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 71
1. Sistem perkantoran yang baik menghindari terjadinya kekembaran kerja dan
warkat.
2. Sistem mengontrol sehingga perjalanan mondar mandir para petugas terjadi
secara minimum.
3. Sistem menghindari pula tulis-menulis yang tidak perlu.
4. Sistem perkantoran memanfaatkan sebaik-baiknya kelebihan spesialisasi dalam
pelaksanaan kerja.
5. Sistem perkantoran yang baik menjaga sehingga jumlah pekerjaan dengan
perbekalan kertas adalah minimum.
6. Untuk terciptanya prosedur rutin yang tetap, pengecualian terhadap aturan perlu
diusahakan sesedikit mungkin.
7. Untuk mencegah berlangsungnya banyak pencatatan dan pengecekan yang tak
perlu, sistem perkantoran perlu menerapkan prinsip manajemen berdasarkan
pengecualian.
8. Sistem perkantoran yang baik menghindarkan pengecekan yang tidak perlu.
9. Sistem perkantoran yang baik memanfaatkan sebaik-baiknya mesin-mesin, tetapi
tidak mempergunakannya secara berlebihan.
10. Terakhir setiap sistem perkantoran harus berdasarkan asas kesederhanaan.
Dengan demikian, secara garis besar empat faktor berikut ini merupakan keharusan yang
perlu selalu dipertimbangkan dalam sistem perkantoran, yaitu :
1. Lalu lintas keterangan yang simpang siur.
2. Kekembaran keterangan yang banyak.
3. Pembiayaan keterangan yang boros.
4. Kehilangan keterangan yang merugikan organisasi.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 72
PEMBAHASAN
Praktik Perkantoran Secara Umum
Secara umum dalam praktik perkantoran masih ditemukan beberapa hambatan antara
lain :
1. Penyelesaian pekerjaan perkantoran masih lambat.
2. Belum tersedianya sistem / cara mencegah kemungkinan kesalahan dalam pekerjaan.
3. Kurangnya kontrol yang lebih baik terhadap pekerjaan.
4. Belum terjadinya penghematan tenaga kerja dan biaya tata usaha.
5. Kurangnya koordinasi berbagai seksi dan bagian dalam organisasi.
6. Masih adanya perjalanan mondar mandir para petugas yang relatif tinggi.
7. Masih adanya tulis-menulis yang tidak perlu.
8. Belum tercapainya sistem perkantoran berdasarkan asas kesederhanaan.
Kondisi di atas dalam jangka pendek terutama dalam jangka panjang akan mengganggu
peningkatan kinerja. Selain hal tersebut, juga akan berdampak kepada faktor kesehatan dan
keselamatan.
Penerapan Sistem Ban Berjalan
Data untuk penerapan sistem ban berjalan yang akan dibahas dalam kajian ini diambil
dari suatu kondisi salah satu perusahaan yang ada saat ini. Kasus yang akan ditampilkan
adalah penanganan surat masuk.
Kasus tersebut adalah, perusahaan menerima surat undangan dari suatu organisasi
pemerintah tentang sosialisasi penerapan e-learning. Dalam surat undangan tersebut
ditegaskan agar pimpinan menugaskan satu orang yang mewakili perusahaan. Dalam kajian
ini, penerimaan surat masuk masih menggunakan metode konvensional yaitu menggunakan
fisik kertas.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 73
Dalam praktiknya, surat masuk tersebut ditangani menurut alur proses yang secara garis
besar sebagai berikut :
1. Petugas Tata Usaha menerima surat masuk
2. Petugas Tata Usaha mencatat surat masuk dan memberikan nomor agenda sudah masuk
3. Petugas Tata Usaha memberikan kartu kendali
4. Petugas Tata Usaha mengirimkan surat masuk ke Direktur
5. Direktur menerima surat masuk dan memberikan disposisi kepada Manajer 2
6. Petugas Tata Usaha mengambil surat yang telah didisposisi oleh Direktur dari Manajer
2
7. Manajer 2 menerima surat masuk dan memberikan disposisi agar salah satu staf mewakili
untuk menghadiri acara sosialisiasi
8. Petugas Tata Usaha mengambil surat yang telah didisposisi oleh Manajer 2 dan
diserahkan ke salah satu staf yang telah ditunjuk.
9. Staf melaksanakan tugas untuk menghadiri kegiatan sosialisasi.
Sebagai tambahan data analisis, berikut ini digambarkan layout ruang kerja yang ada
saat ini pada suatu perusahaan yang akan digunakan dalam pembahasan kajian dampak
penerapan sistem ban berjalan dalam suatu sistem perkantoran.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 74
Gambar : Layout Ruang Unit Kerja Perusahaan (existing)
Layout Ruang Unit Kerja di atas menjelaskan secara urut alur kerja apabila
menggunakan sistem ban berjalan yaitu dimulai dari nomor 1 (Pintu Masuk), lanjut ke nomor
2 (Ruang Kerja Manajer 2) dan terakhir ke nomor 7 (Ruang Kerja Direktur). Jalan dari pintu
masuk menuju ruang kerja Direktur harus dilakukan menurut alur tersebut.
Analisis Dampak Penerapan Sistem Ban Berjalan
Dalam perusahaan ini dibutuhkan unit-unit yang saling terkait untuk menjalankan
proses bisnis yang ada. Keterlibatan unit-unit kerja akan sangat tergantung kepada sifat
proses bisnis perusahaan. Semakin panjang suatu proses bisnis tersebut semakin banyak
melibatkan unit-unit kerja yang terkait.
Sifat proses bisnis dalam suatu organisasi ada yang alurnya sudah standar akan tetapi
juga ada yang belum standar. Dalam hal ini diperlukan letak lokasi unit-unit kerja yang tidak
berjauhan. Prosedur operasi standar yang akan dibentuk akan sangat membantu lancarnya
pelaksanaan proses bisnis.
Ruang Kerja
Direktur
Ruang
Rapat
Ruang Kerja
Staf
Ruang Kerja
Manajer 2
Ruang Kerja
Manajer 1
Ruang Kerja
Tata Usaha
Taman
Pintu
Masuk 1
2 3 4
5 6 7
7
7
1
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 75
Dalam kasus proses surat masuk tersebut di atas, dapatlah dilakukan pembahasan yang
diterapkan menurut fakta layout ruang kerja masing-masing unit yang saling terkait.
Langkah penanganan surat masuk tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1. Pengantar surat dari Pintu Masuk (1) memberikan surat ke Petugas Tata Usaha (4).
Petugas Tata Usaha menerima surat masuk dari pengantar surat masuk.
2. Petugas Tata Usaha (4) mencatat surat masuk dan memberikan nomor agenda sudah
masuk.
3. Petugas Tata Usaha (4) memberikan kartu kendali.
4. Petugas Tata Usaha (4) mengirimkan surat masuk ke Direktur (7).
5. Direktur (7) menerima surat masuk dan memberikan disposisi kepada Manajer 2 (2).
6. Petugas Tata Usaha (4) mengambil surat yang telah didisposisi oleh Direktur (7) dan
diserahkan ke Manajer 2 (2).
7. Manajer 2 (2) menerima surat masuk dari Petugas Tata Usaha dan memberikan disposisi
agar salah satu staf mewakili untuk menghadiri acara sosialisasi.
8. Petugas Tata Usaha (4) mengambil surat yang telah didisposisi oleh Manajer 2 (2) dan
diserahkan ke salah satu staf (6) yang telah ditunjuk.
9. Staf yang ditunjuk (6) melaksanakan tugas untuk menghadiri kegiatan sosialisasi.
Dari simulasi di atas dapat digambarkan secara ringkas alur proses pada unit-unit kerja
terkait yang harus dilalui yaitu : 1 – 4 – 4 – 4 – 4 – 7 – 7 – 2 – 4 – 7 – 2 - 2 – 4 – 2 – 6 – 6.
Apabila angka-angka yang dibutuhkan dalam proses surat masuk berdasarkan layout unit
kerja ini dijumlahkan akan menjadi 66. Layout ruang kerja ini akan diusulkan untuk
disesuaikan setelah mempertimbangkan faktor efektivitas, efisiensi, keamanan, dan
keselamatan. Dalam hal ini penyesuaian tidak mengubah fisik ruang kerja tetapi hanya
mengubah lokasi unit kerja pada ruang kerja yang sudah ada. Layout ruang kerja yang baru
akan tampak seperti berikut.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 76
Gambar : Layout Ruang Unit Kerja Perusahaan (proposed)
Layout Ruang Unit Kerja Perusahaan (baru, proposed) di atas merupakan salah
alternatif perubahan layout unit kerja. Gambar tersebut menjelaskan secara urut menurut
sistem ban berjalan yaitu dimulai dari nomor 1 (Pintu Masuk), lanjut ke nomor 2 (Ruang
Kerja Tata Usaha), dan terakhir ke nomor 7 (Ruang Kerja Manajer 1). Perubahan telah
mempertimbangkan jarak antar unit kerja yang sering saling berhubungan.
Dalam kasus tersebut di atas, dapatlah dilakukan pembahasan yang diterapkan menurut
fakta layout ruang kerja yang baru (proposed) untuk masing-masing unit yang saling terkait.
1. Pengantar surat Pintu Masuk (1) memberikan surat ke Petugas Tata Usaha (2). Petugas
Tata Usaha (2) menerima surat masuk dari pengantar surat masuk.
2. Petugas Tata Usaha mencatat surat masuk dan memberikan nomor agenda sudah masuk.
3. Petugas Tata Usaha (2) memberikan kartu kendali.
4. Petugas Tata Usaha (2) mengirimkan surat masuk ke Direktur (3).
5. Direktur (3) menerima surat masuk dan memberikan disposisi kepada Manajer 2 (4).
Ruang Kerja
Manajer 1
Ruang
Rapat
Ruang Kerja
Staf
Ruang Kerja
Tata Usaha
Ruang Kerja
Direktur
Ruang Kerja
Manajer 2
Taman
Pintu
Masuk
1
2 3 4
5 6 7
1
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 77
6. Petugas Tata Usaha (2) mengambil surat yang telah didisposisi oleh Direktur (3) dan
diserahkan ke Manajer 2 (4).
7. Manajer 2 (4) menerima surat masuk dari Petugas Tata Usaha dan memberikan disposisi
agar salah satu staf mewakili untuk menghadiri acara sosialisiasi.
8. Petugas Tata Usaha (2) mengambil surat yang telah didisposisi oleh Manajer 2 (4) dan
diserahkan ke salah satu staf (6) yang telah ditunjuk.
9. Staf (6) melaksanakan tugas untuk menghadiri kegiatan sosialisasi.
Dari simulasi di atas dapat digambarkan secara ringkas alur proses pada unit-unit kerja
terkait yang harus dilalui yaitu : 1 – 2 – 2 – 2 – 2 – 3 – 3 – 4 – 2 – 3 – 4 - 4 – 2 – 4 – 6 – 6.
Apabila angka-angka yang dibutuhkan dalam proses surat masuk berdasarkan layout unit
kerja yang baru dijumlahkan akan menjadi 50, lebih kecil dari jumlah dengan layout ruang
kerja yang lama. Dengan demikian dapatlah dilakukan perbandingan alur menurut sistem
ban berjalan dengan layout ruang kerja yang lama dan yang baru sbb :
Status Alur kerja Jumlah
Lama 1 – 4 – 4 – 4 – 4 – 7 – 7 – 2 – 4 – 7 – 2 - 2 – 4 – 2 – 6 – 6 66
Baru 1 – 2 – 2 – 2 – 2 – 3 – 3 – 4 – 2 – 3 – 4 - 4 – 2 – 4 – 6 – 6 50
Apabila dilakukan perbandingan secara lebih rinci akan terlihat berikut ini.
Selisih angka antar unit kerja menurut layout ruang kerja yang lama (exist):
Lama 1 – 4 – 4 – 4 – 4 – 7 – 7 – 2 – 4 – 7 – 2 - 2 – 4 – 2 – 6 – 6
Selisih 3 – 0 – 0 – 0 –3 – 0 – 5 – 2 – 3 – 5 – 0 – 2 – 2 – 4 – 0 Total: 29
Min 0
Max 5
Selisih angka antar unit kerja menurut layout ruang kerja yang baru (proposed):
Baru 1 – 2 – 2 – 2 – 2 – 3 – 3 – 4 – 2 – 3 – 4 - 4 – 2 – 4 – 6 – 6
Selisih 1 – 0 – 0 – 0 – 1 – 0 – 1 – 2 – 1 – 1 – 0 – 2 – 2 - 2 - 0 Total: 13
Min 0
Max 2
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 78
Dari perbandingan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sistem ban berjalan akan
berhasil diterapkan secara efektif dan efisien menurut layout ruang kerja setelah disesuaikan
(proposed). Beberapa hal yang menjelaskannya adalah :
1. Total langkah yang dilakukan dalam proses surat masuk menurut layout ruang kerja
yang lama sebesar 66, sedangkan layout ruang kerja yang baru sebesar 50. Dari total
selisih menurut layout ruang kerja yang baru jauh lebih kecil (yaitu 13) dibandingkan
dengan layout ruang kerja yang lama (yaitu 29). Hal ini dapat berarti bahwa jumlah
langkah yang tidak dibutuhkan untuk menyelesaikan proses surat masuk ada 13
langkah menurut layout ruang kerja yang baru, sedangkan menurut layout ruang kerja
yang lama sebanyak 29 langkah.
2. Angka maksimum selisih menurut layout ruang kerja yang baru jauh lebih kecil
(yaitu 2) dibandingkan dengan layout ruang kerja yang lama (yaitu 5). Hal ini dapat
berarti bahwa jumlah langkah yang dibutuhkan untuk menuju ruang kerja yang satu
ke ruang kerja berikutnya maksimum hanya 2 langkah menurut layout ruang kerja
yang baru, sedangkan menurut layout ruang kerja yang lama membutuhkan 5
langkah.
Dari hasil penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa penerapan sistem ban berjalan
menurut layout ruang kerja yang telah disesuaikan menunjukan hasil yang lebih baik.
Dengan jumlah langkah yang semakin kecil dapat berdampak pada : (1) Pelaksanaan
pekerjaan jauh lebih cepat (efektif); (2) Pelaksanaan pekerjaan memerlukan biaya yang lebih
murah (efisien); dan (3) Pelaksanaan pekerjaan lebih nyaman dan aman. Kesemuanya ini,
penerapan sistem ban berjalan dapat mengakibatkan peningkatan kinerja manajemen sistem
perkantoran.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 79
PENUTUP
Sistem ban berjalan ternyata cocok diterapkan untuk tugas-tugas yang mempunyai alur
kerja yang pasti dan konsisten, dalam hal ini adalah proses surat masuk. Penerapan sistem
ban berjalan dapat menghemat biaya, mempersingkat waktu proses, menjaga keselamatan
kerja, meningkatkan kesehatan kerja termasuk menjaga stamina tetap stabil - tidak mudah
lelah. Dengan demikian hal ini akan mempunyai dampak terhadap peningkatan kinerja para
pelaksana tugas termasuk sekretaris dalam melaksanakan proses administrasi perkantoran
yang ada.
Karya tulis ini dapat dimanfaatkan oleh para pengelola administrasi atau manajemen
organisasi, instansi, atau perusahaan. Namun untuk hal-hal yang terkait yang belum dibahas
dalam kajian ini dapat menjadi bahan referensi untuk melakukan kajian lebih lanjut oleh para
peneliti.
DAFTAR PUSTAKA
Akademi Sekretari dan Manajemen (ASEKMA) Don Bosco. Handbook of Modern
Secretary: Panduan Sukses Secretaris dalam Dunia Kerja Modern. Penerbit
PPM. Jakarta. 2010.
https://www.kamusbesar.com/ban-berjalan, diakses tanggal 25 Juni 2018
https://id.wikipedia.org/wiki/Ban_berjalan, diakses tanggal 25 Juni 2018
http://elmiaulianisa.blogspot.com/2017/01/wirausahaproduk-kerajinan-fungsional.html,
diakses tanggal 25 Juni 2018
https://dodiandresia.wordpress.com/2016/10/28/sistem-perkantoran/, diakses tanggal 25
Juni 2018
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 80
PENGARUH KOMPETENSI LULUSAN PENDIDIKAN SEKRETARI TERHADAP
KEBERHASILAN DI DUNIA KERJA
Oleh: V.Y. Sri Sudarwinarti, S.Pd., M.Si.
(Dosen ASEKMA Don Bosco, [email protected])
ABSTRACT
The use of technology in everyday life can not be dammed again in the life of the organization
especially in the world of work. Technology really takes control in all aspects of life, in all
situations. But the education that must be owned by human resources is not only technology
but also moral issues, character. Education today is expected to give birth to quality
graduates in technology, knowledge, excellent character superior. Basically, education
makes things better. Cooperation experience also makes things easier to achieve. Education
teaches how to live life in many ways including problem solving. Education makes the
graduates have a different kind of quality different, but all of it is worth the advantages of
each can be meaningful to each other. Graduates' quality is strongly influenced by the
quality of their graduates in facing their work and problems. The quality of soft skill is a
testament to the quality of graduates.
Key words: influence, competence, success of work
DASAR PEMIKIRAN
Penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dibendung lagi, apalagi
dalam kehidupan organisasi dan terlebih di dunia kerja. Teknologi sungguh memegang
kendali untuk semua aktivitas. Dalam segala aspek kehidupan, dalam segala situasi, dalam
real time dimana saja, peran teknologi sangat mendominasi. Kondisi seperti hal tersebut
menjadi salah satu pertimbangan penting bagi orang tua maupun anak-anak muda yang akan
meneruskan studinya ke perguruan tinggi. Studi dengan mendapatkan pengetahuan dan
praktik atas penggunaan teknologi menjadi daya tarik bagi masyarakat. Generasi muda
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 81
sebagai sumber daya manusia sangat membutuhkan pengetahuan teknologi dan
implementasinya sebagai modal diri dalam memasuki dunia kerja.
Seiring kemajuan teknologi yang sudah menjadi konsumsi aktivitas dalam setiap
harinya sumberdaya manusia juga sangat membutuhkan kesiapan diri baik secara mental,
sikap, penalaran, kecerdasan diri dalam pengelolaan diri, kecerdasan emosional, kepintaran
dalam menghadapi peradaban jaman yang berubah begitu cepat karena kemajuan teknologi
yang sangat cepat. Rasanya sumber daya manusia era teknologi ini tidak hanya
membutuhkan skill teknologi saja tetapi juga emotional skill yang baik untuk mengimbangi
dan memaksimalkan penggunaan teknologi secara maksimal dan berkualitas. Pendidikan
yang harus dimiliki oleh sumber daya manusia bukan saja hanya teknologi akan tetapi juga
masalah moral, budi pekerti atau attitude. Hal ini sangat penting agar risiko-risiko akibat
teknologi bisa diminimalisir dan teknologi sungguh-sungguh bermanfaat secara positif
dalam kehidupan pribadi, sosial, maupun dalam dunia kerja. Pendidikan jaman sekarang
sungguh diharapkan mampu melahirkan lulusan yang berkualitas secara teknologi,
pengetahuan, berkarakter baik unggul cerdas hati dan cerdas intelektualnya, sigap, punya
hati, pribadi yang tangguh tidak mudah menyerah, kreatif, dan problem solving.
Karya ilmiah ini akan membahas tentang faktor-faktor apa saja yang mendasari
kompetensi lulusan pendidikan sekretaris, dan indikator keberhasilan apa saja yang
diperlukan dalam dunia kerja. Manfaat karya tulis ini adalah masyarakat pada umumnya dan
para mahasiswa di bidang kesekretarisan pada khususnya akan mendapatkan gambaran
komprehensif bagaimana mencapai kompetensi lulusan yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Metodologi penyusunan karya tulis ini adalah studi pustaka dan pengamatan dalam praktik-
praktik umum dalam pengelolaan tugas-tugas perkantoran.
LANDASAN TEORI
1. Kompetensi Lulusan
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 82
Kompetensi adalah kemampuan bersikap, berfikir dan bertindak secara konsisten
sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki peserta
didik. Standar kompetensi adalah ukuran kompetensi minimal yang harus dicapai
peserta didik setelah mengikuti suatu proses pendidikan tertentu. Dengan demikian
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dapat dikatakan sebagai kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dimiliki peserta didik
sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati, sebagaimana yang ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006. Standar
kompetensi kelulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan
peserta didik dari satuan pendidikan.
Oleh karena itu sistem pengajaran di perguruan tinggi harus secara rutin dilakukan
evaluasi dengan mengacu perkembangan pengetahuan, teknologi dan seni serta
perkembangan global dalam masyarakat dunia. Dengan adanya sistem Kurikulum
Berbasis Kompetensi ini merupakan jawaban agar para lulusan perguruan tinggi dalam
negeri mampu bersaing dengan para lulusan perguruan tinggi dari luar negeri. Untuk itu
guna mengukur keberhasilan sistem kurikulum berbasis kompetensi perlu adanya standar
kompetensi lulusan. Standar kompetensi lulusan ini bukan merupakan patokan harga
mati tetapi juga bukan standar ukuran yang longgar yang membuat mutu kompetensinya
tidak tercapai. Tujuan utama dari standar kompetensi lulusan adalah untuk
mempersiapkan para lulusan siap bekerja dan dapat langsung bekerja yang sesuai dengan
bidangnya, mampu mengimplementasikan ilmunya serta mampu mengembangkan diri
untuk menjawab tantangan yang baru dan mempunyai pola pikir untuk belajar selama
hidupnya. Dengan kondisi global seperti sekarang ini para lulusan perguruan tinggi
mendapatkan persaingan yang sangat ketat di dunia usaha. Kualitas kompetensi atas ilmu
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 83
yang mereka pelajari selama di perguruan tinggi akan menjadi bukti nyata kemampuan
mereka dalam menghadapi persaingan ketat di dunia usaha.
Persyaratan kerja di era global ini tidak saja membutuhkan kualitas lulusan di
bidang hard skill (kemampuan teknis dan akademis) akan tetapi yang sangat dibutuhkan
juga adalah penguasaan soft skills. Dalam rangka memenuhi kebutuhan kebutuhan di
dunia industri ataupun dunia kerja tentu akan berakibat pada pola pikir ataupun
paradigma berfikir dalam proses pendidikan di perguruan tinggi. Perubahan pola pikir
yang dapat memenuhi proses kegiatan pendidikan yang dapat menghasilkan mutu
lulusan seperti yang dibutuhkan di dunia kerja. Para generasi muda yang mengenyam
studi di perguruan tinggi itu diharapkan mampu menjiwai skills yang terkait dengan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Untuk memenuhi standar seperti tersebut di atas diperlukan persyaratan yang harus
dipenuhi yaitu sistem pendidikan, kurikulum, dosen, dan fasilitas yang terintegrasi
mengarah terpenuhinya keberhasikan kurikulum berbasis kompetensi tersebut. Atas
dasar itu salah satu acuan yang harus ada adalah standar kompetensi lulusan perguruan
tinggi (SKL PT). Hal itu dimaksudkan agar pola evaluasi dan pengawasan atau
monitoring keberhasilan kurikulum berbasis kompetensi dapat dilakukan dengan baik
dan konsisten.
2. Pendidikan Sekretari
Dalam era peradaban manusia saat ini kehidupan disegala lini sudah sangat erat
ketergantungannya dengan teknologi. Sungguh sangat luar biasa peran teknologi dalam
kehidupan manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai makluk sosial, baik dalam
urusan pribadi, kelompok, pekerjaan dan lain sebagainya. Kehadiran teknologi bisa
membuat segala sesuatu menjadi mudah dan nyata. Dalam banyak proses kegiatan
sehari-hari di mana saja tentang apa saja teknologi mendominasi sebagai sarana
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 84
penyelesaiannya/ solving-nya. Lantas bagaimana dengan masalah pendidikan, secara
khusus pendidikan sekretaris? Apakah pendidikan juga akan digeser oleh teknologi?
Jawabnya adalah bukan digeser akan tetapi pendidikan sekretari akan didominasi oleh
pengetahuan dan implementasi dari teknologi. Kecanggihan teknologi dibeberapa ranah
pekerjaan sangat dan telah didominasi oleh teknologi. Akan tetapi meskipun demikian
peran sekretaris maupun sumber daya manusia di lingkungan dunia kerja tetap sangat
dibutuhkan, sebab banyak juga pekerjaan yang tidak bisa digantikan oleh teknologi.
Kedudukan sekretaris dengan hard skill dan soft skill-nya sangat dibutuhkan di
dunia kerja. Atas dasar itu maka sampai saat ini pendidikan sekretaris tetap dibutuhkan
di dunia kerja. Pendidikan sekretari benar-benar menyiapkan generasi muda untuk siap
memasuki dunia kerja sebab secara hard skiil dengan kemajuan teknologinya disiapkan
akan penggunaannya untuk menyelesaikan pekerjaan secara efektif dan efisien di
lingkungan kantor maupun jejaringnya. Selain itu pendidikan tentang pengembangan diri
yang berpengaruh langsung pada perkembangan kualitas kepribadian seseorang yang
menghasilkan pribadi yang berkarakter unggul yaitu baik, tangguh, peduli, beretika,
wawasan moral baik dan pantas, percaya diri, bermutu dalam sikap dan komunikasi,
problem solving karena kecerdasan logika dan hati yang dimiliki, peduli akan segala
situasi, sigap dalam menangani segala sesuatu dengan hasil yang baik dan positif.
Pendidikan sekretaris sesungguhnya pendidikan yang menyiapkan seseorang
menjadi sekretaris tetapi juga seseorang untuk menjadi manager. Disini seseorang juga
dituntut kemampuannya dalam manajemen yaitu dalam menjalankan fungsi-fungsi
manajemen. Dalam hal tersebut secara otomatis belajar untuk menjadi pemimpin
maupun pimpinan. Lebih luas lagi pendididikan sekretari yang terkait dengan ilmu
manajemen juga mempelajari tentang technical skill dan managerial skill. Dalam
technical skill di sini terkait dengan tugas-tugas operasional. Sedangkan managerial skill
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 85
terkait dengan kemampuan pokok dalam hal conceptual skill yaitu kemampuan
memimpin yang terkait dengan menyusun dan merumuskan suatu strategi yang
dituangkan dalam berbagai rumusan konsep yang harus dijalankan selanjutnya.
Kemampuan lainnya adalah human skill yaitu kemampuan seseorang dalam mendorong
dan mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikendakinya, sehingga orang lain melakukannya tanpa terpaksa.
3. Keberhasilan di Dunia Kerja
Keberhasilan di dunia kerja sangat ditentukan oleh soft skill yang dimiliki oleh para
pekerja / karyawan. Menurut Dr Syahrial Mukhtar, Vice President Stakeholder Relation
PT.Pertamina (Persero) hadirnya digital ekonomi di dunia kerja memberi pengaruh besar
bagi pertumbuhan ekonomi. Digital ekonomi memang lagi tren sebagai driver untuk
pertumbuhan ekonomi. Dengan digital ekonomi semua tersambung secara inter-
konektif. Informasi teknologi membuat semua terhubung, bahkan bisnis dalam dunia
kerja mayoritas sudah menggunakan itu, seperti e–commerce. Semua bisa diakses
dengan cepat. Dengan adanya sharing ekonomi menjadikan banyak terjadi pergeseran
pandangan. Dalam dunia kerja yang sangat dipentingkan adalah soft skill. Soft skill
adalah modal utama untuk suksesnya seseorang di dunia kerja, karena tidak lebih dari
20% saja ilmu yang didapat di kampus yang nantinya dapat dipakai di dunia kerja.
Menurutnya soft skill-lah yang menentukan seseorang menjadi leader dan mampu
memimpin. Bahkan dengan soft skill yang dimiliki akan mengantarkan seseorang
menjadi transformer sebagai pelaku perubahan. Beberapa soft skill yang di dalam
perusahaan kemudian diwujudkan adalah values perusahaan.
Values ini adalah nilai–nilai soft skill yang menentukan keberhasilan perusahaan
dalam menghadapi tantangan di dunia bisnis. Ada tiga values yang harus kita cermati
agar kita berhasil integritas, kreativitas, dan diversity. Demikian juga hal yang
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 86
disampaikan oleh direktur Bank Jawa Tengah yaitu Dr. Supriyatno,MBA tentang soft
skill menjadi faktor kunci keberhasilan seseorang dalam berbisnis atau dunia kerja.
PEMBAHASAN
“Pintar tetapi tertutup” tidak akan bernilai dalam kehidupan secara luas. Kepintaran
seseorang dalam bidang akademik bukan penentu tunggal dalam kesuksesan hidup. Bahkan
bukan itu pula tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah untuk memperbaiki cara berfikir
seseorang, sekaligus membebaskan manusia dari berbagai belenggu mitos yang
mengikatnya. Memaknai pembelajaran di perguruan tinggi itu sendiri untuk membebaskan
diri dari ketertutupan. Seperti halnya yang disampaikan oleh Albert Einstein yaitu “ukuran
kecerdasan orang terletak pada kemampuannya untuk berubah”. Dan itulah makna
kecerdasan yang terkait erat dengan keterbukaan dalam berfikir.
1. Indikator Kompetensi Lulusan
a. Logical skills
Kemampuan seseorang dalam berfikir secara logika tidaklah sama. Akan tetapi untuk
ukuran kompetensi lulusan diri suatu perguruan tinggi sangat diperlukan.
Kemampuan berfikir logika sendiri ini merupakan suatu pengetahuan yang
mengajarkan tentang cara berfikir untuk mencapai suatu kebenaran yang hakiki, baik
hal itu dibuktikan secara teori maupun dalam kenyataannya dan hal kebenaran itu
meliputi pemikiran, perbuatan, serta bukti nyata. Jadi bagi para lulusan akan
dinyatakan punya kompetensi salah satu ukuran sudut pandangnya adalah
mempunyai dasar-dasar yang jelas dan bermutu dalam berfikir, berbicara maupun
bertindak.
b. Oral communications skill
Komunikasi adalah aktivitas utama manusia dalam kehidupan sehari-hari,
komunikasi dengan Tuhan, sesama manusia dan makluk lainnya. Komunikasi
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 87
merupakan modal dan kunci sukses dalam pergaulan dan karier karena hanya dengan
komunikasi sebuah hubungan baik dapat dibina dan dibangun. Keterampilan
komunikasi adalah keterampilan utama yang harus dimiliki untuk mampu membina
hubungan yang sehat di mana saja. Mengukur kompetensi lulusan perguruan tinggi
salah satu hal yang sangat penting adalah kualitasnya dalam berkomunikasi. Apabila
seseorang mempunyai kualitas komunikasi yang baik segala persoalan akan
mengalami kemudahan untuk menemukan solusinya dengan tetap menjaga
hubungan baik dengan pihak manapun.
c. Knowledge of technology
Tidak bisa dipungkiri dan tidak bisa dihindari teknologi sangat memegang kendali
dalam mengukur mutu lulusan sebab dalam segala aktivitas kehidupan terlebih dunia
kerja sangat tergantung dengan teknologi. Lulusan perguruan tinggi merupakan satu
paket dengan standar kualitas terhadap teknologi yang akan mempermudah dan
menjadi sangat efisien dalam menangani banyak pekerjaan. Jadi jelas teknologi
dengan segala manfaat kecanggihannya menjadi syarat mutlak bagi para lulusan .
d. Analytical skillability to work in team settings
Hampir semua bidang pekerjaan menghendaki karyawan bekerja dalam tim. Kerja
dalam tim menjadi elemen penting untuk mencapai visi atau hasil yang sama dengan
cara lebih mudah. Untuk melakukan kerjasama yang baik dalam tim perlu sekali
melakukan hal-hal ini dalam tim:
1) Fokus pada target atau tujuan tim
Untuk bisa mencapai target atau tujuan dalam tim, sangat perlu
mengesampingkan keinginan pribadi agar bisa fokus ke tujuan.
2) Bagi tugas masing-masing anggota tim
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 88
Hal pertama yang harus diketahui oleh aggota tim adalah tujuan kerjasama, hal
ke dua adalah pembagian kerja masing-masing tim. Hal ini penting sekali karena
bisa mendorong anggota tim untuk bekerja lebih produktif, efisien dan sesuai
target. Sementara pemimpin tim bekerja terus untuk mengevaluasi dan
mendukung kerja tim secara berkelanjutan.
3) Membangun kekompakan tim
Untuk terwujudnya kekompakan tim diperlukan adanya seorang
penanggungjawab yang berfungsi untuk mendorong seluruh tim, mengingatkan
untuk saling berkomunkasi dan membangun kekompakan satu dengan yang lain.
Sehingga tidak ada gesekan atau perpecahan di tim kerja.
4) Sediakan waktu untuk rileks
Rutinitas dengan kerja untuk mencapai trget target tertentu sebagai tuntutan kerja
untuk mencapai tujuan perusahaan maupun organisasi sangat menguras energy
positif maupun energy negative bagi siapa saja yang mengalami kendala dalam
mencapai target. Proses mencapai target yang ketemu berbagai macam perbedaan
yang tidak mudah tetap menuntut untuk mampu menemukan solusi solusi yang
efektif agar tujuan tercapai. Hal tersebut tentu mudah menimbulkan ketegangan
dalam berbagai syaraf dan otak dalam tubuh. Dalam situasi yang seperti hal
tersebut akan sangat mengganggu kesehatan dan kerja tidak produktif. Atas dasar
itu semua maka sebagai pribadi maupun tim sangat membutuhkan kondisi situasi
untuk rileks. Rileks adalah suatu kondisi ketika pikiran tidak setres dan tegang,
biasanya ketika rileks dapat belajar dengan lebih fokus, dan mendapatkan
informasi dengan lebih cepat dan akurat. Ada beberapa cara rileks dengan waktu
lebih cepat dan lebih mudah, yaitu :
- Meditasi
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 89
Yaitu dengan melakukan latihan menarik nafas yang dalam. Tutup bibir,
hiruplah udara sedalam dalamnya selama 4 detik, tahan nafas selama 8 detik,
lalu lepaskan nafas selama 8 detik. Lakukan hal tersebut selama 4 kali.
- Peregangan otot
Yaitu melakukan dengan menegangkan otot terlebih dahulu lalu merilekskan
otot. Merilekskan otot-otot dapat membantu perbaikan mental dan membuat
pikiran akan sama dengan tubuh yaitu rileks.
- Melakukan kebiasaan yang sehat
Misalnya dengan yoga, tetapi hindari yoga bila memiliki masalah tubuh
seperti osteoporosis, atau risiko darah beku. Kebiasaan lainnya adalah minum
air banyak air hangat, karena air membuat tubuh segar dan melepaskan racun-
racun. Ada juga dengan membiasakan olah raga disesuaikan dengan kondisi
tubuh, olah raga akan berpengaruh pada hormone endorphin yang akan
memberikan perasaan senang.
- Melakukan kegiatan yang membuat rileks
Bawa diri pada aktivitas yang tidak begitu membutuhkan fokus pikiran,
aktivitas santai, mendengarkan lagu-lagu santai, suara-suara dari alam yang
menyenangkan cuitan burung, suara ombak dan lain-lain, atau lakukan
aktivitas bersama hewan piaraan yang menyenangkan dengan menyentuh
mereka akan menurunkan tekanan darah.
- Hindari hal-hal yang membuat and setres
Misalnya mematikan TV, lap top, hanphone, dan menyendiri dalam
ketenangan.
e. Ability to work independently
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 90
Asah kemampuan untuk mampu bekerja secara mandiri. Kemampuan memecahkan
masalah secara mandiri sangat penting untuk meraih prestasi. Kemandirian pasti
terjangkau dengan kedewasaan atau tingkat kematangan seseorang. Semakin dewasa
dan semakin tinggi posisi orang seharusnya semakin mandiri dalam bekerja. Namun
demikian kedewasaan/ kematangan seseorang belum tentu berbanding lurus dengan
usia. Kadangkala orang yang relatif muda sudah terbiasa mandiri dan sebaliknya
orang yang secara umur sudah lebih tua justru berperilaku sebaliknya. Ada beberapa
faktor yang bisa membuat orang mampu bekerja secara mandiri:
- Faktor Kesadaran
Faktor kesadaran akan peran dan tanggungjawab terhadap pekerjaan memegang
peran sangat penting. Dalam situasi tertentu sering tidak dibekali sistem kerja
yang cukup detail atau memang berada dalam perusahaan baru yang belum
memiliki sistem kerja yang memadai. Namun dengan memiliki kesadaran ini,
akan mencoba memaksimalkan potensi demi mewujudkan peran dan
tanggungjawab tersebut. Seringkali harus berinisiatif terhadap hal-hal yang
belum diatur di perusahaan. Bahkan juga rela membantu bagian lain di luar
bagian diri sendiri.
- Faktor Sistem
Perusahan-perusahaan yang sudah mempunyai sistem dengan baik, apalagi
perusahaan-perusahaan multinasional, semua hal kerja telah terjabarkan dalam
sistem dan job desc seseorang baik melalui prosedur kerja, formulir-formulir
manual ataupun melalui sistem aplikasi perusahaan. Dalam kondisi seperti ini
semua orang secara otomatis harus patuh menjalani sistem yang sudah ada di
perusahaan tersebut dan bekerja secara mandiri sesuai denga ruang lingkup
tugasnya.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 91
- Faktor Atasan
Pada perusahaan yang atasannya memberikan kebebasan pada karyawannya
dalam mengerjakan tugasnya karena atasan begitu percaya kepada bawahannya,
secara otomatis akan melatih dan membentuk bawahan bekerja dengan mandiri.
Kebebasan tersebut diberikan karena atasan tidak mau repot dan tidak mau
terlibat pada urusan-urusan yang mendetail. Dalam konteks luas kemandirian
juga ditentukan oleh keluarga dan lingkungannya. Semakin didikte secara
berlebihan orang cenderung menjadi tidak mandiri. Sebaliknya semakin diberi
kebebasan yang disertai penekanan akan rasa tanggungjawab, justru akan
membuat semakin mandiri.
f. Knowledge of field
Dunia kerja banyak sekali perbedaannya dengan dunia kampus, sementara para
mahasiswa dididik untuk memasuki dan berada di dunia kerja. Ada banyak hal yang
tidak bisa didapatkan di kampus sementara hal tersebut nyata ada di dunia kerja. Atas
dasar itu sangat penting pada saat di kampus para mahasiswa mengikuti pelatihan
dan kuliah umum yang nara sumbernya datang dari dunia kerja. Selain itu untuk
mengukur kompetensi lulusan, kampus sangat perlu punya program yang
memberikan pengalaman nyata tentang dunia kerja. Dari program tersebut bagi para
lulusan maupun mahasiswa gambaran tentang dunia kerja semakin nyata.
Kemampuan para lulusan di dunia kerja sangat menentukan ukuran mutu dari
lulusan. Penting pengetahuan dan praktik nyata di dunia kerja pada saat masih kuliah
agar para mahasiswa dan lulusan sungguh-sungguh mempunyai kemampuan yang
lebih berkualitas dalam menyesuaikan diri di dunia kerja, sehingga mampu
menempatkan diri sebagai lulusan yang punya kualitas soft skill dan hard skill yang
pantas dan baik. Adanya wawasan dan pengetahuan nyata tentang kondisi lapangan
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 92
kerja akan memudahkan para lulusan dalam problem solving maupun dalam
menunaikan tugas dan tanggungjawabnya untuk mencapai tujuan.
Beberapa aspek karakter yang berpengaruh pada pengembangan kompetensi
- Positive attitude (sikap positive)
Sikap positif sangat membantu merasa lebih senang, dan rasa senang itu
mendatangkan kebahagiaan, mendatangkan kesehatan, mendatangkan kebaikan
dalam kehidupan. Ada beberapa cara untuk memiliki sikap positif, yaitu :
Harus dapat mengontrol diri
Belajar cara menghargai diri dan waktu
Pahami prilaku mempengaruhi orang lain
Ubah kosa kata yang digunakan pada saat komunikasi, gunakan kata-kata
positif agar tidak melukai perasaan orang lain
Jadilah proaktif, proaktif bisa dibangun dari membiasakan peduli, peka,
tanggap dalam kehidupan sehari-hari
Nikmati hal-hal kecil, dengan menikmati hal-hal kecil dapat menghargai
segala sesuatunya dan punya rasa syukur yang tulus yang mendatangkan
pola pikir dan sikap positif.
- Self learning (belajar mandiri)
Belajar mandiri bukan berarti belajar sendiri. Belajar mandiri berarti belajar
secara berisiniatif, dengan ataupun tanpa bantuan orang lain dalam belajar. Salah
satu prinsip mandiri adalah mampu mengetahui kapan membutuhkan orang lain,
bertemu orang lain, dan mengetahui proses segala sesuatu untuk tujuan yang
akan dicapai. Yang terpenting adalah mampu mengidentifikasi sumber-sumber
informasi.
- Motivational aspect / self vision (aspek motivasi/ visi diri)
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 93
Aspek motivasi juga sangat berpengaruh terhadap kompetensi lulusan perguruan
tinggi. Karena motivasi ini yang memberikan dorongan semangat untuk
menjalankan aktivitas. Pada dasarnya orang motivasi dirinya baik maka segala
penghambat akan tidak berarti karena motivasi diri jauh lebih kuat. Motivasi
timbul karena adanya suatu kebutuhan. Motivasi ini menjadi kekuatan bagi
setiap orang dalam melakukan berbagai kegiatan.
- Mindset (pola pikir)
Pola pikir seseorang juga sangat berpengaruh dalam kompetensi lulusan, sebab
pola pikir menentukan bagaimana seseorang tersebut melakukan aktivitasnya,
apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukannya, dengan siapa harus
melakukan, mengapa dilakukan, mengapa semua itu harus dilakukan? Pola pikir
yang kompleks dengan sudut pandang luas akan sangat mempengaruhi semua
itu.
Konsekuensi – konsekuensi yang ada :
- Kemampuan mengelola semakin penting (adaptif)
- Profesionalitas (punya keterampilan yang dalam dan beragam)
- Pekerja otak semakin dominan (unsur jasa, kreatif)
- Keterampilan high touch dan high tech semakin dibutuhkan
- Belajar seumur hidup.
2. Indikator Keberhasilan Dalam Dunia Kerja
a. Pengelolaan Diri
- Visi personal
Visi pribadi merupakan gambaran kehidupan yang ingin dicapai seseorang di
masa depan. Sangat penting rasanya kalau visi pribadi tersebut bisa dibayangkan
dengan jelas dan detail. Mengapa visi itu perlu? Apabila punya visi pribadi yang
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 94
jelas, maka bisa melakukan evaluasi atas langkah-langkah dan tindakan yang
dilakukan. Juga dapatkan memikirkan strategi-strategi yang efektif untuk
mencapai tujuan, bisa memilah-milah tawaran atau ajakan yang mana yang baik.
Dan akhirnya bisa dikuatkan pada saat melaksanakan segala sesuatu untuk
mencapi dan tujuan ketemu dengan masalah. Dengan adanya visi pribadi tersebut
tetap kuat dalam problem solving.
- Integritas/ tanggungjawab
Tanggungjawab merupakan kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan
baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggungjawab juga berarti
berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban. Keberhasilan di dunia
kerja sangat ditentukan juga oleh kualitas tanggungjawab dalam bekerja, karena
tanggungjawab ini yang akan dinilai dirasakan oleh lingkungan kerja kantor.
Semakin punya tanggungjawab yang baik maka kualitas keberhasilan di dunia
kerja akan semakin baik.
- Adaptability (kemampuan beradaptasi)
Kemampuan dalam melakukan penyesuaian diri di dunia kerja sangat
menentukan kemudahan bekerja, sangat menentukn komunikasi kerja dan sangat
menentukan luasnya kerjasama dalam bekerja. Pada umumnya semakin mudah
seseorang melakukan adaptasi maka semakin sukses dia dalam dunia kerja,
karena pertemanan yang luas, sehingga problem solving-nya ada peluang lebih
mudah. Mudah melakukan penyesuaian memudahkan diterima oleh lingkungan.
- Motivation
Motivasi seseorang menjadi alasan kuat seseorang berhasil di dunia kerja atau
tidak. Bagi karyawan motivasi yang dimiliki itu menjadi pendorong atau
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 95
semangat dalam melaksanakan tugas-tugas di dunia kerja. Jadi motivasi yang ada
bisa jadi alasan suksesnya seseorang di dunia kerja.
- Disiplin
Disiplin merupakan parasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya
merupakan tanggungjawabnya. Pendisiplinan adalah usaha untu menanamkan
nilai ataupun paksaan agar subyek memiliki kemampuan untuk menaati sebuah
peraturan. Apabila seseorang sebagai karyawan mempunyai perasaan yang
seperti tersebut sudah tentu akan menjadi bagian kesuksesan di dunia kerja, sebab
dengan disiplin maka kemudahan untuk berhasil tinggi dimana dengan disiplin
segala sesuatu akan berjalan lancar.
b. Pengelolaan Tugas
- Planning
Pentingnya planning adalah untuk membuat suatu perencanaan, dengan adanya
perencanaan memudahkan dalam melakukan kegitan dan memenuhi segala
sesuatunya.
- Membuat keputusan
Dalam pengelolaan segala tugas mesti jelas agar mudah dalam membuat
keputusan. Keputusan sangat dibutuhkan agar tindak lanjut dari setiap pekerjaan
jelas dan baik. Sebaiknya keputusan yang diambil sudah dipertimbangkan secara
maksimal sehingga diketahui kekuatan dan kelemahannya, agar keputusan yang
diambil tidak salah, atau dengan risiko yang terkecil.
- Berfikir taktis/ strategis
Pentingnya berfikir strategis yaitu berfikir terhadap apa yang akan dikerjakan
dengan pola pikir dan alasan yang jelas dan efekti, yaitu pola pikir yang benar-
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 96
benar efektif dan efisien tidak terjadi pemborosan waktu dan biaya serta tujuan
tercapai.
c. Pengelolaan oran lain
Interpersonal skill (kepedulian, komunikasi), keberhasilan di dunia kerja juga sangat
dipengaruhi oleh bagaimana seseorang bertindak cerdas sigap dan bijaksana terhadap
orang lain. Kemampuan seseorang mengembangkan kepeduliaanya di lingkungan
kerja akan menentukan kualitas komunikasinya. Orang yang berkarakter baik
sesungguhnya mempunyai perilaku otomatis terhadap hal peduli sebagai perwujudan
dan perhatian terhadap lingkungan kerja atau lingkungan pertemanan di dunia kerja.
Kemampuan mengelola orang lain akan memudahkan dalam mencapai tujuan.
d. Kepemimpinan
Jiwa kepemimpinan yang dimiliki seseorang akan sangat terlihat bagaimana cara
seseorang mengelola diri dan orang lain dalam kehidupannya sehari-hari. Cara
seseorang mempengaruhi orang lain dan problem solving terhadap orang lain akan
menentukan bagaimana seseorang tersebut pantas atau tidak jadi pemimpin. Jiwa
kepemimpinan tinggi yang dimiliki seseorang akan sangat menentukan kesuksesan
di dunia kerja, karena seorang pemimpin tentu punya jiwa yang kuat yang mampu
mengamankan lingkungannya, mampu memotivasi orang-orang yang dipimpinnya,
mampu mengevaluasi kinerja lingkungannya, mampu melakukan pengarahan
dengan jelas dan berani mengambil keputusan.
e. Aspek-aspek yang perlu dilatih
Self confidence, dengan mempunyai rasa percaya diri yang baik akan memudahkan
bagi seseorang untuk bekerja sama, mempengaruhi orang lain, membangun
kepercayaan orang lain dalam meyakinkan segala sesuatunya. Rasa percaya diri juga
mendatangkan simpati dan daya tarik, serta menampilkan diri secara berkualitas dan
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 97
professional. Karena itu sangat penting melatih terus untuk membangun rasa percaya
diri.
- Inisiatif, adalah kemampuan untuk memutuskan dan melakukan sesuatu yang
benar tanpa harus diberitahu, mampu menemukan apa yang seharusnya
dikerjakan terhadap sesuatu yang ada di sekitar, berusaha untuk terus bergerak
untuk melakukan beberapa hal walau keadaan terasa tidak mudah.
- Keberanian, seseorang yang menginginkan dirinya sukses di dunia kerja tentu
harus melatih diri secara terus menerus atas keberaniannya menghadapi orang
lain maupun keberanian dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Hal
ini sangat penting karena bekerja itu harus melakukan sesuatu dan bekerja sama
dengan orang lain serta ada target yang harus diselesaikan dengan tepat waktu.
- Sensitivity to others, merupakan kemampuan kepekaan dan sadar akan perasaan
orang lain, akan tetapi tidak membuat kepekaan ini menjadi halangan untuk
membuat keputusan yang obyektif. Ada beberapa cara untuk membangun
kepekaan terhadap orang lain, yaitu:
Menyadari isyarat sosial tentang emosi seperti memperhatikan wajah orang
lain, pelajari tanda-tanda kesedihan, menyadari tanda-tanda ketakutan pada
orang lain pertimbangkan gerakan dan postur tubuh, pertimbangkan nada
suara yang tepat untuk berkomunikasi.
Mendengarkan dengan rasa empati, misalnya klarifikasi apa yang dipahami
dengan yang orang lain katakan, berikan perhatian penuh kepada orang yang
sedang berbicara, dengarkan tanpa menghakimi, gunakan tatakrama dan
sopan santun, mengakui apa yang dikatakan orang lain bila itu baik dan benar,
jangan memberikan respon terlalu cepat.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 98
Berbicara dengan tutur kata yang baik, yaitu ajukan pertanyaan, pilihlah cara
yang paling tepat untuk mengekspresikan perasaan, menerima kritikan,
hindari kata-kata hampa dan klise, gunakan bahasa tubuh yang baik,
Jaga perasaan diri sendiri, misalnya sadar akan perasaan sendiri, belajar
kemampun untuk mengatasi masalah, lindungi diri sendiri jaga kesehatan dan
kenyamanan.
- Empathy
Merupakan kemampuan dengan berbagai definisi yang berbeda mencakup
keadaan yang luas, berkisar pada orang lain yang menciptakan keinginan untuk
menolong sesama, mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain,
mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan. Atau dalam bahasa
Yunani yang berarti ketertarikan fisik, yang berarti respon afektif dan kognitif
yang kompleks pada distress emosi orang lain.
Empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain,
merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah dan mengambil
perspektif orang lain. Keberpihakan pada orang lain, ikut merasakan apa yang
dialami dirasakan olah orang lain.
- Pola berfikir (mindset)
Pola pikir adalah cara menilai dan memberikan kesimpulan terhadap sesuatu
berdasarkan sudut pandang tertentu. Pola pikir disebut juga paradigma berfikir
adalah jumlah total keyakinan, nilai, identitas, harapan, sikap, kebiasaan,
keputusan, pendapat dan pola-pola pemikiran tentang diri sendiri, orang lain,
dan bagaimana kehidupan bekerja. Apa yang dipikirkan bakal terjadi sungguh
sungguh terjadi.
- Fleksibilitas
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 99
Merupakan keluesan dalam menghadapi beberapa hal yang terjadi dalam
lingkungan maupun diri sendiri. Di dunia kerja sikap ini sangat diperlukan
apalagi dalam kaitannya dengan pelanggan, atau kondisi yang membutuhkan
orang lain. Sikap ini juga sangat perlu dimiliki dalam menjalin kerjasama
dengan orang lain, karakter orang lain yang berbeda beda. Fleksibilitas perlu
dipakai agar tujuan diri sendiri atau perusahaan tercapai. Ini merupakan sikap
yang tidak kaku yang mengarah kepada sikap yang lebih bijaksana.
- Self discipline dan integritas
Disiplin merupakan soft skill yang sangat dibutuhkan dalam dunia kerja, sebab
discipline berbicara masalah komitmen, ketepatan waktu yang terkait dengan
banyak hal kehadiran, tugas pekerjaan yang selesai tepat waktu, perjanjian
dengan orang lain terkait waktu, kepatuhan terhadap peraturan yang ada, dan
lain-lain. Semua itu penting sekali karena orang yang disiplin biasanya
pembicaraanya jelas terarah dan bisa diajak kerjasama serta terpercaya. Disiplin
bisa dibangun dari hal-hal kecil yang dibiasakan untuk kebaikan. Disiplin dan
tanggungjawab merupakan contoh karakter baik yang pada umumnya saling
terkait, orang yang disiplin biasanya orang yang memegang komitmen baik
sehingga pertanggungjawabannya tidak bisa diragukan lagi. Orang disiplin
adalah orang yang tanggungjawab dalam kehidupan sehari hari, karena karakter
tersebut saling ketergantungan saling mempengaruhi secara positif. Dan sikap
ini modal sukses di dunia kerja karena bisa dipercaya.
- Self concept
Merupakan pandangan sikap individu terhadap diri sediri. Pandangan diri ini
terkait dengan dimensi fisik, karakteristik individual, dan motivasi diri.
Pandangan diri tidak hanya meliputi kekuatan kekuatan individual, tetapi juga
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 100
kelemahan bahkan kegagalan dirinya. Konsep diri positif sangat bagus dimiliki
sebab seseorang merasa setara dengan orang lain, yakin dapat mengatasi segala
masalah, bisa menerima pujian tanpa rasa malu, bisa menyadari bahwa setiap
orang memiliki perasaan keinginan yang tidak setiap orang setuju, bisa
memperbaiki dirinya, dan lain-lain. Di dalam dunia kerja orang-orang yang
punya konsep diri positif sangat berarti untuk menuju kesuksesan, sebab konsep
hidupnya positif. Konsep ini dimiliki seseorang berawal dari lingkungan dalam
proses kehidupan yang dia alami.
PENUTUP
Pendidikan milik siapa saja yang mau mengembangkan diri dengan baik dan sungguh–
sungguh, sebab pada dasarnya pendidikan itu membuat segala sesuatu menjadi lebih baik,
meski sering dijumpai dengan proses yang tidak mudah. Orang berpendidikan karena
menginginkan adanya perubahan yang menuju ke kemajuan wawasannya karena
pengetahuan bertambah, pengalaman-pengalaman tentang praktik dari pengetahuan yang
membuat dirinya semakin berkualitas, kerjasama dengan orang lain yang menjadikan dirinya
berlatih lebih bernilai, karena dengan kerja sama orang bisa mengoreksi diri mengelola diri
baik pola pikir sikap dan perbuatannya.
Pengalaman kerjasama juga menjadikan segala sesuatu lebih mudah dicapai.
Pendidikan juga mengajarkan bagaimana menjalani kehidupan dalam berbagai hal yang
ketemu masalah tetapi tetap bisa problem solving. Pendidikan menjadikan para lulusannya
mempunyai kualitas yang jenisnya berbeda beda, tetapi semua itu bernilai dengan
keunggulan masing masing bisa saling berarti satu sama lain. Lulusan dari suatu perguruan
tinggi memang dapat diartikan telah memenuhi kriteria kelulusan yang disyaratkan baik
secara akademik/ hard skil maupun soft skill. Ukuran kualitas lulusan setelah di dunia kerja
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 101
tidak cukup di kriteria tersebut, banyak sekali perbedaan situasi dan kondisi yang
kenyataannya tidak bisa ditentukan oleh syarat kelulusan.
Mutu lulusan sangat dipengaruhi oleh berbagai kualitas diri para lulusan tersebut pada
saat menghadapi pekerjaan maupun problema-problema yang ada. Kualitas soft skill
menjadi bukti mutu lulusan. Banyak soft skill yang sangat dibutuhkan di dunia kerja dan itu
menjadi suatu paket mutu yang otomatis bergerak yaitu kreatifitas, inisiatif, komitmen,
kepekaan, tanggungjawab dan disipin, empaty, fleksibilitas, percaya diri, pola pikir positif,
konsep diri yang baik, kemampuan mudah melakukan penyesuaian diri dan lain sebagainya.
Harapannya para lulusan benar-benar mampu menyiapkan diri secara hard skill
maupun soft skill pada saat memasuki dunia kerja, karena bernilainya para lulusan sangat
ditentukan oleh hal hal tersebut, terlebih soft skill.
DAFTAR PUSTAKA
Agung Laksana. Public Relations. PT Entang Pustaka. 2018.
Andri Feriyanto, Endang Shyta Triana. Komunikasi Bisnis. Mediatera. Kebumen. 2015.
Donni Juni Priansa. Manajemen Sekretaris Perkantoran Terampil dan Professional. CV.
Pustaka Setia. Bandung. 2017.
Fasli Jalal PhD, Prof dr. Tantangan Dan Peluang Mewujudkan Pendidikan Karakter.
Seminar Nasional Koran Berani. Jakarta. 2012.
Mulyadi. Manajemen Sumber Daya Manusia. Penerbit IN MEDIA. Bogor. 2016
Standart Nasional Pendidikan Tinggi, Permendikbud No. 49 Tahun 2014
Parino Rahardjo , Sosialisasi Soft Skill, Sarasehan Pembina/Pendamping Kemahasiswaan
Perguruan Tinggi Swasta, Kopertis Wilayah III, Jakarta,2007
Rosidah, Ambar Teguh Sulistiyani. Menjadi Sekretaris Profesional & Kantor Yang Efektif.
Gava Media. Yogjakarta. 2005.
Toni Setiawan, Manajemen Sumber Daya Manusia,
Platinum,[email protected], Cetakan I, 2012
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 102
PERAN FINTECH DALAM ADMINISTRASI KEUANGAN PERKANTORAN
Oleh:
Astuti Widiati, S.E., M.Pd.
(Dosen ASEKMA Don Bosco, [email protected])
Muller Sagala, S.E.,M.M.
(Dosen ASEKMA Don Bosco, [email protected])
ABSTRACT
The ease of services provided by FinTech has been responded positively by the public. The
difficulty of getting a loan fund becomes easier. The public does not need to prepare various
and wait long to get the venture capital, but simply sitting sweet at home will all be over the
internet. In addition to the need for business capital, the community has also been facilitated
by FinTech in terms of payment, remittance, purchasing and selling of products, seeking
information, and so forth. There are several reasons why people are very positive about
using FinTech, among others: provide speed of service, which can not be provided by users
of the service, and wider coverage. In addition to the easiness of the community, of course
there are negative results. The company (banking or non-banking) engaged in the financial
business, refusing to use FinTech ascertained at one moment the stretching of its business
will be stalled. Regulatory factors also give birth because with the provision will provide
convenience transact for all parties.
Keywords: FinTech, Administration; Offices
PENDAHULUAN
Geliat kreativitas dan inovasi di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
telah merambah ke berbagai bidang kehidupan manusia termasuk dunia bisnis. Dari sisi
bisnis inovasi TIK merasuk ke berbagai bidang industri untuk efisiensi dan mengambil
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 103
berbagai ceruk pasar. Financial Technology (FinTech) adalah salah satu bentuk penerapan
teknologi informasi di bidang industri keuangan.
Inovasi industri keuangan ini adalah adaptasi prinsip jaringan komputer. Dengan
inovasi ini penyebarannya menjadi sangat cepat secara global hingga pada akhirnya muncul
juga berbagai jasa crowdfunding khususnya di Indonesia misalnya www.kitabisa.com,
www.gandengtangan.org, www.wujudkan.com.
Saat ini, FinTech telah banyak dikenal di kalangan wirausaha dan sebagian masyarakat.
Ledakan besar dari pemanfaatan FinTech perlu segera diantisipasi melalui instrumen hukum.
Hal ini didasarkan pada pengalaman fenomena perusahaan Go-Jek yang dapat mengancam
bisnis transportasi konvensional. Jika fenomena FinTech disejajarkan dengan fenomena Go-
Jek, maka tidak menutup kemungkinan dalam 2-3 tahun ke depan keberadaan FinTech akan
mengancam institusi keuangan nasional.
FinTech muncul seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang saat ini
didominasi oleh pengguna teknologi informasi dan tuntutan hidup yang serba cepat. Dengan
FinTech, permasalahan dalam transaksi jual-beli, pembayaran, tidak sempat mencari barang
ke tempat perbelanjaan, harus ke bank/ATM untuk mentransfer dana, keengganan
mengunjungi suatu tempat karena pelayanan yang kurang menyenangkan, akhirnya dapat
diminimalkan. Dengan kata lain, FinTech membantu transaksi jual beli dan sistem
pembayaran menjadi lebih efisien dan ekonomis namun tetap efektif.
FinTech telah menunjukkan perkembangan yang pesat. Peer to Peer (P2P) Lending
misalnya per Agustus 2017 telah mencapai 22 perusahaan dengan jumlah dana yang tersalur
sebesar Rp.1,44 triliun (naik 496,51 persen dari tahun sebelumnya). Jasa FinTech lain yang
telah diminati masyarakat adalah jasa pembayaran berbagai tagihan, jasa penyediaan
informasi, jasa penghimpunan dana, dan jasa berinvestasi.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 104
Masalah yang diangkat dalam karya ilmiah ini adalah sejauh mana peran yang dapat
diberikan oleh layanan FinTech dalam proses administrasi keuangan perkantoran, dan apa
saja yang mungkin menjadi masalah. Manfaat bagi masyarakat yang berhubungan dengan
keuangan adalah akan memahami dan mendapatkan banyak pilihan dari layanan yang
diberikan oleh FinTech. Masyarakat akan menjadi bijak dalam memanfaatkan layanan
FinTech sehingga mendapat kesejahtaraan dalam kehidupannya. Metodologi yang dipakai
dalam karya ilmiah ini adalah studi pustaka dan berbagai sumber yang menggambarkan
fakta.
LANDASAN TEORI
Pengertian Fintech
FinTech merupakan singkatan dari financial technology yang bertujuan untuk
memudahkan masyarakat dalam mengakses produk-produk keuangan, mempermudah
transaksi, dan juga meningkatkan literasi keuangan. Menurut Wikipedia, FinTech
merupakan teknologi dan inovasi baru dengan tujuan bersaing dengan layanan keuangan
tradisional dan mempermudah akses masyarakat pada layanan tersebut. Sedangkan
pengertian FinTech menurut National Digital Research Centre di Dublin, Irlandia
adalah sebagai innovation in financial services atau inovasi dalam layanan keuangan.
Menurut Bank Indonesia, financial technology (FinTech) merupakan hasil gabungan
antara jasa keuangan dengan teknologi yang akhirnya mengubah model bisnis dari
konvensional menjadi moderat. Kegiatan bayar-membayar awalnya harus bertatap-muka
dan membawa sejumlah uang kas, kini dapat melakukan transaksi jarak jauh dengan
melakukan pembayaran yang dapat dilakukan dalam hitungan detik saja.
Pengertian praktikalnya dapat dijelaskan adalah bagaimana proses seseorang yang
membutuhkan pinjaman modal dalam membuka bisnis baru. Pada keuangan tradisional,
seseorang tersebut biasanya akan pergi ke bank terdekat untuk mengajukan kredit atau
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 105
mencari investor tradisional. Namun dengan jasa FinTech, transaksi peminjaman modal
usaha tersebut telah dapat diakses secara online, efekfif, dan efisien.
Ada berbagai jasa yang ditawarkan oleh FinTech. Bank Indonesia sendiri membedakan
FinTech ke dalam berbagai kategori, yaitu:
1. Crowdfunding dan Peer to Peer Lending
Klasifikasi pertama menurut Bank Indonesia adalah sebagai Crowdfunding dan Peer To
Peer Lending. Fungsinya adalah sebagai tempat pemasaran untuk mempertemukan antar
pihak yang saling membutuhkan dalam hal keuangan. Tempat pemasaran ini ditujukan
untuk memfasilitasi antara mereka yang membutuhkan modal dengan calon investor,
antara penjual dengan pembeli, antara donator dengan pihak yang membutuhkan
bantuan. Diharapkan dengan ini keduanya dapat saling menguntungkan.
2. Market Aggregator
Para pengusaha ataupun konsumen, mereka semua membutuhkan data untuk berbagai
kepentingan mereka. Kebutuhan akan informasi ini dapat dengan mudah dipenuhi jika
menggunakan FinTech. Kumpulan data ini akan sangat membantu pengusaha dalam
menentukan langkah-langkahnya. Kemudahan akses untuk mengetahui berbagai macam
informasi merupakan hal yang sangat penting sebelum memutuskan untuk membuat
langkah apapun.
3. Risk and Investment Management
Bagi seseorang yang sedang berbisnis, keuntungan yang didapat tentu memiliki
kemungkinan risiko yang dapat terjadi. Pengusaha yang ingin sukses akan berupaya
mencari tingkat risiko terkecil. Pencarian informasi yang banyak dan juga tepat dapat
digunakan untuk menghidari kerugian dan risiko. Fungsi dari FinTech ini dapat dijadikan
sebagai perencana keuangan untuk mempertimbangkan kemungkinan risiko yang akan
terjadi, meskipun sebenarnya ancamannya tetap ada.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 106
4. Bidang Payment, Settlement, dan Clearing
Pada saat ini, seseorang yang membeli barang dapat dengan mudah melakukan
pembayaran akibat adanya teknologi FinTech yang membantu proses transaksi antara
penjual dan pembeli. Adanya teknologi canggih memungkinkan kedua pihak dapat
saling bertransaksi keuangan dengan mudah, aman, dan nyaman. Selain itu, teknologi ini
sangat menghemat tenaga dan membuat masyarakat semakin terbiasa dengan FinTech.
Perkembangan Fintech
Secara global perkembangan FinTech yang sangat pesat telah diakui berbagai pihak,
khususnya di Indonesia. Salah satu layanan FinTech yang cepat direspon berbagai pihak
adalah peer-to-peer (P2P) lending. Sektor FinTech ini adalah yang paling banyak
bermunculan pemain baru. Menurut data OJK, hingga Agustus 2017 terlihat gambaran
perkembangan sebagai berikut :
1 Jumlah dana yang disalurkan Rp1,44 triliun (496,51% dari tahun sebelumnya)
2 Jumlah P2P Lending 22 perusahaan
3 Ditribusi daerah penyaluran Pulau Jawa : 83,2%
Di luar Pulau Jwa : 16,8%
4 Total peminjam 120.174 peminjam
5 Total Pemberi pinjaman 48.034 pemberi
Pertanyaannya adalah mengapa perkembangan FinTech begitu cepat? Ada beberapa
alasan mengapa FinTech berkembang dan digemari oleh masyarakat pengguna jasa
keuangan, yaitu :
1. FinTech Memudahkan Berbagai Proses dalam Bidang Keuangan
Secara nyata diakui FinTech memberikan kemudahan dengan jangkauan luar biasa
khususnya bagi mereka yang belum terjangkau produk keuangan bank. Selain itu,
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 107
FinTech juga menyentuh generasi muda yang sudah familiar dengan internet dan
memanfaatkan internet dalam segala kebutuhannya. FinTech juga dapat membuat
segalanya lebih sederhana dan efisien. FinTech membuka peluang usaha bagi generasi
Y yang selalu aktif menyelesaikan masalah.
2. Perkembangan Teknologi yang Menunjang FinTech
Dengan dukungan perkembangan teknologi, muncul berbagai peluang untuk membuat
perusahaan berbasis online, khususnya dalam bidang keuangan. Perusahaan FinTech
terus bermunculan dengan misi memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan
aktivitas keuangan secara online.
3. Terinspirasi Pelaku Bisnis Sebelumnya
Perusahaan startup Gojek telah memberikan inspirasi nyata bagi banyak orang.
Seseorang dapat sukses hanya dalam waktu yang singkat, dan dapat berkembang menjadi
perusahaan multinasional. Para generasi muda terdorong untuk meraih impiannya
melalui industri FinTech, memiliki banyak peluang tinggi dalam memasukinya dan
menjanjikan menjadi sukses di dalamnya.
4. Anggapan Bisnis FinTech yang Fleksibel
Industri FinTech masih dianggap fleksibel dan tidak kaku dibandingkan dengan bisnis
konvensional, ditambah ada anggapan bahwa peraturan yang melingkupinya masih
sedikit. Oleh karena itu, industri ini menjadi lahan yang tepat bagi para pebisnis muda
yang ingin menyalurkan kreativitasnya dalam berbisnis.
5. Penggunaan Teknologi, Software, dan Big Data
Keunggulan dari FinTech lainnya adalah usaha FinTech menggunakan
teknologi, software dan big data. Selain itu FinTech juga menggunakan data dari media
sosial. Data-data tersebut dapat dijadikan bagian dari analisis risiko.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 108
Sementara itu produk-produk layanan yang ditawarkan oleh FinTech di Indonesia
antara lain :
1. Payments FinTech
Perusahaan ini menyediakan layanan pembayaran tanpa menggunakan uang tunai atau
cashless yang dapat digunakan di berbagai transaksi pembelian, baik offline maupun
online. Perusahaan FinTech yang bergerak di bidang pembayaran atau payments ini
merupakan salah satu yang paling banyak pelakunya di Indonesia. Sekarang sudah
banyak fasilitas umum yang menggunakan sistem ini dalam pembelian tiket, contohnya
adalah Transjakarta, KRL Commuter Line.
2. Information FinTech
FinTech dapat memberikan informasi yang lengkap tentang suatu produk dan dapat
diperbandingkan dalam satu layar. Pengguna layanan hanya tinggal memilih yang sesuai
kebutuhannya. Contohnya, aplikasi www.tiket.com untuk berbagai kebutuhan misalnya,
tiket pesawat, kereta api, bahkan hotel, sewa mobil. Disamping spesifikasi produk, juga
diberikan informasi harga yang termurah diantara produk yang dicari.
3. Financial SaaS FinTech
Software as a service atau disingkat SaaS merupakan satu bentuk layanan dari FinTech.
Aplikasi yang disediakan FinTech dapat berupa aplikasi perhitungan pengeluaran dan
pendapatan, aplikasi perhitungan atau kasir, ataupun aplikasi akuntansi. Semua aplikasi
yang dihasilkan oleh financial SaaS FinTech ini berbasis internet ataupun cloud,
sehingga mempermudah penyimpanan datanya.
4. Capital Market FinTech
FinTech memberikan kemudahan dalam berinvestasi terutama bagi pemula, atau bagi
mereka yang tidak mau repot-report. Melalui satu layar, FinTech telah menyediakan
marketplace yang jadi tempat berbelanja instrumen investasi. Instrumen investasi yang
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 109
akan dipilih dapat berupa saham, reksadana, valas, atau lainnya. Dengan menggunakan
layanan dari capital market FinTech, dapat melakukan pembelian investasi dan mengatur
investasi lewat website yang disediakan.
5. Crowdfunding FinTech
FinTech juga menyediakan layanan menghimpun dana dari para donatur. Para donatur
dengan mudah memilih kegiatan apa yang akan dibantu. Melalui FinTech, juga dapat
menyumbangkan berapapun uang yang dikehendaki untuk membantu project yang ada
di dalam platform crowdfunding tersebut. Project yang dapat didanai tidak hanya berupa
project sosial seperti membantu pengobatan seseorang yang sedang sakit atau
membangun rumah seseorang yang habis terkena musibah, tetapi juga dapat mendanai
acara-acara yang akan diselenggarakan (biasanya oleh mahasiswa) yang membutuhkan
dana.
6. Peer to Peer Lending
Peer to peer lending disingkat P2P merupakan salah satu layanan FinTech yang berfungsi
sebagai perantara bagi mereka yang ingin meminjamkan uang dan mereka yang butuh
pinjaman uang. Beberapa contoh aplikasi adalah https://koinworks.com/,
https://modalku.co.id/. Aplikasi ini basisnya menggunakan internet, sehingga setiap
layanan dapat diakses lewat internet, yang tentunya mudah dan menghemat waktu.
Semua yang dilakukan secara online juga membuat proses pengajuan pinjaman dapat
dipangkas, sehingga para peminjam dapat mendapatkan pinjaman dengan bunga yang
lebih rendah daripada bunga pinjaman di institusi keuangan tradisional.
Lingkup Administrasi Keuangan Perkantoran
Administrasi keuangan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang pengertian. Secara
etimologis berasal dari bahasa Latin administration yang artinya pemberian bantuan,
pemeliharaan, pelaksanaan, pimpinan, dan pengelolaan. Administrasi juga berasal dari kata
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 110
Belanda, administratie yang diartikan sebagai istilah tata usaha, yaitu segala kegiatan yang
meliputi tulis menulis, mengetik, koresponden, kearsipan dan sebagainya (office work).
Dalam bahasa Yunani terdiri atas ad dan ministrare, yang berarti mengabdi melayani atau
berusaha untuk memenuhi harapan setiap orang.
Secara terminologis, pengertian administrasi keuangan dibagi menjadi 2 lingkup,yaitu:
1. Administrasi keuangan dalam arti sempit yaitu segala pencatatan masuk dan keluarnya
keuangan untuk membiayai suatu kegiatan organisasi kerja yang berupa tata usaha atau
tata pembukuan keuangan.
2. Administrasi keuangan menurut arti luas yaitu kebijakan dalam pengadaan dan
penggunaan keuangan untuk mewujudkan kegiatan organisasi kerja yang berupa
kegiatan perencanaan, pengaturan pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan.
Administrasi keuangan bertujuan untuk mewujudkan suatu tertib administrasi
keuangan, sehingga pengurusannya dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Tujuan administrasi keuangan sekolah contohnya adalah mewujudkan:
1. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara efisien,
2. Terjaminya kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah,
3. Tercegahnya kekeliruan, kebocoran atau penyimpangan penggunaan dana,
4. Terjaminnya akuntabilitas perkembangan sekolah.
Fungsi Administrasi Keuangan secara lebih luas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Fungsi Investasi, meliputi bagaimana pengelolaan dana ke dalam aktiva-aktiva yang
akan digunakan untuk berusaha mencapai tujuan tersebut. Dana tersebut dapat berasal
dari modal sendiri atau dari luar.
2. Fungsi Mencari Dana, meliputi fungsi pencarian modal yang dibutuhkan untuk
membelanjai usaha-usaha yang dijalankan. Disamping itu, juga berfungsi untuk memilih
sumber-sumber dana yang tepat terhadap berbagai jenis kebutuhan.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 111
3. Fungsi Pembelanjaan, meliputi kegiatan tentang penggunaan dana baik dana dari luar
maupun dana milik sendiri yang dipergunakan untuk membelanjai seluruh kegiatan.
Dalam hal ini pembelanjaan berhubungan dengan proses produksi maupun pendukung
proses produksi.
4. Fungsi Pembagian Laba, yaitu menentukan policy dalam mengadakan pembagian laba
usaha. Maksudnya adalah bahwa diusahakan adanya dana yang berasal dari dalam
perusahaan itu sendiri untuk mengembangkan usaha-usaha perusahaan tersebut.
Fungsi-fungsi administasi keuangan perkantoran sebagaimana diuraikan di atas
dimaksudkan untuk mendapatkan beberapa manfaat yaitu : (1) Teraturnya penerimaan
maupun pengeluaran organisasi; (2) Pemanfaatan uang mampu dikendalikan dan
dikoordinasikan dengan baik; dan (3) Berkurangnya kekeliruan dalam pembuatan laporan
keuangan. Untuk mewujudkan-nyatakan manfaat tersebut, diperlukan peran sekretaris
pimpinan yang mempunyai kompetensi mengadministrasikan catatan keuangan perkantoran
tersebut.
Tugas-tugas sekretaris pimpinan meliputi tugas-tugas rutin, tugas-tugas khusus, tugas-
tugas istimewa, tugas resepsionis, tugas keuangan, tugas sosial, tugas insidental, dan tugas-
tugas sekretaris dalam business meeting. Salah satu dari tugas-tugas tersebut menyangkut
mengenai administrasi keuangan yang meliputi tugas : (a) Menangani urusan keuangan
pimpinan dengan bank, misalnya penyampaian / penyimpanan uang di bank; (b) Membayar
rekening-rekening pajak, sumbangan dana atas nama pimpinan; dan (c) mengurus kas kecil,
yaitu mencatat dan menyediakan dana untuk pengeluaran rutin sehari-hari yang jumlahnya
relatif kecil.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 112
PEMBAHASAN
Manfaat dan Risiko Fintech
Ada berbagai faktor yang menyebabkan FinTech berkembang begitu pesat dan
dimanfaatkan oleh masyarakat. Beberapa manfaat yang disedikan oleh FinTech adalah :
1. Mendorong Inklusi Keuangan Masyarakat Unbanked
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki program Laku Pandai (Layanan Keuangan
Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif). Layanan perbankan dilakukan dengan
memanfaatkan telepon genggam/ponsel dan didukung jasa agen sebagai perpanjangan
tangan bank. Dengan layanan ini bagi masyarakat yang belum memiliki rekening di bank
dapat dilayani oleh agen. Peran FinTech di bisnis perbankan ini menghasilkan
pertambahan nasabah dan sekaligus mendorong inklusi keuangan sesuai program OJK.
2. Kemudahan Masyarakat Perkotaan untuk Membuka Rekening
Kini layanan produk-produk perbankan tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang
mempunyai akses ke bank tetapi melalui jasa FinTech semua masyarakat termasuk di
pedesaan yang tidak mempunyai akses layanan keuangan telah dapat melakukan akses
produk perbankan. Masyarakat tidak harus hadir ke kantor bank karena padatnya
kegiatan harian dan pekerjaan. Kehadiran FinTech di bidang perbankan memberikan
kemudahan untuk melakukan pembukaan rekening.
3. Kemudahan Memilih Produk Keuangan Sesuai Kebutuhan
Masyarakat menghendaki banyak produk pilihan dalam memenuhi kebutuhannya.
Akan tetapi terlalu banyak pilihan produk, seperti produk-produk perbankan, ternyata
juga membuat masyarakat bingung untuk memilih sesuai dengan kebutuhan.
Salah satu aplikasi https://www.cekaja.com/ membantu masyarakat untuk memilih
salah satu produk yang sangat dibutuhkan dari sekian banyak pilihan. Pilihan-pilihan
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 113
tersebut telah dilengkapi dengan berbagai informasi, termasuk informasi mengenai
biaya.
Gambar 1: Tampilan website //www.cekaja.com/
4. Kemudahan Melakukan Investasi
Produk perbankan yang selama ini ada kini telah dapat dinikmati melalui FinTech.
Bahkan FinTech menambah beberapa tambahan layanan (fitur) dan kemudahan akses.
Sebagai contoh aplikasi https://www.bareksa.com/, salah satu perusahaan di bidang
investasi reksadana secara online. Fitur yang tersedia antara lain data market, alat
investasi, berita dan analisis pengambilan keputusan. Layanan ini tidak dimiliki oleh jasa
konvensional.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 114
Gambar 2: Tampilan website https://www.bareksa.com/
5. Kemudahan Melakukan Donasi
Selain jasa komersial, FinTech juga menyediakan jasa penggalangan dana dari
masyarakat (social entrepreneur) yang lebih dikenal dengan (crowdfunding). Dana yang
terkumpul digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan sejak awal. Salah satu jasa
FinTech yang ada adalah https://kitabisa.com/.
Gambar 3: Tampilan website https://kitabisa.com/
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 115
6. Kemudahan Pembayaran
Saat ini masyarakat terlalu dimanjakan oleh layanan teknologi termasuk oleh FinTech.
Masyarakat dapat berbelanja dengan mudah, aman, dan nyaman hanya dengan kartu
elektronik tanpa uang tunai. Salah satu penyedia jasa tersebut adalah
https://www.spots.co.id/ (sebelumnya www.kartuku.com).
Gambar 4: Tampilan website https://www.spots.co.id/
7. Kemudahan Pengelolaan Keuangan
FinTech juga menyediakan layanan pengelolaan keuangan pribadi dan pencatatan
pengeluaran untuk keperluan klaim. Masyarakat tidak perlu harus membawa fisik
kwitansi pembelian. Bahkan untuk pembayaran pajak telah dibantu melalui aplikasi
http://ww1.onlinepajak.com/.
Disamping manfaat yang diperoleh dari FinTech, juga terdapat beberapa risiko yang
timbul. Risiko yang saat ini mungkin tumbul masih terkait dengan layanan P2P dari FinTech.
Para Investor seharusnya mengenali profil targetnya, termasuk mengenai risiko yang akan
terjadi. Beberapa risiko yang mungkin timbul adalah :
1. Belum Ada Regulasi
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 116
Sampai saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia masih terus
melengkapi peraturan terkait dengan FinTech. Pengaturan mengenai FinTech tergolong
relatif sulit karena jenis layanannya yang sangat beragam, sehingga kebijakan yang
ditempuh adalah pengaturan secara umum sebagai payung hukum berpijak bagi FinTech.
Risiko yang mungkin timbul adalah tidak adanya perlindungan konsumen dari
regulator; tidak ada standard governance dan compliance mengenai bagaimana
menjalankan usaha P2P Lending. Jika terjadi dispute antara investor dengan pengelola
P2P Lending maka kedua belah pihak dapat melakukan penyelesaian sendiri tanpa
campur tangan regulator.
2. Track Record Pengelola (Masih) Terbatas
Usia bisnis P2P ini yang masih sangat muda di Indonesia menyebabkan
pengalaman dan skill yang masih terbatas. Para investor khususnya para pemula akan
sulit menilai mana kinerja pengelola yang sudah terbukti, mana yang belum.
Pengalaman dan skill pengelola P2P Lending sangat menentukan keamanan dan
kinerja investasi. Dalam website, P2P lending menyajikan sejumlah data untuk
mengevaluasi calon kreditur, namun data tersebut memiliki keterbatasan: (1) scope-nya
terbatas; (2) integritas data ditentukan sepenuhnya oleh pengelola.
3. Kreditur Menunggak, Risiko Ditanggung Investor
Sejak awal sebaiknya investor sudah menyadari bahwa mereka menanggung
sepenuhnya risiko gagal bayar kredit. Pengelola P2P lending tidak mananggung kerugian
jika kreditor menunggak. Ini adalah risiko kredit.
Dalam hal terjadi gagal bayar kredit, pihak pengelola membantu melakukan
penagihan, namun the ultimate risk berada di tangan investor. Inilah salah perbedaan
dengan perbankan. Di bank, deposan tidak menghadapi risiko kredit karena risiko
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 117
tersebut ditanggung bank. Meskipun kreditur menunggak atau gagal bayar, uang deposan
kembali secara utuh.
4. Risiko Operasional, Bangkrut dan Dibawa Lari
Dalam P2P Lending, Investor harus menghadapi dua risiko operasional yang
kritikal, yaitu dana yang disetorkan ke pengelola P2P hilang atau disalahgunakan; atau
kemungkinan pengelola P2P Lending bangkrut.
Dalam hal dana yang disetorkan ke pengelola P2P hilang atau disalahgunakan,
pihak pengelola sudah berusaha memperkecil terjadinya risiko yaitu dengan cara
membuka rekening terpisah virtual account di bank atas nama investor. Namun karena
minimnya regulasi dan otoritas pengawas saat ini, ketentuan mengenai bagaimana
pengelola boleh mengakses virtual account belum jelas.
Dalam hal pengelola P2P Lending bangkrut, Investor menyetor dana ke pengelola
dan disimpan oleh pengelola. Masalahnya, otoritas belum mengeluarkan ketentuan
mengenai permodalan minimum P2P Lending. Siapa pun dapat membuka P2P tanpa
perlu modal yang memadai.
5. Tidak Dapat Menarik Investasi Ditengah Jalan
Sejak awal bila bergabung ke P2P Lending, investor harus mempertimbangan isu
likuiditas dengan matang, karena dana tidak dapat ditarik sebelum waktunya. Berbeda
dengan bank dimana deposan dapat menarik dana kapan diperlukan, begitu pula dengan
investasi saham yang dapat dijual kapan saja. Investor P2P Lending tidak dapat menarik
pendanaan yang sudah dikucurkan sebagai pinjaman sebelum jatuh tempo.
Peran Fintech Dalam Administrasi Keuangan Perkantoran
UMKM Indonesia merasa terbantu dengan adanya kemudahan dalam bertransaksi
dengan konsumennya. Dalam peran yang lebih luas, tingkat kesejahteraan penduduk dapat
semakin meningkat akibat ringannya beban masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 118
perkonomiannya. FinTech mampu meningkatkan keuangan secara nasional dengan adanya
berbagai kemudahan dalam memenuhi keperluan keuangan, melakukan ekspor, jual beli
antar pulau, dan sebagainya.
Pada prinsipnya FinTech telah mampu menggantikan peran lembaga keuangan formal
seperti bank. Dengan demikian peran FinTech dalam pananganan tugas-tugas admnistrasi
keuangan perkantoran adalah sebagai berikut:
1. Menyediakan pasar bagi pelaku usaha
2. Menjadi alat bantu untuk pembayaran, penyelesaian/ settlement dan kliring
3. Membantu pelaksanaan investasi yang lebih efisien
4. Mitigasi risiko dari sistem pembayaran yang konvensional
5. Membantu pihak yang membutuhkan untuk menabung, meminjam dana dan
penyertaan modal.
Berdasarkan subjek yang terlibat dalam FinTech, peran FinTech pada masing-masing
subjek tersebut adalah :
1. Bagi Konsumen
Teknologi menciptakan ragam produk dengan kelebihannya masing-masing
sehingga konsumen semakin dimudahkan dalam memenuhi kebutuhannya.
Konsumen dapat semakin mengerti akan banyaknya pilihan produk melalui FinTech.
Banyaknya pilihan konsumen dapat menjadikan produsen berlomba-lomba untuk
mendapatkan perhatian dengan menciptakan suatu produk yang memiliki kualitas
terbaik. Dampak positif lainnya yang akan dirasakan oleh konsumen ialah adanya
persaingan antar pengusaha dalam menjaga kualitas produknya dengan harga
semurah mungkin. Dengan demikian kenaikan harga diharapkan tidak akan terjadi.
2. Bagi Pelaku Bisnis
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 119
Para pelaku bisnis mendapatkan berbagai kemudahan melalui FinTech, diantaranya
adalah mudahnya informasi keuangan yang dapat diakses tanpa perlu ribet. Dengan
adanya informasi keuangan ini akan membuat pengusaha dapat lebih matang dalam
merencanakan usaha, dan dapat membuat mata rantai transaksi keuangan semakin
pendek. Kebaikan yang akan didapatkan adalah semakin efisiennya modal sehingga
biaya yang diperlukan semakin sedikit dan keuntungan yang akan diperoleh lebih
besar.
3. Bagi Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum, adanya FinTech dapat memberikan dampak yang positif terhadap
perekonomian nasional suatu negara, khususnya kesejahteraan masyarakat.
Kecepatan uang beredar juga akan semakin meningkat sebagai akibat adanya
kemudahan dalam transaksi keuangan. Dampak akhir dari adanya kemudahan
transaksi di bidang keuangan ini dapat memengaruhi ekonomi agar menjadi semakin
baik dari tahun ke tahun yang pada akhirnya dapat mensejahterakan rakyat.
Dari penjelasan di atas tentang plus-minus keberadaan FinTech, dapat disimpulkan
bahwa FinTech sangat berperan dalam pengelolaan administrasi keuangan perusahaan
secara legih efektif dan efisien. Peran FinTech juga memberikan dampak yang lebih luas
kepada dampak positif untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dalam mengelola
berbagai transaksi keuangannya.
PENUTUP
Perkembangan penggunaan FinTech dalam penyelesaian transaksi bisnis telah
menunjukan angka yang sangat tinggi. Unit-unit usaha yang ingin berkembang, minimal
bertahan seperti yang ada sekarang seolah dipaksa untuk ikut serta meramaikan penggunaan
FinTech.
Ada beberapa alasan mengapa FinTech semakin digemari oleh masyarakat, yaitu:
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 120
1. FinTech secara nyata-nyata memperlancar proses penyelesaian transaksi bisnis,
tidak berbelit-belit.
2. FinTech mampu memperpendek waktu penyelesaian transaksi bisnis
(mempercepat setlemen transaksi).
3. FinTech terbukti efisien dan efektif dalam membantu tugas-tugas dalam bisnis
termasuk dalam administrasi keuangan perkantoran.
Namun dibalik kemudahan-kemudahan layanan yang diberikan oleh FinTech,
sebaiknya tetap memperhatikan risiko atau ancaman yang mungkin timbul. Bentuk perhatian
terhadap risiko atau ancaman dimaksud yang dapat berasal dari internal atau eksternal, antara
lain:
1. Pengguna layanan FinTech harus mengenal dengan baik produk barang / jasa yang
akan ditransaksikan. Contoh: Spesifikasi dan mutu produk yang dibeli.
2. Pengguna layanan FinTech harus memahami prosedur dan teknis penggunaan alat
(tools) yang disediakan oleh FinTech. Contoh: penggunaan mobile banking.
3. Penggunaan layanan FinTech harus selalu mengupdate informasi eksternal yang
mungkin berkaitan dengan jasa layanan FinTech yang akan diterima. Contoh: Ada
peraturan / kebijakan dari Bank Indonesia atau OJK.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.finansialku.com/peran-FinTech-indonesia/, diakses tanggal 26 Juni 2018
https://www.ajarekonomi.com/2018/01/peran-dan-tantangan-industri-FinTech.html?m=1,
diakses tanggal 26 Juni 2018
https://prezi.com/m/89v94juvqao1/financial-technology-FinTech/, diakses tanggal 26 Juni
2018
https://gudeg.net/read/9928/ini-dia-kelebihan-dan-kekurangan-FinTech-yang-harus-kita-
tahu.html, diakses tanggal 26 Juni 2018
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 121
https://koinworks.com/blog/FinTech-indonesia-dan-perkembangannya/, diakses tanggal 26
Juni 2018
https://dailysocial.id/post/rangkuman-perkembangan-lanskap-FinTech-indonesia-
sepanjang-tahun-2017/, diakses tanggal 26 Juni 2018
http://business-law.binus.ac.id/2016/05/31/mengenal-lebih-dekat-financial-technology/,
diakses tanggal 26 Juni 2018
https://www.finansialku.com/keberadaan-financial-technology-di-indonesia/amp/, diakses
tanggal 26 Juni 2018
http://anisahsuhaimah.blogspot.com/2016/08/administrasi-keuangan.html, diakses tanggal
26 Juni 2018
https://katadata.co.id/berita/2018/04/10/dua-kelemahan-FinTech-versi-ojk, diakses tanggal
26 Juni 2018
http://www.kokogiovanni.com/2016/08/7-manfaat-layanan-FinTech-yang-patut-
ketahui.html, diakses tanggal 26 Juni 2018
https://blog.syarq.com/FinTech-indonesia-perkembangan-dari-masa-ke-masa-
4c941f531557, diakses tanggal 26 Juni 2018
Bisnis.com, diakses tanggal 26 Juni 2018
https://finance.detik.com/moneter/d-4115738/ojk-mau-rilis-aturan-baru-soal-FinTech-ini-
bocorannya, diakses tanggal 26 Juni 2018
https://finance.detik.com/moneter/d-4115826/bisnis-FinTech-ancam-kredit-bank-ini-kata-
ojk, diakses tanggal 26 Juni 2018
https://www.bi.go.id/id/edukasi-perlindungan-konsumen/edukasi/produk-dan-jasa-
sp/FinTech/Pages/default.aspx, diakses tanggal 26 Juni 2018
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 122
ANALISA DAMPAK ANGGARAN PENDIDIKAN TERHADAP INDEKS
PEMBANGUNAN MANUSIA
Oleh: Muller Sagala, S.E.,M.M.
(Dosen ASEKMA Don Bosco, [email protected])
ABSTRACT
The level of quality of human resources of a developed country is one of the benchmarks.
The more advanced a country, the more qualified human resources. Human development
can be done through various ways, one of which is through education. Through education
one can become skilled, knowledgeable, moral, ethical. Indonesia has a high commitment to
build quality human resources through education budget allocation. Under the 1945
Constitution, the Government is required to provide a minimum education budget of 20
percent of the state budget. The results of the analysis of the existing data, the rise of human
development index has been in line with the increase of education budget each year. This
could mean that the provision of adequate education budgets, the quality of Indonesian
human resources can be further enhanced.
Key words: quality, education, employment
PENDAHULUAN
Peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM) Indonesia telah lama dicanangkan.
Beberapa usaha telah dilakukan agar SDM Indonesia mampu bersaing di bursa kerja
Internasional. Hal ini semakin teruji ketika diberlakukannya agenda Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) di awal tahun 2016 yang lalu. Salah satu agendanya adalah adanya
keterbukaan sumber daya manusia antar negara ASEAN.
Selama ini yang banyak dikutak-kutik adalah masalah angka pengangguran. Sedangkan
era MEA telah membicarakan tentang mutu SDM. Di era MEA, pasar kerja di industri hanya
akan menerima SDM yang siap kerja dengan high-skilled labour. Lalu dua-tiga tahun
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 123
terakhir ini Pemerintah menunjukan keseriusan tentang pendidikan, termasuk pendidikan
tinggi agar lulusannya siap kerja. Pemerintah telah mematok anggaran pendidikan sebesar
minimal 20 persen dari belanja APBN / APBD sesuai dengan amanat dalam Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 31 ayat 4.
Karya tulis ini akan membahas dan memberikan analisis apakah dengan tersedianya
anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN / APBD tersebut akan mampu
meningkatkan mutu SDM Indonesia. Dalam karya tulis ini mutu SDM Indonesia diwakili
dengan angka Index Pembangunan Manusia, dan didukung dengan data lain yang terkait.
Manfaat yang dapat diperoleh dari karya tulis ini adalah masyarakat dapat mengetahui
bahwa Pemerintah telah memberikan prioritas anggaran dalam peningkatan mutu pendidikan
di Indonesia, dan akan mengetahui apakah ada dampaknya terhadap perbaikan mutu SDM
Indonesia. Metode penyusunan karya tulis ini dengan menggunakan library research.
LANDASAN TEORI
1. Pengertian Pembangunan Manusia
Menurut The United Nations Development Programme (UNDP), dimensi
pembangunan manusia terdiri dari dua aspek, yaitu : (1) peningkatan kemampuan
manusia, yang terdiri dari peningkatan waktu hidup yang lebih lama dan sehat,
peningkatan pengetahuan, serta peningkatan standar kehidupan yang layak; dan (2)
penciptaan kondisi yang memungkinkan terjadinya pembangunan manusia.
Beberapa elemen yang terkait dengan hal tersebut adalah partisipasi dalam politik
dan komunitas, kondisi lingkungan dalam jangka panjang, hak dan rasa aman bagi setiap
individu, serta terciptanya kesetaraan dan keadilan sosial (United Nations Development
Programme. Human Development Report 2015).
Untuk mengukur tingkat pembangunan manusia, diciptakanlah seperangkat
instrumen yang bisa diterapkan di berbagai negara, sekaligus menjadi acuan
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 124
(benchmark) dalam menilai seberapa jauh perkembangan pembangunan manusia telah
terjadi. Alat ukur yang dimaksud adalah Human Development Index (HDI) atau indeks
pembangunan manusia. HDI diciptakan dengan penekanan bahwa individu dengan
kapabilitasnya mesti menjadi ukuran utama pembangunan suatu negara; dengan kata
lain, kemampuan/keterampilan manusia bukan semata-mata ditujukan untuk mencapai
tingkat pertumbuhan ekonomi. Lebih jauh, indeks pembangunan manusia merupakan
ringkasan pencapaian rata-rata beberapa dimensi, yakni kehidupan yang sehat,
pengetahuan yang dikuasai, serta standar kehidupan yang layak.
Dengan demikian, Index Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development
Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf,
pendidikan dan standar hidup untuk semua negara di dunia. Pembangunan manusia itu
sendiri dimaksud untuk menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dan pembangunan,
bukan sebagai alat pembangunan.
Sebagai tambahan pemahaman tentang pembangunan manusia, dalam penelitian
yang dilakukan oleh beberapa pemerhati, konsep pembangunan manusia juga dapat
diterangkan:
a. Pembangunan manusia ditujukan untuk memperbesar kebebasan individu dalam
melakukan dan menjadi sesuatu yang menurut mereka dapat mempunyai nilai.
b. Pembangunan manusia mencakup kebebasan dasar yang berkaitan dengan kehidupan
manusia.
c. Pembangunan manusia merupakan pembangunan yang dilakukan oleh manusia,
berkaitan dengan manusia, dan ditujukan untuk manusia.
d. Untuk mengukur tingkat pembangunan manusia ditetapkan skala prioritas tertentu,
antara lain memasukkan faktor pengentasan kemiskinan, keadilan, efisiensi,
partisipasi, kesinambungan, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 125
e. Pembangunan manusia bersifat multidimensional dan setiap komponen di dalamnya
memiliki keterkaitan.
2. Dasar Hukum Anggaran Pendidikan
Pendidikan adalah salah satu variabel yang menentukan kualitas sumber daya
manusia suatu bangsa. Untuk itu Pemerintah harus dapat menjamin terselenggaranya
pendidikan dengan mutu / kualitas yang baik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diamanatkan bahwa Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Sebagai bukti bentuk keseriusan Pemerintah dan DPR dalam bidang pendidikan
sebagaimana tertuang dalam Pasal 31 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
ke 4 mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya 20 persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal ini diperkuat dengan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 013/PUU-VI/2008, yang pada intinya Pemerintah harus menyediakan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Alokasi anggaran diharapkan dapat memenuhi kebutuhan yang terkait dengan
peningkatan kualitas pendidikan. Alokasi anggaran pendidikan lebih spesifik dituangkan
dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 yaitu dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal
20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Berdasarkan pasal 49 tersebut bahwa alokasi anggaran adalah alokasi pada sektor
pendidikan. Menurut Peraturan Menteri Keuangan No.101/PMK.02/2011 tentang
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 126
Klasifikasi Anggaran, sektor pendikan dimaksud dirinci menurut fungsi dan sub fungsi.
Fungsi itu sendiri memiliki pengertian perwujudan tugas kepemerintahan di bidang
tertentu yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional,
sedangkan subfungsi merupakan penjabaran lebih lanjut dari fungsi.
Berdasarkan klasifikasi anggaran menurut fungsi dibagi dalam : Pelayanan umum
[01]; Pertahanan [02]; Ketertiban dan Keamanan [03]; Ekonomi [04]; Lingkungan Hidup
[05]; Perumahan dan fasilitas umum [06]; Kesehatan [07]; Pariwisata [08]; Agama [09];
Pendidikan dan Kebudayaan [10]; Perlindungan sosial [11].
Fungsi Pendidikan dan Kebudayaan [10] terdiri dari Pendidikan Anak Usia Dini,
Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, Pendidikan Non Formal dan Informal,
Pendidikan Kedinasan, Pendidikan Tinggi, Pelayanan Bantuan Terhadap Pendidikan,
Pendidikan Keagamaan, Litbang Pendidikan, Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga,
dan Pendidikan Lainnya.
Apabila sektor pendidikan dibagi menurut sub fungsi maka meliputi : Litbang
Pendidikan; Pendidikan Keagamaan; Pelayanan Bantuan terhadap Pendidikan;
Pendidikan Tinggi; Pendidikan Non-Formal dan Informal; Pendidikan Menengah;
Pendidikan Dasar.
Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang
dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga, alokasi anggaran pendidikan melalui
transfer ke daerah, dan alokasi anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan,
termasuk gaji pendidik, namun tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk
membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Persentase anggaran pendidikan tersebut adalah perbandingan alokasi anggaran
pendidikan terhadap total alokasi anggaran belanja negara.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 127
PEMBAHASAN
1. Data Anggaran Pendidikan dan Index Pembangunan Manusia
a. Anggaran Pendidikan
Komitmen negara untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia
sangat tinggi. Salah satu komitmen tersebut adalah tersedianya anggaran pendidikan
yang semakin meningkat setiap tahun.
Berikut ini data APBN / RAPBN periode 2012-2018 yang dinyatakan secara
grafis. Dalam data APBN / RAPBN telah termasuk anggaran pendidikan yang akan
dianalisis lebih lanjut.
Sumber: https://www.kemenkeu.go.id/, angka dalam triliun Rp., diakses tanggal
28.12.2017, diolah.
Grafik di atas menjelaskan bahwa belanja negara meningkat setiap tahun mulai
tahun 2012 hingga tahun 2018. Jumlah APBN 2012 berjumlah Rp.1,548.3 dan pada
RAPBN 2018 sebesar Rp. 2,220,7 triliun, sehingga terlihat peningkatan dana APBN
yang semakin menaik. Dengan kata lain terdapat kenaikan anggaran sebesar 43.43
persen selama kurun waktu tersebut (kuran waktu enam tahun).
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 128
Selanjutnya data APBN / RAPBN di atas lebih dirinci lagi hingga dapat
menampilkan anggaran khusus untuk pendidikan. Data berikut ini adalah anggaran
pendidikan untuk periode tahun 2012-2018 yang dinyatakan secara grafis.
Sumber: https://www.kemenkeu.go.id/, diakses tanggal 28.12.2017, diolah
Grafik di atas menjelaskan bahwa belanja negara untuk pendidikan (20 persen
dari APBN/RAPBN) meningkat seiring dengan meningkatnya anggaran belanja
negara setiap tahun mulai tahun 2012 hingga tahun 2018. Anggaran pendidikan pada
APBN 2012 berjumlah Rp.309,7 dan anggaran pendidikan pada RAPBN 2018
berjumlah Rp. 444,1 triliun. Dengan kata lain terdapat kenaikan anggaran pendidikan
sebesar 43.40 persen selama kurun waktu periode tersebut.
b. Index Pembangunan Manusia (IPM)
Sebagaimana dijelaskan di atas, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah
pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar
hidup untuk semua negara seluruh dunia. Pembangunan manusia merupakan salah
satu unsur pokok dalam perencanaan pembangunan. Hal ini penting karena hakekat
pembangunan yaitu pembangunan manusia. Untuk itu perlu ada prioritas alokasi
belanja untuk keperluan pembangunan manusia dalam penyusunan anggaran. Dalam
karya tulis ini angka Index Pembangunan Manusia diasumsikan mewakili angka
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 129
mutu SDM Indonesia. Semakin tinggi angka IPM berarti semakin terlihat dampak
harapan hidup, intelektualitas dan standar hidup layak. Dengan kata lain mutu SDM
Indonesia menjadi lebih baik.
Data Index Pembangunan Manusia berikut ini adalah angka pembangunan
manusia dalam kurun waktu 2010-2016 yang disajikan secara grafis.
Sumber: www.bps.go.id, diolah
Grafik dari data BPS di atas menunjukan angka Indeks Pembangunan Manusia
yang semakin meningkat. Semakin tinggi angka IPM berarti semakin baik angka
intelektualitas. Dengan kata lain mutu sumber daya manusia hasil lulusan pendidikan
semakin baik dan diharapkan semakin mampu bersaing di tingkat internasional.
c. Status Pekerjaan Utama
Dari sisi tenaga kerja, data berikut ini menunjukan distribusi penduduk yang
berumur 15 tahun ke atas, telah bekerja menurut Status Pekerjaan Utama untuk
periode 2008-2017. Angka dinyatakan dalam jumlah orang.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 130
Sumber: www.bps.go.id, diolah
Grafik di atas menunjukan bahwa penduduk 15 tahun ke atas, telah bekerja
menurut Status Pekerjaan Utama secara total untuk Tahun 2008 – 2017. Status
Pekerjaan Utama dimaksud meliputi : (1) Berusaha Sendiri; (2) Berusaha
Dibantu Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak Dibayar; (3) Berusaha Dibantu Buruh
Tetap/Buruh Dibayar; (4) Buruh/Karyawan/Pegawai; (5) Pekerja Bebas di
Pertanian; (6) Pekerja Bebas di Non Pertanian; (7) Pekerja Keluarga/Tak
Dibayar.
Dalam analisis ini data yang akan digunakan adalah khusus untuk status :
(3) Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar dan (4)
Buruh/Karyawan/Pegawai, dengan grafik sebagai berikut.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 131
Sumber: www.bps.go.id, diolah
Grafik di atas menunjukan bahwa penduduk 15 tahun ke atas, telah bekerja
menurut Status Pekerjaan Utama : (3) Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh
Dibayar dan (4) Buruh/Karyawan/Pegawai menunjukan angka yang semakin
meningkat. Alasan pemilihan dua status pekerjaan ini adalah telah menerima
gaji tetap dan dalam jangka relatif panjang.
Data tersebut dapat berarti bahwa semakin banyak lulusan pendidikan telah
terserap dalam dunia kerja.
d. Data Angkatan Kerja
Data berikut menunjukan kecenderungan secara grafis prosentase jumlah
penduduk berumur 15 tahun ke atas, telah bekerja menurut pendidikan tertinggi
untuk jenjang Akademi/Diploma Tahun 2008-2017.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 132
Sumber: https://www.bps.go.id/statictable/2016/04/05/1909/penduduk-
berumur-15-tahun-ke-atas-menurut-pendidikan-tertinggi-yang-ditamatkan-dan-
jenis-kegiatan-selama-seminggu-yang-lalu-2008-2017.html
Dari grafik di atas dapat menjelaskan bahwa terdapat kecenderungan
peningkatan jumlah lulusan Akademi/Diploma yang bekerja, walaupun pada Tahun
2015 dan 2017 menunjukan angka penurunan. Angka yang mendekati 100.00 artinya
angka pengangguran semakin kecil.
e. Data Mahasiswa dan Perguruan Tinggi
Data dalam web forlap.ristekdikti.go.id per 27 Desember 2017 menunjukan
jumlah mahasiswa dan jumlah perguruan tinggi. Untuk jumlah mahasiswa dalam
prosentase akan diperbandingkan distribusi jumlah antara jenjang Strata-1 dan
Vokasi. Hal ini penting untuk melihat sejauh mana program Pemerintah untuk
memprioritaskan program vokasi dapat meningkat. Sementara itu akan
diperbandingkan juga jumlah perguruan tinggi swasta dan non swasta. Hal ini
dimaksud untuk melihat apakah sasaran anggaran pendidikan yang cukup besar itu
sungguh dapat meningkatkan lulusan pendidikan yang siap bersaing di pasar kerja
internasional.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 133
Grafik Perbandingan Jenjang Pendidikan Mahasiswa Aktif*
Strata-1 dengan Vokasi (D1-D4)
Sumber:
https://forlap.ristekdikti.go.id/mahasiswa/homegraphperbandinganjenjang
Dari grafik di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan yang sangat
signifikan antara jumlah mahasiswa yang mengikuti jenjang Strata-S1 dengan vokasi
yaitu 84.90 berbanding 15.10 persen.
Kondisi ini dapat memberikan arti bahwa masyarakat kurang berminat dalam
jenjang vokasi, sementara Pemerintah dan pasar kerja industri lebih memprioritaskan
lulusan yang siap kerja dari lulusan vokasi.
Selanjutnya disajikan secara grafis data jumlah PTS dan non PTS.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 134
Grafik Jumlah Perguruan Tinggi
Sumber: https://forlap.ristekdikti.go.id/perguruantinggi/homegraphpt
Dari grafik di atas dapat menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang sangat
signifikan antara jumlah perguruan tinggi swasta dengan non swasta yaitu 91
berbanding 9 persen dari total 4,594 perguruan tinggi se Indonesia.
2. Analisis Dampak Peningkatan Anggaran Pendidikan
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan bahwa anggaran
pendidikan dalam APBN 2016 termasuk yang paling besar sepanjang sejarah. Anggaran
pendidikan Tahun 2016 mencapai Rp.419,2 triliun atau 20 persen dari total belanja
negara Rp.2.095,7 triliun, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional. Dari jumlah tersebut Rp.49,2 triliun untuk Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Rp.39,5 triliun untuk Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi, Rp.46,8 triliun untuk Kementerian Agama, dan Rp.10,7 triliun untuk
Kementerian Negara dan Lembaga lainnya, serta sisanya untuk anggaran pendidikan
melalui transfer daerah.
Tabel berikut ini akan menyajikan distribusi dalam prosentase anggaran pendidikan
untuk Tahun 2016.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 135
Tabel Distribusi Anggaran Pendidikan Tahun 2016
No Peruntukan Penggunaan Rp. (Triliun) %
1 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 49.2 11.74
2 Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi 39.5 9.42
3 Kementerian Agama 46.8 11.17
4 Kementerian Negara dan Lembaga lainnya 10.7 2.55
5 Anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah
dan dana desa 267.9 63.92
6 Anggaran pendidikan melalui pengeluaran
Pembiayaan 5.0 1.19
Total (20 % dari total belanja negara) 419.1 100.00
Sumber: Berbagai sumber, diolah
Dari tabel di atas terlihat alokasi anggaran pendidikan untuk jenjang pendidikan
tinggi termasuk di dalamnya untuk riset dan teknologi hanya 9,42 persen dari total
anggaran pendidikan atau 1,88 persen dari total belanja negara.
Dari seluruh gambaran analisis data di atas dapatlah diringkas sebagai berikut:
a. Jumlah anggaran pendidikan periode tahun 2012-2018 menunjukan trend kenaikan.
b. Index Pembangunan Manusia Indonesia periode tahun 2010-2016 menunjukan
kenaikan angka yang tajam.
c. Penduduk yang berumur 15 tahun ke atas, telah bekerja menurut Status Pekerjaan
Utama, periode 2010-2017 menunjukan trend yang meningkat.
d. Angka prosentase dari angkatan kerja kelompok Akademi / Diploma, periode 2008-
2017 menunjukan kecenderungan meningkat.
e. Mahasiswa lebih menyukai jenjang Strata-1 dari pada vokasi (D1-D4).
f. Jumlah PTS lebih banyak dibandingkan non PTS, atau 91 : 9 persen.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 136
Dengan demikian kesimpulan yang dapat dinyatakan adalah bahwa kenaikan
anggaran pendidikan mempunyai pengaruh positif terhadap mutu SDM Indonesia.
Beberapa catatan dalam kesimpulan ini antara lain bahwa : (a) sasaran Pemerintah untuk
memprioritaskan jenjang vokasi tidak tercapai karena sebagian masyarakat lebih
berminat masuk jenjang Strata-1; (b) Anggaran pendidikan yang tersedia hanya sebagian
kecil mendukung program PTS sementara jumlah PTS sangat besar dibandingkan
dengan jumlah non PTS; (c) Anggaran pendidikan untuk perbaikan mutu SDM Indonesia
tersebar di beberapa instansi, tidak berada dalam satu instansi.
PENUTUP
Anggaran pendidikan telah ditetapkan sebesar 20 persen dari total belanja negara dalam
APBN dan APBD setiap tahunnya. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 31 ayat 4. Jumlah anggaran pendidikan meningkat setiap tahunnya. Masyarakat
mengharapkan adanya peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia khususnya dalam
rangka memasuki pasar kerja Internasional. Berdasarkan hasil analisis data karya tulis ini
menunjukan bahwa peningkatan anggaran pendidikan juga telah diikuti meningkatnya index
pembangunan manusia, tenaga kerja penduduk umur 15 tahun ke atas dalam kelompok
status pekerjaan utama.
Akan halnya masih ada pengangguran walaupun telah menunjukan angka penurunan
merupakan tantangan tersendiri yang perlu dicari solusinya. Perhatian Pemerintah khususnya
penyediaan anggaran pendidikan sudah cukup tinggi, namun dalam beberapa hal masih ada
masyarakat yang belum dapat merasakan dampaknya di daerah tertentu. Kajian ini masih
perlu diperdalam untuk mengetahui berapa persen peningkatan index pembangunan manusia
atau tenaga kerja pendidik dalam kelompok status pekerjaan utama tertentu yang diakibatkan
peningkatan anggaran pendidikan tersebut.
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 137
DAFTAR PUSTAKA
Akademi Sekretari dan Manajemen (ASEKMA) Don Bosco. Handbook of Modern
Secretary: Panduan Sukses Secretaris dalam Dunia Kerja Modern. Penerbit
PPM. Jakarta. 2010.
http://bisnis.liputan6.com/read/2356557/anggaran-pendidikan-di-apbn-2016-cetak-sejarah,
diakses tanggal 24 Desember 2017
Hasan Ashari, dalam http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/147-artikel-
anggaran-dan-perbendaharaan/20310-anggaran-pendidikan-20-,-apakah-sudah-
dialokasikan, diakses tanggal 24 Desember 2017
http://www.ajarekonomi.com/2016/01/hakikat-pembangunan-manusia-human.html,
diakses tanggal 24 Desember 2017
Jurnal ADB’S Secretary Vol.7, No.2, Juli 2018 138
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
1. Naskah merupakan tulisan yang bersifat ilmiah baik dari dosen, mahasiswa, pegawai
ASEKMA Don Bosco di bidang Sekretaris.
2. Naskah merupakan hasil penelitian lapangan, studi kasus, dan studi kepustakaan yang
bersifat objektif, sistematis, analitis dan deskriptif.
3. Naskah harus asli dan belum pernah dipublikasikan melalui media lainnya.
4. Kata atau istilah asing yang belum diubah menjadi kata Indonesia atau belum menjadi
istilah teknis diketik dengan huruf miring (italic).
5. Naskah diketik dalam Microsoft Word huruf Times New Roman 12, jarak baris 2 spasi,
jumlah halaman seluruhnya 14-20 lembar ukuran A4, dengan margin kiri dan bawah 3
cm, margin kanan dan atas 2.5 cm dan dikirim ke alamat redaksi.
6. Sistematika terdiri dari : Judul, Nama Penulis, Instansi, Alamat Email, ABSTRAK (jika
makalah ditulis dalam Bahasa Indonesia maka abstrak ditulis dalam Bahasa Inggris dan
demikian sebaliknya), PENDAHULUAN (latar belakang, permasalahan, tujuan,
manfaat, dan metodologi), PEMBAHASAN, PENUTUP (kesimpulan dan saran), dan
DAFTAR PUSTAKA.
7. ABSTRAK merupakan intisari (substansi) yang mencakup pendahuluan, pendekatan,
metode, hasil dan kesimpulan; ditulis dalam Bahasa Inggris/Indonesia kurang lebih 100-
200 kata, dalam 1 paragraf, dicetak miring (italic).
8. Daftar Pustaka ditulis tanpa nomor, diurutkan secara alfabetis: Nama pengarang (tanpa
gelar). Judul (cetak miring). Penerbit. Kota. Tahun Penerbitan.
Contoh: Ignatius Wursanto. Kompetensi Sekretaris Profesional. Andi. Yogyakarta.
2004.
9. Isi naskah bukan tanggungjawab redaksi. Redaksi berhak memilih naskah dan mengedit
redaksionalnya tanpa mengubah arti.
Top Related