•
297
PENALARAN HAKIM DALAM MENCIPT AKAN HUKUM
(JUDGE-MADE-LAW) ; SUATU KEGIATAN BERPIKIR ILMIAH
________ Oleh : I Nyoman Nutjaya _______ _
"The law which is the resulting product is not found but made. The process in its highest reaches is not discovery but crea- . tion " •
(Cordozo).
Pendahuluan "Banyak keajaiban di dunia ini, te
tapi tidak ada sesuatu yang lebih ajaib dari pada manusia", demikian kata drarr.awan Yunani Sopokles (abad) ke-5 Sebelum Masehi) dalam sebuah karya tragedi yang berjudul Antigone. Berbicara ten tang manusia; hidup, arti dan peranan eksistensinya akan selalu aktuil, sebab selain manusia itu sendiri selalu menjadi pokok permasalahan, dapat juga dilihat bahwa peristiwa besar apapun terjadi di dunia, masalah apa pun yang harus dipecahkan di bumi pacta intinya dan akhirnya bertautan juga dengan manusia (Soerjanto, 1978).
Manusia adalah mahluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri dalam dunianya; tidak hanya berhadapan tetapi juga menghadapi dalam arti yang mirip dengan menghadapi persoalan, kesukaran dan sebagainya. Jadi, dia melakukan, dia mengolah diri sendiri, mengangkat dan merendahkan diri sendiri - dia bersatu dan berjarak dengan diri sendiri:
Karena itu, manusia adalah mahluk hidup yang tumbuh dan dinamis dan sebagai dinamika manusia terus bergerak, tidak pernah berhenti, selalu aktif dalam menghadapi persoalan, tantangan diri, alam dan jaman dalam duIiianya (Drijarkara, 1978).
Namun, siapakah manusia itu sebenarnya ? Dalam hubungan ini Notoha-
•
midjojo memberi pandangan terhadap manusia dari sisi filosofis dan anthropologis seperti berikut (Notohamidjo' jo,1975):
Manusia menunjukkan tiga aspek esensial yang mewujudkan manusia sebagai obyek, subyek dan relasi. pertama, manusia sebagai obyek menyangkut segi lahir dari kemanusiaan. Manusia itu ~buh, mengisi ruang, mempunyai berat, dapat dilihat, makan dan minum, dapat dicandra dan didetenninasikan secara badaniah maupun rohaniah; kedua, manusia sebagai subyek berarti manusia sebagai aku. Ia hidup di dunia tidak hanya ditentukan tetapi juga menentukan, memilih dan menentukan pilihan secara bebas - manusia bukan suatu alat atau mesin, melainkan kepribadian yang tidak dapat dideterminasikan, mempunyai kehendak dan mengambil keputusan bebas; ketiga, manusia sebagai relasi atau perhubunglm. Manusia sebagai subyek maupunsebagai obyek dialami di dalam relasi, sebab manusia bukan sesuatu yang mandiri melainkan sen antiasa berada dalam perhubungan nyata. Bukan pula kebebasan tanpa kendall tetapi kebebasan dengan keterikatan dan tanggung jawab. Manusia hidup dalam relasi aku - kau, kata Martin Buber. Re1asi adalah primer malah fundamental dan tidak dapat dihindari.
Pernahkah anda melihat patung ter-
-
•
.298
mashur dari Auguste Rodin; seorang manusia yang sedang tekun berpikir ? Va, dialah lam bang kemanusiaan kita, "homo sapiens" mahluk yang berpikir. Sejak dia lahir sampai masuk liang lahat dia tak pernah berhenti berpikir -setiap saat dari hidupnya selalu berpikir.
Berpikir itulah yang mencirikan hakekat manusia dan karena berpikirlah dia menjadi manusia - "cogito ergo sum ", kata Descartes. Namun, manusia bukan semata-mata mahluk yang berpikir atau sekedar homo sapiens yang steril. Manusia adalah mahluk yang berpikir, merasa dan mengindera. Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan yakni merupakan serangkaian gerak pemikiran dengan mengikuti jaIan pemikiran tertentu dan akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan.
Pengetahuan sebagai produk kegiatan berpikir adalah obor dan semen peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Manusia adalah satu-satunya mahluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-.-sungguh, karena dalam hidupnya mem-punyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar mempertahankan kelangsungan hidupnya. Inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini pula yang mendorong manusia menjadi mahluk yang mempunyai sifat khas di muka bumi ini.
Manusia mempunyai kemampuan untuk mengem bangkan pengetahuan ini disebabkan oleh dua- hal seperti berikut: pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan infOIIllasi dan jalan pikiran yang menjadi latar belakang informasi itu; kedua, manusia mempunyai kemam-
Hukum dan Pembangunan
puan untuk berpikir menurut alur kerangka berpikir tertentu yang disebut "penalaran" . Dua keltlbihan inilah yang memungkinkinkan manusia mengem bangkan pengetahuannya, yakni bahasa yang komunikatif dan pikiran yang mampu menalar.
Bahwa pemikiran keilmuan bukanlah suatu pemikiran yang biasa, melainkan pemikiran yang guh; artinya suatu cara berpikir yang berdisiplin, di mana seorang yang berpikir sungguh-sungguh tidak akan mem biarkan idea dan konsep yang sedang dipikirkan berkelana tanpa arah melainkan semua itu diarahkan pada suatu tujuan tertentu yaitu pengetahuan. J adi, berpikir keilmuan adalah cara berpikir yang' berdisiplin dan diarahkan kepada pengetahuan.
"Ubi societas ibi ius", demikian kata ahli pemikir ternama tentang negara dan hukum bangsa Romawi Cicero - di mana ada masyarakat, di sana terdapat hukum. Hukum hanya terdapat di dalam masyarakat manusia dan hukum harus dilaksanakan. Kalau terjadi pelanggaran maka hukum harus dipulihkan, ditegakkan dan dipertahanakan ' untuk mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat.
Peradilan merupakan salah satu cara pelaksanaan hukum dalam hal adanya tuntutan hak yang diselenggarakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh siapapun dengan cara memberi putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa (Sudikno MertoKusumo, 1977).
Hakim (pengadilan) di dalam mengadili suatu perkara adalah melaksanakan hukum. Untuk ini dia wajib menggall, mengikuti dan memahami nilai-ni-
•
lai hukum yang hidup di dalam masya-rakat (vide pasal 27 Un dang-Un dang nomor 14 Tahun 1970). Melalui pu-
Judge Made Law
tusan-putusannya hakim menciptakan hukum (judge-made-iaw). Dengan demikian hakim tidak hanya menerapkan hukum saja, tidak sekedar mengadakan subsumsi saja" tetapi juga harus menemukan dan menciptakan.
Hakim adalah seorang manusiajuga, sebagai "homo sapiens" yang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan, menemukan dan menciptakan hukum. Untuk melaksanakan tugasnya dengan baik dia dituntut untuk menggunakan penalarannya sebagai proses kegiatan berpikir ilmiahnya. Dalam kaitan inilah tulisan summir ini disajikan di m ana akan dicoba untuk mengungkapkan proses kegiatan berpikir (ilmiah) hakim di dalam melaksanakan, menemukan dan menciptakan hukum lewat penalarannya.
Penalaran Sebagai Proses Berpikir (llmiah)
Manusia pada hakekatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa, bersikap dan bertindak . Sikap dan tindakannya bersum ber pada pengetahuan yang diperoleh lewat kegiatan berpikir dan penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir ini. Meskipun patut disadari
•
bahwa tidak semua kegiatan berpikir menyandarkan diri pada penalaran. Karena itu penalaran merupakan suatu proses kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu di dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang benar.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran memiliki ciri·dri tertentu seperti berikut ini : pertama, adanya pola berpikir yang secara luas dap at dise bu t ' 'logika'' . 1ni berarti bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis. Berpikir logis di sini harus diartikan
•
sebagai kegiatan berpikir menurut
299
suatu pola tertentu atau menurut 10-gika tertentu; kedua, sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan untuk analisis adalah logika penalaran yang bersangkutan . 1ni berarti penalaran ilmiah me.upakan kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah.
Dalam hubungan ini Bochenski menulis bahwa tanpa ada kecuali setiap penalaran harus memenuhi dua persyaratan, yaitu: pertama, harus adanya premis tertentu yang berupa pernyataan yang kebenarannya telah diketahui atau dapat dite-
• nma; kedua, harus mempunyai cara di dalam menarik kesimpulan (in[erens) (J .M. Bochenski, 1972).
Seperti telah dikemukakan bahwa .
tidak semua kegiatan berpikir menda-sarkan diri kepada penalaran. Jadi, tidak semua kegiatan berpikir mengandung sifat logis dan analitis . Dengan demikian cara berpikir yang tidak termasuk penalaran berarti tidak logis dan tidak analitik sifatnya. Kemudian dari kriteria ini maka dapat dibedakan secara garis besar ciri-ciri berpikir menurut penalaran dan ~erpikir bukan berdasar atas penalaran . Merasa misalnya, merupakan cara pengembalian kesimpulan yang tidak menurut penalaran . Juga intuisi sebagai kegiatan berpikir yang non-analitik dan tidak berdasarkan pola berpikir tertentu . Dari ini semua secara luas dapat dika-
. takan bahwa cara berpikir masyarakat dapat dikatagorikan menjadi: berpikir analitik yang berupa penalaran dan cara berpikir yang non-analitik berupa perasaan dan intuisi.
Untuk melakukan kegiatan analisis maka penalaran harus diisi dengan ma-
Juli 1983
300
teri pengetahuan yang bersum ber dari kebenaran, yaitu pengetahuan yang pada dasarnya bersumber pada rasio dan fakta. Bagi mereka yang berpendapat bahwa rasio merupakan sumber kebenaran, mengembangkan paham rasionalisme dan mereka yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia sebagai sumber kebenaran mengembangkan paham
• • empmsme.
Kendatipun kedua paham ini membawa konsekuensf lahirnya dua kutub yang saling bertentangan, namun pada akhirnya masing-masing penganut paham rasionalisme dan empirisme saling menyadari akan kekurangan dan kelebihannya.
Kemudian timbul gagasan untuk menggabungkan kedua pendekatan ini dan menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam menemukan pengetahuan yang benar. Sebagai hasil gabungan pendekatan rasional dan empiris ini dinamakan "metode keilmuan", di mana rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan 10-gis dan empirisme sebagai kerangka penguji dalam memastikan kebenaran.
Penalaran merupakan proses berpikir yang membuahkan pengetahuan, dan agar pengetahuan produk penalaran ini mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus melalui cara-cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan dianggap sahih (valid) apabila prosesnya dilakukan menurut 10gika sebagai pengkajian untuk berpikir secara sahih.
Tentang 10gika menurut sejarah sudah dikenal dan dipelaj~ secara mendalam sejak jaman Yunani Kuno dengan Aristoteles sebagai pelopornya. Pada jamannya, Aristoteles belum
istilah 10gika untuk menurunkan ajarannya tentang penalaran, selain istilah "analitika dan dialektika". Analitika digunakan untuk mene-
Hukum dan Pembangunan
gaskan metode penalaran berdasar atas pernyataan yang benar, sedangkan dialektika untuk mengenalkan Cara penalaran yang didasarkan pada pernyataan yang belum pasti kebenarannya. Istilah 10gika mulai digunakan pad a abad kedua setelah masehi untuk mengganti istilah "organon" yaitu himpunan naskah ajaran-ajaran beliau yang dihimpun oleh para pengikutnya setelah meninggal.
Di dalam perkembangannya hingga dewasa ini 10gika sudah menjadi bidang pengetahuan yang tidak sekedar bersifat filsafati, melainkan juga bercorak teknis dan ilmiah. Logika telah mencakup setiap penelaahan sistematis tentang metode untuk mencapai suatu kesimpulan dari fal<ta dalam semua bidang (The Liang Gie , et aI, 1980).
Penalaran ilmiah pada hakekatnya merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan penalaran induktif, karena itu dalam rangka mengkaji penalaran ilmiah maka terlebih dulu harus ditelaah secara seksama penalaran deduktif dan induktif tersebut.
Dalam hubungan ini telaah penalaran ilmiah dihadapkan hanya pada dua jenis cara penarikan kesimpulan, yaitu 10gika induktif dan 10gika deduktif. "Logic is divided into two main branches deductive and inductive ", begitu tulis Louis Kattsoff. Logika induktif berkaitan dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum, sedangkan 10gika deduktif mem bantu dalam mengam bil kesimpulan dari hal yang umum sifatnya menjadi kasus yang bersifat individual. Dalam kaitan ini Mellone mengemukakan bahwa (Mellone, 1953): "The usual treatment of logic lays out the subject in two branches corresponding broadly to the distinction , which we have illu,strated, of reasoning "from general to particular" and ''from particular to gene· ral". The first branch of logic is called "De-
Judge Made Law
ductive Logic" and the second branch is called 'Inductive Logic" ".
Penalaran secara induktif dimulai .
dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi dan diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Secara sederhana dapat dilukiskan sebagai contoh berikut ini; ada fakta bahwa si Badu pada akhirnya mati demikian pula si Paimo, si Bejo, Tole, si Pariyem dan semua manusia lainnya padaakhirnya akan mati.
. Sedangkan penalaran deduktif merupakan kegiatan berpikir yang bertolak dari pernyataah yang bersifat umum untuk menarik kesimpulan yang khusus atau individual sifatnya. Untuk ini seperti biasanya digunakan pola berpikir yang disebut "silogisme" yang disusun dari dua pernyataan dan sebuah kesimpulan .
•
Tentang silogisme menurut tradisi Aristoteles ini ditegaskan oleh seorang ahli logika dewasa ini sebagai (W . Halberstadt, 1960):
"Any argument containing two premises with two terms each, and a conclusion with two terms, and having also the characteristics that it contains three terms in all, each mentioned twice ".
Pernyataan yang mendukung silogisme ini disebut premis yang kemudian dipedakan menjadi premis mayor dan premis minor, sedangkan kesimpUlan merupakan pengetahuan yang diperoleh dari penalaran deduktif didasarkan pada kedua premis ini. Menjadi lebih tuntas kalau dikemukakan contoh silogisme seperti berikut • • 1m:
Semua manusia mem- (premises mayor) punyai kepala
Si Paimo adalah ma- (premis minor) • nusra
Maka, si Paimo mempu- (kesimpulan) . nyai kepala
301
Dengan demikian kesimpulan yang berupa si Paimo mempunyai kepala adalah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan itu diperoleh secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Lantas, apakah kesimpulan itu sudah benar? Jawabannya harus dikembalikan kepada ke benaran presmis-premis yang mendahuluinya. Jika kedua premis yang mendukungnYlif sudah benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan itu benar adanya. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa kesimpulan itu menjadi salah - meskipun kedua premisnya benar - karena cara penarikan kesimpulannya yang salah.
Dari kenyataan di atas maka kebe--naran suatu kesimpulan menjadi ter-gantung kepada tiga unsur, yaitu kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan ke benaran penarikan kesimpulan . Kalau salah satu dari ketiga unsur tersebut ternyata salah maka kesimpulannya dapat dipastikan menjadi salah, demikian sebaliknya kalau kedua premis yang mendukung sudah benar maka kesimpulan yang diam bil menjadi benar.
Kemudian bagaimanakah proses penalaran hakim dalam menciptakan hukum (judge-made-law) lewat putusan (pengadilan) yang disimpulkan dari perkara yang diadilinya? Nah, untuk ini penulis ajak: meniti lebih lanjut uraian yang tersaji berikut ini.
Penalaran Hakim di dalam Menciptakan Hukum (Judge-MadeLaw)
Dalam mengadili suatu perkara yang diajukan oleh para pencari keadilan (justisiabelJ hakim adalah melaksanakan hukum . Untuk ini hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (vide pasal 27 Undang-lJndang Nomor 14 Tahun 1970). lni berarti bahwa hakim dalam me1ak-
Juli 1983
302
sanakan hukum tidak semata-mata hanya merupakan kegiatan yang bersifat rutin dan mekanis saja. Tetapi juga harus mampu menggali, mengikuti dan memahami perkem bangan serta menghayati jiwa masyarakat. Dalam keadaaan seperti ini hakim dituntut untuk mampu berpikir logis dan kreatif dalam tindakan.
Sesungguhnya dalam mengadili suatu perkara hakim tidak hanya sekedar melaksanakan hukum saja, tidak sekedar melakukan subsumsi saja, tetapi juga hams menemukan dan menciptakan hukum. Bahwa selain undang-undang sebagai hukum (tertulis) maka masih dikenal ujud lain dari hukum yaitu putusan hakim (judge-made-Iaw). Putusan hakim adalah hukum dan sebagai hukum pada umumnya putusan hakim harus ditaati karen a mempunyai kekuatan m engik at, terutama mengikat para pihak yang berperkara. Putusan hakim
•
ini hams selalu dianggap benar sampai dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi (res judicata pro veritate habetur). Karena itulah maka peradilan merupakan suatu unsur penting di dalam pembentukan hukum di negeri ini.
Adalah bukan merupakan tugas yang mudah bagi hakim dalam kegiatan menciptakan hukum, sebab ' tugas
• dalam mengadili suatu perkara bukan sekedar menjadi terompet atau penyambung lidah suatu undang-undang "an sich" (Ia bouche de la 100. Dalam mengadili perkara hakim dituntut untuk melakukan suatu aktivitas atau ''kegiatan juridis" sendiri dan tidak sekedar melakulcan silogisme belaka (Sudikno Mertokusumo, 1975) .
Dalam kaitan ini maka kegiatan juridis hakim adalah merupakan kegiatan berpikir dalam menentukan putusan atau dalam menentukan hukumnya. Untuk ini hakim melakukan kegiatan penalaran dalam menentukan pUtusan
Hukum dan Pembangunan
bagi perkara yang diadili - sebagai proses berpikir dalam menarik kesimpulan berupa putusan hakim. Penalaran hakim dalam artian ini membuahkan putusan yang berupa hukum in konkrito lewat kegiatan berpikirnya - berpikir merupakan kegiatan untuk memperoleh pengetahuan yang benar. J adi dalam hal ini penalaran hakim merupakan kegiatan berpikir untuk menentukan putusan yang benar.
Penalaran ilmiah merupakan kegiatan analisis yang menggunakan logika ilmiah, karen a analisis pada hakekatnya merupakan kegiatan berpikir berdasarkan langkah -langkah tertentu. Demikian juga dalam kegiatan juridis hakim dalam me,nciptakan hukum melalui proses peradilan didasarkan pada kegiatan berpikir logis dan analitis. Konkritnya dalam mengadili suatu perkara sampai menetapkan kesimpulan yang berupa putusan hakim melakukan tiga kegiatan juridis seperti berikut • • In!.
Kalau hakim menghadapi suatu peristiwa dalam perkara yang diadili -baik perkara perdata maupun perkara pidana - maka pertama-tama dia harus "mengkonstatir" peristiwa itu, dalam arti melihat , mengakui atau mem ben ark an telah terjadinya peristiwa tersebut . Tetapi untuk sampai pada konstateringnya dia hams mempunyai kepastian terlebih dulu. Peristiwa yang dikonstatir harus pasti kebenarannya, sehingga konstateringnya tidak sekedar dugaan atau kesimpulan yang dangkal atau gegabah saja. Untuk ini dia membutuhkan dan menggunakan sarana untuk mem buktikan kepastian dari kebenaran peristiwa yang dikonstatir itu.
Dengan demikian mengkonstatir peristiwa, selain melihat, mengakui dan membenarkan peristiwa yang diadili, sekaligus juga berarti membuktikan atau menganggap telah terbukti-
Judge Made Law
nya peristiwa itu. Pada tingkat pertarna ini kegiatan juridis yang dilakukan' semata-mata bersifat logis. ., Mengingat betapa pentingnya peranan pembuktian untuk memperoleh kebenaran peristiwa maka sudah selayaknya kalau hakim harus benar-benar
menguasai hukum pembuktian pada khususnya dan hukum acara pada umumnya. Kurangnya penguasaan hakim terhadap hukum pembuktian ini selain dapat mengham bat jalannya peradilan juga hanya akan menghasilkan konstatering yang tidak tepat (Sudikno Mertokusumo, 1975).
Sesudah hakim berhasil dengan tepat mengkonstatir peristiwanya, maka kegiatan kedua yang dilakukan adalah "mengkualifisir" peristiwanya dalam arti menilai hubungan hukum peristiwa itu. Dengan kata lain menem ukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir. Untuk ini hakim melakukan penerapan hukum (rechts-
•
toe passing) terhadap peristiwa ke da-lam aturan-aturan hukum positif, se. hingga diperoleh aturan hukum yang paling tepat dikenakan terhadap peristiwa tersebut.
Kalau peristiwanya sudah terbukti dan aturan hukumnya sudah jelas lagi tegas maka penerapan hukumnya merupakan kegiatan yang boleh dikata
•
mudah. Dalam perkara pidana misal-nya, di mana aturan hukumnya sudah jelas maka hakim tinggal melakukan subsumsi saja. Mengenai subsumsi ini aturan-aturan hukum pidana yang terdiri dari pasal-pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) atau undang-undang pidana di luar KUHP diibaratkan sebagai suatu hotel yang mt:lllpunyai banyak kamar. Sehingga kalau ada peristiwa yang sudah dikonstatir maka tinggal memasukkan saja ke dalam kamar atau pasal yang tepat untuk peristiwa itu. Kamar atau pasal tentang pencurian, pembunuhan,
.;303
perkosaan, penipuan dan sebagainya (Sudikno Mertokusumo, 1981).
Jadi di sini hanya hendak dikatakan bahwa kegiatan mengkualifisir pada umumnya berarti menemukan hukumnya dengan cara menerapkan peristiwa yang telah dikonstatir ke dalam aturan hukum yang ada - sebagai suatu kegiatan yang umumnya bersifat logis.
Sesungguhnya menemukan ·hukum tidak hanya sekedar menerapkan hukum terhadap peristiwa saja, terlebih lagi kalau aturan hukumnya tidak jelas. Di lain pihak hakim harus mengadili perkara yang diajukan kepadanya; pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan menolak suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa aturan hukumnva tidak ada atau ku--rang jelas sekalipun (vide pasal 14 ayat
1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970). Untuk kenyataan ini hakim bukan lagi
. hanya menemukan hukum, melainkan juga harus menciptakan hukum sendiri. Dalam hubungan ini Cordozo seorang hakim ternama dari Am erik a Serikat menulis seperti apa yang terpampang pada awal tulisan ini, bahwa (Alfred Denning, 1955);
''The law which is the resulting product is not found but made. The process in its highest reaches is not discovery, but creation' '.
Mengadakan kualifikasi peristiwa dapat dikatakan jauh lebih sulit dari pada mengkonstatir peristiwa, karena mengkonstatir berarti hanya melihat peristiwa konkrit sedang mengkualifikasi berarti mengabstraksi peristiwa konkrit tersebut. Contoh klasik untuk menjelaskan dapat dikemukakan kasus pengam bilan aliran listrik negara dengan cara menggantol untuk kepentingan sendiri secara melawan hukum. Setelah peristiwanya dibuktikan, harus dikonstatir
Julll983
304
kebenarannya oleh hakim dan kemudian diabsrahir menjadi "mengambil barang orang lain dengan maksud untuk dimiliki sendiri secara melawan hukum", dikualifikasi sebagai tindak pidana "pencurian" sebagai dimaksud dalam pasal 362 kitab undang-undang
hukum pidana (Arrest Hoge Raad Tertanggal23 Mei 1921). •
Di sini hakim melakukan interpretasi atau penafsiran yang berarti menilai dan menilai merupakan pertimbangan yang tidak semata-mata bersifat logis - seperti dalam mengkonstatir - tetapi juga mengandung
. makna kreatif sekaligus berarti melengkapi undang-undang. Karena itu peranan "daya cipta" hakim mempunyai arti yang besar teristimewa dalam menghadapi kekosongan-kekosongan hukum sebagai akibat banyak un dangundang yang belum dibuat aturan pelaksanaannya.
Dalam hal ini bukankah juga berarti bahwa hakim telah mengamaikan "heuristik" di dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya oleh para pencari keadilan ?
Kegiatan ketiga yang dilakukan hakim adalah "mengkonstituir" atau memberikan konstitusinya. Ini berarti bahwa hakim menentukan hukumnya - memberi putusan atau memberi keadilan yang didambakan para pencari keadilan. Untuk ini hakim mengamaikan "penalaran deduktif" (deductive reasoning) dengan bekal pola berpikir yang disebut silogisme; menetapkan kesimpulan dari adanya dua premis - premis mayor berupa attiran hukumnya dan premis minor berupa peristiwanya. Secara sederhana dapat dikemukakan contoh berikut ini:
Barang siapa mela· kukan pencurian dipidana
(premis mayor)
Hukum dan Pembangunan
Si Beruk terbukti melakukan pencurian
Maka, si Beruk ha-rus dipidana
(premis minor)
(kesimpulan)
Dalam hubungan ini Alfred Denning seorang hakim terkenal di Inggeris mengatakan bahwa kendatipun kegiatan itu merupakan pola berpikir silogisme, tetapi bukan semata-mata logika saja yang menjadi landasan konstitueringnya_ Keadilan bukan hanya produk dari intelektual hakim "but o f his spirit ", kata beliau lebih lanjut (Alfred Denning, 1955).
Demikian kegiatan juridis hakim di dalam menciptakan hukum (fudgemade-law) lewat proses peradilan yang didasarkan pada kegiatan berpikir logis dan analitis 'sebagai suatu penalaran ilmiah.
Menjadi lebih tuntas manakala dalam tulisan ini disajikan secara summir eksistensi dua sistem peradilan yang dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan hukum , seperti berikut ini: pertama , sistem Anglo-Amerika yang mengikat hakim pada precedent, yakni hakim wajib mengikuti putusan-putusan terdahulu mengenai perkara sejenis . Ini dikenal sebagai asas "the binding forc e o f precedent" atau asas "stare decesis ". Hakim Anglo-Amerika ini m kan pola berpikir induktif -
ahakim
mendestilir aturan-aturan yang dijadikan dasar pertimbangan putusannya dari sederetan putusan mengenai perkara sejenis sebelumnnya. Mendestilir berarti mengabstrahir putusan-putusan sebelumnya sehingga menghasilkan putusan baru sebagai aturan umum. Untuk ini hakim tidak berpedoman oada undang-undang, melainkan langsung pada peristiwanya. Dengan demikian metode yang digunakan hakim pada sistem Anglo-Amerika adalah metode analogi, tegasnya metode "reasoning by analogy or re-
Judge Made Law
asoning by case to case". Kedua, sistem Kontinental yang mengikat hakim pada aturan undang-undang dalam setiap memberi putusan suatu perkara. Di sini hakim menggunakan pola berpikir deduktif di mana hakim harus mengabstrahir peristiwa dan mengkonkritisasi aturan hukumnya. Sebagai ciri khas pola berpikir seperti ini adalah subsumsi dan silogisme.
Pada asasnya negara hukum Indonesia menganut sistem kontinental dengan "deductive reasoning" nya. Namun di dalam praktek dapat diketa- · hui bahwa hakim kadangkala berkiblat pada putusanilutusan terdahulu mengenai perkara yang sejenis. Terutama jurisprudensi Mahkamah Agung dijadikan referensi guna mendukung putusannya mengenai perkara yang sejenis, sekalipun tidak tertutup kemungkinan menyimpang dari putusan-putusan Mahkamah Agung (Sudikno Mertokusumo, 1980).
Penutup
Pada hakekatnya manusia adalah mahluk yang berpikir, merasa, bersikap dan bertindak. Sikap dan tindakan ini bersumber pada pengetahuan yang diperoleh lewat.kegiatan berpikir.
Hukum merupakan salah satu produk kegiatan berpikir manusia untuk melindungi kepentingan manusia secara individual maupun kolektif. Hukum hanya terdapat dalam masyarakat manusia karena hanya manusia mampu menalar dalam mengembangkan pengetahuan.
Hukum bukan sekedar berupa sederetan hurup yang mati (black-Ietterlaw) atau sekedar rherupakan pedo-
•
man bertingkah-laku agar kepentingan-,nya terlindungi, tetapi harus dilaksanakan. Justru karen a fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum harus dilaksanakan, tidak boleh dilanggar dan kalau teIjadi pelanggaran
305
hukum harus dipulihkan atau ditegakkan melalui pengadilan.
Peradilan merupakan salah satu pelaksanaan hukum dalam hal adanya tuntutan hak yang konkrit. Adalah menjadi tugas hakim melaksanakan hukum dalam peradilan. Hakim adalah seorang manusia yang mampu menalar dalam arti berpikir logis dan analitis dan melalui penalaran ini pula dia melakukan kegiatan juridis dalam mengadili perkara.
Untuk ini hakim tidak hanya sekedar menerapkan hukum, melainkan juga menemukan dan bahkan menciptakan hukum. Putusan hakim adalah hukum (judge-made-Iaw) karen a itu mempunyai kekuatan mengikat terutama bagi para pihak yang berperkara - dalam arti harus dianggap benar sampai dibatalkan pengadilan yang lebih tinggi, sekalipun secara materill putusan itu tidak benar (res judicata pro veritate ha"etur).
Dengan demikian di samping pembentuk undang-undang sebagai pencipta hukum yang obyektif-abstrak, maka hakim juga merupakan pencipta hukum "in casu" hukum in konkrito.
Peradilan merupakan tumpuan harapan terakhir para pencari keadilan dan peradilan diselenggarakan "demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Karena itu hakim sebagai ahli hukum senantiasa harus menyadari beban tanggung-jawabnya terhadap sesama manusia dan terutama kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam hubungan ini almarhum Notonagoro mengintrodusir tiga sifat khas yang harus dimiliki oleh setiap ahli hukum, seperti berikut ini (Sri Budiyan, 1981): pertama, sifat "homo juridicus" yaitu harus dapat merumuskan aturan-aturan hukum secara juridis inklusif menjelaskan dan memaparkan secara juridis ' ,
Juli 1983
'" 2 at 122 "."" • • • •
306
kedua, sifat "homo politicus" yakni hams mampu bersikap terbuka terhadap kritik maupun inovasi atau pembaharuan serta dapat menyesuaikan diri dalam dinamika masyarakat;
ketiga, sifat "homo ethicus" yaitu hams selalu berpedoman kepada ethik hukum dalam sikap maupun tindakan.
Demikian juga Notohamidjojo mengingatkan bahwa tanggung-jawab jurist atau hakim meliputi lima asas, yaitu (Notohamidjojo, 1975):
pertama, setiap jurist dipanggil untuk melakukan "justisialisasi" yakni memberi keadilan dalam setiap putusan yang diambilnya; kedua, "penjiwaan hukum" yakni senantiasa meresapi dengan penuh penjiwaan terhadap hukum yang dilaksanakan, sehingga putusannya mencermin-
• ' " , ,,,,:c, , •
Hukum dan Pembangunan
kan penjiwaan sebagai penggembala hukum yang baik; ketiga, "pengintegrasian hukum" yaitu harus mampu mengintegrasikan putusan yang diambil ke dalam dinamika sistem hukum melalui undang-undang, peradilan ataupun kebiasaan; keempat, "totalisasi hukum" yaitu dapat menempatkan setiap putusannya dalam seluruh kenyataan dengan memperhatikan faktor-faktor non juridis dalam pertimbangan putusannya; kelima , "personalisasi hukum" artinya hakim dipanggil untuk benar-benar memberi pengayoman kepada para pencari keadilan. Senantiasa sadar untuk menghormati harkat dan marta- ' bat manusia tanpa pandang bulu, karena yang dihadapi adalah manusia pribadi yang memiliki keluhuran sepertijuga dirinya.
Seluruh anggota Dewan Redaksi, Redaktur Pelaksana serta Staf Redaksi "Hukum dan Pembangunan" mengucapkan selamat atas berhasilnya rekan kami saudara :
HIZBULAH "' meraih gelar Satjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas In-
donesia dan telah dilantik pada tanggal 13 Agustus 1983 yang lalu.
Top Related