Pemahaman Pendidik Terhadap Pengajaran Membaca Anak Usia Dini
(Studi Fenomenologi Tentang Peran Pendidik di Sekolah Internasional
Apple Tree Preschool Surabaya)
Oleh: Luthfi Estika Dhani
In this early childhood moment when their brain are absorbing just like a sponge. Golden age
they say, are starts nowadays by the social agents because they think this kind of education
will help them, the new generation, to face the world. Supported by how there are preschool
which grow rapidly fast everywhere. But for sure, with this kind of need of school are also
need a lot of teachers either. As we can see now, they do no longer need certificate to teach.
The teachers related with its 'label' that stick on them as a public figure in social world, now
its getting blur. Totally different with all the stories about teachers used to be in the society,
everyone will respect their role and they are also become socialite.
Teacher's role gets wider as long as the education qualities are also getting high. As we know
there is a profession who teach early childhood that need a great patience, creativity, courage,
skill and also a huge dedication for a job that force them to get grow. With those burden they
carry along as a teacher who teach young generation so they can develop as a clever youth,
good morality and also have quality moreover all the early childhood teacher will facing
many kind of children behavior with all that weeping, screaming, sweat, et cetera especially
in reading subject which is getting more crucial recently. We need vocations to bear with a lot
of children world. In fact, most youth are no longer interest with kind of job as a early
childhood teacher because of the risk and also the situation surrounding that they have to face
at school, it's not an impressive job for them. So this role, an early childhood teacher, is a
great phenomena that happening in society right now.
From this research we can find that the teachers in Apple Tree Preschool Surabaya, at the first
time are hating their job so bad but the social construction they get are crystalize after the
moment they work with the kids. Mostly, all the teachers are getting the essential feeling of
teaching is a wonderful thing to do but there also a teacher who use the job only as a profit for
the economic needs.
This research are based on two phase which are in order to motive and because motive.
Keywords: phenomena, phenomenology, early childhood, teacher, early childhood’s teacher
role, reading, reading for early childhood, reading lesson, preschool.
Pendahuluan
Sebagai bentuk upaya pembinaan bagi anak-anak yang ditujukan sebelum mereka
menginjak jenjang pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini diharapkan memberikan
rangsangan pengetahuan serta pendidikan bagi pertumbuhan dan perkembangan agar
memiliki kesiapan baik jasmani maupun rohani. Namun anak-anak tetaplah anak-anak,
sebagaimana halnya mereka sewajarnya ketika berada di usia mereka. Berbagai tingkah laku
yang biasanya membuat orang dewasa jengah, marah, jengkel, dan sebal bahkan enggan
untuk mengatasi atau meredakan mereka. Menangis, berteriak, meronta-ronta, buang air
dengan sendirinya, berkelahi, tidak mau mendengarkan orang dewasa, ingin menjadi pusat
perhatian dan sebagainya, hal-hal tersebut kerap ditemui di sebuah sekolah pendidikan anak
usia dini. Dan yang berkenan untuk menghadapi itu semua hanyalah pendidik anak usia dini.
Kini menjadi pendidik anak usia dini amatlah mudah karena diiringi perkembangan
sistem pendidikan serta ditunjang kesadaran para orang tua terhadap pentingnya
mengembangkan kecerdasan anak sejak dini, namun mereka yang ingin menjadi pendidik
dengan tulus dan bersedia berhadapan dengan anak usia dini setiap harinya, merekalah yang
sulit untuk ditemukan. Dalam menjalani pekerjaan tersebut mau tidak mau seseorang tersebut
harus dan mau untuk mengurus, mendidik dan bertanggung jawab atas hasil yang telah
diberikan terhadap anak tersebut kepada orang tuanya masing-masing. Karena tujuan utama
para orang tua memasukkan buah hatinya ke sebuah sekolah pendidikan anak usia dini adalah
sebuah hasil yang pasti dan membanggakan. Orang tua ataupun masyarakat umum tidak
pernah tahu ataupun membayangkan bagaimana para pendidik harus berusaha keras dalam
memberikan pengajaran yang tepat dan sesuai serta segala kendala yang kerap dihadapi setiap
harinya. Akan tetapi bukan hanya harus berhadapan dengan segala kelakuan anak usia dini
secara secara moral dan emosional, pendidik juga harus mampu mendidik mereka secara
mental serta meningkatkan kemampuan intelenjensi mereka. Bagaimana awalnya anak usia
dini belajar untuk berbahasa, menulis bahkan membaca. Dan proses agar anak mau dengan
sendirinya, memperhatikan dan menyerap konsep membaca tidaklah semudah yang
dibayangkan atau dibaca pada buku teks. Mengajar anak-anak usia dini untuk membaca
merupakan hal yang amat sulit. Mengingat seperti apa keseharian seorang anak yang
menginginkan kebebasan dan tidak mau untuk dikekang dan kini harus dihadapkan untuk
duduk diam dalam sebuah ruang kelas dan mendengarkan dengan seksama pendidik ketika
memberikan materi ajar, adalah hal yang mustahil. Diperlukan sebuah kiat khusus agar materi
ajar tampak kreatif serta atraktif guna mempertahankan atensi mereka walaupun seringkali
hal tersebut tidak bekerja sama sekali. Namun disinilah kendala-kendala akan mulai
bermunculan dan menghambat kinerja pendidik dalam proses belajar mengajar. Tanpa
kemauan, ketulusan, kemampuan dan pengetahuan serta informasi menjadi pendidik anak
usia dini amatlah sangat berat.
Preschool atau biasa dikenal secara umum sebagai PAUD (pendidikan anak usia dini)
atau pendidikan anak usia dini. Preschool hanyalah sebuah istilah bagi penamaan PAUD
namun dengan sistem pengajaran yang berbeda, lebih maju dan diterapkan oleh negara-
negara maju. Jika pendidikan anak usia dini lebih mengutamakan bagaimana anak
berkembang dan tumbuh sewajarnya anak-anak seusianya yaitu dengan memberikan porsi
bermain lebih besar daripada pembelajaran, lain halnya dengan preschool yaitu ketika anak-
anak dituntut untuk mendapatkan pembelajaran berupa bekal pengetahuan berikut
perkembangannya dengan mengutamakan akademik. Akan tetapi preschool tidaklah sulit
dijalani seperti yang dibayangkan. Walau memiliki tujuan untuk menstimulus dan
mempercepat perkembangan kemampuan anak, preschool tetap tidak melupakan saat-saat
bermain sebagai bagian dari tumbuh kembang anak usia dini. Hal inilah yang membedakan
antara PAUD dan Preschool, cara-cara yang mereka gunakan dalam memberikan
pengetahuan terhadap peserta didik tanpa paksaan, tanpa tuntutan namun menghasilkan
peserta didik yang sesuai dengan harapan para orang tua dan masyarakat. Namun kini
masyarakat menghadapi tuntutan baru dunia pendidikan masa kini yaitu diterapkannya sistem
pengujian sebelum memasuki tingkat sekolah dasar yang mana turut mempengaruhi
percepatan pemberian materi ajar terhadap peserta didik. Dan kemampuan para pendidik mau
tidak mau harus sesuai mengikuti perkembangan tersebut.
Kemampuan memperoleh informasi yang dimiliki oleh setiap orang tidaklah sama.
Karena kemampuan manusia dalam mendapatkan sebuah informasi dan mengaplikasikannya
ke dalam kehidupan memiliki penerapan yang berbeda-beda dan telah menjadi budaya
tersendiri. Kini, informasi adalah sesuatu yang dapat dikatakan ‘bebas nilai’ dimana semua
itu tergantung pada penggunanya. Meminjam istilah Francis Bacon “knowledge is power”
jika ingin menguasai dunia milikilah ilmu. Oleh karena itu seseorang harus memiliki
kemampuan dalam mencari, mengkoleksi, mengevaluasi, menginterpretasikan,
menggunakan, dan mengkomunikasikan atau mengaplikasikan informasi yang didapat dari
berbagai sumber dengan efektif. Dan itulah tujuan pendidikan dilangsungkan, mulai dari
tingkatan pendidikan paling dasar berupa PAUD, SD, SMP, SMA, hingga ke Perguruan
Tinggi. Dengan peran pendidik yang mengarahkannya menjadi lebih efektif dan tepat guna
serta memancing peserta didik agar dapat belajar mandiri (student’s freedom to learn) dalam
dunia pendidikan, kemampuan demi mendapatkan informasi yang esensial patut dimiliki.
Ketika memberikan pemahaman akan suatu konsep pembelajaran, pendidik diharuskan
memiliki kemampuan dan kecakapan dalam memberikan atau menyajikan pengetahuan
tersebut. Dalam penelitian ini peserta didik daripada pendidik adalah anak-anak berusia dini
antara usia satu hingga enam tahun. Pemanfaatan informasi memang telah menjadi sebuah
budaya tersendiri dalam masyarakat. Dalam profesi apapun, pasti ada pemanfaatan
penggunaan informasi untuk menunjang aktivitas profesi. Seperti halnya profesi seorang
pendidik pasti akan memanfaatkan media apapun yang tersedia untuk dapat menunjang
kegiatan belajar mengajar yang dilangsungkan, asal sumber informasi yang akan
diaplikasikan tersebut terpercaya dan tepat. Contohnya ketika pendidik dihadapkan
memberikan suatu materi ajar mengenai pengenalan berbagai macam buah, otomatis untuk
dapat menarik atensi dan memperjelas konsep materi maka pendidik harus memberikan
beragam cara yang kreatif dan atraktif kepada anak usia dini. Sama halnya ketika dihadapkan
pada pemberian materi ajar membaca yang mana merupakan salah satu hal yang mulai
diberikan secara intensif dan terus menerus oleh orang tua dan pendidik saat ini, karena
potensi diajarkannya pengajaran membaca ini amatlah penting bagi anak-anak tersebut kelak.
Krusialnya pengajaran membaca juga harus diiringi dengan kemampuan serta pemahaman
para pendidik dalam menyampaikan proses transfer ilmu tersebut dengan tepat dan sesuai.
Mengajarkan membaca yang biasanya dimulai dengan pengenalan huruf-huruf, pelafalan dan
intonasi huruf yang tepat,agar pengucapan kata dapat keluar dengan lancar dan jelas. Rubin
(Ahmad Rofi’uddin 1998:57-61) mengemukakan bahwa pengajaran membaca yang paling
baik adalah pengajaran yang didasarkan pada kebutuhan anak dan mempertimbangkan apa
yang telah dikuasai anak. Dapat diartikan bahwa memberikan pengajaran membaca kepada
anak tidak dapat sembarangan dilakukan, harus disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan anak-anak. Karena jika dipaksakan pasti akan menimbulkan semacam trauma
psikologis yang akan mengambat penyerapan pengetahuan lanjutan anak. Mengajarkan
membaca menjadi semakin tidak mudah karena syaraf mata mata pada anak balita belum siap
untuk membaca karena bersifat kontralateral atau terbalik-balik. Maka dari itu ketika masih
kanak-kanak ketika diajarkannya huruf b dan d, mereka seringkali salah menyebutkan atau
melafalkan, inilah salah satu resiko yang harus ditanggung pendidik agar anak-anak tidak
mengalami kesulitan belajar ketika mereka besar nanti.
Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan penggunaan informasi memang akan terus
berkembang dan dimanfaatkan. Pengembangan kemampuan ini terkait dengan
pengembangan kemampuan dalam baca, tulis dan bahasa yang dilakukan sesuai dengan
prinsip pengembangan anak sejak usia dini yang holistik dan terintegrasi antar semua bidang
pengembangan tersebut. Dengan prinsip pengembangan kemampuan yang dilakukan sejak
usia dini, yaitu momen dimana kemampuan manusia berada dalam masa yang paling tepat
dalam penyerapan pengetahuan, akan lebih tepat jika ada pembiasaan dan pengajaran yang
tepat dan sesuai. Pada pendidik anak usia dini, akan ditemui variasi anak dengan tahap
perkembangan yang berbeda-beda bahkan mereka dituntut untuk selalu tanggap dan tangkas
akan segala ciri-ciri atau tanda yang tidak lazim. Seperti halnya mengenali jenis anak yang
ternyata memiliki kecerdasan di atas normal ataupun anak yang ternyata memiliki ciri
ketidaknormalan perilaku dan mental. Bahkan sejak usia bayi kurang dari 1 tahun sudah harus
dilakukan pengamatan dan pelatihan untuk mengenali apakah anak tersebut dalam keadaan
normal atau tidak. Seperti halnya mendengar bunyi, memegang benda, berguling, tengkurap,
mengenali obyek dan orang, maupun mengucapkan kata. Tanpa informasi berupa data
ataupun pengetahuan maka banyak hambatan yang akan ditemui dalam kaitannya dengan
dunia sosial, komunikasi juga kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu informasi apapun
yang akan dicari, diserap dan dibagikan haruslah akurat dan tepat guna seperti yang
diungkapkan oleh Jogiyanto (1990:8) “informasi adalah data yang diolah menjadi bentuk
yang lebih berguna dan lebih berarti bagi yang menerimanya” sebab informasi adalah
pengumpulan atau hasil akhir dari sebuah kumpulan data.
Dalam dunia pendidikan, profesi mengajar seringkali disebut sebagai ibu dari segala
profesi, itulah yang diungkapkan oleh Stinnet dan Huggett. Namun banyak pula yang
beranggapan bahwa mengajar adalah sebuah profesi yang tidak menjanjikan untuk sebuah
masa depan. Seringkali masyarakat berfikir bahwa mengajar hanyalah pekerjaan yang
monoton tanpa jenjang karir yang pasti. Walau begitu tanpa seseorang dibalik profesi
mengajar inilah manusia tidak akan dapat berkembang, berakal sehat, dan memiliki pola pikir
yang rasional. Plato pernah berkata bahwa pendidikan menghasilkan orang baik, dan tentu,
orang baik berperilaku mulia. Bukan berarti orang-orang yang sukses dengan gemilangnya
walaupun mengesampingkan pendidikan bukanlah orang yang baik, namun pendidikan
memang memberikan dampak yang berbeda bagi kepribadian maupun intelejensi seseorang.
Pendidikan yang dapat menjadi dasar kemampuan seorang manusia tidak hanya didapatkan
dari akademis belaka namun dapat juga diperoleh melalui jalur formal akademis,
pengalaman, lingkungan ataupun segala hal yang ada di sekitar. Dengan kecakapan dan
kecerdasan manusia yang melingkupi kehidupan, dapat dan bisa menjadi sebuah ilmu yang
akan mendidik manusia sesuai dengan kemampuannya, akan menjadi lebih baik atau akan
menjadi lebih buruk. Bagaikan dua sisi mata uang, walau memiliki peran berbeda akan tetapi
ikatan antara pendidik dan peserta didik amatlah erat dan berkaitan. Apabila pendidik
memberikan ilmu yang tidak mengarah pada sebuah kebaikan maka peserta didik tidak akan
mampu untuk membedakan baik dan buruk serta tidak dapat mengimplementasikan wawasan
daripada ilmu yang telah diberikan oleh pendidik. Oleh karena itu amat diperlukan seorang
pendidik, pengajar, tauladan untuk mengarahkan peserta didik menuju kebaikan dengan tepat
serta menanamkan kecerdasan dan kebaikan yang berakar kuat, dimanasemua itu harus
dilakukan sejak awal, sejak dini, sejak masa dimana manusia mulai mengenal lingkungan dan
menyerap semua hal yang ada di sekitarnya. Karena pada usia dini inilah manusia mengalami
momen dimana penyerapan segala informasi mulai dipelajari, sisi mana yang baik dan sisi
mana yang buruk. Sebuah tantangan yang amat berat bagi seorang pendidik bagi anak usia
dini. Banyak anggapan orangtua saat ini, ketika PAUD atau Preschool mulai marak di
masyarakat bahwa memberikan pendidikan sejak dini bagi anak-anak yang mengajarkan
calistung (baca, tulis dan hitung), mahal, mewah, merupakan hal yang baik bagi
perkembangan anak. Karena pemberian beban yang berat bagi anak usia dini bisa berbahaya
mental sang anak dan perkembangannya kelak. Oleh karena itu dibutuhkan porsi yang tepat
bagi si anak untuk mendapatkan masa bermain yang tepat dan sesuai untuk menstimulasi otak
dan saraf motoriknya.
Profesi pendidik pada pendidikan anak usia dini sendiri mulai berkembang sesuai
kesadaran para orang tua akan pentingnya meningkatkan kualitas anak di masa depan, yang
pada saat ini mulai menjadi perhatian khusus. Berdasarkan hasil penelitian negara barat,
sekitar 50% kapabilitaas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun,
80% telah terjadi perkembangan yang pesat tentang jaringan otak ketika anak berumur 8
tahun dan mencapai puncaknya ketika anak berumur 18 tahun, dan setelah itu walaupun
dilakukan perbaikan nutrisi tidak akan berpengaruh terhadap perkembangan kognitif. Empat
tahun pertama periode tersebut merupakan periode kritis dimana perkembangan pada usia
tersebut akan berpengaruh besar pada perkembangan periode berikutnya. Menurut Byrnes,
pendidikan anak usia dini akan memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke
depannya, yang paling dekat adalah menghadapi masa sekolah. Tambahnya lagi, pendidikan
anak usia dini itu penting, karena di usia inilah anak membentuk pendidikan yang paling
bagus. Usia dimana anak-anak harus membentuk kesiapan dirinya menghadapi masa sekolah
dan masa depan.
Para orangtua dengan pencarian informasi yang mereka lakukan, menyadari bahwa
anak-anak memerlukan sebuah pembinaan terutama bagi anak usia dini atau biasa dikenal
dengan anak pada masa periode golden age (usia 0-6 tahun). Pada periode golden age ini,
seorang anak akan mengalami sebuah perkembangan besar-besaran, yaitu:
1. Adanya perkembangan fisik, motorik, emosional dan intelektual.
2. Kemampuan dalam berbahasa dan bersosialisasi sangat cepat, atau mudah untuk
dilakukan.
3. Untuk pembentukan otak.
4. Jiwa anak akan lebih berkembang sesuai dengan seharusnya.
5. Mendorong self-identity
6. Anak akan lebih mandiri dan menjelajahi hal yang dia suka
7. Lebih menguasai aturan dasar dan rutinitas, dan lainnya.
Dalam kaitannya dengan peran pendidik J. Sudarminto, 1990 (dalam Semana, 1994)
berpendapat bahwa citra guru yang ideal adalah sadar dan tanggap akan perubahan zaman,
pola tindak keguruannya tidak rutin, maju dalam penguasaan dasar keilmuan dan perangkat
instrumentalnya (misalnya sistem berpikir, membaca keilmuan, kecakapan problem solving,
seminar dan sejenisnya) yang diperlukannya untuk belajar lebih lanjut atau
berkesinambungan. Walau harus disayangkan, citra guru cukup menurun drastis pada masa
ini, kini profesi pendidik lebih banyak dilakukan oleh mereka yang pada dasarnya tidak
memiliki kompetensi sebagai seorang pendidik. Hal ini disebabkan tingginya permintaan
profesi ini yang tidak sebanding dengan sumber daya yang sesuai kompetensi dan kriteria. 1Berdasarkan data yang dimiliki oleh Dikti, saat ini jumlah guru PAUD mencapai 252.000
orang dan dari jumlah ini hanya 15,7% saja yang memiliki kualifikasi S1, baik dari jurusan
khusus pendidikan PAUD maupun dari jurusan lain yang tidak relevan dengan PAUD.
Sebanyak 24% hanyalah tamatan D-1 dan D-3, sisanya sebanyak 60,6% memiliki kualifikasi
kurang pendidikan kurang dari D-2. Padahal hingga tahun 2015, Indonesia masih
membutuhkan guru PAUD sebanyak 727.000. Dengan kebutuhan guru yang mencapai
132.00 orang menjelang 2015, Indonesia masih sangat kekurangan jumlah guru PAUD yang
berkompeten. 2Walaupun dalam Undang-Undang No. 14/2005 tentang guru dan dosen
memang mengutamakan adanya program sertifikasi, namun yang tertera di dalamnya hanya
berlaku untuk guru TK, SD, SMP dan SMA atau yang sederajat. Walau begitu sertifikasi
untuk guru PAUD buanlah hal yang mustahil.
Oleh karena itu untuk menunjang pendidikan yang berkualitas disertai dengan
pendidik yang berkompeten, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan akan memperketat
penyelenggaraan lembaga Pendidikan Anak Usia Dini. Hal ini berkaitan dengan persyaratan
khusus yang harus dimiliki oleh guru TK seperti ijazah S-1 dengan program studi PAUD.
Karena kenyataan yang ada di masyarakat para pendidik di lembaga anak usia dini belum
memenuhi kualifikasi tersebut. Walau begitu pemerintah tidak dapat memberikan sanksi
karena belum adanya aturan khusus yang memperkuat Permendiknas No. 58/2009 mengenai
standar PAUD. 3Padahal Indonesia saat ini masih membutuhkan lembaga pendidikan
setingkat PAUD untuk memenuhi target partiipai kasar PAUD pada tahun 2014 yakni sebesar
75% dan pada tahun 2012 masih tercapai sebesar 34%. Karena itu sarana penunjang yang
tepat bagi para anak-anak usia dini seperti pendidik yang mempunyai kualifikasi, saran dan
prasarana yang dibutuhkan anak-anak sesuai dengan standar dengan tujuan sebagai
pendidikan dasar-dasar fisik, kecerdasan dan emosional selain itu juga untuk membentuk
seorang anak yang baik, beretika, berkarakter. Ditunjang dengan semakin berjamurnya
lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini atau yang setara, seperti Taman Kanak-Kanak,
Raudhatul Athfal, Kelompok Bermain kini orang tua perlu selektif terhadap program yang
ditawarkan dan bagaimana kualitas kurikulum pendidikan, kualifikasi pendidiknya bahkan
lingkungan atau sarana prasarana yang dimiliki oleh lembaga pendidikan tersebut. Karena
jika ditelusuri jalan dan perkembangan sebuah informasi, mulai dari yang terkecil hingga
yang menyangkut kehidupan manusia secara keseluruhan, telah menjadi sesuatu yang
melekat erat di masa sekarang ini. Bagaimana setiap saat yang berjalan menuju sebuah
pembaharuan diikuti oleh manusia agar tidak menjadi seseorang yang tertinggal atau menjadi
manusia paling terakhir yang tidak mendapatkan informasi apapun. Padahal setiap detik yang
berlalu tedapat informasi yang terus mengalir tanpa henti dan terus berkembang setelah
informasi tersebut tersalurkan. Dan bagaimana hal-hal tersebut mempengaruhi perilaku
manusia agar memperoleh informasi yang akurat, tepat dan terpercaya. Perubahan perilaku
manusia dalam pencarian informasi ini memang telah menjadi suatu kebutuhan yang
diperlukan dalam skala yang sangat luas dimana hal ini juga menunjang manusia untuk
menjadi seseorang yang melek akan informasi. Dan seperti yang dikatakan oleh Paul G.
Zurkowski, President Information Industry Association (Estabrook, 1977), people trained in
the application of information resources to their work orang yang berkemampuan
mengaplikasikan sumber-sumber informasi pada pekerjaannya. Seperti bentuknya yang
beragam, cara perolehannya pun beragam. Bahkan sejak dini, kita telah dapat mengenal
informasi dimana hal tersebut kita dapatkan melalui lingkungan yaitu dari orang tua atau guru
yang memberikan bermacam informasi dan juga pendidikan baik secara formal maupun
informal.
_______________________ 1. Guru PAUD Masuk Akademi Vokasi. 18 July 2012. www.dikti.go.id
2. Ribuan Guru PAUD Belum Bersertifikat Hampir 70% Tidak Layak Mengajar. 5 Januari 2012. www.surabayapost.co.id
3. Indonesia Kekurangan 15.000 Lembaga PAUD..18 Juni 2012. www. nasional.kompas.com
Namun dengan kesadaran orang tua terhadap momen emas anak yang diikuti dengan
meningkatnya jumlah lembaga pendidikan bagi anak usia dini, secara tidak langsung
menstimulus SDM untuk turut berpatisipasi. Apakah itu sebagai guru, caregiver, asisten, atau
dalam bentuk lain yang melibatkan dunia pendidikan anak tersebut. Mulai dari
pengembangan metode pendidikan yang dirasa tepat untuk anak bangsa atau berkiblat pada
metode pendidikan yang diterapkan di negara maju, apapun dilakukan untuk menciptakan
dan memanfaatkan peluang yang dirasakan secara langsung berdasarkan kebutuhannya oleh
orang tua yang mengharapkan memiliki anak yang cerdas dan bagi SDM yang mengharapkan
untuk membuat sebuah metode pendidikan yang mencerdaskan bangsa sekaligus
meningkatkan populasi tenaga kerja. Dari sinilah para guru maupun bentuk pengajar yang
lain mulai melakukan proses berpikir, memanipulasi data, fakta, dan informasi untuk
membuat keputusan berperilaku. Dimulailah sebuah aktivitas untuk dapat menghasilkan
pengetahuan-pengetahuan serta pengalaman yang nantinya akan bersifat permanen dan dapat
mereka salurkan ke orang lain.
Aktivitas demi memperoleh sebuah pengetahuan baru, baik dari sumber-sumber
informasi seperti halnya internet, buku, majalah, maupun pengalaman seseorang dapat
menunjang profesi seseorang untuk dapat meningkatkan kualitas diri dan pengalaman dalam
bekerja. Karena menjadi seorang pendidik terutama pendidik pada dunia pendidikan dengan
tingkatan usia sekitar 1-6 tahun bukanlah hal yang mudah. Periode anak pada usia tersebut
memang merupakan masa-masa dimana anak-anak menginginkan kebebasan, penuh dengan
rasa ingin tahu yang tinggi, dan rasa eksplorasi yang berlebihan. Disinilah peran seorang
pendidik yang berkewajiban mengarahkan si anak dengan tepat dan benar agar apa yang dia
pelajari sesuai dengan kemampuan berpikir si anak. Dengan memahami beberapa ciri-ciri
anak usia dini antara lain;
1. egosentris
2. penuh rasa ingin tahu, punya keinginan untuk belajar mandiri
3. cenderung berperilaku yang dianggap negatif
4. selalu melakukan penolakan / tidak mau dikekang seperti berteriak “tidak”
5. memiliki rasa inisiatif yang tinggi serta menyesuaikan diri dengan lingkungan
Dari contoh perilaku tersebut, pendidik memerlukan sebuah referensi khusus mengenai
penanganan anak-anak dengan kondisi yang seperti itu. Dimulailah pembentukan karakter
dan perilaku anak agar tercipta kebiasaan-kebiasaan baik yang mana didapatkan dari
lingkungan dimana mereka dibesarkan, tempat dimana mereka memperoleh pendidikan serta
pendidik dengan kemampuan dalam mendapatkan dan mengolah informasi yang tepat dan
sesuai umur.
Merebaknya pendidikan khusus anak usia dini di Kota Surabaya menjadi pertanda
pula mengenai kepedulian kalangan orang tua di Surabaya terutama tentang kesadaran akan
pentingya memanfaatkan secara maksimal masa emas anak tanpa sebuah pemaksaan
melainkan dengan cara yang menyenangkan. Seperti halnya yang kini marak di masyarakat
umum, yaitu peran sekolah bagi anak usia dini mulai diminati secara spesifik seperti metode
pengajaran, kualifikasi pengajar, bahasa pengantar dan sebagainya. Sebagai salah satu media
pendidikan anak pada usia dini yang menjawab pertanyaan para orang tua yang berharap
untuk memiliki anak-anak yang mandiri, cerdas dan berperilaku baik, pendidikan prasekolah
selalu memberikan yang terbaik bagi para anak-anak yang mengenyam pendidikan khusus ini
dengan cara yang fun dan menarik. Dengan membawa suasana belajar mengajar yang tidak
kaku namun berkesan hommy (seperti berada di rumah) atau seperti bermain bersama, atau
memberikan berbagai macam program-program khusus yang bervariasi namun tetap memberi
efek belajar, cara-cara seperti inilah yang akan lebih diperhatikan oleh mereka daripada
menggunakan cara kaku dan tegas serta menyeramkan.
Ditunjang dengan hilangnya sekat-sekat antar negara di dunia sejak perkembangan
teknologi informasi yang begitu pesat seolah-olah membuat manusia dan negara yang
dihuninya semakin kecil. Bahkan setiap bagian sendi-sendi masyarakat mulai mengenal dan
memahami fungsi dan kegunaan perkembangan tersebut secara positif dan negatif. Dan
informasi menjadi sebuah bagian dari kehidupan masyarakat yang mendasar. Penyerapan
informasi yang berasal dari beragam media baik cetak, tertulis, audio maupun visual kini
dengan mudah terjadi dan diaplikasikan. Tidak jauh dari peran seorang pendidik guna
mengejawantahkan tujuan mulianya terhadap peserta didik di sebuah institusi pendidikan.
Berbagai macam cara yang dapat menunjang terjadinya kelancaran proses belajar mengajar
dapat dilakukan dengan memanfaatkan beragam cara dan media, tergantung pada kebutuhan
dan kemampuan si pengguna.
Namun, tidak semudah itu bibit luhur seorang pendidik dapat lahir dan berkembang.
Segala macam realitas sosial yang terjadi di sekitar, pengalaman pribadi, trauma, pengamatan
secara tidak langsung ataupun langsung. Hal-hal tersebut bisa jadi memicu individu untuk
melangkah menjadi pendidik walaupun destinasi awal mereka bukanlah untuk menekuni hal
tersebut. Setiap individu pasti memiliki beragam kemungkinan yang menstimulus mereka
dalam melanjutkan kehidupan karir mereka, akan tetapi sebab spesifik seseorang untuk
menindaklanjuti sebuah pekerjaan mendasar penuh jasa yaitu sebagai seorang pendidik
pastilah bervariasi dan memiliki alas an yang mendalam. Karena menjadi pendidik bukanlah
jenis pekerjaan ringan dimana tanggung jawab moral, akal dan budi pekerti peserta didik ke
depannya akan ditanggung selamanya. Berdasarkan standar bagi pendidik anak usia dini yang
ditetapkan oleh NAEYC (The National Association for The education of Young Children)
pada tahun 2001 ada beberapa hal mendasar yang dapat diperhatikan dan diaplikasikan oleh
para pendidik di Indonesia:
a) Pendidik harus mengetahui bagaimana meningkatkan perkembangan anak dan
pembelajaran mereka melalui lingkungan belajar yang berdasarkan
pemahaman mendalam akan kebutuhan dan perkembangan seorang anak
b) Membangun sebuah hubungan komunikasi yang baik dengan keluarga dan
komunitas terkaita serta melibatkan mereka untuk segala kegiatan pendidikan
yang berlangsung
c) Secara sistematis melakukan observasi, dokumentasi dan menilai setiap
keadaan untuk memberikan pengaruh positif demi perkembangan dan
pembelajaran mereka
d) Meningkatkan pembelajaran dan perkembangan anak dengan cara memadukan
pengetahuan yang dimiliki oleh pendidik dan keluarga anak untuk
menciptakan pembelajaran yang tepat bagi anak
Dalam aktivitasnya sebagai seorang pendidik pasti ditemukan berbagai macam
hambatan-hambatan yang kerap bermunculan tanpa diduga. Oleh karena itu setiap institusi
pendidikan pasti memiliki kriteria terntentu dalam memilih pendidik yang tepat, aktif, kreatif,
cerdas dan tanggap. Selain itu untuk melatih kewaspadaan diri dan menciptakan kepribadian
yang sesuai dengan peserta didik pihak institusi pendidikan juga menerapkan sistem training.
Dalam peraturan pemerintah pun dicantumkan bahwa seorang praktisi pendidikan bagi anak
usia dini harus memiliki sertifikasi khusus yang terkait, karena mendidik seorang anak adalah
permasalahan yang cukup sensitif. Dalam sebuah jurnal berjudul Raising Preschool Teacher
Qualifications oleh Julia Coffman dan M. Elena Lopez, dijelaskan bahwa seorang pendidik
yang memiliki kualifikasi tertentu (terdidik) akan berdampak positif bagi peserta didik,
orangtua dan masyarakat. Pendidik yang berpengetahuan dan terlatih dalam menghadapi
anak-anak lebih sensitif dan responsif. Disini pengalaman juga membawa pengaruh bagi
seorang pendidik anak usia dini. Berikut implikasi pelaksanaan pendidikan anak usia dini
yang berkaitan dengan anak-anak:
a. Anak akan belajar dengan baik ketika mereka menggunakan sensorinya. Hal ini berkaitan
dengan penggunaan kelima panca indera yang dimiliki dalam eksplorasi yang dilakukan
seorang anak terhadap suatu objek tertentu yang menjadi perhatian si anak.
b. Semua anak dapat dididik. Setiap anak yang terlahir di dunia memiliki potesi dan bakat
masing-masing. Selanjutnya tergantung dari orang dewasa yang ada di sekitarnya dalam
mempergunakan kesempatan yang ada tersebut dalam mendidiknya.
c. Setiap anak harus dioptimalkan potensinya. potensi yang berbeda memiliki metode
pengajaran yang berbeda pula. Oleh karena itu dibutuhkan pembelajaran yang tepat dan
sesuai agar potensi yang dimiliki berkembang optimal.
d. Pendidikan harus dimulai sejak dini. Berkembangnya otak seorang anak sejak dalam usia
kandungan empat bulan, membuat anak dapat dengan mudah menyerap segala informasi
yang diterima melalui kelima inderanya. Inilah momen emas yang harus dimanfaatkan.
e. Anak tidak dapat dipaksa belajar jika belum siap belajar. Kematangan dan kesiapan
belajar seorang anak, walau berada dalam usia yang sama, memiliki perbedaan yang
pasti. Maka dari itu menyiapkan anak lebih awal akan membantunya dalam menyerap
konsep dan informasi yang diajarkan.
f. Mempersiapkan anak bagi perkembangan selanjutnya dalam belajar. Jika mengikuti
perkembangan pendidikan saat ini yang berjalan lebih cepat daripada pendidikan
nasional pemerintah, maka mempersiapkan anak untuk menuju tahap perkembangan
selanjutnya akan lebih bermanfaat bagi pembelajaran lebih lanjut.
g. Kegiatan pembelajaran harus menarik dan bermakna. Untuk membuat suatu konsep dan
pengetahuan lebih cepat menyerap dan bermakna diperlukan sebuah ciri khas yang
menarik anak untuk menggugah minatnya dalam menjalani proses pembelajaran.
H. Interaksi sosial dengan guru dan kelompok usia penting bagi perkembangannya. Penting
bagi seorang anak untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain ataupun anak
seusianya agar mereka dapat melakukan aktivitas sosial guna menunjang perkembangan
sosial anak.
Hal-hal tersebut bagaikan sebuah landasan mengenai seorang anak dan bagaimana
orang sekitar sebagai dewasa yang memahami sosial lebih dahulu dapat dan sanggup
mengoptimalkan perkembangan manusia lainnya sejak usia dini. Dalam kaitannya dengan
pendidikan, membaca atau mengenali suara dan bentuk huruf hingga membentuk kata lalu
kalimat, merupakan hal pertama yang akan dilakukan anak-anak pertama kali dimana huruf,
kata, kalimat adalah penghubung komunikasi satu sama lain. Inilah perjuangan pendidik yang
cukup berat ini, walaupun pengenalan akan bunyi dan bentuk huruf maupun kata lebih awal
dilakukan oleh orang sekitar ataupun lingkungan anak tersebut, namun secara formal dalam
sebuah institusi pendidikan proses pengajaran tersebut akan di-estafetkan ke pendidik.
Membaca yang kini telah menjadi perilaku tidak sadar ataupun sadar yang selalu
dilakuakn manusia setiap saat semakin lama menjadi sebuah budaya tersendiri. Padahal pada
masa ketika Republik Indonesia berdiri angka buta huruf masyarakat Indonesia amatlah
tinggi yaitu sebesar 95% dan kini angka buta huruf tersebut mengalami degradasi drastis jauh
dibawah 10%. Karena melek huruf merupakan langkah awal yang harus dilakukan seorang
pendidik anak usia dini sebagai pijakan selanjutnya. Namun setiap anak tentu saja memiliki
karakter dan kecerdasan, kemauan serta kemampuan yang berbeda-beda. Dan langkah
berikutnya seorang anak dalam menjalani dunia pendidikan yang berkualitas yaitu dengan
bagaimana pendidik mengkonversikan keterbelakangan menjadi kemajuan. Membahas
tentang kemajuan saat ini yang dimiliki setiap institusi pendidikan, kini mulai diterapkan
sistem seleksi atau tes yang begitu ketat ketika proses penerimaan murid baru. Sistem
tersebut telah diberlakukan bagi murid Sekolah Dasar bahkan Kindergarten atau Taman
Kanak-Kanak. Sebuah gambaran realitas sosial yang amat jauh berbeda jika dibandingkan
dengan yang pernah ada sebelumnya di Indonesia. Namun inilah realitas yang terjadi dan
mau tidak mau hal ini menjadi tantangan bagi para pendidik usia dini untuk menghadapi
mekanisme sistem pendidikan saat ini dengan cara menjawabnya dengan mempersiapkan
peserta didik mereka yaitu anak usia dini lebih awal daripada sebelumnya.
Pengenalan bunyi dan bentuk sebuah benda serta konsep akan sesuatu sudah dapat
dimulai sejak anak berusia satu tahun, yaitu masa dimana anak mulai memperhatikan dan
mengenal segala maca hal yang ada di sekitarnya. Dari usia tersebut pendidik dapat mulai
mengenalkan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan dan sosial terutama yang berkaitan
dengan komunikasi. Namun tidak semudah itu mengajarkan hal-hal baru kepada seorang
anak. Perjuangan yang dilalui pendidik dalam menjalani proses pembelajaran tidaklah cepat
dan mudah, butuh kesabaran yang sangat besar maupun pemikiran yang kreatif. Berikut
adalah metode yang dapat diterapkan pendidik oleh Bennesse (sebuah perusahaan Jepang
yang fokus terhadap perkembangan anak) ketika menghadapi anak:
1. Jika berbicara dengan anak-anak, berbicara dengan lemah lembut
2. Biasakan berbicara dengan suara rendah, bukan dengan kasar keras atau suara tinggi
3. Kendalikan suara ketika marah pada anak, karena nantinya anak akan mengingat dan
meniru pola tersebut
4. Saat berbicara, usahakan pandang matanya dan sejajarkan wajah dengan anak agar
anak akan merasa dekat, dihargai serta diperhatikan
5. Selalu menjaga setiap perkataan dengan baik, karena anak kerap merekam kata yang
seharusnya begitu saja
6. Jangan merendahkan atau mencela anak ketika ia berbuat kesalahan
7. Selalu tunjukan sikap optimis, positif dan bangga terhadap anak
Kualitas sebuah preschool ditentukan dari program yang ditawarkan serta pendidik
dengan kemampuan mengajar yang hebat karena disertai masa pelatihan yang tepat. Dan
menghadapi anak-anak usia prasekolah pasti kerap ditemui banyak masalah terutama ketika
anak pada usia dimana anak sering menjadi 'egosentris' atau mengedepankan emosi dan
perasaan dalam mengekspresikan segala hal. Dan seorang pendidik sudah pasti memiliki kiat-
kiat tersendiri dalam menghadapi segala tingkah laku mereka dengan tekun dan sabar. Maka
dari itu, peneliti memilih topik ini untuk memahami lebih dalam mengenai perjuangan
seorang pendidik dalam menjalani pekerjaannya serta menilik perjuangannya menghadapi
anak usia dini terutama ketika anak dalam masa perkembangan dimana pendidikan
berpengaruh besar terhadap kesiapannya kelak ketika memasuki pendidikan yang lebih
lanjut. Melalui penelitian ini, peneliti juga ingin mengetahui secara lebih dalam mengenai
pemahaman pendidik terhadap pengajaran membaca di sebuah institusi pendidikan bagi anak
usia dini pada era informasi saat ini. Sebagai pendidik dengan segala aktivitas belajar
mengajar yang dilakukan serta dengan ditemuinya beragam jenis anak-anak, mulai dari yang
termasuk anak-anak dengan kondisi normal hingga yang berkebutuhan khusus, anak-anak
dengan tingkat keaktifan dan rasa ingin tahu yang tinggi, anak-anak dengan gejala-gejala
khusus, dan bermacam kesulitan yang nantinya pasti akan dihadapi seorang pendidik anak
usia dini. Dengan rangkaian kasus yang berubah setiap saat dan beban moral yang
ditanggung, bagaimana menjadi pendidik dapat menuju puncak karir seorang individu,
peneliti ingin mengetahui lebih dalam mengenai hal tersebut.
Fokus Penelitian
Berdasarkan penjelasan di atas ditemui permasalahan sebagai berikut:
1. Pemahaman pendidik terhadap cara mengajar membaca pada anak usia dini
2. Pemahaman pendidik akan realitas pengajaran membaca anak usia dini
3. Bagaimana proses pemahaman pendidik terhadap pengajaran membaca dimana dapat
menumbuhkan kesadaran peran pendidik
Pengertian Informasi
Menelusuri jalan dan perkembangan sebuah informasi mulai dari yang terkecil hingga
yang menyangkut kehidupan manusia secara keseluruhan sudah menjadi sesuatu yang
melekat erat di masa sekarang ini. Bagaimana setiap saat yang berjalan menuju sebuah
pembaharuan diikuti oleh manusia agar tidak menjadi seseorang yang tertinggal atau menjadi
manusia paling terakhir yang tidak mendapatkan informasi apapun. Padahal setiap detik
yang berlalu tedapat informasi yang terus mengalir tanpa henti dan terus berkembang setelah
informasi tersebut terciptakan. Dan bagaimana hal-hal tersebut mempengaruhi manusia agar
memperoleh informasi yang akurat, tepat dan terpercaya? Perubahan perilaku manusia dalam
pencarian informasi memang telah menjadi suatu kebutuhan yang diperlukan dalam skala
yang sangat luas dimana hal ini juga menunjang manusia untuk menjadi seseorang yang
melek akan informasi. Kebutuhan itu sendiri terjadi karena terciptanya suatu gap atau
kesenjangan yang timbul karena kurangnya pengetahuan atau informasi yang dimiliki dengan
yang dibutuhkan. Dan seperti yang dikatakan oleh Paul G. Zurkowski, President Information
Industry Association (Estabrook, 1977), “people trained in the application of information
resources to their work” orang yang berkemampuan mengaplikasikan sumber-sumber
informasi pada pekerjaannya. Seperti bentuknya yang beragam, cara perolehannya pun
beragam. Dengan beragamnya kemampuan individu dalam mengakses informasi serta
bagaimana cara pengaplikasiaannya pasti berbeda berdasar kemampuan individu tersebut.
Bahkan sejak dini, kita telah dapat mengenal informasi dimana hal tersebut kita dapatkan
melalui lingkungan secara sadar ataupun tidak yaitu dari orang tua atau guru yang
memberikan bermacam informasi dan juga pendidikan baik secara formal maupun informal.
Pembiasaan diri akan penyerapan informasi sebenarnya sudah terjalin sejak manusia
dilahirkan.Dan dalam waktu yang tidak terduga kemampuan seorang anak untuk menyerap
segala informasi yang melingkupinya semakin lama semakin besar, dimana itulah tugas orang
tua dan pendidik untk lebih mengarahkan dan mengontrol informasi yang ada berada pada
jalur yang baik.
Informasi mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia. Menurut Davis
(2002:29) informasi memiliki beberapa ciri sebagai berikut:
1. Benar atau salah, berhubungan dengan realitas atau tidak, bila penerimaan informasi yang
salah dipercayai mengakibatkan sama seperti benar.
2. Baru, informasi dapat sama sekali baru dan segar bagi penerimanya.
3. Tambahan, informasi dapat memperbaharui atau memberikan tambahan baru pada
informasi yang telah ada.
4. Korektif, informasi dapat menjadi suatu korektif atas informasi yang salah.
5. Penegas, informasi dapat mempertegas informasi yang telah ada, untuk meningkatkan
persepsi penerimanya atau kebenaran informasi tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa informasi memiliki karakter yang kuat seperti, informasi
memiliki siklus nilai, memiliki siklus hidup yang jelas, dapat diperoleh pada kapanpun.
Secara pengertian informasi merupakan suatu kumpulan data yang telah dikomunikasikan
kepada orang lain agar dapat bernilai guna bagi orang tersebut dimana informasi tersebut
akan menjadi sebuah pengetahuan atau meningkatkan pengetahuan seseorang. Karena
informasi berasal dari fakta, data, dan juga pengetahuan yang telah diolah sedemikan rupa
menjadi sesuatu yang nantinya akan dimanfaatkan atau memiliki nila guna bagi seseorang.
Oleh karena itu informasi memiliki peran yang cukup penting dalam setiap aktivitas manusia,
karena dengan keakuratan dan ketajaman hasil tersebut akan memberikan standar, aturan,
ukuran dan kuputusan yang lebih terarah. Dan juga visi dan misi atau target yang diharapkan
oleh si pengguna akan tercapai.
Pendidik Anak Usia Dini
Sebuah fondasi bangunan tidak akan kuat, kokoh dan bertahan lama tanpa adanya
faktor-faktor pendukung. Seperti halnya material bangunan, investor atau pendanaan, alat
berat dan lain sebagainya. Namun bangunan tersebut tidak akan terwujud tanpa adanya
pekerja bangunan, pihak paling krusial yang menentukan ada tidaknya bangunan tersebut.
Sama halnya dengan sebuah institusi pendidikan yang pasti memiliki pendidik dan juga
tenaga pendidikan untuk menopang berlangsungnya kelancaran dan terjadinya proses belajar
mengajar agar berjalan dengan baik dan maksimal. Dalam Permendiknas No. 58 tahun 2009
dijelaskan bahwa terselenggaranya Paud diperlukan tenaga pendidik dan kependidikan yang
professional atau yang memenuhi standar yang ditetapkan. Pendidik bertugas untuk
memberikan bimbingan, pengarahan, dan pembinaan kepada peserta didik, sedangkan tenaga
kependidikan bertugas memberikan Pengertian seorang pendidik semakin lama memang
semakin luas tidak hanya terbatas akan kecerdasan intelektual namun juga spiritual, kinestetik
jasmaniyah, olah raga ataupun musik seperti yang dijelaskan oleh seorang pakar psikologi
Howard Garner4. Itulah makna pendidik, sebagai pengemban misi dengan upaya
mencerdaskan bangsa dalam berbagai aspek keilmuan. Dalam profesinya pendidikan
merupakan komponen utama dalam sistem pendidikan nasional selain siswa dan kurikulum,
ketiga komponen tersebut merupakan conditio sine quanon atau syarat mutlak dalam proses
pendidikan sekolah.5
Oleh Karena itu pendidik juga dikenal sebagai social agent hired by
society to help facilitate members of society who attends schools.6 Sebagai demostrator,
fasilitator, evaluator dan pengelola kelas tanggung jawab pendidik bisa berarti lebih dari itu,
Zakiyah Darajat menyatakan bahwa guru (dalam hal ini konteks resmi dari istilah pendidik)
adalah pendidik profesional karena guru telah menerima dan memikul beban dari orang tua
untuk ikut mendidik anak-anak.
4. Suparlan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Dari Konsepsi Sampai Implementasi, (Grafindo Persada, Jakarta, 2002),
Hal. 36
5. Ibid., hal. 12
6. Ibid., hal. 2
Menjadi pendidik pada sebuah sekolah prasekolah bukanlah perkara mudah. Perbedaan
konsep cukup besar dapat langsung terlihat jelas, namun bukan berarti proses belajar
mengajar berlangsung begitu saja tanpa arahan yang jelas ataupun prinsip-prinsip yang jelas
berkaitan dengan metode ajar kepada seorang anak, yaitu:
a) berorientasi pada kebutuhan anak, maksudnya segala ajaran yang diberikan memang
diberikan sebagai upaya untuk optialisasi semua aspek perkembangan.
b) belajar melalui bermain, tak lepas dari usianya yang memang terbilang dini metode
ini diberikan untuk mengajak anak secara menyenangkan akan tertarik untuk belajar
dalam mengeksplorasi, memanfaatkan maupun mengambil kesimpulan mengenai
segala hal yang ada di sekitarnya.
c) lingkungan yang kondusif, dengan suasana yang nyaman dan aman seorang anak akan
dapat menempatkan dirinya agak berusaha untuk membaur dan betah.
d) menggunakan pembelajaran terpadu, berarti memberikan suatu pembelajaran sesuai
dengan potensi dan bakat yang terlihat pada anak-anak pada umumnya tanpa adanya
pembedaan ataupun pengelompokkan jenis kepandaian atau kemampuuan anak.
e) mengembangkan berbagai kecakapan hidup, akan diajarkan berbagai proses
pembiasaan untuk belajar mengembangkan keterampilan hidup sehingga sejak dini
seorang anak akan senantiasa kreatif, mandiri, bertanggung jawab, disiplin dan
percaya diri dalam hidupnya kelak.
f) menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar, dengan memanfaatkan
berbagai media dan sumber-sumber pembelajaran yang edukatif yang unik, menarik
atau bisa dikatakan menggunakan metode ajar yang kreatif dan variatif akan membuat
anak lebih menikmati proses pembelajaran.
g) dilaksanakan secara bertahap dan berulang-ulang, dimaksudkan agar anak tersebut
menguasai dan menangkap maksud dan makna dibalik pembelajaran yang diberikan
dengan cara menggunakan konsep yang sederhana dan mudah dimengerti serta dekat
dengan pemahaman seorang anak.
Melalui prinsip-prinsip tersebut, pendidikan anak usia dini kini mulai merambah ke
pelosok dan semakin berkembang. Bukan hanya pihak pemerintah yang semakin giat
mengkampanyekan program ini, pihak swasta pun kian turut serta berpartisipasi memajukan
sumber daya manusia Indonesia sejak dini. Semakin banyak pihak yang tertarik untuk
membangun bersama kemampuan anak bangsa. Bisa dikatakan melalui program pendidikan
anak usia dini ini, anak akan diajak mengembangkan kemampuan berpikirnya lebih awal
sehingga akan menjadi manusia yang lebih siap dalam menghadapi segala pengaruh dan
perkembangan yang terjadi di lingkungan dan dunia.
Problematika dan Kendala Pendidikan Anak Usia Dini
Adanya progam pendidikan yang terbentuk khusus bagi anak-anak berusia dini
dilakukan guna pertumbuhan dan perembangan jasmani dan rohani anaka agar siap degan
pendidikan yang selanjutnya. Program pendidikan ini sekarang dapat dengan mudah
dimanfaatkan oleh segala macam lapisan masyarakat, karena timbulnya kesadaran mutlak
mengenai potensi emas seorang anak. Baik secara formal, maupun nonformal kini telah
terselenggara berkat keyakinan dan kepercayaan masyarakat yang pada akhirnya turut serta
membantu untuk mengembangkan lebih lanjut. Sebagaimana telah diketahui dengan
penyelengaraan program pendidikan ini yang menitikberatkan pada pertumbuhan dan
perkembangan fisik berupa koordinasi motorik dan kognitif untuk melatih daya pikir, daya
cipta, kecerdasan emosi dan spiritual, kondisi sosio emosional, bahasa serta komunikasi yang
dilakukan sesuai dengan kemampuan dan tahapan perkembangan anak usia dini.
Perkembangan yang dimaksud adalah perubahan psikologis sebagai hasil dari proses
pematangan fungsi psikis dan fisik pada diri anak yang ditunjang oleh faktor lingkungan dan
proses belajar dalam peredaran waktu tertentu menuju kedewasaaan dari lingkungan yang
banyak berpengaruh dalam kehidupan anak menuju dewasa (Frida Fidayanti: 2011).
Untuk dapat mengatasi dan menanggapi tahapan perkembangan tersebut dibutuhkan
pendidikan anak usia dini yang akan menjadi dasar perkembangan anak baik secara fisik,
psikis maupun sosial secara optimal. Pendidik yang membantu anak dalam menjalankan
tahapan perkembangan yang kompleks tersebut mengemban keyakinan nyata yang positif
dari para orangtua yang mengharapkan adanya perubahan kearah yang jauh lebih baik.
Karena dalam kenyataannya pasti akan ditemui kendala-kendala berupa sikap dan perilaku
resisten yang kerap terjadi dari anak-anak terutama pada awal masuk sekolah atau pada saat
kondisi fisik, emosi atau kognitif anak sedang tidak baik. Sementara itu dengan bervariasinya
kepribadian anak serta kemampuan emosi, fisik ataupun kognitif anak yang juga berbeda juga
menimbulkan kendala yang cukup berarti. Seperti halnya menghadapi anak yang pemalu,
belum dapat berkomunikasi dengan baik, lambat dalam pembelajaran, anak berkebutuhan
khusus, hiperaktif, lemah secara fisik ataupun kasus-kasus lainnya. Dengan memperhatikan
kenyataan-kenyataan tersebut melalui pendidikan anak usia dini, anak-anak akan mulai
terbawa dengan alur pembelajaran yang fun dan menyenangkan. Lambat laun secara tidak
langsung mereka akan mulai mengaplikasikan pembelajaran mereka di kehidupan mereka
dimana mereka sebelumnya belajar berkomunikasi, bersosialisasi, menghadapi masalah,
belajar mandiri, percaya diri, berinteraksi dan sebagainya.
Interaksi Sosial
Sebuah hubungan dengan kesadaran diri yang dibangun atas dasar norma dan nilai
sosial yang berlaku di masyarakat dimana setiap individu saling bersentuhan (baik secara
langsung maupun tidak langsung) dalam hal aktivitas sosial, itulah interaksi sosial. Sebagai
pendidik, peranan atau status yang dimiliki sebagai seorang pengajar atau pemberi
pengetahuan memiliki posisi tersendiri di hati masyarakat. Dalam melakukan setiap
aktivititasnya pendidik pun secara langsung maupun tidak langsung melakukan proses
interaksi sosial. Johnson mengatakan di dalam masyarakat, interaksi sosial adalah suatu
hubungan timbal balik antara individu dengan individu lainnya, individu dengan kelompok
dan sebaliknya. Interaksi sosial menurut Weber yaitu sebagai tindakan sosial individu yang
secara subjektif diarahkan terhadap orang lain (Johnson, 1988: 214). Sedangkan menurut
Kimball Young, interaksi sosial dapat berlangsung antara:
a. orang-perorangan dengan kelompok atau kelompok dengan orang-perorangan (there may
be person to group or group to person relation)
b. kelompok dengan kelompok (there is group to group interaction)
c. orang-perorangan (there is person to person interaction) (Taneko, 1990:112)
Bentuk-bentuk interaksi sosial di dalam masyarakat, baik itu asosiatif maupun disasosiatif,
seringkali memicu individu dalam menentukan tindakan atau aktivitas sosial lainnya. Seperti
halnya seorang individu yang ingin menjadi pendidik karena dipicu adanya interaksi sosial
dengan sekitarnya yang berkaitan dengan dunia pendidikan sejak seseorang tersebut
mengerti, tertarik dan paham akan pekerjaan tersebut. Interaksi sosial dalam dunia
pendidikan sendiri merupakan hubungan timbal balik antara seorang pendidik yang mana
melakukan aktivitas bersifat edukatif dan mengarahkannya ke sebuah tujuan tertentu yang
bersifat mendidik. Dimana nantinya akan terjadi sebuah reaksi atau perubahan tingkah laku
ataupun pemikiran anak didik kearah yang lebih baik (hubungan timbal balik). Maka dari itu
pendidik sebagai seorang pengajar harus dapat menciptakan situasi dimana anak mengalami
perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh proses belajar. Dari begitu banyak pengaruh
sekitar, pasti ada hal yang memicu seorang individu dalam menjalani kehidupannya. Melalui
interaksi sosial yang mana merupakan kunci daripada kehidupan sosial membutuhkan
komunikasi dan interaksi antara satu sama lain secara berkala. Dari interaksi sosial inilah
manusia sebagai seorang makhluk sosial dapat menlanjutkan dan meneruskan kehidupan
dengan baik.
Fenomenologi
Tradisi studi fenomenologis, menurut Creswell adalah: "Whereas a biography reports
the life of a single individual, a phenomenological study describes the meaning of the live
experiences for several individuals about a concept or the phenomenon" (Creswell, 1998:51).
Dalam bidang filsafat istilah fenomenologi, yang diperkenalkan oleh Johann Heinrich
Lambert, merupakan salah satu bidang kelimuan yang baru dikenal secara luas menjelang
abad ke-20. Namun kini fenomenologi telah dikenal luas melalui dua tokoh penting di
dalamnya yaitu G.W.F. Hegel dan Edmund Husserl. Lambat laun eksistensi salah satu cabang
filsafat ini akhirnya menyentuh ilmu sosial hingga berkembang ke cabang keilmuan lainnya
seperti psikologi, komunikasi sosiologi, ilmu pendidikan dan sebagainya. Secara mendasar
ilmu yang ada pada fenomenologi menggunakan manusia sebagai bahan eksplorasi aktif,
lebih tepatnya pengalaman yang dialami manusia karena manusia dalam menjalani hidupnya
secara kreatif akan mengalami sebuah interpretasi dan pemaknaan atas segala hal yang
dialaminya demi mencapai sebuah pemahaman atau pemaknaan. Ditengah-tengah adanya
peristiwa pengalaman tersebut muncul dengan sendirinya sebuah fenomena sebagai hasil
sintesis antara indera serta konsep yang terbentuk terhadap sebuah objek. Dalam teori
positivistik Auguste Comte menjelaskan bahwa fenomena adalah fakta atau keadaan yang
harus diterima dan dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Akan tetapi jika digeneralisasikan
fenomena, yang mana sering kita jumpai, oleh Franz Brentano dalam pemikirannya akan
dasar fenomenologi menyimpulkan fenomena merupakan sesuatu yang kita sadari, objek dan
kejadian di sekitar kita, orang lain dan diri kita sendiri sebagai refleksi dari pengalaman sadar
kita. Dimana fenomena adalah sesuatu yang masuk ke dalam 'kesadaran' kita baik dalam
bentuk persepsi, khayalan, keinginan, atau pikiran. Hal ini berarti fenomenologi merupakan
pemahaman lebih dalam mengenai manusia dimana dipelajari adanya kompleksitas dunia
nyata dalam kesadaran manusia serta timbulnya fenomena yang terkait di dalamnya. Dalam
proses kesadaran yang dimaksud merupakan kesadaran murni dimana sebagai manusia kita
harus membebaskan diri dari pengalaman dan gambaran kehidupan sehari-hari, hal ini
dilakukan guna mencapai pengertian yang sebenarnya dan mereduksi berbagai macam
fenomena yang nampak menuju esensi utama sebuah objek. . Istilah lain yang digunakan oleh
Husserl adalah epoche, yang artinya melupakan pengertian-pengertian tentang obyek untuk
sementara dan berusaha melihat obyek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan
pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Bagi Edmund Husserl proses kesadaran yang
dialami manusia terbagi atas dua hal yaitu noesis dan noema yang berasal dari kata noéaw
berarti merasa, berpikir atau bermaksud dan nous yang berarti pikiran. Noesis merupakan
istilah proses kesadaran yang disengaja sedangkan noema merupakan isi atau fenomena yang
tampak pada objek dari proses kesadaran itu. Melalui fenomenologi masyarakat atau manusia
lainnya dapat merasakan dan mempelajari bentuk-bentuk pengalaman seseorang dari sudut
pandang orang tersebut, seolah-olah kita sendiri yang mengalaminya.
Teori Fenomenologi Edmund Husserl
Edmund Husserl, seorang filsuf Austria adalah tokoh yang dianggap memberikan
landasan filosofis pendekatan intuitif non-empiris dalam fenomenologi. Dalam beberapa
bukunya “Logische Unterschungen,” “Ideen zu einer reinen Phanomenologie,” “Formale
und transzendentale Logik” dan “Erfahrung und Urteil” ia mengatakan rumusan tersebut
berangkat dari mainstream pemikiran pada saat itu bahwa “science alone is the ultimate
court of appeal” (sains adalah satu-satunya pengadilan tertinggi). Hal itu menunjukkan
bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya metode untuk mencapai kebenaran dan
mengesampingkan pengetahuan-pengetahuan yang lain. Husserl membantah pendapat
tersebut dengan mengatakan bahwa pengalaman hidup “life experiences” dapat
dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alat bantu mengeksplorasi realitas. Husserl,
sebagai seorang ahli sosiologi, berkeinginan besar untuk mengejawantahkan bentuk
fenomenologi sebagai bagian dari ilmu lebih tepatnya ilmu tentang kesadaran (science of
conciousness). Dari teori kesadaran ini sendiri terdapat konsep kunci yang disebut dengan
intensionalitas (conciousness on something) atau sebuah kesadaran yang selalu mengarah
pada sesuatu seperti waktu, tempat atau eksistensi diri sendiri. Dikenal sebagai
bapakfenomenologi, karyanya mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari
semua pengetahuan tentang fenomena obyektif. Secara literal fenomenologi merupakan
sebuah studi mengenai fenomena dimana menurut pemahaman Husserl fenomenologi adalah
upaya dalam memahami kesadaran seperti halnya yang dialami seseorang dari sudut pandang
pertama atau dari sudut pandang subyektif orang terkait. Pada deskripsi fenomenologi lebih
condong kepada bagaimana pengalaman yang dialami manusia sebagaimana awalnya
manusia tersebut mengalaminya.
Melalui pemahamannya, Husserl mengajak untuk kembali pada sumber atau realitas
sesungguhnya dimana diperlukan langkah-langkah metodis “reduksi” dengan cara
meletakkan fenomena ke dalam sebuah keranjang (bracketing) atau tanda kurung. Dengan
memanfaatkan reduksi tersebut untuk mencegah adanya kesimpulan yang terjadi dari setiap
prasangka atau fenomena yang baru terjadi. Fenomena dalam pemahaman Husserl akan
ditempatkan di dalam “keranjang” tersebut dahulu agar perhatian tetap berada dalam struktur
pengalaman sadar, untuk itu harus dapat membedakan kesadaran tersebut apakah bagian dari
kesengajaan atau berhubungan dengan sesuatu hal. Inilah yang disebut dengan noema dan
noematic pengalaman oleh Husserl. Ia menyebut fenomenologi sebagai ilmu pengetahuan
transendental (transcendental science), yang dibedakan dengan ilmu pengetahuan naturalistik
(naturalistic science), seperti pada fisika maupun biologi. Menggunakan reduksi transedental,
Husserl menemukan sebuah esensi kesadaran yang disebut dengan intensionalitas atau
intensi. Pada aktivitas intensionalitas (noetic) termasuk menyadari sesuatu. Pengertian
kesadaran selalu dihubungkan dengan kutub objektifnya, yakni objek yang disadari (John
Cresswel, 1998:207-208). Yang paling penting dalam reduksi ini, bukan terletak pada
persoalan menempatkan penampakan fenomena dalam tanda kurung, melainkan pada
bagaimana subjek memberikan interpretasi terhadap objek selanjutnya (Ibid, hal. 207).
Berdasar penelitian Husserl esensi kesadaran terbangun oleh dua asumsi yaitu pengalaman
manusia sebenarnya yang merupakan satu ekspresi kesadaran dan bersifat subyektif. Yang
kedua adalah setiap terbentuknya suatu kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu
contohnya ketika subjek perpikir akan sesuatu hal maka bayangan akan hal tersebut akan
tergambar di pikiran subjek. Hal inilah yang disebut Husserl intensionalitas (intentionality),
yaitu kesdaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Esensi kesadaran subjek akan
terbangun atau dapat ditemukan setelah subjek melakukan aktivitas-aktivitas yang bersifat
habitual yang mana akan memicu terciptanya suatu kesadaran akan objek yang disadari oleh
subjek. Aktivitas habitual dan pengalaman hidup (life experience) serta lingkungan yang
menaungi hidup subjek juga menjadi salah satu faktor terbangunnya kesadaran
(consciousness) itu. Di setiap tindakan yang intensional pasti memiliki tujuan yang jelas
dengan makna yang mendalam dan selalu memiliki obyek. Karena Intensionalitas adalah
keterarahan kesdaran (directedness of consciousness) dan juga merupakan keterarahan
tindakan, yaitu dimana setiap tindakan akan bertujuan pada suatu obyek.
Perkembangan intelektual dicapai melalui kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk
membantu peserta didik-peserta didik mengorganisasikan, mengklasifikasikan, mengurutkan,
dan mempertajam kesadaran persepsi mereka. Sama pentingnya adalah perkembangan fisik,
sosial, dan emosional, yang tercermin dalam bermain di lapangan terbuka, mendiskusikan
perilaku yang sesuai di lapangan permainan, dan menghargai tiap-tiap karya individu di kelas
(Brewer, 1995). Perkembangan intelektual yang dibantu oleh peran serta pendidik. Melalui
tiga dasar yang telah dijelaskan tersebut maka peneliti akan mencoba mengetahui bagaimana
pendidik anak usia dini di Apple Tree Preschool Surabaya. Apakah sesuai ungkapan Brewer
dimana pendidik memberikan rangkaian variasi kegiatan yang bertujuan mengembangkan
intelektual anak dengan dedikasi penuh terhadap perannya atau hanya melakukannya sesuai
dengan panduan yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah saja.
Teori Fenomenologi Alfred Schutz
Fenomenologi berasal dari kata “phainein” yang berarti memperlihatkan dan
“pheinemenon” yang berarti sesuatu yang muncul atau terlihat, sehingga dapat diartikan
“back to the things themselves” atau kembali kepada benda itu sendiri. Fenomenologi adalah
suatu aliran yang menbicarakan fenomena atau segala sesuatau yang menampakkan diri.
Fenomenologi sebagai ilmu yang berorientasi untuk menjelaskan realitas yang tampak pada
kehidupan manusia memerlukan pemaknaan lebih lanjut. Alfred Schutz dengan pemikirannya
yang menyebut manusia sebagai seorang “actor” beranggapan sama dengan Max Weber
bahwa setiap pengalaman dan perilaku yang dialami manusia dalam kesehariannya
merupakan realitas yang memiliki makna sosial (socially meaningful reality). Dan siapapun
yang melihat “actor” tersebut, mendengar dan memperhatikan apa yang dilakukan dan
diperbuatnya dia akan memahami tindakan sang “actor”, dalam dunia sosial hal ini disebut
dengan realitas interpretif (interpretive reality). Dalam penelitian yang menggunakan metode
kualitatif ini peneliti ingin mengetahui lebih dalam lagi mengenai fenomena yang terjadi dan
menjadi pokok masalah penelitian ini. Dengan pendekatan fenomenologi Alfred Schutz,
peneliti berharap dapat mengetahui bagaimana konstruksi peran para informan. Alfred Schutz
berpendapat bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosial apabila manusia
memberikan arti dan makna tertentu terhadap tindakannya sebagai sesuatu yang penuh arti.
Arti dan makna tindakan inilah yang menjadi perhatian peneliti dimana fenomena dapat
tercipta berdasar tindakan tersebut.
Bagi Schutz tugas fenomenologi adalah menghubungkan antara pengetahuan ilmiah
dengan pengalaman sehari-hari, dan dari kegiatan dimana pengalaman dan pengetahuan itu
berasal. Dengan kata lain mendasarkan tindakan sosial pada pengalaman, makna dan
kesadaran. Dalam hal ini life experience seorang aktor memiliki pengaruh besar akan
penciptaan makna dalam kehidupannya dan nantinya akan berdampak pada masa depan yang
akan dipilih untuk dijalani sang aktor tersebut. Menurut Schutz, manusia mengkonstruksi
makna di luar arus utama pengalaman melalui proses ‘tipikasi’. Hal ini merupakan
pemahaman Schutz akan tindakan sosial melalui penafsiran guna memperjelas atau
memeriksa makna yang sesungguhnya terkandung sehingga nantinya dapat memberikan
sebuah konsep kepekaan yang implisit. Mengikuti pemahaman Husserl, bahwa adanya proses
pemahaman aktual kegiatan seseorang akan memberikan sebuah makna dimana hal tersebut
dapat ter-refleksikan melalui tingkah laku seseorang. Dengan penggunaan tipikasi tersebut
manusia akan mempelajari bagaiman beradaptasi dengan dunia sosial dengan melihat dirinya
sendiri sebagai seeorang yang juga memainkan peran dalam situasi yang tipikal.
Tipikasi yang terbangun tersebut dalam rangka menemukan sesosok pendidik yang
memiliki dedikasi tinggi akan pekerjaannya. Dalam topik yang peneliti ingin kaji adalah
fenomenologi seorang pendidik anak usia dini yang memiliki dedikasi atas pekerjaannya
terkait pengajaran membaca. Bagaimana seharusnya pendidik itu sendiri yang harus
mengikuti sistem pendidikan atau program panduan ajar yang telah diberikan secara pasti
oleh pihak sekolah, dimana sepatutnya seorang pendidik sudah sewajarnya untuk mengikuti
hal tersebut. Namun apakah secara kenyataan hal tersebut terealisasi di Apple Tree Preschool
Surabaya, oleh karena itu peneliti ingin mengetahui lebih dalam. Dan untuk mengetahui
penggambaran dedikasi secara nyata seorang pendidik tersebut peneliti akan menggali lebih
dalam intensi, kesadaran diri dan pengalaman hidup responden terkait akan pengajaran
membaca. Oleh karena itu peneliti akan mendiferensiasikan para pendidik di Apple Tree
Preschool menjadi matriks-matriks tertentu untuk mengetahui lebih dalam pemahaman ajar
seorang pendidik yang akan ditilik atas tiga dasar penggabungan teori fenomenologi (Husserl
dan Schutz). Adapun dasar penggabungan fenomenologi yang akan dijadikan acuan untuk
memahami pendidik lebih seksama adalah:
1. Intention, intensi. Warshaw dan Davis (dalam Landry, 2003) intensi adalah tingkatan
dimana seseorang memformulasikan suatu tujuan masa depan yang spesifik atau tidak
secara sadar. Dimana melibatkan pembuatan komitmen perilaku untuk menunjukkan
suatu tindakan atau tidak, dimana ada harapan yang diperkirakan seseorang dalam
menunjukkan suatu tindakan bahkan ketika komitmen belum dibuat.
2. Consciousness, kesadaran diri. Momen dimana seseorang mulai menyadari sesuatu
baik peran atau pun hal lainnya yang merupakan hasil pemikiran mendalam dan
pengamatan sekitar yang akhirnya membangun sebuah struktur kesadaran.
3. Life Experience, pengalaman hidup. Ketika pengalaman menjadi sumber informasi
seseorang dalam membangun sebuah karakter diri, peran, ataupun komitmen masa
depan seseorang.
Pendidik dengan Vokasi (Panggilan Jiwa)
Panggilan jiwa atau istilah pastinya adalah vokasi (vocation), adalah sebuah pekerjaan
yang dilakukan atas dasar naluri atau keinginan terdalam. Bukan karena haus akan materi,
popularitas ataupun hanya sebagai pengisi waktu luang namun sebuah keinginan, hasrat,
keikhlasan dan ketulusan dalam melakukan sebuah aktivitas ataupun profesi dengan serius
tanpa memikirkan timbal balik berupa materi, tapi sebuah tujuan mulia tanpa pamrih. Seperti
halnya profesi pendidik yang mana bukanlah suatu jenis profesi yang mudah untuk dijalani
dan juga dipertanggungjawabkan. Pendidik atau pengajar bukanlah profesi yang sepele dan
remeh. Menjadi seorang pendidik itu merupakan panggilan jiwa, vocation. "Teaching is more
than a noble prefession. it is a vocation, a calling..." Teacher Randall, 1962. Berdasarkan
pengertiannya pun berbeda, antara profesi dan vokasi. Pengertian profesi menurut kamus
Oxford “is a paid occupation that involve prolonged training and a formal qualification",
jadi bisa dikatakan profesi adalah bentuk yang lebih terstruktur, terlatih dan akan lebih
menghasilkan kaena telah memiliki ikatan dan aturan yang telah ditentukan. Sedangkan
vocation "is a strong feeling of suitability foe a particular career or occupation, especially
regarded as worthy and requiring dedication". Sebuah perasaan yang kuat untuk melakukan
sesuatu atas dasar dedikasi dan keinginan yang kuat. Kedua hal tersebut yaitu profesi dan
vokasi memang berkaitan dengan lingkup pekerjaan namun, di satu sisi pada profesi,
pekerjaan dilakukan atas dasar keharusan karena adanya materi. Sedangkan pada vokasi
sebuah pekerjaan dilakukan karena keinginan sendiri demi hasratnya untuk memberikan
sesuatu yang lebih kepada orang lain dengan tujuan yang baik. Terutama kaitannya dengan
dunia pendidikan, seorang pendidik yang mengajar peserta didiknya atas dasar ‘keharusan
sebagai seorang pendidik’ tidak akan dapat menyelami lebih dalam apa yang terjadi dalam
ruang lingkup ajarnya, namun jika disertai dengan adanya keinginan yang kuat untuk dapat
lebih terlibat, dedikasi dan ketulusan maka proses mengajar akan terasa nyaman untuk
dilakukan. Seperti yang diungkapkan oleh seorang penulis buku bernama Fauzil Adzim,
bahwa seorang yang mengajar karena panggilan jiwa serta memiliki misi untuk
mengantarkan anak didiknya kepada kehidupan yang lebih baik secara intelektual dan sosial
akan bisa mengalirkan energi kecerdasan, kemanusiaan, kemuliaan, dan keimanan yang kuat
dalam dada setiap anak didiknya. Oleh karena itu, untuk menanamkan kecerdasan dan
kebaikan yang berakar kuat, semua itu harus dilakukan sejak awal, sejak dini, sejak masa
dimana manusia mulai mengenal lingkungan dan menyerap semua hal yang ada di sekitarnya.
Karena pada usia dini inilah manusia mengalami momen dimana penyerapan segala
informasi mulai dipelajari, sisi mana yang baik dan sisi mana yang buruk. Sebuah tantangan
yang amat berat bagi seorang pendidik bagi anak usia dini.
Ada berbagai profesi yang menjadi vokasi terdalam manusia, akan tetapi profesi yang
paling luhur dan memiliki tingkat bakti ataupun kecintaan yang tinggi ada dalam profesi
pendidik sebagai seseorang yang memiliki profesi sebagai seorang pendidik. Kaitan vokasi
dengan pendidikan amatlah erat, karena mengajar bukan sebuah profesi remeh belaka tapi
mengajar adalah sebuah vokasi. Seseorang tidak akan menjadi seorang pendidik yang efektif
dan efisien jika ‘label’ yang didapat sebagai pendidik hanya demi kepentingan pendapatan
(gaji). Pendidik bukanlah sembarang profesi namun disebut dengan seseorang yang memiliki
vokasi. Secara pengertian pun berbeda, dalam Oxford Dictionary profesi adalah "a paid
occupation that involves prolonged training and a formal qualification", sebuah perbedaan
dapat terlihat. Profesi adalah sebuah pekerjaan yang dilakukan karena untuk itulah mereka
dibayar, namun pada vokasi mereka bekerja karena itu adalah sesuatu yang harus mereka
lakukan, karena rasa cinta dan bakti atau dedikasi. Dan pendidik adalah salah satu bentuk
vokasi yang menakjubkan. Seorang Randall Butisingh, sosok guru yang aktif dan pemerhati
pendidikan, mengatakan dalam tulisannya "teaching is a vocation - a calling". Dikarenakan
perannya yang amat fundamental di masyarakat, pendidik tidak tercipta atau terlahir begitu
saja. Namun pekerjaan yang khusus ini tercipta dari hati mereka, karena kecintaannya akan
mengajar dan memutuskan untuk menjadikannya sebagai sebuah pekerjaan yang benar-benar
diinginkan. Hasil akhirnya pun dapat ditemukan ketika pendidik dengan vokasi tersebut
memberikan pengajaran atau melakukan aktivitas pendidikan, selain kinerja yang diberikan
adalah suatu bentuk totalitas akan dedikasi peserta didik pun turut menerima hasil yang
maksimal.
Kapitalisme dalam Pendidikan ( Karl Marx )
Terlahir di Kota Trier, Jerman yang berdekatan dengan perbatasan Perancis seorang
Karl Marx merupakann pendiri ideology komunis dan juga seorang terotikus bidang
kapitalisme. Dikenal sebagai seorang ahli ekonomi atau ekonom, Marx juga seorang
philosopis, sosiologis dan juga revolusioner. Pemikiran Marx merupakan adopsi dari para
ahli filsafat yaitu Hegel, French serta David Ricardo. Mengenai kapitalisme yang kemukakan
oleh Karl Marx merupakan hasil pengembangan teori G.W.F. Hegel yang berpendapat
“Sejarah berproses melalui serangkaian situasi dmana sebuah ide yang diterima akan eksis,
tesis. Yang kemudian melahirkan antithesis, kejadian ini akan terus berulang sehingga
konflik-konflik tersebut akan meniadakan segala hal yang berproses menjadi lebih baik.”
Teori Marxisme Karl Marx terangkum dalam tiga tema utama yaitu materialism,
ekonomi politik dan konsep ketatanegaraan dan pandangan revolusi. Dalam hal ini peneliti
menggarisbawahi tema yang utama dalam Marxisme yaitu filsafat materialism. Pada
pemahaman Marxisme pembahasan mengenai bagaimana manusia terbagi atas ‘kelas’ atau
lapisan masyarakat amat ditampakkan yaitu kaum proletariat (buruh) dan kaum borjuis serta
kaitannya dengan ‘alienasi’ para masyarakat kapitalis akhirnya timbul karena adanya
eksploitasi kaum proletar oleh kaum borjuis. Berdasarkan pemikiran Marx hal tersebut
tercipta (kapitalisme dan marxisme) karena memang terjadi sebab kondisi ekonomi
kehidupan pada masa tersebut yang memungkinkan teori tersebut akhirnya ada. Namun
Marxisme tidak hanya berupa pandangan mengenai kapitalisme yang terjadi karena adanya
perbedaan kelas namun juga melihat segala sesuatu dalam konteks produksi: uang dan
komoditas. Melalui kapitalisme jika diaplikasikan pada jaman globalisasi sekarang ini bahwa
kuci daripada kapitalisme adalah keuntungan, dimana pada akhirnya manusia memandang
segala sesuatu untuk tujuan ‘produksi’ atau menghasilkan sesuatu yang menguntungkan
dalam bentuk uang untuk menyambung nyawa kapitalis manusia tersebut. Keuntungan yang
diperoleh tersebut berasal dari produktifitas kerja manusia.
Materialisme sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pandangan
hidup yang mencari segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam kebendaan
semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuat yang mengatasi alam indra. Dan
manusia memiliki hal tersebut karena manusia adalah makhluk yang bermasyarakat,
beraktivitas dan selalu terlibat dalam suatu proses produksi dimana hakikat manusia adalah
kerja (homo laborans, homo faber). Kata materialisme dalam Karl Marx bukanlah seluruh
realitas adalah materi namun faktor-faktor keadaan manusia yang menentukan produksi
kebutuhan manusia. Dalam hal ini pandangan Marx mengenai materialisme adalah suatu
keadaan yang dialami manusia adalah kebutuhan materiil sebagai akibat dari usaha
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Upaya dan kesadaran manusia tidak lain hanyalah
refleksi akan kondisi yang dialami manusia yang mengedepankan materiil (ekonomi).
“Materialisme” dalam Marx berarti bahwa kegiatan dasar manusia adalah kerja sosial. Di
sini dia menerima pengandaian Feuerbach bahwa kenyataan akhir adalah obyek indrawi,
dan dalam Marx objek indrawi itu harus dipahami sebagai kerja atau produksi. Keadaan
sosial menyangkut produksi masyarakat, pekerjaan masyarakat dan bukan kesadaran yang
menentukan suatu keadaan sosial namun keadaan sosial yang nantinya akan menentukan
kesadaran manusia. Ketika manusia ditentukan oleh sebuah produksi, mengenai apa yang
mereka produksi dan bagaimana melakukan produksi untuk memenuhi tuntutan keadaan
sosial, pandangan tersebut disebut dengan materialis. Jadi fokus utama manusia pada
akhirnya bagaimana dia dapat bekerja atau berproduksi untuk menghasilkan apa yang
dibutuhkan untuk hidup dan bertahan di dunia sosial.
Kaitan budaya kapitalisme atau lebih tepatnya materialis pada diri manusia
berkembang mengikuti perkembangan budaya dan sosial saat ini. Ketika tujuan hidup
manusia dalam melakukan aktivitas produksi atau bekerja adalah materi, karena adanya
tuntutan dari dunia sosial dan kebutuhan hidup sebagai manusia hingga akhirnya hati nurani
dan logika sering terabaikan. Pandangan tersebut mulai meluas dan terjadi pada masyarakat
masa kini ketika menjalani pekerjaannya terutama pada penelitian adalah pekerjaan sebagai
pendidik. Ketika seseorang yang melakukan sebuah kegiatan pendidikan yang ikatannya erat
dengan kegiatan sosial, namun tujuan daripada kegiatan tersebut hanyalah materi atau atas
dasar kebutuhan ekonomi, hasil yang akan diterima peserta didik tidaklah maksimal begitu
pula dengan kinerja para praktisi pendidik tersebut.
Kesimpulan
Dari fenomena yang tampak dari penelitian ini, pendidik dalam proses pencapaian akan akan
perannya dan setelah mengalami sekian waktu proses waktu dan pengalaman, mulai
menampakkan sebuah kesimpulan. Dari delapan responden yang telah diamati dan melewati
proses wawancara, terdapat satu orang pendidik yang ternyata konstruksi sosialnya dalam
perannya sebagai pendidik hanyalah sebagai pendukung faktor ekonomi saja. Padahal secara
historis responden tersebut, yaitu Ms. Indri, memiliki latar belakang pengajaran dan pengaruh
kuat dalam kaitannya menjadi pendidik. Sedangkan tujuh orang responden lain yang awalnya
menjalani pekerjaan pendidik usia dini setelah mengalami masa konstruksi sosial dan
dialektika yang cukup mendalam telah menemukan esensi penting dari pekerjaan tersebut
serta makna penting dari pengajaran membaca. Esensi penting tersebut adalah kebahagiaan,
panggilan jiwa dan kepuasan selama menjalani peran sebagai pendidik anak usia dini yang
mana bukanlah sebuah jenis pekerjaan pendidik yang sama dengan pendidik lainnya.
Dari penelitian ini, peneliti dapat menarik beberapa kesimpulan pokok yang dapat dipelajari,
yaitu:
1. Pendidik anak usia dini di Apple Tree Preschool Surabaya memiliki pemahaman yang
cukup dalam dan memiliki karateristik yang berbeda setiap orangnya. Namun mereka
memiliki kemauan serta kemampuan dalam pengajaran yang tepat dan sesuai bagi anak
usia dini, sehingga tidak akan melukai mental dan perkembangan alami anak.
2. Secara realitas para pendidik memiliki tingkat kesabaran yang berbeda dalam menangani
anak usia dini, namunn satu hal yang pasti pasti mereka tetap memiliki kesadaran yang
nyata akan karakter dan jiwa anak usia dini sesungguhnya. Dimana mereka kembali lagi
kepada kenyataan bahwa peserta didik mereka adalah anak kecil dan tidak sepatutnya
mereka melakukan tindakan di luar batas logika, kewajaran atau bahkan asusila. Oleh
karena itu mereka sebagai pendidik berusaha keras dalam mengatasi pergolakan
perasaan diri karena peran lainnya sebagai manusia dewasa yang memiliki akal sehat.
3. Proses konstruksi menjadi pendidik yang berdedikasi yang dibangun melalui
pemahaman peran memang tidak seluruh responden memiliki hasil yang sama, akan
tetapi mayoritas dari responden mendapatkan sebuah esensi rasa positif yang telah
ditemukan selama menjalani peran sebagai peran pendidik bahkan mereka merasa
ketagihan dengan rasa tersebut. Hal ini membuktikan bagaimana proses yang telah
dijalani pada akhirnya meng-kristal atau mengerucut menjadi sebuah rasa cinta akan
pekerjaannya yang disebut dengan dedikasi atau vocation.
4. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan telah tertipifikasi jenis pendidik yang telah
peneliti temukan yang terdiri atas pendidik dengan pandangan economics dimana tujuan
kerja daripada pendidik tersebut adalah atas dasar faktor ekonomi atau demi memenuhi
kebutuhan hidup beserta tuntutan dunia sosial sehingga mengesampingkan hal mendasar
seorang pendidik yaitu panggilan jiwa. Selain itu juga ditemukan Jenis pendidik dengan
tujuan mendasar sebagai pendidik adalah atas dasar dedikasi, menurut panggilan jiwanya
pendidik tersebut ingin mendidik anak menjadi bangsa yang cerdas dan berbudi pekerti
dimana mereka mengedepankan kepentingan peserta didik daripada diri sendiri serta
mencurahkan segala rasa dan upaya hanya untuk peserta didik.
5. Melalui pengamatan yang telah peneliti lakukan, adanya kebebasan berkekspresi dalam
hal mengajar atau mendidik merupakan sesuatu yang dibutuhkan asal tetap dalam batas
kewajaran dan tidak di luar norma yang berlaku di masyarakat. Diperlukan sebagai
bentuk kepedulian pendidik akan pentingnya ragam variasi bentuk ajar bagi anak usia
dini untuk meningkatkan atensi serta memberikan pemahaman yang lebih baik daripada
memberikan materi ajar yang baku dan metodis. Melaului kreativitas, inovasi serta
penyampaian yang interaktif peserta didik akan merasakan bentuk pendidikan yang lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Afdjani, Hadiono. 2010. Makna Iklan Televisi (Studi Fenomenologi Pemirsa di Jakarta
Terhadap Iklan Televisi Minuman "Kuku Bima Energi" Versi Kolam Susu). Jurnal Ilmu
Komunikasi, Volume 8, Nomor 1, Januari - April 2010 Universitas Padjajaran. Diakses
tanggal 12 Mei 2013.
Berger, Peter., & Thomas Luckmann, 1975, The Social Construction of Reality, A Treatise in
The Sociology of Knowledge, Penguin Books, Australia. Hal 70.
Butisingh, Randall. Teaching is a vocation. Diakses pada tanggal 5 Februari 2013. Tersedia
pada http://randallbutisingh.wordpress.com
Coffman, Julia and M. Elena Lopez. 2003. Raising Preschool Teacher Qualifications, With a
Case Study on How New Jersey's Early Childhood Teachers are Getting Four-Year Degrees
and Certification Under a Four-Year Deadline. England.
Desilawati, Nur. 2012. Pengalaman Komunikasi Keluarga Pahlawan Revolusi, Studi
Fenomenologi Tentang Pengalaman Komunikasi Keluarga Pada Putra Keluarga Pahlawan
revolusia Yang Berminat Untuk berprofesi di Bidang Militer. Program Studi Ilmu
Komunikasi, Universitas Padjajaran. Bandung.
Dreher, Jochen. Alfred Schutz. Malden: Wiley-Blackwell, 2011. Diakses tanggal 12 Agustus
2013.
Elisabeth, Christyn. 65 Persen Anak Indonesia Belum Akses PAUD. 2 Juli 2012, diakses pada
tanggal 20 September 2013. Tersedia pada http://11094christynelisabeths.blogspot.com/
Fadlillah, Muhammad. Desain Pembelajaran Paud. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Ghaitsa, Ata. 2013. Teori Konstruksi Realitas Sosial. Diakses pada tanggal 29 September
2013. Tersedia pada ataghaitsa.wordpress.com/
Guru PAUD Masuk Akademi Vokasi. Diakses pada tanggal 18 July 2012. Tersedia pada
www.dikti.go.id
Goffman, Erving, 1959, The Presentation of Self In Everyday Life, Penguin Book, Cox &
Wyman Ltd, Great Britain. Hlm. 32-40
Helmalena, Putri. 2011. Analisis Fenomenologi Pada Program "Mario Teguh Golden Ways"
di Metro TV. Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Indonesia Kekurangan 15.000 Lembaga PAUD. Diakses pada tanggal 18 Juni 2012. Tersedia
pada www.nasional.kompas.com
Kuswarno, Engkus. Metodologi Penelitian Komunikasi: Fenomenologi. Widya Padjajaran,
2009.
Kuswarno, Engkus. 2005. Tradisi Fenomenologi pada Penelitian Komunikasi Kualitatif:
Sebuah Pengalaman Akademis.
Maimunah Hasan. Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Diva Press, 2010.
Manuaba, Putera I.B. 2010. Memahami Teori Konstruksi Sosial, 18 November 2010. Jurnal
Masyarakat Kebudayaan dan Politik, Volume 21, Nomor 3: 221-230. Fakultas Budaya,
Universitas Airlangga, Surabaya.
Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2000.
Marliana. 2007. Konsep Diri Remaja Yang Pernah Mengalami Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Universitas Diponegoro.
Maryatun, Ika Budi. Peran Pendidik Dalam Membangun Karakter Anak. Diakses pada
tanggal 12 Desember 2013.
Nindito, Stefanus. 2005. Fenomenologi Alfred Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan
Realitas dalam Ilmu Sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 1, Juni 2005:75-94.
Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma
Jaya, Yogyakarta.
Padmonodewo, Soemiarti. Pendidik Anak Prasekolah. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.
Pama, Hasnita. Risiko Anak-Anak Bergajet, 4 Oktober 2013, diakses pada tanggal 20
November 2013. Tersedia pada http://pama.karangkraf.com/
Partini. Pengantar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2010.
Puspita, Widya Ayu. Pendidik Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Sebagai Model Perilaku
Anak Usia Dini. Diakses pada tanggal 20 desember 2013. Tersedia pada http://www.bppnfi-
reg4.net/
Qamariah, Rifatul dan Arif Sudrajat. Motif Keluarga Dalam Pemenuhan Kebutuhan
Psikososial Lansia. Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Surabaya. Diakses tanggal 12 Agustus 2013.
Ramdhani, Neila. Menjadi Guru Inspiratif. Jakarta: Titian Foundation, 2012.
Ranis. 2013. 12 Manfaat Membaca Bagi Anak, 28 Februari 2013, diakses pada tanggal 20
desember 2013. Tersedia pada http://www.bimba-aiueo.com/
Ribuan Guru PAUD Belum Bersertifikat Hampir 70% Tidak Layak Mengajar. diakses pada
tanggal 5Januari 2012. Tersedia pada www.surabayapost.co.id
Sari, Yohana. 2011. Jenis Program PAUD. Diakses tanggal 25 Agustus 2013. Tersedia pada
www.posyandu.org
Schutz, Alfred. The Phenomenology of The Social World, London: Heinemann Educational
Book, 1972.
Suparlan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Dari Konsepsi Sampai Implementasi, Jakarta:
Grafindo Persada, 2002.
Suwarno. Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Suyanto, Bagong dan Sutinah (ed.). 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan, Kencana, Jakarta.
Teguh. Harian Haluan, 26 Juni 2011, diakses pada tanggal 20 September 2013. Tersedia pada
http://www.harianhaluan.com/
Tientje, Nurlaila NQM, Multipel Intelegensi. Bogor: Rekatama, 2010.
. Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger. Diakses pada tanggal 29
September 2013. Tersedia pada http://gurindrasosio.blogspot.com/2013/01/teori-konstruksi-
sosial-peter-l-berger.html/
. Ribuan Guru PAUD Belum Bersertifikat Hampir 70% Tidak Layak
Mengajar. Diakses pada tanggal 5Januari 2012. Tersedia pada www.surabayapost.co.id
. Indonesia Kekurangan 15.000 Lembaga PAUD. Diakses pada tanggal
18 Juni 2012. Tersedia pada www.nasional.kompas.com
. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Diakses pada tanggal 18 Februari
2013. Tersedia pada http://pendidikananak2.blogspot.com
. Pemenuhan Hak Pendidikan Anak Sejak Usia Dini. diakses pada
tanggal 14 Mei 2012. Tersedia pada http://www.kpai.go.id
. 2010. Teori Fenomenologi, 29 Juni 2010, diakses pada tanggal 16
Oktober 2013. http://amacorablog.wordpress.com/
. Metode Belajar Membaca. Diakses pada tanggal 20 desember 2013.
Tersedia pada http://www.tipsbayi.com/
. Tahapan Membaca Untuk Anak Usia Dini. Diakses pada tanggal 20
Desember 2013. Tersedia pada http://pkgpaudjatinangor.blogspot.com/
Top Related