Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara
ISSN (p) 2087-7641ISSN (e) 2822-3236
Volume 10 No.1 November 2019
10
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara
PENANGGUNGJAWAB
Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa
EDITOR IN CHIEF
Dra. Titik Muti'ah MA., Ph.D
ASOSIATED EDITOR IN CHIEF
Ryan Sugiarto, S.Psi., MA
Sulistyo Budiarto, S.Psi., MA
Hartosujono, SE, S.Psi., Mpsi
EDITOR BOARD MEMBERS
Prof. Dr. Asmadi Alsa. MA
Prof. Drs. Koentjoro MBSc, Ph.D
Dr. Ahmad M.Diponegoro
Dr. Swarsono
Dr. Icwinarti M.Si
Dr. Arundati Shinta S.Psi, MA
Dr. Susan
Dra. Rinata Dewi M.Si, Psikolog
Berlina Henu S.Psi., M.Si
Titisa Ballerina. S.Psi., Msi
KESEKRETARIATAN
Amin Margono, S.Psi
DESAIN DAN TATA LETAK
Satupintu
HOTLINE PELANGGAN
Amin Margono
ALAMAT REDAKSI
Fakultas Psikologi Lt. 2
Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa Yogyakarta
Jl. Kusumanegara 157 Yogyakarta
Telp. [0274] 510062, Fax. [0274]
547042
CP: Sulistyo [08112507600];
Ryan [081327636371]
Email: [email protected]
WEBSITE:
http://jurnal.ustjogja.ac.id/index.p
hp/spirit
ISSN
ISSN (P) 2087-7641
ISSN (E) 2822-3236
Nomor Edisi
Diterbitkan Oleh:
Dapur Publikasi
Jurnal Spirit
Fakultas Psikologi Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa
Yogyakarta
Volume 10 No.1 November 2019
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara
DAFTAR ISI
Volume 10 No.1 November 2019
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara02
Catatan Jurnal Spirits
Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri
Faizah Najlawati
Indriyanti Eko Purwaningshih
Kebersyukuran Pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus
Aulia Rahman Putra
Nila Angrreiny
Keyakinan Tidak Rasional dan Stres Kerja Pada Profesi Guru
Ria Indah Sari Gaghana, Susy Purwanti,
I Made Krisna Dinata
Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet
Sebagai Sumber Belajar
Juwandi
Rahma WIdyana
Meningkatkan Kemampuan Berhitung Pada Anak Usia Dini
dengan Cara Storytelling
Vella Fitrisia A
Konflik Psikologis Wanita “Nyerotd” Dalam Perkawinan Adat Bali
Kadek Jossy Alandari
Titik Muti’ahi
Kredit Sampul:
Abstact Water Collor
https://seminecraftgratuit.blogspot.com/2019/04/abstract-art-is-fundamentally.html
03
05
27
41
49
65
78
CATATAN JURNAL SPIRITS
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 03
Salam & Bahagia,Jurnal Spirits merupakan jurnal ilmiah yang dikelola Fakultas
psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. Jurnal ini membawa spirits tumbuhnya ide dan gagasan-gagasan baru tentang pengetahuan psikologi utamanya berbasis pada kebudayaan sendiri. Sama seperti terbitan sebelumnya, Jurnal Spirits Volume 10 No 1 2019 menghadirkan enam artikel ilmiah penelitian psikologi. Selain itu jurnal Spirits juga konsisten menghadirkan aartikel penelitian yang berbasis lokal indigenous.
Pada volume ini dihadirkan dua artikel bernuansa indigenous, artikel pertama mengupas tentang dinamika psikologis perempuan nyerod (turun kasta) di Bali. Artikel selanjutnya mengupas tentang kesejahteraan psikologis keluarga penyintas bunuh diri di gunung kidul. Dimana peneliti mendalami konsep psikologi digulung digelaryang diyakini keluarga untuk memperthankan kesejahteraan psikologis keluarga. Empat artikel berikutnya mengupas tentang kebersyukuran, stress kerja dan pendidikan anak.
Kami mewakili pengelola jurnal spirtis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tinggi-tingginya kepada para penulis dan mitra bebestari yangtelah membantu terbitnya jurnal spirits. Sebagai penutup, kami berharap jurnal spirits mampu berkontribusi ada perkembangan ilmu psikologi di Indonesia, utamanya pada munculnya kajian-kajian indigenous.
selamat membaca!
Editorial Board,
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara04
KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS KELUARGA PENYINTAS BUNUH DIRI
1 2Faizah Najlawati; Indriyati Eko Purwaningsih
Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa Yogyakarta1 2
Email: ;
Kronologi Naskah:
Naskah Masuk, 1 Agustus 2019, Revisi 25 September 2019
Diterima 5 Oktober 2019
[email protected]@ustjogja.ac.id
Abstract. The purpose of this research was to know the description of the
psychological well-being of families suicide survivors in Karangrejek, Wonosari,
Gunungkidul. Research subjects were four family members with one family
member as a suicide survivor. Data research methods were observation and
interview. Data analysis techniques were data collection, data reduction, data
present, triangulation, and conclude data. The results of data analysis were six
aspects of self-acceptance, positive relationships with others, autonomy,
environmental control, life goals and personal growth that represent
psychological well-being in families of suicide survivors. The results of this study
found that families of suicide survivors had a good psychological well-being
influenced by personality and social support, and the philosophy of 'digelar
digulung' embedded in the family.
Keywords: psychological wellbeing, suicide, family
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 05
Abstrak. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui gambaran mengenai
kesejahteraan psikologis keluarga penyintas bunuh diri di Desa Karangrejek
Wonosari Gunungkidul. Subjek penelitian adalah empat orang anggota
keluarga dengan salah satu anggota keluarga sebagai penyintas bunuh diri.
Metode penelitian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi
dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pengumpulan data, reduksi data, menyajikan data, triangulasi, dan
menyimpulkan data. Hasil analisis data adalah terdapat enam aspek yaitu
penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan
lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi yang mewakili
kesejahteraan psikologis pada keluarga penyintas bunuh diri. Hasil penelitian ini
diperoleh bahwa keluarga penyintas bunuh diri memiliki kesejahteraan
psikologis yang baik dengan dipengaruhi oleh kepribadian dan dukungan
sosial, serta adanya filosofi 'digelar digulung' yang ditanamkan dalam keluarga.
Kata kunci: bunuh diri, kesejahteraan psikologisbunuh diri, keluarga
Perilaku bunuh diri bukanlah hal yang asing bagi masyarakat.
Berbagai daerah di Indonesia, rata-rata terdapat individu yang
melakukan bunuh diri. Salah satu daerah yang marak terjadinya
pelaku bunuh diri di Indonesia ialah di Gunungkidul. Menurut
Yuwono (2017), angka bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul,
Yogyakarta, tergolong tinggi. Sampai semester pertama tahun
2017 terjadi 19 kasus dan dua percobaan bunuh diri.
Bunuh diri yang sering dilakukan adalah dengan cara
menggantungkan diri, sehingga masyarakat Gunungkidul
mengenalnya dengan sebutan 'pulung gantung'. Dhaksinarga
(2017) dari Data Inti Mata Jiwa (IMAJI) menyebutkan cara gantung
diri tersebut merupakan cerminan bahwa 'pulung gantung'
melekat dalam pikiran masyarakat Gunungkidul, tetapi menurut
kajian IMAJI penyebab bunuh diri adalah karena depresi. IMAJI
organisasi yang bergerak dalam kesehatan jiwa dan upaya
pencegahan bunuh diri, sepanjang Januari-Agustus 2017 sekitar
25 orang bunuh diri, sementara 2016 mencapai 30 orang dan 2015
ada 31 kasus bunuh diri, dan hampir seluruh korban mengakhiri
hidupnya dengan cara gantung diri. Masyarakat yang beresiko
melakukan bunuh diri menurut Dhaksinarga (dalam Lestari dan
Budhi, 2017), antara lain orang dengan sakit menahun, orang
lanjut usia atau lansia yang hidup sendiri dan juga orang dengan
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara06
Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih
Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri
masalah ekonomi.
Data lain juga didapatkan oleh peneliti ketika
mewawancarai salah satu perangkat desa pada tanggal 22
November 2017 di Desa Karangrejek, Kecamatan Wonosari,
Kabupaten Gunungkidul. Berdasarkan wawancara tersebut
didapatkan hasil bahwa terdapat 3 kasus bunuh diri dan 2 kasus
penyintas bunuh diri (gagal melakukan bunuh diri). Pada
beberapa kasus, dikatakan bahwa para pelaku bunuh diri rata-
rata sudah memiliki keluarga. Keluarga yang pernah merasakan
atau hampir kehilangan anggota keluarganya dengan cara bunuh
diri, diduga kesejahteraan psikologisnya dapat terganggu.
Penelitian Mulyani dan Eridiana (2018) menyebut bahwa
tingginya angka bunuh disebabkan adanya faktor individu, di
mana masyarakat tertutup ketika menghadapi masalah dan
kurang mampu meresolusi masalah yang dihadapi. Kedua faktor
sosial, di mana masyarakat jauh dari keluarga dan rendahnya
mobilitas. Selanjutnya, faktor ekonomi, di mana masyarakat
masih banyak yang bekerja keras di usia lanjut dan terserang sakit
menahun.
Kesejahteraan psikologis dapat diartikan sebagai suatu
bentuk kepuasan dalam hidup yang mendatangkan perasaan
bahagia atau damai, dan tentunya setiap individu akan memiliki
arti yang berbeda sesuai dengan standar kepuasannya. Anggota
keluarga yang kesejahteraan psikologisnya mulai
terguncang/terganggu dapat memicu terjadinya tindakan bunuh
diri. Hal tersebut sangat perlu diperhatikan, supaya kesejahteraan
psikologis keluarga penyintas bunuh diri tetap berada pada taraf
yang baik. Sehingga keberlangsungan hidup keluarga tersebut
dapat berjalan lancar dan mencegah agar tidak terjadinya
tindakan bunuh diri lagi pada keluarga tersebut.
Ki Hajar Dewantara (dalam Eko, 2012), bahwa keluarga
berasal dari bahasa Jawa yang terbentuk dari dua kata yaitu
kawula dan warga. Di dalam bahasa Jawa kuno kawula berarti
hamba dan warga artinya anggota. Secara bebas dapat diartikan
bahwa keluarga adalah anggota hamba atau warga saya. Artinya
setiap anggota dari kawula merasakan sebagai satu kesatuan
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 07
yang utuh sebagai bagian dari dirinya dan dirinya juga
merupakan bagian dari warga yang lainnya secara keseluruhan.
Keluarga yang memiliki anggota keluarga penyintas bunuh
diri masih dapat menerima kenyataan dan memiliki sikap positif
terhadap kejadian yang pernah terjadi. Anggota keluarga dapat
menerima kejadian yang terjadi dengan menanamkan nilai-nilai
positif dalam hidup, salah satunya kemampuan dalam
mengambil keputusan secara mandiri. Selain itu, anggota
keluarga penyintas bunuh diri juga memiliki keyakinan bahwa
hidupnya mempunyai arah dan tujuan, salah satunya dengan
memiliki harapan dan memiliki keyakinan positif bahwa kejadian
bunuh diri merupakan suatu kesalahan sehingga dapat
memperbaiki kehidupan selanjutnya dengan lebih baik.
Berdasarkan uraian tersebut peneliti bermaksud melakukan
penelitian mengenai kesejahteraan psikologis keluarga penyintas
bunuh diri di Desa Karangrejek, Kecamatan Wonosari, Kabupaten
Gunungkidul.
Bunuh Diri
Menurut Shneidman (1985) mendefinisikan bunuh diri
sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang ditujukan
pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh
diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Shneidman (1985)
mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung
melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan
perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat
bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang
dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan. Dari
aliran psikoanalisis, Menninger (dalam Maris, 2000) mendefiniskan
bahwa bunuh diri adalah (1) pembunuhan (melibatkan kebencian
atau keinginan untuk membunuh), (2) pembunuhan oleh diri
sendiri (sering melibatkan kesalahan atau ingin dibunuh) dan (3)
keinginan untuk mati (melibatkan keputusasaan).
Menurut Shneidman (1971), individu yang bunuh diri
dengan tujuan ingin mati dan bunuh diri tanpa ada keinginan
untuk mati, yang mengakibatkan kematian atau tidak,
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara08
Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih
Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri
dikategorikan ke dalam attempted suicide. Attempted suicide
dibagi kedalam dua kategori, yaitu:
1. Committed suicide, yaitu orang yang melakukan usaha
bunuh diri dengan tujuan ingin mati, baik yang bisa
diselamatkan atau tidak.
2. Non suicidal, yaitu orang yang melakukan usaha
bunuh diri namun tidak ada keinginan untuk mati.
Terdapat banyak faktor yang dapat mengakibatkan
seseorang melakukan percobaan bunuh diri, diantaranya yaitu:
adanya gangguan psikologis; penggunaan alkohol dan narkotik
(Substance Abuse); krisis kepribadian (Personality Disorder);
Penyakit-penyakit jasmani (Physical Illnesses); Faktor-faktor
genetis (Genetic Factors); perubahan dalam bursa kerja (Labour
Market); kondisi keluarga; dan pengaruh media massa (Al Husain,
2005).
Hasil penelitian Mukharromah (2014) menunjukkan
percobaan bunuh diri dilakukan karena faktor adanya rasa
kehilangan, sarana untuk mengekspresikan emosi-emosi negatif
yang dirasakan, hal ini disebabkan oleh depresi yang muncul
tidak dapat direduksi oleh ego. Lebih lanjut, Pada penelitian
mereka yang melakukan percobaan bunuh diri cenderung tidak
berpikir sistematis, sebagai akibat dari depresi yang timbul
sebelum percobaan bunuh diri berlangsung. Depresi juga
didukung karena adanya tekanan dari lingkungan sosial dan
subjek tidak mampu menyesuaikan dirinya, didukung dengan
adanya faktor internal yaitu pandangan negatif pada diri dan
masa depan, maka timbul rasa frustrasi yang diwujudkan dengan
percobaan bunuh diri.
Kesejahteraan Psikologis
Menurut Ryff (1989), kesejahteraan psikologis merupakan
sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif
terhadap diri sendiri, mampu menjalin hubungan yang baik
dengan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan
mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 09
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
mengatur lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya,
memiliki tujuan hidup dan membuat hidupnya lebih bermakna,
serta berusaha mengekspresikan dan mengembangkan dirinya.
Lawton (1983) mengemukakan bahwa kesejahteraan psikologis
merupakan gambaran seseorang mengenai hidup yang
berkualitas yang terbentuk dari evaluasi terhadap aspek-aspek
dalam hidup yang dianggap baik atau memuaskan.
Lopez dan Synder (2003) memberikan pernyataan bahwa
kesejahteraan psikologis bukan sekedar ketiadaan penderitaan,
namun kesejahteraan psikologis meliputi ketertarikan aktif dalam
dunia, memahami arti dan tujuan hidup, dan hubungan
seseorang pada objek ataupun orang lain. Papalia, dkk (2009)
menambahkan bahwa manusia yang sejahtera secara psikologis
adalah manusia yang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri
maupun terhadap orang lain. Manusia memiliki kemampuan
menentukan pil ihannya, menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, memiliki tujuan hidup, serta mengembangkan
potensi dirinya sebaik mungkin.
Aspek-aspek kesejahteraan psikologis pada teori Ryff
(1989), meliputi enam dimensi yaitu: (a) penerimaan diri; (b)
hubungan positif dengan orang lain; (c) otonomi; (d) penguasaan
lingkungan; (e) tujuan hidup; dan (f) pertumbuhan pribadi.
Menurut Ryff dan Keyes (1995), faktor-faktor yang memengaruhi
kesejahteraan psikologis (psychological well-being), antara lain:
usia; jenis kelamin; Tingkat pendidikan dan pekerjaan. Penelitian
selanjutnya yang dilakukan oleh Schmutte dan Ryff (1997)
menyebutkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi
kesejahteraan psikologi (psychological well-being), antara lain:
a. Kepribadian pada faktor ini merupakan apabila individu
memiliki kepribadian yang mengarah pada sifat-sifat
negatif seperti mudah marah, mudah stress,mudah
terpengaruh dan cenderung labil akan menyebabkan
terbentuknya keadaan psychological well-being yang
rendah. Sebaliknya, apabila individu memiliki kepribadian
yang baik, maka individu akan lebih bahagia dan sejahtera
karena mampu melewati tantangan dalam kehidupannya.
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara10
Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih
Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri
b. Pekerjaan merupakan sifatnya rentan terhadap korupsi,
iklim organisasi yang tidak mendukung dan pekerjaan
yang tidak disenangi akan menyebabkan terbentuknya
keadaan psychological well-being yang rendah, begitu
pula sebaliknya.
c. Kesehatan dan fungsi fisik merupakan individu yang
mengalami gangguan kesehatan dan fungsi fisik yang
tidak optimal atau terganggu dapat menyebabkan
rendahnya psychological well-being individu tersebut.
Sebaliknya, apabila individu memiliki kesehatan dan fungsi
yang baik, akan memiliki psychological well-being yang
tinggi.
Selain yang disebut diatas para ahli juga mengungkap faktor-
faktor lain yang dapat memengaruhi psychological well-being.
Basaria (2017) well being terkait erat dengan kesehatan mental,
kualitas hidup dan kebahagiaan. Penelitian Ellison (1991)
menunjukkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan
terhadap agama yang kuat, dilaporkan memiliki kepuasan hidup
yang lebih tinggi, kebahagiaan personal yang lebih tinggi serta
mengalami dampak negatif peristiwa traumatis yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki
kepercayaan terhadap agama yang kuat. Cohern dan Syme
(dalam Wahyuningtiyas, 2016) menyebutkan bahwa dukungan
sosial dapat berkaitan erat dengan psychological well-being.
Dukungan sosial diperoleh dari orang- orang yang berinteraksi
dan dekat secara emosional dengan individu. Orang yang
memberikan dukungan sosial ini disebut sebagai sumber
dukungan sosial.
Metode
Subjek pada penelitian ini adalah empat anggota keluarga
dengan salah satu anggota keluarga sebagai penyintas bunuh
diri di Desa Karangrejek Wonosari Gunungkidul. Pada sebuah
anggota keluarga yang dijadikan penelitian, yaitu terdiri dari
suami (penyintas bunuh diri), istri, ibu suami, dan adik bungsu
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 11
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
dari suami. Selain subjek, penelitian ini juga menggunakan
informan, yaitu kepala dukuh di Desa Karangrejek yang
rumahnya berdekatan dengan rumah keluarga penyintas bunuh
diri.
Metode pengumpulan data pada penelitian ini
menggunakan observasi dan wawancara. Dalam penelitian ini,
peneliti akan melakukan pengamatan secara langsung di lokasi
penelitian. Serta mencatat semua kejadian yang berkaitan
dengan penel it ian yang di lakukan sesuai dengan
fakta/kenyataan yang ada (Arikunto, 2010). Wawancara yang
digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi
terstruktur, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila
dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari
wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan
secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara
diminta pendapat, dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara,
peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang
telah dikemukakan oleh informan (Esterberg dalam Sugiyono,
2011).
Mengacu pada Miles (dalam Moleong, 2010) dalam analisis
data langkah pertama yang dilakukan peneliti sebelum
melakukan analisis data adalah koding. Koding merupakan
proses memberikan kode-kode pada materi yang diperoleh
dengan maksud untuk dapat mengorganisasi dan
mensistematisasi data secara lengkap dan detail seingga dapat
memunculkan data sesuai gambaran tentang topik yang
dipelajari. Peneliti memberikan koding pada data-data yang telah
terkumpul berdasarkan hasil wawancara.
Peneliti melakukan tiga tahapan koding, yaitu pertama
peneliti menyusun verbatim hasil wawancara. Kedua, peneliti
secara urut dan kontinyu melakukan penomoran dengan angka
kelipatan lima pada baris-baris transkip, misalnya lima, sepuluh,
lima belas, dan selanjutnya. Ketiga, peneliti memberikan nama
untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu. Peneliti
memilih kode yang dianggap tepat mewakili berkas tersebut
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara12
Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih
Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri
seperti, S1 menunjukkan subjek pertama, W1 menunjukkan
wawancara pertama, P atau L menunjukkan jenis kelamin
perempuan atau laki-laki, dan b menunjukkan baris. Pengambilan
kesimpulan dalam penelitian ini menggambarkan kesejahteraan
psikologis dengan pembahasan secara terperinci namun ringkas
mengenai kesejahteraan psikologis keluarga penyintas bunuh
diri.
H a s i l
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dimana
subjek penelitian dalam penelitian ini adalah sebuah keluarga
yang memiliki anggota keluarga penyintas bunuh diri. Semua
subjek bertempat tinggal di Desa Karangrejek, Gunungkidul,
Yogyakarta. Berikut adalah tabel pelaksanaan observasi dan
wawancara pada keempat subjek dan informan:
Tabel 1. Deskripsi Subjek Penelitian
Tabel 2. Deskripsi Informan Penelitian
Hasil penelitian dibagi menjadi beberpa kategori tema
pokok sebagai berikut: penerimaan diri, otonomi, interaksi
dengan orang lain, perkembangan pribadi, penguasaan
lingkungan dan tujuan hidup. Berikut uraian hasil penelitian
masing-masing tema.
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 13
No Nama Jenis
Kelamin
Usia Pendidikan Ket
1 Subjek 1 (M) Laki-Laki 41 SD Subjek Inti
2 Subjek 2 (SPL) Perempuan 27 SMA Subjek Inti
3 Subjek 3 (G) Perempuan 63 SD Subjek Inti
4 Subjek 4 (S) Perempuan 45 SD Subjek Inti
No Nama Jenis Kelamin Usia Pendidikan Ket
1 Informan Laki-Laki 41
Tahun
SMA Dukuh
Karangsari
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
1. Penerimaan diri
Meskipun tidak mudah bagi keluarga ini untuk menerima
semua peristiwa dan pengalaman yang tidak menyenangkan
namun mereka mencoba untuk mengakui dan mampu menerima
kehidupan yang pernah dilewatinya. Peristiwa yang dilaluinya
dalam keluarga ini diakui cukup menyakitkan, sejak kehilangan
kaki, hingga melakukan percobaan bunuh diri pada Suami (S1).
Bagi S1 peristiwa yang dialaminya merupakan sebuah teguran dari
Tuhan atas perilaku yag telah dilakukan sebelumnya.
“Maknanya satu, ini berharga sekali, sakit merubah segalanya.
Dalam arti merubah segalanya, itu semua teguran dari Allah untuk
saya. Caranya masalahnya saya dikasih tau sama mulut ga
dipakai, diperingatkan dengan keadaan ini, mudah-mudahan
diperingatkan pakai ini bisa, ibaratnya seperti itu.”
(W1.S1.L.A1.b446-453)
S1 memiliki sikap positif terhadap perubahan yang terjadi
dalam dirinya. Baginya pengalaman yang dilaluinya sangat
berharga, karena melalui hal tersebut ia bersemangat untuk
melakukan perubahan diri. Meskipun susah, dan harus melualui
teguran keras kehilangan kaki dan putus asa melakukan
percobaan bunuh diri.
“Iya, berharga banget, saya itu senang-senang susah. Senangnya
saya itu yang jelas bisa merubah sifat saya yang jelek itu, susah
saya ya memang saya syukuri, saya syukuri, terus saya ambil sisi
positifnya saja.” (W1.S1.L.A1.b455-460)
Bagi istrinya (S4) perubahan positif yang ditunjukan
suaminya (S1) adalah hal yang luar biasa. Meskipun harus melalui
jalan yang pahit utk suaminya, dirinya beserta keluarganya. Istrinya
mampu menerima kondisi suaminya yang saat ini telah cacat dan
sempat melakukan percobaan bunuh diri. Istrnya menemukan
sosok yang lain dan lebih positif pada suaminya.
“Ya soalnya kalau dilihat kondisinya sekarang yang beliau banyak
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara14
Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih
Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri
perubahan ya insyaAllah tidak lah. Banyak soalnya pak
perubahannya alhamdulillah.” (W1.S4.P.A1.b152-156)
Tidak mudah melalui pengalaman seperti kelurga subjek,
memiliki anggota keluarga yang melakukan percobaan bunuh diri.
Namun setelah peristiwa tersebut berlalu, mereka mampu mampu
menerima kodisi tersebut. Penerimaan diri yang ditunjukan oleh
keluaga ini ditandai dengan perubahan sikap dan perilaku yang
positif pada masing-masing anggota keluarga.
2. Interaksi Sosial
Berkaitan dengan hubungan intersonal Subjek 1 memiliki
empati yang kuat dengan keluarganya. Sebagai contoh misalnya
ketika mau berbagi rumah dengan saudaranya. Karena subjek 1
memiliki banyak saudara yang menurutnya perlu dibantu.
“Saudara saya banyak jadi seandainya saudara saya ada yang mau
merasakan tinggal di rumah itu, saya persilahkan.”
(W1.S1.L.A2.b253-255)
Hubungan sosial yang baik yang dimiliki subjek ditandai
dengan adanya rasa kepercayaan terhadap orang lain. Subjek 1
mampu menaruh kepercyaan terhadap pamanya, karena merasa
pamnya orang yangtepat untuk diajak diskusi. Manakala subjek 1
memiliki persoalan, selalu mendatangi pamanya untuk bercerita.
“Masalahnya terus terang ya, saya ini kalau curhat tidak minta
disalahkan, tapi disarankan. Kalau om, katakanlah sekilas
menyalahkan, tapi habis itu kan enak pokoknya diajak ngobrol itu
nyambung lah. Tau sama tau lah.” (W1.S1.L.A2.b977-982)
Hubungan kasih sayang yang mendalam subjek 1 kepada
istrinya ditunjukan dalam perilaku sehari-hari. Pasca percobaan
bunuh diri subjek 1 nampak makin berperilaku positif untuk
menunjukan rasa sayang terhadap istrinya. Hal ini dikarenakan
subjek 1 merasa istrinya semakin memiliki beban berat pasca
dirinya kehilangan kaki dan melakukan percobaan bunuh.
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 15
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Sehingga sebisa mungkin, sekecil apapun ia menunjukan rasa
tersebut kepada istrinya melualui perilaku.
“Tapi pikiran saya cuma jangan sampai merepotkan, saya
walaupun seperti itu juga memikirkan istri saya, jangan sampai
merepotkan istri kasian, mikirin cari uang, mikirin lain sebagainya.
Mungkin lebih dari aku, satu-satunya jalan ya saya tidak ingin
merepotkan istri. Ya saya balas istri saya, kalau istri saya pulang
kerja habis maghrib tanpa diminta pasti saya pijat.”
(W1.S1.L.A2.b1084-1093)
Sebaliknya istri (subjek 4) membalas kasih sayang
tersebut dengan perilaku yang sama. Meskipun suaminya cacat,
sempat putus asa, dan melakukan percobaan bunuh diri istrinya
tetap setia mendampinginya. Yang menarik, justru istri merasakan
perubahan sikap yang positif dari suaminya sesduah suaminya
cacat. Sikap tersebut yang selama ini jarang sekali muncul
sebelum suaminya mengalami keacatan dan melakukan
percobaan bunuh diri.
Meskipun dahulu, subjek 4 seringkali disakiti suaminya,
justru hubungan yang erat ia jalin dengan keluarga besar
suaminya. Orangtua suaminya yang menguatkan istrinya untuk
tetap sabar dan bertahan menghadapi perangai suaminya.
Sementara itu adik-adik suaminya juga merasa dekat dengan
subjek 4, hubungan mereka cukup hangat layaknya kakak adik
kandung.
“Malah saya dengan keluarga suami itu deket. Terutama adik2nya
bapak. Saya sudah dianggap kakak sendiri. Ya sampai yang nolong
ke rumah sakit waktu itu kan adik bapak.” (W1.S4.P.A2.b231-235)
Meskipun mengalami masa-masa yang pahit suami-istri
mampu menunjukan hubungan interpersonal yang hangat. Baik
diantara keduanya maupun terhadap keluarga besarnya.
Hubungan ini semakin hangat justru ketika suami mengalami
kecacatan pada kaki dan sempat melakukan percobaan bunuh diri.
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara16
Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih
Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri
3. Otonomi
Dua temuan yang terkait dengan otonomi adalah
kemampuan mengambil keputusan secara mandiri serta
kemampuan mengarahkan perilakunya secara mandiri. Pada
subjek 1 meskipun mengalami kecacatan ia mampu membuat
keputusan untuk secara mandiri bekerja lagi. Namun dengan
keterbatasan yang dimiliki, subjek 1 menydari perlu membutuhkan
pihak lain untuk membantu. Untuk itu berusaha untuk mandiri
mencari bantuan kaki palsu kepada pihak lain agar mampu bekerja
lagi.
Sedangkan subjek 4 sebagai istri pada aspek otonomi
nampak ketika mengalami persoalan rumah tangga dengan
suaminya. Subjek 4 telah memahami apa yang harus dilakukan
ketika sedang berkonflik dengan suaminya. Ketika sedang
mengalami masalah dengan suaminya subjek 4, sudah mampu
memngambil sikap dan tindakan yang diinginkanya. Sebagai
contoh misalnya mendiamkan suami selama beberapa waktu. Hal
ini dilakuka dilakukan sebagai wujud sikap perlawanan terhadap
sikap suaminya.
“Kalau saya kalo marah lebih banyak tak diemin, tapi pernah sekali
sampai saya tampar suami saya. Ya waktu kejadian itu. Tapi ya
InsyaAllah sekali itu saja. Kasihan sebenernya, kasihan juga anak
saya kalau denger kita bertengkar makanya lebih baik kalau marah
saya diam.” (W1.S4.P.A3.b145-148)
Begitupula dengan subjek 2, sebagai adik ia sering
mendengar hal – hal yang tidak baik terhadap keluarga kakaknya,
yakni subjek 1. Ketika hal tersebut terjadi subjek 2 cenderung
memilih sikap untuk diam dan mengacuhkan. Ia meyakini apa yang
ia dengar sesungguhnya tidak sesuai dengan yang sebebanrnya
terjadi pada kakakynya. Terlebih kakaknya sudah telah banyak
berubah pasca kakinya diamputasi dan menjadi cacat.
Perkembangan pribadi
Meskipun mengalami peristiwa yang cukup menggetirkan,
akan tetapi seiring berjalanyawaktu keluarga ini sudah mulai
mampu untuk menyesuaikan dengan keadaan. Masing-masing
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 17
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
anggota keluarga memeiliki rencana untuk masa depan, meskipun
agak sulit untuk mewujudkanya.
Subjek 1 sebenarnya pribadi yang cukup kreatif dan
pekerja keras. Menjadi cacat tentu memiliki dampak pada aktivitas
bekerja sebelumnya. Pasca percobaan bunuh diri, beberapa
bantuan datang kepada subjek 1, salah satunya adalah ketika
mendapatkan bantuan kaki palsu. Subjek nampak gigih berusaha
untuk segera beradaptasi dengan kaki palsunya. Harapanya ketika
sudah mampu beradaptasi dengan kaki palsunya subjek akan
bekerja kembali untuk memenuhi tanggung jawab sebagai kepala
keluarga.
Subjek 2, memiliki aktivitas menjahit, meskipun belum
menjadi tumpuan penghasilan. Aktivitas menjahit merupakan hobi
ynag dilakukan sejak dulu. Subjek 2 kemudian mulai menekuini
aktivitas menjadi dengan mengikutikursus menjahit selama 3
bulan.
Subjek 4 sebagi istri yang menjadi tulang punggung
keluarga pasca percobaan bunuh diri. K subjek 4 bekerja sebagai
buruh cuci di sebuah hotel di dekat kampungnya. Sebenarnya ia
inin sekali berciocok tanam, namun belum terlaksana karena tidak
memiliki sawah. Suatu saat apabila ingin mendapatkan rejeki ia
ingin sekali untuk membuka sawah agar bisa bercocok tanam.
“Sebenarnya saya suka bercocok tanam. Cuman saya tidak punya
sawah.” (W1.S4.P.A6.b306-309)
4. Penguasaan lingkungan
Meskipun menjadi buah bibir di lingkungan akibat
peristiwa percobaan bunuh diri, keluarga ini masih memiliki
sesemangat untuk akhtivitas bersama warga kampung. Subjek 2
merupakan kades posyandu didesanya, subjek 4 juga terlibat aktif
dalam kegiatan di kampung seperti arisan dan pengajian.
Sedangkan bagi subjek 1, perlu waktu untuk mu
beraktivitas kembali dengan masyarakat, ditambah lagi dengan
kondisi kecacatan yang dimilikinya saat ini. Meskiun begitu subjek
1 berusaha untuk berpartisipasi aktif di kegiatan lingkunganya
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara18
Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih
Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri
“Ikut arisan, saya masih ikut meskipun keadaan ini saya ikut. Saya
itu dulu itu enggak ikut saat masih keadaan sakit keadaan masih
belum srek lah istilahnya, belum bisa noto pikiran, wong jowo
ngomong. Belum bisa noto hati, sekarang sudah bisa. Walaupun
cuma kan yang lainnya pakai celana panjang saya cuma pakai
celana pendek.” (W2.S1.L.A4.b341-350)
5. Tujuan hidup
Tujuan hidup masing –masing subjek dalam keluarga ini
berbeda –beda namun sesungguhnya memiliki arah yang sama
yakni kebahagiaan. Subjek 1 meyakini dengan kondisi kecacatan
yang dialaminya saat ini masih mampu untuk bekerja demi
memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Subjek 1
rela bekerja meskipun sudah sulit bekerja seperti profesi
terdahulu.
Rela bekerja dimanapun yang penting halal untuk mencapai
tujuan hidupnya. (W1.S1.L.A5.b848-854)
Peristiwa yang telah dilalui keluarga ini berkaitan dengan
percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh subjek 1 , dianggap
sebagai pembelajaran hidup yang sangat berarti bagi anggota
keluarga lain. Mereka pelan-pelan telah memahami bahwa
pengalaman ini adalah ujian untuk mencapai tujuan hidup di masa
yang akan datang. Meskipun pahit, mereka justru bersyukur,
mendapatkan pengalaman hidup. Dengan bekal pengalaman ini
sebagai orangtua subjek 3 yakin pengalaman ini ada maknanya.
Meyakini ada makna dalam kehidupan yang dilewati demi tujuan
hidup yang mendatang.(W1.S3.P.A5.b93-94)
Diskusi
Meskipun keluarga pernah mengalami peristiwa yang
pahit, salah satu anggota keluarga mereka melakukan percobaan
bunuh diri namun memiliki kejahteraan psikologi yang baik. Ryff
dalam Diener, dkk (2009) mengatakan bahwa kondisi
kesejahteraan pskologi bukanlah sesuatu yang statis, namun Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 19
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
bergerak dinamis dalam sepanjang rentang perkembangan hidup.
Pengalaman hidup yang meyakitkan justru menjadi modal
semangat untuk melakukan perubahan yang lebih baik.
Pengalaman hidup akan memberikan pengaruh terhadap
kondisi kesejahteraan psikologis. Penelitian Halim dan Wirawan
(dalam Harimukhti & Dewi, 2014) menunjukan individu yang
menderita penyakit kronis dan menjalani operasi serta
pengobatan hingga kehilangan salah satu fungsi tubuh di usia
dewasa cenderung akan memiliki peningkatan dalam pemahaman
kesejahteraan psikologis. Lebih lanjut , perubahan fungsi fisik yang
terjadi pada seseorang memiliki kecenderungan untuk mengubah
pola pikir individu menjadi lebih positif ,sehingga memiliki
dampak pada peningkatan kesejahteraan psikologis individu
tersebut.
Penerimaan diri yakni menerima sikap positif dalam diri
dan kehidupan yang telah dilewatinya. Individu yang
kesejahteraan psikologisnya tinggi,memiliki sikap positif terhadap
diri sendiri. Berdasarkan aspek penerimaan diri, peneliti
menemukan bahwa masing-masing subjek memiliki sikap positif
dengan merasa bersyukur dengan kehidupan yang dialami, subjek
juga dapat menerima kehidupan yang telah dilewatinya yaitu
setelah kejadian bunuh diri yang pernah dilakukan salah satu
anggota keluarga, sebagai suatu teguran untuk menjadikan
kehidupan berikutnya lebih baik lagi.
Rasa syukur erat kaitanya dengan kesejahteraan psikologis
(Wood, Joseph, & Maltby, 2009). Watkin dalam Emmons &
McCullough (2004) mengungkap bahwa individu sering bersyukur
maka memperbanyak pengalaman emosi dan memori positif.
Pengalaman positif berfungsi untuk merespon kondisi depresif.
Penelitian biopsikologi oleh Miller,dkk (2013) menemukan bahwa
orang yang bersyukur akan mengalami penebalan pada parietal,
oksipital, dan lobus frontal medial di hemisper kanan dan juga di
cuneus dan precuneus di hemisper kiri. Penebalan pada bagian
korteks ini meningkatkan ketahanan terhadap depresi. Hal ini
doperkuat dengan penelitian Dewanto dan Sofiawati (2015) yang
menyebutkan bahwa kebersyukuran mampu menigkatkan
kesejahteraan psikologis.Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara20
Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih
Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri
Hubungan positif dengan orang lain yakni menekankan
kemampuan individu dalam membina kehangatan dan hubungan
saling percaya, serta memiliki empati yang kuat dengan orang lain.
Kesejahteraan psikologis individu yang tinggi mampu menjalin
kepercayaan dengan orang lain, memiliki empati, dan memahami
hubungan timbal balik. Berdasarkan hubungan positif dengan
orang lain, masing-masing subjek dapat membangun hubungan
baik dengan orang-orang disekitarnya, setelah mengalami
kejadian penyintas bunuh diri yang menimpa salah satu anggota
keluarga. Cohern dan Syme (dalam Wahyuningtiyas, 2016)
menyebutkan bahwa dukungan sosial dapat berkaitan erat
dengan psychological well-being. Dukungan sosial diperoleh dari
orang- orang yang berinteraksi dan dekat secara emosional
dengan individu. Orang yang memberikan dukungan sosial ini
disebut sebagai sumber dukungan sosial.
Faktor dukungan sosial juga dapat mempengaruhi
kesejahteraan psikologis keluarga terdampak bunuh diri.
Dukungan sosial dapat diperoleh dari orang-orang yang
berinteraksi dan dekat secara emosional dengan individu.
Berdasarkan faktor dukungan sosial, keluarga ini mendapatkan
dukungan dari kerabat dekat maupun jauh, terutama bagi subjek
pertama mendapatkan dukungan dari sebuah yayasan yang
memberikan bantuan berupa kaki palsu, sehingga subjek memiliki
semangat baru untuk menjalani kehidupan yang mendatang.
Berkaitan dengan Otonomi dan penguasaan lingkungan,
meskipun belum maksimal namun perlahan mampu memiliki
kedua aspek tersebut. masing-masing subjek dapat mandiri dalam
mengambil keputusan, terutama dalam hal pekerjaan, berperilaku,
dan mengarahkan diri dengan baik ketika berada dalam
lingkungan. subjek pertama pernah menjadi ketua rt, dan setelah
kejadian bunuh diri yang dialami subjek mampu mengontrol
aktivitas dengan mengikuti kegiatan yang ada di desa, salah
satunya arisan rt. Ryff (1989) menyebut bahwa indvidu mampu
memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi
dirinya, berpartisipasi aktif dalam aktivitas lingkungan, mampu
memanipulasi dan mengontrol lingkungan, mampu mengontrol
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 21
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
aktivitas, dapat menggunakan kesempatan dengan efektif
memiliki kemampuan enviromental mastery.
Latar budaya Jawa turut mewarnai keyakinan Pada
keluarga penyintas bunuh diri, terkait dengan tujuan hidup dan
pertumbuhan pribadi. Mereka memandang hati dan pikiran harus
'digelar digulung' yang memiliki arti pikiran itu harus dinaik-
turunkan. Filosofi tersebut hampir serupa dengan filosofi 'mulur
mungkret' yang dicetuskan oleh Ki Ageng Suryomentaram (dalam
Nurhadi, 2007) yaitu sifat keinginan itu abadi, yakni sebentar
mulur, sebentar mungkret (menyusut). Rasanya pun abadi, yakni
sebentar senang, sebentar susah. Berdasarkan filosofi yang
terdapat pada keluarga tersebutlah yang menyebabkan keluarga
penyintas bunuh diri masih memiliki kesejahteraan psikologis
yang positif.
Menurut KAS Manusia itu dipenuhi keinginan-keinginan
dengan tujuan mendapat kebahagiaan, namun sesungguhnya
tidak ada yang mutlak (Sugiarto, 2015). Tercapainya keinginan
tidak menjamin munculnya rasa bahagia. Hal ini karena keinginan
bersifat mulur atau mengembang, sehingga belum sempat
seseorang merasakan kebahagiaan sudah tertutupi oleh
pikirannya dalam meraih keinginan berikutnya. Begitu pun dengan
tidak tercapainya keinginan, juga tidak lantas membuat seseorang
merasakan kesusahan selama-lamanya. Hal ini karena, keinginan
juga bersifat mungkret atau menyusut.
Kesimpulan
Penelitian kesejahteraan psikologis keluarga penyintas
bunuh diri kepada empat subjek, yaitu sebuah keluarga yang
terdiri dari empat anggota keluarga dengan salah satu anggota
keluarga sebagai penyintas bunuh diri, dengan metode
pengumpulan data berupa observasi dan wawancara.
Berdasarkan dari uraian tentang aspek-aspek dan faktor
kesejahteraan psikologis didapatkan hasil bahwa keluarga
penyintas bunuh diri dapat menerima kehidupan yang telah
dilewatinya dengan baik, memiliki sikap positif dengan
mensyukuri kehidupannya saat ini. Anggota keluarga dapat
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara22
Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih
Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri
membangun hubungan baik dengan orang-orang disekitarnya,
dapat mengambil keputusan secara mandiri, serta mengarahkan
diri dengan baik ketika berada dalam lingkungan. Selain itu,
keluarga penyintas bunuh diri juga dapat menciptakan kondisi
lingkungan dan memanfaatkan kesempatan yang ada
dilingkungan dengan baik, serta memiliki tujuan, arah, dan niat
dalam kehidupan. Keluarga penyintas bunuh diri juga memiliki
filosofi 'digelar digulung' yang mendasari kesejahteraan psikologis
keluarga cenderung positif. Para anggota keluarga juga memiliki
keahlian sesuai kebutuhan individu dan keterampilan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kesejahteraan psikologis keluarga penyintas bunuh diri
juga dipengaruhi oleh kepribadian anggota keluarga yang selalu
bersikap positif dan adanya dukungan sosial dari kerabat dekat
maupun jauh.
Saran
Subjek penelitian diharapkan mampu berbagi pengalaman
hidup kepada keluarga penyintas bunuh diri maupun orang lain,
bahwa peristiwa bunuh diri bukanlah hal yang patut dilakukan
dalam menyelesaikan masalah, bahwa sebagai penyintas bunuh
diri masih dapat melakukan segala kegiatan seperti orang-orang
pada umumnya tanpa merasa canggung, dan selalu bersikap
positif bahwa dibalik permasalahan yang terjadi ada sebuah
makna yang tersirat.
Masyarakat diharapkan memiliki peran penting dalam
memahami maupun memberi dukungan bagi keluarga maupun
penyintas bunuh diri agar memiliki sikap positif dalam diri.
Mengingat keluarga penyintas bunuh diri cenderung dipandang
negatif dalam masyarakat, sehingga menyebabkan keluarga
penyintas bunuh diri kurang memiliki sikap positif dan hubungan
timbal balik dengan lingkungan sekitar, karena hal tersebut
menimbulkan faktor psikis yang membuat keluarga penyintas
bunuh diri menjadi kurang berinteraksi dengan lingkungan sosial,
mudah tersinggung, mudah menyendiri, dan memiliki rasa
kepercayaan diri yang rendah.
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 23
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Perangkat desa diharapkan dapat bekerjasama dengan
sebuah lembaga untuk mengadakan konseling/motivasi/seminar
khususnya kepada keluarga penyintas bunuh diri. Selain itu,
perangkat desa juga dapat memfasilitasi diadakannya workshop
kewirausahaan/kerajinan bernilai jual untuk masyarakat yang
sekiranya membutuhkan keahlian ataupun wawasan tersebut
untuk meningkatkan kinerja maupun kebutuhan ekonomi
keluarga.
Bagi penelitian selanjutnya yang hendak meneliti dengan
topik yang sama, diharapkan mampu menelaah lebih dalam
tentang kesejahteraan psikologis yang terbentuk pada subjek
yang hendak diteliti. Peneliti diharapkan mampu meneliti
kesejahteraan psikologis pada keluarga penyintas bunuh diri
dengan mempertimbangkan faktor lain dan kriteria subjek yang
dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis pada diri individu,
sehingga dalam penelitian dapat menemukan hasil yang lebih
detail dan mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Husain. S. (2005). Mengapa Harus Bunuh Diri. Jakarta : Qisthi Pres
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi
Revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Basaria, D. (2017). Gambaran Kecerdasan Emosi dan Psychological Well-
Being Tenaga Pendidik di Provinsi DKI Jakarta. Jurnal Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Universitas Tarumanegara.
Dewanto, W., Retnowati, S. (2015). Intervensi kebersyukuran dan
kesejahteraan penyandang disabilitas fisik. GADJAH MADA
JOURNAL OF PROFESSIONAL PSYCHOLOGY. 1(1). 33 – 47
Diener, E., Wirtz, D., Biswas-Diener, R., Tov, W., Kim-Prieto, Chu, Choi,
Dong-won, & Oishi, S. (2009). New measures of well-being. E.
Diener (ed.), Assessing well-being: The collected works of Ed
Diener, Social. Indicators Research Series 39, 247-266.doi:
10.1007/978-90-481-2354-4_12.
Dhaksinarga, S.W. (2017). Mitos Pulung Gantung dan Upaya Menangani
K a s u s B u n u h D i r i d i G u n u n g k i d u l .
. (diakses
pada tanggal 25 Oktober 2017)
Eko, S. (2012). Disfungsi Sosialisasi dalam Keluarga sebagai Dampak
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41194325
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara24
Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih
Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 25
Keberadaan Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) (Studi
pada TPA Permata Hati di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta). Skripsi. Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta.
Ellison, C.G. (1991). Religious involvement and subjective well-being.
Journal of Health and Social Behavior. 32(1), 80-99.
Emmons, R. A., McCullough, M. E. (2004). The Psychology of Gratitude.
New York: Oxford University Press, Inc.198 Madison Avenue.
Halim, W. & Wirawan, H. (2009). Quality of Life Janda Pasca Kemoterapi
dan Radioterapi. Skripsi (tidak diterbitkan). Universitas
Tarumanegara.
Harimukthi, M. T., & Dewi, K. S. (2014). Eksplorasi kesejahteraan psikologis
individu dewasa awal penyandang tunanetra. Jurnal Psikologi,
13(1), 64-77.
Lawton, M.P. (1983). Environment and other determinants of well-being in
older people. The Gerontologist, 23(4), 349-357.
Lestari, S dan Budhi, O. (2017). Mitos Pulung Gantung dan Upaya
M e n a n g a n i K a s u s B u n u h D i r i d i G u n u n g k i d u l .
. (diakses
pada tanggal 25 Oktober 2017)
Lopez, & Snyder, C.R. (2003). Positive Psychological Assessment a
Handbook of Models & measures.Washington. DC : APA
Maris,R.W. (2000). Comprehensive Text Book of Suicidology. New York: The
Guilfrod Press.
Miller, L. Bansal, R., Wikramaratne, P., Hao, X., Tenke, C. E., Weissman, M.
M., & Patterson, B. S. (2014). Neuroanatomical correlates of
religiousity and spirituality; a study in adults st high and low familial
risk for depression. JAMA Psychiatry . 71(2):128-35. http://dx.doi.org/ 10.101.jamapsychiatry.2013.306
Mukharromah, L. (2014). Dinamika Psikologis pada Pelaku Percobaan
Bunuh diri. Jurnal Psikoislamika.11(2). 31-36.
Mulyani, A. A., & Eridiana, W( 2018). Faktor-faktor yang melatarbelakangi
fenomena bunuh diri di Gunung Kidul. Sosietas, 8(2).
Moleong, L. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nurhadi (2007). Filsafat Suryomentaram: Satu Alternatif Analisis Karya
Sastra.
Jurnal. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
https://doi.org/10.14710/jpu.13.1.64-77
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41194325
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara26
Papalia, D. E., Old s, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development
Perkembangan Manusia. Jakarta: Salemba Humanika.
Ryff, C.D. (1989). Happiness is Everything, or Is It? Explorations on the
Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and
S o c i a l P s y c h o l o g y . 5 7 ( 6 ) . 1 0 6 9 - 1 0 8 1 . D o i
Ryff, C.D dan Keyes C.L.M. (1995). The Structure of Psychological Well
Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology.
69(4).719-727
Schmutte, P.S dan Ryff, C.D. (1997). Personality and Well Being:
Reexamining Methodes and Meaning. Journal of Personality and
S o c i a l P s y c h o l o g y . 7 3 ( 3 ) . 5 4 9 - 5 5 9 . D o i
Shneidman, E. (1985). Definition of suicide. New York: John Wiley & Sons.
. (1971). "Suicide" and "suicidology": A brief
etymological note.
Suicide and Life-Threatening Behavior, 1, 260-264.
Sugiarto, R. (2015). Psikologi Raos: Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng
Suryomentaram. Sleman: Pustaka Ifada.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Wahyuningtiyas, D.T. (2016). Kesejahteraan Psikologis (Psychological
Well- Being) Orang Tua dengan Anak ADHD (Attention Deficit
Hyperactive Disorder) di Surabaya. Skripsi. Malang: Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Wood, A. M., Maltby, J., Gillett, R. Linley, A., & Joseph, S. (2008). The Role Of
Gratitude In The Development Of Social Support, Stress, And
Depression: Two Longitudinal Studies. Journal of Research in
Personality, 42(8), 54–87.
Yuwono, M. (2017). Selama 6 Bulan, 19 Warga Gunungkidul Bunuh Diri.
. (diakses pada
tanggal 27 Oktober 2017)
https://doi.org/10.1037/0022-3514.57.6.1069
https://doi.org/10.1037/0022-3514.73.3.549
http://regional.kompas.com/read/2017/07/07/17191271/selama.6.bulan.19. warga.gunungkidul.bunuh.diri
Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih
Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri
KEBERSYUKURAN PADA ORANG TUA ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS
1 2 Aulia Rahman Putra , Nila Anggreiny ,3Septi Mayang Sarry
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
e-mail: [email protected]
Kronologi Naskah:
Naskah Masuk, 2 Oktober 2019, Revisi 20
Oktober 2019, Diterima 1 November 2019
Abstract. Parents who had more than one child with special needs had varieties of
more intensive problems. Parents were also required to attempt their best with the
limitations of their children. One of the best ways that parents could do for their
children with special needs behind their problems was to be grateful. This study
aimed to determine the description of gratitude in parents who had more than
one child with special needs. The method used in this study was a qualitative
research method with a phenomenological approach. Data collection techniques
utilized in this study was interview. The participants of this study were four
persons comprising of two parents who had more than one child with special
needs. Data analysis procedure used Moustakas method. The results of this study
indicated that parents who were grateful, when they had more than one child with
special needs, they would always pray for the children as a form of gratitude to the
God, accept the condition of the children, attempt their best for the children, have
a positive affection and feel life contentment, have a pro-social traits, have
improvement in terms of worship, take the wisdom from the children's condition,
and join the events concerning on children disability. Besides, parents would also
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 27
learn from the experience of caring for children with special needs. Gratitude for
parents was affected by religiousity, social support and children's condition
factors.
Keywords: Children With Special Needs, Gratitude, Parents
Abstrak. Orang tua yang memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan khusus
mengalami berbagai permasalahan yang lebih instens. Orang tua juga dituntut
untuk mengusahakan yang terbaik dengan keterbatasan yang dimiliki oleh anak
mereka tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk
mengusahakan yang terbaik bagi anak, dibalik permasalahan yang mereka alami
adalah dengan bersyukur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
kebersyukuran pada orang tua yang memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan
khusus. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik wawancara. Partisipan penelitian berjumlah empat orang
yang terdiri dari dua orang tua yang memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan
khusus. Prosedur analisa data menggunakan metode Moustakas. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa orang tua yang bersyukur ketika memiliki lebih dari satu
anak berkebutuhan khusus, akan selalu mendoakan anak sebagai bentuk rasa
syukur kepada Tuhan, menerima keadaan anak, mengusahakan yang terbaik
untuk anak, memiliki afek yang positif dan merasakan kepuasan hidup, memiliki
sifat prososial, mengalami peningkatan dari segi ibadah, mengambil hikmah dari
kondisi anak dan mengikuti acara yang berhubungan dengan keterbatasan anak.
Selain itu, orang tua juga akan belajar dari pengalaman pengasuhan terhadap
anak yang berkebutuhan khusus sebelumnya. Kebersyukuran pada orang tua
dipengaruhi oleh faktor religiusitas, dukungan sosial dan kondisi anak.
Kata kunci : Anak berkebutuhan khusus, Kebersyukuran, Orang tua
Orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus mengalami berbagai permasalahan yang disebabkan oleh keterbatasan yang ada pada anak mereka tersebut. Orang tua akan merasa terkejut, kebingungan dan tidak percaya dengan apa yang terjadi kepada anak mereka (Wardani, 2009). Selain itu, orang tua orang tua juga akan memperlihatkan emosi-emosi yang cenderung negatif, seperti menyalahkan diri, tidak dapat menerima keadaan, marah dan menyesal serta menempatkan orang tua pada resiko tingkat stres yang tinggi (Schieve, Blumberg, Rice, Visser, & Boyle, 2007; Wijaya, 2015). Orang tua juga akan merasakan perasaan tidak dimengerti, ditinggalkan sendiri, memikirkan masa depan anak, menghadapi tanggapan negatif terhadap anak dan kelelahan
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara28
Aulia Rahman PutraNila Anggreiny
Keebrsyukuran Pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus
secara fisik maupun psikis dikarenakan banyaknya waktu yang dihabiskan untuk mengurus anak (Morgan, 2006; Meiza, Puspasari, & Kardinah, 2018).
Memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan khusus membuat orang tua semakin merasa tertekan dan semakin menambah beban pada orang tua (Matters, 2007). Selain itu, orang tua yang memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan khusus juga membuat mereka semakin mengalami kesulitan dan ketidakstabilan keuangan serta materil dalam melakukan pengasuhan terhadap anak mereka yang memiliki keterbatasan (Meyers, Lukemeyer, & Smeeding, 1998).
Berbagai permasalahan yang dirasakan oleh orang tua ketika memiliki anak berkebutuhan khusus dapat diatasi dengan mengapresiasi hal positif yang dirasakan dalam hidup, yaitu dengan bersyukur (Prasa, 2012; Nura & Sari, 2018). Kebersyukuran berhubungan dengan menikmati hal-hal yang telah didapatkan oleh individu, kemudian kebersyukuran tidak hanya mempengaruhi kesejahteraan fisik pada individu saja tetapi juga berpengaruh kepada kesejahteraan psikologisnya, seperti mudah mengalami emosi positif, memiliki tingkat kepuasan hidup yang tinggi serta memiliki tingkat depresi dan stres yang rendah (McCullough, Emmons, & Tsang, 2002).
McCullough, Emmons dan Tsang (2002) menguraikan kebersyukuran ke dalam beberapa facet, dimana elemen dari masing-masing facet tersebut saling berhubungan dan terjadi secara bersamaan, facet tersebut terdiri dari : (1) Intensity, yang mengacu kepada perasaan positif yang dihasilkan oleh rasa syukur, (2) Frequency, yang mengacu kepada seberapa sering individu mengalami kebersyukuran, (3) Span, yang mengacu kepada sejumlah keadaan yang membuat individu bersyukur, (4) Density, yang mengacu kepada siapa saja individu bersyukur atas manfaat positif yang diterimanya.
McCullough, Emmons dan Tsang (2002) juga menguraikan beberapa ciri-ciri individu yang mengalami kebersyukuran, ciri-ciri tersebut terdiri dari (1) Possitive affective traits and well being, mengacu pada kecenderungan individu untuk mengalami emosi positif, kesejahteraan subjektif dan merasa puas akan hidupnya, (2) Prosocial traits, berhubungan dengan sifat prososial yang dimiliki oleh individu, (3) Religion/spirituality, yang mengacu kepada
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 29
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
kecenderungan individu terlibat dalam praktek keagamaan dan memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan.
Kebersyukuran memiliki dampak positif dan dapat mempengaruhi individu dalam beberapa aspek, seperti kognisi, emosi, dan spiritual, sehingga individu akan lebih baik dalam merespon atau menyikapi setiap peristiwa yang terjadi di dalam kehidupannya (Cahyono, 2014). Selain itu, individu dengan kebersyukuran mampu melihat hidupnya secara lebih positif, memiliki sikap optimis ketika menghadapi suatu masalah dan berusaha untuk menyelesaikan permasalahannya dengan cara yang positif (Wood, Joseph, & Linley, 2007).
Indikasi kebersyukuran pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dapat dilihat dari perilaku orang tua terhadap anak mereka tersebut. Orang tua dengan kebersyukuran cenderung menggunakan semua hal yang mereka miliki baik itu waktu, fisik dan materil untuk mengusahakan hal-hal yang positif bagi anak mereka, seperti mengusahakan pendidikan yang terbaik untuk anak dan mendidik anak sesuai dengan pola asuh yang sesuai dengan keterbatasan yang ada pada anak mereka tersebut (Murisal & Hasanah, 2017). Selain itu, orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dengan kebersyukuran membuat orang tua menyadari bahwa segala yang terjadi di dalam kehidupan mereka merupakan anugerah dari Tuhan (Prasa, 2012).
Manfaat nyata dari kebersyukuran pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus adalah membuat orang tua menjadi lebih puas, berpikir positif, optimis serta membangkitkan harapan dalam memandang hidup dan membantu orang tua untuk dapat melihat kebaikan dalam situasi yang sulit ketika memiliki anak berkebutuhan khusus (
). Kemudian orang tua dengan kebersyukuran selalu memiliki keinginan yang baik terhadap anak mereka yang berkebutuhan khusus. Salah satu keinginan baik orang tua ditunjukkan dengan mengapresiasi kondisi anak mereka dan fokus pada hal-hal positif dalam pengasuhan anak dibalik banyaknya kesulitan yang mereka alami (Nura & Sari, 2018).
Kompleksnya permasalahan yang dialami oleh orang tua dengan anak berkebutuhan khusus, terkhususnya permasalahan yang dialami oleh orang tua yang memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan khusus membuat peneliti tertarik untuk melakukan
Hambali, Meiza, & Fahmi, 2015
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara30
Aulia Rahman PutraNila Anggreiny
Keebrsyukuran Pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus
penelitian ini. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan masukan terkait pentingnya kebersyukuran pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus terutama pada orang tua yang memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan khusus, agar orang tua bisa mengatasi permasalahan yang dialami ketika memiliki anak berkebutuhan khusus dan mengusahakan yang terbaik bagi anak mereka tersebut.
MetodePenelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara. Penelitian ini dilakukan di Kota Padang. Partisipan penelitian berjumlah empat orang yang terdiri dari dua orang tua dengan karakteristik : (1) memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan khusus, (2) pengasuhan utama dilakukan oleh partisipan penelitian, (3) tidak memiliki hambatan dalam menyampaikan informasi kepada peneliti.
Prosedur Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini merujuk kepada prosedur analisis data yang dikemukakan oleh Moustakas (1994), yaitu : (1) Peneliti menyalin pernyataan yang disampaikan ke dalam bentuk traknskrip verbatim tertulis, (2) Membuat daftar meaning units, mengelompokkan pernyataan yang sesuai topik penelitian, mereduksi serta mengeliminasi pernyataan yang berulang dan mengandung makna yang sama (3) Menyusun deskripsi tekstural dan deskripsi struktural, (4) Mengintegrasikan antara deskripsi tekstural dan struktural yang menjadi dasar pernyataan terkait esensi pengalaman partisipan secara menyeluruh.
H a s i lPartisipan dalam penelitian ini berjumlah empat orang yang
terdiri dari dua orang tua yang memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan khusus. Orang tua 1 (P1 & P2) memiliki tiga anak berkebutuhan khusus dengan klasifikasi tunarungu. Orang tua 1 merupakan keluarga dengan golongan ekonomi menengah ke bawah dan sama-sama memiliki latar belakang pendidikan Sekolah menengah Atas (SMA).
Orang tua 2 (P3 & P4) memiliki dua anak berkebutuhan
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 31
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
khusus dengan klasifikasi Autism Spectrum Disorder (ASD). Orang
tua 2 merupakan keluarga dengan golongan ekonomi menengah
ke atas. P3 (ibu) memiliki latar belakang pendidikan Strata 1,
sedangkan P4 (ayah) memiliki latar belakang pendidikan strata 3.
Pada penelitian ini diketahui bahwa keempat partisipan
mengalami kebersyukuran di dalam hidup mereka ketika
memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan khusus.
Kebersyukuran pada keempat partisipan digambarkan melalui
sembilan tema yang ditemukan (Tabel 1). Tema yang ditemukan
terdiri dari partisipan yang selalu mendoakan anak sebagai
bentuk rasa syukur kepada Tuhan, menerima keadaan anak apa
adanya, mengusahakan yang terbaik untuk anak, memiliki afek
yang positif dan merasakan kepuasan dalam hidup, memiliki sifat
prososial, mengalami peningkatan dari segi ibadah, belajar dari
pengalaman pengasuhan ABK sebelumnya, mengambil himah
dan pembelajaran dari kondisi anak, mengikuti acara dan
kegiatan yang berhubungan dengan keterbatasan anak. Selain
itu, kebersyukuran pada orang tua dipengaruhi oleh faktor
religiusitas, dukungan sosial dan kondisi anak.
Tabel 1.Tema yang ditemukan terkait kebersyukuran pada
orang tua anak berkebutuhan khusus
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara32
Aulia Rahman PutraNila Anggreiny
Keebrsyukuran Pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus
DiskusiKebersyukuran sangat penting bagi orang tua yang memiliki
anak berkebutuhan khusus. Sebagaimana dikemukakan oleh Emmons dan Shelton (2002) bahwa individu yang bersyukur memiliki kecenderungan untuk merasakan kepuasan di dalam hidupnya dan terhindar dari berbagai macam emosi negatif yang dirasakan serta mampu meningkatkan kesehatan dan kebahagiaan subjektif. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Nura dan Sari (2018) menemukan bahwa orang tua yang bersyukur merasakan kepuasan di dalam hidup mereka dan merasa lebih tenang dan nyaman dalam menjalani hidup ketika memiliki anak berkebutuhan khusus. Selain itu, Hambali, Meiza dan Fahmi (2015) mengatakan bahwa orang tua yang bersyukur ketika memiliki anak berkebutuhan khusus, akan selalu mengusahakan hal-hal yang terbaik bagi anak mereka tersebut.
Orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus mengalami kebersyukuran di dalam hidup mereka dikarenakan
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 33
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
mereka percaya bahwa memiliki anak berkebutuhan khusus merupakan takdir dan titipan dari Tuhan. Sebagaimana dikemukakan oleh
bahwa faktor religiusitas secara signifikan berhubungan dengan coping agama, yang mana individu akan semakin bersyukur ketika meyakini setiap peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya merupakan kehendak dari Tuhan dan percaya bahwa terdapat hikmah dibalik hal tersebut.
Orang tua juga mengalami kebersyukuran di dalam hidup mereka dikarenakan dukungan yang diberikan oleh pasangan mereka masing-masing, orang tua baik itu ayah maupun ibu saling mendukung, saling menguatkan satu sama lain dan sama-sama mengusahakan yang terbaik untuk anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus. Selain itu, orang tua juga mendapatkan dukungan dari keluarga, tetangga, teman-teman hingga orang yang tidak terduga oleh mereka sebelumnya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nura dan Sari (2018) yang menemukan bahwa dukungan sosial dapat mempengaruhi dan meningkatkan kebersyukuran pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
Dukungan dan bantuan yang diperoleh orang tua juga membuat mereka semakin bersyukur. Orang tua menjadi semakin bersyukur dikarenakan mendapat bantuan dari orang yang tidak terduga dan tidak disangka-sangka oleh mereka sebelumnya. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Smith, Pedersen, Forster, McCullough dan Lieberman (2017) yang menemukan bahwa individu menjadi semakin bersyukur ketika seseorang secara tak terduga bermurah hati dan memberikan bantuan beserta manfaat kepadanya.
Nilai dan manfaat bantuan yang diterima oleh orang tua juga membuat mereka semakin bersyukur. Orang tua semakin bersyukur dikarenakan bantuan yang mereka terima sangat bermanfaat dan meringankan beban mereka ketika memiliki anak berkebutuhan khusus. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Forster, Pedersen, Smith, McCullough dan Lieberman (2017) yang menyatakan bahwa kebersyukuran lebih terkait dengan nilai atau manfaat yang diterima oleh individu.
Kebersyukuran pada orang tua juga disebabkan oleh kondisi anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus. Orang tua
Rothenberg, Pirutinsky, Greer dan Korbman (2015)
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara34
Aulia Rahman PutraNila Anggreiny
Keebrsyukuran Pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus
bersyukur dikarenakan kondisi anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus sudah jauh lebih baik dan berkembang dari kondisi sebelumnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nura dan Sari (2018) yang menemukan bahwa sumber kebersyukuran pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus adalah setiap perkembangan kondisi yang dimiliki oleh anak mereka tersebut.
Nura dan Sari (2018) juga menemukan bahwa orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus mengalami kebersyukuran karena prestasi yang diperoleh anak mereka di sekolah. Pendapat tersebut sejalan dengan temuan yang ditemukan pada penelitian ini, dimana orang tua bersyukur dikarenakan anak mereka yang berkebutuhan khusus memiliki banyak kelebihan seperti pintar, aktif, dan memiliki banyak prestasi di sekolah mereka.
Pengalaman dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus juga membuat orang tua merasa bersyukur. Orang tua bersyukur dikarenakan merasa terhibur dengan perilaku anak mereka yang ketika berbicara suka mengulang-ngulang perkataannya dan suka berbicara secara ceplas-ceplos. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Jones (2012) bahwa orang tua akan merasakan kebahagiaan dan keceriaan selama mengasuh anak mereka yang berkebutuhan khusus.
Kebersyukuran pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus juga terlihat dari orang tua yang telah menerima keadaan anak mereka tersebut. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wood, Joseph dan Maltby (2009) yang menemukan bahwa kebersyukuran memiliki hubungan yang positif dengan penerimaan diri. Sejalan dengan penelitian tersebut, Wijayanti (2015) mengatakan bahwa orang tua dengan penerimaan diri yang baik maka akan dengan mudah menerima kekurangan yang ada pada anak mereka yang memiliki keterbatasan dan mudah menerima keadaan-keadaan yang disebabkan karena telah memiliki anak berkebutuhan khusus.
Orang tua yang bersyukur setelah menerima keadaan anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus, mereka akan mengusahakan yang terbaik bagi anak-anak mereka tersebut. Orang tua mengusahakan pengobatan, pendidikan, masa depan yang terbaik dan mengusahakan kebahagiaan untuk anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus. Hal ini sesuai dengan
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 35
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
penelitian yang dilakukan oleh Murisal dan Hasanah (2017) yang menemukan bahwa orang tua yang bersyukur cenderung menggunakan semua hal yang mereka miliki baik itu waktu, fisik maupun materil untuk mengusahakan hal-hal yang terbaik bagi anak mereka yang berkebutuhan khusus.Kebersyukuran pada orang tua juga membuat mereka memiliki afek yang positif dan membuat mereka mengalami emosi-emosi positif serta mampu meminimalisir emosi negatif yang mereka rasakan ketika memiliki anak berkebutuhan khusus. Dimana orang tua tidak menutup diri mereka dari lingkungan, tidak malu dengan keadaan anak mereka yang berkebutuhan khusus serta tidak merasakan emosi-emosi negatif ketika menghadapi anak mereka tersebut. Selain itu, orang tua juga merasakan kepuasan di dalam hidup mereka ketika memiliki anak berkebutuhan khusus. Sebagaimana yang dikemukakan oleh McCullough, Emmons dan Tsang (2002) bahwa kebersyukuran membuat individu memiliki kecenderungan untuk mengalami emosi-emosi positif, kesejahteraan subjektif dan merasa puas akan hidupnya.
Smith, Parrott, Diener, Hoyle dan Kim (1999) menemukan bahwa individu yang bersyukur tidak mudah mengalami emosi-emosi interpersonal negatif, seperti marah, dendam, iri dan penghinaan yang diarahkan khusus kepada orang lain. Sejalan dengan penelitian tersebut, orang tua yang bersyukur ketika memiliki anak berkebutuhan khusus, mereka akan merespon dengan positif tanggapan negatif yang diberikan oleh orang lain terkait anak mereka yang berkebutuhan khusus, dimana orang tua tidak terpancing, tidak marah ataupun dendam ketika mendapatkan tanggapan negatif tersebut.
Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Lazarus dan Lazarus (1994)
Orang tua juga mengatakan bahwa ketika mereka memiliki anak berkebutuhan khusus, ada banyak mahasiswa yang meminta bantuan kepada mereka terkait tugas yang berhubungan dengan anak mereka tersebut. Kemudian orang tua tidak pernah menolak mahasiswa tersebut dan memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki serta melayani mahasiswa tersebut dengan baik.
yang menyatakan bahwa kebersyukuran disebut juga sebagai emosi empatik karena hal ini berkaitan dengan bagaimana kapasitas individu dalam mengenali manfaat dari tindakan yang dilakukannya terhadap
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara36
Aulia Rahman PutraNila Anggreiny
Keebrsyukuran Pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus
orang lain. Pendapat tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
individu yang bersyukur memiliki sifat empati, memaafkan dan memiliki kecenderungan untuk memberikan bantuan serta dukungan kepada orang lain.
individu yang bersyukur cenderung bersifat spiritualis yang ditandai dengan sering terlibatnya mereka dalam praktik keagamaan dan memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan.
McCullough, Emmons dan Tsang (2002) yang menemukan bahwa
Ketika memiliki anak berkebutuhan khusus orang tua juga mengalami peningkatan dari segi ibadah mereka. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
kebersyukuran tidak hanya diekspresikan kepada orang lain atau sesama individu saja tetapi juga dapat diekspresikan terhadap sumber-sumber non manusiawi. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Emmons & Kneezel (2005) menemukan bahwa
Kesimpulan
Kebersyukuran pada orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus ditandai dengan orang tua yang selalu
mendoakan anak sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan,
menerima keadaan anak apa adanya, mengusahakan yang terbaik
untuk anak, memiliki afek yang positif dan merasakan kepuasan di
dalam hidup, memiliki sifat prososial, mengalami peningkatan dari
segi ibadah, mengambil hikmah dan pembelajaran dari kondisi
anak serta mengikuti acara dan kegiatan yang berhubungan
dengan keterbatasan pada anak mereka. Pada penelitian ini juga
ditemukan bahwasanya orang tua yang memiliki lebih dari satu
anak berkebutuhan khusus akan belajar dari pengalaman
pengasuhan terhadap anak yang berkebutuhan khusus
sebelumnya. Kebersyukuran pada orang tua dipengaruhi oleh
faktor religiusitas, dukungan sosial dan kondisi anak.
Saran
Masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait
dengan kebersyukuran pada orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus, penelitian dapat berupa penelitian
kualitatif secara lebih mendalam lagi ataupun penelitian
Snyder dan Lopez (2002) yang menemukan bahwa
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 37
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
kuantitatif dengan mempertimbangkan variabel-variabel yang
dapat mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh kebersyukuran,
yang meliputi faktor sosial ekonomi dan gaya pengasuhan orang
tua terhadap anak yang berkebutuhan khusus.
Untuk orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus
sebaiknya berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan
mengembangkan kepercayaan bahwasanya memiliki anak
berkebutuhan khusus bukan disebabkan oleh kesalahan mereka,
melainkan takdir dan titipan dari Tuhan. Kemudian penting bagi
orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus untuk
mengetahui bakat dan keterampilan yang dimiliki oleh anak
mereka, sehingga bakat dan keterampilan tersebut bisa
dikembangkan dan bisa berguna bagi anak-anak mereka yang
berkebutuhan khusus nantinya.
Untuk masyarakat pada umumnya agar bisa
menghilangkan stigma negatif terkait anak berkebutuhan khusus,
karena hal tersebut bisa membuat beban pada orang tua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus bisa berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Emmons, R. A., & Kneezel, T. T. (2005). Giving thanks: Spiritual and
religious correlates of gratitude. Journal of Psychology and
Christianity, 24(2), 140-148.
Oxford
University Press.
Aji, W., Nashori, F., & Sulistyarini, I. (2013). Pengaruh pelatihan
kebersyukuran terhadap penerimaan orang tua pada anak retardasi
menta l . Ju rna l Ps i ko log i In tegra t i f , 1 (1 ) , 97-104 .
https://doi.org/10.14421/jpsi.2013.%25x
Cahyono, E. W. (2014). Pelatihan gratitude (bersyukur) untuk penurunan
stres kerja karyawan di PT. X. CALYPTRA , 3(1), 1-15.
http://www.journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/view/1659
Emmons, R. A., & Shelton, C. M. (2002). Gratitude and the science of
positive psychology. Dalam Snyder, C. R., & Lopez, S. J (Eds),
Handbook of positive psychology (hlm. 459-471). New York:
Forster, D. E., Pedersen, E. J., Smith, A., McCullough, M. E., & Lieberman, D.
(2017). Benefit valuation predicts gratitude. Evolution and Human
B e h a v i o r , 3 8 ( 1 ) , 1 8 - 2 6 .
https://doi.org/10.1016/j.evolhumbehav.2016.06.003
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara38
Aulia Rahman PutraNila Anggreiny
Keebrsyukuran Pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus
Hambali, A., Meiza, A., & Fahmi, I. (2015). Faktor-faktor yang berperan
dalam kebersyukuran (gratitude) pada orang tua anak berkebutuhan
khusus perspektif psikologi Islam. Psympathic: Jurnal Ilmiah
Psikologi, 2(1), 94-101.
Matters, E. D. C. (2007). Disabled children and child poverty. London:
Every Disabled Child Matters.
Meiza, A., Puspasari, D., & Kardinah, N. (2018). Kontribusi gratitude dan
anxiety terhadap spiritual well-being pada orang tua anak
berkebutuhan khusus.
Meyers, M. K., Lukemeyer, A., & Smeeding, T. (1998). The cost of caring:
Childhood disability and poor families. Social Service Review, 72(2),
209-233. https://doi.org/10.1086/515751
Morgan, P. L. (2009). Parenting your complex child: Become a powerful
advocate for the autistic, down syndrome, PDD, bipolar, or other
special-needs child. New York: AMACOM.
Murisal, M., & Hasanah, T. (2017). Hubungan bersyukur dengan
kesejahteraan subjektif pada orang tua yang memiliki anak
tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang. KONSELI: Jurnal Bimbingan
d a n K o n s e l i n g ( E - J o u r n a l ) , 4 ( 2 ) , 8 1 - 8 8 .
https://doi.org/10.24042/kons.v4i2.2176
Nura, A., & Sari, K. (2018). Kebersyukuran pada ibu yang memiliki anak
be rkebu tuhan khusus . J u rna l E cop sy , 5 ( 2 ) , 73 -80 .
Jones, D. L. E. (2011). The joyful experiences of mothers of children with
special needs: An autoethnographic study. Indiana: Ball State
University.
Lazarus, R. S., & Lazarus, B. N. (1994). Passion and reason: Making sense of
our emotions. New York: Oxford University Press.
McCullough, M. E., Emmons, R. A., & Tsang, J. A. (2002). The grateful
disposition: A conceptual and empirical topography. Journal of
Per sona l i ty and Soc ia l Psycho logy , 82 (1 ) , 112-117 .
https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/0022-3514.82.1.112
Humanitas: Jurnal Psikologi Indonesia, 15(1),
1-10. https://dx.doi.org/10.26555/humanitas.v15i1.6599
Moustakas, C. (1994). Phenomenological research methods. California:
Sage Publication.
http://dx.doi.org/10.20527/ecopsy.v5i2.5041
Prasa, B.A. (2012). Stres dan koping orang tua dengan anak retardasi
mental. Empathy, 1(1), 210-224.
Rothenberg, W. A., Pirutinsky, S., Greer, D., & Korbman, M. (2015).
Maintaining a grateful disposition in the face of distress: The role of
religious coping. Psychology of Religion and Spirituality, 8(2), 134-
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 39
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
140.
The
relationship between autism and parenting stress. Pediatrics, 119(1),
114-121. https://doi.org/10.1542/peds.2006-2089Q
Smith, R. H., Parrott, W. G., Diener, E., Hoyle, R. H., & Kim, S. H. (1999).
Dispositional envy. Personality and Social Psychology Bulletin, 25,
1007-1020. https://doi.org/10.1177%2F01461672992511008
Oxford University Press.
. (2015). Positive parenting program (triple p) sebagai usaha
untuk menurunkan pengasuhan disfungsional pada orang tua yang
mempunyai anak berkebutuhan khusus (dengan diagnosa autis dan
ADHD). Jurnal Psikologi, 13(1), 21-25.
Wood, A. M., Joseph, S & Maltby J. (2009). Gratitude predicts
psychological wellbeing above the big five facet. Personality and
I n d i v i d u a l D i f f e r e n c e s , 4 6 ( 4 ) , 4 4 3 - 4 4 7 .
https://doi.org/10.1016/j.paid.2008.11.012
https://doi.org/10.1037/rel0000021
(2007).
Schieve, L. A., Blumberg, S. J., Rice, C., Visser, S. N., & Boyle, C.
Smith, A., Pedersen, E. J., Forster, D. E., McCullough, M. E., & Lieberman, D.
(2017). Cooperation: The roles of interpersonal value and gratitude.
E v o l u t i o n a n d H u m a n B e h a v i o r , 3 8 ( 6 ) , 6 9 5 - 7 0 3 .
https://doi.org/10.1016/j.evolhumbehav.2017.08.003
Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (2002). Handbook of positive psychology. New
York:
Wardani, D. S. (2009). Strategi coping orang tua menghadapi anak autis.
I nd igenous : J u rna l I lm iah P s i ko log i , 11 ( 1 ) , 26 -35 .
https://doi.org/10.23917/indigenous.v11i1.1628
Wijaya, Y. D
Wijayanti, D. (2015). Subjective well-being dan penerimaan diri ibu yang
memiliki anak down syndrome. Jurnal psikologi UNMUL, 4(1), 120-
130.
Wood, A. M., Joseph, S., & Linley, P. A. (2007). Coping style as a
psychological resource of grateful people. Journal of Social and
C l i n i c a l P s y c h o l o g y , 2 6 ( 9 ) , 1 0 7 6 - 1 0 9 3 .
https://doi.org/10.1521/jscp.2007.26.9.1076
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara40
Aulia Rahman PutraNila Anggreiny
Keebrsyukuran Pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus
KEYAKINAN TIDAK RASIONAL DAN STRES KERJA PADA PROFESI
GURU
1 2Ria Indah Sari Gaghana ,Susy Purnawati , I Made Krisna
2Dinata1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana 2Bagian Ilmu Faal, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
1 2email: , , 3
Kronologi Naskah:
Naskah Masuk 3 Juli 2019, Revisi 20 Agustus 2019
Diterima 4 September2019
[email protected] [email protected]
Abstract. The emosional response such as stress is not a direct consequence of
stressors but it is regulated by the way of thinking or beliefs about stressors and
how someone can handle them. Everyone has rational and irrational beliefs. The
relationship between irrational beliefs and emotional disturbances can be
explained by the A-B-C theory. This study aimed to determine the relationship
between irrational beliefs and job stress on senior high school teachers in
Denpasar. It was an analytical study with a cross sectional design. The data were
taken from 46 samples with simple random techniques. Data were collected
through the distribution of irrational beliefs and job stress questionnaires. Data
analyzed by using Pearson product moment test. The results showed that r =
0.366 and p = 0.012 it means that there were positive and significant relationship
between irrational beliefs and job stress on senior high school teachers in
Denpasar.
Keywords: irrational beliefs, job stress, relatioship
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 41
Abstrak. Respon emosional seperti stres bukanlah konsekuensi langsung
terhadap stresor namun diatur oleh cara berpikir atau keyakinan tentang stresor
dan cara seseorang untuk mengatasinya. Setiap orang memiliki keyakinan
rasional dan tidak rasional. Hubungan antara keyakinan tidak rasional dengan
gangguan emosi dapat dijelaskan dengan teori A-B-C. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara keyakinan tidak rasional dan stres kerja pada
guru SMAN di Denpasar. Penelitian ini merupakan penelitian analitik uji korelasi
dengan desain penelitian studi potong lintang. Jumlah sampel yang diambil
sebanyak 46 sampel dengan teknik acak sederhana. Pengumpulan data melalui
penyebaran kuesioner keyakinan tidak rasional dan stres kerja. Teknik analisis
data menggunakan uji korelasi Pearson product moment. Hasil penelitian
menunjukkan r = 0,366 dan p = 0,012 yang berarti bahwa terdapat hubungan
yang positif dan signifikan antara keyakinan tidak rasional dan stres kerja pada
guru SMAN di Denpasar.
Kata kunci: hubungan, keyakinan tidak rasional, stres kerja
Setiap orang sering melakukan berbagai macam aktivitas seperti
bekerja. Salah satu pekerjaan yang ada yaitu sebagai seorang guru.
Keberhasilan seorang guru didalam memberikan ilmu tidak lepas
dengan cara guru menyelesaikan tuntutan kerja. Tuntutan kerja
merupakan salah satu faktor risiko yang dapat membuat guru
rentan mengalami stres kerja. Stres kerja biasanya terjadi apabila
individu memberi respon negatif terhadap lingkungan sehingga
mengakibatkan tekanan pada kondisi fisik, psikis, sosial maupun
perilaku. Stres kerja merupakan suatu tuntutan lingkungan kerja
dan tanggapan yang berbeda pada setiap individu dalam
menghadapi stres ''''' (Jumati dan Wusma, 2013). Stres kerja
merupakan sebuah fenomena gunung es dimana banyak kasus
yang tidak terlaporkan dan dapat berisiko semakin meluasnya
masalah stres kerja dengan dampak negatif di masyarakat (Susy-
Purnawati, 2014). Pada beberapa penelitian didapatkan guru
mengalami stres kerja sedang (Dhanilasari, 2013; Kusumadewi et
al., 2011). Respon emosional seperti stres bukanlah konsekuensi
langsung terhadap stresor namun diatur oleh cara berpikir atau
keyakinan tentang stresor dan cara seseorang untuk
mengatasinya.
Setiap orang memiliki keyakinan rasional dan tidak
rasional. Keyakinan rasional merupakan keyakinan atau
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara42
Ria Indah Sari Gaghana, Susy Purnawati, I Made Krisna Dinata
Keyakinan Tidak Rasional dan Stres Kerja Pada Profesi Guru
kepercayaan yang membantu seseorang untuk mencapai sesuatu
yang penting, realistis, masuk akal dan memiliki tujuan. Keyakinan
rasional sangat penting untuk membentuk suatu pendidikan yang
efektif dalam mengelola tingkatan stres (Mahfar et al., 2012).
Sedangkan keyakinan tidak rasional merupakan keyakinan atau
kepercayaan yang kurang atau yang gagal bagi seseorang untuk
mencapai tujuan pribadi dan tidak rasional, dogmatis, fanatik dan
tidak realistis (David et al., 2009).
Proses keyakinan atau berpikir memiliki keterkaitan
dengan keadaan emosinya. Hubungan antara keyakinan tidak
rasional dengan gangguan emosi dan perilaku seseorang dapat
dijelaskan dengan teori A-B-C (David et al., 2009). Teori A-B-C
adalah teori mengenai kepribadian yang menyatakan bahwa
masalah-masalah yang dihadapi manusia tidak selalu disebabkan
karena peristiwa yang sedang dialami, melainkan karena
keyakinan-keyakinan tentang peristiwa tersebut. A = Antecedent
event, yaitu peristiwa yang memicu. Hal ini berkaitan dengan
peristiwa atau kejadian yang dialami seseorang. B = Beliefs system,
yaitu keyakinan dalam diri seseorang yang berupa persepsi atau
pandangan seseorang terhadap peristiwa tersebut. Keyakinan
seseorang ada dua yaitu keyakinan rasional dan keyakinan tidak
rasional. Sedangkan C = Consequence yang berhubungan dengan
reaksi emosional seseorang, konsekuensi perilaku dan emosional
seseorang ditentukan oleh keyakinan seseorang terhadap suatu
peristiwa. C bukan akibat langsung dari A melainkan yang
menyebabkan C adalah B (David et al., 2009).
Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apakah terdapat hubungan antara keyakinan tidak
rasional dan stres kerja pada guru SMAN di Denpasar. Manfaat
penelitian ini untuk memberikan tambahan informasi dan data
dasar penelitian untuk berkembangnya ilmu pengetahuan
khususnya dalam ilmu kedokteran. Berdasarkan penjelasan yang
telah disebutkan maka hipotesis dalam penelitian adalah “Ada
hubungan antara keyakinan tidak rasional dan stres kerja pada
guru SMAN di Denpasar”.
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 43
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Metode
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian analitik uji
korelasional dengan desain penelitian studi potong lintang. Subjek
penelitian yaitu guru SMAN di Denpasar dengan populasi
terjangkau adalah guru di SMAN 2 Denpasar. Sampel diambil
dengan metode simple random sampling. Variabel dalam
penelitian ini adalah karakteristik individu (usia, jenis kelamin,
pendidikan terakhir, masa kerja dan status pernikahan), keyakinan
tidak rasional dan stres kerja. Proses pengambilan data diawali
dengan memberikan informasi mengenai tujuan dan manfaat
penelitian setelah itu diberikan lembar informed consent pada
sampel. Setelah sampel menandatangani informed consent, maka
diberikan kuesioner keyakinan tidak rasional dan stres kerja. Alat
ukur menggunakan kuesioner The Smith Irratinal Beliefs Inventory
versi bahasa Indonesia yang terdiri dari 24 item pertanyaan dan
menggunakan kuesioner stres kerja yang terdiri dari 5 item
pertanyaan (Susy-Purnawati dan Gaghana, 2018; Smith, 2002;
Subawa dan Surya, 2017).
Dari hasil uji validitas dan reliabilitas kedua alat ukur
tersebut terbukti reliabel dan valid sehingga dapat digunakan.
Data kuesioner yang diperoleh, dinilai dengan skoring untuk
mengetahui keyakinan tidak rasional dan stres kerja. Untuk
mengetahui hubungan keyakinan tidak rasional dengan stres kerja
dilakukan analisis data menggunakan korelasi Pearson product
moment. Data yang diperoleh dari kuesioner kemudian dianalisis
dengan tabel dan narasi.
Hasil
Penelitian dilaksanakan di SMAN 2 Denpasar pada bulan
September 2018 dan sebanyak 46 responden diambil dan jumlah
responden memenuhi besar sampel minimal yang telah dihitung
menggunakan rumus sebesar 43 sampel. Data karakteristik dapat
dilihat pada Tabel 1. Selanjutnya dilakukan uji normalitas untuk
mengetahui apakah data yang diperoleh berdistribusi normal atau
tidak. Berdasarkan Tabel 2 data pada variabel keyakinan tidak
rasional memiliki nilai p sebesar 0,229 dan data pada variabel stres
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara44
Ria Indah Sari Gaghana, Susy Purnawati, I Made Krisna Dinata
Keyakinan Tidak Rasional dan Stres Kerja Pada Profesi Guru
kerja memiliki nilai p sebesar 0,054. Kedua variabel memiliki nilai p
> 0,05 maka kedua data tersebut dinyatakan berdistribusi normal.
Untuk uji hipotesis penelitian ini menggunakan analisis korelasi
Pearson product moment.
Hasil uji hipotesis penelitian dapat dilihat pada Tabel 3, dari
hasil analisis statistic didapatkan nilai r = 0,366 dan nilai p = 0,012
tampak bahwa hubungan kedua variabel signifikan karena nilai p <
0,05 dan nilai r yang positif menunjukkan hubungan positif antara
kedua variabel, yang artinya jika keyakinan tidak rasional
meningkat maka stres kerja meningkat. Dengan demikian,
hipotesis penelitian “Ada hubungan antara keyakinan tidak
rasional dan stres kerja pada guru SMAN di Denpasar” dapat
diterima.
Tabel 1.
Distribusi Karakteristik Sampel Penelitian
Tabel 2
Uji Normalitas dengan Uji Saphiro Wilk
Variabel Frekuensi Persentase
Usia
< 35 tahun 13 28,3 %
35-50 tahun 14 30,4 %
> 50 tahun 19 41,3 %
Jenis Kelamin
Laki-laki 22 47,8 %
Perempuan 24 52,2 %
Pendidikan Terakhir
S1 37 80,4 %
S2 9 19,6 %
Masa Kerja
1-15 tahun 21 45,7 %
16-30 tahun 16 34,8 %
> 30 tahun 9 19,6 %
Status Pernikahan
Belum Menikah 7 15,2 %
Sudah Menikah 39 84,8 %
Total 46 100 %
N Statistik P
Keyakinan Tidak Rasional 46 0,968 0,229
Stres Kerja 46 0,952 0,054
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 45
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Tabel 3
Hasil Uji Hipotesis Penelitian
Diskusi
Temuan utama pada penelitian ini adalah ditemukan
korelasi yang signifikan antara keyakinan tidak rasional dan stres
kerja pada guru. Keyakinan tidak rasional sebagai mediator dalam
hubungan antara stresor dan stres. Apabila terdapat stresor pada
individu yang memiliki keyakinan tidak rasional yang tinggi maka
akan memperburuk stres yang ada di lingkungan (Popov et al.,
2015; Mahfar et al., 2012). Teori A-B-C berarti stres terjadi sebagai
konsekuensi dari keyakinan tidak rasional dan tindakan atau
kondisi kerja yang penuh tekanan. Suatu penelitian menunjukkan
bahwa respon stres bukanlah respon langsung terhadap stresor
tetapi hasil persepsi individu mengenai stresor dan kemampuan
individu untuk mengatasinya (Popov et al., 2015). Hal ini
mengandung makna bahwa tinggi atau rendahnya skor stres kerja
seseorang dipengaruhi oleh sistem keyakinannya.
Penelitian ini juga diperkuat dengan penelitian yang
dilakukan oleh Popov et al. (2015) di Serbia yaitu keyakinan tidak
rasional pada guru berkorelasi secara signifikan dan positif dengan
stres dimana keyakinan tidak rasional sebagai mediator dalam
hubungan antara stresor dan stres. Penelitian yang sama yang
dilakukan oleh Mahfar et al. (2018) sesuai dengan teori A-B-C yang
menunjukkan keyakinan tidak rasional sebagai mediator
hubungan antara A dan C. Apabila terdapat stresor pada individu
yang memiliki keyakinan tidak rasional yang tinggi maka akan
meningkatkan stres. Selain itu, semakin tinggi keyakinan tidak
rasional terkait dengan mengajar maka semakin besar tekanan
mengajar '(Popov et al., 2015; 'Bernard, 2016).
Guru yang memiliki keyakinan tidak rasional yang tinggi
dianggap kurang efisien daripada guru yang memiliki keyakinan
tidak rasional yang rendah (Popov et al., 2015; Bermejo-Toro dan
Variabel Mean Standar Deviasi R P
Keyakinan Tidak Rasional 51,63 11,911 0,366 0,012
Stres Kerja 13,13 2,621
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara46
Ria Indah Sari Gaghana, Susy Purnawati, I Made Krisna Dinata
Keyakinan Tidak Rasional dan Stres Kerja Pada Profesi Guru
Prieto-Ursua, 2006). Pada penelitian yang dilakukan oleh 'Bernard
(2016) bahwa guru yang lebih berpengalaman menunjukkan
keyakinan tidak rasional dibanding dengan guru yang kurang
berpengalaman meskipun terdapat statistik yang signifikan
namun tidak tampak secara dramatis. Keyakinan tidak rasional
pada guru juga berhubungan secara positif dan signifikan dengan
variabel distres seperti stres terkait peran, kelelahan, gejala
psikopatologi, depresi dan absen pekerjaan (Bermejo-Toro dan
Prieto-Ursua, 2006).
Kesimpulan
Temuan utama pada penelitian ini adalah ditemukan
korelasi yang signifikan antara keyakinan tidak rasional dan stres
kerja pada guru. Keyakinan tidak rasional sebagai mediator dalam
hubungan antara stresor dan stress. Berdasarkan hasil penelitian
dan diskusi maka disimpulkan bahwa ada hubungan antara
keyakinan tidak rasional dan stres kerja pada guru SMAN di
Denpasar sesuai dengan teori A-B-C yaitu masalah-masalah yang
dihadapi manusia tidak selalu disebabkan karena peristiwa yang
sedang dialami, melainkan karena keyakinan-keyakinan tentang
peristiwa tersebut.
Saran
Peneliti menyarankan kepada pihak SMAN Denpasar untuk
menyediakan konseling dan memberikan motivasi untuk
mencegah stres dan dapat melakukan Cognitive Behaviour
Therapy bagi para guru. Peneliti menyarankan untuk hubungan
yang lebih mendalam dan lebih valid disarankan untuk melakukan
longitudinal study.
DAFTAR PUSTAKA
Bermejo-Toro, L., Prieto-Ursua, M. (2006). Teachers irrational beliefs and their relationship to distress in the profession. Psychology in Spain, 10(1), 8896.
Bernard, M. E. (2016). Teacher Beliefs and Stress. Journal of Rational - Emotive and Cognitive - Behavior Therapy, 34(3), 209224. http://doi.org/10.1007/s10942-016-0238-y
Dhanilasari, S. (2013). Analisis Faktor-Faktor Stres Kerja Guru Sekolah
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 47
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Dasar di Kecamatan Kepung Kabupaten Kediri. Malang: Universitas Negeri Malang.
David, D., Lynn, S. J. Ellis, A. (2009). Rational and Irrational Beliefs. Oxford University Press.
Jumati, N., Wusma, H. (2013). Stres Kerja (Occupational Stres) yang Mempengaruhi Kinerja Individu pada Dinas Kesehatan Bidang Pencegahan Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2P-PL) di Kabupaten Bangkalan. Jurnal NeO-Bis, 7(2), 117.
Kusumadewi, S., Wijono, S., Prapunoto, S. (2011). Stres Kerja dan Kepuasan Kerja Guru-Guru di Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 1(3). pp. 189-205.
Mahfar, M., Noah, S. M., Ahmad, J., Marzuki, W., Jaafar, W., Shah, I. M. (2012). Jurnal Teknologi Full paper The Relationship Between Irrational Belief System and Stress Among Fully Residential School Students in Johor, 59, 115123.Mahfar, M., Xian, K. H., Ghani, F. A., Kosnin, A., Senin, A. A. (2018). Irrational Beliefs as Mediator in the Relationship Between Activating Event and Stress in Malaysian Fully Residential School Teachers. Asian S o c i a l S c i e n c e , 1 4 ( 1 0 ) , 2 1 . http://doi.org/10.5539/ass.v14n10p21Popov, S.,
Popov, B., Damjanović, R. (2015). the Role of Stressors At Work and Irrational Beliefs in the Prediction of Teachers Stress. Uloga Stresora Na Radu I Iracionalnih Uverenja U Predikciji Nastavničkog Stresa, 8(1), 523. Smith, J.C. (2002). Stress Management, A Comprehensive Handbook of Techniques and Strategies. New York: Springer Publishing Company, Inc. pp. 111-114.
Subawa, IKA., Surya, IBK. (2017). Pengaruh Iklim Organisasi dan Stres Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Guru SMA 1 Gianyar. E-Journal Manajemen Unud, 6(4), pp. 1962-1990.
Susy-Purnawati. (2014). Program Manajemen Stres Kerja di Perusahaan. Psikologi, 22(1), pp. 3644. http://doi.org/10.22146/bpsi.11452
Susy-Purnawati, S., Gaghana, R.I.S. (2018). Assessment of Irrational Beliefs among Senior High School Teachers in Denpasar: Reliability and Validity of Indonesian version of The Smith Irrational Beliefs Inventory. (Unpublished Material). Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar.
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara48
Ria Indah Sari Gaghana, Susy Purnawati, I Made Krisna Dinata
Keyakinan Tidak Rasional dan Stres Kerja Pada Profesi Guru
PENGARUH KEMANDIRIAN BELAJAR TERHADAP
PEMANFAATAN INTERNET SEBAGAI SUMBER BELAJAR
Juwandi dan Rahma Widyana
Universitas Mercu Buana Yogyakarta2
Email : ;
Kronologi Naskah:Naskah Masuk 5Agustus 2019, Revisi 20 September 2019
Diterima 5 November 2019
[email protected] [email protected]
Abstract. This research examined the influence learning independence on the use
of the internet as
.
Learning Independence, Use of the Internet as
Abstrak.Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh kemandirian
belajar terhadap pemanfaatan internet sebagai sumber belajar. Subjek penelitian
ini berjumlah 96 mahasiswa Universitas Paramadina Jakarta. Data dianalisis
menggunakan teknik analisis regresi. Hasil menunjukkan bahwa kemandirian
learning resource. The subjects of this study were 96 students at
Paramadina University Jakarta Data were analyzed using regression analysis
techniques. The results show that learning independence affects the use of the
internet as a learning resource with a coefficient of determination of 0.223. Froom
the t test it was found that the significance of the regression coefficient of learning
independence was 5,195 (p <0.005). This means that learning independence gives
a significant influence on the use of the internet as a learning resource.
Keywords: Learning Resource
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 49
belajar berpengaruh terhadap pemanfaatan internet sebagai sumber belajar
dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,223. Dari uji t diketahui signifikansi
koefisien regresi kemandirian belajar sebesar 5.195 (p<0,005). Artinya
kemandirian belajar memberi pengaruh signifikan terhadap pemanfaatan
internet sebagai sumber belajar.
Kata Kunci: Kemandirian Belajar, Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir masyarakat dunia
menyaksikan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
yang demikian pesat, mengubah secara dramatis cara individu
berkomunikasi, berbagi informasi, belajar, berbisnis, berbelanja,
bermain dan sebagainya. Melalui internet seseorang dapat
melintasi batas geografis dan waktu untuk berkomunikasi dengan
banyak orang dari belahan dunia lain, menjelajah, mencari
informasi, dan menembus batas ilmu pengetahuan yang
sebelumnya identik dengan sekolah, universitas, pembelajaran
formal.
Melalui teknologi informasi dan komunikasi, rumah
ditransformasikan dalam situs budaya multimedia yang
mengintegrasikan audiovisual, informasi, dan layanan
telekomunikasi (Livingstone, 2001). Hal itu
Purbo, 2001;
Buente, Wayne dan Robbin, 2008)
Kemajuan teknologi informasi-komunikasi diikuti pula
dengan perluasan jaringan internet, pengenalan world wide web
dan teknologi pembelajaran baru. Hal itu menciptakan perubahan
signifikan dalam pendidikan dan terus memiliki implikasi besar
dalam belajar mengajar (Bates, 2005; Derrick, Ponton, dan Carr,
2005). Dari kenyataan itu tidak berlebihan bila harapan terkait
teknologi pendidikan difokuskan pada internet.
Melalui internet seseorang dapat dengan cepat dan mudah
mengeksplorasi minat dan menemukan informasi melampaui apa
yang dapat diakses di sekolah dan masyarakat lokal (Ito, Bittanti,
mengubah bentuk
massa, penyebaran data, penyiaran, dan percetakan menjadi
informasi digital yang fleksibel, memperpendek batas pandangan
terhadap segala jenis dan bentuk informasi yang terintegrasi
dalam kehidupan sehari-hari (Moris dan Ogan, 1996;
.
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara50
JuwandiRahma Widyana
Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar
Boyd, 2008). Ada milyaran sumber informasi yang dapat
digunakan secara berkesinambungan sesuai kebutuhan, tidak ada
batasan geografis, tempat, waktu dan sangat fleksibel (Candy,
2004; Draves, 2002; Long, 2001; Kerka, 1997).
Setidaknya, ada tiga karakteristik internet yang dapat
memberikan manfaat besar bagi dunia pendidikan. Pertama,
ruang lingkup. Internet memiliki cakupan yang sangat luas dan
sebagai perpustakaan virtual internet menawarkan materi yang
luar biasa banyak dan dapat diakses dari manapun (Teeler, 2000;
Tinio, 2004; Tafiardi, 2005; Mok dan Lung, 2005). Kedua, topikalitas.
Materinya selalu diperbarui dan seseorang dapat memperoleh
informasi dari terbitan manapun tanpa harus membeli, bahkan
materi yang tidak tersedia dalam bentuk cetak pun tersedia di
internet. Ada beragam berita, jurnal, artikel ilmiah, dan data base
lainnya yang menjadikan internet sebagai sumber informasi yang
penting (Teeler, 2000; Benson, dalam Metzger,2002). Ketiga,
personalisasi. Buku ajar sering tidak sesuai dengan kebutuhan
pembaca. Internet membantu melakukan tugas ini, dimana
materinya disajikan sesuai dengan tingkat kesulitan dan
pembelajar dapat menyesuaikan diri sesuai dengan
kemampuannya (Teeler, 2000). Internet dengan demikian dapat
dimanfaatkan sebagai sumber belajar.
Sumber belajar merupakan sumber yang dapat dipakai
peserta didik, baik individual maupun kolektif untuk memudahkan
belajar, misalnya buku, televisi, koran, museum, video dan
komputer (Percival dan Elington, 1984; Hamalik, 1989; Dimyati dan
Mujiono, 1994; Association for Education Communication
Technology, 2008). Pada prinsipnya segala hal yang diprediksi
dapat mendukung dan dimanfaatkan untuk mencapai
keberhasilan belajar dapat dipertimbangkan menjadi sumber
belajar (Nor, 2009). Adapun belajar menggunakan internet dapat
dilakukan dengan cara mengakses sumber yang relevan,
mengunduh informasi yang relevan, berinteraksi dengan sumber,
berinteraksi dengan orang lain tentang sumber, membuat analisis
tentang sumber dan memiliki respon tentang sumber (Anshori dan
Mu'adz, 2007).
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 51
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa pemanfaatan internet sebagai sumber belajar
adalah pemanfaatan berbagai sumber dari internet dengan cara
membaca, mendengar, menonton, mengunduh sumber belajar
(jurnal, e-book, website, audiovisual), dan berdiskusi tentang
sumber yang relevan dengan pembelajaran, misalnya materi yang
berhubungan dengan disiplin ilmu yang dipelajari, terkait dengan
mata kuliah yang diambil, pengetahuan umum dan peristiwa
faktual.
Melalui cara tersebut di atas pembelajar dapat menambah,
memperkaya, mempelajari dan mengeksplorasi materi yang telah
dan akan diajarkan, sehingga beban pengajar dapat berkurang
dan proses pembelajaran dapat berjalan lebih cepat. Seperti
dikemukakan Tung (2000) bahwa setelah kehadiran guru dan
dosen dalam arti sebenarnya, internet akan menjadi suplemen dan
komplemen dalam menjadikan wakil dosen atau guru yang
mewakili sumber belajar yang penting di dunia. Resnick (2002)
juga menegaskan bahwa teknologi informasi tidak hanya akan
sangat mewarnai masa depan tapi juga mengubah bukan saja apa
yang seharusnya dipelajari tapi juga apa yang dapat dipelajari.
Artinya, dengan tidak hanya mempelajari disiplin yang dipelajari,
tapi juga beragam pengetahuan yang relevan akan membuka
kesempatan pengembangan pengetahuan multidisiplin.
Meskipun demikian, disayangkan bahwa mahasiswa yang
semestinya akrab dengan kekayaan sumber belajar justru belum
memanfaatkan internet sebagai sumber belajar sebagaimana
mestinya. Penelitian menunjukkan 93% mahasiswa memanfaatkan
internet sebagai sumber belajar hanya karena adanya tugas kuliah.
(Rosni dan Utami, 2009). Penggunaan internet juga cenderung
berpola musiman, relatif lebih sering pada saat akhir semester
dibanding awal semester dan pada saat penyusunan skripsi
(Andriany, 2006). Lebih terdorong oleh motif rekreatif daripada
edukatif. Mengunjungi dan mengunduh jurnal atau data yang
relevan dengan pembelajaran juga kurang menjadi prioritas
(Wahyono, 2004). Survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
2004 menunjukkan kesadaran mahasiswa memanfaatkan
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara52
JuwandiRahma Widyana
Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar
teknologi informasi dalam pembelajaran masih sangat rendah
(Pannen, dalam Wahid 2005).
Hasil wawancara peneliti terhadap 15 mahasiswa juga
menunjukkan hal yang sama. Dari 15 mahasiswa hanya 2 yang
memanfaatkan internet sebagai sumber belajar dengan baik. Hal
itu ditandai dengan membaca, mengunduh, menonton dan
mendengar (berita, e-book, jurnal ilmiah, rekaman audiovisual),
termasuk berdiskusi tentang sumber yang relevan dengan
pembelajaran. Selebihnya, menggunakan internet hanya sebatas
untuk keperluan hiburan, mencari kesenangan dan melepas
kebosanan, seperti perbincangan di media jejaring sosial,
mendengarkan musik, menonton film, dan bermain game.
Internet dimanfaatkan sebagai sumber belajar hanya pada saat
mendapat tugas perkuliahan, dan hanya bergantung pada materi
yang diberikan dosen. Padahal responden masuk dalam kategori
heavy user, yakni mengakses internet lebih dari 40 jam perbulan,
berdasar kategori The Graphic, Visualization and Usability Center
(2002)
Dari fakta tersebut di atas penting disadari bahwa globalisasi
mengharuskan pembelajar untuk lebih sadar, terkontrol, mandiri,
dan aktif dalam pembelajaran (Chee, Divaharan, Tan, Mun, 2011).
Pembelajar perlu menempatkan diri dalam konteks interaksi
secara aktif dengan informasi baru, mengembangkan struktur
kognitif baru dan memasukkan informasi yang baru pula (Bruner,
1966). Terkait erat dengan hal itu, internet yang mempunyai
banyak potensi untuk mendukung proses pendidikan dapat
diharapkan memainkan peranan penting (Sanjaya, 1998). Secara
spesifik, hal itu dapat diwujudkan dengan tidak hanya bergantung
pada materi yang diajarkan, tapi kemauan menggunakan segala
bentuk sumber belajar yang relevan, termasuk mencerna bukan
hanya apa yang seharusnya dipelajari, tapi juga apa yang dapat
dipelajari. Hal itu dapat dan mudah dicapai dengan memanfaatkan
internet sebagai sumber belajar.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemanfaatan
internet sebagai sumber belajar, yaitu keterbatasan akses,
penempatan sarana, keterampilan penggunanya dan biaya akses
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 53
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
(Rosni dan Utami, 2009). Adapun menurut teori pengunaan dan
kepuasan individu menggunakan suatu media dimotivasi tujuan
untuk memenuhi kebutuhan atau tujuan spesifik, dengan harapan
mendapatkan kepuasan (Katz, Blumler dan Gurevitch, 1974; Katz,
Gurevitch dan Haas, 1973). Papacharissi dan Rubin (2000)
mengidentifikasi lima motivasi, yaitu utilitas interpersonal,
menghabiskan waktu, mencari informasi, kenyamanan dan
hiburan. Parker dan Plank (dalam Papacharissi dan Rubin (2000)
mengidentifikasi tiga faktor, yaitu kebutuhan sosial, belajar, dan
relaksasi.
Dalam konteks pendidikan, beberapa penelitian
menunjukkan alasan mahasiswa menggunakan internet terkait
dengan faktor internal, yaitu pemenuhan kebutuhan kognitif,
afektif dan integrasi sosial (Andriany, 2006; Novianto, 2003; Asih,
2012). Mendasarkan pada teori pengunaan dan kepuasan dan
hasil-hasil penelitian terkait dapat disimpulkan bahwa
kemandirian belajar dan rasa ingin tahu pada dasarnya adalah
kebutuhan kognitif, kebutuhan belajar dan kebutuhan akan
informasi. Kemandirian belajar dan rasa ingin tahu itu dipilih oleh
peneliti sebagai bagian dari faktor-faktor yang diduga memiliki
kaitan dengan pemanfaatan internet sebagai sumber belajar.
Kemandirian belajar adalah aktivitas belajar individu dengan
kebebasannya dalam menentukan dan mengelola sendiri bahan,
waktu, tempat belajar, terampil memanfaatkan sumber belajar dan
bertanggungjawab (Tahar, 2006; Haryono, 2001). Dapat pula
dipahami sebagai potensi melakukan kontrol atau kemampuan
memantau perilaku diri sendiri dan kerja keras perseorangan
(Bandura, dalam Hargis, 2002; Wolters, Pintrich dan Karabenick,
2003). Dalam hal ini, seorang pembelajar memegang
tanggungjawab utama dalam perencanaan, pelaksanaan dan
mengevaluasi proses belajar (Brockett dan Hiemstra (1991).
Individu dengan kemandirian belajar akan mengambil inisiatif
(Knowles, 1975), kontrol, dan menerima kebebasan mempelajari
apa yang dipandang penting untuk dipelajari (Guglielmino, 1991),
mampu menangani situasi dan memecahkan masalah baru (Chee,
Divaharan, Tan, dan Mun, 2011). Individu dengan skor kemandirian
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara54
JuwandiRahma Widyana
Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar
belajar yang tinggi mampu mengidentifikasi kebutuhan belajar,
membuat perencanaan dan melaksanakannya (Guglielmino,
1991).
Bila karakteristik kemandirian belajar tersebut dikaitkan
dengan kebutuhan individu terhadap sumber belajar,
pengetahuan atau informasi tertentu, maka hal itu akan
menginisiasi individu untuk melakukan pencarian atas beragam
sumber belajar, pengetahuan dan informasi yang dibutuhkan.
Seperti dikemukakan oleh Krikelas (1983) bahwa kebutuhan
informasi terjadi ketika individu menyadari adanya ketidakpastian
atau kekurangan pengetahuan tentang situasi atau topik tertentu
dan dorongan untuk mengatasinya, yaitu dengan jalan mencari
informasi yang dibutuhkan. Selanjutnya, ditinjau dari segi teori
penggunaan dan kepuasan, Katz, Gurevitch, Haas (1973); Katz,
Blumler, Gurevitch (1974) menjelaskan bahwa individu memilih
diantara pilihan media berdasarkan seberapa baik setiap pilihan
dapat membantu memenuhi kebutuhan atau tujuan spesifik.
Berkaitan dengan seberapa baik suatu media dapat
memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan sumber belajar,
pengetahuan atau informasi tertentu, maka tidak ada media
pembelajaran, pencarian, dan eksplorasi yang melebihi internet
dalam hal kecepatan, kemudahan, keragaman, dan kekayaan
sumber belajar, selain bahwa internet tidak dibatasi tempat, ruang
dan waktu. Artinya, internet menjadi media yang paling mungkin
dipilih atau dimanfaatkan sebagai sumber belajar oleh individu
dengan kemandirian belajar.
Sebagaimana diketahui bahwa melalui internet kekayaan
bahan belajar pada hampir semua pelajaran dan dalam berbagai
media dapat diakses dari mana saja, kapan saja, sepanjang hari
dengan jumlah yang tidak terbatas. Selain itu, internet
memfasilitasi akses sumber daya manusia, mentor, ahli, peneliti,
dan profesional (Tinio, 2004; Mok dan Lung, 2005; Candy, 2004;
Draves, 2002). Pembelajar dapat dengan cepat dan mudah
mengeksplorasi minat dan menemukan informasi yang
melampaui apa yang dapat diakses di sekolah atau masyarakat
lokal (Ito, Bittanti, dan Boyd, 2008). Ada milyaran sumber informasi
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 55
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
yang dapat digunakan secara berkesinambungan sesuai dengan
kebutuhan (Candy, 2004; Draves, 2002; Long, 2001). Penelitian juga
menunjukkan bahwa mahasiswa mendapat manfaat dengan
menggunakan internet, diantaranya memudahkan belajar,
mendapatkan informasi tambahan, pengetahuan bertambah,
informasi yang diperoleh semakin beragam dan memudahkan
penyelesaian tugas kuliah (Munawaroh, 2009).
Asumsi lain adalah bahwa individu dengan kemandirian
belajar memiliki kontrol atas kegiatan dan tanggungjawab untuk
memilih obyek, sarana maupun alat belajar (Mocker dan
Spear,1982; Boyer dan Kelly, 2005). Hal itu sejalan dengan
pemanfaatan internet yang sepenuhnya bersifat individual,
bergantung pada kemandirian, kontrol. dan pilihan bebas individu.
Artinya, bila individu tidak mengambil kontrol, memiliki inisiatif
untuk memilih obyek belajarnya sendiri, maka kecil
kemungkinanya akan memanfaatkan internet sebagai sumber
belajar.
Dari penjelasan teoritik tersebut dapat ditarik kerangka pikir
bahwa tanpa kemandirian belajar, kekayaan sumber belajar di
internet yang bebas untuk diakses siapa saja, kapan saja, dimana
saja tidak akan tersentuh dan hanya menjadi bagian dari inovasi
teknologi informasi komunikasi yang memuaskan aspek rekreatif,
bukan edukatif. Sebaliknya individu dengan kemandirian belajar
akan proaktif, inisiatif dalam memilih, mencari, menambah,
memperkaya, dan memperluas pengetahuan yang relevan dengan
pembelajaran. Berkaitan dengan hal itu, tidak ada media
pembelajaran, pencarian, dan eksplorasi yang melebihi internet
dalam kecepatan, kemudahan, keragaman dan kekayaan sumber
belajar, selain bahwa internet tidak dibatasi tempat, ruang dan
waktu. Individu dengan kemandirian belajar dengan demikian
kemungkinan akan memanfaatkan internet sebagai sumber
belajar.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian tentang pengaruh kemandirian
belajar terhadap pemanfaatan internet sebagai sumber belajar.
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara56
JuwandiRahma Widyana
Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar
Metode
Subjek penelitian ini berjumlah 96 mahasiswa Universitas
Paramadina Jakarta. Data dikumpulkan dengan menggunakan
dua skala, yakni skala pemanfaatan internet sebagai sumber
belajar dan skala kemandirian belajar. Adapun teknik analisis
datanya menggunakan analisis regresi.
Pemanfaatan internet sebagai sumber belajar dalam
penelitian ini didefiniskan sebagai pemanfaatan berbagai sumber
di internet dengan cara membaca, mendengar, menonton,
mengunduh sumber (web, e-book, jurnal, audiovisual) dan
berdiskusi tentang sumber yang relevan dengan pembelajaran.
Tinggi rendahnya pemanfaatan internet sebagai sumber belajar
akan diukur menggunakan skala pemanfaatan internet sebagai
sumber belajar yang disusun berdasarkan pada pendapat Anshori
dan Muadz (2007) tentang cara pemanfaatan sumber belajar dari
internet yang mencakup tiga aspek, yaitu (1) Membaca sumber
yang relevan dengan pembelajaran, seperti materi yang
berhubungan dengan disiplin ilmu yang dipelajari, materi kuliah,
jurnal, dan berita; (2) Mengunduh, menonton, mendengar sumber
yang relevan dengan pembelajaran, seperti mengunduh e-book,
jurnal, menononton-mendengar rekaman audiovisual yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan; dan (3) Berdiskusi tentang
sumber yang relevan dengan pembelajaran, seperti berdiskusi
tentang buku, teori, hasil penelitian, atau issu-issu sosial. Skor skala
yang tinggi menandakan subyek memanfaatkan internet sebagai
sumber belajar.
Dari 46 aitem yang diujicobakan 30 aitem dinyatakan sahih
dengan indeks daya diskriminasi 0.271 sampai 0.661. Selebihnya
16 aitem dinyatakan gugur. Aitem yang sahih sesuai dengan
jumlah yang telah ditetapkan sebelumnya, selanjutnya dilakukan
uji reliabilitas menggunakan teknik Alpha-Cronbach. Dari hasil uji
reliabilitas diketahui bahwa koefisien reliabilitas sebesar 0.858.
Artinya, skala layak digunakan untuk mengukur pemanfaatan
internet sebagai sumber belajar
Adapun kemandirian belajar adalah kemampuan individu
untuk mengatur, mengarahkan, mengendalikan diri sendiri
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 57
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
berkaitan dengan tujuan dan proses belajar, tanpa harus
bergantung pada orang lain, baik secara fisik, kognitif, maupun
emosional. Tinggi rendahnya kemandirian belajar akan diukur
menggunakan skala kemandirian belajar yang disusun
berdasarkan aspek-aspek kemandirian belajar dari Hidayati dan
Listyani (2010) yang mencakup enam aspek, yaitu (1) Berperilaku
berdasar inisiatif sendiri dalam mengidentifikasi kebutuhan materi,
tujuan, perencanaan, strategi, dan evaluasi belajar; (2) Tidak
bergantung pada orang lain dalam mengerjakan tugas, memenuhi
kebutuhan materi belajar, menyelesaikan masalah, dan membuat
keputusan; (3) Percaya dengan kemampuan diri sendiri, tidak
mudah menyerah, dan mengenali kelebihan dan kekurangan diri
sendiri; (4) Berperilaku disiplin, terarah, teratur, tetap dan kontinu;
(5) Memiliki tanggung jawab, dalam arti, berkomitmen dan
bersedia menerima resiko; dan (6) Kontrol diri atau mampu
mengendalikan dan mengantisipasi akibat dari perilaku serta
melakukan penilaian atas apa yang dialami secara tepat-
proporsional. Skor skala yang tinggi menandakan bahwa subyek
memiliki kemandirian belajar.
Dari 84 aitem yang diujicobakan 36 aitem dinyatakan sahih
dengan indeks daya diskriminasi berkisar antara 0.255 sampai
0.516. Selebihnya 48 aitem dinyatakan gugur. Dari hasil uji
reliabilitas menggunakan teknik Alpha Cronbach diketahui bahwa
koefisien reliabilitas sebesar 0.846. Artinya, skala tersebut layak
digunakan untuk mengukur tingkat kemandirian belajar.
H a s i l
Hasil analisis regresi menunjukkan terdapat hubungan
positif yang signifikan antara kemandirian belajar dengan
pemanfaatan internet sebagai sumber belajar dengan nilai
koefisien korelasi sebesar 0,472 (p < 0,005). Dapat ditafsirkan
bahwa semakin tinggi kemandirian belajar mahasiswa akan
semakin tinggi pula pemanfaatannya atas internet sebagai sumber
belajar.
Hasil analisis juga menunjukkan terdapat pengaruh
kemandirian belajar terhadap pemanfaatan internet sebagai
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara58
JuwandiRahma Widyana
Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar
sumber belajar dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,223.
Artinya, kemandirian belajar berkonstribusi sebesar 22,3 %
terhadap pemanfaatan internet sebagai sumber belajar,
sedangkan 77,7 ditentukan oleh faktor lain. Menurut penelitian
Rosni dan Utami (2009) faktor lain yang dapat mempengaruhi
adalah keterbatasan akses, keterampilan penggunanya, dan biaya
akses.
Dari besarnya F hitung 26.989 (p< 0,005) dapat pula
disimpulkan bahwa kemandirian belajar dapat memprediksi
pemanfaatan internet sebagai sumber belajar dengan persamaan
regresi Y = 53.896 + 0,319. Artinya, pemanfaatan mahasiswa atas
internet sebagai sumber belajar akan meningkat bila kemandirian
belajarnya ditingkatkan. Bila kemandirian belajar bertambah satu,
maka rata-rata pemanfaatan internet sebagai sumber belajar
bertambah 0,319. Dari uji t diketahui signifikansi koefisien regresi
kemandirian belajar sebesar 5.195 (p 0,005). Artinya, kemandirian
belajar memberi pengaruh signifikan terhadap pemanfaatan
internet sebagai sumber belajar.
Diskusi
Kemandirian belajar memberi pengaruh signifikan terhadap
pemanfaatan internet sebagai sumber belajar. Hal tersebut lebih
jauh dapat dijelaskan bahwa kemandirian belajar pada dasarnya
adalah aktivitas belajar individu dengan kebebasannya dalam
menentukan, mengelola sendiri bahan, waktu, tempat, dan
memanfaatkan berbagai sumber belajar yang diperlukan (Tahar,
2006). Ini akan menginisiasi individu untuk secara mandiri
melakukan pencarian, pemenuhan, memperkaya dan mempelajari
sumber belajar, atau dengan perkataan lain, tidak tergantung,
menunggu arahan atau pun materi, melainkan berusaha sendiri
untuk memenuhi kebutuhan sumber belajar, termasuk
memperkaya, mengeksplorasi, dan mempelajari materi yang akan
Sejalan dengan penjelasan tersebut, Knowles (1975)
mengemukakan bahwa individu yang mengarahkan dirinya
sendiri dalam belajar akan proaktif dan mengambil inisiatif.
Sementara itu, Chee, Divaharan, Tan, dan Mun (2011) menegaskan
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 59
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
bahwa individu dengan kemandirian belajar berlaku adaptif,
mampu menangani situasi, dan memecahkan masalah baru.
Mocker dan Spear (1982); Brockett dan Hiemstra (1991) juga
mengatakan bahwa individu dengan kemandirian belajar memiliki
kontrol atas kegiatan dan tanggungjawab untuk memilih, baik
obyek maupun sarana dan alat belajar.
Sikap proaktif, inisiatif, adaptif, kehendak untuk terus belajar,
mengambil kontrol dan kebebasan untuk memilih dan
mempelajari sesuatu yang dipandang penting untuk dipelajari
itulah yang kemudian mendorong individu untuk memanfaatkan
internet sebagai sumber belajar. Hal itu logis dan mudah dipahami
sebab tidak ada media pencarian, pembelajaran, dan eksplorasi
yang melebihi internet dalam kecepatan, kemudahan, kekayaan,
dan keragaman sumber belajar, selain bahwa internet tidak
dibatasi tempat, ruang dan waktu. Hal itu sekaligus dapat menjadi
penjelasan konstribusi kemandirian belajar terhadap pemanfaatan
internet sebagai sumber belajar, yaitu sebesar 23,3%, dapat
memprediksi, dan memberi pengaruh terhadap pemanfaatan
internet sebagai sumber belajar. Ini sejalan dengan hasil penelitian
sebelumnya bahwa mahasiswa mendapat manfaat dengan
memanfaatkan internet sebagai sumber belajar, yaitu
memudahkan dalam belajar, mendapat informasi tambahan,
pengetahuan bertambah, informasi yang semakin beragam,
memudahkan penyelesaian tugas kuliah (Munawaroh, 2009).
Penjelasan tersebut juga sejalan dengan teori penggunaan
dan kepuasan bahwa individu memilih media berdasarkan
seberapa baik suatu media dapat membantu memenuhi
kebutuhan atau tujuan spesifik (Katz, Gurevitch, Haas, 1973; Katz,
Blumler dan Gurevitch, 1974). Berkaitan erat dengan hal itu, tidak
ada media yang melebihi internet dalam hal kecepatan,
kemudahan, keragaman, dan kekayaan atas segala hal yang dapat
menjadi sumber belajar dan segala sesuatu yang dapat
memuaskan dari rasa ingin tahu individu. Penelitian menunjukkan
pilihan menggunakan internet karena dianggap relatif lebih cepat,
murah, dan mudah dibanding media lain (Asih, 2012).
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara60
JuwandiRahma Widyana
Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar
Melalui internet mahasiswa dapat dengan cepat dan mudah
mengeksplorasi minat dan menemukan informasi melampaui apa
yang dapat diakses di sekolah dan masyarakat lokal (Ito, Bittanti,
dan Boyd, 2008). Internet dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa
utamanya yang terkait dengan kebutuhan sumber belajar. Internet
menyediakan akses yang cepat atas beragam berita, jurnal, artikel
ilmiah dan data base lain yang menjadikan internet sebagai
sumber informasi penting (Benson, dalam Metzger, 2002). Hal itu
senada dengan pendapat (Tung, 2000) bahwa setelah kehadiran
guru dan dosen dalam arti yang sebenarnya, internet akan menjadi
suplemen dan komplemen, menjadi wakil dosen dan guru yang
mewakili sumber belajar yang penting di dunia.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
kemandirian belajar berpengaruh positif yang signifikan terhadap
pemanfaatan internet sebagai sumber belajar.
Saran
Berdasar hasil penelitian tersebut disarankan bagi
mahasiswa dengan kemandirian belajar yang rendah untuk lebih
menyadari tujuan dan tanggungjawabnya sebagai mahasiswa
sehingga dapat membangkitkan, memacu kehendak untuk
mengambil kontrol, kebebasan dan tanggungjawab atas proses
belajarnya. Selanjutnya bagi pengajar disarankan untuk
menerapkan model pembelajaran yang dapat mendorong
kemandirian belajar. Misalnya, mewajibkan mahasiswa untuk
mencari materi dalam silabus melalui website atau jurnal di
internet.
DAFTAR PUSTAKA
Andriany, D. (2006). Penggunaan internet oleh mahasiswa (Studi kasus:
mahasiswa FMIPA IPB angkatan 38-41). Skripsi. Program Studi
Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut
Pertanian Bogor.
Anshori, I & Mu'adz. (2007). Penggunaan internet sebagai sumber belajar
mahasiswa. Laporan Penelitian Dosen Muda. Surabaya: Fakultas
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 61
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Tarbiyah, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Asih, D.A.P (2012). Pola perilaku pencarian informasi melalui internet.
Skripsi. Banten: Konsentrasi Humas Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
Bates, A. W. (2005). Technology, e-learning, and distance education.
London: Routledge
Boyer, N & Kelly, M. (2005). Breaking the institutional mold: blended
instruction, belf-direction, and multi-level adult education.
International Journal of Self-Directed Learning. 2, (1), 1-16.
Brockett, R. G & Hiemstra, R. (1991). Self-direction in adult learning:
perspectives on theory, research, and practice. New York: Routledge.
Bruner, J.S. (1966). The process of education: towards a theory of
instruction. Cambridge, Mass: Harvard University Press.
Buente, B & Robbin, A. (2008). Trends in internet information behavior,
2000-2004. Journal of the American Society for Information
Science. ), 1743-1760.
Candy, P. C. (2004). Linking thinking-self-directed learning in the digital
age. Canberra City, Australian Government: Department of
Education, Science and Training.
Chee, T.S., Divaharan, S., Tan, L & Mun, C.H. (2011). ICT: Theory, practice
and assessment self-directed learning. Singapore: Ministry of
Education Technology Division.
Derrick, G., Ponton, M & Carr, P., (2005). A preliminary analysis of learner
autonomy in online and face-to-face settings. International Journal
of Self-Directed Learning. 2, (1), 62-70.
Dimyati & Mudjiono. (1994) Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Proyek.
Draves, W. (2002). How the internet will change how we learn. The Seventh
Annual Teaching on the Community Colleges Online Conference,
M a y 2 1 - 2 3 , 2 0 0 2 .
http://www.williamdraves.com/works/internet_change_report.htm.
Diunduh 4 Januari 2018.
Guglielmino, L.M. (1991). Expanding your readiness for self directed
learning. Don Mills, Ontario: Organization Design and Development
Inc.
Hamalik, U. (1989). Media pendidikan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Hargis, J., (2002). The self-regulated learner advantage: learning science on
the Internet. http:/www.jhargis.com/. Diunduh 8 Juli 2018.
Haryono, A. (2001). Belajar mandiri: konsep dan penerapannya dalam
sistem pendidikan dan pelatihan terbuka jarak jauh. Jurnal
59, (11
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara62
JuwandiRahma Widyana
Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar
Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh. 2, (2), 137-161.
Ito, M., Bittanti, H.H.M & Boyd., (2008). Living and learning with new
media: summary of findings from the digital youth project. Chicago,
Illinois: The MacArthur Foundation.
Hidayati, K & Listyani, E. (2008). Pengembangan instrumen kemandirian
belajar mahasiswa. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Tahun
14, Nomor 1, 84-99
Katz, E., Blumler, G. J & Gurevitch, M. (1974). Uses and gratifications
research, Public Opinion Quarterly. 37 (4), 509-523.
Katz, E., Gurevitch, M & Haas, H., (1973). On the use of the media for
important things. American Sociological Review. 38, (2), 164-181.
Kerka, S. (1997). Distance learning, the internet and the world wide
Web.(ERIC Digest).
Knowles, M.S. (1975). Self-directed learning. New York: Association Press.
Krikelas, J., (1983). Information-seeking behaviour: patterns and concepts.
Drexel Lib. Quart. Spring.
Livingstone., Sonia & Magdalena. (2004). UK children go online: surveying
the experiences of young people and their parents. London: LSE
Research Online.http://eprints.lse.ac.uk/achive.Diunduh 23 Juli
2018.
Long, H. B. (2001). A new era in teaching and learning. Dalam H. B. Long &
Associates. Self-Directed Learning and the Information Age.
Boynton Beach, FL: Motorola University.
Munawaroh, H. (2009). Media online sebagai sumber belajar di kalangan
mahasiswa. Skripsi. Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas
Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Metzger, M.J., Pfalangin, L &Zwarun. (2002). College sudent web use,
perception of information credibility and verivication behavior.
www.elvisier.com/locakte/compedu. Diunduh, 4 Januari 2018.
Mocker, D. W & Spear, G. E. (1982). Lifelong learning:formal, nonformal,
informal, and self-directed. Colombus, Ohio: The National Center for
Reseach in Vocational Education The Ohio State University.
Mok, M.C.M & Lung, C.L. (2005). Developing self-directed learning in
student teachers. International Journal of Self-Directed Learning.
2,(1), 16-39.
Nor, I.A. (2009). Sumber belajar. Jakarta: PT Pustaka Rajawali..
Novianto, I. (2013). Perilaku penggunaan internet di kalangan mahasiswa,
Open Journal Unair, 2, (1), 1-40.
Moris, M & Ogan, C. (1996). The internet as mass medium.
http://www.ascuse. org/jeme/vol11/issue4/moris.html. Diunduh 8
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 63
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Agustus 2018
Papacharissi, Z & Rubin, M. A. (2000). Predictors of internet use, Journal of
Broadcasting & Electronic Media. 44, (2), 175-196.
Percival, F & Henry, E. (1984). Teknologi pendidikan. Alih bahasa:
Sudjarwo, S. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
Purbo, O.W. , (2001) . Masyarakat pengguna internet d i
Indonesia. .Diu
nduh 8 Juni 2018.
Rosni dan Utami, S. (2009). Fasilitas internet sebagai sumber belajar
mahasiswa pendidikan geografi. Jurusan Pendidikan Geografi
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan.
Sanjaya., (1995). Internet sumber informasi penting bagi profesional.
Elektro Indonesia. Nomor 3, Tahun I, Januari 1995.
Tahar, I & Enceng. (2006). Hubungan kemandirian Belajar dan hasil belajar
pada pendidikan jarak jauh. Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak
Jauh. 7, (2), 91-101.
Tafiardi., (2005). Meningkatkan mutu pendidikan melalui e-learning.
Jurnal Pendidikan Penabur. No.04/ Th.IV/ Juli 2005.
Teeler, D & Pete, G. (2000). How to use the internet in ELT. Jeremy Harmer
(ed). England: Longman.
Tinio, V.L. (2004). ICT in education. New York: United Nations
Development Programme-Asia Pacific Development Information
Programme.
Tung, K.Y. (2000). Pendidikan dan riset di internet. Jakarta: Dinastindo.
Wahid, F. (2005). Peran teknologi informasi dalam modernisasi
pendidikan bangsa. Media Informatika, 3, (1), 61-68
Wahyono, S.B. (2003). Mobilitas mahasiswa teknologi pendidikan mencari
sumber belajar dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran.
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidkan Universitas Negeri Yogyakarta.
Wolters, C.A., Pintrich, P.R & Karabenick, S.A. (2003). Assesing academic
self-regulated learning. Conference on Indicators of Positive
Development: Child Trends.
http://www.geocities.com/inrecent/project.html
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara64
JuwandiRahma Widyana
Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar
Abstract. During this time there were many disagreements about the importance
of teaching math to early childhood, an opinion that supports saying that
teaching mathematic is useful for children to prepare for the next level of
education, opinions that refuse to say that the provision of mathematic material is
not in accordance with the stages of child development, feared children will
experiencing academic fatigue so that the child will become depressed at school.
To understand the two previous opinions, the purpose of this study was to
determine the effect of storytelling on counting skills in early childhood.
Storytelling was chosen as a method because it is considered as a fun and
interactive teaching method for children to convey complicated material. The
method used in this study is within-subject experiments with one group pretest
posttest design. There were 13 early childhoods involved as research subjects in
this study, the treatment provided in the form of storytelling in teaching math and
data collection tools used in the form of mathematic tests. Wilcoxon calculation
results show that p <0.05, which means there are differences in the counting
ability at children after being given counting material by storytelling.
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERHITUNG PADA ANAK USIA
DINI DENGAN CARA STORYTELLING
Vella Fitrisia.A
Fakultas Psikologi Universitas Tama Jagakarsa
Email :
Kronologi NaskahNaskah Masuk 28 Juli 2019 Revisi 20 Agustus 2019
Diterima 30 Oktober 2019
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara
65
Keywords: Counting Skill, Early Childhood, Storytelling
Abstrak. Selama ini terjadi banyak silang pendapat mengenai pentingnya
mengajarkan berhitung pada anak usia dini,pendapat yang mendukung
mengatakan bahwa mengajarkan berhitung berguna bagi anak untuk
kesiapannya menghadapi jenjang pendidikan selanjutnya, pendapat yang
menolak mengatakan bahwa pemberian materi berhitung tidak sesuai dengan
tahap perkembangan anak, ditakutkan anak akan mengalami kelelahan akademik
sehingga anak akan menjadi tertekan di sekolah. Untuk memahami kedua
pendapat sebelumnya maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh
storytelling terhadap kemampuan berhitung pada anak usia dini. Storytelling
dipilih sebagai metode karena dianggap sebagai metode mengajar yang
menyenangkan dan interaktif bagi anak-anak untuk menyampaikan materi yang
rumit. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen within
subject dengan desain one group pretest posttest. Ada 13 anak usia dini yang
terlibat sebagai subjek penelitian pada penelitian ini, perlakuan yang diberikan
berupa storytelling dalam mengajarkan berhitung dan alat pengumpulan data
yang digunakan berupa test berhitung. Hasil perhitungan Wilcoxon menunjukkan
bahwa p<0,05 yang artinya ada perbedaan kemampuan berhitung pada anak
setelah diberikan materi berhitung dengan cara storytelling.
Kata Kunci: Anak usia dini, Bercerita, Kemampuan berhitung
Pada anak usia dini cara mentransfer ilmu dalam proses belajar
mengajar haruslah menyenangkan dan kreatif sehingga anak tidak
merasa terbebani ketika di sekolah dan merasa riang gembira
dalam belajar. Idealnya proses belajar pada anak usia dini yang
dikedepankan memang bersosialisasi dan bermain. Tetapi adanya
tuntutan dari beberapa SD yang mensyaratkan agar anak sudah
bisa baca, tulis, dan hitung atau disebut juga calistung ketika
masuk SD dan ambisi orangtua yang merasa bangga jika anaknya
sudah bisa calistung sejak dini membuat calistung masuk dalam
kurikulum atau ekstra kurikuler pada pendidikan anak usia dini.
Berbagai kondisi ini membuat sistem pendidikan anak usia dini
bergeser mengajarkan calistung, trend mengedepankan calistung
sebagai ajang promo TK atau playgroup demi menarik minat
orangtua memasukkan anaknya ke TK atau playgroup tersebut
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara
66
Vella Fitrisia AMeningkatkan Kemampuan Berhitung Pada
Anak Usia Dini dengan Cara Storytelling
sering kita lihat. Bahkan untuk memenuhi permintaan pasar akan
calistung maka buku-buku calistung untuk anak usia dini banyak
diterbitkan.
Secara spesifik untuk kemampuan berhitung sebenarnya
anak usia dini sudah mempunyai potensi, terdapat prinsip-prinsip
kemampuan matematis pada anak yaitu, pertama, kestabilan yang
berarti bahwa menggunakan angka secara urut, kedua, setiap
angka digunakan untuk suatu objek pada satu set hitungan, ketiga,
nilai dari angka yang disebutkan terakhir mewakili jumlah dari
objek hitungan (Geary, 2004; Gelman & Meck, 1983). Terdapat
perbedaan pendapat mengenai penguasaan anak terhadap
prinsip-prinsip ini, beberapa peneliti menyatakan bahwa prinsip ini
dikuasai pada usia tiga tahun (Gelman & Meck, 1983). Sebagian
lagi menyatakan bahwa untuk mengerti mengenai prinsip ini
dimulai pada usia tiga tahun setengah (Wynn, 1992). Lalu ada yang
menyatakan bahwa anak tidak dapat menentukan kuantitas atau
jumlah sebelum umur empat tahun dan prinsip mengenai nilai
suatu objek hitungan akan muncul pada usia lima tahun (Freeman,
Antonucci & Lewis, 2000).
Tetapi menurut Piaget anak yang berusia dibawah tujuh
tahun tidak disarankan untuk belajar berhitung karena karena
pada masa itu anak-anak belum dapat berpikir operasional
konkret sehingga ditakutkan pelajaran tersebut akan membebani
anak-anak yang belum mampu untuk berpikir secara terstruktur.
Jika anak terbebani maka salah satu efek negatif yang terjadi
adalah school refusal dimana anak menolak untuk datang
kesekolah. School refusal dapat terjadi pada semua rentang usia
sekolah tapi mencapai puncaknya pada tiga tahap, pada saat mulai
sekolah, saat beralih atau pindah sekolah, dan pada awal masa
remaja. Tidak ada alasan khusus yang menyebabkan anak menolak
untuk bersekolah ada beberapa sebab, tetapi pasti ada pemicu
spesifik anak menolak untuk datang ke sekolah seperti
ketidakmampuan akademik, tantangan yang ada disekolah,
konflik keluarga, dan sakit (Wijetunge & Lakmini, 2011).
Sebaliknya ada pendapat yang mendukung pentingnya
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 67
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
kemampuan berhitung pada anak usia dini karena menurut
pendapat ini skor matematik saat TK akan mampu memprediksi
kesuksesan akademik, oleh karena itu diharapkan guru TK fokus
untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman anak-
anak mengenai angka dan berhitung (Dunphy, 2009). Belajar
matematika sejak usia dini sangat penting karena bertindak
sebagai dasar untuk anak-anak dalam memahami konsep
matematika yang lebih tinggi di masa depan (Bakar, 2017).
Pengetahuan matematika sejak dini yang diperoleh melalui
pengalaman langsung dan bermakna dalam lingkungan yang
menyenangkan membantu dalam menumbuhkan minat anak
dalam belajar matematika (Ginsburg, Lee & Boyd, 2008).
Mengingat hal tersebut maka guru harus mensiasati
kondisi ini dengan menggunakan teknik mengajar alternatif ,
kreatif dan menyenangkan. Storytelling merupakan salah satu cara
untuk menarik minat pada anak untuk belajar apalagi jika cerita
yang disampaikan menarik dan bersifat interaktif maka anak akan
merasa senang saat belajar dan tidak bosan, dengan kondisi
mental yang tidak tertekan diharapkan anak dapat menyerap
pelajaran dengan baik. Storytelling menjadi media yang efektif
dalam proses belajar mengajar pada anak usia dini karena cerita
melibatkan kemampuan mendengar, dimana kemampuan
mendengar ini merupakan salah satu kemampuan awal yang
dikembangkan oleh manusia dan termasuk kemampuan yang
sering kali dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari (Roskos,
Christie & Richgels, 2003). Dalam bercerita tentu saja melibatkan
proses mendengar dan menyimak yang efektif sehingga
pendengar mampu mengambil sesuatu dari yang disampaikan
oleh yang bercerita, studi mengenai mendengar dilakukan oleh
Wolvin dan Coakely (2000) yang menyatakan bahwa 50 sampai 90
persen waktu dalam proses komunikasi pada anak di gunakan
untuk mendengar baik itu di dalam kelas atau di luar sekolah.
Penggunaan cerita juga membantu anak untuk memahami
dunia karena cerita memberikan pengaruh dan gambaran melalui
kata-kata yang dapat mengekspresikan perasaan, kemudian
matematika adalah cara untuk mengurutkan suatu pengalaman,
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara68
Vella Fitrisia AMeningkatkan Kemampuan Berhitung Pada
Anak Usia Dini dengan Cara Storytelling
kedua hal itu disatukan terhadap suatu objek atau peristiwa di
dunia nyata dan berusaha untuk memahaminya (Leeper, 2015).
Toor dan Mgombelo (2015) menambahkan bahwa matematika
akan terasa lebih manusiawi jika dalam penerapannya mampu
menerangkan secara matimatis suatu subjek, dimana pada
kesempatan ini berpikir secara mendalam digunakan daripada
hanya mengadopsi suatu prosedur matematis, dan dengan
storytelling matematika mampu melakukan ini.
Berdasarkan pemaparan diatas untuk melihat efektivitas
penggunaan teknik storytelling untuk mengajar berhitung maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh antara
storytelling dengan kemampuan berhitung pada anak usia dini.
Storytelling
Storytelling didefinsikan sebagai suatu narasi yang nyata
atau imajiner yang terstruktur dengan suatu gaya tertentu dan
satu kesatuan karakter. Selain itu cerita juga membangun
pengetahuan dan fondasi dalam memori dan proses belajar, cerita
juga menghubungkan manusia di masa lampau, saat ini, dan di
masa depan (Barzaq, 2009). Menurut Maynard (2005) cerita
merupakan cara manusia mengkomunikasikan pengalamannya,
memahami pengalaman orang lain, membentuk imajinasi menjadi
bebas, cara bagaimana memahami dunia dan memahami posisi
diri sendiri di dunia ini, dan cerita merupakan sesuatu yang penting
untuk manusia, politik, dan pendidikan. Storytelling merupakan
aktivitas linguistik yang edukatif karena pendengar dapat
membagikan pengalaman pribadi kepada orang lain dan
storytelling merupakan suatu seni yang terus diperbaharui selama
bertahun-tahun (McEwan, 1995).
Membawakan suatu cerita mempunyai banyak kelebihan,
pertama, dapat lebih dekat kepada anak, kedua, dapat membuat
kontak mata dengan anak dan memperhatikan bagaimana mereka
merespon, ketiga, mendorong anak untuk terlibat, sebagai contoh
dengan mengundang mereka untuk bergabung membuat cerita
menggunakan ide anak (Leeper, 2015).
Kemampuan berhitung
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 69
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Kemampuan berhitung pada perkembangan anak bermula
dari pengalaman mereka yang berhubungan dengan benda nyata
atau objek yang mempunyai perbedaan warna, ukuran, bentuk
dan jumlah yang berbeda-beda. Menurut Ojose (2008)
kemampuan matematis artinya anak mengembangkan
kemampuan melalui aktivitas pengalaman nyata, Menurut Jordan
dkk (2012) kemampuan berhitung adalah mengerti mengenai
angka dan operasionalnya, misalnya mengetahui urutan angka
dalam suatu kesatuan hitung, angka mana yang terlebih dahulu
atau angka mana yang datang setelahnya. Selanjutnya
Charlesworth dan Lind (2009) menekankan pada penggunaan akal
sehat pada angka dan peralatan yang digunakan pada
kemampuan berhitung, hal tersebut membantu anak untuk
mendeteksi kesalahan dan memilih pendekatan logis dan strategis
untuk memecahkan masalah matematik.
Pengembangan kemampuan berhitung dan konsep
matematis pada anak usia dini dibagi menjadi tiga bagian yaitu
posisi relatif, dimana anak mampu mengetahui lokasi suatu objek
atau angka, angka ordinal yaitu suatu proses menentukan yang
pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, bilangan pokok adalah
saat anak mampu menyebutkan jumlah barang atau benda dalam
suatu seting atau pada suatu kesatuan dan mampu
menghitungnya sampai akhir (
Metode
Subjek penelitian yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 13
anak-anak berusia empat dan lima tahun yang bersekolah di PAUD
Mutiara kota Depok. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah rancangan eksperimen within subject karena jumlah subjek
sedikit. Adapun desain rancangan eksperimen yang digunakan
one group pretest-posttest design dengan simbol desain seperti
tertera pada gambar 1.
McGuire, Kinzie, & Berch,
2012).
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara70
Vella Fitrisia AMeningkatkan Kemampuan Berhitung Pada
Anak Usia Dini dengan Cara Storytelling
Gambar 1. One group pretest-posttest design
Keterangan :
O :Pengukuran sebelum manipulasi1 :
X : Manipulasi
O : Pengukuran setelah manipulasi2
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
variabel bebas yaitu storytelling dan variabel terikat yaitu
kemampuan berhitung. Adapun kontrol yang digunakan dalam
penelitian ini adalah konstansi karakteristik subjek dengan teknik
blocking, dalam teknik blocking ini peneliti menyetarakan kondisi
subjek penelitian yang mempunyai variabel sekunder yang sama
(Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2014). Dalam penelitian ini salah satu
variabel sekunder yaitu modal kemampuan berhitung yang
dimiliki oleh masing-masing anak sebelum mendapat perlakuan
diidentifikasi. Diketahui terdapat beberapa anak yang sudah
mempunyai kemampuan berhitung sampai dengan 20,
kemampuan tersebut akan berpengaruh terhadap hasil walaupun
tanpa diberikan perlakuan sehingga dianggap salah satu variabel
sekunder. Berdasarkan variabel sekunder tersebut peneliti memilih
anak-anak yang mempunyai kemampuan menghitung sampai
dengan 20, lalu yang mempunyai kemampuan berhitung kurang
atau lebih dari 20 tidak diikut sertakan dalam eksperimen.
Variabel lain yang sekiranya menjadi variabel sekunder
dalam penelitian ini adalah metode pengajaran khas yang
diterapkan sekolah, seperti diketahui saat ini beberapa sekolah TK
atau playgroup memakai metode khusus yang digunakan untuk
mengajar di sekolah tersebut dan menganggap metode tersebut
sebagai suatu ciri khas atau kelebihan yang dimiliki sekolah. Oleh
karena itu dalam penelitian ini dipilih sekolah yang masih
menggunakan metode pengajaran secara umum, dengan ini
diharapkan metode pengajaran lain tidak mencemari penelitian
dan mampu dikontrol.
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 71
O1 à X à O2
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Prosedur pelaksanaan eksperimen dilakukan selama
empat hari, pada hari pertama sebelum diberikan manipulasi
subjek diukur dengan menggunakan tes berhitung yang meliputi
mengurutkan angka, mencocokan angka dengan objek, mencari
angka yang hilang, menambah dan mengurangi angka dengan
kisaran hitung sampai 20. Hari kedua eksperimen dilakukan di
ruang kelas dengan menyajikan materi berhitung dengan metode
mengajar storytelling yang menggunakan suatu benda atau objek
yang disesuaikan dengan tema cerita sebagai alat bantu hitung
untuk menambah kekuatan cerita.
Cerita pertama tentang kelinci rakus yang memakan wortel
di kebun sehingga sakit perut, dan benda yang digunakan adalah
wortel. Hari ketiga masih disajikan cerita di kelas, mengenai
seorang anak yang mendapat hadiah permen untuk setiap
perbuatan baik yang dilakukan, benda yang digunakan adalah
permen lollipop.
Kemudian pada hari keempat anak diukur kembali setelah
mendapat perlakuan dengan tes berhitung yang sama seperti
sebelum mendapat perlakuan. Penggunaan benda sebagai alat
bantu dalam menyampaikan cerita karena menurut penelitian dari
Roslin dan Lin (2018) pengalaman yang berhubungan dengan
kemampuan berhitung yang diterapkan pada suatu benda atau
objek yang mempunyai nilai kualitas dan kuantitas seperti warna,
ukuran, bentuk sebelum beralih ke tahap gambar dan simbol akan
membantu pemahaman anak tentang berhitung.
H a s i l
Uji normalitas dan uji hipotesis pada penelitian ini dilakukan
dengan bantuan program SPSS versi 16.0 for Windows. Uji
normalitas dilakukan menggunakan uji Shapiro-Wilk, adapun hasil
uji normalitas menunjukkan bahwa nilai sig 0,015 atau p< 0,05
pada pretest dan nilai sig 0,000 atau p< 0,05 pada posttest, nilai ini
menunjukkan bahwa data berdistribusi tidak normal, oleh karena
itu akan digunakan uji statistik non parametrik untuk menguji
hipotesis.
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara72
Vella Fitrisia AMeningkatkan Kemampuan Berhitung Pada
Anak Usia Dini dengan Cara Storytelling
Pengujian hipotesis menggunakan uji Wilcoxon untuk
melihat apakah ada perbedaan nilai antara pretest dan posttest
seperti tertera pada tabel 1.
Tabel 1.
Hasil perhitungan statistik dengan Wilcoxon
Negative ranks pada nilai N, Mean Rank, maupun Sum Rank
menunjukkan angka 0. Artinya tidak ada penurunan dan
pengurangan nilai kemampuan berhitung antara nilai pretest dan
posttest. Positive ranks disini terdapat 12 data positif (N) yang
artinya ke 12 anak mengalami peningkatan hasil kemampuan
berhitung dari nilai pretest ke nilai posttest.
Mean Rank atau rata-rata peningkatan tersebut sebesar
6,50, sedangkan jumlah ranking positif atau sum ranks adalah
sebesar 78,00. Ties adalah kesamaan nilai pretest dan posttest,
disini nilai ties adalah 1, sehingga dapat dikatakan ada seorang
anak yang nilai kemampuan berhitungnya sama antara pretest dan
posttest.
Uji hipotesis berdasarkan hasil dari perhitungan Wilcoxon
Signed Rank Test, didapatkan nilai Z -3, 084 dengan nilai sig
sebesar 0,002 di mana p< 0,05, sehingga hipotesis yang
menyatakan bahwa ada pengaruh storytelling dengan
kemampuan berhitung pada anak usia dini diterima.
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 73
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Diskusi
Penelitian ini menemukan bahwa ada pengaruh antara
storytelling dengan kemampuan berhitung pada anak usia dini,
dengan nilai sig 0,002 atau nilai p< 0,05, hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh (Murti & Hastjarjo, 2015) yang
menyatakan bahwa permainan imajinatif dapat meningkatkan
metakognisi matematika dibanding yang tidak menggunakan
permainan imajinatif, lebih lanjut lagi permainan imajinatif berupa
dongeng mampu meningkatkan metakognisi dalam matematika
dibanding dengan permainan imajinatif berupa permainan pura-
pura yang tidak ada perbedaan dengan kelompok yang tidak
diberikan permainan imajinatif.
Pernyataan di atas diperkuat oleh pendapat yang
mengatakan bahwa storytelling untuk menyampaikan materi
matematika membuat belajar lebih mudah, menciptakan
lingkungan yang penuh imajinasi, penemuan, emosi, dan proses
berpikir yang pada akhirnya membuat matematika menjadi
menyenangkan (Modi, 2012). Storytelling juga memberikan
kesempatan memecahkan masalah dengan cara yang artistik
dimana yang bercerita menciptakan situasi yang disampaikan
kepada pendengarnya untuk merasakan kesenangan dan inspirasi
yang ada pada matematika (Gadanidis, 2012). Disatu sisi gaya
storytelling seperti dongeng , puisi, dan lagu sangat menghibur, di
sisi lain informasi utama yang ditransfer membekas di pikiran
orang yang mendengarkan (Zazkis & Liljedahl, 2009).
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan
hasil kemampuan berhitung pada anak usia dini setelah diberi
perlakuan metode mengajar storytelling. Hasil penelitian
diharapkan mampu menjembatani atau memberikan pandangan
lain mengenai stereotipe anak usia dini yang tidak boleh diajarkan
berhitung, karena berdasarkan penelitian ini berhitung pada anak
Ini berarti bahwa dongeng sebagai
bentuk permainan imajinatif dapat digunakan sebagai stimulasi
dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan
kemampuan metakognisi dalam matematika pada anak.
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara74
Vella Fitrisia AMeningkatkan Kemampuan Berhitung Pada
Anak Usia Dini dengan Cara Storytelling
usia dini jika diajarkan dengan cara yang menyenangkan, interaktif
dan kreatif seperti dengan cara storytelling tidak berdasarkan
kertas dan pensil saja mampu membangkitkan rasa penasaran
anak akan matematika, dan anak merasa tidak tertekan dalam
belajar matematika sehingga kemampuan berhitung mereka
meningkat.
Saran
Bagi guru diharapkan mampu membuat berbagai macam
cerita yang menarik sebagai media untuk mengajarkan berhitung
pada anak usia dini, cerita dapat diambil dari pengalaman sehari-
hari, dongeng rakyat yang beredar, dan buku cerita, selanjutnya
untuk menunjang cerita guru juga dapat menggunakan benda-
benda di sekitar sebagai sarana alat peraga dalam berhitung.
Orangtua juga diharapkan mau meluangkan waktunya untuk
berbagi cerita pada anak yang isinya bersifat edukatif dan
menyenangkan sehingga tanpa anak sadari selain keterikatan
emosional terjalin, rasa senang yang di rasakan anak,
perkembangan kognitif juga berkembang. Dalam penelitian ini
telah menggunakan teknik mengajar storytelling untuk mengajar
berhitung, pada penelitian selanjutnya diharapkan peneliti dapat
menggunakan teknik mengajar kreatif dan inovatif lain yang
sekiranya dapat meningkatkan kemampuan berhitung pada anak.
Peneliti selanjutnya juga dapat menggunakan variabel jenis
kelamin untuk melihat efektivitas perlakuan yang diberikan
terhadap kemampuan berhitung berdasarkan jenis kelamin,
desain eksperimen between subject juga dapat digunakan untuk
penelitian selanjutnya jika memungkinkan jumlah subjek
penelitiannya memadai.
DAFTAR PUSTAKABakar, K. A. (2017). Young Children's Representations of Addition in
Problem Solving. Creative Education, 8, 2232-2242.
.
Barzaq, M. (2009). Integrating Sequential Thinking Thought Teaching
Stories in the Curriculum. Action Research. AlQattan Center for
https://doi.org/10.4236/ce.2017.814153
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 75
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Educational Research and Development QCERD.Gaza
Charlesworth, R., & Lind, K. K. (2009). Math and science for young children,
(7th Ed.). Belmont, CA: Wadsworth/Cengage.
Dunphy, E. (2009). Early childhood mathematics teaching: Challenges,
difficulties and priorities of teachers of young children in primary
schools in Ireland. International Journal of Early Years
Education,17(1), 3-16, doi: 10.1080/09669760802699829.
Freeman, N. H., Antonucci, C., & Lewis, C. (2000). Representation of the
cardinality principle: Early conception of error in a counterfactual
test. Cognition, 74(1), 71–89.
.
Gadanidis, G. (2012). Mathematics through as Arts lens. A paper
presentated at The Fields Institute for Research in Mathematical
Sciences – Math Education forms, University of Toronto, Toronto,
Canada.
Geary, D. C. (2004). Mathematics and learning disabilities. Journal of
Learning Disabilities, 37, 4–15.
Gelman, R., & Meck, E. (1983). Preschooler's counting: Principles before
skill. Cognition Psychology, 13, 343–359.
Ginsburg, H. P., Lee, J. S., & Boyd, J. S. (2008). Mathematics Education for
Young Child-ren: What It Is and How to Promote It. Social Policy
Report: Giving Child and Youth Development Knowledge Away,
22, 1-23.
Hastjarjo, T.D & Murti, H, A,S.(2015). Permainan Imajinatif Berdasarkan
Metakognisi dalam Belajar Matematika. Gadjah Mada Journal of
Psychology, 1(1), 1-12.
Jordan, N., Glutting, J., Dyson, N., Hassinger-Das, B., Irwin, C., & Graesser,
A.C. (2012). Building kindergartners'number sense: A
randomized controlled study. Journal of Educational Psychology,
104(3), 647-660.
Leeper, M. (2015). Developing Early Maths through Story: Step-by-step
advice for using storytelling as a springboard for Maths activities.
London: Practical Pre-School Books, A Division of MA Education
Ltd, St Jude's Church.
Maynard, B. (2005). The Importance of Story. Available in :
http://subversiveinfluence.com/2005/01/the-importance-of-
story/ [ June 12 2014]
McEwan, H. (1995). Narrative understanding in the study of teaching. In H.
McEwan & K. Egan (Eds.), Narrative in teaching, learning, and
research (pp. 166-183). New York: Teachers College Press.
https://doi.org/10.1016/S0010-0277(99)00064-5
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara76
Vella Fitrisia AMeningkatkan Kemampuan Berhitung Pada
Anak Usia Dini dengan Cara Storytelling
McGuire, P., Kinzie, M., & Berch, D. (2012).Developing number sense in
pre-k with fiveframes. Early Childhood Education Journal, 40(4),
213-222. doi:10.1007/s10643-011-0479-4.
Modi, K. (2012). Story Telling in Mathematics. Voice of Research, 1 (2), 31-33.
Ojose, B. (2008). Applying Piaget's Theory of Cognitive Development
Mathematics In-struction. The Mathematics Educator, 18, 26-30.
Roskos, K.A., Christie,J. F., & Richgels, D.D. (2003). The essentials of early
literacy instruction. Young Children, 3, 52-60.
Rosli, R., & Lin, T. W. (2018). Children Early Mathematics Development
Based on a Free Play Activity. Creative Education, 9, 1174-1185.
.
Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B,N.(2014). Psikologi Eksperimen.
Jakarta: Indeks
Toor, A. & Mgombelo, J.(2015). Teaching mathematics through
storytelling: Engaging the 'being' of a student in mathematics.
CERME 9 - Ninth Congress of the European Society for Research in
Mathematics Education, Charles University in Prague, Faculty of
Education; ERME, Prague, Czech Republic. pp.3276-3282.
Wijetunge, G.S. and Lakmini, W.D. (2011). School refusal in children and
adolescents. Sri Lanka Journal of Child Health, 40(3), pp.128–131.
DOI: .
Wolvin, A.D. and Coakely, C.G. (2000). Listening education in the 21st
century. International Journal of Listening, 12,143-152.
Wynn, K. (1992). Children's acquisition of the number words and the
counting system. Cognitive Psychology, 24(2), 220-251.
Zazkis, R., & Liljedahl, P. (2009). Teaching Mathematics as Storytelling.
Rotterdam, The Netherlands: Sense Publishers.
https://doi.org/10.4236/ce.2018.97087
http://doi.org/10.4038/sljch.v40i3.3511
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 77
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Abstract. This study aimed to describe the psychological conflicts of Balinese
Hindu women who describe the "Nyerod" caste. An identical wedding with
happiness is not fully enjoyed by Balinese Hindu women who visit down castes
"Nyerod. This is due to the existence of various customary rules that must be
lowered after caste. The caste affair experienced by every caste woman is not an
easy thing, where there will be many changes and disagreements from extended
family and environment as well as a dilemma feeling towards parents that will
affect the psychological conflict of the woman. The subjects in this study were
three Balinese Hindus who visited the "Nyerod" castle. Methods of data collection
in this study were semi-structured and non-participant interviews and see the
relationship between psychological conflicts with the narrative of each informant
through qualitative methods with narrative study approach. The results showed
that after marriage and down caste, the three subjects generally experienced a
temporary dilemma when confronted with negative customs and stigma in the
community. It became a consequence for all subjects who were broke the tradition
KONFLIK PSIKOLOGIS WANITA “NYEROD”
DALAM PERKAWINAN ADAT DI BALI
1 2Kadek Jossy Alandari , Titik Muti'ah
Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa1 2
Email: ;
Kronologi Naskah:
Naskah Masuk 29 Juli 2019, Revisi 10 September 2019
Diterima 25 November 2019
[email protected] [email protected]
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara78
rules. But, on the other side the subjects felt that the various negative things that
occur after down caste, balanced with the compensation that the subject get in
the form of love,support, and career that can be called as identity.
Keywords: Conflict of Psychology, Caste, Hindu's Woman in Bali, Nyerod
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konflik psikologis
wanita Hindu Bali yang mengalami turun kasta “Nyerod”. Pernikahan yang identik
dengan kebahagiaan tidak sepenuhnya dirasakan oleh wanita Hindu Bali yang
mengalami turun kasta “Nyerod. Hal tersebut dikarenakan adanya berbagai
peraturan adat yang harus dihadapi setelah turun kasta. Peristiwa turun kasta
yang dialami setiap wanita berkasta bukanlah hal yang mudah, dimana akan ada
banyak perubahan dan pertentangan dari keluarga besar maupun lingkungan
serta perasaan dilematis terhadap orangtua yang akan berpengaruh pada konflik
psikologis wanita tersebut. Subjek dalam penelitian ini berjumalah tiga wanita
Hindu Bali yang mengalami turun kasta “Nyerod”. Metode pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah wawancara semi-terstruktur dan observasi non
partisipan serta melihat keterkaitan antara konflik psikologis dengan narasi
masing-masing informan melalui metode kualitatif dengan pendekatan studi
naratif. Hasil penelitian menunjukan setelah menikah dan turun kasta ketiga
subjek secara umum mengalami keadaan dilematis yang bersifat temporer saat
dihadapkan dengan adat istiadat dan stigma negatif dimasyarakat. Hal tersebut
telah menjadi kosekuensi bagi seluruh subjek yang dianggap telah melanggar
peraturan adat. Namun disatu sisi subjek merasa bahwa berbagai hal negatif yang
dialami setelah turun kasta, seimbang dengan kompensasi yang subjek dapatkan
yaitu berupa cinta, dukungan dan pekerjaan/karier yang dapat subjek tunjukkan
sebagai jati diri.
Kata kunci: Konflik Psikologi, Kasta, Wanita Hindu Bali, Nyerod
Masyarakat Hindu di Bali lekat dengan budaya kasta dengan
menggolongkan setiap lapisan masyarakat Hindu di Bali menjadi 4
golongan, yaitu Brahmana, Ksatria, Weisya dan Sudra. Menurut
Budawati (2011) wanita Hindu Bali dituntut menghadapi realitas
sosial dalam budaya kasta yang berperan dan berpengaruh dalam
tatanan serta peraturan adat dikehidupannya. Penggolongan
dimasyarakat Hindu Bali kadang menimbulkan diskriminasi dan
masalah khususnya pada wanita. Diskriminasian terhadap wanita
Hindu Bali khususnya pada wanita triwangsa. Peraturan yang
menyatakan bahwa seorang wanita Hindu Bali harus mendapatkan
pasangan atau laki-laki yang berasal dari kasta yang sama atau
yang berasal dari kasta Brahmana, Ksatria dan Weisya. Sebaliknya Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 79
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
peraturan tersebut tidak berlaku pada kaum laki-laki. Selain karena
kasta, hal tersebut terjadi karena Pulau Bali menganut sistem
patrilineal.
Perkawinan Perkawinan dengan kasta yang berbeda
dilarang pada zaman dulu, namun sekarang sudah dilegalkan
dengan Paswara DPRD Bali No 11 Tahun 1951 namun dalam
pelaksanaannya masih kurang apalagi terkait pelaksanaan upacara
penurunan kasta atau upacara patiwangi. Hal ini menyebabkan
kedudukan perempuan menjadi kabur apalagi jika sampai terjadi
perceraian (Widetya, dkk, 2015).
Realitas sosial yang harus dihadapi wanita Hindu Bali yang
terlahir dari 3 kasta utama (Triwangsa) tidaklah mudah. Adanya
perkawinan larangan antara wanita triwangsa terhadap laki-laki
yang berkasta lebih rendah (Sudra) menyebabkan ruang lingkup
wanita triwangsa menjadi lebih sempit dalam menentukan
pasangannya. Pada kenyataannya tidak jarang wanita-wanita
triwangsa yang tidak mampu mendapatkan pasangan sekasta rela
menanggalkan kastanya dan mengikuti kasta pasangannya yang
lebih rendah (Dewi, 2013; Yanti, 2013).
Selain kehilangan kastanya, seorang wanita yang
memutuskan menikah dan turun kasta juga harus menanggung
konf l ik ps ikologis karena harus kehi langan nama
kebangsawanannya yang telah ia dapatkan sejak lahir. Turun kasta
pada wanita di Bali sama halnya seperti proses reinkarnasi, dimana
wanita tersebut bereinkarnasi menjadi perempuan tanpa gelar
kebangsawanaan, yaitu menjadi seorang wanita Sudra (tidak
berkasta). Hal yang lebih menyakitkan bagi wanita yang turun
kasta adalah ketika berhadapan dengan keluarga di Griya/Puri
maka wanita tersebut harus menjaga sikap, sebab derajat wanita
sudah tidak sama lagi dan harus berperilaku layaknya orang Sudra
di hadapan Gustinya (keluarganya sendiri). Seorang Dayu
mencurahkan kisahnya yang mengalami “
Nyerod”:“Setelah menikah keluarga besar saya tidak mau
memakai bahasa halus sama saya lagi. Juga tidak dipanggil
Dayu lagi, kecuali saudara kandung. Saya sudah tahu itu,
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara80
Kadek Jossy AlandariTitik Muti’ah
Konflik Psikologis Wanita “Nyerod” Dalam Perkawinan Adat Bali
sebelum menikah, tetapi tetap sakit hati, ya, kalau pulang ke
geriya. Kalau kami ada upacara di keluarga di rumah suami,
syukurlah, orang tua dan saudara saya selalu datang. Tetapi
mereka tidak boleh saya berikan lungsuran, mereka tidak
boleh memakannya. Syukurlah, perkawinan saya bahagia,
tetapi ada saja yang mengingatkan saya bahwa saya
Nyerod”.
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan oleh Budawati
(2011) terlihat bahwa Dayu mengalami konflik psikologis dan
kesedihan yang mendalam karena perubahan status yang dialami
setelah menikah. Perubahan status yang drastis tentu saja
menyebabkan kerancuan dan tekanan batin yang harus diampu
oleh seorang yang “Nyerod”. Maka dalam dirinya muncul konflik-
konflik intrapersonal yang bisa saja menjadi tidak berkesudahan.
Dikatakan demikian karena seorang yang “Nyerod” tidak dapat
menjalankan perannya dengan penuh atau seutuhnya.
Contohnya, ketika dia berperan sebagai seorang anak di
keluargnya sendiri, selalu ada batasan yang dia patuhi agar tetap
dikatakan menghormati Geriya. Jika hal tersebut dilanggar maka
sama saja dengan mencoreng kewibawaan Geriya. Sebaliknya
perannya sebagai anggota baru dalam keluarga suaminya yang
tidak berkasta akan menyebabkan perubahan peran yang sangat
drastis. Ketika dulu berada didalam Geriya dia akan dilayani dan
sangat dihormati oleh kalangan 'Sudra' (tidak berkasta) maka
dengan sekarang menjadi anggota keluarga Sudra, dia otomatis
harus melakukan pelayanan terhadap suaminya maupun keluarga
suaminya.
Konflik terdiri atas konflik eksternal dan konflik internal.
Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seseorang
dengan sesuatu yang di luar dirinya, dapat berupa lingkungan
alam atau berupa lingkungan manusia. Konflik internal atau konflik
psikologis adalah konflik yang terjadi dalam hati, jiwa seseorang
atau merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya
sendiri, atau merupakan konflik yang dialami intern seorang
manusia (Gerungan, 2012).
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 81
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Surakhmat (Shofiyatun, 2009) mengemukakan bahwa
konflik psikologis adalah kebimbangan yang disebabkan oleh dua
atau lebih motif yang muncul pada saat bersamaan. Adapun
pengertian konflik batin menurut Alwi (2008) adalah konflik yang
disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih, atau keinginan
yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga
mempengaruhi tingkah laku.
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melihat
gambaran konflik psikologis yang dialami wanita Hindu Bali
setelah turun kasta karena perkawinan. Melihat akibat yang akan
diterima oleh wanita yang mengalami turun kasta bukanlah hal
yang mudah, peneliti tertarik untuk melihat dan mengetahui
bagaimana seorang wanita yang mengalami turun kasta mampu
melewati perubahan dan menerima status baru dan beradaptasi
terhadap aturan-aturan adat mengenai hal-hal yang harus wanita
terima sebagai seorang Sudra. Bagaimana seorang wanita mampu
menghadapi kesulitan-kesulitan akibat dari peristiwa turun kasta
dan tetap mampu membangun kehidupan yang bermakana
sehingga tetap mampu memperpanjang harapan hidupnya dan
kebahagiaan walaupun sudah turun kasta
.Metode
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan
metode kualitatif dengan pendekatan studi naratif. Dalam
penelitian ini subjek berjumlah 3 wanita Hindu Bali yang
mengalami turun kasta “Nyerod” dalam rentang usia 28-37 tahun.
Seluruh subjek bertempat tinggal di Denpasar, Bali. Pengumpulan
data menggunakan metode wawancara semi terstruktur dimana
pedoman wawancaranya telah ditentukan sebelumnya oleh
peneliti dan observasi non partisipan, dimana peneliti dap
mengamati kegiatan yang sedang berlangsung tanpa ikut
bergabung di dalam kegiata tersebut. Triangulasi dalam penelitian
ini dilakukan dengan pengumpulan data dari significant others
yang berjumlah delapan orang sebagai penguat dan penambah
informasi yang telah didapatkan melalui narasumber. Metode
analisis yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara82
Kadek Jossy AlandariTitik Muti’ah
Konflik Psikologis Wanita “Nyerod” Dalam Perkawinan Adat Bali
adalah metode analisis naratif. Naratif adalah studi yang berfokus
pada narasi, cerita, atau deskripsi tentang serangkaian peristiwa
terkait dengan pengalaman manusia (Creswell, 2013).
Hasil
Berdasarkan pada pokok pembahasan yang dikaji, yaitu
mengenai Konflik Psikologis Wanita Turun Kasta “Nyerod” dalam
Perkawinan Adat di Bali. Kemudian peneliti melakukan penggalian
data berupa bagaimana konflik psikologis yang dialami dalam
memberi arti terhadap fenomena terkait. Penggalian data ini
dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam kepada
subjek penelitian dan informan dalam penelitian, juga melakukan
observasi langsung mengenai bagaimana subjek penelitian
menginterpretasikan pengalamannya kepada orang lain.
Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Januari-April 2018.
Konflik dan penerimaan diri yang dialami keseluruhan
subjek sebelum dan setelah menikah dalam memperjuangkan
keputusan yang dipilih yaitu menikah dan turun kasta. Berbagai
perdebatan dari setiap keluarga ketiga subjek tidak menjadi
halangan seluruh subjek untuk tetap mempertahankan niatnya
menikah dan mengikhlaskan keadaan saat ini sebagai takdir dari
Tuhan.
Ketiga subjek beruntung, walaupun mengalami berbagai
halangan di pihak keluargannya namun seluruh subjek selalu
mendapat dukungan penuh dari suami, anak dan keluarga
barunya. Dukungan dari suami merupakan pengaruh terbesar
subjek untuk menentukan keputusan maupun kebahagiaan
hidupnya.
Ketidaksepakatan tentang peraturan adat dan perdebatan
dengan orangtua maupun keluarga adalah masalah yang dialami
subjek sejak masih remaja hingga memutuskan untuk menikah.
Ketiga subjek mengalami berbagai tekanan dan peraturan adat
yang mengikatnya selama menjadi wanita berkasta. Hal tersebut
menjadi penghalang seluruh subjek untuk menikah dengan lelaki
tanpa kasta. Ketiga subjek selalu berusaha mengalihkan
kesedihan karena perubahan status yang dialami maupun
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 83
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
perasaan bersalah kepada kedua orangtua dan keluarga yang
selalu menghantui kehidupan subjek.
Perubahan yang paling dirasakan oleh seluruh subjek adalah
perlakuan dari lingkungan sekitar terhadapnya yang dulunya
dihormati, sekarang dianggap sederajat dan tidak lagi menerima
keistimewaan seperti saat masih menjadi wanita berkasta. Setiap
subjek menanggapi perubahan tersebut secara berbeda, subjek
tiga lebih siap dan cepat beradaptasi pada perubahan status
dibandingkan subjek satu dan dua. Ketidaknyamanan psikososial
yang dialami keseluruhan subjek seiring dengan kehidupan yang
dijalani dipengaruhi oleh lingkungan dan pendapat masyarakat
tentang status subjek yang dulunya wanita berkasta sekarang
harus turun kasta dan menjadi wanita.
Gambar 1. Skema Hasil Penelitian
Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh menurut keterangan
keseluruhan subjek, pernikahan dan turun kasta yang mereka
alami benar-benar karena keputusan pribadi. Walaupun semua
subjek mengalami pertentangan dari orangtua dan keluarga
mereka tetap memilih jalan untuk “Nyerod” dan menjalani
kehidupan sebagai seorang Sudra. Ketiga subjek juga berusaha
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara84
Kadek Jossy AlandariTitik Muti’ah
Konflik Psikologis Wanita “Nyerod” Dalam Perkawinan Adat Bali
untuk menerima dan mengihklaskan semua hal yang terjadi pada
dirinya. Pandangan bahwa peristiwa turun kasta merupakan
bagian dari takdir Tuhan menjadi wujud dari kepasrahan dari
keseluruhan subjek yang menggambarkan adanya sikap positif
maupun negatif terhadap diri sendiri yang berpotensi menjadi
konflik psikologis bagi subjek dari sebelum hingga setelah
menikah.
Tidak mudah bagi subjek dalam membuat keputusan
nyerod. Secara adat, menurut Atmaja (2008) nyerod atau yang
disebut juga Perkawinan asu pundung dan alangkahi karang hulu
oleh penguasa Bali zaman itu dianggap menentang hukum alam,
karena air mani lakilaki berkasta lebih rendah dialirkan ke atas
melalui ovum perempuan yang kastanya lebih tinggi. Tindakan ini
sama artinya dengan melangkahi kepala para bangsawan Bali.
Lebih laut Atmaja (2008) menyebutkan terdapat sanksi hukum
akan dikenakan bagi pasangan yang melakukan perkawinan
nyerod ini baik bagi mempelai laki-laki dan mempelai perempuan,
antara lain penurunan kasta bagi mempelai perempuan, Selong
yaitu hukuman buang keluar bagi kedua mempelai, bahkan sampai
hukuman labuh gni dan labuh batu.
Keyakinan bahwa nyerod merupakan sebuah takdir Tuhan
yang bisa dihindari pada subjek, menunjukan pergulatan
religiusitas yang rumit. Keyakinan tersebut menguatkan untuk
membuat keputusan pada diri subjek. Ini menunjukan meskipun
mengalami konflik batin secara psikologis dapat dikeloloa dengan
baik. Studi Ismail dan Desmukh (2013); Park dan Millora (2010),
religiusitas berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis.
Peran suami yang mendukung mampu mengurangi beban
psikologis yang dialami oleh subjek. Dukungan sosial muncul
orang–orang terdekat akan meningkatkan kesejahteraan
psikologis. Lebih lanjut, Taylor (2003) menyebut dukungan sosial
juga merupakan cara yang efektif yang dapat digunakan
seseorang untuk menyesuaikan diri dari peristiwa yang sulitdan
penuh tekanan. Orang-orang terdekat adalah sumber dukungan
social misalnya suami dan keluarga.
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 85
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Bagi subjek yang telah melakukan nyerod dukungan
keluarga merupakan modal untuk menjalani kehidupan setelah
menikah. Senada dengan hal tersebut, kepuasan akan perkawinan
bersal dari kontribusi dukungan keluarga. Puspitawati (2012)
adanya dukungan social akan menguatkan pasalngan dalam
menanggulangi permasalan perkawinan. Larasati (2012)
mengungkap bahwa suami memiliki peran dalam persepsi
kepuasan perkawinan pada isteri. Lebih lanjut menurut Selvarajan,
dkk (2013) dukungan sosial dapat memengaruhi interaksi individu
di dalam keluarga yaitu dukungan emosional terhadap pasangan,
dalam hal ini istri yang turun kasta karena nyerod.
Menjalani perkawinan beda kasta bukan hal mudah, perlu
komunikasi yang baik antara dua keluarga dari pasangan. Apbila
sudah ada titik temu tentang tata cara pelaksanaan upacara dan
sebagainya, mungkin tidak akan ada masalah. Selain kesepakatan
antara dua keluarga di dalam suatu perkawinan diperlukan saling
pengertian dan saling menerima pasangan masing-masing
dengan latar belakang keluarga dan kebiasaan yang berbeda
(Atmaja, 2008)
Perubahan yang paling dirasakan oleh seluruh subjek
adalah perlakuan dari lingkungan sekitar terhadapnya yang
dulunya dihormati, sekarang dianggap sederajat dan tidak lagi
menerima keistimewaan seperti saat masih menjadi wanita
berkasta. Muncul perasaan unconform dengan masyarakat,
merasa terasing dan mendapatkan stigma, dikeluarkan dari
keluarga besar. Darmayanti (2014) menyebutkan perempuan
mendapatkan perlakukan tidak adil sebagai akibat nyerod yakni,
perempuan brahmana yang menikah dengan laki-laki sudra
dianjurkan menggugurkan kandungan ketika hamil, dan
perempuan dilarang menyembah orang tua
Konflik psikologis ini muncul sebagai akibat tidak memiliki
konformitas perilaku dengan adat kebiasaan masyarakat Hindhu
di Bali. Menurut (Dyatmikawati, 2011) hukum adat yang dianut
oleh masyarakat Bali, yang dikenal dengan istilah desa adat atau
desa pakraman, perkawinan memiliki arti penting karena erat
kaitannya dengan tanggung jawab, kewajiban atau dikenal
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara86
Kadek Jossy AlandariTitik Muti’ah
Konflik Psikologis Wanita “Nyerod” Dalam Perkawinan Adat Bali
dengan istilah swadharma seseorang, baik terhadap keluarga
maupun masyarakat. Tanggungjawab atau kewajiban tersebut
meliputi kewajiban yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan
sesuai dengan ajaran agama Hindu atau parhayangan, aktivitas
kemanusiaan atau pawongan dan aktivitas memelihara
lingkungan atau palemahan, baik itu untuk kepentingan keluarga
maupun masyarakat. Tanggung jawab seseorang dalam
masyarakat adat atau desa pakraman, dituangkan lebih lanjut
dalam aturan yang berlaku di desa pakraman, yang dikenal dengan
sebutan awig-awig desa pakraman
Konformitas dijabarkan sebagai bentuk perilaku sama
dengan orang lain yang didorong oleh keinginan sendiri
(Sarwono, 2012). Adanya konformitas dapat dilihat dari perubahan
perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok,
baik yang sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan saja
(Kiesler dalam Sarwono, 2012).
Bagi perempuan nyerod penyesuaian diri merupakan kunci
kehidupan dimasa akan datang. Christina (2016) membuktikan
bahwa penyesuaian perkawinan dan subjective well being
memiliki korelasi yang signifikan dengan konflik perkawinan.
Diketahui pula bahwa penyesuaian perkawinan dan subjective well
being mampu memberikan kontribusi negatif terhadap konflik
perkawinan.
Kesimpulan
Konflik psikologis dialami oleh ketiga subjek ditunjukkan
dengan keadaan dilematis yang bersifat temporer saat
dihadapkan dengan adat istiadat dan stigma negatif dimasyarakat.
Hal tersebut menjadi kosekuensi bagi seluruh subjek yang
dianggap telah melanggar peraturan adat serta mencoreng nama
baik keluarga besar. Mendapatkan pemutusan kasta atau
pemutusan hubungan keluarga dengan keluarganya terdahulu
menjadikan beban tersendiri bagi masing-masing subjek. Namun
disatu sisi subjek merasa berbagai hal negatif yang dialami setelah
turun kasta, seimbang dengan kompensasi yang subjek dapatkan
yaitu berupa cinta, dukungan dan pekerjaan/karier yang dapat
subjek tunjukkan sebagai jati diri.Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 87
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Saran
Pada wanita yang mengalami turun kasta diharapkan
memiliki pikiran yang terbuka dalam mengahadapi peristiwa turun
kasta. Pikiran yang terbuka akan mempermudah seorang wanita
yang mengalami turun kasta dalam menghilangkan konflik
didalam dirinya. Ketika wanita Hindu Bali mengalami turun kasta
diharapkan agar tidak melakukan penyesalan yang berlarut-larut.
Masyarakat Bali sebaiknya mampu menerima dan
memberi dukungan kepada wanita yang mengalami peristiwa
turun kasta. Diamana adanya penerimaan serta dukungan positif
dari masyarakat dapat membantu wanita yang mengalami turun
kasta membangun kesejahteraan psikologis ke arah yang positif.
Bagi peneliti selanjutnya yang akan meneliti topik yang sama,
selain diharapkan menggali lebih dalam konflik psikologis yang
dialami subjek yang akan diteliti, peneliti juga diharapkan
menggali lebih dalam mengenai peraturan-peraturan adat yang
mengatur tentang “Nyerod” pada asal daerah masing-masing
subjek untuk mengetahui lebih banyak peraturanadat yang
menjadi pertentangan.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, dkk. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia
pustaka Utama.
Arisandi, V (2015). “Psychological Well-Being Pada Wanita Hindu Bali
yang Mengalami Turun Kasta Akibat Perkawinan”. Skripsi.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Atmaja, Jiwa. (2008). Bias Gender: Perkawinan Terlarang Pada Masyarakat
Bali. Denpasar: Udayana University Press.
Budawati, N. dkk. (2011). Buklet Seri Adat Payung Adat untuk Perempuan
Bali. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk
Keadilan (LBH APIK) Bali dan Komunitas untuk Indonesia yang
Adil dan Setara (KIAS).
Christina, D. (2016). Penyesuaian Perkawinan, Subjective Well Being dan
Konflik Perkawinan. Jurnal Psikologi Indonesia. 5, (01),1 - 14
Creswell, J.W. (2013). Research Design: Pendekatan kualitatif, kuantitatif,
dan mixed edisi ketiga. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara88
Kadek Jossy AlandariTitik Muti’ah
Konflik Psikologis Wanita “Nyerod” Dalam Perkawinan Adat Bali
Darmayanti, I. A. M. (2014). Seksualitas Perempuan Bali dalam Hegemoni
Kasta: Kajian Kritik Sastra Feminis pada Dua Novel Karangan Oka
Rusmini. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora. 3, (2), 484-494.
Dyatmikawati, P. (2011). Perkawinan Pada Gelahangd alam Masyarakat
Hukum Adat di Provinsi Bali Ditinjau dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jurnal Ilmu Hukum. 7(14)107-
123Gerungan W, A. (2012). Psikologi Sosial. Cetakaan ke-IV.
Bandung: Refika Aditama.
Ismail, Z., & Desmukh, S. (2013). Religiosity and psychological well-being.
International Journal of Business and Social Science, 3(11), 20-28.
Jiwa Atmaja (2008). Bias Gender Perkawinan Terlarang Pada Masyarakat
Bali. Udayana University Press, Denpasar.
Larasati, A. (2012). Kepuasan Perkawinan pada Istri Ditinjau dari
Keterlibatan Suami dalam Menghadapi Tuntutan Ekonomi dan
Pembagian Peran dalam Rumah Tangga. Jurnal Psikologi
Pendidikan dan Perkembangan. 1, (03), 1- 6.
Dewi, I, A, M, L., dkk. (2013). Implikasi Perkawinan Beda Kasta dalam
Perspektif Hukum, Sosial-Budaya dan Religius di Banjar
Brahmana Bukit, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Jurnal
Pendidikan, 1,1-14.
Moleong, L. J. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Park, J. J., & Millora, M. (2010). Psychological well-being for white, black,
latino/a, and asian american students: Considering spirituality
and religion. Journal of Student Affairs Research and Practice,
47(4), 1–18.
Puspitawati, H. (2012). Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di
Indonesia. Bogor (ID): IPB Press.
Sarwono, S. W. (2012). Psikologi remaja (15ed). Jakarta: Rajawali Pers.
Selvarajan, T. T., Cloninger, P.A., Singh, B. (2013). Social support and
work–family conflict: A test of an indirect effects model. Journal of
V o c a t i o n a l B e h a v i o r , 8 3 . 4 8 6 – 4 9 9 . D O I :
https://doi.org/10.1016/j.jvb.2013.07.004Shofiyatun. (2009).
Konflik Psikologis Tokoh Utama dalam Novel Tuhan, Izinkan Aku
Menjadi Pelacur Karya Muhidin M. Dahlan. Skripsi. Semarang:
Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Semarang.
Widetya, Alit Bayu, Rachmi Sulistyarini, dan Ratih Dheviana Puru. (2015).
Akibat Hukum Perceraian terhadap Kedudukan Perempuan dari
Perkawinan Nyerod Beda Kasta Menurut Hukum Kekerabatan
Adat Bali. Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum (Udayana
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 89
Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019
Master Law Journal), 5(2), 301.
https://doi.org/10.24843/jmhu.2016.v05.i02.p07
Yanti, K. L. (2013). Perkawinan Beda Kasta Pada Masyarakat Balinuraga di
Lampung Selatan. Jurnal Keguruan dan Ilmu pendidikan. 1-1
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara90
Kadek Jossy AlandariTitik Muti’ah
Konflik Psikologis Wanita “Nyerod” Dalam Perkawinan Adat Bali
JUDUL NASKAH PUBLIKASI (Center, Rockwell 18)
[Maksimum 14 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Judul sebaiknya ringkas dan lugas menggambarkan isi tulisan.
Boleh menggunakan judul yang kreatif dan menarik minat
pembaca. Kata pengaruh, hubungan, dan studi kasus
sebaiknya tidak digunakan sebagai judul. Lokasi penelitian
dipaparkan di bagian metode, tidak disebut di judul]
1 2 3Penulis , Penulis , Penulis
[Tuliskan nama lengkap penulis tanpa gelar, instansi
tempat penulis bekerja/ belajar, dan alamat
korespondesi (e-mail) penulis]1,2Institusi/afiliasi; alamat, telp/fax of institusi/afiliasi
e-mail: * , ,
(Center, Segoe UI, 11 spasi 1)
Abstract. A maximum 200 word abstract in English with Segoe UI font 9 point, 1
spacing. Abstract should be clear, descriptive, and should provide a brief overview
of the problem studied. Abstract topics include reasons for the selection or the
importance of research topics, hipothesis, research methods and a summary of
the results. Abstract should end with a comment about the importance of the
results or conclusions brief.
Keywords: (in italics, alfabetic) 3-5 words
Abstrak. Maksimal 200 kata berbahasa Indonesia dengan huruf Segoe UI font 9
poin, spasi 1. Abstrak harus jelas, deskriptif dan harus memberikan gambaran
singkat masalah yang diteliti. Abstrak meliputi alasan pemilihan topik atau
pentingnya topik penelitian, hipotesis, metode penelitian dan ringkasan
hasil. Abstrak harus diakhiri dengan komentar tentang pentingnya hasil atau
kesimpulan singkat.
Kata kunci: (dicetak miring, ditulis secara alfabetis) 3-5 kata
[email protected] [email protected] [email protected]
Gaya Selingkung
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 91
[Bagian pendahuluan, permasalahan dan landasan teoritis]
Uraikan tentang latar belakang permasalahan, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian teori, dan diakhiri dengan hipotesis (jumlah hlm
maksimal 20% dari keseluruhan hlm naskah). Berisi; (a) paparan
perkembangan terkini bidang ilmu yang diteliti yang
argumentasinya didukung oleh hasil kajian pustaka primer dan
mutakhir; (b) paparan kesenjangan; (c) argumentasi peneliti dalam
menutup kesenjangan tersebut sebagai janji kontribusi penelitian
bagi perkembangan ilmu; dan (d) paparan tujuan penelitian.
[Justify/rata kanan-kiri, Segoe UI 11, spasi 1)
Metode
Berisi identifikasi variabel, subjek penelitian, instrumen
penelitian, dan metode penelitian termasuk teknik analisis statistik
yang digunakan (jumlah hlm maksimal 20%). Berisi paparan
tentang segala sesuatu yang memang dilakukan oleh peneliti
dalam melakukan penelitian secara jelas seolah olah memberi
peluang peneliti lain untuk melakukan replikasi atau verifikasi
terhadap penelitiannya. Hindari definisi-definisi yang dikutip dari
buku dalam paparan di bagian metode.
[Justify/rata kanan-kiri, Segoe UI 11, spasi 1]
H a s i l
Hasil penelitian terdiri dari statistika deskriptif, hasil uji
asumsi, dan hasil uji hipotesis kemudian dianalisis secara kritis
(maks. 20% dari keseluruhan hlm naskah) dipaparkan secara
berurutan atau terpadu. Paparan bagian hasil berisi hasil analisis
data. Jika ada tabel/bagan/gambar berisi paparan hasil analisis
yang sudah bermakna dan mudah dipahami maknanya secara
cepat. Tabel/bagan/gambar tidak berisi data mentah yang masih
dapat atau harus diolah.
[Justify/rata kanan-kiri, Segoe UI 11, spasi 1]
Gaya Selingkung
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara92
Tabel dan Gambar
Semua tabel dan gambar yang dituliskan dalam naskah harus
disesuaikan dengan urutan 1 kolom atau ukuran penuh satu kertas,
agar memudahkan reviewer untuk mencermati makna gambar.
Contoh penulisan Tabel
Tabel 1.
[Ket. Tabel.....................]
Contoh Gambar
Gambar 1. [Ket. gambar....]Rumus Matematika[Gunakan persamaan Microsoft Equation Editor atau MathType,
ditulis ditengah, dan diberi nomor persamaan mulai dari (1), (2) dst.]
Diskusi
Penjelasan mengenai hasil penelitian, dikaitkan dengan
hasil penelitian-penelitian sebelumnya, dianalisis secara kritis dan
dikaitkan dengan literatur terkini yang relevan (jumlah hlm
Gaya Selingkung
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 93
maksimal 30-40% dari keseluruhan hlm naskah). Paparan bagian
diskusi berisi pemberian makna secara substansial terhadap hasil
analisis dan perbandingan dengan temuan-temuan sebelumnya
berdasarkan hasil kajian pustaka yang relevan, mutakhir dan
primer. Perbandingan tersebut sebaiknya mengarah pada adanya
perbedaan dengan temuan penelitian sebelumnya sehingga
berpotensi untuk menyatakan adanya kontribusi bagi
perkembangan ilmu.
[Justify/rata kanan-kiri, Seoe UI 11, spasi 1]
Kesimpulan
Isi kesimpulan merupakan rumusan jawaban dari tujuan
penelitian bukan rangkuman hasil penelitian. Kesimpulan dibuat
secara ringkas, jelas dan padat didasarkan pada hasil dan diskusi
(maksimal 1 hlm), dibuat dalam bentuk alinea (bukan numerik),
berisi temuan penelitian sebagai sintesis antara hasil analisis data
dan hasil pembahasan, serta lebih menonjolkan hal-hal yang baru
yang memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu psikologi.
[Justify/rata kanan-kiri, Seoe UI 11, spasi 1]
Saran
Saran dibuat secara ringkas, jelas dan padat, dan dibuat
dalam bentuk alinea (bukan numerik).
[Justify/rata kanan-kiri, Seoge UI 11, spasi 1]
DAFTAR PUSTAKA
(Tuliskan daftar pustaka yang menjadi acuan secara alfabetis dan
kronologis. Daftar Pustaka adalah daftar acuan/referensi
bukan bibliografi, maka harus memuat semua sumber yang diacu
dalam naskah, dan tidak perlu memuat sumber yang tidak diacu.
Daftar rujukan berisi semua yang dirujuk dalam teks yang berasal
dari sumber yang; (a) relevan, (b) minimal 80% mutakhir (10 tahun
terakhir), dan (c) minimal 80% primer, terutama dari artikel jurnal).
Penulisan referensi pada Jurnal Psikologi UGM mengacu pada Ed
American Psychological Association (APA) 6 Tahun 2010 http://www.apastyle.org/pubmanual.html
Gaya Selingkung
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara94
[Justify/rata kanan-kiri, Segoe UI 10, spasi 1]
(a) Contoh penulisan jurnal tanpa Digital Object
Identifier (doi)
Arbiyah, N., Nurwianti, F., & Oriza, D. (2008). Hubungan bersyukur
dengan subjective well being pada penduduk miskin. Jurnal
Psikologi Sosial, 14(1), 11-24.
Light, M. A., & Light, I. H. (2008). The geographic expansion of
Mexican immigration in the United States and its
implications for local law enforcement. Law Enforcement
Executive Forum Journal, 8(1), 73-82.
(b) Contoh penulisan jurnal dengan Digital Object
Identifier (doi)
Herbst-Damm, K. L., & Kulik, J. A. (2005). Volunteer support, marital
status, and the survival times of terminally ill patients. Health
Psychology, 24(1), 225-229. http://dx.doi.org/10.1037/0278-
6133.24.2.225
(c) Contoh penulisan artikel majalah
Chamberlin, J., Novotney, A., Packard, E., & Price, M. (2008, May).
Enhancing worker well-being: Occupational health
psychologists convene to share their research on work,
stress, and health. Monitor on Psychology, 39(5). 26-29.
(d) Contoh penulisan artikel majalah online
Clay, R. (2008, June). Science vs. ideology: Psychologists fight back
about the misuse of research. Monitor on Psychology, 39(6).
Diunduh dari:
(e) Contoh penulisan artikel koran tanpa penulis
Six sites meet for comprehensive anti-gang initiative conference.
(2006, November/December). OJJDP News @ a Glance.
Diunduh dari:
(f) Contoh penulisan tesis atau disertasi yang tidak
dipublikasikan
Rimawati, A. B. (2010). Model teoretik prasangka sosial. (Disertasi
tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
http://www.apa.org/monitor/ tanggal 10 Agustus
2012.
Gaya Selingkung
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 95
(g) Contoh penulisan buku
Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi (ed.2). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
(h) Contoh penulisan buku dengan editor
Cone, J. D. (1999). Observational assessment: Measure
development and research issues. Dalam P. C. Kendall, J. N.
Butcher, & G. N. Holmbeck (Eds.), Handbook of research
methods in clinical psychology (hlm. 183-223). New York:
Wiley.
(i) Naskah dari universitas yang tidak dipublikasikan
Nuryati, A., & Indati, A. (1993). Faktor-faktor yang memengaruhi
prestasi belajar. Naskah tidak dipublikasikan, Fakultas
Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Gaya Selingkung
Jurnal
SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara96
Jurnal Spirits merupakan jurnal ilmiah yang dikelola
Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Yogyakarta. Jurnal ini membawa spirits tumbuhnya ide
dan gagasan-gagasan baru tentang pengetahuan-
pengetahuan psikologi utamanya yang berbasis pada
kebudayan sendiri.
Dapur PublikasiFakultas PsikologiUniversitas Sarjanawiyata TamansiswaYogyakarta
Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas
Bunuh Diri
Faizah Najlawati
Indriyanti Eko Purwaningshih
Kebersyukuran Pada Orang Tua Anak
Berkebutuhan Khusus
Aulia Rahman Putra
Nila Angrreiny
Keyakinan Tidak Rasional dan Stres Kerja Pada
Profesi Guru
Ria Indah Sari Gaghana, Susy Purwanti,
I Made Krisna Dinat
Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan
Internet Sebagai Sumber Belajar
Juwandi
Rahma WIdyana
Meningkatkan Kemampuan Berhitung Pada Anak Usia
Dini dengan Cara Storytelling
Vella Fitrisia A
Konflik Psikologis Wanita “Nyerotd” Dalam
Perkawinan Adat Bali
Kadek Jossy Alandari
Titik Muti’ahi
Pada volume ini dihadirkan dua artikel bernuansa indigenous, artikel pertama mengupas tentang dinamika psikologis perempuan nyerod (turun kasta) di Bali. Artikel selanjutnya mengupas tentang kesejahteraan psikologis keluarga penyintas bunuh diri di gunung kidul. Dimana peneliti mendalami konsep psikologi digulung digelaryang diyakini keluarga untuk memperthankan kesejahteraan psikologis keluarga. Empat artikel berikutnya mengupas tentang kebersyukuran, stress kerja dan pendidikan anak.
Top Related