1.3 Cardinal signs dan mekanisme yang menyebabkan
6
1.4
1.5 Radang akut dan radang kronik 7
1.6 Tipe-tipe dan fungsi mediator radang 12
1.7 Tipe-tipe eksudat radang 15
2. PEMULIHAN JARINGAN
2.2 Jaringan Parenkimal 17
2.7
3.1 Kongesti 22
1.3.1
Dolor
1.5 Radang akut dan radang kronik
1.6
1.6.1 Mediator kimiawi yang dilepas oleh sel
1.6.2 Mediator dari plasma
1.7 Tipe-tipe eksudat radang
2.2 Jaringan Parenkimal
2.3 Jaringan Stromal
2.4 Tipe Sel Labil, Stabil & Permanen serta Masing
– Masing Kapasitas
Regenerasinya
2.5.1
2.5.2 Penyembuhan Luka dengan Intensi Sekunder
2.6 Tahapan Proses Penyembuhan Luka
2.7 Faktor pemulihan luka
3.9.3 Terjadinya Tromboembolisme
3.9.4 Emboli Paru
Hemodinamik
darah putih) dari jaringan hidup terhadap cedera. Radang disebut
juga
dengan istilah inflamasi. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk
menginaktivasi atau merusak organisme yang menyarang,
menghilangkan
zat iritan dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Inflamasi
dicetuskan
oleh pelepasan mediator kimiawi dari jaringan yang rusak dan
migrasi sel
(Mycek, 2001). Respon peradangan merupakan suatu gejala yang
menguntungkan dan pertahanan. Radang juga merupakan satu dari
respon
utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi.
1.2 Tujuan dan Fungsi Respon Radang
Berikut merupakan beberapa tujuan respon radang :
1. Meminimalisir kerusakan jaringan yang mengalami infeksi
dari
patogen atau mikroorganisme tertentu
meningkatkan performa makrofag
2. Memperbaiki jaringan yang rusak
Contoh :
- Penghancuran jaringan nekrosis
- Netralisasi dan pembuangan agen penyerang
Adapun fungsi radang adalah sebagai berikut :
1. Mengirimkan molekul efektor dan sel-sel ke lokasi
infeksi
2. Membentuk barrier fisik terhadap perluasan infeksi atau
kerusakan
jaringan
b.
c. Penurunan kecepatan aliran darah ke lokasi radang
(leukosit melambat
dan menempel di endotel vaskuler)
d. Peningkatan permeabilitas vaskuler (cairan masuk ke
jaringan)
e.
Radang adalah reaksi dari suatu jaringan hidup yang mempunyai
vaskularisasi terhadap trauma (injury) lokal. Reaksi ini dapat
disebabkan
oleh infeksi mikrobial, zat fisik, zat kimia, jaringan nekrotik,
dan reaksi
imunologik. Peran proses radang adalah untuk membawa dan
mengisolasi
trauma, memusnahkan mikroorganisme penginfeksi dan
menginaktifkan
toksin, serta untuk mencapai penyembuhan dan perbaikan.
Cardinal signs atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan
dengan
tanda-tanda atau gejala, merupakan tanda-tanda yang umum terjadi
pada
saaat terjadi peradangan. Terdapat 5 cardinal signs yang
sering kita dengar
yaitu:
1.3.1
humoral, selular, dan mikrobial pada ujung saraf. Terjadi
akibat
penekanan jaringan karena edema serta adanya mediator
kimia
pada radang akut diantaranya bradikinin dan
prostaglandin.
1.3.2 Tumor (Pembengkakan)
jaringan yang terpengaruh. Terjadi akibat edema yaitu
terkumpulnya cairan ekstravaskuler sebagai bagian dari
eksudat
sel-sel radang yang bermigrasi ke tempat tersebut.
1.3.3 Rubor (Kemerahan)
mengalami gangguan.
pembuluh darah sehingga daerah tersebut memperoleh darah yang
lebih banyak. Rubor dan kalor disebabkan karena vasodilatasi
pembuluh-pembulunh dan aliran darah ke jaringan yang
terpengaruh.
mobilitas pergerakkan di daerah tersebut.
1.4 Fase hemodinamik dan fase sellular radang
Inflamasi akut memiliki dua tahapan yakni tahap vaskular dan
selular (Porth, 2011). Tahap vaskuler dicirikan dengan peningkatan
aliran
darah (vasodilatasi) dan perubahan struktur yang ditandai
dengan
bertambahnya permeabilitas vaskuler yang memicu protein
plasma untuk
meninggalkan sirkulasi (Porth, 2011). Sementara, tahap seluler
ditandai
dengan keterlibatan leukosit, dimana leukosit ini berpindah
dari
mikrosirkulasi dan akumulasi mereka pada pusat infeksi (Porth,
2011).
Fase Vaskuler
darah kecil di pusat luka. Perubahan tersebut dimulai dengan
penyempitan
pembuluh darah (vasokonstriksi) sesaat yang terjadi segera
setelah cedera
pembuluh darah (vasodilatasi) dan peningkatan aliran darah
(Brunner &
Suddarth, 2001). Vasodilatasi ini melibatkan arteri dan vena
(Porth,
2011).
2001). Vasodilatasi yang ditandai dengan peningkatan volume
aliran
darah, juga menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
hidrostatik
intravaskuler dan penurunan tekanan osmotik koloid hingga berujung
pada
pergerakan cairan yang disebut transudat, menuju jaringan
(Robbins,
2007).
berdampak pada bocornya cairan kaya protein (cairan plasma)
kedalam
ruang ekstravaskular. Sementara itu, kebocoran cairan plasma
tadi,
mengakibatkan berkurangnya cairan plasma dalam area
perivaskuler
sehingga berdampak pada penurunan tekanan osmotik intravaskuler
dan
peningkatan tekanan osmotik cairan interstitial. Hal inilah
yang
mendorong pergerakan air dan ion menuju jaringan ekstravaskuler,
dan
berujung pada pembengkakan di ujung saraf yang pada
akhirnya
menimbulkan nyeri (Robbins, 2007). Selain itu, iritasi langsung
ujung
saraf oleh mediator kimia yang dilepaskan di tempat tersebut,
yakni
bradikinin, juga dikatakan sebagai pemicu nyeri.
Walaupun cairan plasma bergerak ke dalam jaringan sekitarnya,
elemen pembentuk darah yang meliputi sel darah merah, sel darah
putih,
Gambar 1. Vasokonstriksi dan dilatasi yang
melibatkan arteri&vena
dan trombosit tetap tinggal dalam darah (Brunner & Suddarth,
2001). Hal
inilah yang menyebabkan darah menjadi lebih pekat dan berujung
pada
lambatnya sirkulasi (Robbins, 2007). Sementara leukosit yang
terkumpul
dalam pembuluh darah, bergerak keluar dan melakukan migrasi ke
pusat
luka dan menjalankan mekanisme fagositosis (proses memakan
organisme
penyerang dan pembuangan debris sel) (Brunner & Suddarth,
2001).
Fase seluler
terutama neutrofil ke pusat luka sehingga mereka dapat
menunjukkan
fungsi normal pertahanan mereka (Porth, 2011). Pengiriman dan
aktivasi
leukosit dapat dibagi menjadi beberapa langkah, yakni :
rolling atau
bergulingnya neutrofil di sepanjang endotelium, marginasi
(akumulasi
neutrofil di sepanjang dinding kapiler), transmigrasi, dan
kemotaksis.
Bergulingnya neutrofil di sepanjang endotelium dilatarbelakangi
oleh
molekul adhesi yang disebut selektin, dimana selektin ini muncul di
sel
endotelial yang diaktifkan oleh sinyal sel jaringan yang rusak
(McGraw-
Hill Education, 2013).
Saat neutrofil bergerak di dalam kapiler, molekul adhesi ini
menarik
neutrofil sehingga laju pergerakan neutrofil menjadi lambat dan
pada
akhirnya neutrofil pun rolling atau bergulingan
(McGraw-Hill Education,
2013). Ketika bergulingan, neutrofil menghadapi senyawa yang
mengaktifkan integrin pada permukaan neutrofil (McGraw-Hill
Education,
2013).
Kemudian, integrin ini terpaut dengan molekul reseptor adhesi
(integrin
reseptor) yang terletak di permukaan sel endhotelial
(McGraw-Hill
Education, 2013). Neutrofil pun tertempel ke endotelium. Akumulasi
dari
neutrofil di sepanjang dinding kapiler inilah yang disebut
dengan
marginasi (McGraw-Hill Education, 2013).
Gambar 4. Peristiwa marginasi
membawa perubahan pada lingkungan hingga berujung pada
dihasilkannya histamin oleh sel mast (McGraw-Hill Education,
2013).
Histamin inilah yang memicu terjadinya vasodilatasi dan
terbukanya
persimpangan pada sel-sel endotelial.
pada sel-sel endotelial
leukosit dapat lolos meninggalkan kapiler dan masuk kedalam
jaringan
terinfeksi. Neutrofil mengalami perubahan total pada bentuknya
dan
menyelinap melalui dinding endotelial untuk kemudian bergerak
menuju
cairan jaringan interstitial (McGraw-Hill Education, 2013).
Mekanisme ini
disebut pula mekanisme pengeluaran darah (extravasation)
(McGraw-Hill
Education, 2013).
yang rusak dengan mekanisme kemotaksis atau kemampuan bergerak
yang
berorientasi sepanjang gradien kimia (Porth, 2011). Kemudian
terjadilah
mekanime fagositosis.
Inflamasi merupakan respons fisiologi lokal terhadap cedera
jaringan. Respon ini dapat ditimbulkan oleh infeksi mikroba,
agen fisik,
zat kimia, jaringan nekrotik atau reaksi imun. Inflamasi sendiri
bertujuan
untuk menghancurkan mikroorganisme uang masuk dan pembuatan
dinding pada rongga abses, sehingga mencegah penyebaran
infeksi.
Namun, inflamasi dapat pula berbahaya, respon ini dapat
menimbulkan
reaksi hipersensitivitas yang dapat menyebabkan kematian atau
kerusakan
organ yang persisten serta progresif akibat inflamasi kronik dan
fibrosis
yang terjadi kemudian.
yang merugikan dan dapat berakhir dalam beberapa jam sampai
dengan
hari. Terdapat beberapa penyebab radang akut, antara lain:
a. Infeksi mikrobial: paling sering ditemukan pada proses
radang.
Misalnya bakteri piogenik, virus. Virus menyebabkan kematian
sel
dengan cara multiplikasi intraseluler.
c.
atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebihan.
d. Kimiawi: bahan kimia yang menyebabkan korosif (bahan
oksidan, asam,
basa) akan merusak jaringan, kemudian akan memprovokasi
terjadinya
proses radang.
Terdapat tiga komponen utama yang dimiliki inflamasi akut
turut
menyebabkan tanda-tanda klinis, yaitu:
darah (panas dan merah).
protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah
untuk
menghasilkan eksudar radang (edema).
Emigrasi leukosit dari pembuluh darah dan akumulasi pada tempat
jejas
(edema dan nyeri)
substansi kimia kuat dibebaskan ke dalam jaringan. Reaksi awal
terhadap
cedera adalah refleks neural yang berakibat vasokonstriksi,
untuk
mengurangi aliran darah. Kemudian diikuti dilatasi arteriol dan
venula,
agar lebih banyak cairan dapat memasuki celah-celah jaringan,
termasuk
fibrinogen. Cairan ini berfungsi mengencerkan agens kimiawi
yang
merusak, serta membawa komplemen, antibodi, dan zat-zat lain ke
daerah
tersebut.
menimbulkan respons khas oleh leukosit, yang umumnya
dikatakan
sebagai marginasi dan “pavementing”, emigrasi terarah,
agregasi,
pengenalan, dan fagositosis.
menepi pada venula, membentuk lapisan tersendiri melekat pada
dinding.
Karena tampilan lapisan ini, maka proses ini disebut
“pavementing”.
Emigrasi merupakan proses keluarnya sel darah putih dengan
menerobos di antara endotel menuju ke tempat cedera. Kemotaksis
adalah
gerak terarah dari sel-sel ameboid melalui gradien konsentrasi
terdiri atas
substansi seperti toksin bakterial, produk perombakan jaringan,
faktor komplemen yang aktif, dan faktor lainnya.
Fagositosis adalah proses spesifik terhadap partikel yang
dikenali
sebagai asing oleh fagosit itu. Fagosit yang terpenting adalah
neutrofil dan
makrofag. Dalam proses memfagositosis, fagosit sering sekali mati,
pecah
dan membebaskan enzim pencernanya yang dapat mencederai
jaringan
sekitarnya. Fagosit yang mati akan terakumulasi nanah dan
dikeluarkan
dari tubuh berdama materi atau benda asing.
Terdapat beberapa istilah untuk menggambarkan tanda-tanda
utama radang akut, yaitu:
seperti peritonitis.
b. Radang kataral: bila terjadi hipersekresi mukus
menyertai radang akut
mukus. Contoh: Common cold.
banyak, menjadi lapisan fibrin yang tebal. Kondisi ini sering
terlihat
pada perikarditis akut.
d. Radang hemoragik: adanya cedera vaskuler yang hebat atau
adanya
penurunan/pengurangan faktor koagulasi.
(nanah) yang terdiri atas neutrofil dan organisme penyebab infeksi
yang
telah mati dan degenerasi, serta jaringan yang mengalami
pencairan.
empiema kantong empedu atau empiema apendiks.
f.
mengalami deskuamasi dan sel radang.
g. Radang pseudomembranosa: ulserasi pada mukosa bagian
superfisial
yang ditutup lapisan kerak mukosa yang telah mati, fibrin, mukus
dan
sel radang.
bersangkutan. Gangren merupakan kombinasi antara nekrosis
dan
pembusukan karena bakteri.
antara lain adalah:
pembuangannya melalui saluran limfatik.
memungkinkan antibodi masuk ke dalam rongga ekstravaskuler.
3.
4. Pembentukan fibrin: fibrinogen dapat menghalangi gerakan
mikro-
organisme, menangkapnya dan memberikan fasilitas terjadinya
fagositosis.
6. Merangsang respon imun: menyalurkan cairan eksudat ke dalam
saluran
limfatik. Apabila agen penyebab radang akut tidak dihilangkan,
radang akut
dapat tumbuh menjadi radang kronis. Namun, radang kronis
sering
merupakan proses primer, tanpa didahului periode radang akut.
Radang
kronis dapat didefinisikan sebagai proses radang dimana limfosit,
sel
plasma, dan makrofag lebih banyak ditemukan dan biasanya
disertai pula
dengan pembentukan jaringan granulasi yang menghasilkan
fibrosis.
Radang kronik dapat terjadi oleh beberapa sebab, yaitu:
setelah
inflamasi akut, dari penyakit penyebab inflamasi akut yang
berulang, dan
tanpa pengaruh inflamasi akut sebelumnya yang merupakan akibat
dari:
a.
b. Pajanan berkepanjangan terhadap eksogen yang
potensial toksik
c. Reaksi imun, terutama yang melawan jaringan pada tubuhnya
sendiri.
Inflamasi kronik ditandai dengan:
makrofag, limfosit, dan sel plasma.
b.
dengan poliferasi vaskular dan fibrosis.
Semua jenis peradangan memiliki lima tanda utama radang,
yaitu:
calor (panas), dolor (nyeri), rubor (merah), tumor (bengkak), dan
funstio
laesa (gangguan fungsi). Hal ini disebabkan oleh vasodilatasi
(dihubungkan dengan pelepasan mediator kimia), eksudasi (dari
perpindahan cairan dan sel darah putih ke area yang terkena),
dan iritasi
ujung-ujung saraf (menyebabkan nyeri dan kadang kehilangan
fungsi).
Radang juga menimbulkan demam, leukositosis, lemfadenopati,
dan
peningkatan laju endapan darah.
Peradangan merupakan cara tubuh untuk merespons terhadap
luka,
infeksi, atau serangan benda asing. Kondisi ini bukanlah suatu
penyakit
namun merupakan manifestasi adanya penyakit. Reaksi ini
merupakan
upaya pertahanan tubuh baik untuk menghilangkan penyebab
jejas
maupun akibat jejas, misalnya sel atau jaringan nekrotik tanpa
reaksi
radang maka penyebab jejas misalnya kuman akan menyebar
keseluruh
tubuh atau suatu luka tidak akan sembuh. Reaksi radang akan diikuti
oleh
upaya pemulihan jaringan, yaitu upaya penggantian sel parenkim
yang
rusak dengan sel baru melalui regenerasi atau menggantinya jaringan
ikat.
Reaksi radang akan terhenti apabila penyebab dapat
dimusnahkan.
Penyebaran respons radang akut pada suatu daerah kecil
jaringan
setelah terjadinya cedera akan memberikan arahan adanya
substansi
kimiawi yang dilepaskan dari jaringan yang cedera, yang kemudian
akan
menyebar pula ke daerah yang tidak menderita cedera. Bahan
atau
substansi kimia tersebut dinamakan endogenous chemical
mediators
(mediator kimiawi endogenous) yang dapat mengakibatkan
vasodilatasi,
emigrasi neutrofil, kemotaksis, dan meningkatnya permeabilitas
vaskuler.
Mediatir kimiawi in terbagi menjadi dua, yaitu yang dilepas sel dan
faktor
plasma.
Histamin Histamin merupakan salah satu mediator kimia
peradangan.
Histamin dihasilkan saat terjadi reaksi alergi. Histamin
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
vaskuler.
Histamin disimpan dalam sel mast, basofil dan leukosit
eosinofil
serta trombosit. Histamin dilepaskan dari tempat-tempat
tersebut
(misalnya degrenulasi sel mast) karena dirangsang oleh
neutrofil.
Sitokin
aktif. Sitokin merupakan kelompok zat kimia yang anggotanya
sangat banyak. Membawa pesan yang menimbulkan peradangan.
Sitokin berfungsi sebagai hormon lokal yang mempengaruhi
respons pertahanan pejamu terhadap cedera atau infeksi.
Lisosom Dilepas dari neutrofil, termasuk protein kationik,
yang dapat
meningkatkan permeabilitas vaskuler, dan protease netral,
yang
dapat mengaktifkan komplemen.
dan asam arakidonat, suatu konstituen utama dari membran sel,
dimetabolisme oleh enzim I dan II siklosigenase.
Prostaglandin
(PGE1 dan PGE2) meningkatkan aliran darah ke tempat
peradangan dan meningkatkan permeabilitas kapiler.
Prostaglandin
juga meningkatkan efek histamin yang menyebabkan demam
ketika terjadi infeksi, dan merangsang reseptor nyeri.
Leukotrien
Leukotrien merupakan produk hasil metabolisme asam
arakidonat.
Zat ini meningkatkan permeabilitas vaskular dan meningkatkan
adhesi sel darah putih ke kapiler selama cedera atau infeksi.
Satu
jenis leukotrien, bahan anafilaktik reaksi lambat, berperan
penting
dalam kontriksi bronkiolus pada asma dan reaksi alergi.
1.6.2 Mediator berasal plasma ada tiga sistem, yaitu sistem
kinin, sistem
komplemen dan sistem koagulasi
permeabilitas paling penting adalah bradikinin. Sistem
kinin
diaktifkan oleh faktor koagulasi XII. Bradikinin juga
merupakan
mediator kimiawi dari rasa sakit, yang merupakan salah satu
tanda
kardinal radang akut. Bradikinin menyebabkan peningkatkan
permeabilitas kapiler, vasokontriksi otot polos dan
vasodilatasi
pembuluh darah.
enzimatik. Sistem komplemen dapat diaktifkan sepanjang reaksi
radang akut berlangsung melalui berbagai jalan, yaitu pada
jaringan nekrosis, enzim yang mampu mengaktifkan
komplemen
akan dibebaskan dari sel yang telah mati. Selama infeksi
berlangsung, kompleks antigen-antibodi yang terbentuk
dapat
mengaktifkan komplemen melalui jalan klasik, sedangkan
endotoksin bakteri gram negatif mengaktifkan komplemen
melalui
jalan alternatif. Produksi kinin, koagulasi dan sistem
fibrinolitik
dapat mengaktifkan komplemen.
permeabilitas vaskuler, membebaskan histamin dari sel mast,
C3a
mempunyai sifat yang sama dengan C5a, tetapi kurang aktif,
C567
kemotaksi untuk neutrofil, C56789 mempunyai aktivitas
sitolik,
dan C4b, 2a, 3b mengoponisasi bakteri (memberi fasilitas
fagositosis oleh makrofag)
banyak zat yang terdapat di tempat peradangan atau cedera.
Jalur
intrinsik diaktifkan apabila salah satu protein plasma, faktor
XII
Jalur ekstrinsik terangsang apabila protein plasma yang lain,
faktor
VII, berkontak dengan suatu bahan yang disebut tromboplastin
jaringan yang dikeluarkan oleh sel yang cedera. Kedua jalur
akan
menyebabkan terbentuknya bekuan fibrin.
1.7 Tipe-tipe eksudat radang
Eksudat merupakan cairan atau bahan yang terkumpul
dalam suatu
rongga atau ruang jaringan (Tambayong, 2000). Eksudat di
dalam
pembentukannya banyak mengandung gumpalan protein, protein
plasma,
nutrien, dan elemen imun (Marieb & Hoehn, 2007).
Adapun tipe-tipe eksudat antara lain (Tambayong, 2000):
1. Serosa, cairan eksudat kaya protein tanpa sel.
2.
perlekatan.
merah.
5.
Supuratif, eksudat dengan pus dan jaringan yang rusak; pada
awal
surpurasi. terutama sel PMN(Poly Morpho Nuclear); pada yang
lanjut
terutama makrofag.
7. Furunkel, abses dari kulit.
8. Karbunkel, abses luar kulit yang cenderung
menyebar.
9. Selulitis, eksudasi supuratif dengan penyebaran difus
melalui jaringan.
10. Serofibrinosa, eksudat serosa yang kaya fibrin.
11. Fibrinopurulen, eksudat purulen yang kaya
fibrin
2. PEMULIHAN JARINGAN
2.1 Definisi Sel, Jaringan dan Organ Sel merupakan unit
fungsional terkecil yang terdapat dalam tubuh
manusia. Kumpulan sel yang memiliki bentuk sama atau sejenis
serta
memiliki fungsi yang sama akan membentuk suatu jaringan. Pada
organ
dapat dibagi menjadi parenkimal dan stromal (Junqueira & Jose
Carneiro,
2003).
fungsi khas dari organ tersebut. Sebagai contoh parenkim hati
yang
tersusun dari sel hati (hepatosit). Parenkimal merupakan sel
specific pada
sebuah kelenjar atau organ yang didukung oleh rangka jaringan
penghubung atau stroma. Jaringan parenkimal merupakan
kumpulan sel-
sel yang tersusun dalam rangkaian lempeng-lempeng. Umumnya
parenkim
merupakan jaringan epitel yang berbentuk polihedral, matriks
ekstrasel
sedikit, berfungsi melapisi permukaan atau rongga tubuh, seperti
parenkim
hati yang tediri dari hepatosit tersebut. Bentuk hepatosi
biasanya
dengan kromatin dengan menyebar. Sering tampak dua inti, sebagai
hasil
pembagian yang tidak sempurna dari sitoplasma setelah
terjadi
pembelahan inti. (Dellmann Brown . 1992).
2.3 Jaringan Stromal
mukosa uterin dan ovarium yang diketahui sebagai
sistem haematopoietic
dan beberapa yang lainnya berada di tempat lain. Jaringan
stromal
merupakan kumpulan dari sel stromal yang merupakan penyokong
jaringan disekitar jaringan lain dan organ-organ.
Definisi lain menyebutkan bahwa jaringan stromal merupakan
penghubung atau rangka pendukung organ, mirip spons, dan
berisi sel-sel
pengikat. Kecuali di otak dan medula spinalis, stroma terdiri
dari jaringan
ikat (Junqueira & Jose Carneiro, 2003). Sel-sel jaringan ikat
stroma dibagi
menjadi dua kelompok yaitu sel stabil dan tidak stabil. Sel-sel
stabil
merupakan sel-sel yang tetap di jaringan, mereka tidak berpindah ke
dalam
jaringan walaupun terdapat rangsangan inflamasi. Sel tidak
stabil adalah
sel yang bepindah ke dalam jaringan dari aliran darah karena
stimulus
inflamasi. Di antara semua sel stroma, jenis yang paling melimpah
dalam
jaringan ikat adalah fibroblast. Jaringan ikat stromal
terbagi menjadi dua
yaitu jaringan ikat longgar dan jaringan ikat tidak teratur.
Jaringan ikat
stroma longgar umumnya terletak di bawah membran epitel dan
epitel
kelenjar, mengikat epitel tersebut ke jaringan lain dan
memberikan
kontribusi terhadap pembentukan organ.
2.4 Tipe Sel Labil, Stabil & Permanen serta Masing
– Masing Kapasitas
Regenerasinya
kemampuan untuk memulihkan sel yang telah rusak atau gagal
dalam
beradaptasi dengan cara regenerasi dan replacement (Healing
and Repair)
(Linton, Mary Ann, Nancy K. Maebius, 2000).
Berdasarkan kapasitas regenerasinya sel tubuh memiliki tiga
jenis,
yakni (Syahrin, 2009):
a. Sel labil merupakan sel yang sangat aktif membelah, sangat
berperan
dalam proses regenerasi sel dan mengganti sel yang telah rusak
dengan
yang baru. Contoh sel labil adalah sel epitel yang terdapat di
jaringan
kulit, sel hematopoetic, dan pada organ esophagus.
b. Sel stabil merupakan sel yang memiliki kemampuan
regenerasi yang
minimal, sel ini masih aktif membelah secara terus menerus,
namun
kecepatannya lebih rendah dibandingkan sel labil. Contoh sel
stabil
adalah parenkim adenosit visceral.
dari sel permanen adalan neuron dan sel otot jantung.
2.5 Penyembuhan Luka dengan Intensi Primer dan Intensi
Sekunder
Penyembuhan luka merupakan proses yang kompleks karena
berbagai kegiatan bio-seluler dan bio-kimia terjadi
berkesenambungan.
Proses penyembuhan luka dapat dilakukan dengan cara
pertumbuhan
jaringan yang sudah rusak atau cidera melalui regenerasi
(pembaruan)
jaringan atau pembentukan jaringan parut. Setiap luka
memiliki fase yang
sama, namun kecepatan penyembuhan bergantung pada faktor seperti
jenis
penyembuhan, lokasi dan ukuran luka, serta status kesehatan
klien.
Jenis penyembuhan luka berdasarkan jumlah kehilangan jaringan
terbagi menjadi dua yaitu proses penyembuhan dengan intensi primer
dan
proses penyembuhan dengan intensi sekunder.
2.5.1 Pemulihan Luka dengan Intensi Primer (healing by first
intention)
Pemulihan luka dengan intensi primer terjadi ketika permukaan
jaringan dalam keadaan saling mendekati (luka tertutup) dan
mengalami
kehilangan jaringan yang minimal atau bahkan tidak terdapat
kehilangan
jaringan. Proses pemulihan luka dengan intensi primer dimulai
tepat
setelah luka terjadi. Awalnya, tepi luka disatukan oleh bekuan
darah yang
benang fibrinnya bekerja seperti lem. Setelah itu akan
terjadi peradangan
akut pada tepi luka dan sel-sel radang. Dampak dari peradangan akut
ini
yaitu berhimpunnya antibodi di sekitar agen jejas dan emigrasi
leukosit
dari pembuluh darah ke jaringan yang terkena agen jejas.
Setelah peradangan akut (eksudatif), kemudian terjadi
pertumbuhan jaringan granulasi kearah dalam pada daerah
yang
sebelumnya ditempati oleh bekuan-bekuan darah. Jaringan
granulasi
adalah jaringan fibrosa yang terbentuk dari bekuan darah sebagai
bagian
dari proses penyembuhan luka. Setelah beberapa hari, maka luka
tersebut
akan dijembatani oleh jaringan granulasi yang setelah matang
akan
menjadi sebuah parut. Parut atau scar merupakan
tanda bekas luka dari
jaringan fibrosa yang menggantikan jaringan normal yang
rusak.
Saat proses tersebut terjadi, epitel permukaan di bagian tepi
mulai
melakukan regenerasi, dan dalam waktu beberapa hari lapisan epitel
yang
tipis terbentuk hingga menutupi permukaan luka. Seiring dengan
jaringan
parut di bawahnya menjadi matang, epitel ini juga menebal dan
matang,
hingga menyerupai kulit di sekitar permukaan lupa. Hasilnya
adalah
terbentuk kembali permukaan kulit dan dasar jaringan parut yang
tidak
nyata atau hanya terlihat sebagai satu garis yang menebal.
2.5.2 Pemulihan Luka dengan Intensi Sekunder (healing by
second
intention)
Pemulihan Luka dengan Intensi Sekunder ini terjadi jika kulit
yang
mengalami luka tepinya tidak dapat saling didekatkan selama
proses
penyembuhan. Proses pemulihan luka dengan intensi sekunder
secara
kualitatif identik dengan proses pemulihan luka primer, perbedaan
yaitu
pemulihan luka dengan intensi sekunder memakan waktu
penyembuhan
lebih lama, lebih banyak jaringan granulasi yang terbentuk, dan
biasanya
terbentuk jaringan parut yang lebih luas.
Pada luka besar yang terbuka, sering terjadi pertumbuhan
jaringan
granulansi yang menutupi dasar luka dapat terlihat langsung seperti
sebuah
karpet yang lembut, yang mudah berdarah jika disentuh. Sedangkan
pada
keadaan lain, jaringan granulasi tidak dapat terlihat langsung
karena
tumbuh di bawah keropeng dan regenerasi epitel terjadi di
bawah
keropeng, pada keadaan ini, keropeng terlepas setelah
penyembuhan
lengkap. Terkadang sebagian besar orang tidak sabar menunggu
keropeng
tersebut terlepas, hal ini dapat menimbulkan adanya titik-titik
pendarahan
di tengah jaringan granulasi tempat regenerasi epitel masih belum
lengkap.
2.6 Tahapan Proses Penyembuhan Luka
Terkadang tubuh kita mengalami kerusakan pembuluh darah.
Tubuh kita mampu menghentikan perdarahan dari pembuluh yang
halus,
namun tidak mampu mengendalikan perdarahan dari pembuluh darah
yang
besar tanpa bantuan eksternal. Pengendalian perdarahan dengan
cara
pembekuan darah melalui trombosit. Pengendalian perdarahan
disebut
juga homeostasis (Corwin, 2009). Trombosit melekat pada
protein (faktor
van Wille Brand) karena terjadinya kerusakan pembuluh darah.
Pembuluh
darah tersebut mengeluarkan serotonin dan ADP. Serotonin yang
menyebabkan penyempitan pembuluh darah atau vasokontriksi.
Vasokontriksi menyebabkan penurunan aliran darah ke daerah yang
luka
sehingga membatasi perdarahan. Sedangkan ADP menyebabkan
trombosit
berubah bentuk dan lengket (Corwin, 2009).
Proses fisiologis penyembuhan luka dapat dibagi ke dalam 4 fase
utama:
a. Respons inflamasi akut terhadap cedera : mencakup
homeostasis
(vasokontriksi sementara dari pembuluh darah yang rusak terjadi
saat
sumbatan trombosit dibentuk dan diperkuat juga oleh serabut
fibrin
untuk membentuk sebuah bekuan), pelepasan histamine dan
mediator
lain dari sel-sel yang rusak, dan migrasi sel darah putih
(leukosit
polimorfonuklear dan makrofag) ke tempat yang rusak
tersebut.
b. Fase destruktif : pembersihan terhadap jaringan
yang mati
c. Fase proliferatif : pada
saat pembuluh darah baru yang diperkuat oleh
jaringan ikat, menginfiltrasi luka.
reorganisasi jaringan ikat.
setiap fase serta waktu untuk penyembuhan yang sempurna.
yang mempengaruhi proses penyembuhan luka. Beberapa factor
yang
mempengaruhi proses penyembuhan luka sebagai berikut.
Menurut Kozier et al. (2011) ada empat factor yang
mempengaruhi
penyembuhan luka yaitu sebagai berikut,
1. Pertimbangan usia perkembangan, anak - anak dan klien
dewasa yang
sehat seringkali mengalami proses penyembuhan yang lebih cepat
dari
pada klien lansia.
metabolism tubuh. Klien membutuhkan makanan yang tinggi
protein,
karbohidrat, lemak, vitamin A dan C, serta mineral (seperti zat
besi,
zink).
membawa oksigen zat gizi ke area luka maka individu mengalami
proses penyembuhan luka yang cepat.
4. Medikasi, obat - obatan antiinflamasi (seperti aspirin),
dan obat
antineoplasma dapat mengganggu proses penyembuhan luka.
2.8 Pemulihan Jaringan
hanya meminimalisasi bahaya yang ditimbulkan, tetapi juga
meninggalkan satu ‘pekerjaan rumah’ yakni pemulihan jaringan
untuk
mengembalikan fungsi dan bentuk jaringan seperti sedia kala.
1. Regenerasi jaringan, merupakan penggantian jaringan yang
rusak
dengan sel yang sama tipenya. Kemampuan regenerasi dari
jaringan
dipengaruhi oleh tipe sel dan jaringannya. Sel somatic
berdasarkan
daya regenerasinya dibagi menjadi tiga, yakni:
a. Sel labil (labile cells), merupakan sel yang terus
menerus
membelah sepanjang hidup. Sel labil berfungsi menutup sel
yang
rusak. Contohnya: sel epitel pada kulit, vagina, serviks, uterus,
tuba
fallopi, kandung kemih, dan sel sumsum tulang.
pg. 22
b. Sel stabil ( stable cells), merupakan sel yang
aktif membelah hanya
sampai pertumbuhan berhenti. Berbeda dengan sel labil yang
terus
menerus membelah, sel stabil memiliki daya regenerasi yang
terbatas. Contoh sel stabil: sel parenkim pada hati, ginjal, dan
otot
polos.
c. Sel permanen, merupakan sel yang berhenti berdiferensiasi
setelah
manusia lahir ke dunia, contohnya: neuron dan sel otot jantung.
Hal
ini dibuktikan dengan fungsi dari otak dan jantung yang tidak
dapat
kembali seperti semula setelah terjadi kerusakan. Fungsi
tidak
dapat kembali seperti semula karena neuron dan sel otot
jantung
tidak lagi dapat membelah. Akhirnya, pemulihan jaringan pada
sel
permanen dilakukan oleh jaringan fibrosa yang tidak
memiliki
kemampuan untuk mengembalikan fungsi sel atau jaringan yang
rusak.
jaringan fibrosa atau kombinasi regenerasi sel dan scar
formation.
Proses regenerasi dengan jaringan fibrosa, yakni:
a. Angiogenesis : proses pembentukan pembuluh darah baru.
Sel
endotel bermigrasi dan berpoliferasi
ekstraseluler
dan lebih berkonsentrasi kepada sintesis kolagen. Sintesis
kolagen
d. Remodeling: setelah sebelumnya mengalami
angiogenesis, migrasi
fibroblast, dan scar formation, pada tahap
ini diharapkan terjadi
keseimbangan antara sintesis dan degradasi dari matriks
ekstraselular.
Hipermia adalah darah yang berlebihan pada suatu bagian tubuh
(Hinchliff, 1997). Menurut Richard N. Mitchell dalam bukunya
Pocket
Companion to Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease
7 th Ed.
(terjemahan), Hiperemia adalah proses aktif yang disebabkan
oleh
peningkatan aliran masuk darah akibat dilatasi (pelebaran)
arteriol.
3.1.2 Ciri Hiperemi
yang berubah menjadi kemerahan.
3.1.3 Morfologi Jaringan Hiperemi
Contoh: Kapiler alveolus penuh dengan sel – sel
darah pada paru
yang mengalami kongesti pasif akut dan kronik yang diikuti
dengan pemecahan eritrosit dan mengakibatkan terlihatnya sel
–
sel makrofag yang penuh dengan hemosiderin.
2. Secara makroskopis:
didalam jaringan.
peningkatan aliran darah ke dalam jaringan
kapiler.Penyebab
terjadinya dilatasi pembuluh darah adalah karena terangsang
oleh
saraf vasolidator (kelumpuhan vasokonstriktornya) dan lepasnya
zat
– zat vasoaktif.
hal ini yang menerangkan terjadinya kemerahan dan warna merah
padam pada wajah, yang pada dasarnya adalah vasodilatasi
yang
timbul akibat respon terhadap stimulus neurogonik.
Hiperemia aktif terjadi dalam waktu singkat karena sifatnya
yang sangat alamiah. Bila rangsangan terhadap dilatasi
arteriol
berhenti, aliran darah ke daerah tersebut akan berkurang,
dan
keadaan menjadi normal kembali.
2) Hiperemia Pasif (Kongesti)
gangguan, ditambah dengan pelebaran vena dan kapiler. Dilihat dari
waktu berlangsungnya, Hiperemia pasif terdiri atas :
1. Akut, berlangsung dalam waktu singkat, tidak
berpengaruh
pada jaringan yang terkena.
perubahan permanen pada jaringan.
jantung dari paru akan terganggu. Dalam keadaan ini
darah akan terbendung dalam paru, menimbulkan
kongesti pasif pembuluh darah paru.
b. Kegagalan jantung kanan, bendungan darah akan
memengaruhi aliran vena sistemik, sehingga banyak
jaringan di seluruh tubuh mengalami kongesti pasif.
Kongesti pasif menyebabkan perubahan pada aliran darah, bila
perubahan pada aliran darah ini cukup nyata, maka terjadi
hipoksia
jaringan yang menyebabkan menciutnya jaringan atau
bahkan
hilangnya sel – sel dari jaringan yang terkena
tersebut.
Hal ini memberikan beberapa pengaruh, yaitu :
Paru – paru: Dinding udara cenderung
menebal, dan banyak
sekali makrofag yang mengandung pigmen hemosiderin, pigmen
ini terbentuk sebagai hasil pemecahan hemoglobin dari sel
– sel
darah merah yang lolos dari pembuluh darah yang mengalami
hemosiderin itu disebut sel gagal jantung dan dapat ditemukan
dalam sputum penderita gagal jantung kiri kronik.
pembuluh darahdi lobulus hati, disertai penyusutan sel
– sel hati
di daerah ini.
vena – vena itu cenderung memanjang. Karena
terfiksasi pada
berbagai tempat sepanjang perjalanannya, maka vena
menjadi
berkelok – kelok diantara titik
– titik fiksasi. Vena – vena
yang
melebar, agak berkelok – kelok, berdinding tebal
itu diseebut
vena varikosa atau varises.
aliran cairan tubuh dalam pembuluh vena. Gangguan aliran ini
disebabkan
adanya bendungan aliran darah pada pembuluh vena yang disebabkan
oleh
obstruksi lumen dan obstruksi pada arah arus balik vena.
tumor, ligasi, jaringan parut, hernia, dan volvulus.
Obstruksi yang diakibatkan oleh obstruksi arus balik
vena
menyebabkan terjadinya bendukan lokal yang kemudian akan
menjadi
edema.
kronik.
pembuluh darah lokal yang mengalami distensi.
Kongesti Kronik menyebabkan terjadinya perdarahan lokal
dan
Hipoksia. Hipoksia yang berkelanjutan akan menyebabkan
sel/jaringan mengalami degenerasi/ kematian sel.
3.2.4 Patogenesis Kongesti
dengan adanya obstruksi menyebabkan terjadinya
bendungan
darah dalam pembuluh vena
terjadinya peningkatan tekanan hidrostatik intravascular
(tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular
oleh kerja pompa jantung)
menyebabkan perembesan cairan plasma ke dalam ruangan
ruangan interstitium
menyebabkan terjadinya edema.
dan gagal jantung kanan. Hepatomegali disebabkan oleh adaya
kongesti pada pembuluh vena sentral dan sinus. Kongesti pada
kedua pembuluh ini menyebabkan jaringan yang terkena
mengalami hipoksia kronik.
jantung kanan dan gagal jantung kiri.
a) Gagal jantung kanan disebabkan terjadinya kongesti
pada
ventrikel kanan. Gagal jantung kanan umumnya
menyebabkan kerusakan / edema pada bagian tubuh sistemik.
Gagal jantung kanan akan menyebabkan rusaknya jaringan
pada hati/ sirosis hati.
pada paru-paru sehingga mengakibatkan penderitanya
sulit
untuk bernafas.
sela-sela jaringan atau rongga tubuh. edema secara umum
disebabkan peningkatan daya dorong cairan dari pembuluh
menuju jaringan antar sel.
ruang interstisial/rongga tubuh.
3.3.2 Karakteristik Edema
limfe terisolasi.
3.3.3
peningkatan aliran keluar fluida dari kapiler, contoh:
kehamilan.
o Penurunan tekanan osmotik protein plasma menyebabkan
penurunan reabsorpsi fluida, contoh: kerusakan hati.
o Peningkatan permeabilitas dinding kapiler menyebabkan
peningkatan aliran keluar fluida dari kapiler, contoh:
respon
inflamasi.
o
fluida ke sistem limfatik, contoh: operasi pengangkatan
kelenjar
getah bening.
rendah-protein. Penyebabnya karena peningkatan tekanan
hidrostatik, penurunan tekanan osmotik, obstruksi saluran
limfe,
retensi natrium primer.
tinggi-protein.
tekanan hidrostatik yang paling tinggi .
o Edema pada organ padat, mengakibatkan peningkatan
ukuran
dan berat organ (secara histologis hanya terlihat pemisahan
unsur-unsur parenkim).
terlihat pada gagal ginjal, sindrom distress pernafasan
dewasa,
infeksi dan reaksi hipersensitivitas.
o Edema otak, terlokalisasi di tempat jejas (pada abses
atau
neoplasma) atau generalisasi (ensefalis, krisis hipertensi
atau
obstruksi aliran keluar darah vena).
3.4 Transudat 3.4.1 Definisi Transudat
Transudat adalah ultrafiltrasi plasma rendah protein dan
disebabkan
oleh perubahan Tekanan koloid osmotik sistemik.
3.4.2 Ciri-Ciri Transudat
b. Kejernihan : serosa jernih
d. Tidak ada fibrinogen
e. Bau tidak khas
g. Glukosa sama dengan plasma darah
h. Lemak : negatif (kecuali bila chylous +)
i. Jumlah leukosit : kurang dari 500 mm3
j. Jenis sel : mononuclear
sirkulasi dengan kongesti pasif dan edema.
3.4.3 Mekanisme pembentukan transudat
keadaan patologi tertentu, seperti:
Keadaan tersebut menyebabkan naiknya substansi tertentu dan
pengumpulan cairan di ekstavaskuler. Molekul molekul kecil
seperti air,
elektrolit, dan kristaloid akan berdifusi cepat melewati plasma
darah,
sehingga terjadi penumpukan cairan atau disebut juga
ultrafiltrasi.
Penimbunan cairan transudat dalam rongga pleura dikenal
dengan
hydrothorax, penyebabnya Payah jantung (gagal jantung)
1)
3) Hipoalbuminemia (malnutrisi, malabsorbsi)
rongga atau ruang jaringan yang disebabkan karena adanya inflamasi.
Eksudat merupakan respon tubuh terhadap adanya gangguan
sirkulasi
dengan inflmasi akibat inflamasi bakteri. Contoh terjadinya eksudat
yaitu
terjadi pada efusi pleura. Pada efusi pleura, eksudat berhubungan
dengan
peningkatan produksi cairan akibat kenaikan permeabilitas
membran
pleura (peradangan) dan biasanya efusi pleura ini dapat
disebaabkan oleh
tumor, infeksi atau infark paru.
3.5.2 Jenis Eksudat
1. Eksudat serosa
Memiliki kandungan protein dan LDH yang tinggi, dan berasal
dari hasil sekresi sel mesotel yang melapisi peritoneum,
pleura,
perikardium. Karena mengandung protein yang tinggi,
akibatnya
jaringn yang mengalami eksudat dapat menarik air sehingga
ia
bertanggung jawab atas edema yang erjadi pada sisi
reaksi
inflamasi.pada eksudat serosa, permeabilitas pembuuh darah
tidak mengalami banyak perubahan, namun hanya beberapa
protein yang dapat keluar dari pembuluh.
2. Eksudat fibrinosa
meningkat dan molekul besar seperti fibrin dapat keluar.
3. Eksudat supuratif/pulurenta
memiliki kandungan berupa nanah, protein dan neutrofil.
Eksudat pulurenta ini dapat menyebabkan kerusakan jariingan
di
sekitarnya, dan memungkinkan terjadinya pembentukan abses
secara lokal, abses ini harus dihilangkan untuk kelangsungan
penyembuhan.
yang paling parah dan memungkinkan terjadinya kebocoran
parah dari pembuluh darah atau setelah nekrosis.
3.6 Aterosklerosis
plak di arteri yang menyebabkan aliran darah tidak lancar.
Secara
struktural, arteri terdiri dari tiga bagian, yaitu adventisia
(bagian terluar
yang memiliki fungsi sebagai penunjang), media (bagian tengah
yang
berfungsi untuk kontraksi dan relaksasi), dan Intima (bagian
terdalam yang
mengandung sel endotel). Aterosklerosis seringkali tertukar
dengan
Arteriosklerosis yang sebenarnya merupakan degenerasi intima dan
media
arteri kecil dan arteriole. Aterosklerosis dapat menyerang arteri
di seluruh
bagian tubuh, beberapa diantaranya yakni di bagian
abdominal/terminal
aorta yang menyebabkan iskemia pada ekstrimitas bawah,
gangrene di
kaki, aneurysm, dan emboli; aortoiliac dan arteri femoral yang
menyebabkan gangrene dan aneurysm; arteri koroner yang
menyebabkan
angina pektoris dan infark miokard; arteri karotis dan vertebral
yang
menyebabkan stroke; arteri renal yang menyebabkan hipertensi;
dan arteri
mesentrik yang menyebabkan intestinal iskemia. Penatalaksanaan
pada
pasien dengan aterosklerosis dilakukan berdasarkan lokasi
yang terkena.
3.6.2 Penyebab
obesitas, usia, merokok, hipertensi, kurang olahraga,
peningkatan
konsentrasi protein C-Reaktif dalam darah yang merupakan
penanda
peradangan dalam darah, peningkatan kadar homosistein yang
memicu
proliferasi sel otot polos vaskular sehingga menyebabkan
penyumbatan
arteri, agen infeksi, diabetes, stress, diet tak sehat, alkohol dan
yang paling
umum adalah peningkatan kadar kolesterol dalam darah.
Aterosklerosis
dapat dicegah dengan mengontrol faktor risiko yang menyebabkan
kondisi
tersebut. Kadar kolesterol sendiri berasal dari sel yang bersumber
dari sel
hati dan asupan dari makanan yang bersumber dari produk hewani.
Kadar
kolesterol terdiri dari LDL yang mengandung sedikit protein dan
banyak
kolesterol, HDL yang mengandung banyak protein dan sedikit
kolesterol,
dan VLDL yang mengandung sedikit protein dan banyak lemak
selain
kolesterol.
dan beberapa prosedur medis. Gaya hidup sehat yang dapat
membantu
mengatasi aterosklerosis yaitu mengelola stress, diet sehat,
berhenti
merokok, menjaga berat badan ideal, dan aktivitas fisik.
3.6.4 Penanganan
bypass yaitu pemasangan bypass pada arteri koroner yang
menyempit,
angioplasty yaitu membuka arteri koroner yang menyempit di jantung,
dan
carotid endarterectomy yaitu menghilangkan plak di leher.
Aterosklerosis
dapat didiagnosa dengan tes darah, EKG, X Ray pada
bagian dada, tes
stress, angiography, CT, dan Echo.
3.7 Perdarahan 3.7.1 Definisi
Hemoragi atau perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh
darah ke dalam rongga interstisial jaringan, rongga serosa atau
pada alat
tubuh. Perdarahan juga dapat terjadi keluar dari tubuh melalui
lubang
maupun kulit, contohnya mimisan.
istilah-istilah deskriptif khusus. Istilah-istilah tersebut
adalah:
a. Hematom adalah penimbunan darah pada jaringan.
Hematom
b.
c. Purpura adalah bercak-bercak perdarahan yang tersebar
luas.
d.
Ekimosis
perdarahan internal dan perdarahan eksternal. Perdarahan
eksternal adalah
bila perdarahan tampak keluar dari permukaan tubuh. Pada
perdarahan
eksternal biasanya darah keluar melalui vagina, kulit, rectum, dan
mulut.
Contoh perdarahan ekternal Perdarahan internal adalah bila
darah yang keluar dari pembuluh
tetap berada dalam tubuh. Perdarah internal ini terjadi pada saat
darah
bocor karena kerusakan pembuluh darah atau organ. Perdarahan
internal
ini memiliki gejala seperti:
b. Perdarahan eksternal melalui lubang alami, contoh:
darah dalam veses
(hitam, merah), Darah dalam urin, darah pada muntahan dan darah
dari
vagina.
berdsarkan lokal dan bentuk klinis.
Di dalam/ luar tubuh Bentuk klinis
Dalam tubuh
terjadi pada kapiler di bawah kult. Ekomosis adalah perdarahan
bawah
kulit dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan peteki. Dilihat
dari
ukuran, purpura berada di tengah-tengah antara peteki dan
ekimosis,
sedangkan kejadiannya berlangsung spontan pada
penyakit-penyakit
tertentu. Hematom adalah perdarahan yang tidak membeku dan
membentuk benjolan seperti benjolan seperti tumor pada suatu
jaringan.
Perdarahan pada organ-organ genital wanita masing-masing
dinamakan
hematometrium jika terjadi di dalam rongga uterus. Hematokolpos
terjadi
perdarahan yang tertimbun dalam vagina. Hematosalping
terjadi
penimbunan darah di tuba falopi. Hematokele merupakan
perdarahan yang
terjadi pada rongga testis. Hemartrosis berlangsung di rongga
sendi.
Epistaksis atau mimisan yaitu perdaraha hidung. Hemoptisis atau
batuk
darah terjadi perdarahan dalam paru yang kemudian di
keluarkan.
Hematemesis atau muntah darah merupakan perdarahan yang berasal
dari
saluran cerna. Hematosezia yaitu perdarahan segar yang berasal dari
usus.
Melena yaitu pengeluaran darah yang berwarna hitam akibat darah
yang
mengalami lisis.
2)
Kelas II, perdarahan 15-30% dari total volume darah taki
kardi
dan penyempitan jarak antara tekanan darah systole dan
diastole
kulit pucat dan dingin saat disentuh.
3) Kelas III, kehilangan darah 30-40% dari volume darah.
Tekanan
darah pasien menurun, denyut nadi meningkat, diperlukan
resusitasi cairan dengan larutan kristaloid sertadiperlukan
transfuse darah.
4) Kelas IV, kehilangan darah > 40% dari volume darah. Saat
ini
batas kompensasi tubuh telah dicapai.
3.7.3 Penyebab
dinding pembuluh darah yang memungkinkan darah keluar. Hal
tersebut
disebabkan trauma, efek obat-obatan, dan kondisi medis. Trauma ini
dapat
diakibatkan karena luka tusukan, lecet, memar. Efek
obat-obatan
contohnya banyak mengonsumsi obat pengencer darah, terapi radiasi,
serta
pengonsumsian antibiotic yang berlebihan. Hal lain yang
menyebabkan
perdarahan adalah proses patologik, penyakit yang berhubungan
dengan
gangguan pembekuan darah, dan kelainan mekanisme homeostasis.
Penyakit dengan gangguan pembekuan darah ini biasanya
disebabkan
toksik berupa racun ular, zat kimiawi dan infeksi keras.
3.7.4 Dampak/Efek
Perdarahan dapat berdampak bagi tubuh manusia. Efek dari
perdarahan dibagi menjadi 2, yaitu efek local dan sistemik.
Efek lokal
bergantung pada lokasi dan ukuran. Apabila perdarahan terjadi
di medulla
oblongata tetapi ukurannya perdarahan tersebut kecil, maka tetap
akan
menyebabkan kematian. Apabila perdarahan terjadi pada tangan atau
paha
dan ukuranya sedikit besar maka hanya akan menyebabkan
trauma.
Efek sistemik bergantung pada volume, waktu dan jenis
perdarahan. Efek sistemik perdarahan akan menybabkan syok,
anemia
bahkan kematian jika perdarahan tersebut tidak segera
diobati. Ketika
massif penderita akan sangat cepat meninggal karena
perdarahan.
Penderita dapat mengalami perdarahan tanpa ada petunjuk
perdarahan
eksternal sama sekali. Ini terjadi jika darah yang keluar dari
pembuluh
darah terkumpul dalam rongga tubuh yang besar seperti rongga pleura
atau
rongga peritoneum.
3.7.5 Penanganan
a. Anamnesis
riwayat perkawinan, riwayat kehamilan dan persalinan, riwayat
pengobatan, serta riwayat sosial.
b. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik ini berupa cek tanda-tanda vital seseorang
yang terdiri dari pemeriksaan Nadi, pernapasan, capillary refill,
dan lain-
lain.
Pemeriksaan raut wajah, biasanya penderita perdarah akan
lemas. c. Pemeriksaan lab.
Pemeriksaan lab dapat berupa rotgen dibagian tubuh yang
terdapat
keluhan nyeri, memar.
tubuhnya dapat di tangani dengan pertolongan pertama sebelum dibawa
ke
rumah sakit (RS).
a. tenangkan pasien
b. Elevasi bagian yang berdarah
c. Bila tidak ada benda tajam, tekan bagian yang luka dengan
kain bersih
d. Bila ada benda tajam, berikan kain disekitar luka.
e.
f. Kompres dengan air dingin.
Pasien yang mengalami perdarahan sebaiknya segera ditangani.
Apabila tidak segera ditangani maka akan timbul penyakit lainnya
yang
akan merugikan bagi pasien tersebut, contohnya menderita Anemia
atau
Syok. Hal lain yang dapat terjadi pada pasien perdarahan adalah
timbulnya
kematian karena kehabisan banyak darah.
3.8 Trombosis
3.8.1 Definisi
terjadinya penyumbatan pembuluh darah baik di pembuluh arteri
maupun
vena. Trombus adalah bekuan darah yang terdiri atas unsur-unsur
darah
tahun 1856 dengan diajukamya uraian patofisiologi yang terkenal
sebagai
Triad of Virchow, yaitu terdiri dari abnormalitas
dinding pembuluh darah,
perubahan komposisi darah, dan gangguan aliran darah.
Ketiganya
merupakan faktor-faktor yang memegang peranan penting dalam
patofisiologi trombosis.
Dianggap bahwa pada endotel normal terdaat muatan listrik yang
akan
menolak tiap unsur darah yang mendekat. Apabila terjadi
kerusakan
endotel maka terjadi perubahan dalam potensial listriknya,
sehingga
trombosit dapat melekat pada endotel. Suatu anggapan lain
menyatakan
bahwa jaringan endotel yang rusak mengeluarkan suatu zat
sehingga
terjadi koagulasi darah.
sehingga mudah melekat pada dinding pembuluh. Dalam aliran
darah
terdapat suatu axial stream yang mengandung unsur darah yang
berat
seperti leukosit. Trombosit mengalir pada zone yang lebih perifer
dan
dibatasi dari dinding pembuluh oleh suatu zone plasma. Bila
timbul
keterlambatan dalam aliran maka trombosit masuk kedalam zone
plasma sehingga kontak dengan endotel bertambah. Perubahan
dalam
aliran darah lebih sering terjadi dalam vena. Trombus juga sering
terjadi
dalam varices, yaitu vena-vena yang melebar.
c.
mempermudah terjadinya trombosis. Pada masalah setelah
mengalami
pembuluh dan merupakan perpanjangan thrombus.
c. Saddle / riding thrombus, thrombus memanjang dan
masuk
ke dalam cabang pembuluh.
tidak menyebabkan oklusi. Kadang-kadang thrombus mural
ini bertangkai sehingga disebut pedunculated thrombus.
e. Ball valve thrombus, thrombus mural dengan bentuk
kasar,
bertangkai, masuk ke ruang jantung, dapat tersangkut
dan
tidak dapat melewati ostium jantung dan menutup, akan
pecah menjadi fragmen. Thrombus bola ini sebenarnya
bukan
thrombosis tetapi embolus karena tidak lagi melekat pada
dinding.
2.
menyebabkan aliran lambat/ sifat statis.
b. white thrombus, thrombus ini terdapat pada arteri
mulai dari
tempat kerusakan endotel. Bersifat kering dan mass garis abu
– abu dari agregasi trombist terpisah diantara
lapisan yang terdiri dari trombosit dan fibrin.
c. mixed thrombus, thrombus ini paling banyak dijumpai.
3. Jenis thrombus berdasarkan waktu terbentuknya
a. Fresh thrombus, thrombus yang baru saja terbentuk.
b. Old thrombus, thrombus yang sudah lama terbentuk.
4. Berdasarkan sifat kandungannya
/ mikroorganisme agen penyakit.
kuman.
a. Thrombus arteri, misalnya arteri coronaria, arteri
renalis,
arteri mesenterika, tungkai bawah.
mesenterium, v. portae. Jika terjadi komplikasi (radang)
disebut tromboplebitis.
3.8.4 Akibat thrombus
Secara umum akibat yang ditimbulkan oleh thrombus bergantung
statis darah, bendungan pasif, edema dan kadang-kadang
nekrosis.
Pada arteri thrombus dapat menyebabkan iskemia, nekrosis,
infark
dan gangren. Tetapi nekrosi tidak terjadi bila kolateral yang
terbentuk
mencukupi. Thrombus pada atrium kiri dapat menjadi ball
thrombus dan
menyumbat ostium mitralis sehingga menimbulkan kematian
mendadak.
Kematian dapat juga disebabkan oleh penyumbatan a. koronaria.
Peradangan dan infeksi pada thrombus septic terjadi karena thrombus
atau
bagiannya terlepas, hanyut dan tersangkut pada pembuluh
perifer.
3.8.5 Perjalanan Trombus
1) Emboli, yaitu thrombus lepas mengikuti pembuluh.
2)
sehingga massa menjadi homogen. Dari tepi, tempat thrombus
melekat pada dinding pembuluh, masuklah fibroblas dan
kapiler.
3)
sel endotel akan melebar dan menyambung membentuk saluran
sehingga trombus ditembus oleh saluran baru yang dapat
mengalirkan darah lagi. Akibatnya thrombus mengkerut
sehingga lumen pembuluh darah dapat dialiri, dan berfungsi
lagi.
ditemukan pada vena kecil (phlebolith).
5) Dissolusi, terjadi aktivitas fibrinolisis
3.9 Embolisme 3.9.1 Pengertian Embolisme
Embolisme merupakan keadaan dimana embolus yang berupa
benda padat (trombus), cair (amnion) ataupun gas (udara) yang
dibawa
oleh darah dan menyumbat aliran darah. Dalam hal ini, embolus
merupakan benda asing yang terangkut mengikuti aliran darah dari
tempat
asalnya dan dapat tersangkut pada suatu tempat menyebabkan
sumbatan
aliran darah. Embolus tersebut dapat mengakibatkan infark, infeksi
atau
tersangkut pada arteri koronaria dan embolus besar tersangkut pada
arteri
pulmonalis). Embolus pada umumnya 95 % berasal dari trombus
sehingga
disebut tromboembolisme, sedangkan 5% nya dapat berasal dari
lemak
dan partikel lainnya.
Emboli dalam tubuh terutama berasal dari trombus vena,
terutama
pada vena profunda di tungkai atau di panggul. Apabila
fragmen trombus
vena ini terlepas dan terbawa aliran darah, maka fragmen akan masuk
ke
vena cava dan kemudian menuju jantung sebelah kanan. Kemudian
darah
akan meninggalkan ventrikel kanan dan mengalir ke cabang utama
arteri
pulmonalis, kemudian ke cabang arteria pulmonalis kanan dan
kiri,
selanjutnya ke cabang-cabang pembuluh darah yang lebih kecil.
Karena
keadaan anatomis tersebut, emboli yang berasal dari trombus
vena
biasanya berakhir sebagai emboli arteria pulmonalis. Jika
fragmen trombus
yang sangat besar menjadi embolus, maka sebagian besar suplai
arteria
pulmonalis dapat tersumbat dengan mendadak sehingga
menimbulkan
kematian mendadak. Emboli arteria pulmonalis yang lebih kecil
dapat
tanpa gejala yang dapat mengakibatkan nekrosis sebagian paru.
3.9.3
endotel yang melemah yang menutupinya sehingga darah terpajan
ke
jaringan ikat kaya kolagen pada plak. Sel-sel busa
mengeluarkan bahan-
bahan kimia yang dapat melemahkan jaringan fibrosa penutup
dengan
menguraikan serat-serat jaringan ikat tersebut. Plak dengan
penutup
fibrosa yang tebal dianggap stabil karena kemungkinannya untuk
pecah sangat kecil. Namun, plak dengan penutup fibrosa yang tipis
bersifat tidak
stabil karena mudah pecah dan memicu pembentukan bekuan.
Trombosit darah (elemen berbentuk dalam darah yang berperan
dalam pembentukan bekuan darah) dalam keadaan normal tidak
melekat
ke lapisan dalam pembuluh yang sehat dan licin. Namun, ketika
berkontak
dengan kolagen di tempat cedera pembuluh, trombosit melekat
dan
membantu pembentukan bekuan darah. Selain itu, sel busa
menghasilkan
zat pendorong pembentukan bekuan. Bekuan abnormal yang melekat
ke
dinding pembuluh darah disebut dengan trombus. Trombus dapat
membesar secara bertahap dan dapat menutup total pembuluh di
tempat
tersebut. Sewaktu mengalir, bekuan darah yang mengapung bebas
(embolus) dapat menyumbat pembuluh-pembuluh yang lebih kecil.
Karena
itu, melalui tromboembolisme, aterosklerosis dapat menyebabkan
oklusi
mendadak.
pada arteri pulmonalis utama atau pada salah satu
percabangannya. PE
merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas pasien-pasien
di
rumah sakit. Tiga faktor utama yang menyebabkan timbulnya
trombosis
darah, (2) luka dan peradangan pada dinding vena, dan (3)
hiperkoagulabilitas.
Trombosis vena dan PE terutama terjadi pada pasien yang tirah
baring, keadaan postpartum, bedah tulang atau memakai
gips, obesitas dan
usia lanjut. Keadaan yang paling penting dalam terjadinya trombosis
vena
ialah gagal jantung kongestif dan pasca bedah. Tempat
tersering
terbentuknya bekuan darah adalah vena ileofemoralis profunda
pada
tungkai (90%), sedangkan emboli yang bukan berasal dari
trombosis
jarang terjadi (kurang dari 10% emboli paru), yang meliputi
sumbatan
yang disebabkan oleh udara, lemak, sel-sel ganas, cairan amnion,
parasit
dan benda asing lainnya.
beberapa menit berikutnya. Gejala dari PE seringkali tidak
jelas, misalnya
demam yang tidak jelas penyebabnya. Akibat dari PE adalah
terbentuknya
daerah-daerah paru yang mendapat ventilasi, tetapi perfusinya
kurang
memadai, sehingga akan meningkatkan ventilasi ruang mati
fisiologis.
Pada beberapa keadaan, pencegahan PE yang berulang adalah
dengan
menempatkan kassa atau alat penyaring pada vena kava bagian
bawah
dengan tujuan untuk menangkap emboli dari ekstremitas bawah
dalam
perjalanannya menuju sirkulasi pulmonal.
tubuh tertentu. Akibatnya, daerah terganggu tersebut akan
mengalami
kekurangan zat makanan, terutama oksigen, yang disertai
dengan
penimbunan hasil-hasil metabolisme, degenerasi, atrofi, dan
ulserasi.
Iskemia yang terjadi secara tiba-tiba atau mendadak dapat
disebabkan
antara lain oleh trombus, embolus, aterosklerosis,
tromboangitis,
penekanan pembuluh darah dan kontriksi akibat ikatan dan
torsi.
3.10.2 Patogenesis
spasme 2) pembentukan atheroklerosis 3) tromboembolisme.
1.
transien menyempitkan pembuluh darah. Jika O2 yang tersedia
terlalu
sedikit maka endotel mengeluarkan platelet-activating factor
(PAF).
PAF setelah dikeluarkan dari endotel akan berdifusi ke
otot polos
vascular di bawahnya dan akan menyebabkan kontraksi.
2. Pembentukan atheroklerosis. Aterosklerosis ditandai oleh
plak-plak
yang terbentuk. Berawal dari cedera dinding pembuluh darah,
yang
memicu respons peradangan kemudian akan menyiapkan
pembentukan
plak. Pembentukan plak ditandai dengan adanya akumulasi
endapan
Plakaterosklerosisterdiridariinti kaya lemak yang dilapisi
oleh
pertumbuhan abnormal sel otot polos dan ditutup jaringan ikat
kaya
kolagen.
untuk melawan infeksi dan mendorong perbaikan jaringan yang
rusak.
Namun jika penyebab cedera menetap di dalam dinding pembuluh
maka
respons peradangan ringan yang berkepanjangan dalam beberapa
decade
akan menyebabkan pembengtukan plak arteri dan penyakit
jantung.
Penyakit berkembang sewaktu sel-sel otot polos di dinding
pembuluh darah bermigrasi dari lapisan otot pembuluh darah ke
bawah
endotel. Seiring dengan perkembangannya, plak secara progesif
menonjol
ke dalam lumen pembuluh dan akan terjadi penyempitan (stenosis)
arteri
yang tidak dapat dilalui oleh darah.
3. Tromboembolisme. Trombosit pada keadaan normal, tidak
melekat ke
lapisan dalam pembuluh. Namun, ketika berkontak dengan plak,
trombosit akan melekat dan membantu dalam pembentukan bekuan
darah. Bekuan abnormal yang melekat ke dinding pembuluh darah
disebut dengan thrombus. Trombus yang menggumpal akan
membesar
secara bertahap hingga menutup total pembuluh di tempat
tersebut
atau aliran darah yang melewati thrombus tersebut dapat
menyebabkan thrombus terlepas. Bekuan darah yang mengampung
bebas atau emboli dapat juga menyebabkan penyumbatan total
pada
pembuluh darah.
perkembangan iskemi (tiba-tiba atau perlahan), tingkat
sumbatan (parsial
atau komplit), kerentanan organ (ensefalomalasia) dan ada
tidaknya
susunan kolateral yang baik. Iskemia yang berlangsung
perlahan-lahan,
ringan dengan adanya kolateral akan menimbulkan
perubahan-perubahan
degeneratif dan hilangnya sel-sel parenkim yang digantikan oleh
jaringan
fibrosis atau lemak atau keduanya (gliosis pada SSP). Iskemia
komplit
mendadak yang berlangsung cukup lama tanpa adanya kolateral
biasanya
menimbulkan nekrosis (infark atau gangren).
3.11 Infark
terseringnya oleh trombus menimbulkan iskemi dan nekrosis
anoksik
jaringan disebelah distal sumbatan. Daerah yang mengalami
nekrosis
iskemik disebut infark. Sebagian besar infark disebabkan oleh
trombus
arteri dan embolus. Namun dapat juga akibat obstruksi aliran keluar
vena.
Disamping itu infark dapat terjadi tanpa sumbatan pembuluh,
ketika
perfusi jaringan tidak memadai akibat gagal jantung atau syok
sementara
kebutuhan oksigen tetap tinggi. Infark semacam itu secara khas
terjadi di
otak pada waktu daerah perbatasan antara kawasan perfusi arteri
basalis
dan arteri karotid tidak mendapat aliran darah dalam keadaan
hipotensi.
Inilah yang disebut infark batas air yang terjadi setelah
berlangsungnya
infark miokard. Tersumbatnya pasokan darah dari arteri
menyebabkan
infark dimana infark ini terletak pada jaringan mati (tissue death)
yang
seharusnya sedikit pasokan darah masuk kesana. Infark juga biasa
disebut
dengan nekrosis iskemik dan mungkin terjadi di beberapa organ
atau
jaringan.
diklasifikasikan menjadi infark pucat, infark hemoragik, dan infark
dengan
pertumbuhan bakteri yang sangat cepat (infarction with
bacterial
supergrowth). Infark pucat dapat terlihat dalam jaringan
padat yang
sirkulasi arterinya sangat terhambat oleh karena iskemia. Red atau
infark
hemoragik seringanya disebabkan oleh penyumbatan vena atau
jaringan
kongesti. Jaringan infark memiliki penampakan berwarna merah.
Pertumbuhan bakteri yang sangat cepat biasanya ada atau dibawa ke
area
infeksi. Klasifikasi dari infeksi infark ( septic infarction)
dimasukkan
ketika bakteri menunjukkan infeksi. Lesi akan berubah menjadi
abses
ketika gejala infeksi dan peradangan dimulai. Gangre adalah salah
satu
contoh dari infark yang mana terjadi kematian sel iskemik dan
diikuti oleh
pertumbuhan bakteri dengan cepat.
adanya hiperemi dan hemoragi. Oleh karena itu, pembagian infark
pucat
dan infark hemoragik digunakan untuk infark yang tidak lagi
berubah
keadaannya ( fully developed ).
Infark organ padat seperti jantung, ginjal, dan limpa, yang
terjadi
akibat sumbatan arteri terminal jaringan parenkim memberi
gambaran
infark pucat.
mendapat sirkulasi rangkap seperti hati, usus, dan paru, berupa
infark
hemoragik. Karena pasok darahnya rangkap, organ-organ ini
jarang
mengalami infark. Infark pada jaringan otak dapat berbentuk pucat
atau
hemoragik. Berdasarkan waktu berlangsungnya infark nekrosis
iskemi
dapat digolongkan menjadi infark muda (baru) dan infark tua
(lama).
3.11.3 Patogenesis Infark
pada waktu berlangsungnya proses tersebut. Mula-mula jaringan
akan
tampak merah seperti hipermi, biasanya pada bagian perifer alat
tubuh dan
pembengkakan. Vaskularisasi organ yang bersangkutan akan
menentukan
jumlah perdarahan. Limpa dan paru mempunyai perdarahan yang
lebih
banyak dibandingkan ginjal dan jantung. Setelah 24 sampai 48
jam, pada
alat-alat tubuh yang terdiri atas jaringan padat seperti jantung
dan ginjal,
jaringan yang terkena terlihat pucat.
Pada alat tubuh yang renggang seperti paru dan limpa, bagian
yang
terkena tetap hemoragik sehingga berwarna merah. Infark pucat,
beberpa
hari kemudian akan memberi gambaran kuning putih, berbeda
tegas
dengan daerah disekitarnya. Infark hemoragik relatif tidak
banyak
berubah. Pada kedua jenis infark, terjadi peradangan tepi
yang
memberikan gambaran adanya zona hipermi. Disamping itu,
radang
mengakibatkan terbentuknya fibrin yang meliputi organ
bersangkutan.
Setelah proses berjalan dalam hitungan minggu, timbul
fibrosis
yang berjalan dari tepi ke pusat nekrosis. Dengan demikian,
jaringan infark
digantikan oleh fibrosis yang tampak pucat. Kadang-kadang pusat
nekrosis
mengalami lisis yang dalam jumlah besar akan menjadi rongga
kista
dengan dinding jaringan ikat padat pada infark otak. Pada dinding
kista
dapat ditemukan pigmen hemosiderin, sedangkan pada sekililing
kista
tampak reaksi sel glia (gliosis).
Usus yang mengalami infark hemoragik sulit dibedakan dengan
usus normal sebab perbatasan keduanya tidak jelas akibat adanya
edema
dan perdarahan. Gambaran mikroskopik terpenting infark baru
ialah
nekrosis koagulativa. Nekrosis cair atau kolikuativa pada jaringan
otak.
Sel-sel radang tepi infark, pada hari-hari pertama, terdiri atas
sel
polimorfunuklear, kemudian diikuti makrofag dan fibroblas.
Dua sel
terakhir berfungsi pada proses penyembuhan selanjutnya. Infark
tua
berwarna pucat, melisut, dan membentuk cekungan pada
permukaan organ
tubuh yang terkena.
3.11.4 Akibat Infark
Infark dapat berlangsung pada organ apapun. Infark kecil dan
terjadi pada organ tidak vital sering tidak berarti secara klinis.
Gejala klinis
hanya berupa nyeri akibat iritasi saraf atau akibat radang lapisan
serosa
alat tubuh yang terkena. Berkali-kali dijumpai demam dan
leukositosis
akibat nekrosis. Secara klinis, infark paling penting adalah yang
terjadi
pada organ-organ vital seperti jantung, ginjal, dan
paru.
Pada paru, sumbatan cabang arteri paru meneyebabkan nekrosis
dan hemoptisis. Pada ginjal dapat terjadi hematuria. Pada usus
sumbatan
dapat terjadi baik pada vena maupun arteri. Infark jantung dan otak
besar
bersifat letal. Karena sel otak tidak mudah mengalami
regenerasi, sel-sel
nekrosis pun tidak mengalami regenerasi dan akibatnya kerusakan
bersifat
menetap.
dan kebutaan. Infark miokard yang sembuh dengan meninggalkan
jaringan
parut dapat menimbulkan gangguan konduksi, payah jantung
mendadak,
dan renjatan. Akibat lainnya dari infark miokard ialah temponade
jantung
dan kematian kerena terjadinya ruptur.
3.11.5 Infark Miokard
akibat kekuarangan oksigen berkepanjangan. Hal ini adalah respons
letal
akhir terhadap iskemia miokard yang tidak teratasi. Sel-sel
miokardium
mulai mati sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen.
Setelah
periode ini, kemampuan sel tidak dapat memenuhi kebutuhan
energinya.
Tanpa ATP, pompa atrium kaliumm berhenti dan sel terisi ion natrium
dan
air yang akhirnya menenyabkan sel pecah (lisis). Dengan lisis,
sel
melepaskan simpanan kalium intertistial dan ikut menyebabkan edema
dan
pembengkakakn interstisial di sekitar sel miokardium. Akibat
kematian
sel, tercetus reaksi inflamasi. Di tempat inflamasi, terjadi
penimbunan
trombosit dan pelepasan faktor pembekuan. Terjadi degranulasi sel
mast
yang menyebabkan pelepasan histamin dan berbagai
prostaglandin.
Sebagian bersifat vasokonstriktif dan sebagian merangsang
pembekuan
(tromboksan).
Terlepasnya suatu plak aterosklerotik dari salah satu arteri
koroner
dan kemudia tersangkut di bagian hilir yang menyumbat aliran darah
ke
seluruh miokardium yang diperdarahi oleh pembuluh tersebut,
dapat
menyebabkaninfark miokard. Infark miokard juga dapat terjadi
apabila lesi
trombotik yang melekat ke suatu arteri yang rusak menjadi cukup
besar
untuk menyumbat secara total aliran ke bagian hilir, atau apabila
suatu
ruang jantung mengalami hipertrofi berat sehingga kebutuhan
oksigennya
tidak dapat terpenuhi.
Penyebab infark miokardium paling sering adalah oklusi
lengkap
atau hampir lengkap dari arteri koroner, biasanya dipicu oleh
ruptur plak
aterosklerosis yang rentan dan diikuti oleh pembentukan
trombus/trombosis (Black dan Hawks, 2009). Bercak lemak
merupakan
salah satu lesi paling awal pada aterosklerosis. Sebagian bercak
lemak ini
akan mengalami regresi tetapi sebagian akan terus berkembang
menjadi
plak fibrosa dan akhirnya menjadi ateroma. Ateroma kemudian
mengalami
komplikasi perdarahan, pertukakan, kalsifikasi, atau trombosis
dan
akhirnya mengakibatkan infark miokardium (Prince dan Wilson,
2006).
Ruptur plak dapat dipicu oleh faktor-faktor internal maupun
eksternal
(Black dan Hawks, 2009).
vasokontriksi arteri. Plak yang rentan paling sering terjadi pada
area
dengan stenosis kurang dari 70% dan ditandai dengan bentuk
yang
eksentrik dengan batas tidak teratur, inti lipid yang besar dan
tipis, dan
pelapis fibrosa yang tipis (Black dan Hawks, 2009).
Faktor eksternal berasal dari aktifitas klien atau kondisi
eksternal
yang memengaruhi klien. Aktifitas fisik berat dan stres emosional
berat,
seperti kemarahan, serta peningkatan respon sistem saraf simpatis
dapat
menyebabkan ruptur plak. Pada waktu yang sama, respon sistem
saraf
simpatis akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Peneliti
telah
melaporkan bahwa faktor eksternal, seperti paparan dingin dan
waktu
tertentu dalam satu hari juga dapat memengaruhi ruptur plak.
Kejadian
koroner akut terjadi lebih sering dengan paparan terhadap dingin
dan pada
waktu pagi hari. Peneliti memperkirakan bahwa peningkatan
respons
sistem saraf simpatis yang tiba-tiba dan berhubungan dengan
faktor-faktor
ini dapat berperan terhadap ruptur plak.
Apapun penyebabnya, ruptur plak aterosklerosis akan
meyebabkan
(1) paparan aliran darah terhadap plak yang kaya lipid, (2)
masuknya darah
ke dalam plak, menyebabkan plak membesar, (3) memicu
pembentukan
trombus, dan (4) oklusi parsial atau lengkap dari arteri koroner
(Black dan
Hawks, 2009).
kerusakan ireversibel terhadap miokardium. Sel-sel jantung dapat
bertahan
dari iskemia selama 15 menit sebelum akhirnya mati (Black dan
Hawks,
2009). Iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit akan
menyebabkan kerusakan sel ireversibel serta nekrosis atau kematian
otot.
Bagian miokardium yang mengalami infark atau nekrosis akan
berhenti
berkontraksi secara permanen (Prince dan Wilson,
2006).
Manifestasi iskemia dapat dilihat 8 hingga 10 detik setelah
aliran
darah turun karena miokardium aktif secara metabolik. Ketika
jantung
tidak mendapatkan darah dan oksigen, sel jantung akan
melakukan
metabolisme anaerobik, memproduksi lebih sedikit adenosin
trifosfat
(ATP) dan lebih banyak asam laktat sebagai hasil sampingnya.
Sel
miokardium sangat sensitif terhadap perubahan pH dan fungsinya
akan
menurun, asidosis akan menyebabkan miokardium menjadi lebih
rentan
terhadap efek dari enzim lisoson dalam sel. Asidosis
menyebabkan
gangguan sistem konduksi dan terjadi distrima. Kontraktilitas juga
akan
berkurang, sehingga menurunkan kemampuan jantung sebagai
suatu
pompa (Black dan Hawks, 2009).
Infark miokardium akan menurunkan fungsi ventrikel karena
otot
yang nekrosis kehilangan daya kontraksi sedangkan otot yang
iskemia
infark miokardium akan menyebabkan perubahan-perubahan seperti
pada
iskemia: (1) daya kontraksi menurun, (2) gerakan dinding abnormal,
(3)
perubahan daya kembang dinding ventrikel, (4) pengurangan
volume
sekuncup, (5) pengurangan fraksi ejeksi, (6) peningkatan volume
akhir
sistolik dan akhir distolik ventrikel, dan (7) peningkatan tekanan
diastolik
ventrikel kiri (Prince dan Wilson, 2006).
d) Perubahan struktur Infark Miokard
Infark miokardium biasanya menyerang ventrikel kiri. Ada
beberapa tipe infark pada dinding ventrikel. Nekrosis selular
terjadi pada
satu lapisan jaringan miokardium pada infark subendokardium,
intramural,
dan subepikardium. Pada infark transmural, nekrosis selular terjadi
pada
ketiga lapisan miokardium.
adalah zona cedera hipoksia, disebut penumbra. Zona ini dapat
menjadi
normal lagi tetapi juga dapat menjadi nekrotik jika aliran darah
tidak
diperbaiki. Zona paling luar disebut zona iskemia, kerusakan
pada daerah
ini bersifat reversibel (Black dan Hawks, 2009). Ukuran infark
akhir
bergantung pada nasib daerah iskemik tersebut. Bila pinggir
daerah ini
mengalami nekrosis makan luas daerah infark akan bertambah
besar,
sedangkan perbaikan iskemia akan memperkecil daerah nekrosis.
Perbaikan daerah iskemia dan pemulihan aliran darah koroner
dapat
tercapai dengan pemberian obat trombolitik atau angioplasti
koroner
transluminal perkutaneus primer ( primary percutaneous
transluminal
coronary angioplasty, PTCA) (Prince dan Wilson, 2006).
Lokasi infark miokardium paling sering adalah (1) dinding
anterior
ventrikel kiri di dekat apeks, yang terjadi akibat trombosis dari
cabang
desenden arteri koreoner kiri; lokasi umum lainnya adalah (2)
dinding
posterior ventrikel kiri di dekat dasar dan di belakang daun
katup/kuspis
posterior dari katup mitral, terjadi akibat oklusi arteri
koroner kanan atau
cabang sirkumfleksi arteri koroner kiri; (3) permukaan
inferior
(diafragmatik) jantung, terjadi akibat oklusi arteri koroner kanan.
Pada
infark miokardium dinding inferior, 25% lokasi infark terdapat
pada
ventrikel kanan (Black dan Hawks, 2009).
e) Tanda dan gejala Infark Miokard
Manifestasi klinis yang berhubungan dengan infark miokardium
berasal dari iskemia otot jantung dan penurunan fungsi serta
asidosis yang
terjadi. Manifestasi klinis utama dari infark miokardium adalah
nyeri dada,
yang serupa dengan angina pektoralis tetapi lebih parah dan
tidak
berkurang dengan nitrogliserin. Nyeri dapat menjalar ke
leher, rahang,
bahu, punggung, atau lengan kiri. Nyeri juga dapat ditemukan
di dekat
epigastrium, menyerupai nyeri pencernaan. Infark miokardium juga
dapat
berhubungan dengan manifestasi klinis yang jarang terjadi
berikut ini:
1. Nyeri dada, perut, punggung, atau lambung yang tidak
khas
2. Mual atau pusing
4. Kecemasan, kelemahan, atau kelelahan yang tidak dapat
dijelaskan
5. Palpitasi (debar jantung), keringat dingin, pucat (Black
dan Hawks,
2009)
keadaan akibat dari kehilangan air secara abnormal (Ramali
dan
Pamoentjak, 1996 dalam Asmadi, 2008). Menurut Guyton (1995),
dehidrasi adalah hilangnya cairan dari semua pangkalan tubuh.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa dehidrasi merupakan keadaan
kehilangan cairan tubuh (Asmadi, 2008). Dehidrasi disebabkan
oleh
kehilangan cairan yang berlebihan atau intake yang tidak
mencukupi
ataupun kombinasi dari keduanya. Intake cairan yang tidak
mencukupi
adalah masalah yang biasa ditemukan di Negara yang dilanda
kemarau
atau kekeringan dan kelaparan (Underwood, 1999).
3.12.2 Penyebab
berkeringat secara berlebihan, kehilangan cairan melalui
gastrointestinal
sehubungan dengan diare atau muntah, diabetes insipidus, asites,
fase
diuretik dari gagal ginjal akut, penyakit Addison,
hipoaldosteronisme,
kekurangan volume cairan adekuat, diuresis osmotik, dan
penggunaan
diuretik yang tidak sesuai(Tambayong, 2000). Dehidrasi dapat
disebabkan pula oleh kehilangan air yang tidak disadari pada
kulit dan saluran
pernapasan, peningkatan ekskresi pada ginjal dan
gastronintestinal (GI),
atau penurunan asupan cairan. Dehidrasi dapat disebabkan oleh
penyebab
lain, antara lain: muntah dan diare yang berlebihan, asupan cairan
yang
tidak cukup, ketoasidosis diabetik, luka bakar berat, demam
tinggi
berkepanjangan, dan hiperventilasi (Muscari, 2005).
3.12.3 Mekanisme
sehingga volume vaskular menurun dan menghasilkan aliran balik
vena.
Kemudian, curah jantung menurun, tekanan darah menurun, dan
perfusi
jaringan serta organ berkurang. Mekanisme adaptif fisiologis
dilakukan
untuk memperbaiki tekanan darah, cairan, dan perfusi. Penggantian
cairan
dan pengobatan terhadap hilangnya cairan, dapat memulihkan tekanan
darah
ke keadanan normal (Tambayong, 2000).
hipertonik, dan dehidrasi hipotonik.
kadar Natrium serum atau tetap dalam keadaan normal, kadar
klorida
menurun, dan kadar kalium menurun atau masih dalam batas
normal.
2) Dehidrasi hipertonik yaitu keadaan kehilangan air yang
berlebih
dibandingkan dengan hilangnya elektrolit yang mengakibatkan
perpindahan cairan dari kompartemen intrasel ke ekstrasel.
Ditandai
dengan meningkatnya kadar Natrium serum, kadar Kalium serum
bervariasi, dan kadar Clorida meningkat.
3)
kompartemen ekstrassel ke intrasel. Kadar Natrium dalam serum
menurun, Klorida menurun, dan kadar Kalium bervariasi
(Bullock,
1999).
menjadi: dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, dan dehidrasi berat.
Dehidrasi
dapat ditandai dengan hal-hal berikut: haus, keletihan, penurunan
berat
badan, membran mukosa kering, penurunan atau hilangnya
produksi air
mata, turgor kulit tidak elastis, mata cekung, penurunan haluaran
urine,
penurunan tekanan darah, dan haus yang berlebihan (Muscari,
2005).
Derajat Dehidrasi
Turgor Kulit Menurun Tidak elastis Sangat tidak
elastis
Tekanan Darah Normal Normal atau
semakin rendah
Semakin rendah
laboratorium dan diagnostik, akan menunjukkan urine yang
terkonsentrasi
dengan berat jenis tinggi (>1,030) dan osmolaritas tinggi.
Hitung Darah
Lengkap (HDL) akan menunjukkan peningkatan hematokrit dan
kadar
Nitrogen urea darah meningkat. Pemeriksaan elektrolit akan
menunjukkan
penurunan konsentrasi Natrium urine dan perubahan nilai
elektrolit serum
(Kalium, Natrium, Klorida). Gas darah arteri akan menunjukkan nilai
PH
serum yang rendah (jika anak dalam keadaan asidosis).
Menyimpan dan mempertahankan keadaan hidrasi yang adekuat
merupakan tujuan perawat dalam menangani pasien dehidrasi. Oleh
karena
itu, perawat harus mendapati berat badan pasien sebelum sakit yang
akurat
dan memantau perubahan berat badan, yang mengidentifikasi
peningkatan
dan penurunan cairan. Pantau dan catat haluaran cairan dengan
akurat.
Kemudian, berikan cairan intravena apabila pasien tidak dapat
memenuhi
kebutuhan cairan yang hilang setiap harinya. Jika diperlukan,
berikan terapi
lanjutan yang bertujuan untuk menggantikan kehilangan cairan
dan
elektrolit. Lakukan evaluasi, apakah pasien berhasil mencapai
dan
mempertahankan keadaan hidrasi yang adekuat yang ditandai
dengan
peningkatan berat badan, tonus, dan warna kulit kembali
normal, serta nilai
elektrolit kembali normal (Muscari, 2005).
3.13 Syok
3.13.1 Definisi
Syok adalah salah satu bentuk kegagalan sirkulasi darah yang
bersifat umum dan merupakan gejala atau sindrom (Sudarto, et
al, 2002).
Menurut Rice (1991), syok adalah kondisi kompleks yang
mengancam
jiwa, ditandai dengan tidak adekuatnya aliran darah ke
jaringan dan sel-sel
tubuh. Syok adalah suatu gangguan hemodinamik yang mengancam
jiwa
ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi dalam menjaga perfusi
yang
adekuat pada organ-organ vital tubuh (Bullock, B.L, 2000).
3.13.2 Gejala
Menurut Sudarto, et al, tanda-tanda klinis pada syok, yaitu
pada
pemerisaan fisik kondisi pasien pucat dan lemas, pada
perabaan
ekstremitas terasa dingin, vena kolaps, nadi lemah dan cepat (
jumlah
denyut nadi > 100/menit), pada pengukuran tekananan darah
tekanan darah
rendah (sistolik < 100 mmHg). Selain itu, ditemukan gejala lain,
yaitu
Oliguria (produksi urin sedikit, biasanya kurang dari 400 ml / hari
pada
orang dewasa, dan dapat menjadi salah satu tanda awal dari gagal
ginjal
dan masalah urologi lainnya atau penyumbatan di dalam saluran
kemih).
Apabila syok berlangsung lama, maka akan terjadi penurunan
kesadaran,
mulai dari apatis, stupor (keadaan di mana pasien tidak
berkomunikasi,
yaitu tidak berbicara (mutisme) atau bergerak (akinesia), meskipun
dia
waspada), koma, hingga meninggal.
nonprogresif, yaitu selama tahapan ini mekanisme kompensasi
refleks
akan diaktifkan dan perfusi organ vital dipertahankan. Fase
progresif, yang
ditandai oleh hipoperfusi jaringan dan awal manifestasi dari
memburuknya
ketidakseimbangan sirkulasi dan metabolik. Fase ireversibel, yang
muncul
setelah tubuh mengalami jejas sel dan jaringan berat sehingga,
walaupun
ganguan hemodinamikanya telah diperbaiki, tidak mungkin bertahan
hidup
lagi.
Syok dibagi menjadi dua jenis, yaitu syok primer dan syok
sekunder. Syok primer adalah kondisi dimana ruang aliran
darah
membesar, sedangkan volume cairan tetap. Syok sekunder adalah
kondisi
dimana ruang aliran darah tetap, sedangkan volume cairan
berkurang.
Beasarkan etiologinya, syok diklasifikasikan menjadi 3, yaitu
syok
hipovolemik, syok kardiogenik, dan syok distributif (Syok
anapilaktik,
syok neurogenik, dan syok septik).
Kardiogenik Hipovolemik Distributif
turun
turun
turun
Tekanan
kehilangan volume cairan sirkulasi (penurunan volume
intravaskular)
yang diakibatkan oleh berkurangnya volume normal dari
keseluruhan
darah, plasma, atau air. Syok ini disebabkan oleh adanya
kehilangan
cairan eksternal (trauma, pembedahan, muntah-muntah, diare,
diuresis (penambahan volume urin yang diproduksi dan jumlah
(kehilangan) zat-zat terlarut dan air), dan diabetes Insipidus),
dan
perpindahan cairan internal (hemoragi akut, luka bakar,
asites
(penumpukan cairan pada rongga perut), dan peritonitis
(proses
bengkaknya membran serosa yang membatasi rongga abdomen
dan
rongga-rongga di dalamnya). Urutan peristiwa patofisiologis,
yaitu
penurunan volume darah, penurunan arus balik vena, penurunan
isi
kekuncup, penurunan curah jantung, serta penurunan perfusi
jaringan
tubuh.
pengobatan terhadap penyebab yang mendasari, penggantian
cairan
darah (memastikan pemberian cairan yang aman dan sesuai serta
mendokumentasikan pemberian serta efek sampingnya),
redistribusi
cairan (memulihkan volume intravaskular dan pengaturan posisi
yang
tepat), pemantauan ketat terhadap pasien yang berisiko
mengalami
defisit cairan, pemberian transfusi darah dengan aman. Tujuan
dari
penatalaksanaan ini adalah memulihkan volume
intravaskular,
meredistribusi volume cairan, dan memperbaiki penyebab yang
mendasarikehilangan cairan secepat mungkin.
olehgangguan curah jantung/gangguan kemampuan pompa jantung.
Syok kardiogenik terbagi menjadi dua, yaitu koroner (Infark
miokardium) dan non-koroner (syok obstruktif (gangguan yang
menyebabkan penyempitan mekanik pada aliran darah melalui
sistem
sirkulasi sentral), akibat kardiomiopati (gangguan otot jantung
yang
menyebabkan jantung tidak bisa lagi berkontraksi secara
memadai),
kerusakan katup, tamponade jantung (adanya tekanan pada
jantung
akibat terdapatnya cairan pada perikardium), dan disritmia
(kelainan
denyut jantung yang melipiti gangguan frekuensi atau irama
atau
keduanya). Urutan peristiwa patofisiologis dari syok
kardiogenik,
yaitu penurunan kontraktilitas jantung, penurunan volume
sekuncup;
kongesti pulmonari (terdapatnya darah di dalam pulmo secara
berlebihan) dan penurunan curah jantung (penurunan
perfusi
jaringan).
penatalaksanaan medis dan keperawatan. Penatalaksanaan
medis
dengan mengatasi kebutuhan oksigenasi miokardium, mengontrol
nyeri dada, pemberian obat-obatan vasoaktif (terapi obat),
dukungan
cairan tertentu (terapi cairan), dukungan mekanik berupa
Intra-aortic
balloon counterpulsation(IABC) untuk sementara
memperbaiki
total,dan alat ekstrakorporeal pada bedah jantung terbuka.
Sedangkan, pada penatalaksanaan keperawatan dengan
pencegahan (sebelum terjadi : mengidentifikasi pasien
beresiko,
meningkatkan oksigenasi miokardium yg adekuat, dan menurunkan
beban kerja jantung. Setelah terjadi :bekerja sama dengan
tim
kesehatan lainnya, memulihkan fungsi jantung dan perfusi
jaringan
yg adekuat), pemantauan status hemodinamik dan jantung
pasien,
pemberian cairan intravena yang aman dan akurat, mencatat
medikasi
dan tindakan yang dilakukan dan respon pasien terhadap
pengobatan,
menjamin kenyamanan dan keselamatan fisik pasien dalam
mengurangi kecemasan pasien, dan menjelaskan pengobatan dan
respon pasien terhadapnya kepada pihak keluarga. Tujuan dari
penatalaksaan ini adalah membatasi kerusakan
miokardium,
memulihkan kesehatan miokardium, dan memperbaiki kemampuan
jantung untuk memompa secara efektif.
c) Syok distributif adalah gangguan aliran darah pada
vaskulatur. Syok
distributif terbagi menjadi tiga, yaitu syok anafilaktik,
syok
neurogenik, dan syok septik. Urutan peristiwa patologis dari
syok
distributif, yaitu vasodilatasi, maldisfungsi volume darah,
penurunan
arus balik vena, penurunan volume sekuncup, penurunan curah
jantung, dan penurunan perfusi jaringan.
d)
membentuk antibodi terhadap antigen mengalami reaksi antigen-
anibodi sistemik. Penatalaksanaan dari syok ini adalah secara
medis
dan keperawatan. Secara medis dengan pembuangan antigen
penyebab (penghentian pemberian antibiotik), pemberian
obat-
obatan pemulih tonus vaskular, dukungan kedaruratan fungsi
hidup
dasar. Pada ancaman henti jantung dan napas dilakukan.resu