Agus Triansyah : Pemberlakuan Asas Pacta Sunt Sevanda …... 218
PEMBERLAKUAN ASAS PACTA SUNT SEVANDA DALAM
SENGKETA KEPAILITAN
Agus Triansyah
Advokat Kantor Hukum Dr. Dian Korona, S.H.,M.H.
E-mail : [email protected]
Abstract
This study was to formulate a concept of return policies / principles of the law of “Pacta Sunt
Servanda” in bankruptcy dispute. By promoting the legal issue Why the provisions of the article 303 of
law number 37 year 2004 concerning the bankruptcy and PKPU rule out the law number 30 year 1999
concerning Arbitration and Alternative Dispute Settlement and dispute resolution clause. The research
was the normative juridical approach the statutory (statue approach), historical approach, conceptual
approach and case approach. Based on: doctrine, theory and law principle and reasoning/logic of the
law as a law argument. The principle is a metanorm that should be used as a legal guideline for each
pruduct law so that never been out of the occurrence of any legal principle. (1) artcile 303, UUK
afflicted materil law, when it is left actually dangerous because it can cause legal uncertainty which
may result in less used existing legal rules (article 303 UUK, an article that “excessive, wrong,
confused”). (2) Position argument with the law is same, meaning that the agreement in this case in
particular the provisions of the Arbitration clause made by the party should be the same as in the case
of law on bankruptcy.
Keywords : Bankruptcy, delay debt payment obligations (PKPU), Basis of pacta sunt servanda (PSS).
Abstrak
Penelitian ini untuk merumuskan kembali suatu konsep dasar/prinsip hukum “Pacta Sunt
Servanda” dalam Sengketa Kepailitan. Dengan mengedepankan legal issue; Mengapa ketentuan Pasal
303 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU mengesampingkan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang terdapat klausul arbitrase.
Merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundangan-undangan (statute approach),
histrorical approach, conceptual approach dan case approach. Mendasarkan pada: doktrin, teori dan
prinsip hukum dengan penalaran/logika hukum sebagai argumentasi hukum. Asas merupakan
metanorma yang harus dijadikan pedoman bagi setiap produk hukum agar tidak pernah keluar dari
berlakunya asas hukum. (1). Pasal 303 UUK mengalami cacat hukum materil, apabila hal ini dibiarkan
justru berbahaya karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat berdampak pada kurang
bermanfaatnya aturan hukum yang ada (Pasal 303 UUK, merupakan Pasal yang
“kebablasan/salah/keliru”. (2). Posisi perjanjian dengan undang-undang adalah sama/sederajad,
artinya perjanjian dalam hal ini khususnya ketentuan mengenai Klausul Arbitrase yang dibuat oleh
para pihak seharusnya sama berlakunya seperti halnya UU Kepailitan.
Kata Kunci : Kepailitan, PKPU Asas Pacta Sunt Servanda (PSS).
219 Badamai Law Journal, Vol. 5, Issues 2, September 2020
PENDAHULUAN
Keuntungan dan kerugian merupakan
dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
dunia perdagangan. Setiap perusahaan
selalu mengharapkan mendapatkan
keuntungan dari usaha yang dilakukannya,
dan sebaliknya berusaha mencegah
terjadinya kerugian akibat dari kegiatan
usahanya. Apabila suatu perusahaan
mengalami kerugian, maka akan
menghadapi permasalahan yanng
menyangkut pemenuhan kewajiban-
kewajibannya kepada kreditur, seperti
pengembalian pinjaman modal dan
pembayaran utang.
Untuk itu setiap bisnis pasti
membutuhkan kontrak untuk memastikan
Perjanjian yang disepakati dapat berjalan
dengan lancar. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, maka debitur dalam rangka
menyelesaikan utang piutangnya dengan
para kreditur menghendaki penyelesaian
masalahnya secara non litigasi. Apabila
perdamaian yang ditawarkan oleh debitur
disetujui dan disepakati oleh para kreditur,
maka dibuatlah suatu perjanjian yang
disertai dengan klausula Arbitrase.
Perdamaian yang ditawarkan oleh
debitur kepada para kreditur pada dasarnya
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa
utang-piutang diluar pengadilan atau
bersifat non litigasi dengan menggunakan
lembaga Arbitrase. Mengingat penyelesaian
sengketa utang piutang melalui lembaga
Arbitrase, prosesnya sederhana dan cepat
mengambil keputusan, dilakukan oleh ahli,
tertutup, putusannya bersifat terakhir dan
mengikat (final and binding) serta
digunakan dalam dunia perdagangan1.
Berbeda halnya dengan penyelesaian
sengketa utang piutang melalui pengadilan
(litigasi) yang prosesnya tidak sederhana
dan membutuhkan waktu cukup lama untuk
mendapatkan putusan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Konsekuensi hukum dari adanya
perjanjian yang memuat klausula Arbitrase
tersebut, maka penyelesaian perkaranya
dilakukan lembaga Arbitrase, dan hal ini
harus ditaati dan dilaksanakan oleh debitur
dan kreditur. Oleh karena menurut Pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata, perjanjian yang
dibuat secara sah mengikat sebagai
Undang-Undang bagi mereka yang
membuatnya. ketentuan ini dikenal dengan
asas pacta sunt servanda, sehingga setiap
perjanjian yang dibuat secara sah harus
dilaksanakan secara itikad baik.
Keberadaan perjanjian klausula Arbitrase
tersebut secara yuridis normatif, Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk mengadili
perkaranya walaupun dalam praktik
pengadilan tidak seperti yang diharapkan.
Hal ini ditentukan dalam Pasal 3 Undang-
1 Sudikno Mertokusumo. 1991. Hukum Acara
Perdata Indonesia. Yogyakarta : Liberty, hlm. 203
Agus Triansyah : Pemberlakuan Asas Pacta Sunt Sevanda …... 220
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, bahwa “Pengadilan Negeri tidak
berwenang untuk mengadili sengketa para
pihak yang telah terikat dalam perjanjian
Arbitrase”. Dari ketentuan ini seharusnya
Pengadilan Negeri tidak berwenang
mengadili sengketa yang telah ditentukan
adanya perjanjian klausula Arbitrase
sebagai perwujudan dari asas pacta sunt
servanda, namun dalam praktik peradilan,
asas tersebut tidak dapat diterapkan
sebagaimana mestinya, seperti halnya
dalam kepailitan.
Menurut sejarahnya, hukum tentang
kepailitan sudah ada sejak zaman Romawi.2
Kata abngkrut yang dalam bahasa Inggris
disebut bankrupt berasal dari undang-
undang di Italia yang disebut dengan banca
rupta.3 Sementara itu, pada abad
pertengahan di Eropa, terjadi praktik
kebangkrutan yang dilakukan dengan
menghancurkan bangku-bangku dari para
bankir atau pedagang yang melarikan diri
secara diam-diam dengan membawa harta
para krediturnya.4 Adapun di Venetia
(Italia) pada masa itu, dimana para pemberi
pinjaman (bankir) saat itu yang banco
2 Sunarmi. 2004. Perbandingan Sistem Hukum
Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System)
dengan Amerika Serikat (Common Law System).
Sumatera Utara : Fakultas Hukum Sumatera Utara,
hlm. 10
3 Jono. 2010. Hukum Kepailitan. Jakarta : Sinar
Grafika, hlm.1
4 Ibid
(bangku) mereka yang tidak mampu lagi
membayar utang atau gagal dalam
usahanya, bangku tersebut benar-benar
telah patah atau hancur.5
Bagi negara-negara dengan tradisi
hukum common law, yang hukumnya
berasal dari Inggris Raya, maka tahun 1952
merupakan tonggak sejarah karena pada
tahun tersebut hukum pailit dari tradisi
hukum Romawi diadopsi ke negeri Inggris
dengan diundangkannya oleh parlemen
dimasa kekaisaran Raja Henry VIII sebuah
Undang-Undang yang disebut dengan Act
Againts Such Person As Do Make
Bankrupt. Undang-Undang ini
menempatkan kebangkrutan sebagai hukum
bagi debitur nakal yang ngemplang untuk
membayar utang sambil menyembunyikan
asset-asetnya.6Secara formal, hukum
kepailitan di Indonesia diatur dalam
failissements Verordening (peraturan
kepailitan) stbld. 1905-217 jo stbld. 1906-
348. Kemudian peraturan kepailitan ini
diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Kepailitan yang selanjutnya ditetapkan
sebagai Undang-Undang, yaitu Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1998. Dalam
perkembangannya, Undang-Undang
tersebut diganti dengan Undang-Undang
5 Munir Fuady. 2010. Hukum Pailit Dalam
Teori dan Praktik. Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, hlm. 3
6 Ibid, hlm. 3-4
221 Badamai Law Journal, Vol. 5, Issues 2, September 2020
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (UUK-PKPU).
Krisis moneter yang menimpa
Indonesia pada Tahun 1998 merupakan
cikal bakal lahirnya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998 sebagai pengganti
aturan yang sama tentang kepailitan.
Undang-Undang Kepailitan dirasa harus
direvisi mengingat banyaknya
perkembangan hukum kepailitan yang
memng belum ditaur dalam Undang-
Undang Kepailitan. Belum lagi, kasus-
kasus dipengadilan cukup banyak dan
memerlukan landasan teoritik yang kuat
dalam kajian hukum perdata dan hukum
bisnis.7
Pengaturan mengenai kepailitan dapat
dikemukakan dalam Pasal 1131 sampai
dengan Pasal 1134 KUHPerdata. Selain itu
pengaturan khusus tentang kepailitan adalah
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-
PKPU).8
Penerapan perjanjian klausula
Arbitrase sebagai perwujudan dari Asas
Pacta Sunt Servanda juga seharusnya tidak
dapat diberlakukan dalam perkara
kepailitan. Hal ini dikarenakan adanya
Pasal 303 UUK-PKPU yang menentukan,
7 Rachmadi Usman. 2004. Dimensi Hukum
Kepailitan di Indonesia. Jakarta : Gramedia, hlm. 2 8 Ibid
bahwa “Pengadilan tetap berwenang
memeriksa dan menyelesaikan permohonan
pernyataan pailit dari para pihak yang
terikat perjanjian yang memuat klausula
Arbitrase, sepanjang utang yang menjadi
dasar permohonan pernyataan pailit telah
memenuhi ketentuan sebagimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) walaupun telah ada
perjanjian klausula Arbitrase. Adapun
persyaratan pengajuan permohonan pailit
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2
ayat (1) UUK-PKPU adalah debitur
mempunyai dua atau lebih kreditur dan
tidak membayar lunas sekurangnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih.
Adanya ketentuan Pasal 303 UUK-
PKPU, tentunya menimbulkan
permasalahan berkenaan dengan kekuatan
hukum berlakunya asas pacta sunt
servanda dalam bentuk perjanjian klausula
Arbitrase relevansinya dengan sengketa
kepailitan. Kemudian akibat hukum
pelanggaran terhadap asas pacta sunt
servanda dalam sengketa kepailitan.
Permasalahan tersebut perlu adanya
kejelasan dari segi pengaturan hukumnya
demi terwujudnya kepastian hukum sebagai
nilai dasar dari hukum.
PERUMUSAN MASALAH
Bertolak Dari Pendahuluan Tersebut
Di Atas, Maka Permasalahannya Dapat
Agus Triansyah : Pemberlakuan Asas Pacta Sunt Sevanda …... 222
Dirumuskan Sebagai Berikut : Apakah Asas
Pacta Sunt Servanda Mempunyai Kekuatan
Hukum Untuk Diterapkan Dalam Sengketa
Kepailitan ? Apakah Akibat Hukum
Pelanggaran Terhadap Asas Pacta Sunt
Servanda Dalam Sengketa Kepailitan ?
PEMBAHASAN
PENGATURAN HUKUM TENTANG
ASAS PACTA SUNT SERVANDA
KAITANNYA DENGAN SENGKETA
KEPAILITAN
Menurut Pasal 1313 KUHPerdata
bahwa perjanjian merupakan salah satu
sumber perikatan. Dalam hukum perjanjian
terdapat beberapa asas penting yang
menjadi dasar berjalannya perjanjian
diantaranya adalah asas pacta sunt
servanda. Penggunaan kata asas oleh
beberapa sarjana disamakan artinya dengan
prinsip (principle).9 Menurut Paton, asas
adalah “Suatu alam pikiran yang
dirumuskan secara luas dan mendasari
adanya sesuatu norma hukum”.10
Pembentukan hukum praktis perlu
berorientasi pada asas-asas hukum
tersebut.11
Sedangkan menurut Ron Jue
bahwa asas hukum merupakan nilai-nilai
yang melandasi kaidah-kaidah hukum.12
9 Muchtar Kusumaatmadja. 2003. Pengantar
Hukum Internasional. Bandung : Alumni, hlm. 168 10
Chainur Arrasjid. 2000. Dasar-Dasar Ilmu
Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 36 11
Sudikno Mertokusumo. 2001. Penemuan
Hukum. Yogyakarta : Liberty, hlm.5. 12
Arief Sidharta. 2002. Refleksi Tentang
Berdasarkan pengertian tersebut diatas
bahwa asas hukum merupakan suatu alam
pikiran atau cita-cita ideal yang
melatarbelakangi pembentukan kaidah
hukum, bersifat umum maupun universal
dan abstrak, tidak bersifat konkrit.13
Bahkan
oleh Sekolten dikatakan bahwa asas hukum
itu berada baik dalam sistem hukum
maupun dibelakang atau diluar sistem
hukum. Sahnya nilai asas hukum itu
diwujudkan dalam kaidah hukum dari
sistem hukum positif, maka asas hukum itu
berada dalam sistem. Begitu pula
sebaliknya, sejauh nilai asas hukum itu
tidak diwujudkan dalam kaidah hukum dari
sistem hukum positif maka asas hukum
tersebut berada dibelakang sistem hukum.14
Pacta Sunt Servanda berasal dari
bahasa latin yang berarti “Janji harus
ditepati”.15
Pacta Sunt Servanda merupakan
asas atau prinsip dasar dalam sistem hukum
civil law, yang dalam perkembangannya
diadopsi kedalam hukum internasional.
Pada dasarnya Asas Pacta Sunt Servanda
berkaitan dengan kontrak atau perjanjian
yang dilakukan diantara para individu, yang
mengundang makna bahwa :
Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, hlm.121.
13 Sudikno Mertokusumo. Op.Cit, hlm. 6.
14 Ibid, hlm. 22.
15 Harry Purwanto. 2009. Keberadaan Asas
Pacta Sunt Servanda Dalam Perjanjian
Internasional. Artikel Dalam Jurnal. “Mimbar
Hukum Volume 21. Nomor. 1. Februari.
223 Badamai Law Journal, Vol. 5, Issues 2, September 2020
1. Perjanjian merupakan Undang-undang
bagi para pihak yang membuatnya, dan
2. Mengisyaratkan bahwa pengingkaran
terhadap kewajiban yang ada pada
perjanjian merupakan tindakan melanggar
janji atau wanprestasi.16
Aziz T. Saliba menyatakan bahwa
Asas Pacta Sunt Servanda merupakan
Sakralisasi atas suatu perjanjian (Sancity Of
Contract). Titik fokus dari hukum
perjanjian adalah asas kebebasan
berkontrak atau yang dikenal dengan
prinsip otonomi.
Asas kebebasan berkontrak menurut
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa
setiap perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya. Namun
kebebasan berkontrak, bukan berarti boleh
membuat perjanjian secara bebas,
melainkan harus tetap dibuat dengan syarat-
syarat sahnya perjanjian sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
yaitu sepakat, cakap, hal tertentu, dan sebab
yang halal.
Asas Pacta Sunt Servanda merupakan
salah satu norma dasar dalam hukum, dan
erat kaitannya dengan asas itikad baik untuk
menghormati atau mentaati perjanjian.17
Aktualisasi pelaksanaan asas itikad baik
16
Ibid,. 17
Wayan Partiana. 2005. Hukum Perjanjian
Internasional Bagian 2. Bandung : Mandor Maja,
hlm. 263.
dari suatu janji antara lain dapat
diilustrasikan sebagai berikut :
a) Para pihak harus melaksanakan
perjanjian sesuai dengan isi, jiwa, maksud
dan tujuan perjanjian itu sendiri;
b) Menghormati hak-hak dan kewajiban-
kewajiban dari masing-masing pihak
maupun pihak ketiga yang mungkin
diberikan hak dan/ atau dibebani kewajiban;
Tidak melakukan tindakan-tindakan yang
dapat menghambat usaha-usaha mencapai
maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri,
baik sebelum perjanjian itu mulai berlaku
maupun setelah perjanjian itu mulai
berlaku.18
Pengertian itikad baik dalam subjektif
terdapat dalam Pasal 530 KUHPerdata yang
mengatur mengenai kedudukan berkuasa
(Bexit) yang mengandung makna sikap atau
perilaku yang jujur dalam melaksanakan
setiap tindakan dan perbuatan di dalam
masyarakat.
Salah satu ketentuan penting didalam
perjanjian atau kontrak bisnis adalah
ketentuan atau klausula tentang
penyelesaian sengketa yang mengatur
masalah forum dan hukum apa yang akan
diberlakukan terhadap sengketa yang
timbul. Pelaku bisnis cenderung
menghindari penyelesaian sengketa melalui
pengadilan, dan memilih untuk
18
Ibid,.
Agus Triansyah : Pemberlakuan Asas Pacta Sunt Sevanda …... 224
menyelesaikannya melalui lembaga diluar
pengadilan.
Arbitrase adalah salah satu lembaga
penyelesaian sengketa diluar pengadilan.
Didalam kontrak bisnisnya, para pihak
memasukkan klausula tentang lembaga
arbitrase yang dipilih sebagai forum untuk
menyelesaikan sengketa mereka.
Dalam praktik bisnis, ada banyak
perjanjian yang dapat diadakan oleh para
pelakunya, antara lain perjanjian utang
piutang yang dibuat antara kreditur dan
debitur. Adakalanya debitur mengalami
kegagalan (wanprestasi) dalam memenuhi
kewajibannya yang berujung kepada
timbulnya sengketa. Permasalahan muncul
ketika salah satu pihak tidak membawa
sengketa utang piutang tersebut untuk
diselesaikan melalui pengadilan perdata
biasa, melainkan langsung mengajukan
permohonan untuk mempailitkan si debitur
ke Pengadilan Niaga.
Sengketa kepailitan pada dasarnya
timbul dari perjanjian utang piutang.
Sengketa kepailitan dipilih oleh para pihak
sebagai upaya untuk meletakkan harta
debitur di bawah sita umum. Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 ternyata
telah menentukan adanya ketentuan hukum
yang dapat meniadakan prinsip hukum
penyelesaian sengketa melalui Lembaga
Arbitrase. Pasal 303 Undang-Undang
tersebut menyebutkan bahwa “Pengadilan
tetap berwenang memeriksa dan
menyelesaikan permohonan pernyataan
pailit dari pihak yang terikat perjanjian
yang memuat klausula arbitrase sepanjang
utang yang menjadi dasar permohonan
pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang ini”.
Pemberlakuan perjanjian klausula
arbitrase sebagai dasar penyelesaian
sengketa kepailitan menunjukkan
ketidakpastiaan hukum dikarenakan adanya
ketidaksinkronan dari segi pengaturannya
antara Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 dengan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 adalah sebagai berikut :Pasal 3
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak
berwenang untuk mengadili sengketa para
pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase. Kemudian Pasal 11 ayat (2)
Undang-Undang tersebut menyatakan
bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak
dan tidak akan campur tangan didalam
suatu penyelesaian sengketa yang telah
ditetapkan melalui arbitrase, kecuali hal-hal
tertentu yang ditetapkan dalam Undang-
Undang ini.
Pasal 303 Undang-Undang 37 Tahun
2004 menyatakan bahwa Pengadilan tetap
berwenang memeriksa dan menyelesaikan
permohonan pernyataan pailit dari para
pihak yang terikat perjanjian yang memuat
225 Badamai Law Journal, Vol. 5, Issues 2, September 2020
klausula arbitrase. Yang dimaksud dengan
pengadilan tersebut menurut Pasal 1 angka
7 Undang-Undang tersebut adalah
pengadilan niaga dalam lingkungan
Peradilan Umum.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka
untuk terciptanya kepastian hukum dalam
rangka penyelesaian sengketa kepailitan
yang terdapat klausula arbitrase, maka
keberadaan Pasal 303 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004, perlu dilakukan
pembahasan dan penyempurnaan dengan
cara menyelaraskan dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
KEKUATAN HUKUM PEMBER-
LAKUAN ASAS PACTA SUNT
SERVANDA DALAM SENGKETA
KEPAILITAN
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 bahwa
perjanjian arbitrase adalah “suatu
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis
yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa atau suatu perjanjian arbitrase
tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa”. Berdasarkan pengertian
normatif tersebut, Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 mensyaratkan bahwa
perjanjian arbitrase harus dibuat secara
tertulis. Syarat tertulis ini berupa
kesepakatan para pihak, dimana adanya
perjanjian tersebut berarti meniadakan hak
para pihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa ke Pengadilan Niaga. Demikian
pula, pengadilan niaga tidak berwenang
untuk mengadili sengketa para pihak yang
telah terikat perjanjian arbitrase. Hal ini
mempunyai arti bahwa perjanjian arbitrase
melahirkan kompetensi absolute bagi para
pihak untuk menentukan sendiri cara
penyelesaian sengketa yang
dikehendakinya.
Idealnya asas pacta sunt servanda
tersebut mempunyai kekuatan hukum
dalam keberlakuannya. Namun asas
perjanjian ini perlu dipertanyakan
keberadaannya dalam kaitannya dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 yang menentukan kewenangan
pengadilan niaga untuk memutus perkara
permohonan kepailitan yang memenuhi
persyaratan kepailitan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang tersebut.
Arbitrase merupakan kesepakatan para
pihak yang bertujuan untuk menentukan
cara penyelesaian sengketa yang timbul dari
perjanjian yang telah disepakati.
Pencantuman klausula arbitrase disalam
perjanjian merupakan bagian dari
Implementasi dari asas hukum perjanjian
yang berupa asas pacta sunt servanda
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata. Hal tersebut
merupakan konsekuensi dari Pasal 1233
Agus Triansyah : Pemberlakuan Asas Pacta Sunt Sevanda …... 226
KUHPerdata yang menyatakan bahwa
setiap perikatan dapat lahir dari Undang-
Undang maupun karena perjanjian. Dengan
demikian, perjanjian merupakan sumber
dari perikatan.
Hukum pada hakikatnya merupakan
perlengkapan masyarakat untuk menjamin
agar kebutuhan-kebutahan dalam
masyarakat dapat dipenuhi secara teratur.
Sebagaimana dikatakan Roscoe Pond
bahwa hukum dibuat tidak hanya untuk
mengisi kekosongan tetapi hukum dibuat
agar efektif.19
Demikian pula apabila
melihat pasa ciri-ciri yang melekat pasa
hukum, yaitu :
a Kehadiran hukum menimbulkan suatu
kemantapan dan keteraturan dalam usaha
manusia;
b Memberikan kerangka sosial terhadap
kebutuhan-kebutuhan masyarakat;
c Sebagai kerangka sosial untuk
kebutuhan manusia yang menampilkan
wujudnya dalam bentuk sarana-sarana.
Norma inilah yang merupakan sarana untuk
menjamin agara anggota masyarakat dapat
dipenuhi kenutuhannya secara
terorganisasi.20
Seiring berjalannya waktu, keberadaan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998
kemudian dicabut dan diganti dengan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004,
19
Ibid, hlm. 133. 20
Ibid, hlm. 134.
memunculkan suatu ketentuan yang
memberi kewenangan yang eksplisit kepada
Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan
menyelesaikan permohonan pernyataan
pailit dari para pihak yang terikat perjanjian
yang memuat klausula arbitrase (Pasal 303
UU Nomor 37 Tahun 2004).
KEWENANGAN MENGADILI SENG-
KETA KEPAILITAN
Seiring dengan perkembangan zaman
khususnya dalam dunia perdagangan,
sekarang ini berkembang lembaga
penyelesaian sengketa diluar pengadilan
(non litigasi) diantaranya adalah arbitrase.
Dengan adanya Lembaga Arbitrase maka
dapat membantu para pelaku bisnis dalam
menyelesaikan suatu masalah hukum.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 memberikan definisi
arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata diluar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Pasal 1 angka 10
Undang-Undang tersebut memberikan
definisi alternatif penyelesaian sengketa
adalah "lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakti para pihak, yakni penyelesaian
diluar pengadilan dsngan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian
ahli.
227 Badamai Law Journal, Vol. 5, Issues 2, September 2020
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 menyatakan, "pengadilan
negeri tidak berwenang untuk mengadili
sengketa para pihak yang telah terikat
dalam perjanjian arbitrase". Dengan kata
lain, lembaga arbitrase mempunyai
kompetensi absolute untuk memutus
perkara kepailitan yang para pihaknya
membuat klausula arbitrase.
Pasal 303 Undang-Undang 37 Tahun
2004 menyatakan bahwa Pengadilan tetap
berwenang memeriksa dan menyelesaikan
permohonan pernyataan pailit dari para
pihak yang terikat perjanjian yang memuat
klausula arbitrase, sepanjang utang yang
menjadi dasar permohonan pernyataan
pailit telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang ini.
Pada sisi ini, Pengadilan Niaga yang
memiliki kekhususan sebagai Lembaga
Peradilan bagi sengketa kepailitan
seharusnya dipergunakan sebagai upaya
terakhir atau the last resort bagi para pihak,
yaitu apabila penyelesaian di Luar
Pengadilan, dalam hal ini Lembaga
Arbitrase yang disepakati para pihak telah
ditempuh dan tidak ada itikad baik debitur
untuk melaksanakan Putusan Lembaga
Arbitrase.
Masalah kewenangan yang memutus
perkara kepailitan yang terdapat klausula
arbitrase kurang memberikan kepastian
hukum. Menurut Mahdi Surya
Aprilliansyah, bahwa walaupun masalah
kepailitan merupakan kewenangan absolute
dari Pengadilan Niaga, namun apabila
terkait masalah kepailitan itu dikarenakan
sebagai konsekuensi dari adanya suatu
perjanjian antara kedua belah pihak, dimana
dalam perjanjiannya diakui adanya klausula
arbitrase sebagai upaya penyelesaian
sengketa, maka perjanjian yang telah
disepakati itu harus ditaati sesuai dengan
asas pacta sunt servanda, maka perjanjian
tersebut merupakan dasar hukum bagi
pembuatnya. Oleh karena itu, Pengadilan
Niaga tidak berwenang menyelesaikan
perkara kepailitan, melainkan kewenangan
lembaga arbitrase. Hal ini sebagai salah
satu bentuk penjunjungan tinggi asas
hukum perjanjian yaitu asas pacta sunt
servanda yang diimplementasikan dalam
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 yang menyatakan bahwa “Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk mengadili
sengketa para pihak yang terikat dalam
perjanjian arbitrase”.21
SANKSI HUKUM MELANGGAR ASAS
PACTA SUNT SERVANDA
KAITANNYA DENGAN SENGKETA
KEPAILITAN
Perjanjian arbitrase merupakan
perikatan untuk berprestasi yang berupa
21
Mahdi Surya Aprilliansyah. Tinjauan
Yuridis Penyelesaian Sengketa Kepailitan Terhadap
Adanya Klausula Arbitrase.
Agus Triansyah : Pemberlakuan Asas Pacta Sunt Sevanda …... 228
penyelesaian sengketa melalui lembaga
arbitrase. Pemenuhan suatu prestasi
merupakan hakekat dari suatu perikatan.
Pembuatan perjanjian arbitrase adalah
perwujutan dari asas kebebasan berkontrak
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata, yaitu setiap orang
bebas membuat suatu kontrak yang
bagaimanapun bentuk dan isinya sebelum
tidak bertentangan dengan Undang-Undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan.
Kemudian memuat Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-
Undang bagi mereka yang membuatnya,
dan ketentuan ini dikenal dengan asas
pacta sunt servanda. Selanjutnya dalam
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik (asas itikad baik).
Perjanjian arbitrase merupakan hasil
kesepakatan antara kreditur dengan debitur
yang berisikan mekanisme penyelesaian
sengketa kepailitan melalui lembaga
arbitrase. ketentuan tersebut dapat
dikatakan bahwa perjanjian arbitrase
sebagai pencerminan dari asas pacta sunt
servanda mempunyai kekuataan hukum
mengikat bagi para pihak yang
membuatnya, sehingga penyelesaian
perkara kepailitan yang terjadi harus
melalui lembaga arbitrase. Apabila salah
satu pihak mengingkarinya, seperti
penyelesaian perkara kepailitan tidak
dilakukan melalui lembaga arbitrase, tetapi
dimohonkan kepada Pengadilan Niaga,
maka yang bersangkutan melakukan
wanprestasi. Pihak yang merasa dirugikan
atas tidak dilaksanakannya perjanjian
arbitrase, maka berhak menuntut ganti
kerugian atas dasar wanprestasi melalui
Pengadilan Negeri yang berwenang.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang telah
dikemukakan, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan sebagai berikut, Perjanjian
arbitrase merupakan kesepakatan para pihak
untuk menyelesaikan sengketa kepailitan
melalui lembaga arbitrase sebagai
perwujudan dari asas pacta sunt servanda
yang menyatakan bahwa perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya
(Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata). Oleh
karena itu asas pacta sunt servanda
mempunyai kekuatan hukum dalam
pemberlakuannya, sehingga yang
berwenang menyelesaikan sengketa
kepailitan adalah lembaga arbitrase. Hal ini
sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 yang menentukan
bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang
mengadili sengketa para pihak yang telah
tersebut dalam perjanjian arbitrase.
229 Badamai Law Journal, Vol. 5, Issues 2, September 2020
Perjanjian arbitrase merupakan
kesepakatan para pihak untuk
menyelesaikan sengketa kepailitan melalui
lembaga arbitrase dan sesuai dengan asas
pacta sunt servanda yang menyatakan
bahwa perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata), sehingga perjanjian
tersebut harus dilakukan dengan itikad baik.
Apabila isi perjanjian arbitrase tidak
dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka
menurut hukum perikatan pihak yang
melanggar perjanjian arbitrase tersebut
dinyatakan wanprestasi.
DAFTAR PUSTAKA
Aprilliansyah, Mahdi Surya. Tinjauan
Yuridis Penyelesaian Sengketa
Kepailitan Terhadap Adanya
Klausula Arbitrase.
Arrasjid, Chainur. 2000. Dasar-Dasar Ilmu
Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.
Fuady, Munir. 2010. Hukum Pailit Dalam
Teori dan Praktik. Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti.
Jono. 2010. Hukum Kepailitan. Jakarta :
Sinar Grafika.
Kusumaatmadja, Muchtar. 2003. Pengantar
Hukum Internasional. Bandung :
Alumni.
Mertokusumo, Sudikno. 1991. Hukum
Acara Perdata Indonesia.
Yogyakarta : Liberty.
Mertokusumu, Sudikno. 2001. Penemuan
Hukum. Yogyakarta : Liberty
Partiana, Wayan. 2005. Hukum Perjanjian
Internasional. Bandung : Mandor
Maja.
Purwanto, Harry. 2009. Kebebasan Asas
Pacta Sunt Servanda Dalam
Perjanjian Internasional. Jakarta.
Sidharta, Arief. 2002. Refleksi Tentang
Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti.
Sunarmi. 2004. Perbandingan Sistem
Hukum Kepailitan Antara Indonesia
(Civil Law System) Dengan Amerika
Serikat (Common Law System).
Sumatera Utara : Fakultas Hukum
Sumatera Utara.
Usman, Rachmadi. 2004. Dimensi Hukum
Kepailitan di Indonesia. Jakarta :
Gramedia.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
Top Related