PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
PESAN NONVERBAL
DALAM PROSES PEMBELAJARAN
ANAK RETARDASI MENTAL RINGAN
DI KELAS
Studi Deskriptif dengan Data Kualitatif Mengenai Pesan Nonverbal dalam Proses Pembelajaran Anak Retardasi Mental Ringan di Kelas
di SLB C YPLB Cipaganti
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk menempuh gelar
Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung
Disusun Oleh:
LANNIARI A. HSB
10080000426
MANAJEMEN KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1428 H / 2007 M
LEMBAR PENGESAHAN
PESAN NONVERBAL DALAM PROSES PEMBELAJARAN
ANAK RETARDASI MENTAL RINGAN DI KELAS
Studi Deskriptif dengan Data Kualitatif Mengenai Pesan Nonverbal dalam Proses Pembelajaran Anak Retardasi Mental Ringan di Kelas
di SLB C YPLB Cipaganti
Diajukan Untuk menempuh gelar Sarjana
Disusun Oleh:
Lanniari A. Hsb
10080000426
MANAJEMEN KOMUNIKASI
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Hj. Rini Rinawati, Dra., M.Si. Ike Junita Triwardani S.Sos., M.Si.
Mengetahui,
Ketua Bidang Kajian Manajemen Komunikasi
Anne Maryani, Dra., M.Si.
MUKADIMAH
What we’ve saw by visual, that they don’t have capability to solve their problem.
In fact, they don’t events understand what we said.
Some of them don’t talk…
The others don’t listen and events don’t care what’s going on surrounding them.
However, they still human
We should threat them as human being who has feeling
And they deserve get much attention better than the normal one.
I though, first able, fearless is necessary to face them.
If you scare you can’t even teach them what they supposed to do
And how they supposed to be
While you always dreaming that someday they will behave like we used to be.
If you let your fear comes around you
You can’t face them, talk to them or listen what they say with their way.
You just runaway and try to forget that they existed.
In fact, their community’s not smaller as we thought.
They need an intention cares
Would you be the one to give your hand to share on?
Because I believe a good communication will build a good education.
Then good educations hopefully create a good personality,
good opinion
and good behavior.
And those mean education try to makes somebody better than they were
We can’t not communicated
Created by:
Lanniari Dedicated to:
Children with retardation mental And the teachers who helps them to understand many things
MUKADIMAH
Setelah kita melihat secara kasat mata, bahwa mereka tidak memiliki kemamapuan untuk menyelesaikan masalahnya
Kenyataanya, mereka bahkan tidak mengerti apa yang kita katakan Beberapa diantara mereka tidak berbicara
Dan yang lainnya tidak mendengarkan dan bahkan tidak memperdulikan apa yang sedang terjadi di sekeliling mereka
Bagaimanapun, mereka tetap manusia Kita seharusnya memperlakukan mereka seperti seorang manusia
yang mempunyai perasaan Dan mereka berhak mendapatkan perhatian yang lebih daripada orang-orang yang normal
Saya pikir, pertama sekali, menyingkirkan ketakutan adalah hal yang terpenting untuk menghadapinya.
Apabila kamu merasa takut, kamu tidak bisa mengajari apa yang semenstinya mereka lakukan
Dan bagaimana mereka semestinya Sementara kamu hanya bisa bermimpi
bahwa suatu hari mereka dapat bersikap seperti kita Apabila kamu membiarkan ketakutan datang menghampirimu
Kamu tidak mampu untuk mengahadapi mereka, berbicara dengan mereka atau bahkan mendengarkan apa yang mereka katakan dengan cara mereka
Kamu akan berlari dan mencoba melupakan keberadaan mereka Meskipun kenyataannya komunitas mereka tidak sekecil yang kita perkirakan
Mereka membutuhkan perhatian yang lebih Maukah kamu menjadi seseorang yang mengulurkan tangan untuk berbagi?
Karena saya percaya komunikasi yang baik akan membangun pendidikan yang baik Kemudian pendidikan yang baik diharapkan akan membentuk personal yang baik
Pendapat yang baik Dan perilaku yang baik
Dan hal itu semua berarti pendidikan mencoba membuat seseorang lebih baik dari sebelumnya
Kta tidak bisa tidak berkomunikasi
Dibuat oleh: Lanniari
Dipersembahkan untuk: Anak-anak retardasi mental
Dan guru-guru yang membantu mereka untuk mengerti segala hal.
ABSTRAK Adanya fakta bahwa anak penyandang retardasi mental mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi dan pada umumnya mengalami kesulitan dalam menerima pesan verbal. Hal ini disebabkan fungsi intelektual di bawah rata-rata disertai dengan kemampuan beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan dan bicara yang sangat terbatas.
Mereka dengan segala keterbatasannya dalam berkomunikasi, akan lebih banyak menerima komunikasi nonverbal untuk dapat membantu memahami makna pesan yang diberikan oleh pengajar dalam proses pembelajaran, yang berarti pesan-pesan nonverbal memegang peranan penting dalam proses komunikasi.
Proses pembelajaran tidak terlepas dengan dukungan dari berbagai pihak, terutama para pengajar SLB dan orang-orang sekitarnya serta lingkungan sekolah. Pengetahuan mengenai pesan nonverbal yang di pakai oleh para pengajar sebagai alat bantu dirasakan perlu bagi pengembangan penggunaan pesan nonverbal yang lebih beragam.
Berkenaan dengan itu, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: “Bagaimana pesan nonverbal yang dilakukan oleh pengajar di SLB C YPLB Cipaganti dalam proses pembelajaran anak retardasi mental ringan di dalam kelas?” Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pesan kinesik, paralinguistik dan proksemik dalam proses pembelajaran anak retardasi mental ringan di kelas.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, menjelaskan bahwa metode ini bertujuan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu secara faktual dan cermat. (Rakhmat, 1997: 22). Teknik pengumpulan data adalah melalui wawancara, studi pustaka dan observasi.
Teknik pemilihan sample dilakukan secara purposif sample yaitu memilih sample yang dianggap mewakili statistik, yaitu dikhususkan bagi pengajar perempuan yang mengajar minimal lebih dari 5 tahun dengan pendidikan minimal SGLB. Populasi pada penelitian ini adalah pengajar SLB C YPLB Cipaganti tingkat sekolah dasar untuk bagian retardasi mental ringan, yang dijadikan sample sebanyak 2 orang responden.
Berdasarkan pengumpulan data maka dapat disimpulkan bahwa pengajar sering menggunakan pesan kinesik, paralinguistik dan proksemik di dalam kelas, fungsi dari dari pesan nonverbal tersebut sangat beragam, yaitu sebagai komplemen, subsitusi atau aksentuasi, dalam hubungannya dengan pesan verbal yang disampaikan dalam proses pembelajaran. Makna dari pesan kinesik umumnya untuk membantu murid agar mengerti materi pelajaran. Pesan paralinguistik digunakan untuk menarik perhatian murid, untuk menyatakan perasaan serta emosi. Pengaturan jarak yang di lakukan pengajar menandakan kedekatan pengajar dengan murid sehingga mereka merasa nyaman dan lebih mudah untuk di atur.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rakhmat
dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah skripsi ini berjudul: Pesan Nonverbal dalam Proses Pembelajaran
Anak Retardasi Mental Ringan di Kelas. Diajukan sebagai pemenuhan salah satu
syarat untuk meraih gelar sarjana dari Fakultas Ilmu Komunikasi Islam
Universitas Islam Bandung.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, karena
keterbatasan penulis sebagai manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.
Kekurangan tersebut mungkin masih terlihat dari segi penerapan metode
penelitian, penyajian data, penulisan dan pengemasan kata-kata. Oleh karena itu
penulis mohon saran dan kritiknya agar bisa menjadikannya tolak ukur masalah
yang akan datang. Namun dengan segala kekurangan penulis berharap bahwa
makalah ini dapat diterima, dan yang lebih utama adalah semoga bermanfaat bagi
semua yang membaca makalah ini.
Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya:
1. Maha Pencipta dan Maha besar Allah SWT, yang menjadikan waktu sebagai
pelajaran, betapa tanpa kebesaranNya dan IzinNya, skripsi ini tidak akan
pernah terselesaikan.
2. Dr. Yusuf Hamdan Drs., M. Si sebagai Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi
ii
3. Ibu Anne Maryani, Dra, M.si. selaku ketua Bidang Kajian Manajemen
Komunikasi dan Ibu Ike Junita S. Sos M. Si selaku Sekretaris Bidang Kajian
Manajemen Komunikasi.
4. Ibu Rini Rinawati Dra , M.si. sebagai Pembimbing Pertama penulis.
Terimakasih atas masukan dan kritikan serta kesediaan waktu untuk
membimbing selama ini.
5. Ibu Ike Junita S. Sos. M.Si sebagai Pembimbing Kedua penulis. Terimakasih
atas masukan dan kritikan serta kesediaan waktu untuk membimbing selama
ini.
6. Ibu Sri Setiawati, Dra. sebagai dosen wali penulis. Terimakasih atas masukan
dan kritikan serta kesediaan waktu untuk membimbing selama masa
perkuliahan.
7. Ibu Dra. Juhaini, M. Ed sebagai Kepala Sekolah SLB-C YPLB Cipaganti.
8. Narasumber: Ibu Heni Ruhaeni, S.Pd, Ibu Tati Runiarti, Ibu Evi & Ibu Titi,
Ibu Uum & pak Arif. Tanpa bantuan kalian penelitian ini tidak akan pernah
selesai. Terimakasih banyak atas kesediaan waktu untuk berbagi informasi.
9. Kedua orang tua tercinta, yang selalu mendo’akan dan memberi semangat
dalam menyelesaikan makalah ini. Tanpa cinta mereka penulis tidak akan
disini berdiri untuk melangkah ke satu fase yang lebih baik.
10. Kakakku Cici yang selalu memberi inspirasi untuk makalah ini. Adik-adikku
Harun and Agung untuk keceriaannya.
11. Murid-murid SDLB-C Cipaganti.
12. Untuk Handi, lelaki yang membuatku menagis dan tertawa.
iii
13. Sahabat, Sevti yang suka ngerepotin sampe sekarang, Sonya yang ‘Oon, Ade
yang cerewet tapi baik hati, Lola.Anak-anak Fikom 2000 Wisnu, Ivan, Indra,
Pizza,Adi, Anggi, Pepenk. Teman seperjuangan, Adam, Adi (makasih banget),
Chandra, Pettrich, Anton, Mia, dan yang lainnya
14. Penghuni rumah Pondok Labu dan Bintaro yang sudah seperti rumah bagi
penulis.
15. Anak-anak Kosan Dago. Buat masa-masa jomblo di kosan, udara dingin dago
tahun 2000-2002 dan city light yang ga akan pernah terlupakan.
16. Anak-anak S161, KK n gandi, Andra, Farah, Sarah (Makasih udah minjemin
kamera), Putri, rinald, viky n vijay, bowo, dodi, roni, Barkonk, Eza, Abay,
Velly n Ika, Oki, Tutal, vandi, well, Ahmed, Fadil, Fuad “Kebo”, Firman
&Anik, Dika, Fajar, Yuri, Rio, Anja, Teteh Yuli. dan semua orang yang ga
sempet disebutin satu persatu thank’s.
Akhir kata, mohon maaf atas segala kekurangan. Semoga makalah skripsi
ini berguna bagi kita semua.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Bandung, January 2007
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
1.2 Pernyataan Masalah ............................................................. 8
1.3 Identifikasi Masalah ............................................................. 8
1.4 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................... 8
1.5 Alasan Pemilihan Masalah ................................................... 9
1.6 Pembatasan Masalah ............................................................ 9
1.7 Kerangka Pikiran................................................................... 10
1.8 Operasional Variabel ............................................................ 20
1.9 Metode dan Teknik Penelitian ............................................. 21
1.9.1 Metode Penelitian .................................................... 21
1.9.2 Teknik Penelitian ..................................................... 22
1.10 Populasi dan Sampel ............................................................. 24
v
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 26
2.1 Pengertian Komunikasi ........................................................ 26
2.2 Komunikasi Nonverbal ........................................................ 29
2.2.1 Pengertian Komunikasi Nonverbal .............................. 29
2.2.2 Klasifikasi Pesan Nonverbal ........................................ 37
2.3 Tinjauan tentang Pesan Kinesik ........................................... 39
2.3.1 Pesan Fasial dan Pesan Gestural .................................. 39
2.3.2 Pesan Postural ............................................................. 46
2.4 Tinjauan Umum Pesan Paralinguistik................................... 48
2.5 Tinjauan Umum Pesan Proksemik ........................................ 50
2.5.1 Orientasi Ruangan........................................................ 50
2.6 Retardasi Mental (Idiocy)...................................................... 51
2.7 Tugas dan Kewajiban Seorang Guru..................................... 56
2.8 Tinjauan Proses Belajar Mengajar ........................................ 59
2.9 Model Schramm.................................................................... 63
BAB III TINJAUAN UMUM .................................................................... 68
3.1 Sejarah Singkat SLB C YPLB Cipaganti ............................. 70
3.2 Visi dan Misi ........................................................................ 70
3.2 1 Visi ............................................................................... 70
3.2.2 Misi .............................................................................. 70
3.3 Tujuan Pendirian .................................................................. 70
3.4 Susunan Organisasi ............................................................... 71
3.5 Jumlah Murid ........................................................................ 72
vi
3.6 Kurikulum ............................................................................. 73
3.7 Persyaratan Masuk Sekolah .................................................. 74
3.8 Fasilitas Sekolah ................................................................... 74
3.9 Proses Belajar Mengajar di SLB-C Cipaganti ..................... 75
3.10 Tinjauan tentang Pengajar SLB ............................................ 78
3.11.1 Latar Belakang Pengajar ............................................ 78
3.10.2 Peranan Pengajar........................................................ 80
BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................... 83
4.1 Analisis Hasil Wawancara ...................................................... 84
4.1.1 Jenis Kelamin Responden ........................................... 84
4.1.2 Pendidikan Responden ................................................ 85
4.1.3 Pengalaman Mengajar ................................................ 85
4.2 Analisis Data Penelitian .......................................................... 86
4.2.1 Pesan Kinesik .............................................................. 86
4.2.1.1 Frekuensi ekspresi wajah pengajar ketika
menyampaikan pesan ...................................... 86
4.2.1.2 Fungsi ekspresi wajah pengajar ketika
menyampaikan pesan ...................................... 88
4.2.1.3 Makna yang terkandung dalam penggunaan ekspresi
wajah ............................................................... 89
4.2.1.4 Frekuensi kontak mata pengajar ketika
menyampaikan pesan ...................................... 92
vii
4.2.1.5 Fungsi kontak mata pengajar ketika menyampaikan
pesan ................................................................ 94
4.2.1.6 Makna yang terkandung dalam penggunaan kontak
mata ................................................................. 96
4.2.1.7 Frekuensi gerakan tangan pengajar ketika
menyampaikan pesan ...................................... 99
4.2.1.8 Fungsi gerakan tangan pengajar ketika
menyampaikan pesan ...................................... 101
4.2.1.9 Makna yang terkandung dalam penggunaan gerakan
tangan .............................................................. 103
4.2.2 Pesan Paralinguistik .................................................... 109
4.2.2.1 Frekuensi penggunaan nada ketika menyampaikan
pesan ................................................................ 109
4.2.2.2 Fungsi penggunaan nada ketika menyampaikan
pesan ................................................................ 111
4.2.2.3 Makna yang terkandung dalam penggunaan
nada .................................................................. 112
4.2.2.4 Frekuensi penggunaan volume ketika
menyampaikan pesan ...................................... 115
4.2.2.5 Fungsi penggunaan volume ketika menyampaikan
pesan ................................................................ 117
4.2.2.6 Makna yang terkandung dalam penggunaan
volume ............................................................. 118
4.2.3 Pesan Proksemik ......................................................... 120
viii
4.2.3.1 Frekuensi penggunaan jarak personal ketika
menyampaikan pesan ...................................... 120
4.2.3.2 Fungsi penggunaan jarak personal ketika
menyampaikan pesan ...................................... 122
4.2.3.3 Makna yang terkandung dalam penggunaan jarak
personal ........................................................... 124
BAB V PENUTUP ................................................................................... 127
5.1 Kesimpulan ............................................................................. 127
5.2 Saran ........................................................................................ 129
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 131
LAMPIRAN
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Model Schramm ................................................................... 19
Gambar 2.1 Struktur Gerakan Isyarat ...................................................... 44
Gambar 2.2 Model Schramm ................................................................... 63
Gambar 4.1 Ekspresi wajah sebagai komplemen ..................................... 89
Gambar 4.2 Kontak mata sebagai komplemen ........................................ 95
Gambar 4.3 Kontak mata dengan makna “marah” .................................. 98
Gambar 4.4 Gerakan tangan sebagai komplemen..................................... 102
Gambar 4.5 Makna dalam Gerakan tangan............................................... 104
Gambar 4.6 Penggunaan jarak personal sebagai komplemen................... 123
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Frekuensi ekspresi wajah pengajar........................................... 86
Tabel 4.2 Fungsi ekspresi wajah pengajar ............................................... 88
Tabel 4.3 Frekuensi kontak mata pengajar............................................... 92
Tabel 4.4 Fungsi kontak mata pengajar ................................................... 94
Tabel 4.5 Frekuensi gerakan tangan pengajar.......................................... 99
Tabel 4.6 Fungsi gerakan tangan pengajar............................................... 101
Tabel 4.7 Arti/Makna Gerakan Tangan.................................................... 105
Tabel 4.8 Frekuensi penggunaan nada ..................................................... 109
Tabel 4.9 Fungsi penggunaan nada pengajar ........................................... 111
Tabel 4.10 Frekuensi penggunaan volume …............................................ 115
Tabel 4.11 Fungsi penggunaan volume pengajar....................................... 117
Tabel 4.12 Frekuensi penggunaan jarak personal ...................................... 120
Tabel 4.13 Fungsi penggunaan jarak personal pengajar ........................... 122
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Draft Wawancara
Lampiran 2 Catatan Lapangan
Hasil Wawancara dengan Pengajar SDLB YPLB Cipaganti
Lampiran 3 Foto-foto
Lampiran 4 Surat Ijin Riset
Lampiran 5 Surat Keterangan Riset
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dari masa ke masa, penggolongan perilaku abnormal selalu mengalami
perubahan. Sebenarnya agak sulit merumuskan secara tepat apa yang dimaksud
dengan normal dan abnormal tentang perilaku. Penyebabnya antara lain: pertama,
sulit menemukan model manusia yang sempurna. Kedua, dalam banyak kasus, tak
ada batas yang tegas antara perilaku normal dan abnormal. Dalam arti orang yang
secara umum dipandang normal-sehatpun suatu saat dapat melakukan perbuatan
yang tergolong abnormal, mungkin di luar kesadarannya. Sebaliknya tidak jarang
orang yang secara umum jelas-jelas abnormal melakukan perbuatan atau
mengucapkan kata-kata yang sungguh-sungguh normal-waras.
Seorang psikiater, Karl Menninger, menyatakan keadaan normal-sehat
dapat dirumuskan sebagai berikut (dalam Winkel, 1991: 674-675):
“Kesehatan mental adalah penyesuian manusia terhadap dunia dan satu sama lain dengan keefektifan dan kebahagiaan yang maksimum. Ia bukan hanya efisiensi, atau hanya perasaan puas, atau keluwesan dalam mematuhi berbagai aturan permainan dengan riang hati. Kesehatan mental mencakup semua itu. Kesehatan mental meliputi kemampuan menahan diri, menunjukkan kecerdasan, berperilaku dengan menenggang perasaan orang lain, dan sikap hidup yang bahagia. Itulah jiwa yang sehat.” (Supratiknya, 1995: 4)
Ada jenis-jenis gangguan tingkah laku yang disebabkan oleh kerusakan
berat pada jaringan otak. Bila kerusakan itu terjadi sebelum atau tak lama sesudah
kelahiran, maka gangguan yang dapat ditimbulkan dapat berupa retardasi mental,
1
2
keterbelakangan mental atau lemah mental. Dalam retardasi mental, individu tidak
mampu mengembangkan aneka keterampilan sampai ketaraf secukupnya yang
dibutuhkan untuk menghadapai tuntutan-tuntutan lingkungan secara memadai dan
mandiri. Bila kerusakan itu terjadi di usia lebih kemudian, maka individu akan
kehilangan kemampuan tertentu yang sebelumnya telah dimilikinya. Jenis
gangguan ini biasanya disebut gangguan mental organik.
Retardasi mental (idiot) adalah fungsi intelektual umum di bawah rata-rata disertai dengan ketidakmampuan beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan, yang muncul selama masa pertumbuhan. Saat munculnya gangguan ini dibatasi sampai umur 17 tahun. Artinya bila gangguan itu baru muncul sesudah umur 17 tahun-jadi sebelumnya individu tumbuh normal-maka harus dikategorikan sebagai gangguan mental organik. Dari hasil pengukuran intelegensi, mereka yang ber-IQ kurang dari 70 dan tidak memiliki keterampilan sosial atau menunjukkan perilaku yang tidak sesuai denan usianya, dikategorikan mengalami retardasi mental, keterbelakangan mental atau lemah mental (Supratiknya, 1995: 76)
Retardasi mental banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5 dan 6 tahun,
puncaknya pada golongan remaja umur 15 tahun. Lewat usia itu jumlahnya
menurun secara tajam. Fakta ini mencerminkan perubahan dalam tuntutan hidup.
Selama masa kanak-kanak awal, mereka yang menderita retardasi mental ringan
relatif tampak normal. Kekurangan mereka baru tampak sesudah masuk sekolah,
yaitu umur 5 atau 6 tahun sampai umur belasan. Seusai usia sekolah, banyak di
antara mereka mampu menyesuaikan diri di tengah masyarakat, misalnya menjadi
buruh atau pegawai rendahan, dan tidak lagi tampak keterbelakangan mental
mereka.
Penggolongan tingkat retardasi mental lazim didasarkan pada hasil
pengukuran intelegensi. Tes intelegensi sendiri lazim dimaksudkan untuk
mengukur kemungkinan keberhasilan orang di bidang akademik. Maka,
3
pembagian tingkat retardasi mental pada dasarnya merupakan pembagian tingkat
kemampuan mengikuti dan menyelasikan pendidikan formal di sekolah. Selain
itu, pembagian tingkat retardasi memang mengandung penilaian tentang
kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan dan tanggung jawab sosial. Pada
umunya dikenal empat tingkat retardasi mental yaitu:
1. Retardasi Mental Ringan Penderita ini memiliki IQ 52-67 dan meliputi bagian terbesar populasi retardasi mental. Sesudah dewasa IQ mereka setara dengan anak berusia 8-11 tahun.
2. Retardasi Mental Sedang Golongan ini memiliki IQ 36-51. Sesudah dewasa mereka setara dengan
anak-anak berusia 4-7 tahun 3. Golongan ini memiliki IQ 20-35. Mereka sering disebut “dependent
retarded” atau penderita lemah mental yang tergantung. 4. Retardasi Mental Sangat Berat Golongan ini memiliki IQ kurang dari 20. (Supratiknya; 1995; 76-78)
Berdasarkan penggolongan tingkat retardasi di atas, anak dengan retardasi
ringan adalah yang paling mudah untuk mendapatkan didikan untuk memacu
kreativitas dan kemandiriannya. Untuk itu, objek dalam penelitian ini merupakan
pengajar anak dengan retardasi mental ringan.
Secara medis dinyatakan bahwa kelainan yang terdapat di otak tidak bisa
disembuhkan namun dengan penatalaksanaan yang tepat dan terpadu, maka
gejala-gejala keterbelakangan mental (idiot) dapat dikurangi semaksimal
mungkin.
Banyak sekali cara-cara yang dilakukan untuk meminimalisir gejala
tersebut, baik dari sekolah maupun terapi-terapi lainnya. Sekolah luar biasa
(SLB), merupakan salah satu sarana untuk membantu anak-anak dengan kelainan
retardasi mental tersebut. Dengan proses pengajaran yang sedikit berbeda dengan
4
tingkat sekolah lainnya, sekolah luar biasa umumnya menawarkan metode serta
alat pengajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan anak didiknya.
Dengan proses belajar mengajar di sekolah luar biasa ini, sangat
diharapkan dapat membantu kesulitan- kesulitan yang dialami oleh si anak. Proses
belajar mengajar berlangsung selama si anak berada dalam sekolah, baik di dalam
kelas maupun di luar kelas.
Menurut Moh. Uzer Usman (Suryosubroto, 1996: 19), proses belajar
mengajar adalah:
“Suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa
atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif
untuk mencapai tujuan tertentu.”
Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan formal
dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Selain guru, alat peraga dalam
pengajaran juga memegang peranan penting sebagai alat bantu untuk menciptakan
proses belajar mengajar yang efektif. Metode dan alat pengajaran merupakan
unsur yang tidak bisa dilepaskan dari unsur lainnya yang berfungsi sebagai cara/
teknik untuk mengantarkan bahan pelajaran agar sampai pada tujuan. Dalam
proses belajar mengajar alat peraga dipergunakan dengan tujuan membantu guru
agar proses belajar siswa lebih efisien dan efektif.
Alat peraga dalam proses belajar mengajar penting karena memiliki
fungsi pokok sebagai berikut:
a) Penggunaan alat peraga dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif.
5
b) Penggunaan alat peraga merupakan bagian integrasi dari keseluruhan situasi belajar.
c) Alat peraga dalam pengajaran penggunaannya integral dengan tujuan dan isi pelajaran.
d) Penggunaan alat peraga dalam pengajarannya diutamakan untuk mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang diberikan guru.
(Suryosurbroto, 1996: 48)
Seperti yang telah dikemukakan di atas, salah satu alasan mengapa alat
peraga begitu penting dalam proses pengajaran karena penggunaan alat untuk
mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap
pengertian yang diberikan guru. Proses belajar dalam kelas umumnya
menggunakan komunikasi verbal dan nonverbal. Namun proses pengajaran yang
digunakan dalam lingkungan Sekolah Luar Biasa (SLB) C YPLB Cipaganti,
sebagian besar menggunakan komunikasi nonverbal dalam menyampaikan pesan
di dalam kelas (sebagai alat peraga). Penggunaan komunikasi nonverbal seperti
yang telah dikemukakan di atas, dikarenakan anak-anak retardasi mental tersebut
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi seperti menerima pesan-pesan verbal
maupun menggunakan pesan-pesan verbal, sehingga pesan-pesan nonverbal
merupakan komunikasi yang paling sering terjadi dalam kelas (proses
pembelajaran). Komunikasi nonverbal membantu anak untuk lebih mengerti dan
lebih memahami apa yang dimaksud oleh si pengajar.
Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat bukan kata-kata.
Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal
mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting
6
komunikasi, yang dihasilkan individu dan penggunaan lingkungan oleh individu,
yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima.
Duncan menyebutkan tujuh jenis pesan nonverbal; (1) kinesik atau gerak tubuh; (2) paralinguistic atau suara; (3) Proksemik atau penggunaan ruang; (4) olfaksi atau penciuman; (5) sensivitas kulit; dan (6) Faktor artfaktual (7) Daya tarik penampilan fisik. (Rakhmat, 2000: 292-294) Diantara jenis- jenis pesan nonverbal di atas, pesan kinesik, pesan
paralinguistik dan pesan proksemik adalah yang digunakan di lingkungan SLB C
YPLB Cipaganti. Karena jenis-jenis pesan tersebut memegang peranan penting
dalam proses pembelajaran anak retardasi mental. Misalnya para pengajar dapat
melihat pesan gestural si anak dengan menunjukkan gerakan sebagian anggota
tubuh seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna, begitu
juga sebaliknya. Sebagian besar pesan mengungkapkan emosi dan pikiran si
komunikator, sehingga para pengajar dapat mengetahui apa yang sedang ada
dalam pikiran si anak dan juga mengetahui emosi anak apakah mereka sedang
sedih, bahagia, takut dan sebagainya.
Pesan fasial menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu.
Banyak orang beranggapan bahwa perilaku nonverbal yang paling banyak
“berbicara” adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan mata, meskipun mulut
tidak berkata-kata. Menurut Albert Mehrabian, andil wajah bagi pengaruh pesan
adalah 55%, sementara vokal 30% dan verbal hanya 7%. Menurut Birdwhistell,
perubahan sangat sedikit saja dapat menciptakan perbedaan yang besar. (Mulyana,
2000: 330)
Pesan paralinguistik merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang
dapat dipahami, seperti nada, kualitas suara, volume, kecepatan, dan ritme. Sama
7
dengan pesan kinesik setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan
pikiran kita.
Pesan proksemik berhubungan dengan pengaturan ruang dan jarak. Setiap
orang baik ia sadar atau tidak mempunyai ruang pribadi (personal space) imajiner
yang bila dilanggar, akan membuatnya tidak nyaman.
Ketiga pesan di atas sangat penting peranannya dalam proses
pembelajaran anak retardasi mental. Lewat perilaku nonverbal, para pengajar
dapat mengetahui suasana emosional si anak, apakah ia sedang bahagia, bingung
atau sedih. Komunikasi nonverbal diterapkan di kelas ketika proses terapi
berlangsung. Misalnya ketika si anak tidak mau mengerjakan sesuatu yang
diminta, maka pengajar berusaha membimbing si anak dengan memberikan
petunjuk-petunjuk secara nonverbal agar si anak berusaha menirukan hal yang
diperagakan oleh pengajar. Begitu pula ketika si anak melakukan kesalahan, maka
biasanya pengajar melakukan isyarat tangan sebagai pertanda tidak boleh lagi
untuk diulangi.
Selain itu dalam proses terapi yang dijalankan di tempat lain harus dapat
dipadukan dengan terapi lainnya, seperti wicara, medika, okupasi dan integrasi
sensoris. Hal itu diberikan dengan melihat seberapa besar gangguan yang terjadi
pada anak, karena setiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda-beda dalam
menjalankan proses terapi.
Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana
pesan nonverbal yang dilakukan pengajar dalam proses pembelajaran anak
retardasi mental (idiot) di SLB Cipaganti.
8
1.2 Perumusan Masalah
Dari uraian yang telah dikemukakan penulis pada latar belakang masalah
penulis memberikan rumusan sebagai berikut:
“Pesan nonverbal yang dilakukan oleh pengajar di SLB C YPLB Cipaganti
dalam proses pembelajaran anak retardasi mental ringan di dalam kelas”
1.3 Identifikasi Masalah
1. Bagaimana pesan nonverbal kinesik yang dilakukan pengajar di SLB C
YPLB Cipaganti dalam proses pembelajaran anak retardasi mental ringan
di dalam kelas?
2. Bagaimana pesan nonverbal paralinguistik yang dilakukan pengajar di
SLB C YPLB Cipaganti dalam proses pembelajaran anak retardasi mental
ringan di dalam kelas?
3. Bagaimana pesan nonverbal prosekmik yang dilakukan pengajar di SLB C
YPLB Cipaganti dalam proses pembelajaran anak retardasi mental ringan
di dalam kelas?
1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pesan nonverbal kinesik yang dilakukan pengajar di
SLB C YPLB Cipaganti dalam dalam proses pembelajaran anak retardasi
mental ringan.
9
2. Untuk mengetahui pesan nonverbal paralinguistik yang dilakukan pengajar
di SLB C YPLB Cipaganti dalam dalam proses pembelajaran anak
retardasi mental ringan.
3. Untuk mengetahui pesan nonverbal prosekmik yang dilakukan pengajar di
SLB C YPLB Cipaganti dalam dalam proses pembelajaran anak retardasi
mental ringan.
1.5 Alasan Pemilihan Masalah
Adapun yang menjadi alasan penulis memilih masalah untuk dijadikan
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Masalah komunikasi nonverbal yang dilakukan pengajar dan siswa sudah
ada yang meneliti. Namun masalah komunikasi nonverbal yang dilakukan
pengajar terhadap anak retardasi mental belum ada yang meneliti.
2. Pesan nonverbal memegang peranan penting untuk dapat meningkatkan
kesempurnaan komunikasi, serta membantu si anak untuk dapat lebih
memahami pesan yang disampaikan pengajar. Hal tersebut berarti
membantu si anak untuk dapat berkomunikasi.
1.6 Pembatasan Masalah
1. Masalah yang diteliti terbatas pada pesan nonverbal yang dilakukan oleh
pengajar kepada anak-anak penyandang retardasi mental ringan di SLB C
YPLB Cipaganti, yaitu pesan kinesik, pesan paralinguistik dan pesan
proksemik.
10
2. Pesan kinesik yang diteliti terbatas pada penggunaan ekspresi wajah,
kontak mata dan gerakan tangan yang dilakukan pengajar kepada anak-
anak retardasi mental ringan di SLB C YPLB Cipaganti.
3. Pesan paralinguistik yang diteliti terbatas pada penggunaan nada dan
volume yang dilakukan pengajar kepada anak-anak retardasi mental ringan
di SLB C YPLB Cipaganti.
4. Pesan proksemik yang diteliti terbatas pada penggunaan penggunaan jarak
personal yang dilakukan pengajar kepada anak-anak retardasi mental
ringan di SLB C YPLB Cipaganti.
5. Objek penelitian adalah pengajar anak penyandang retardasi mental ringan
dengan IQ 52-67, tingkat sekolah dasar kelas 1, 2 dan 3 (yang merupakan
kelas gabungan) di SLB C YPLB Cipaganti.
6. Lokasi penelitian dilaksanakan di SLB C YPLB Cipaganti Jl. Hegar Asih
No. 1-3 Bandung.
7. Waktu penelitian sekitar bulan Desember 2006-Januari 2007.
1.7 Kerangka Pikiran
Komunikasi pada saat ini merupakan hal yang sangat menyatu dalam
kehidupan manusia, dalam arti manusia dan komunikasi tidak dapat dipisahkan.
Para ahli komunikasi berpendapat bahwa “diampun merupakan satu bentuk
komunikasi antar pribadi”. (Liliweri, 1994: 88). Seseorang yang diam tidaklah
sembarang diam, ia mungkin sedang menyusun rencana untuk bertindak. Diam
sama kuatnya dengan pesan-pesan verbal yang diucapkan dalam kata-kata.
Dengan berdiam diri, maka anda telah berkomunikasi secara nonverbal.
11
Pada umumnya proses komunikasi berjalan melalui siklus, komunikator
yang menyampaikan pesan kepada komunikan, dan selanjutnya si komunikan
beralih menjadi komunikator, dan seterusnya, sehingga kegiatan komunikan dapat
berlangsung. Penyampaian pesan yang terjadi diantara komunikator dengan
komunikan menghasilkan suatu kesamaan arti, maka komunikasi yang
berlangsung bersifat komunikatif. Umpan balik dapat bersifat positif atau dapat
pula bersifat negatif. Umpan balik dapat disampaikan secara nonverbal yaitu
dengan menggunakan bahasa tubuh, isyarat, gambar atau warna.
Komunikasi sebenarnya bukan hanya alat untuk menukar pikiran,
melainkan suatu kegiatan yang dilakukan dalam upaya mengubah suatu kegiatan,
mengubah pendapat atau perilaku orang lain, seperti yang dikatakan oleh Carl I.
Hovland sebagai berikut:
Communication is the process by which an individual (the communicator)
transmit stimulat (usually verbal symbol) to modify the behavior of other
individual”. Yang berarti; proses dari individu (komunikator) dengan
menyampaikan rangsangan biasanya berupa lambang-lambang untuk mengubah
perilaku orang lain. (Tasmara, 1997: 2)
Pengertian komunikasi yang telah diungkapkan di atas menunjukkan
bahwa komunikasi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh dua pihak yang
satu sesuai yang diinginkan oleh pihak yang lainnya.
Menurut Effendy (1993: 28) bahwa komunikasi yaitu “proses
penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan”. Pengertian
komunikasi tersebut menunjukkan bahwa pada kegiatan komunikasi terdapat tiga
12
unsur yang paling penting dan tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan
yang lain, ketiga unsur tersebut yaitu komunikator, pesan dan komunikan.
Masih menurut Effendy (1990: 11) bahwa “proses komunikasi pada
hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang
(komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran ini bisa berupa keyakinan,
kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan dan
sebagainya yang timbul dari lubuk hati”
Dan komunikasi itu sendiri bertujuan untuk:
1. Mengubah sikap (to change the attitude) 2. Mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the opinion) 3. Mengubah perilaku (to change the behaior) 4. Mengubah masyarakat (to change the society)
(Effendy, 1993: 55)
Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari komunikasi adalah komunikasi
nonverbal. Sementara menurut Albert Mehrabian, 93% dari semua makna sosial
dalam komunikasi tatap muka diperoleh dari isyarat-isyarat nonverbal. (Mulyana,
2000: 316)
Adanya fakta bahwa anak penyandang retardasi mental mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi dan pada umumnya mengalami kesulitan dalam
menerima pesan verbal. Hal ini disebabkan penderita mengalami keterbelakangan
mental yang menyebabkan fungsi intelektual di bawah rata-rata disertai dengan
kemampuan beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan dan bicara yang sangat
terbatas. Mereka dengan segala keterbatasannya dalam berkomunikasi, akan lebih
banyak menerima komunikasi nonverbal untuk dapat membantu memahami
makna pesan yang diberikan oleh pengajar dalam proses pembelajaran. Hal
13
tersebut berarti pesan-pesan dalam komunikasi nonverbal memegang peranan
penting dalam proses komunikasi.
Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter komunikasi nonverbal
mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting
komunikasi yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh
individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima.
(Mulyana, 2000: 308)
Liliweri mengemukakan bahwa “komunikasi nonverbal acapkali
dipergunakan untuk menggambarkan perasaan atau emosi. Jika pesan yang
diterima melalui sistem verbal tidak menunjukkan kekuatan pesan maka anda
dapat menerima tanda-tanda nonverbal lainnya sebagai pendukung.” (Liliweri,
1994: 89)”
Selain itu pesan nonverbal juga mempunyai fungsi yang sangat penting
dalam hubungannya dengan pesan verbal. Yang lebih penting diketahui adalah
tinjauan psikologis terhadap peranan pesan nonverbal dalam perilaku komunikasi.
Dale G. Leather (1976: 4-7) penulis Nonverbal Communication System,
menyebutkan enam alasan mengapa pesan nonverbal sangat penting.
1. Faktor-faktor nonverbal sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal.
2. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan nonverbal ketimbang pesan verbal.
3. Pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, ditorsi dan kerancuan.
4. Pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang sangat berkualitas tinggi.
5. Pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal.
6. Pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat.
14
Seperti yang telah dikemukakan di atas, salah satu mengapa komunikasi
nonverbal sangat penting adalah karena pesan nonverbal mempunyai fungsi
metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang
berkualitas tinggi. Mark L. Knapp (1972: 9-12) menyebutkan lima fungsi pesan
nonverbal dalam hubungannya dengan bahasa, yaitu:
1. Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal.
2. Subsitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal. 3. Kontradiksi, yaitu menolak pesan verbal atau memberikan makna lain
terhadap pesan verbal. 4. Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan verbal. 5. Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya.
Biasanya kita lebih mempercayai pesan nonverbal, yang menunjukkan
pesan yang sebenarnya, karena pesan nonverbal itu lebih susah dikendalikan
daripada pesan verbal. Tingkah laku akan lebih bisa berbicara daripada kata-kata,
dan hal itu juga berlaku dalam proses terapi yang dilakukan pengajar dalam proses
pembelajaran anak dengan retardasi mental ringan.
Senyuman, isyarat tangan dan pengaturan suara (paralinguistic)
merupakan jenis-jenis pesan nonverbal yang sulit dipisahkan dalam proses
komunikasi yang terjadi antara pengajar dan si anak.
Komunikasi nonverbal diklasifikasikan dalam beberapa jenis seperti yang
dikemukakan oleh Duncan dalam Psikologi Komunikasi, yaitu:
1. Kinesik atau gerak tubuh Bidang yang menelaah bahasa tubuh adalah kinesika (kinesics), suatu istilah yang diciptakan seorang perintis studi bahasa nonverbal, Ray L. Birdwhistell. Setiap anggota tubuh seperti wajah (termasuk senyuman dan pandangan mata), tangan, kepala dan kaki dan bahkan tubuh secara keseluruhan dapat digunakan sebagai isyarat simbolik. Pesan
15
kinesik terdiri dari tiga komponen utama: pesan fasial, pesan gestural, dan postural.
2. Pesan Paralinguistik Pesan paralinguistik adalah pesan nonverbal yang berhubungan dengan cara mengucapkan pesan verbal. Satu pesan verbal yang sama dapat menyampaikan arti yang berbeda bila diucapkan dengan cara yang berbeda.
3. Proksemik Pesan prosekmik disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Umumnya dengan mengatur jarak kita mengungkapkan keakraban kita dengan orang lain. Berikut ini adalah klasifikasi jarak dari Edward T.Hall (Brooks dan Emmert, 1976: 137): • Akrab
Fase dekat 0 – 6'' Fase jauh 6" – 18"
• Personal Fase dekat 18" – 30" Fase jauh 30" – 4'
• Sosial Fase dekat 4' – 7' Fase jauh 7' – 12'
• Publik Fase dekat 12' – 25' Fase jauh 25' atau lebih
4. Olfaksi atau Penciuman Bau-bauan telah digunakan manusia untuk berkomunikasi secara sadar dan tidak sadar. Dr. Harry Wiener dari New York Medical College menyimpulkan; manusia menyampaikan dan menerima pesan kimiawi eksternal (external chemical messenger). Kebanyakan komunikasi melalui bau-bauan berlangsung secara tidak sadar. Wewangian dapat mengirim pesan sebagai godaan, rayuan, ekspresi femininitas atau maskulinitas.
5. Sensivitas kulit Studi tentang sentuh-menyentuh disebut haptika (haptics). Sentuhan adalah suatu perilaku yang multimakna, dapat menggantikan seribu makna. Sentuhan tidak bersifat acak, melainkan suatu strategi komunikasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa sentuhan bersifat persuasif. Menurut Heslin, terdapat lima kategori sentuhan, yang merupakan suatu rentang yang sangat impersonal hingga sangat personal. Kategori-kategori tersebut adalah sebagai berikut. • Fungsional-profesional. Di sini sentuhan bersifat “dingin” dan
berorirentasi bisnis. • Sosial-sopan. Perilaku dalam situasi ini membangun dan
memperteguh pengharapan, aturan dan praktik sosial yang berlaku, misalnya berjabatan tangan.
16
• Persahabatan-kehangatan. Kategori ini meliputi setiap sentuhanh yang menandakanafeksi atau hubungan yang akrab.
• Cinta-keintiman. Kategori ini merujuk pada sentuhan yang menyatakan keterikatan emosional atau ketertarikan.
• Rangsangan seksual. Kategori ini berkaitan erat dengan kategori sebelumnya, hanya saja motifnya bersifat seksual. Rangsangan seksual tidak otomatis bermakna cinta atau keintiman.
6. Artifaktual Pesan artifaktual diungkapkan melalui penampilan-tubuh, pakaian, dan kosmetik. Setiap orang punya persepsi mengenai penampilan fisik seseorang, baik itu busananya (model, kualitas bahan, warna), dan juga ornament lain yang dipakainya, seperti kaca mata, sepatu, tas, jam tangan, kalung, gelang, cincin, anting-anting, dan sebagainya. Seringkali orang memberi makna tertentu pada karakteristik fisik orang yang bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit, model rambut, dan sebagainya.
7. Daya tarik penampilan fisik Daya tarik fisik seseorang menyjadi penyebab utama atraksi personal, kita senang terhadap orang-orang yang cantik dan tampan. Mereka pada gilirannya sangat mudah mendapatkan simpati dan perhatian dari orang lain.
(Rakhmat, 2000: 292-294) Diantara jenis-jenis pesan nonverbal di atas, pesan kinesik (ekspresi
wajah, kontak mata, gerakan tangan), pesan paralinguistik (nada dan volume) dan
pesan proksemik (penggunaan jarak pribadi) adalah yang paling sering digunakan
di lingkungan SLB C YPLB Cipaganti. Jenis-jenis pesan tersebut memegang
peranan penting dalam dalam proses pembelajaran anak retardasi mental karena
dapat membantu si anak dalam memahami pesan verbal yang disampaikan oleh
pengajar serta merangsang imemori si anak untuk dapat mengingat pesan-pesan
serupa yang telah di sampaikan oleh pengajar dulu .Misalnya para pengajar dapat
melihat pesan gestural si anak dengan menunjukkan gerakan sebagian anggota
tubuh seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna, begitu
juga sebaliknya. Sebagian besar pesan mengungkapkan emosi dan pikiran si
komunikator, sehingga para pengajar dapat mengetahui apa yang sedang ada
17
dalam pikiran si anak dan juga mengetahui emosi anak apakah mereka sedang
sedih, bahagia, takut dan sebagainya.
Pesan fasial menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu.
Banyak orang beranggapan bahwa perilaku nonverbal yang paling banyak
“berbicara” adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan mata, meskipun mulut
tidak berkata-kata. Menurut Albert Mehrabian, andil wajah bagi pengaruh pesan
adalah 55%, sementara vocal 30% dan verbal hanya 7%. Menurut Birdwhistell,
perubahan sangat sedikit saja dapat menciptakan perbedaan yang besar. (Mulyana,
2000: 330)
Pesan paralinguistik merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang
dapat dipahami, seperti nada, kualitas suara, volume, kecepatan, dan ritme. Sama
dengan pesan kinesik setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan
pikiran kita.
Pesan proksemik berhubungan dengan pengaturan ruang dan jarak. Setiap
orang baik ia sadar atau tidak mempunyai ruang pribadi (personal space) imajiner
yang bila dilanggar, akan membuatnya tidak nyaman. Begitu juga yang terjadi
dalam proses membimbing perilaku si anak, dalam proses perkenalan yang terjadi
pada pertama kali mengikuti kelas, si anak mempunyai ruang pribadi yang sangat
besar. Ruang pribadi tersebut hanya dapat dimasuki oleh orang-orang yang dekat
dengannya. Namun seiring dengan waktu, baik pengajar dan si anak dapat
berhubungan dalam ruang pribadi masing-masing. Pesan proksemik yang
dilakukan di lingkungan SLB C YPLB Cipaganti mencerminkan seberapa
18
nyamankah si anak tadi dalam lingkungan sekolah dan dalam hubungannya
dengan pengajar.
Salah satu model komunikasi adalah Model Scramm. Menurut Wilbur
Scramm di dalam sebuah komunikasi formula, komunikasi senantiasa
membutuhkan setidaknya tiga unsur: sumber (source), pesan (message), dan
sasaran (destination) Ketiga variable di atas adalah unsur penting dalam
komunikasi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sumber boleh jadi seorang
individu (berbicara, menulis, menggambar dan memberi isyarat) atau suatu
organisasi komunikasi (seperti sebuah surat kabar, penerbit, stasiun televise, atau
studio film). Pesan dapat berbentuk tinta pada kertas, gelombang suara di udara,
atau setiap tanda yang dapat ditafsirkan. Saran mungkin seorang individu yang
mendengaran, menonton atau membaca atau anggota suatu kelompok. (Mulyana,
2000: 140)
Selanjutnya menurut Laswell pesan adalah apa yang dikomunikasikan
oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol verbal atau
nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud sumber tadi.
(Mulyana, 2000: 63).
Berdasarkan model Scramm, maka pesan yang ingin disampaikan oleh
komunikator proses penyandian (Encoder) untuk selanjutnya disampaikan dalam
bentuk pesan yang bisa dimengerti oleh komunikan, sehingga setelah mengalami
interpreter (penafsiran), komunikan dapat menyandi balik (decoding) pesan. Dan
begitu untuk selanjutnya.
Scramm berpendapat meskipun dalam komunikasi lewat radio atau telefon encoder dapat berupa mikrofon dan decoder adalah earphone,
19
dalam komunikasi manusia, sumber dan encoder adalah satu orang, sedangkan decoder dan sasaran adalah seorang lainnya, dan sinalnya adalah bahasa. Untuk menuntaskan suatu tindakan komunikasi (communication act), suatu pesan harus disandi balik. (Mulyana, 2000: 140)
Gambar 1.1 Model Scramm
Sumber: (Mulyana, 2000: 141)
Scramm menganggap bahwa komunikasi sebagai interaksi dengan kedua
pihak yang menyandi, menafsirkan, menyandi balik, mentransmisikan, dan
menerima sinyal. Disini kita melihat umpan balik dan “lingkaran” yang
berkelanjutan untuk berbagi informasi.
Para pengajar di SLB melakukan proses penyandian untuk
menyampaikan pesan kepada anak retardasi mental, kemudian mereka menerima
pesan dan menafsirkannya sesuai kemampuannya untuk selanjutnya mengadakan
penyandian balik dan pengajar yang menerima pesan tersebut berusaha
Decoder Interpreter Encoder
Encoder Interpreter Decoder
Message
Message
20
menafsirkan pesan yang disampaikan untuk selanjutnya mengirimkan penyandian
balik.
Pesan nonverbal yang terjadi antara pengajar dan si anak sangat
diharapkan dapat membantu anak retardasi mental ringan dalam memahami
makna dalam setiap pesan yang disampaikan pengajar di dalam kelas dalam
proses pembelajaran sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan baik.
1.8 Operasional Variabel
Dalam penelitian ini hanya terdapat satu variabel penelitian, yaitu Pesan
Nonverbal dalam dalam proses pembelajaran anak idiot di dalam kelas.
Indikator 1 : Pesan Kinesik
Alat Ukur : - Frekuensi ekspresi wajah pengajar ketika menyampaikan
pesan
- Fungsi ekspresi wajah pengajar ketika menyampaikan
pesan
- Frekuensi kontak mata pengajar ketika menyampaikan
pesan
- Fungsi kontak mata pengajar ketika menyampaikan
pesan
- Frekuensi gerakan tangan pengajar ketika
menyampaikan pesan
- Fungsi gerakan tangan pengajar ketika menyampaikan
pesan
21
Indikator 2 : Pesan Paralinguistik
Alat Ukur : - Frekuensi penggunaan nada ketika menyampaikan pesan
- Fungsi penggunaan nada ketika menyampaikan pesan
- Frekuensi penggunaan volume ketika menyampaikan
pesan
- Fungsi penggunaan volume ketika menyampaikan pesan
Indikator 3 : Pesan proksemik
Alat Ukur : - Frekuensi jarak personal pengajar ketika menyampaikan
pesan
- Fungsi jarak personal pengajar ketika menyampaikan
pesan
1.9 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
1.9.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, seperti yang didefenisikan
oleh Isaac dan Mitchell yang dikutip Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya “metode
Penelitian Komunikasi”. Menurut beliau, metode deskriptif adalah metode yang
bertujuan melukiskan fakta atau katakteristik populasi secara faktual dan cermat.
(Rakhmat, 1993: 24)
Penelitian deskriptif tidak bermaksud mencari hubungan, tidak menguji
hipotesis atau membuat prediksi, tetapi hanyalah memaparkan peristiwa atau
situasi.
22
Adapun sifat-sifat tertentu yang terdapat dalam metode deskriptif, sehingga
dapat dipandang sebagai ciri, yakni bahwa metode itu:
1. Memuaskan diri pada perencanaan masalah-masalah yang ada
sekarang, pada masalah yang aktual.
2. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, diperjelas dan kemudian
dianalisa.
Metode deskriptif dalam penelitian ini menggunakan data kualitatif,
karena pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, observasi
tidak berstruktur dan studi kepustakaan.
1.9.2 Teknik pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah:
a. Wawancara
“Metode interview”, mencakup cara yang dipergunakan kalau
seseorang untuk suatu tujuan tertentu mencoba mencari keterangan
atau pendirian secara lisan dari seseorang responden dengan bercakap-
cakap berhadapan muka dengan orang itu. (Koentjoroningrat, 1983:
162) Untuk penelitian ini, sumber data akan diperoleh dengan jalan
mewawancarai pengelola SLB serta pengajar di tingkat sekolah dasar
yang mengambil bagian retardasi mental ringan yang memenuhi
kriteria peneliti.
23
b. Observasi
Observasi yang peneliti gunakan adalah metode yang tidak berstruktur,
artinya peneliti tidak sepenuhnya melaporkan peristiwa, sebab prinsip
obsevasi adalah merangkum, mensistemasikan dan menyederhanakan
representasi peristiwa. Peneliti bebas dan lentur (flexible) mengamati
peristiwa. (Rakhmat, 2002: 85) Peneliti akan melakukan observasi
mengenai frekuensi dan fungsi komunikasi nonverbal yaitu pesan
kinesik, paralinguistik, dan pesan proksemik yang dilakukan pengajar
di SLB Cipaganti dalam proses pembelajaran di dalam kelas yang
bertujuan untuk membimbing perilaku dan cara berpikir anak retardasi
mental ringan.
c. Studi Kepustakaan
Usaha untuk mengumpulkan suatu informasi atau data melalui buku-
buku yang dianggap dapat mendukung penelitian dan merupakan suatu
teknik untuk mendapatkan teoritis guna memperoleh pendapat para
ahli dan teorinya melalui sumber buku. Juga teknik ini penulis
gunakan untuk memperoleh data-data dari berbagai catatan,
dokumentasi dari berbagai pihak untuk menunjang penelitian ini.
24
1.10 Populasi dan Sampel
Populasi adalah jumlah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari
manusia, hewan dan perilaku yang nantinya dapat dijadikan data penelitian
(Bungin, 2004: 99). Populasi dalam penelitian ini adalah para pengajar SLB C
YPLB Cipaganti tingkat sekolah dasar untuk bagian retardasi mental ringan.
Sampel adalah sebagian dari populasi yang karakternya hendak diselidiki
(S. Djawarto, 1984: 43). Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sampling purposif, yaitu memilih orang-orang tertentu
berdasarkan kriteria khusus yang ditentukan peneliti (Rakhmat, 1994: 81). Jumlah
populasi sebanyak 5 orang dan jumlah sampel diambil sebanyak 2 orang.
Pemilihan sampel dikhususkan bagi pengajar perempuan yang mengajar
minimal lebih dari 5 tahun dengan pendidikan minimal SGLB. Alasan pemilihan
sampel adalah sebagai beruikut :
- Jenis Kelamin Perempuan
Perempuan dianggap mempunyai emosional yang dapat membantu anak
untuk menuruti kemauan pengajar. Perempuan juga dianggap lebih mengerti
kemauan anak karena dianggap mempunyai naluri keibuan dan penuh kasih
sayang, sehingga para murid merasakan lebih merasa nyaman dalam belajar.
- Masa tugas minimal lima tahun di SLB-C Cipaganti Bandung
Untuk memastikan bahwa guru/pengajar tersebut tidak sedang berada dalam
penyesuaian dan juga telah memiliki hubungan yang erat, serta telah cukup
lama berinteraksi dengan murid di sekolah tersebut. Masa tugas minimal
lima tahun dianggap cukup bagi pengajar untuk mengenal seluruh murid
25
dengan karakter, kemampuan serta kekurangannya masing-masing. Masa
tugas tersebut juga dipilih mengingat pengajar-pengajar lainnya mengajar di
SLB-C Cipaganti kurang dari lima tahun, sehingga kedua responden yang
menjadi sampel dianggap lebih “senior” dibandingkan dengan yang lainnya.
- Pendidikan
Sampel yang dipilih diharapkan berasal dari tingkat keterampilan dan
kemampuan pendidikan yang relatif sama dengan alasan untuk menghindari
pengaruh dari faktor perbedaan tingkat pendidikan yang dianggap memberi
pengaruh terhadap pemahaman permasalahan penelitian.
Berikut ini adalah daftar sejumlah pengajar yang mengajar di SLB-C
Cipaganti tingkat Sekolah Dasar untuk anak retardasi mental ringan.
Mulai diangkat No Nama Tempat dan
Tanggal Lahir
L/P
Aga ma
Jabatan
Gol dan
Ruang
Pertama Ditempat ini
Pendidikan tertinggi/ Tahun
Masa Kerja
1. Tati Rumiarti NIGB.100100012
Solo, 30 April 1964
P Islam Guru Kelas
- 10/02/ 1987
01/06/ 2003
SPGLB 1986
20 Tahun 10 bulan
2. Heni Ruhaeni NIP. 480.132.251
Majalengka, 16 Oktober 1968
P Islam Guru Kelas
III/a 19/07/1999 01/01/2005 Sarjana S1 PLB 1993
7 tahun 6 bulan
3. Elyta Tuwidi, S.Pd.
Lahat, 27 April 1970
P Islam Guru Kelas
- 01/01/2005 10/03/2005 Sarjana S1 PLB 1994
2 Tahun 1 Bulan
4. Dadan Rchmayana, S.Pd. NIGB. 0402000062
Bandung, 03 Februari 1979
L Islam Guru olahraga
- 01/01/2005 10/03/2005 Sarjana S1 PLB 2001
2 Tahun 1 Bulan
5. Nursipah, S.Pd. Bandung, 02 April 1981
P Islam Guru Kelas
- 03/04/2004 03/04/2004 Sarjana S2 PLB 2005
2 Tahun 10 Bulan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Komunikasi
Manusia senantiasa melakukan komunikasi dalam hidupnya. Manusia
akan selalu terlibat dalam komunikasi karena komunikasi merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupan manusia dan merupakan sesuatu yang sangat
mendasar dalan hubungan antar manusia.
Menurut Raymond S. Ross ‘komunikasi adalah suatu proses menyortir,
memilih dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu
pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa
dengan yang dimaksudkan komunikator’. (Mulyana, 2000: 62)
Dari pendapat tersebut, kita dapat melihat bahwa suatu kegiatan
komunikasi yang dilakukan oleh manusia merupakan proses penyandian berupa
lambang-lambang yang berarti sehingga terjadi suatu kesamaan makna antara
komunikator dan komunikan. Kegiatan komunikasi tersebut dilakukan untuk
suatu perubahan pendapat, sikap, perilaku yang sesuai dengan keinginan
komunikator.
Komunikasi sebenarnya bukan hanya alat tukar menukar pikiran,
melainkan suatu kegiatan yang dilakukan dalam upaya mengubah suatu kegiatan,
mengubah pendapat atau perilaku orang lain, seperti yang dijelaskan oleh Carl I.
Hovland sebagai berikut:
26
27
Communication is the process by which an individual (the communicator)
transmit stimuli (usually verbal symbol) to modify the behavior of other
individual.” Yang berarti, proses dari individu (komunikator) dengan
menyampaikan rangsangan biasanya berupa lambang-lambang untuk mengubah
perilaku orang lain”. (Tasmara, 1997: 2)
Komunikasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dalam mengadakan
hubungan pergaulan sehari-hari sebagai ungkapan suatu gagasan, harapan,
informasi kepada pihak lain dengan menggunakan lambang-lambang yang berarti,
bisa berupa isyarat, bahasa, gambar, gerak tubuh, asalkan dipahami oleh kedua
belah pihak seperti yang dikemukakan oleh Bernard Barelson dan Gary A. Stainer
dalam karyanya “Human Behaviour” yang mengemukakan bahwa: “Komunikasi
adalah penyampaian informasi gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya
dengan menggunakan lambang-lambang atau kata-kata, gambar, bilangan, grafik
dan lain-lain. Kegiatan atau proses penyampaian biasanya dinamakan
komunikasi.” (Abdurahman, 1993: 62)
Selain itu komunikasi semakin berkembang sehingga banyak dirumuskan
oleh beberapa pakar lainnya. Banyak definisi dari para ahli yang terungkap dan
telah ada sejak tahun 40-an, dimana pada saat itu mulai nampak akan kebutuhan
adanya science of communications di Amerika. Diantaranya seorang sarjana yang
bernama Carl I. Hovland, merumuskan suatu definisi tentang komunikasi.
‘Menurutnya komunikasi sebagai proses dimana seseorang komunikator
menyampaikan perangsang-perangsang biasanya lambang-lambang untuk
merubah tingkah laku orang lain (komunikate).’ (Meinanda, 1981: 3)
28
Dari komunikasi yang dikemukakan oleh Hovland, dapat dilihat bahwa
ilmu komunikasi mempelajari dan meneliti perubahan sikap dan pendapat yang
diakibatkan oleh informasi yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.
Maksud dari definisi itu, jika ingin mempersamakan persepsi atau gagasan dengan
orang lain sudah tentu harus dilaksanakan dengan jalan menyatakan kepada orang
lain, dengan begitu akan terlihat hasil dari komunikasi itu dengan orang lain,
apakah sudah sesuai dengan tujuan atau tidak.
Sedangkan Raymond S. Ross, mendefinisikan komunikasi sebagai ‘Proses
transaksional yang meliputi pemisahan, pemilihan bersama lambang secara
kognitif, begitu rupa sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan dari
pengalamannya sendiri atau respon yang sama dengan yang dimaksud sumber.’
(Rakhmat, 2000: 3) Hal ini merupakan suatu proses pengungkapan pikiran
menjadi lambang terhadap perilaku manusia. Bagaimana pesan dari seorang
individu menjadi stimulus yang menimbulkan respon pada individu yang lain.
Untuk membedakan kegiatan penyampaian komunikasi yang sedang berlangsung,
maka proses komunikasi terbagi menjadi proses komunikasi primer dan proses
komunikasi secara sekunder, yaitu sebagai berikut:
“Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media antara lain bahasa, isyarat, gambar, warna dan sebagainya yang secara langsung mampu ”menterjemahkan” pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan”… sedangkan proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan alat atau sarana sebagai media, yang digunakan dalam komunikasi massa maupun media non massa”. (Effendy, 1995: 11-18).
29
Proses komunikasi berjalan melalui siklus, komunikator yang
menyampaikan pesan kepada komunikan, dan selanjutnya si komunikan beralih
menjadi komunikator, dan seterusnya, sehingga kegiatan komunikasi dapat
berlangsung. Penyampaian pesan yang terjadi diantara komunikator dengan
komunikan menghasilkan suatu kesamaan arti, maka komunikasi yang
berlangsung bersifat komunikatif. Umpan balik dapat bersifat positif atau dapat
pula bersifat negatif. Umpan balik dapat disampaikan secara nonverbal yaitu
dengan menggunakan bahasa tubuh, isyarat, gambar, atau warna.
2.2 Komunikasi Nonverbal
2.2.1 Pengertian Komunikasi Nonverbal
Pesan-pesan nonverbal sangat berpengaruh dalam komunikasi. Kita
mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya: bagaimana bahasanya
(halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing, dan sebagainya), namun juga
melalui perilaku nonverbalnya. Pentingnya pesan nonverbal ini misalnya
dilukiskan dengan frase,”Bukan apa yang ia katakan, melainkan bagaimana ia
mengatakannya”. Lewat perilaku nonverbalnya kita dapat mengetahui suasana
emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung atau sedih. Kesan awal
kita pada seseorang sering didasarkan perilaku nonverbalnya, yang mendorong
kita untuk mengenalnya lebih jauh. (Mulyana, 2000: 308)
Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-
kata. Larry A. Samovar dan Richard E. Porter mengemukakan tentang komunikasi
nonverbal sebagai berikut:
30
‘komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima; jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan itu bermakna bagi orang lain.’ (Mulyana, 2000: 308)
Dalam perspektif konseptual dan definisi nonverbal, yang dikemukakan
oleh Mark L. Knapp dan Judith A. Hall (1992: 6) pada bukunya Nonverbal
Communication in Human Interaction, katakan bahwa:
“Another way of defining verbal and nonverbal is in terms of their respective function. This approach is not satisfactory because their function overlap. For example, the verbal-nonverbal distinction can be seen to rest on the idea that verbal behaiour is narrative and conceptual- for conveying ideas- while nonverbal behavior is for communicating emotions. We often express emotion with our face, body, and voice tone, the concept-emotion distinction is not a good one for difining verbal and nonverbal behavior. Nonverbal cues are often used for purposes other than showing emotions.”
Knapp & Hall mencoba menjelaskan mengenai pesan verbal dan noverbal
berdasarkan fungsinya masing-masing. Namun jika dilihat lebih lanjut, fungsi
nonverbal dan verbal saling tumpang tindih. Pernyataan tersebut menggambarkan
betapa pesan verbal tidak pernah terlepas dari pesan nonverbal. Maka setiap orang
yang berkomunikasi secara verbal akan menyampaikan pesan-pesan yang lain
dengan gerakan (gesture), vokalistik, jarak yang diatur dan sebagainya. Ketika
seseorang menyampaikan pendapatnya secara verbal, maka pikiran dan
perasaannya akan lebih cermat tercermin dalam perilaku nonverbalnya. Meskipun
ada beberapa isyarat nonverbal yang dapat kita pelajari untuk membantu orang
lain agar dapat mengerti isi pesan yang kita sampaikan. Misalnya ketika pengajar
memberikan pelajaran secara verbal, maka untuk menarik perhatian anak ia akan
31
menyampaikannya dengan suara yang keras dan dengan nada yang bervariasi. Hal
tersebut merupakan penggunaan isyarat nonverbal secara sadar, yang didasari atas
pengertian pengajar terhadap kesulitan yang dialami murid-murid dalam
berkomunikasi. Seperti yang telah dikemukakan bahwa anak retardasi mental
mengalami kesulitan dalam menangkap pesan berkenaan dengan kemampuan otak
yang dibawah rata-rata dan kesulitan untuk berkonsentrasi. Pentingnya kesadaran
pengajar untuk menyampaikan materi pelajaran dengan pesan nonverbal untuk
membantu anak retardasi mental dalam proses belajar. Jadi disini, isyarat
nonverbal sering digunakan untuk tujuan lain dibandingkan untuk menunjukkan
emosi.
Sementara itu Liliweri (1994: 87) mengemukakan bahwa “komunikasi
nonverbal acapkali dipergunakan untuk menggambarkan perasaan atau emosi.
Jika pesan yang diterima melalui sistem verbal tidak menunjukkan kekuatan
pesan, maka anda dapat menerima tanda-tanda nonverbal lainnya sebagai
pendukung.”
Sedangkan bila membicarakan mengenai pendekatan, maka komunikasi
nonverbal termasuk pada pendekatan fungsional, karena “Komunikasi nonverbal
mempunyai aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan seperti informasi,
keteraturan, pernyataan, keintiman/keakraban, kontrol sosial, dan saran-saran
yang membantu tujuan komunikasi nonverbal.” (Liliweri, 1994: 97)
Dari pemahaman tentang hakikat komunikasi nonverbal di atas, Alo
Liliweri (1994: 87) dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Verbal dan
Nonverbal merumuskan karakteristik komunikasi nonverbal sebagai berikut:
32
1. Prinsip umum komunikasi antar pribadi adalah manusia tidak dapat
menghindari komunikasi. Sehingga baik seseorang berbicara ataupun
tidak, ia sedang melakukan komunikasi, karena diam pun merupakan
komunikasi. Ketika seseorang diam dan tidak berbicara, maka pikiran dan
perasaan orang tersebut dapat tercermin lewat perilaku nonverbalnya.
2. Pernyataan perasaan dan emosi. Komunikasi nonverbal merupakan model
utama, bagaimana seseorang menyatakan perasaan dan emosi. Saat
seseorang menyatakan sesuatu, orang lain akan mengerti perasaan orang
tersebut, apakah ia marah, sedih, bahagia, atau bingung. Hal tersebut
dikarenakan pesan nonverbal mencerminkan perasaan seseorang, dengan
kata lain seseorang menyatakan isi dan pikiran melalui bahasa verbal, dan
menyatakan perasaan dan emosi dengan “bagaimana” ia mengatakannya.
3. Informasi tentang isi dan relasi. Dengan fungsinya yang saling tumpang
tindih antara pesan verbal dan nonverbal, maka jelas bahwa komunikasi
verbal tidak bisa berdiri sendiri. Komunikasi nonverbal selalu meliputi
informasi tentang isi dari pesan verbal. Hal tersebut berarti pesan-pesan
nonverbal selalu menyertai pesan verbal, dan jika pesan pesan verbal tidak
menunjukkan kekuatan maka pesan-pesan nonverbal dapat memperkuat isi
pesan atau sebagai pendukung pesan verbal.
4. Reliabilitas dari pesan nonverbal. Pesan verbal ternyata dipandang lebih
reliable, daripada pesan nonverbal. Dalam beberapa situasi antar pribadi
pesan verbal ternyata tidak reliable sehingga perlu komunikasi nonverbal.
33
Karakteristik di atas menunjukkan semua kekuatan-kekuatan yang ada
pada komunikasi nonverbal, serta kita tidak mungkin lepas dari keberadaan
komunikasi nonverbal sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas
komunikasi
Meskipun secara teoritis, komunikasi nonverbal dapat dipisahkan dari
komunikasi verbal, dalam kenyataannya kedua jenis komunikasi itu jalin menjalin
dalam komunikasi tatap-muka sehari-hari. Dalam komunikasi ujaran, rangsangan
verbal dan rangsangan nonverbal itu hampir selalu berlangsung bersama-sama
(dalam kombinasi). Kedua jenis rangsangan itu diinterpretasikan bersama-sama
oleh penerima pesan.
Tidak ada struktur yang pasti, tetap, dan dapat diramalkan mengenai
hubungan antara komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Keduanya dapat
berlangsung spontan, serempak dan nonsekuensial. Sementara perilaku verbal
adalah saluran-tunggal, perilaku nonverbal bersifat multisaluran.
Suatu perbedaan lain yang menonjol antara pesan verbal dan nonverbal
adalah bahwa pesan verbal terpisah-pisah sedangkan pesan nonverbal
berkesinambungan. Artinya orang dapat mengawali dan mengakhiri pesan verbal
kapan pun ia menghendakinya, sedangkan pesan nonverbal tetap “mengalir”,
sepanjang ada orang yang hadir di dekatnya.
Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal
mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:
34
1. Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara
verbal. Misalnya seseorang menganggukkan kepala setelah mengatakan
“Ya”, dan menggelengkan kepala setelah mengatakan “Tidak”.
2. Subsitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal. Anak-anak retardasi
mental umumnya mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, dan beberapa
diantaranya memberitahu keinginannya hanya dengan isyarat nonverbal,
tanpa berbicara sedikitpun. Misalnya ketika anak meminta bangku untuk
dipindahkan ketempat yang ia mau, ia akan menunjuk bangku tersebut lalu
menuju tempat yang diinginkan dan menunjuk ke bawah yang berarti “di
sini”.
3. Kontradiksi, yaitu menolak pesan verbal atau memberikan makna yang lain
terhadap pesan verbal. Disini terlihat bahwa bahasa verbal tidak selalu
menyatakan apa yang ada di dalam pikiran dan perasaan sehingga pesan
nonverballah yang berperan untuk menyatakannya. Komunikan dapat
melihat dan menangkap pesan nonverbal yang tersembunyi di balik
peryataan seseorang.
4. Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan verbal. Disini
pesan nonverbal terlihat menyertai pesan verbal. Misalnya ketika pengajar
sedang menyatakan pelajaran secara verbal ia juga mengerak-gerakkan
tangannya sebagai alat bantu agar murid-muridnya dapat lebih mudah untuk
mengerti apa yang dikatakan oleh si pengajar.
5. Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya.
Misalnya ketika seseorang marah, maka ia sengaja menaikkan nada
35
bicaranya dan mengeraskan suaranya agar orang yang mendengarnya
mengetahui secara jelas bahwa ia sedang marah.
(Rakhmat, 2000: 302)
Tingkah laku lebih berbicara daripada sekedar kata-kata. Kita biasanya
lebih mempercayai pesan nonverbal, yang menunjukkan pesan sebenarnya, karena
pesan nonverbal itu sulit untuk dikendalikan daripada pesan verbal. Kita dapat
sedikit mengendalikan perilaku nonverbal, namun kebanyakan perilaku nonverbal
di luar kesadaran kita. Kita dapat memutuskan dengan siapa dan kapan berbicara
serta topik-topik apa yang akan kita bicarakan, tetapi kita sulit mengendalikan
ekspresi wajah senang, malu, ngambek dan sebagainya.
Dalam komunikasi nonverbal kita harus memperhatikan sejauhmana pesan
nonverbal melancarkan atau menghambat efektivitas komunikasi seperti yang
dikemukakan oleh Dale G. Lathers penulis Nonverbal Communication System,
menyebutkan enam alasan mengapa pesan nonverbal sangat penting.
1. Faktor-faktor nonverbal sangat menentukan dalam komunikasi
interpersonal. Saat kita berbicara secara tatap muka, maka kita dapat menagkap
pesan-pesan lain yang terpancar dari tingkah laku nonverbalnya. Begitu juga
sebaliknya. Kita dapat membaca apa yang tidak dikatakan orang lain secara
verbal.
2. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan nonverbal
ketimbang pesan verbal. Ketika pengajar memberikan pelajaran di dalam kelas, ia
akan menatap muridnya satu persatu untuk mengetahui apakah mereka
memperatikan, mengerti, atau tidak mengerti. Meski mereka tidak mengatakan
36
secara verbal bahwa mereka tidak mengerti atau bosan, namun pengajar dapat
melihat dari tingkah laku dan ekspresi wajah si anak.
3. Pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relative
bebas dari penipuan, ditorsi dan kerancuan. Pesan nonverbal jarang bisa di atur
oleh komunikator. Sehingga jika seseorang menyatakan hal yang bertentangan
dengan hal yang dilakukannya maka biasanya orang akan lebih mempercayai
isyarat nonverbalnya. Ketika murid ditanya apakah sudah mengerjakan tugasnya
atau belum, biasanya anak akan dengan cepat menjawab sudah. Namun pengajar
tentu dapat melihat gerak-gerik mana anak yang sudah mengerjakan dan mana
yang belum.
4. Pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat
diperlukan untuk mencapai komunikasi yang sangat berkualitas tinggi. Seperti
yang telah dijelaskan bahwa, semua fungsi tersebut memberikan informasi
tambahan yang memperjelas makna dan maksud pesan verbal.
5. Pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien
dibandingkan dengan pesan verbal. Bahasa verbal dalam penyampaiannya
memerlukan banyak lambang atau bahasa yang beragam. Banyak dari kata-kata
tersebut mempunyai arti ganda dan abstrak sehingga diperlukan pengulangan atau
penjelasan lebih lanjut, yang berarti membutuhkan waktu yang lebih lama.
Berbeda dengan pesan nonverbal yang bisa dimengerti dengan satu gerakan atau
isyarat saja. Misalnya menangis untuk menyatakan sedih.
6. Pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Untuk
beberapa hal dalam mengungkapkan gagasan atau emosi secara tidak langsung,
37
kita akan menggunakan isyarat nonverbal. Misalnya ketika salah satu murid
berlari-lari di dalam kelas secara terus-menerus. Maka secara tidak langsung ia
meminta perhatian lebih dari pengajarnya.
(Rakhmat, 2000: 303-304)
2.2.2 Klasifikasi Pesan Nonverbal
Komunikasi nonverbal memiliki dimensi yang akan membantu kita dalam
mengetahui isi dari komunikasi nonverbal serta bentuk-bentuk yang ada di
dalamnya. Dalam penulisan ini mengacu pada dimensi komunikasi nonverbal
karena bentuk dari komunikasi nonverbal dapat terlihat jelas melalui dimensi ini.
Komunikasi nonverbal diklasifikasikan dalam beberapa jenis seperti yang
dikemukakan oleh Duncan dalam Psikologi Komunikasi, yaitu:
1. Kinesik atau gerak tubuh Bidang yang menelaah bahasa tubuh adalah kinesika (kinesics), suatu istilah yang diciptakan seorang perintis studi bahasa nonverbal, Ray L. Birdwhistell. Setiap anggota tubuh seperti wajah (termasuk senyuman dan pandangan mata), tangan, kepala dan kaki dan bahkan tubuh secara keseluruhan dapat digunakan sebagai isyarat simbolik. Pesan kinesik terdiri dari tiga komponen utama: pesan fasial, pesan gestural, dan postural.
2. Pesan Paralinguistik Pesan paralinguistik adalah pesan nonverbal yang berhubungan dengan cara mengucapkan pesan verbal. Satu pesan verbal yang sama dapat menyampaikan arti yang berbeda bila diucapkan dengan cara yang berbeda. Pesan paralinguistik terdiri atas; nada, kualitas suara, volume, kecepatan, dan ritme.
3. Proksemik Pesan prosekmik disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Umumnya dengan mengatur jarak kita mengungkapkan keakraban kita dengan orang lain. Berikut ini adalah klasifikasi jarak dari Edward T.Hall (Brooks dan Emmert, 1976: 137): • Akrab
Fase dekat 0 – 6'' Fase jauh 6" – 18"
38
• Personal Fase dekat 18" – 30" Fase jauh 30" – 4'
• Sosial Fase dekat 4' – 7' Fase jauh 7' – 12'
• Publik Fase dekat 12' – 25' Fase jauh 25' atau lebih
4. Olfaksi atau Penciuman Bau-bauan telah digunakan manusia untuk berkomunikasi secara sadar dan tidak sadar. Dr. Harry Wiener dari New York Medical College menyimpulkan; manusia menyampaikan dan menerima pesan kimiawi eksternal (external chemical messenger). Kebanyakan komunikasi melalui bau-bauan berlangsung secara tidak sadar. Wewangian dapat mengirim pesan sebagai godaan, rayuan, ekspresi femininitas atau maskulinitas.
5. Sensivitas kulit Studi tentang sentuh-menyentuh disebut haptika (haptics). Sentuhan adalah suatu perilaku yang multimakna, dapat menggantikan seribu makna. Sentuhan tidak bersifat acak, melainkan suatu strategi komunikasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa sentuhan bersifat persuasif. Menurut Heslin, terdapat lima kategori sentuhan, yang merupakan suatu rentang yang sangat impersonal hingga sangat personal. Kategori-kategori tersebut adalah sebagai berikut. • Fungsional-profesional. Di sini sentuhan bersifat “dingin” dan
berorirentasi bisnis. • Sosial-sopan. Perilaku dalam situasi ini membangun dan memperteguh
pengharapan, aturan dan praktik sosial yang berlaku, misalnya berjabatan tangan.
• Persahabatan-kehangatan. Kategori ini meliputi setiap sentuhanh yang menandakanafeksi atau hubungan yang akrab.
• Cinta-keintiman. Kategori ini merujuk pada sentuhan yang menyatakan keterikatan emosional atau ketertarikan.
• Rangsangan seksual. Kategori ini berkaitan erat dengan kategori sebelumnya, hanya saja motifnya bersifat seksual. Rangsangan seksual tidak otomatis bermakna cinta atau keintiman.
6. Artifaktual Pesan artifaktual diungkapkan melalui penampilan-tubuh, pakaian, dan kosmetik. Setiap orang punya persepsi mengenai penampilan fisik seseorang, baik itu busananya (model, kualitas bahan, warna), dan juga ornament lain yang dipakainya, seperti kaca mata, sepatu,tas, jam tangan, kalung, gelang, cincin, anting-anting, dan sebagainya. Seringkali orang memberi makna tertentu pada karakteristik fisik orang yang bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit, model rambut, dan sebagainya.
39
7. Daya tarik penampilan fisik Daya tarik fisik seseorang menyjadi penyebab utama atraksi personal, kita senang terhadap orang-orang yang cantik dan tampan. Mereka pada gilirannya sangat mudah mendapatkan simpati dan perhatian dari orang lain. (Rakhmat, 2000: 292-294)
2.3 Tinjauan tentang Pesan Kinesik
2.3.1 Pesan Gestural dan Pesan Fasial
Pesan gestural digunakan dalam suatu percakapan atau komunikasi secara
tidak langsung dengan menggerakkan salah satu bagian tubuh untuk menegaskan
maksud dan tujuan atau suatu perasaan tertentu, seperti yang dikemukakan oleh
Barroso dalam Nonverbal Communication in Human Interaction, berikut
kutipannya:
“What exactly is gesture? Gesture are movements of the body (or some part of it) used to communicate an idea, intention, or fealling. Many of these actions are made with the arms/hands, but the face/head are also used in gesture many body-focused movements reflect or regulate state or arousal”. (Knapp & Hall, 1992: 187)
Seperti yang telah dikemukakan di atas, pesan gesture merupakan gerakan
salah satu tubuh untuk menyatakan ide, maksud atau perasaan. Pesan gestural
dapat dilakukan secara sengaja, maupun tidak sengaja. Pesan gestural yang
dilakukan secara sengaja mempunyai peran yang penting dalam proses
pembelajaran. Misalnya pengajar yang sedang menerangkan bentuk bola lalu
menggerak tangannya dan membentuk lingkaran. Gerakan tangan tersebut
berfungsi sebagai alat bantu agar mempermudah murid untuk memahami apa
yang disampaikan pengajar. Contoh lain adalah ketika pengajar mengangguk-
40
anggukan kepala sebagai tanda “benar”, ketika muridnya bisa menjawab
pertanyaan dengan benar.
Sedangkan Rakhmat (2001: 290) mendefinisikan pesan gestural adalah
“Pesan yang menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti isyarat dengan
menggunakan tangan, mimik wajah dan sebagainya.” Dari pengertian tersebut
bahwa setiap perilaku komunikasi dapat berupa perilaku verbal atau nonverbal,
sehingga dapatlah disebut sebagi pesan verbal yang terungkap dengan kata-kata
atau pesan nonverbal yang mungkin bisa disadari atau tidak disadari, sehingga
harus diakui pada saat-saat tertentu seseorang dapat mengirimkan pesan yang
tidak diketahuinya.
Pesan gestural merupakan bagian dari pesan kinesik atau body movement,
selain pesan fasial dan pesan postural. Belum ada kesepakatan pengklasifikasian
pesan nonverbal diantara para ahli, namun Duncan menyebutkan bahwa “Pesan
kinesik atau body movement merupakan bagian dari pesan nonverbal.” (Rakhmat,
2000: 290)
Pesan gestural menunjukkan gerakan sebagian anggota tubuh seperti mata
dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Menurut Galloway, pesan
gestural kita gunakan untuk mengungkapkan:
(1) Mendorong/membatasi,
Menganggukkan kepala merupakan gerakan khusus, yang berperan
sebagai pendorong seseorang untuk melanjutkan pembicaraan-pembicaaan
dan sebagai tanda, bila seseorang menganggukan kepala secara terus-
41
menerus gerakan tersebut menunjukkan bahwa orang tersebut ingin
berkomunikasi.
(2) Menyesuaikan/mempertentangkan,
Pesan gestural yang mempertentangkan (incongruous) terjadi bila pesan
gestural memberikan arti lain dari pesan verbal atau pesan lainnya.
(3) Responsif/tidak responsif,
Pesan gestural tak responsif mengabaikan permintaan untuk bertindak
(4) Perasaan positif/negatif,
Seseorang yang bertemu dengan temannya menyapanya lalu tersenyum,
kemudian temannya tersebut membalas senyumannya, orang tersebut
berarti memberikan kesan positif terhadap sapaan tersebut. Namun
bagaimana bila ia disapa oleh orang yang tidak dikenalnya, mungkin raut
wajahnya akan berkerut sebagai tanda bingung yang menandakan kesan
negatif. Pesan gestural negatif mengungkapkan sikap dingin, merendahkan
atau menolak.
(5) Memperhatikan/tidak memperhatikan,
Kita dapat mengetahui orang-orang yang memperhatikan dan yang tidak
memperhatikan isi dari pembicaraan kita dengan melihat matanya.
(6) Melancarkan/tidak reseptif,
Komunikan yang membalas tatapan komunikator, berarti melancarkan
jalannya komunikasi dengan memberi perhatian terhadap isi dari
komunikasi tersebut.
42
(7) Menyetujui/menolak.
Anggukan kepala umumnya menandakan jika seseorang menyetujui isi
pesan yang diterimanya, dan sebaliknya menggelengkan kepala sebagai
pertanda penolakan terhadap pesan yang diterimanya.
(Rakhmat, 2000: 290)
Kita dapat berbicara secara eksplisit untuk memperlihatkan emosi, juga
melakukan komunikasi antar batas-batas nuansa verbal. Sebaliknya isyarat
nonverbal sering digunakan untuk tujuan lain dibandingkan untuk menunjukkan
emosi, sebagai contoh, orang yang bercakap-cakap menggunakan gerakan mata
saling menyatakan saatnya untuk berbicara, pada umumnya orang-orang juga
menggunakan gerakan tangan pada waktu berbicara untuk membantu
mengemukakan pendapat atau ide mereka.
Berbicara hubungan gerakan, kadang disebut gambaran secara langsung
atau pengantar berbicara, artinya dalam gerakan tangan dapat membentuk
bagaimana cara kita berhubungan dengan lawan bicara atau komunikan. Dari
berbagai pengertian tersebut terlihat bahwa pesan gestural gerakan tangan adalah
sesuatu yang dilakukan manusia disamping ungkapan kata-kata dengan sengaja
atau pun tidak sengaja. Menggunakan gerakan tangan memudahkan untuk
mengerti isi dari pembicaraan, kadang dalam hal ini gerakan tangan bisa
menggambarkan bahwa sesuatu itu lebih spesifik, lebih dimengerti dan kegunaan
gerakan dapat membantu menunjuk orang langsung pada karakternya.
Struktur gerakan isyarat yang terlihat, melengkapi ujaran memiliki dua
tipe dan empat subtipe, yang dapat diuaraikan sebagai berikut:
43
LEARNED Lexical
Iconic
Involuantary
Nod of head Finder to lips Hand indicates Height from groud Blink of eyes Blush Smile (to please) Voluntary
INSTINCTIF
Gambar 2.1 Struktur Gerakan Isyarat
Sumber (Bolinger, 1981: 8)
Penjelasan dari uraian skema di atas adalah sebagi berikut:
Tipe pertama adalah learned gesture atau gerakan yang dipelajari. Tipe ini dianggap sebagai bagian dari kebudayaan dan pemakaian bahasa yang bersangkutan. 1. Sub-tipe pertama adalah Leksikal yaitu gerakan yang bermakna, seperti
lambaian tangan untuk melengkapi kata selamat tinggal. Penggunaan gerakan leksikal dapat saja sama gerakannya, tetapi mempunyai arti yang berbeda-beda di beberapa Negara yang berbeda kebudayaannya.
2. Sub-tipe kedua adalah Iconic yaitu analogi dari sesuatu yang dapat ditunjukkan oleh lebih dari satu gerakan. Gerakan isyarat untuk “bundar” adalah dengan membuat bulatan dengan tangan.
Tipe utama yang kedua adalah Instinctive dengan sub-tipe involuntary (tidak sengaja) dan voluntary (sengaja). Tidak seorang pun harus tersenyum, tertawa, menangis atau berkedip. 3. Tetapi antara voluntary dan involuntary ada pergeseran, timbul akibat
dari adanya kemampuan manusia dalam menangkap aturan-aturan permainan. Hal ini membawa ke arah timbulnya kontrol kesengajaan, seperti sebuah senyuman bukan lagi ungkapan rasa tulus, tetapi sebagian tindakan untuk menyenangkan orang lain saja.
4. Gerakan insting ini merupakan bagian dari etika, sehingga pergerakan tersebut lama-kelamaan mendapatkan arti sosial dan menerima perubahan-perubahan lokal. (Bolinger,1981: 8)
44
Berdasarkan masalah penelitian ini, berikut akan diuraikan tentang jenis
dan fungsi dari pesan gestural. Gesture meliputi gerak-gerak yang bertujuan,
seperti: kepala, bahu, lengan atau beberapa bagian tubuh lainnya. Gesture
mempunyai tiga jenis menurut Douglas Ehninger (1976: 230) dalam bukunya
Principles and Types of Speech Communications, yaitu:
1. Conventional gesture, yaitu tanda atau simbol yang memiliki makna khusus berdasarkan konvensi atau kebiasaan.
2. Descriptive gesture, yaitu tanda atau simbol yang melukiskan atau menggambarkan ide-ide yang dikomunikasikan.
3. Affective gesture, yaitu gerakan tangan dan lengan yang menunjukkan perasaan atau emosi
Dari pengertian tersebut menjelaskan bahwa pesan gestural mempunyai
beberapa fungsi yang dapat memperjelas makna dan memberikan informasi yang
lebih jelas dan cepat dibandingkan dengan kata-kata atau bahasa verbal itu sendiri,
selain itu juga dapat memperjelas suatu makna, seperti menggunakan gerakan
tangan untuk menunjuk suatu objek, hal ini dapat memudahkan dalam mengerti isi
dari pembicaraan dan mudah menggambarkan serta dapat membantu komunikan
agar lebih mengerti dan lebih jelas.
Pesan fasial menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu.
Banyak orang beranggapan bahwa perilaku nonverbal yang paling banyak
“berbicara” adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan mata, meskipun mulut
tidak berkata-kata. Menurut Albert Mehrabian, andil wajah bagi pengaruh pesan
adalah 55%, sementara vocal 30% dan verbal hanya 7%. Menurut Birdwhistell,
perubahan sangat sedikit saja dapat menciptakan perbedaan yang besar (Mulyana,
2000: 330)
45
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan
paling sedikit sepuluh kelompok makna: kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan,
kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban, dan tekad.
Leathers (1976: 33) menyimpulkan penelitian-penelitian tentang wajah sebagai
berikut:
1) Wajah mengkomunikasikan penilaian dengan ekspresi senang dan tak senang, yang menunjukkan apakah komunikator memandang obyek penelitian baik atau jelek;
2) Wajah mengkomunikasikan berminat atau tak berminat pada orang lain atau lingkungan,
3) Wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam suatu situasi, 4) Wajah mengkomunikasikan tingkat pengendalian individu terhadap
pernyataannya sendiri; dan 5) Wajah barangkali mengkomunikasikan adanya atau kurangnya
pengertian. Sebagian perilaku nonverbal dapat disampaikan melalui simbol kepada
orang lain, dimana bentuk dan tipe umum dari gerakan tubuh dinyatakan menurut
Bellak dan Barker terdapat tiga jenis, yaitu:
1) Kontak mata, kontak mata mengacu pada suatu yang disebut gaze yang meliputi suat keadaan penglihatan secara langsung antar orang (selalu pada wilayah wajah) di saat sedang bicara. Kontak mata sangat menentukan kebutuhan psikologis dan membantu kita memantau efek komunikasi antar pribadi.
2) Ekspresi wajah, meliputi pengaruh raut wajah yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara emosional atau bereaksi terhadap suatu pesan. Wajah setiap orang selalu menyatakan hati dan perasaannya, wajah ibarat cerminan hati dar pikiran dan perasaan. Melalui wajah orang juga bias membaca makna suatu pesan.
3) Gerak anggota tubuh, merupakan bentuk perilaku nonverbal pada gerak tangan, bahu, jari dll. Kita sering menggunakan gerak anggota tubuh secara sadar maupun tidak sadar untuk menentukan suatu pesan.
(Liliweri, 1994: 143-145)
Kontak mata mempunyai dua fungsi dalam komunikasi antarpribadi.
Pertama, fungsi pengatur, untuk memberi tahu orang lain apakah anda akan
46
melakukan hubungan dengan orang itu atau menghindarinya. Kedua, fungsi
ekspresif, memberi tahu orang lain bagaimana perasaan anda terhadapnya.
Melalui kontak mata, kita dapat mengetahui isi hati seseorang ketika sedang
berkomunikasi dengan kita, baik ketika dia sedang berbicara maupun tidak.
2.3.2 Pesan Postural
Pesan postural adalah pesan yang disampaikan melalui gerakan pada
keseluruhan anggota badan. Mehrabian dalam Psikologi Komunikasi
mengemukakan bahwa terdapat tiga makna yang dapat disampaikan melalui
postur, yaitu:
1. Immidiacy, merupakan ungkapan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap individu yang lain. Postur tubuh yang condong kearah yang diajak bicara menunjukkan kesukaan dan penilaian positif.
2. Power, mengungkapkan status yang tinggi terhadap diri komunikator. Seperti halnya membayangkan ketika sedang berbicara dengan seseorang yang tinggi hati dan postur orang yang merndah dihadapan kita.
3. Responsive, merupakan reaksi secara emosional pada lingkungan, baik secara positif mapun negatif. Misalnya ketika postur tubuh pada saat berkomunikasi tidak berubah maka itu mengungkapkan sikap yang tidak responsif. (Rakhmat, 2000: 290)
Kita semua mengetahui bahwa komunikasi merupakan bagian dari aspek
kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan. Dengan komunikasi kita dapat
membentuk saling pengertian, menumbuhkan rasa persahabatan atau
menumbuhkan rasa kasih sayang dan melestarikan suatu perdaban sehingga dapat
melestarikan suatu ilmu pengetahuan. Akan tetapi, tidak dapat disangkal bahwa
dengan komunikasi dapat juga menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan,
sesuatu yang tidak diinginkan, seperti timbulnya rasa permusuhan, kebencian dan
47
lain sebagainya. Komunikasi sangat tergantung kepada bagaimana cara
mempergunakannya.
Selain itu, Leather (1976: 39) mengatakan bahwa “the basic question is
relative simple. What meaning can be communicated by variation in posture when
the communicator can choose freely from his postural repertoire?” Yang dapat
diartikan sebagai berikut; “Pada dasarnya pernyataan sangat mudah, dengan artian
bisa saja menjadi komunikasi yang bervariasi dalam postur ketika si komunikator
dapat memilih dengan bebas dari sikap badan atau posisi tubuhnya yang sedang
terjadi. Seperti yang telah diungkapkan bahwa ketika seseorang sedang berdiri
dengan gaya atau posisi yang bermacam-macam dapat mengesankan suatu sikap.
Sedangkan menurut Scheflen dalam Nonverbal Communication Systems
mengemukakan bahwa terdapat tiga dasar tipe-tipe posture, diantaranya untuk
menyampaikan pesan khusus, seperti:
1. Orientasi postural terdapat pada individu dalam berkomuniaksi mungkin
sampai atau tidak sampai.
2. Orientasi postural pada individu yang mengasumsikan ketika posisi tubuh
berhadap-hadapan atau sejajar.
3. Orientasi postural pada individu dilihat dari mengasumsikan posisi tubuh yang
sama besar (congruent) atau sebaliknya (incongruent).
(Leather, 1967: 39)
Maksud dari pernyataan dari Scheflen adalah tidak setiap orang dalam
komunikasi dapat menyatakan pesan dengan verbal namun bisa saja
mengisyaratkan dengan menggunakan posisi tubuh, tetapi mungkin pesannya
48
mungkin sampai atau ada kemungkinan pula tidak sampai. Ketika pesan yang
disampaikan oleh seseorang secara berhadap-hadapan atau sejajar disaat
berkomunikasi sangat penting karena komunikator dapat langsung menilai
kualitas suatu pesan begitu pula dengan sikap komunikan. Pesan yang
disampaikan melalui orang yang lebih besar atau yang lebih kecil berpengaruh
terhadap lawan bicara atau lawan main.
2.4 Tinjauan Umum Pesan Paralinguistik
Pesan paralinguistik adalah pesan nonverbal yang berhubungan dengan
cara mengucapkan pesan verbal. Satu pesan verbal yang sama dapat
menyampaikan arti yang berbeda bila diucapkan dengan cara yang berbeda.
Pesan paralinguistik merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang
dapat dipahami, seperti nada, kualitas suara, volume, kecepatan, dan ritme. Setiap
karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran kita. Suara yang
terengah-engah menandakan kelemahan, sedangkan ucapan yang terlalu cepat
menandakan ketegangan, kemarahan atau ketakutan. Terkadang kita bosan
mendengarkan pembicaraan orang, bukan karena isi pembicaraannya, tetapi
karena cara menyampaikannya yang lamban dan monoton.
Mehrabian dan Ferris menyebutkan bahwa dalam paralinguistik adalah
terpenting kedua setelah ekspresi wajah dalam menyampaikan perasaan atau
emosi. Menurut formula mereka, paralinguistik mempunyai andil 38% dari
keseluruhan impak pesan. Oleh karena ekspresi wajah punya andil 55% dari
keseluruhan impak pesan, lebih dari 90% isi emosional sudah ditentukan secara
49
nonverbal. Bahkan Mehribian dan Ferris mengakui bahwa impak kata-kata
terucap terhadap komponen emosional pesan hanya sekitar 7%. (Mulyana, 2000:
343)
Setiap orang dapat menyatakan pikiran dan perasaannya terhadap orang
yang diajak bicara dengan”gaya” penyampaian tersendiri. Tidak jarang terjadi
kesalahan pengertian pada sebagian orang yang diajak berbicara karena “gaya”
penyampaiannya yang berbeda. Paralinguistik erat hubungannya dengan budaya
sekitar. Kebanyakan orang yang bermukim di daerah Sumatera dan Sulawesi
berbicara dengan suara yang keras yang mungkin untuk sebagian kebudayaan lain
hal tersebut merupakan cara yang kasar untuk berbicara. Padahal itu hanya
merupakan suatu “ciri budaya”. Hal inilah yang mengaitkan paralinguistik dengan
identitas seseorang. Kita dapat mengetahui identitas seseorang melalui bagaimana
dia berbicara baik isi maupun “gaya” berbicaranya.
Rakhmat (2000: 309) dalam bukunya Psikologi Komunikasi menyatakan
pesan paralinguistic terbagi atas: nada, kualitas suara, volume, kecepatan, dan
ritme. Nada menunjukkan jumlah getaran atau gelombang yang dihasilkan sumber
bunyi. Makin banyak jumlah getaran, makin tinggi nada. Orang yang berbicara
tanpa banyak perubahan nada disebut monoton. Nada dapat mengungkapkan
gairah, ketakutan, kesedihan, kesungguhan, atau kasih sayang. Nada dapat
memperteguh dampak kata yang kita ucapkan.
Kualitas suara menunjukkan “penuh” atau “tipisnya” suara. Setiap
individu mempunyai kualitas suara tersendiri, sehingga kualitas suara
mengungkapkan identitas dan kepribadiannya.
50
Volume menunjukkan tinggi rendahnya suara. Bila kita marah atau
menegaskan sesuatu, kita cenderung menaikkan volume suara kita. Bila kita ingin
mengungkapkan perasaan sayang atau pengertian, kita merendahkan volume suara
kita. Seperti volume, kecepatan dan ritme dapat menggarisbawahi pernyataan dan
mengungkapkan persaan. Memang secara keseluruhan, pesan paralinguistik
adalah alat paling cermat untuk menyampaikan persaan kita kepada orang lain,
meskipun tidak setiap orang memiliki kemampuan yang sama.
2.5 Tinjauan Umum Pesan Proksemik
2.5.1 Orientasi Ruangan
Setiap budaya punya cara khas dalam mengkonseptualisasikan ruang, baik
dalam rumah, di luar rumah, maupun dengan berhubungan dengan orang lain.
Edward T. Hall adalah seorang antropolog yang menciptakan istilah proxemics
(proksemik) sebagai bidang studi yang menelaah persepsi manusia atas ruang
(pribadi dan sosial), cara manusia menggunakan rua1ng terhadap komunikasi.
Beberapa pakar lainnya memperluas konsep prosemik ini dengan
memperhitungkan seluruh lingkungan fisik yang mungkin berpengaruh terhadap
proses komunikasi termasuk iklim (temperatur), pencahayaan, dan kepadatan
penduduk. Berbagai eksperimen menunjukkan bahwa lingkungan yang estetis
mempengaruhi pikiran dan kenyamanan manusia, dan karenanya juga
mempengaruhi interaksinya dengan orang lain. (Mulyana, 2000: 355-356)
Setiap orang baik ia sadar atau tidak mempunyai ruang pribadi (personal
space) imajiner yang bila dilanggar, akan membuatnya tidak nyaman. Kita selalu
51
membawa ruang pribadi ini kemanapun. Ruang pribadi kita identik dengan
“wilayah tubuh” (body terrytory), satu dari empat kategori wilayah yang
digunakan manusia berdasarkan perspektif Lyman dan Scott. Ketiga wilayah
lainnya adalah: wilayah publik (public territory) yaitu wilayah yang secara bebas
dimasuki dan ditinggalkan orang, dengan sedikit kekecualian (hanya boleh
dimasuki oleh kalangan tertentu atau syarat tertentu); wilayah rumah (home
territory), yaitu wilayah publik yang hanya bebas dimasuki dan digunakan orang
yang mengakui memilikinya; dan wilayah interaksional (interactional territoty),
yaitu tempat pertemuan yang memungkinkan semua orang berkomunikasi secara
informal. (Mulyana, 2000: 358)
Edward T. Hall, mengemukakan empat zona special dalam interaksi sosial di Amerika Serikat:
Zona intim (0-18 inci) untuk orang yang paling dekat dengan kita; Zona pribadi (18 inci-4 kaki) hanya untuk kawan-kawan akrab, meskipun kita mengizinkan orang lain untuk memasukinya;0 Zona sosial (4-10 kaki), yaitu ruang yang kita gunakan untuk kegiatan bisnis sehari-hari; dan zona public (10 kaki- tak terbatas), yang mencerminkan jarak antar orang-orang yang tidak saling mengenal. (Mulyana, 2000: 359) Keempat zona ini, khususnya zona pribadi, atau apa yang disebut wilayah
tubuh oleh Lyman dan Scott bisa berlainan dari satu budaya ke budaya lain. Juga
di antara sesama pria dan di antara sesama wanita. Berbagai penelitian mengenai
komunikasi antarpribadi menunjukkan bahwa semakin dekat hubungan antar dua
orang, semakin dekat jarak mereka berbicara, meskipun ada batasnya. Bila batas
ini dilanggar, akan timbul perasaan tidak nyaman pada pihak mitranya. Dengan
52
kata lain, orang akan menjaga jarak lebih jauh dengan lawan bicara yang ia
anggap tidak ramah daripada dengan lawan bicara yang ia anggap ramah.
2.6 Retardasi Mental (Idiocy)
Retardasi mental banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5 dan 6 tahun,
puncaknya pada golongan remaja umur 15 tahun. Lewat usia itu jumlahnya
menurun secara tajam. Fakta ini mencerminkan perubahan dalam tuntutan hidup.
Selama masa kanak-kanak awal, mereka yang menderita retardasi mental ringan
relative tampak normal. Kekurangan mereka baru tampak sesudah masuk sekolah,
yaitu umur 5 atau 6 tahun sampai umur belasan
Retardasi mental (idiot) adalah fungsi intelektual umum di bawah rata-rata disertai dengan ketidakmampuan beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan, yang muncul selama masa pertumbuhan. Saat munculnya gangguan ini dibatasi sampai umur 17 tahun. Artinya bila gangguan itu baru muncul sesudah umur 17 tahun-jadi sebelumnya individu tumbuh normal-maka harus dikategorikan sebagai gangguan mental organik. Dari hasil pengukuran intelegensi, mereka yang ber-IQ kurang dari 70 dan tidak memiliki keterampilan sosial atau menunjukkan perilaku yang tidak sesuai denan usianya, dikategorikan mengalami retardasi mental, keterbelakangan mental atau lemah mental (Supratiknya, 1995: 76).
Penggolongan tingkat retardasi mental lazim didasarkan pada hasil
pengukuran intelegensi. Tes intelegensi sendiri lazim dimaksudkan untuk
mengukur kemungkinan keberhasilan orang di bidang akademik. Maka,
pembagian tingkat retardasi mental pada dasarnya merupakan pembagian tingkat
kemampuan mengikuti dan menyelesaikan pendidikan formal di sekolah. Selain
itu, pembagian tingkat retardasi memang mengandung penilaian tentang
kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan, khususnya menyangkut
53
kemandirian dan tanggung jawab sosial. Pada umumnya dikenal empat tingkat
retardasi mental, yaitu:
1. Retardasi Mental Ringan
Penderita ini memiliki IQ 52-67 dan meliputi bagian terbesar populasi retardasi mental. Sesudah dewasa IQ mereka setara dengan anak berusia 8-11 tahun. Penyesuaian sosial meeka hampir setara dengan remaja normal, namun kalah dengan hal imajinasi, kreativitas, dan kemampuan membuat penilaian-penilaian. Mereka ini edukabel atau dapat dididik. Artinya, bila kasus mereka dapat diketahui sejak dini dan selanjutnya mendapatkan pendampingan dari orang tua serta mendapatkan pendidikan luar biasa, sebagian besar dari mereka mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan, mampu menguasai keterampilan akademik dan keterampilan kerja sederhana, dan dapat menjadi warga masyarakat yang mandiri.
2. Retardasi Mental Sedang Golongan ini memliki IQ 36-51. sesudah dewasa IQ mereka setara dengan anak-anak berusia 4-7 tahun. Biasanya mereka memiliki cacat fisik. Koordinasi motornya buruk, sehingga gerakan tangan-kaki maupun tubuhnya tidak luwes. Ada yang agresif dan menunjukkan sikap bermusuhan terhadap orang yang belum mereka kenal. Mereka lamban belajar dan ketidakmampuan mereka membentuk konsep amat terbatas. Namun mereka trainable atau dapat dilatih. Artinya apabila kasus mereka dapat diketahui secara dini, selanjutnya didampingi oleh orang tua dan mendapat latihan secukupnya, mereka dapt cuku mandiri dalam mengurus dirinya, termasuk bisa produktif secar ekonomis, baik dalam perawatan di rumah atau di panti asuhan.
3. Retardasi Mental Berat Golongan ini memiliki IQ 20-35. mereka sering disebut “dependent retarded” atau penderita lemah mental yang tergantung. Perkembangan motor dan bicara mereka sangat terbelakang, sering disertai gangguan pengindraan dan motor. Mereka dapat dilatih untuk menolong diri sendiri secara terbatas. Mereka juga dapat dilatih melakukan tugas-tugas sederhana, sedangakan untuk semua hal lain yang lebih kompleks mereka sangat tergantung pada pertolongan orang lain.
4. Retardasi Mental Sangat Berat Golongan ini memiliki IQ kurang dari 20. mereka sering disebut golongan “life support retarded”, golongan lemah mental yang perlu disokong secara penuh agar dapat bertahan hidup. Kemampuan adaptasi dan bicara mereka sangat terbatas. Biasanya mereka memiliki cacat tubuh berat dan mengalami patologi pada sistem saraf pusat mereka, sehingga pertumbuhan mereka sangat terhambat. Sering mereka juga dihinggapi kejang-kejang, mutisme, ketulian, dan kelainan tubuh lain. Kesehatan mereka cenderung buruk dan rentan
54
terhadap penyakit, sehingga biasanya tidak berumur panjang. Kalaupun mampu bertahan hidup, maka sepenuhnya harus dirawat (Supratiknya, 1995: 76-78)
Pengelompokkan jenis anak terbelakang tersebut tidak bersifat kaku dan
sering terjadi adanya perbedaan yang sangat kecil saja dan terdapat kemungkinan
pula adanya kelainan ganda. Terdapat kemungkinan mempunyai kelainan-
kelainan lain yang mungkin menjadi penyebab dari keterlambatan fugsi
intelegensinya.
Berdasarkan penggolongan tingkat retardasi di atas, anak dengan retardasi
ringan adalah yang paling mudah untuk mendapatkan bimbingan atau didikan
untuk memacu kreativitas dan kemandiriannya. Untuk itu, objek dalam penelitian
ini merupakan anak dengan retardasi mental ringan. Penulis ingin meneliti tentang
bagaimana pesan nonverbal yang dilakukan pengajar di SLB dalam proses
pembelajaran anak retardasi mental melalui kegiatan komunikasi nonverbal yang
terjadi di lingkungan SLB C YPLB Cipaganti.
Antara anak-anak normal dan anak-anak luar biasa terdapat inti
persamaan, yaitu bahwa mereka mempunyai keinginan-keinginan, aspirasi,
kebutuhan akan kasih sayang, makanan dan perlindungan, serta memperoleh
kesempatan pendidikan dan bimbingan. Merekapun menjadi harapan orang tua,
harapa masyarakat untuk tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa dan
menjadi warga negara yang dapat berpartisipasi bagi pembangunan negara dan
bangsanya. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977: 4)
Dari pengertian di atas, maka dapat diketahui bahwa anak retardasi mental
layak mendapatkan pendidikan seperti anak normal lainnya untuk membantu
55
mewujudkan impiannya, orang tuanya dan masyarakat di sekitarnya. Seperti yang
telah di jelaskan di atas bahwa anak retardasi mental yang paling memungkinkan
untuk menerima pendidika adalah anak dengan retardasi mental ringan. Sehinggan
mereka mempunyai kemungkinan untuk memperoleh pendidikan dalam bidang
membaca dan menulis dan berhitung pada suatu tingkat tertentu. Namun
kurikulum yang digunakan tidak semua bisa digunakan dalam proses
pembelajaran di dalam kelas, tetapi disesuaikan kembali dengan kondisi anak
masing-masing.
Sebagaimana diterangkan sebelumnya anak terbelakang merupakan
individu yang dalam proses berkembang. Berhubungan dengan sebab-sebab
tertentu, proses perkembangan intelegensinya terlambat atau lebih lambat
dibandingkan dengan teman-teman sebayanya.
Lambatnya fungsi otak dalam mempersepsi sesuatu hal berdasarkan panca
inderanya akan sangat berpengaruh terhadap fungsi-fungsi rohani yang lainnya,
antara lain emosi, daya ingatan, daya imaginasi, daya kreasi dan sebagainya.
Pengaruh keterbatasan intelegensi terhadap aspek-aspek kejiwaan berbeda-beda,
mengingat ada beberapa faktor lain yang memperngaruhi, baik yang terdapat
dalam dirinya maupun yang di lingkungannya. Kegiatan mental anak yang
terbelakang tidak terlalu terintegrasi dan terkoordinir. Hal tersebut secara
langsung mempunyai akibat pada spek-aspek kejiwaan yang lain. Ia dapat
bereaksi secara sangat emosionil terhadap suatu keadaan yang sangat sederhana,
skar mengendalikan perasaan, sukar mengadakan penyesuaian diri dengan
56
lingkungannya, sukar mempelajari sesuatu dan memecahkan suatu masalah tanpa
bimbingan, dan sebagainya.
Anak terbelakang perlu mendapat kesempatan untuk kesempatan untuk
dibimbing dan untuk memperoleh pendidikan agar dapat tumbuh dan
memperkembangkan diri. Ia perlu memperoleh pendidikan yang
memungkinkannya mengadakan integrasi sejauh mungkin dalam kehidupan
kejiwaan. Dengan demikian ia aka mampu megadakan penyesuaian diri di tengah-
tengah masyarakat dan membantunya agar ia dapat bertanggug jawab pada dirinya
sendiri dan lingkungannya, meskipun secara terbatas.
“Pendidikan bagi mereka berarti memberikan kesempatan utnuk dapat ikut serta, berpartisipasi secara aktif maupun secara terbatas dalam kehidupan keluarga dan masyarakatnya. Ini berarti akan dapat memberika rasa aman dan bahagia bagi keluarganya dan memungkinkannya untuk diterima dalam lingkungannya.” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977: 9)
Pendidikan akan membantunya memberikan arti atau makna serta arah
bagi kehidupannya, karena ia akan berprestasi, berkreasi, berpartisipasi dan
menyesuaikan diri secara maksimal dalam sekolah, keluarga dan masyarakat.
Tanpa pendidikan dan bimbingan mereka akan menajdi sekelompok manusia-
manusia yang hidupnya kosong, tanpa tujuan dan serig menjadi sasaran orang-
orang tertentu yang mengeksploitir mereka sebagi tenaga tenaga kerja yang
murah. Malahan bagi kelompok anak-anak terbelakang yang sedang dan berat
akan tumbuh menjadi beban masyarakat karena tidak mampu mengerjakan
sesuatu pekerjaan yang paling sederhana sekalipun.
57
2.7 Tugas dan Kewajiban Seorang Guru
Guru adalah tokoh yang paling utama dalam membimbing anak di sekolah
dan memperkembangkan anak agar mencapai kedewasaan. Oleh karena itu, hal
yang pertama-tama harus diperhatikan seorang guru untuk dapat menarik minat
murid adalah penampilan dan sikapnya. Usahakan jangan terlalu formal dan
penuh disiplin, agar anak tidak takut dan enggan di sekolah. Guru harus mampu
menjadi tokoh yang berkesan dan berwibawa.
Disamping segi penampilan yang tidak boleh dilupakan, maka ada
beberapa fungsi guru yang aktif yakni:
1. Mengawasi dan membantu anak dalam mengahdapi kesusahan yang tak
teratasi.
2. Di dalam kelas, guru bertindak sebagai pemimpin, dalam arti memimpin
segala aktivitas yang ada di kelas dan menentukan acara pelajaran. Semua
keputusan ada di tangan guru. Berwibawa bukan berarti harus bertindak
dengan kekerasan, tetapi seperti yang dikatakan oleh Stagner R., bahwa
guru harus bisa memperlihatkan sikap sebagai berikut :
A. Memerintah, dengan tujuan agar ditiru dalam melaksanakan tugas
dengan tepat dan pasti.
B. Hangat dan simpatik agar anak merasakan kebahagiaan, tanpa terlalu
cemas akan prestasinya.
Jadi, selain guru harus tegas dalam menentukan tugas-tugas, ia harus bisa
hangat dan ramah terhadap kebutuhan muridnya.
58
3. Guru dipandang serba tahu dan serba mampu. Oleh karena itu, apa yang
dikatakan guru dianggap selalu pasti dan benar. Jadi guru mampu
menguasai tindakannya. Memang banyak orang melihat sekolah sebagai
tempat dimana anak memperoleh pengetahuan dan penjelasan dari guru
yang telah mereka bayar. Akan tetapi, lebih bijaksana bila kita mengatakan
bahwa sekolah merupakan tempat dimana guru dan murid datang bersama-
sama dan masing-masing memberikan apa yang dibutuhkan baik oleh
murid maupun oleh guru. Anak-anak mempunyai kebutuhan untuk
diterima, tetapi guru mempunyai kebutuhan untuk memberi dan dikenal,
sesuai dengan pengabdiannya. Oleh karena itu, tuntutan guru untuk
memperoleh gaji yang mencukupi adalah cukup wajar.
Disamping fungsi-fungsi guru seperti yang telah disebutkan di atas, yang
juga penting adalah bagaimana hubungan guru dan murid. Oleh karena itu, harus
diperhatikan bagaimana guru melihat dirinya sendiri, apakah ia melihat dirinya
sebagai pemimpin yang paling berkuasa, atau sebagai orang tua, sebagai teman
yang lebih tua yang membantu murid kalau diperlukan. Pandangan ini ikut
menentukan corak hubungan yang terjadi antara guru dan murid.
Sebenarnya sebagai guru, ia memiliki berbagai kelebihan yang tidak
dimiliki oleh murid dan hal inin merupakan sumber kekuatan untuk menguasai
kelas dan menarik perhatian murid. French dan Raven mengemukakan 5 kekuatan
guru, sebagai berikut:
1. Coercive Power: Kesadaran murid bahwa mereka dapat dihukum oleh guru bila tidak taat, sehubungan dengan usaha guru untuk mengubah tingkah laku murid.
59
2. Reward Power : Bila murid melihat guru sebagai tokoh yang dapat memberikan sesuatu yang memuaskan mereka.
3. Legitimate Power : Nilai-nilai yang ada dalam diri guru yang memberi kekuatan agar diterima dan berpengaruh terhadap murid-muridnya.
4. Referent Power : Daya tarik yang memungkinkan murid tertarik kepada gurunya, dan mengadakan identifikasi dengannya.
5. Expert Power : Pengakuan terhadap keahlian khusus yang dimiliki guru, yang akan berguna bagi murid.
(Rakhmat, 2000: 274-275)
Bila kekuatan-kekuatan ini dimiliki guru, maka guru dipandang sebagai
orang yang di-tua-kan di kelas, dengan memberi teladan dan menunjukkan sikap
yang matang serta bertanggung jawab dan tidak memihak dalam menghadapi
murid-muridnya. Keadaan ini akan menunjukkan kesan yang positif pada murid
dan sebagai guru akan lebih mudah membimbing dan mendidik anak-anak
tersebut.
2.8 Tinjauan Proses Belajar Mengajar
Winarno Surachmad mengatakan yang dimaksud dengan pelaksanaan
proses belajar mengajar adalah proses berlangsungnya belajar mengajar di kelas
yang merupakan inti dari kegiatan pendidikan di sekolah. Jadi pelaksanaan
pengajaran adalah interaksi guru dengan murid dalam rangka menyampaikan
bahan pelajaran kepada murid dan untuk mencapai tujuan pengajaran.
(Suryosubroto, 1996: 36)
Sementara itu menurut Moh. Uzer Usman (Suryosubroto, 1996: 19),
proses belajar mengajar adalah:
60
“Suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa
atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif
untuk mencapai tujuan tertentu.”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan mengajar
meliputi tiga tahap:
1. Tahap sebelum pengajaran
2. Tahap pengajaran
3. Tahap sesudah pengajaran
Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan formal
dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Selain guru, alat peraga dalam
pengajaran juga memegang peranan penting sebagai alat bantu untuk menciptakan
proses belajar mengajar yang efektif. Metode dan alat pengajaran merupakan
unsur yang tidak bisa dilepaskan dari unsur lainnya yang berfungsi sebagai cara
teknik untuk mengantarkan bahan pelajaran agar sampai pada tujuan. Berikut akan
dijelaskan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pengajaran:
1. Membuka pelajaran
Yang dimaksud dengan membuka pelajaran adalah usaha guru untuk
menciptakan kondisi awal agar mental dan perhatian murid terpusat pada apa yang
dipelajarinya sehingga akan menimbulkan efek positif terhadap kegiatan belajar-
mengajar. Setelah bel masuk berbunyi, pengajar mulai mengajak anak-anak untuk
berdo’a bersama. Kemudian menyruh anak untuk membuka buku pelajaran.
Kondisi awal ini berlangsung setiap hari di dalam kelas, saat memulai pelajaran.
61
2. Menyampaikan materi pelajaran
Bahan atau materi pelajaran pada hakikatnya adalah isi dari materi pelajaran
yang diberikan kepada siswa sesuai dengan kurikulum yang digunakan. Namun
salah satu pengajar mengatakan, saat ini kurikulum yang dipakai di SLB
Cipaganti dianggap terlalu tinggi dan kurang sesuai dengan kemampuan anak-
anak. Sehingga materi pelajaran yang diberikan dianggap kurang sempurna,
karena tidak semua pelajaran yang ada dalam kurikulum dapat di ajarkan,
mengingat waktu dan kemampuan murid tidak sebanding dengan tingkat kesulitan
kurikulum.
3. Menggunakan metode mengajar
Metode mengajar merupakan salah satu cara yang dipergunakan guru dalam
mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran. Oleh
karena itu, metode mengajar sebagai alat untuk menciptakan proses belajar
mengajar.
4. Menggunakan alat peraga dalam pengajaran
Dalam proses belajar mengajar alat peraga dipergunakan dengan tujuan
membantu guru agar proses belajar siswa lebih efisien dan efektif.
Alat peraga dalam proses belajar mengajar penting karena memiliki
fungsi pokok sebagai berikut:
a) Penggunaan alat peraga dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif.
b) Penggunaan alat peraga nerupakan bagian integrasi dari keseluruhan situasi belajar.
c) Alat peraga dalam pengajaran penggunaannya integral dengan tujuan dan isi pelajaran.
62
d) Penggunaan alat peraga dalam pengajarannya diutamakan untuk mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang diberikan guru.
5. Pengelolaan kelas
Pengelolaan kelas adalah suata usaha yang dilakukan oleh penanggung
jawab kegiatan belajar mengajar atau yang membantu dengan maksud agar
dicapai kondisi optimal, sehingga dapat terlaksana kegiatan belajar mengajar
seperti yang diharapkan. Dalam lingkup SLB Cipaganti, kelas dibentuk seperti
pola tapal kuda hal tersebut dimaksudkan agar pengajar dapat membentuk jarak
personal yang memungkinkan pengajar memperhatikan anak sedekat mungkin
dan setiap anak dapat merasakan kedekatan dengan pengajarnya. Kelas diberikan
dua pengajar agar anak-anak dapat lebih mudah diatur dan di awasi. Anak-anak
dengan kelainan ini lebih sulit diatur, sehingga penempatan satu pengajar di dalam
kelas dirasakan kurang atau tidak maksimal.
6. Menutup pelajaran
Menutup pelajaran adalah kegiatan yang dilakukan guru untuk mengakhiri
pelajaran atau kegiatan belajar mengajar.
(Suryosubroto, 1996: 39-52)
Seperti yang telah dikemukakan di atas, salah satu alasan mengapa alat
peraga begitu penting dalam proses pengajaran karena penggunaan alat untuk
mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap
pengertian yang diberikan guru. Proses belajar dalam kelas umumnya
menggunakan komunikasi verbal dan nonverbal. Namun proses pengajaran yang
digunakan dalam lingkungan Sekolah Luar Biasa (SLB) C YPLB Cipaganti,
63
sebagian besar menggunakan komunikasi nonverbal dalam menyampaikan pesan
di dalam kelas (sebagai alat peraga). Penggunaan komunikasi nonverbal seperti
yang telah dikemukakan di atas, dikarenakan anak-anak retardasi mental tersebut
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi seperti menerima pesan-pesan verbal
maupun menggunakan pesan-pesan verbal, sehingga pesan-pesan nonverbal
merupakan komunikasi yang paling sering terjadi dalam kelas (proses
pembelajaran). Komunikasi nonverbal membantu anak untuk lebih mengerti dan
lebih memahami apa yang dimaksud oleh si pengajar.
2.9 Model Schramm
Berdasarkan model Scramm, maka pesan yang ingin disampaikan oleh
komunikator proses penyandian (encoder) untuk selanjutnya disampaikan dalam
bentuk pesan yang bisa dimengerti oleh komunikan, sehingga setelah mengalami
interpreter (penafsiran), komunikan dapat menyandi balik (decoding) pesan.
Begitu pula untuk selanjutnya.
‘Scramm berpendapat meskipun dalam komunikasi lewat radio atau telefon encoder dapat berupa mikrofon dan decoder adalah earphone, dalam komunikasi manusia, sumber dan encoder adalah satu orang, sedangkan decoder dan sasaran adalah seorang lainnya, dan sinalnya adalah bahasa. Untuk menuntaskan suatu tindakan komunikasi (communication act), suatu pesan harus disandi balik.’ (Mulyana, 2000: 140)
64
Decoder Interpreter Encoder
Encoder Interpreter Decoder
Message
Message
Gambar 2.2 Model Scramm
Sumber: (Mulyana, 2000: 141)
Scramm menganggap bahwa komunikasi sebagai interaksi dengan kedua
pihak yang menyandi, menafsirkan, menyandi balik, mentransmisikan, dan
menerima sinyal. Disini kita melihat umpan balik dan “lingkaran” yang
berkelanjutan untuk berbagi informasi.
Encoding merupakan proses dimana ketika seseorang (encoder) ingin
menyampaikan perasaan, pikiran dan emosinya yang kemudian dirubah menjadi
lambang-lambang yang berarti (message) yaitu dengan bahasa komunikasi, yang
telah disepakati bersama. Jadi merupakan proses pengemasan pesan menjadi
lambang-lambang yang berarti seperti bahasa, atau perilaku nonverbal.
Setelah proses penyandian, lambang-lambang tersebut kemudian
disampaikan dalam bentuk pesan kepada komunikan. Komunikan yang menerima
pesan tersebut, akan menerima sinyal kemudian membuka pesan yang
65
diterimanya. Proses membuka pesan yang disampaikan oleh komunikator inilah
yang disebut dengan decoding, dengan komunikan sebagai decoder. Pesan yang
telah “dibuka” kemudian ditafsirkan (interpretasi) sesuai dengan kemampuan
pemahaman masing-masing.
Model Scramm menjelaskan mengenai proses komunikasi, dimana
seseorang secara sirkuler dapat menjadi komunikator dan komunikan. Scramm
menjelaskan ketika seseorang ingin menyampaikan pesan maka ia akan berpikir
bagaimana cara untuk mengemas pesan sedemikian rupa menjadi lambang-
lambang komunikasi yang memungkinkan komunikan dapat mengerti isi dari
pesan tersebut.
Model Scramm digunakan dalam penelitian ini sebab model ini menitik
beratkan pada proses komunikasi dimana dalam diri komunikator dan komunikan
terjadi proses pengemasan pesan. Pesan diproses untuk dikemas sedemikian rupa
sehingga menjadi lambang-lambang komunikasi yang memudahkan komunikan
untuk mengerti pesan tersebut. Setelah mengalami proses penafsiran maka
komunikan akan melakukan penyandian balik pesan sebagai feedback, yaitu
dengan jalan mengemas pesan menjadi lambang-lambang yang berarti atau
decoding.
Proses ini berlangsung seperti sirkulasi dimana tidak diketahui siapa yang
memulai dan siapa yang mengakhiri. Proses interpretasi, baik oleh komunikator
maupun komunikan akan menghasilkan respon (feedback) secara verbal maupun
nonverbal. Apabila komunikan mengerti pesan yang dimaksud oleh komunikator,
maka ia akan memberi respon sesuai dengan yang diharapkan oleh komunikator.
66
Namun bila ia tidak mengerti, maka ia akan memberikan respon yang sebaliknya.
Sehingga respon yang diberikan komunikan akan berfungsi sebagai pesan yang
selanjutnya akan ditafsirkan kembali. Berdasarkan hal tersebut komunikator akan
memberikan pesan selanjutnya, jika komunikan mengerti maka komunikasi dapat
diteruskan, namun jika tidak maka komunikator akan kembali merancang
gagasan, ide dan pikiran kedalam lambang-lambang yang akan lebih memudahkan
komunikan dalam mengerti pesan.
Penjelasan mengenai model Scramm di atas berlaku juga dalam proses
pembelajaran anak retardasi mental di kelas. Ketika para pengajar di SLB ingin
memberikan suatu pesan maka mereka akan merancang pesan ke dalam lambang-
lambang yang dapat dimengerti oleh anak retardasi mental tersebut. Pesan
dirancang sedemikian rupa agar murid-murid dapat mengerti. Proses penyandian
itu disebut encoding.
Untuk menyampaikan pesan kepada anak retardasi mental tentu saja tidak
mudah, mereka yang menerima pesan kemudian menafsirkannya sesuai
kemampuannya. Selanjutnya jika anak tersebut mengerti, ia akan mengadakan
penyandian balik, seperti yang diharapkan oleh pengajar. Namun jika ia
memberikan respon sebagai tanda bahwa ia tidak mengerti, bisa dengan isyarat
nonverbal seperti mimik muka yang bingung, maka pengajar akan mencari cara
pengemasan yang lebih tepat agar anak tersebut dapat mengerti pesan yang
disampaikan. Umpan balik dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung, baik
secara verbal maupun nonverbal.
67
Antara anak retardasi mental dan pengajar tidak terdapat adanya
persamaan mengenai informasi atau unsur-unsur yang dapat membantu
komunikasi berjalan berkesinambungan seperti layaknya komunikasi pada orang
normal. Sehingga model Scramm dianggap model komunikasi yang tepat untuk
menggambarkan proses komunikasi yang terjadi antara pengajar dan anak
retardasi mental dalam proses pembelajaran, karena menitikberatkan pada proses
encoding, interpretasi, dan encoding.
Proses pembelajaran merupakan komunikasi antarpersona. Dimana
komunikasi dilakukan secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya
menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal dan nonverbal.
Hal ini sesuai dengan gambar Scramm, dimana proses komunikasi yang terjadi
antara komunikan dan komunikator menghasilkan feedback yang dapat dilihat
secara langsung.
Pesan nonverbal yang terjadi antara pengajar dan si anak sangat
diharapkan dapat membantu anak retardasi mental ringan dalam memahami
makna dalam setiap pesan yang disampaikan pengajar di dalam kelas dalam
proses pembelajaran sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan baik.
BAB III
OBJEK PENELITIAN
3.1 Sejarah Singkat SLB C YPLB Cipaganti
SPLB-C adalah sekolah luar biasa yang khusus menyelenggarakan
pelayanan pendidikan bagi anak-anak retardasi mental (tunagrahita). SPLB-C
merupakan kelanjutan dari sekolah luar biasa untuk anak cacat mental yang telah
ada sejak zaman Belanda. Awal berdirinya dikenal dengan nama “Folkerts
School”, yakni salah satu sekolah luar biasa yang pertama yang ada di Indonesia,
bersama dengan sekolah untuk anak buta yang bernama Blinden Institut dan
sekolah untuk anak bisu-tuli dengan nama Dotstemmen Institut.
Sekolah ini berdiri pada tanggal 29 Mei 1927, seiring dengan didirikan
suatu perkumpulan dengan nama Vereeneging Voor Buittengewoon Oderwijs
(Perkumpulan untuk Keluarbiasaan Pengajaran) yang ada di Bandung, yang
menurut arti katanya adalah Perkumpulan Pengajaran Luar Biasa (PPLB).
Perkumpulan ini bertujuan untuk memberikan pengajaran bagi orang-orang yang
mengalami cacat (keluarbiasaan), khususnya cacat mental.
Pendiri pertama PPLB adalah Dr. A.Kits Van Heijningeen (orang Belanda
waga Negara Jerman) dan W. Akkers Dijk (warga Negara Belanda). Selanjutnya
pula berdiri pula sekolah dengan nama Folkerts School, dimana J. E. Folkerts
sebagai direktur yang pertama. Sekolah ini didirikan khusus bagi anak Belanda
dan keturunan Indo yang merupakan anak-anak Zwakzinneg (lemah ingatan).
68
69
Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, sekolah ini tidak dapat
berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan karena kebanyakan guru-guru
Belanda dipulangkan ke negaranya, sehingga pada tahun 1942 sekolah ini ditutup.
Baru pada tahun 1952 guru-guru dari Belanda itu kembali datang ke Indonesia
untuk mengajar setelah kemerdekaan Indonesia.
Pada awalnya sekolah ini bertempat di Jl. Tamansari No. 62 Bandung,
berada di bawah naungan Perkumpulan Pengajaran Luar Biasa (PPLB) di bawah
pimpinan R. Mohamad Enoch (walikota Bandung saat itu); kemudian digantikan
oleh Priatna Kusumah (juga walikota Bandung); dilanjutkan oleh Oce
Joedakoesoemah. Sekolahnya sendiri berganti nama menjadi Sekolah Rakyat
Latihan Luar Biasa (SRLLB). Hal ini dikarenakan sekolah tersebut dipakai untuk
praktek siswa-siswa Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SPGLB) Bandung,
dengan kepala sekolah Van Vught (berkebangsaan Belanda).
Pada tahun 1953/1954 mulai dibuka kelas untuk anak-anak Indonesia.
Pada tahun yang sama dimulai pembangunan gedung yang bertempat di Jl. Hegar
Asih No. 1-3 Bandung, dengan luas tanah 9.175 m2 yang merupakan bantuan
pemerintah Kodya Bandung, dengan akte notaries No. 6/266 pada tahun 1956
guru dan murid Belanda secara berangsur-angsur meninggalkan Indonesia,
kembali ke Belanda. Kemudian sekolah berganti nama lagi menjadi Sekolah Luar
Biasa untuk Anak Terbelakang Mental (SPLB-C). Sedangkan Perkumpulan
Pendidikan Luar Biasa berubah nama menjadi Yayasan Pendidikan Luar Biasa
(YPLB), hingga sekarang.
70
3.2 Visi dan Misi SLB C YPLB Cipaganti
3.2.1 Visi
SLB C YPLB Cipaganti memiliki visi : terwujudnya pelayanan pendidikan
terbaik bagi anak-anak, orang-orang terbelakang mental (Tunagrahita) sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan agar mereka dapat menjadi anggota
masyarakat yang berguna dan bermoral baik.
3.2.2 Misi
SLB C YPLB Cipaganti memiliki misi untuk:
1. Menyelenggrakan program pendidikan, penelitian dan pengabdian
kepada anak-anak dan orang-orang terbelakang mental (tunagrahita)
yang efisien, terencana, terpadu, tepat waktu dan berkesinambungan.
2. Berpartispasi dalam menanggulangi masalah-masalah keterbelakangan
mental (Tunagrahita).
3. Menciptakan lingkungan dan sekolah yang ramah
3.3 Tujuan Pendirian
Untuk mendidik dan melatih anak retardasi mental supaya mereka dapat
menolong dirinya sendiri, dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat, serta dapat
hidup mandiri sesuai dengan kemampuannya.
71
3.4 Susunan Organisasi
SUSUNAN ORGANISASI YPLB BANDUNG
Jl. Hegar Asih No.1-3 Cipaganti Bandung
PENGURUS YPLB
SEKSI
KEPENDIDIKAN
SEKSI
ASRAMA
SEKSI
KEPEGAWAIAN
SESKI
PEMELIHARAAN
SEKSI
KESEJAHTERAAN
& KESEHATAN
SEKSI
USAHA
PER SIAPAN DASAR MENEGAH
PERTAMA MENENGAH ATAS
KETERAM PILAN
TKLB I
TKLB II
TKLB III
SDLB I
SDLB II
SDLB III
SDLB IV
SDLB V
SDLB VI
SMPLB I
SMPLB II
SMPLB III
SMALB I
SMALB II
SMALB III
KPA
KPI
PER SIAPAN DASAR MENEGAH
PERTAMA MENENGAH ATAS
KETERAM PILAN
TKLB I
TKLB II
TKLB III
SDLB I
SDLB II
SDLB III
SDLB IV
SDLB V
SDLB VI
SMPLB I
SMPLB II
SMPLB III
SMALB I
SMALB II
SMALB III
KPA
KPI
PEMERINTAH
DEPDIKBUD DEPSOS
LEMBAGA TENAGA
AHLI
ORSOS MITRA KERJA
PROGRAM KETERAMPILAN& REHABILITASI
PUTRA PUTRI
PROGRAM C
SEKOLAHASRAMA
PIMPINAN & STAFF PIMPINAN & STAFF
PUTRA PUTRI
PROGRAM C
72
3.5 Jumlah Murid
Data murid (Tahun 2004-2006) berjumlah 147 anak.
Taman Kanak-kanak (TK):
Murid
Retardasi Mental
Ringan
Retardasi Mental
Sedang
Jumlah
Autistik
Down
Syndrom
Lain-lain
Tingkat
L P L P
TKLB 1
TKLB 2
TKLB 3
-
-
-
-
-
1
2
5
1
2
2
1
4
7
3
-
1
1
1
1
Jumlah 1 8 5 14 2 2 12
Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB):
Murid
Retardasi Mental Ringan
Retardasi Mental Sedang
Jumlah
Autistik
Down
Syndrom
Lain-lain
Tingkat
L P L P SDLB 1 SDLB 2
5 1
1 -
- -
1 1
7 2
2 1
1 1
SDLB 3 SDLB 4
3 2
1 -
2 1
1 -
7 3
- -
3 4
SDLB 5 SDLB 6
7 2
- 2
1 1
- 2
8 7
1 2
Jumlah 20 4 5 5 34 4 11 19
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa:
Murid
Retardasi Mental Ringan
Retardasi Mental Sedang
Jumlah
Autistik
Down
Syndrom
Lain-lain
Tingkat
L P L P SLTPLB 1 SLTPLB 2 SLTPLB 3
2 5 3
2 4 2
3 3 1
4 - 2
11 12 8
- 1 -
5 2 3
6 8 5
Jumlah 10 8 7 6 31 1 10 19
73
Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB):
Murid
Retardasi Mental Ringan
Retardasi Mental Sedang
Jumlah
Tingkat
L P L P SMLB 1 SMLB 2 SMLB 3
3 2 3
1 1 1
1 2 3
3 - 2
8 5 9
- - -
6 - 5
2 - 4
Jumlah 8 4 6 5 22 1 11 6
Kelas Keterampilan:
Murid
Retardasi Mental Ringan
Retardasi Mental Sedang
Jumlah
Autistik
Down
Syndrom
Lain-lain
Tingkat
L P L P KPA KPI
6 -
- 7
17 -
- 7
23 14
2 1
11 5
10 8
Jumlah 6 7 17 7 37 3 16 18
Jumlah Semua 43 24 43 28 138 11 50 74
3.6 Kurikulum
Secara garis besar penyelenggaraan pendidikan di SLB-C YPLB dipandu
oleh enam buku pokok kurikulum, yaitu:
1. Buku Pedoman Kegiatan Belajar Mengajar
2. Buku Pedoman Rehabilitasi
3. Buku Pedoman Bimbingan di Sekolah
4. Buku Pedoman Administrasi Sekolah
5. Buku Pedoman Penilaian dan Hasil Belajar
6. Buku Pedoman Pilihan pada SLTPLB dan SMLB
74
3.7 Persyaratan Masuk Sekolah
SLB-C Cipaganti, mempunyai beberapa kriteria atau persyaratan yang
ditujukan untuk anak-anak yang akan memasuki sekolah ini, yaitu:
• Usia pada saat mendaftar tidak kurang dari 6 tahun, tidak lebih dari 18
tahun
• Menunjukkan surat hasil pemeriksaan psikolog
• Menunjukkan Surat keterangan dari dokter yang menyatakan tidak
sakit menular.
• Menunjukkan Raport/Laporan kemajuan Belajar (bagi yang pernah
bersekolah)
• Menunjukkan surat kewarganegaraan (bagi murid keturunan asing)
• Menyerahkan pasfoto terbaru
3.8 Fasilitas Sekolah
No. Nama Tempat Jumlah Kegunaan 1. Ruang Kelas 20ruangan yang
dibagi menjadi 23kelas
Sebagai tempat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar di dalam kelas.
2. Ruang Mushalla
1 ruangan Tempat berlangsungnya kegiatan Agama
3. Ruang klinik 1 ruangan Merupakan pemeriksaan kesehatan umum gigi yang dilengkai dengan alt-alat yang diperlukan. (dalam kondisi tidak terpakai)
4. Ruang Serbaguna
1 ruangan terbuka Tempat berlangsungnya kegiatan upacara (kalau hujan), acara kesenian, senam dan tennis meja, tempat pertemuan yang sifatnya besar.
5. Perpustakaan 1 ruangan Merupakan tempat penyediaan buku-buku yang bermanfaat untuk penunjang pendidikan anak serta tempat penyimpanan beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap sekolah
75
ini. 6. Lapangan 3 buah lapangan 1 buah lapangan olahraga sekaligus
dipakai untuk lapangan upacara;2buah lapangan bermain yang digunakan pada saat istirahat.
7. Ruang Sumber 1 ruangan Merupakan tempat kegiatan remedial/terapi edukasi
8. Show room 1 ruangan Merupakan tempat menampilkan karya-karya siswa dan guru.
3.9 Proses Belajar Mengajar di SLB-C Cipaganti
Seperti yang telah dikemukakan di atas, jumlah ruangan kelas adalah 20.
namun ruang kelas dibagi menjadi 23 kelas, disebabkan kurangnya ruangan yang
dapat dipergunakan untuk proses belajar mengajar. Dalam satu kelas, umumnya
terdapat beberapa murid dan beberapa pengajar. Rasio untuk membandingkan
antara jumlah pengajar dengan murid adalah kurang lebih 1:6 setiap kelas. SLB
ini memang sedikit kekurangan pengajar. namun setiap hari ada saja murid yang
tidak masuk sekolah.
Pengajar dalam SLB ini sangat fleksibel, sama seperti sekolah lainnya.
Ketika guru yang mengajar tidak datang maka kelas yang memiliki dua pengajar
akan menggantikan posisi guru tersebut untuk sementara. Kemudian, pada saat
banyak anak yang tidak bisa hadir dalam suatu kelas yang memiliki dua pengajar,
maka pengajar bisa membantu pengajar yang lainnya yang terlihat kewalahan
menghadapi murid-murid.
Setelah bel sekolah berbunyi, maka anak-anak di bimbing untuk
memasuki ruang kelas. Selama jam pelajaran, biasanya pintu kelas dikunci, dan
posisi kunci sengaja di letakkan lebih tinggi, agar anak-anak tidak dapat membuka
pintu dan berlari-lari keluar kelas. Ketika semua anak sudah berada dalam
76
posisinya masing-masing (tempat duduknya masing-masing), maka pengajar akan
menyuruh satu anak yang dianggap mampu untuk memimpin do’a, sambil
membimbing anak yang lainnya untuk mengikuti. Kemudian setelah berdo’a
selesai, pelajaran dimulai seperti biasa.
Posisi tempat duduk di dalam kelas, sengaja diatur dengan membentuk
pola tapal kuda. Hal tersebut dilakukan agar posisi anak lebih dekat dengan
pengajar. Sehingga semua anak dapat terpantau, baik ketika pengajar duduk
maupun berdiri. Jarak pengajar ketika berdiri di depan kelas juga tidak terlalu
jauh. Maka, pada saat anak terlihat tidak memperhatikan pelajaran, atau ingin
diperhatikan, pengajar dapat langsung mengetahuinya, dengan melihat perilaku
nonverbalnya. Pengaturan pola tempat duduk dapat dilihat pada gambar 3.1
berikut ini:
Gambar 3.1
Pengaturan tempat duduk dengan pola tapal kuda
77
Pengaturan pola tempat duduk seperti itu juga diatur agar suara pengajar
dapat terdengar dengan jelas, serta ketika pengajar memperagakan sesuatu yang
berkenaan dengan materi pelajaran, semua gerakan, mimik muka, dan kontak
mata dapat terlihat. Jika ada anak yang tidak melihatnya, maka pengajar biasanya
akan menghampiri anak tersebut dan mengulangi pesan agar ia mengerti.
Pada jam istirahat, anak-anak diperbolehkan meninggalkan kelas.
Sebagian besar anak memang ditunggu oleh orang tuanya pada saat jam
sekolahan. Sehingga pada saat jam istirahat inilah, orang tua seiring dengan
memberikan makanan terhadap anaknya, membicarakan perkembangan anaknya
dengan guru kelas.
Ketika pelajaran agama, biasanya kelas digabung. Yaitu kelas satu sampai
kelas enam. Jumlah guru agama yang sangat sedikit mengharuskan kondisi seperti
itu. Meskipun banyak pengajar yang menyadari, bahwa keadaan kelas biasanya
semakin tidak terkendali. Karena masing-masing anak mempunyai
pembawaannya masing-masing pada saat suasana sepi dan pada saat suasana
ramai. Pengajar biasanya kewalahan mengahadapi murid-muridnya. Bagaimana
cara yang tepat untuk mengatur anak yang hiperaktif dan selalu berlari-lari dalam
kelas, dengan anak yang bersembunyi di bawah meja, kemudian dengan anak
yang berteriak-teriak, dan anak yang memukul temannya dalam suatu waktu yang
bersamaan, tentu saja sangat sulit. Masing-masing pengajar harus mengetahui
masing-masing karakter dan kekurangan anak didiknya.
78
Untuk anak yang hiperaktif umumnya mereka diberi tugas terlebih dahulu
dibandingkan dengan teman-temannya. Agar perhatiannya beralih. Sebenarnya
sikap hyperaktif dilakukan anak untuk mendapatkan perhatian dari pengajar, sama
halnya dengan anak yang bersembunyi dibawah meja. Suasana yang terlalu ramai
bisa mengakibatkan anak bertingkah laku yang aneh, namun kurangnya pengajar
mengharuskan mereka berada dalam situasi seperti itu.
Saat bel berbunyi untuk menandakan saatnya pulang sekolah, maka
pengajar akan kembali memerintah seorang anak untuk memimpin do’a agar yang
lain mengikuti do’a tersebut. Kemudian sebelum murid-murid meninggalkan
kelas, mereka diperintahkan untuk berbaris dan berhitung. Hal tersebut dilakukan
pengajar agar murid-murid belajar untuk berdisiplin dan mengerti peraturan.
Sedangkan berhitung dilakukan agar murid mampu menyebutkan urutan angka.
Hari Sabtu digunakan untuk kegiatan pramuka. Disini, anak-anak belajar
untuk bersosialisasi dengan orang yang lebih banyak dan belajar keterampilan
sederhana, seperti berbaris, mengibarkan bendera, membaca naskah, kemudian
membantu mendirikan tenda, dan sebagainya. Namun semuanya tetap disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing murid.
3.10 Tinjauan Tentang Pengajar SLB
3.10.1 Latar Belakang Pengajar
Sebagian besar pengajar yang berada di dalam lingkungan SLB-C
Cipaganti adalah perempuan. Hal ini disebabkan para pengajar mempunyai
panggilan hati untuk melayani anak-anak dalam bidang pendidikan yang bertujuan
79
untuk membantu mereka dalam mempelajari hal-hal yang berguna bagi kehidupan
mereka dan orang-orang disekitar mereka.
Perempuan memang dianggap memiliki naluri keibuan sehingga dalam
mengadakan kontak atau dalam berkomunikasi dengan anak-anak, mereka selalu
menggunakan naluri keibuannya untuk membujuk, mengajari, atau memarahi
seperti anaknya sendiri. Kasih sayang itu mengalir dengan sendirinya.
Pengajar umumnya berasal dari Bandung atau Jawa Barat dan sekitarnya.
Sehingga penajar pada umumnya bersifat lemah lembut dan sabar. Dalam proses
belajar mengajar, latar belakang kebudayaan sedikitnya akan mempengaruhi
efektifitas komunikasi. Dengan murid-murid SLB yang juga berasal dari suku
Sunda dan mengerti bahasa Sunda tentunya akan mempermudah proses
pembelajaran, karena antara pengajar dan murid mempunyai kesamaan budaya
dan bahasa. Sehingga diharapkan akan tercapainya pengertian bersama
dibandingkan dengan pengajar yang tidak bisa berbicara atau berbahasa yang
sama dengan muridnya.
Meskipun secara verbal anak-anak retardasi sulit untuk memahami, namun
dengan adanya persamaan budaya, dimana ketika ia berada dalam keluarganya
yang mempunyai sifat dan sikap yang relative sama, maka ia tidak akan terlalu
merasa asing berada dalam lingkup sekolahan. Pada umumnya anak yang merasa
asing akan sulit beradaptasi dan akan sulit pula mengikuti apa yang diperintahkan
pengajar. Hal ini berarti akan mempersulit proses pengajaran.
80
Dengan persamaan budaya dan bahasa maka pengajar dapat merancang
pesan yang dapat dimengerti murid dan menciptakan suasana belajar seharmonis
mungkin.
Tingkat latar belakang pendidikan pengajar sangat beragam. Dari SGLB,
DIII, Sarjana Tarbiyah untuk pengajar Agama, S1 FPOK untuk pengajar olahraga,
dan S1 PLB. Proses belajar mengajar juga diharapkan efektif, melihat bahwa
pendidikan minimal untuk menjadi pengajar di SLB Cipaganti ini adalah SGLB,
yaitu pendidikan guru luar biasa setingkat dengan DII. Para pengajar dengan
tingkat pendidikan tersebut tentu mengerti cara-cara penanganan muri-murid
SLB-C sesuai dengan kurikulum yang berlaku dan juga ditambah dengan
kreativitas pengajar atau inisiatif pengajar untuk menanggulangi masalah-masalah
yang terjadi pada setiap anak.
3.10.2 Peranan Pengajar
Bila seseorang mengajar, ini berarti ia sudah mengemban tugas moral,
yaitu tugas moral sebagai orang yang dianggap dapat menurunkan apa yang ia
miliki untuk memberikan pengetahuannya. Tugas moral bahwa ia tidak akan
mengkhianati ilmu pengetahuannya, untuk menjadikan anak seorang manusia
yang berguna. Inilah citra keguruan. Yang ideal adalah, disamping guru
mengajarkan ilmu pengetahuan, juga sebagai pengganti orang tua di sekolah,
menyelami jiwa murid-muridnya. Kita tahu bahwa masyarakat selalu mempunyai
hak untuk menilai guru dengan sikap yang sangat kritis. Orang tua yang
mempercayakan anaknya kepada sekolah berhak mengeluh bila mengetahui hak
81
anaknya tidak dipenuhi. Anak selalu berhak mendapatkan perhatian penuh dari
gurunya.
Seorang guru mempunyai kewajiban moril terhadap masyarakat bahwa ia
melaksanakan tugasnya dengan daya upaya, kejujuran dan kesungguhan yang
tidak boleh ditawar. Dari sini kita dapat mengerti bahwa enggan hanya berbekal
ilmu pengetahuan seberapapun hebatnya, belum cukup untuk dapat menyebut diri
sebagai guru.
Pendidikan pada umumnya bertujuan untuk mengembangkan potensi
murid. Sebagai guru yang baik, adalah wajar bahwa ia ingin agar sebanyak
mungkin anak dengan retardasi mental mengalami perubahan ketingkat yang lebih
baik. Dalam keadaan ini guru harus membatasi keinginannya untuk menghasilkan
anak dengan prestasi yang di luar jangkauan si anak.
Modal pertama yang harus dimiliki sebagai sumber titik tolak dalam
pengajaran adalah “kasih sayang” dan kesabaran. Pengajar di Sekolah Luar Biasa
(tidak seperti kebanyakan sekolah) harus mampu menahan emosi dan
membentengi diri dari rasa amarah. Sebab tingkat kecerdasan dan sifat anak
dengan retardasi mental tentu saja berbeda dengan anak normal. Setiap anak
bukanlah suatu benda mati yang dapat dijadikan pelampiasan kekuasaan gurunya.
Sebagai seorang guru, ia harus dapat menguasai diri, harus mampu
mengendalikan diri, oleh karena keberhasilan seorang guru ditentukan oleh
banyak hal yaitu dari pembawaan atau sikap, penggunaan bahasa yang baik
(bukan bahasa yang kasar atau kotor seperti bahasa pasar) dan keterbukaan
sikapnya.
82
Dengan penjelasan di atas, maka jelas bahwa guru sangat berperan dalam
pembentukan sifat muridnya. Anak dengan retadasi mental tentu saja lebih sulit
untuk berkomunikasi menerima pesan-pesan dari gurunya mengingat susahnya
menerima pesan-pesan dari gurunya dan menyampaikan. Untuk itulah pesan-
pesan nonverbal diperlukan dalam proses pembelajaran dalam kelas. Guru secara
terus menerus memberikan pesan nonverbal lebih banyak dari pada pesan verbal
dalam proses belajar mengajar. Tentu saja itu bukan suatu hal yang mudah, namun
secara perlahan guru memberikan pesan-pesan atau pelajaran yang dapat
ditangkap si anak sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
BAB IV
PEMBAHASAN
Sesuai dengan hasil penelitian, maka dalam bab IV ini penulis akan
membahas tentang data yang telah diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan
studi kepustakaan. Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah para
pengajar SLB C YPLB Cipaganti tingkat sekolah dasar untuk bagian retardasi
mental ringan di Jalan Hegar Asih No.1-3 Bandung.
Adapun dalam menentukan sampel, penulis menggunakan teknik sampling
purposif. Pemilihan sampel dikhususkan bagi pengajar perempuan yang mengajar
minimal lebih dari 5 tahun dengan pendidikan minimal SGLB. Jumlah populasi
sebanyak 5 orang dan jumlah sampel diambil sebanyak 2 orang.
Teknik lain yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan
observasi yang dilakukan dengan turun langsung ke lapangan atau objek
penelitian untuk melakukan wawancara ke SLB C YPLB Cipaganti. Dalam
melakukan observasi, peneliti menggunakan Nonparticipant Observation
(Pengamatan Nonpartisipasi), yaitu peneliti melakukan pengamatan
nonpartisipasi, melakukan observasi pengumpulan data dan informasi tanpa
melibatkan diri, atau tidak menjadi bagian dari lingkungan sosial atau organisasi
yang diamati. Peneliti cukup duduk di sudut ruangan tertentu dan memperhatikan
peristiwa-peristiwa yang menurutnya penting. Observasi dilakukan selama 1 bulan
dari bulan Desember 2006 sampai dengan bulan Januari 2007 dengan langsung
83
84
mengamati kegiatan dari para pengajar (guru) SLB C YPLB Cipaganti tingkat
sekolah dasar untuk bagian retardasi mental ringan.
Adapun pengajar (guru) SLB C YPLB Cipaganti tingkat sekolah dasar
untuk bagian retardasi mental ringan.yang dijadikan responden adalah:
1. Nama : Heni Ruhaeni, S.Pd.
Pendidikan : S1 PLB 1993
Jenis Kelamin : Perempuan
Pengalaman Mengajar : 7 Tahun 8 bulan
2. Nama : Tati Runiarti
Pendidikan : SGLPG 1986
Jenis Kelamin : Perempuan
Pengalaman Mengajar : 20 Tahun 8 bulan
4.1 Analisis Data Responden
4.1.1 Jenis Kelamin Responden
Dari data responden yang ada didapatkan bahwa responden adalah
perempuan. Perempuan dianggap mempunyai emosional yang dapat membantu
anak untuk menuruti kemauan pengajar. Perempuan juga dianggap lebih mengerti
kemauan anak karena dianggap mempunyai naluri keibuan dan penuh kasih
sayang, sehingga para murid merasakan lebih merasa nyaman dalam belajar.
85
4.1.2 Pendidikan Responden
Tingginya tingkat pendidikan memungkinkan mereka untuk memahami
tahap-tahap dalam pelaksanaan mengajar. Sebab setiap pengajar yang mengajar di
SLB harus mempunyai keahlian khusus yang sedikit berbeda dengan pengajar-
pengajar di tingkat sekolah dasar biasa.
Dengan tingkat pendidikan minimal SGLB maka pengajar dapat
mengetahui cara mengajar dengan metode, alat bantu dan cara-cara lain yang
dibutuhkan sebagai pengajar sekolah luar biasa.
4.1.3 Pengalaman Mengajar
Berdasarkan pada data responden yang ada maka didapatkan data bahwa
pengajar sudah mengajar lebih dari lima tahun yaitu sekitar 2 orang. Pengalaman
bekerja ini akan berhubungan langsung dengan kemampuan responden dalam
memahami kesulitan-kesulitan yang di alami dalam mengajar Responden yang
mempunyai pengalaman bekerja yang lebih lama akan lebih memahami cara-
cara, teknik serta metode dalam proses pembelajaran anak retardasi mental
dibandingkan dengan responden yang tingkat pendapatannya lebih rendah.
Oleh karena itu, selain tingkat pendidikan yang khusus untuk mengajar
anak dengan retardasi mental (pendidikan luar biasa), maka seseorang juga harus
memilki pengalaman mengajar yang cukup untuk dapat menguasai cara-cara,
teknik serta metode dalam proses belajar mengajar di kelas.
Selain itu para pengajar yang sudah mengajar lebih dari lima tahun juga
sudah mengenal muridnya dengan baik dan mempunyai hubungan yang erat
86
karena sudah cukup berinteraksi dengan para murid. Dengan demikian, pengajar
sudah mengetahui kemampuan, kekurangan, dan perilaku murid serta
perkembangannya akan lebih mudah diarahkan untuk menjadi lebih baik.
4.2 Analisis Data Penelitian
4.2.1 Pesan Kinesik
4.2.1.1 Frekuensi ekspresi wajah pengajar ketika menyampaikan pesan
Tabel 4.1
Frekuensi ekspresi wajah pengajar ketika menyampaikan pesan
No. Nama Responden Data Hasil Pengamatan
1. Heni Ruhaeni, S.Pd. Responden ini selalu menggunakan
ekspresi wajah ketika menyampaikan
pesan, baik ketika menyampaikan pesan
yang formal maupun pesan yang tidak
formal.
2. Tati Runiarti Responden ini juga selalu menggunakan
ekspresi wajah ketika menyampaikan
pesan, baik ketika menyampaikan pesan
yang formal maupun pesan yang tidak
formal.
Sumber: Hasil Observasi
87
Selama peneliti melakukan wawancara dan observasi dapat disimpulkan
bahwa bahwa kedua responden sering menggunakan ekspresi wajah ketika dalam
menyampaikan pesan, selama proses belajar mengajar berlangsung meski dengan
intensitas yang berbeda-beda. Ibu heni Ruhaeni misalnya, dalam 1 jam pelajaran
menggunakan ekspresi wajah lebih dari 20kali. Sementara Ibu Tati Runiarti
menggunakan ekspresi wajah sekitar 15-20 kali
Rata-rata dari responden yang menggunakan ekspresi wajah tersebut
secara sengaja dengan tujuan untuk membantu murid dalam memahami makna
pesan yang sedang disampaikan. Akan tetapi, ada juga diantara mereka yang
menggunakan ekspresi wajah tanpa disengaja dalam proses penyampaian pesan.
Pesan fasial menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu.
Seringnya pengajar menggunakan ekspresi wajah ketikan sedang menyampaikan
pesan karena para pengajar mengetahui bahwa perilaku nonverbal yang paling
banyak “berbicara” adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan mata, meskipun
mulut tidak berkata-kata.
Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh Albert Mehrabian dalam
buku Psikologi Komunikasi yang menyatakan bahwa:
“Andil wajah bagi pengaruh pesan adalah 55%, sementara vocal 30% dan
verbal hanya 7%. Menurut Birdwhistell, perubahan sangat sedikit saja dapat
menciptakan perbedaan yang besar”. (Mulyana, 2000: 330).
Jadi, dalam proses belajar mengajar anak retardasi mental ringan di kelas.
Pengajar akan menggunakan ekspresi wajah untuk membantu muridnya agar
dapat lebih memahami pesan yang disampaikan.
88
4.2.1.2 Fungsi ekspresi wajah pengajar ketika menyampaikan pesan
Tabel 4.2
Fungsi ekspresi wajah pengajar ketika menyampaikan pesan
No. Nama Responden Data Hasil Pengamatan
1. Heni Ruhaeni, S.Pd. Responden ini sebagian besar menggunakan
ekspresi wajah sebagai komplemen yaitu
melengkapi pesan verbal yang sedang
disampaikan dalam proses belajar mengajar.
2. Tati Runiarti Responden ini banyak menggunakan
ekspresi wajah sebagai komplemen yaitu
melengkapi pesan verbal yang sedang
disampaikan dalam proses belajar mengajar.
Sumber: Hasil Observasi
Dari hasil wawancara dan observasi dapat disimpulkan bahwa kedua
responden menggunakan ekspresi wajah sebagai komplementer, yaitu untuk
melengkapi dan memperkaya pesan verbal yang sedang disampaikan. Jadi di sini,
pengajar sambil menyampaikan pesan verbal untuk menyampaikan pelajaran
dalam kelas juga menggunakan ekspresi wajah yang bertujuan agar murid lebih
memahami pesan verbal yang disampaikan. Contohnya seperti yang terlihat pada
gambar 4.1 berikut ini:
89
Gambar 4.1
Ekspresi wajah sebagai komplemen
Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa ketika pelajaran kesenian,
maka pengajar menyanyikan lagu anak-anak sambil betepuk tangan dan bermuka
gembira. Ekspresi wajah gembira yang digunakan oleh pengajar berfungsi sebagai
komplemen atau melengkapi nyanyian yang sedang dilakukan oleh pengajar.
Sedangkan ketika pelajaran matematika atau Ilmu Pengetahuan Alam
pengajar memberikan materi pelajaran dengan mimik muka yang lebih serius.
Fungsi sebagai komplementer atau melengkapi pesan verbal yang sedang
dilakukan terlihat jelas sekali diantara kedua pengajar dan murid-murid.
4.2.1.3 Makna yang terkandung dalam penggunaan ekspresi wajah
Dari hasil wawancara dan observasi dapat disimpulkan bahwa kedua
pengajar mempunyai pemaknaan yang sama terhadap makna-makna dalam
penggunaan ekspresi wajah.
90
Pada umumnya pengajar memberikan senyuman ketika anak berhasil
mengerjakan apa yang diminta oleh pengajar juga ketika menjawab pertanyaan
dengan benar. Jadi senyuman digunakan untuk menyatakan “bagus, benar atau
pintar” dan menyatakan bahagia dengan kemajuan murid-muridnya.
Mimik wajah serius digunakan jika pengajar sedang menerangkan materi
pengajaran yang biasanya berkaitan dengan isyarat gambar, yang sering diartikan
oleh pengajar sebagai “perhatikan ibu! Atau perhatikan papan tulis!”. Hal tersebut
digunakan untuk menjaga agar anak-anak tetap fokus terhadap materi yang sedang
disampaikan pengajar.
Dalam proses pembelajaran, seringkali anak-anak melakukan kenakalan
yang melebihi anak-anak normal, seperti berlari-lari dalam kelas, memukul teman
yang ada di sebelahnya, mencoret-coret, bersembunyi di bawah meja dan
sebagainya. Di sini pengajar harus menggunakan mimik wajah yang lebih serius
dan terlihat “galak” untuk menandakan “marah”. Hal tersebut untuk menandakan
bahwa pengajar tidak menyukai perbuatan-perbuatan atau kenakalan yang
dilakukan oleh si anak, dan sebagai peringatan agar si anak tidak mengulangi
perbuatan tersebut. Namun tetap diusahakan agar tidak membuat anak menjadi
ketakutan. Karena pada umumnya anak-anak yang merasa takut merasa enggan
mendengarkan atau menuruti perintah dari gurunya (pengajar). Jika anak sudah
merasa sedikit ketakutan karena melihat mimik muka pengajar yang sedikit
terlihat “galak”, maka pengajar akan berusaha merubah mimik mukanya lebih
“bersahabat” dan “hangat” yang berarti bujukan agar si anak mau menuruti kata-
kata pengajar.
91
Sementara itu, banyak sekali penggunaan ekspresi wajah yang terjadi
tanpa disadari oleh pengajar tersebut, baik itu ekspresi wajah terkejut, misalnya
ketika anak memukul temannya. Ekspresi wajah “takjub” dan bahagia ketika si
anak dapat melakukan hal yang lebih dari yang diperkirakan. Sedangkan ekspresi
wajah berminat ketika si anak berusah berbicara dengan terbata-bata untuk
mengucapkan suatu kata atau kalimat. Hal ini dikarenakan ada beberapa anak
(dalam kelas retardasi mental ringan) yang sulit untuk berbicara, dan ada juga
yang tidak mau mengeluarkan suara atau berbicara.
Pesan fasial atau penggunaan ekspresi wajah yang digunakan oleh
pengajar tersebut di atas, sesuai dengan pendapat dari Leathers yang dikutip oleh
Jalaluddin Rakhmat dalam buku Psikologi Komunikasi, yang menyimpulkan
penelitian-penelitian tentang wajah sebagai berikut:
1. Wajah mengkomunikasikan penilaian dengan ekspresi senang dan tak senang, yang menunjukkan apakah komunikator memandang objek penelitiannya baik atau jelek.
2. Wajah mengkomunikasikan berminat atau tak berminat pada orang lain atau lingkungan.
3. Wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam suatu situasi. 4. Wajah mengkomunikasikan tingkat pengendalian individu terhadap
pernyataannya sendiri; dan 5. Wajah barangkali mengkomunikasikan adanya kurangnya pengertian.
(Rakhmat, 2000: 306)
92
4.2.1.4 Frekuensi kontak mata pengajar ketika menyampaikan pesan
Tabel 4.3
Frekuensi kontak mata pengajar ketika menyampaikan pesan
No. Nama Responden Data Hasil Pengamatan
1.
Heni Ruhaeni, S.Pd.
Selama peneliti melakukan pengamatan,
responden ini selalu menggunakan kontak
mata, baik ketika sedang memberikan
materi pelajaran, bertanya kepada anak,
dan ketika berbicara yang tidak formal.
2.
Tati Runiarti
Responden ini selalu menggunakan
kontak mata, baik itu kontak mata ketika
menyampaikan pesan formal maupun
dalam berbicara yang tidak formal
Sumber: Hasil Observasi
Tabel 4.3 menunjukkan kedua pengajar selalu menatap mata anak ketika
berbicara dengan mereka, baik ketika pengajar sedang memberikan materi
pelajaran, dalam berbincang-bincang dalam kelas yang bukan pelajaran dan ketika
memberikan pertanyaan. Biasanya masing-masing pengajar menatap satu persatu
mata anak untuk melihat seberapa tertarik mereka dengan materi pelajaran dan
untuk melihat apakah si anak masih tetap dalam keadaan fokus terhadap materi
pelajaran yang sedang diberikan.
93
Intensitas yang ada pad kedua pengajar tidak berbeda jauh, karena dalam
setiap pelajaran, umumnya kedua pengajar menggunakan kontak mata sekitar 10-
15 kali untuk setiap anak. Kontak mata tentu saja dilakukan pada saat mengajar,
memberikan pertanyaan, mendengarkan anak, mengawasi anak, membujuk anak,
memarahi atau memuji anak.
Penggunaan kontak mata yang diakukan pengajar terhadap setiap anak
berbeda-beda frekuensinya, disesuaikan dengan kebutuhan setiap anak. Karena
masing-masing anak berbeda-beda kebutuhan dan sifat bawaannya. Sesuai dengan
tugas guru yaitu mengawasi, maka pengajar harus mampu mengawasi anak
apakah mereka sudah seperti yang diharapkan pengajar atau tidak. Contohnya,
satu anak dengan insial T yang termasuk murid yang lama dan mempunyai
kemampuan “di atas” teman-teman sekelasnya. Ia sangat senang sekali mendapat
perhatian dari pengajar seperti ditatap, terutama ketika ia berusaha ingin
menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pengajar. Pada saat ia tidak
mendapatkan perhatian tersebut (tatapan dari si pengajar) maka ia biasanya
berbuat kenakalan. Hal tersebut dilakukan agar mendapat perhatian.
Seperti kesepakatan bahwa kontak mata merupakan bukti perhatian
komunikan pada komunikatornya. Menurut Joseph Devito, “Penghindaran kontak
mata dapat mengisyaratkan ketiadaan minat terhadap seseorang, pembicara atau
rangsangan tertentu.” (Devito, 1999: 193) Tataplah mata anak ketika sedang
berbicara dengannya, pengajar akan melihat berbagai perubahan pada matanya,
apakah ia jujur, berdusta, takut dan sebagainya. Joseph Devito dalam Komunikasi
Antar Manusia menyatakan:
94
Pupil mata menunjukkan minta dan tingkat kebangkitan emosi kita. Pupil mata kita membesar bila kita tertearik pada sesuatu atau bila secara emosional kita terangssang. Dan Ekhard Hess berpendapat, pupil mata membesar sebagai reaksi terhadap sikap atau objek yang dinilai positif, dan mengecil sebagai reaksi terhadap sikap atau objek yang dinilai negatif. (Devito, 1997: 193)
4.2.1.5 Fungsi kontak mata pengajar ketika menyampaikan pesan
Tabel 4.4
Fungsi kontak mata pengajar ketika menyampaikan pesan
No. Nama Responden Data Hasil Pengamatan
1.
Heni Ruhaeni, S.Pd.
Selama peneliti melakukan pengamatan,
responden ini selalu menggunakan kontak
mata sebagai komplemen atau melengkapi
pesan verbal, yaitu digunakan ketika dalam
proses pembelajaran, baik dalam
menerangkan maupun dalam bertanya.
2.
Tati Runiarti
Responden ini menggunakan kontak mata
ketika dalam memberikan materi pelajaran
atau sebagai komplemen pesan verbal.
Namun sesekali menggunakan tatapan mata
untuk memantau anak-anak tanpa berbicara
atau ketika mendengarkan anak ketika
berbicara (sebagai subsitusi atau sebagai
pengganti pesan verbal).
Sumber: Hasil Observasi
95
Selama peneliti melakukan wawancara dan observasi dapat disimpulkan
bahwa hampir seluruh responden menggunakan kontak mata (tatap-menatap)
sebagai komplemen terhadap pesan verbal. Namun ada satu pengajar yang
terkadang menggunakan kontak mata sebagai pengganti pesan verbal (subsitusi).
Contohnya dapat dilihat pada gambar 4.2 berikut ini:
Gambar 4.2
Kontak mata sebagai komplemen
Pada gambar 4.2 dapat dilihat, pengajar sedang memberikan penjelasan
mengenai sesuatu kepada anak tersebut, ia memandang anak tersebut ketika
sedang memberikan penjelasan. Hal tersebut pengajar lakukan untuk melihat
seberapa tertarikkah anak terhadap penjelasan dan apakah anak tersebut dapat
mengerti penjelasan yang ia berikan. Penggunaan kontak mata yang terlihat pada
gambar 4.2 di atas adalah sebagai pelengkap yang dilakukan pengajar pada saat
pengajar memberikan materi pelajaran.
96
Pada umumnya materi pelajaran menggunakan alat-alat bantu dan peraga
seperti gambar, benda-benda, dan simbol-simbol yang digunakan agar anak-anak
tertarik dengan pelajaran dan tetap fokus mendengarkan kata-kata pengajar. Untuk
mengetahui apakah si anak tersebut fokus dan tertarik dengan pelajaran yang
sedang di ajarkan, maka pengajar akan menatap mata murid satu persatu.
Selain itu, ada pengajar yang kadang-kadang menggunakan kontak mata
sebagai pengganti pesan verbal. Jadi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ia
memberi pesan yang berarti kepada si anak. Contohnya, ketika mendengarkan si
anak yang bercerita, sesuai dengan kemampuannya, kemudian memandang anak-
anak ketika mengerjakan perintah seperti menulis, menggambar atau menyanyi.
4.2.1.6 Makna yang terkandung dalam penggunaan kontak mata
Ketika pengajar mengajukan pertanyaan setelah selesai melakukan
penjelasan (materi pelajaran) biasanya pengajar akan berusaha menatap mata anak
yang ingin menjawab pertanyaan tersebut. Saat pengajar menatap mata anak
sebagai bentuk perhatian maka pengajar akan melakukan proses penyandian
dalam bentuk petunjuk nonverbal. Tatapan yang diberikan untuk menandakan
perhatian adalah tatapan yang hangat dan simpatik, pesan yang berupa tatapan
tersebut akan kemudian ditangkap oleh anak dan kemudian ditafsirkan sebagai
bentuk perhatian. Setelah ia menyadari bahwa ia diperhatikan maka ia memberi
umpan balik yaitu penyandian balik yang berupa langkah selanjutnya yaitu
menjawab pertanyaan.
97
Kedua pengajar melakukan hal yang sama mengenai penggunaan kontak
mata dan mempunyai persepsi yang sama mengenai pemaknaan penggunaan
kontak mata. Karena sebenarnya makna yang terkandung tidak berbeda dengan
yang dipersepsi oleh kebanyakan orang. Namun saja penggunaannya lebih sering
digunakan dalam proses pembelajaran anak dengan retardasi mental agar
terbentuk pola-pola yang serupa tentang pemaknaan kontak mata.
Berkaitan dengan fungsi kontak mata dalam komunikasi antar pribadi,
kontak mata berfungsi untuk memberi tahu orang lain apakah anda akan
berhubungan dengan orang itu atau menghindarinya. Jadi, pengajar melakukan
kontak mata untuk mengetahui apakah si anak masih fokus terhadap pelajaran
atau tidak memperdulikan karena ada hal lain yang lebih membuatnya tertarik.
Untuk itu pengajar harus menatap mata si anak untuk menyatakan “ayo lihat ke
sini!” atau “jangan berman-main dalam kelas!” atau “perhatikan pelajaran!”
Selain itu kontak mata akan memberi tahu orang lain bagaimana perasaan
anda terhadapnya. Jadi ketika pengajar mengadakan kontak mata terhadap
muridnya satu persatu, ia akan melihat masing-masing murid dengan pandangan
yang berbeda-beda pula.
Pengajar menatap dengan lembut dan penuh perhatian untuk menyatakan
kasih sayang. Contohnya, ketika membujuk anak yang sedang tidak ingin belajar.
Pengajar juga bisa menatap dengan pandangan sedih atau khawatir ketika anak
tidak bisa melakukan perintah yang diminta. Pandangan tersebut digunakan untuk
menyatakan perasaan sedih. Pandangan marah digunakan pengajar ketika si anak
mulai nakal, seperti mengganggu anak yang lainnya. Pandangan tersebut
98
digunakan untuk menyatakan tidak setuju Pandangan marah dapat dicontohkan
dengan gambar 4.3 berikut ini:
Gambar 4.3
Kontak mata dengan makna “marah”
Gambar di atas menyatakan pada saat pengajar tidak menyukai kelakuan si
anak, maka ia akan menyatakan rasa marah itu secara verbal sambil menatap anak
dengan pandangan “marah”. Hal tersebut dilakukan agar si anak menjadi takut
dan berhenti melakukan kenakalan dan tidak menyukai perbuatan si anak.
99
4.2.1.7 Frekuensi gerakan tangan pengajar ketika menyampaikan pesan
Tabel 4.5
Frekuensi gerakan tangan pengajar ketika menyampaikan pesan
No. Nama Responden Data Hasil Pengamatan
1. Heni Ruhaeni, S.Pd. Berdasarkan pada hasil pengamatan
selama observasi, responden ini selalu
menggunakan gerakan tangan ketika
berbicara, baik ketika menyampaikan
materi pelajaran, maupun yang bukan
pelajaran.
2. Tati Runiarti Responden sering menggunakan gerakan
tangan namun hanya pada saat melakukan
kegiatan belajar saja.
Sumber: Hasil Observasi
Selama peneliti melakukan wawancara dan observasi dapat disimpulkan
bahwa kedua responden sering menggunakan gerakan tangan ketika dalam
menyampaikan pesan, selama proses belajar mengajar berlangsung dengan
frekuensi yang berbeda-beda.
Salah satu pengajar, yaitu Ibu Heni Ruhaeni, S.Pd., selalu menggunakan
gerakan tangan ketika berbicara. Beliau selalu menggerakkan tangan lebih dari 25
kali dalam setiap pelajaran, baik dalam memberikan penjelasan tentang materi
100
pelajaran maupun ketika berbicara biasa (bukan pelajaran). Jadi, gerakan tangan
yang dilakukan ada yang digunakan secara sengaja untuk membantu proses
belajar mengajar dalam arti membantu murid-murid untuk lebih mengerti tentang
bahasan yang sedang diterangkan, maupun tidak disengaja dalam berbicara hal
apapun karena merupakan kebiasaan beliau
Berbeda sedikit dengan pengajar lainnya, yaitu Ibu Tati Runiarti, beliau
hanya menggunakan gerakan-gerakan tangan pada saat memberikan materi
pelajaran saja. Jadi beliau menggunakan gerakan-gerakan tangan pada saat
menerangkan gambar-gambar yang ada di papan tulis, memperagakan hal-hal
yang sedang dibahas yang berkaitan dengan materi, yaitu sekitar 15-20 kali setiap
pelajaran.
Untuk anak retardasi mental yang tergolong lambat dalam menangkap
pesan-pesan verbal ketika belajar, maka pesan yang dilakukan dengan bantuan
alat peraga dan isyarat gerakan tangan harus dilakukan secara berulang-ulang. Hal
tersebut dilakukan agar si anak merekam pola-pola yang diterima oleh otak si
anak, sehingga dengan frekuensi yang sering dan terus-menerus, si anak akan
mulai mengerti arti dari gerakan tangan tersebut dan akan lebih mudah dalam
memahami pesan yang disampaikan.
101
4.2.1.8 Fungsi gerakan tangan pengajar ketika menyampaikan pesan
Tabel 4.6
Fungsi gerakan tangan pengajar ketika menyampaikan pesan
No. Nama Responden Data Hasil Pengamatan
1.
Heni Ruhaeni, S.Pd.
Berdasarkan pengamatan, responden
menggunakan gerakan tangan sebagai
komplemen atau sebagai pelengkap ketika
menyampaikan materi pelajaran, kadang-
kadang menggunakan gerakan tangan
sebagai repetisi atau pengulangan pesan
verbal yang sudah disajikan.
2.
Tati Runiarti
Dalam hasil observasi, responden ini
menggunakan gerakan tangan, baik sebagai
pelengkap, pengulangan maupun sebagai
subsitusi atau menggantikan lambang-
lambang verbal.
Sumber: Hasil Observasi
Selama peneliti melakukan wawancara dan observasi dapat disimpulkan
bahwa seluruh responden sebagian besar menggunakan gerakan tangan sebagai
pelengkap ketika sedang mengajar, yaitu dalam memberikan penjelasan mengenai
sesuatu hal, terutama yang berhubungan dengan gambar. Maka gerakan tangan
berguna sebagai alat bantu untuk para murid lebih mudah dalam memahami apa
102
yang sedang diterangkan oleh pengajarnya. Contohnya seperti yang terlihat pada
gambar 4.4 berikut ini:
Gambar 4.4
Gerakan tangan sebagai Komplemen
Pada gambar 4.4 di atas, pengajar sedang menyanyikan lagu anak-anak
“Topi saya bundar”, ketika ia mengatakan “bundar”, maka ia membentuk gerakan
tangan di udara yang menyerupai bentuk bundar. Hal tersebut dilakukan sebagai
pelengkap kata “bundar”, agar si anak dapat mengetahui bentuk bundar itu seperti
yang telah diperagakan oleh si pengajar.
Dalam proses belajar mengajar alat peraga dipergunakan dengan tujuan
membantu guru agar proses belajar siswa lebih efisien dan efektif. Alat peraga
dalam proses belajar mengajar penting karena memiliki fungsi pokok sebagai
berikut:
103
a) Penggunaan alat peraga dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif.
b) Pengguanaan alat peraga merupakan bagian integrasi dari keseluruhan situasi belajar.
c) Alat peraga dalam pengajaran penggunaanya integral dengan tujuan dan isi pelajaran.
d) Penggunaan alat peraga dalam pengajarannya diutamakan untuk mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang diberikan guru. (Suryosurbroto; 1996; 48)
Satu responden menyatakan menggunakan gerakan tangan sebagai repetisi
atau pengulangan pesan verbal yang sudah disajikan. Misalnya ketika pengajar
memberikan pertanyaan, dan menunggu anak untuk menjawab, maka pengajar
akan menggerak-gerakan tangan untuk memancing agar si anak bersuara dan
menjawab pertanyaan. Sebagian responden menyatakan menggunakan gerakan
tangan sebagai subsitusi, atau pengganti pesan verbal, misalnya ketika kelas mulai
ribut maka ia akan menepuk kedua tangannya untuk menarik perhatian murid-
murid dan kemudian menaruh telunjuk di bibir sebagai isyarat tidak boleh ribut.
4.2.1.9 Makna yang terkandung dalam penggunaan gerakan tangan
Berbicara hubungan gerakan, kadang disebut gambaran secara langsung
atau pengantar berbicara, artinya dalam gerakan tangan dapat membentuk
bagaimana cara kita berhubungan dengan lawan bicara atau komunikan. Dari
berbagai pengertian tersebut terlihat bahwa pesan gestural gerakan tangan adalah
sesuatu yang dilakukan manusia disamping ungkapan kata-kata dengan sengaja
ataupun tidak sengaja.
Menggunakan gerakan tangan memudahkan untuk mengerti isi dari
pembicaraan, kadang dalam hal ini gerakan tangan bisa menggambarkan bahwa
104
sesuatu itu lebih spesifik, lebih dimengerti dan kegunaan gerakan dapat membantu
menunjuk orang langsung pada karakternya. Berikut adalah contoh penggunaan
tangan oleh pengajar untuk menyatakan “tidak boleh!”
Gambar 4.5
Makna dalam gerakan tangan
Pada gambar 4.5 di atas, dapat terlihat jelas bahwa pengajar sedang
memarahi anak yang sedang mengganggu anak yang lain. Pengajar meletakkan
telunjuk di bibir sebagai tanda “tidak boleh ribut”. Kemudian menggerak-
gerakkan tangan ke kiri dan ke kanan sebagai tanda “tidak boleh” dan “jangan”.
Dalam hal pemaknaan gerakan tangan, kedua pengajar memakai gerakan-
gerakan tangan yang dianggap sebagai bagian dari kebudayaan pemakaian bahasa
yang bersangkutan.
Berikut gerakan-gerakan tangan yang sering dipakai dalam proses
pembelajaran dalam kelas yang dipakai pengajar untuk menerangkan materi
pelajaran maupun ketika berbicara biasa.
105
Tabel 4.7
Arti/Makna Gerakan Tangan
No. GERAKAN TANGAN ARTI/ MAKNA
1. Melambaikan tangan Selamat tinggal
2. Membentuk lingkaran (begitu
juga dengan gerakan yang
membentuk segitiga, segi empat
dan seterusnya)
Bulat, lingkaran, roda dan segala benda
yang berbentuk bulat (gerakan
membentuk segitiga berarti segitiga,
gerkan yang membentuk segi empat
berarti segi empat, dan seterusnya.)
3. Meletakkan tangan di atas
kepala
Topi
4. Menunjuk murid (dengan jari
telunjuk)
Menunjuk
5. Menggerak-gerakkan telunjuk
atau tangan ke kanan dan ke kiri
(yang mengarah ke atas)
Tidak boleh, jangan
6. Bertepuk tangan Merasa senang, memberi pujian ketika
anak dapat menjawab pertanyaan dan
melakukan hal yang benar. Namun juga
berarti memanggil murid-murid untuk
kembali fokus kedalam pelajaran.
7. Meletakkan jari telunjuk di bibir Tidak boleh berisik atau jangan berisik
8. Mengangkat kedua tangan Berdoa
106
setinggi dada dengan telapak
tangan berada di atas
9. Mengepalkan tangan Cara memegang sesuatu
10. Gerakan tangan memutar antara
tangan kiri dan kanan. Turun
naik secara bergantian
Roda berputar, mengayuh sepeda
11 Gerakan tangan dari atas ke
bawah
Gerakan tangan dari bawah ke
atas
Turunan, menuruni, menunjukkan dari
tempat yang tinggi ke rendah
Tanjakan, menaiki, menunjukkan dari
tempat yang rendah ke tempat yang tinggi
12 Menunjukkan jempol ke arah
atas, dengan tangan dikepal.
Bagus
13 Menempelkan kedua tangan
antara dua orang
Bersalaman
14 Meletakkan tangan orang lain di
atas kening
Bersalaman dengan orang yang lebih tua
15 Mengangkat satu tangan setinggi
bahu dan menggoyang-
goyangkan
Tidak boleh, tidak bisa, atau jangan
Sumber: Hasil Wawancara & Observasi
Gerakan-gerakan di atas merupakan struktur gerakan isyarat yang terlihat.
Pengajar mengajarkan isyarat gerakan tangan ini ketika mengajar di dalam kelas
107
baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal tersebut dikarenakan ada
gerkan-gerakan yang memang dilakukan secara sengaja untuk membentuk
pengertian terhadap muridnya terhadap sesuatu hal. Misalnya ketika pelajaran
akan dimulai, pengajar akan mengangkat tangannya setinggi bahu dan mulai
membaca do’a. Selanjutnya anak-anak akan mempelajar secara langsung bahwa
jika sedang berdoa mereka akan mngangkat tangan setinggi bahu. Hal ini sesuai
dengan pendapat Bollinger yang mengemukakan bahwa
“Ada tipe gerakan yang dipelajari, yang dianggap sebagai bagian dari kebudayaan pemakaian bahasa yang bersangkutan. gerakan tersebut dibagi lagi menjadi: 1. Leksikal yaitu gerakan yang bermakna, seperti lambaian tangan untuk
melengkapai kata selamat tinggal. Penggunaan gerkan leksikal dapat saja sama gerakannya, tetapi mempunyai arti yang berbeda di beberapa
2. Iconic analogi dari sesuatu yang dapat ditunjukkan oleh lebih dari satu gerakan. Gerakan isyarat untuk “bundar” adalah dengan membuat bulatan dengan tangan.
(Bollinger, 1981; 8)
Gerakan-gerakan tangan di atas merupakan gerakan yang dipakai di
lingkup SDLB Cipaganti. Hal tersebut memang tidak tercantum dalam kurikulum
atau secara formal. Namun para pengajar memakainya ketika berkomunikasi dan
dalam proses belajar mengajar di dalam kelas, sebagai bentuk kreativitas guru
dalam mengajar. Gerakan-gerakan tangan tersebut merupakan gerakan yang
disepakati bersama untuk di pakai di lingkungan sekolah SDLB Cipaganti.
Hal tersebut sesuai dengan yang diyatakan oleh Raymond S. Ross bahwa
komunikasi adalah ‘Proses transaksional yang meliputi pemisahan, pemilihan
bersama lambang secara kognitif, begitu rupa sehingga membantu orang lain
108
untuk mengeluarkan dari pengalamannya sendiri atau respon yang sama dengan
yang dimaksud sumber.’ (Rakhmat, 2000: 3)
Pemilihan dan penggunaan lambang tersebut tidak berbeda dari yang ada
di dalam masyarakat, agar anak-anak dapat terbiasa menggunakan isyarat serta
mendapat pengertian yang sama mengenai isyarat yang dipakai dalam masyaratkat
atau lingkungan sekitarnya dan dapat berbaur sebisa mungkin. Hal tersebut sesuai
dengan tujuan pendirian SLB itu sendiri, yaitu untuk mendidik dan melatih anak
retardasi mental supaya mereka dapat menolong dirinya sendiri, dapat
menyesuaikan diri dengan masyarakat, serta dapat hidup mandiri sesuai dengan
kemampuannya. Sehingga tidak ada yang membedakan antara isyarat gerakan
tangan yang dipakai di lingkungan SDLB ini dengan yang sudah ada di dalam
masyarakat.
109
4.2.2 Pesan Paralinguistik
4.2.2.1 Frekuensi penggunaan nada ketika menyampaikan pesan
Tabel 4.8
Frekuensi penggunaan nada ketika menyampaikan pesan
No. Nama Responden Data Hasil Pengamatan
1.
Heni Ruhaeni, S.Pd.
Berdasarkan pada hasil observasi yang dilakukan
peneliti, responden selalu menggunakan nada
dalam menyampaikan pesan di kelas. Responden
menyampaikan pesan dalam nada-nada yang
bervariasi untuk menarik perhatian si anak.
2.
Tati Runiarti
Selama peneliti melakukan pengamatan,
responden ini sering menggunakan nada ketika
menyampaikan pesan.
Sumber: Hasil Observasi
Dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti terhadap
para responden didapatkan hasil bahwa seluruh responden sering menggunakan
nada dalam menyampaikan pesan. Walaupun intensitas penggunaan nada dari
masing-masing responden berbeda-beda. Ada 1 responden, yaitu Ibu Heni
Ruhaeni yang selalu menggunakan nada (rendah atau tinggi) dalam proses belajar
mengajar di kelas maupun ketika berbicara apa saja dengan muridnya. Dalam
setiap pelajaran yang berdurasi 1 jam, pengajar tersebut menggunakan nada yang
bervariasi sekitar lebih dari 25 kali. Sementara itu 1 responden hanya memakai
110
nada pada saat tertentu saja, seperti ketika mengajar di depan kelas, atau ketika
memarahi murid-muridnya, yaitu sekitar 15-20 kali.
Frekuensi penggunaan nada dalam menyampaikan pesan tentu akan
mempengaruhi proses pembelajaran dalam kelas. Hal ini sesuai dengan
Mehrabian dan Ferris yang menyebutkan bahwa dalam paralinguistik adalah
terpenting kedua setelah ekspresi wajah dalam menyampaikan perasaan atau
emosi. Menurut formula mereka, paralinguistik mempunyai andil 38% dari
keseluruhan impak pesan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa responden menggunakan nada rendah dan
tinggi dalam menyampaikan pesan. Hal tersebut dikarenakan agar murid tidak
bosan dalam proses pembelajaran. Karena jika pengajar mengajar dengan suara
yang datar (tanpa nada rendah atau tinggi), maka proses belajar mengajar akan
terasa monoton dan membosankan.
Selain itu, penggunaan nada dipergunakan untuk menyatakan perasaan si
pengajar. Dari penggunaan nada rendah atau tinggi si anak akan berusaha
menangkap pesan yang terkandung di dalamnya, kemudian menyimpannya dalam
memori di otak, sehingga jika hal tersebut dilakukan berulang-ulang secara teratur
dan berstruktur, maka ketika si pengajar menggunakan hal tersebut kembali, si
anak sudah dapat mengerti maksudnya.
111
4.2.2.2 Fungsi penggunaan nada ketika menyampaikan pesan
Tabel 4.9
Fungsi penggunaan nada ketika menyampaikan pesan
No. Nama Responden Data Hasil Pengamatan
1.
Heni Ruhaeni, S.Pd.
Selama peneliti melakukan pengamatan,
responden ini menggunakan nada sebagai
komplemen ketika memberi penjelasan
mengenai materi pelajaran. Responden
kadang-kadang menggunakan nada sebagai
aksentuasi atau penekanan ketika
menyampaikan pesan.
2.
Tati Runiarti
Berdasarkan hasil observasi, responden ini
tidak menggunakan nada hanya sebagai
komplemen saja namun juga sebagai
aksentuasi.
Sumber: Hasil Observasi
Dari hasil wawancara dan observasi dapat disimpulkan bahwa kedua
pengajar menggunakan nada sebagai komplemen atau pelengkap ketika
menyampaikan pesan verbal.
Ibu Heni Ruhaeni, misalnya, selalu berbicara dengan nada yang turun naik.
Hal ini dilakukan ketika menjelaskan materi pelajaran. Hal tersebut dilakukan
112
untuk menarik perhatian murid, agar tidak bosan dan tetap fokus pada pelajaran.
Begitu juga dengan ibu Tati Runiarti.
Keduanya juga memakai nada sebagai aksentuasi atau menegaskan pesan
verbal atau menggarisbawahinya. Misalnya ketika anak mulai nakal, maka
pengajar mengucapkan kata “tidak boleh” dengan sedikit menaikkan nada untuk
memarahi si anak tersebut dengan sedikit penekanan agar dia merasa sedikit takut.
4.2.2.3 Makna yang terkandung dalam penggunaan nada
Berdasarkan pada hasil wawancara dengan para responden sebagian besar
pengajar menggunakan nada rendah untuk membujuk si anak, hal ini untuk
menjaga psikologis anak jangan sampai ia merasa kurang percaya diri dengan
kekurangan yang ada pada dirinya. Nada rendah menunjukkan kasih sayang dan
pesan yang diucapkan secara persuasif dapat berdampak yang baik dalam proses
pembelajaran pada anak retardasi mental, karena suara yang lembut akan dapat
mengambil hati seseorang dibandingkan dengan suara dengan nada yang tinggi.
Nada menunjukkan kondisi psikologis tertentu, seperti dituliskan
Jalaluddin Rakhmat, “Nada dapat mengungkapkan gairah, ketakutan, kesedihan
kesungguhan dan kasih sayang. Nada dapat memperteguh dampak kata yang kita
ucapkan.” (1999: 123) Hal tersebut disadari oleh para pengajar di SLB Cipaganti,
namun penggunaan nada tinggi juga sangat berperan dalam proses pembelajaran
dalam kelas. Sebab pesan yang disampaikan oleh pengajar tidak selalu akan dapat
dimengerti dan dalam proses belajar pasti ada saja anak-anak yang melakukan
113
kesalahan atau susah untuk diatur, sehingga dalam hal ini nada tinggi tentu sangat
berperan.
Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan Liliweri bahwa “komunikasi
nonverbal acapkali dipergunakan untuk menggambarkan perasaan atau emosi.
Jika pesan yang diterima melalui sistem verbal tidak menunjukkan kekuatan
pesan, maka anda dapat menerima tanda-tanda nonverbal lainnya sebagai
pendukung.” (1994:87) Maka pada saat anak tidak memperdulikan apa yang
dikatakan pengajar dalam nada datar, hal tersebut dapat berbeda jika pengajar
menaikkan nada suaranya, menatap matanya dan sambil menunjuk si anak
tersebut.
Dari data observasi dan wawancara dengan para pengajar, mereka
menggunakan nada yang bervariatif, yaitu nada yang naik turun untuk menarik
perhatian anak, nada tinggi untuk mempersepsikan kemarahan atau untuk
menyatakan bahwa si anak melakukan kesalahan dan di dalam nada tinggi yang
digunakan si pengajar berusaha untuk menekankan bahwa hal seperti itu tidak
boleh untuk diulang kembali.
Sesuai dengan model Scramm, pengajar yang ingin menyampaikan
pelajaran akan berpikir bagaimana cara penyampaian yang baik. Untuk itu
pengajar menyandi pesan menjadi bahasa verbal dengan penggunaan nada yang
naik turun dengan tujuan agar menarik perhatian anak. Ketika pesan disampaikan,
anak akan menangkap sinyal dari tinggi rendah suara, kemudian menafsirkannya
untuk proses penyandian balik, seperti memperhatkan pengajar. Perhatiannya
114
terhadap pengajar merupakan umpan balik dari hasi penafsiran dan penyandian
balik.
Nada tinggi umumnya membuat sebagian anak akan menjadi ketakutan,
namun ketakutan yang diinginkan pengajar hanya sebatas pada si anak tidak
mengulangi kesalahan yang sama. Sebagai pemimpin di dalam kelas, maka
pengajar dapat menggunakan pesan-pesan nonverbal seperti nada tinggi untuk
memerintah, dengan tujuan agar ditiru dalam melaksanakan tugas dengan tepat
dan pasti. serta menggunakan coersive power untuk menghukum anak-anak yang
tidak menaati perintah.
Jadi ia dapat mengerti saat pengajar menggunakan nada tinggi, maka si
anak sudah mengerti kalau ia melakukan hal yang salah. Menurut jalaluddin
Rakhmat (2000: 87), “Suara mengungkapkan keadaan emosional. Anak kecilpun
sudah mengetahui, bahwa suara yang lembut berarti kasih sayang, suara yang
meninggi dan keras berarti kemarahan.”
115
4.2.2.4 Frekuensi penggunaan volume ketika menyampaikan pesan
Tabel 4.10
Frekuensi penggunaan volume ketika menyampaikan pesan
No. Nama Responden Data Hasil Pengamatan
1.
Heni Ruhaeni, S.Pd.
Berdasarkan pada hasil observasi yang
dilakukan peneliti, responden selalu
menggunakan volume besar kecil ketika
menyampaikan pesan.
2.
Tati Runiarti
Selama proses pembelajaran di dalam
kelas berlangsung, responden selalu
menggunakan volume yang bervariatif.
Sumber: Hasil Observasi
Dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti terhadap
para responden didapatkan hasil bahwa seluruh responden selalu menggunakan
volume yang bervariasi ketika menyampaikan pesan. Hampir sama seperti
penggunaan nada, Ibu Heni Ruhaeni menggunakan volume dalam setiap pelajaran
sebanyak lebih dari 20 kali. Sementara Ibu Tati Runiarti menggunakan volume
sebanyak 15-20 kali setiap pelajaran.
Penggunaan volume tersebut dilakukan secara sengaja dan ekspresif untuk
menyatakan pendapat. Pada umumnya anak dengan retardasi mental ringan
mempunyai kesulitan seperti perkembangannya lambat, terlampau aktif atau
terlampau diam, koordinasi anatoriknya kurang, bersifat manja dan daya
116
ingatannya kurang. Dengan demikin, frekuensi pemakaian pesan nonverbal
tentunya sangat mempengaruhi perkembangan anak-anak tersebut.
Selain itu penggunaan volume dipergunakan untuk menyatakan perasaan
si pengajar. Dari penggunaan nada (besar/kecil) secara terus menerus maka si
anak akan berusaha menangkap pesan yang terkandung di dalamnya, kemudian
menyimpannya dalam memori di otak, sehingga jika hal tersebut dilakukan
berulang-ulang secara teratur dan berstruktur, maka ketika si pengajar
menggunakan hal tersebut kembali, si anak perlahan-lahan sudah dapat mengerti
maksudnya.
117
4.2.2.5 Fungsi penggunaan volume ketika menyampaikan pesan
Tabel 4.11
Fungsi penggunaan volume ketika menyampaikan pesan
No. Nama Responden Data Hasil Pengamatan
1.
Heni Ruhaeni, S.Pd.
Selama peneliti melakukan pengamatan,
responden ini menggunakan nada sebagai
komplemen ketika memberi penjelasan
mengenai materi pelajaran. Responden juga
menggunakan nada sebagai aksentuasi atau
penekanan ketika menyampaikan pesan.
2.
Tati Runiarti
Berdasarkan hasil observasi, responden
menggunakan nada sebagai komplemen dan
juga sebagai aksentuasi ketika
menyampaikan pesan.
Sumber: Hasil Observasi
Dari hasil wawancara dan observasi dapat disimpulkan bahwa kedua
pengajar menggunakan volume sebagai komplemen atau pelengkap ketika
menyampaikan pesan verbal.
Penggunaan volume secara besar kecil juga ketika menjelaskan materi
pelajaran. Hal tersebut dilakukan untuk menarik perhatian murid, agar tidak bosan
dan tetap fokus pada pelajaran.
Kedua pengajar juga memakai nada sebagai aksentuasi atau menegaskan
pesan verbal atau menggarisbawahinya. Misalnya ketika anak mulai nakal, maka
118
pengajar mengucapkan kata “tidak boleh” dengan sedikit mengeraskan volume,
karena dengan penekanan volume dari kecil menjadi besar akan mengungkapkan
perasaan si pengajar yang tidak menyukai hal yang dilakukan oleh anak didiknya.
4.2.3.6 Makna yang terkandung dalam penggunaan volume
Sama seperti penggunaan nada, sebagian besar pengajar menggunakan
volume rendah untuk membujuk si anak. Volume rendah menunjukkan kasih
sayang dan pesan yang diucapkan secara persuasif dapat berdampak yang baik
dalam proses pembelajaran pada anak retardasi mental, karena suara yang lembut
akan dapat mengambil hati seseorang dibandingkan dengan suara dengan volume
yang tinggi. “Bila kita ingin mengungkapkan perasaan sayang atau pengertian,
kita merendahkan volume suara kita.” (Rakhmat, 2000: 293).
Berdasarkan pada hasil wawancara dengan para responden pengajar
umumnya merendahkan suara untuk membuat si anak merasa nyaman meskipun
terkadang suara yang mereka keluarkan tidak begitu jelas. Namun pengajar harus
dengan sabar dan menganggap bahwa hal tersebut adalah suatu percakapan yang
sempurna. Hal tersebut dilakukan agar si anak tidak merasa rendah diri dan malu
untuk menyatakan pikiran dan perasaannya.
Hal tersebut sesuai dengan anjuran Departemen pendidikan Kebudayaan
tentang anak retardasi mental yang mengasumsikan “…jika bunyi-bunyi yang
dikeluarkan tidak ada artinya sama sekali, tetapi menimbulkan perasaan kepada
anak bahwa tiap bunyi yang ia keluarkan adalah suatu kontak dengan orang lain.
119
maka bicaralah dengan suara lembut dan jelas, anggaplah ia akan dapat
menjawab.” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977: 64)
Dengan pola yang sama dan diulang terus menerus akan membuat si anak
untuk menyimpan memori, sehingga ketika saat ia mendengarkan suara yang
halus dan kecil ia merasakan kasih sayang dan kenyamanan. Sebaliknya jika ia
mendengarkan pengajar menggunakan volume yang sedikit keras, maka ia dapat
merasakan bahwa ia sedang dimarahi.
Selain itu variasi besar kecil volume juga untuk menarik perhatian si anak.
Suara yang datar berkesan tidak ekspresif dan kaku. Hal tersebut dapat
menyebabkan si anak bosan dan mengalihkan perhatiannya ke hal yang lain.
Dengan pola suara yang besar kecil tersebut pengajar berusaha untuk menarik
perhatian agar si anak tetap fokus memperhatikan mereka.
120
4.2.3 Pesan Proksemik
4.2.3.1 Frekuensi penggunaan jarak personal ketika menyampaikan pesan
Tabel 4.12
Frekuensi penggunaan jarak personal ketika menyampaikan pesan
No. Nama Responden Data Hasil Pengamatan
1. Heni Ruhaeni, S.Pd. Berdasarkan pada hasil observasi yang
dilakukan peneliti, responden selalu
berbicara dalam jarak personal pesan di
kelas dan kadang-kadang dengan jarak
akrab (zona intim).
2. Tati Runiarti Selama peneliti melakukan pengamatan,
responden ini sering berbicara dengan
jarak personal.
Sumber: Hasil Observasi
Tabel 4.11 menunjukkan kedua pengajar menyatakan selalu berbicara dari
jarak personal dengan anak. Satu pengajar menyatakan kadang-kadang juga
berbicara dari jarak akrab. Ibu Heni Ruhaeni, menggunakan jarak personal untuk
setiap pelajaran sekitar 10-15 kali dan menggunakan jarak akrab sekitar 1-5 kali.
Sementara itu, Ibu Tati Runiarti menggunakan jarak personal sekitar 10-15 kali
dalam setiap pelajaran.
Jalaluddin Rakhmat dalam Psikologi Komunikasi menyatakan, “Umumnya
dengan mengatur jarak kita mengungkapkan keakraban kita dengan orang lain.”
121
(Rakhmat, 2000: 290). Seluruh pengajar menyatakan selalu berbicara dengan
jarak pribadi dengan anak, jarak pribadi yang secara teoritis menyatakan
keakraban, personal dan tema pembicaraan dominasi hal-hal yang bersifat pribadi
atau rahasia. Seperti dikemukakan Edward T. Hall dan dikutip Stewart L. Tubbs-
Sylvia Moss, diterjemahkan Deddy Mulyana dalam Human Communication,”
Jarak Pribadi berkisar 1,5 kaki-4 kaki atau 50 cm-150 cm, Karakteristik suara
halus dan dipelankan. Isi menyangkut masalah yang lebih pribadi. (Mulyana
1996; 121). Jarak ini umumnya dipakai pengajar ketika sedang menyampaikan
materi pelajaran di dalam kelas. Seperti ketika menerangkan gambar yang ada di
papan tulis. Pengajar pada umumnya berdiri di depan kelas ketika mengajar, jarak
yang tidak terlalu dekat dan juga tidak terlalu jauh dari murid-muridnya. Edward
T. Hall juga mengemukakan bahwa orang umumnya berbicara dari jarak personal
untuk membicarakan tentang hal-hal yang melibatkan kepentingan personal;
dengan suara lembut. (Mulyana 1996; 121)
Seorang responden menyatakan kadang-kadang berbicara dengan anak
dari jarak akrab. Jarak pribadi berkisar 0-18 inci. Karakteristik suara lebih halus
dan dipelankan. Isi menyangkut masalah yang lebih pribadi. (Rakhmat, 1985;
307). Jarak akrab atau intim umumnya dipakai pengajar ketika si anak
membutuhkan perhatian lebih. Terutama jika si anak tidak bisa melakukan apa
yang diperintahkan pengajar. Contohnya anak dengan initial MC, merupakan
salah satu anak paling kecil di kelas, dia selalu membelakangi papn tulis, dan
tidak memperdulikan keadaan di sekitarnya. Untuk membantunya dalam pelajaran
maka, pengajar akan menghampiri MC dan membujuk dengan suara lembut serta
122
memperagakan hal yang sudah disampaikan kembali agar dia mau menuruti. Atau
sering kali ketika MC diganggu, maka ia akan bersembunyi di bawah meja.
Dalam hal ini, pengajar juga menggunakan jarak akrab atau intim untuk
membujuk MC agar mau kembali ke tempat duduknya.
4.2.3.2 Fungsi penggunaan jarak personal ketika menyampaikan pesan
Tabel 4.13
Fungsi penggunaan jarak personal ketika menyampaikan pesan
No. Nama Responden Data Hasil Pengamatan
1. Heni Ruhaeni, S.Pd. Berdasarkan hasil observasi, responden ini
menggunakan jarak personal sebagai
komplemen atau melengkapi pesan verbal
dan juga sebagai aksentuasi.
2. Tati Runiarti Selama peneliti melakukan pengamatan,
responden ini berbicara dengan jarak
personal sebagai pelengkap atau komplemen.
Sumber: Hasil Observasi
Dari hasil wawancara dan observasi dapat disimpulkan bahwa kedua
pengajar menggunakan jarak personal sebagai komplemen atau pelengkap ketika
menyampaikan pesan verbal. Contohnya, ketika pengajar memberikan penjelasan
mengenai gambar di depan kelas, maka ia mengatur jarak agar terlihat oleh semua
123
muridnya tanpa harus terlalu jauh agar ia juga bisa mengawasi muridnya apakah
mereka memperhatikan pelajaran atau tidak.
Pengajar juga sering berpindah-pindah, menjauh dan mendekati si anak
ketika menjelaskan materi pelajaran. Hal tersebut dilakukan untuk menarik
perhatian murid, agar tidak bosan dan tetap fokus pada pelajaran. Hal ini dapat
dilihat sesuai dengan gambar 4.6 berikut ini:
Gambar 4.6
Penggunaan jarak personal sebagai komplemen
Salah satu pengajar menggunakan jarak akrab sebagai aksentuasi atau
menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya. Misalnya ketika anak terlihat
bingung dan tidak mengerti atau beralih perhatiannya, maka pengajar akan
mendekati anak tersebut, sambil berbicara dengan lembut dan berusah membujuk
atau pun mengulangi materi pelajaran sampai ia mulai mengerti. Contoh lain
adalah pada saat anak menangis, karena dalam setiap waktu selalu ada anak yang
mengganggu anak yang lain, sehingga dalam setiap waktu ada anak yang
menangis di kelas. Maka pengajar akan berusaha menenangkan anak dengan suara
124
lembut dan perlahan, dari jarak yang sangat dekat, untuk membujuknya kembali
belajar.
4.2.3.3 Makna yang terkandung dalam penggunaan jarak personal
Berdasarkan hasil obsevasi dan wawancara, pengajar pada umunya
mempergunakan jarak personal ketika mengajar untuk memberikan kesan akrab,
hangat dan untuk jangka panjang membuat anak-anak merasa nyaman dengan
mereka, sehingga pengajar sudah dianggap sebagai ibu kedua, yaitu ibu yang bisa
membimbing sekaligus menyayangi. Keasingan dan ketidak pedulian yang
dialami anak retardasi mental akan berkurang sedikit demi sedikit jika pengajar
sering menggunakan jarak personal ini.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Jalaluddin Rakhmat dalam Psikologi
Komunikasi menyatakan, “Umumnya dengan mengatur jarak kita mengungkapkan
keakraban kita dengan orang lain.” (Rakhmat, 2000: 290). Kedua pengajar
menyatakan selalu berbicara dengan jarak pribadi dengan anak, jarak pribadi yang
secara teoritis menyatakan keakraban, personal dan tema pembicaraan dominasi
hal-hal yang bersifat pribadi atau rahasia.
Jarak personal dalam fase dekat biasanya digunakan untuk menunjukkan
perhatian yang lebih terhadap masalah-masalah yang dihadapi anak. Misalnya,
ketika anak kesulitan untuk menggambar lingkaran, maka pengajar akan
menghampiri anak-anak yang tidak bisa membuat lingkaran dan membuat contoh
di buku anak tersebut atau ketika anak mengajukan pertanyaan atau ingin
menjawab pertanyaan, maka biasanya pengajar mendekati anak sebagai bentuk
125
perhatian dan rasa minat terhadap penjelasan mereka. Sementara jarak personal
dalam fase jauh biasanya digunakan untuk membicarakan hal-hal yang bersifat
formal dan mengenai pelajaran. Hal tersebut dilakukan agar semua anak dapat
melihat pengajarnya, dan pengajar juga dapat mengawasi anak secara
keseluruhan.
Berdasarkan hal tersebut maka kedua pengajar yang berusaha mengatur
jarak, baik itu personal maupun akrab ketika berbicara dengan anak di dalam kelas
terutama dalam proses pembelajaran. Pengaturan jarak ini berkaitan erat dengan
tugas guru sebagai tokoh yang paling utama dalam membimbing anak di sekolah
dan memperkembangkan anak agar mencapai kedewasaan. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan mengajar, yang pertama-tama dilakukan guru untuk dapat menarik
perhatiannya adalah dengan penampilan dan sikapnya. Dengan berdiri di depan
kelas, ketika pengajar mulai menerangkan (pada tahap pengajaran), agar perhatian
anak terpusat pada pengajar yang berada di depan kelas. Pengaturan kelas dengan
pengaturan tempat duduk yang berbentuk tapal kuda, dengan pengajar ditengah-
tengah muridnya, merupakan salah satu bentuk pengelolaan kelas yang termasuk
dalam proses belajar. Hal tersebut digunakan agar pengajar dapat mengawasi
seluruh murid satu persatu dari dekat. Sehingga jelas hal tersebut dilakukan sesuai
dengan fungsi guru yang aktif yaitu untuk mengawasi dan membantu anak dalam
menghadapi kesulitan yang tak teratasi. Jika pola tempat duduk di atur seperti
kelas-kelas pada sekolah dasar umumnya, maka anak tidak dapat terawasi
seluruhya, dan segala kesulitan dan perkembangan anak tidak dapat terlihat
langsung oleh pengajar.
126
Dari jarak personal yang di cerminkan dari pola tempat duduk di dalam
kelas, terlihat bahwa pengajar mewujudkan misi SLB-C untuk berpartisipasi
dalam menanggulangi masalah-masalah keterbelakangan mental, dengan berusaha
mewujudkan segala cara, metode dan hal-hal yang berhubungan dengan
pelaksanaan pengajaran termasuk pengelolaan kelas.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya,
maka penulis dapat menarik kesimpulan sehubungan dengan pesan nonverbal
dalam proses pembelajaran anak retardasi mental ringan di kelas.
1. Mengenai penggunaan pesan nonverbal kinesik antara pengajar
terhadap anak retardasi mental, dapat disimpulkan bahwa pesan
kinesik merupakan hal yang sangat penting, baik itu melalui
penggunaan ekspresi wajah, kontak mata dan gerakan tangan.
Seringnya penggunaan pesan kinesik dari pengajar yang berarti
komunikasi terus berlangsung secara teratur dan terus menerus,
sehingga akan membantu anak retardasi mental ringan untuk lebih
mengerti pesan yang dimaksud oleh si pengajar dalam proses
pembelajaran di kelas. Berkaitan dengan fungsi komunikasi, pesan
kinesik yang berkaitan dengan ekspresi wajah, kontak mata dan
gerakan tangan mempunyai fungsi sebagai repetisi (mengulang pesan
verbal) subsitusi dan komplemen. Pada umumnya arti dan makna yang
terkandung merupakan hasil dari kesepakatan bersama untuk dipakai
dalam proses pembelajaran di dalam kelas dan digunakan untuk
menarik perhatian anak retardasi mental agar tetap menaruh minat dan
fokus terhadap pelajaran.
127
128
2. Mengenai penggunaan pesan nonverbal paralinguistik antara pengajar
terhadap anak retardasi mental, dapat disimpulkan bahwa pesan
paralinguistik merupakan pesan terpenting kedua setelah pesan
kinesik. Pesan paralinguistik yang banyak dipakai dalam proses
pembelajaran anak dalam kelas adalah penggunaan nada dan volume.
Penyampaian pesan yang dilakukan pengajar kepada anak retardasi
mental ringan selalu bervariasi (dengan nada dan volume yang
berubah-ubah). Hal ini penting untuk menghilangkan kejenuhannya
dan untuk menarik perhatian si anak. Karena pada umunya anak
dengan retardasi mental mengalami kesukaran dalam berkonsentrasi,
sehingga suara-suara dengan nada dan volume yang bervariasi
diharapkan dapat menarik perhatian. Berkaitan dengan fungsi
komunikasi itu sendiri, penyampaian pesan nonverbal dapat dilakukan
sebagai subsitusi (Mengganti pesan verbal) ataupun komplemen
(Melengkapi pesan verbal). Mengenai arti dan makna yang terkandung
dalam penggunaan pesan paralinguistik, biasanya para pengajar
menggunakan suara yang lembut dengan nada rendah dan volume kecil
untuk menyatakan persaan sayang dan sebaliknya dengan nada tinggi
dan volume sedikit keras untuk menunjukkan perasaan untuk
menyatakan bahwa si anak melakukan kesalahan, tanpa bemaksud
membuatnya ketakutan atau merasa kurang senang. Hal tersebut hanya
sebagai pertolongan untuk menyatakan mana yang benar dan mana
yang salah. Hal apa yang boleh dan hal apa yang tidak boleh.
129
3. Penggunaan pesan nonverbal proksemik mempunyai arti dan makna
yang sangat mendalam, karena mengungkapkan kedekatan kita pada
seseorang. Dengan jarak pribadi yang digunakan sesering mungkin,
maka si anak merasakan kasih sayang yang cukup, sehingga sikap
asing dan tidak perduli terhadap lingkungan sekitar dapat perlahan-
lahan berubah . Dan dengan perasaan yang nyaman si anak akan lebih
mudah untuk diatur, sehingga proses pembelajaran akan semakin
mudah. Pada umumnya jarak personal digunakan sebagai pelengkap
pesan verbal, namun seiring dengan jarak personal, jarak pribadi juga
terkadang digunakan dalam proses pembelajaran anak retardasi mental
ringan sebagai aksentuasi atau sebagai penegasan pesan verbal.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dari kesimpulan yang telah dijelaskan,
penulis ingin mengajukan beberapa saran sebagai berikut :
1. Setiap pengajar diharapkan memiliki catatan khusus tentang
perkembangan masing-masing anak. Karena pada setiap anak berbeda
perkembangannya, maka setiap pengajar juga diharapkan peka
terhadap kesukaran-kesukaran yang dialami setiap anak.
2. Setiap pengajar juga diharapkan lebih mengetahui mengenai pesan
nonverbal dalam penggunaannya dalam proses pembelajaran di dalam
kelas. Pesan nonverbal diharapkan sangat membantu dalam proses
pembelajaran anak retardasi mental ringan, sehingga penggunaannya
130
sesering mungkin dan dengan variasi yang banyak diharapkan akan
sangat membantu.
3. Adanya kerja sama antara pengajar dan orang tua yang memiliki anak
dengan retadasi mental, mendukung terapi yang sudah dijalani anak di
sekolah. Caranya adalah dengan terus-menerus melatih kemampuan
anak dengan penuh kesabaran, dengan suara lembut yang penuh kasih
sayang, yang sejalan dengan terapi yang dijalankan di SLB. Sebab
peran orang tua dalam kemajuan anaknya tentu lebih besar. Jadi, orang
tua dan pengajar harus sama-sama mendukung dalam membimbing
proses pembelajaran anak retardasi mental.
4. Pengajar hendaknya menggunakan berbagai media yang lebih beragam
sebagi alat bantu peraga dalam kelas, agar anak-anak lebih menaruh
minat dan perhatian dalam pross belajar mengajar.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahmana, Oemi. 1993. Dasar-Dasar public Relations. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Bolinger, Dweinth and Donald A. sears. 1981. Aspects of Language. Harcout
Brave Jovanovich, Inc, New York. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977. Pendidikan Anak-Anak
Terbelakang. N.V Masa Baru, Bandung. Devito, Joseph A. 1997.Komunikasi Antar manusia, Kuliah dasar. Jakarta :
Professional Books. Djuharie, O. Setiawan.2001. Pedoman Penulisan Skripsi Tesis Disertasi. Penerbit
Yrama Widya, Bandung. Effendy, Prof. Drs. Onong Uchjana, M.A. 1993. Human Relation and Public
Relation. Penerbit Mandar Maju, Bandung. Ehninger, Douglas, Alan H. Manroe, adh Bruce E. Gronback. 1976. Principles
and Types of Speech Communication, Illnois, Scott, Foresman. Gunarsa, D., Singgih, Dr., Prof, 1986. Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja, Penerbit PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta. Knapp, L. Markand hall, A. Judith. 1992. Nonverbal Communication in Human
Interaction. Harcout Brace Jovanovich College Publisher. Leather, Dale G.1976. Nonverbal Communication System. Ally and Bacom inc
London. Liliwerri, DR. Alo, 1994. Perspektif Teoritis Komunikasi anatr Pribadi, Penerbit
PT. Citra Aditis Bakti. Bandung. Ludlow, Ron. 1996. Komunikasi Efektif, Diterjemahkan oleh Deddy Jacobus,
cetakan pertama, Yogyakarta. Meinanda. 1981. Pengantar Ilmu Komunikasi dan jurnalistik.ARMIKO, Bandung Mulyana, Deddy. 1996. Human Communication Prinsip-Prinsip Dasar, PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung.
122
123
_______________, 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Rakhmat, Jalaluddin. 2000. Psikologi Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung. Rahmadi, F., 1992. Public Relations Dalam Teori dan Praktek. Penerbit
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suryosubroto, B., Drs, 1996. Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Penerbit
Rineka Cipta, Yogyakarta. Supratiknya, 1995. Komunikasi Antar Pribadi Tinjauan Psikologis. Jakarta;
Kanisius. Tasmara, Toto, 1997. Komunikasi Dakwah, Gaya Media Pratama, Jakarta.
LAMPIRAN
Catatan Lapangan
Wawancara dengan Guru Kelas /Pengajar (BU HENI)
11-12 Desember 2006
Di Kelas
(P) Seperti apa kondisi anak retardasi mental ringan?
(J) Anak dengan retardasi mental merupakan anak dengan kelainan di dalam
fungsi otaknya atau fungsi intelektualnya, sehingga kemampuannya di
bawah rata-rata anak seumurannya. Untuk anak retardasi ringan
umumnya disebutkan demikian karena mereka lebih dapat di didik, dan
kemampuannya setingkat di atas retardasi mental lainnya.
(P) Apakah sulit untuk mendidik anak dengan kelainan ini?
(J) Sebenarnya tidak juga. Anak dengan retardasi mental umumnya
mengalami gangguan dalam berkomunikasi. Dalam perngertian, mereka
kesulitan dalam menerima pesan, mengolah pesan serta memberikan
pesan sebagai timbal balik terhadap apa yang sudak pengajar
samapaikan. Jadi kesulitan mungkin terjadi saat pengajar
menyampaiakan materi pelajaran. Untuk itu pengajar harus punya
kesabaran yang cukup, karena materi pelajaran harus di ulang untuk
beberapa kali, sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak.
(P) Bagaimana cara pengajar memberikan pesan di dalam kelas proses
pembelajaran anak?
(J) Dalam SLB ini, kita para pengajar, tetap menggunakan bahasa verbal
sebagai alat untuk menyampaikan materi pelajaran . Namun penggunaan
pesan verbal dirasakan kurang tanpa penggunaan pesan-pesan nonverbal.
(P) Jadi menyampaikan materi tetap dengan bahasa verbal namun
membutuhkan komunikasi nonverbal, sebenarnya kekurangan apa yang
ibu maksud?
(J) Ya itu tadi, jika kita hanya memberikan penjelasan secara verbal saja,
jangankan mereka mau mendengarkan, melihat dan memberikan
perhatiannya saja tidak. Jadi, komunikasi nonverbal berperan sekali
terutama untuk menarik perhatian si anak.
(P) Apakah ibu pernah memberikan materi pelajaran atau menyampaikan
pesan secara nonverbal?
(J) Ya tentu saja. Seperti saya katakana tadi pesan nonverbal penting sekali
digunakan dalam proses belajar mengajar.
(P) Bisa ibu menceritakan pesan-pesan apa saja yang sering dipakai oleh ibu
dalam proses belajar mengajar di dalam kelas?
(J) Umumnya yang sering sekali kita gunakan adalah pesan kinesik atau
gerak tubuh seperti mimik muka, gerakan tangan. Kemudian juga
vokalisasi, dan pengaturan jarak kita dengan anak. Biasanya kita juga
menggunakan alat bantu seperti gambar dan tulisan. Nah, untuk
menceritakan gambar tersebut, harus dengan gerakan-gerakan tangan,
agar anak-anak dapat tertarik, mulai membayangkan dan akhirnya
mengerti. Seperti itu contohnya.
(P) Apakah bahasa isyarat seperti gerakan tangan ketika menjelaskan
gambar tersebut akan dapat dimengerti oleh anak-anak, bu?
(J) Sejauh ini, ya. Mereka dapat mengerti karena isyarat-isyarat itu
digunakan setiap hari di kelas sebagai alat bantu untuk berkomunikasi.
Misalnya ketika kita ingin menjelaskan lingkaran maka kita harus
membentuk lingkaran dengan bantuan tangan.
(P) Apakah cara ibu mengajarkan ini tercantum dalam satu mata pelajaran?
(J) Sebenarnya kita secara tidak formal memberikan bahasa ekspresif dan
reseptif. Jadi, mengalir begitu saja secara alami sesuai dengan situasi
atau konteksnya. Umpamanya pada saat anak sedang belajar, kalau pada
saat itu anak tertari pada sesuatu, itulah yang kita kembangkan ataupun
hal yang sederhana yang sedang diamati atau sesuatu hal yang menarik
yang kita jadikan sebagai topic ini namanya secara alamiah jadi
penyampaiannya secara tidak formal.
(P) Apakah ibu sering menggunakan ekspresi wajah ketika menyampaikan
pelajaran?
(J) Ya, sering. Terutama jika kita sedang menjelaskan materi pelajaran, dan
memberi contohnya. Maka kita harus mempraktekkanya dihadapan
anak-anak dengan penggunaan ekspresi wajah agar mereka tertarik.
(P) Sebenarnya ekspresi wajah yang ibu gunakan ini berfungsi sebagai apa,
sebagai subsitusi atau komplemen terhadap pesan verbal yang ibu
sampaikan?
(J) Kalau saya biasanya menggunakan ekspresi wajah sebagai pelengkap
pesan verbal. Karena sering saya gunakan ketika saya berbicara, baik itu
ketika saya menerangkan pelajaran, bertanya kepada anak-anak maupun
berbicara dan mendengarkan anak.
(P) Bisa ibu ceritakan lebih banyak, apa saja makna yang terkandung dalam
setiap penggunaan ekspresi wajah tersebut?
(J) Jadi ketika kita menyampaikan pelajaran, maka ekspresi wajah kita harus
serius namun tidak kaku. Hal tersebut akan memberikan makna bahwa
belajar itu membutuhkan keseriusan. Kemudian ketika ketika bertanya
juga harus dengan ekspresi yang sungguh-sungguh, agar anak-anak
dapat berusaha menjawab pertanyaan. Nah, jika anak dapat menjawab
pertanyaan atau melakukan sesuatu dengan benar kita akan tersenyum.
Sebagai tanda “benar” atau “bagus” dapat juga berarti “pintar”. Biasanya
anak akan merasa senang jika dipuji, dan jika mereka merasa senang
biasanya akan melakukan hal yang sama. Terkadang ada anak yang
nakal dan ingin mendapat perhatian, maka kita harus menggunakan
ekspresi wajah yang sedikit keras dan “galak” yang menandakan kalau
kita marah atau tidak suka dengan kelakuannya, sehingga mereka,
dengan melihat mimik muka kita akan merasa takut dan berhenti dengan
kenakalannya.
(P) Bagaimana dengan penggunaan kontak mata, apakah ibu sering
mengadakan kontak mata dengan anak-anak ketika sedang
menyampaikan pesan?
(J) Ooh…itu harus, karena kita akan tahu apakah si anak tersebut tertarik
atau tidak dengan materi pelajaran yang kita samapaikan. Sehingga kita
harus sering melihat anak secara satu persatu untuk mengetahui apakah
si anak tatap fokus terhadap pelajaran.
(P) Kapan saja ibu menggunakannya?
(J) Hampir setiap saat. Yaiut ketika memberikan pelajaran di depan kelas,
memberi pertanyaan, ataupun ketika kita berbicara yang tidak formal
yaitu ketika memarahi ataupun ketika memuji anak. Seperti yang saya
katakan tadi, jika kita ingin melihat anak apakah dia tertarik atau tidak
kita harus melihat matanya. Umumnya ank-anak dengan kelainan ini
susah sekali berkonsentrasi. Karena ia selalu tertarik dengan hal-hal
baru.
(P) Fungsi dari kontak mata itu sendiri sebenrnya apa saja, bu?
(J) Tentu saja sebagai pelengkap. Jadi ketika kita berbicara di depan kelas,
atau memberikan pertanyaan, kita akan melihat ke mata anak, apakah ia
tertarik atau tidak. Apakah ia mengerti atau tidak.
(P) Apa sebenarnya makna yang terkandung dalam penggunaan kontak mata
ini?
(J) Kontak mata adalah mata batin kita, kita dapat mengetahui perasaan
seseorang dari matanya. Maka dari setiap kontak mata yang kita lakukan
kita ingin mereka mengetahui perasaan kita, kita ingin mereka tahu
bahwa kita menyayangi mereka dengan segala ketidakmampuan dan
kesulitan mereka. Dan juga kita ingin mereka mengetahui bahwa kita
tertarik dengan segala perkembangan mereka. Maka daripada itu jika
mereka berusaha berbicara, berusaha menjawab pertanyaan, yang
mungkin dengan suara yang terbata-bata dan belum tentu benar, kita
melihat matanya sebagai bentuk kita perduli terhadap apa yang ingin
dikatakannya.
(P) Masih tentang pesan kinesik, apakah ibu sering menggunakan gerakan
tangan ketika menyampaikan pesan?
(J) Tentu saja sering. Selain memang gerakan tangan itu diperlukan untuk
menerangkan sesuatu hal yang berkaitan dengan pelajaran, saya juga
sering menggunakannya tanpa sadar. Jadi, seperti kebiasaan
menggunakan gerakan tangan ketika berbicara.
(P) Berarti ibu menggunakan gerakan tangan secara sadar dan tidak sadar
dalam penyampaian pesan.
(J) Ya, seperti itu. Saya biasa berbicara di depan kelas sambil
memperagakan dengan tangan, juga ketika bertanya seperti menunjuk
anak yang akan menjawab pertanyaan. Namun saya juga sering bercerita
dengan menggerak-gerakan tangan tanpa sadar.
(P) Apa fungsi gerakan tangan yang ibu lakukan dalam penyampaian pesan
tersebut, apakah sebagai subsitusi, repetisi atau pelengkap?
(J) Ya macam-macam, dikondisikan dengan situasi dan kebutuhan anak.
Sebagian besar gerakan tangan digunakan untuk membantu anak dalam
mengerti pesan atau materi pelajaran yang sedang disampaikan, jadi
sebagai pelengkap, atau juga dapat berfungsi sebagai pengulangan,
seperti contoh, ketika saya bertanya mengenai materi yang baru saja
disampaikan, maka masing-masing anak akan menanggapi pertanyaan
dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang mengerti dan menjawab, ada
yang diam dan ada yang ingin menjawab namun susah untuk berbicara.
Nah, biasanya saya memancing anak yang ingin berbicara namun
mengalami kesulitan tersebut dengan menggerak-gerakkan tangan agar
si anak terus berusaha berbicara untuk menjawab pertanyaan saya.
(P) Apakah isyarat atau gerakan tangan itu menarik bagi anak?
(J) Ya.
(P) Apakah isyarat atau gerakan tangan tersebut digunakan oleh pengajar
lain?
(J) Sebagian besar iya, dalam lingkungan SLB ini, isyarat atau gerakan
tangan yang kita gunakan seragam biar anak nggak bingung. Jadi isyarat
yang mereka terima dari TKLB sampai SMALB sama saja artinya,
hanya semakin lama semakin banyak dan beragam.
(P) Bagaimana dengan penggunaan vokalistik dalam penyampaian pesan,
apakah ibu sering menggunakan nada yang bervariatif di dalam kelas?
(J) Ya sering sekali. Tidak mungkin sekali jika kita menyampaikan materi
pelajaran dengan nada yang monoton. Orang normal saja pasti bosan
mendengarkannya, apalagi untuk anak-anak dengan kelainan seperti ini,
yang susah sekali untuk berkonsentrasi. Jadi gunakan nada yang
bervariatif untuk menarik perhatiannya.
(P) Pada saat seperti apa nada itu digunakan?
(J) Hampir setiap saat. Pada saat mengajar di depan kelas, pada saat
memberikan pertanyaan, pada saat memuji anak, atau memarahi anak.
Dan juga pada saat berbicara biasa seperti ini.
(P) Apakah fungsi penggunaan nada tersebut berbeda-beda. Dapat ibu
jelaskan apa saja fungsinya?
(J) Saya umumya memakai sebagai komplemen atau sebagai pelengkap.
Jadi, saya mengajar dengan suara atau nada yang naik turun untuk
menarik perhatian si anak, dan sengaja saya gunakan agar mereka tetap
fokus kedalam pelajaran. Jika tidak begitu, mereka akan cepat bosan dan
kemudian mengalihkan perhatiannya, seperti bermain, mencoret-coret
mengganggu teman di sebelahnya.
(P) Jadi sebagai komplemen, apakah ada fungsi yang lain?
(J) Ya, ada. Mungkin lebih seperti penekanan dari apa yang saya katakan.
Misalnya ketika si anak mulai nakal, maka saya akan memarahinya
dengan suara yang sedikit saya tinggikan. Jika anak mendengarnya
berkali-kali setiap mengulangi kenakalannya, maka ia akan belajar untuk
mengerti bahwa dengan suara yang seperti itu menandakan bahwa
gurunya tidak menyukai kelakuannya tersebut. Meskipun mungkin
besok-besok ia akan mengulanginya.
(P) Berarti sangat sulit ya bu untuk memberikan materi pelajaran untuk anak
dengan kelainana ini?
(J) Sebenarnya dibilang sulit juga tidak, hanya membutuhkan kesabaran
yang lebih dibandingkan dengan anak normal lainnya. Karena mereka
dengan segala kekurangannya, kita harus bisa mengerti kemampuan
masing-masing anak, dan sifat bawaannya. Jadi pelajaran harus diulangi
beberapa kali dan secara terus-menerus, agar mereka perlahan-lahan
mengerti.
(P) Penggunaan nada itu sendiri tentunya mempunyai arti dan makna, dapat
ibu ceritakan lebih lanjut tentang pemaknaan dari penggunaan nada itu?
(J) Kita menunjukkan kasih sayang dengan nada yang rendah dan lemah
lembut, terutam digunakan untuk membujuk anak agar mau kembal
belajar. Dan pemakaian nada yang naik turun hanya untuk menarik
perhatian si anak agar tidak bosan dan beralih perhatiannya. Nada tinggi
umumnya kita gunakan untuk memarahi atau menyatakan bahwa kita
tidak suka. Jadi dengan begitu mereka akan belajar mana yang untuk
menyatakan suka, sayang, serius, bosan, atau tidak suka, dan mungkin
rasa benci. Proses belajar mengenai penggunaan nada tersebut berjalan
secara formal maupun tidak formal.
(P) Bagaimana dengan penggunaan volume, apakah ibu sering
menggunakannya?
(J) Ya, tentu saja sering. Sebenarnya penggunaan nada dan volume itu
sejalan. Jadi dalam fungsi maupun maknanya hamper sama saj. Ketika
kita marah dan tidak suka maka volume suara kita meninggi dank eras,
sementara untuk menyatakan kita suka dan menyayangi seprti memuju,
membujuk, tentunya kita akan mengecilkan volume suara kita.
(P) Jadi fungsinya bagi ibu sama saja dengan nada, sebagai komplemen dan
aksentuasi?
(J) Ya, benar sekali begitu.
(P) Terakhir ibu, bagaimana dengan penggunaan jarak personal atau jarak
pribadi, apakah ibu sering menggunakannya?
(J) Seperti yang mba’ lihat kelas ini dibuat seperti ini dengan jarak yang
berdekatan, agar jarak yang terbentuk antara pengajar dengan anak-anak
adalah jarak personal. Jadi meskipun kita sedang mengajar mereka selalu
ada dalam pengawasan kita. Dan mereka sendiri juga merasa “dekat”
dengan kita tentunya. Namun disamping jarak personal, tentunya
terkadang kita akan membuat jarak yang lebih dekat dengan mereka, jika
mereka membutuhkan perhatian lebih. Misalnya ketika ada anak yang
ketakutan dan bersembunyi di bawah meja, maka kita akan
menghampirinya dan membujuknya dengan jarak sedekat mungkin agar
ia merasa nyaman dan disayang, ya seperti itulah.
(P) Jadi fugsi penggunaan jarak personal itu sebagi apa,bu?
(J) Sebagai komplemen ketika menyampaikan materi dalam kelas, namun
tentunya tidak terlalu formal
(P) Dan apa maknanya dari jarak personal yang ibu lakukan?
(J) Maknanya dari jarak personal maupun jarak akrab itu adalah untuk
membuat anak merasa nyaman berada dalam kelas, karena dengan
perasaan nyaman biasanya ia akan mau belajar. Hal lainnya adalah untuk
menandakan bahwa kita mempunyai perhatian terhadap mereka. Sebagai
contoh, ketika anak akan memberikan pernyataan atau berbicara atau
berusaha menjawab pertanyaan, maka biasanya kita akan mendekat,
untuk menyatakan bahwa kita perduli tentang apa yang akan
dikatakannya, dan berusah untuk membantunya. Dengan jarak personal
tentunya si anak akan merasakan kasih sayang dan membantu mereka
untuk tidak merasa asing dan mungkin ketakutan di dalam kelas.
Catatan Lapangan
Wawancara dengan Guru Kelas /Pengajar (BU TATI)
13-14 Desember 2006
Di Kelas
(Q) Seperti apa kondisi anak retardasi mental ringan?
(J) Anak retardasi mental ringan merupakan anak dengan kelainan di dalam
fungsi otaknya atau fungsi intelektualnya, jadi memang kemampuannya
di bawah rata-rata anak seumurannya, namun masih bisa kita didik.
Karena kerusakan yang erjadi di dalam otaknya tidak terlalu parah,
meskipun tetap saja “mereka” mengalami kesulitan-kesulitan seperti
anak retardasi lainnya, tapi tidak terlalu parah.
(P) Bagaimana cara Ibu memulai komunikasi dengan anak?
(K) Pertama saya akan mengenalkan diri saya terlebih dahulu, agar mereka
tidak merasa asing berada dekat dengan orang yang baru dilihatnya,
kemudian saya akan melihat kegiatan apa yang disukai anak, dan saya
masuk kedalam kegiatan tersebut, seperti mengambil hatinya terlebih
dulu lah. Jadi, kalau ia suka bermain maka saya akan bermain
dengannya, sehingga ia merasa dekat dengan kita dan menganggap
teman.
(P) Komunikasi seperti apa yang digunakan dalam kelas. Bagaimana cara
pengajar memberikan pesan di dalam kelas proses pembelajaran anak?
(J) Komunikasi berlangsung secara verbal dan nonverbal. Untuk mencapai
kemandirian dan membantu anak dalam berkomunikasi dengan
sewajarnya seperti anak-anak seusianya, maka kita harus mengajarnya
berbicara seperti kita, yaitu secara verbal namun bagaimana
penyampaian pesan verbal itu disampaikan kita menggunakan pesan
nonverbal atau dengan bantuan isyarat, gambar dan sebagainya, agar si
anak mau memperhatikan kita. Jika kita hanya memberikan penjelasan
secara verbal, itu tidak mungkin. Karena mereka tidak mengerti, dan
tidak perduli. Jadi isyarat-isyarat tersebut sangat berperan penting dalam
proses belajar tadi.
(P) Apakah komunikasi nonverbal lebih banyak digunakan daripada
komunikasi secara verbal?
(J) Ya memang pesan nonverbal banyak kita gunakan sebagai alat untuk
membantu anak-anak dalam memahami pesan verbal yang kita
sampaikan. Pesan verbal banyak digunakan ketika memberi pelajaran,
namun ada saatnya kita tidak berbicara dan hanya memandangi anak satu
persatu. Jadi memang dalam penggunaannya pesan nonverbal lebih
banyak dipakai.
(P) Apakah ibu pernah memberikan materi pelajaran atau menyampaikan
pesan secara nonverbal?
(J) Ya tentu saja.
(P) Bisa ibu menceritakan pesan-pesan apa saja yang sering dipakai oleh ibu
dalam proses belajar mengajar di dalam kelas?
(J) Banyak sekali, namun yang paling sering saya gunakan adalah gesture
seperti gerakan tangan, agar anak-anak dapat tertarik, kemudian juga
menggunakan ekspresi wajah, seperti senyuman agar ia merasa senang.
Juga kontak mata untuk mengetahui perasaan dan emosinya. Dan tentu
saja jarak kita dengannya itu harus dekat agar mereka merasa dekat dan
diperhatikan oleh kita.
(P) Apakah dengan isyarat seperti gerakan tangan anak akan tertarik paa saat
berkomunikasi?
(J) Sejauh ini, ya.
(P) Apakah anak merespon isyarat yang ibu gunakan di kelas?
(J) Ya, biasanya mereka merespon. Misalnya ketika saya memberikan
pertanyaan lalu saya menunjuk tangan dan mengatakan “ayo siapa yang
tahu ini apa?”, maka anak juga merespon dengan menunjuk tangan juga.
Yang menunjuk tangan bukan hanya anak yang tahu jawabannya,
mereka hanya berusaha menirukan apa yang saya kerjakan. Sehingga
dengan pola yang sama, meeka akan berusaha mengerti jika ingin
menjawab pertanyaan mereka akan menunjuk tangan. Dan bila benar
saya acungkan jempol, seperti ini (memperagakan menacungkan
jempol), lalu saya bilang “pintar”, maka mereka akan merasa senang.
Untuk kemudian mereka belajar bahwa jika melakukan sesuatu dengan
benar mereka akan dipuji. Dan itu membuat mereka merasa
diperhatikan.
(P) Berarti ibu sering menggunakan gerakan tangan dalam penyampaian
pesan.
(J) Ya, seperti itu.
(P) Apa fungsi gerakan tangan yang ibu lakukan dalam penyampaian pesan
tersebut, apakah sebagai subsitusi, repetisi atau pelengkap?
(J) Tergantung dengan situasi dan kebutuhan masing-masing anak.
Sebagian besar digunakan sebagai pelengkap,untuk membantu anak
dalam mengerti pesan atau materi pelajaran yang sedang disampaikan,
atau juga dapat berfungsi sebagai pengulangan, misalnya ketika kelas
mulai tidak terkendali dan sangat ribut, maka saya akan menagatakan
“ayo anak-anak jangan berisik, perhatikan ibu.”, bila masih berisik juga
maska saya akan menepuk kedua tangan saya seperti orang berepuk
yang, hanya lebih pelan dan keras, yang bertujuan agar perhatian anak-
anak beralih ke saya. Atau juga sebagai subsitusi, dengan mengetuk meja
tanpa bersuara, agar anak-anak beralih juga perhatiannya. Karena anak-
anak dengan kelainan ini selalu tetarik dengan hal-hal baru, suara-suara
baru yang didengarnya, sehingga perhatiannya mudah sekali beralih.
(P) Apakah ibu sering menggunakan ekspresi wajah ketika menyampaikan
pelajaran?
(J) Ya, sering. Biasanya jika kita sedang menjelaskan materi pelajaran, dan
memberi contohnya.
(P) Sebenarnya ekspresi wajah yang ibu gunakan ini berfungsi sebagai apa,
sebagai subsitusi atau komplemen terhadap pesan verbal yang ibu
sampaikan?
(J) Untuk pelengkap pesan verbal pada saat mengajar.
(P) Bisa ibu ceritakan lebih banyak, apa saja makna yang terkandung dalam
setiap penggunaan ekspresi wajah tersebut?
(J) Saat mengajar, tentu saja kita harus dengan ekspresi yang serius, untuk
menandakan bahwa belajar membutuhkan keseriusan Juga ketika
bertanya, mendengarkan mereka berbicara. Pada saat anak dapat
menjawab pertanyaan atau melakukan sesuatu dengan benar kita akan
tersenyum. Sebagai tanda “benar” atau “bagus” dapat juga berarti
“pintar”. Senyuman akan membuat anak merasa senang dan ingin
merasakannya lagi, sama serti orang normal lainnya, biasanya mereka
akan melakukan hal-hal yang dapat membuat mereka senang. Saat kita
memarahi anak, jika mereka melakukan kesalahan atau sulit untuk
diatur, maka kita akan memasang ekspresi muka yang “galak” dengan
suara yang dinaikkan agar mereka merasa takut dan mau menuruti apa
yang kita perintahkan.
(P) Bagaimana dengan penggunaan kontak mata, apakah ibu sering
mengadakan kontak mata dengan anak-anak ketika sedang
menyampaikan pesan?
(J) Tentu saja, saya harus sesering mungkin melihat mata ank-anak secara
satu persatu untuk melihat apakah mereka memperhatikan saya,
mendengarkan saya, mengerti apa yang saya katakan. Karena ketika kita
memberikan pelajaran dan melihat mata mereka itu ekspresi muka dan
pandangannya berbeda-beda. Ada yang serius, tidak perduli, sedang
bebicara dengan teman disebelahnya, atau dengan ekspresi bingung
menatap saya.
(P) Kapan saja ibu menggunakannya?
(J) Setiap saat.
(P) Fungsi dari kontak mata itu sendiri sebenrnya apa saja, bu?
(J) Seperti yang saya katakan tadi, ketika saya gunakan untuk melihat anak-
anak sambil menjelaskan pelajaran berarti saya menggunakannya sebagi
pelengkap pesan verbal. Namun ketika saya memperhatikan anak-anak
tanpa saya berbicara, misalnya ketika mereka sedang menulis, hanya
untuk mengetahui apakah mereka mengerjakan apa yang saya
perintahkan, atau ada yang tidak mengerti bagaimana mengerjakannya,
berarti saya menggunakkannya sebagai subsitusi.
(P) Apa sebenarnya makna yang terkandung dalam penggunaan kontak mata
ini?
(J) Kita dapat mengetahui perasaan seseorang dari matanya. Begitu juga
dengan kita dan anak-anak ini, kita menunjukkan kasih sayang dengan
menatapnya secara lebut, manandakan marah dengan melotot agar
mereka menggetahui apa yang kita rasakan, apa yang kita inginkan. Dan
begitu sebaliknya kita juga melihat apakah mereka senang, sedih, marah
bingung atau tatapan untuk menandakan mereka takut dan sakit.
Sebagian besar kontak mata digunakan untuk melihat apakah mereka
masih fokus ke dalam pelajaran yang saya berikan. Dan saya menatap
anak-anak satu persatu untuk menyatakan bahwa saya memperhatikan
mereka.
(P) Bagaimana dengan penggunaan vokalistik dalam penyampaian pesan,
apakah ibu sering menggunakan nada yang bervariatif di dalam kelas?
(J) Sering sekali. Untuk membuat suasana belajar yang enak dan tidak
membosankan. Pada umunya mereka lebih cepat bosan disbandingkan
dengan anak normal, jadi jika terlihat sudah ada anak yang berlari-lari
atau mengganggu teman yang ada disampingnya maka si anak tersebut
sudah bosan. Bagaimana cara untuk menarik perhatiannya kembali, yaitu
perlunya kreativitas guru dalam menyampaikan pelajaran di dalam kelas,
seperti penggunaan nada yang turun naik, volume yang bervariatif,
gerakan tangan dan gambar-gambar serta diselingi dengan permainan
mungkin.
(P) Apakah fungsi penggunaan nada tersebut berbeda-beda. Dapat ibu
jelaskan apa saja fungsinya?
(J) Yang pertama sebagai pelengkap ketika menyampaikan materi pelajaran,
yang bertujuan untuk menarik perhatian si anak, agar mereka tetap fokus
kedalam pelajaran. Yang kedua adalah sebagai penekanan, misalnya
ketika ada anak yang nakal, maka saya akan menaikkan nada bicara saya
dengan volume yang sedikit keras dan tangan telunjuk sebatas bahu
saya, seperti ini (memperagakannya).
(P) Apakah ketika anak mendengar Ibu berbicara dengan nada suar ayng
tinggi seperti yang ibu ceritakan dapat dimengerti anak?
(J) Memang arus secara perlahan-lahan dan secara terus-menerus. Jika kita
hanya menggunakannya sekali saja tentu ia tidak akan mengerti, namun
jika setiap kali ia berbuat kenakalan dan setiap kali itu pula kita
melakukan hal yang sama, maka otak si anak akan merekam kejadian
yang sama dengan pola yang sama dan ia akan berusaha mengerti.
Memang tidak mudah, karena mereka selalu mengulanginya dan mereka
merasa semua kenakalan itu seperti bermain saja. Kita sebagai pengajar
lah, berkewajiban untuk memberitahu mana yang benar dan salah.
(P) Penggunaan nada itu sendiri tentunya mempunyai arti dan makna, dapat
ibu ceritakan lebih lanjut tentang pemaknaan dari penggunaan nada itu?
(J) Kita menunjukkan kasih sayang dengan nada yang rendah dan lemah
lembut, terutam digunakan untuk membujuk anak agar mau kembal
belajar. Dan pemakaian nada yang naik turun hanya untuk menarik
perhatian si anak agar tidak bosan dan beralih perhatiannya. Nada tinggi
umumnya kita gunakan untuk memarahi atau menyatakan bahwa mereka
tidak boleh melakukan hal tersebut.
(P) Bagaimana dengan penggunaan volume, apakah ibu sering
menggunakannya?
(J) Ya, tentu saja sering.
(P) Apa fungsi dari penggunaan volume tersebut?
(J) Hampir sama dengan nada. Ketika saya gunakan dalam menyampaikan
pelajaran, maka berfungsi sebagai pelengkap, dan ketika saya gunakan
untuk menegur, memuji atau membujuk anak yang tidak mau belajar,
maka volume saya gunakan sebagi aksentuasi.
(P) Bisa ibu ceritakan makna dari penggunaan volume tersebut?
(J) Volume kita gunakan untuk menyatakan perasaan kita. Ketika kita ingin
mereka merasakan perhatian dan kasih sayang maka kita akan berbicara
dengan suaru yang kecil dan lemah lembut. Sebaliknya, jika kita ingin
mereka mengetahui bahwa kita tidak senang maka kita akan menaikkan
suara kita dengan volume yang keras.
(P) Terakhir, bagaimana dengan penggunaan jarak personal atau jarak
pribadi, apakah ibu sering menggunakannya?
(J) Ooh. Tentu saja. Untuk membuat mereka merasa nyaman dan senang
serta merasa dekat dengan kita, kita harus melakukan pendekatan
terhadap mereka sebelumnya. Sehingga dalam proses belajar di dalam
kelas ini, kita menggunakan jarak yang tidak terlalu jauh dengan mereka.
Hal tersebut di lakukan agar anak merasa dekat dengan kita. Jika mereka
merasa dekat dan nyaman barulah kita bisa membujuknya untuk belajar
dan melakukan apa yang kita perintahkan.
(P) Jadi fugsi penggunaan jarak personal itu sebagi apa, bu?
(J) Sebagai komplemen ketika menyampaikan materi dalam kelas.
(P) Dan apa maknanya dari jarak personal yang ibu lakukan?
(J) Maknanya dari jarak personal maupun jarak akrab itu adalah untuk
membuat anak merasa nyaman berada dalam kelas, karena dengan
perasaan nyaman biasanya ia akan mau belajar. Hal lainnya adalah untuk
menandakan bahwa kita mempunyai perhatian terhadap mereka. Sebagai
contoh, ketika anak akan memberikan pernyataan atau berbicara atau
berusaha menjawab pertanyaan, maka biasanya kita akan mendekat,
untuk menyatakan bahwa kita perduli tentang apa yang akan
dikatakannya, dan berusah untuk membantunya. Dengan jarak personal
tentunya si anak akan merasakan kasih sayang dan membantu mereka
untuk tidak merasa asing dan mungkin ketakutan di dalam kelas.
Top Related